acara iii print

30
ACARA III EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN TITIK ASAP MINYAK GORENG A. Tujuan Tujuan dari praktikum Acara III. Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik Asap Minyak Goreng adalah : 1. Menentukan bilangan peroksida pada minyak sawit 2. Menentukan titik asap pada minyak sawit B. Tinjauan Pustaka Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan. Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh dan akrolein tersebut. Makin tinggi titik asapnya, makin baik mutu minyak goreng tersebut. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak

Upload: agnes-titah

Post on 18-Feb-2016

23 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

LAPORAN EGDP

TRANSCRIPT

Page 1: Acara III Print

ACARA III

EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN

TITIK ASAP MINYAK GORENG

A. Tujuan

Tujuan dari praktikum Acara III. Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik

Asap Minyak Goreng adalah :

1. Menentukan bilangan peroksida pada minyak sawit

2. Menentukan titik asap pada minyak sawit

B. Tinjauan Pustaka

Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa

gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan. Mutu minyak goreng

ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk

akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada

tenggorokan. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh dan

akrolein tersebut. Makin tinggi titik asapnya, makin baik mutu minyak goreng

tersebut. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas.

Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun,

karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena itu untuk menekan

terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan

pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada umumnya suhu

penggorengan adalah 177-2210C. Bilangan peroksida didefinisikan sebagai

jumlah miliequivalen peroksida dalam setiap 1000 g minyak atau lemak.

Bilangan peroksida >20 menunjukkan kualitas minyak yang sangat buruk,

biasanya teridentifikasi dari bau yang tidak enak. Bilangan peroksida adalah

nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak.

Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya

sehingga membentuk peroksida. Bilangan peroksida ditentukan berdasarkan

jumlah iodin yang dibebaskan setelah lemak atau minyak ditambahkan KI.

Lemak direaksikan dengan KI dalam pelarut asam asetat dan kloroform,

Page 2: Acara III Print

kemudian iodin yang terbentuk ditentukan dengan titrasi memakai Na2S2O3

(Winarno, 2004).

Minyak kelapa sawit dapat dihasilkan dari inti kelapa sawit yang

dinamakan minyak inti kelapa sawit dan sebagai hasil samping ialah bungkil

inti kelapa sawit. Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang

mempunyai komposisi yang tetap. Kandungan karoten dari minyak sawit

dapat mencapai dapat mencapai 1000 ppm atau lebih, tetapi dalam minyak

dari jenis tenera kurang lebih dipengaruhi oleh penanganan selama produksi.

Sifat fisiko-kimia minyak kelapa sawit meliputi warna, bau dan flavor,

kelarutan, titik cair dan polimorphism, titik didih, titik pelunakan, slipping

point, shot melting, bobot jenis, indeks bias, titik kekeruhan, titik asap, titik

nyala dan titik api (Muchtadi et al, 2010).

Minyak sawit dan minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak

jenuh masing-masing sekitar 50 % dan 80 % dan diesterifikasi dengan

gliserol. Minyak sawit merupakan konstituen dari kelapa sawit yang terdiri

dari 16 karbon jenuh, asam lemak palmitat dan oleat tak jenuh tunggal.

Minyak kelapa sawit merupakan sumber tocotrienol terbesar di alam dan juga

mengandung vitamin K yang tinggi serta magnesium untuk diet. Minyak

kelapa sawit mengandung asam linoleat sekitar 10 % Asam linoleat adalah

salah satu dari dua asam lemak esensial yang dibutuhkan manusia. Kelapa

sawit juga mengandung sedikit squalene (yang memungkinkan penurunan

kolesterol dan sifat anti-kanker) dan ubiquinone (energi penguat)

(Mukherjee et al, 2009).

Minyak merupakan campuran dari ester asam lemak dengan gliserol.

Jenis minyak yang umumnya dipakai untuk menggoreng adalah minyak

nabati seperti minyak sawit, minyak kacang tanah, minyak wijen dan

sebagainya. Minyak goreng jenis ini mengandung sekitar 80% asam lemak

tak jenuh jenis asam oleat dan linoleat, kecuali minyak kelapa. Proses

penyaringan minyak kelapa sawit sebanyak 2 kali (pengambilan lapisan

lemak jenuh) menyebabkan kandungan asam lemak tak jenuh menjadi lebih

tinggi. Tingginya kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan minyak

Page 3: Acara III Print

mudah rusak oleh proses penggorengan (deep frying), karena selama proses

menggoreng minyak akan dipanaskan secara terus menerus pada suhu tinggi

serta terjadinya kontak dengan oksigen dari udara luar yang memudahkan

terjadinya reaksi oksidasi pada minyak (Sartika, 2009).

Pengulangan penggunaan minyak goreng dapat mempengaruhi kualitas

makanan dan menaikkan pembentukan senyawa yang dapat mempengaruhi

kesehatan manusia dan menyebabkan makanan gorengan memiliki masa

simpan agak pendek karena mengalami ketengikan di minyak goreng yang

ada di produk. Setelah proses penggorengan, konsumen juga memperhatikan

tentang kualitas minyak dari aspek warna, titik asap dan derajat ketengikan.

Beberapa parameter dapat digunakan untuk menilai kualitas minyak seperti

asam lemak bebas (FFA), angka peroksida (PV), warna minyak goreng, titik

asap dan komposisi asam lemak (Fan et al, 2012).

Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa

oksidasi dan hidrolitik, baik enzimatik maupun non enzimatik. Di antara

kerusakan minyak yang mungkin terjadi ternyata kerusakan karena

autooksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Hasil yang

diakibatkan oksidasi lemak antara lain peroksida, asam lemak, aldehid dan

keton. Untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak dapat dinyatakan sbagai

angka peroksida atau angka thiobarbiturat (TBA) (Sudarmadji et al, 1989).

Penentuan angka peroksida. Kedalam erlen meyer 30 mL dicampurkan

asam asetat glasial dan kloroform (3:2), kemudian sampel minyak 5g

dimasukkan ke dalam larutan tersebut. Selanjutnya ditambahkan KI jenuh 0,5

mL dan dikocok sampai jernih. Setelah 2 menit dari penambahan KI

ditambah 30 mL aquades. Iod yang dibebaskan dititrasi dengan thiosulfat

0,01N. Pengerjaan blanko dengan cara yang sama hanya tidak menggunakan

sampel minyak (Gunawan et al, 2003).

Minyak akan mengalami kerusakan apabila mengalami pemanasan

berulang kali, kontak dengan air, udara, dan logam. Kerusakan minyak yang

terjadi selama proses penggorengan meliputi oksidasi, polimerasi, dan

hidrolisis. Pada minyak goreng bekas yang telah rusak akan menbentuk

Page 4: Acara III Print

senyawa-senyawa yang tidak diinginkan seperti senyawa polimer, asam

lemak bebas, peroksida dan kotoran lain yang tersuspensi dalam minyak.

Minyak bekas merupakan minyak yang sudah tidak layak konsumsi.

Warnanya biasanya gelap, menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Mutu

minyak bekas sudah sangat rendah karena adanya kandungan senyawa

peroksida dan asam lemak bebas yang tinggi. Minyak yang telah rusak

mempunyai angka peroksida serta asam lemak bebas yang tinggi.

Peningkatan angka peroksida diakibatkan proses oksidasi pada proses

pemasakan/pemanasan minyak goreng (Mulasari dan Utami, 2012).

Salah satu fenomena yang dihadapi dalam proses penggorengan adalah

menurunnya kualitas minyak setelah digunakan secara berulang pada suhu

yang relatif tinggi (160-180ºC). Paparan oksigen dan suhu tinggi pada minyak

goreng akan memicu terjadinya reaksi oksidasi. Beberapa parameter

terjadinya oksidasi seperti free fatty acid (FFA), komponen polar, asam

konjugat dienoat meningkat pada setiap pengulangan penggorengan selama

60 kali periode penggorengan. Bilangan peroksida ditentukan dengan

prosedur sebagai berikut: Minyak sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam

Erlenmeyer tertutup dan ditambahkan 30 ml pelarut campuran asam asetat

glacial : kloroform (6:4 v/v). Setelah minyak larut sempurna ditambahkan 0,5

ml larutan KI jenuh dan dibiarkan 1 menit sambil dikocok, kemudian

ditambahkan 30 ml aquades. Iodium yang dibebaskan oleh peroksida dititrasi

dengan larutan standar natrium tiosulfat (Na2S2O3). Pengukuran angka

peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar peroksida dan

hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak.

Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah

mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu

berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida

rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil

dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat

kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain

(Aminah, 2010).

Page 5: Acara III Print

Waktu penggorengan dan jenis makanan yang digoreng merupakan

factor yang berpengaruh terhadap kualitas minyak selama penggorengan dan

kualitas bahan yang digoreng. Waktu penggorengan meningkatkan

kandungan asam lemak bebas, komponen polar seperti dimer triacylglyserol,

dimers, dan polimer. peningkatan bilangan peroksida signifikan dengan

peningkatan suhu penyimpanan. Adanya efek sinergis suhu yang tinggi

dengan waktu yang lama terhadap bilangan peroksida Prinsip dari bilangan

peroksida adalah senyawa dalam lemak (minyak) akan dioksidasi oleh

Kalium lodida (KI) dan lod yang dilepaskan dititar dengan tiosulfat. Lemak

direkasikan dengan KI dalam pelarut asam aseta dan kloroform, sehingga

minyak mengikat iodine dari KI atau mengoksidasi ion ferro menjadi ion

ferri. Iodin yang dibebaskan, dititrasi dengan larutan standar natrium

thiosulfat 0,1 N. (Aminah dan Isworo, 2010).

Proses pembentukan peroksida ini dipercepat oleh adanya cahaya, panas,

enzim peroksida atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan

Mn, logam porfirin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, korofil dan enzim-

enzim lipoksidase. Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam

lemak mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Tingginya bilangan peroksida

menandakan oksidasi yang berkelanjutan, tetapi rendahnya bilangan

peroksida bukan berarti bebas dari oksidasi. Pada suhu penggorengan,

peroksida meningkat, tetapi menguap dan meninggalkan sistem

penggorengan pada temperatur yang tinggi (Moigradean, 2010).

Frekuensi penggorengan yang makin sering mengakibatkan kandungan

peroksidanya semakin meningkat, hal ini dikarenakan reaksi oksidasi termal

yang terjadi pada saat penggorengan. Oksidasi termal yakni oksidasi yang

dikarenakan adanya pemanasan dan adanya paparan udara, yang

mengakibatkan terbentuknya peroksida. Semakin banyak pengulangan

penggorengan warna minyak semakin gelap. Hal ini disebabkan karena

akumulasi dari komponen komponen yang terbentuk dari hasil oksidasi

semakin banyak. Oksidasi hidroperoksida yang lebih lanjut juga

menghasilkan produk-produk degradasi dengan tiga tipe utama yaitu

Page 6: Acara III Print

pemecahan menjadi alkohol, aldehid, asam, dan hidrokarbon, dimana hal ini

juga berkontribusi dalam perubahan warna minyak goreng yang lebih gelap

dan perubahan flavor, dehidrasi membentuk keton (Wannahari, 2012).

C. Metodologi

1. Alat

a. Beker glass 100 ml

b. Buret

c. Erlenmeyer 250 ml

d. Kompor gas

e. Pipet tetes

f. Pipet ukur 10 ml

g. Pipet ukur 5 ml

h. Pipet ukur 1 ml

i. Propipet

j. Termometer

k. Wajan

l. Alumunium foil

m. Gelas ukur 100 ml

2. Bahan

a. Minyak sawit (Minyak baru, minyak hasil penggorengan tahu 1 kali,

minyak hasil penggorengan tahu 2 kali, minyak hasil penggorengan

tempe 1 kali, minyak curah, minyak jelantah)

b. Larutan campuran asam asetat glasial dan kloroform

c. KI jenuh

d. Aquades

e. Na-tiosulfat 0,1 N

Page 7: Acara III Print

3. Cara kerja

a. Penentuan Bilangan Peroksida

b. Penentuan titik asap

Dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang telah dilapisi aluminium foil

Ditambahkan, dikocok sampai sampel minyak larut

Ditambahkan, diamkan selama 2 menit sambil digoyang

Ditambahkan

5 ml sampel minyak

Kelebihan Iod dititrasi dengan Na-tiosulfat 0,1 N

Dengan cara sama dibuat penetapan blanko

0,5 ml KI jenuh

30 ml aquades

Dipanaskan sampai terbentuk asap dan diamati suhunya

Dihitung bilangan peroksida tiap sampel

30 ml pelarut (60% as. Asetat glasial +

40% kloroform

50 ml sampel minyak

Dimasukkan ke dalam wajan

Page 8: Acara III Print

D. Hasil dan Pembahasan

Tabel 3.1 Bilangan Peroksida Minyak Sawit

Shift Kel. SampelAngka Peroksida

(Meq/kg)

11 Minyak baru 462 Minyak penggorengan tahu 1x 23 Minyak penggorengan tahu 2x 2404 Minyak penggorengan tempe 1x 1585 Minyak curah baru 166 Minyak jelantah 130

21 Minyak baru 42 Minyak penggorengan tahu 1x 63 Minyak penggorengan tahu 2x 684 Minyak penggorengan tempe 1x 265 Minyak curah baru 2006 Minyak jelantah 128

31 Minyak baru -102 Minyak penggorengan tahu 1x 183 Minyak penggorengan tahu 2x 104 Minyak penggorengan tempe 1x 1025 Minyak curah baru 106 Minyak jelantah 436

Sumber : Laporan Sementara

Dalam praktikum acara III dilakukan evaluasi terhadap bilangan

peroksida dan titik asap minyak goreng. Penggorengan dapat didefinisikan

sebagai proses pemasakan dan pengeringan produk melalui media panas

berupa minyak sebagai media pindah panas. Menurut Aminah dan Isworo

(2010), prinsip dari bilangan peroksida adalah senyawa dalam lemak

(minyak) akan dioksidasi oleh Kalium lodida (KI) dan lod yang dilepaskan

dititar dengan tiosulfat. Menurut Winarno (1984), bilangan peroksida

didefinisikan sebagai jumlah miliequivalen peroksida dalam setiap 1000 g

minyak atau lemak. Bilangan peroksida >20 menunjukkan kualitas minyak

yang sangat buruk, biasanya teridentifikasi dari bau yang tidak enak.

Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat

kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat

oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida.

Page 9: Acara III Print

Menurut Aminah (2010), bilangan peroksida ditentukan dengan

prosedur sebagai berikut: Minyak sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam

Erlenmeyer tertutup dan ditambahkan 30 ml pelarut campuran asam asetat

glacial : kloroform (6:4 v/v). Pada tahapan ini pelarut digunakan untuk

melarutkan minyak sehingga dapat direaksikan pada tahap tahap berikutnya.

Setelah minyak larut sempurna ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh dan

dibiarkan 1 menit sambil dikocok. Menurut Aminah dan Isworo (2010),

minyak direkasikan dengan KI dalam pelarut asam aseta dan kloroform,

sehingga minyak mengikat iodine dari KI atau mengoksidasi ion ferro

menjadi ion ferri. Kemudian ditambahkan 30 ml aquades. Iodium yang

dibebaskan oleh peroksida dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat

(Na2S2O3). Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur

kadar peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi

oksidasi lemak. Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau

minyak sudah mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah

bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka

peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih

kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain,

mengingat kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan

zat lain. Skema reaksi yang terjadi selama titrasi penentuan bilangan

peroksida seperti berikut

R00H + K+I- ROH + K+OH + I2

I2 (biru) + indikator + 2Na2S2O3 2NaI + indikator (tidak berwarna) +

Na2S4O6

Menurut Mulasari dan Utami (2012), minyak akan mengalami

kerusakan apabila mengalami pemanasan berulang kali, kontak dengan air,

udara, dan logam. Kerusakan minyak yang terjadi selama proses

penggorengan meliputi oksidasi, polimerasi, dan hidrolisis. Pada minyak

goreng bekas yang telah rusak akan menbentuk senyawa-senyawa yang tidak

diinginkan seperti senyawa polimer, asam lemak bebas, peroksida dan

kotoran lain yang tersuspensi dalam minyak. Minyak bekas merupakan

Page 10: Acara III Print

minyak yang sudah tidak layak konsumsi. Mutu minyak bekas sudah sangat

rendah karena adanya kandungan senyawa peroksida dan asam lemak bebas

yang tinggi. Minyak yang telah rusak mempunyai angka peroksida serta asam

lemak bebas yang tinggi. Peningkatan angka peroksida diakibatkan proses

oksidasi pada proses pemasakan/pemanasan minyak goreng. Menurut

Aminah dan Isworo (2010), waktu penggorengan, lama ulangan dalam

penggorengan serta jenis makanan juga menyebabkan minyak goreng

mengalami kerusakan.

Pada sampel minyak baru shift 1, shift 2 dan shift 3 didapatkan bilangan

peroksida sebesar 46 meq/kg, 4 meq/kg, 10 meq/kg. Pada sampel minyak

penggorengan tahu 1x diperoleh bilangan peroksida berturut-turut sebesar 2

meq/kg, 6 meq/kg, 18 meq/kg. Didapatkan bilangan peroksida 240 meq/kg,

68 meq/kg, 10 meq/kg pada sampel minyak penggorengan tahu 2x. Bilangan

peroksida berturut turut untuk sampel minyak penggorengan tempe 1x

sebesar suhu 158 meq/kg, 26 meq/kg, 102 meq/kg. Pada sampel minyak curah

baru didapatkan bilangan peroksida berturut turut sebesar 16 meq/kg, 200

meq/kg, 10 meq/kg. Pada sampel minyak jelantah didapatkan bilangan

peroksida sebesar 130 meq/kg, 128 meq/kg, 1436 meq/kg. Bilangan

peroksida terbesar didapatkan pada sampel minyak jelantah pada shift 3 yaitu

1436 meq/kg. Sedangkan bilangan peroksida terkecil didapatkan pada sampel

minyak penggorengan tahu 1x pada shift 1 yaitu 2 meq/kg.

Pada shift 1 urutan bilangan peroksida dari yang terendah sampai yang

tertinggi adalah sampel minyak penggorengan tahu 1x (2 meq/kg), minyak

curah baru (16 meq/kg), minyak baru (46 meq/kg), minyak jelantah (130

meq/kg), minyak penggorengan tempe 1x (158 meq/kg), dan minyak

penggorengan tahu 2x (240 meq/kg). Sedangkan pada shift 2 urutan bilangan

peroksida dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sampel minyak

baru (4 meq/kg), minyak penggorengan tahu 1x (6 meq/kg), minyak

penggorengan tempe 2x (26 meq/kg), minyak penggorengan tahu 2x (68

meq/kg), minyak jelantah (128 meq/kg), dan minyak curah baru (200

meq/kg). Pada shift 3 urutan bilangan peroksida dari yang terendah sampai

Page 11: Acara III Print

yang tertinggi adalah sampel minyak baru, minyak penggorengan tahu 2x,

minyak curah baru (10 meq/kg), minyak penggorengan tahu 1x (18 meq/kg),

minyak penggorengan tempe 1x (102 meq/kg), dan minyak jelantah (1436

meq/kg).

Menurut Aminah dan Isworo (2010), peningkatan angka peroksida

diakibatkan proses oksidasi pada proses pemasakan/pemanasan minyak

goreng, waktu penggorengan, lama ulangan dalam penggorengan serta jenis

makanan juga menyebabkan minyak goreng mengalami kerusakan. Jenis

bahan yang digunakan juga mempengaruhi seberapa rusak minyak yang

digunakan, misalnya dengan menggoreng tempe, minyak lebih cepat rusak

dibandingkan dengan menggoreng tahu. Karena dalam menggoreng tempe,

minyak akan mengalami kontak langsung dengan tempe yang mengandung

protein dan enzim yang masih bekerja didalamnya, sehingga kualitas minyak

lebih mudah turun. Sehingga seharusnya angka peroksida paling kecil adalah

pada sampel minyak baru dan yang paling besar adalah minyak jelantah.

Menurut hasil praktikum pada ketiga shift mengalami penyimpangan.

Pada shift 1 angka peroksida terkecil pada sampel minyak hasil penggorengan

tahu 1x, lalu pada shift 2 angka peroksida paling kecil sudah benar yaitu

sampel minyak baru, namun angka peroksida paling besar terdapat pada

minyak curah baru, dan pada data shift 3 juga mengalami penyimpangan

angka peroksida paling kecil ada 3 sampel yaitu minyak baru, minyak hasil

penggorengan tahu 2x dan minyak curah baru. Penyimpangan yang terjadi

selama praktikum disebabkan karena pengaruh penyimpanan sampel sebelum

diuji, karena kerusakan bukan hanya disebabakan oleh pemanasan saja namun

juga disebabkan intensitas kontak minyak dengan udara. Selain dari

pemanasan minyak yang berulang, penyimpangan juga disebakan oleh

kesalahan praktikan saat melakukan titrasi. Perbedaan standar perubahan

warna tiap praktikan menyebabkan hasilnya juga mengalami perbedaan.

Page 12: Acara III Print

Tabel 3.2 Titik Asap Minyak SawitShift Kel. Sampel Suhu 0C

11 Minyak baru 1242 Minyak penggorengan tahu 1x 1603 Minyak penggorengan tahu 2x 1834 Minyak penggorengan tempe 1x 1205 Minyak curah baru 1406 Minyak jelantah 180

21 Minyak baru 2202 Minyak penggorengan tahu 1x 2323 Minyak penggorengan tahu 2x 2384 Minyak penggorengan tempe 1x 2435 Minyak curah baru 2206 Minyak jelantah 290

31 Minyak baru 1602 Minyak penggorengan tahu 1x 903 Minyak penggorengan tahu 2x 804 Minyak penggorengan tempe 1x 1805 Minyak curah baru 1606 Minyak jelantah 87

Sumber : Laporan Sementara

Minyak sawit merupakan bahan yang memiliki sifat fisik dan sifat

kimia yang mempengaruhi kualitasnya. Salah satu sifat fisik yang

berpengaruh pada kualitas minyak yaitu smoke point. Bila suatu lemak

dipanaskan, pada suhu tertentu timbul asap tipis kebiruan. Titik ini disebut

titik asap (smoke point). Bila pemanasan diteruskan maka akan tercapai flash

point, yaitu minyak mulai terbakar (terlihat nyala). Jika minyak sudah

terbakar secara tetap disebut fire point. Suhu terjadinya smoke point ini

bervariasi dan dipengaruhi oleh jumlah asam lemak bebasnya. Jika asam

lemak bebas banyak, ketiga suhu tersebut akan turun. Demikian juga bila

berat molekul rendah, ketiga suhu tersebut akan lebih rendah. Tujuan dari

penentuan titik asap adalah untuk mengetahui mutu atau kualitas dari minyak

goreng. Semakin tinggi titik asap minyak goreng maka semakin bagus

kualitas minyak tersebut, begitu juga sebaliknya (Winarno, 1982).

Pada praktikum ini sampel dipanaskan di atas kompor gas

menggunakan wajan kemudian diamati sampai terbentuk asap kemudian

Page 13: Acara III Print

diukur suhu minyak tersebut dengan menggunakan termometer. Dari hasil

praktikum didapatkan titik asap pada sampel minyak dengan suhu berbeda-

beda. Pada sampel minyak baru shift 1, shift 2 dan shift 3 didapatkan titik

asap pada suhu sebesar 1240C, 2200C dan 1600C. Pada sampel minyak

penggorengan tahu 1x diperoleh titik asap berturut-turut pada suhu 1600C,

2320C dan 900C. Didapatkan titik asap pada suhu 1830C, 2380C dan 800C

pada sampel minyak penggorengan tahu 2x. Titik asap untuk sampel minyak

penggorengan tempe 1x didapatkan pada suhu 1200C, 2430C dan 1800C. Pada

sampel minyak curah baru didapatkan titik asap pada suhu 1400C, 2200C dan

1600C. Pada sampel minyak jelantah didapatkan nilai titik asap pada suhu

1800C, 2900C dan 870C. Suhu terbesar pada saat terbentuknya asap

didapatkan pada sampel minyak jelantah pada shift 2 yaitu 2900C. Sedangkan

suhu terkecil terbentuknya asap didapatkan pada sampel minyak

penggorengan tahu 2x pada shift 3 yaitu 800C.

Pada shift 1 urutan suhu terbentuknya titik asap dari yang tertinggi

sampai yang terendah adalah 1830C, 1800C 1600C, 1400C, 1240C dan 1200C

untuk sampel berturut-turut minyak penggorengan tahu 2x, minyak jelantah,

minyak penggorengan tahu 1x, minyak curah baru, minyak baru, minyak

penggorengan tempe 1x. Sedangkan pada shift 2 urutan suhu terbentuknya

titik asap dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah 2900C, 2430C

2380C, 2320C, 2200C dan 2200C untuk sampel berturut-turut minyak jelantah,

minyak penggorengan tempe 1x, minyak penggorengan tahu 2x, minyak

penggorengan tahu 1x, minyak baru, minyak curah baru. Pada shift 3 urutan

suhu terbentuknya titik asap dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah

1800C, 1600C 1600C, 900C, 870C dan 800C untuk sampel berturut-turut

minyak penggorengan tempe 1x, minyak baru, minyak curah baru, minyak

penggorengan tahu 1x, minyak jelantah, minyak penggorengan tahu 2x.

Menurut Winarno (2004), lemak yang telah digunakan untuk

menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis molekul

lemak. Hasil praktikum pada shift 1 belum sesuai dengan teori dimana suhu

terbentuknya asap pada minyak penggorengan tahu 1x dan 2x serta minyak

Page 14: Acara III Print

jelantah memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan minyak baru. Hasil

yang sama didapatkan pada shift 2. Namun pada shift 3 berbeda, hasilnya

sudah sesuai teori dimana suhu terbentuknya asap pada sampel minyak

penggorengan tahu dan minyak jelantah lebih rendah dibandingkan pada

minyak baru. Makin tinggi titik asapnya, makin baik mutu minyak goreng

tersebut. Penyimpangan ini terjadi dimungkinkan penggunaan api yang

berbeda-beda , ada penggunaan api yang terlalu besar sehingga minyak cepat

panas ataupun dikarenakan bahan dari wajan yang berbeda-beda.

Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu

pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan

dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Penggunaan minyak goreng

berulang kali akan mengakibatkan kerusakan minyak. Berbagai macam reaksi

yang terjadi selama proses penggorengan seperti reaksi oksidasi, hidrolisis,

polimerisasi, dan reaksi dengan logam dapat mengakibatkan minyak menjadi

rusak. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas

(Ketaren, 2008).

Standar mutu minyak goreng telah dirumuskan dan ditetapkan oleh

Badan Standarisasi Nasional (BSN) yaitu SNI 01-3741-2002, SNI ini

merupakan revisi dari SNI 01-3741-1995, menetapkan bahwa standar mutu

minyak goreng seperti pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut ini:

Page 15: Acara III Print

Oksidasi oleh oksigen udara terjadi secara spontan jika bahan yang

mengandung lemak dibiarkan kontak dengan udara. Kecepatan proses

oksidasinya tergantung dari tipe lemak dan kondisi penyimpanan. Adanya

antioksidan dalam lemak akan mengurangi kecepatan proses oksidasi.

Antioksidan terdapat secara alamiah dalam minyak atau bahan pangan

berlemak, atau kadang-kadang sengaja ditambahkan. Faktor-Faktor yang

menghambat oksidasi :

1. Pengaruh suhu

Kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara akan bertambah

dengan kenaikan suhu dan akan berkurang dengan penurunan suhu.

Untuk mengurangi kerusakan bahan pangan berlemak dan agar

Page 16: Acara III Print

tahan dalam waktu lebih lama, dapat dilakukan dengan cara

menyimpan lemak dalam ruang dingin

2. Pengaruh cahaya

Cahaya berpengaruh sebagai akselerator pada oksidasi tidak jenuh

dalam lemak, untuk menghindarinya gunakan bahan pembungkus

yang dapat mengabsorpsi sinar aktif yang terbuat dari cellophane

berwarna tua yaitu warna biru tua, hijau tua, cokelat tua, atau

merah tua.

3. Katalis logam

Fungsi logam sebagai katalisator oksidasi dapat dihambat dengan

melepaskan katalis logam dari lemak selama tahap permulaan

proses oksidasi dan menambahkan zat penghambat yang kuat ke

dalam system autooksidasi akan mencegah oksidasi lebih lanjut

(Ketaren 2008).

Page 17: Acara III Print

E. Kesimpulan

Kesimpulan yang didapatkan dari Acara III. Evaluasi Bilangan

Peroksida dan Titik Asap Minyak Goreng antara lain :

1. Bilangan peroksida terkecil terdapat pada sampel minyak hasil

penggorengan tahu 1x pada shift 1 sebesar 2 meq/kg dan yang terbesar

terdapat pada sampel minyak jelantah pada shift 3 sebesar 1436 meq/kg.

2. Suhu terbesar pada saat terbentuknya asap didapatkan pada sampel minyak

jelantah pada shift 2 yaitu 2900C. Sedangkan suhu terkecil terbentuknya

asap didapatkan pada sampel minyak penggorengan tahu 2x pada shift 3

yaitu 800C.

3. Faktor yang mempengaruhi kualitas minyak antara lain pemanasan,

penyimpanan minyak, frekuensi penggorengan, jenis bahan yang

digunakan untuk menggoreng.

Page 18: Acara III Print

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah dan Sifat Organoleptik Tempe pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan dan Gizi Vol.1(1).

Aminah, Siti dan J.T.Isworo. 2010. Praktek Penggorengan dan Mutu Minyak Goreng Sisa pada Rumah Tangga di Kedungmundu Tembalang Semarang. Prosiding Seminar Nasional Unimus. ISBN:978.979.704.883.9.

Fan, H.Y et al. 2012. Frying Stability of Rice Bran Oil and Palm Olein. International Food Research Journal Vol. 20(1): 403-407.

Gunawan, et al. 2003. Analisis Pangan: Penentuan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas Pada Minyak Kedelai Dengan Variasi Menggoreng. JSKA Vol.6(3).

Ketaren. 2008. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta.

Moigradena, Diana; M.A.Poiana; I.Gogosa. Quality Characteristics and Oxidative Stability of Coconut Oil During Storage. Journal of Agroalimentary Process and Technologies Vol.18(4):272-276.

Muchtadi, Tien R, et al. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta. Bogor.

Mukherjee et al. 2009. Health Effects of Palm Oil. School of Medical Science and Technology, Indian Institute of Technology Vol.3(26): 197-198.

Mulasari, Surahma Asti dan R.R.Utami. 2012. Kandungan Peroksida pada Minyak Goreng di Pedagang Makanan Gorengan Sepanjang Jalan Dr. Soepomo Umbulharjo Yogyakarta. Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Vol.1(2):120-123.

Sartika, Ratu Ayu Dewi. 2009. Pengaruh Suhu Dan Lama Proses Menggoreng (Deep Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Jurnal Makara, Sains Vol.13(1): 23-28.

Sudarmadji, Slamet, et al. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Wannahari and Nordin. 2012. Reduction of Peroxide Value in Used Palm Cooking Oil Using Bagasse Adsorbnet. American International Journal of Contemporary Research Vol.2(1).

Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 19: Acara III Print

LAMPIRAN

1. Dokumentasi

Gambar 3.1 Sampel minyak setelah dititrasi

Gambar 3.2 Sampel minyak sebelum dititrasi

Page 20: Acara III Print

2. Perhitungan bilangan peroksida

Kelompok 1

Sampel : Minyak baru

Milieqivalen peroksida = A x N x 1000/G

= (1,5-1,3) x 0,1 x 1000/5

= 4 meq/kg

A = ml Na2S2O3 titrasi sampel – ml Na2S2O3 titrasi blanko

N = normalitas Na2S2O3

G = berat sampel minyak (gram)

Perubahan warna

Awal : kuning muda

Setelah ditambah pelarut + KI : kuning muda

Setelah titrasi : putih bening