artikel bu kisyani

49
BAHASA JAWA DI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA DAN BLAMBANGAN KAJIAN DIALEKTOLOGIS Oleh: Kisyani-Laksono . A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Bahasa Jawa di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan menarik untuk dikaji secara dialektologis karena kedekatan daerah itu secara geografis dengan dengan wilayah yang berbahasa Madura dan Bali. Daerah Jawa Timur bagian utara yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi: Kabupaten Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Pasuruan, dan Kotamadya Surabaya. Adapun yang dimaksudkan dengan daerah Blambangan adalah daerah Blambangan yang berbahasa Jawa (cf. Wurm dan Hattori, 1983). Daerah Blambangan adalah daerah yang namanya telah disebut sejak abad ke-14 pada prasasti gunung Butak. Wilayah Blambangan ini pada awalnya merupakan negeri yang dikelilingi laut di sebelah utara, timur, dan selatan, dan di barat dibatasi garis utara-selatan yang melampaui Gunung Bromo dan Lumajang (cf. Arifin, 1995: 263,321; Oetomo, 1993: 69). Ibu kotanya saat itu di Lumajang dan dipimpin oleh Aria Wiraraja (sekitar tahun 1294). Hal ini berarti, Blambangan saat itu mencakup wilayah yang sekarang bernama

Upload: agpranoto2022

Post on 11-Aug-2015

262 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel Bu Kisyani

BAHASA JAWA DI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA DAN BLAMBANGAN

KAJIAN DIALEKTOLOGIS

Oleh: Kisyani-Laksono

.

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang Masalah

Bahasa Jawa di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan menarik untuk dikaji secara

dialektologis karena kedekatan daerah itu secara geografis dengan dengan wilayah yang

berbahasa Madura dan Bali.

Daerah Jawa Timur bagian utara yang dimaksudkan dalam penelitian ini

meliputi: Kabupaten Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Jombang, Mojokerto,

Sidoarjo, Pasuruan, dan Kotamadya Surabaya. Adapun yang dimaksudkan dengan

daerah Blambangan adalah daerah Blambangan yang berbahasa Jawa (cf. Wurm dan

Hattori, 1983).

Daerah Blambangan adalah daerah yang namanya telah disebut sejak abad ke-14

pada prasasti gunung Butak. Wilayah Blambangan ini pada awalnya merupakan negeri

yang dikelilingi laut di sebelah utara, timur, dan selatan, dan di barat dibatasi garis utara-

selatan yang melampaui Gunung Bromo dan Lumajang (cf. Arifin, 1995: 263,321;

Oetomo, 1993: 69). Ibu kotanya saat itu di Lumajang dan dipimpin oleh Aria Wiraraja

(sekitar tahun 1294). Hal ini berarti, Blambangan saat itu mencakup wilayah yang

sekarang bernama Kabupaten Pasuruan (sebagian), Probolinggo, Situbondo,

Bondowoso, Banyuwangi, Jember, dan Lumajang.

Berbagai pasang surut wilayah telah dialami Blambangan dan pada tahap

terakhir (saat ini), Blambangan identik dengan Kabupaten Banyuwangi. Dalam

pemerintahan, nama Kabupaten Banyuwangilah yang menjadi nama resmi, walalupun

nama Blambangan masih melekat erat pada masyarakatnya.

Jika diperhatikan, wilayah Blambangan pada tahap awal menunjukkan bahwa

daerah itu mencakup juga daerah Jawa Timur bagian utara yang berbahasa Madura

(Kabupaten Probolinggo, Situbondo, dan Bondowoso). Oleh karena itu, judul dalam

Page 2: Artikel Bu Kisyani

penelitian ini merujuk pada wilayah "Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan".

Andaikan ketiga kabupaten itu berbahasa Jawa, tentulah ketiga kabupaten itu termasuk

dalam wilayah penelitian. Akan tetapi, ketiga kabupaten itu masyarakatnya berbahasa

Madura. Oleh karena itu, Blambangan dalam penelitian ini hanya merujuk pada

kabupaten di ujung timur (tenggara), yaitu kabupaten Banyuwangi. Adapun Kabupaten

Jember dan Lumajang tidak termasuk dalam wilayah penelitian karena kedua daerah ini

secara geografis berada di sisi selatan Jawa Timur.

2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengidentifikasikan dialek dan subdialek bahasa Jawa

di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan; (2) mendeskripsikan bentuk-bentuk

linguistik bahasa Jawa di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan (BJJTB); (3)

mendeskripsikan situasi saling pengaruh antarbahasa dan keberadaan daerah relik dan

daerah inovatif di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan.

3. Kegunaan

Bahasa Jawa di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan ini menarik untuk dikaji

secara dialektologis karena di samping berbatasan dengan wilayah pakai bahasa Madura

dan Bali, pada peta bahasa Wurm dan Hattori (1983) terlihat bahwa dialect boundary

(batas dialek) bahasa Jawa di Pulau Jawa hanya terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah

bagian barat (hasil penelitian Nothofer, 1980). Batas dialek itu belum terdapat di Jawa

Tengah bagian timur dan Jawa Timur. Oleh karena itu, penelitian ini dapat

menyumbangkan dialect boundary untuk pemetaan bahasa Jawa.

Selain itu, secara umum, kegunaan peta bahasa ialah sebagai berikut (Lauder,

1993: 35): (1) dari peta bahasa dapat dibuat peta bunyi sehingga dapat dilihat kaidah

fonotaktik bahasa/dialek yang diteliti, (2) dapat lebih mempermudah rekonstruksi

bahasa, (3) dapat melokalisasi konsep budaya tertentu yang tecermin dalam kosakata, (4)

dapat dimanfatkan oleh dinas kesehatan untuk membuat ramalan peta penyebaran wabah

2

Page 3: Artikel Bu Kisyani

penyakit karena batas penyebaran epidemi pada umumnya sejalan dengan batas

bahasa/dialek.

Selanjutnya, penelitian ini juga diharapkan berguna sebagai bahan masukan

bagi pusat bahasa, Javanologi, dan beberapa instansi yang terkait, misalnya: pemerintah

daerah, penyusun kurikulum (sebagai bahan pertimbangan muatan lokal), dan para

penyuluh yang sedang/akan berada di DP.

B. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori

1. Tinjauan Pustaka

Penyebutan dan pembagian bahasa, dialek, dan subdialek (khususnya di Jawa Timur)

tidak selalu sama. Bahkan sering istilah "bahasa" dikacaukan dengan "dialek". Hal itu

tampak dalam pendapat beberapa ahli berikut ini.

Uhlenbeck (1964: 64) menyebutkan bahwa karya Kats dalam "Serat Warna Sari

Djawa" tahun 1929 memuat dialog pendek dalam bahasa (dialek) Jawa Surakarta,

Yogyakarta, Kebumen, Banyumas, Sukawati, Madiun, Pasuruan, Kediri, Surabaya,

Probolinggo, Butuh (Kutaarja), Banten, Kudus, Blora, Tengger. Selain itu, Mardjana

dalam "Lajang Isi Kawroeh Bab Basa Djawa Sawetara" memuat teks pendek yang

dimuat dalam sembilan dialek yang berbeda, yaitu dialek : (1) Surabaya, Malang,

Pasuruan; (2) Semarang; (3) Blora; (4) Brebes, Tegal, Pekalongan; (5) Banyumas,

Bagelen; (6) Madiun, Kediri; (7) Banten; (8) Indramayu, Cirebon; (9) Banyuwangi.

Soedjito dkk. (1986: 2) menyebutkan adanya dialek Banyumas, Tegal, Yogya,

Solo, Surabaya, Samin, Osing. Adapun Poerwadarminta (Soedjito dkk, 1981: 2)

memperkirakan bahwa dialek-dialek di Jawa Timur (oleh Soedjito disebut: subdialek)

terdiri atas: (1) Dialek Tuban, Gresik, Surabaya; (2) Dialek Malang dan Pasuruan;

(3) Dialek Banyuwangi. Bahkan Molejono dkk. (1986: ix) menyebutkan bahwa Jawa

Timur mempunyai bermacam-macam bahasa daerah, yang meliputi: bahasa Jawa,

bahasa Madura, bahasa Using1, bahasa Tengger. Disebutkan lagi bahasa-bahasa itu

1 Penulisan Using disesuaikan dengan tulisan asli dari penulisnya (dengan huruf u). Adapun secara umum, disertasi ini akan menggunakan penulisan Osing untuk penyebutan secara umum (dengan huruf o: sesuai dengan pelafalan dan kelaziman penulisannya pada saat ini).

3

Page 4: Artikel Bu Kisyani

masih mempunyai variasi dialek yang cukup banyak. Di sini tampak kesimpang-siuran

penggunaan istilah "bahasa" dan "dialek" .

Berdasarkan hal itu, terlihat bahwa wilayah kebahasaan di Surabaya sering

disebut dialek atau subdialek; wilayah Using disebut bahasa Using, dialek Banyuwangi,

subdialek Banyuwangi, atau dialek Osing; wilayah Tengger disebut bahasa Tengger

atau dialek Tengger. Istilah dialek Surabaya dan bahasa Osing juga muncul pada "Peta

bahasa Daerah di Jawa Timur" (Lembaga Bahasa Nasional, 1972). Berdasarkan data

administratif, disimpulkan bahwa daerah Jawa Timur bagian utara merupakan daerah

yang berbahasa Jawa Pesisir (Kabupaten Bojonegoro, Tuban, Lamongan), berbahasa

Jawa Timur dialek Surabaya (Kotamadya Surabaya, Kabupaten Gresik, Sidoarjo,

Mojokerto, Jombang), berbahasa Madura-Jawa (Kabupaten Pasuruan, Probolinggo,

Situbondo, Bondowoso), dan berbahasa Osing (Kabupaten Banyuwangi).

Selanjutnya, dengan berdasarkan peta yang dibuat oleh Wurm dan Hattori

(1983), daerah Jawa Timur bagian utara merupakan wilayah yang meliputi daerah yang

berbahasa Jawa, campuran Jawa-Madura, dan daerah yang berbahasa Madura.

Sampai saat ini, kajian dialektologis yang menindaklanjuti peta Wurm dan

Hattori itu, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian timur belum ada. Akan

tetapi, penelitian tentang hal-hal yang terkait memang pernah dilakukan. Hanya pada

umumnya tinjauannya bersifat sinkronis, misalnya: penelitian-penelitian yang disponsori

Pusat Bahasa, antara lain tentang Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Jawa Dialek

Jawa Timur (1981); Geografi Bahasa Jawa Dialek Tengger (1985); Geografi Dialek

Banyuwangi (1981); Geografi Dialek Bahasa Jawa Solo (1979), Geografi Dialek

Bahasa Jawa di Yogyakarta (1980); Geografi Dialek Bahasa Jawa Kabupaten

Pasuruan (1983); Geografi Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Surabaya (1984).

Selain itu, penelitian sistem bahasa Jawa juga telah banyak dilakukan, di

antaranya oleh Uhlenbeck (1982) dalam Kajian Morfologi Bahasa Jawa; Sudaryanto

(Ed.) dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa (1991). Penelitian lain yang disponsori

Pusat Bahasa di antaranya: Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Jawa Dialek Jawa

Timur (1981), Kata Tugas Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur (1982); Struktur Bahasa

4

Page 5: Artikel Bu Kisyani

Jawa Dialek Tengger (1984); Sistem Perulangan Bahasa Jawa Dialek Banyuwangi

(1985); Sistem Perulangan Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur (1985), Morfologi Kata

Kerja Bahasa Jawa Dialek Tengger (1985), Verba Transitif Dialek Osing (1985);

Morfologi dan Sintaksis Bahasa Jawa (1986); Sistem Morfologi Kata Benda dan Kata

Sifat Bahasa Jawa Dialek Banyuwangi (1986); Fonologi Bahasa Jawa Dialek Jawa

Timur (1987).

Majalah Medan Bahasa (Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan, 1953: 315)

juga pernah mendeskripsikan logat-logat bahasa Jawa: Gresik, serta logat Jawa-Tengger.

Adapun penelitian yang merambah pada kajian diakronis dilakukan oleh

Nothofer. Dalam “Tinjauan Sinkronis dan Diakronis Bahasa Jawa di Jawa Barat dan di

Jawa Tengah (Bagian Barat)”. Nothofer (1990) berpendapat bahwa dialek bahasa Jawa

yang terdapat di sebelah barat dialek Jogya (kecuali Purworejo) merupakan dialek yang

lebih konservatif daripada dialek Jogya, yaitu memperlihatkan ciri yang mirip dengan

bahasa Jawa Kuna (BJK).

Dalam hal tingkat tutur, Poedjosoedarmo (1979:3) menyatakan bahwa tingkat

tutur ialah variasi-variasi bahasa yang perbedaan antara yang satu dan lainnya ditentukan

oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara terhadap mitra bicara. Dalam

hal ini, tingkat tutur itu dibedakan menjadi: ngoko, madya, dan krama.

(Poedjosoedarmo, 1979: 34).

2. Landasan Teori

Secara umum, dialektologi dapat disebut sebagai studi tentang dialek tertentu atau

dialek-dialek suatu bahasa. Selain itu, dalam arti luas penelitian dialektologi berupaya

memerikan perbedaan pola linguistik, baik secara horisontal (diatopis) yang mencakup

variasi geografis maupun yang vertikal (sintopis) yang mencakup variasi di suatu

tempat. Variasi di suatu tempat yang bersifat sintopis ini dapat pula merambah pada

kajian dialek sosial yang melibatkan faktor-faktor sosial (cf. Chambers dan Trudgill,

1980: 712; Mahsun, 1995: 1819; Poedjosoedarmo, Tanpa Tahun: 89).

5

Page 6: Artikel Bu Kisyani

Pada dasarnya, dialek merupakan variasi bahasa yang memiliki sistem lingual

yang tersendiri, dipakai oleh sekelompok penutur di tempat tertentu, tetapi di antara

kelompok penutur itu dengan kelompok lainnya (yang masih terikat dalam satu bahasa)

masih terdapat “pemahaman timbal balik”.

Selanjutnya, kemungkinan adanya pengaruh bahasa Madura ke dalam bahasa

Jawa di Jawa Timur tampaknya tidak terlepas dari kondisi geografis Jawa Timur yang

berdekatan dengan Pulau Madura. Dari sisi linguistik, hal ini berkaitan dengan teori

perluasan suatu bahasa, yaitu teori gelombang (wave theory) yang dikemukakan oleh

Johannes Schmidt pada tahun 1872. Menurut teori ini, bahasa-bahasa yang digunakan

secara berantai pada suatu wilayah tertentu dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang

terjadi pada suatu tempat tertentu. Dalam hal ini, suatu perubahan akan meluas (seperti

gelombang) dari daerah inti dan tidak akan berhenti pada batas dialek karena kadang-

kadang dapat meluas mempengaruhi lebih dari satu dialek bahkan dapat juga melampaui

batas antarbahasa (biasanya terjadi pada bahasa-bahasa yang sekerabat).

C. Metode Penelitian dan Cara Analisis

Untuk mencapai tujuan penelitian, yaitu pengidentifikasian dialek dan subdialek bahasa

Jawa di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan digunakan metode cakap dan simak

(Sudaryanto, 1993). Metode cakap digunakan dengan teknik pancing, cakap semuka,

dan teknik rekam; sedangkan metode simak dengan teknik sadap, catat, dan rekam. Data

yang diperoleh dengan menggunakan metode ini dianalisis dengan metode padan, teknik

hubung banding membedakan dan menyamakan. Data ini diperoleh dari informan yang

memenuhi persyaratan tertentu (cf. Mahsun, 1995; Ayatrohaedi, 1983; Chambers dan

Trudgill, 1990). Mereka berasal dari 35 DP (nama dan nomor DP terdapat dalam

lampiran 2). Di sini digunakan daftar tanyaan yang terdiri atas 829 glos dalam 20

medan makna dan digunakan juga 100 kalimat.

6

Page 7: Artikel Bu Kisyani

Selanjutnya, dilakukan pemilahan pada jenis perbedaan leksikal, fonologis,

morfologis, atau zero2 serta dilakukan tabulasi data (cf. Thomas, 1988).

Kemudian, pengidentifikasian dialek atau subdialek didasarkan pada rumus

dialektometri sebagai berikut (Guiter dalam Mahsun, 1995: 118).

S = jumlah beda dengan DP lainn = jumlah peta yang dibandingkand = jarak kosakata dalam persentase

Hasil yang diperoleh dari penghitungan dialektometri ini (d: jarak kosakata

dalam persentase) akan digunakan untuk menentukan hubungan antar-DP dengan

kriteria sebagai berikut.

1) Perbedaan dalam tataran leksikal

81% ke atas : dianggap perbedaan bahasa51%—80% : dianggap perbedaan dialek31%—50% : dianggap perbedaan subdialek21%—30% : diangap perbedaan wicaradi bawah 20% : dianggap tidak ada perbedaan

2) Perbedaan dalam tataran fonologis

17% ke atas : dianggap perbedaan bahasa12%--16% : dianggap perbedaan dialek8%--11% : dianggap perbedaan subdialek4%--7% : dianggap perbedaan wicara0%--3% : dianggap tidak ada perbedan

Selain itu digunakan pula berkas isoglos dan penghitungan permutasi.

D. Hasil Penelitian

2 Dari 829 glos ini, terdapat 416 glos yang mengandung perbedaan leksikal, 278 glos mengandung perbedaan fonologis, 2 glos mengandung perbedaan morfologis, dan 133 glos tanpa perbedaan (zero). Akan tetapi, perbedaan morfologis (dan sintaksis) tidak dibahas di sini.

7

Page 8: Artikel Bu Kisyani

1. Identifikasi Dialek dan Subdialek

a. Penghitungan Dialektometri Leksikal

Penghitungan dialektometri leksikal didasarkan pada 416 perbedaan leksikal yang

diawali dengan penghitungan per medan makna. Berdasarkan hal itu, dilakukan

penjumlahan secara keselurruhan sehingga diperoleh kelompok pembagian sebagai

berikut.

(1) DP yang tidak menunjukkan perbedaan atau jarak kosakata dengan persentase

0%20% terdapat di antara DP 1--3, 2--3, 2--4, 3--5, 6--7, 6--21, 7--8, 9--10, 10--

11, 11--13, 12--13, 13--14, 13--15, 15--26, 16--28, 19--20, 21--22, 21--23, 24--25,

26--27, 28--29, 32--33, 34--35.

(2) DP yang menunjukkan perbedaan wicara dengan persentase 21%30% terdapat di

antara DP 1--2, 1--5, 1--10, 3--4, 4--5, 4--6, 4--7, 5--6, 5--9, 5--10, 6--14, 6-- 19, 6--

20, 8--18, 9--11. 9--13. 9--14, 10--12, 11--12, 12--16, 12-- 17, 13--17, 14--15, 14--21,

14-- 22, 15--17, 15--22, 15--25, 16--17, 16--26, 16--29, 17--26, 18--19, 20--21, 22--

23, 22--24, 22--25, 23--24, 25--26, 25--27, 26--28, 27--28.

(3) DP yang menunjukkan perbedaan subdialek dengan persentase 31%50% terdapat

di antara DP 5--14, 7--18, 7--19, 20--23, 27--31, 28--31, 29--30,

29--31, 30--31, 30--34.

(4) DP yang menunjukkan perbedaan dialek dengan persentase 51%80% terdapat di

antara DP 30--33, 31--32, 31--33, 32--35, 33--34, 33--35.

5) DP yang menunjukkan perbedaan bahasa dengan persentase 81%100% tidak

didapatkan.

Berikut ini adalah tabel dialektometri leksikal secara keseluruhan.

Tabel 1: Dialektometri Leksikal

No. DP % No. DP % No. DP % No. DP %1--2 22 7--18 32 15--22 21 26--27 201--3 18 7--19 31 15--25 23 26--28 241--5 23 8--18 27 15--26 20 27--28 241--10 24 9--10 20 16--17 23 27--31 372--3 20 9--11 24 16--26 25 28--29 192--4 19 9--13 21 16--28 20 28--31 43

8

Page 9: Artikel Bu Kisyani

3--4 22 9--14 26 16--29 27 29--30 313--5 19 10--11 19 17--26 23 29--31 344--5 25 10--12 22 18--19 23 30--31 424--6 23 11--12 21 19--20 17 30--33 624--7 27 11--13 18 20--21 25 30--34 465--6 29 12--13 18 20--23 34 31--32 615--9 26 12--16 22 21--22 16 31--33 615--10 26 12--17 27 21--23 20 32--33 155--14 33 13--14 20 22--23 24 32--35 566--7 15 13--15 20 22--24 22 33--34 596--14 25 13--17 25 22--25 21 33--35 566--19 29 14--15 26 23--24 24 34--35 106--20 29 14--21 26 24--25 196--21 19 14--22 25 25--26 227--8 18 15--17 22 25--27 21

Tabel ini dapat dipetakan dalam peta segibanyak-dialektometri sebagai berikut.

Penghitungan dialektometri leksikal per medan makna yang hasilnya paling

mendekati penghitungan pada keseluruhan peta leksikal (memperlihatkan kesejajaran)

adalah hasil penghitungan pada medan makna D. BAGIAN TUBUH MANUSIA. Hal ini

sejalan dengan hasil temuan Lauder (1993: 213) yang juga menyatakan bahwa hasil

9

Page 10: Artikel Bu Kisyani

penghitungan dialektometri pada semua peta leksikal menunjukkan kesejajaran dengan

hasil penghitungan dialektometri medan makna Bagian Tubuh.

Berdasarkan hasil akhir penghitungan dan peta dialektometri leksikal di atas

terlihat bahwa bahasa Jawa di daerah Jawa Timur bagian utara dan Blambangan terdiri

atas dua dialek, yaitu dialek di bagian barat dan dialek di bagian timur-laut (dialek

Osing: DP 32 dan 33). Adapun subdialek membatasi daerah Blambangan/Banyuwangi

bagian selatan (DP 34,35) dengan daerah di sebelah baratnya, Daerah Keduwung di

Tengger (DP 30) dengan daerah di sebelah barat dan sebagian timurnya, Daerah Rowo

Gempol di Pasuruan (DP 31) dengan daerah di sebelah baratnya, Daerah Gresik (DP 20)

dengan Surabaya (DP 23), Daerah Lamongan (DP 7) dengan Gresik (DP 18, 19), dan

daerah Bojonegoro (DP 5) dengan Mojokerto (DP 14).

Hasil penghitungan dialektometri leksikal ini ternyata juga didukung oleh peta

berkas isoglos leksikal secara keseluruhan. Berikut ini adalah peta berkas isoglos

leksikal yang dimaksudkan.

Peta 2. Berkas Isoglos Leksikal

Peta berkas isoglos leksikal yang dihimpun dari peta berkas isoglos per medan makna ini

juga menunjukkan bahwa garis yang sangat banyak memisahkan DP 32 , 33 dengan DP

10

Page 11: Artikel Bu Kisyani

lainnya. Berdasarkan penghitungan dialektometri, DP 32 dan DP 33 adalah DP yang

merupakan dialek.

b. Penentuan Isolek Secara Fonologis

Penghitungan perbedaan fonologis didasarkan pada 829 glos. Dari jumlah ini terdapat

278 peta fonologis yang terdiri atas beberapa perbedaan. Berikut ini adalah tabel yang

memperjelas hal itu.

Tabel 2: Rincian Jumlah Perbedaan Fonologis

No. Uraian Contoh3 Jumlah1 - -h gte gth 'darah' 182 i e pit pet 'ayam' 16

u o gun gon 'gunung' 193 -h -h spulh spulh 'sepuluh' 3

-h h puth puth 'putih' 64 - -a mt mata 'mata' 105 - - dw dw 'panjang' 336 - -k ana anak 'anak' 207 w- - wuth uth 'utuh' 58 4 silabe~3 silabe~2 silabe alaala ~laala ~ lala

'daun ilalang'1

4 silabe ~ 2 silabe plataran ~ latar 'halaman' 13 silabe ~2 silabe lmbay ~ mbay 'daun

kacang panjang'8

2 silabe ~ 1 silabe rb ~ b 'rebung' 69 Epentesis [y] /palatisasi aba abya 'merah' 5210 Epentesis [a] pada silabe

ultima siji sijai 'satu' 27

11 Yang lain part pard 'parut' 53Jumlah 278

1) Penghitungan Dialektometri Fonologis

Dialektometri fonologis tidak dapat dihitung per medan makna karena satu perbedaan

dapat dijumpai pada beberapa medan makna. Jadi, penghitungan dialektometri fonologis

harus dilakukan secara keseluruhan.

3 Tanda merujuk pada korespondensi, sedangkan tanda ~ merujuk pada variasi.

11

Page 12: Artikel Bu Kisyani

Berdasarkan penghitungan dialektometri fonologis diperoleh kelompok

pembagian sebagai berikut.

(1) DP yang tidak menunjukkan perbedaan atau jarak kosakata dengan persentase

0%3% terdapat di antara DP 1--2, 1--3,, 1--10, 2--3. 2--4, 3--4, 3--5, 5--6,

6--7, 7--8, 9--10, 10--11, 11--12, 11--13, 12--13, 12--16, 13--14, 13--17,

14--15, 14--22, 16--17, 16--28, 19--20, 20--21, 20--23, 21--22, 21--23, 22--23, 22--24,

22--25, 23--24, 24--25, 26--27, 26--28, 27--28, 28--29, 32--33, 34--35.

(2) DP yang menunjukkan perbedaan wicara dengan persentase 4%7% terdapat di

antara DP 1--5, 4--5, 4--6, 4--7, 5--9, 5--10, 5--14, 6--14, 6--19, 6--20, 6--21, 7--18,

8--18, 9--11, 9--13, 9--14, 10--12, 12--17, 13--15, 14--21, 15--17,

15--22, 15--25, 15--26, 16--26, 16--29, 17--26, 18--19, 25--26, 25--27, 27--31, 28--31,

29--30, 29--31, 30--31, 30--34.

(3) DP yang menunjukkan perbedaan subdialek dengan persentase 8%11% terdapat di

antara DP 7--19, 30--33.

(4) DP yang menunjukkan perbedaan dialek dengan persentase 12%16% terdapat di

antara DP 31--32, 31--33, 32--35, 33--34, 33--35.

(5) DP yang menunjukkan perbedaan bahasa dengan persentase 17%100% tidak

didapatkan.

Berikut ini adalah tabel dan peta dialektometri fonologis yang dimaksudkan.

Tabel 3: Dialektometri Fonologis

No. DP % No. DP % No. DP % No. DP %1--2 3 7--18 6 15--22 4 26--27 21--3 1 7--19 9 15--25 5 26--28 31--5 4 8--18 4 15--26 4 27--28 21--10 3 9--10 2 16--17 3 27--31 52--3 2 9--11 4 16--26 4 28--29 32--4 0 9--13 4 16--28 3 28--31 53--4 2 9--14 4 16--29 4 29--30 43--5 3 10--11 3 17--26 4 29--31 54--5 4 10--12 4 18--19 5 30--31 54--6 4 11--12 1 19--20 3 30--33 104--7 4 11--13 2 20--21 3 30--34 65--6 3 12--13 1 20--23 3 31--32 12

12

Page 13: Artikel Bu Kisyani

5--9 4 12--16 3 21--22 3 31--33 135--10 5 12--17 4 21--23 2 32--33 25--14 6 13--14 2 22--23 3 32--35 126--7 3 13--15 4 22--24 3 33--34 126--14 4 13--17 3 22--25 3 33--35 126--19 6 14--15 3 23--24 1 34--35 26--20 6 14--21 5 24--25 36--21 5 14--22 3 25--26 47--8 3 15--17 4 25--27 4

Hasil penghitungan dialektometri secara fonologis (dari 278 peta yang ada)

ternyata tidak banyak berbeda dengan hasil penghitungan dialektometri leksikal. Hasil

penghitungan secara fonologis menunjukkan bahwa DP 33 dan 34 merupakan dialek

tersendiri. Batas subdialek, seperti halnya dialektometri leksikal, juga dijumpai antara

daerah Lamongan dan Gresik.

2) Penghitungan Perbedaan Leksikal dan Fonologis

Hasil penghitungan perbedaan leksikal dapat dibandingkan dengan hasil penghitungan

perbedaan fonologis. Berikut ini adalah tabel perbandingan yang menunjukkan hal itu.

Tabel 4: Perbandingan Hasil Penghitungan Perbedaan Leksikal dan Fonologis

No. DP PL PF No. DP PL PF No. DP PL PF No. DP PL PF1--2 W T 7--18 S W 15--22 W W 26--27 T T1--3 T T 7--19 S S 15--25 W W 26--28 W T1--5 W W 8--18 W W 15--26 T W 27--28 W T1--10 W T 9--10 T T 16--17 W T 27--31 S W2--3 T T 9--11 W W 16--26 W W 28--29 T T2--4 T T 9--13 W W 16--28 T T 28--31 S W3--4 W T 9--14 W W 16--29 W W 29--30 S W3--5 T T 10--11 T T 17--26 W W 29--31 S W4--5 W W 10--12 W W 18--19 W W 30--31 S W4--6 W W 11--12 W T 19--20 T T 30--33 D S4--7 W W 11--13 T T 20--21 W T 30--34 S W5--6 W T 12--13 T T 20--23 S T 31--32 D D5--9 W W 12--16 W T 21--22 T T 31--33 D D5--10 W W 12--17 W W 21--23 T T 32--33 T T5--14 S W 13--14 T T 22--23 W T 32--35 D D6--7 T T 13--15 T W 22--24 W T 33--34 D D6--14 W W 13--17 W T 22--25 W T 33--35 D D6--19 W W 14--15 W T 23--24 W T 34--35 T T6--20 W W 14--21 W W 24--25 T T6--21 T W 14--22 W T 25--26 W W7--8 T T 15--17 W W 25--27 W W

KETERANGAN

13

Page 14: Artikel Bu Kisyani

PL = perbedaan leksikal, PF = perbedaan fonologi, T = tidak ada perbedaan, W = beda wicara, S = beda subdialek, D = beda dialek

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa ada beberapa perbedaan antara hasil

penghitungan leksikal dan fonologis. Akan tetapi, patut dicermati bahwa perbedaan itu

tidak pernah lebih dari satu tingkatan (Misalnya: beda dialek dengan beda wicara). Jadi,

perbedaan itu merupakan perbedaan satu tingkatan (Misalnya: beda wicara dengan beda

subdialek), dan jumlah yang berbeda lebih sedikit dari jumlah yang sama (32 dari 91) .

3) Penggabungan Perbedaan Leksikal dan Fonologis

Untuk menyatukan peta leksikal dan fonologis digunakan dasar sebagai berikut:

Penentuan perbedaan suatu daerah dengan daerah lain menggunakan dasar perbedaan

yang paling tinggi. Misalnya: secara leksikal daerah A dan B berbeda dialek, sedangkan

secara fonologis berbeda subdialek. Dalam penyatuan peta (secara leksikal dan

fonologis) daerah A dan B tergolong berbeda dialek. Hal ini dilakukan dengan alasan

jika suatu daerah telah dinyatakan pada perbedaan yang lebih tinggi, berarti perbedaan

itu meliputi juga pada perbedaan pada tingkatan di bawahnya.

4) Penentuan Isolek Secara Leksikal dan Fonologis

Penyatuan hasil penghitungan leksikal dan fonologis akan menentukan tingkatan

perbedaan antar-DP. Berikut ini adalah tabel dan peta yang menunjukkan hal itu.

Tabel 5: Penyatuan Hasil Penghitungan Leksikal dan Fonologis

No. DP BEDA No. DP BEDA No. DP BEDA No. DP BEDA1--2 W 7--18 S 15--22 W 26--27 T1--3 T 7--19 S 15--25 W 26--28 W1--5 W 8--18 W 15--26 W 27--28 W1--10 W 9--10 T 16--17 W 27--31 S2--3 T 9--11 W 16--26 W 28--29 T2--4 T 9--13 W 16--28 T 28--31 S3--4 W 9--14 W 16--29 W 29--30 S3--5 T 10--11 T 17--26 W 29--31 S4--5 W 10--12 W 18--19 W 30--31 S4--6 W 11--12 W 19--20 T 30--33 D4--7 W 11--13 T 20--21 W 30--34 S5--6 W 12--13 T 20--23 S 31--32 D5--9 W 12--16 W 21--22 T 31--33 D5--10 W 12--17 W 21--23 T 32--33 T5--14 S 13--14 T 22--23 W 32--35 D6--7 T 13--15 W 22--24 W 33--34 D

14

Page 15: Artikel Bu Kisyani

6--14 W 13--17 W 22--25 W 33--35 D6--19 W 14--15 W 23--24 W 34--35 T6--20 W 14--21 W 24--25 T6--21 W 14--22 W 25--26 W7--8 T 15--17 W 25--27 W

KETERANGANT = tidak ada perbedaan S = beda subdialekW = beda wicara D = beda dialek

Berdasarkan hasil pemetaan gabungan dialektometri leksikal dan fonologis ini

(peta 4) dapatlah dikemukakan istilah dialek Osing, subdialek Banyuwangi Selatan,

subdialek Bojonegoro, subdialek Gresik, subdialek Lamongan, subdialek Mojokerto,

subdialek Pasuruan, subdialek Rowogempol, subdialek Sidoarjo, subdialek Surabaya,

dan subdialek Tengger.

Secara geografis, daerah Osing dipisahkan dengan deretan gunung dan

pegunungan dengan daerah di sebelah baratnya. Daerah ini juga merupakan daerah yang

berbatasan dengan daerah pakai bahasa Madura di sebelah barat dan utara, daerah pakai

bahasa Jawa di sebelah selatan, dan daerah pakai bahasa Bali di sebelah Timur. Situasi

geografis ini memang memungkinkan daerah Osing menjadi daerah dengan ciri

tersendiri yang ternyata terwujud dalam "dialek", yaitu dialek Osing.

Daerah Banyuwangi Selatan (DP 34 dan 35) merupakan daerah yang bernenek

moyang masyarakat Jawa Tengah. Daerah ini juga dipisahkan dengan deretan

15

Page 16: Artikel Bu Kisyani

pegunungan dengan daerah di sebelah baratnya. Dulu (sampai dengan awal abad XX),

daerah ini merupakan daerah hutan belantara. Pembukaan jalan kereta api dari Kalisat ke

Banyuwangi pada awal abad XX (tahun 1901) oleh Belanda mulai menarik minat

masyarakat ke daerah itu. Dengan kata lain, Belandalah yang berinisiatif mendatangkan

masyarakat dari Jawa Tengah untuk membuka hutan dan membuat perkebunan di

daerah itu. Akhirnya, mereka menetap di daerah itu dan beranak cucu sampai sekarang.

Oleh sebab itu, banyak kosakata yang sama dengan kosakata dialek standar. Situasi

geografis yang terwujud lewat batas pegunungan dengan daerah di sebelah baratnya dan

jumlah mereka yang semakin bertambah ikut membantu mereka membentuk masyarakat

tersendiri yang mempertahankan pemakaian isoleknya. Hal ini ternyata mendukung

kedudukan isolek mereka sebagai subdialek tersendiri yang disebut dengan subdialek

Banyuwangi Selatan. Kedekatan subdialek ini dengan dialek standar tecermin dengan

kedekatan daerah ini dengan daerah-daerah di Jawa Timur bagian barat pada

penghitungan permutasi.

Daerah Bojonegoro (DP 5) dengan daerah Mojokerto (DP 14) merupakan daerah

yang secara geografis dibatasi dengan hutan yang panjang. Angkutan umum pun tidak

dapat sekali jalan. Hal ini tampaknya ikut mendukung adanya batas subdialek sehingga

terwujud subdialek Bojonegoro dan subdialek Mojokerto.

Jika diperhatikan dengan lebih saksama, peta 4 ternyata juga menunjukkan

adanya daerah yang "menghubungkan" mata rantai pemahaman antara daerah Tuban

dan Bojonegoro dengan daerah Lamongan, Gresik, Surabaya, dan Mojokerto. Daerah

yang dimaksudkan adalah DP 6 (Desa Babat, Lamongan). Hal ini tidak jauh meleset

dengan situasi geografis yang mendukung karena daerah ini merupakan daerah ramai di

jalur utara yang merupakan perlintasan dari dan ke tujuh daerah (Tuban, Bojonegoro,

Lamongan, Gresik, Surabaya, Mojokerto, Jombang).

Daerah Rowo Gempol (DP 31) merupakan daerah perbatasan antara daerah pakai

bahasa Madura di sebelah timurnya dan daerah pakai bahasa Jawa di sebelah baratnya.

Hal ini ternyata mewujudkan DP 31 sebagai subdialek tersendiri yang disebut dengan

subdialek Rowo Gempol.

16

Page 17: Artikel Bu Kisyani

Subdialek Pasuruan ternyata menunjukkan beberapa perbedaan dengan subdialek

Rowogempol dan Tengger (yang keduanya terletak dalam wilayah Kabupaten

Pasuruan). Secara geografis, subdialek Pasuruan (yang dalam hal ini diwakili oleh DP

28 dan 29) merupakan daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Malang dengan

kondisi alam yang berbukit sehingga berhawa segar. Hal ini kontras sekali dengan

daerah Rowo Gempol yang cenderung kering dan tandus karena berada di pesisir. Kedua

DP itu cenderung lebih terbuka terhadap masyarakat luar daripada kondisi DP 30 di

Tengger karena sistem transportasi lebih mudah. Hal inilah yang memungkinkan

terwujudnya subdialek Pasuruan sebagai subdialek tersendiri.

Daerah Sidoarjo (khususnya DP 27) merupakan daerah pesisir yang cenderung

subur dibandingkan dengan daerah Rowo Gempol. Daerah ini terletak di pinggir sungai

Porong yang memisahkan Kabupaten Sidoarjo dengan Kabupaten Pasuruan. Banyak

masyarakat di DP ini yang bekerja di Surabaya. Dalam hal transportasi, dari DP 27 ini

lebih mudah ke Surabaya daripada ke Rowogempol. Kondisi inilah yang

memungkinkan terwujudnya subdialek Sidoarjo yang dibedakan dengan subdialek

Rowogempol.

Daerah Surabaya (DP 23) secara geografis memang berbatasan dengan daerah

Gresik (DP 20). Selain itu, komunikasi dan transportasinya pun tergolong lancar. Akan

tetapi, patut diperhatikan pula kedudukan Surabaya sebagai kota besar dengan ciri isolek

tersendiri. Secara umum, dengan kedudukan sebagai kota besar yang berpengaruh,

isolek Surabaya akan mempengaruhi isolek-isolek di sekitarnya. Berdasarkan hasil

pemetaan terlihat bahwa dengan daerah Gresik, isolek Surabaya menunjukkan adanya

perbedaan wicara dan subdialek. Berdasarkan hal ini dapatlah dikatakan bahwa

Surabaya merupakan subdialek tersendiri yang berbatasan dengan subdialek Gresik.

Memang, biarpun sarana transportasi dan komunikasi lancar, lalu lintas (masyarakat)

dari Surabaya ke Gresik tidak seramai seperti yang ke Jawa Tengah atau ke Jawa Timur

bagian Timur. Hal ini dimungkinkan juga menjadi salah satu penyebab adanya batas

subdialek antara Gresik dan Surabaya.

17

Page 18: Artikel Bu Kisyani

Selanjutnya, perbatasan Lamongan dan Gresik ternyata juga mewujudkan batas

subdialek. Secara sosial, masyarakat Lamongan memang lebih dekat dengan Tuban yang

berada di sebelah baratnya daripada dengan Gresik yang berada di sebelah timurnya. Hal

ini tampaknya juga didukung oleh masalah tujuan kepergian dan masalah padatnya lalu

lintas seperti yang telah dikemukakan di atas.

DP 30 yang merupakan subdialek Tengger, secara geografis memang "agak

terpisah" dengan daerah di bawahnya, yaitu di Keduwung Bawah (mereka menyebutnya

daerah "cara isr"). Transportasi dari Keduwung Bawah ke Keduwung Atas tidak dapat

berjalan jika musim hujan. Satu-satunya cara adalah dengan berjalan kaki. Daerah

Keduwung Atas ini hanya merupakan salah satu daerah Tengger yang berada di

Kabupaten Pasuruan. Daerah ini masih tergolong "tertutup" bila dibandingkan dengan

daerah Tengger lain yang dijadikan objek wisata. Selain itu, berdasarkan cerita turun

temurun dan secara historis, masyarakat Tengger pada awalnya merupakan masyarakat

pelarian dari Majapahit. Daerah Tengger merupakan daerah yang agak terpisah dan sulit

dijangkau sehingga mereka aman di sana. Hal ini ikut mendukung kedudukan DP 30

sebagai subdialek tersendiri yang dalam penelitian ini disebut subdialek Tengger.

Selanjutnya, berkas isoglos leksikal pada peta 3 dan gabungan dialektometri

leksikal dan fonologis pada peta 5 semakin mengukuhkan kedudukan DP 32 dan 33

sebagai salah satu dialek bahasa Jawa. Penggolongan DP 32 dan 33 ke dalam dialek,

yaitu "dialek Osing" merupakan penggolongan berdasarkan berkas isoglos dan

penghitungan dialektometris (leksikal dan fonologis). Akan tetapi, penutur Osing

menganggap bahwa "bahasa" mereka merupakan "bahasa Osing" [bs os].

Penggunaan istilah "bahasa" ini dapat dicermati dari dua sisi. Yang pertama ialah

"bahasa" dalam identitas sebagai sesuatu yang mandiri yang berbeda dengan bahasa lain

(bukan sekadar dialek). Yang kedua ialah "bahasa" [bs] dalam identitas sebagai

penanda jati diri kelompok atau daerah, seperti halnya istilah [bs baumas, bs tgr,

bs surby], dst. Yang menarik, ternyata penutur Osing menganggap bahwa "bahasa"

mereka itu merupakan "bahasa" tersendiri yang tidak sama dengan bahasa Jawa. Mereka

beranggapan bahwa istilah "bahasa Osing" merupakan istilah yang lebih tepat daripada

18

Page 19: Artikel Bu Kisyani

"dialek Osing". Dalam hal ini patut diperhatikan bahwa penggolongan suatu bahasa atau

dialek dapat ditentukan dari sisi linguistik atau dari sisi penuturnya. Oleh karena itu,

dapatlah dikatakan bahwa istilah "bahasa Osing" adalah istilah yang berkenaan dengan

pendapat penuturnya, sedangkan istilah "dialek Osing" merupakan istilah yang

berkenaan dengan hasil penghitungan linguistis (secara dialektometris).

Istilah [cara tgr] merupakan istilah yang sama populernya dengan istilah [basa

tgr] bagi masyarakat Tengger di Keduwung Atas. Adapun istilah [dial tgr]

ternyata juga sudah mulai "agak diterima" mereka. Akan tetapi, hasil penghitungan

secara dialektometris ternyata menunjukkan bahwa isolek mereka tergolong dalam

subdialek (bukan dialek). Hasil ini ternyata tidak sama dengan beberapa penelitian

sebelumnya yang sering menyebut "dialek Tengger". Hal ini menunjukkan bahwa

semakin lama, dengan komunikasi dan transportasi yang semakin maju dapat saja

terjadi pelunturan batas dialek menjadi subdialek. Oleh karena itu, seperti halnya yang

berlaku di DP 32 dan 33, istilah "basa Tengger" merupakan istilah yang berkenaan

dengan pendapat penuturnya, sedangkan istilah "subdialek Tengger" merupakan istilah

yang berkenaan dengan hasil penghitungan linguistis (secara dialektometris).

d. Penghitungan Permutasi

Penghitungan secara permutasi dapat digunakan untuk mengetahui jarak kosakata

antara satu DP dengan DP lainnya yang tidak bertetangga. Penghitungan secara

permutasi ini dapat juga dipakai untuk meninjau konsep Voegelin dan Harris yang

menyatakan bahwa derajat pemahaman searah dengan jarak sehingga akan didapat mata

rantai pemahaman (Lauder, 1993).

Penghitungan ada atau tidaknya gradasi pemahaman timbal balik dilihat

berdasarkan: (a) jarak kosakata dari satu DP di sebelah timur-tengah Jawa Timur dengan

DP lainnya sampai ke Jawa Timur bagian barat laut, (b) jarak kosakata dari satu DP di

sebelah tenggara Jawa Timur dengan DP lainnya sampai ke Jawa Timur bagian barat-

tengah, (c) jarak kosakata dari satu DP di sebelah barat-tengah Jawa Timur dengan DP

lainnya sampai ke Jawa Timur bagian tenggara, (d) jarak kosakata dari satu DP di

19

Page 20: Artikel Bu Kisyani

sebelah barat laut Jawa Timur dengan DP lainnya sampai ke Jawa Timur bagian timur-

tengah. Berikut ini adalah tabel dialektometri leksikal secara keseluruhan untuk

keperluan permutasi.

Tabel 6: Permutasi

(a) No. Desa % (b) No. Desa % (c) No. Desa % (d) No. Desa %33-- 31 61 35-- 34 10 1-- 3 18 2-- 4 1933--27 58 35-- 30 46 1-- 5 23 2-- 6 2533--23 61 35-- 28 34 1-- 9 22 2-- 7 2833--20 61 35-- 17 35 1-- 17 31 2-- 18 3933--18 61 35-- 9 27 1-- 28 30 2-- 20 4233--7 58 35-- 5 25 1-- 30 43 2-- 23 3633--6 56 35-- 3 27 1-- 34 24 2-- 27 3633--4 57 35-- 1 22 1-- 35 22 2-- 31 4633--2 59 2-- 33 59

Penghitungan dialektometri secara permutasi ini menunjukkan bahwa mata

rantai pemahaman tidak selamanya menunjukkan kesejajaran antara jarak kosakata

dengan jarak secara nyata.

e. Identifikasi Dialek dan Subdialek

Berdasarkan penghitungan dialektometri leksikal, dialektometri fonologis,

penghimpunan berkas isoglos, dan penghitungan permutasi, bahasa Jawa di Jawa Timur

bagian Utara dan Blambangan terdiri atas dua dialek, yaitu dialek Osing dan dialek

Jawa Timur (selain Osing). Dalam dialek Jawa Timur terdapat sepuluh subdialek,

yaitu: subdialek Banyuwangi Selatan, subdialek Bojonegoro, subdialek Gresik,

subdialek Lamongan, subdialek Mojokerto, subdialek Pasuruan, subdialek

Rowogempol, subdialek Sidoarjo, subdialek Surabaya, dan subdialek Tengger.

Kedudukan Osing sebagai dialek dan Tengger sebagai subdialek sebagai hasil

penelitian ini merupakan suatu hal yang agak mengejutkan karena selama ini dikenal

istilah "bahasa Osing" dan "dialek Tengger". Di sini jelas telah terjadi pergeseran

tingkatan isolek seiring dengan perjalanan waktu. Bahkan, perlu pula dicermati bahwa

20

Page 21: Artikel Bu Kisyani

batas persentase dialektometris untuk dialek Osing dan subdialek Tengger ini

cenderung mendekati ambang bawah.

2. Deskripsi Bentuk-Bentuk Linguistik

Deskripsi bentuk-bentuk linguistik bahasa Jawa di Jawa Timur bagian utara dan

Blambangan menunjukkan banyaknya bentuk BJK yang masih dipelihara dan

dipertahankan penggunaannnya sampai saat ini, misalnya: bentuk tiga suku: ktumbar

'ketumbar', lmbay 'daun kacang panjang'; berian: pisanan dan kawitan 'pertama', ir

'hidung' , sira 'kamu' , isun 'saya', aran 'nama', bsali 'pandai besi', wlula 'kulit

binatang', wragil 'anak termuda', wudun 'bisul'.

Dari deskripsi yang dikerjakan tampak beberapa kekhasan bentuk linguistik di

Jawa Timur bagian utara dan Blambangan yang ditandai oleh beberapa hal, yaitu:

a. Adanya perbedaan jumlah fonem vokal dengan rincian: (1) Ada delapan vokal, yaitu

/a/, /i/, /u/, /e/, //, //, /o/, // dalam subdialek Gresik, subdialek Pasuruan, subdialek

Rowogempol, subdialek Sidoarjo, dan subdialek Surabaya, (2) Ada tujuh vokal,

yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, //, /o/, // dalam dialek Osing, subdialek Bojonegoro, subdialek

Lamongan, subdialek Mojokerto, subdialek Banyuwangi Selatan, (3) Ada enam

vokal, yaitu /a/, /i/, /u/, /e/, //, /o/ dalam subdialek Tengger.

b. Bunyi [i] atau [u] pada posisi penultima dalam subdialek Bojonegoro, subdialek

Lamongan, dan subdialek Banyuwangi Selatan menjadi [e] atau [o] dalam dialek

Osing, subdialek Mojokerto, subdialek Gresik, subdialek Pasuruan, subdialek

Rowogempol, subdialek Sidoarjo, subdialek Surabaya, dan subdialek Tengger.

Misalnya: timn > temn 'ketimun'.

c. Adanya leksikon serapan dari bahasa Madura dan Bali, misalnya: rng 'nyamuk',

ba(wa) temr 'bawang merah', t rt 'ranting' (dari bahasa Madura); pk 'sabuk',

kl ' bisu', osng 'tidak' (dari bahasa Bali).

d. Adanya leksikon khusus atau pola yang dikenal sebagai merek dialek atau

subdialek. Misalnya: (1) dialek Osing: (o)s 'tidak', abya 'merah', sijai 'satu',

sirgw 'kaubawa' ; (2) subdialek Bojonegoro: -(n)m '-mu', -lh '-lah', puth 'putih',

21

Page 22: Artikel Bu Kisyani

spulh 'sepuluh' ; (3) subdialek Gresik: t 'di-, di', p '-lah', snana 'anak saya'

(pola: pronomina posesif mendahului nominanya) , dipekl amb aku 'saya pikul'

(pola: O1 terletak sesudah kata kerja pasif); (4) subdialek Rowogempol: r

'nyamuk', t rat 'ranting'; (5) subdialek Surabaya: ca 'kakak laki-laki', n 'kakak

wanita; (6) subdialek Tengger: mata 'mata', siragawa 'kaubawa', manja 'menanam'.

d. Deskripsi berian krama menunjukkan bahwa terdapat 312 berian krama dari 829

glos yang ditanyakan. DP yang paling sedikit mempunyai berian krama terdapat

dalam dialek Osing , subdialek Gresik, dan subdialek Rowogempol. Adapun DP

yang paling banyak mempunyai berian krama adalah DP masyarakat Samin yang

termasuk dalam subdialek Bojonegoro.

e. Dengan responden yang berpendidikan relatif rendah dan dari kalangan menengah ke

bawah, dijumpai bentuk krama yang menggunakan krama inggil untuk diri sendiri

(O1) semacam Kula sare rumiyin 'Saya tidur dulu', Kula badhe dhahar 'Saya akan

makan'.

3. Pengaruh antarbahasa serta Daerah Relik dan Daerah Inovatif

Bahasa Jawa di Jawa Timur bagian utara dan Blambangan ternyata bersentuhan dan

dipengaruhi oleh bahasa lain, yaitu bahasa Madura, bahasa Bali, dan bahasa Melayu.

Pengaruh bahasa Madura tersebar di Jawa Timur bagian timur laut. Sebagai

batas paling barat adalah daerah di kabupaten Lamongan dan Jombang. Pengaruh yang

kuat terdapat dalam subdialek Gresik, subdialek Mojokerto, subdialek Pasuruan,

subdialek Rowogempol, subdialek Sidoarjo, dan subdialek Surabaya, sedangkan

pengaruh yang sedang terdapat pada dialek Osing, subdialek Lamongan (sebagian),

subdialek Mojokerto, dan subdialek Tengger.

Pengaruh bahasa Bali tersebar di daerah Jawa Timur bagian ujung timur laut,

yaitu di daerah dialek Osing.

Subdialek Gresik, sudialek Rowogempol, subdialek Pasuruan, subdialek

Sidoarjo, dan subdialek Surabaya adalah subdialek yang dipengaruhi oleh bahasa

22

Page 23: Artikel Bu Kisyani

Madura. Selain itu, pengaruh bahasa Madura sedikit banyak juga ada dalam subdialek

Lamongan (sebagian), subdialek Mojokerto, dan subdialek Tengger.

Subdialek Banyuwangi Selatan dan subdialek Bojonegoro adalah subdialek di

Jawa Timur yang menggunakan beberapa kata yang sama dengan kata-kata khas dialek

standar.

Adapun subdialek Lamongan adalah subdialek yang dipengaruhi oleh bahasa

Madura.

Selanjutnya, penetapan daerah relik dan daerah inovatif menggunakan dasar

penghitungan leksikal dan fonologis. Adapun yang dijadikan patokan bentuk relik ialah

BJK yang terdapat dalam kamus Zoetmulder (1982) dan Mardiwarsito (1981). Dalam

penghitungan leksikal, ada 128 glos yang digunakan dengan patokan leksem dalam BJK.

Penghitungan fonologis menggunakan sebelas macam model yang terdapat dalam

deskripsi fonologis dengan patokan bentuk-bentuk dalam BJK.

Berdasarkan penghitungan leksikal dan fonologis dapatlah dinyatakan bahwa

daerah relik ialah DP 1 (subdialek Bojonegoro) dan 30 (subdialek Tengger), yaitu daerah

masyarakat Samin dan masyarakat Tengger. Adapun daerah inovatif ialah DP

27,31,32,33. DP 27 (subdialek Sidoarjo) dan 31 (subdialek Rowogempol) ialah DP yang

terletak di pesisir yang kedua-duanya merupakan daerah yang terpengaruh bahasa

Madura (pengaruh "kuat"). Bahkan DP 31 ialah DP yang merupakan wilayah perbatasan

antara bahasa Jawa di sebelah barat dan bahasa Madura di sebelah timur. Adapun DP 32

dan 33 merupakan wilayah dialek Osing.

6. Peta Bahasa

Sebagai bagian akhir, berikut ini adalah peta bahasa yang dihasilkan.

Peta 8: Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan

23

Page 24: Artikel Bu Kisyani

Batas Dialek, Subdialek, Pengaruh, Daerah Relik, dan Daerah Inovatif

= daerah yang terpengaruh bahasa Madura (pengaruh "kuat") = daerah yang menggunakan beberapa kata yang

sama dengan kata-kata khas dialek standar

= daerah yang terpengaruh bahasa Madura (pengaruh "sedang") = daerah relik

= daerah yang terpengaruh bahasa Madura dan Bali = daerah inovatif

E. Simpulan dan Saran

1. Simpulan

Dari berbagai cara pengidentifikasian dialek (berkas isoglos, permutasi, dialektometri)

ternyata hasil pengidentifikasian dengan penghitungan dialektometri yang dianggap

paling jelas dan paling tepat. Penghitungan dialektometri secara fonologis dan leksikal

ternyata bersifat saling mendukung. Dialektometri leksikal lebih beragam dalam

menghasilkan perbedaan, khususnya dalam perbedaan dubdialek. Walaupun demikian,

hasil penghitungan dialektometri fonologis tampaknya lebih kuat menghadapi gejala

pergeseran dialek daripada dialektometri leksikal. Hal ini disebabkan dialektometri

fonologis banyak berurusan dengan sistem atau pola tertentu yang lebih kuat bertahan

karena dari satu pola yang terbatas dapat mewujudkan berian yang dimungkinkan tak

24

Page 25: Artikel Bu Kisyani

terbatas. Adapun dialektometri leksikal tampaknya lebih rentan menghadapi pergeseran

dialek karena berdasarkan pada penghitungan perbedaan per leksikon.

C. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang merupakan pengidentifikasian dialek/

subdialek bahasa Jawa secara keseluruhan di Pulau Jawa.

2. Instrumen penelitian untuk bahasa Jawa pada masa mendatang perlu dibenahi lagi

karena ada beberapa glos yang sudah tidak dikenal lagi dan ada glos yang

menimbulkan multitafsir. Beberapa glos yang perlu dibenahi di antaranya adalah:

BAGIAN, RU, KATI, SEJUK, TINJU, JAHAT, BUYUNG, LALANDAK.

Di samping itu, instrumen untuk kajian perbedaan morfologis dan sintaksis juga perlu

dibenahi.

3. Data tingkat tutur dalam penelitian ini merupakan data sampingan yang disediakan

berdasarkan berian para responden yang rata-rata berpendidikan relatif rendah dan

dari kalangan menengah ke bawah. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini yang berkaitan

dengan tingkat tutur merupakan cerminan dari kondisi masyarakat seperti itu yang

merupakan mayoritas di daerahnya. Untuk dapat menggali lebih dalam lagi dan

untuk membulatcermatkan hasil (untuk penelitian lanjutan), diperlukan responden

yang berpendidikan relatif tinggi dan berkedudukan terpandang.

25

Page 26: Artikel Bu Kisyani

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Winarsih Partaningrat. 1995. Babad Blambangan. Yogyakarta: Bentang Budaya.Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa.Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan, Kementrian P.P.K. Djakarta. 1953. Medan Bahasa.

November 1953. Jakarta.Chambers, J.K. dan Peter Trudgill. 1990. Dialektologi. Terj. Annuar Ayub. Kuala Lumpur:

Dewan Bahasa dan Pustaka.Lauder, Multamia Retno Mayekti Tawangsih. 1993. Pemetaan dan Distribusi Bahasa-

Bahasa di Tangerang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.Lembaga Bahasa Nasional. 1972. “Peta Bahasa-Bahasa di Indonesia”. Dalam Bahasa dan

Kesusastraan, Seri Khusus no. 10/1972 (hlm. 28). Jakarta: Ditjen Kebudayaan, Depdikbud.

Mahsun, 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada Uni-versity Press.

Mardiwarsito, L. 1981. Kamus Bahasa Jawa Kuno. Yogyakarta. Moeljono, Mas; Koentjahjo; Ardiana, Leo Idra; Tampoebolon, ESP.; Widayati, Sri Wahyu.

1986. Tingkat Tutur Bahasa Jawa Dialek Banyuwangi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Nothofer, Bernd. 1980. Dialektgeographische Untersuchungen in West-Java und im Westlichen Zentral-Java. Wiesbaden: Otto Horrassowitz.

Poedjosoedarmo, Soepomo; Th. Kundjana; Soepomo, Gloria; Alip; Suharso. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

26

Page 27: Artikel Bu Kisyani

Poedjosoedramo, Gloria R. Tanpa Tahun. Linguistik Historis: Sebuah Pengantar yang Memusatkan Perhatian Kepada Bahasa-Bahasa Austronesia. Brunei Darusalam: Universiti Brunei Darusalam.

Soedjito; Abdul Syukur Ibrahim; I.L. Marsoedi Oetomo, Imam Hanafi. 1981. Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Soedjito; Sunoto; Marsoedi Oetama, Abdul rachman; Mansur Hasan. 1986. Struktur Bahasa Jawa Dialek Tengger. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Sudaryanto (Ed.). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Thomas, Alan R. 1988. Methods in Dialectology. Philadelphia: Multilingual Matters Ltd..Uhlenbeck. 1964. A Critical Survey of Studies on The Languages of Java and Madura. The

Hague: ‘s-Gravenhage-Martinus Nijhoff.-----------. 1982. Kajian Morfologi Bahasa Jawa. Terj. Soenarjati Djajanegara. Jakarta:

Djambatan.Wurm, Stephen A. dan Hattori, Shiro. 1983. Language Atlas of the Pacific Area. Canberra:

Australia National University.Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese-English Dictionary. Leiden: ‘S-Gravenhage-Martinus

Nijhoff.DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Kisyani-Laksono, M. Hum.2. Tempat/tanggal lahir: Solo, 25 Oktober 19623. Jenis kelamin : Wanita 4. Pangkat/Gol./NIP : Penata Tk. I/III.d/1315786125. Jabatan fungsional : Lektor Madya6. Instansi/Fakultas : FBS Universitas Negeri Surabaya7. Alamat : Jalan Merpati 14, Rewwin, Waru, Sidoarjo 61256, 031-8536064, [email protected]

8. Pendidikan a. SD Muhammadiyah XI Surakarta, 1968—1973b. SMPN I Surakarta, 1974—1976c. SMAN III Surakarta, 1977—1980d. Sarjana (UNS Surakarta), 1980—1985, bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesiae. Magister (UGM, Yogyakarta), 1993—1995, bidang studi Sastra Indonesia dan Jawa,

Minat Utama Linguistik, f. Sedang ditempuh: S-3 linguistik UGM, 1998—….

9. Pengalaman Penelitian (10 tahun terakhir)a. Persepsi Siswa terhadap Unsur Pendidikan dalam Cerkan “Nyunin” dan “Jalan Lain

ke Roma’, 1991.

27

Page 28: Artikel Bu Kisyani

b. Uji Coba Buku Ajar “Berbicara” pada Mahasiswa Program S1, JPBSI, FPBS, IKIP Surabaya, 1992

c. Sastra Indonesia di Madura, 1992 (tim)d. Pemakaian Bahasa Jawa di Desa Sinangoh Prendeng, Kecamatan Kajen, Kabupaten

Pekalongan, 1993e. Uji Coba Program Pembetahan Anak Belajar Bahasa Indonesia di SDN Sukorame I

dan SDN Kuwurejo I Lamongan, 1993 (tim)f. Bahasa Jawa di Desa Mertasari, Kec. Purwanegara, Kab. Banjarnegara, 1994g. Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur di Mojokerto, 1995 (tesis).h. Jarak Kosakata Bahasa Jawa di Jawa Timur bagian Utara, 2000.

10. Penataran/Kursus/Seminar (sebagai pemakalah) 10 tahun terakhira. Mimbar Ilmiah, 8—9 Januari 1991, FPBS IKIP Surabaya: “Empat Struktur Pokok

Puisi dalam ‘Mata Pisau’ Karya Sapardi Djoko Damono”.b. Penataran dan Lokakarya Mahasiswa , 2—3 Agustus 1991, IKIP PGRI Surabaya:

“Teknik Penulisan Karya Ilmiah”c. Seminar Metode Pengajaran Bahasa Arab untuk Orang Indonesia, 11—17 Juli

1993, Surabaya: “Kontak Bahasa dan Dampaknya: Tinjauan Sekilas Kata Serapan dari Bahasa Arab”.

d. Seminar Internasional Bahasa dan Budaya di Dunia Melayu (Asia Tenggara), 21—23 Juni 1997, Unram Lombok: “Isolek Bahasa Jawa di Ujung Pangkah, Gresik”.

e. Kongres Linguistik Nasional, 7—11 November 1997, Hotel Brantas Surabaya: “Isolek Bahasa Jawa di Keduwung, Tengger”.

f. Bulan Bahasa 1998, 21 November 1998, IKIP Surabaya: “Bahasa Indonesia dan Tuntutan Zaman”.

h. Seminar Nasional Kajian Jepang di Indonesia Memasuki Abad XXI, 2—4 Desember 1998, kerja sama Japan Foundation dan IKIP Surabaya, Hotel Simpang Surabaya: “Huruf Kana dan Hanacaraka: Sistem, Keberadaan, dan Ke-survive-annya”.

i. Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora ke-5, 8—9 Desember 1998, UGM Yogyakarta: Sastra dan Perubahan Sosial.

j. Seminar Nasional Pengajaran Bahasa dan Sastra, 16—17 April 1999, Universitas Bung Hatta Padang: “Bahasa Indonesia: Masalah dan Cara Guru Menyiasatinya.”

k. Kongres Bahasa Jawa,. 2001, Yogyakarta: "Identifikasi Dialek dan Subdialek di Jawa Timur bagian Utara".

l. Kongres Linguistik Nasional, 1999, Jakarta: "Isolek Bahasa Jawa di Tuban dan Bojonegoro".

m. Diskusi Panel Nice Center, 2001, Surabaya: "Peran dan Kedudukan Wanita Indonesia dalam Budaya".

n. Seminar Internasional Bahasa Jepang, 2001, Surabaya: "Model Pengajaran Huruf Hancaraka dan Kana".

o. Seminar di Balai Bahasa Jawa Timur, 2001, Sidoarjo: "Bahasa Indonesia sebagai Pemersatu Bangsa: Fungsi dan Masalahnya".

28

Page 29: Artikel Bu Kisyani

11. Publikasi (10 tahun terakhir)a. Buku: Bunga Rampai Pelangi Bahasa dan Sastra Indonesia (tim), 1991, Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Surabayab. Majalah Ilmiah: Empat Struktur Pokok Puisi dalam “Mata Pisau “ Karya Sapardi

Djoko Damono, Dalam Prasasti tahun 1991, Surabaya.c. Buku: Bahasa Indonesia MKDU (tim), 1992, JPBSI FPBS IKIP Surabaya.d. Koran: Jawa Pos, Java Post, dan Pos Jawa, Dalam Jawa Pos, 25 Oktober 1992e. Koran: Demokratisasi Bahasa Indonesia: Siapa yang Diutamakan?, Dalam Jawa

Pos, 27 Oktober 1993. Surabaya (juara lomba esai Jawa Pos).f. Majalah Ilmiah: Hermeneutik dalam Bahasa: Tinjauan dari Sudut Pandang

Filsafat Ilmu Pengetahuan, Dalam Wahana, 5—12 Februari 1994/ThVI. Surabaya.g. Majalah Ilmiah: Kedudukan dan Fungsi Bahasa dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan,

Dalam Prasasti no. 14 th IV, April 1994. Surabaya.h. Majalah Ilmiah: Gaya Bahasa dalam Cerpen “Bercakap-cakap di Bawah Guguran

Daun “ Karya Frans Nadjira, Dalam Prasasti no. 16 th IV, Oktober 1994. Surabaya.

i. Majalah Ilmiah: Kontak Bahasa dan Dampaknya: Tinjauan Sekilas Kata Serapan dari Bahasa Arab, Dalam Prasasti no. 18, th IV, April 1995. Surabaya.

j. Majalah Ilmiah: Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur di Mojokerto: Jumlah Fonem dan Perbedaan Fonologis-Fonetisnya, Dalam Media no. 1/ th XVIII/1996 Maret 1996. Surabaya.

k. Majalah Ilmiah: Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur di Mojokerto: Evidensi Pewarisan Bahasa Jawa Kuno dan Batas Dialeknya, Dalam Prasasti no. 24 th VI, Okt. 1996. Surabaya.

l. Majalah Ilmiah: Vergib. Dalam Lernen und Lehren, 30. Jahrgang, Heft 2/1998. Jakarta.

m. Buku: Sastra Indonesia di Madura: Tinjauan Pengarang, Hasil Karya, dan Media (tim), 1998, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud., Jakarta.

n. Majalah Jawa : Anta Wacana Tumplak Punjen, Dalam Jaya Baya, September 1998. Surabaya.

o. Majalah Ilmiah: Isolek Bahasa Jawa di Keduwung, Tengger. Dalam Linguistik Indonesia, Juli dan Desember 1998. Jakarta.

p. Majalah Ilmiah: Isolek bahasa Jawa di Ujung Pangkah. Dalam Prasasti, Februari 1999. Surabaya.

q. Majalah Ilmiah: Isolek Bahasa Jawa di Tuban dan Bojonegoro. Dalam Linguistik Indonesia, Oktober 1999. Jakarta.

r. Majalah Ilmiah: Huruf Kana dan Hanacaraka. Dalam Verba, Oktober 2000. Surabaya.

12. Penghargaan yang pernah diperoleh a. Piagam (prestasi akademis terbaik), Dekan Fakultas Sastra UNS, Juni 1981b. Piagam (prestasi akademis terbaik), Dekan Fakultas Sastra UNS, Desember 1981c. Piagam (prestasi akademis terbaik), Dekan Fakultas Sastra, Desember 1983

29

Page 30: Artikel Bu Kisyani

d. Piagam dan Kamus (prestasi akademis terbaik se-jurusan), Dekan Fakultas Sastra UNS, Desember 1983

e. Piagam (juara lomba cerdas cermat kebahasaan), Dekan Fakultas Sastra, 14 November 1983

f. Tropi (juara lomba esai Jawa Pos), Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa a.n. Jawa Pos, 23 Oktober 1993

g. Piagam (prestasi akademis: cum laude), Rektor UGM, November 1995

13. Beasiswa yang pernah diperoleha. TID, 1981--1985b. TMPD, 1993--1995c. DAAD, November 1996--Januari 1997d. BPPS, 1997--2001

Surabaya, Oktober 2001Kisyani-Laksono, M.Hum.

LAMPIRAN 1

Peta Wilayah Penelitian di Jawa Timur

30

Page 31: Artikel Bu Kisyani

Peta Nomor Daerah Pengamatan (DP)

LAMPIRAN 2

Tabel Nama dan Nomor Daerah Penelitian

Dusun Desa/Kelurahan (K.) Kecamatan Kabupaten/Kotamadya

1 Jepang Margorejo Margorejo Bojonegoro2 Karangrejo Bancar Tuban3 Bareng Ngasem Bojonegoro4 Karangasem Jenu Tuban5 Balongrejo Sugihwaras Bojonegoro6 Bedahan Babat Lamongan7 Lohgung Brondong Lamongan8 Tlogo Sadang Paciran Lamongan9 Kabuh Kabuh Jombang10 Plumbon Gambang Gudo Jombang11 Gambiran Mojo Agung Jombang12 Sumber jati Jatiroto Mojokerto13 Trowulan Trowulan Mojokerto14 Suru Dawarblandong Mojokerto15 Tarik Tarik Sidoarjo16 Mojokembang Pacet Mojokerto17 Manduro Ngoro Mojokerto

31

Page 32: Artikel Bu Kisyani

18 Pangkah Kulon Ujung Pangkah Gresik19 Watu Agung Bungah Gresik20 Rooma Manyar Gresik21 K. Banjarsugihan Tandes Surabaya22 K. Waru Gunung Karang Pilang Surabaya23 Gambuhan dan

GaluhanBubutan Bubutan Surabaya

24 Kejawan Kejawan Putih Tambak Sukolilo Surabaya25 Tambak Oso Waru Sidoarjo26 Boro Tanggul Angin Sidoarjo27 Kedung rejo Jabon Sidoarjo28 Durensewu Pandaan Pasuruan29 Gerbo Purwodadi Pasuruan30 Keduwung Atas Keduwung Puspo Pasuruan31 Rowo Gempol Lekok Pasuruan32 Grogol Glagah Banyuwangi33 Kemiren Giri Banyuwangi34 Bulu Agung Pesanggaran Banyuwangi35 Kedung Asri Tegaldlimo Banyuwangi

32