aflatoksin

5
Aflatoksikosis Etiologi Aflatoksikosis merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh aflatoksin, mikotoksin yang sangat toksik dan karsinogenik, yang dihasilkan oleh fungi Aspergillus flavus, Aspergillus parasticus dan Penicillium puberulum (Tabbu, 2002; Fadilah dan Polana, 2004). Ketiga jenis fungi tersebut luas di alam, udara dan tanah, serta dapat ditemukan di dalam hewan dan tanaman yang hidup ataupun mati. Selain itu, aflatoksin juga dapat ditemukan mencemari makanan dan pakan, terutama pada daerah tropik dan subtropik, karena temperatur dan kelembaban pada daerah tersebut memberikan kondisi yang optimal untuk pertumbuhan fungi (Tabbu, 2002). Aflatoksin bersifat relatif stabil di dalam pakan dan bahan baku pakan tetapi bersifat sensitif terhadap agen oksidasi, seperti hipoklorit (Tabbu, 2002). Berdasarkan atas reaksi warna terhadap sinar fluoresen dari nilai Rf kromatografik, maka aflatoksin terdiri atas beberapa jenis, yaitu aflatoksin B 1 dan B 2 yang berwarna biru (B) dan aflatoksin G 1 dan G 2 yang berwarna hijau (G). Dari semua jenis aflatoksin, aflatoksin B 1 merupakan jenis yang paling toksik dan mempunyai efek primer yang bersifat hepatotoksik pada berbagai jenis hewan, termasuk ayam (Tabbu, 2002). Cara Penularan dan Patogenesis Rute utama penularan aflatoksin adalah inhalasi dan ingesti (Murtidjo, 1992). Tempat metabolisme utama aflatoksin adalah organ hati, namun ada juga yang dimetabolisme di dalam darah dan organ lainnya. Metabolisme aflatoksin terdiri atas tiga tahap, yaitu bioaktivasi, konjugasi, dan dekonjugasi. Pada ketiga tahap tersebut, tubuh berusaha mengurangi efek racun dari aflatoksin. Aflatoksin akan dikeluarkan oleh tubuh melalui cairan empedu, susu, telur, dan air seni. Bila aflatoksin tidak dapat dikeluarkan dari tubuh maka akan terjadi perubahan patologis

Upload: za

Post on 23-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

toksin

TRANSCRIPT

Page 1: Aflatoksin

Aflatoksikosis

Etiologi

Aflatoksikosis merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh aflatoksin, mikotoksin yang sangat toksik

dan karsinogenik, yang dihasilkan oleh fungi Aspergillus flavus, Aspergillus parasticus dan Penicillium

puberulum (Tabbu, 2002; Fadilah dan Polana, 2004). Ketiga jenis fungi tersebut luas di alam, udara dan

tanah, serta dapat ditemukan di dalam hewan dan tanaman yang hidup ataupun mati. Selain itu, aflatoksin

juga dapat ditemukan mencemari makanan dan pakan, terutama pada daerah tropik dan subtropik, karena

temperatur dan kelembaban pada daerah tersebut memberikan kondisi yang optimal untuk pertumbuhan

fungi (Tabbu, 2002).

Aflatoksin bersifat relatif stabil di dalam pakan dan bahan baku pakan tetapi bersifat sensitif terhadap

agen oksidasi, seperti hipoklorit (Tabbu, 2002).

Berdasarkan atas reaksi warna terhadap sinar fluoresen dari nilai Rf kromatografik, maka aflatoksin

terdiri atas beberapa jenis, yaitu aflatoksin B1 dan B2 yang berwarna biru (B) dan aflatoksin G1 dan G2 yang

berwarna hijau (G). Dari semua jenis aflatoksin, aflatoksin B1 merupakan jenis yang paling toksik dan

mempunyai efek primer yang bersifat hepatotoksik pada berbagai jenis hewan, termasuk ayam (Tabbu,

2002).

Cara Penularan dan Patogenesis

Rute utama penularan aflatoksin adalah inhalasi dan ingesti (Murtidjo, 1992). Tempat metabolisme

utama aflatoksin adalah organ hati, namun ada juga yang dimetabolisme di dalam darah dan organ lainnya.

Metabolisme aflatoksin terdiri atas tiga tahap, yaitu bioaktivasi, konjugasi, dan dekonjugasi. Pada ketiga

tahap tersebut, tubuh berusaha mengurangi efek racun dari aflatoksin. Aflatoksin akan dikeluarkan oleh

tubuh melalui cairan empedu, susu, telur, dan air seni. Bila aflatoksin tidak dapat dikeluarkan dari tubuh

maka akan terjadi perubahan patologis dan menimbulkan beberapa gejala seperti keturunan lahir cacat (efek

teratogenik) dan kanker (manusia dan hewan). Pada hewan, aflatoksin menyebabkan bobot organ dalam

bervariasi (pembesaran hati, limpa, ginjal, fatty liver syndrome), pengurangan bursa fabricius dan timus,

perubahan tekstur dan warna organ (hati, tenggorokan), anemia, hemoragi, imunosupresi, nefrosis,

kerusakan kulit, dan penurunan efisiensi breeding (Ahmad, 2009).

Metabolisme dan Residu

Pada broiler, metabolisme tertinggi aflatoksin B1 dan B2 terjadi di gizzard, hati dan ginjal tetapi akan

hilang setelah 4 hari. Pada ayam, aflatoksin B1 dimetabolisme menjadi aflatoksin B2a dan M1 di hati. Dan

juga enzim NADP- linked cytoplasmic pada hepar ayam mereduksi aflatoksin B1 dan B2 menjadi aflatoxicol.

Aflatoksin B1 dieksresikan melalui bilirubin, urine dan intestinal denga rasio 70:15:15.

Masa paruh waktu aflatoksin B1 pada ayam betina yaitu 67 jam. Kebanyakan aflatoksin di eksresikan

melalui bilirubin dan intestinal tetapi aflatoksin B1 dan aflatoxicol dapat ditemukan di ovarium dan telur.

Page 2: Aflatoksin

Aflatoksin B2 terakumulasi pada organ reproduksi dan di transfer ke telur (albumin dan yolk) dan anak ayam

(Saif dkk, 2010).

Gejala Klinis

Aflatoksikosis dapat bersifat akut maupun kronis, tergantung pada dosis, lama kontak dan umur ayam.

Keracunan akut biasanya ditemukan pada ayam muda yang mendapat dosis tinggi aflatoksin B1 sekitar 1000

ppb, sedangkan keracunan kronik biasanya dapat dijumpai pada ayam yang lebih tua (lebih dari 5 minggu)

yang mengkonsumsi bahan toksik tersebut dengan kadar yang rendah (ppb) selama beberapa minggu

(Tabbu, 2002).

Ayam pada semua umur umumnya sensitif terhadap aflatoksin, namun ayam muda bersifat lebih peka

(Tabbu, 2002).

Gejala keracunan akut, meliputi lesu, kehilangan napsu makan, gangguan pertumbuhan, pigmentasi

abnormal pada kaki dan jari, dan kelumpuhan. Di samping itu, terlihat juga adanya ataksia, konvulsi dan

opistotonus yang dapat berakhir dengan kematian (Tabbu, 2002). Dari Pial hingga jengger bisa menjadi

pucat (Murtidjo, 1992).

Pada keracunan yang lebih kronik, akan terlihat adanya hambatan pertumbuhan, peningkatan konversi

pakan, penurunan produksi telur dan penurunan fertilitas dan daya tetas telur. Pada broiler, terlihat juga

penurunan kualitas karkas (pigmentasi karkas) dan peningkatan lesi (memar) pada kulit akibat adanya

pembuluh darah kapiler yang lebih rapuh. Selain itu, telur yang dihasilkan oleh layer menjadi lebih kecil

(Tabbu, 2002; Murtidjo, 1992). Ayam yang menderita aflatoksikosis akan mengalami imunosupresi

sehingga lebih peka terhadap berbagai penyakit. Di samping itu, ayam yang menderita juga akan

mempunyai respon yang suboptimal terhadap berbagai program vaksinasi dan pengobatan. Aflatoksikosis

dapat juga menyebabkan anemia dan abnormalitas pada proses pembekuan darah (Tabbu, 2002).

Aflatoksikosis juga dapat menyebabkan kematian pada ayam penderita (Fadilah dan Polana, 2004).

Perubahan Patologi

1. Perubahan Makroskopik

Lesi yang ditimbulkan oleh alfatoksikosis akut, terutama ditemukan pada hati dan ginjal, yang

ditandai oleh adanya pembesaran dan warna yang lebih pucat pada kedua organ tersebut. Selain itu,

pada hati juga terjadi kerapuhan dan hiperplasia sel (Tabbu, 2002; Fadilah dan Polana, 2004).

Duodenum dapat mengalami distensi akibat adanya timbunan cairan kataral di dalam lumen. Di

samping itu, terlihat juga perdarahan pada kulit, otot dan saluran pencernaan (Tabbu, 2002).

Aflatoksikosis bentuk kronik biasanya menimbulkan atrofi, pengerasan dan perubahan bentuk

nodular dari hati yang disertai oleh adanya perdarahan multifokal dan distensi kantong empedu (Tabbu,

2002).

2. Perubahan Mikroskopik

Page 3: Aflatoksin

Lesi mikroskopik yang ditimbulkan oleh alfatoksikosis bentuk akut pada hati, meliputi

pembentukan makro dan mikrovakuple di dalam sitoplasma (indikasi degenerasi melemak), nekrosis

yang ekstensif, perdarahan dan proliferasi duktus biliverus ukuran kecil. Sedangkan lesi mikroskopik

pada ginjal meliputi dilatasi tubulus proksimalis, nekrosis epitel tubuli dan pembentukan nukleus yang

sangat besar dengan nukleoli yang menonjol.

Aflatoksikosis bentuk kronik dapat menimbulkan degenerasi melemak, nekrosis dan nodular

hiperplasia hepatosit, proliferasi duktus biliverus ukuran kecil, dan fibroplasia (Proliferasi fibroblas)

yang ekstensif.

Perubahan mikroskopik pada bursa fabricius meliputi nekrosis limfosit dan atrofi folikel, sedangkan

perubahan pada timus dan limpa meliputi nekrosis limfosit dan penurunan populasi folikel limfoid.

(Tabbu, 2002)

Diagnosis

Diagnosis sangkaan dapat didasarkan atas sejarah kasus dan perubahan patologik pada jaringan.

Diagnosis pasti aflatoksikosis hendaklah didasarkan atas isolasi, identifikasi dan kuantifikasi adanya toksin

yang khusus (Tabbu, 2002).

Pencegahan

Untuk mencegah pembentukan aflatoksin tersebut dapat dilakukan dengan praktek manajemen yang

ketat, khususnya pemilihan (kontrol kualitas), distribusi, dan penyimpanan bahan baku pakan. Di samping

itu, dapat diberi anti fungi atau bahan pengikat toksin yang dapat menginaktifkan mikotoksin tersebut

(Tabbu, 2002).

Pengobatan

Pengobatan yang spesifik belum ada (Tabbu, 2002; Fadilah dan Polana, 2004). Pakan yang mengandung

aflatoksin harus dibuang dan diganti dengan yang bebas aflatoksin. Ayam biasanya mengalami kesembuhan

dari sebagian besar kasus mikotoksikosis dalam waktu yang singkat setelah pemberian pakan yang

mengandung bahan tersebut dihentikan (Tabbu, 2002).

Kadar vitamin, mikromineral (terutama selenium), protein dan lemak dalam pakan perlu ditingkatkan

atau dapat diberikan sebagai tambahan melalui air minum. Peningkatan kadar protein kasar dan vitamin

dalam pakan dapat menghambat efek aflatoksin (Tabbu, 2002).

Ahmad, R. Z. 2009. Cemaran Kapang Pada Pakan Dan Pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian,

28(1). Diunduh dari http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3281093.pdf. [14 Januari 2013]

Fadilah, R. dan Polana, A. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Agromedia

Pustaka. Jakarta. Hal 130-131.

Murtidjo, B.A. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ayam. Kanisius. Yogyakarta. Hal 90-91.

Page 4: Aflatoksin

Saif, Y.M., Barner, H.J., Fadly, A.M., Glisson, J.R., McDaugld, L.R., dan Swayne, D.E. 2003. Disease of

Poultry. Edisi ke-11. CD-ROM Version. Iowa State University Press. Blackwell Publishing Company.

Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 2. Kanisius. Yogyakarta. Hal 171-

174.