2. dasar teori 2.1 kecelakaan kerja 2.1.1 definisi
Post on 17-Oct-2021
19 Views
Preview:
TRANSCRIPT
4 Universitas Kristen Petra
2. DASAR TEORI
2.1 Kecelakaan Kerja
2.1.1 Definisi Kecelakaan Kerja
Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor: 03/Men/1998
menjelaskan bahwa yang dimaksud kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang
tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban jiwa
dan harta benda. Selain itu, kecelakaan kerja juga dapat diartikan sebagai suatu
kejadian tiba-tiba yang tidak diinginkan yang mengakibatkan kematian, luka,
kerusakan harta benda maupun kerugian waktu. Hal sama juga yang dikatakan
Sugandi bahwa kecelakaan kerja ( accident ) adalah suatu kejadian atau peristiwa
yang tidak diinginkan yang merugikan terhadap manusia, merusak harta benda
atau kerugian terhadap proses (Didi Sugandi, 2003:171). Selain itu menurut
Suma’mur (2009), kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang berhubungan dengan
kegiatan pada perusahaan, yang berarti bahwa kecelakaan yang terjadi
dikarenakan oleh pekerjaan pada waktu melakukan pekerjaan serta kecelakaan
yang terjadi pada saat perjalanan ke dan dari tempat kerja. Kecelakaan adalah
suatu kejadian yang tidak diinginkan, datang secara langsung dan tidak terduga,
yang dapat menyebabkan kerugian pada manusia, perusahaan, masyarakat dan
lingkungan. Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan berhubungan dengan
hubungan kerja di perusahaan (Soekidjo Notoatmodjo, 2007: 362).
2.1.2 Klasifikasi Kecelakaan Kerja
Pada pelaksanaanya kecelakaan kerja di industri dapat dibagi menjadi 2
(dua) kategori utama:
a. Kecelakaan industri (industrial accident) yaitu kecelakaan yang terjadi di
tempat kerja karena adanya potensi bahaya yang tidak terkendali.
b. Kecelakaan dalam perjalanan (community accident) yaitu kecelakaan yang
terjadi diluar tempat kerja dalam kaitannya dengan hubungan kerja (Sugeng,
2005).
5 Universitas Kristen Petra
ILO menjelaskan bahwa kecelakaan akibat kerja dapat diklasifikasikan
menjadi empat macam penggolongan yaitu:
• Klasifikasi menurut jenis kecelakaan yaitu seperti terjatuh, tertimpa benda,
tertumbuk atau terkena benda-benda, terjepit benda, gerakan-gerakan melebihi
kemampuan, pengaruh suhu tinggi, terkena arus listrik, kontak dengan bahan-
bahan yang berbahaya serta terpapar radiasi.
• Klasifikasi menurut penyebab yaitu seperti terkena mesin, misalnya mesin
pembangkit tenaga listrik, mesin penggergajian kayu, alat angkut, alat angkut
darat, udara dan alat angkut air, peralatan lain dan sebagainya.
• Klasifikasi menurut sifat luka atau kelainan yaitu seperti patah tulang, dislokasi
(keseleo), regang otot (urat), memar dan luka dalam yang lain, amputasi, luka di
permukaan, gegar dan remuk, luka bakar, keracunan-keracunan mendadak,
pengaruh radiasi dan lain-lain.
• Klasifikasi menurut letak kelainan yaitu seperti di kepala, leher, badan, anggota
atas, anggota bawah dan banyak tempat.
2.1.3 Klasifikasi Kecelakaan Kerja
Secara umum menurut (Anizar, 2009) faktor penyebab kecelakaan kerja
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.) Sebab dasar atau asal muka, meliputi faktor komitmen atau partisipasi dari
pihak manajemen atau pimpinan perusahaan dalam upaya penerapan K3 di
perusahaannya maupun dari kondisi tempat kerja, sarana kerja dan lingkungan
kerja.
2.) Sebab utama terjadinya kecelakaan kerja yaitu adanya faktor dan persyaratan
K3 yang belum dilaksanakan secara benar, meliputi:
• Faktor manusia atau dikenal dengan istilah tindakan tidak aman (unsafe
Actions) yaitu tindakan berbahaya oleh tenaga kerja yang dilatar belakangi oleh
berbagai sebab seperti kurangnya pengetahuan dan keterampilan pekerja
ketidakmampuan untuk bekerja secara normal, posisi tubuh yang menyebabkan
mudah lelah, kepekaan panca indra terhadap sesuatu, ketidak fungsian tubuh
karena cacat yang tidak nampak kelelahan dan kejenuhan (fatigue and boredom).
Selain itu, adanya faktor sikap dan tingkah laku yang tidak aman dari pekerja
6 Universitas Kristen Petra
seperti penggunaan Alat pelindung diri, mengangkut beban yang berlebihan,
bekerja melebihi jam kerja, kebingungan dan pusing karena prosedur kerja yang
belum dapat dipahami, belum terampil dengan peralatan atau mesin-mesin baru
(lack of skill), kesulitan berkonsentrasi, sikap masa bodoh, kurang adanya
motivasi kerja, kurang adanya kepuasan kerja dan sikap kecenderungan
mencelakai diri sendiri. Sebuah penelitian menjelaskan bahwa sebanyak 80-85%
kecelakaan terjadi yang disebabkan oleh unsafe Action.
• Faktor lingkungan atau dikenal dengan kondisi tidak aman (unsafe condition)
yaitu kondisi tidak aman yang berasal dari mesin, peralatan, bahan, lingkungan
dan tempat kerja, proses kerja, sifat pekerjaan dan sistem kerja, ada api di tempat
bahaya, terpapar bising, radiasi, pencahayaan dan ventilasi yang kurang, kondisi
suhu yang membahayakan serta sifat pekerjaan yang mengandung potensi bahaya.
Faktor-faktor yang berkaitan dengan penyediaan fasilitas, pengalaman manusia
yang lalu maupun sesaat sebelum bertugas, pengaturan organisasi kerja, hubungan
sesama pekerja serta kondisi ekonomi dan politik yang bisa mengganggu
konsentrasi.
• Interaksi manusia dan sarana pendukung kerja. Apabila interaksi antara
keduanya tidak sesuai maka akan menyebabkan terjadinya kesalahan yang
mengarah pada kecelakaan kerja.
2.1.4 Dampak Kecelakaan Kerja
Dampak yang timbul akibat kecelakaan kerja yaitu dampak langsung
maupun tidak langsung. Dampak langsung yang dirasakan pekerja akibat
kecelakaan kerja yaitu meninggal dunia, cacat permanen total, yaitu cacat yang
mengakibatkan penderita secara permanen tidak mampu lagi melakukan pekerjaan
produktif karena kehilangan salah satu bagian tubuh, cacat permanen sebagian
yaitu cacat yang mengakibatkan satu bagian tubuh hilang atau terpaksa dipotong
atau sama sekali tidak berfungsi serta tidak mampu bekerja sementara ketika
dalam masa pengobatan karena harus beristirahat menunggu kesembuhan.
Dampak kecelakaan kerja secara tidak langsung berupa dampak psikologi dan
psikososial yang dialami oleh pekerja seperti ketakutan dan kegelisahan.
(Buntarto, 2015)
7 Universitas Kristen Petra
2.2 FMEA
Failure Mode and Effect Analysis atau yang biasa disebut FMEA adalah
suatu prosedur terstruktur merupakan proses yang sistematis yang digunakan
untuk mengidentifikasi potensi kegagalan yang timbul dalam untuk
mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan (Firdaus,
2009). FMEA adalah proses dengan tujuan mengeliminasi dan meminimalisasi
risiko kegagalan produksi yang akan timbul. Penggunaan FMEA pertama kali
dilaksanakan pada tahun 1960 oleh industri penerbangan NASA dengan fokus
pada isu keamanan. (Nurkertamanda, 2009).
FMEA pertama kali digunakan pada industri penerbangan pada
pertengahan tahun 1960 dan fokus secara spesifik pada aspek keselamatan atau
safety. Kemudian setelah itu FMEA berkembang menjadi alat atau metode untuk
meningkatkan aspek safety, khususnya pada proses kimia di industri. Tujuan dari
peningkatan safety di industri adalah untuk mencegah terjadinya kecelakaan
(accidents) dan kejadian atau peristiwa (incidents). Pada industri otomotif, FMEA
digunakan sebagai metode untuk meningkatkan kualitas (quality improvement
tool), (McDermott, Mikulak, & Beauregard, 2009). Tujuan FMEA untuk alasan
keamanan yang masih bertahan sampai saat ini adalah untuk mencegah
kecelakaan kerja akibat masalah keamanan dan kecelakaan dari insiden yang
terjadi. Tujuan FMEA adalah untuk mencegah terjadinya masalah pada pada
produk dan proses. Dengan menggunakan desain dan proses manufaktur, maka
hal tersebut akan mengurangi biaya dengan cara mengidentifikasi terutama pada
peningkatan produk dan proses yang tidak membutuhkan banyak biaya dan
mudah untuk dilakukan. (McDermott, Mikulak, & Beauregard, 2009)
FMEA Merupakan sebuah metode yang didesain untuk:
Mengidentifikasi dan memahami seluruh moda kegagalan potensial,
penyebabnya dan akibat dari kesalahan pada sistem atau pengguna, untuk
sebuah proses atau produk.
Menilai risiko dengan mengidentifikasi moda kegagalan, penyebab dan akibat,
serta isu prioritas untuk tindakan perbaikan.
Mengidentifikasi dan menyelenggarakan tindakan perbaikan terhadap masalah
paling serius yang dihadapi. (Carlson, 2012)
8 Universitas Kristen Petra
2.2.1 Proses FMEA
Proses FMEA digunakan untuk menyelesaikan masalah yang
berhubungan dengan produk dan proses manufaktur. Untuk membantu proses
FMEA dapat digunakan lima elemen dari proses yaitu: manusia, material, alat,
metode dan lingkungan. Proses FMEA fokus kepada bagaimana kegagalan dapat
berdampak kepada produk, efisiensi proses atau aspek safety. (McDermott,
Mikulak, & Beauregard, 2009) Identifikasi Elemen-elemen Proses FMEA terdiri
dari:
• Fungsi Proses
Adalah deskripsi singkat mengenai proses pembuatan item dimana sistem akan
dianalisa.
• Mode Kegagalan
Adalah suatu kemungkinan kecacatan terhadap setiap proses.
• Efek Potensial dari kegagalan
Adalah suatu efek dari bentuk kegagalan terhadap pelanggan.
• Tingkat Keparahan (Severity)
Penilaian keseriusan efek dari bentuk kegagalan produksi.
• Penyebab Potensial (Potential Cause) (s)
Adalah bagaimana kegagalan bias terjadi. Dideskripsikan sebagai suatu yang
dapat diperbaiki.
• Keterjadian (Occurance) (O)
Adalah apa penyebab kegagalan spesif dari suatu proyek yang terjadi.
• Deteksi (Detection) (D)
Adalah penilaian dari alat tersebut dapat mendeteksi penyebab potensial
terjadinya suatu bentuk kegagalan.
• Nomor Prioritas Risiko (Risk Priority Number / RPN)
Adalah angka prioritas risiko yang didapatkan dari perkalian Severity, Occurance,
dan Detection.
RPN= Nilai dampak x Nilai kemungkinan x Nilai deteksi
• Tindakan yang direkomendasikan (Recommended Action)
Sesudah bentuk kegagalan diatur sesuai peringkat RPN, maka tindakan perbaikan
harus segera dilakukan bentuk kegagalan dengan RPN yang tertinggi.
9 Universitas Kristen Petra
Penilaian risiko dengan menggunakan metode FMEA dalam hal ini sangat penting
dilakukan. Metode FMEA mementingkan risiko yang prioritas sehingga dapat
dicari tindakan rekomendasi yang tepat. Tindakan rekomendasi dibuat agar setiap
risiko dapat berkurang dan dapat diatasi. Pengambilan keputusan bergantung pada
hasil FMEA. Hasil FMEA akan mempengaruhi pengambilan keputusan dari
perusahaan.
2.2.2 Occurence
Peringkat kejadian (O) adalah frekuensi atau probabilitas terjadinya
kegagalan. (Peldez, 1995) Mengatakan bahwa, kejadian "digolongkan berdasarkan
probabilitas kegagalan, yang mewakili jumlah kegagalan relatif. Skala ini
ditentukan berdasarkan Occurance scale pada Y.M. Wang et all (2009). Tabel 2.1
menunjukan kriteria yang digunakan untuk menentukan peringkat kejadian efek
kegagalan.
Tabel 2.1 Ratings for occurrence of a failure
Rating Probability of occurrence Possible failure
rate
10 Very High: Failure is almost inevitable >1 in 2
9 1 in 3
8 High: Repeated failures 1 in 8
7 1 in 20
6 Moderate: Occasional failures 1 in 80
5 1 in 400
4 1 in 2,000
3 Low: Relatively few failures 1 in 15,000
2 1 in 150,000
1 Remote: Failure is unlikely <1 in 1,500,000
(Wang, 2003), (K.S. Chin A. C., 2008), (K.S. Chin Y. W., 2009), (S.M.
Seyed-Hosseini, 2006), (Y.M. Wang, 2009)
10 Universitas Kristen Petra
2.2.3 Severity
Rating severity (S) digunakan untuk mewakili efek potensial yang terkait
dengan terjadinya mode kegagalan. "Ini adalah peringkat sesuai dengan
keseriusan efek mode kegagalan pada tahap tingkat tinggi berikutnya, sistem, atau
pengguna (Peldez, 1995). Skala yang digunakan berdasarkan Incident Severity
Scale pada Davidson (2005) Tabel 2.2 menunjukan kriteria yang digunakan untuk
menentukan tingkat keparahan efek kegagalan.
Tabel 2.2 Incident Severity Scale
Severity Ranking Impact Injury
1 DAMPAK MINOR /
JANGKA PENDEK
pada individu) yang
tidak memiliki
pengaruh besar terhadap
partisipasi dalam
aktivitas atau program
Serpihan, gigitan serangga, sengatan
2 Terbakar sinar matahari, goresan,
memar, potongan kecil
3 Lepuhan, keseleo ringan, dislokasi
ringan, tekanan dingin / panas
4
DAMPAK MEDIUM
pada individu yang
mungkin mencegah
partisipasi dalam
aktivitas atau program
selama satu atau dua
hari.
Lacerasi, frost nip, luka bakar
ringan,gegar otak ringan,hipotermia
ringan, sengatan panas ringan
5 keseleo & hiperekstensi,patah
ringan
6 DAMPAK UTAMA
pada individu (s) yang
berarti mereka tidak
dapat melanjutkan
sebagian besar aktivitas
atau program.
Tinggal di Rumah Sakit kurang
dari 12 jam seperti radang dingin,
luka bakar utama, patah tulang,
dislokasi, gegar otak, pembedahan,
kesulitan bernafas, sengatan panas
sedang atau hipotermia
7
Rumah Sakit tinggal lebih dari 12
jam mis. pendarahan arteri,
hipotermia berat atau sengatan
panas, kehilangan kesadaran
8 Efek HIDUP
BERUBAH pada
individu (s) atau
kematian
Cedera utama yang memerlukan
rawat inap seperti kerusakan tulang
belakang, cedera kepala
9 Kematian Tunggal
10 Beberapa kematian
11 Universitas Kristen Petra
2.2.4 Detection
Tingkat deteksi (D) mewakili probabilitas untuk mendeteksi kegagalan.
"Ini adalah penilaian kemampuan program verifikasi desain yang diusulkan untuk
mengidentifikasi potensi kelemahan sebelum bagian atau perakitan dilepaskan ke
produksi." (Peldez, 1995). Skala ini ditentukan berdasarkan Detection scale pada
Y.M. Wang et all (2009). Tabel 2.3 menunjukan kriteria evaluasi yang digunakan
untuk ranking dan persyaratan linguistik yang terkait.
Tabel 2.3 Ratings for detection of a failure
Detection Likellihood of DETECTION by Design Control Ranking
Absolute
Uncertainty
Design control cannot detect potential
cause/mechanism and subsequent Failure Mode 10
Very Remote Very remote chance the design control will detect
potential cause/mechanism and subsequent Failure
Mode
9
Remote Remote chance the design control will detect
potential cause/mechanism and subsequent Failure
Mode
8
Very Low Very low chance the design control will detect
potential cause/mechanism and subsequent Failure
Mode
7
Low Low chance the design control will detect potential
cause/mechanism and subsequent Failure Mode
6
Moderate Moderate chance the design control will detect
potential cause/mechanism and subsequent Failure
Mode
5
Moderately
High
Moderately High chance the design control will
detect potential cause/mechanism and subsequent
Failure Mode
4
High High chance the design control will detect
potential cause/mechanism and subsequent Failure
Mode
3
Very High Very high chance the design control will detect
potential cause/mechanism and subsequent Failure
Mode
2
Almost Certain Design control will detect potential
cause/mechanism and subsequent Failure Mode 1
(Wang, 2003), (K.S. Chin A. C., 2008), (K.S. Chin Y. W., 2009), (S.M.
Seyed-Hosseini, 2006), (Y.M. Wang, 2009)
12 Universitas Kristen Petra
2.3 Risiko
Risiko adalah kombinasi dari kemungkinan terjadinya kejadian
berbahaya atau paparan dengan keparahan dari cidera atau gangguan kesehatan
yang disebabkan oleh kejadian atau paparan tersebut (Soehatman Ramli, 2010:
64). Menurut Tarwaka (2014: 269) risiko adalah suatu kemungkinan terjadinya
kecelakaan dan kerugian pada periode waktu tertentu atau siklus operasi tertentu.
Sedangkan tingkat risiko merupakan perkalian antara tingkat kekerapan
(probability) dan keparahan (consequences atau severity) dari suatu kejadian yang
dapat menyebabkan kerugian, kecelakaan atau cedera dan sakit yang mungkin
timbul dari pemaparan suatu hazard di tempat kerja.
2.3.1 Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah suatu upaya mengelola risiko K3 untuk
mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan secara komprehensif,
terencana dan terstruktur dalam suatu sistem yang baik (Soehatman Ramli, 2010:
39). Hazard Identification, Risk Assessment and Risk Control (HIRARC) atau
yang disebut juga manajemen risiko merupakan elemen pokok dalam manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang berkaitan langsung sebagai upaya
pencegahan dan pengendalian bahaya (Soehatman Ramli, 2010: 79). Proses dalam
manajemen risiko ada 3, yaitu:
2.3.1.1 Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya adalah suatu proses yag dapat dilakukan untuk
mengenali seluruh situasi atau kejadian yang berpotensi sebagai penyebab
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin timbul di tempat
kerja (Tarwaka, 2014: 267). Identifikasi bahaya dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui potensi bahaya dari suatu bahan, alat atau sistem (Shandy Irawan,
dkk, 2015: 16). Idententifikasi potensi bahaya ditempat kerja disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu:
1. Kegagalan komponen
2. Kondisi yang menyimpang
3. Kesalahan manusia dan organisasi
4. Pengaruh kecelakaan di luar
5. Kecelakaan akibat adanya sabotase (Tarwaka, 2014: 17-18).
13 Universitas Kristen Petra
Untuk mengetahui potensi bahaya di lingkungan kerja dapat menggunakan teknik
identifikasi bahaya yang diklasifikasikan sebagai berikut:
Teknik Pasif
Bahaya dapat dikenal dengan mudah jika dialami sendiri secara
langsung, cara ini bersifat primitif dan terlambat karena kecelakaan setelah terjadi,
baru dikenal dan diambil langkah pencegahannya. Teknik atau metode ini sangat
rawan, karena tidak semua bahaya dapat menunjukan eksistensinya, sehingga
dapat terlihat dengan mudah (Soehatman Ramli, 2010: 88).
Teknik SemiProaktif
Teknik ini disebut juga belajar dari pengalaman orang lain, karena tidak
perlu dialami sendiri. Teknik in lebih baik, tidak perlu mengalami sendiri setelah
itu baru mengetahui adanya bahya, namun teknik ini kurang efektif karena tidak
semua bahaya pernah menimbulkan dampak kejadian kecelakaan. Tidak semua
kejadian dilaporkan atau diinformasikan kepada pihak lain untuk diambil sebagai
pelajaran. Kecelakaan kerja telah terjadi yang berarti tetap menimbulkan kerugian,
walaupun menimpa pihak lain (Soehatman Ramli, 2010: 88).
Metode Proaktif
Metode terbaik untuk mengidentifikasi bahaya adalah cara proaktif atau
mencari bahaya sebelum bahaya tersebut menimbulkan akibat atau dampak yang
merugikan. Tindakan proaktif memiliki kelebihan, antara lain (Soehatman Ramli,
2010: 89):
Bersifat preventif karena bahaya dikendalikan sebelum menimbulkan
kecelakaan atau cidera.
Bersifat peningkatan berkelanjutan (continual improvement) karena dengan
mengenal bahaya dapat dilakukan upaya perbaikan.
Meningkatkan awarness setiap pekerja setelah mengetahui dan mengenal
adanya bahaya di sekitar tempat kerjanya.
Mencegah pemborosan yang tidak diinginkan, karena dengan adanya bahaya
dapat menimbulkan kerugian.
Menurut Soehatman Ramli, (2010: 89) terdapat berbagai teknik identifikasi
bahaya yang bersifat proaktif, antara lain:
14 Universitas Kristen Petra
1. Data kejadian
2. Daftar periksa
3. Brainstroming
4. What If Analysis
5. Hazops (Hazards and Operability Study)
6. Analisa Moda Kegagalan dan Efek (Failure Mode and Effect Analysis)
7. Task Analysis
8. Event Tree Analysis
9. Analisa Pohon Kegagalan (Fault Tree Analysis)
10. Analisa Keselamatan Pekerjaan (Job Safety Analysis).
2.3.1.2 Penilaian Risiko ( Risk Assesment)
Menurut B. Boedi Rijanto (2011, 263) penilaian risiko atau risk assessment adalah
proses analisa untuk menilai risiko dan mengidentifikasi tindakan-tindakan
kontrol yang diperlukan untuk menghilangkan atau mengurangi risiko yang ada,
agar masih dalam batas ditoleransi. Sedangkan, menurut Ridley (2003) dalam
Fran dan Darminto (2014) penilaian risiko adalah cara-cara yang digunakan untuk
mengelola risiko dalam pekerjaan yang dilakukan dan memastikan kesehatan dan
keselamatan para pekerja terhindar dari risiko pada saat bekerja. Penilaian risiko
digunakan sebagai langkah saringan untuk menentukan tingkat risiko yang
ditinjau dari kemungkinan kejadian (likellihood) dan keparahan yang dapat
ditimbulkan (severity) (Soehatman Ramli, 2010: 97). Setiap potensi Bahaya yang
ditemukan pada tahap identifikasi bahaya akan dilakukan penilaian risiko untuk
menentukan tingkat risiko (risk rating) dari bahaya-bahaya tersebut (Shandy
Irawan, dkk, 2015: 16). Penilaian Risiko (Risk Assessment) terdiri dari 2 tahapan
proses, yaitu:
Analisa Risiko
Analisa risiko merupakan suatu tahapan proses untuk menentukan
besarnya suatu risiko yang merupakan kombinasi antara kemungkinan terjadinya
(likellihood) dan keparahan bila risiko tersebut terjadi (severity atau
consequences) (Soehatman Ramli, 2010: 82). Sedangkan menurut Samaneh
Zolfagharian dan Aziruddin Ressang (2011: 154) risiko dapat dinilai dan disajikan
menggunakan matriks dengan memperkirakan probabilitas dan konsekuensi
15 Universitas Kristen Petra
secara kualitatif atau dengan nilai-nilai kuantitatif. Teknik yang dapat digunakan
untuk melakukan analisa risiko, yaitu teknik semi kuantitatif, yang dalam analisa
risiko lebih baik dalam mengungkapkan tingkat risiko dibandingkan dengan
teknik kualitatif. Teknik ini juga dapat menggambarkan tingkat risiko yang lebih
konkrit dibandingkan dengan teknik kualitatif. (Soehatman Rami, 2010; 86).
Severity and Likellihood Evaluation Criteria
Untuk setiap bahaya yang teridentifikasi, tim Health and Safety harus
menilai risikonya dan menentukan tindakan pengendalian yang tepat. Dengan
mempertimbangkan langkah-langkah pengendalian yang ada, perkirakan tingkat
keparahan kejadian dan kemungkinan terjadinya setiap insiden. Kriteria Severity
dan Likellihood didapatkan dari format kriteria PT. XYZ , Kriteria tersebut dapat
dilihat pada tabel 2.4
Tabel 2.4: Severity and Likellihood Evaluation Criteria (sourced from PT. XYZ)
Rating Severity Rating Likellihood Rating
5
Catastrophic: Third party or
one employee death
Almost certain: Event will
occur more than once a year
4
Major: Serious injury to
multiple employees
Likely: Event will occur once
in the next year
3
Moderate: Hospitalization of
multiple employees
Possible: Event should occur
within the next 5 years
2
Minor: Serious injury to one
employee
Unlikely: Event could occur
one or more times in 10 years
1
Trivial: First aid assistance to
multiple employees
Rare: Event may occur only
in exceptional circumstances
(one time in 30 years)
Perhitungan Tingkat Risiko didapati dari Keparahan akibatnya dikali
dengan kemungkinan terjadinya. Penilaian risiko membantu memprioritaskan
pelaksanaan tindakan pengendalian. Semakin tinggi tingkat risikonya, semakin
besar risikonya, semakin mendesak pula tindakan yang harus dilakukan.
16 Universitas Kristen Petra
Setelah hasil dari analisa sudah diperoleh, selanjutnya dikembangkan
dengan matriks atau peringkat risiko yang mengkombinasikan antara
kemungkinan dan keparahannya. Peringkat risiko sebaiknya dikembangkan oleh
masing-masing perusahaan atau organisasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
masing-masing. Matriks risiko atau risk matrix merupakan tabel yang mencakup 2
kategori, yaitu kategori frekuensi atau likellihood pada bagian kolom dan kategori
keparahan atau dampak pada bagian baris (Samaneh Zolfagharian dan Aziruddin
Ressang, 2011:154).
Tabel 2.5 : 5x5 Risk Matrix (sourced from PT. XYZ)
Likellihood 1 -
Rare 2 - Unlikely 3 - Possible
4 -
Likely
5 -
Almost
certain Severity
5 - Catastrophic 5 10 15 20 25
4 - Major 4 8 12 16 20
3 - Moderate 3 6 9 12 15
2 - Minor 2 4 6 8 10
1 - Insignificant 1 2 3 4 5
Keterangan :
1 to 4 (Low) : PROCEED.
• Activity may proceed
• No additional controls are required
• Lowest priority
5 to 9 (Medium) : HOLD.
• Activity can proceed only with additional controls in place agreed by Health and
Safety Officer
• Controls should be implemented within a defined time period
• Where the severity
10 to 25 (High) : STOP!
• Activity must NOT proceed until the risk has been reduced
• All high risk categories must be reported to Group Health and Safety Specialist
• Require urgent Action
• Implement further controls
17 Universitas Kristen Petra
Berdasarkan internal PT. XYZ pertimbangkan tindakan pengendalian
yang dilakukan didasari tingkat risiko. Tingkat risiko tidak boleh berada di zona
merah ("Risiko tinggi") sebelum pekerjaan dimulai. Kontrol tambahan harus
diimplementasikan sampai kontrol untuk bahaya di zona kuning ("Risiko sedang")
sudah serendah mungkin OR dan tingkat risiko berada di zona hijau ("Risiko
rendah").
Evaluasi Risiko
Evaluasi risiko merupakan suatu tahapan proses untuk menilai apakah
risiko tersebut dapat diterima atau tidak, dengan membandingkan terhadap
standard yang berlaku atau kemampuan organisasi (perusahaan) dalam
menghadapi risiko tersebut (Soehatman Ramli, 2010: 82). Evaluasi risiko
dilakukan setelah melakukan analisa risiko, sehingga dapat diketahui apakah suatu
risiko tersebut dapat diterima atau tidak.
2.3.1.3 Pengendalian Risiko (Risk Control)
Menurut Soehatman Ramli (2010: 102) pengendalian risiko merupakan
langkah yang menentukan dalam keselurahan manajemen risiko. Berkaitan
dengan risiko K3, strategi dalam pengendalian risiko dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu: menekan likellihood, menekan konsekuensi dan pengalihan risiko.
Gambar 2.4. Hirarki Pengendalian Risiko
(Sumber: Soehatman Ramli, 2010: 103)
top related