analisis golput
Post on 17-Oct-2015
77 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU
(STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Oleh Acu Nurhidayat
NIM: 104033201077
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1430 H./2009 M.
-
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
-
FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU
(STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Oleh Acu Nurhidayat
NIM: 104033201077
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1430 H./2009 M.
-
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
-
FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU
(STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh Acu Nurhidayat
NIM: 104033201077
Pembimbing
Drs. Idris Thaha, M.Si
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1430 H./2009 M.
-
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA
ORDE BARU (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004) telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 2 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik
Islam.
Jakarta, 2 Maret 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A. NIP: 150262447 NIP: 150270808
Penguji I, Penguji II,
A. Bakir Ihsan, M.Si. M. Zaki Mubarak, M.Si. NIP: 150326915 NIP: 150371093
Pembimbing,
Idris Thaha, M.Si. NIP: 150318684
-
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 11 Februari 2009
Acu Nurhidayat
-
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan berbagai limpahan karunia kepada penulis sehingga dengan karunia
dan izin-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad
SAW, sebagai suri tauladan ummat yang telah rela menyumbangkan segenap
jiwa dan raganya demi kebahagiaan umat yang dicintainnya.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menemui kesulitan dan
hambatan terutama pengumpulan literatur, mengingat data-data golput masih
sedikit sekali dalam buku. Memang ada beberapa buku yang khusus membahas
golput, akan tetapi dirasa kurang mencukupi. Dengan keyakinan kuat, untuk itu
penulis memberanikan diri meneruskan penyusunan skripsi ini walaupun data-
data yang penulis dapatkan masih berceceran dalam bentuk opini-opini. Namun,
berkat bimbingan, dorongan alhamdulillah karya ini dapat tersusun.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis
sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Orang Tua, Ibunda Iyoh tercinta yang selalu memberikan cinta dan kasih
sayangnya yang tak terbatas dan ridho maupun doa yang selalu mengiringi
setiap langkah penulis. Ayahanda Husni tercinta yang telah berjuang
sekuat tenaga untuk mendidik dan menyekolahkan penulis hingga ke
perguruan tinggi, juga nasehat, doa serta motivasi yang selalu diberikan.
-
2. Keluarga tercinta, terutama kakak-kakak penulis yang selalu memberikan
motivasi: Kang Nana dan Ceu Yayah sekeluarga, Kang Oding dan Teh
Embet sekeluarga, Kang Encep dan Ceu Amih sekeluarga, A Rosid dan
Ceu Euis sekeluarga. Serta adik penulis, Ida Nurhayati dan keponakan-
keponakan penulis semuanya. Juga kepada keluarga besar yang selalu
memberikan dorongan dan doa kepada penulis.
3. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fil. dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag.,
Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih atas segala bantuan yang selalu
terkait dengan masalah administrasi di jurusan.
5. Bapak Drs. Idris Thaha, M.Si., pembimbing skripsi penulis. Terima kasih
atas bimbingan, pengarahan selama penulis di bimbing.
6. Bapak A. Bakir Ihsan, M.Si. dan Ibu Suryani M.Si., terima kasih atas
nasihat dan masukan-masukan sebelumnya sehingga penulis terinspirasi
mengambil judul golput. Juga kepada Bapak Dr. Sirojudin Aly, M.A.,
Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si., serta kepada seluruh dosen Jurusan
Pemikiran Politik Islam, yang telah membimbing, mendidik dan
mewariskan ilmunya kepada penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu, tapi tidak mengurangi rasa hormat penulis. Semoga ilmu yang
telah diberikan menjadi bermanfaat dan menjadi amal ibadah dan pahala di
sisi Allah SWT.
-
7. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin dan Perpustakaan Syariah UIN Jakarta yang telah memberikan
fasilitas kepada penulis dalam pencarian literatur yang diperlukan.
8. Pimpinan dan staf Perpustakaan Nasional, Perpustakaan LIPI,
Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan DKI Jakarta, bagian Humas
Komisi Pemilihan Umum (KPU), penulis ucapkan terima kasih.
9. Pimpinan dan semua Pengurus Yayasan Amal Abadi Beasiswa ORBIT
(YAAB-ORBIT), khusunya Mba Ibet, Mba Muji, dan Mas Tobar. Terima
kasih atas bantuan beasiswa pendidikannya selama ini, semoga amal yang
telah diberikan menjadi amal baik. Amin.
10. Teman-teman BEMJ PPI periode 2006-2007 serta teman-teman
seperjuangan di Jurusan Pemikiran Politik Islam: Hafiz, Gozy, Azis, Iin
Solihin, Mulyani, Dhika M. Hayat, Bayu K.W, Ipeh, Siti Suraidah, Dieny
Aulia Pratiwi, Wulan, Bunda Lulut Lutfiyah, dan teman-teman semuanya
yang tidak cukup penulis tuliskan di sini. Terima kasih atas bantuan dan
kerjasamanya baik di organisasi maupun selama studi.
11. Teman-teman di HMI KOMFUF: Fahru, Subairi, Muhali, dan semuanya.
Juga teman-teman seperjuangan hidup di Aula Insan Cita (AIC) HMI
Cabang Ciputat: K. Rafii, Cak Burhani, Rony Setiawan, Husni, Deden
Sandi, Azra, Adul, Jawa. Khusus kepada Mang Usman, terima kasih atas
diskusi dan masukannya, Pak Amay dan Saudara Apung terima kasih atas
bantuan dan pinjaman bukunya. Tidak lupa teman-teman di Lembaga
Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI) HMI Cabang Ciputat: Yunda
-
Syifa S.F., Hasanuddin, Maheso Jenar, Nurul, Alvi. Selamat berjuang
demi menggapai hari esok yang lebih cerah.
12. Teman-teman Forum Silaturahmi Alumni Anbim-ORBIT (FSAA ORBIT):
Fathul Arif, Zamzam, Kang Deni Kurniawan, Mas Ahmad Rifai, Mba
Filda Angelia, dan semuanya.
13. Teman-teman di Persatuan Mahasiswa Bekasi (Permasi-Bekasi): Amir
Hamzah, Arif Riyadi, Iwan Rahmat, Oeng, Syamsul Rijal, Adi dan
semuanya. Semoga jiwa persatuan kita tetap kuat dan selalu terus terjaga.
14. Teman-teman Sosiologi Agama: Siti Nurhayati (Aya), Iik Ikrimah, Lina
Hermawati, Siti Nay Nurjanah, dan Nadzariyah. Terima kasih atas bantuan
semuanya dan semoga silaturahmi kita tetap terus terjalin.
15. Seluruh teman-teman yang telah membantu atas penyusunan skripsi ini.
Terima kasih atas motivasi dan bantuan semuanya.
Tak ada gading yang tak retak, kira-kira ungkapan inilah yang cocok
untuk skripsi ini. Penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, baik isi, bahasa,
penulisan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan untuk perbaikan kedepannya.
Terakhir, hanya kepada Allah SWT penulis pasrahkan. Smoga skripsi ini
dapat bermanfaat adanya. Amin.
Jakarta, 11 Februari 2009
Penulis
-
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah....................................................... 11
C. Tujuan Penelitian............................................................................ 11
D. Metode Penelitian .......................................................................... 12
E. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GOLPUT
A. Pengertian dan Jenis-jenis Golput ................................................... 15
B. Penyebab Seseorang Golput............................................................ 19
C. Golput dalam Sejarah Pemilu di Indonesia..................................... 27
BAB III SEKILAS GAMBARAN PEMILIHAN UMUM TAHUN 2004
A. Pemilihan Umum Anggota Legislatif.............................................. 37
1. Kontestan Partai-partai Politik .................................................. 41
2. Perolehan Suara Partai-partai Politik......................................... 43
3. Koalisi Partai-partai Politik....................................................... 45
-
B. Pemilihan Umum Presiden Langsung ............................................ 49
1. .............................................................................................Pe
milu Presiden Putaran Pertama............................................ 51
2. .............................................................................................Has
il Pemilu Presiden Putara Pertama....................................... 53
3. .............................................................................................Pe
milu Presiden Putaran Kedua .............................................. 54
4. .............................................................................................Has
il Pemilu Presiden Putaran Kedua ....................................... 55
BAB IV FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PADA PEMILU 2004
A. Golput sebagai Sikap Kekecewaan Rakyat....................................... 57
B. Golput karena Masalah Teknis ......................................................... 68
C. Jenis-jenis Golput pada Pemilu 2004................................................ 74
1. .............................................................................................Gol
put Politis ........................................................................... 75
2. .............................................................................................Gol
put Teknis Administratif .................................................... 79
3. .............................................................................................Gol
put Teknis Non-Administratif ............................................ 81
D. Eksistensi Golput pada Pemilu 2004 sebagai Dampak
Liberalisasi Politik Pasca Orde Baru ............................................... 83
BAB V PENUTUP
-
A. Kesimpulan .................................................................................... 92
B. Saran-saran..................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 99
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum (pemilu) dalam sebuah negara demokrasi sudah menjadi
rutinitas dalam menentukan regenerasi kepemimpinan. Para teoretisi klasik, dari
Alexis Tocquiville hingga Thomas Jefferson percaya bahwa partisipasi politik,
khususnya pemberian suara dalam pemilihan umum (voting) merupakan kunci
menuju suatu pemerintahan yang demokratis.1 Pada momen pemilu itulah
masyarakat dapat berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya.
Di Indonesia, sejak paca kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia
telah melaksanakan sembilan kali pemilihan umum. Pemilu pertama diadakan
tahun 1955 yang merupakan pemilu pertama paling demokratis yang diikuti oleh
banyak partai politik. Pada masa Orde Baru pemilu dilaksanakan sebanyak enam
kali yakni pemilu 1971 yang hanya diikuti oleh sepuluh kontestan peserta pemilu
kemudian dilanjutkan pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang hanya
diikuti oleh tiga kontestan. Selanjutnya pasca Orde Baru, bangsa Indonesia telah
melaksanakan dua kali pemilu, yakni pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 kontestan
partai politik dan pemilu 2004 yang diikuti 24 kontestan partai politik.
Namun di balik cerita penyelenggaraan pemilu tersebut, pasca pemilu
1955, yakni pada era 1970an ada satu isu penting yang dimotori oleh sebagian
intelektual dan budayawan di tengah situasi penyelenggaraan pemilu yang tidak
jujur dan adil itu. Isu tersebut yaitu adanya gerakan moral yang memboikot
1Badri Khaeruman, dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput (Jakarta: PT Nimas Multima, 2004), h. 67.
-
pemilu dengan cara tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilu tiba.
Kelompok ini dikenal dengan nama golongan putih (golput).
Golput adalah golongan yang secara sadar menyatakan untuk tidak
memilih. Golput mulai muncul pada pemilu 1971 yang digagas oleh Arief
Budiman. Bersama rekan-rekannya waktu itu, ia memboikot pemilu sebagai
kekecewaan terhadap pemerintahan Soeharto yang dianggapnya tidak demokratis
dengan membatasi partai-partai politik. Dengan membatasi jumlah partai,
pemerintah sudah melanggar asas demokrasi yang paling mendasar, yakni
kemerdekaan berserikat dan berpolitik.2Dalam hal ini ungkapan Arief Budiman
perlu untuk dikutip:
Sebagai protes kepada UU pemilu yang waktu itu membatasi jumlah partai. Soeharto membatasi jumlah partai dan mencegah orang-orang yang kritis masuk menjadi anggota partai. Waktu itu saya dan teman-teman berbicara, ini sama juga bohong, katanya kita boleh memilihatas dasar itu kita memboikot pemilu.3
Sikap tidak senang terhadap campur tangan pemerintah dalam urusan
internal partai politik dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dalam
pengerahan masa yang hanya dikhususkan untuk mendukung partai pemerintah
dan bahkan masyarakat dikerahkan hanya untuk bekerja dan tidak punya peran
sama sekali dalam politik. Maka, kelompok-kelompok mahasiswa bersatu
menganjurkan pencoblosan di luar prosedur resmi. Kelompok ini oleh Arief
Budiman dinamakan golongan putih (golput) karena mengacu pada rekomendasi
2Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h. 105.
3Pernyataan ini disampaikan pada acara diskusi Metro TV dalam acara Election Watch tanggal 29 Januari 2004. Lihat Menghadang Politisi Busuk, dalam Talk Show Denny J.A Metro TV, Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 41.
-
kelompok tersebut untuk mencoblos bagian kosong (putih) kertas pemilu. Putih
disebandingkan dengan lawannya yakni hitam, kotor.4
Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa itu,
partai-partai politik juga hanya dijadikan sebagai mesin politik bagi rezim yang
sedang berkuasa. Orang-orang yang memimpin partai politik nampak sebagai elit
pemerintah dan menjadi corong terhadap program-program pemerintah. Mereka
sama sekali terpisah dengan massa sehingga dengan meningkatnya kemuakan di
tingkat akar rumput (grass root) terutama di kota-kota besar seperti Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, serta kota-kota besar lainnya muncul apatisme dari
masyarakat terhadap parpol-parpol yang ada yang diangapnya tidak mewakili
aspirasi masyarakat di bawah.5
Jadi jelas bahwa golput yang digagas oleh Arief Budiman dan kawan-
kawan adalah merupakan sikap yang secara sadar sebagai sebuah gerakan moral
yang sengaja dilakukan sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah dan
terhadap partai-partai politik.
Fenomena golput pasca 1971 masih terus menampakkan eksistensinya
setiap kali pemilu. Pengaruh golput menjadi lebih meluas, kali ini golput muncul
bersama dengan berbagai bentuk protes yang ada dalam masyarakat. Seperti yang
diungkapkan Arbi Sanit bahwa golput sudah tidak lagi merupakn gerakan protes
yang berdiri sendiri di kalangan luas pada umumnya dan di kalangan masyarakat
yang kritis terhadap penguasa pada khusunya. Akan tetapi golput telah menyatu
ke dalam berbagai gerakan yang bertujuan memperbaiki dan mencari alternatif
4Diakses pada 29 November 2008 dari http://mohon-aaf.blogspot.com/2008/04/gerakan-golput-dan-masa-depan-bangsa.html
5 Ibid.
-
dalam rangka penyempurnaan sistem politik Indonesia yang berdasarkan prinsip-
prinsip demokrasi universal.6
Kemunculan golput berikutnya bertujuan untuk mendorong proses
demokratisasi di Indoensia dengan cara menggugat secara langsung keabsahan
(legitimacy) kekuasaan rezim Orde Baru. Tidak hanya pada pelaksanaan pemilu,
akan tetapi dalam pelaksanaan sistem politik yang sudah ada.7
Dalam pemilu 1977, fenomena golput muncul di tengah-tengah krisis
politik yang dihadapi pemerintah Orde Baru. Di antaranya, adanya kebijakan fusi
terhadap partai politik (1973), munculnya kerusuhan Malari (1974),
terbongkarnya kasus korupsi Pertamina (1975), dan kasus korupsi di departemen-
departemen. Pada pemilu 1982, perpecahan-perpecahan politik di tingkat elit lebih
banyak dibicarakan orang. Terjadi konflik-konflik politik di tingkat elit.
Ketidakpuasan elit-elit terhadap Orde Baru terlihat dengan muncunlnya pressure
groups seperti kelompok Petisi 50.8
Pada pemilu 1987, Golkar mendapatkan suara paling tinggi yaitu 73,2%.
Kemenangan Golkar harus dibayar dengan biaya tinggi, yakni munculnya
ketegangan baru di kalangan elit-elit politik. Ketegangan ini berpusat pada
masalah-masalah strategis dalam pemerintahan yang belum terselesaikan yaitu
proses pergantian kepemimpinan nasional, stabilitas nasional, dan pembangunan
ekonomi.9 Dalam pemilu tahun ini proses regenerasi kepemimpinan menjadi isu
politik yang paling penting.
6Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h.32.
7 Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya (Yogyakarta:
LEKHAT, 1994), h.8. 8Ibid., h. 8-10. 9Ibid., h. 11-12.
-
Pada pemilu 1992, isu yang paling muncul yaitu demokratisasi politik dan
ekonomi. Keduanya adalah reaksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Orde
Baru yang banyak merugikan rakyat. Dalam situasi seperti inilah sikap dan
dukungan terhadap golput muncul di tengah-tengah protes tersebut. Sikap golput
tidak saja berkembang di kalangan pelajar, tetapi juga orang-orang miskin kota
dan desa yang merasakan secara langsung dampak dari pembangunan seperti
penggusuran tanah, buruh-buruh kehilangan pekerjaannya. Penggusuran besar-
besaran seperti terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah. Situasi inilah yang antara
lain membuat isu golput mendapatkan dukungan dari masyarakat. 10
Pemilu 1997 juga tidak banyak berbeda, bahkan ada semacam ketegasan
bahwa pemilu sudah kehilangan legitimasinya. Kali ini suara golput mencapai
sekitar 9,42%.11Ketidakpuasan masyarakat terlihat pasca pemilu, mereka
menganggapnya bahwa pemilu tersebut sarat dengan praktek-praktek yang kurang
demokratis. Apalagi setelah lebih dari 30 tahun Golkar berkuasa, kini
memenangkan kembali. Dengan menangnya kembali Golkar pertanda matinya
demokrasi di Indonesia.12
Isu golput juga terjadi tidak hanya pada masa Orde Baru saja yang
dianggap oleh sebagian masyarakat kurang demokratis. Pada era Reformasi
sekalipun ternyata fenomena ini sering terus ditemukan setiap kali pemilihan
umum baik pada pemilu 1999 maupun pada pemilu 2004.
10Ibid., h. 11-12. 11Mengenai data-data golput dari setiap pemilu dapat dilihat dalam AA GN Ari Dwipayana,
Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics? artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26
12Diakses pada 11 Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20 sah%20dan%20Suharto%20harus%20dipertahankan%20.htm
-
Pada pemilu 1999 jumlah golput mencapai 10,21%.13 Angka ini cukup
tinggi jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu masa Orde Baru. Di antara
penyebabnya adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah. Hilangnya kepercayaan masyarakat pada masa ini karena
pemerintahan Habibie dinilainya telah gagal dalam menyelesaikan berbagai
macam masalah, diantaranya seperti berlarut-larutnya penuntasan kasus KKN
Soeharto dan kroni-kroninya.14
Jika kita amati, ternyata fenomena ini (baca: angka golput) pasca Orde
Baru mengalami peningkatan. Menurut AA GN Ari Dwipayana, Dosen Fisipol
UGM, mengutip hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), menuliskan
bahwa Pemilu 1971 angka golput mencapai 6,64%, pemilu 1977 mencapai 8,40%,
pemilu 1982 mencapai 8,53%, pemilu 1987 mencapai 8,39%, pemilu 1992
mencapai 9,09%, pemilu 1997 mencapai 9,42%, pemilu 1999 mencapai 10,21%
dan pemilu 2004 mengalami peningkatan signifikan yakni mencapai 23,34%.15
Pemilu 2004 adalah pemilu langsung pertama kali dilaksanakan dalam
sejarah Indonesia untuk memilih presiden. Pada tahun ini rakyat Indonesia
mendapatkan kesempatan memilih secara langsung sesuai dengan amandemen
pasal 1 (ayat 2) UUD 1945 yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang. Dengan kata lain saatnya rakyat
berdaulat atas kehendak dan hak-hak politiknya.16Sepanjang sejarahnya, baru
13Mengenai 10,21% diambil dari artikelnya AA GN Ari Dwipayana, Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009 Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics? diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26
14 Pemilihan Presiden, Pemilu, dan Demokrasi di Indonesia, dalam Pax Benedanto dkk., Pemilihan Umum1999: Demokrasi atau Rebut Kursi? ( Jakart: LSPP, 1999), h.7.
15AA GN Ari Dwipayana, Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26
16Tabrani Sabirin, Pemilu Presiden 2004 (T.tp.: Komisi Pemilihan Umum, 2005), h. 3.
-
tahun ini bangsa Indonesia mencapai keberhasilan dalam meraih pencapaian
demokrasi terbesar.17
Ada hal menarik di sini yang perlu penulis teliti lebih jauh pada pemilu
2004, yakni tingginya angka golput dibandingkan dengan pemilu-pemilu
sebelumnya. Meningkatnya angka golput pada pemilu kali ini mengejutkan semua
kalangan. Padahal pada pemilu 2004 ini masyarakat sudah diberikan kebebasan
untuk berpolitik, tidak seperti pada era 70-an yang disebut-sebut pemilu kurang
demokratis. Sehingga, logis jika masyarakat ada yang tidak menyalurkan aspirasi
politiknya baik karena kekecewaan terhadap pemerintah saat itu ataupun sistem
pemilu yang tidak jurdil dan selalu dimenangkan oleh Golkar.
Akan tetapi pasca tumbangnya Orde Baru, partai politik sebagai wadah
agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat banyak bermunculan, masyarakat
diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan aturan perundang-undangan
yang ada. Fenomena yang terjadi justru malah sebaliknya, tingkat partisipasi
masyarakat malah menurun, bahkan pada pemilu 2004 tingkat partisipasi
masyarakat paling rendah dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Menurut Faisal Baasir, Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI menuturkan
bahwa meningkatnya angkat golput pada pemilu 2004 juga perlu dicermati, sebab
fenomena golput tidak terjadi hanya pada masa Orde Baru saja yang disebutkan
terjadi kecurangan dalam pemilu, pada tahun 1955 dan era Reformasi sekalipun
yang disebut-sebut pemilu paling demokratis, ternyata masih ditandai oleh
tingginya angka golput,18 sehingga kehadiran golongan ini tidak bisa diabaikan
17Ibid., h. 1. 18Faisal Baasir, Fenomena Golput dalam Pemilu 2004, artikel diakses pada 18 Oktober
2008 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/27/opi03.htm
-
begitu saja mengingat pemerintahan yang kurang didukung dengan partisipasi
tinggi dikhawatirkan kurang stabil.
Begitu juga dalam temuan Demos,19golongan putih (golput) masih
bertengger di urutan pertama pada pemilu 2004. Jumlah mereka diperkirakan akan
mencapai 34.509.246 suara (23,34%) pada pemilu legislatif. Dengan
meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 adalah indikasi apatisme politik
yang mengejutkan.20
Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, faktor apa yang menyebabkan
golput mengalami peningkatan pada pemilu 2004? Apakah memang semata-mata
merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah? Ataukah karena faktor lain,
misalnya pencoblosan tidak benar yang mengakibatkan surat suara rusak, sedang
berada di luar kota ketika pemilu berlangsung, atau dampak dari liberalisasi
politik pasca Orde Baru? Ataukah karena masalah kendala teknis, misanya karena
tidak terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)?
Pasca Orde Baru memang menyisakan kompleksitas permasalahan yang
ada, mulai dari tuntutan terhadap perbaikan ekonomi yang merupakan dampak
dari krisis 1998 yang tidak kunjung reda, korupsi terjadi di semua lini baik di
pemerintahan maupun di DPR, elit-elit politik dianggap tidak memperhatikan
aspirasi rakyat yang pada akhirnya mengakibatkan masyarakat kecewa terhadap
elit-elit politik yang berkuasa.
19Demos adalah lembaga kajian demokrasi dan hak asasi. Sisipan Demos merupakan kerja sama antara Tempo dengan perkumpulan Demos, sebuah perkumpulan di Jakarta yang bergiat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah demokrasi dan hak asasi manusia. Sisipan ini disponsori oleh Uni Eropa. Dalam edisi ketiganya, Demos menampilkan topik partai politik pasca Orde Baru.
20 Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan
05.
-
Akibat dari kekecewaan tersebut di atas, tidak jarang mereka
mengungkapkannya dengan cara tidak mencoblos pada saat pemilu tiba.
Berdasarkan wawancara Indepth terhadap responden pendukung golput, mereka
mengaku tidak akan menghadiri bilik suara/golput, setidaknya mempunyai empat
alasan. Pertama, Pemerintahan di era Reformasi, baik di masa pemerintahan Gus
Dur, maupun di masa Megawati Soekarnoputri telah gagal, pemerintah tidak
sanggup memperbaiki kondisi ekonomi yang telah terpuruk sejak pertengahan
1997. Kedua, mereka menilai kehadirannya ke bilik suara tidak ada arti apa-apa,
justru yang ada malah kerugian baik waktu, tenaga maupu finansial. Ketiga,
adanya urusan yang lebih penting. Urusan lebih penting di sini harus dipahami
dalam konteks tidak adanya nilai lebih. Daripada mencoblos lebih baik
mengerjakan yang lebih penting misalnya ke toko dan lain sebagainya. Keempat,
karena malas, malas dalam hal ini harus ditempatkan dalam kerangka tidak
adanya nilai lebih terhadap aktivitas politik dalam pemilu.21
Menurut Demos, fenomena golput ini setidaknya menjelaskan tiga hal.
Pertama, mulai mencuatnya rasionalitas pemilih, dengan pemilu yang relatif
aman, damai, dan demokratis, rakyat bisa lebih leluasa dalam mengekspresikan
kebebasan dan kedaulatannya. Pada pemilu 2004 membuktikan bahwa rakyat
punya rasionalitas sendiri. Elit-elit politik dinilainya hanya mementingkan
golongan dan partainya. Kedua, belum memadainya partai alternatif. Kebebasan
memang menciptakan peluang sekaligus juga ancaman akan terpragmentasinya
kekuatan reformis, ini disebabkan partai-partai baru muncul setengah hati
dengan ragam interes primordialnya, sehingga akan menjadi hambatan tersendiri
21Muhammad Asfar, Presiden Golput (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 244-247.
-
bagi terciptanya konsolidasi demokrasi. Ketiga, partai politik mengalami
malfungsi, terutama kaitannya dengan fungsi representasi. Partai politik tidak
mampu mengagregasikan kepentingan rakyat.22
Selain faktor di atas, ada juga indikasi meningkatnya golput disebabkan
oleh faktor lain. Misalnya adanya kesalahan dalam hal pencoblosan yang
mengakibatkan kertas suara menjadi tidak sah, ada juga karena kesalahan teknis
pendataan yang kurang akurat. Mengenai indikasi yang terakhir dapat dilihat
misalnya pada saat penetapan hasil pemilu legislatif 5 Mei 2004 lalu, KPU
menyebutkan sejumlah faktor. Diantara faktor-faktor tersebut yaitu adanya
pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali baik di tempat yang sama maupun di
tempat yang berbeda, adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena
pemiliknya tidak dikenali, adanya warga yang belum berhak memilih tapi sudah
mendapat kartu pemilih, adanya pemilih sudah meninggal dunia yang masih
terfdaftar, dan adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih.23
Untuk membuktikan indikasi-indikasi tersebut di atas, penulis merasa
tertarik mengungkap fenomena golput di Indonesia paca Orde Baru (era
Reformasi) yang mengalami trend peningkatan. Dalam hal ini penulis mencoba
untuk melihat dan menggali lebih jauh lagi khusus pada pemilu 2004 yang
merupakan pemilu langsung baik untuk memilih anggota legislatif maupun
presiden dalam sejarah pemilu di Indonesia. Hal ini akan disusun dalam sebuah
tulisan berbentuk skripsi dengan judul: Fenomena Golput di Indonesia Pasca
Orde Baru (Studi Kasus pada Pemilu 2004).
22Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05
23Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/ Mengapa-golput
-
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, agar jangkauan skripsi ini
lebih terarah, maka penulis membatasi permasalahan tersebut mengenai fenomena
golput di Indonesia pada pemilu 2004.
Berpijak pada batasan serta latar belakang masalah tersebut, maka penulis
perlu merumuskan permasalahan ini dalam bentuk pertanyaan: Faktor apa yang
menyebabkan meningkatnya golput di Indonesia pada pemilu 2004?
Adapun sub-sub permasalahan yang akan ditelusuri sebagai berikut:
1. Apa yang menyebabkan masyarakat kecewa terhadap parpol dan elit-elit
politik pada pemilu 2004?
2. Apakah meningkatnya golput pada pemilu 2004 juga disebabkan oleh
adanya faktor kendala teknis?
3. Apakah golput pada pemilu 2004 ada kaitannya dengan dampak dari
liberalisasi politik pasca Orde Baru?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk menguraikan dan
menganalisa lebih jauh tentang fenomena golput pada pemilu 2004 lewat
indikator-indikator sebagai berikut:
1. Adanya kekecewaan masyarakat terhadap parpol dan elit-elit politik.
2. Adanya faktor kendala teknis, baik administratif maupun non administratif
3. Adanya dampak liberalisasi politik pasca Orde Baru.
-
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan berupa pengumpulan
data dari berbagai literatur. Penulis menggunakan jenis penelitian Library
Research (studi kepustakaan) yaitu dengan mengumpulkan data-data yang
berkaitan dengan pemilu 2004 berupa buku-buku, artikel dari berbagai media baik
elektronik maupun cetak yang kemudian dibahas dan dianalisis lalu ditulis dalam
bentuk karya ilmiah.
Analisa data dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua
metode yaitu metode deskriptif dan analisis yaitu dengan mendeskripsikan dan
kemudian menganalisisnya sesuai dengan temuan penulis.
Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan Pedoman
Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), yang diterbitkan oleh
CeQDA, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun ke dalam lima bab. Bab I
Pendahuluan, pada bab ini penulis menjelaskan secara ringkas konteks serta
permasalahan yang diangkat sebagai cerminan isi skripsi ini secara global. Bab ini
mencakup latar belakang masalah, tujuan penelitian, rumusan dan batasan
masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II, penulis membahas golput sebagai variabel pertama. Pada Bab ini
pembahasan meliputi pengertian dan jenis-jenis golput yang diutarakan oleh para
pengamat. Tidak sedikit para pengamat mengomentari tentang golput, bahkan
beberapa pengamat ada yang mengklasifikasikan golput kepada beberapa jenis. Di
-
antaranya, ada golput ideologis, golput politis, golput pragmatis dan golput karena
kecelakaan; penyebab seseorang memilih golput, di sini diuraikan tentang apatis,
anomi, alienasi, dan sinisme yang merupakan bentuk ketidakikutsertaan
masyarakat dalam berpartisipasi; mengulas sekilas tentang sejarah golput di
Indonesia, di sini penulis menjabarkan sejarah golput dari pemilu 1971 hingga
pemilu pasca Orde Baru yakni pemilu 1999.
Selanjutnya pada Bab III, penulis membahas sekilas tentang pemilu
presiden dan legislatif pada pemilu 2004 yang merupakan variabel kedua dari
skripsi ini. Bahasan terdiri dari kontestan partai-partai politik peserta pemilu. Di
antara kontestan partai politik pemilu 2004, ada yang berasaskan Islam, sekuler
dan nasionalis yang nantinya akan penulis uraikan; hasil perolehan suara partai-
partai politik, di sini penulis juga menjelaskan tentang perbandingan suara yang
sah dan tidak sah serta jumlah keseluruhan pemilih; selanjutnya koalisi partai-
partai politik, di sini penulis akan menjabarkan tentang koalisi yang terjadi pada
saat itu yang pada akhirnya berujung pada terjalinnya koalisi kebangsaan dan
koalisi kerakyatan pada tahapan pemilihan presiden putaran kedua; dan terakhir
membahas tentang pemilihan presiden secara langsung yang merupakan pemilu
pertama di Indonesia, bahasan meliputi pelaksanaan pemilu presiden dan hasil
dari pilpres putaran pertama, pelaksanaan pilpres putaran kedua dan perolehan
hasil pilpres putaran kedua.
Selanjutnya pada Bab IV sebagai inti skripsi ini, penulis akan
menguraikan fenomena golput di Indonesia pada pemilu 2004. Mengenai
pemahaman golput tentunya penulis mengacu pada pandangan para tokoh yang
sudah banyak memberikan komentar seperti yang akan banyak diuraikan pada bab
-
kedua. Permasalahan-permasalahan yang akan diangkat terkait dengan
menigkatnya golput pada pemilu 2004 yaitu adanya indikasi-indikasi sebagai
berikut: adanya kekecewaan masyarakat terhadap partai dan elit-elit politik,
adanya kendala teknis baik administratif maupun non administratif, dan adanya
dampak liberalisasi politik pasca Orde Baru.
Pada Bab V penulis menutup dengan kesimpulan-kesimpulan yang
berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan skripsi ini. Karena
bahasan golput ini masih jarang yang meneliti dan penulis ketika mencari data
juga merasa kesulitan, pada bab ini juga penulis menambahkan saran-saran
terutama menyarankan kepada peneliti-peneliti lain agar dapat meneliti mengenai
golput lebih jauh lagi. Bagaimana pun juga, kita setuju atau tidak setuju terhadap
golput, yang jelas golput sudah menjadi fenomena yang selalu ada di setiap
pemilihan umum dan keberadaannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Pacsa Orde
Baru, rakyat sudah diberikan kebebasan dalam segala hal, khususnya dalam
bidang politik. Untuk itu, pada bab ini penulis juga menyarankan kepada khalayak
umum agar menggunakan hak pilihnya pada setiap pemilu/pilkada sebagai bentuk
partisipasi politik dalam rangka menentukan pemimpin yang lebih baik.
-
BABA II
TINJAUAN UMUM TENTANG GOLPUT
A. Pengertian dan Jenis-jenis Golput
Berbicara mengenai golput adalah berbicara sebuah fenomena yang selalu
ramai diperbincangkan setiap kali pemilu. Realitas yang ada membuktikan bahwa
di setiap pemilu dari mulai pemilu 1955-2004, angka pemilih yang tidak sah dan
atau warga yang tidak menggunakan hak pilihnya selalu terus ditemukan. Apakah
angka-angka tersebut masuk pada kategori golput?
Untuk itu, walaupun golput hanyalah suatu fenomena dan belum bisa
dikategorikan secara akademis, paling tidak pada bab ini, penulis ingin
menguraikan terlebih dahulu pengertian dan jenis-jenis golput menurut pandangan
para pengamat. Sehingga, nantinya penulis tidak bias dalam mengartikan golput
itu sendiri.
Golput atau golongan putih adalah sebutan yang dialamatkan kepada
orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Atau sering pula
didefinisikan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu partai
peserta pemilu. Intinya, golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada
sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu untuk
menentukan pemimpinnya.24
Dalam literatur perilaku memilih, penjelasan golput merujuk pada perilaku
nonvoting. Perilaku nonvoting umumnya digunakan untuk merujuk pada
fenomena ketidakhadiran seseorang dalam pemilu karena tiadanya motivasi. Di
24Badri Khaeruman dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput (Jakarta: PT Nimas Multima, 2004), h. 69.
-
beberapa negara dunia ketiga, perilaku nonvoting umumnya termanifestasikan
dalam berbagai bentuk. Di Brazil misalnya, di samping dimanifestasikan dalam
bentuk ketidakhadiran, juga dimanifestasikan dalam bentuk merusak kartu suara
atau tidak mencoblos (blank and spoiled ballots). Perilaku tidak memilih seperti
ini biasanya dipakai oleh para pemilih sebagai bentuk protes terhadap pemerintah,
partai politik dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya. Bentuk semacam ini juga
banyak ditemui di negara-negara yang menerapkan hukum wajib coblos seperti
Australia, Belgia, Italia, Brazil, dan yang lainnya.25
Menurut Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU)
2004, menuturkan bahwa golput khusus dialamatkan hanya kepada mereka yang
memang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara
atau sengaja merusak surat suaranya. Golput harus dilakukan sebagai sebuah
kesadaran politik.26
Berbeda dengan Ramlan Surbakti, Menurut Indra J. Piliang, peneliti dari
Center for Strategic and International Studies (CSIS), golput terbagi ke dalam tiga
kategori. Pertama, golput ideologis, yaitu golput yang disebabkan oleh penolakan
terhadap sistem ketatanegaraan. Sebagaimana halnya golput era 1970-an, yakni
semacam gerakan anti-state. Orang yang golput menganggap bahwa pemilu
dianggapnya hanya bagian dari korporasi elit-elit politik yang sebenarnya tidak
punya legitimasi kedaulatan rakyat. Kaum golput seperti ini memandang
bahwasanya undang-undang pemilu hanyalah bagian dari rekayasa segelintir
orang untuk mencari keuntungan atau kenikmatan. Kedua, golput pragmatis,
yaitu golput yang didasarkan oleh perhitungan rasional. Orang yang golput
25Muhammad Asfar, Presiden Golput (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 241-242. 26Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/13/
mengapa-golput/
-
memandang bahwa pemilihan umum baginya tidak berdampak apa-apa. Golput
model ini mirip dengan fardu ain dan fardu Kifayah dalam hukum Islam, yakni
bagi orang yang memilih sudah mewakili keseluruhan, sementara bagi orang yang
tidak ikut memilih tidak ada dosa politik kolektif. Orang-orang yang mencari
nafkah dan orang-orang yang tidak hadir pada hari pemilihan dengan berbagai
macam alasan termasuk golput model ini. Sikap mereka setengah-setengah
memandang pemilu, antara percaya dan tidak. Ketiga, golput politis, yaitu golput
yang disebabkan oleh faktor-faktor politik. Contoh Gus Dur menyatakan dirinya
golput akibat keputusan KPU dan Ikatan Dokter Indonesia yang memutuskan
bahwa ia tidak memenuhi syarat menjadi calon presiden. Juga golput yang
dilakukan oleh pendukung fanatik pasangan calon presiden dan wakil presiden
yang kalah dalam putaran pertama. Tapi sebenarnya kelompok ini masih percaya
kepada negara, juga percaya pada pemilu. Hanya saja akibat preferensi politiknya
berubah atau sistemnya secara sebagain juga merugikan mereka.27
Sementara menurut Arief Budiman28, Sosiolog dan pengajar di Universitas
Melbourne, Australia, menggolongkan golput pada tiga macam. Pertama golput
yang disebabkan oleh karena alasan politik, umpamanya golput akibat dari protes
terhadap undang-undang pemilu yang dianggapnya tidak jurdil dan kurang
demokratis atau karena semua calon yang ada di matanya kuarng layak. Kedua,
golput karena memang benar-benar apatis terhadap pemilu. Baginya urusan
politik adalah urusan elit-elit politik, politik di Indonesia dianggap sangat elitis,
27Indra J. Piliang, Golput dan Masyarakat Baru di Indonesia, artikel diakses pada 29 November 2008 dari http://64.203.71.11/kompas-cetak/0407/28/opini/1163352.htm
28Arief Budiman adalah salah satu pelopor gerakan golput. Ia dan rekan-rekannya memboikot pemilu 1971 dengan cara menyatakan tidak akan memilih pada pemilu tersebut. Pemilu waktu itu dianggapnya tidak demokratis. Golkar dan aparat pemerintah dianggap telah melakukan tindakan tidak wajar terhadap para peserta pemilu yang lain. Lihat Golongan putih dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6 (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.197.
-
dampak dari pemilu tidak akan berguna bagi masyarakat, karena para elit hanya
memikirakan kepentingan dirinya sendiri. Ketiga, golput karena kecelakaan.
Banyak orang yang tidak memahami aturan pemilu, sehingga tata cara
pencoblosan yang benar tidak mereka ketahui misalnya tidak boleh mencoblos di
luar gambar atau tidak boleh mencoblos lebih dari satu kali.29
Eep Saefulloh Fatah, selaku Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi
Indonesia mengungkapkan bahwa golput pasca Orde Baru mewakili spektrum
luas dan beragam. Dalam hal ini ia membagi golput kepada beberapa jenis. Ada
golput karena teknis-teknis tertentu (keluarga meninggal, ketiduran dan lain-lain),
berhalangan hadir ke TPS atau mereka yang salah mencoblos sehingga surat
suaranya rusak. Ada juga golput teknis-politis, misalnya mereka yang tidak
terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga
statistik, penyelenggara pemilu). Selanjutnya golput politis, mereka yang golput
menganggap bahwa semua kandidat yang ada di matanya tidak ada yang bagus
dan pada akhirnya ia tidak punya pilihan terhadap kandidat yang ada atau tidak
percaya bahwa pilkada [pemilu] akan membawa perubahan dan perbaikan. Dan
kelima, golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme
demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan
fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.30
29Arief Budiman, Golput, Gejala dan Masa Depannya, artikel diakses pada 29 November 2008 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/19/KL/mbm.20040719. KL93851id.html
30Di masa Orde Baru, memilih terkesan merupakan kewajiban. Pengingkaran atas kewajiban kerap kali mesti berhadapan dengan koersi dan represi, sehingga golput merupakan semacam perlawanan. Pasca Orde Baru, memilih merupakan hak, memilih atau tidak, tidak ada sanksi. Dalam kontek ini, maka golput tidak hanya mewakili kelompok homogen (kelompok yang protes )saja. Akan tetapi, golput sudah mewakili sebuah spektrum luas dan beragam. Lihat: Eep Sefuloh Fatah, Analisis Politik: Mengelola Golput Jakarta, artikel diakses pada 08 Desember 2008 dari http://www.lsi.or.id/liputan/273/analisis-politik-mengelola-golput-jakarta
-
Pada realitasnya, dalam penghitungan hasil pemilu, golput biasanya
dipakai untuk menggambarkan banyak fenomena, misalnya tidak hadir, kertas
suara kosong, surat suara rusak disengaja atau surat suara rusak yang tidak
disengaja. Panitia biasanya melabel terhadap surat suara tersebut dengan sebuatan
suara tidak sah, kecuali untuk yang tidak hadar.31
Dari pandangan para tokoh di atas, penulis lebih sepakat terhadap
pengkategorian golput tersebut menjadi beberapa jenis mengingat sulitnya untuk
mengidentifikasi secara pasti berapa jumlah golput yang memang benar-benar
tidak memilih yang disebabkan atas kekecewaan. Hal ini hanya dapat diprediksi
dari hasil lembaga-lembaga survei yang melakukan penelitian dan itu pun jika
penelitiannya valid. Dengan adanya survei setidaknya bisa mengidentifikasi suara
tidak sah tersebut. Dalam konteks pemilu 2004, dengan melihat indikator yang
sudah dipaparkan pada bab I, penulis mengklasifikasikan golput menjadi tiga:
golput politis, golput teknis administratif, dan golput teknis non administratif.
Ketiga kategori golput tersebut akan penulis uraikan pada bab selanjutnya.
B. Penyebab Seseorang Golput
Golput adalah suatu hal yang selalu ada di setiap pemilu. Apalagi terhadap
negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa
semakin demokratis suatu negara, maka semakin sedikit angka pengembalian
suara.32
Di negara-negara maju seperti Amerika sekalipun, tingkat partisipasi
masih rendah. Di beberapa kota di Amerika, masalah-masalah politik bukan
31Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 296. 32Badri Khaeruman dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput h. 89.
-
menjadi perhatian masyarakat. Mereka lebih memusatkan pada kegiatan-kegiatan
yang menyangkut makanan, seks, percintaan, keluarga, pekerjaan, kesenangan,
tempat berteduh, kenyamanan, persahabatan, harga diri sosial, dan yang
lainnya.33
Dalam studi perilaku pemilih (voter behavior), ada tiga teori yang
menjelaskan fenomena golput. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut
dalam pemilihan akibat dari latar belakang sosiologis. Misalnya faktor agama,
pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya. Kedua, teori psikologis. Keputusan
seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh faktor psikologis seperti
kedekatan (attachment) dengan partai atau kandidat yang ada. Ketiga, teori
ekonomi politik. Keputusan untuk memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan
rasional, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa
perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan akan adanya perubahan, dan
sebagainya.34
Idris Thaha dalam bukunya menuliskan, ada dua faktor yang menyebabkan
partisipasi warga negara dalam politik. Pertama, kesadaran terhadap hak dan
kewajiban sebagai warga negara. Kedua, sikap dan kepercayaan atau penilaian
warga negara terhadap pemerintah. Akan tetapi, keduanya tidak bisa berdiri
sendiri. Bisa jadi faktor tinggi rendahnya partisipasi politik masyarakat di
pengaruhi juga oleh faktor lain, misalnya status sosial dan ekonomi, afiliasi
politik orang tua dan pengalaman berorganisasi.35
33Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amin Rais (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), h. 224.
34Studi Golput dalam Pilkada DKI Jakarta, dalam catatan kaki, diakses pada 27 Januari
2009 dari www.lsi.co.id/media/MATERI_PENDAMPING_STUDI_EXIT_POLL_ 35Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amin
Rais. h. 224-225.
-
Seymour Martin Lipset, berdasarkan data pemilihan umum dari Amerika
Serikat dan beberapa negara Eropa Barat seperti Jerman, Swedia, Norwegia dan
Finlandia menemukan bahwa di negara-negara tersebut orang kota lebih banyak
memberikan suara daripada orang desa; mereka yang berumur 35 dan 55 lebih
banyak daripada yang usianya di bawah 35 tahun ataupun di atas 55 tahun; pria
lebih banyak daripada wanita; yang kawin lebih banyak daripada yang belum
kawain. Lebih lanjut Lipset mengungkapkan bahwa orang yang berpendapatan
tinggi, yang berpendidikan baik, dan yang berstatus sosial tinggi, cenderung lebih
banyak daripada orang yang berpendidikan dan berpendapatan rendah.36
Berbeda dengan Lipset, Muhammad Asfar dalam bukunya
mengungkapkan bahwa di Indonesia khususnya pada era Reformasi, justru para
pendukung golput (orang yang tidak berpartisipasi memberikan suara) malah dari
orang-orang yang pendidikannya memadai. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa
dari hasil wawancara dengan para responden, diketahui setidaknya terdapat dua
penjelasan. Petama, pendidikan tinggi memungkinkan seseorang dapat mengakses
informasi lebih memadai, sehingga mereka mempunyai informasi yang cukup
tehadap kebijakan yang diambil pemerintah. Dengan demikian mereka bisa tahu
baik keberhasilan-keberhasilan pemerintah maupun kekurangan-kekurangannya.
Kedua, perguruan tinggi memungkinkan seseorang untuk dapat membaca dan
menganalisis realitas sosial, ekonomi dan politik, sehingga lewat pergurun tinggi
tersebut seseorang mengetahui seperangkat alat baik berupa teori, konsep untuk
36Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 9.
-
menjelaskan dan menganalisis fenomena sosial dan politik. Sehingga informasi
yang mereka dapatkan tidak ditelan dengan mentah-mentah.37
Dalam bukunya Badri Khairuman, tipologi dari orientasi-orientasi yang
menandai ketidakikutsertaan masyarakat dalam urusan-urusan politik, termasuk
dalam pemberian suara pada saat pemilihan umum disebabkan oleh tiga faktor.
Pertama apatis (masa bodoh), sikap ini lebih dari sekedar manifestasi kepribadian
otoriter. Sikap ini terjadi akibat dari ketertutupan terhadap rangsangan politik,
baginya kegiatan politik tidak memberikan manfaat dan kepuasan, sehingga
mereka tidak punya minat dan perhatian terhadap politik. Kedua anomi (terpisah),
sikap ini merujuk kepada sikap ketidakmampuan, terutama kepada keputusasaan
yang dapat diantisapasi. Ia masih mengakui bahwa kegiatan politik adalah sesuatu
yang berguna, akan tetapi ia merasa tidak dapat memengaruhi peristiwa-peristiwa
dan kekuatan-kekuatan politik. Singkat kata, Anomi adalah sikapjika hal ini
menjadi ekstrem dan meluasakan mencakup suatu perasaan ketidakberdayaan
dalam mengendalikan hidup secara umum. Ketiga alienasi (terasing), sikap ini
berbeda dari apatis dan anomi. Alienasi merupakan sikap tidak percaya pada
pemerintah yang berasal dari keyakinan bahwa pemerintah tidak mempunyai
dampak terhadap dirinya. Individu yang teralienasi tidak hanya menarik diri dari
kegiatan politik, akan tetapi ia juga dapat mengambil alternatif untuk
menggulingkan kekuasaan dengan cara-cara kekerasan, atau dengan cara tanpa
kekerasan atau melakukan hijrah.38
Michael Rush dan Phillip Althoff mengemukakan pendapat serupa
terhadap orang-orang yang tidak turut serta berpartisaipasi dalam masalah politik.
37Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 259-262. 38Badri Khaeruman, dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput, h. 87-
88.
-
Di samping ketiga yang sudah disebutkan tadi seperti apatis, alienasi (terasing),
anomi (terpisah), ia menambahkan sinisme. Sinisme merupakan satu sikap yang
dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidakaktifan.39
Robert Agger dan rekan-rekannya mendefinisikan sinisme sebagai
kecurigaan yang buruk dari sifat manusia. Sinisme merupakan perasaan yang
menghayati tindakan dan motif orang lain dengan rasa kecurigaan, bahwa
pesimisme lebih realistis daripada optimisme; bahwa individu harus
memperhatikan kepentingan sendiri, karena masyarakat itu pada dasarnya ego-
sentris (memusatkan segala sesuatu pada diri sendiri). Secara politis, sinisme
menampilkan diri dalam berbagai cara: bahwa politik adalah urusan kotor, bahwa
politisi itu tidak dapat dipercaya, bahwa individu menjadi bulan-bulanan dari
kelompok yang melakukan manipulasi, bahwa kekuasan sebenarnya dilakukan
oleh orang-orang tanpa muka.40
Menurut Azyumardi Azra, penyebab golput di Indonesia belum bisa
dipastikan apakah memang benar-benar oleh karena ideologi, sikap apatis atau
karena faktor lain, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih. Adanya golput di
Indonesia tidak sama seperti di negara-negara lain, misalnya Inggris dan Amerika
yang memang di sebabkan oleh sikap apatis. Akan tetapi di Indonesia berbeda
dengan negara lain.41
Sedangkan menurut Roby Muhamad, dalam artikelnya menulis sedikitnya
ada tiga alasan mengapa seseorang memilih golput. Pertama, seseorang memilih
39Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 146.
40Ibid., h. 146-147. 41Pernyataan ini dikemukakan oleh Azyumardi Azra kepada wartawan di sela-sela acara
seminar bertema Membangun Jati Diri Bangsa untuk Masa Depan Indonesia di gedung rektorat Universitas Brawijaya Malang, Sabtu (17/7) ketika masih menjabat Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diakses pada 27 November 2008 dari http://www.sinarharapan.co.id/Berita/ 0302/05/nas10.html/
-
golput karena diluar kehendak, misalanya sakit parah yang mengakibatkan ia tidak
bisa memilih. Kedua, golput sebagai pernyataan politik yang mengisyaratkan
ketidakpercayaan pada sistem yang ada. Ketiga, menggangap memilih tidak
memberi keuntungan apa-apa bagi dirinya.42
Robi Cahyadi Kurniawan, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, dalam
opininya menulis, golput erat kaitannya dengan partisipasi. Partisipasi merupakan
perilaku atau aktivitas. Basis partisipasi menurut Huntington dan Nelson
(1977:15) dapat berupa individu maupun kolektif/kelompok.43 Hal senada juga
terdapat dalam bukunya Ramlan Surbakti, bahwa partisipasi politik dapat pula
dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku, yakni individual dan kolektif.
Partisipasi individual maksudnya, seseorang yang menulis surat berisi tuntutan
atau keluhan kepada pemerintah. Yang dimaksud partisipasi kolektif ialah
kegiatan warga negara secara serentak seperti kegiatan dalam proses pemilihan
umum. Partisipasi kolektif dibedakan menjadi dua, yakni partisipasi kolektif
konvensional seperti pemilihan umum dan partisipasi kolektif yang tidak
konvensional, seperti pemogokkan yang tidak sah, huru-hara dan lain
sebagainya.44
Menurut Gabriel A. Almond yang dikutip oleh Cheppy Haricahyono,
bentuk partisipasi seperti aktivitas pemberian suara (voting), diskusi politik,
kegiatan kampanye, bergabung dengan kelompok kepentingan, atau melakukan
komunikasi dengan pejabat-pejabat politik maupun administratif dianggapnya
42Robi Mumahamad, Golput dan Memilih dengan Rasional, artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/07/01002822/golput.dan. memi-lih.denagn rasional
43 Robi Cahyadi Kurniawan, Mencermati Fenomena Golput, artikel diakses pada 27
November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008080409245940 44Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Grasindo, Anggota IKAPI,
1999), h. 143.
-
sebagai bentuk yang normal atau yang sudah umum biasa dilakukan dalam
demokrasi modern.45
Penelitian individu di Barat umumnya memiliki basis individual,
menekankan pada kegiatan politik individu warga negara. Dalam hal ini bekaitan
dengan sistem nilai individualisme atau disebabkan kesadaran politik warga
negaranya tinggi. Sementara di Indonesia menekankan pada komunalisme
(kebersamaan atau gotong royong), artinya tindakan politik seseorang dipengaruhi
oleh struktur politik yang ada, status sosio-ekonominya, juga dipengaruhi oleh
kesadaran terhadap politik dan kepercayaan terhadap pemerintah. Apabila
seseorang memiliki kesadaran politik dan tingkat kepercayaan terhadap
pemerintah tinggi, maka tingkat partisipasi akan tinggi dan cenderung aktif.
Sebaliknya apabila tingkat kesadaran dan kepercayaan terhadap pemerintah
rendah, maka partisipasi cenderung pasif (apatis).46
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya menuliskan,
bentuk partisipasi politik ada yang dimobilisasi dan ada yang otonom. Partisipasi
yang dimobilisasi adalah kegiatan/aktivitas yang dikendalikan oleh orang lain di
luar si pelaku, dimaksudkan untuk memengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah. Misalnya petani-petani memberikan suara karena disuruh berbuat
demikian oleh tuan tanahnya. Di antara mereka juga ada yang memang tidak
mengerti makna tindakan mereka. Sementara partisipasi yang otonom adalah
sebaliknya yaitu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh pelaku sendiri yang
bermaksud untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Tingkat
45Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 181-182.
46Robi Cahyadi Kurniawan, Mencermati Fenomena Golput, artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008080409245940
-
partisipasi yang otonom pada umumnya lebih tinggi dalam sistem-sistem politik
yang demokratis daripada dalam sistem-sistem diktator.47
Pada konteks Indonesia, penulis melihat bahwa partisipasi politik yang
dimobilisasi banyak terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa ini banyak
masyarakat yang dimobilisasi oleh pemerintah untuk memenangkan salah satu
kontestan peserta pemilu pendukung pemerintah, para pejabat sipil dilarang
berpolitik agar loyal pada negara yang pada akhirnya juga dimobilisasi untuk
memilih Golkar. Pasca tumbangnya Orde Baru, terjadilah liberalisasi politik,
masyarakat bebas memilih partai manapun, termasuk tidak memilih merupakan
hak rakyat. Dalam konteks kebebasan itulah maka partisipasi yang terjadi adalah
partisipasi otonom, yakni adanya kebebasan sepenuhnya untuk menentukan siapa
calon pemimpin yang akan dipilihnya.
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa tinggi-rendahnya
partisipasi masyarakat tidak bisa dipengaruhi oleh satu faktor saja, akan tetapi
dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lainnya, misalnya faktor tingkat kepercayaan
masyarakat; faktor mobilisasi seperti yang terjadi pada masa Orde Baru; faktor
sosiologis seperti ikut-ikutan keluarga, pengaruh lingkungan tempat tinggal,
lingkungan organisasi; Faktor tingkat pendidikan, ekonomi, demografi dan tingkat
pendapatan (income); juga oleh faktor psikologis misalnya seperti kedekatan
dengan calon atau bahkan kekecewaan terhadap calon/kontestan peserta pemilu
yang pada akhirnya berujung pada sikap apatis.
Morris Rosenberg yang dikutif oleh Rush dan Althoff, mensugestikan tiga
alasan pokok apati politik. Pertama, adanya konsekuensi yang ditanggung dari
47Untuk lebih jelasnya mengenai partisipasi yang dimobilisasi dan yang otonom lihat Samuel P. Hungtinton dan Joan M. Nelson, Partisipasi politik: Tak Ada Pilihan Mudah (Jakarta: PT.Sangkala Pulsar, 1984), h. 7-12.
-
aktivitas politik. Dalam hal ini dapat mengambil beberapa bentuk, misalnya
individu merasa bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai
aspek hidupnya. Kedua, adanya anggapan pada individu dan masyarakat bahwa
partisipasi politik adalah hal yang sia-sia saja, oleh karenanya tidak efektif. Ia
beranggapan bahwa menggabungkan diri dengan orang lain untuk mendapatkan
suatu tujuan politik adalah tidak berguna. Ketiga, tidak adanya rangsangan yang
memadai di mata rakyat untuk berpartisipasi, baik materil maupun non materil.
Dengan tidak adanya perangsang menambahkan perasaan apati.48
Penyebab golput pada pemilu 2004, menurut penulis disebabkan oleh
banyak faktor. Di antaranya, faktor psikologis yakni adanya kekecewaan pada
elit-elit politik. Dalam hal ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap elit politik
khususnya pemerintah sangat rendah, sehingga yang terjadi adalah sikap apatis.
Bagi mereka ikut memilih tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa yang pada
akhirnya minat untuk berpartisipasi menjadi tidak ada. Selain faktor kekecewaan
tersebut, ada juga faktor lain yang ikut memengaruhinya seperti faktor
pendidikan, ekonomi, demografi, liberalisasi politik, dan daftar pemilih kurang
akurat juga termasuk sebagai penyebab meningkatnya golput pada pemilu 2004.
C. Golput dalam Sejarah Pemilu di Indonesia
Pemilihan umum (pemilu) pertama di Indonesia diadakan tahun 1955
untuk memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante. Pemilu 1955 adalah
pemilu yang dianggap paling demokratis pertama kalinya yang pernah diadakan di
Indonesia. Pada saat itu rakyat bergairah untuk berperan serta dalam
48Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, h. 144-146.
-
mensukseskan pemilu tersebut. Kemungkinan pada saat itu belum ada fenomena
golongan putih (golput) kalaupun mungkin ada tidak terdengar suaranya. Kira-
kira sekitar 91,54% dari jumlah rakyat pemilih terdaftar ikut menyampaikan
suaranya dalam pemilihan anggota DPR dan kira-kira sekitar 90% dari rakyat
pemilih terdaftar ikut menyampaikan suaranya dalam pemilihan anggota Dewan
Konstituante.49
Golput muncul pada awal tahun 1970-an, sebagai reaksi terhadap segala
kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah saat itu, pada saat menjelang pemilu
tahun 1971. Para pelopor golput adalah para aktivis angkatan 66 diantaranya
Arief Budiman, Marsilam Simanjuntak, Julius Usman, Imam Waluyo dan juga
Adnan Buyung Nasution. Yang kemudian gerakan ini mendapatkan dukungan
dari berbagai daerah seperti Bogor, Bandung, Yogyakarta, Semarang serta Solo.50
Menurut Harian Kami terbitan tanggal 4 Juni 1971, golput lahir di Balai Budaya
Jakarta dengan menyatakan tidak akan memilih salah satu tanda gambar peserta
pemilu waktu itu. Gerakan ini memperoleh dukungan dari beberapa dewan
mahasiswa dan senat mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia,
terutama di Jawa.51
Sebenarnya hakikat dari sikap dasar aktivis pendukung golput terhadap
rezim Orde Baru tertangkap dari perjuangan angkatan 66 dalam merealisasikan
dan melahirkan Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA). Tuntutan pertama yaitu
bubarkan PKI menjadi sasaran pergolakan mahasiswa dan komponen Orde Baru
49Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya (Yogyakarta: LEKHAT, 1994), h. iv. Lihat juga: Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia a Socio-legal Study of The Indonesia Konstituante 1956-1959, h. 30
50Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya, h. 2. 51
Golongan putih, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 6 (Jakarta: PT. Delta Pamungkas: 2004), h. 197.
-
lainnya yang meliputi dua sistem kekuasaan otoritarianisme yang sedang tumbuh
di Indonesia. Pertama Demokrasi Terpimpin Soekarno sejak pertengahan tahun
1959 dan kedua Partai Komunis yang meniti puncak usahanya untuk menguasai
negara lewat kudeta 30 September 1965. Tuntutan kedua, di balik kabinet sebagai
sasaran tuntutan mahasiswa, terihat sistem pemerintahan yang kurang efektif
sekalipun telah dibekali dengan kekuasan memusat berupa kewenangan untuk
mengintervensi DPR GR dan dilandasi oleh hanya tiga kekuatan politik
(Angkatan Darat, PKI dan PNI). Demokratisasi dan pengepektifan sistem
pemerintahan adalah hakikat dari tuntutan mahasiswa mengenai perombakan
kabinet. Tuntutan ketiga, penurunan harga yang bermakna pembangunan ekonomi
secara terencana dan terkontrol.52
Kesenjangan tujuan dan realitas pemilu dengan demokrasi sebagi cita-cita
Orde Baru antara lain tercermin di dalam tuntutan pertama TRITURA yaitu
pembubaran PKI sebagai realitas dan simbol dari kekuatan non demokrasi Orde
Lama. Inilah yang memotivasi lahirnya golput sebagai gerakan protes politik.
Seperti terungkap dalam deklarasinya pada tanggal 28 Mei 1971, mereka menolak
pelanggaran peraturan pemilu oleh segenap kontestan. Mereka tidak menerima
perlakun istimewa pemerintah terhadap Golkar. Semuanya itu menurut gerakan
52 Secara formal tuntutan pertama terpenuhi melalui TAP MPRS No. XXV tahun 1966
tanggal 5 Juli 1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan aktivis serta penyebaran ideologinya di seluruh Indonesia. Ketetapan ini sebagai bentuk pengukuhan konstitusional terhadap pembubaran PKI yang dilaksanakan lewat Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dibuat Presiden Soekarno kepada Jendral Soeharto sebagai pelaksana kekuasaan presiden. Adapaun tuntutan kedua adalah Tap MPR No. XLIV tahun 1968 tertanggal 27 Maret 1968 tentang pengangkatan Jendral Soeharto sebagai presiden, sehingga posisinya sebagai pelakasana kekuasaan presiden ditetapkan oleh MPRS No. IX tanggal 21 Juni 1966 ditingkatkan. Walau demikian pelaksanan Tritura kedua dan ketiga tidak selesai dengan politik secara formalitas sebab pengembangan sistem pemerintahan dan pelaksanan sistem pembangunan menyangkut aspek kehidupan dan kelembagaan masyarakat dan kenegaraan yang luas. Gerakan protes golput periode awal ini, sesungguhnya berpangkal kepada tuntutan rakyat untuk melakasanakan pembaruan sistem pemerintahan. Untuk lebih jelasnya lihat: Drs. Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h.19-20.
-
golput tidak sejalan dengan maksud untuk menumbuhkan demokrasi secara
konkret.53
Golput bukanlah berbentuk sebuah organisasi. Menjelang pemilu 1971
golput muncul hanyalah suatu kekuatan moral yang merupakan jawaban terhadap
situasi politik yang tidak sehat. Jadi golput muncul sebagai sebuah sikap protes
terhadap suramnya iklim demokrasi di negeri ini. Sebagai kekuatan moral, golput
tidak mempunyai keanggotaan yang resmi dan terorganisir dengan baik.54
Dalam deklarasinya juga disebutkan bahwa keanggotaan golput
diperuntukkan bagi mereka yang tidak puas dengan keadaan sekarang karena
aturan permainan demokrasi di injak-injak, tidak saja oleh partai politik, tapi juga
oleh golongan karya, dalam usahaya untuk memenangkan pemilu menggunakan
aparat pemerintah di luar batas aturan main yang demoktratis. Siapa saja yang
tidak suka, tidak setuju dengan sistem politik, dapat bergabung dengan golput.
Golput terbuka untuk orang-orang yang mendukung terwujudnya sistem politik
yang demokratis.55
Walaupun golput bukan sebuah organisasi, pada waktu itu golput seperti
halnya partai-partai lain juga melakukan pendidikan politik kepada masyarakat
agar masyarakat dapat bersikap kritis dan kreatif terhadap kehidupan politik di
Indonesia. Yang dimaksud pendidikan politik di sini adalah menanamkan
kesadaran kepada masyarakat bahwa di dalam suatu pemilihan umum, tidak ikut
memilih juga merupakan hak setiap waga negara.56
53Ibid., h.26-27. 54
Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya, h. 3. 55Ibid., h.3. 56Ibid., h. 3-4.
-
Dalam memberikan ceramah yang dilakukan di kampus IPB, Marsilam
Simanjuntak dan Julius Usman melakukan kampanye golput dan bertukar pikiran
terhadap 250 orang mahasiswa IPB, Univ. Inbu Chaldun, IAIN, dan wakil
organisasi mahasiswa seperti GM-sos, PMKRI, HMI, GMKI, GMNI dan Laskar
Hasanudin Noor.57
Selain memberikan ceramah-ceramah dan pendidikan politik, golput juga
melakukan kampanye untuk menyebarkan ide-idenya. Dalam hal ini misalnya
yang sering mereka lakukan seperti membuat pernyataan di media-media cetak,
penempelan tanda gambar golput berupa segi lima hitam di atas kertas/kain
dengan warna dasar putih dengan tulisan golput di bagian bawahnya berdekatan
dengan tanda gambar peserta pemilu lain. Dengan melihat cara-cara yang
dilakukannya, golput tampaknya bukanlah sekedar suatu gerakan moral, tetapi
telah menyerupai tindakan politik suatu kekuatan sosial politik peserta pemilu.
Bedanya partai politik sebagai peserta pemilu untuk memperkenalkan program-
programnya dijamin oleh undang-undang pemilu, sementara golput tidak
memiliki jaminan itu. Oleh sebab itu, oleh pemerintah gerakan ini dinilainya
inkonstitusional.58
Pada pemilu selanjutnya yakni pemilu 1977, 1982, 1987, dan pemilu 1992
pembicaran mengenai golput selalu muncul. Protes golput pada tahun-tahun ini
berbeda dengan golput pada pemilu 1971. Dalam hal ini Arbi Sanit menjelaskan:
Protes golput terhadap pelaksanaan pemilu 1977, 1982, 1987 dan bahkan terhadap pemilu tahu 1992 mendatang mengarah perhatiannya kepada proses pembentukkan legitimasi sistem politik. Itu berarti bahwa tingkah laku pemilih yang tergolong pada kategori golput merupakan ujud dari protes mereka terhadap proses pemenuhan kebutuhan sistem politik di Indonesia akan dukungan masyarakat yang dipandang tidak
57Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik, h. 28. 58
Golongan putih, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 6, h. 197.
-
mengoperasikan pengembangan demokrasi. Secara spesifik dapat dibedakan dua protes golput setelah 1971. Pertama, ialah memprotes proses pemilu sebagai mekanisme bagi pembentukkan legitimasi bagi format politik Orde Baru yang mampu menegakkan stabilitas politik akan tetapi menjurus kepada pemusatan kekuasaan dan berwatak penekan. Kedua, golput merupakan gerakan protes terhadap proses pemilu sebagai mekanisme legitimasi bagi kebijaksanaan dan kegiatan pembangunan dan berhasil meningkatkan penghasilan nasional akan tetapi diwarnai oleh berbagai kesenjangan.59
Pada pemilu 1977, golput mendapat perhatian kembali, walaupun
beberapa tokohnya tidak aktif lagi, pembicaraan mengenai golput muncul di
tengah-tengah krisis yang dihadapi oleh Orde Baru yakni krisis munculnya
kerusuhan Malari (1974), terbongkarnya juga kasus korupsi pada Pertamina
(1975) dan kasus-kasus korupsi lainnaya. Juga adanya fusi terhadap partai-partai
politik (1973) tidak luput dari protes masyarakat, para pendukung partai-partai
politik, terutama dari kalangan Umat Islam yang menganggapnya kebijakan
tersebut sebagai sikap anti Islam.60
Protes juga diikuti oleh para tokoh pendiri Orde Baru sendiri: para jendral,
intelaktual, seniman, wartawan dan politisi sipil lainnya. Di samping dari para
tokoh di atas, protes juga datang dari para mahasiswa. Orde Baru menjawabnya
dengan sikap represif. Penangkapan terhadap para tokoh mahasiswa di seluruh
Indonesia makin memperdalam krisis politik di Indonesia. Dalam kondisi seperti
ini, golput menjadi pilihan politik bagi kalangan terpelajar tersebut.61
Pada pemilu 1982, terjadi konflik-konflik politik di tingkat elit. Ketidak
puasan para elit terhadap pemerintah Orde Baru terlihat dengan munculnya
kelompok-kelompok penekan (pressure groups) seperti kelompok Petisi 50 yang
merupakan kelompok oposisi yang anggota-anggotanya terdiri dari para jenderal
59Ibid, h.30-31. 60Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia, h. 9. 61Ibid., h.10.
-
dan politisi sipil. Peranan mahasiswa pada tahun ini dibekukan oleh rezim Orde
Baru dengan arsiteknya Daud Yusuf sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan
dan dilanjuktkan oleh Prof. Nugroho Notosusanto dengan memberlakukan
normalisasi kehidupan kampus pada awal 1980-an. Mahasiswa dijauhkan dari
diskusi-diskusi politik.62
Dalam pemilu 1987, isu penting yang menjadi perdebatan yaitu mengenai
proses regenerasi kepemimpinan. Dalam pemilu tahun ini, tuntutan masyarakat
akan terwujudnya demokratisasi dalam bidang politik dan ekonomi muncul di
mana-mana. Termasuk dalam perubahan kepemimpinan nasional dan keadilan
sosial. Protes-protes dari masyarakat terlihat memenuhi pemberitaan media masa
akhir tahun 1980-an yang meliputi konflik-konflik tanah, masalah perburuhan,
pelanggaran HAM serta kerusakan lingkungan. Namun yang sering mendapat
perhatian dari masyarakat adalah menyangkut isu monopoli dalam bidang
ekonomi yang melibatkan aktivitas bisnis keluarga Soeharto. Pemberitaan tersebut
menjadikan isu ekonomi tersebut menjadi isu politik yang besar menjelang pemilu
1992.63
Pemilu 1992 diadakan pada situasi disaat masyarakat sedang memprotes
kebijakan pemerintah terkait dengan demokratisasi politik dan demokratisasi
ekonomi. Reaksi tersebut cermin dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah
Orde Baru yang banyak merugikan rakyat. Dalam situasi seperti ini, sikap protes
dan dukungan juga muncul terhadap golput. Kali ini, pendukung golput tidak saja
dari kalangan terpelajar, tetapi dari orang-orang miskin kota dan desa yang merasa
62Ibid., h. 10-11. 63Ibid., h. 12-14.
-
dirugikan langsung dari pembangunan Orde Baru. Misalnya petani digusur
tanahnya dan buruh-buruh yang kehilangan pekerjaannya.64
Protes juga terjadi di beberapa tempat misalnya, rakyat dirugikan oleh
proyek-poyek pembangunan seringakali rakyat mengancam secara terang-
terangan akan memboikot pemilihan umum 1992 yang berarti mereka sudah tidak
percaya terhadap Golkar dan partai-partai politik yang lainnya sebagai wakil
rakyat. Misalnya satu kasus terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah, ribuan rakyat
tergusur untuk membuat proyek waduk besar.65 Situasi seperti ini yang dirasa
golput mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Pada pemilu 1997 juga tak banyak berbeda. Bahkan ada semacam
ketegasan bahwa pemilu telah kehilangan legitimasinya. Hasil dari jajak pendapat
TEMPO Interaktif, masyoritas responden menyatakan tidak akan memilih atau
golput, yakni (64%) akan memilih yang lain dari tiga OPP yang ada. Yang
dimaksud dengan yang lain, sebagian responden menyatakan tidak ada OPP
yang dipilih. Kelompok kedua mengenai yang lain yang mereka maksud adalah
golput, ada lagi yang menyatakan tidak akan memilih yang berarti tidak akan
datang ke TPS. Masih dari kelompok yang ini menyatakan masih bingung,
belum tahu, atau belum menentukan pilihan.66 Dari sikap responden tersebut
jelas bahwa mereka masih ragu terhadap tiga kontestan yang ada akan membawa
perubahan.
Pasca pemilu 1997, banyak pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu.
Mereka menganggapnya bahwa pemilu tersebut sarat dengan praktek-praktek
64Ibid., h. 14. 65Ibid. 66
Golkar Akan Mengang, tapi Golput Kian Mengancam, dalam Pemilu 1997: Jajak Pendapat dan Analisa (T.tp.: Institut Studi Arus Informasi, 1997), h.10-11.
-
yang kurang demokratis. Apalagi setelah kurang lebih 30 tahun Golkar berkuasa
kini memenangkan kembali. Dengan menangnya kembali Golkar sebagai pertanda
matinya demokrasi di Indonesia. Ketidakpuasan terhadap pemerintah Orde Baru
dapat dilihat pada setiap unjuk rasa mahasiswa yang selalu membawa keranda
mayat. Di banyak universitas telah muncul aksi protes dari mahasiswa sebagai
penolakan terhadap pemilu yang tidak jurdil itu. Mereka juga melihat bahwa
pemilu 1997 merupakan rekayasa pemerintah untuk mempertahankan status quo-
nya. Mereka menganggap pemerintahan Soeharto yang membuat masa depan
bangsa ini menjadi kelam.67 Aksi mahasiswa yang menentang terpilihnya kembali
Soeharto semakin marak. Isu melakukan reformasi di segala bidang dan turunkan
Soeharto dari kursi kepresidenan mulai disuarakan oleh mahasiswa. Aksi secara
bersamaan hampir di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.68
Pemilu 1999 merupakan episode puncak dari gerakan reformasi sejak
awal 1998. Gerakan ini telah berhasil menurunkan Soeharto dari kursi
kepresidenan pada 21 Mei 1998. Sejak saat itu saluran aspirasi masyarakat
terbuka lebar antara lain dengan bermunculannya partai-partai politik, tumbuh
pesatnya media massa,69diberikannya hak kebebasan masyarakat di segala bidang
termasuk dalam bidang politik. Pada pemilu kali ini masyarakat sudah tidak bisa
dimobilisasi lagi sebagaimana pemilu-pemilu Orde Baru, masyarakat bebas
menentukan pilihannya, termasuk tidak memilih juga merupakan hak mereka.
Pada pemilu tahun ini bukan berarti tidak ada golput, justru pada pemilu tahun ini
67 Kemenangan Golkar adalah Kekalahannya di Bidang Moral, artikel diakses pada 11
Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20sah%20dan%20Suharto% 20harus%20dipertahankan%20.htm
68Al-Chaidar, Reormasi Prematur (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 15. 69
Pemilihan Presiden, Pemilu, dan Demokrasi di Indonesia, dalam Pax Benedanto dkk., Pemilihan Umum: Demokrasi atau Rebut Kursi? ( Jakart: LSPP, 1999), h.8.
-
jumlah golput mengalami peningkatan, yakni mencapai 10,21%. Angka ini cukup
tinggi jika dibandingkan dengan angka-angka golput semasa Orde Baru.
Menurut hasil wawancara Indepth terhadap responden pendukung golput
yang mengaku tidak akan memilih, di antara alasannya adalah pemerintahan di era
Reformasi baik di masa Gus Dur maupun Megawati telah gagal membawa amanat
rakyat dan tuntutan reformasi. Pemerintah gagal dalam memperbaiki kondisi
ekonomi yang telah terpuruk sejak pertengahan tahun 1997. Pemerintah juga
dinilai gagal dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, seperti tidak
sanggup memperbaiki sisi buram pemerintahan masa lalu, yaitu memberantas
KKN. Tidak hanya pemerintah, anggota DPR juga baik secara individu maupun
kelembagaan dinilai tidak mampu memperjuangkan kepentingan rakyat. Bahkan
DPR/DPRD juga dinilai terjangkit praktek-praktek KKN. Di samping itu, partai-
partai politik juga dianggapnya tidak memperdulikan nasib rakyat, hanya sibuk
mengurusi kepentingan kelompok dan elit-elitnya.70
70Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 244-245.
-
BAB III
SEKILAS GAMBARAN PEMILU
LEGISLATIF DAN PRESIDEN 2004
A. Pemilihan Umum Anggota Legislatif
Penjelasan pada bab dua yang menguraikan mengenai golput memberikan
pemahaman akan sebuah pengertian golput yang terjadi pada pemilu 2004.
Pandangan golput yang telah dibahas pada bab dua pun sangat urgen dalam
memberikan pengklasifikasian dan pengidentifikasian seputar golput yang terjadi
pada pemilu 2004 lalu.
Penulis sudah menyinggung sedikit seputar golput dan sedikit membahas
tentang pemilu 2004 pada bab I, akan tetapi belum memberikan penjelasan
gambaran khusus seputar pemilu 2004. Oleh karena itu, pada Bab III ini penulis
mencoba membahas sekilas gambaran pemilu 2004 baik pemilu legislatif maupun
pemilu presiden secara langsung.
Pemilu tahun 2004 adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk memilih anggota
DPR/DPRD. Di samping untuk memilih anggota DPR/DPRD, pemilu 2004 juga
sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, yakni adanya pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Tidak hanya itu,
kekhususan pada pemilu kali ini ditandai dengan munculnya lembaga baru yaitu
-
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di mana setiap provinsi diwakili oleh empat
orang anggota DPD.
Pemilu kali ini juga istimewa karena untuk pertama kalinya, pemerintah
mengadopsi ketentuan mengenai kuota 30% untuk meningkatkan keterwakilan
politik perempuan dalam undang-undang pemilu. Di tengah kondisi minimnya
tingkat representasi formal perempuan di lembaga-lembaga politik, terutama di
lembaga legislatif, masuknya ketentuan tersebut membawa angin segar bagi
upaya peningkatan keterwakilan perempuan di DPR. Walaupun harus pula diakui,
bahwa ketentuan tersebut belum mengikat partai politik (karena masih bersifat
sukarela) dan belum disertai sanksi apapun bagi parpol yang tidak
menjalankannya.71
Pemilihan umum anggota legislatif sebagaimana dengan ketentuan yang
digariskan dalam undang-undang adalah saran untuk memilih anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem
proporsional dengan daftar calon terbuka. Sedangkan untuk memilih anggota
DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. Sistem proporsional
daftar terbuka ini memberikan kesempatan bagi calon anggota legislatif, baik yang
berasal dari partai politik maupun perseorangan untuk berkompetisi secara
terbuka. Artinya, calon-calon yang dikenal oleh masyarakat sekalipun di daftar
calon nanti berada pada nomor urut terakhir, apabila ia mendapatkan dukungan
dari konstituennya, maka ia akan duduk menjadi anggota legislatif.72
71Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen A DPR RI, 2003), h. ix.
72Prayudi, Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan Kelembagaan Pemerintah, dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen A DPR RI, 2003), h. 6.
-
Pemilih dengan calon legislatifnya pada sistem seperti ini akan
mempunyai ikatan hubungan batin yang kuat, terutama untuk lingkungan
masyarakat di daerah calon itu ikut berkompetisi. Pada pemilu 2004 ini, rakyat
tidak hanya memilih gambar parpol semata, akan tetapi harus pula memilih nama
orang yang berasal dari parpol yang berangkutan. Sedangkan untuk calon
perseorangan yang berasal dari calon anggota DPD, pemilih tinggal memilih
(mencoblos) nama orang yang bersangkutan.73
Sebelum pemilu 2004, beberapa pemilu di Indonesia menggunakan sistem
proporsional tertutup, sehingga calon-calon yang diajukan hanya ditetapkan oleh
pemimpin parpol. Calon anggota legislatif yang akan menjadi wakil rakyat tidak
jarang kurang dikenal oleh rakyat di daerah pemilihannya sendiri. Oleh karena itu
muncul kesan rakyat berada di posisi pinggiran dalam mengartikulasikan
kedaulatannya. Mereka (rakyat) harus menerima wakil-wakil dan pemimpinnya
yang sesuai dengan kehendak parpol.74 Masyarakat belum bisa menentukan secara
langsung anggota DPR yang nantinya akan menjadi wakil rakyat tersebut.
Kembali kepada pembahasan pemilu legislatif 2004, dalam hal
penyelenggaraan pemilu tersebut, ada tahapan-tahapan dalam rangka
penyelenggarannya. Sesuai dengan UU No. 12/2003 menetapkan bahwa tahapan-
tahapan penyelenggara pemilu terdiri atas sembilan tahapan. Tahapan-tahapan
penyelenggaraan pemilu itu kemudian dijabarkan dalam keputusan KPU No.
100/2003 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pemilu 2004
yang dikeluarkan pada 24 April 2003.75
73Ibid. 74Ibid., h. 7. 75Topo Santoso dan Didik Suprianto, Mengawasi Pemilu Mengawali Demokrasi (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004),h. 34.
-
Tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu 2004 dimulai dari Pendaftaran
Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P-4B); pendaftaran, penelitian
dan penetapan peserta pemilu yang terdiri dari (a) peserta pemilu dari partai
politik untuk pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (b)
peserta pemilu dari perseorangan untuk pemilu anggota DPD; penetapan daerah
pemilihan dan jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan anggota DPR dan
DPRD; pencalonan angggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota;
kampanye pemilu.76 Tahapan selanjutnya yaitu pemungutan suara terdiri dari (a)
pemungutan dan penghitungan suara di TPS (b) rekapitulasi suara di PPS, PPK,
PPLN, KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi; penetapan hasil pemilu anggota
DPR, DPD, dan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota; penetapan perolehan
kursi dan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota;pengucapan sumpah/janji anggota DPRD kabupaten/kota/provinsi
serta DPR dan DPD.77 Selanjutnya untuk jadwal pemilu legislatif, KPU
menetapkan pada 5 April 2004.78
Dari tahapan-tahapan pemilu di atas, ternyata tahapan pendataan pemilih
dan pendaftaran penduduk berkelanjutan atau yang biasa disingkat pendataan P4B
di atas masih menyisakan pengalaman buruk dalam pemilu 2004 lalu. Pengalaman
tersebut terungkap setelah hari H pencoblosan, dalam hal ini terungkap masih
banyak masyarakat yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tet
top related