bab 1,2,3
Post on 15-Dec-2015
225 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses menua adalah proses alamiah yang pasti akan terjadi, bahkan hingga
substansi kecil dalam tubuh kita yakni sel. Setiap penuaan hampir selalu ditandai
dengan penurunan fungsi dari berbagai macam organ. Proses penuaan penduduk
tentunya berdampak pada berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, terutama
kesehatan, karena dengan bertambahnya usia, fungsi organ tubuh akan semakin
menurun baik karena faktor alamiah maupun karena penyakit. Salah satu perubahan
fungsi organ yang dialami oleh usia lanjut adalah perubahan fungsi saraf, yang
manifestasinya adalah penurunan fungsi kognitif.
World Health Organization (WHO) mendefinisikan usia lanjut (elderly) dimulai
dari usia 60 tahun. Senada dengan batasan usia yang diberikan oleh WHO,
pemerintah melalui Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia pada pasal 1 ayat 2 juga memberikan batasan usia yang sama.
Sedangkan menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
tahun 1998 penduduk usia lanjut adalah penduduk yang mengalami proses penuaan
secara terus menerus, ditandai dengan penurunan daya tahan fisik dan rentan
terhadap penyakit yang mengakibatkan kematian. Berdasarkan beberapa pemaparan
tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa usia lanjut adalah seorang individu yang
1
berusia mulai dari 60 tahun yang mengalami penurunan fungsi tubuh dan daya tahan
fisik serta rentan terhadap penyakit yang menimbulkan kematian.
Hingga saat ini di sebelas negara di Asia Tenggara, jumlah penduduk yang
berusia di atas 60 tahun mencapai angka 142 juta jiwa dan diperkirakan akan terus
meningkat. Indonesia sendiri merupakan negara dengan struktur penduduk lanjut
usia (Aging Structured Population) karena menurut laporan sensus penduduk oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk dengan usia lanjut di
Indonesia adalah sebesar 18.043.712 jiwa atau 7.59 % dari total penduduk.
Provinsi Bangka Belitung (Babel), yang pada tahun 2010 tercatat memiliki
jumlah penduduk sebesar 1.223.296 jiwa, tercatat memiliki jumlah lansia 71.268
jiwa atau 5.82 % dari total penduduk. Dengan kata lain, jumlah lansia di Babel relatif
lebih rendah dibandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta yang memiliki jumlah
lansia 496.290 jiwa dan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan jumlah lansia 448.223
jiwa.
Kognisi adalah kemampuan untuk mengenal atau mengetahui mengenai benda
atau keadaan atau situasi, yang dikaitkan dengan pengalaman pembelajaran dan
kapasitas intelegensi seseorang. Yang termasuk dalam fungsi kognisi adalah
memori/daya ingat, konsentrasi/perhatian, orientasi, kemampuan berbahasa,
berhitung, visuospasial, fungsi eksekutif, abstraksi, dan taraf intelegensi.3 Fungsi
kognitif tersebut merupakan hasil interaksi dengan lingkungan yang di dapat secara
formal dari pendidikan maupun non-formal dari kehidupan sehari-hari. Gangguan
satu atau lebih fungsi tersebut dapat menyebabkan gangguan fungsi sosial,
pekerjaan, dan aktivitas sehari-hari.4 Selain itu adanya gangguan fungsi kognitif
2
yang tampak pada usia lanjut menunjukkan adanya risiko perkembangan penyakit
menjadi demensia, suatu gangguan kognitif yang irreversibel.
Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa penelitian mengenai gambaran
fungsi kognitif pada usia lanjut merupakan suatu hal yang penting dilaksanakan agar
aspek promotif, preventif, dan kuratif terkait gangguan kognitif yang merupakan
faktor risiko demensia pada usia lanjut dapat dikembangkan dengan baik dan
dilakukan sedini mungkin.11,17
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
masalah berupa bagaimana gambaran fungsi kognitif pada lansia di kecamatan Koba,
Provinsi Bangka Belitung tahun 2014.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif pada usia
lanjut di Kecamatan Koba, Provinsi Bangka Belitung tahun 2014.
3
2. Tujuan Khusus
Selain itu, adapun tujuan khusus dari dilakukannya penelitian ini adalah :
a. Melakukan screening gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut
b. Mengetahui karakteristik demografi penurunan fungsi kognitif pada
usia lanjut, meliputi usia, jenis kelamin, dan status pendidikan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Akademis
Sebagai sumber data mengenai gambaran gangguan kognitif pada kelompok
usia lanjut dan mengetahui metode pemeriksaan fungsi kognitif pada usia lanjut.
2. Manfaat Bagi Peneliti
a. Sebagai sarana pembelajaran dalam melakukan penelitian dan menambah
pengahuan peneliti mengenai gambaran fungsi kognitif pada usia lanjut.
b. Mempelajari penggunaan MMSE dan Mini-Cog sebagai alat screening
untuk gangguan fungsi kognitif.
3. Manfaat Bagi Masyarakat
Sebagai sumber informasi bagi masyarakat bahwa individu dengan usia
lanjut seringkali telah mengalami penurunan fungsi kognitif sebagai bagian dari
proses penuaan, serta menjadi sarana edukasi bagi masyarakat tentang
4
bagaimana menghadapi perubahan fungsi kognitif pada usia lanjut dan
bagaimana mencegah perkembangannya menjadi demensia.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fungsi Kognitif
1. Definisi
Kognitif berasal dari bahasa latin cognitio yang berarti berpikir. Proses
kognitif terdiri dari sejumlah fungsi yang kompleks dari berbagai sirkuit di otak
yang meliputi orientasi terhadap waktu, tempat, dan orang; kemampuan
memusatkan perhatian, memori, bahasa, visuospasial, dan fungsi eksekutif.7
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif
a. Usia, Pendidikan, dan Jenis Kelamin
Fungsi kognitif pada lanjut usia bergantung pada tingkat pendidikan dan
umur. (Haninnen, 2002).22,49 Semakin bertambahnya usia dan semakin rendah
tingkat pendidikan maka semakin tinggi kejadian gangguan kognitif. Wanita
lebih berisiko mengalami penurunan fungsi kognitif dibandingkan dengan
pria .22
b. Depresi
Depresi adalah masalah umum bagi sebagian besar lanjut usia. Perasaan
tidak menentu karena merasa kesepian adalah salah satu faktor utama.
Depresi berat merupakan faktor risiko independen terjadinya demensia
Alzheimer.22
6
c. Penyakit Susunan Saraf Pusat
Diantara penyakit susunan saraf pusat yang dapat mengakibatkan
gangguan kognitif adalah stroke, infeksi pada otak, tumor otak, cedera kepala
sedang dan berat. Epilepsi juga menyebabkan gangguan kognitif.22,24
d. Obat-Obatan
Obat-obatan yang mempengaruhi fungsi kognitif antara lain adalah
golongan antikonvulsan, analgetik opioid, antipsikotik, antidepresan,
stimulant susunan saraf pusat, antihistamin, dan dekongestan.22,24
3. Ranah Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir,
mengingat, belajar, dan berbahasa. Fungsi kognitif juga merupakan kemampuan
atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif
seperti merencanakan, menilai, mengawasi, dan melakukan evaluasi.47
a. Atensi
Atensi merupakan kemampuan untuk beraksi atau memperhatikan suatu
stimulus spesifik dengan mengabaikan stimulus internal maupun eksternal
lain yang tidak dibutuhkan. Setelah menentukan kesadaran, pemeriksaan
fungsi atensi harus dilakukan di awal pemeriksaan neurobehavior karena
pemeriksaan modalitas kognitif lainnya sangat dipengaruhi oleh atensi yang
cukup terjaga.47
7
Atensi dan konsentrasi sangat penting untuk mempertahankan fungsi
kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi
akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa, dan fungsi
eksekutif. Gangguan fungsi atensi dapat berupa dua kondisi berbeda,
ketidakmampuan memusatkan perhatian, perhatian yang terpecah, tidak
memiliki perhatian sama sekali, inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus
pada sisi tubuh kontralateral lesi otak.47
b. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar dalam proses komunikasi dan
merupakan modalitas dasar yang membangun fungsi kognitif. Oleh karena
itu, pemeriksaan fungsi bahasa juga perlu dilakukan di awal pemeriksaan
neurobehavior. Jika terdapat gangguang dalam berbahasa, pemeriksaan
fungsi kognitif seperti memori verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami
kesulitan atau bahkan tidak mungkin dilakukan.47
c. Memori
Memori merupakan proses bertingkat di mana informasi pertama kali
direkam dalam area korteks sensorik kemudian diolah melalui sistem limbik
sehingga terjadilah suatu proses pembelajaran. Berdasarkan rentang waktu
individu kehilangan daya ingatnya, dibedakan menjadi:47,9
1) Memori Segera (Immediate Memory)
8
Adalah kemampuan mengingat peristiwa yang baru saja terjadi, yakni
rentang waktu beberapa detik sampai beberapa menit.
2) Memori Baru (Recent Memory)
Adalah ingatan terhadap pengalaman/informasi yang terjadi dalam
beberapa hari terakhir.
3) Memori Jangka Menengah (Recent Past Memory)
Adalah ingatan terhadap peristiwa yang terjadi selama beberapa bulan
yang lalu.
4) Memori Jangka Panjang
Adalah ingatan terhadap peristiwa yang sudah lama terjadi (bertahun-
tahun yang lalu).
d. Visuospasial
Kemampuan visuospasial dapat dievaluasi melalui kemampuan
konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar dan
menyusun balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi ini
tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan mempunyai peran yang paling
dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk penapisan kemampuan
visuospasial dan fungsi eksekutif di mana berkaitan dengan lobus frontal dan
parietal.
9
4. Bentuk Gangguan Kognitif
Gangguan kognitif yang dimaksud adalah gangguan yang menyerang fungsi-
fungsi kognisi pada seseorang yang telah dipaparkan sebelumnya yakni memori/daya
ingat, konsentrasi/perhatian, orientasi, kemampuan berbahasa, berhitung,
visuospatial, fungsi eksekutif, abstraksi, dan taraf intelegensi.3
a. Memori / Daya Ingat
Adalah proses pengelolaan informasi, meliputi perekaman—penyimpanan
—pemanggilan kembali. Terdapat beberapa jenis gangguan memori/daya ingat,
yaitu :3
1) Amnesia
Adalah ketidakmampuan untuk mengingat sebagian atau seluruh
pengalaman masa lalu. Amnesia dapat disebabkan oleh gangguan organik
di otak, misalnya; pada kontusio serebri, namun dapat juga disebabkan
oleh faktor psikologik misalnya pada gangguan stress pascatrauma,
individu dapat kehilangan memori dari peristiwa yang sangat traumatis.
Berdasarkan waktu kejadian, amnesia dibedakan menjadi :
a) Amnesia Anterograd
Apabila hilangnya memori terhadap pengalaman/informasi setelah
titik waktu kejadian. Misalnya seorang pengendara motor yang
10
mengalami kecelakaan, tidak mampu mengingat peristiwa yang
terjadi setelah kecelakaan.
b) Amnesia Retrograd
Apabila hilangnya memori terhadap pengalaman/informasi
sebelum titik waktu kejadian. Misalnya seorang gadis yang terjatuh
dari atap dan mengalami trauma kepala, tidak mampu mengingat
berbagai peristiwa yang terjadi sebelum kecelakaan itu.
c) Paramnesia
Sering disebut sebagai ingatan palsu, yakni terjadinya distorsi
ingatan dari informasi/pengalaman yang sesungguhnya. Dapat
disebabkan oleh faktor organik di otak misalnya pada demensia,
namun dapat juga disebabkan oleh faktor psikologik misalnya pada
gangguan disosiasi. Beberapa jenis paramnesia antara lain :
(1) Konfabulasi
Adalah ingatan palsu yang muncul mengisi kekosongan
memori. Biasa terjadi pada orang dengan demensia.
(2) Déjà vu
11
Adalah suatu ingatan palsu terhadap pengalaman baru.
Individu merasa sangat mengenali suatu situasi baru yang
sesungguhnya belum dikenalinya.
(3) Jamais vu
Adalah kebalikan dari déjà vu yaitu merasa asing terhadap
situasi yang justru pernah dialaminya.
(4) Hiperamnesia
Adalah ingatan yang mendalam dan berlebihan terhadap suatu
pengalaman.
(5) Screen Memory
Adalah secara sadar menutupi ingatan akan pengalaman yang
menyakitkan atau traumatis dengan ingatan yang lebih dapat
ditoleransi.
(6) Letologika
Adalah ketidakmampuan yang bersifat sementara dalam
menemukan kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan
pengalamannya. Lazim terjadi pada proses penuaan atau pada
stadium awal dari demensia.
12
b. Konsentrasi / Perhatian
Adalah usaha untuk mengarahkan aktivitas mental pada pengalaman
tertentu. Gangguan perhatian meliputi ketidakmampuan memusatkan perhatian
ataupun mengalihkan perhatian. Pada gangguan kesadaran khususnya pada
delirium ketiga ranah perhatian tersebut terganggu. Terdapat beberapa jenis
gangguan perhatian/konsentrasi, yaitu :9
1) Distraktibilitas
Adalah ketidakmampuan individu untuk memusatkan dan
mempertahankan perhatian. Konsentrasinya sangat mudah teralih oleh
berbagai stimulus yang terjadi di sekitarnya. Lazim ditemui pada
gangguan cemas akut dan keadaan maniakal.
2) Inatensi Selektif
Adalah ketidakmampuan memusatkan perhatian pada objek atau
situasi tertentu, biasanya pada situasi yang membangkitkan kecemasan.
Misalnya seseorang dengan fobia simpleks tidak mampu memusatkan
perhatian pada objek atau situasi yang memicu fobianya.
3) Kewaspadaan Berlebih
Adalah pemusatan perhatian yang berlebihan terhadap stimulus
eksternal dan internal sehingga penderita tampak sangat tegang.
13
c. Orientasi
Adalah kemampuan individu untuk mengenali objek atau situasi
sebagaimana adanya. Dibedakan atas orientasi personal/orang, yaitu
kemampuan untuk mengenali orang yang sudah dikenalnya. Orientasi
ruang/spatial, yaitu kemampuan untuk mengenali tempat di mana ia berada.
Orientasi waktu, yaitu kemampuan individu mengenali secara tepat waktu di
mana individu berada. Sesuai dengan ranah yang terganggu maka dibedakan
gangguan orientasi orang, tempat, dan waktu. Gangguan orientasi sering terjadi
pada kerusakan organik di otak.
B. Gambaran Kognitif pada Usia Lanjut
Penurunan fungsi kognitif telah mendapat banyak perhatian lebih kurang dua
puluh tahun terakhir. Gangguan fungsi saraf kolinergik yang parah pada demensia,
terutama pada penurunan fungsi kognitif karena penuaan dan penyakit Alzheimer
telah terdeteksi. Maka dari itu, kehilangan aktivitas kolinergik mungkin memainkan
peranan utama pada gejala-gejala kognitif meskipun tidak dapat dijelaskan dengan
baik mengenai mekanisme yang berperan.8
Fungsi-fungsi kognitif ini bukan merupakan satu kesatuan, bukti menunjukkan
bahwa beberapa aspek konsentrasi dan memori bertahan dengan baik pada usia
lanjut, sedangkan sebagian yang lain menunjukkan penurunan fungsi yang cukup
signifikan. Persepsi, meskipun dianggap oleh banyak orang sebagai fungsi
prekognitif, juga menunjukkan penurunan yang signifikan disebabkan oleh
14
menurunnya kapasitas sensorik. Defisit pada tahap ini merupakan tanda awal
perubahan fungsi kognitif di kemudian hari.2
Fungsi kognitif yang lebih tinggi seperti kemampuan berbahasa dan pengambilan
keputusan juga dapat dipengaruhi oleh usia. Tugas-tugas ini secara alami lebih
bergantung pada fungsi dasar kognitif dan umumnya akan menunjukkan defisit
sejauh seiring dengan terganggunya fungsi-fungsi dasar. Selain itu, tugas kognitif
yang kompleks mungkin juga tergantung pada satu perangkat fungsi eksekutif, yang
mengelola dan mengkoordinasikan berbagai komponen tugas. Banyak bukti yang
menunjukkan gangguan fungsi eksekutif sebagai kontributor utama pada gangguan
fungsi kognitif pada lansia.2
C. Mekanisme Penuaan dan Pengaruhnya terhadap Fungsi Kognitif
1. Mekanisme Degeneratif
a. Radikal Bebas
Radikal bebas didefinisikan sebagai setiap atom atau senyawa yang dapat
berdiri sendiri dan mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak
berpasangan. Radikal bebas sendiri merupakan produk fisiologi dalam
berbagai kegiatan metabolisme di dalam tubuh. Pada umumnya molekul pada
tubuh merupakan molekul yang bersifat non-radikal, yaitu molekul yang
selalu memiliki elektron berpasangan. Dengan adanya radikal bebas yang
memiliki elektron tidak berpasangan maka molekul non radikal dapat terikat
dengan radikal bebas dan membentuk radikal bebas yang lainnya dengan
jenis berbeda. Radikal bebas memiliki sifat mudah berikatan dengan molekul
15
non-radikal yang memiliki berat jenis besar (makroselular), seperti protein,
karbohidrat, asam nukleat, enzim, dan lipid. Selanjutnya ikatan antara radikal
bebas dengan molekul non-radikal disebut sebagai oksidan yang kemudian
melalui reaksi oksidatif berkelanjutan, merusak berbagai makroselular
sehingga mempengaruhi homeostasis normal di dalam sel mengakibatkan
berbagai proses degeneratif seperti menua, katarak senilis, aterosklerosis, dan
gangguan fungsi kognitif.1,2,22
b. Reaksi Oksidatif
Stres oksidatif merupakan kondisi akibat gangguan keseimbangan antara
oksidan dan antioksidan, di mana adanya produksi oksidan yang berlebih
sehingga melebihi kemampuan antioksidan untuk menetralkan. Kelebihan
oksidan yang tidak dapat dinetralisasi oleh antioksidan akan melakukan
berbagai proses perusakan molekul terutama lipid membran, protein, dan
DNA.22
c. Kaskade Amiloid
Beberapa peneliti berpendapat, perbedaan yang paling mendasar antara
proses penuaan normal dengan MCI adalah pada fase di mana Beta Amiloid
diproduksi secara berlebihan. Stres oksidatif adalah salah satu penyebab beta
amiloid diproduksi secara berlebihan. Amiloid beta dapat membentuk plak
yang tak larut dan bersifat neurotoksik mengakibatkan degenerasi neural
yang berkelanjutan di hipokampus dan korteks enteroginal sehingga fungsi
kognitif, terutama neural, menjadi terganggu.22
16
2. Mekanisme Non-Degeneratif
b. Diabetes Melitus
Melalui mekanisme non-vaskular, hiperglikemia pada DM menyebabkan
inaktivasi protein antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD) sehingga
mengurangi ketahanan antioksidan dan berujung kepada neurotoksikase sel-
sel neuron di susunan saraf pusat, termasuk neuron yang bertanggung jawab
dalam fungsi kognitif. Sedangkan melalui mekanisme vaskular,
hiperglikemia menyebabkan terjadinya aterosklerosis. Proses ini pada
akhirnya akan menimbulkan gangguan perfusi otak yang berujung pada
gangguan fungsi kognitif.1,22,23
b. Hipertensi dan Hiperlipidemia
Hipertensi esensial sering dihubungkan dengan penurunan fungsi kognitif
di mana hipertensi dapat menyebabkan lesi pada substansia alba. Hipertensi
bersama dengan dyslipidemia juga merupakan faktor risiko aterosklerosis,
baik pada penderita hiperglikemia (DM) maupun non-DM. Hipertensi kronis
menimbulkan aterosklerosis melalui penurunan permeabilitas dinding
vaskular sehingga meningkatkan transport lipoprotein ke dalam dinding arteri
dan meningkatkan proliferasi sel otot polos dan sintesis matriks molekul
ekstrasel sehingga terjadi penebalan dinding arteri. 1,22,23
D. Pemeriksaan Fungsi Kognitif
17
Terdapat beberapa macam metode yang dapat digunakan untuk menilai fungsi
kognitif pada individu berusia lanjut. Para klinisi telah mengenal The Cognitive
Abilities Screening Instrument (CASI) dan Mini-Mental State Examination (MMSE)
yang merupakan instrumen untuk menilai fungsi kognitif. Namun, baik CASI
maupun MMSE yang merupakan instrumen yang telah dikenal hampir 40 tahun,
membutuhkan kemampuan berbahasa yang baik dari pemeriksa. Selain itu, Solomon
et al telah mengembangkan pula instrumen yang hanya membutuhkan waktu 8 menit
pemeriksaan, namun membutuhkan alat 16 kartu bergambar, pemeriksa yang
terlatih, dan hanya tervalidasi dalam bahasa inggris. Dengan berbagai kekurangan
ini, para peneliti berusaha untuk mengembangkan metode pemeriksaan yang
sederhana dan mudah diterima. Borson et al pada tahun 2000 kemudian
mengembangkan metode The Mini-Cog Test sebagai instrument penilaian fungsi
kognitif pada usia lanjut.26
Pada sebuah studi komparasi antara MMSE dan Mini-Cog, Borson et al
menjelaskan bahwa Mini-Cog adalah metode yang sederhana dan hanya
membutuhkan waktu separuh dari yang diperlukan untuk melakukan MMSE. Hasil
Mini-Cog juga tidak bias berdasarkan tingkat pendidikan dan bahasa dibandingkan
dengan MMSE.26 Namun, meskipun cukup sederhana dan hanya memerlukan waktu
yang cukup singkat untuk pemeriksaan, MMSE telah lebih dahulu digunakan dalam
banyak penelitian. Oleh karena itu, peneliti akan membahas MMSE dan Mini-Cog
dalam pembahasan ini.27—45
1. Mini-Mental State Examination
a. Tujuan
18
Mini-Mental State Examination (MMSE) adalah instrumen sederhana untuk
menilai fungsi kognitif, menilai orientasi, daya ingat, kalkulasi, kemampuan
membaca dan menulis, kemampuan visuospasial, dan berbahasa.5
Folstein et. al. (1975) pertama kali mempublikasikan MMSE sebagai
penilaian kuantitatif ringkas untuk fungsi kognitif. Sejak saat itu, MMSE
kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan banyak digunakan menjadi
pemeriksaan kognisi di klinik maupun digunakan untuk penelitian.18
Penilaian fungsi kognitif sangatlah penting dalam ketepatan penegakan
diagnosis dan penanganan neurologis pada umumnya. Penilaian terperinci oleh
seorang ahli neurologi membutuhkan kemampuan yang baik dan sangat
memakan waktu. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memiliki pedoman
pemeriksaan yang terstandar, sederhana, dan cepat untuk menilai fungsi kognitif
yang dapat digunakan sehari-hari oleh tenaga medis. MMSE dirancang untuk
mendeteksi pasien dengan gangguan kognitif di antara pasien psikiatri.19
MMSE adalah tes yang paling sering digunakan untuk menilai orientasi,
perhatian, kalkulasi, daya ingat segera dan jangka pendek, bahasa dan
kemampuan mengikuti perintah sederhana MMSE digunakan untuk mendeteksi
gangguan, mengikuti perjalanan penyakit, dan mengevaluasi respons pasien
terhadap terapi.6
MMSE adalah pemeriksaan yang tujuannya adalah untuk menapis adanya
gangguan kognitif, menilai keparahan gangguan, dan memonitor perubahan
melalui serangkaian pemeriksaan.19 MMSE terdiri dari bagian yang meliputi
orientasi waktu dan tempat, pengulangan, kemampuan mengingat kembali,
19
perhatian, berhitung, dan konstruksi visual. Nilai total MMSE maksimum adalah
30 (normal) dan minimum 0 (terganggu). Pemeriksaan bisa diselesaikan dalam
lima sampai sepuluh menit. Usia dan tingkat pendidikan mempengaruhi hasil
pemeriksaan MMSE.6,17,19
b. Pelaksanaan
Dibutuhkan beberapa hal dalam melaksanakan pemeriksaan dengan MMSE
diantaranya adalah :19
a) Ruangan yang tenang, pencahayaan cukup, dan menjamin privasi
pasien
b) Pena atau pensil, arloji, dan kertas kosong
c) Pasien sadar dan waspada
d) Pasien memiliki kemampuan berbahasa sesuai dengan bahasa yang
digunakan pada MMSE dan kooperatif
e) Memiliki pendengaran, penglihatan, artikulasi kata yang baik. Boleh
menggunakan alat bantu dengar dan penglihatan jika diperlukan
f) Konsistensi pemeriksa dalam memeriksa dan memberikan skor untuk
meminimalisir variabilitas
Penguji perlu menciptakan suasana yang nyaman dan bersimpati dengan
subjek untuk memudahkannya dalam menjalani pemeriksaan dan berkoordinasi.
Penjelasan sederhana mengenai tujuan dan struktur dari pemeriksaan perlu
dilakukan sebelumnya. Subjek pemeriksaan diminta untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan dengan kemampuan terbaik dan menebak jawaban
20
apabila merasa tidak yakin. Jika ada keluarga atau kerabat subjek yang
menyertai, penting untuk meminta mereka membantu subjek, termasuk bantuan
penerjemahan bila diperlukan. Pemeriksaan tidak diberikan batas waktu, tetapi
apabila subjek tidak dapat menjawab dalam waktu 10 sampai 20 detik, maka
dapat diberi nilai nol. Sedapat mungkin, ingatlah respon pasien dan mengapa
subjek tidak dapat menjawab atau melaksanakan tugas.19
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil MMSE
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, berikut ini adalah beberapa faktor
yang mempengaruhi hasil MMSE :
1) Umur
Skor MMSE cenderung merosot dengan meningkatnya umur, terutama pada
usia di atas 65 tahun. Selain itu, rentang nilai cenderung melebar berbanding
lurus dengan bertambahnya usia (Crum et al. 1993) Meskipun ketidakmampuan
melaksanakan MMSE mungkin menunjukan proses penuaan yang normal, ini
tidak ada hubungannya dengan semakin bertambah usia seseorang maka
semakin tinggi pula risiko demensia 49. Suatu penelitian yang mengukur kognitif
pada lansia menunjukkan skor di bawah cut off skrining adalah sebesar 16%
pada kelompok umur 65-69, 21% pada 70-74, 30% pada 75-79, dan 44% pada
umur 80 dan lebih. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan
positif antara usia dan penurunan fungsi kognitif (Scanlan et al, 2007) 46.
21
2) Pendidikan
Meningkatnya level pendidikan, skor MMSE cenderung meningkat11,49 dan
rentang nilai akan semakin menyempit (Crum et al. 1993). Maka, pendidikan
juga merupakan faktor yang membiaskan hasil pemeriksaan MMSE menjadi
positif palsu pada diagnosis demensia pada subjek dengan pendidikan yang
rendah. Sebaliknya, pendidikan yang lebih tinggi mungkin akan menyamarkan
gangguan kognitif dan menunjukkan hasil diagnosis negatif palsu. Pendidikan
tidak mempengaruhi perubahan nilai skor MMSE pada subjek yang normal
secara kognitif atau demensia, maka pengulangan pemeriksaan MMSE tidak
jarang terjadi.11 Pada peneliian lainnya, Kelompok dengan pendidikan rendah
tidak pernah lebih baik dibandingkan kelompok dengan pendidikan lebih tinggi
(Scanlan, 2007).46,49
3) Jenis Kelamin
Menurut Yaffe dkk (dalam Myers, 2008)46, wanita lebih berisiko untuk
mengalami penurunan kognitif. Hal ini disebabkan adanya peranan level
hormon seks endogen dalam perubahan fungsi kognitif. Estradiol diperkirakan
bersifat neuroprotektif dan dapat membatasi kerusakan akibat stress oksidatif
serta terlihat sebagai protektor sel saraf dari toksisitas amiloid pada pasien
Alzheimer. Rendahnya level estradiol dalam tubuh telah dikaitkan dengan
penurunan fungsi kognitif umum dan memori verbal.46
4) Status Sosioekonomi
22
Subjek yang berasal dari kelas sosioekonomi cenderung memiliki skor
MMSE yang rendah (Brayne & Calloway 1990; O’Connor et al. 1989). Hal ini
mungkin berhubungan dengan minimnya pendidikan. Penjelasan yang lainnya
mungkin karena terhambatnya perkembangan kognitif yang sering dialami pada
kelas sosioekonomi rendah. Atau sebaliknya, individu dengan status
sosioekonomi yang rendah memiliki risiko yang tinggi untuk terkena
demensia.14
5) Budaya, Bahasa, dan Etnis
Beberapa gagasan menyatakan bahwa skor MMSE ada hubungannya dengan
ras dan suku. MMSE dilaporkan lebih rendah pada lansia berkulit hitam dan
beberapa suku minoritas. (Parker & Philip 2004; Espino et al. 2001). Meskipun
demikian, perbedaan yang paling banyak yang perlu dipikirkan adalah
rendahnya tingkat pendidikan, status sosioekonomi, bentuk lingkungan, dan
kurangnya kemampuan berbahasa.14
6) Tempat Pemeriksaan
Subjek cenderung menunjukkan hasil yang lebih baik jika MMSE dilakukan
di rumah dibandingkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penting untuk
mempertahankan konsistensi lokasi pada pengulangan tes untuk mengurangi
variabilitas pada pemeriksaan MMSE.14
7) Pengulangan Tes
23
Pada subjek non-demensia biasanya membaik pada pemeriksaan yang
dilakukan dalam interval dua bulan. Meskipun demikian, efek ini tidak begitu
bermakna pada pasien demensia. Pengulangan tes dalam interval yang pendek
meningkatkan akurasi hasil MMSE sebagai alat deteksi dini demensia (Helkala
et al. 2002).14
d. Subtes dalam MMSE
Berikut ini adalah beberapa hal yang dilakukan dalam MMSE : 14
1) Orientasi Waktu
Minta subjek untuk menjawab tanggal, musim, bulan, tanggal, dan hari
saat ini. Berikan poin satu untuk tiap jawaban benar.
2) Orientasi Tempat
Minta subjek untuk menjawab negara, provinsi, kota
administrasi/kabupaten, nama jalan, dan tempat di mana dia berada saat ini.
Berikan poin satu untuk tiap jawaban benar.
3) Repetisi
Minta subjek untuk menyimak dengan baik karena Anda akan meminta
subjek untuk mengulang tiga kata yang Anda ucapkan. Berbicaralah dengan
jelas dank eras dan berilah jeda sekitar satu detik setiap satu huruf. Biasanya
digunakan tiga kata yang tidak saling berhubungan. Berikan poin satu untuk
tiap kata yang benar.
24
4) Perhatian dan Berhitung
Mintalah subjek untuk menghitung mundur dari 100 dengan selisih 7
5) Mengingat Kembali
Mintalah subjek untuk mengulang tiga kata yang telah dikatakan pada
pemeriksaan sebelumnya tanpa memberikan petunjuk. Berikan poin satu
untuk tiap kata yang benar.
6) Penamaan
Tunjuklah sebuah pena atau pensil dan arloji dan mintalah subjek untuk
menyebutkan nama dari benda-benda tersebut. Berikan poin satu untuk setiap
kata yang benar.
7) Repetisi
Mintalah subjek untuk menyimak dengan baik apa yang akan Anda
katakan. Katakan dengan keras dan jelas, “Ambillah kertas ini dengan tangan
kanan Anda, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai.”. Jangan ingatkan
subjek apabila subjek lupa atau tidak mengerti apa yang harus dilakukan.
Berikan poin satu untuk setiap perintah yang dilakukan dengan benar.
25
8) Komprehensi
Tunjukkanlah pada subjek selembar kertas kosong dengan tulisan,
“Pejamkan mata Anda”. Mintalah subjek membaca dan melakukan sesuai
apa yang tertulis di kertas tersebut. Pastikan pencahayaan cukup dan subjek
menggunakan alat bantu penglihatan apabila diperlukan. Berikan poin satu
apabila subjek menutup matanya.
9) Menulis
Mintalah subjek untuk menulis sebuah kalimat di selembar kertas kosong.
Pastikan pencahayaan cukup dan subjek menggunakan alat bantu penglihatan
apabila diperlukan. Apabila subjek tidak merespon perintah, mintalah subjek
untuk menulis sesuatu mengenai cuaca hari ini atau hewan kesayangannya.
Berikanlah poin satu untuk setiap kalimat yang ditulis apabila mengandung
komponen subjek dan kata kerja.
10) Menggambar
Tunjukkanlah kepada subjek dua gambar segilima yang saling
berpotongan pada satu sisinya sekitar 2 cm. Mintalah subjek untuk
menggambar ulang gambar yang serupa di selembar kertas kosong.
e. Interpretasi Nilai MMSE
Sensitivitas dan spesifisitas MMSE dalam membedakan demensia dan
normal bergantung pada batas skor, pola gangguan kognitif yang dialami,
26
keparahan penyakit, dan karakteristik subjek seperti umur, pendidikan, pengaruh
budaya, kemampuan berbahasa, dan lokasi pemeriksaan. Dengan batas nilai di
bawah 24, MMSE menjadi 87% sensitif dan 82% spesifik dalam mendeteksi
demensia dan delirium diantara pasien di bangsal umum rumah sakit (Anthony et
al. 1982). Batas nilai yang tinggi meningkatkan sensitivitas dalam mendeteksi
demensia ringan, terutama pada individu muda yang berpendidikan, tapi
mengurangi spesifisitas dan meningkatkan diagnosis positif palsu pada diagnosis
demensia pada individu lansia yang berpendidikan lebih rendah dan individu
yang berasal dari suku minoritas. MMSE lebih spesifik dan sensitif dalam
mendeteksi penurunan fungsi kognitif yang berhubungan dengan bahasa dan
memori.22
Telah banyak gagasan mengenai modifikasi MMSE untuk meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas hasil serta mengurangi segala kekurangan yang ada.
Namun, hal ini akan membuat pemeriksaan MMSE menjadi semakin lama dan
tidak sepopuler MMSE aslinya.22
Pasien dengan penyakit Alzheimer cenderung melakukan kesalahan pada saat
pemeriksaan mengingat kembali tiga kata dan memiliki orientasi waktu yang
buruk (Galasko et al. 1990; Jefferson et al. 2002). Sedangkan pasien dengan
demensia vascular, penyakit Parkinson, dan demensia lewy bodies cenderung
buruk pada perhatian, melakukan perintah, menulis kalimat, dan menggambar
segi lima yang saling berpotongan. (Jefferson et al. 2002; Ala et al. 2002).
Pasien dengan demensia fronto-temporal cenderung memiliki skor MMSE yang
tinggi dibandingkan dengan pasien Alzheimer saat pemeriksaan awal dan
27
menunjukkan penurunan perlahan setiap tahunnya. Berdasarkan fakta ini, MMSE
lebih tepat digunakan untuk mendeteksi gangguan orientasi, memori dan bahasa,
dibandingkan disfungsi lain pada demensia fronto-temporal.22
Tabel II.1 Interpretasi Skor MMSE
Skor MMSE Interpretasi
24—30 Normal
18—23 Gangguan Kognitif Ringan
0—17 Gangguan Kognitif Berat
Sumber (25)
Tabel II.2 Interpretasi Skor MMSE berdasarkan risiko Demensia
Skor MMSE Interpretasi
< 21 Kemungkinan Demensia
Besar
> 25 Kemungkinan Demensia
Lebih Kecil
Sumber (25)
2. Mini-Cog Test
a. Tujuan
Mini-Cog test adalah seperangkat instrumen penilaian untuk gangguan
kognitif yang merupakan kombinasi 3 item tes recall dan Clock-Drawing Test
28
(CDT). Tes Mini-Cog dapat dilakukan dalam waktu 3 menit tanpa
menggunakan alat-alat khusus dan tidak terpengaruh oleh tingkat pendidikan
dan ragam bahasa. Tes Mini-Cog dapat menapis gangguan kognitif berupa
gangguan memori dan fungsi eksekutif. Jika digunakan untuk mendeteksi
demensia pada usia lanjut, sensitivitas Mini-Cog mencapai 99% dan spesifitas
mencapai 93%.26
b. Pelaksanaan
1) Mintalah subjek untuk mendengar baik-baik dan mengingat tiga kata
yang tidak saling berhubungan.
2) Mintalah subjek untuk menuliskan angka seperti pada jam dinding pada
selembar kertas yang sudah terdapat gambar lingkaran. Setelah subjek
selesai menggambar, mintalah subjek untuk menggambar jarum jam
yang menunjukkan angka 11.10. Tes ini disebut sebagai CDT.
3) Mintalah subjek untuk mengulang tiga kata pada poin pertama
c. Interpretasi Hasil
1) Berilah poin 1 pada tiap kata yang berhasil diingat kembali setelah
melakukan CDT. Jika ketiga kata berhasil diulang dengan benar, maka
nilai maksimum tes adalah 3 dan nilai minimum nya adalah 0.
2) Sedangkan untuk CDT, berilah poin 2 bila benar dan poin 0 bila salah.
Pemeriksaan CDT dikatakan benar apabila semua angka yang ditulis
subjek benar dan jarum jam juga menunjukkan waktu yang diminta oleh
pemeriksa.
29
Tabel III.3 Interpretasi Skor Mini-Cog
Skor Mini-Cog Interpretasi
0 recall
Demensia1—2 recall dgn
CDT abnormal
1—2 recall dgn
CDT normal Non-Demensia
3 recall
Sumber (26)
E. Kerangka Teori
30
DM
Inaktivasi SOD
Ketahanan
Antioksidan
Berkurang
Hiperglikemia
Neurotoksikasi
Kerusakan Sel
Saraf di SSP
Aterosklerosis
Gangguan Perfusi
Dislipidemia
Hipertensi
Lingkungan
Eksternal
Radikal Bebas
Mengikat Molekul
non-Radikal
Stres Oksidatif
Metabolisme
Produksi Beta
Amiloid Berlebih
Membentuk Plak
Tak Larut
F. Kerangka Konsep
: Diteliti
: Tidak Diteliti
31
Penurunan
Fungsi Kognitif
Lesi Substantia AlbaPenyakit SSP
Obat-Obatan
Antikonvulsan
Opioid
Antipsikotik
Antidepresan
Stimulan SSP
Antihistamin
Dekongestan
Fungsi Kognitif
Usia
Jenis Kelamin
Pendidikan
Penyakit SSP
DM
Obat-Obatan
Hipertensi
Dislipidemia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan desain cross-sectional yakni
penelitian yang mengamati subjek pada satu waktu untuk mengetahui gambaran
kognitif pada usia lanjut di Kecamatan Koba. Penelitian deskriptif adalah penelitian
yang bertujuan melakukan deskripsi mengenai fenomena yang ditemukan, baik
berupa faktor risiko maupun efek atau hasil.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Koba, Provinsi Bangka Belitung.
32
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai November tahun 2014.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi penelitian adalah orang yang berusia ≥ 60 tahun yang ada di
Kecamatan Koba, Provinsi Bangka Belitung.
2. Sampel
Sampel diambil secara consecutive sampling, yaitu pemilihan subjek secara
berurutan, pada kelompok lanjut usia yang memenuhi kriteria inklusi.
D. Estimasi Besar Sampel
Besar sampel ditentukan dengan rumus :
n =
33
n = jumlah sampel minimal
α = tingkat kemaknaan = 0.05 Zα = 1.96 ~ 2
P = 0.5 (besar proporsi tidak diketahui)
Q = 1-P
d = tingkat kemelesetan yang dapat ditoleransi = 10% = 0.1
n =
n = 100 orang
E. Kriteria Inklusi
1. Berusia ≥ 60 tahun
2. Bersedia menjadi subjek penelitian
3. Skala Koma Glasgow (GCS) = 15
F. Kriteria Eksklusi
1. Sedang atau memilik riwayat penyakit SSP yang menyebabkan gangguan
kognitif (stroke, trauma kepala, infeksi otak, tumor kepala, epilepsi, psikiatri)
dalam 6 bulan terakhir yang dibuktikan dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
2. Pernah atau sedang dalam pengobatan / memakai obat-obatan / minuman
(alkohol, psikotropika, antidepresan) yang memiliki efek deteriorasi kognitif
lebih dari dua tahun yang dibuktikan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
G. Definisi Operasional
1. Usia lanjut adalah seseorang laki-laki atau perempuan yang sudah
menginjak usia 60 tahun.
34
2. Yang tergolong elderly adalah yang berusia 60—74 tahun, old adalah
yang berusia 75—90 tahun, dan very old adalah yang berusia di atas 90
tahun.
3. MMSE adalah instrumen penilaian fungsi kognitif yang digunakan pada
lansia dengan riwayat pendidikan ≥ 6 tahun, terdiri dari penilaian
orientasi, daya ingat, kalkulasi, kemampuan membaca dan menulis,
kemampuan visuospasial, dan berbahasa dengan nilai maksimal 30.
4. Tes Mini-Cog adalah instrument penilaian fungsi kognitif yang
digunakan pada lansia dengan riwayat pendidikan < 6 tahun, terdiri dari 2
komponen tes yang terdiri dari tes recall dan CDT, dengan nilai
maksimal 3.
5. Gambaran kognitif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah deskripsi
ada atau tidaknya gangguan kognitif pada seorang individu usia lanjut
yang diukur dengan menggunakan MMSE bagi yang memiliki riwayat
pendidikan ≥ 6 tahun, atau dengan Mini-Cog bagi yang memiliki riwayat
pendidikan < 6 tahun.
6. Gambaran kognitif diperoleh berdasarkan skor dan interpretasi dari tiap
metode pengukuran yang digunakan.
7. Fungsi kognitif terganggu ringan apabila skor MMSE 18—23 dan
terganggu berat 0—17, atau apabila skor Tes Mini-Cog 0 recall atau 1—2
recall dengan CDT abnormal.
8. Fungsi kognitif tidak terganggu apabila skor MMSE 24—30 atau skor
Tes Mini-Cog 1—2 recall dengan CDT normal atau nilai 3 recall.
35
H. Metode Pengumpulan Data
Data diperoleh dengan melakukan wawancara untuk mengetahui gambaran
fungsi kognitif pada lansia. Wawancara dilakukan oleh peneliti setelah melakukan
informed consent dengan subjek penelitian. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian adalah MMSE untuk yang berpendidikan ≥ 6 tahun dan pemeriksaan
Mini-Cog untuk yang berpendidikan < 6 tahun. Subjek akan diminta untuk
melakukan instruksi sesuai dengan yang instrument penilaian. Setelah itu, peneliti
akan memberikan skor pada tiap item yang dinilai dan akan dijumlahkan untuk
mendapatkan skor total.
I. Validitas Instrument
Mini-Mental State Examination (MMSE) merupakan instrumen untuk memeriksa
fungsi kognitif yang pertama kali digunakan oleh Folstein (1973) dan telah
tervalidasi. Mini-Mental State Examination (MMSE) versi Indonesia telah digunakan
pada penelitian sebelumnya oleh dr. Sidhi Purnama, Sp.S dari Departemen
Neurologi FKUI-RSCM tahun 2006, sehingga instrument tersebut telah teruji
validitas dan reliabilitasnya, maka peneliti tidak perlu melakukan uji validitas
kembali.
Tes Mini-Cog merupakan instrumen untuk memeriksa fungsi kognitif yang
pertama kali digunakan oleh Borson (2000) dan telah tervalidasi. Tes Mini-Cog versi
Indonesia telah digunakan pada penelitian sebelumnya oleh Rinnelya Agustin dari
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, sehingga instrument tersebut
36
telah teruji validitas dan reliabilitasnya, maka peneliti tidak perlu melakukan uji
validitas kembali.
J. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan setelah semua data primer yang diperoleh melalui
wawancara terkumpul. Tahap pertama yang akan dilakukan adalah memeriksa
kembali jumlah data telah sesuai dengan estimasi besar sampel yang telah dihitung
dengan rumus. Kemudian peneliti akan memeriksa kelengkapan data berupa nama,
usia, pendidikan, dan jenis kelamin. Setelah itu peneliti akan memeriksa apakah
semua data hasil wawancara sudah diberi skor sesuai dengan jenis pemeriksaan dan
item yang diperiksa. Setelah semua selesai diperiksa, peneliti akan melakukan
pengolahan data dengan aplikasi Statistical Package for Social Sciences (SPSS)
versi 14.0 dengan memastikan terlebih dahulu bahwa semua data telah dimasukkan
dengan benar. Untuk mendeskripsikan data demografi, gambaran kognitif pada
lansia dilakukan dengan perhitungan frekuensi dan presentase. Hasil penelitian ini
akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
K. Kerangka Operasional
37
Usia ≥ 60 tahun
Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi
Anamnesis
Pendidikan
< 6 tahun
Pendidikan
≥ 6 tahunTes Mini-Cog MMSESkoringPenilaian Fungsi KognitifPengolahan Data Penyajian Data
L. Etika Penelitian
1. Sebelum penelitian dimulai, usulan penelitian telah mendapatkan persetujuan
dari Bagian Akademik Program Studi Pendidikan Dokter dan pihak Fakultas
Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
2. Calon subyek penelitian diberikan penjelasan mengenai tujuan dan prosedur
penelitian yang akan dilakukan
3. Setelah memahami penjelasan yang akan diberikan, calon subjek penelitian
berhak untuk menyetujui ataupun menolak menjadi subyek (peserta)
penelitian
4. Identitas dan hasil pemeriksaan subyek penelitian dirahasiakan
38
39
top related