bab i-v.docx
Post on 04-Apr-2016
37 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang membutuhkan bahan pangan untuk dapat
melangsungkan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia melakukan
berbagai cara, salah satu diantaranya adalah melakukan kegiatan pertanian. Dalam
aktifitas ini, manusia melakukan perubahan lingkungan dari ekosistem alami menjadi
sebuah agroekosistem.
Di dalam ekosistem terdapat interaksi antara organisme dengan lingkungannya yang
terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang terlibat dalam aliran energi dan siklus
nutrisi. Pada agroekosistem terjadi hubungan timbal balik antara sekelompok manusia
dan komponen-komponen ekosistem, disertai usaha memodifikasi lingkungan meliputi
sistem budidaya, pengolahan tanah dan pengendalian hama dan penyakit sehingga secara
tidak langsung akan merubah keseimbangan ekosistem. Apabila tidak dilakukan
manajemen agroekosistem yang baik, semakin lama akan menimbulkan kerusakan
lingkungan.
Masalah lingkungan serius di pedesaan dan pertanian adalah kerusakan hutan,
meluasnya padang alang-alang, degradasi lahan serta menurunnya keanekaragaman
biota. Masalah ini timbul seiring meningkatnya populasi penduduk, komersialisasi
pertanian, masukan teknologi pertanian dan permintaan konsumsi masyarakat. Sehingga
perlu dilakukan pengkajian dan penelitian mengenai agroekosistem yang telah diterapkan
meliputi aspek budidaya, aspek tanah serta aspek hama dan penyakit untuk dapat
menentukan manajemen yang tepat terhadap agroekosistem tersebut.
1.2 Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui kondisi dari berbagai aspek dalam agroekosistem di daerah
Lawang.
Untuk mengetahui kondisi umum lahan, sistem budidaya, dan pengelolaan tanaman
yang dilakukan oleh petani daerah Lawang.
Untuk mengetahui pengaruh antara kualitas dan kesehatan tanah terhadap kesuburan
tanaman.
Untuk mengetahui keadaan hama dan penyakit serta keragaman Arthopoda yang ada
di lahan.
1
1.3 Manfaat Praktikum
Memahami hubungan timbal balik yang terjadi dalam agroekosistem di daerah
Lawang meliputi pengelolaan tanah, sistem budidaya dan pengendalian hama
penyakit.
Menentukan rekomendasi manajemen agroekosistem yang sesuai di daerah lawang
dalam upaya menciptakan keseimbangan ekosistem.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agroekosistem Lahan Basah dan Lahan Kering
2.1.1 Lahan Kering
Secara umum lahan kering atau yang sering disebut dengan upland merupakan
suatu lahan pertanian yang mengandalkan kebutuhan airnya dari hujan dan biasanya
ditanami komoditas tanaman palawija seperti . Selama ini makna dari lahan kering
tidak hanya mengacu pada hal itu saja tetapi juga berkonotasin pada hal-hal lain,
pertama agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai suatu wilayah yang
komoditasnya berbasis pada tanaman kering (palawija) yakni selain tanaman padi.
Kedua agroekosistem lahan kering dimaknai sebagai suatu wilayah yang memiliki
iklim kering dengan sektor utama adalah sektor pertanian, dan yang ketiga
agroekosistem lahan kering juga dimaknai sebagai suatu kawasan pertanian yang
berada di hulu sungai atau dengan kata lain merupakan pertanian yang berada di
dataran tinggi. Menurut Rukmana (2001) lahan kering merupakan suatu jenis lahan
yang bisa digunakan untuk proses budidaya pertanian dengan menggunakan air yang
bersifat sangat terbatas, dan biasanya sumber air ini hanya bisa didapatkan dari air
hujan.
Gambar. 1 Agroekosistem Lahan Kering
Selain ciri khas lahan kering yang berada pada daerah yang jumlah airnya
terbatas, ada beberapa karakteristik yang biasanya terdapat pada lahan kering
diantaranya: Rentan terjadi erosi, ini terjadi apabila kondisi lahan tersebut memiliki
kemiringan yang cukup curam karena rata-rata lahan kering ini banyak ditemui di
dataran tinggi, selain itu erosi ini juga akan terjadi jika lahan tersebut tidak tertutup
oleh vegetasi. Kemudian karakterisitik selanjutnya adalah masalah kesuburan yang
cukup rendah karena dampak lanjutan dari adanya erosi, tingkat kesuburan ini bisa
3
berupa kandungan unsur hara yang rendah, bahan organik dan juga reaksi tanah
seperti pH dan KTK. Ciri selanjutnya adalah Sifat fisik tanah kurang baik seperti
struktur yang padat, lapisan tanah atas (top soil) dan lapisan bawah (sub soil)
memiliki kelembaban yang rendah, aerasi udara agak terhambat, dan retensi air relatif
rendah. Dari segi sosial lahan kering juga memiliki karakteristik tersendiri yakni
memudarnya modal sosial-ekonomi dan budaya, rendah atau tidak optimalnya adopsi
teknologi maju, serta terbatasnya ketersediaan modal dan infrastruktur yang tidak
sebaik di daerah sawah.
Potensi dari agroeksosistem lahan kering ini sangat besar, berdasarkan data BPS
tahun 2004, total luas lahan pertanian di indonesia adalah sekitar 73,4 juta hektar, dari
luasan tersebut 65,7 juta hektar atau setara 90%nya merupakan lahan kering
sedangkan sisanya 7,7 juta hekta (10%) merupakan lahan basah. Untuk lahan kering
rincianya adalah yang berupa tegal, kebun, ladang atau huma seluas 14,9 juta hektar,
untuk perkebunan besar seluas 19,6 juta hektar, lahan pekarangan/sekitar bangunan
seluas 5,6 hektar, untuk tambak/kolam sebesar 760 ribu hektar, dan sisanya seluas 2,9
juta hektar berupa lahan yang ditanami kayu dan sebagian juga ada yang tidak terurus.
Begitu besar potensi lahan kering yang ada di indonesia, tetapi pada kenyataanya
itu tetap menjadi sebuah potensi yang belum benar-benar termanfaatkan dan terkelola
secara baik, seharusnya potensi ini benar-benar dikelola dengan baik agar dapat
meningkatkan kesejahteraan para petani lahan kering, salah satu alternatif yang dapat
dilakukan adalah dengan mengembangkan komoditas pangan dan perkebunan seperti
padi gogo, jagung, sorgum kedelai, kopi, dan tpalawija serta tanaman perkebunan
lainya.
2.1.2 Lahan Basah
Agroekosistem lahan basah atau biasa disebut dengan istilah wetland merupakan
wilayah-wilayah yang kondisinya selalu tercukupi bahkan kelebihan air, wilayah ini
memiliki ekosistem yang lebih beragam dibandingkan dengan lahan kering,
kondisinya rata-rata juga jauh lebih subur dibandingkan dengan lahan kering. Sumber
airnya bisa berasal dari laut, sungai, rawa, dan juga irigasi tergantung jenis nya.
Kondisi pH juga relatif netral sehingga jasad renik yang ada di tanah juga sangat
beragam, ini membuat tanah pada lahan basah relatif lebih subur jika dibandingkan
dengan tanah pada lahan basah. Kemudian untuk komoditas yang biasanya ditanam
adalah tanaman padi dan juga palawija sebagai rotasi tanamnya.
4
Lahan basah berdasarkan Sistem Klasifikasi Ramsar, diklasifikasikan menjadi
tiga kelompok utama, yaitu: lahan basah pesisir dan lautan, lahan basah daratan, dan
lahan basah buatan. Lahan basah pesisir dan lautan ini umunya memiliki salinitas
yang cukup tinggi karena berada di daerah pasang surut dan juga muara sungai,
sehingga perlakuanya juga harus berbeda dengan lahan basah yang lain, perlu di ingat
bahwa lahan basah ini tidak harus identik dengan pertanian tetapi juga bisa dipandang
dari sudut pandang perikanan. Beberapa contoh pemanfaatan lahan basah pesisir ini
diantaranya adalah digunakan sebagai hutan mangrove/ bakau sebagai hutan
konservasi dan juga penahan erosi, selain itu manfaat dari hutan bakau ini juga
berfungsi sebagai rumah beberapa jenis hewan laut sehingga dapat menjaga ekosistem
laut. Selain sebagai hutan mangrove, lahan basah pesisir ini juga bisa dimanfaatkan
untuk menanam beberapa jenis komoditas seperti kelapa bahkan juga bisa ditanami
tanaman padi dengan jenis tertentu. Potensi lahan basah pesisir ini sangatlah besar
mengingat Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke-2 di dunia.
Selanjutnya lahan basah daratan, ini merupakan lahan basah alami yang berada
daratan contohnya adalah rawa-rawa, lahan gambut, sawah, tepian danau dan juga
daerah aliran sungai. Wilayah-wilayah ini umumnya memiliki karakteristik yang
berbeda satu dengan yang lain, sehingga perlu dilakukan suatu treatment khusus
dalam pemanfaatanya. Contoh perlakuannya adalah pada lahan gambut, lahan gambut
merupakan lahan potensial yang pemanfaatanya masih sangat minim karena
keterbatasan dalam hal pengelolaanya. Dalam pemanfaatan lahan gambut kendalanya
selain kondisi lahan yang rata-rata selalu tergenang air juga karena sifat tanah yang
sangat bersifat asam, maka dari itu perlu diadakan penetralan pH, bisa dengan cara
pengapuran atau juga dengan cara pencucian dengan air, tergantung efisiensinya.
Selain itu untuk mangatasi masalah genangan air, maka perlu dibuat suatu sistem
drainase untuk pengatusanya agar tidak terjadi genangan pada lahan tersebut. Hal ini
berbeda lagi dengan perlakuan pada lahan ditepian danau atau sungai, lahan ini hanya
bisa di tanami/ diusahakan ketika dalam kondisi kemarau karena pada kondisi musim
hujan lahan ini akan tergenang oleh air.
5
Gambar.2 Agroekosistem Lahan Basah
Dan jenis lahan basah yang terahir adalah lahan basah buatan, ini adalah lahan
basah yang sengaja diusahakan oleh manusia untuk mendudkung kegiatan
pertaniannya. Jenis lahan basah buatan yang paling sering ditemui adalah lahan basah
beririgasi, biasanya lahan ini awalnya berasal dari lahan kering yang sengaja di
berikan saluran irigasi untuk mendukung kegiatan budidaya pertaniannya. Setelah di
berikan irigasi, kebutuhan air lahan tersebut akan tercukupi sepanjang musim
sehingga lahan ini berubah status menjadi lahan sawah. (Puspita, 2005)
2.2 Agroekosistem Tanaman Pangan dan Hortikultura
Ekosistem merupakaan suatu kesatuan antara berbagai faktor, mulai dari faktor
biotik hingga faktor abiaotik yang menjalin sebuah kesatuan dan saling mempengaruhi.
Sedangkan agroekosistem merupakan ekosistem yang segaja dibuat dan dirancang oleh
manusia, biasanya tujuanya adalah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia.
Menurut Angyoyo,(2009) agroekosistem adalah, bahwa agroekosistem
merupakan salah satu bentuk ekosistem binaan yang bertujuan menghasikan produksi
pertanian guna memenuhi kebutuhan. Jadi Konsepnya adalah manusia sengaja
menciptankan suatu ekosistem yang didalamnya terdapat interaksi antara faktor-faktor
biotik dan abiotik dengan tujuan memenuhi kebutuhan manusia.
Agroekosistem tanamana pangan sebenarnya tidak jauh jika dibandingkan dengan
agroekosistem tanaman hortikultura. Perbedaanya biasanya terletak pada lahan yang
digunakan, biasanya tanaman pangan menggunakan lahan basah yang kondisi airnya
selalu ada dan tercukupi seperti di agroekosistem sawah, ini terutama pada tanaman
padi. tapi tidak sedikit juga tanaman pangan yang dikembangkan di daerah yang
memiliki agroekosistem lahan kering seperti seperti tanaman palawija, biji-bijian,
seerealia dan juga umbi-umbian. Karakteristik agroekosistem tanaman pangan biasanya
diproduksi di dataran rendah dan ditanam dengan jumlah yang cukup banyak, hal ini
6
karena tanaman pangan merupakan kebutuhan pokok setiap manusia, sehingga juga
dibutuhkan dalam jumlah yang cukup banyak.
Sedangkan tanaman Hortikultura, mencakup 4 jenis yakni pomologi (buah-
buahan), florikultur(bunga), olerikultur(sayuran) dan biofarmaka (tanaman obat),
semuanya memiliki jenis agrokosistem yang berbeda-beda, ada yang hidup di
agroekosistem lahan basah dan ada juga yang dibudidayakan di lahan kering. Ada juga
yang bersifat tanaman tahunan, terutama dari kelas pomologi atau buah-buahan.
Kebanyakan dari tanaman hortikultura dibudidayakan di lahan kering dan salah satu
karakteristik agroekosistem tanaman hortikultura adalah biasaya terletak di dataran
tiggi, hal ini karena kebanyakan tanaman hortikultura membutuhkan suhu rendah untuk
dapat bertumbuh dengan optimal terutama pada tanaman sayuran.
2.3 Kualitas Tanah dan Kesehatan Tanah
Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat berfungsi penting dalam
kelangsungan hidup mahluk hidup. Bukan hanya fungsinya sebagai tempat
berjangkarnya tanaman, penyedia sumber daya penting dan tempat berpijak tetapi juga
fungsinya sebagai suatu bagian dari ekosistem. Selain itu, tanah juga merupakan suatu
ekosistem tersendiri. Penurunan fungsi tanah tersebut dapat menyebabkan
terganggunya ekosistem di sekitarnya termasuk juga di dalamnya juga manusia
(Waluyaningsih, 2008).
Kualitas tanah adalah kapasitas dari suatu tanah dalam suatu lahan untuk
menyediakan fungsi-fungsi yang dibutuhkan manuasia atau ekosistem alami dalam
waktu yang lama. Fungsi tersebut adalah kemampuannya untuk mempertahankan
pertumbuhan dan produktivitas tumbuhan serta hewan atau produktivitas biologis,
mempertahankan kualitas udara dan air atau mempertahankan kualitas lingkungan,
serta mendukung kesehatan tanaman, hewan dan manusia. Tanah berkualitas membantu
hutan untuk tetap sehat dan menumbuhkan tumbuhan yang baik atau lansekap menarik
(Waluyaningsih, 2008).
Kualitas tanah diukur berdasarkan pengamatan kondisi dinamis indikator-
indikator kualitas tanah. Pengukuran indikator kualitas tanah menghasilkan indeks
kualitas tanah. Indeks kualitas tanah merupakan indeks yang dihitung berdasarkan nilai
dan bobot tiap indikator kualitas tanah. Indikator-indikator kualitas tanah dipilih dari
sifat-sifat yang menunjukkan kapasitas fungsi tanah. Indikator kualitas tanah adalah
7
sifat, karakteristik atau proses fisika, kimia dan biologi tanah yang dapat
menggambarkan kondisi tanah (SQI, 2001) dalam Partoyo (2005).
Penilaian kualitas tanah dapat melalui penggunaan sifat tanah kunci atau indikator
yang menggambarkan proses penting tanah. Selain itu juga, penilaiannya dengan
mengukur suatu perubahan fungsi tanah sebagai tanggapan atas pengelolaan, dalam
konteks peruntukan tanah, sifat-sifat bawaan dan pengaruh lingkungan seperti hujan
dan suhu (Dittzler and Tugel, 2002cit Andrewet al. 2004: hal 5).
Dalam penilaian atau interpretasi kulaitas tanah harus mempertimbangkan proses
evaluasi sumberdaya lahan berdasar fungsinya dan perubahan fungsi tanah sebagai
tanggapan alami khusus atau cekaman dan juga praktek pengelolaan. Lima fungsi tanah
yaitu (Allan, dkk., 1995: hal 1 dalam Waluyaningsih, 2008) :
1. Menopang aktivitas biologi, keanekaragaman, dan produktivitas;
2. Mengatur dan memisahkan air dari larutan;
3. Menyaring, menyangga, mendegradasi, imobilisasi dan mendetoksifikasi bahan-
bahan organik dan an-organik, termasuk hasil samping industri dan kota serta
endapan atmosfer;
4. Menyimpan dan mendaur hara dan unsur-unsur lain dalam biosfer bumi;
5. Memberikan dukungan bagi bangunan struktur sosial-ekonomi dan perlindungan
kekayaan arkeologis yang berhubungan dengan pemukiman manusia
Doran and Parkir (1996) dalam Partoyo, 2005) berpendapat bahwa indikator
kualitas tanah harus mencakup kisaran situasi ekologi dan sosio-ekonomi yaitu :
1. Mempunyai korelasi yang erat dengan proses-proses alami dalam ekosistem (dan
bermanfaat dalam modeling berorientasi proses).
2. Mengintegrasikan sifat dan proses fisik, kimia dan biologi dan bermanfaat sebagai
input untuk memperkirakan sifat atau fungsi tanah yang sukar untuk diukur secara
langsung.
3. Relatif murah dan mudah digunakan untuk memperkirakan kualitas tanah pada
kondisi lapangan, baik oleh spesiais/ilmuwan maupun petani.
4. Harus cukup peka untuk menggabarkan pengaruh iklim dan pengelolaan terhadap
kualitas tanah dalam jangka panjang, namun tidak begitu peka terhadap pola cuaca
jangka pendek.
5. Bersifat universal, namun menggambarkan pola spasial dan temporal.
6. Apabila mungkin, juga merupakan komponen dari database tanah saat ini.
8
Kualitas tanah memadukan unsur fisik, kimia dan biologi tanah beserta
interaksinya. Agar tanah dapat berkemampuan efektif, ketiga komponen tersebut harus
disertakan. Semua parameter tidak mempunyai keterkaitan yang sama pada semua
tanah dan pada semua kedalaman. Suatu satuan data minimum sifat tanah atau indikator
dari masing-masing ketiga unsurtanah dipilih berdasarkan kemampuannya sebagai
tanda berfungsinya kapasitas tanah pada suatu penggunaan lahan khusus, iklim dan
jenis tanah (Soil Quality Institute, 1999; Ditzler and Tugel, 2002: hal 27 dalam
Waluyaningsih, 2008).
Pengukuran kualitas tanah dibidang pertanian hendaknya tidak hanya terbatas pada
tujuan produktivitas, sebab ternyata penekanan pada produktivitas megakibatkan
degradasi tanah. Pada umumnya, hasil panen dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak
terkait dengan kualitas tanah. Kualitas tanah juga dianggap sebagai unsur kunci
pertanian berkelanjutan (Larson and Piece, 1991: hal 4 dalam Waluyaningsih, 2008).
Bahan organik tanah merupakan indikator dari kualitas tanah, karena merupakan
sumber dari unsur hara esensial dan memegang peranan penting untuk kestabilan
agregat, kapasitas memegang air dan strutur tanah. Oleh karena itu bahan organik tanah
erat kaitannya dengan kondisi tanah baik secara fisik, kimia dan biologis yang
selanjutnya turut menentukan produktivitas suatu lahan. Walaupun bahan organik tanah
sangat penting, tetapi hingga kini belum ada informasi pengelolaan kualitas bahan
organik tanah secara ekplisit dan mendasar. Salah satu penyebabnya adalah belum
adanya nilai atau ukuran kualitas bahan organik tanah secara kualitatif yang dapat
mencerminkan bioaktifitas tanah sekaligus merupakan refleksi dari tingkat kesuburan
tanah (Waluyaningsih, 2008).
Kandungan bahan organik tanah telah terbukti berperan sebagai kunci utama dalam
mengendalikan kualitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Bahan organik
mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti menurunkan berat volume tanah,
meningkatkan permeabilitas, menggemburkan tanah, memperbaiki aerasi tanah,
meningkatkan stabilitas agregat, meingkatkan kemampuan tanah memegang air,
menjaga kelembaban dan suhu tanah, mengurangi energi kinetik langsung air hujan,
mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah (Oades, 1989; Elliott, 1986; Puget et al.,
1995; Jastrow et al., 1996; Heinonen, 1985 dalam Riwandi, 2010). Bahan organik
mampu memperbaiki sifat kimia tanah seperti menurunkan pH tanah, dapat mengikat
logam beracun dengan membentuk kelat komplek, meningkatkan kapasitas pertukaran
kation dan sebagai sumber hara bagi tanaman (Stevenson, 1994; Tisdall and Oades,
9
1982 dalam Riwandi, 2010). Dari sifat biologi tanah, bahan organik tanah mampu
mengikat butir-butir partikel membentuk agregat dari benang hyphae terutama dari
jamur mycorrhiza dan hasil eskresi tumbuhan dan hewan lannya (Soegiman, 1982;
Addiscott, 2000 dalam Riwandi, 2010).
Karlen et al. (1996) dalam Partoyo (2005) mengusulkan bahwa pemilihan indikator
kualitas tanah harus mencerminkan kapasitas tanah untuk menjalankan fungsinya yaitu:
1. Melestarikan aktivitas, diversitas dan produktivitas biologis
2. Mengatur dan mengarahkan aliran air dan zat terlarutnya
3. Menyaring, menyangga, merombak, mendetoksifikasi bahan-bahan anorganik dan
organik, meliputi limbah industri dan rumah tangga serta curahan dari atmosfer.
4. Menyimpan dan mendaurkan hara dan unsur lain dalam biosfer.
5. Mendukung struktur sosial ekonomi dan melindungi peninggalan arkeologis terkait
dengan permukiman manusia.
Kesehatan tanah ialah integrasi dan optimasi sifat tanah yang bertujuan untuk
peningkatan produktivitas dan kualitas tanah,tanaman, dan lingkungan. Indikator
kinerja tanah ialah sifat tanah yang terukur dan dapat menunjukkan tanda bahwa tanah
menjalankan fungsinya atau tidak (Riwandi, 2010).
Kesehatan tanah tidak dapat diukur langsung, tetapidiukur dengan menggunakan
indikator kinerja tanah. Perubahan indikator kinerja tanah dapat berguna untuk
menentukan apakah kesehatan tanah perlu dipelihara dengan praktek konservasi tanah.
Ciri tanah yang sehat adalah tanah mudah diolah, jeluk tanah cukup dalam, unsur hara
cukup tidak berlebihan, populasi hama dan penyakit tanaman kecil, drainase sangat
baik, populasi organisme tanah yang menguntungkan sangat banyak, gulma sangat
kecil, bebas bahan kimia dan toksin, tahan degradasi, lentur (resilience) ketika terjadi
kondisi yang buruk (Riwandi, 2010).
Degradasi tanah dapat menurunkan kesehatan tanah, kualitas tanah, dan
produktivitas tanah. Keberlanjutan kesehatan tanah terjamin bila fungsi tanah dapat
berjalan lancar. Konservasi tanah dan air mempunyai peranan penting dalam menjaga
fungsi tanah agar tanah tetap sehat. Fungsitanah untuk tempat produksi pertanian,
pengatur asupan dan kualitas air, tempathidup aneka-ragam-hayati, mendaur-ulang
bahan organik dan unsur hara, dan filter bahan pencemar. Kesehatan tanah dibagi ke
dalam 5 kelas sebagai berikut: >80% tanah Sangat Sehat, 80-60% tanah Sehat, 60-40%
tanah Cukup Sehat, 40-20% tanah Kurang Sehat, dan <20% tanah Tidak Sehat (OSU,
2009) (Riwandi, 2010)
10
2.4 Hama dan Penyakit Tanaman Agroekosistem yang Diamati Beserta Gejala dan
Tanda
Pada pengamatan/observasi lapang ditemukan beberapa jenis serangga yang
termasuk dalam kategori hama dan musuh alami. Serangga hama yang ditemukan yaitu
belalang daun (Oxya chinensis) dan belalang hijau (Atractomorpha crenaticeps).
Sedangkan untuk musuh alami yang ditemukan berasal dari ordo odonata.
- Belalang daun (Oxya chinensis)
Belalang daun ini biasanya juga disebut sebagai belalang cina. Pada lahan, kami
menemukan belalang ini yang berwarna hijau. Belalang ini termasuk dalam kelas
insekta karena memiliki tiga pasang kaki. Lariman (2010) menyatakan bahwa
belalang daun ini memiliki ukuran yang kecil, berwarna coklat atau hijau. Femura
belakang berwarna coklat kehitaman, pada tibia terdapat duri – duri dan ujungnya
berwarna hitam. Antena pendek dan hanya terdapat satu pasang. Sayap terdiri dari dua
pasang yang berwarna coklat gelap pada bagian depan dan berwarna coklat terang
pada sayap belakang. Kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh hama ini cukup berat
juga. Karena pada lahan banyak ditemukan daun dewasa yang berlubang.
Belalang daun ini berkembang biak dengan cara bertelur. Telur berwarna cokelat,
diletakkan dalam tanah atau pada daun secara berkelompok. Telur menetas dalam 4
minggu, nimfa berwarna cokelat keabu-abuan. Jantan mempunyai panjang tubuh 2,1-
2,4 cm dengan sepasang garis tipis di kepala. Berkembang secara cepat dan
menghasilkan kawanan dalam jumlah yang banyak sehingga dapat menyebabkan
kerusakan berat. Kawanan ini dapat terbang dalam jara yang sangat jauh. Nimfa muda
berwarna kuning kehijauan dengan titik-titik hitam dan menjadi bervariasi seiring
pertumbuhan dan perkembangannya. Imago akan kawin 2-4 minggu setelah menjadi
imago (Lariman, 2010)
Klasifikasi Oxya chinensis (Lariman, 2010)
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Orthoptera
Famili : Acrididae
Genus : Oxya
Spesies : Oxya chinensis
11
Gambar 3. Belalang daun (Oxya chinensis)
Sumber: Dokumen pribadi
- Belalang hijau (Atractomorpha crenaticeps)
Belalang ini berwarna hijau serta memiliki antena dan tiga pasang tungkai.
Belalang ini memiliki tungkai belakang yang lebih panjang. Borror, et al., (1992)
menyatakan bahwa serangga ini memiliki tungkai belakang yang lebih panjang dan
tubuhnya berwarna hijau dan kekuningan, nimfanya berwarna tetapi belum
mempunyai sayap.
Menurut Kranz, et al., (1977) spesies ini dibedakan dengan belalang biasa dari
antenanya yang panjang (lebih dari dua kali panjang tubuhnya dan berukuran besar)
dengan muka posisi miring. Lama hidup belalang dewasa selama 3-4 bulan. Belalang
ini termasuk fitofag yaitu memakan daun, tetapi juga sebagai predator yaitu
memangsa telur hama lain. Gejala serangan yang ditimbulkan serangga ini adalah
adanya lubang-lubang pada daun tanaman.
Klasifikasi Atractomorpha crenaticeps (Lariman, 2010)
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Orthoptera
Famili : Pygomorphidae
Genus : Atractomorpha
Spesies : Atractomorpha crenaticeps
- Capung (Ordo Odonata)
Capung termasuk dalam musuh alami. Capung sifatnya terbang cepat sehingga
dapat menangkap serangga lain yang sedang terbang. Panjang bisa antara 2 sampai
13,5 cm. Beberapa jenis capung memakan mangsanya sambil terbang. Jenis lain
hinggap untuk makan. Capung dapat menangkap dan memakan ktu, nyamuk dan
kepik di udara. Capung besar mampu menangkap kupu-kupu yang agak besar di
udara.
Capung melewatkan masa remajanya dalam air seperti sawah, kolam atau sungai.
Capung betina meletakkan telur di dalam air. Nimfa berjalan di dasar air atau merayap
di antara tanaman bawah air, menangkap dan memakan binatang kecil. Serangga
kecil, ikan kecil, jentik nyamuk dan kecebong. Ketika dewasa nimfa merayap ke luar
air dan melepaskan kulitnya menjadi dewasa. Memompa cairan ke dalam urat sayap
untuk membuka sayapnya.
12
Gambar 4. Atractomorpha crenaticeps
Sumber: Dokumen pribadi
2.5 Pengaruh Populasi Musuh Alami Terhadap Agroekosistem
a. Konsep Agroekosistem dengan Populasi Serangga
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia dengan sengaja merubah
ekosistem alami dengan menciptakan suatu ekosistem baru yang khsusus dibuat
untuk kepentingan pertanian yang disebut agroekosistem (Ahmad, 1995). Dalam
suatu agroekosistem, komponen ekosistem menjadi lebih sederhana dan biasanya
terdiri dari populasi tumbuhan pertanian yang kurang seragam (monokultur)
(Ahmad, 1995). Dengan demikian agroekosistem tidak mempunyai keanekaragaman
yang tinggi dan interaksi antar spesies menjadi rendah.
Dengan menyederhanakan ekosistem, manusia sebenarnya telah mengganggu
keseimbangan alam. Keadaan ini membuat semakin bertambahnya populasi
serangga jenis tertentu lewat kompetisi dengan manusia terhadap tanaman budidaya.
Karena serangga yang berkompetisi dengan manusia itu adalah konsumer primer,
berada pada ujung awal rantai makanan, biasanya serangga tersebut mempunyai
tingkat reproduksi yang sangat tinggi dan waktu generasi yang pendek (Ahmad,
1995).
Pada ekosistem alami, populasi serangga selalu dikendalikan berbagai faktor,
sehingga terjadi peledakan populasi. Secara bersamaan faktor-faktor lingkungan ini
mampu melakukan pengendalian secara alami, misalnya pada suatu populasi
serangga (Ahmad, 1995). Di antara pengendalian secara alami ini, musuh alami
serangga cukup besar perananya. Mereka adalah predator, parasit dan patogen.
13
Gambar 5. Musuh alami seranggaSumber: (Direktorat Perlindungan Perkebunan, 2002)
b. Musuh Alami
Sebagai bagian dari komunitas, setiap komunitas serangga termasuk serangga
hama dapat diserang atau menyerang organisme lain. Bagi serangga yang diserang
organisme penyerang yang disebut musuh alami (Sunarno, 2010). Dilihat dari
fungsinya musuh alami dapat dikelompokkan menjadi Parasitoid, Predator dan
Patogen.
Parasitoid
Merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang antropoda
lainnya. Parasitoid bersifat parasit pada fase pradewasa, sedangkan dewasanya
hidup bebas dan tidak terikat pada inangnya. Parasitoid hidup menumpang di luar
atau di dalam tubuh inangnya dengan cara menghisap cairan tubuh iangnyaa guna
memenuhi kebutuhan hidupnya. Parasitoid menyedot energi dan memakan
selaagi iangnya masih hidup dan membunuh atau melumpuhkan iangnya untuk
kepentingan keturunannya. Kebanyakan parasitoid bersifat monofag (memiliki
inang spesifik), tetapi ada juga yang oligofag (inang tertentu). Selain itu
parasitoid memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dari inangnya (Sunarno, 2010).
Predator
Predator adalah binatang atau serangga lain yang memangsa serangga hama.
Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan, membunuh
atau memangsa atau serangga lain, ada beberapa ciri predator: (1) Predator dapat
memangsa semua tingkat perkembangan mangsanya (telur, larva, nimfa, pupa dan
imago). (2) Predator membunuh dengan cara memakan atau menghisap
14
Gambar 6. Jaring makanan serangga pada tanaman kubis
Sumber: (Ahmad, 1995)
mangsanya dengan cepat. (3) Seekor predator memerlukan dan memakan banyak
mangsa selama hidupnya. (4) Predator membunuh mangsanya untuk dirinya
sendiri. (5) Kebanyakan predator bersifat karnifor. (6) Predator memiliki ukuran
tubuh lebih besar dari pada mangsanya. (7) Dari segi perilaku makannya, ada
yang mengunyah semua bagian tubuh mangsanya, ada menusuk mangsanya
dengan mulutnya yang berbentuk seperti jarum dan menghisap cairan tubuh
mangsanya. (8) Metamorfosis predator ada yang holometabola dan
hemimetabola. (9) Predator ada yang monofag, oligofag dan polifag (Sunarno,
2010).
Patogen
Golongan mikroorganisme atau jasad renik yang menyebabkan serangga
sakit dan akhirnya mati. Patogen dalah salah satu faktor hayati yang turut serta
dalam mempengaruhi dan menekan perkembangan serangga hama. Karena
mikroorganisme ini dapat menyerang dan menyebabkan kematian serangga hama,
maka patogen disebut sebagai salah satu musuh alami serangga hama. Beberapa
patogen dalam kondisi lingkungan tertentu dapat menjadi faktor mortalitas utama
bagi populasi serangga tetapi ada banyak patogen pengaruhnya kecil terhadap
gejolak populasi serangga. Kelompok serangga dalam kehidupan diserang banyak
patogen atau penyakit yang berupa virus, bakteri, protozoa, jamur, riketzia dan
nematoda. Ini merupakan macam patogenik yang dapat digunakan sebagai agen
pengendali hayati (Sunarno, 2010).
c. Konsep Sistem Kehidupan Musuh Alami di Ekosistem
Untuk memberikan gambaran mengenai dinamika suatu populasi serangga di
alam, konsep sistem kehidupan yang dikembangkan oleh Clark, et al., (1991)
menjelaskan bahwa sistem kehidupan terdiri dari suatu populasi subjek dan
lingkungan efektifnya, termasuk di sini semua faktor eksternal yang berpengaruh
terhadap populasi itu. Dengan demikian dalam program pengendalian hama, dimana
biasanya penekanan hanya diberikan kepada suatu populasi tertentu, pendekatan
secara sistem kehidupan ini dapat membantu orang mengembangkan kerangka kerja
pengendalian hama yang konseptual (Gambar 7.).
15
Dalam kaitannya dengan sistem kehidupan tersebut berkaitan dengan upaya
pengendalian hama. Secara konvensional awalnya pengendalian hama dilakukan
dengan pestisida dan menimbulkan efek samping yang berbahaya seperti resistensi
terhadap insektisida, resurjensi hama, serta kontaminasi lingkungan. Dan hal
tersebut juga berpengaruh dengan keberadaan musuh alami (Gambar 8.)
2.6 Dampak Menejemen Agroekosistem Terhadap Kualitas dan Kesehatan Tanah
16
Gambar 7. Konsep sistem kehidupan suatu serangga hama
Sumber: (Clark, et al., 1991)
Gambar 8. Populasi hama dan musuh alami, ambang kerusakan
ekonomi dan pengaruh aplikasi insektisida
Sumber: (Clark, et al., 1991)
Dalam suatu agroekosistem akan selalu dilakukan pengelolaan-pengelolaan
tertentu terhadap tanah. Pangeloalaan tanah dengan yang baik, bukan hanya mampu
meningkatkan produksi tapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan. Menurut Lal
(1995 dalam Suryani, 2014), pengelolaan tanah yang berkelanjutan berarti suatu upaya
pemanfaatan tanah melalui pengendalian masukan dalam suatu proses untuk
memperoleh produktivitas tinggi secara berkelanjutan, meningkatkan kualitas tanah,
serta memperbaiki karakteristik lingkungan. Dengan demikian diharapkan kerusakan
tanah dapat ditekan seminimal mungkin sampai batas yang dapat ditoleransi, sehingga
sumberdaya tersebut dapat dipergunakan secara lestari dan dapat diwariskan kepada
generasi yang akan datang. Namun, apabila dalam pengelolaan tanah tersebut tidak
tepat salah satunya dampaknya yaitu penurunan kualitas dan kesehatan tanah. Indikator
kualitas dan kesuburan tanah pada suatu agroekosistem dapat dilihat dari sifat kimia,
fisik dan bioligi tanahnya.
1. Dari Segi Kimia Tanah
a. Bahan Organik Tanah
Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu system
kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang
yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan
bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia (Kononova,
1961 dalam Suryani, 2014). Pada sistem pertanian yang diolah secara intensif
dengan menerapkan sistem monokulttur biasanya jumlah bahan organiknya
sedikit karena tidak ada atau minimnya seresah di permukaan lahan, selain itu
input bahan organik yang berasal dari pupuk organic baik pupuk kandang atau
pupuk hijau minim karena lebih menekankan penggunaan input kimia. Dari
hal tersebut dapat diindikasikan pertanian tanpa penerapan tambahan bahan
organik pada lahan pertanain intensif merupakan pengelolaan agroekosistem
yang tidak sehat.
b. pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun
pH tanah pada sistem pertanian intensif biasanya agak masam karena
seringnya penggunaan pupuk anorganik seperti Urea yang diaplikasikan secara
terus-menerus untuk menunjang ketersediaan unsure hara dalam tanah. pH
tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi
tanaman. Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda dalam suatu
17
agroekosistem maka pemilihan jenis tanamannya disesuaikan dengan pH
tanah.
c. Ketersediaan Unsur Hara
Unsur hara yang digunakan tanaman untuk proses pertumbuhan dan
perkembangannya diperoleh dari beberapa sumber antara lain : Bahan organik,
mineral alami, unsur hara yang terjerap atau terikat, dan pemberian pupuk
kimia. Pada lahan dengan pengolahan secara intensif sumber unsur haranya
berasal dari input-input kimiawi berupa pupuk anorganik, petani kurang
menerapkan tambahan bahan organic seperti aplikasi pupuk kandang dan
seresah dari tanaman yang diusahkan. Penggunaan pupuk kimia berlebihan
dapat menyebabkan penurunan kesuburan tanah.
2. Dari Segi Fisika Tanah
a. Kondisi kepadatan tanah
Sarief (1986) menyatakan bahwa nilai berat jenis isi tanah dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor diantaranyapengolahan tanah, bahan organik, pemadatan
tanah baik oleh air hujan maupun alat pertanian, tekstur, struktur dan kandungan
air. Tanah-tanah di lahan dengan pengolahan intensif biasanya memiliki nilai BI
dan BJ yang tinggi karena telah mengalami pemadatan akibat penggunaan alat-
alat berat untuk pengolahan tanahnya.
b. Kedalaman efektif tanah
Kedalaman efektif adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh
akar tanaman. Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati
penyebaran akar tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar
kasar, serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak
dijumpai akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan
kedalaman solum tanah (Hardjowigeno, 2007).
Pada lahan dengan sistem pengolahan intensif terkadang memiliki sebaran
perakaran yang cukup tinggi karena tanaman yang diusahakan dalam kurun waktu
yang lama hanya satu komoditi saja.
c. Erosi Tanah
Erosi adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke tempat
lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi penutup tanah
dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah. Erosi
18
tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang subur dan
baik untuk pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan terjadinya
kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
Di lahan pertanian dengan pengolahan intensif, khususnya praktek penebangan
hutan untuk pembukaan lahan baru memiliki tingkat kerusakan lingkungan yang
amat tinggi. Pembukaan hutan tersebut merupakan tindakan eksploitasi lahan
yang berlebihan, perluasan tanaman, penggundulan hutan, telah berdampak pada
keberlangsungan hidup biota yang berada di bumi ini. Bila kondisi tersebut diatas
terus berlangsung dengan cara tidak terkendali, maka dikhawatirkan akan
bertambahnya jumlah lahan kritis dan kerusakan dalam suatu wilayah. Selain itu,
penanaman satu jenis tanaman semusim pada satu areal lahan menyebabkan
tidak adanya tutupan lahan lain yang cukup kuat untuk melindu gi tanah dari
daya pukul air hujan secara langsung ke tanah, hal tersebut mengakibatkan laju
erosi cenderung tinggi.
3. Dari Segi Biologi Tanah
a. Keanekaragaman biota dan fauna tanah.
Biota tanah memegang peranan penting dalam siklus hara di dalam tanah,
sehingga dalam jangka panjang sangat mempengaruhi keberlanjutan produktivitas
lahan. Salah satu biota tanah yang paling berperan yaitu cacing tanah. Cacing
jenis ‘penggali tanah’ yang hidup aktif dalam tanah, walaupun makanannya
berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula dari akar-akar yang mati
di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting dalam mencampur
seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan meninggalkan
liang dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya dalam tanah, atau
di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan karbon (C) dan hara
lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).
Pada lahan dengan pengolahan intensif, jarang terdapat seresah pada lahan
tersebut sehingga keberadaan biota tanah seperti cacing tanah sedikit, padahal
aktifitas cacing tanah dapat memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah,
seperti meningkatkan kandungan unsur hara, mendekomposisikan bahan organik
tanah, merangsang granulasi tanah dan sebagainya.
19
2.7 Kriteria Indikator dalam Pengelolaan Agroekosistem yang Sehat dan
Berkelanjutan
a. Kimia Tanah
- Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang
yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Sumber
primer bahan organik tanah dapat berasal dari Seresah yang merupakan bagian mati
tanaman berupa daun, cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur dan tinggal di
permukaan tanah baik yang masih utuh ataupun telah sebagian mengalami
pelapukan. Dalam pengelolaan bahan organik tanah, sumbernya juga bisa berasal
dari pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos,
serta pupuk hayati (inokulan). Bahan organic tersebut berperan langsung terhadap
perbaikan sifat-sifat tanah baik dari segi kimia, fisika maupun biologinya,
diantaranya : Memengaruhi warna tanah menjadi coklat-hitam, Memperbaiki
struktur tanah menjadi lebih remah, Meningkatkan daya tanah menahan air
sehingga drainase tidak berlebihan, kelembapan dan tempratur tanah menjadi stabil,
Sumber energi dan hara bagi jasad biologis tanah terutama heterotrofik. Tanah yang
sehat memiliki kandungan bahan organik tinggi, sekitar 5%. Sedangkan tanah yang
tidak sehat memiliki kandungan bahan organik yang rendah.
- pH Tanah (Kemasaman Tanah) dan Adanya Unsur Beracun. Tanah bersifat asam
dapat pula disebabkan karena berkurangnya kation Kalsium, Magnesium, Kalium
dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa oleh aliran air kelapisan tanah yang
lebih bawah atau hilang diserap oleh tanaman. pH tanah juga menunjukkan
keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah asam banyak
ditemukan unsur alumunium yang selain bersifat racun juga mengikat phosphor,
sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Pada tanah asam unsur-unsur mikro
menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro seperti Fe, Zn, Mn dan Cu
dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya juga menjadi racun bagi tanaman.
Tetapi dengan pH yang agak masam belum tentu kebutuhan tanaman terhadap pH
tanah tidak cocok karena itu tergantung dari komoditas tanaman budidaya yang
dibudidayakan. Untuk pengelolaan pH tanah yang berbeda-beda dalam suatu
agroekosistem maka apabila suatu lahan digunakan untuk pertanian maka pemilihan
jenis tanamannya disesuaikan dengan pH tanah apakah tanaman yang diusahakan
sesuai dan mampu bertahan dengan pH tertentu.
20
- Ketersediaan Unsur Hara, Unsur hara yang digunakan tanaman untuk proses
pertumbuhan dan perkembangannya diperoleh dari beberapa sumber antara lain :
Bahan organik, mineral alami, unsur hara yang terjerap atau terikat, dan pemberian
pupuk kimia.
b. Fisika Tanah
- Kondisi kepadatan tanah, Widiarto (2008) menyatakan bahwa, Bahan organik dapat
menurunkan BI dan tanah yang memiliki nilai BI kurang dari satu merupakan tanah
yang memiliki bahan organik tanah sedang sampai tinggi. Selain itu, Nilai BI untuk
tekstur berpasir antara 1,5 – 1,8 g / m3, Nilai BI untuk tekstur berlempung antara
1,3 – 1,6 g / m3 dan Nilai BI untuk tekstur berliat antara 1,1–1,4 g / m3 merupakan
nilai BI yang dijumpai pada tanah yang masih alami atau tanah yang tidak
mengalami pemadatan.
- Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh
akar tanaman. Pengamatan kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati
penyebaran akar tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar kasar,
serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak dijumpai
akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan kedalaman solum
tanah (Hardjowigeno, 2007).
- Erosi Tanah adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke tempat
lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi penutup tanah
dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah. Erosi
tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang subur dan baik
untuk pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan terjadinya
kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
c. Biologi Tanah
Keanekaragaman biota dan fauna tanah, ditunjukkan dengan adanya kascing
Biota tanah memegang peranan penting dalam siklus hara di dalam tanah, sehingga
dalam jangka panjang sangat mempengaruhi keberlanjutan produktivitas lahan.
Salah satu biota tanah yang paling berperan yaitu cacing tanah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa cacing tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui
perbaikan sifat kimia, fisik, dan biologis tanah. Kascing (pupuk organik bekas
cacing atau campuran bahan organik sisa makanan cacing dan kotoran cacing)
21
mempunyai kadar hara N, P dan K 2,5 kali kadar hara bahan organik semula, serta
meningkatkan porositas tanah (pori total dan pori drainase cepat meningkat 1,15
kali). Cacing jenis ‗penggali tanah‘ yang hidup aktif dalam tanah, walaupun
makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan ada pula dari akar-akar
yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini berperanan penting dalam
mencampur seresah yang ada di atas tanah dengan tanah lapisan bawah, dan
meninggalkan liang dalam tanah. Kelompok cacing ini membuang kotorannya dalam
tanah, atau di atas permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan karbon (C)
dan hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).
2.8 Pengaruh Pemberian Pupuk yang Digunakan Terhadap Kesuburan Tanaman
yang Diamati
Desa Sumber Ngepoh Lawang yang kami kunjungi merupakan kompleks pertanian
organik dan semi organik, dimana input hara untuk tanaman memakai pupuk organic
berupa pupuk kandang. Pupuk organik merupakan pupuk yang mudah diperoleh dan
murah untuk meningkatkan kualitas tanah. Pada umumnya nilai pupuk yang dikandung
pupuk organic terutama unsure makro nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) rendah,
tetapi pupuk organic juga mengandung unsure mikro esensial yang lain. Nitrogen dan
unsure hara lain yang dikandung pupuk organic dilepaskan secara perlahan-lahan.
Penggunaan pupuk organic secara berkesinambungan akan banyak bermanfaat dalam
jangka waktu yang panjang. Secara garis besar, keuntungan yang diperoleh dengan
memanfaatkan pupuk organic adalah sebagai berikut (Sutanto, 2002).:
Mempengaruhi sifat fisik tanah. Bahan organic membuat tanah menjadi gembur dan
lepas lepas, sehingga aerasi menjadi lebih baik serta mudah ditembus perakaran.
Pada tanah yang bertekstur pasiran bahan organic akan meningkatkan pengikatan
antar partikel dan meningkatkan kapasitas mengikat air.
Mempengaruhi sifat kimia tanah. Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan ketersediaan
hara meningkat dengan menggunakan bahan organic.
Mempengaruhi sifat biologi tanah. Bahan organic akan menambah energi yang
diperlukan kehidupan mikroorganisme tanah. Tanah yang kaya bahan organic akan
mempercepat perbanyakan makro dan mikro fauna tanah.
22
2.9 Faktor yang Mempengaruhi Kesuburan Tanaman
Kesuburan Tanah adalah kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk
tanaman yang diinginkan, pada lingkungan tempat tanah itu berada. Produk tanaman
tersebut dapat berupa: buah, biji, daun, bunga, umbi, getah, eksudat, akar, trubus,
batang, biomassa, naungan atau penampilan. Tanah memiliki kesuburan yang berbeda-
beda tergantung faktor pembentuk tanah yang merajai di lokasi tersebut, yaitu: Bahan
induk, Iklim, Relief, Organisme, atau Waktu. Tanah merupakan fokus utama dalam
pembahasan kesuburan tanah, sedangkan tanaman merupakan indikator utama mutu
kesuburan tanah (Yuwono, 2007).
Kesuburan tanah adalah mutu tanah untuk bercocok tanam, yang ditentukan oleh
interaksi sejumlah sifat fisika, kimia dan biologi tubuh tanah yang menjadi habitat akar-
akar aktif tanaman. Ada akar yang berfungsi menyerap air dan larutan hara, dan ada
yang berufngsi sebagai penjangkar tanaman. Kesuburan tanah tidak dapat diukur atau
diamati, akan tetapi dapat ditaksir berdasarkan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah
yang terukur dan dikorelasikan dnegan kenampakan tanaman diatasnya serta penelitian
berkaitan (Notohadiprawiro, dkk., 2006).
Kesuburan tanah merupakan kemampuan tanah menghasilkan tanaman yang dipanen
atau produktivitas. Hasil akhir kesuburan tanah adalah hasil panen yang dapat diukur
dengan bobot kering hasil panen tiap luasan (ha) per satuan waktu. Produktivitas yang
tinggi dengan kondisi lingkungan yang mendukung dan cenderung stabil menandakan
kesuburan tanah yang tinggi sebab tanah dapat memberikan produksi tinggi sepanjang
tahun (Notohadiprawiro, dkk., 2006).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan tanah antara lain:
1. Bahan Organik Tanah,
Kandungan bahan organik tanah telah terbukti berperan sebagai kunci utama
dalam mengendalikan kualitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi.
Bahan organik mampu memperbaiki sifat fisik tanah seperti menurunkan berat
volume tanah, meningkatkan permeabilitas, menggemburkan tanah, memperbaiki
aerasi tanah, meningkatkan stabilitas agregat, meingkatkan kemampuan tanah
memegang air, menjaga kelembaban dan suhu tanah, mengurangi energi kinetik
langsung air hujan, mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah (Oades, 1989;
Elliott, 1986; Puget et al., 1995; Jastrow et al., 1996; Heinonen, 1985 dalam
Riwandi, 2010).
23
Bahan organik yang tinggi menandakan kesuburan tanah yang tinggi. Bahan
organik mampu memperbaiki sifat kimia tanah seperti menurunkan pH tanah,
dapat mengikat logam beracun dengan membentuk kelat komplek, meningkatkan
kapasitas pertukaran kation dan sebagai sumber hara bagi tanaman (Stevenson,
1994; Tisdall and Oades, 1982 dalam Riwandi, 2010). Dari sifat biologi tanah,
bahan organik tanah mampu mengikat butir-butir partikel membentuk agregat
dari benang hyphae terutama dari jamur mycorrhiza dan hasil eskresi tumbuhan
dan hewan lannya (Soegiman, 1982; Addiscott, 2000 dalam Riwandi, 2010).
2. Jenis Pengolahan Lahan,
Praktek pertanian seperti pemberoan tanpa tanaman, pembakaran dan
pengangkutan sisa tanaman dan pengolahan tanah telah mendorong hilangnya
bahan organik tanah. Pengolahan tanah menyebabkan penurunan kandungan
bahan organik tanah sehingga mengarah pada degradasi struktur tanah.
Dekomposisi bahan organik adalah proses aerob, oksigen akan mempercepat
proses tersebut. Dengan pengolahan tanah sisa tanaman dibenamkan bersama
udara dan membuat kontak dengan oragnisme tanah, sehingga memperepat
dekomposisi menghasilkan co2 yang dilepaskan ke udara. Pengolahan yang
berulang-ulang bersaman penurunan input bahan organik ke dalam tanah
menyebabkan disintegrasi agregat sehingga tanah menjadi peka terhadap erosi
dan pemadatan (Supriyadi, 2008).
Praktek konvensional seperti pembakaran sisa panen jerami atau lainnya) dan
pupuk kandang menjadi praktek yang umum oleh petani. Hal ini dapat berdampak
mengurangi input biomassa bahan organik. Demikian pula pengangkutan keluar
sisa panen untuk pakan ternak. Walaupun kotoran ternak dikembalikan ke lahan,
biasanya kotoran ternak tersebut dibakar terlebih dahulu sehingga yang tersisa
hanya abu dan beberpa mineral sedangkan karbon, nitrogen dan sulfur telah
hilang (Supriyadi, 2008).
3. Pola Tanam dan Sistem Tanam
Pola tanam yang monokultur dan dilakukan dalam jangka waktu yang relatif
lama dapat menurunkan kesuburan tanah. Monokultur dengan pengolahan
konvensional akan menguras unsur hara dalam tanah, jika hal ini dibiarkan lama
tanah akan mencapai titik jenuh dan kehilangan unsur hara tersedia seara tajam.
Pola rotasi tanam sangat dianjurkan untuk menjaga kesuburan tanah. Residu
24
tumbuhan dari kelompok legum dapat dimanfaatkan sebagai sumber N dan P
(Alhasni dan Handayanto, 2003 dalam Supriyadi, 2008). Penggunaan pangkasan
pohon gamal (Glirisidia sepium) menunjukkan hasil yang baik dalam peningkatan
unsur hara dalam tanah.
Sistem tanam agroforestri yang mencampurkan pohon di lahan dengan
berbagai jenis tanaman. Ini bertjuan untuk menghasilkan produk kayu,buah dan
pakan ternak. Selain itu pemilihan pohon ini menentukan kualitas bahan organik
yang dihasilkan untuk kelestarian lahan khususnya peningktan bahan organik
tanah (Supriyadi, 2008).
4. Aplikasi Mikoriza
Mikoriza adalah simbiosis mutualism antara fungi dengan akar tumbuhan.
Adanya simbiosis ini akan membantu tanaman inang mendapatkan unsur hara
terutama fosfor, bertahan pada kondisi kering dan patogen tular tanah. Meskipun
tidak secara langsung terlibat pada dekomposisi bahan organik tanah, jamur
mikoriza juga menambahkan karbon organik dari tanaman inang dan dari
produksi glicoprotein atau glomalin yang relatif tahan terhadap dekomposisi
sehingga senyawa ini dapat berfungsi sebagai sumber karbon dan pemantap
agregat tanah. Dinding sel fungi yang banyak mengandung khitin yang tahan
terhadap pelapukan juga merupakan sumber karbon. Selian itu mikoriza akan
berperan dalam meningkatkan agregasi lewat hifa eksternalnya yang mampu
menyatukan butiran tanah sehingga memantapka agregat tanah, sehingga secara
fisik melindungi karbon organik dalam agregat untuk terdekomposisi lebih lanjut
(Jastrow, et al., 2007 dalam Supriyadi, 2008)
2.10 Pengelolaan yang Dilakukan Petani pada Lahan Tanaman yang Diamati
Pengolahan lahan untuk penanaman padi sawah dilakukan dengan cara dibajak dan
dicangkul. Biasanya dilakukan minimal 2 kali pembajakan yangkni pembajakan kasar
dan pembajakan halus yang diikuti dengan pencangkulan: Total pengolahan lahan ini
bisa mencapai 2-3 hari. Setelh selasai, aliri dan rendam dengan air lahan sawah
tersebut selama 1 hari. Pastikan keesokan harinya benih yang telah disemai sudah siap
ditanam, yakni sudah mencapai umur 7-12 harian, perlu diingat, usahakan bibit yang
disemai tidak melebihi umur 12 hari mengingat jika terlalu tua maka tanaman akan sulit
beradaptasi dan tumbuh ditempat baru (sawah) karena akarnya sudah terlalu besar.
25
Menurut VECO (2007) Sebagai persiapan, lahan diolah seperti kebiasaan kita
dalam mengolah tanah sebelum tanam, dengan urutan sebagai berikut. Mula-mula tanah
dibajak menggunakan traktor atau tenaga sapi. Selanjutnya tanah digaru sambil
disebari pupuk organik. Terakhir, tanah diratakan. Pada saat menggaru dan meratakan
tanah, usahakan agar air tidak mengalir di dalam sawah supaya unsur hara yang ada di
tanah tidak hanyut. Setelah tanah diratakan, buatlah parit di bagian pinggir dan tengah
tiap petakan sawah untuk memudahkan pengaturan air.
2.11 Hubungan antar Aspek Budidaya, Pengeloaan Tanah dan Pengendalian Hama
Penyakit yang Diamati
Manajemen agroekosistem merupakan kegiatan mengelola ekosistem pada lahan
pertanian. Manajemen agroekosistem meliputi tiga aspek, yaitu aspek Budidaya
Pertanian, aspek Tanah dan aspek Hama Penyakit Tanaman. Ketiga aspek tersebut
sangat berhubungan erat satu sama lain dan juga saling mempengaruhi.
Menurut Widjajanto dan Sumarsono (2005) dalam komponen agroekosistem di
atas saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Tanah sebagai komponen
sumberdaya alam yang mencakup semua bagian permukaan bumi, termasuk yang di
atas dan di dalamnya yang terbentuk dari bahan induk yang dipengaruhi kinerja iklim
dan biota tanah. Tanah yang diberikan pestisida kimia yang berlebihan dapat membuat
tanah kekurangan nutrisi, musuh alami menjadi berkurang, dan terjadi ledakan hama.
Pemilihan sistem budidaya monokultur atau polikultur sangat mempengaruhi
tingkat biodiversitas. Pemilihan sistem polikultur akan lebih meningkatkan
keanekaragaman dibandingkan sistem pola tanam monokultur sehingga akan cenderung
lebih stabil (Reijntjes, Coen. 1992). Jika keanekaragaman fungsional bisa dicapai maka
komponen dalam agroekosistem akan saling berhubungan dalam interaksi sinergetik
dan positif, sehingga meningkatkan produktivitas sistem pertanian, menciptakan iklim
mikro yang cocok bagi komponen-komponen lain, menghasilkan senyawa kimia untuk
mendorong komponen yang diinginkan atau menekan komponen yang berbahaya,
menurunkan populasi hama, mengendalikan gulma, memproduksi tanaman obat-obatan
dan memobilisasi dan memproduksi unsur-unsur hara yang dibutuhkan komponen lain.
(Reijntjes, Coen. 1992)
Pada lahan yang kami amati, petani melakukan budidaya padi dengan sistem
pertanian organik. Pertanian organik menurut IFOAM (2005) didefinisikan sebagai
sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan
26
kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami. Dalam sistem budidaya
pertanian organik menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida dan hasil rekayasa
genetik sehingga menekan pencemaran udara, tanah, dan air serta mempercepat
biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.
27
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat serta Deskripsi Lokasi Fieldtrip Secara Umum
Fieldtrip manajemen agroekosistem dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 2014 di Desa
Sumber Ngepoh, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Jenis agroekosistem lokasi
fieldtrip adalah lahan sawah dengan komoditas padi dengan sistem organik. Desa ini
terletak disebelah utara Kota Malang yang merupakan perbatasan antara Malang dan
Pasuruan. Desa Sumber Ngepoh berada di wilayah pegunungan dan perbukitan yang
masih asri dan sejuk. Kondisi lahan pada Desa Sumber Ngepoh adalah lahan basah.
Dimana kondisi lahan berupa sawah yang selalu jenuh air dalam waktu yang lama. Letak
desa yang dekat dengan sumber air sangat sesuai untuk dijadikan lahan basah karena
ketersediaan air yang melimpah sehingga tidak perlu khawatir akan kekeringan. Kondisi
lahan yang basah dan lingkungan yang masih alami sangat mendukung untuk
dilakukannya budidaya pertanian padi organik.
3.2 Alat, Bahan dan Fungsi
3.2.1 Aspek Tanah
3.2.1.1 Lapangan
Tabel 1. Alat yang digunakan dilapang aspek tanah
No. Alat Fungsi1 Meteran Mengukur panjang tali rafia2 Tali rafia Membuat plot besar3 Frame seresah Membatasi area pengamatan plot kecil4 Ring sampel Mengambil sampel tanah utuh5 Balok kayu Menekan ring sampel6 Palu Memukul ring sampel (diberi balok kayu)7 Cetok Memudahkan mengambil ring sampel8 Gunting Memotong tali rafia9 Penetrometer Mengukur ketahanan tanah10 Alat tulis Mencatat hasil pengukuran11 Kamera Mendokumentasikan kegiatan dan hasil pengamatan
28
3.2.1.2 Laboratorium
3.2.1.2.1 BI, BJ, dan Porositas Total
Tabel 2. Alat pengukuran BI, BJ dan porositas totalNo. Alat Fungsi1 Timbangan
analitikMenimbang sampel tanah utuh dan komposit
2 Piknometer Tempat pengukuran berat jenis3 Cawan Alas untuk menimbang tanah4 Oven Mengering-ovenkan tanah
Tabel 3. Bahan pengukuran BI, BJ dan porositas totalNo. Bahan Fungsi1 Sampel tanah Bahan yang diuji2 Air matang Menghilangkan udara dalam sampel tanah
3.2.1.2.2 pH, C-Organik
Tabel 4. Alat pengukuran pH dan C-OrganikNo. Alat Fungsi1 Timbangan analitik Menimbang sampel tanah2 Erlenmeyer Tempat pengukuran C-Organik3 Cawan Alas untuk menimbang tanah4 Mortar & pistil Menghaluskan tanah5 Ayakan Mengayak tanah (didapat tanah halus)6 Gelas ukur Mengukur larutan yang diperlukan7 Buret dan statif Alat titrasi H2SO4
8 Ruang asam Menghilangkan pengaruhTabel 5. Bahan pengukuran pH dan C-OrganikNo. Bahan Fungsi1 Sampel tanah Bahan uji C-Organik2 K2Cr2O7 Mengikat rantai karbon3 H2SO4 Memisahkan rantai karbon4 H3PO4 85% Menghilangkan pengaruh Fe3+
5 H2O Menghentikan reaksi H2SO4
6 FeSO4 Larutan titrasi7 Difenilamina Sebagai indikator perubahan warna
29
3.2.2 Aspek Hama dan Penyakit Tanaman
Tabel 6. Alat untuk aspek hama dan penyakit tanaman
No. Alat Fungsi
1 Swept net Menangkap serangga yang terbang cukup tinggi
2 Pan trap Menangkap serangga yang terbang sejajar dengan tanaman
3 Pit fall Menangkap serangga yang berjalan diatas tanah
4 Kamera Mendokumentasikan hasil pengamatan
Tabel 7. Bahan untuk aspek hama dan penyakit tanaman
No. Bahan Fungsi
1 Alkohol Membius serangga yang tertangkap
2 Detergen Membuat larutan perangkap (pit fall dan pan trap)
3 Plastik Tempat serangga dan sampel penyakit yang tertangkap
3.2.3 Aspek Budidaya Pertanian
Tabel 8. Alat untuk aspek budidaya pertanian
No. Alat Fungsi1 Kuisioner Sebagai pedoman wawancara2 Alat tulis Mencatat hasil wawancara3 Kamera Mendokumentasi kegiatan wawancara
3.3 Operasional
3.3.1 Kriteria Indikator Yang Diamati
Pada praktikum lapang yang dilakukan di Desa Sumber Ngepoh,
Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang dilakukan pengamatan terhadap seberapa
besar kontribusi setiap aspek dalam usahatani yang meliputi aspek hama
penyakit, aspek agronomi serta aspek lahan (tanah). Masing-masing dari aspek-
aspek tersebut memiliki kajian yang spesifik sebagai suatu identifikasi apakah
pada kondisi lapangan di Desa Ngepoh memerlukan upaya perbaikan ataukah
tidak.
Pada aspek kondisi lahan (Tanah) kriteria indikator yang diamati berupa
kondisi dan sifat tanah di lapangan dimana kondisi yang ditunjukan tanah adalah
suatu cerminan atau akibat dari pengolahan yang dilakukan, maka dapat di analisa
30
mengenai permasalahan yang ada serta dengan tepat sasaran akan dapat
menentukan upaya konservatif apa yang perlu dilakukan pada lahan tersebut.
Sifat tanah yang diamati adalah BI, BJ, C-Organik dan pH tanah.
Pada aspek hama penyakit, kriteria indikator permasalahan yang diamati
adalah bagaimana kondisi interaksi antara hama penyakit, musuh alami dan
lingkunganya. Kondisi tersebut akan dapat diketahui dengan jalan mengamati
indikator pada lahan yaitu intensitas serangan penyakit dan populasi dominan
yang di temukan pada lahan, dan keberdaan musuh alami.
Pada aspek agronomi (BP), kriteria indikator yang diamati adalah
bagaimana para pelaku usahatani menjalankan usahanya. Informasi mengenai hal
tersebut dapat diperoleh melalui kajian terhadap petani mengenai proses bercocok
tanam, perkembanga produksi tanaman dan seberapa jauh adopsi teknologi yang
ada di lapangan sehingga dengan informasi yang didapatkan akan dapat
memastikan apakah dari segi pembudidayaan komoditas pertanian telah memiliki
keseuaian melalui beberapa sudut pandang budidaya.
3.3.2 Parameter atau Variabel Yang Diamati Dan Diukur
Dalam setiap aspek pengamatan di Desa Ngepoh tentunya memiliki kriteria
yang merupakan parameter dalam pengamatan. Diharapkan dengan penentuan
variabel pengamatan akan mendapatkan informasi yang komparatif terhadap
kondisi aktual yang ada di Desa Sumberbrantas sehingga akan memudahkan
dalam analisa data serta pengambilan kesimpulan dari sebuah pengamatan.
Variabel pengamatan pada aspek tanah tidak jauh dari kondisi sifat-sifat
tanah pada lahan yaitu sifat fisik, kimia dan biologi tanah tersebut. Dengan
variabel pengamatan berupa informasi mengenai kondisi tanah yang baik dan
kelas kesesuain tanah dalam upaya pengelolaan dan penggunaan lahan tersebut.
Parameter berupa berat isi, seresah, pH tanah, dan lain-lainya yang memerlukan
analisa laboratorium guna mendapatkan informasi yang aktual mengenai kondisi
tanah pada lahan. Parameter pengamatan ini memiliki keterkaitan hubungan
dengan pengelolaan tanah dan juga penggunaanya sebagai lahan produksi
komoditas pertanian.
Parameter yang diamati untuk aspek hama penyakit adalah seberapa besar
interaksi yang terjadi pada skala hamparan lahan di Desa Sumber Ngepoh.
31
Interaksi tersebut melibatkan hama, serangga lain dan musuh alami. Untuk
mengetahui bagaiman kesimpulan interaksi yang terjadi diperlukan pengamatan
populasi komponen-komponen interaksi tersebut melalui penangkapan dengan
sweep net dan pan trap kemudian di identifikasi dan dianalisis brdasarkan
persentase komponen-komponen tesebut alam suatu interaksi menggunakan
segitiga faktorial dan juga dengan perhitungan intensitas oenyakit yang mnyerang
dan keseluruhan proses tersebut diharapkan agar dapat dengan mudah menetukan
kesimpulan di lapangan.
Parameter yang diamati untuk aspek budidaya pertanian (agronomi) yaitu
mengenai informasi proses bercocok tanam yang dilakukan dengan cara
melakukan wawancara pada petani. Secara garis besar inti yang menjadi
parameter dalam aspek budidaya tanaman ini adalah mengenai apa yang petani
lakukan dalam proses produksi pertania (on farm process) yang meliputi
pembuatan benih, persemaian, perawatan dan pemanenan serta mengenai masalah
pemasaranya. Parameternya yaitu bagaimana proses-proses tersebut berlangsung
dan menjadi suatu mata pencaharian yang menjadi sumber pendapatan utama bagi
petani dan juga apakah dalam pelaksanaan proses tersebut mengalami
permasalahan. Masalah yang ditemukan pastinya akan berhubungan dengan
teknik dan teknologi apa yang petani terapkan maka atas dasar hal tersebut dapat
di analisa sesuai dengan ketentuan budidaya yang dianggap benar dan disarankan.
3.3.3 Metode Dan Fungsi (Output Umum)
Pada praktikum manemen agroekosistem memiliki tujuan yang spesifik yang
diharapkan, tujuan tersebut dapat memperbaiki kondisi suatu lahan agar tetap
memiliki keberlanjutan dalam hal penggunaan lahan tersebut. Masing-masing
aspek pengamatan akan memiliki keluaran yang berbeda-beda dan memiliki
informasi yang spesifik.
Pada aspek tanah keluaran yang bisa didapatkan adalah berupa informasi
kondisi tanah dalam kaitanya kesehatan dan kesesuaian tanah untuk diberdayakan
sebagai suatu sumber daya lahan. Dengan informasi tersebut secara langsung
akan dapat menjadi sebuah dasar dalam upaya atau perlakuan apa yang harus dan
sekiranya perlu dilakukan pada lahan dengan tidak mengesampingkan aspek
ekonomi mengenai pengelolaan terkait sehingga akan mendukung keberlanjutan
sektor pertanian di lahan tersebut yang menjadi matapencaharian utama
32
masyarakatnya. Faktor kondisi lahan ini juga sangat berhubungan erat dengan
produksi tanaman yang ditanam jadi diharapkan dengan informasi kondisi aktual
yang telah di evalusi hendanya dilakukan suatu upaya penanggulangan yang
sesuai
Pada aspek hama dan penyakit tanaman dengan dilakukanya pengamatan dan
dilanjutkan dengan analisa data hasil pengamatan maka keluaran yang dihasilkan
adalah bagaimana kondisi aktual mengenai interaksi hama dan penyakit yang ada
di lahan, kondisi ini memaparkan persentase komponen interaksi hama dan
penyakit serta musuh alaminya sehingga dapat diketahui informasi tingkat
serangan hama penyakit yang terjadi. Informasi tersebut dapat dikaitkan dengan
upaya penanggulangan hama penyakit yang dilakukan dan dapat dilakukan
evaluasi mengenai pengelolaan hama penyakit yang di lakukan di Desa
Sumberbrantas.
Pada aspek budidaya tanaman (BP) dengan melakukan pengamatan terhadap
sendi-sendi budidaya maka dapat bermanfaat untuk proses analisa usahatani yang
akan berdampak pada kesejahteraan petani. Karena pada dasarnya terdapat
hubungan antara proses budidaya dengan hasil produksi pertananya. Maka
dengan ini bisa didapatkan keluaran berupa informasi yang berkaitan dengan
sejauh mana sistem pertanian di Desa Sumber Ngepoh tersebut dapat memberikan
hasil yang maksimal dan tetap memiliki prospek keberlanjutan produksi lahan.
Dan dengan masalah-masalah terkait budidaya tanaman dapat mengatur
rancangan penanganan masalah dengan cepat dan tepat.
.
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Kondisi Umum Lahan
Fieldtrip dilaksanakan di Desa Sumber Ngepoh, Kecamatan Lawang,
Kabupaten Malang. Desa ini terletak disebelah utara Kota Malang yang
merupakan perbatasan antara Malang dan Pasuruan. Desa Sumber Ngepoh berada
di wilayah pegunungan dan perbukitan yang masih asri dan sejuk. Kondisi lahan
pada Desa Sumber Ngepoh adalah lahan basah. Dimana kondisi lahan berupa
sawah yang selalu jenuh air dalam waktu yang lama. Letak desa yang dekat
dengan sumber air sangat sesuai untuk dijadikan lahan basah karena ketersediaan
air yang melimpah sehingga tidak perlu khawatir akan kekeringan. Kondisi lahan
yang basah dan lingkungan yang masih alami sangat mendukung untuk
dilakukannya budidaya pertanian padi organik.
Lahan pada Desa Sumber Ngepoh ini memiliki tanah yang sangat subur,
sehingga mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani. Menurut salah satu
petani yang menjadi narasumber kami yaitu Bapak Suroto, beliau adalah petani
yang menjadi pelopor pertanian orgamik di desanya, dahulu para petani disana
selalu menggunakan bahan kimia seperti pupuk dan pestisidia kimia untuk
meningkatkan produksi, namun sadar akan bahaya yang ditimbulkan dan
produksi padi yang menurun akibat degradasi lahan maka Pak Suroto mulai
berpikir kembali dan mulai kembali ke sistem pertanian yang dilakukan nenek
moyang dahulu. Menurut beliau pada zaman dahulu para nenek moyang juga bisa
bertanam tanpa pupuk dan pestisida kimia dan hasilnya juga tinggi, lalu mengapa
saat ini tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu bapak Suroto mulai mengajak para
petani lainnya untuk bertani organik yang sehat dan aman, serta di desa sumber
Ngepoh tersebut dikaruniai alam dan sumber air yang masih alami dan melimpah
sehingga sudah patut untuk dijaga, dilestarikan, dan digunakan dengan arif.
Keadaan lingkungan perbukitan yang berada di sekililingnya lahan sawah
berupa agroforestri yang ditanami oleh tanaman sengon. Tanaman yang berada
pada bukit tersebut sengaja untuk tidak ditebangi agar dapat menahan erosi
sehingga longsor sangat jarang terjadi disana. Menurut penuturan Bapak Suroto
lahan-lahan sawah yang diusahakan untuk lahan pertanian padi organik
34
merupakan lahan milik penduduk setempat, namun ada pula yang petani yang
bertani padi organik dengan sistem sewa.
Dengan kondisi lingkungan yang masih alami dan terdapat wisata air
Krabyakan yang merupakan kolam yang berasal dari sumber mata air setempat
serta pertanian yang diusahakan dengan sistem organik, membuat desa tersebut
sering sekali menjadi tujuan wisata alam.
4.1.2 Pengelolaan Tanaman Dan Tanah Yang Dilakukan Setiap Petani
Sistem pertanian di desa Sumber Ngepoh terdapat 2 jenis yaitu padi organik
dan padi semi organik. Pada pertanian padi organik tidak menggunakan input
kimia sama sekali baik untuk pupuk maupun pestisida. Para petani menggunakan
pupuk kandang yang berasal dari kotoran hewan ternak mereka sendiri .
Sedangkan pada pertanian padi semi organik masih menggunakan input kimia
namun dengan porsi yang tidak berlebih-lebih dan semakin hari semakin
dikurangi dosisnya atau dapat dikatakan pada padi semi organik ini juga
mengarah ke organik.
Varietas yang digunakan untuk padi organik yaitu varietas Mentik Wangi
sedangkan pada semi organik adalah varietas IR 64. Bibit mentik wangi awalnya
berasal dari pemberian Universitas Brawijaya yang kemudian dikembangbiakan
sendiri oleh petani disana. Varietas padi Mentik Wangi dipilih karena merupakan
beras lokal asli dari Jawa yang tergolong padi aromatik, dan beras yang
dihasilkan pulen, beraroma wangi dan sehat. Pemilihan varietas Mentik Wangi ini
sesuai dengan kondisi lingkungan pegunungan pada Desa Sumber Ngepoh yang
merupakan kawasan perbukitan dan pegunungan sebab varietas mentik wangi
merupakan beras pegunungan dengan suhu udara lebih rendah dan cenderung
memiliki umur yang panjang serta termasuk varetas padi dalam (bukan hibrida)
yang lebih cocok didataran tinggi seperti di Desa sumber Ngepoh.
Untuk varietas yang digunakan pada sistem pertanian semi organik yaitu
padi varietas IR 64 yang dibeli dari Dinas Pertanian setempat. Varietas IR 64 ini
merupakan varietas unggul nasional yang memiliki keunggulan rasa nasi yang
enak dan tahan terhadap hama wereng coklat dan wereng hijau. Walaupun beras
ini cocok tumbuh didataran rendah namun petani disini mencoba untuk
menanamnya didataran agak tinggi namun dengan irigasi yang baik.
35
Pengelolaan tanah yang dilakukan pada lahan sawah padi organik dilakukan
sebelum tanam dengan menggunakan mesin traktor namun tak jarang pula
menggunakan sapi atau kerbau sebagai tenaga utama untuk membajak sawah
karena pada desa tersebut sebagian besar petani memiliki sapi atau kerbau
sebagai hewan ternak. Menurut penuturan Bapak Suroto pengolahan tanah pada
pertanian organik yang dilakukan tidak terlalu intensif karena dengan mengurangi
pengolahan tanah maka tianak tidak dibalik dan tidak terpapar oleh udara
sehingga unsur hara yang bersifat mudah menguap seperti nitrogen akan semakin
sedikit yang hilang, dengan begitu nutrisi dalam tanah akan tetap terjaga.
Pada pertanian organik bergantung sepenuhnya pada dekomposisi bahan
organik tanah oleh karena itu pada saat pengolahan tanah dilakukan pula
pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang yang berasal dari kotoran
hewan ternak yang sudah kering, pupuk kandang yang sering digunakan adalah
pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi. Di lahan sawah sering dijumpai
gubuk-gubuk yang merupakan kandang sapi, menurut penuturan Bapak Suroto
yang merupakan petani padi organic kandang sapi sengaja diletakkan di sawah
untuk memudahkan pengambilan pupuk kandang. Selain itu petani setempat juga
membuat pupuk sendiri yaitu campuran antara kotoran hewan, jerami dan sekam
padi yang difermentasikan dengan menggunkaan decomposer “Superdegra”.
Penggunaan pupuk organik pada pertanian padi ini sekitar 3,5 – 4 ton per
hektar, jumlahnya memang cukup besar jika dibandingkan dengan penggunaan
pupuk organik pada pertanian semi organik. Hal ini dikarenakan pertanian
organic sama sekali tidak menggunakan pupuk kimia. Sedangkan pada pertanian
padi semi organik petani setempat menggunakan pupuk organik sebesar 2,5 ton
per hektar, dan pupuk kimia berupa UREA sebesar 2,5 dan ZA sebesar 1 ,namun
karena pertanian semi organik ini juga mengarah ke pertanian organik maka dosis
pupuk kimia yang diberikan selalu dikurangi setiap kali musim tanam yang baru.
Pengurangan dosis pupuk kimia secara bertahap ini dimaksudkan agar tanah tidak
kaget jika langsung diberikan bahan organik secara langsung dan berdampak pada
hasil yang akan dihasilkan nantinya. Seiring dengan pengurangan pupuk kimia
maka harus dilakukan penambahan bahan organik. Pada intinya pertanian padi
semi organik juga mengarah ke pertanian organik , namun dikarenakan tidak
mudah untuk langsung menjadikan lahan tersebut sebagi pertanian organic
sehingga harus dilakukan tahap demi tahap.
36
4.1.3 Pemeliharaan Tanaman Yang Dilakukan Setiap Petani
Dari hasil wawancara dengan petani, sistem pemeliharaan tanaman yang
dilakukan yaitu sama seperti petani padi pada umumnya. Tetapi, yang
membedakan sistem pertanian organik ini dengan yang lainnya yaitu tidak adanya
penggunaan pestisida kimia dalam sistem pengendalian hamanya. Konservasi
musuh alami serta pengelolaan agroekosistem yang baik mengakibatkan populasi
hama dan musuh alami tetap seimbang sehingga tidak perlu adanya masukan
pestisida kimia untuk mengendalikan hama. Untuk pengendalian gulma, sistem
“matun” tetap digunakan dengan mempekerjakan pekerja wanita dengan upah
kisaran 15 ribu rupiah setiap harinya. Pupuk yang digunakan para petani juga
berasal dari bahan organik yaitu mulai dari pupuk kandang yang diolah sendiri,
serta penggunaan pupuk organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman yang juga
diolah sendiri oleh para petani. Sehingga, dapat dipastikan bahwa dalam sistem
pertanaman organik ini benar-benar tidak ada input bahan kimia sama sekali, baik
itu pupuk maupun pestisida.
4.1.4 Sistem Tanam Yang Diterapkan Dilahan (Sesuai Lokasi)
Sistem tanam yang diterapkan dalam pertanaman padi organik ini menganut
sistem tanam konvensional tetapi tanpa adanya input kimia. Artinya, para petani
tidak menerakan sistem SRI maupun jajar legowo pada pertanaman mereka. Jarak
tanam yang digunakan 30cm x 30cm terkait pengelolaan pengairan, air irigasi
terus tersedia, sehingga para petani tidak mengalami kendala untuk
mempraktekkan sistem tanam konvensional. Dalam 14 bulan, para petani
menanam padi secara monokultur dan terus menerus tanpa adanya pergantian
tanaman ataupun tanaman tumpang sari. Dimulai dari MP (musim penghujan)
yang biasanya memiliki tingkat produksi paling rendah dikarenakan kurangnya
dinar matahari yang didapat tanaman, sehingga hasil produksi kalah dengan 2
musim tanam lainnya. Kedua dan ketiga yaitu MK1 dan MK2. Pada MK1 dan
MK2 ini hasil yang didapatkan sangatlah tinggi, jauh diatas MP. Dikarenakan
tercukupinya sinar matahari serta air irigasi, sehingga padi dapat berproduksi
maksimal.
37
4.1.5 Hasil Keragaman Arthropoda
a. Pengamatan Keragaman Arthropoda
Tabel 9. Pengamatan keragaman arthropoda
Jumlah
Jenis perangkap
Total AthropodaPantra
pSweptnet Fittpall
Hama 0 4 0 4
Musuh Alami 0 2 0 2
Serangga lain 0 0 0 0
Total Arthropoda 0 6 0 6
Persentase (%)
Hama 0 67 0 67
Musuh Alami 0 33 0 33
Serangga lain 0 0 0 0
Pada Pantrap
Total Arthropoda = 0
Hama = 0
Musuh alami = 0
Serangga Lain = 0
Hama : Jumlah Hama
Total Arthropoda×100% =
00×100%= 0 %
Musuh alami (MA) : Jumlah MA
Total Arthropoda×100% =
00×100%= 0 %
Serangga lain (SL) : JumlahSL
Total Arthropoda×100% =
00×100%= 0 %
Pada Sweptnet
Total Arthropoda = 6
38
Hama = 4
Musuh alami = 2
Serangga Lain = 0
Hama : Jumlah Hama
Total Arthropoda×100% =
46 ×100%= 67 %
Musuh alami (MA) : Jumlah MA
Total Arthropoda×100% =
26×100%= 33 %
Serangga lain (SL) : JumlahSL
Total Arthropoda×100% =
06×100%= 0 %
Pada Pitfall
Total Arthropoda = 0
Hama = 0
Musuh alami = 0
Serangga Lain = 0
Hama : Jumlah Hama
Total Arthropoda×100% =
00×100%= 0 %
Musuh alami (MA) : Jumlah MA
Total Arthropoda×100% =
00×100%= 0 %
Serangga lain (SL) : JumlahSL
Total Arthropoda×100% =
00×100%= 0 %
Pada Keseluruhan
Total Arthropoda = 6
Hama = 4
Musuh alami = 2
Serangga Lain = 0
Total Arthropoda = 6
Hama : Jumlah Hama
Total Arthropoda×100% =
46 ×100%= 67 %
39
Musuh alami (MA) : Jumlah MA
Total Arthropoda×100% =
26×100%= 33 %
Serangga lain (SL) : JumlahSL
Total Arthropoda×100% =
06×100%= 0 %
b. Segitiga Fiktorial
Gambar 9 . Hasil analisa segitiga fiktorial
Lahan yang kami amati ditanami komoditi padi yang berumur sekitar satu
bulan. Berdasarkan pengamatan terhadap Arthropoda di lahan hanya ditemukan 3
jenis Arthropoda yaitu belalang daun (Oxya chinensis) dan belalang hijau
(Atractomorpha crenaticeps) yang berperan sebagai hama dan capung dari ordo
odonata yang berperan sebagai musuh alami. Namun pada lahan ini tidak
ditemukan adanya serangga lain. Presentase Arthropoda terbesar ditemukan pada
40
Pitfall Total
Pantrap Sweptnet
sweptnet yang terdiri dari hama (67 %) dan musuh alami (33 %). Sedangkan pada
pantrap dan pitfall tidak ditemukan adanya Arthropoda.
Dari segitiga penyakit dapat dianalisa bahwa Arthropoda yang memiliki
peranan paling besar adalah hama. Padahal seharusnya pada pertanian organik
jumlah musuh alami dan serangga lain lebih banyak daripada hama. Hal ini
dikarenakan musuh alami lebih senang bertempat tinggal di tanaman berbunga di
sekitar area lahan sehingga sedikit ditemukan di area pengambilan sampel.
Namun, tidak menutup kemungkinan terjadi gangguan keseimbangan
ekosistem. Keseimbangan ekosistem dapat terganggu oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal misalnya aplikasi pengendalian hama terpadu yang
kurang baik, rotasi yang salah, penggunaan pupuk kompos yang belum matang
dsb. Sedangkan faktor eksternal misalnya anomali cuaca (FAM Organic, 2009).
4.1.6 Hasil Perhitungan Intensitas Penyakit
Perhitungan penyakit pada lahan tidak mungkin dilakukan pada semua
tanaman, sehingga dilakukan pengambilan sampel/contoh untuk mengamati
gejala serangan penyakit. Teknik pengambilan contoh dilakukan dengan
membuat garis diagonal pada lahan dan mengambil sampel acak dengan jumlah
rumpun 6. Dari pengamatan intensitas penyakit diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 10. Hasil pengamatan intensitas serangan penyakit
Skor Penyakit (v) Jumlah rumpun (n) n.v
0 6 0
1 0 0
2 0 0
3 0 0
4 0 0
Tebel 11. Skoring penyakit
41
Skor penyakit Uraian
0 Tidak ada infeksi
1Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman
yang terserang 10%
2Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman
yang terserang lebih dari 10% sampai 25%
3Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman
yang terserang lebih dari 25% sampai 50%
4Luas permukaan tanaman atau bagian tanaman
yang terserang lebih dari 50%
Perhitungan Intensitas Penyakit
IP =∑(n× v )Z × N
×100%
=(0 )+(0 )+( 0 )+(0 )+ (0 )
4 × 6×100 %
= 0 %
Berdasarkan perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa intensitas penyakit
pada tanaman padi yang kami amati bernilai 0. Menurut Badan Litbang Pertanian
(2010) keberhasilan pengendalian penyakit dipengaruhi oleh kemampuan
pengaturan lingkungan, terutama iklim mikro tanaman, keseimbangan
penyerapan unsur hara dan tingkat kesuburan tanah. Sedangkan pada lahan yang
kami amati tidak ditemukan penyakit karena menggunakan sistem pertanian
organik. Pembudidayaan padi di lahan pertanian organik biasanya diawali dengan
pemilihan bibit atau benih tanaman nonhibrida karena di samping untuk
mempertahankan keanekaragaman hayati, secara teknis bibit nonhibrida
dimungkinkan dapat hidup dan berproduksi optimal pada kondisi yang alami
(Muchtadi, 2010).
4.1.7 Hasil Pengukuran Kondisi Tanah Serta Analisa Tanah
42
Dari hasil analisa sifat fisik tanah yang kami lakukan, didapat hasil berupa
nilai berat isi sebesar 1,28 g/cm3, yang massa tanah 1cm3 (dalam keadaan lapang
dan utuh dengan ruang pori yang utuh) ialah sebesar 1,28 g. Berat isi merupakan
petunjuk utama kepadatan tanah. Berbeda dengan berat isi, berat jenis merupakan
berat tanah kering per satuan volume partikel (tidak termasuk ruang pori), yang
dalam pengamatan ini bernilai 2,519 g/cm3. Perbandingan berat isi dan berat jenis
akan menghasilkan persentase bahan padat tanah, bila 100% dikurangi dengan
persentase bahan padat tanah akan menghasilkan persentase pori total dalam
suatu volume tanah, yang pada pengamatan ini memiliki nilai sebesar 50,81%.
Angka ini menunjukkan bahwa dari 100% tanah, 50,81%-nya diisi oleh pori
tanah.
Sementara itu dari hasil pengukuran pH, kami mendapatkan nilai pH
tanah di daerah pertanian organik lawang pada sampel titik 1 : 5,5 ; titik 2 : 5,6
dan titik 3 : 5. pH yang semakin rendah menunjukkan semakin tingginya kadar
ion asam pada tanah, sedangkan pH yang tinggi menunjukkan tingginya kadar on
basa dalam tanah. pH menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan tanah.
Pada pengukuran C-Organik, kami mendapatkan nilai C-Organik pada
sampel titik 1 sebesar 0,515% dengan perkiraan persentase bahan organik sebesar
0,888% ; pada titik 2 sebesar 0,86% dengan perkiraan presentase bahan organik
sebesar 1,483% ; pada titik 3 sebesar 0,56% dengan perkiraanpresentase bahan
organik sebesar 0,966%.
4.1.8 Teknis Pemanenan, Hasil Panen Dan Pemasaran
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu petani padi organik
yaitu Bapak Suroto, komoditas utama yang dibudidayakan pada Desa Sumber
Ngepoh adalah padi baik itu organik maupun semi organik. Pada padi organik
dengan varietas Mentik Wangi padi bisa dipanen setelah umur 118 hst.
Sedangkan pada padi varietas IR 64 yang digunakan pada sistem pertanian semi
organik juga sekitar 118 hst. Cara panen yang digunakan masih secara tradisional
yanitu dengan cara digeblok, namun ada juga yang menggunkan mesin perontok
padi (Thresher).
Dalam satu tahun dilakukan 3kali penanaman dan hasil yang diperoleh
pada setiap kali penanaman berbeda tergantung pada musimnya. Terdapat
perbedaan hasil panen antara padi organik dan semi organik. Hasil panen yang
43
diperoleh padi organik pada saat musim penghujan sebesar 5 ton, musim kemarau
sebesar 7 ton dan musim kemarau yang kedua naik menjadi 9 ton. . Luas rata-
rata lahan masing-masing petani padi pada desa tersebut adalah 0,25 sampai 1 ha.
Harga jual padi organik lebih mahal jika dibandingkan dengan padi semi
organik hal ini sebanding dengan kualitas yang diberikan karena padi organik
aman dari bahan-bahan kimia dan lebih sehat untuk dikonsumsi. Petani pada Desa
Sumber Ngepoh sudah memiliki pemasaran sendiri sehingga semua hasil nya di
jual pada bagian pemasaran tersebut dengan sistem 1 pintu. Harga gabah untuk
beras organik yaitu Rp. 4.100 per kilogram, sedangkan pada gabah padi semi
organik yaitu Rp.3.900. Menurut pernyataan Bapak Suroto keuntungan yang
didapatkan oleh petani padi organik lebih banyak yaitu sebesar 10-12 juta per ha,
sedangkan menurut Bapak Sutarji yang mengusahakan lahannya untuk padi semi
organik keuntungan yang diperoleh sebesar 2,5 juta per panen.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Analisis Keadaan Agroekosistem Secara Umum (Monokultur, Tumpangsari,
Agroforestry)
Berdasarkan hasil wawancara yang dengan salah satu petani di Desa
Sumber Ngepoh yaitu Bapak Suroto, beliau merupakan petani yang sangat
peduli dengan pertanian organik serta pelopor pertanian organik di desa
tersebut.
Pertanian di desa tersebut menggunakan sistem tanam monokultur padi
secara konvensional tanpa rotasi tanaman dengan tanaman yang lain serta .
Dalam 1 tahun terdapat tiga kali musim tanam. Menurut 4 indikator dalam
agroekosistem, sistem pertanian organik dan semi organik dapat dijabarkan
sebagai berikut:
A. Produktifitas
Pada sistem pertanian padi organik rata-rata rata-rata produktivitas
tanaman per hektar adalah 7 ton. Dengan rincian hasil panen per tahunnya
yaitu pada musim penghujan 5 ton/ha, musim kemarau pertama sebesar 7
ton/ha, dan musim kemarau kedua sebesar 9 ton/ha. Pada musim penghujan
memiliki produktifitas yang lebih rendah dibandingkan dengan musim
kemarau hal ini dikarenakan intensitas dan lama penyinaran lebih pendek
dibandingkan ketika musim kemarau sehingga proses fotosintesis tidak
44
berjalan dengan maksimal. Hal ini mengakibatkan jumlah fotosintat yang
dihasilkan dalam bulir padi lebih sedikit. Hasil produksi tersebut diperoleh
dari sistem taman monokultur padi dengan sistem tanam konvensional.
Jumlah benih yang digunakan per hektar yaitu 20 kg dengan jarak tanam 30
cm x 30 cm untuk varietas Mentik Wangi.
Pemeliharaan yang dilakukan pada budidaya pertanian organic ini
pada umumnya sama dengan pemeliharaan pada padi umumnya. Beberapa
hal yang membedakan dengan pertanian padi pada umumnya adalah pada
pemberian pupuk organik dan pengendalian hama penyakit yang ada yaitu
tanpa menggunakan pestisida atau bahan-bahan kimia lainnya. Sehingga
biaya yang seharusnya digunkan untuk pembelian pupuk kimia dan
pestisida kimia dapat dipangkas.
Sedangkan pada sistem pertanian semi organik hasil panen yang
didapatkan lebih rendah daripada padi organik disebabkan pada pertanian
semi organik memiliki intensitas penyakit dan hama lebih tinggi. Dilihat
dari keseimbangan ekologi pada pertanian organik lebih seimbang sehingga
potensi terjadinya serangan hama lebih rendah. Selain itu pertanian semi
organik masih menggunakan pupuk kimia sehingga tingkat kesuburan tanah
sedikit lebih rendah dibandingkan organik. dampak yang terjadi dari hal
tersebut akan mempengaruhi produktifitasnya.
Dilihat dari tingkat pendapatan, petani yang menggunakan sistem
pertanian organik memiliki pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan
petani yang menggunakan sistem semi organik. Pada pertanian organik
menurut Bapak Suroto keuntungan bersih yang diperoleh yaitu sebesar 10-
12 juta/ ha. Keuntungan yang lebih besar ini disebabkan pada pertanian
organik tidak diperlukan biaya untuk pembelian pupuk dan pestisida kimia
serta harga jual beras organik yang lebih tinggi. Sedangkan pada pertanian
semi organik terdapat biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian pupuk
kimia seperti UREA dan ZA sehingga keuntungan yang didapat juga lebih
rendah.
Masalah-masalah yang sering dihadapi oleh para petani di Desa
Sumber Ngepoh adalah kurangnya tenaga kerja, hal ini dikarenakan
regenerasi petani yang kurang menarik, para pemuda pada desa tersebut
lebih memilih untuk menjadi buruh-buruh pabrik yang mendapatkan hasil
45
secara lebih instan dan cepat. Untuk masalah modal para petani tidak terlalu
pusing dengan hal tersebut karena menurut penuturan Bapak Suroto petani
di desa tersebut sudah terbiasa untuk menyimpan keuntungan hasil panen
mereka untuk digunakan sebagai modal untuk masa tanam berikutnya.
B. Stabilitas dan Keberlanjutan
Pada sistem pertanian organik di Desa Sumber Ngepoh, jika
dilihat dari aspek stabilitas dan keberlanjutan menunjukan suatu awal yang
baik kearah berkelanjutan. Dari segi kecukupan dan ketersediaan pangan
yang ada pada desa tersebut sudah tersedia di tempat tersebut, sebab 1/3
hasil pertanian disimpan oleh para petani untuk dikonsumsi sendiri dan
sisanya dijual kepada pengepul didesa tersebut. Pangan yang diproduksi
pada desa tersebut adalah 25-40% lebih atau bisa dikatakan surplus karena
sebagian besar penduduk merupakan petani sehingga kebutuhan pangan
mudah tersedia apalagi pangan yang dibudidayakan adalah padi organik
sehingga kebutuhan gizi juga lebih baik. Sehingga dari segi stabilitas dapat
dikatakan lebih stabil jika dibandingkan pertanian konvensial.
Dilihat dari aspek keberlanjutan, sistem pertanian organik di desa
tersebut sudah menunjukkan kearah keberlanjutan hal ini di tandai dengan
tidak digunakannya pestisida, herbisida, dan pupuk kimia dalam produksi
pangan. Penggunaan pupuk organik sangat ramah lingkungan karena tidak
meninggalkan residu dan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi
tanah sangat mendukung agar pertanian dapat mengelami keberlanjutan.
Dengan menggunakan pupuk organik tanah menjadi tidak padat dan
ekosistem yang ada di dalam tanah dapat terjaga keseimbangannya
sehingga tanah dapat digunakan secara terus menerus (tidak mengalami
degradasi). Kondisi tanah yang subur juga akan mendukung pertumbuhan
tanaman. Tanaman akan tumbuh dengan baik karena tanah mampu
menyuplai unsure hara yang dibutuhkan tanaman dan memberikan tempat
yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Penggunaan pestisida nabati
seperti ekstrak dari tanaman dlingu digunakan para petani untuk
mengendalikan hama sundep, selain itu juga untuk hama tikus diberi
perangkap dengan makanan yang berupa gadung yang diberi terasi.
Pengendaliah hama dengan pestisida nabati ini tidak meninggalkan residu
46
sehingga musuh alami juga masih dapat hidup. Secara tidak sadar musuh
alami yang ada dapat membantu kita dalam mengendalikan OPT yang ada.
Dengan lingkungan yang stabil dan adanya interaksi yang ada antar
komponen yang ada pada suatu ekosistem maka pertanian dalam daerah
tersebut dapat berkelanjutan.Selain itu benih yang digunakan adalah benih
yang dikembangbiakan sendiri yaitu dari varietas lokal Mentik Wangi.
Varietas ini merupakan varietas local yang bisa dijadikan bibit serta dapat
dibiakkan oleh para petani sendiri karena varietas ini bukanlah varietas
hibrida melainkan varietas unggul.
Dilihat dari segi aspek social pada daerah tersebut juga mengalami
keberlanjutan. Sebagai contoh dalam desa tersebut terdapat sebagian besar
warga selain sebagai petani juga sebagai peternak sehingga memenuhi
kebutuhan pupuk organik petani tidak sulit untuk mendapatkannya. Kotoran
ternak yang dihasilkan ternak-ternak mereka seperti kambing, sapi, kerbau
dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang.
C. Pemerataan
Jika dilihat dari segi indikator kemerataan ekonomi penduduk di desa
Sumber Ngepoh tersebut yang rata-rata bermata pencaharian sebagai petani,
maka pendapatan petani belum bisa dikatakan merata. Sebab pendapatan
antara petani organic dan semi organik tidak sama. Menurut Bapak Suroto
pendapatan petani organik setiap musim tanam rata-rata lebih dari
5.000.000 per ha, sedangkan pada petani semi organik pendapatan yang
peroleh setiap musim tanam lebih rendah yaitu rata-rata diatas Rp
3.000.000 per ha.
Status kepemilikan lahan sebagian besar adalah lahan sendiri
walaupun masih ada yang sebagian merupakan lahan sewa. Serta luas lahan
yang dimiliki oleh petani sekitar 0,25 sampai 1 ha. Dari penuturan bapak
Suroto walaupun didesa tersebut menggalakan pertanian organik namun
tidak semua petani menerapkan sistem pertanian organic, hal ini karena ada
beberapa kondisi lingkungan yang tidak tepat untuk dijadikan lahan
organik, seperti kualitas air yang tidak memenuhi persyaratan untuk
pertanian organik. Sedangkan dari segi sosial sebagian masyarakat belum
siap untuk menerapkan sistem pertanian organik karena memerlukan waktu
47
yang cukup lama untuk mengembalikan lahannya yang bebas dari residu
dan pengaruh bahan kimia, serta resiko kegagalan yang besar dalam proses
pengalihan sistem dari anorganik ke organik.
4.2.2 Pembahasan Hasil Fieldtrip Setiap Aspek (BP, HPT, Tanah) Dan Dibandingkan
Dengan Literature Atau Jurnal Terkait.
1. HPT
a) Hubungan kondisi sgroekosistem dengan populasi serangga yang seimbang
dan serangan penyakit.
Agroekosistem adalah sebuah sistem lingkungan yang telah
dimodifikasi dan dikelola oleh manusia untuk kepentingan produksi
pangan, serat dan berbagai produk pertanian lain. (Conway, 1987). Manusia
melakukan intervensi terhadap sistem lingkungan dengan tujuan utama
meningkatkan produktivitas sehingga mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Agroekosistem berbeda dengan ekosistem alami, karena dalam
agroekosistem sumber energi tidak hanya berasal dari sinar matahari, air
dan nutrisi tanah, akan tetapi juga berasal dari sumber-sumber lain yang
sudah dikonsolidasi oleh manusia, seperti pupuk, pestisida, teknologi dan
lain sebagainya. Hal ini menyebabkan penurunan tingkat keanekaragaman
hayati dalam agroekosistem. (Nurindah, 2006)
Agroekosistem merupakan suatu ekosistem pertanian yang dapat
dikatakan produktif jika terjadi keseimbangan antara tanah, hara, sinar
matahari, kelembaban udara dan organisme-organisme yang ada, sehingga
dihasilkan suatu pertanaman yang sehat dan hasil yang berkelanjutan
(Altieri dan Altieri, 1994).
Berdasarkan pengamatan kondisi agroekosistem saat fieldtrip
Manajemen Agroekosistem beberapa waktu yang lalu, dapat diketahui
bahwa kondisi agroekosistem yang ada di lokasi praktikum termasuk ke
dalam agroekosistem yang sehat. Hal ini ditunjukkan dengan tidak
ditemukannya organisme hama dalam jumlah yang besar disana. Organisme
yang banyak ditemukan adalah musuh alami dan tidak ditemukan serangga
lain. Selain itu menurut wawancara terhadap petani setempat, dikatakan
bahwa lokasi tersebut merupakan lokasi pertanian organik yang
48
mengedepankan sistem alami atau organik dalam praktek budidayanya.
Organisme-organisme yang ditemukan adalah sebagai berikut:
1. Belalang hijau sebanyak 3 ekor
2. Oxya chinensis sebanyak 1 ekor
3. Capung sebanyak 2 ekor
Manajemen agroekosistem yang baik akan menciptakan interaksi yang
seimbang antara faktor biotik dan abiotik yang ada di dalamnya.
Keseimbangan agroekosistem tersebut akan mendukung peran musuh alami
sebagai fungsinya untuk mengendalikan serangan hama dan organisme
vektor penyakit. Hal ini secara langsung akan mencegah ledakan hama dan
penyakit.
b) Data pengamatan hama dan penyakit pada setiap lokasi terdapat masalah
apa dengan ketidak seimbanagn ekosistem, solusi terkait permasalahan
yang ada
Data hasil pengamatan penyakit di lahan menunjukkan tidak adanya
serangan penyakit di lahan. Sementara itu untuk hama tidak ditemukan
dalam jumlah banyak. Berdasarkan hasil tersebut, tidak ditemukan masalah
yang berarti antara hasil pengamatan hama dan penyakit dengan
ketidakseimbangan ekosistem. Berarti bahwa komponen yang ada telah
menjalankan tugasnya sesuai fungsi masing-masing. Dapat dilihat dari tidak
adanya kerusakan yang berarti di lahan serta hama yang ditemukan tidak
berada di ambang batas ekonomi. Sedikitnya hama ini didukung oleh
system pertanian yang ada yang menjalankan system pertanian organic.
System yang juga mendukung mengapa hanya sedikit hama yang
ditemukan adalah di pinggir-pinggir lahan ada tanaman lain yang sepertinya
sengaja di sebagai inang dari musuh alami dan dapat juga sebagai tanaman
pengalih hama atau inang alternative seperti bunga-bungaan dan tanaman
legume maupun tanaman pohon.
Faktor utama yang menyebabkan hama tidak terlalu menjadi masalah
adalah system pertanian organic yang diterapkan di lokasi yang diamati.
Dalam system pertanian organic berarti bahwa semua input yang diberikan
haruslah organi dan bebas dari residu dan campuran bahan kimia. Itulah
mengapa lahan organi berada di bagian atas sementara bagian bawah adalah
49
pertanian semi organic. Dalam pengendalian hama tidak digunakan
pestisida kimia atau bahan yang menimbulkan residu. Meningkatnya
serangan hama bukan hanya karena penyederhanaan tanaman, tetapi juga
terjadi karena penggunaan pestisida yang tidak bijaksana.penggunaan
pestisida dapat menyebabkan terjadinya gangguan terhadap fungsi dan
faktor-faktor pengendali alami yang ada di dalam ekosistem diduga
disebabkan kematian musuh alami seperti parasitoid dan predator (Tobing,
2009). Oleh sebab itu pengelolaan serangga di masa datang sudah harus
direvisi secara menyeluruh, yaitu dari pendekatan PHT menjadi EBPM
(Ecologically Based Pest Management) atau pengelolaan hama berbasis
ekologik. Pendekatan yang digunakan dalam PHT umumnya hanya terkait
dengan tujuan pencapaian skala dan keuntungan jangka pendek, sebaliknya
pada pendekatan EBPM tujuan akhir sistem produksi yang akan dicapai
adalah ’rancangan’ agroekosistem yang secara ekonomi menguntungkan
dansecara ekologis berkelanjutan (Kogan, 1999). Manajemen
agroekosistem yang baik akan menciptakan interaksi yang seimbang antara
faktor biotik dan abiotik yang ada di dalamnya. Keseimbangan
agroekosistem tersebut akan mendukung peran musuh alami sebagai
fungsinya untuk mengendalikan serangan hama dan organisme vektor
penyakit. Hal ini secara langsung akan mencegah ledakan hama dan
penyakit. Selama ini, system pertanian organic yang ada di lokasi
pengamatan sudah bagus dan perlu dikembangkan dan diupayakan agar
pertanian organic yang ada tetap berjalan dan semakin baik.
2. Aspet Tanah
Didapatkan hasil pengukuran berat isi tanah sebesar 1,28 g/cm3. Nilai
berat isi ini bernilai normal untuk tanah pada umumnya, karena sesuai dengan
pendapat Hardjowigeno (1987) bahwa pada umumnya berat isi tanah berkisar
dari 1,1-1,6 g/cm3, kecuali untuk beberapa jenis tanah (Andisol 0,9 g/cm3
kebawah , Gambut 0,1 g/cm3). Dan diduga tanah di lawang merupakan tanah
normal, dengan tekstur lempung liat berdebu. Bukan tanah histosol dengan
kadar bahan organik yang diatas normal, atau tanah andisol yang merupakan
tanah gunung yang masih belum mengalami perkembangan yang lanjut. Dan
bila nilai berat jenis dimasukkan sebesar 2,519 g/cm3 dan mendapatkan nilai
50
porositas sebesar 50,81%, yang berarti jumlah pori-pori tanah total (baik
makro maupun pori mikro) ialah sebanyak 50,81% dari keseluruhan pori
tanah, sedangkan sisanya (49,19%) diisi oleh padatan tanah. Termasuk normal,
karena proporsi antara padatan tanah dan pori tanah relatif seimbang dalam
suatu volume tanah. Menurut Hardjowigeno (1987), porositas akan tinggi bila
bahan organik tinggi. Dengan kata lain, pemberian pupuk organik pada tanah
akan meningkatkan porositas tanah, karena pada dasarnya pemberian pupuk
organik bukan hanya memperbaiki sifat kimia tanah, tapi juga sifat fisik tanah
seperti kemampuan menahan air, agregasi, struktur, mempermudah
pengolahan, dan perbaikan permeabilitas tanah. (Rosmarkam dan Yuwono,
2002). Menurut informasi juga, pertanian di desa Sumber Ngepoh Lawang
merupakan daerah pertanian organik dan semi organik, dimana semua input
untuk tanaman diduga sudah kembali memakai pupuk kandang. Adapun
pemakaian pupuk anorganik dimungkinkan masih ada, namun tidak dalam
jumlah besar, dan penggunaan pupuk anorganik. Kemungkinan pemakaian
pupuk organik inilah yang menyebabkan berat isi dan porositas tanah tetap
terjaga, dan tanah tidak mengeras dan memadat dengan cepat.
Dari hasil pengukuran pH yang terlah dilakukan, didapatkan nilai pH
sebagai derajat keasaman tanah sebesar 5,6 pada titik 1; 5,5 pada titik 2; 5,0
pada titik 3 dengan nilai rata-rata sebesar 5,367. Hal ini menunjukkan bahwa
tanah yang digunakan sebagai lahan budidaya pada tanah lawang termasuk
tanah yang masam. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), pH tanah 5-5,5
termasuk amat masam dan pH tanah 5,5-6 tergolong asam sedang. Menurut
Hardjowigeno (1987), di Indonesia pada umumnya tanah bereaksi masam
dengan pH 4,0-5,5 sehingga tanah dengan pH 6,0-6,5 sering telah dikatakan
cukup netral meskipun sebenarnya masih agak masam.
Rendahnya pH di tanah lawang diduga disebabkan oleh penggunaan
pupuk organik yang menyebabkan pH tanah menjadi menurun, dan malah
bereaksi masam. Menurut Winarso (2005), salah satu penyebab turunnya pH
tanah antara lain disebabkan oleh dekomposisi bahan organik, bahan organik
tanah secara terus-menerus terdekomposisi oleh mikroorganisme ke dalam
bentuk asam-asam organik, karbondioksida dan air, senyawa pembentuk asam
karbonat. Selanjutnya asam karbonat beeaksi dengan Ca dan Mg karbonat di
51
dalam tanah untuk membentuk bikarbonat yang lebih larut yang bisa tercuci ke
luar yang akhirnya meninggalkan tanah lebih masam.
Rendahnya pH tanah juga bisa disebabkan oleh pemupukan Urea (N) yang
berlebih. Informasi tentang penggunaan pupuk pada pertanian di Desa Sumber
Ngepoh juga kurang cukup adanya untuk menentukan permasalahan
sebenarnya yang terjadi di lapangan. Namun tidak menutup kemungkinan
bahwa pemupukan Urea berlebih juga bisa menyebabkan pH tanah menjadi
masam. Winarso (2005) menjelaskan di dalam bukunya yang berjudul
”Kesuburan Tanah : Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah” bahwa pupuk NH4+
dosisis tinggi pada tanah agak masam dapat menurunkan 1 unit pH dalam
periode 3-4 minggu karena oleh reaksi nitrifikasi (NH4+ cepat diubah menjadi
NO3- dan melepaskan H+, sehingga tanah masam). Selanjutnya penurunan pH
ini dapat berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, penurunan efektivitas
herbisida dan penurunan kecepatan dekomposisi bahan organik.
Cara untuk menanggulangi kemasaman tanah ini ialah dengan cara
pemberian kapur pada tanah, yang dilakukan sebelum pengolahan tanah
dilakukan dan kapur dibalik bersama tanah yang diolah agar pH nya naik.
Menurut Hardjowigeno (1987), tanah yang terlalu masam dapat dinaikkan pH-
nya dengan menambahkan kapur ke dalam tanah, adapun bahan kapur yang
dapat digunakan antara lain : Kalsium Oksida (CaO), Kalsium Hidroksida
(Ca(OH)2), batu kapur (CaCO3), dolomit (CaMg(CO3)2), Marl, dan Slag
(Winarso, 2005) tentunya dengan dosis pengapuran yang sudah ditentukan
sebelumnya, dengan metode perhitungan tertentu yang spesifik dengan
pertimbangan sifat tanah (tekstur, reaksi asam, dll).
Dari hasil pengukuran C-Organik yang telah dilakukan, didapat nilai
kadar bahan organik pada tanah di lawang yang tidak mencapai 5%., padahal
bahan organik dengan kadar 5% dalam tanah ialah kadar bahan organik yang
ideal pada tanah dengan tekstur lempung berdebu (Winarso, 2005). Perlu
adanya penambahan pupuk organik yang berimbang (tentunya dengan
memperhatikan kemungkinan penurunan pH karena penambahan bahan
organik yang berlebih) untuk meningkatkan kadar bahan organik pada tanah
lawang yang bisa dikatakan jauh dari kata ideal.
52
Berikut ini beberapa peranan bahan organik dalam peningkatan
kesuburan tanah menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) :
1. Bahan organik melepaskan hara yang lebih lengkap dan beragam
walau dalam jumlah kecil dibandingkan dengan pupuk anorganik.
2. Bahan organik memperbaiki struktur tanah, membuat tanah lebih
mudah untuk ditembus akar dan diolah
3. Bahan organik dapat meningkatkan daya menahan air sehingga
kelengasan tanah terjaga
4. Bahan organik juga mampu memperbaiki permeabilitas tanah menjadi
lebih baik (menurunkan permeabilitas tanah pada tanah bertekstur
kasar dan meningkatkan permeabilitas tanah pada tanah bertekstur
halus)
5. Bahan organik juga mampu meningkatkan Kapasitas Tukar Kation
tanah
6. Bahan organik juga memperbaiki kehidupan biologi dalam tanah
7. Bahan organik juga dapat meningkatkan daya sangga tanah terhadap
goncangan perubahan sifat drastis tanah
8. Bahan organik juga mengandung mikrobia dalam jumlah cukup untuk
membantu proses dekomposisi bahan organik.
Namun perlu adanya dilakukan proses pematangan pupuk organik terlebih
dahulu sebelum pupuk organik diberikan ke tanah. Rasio C/N lah yang
menjadi indikator kematangan pupuk organik. Pupuk organik yang masih
mengandung rasio C/N yang tinggi dianggap merugikan karena jika pupuk
dengan rasio C/N yang masih tinggi diberikan pada tanah, bahan organik pada
pupuk itu diserang oleh mikrobia untuk memperoleh energi, hara yang
seharusnya dipakai oleh tanaman dipakai oleh mikrobia. Dengan kata lain,
tanaman harus bersaing dengan mikrobia untuk mendapatkan hara dari pupuk
organik. (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
53
c) Mengaitkan parameter/hasil pengamatan selama praktikum dari berbagai aspek
baik HPT, BP dan Tanah selanjutnya selama memberikan rekomendasi sebaiknya
dipilih manajemen yang bagaimana supaya tercipta kondisi agroekosistem yang
sehat dan berlanjut
o Kriteria dan indikator manajemen agroekosistem yang berkelanjutan dan sehat
ditinjau dari aspek tanah?
1. Kriteria
a. Kegemburan tanah
Agroekosistem yang berkelanjutan dan sehat memiliki tanah yang
gembur, karena semakin gembur suatu tanah maka pori-porinya akan
semakin banyak. Para petani biasanya mengatakan tanah itu sehat dilihat
dari cacingnya. Semakin banyak jumlah cacing di dalam tersebut, maka
tanah itu semakin sehat. Jongmans et al. (2003) bahwa kualitas pori
makro dan mikro tanah, tingkat kepadatan tanah, dekalsifikasi dan
dinamika bahan organik ditentukan oleh aktivitas cacing tanah. Cara
yang paling cepat untuk mengetahui ada/tidaknya cacing tanah di
lahan adalah melalui pengamatan casting. Casting adalah kotoran yang
ditinggalkan oleh cacing tanah, umumnya ditemukan di permukaan
tanah. Semakin banyak casting ditemukan menunjukkan bahwa di
lahan tersebut banyak terdapat cacing tanah. Namun pada hasil
praktikum yang telah dilakukan di Lawang yaitu di lahan sawah tidak
ditemukan cacing tanah. Hal ini disebabkan karena tanah tersebut sudah
diolah dengan intensif, sehingga mengurangi kegemburan tanah.
b. Keseimbangan hara
Suatu agroekosistem yang berkelanjutan akan memilki keseimbangan
hara yang baik. keseimbangan hara ditunjukkan dengan tidak adanya
daun yang mengalami desisiensi unsur hara. Dalam fieldtrip ini tidak
ditemukan adanya defisiensi unsur hara, sehingga dapat disumpulkan
bahwa keseimbangan hara di lahan ini sangat baik. Apabila
keseimbangan hara baik, maka suatu ekosistem akan berlanjut dan sehat.
c. Matrix tanah utuh
Gaya adhesi dan kohesi yang ada didalam tanah sering disebut dengan
matriks tanah. Potensial matrik terjadi karena adanya gaya adhesi dan
kapilaritas yang terjadi dalam tanah. Gaya ini terjadi karena interaksi
54
antara air tanah dengan partikel padatan tanah (matrik tanah). Potensial
matriks dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dimana sifat fisik tanah yang
mempengaruhi potensial matriks adalah ruang pori. Kurva ini
dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Dimana tanah memiliki luas
permukaan yang lebih besar sehingga adsorbsi air permukaan partikel
tanah banyak dipengaruhi sifat tanah (Islami dan Utomo, 1995).
Semakin halus tekstur tanah semakin besar kandungan air suatu kisaran
potensial matriks yang sangat luas. Tanah yang bertekstur halus sanggup
menyimpan air dalam jumlah yang besar karena tanah memiliki volume
ruang pori ukuran kecil yang lebih besar untuk menahan air ketika
potensial matriks turun dibawah nol pada keadaan tidak jenuh.
Sebaliknya pori dalam tanah yang bertekstur kasar kebanyakan
berukuran besar yang tidak terisi air lagi (Foth, 1984).
2. Indikator
Ketebalan seresah
Ketebalan seresah merupakan salah satu indikator untuk
menentukan kegemburan tanah. Semakin tebal seresah maka akan
membuat iklim mikro disekitar tanah menjadi rendah, dan apabila suhu
rendah akan mengakibatkan kelembapan tinggi. kelembapan tinggi ini
lah yang akan membuat organisme tanah dapat hidup. Organisme tanah
ini akan membuat liang-liang di dalam tanah, sehingga akan terbentuk
pori-pori tanah. Semakin banyak pori-pori tanah, maka semakin gembur
pula suatu tanah.
Bahan organik tanah
Bahan organik tanah merupakan salah satu indikator untuk
menentukan kegemburan tanah. Suatu tanah dapat dikatakan gembur
apabila banyak terkandung bahan organik didalamnya. Semakibin
banyak bahan organik, maka warna tanah semakin gelap. Menurut
Hardjowigeno (1992) bahwa warna tanah berfungsi sebagai penunjuk
dari sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang terdapat dalam tanah tersebut. Penyebab perbedaan warna
permukaan tanah umumnya dipengaruhi oleh perbedaan kandungan
bahan organik. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah
55
makin gelap. Sedangkan dilapisan bawah, dimana kandungan bahan
organik umumnya rendah, warna tanah banyak dipengaruhi oleh bentuk
dan banyaknya senyawa Fe dalam tanah.
Populasi cacing tanah
Cacing jenis ‘penggali tanah’ yang hidup aktif dalam tanah,
walaupun makanannya berupa bahan organik di permukaan tanah dan
ada pula dari akar-akar yang mati di dalam tanah. Kelompok cacing ini
berperanan penting dalam mencampur seresah yang ada di atas tanah
dengan tanah lapisan bawah, dan meninggalkan liang dalam tanah.
Kelompok cacing ini membuang kotorannya dalam tanah, atau di atas
permukaan tanah. Kotoran cacing ini lebih kaya akan karbon (C) dan
hara lainnya dari pada tanah di sekitarnya. (Hairiah, 2004).
Pada lahan dengan pengolahan intensif, jarang terdapat seresah pada
lahan tersebut sehingga keberadaan biota tanah seperti cacing tanah
sedikit, padahal aktifitas cacing tanah dapat memperbaiki sifat-sifat fisik,
kimia dan biologi tanah, seperti meningkatkan kandungan unsur hara,
mendekomposisikan bahan organik tanah, merangsang granulasi tanah
dan sebagainya.
Untuk menggunakan lahan pada daerah hulu secara rasional maka
diperlukan sistem penggunaan lahan yang menerapkan kaidah-kaidah
konservasi, produktif dan pemanfatan teknologi yang ramah lingkungan.
Dengan demikian akan mewujudkan sistem pertanian yang tangguh dan
secara menyeluruh menciptakan pengelolaan sumberdaya alam dalam
suatu agroekosistem berkelanjutan.
Deskripsi tersebut menggambarkan kerusakan tanah akibat
pemakaian bahan kimia yang intensif. Untuk itu perlu suatu manajemen
untuk mengelola agroekosistem untuk memperbaiki kualitas tanah.
Sehingga bisa mencapai agroekosistem yang berkelanjutan.
Agroekosistem merupakan ekosistem yang dimodifikasi dan
dimanfaatkan secara langsung atau tidak langsung oleh manusia untuk
memenuhi kebutuhan akan pangan dan atau sandang. Karakteristik
esensial dari suatu agroekosistem terdiri dari empat sifat utama yaitu
produktivitas (productivity), kestabilan (stability), keberlanjutan
56
(sustainability) dan kemerataan (equitability). Dengan menggunakan
manajemen agroekosistem
Kepadatan tanah
Widiarto (2008) menyatakan bahwa, “Bahan organik dapat
menurunkan BI dan tanah yang memiliki nilai BI kurang dari satu
merupakan tanah yang memiliki bahan organik tanah sedang sampai
tinggi. Selain itu, Nilai BI untuk tekstur berpasir antara 1,5 – 1,8 g / m3,
Nilai BI untuk tekstur berlempung antara 1,3 – 1,6 g / m3 dan Nilai BI
untuk tekstur berliat antara 1,1 – 1,4 g / m3 merupakan nilai BI yang
dijumpai pada tanah yang masih alami atau tanah yang tidak mengalami
pemadatan”. Bobot isi tanah di lahan dengan pengolahan intensif
biasanya memiliki nilai BI tinggi karena tanah telah mengalami
pemadatan akibat penggunaan alat-alat berat untuk pengolahan tanahnya.
Sedangkan untuk nilai BJ tanah, menurut literature menyatakan bahwa,
“Pada tanah secara umum nilainya BJ antara 2,6 – 2,7 g.cm-3, bila
semakin banyak kandungan BO, nilai BJ semakin kecil”. Pada lahan
dengan pengolahan intensif memiliki BJ bisa lebih dari 2,6 apabila
pemadatan tanah yang terjadi amat tinggi. Apabila nilai BJ terlalu tinggi
juga berpengaruh terhadap penentuan laju sedimentasi serta pergerakan
partikel oleh air dan angin.
Erosi tanah
Erosi tanah merupakan salah satu indikator untuk menentukan matriks
tanah. Apabila matriks tanah rendah, maka akan mudah terjadi erosi di
lahan tersebut. Tujuan pengolahan tanah adalah merubah sifat
fisik/mekanik tanah agar sesuai dengan yang dibutuhkan bagi
pertumbuhan tanaman yang baik. Pengolahan tanah yang intensif pada
tanah yang sudah gembur akan mendorong proses kerusakan tanah dan
erosi, yang berakibat pada meningkatnya proses.
Erosi adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke
tempat lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya
vegetasi penutup tanah dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan
kaidah konservasi tanah. Erosi tersebut umumnya mengakibatkan
hilangnya tanah lapisan atas yang subur dan baik untuk pertumbuhan
57
tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan terjadinya kemunduran
sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
Di lahan pertanian dengan pengolahan intensif, khususnya praktek
penebangan hutan untuk pembukaan lahan baru memiliki tingkat
kerusakan lingkungan yang amat tinggi. Pembukaan hutan tersebut
merupakan tindakan eksploitasi lahan yang berlebihan, perluasan
tanaman, penggundulan hutan, telah berdampak pada keberlangsungan
hidup biota yang berada di bumi ini. Bila kondisi tersebut diatas terus
berlangsung dengan cara tidak terkendali, maka dikhawatirkan akan
bertambahnya jumlah lahan kritis dan kerusakan dalam suatu wilayah
daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan ini dapat berupa degradasi
lapisan tanah (erosi), kesuburan tanah, longsor dan sedimentasi yang
tinggi dalam sungai, bencana banjir, disribusi dan jumlah atau kualitas
aliran air sungai akan menurun.
Kedalaman perakaran
Kedalam perakaran merupakan salah satu indikator untuk
menentukan kegemburan tanah. Apabila tanah gembur, maka akar akan
mudah untuk m,enembus tanah. Semakin dalam kedalaman perakaran,
maka tanah akan semakin gembur. Kedalaman efektif adalah kedalaman
tanah yang masih dapat ditembus oleh akar tanaman. Pengamatan
kedalaman efektif dilakukan dengan mengamati penyebaran akar
tanaman. Banyakya perakaran, baik akar halus maupun akar kasar, serta
dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah, dan bila tidak
dijumpai akar tanaman maka kedalaman efektif ditentukan berdasarkan
kedalaman solum tanah (Hardjowigeno, 2007). Pada lahan dengan
sistem pengolahan intensif terkadang memiliki sebaran perakaran yang
cukup tinggi karena tanaman yang diusahakan dalam kurun waktu yang
lama hanya satu komoditi saja.
pH tanah dan ketersediaan hara
PH tanah dan ketersediaan hara merupakan indikator untuk
menentukan keseimbangan hara. Gejala awal defisiensi N ditandai
dengan daun yang menguning dan klorosis karena terjadi
penghambatan sintesis klorofil . Kekurangan nitrogen dapat
58
mengganggu pertumbuhan tanaman, gejala yang ditunjukkan yaitu
tanaman kerdil dan menguning. Kekurangan nitrogen banyak
ditemui pada daun-daun tua dibandingkan pada daun yang lebih
muda. Pada tanaman buah-buahan kadar N rendah dapat
menyebabkan penurunan hasil panen baik secara kualitas maupun
kuantitas. Gejala kekurangan P biasanya mulai tampak pada daun yang
lebih dewasa, tanaman menjadi kerdil dan berwarna hijau tua,
pertumbuhan tanaman menjadi lambat dan kerdil. Pada tanaman yang
mengalamin kekurangan P terjadi penimbunan gula yang
ditunjukkan oleh pigmentasi antosianin pada bagian dasar
batang dan urat daun. Kalium mudah disalurkan dari organ dewasa
ke organ yang muda, sehingga gejala kekurangan K tampak pertama
kali pada daun tua. Pada kebanyakan tanaman monokotil (misalnya
tanaman serealia) gejala ditandai dengan kematian sel pada ujung
dan tepi daun dan nekrotis ke bawah sepanjang tepi menuju bagian
daun yang muda . Secara spesifik kalium di dalam tanaman
memiliki peran penting dalam mengatur tekanan osmotik
tanaman yang menyebabkan pergerakan air ke dalam akar, sehingga
tanaman yang kekurangan K akan memiliki ketahanan terhadap
kekeringan yang rendah dibandingkan dengan tanaman yang cukup
K .
o Faktor penyebab terjadinya ketidakseimbangan status hara dalam tanah?
Terjadinya ketidakseimbangan status hara dalam tanah disebabkan oleh
berbagai faktor, diantaranya yaitu:
1. Kemasaman Tanah
Tanah bersifat asam dapat disebabkan karena berkurangnya kation
Kalsium, Magnesium, Kalium dan Natrium. Unsur-unsur tersebut terbawa
oleh aliran air kelapisan tanah yang lebih bawah atau hilang diserap oleh
tanaman. pH tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang
bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah asam banyak ditemukan unsur
alumunium yang selain bersifat racun juga mengikat phosphor, sehingga
tidak dapat diserap oleh tanaman. Pada tanah asam unsur-unsur mikro
59
menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro seperti Fe, Zn, Mn
dan Cu dalam jumlah yang terlalu besar, akibatnya juga menjadi racun
bagi tanaman.
Tetapi dengan pH yang agak masam belum tentu kebutuhan tanaman
terhadap pH tanah tidak cocok karena itu tergantung dari komoditas
tanaman budidaya yang dibudidayakan. Untuk pengelolaan pH tanah yang
berbeda-beda dalam suatu agroekosistem maka apabila suatu lahan
digunakan untuk pertanian maka pemilihan jenis tanamannya disesuaikan
dengan pH tanah apakah tanaman yang diusahakan sesuai dan mampu
bertahan dengan pH tertentu
2. PH dan Dinamika Hara
Kation ammonium (NH4+).
Dalam larutan tanah, gas ammonia terlarut (NH3) ternyata
berkesetimbangan dengan kation ammonium (NH4+).
NH4+ ============= NH3 + H+
Pada pH rendah (lebih asam) bentuk NH4 + mendominasi,
sedangkan pada pH tinggi (sangat basa) ada lebih dari bentuk gas NH3.
Proporsi NH3 dan NH4 + adalah sama pada pH 9,2.
Gambar Distribusi amonium
Perilaku amonium dipengaruhi oleh kemasaman (pH).
Distribution of ammonium / ammonia according to soil solution pH.
60
Perilaku Al dalam Tanah
Kelarutan Al menurun dengan drastic dengan meningkatnya pH
tanah, dan konsentrasi monomeric Al anorganik dalam laruitan tanah
juga dipengaruhi oleh adanya anion organim dan anorganik. pH tanah
mempengaruhi kelarutan Al, dan spesiasi Al dalam larutan tanah juga
berubah dengan pH. Pada kondisi pH = 4.0, sebagian besar monomeric
Al anorganik berbentuk Al3+; spesies ini menurun dengan
meningkatnya pH sedangkan aktivitas spesies Al hidroksi (AlOH2+,
Al(OH)2+) mengalami peningkatan. Pada kondisi pH alkalis, ion-ion
aluminate (e.g. Al(OH)4–, Al(OH)5
2–) masuk ke dalam larutan tetapi
tidak toksik bagi akar tanaman (Kinraide 1990). Al terlarut dalam
larutan tanah sangat berpengaruh cepat terhadap pertumbuhan akar
tanaman, dampaknya sering tampak dalam waktu dua hari. Secara
mikroskopis , penurunan pertumbuhan akar dapat terlihat dalam waktu
beberapa jam paparan Al, dan perubahan aktivitas Golgi apparatus
terjadi dalam periode 5 jam penempatan akar dalam larutan yang
mengandung Al. Untuk bersifat toksik, ujung akar harus terpapar Al
(Ryan et al. 1993).
Potensial Redoks
Faktor lain yang sangat penting dalam menentukan konsentrasi
hara dalam larutan tanah adalah potensial redoks (Eh). Faktor ini
berhubungan dengan keadaan aerasi tanah yang selanjutnya sangat
tergantung pada laju respirasi jasad renik dan laju difusi oksigen. Ia
mempengaruhi kelarutan unsur hara mineral yang mempunyai lebih
dari satu bilangan oksidasi (valensi). Unsur-unsur ini adalah C, H, O,
N, S, Fe, Mn, dan Cu. Kandungan air yang mendekati atau melebihi
kondisi ke-jenuhan merupakan sebab utama dari buruknya aerasi
karena kecepatan difusi oksigen melalui pori yang terisi air jauh lebih
lambat daripada pori yang berisi udara.
o Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya ketersediaan bahan
organik tanah
61
Tinggi rendahnya ketersediaan bahan organik tanah disebabkan oleh
berbagai faktor, diantaranya yaitu:
1. Iklim
Faktor iklim yang berpengaruh adalah suhu dan curah hujan. Makin
ke daerah dingin, kadar bahan organik dan N makin tinggi. Pada kondisi
yang sama kadar bahan organik dan N bertambah 2 hingga 3 kali tiap suhu
tahunan rata-rata turun 100C. bila kelembaban efektif meningkat, kadar
bahan organik dan N juga bertambah. Hal itu menunjukkan suatu
hambatan kegiatan organisme tanah.
2. Tekstur
Tekstur tanah juga cukup berperan, makin tinggi jumlah liat maka
makin tinggi kadar bahan organik dan N tanah, bila kondisi lainnya sama.
Tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang baik sehingga bahan organik
cepat habis.
3. Drainase
Ada tanah dengan drainase buruk, dimana air berlebih, oksidasi
terhambat karena kondisi aerasi yang buruk. Hal ini menyebabkan kadar
bahan organik dan N tinggi daripada tanah berdrainase baik. Disamping
itu vegetasi penutup tanah dan adanya kapur dalam tanah juga
mempengaruhi kadar bahan organik tanah. Vegetasi hutan akan berbeda
dengan padang rumput dan tanah pertanian. Faktor-faktor ini saling
berkaitan, sehingga sukar menilainya sendiri
4. Vegetasi
Vegetasi mempengaruhi bahan organic dalam hal tipe, jumlah dan
sebaran residu organic. Dekomposisi bahan organic berkaitan dengan sifat
komunias flora dan fauna tanah. Pada lahan pertanian, penggunaan pupuk
anorganik, pupuk hijau atau pupuk kandang mempengaruhi kandungan
bahan organic tanah. Mikroorganisme menggunakan bahan organik untuk
respirasi dimana bahan organic termineralisasikan dari CO2 dilepaskan.
o Faktor-faktor penyebab terjadinya masalah pemadatan tanah!
Pemadatan tanah merupakan perubahan keadaan dimana terjadi penyusutan
volume tanah atau terjadi kenaikan berat tanah pada satu satuan volume
62
tertentu. Kondisi tanah atau tingkat kepadatan tanah dapat ditentukan dengan
parameter parameter tertentu seperti Void ratio, porositas, bulk density, dan
berat jenis isi. Void ratio adalah perbandingan antara volume pori terhadap
volume padatan. Porositas adalah perbandingan volume pori terhadap volume
total. Bulk density adalah perbandingan berat tanah terhadap volume tanah
total dan berat isi tanah adalah perbandingan berat kering tanah terhadap
volume padatan (Mandang dan Nishimura dalam Burdiono, 2012).
Harris dalam Burdiono (2012) menyatakan bahwa ada empat hal yang
mungkin terjadi sehingga menghasilkan perubahan tingkat kepadatan tanah,
yaitu : pemampatan partikel-partikel padatan tanah, pendesakkan cairan dan
gas pada ruang pori tanah, perubahan kandungan cairan dan gas di dalam
ruang pori tanah, dan perubahan susunan partikel-partikel padatan tanah.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pemadatan tanah antara
lain berat alat, tekanan udara ban, kadar air tanah pada saat melintas. Selain itu
ada faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu intensitas lalu lintas alat, slip
roda, dan baru tidaknya lahan tersebut diolah sebelumnya (Hersyami dan
Sembiring dalam Burdiono, 2012).
1. Pemadatan tanah dapat disebabkan oleh kegiatan pembajakan
Semua kerja pembajakan mengubah struktur tanah. Kegiatan
pengangkatan, pemutaran, dan pembalikan oleh bajak pembalik
menyebabkan tanah berada pada kondisi agregasi dan lepas. Akan tetapi,
stabilitas agregat tetap tidak berubah. Cangkul, cakram, dan pemotongan
menghancurkan beberapa diantara agregat tanah. Penggarapan suatu
lapangan mungkin mempunyai efek langsung dalam melonggarkan tanah,
meningkatkan aerasi dan penyusupan air. Efek penggarapan jangka panjang
(beberapa minggu atau bulan) yang ditimbulkan oleh penghancuran agregat
anah adalah tanah kurang teragregasi dan lebih padat. Lahan garapan yang
terbuka juga menderita gangguan agregat karena dampak curah hujan tanpa
adanya vegetasi penutup Foth (1994).
Pemadatan mendesak agregat dan partikel tanah menjadi lebih
mengumpul. Voluime total ruang pori menjadi berkurang dan kerapatan
lindak meningkat. Pendesakan partikel-partikel menjadi lebih berdekatan
mengakibatkan penurunan dalam rata-rata ukuran pori. Beberapa ruangan
63
makropori menyusut ukurannya menjadi mikropori. Hasilnya adalah
peningkatan dalam ruangan mikropori Foth (1994).
Berdasarkan hasil penelitian Laws dan Evans dalam Foth (1994)
diperoleh bukti bahwa penggarapan jangka panjang menyebabkan
penurunan agregasi tanah dan ruangan horizontal yang nyata serta
peningkatan dalam kerapatan lindak.
2. Pemadatan tanah dapat disebabkan oleh berat mesin, ukuran ban dan
tekanan udara ban.
Mesin seperti combine dan mesin pemupukan beratnya bisa mencapai
lebih dari 30 ton. Beban yang ringan pada mesin hanya menyebabkan
pemadatan di permukaan tanah, sedangkan beban yang berat dapat
menyebabkan pemadatan yang lebih dalam yang tidak dapat diperbaiki
dengan pengolahan tanah. Pembebanan dan ukuran ban menyebabkan
pemadatan yang lebih dalam pada tanah basah daripada tanah kering (James
dan Donald, dalam Burdiono, 2012).
Menurut Faozi dalam Burdiono (2012), perlakuan lintasan traktor
terhadap tanah memberikan pengaruh pada nilai bulk density, dimana
semakin meningkat intensitas lintasan traktor yang diberikan maka nilai
bulk density yang dihasilkan juga meningkat. Pada perlakuan tanpa lintasan
traktor di kedalaman 0 – 10 cm nilai bulk density-nya 1,012 g/cc, sedang
pada perlakuan dengan tiga lintasan traktor di kedalaman yang sama nilai
bulk density-nya 1,330 g/cc, kemudian untuk perlakuaan lima lintasan
traktor di kedalaman yang sama nilai bulk density naik menjadi 1,403 g/cc.
Pengaruh lintasan terhadap pemadatan tanah memperlihatkan hubungan
yang nyata, dimana tahanan penetrasi dan nilai bulk density meningkat
setelah dilintasi traktor. Tahanan penetrasi paling besar terjadi pada proses
pemadatan dengan tiga dan lima kali lintasan, nilai tahanan penetrasi
tertinggi pada kedalaman 15 dan 25 cm sebesar 24,2 kg/cm2. Secara umum
nilai bulk density tanah setelah mendapat perlakuan lintasan
memperlihatkan nilai yang meningkat sejalan dengan penambahan jumlah
lintasan pada tiap kedalaman (Kusuma dalam Burdiono, 2012).
3. Pemadatan tanah dapat disebabkan oleh limbah
64
Limbah industri yang mengandung logam berat, bahan beracun dan
senyawa kimia lain sering merusak sifat tanah, selain mengakibatkan
kerusakan kimiawi tanah. Tanah menjadi padat atau mengeras, sering
disebabkan oleh limbah industri tersebut (Sumarno, 2006).
4. Pemadatan tanah dapat disebabkan oleh penggunaan pestisida kimia dan
pupuk kimia anorganik
Tingginya intensitas pengolahan tanah dan pemakaian pestisida banyak
menekan populasi fauna tanah, termasuk cacing tanah, sehingga berakibat
penurunan aerasi tanah dan konservasi bahan organik tanah, meningkatkan
kepadatan tanah, populasi mikroorganisme tanah secara bertahap juga akan
mengalami penurunan, terutama untuk mikroorganisme aerobik (Kosman
dan Subowo, 2011).
o Sebutkan dan jelaskan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau
mencegah terjadinya pemadatan tanah!
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya
pemadatan tanah antara lain yaitu:
1. Melakukan konsep pembajakan minimum
Sistem pembajakan minimum menggunakan lebih sedikit pelaksanaan
untuk memproduksi hasil pertanian. Percobaan Cook et al. dalam Foth
(1994) menunjukkan bahwa hasil produksi bit gula yang paling tinggi
adalah pada lahan yang digarap hanya satu atau dua kali diantara
pembajakan dan penanaman, lebih tinggi dibandingkan pada lahan yang
digarap empat kali atau lebih.
2. Menggunakan peralatan untuk mempersiapkan lahan, menanam biji,
menabur pupuk dan herbisida dalam satu perjalanan diatas lapangan pada
kegiatan pertanian dilahan yang luas.
3. Mencegah masukan limbah ke dalam tanah
Pencemaran limbah industri berupa bahan kimia anorganik perlu
dicegah dengan peraturan yang tegas terhadap pelaku industri, yang
dikaitkan dengan persyaratan analisis dampak lingkungan (Sumarno,
2006).
4. Mengurangi penggunaan pestisida kimia dan pupuk kimia anorganik
65
Dengan mengurangi penggunaan pestisida kimia dan pupuk kimia
anorganik maka secara lagsung akan mengurangi pemasukan bahan-bahan
kimia kedalam lahan pertanian. Peran pestisida kimia untuk
mengendalikan hama dapat digantikan oleh pestisida nabati dan musuh
alami. Sedangkan penggunaan pupuk kimia anorganik bisa secara
perlahan dikurangi dan digantikan dengan pupuk organik, seperti pupuk
kandang, kompos, pupuk hijau, dan lain-lain.
o Jelaskan peran cacing tanah dalam mengatasi permasalahan kesehatan tanah
(terkait dengan aspek biologi, fisika dan kimia tanah)
Cacing tanah merupakan bagian dari biodiversitas tanah yang berperan
penting dalam perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah melalui proses
imobilisasi dan humifikasi. Dalam dekomposisi bahan organik, makrofauna
tanah lebih banyak berperan dalam proses fragmentasi (comminusi) serta
memberikan fasilitas lingkungan mikrohabitat yang lebih baik bagi proses
dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh kelompok mesofauna dan
mikrofauna tanah serta berbagai jenis bakteri dan fungi (Lavelle et al. dalam
Jayanthi, 2013).
Peranan cacing tanah pada sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang dapat
mengatasi permasalahan kesehatan tanah antara lain :
1. Memperbaiki struktur tanah, ruang pori, berat isi, dan porositas (fisika
tanah)
Cacing tanah dapat memperbaiki sifat fisik tanah melalui fungsinya
sebagai agen bioturbasi (agen pembalik tanah). Cacing tanah jenis anesik
naik ke permukaan tanah mengambil makanan berupa seresah, kemudian
membawa seresah tersebut masuk ke dalam tanah. Pergerakan cacing tanah
yang naik dan turun tersebut bisa menambah jumlah ruang pori sehingga
bisa mengurangi berat isi tanah dan meningkatkan porositas. Selain itu,
tubuh cacing tanah menghasilkan suatu cairan yang berfungsi untuk
merekatkan partikel tanah agar liangnya tidak mudah rusak, cairan yang
dihasilkan cacing tanah tersebut dapat membantu memperbaiki struktur
tanah.
66
Satchell dalam Lubis (2011) melaporkan bahwa cacing tanah
mempunyai kontribusi yang penting pada struktur tanah dan pembentukan
agregat tanah. Hasil uji oleh Blanchart’s dalam Lubis (2011) di lapangan
menunjukkan bahwa kerusakan agregat pada padang rumput di daerah
tropis dapat diatasi oleh cacing (Megascolecidae): tanah yang diinokulasi
dengan cacing tanah memiliki 12.9% makroagregat (> 2 mm) setelah 3
bulan; dan makroagregat menjadi 31,7% setelah 6 bulan dan menjadi 60,6%
setelah 30 bulan inokulasi cacing. Agregat yang dibentuk oleh cacing
memiliki stabilitas terhadap air yang lebih tinggi.
Ketterings et al. dalam Lubis (2011) menemukan bahwa kebanyakan
kompleks organik-mineral dibentuk setelah aktifitas cacing tanah. Sebagai
hasilnya, agregat yang tahan air dengan > 1000 μm meningkat dengan
nyata. Bossuyt et al. dalam Lubis (2011) juga setuju bahwa karbon
terkombinasi dengan agregat tanah yang stabil melalui aktifitas cacing
tanah. Dengan meningkatnya stabilitas agregat, bahan organik yang
terkombinasi akan lebih tahan lama di dalam tanah dan tidak didekomposisi
dengan mudah. Ditambah lagi saluran/ lubang dari cacing penuh dengan
kotoran cacing baik. Kotoran-kotoran yang diproduksi terus menerus akan
memproduksi pori nonkapiler, selanjutnya memperbaiki ventilasi dan
permeabilitas, dan memperbaiki struktur tanah. Berikut ini tabel pengaruh
pemberian cacing tanah Pheretima hupiensis terhadap sifat fisik tanah
Ultisols (Anwar dalam Kosman dan Subowo, 2011).
Tabel 12. Pengaruh pemberian cacing tanah Pheretima hupiensis terhadap sifat fisik tanah
Ultisols
Perlakuan Ruang
Pori Tanah
(% vol)
Berat Isi
(gr.cc-1)
Pori Drainase
Cepat
(% vol)
Pori Drainase
Lambat
(% vol)
Permeabilitas
(m.jam-1)
Tanpa
cacing72,6 0,75 32,4 4,4 12,4
67
Dengan
cacing74,9 0,67 37,4 4,6 17,0
2. Meningkatkan dan menstabilkan suplai hara tanah (kimia tanah)
Cacing tanah dapat meningkatkan dan menstabilkan suplai hara tanah
karena cacing memakan bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman
(seresah) kemudian menghasilkan kotoran yang mengandung berbagai
unsur hara yang dapat meningkatkan kesuburan tanah.
Cacing dapat mengubah sifat fisik dan kimia tanah, memperlancar proses
mineralisasi bahan organik, dan menstabilkan siklus hara (Parkin dan Berry
dalam Lubis, 2011). Aktivitas cacing tanah meningkatkan ketersediaan hara
tanah dan meningkatkan laju siklus hara (Basker et al. dalam Lubis, 2011).
Nisbah C/N dari bahan organik berkurang dengan cepat dengan adanya
aktifitas cacing tanah (Amador et al. dalam Lubis, 2011). Semua hal
tersebut berkontribusi terhadap perubahan bentuk N organik, P, dan K yang
terikat menjadi ke bentuk yang tersedia bagi tanaman dan memperpendek
masa penyediaan hara. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanah yang
dipengaruhi oleh cacing tanah selalu memiliki bahan organik, total N,
kapasitas tukar kation (KTK), Ca, Mg, dan K yang dapat dipertukarkan, N
dan P tersedia yang lebih tinggi (Cortez et al. dalam Lubis, 2011).. Hal ini
disebabkan karena aktifitas cacing tanah sangat meningkatkan konsentrasi
N inorganik (terutama NH4 +-N) dalam tanah. Kandungan N mineral (NO3-
N+NH4+- N), total karbon, total nitrogen, dan biomasa mikroba meningkat
pada lahan yang diinokulasi cacing tanah (Li et al. dalam Lubis, 2011).
Edwards dalam Lubis (2011) menemukan bahwa ketika bahan organik
dan tanah masuk ke dalam pencernaan tanah kalsium, asam humat, bahan
organik dan polisakarida akan melekat satu dengan lainnya dan membentuk
kotoran cacing, dimana kotoran cacing tersebut lebih porous dan remah dan
mempunyai banyak kelebihan seperti stabilitas terhadap hantaman air
sangat kuat, ketersediaan hara tinggi, dan kemampuan menahan hara yang
tinggi. Berikut ini tabel mengenai komposisi komponen kimiawi pada
kascing (Subowo dalam Jayanthi, 2013).
Tabel 13. Komposisi komponen kimiawi pada kascing
68
Komposisi Kimiawi Komposisi (%)
Na 0,82
Kalium (K) 0,43
KTK 13,20
Magnesium (Mg) 1,41
Al 0,00
Ca 13,59
3. Meningkatkan kandungan bahan organik tanah (biologi tanah)
Tubuh cacing merupakan sumber hara yang potensial. Tubuh cacing
dapat terdekomposisi secara sempurna hanya dalam 4 hari saja setelah
cacing itu mati dan 70% N yang berasal dari tubuh cacing akan diserap
tanaman setelah 16 hari. Cacing tanah juga melepaskan hara ke dalam tanah
dari aktifitas metabolismnya (Whalen et al. dalam Lubis, 2011).
Diantara fauna tanah di daerah humid sedang, cacing tanah merupakan
penyumbang bahan organik tanah terbesar, yaitu kira-kira 100 kg/ha
(0,005%) dengan populasi 7.000 ekor hingga 1.000 kg/ha dengan populasi
1 juta ekor (Foth dalam Hanafiah, 2012).
4. Peranan cacing tanah terhadap peningkatan serapan hara oleh tanaman
(efektifitas cacing tanah)
Kontribusi cacing tanah dalam meningkatkan serapan hara P oleh
tanaman Setaria splendida lebih tinggi dibandingkan kontribusi dari jamur
mikoriza arbuskula (Sabrina et al. dalam Lubis, 2011). Bahkan kehadiran
cacing tanah dapat mengurangi besar kontribusi jamur mikoriza dalam
meningkatkan serapan P oleh tanaman S.splendida.
o Jelaskan kaitan antara populasi dan biomassa cacing tanah denagn bahan
organik tanah!
Bahan organik tanah adalah kumpulan beragam (continuum) senyawa-
senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses
dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa
anorganik hasil mineralisasi (disebut biontik), termasuk mikrobia heterotrofik
dan ototrofik yang terlibat (biotik) (Hanafiah, 2012).
69
Sumber primer bahan organik tanah adalah jaringan organik tanaman,
baik berupa daun, batang/cabang, ranting, buah maupun akar, sedangkan
sumber sekunder berupa jaringan organik fauna termasuk kotorannya serta
mikroflora (Hanafiah, 2012).
Cacing merupakan salah satu makrofauna tanah. Dari pendapat Hanafiah
diatas maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi populasi dan biomassa
cacing tanah maka semakin tinggi bahan organik tanah. Cacing tanah dapat
meningkatkan kandungan bahan organik tanah melalui kotoran yang
dihasilkan serta tubuhnya (tubuh cacing yang mati).
Diantara fauna tanah di daerah humid sedang, cacing tanah merupakan
penyumbang bahan organik tanah terbesar, yaitu kira-kira 100 kg/ha (0,005%)
dengan populasi 7.000 ekor hingga 1.000 kg/ha dengan populasi 1 juta ekor
(Foth dalam Hanafiah, 2012).
Cacing tanah merupakan pemakan tanah dan bahan organik segar
dipermukaan tanah, masuk (sambil menyeret sisa-sisa tanaman) ke liangnya,
kemudian mengeluarkan kotorannya (bunga tanah) di permukaan tanah. Naik
turunnya cacing ini berperan penting dalam pendistribusian dan pencampuran
bahan organik dalam solum tanah, yang kemudian berpengaruh positif
terhadap kesuburan tanah, baik secara fisik, kimia, maupun biologis. Pada
kondisi normal, bunga tanah hasil pencernaan cacing ini adalah sekitar 15
ton/tahun/hektar, oleh karena itu selama periode 75 tahun dapat dihasilkan
bunga tanah setebal 20 cm (Hanafiah, 2012).
4.3 Rekomendasi
4.3.1 Monokultur, Tumpangsari, dan Agroforestry
Lokasi yang kami analisis merupakan lahan pertanian organik padi. Sistem
tanam yang dijalankan adalah monokultur. Rekomendasi yang tepat untuk lokasi
yang diteliti adalah tetap monokultur. Dimana system pertanian organic yang ada
lebih dikembangkan lagi.
Pertanian monokultur adalah pertanian yang memiliki penataan tanaman
secara tunggal sepanjang umur tanaman tertentu pada suatu lahan. System tanam
monokultur yang direkomendasikan di lokasi ini maksudnya adalah padi
dikembangkan dengan system tanam monokultur dengan jarak tanam yang
70
optimum misalnya mengambil pola tanam seperti jajar legowo. Hal ini untuk lebih
mudah dalam pemeliharaan dan mencegah hama tikus. Monokultur disini
sebenarnya bukan monokultur seperti pada lahan konvensional dimana semua area
lahan ditanami padi semua. Dibagian border atau dekat pematang atau disekitar
ditanami dapat tanaman border. Tanaman border ini bisa dari jenis legume, bunga-
bungaan, tanaman hortikultura, pisang atau bahkan tanaman tahunan (agroforestri).
Penanaman tanaman border disini dimaksudkan untuk mencegah dan mengurangi
serangan hama dan penyakit serta beberapa tanaman dapat menjadi pupuk hijau
bagi padi terutama dari jenis legume. Diketahui beberapa tanaman antara lain
kedelai merupakan shelter dari hama dan musuh alami, sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai perangkap hama yang menyerang padi maupun palawija
(Tarbiah dkk., 2010). Pengetahuan akan tanaman yang dapat menyumbangkan hara
tanaman seperti legum sebagai tanaman penyumbang nitrogen dan unsur hara
lainnya sangatlah membantu untuk kelestarian lahan pertanian organik. Selain itu
teknologi pencegahan hama dan penyakit juga sangat diperlukan, terutama pada
pembudidayaan pertanian organik di musim hujan. Pertanian organik
membutuhkan dukungan riset yang kuat sehingga dapat dihasilkan hal-hal baru
yang sesuai dengan prinsip-prinsip pertanian organic (Suwantoro, 2008).. Di lokasi
yang diamati sebenarnya beberapa lahan sudah menerapkan system ini, tetapi harus
dimaksimalkan lagi. Hal ini agar system yang ada lebih optimal lagi.
Selain itu, dalam pertanaman secara tunggal (monokultur) pada lahan sawah,
dapat dilakukan penataan bergiliran secara berurutan (rotasi tanam). Salah satu
strategi pertanian berkelanjutan adalah melakukan rotasi tanaman. Untuk sistem
bergiliran secara berurutan, sistem tersebut dilakukan pada musim hujan, yakni
tanah sawah ditanami padi. Sedangkan pada musim kemarau lahan ditanami
palawija atau bero tergantung pada keadaan tanah, pengairan, iklim, dan
sebagainya. Hal lain yang dapat dilakukan saat melaksanakan pola rotasi tanam
adalah melakukan rotasi varietas padi maupun keragamannya setiap pergantian
musim tanam (Praptono, 2010). Jadi, ada pergantian varietas atau jenis padi yang
ditanam di lapang.
4.3.2 Pengelolaan Tanah, Sistem Budidaya dan Pengendalian Hama Penyakit
Pengelolaan agroekosistem dalam pengendalian hama, merupakan salah satu
metode dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang diterapkan dengan
71
pendekatan ekologi. Pengembangan PHT selanjutnya lebih mengarah pada
pengelolaan agroekosistem yang dikembangkan berdasarkan teori-teori ekologi,
terutama dalam merancang suatu agroekosistem yang lebih tahan terhadap
peledakan populasi hama. Pada umumnya yang ditekankan adalah pemanfaatan
kekuatan alami yang dimungkinkan dengan melakukan pengurangan penggunaan
insektisida pada suatu agroekosistem.
Faktor-faktor penyebab rentannya suatu agroekosistem terhadap eksplosi
hama dapat diatasi dengan melakukan pengelolaan agroekosistem supaya menjadi
lebih tahan terhadap eksplosi hama. Tujuan dari pengelolaan agroekosistem adalah
menciptakan keseimbangan dalam lingkungan dengan hasil yang berkelanjutan,
serta kesuburan tanah yang dikelola secara biologis dan pengaturan populasi hama
melalui keragaman hayati serta penggunaan input yang rendah (Altieri, 1994).
Untuk mencapai tujuan ini, strategi yang dikembangkan adalah optimalisasi daur
hara dalam tanah dan pengembalian bahan organik, konservasi air dan tanah serta
keseimbangan populasi hama dan musuh alaminya. Strategi ini mengarah pada
suatu pengaturan lanskap yang ada, sehingga didapatkan kemantapan fungsi dari
keragaman hayati yang membantu dalam proses menuju agroekosistem yang sehat.
Konsep ekologi dalam PHT, merupakan konsep dari proses alami dan
interaksi-interaksi biologi yang dapat mengoptimalkan sinergi fungsi dari
komponen-komponennya. Dengan demikian, lahan dengan keragaman hayati yang
tinggi, mempunyai peluang tinggi untuk terjaga kesuburan tanahnya melalui
aktivasi biota tanah. Selain itu, perkembangan populasi herbivora dapat terjaga
melalui peningkatan peran arthropoda yang berguna dan antagonis. Pengelolaan
agroekosistem untuk mendapatkan produksi yang berkelanjutan dan sesedikit
mungkin berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial, serta input rendah
dimungkinkan dengan menerapkan prinsip-prinsip ekologi sebagai berikut (Reijntes
et al., 1992):
1. Meningkatkan daur ulang dan optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan
alur hara. Prinsip ini dapat dilakukan dengan melakukan rotasi dengan
tanaman-tanaman pupuk hijau. Memantapkan kondisi tanah untuk
pertumbuhan tanaman dengan mengelola bahan organik dan meningkatkan
biota tanah. Pemberian biomassa pada lahan akan menambah bahan organik
72
yang selanjutnya akan meningkatkan biota tanah yang berguna dalam
peningkatan kesuburan tanah.
2. Meminimalkan kehilangan karena keterbatasan ketersediaan air melalui
pengelolaan air. Air dibutuhkan tanaman untuk dapat berproduksi optimal,
sehingga ketersediaan ketersediaannya pada waktu dan jumlah yang cukup,
sangat berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Pengelolaan air dapat
dilakukan dengan teknik-teknik pengawetan air tanah.
3. Meningkatkan keragaman spesies dan genetik dalam agroekosistem,
sehingga terdapat interaksi alami yang menguntungkan dan sinergi dari
komponen-komponen agroekosistem melalui keragaman hayati.
4. Peningkatan keragaman tanaman pada suatu agroekosistem dapat dilakukan
melalui praktek budidaya dengan sistem tumpangsari, agroforestry atau
dengan menggunakan tanaman pelindung atau penutup tanah.
73
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan Kegiatan Fieldtrip
Pertanian yang terdapat di Desa Sumber Ngepoh, Kecamatan Lawang, Kabupaten
Malang merupakan pertanian lahan basah berupa sawah yang dilakukan secara organik
dan semi organic. Dilihat dari aspek BP, sistem budidaya yang dilakukan petani yaitu
system tanam monokultur secara konvensional tanpa adanya rotasi tanaman dan
pengolahan tanah yang intensif. Walaupun dengan system tanam yang seperti lokasi
tersebut memiliki produktifitas yang tinggi serta stabilitas dan keberlanjutan yang
cukup baik, namun dilihat dari pendapatan petani di sana belum bisa dikatakan merata.
Dilihat dari aspek hama dan penyakit yang, tidak banyak ditemui di lokasi. Di
lahan yang diamati, hanya ditemukan 3 jenis Arthropoda dan tidak ditemukan gejala
penyakit. Arthropoda yang ditemukan yaitu 1 ekor belalang daun (Oxya chinensis) dan
3 ekor belalang hijau (Atractomorpha crenaticeps) yang berperan sebagai hama serta 2
ekor capung dari ordo odonata yang berperan sebagai musuh alami. Presentase
Arthropoda terbesar ditemukan pada sweptnet yang terdiri dari hama (67 %) dan musuh
alami (33 %).
Dilihat dari aspek tanah, didapat nilai hasil pengukuran pH berkisat antara 5-5,6
serta perhitungan berat isi sebesar 1,28 g/cm3, berat jenis sebesar 2,519 g/cm3. Dan C-
organik antara 0,515 - 0,86% dengan tekstur lempung liat berdebu. Walaupun dari hasil
analisis laboratorium menunjukkan bahea tanah di lokasi pengamatan merupakan tanah
yang cemderung masam dan memiliki kandungan bahan organic yang masih, namun
penerapan sistem organik yang tepat oleh petani setempat diharapkan mampu menjaga
kualitas dan kesehatan tanah tetap terjaga.
Berdasarkan hasil fieldtrip, dapat disimpulkan bahwa agroekosistem di Desa
Sumber Ngepoh, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang termasuk ke dalam
agroekosistem yang cukup sehat. Management agroekosistem yang telah diterapkan di
lokasi tersebut sudah cukup baik, hali ini dapat dilihat dari indikator indikator yang
teramati dari aspek BP, tanah dan HPT.
74
5.2 Saran Terhadap Keberlanjutan Agroekosistem
Pengelolaan agroekosistem di Desa Sumber Ngepoh, Kecamatan Lawang,
Kabupaten Malang dengan system pertanian orgaik dan semi organic dirasa sudah
cukup baik dan perlu dipertahankan.
5.3 Saran Terhadap Praktikum
Praktikum anagemen agroekositem telah berjalan dengan baik, namun sebaiknya
koordinasi dalam praktikum lebih ditingkatkan, baik antar asisten dari masing-masing
aspek maupun antar asiten dengan praktikan.
75
DAFTAR PUSTAKA
Altieri, M.A.1994. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystems. Haworth Press.
New York.
Angyoyo, Uwitya. 2009. Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering dalam Jurnal
LingkunganHidup.JurnalOnline. http://uwityangyoyo.wordpress.com /2009/04/12/
pengelolaan- agroekosistem-lahan-kering/. Diakses 31 Mei 2014.
Badan Litbang Pertanian. 2010. Hama dan Penyakit pada tanaman Padi.
(Online) http://cybex.deptan.go.id. Diakses tanggal 1 Juni 2014
Burdiono, Muh. 2012. Pemanfaatan Seresah Tebu sebagai Mulsa Terhadap Pemadatan
Tanah Akibat Lintasan Roda Traktor pada PG. Takalar. Fakultas Pertanian Universitas
Hasanudin: Makassar
FAM Organic. 2009. Prinsip & Proses Organik Kami. (Online)
http://www.famorganic.com/prinsip%20organik.html. Diakses tanggal 1 Juni 2014
Foth, Henry D. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Edisi Keenam. Penerbit Erlangga: Jakarta
Hairiah, Kurniatun, dkk. 2004. Ketebalan Seresah sebagai Indikator Daerah Aliran Sungai
(DAS) Sehat. FP-UB. Malang.
Hanafiah, Kemas A. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Cetakan ke-5. PT Raja Grafindo
Persada: Jakarta
Hardjowigeno, Sarwono. 2010. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo
IFOAM. 2005. The IFOAM Norms For Organic Production And Processing. International
Federation of Organic Agriculture Movements, Germany.
Islami, T. dan W. H Utomo, 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP Semarang
Press, Semarang.
Kasus Jayanthi, S. 2013. Komposisi Komunitas Cacing Tanah pada Lahan Pertanian
Organik dan Anorganik. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas
Sumatera Utara: Medan
Kogan, M. 1999. Integrated Pest Management: Constructive Criticism or Revolutionism.
Phytoparasitica 27(2):1-6.
Kosman, E. dan Subowo. 2011. Cacing Tanah Mampu Perbaiki Kesuburan Tanah. Sinartani
Edisi 6-12 April 2011 No. 3400 Tahun XLI. Badan Litbang Pertanian
76
Lubis, Ahmad F. 2011. Keberadaan Cacing Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan
Pertanian dan Pemanfaatannya Untuk Meningkatkan Kesuburan Tanah Ultisol dan
Pertumbuhan Jagung (Zea Mays L.). Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara:
Medan
Muchtadi, T. R, Sugiyono, Ayustaningwarno, F. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.
Bandung: Alfabeta
Notohadiprawiro, T., Soeprapto, S. dan Endang S. 2006. Pengelolaan Kesuburan Tanah Dan
Peningkatan Efisiensi Pemupukan. .Repro: Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Nurdin. 2008. Optimalisasi Produktifitas Lahan Kering melalui Pengembangan Sistem
Usahatani Konservasi Tanaman Jagung di Provinsi Gorontalo. Jurnal Ilmiah
Agropolitan. Vol 1(1): 1-63.
Nurdin.2011. Penggunaan Lahan Kering Di Das Limboto Provinsi Gorontalo Untuk
Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Litbang Pertanian. Vol 30 (3):98-107
Nurindah. 2006. Pengelolaan Agroekosistem dalam Pengendalian Hama. Balai Penelitian
Tanaman Tembakau dan Serat. Malang
Partoyo. 2005. Analisis Indeks Kualitas Tanah Pertanian Di Lahan Pasir Pantai Samas
Yogyakarta. Ilmu Pertanian Vol. 12 No.2, 2005 : 140 – 151
Praptono, Bakdo. 2010. Kajian Pola Bertani Padi Sawah Di Kabupaten Pati Ditinjau Dari
Sistem Pertanian Berkelanjutan (Studi Kasus Di Kecamatan Pati). Tesis. Program
Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Unversitas Diponegoro Semarang.
Puspita,Leni.2005. Lahan Basah Buatan di Indonesia.Ditjen PKHA: Bogor.
Reijntes, C., Haverkort, B. Dan Water-Bayer, A. 1992. Farming for the Future. Macmillan,
London.
Reijntjes, Coen, Bertus Haverkort, Ann Waters-Bayer. 1992. Pertanian Masa Depan.
Yogyakarta: Kanisius
Riwandi. 2010. Identifikasi Dan Interpretasi Indikator Kesehatan Tanah. P.S.
Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu (Makalah disajikan pada
77
Seminar Nasional dan Kongres Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI)
tanggal 24-25 Nopember 2010.
Rosmarkam, Afandie dan Nasih Widya Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta :
Kanisius
Rukmana, R. 2001. Teknik Pengelolaan Lahan Berbukit dan Kritis. Kanisius, Yogyakarta.
Setiawan,Iwan.2008. Alternatif Pemberdayaan Bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani
Lahan Kering. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas
Padjadjaran: Bandung
Soemarno. 2010. Ekologi Tanah. Bahan Kajian MK Manajemen Agroekosistem. Jurusan
Tanah.Fakultas Petanian. Universitas Brawijaya; Malang
Sumarno. 2006 . Sistem Produksi Padi Berkelanjutan dengan Penerapan Revolusi Hijau
Lestari. Buletin Iptek Tanaman Pangan
Suwantoro, Andreas avelinus. 2008. Analisis Pengembangan Pertanian Organic di
Kabupaten Magelang (Studi Kasus di Kecamatan Sawangan). Tesis. Program Magister
Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Tarbiah, Siti dkk. 2010. Kajian Tingkat Pendapatan Petani Sawah Irigasi dengan
Diversifikasi Pola Tanam di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Manajemen IKM Vol. 5
No. 2 : 101-110.
Tobing, Maryani Cyccu. 2009. Keanekaragaman Hayati dan Pengelolaan Serangga Hama
dalam Agroekosistem. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang
Entomologi Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
VECO Indonesia. 2007. Metode SRI dalam Budidaya Padi.
Waluyaningsih, S. R. 2008. Studi Analisis Kualitas Tanah Pada Beberapa Penggunaan
Lahan Dan Hubungannya Dengan Tingkat Erosidi Sub-Das Keduang Kecamatan
Jatisrono Wonogiri. (Tesis). Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana.
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Widjajanto, D. W. dan Sumarsono. 2005. Pertanian Organik. Badan Penerbit UNDIP,
Semarang.
78
Winarso, Sugeng. 2005. Kesuburan Tanah : Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah.
Yogyakarta : Gava Media
Yuwono, N. W. 2007. Kesuburan Dan Produktivitas Tanah Sawah. (Materi Pembekalan
Petugas Lapangan Untuk Pengambilan Sampel Tanah Kegiatan Fasilitasi Reklamasi
Lahan Dalam Mendukung Peningkatan Produksi Padi, Dinas Pertanian Propinsi DIY,
Yogyakarta. Lab.Kimia dan Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian UGM, e-mail:
nasih@ugm.ac.id
79
top related