artikel bu kisyani
Post on 11-Aug-2015
262 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAHASA JAWA DI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA DAN BLAMBANGAN
KAJIAN DIALEKTOLOGIS
Oleh: Kisyani-Laksono
.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Bahasa Jawa di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan menarik untuk dikaji secara
dialektologis karena kedekatan daerah itu secara geografis dengan dengan wilayah yang
berbahasa Madura dan Bali.
Daerah Jawa Timur bagian utara yang dimaksudkan dalam penelitian ini
meliputi: Kabupaten Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Jombang, Mojokerto,
Sidoarjo, Pasuruan, dan Kotamadya Surabaya. Adapun yang dimaksudkan dengan
daerah Blambangan adalah daerah Blambangan yang berbahasa Jawa (cf. Wurm dan
Hattori, 1983).
Daerah Blambangan adalah daerah yang namanya telah disebut sejak abad ke-14
pada prasasti gunung Butak. Wilayah Blambangan ini pada awalnya merupakan negeri
yang dikelilingi laut di sebelah utara, timur, dan selatan, dan di barat dibatasi garis utara-
selatan yang melampaui Gunung Bromo dan Lumajang (cf. Arifin, 1995: 263,321;
Oetomo, 1993: 69). Ibu kotanya saat itu di Lumajang dan dipimpin oleh Aria Wiraraja
(sekitar tahun 1294). Hal ini berarti, Blambangan saat itu mencakup wilayah yang
sekarang bernama Kabupaten Pasuruan (sebagian), Probolinggo, Situbondo,
Bondowoso, Banyuwangi, Jember, dan Lumajang.
Berbagai pasang surut wilayah telah dialami Blambangan dan pada tahap
terakhir (saat ini), Blambangan identik dengan Kabupaten Banyuwangi. Dalam
pemerintahan, nama Kabupaten Banyuwangilah yang menjadi nama resmi, walalupun
nama Blambangan masih melekat erat pada masyarakatnya.
Jika diperhatikan, wilayah Blambangan pada tahap awal menunjukkan bahwa
daerah itu mencakup juga daerah Jawa Timur bagian utara yang berbahasa Madura
(Kabupaten Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso). Oleh karena itu, judul dalam
penelitian ini merujuk pada wilayah "Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan".
Andaikan ketiga kabupaten itu berbahasa Jawa, tentulah ketiga kabupaten itu termasuk
dalam wilayah penelitian. Akan tetapi, ketiga kabupaten itu masyarakatnya berbahasa
Madura. Oleh karena itu, Blambangan dalam penelitian ini hanya merujuk pada
kabupaten di ujung timur (tenggara), yaitu kabupaten Banyuwangi. Adapun Kabupaten
Jember dan Lumajang tidak termasuk dalam wilayah penelitian karena kedua daerah ini
secara geografis berada di sisi selatan Jawa Timur.
2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengidentifikasikan dialek dan subdialek bahasa Jawa
di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan; (2) mendeskripsikan bentuk-bentuk
linguistik bahasa Jawa di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan (BJJTB); (3)
mendeskripsikan situasi saling pengaruh antarbahasa dan keberadaan daerah relik dan
daerah inovatif di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan.
3. Kegunaan
Bahasa Jawa di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan ini menarik untuk dikaji
secara dialektologis karena di samping berbatasan dengan wilayah pakai bahasa Madura
dan Bali, pada peta bahasa Wurm dan Hattori (1983) terlihat bahwa dialect boundary
(batas dialek) bahasa Jawa di Pulau Jawa hanya terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah
bagian barat (hasil penelitian Nothofer, 1980). Batas dialek itu belum terdapat di Jawa
Tengah bagian timur dan Jawa Timur. Oleh karena itu, penelitian ini dapat
menyumbangkan dialect boundary untuk pemetaan bahasa Jawa.
Selain itu, secara umum, kegunaan peta bahasa ialah sebagai berikut (Lauder,
1993: 35): (1) dari peta bahasa dapat dibuat peta bunyi sehingga dapat dilihat kaidah
fonotaktik bahasa/dialek yang diteliti, (2) dapat lebih mempermudah rekonstruksi
bahasa, (3) dapat melokalisasi konsep budaya tertentu yang tecermin dalam kosakata, (4)
dapat dimanfatkan oleh dinas kesehatan untuk membuat ramalan peta penyebaran wabah
2
penyakit karena batas penyebaran epidemi pada umumnya sejalan dengan batas
bahasa/dialek.
Selanjutnya, penelitian ini juga diharapkan berguna sebagai bahan masukan
bagi pusat bahasa, Javanologi, dan beberapa instansi yang terkait, misalnya: pemerintah
daerah, penyusun kurikulum (sebagai bahan pertimbangan muatan lokal), dan para
penyuluh yang sedang/akan berada di DP.
B. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori
1. Tinjauan Pustaka
Penyebutan dan pembagian bahasa, dialek, dan subdialek (khususnya di Jawa Timur)
tidak selalu sama. Bahkan sering istilah "bahasa" dikacaukan dengan "dialek". Hal itu
tampak dalam pendapat beberapa ahli berikut ini.
Uhlenbeck (1964: 64) menyebutkan bahwa karya Kats dalam "Serat Warna Sari
Djawa" tahun 1929 memuat dialog pendek dalam bahasa (dialek) Jawa Surakarta,
Yogyakarta, Kebumen, Banyumas, Sukawati, Madiun, Pasuruan, Kediri, Surabaya,
Probolinggo, Butuh (Kutaarja), Banten, Kudus, Blora, Tengger. Selain itu, Mardjana
dalam "Lajang Isi Kawroeh Bab Basa Djawa Sawetara" memuat teks pendek yang
dimuat dalam sembilan dialek yang berbeda, yaitu dialek : (1) Surabaya, Malang,
Pasuruan; (2) Semarang; (3) Blora; (4) Brebes, Tegal, Pekalongan; (5) Banyumas,
Bagelen; (6) Madiun, Kediri; (7) Banten; (8) Indramayu, Cirebon; (9) Banyuwangi.
Soedjito dkk. (1986: 2) menyebutkan adanya dialek Banyumas, Tegal, Yogya,
Solo, Surabaya, Samin, Osing. Adapun Poerwadarminta (Soedjito dkk, 1981: 2)
memperkirakan bahwa dialek-dialek di Jawa Timur (oleh Soedjito disebut: subdialek)
terdiri atas: (1) Dialek Tuban, Gresik, Surabaya; (2) Dialek Malang dan Pasuruan;
(3) Dialek Banyuwangi. Bahkan Molejono dkk. (1986: ix) menyebutkan bahwa Jawa
Timur mempunyai bermacam-macam bahasa daerah, yang meliputi: bahasa Jawa,
bahasa Madura, bahasa Using1, bahasa Tengger. Disebutkan lagi bahasa-bahasa itu
1 Penulisan Using disesuaikan dengan tulisan asli dari penulisnya (dengan huruf u). Adapun secara umum, disertasi ini akan menggunakan penulisan Osing untuk penyebutan secara umum (dengan huruf o: sesuai dengan pelafalan dan kelaziman penulisannya pada saat ini).
3
masih mempunyai variasi dialek yang cukup banyak. Di sini tampak kesimpang-siuran
penggunaan istilah "bahasa" dan "dialek" .
Berdasarkan hal itu, terlihat bahwa wilayah kebahasaan di Surabaya sering
disebut dialek atau subdialek; wilayah Using disebut bahasa Using, dialek Banyuwangi,
subdialek Banyuwangi, atau dialek Osing; wilayah Tengger disebut bahasa Tengger
atau dialek Tengger. Istilah dialek Surabaya dan bahasa Osing juga muncul pada "Peta
bahasa Daerah di Jawa Timur" (Lembaga Bahasa Nasional, 1972). Berdasarkan data
administratif, disimpulkan bahwa daerah Jawa Timur bagian utara merupakan daerah
yang berbahasa Jawa Pesisir (Kabupaten Bojonegoro, Tuban, Lamongan), berbahasa
Jawa Timur dialek Surabaya (Kotamadya Surabaya, Kabupaten Gresik, Sidoarjo,
Mojokerto, Jombang), berbahasa Madura-Jawa (Kabupaten Pasuruan, Probolinggo,
Situbondo, Bondowoso), dan berbahasa Osing (Kabupaten Banyuwangi).
Selanjutnya, dengan berdasarkan peta yang dibuat oleh Wurm dan Hattori
(1983), daerah Jawa Timur bagian utara merupakan wilayah yang meliputi daerah yang
berbahasa Jawa, campuran Jawa-Madura, dan daerah yang berbahasa Madura.
Sampai saat ini, kajian dialektologis yang menindaklanjuti peta Wurm dan
Hattori itu, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian timur belum ada. Akan
tetapi, penelitian tentang hal-hal yang terkait memang pernah dilakukan. Hanya pada
umumnya tinjauannya bersifat sinkronis, misalnya: penelitian-penelitian yang disponsori
Pusat Bahasa, antara lain tentang Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Jawa Dialek
Jawa Timur (1981); Geografi Bahasa Jawa Dialek Tengger (1985); Geografi Dialek
Banyuwangi (1981); Geografi Dialek Bahasa Jawa Solo (1979), Geografi Dialek
Bahasa Jawa di Yogyakarta (1980); Geografi Dialek Bahasa Jawa Kabupaten
Pasuruan (1983); Geografi Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Surabaya (1984).
Selain itu, penelitian sistem bahasa Jawa juga telah banyak dilakukan, di
antaranya oleh Uhlenbeck (1982) dalam Kajian Morfologi Bahasa Jawa; Sudaryanto
(Ed.) dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa (1991). Penelitian lain yang disponsori
Pusat Bahasa di antaranya: Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Jawa Dialek Jawa
Timur (1981), Kata Tugas Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur (1982); Struktur Bahasa
4
Jawa Dialek Tengger (1984); Sistem Perulangan Bahasa Jawa Dialek Banyuwangi
(1985); Sistem Perulangan Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur (1985), Morfologi Kata
Kerja Bahasa Jawa Dialek Tengger (1985), Verba Transitif Dialek Osing (1985);
Morfologi dan Sintaksis Bahasa Jawa (1986); Sistem Morfologi Kata Benda dan Kata
Sifat Bahasa Jawa Dialek Banyuwangi (1986); Fonologi Bahasa Jawa Dialek Jawa
Timur (1987).
Majalah Medan Bahasa (Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan, 1953: 315)
juga pernah mendeskripsikan logat-logat bahasa Jawa: Gresik, serta logat Jawa-Tengger.
Adapun penelitian yang merambah pada kajian diakronis dilakukan oleh
Nothofer. Dalam “Tinjauan Sinkronis dan Diakronis Bahasa Jawa di Jawa Barat dan di
Jawa Tengah (Bagian Barat)”. Nothofer (1990) berpendapat bahwa dialek bahasa Jawa
yang terdapat di sebelah barat dialek Jogya (kecuali Purworejo) merupakan dialek yang
lebih konservatif daripada dialek Jogya, yaitu memperlihatkan ciri yang mirip dengan
bahasa Jawa Kuna (BJK).
Dalam hal tingkat tutur, Poedjosoedarmo (1979:3) menyatakan bahwa tingkat
tutur ialah variasi-variasi bahasa yang perbedaan antara yang satu dan lainnya ditentukan
oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara terhadap mitra bicara. Dalam
hal ini, tingkat tutur itu dibedakan menjadi: ngoko, madya, dan krama.
(Poedjosoedarmo, 1979: 34).
2. Landasan Teori
Secara umum, dialektologi dapat disebut sebagai studi tentang dialek tertentu atau
dialek-dialek suatu bahasa. Selain itu, dalam arti luas penelitian dialektologi berupaya
memerikan perbedaan pola linguistik, baik secara horisontal (diatopis) yang mencakup
variasi geografis maupun yang vertikal (sintopis) yang mencakup variasi di suatu
tempat. Variasi di suatu tempat yang bersifat sintopis ini dapat pula merambah pada
kajian dialek sosial yang melibatkan faktor-faktor sosial (cf. Chambers dan Trudgill,
1980: 712; Mahsun, 1995: 1819; Poedjosoedarmo, Tanpa Tahun: 89).
5
Pada dasarnya, dialek merupakan variasi bahasa yang memiliki sistem lingual
yang tersendiri, dipakai oleh sekelompok penutur di tempat tertentu, tetapi di antara
kelompok penutur itu dengan kelompok lainnya (yang masih terikat dalam satu bahasa)
masih terdapat “pemahaman timbal balik”.
Selanjutnya, kemungkinan adanya pengaruh bahasa Madura ke dalam bahasa
Jawa di Jawa Timur tampaknya tidak terlepas dari kondisi geografis Jawa Timur yang
berdekatan dengan Pulau Madura. Dari sisi linguistik, hal ini berkaitan dengan teori
perluasan suatu bahasa, yaitu teori gelombang (wave theory) yang dikemukakan oleh
Johannes Schmidt pada tahun 1872. Menurut teori ini, bahasa-bahasa yang digunakan
secara berantai pada suatu wilayah tertentu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang
terjadi pada suatu tempat tertentu. Dalam hal ini, suatu perubahan akan meluas (seperti
gelombang) dari daerah inti dan tidak akan berhenti pada batas dialek karena kadang-
kadang dapat meluas mempengaruhi lebih dari satu dialek bahkan dapat juga melampaui
batas antarbahasa (biasanya terjadi pada bahasa-bahasa yang sekerabat).
C. Metode Penelitian dan Cara Analisis
Untuk mencapai tujuan penelitian, yaitu pengidentifikasian dialek dan subdialek bahasa
Jawa di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan digunakan metode cakap dan simak
(Sudaryanto, 1993). Metode cakap digunakan dengan teknik pancing, cakap semuka,
dan teknik rekam; sedangkan metode simak dengan teknik sadap, catat, dan rekam. Data
yang diperoleh dengan menggunakan metode ini dianalisis dengan metode padan, teknik
hubung banding membedakan dan menyamakan. Data ini diperoleh dari informan yang
memenuhi persyaratan tertentu (cf. Mahsun, 1995; Ayatrohaedi, 1983; Chambers dan
Trudgill, 1990). Mereka berasal dari 35 DP (nama dan nomor DP terdapat dalam
lampiran 2). Di sini digunakan daftar tanyaan yang terdiri atas 829 glos dalam 20
medan makna dan digunakan juga 100 kalimat.
6
Selanjutnya, dilakukan pemilahan pada jenis perbedaan leksikal, fonologis,
morfologis, atau zero2 serta dilakukan tabulasi data (cf. Thomas, 1988).
Kemudian, pengidentifikasian dialek atau subdialek didasarkan pada rumus
dialektometri sebagai berikut (Guiter dalam Mahsun, 1995: 118).
S = jumlah beda dengan DP lainn = jumlah peta yang dibandingkand = jarak kosakata dalam persentase
Hasil yang diperoleh dari penghitungan dialektometri ini (d: jarak kosakata
dalam persentase) akan digunakan untuk menentukan hubungan antar-DP dengan
kriteria sebagai berikut.
1) Perbedaan dalam tataran leksikal
81% ke atas : dianggap perbedaan bahasa51%—80% : dianggap perbedaan dialek31%—50% : dianggap perbedaan subdialek21%—30% : diangap perbedaan wicaradi bawah 20% : dianggap tidak ada perbedaan
2) Perbedaan dalam tataran fonologis
17% ke atas : dianggap perbedaan bahasa12%--16% : dianggap perbedaan dialek8%--11% : dianggap perbedaan subdialek4%--7% : dianggap perbedaan wicara0%--3% : dianggap tidak ada perbedan
Selain itu digunakan pula berkas isoglos dan penghitungan permutasi.
D. Hasil Penelitian
2 Dari 829 glos ini, terdapat 416 glos yang mengandung perbedaan leksikal, 278 glos mengandung perbedaan fonologis, 2 glos mengandung perbedaan morfologis, dan 133 glos tanpa perbedaan (zero). Akan tetapi, perbedaan morfologis (dan sintaksis) tidak dibahas di sini.
7
1. Identifikasi Dialek dan Subdialek
a. Penghitungan Dialektometri Leksikal
Penghitungan dialektometri leksikal didasarkan pada 416 perbedaan leksikal yang
diawali dengan penghitungan per medan makna. Berdasarkan hal itu, dilakukan
penjumlahan secara keselurruhan sehingga diperoleh kelompok pembagian sebagai
berikut.
(1) DP yang tidak menunjukkan perbedaan atau jarak kosakata dengan persentase
0%20% terdapat di antara DP 1--3, 2--3, 2--4, 3--5, 6--7, 6--21, 7--8, 9--10, 10--
11, 11--13, 12--13, 13--14, 13--15, 15--26, 16--28, 19--20, 21--22, 21--23, 24--25,
26--27, 28--29, 32--33, 34--35.
(2) DP yang menunjukkan perbedaan wicara dengan persentase 21%30% terdapat di
antara DP 1--2, 1--5, 1--10, 3--4, 4--5, 4--6, 4--7, 5--6, 5--9, 5--10, 6--14, 6-- 19, 6--
20, 8--18, 9--11. 9--13. 9--14, 10--12, 11--12, 12--16, 12-- 17, 13--17, 14--15, 14--21,
14-- 22, 15--17, 15--22, 15--25, 16--17, 16--26, 16--29, 17--26, 18--19, 20--21, 22--
23, 22--24, 22--25, 23--24, 25--26, 25--27, 26--28, 27--28.
(3) DP yang menunjukkan perbedaan subdialek dengan persentase 31%50% terdapat
di antara DP 5--14, 7--18, 7--19, 20--23, 27--31, 28--31, 29--30,
29--31, 30--31, 30--34.
(4) DP yang menunjukkan perbedaan dialek dengan persentase 51%80% terdapat di
antara DP 30--33, 31--32, 31--33, 32--35, 33--34, 33--35.
5) DP yang menunjukkan perbedaan bahasa dengan persentase 81%100% tidak
didapatkan.
Berikut ini adalah tabel dialektometri leksikal secara keseluruhan.
Tabel 1: Dialektometri Leksikal
No. DP % No. DP % No. DP % No. DP %1--2 22 7--18 32 15--22 21 26--27 201--3 18 7--19 31 15--25 23 26--28 241--5 23 8--18 27 15--26 20 27--28 241--10 24 9--10 20 16--17 23 27--31 372--3 20 9--11 24 16--26 25 28--29 192--4 19 9--13 21 16--28 20 28--31 43
8
3--4 22 9--14 26 16--29 27 29--30 313--5 19 10--11 19 17--26 23 29--31 344--5 25 10--12 22 18--19 23 30--31 424--6 23 11--12 21 19--20 17 30--33 624--7 27 11--13 18 20--21 25 30--34 465--6 29 12--13 18 20--23 34 31--32 615--9 26 12--16 22 21--22 16 31--33 615--10 26 12--17 27 21--23 20 32--33 155--14 33 13--14 20 22--23 24 32--35 566--7 15 13--15 20 22--24 22 33--34 596--14 25 13--17 25 22--25 21 33--35 566--19 29 14--15 26 23--24 24 34--35 106--20 29 14--21 26 24--25 196--21 19 14--22 25 25--26 227--8 18 15--17 22 25--27 21
Tabel ini dapat dipetakan dalam peta segibanyak-dialektometri sebagai berikut.
Penghitungan dialektometri leksikal per medan makna yang hasilnya paling
mendekati penghitungan pada keseluruhan peta leksikal (memperlihatkan kesejajaran)
adalah hasil penghitungan pada medan makna D. BAGIAN TUBUH MANUSIA. Hal ini
sejalan dengan hasil temuan Lauder (1993: 213) yang juga menyatakan bahwa hasil
9
penghitungan dialektometri pada semua peta leksikal menunjukkan kesejajaran dengan
hasil penghitungan dialektometri medan makna Bagian Tubuh.
Berdasarkan hasil akhir penghitungan dan peta dialektometri leksikal di atas
terlihat bahwa bahasa Jawa di daerah Jawa Timur bagian utara dan Blambangan terdiri
atas dua dialek, yaitu dialek di bagian barat dan dialek di bagian timur-laut (dialek
Osing: DP 32 dan 33). Adapun subdialek membatasi daerah Blambangan/Banyuwangi
bagian selatan (DP 34,35) dengan daerah di sebelah baratnya, Daerah Keduwung di
Tengger (DP 30) dengan daerah di sebelah barat dan sebagian timurnya, Daerah Rowo
Gempol di Pasuruan (DP 31) dengan daerah di sebelah baratnya, Daerah Gresik (DP 20)
dengan Surabaya (DP 23), Daerah Lamongan (DP 7) dengan Gresik (DP 18, 19), dan
daerah Bojonegoro (DP 5) dengan Mojokerto (DP 14).
Hasil penghitungan dialektometri leksikal ini ternyata juga didukung oleh peta
berkas isoglos leksikal secara keseluruhan. Berikut ini adalah peta berkas isoglos
leksikal yang dimaksudkan.
Peta 2. Berkas Isoglos Leksikal
Peta berkas isoglos leksikal yang dihimpun dari peta berkas isoglos per medan makna ini
juga menunjukkan bahwa garis yang sangat banyak memisahkan DP 32 , 33 dengan DP
10
lainnya. Berdasarkan penghitungan dialektometri, DP 32 dan DP 33 adalah DP yang
merupakan dialek.
b. Penentuan Isolek Secara Fonologis
Penghitungan perbedaan fonologis didasarkan pada 829 glos. Dari jumlah ini terdapat
278 peta fonologis yang terdiri atas beberapa perbedaan. Berikut ini adalah tabel yang
memperjelas hal itu.
Tabel 2: Rincian Jumlah Perbedaan Fonologis
No. Uraian Contoh3 Jumlah1 - -h gte gth 'darah' 182 i e pit pet 'ayam' 16
u o gun gon 'gunung' 193 -h -h spulh spulh 'sepuluh' 3
-h h puth puth 'putih' 64 - -a mt mata 'mata' 105 - - dw dw 'panjang' 336 - -k ana anak 'anak' 207 w- - wuth uth 'utuh' 58 4 silabe~3 silabe~2 silabe alaala ~laala ~ lala
'daun ilalang'1
4 silabe ~ 2 silabe plataran ~ latar 'halaman' 13 silabe ~2 silabe lmbay ~ mbay 'daun
kacang panjang'8
2 silabe ~ 1 silabe rb ~ b 'rebung' 69 Epentesis [y] /palatisasi aba abya 'merah' 5210 Epentesis [a] pada silabe
ultima siji sijai 'satu' 27
11 Yang lain part pard 'parut' 53Jumlah 278
1) Penghitungan Dialektometri Fonologis
Dialektometri fonologis tidak dapat dihitung per medan makna karena satu perbedaan
dapat dijumpai pada beberapa medan makna. Jadi, penghitungan dialektometri fonologis
harus dilakukan secara keseluruhan.
3 Tanda merujuk pada korespondensi, sedangkan tanda ~ merujuk pada variasi.
11
Berdasarkan penghitungan dialektometri fonologis diperoleh kelompok
pembagian sebagai berikut.
(1) DP yang tidak menunjukkan perbedaan atau jarak kosakata dengan persentase
0%3% terdapat di antara DP 1--2, 1--3,, 1--10, 2--3. 2--4, 3--4, 3--5, 5--6,
6--7, 7--8, 9--10, 10--11, 11--12, 11--13, 12--13, 12--16, 13--14, 13--17,
14--15, 14--22, 16--17, 16--28, 19--20, 20--21, 20--23, 21--22, 21--23, 22--23, 22--24,
22--25, 23--24, 24--25, 26--27, 26--28, 27--28, 28--29, 32--33, 34--35.
(2) DP yang menunjukkan perbedaan wicara dengan persentase 4%7% terdapat di
antara DP 1--5, 4--5, 4--6, 4--7, 5--9, 5--10, 5--14, 6--14, 6--19, 6--20, 6--21, 7--18,
8--18, 9--11, 9--13, 9--14, 10--12, 12--17, 13--15, 14--21, 15--17,
15--22, 15--25, 15--26, 16--26, 16--29, 17--26, 18--19, 25--26, 25--27, 27--31, 28--31,
29--30, 29--31, 30--31, 30--34.
(3) DP yang menunjukkan perbedaan subdialek dengan persentase 8%11% terdapat di
antara DP 7--19, 30--33.
(4) DP yang menunjukkan perbedaan dialek dengan persentase 12%16% terdapat di
antara DP 31--32, 31--33, 32--35, 33--34, 33--35.
(5) DP yang menunjukkan perbedaan bahasa dengan persentase 17%100% tidak
didapatkan.
Berikut ini adalah tabel dan peta dialektometri fonologis yang dimaksudkan.
Tabel 3: Dialektometri Fonologis
No. DP % No. DP % No. DP % No. DP %1--2 3 7--18 6 15--22 4 26--27 21--3 1 7--19 9 15--25 5 26--28 31--5 4 8--18 4 15--26 4 27--28 21--10 3 9--10 2 16--17 3 27--31 52--3 2 9--11 4 16--26 4 28--29 32--4 0 9--13 4 16--28 3 28--31 53--4 2 9--14 4 16--29 4 29--30 43--5 3 10--11 3 17--26 4 29--31 54--5 4 10--12 4 18--19 5 30--31 54--6 4 11--12 1 19--20 3 30--33 104--7 4 11--13 2 20--21 3 30--34 65--6 3 12--13 1 20--23 3 31--32 12
12
5--9 4 12--16 3 21--22 3 31--33 135--10 5 12--17 4 21--23 2 32--33 25--14 6 13--14 2 22--23 3 32--35 126--7 3 13--15 4 22--24 3 33--34 126--14 4 13--17 3 22--25 3 33--35 126--19 6 14--15 3 23--24 1 34--35 26--20 6 14--21 5 24--25 36--21 5 14--22 3 25--26 47--8 3 15--17 4 25--27 4
Hasil penghitungan dialektometri secara fonologis (dari 278 peta yang ada)
ternyata tidak banyak berbeda dengan hasil penghitungan dialektometri leksikal. Hasil
penghitungan secara fonologis menunjukkan bahwa DP 33 dan 34 merupakan dialek
tersendiri. Batas subdialek, seperti halnya dialektometri leksikal, juga dijumpai antara
daerah Lamongan dan Gresik.
2) Penghitungan Perbedaan Leksikal dan Fonologis
Hasil penghitungan perbedaan leksikal dapat dibandingkan dengan hasil penghitungan
perbedaan fonologis. Berikut ini adalah tabel perbandingan yang menunjukkan hal itu.
Tabel 4: Perbandingan Hasil Penghitungan Perbedaan Leksikal dan Fonologis
No. DP PL PF No. DP PL PF No. DP PL PF No. DP PL PF1--2 W T 7--18 S W 15--22 W W 26--27 T T1--3 T T 7--19 S S 15--25 W W 26--28 W T1--5 W W 8--18 W W 15--26 T W 27--28 W T1--10 W T 9--10 T T 16--17 W T 27--31 S W2--3 T T 9--11 W W 16--26 W W 28--29 T T2--4 T T 9--13 W W 16--28 T T 28--31 S W3--4 W T 9--14 W W 16--29 W W 29--30 S W3--5 T T 10--11 T T 17--26 W W 29--31 S W4--5 W W 10--12 W W 18--19 W W 30--31 S W4--6 W W 11--12 W T 19--20 T T 30--33 D S4--7 W W 11--13 T T 20--21 W T 30--34 S W5--6 W T 12--13 T T 20--23 S T 31--32 D D5--9 W W 12--16 W T 21--22 T T 31--33 D D5--10 W W 12--17 W W 21--23 T T 32--33 T T5--14 S W 13--14 T T 22--23 W T 32--35 D D6--7 T T 13--15 T W 22--24 W T 33--34 D D6--14 W W 13--17 W T 22--25 W T 33--35 D D6--19 W W 14--15 W T 23--24 W T 34--35 T T6--20 W W 14--21 W W 24--25 T T6--21 T W 14--22 W T 25--26 W W7--8 T T 15--17 W W 25--27 W W
KETERANGAN
13
PL = perbedaan leksikal, PF = perbedaan fonologi, T = tidak ada perbedaan, W = beda wicara, S = beda subdialek, D = beda dialek
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa ada beberapa perbedaan antara hasil
penghitungan leksikal dan fonologis. Akan tetapi, patut dicermati bahwa perbedaan itu
tidak pernah lebih dari satu tingkatan (Misalnya: beda dialek dengan beda wicara). Jadi,
perbedaan itu merupakan perbedaan satu tingkatan (Misalnya: beda wicara dengan beda
subdialek), dan jumlah yang berbeda lebih sedikit dari jumlah yang sama (32 dari 91) .
3) Penggabungan Perbedaan Leksikal dan Fonologis
Untuk menyatukan peta leksikal dan fonologis digunakan dasar sebagai berikut:
Penentuan perbedaan suatu daerah dengan daerah lain menggunakan dasar perbedaan
yang paling tinggi. Misalnya: secara leksikal daerah A dan B berbeda dialek, sedangkan
secara fonologis berbeda subdialek. Dalam penyatuan peta (secara leksikal dan
fonologis) daerah A dan B tergolong berbeda dialek. Hal ini dilakukan dengan alasan
jika suatu daerah telah dinyatakan pada perbedaan yang lebih tinggi, berarti perbedaan
itu meliputi juga pada perbedaan pada tingkatan di bawahnya.
4) Penentuan Isolek Secara Leksikal dan Fonologis
Penyatuan hasil penghitungan leksikal dan fonologis akan menentukan tingkatan
perbedaan antar-DP. Berikut ini adalah tabel dan peta yang menunjukkan hal itu.
Tabel 5: Penyatuan Hasil Penghitungan Leksikal dan Fonologis
No. DP BEDA No. DP BEDA No. DP BEDA No. DP BEDA1--2 W 7--18 S 15--22 W 26--27 T1--3 T 7--19 S 15--25 W 26--28 W1--5 W 8--18 W 15--26 W 27--28 W1--10 W 9--10 T 16--17 W 27--31 S2--3 T 9--11 W 16--26 W 28--29 T2--4 T 9--13 W 16--28 T 28--31 S3--4 W 9--14 W 16--29 W 29--30 S3--5 T 10--11 T 17--26 W 29--31 S4--5 W 10--12 W 18--19 W 30--31 S4--6 W 11--12 W 19--20 T 30--33 D4--7 W 11--13 T 20--21 W 30--34 S5--6 W 12--13 T 20--23 S 31--32 D5--9 W 12--16 W 21--22 T 31--33 D5--10 W 12--17 W 21--23 T 32--33 T5--14 S 13--14 T 22--23 W 32--35 D6--7 T 13--15 W 22--24 W 33--34 D
14
6--14 W 13--17 W 22--25 W 33--35 D6--19 W 14--15 W 23--24 W 34--35 T6--20 W 14--21 W 24--25 T6--21 W 14--22 W 25--26 W7--8 T 15--17 W 25--27 W
KETERANGANT = tidak ada perbedaan S = beda subdialekW = beda wicara D = beda dialek
Berdasarkan hasil pemetaan gabungan dialektometri leksikal dan fonologis ini
(peta 4) dapatlah dikemukakan istilah dialek Osing, subdialek Banyuwangi Selatan,
subdialek Bojonegoro, subdialek Gresik, subdialek Lamongan, subdialek Mojokerto,
subdialek Pasuruan, subdialek Rowogempol, subdialek Sidoarjo, subdialek Surabaya,
dan subdialek Tengger.
Secara geografis, daerah Osing dipisahkan dengan deretan gunung dan
pegunungan dengan daerah di sebelah baratnya. Daerah ini juga merupakan daerah yang
berbatasan dengan daerah pakai bahasa Madura di sebelah barat dan utara, daerah pakai
bahasa Jawa di sebelah selatan, dan daerah pakai bahasa Bali di sebelah Timur. Situasi
geografis ini memang memungkinkan daerah Osing menjadi daerah dengan ciri
tersendiri yang ternyata terwujud dalam "dialek", yaitu dialek Osing.
Daerah Banyuwangi Selatan (DP 34 dan 35) merupakan daerah yang bernenek
moyang masyarakat Jawa Tengah. Daerah ini juga dipisahkan dengan deretan
15
pegunungan dengan daerah di sebelah baratnya. Dulu (sampai dengan awal abad XX),
daerah ini merupakan daerah hutan belantara. Pembukaan jalan kereta api dari Kalisat ke
Banyuwangi pada awal abad XX (tahun 1901) oleh Belanda mulai menarik minat
masyarakat ke daerah itu. Dengan kata lain, Belandalah yang berinisiatif mendatangkan
masyarakat dari Jawa Tengah untuk membuka hutan dan membuat perkebunan di
daerah itu. Akhirnya, mereka menetap di daerah itu dan beranak cucu sampai sekarang.
Oleh sebab itu, banyak kosakata yang sama dengan kosakata dialek standar. Situasi
geografis yang terwujud lewat batas pegunungan dengan daerah di sebelah baratnya dan
jumlah mereka yang semakin bertambah ikut membantu mereka membentuk masyarakat
tersendiri yang mempertahankan pemakaian isoleknya. Hal ini ternyata mendukung
kedudukan isolek mereka sebagai subdialek tersendiri yang disebut dengan subdialek
Banyuwangi Selatan. Kedekatan subdialek ini dengan dialek standar tecermin dengan
kedekatan daerah ini dengan daerah-daerah di Jawa Timur bagian barat pada
penghitungan permutasi.
Daerah Bojonegoro (DP 5) dengan daerah Mojokerto (DP 14) merupakan daerah
yang secara geografis dibatasi dengan hutan yang panjang. Angkutan umum pun tidak
dapat sekali jalan. Hal ini tampaknya ikut mendukung adanya batas subdialek sehingga
terwujud subdialek Bojonegoro dan subdialek Mojokerto.
Jika diperhatikan dengan lebih saksama, peta 4 ternyata juga menunjukkan
adanya daerah yang "menghubungkan" mata rantai pemahaman antara daerah Tuban
dan Bojonegoro dengan daerah Lamongan, Gresik, Surabaya, dan Mojokerto. Daerah
yang dimaksudkan adalah DP 6 (Desa Babat, Lamongan). Hal ini tidak jauh meleset
dengan situasi geografis yang mendukung karena daerah ini merupakan daerah ramai di
jalur utara yang merupakan perlintasan dari dan ke tujuh daerah (Tuban, Bojonegoro,
Lamongan, Gresik, Surabaya, Mojokerto, Jombang).
Daerah Rowo Gempol (DP 31) merupakan daerah perbatasan antara daerah pakai
bahasa Madura di sebelah timurnya dan daerah pakai bahasa Jawa di sebelah baratnya.
Hal ini ternyata mewujudkan DP 31 sebagai subdialek tersendiri yang disebut dengan
subdialek Rowo Gempol.
16
Subdialek Pasuruan ternyata menunjukkan beberapa perbedaan dengan subdialek
Rowogempol dan Tengger (yang keduanya terletak dalam wilayah Kabupaten
Pasuruan). Secara geografis, subdialek Pasuruan (yang dalam hal ini diwakili oleh DP
28 dan 29) merupakan daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Malang dengan
kondisi alam yang berbukit sehingga berhawa segar. Hal ini kontras sekali dengan
daerah Rowo Gempol yang cenderung kering dan tandus karena berada di pesisir. Kedua
DP itu cenderung lebih terbuka terhadap masyarakat luar daripada kondisi DP 30 di
Tengger karena sistem transportasi lebih mudah. Hal inilah yang memungkinkan
terwujudnya subdialek Pasuruan sebagai subdialek tersendiri.
Daerah Sidoarjo (khususnya DP 27) merupakan daerah pesisir yang cenderung
subur dibandingkan dengan daerah Rowo Gempol. Daerah ini terletak di pinggir sungai
Porong yang memisahkan Kabupaten Sidoarjo dengan Kabupaten Pasuruan. Banyak
masyarakat di DP ini yang bekerja di Surabaya. Dalam hal transportasi, dari DP 27 ini
lebih mudah ke Surabaya daripada ke Rowogempol. Kondisi inilah yang
memungkinkan terwujudnya subdialek Sidoarjo yang dibedakan dengan subdialek
Rowogempol.
Daerah Surabaya (DP 23) secara geografis memang berbatasan dengan daerah
Gresik (DP 20). Selain itu, komunikasi dan transportasinya pun tergolong lancar. Akan
tetapi, patut diperhatikan pula kedudukan Surabaya sebagai kota besar dengan ciri isolek
tersendiri. Secara umum, dengan kedudukan sebagai kota besar yang berpengaruh,
isolek Surabaya akan mempengaruhi isolek-isolek di sekitarnya. Berdasarkan hasil
pemetaan terlihat bahwa dengan daerah Gresik, isolek Surabaya menunjukkan adanya
perbedaan wicara dan subdialek. Berdasarkan hal ini dapatlah dikatakan bahwa
Surabaya merupakan subdialek tersendiri yang berbatasan dengan subdialek Gresik.
Memang, biarpun sarana transportasi dan komunikasi lancar, lalu lintas (masyarakat)
dari Surabaya ke Gresik tidak seramai seperti yang ke Jawa Tengah atau ke Jawa Timur
bagian Timur. Hal ini dimungkinkan juga menjadi salah satu penyebab adanya batas
subdialek antara Gresik dan Surabaya.
17
Selanjutnya, perbatasan Lamongan dan Gresik ternyata juga mewujudkan batas
subdialek. Secara sosial, masyarakat Lamongan memang lebih dekat dengan Tuban yang
berada di sebelah baratnya daripada dengan Gresik yang berada di sebelah timurnya. Hal
ini tampaknya juga didukung oleh masalah tujuan kepergian dan masalah padatnya lalu
lintas seperti yang telah dikemukakan di atas.
DP 30 yang merupakan subdialek Tengger, secara geografis memang "agak
terpisah" dengan daerah di bawahnya, yaitu di Keduwung Bawah (mereka menyebutnya
daerah "cara isr"). Transportasi dari Keduwung Bawah ke Keduwung Atas tidak dapat
berjalan jika musim hujan. Satu-satunya cara adalah dengan berjalan kaki. Daerah
Keduwung Atas ini hanya merupakan salah satu daerah Tengger yang berada di
Kabupaten Pasuruan. Daerah ini masih tergolong "tertutup" bila dibandingkan dengan
daerah Tengger lain yang dijadikan objek wisata. Selain itu, berdasarkan cerita turun
temurun dan secara historis, masyarakat Tengger pada awalnya merupakan masyarakat
pelarian dari Majapahit. Daerah Tengger merupakan daerah yang agak terpisah dan sulit
dijangkau sehingga mereka aman di sana. Hal ini ikut mendukung kedudukan DP 30
sebagai subdialek tersendiri yang dalam penelitian ini disebut subdialek Tengger.
Selanjutnya, berkas isoglos leksikal pada peta 3 dan gabungan dialektometri
leksikal dan fonologis pada peta 5 semakin mengukuhkan kedudukan DP 32 dan 33
sebagai salah satu dialek bahasa Jawa. Penggolongan DP 32 dan 33 ke dalam dialek,
yaitu "dialek Osing" merupakan penggolongan berdasarkan berkas isoglos dan
penghitungan dialektometris (leksikal dan fonologis). Akan tetapi, penutur Osing
menganggap bahwa "bahasa" mereka merupakan "bahasa Osing" [bs os].
Penggunaan istilah "bahasa" ini dapat dicermati dari dua sisi. Yang pertama ialah
"bahasa" dalam identitas sebagai sesuatu yang mandiri yang berbeda dengan bahasa lain
(bukan sekadar dialek). Yang kedua ialah "bahasa" [bs] dalam identitas sebagai
penanda jati diri kelompok atau daerah, seperti halnya istilah [bs baumas, bs tgr,
bs surby], dst. Yang menarik, ternyata penutur Osing menganggap bahwa "bahasa"
mereka itu merupakan "bahasa" tersendiri yang tidak sama dengan bahasa Jawa. Mereka
beranggapan bahwa istilah "bahasa Osing" merupakan istilah yang lebih tepat daripada
18
"dialek Osing". Dalam hal ini patut diperhatikan bahwa penggolongan suatu bahasa atau
dialek dapat ditentukan dari sisi linguistik atau dari sisi penuturnya. Oleh karena itu,
dapatlah dikatakan bahwa istilah "bahasa Osing" adalah istilah yang berkenaan dengan
pendapat penuturnya, sedangkan istilah "dialek Osing" merupakan istilah yang
berkenaan dengan hasil penghitungan linguistis (secara dialektometris).
Istilah [cara tgr] merupakan istilah yang sama populernya dengan istilah [basa
tgr] bagi masyarakat Tengger di Keduwung Atas. Adapun istilah [dial tgr]
ternyata juga sudah mulai "agak diterima" mereka. Akan tetapi, hasil penghitungan
secara dialektometris ternyata menunjukkan bahwa isolek mereka tergolong dalam
subdialek (bukan dialek). Hasil ini ternyata tidak sama dengan beberapa penelitian
sebelumnya yang sering menyebut "dialek Tengger". Hal ini menunjukkan bahwa
semakin lama, dengan komunikasi dan transportasi yang semakin maju dapat saja
terjadi pelunturan batas dialek menjadi subdialek. Oleh karena itu, seperti halnya yang
berlaku di DP 32 dan 33, istilah "basa Tengger" merupakan istilah yang berkenaan
dengan pendapat penuturnya, sedangkan istilah "subdialek Tengger" merupakan istilah
yang berkenaan dengan hasil penghitungan linguistis (secara dialektometris).
d. Penghitungan Permutasi
Penghitungan secara permutasi dapat digunakan untuk mengetahui jarak kosakata
antara satu DP dengan DP lainnya yang tidak bertetangga. Penghitungan secara
permutasi ini dapat juga dipakai untuk meninjau konsep Voegelin dan Harris yang
menyatakan bahwa derajat pemahaman searah dengan jarak sehingga akan didapat mata
rantai pemahaman (Lauder, 1993).
Penghitungan ada atau tidaknya gradasi pemahaman timbal balik dilihat
berdasarkan: (a) jarak kosakata dari satu DP di sebelah timur-tengah Jawa Timur dengan
DP lainnya sampai ke Jawa Timur bagian barat laut, (b) jarak kosakata dari satu DP di
sebelah tenggara Jawa Timur dengan DP lainnya sampai ke Jawa Timur bagian barat-
tengah, (c) jarak kosakata dari satu DP di sebelah barat-tengah Jawa Timur dengan DP
lainnya sampai ke Jawa Timur bagian tenggara, (d) jarak kosakata dari satu DP di
19
sebelah barat laut Jawa Timur dengan DP lainnya sampai ke Jawa Timur bagian timur-
tengah. Berikut ini adalah tabel dialektometri leksikal secara keseluruhan untuk
keperluan permutasi.
Tabel 6: Permutasi
(a) No. Desa % (b) No. Desa % (c) No. Desa % (d) No. Desa %33-- 31 61 35-- 34 10 1-- 3 18 2-- 4 1933--27 58 35-- 30 46 1-- 5 23 2-- 6 2533--23 61 35-- 28 34 1-- 9 22 2-- 7 2833--20 61 35-- 17 35 1-- 17 31 2-- 18 3933--18 61 35-- 9 27 1-- 28 30 2-- 20 4233--7 58 35-- 5 25 1-- 30 43 2-- 23 3633--6 56 35-- 3 27 1-- 34 24 2-- 27 3633--4 57 35-- 1 22 1-- 35 22 2-- 31 4633--2 59 2-- 33 59
Penghitungan dialektometri secara permutasi ini menunjukkan bahwa mata
rantai pemahaman tidak selamanya menunjukkan kesejajaran antara jarak kosakata
dengan jarak secara nyata.
e. Identifikasi Dialek dan Subdialek
Berdasarkan penghitungan dialektometri leksikal, dialektometri fonologis,
penghimpunan berkas isoglos, dan penghitungan permutasi, bahasa Jawa di Jawa Timur
bagian Utara dan Blambangan terdiri atas dua dialek, yaitu dialek Osing dan dialek
Jawa Timur (selain Osing). Dalam dialek Jawa Timur terdapat sepuluh subdialek,
yaitu: subdialek Banyuwangi Selatan, subdialek Bojonegoro, subdialek Gresik,
subdialek Lamongan, subdialek Mojokerto, subdialek Pasuruan, subdialek
Rowogempol, subdialek Sidoarjo, subdialek Surabaya, dan subdialek Tengger.
Kedudukan Osing sebagai dialek dan Tengger sebagai subdialek sebagai hasil
penelitian ini merupakan suatu hal yang agak mengejutkan karena selama ini dikenal
istilah "bahasa Osing" dan "dialek Tengger". Di sini jelas telah terjadi pergeseran
tingkatan isolek seiring dengan perjalanan waktu. Bahkan, perlu pula dicermati bahwa
20
batas persentase dialektometris untuk dialek Osing dan subdialek Tengger ini
cenderung mendekati ambang bawah.
2. Deskripsi Bentuk-Bentuk Linguistik
Deskripsi bentuk-bentuk linguistik bahasa Jawa di Jawa Timur bagian utara dan
Blambangan menunjukkan banyaknya bentuk BJK yang masih dipelihara dan
dipertahankan penggunaannnya sampai saat ini, misalnya: bentuk tiga suku: ktumbar
'ketumbar', lmbay 'daun kacang panjang'; berian: pisanan dan kawitan 'pertama', ir
'hidung' , sira 'kamu' , isun 'saya', aran 'nama', bsali 'pandai besi', wlula 'kulit
binatang', wragil 'anak termuda', wudun 'bisul'.
Dari deskripsi yang dikerjakan tampak beberapa kekhasan bentuk linguistik di
Jawa Timur bagian utara dan Blambangan yang ditandai oleh beberapa hal, yaitu:
a. Adanya perbedaan jumlah fonem vokal dengan rincian: (1) Ada delapan vokal, yaitu
/a/, /i/, /u/, /e/, //, //, /o/, // dalam subdialek Gresik, subdialek Pasuruan, subdialek
Rowogempol, subdialek Sidoarjo, dan subdialek Surabaya, (2) Ada tujuh vokal,
yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, //, /o/, // dalam dialek Osing, subdialek Bojonegoro, subdialek
Lamongan, subdialek Mojokerto, subdialek Banyuwangi Selatan, (3) Ada enam
vokal, yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, //, /o/ dalam subdialek Tengger.
b. Bunyi [i] atau [u] pada posisi penultima dalam subdialek Bojonegoro, subdialek
Lamongan, dan subdialek Banyuwangi Selatan menjadi [e] atau [o] dalam dialek
Osing, subdialek Mojokerto, subdialek Gresik, subdialek Pasuruan, subdialek
Rowogempol, subdialek Sidoarjo, subdialek Surabaya, dan subdialek Tengger.
Misalnya: timn > temn 'ketimun'.
c. Adanya leksikon serapan dari bahasa Madura dan Bali, misalnya: rng 'nyamuk',
ba(wa) temr 'bawang merah', t rt 'ranting' (dari bahasa Madura); pk 'sabuk',
kl ' bisu', osng 'tidak' (dari bahasa Bali).
d. Adanya leksikon khusus atau pola yang dikenal sebagai merek dialek atau
subdialek. Misalnya: (1) dialek Osing: (o)s 'tidak', abya 'merah', sijai 'satu',
sirgw 'kaubawa' ; (2) subdialek Bojonegoro: -(n)m '-mu', -lh '-lah', puth 'putih',
21
spulh 'sepuluh' ; (3) subdialek Gresik: t 'di-, di', p '-lah', snana 'anak saya'
(pola: pronomina posesif mendahului nominanya) , dipekl amb aku 'saya pikul'
(pola: O1 terletak sesudah kata kerja pasif); (4) subdialek Rowogempol: r
'nyamuk', t rat 'ranting'; (5) subdialek Surabaya: ca 'kakak laki-laki', n 'kakak
wanita; (6) subdialek Tengger: mata 'mata', siragawa 'kaubawa', manja 'menanam'.
d. Deskripsi berian krama menunjukkan bahwa terdapat 312 berian krama dari 829
glos yang ditanyakan. DP yang paling sedikit mempunyai berian krama terdapat
dalam dialek Osing , subdialek Gresik, dan subdialek Rowogempol. Adapun DP
yang paling banyak mempunyai berian krama adalah DP masyarakat Samin yang
termasuk dalam subdialek Bojonegoro.
e. Dengan responden yang berpendidikan relatif rendah dan dari kalangan menengah ke
bawah, dijumpai bentuk krama yang menggunakan krama inggil untuk diri sendiri
(O1) semacam Kula sare rumiyin 'Saya tidur dulu', Kula badhe dhahar 'Saya akan
makan'.
3. Pengaruh antarbahasa serta Daerah Relik dan Daerah Inovatif
Bahasa Jawa di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan ternyata bersentuhan dan
dipengaruhi oleh bahasa lain, yaitu bahasa Madura, bahasa Bali, dan bahasa Melayu.
Pengaruh bahasa Madura tersebar di Jawa Timur bagian timur laut. Sebagai
batas paling barat adalah daerah di kabupaten Lamongan dan Jombang. Pengaruh yang
kuat terdapat dalam subdialek Gresik, subdialek Mojokerto, subdialek Pasuruan,
subdialek Rowogempol, subdialek Sidoarjo, dan subdialek Surabaya, sedangkan
pengaruh yang sedang terdapat pada dialek Osing, subdialek Lamongan (sebagian),
subdialek Mojokerto, dan subdialek Tengger.
Pengaruh bahasa Bali tersebar di daerah Jawa Timur bagian ujung timur laut,
yaitu di daerah dialek Osing.
Subdialek Gresik, sudialek Rowogempol, subdialek Pasuruan, subdialek
Sidoarjo, dan subdialek Surabaya adalah subdialek yang dipengaruhi oleh bahasa
22
Madura. Selain itu, pengaruh bahasa Madura sedikit banyak juga ada dalam subdialek
Lamongan (sebagian), subdialek Mojokerto, dan subdialek Tengger.
Subdialek Banyuwangi Selatan dan subdialek Bojonegoro adalah subdialek di
Jawa Timur yang menggunakan beberapa kata yang sama dengan kata-kata khas dialek
standar.
Adapun subdialek Lamongan adalah subdialek yang dipengaruhi oleh bahasa
Madura.
Selanjutnya, penetapan daerah relik dan daerah inovatif menggunakan dasar
penghitungan leksikal dan fonologis. Adapun yang dijadikan patokan bentuk relik ialah
BJK yang terdapat dalam kamus Zoetmulder (1982) dan Mardiwarsito (1981). Dalam
penghitungan leksikal, ada 128 glos yang digunakan dengan patokan leksem dalam BJK.
Penghitungan fonologis menggunakan sebelas macam model yang terdapat dalam
deskripsi fonologis dengan patokan bentuk-bentuk dalam BJK.
Berdasarkan penghitungan leksikal dan fonologis dapatlah dinyatakan bahwa
daerah relik ialah DP 1 (subdialek Bojonegoro) dan 30 (subdialek Tengger), yaitu daerah
masyarakat Samin dan masyarakat Tengger. Adapun daerah inovatif ialah DP
27,31,32,33. DP 27 (subdialek Sidoarjo) dan 31 (subdialek Rowogempol) ialah DP yang
terletak di pesisir yang kedua-duanya merupakan daerah yang terpengaruh bahasa
Madura (pengaruh "kuat"). Bahkan DP 31 ialah DP yang merupakan wilayah perbatasan
antara bahasa Jawa di sebelah barat dan bahasa Madura di sebelah timur. Adapun DP 32
dan 33 merupakan wilayah dialek Osing.
6. Peta Bahasa
Sebagai bagian akhir, berikut ini adalah peta bahasa yang dihasilkan.
Peta 8: Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan
23
Batas Dialek, Subdialek, Pengaruh, Daerah Relik, dan Daerah Inovatif
= daerah yang terpengaruh bahasa Madura (pengaruh "kuat") = daerah yang menggunakan beberapa kata yang
sama dengan kata-kata khas dialek standar
= daerah yang terpengaruh bahasa Madura (pengaruh "sedang") = daerah relik
= daerah yang terpengaruh bahasa Madura dan Bali = daerah inovatif
E. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Dari berbagai cara pengidentifikasian dialek (berkas isoglos, permutasi, dialektometri)
ternyata hasil pengidentifikasian dengan penghitungan dialektometri yang dianggap
paling jelas dan paling tepat. Penghitungan dialektometri secara fonologis dan leksikal
ternyata bersifat saling mendukung. Dialektometri leksikal lebih beragam dalam
menghasilkan perbedaan, khususnya dalam perbedaan dubdialek. Walaupun demikian,
hasil penghitungan dialektometri fonologis tampaknya lebih kuat menghadapi gejala
pergeseran dialek daripada dialektometri leksikal. Hal ini disebabkan dialektometri
fonologis banyak berurusan dengan sistem atau pola tertentu yang lebih kuat bertahan
karena dari satu pola yang terbatas dapat mewujudkan berian yang dimungkinkan tak
24
terbatas. Adapun dialektometri leksikal tampaknya lebih rentan menghadapi pergeseran
dialek karena berdasarkan pada penghitungan perbedaan per leksikon.
C. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang merupakan pengidentifikasian dialek/
subdialek bahasa Jawa secara keseluruhan di Pulau Jawa.
2. Instrumen penelitian untuk bahasa Jawa pada masa mendatang perlu dibenahi lagi
karena ada beberapa glos yang sudah tidak dikenal lagi dan ada glos yang
menimbulkan multitafsir. Beberapa glos yang perlu dibenahi di antaranya adalah:
BAGIAN, RU, KATI, SEJUK, TINJU, JAHAT, BUYUNG, LALANDAK.
Di samping itu, instrumen untuk kajian perbedaan morfologis dan sintaksis juga perlu
dibenahi.
3. Data tingkat tutur dalam penelitian ini merupakan data sampingan yang disediakan
berdasarkan berian para responden yang rata-rata berpendidikan relatif rendah dan
dari kalangan menengah ke bawah. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini yang berkaitan
dengan tingkat tutur merupakan cerminan dari kondisi masyarakat seperti itu yang
merupakan mayoritas di daerahnya. Untuk dapat menggali lebih dalam lagi dan
untuk membulatcermatkan hasil (untuk penelitian lanjutan), diperlukan responden
yang berpendidikan relatif tinggi dan berkedudukan terpandang.
25
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Winarsih Partaningrat. 1995. Babad Blambangan. Yogyakarta: Bentang Budaya.Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan, Kementrian P.P.K. Djakarta. 1953. Medan Bahasa.
November 1953. Jakarta.Chambers, J.K. dan Peter Trudgill. 1990. Dialektologi. Terj. Annuar Ayub. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.Lauder, Multamia Retno Mayekti Tawangsih. 1993. Pemetaan dan Distribusi Bahasa-
Bahasa di Tangerang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.Lembaga Bahasa Nasional. 1972. “Peta Bahasa-Bahasa di Indonesia”. Dalam Bahasa dan
Kesusastraan, Seri Khusus no. 10/1972 (hlm. 28). Jakarta: Ditjen Kebudayaan, Depdikbud.
Mahsun, 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada Uni-versity Press.
Mardiwarsito, L. 1981. Kamus Bahasa Jawa Kuno. Yogyakarta. Moeljono, Mas; Koentjahjo; Ardiana, Leo Idra; Tampoebolon, ESP.; Widayati, Sri Wahyu.
1986. Tingkat Tutur Bahasa Jawa Dialek Banyuwangi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Nothofer, Bernd. 1980. Dialektgeographische Untersuchungen in West-Java und im Westlichen Zentral-Java. Wiesbaden: Otto Horrassowitz.
Poedjosoedarmo, Soepomo; Th. Kundjana; Soepomo, Gloria; Alip; Suharso. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
26
Poedjosoedramo, Gloria R. Tanpa Tahun. Linguistik Historis: Sebuah Pengantar yang Memusatkan Perhatian Kepada Bahasa-Bahasa Austronesia. Brunei Darusalam: Universiti Brunei Darusalam.
Soedjito; Abdul Syukur Ibrahim; I.L. Marsoedi Oetomo, Imam Hanafi. 1981. Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Soedjito; Sunoto; Marsoedi Oetama, Abdul rachman; Mansur Hasan. 1986. Struktur Bahasa Jawa Dialek Tengger. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sudaryanto (Ed.). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Thomas, Alan R. 1988. Methods in Dialectology. Philadelphia: Multilingual Matters Ltd..Uhlenbeck. 1964. A Critical Survey of Studies on The Languages of Java and Madura. The
Hague: ‘s-Gravenhage-Martinus Nijhoff.-----------. 1982. Kajian Morfologi Bahasa Jawa. Terj. Soenarjati Djajanegara. Jakarta:
Djambatan.Wurm, Stephen A. dan Hattori, Shiro. 1983. Language Atlas of the Pacific Area. Canberra:
Australia National University.Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese-English Dictionary. Leiden: ‘S-Gravenhage-Martinus
Nijhoff.DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Kisyani-Laksono, M. Hum.2. Tempat/tanggal lahir: Solo, 25 Oktober 19623. Jenis kelamin : Wanita 4. Pangkat/Gol./NIP : Penata Tk. I/III.d/1315786125. Jabatan fungsional : Lektor Madya6. Instansi/Fakultas : FBS Universitas Negeri Surabaya7. Alamat : Jalan Merpati 14, Rewwin, Waru, Sidoarjo 61256, 031-8536064, yani44@hotmail.com
8. Pendidikan a. SD Muhammadiyah XI Surakarta, 1968—1973b. SMPN I Surakarta, 1974—1976c. SMAN III Surakarta, 1977—1980d. Sarjana (UNS Surakarta), 1980—1985, bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesiae. Magister (UGM, Yogyakarta), 1993—1995, bidang studi Sastra Indonesia dan Jawa,
Minat Utama Linguistik, f. Sedang ditempuh: S-3 linguistik UGM, 1998—….
9. Pengalaman Penelitian (10 tahun terakhir)a. Persepsi Siswa terhadap Unsur Pendidikan dalam Cerkan “Nyunin” dan “Jalan Lain
ke Roma’, 1991.
27
b. Uji Coba Buku Ajar “Berbicara” pada Mahasiswa Program S1, JPBSI, FPBS, IKIP Surabaya, 1992
c. Sastra Indonesia di Madura, 1992 (tim)d. Pemakaian Bahasa Jawa di Desa Sinangoh Prendeng, Kecamatan Kajen, Kabupaten
Pekalongan, 1993e. Uji Coba Program Pembetahan Anak Belajar Bahasa Indonesia di SDN Sukorame I
dan SDN Kuwurejo I Lamongan, 1993 (tim)f. Bahasa Jawa di Desa Mertasari, Kec. Purwanegara, Kab. Banjarnegara, 1994g. Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur di Mojokerto, 1995 (tesis).h. Jarak Kosakata Bahasa Jawa di Jawa Timur bagian Utara, 2000.
10. Penataran/Kursus/Seminar (sebagai pemakalah) 10 tahun terakhira. Mimbar Ilmiah, 8—9 Januari 1991, FPBS IKIP Surabaya: “Empat Struktur Pokok
Puisi dalam ‘Mata Pisau’ Karya Sapardi Djoko Damono”.b. Penataran dan Lokakarya Mahasiswa , 2—3 Agustus 1991, IKIP PGRI Surabaya:
“Teknik Penulisan Karya Ilmiah”c. Seminar Metode Pengajaran Bahasa Arab untuk Orang Indonesia, 11—17 Juli
1993, Surabaya: “Kontak Bahasa dan Dampaknya: Tinjauan Sekilas Kata Serapan dari Bahasa Arab”.
d. Seminar Internasional Bahasa dan Budaya di Dunia Melayu (Asia Tenggara), 21—23 Juni 1997, Unram Lombok: “Isolek Bahasa Jawa di Ujung Pangkah, Gresik”.
e. Kongres Linguistik Nasional, 7—11 November 1997, Hotel Brantas Surabaya: “Isolek Bahasa Jawa di Keduwung, Tengger”.
f. Bulan Bahasa 1998, 21 November 1998, IKIP Surabaya: “Bahasa Indonesia dan Tuntutan Zaman”.
h. Seminar Nasional Kajian Jepang di Indonesia Memasuki Abad XXI, 2—4 Desember 1998, kerja sama Japan Foundation dan IKIP Surabaya, Hotel Simpang Surabaya: “Huruf Kana dan Hanacaraka: Sistem, Keberadaan, dan Ke-survive-annya”.
i. Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora ke-5, 8—9 Desember 1998, UGM Yogyakarta: Sastra dan Perubahan Sosial.
j. Seminar Nasional Pengajaran Bahasa dan Sastra, 16—17 April 1999, Universitas Bung Hatta Padang: “Bahasa Indonesia: Masalah dan Cara Guru Menyiasatinya.”
k. Kongres Bahasa Jawa,. 2001, Yogyakarta: "Identifikasi Dialek dan Subdialek di Jawa Timur bagian Utara".
l. Kongres Linguistik Nasional, 1999, Jakarta: "Isolek Bahasa Jawa di Tuban dan Bojonegoro".
m. Diskusi Panel Nice Center, 2001, Surabaya: "Peran dan Kedudukan Wanita Indonesia dalam Budaya".
n. Seminar Internasional Bahasa Jepang, 2001, Surabaya: "Model Pengajaran Huruf Hancaraka dan Kana".
o. Seminar di Balai Bahasa Jawa Timur, 2001, Sidoarjo: "Bahasa Indonesia sebagai Pemersatu Bangsa: Fungsi dan Masalahnya".
28
11. Publikasi (10 tahun terakhir)a. Buku: Bunga Rampai Pelangi Bahasa dan Sastra Indonesia (tim), 1991, Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Surabayab. Majalah Ilmiah: Empat Struktur Pokok Puisi dalam “Mata Pisau “ Karya Sapardi
Djoko Damono, Dalam Prasasti tahun 1991, Surabaya.c. Buku: Bahasa Indonesia MKDU (tim), 1992, JPBSI FPBS IKIP Surabaya.d. Koran: Jawa Pos, Java Post, dan Pos Jawa, Dalam Jawa Pos, 25 Oktober 1992e. Koran: Demokratisasi Bahasa Indonesia: Siapa yang Diutamakan?, Dalam Jawa
Pos, 27 Oktober 1993. Surabaya (juara lomba esai Jawa Pos).f. Majalah Ilmiah: Hermeneutik dalam Bahasa: Tinjauan dari Sudut Pandang
Filsafat Ilmu Pengetahuan, Dalam Wahana, 5—12 Februari 1994/ThVI. Surabaya.g. Majalah Ilmiah: Kedudukan dan Fungsi Bahasa dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan,
Dalam Prasasti no. 14 th IV, April 1994. Surabaya.h. Majalah Ilmiah: Gaya Bahasa dalam Cerpen “Bercakap-cakap di Bawah Guguran
Daun “ Karya Frans Nadjira, Dalam Prasasti no. 16 th IV, Oktober 1994. Surabaya.
i. Majalah Ilmiah: Kontak Bahasa dan Dampaknya: Tinjauan Sekilas Kata Serapan dari Bahasa Arab, Dalam Prasasti no. 18, th IV, April 1995. Surabaya.
j. Majalah Ilmiah: Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur di Mojokerto: Jumlah Fonem dan Perbedaan Fonologis-Fonetisnya, Dalam Media no. 1/ th XVIII/1996 Maret 1996. Surabaya.
k. Majalah Ilmiah: Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur di Mojokerto: Evidensi Pewarisan Bahasa Jawa Kuno dan Batas Dialeknya, Dalam Prasasti no. 24 th VI, Okt. 1996. Surabaya.
l. Majalah Ilmiah: Vergib. Dalam Lernen und Lehren, 30. Jahrgang, Heft 2/1998. Jakarta.
m. Buku: Sastra Indonesia di Madura: Tinjauan Pengarang, Hasil Karya, dan Media (tim), 1998, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud., Jakarta.
n. Majalah Jawa : Anta Wacana Tumplak Punjen, Dalam Jaya Baya, September 1998. Surabaya.
o. Majalah Ilmiah: Isolek Bahasa Jawa di Keduwung, Tengger. Dalam Linguistik Indonesia, Juli dan Desember 1998. Jakarta.
p. Majalah Ilmiah: Isolek bahasa Jawa di Ujung Pangkah. Dalam Prasasti, Februari 1999. Surabaya.
q. Majalah Ilmiah: Isolek Bahasa Jawa di Tuban dan Bojonegoro. Dalam Linguistik Indonesia, Oktober 1999. Jakarta.
r. Majalah Ilmiah: Huruf Kana dan Hanacaraka. Dalam Verba, Oktober 2000. Surabaya.
12. Penghargaan yang pernah diperoleh a. Piagam (prestasi akademis terbaik), Dekan Fakultas Sastra UNS, Juni 1981b. Piagam (prestasi akademis terbaik), Dekan Fakultas Sastra UNS, Desember 1981c. Piagam (prestasi akademis terbaik), Dekan Fakultas Sastra, Desember 1983
29
d. Piagam dan Kamus (prestasi akademis terbaik se-jurusan), Dekan Fakultas Sastra UNS, Desember 1983
e. Piagam (juara lomba cerdas cermat kebahasaan), Dekan Fakultas Sastra, 14 November 1983
f. Tropi (juara lomba esai Jawa Pos), Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa a.n. Jawa Pos, 23 Oktober 1993
g. Piagam (prestasi akademis: cum laude), Rektor UGM, November 1995
13. Beasiswa yang pernah diperoleha. TID, 1981--1985b. TMPD, 1993--1995c. DAAD, November 1996--Januari 1997d. BPPS, 1997--2001
Surabaya, Oktober 2001Kisyani-Laksono, M.Hum.
LAMPIRAN 1
Peta Wilayah Penelitian di Jawa Timur
30
Peta Nomor Daerah Pengamatan (DP)
LAMPIRAN 2
Tabel Nama dan Nomor Daerah Penelitian
Dusun Desa/Kelurahan (K.) Kecamatan Kabupaten/Kotamadya
1 Jepang Margorejo Margorejo Bojonegoro2 Karangrejo Bancar Tuban3 Bareng Ngasem Bojonegoro4 Karangasem Jenu Tuban5 Balongrejo Sugihwaras Bojonegoro6 Bedahan Babat Lamongan7 Lohgung Brondong Lamongan8 Tlogo Sadang Paciran Lamongan9 Kabuh Kabuh Jombang10 Plumbon Gambang Gudo Jombang11 Gambiran Mojo Agung Jombang12 Sumber jati Jatiroto Mojokerto13 Trowulan Trowulan Mojokerto14 Suru Dawarblandong Mojokerto15 Tarik Tarik Sidoarjo16 Mojokembang Pacet Mojokerto17 Manduro Ngoro Mojokerto
31
18 Pangkah Kulon Ujung Pangkah Gresik19 Watu Agung Bungah Gresik20 Rooma Manyar Gresik21 K. Banjarsugihan Tandes Surabaya22 K. Waru Gunung Karang Pilang Surabaya23 Gambuhan dan
GaluhanBubutan Bubutan Surabaya
24 Kejawan Kejawan Putih Tambak Sukolilo Surabaya25 Tambak Oso Waru Sidoarjo26 Boro Tanggul Angin Sidoarjo27 Kedung rejo Jabon Sidoarjo28 Durensewu Pandaan Pasuruan29 Gerbo Purwodadi Pasuruan30 Keduwung Atas Keduwung Puspo Pasuruan31 Rowo Gempol Lekok Pasuruan32 Grogol Glagah Banyuwangi33 Kemiren Giri Banyuwangi34 Bulu Agung Pesanggaran Banyuwangi35 Kedung Asri Tegaldlimo Banyuwangi
32
top related