adjustable bed flow channel
DESCRIPTION
tentang adfcTRANSCRIPT
ADJUSTABLE BED FLOW CHANNEL
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aliran Fluida
Fluida adalah suatu zat yang dapat mengalir, bisa berupa cairan atau gas. Fluida
mengubah bentuknya dengan mudah dan pada gas, fluida mempunyai volume yang
sama dengan volume ruang yang membatasi gas tersebut. Pemakaian mekanika
kepada medium kontinyu, baik benda padat maupun fluida adalah didasari pada
hukum gerak newton yang digabungkan dengan hukum gaya yang sesuai.
Salah satu cara untuk menjelaskan gerak suatu fluida adalah dengan membagi-
bagi fluida tersebut menjadi elemen volume yang sangat kecil yang dapat dinamakan
partikel fluida dan mengikuti gerak masing-masing partikel ini.
Konsep aliran fluida yang berkaitan dengan aliran fluida dalam pipa adalah :
1. Hukum kekekalan massa
2. Hukum kekekalan energi
3. Hukum kekekalan momentum
4. Katup
5. Orificemeter
6. Arcameter (rotarimeter)
(Madang, 2011).
2.2 Pengukuran Aliran
Pengukuran aliran adalah untuk mengukur kapasitas aliran, massa laju aliran,
volume aliran. Pemilihan alat ukur aliran tergantung pada ketelitian, kemampuan
pengukuran, harga, kemudahan pembacaan, kesederhanaan dan keawetan alat ukur
tersebut.
Dalam pengukuran fluida termasuk penentuan tekanan, kecepatan, debit,
gradien kecepatan, turbulensi dan viskositas. Terdapat banyak cara melaksanakan
pengukuran-pengukuran, misalnya : langsung, tak langsung, gravimetrik, volumetrik,
elektronik, elektromagnetik dan optik. Pengukuran debit secara langsung terdiri dari
atas penentuan volume atau berat fluida yang melalui suatu penampang dalam suatu
selang waktu tertentu. Metoda tak langsung bagi pengukuran debit memerlukan
penentuan tinggi tekanan, perbedaan tekanan atau kecepatan dibeberapa dititik pada
suatu penampang dan dengan besaran perhitungan debit. Metode pengukuran aliran
yang paling teliti adalah penentuan gravimerik atau penentuan volumetrik dengan
berat atau volume diukur atau penentuan dengan mempergunakan tangki yang
dikalibrasikan untuk selang waktu yang diukur.
Pada prinsipnya besar aliran fluida dapat diukur melalui :
1. Kecepatan (velocity)
2. Luas bidang yang dilaluinya
3. Volumenya
(Ferdinan, 2007).
2.3 Pola Aliran
Laminar berasal dari bahasa latin “thin plate” yang berarti plate tipis atau aliran
sangat halus. Pada aliran laminar, gaya viscous (gesek) yang relatif besar
mempengaruhi kecepatan aliran sehingga semakin mendekati dinding pipa, semakin
rendah kecepatannya. Secara teori, aliran ini berbentuk parabola dengan bagian
tengah mempunyai kecepatan paling pinggir mempunyai kecepatan paling rendah
akibat adanya gaya gesekan.
Pada aliran turbulen, gaya momentum aliran lebih besar dibandingkan gaya
gesekan dan pengaruh dari dinding pipa menjadi kecil. Karenanya aliran turbulen
memberikan profil kecepatan yang lebih seragam dibandingkan aliran laminar,
walaupun pada lapisan fluida dekat dinding pipa tetap laminar. Profil kecepatan pada
daerah transisi antara laminar dan turbulen dapat tidak stabil dan sulit untuk
diperkirakan karena aliran dapat menunjukkan sifat dari daerah aliran laminar
maupun turbulen atau osilasi antara keduanya. Pada beberapa tempat, aliran turbulen
dibutuhkan untuk pencampuran zat cair (Divo, 2008).
Gambar 2.1 Pola Aliran Turbulen dan Laminar
(Divo, 2008)
Laminar
Dalam menganalisa aliran, sangatlah penting untuk mengetahui tipe aliran yang
mengalir dalam pipa tersebut. Untuk itu harus dihitung besarnya bilangan Reynold
dengan mengetahui parameter-parameter yang diketahui besarnya. Besarnya Reynold
(NRe), dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
NRe = v𝐷
(Gultom, 2011)
Dimana :
NRe = bilangan Reynold
D = diameter (m)
ρ = massa jenis fluida (kg/m3)
μ = viskositas fluida (Pa.s)
v = kecepatan rata-rata fluida (m/s)
Aliran akan laminar jika bilangan Reynold kurang dari 2000 dan akan turbulen
jika bilangan Reynold lebih besar dari 4000. Jika bilangan Reynold terletak antara
2000 – 4000 maka disebut aliran transisi (Gultom, 2011).
2.4 Persamaan Kontinuitas
Gerak fluida di dalam suatu tabung aliran haruslah sejajar dengan dinding
tabung. Meskipun besar kecepatan fluida dapat berbeda dari suatu titik ke titik lain di
dalam tabung. Pada gambar 2.2 menunjukkan tabung aliran untuk membuktikan
persamaan kontinuitas.
Gambar 2.2 Tabung Aliran
(Divo, 2008)
Pada gambar 2.2, misalkan pada titik P besar kecepatan adalah V1 dan pada
titik Q adalah V2. Kemudian A1 dan A2 adalah luas penampang tabung aliran tegak
lurus pada titik Q. Di dalam interval waktu Δt sebuah elemen fluida mengalir kira-
kira sejauh VΔt. Maka massa fluida Δm1 yang menyeberangi A1 selama interval
waktu Δt adalah :
Δm1 = ρ1.A1.V1.Δt (Divo, 2008)
dengan kata lain massa Δm1/Δt adalah kira-kira sama dengan ρ1.A1.V1. Kita harus
mengambil Δt cukup kecil sehingga di dalam interval waktu ini baik V maupun A
tidak berubah banyak pada jarak yang dijalani fluida, sehingga dapat ditulis massa di
titik P adalah ρ1.A1.V1 massa di titik Q adalah ρ2.A2.V2, dimana ρ1 dan ρ2 berturut-
turut adalah kerapatan fluida di P dan Q. Karena tidak ada fluida yang berkurang dan
bertambah maka massa yang menyeberangi setiap bagian tabung per satuan waktu
haruslah konstan. Maka massa P haruslah sama dengan massa di Q, sehingga
dapatlah ditulis :
ρ1.A1.V1 = ρ2.A2.V2 (Divo, 2008)
Persamaan berikut menyatakan hukum kekekalan massa di dalam fluida. Jika
fluida yang mengalir tidak termampatkan, dalam arti kerapatan konstan maka
persamaan dapat ditulis menjadi :
A1.V1 = A2.V2 (Divo, 2008)
Dimana:
A = luas penampang (m2)
V = kecepatan fluida (m/s)
Δm = massa fluida yang berpindah (kg)
Δt = interval waktu (s)
ρ = densitas (kg/m3)
2.5 Jenis Alat Ukur Aliran Fluida
Jenis alat ukur aliran fluida yang paling banyak digunakan diantara alat ukur
lainnya adalah alat ukur fluida jenis laju aliran. Hal ini dikarenakan konstruksinya
yang sederhana dan pemasangannya yang mudah. Alat ukur aliran fluida jenis ini
dibagi empat jenis yaitu :
1. Venturimeter
2. Nozzle
3. Pitot tubes
4. Plate orifice
Pada dasarnya prinsip kerja dari keempat alat ukur ini adalah sama yaitu bila
aliran fluida mengalir melalui alat ukur ini, maka akan terjadi perbedaan tekanan
sebelum dan sesudah fluida mengalir. Beda tekanan menjadi besar bila laju aliran
yang diberikan kepada alat ini bertambah (Ferdinan, 2007).
2.5.1 Venturimeter
Venturimeter ini merupakan alat primer dari pengukuran aliran yang berfungsi
untuk mendapatkan beda tekanan. Sedangkan alat untuk menunjukan besaran aliran
fluida yang diukur atau alat sekundernya adalah manometer. Venturimeter memiliki
kerugian karena harganya mahal, memerlukan ruangan yang besar dan rasio diameter
throatnya dengan diameter pipa tidak dapat diubah.
Untuk sebuah venturimeter tertentu dan sistem manometer tertentu, kecepatan
aliran yang dapat diukur adalah tetap sehingga jika kecepatan aliran berubah maka
diameter throat nya dapat diperbesar untuk memberikan pembacaan yang akurat.
Pada venturimeter ini fluida masuk melalui bagian inlet dan diteruskan ke
bagian outlet cone. Pada bagian inlet ini ditempatkan titik pengambilan tekanan awal.
Pada bagian inlet cone fluida akan mengalami penurunan tekanan yang disebabkan
oleh bagian inlet cone yang berbentuk kerucut atau semakin mengecil kebagian
throat. Kemudian fluida masuk kebagian throat inilah tempat-tempat pengambilan
tekanan akhir dimana throat ini berbentuk bulat datar. Lalu fluida akan melewati
bagian akhir dari venturimeter yaitu outlet cone. Outlet cone ini berbentuk kerucut
dimana bagian kecil berada pada throat, dan pada outlet cone ini tekanan kembali
normal.
Penurunan tekanan pada inlet cone akan dipulihkan dengan sempurna pada
outlet cone. Gesekan tidak dapat ditiadakan dan juga kehilangan tekanan yang
permanen dalam sebuah meteran yang dirancang dengan tepat (Ferdinan, 2007).
Gambar 2.3 Venturimeter
(Ferdinan, 2007)
2.5.2 Flow Nozzle
Flow nozzle ini merupakan alat primer dari pengukuran aliran yang berfungsi
untuk mendapatkan beda tekanannya. Sedangkan alat untuk menunjukkan besaran
aliran fluida yang diukur atau alat sekundernya adalah berupa manometer. Pada flow
nozzle, kecepatan fluida bertambah dan tekanan semakin berkurang seperti dalam
venturimeter. Dan aliran fluida akan keluar secara bebas setelah melewati lubang
flow nozzle sama seperti pada plat orifice. Flow nozzle terdiri dari dua bagian utama
yang melengkung pada silinder (Ferdinan, 2007).
Gambar 2.4 Flow Nozzle
(Ferdinan, 2007)
2.5.3 Pitot Tubes
Nama pitot tubes datang dari konsensip Henry de Pitot pada tahun 1732. Pitot
tubes mengukur besaran aliran fluida dengan jalan menghasilkan beda tekanan yang
diberikan oleh kecepatan fluida itu sendiri. Sama halnya seperti plate orifice, pitot
tubes membutuhkan dua lubang pengukuran tekanan untuk menghasilkan suatu beda
tekanan. Pada pitot tubes ini biasanya fluida yang digunakan adalah jenis cairan dan
gas. Pitot tubes terbuat dari stainless steel dan kuningan (Ferdinan, 2007).
Gambar 2.5 Pitot Tubes
(Ferdinan, 2007)
2.5.4 Plate Orifice
Agar dapat melakukan pengendalian atau proses-proses industri, kuantitas
bahan yang masuk dan keluar dari proses perlu diketahui. Kebanyakan bahan
ditransportasikan diusahakan dalam bentuk fluida, maka penting sekali mengukur
kecepatan aliran fluida dalam pipa. Berbagai jenis meteran digunakan untuk mengukur
laju arus seperti plate orifice.
Untuk plate orifice ini, fluida yang digunakan adalah jenis cair dan gas. Pada plate
orifice ini piringan harus bentuk plat dan tegak lurus pada sumbu pipa. Piringan tersebut
harus bersih dan diletakkan pada perpipaan yang lurus untuk memastikan pola aliran
yang normal dan tidak terganggu oleh fitting, kran atau peralatan lainnya.
Prinsip dasar pengukuran plat orifice dari suatu penyempitan yang menyebabkan
timbulnya suatu perbedaan tekanan pada fluida yang mengalir (Ferdinan, 2007).
2.6 Aplikasi Aliran Fluida dengan Penampang Berubah
2.6.1 Analisis Pengaruh Aliran Turbulen Terhadap Karakteristik Lapisan
Batas pada Pelat Datar Panas
Perkembangan ilmu mekanika fluida dari waktu ke waktu semakin pesat. Di
tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, studi tentang modifikasi
lapisan batas adalah salah satu studi yang sangat bermanfaat untuk dikembangkan.
Lapisan batas adalah lapisan tipis pada solid surface yang terbatas pada daerah
yang sangat sempit dekat dengan permukaan kontur dimana kecepatan fluida tidak
uniform u∞ sebagai pengaruh dari gaya viskos yang muncul akibat adanya viskositas.
Akibat sifat kental dari fluida, timbul gaya kental/viskos di sekitar daerah dekat
permukaan pelat. Daerah aliran dekat permukaan pelat yang masih dipengaruhi oleh
gaya viskositas disebut daerah lapisan batas. Semakin jauh dari permukaan pelat
(arah sumbu-y) semakin kecil pengaruh gaya viskos sehingga kecepatan alir menjadi
semakin besar. Dan makin jauh dari tepi depan pelat (arah sumbu-x) semakin besar
pengaruh gaya viskos sehingga daerah lapisan batas akan menjadi lebih lebar.
Pada lapisan batas terdapat tiga daerah aliran. Pada permukaan terbentuk
lapisan batas laminar tetapi pada jarak tertentu dari tepi depan mulai terjadi proses
transisi hingga aliran menjadi turbulen. Perubahan daerah lapisan batas ini tidak
lepas dari pengaruh gaya viskos. Semakin besar gaya viskos makin besar gangguan-
gangguan pada aliran fluida sehingga arah kecepatan tidak lagi searah tetapi menjadi
acak ke sembarang arah. Profil kecepatan laminar mendekati bentuk parabola
sedangkan profil turbulen pada bagian dekat permukaan hampir mendekati garis
lurus.
Terjadinya lapisan batas seperti yang dijelaskan di atas tidak memperhatikan
adanya perpindahan panas, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan
adanya pelat panas yang dialiri oleh fluida.
Gambar 2.6 memperlihatkan suatu fluida itu mengalir dengan distribusi
kecepatan yang sama atau uniform u∞ dimana ketika melewati suatu solid surface
aliran tersebut mengalami distribusi kecepatan yang berbeda yang dipengaruhi oleh
adanya permukaan padat. Distribusi kecepatan ini dimulai dari titik di permukaan
padat tersebut, dimana aliran fluida tersebut mempunyai kecepatan nol kemudian
semakin besar ketika menjauhi permukaan dari bodi tersebut. Pengaruh tegangan
geser akan hilang pada posisi tertentu dan kecepatan fluida mencapai nilai kecepatan
fluida nonviscous (u = 0,99 u∞) dan posisi tersebut merupakan batas daerah viscous
(lapisan batas) dengan bagian nonviscous. Jarak yang diukur dari permukaan padat
arah normal hingga posisi tersebut disebut dengan tebal lapisan batas (Faruk dan
Kamiran, 2012).
Gambar 2.6 Struktur Lapisan Batas
(Faruk dan Kamiran, 2012)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengukuran Kecepatan Fluida dengan Tabung Pitot
Gambar 4.1 Grafik Kecepatan Lokal (u) vs Ketinggian Bed (z)
Gambar 4.1 adalah grafik kecepatan lokal (u) vs ketinggian bed (z) yang
menunjukkan hubungan antara kecepatan lokal (u) dengan tinggi bed (z). Pada laju
alir 7,93 L/menit dengan ketinggian bed (z) 17, 27, 37, 47, 57, 67, 97 dan 117 mm
diperoleh kecepatan lokal (u) masing-masing sebesar 0,313; 0,343; 0,343; 0,343;
0,343; 0,313; 0,420 dan 0,396 m/s. Pada laju alir 26,13 L/menit dengan ketinggian
bed (z) 17, 27, 37, 47, 57, 67, 97 dan 117 mm kecepatan lokal masing-masing
sebesar 0,542; 0,396; 0,396; 0,420; 0,524; 0,524; 0,626 dan 0,542 m/s. Pada laju alir
62,10 L/menit dengan ketinggian bed 17, 27, 37, 47, 57, 67, 97 dan 117 mm
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130
Kecep
ata
n L
ok
al
(m/s
)
Ketinggian Bed (mm)
Q = 7,93 L/menit
Q= 26,13 L/menit
Q=62,10 L/menit
kecepatan lokalnya masing-masing sebesar 0,671; 0,714; 0,700; 0,804; 0,505; 0,686;
0,767 dan 0,885 m/s. Dari grafik diatas terlihat bahwa grafik membentuk fluktuasi
pada setiap debit aliran dimana semakin bertambahnya ketinggian bed (z), kecepatan
lokal (u) juga bertambah.
Tabung pitot biasanya digunakan untuk mengukur kecepatan lokal pada suatu
posisi pada saluran pipa (Albright, 2009). Fluida yang digunakan pada percobaan ini
adalah air. Air merupakan fluida tak termampatkan. Fluida tak termampatkan adalah
fluida tidak mengalami perubahan dengan adanya perubahan tekanan (Kustiningsih,
2008). Dengan hal tersebut didapat persamaan umum terhadap debit aliran fluida
sebagai berikut :
Q = v. A (Ferdinan, 2007)
A = b.y
y = 160 – z
maka : Q = v . b (160 – z)
Dimana :
Q = debit aliran (m3/s)
v = kecepatan atau laju aliran (m/s)
A = Luas penampang (m2)
b = lebar saluran penampang (m)
y = tinggi saluran penampang (m)
z = ketinggian bed (m)
Dari persamaan di atas dimana debit aliran (Q) sebanding dengan kecepatan
lokal (u), akan tetapi kecepatan rata-rata (v) berbanding terbalik dengan luas
penampang (A). Luas penampang sangat dipengaruhi oleh ketinggian bed (z).
Apabila ketinggian bed (z) semakin tinggi maka luas penampang akan semakin kecil
sehingga kecepatan lokalnya (u) akan semakin meningkat.
Dari hasil percobaan diperoleh data yang tidak sesuai dengan teori yaitu pada
laju alir 7,93 L/menit terjadi penurunan kecepatan lokal (u) dengan ketinggian bed
(z) 67 mm dan kecepatan lokal (u) konstan pada ketinggian bed (z) 27, 37, 47 dan 57
mm, pada laju alir 26,13 L/menit terjadi penurunan kecepatan lokal (u) dengan
ketinggian bed (z) 27 mm dan 57 mm dan kecepatan lokal (u) konstan pada
ketinggian bed (z) 27, 37, 57 dan 67 mm sedangkan pada laju alir 62,10 L/menit
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0 0,2 0,4 0,6 0,8
u2/v
2
y2'/y2
N Re = 2701,946
N Re = 8900,527
N Re = 21150,103
terjadi penurunan kecepatan lokal (u) dengan ketinggian bed (z) 37 dan 57 mm. Dan
juga dapat dilihat dari hasil percobaan untuk hubungan debit aliran (Q) dan
kecepatan lokal (u) terdapat data yang tidak sesuai dengan teori dimana pada laju alir
62,10 L/menit dengan kecepatan lokal (u) sebesar 0,505 m/s lebih rendah
dibandingkan dengan kecepatan lokal (u) pada laju alir 26,13 L/menit yaitu sebesar
0,524 m/s pada ketinggian bed (z) 57 mm. Hal ini disebabkan oleh :
1. Laju air yang masuk pada saluran penampang tidak konstan.
2. Kinerja pompa yang kurang baik sehingga laju alirnya tidak tetap.
4.2 Pengukuran Profil Kecepatan Fluida
Gambar 4.2 Grafik 𝑢2/𝑉2 vs 𝑦2′ /𝑦2
Gambar 4.2 menunjukkan hubungan antara 𝑢2/𝑉2vs 𝑦2′ /𝑦2
untuk aliran transisi
pada laju alir 7,93 L/menit dengan NRe = 2701, 946 pada 𝑦2′ /𝑦2= 0 maka nilai 𝑢2/𝑉2
= 10,165 dan untuk 𝑦2′ /𝑦2= 0,15 maka nilai 𝑢2/𝑉2
= 6,776. Untuk aliran turbulen pada
laju alir 26,13 L/menit dengan NRe = 8900,527 pada 𝑦2′ /𝑦2= 0 maka nilai 𝑢2/𝑉2
=
3,709 dan untuk 𝑦2′ /𝑦2= 0,15 maka nilai 𝑢2/𝑉2
= 3,563. Untuk aliran turbulen pada
laju alir 62,10 L/menit dengan NRe = 21150,103 pada 𝑦2′ /𝑦2= 0 maka nilai 𝑢2/𝑉2
=
1,369 dan untuk 𝑦2′ /𝑦2= 0,15 maka nilai 𝑢2/𝑉2
= 2,249.
Bilangan Reynold adalah suatu bilangan tak berdimensi yang menyatakan rasio
sifat-sifat gaya viskos dalam suatu cairan. Rumus dari bilangan Reynold adalah
NRe = D v ρ
µ (Gultom, 2011)
NRe = 2701,946
NRe = 8900,527
NRe = 21150,103
Dimana : NRe = Bilangan Reynold
D = Diameter (m)
v = Kecepatan rata-rata (m/s)
ρ = Densitas (kg/m3)
µ = Viskositas (Pa.s)
Aliran akan laminar jika bilangan Reynold kurang dari 2000 dan akan
turbulen jika bilangan Reynold lebih besar dari 4000. Jika bilangan Reynold terletak
antara 2000 – 4000 maka disebut aliran transisi (Gultom, 2011).
Gambar 4.3 Profil Kecepatan Dalam Suatu Pipa. (a) Aliran Laminar dalam
Pipa (b) Aliran Transisi dalam Pipa, (c) Aliran Turbulen dalam Pipa
(Reid, 2012)
Dari hasil percobaan pada laju alir 7,93 L/menit jenis aliran merupakan aliran
transisi sedangkan pada laju alir 26,13 dan 62,10 L/menit jenis aliran merupakan
aliran turbulen. Grafik yang dihasilkan untuk aliran transisi dan turbulen tidak sesuai
dengan teori karena grafik yang terbentuk tidak membentuk garis lurus. Hal ini
disebabkan oleh :
1. Laju air yang masuk pada saluran penampang tidak konstan.
2. Kinerja pompa yang kurang baik sehingga laju alirnya tidak tetap.
(c)
(b)
(a)
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
0 1 2 3 4
y1/y2
Q = 7,93 L/menit
Q = 26,13 L/menit
Q = 62,10 L/menit
4.3 Aplikasi Persamaan Kontinuitas
Gambar 4.5 Grafik 𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 vs 𝑦1𝑦2
Gambar 4.5 menunjukkan perbandingan antara 𝑦1𝑦2 dengan
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 . Pada laju
alir 7,93 L/menit untuk 𝑦1𝑦2 = 1,119 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,745;
𝑦1𝑦2 = 1,203 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 =
0,775; 𝑦1𝑦2 = 1,301 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,816;
𝑦1𝑦2 = 1,416 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,775;
𝑦1𝑦2 =
1,553 nilai 𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,739;
𝑦1𝑦2 = 1,72 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,645;
𝑦1𝑦2 = 2,54 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 =
0,949; 𝑦1𝑦2 = 3,721 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,756. Pada laju alir 26,13 L/menit untuk
𝑦1𝑦2 =
1,119 nilai 𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,939;
𝑦1𝑦2 = 1,203 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,816;
𝑦1𝑦2 = 1,301 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1
= 0,894; 𝑦1𝑦2 = 1,416 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,905;
𝑦1𝑦2 = 1,553 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,907;
𝑦1𝑦2 =
1,720 nilai 𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,780;
𝑦1𝑦2 = 2,540 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,913;
𝑦1𝑦2 = 3,721 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,968. Pada laju alir 62,10 L/menit untuk
𝑦1𝑦2 = 1,119 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,758;
𝑦1𝑦2 = 1,203 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,827;
𝑦1𝑦2 = 1,301 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,781;
𝑦1𝑦2 = 1,416
nilai 𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,908;
𝑦1𝑦2 = 1,553 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,721;
𝑦1𝑦2 = 1,720 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 =
0,866; 𝑦1𝑦2 = 2,540 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 1,168;
𝑦1𝑦2 = 3,721 nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 1,234.
Titik-titik yang paling mendekati garis diagonal pada laju alir 7,93 L/menit
adalah 𝑦1𝑦2 = 1,119 dengan nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,745. Pada laju alir 26,13 L/menit adalah
𝑦1𝑦2 = 1,119 dengan nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,939 dan pada laju alir 62,10 L/menit adalah
𝑦1𝑦2 = 1,203 dengan nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1= 0,827.
Berdasarkan teori persamaan kontinuitas dapat dilihat dari persamaan berikut :
Q = v. A (Ferdinan, 2007)
Persamaan ini dapat diubah menjadi :
Q1 = Q2
v1. A1 = v2. A2
Dari persamaan :
v = Cv 2𝑔ℎ (Suroso, 2008)
A = b. y
Maka akan diperoleh : 𝐴1
𝐴2=𝑉2
𝑉1
dan disubsitusikan menjadi persamaan :
𝑏 .𝑦1
𝑏 .𝑦2 =
𝐶𝑣 2𝑔𝐻2
𝐶𝑣 2𝑔𝐻1
𝑦1
𝑦2 =
𝐻2
𝐻1
Dimana : v = kecepatan aliran fluida (m/s)
Q = debit aliran (m3/s)
A = luas penampang (m2)
b = lebar saluran penampang (m)
y = tinggi saluran (m)
y1 = tinggi channel pada section 1 (mm)
y2 = tinggi channel pada section 2 (mm)
H1 = tinggi fluida pada tabung pitot section 1 (mm)
H2 = tinggi fluida pada tabung pitot section 2 (mm)
Dari hasil percobaan terdapat titik-titik yang tidak sesuai dengan teori dimana
untuk titik-titik tersebut hampir mendekati garis diagonal dan menjauhi garis
diagonal. Adapun penyimpangan yang terjadi disebabkan oleh :
1. Laju air yang masuk pada saluran penampang tidak konstan.
2. Kinerja pompa yang kurang baik sehingga laju alirnya tidak tetap.
0,000
0,002
0,004
0,006
0,008
0,010
0,012
0,014
0,016
0,018
0,020
0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30
Cv
v2 (m/s)
4.4 Penggunaan Kontraksi Sebagai Alat Ukur Fluida
Gambar 4.6 Grafik Cv vs v2
Gambar 4.6 menunjukkan bahwa hubungan antara koefisien kalibrasi alat ukur
(Cv) dengan kecepatan rata-rata (v). Dari hasil percobaan untuk v2 0,036; 0,117 dan
0,278 m/s masing-masing mempunyai nilai Cv sebesar 0,002; 0,01 dan 0,018. Secara
teori nilai Cv sebanding dengan kecepatan rata-rata (v), apabila kecepatan rata-rata
(v) semakin besar maka nilai Cv semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari
persamaan berikut ini :
Q = Cv. Cd 1,705bh3/2 (Iqbal, 2012)
Q = v. A
Maka diperoleh :
v = Cv .Cd 1,705bh 3/2
A
Dimana :
Q = Debit aliran (m3/s)
v = kecepatan rata-rata (m2/s)
A = luas penampang saluran (m2)
Cv = faktor koefisien kecepatan
Cd = koefisien discharge
b = lebar saluran (m)
H = tinggi saluran (m)
Kecepatan rata-rata (v) berbanding lurus dengan koefisien disharge (Cv), jika
kecepatan rata-rata (v) semakin besar maka koefisien discharge (Cv) akan semakin
besar. Hasil percobaan telah sesuai dengan teori dimana kecepatan fluida semakin
besar maka nilai Cv akan semakin besar.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari percobaan ini adalah:
1. Dari hasil percobaan pada setiap laju alir kecepatan lokal (u) fluida mengalami
fluktuasi dengan semakin bertambahnya ketinggian bed (z).
2. Dari hasil percobaan pada laju alir 7,93 L/menit jenis aliran yang terjadi
merupakan aliran transisi dengan NRe = 2701,946, laju alir 26,13 L/menit jenis
aliran yang terjadi merupakan aliran turbulen dengan NRe = 8900,527 dan laju
alir 62,10 L/menit jenis aliran yang terjadi merupakan aliran turbulen dengan
NRe = 21150,103.
3. Dari hasil perobaan diperoleh titik yang mendekati garis diagonal yaitu pada laju
alir 7,93 L/menit adalah 𝑦1𝑦2 = 2,54 dengan nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,949. Pada laju alir
26,13 L/menit adalah 𝑦1𝑦2 = 2,54 dengan nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 0,913. Pada laju alir
62,10 L/menit adalah 𝑦1𝑦2 = 3,721 dengan nilai
𝛥𝐻2
𝛥𝐻1 = 1,234.
4. Dari hasil percobaan diperoleh bahwa jika kecepatan rata-rata (v) semakin besar
maka nilai Cv akan semakin besar.
5. Dari hasil percobaan diperoleh persen galat rata-rata untuk laju alir 7,93; 26,13
dan 62,10 L/menit masing-masing sebesar 51,098%; 43,724% dan 45,424 %.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan untuk percobaan ini yaitu :
1. Sebaiknya dalam percobaan ini digunakan fluida dengan viskositas yang
berbeda sebagai pembanding.
2. Disarankan pembacaan skala lebih cepat karena penurunan cairan pada
tabung pitot dan piezometer sedikit cepat akibat adanya kebocoran pada bawah
tabung.
3. Disarankan pada saat melakukan kalibrasi laju alir terlebih dahulu dibiarkan
beberapa saat karena laju alir masuk dan keluarnya belum konstan.
4. Disarankan menggunakan laju alir yang lebih bervariasi agar didapat 3 jenis
aliran fluida yaitu laminar, transisi dan turbulen.
LAMPIRAN B
CONTOH PERHITUNGAN
B.1 Kalibrasi Laju Alir
Q1 = 8 liter/menit
Q2 = 26 liter/menit
Q3 = 62 liter/menit
Qrata-rata = 10,623
8,613,622,62
B.2 Pengukuran Kecepatan Fluida dengan Tabung Pitot
Q = 62,1 liter/menit = 0,001035 m
3/s
b = 40 mm = 0,04 m
z2 = 117 mm = 0,117 m
y2 = 43 mm = 0,043 m
g = 9,8 m/s2
a. Mencari nilai y2’
y2’ = (y2 : 2) + z
= (0,043 : 2) + 0,117
= 0,1385 m
b. Mencari nilai kecepatan lokal (u)
H2 = 232 mm = 0,232 m
h2 = 192 mm = 0,192 m
u2 = 2 . g (H2 – h2)
= 2 . 9,8 (0,232 – 0,192)
Liter /menit
= 0,885 m/s
b. Mencari nilai kecepatan rata – rata (v)
v2 = Q
b . y2
= 043,0.04,0
0,001035
= 0,602 m/s
Ket : Q = Laju alir (liter/menit)
b = Lebar channel (mm)
y2
= Tinggi channel pada section 2 (mm)
y2' = Tinggi tabung pitot pada section 2 (mm)
g = Percepatan gravitasi (m/s2)
H = Tinggi fluida di dalam tabung pitot (mm)
h = Tinggi fluida di dalam piezometer (mm)
B.3 Pengukuran Profil Kecepatan Fluida
Q = 62,1 liter/menit = 0,001035 m3/s
b = 40 mm = 0,04 m
z2 = 80 mm = 0,09 m
y2’ = 47 mm = 0,047 m
y2 = 80 mm = 0,08 m
g = 9,8 m/s2
a. Mencari nilai y2’ / y2
y2’ / y2 = 0,047 : 0,08
= 0,588
b. Mencari nilai kecepatan lokal (u2)
H2 = 232 mm = 0,232 m
h2 = 207 mm = 0,207 m
u2 = 2 . g (H2 – h2)
= 2 . 9,8 (0,232– 0,207)
= 0,7 m/s
c. Mencari nilai kecepatan rata – rata (v2)
v2 = Q
b . y2
= 08,004,0
0,001035
x
= 0,323 m/s
d. Mencari nilai u2/v2
u2/v2 = 323,0
7,0
= 2,167
e. Menghitung Bilangan Reynold
v = 0,323 m/s
Dekivalen = 08,004,0
08,004,02..2
(2
..4
xx
yb
yb
yb
yb
Dekivalen = 0,0533 m
NRe´ =
Dxvx =
000807,0
68,995323,0053,0 xx
= 21121,49432 (aliran turbulen)
B.4 Aplikasi Persamaan Kontinuitas
Q = 62,1 liter/menit = 0,001035 m3/s
b = 40 mm = 0,04 m
z2 = 117 mm = 0,117 m
y1 = 160 mm = 0,16 m
y2 = 43 mm = 0,043 m
g = 9,8 m/s2
a. Mencari y1 / y2
y1 / y2 = 0,16 / 0,152
= 3,7209
b. Mencari nilai
1
2
hH
hH
H1 = 208 mm = 0,208 m
2 2
2 2)
H2 = 232 mm = 0,232 m
h1 = 185 mm = 0,185 m
h2 = 197 mm = 0,197 m
1
2
hH
hH
234,1
185,0208,0
197,0232,0
c. Mencari % Galat
% 66,847100 x 3,721
1,2343,721
B.5 Penggunaan Kontraksi Sebagai Alat Ukur Aliran
Q = 62,1 liter/menit = 0,001035 m3/s
b = 40 mm = 0,04 m
y1 = 160 mm = 0,16 m
y2 = 93 mm = 0,093 m
h1 = 189 mm = 0,189 m
h2 = 197 mm = 0,197 m
g = 9,8 m/s2
a. Mencari y1 / y2
y1 / y2 = 0,16 / 0,093
= 1,720
b. Mencari Cv
1
2..
2
2
1
211
y
y
hhgbyCQ
v
121
2
2
1
2.
1
hhgby
y
yQ
Cv
187,0197,08,9204,0.16,0
1(1,72)001035,02
x
Cv
Cv = 0,018
c. Mencari nilai kecepatan rata – rata (v)
v =Q
b . y
= 093,004,0
001035,0
x
= 0,278 m/s