repository.unpar.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 7715... laporanpenelitian hibah...
TRANSCRIPT
Penelitian Hibah Dosen Muda
Program Studi: Teknik Kimia
LAPORAN
PEMBUATAN EMULSI BERBASIS MINYAK NIMBA SEBAGAI
BIOPESTISIDA
Disusun Oleh:
Putri Ramadhany, S.T., M.Sc., PDEng
Dr. Ir. Judy Retti B. Witono, M.App.Sc.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Katolik Parahyangan
2018
i
ABSTRAK
Penggunaan pestisida kimia di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, terutama dengan
digalakannya paket teknologi modern untuk menaikkan produktivitas di sektor pertanian dan
perikanan. Namun sayangnya, penggunaan pestisida kimia membawa pengaruh negatif dan
menjadi kendala baru dalam peningkatan produksi. Penggunaan pestisida kimia (seperti DDT
dan Eldrin) menyebabkan kerusakan ekosistem, pencemaran lingkungan, resurjensi dan
resistansi hama serta peninggalan residu kimia pada bahan pangan. Untuk itu, diperlukan
produk alternatif yang dapat mengurangi bahkan mengeliminasi dampak negatif penggunaan
pestisida kimia. Minyak nimba adalah salah satu produk yag berpotensi untuk menggantikan
pestisida kimia. Minyak nimba berasal dari biji pohon nimba yang merupakan tanaman anti-
feedant. Tanaman anti-feedant adalah tanaman yang memiliki bahan aktif alami yang dapat
mempengaruhi siklus hidup serangga. Serangga yang mengkonsumsi bagian dari pohon nimba
menjadi tidak dapat berkembang biak, kehilangan nafsu makan, terdapat perubahan fisiologis,
dan akhirnya mati. Bahan aktif yang terkandung di dalam pohon nimba bervariasi, diantaranya
adalah azadirachtin (AZA), nimbin, dan nimbinidin. Bahan – bahan aktif, terutama AZA,
paling banyak ditemukan pada minyak nimba. Kandungan azadirachtin dalam minyak nimba
sekitar 5000 – 6000 ppm dan dibutuhkan sekitar 20 – 50 g minyak nimba untuk memberantas
hama pada satu hektar lahan. Oleh karena itu, penggunaan minyak nimba dapat dianggap
menguntungkan secara ekonomis. Akan tetapi, minyak nimba memiliki viskositas yang tinggi,
sehingga minyak nimba sulit untuk disemprotkan langsung ke tanaman.
Penelitian yang dilakukan sebagai kajian awal untuk membuat emulsi biopestisida berbasis
minyak nimba. Banyak hal yang dapat mempengaruhi pembentukan emulsi oil-in-water,
diantaranya adalah tipe pengadukan, waktu pengadukan, temperatur pengadukan, jenis
surfaktan yang digunakan, dan formulasi baha baku. Pada penelitian awal ini, sekitar 10% berat
minyak nimba akan “dilarutkan” ke dalam pelarut air dengan penambahan 5% berat surfaktan.
Variasi awal yang dilakukan adalah variasi tipe surfaktan (Lutensol TO 6, TO 7, TO 8, XL 40,
dan XL 70) dan kondisi pengadukan (magnetic stirrer dan vortex). Temperatur pengadukan
dijaga konstan pada temperatur ruangan. Analisis yang dilakukan adalah uji creaming, uji
ukuran droplets, dan larva activity.
Dari kajian awal yang dilakukan, kedua tipe pengadukan sederhana magnetic stirrer dan
vortex dianggap kurang mampu untuk mendapatkan emulsi yang stabil dikarenakan munculnya
fenomena creaming (terbentuknya multifasa). Creaming pada magnetic stirrer muncul 30
menit setelah proses pengadukan selesai, sedangkan creaming pada vortex muncul satu jam
setelah pengadukan selesai. Pada pengadukan dengan menggunakan magnetic stirrer, droplets
minyak akan terpisah di permukaan larutan dalam kurun waktu dua jam. Hal ini menandakan
surfaktan yang belum bekerja secara efektif. Selain itu, ukuran droplets juga menjadi tolak
ukur dalam menganalisa kestabilan emulsi. Ukuran droplets rata-rata terletak pada rentang 4 –
10 μm, dimana hasil terbaik diperoleh dengan menggunakan surfaktan Lutensol TO 7 dengan
ukuran rata-rata 4,70 μm. Keefektifan biopestisida sebagai pembunuh serangga juga diuji
dengan menyemprotkan biospestisida pada makanan. Terbukti, makanan yang disemprotkan
dengan biopestisida tidak terdapat aktivitas pertumbuhan larva lalat, sedangkan yang tidak
disemprotkan biopestisida terdapat aktivitas pertumbuhan larva lalat.
Kata kunci: minyak nimba, neem oil, biopestisida, pestisida, DDT, azadirachtin.
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
I.1 LATAR BELAKANG ...................................................................................................... 1
I.2 PERUMUSAN MASALAH ............................................................................................. 2
I.3 TUJUAN PENELITIAN ................................................................................................... 2
I.4 RENCANA HASIL LUARAN ......................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 3
II.1 PESTISIDA ..................................................................................................................... 3
II.2 POHON NIMBA ............................................................................................................. 4
II.3 MINYAK NIMBA SEBAGAI BIOPESTISIDA ............................................................ 5
II.4 EMULSI OIL IN WATER (O/W)..................................................................................... 6
II.5 STABILITAS EMULSI .................................................................................................. 7
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................................................... 9
III.1 ANALISIS MINYAK NIMBA ...................................................................................... 9
III.2 PEMBUATAN BIOPESTISIDA ................................................................................... 9
III.3 ANALISIS PRODUK .................................................................................................... 9
BAB IV. JADWAL PELAKSANAAN ................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 12
LAMPIRAN ............................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. Error! Bookmark not defined.
1
BAB I. PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi dengan nilai 5,2% pada kuartal dua tahun 2017 (World Bank, 2017). Berdasarkan Badan
Pusat Statistik (2017), pertumbuhan pendapatan domestik (PDB) tertinggi pada triwulan II
masih didominasi oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dengan 8,44%. Melalui data
yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Gambar 1, dapat terlihat bahwa Indonesia
masih memiliki peluang yang tinggi untuk meningkatkan produksi di sektor pertanian.
Gambar 1. Pertumbuhan PDB Beberapa Sektor Lapangan Usaha Triwulan II 2017 (q on q) (BPS, 2017)
Untuk meningkatkan pertumbuhan di sektor pertanian, pemerintah Indonesia pada tahun
1999 telah menggalakan beberapa program untuk menaikkan produktivitas sektor pertanian
melalui paket teknologi modern. Paket ini terdiri dari penggunaan pupuk kimia, pestisida
kimia, dan pemberian bibit unggul (Sutanto, 2002). Peningkatan produktivitas ini dinilai
berhasil dengan peningkatan produksi hingga 60% (Sutanto, 2002). Akan tetapi, dampak
negatif penggunaan paket ini mulai terlihat dan menjadi kendala baru dalam peningkatan
produksi. Penggunaan pestisida kimia (seperti DDT dan Eldrin) menyebabkan kerusakan
ekosistem, pencemaran lingkungan, resurjensi dan resistansi hama serta peninggalan residu
kimia pada bahan pangan (Ratna, 2009).
Di bidang perikanan sendiri, pestisida umum digunakan oleh nelayan untuk mengusir lalat
dan serangga mengganggu pada hasil tangkapan laut. Namun, seperti yang diketahui, pestisida
kimia adalah bahan kimia berbahaya dan beracun yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan pada manusia dan lingkungan sekitar. Tingkat toksisitas pestisida bergantung pada
lamanya pemaparan dan jumlah residu pestisida. Residu yang ditinggalkan pestisida pada
bahan pangan dilaporkan terdeteksi pada produk pangan dan ternak (Indraningsih, 2006).
Terdeteksinya residu pestisida dapat mengancam keamanan pangan di Indonesia.
Dengan latar belakang ini, penelitian akan dilakukan untuk mencari alternatif pestisida dari
bahan alami yang aman bagi manusia dan lingkungan sekitar. Pohon nimba (Azadirachta
indica) adalah tanaman berpotensi yang dapat digunakan sebagai biopestisida. Pohon nimba
mengandung bahan aktif azadirachtin (C35H44O16) yang efektif dalam merusak siklus
hama/serangga tanpa merusak ekologi lingkungan.
2
I.2 PERUMUSAN MASALAH
Pohon nimba tumbuh secara liar di Indonesia dan banyak ditemukan di daerah Jawa Barat.
Namun, saat ini pemanfaatan pohon nimba oleh masyarakat lokal masih belum maksimal.
Padahal, pohon nimba mengandung bahan aktif azadirachtin yang berguna sebagai pestisida
alami. Petani dan nelayan Indonesia masih bergantung pada penggunaan DDT untuk
membunuh hama tanaman dan serangga.
Kandungan aktif azadirachtin terbanyak terletak pada minyak nimba yang diekstraksi dari
biji buah nimba. Minyak nimba sendiri memiliki LC50 (Lethal Concentration yang
menyebabkan 50% mortalitas pada serangga) sebesar 0,249 ppm (Zanuncio, 2016). Minyak
nimba ini cukup pekat sehingga sulit untuk disemprotkan secara langsung, petani lokal di India
biasanya mengencerkan minyak nimba dengan air sebelum disemprotkan ke tanaman. Namun,
karena air dan minyak adalah fasa yang tidak dapat menyatu maka penggunaan minyak nimba
setelah pengenceran harus segera dilakukan sebelum terpisah kembali menjadi dua fasa.
Selain itu, efektivitas biopestisida berbasis minyak nimba juga dipengaruhi oleh kondisi
operasi seperti temperatur (Shannag, 2015). Oleh karena itu, melalui penelitian ini, penentuan
formulasi dan kondisi operasi pembuatan biopestisida berbasis minyak nimba akan dilakukan.
I.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah mencari kondisi operasi dan formulasi yang tepat untuk
mendapatkan biopestisida berbasis minyak nimba.
I.4 RENCANA HASIL LUARAN
Hasil keluaran dari penelitian ini adalah berupa penerbitan dalam satu jurnal nasional tidak
terakreditasi.
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 PESTISIDA
Menurut PP No.7 Tahun 1973 Pasal 1, yang dimaksud dengan pestisida adalah “Semua zat
kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk memberantas atau
mencegah hama-hama atau penyakit-penyakit yang merusak tanaman, memberantas
rerumputan, mematikan daun, dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur
atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk,
memberantas atau mencegah hama-hama air, memberantas atau mencegah binatang-binatang
yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan
penggunaan pada tanaman, tanah, dan air.”
Pestisida pada dasarnya adalah racun yang dirancang khusus (toxic by design) untuk
memberantas segala jenis hama. Pestisida dibagi menjadi beberapa golongan bergantung pada
penggunaannya (Indraningsih, 2006), yaitu:
Insektisida
Herbisida
Fungisida
Rodentisida
Pestisida berdasarkan komponen kimia yang membentuk dibagi menjadi karbamat,
organofosfat (OP), dan organoklorin (OC). Penggunaan OC cukup menyebar di sektor
pertanian Indonesia karena efektivitas dan harganya yang relatif murah. Namun, pestisida jenis
OC memiliki residu yang persisten, terbukti pestisida jenis ini memiliki residu yang cukup
tinggi pada produk pertanian atau ternak (Nirwan, 2014). Pestisida jenis OP memiliki toksisitas
yang sangat tinggi pada manusia. Pemaparan pestisida OP dalam waktu lama dapat
menyebabkan gangguan syaraf (Nirwan, 2014).
Gambar 2. Struktur Kimia Insektisida OC (DDT) dan OP (Klorpirifos)
Pestisida kimia memiliki laju metabolisme dan disposisi yang rendah, tergantung pada
temperatur ambient. Pestisida kimia yang banyak digunakan di Indonesia adalah DDT
(dichlorodiphenyltrichloroethane). DDT akan terdegradasi secara lambat menjadi DDD
(dichlorodiphenyldichloroethane) dan DDE (dichlorodiphenylchloroethane). Kedua turunan
DDT tersebut memiliki properti kimia dan fisik yang sama dengan DDT, kecuali aktivitas
biologisnya. Pada negara-negara tropis, DDT akan menguap lebih cepat, sehingga pada kurun
waktu yang lama DDT akan terakumulasi di atmosfer (van den Berg, 2009). DDT juga tidak
4
larut dalam air dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap bahan-bahan organik di tanah. Half-
life DDT pada tanah di negara tropis sekitar 3-7 bulan dan 15 tahun untuk temperatur dingin
(van den Berg, 2009). Akumulasi residu DDT pada air, tanah, dan udara dapat
mengkontaminasi hasil pertanian, perikanan, dan peternakan.
Di Indonesia sendiri, residu pestisida pada bahan pangan dan ternak terbilang cukup tinggi.
Residu pestisida tidak hanya berasal dari pengontakan pestisida langsung ke tanaman,
melainkan berasal dari kontaminasi melalui hembusan angin, hujan, ataupun dari tanah
(Sulistiyono, 2004). Dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 bahwa residu pestisida kimia pada
tanaman pangan dan hasil ternak masih memiliki nilai yang lebih tinggi dari batas konsentrasi
maksimal yang ditentukan Depkes. Pemaparan residu pestisida yang terus menerus akan
membahayakan kesehatan manusia karena sifatnya yang karsinogenik. Half-life DDT pada
manusia adalah > 4 tahun, sedangkan turunan DDT, yaitu DDE, membutuhkan waktu lebih
dari 4 tahun untuk terurai (van den Berg, 2009).
Selain bersifat karsinogenik, pestisida kimia juga dapat merusak keseimbangan ekologi.
Penggunaan pestisida kimia secara terus menerus dapat mencemarkan air dan tanah, dan secara
tidak langsung menurunkan populasi hewan tanah dan air (Sulistiyono, 2004).
Tabel 1. Residu Pestisida pada Sayuran (Sulistiyono, 2004)
No Pestisida Residu (ppb) Jenis Sayuran Asal Sampel Batas Maksimal (Depkes)
(ppb)
1 DDT 4,422 Wortel Magelang 1,0
2 Endosulfan 625 Wortel Kuncen ---
3 Lindana 265 Wortel Cipanas 3,0
4 Diazinon 227 Sawi Salatiga 0,75
5 Aldrin 170 Wortel Magelang 0,1
Tabel 2. Residu Pestisida pada Susu di Jawa Barat (Indraningsih, 2006)
No Pestisida Residu (ppb)
1 Lindan 2,26
2 Heptaklor 5,28
3 Diazinon 7,96
4 CPM 0,36
5 Endosulfan 0,09
II.2 POHON NIMBA
Pohon nimba (Azadirachta indica) adalah salah satu tanaman yang memiliki sifat alami
sebagai pestisida. Pohon nimba disebut-sebut sebagai tanaman serba guna yang efektif dalam
mengatasi hama, mencegah erosi, dan “mendinginkan” temperatur udara karena pohonnya
yang rindang (National Research Council, 1992). Selain itu, tanaman ini juga memainkan peran
penting dalam pengobatan tradisional di India (National Research Council, 1992). Pohon
nimba diklasifikasikan sebagai antifeedant, dimana kandungan aktif dalam pohon nimba dapat
merusak siklus hidup serangga yang memakan bagian dari tanaman ini.
5
Gambar 3. Pohon dan Buah Nimba
Pohon nimba mengandung berbagai macam bahan aktif. Lebih dari 135 komponen berhasil
diisolasi dari berbagai bagian pohon nimba. Komponen ini pada dasarnya diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu isoprenoids dan non-isoprenoids (Devi, 2015). Isoprenoids terdiri dari
diterpenoids dan triterpenoids yang mengandung protomeliacins, limonoids, azadirone,
vilasinin, dan csecomeliacins (nimbin, salannin, dan azadirachtin). Non-isoprenoids terdiri dari
protein, karbohidrat, sulfur, dan polyphenol (Devi, 2015). Bahan-bahan aktif ini dipercaya
sebagai racun bagi hama tanaman.
II.3 MINYAK NIMBA SEBAGAI BIOPESTISIDA
Minyak nimba adalah minyak yang diekstraksi dari biji buah nimba yang dapat digunakan
sebagai biopestisida (insektisida, mitisida, dan fungisida). Biji buah nimba mengandung 40%
minyak dan memiliki kandungan aktif azadirachtin yang tinggi dibandingkan produk pohon
nimba yang lain (Kothekar, 2008). Minyak nimba mengandung lebih dari 50% asam lemak
(fatty acids), termasuk oleic acids (58%), stearic acids (21,4%), palmitic acids (12,6%), dan
linoleic acids (2,1%) (Devi, 2011). Minyak nimba memiliki warna kekuningan, memiliki bau
sulfur/bawang putih, dan rasa yang sangat pahit yang tidak disukai oleh serangga (Waghmare,
2007).
Menurut Kothekar (2008), serangga yang memakan daun yang disemprotkan oleh minyak
nimba akan mengalami perubahan hormonal. Menyebabkan serangga kehilangan nafsu makan
dan mengganggu reproduksi dan maturasi serangga. Akibatnya, serangga akan cepat mati dan
tidak meninggalkan generasi baru. Minyak nimba sendiri tidak beracun bagi manusia, burung,
cacing tanah, dan hewan mamalia lain (Kothekar, 2008).
Menurut Patel (1998), dibutuhkan sekitar 20 – 50 g bahan aktif minyak nimba untuk
memberantas hama pada satu hektar lahan. Oleh karena itu, penggunaan minyak nimba dapat
dianggap menguntungkan secara ekonomis. Namun, minyak nimba memiliki viskositas yang
tinggi sehingga sulit untuk disemprotkan langsung ke tanaman (Waghmare, 2007).
Seperti dijelaskan sebelumnya, pohon nimba mengandung banyak bahan aktif, salah
satunya adalah azadirachtin. Buah nimba mengandung 0,2-0,6 % berat azadirachtin. Selain
azadirachtin, komponen aktif yang bermanfaat sebagai pestisida adalah salannin, nimbin,
6
nimbinin, dan nimbinidin (Devi, 2011). Karakteristik azadirachtin dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.
Gambar 4. Struktur Kimia Azadirachtin (Campos, dkk., 2016)
Tabel 3. Karakteristik Azadirachtin (National Research Council, 1992)
Bentuk Molekul C35H44O16
Klasifikasi Triterpenoids
Berat Molekul (g/mol) 720
Titik Leleh (°C) 155 - 185
Penampakan Microcrystalline (kuning pucat)
Dosis minimum azadirachtin yang digunakan untuk biopestisida berbeda-beda tergantung
pada tipe hama yang diteliti. Penelitian yang dilakukan oleh Zanunchio (2016) menyatakan
LD50 pada serangga Podisius nigrispinus adalah 0, 249 ppm, sedangkan menurut Bendzadjia
(2015) LD50 pada Drosophila melanogaster adalaha 0,67 μg/serangga. Menentukan kadar
azadirachtin pada minyak nimba tidaklah mudah karena minyak nimba memiliki banyak
kandungan bahan aktif. Ekstraksi azadirachtin harus dilakukan terlebih dahulu untuk
mengetahui kadar azadirachtin dalam minyak nimba. Analisis azadirachtin sendiri sebenarnya
bisa menjadi suatu judul penelitian tersendiri karena membutuhkan proses, waktu, dan biaya
yang tidak sedikit. Jika memungkinkan, analisis kadar azadirachtin dalam minyak nimba akan
dilakukan sebagai tahap pendahuluan. Namun, jika terdapat keterbatasan, akan dicari bahan
minyak nimba yang sudah diketahui kadar azadirachtin dalam label produknya.
Penelitian yang dilakukan Waghmare (2007) dan Kothekar (2008), tidak mengukur kadar
azadirachtin akan tetapi persentase berat minyak nimba. Kothekar (2008) menemukan dengan
konsentrasi emulsi 2% (persentase minyak nimba 30%), dapat membunuh larva hingga 100%.
II.4 EMULSI OIL IN WATER (O/W)
Permasalahan utama minyak nimba yang digunakan sebagai pestisida adalah nilai viskositas
yang tinggi, sehingga sulit untuk disemprotkan ke tanaman. Untuk mengatasi permasalahan
ini, maka minyak nimba akan “dilarutkan” ke dalam air atau disebut emulsi oil in water (o/w).
Emulsi adalah campuran dua komponen yang tidak saling melarutkan. Pembuatan emulsi o/w
dapat dilakukan dengan mencampurkan air, minyak, dan surfaktan. Berdasarkan
klasifikasinya, surfaktan dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu anionik, kationik, non-ionik,
dan amfoterik. Pemilihan jenis surfaktan harus sesuai dengan emulsi yang akan dibuat. Namun
7
untuk pembuatan emulsi o/w, surfaktan non-ionik paling sering digunakan karena dapat
menjaga kestabilan emulsi.
Tabel 4. HLB dan jenis emulsi yang terbentuk (Williams, 2007)
Deskripsi Nilai HLB Emulsi
Tidak ada emulsi 1 – 4 Tidak ada
Poor emulsion 3 – 6 Emulsi w/o
Milky emulsion setelah pengadukan
dengan kecepatan tinggi
6 – 8 Emulsi w/o
Stable milky emulsion 8 – 10 Emulsi o/w
Translucent to clear emulsion 10 – 13 Emulsi o/w
Clear emulsion 13+ Emulsi o/w
Hydrophile Lipophile Balance (HLB) adalah sistem numerik yang digunakan untuk
menentukan rasio surfaktan yang dapat larut dalam air dan minyak (Williams, 2007). Semakin
rendah nilai HLB, menunjukkan kemudahan surfaktan untuk larut dalam fasa minyak.
Hubungan HLB dan jenis emulsi yang dibentuk dapat dilihat pada Tabel 4.
II.5 STABILITAS EMULSI
Emulsi pada dasarnya adalah dispersi dua larutan yang tidak saling melarutkan.
Penambahan surfaktan dapat ‘melarutkan’ dua campuran ini menjadi satu fasa. Pemilihan
surfaktan merupakan hal yang menentukan pembentukan dan kestabilan emulsi. Namun, tidak
jarang pula seiring dengan berjalannya waktu terjadi pemecahan emulsi. Proses pemecahan
emulsi dapat terjadi karena proses fisik dan kimia. Pemecahan emulsi juga dapat terjadi dalam
tahap penyimpanan karena distribusi partikel yang tidak merata dan perbedaan densitas antara
droplet dan media pelarut. Proses pemecahan emulsi digambarkan pada Gambar 5. Fenomena
pemecahan emulsi tidaklah sederhana dan membutuhkan analisis lebih lanjut mengenai
berbagai gaya yang terlibat.
Gambar 5. Skema pemecahan emulsi (Thadros, 2012)
Proses pemecahan yang umum terjadi pada emulsi adalah sedimentasi, creaming, flokulasi,
penggabungan (coalescence), disproporsionasi (Ostwald ripening), dan inversi fasa (Thadros,
8
2012). Jika gaya dari luar seperti gaya gravitasi dan sentrifugasi melebihi gerak Brownian pada
droplet, maka emulsi memiliki kecenderungan untuk terpisah menjadi dua fasa (creaming dan
sedimentasi). Sedimentasi terjadi jika droplet memiliki densitas lebih berat dari media pelarut,
sedangkan creaming sebaliknya. Gaya tarik menarik van der Waals yang kuat dalam emulsi
dapat membentuk flokulan. Disproporsionasi terjadi saat droplet-droplet minyak dengan
ukuran kecil berdifusi satu sama lain membentuk droplet dengan ukuran besar. Penggabungan
(coalescence) hampir mirip dengan fenomena flokulasi, hanya saja proses penggabungan
disebabkan oleh fluktuasi di interface atau permukaan dua larutan. Inversi fasa terjadi jika
terdapat perubahan antara fasa terdispersi dan medium pelarut.
9
BAB III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini pada dasarnya dilakukan dalam tiga tahap, yaitu analisis minyak nimba,
pembuatan biopestisida, dan analisis produk biopestisida.
III.1 ANALISIS MINYAK NIMBA
Minyak nimba yang digunakan akan dianalisis terlebih dahulu untuk dilihat kandungan
bahan aktif (azadirachtin) dan karakteristik fisiknya. Analisis bahan aktif dilakukan dengan
menggunakan FTIR dan Gas Chromatography.
III.2 PEMBUATAN BIOPESTISIDA
Pembuatan biopestida dilakukan dengan cara pembuatan emulsi oil in water. Bahan yang
dibutuhkan adalah minyak nimba, air, dan surfaktan (Lutensol TO6, TO7, TO8, XL 40, dan
XL70). Prosedur pembuatan emulsi mencakup pengadukan air, minyak, dan surfaktan pada
berbagai variasi surfaktan dan jenis pengadukan. Temperatur pengadukan dijaga konstan pada
25 °C.
Formulasi nimba dijaga konstan terlebih dahulu mengikuti referensi dari Waghmare, 2007.
Formulasi awal memiliki kandungan minyak nimba 10 %-berat dan surfaktan 5 %-berat.
Tempuhan percobaan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Variasi Pembuatan Biopestisida Berbasis Minyak Nimba
No Surfaktan Tipe
Pengadukan
1 TO6
Magnetic
Stirrer
2 TO7
3 TO9
4 XL40
5 XL70
6 TO6
Vortex
7 TO7
8 TO9
9 XL40
10 XL70
III.3 ANALISIS PRODUK
Kadar AZA dalam ninyak nimba diukur dengan menggunakan Gas Chromatography di UPI,
Bandung.
Tes yang dilakukan adalah tes stabilitas emulsi (creaming test), ukuran partikel droplets,
dan tes dosis mortalitas serangga.
Creaming test dilakukan untuk mengetahui kestabilan emulsi melalui observasi mata.
Pembentukan dua fasa akan dicatat waktunya. Ukuran partikel droplet rata-rata diukur dengan
menggunakan miksroskop dan software imageJ. Tes dosis mortalitas diukur dengan
10
meneteskan emulsi minyak nimba pada daging mentah dan dilihat apakah terdapat
pertumbuhan larva lalat seiring dengan waktu.
Tabel 6. Uji stabilitas emulsi
Uji stabilitas Metode Tempat
Ukuran droplet Mikroskop UNPAR
Creaming Penyimpanan UNPAR
Psychochemical Tegangan permukaan UNPAR
11
BAB IV. JADWAL PELAKSANAAN
Pada dasarnya peta penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6. Berhubung penelitian ini
adalah penelitian langkah awal, oleh sebab itu penelitian ini akan dititikberatkan pada tahap
tinjauan pustaka, pengembangan hipotesis, penelitian pendahuluan, penelitian utama, dan uji
analisis produk. Salah satu tujuan utama penelitian ini adalah untuk mencari formulasi dan
kondisi proses yang tepat dalam pembuatan emulsi biopestisida.
Jadwal perencanaan penelitian dalam waktu satu tahun ke depan dapat dilihat dalam Tabel
7. Rencana hasil luaran berupa penerbitan jurnal nasional tidak terakreditasi.
Tabel 7. Jadwal Penelitian untuk Satu Tahun
Kegiatan Des
17
Jan
17
Feb
18
Mar
18
Apr
18
Mei
18
Jun
18
Jul
18
Aug
18
Sep
18
Okt
18
Nov
18
Des
18
1. Membuat proposal
2. Analisis minyak nimba
3. Studi pustaka
4. Penelitian Utama
5. Analisis produk
6. Membuat laporan
7. Mempersiapkan hasil
luaran
Gambar 6. Peta Penelitian
12
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Stabilitas Emulsi
Pada dasarnya emulsi adalah pencampuran dua atau lebih komponen yang tidak saling
melarutkan. Untuk itu, dibutuhkan komponan yang disebut surfaktan atau emulsifier untuk
mendispersikan dua komponen yang tidak melarutkan. Pemilihan surfaktan menjadi bagian
penting dalam stabilitas emulsi. Di dalam penelitian ini, terdapat lima variasi surfaktan jenis
Lutensol, yaitu TO6.TO7.TO8, XL40, dan XL70.
Untuk proses emulsifikasi, dibutuhkan energi dari luar untuk mengekspansi tegangan antar
permukaan. Dalam penelitian ini digunakan dua metode pengadukan, yaitu: magnetic stirrer
dan vortex.s
Gambar 1. Fenomena creaming pada variasi surfaktan (magnetic stirrer)
13
Gambar 2. Fenomena creaming pada variasi surfaktan (vortex)
Table 1. Diameter Partikel Rata-Rata
Jenis Surfaktan Diameter Droplets Rata-Rata (μm)
Magnetic Stirrer Vortex
TO6 5,3 5,1
TO7 4,7 4,7
TO8 9,5 6,9
XL40 8,0 7,4
XL70 10 7,9
Gambar 3. Droplets dengan surfaktan XL40
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari
DAFTAR PUSTAKA
Bendjazia, Morakchi, Aribi, 2015, Growth and molting disruptions effects of Azadirachtin against Drosophila
melanogaster, Journal of Entomology and Zoology Studies, 363 – 368.
Bond, C., Buhl, K., Stone, D. 2012. Neem Oil General Fact Sheet, National Pesticide Information Center, Oregon
State University Extension Services.
Campos, E.V.R., de Oliveira, J.L., dkk., 2016, Neem Oil and Crop Protection: From Now to The Future, Frontier
in Plant Science, 7: 1 – 8.
Devi,N., Maji, T.K., 2011, Neem Seed Oil: Encapsulation and Controlled Release, In-Tech. 191 – 231.
Ghotbi, Khatibzadeh, Kordbacheh, 2014, Preparation of Neem Seed Oil Nanoemulsion, Proceedings of The 5th
International Conference of Nanotechnology, p. 150.
14
Indraningsih, 2006, Sumber Kontaminan dan Penanggulangan Residu Pestisida Pada Pangan Produk Peternakan;
Suatu Tinjauan, Media Publikasi Litbang Pertanian, 92 – 108.
Kothekar, S.C., Momin, S.A., Formulating Neem Oil Emulsion as Potent Agrochemicals Using a Binary
Emulsifier System, 2008, Journal of Dispersion Science and Technology, 29: 919 – 929.
National Research Council, H., 1992, Neem: A Tree for Solving Global Problems, National Academy Press.
Nirwan,L.M., 2014, Uji Cepat Residu Insektisida Organofosfat dan Organoklorin dengan Alat Multimeter Digital,
Repositori Institut Pertanian Bogor (IPB).
Patel, A., Devi, S., 1998, Dispersion of Neem Oil, J.Surf.Sci. Tech, 14: 169 – 175.
Ratna, Y., Trisyono, Y,A.,Untung, K, dkk, 2009, Resurjensi Serangga Hama Karena Perubahan Fisiologi
Tanaman dan Serangga Sasaran Setelah Aplikasi Insektisida, Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 15:
55 – 64.
Saliem, H.P., Kariyasa, K., dkk., 2015, Prospek Pengembangan Pertanian Modern Melalui Penggunaan Teknologi
Mekanisasi Pertanian Lahan Padi Sawah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian
Pertanian.
Sulistiyono, L., 2004, Dilema Penggunaan Pestisida dalam Sistem Pertanian Tanaman Hortikultura di Indonesia,
Makalah Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Sutanto, R., 2002, Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelnajutan, Kanisius.
Shannag, H.K, Capinera, J.L., Freihat, N.M., 2015, Effects on Neem-Based Insesticides on Consumption and
Utilization of Food in Larvae Spodoptera eridania (Lepidoptera: Noctuidae). Journal of Insect Science,
Volume 15: 1 – 6.
Tadros, Tharwat., 2012, Emultion Formation and Stability, Wiley-VCH.
Van den Berg, 2009, Global Status of DDT and Its Alternatives for Use in Vector Control to Prevent Disease,
Environment Health Perspectives, 117: 1656 – 1663.
Waghmare, J.T., Ware, A.M., Momin, S.A., 2007, Neem Oil as Pesticides, Journal of Dispersion Science and
Technology, 28: 323 – 328.
Williams, J., 2007, Handbook for Cleaning/Decontaminations of Surface, Science Direct.
World Agroforestry Centre, Handbook on Pesticidal Plants, University of Greenwich.
Zanuncio, J.C., dkk., 2016, Toxic Effects of The Neem Oil (Azadirachta Indica) Formulation on The Stink Bug
Predator Podisus nigrispinus (Heteroptera: Pentatomidae), Scientific Reports, 1 – 8.
15
LAMPIRAN
REKAPITULASI DANA
Perincian Dana
Bahan Baku - Minyak nimba Rp 1.000.000,00
- Surfaktan Rp 2.000.000,00
Honor di Luar Team Rp 1.500.000,00
Analisis Rp 5.000.000,00
Makan Rp 500.000,00
Total Rp 10.000.000,00
16