8 pembahasan umum - repository.ipb.ac.id · pengembangan sektor perikanan dan kelautan di halmahera...
TRANSCRIPT
8 PEMBAHASAN UMUM
Perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan tergolong perikanan skala
kecil, baik dilihat dari aspek teknologi maupun manajemen yang digunakan.
Perikanan skala kecil biasanya menggunakan armada penangkapan yang
sederhana, modal kecil, tenaga kerja sedikit serta hanya beroperasi di daerah
penangkapan yang terbatas. Pada dasarnya giob merupakan purse seine, yang
dirancang khusus untuk menangkap ikan julung-julung (Hemirhampus sp.). Alat
tangkap ini sudah lama digunakan oleh nelayan dan hingga kini tetap
dipertahankan, bahkan sebagian nelayan sangat mengandalkannya sebagai mata
pencaharian utama.
Isu utama dalam perikanan giob adalah terkait dengan potensi sumberdaya
ikan julung-julung yang mengalami penipisan. Kondisi ini dapat dilihat pada
jumlah alat tangkap giob semakin berkurang, produksi ikan julung-julung semakin
menurun, nelayan giob mendapatkan hasil yang kurang layak. Dalam rangka
mempertahankan keberadaan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan maka
perlu dilakukan langkah-langkah kebijakan yang diawali dengan kegiatan
penelitian.
Untuk mengkaji isu penipisan sumberdaya ikan julung-julung serta kondisi
yang ditimbulkan maka penelitian ini dilakukan dengan fokus kajian yang
mencakup: profil lokasi penelitian, telah memotret pengembangan perikanan
tangkap di Halmahera Selatan dan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan.
Aspek biologi ikan julung-julung, menjelaskan kondisi biologi ikan julung-julung
dalam kaitan dengan efektivitas kegiatan penangkapan ikan julung-julung, daerah
dan musim penangkapan. Evaluasi teknis perikanan giob, telah menjawab faktor
teknis apakah yang sangat berpengaruh terhadap produksi ikan julung-julung.
Keberlanjutan usaha perikanan giob, menekankan pada keberlanjutan usaha
perikanan giob pada aspek ukuran giob (GT) yang lebih layak dalam berinvestasi.
Pengembangan perikanan giob yang berkelanjutan dilakukan melalui perumusan
serangkain strategi, kemudian ditentukan strategi terpilih sebagai prioritas strategi
dalam pengembangan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan. Bahasan lebih
lengkap dapat disajikan pada setiap sub bab berikut.
135
8.1 Dukungan Potensi Wilayah terhadap Pengembangan Perikanan Giob
Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan memiliki luas 40.236,72 km2 dan
lebih didominasi oleh wilayah laut yaitu sebesar 31.484,40 km2 (78%), sedangkan
wilayah daratannya sebesar 8.779,32 km2 (22%). Keberadaan kondisi sumberdaya
perikanan tangkap Halmahera Selatan, secara singkat dapat dikatakan bahwa
Halmahera Selatan merupakan wilayah kepulauan dan memiliki luas lautan yang
sangat besar (78%), dimana didalamnya terkandung potensi sumberdaya
perikanan pelagis yang sangat besar. Pengembangan sumberdaya perikanan ini
mempunyai prospek yang menguntungkan di masa yang akan datang baik untuk
peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat maupun berkontribusi
terhadap perekonomian daerah.
Secara aktual, perikanan tangkap di Halmahera Selatan sampai dengan
tahun 2011 masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil. Secara
keseluruhan jenis kapal penangkap ikan di dominasi oleh motor tempel berukuran
˂ 5 GT (48%) dan motor tempel (29%). Dominannya kapal tanpa motor dan
motor tempel ini mengakibatkan daerah operasi penangkapan nelayan yang
berbasis Halmahera Selatan menjadi sangat terbatas, dan tidak jauh dari pantai.
Keterbatasan ini diakibatkan karena untuk memperoleh armada yang berskala
besar membutuhkan biaya investasi maupun biaya operasional relatif besar pula.
Hal ini tercermin pula dari komposisi armada perikanan tangkap di Indonesia.
Menurut KKP (2009) komposisi kapal perikanan di indonesia sebagian besar
masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil yaitu sekitar 97,11%,
dan hanya sekitar 2,89% di lakukan oleh usaha perikanan skala yang lebih besar.
Sampai saat ini, pengelolaan perikanan tangkap di Halmahera Selatan masih
terdapat beberapa permasalahan. Permasalahannya antara lain status pemanfaatan
sumberdaya perikanan tangkap di (Laut Maluku) tergolong dalam gejala telah
mengalami overfishing, pendapatan nelayan belum maksimal, keterbatasan modal
usaha, masih adanya konflik pemanfaatan sumberdaya ikan, lemahnya
sumberdaya manusia (SDM) dalam menerapkan teknologi penangkapan dan
memanfaatkan serta mengelola potensi sumberdaya perikanan tangkap secara
136
efisien dan berkelanjutan, demokrasi keterlibatan nelayan dalam pengambilan
kebijakan masih rendah, dan penerapan aturan dan hukum yang belum efektif.
Permasalahan yang dihadapi oleh usaha perikanan tangkap Halmahera
Selatan ini tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang dihadapi oleh usaha
perikanan tangkap nasional. Permasalahan utama dan sangat mendasar yang
dihadapi dalam pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil bersumber
dari rendahnya kualitas sumberdaya manusia, rendahnya akses terhadap
permodalan dan prasarana serta faktor sosial budaya yang kurang kondusif bagi
kemajuan usaha, yang semuanya berakibat pada rendahnya akses terhadap
sumberdaya ikan, permodalan, teknologi, dan pasar. Permasalahan tersebut dapat
dikelompokkan dalam sepuluh permasalahan dan diperingkatkan yaitu
produktivitas dan efisiensi usaha, pengawasan dan pengendalian SDI, SDI dan
lingkungan, permodalan, SDM, prasarana, sarana, dan pelayanan usaha, mutu dan
nilai hasil tangkapan, pemasaran, kelembagaan nelayan, dan sosial-ekonomi
nelayan (DJPT 2005).
Pengembangan sektor perikanan dan kelautan di Halmahera Selatan,
memerlukan dukungan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pihak-
pihak terkait. Pengembangan tersebut diarahkan pada status keberlanjutannya
yaitu melalui keberlanjutan dari berbagai aspek yang meliputi ekologi, ekonomi,
sosial, teknologi dan hukum kelembagaan. Selanjutnya, pengembangan tersebut
idealnya terjabarkan ke dalam suatu kebijakan, strategi, dan program-program
kerja yang dipersiapkan terutama dalam menghadapi tuntutan di era otonomi dan
globalisasi masa kini dan masa mendatang, yang secara nyata memiliki tantangan
yang cukup berat.
Perikanan giob merupakan salah satu perikanan daerah tropis yang memiliki
karekteristik yang unik, karena perikanan ini menggunakan alat tangkap tunggal
dan tujuan tangkapan juga spesifik, yaitu hanya ditujukan untuk penangkapan
jenis ikan julung-julung. Sifat dan karekteristik yang unik dari perikanan giob ini
perlu mendapat perhatian agar sumberdaya ikan julung-julung lestari dan usaha
perikanan giob tetap berkelanjutan. Beberapa faktor yang berkaitan erat dengan
perikanan giob adalah unit penangkapan ikan, operasi penangkapan, produksi,
daerah penangkapan.
137
Kapal giob yang digunakan oleh nelayan di Kayoa, Halmahera Selatan
memiliki spesifikasi dan ukuran dimensi utama relatif kecil yaitu berkisar 4,5- 15
GT. Ukuran kapal ini jika dibandingkan dengan kapal mini purse seine pada
umumnya memang relatif berbeda. Karman (2008) melaporkan bahwa kapal mini
purse sein (pajeko) di Batangdua Kota Ternate berkisar 12-21 GT, sedangkan
Namsa (2006) menginformasikan kapal mini purse seine (pajeko) di Tidore
berukuran antara 13,21-17,63 GT. Kecilnya ukuran kapal giob ini disesuaikan
dengan jarak jangkauan dan tujuan pengoperasian. Jangkauan pengoperasian giob
hanya diwilayah pesisir, karena disesuaikan dengan lokasi migrasi ikan julung-
julung sebagai target tangkapan. Kapal giob menggunakan tenaga pendorong jenis
motor tempel berkekuatan 25 PK, 40 PK, dimana ada yang menggunakan 1 unit
dan ada juga menggunakan 2 unit. Jumlah penggunaan motor tempel disesuaikan
dengan ukuran kapal.
Alat tangkap giob yang digunakan oleh nelayan Kayoa, Halmahera Selatan
memiliki ukuran yang bervariasi. Panjang jaring berkisar 195-375 m dan dalam
kantong berkisar 12,8-22,5 m. Ukuran giob ini relatif kecil jika dibandingkan
dengan ukuran mini purse seine pada umumnya, terutama ukuran dalam (tinggi)
jaring. Karman (2008) melaporkan bahwa panjang mini purse seine yang
digunakan di pulau Mayau berkisar 150,00-400,00 m, lebar (tinggi) berkisar
30,00-60,00 m. Namsa (2006) menginformasikan bahwa soma pajeko mini purse
seine yang dioperasikan di perairan Tidore mempunyai panjang berkisar antara
200-350 mdan lebar berkisar 45-50 m.
Salah satu faktor produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan adalah
panjang jaring, berdasarkan hasil penelitian Irham (2006) dan Namsa (2006),
faktor teknis panjang jaring mini purse seine (soma pajeko) di Maluku Utara dan
Kota Tidore Kepulauan memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap hasil
tangkapan, setiap penambahan atau pengurangan ukuran panjang jaring
mengakibatkan peningkatan atau pengurangan hasil tangkapan (produksi). Faktor
panjang purse seine dilaporkan juga signifikan untuk produksi ikan yang
ditangkap dengan purse seine di Pekalongan (Sudibyo 1998) dan di Pengabengan
Kabupaten Jembrana Bali (Sugiarta 1992). Menurut Friedman (1986), secara
teoritis jika semakin panjang purse seine yang digunakan maka semakin besar
138
pula garis tengah lingkaran yang dibentuk, sehingga semakin besar peluang
gerombolan ikan yang tidak terusik perhatiannya karena jarak antara gerombolan
ikan dengan dinding purse seine semakin besar dan gerombolan ikan tersebut
semakin besar peluangnya untuk tertangkap.
Jumlah nelayan yang mengoperasikan giob berkisar 7-12 orang. Salah satu
faktor produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan adalah jumlah nelayan
(tenaga kerja), berdasarkan hasil penelitian Irham (2006), faktor teknis jumlah
nelayan (tenaga kerja) di Maluku Utara memperlihatkan pengaruh yang nyata
terhadap hasil tangkapan, setiap penambahan atau pengurangan jumlah nelayan
(tenaga kerja) mengakibatkan peningkatan atau pengurangan hasil tangkapan
(produksi). Hal ini karena proses penurunan (setting) maupun penarikan (hauling)
giob tidak menggunakan alat bantu namun mengandalkan tenaga manusia. Tenaga
manusia bukan hanya digunakan pada saat menurunkan dan menarik jaring saja,
tetapi setelah proses setting dan hauling giob selesai dilakukan, tenaga mereka
juga di butuhkan untuk mengangkat hasil tangkapan ke atas kapal.
8.3 Keberlanjutan sumberdaya ikan julung-julung
Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih kembali, maka
dalam pemanfaatannya tidak boleh melewati batas-batas kemampuan sumberdaya
untuk pulih kembali (King 1995). Namun jika sumberdaya ini terancam
kepunahan (kolaps), maka untuk memperbaikinya memerlukan biaya yang mahal
dan waktu yang panjang. Penelitian biologi reproduksi sangat bermanfaat untuk
memahami regenerasi tahunan dari stok ikan (Cortes 2000). Parameter biologi
seperti ukuran ikan pertama matang gonad, frekuensi pemijahan, fekunditas dan
rekruitmen dapat menjelaskan nilai prediksi perikanan dan dapat digunakan untuk
memformulasikan pengelolaan perikanan secara rasional (Widodo 2001).
Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum
dan sesudah ikan memijah (Effendie 1979). Penentuan tingkat kematangan gonad
sangat penting dilakukan, karena sangat berguna untuk mengetahui perbandingan
antara gonad yang masak dengan stok yang ada di perairan, ukuran pemijahan, musim
pemijahan dan lama pemijahan dalam suatu siklus (Effendie 1997).
Dalam penelitian ini menemukan dominasi ikan julung-julung betina
dewasa atau matang gonad di perairan Kayoa, menunjukkan bahwa ikan-ikan ini
139
dieksploitasi pada daerah pemijahan. Hasil pengamatan menunjukkan ikan julung-
julung jantan dan betina yang telah matang gonad ditemukan sepanjang periode
penelitian dengan jumlah terbanyak ditemukan pada bulan September dan
Oktober. Secara terpisah jantan dan betina menunjukkan perbedaan fase matang
gonad. Pada bulan Januari, Februari, dan Maret ikan julung-julung betina yang
tertangkap didominasi matang gonad (TKG IV) sebaliknya jantan telah melewati
matang gonad didominasi TKG V. Hal ini mengindikasikan bahwa kehadiran
julung-julng di perairan Kayoa adalah dengan tujuan memijah.
Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara
untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti bilamana
ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Berkurangnya
populasi ikan di masa mendatang dapat terjadi karena ikan yang tertangkap adalah
ikan yang akan memijah atau ikan belum pernah memijah, sehingga sebagai
tindakan pencegahan diperlukan penggunaan alat tangkap yang selektif.
Hasil pengamatan terhadap jumlah ikan julung-julung yang matang gonad
pada berbagai ukuran panjang tubuh menunjukkan bahwa julung-julung jantan
mencapai kematangan gonad pertama kali pada ukuran panjang total rata-rata 164
mm (16,4 cm) dan betina pada ukuran 156,56 mm (15,66 cm). Saat pertama kali
ikan mencapai kematangan gonad menurut Effendie (1997), dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya, spesies, umur ikan, ukuran dan kemampuan adaptasi
ikan terhadap lingkungan (faktor internal) serta makanan, suhu dan arus (faktor
eksternal). Perbedaan ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak
sama disebabkan oleh perbedaan strategi hidup atau pola adaptasi ikan itu sendiri.
Berdasarkan analisis parameter pertumbuhan diperoleh koefisien
pertumbuhan (k) yang lebih 0,650, diduga siklus hidup ikan julung-julung di
perairan Kayoa adalah tidak terlalu panjang. Berdasarkan analisis von Bertalanffy
diduga umur ikan julung-julung hanya 3,66 tahun. Dalam rangka untuk
mendorong pemanfaatan sumberdaya ikan julung-julung berkelanjutan,
pengelolaan yang sangat tepat dapat diperlukan agar sumberdaya ikan julung-
julung termanfaatkan dengan baik dan tepat. Studi tentang kapan dan dimana
sumberdaya ikan julung-julung dieksploitasi pada tingkat optimum diperlukan.
Hal ini dimaksudkan jika waktu eksploitasinya tidak tepat, dua hal akan terjadi,
140
pertama adalah sumberdaya ikan akan terbuang sia-sia karena terlambat
mengeksploitasi dan kedua adalah sumberdaya dieksploitasi pada kondisi belum
mempunyai kemampuan yang cukup untuk regenrasi.
Sebagai sumberdaya ikan yang masa hidupnya relatif pendek, ikan julung-
julung akan mati secara alami jika tidak tereksploitasi pada waktunya. Diduga
kuat hal ini telah terjadi pada sumberdaya ikan julung-julung di perairan Kayoa
yang ditunjukkan dengan variabel kematian alami (M) relatif lebih besar
walaupun masih lebih besar kematian karena penangkapan (F). Disamping itu
berdasarkan tingkat kematangan gonad, ikan julung-julung di perairan Kayoa
dalam kondisi baik karena lebih dari 50% sampel ikan adalah matang gonad.
Prediksi pola pergerakan gerombolan ikan menurut (Wooton 1990) adalah
tiga macam, yaitu (1) habitat tempat tinggal, (2) habitat tempat makan, dan (3)
habitat tempat bertelur. Ikan julung-julung di perairan Kayoa secara bergeromol
melakukan pergerakan melintasi perairan selat diantara pulau-pulau kecil dan
memasuki kawasan teluk tertentu pada sore hari. Hal ini sesuai dengan fakta
bahwa pengoperasian giob dilakukan bersamaan dengan pergerakan julung-julung
tersebut yaitu pada sore hari. Berdasarkan pengamatan, diduga bahwa ruaya ikan
julung-julung bertujuan untuk bertelur maupun mencari makan. Hasil penelitian
membuktikan bahwa banyaknya jumlah ikan tertangkap pada TKG IV dan V
diduga perairan Kayoa merupakan tempak bertelur julung-julung, sedangkan
ruaya dilakukan pada waktu sore hari dapat diinterpretasikan bahwa waktu
pemijahan julung-julung berlangsung pada sore menjelang malam hari. Hasil
penelitian juga menginformasikan bahwa salah satu makanan kesukaan julung-
julung adalah serasah atau daun mangrove atau daun lamun yang telah mengalami
proses pelapukan. Fakta di lokasi menunjukkan bahwa mangrove dan lamun
merupakan potensi sumberdaya fisik lingkungan di wilayah peisisir Kayoa.
8.4 Pengembangan Perikanan Giob
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab pendahuluan disertasi ini, bahwa
tujuan umum penelitian yang dilakukan adalah untuk merumuskan strategi
pengembangan perikanan giob yang berkelanjutan di Kayoa, Halmahera Selatan.
Wujud dari tujuan ini adalah menghasilkan lima strategi yang urutannya sebagai
141
berikut: (1) pengawasan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan julung-julung, (2)
pelatihan terhadap nelayan perikanan giob, (3) inovasi teknologi alat tangkap
giob, (4) kerjasama untuk membentuk wadah pengelolaan, (5) optimasi tangkapan
ikan julung-julung.
1) Pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan julung-julung
Pengawasan terhadap sumberdaya ikan julung-julung dilakukan terutama
terkait dengan pengaturan waktu penangkapan dan ukuran ikan yang tertangkap.
Hal ini didasarkan pada aspek bioekologi ikan yang meliputi TKG, ukuran ikan
pertama kali matang gonad, perbandingan mortalitas penangkapan dan mortalitas
alami, tingkat pemanfaatan dan jenis dan jumlah makanan dari ikan julung-julung
yang tertangkap. Mengingat sumberdaya ikan julung-julung dieksploitasi dengan
intensitas yang tinggi maka dianggap akan mempengaruhi keberlanjutan populasi
ini dimasa yang akan datang. Tindak lanjut dari pengawasan itu sendiri harus
didorong oleh pemerintah dengan menyusun aturan tentang waktu yang tepat
untuk melakukan penangkapan ikan dan kapan waktu yang tidak dapat dilakukan
penangkapan. Pengaturan tersebut diharapkan kontinuitas sumberdaya pada
tahun-tahun berikutnya tetap terjaga. Perlu adanya koordinasi yang baik dan
kebijakan pengelolaan antara pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Selatan
dengan pemerintah Provinsi Maluku Utara.
Pengawasan terhadap daerah penangkapan ikan terutama diarahkan pada
kondisi habitat wilayah pesisir. Kayoa sebagai wilayah kepulauan yang terdiri dari
gugusan pulau-pulau kecil dimana posisirnya rentan terhadap tekanan penduduk
untuk memenuhi segala kebutuhannya. Wilayah pesisir pulau-pulau Kayoa
memiliki karakteristik seperti ditumbuhi mangrove, karang dan lamun merupakan
penghasil komponen pendukung produktivitas primer di wilayah pesisir. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ikan matang gonad sepanjang tahun diduga bahwa
wilayah pesisir merupakan tempat memijahnya ikan julung-julung. Sebagaimana
telah dilaporkan oleh Talwar (1967), bahwa kawasan bertelur bagi julung-julung
spesies Hemiramphus marginatus berada di garis pantai pada kondisi kawasan
yang berbatu dan mengandung rumput laut. Selain itu hasil penelitian juga
mengungkap bahwa salah satu jenis makanan utama julung-julung adalah serasah
yaitu daun mangove atau lamun yang lapuk mengidikasikan bahwa wilayah
142
perairan kayoa merupakan tempat makan bagi julung-julung. Tindak lanjut dalam
pengawasan ini dilakukan untuk mengatur wilayah yang dapat dimanfaatkan dan
wilayah mana yang tidak dapat dimanfaatkan. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi tindakan pengrusakan terhadap ekosistem pesisir yang dapat
mempengaruhi habitat julung-julung.
Pengawasan terhadap penangkapan illegal lebih ditekankan pada
penggunaan bahan dan alat tangkap terlarang yang dapat menyebabkan rusaknya
lingkungan perairan. Kayoa sebagai wilayah yang relatif jauh dari pusat
pemerintahan provinsi maupun kabupaten berpeluang untuk dimanfaatkan oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menggunakan alat dan bahan
yang ilegal untuk menguras potensi yang tersedia. Kondisi wilayah ini juga sangat
strategis karena terdiri dari pulau-pulau kecil yang dapat dijadikan sebagai tempat
berlindung untuk melakukan tindakan yang ilegal.
Pengawasan terhadap pengolahan hasil tangkapan menjadi ikan asap kering
(galafea) terutama terhadap penggunaan mangrove sebagai bahan kayu bakar. Hal
ini disebabkan karena ada anggapan bahwa pengasapan dengan menggunakan
kayu mangrove akan menghasilkan kualitas produk yang prima. Hingga saat ini
belum ada bahan kayu bakar pengganti mangrove. Jika kondisi ini tidak
diantisipasi maka tindakan penebangan pohon mangrove terjadi setiap saat,
sehingga dikhwatirkan akan dapat mengancam ekosistem mangrove. Tindakan
untuk menghentikan kegiatan ini tidak mungkin karena tidak ada pilihan lain.
Untuk itu solusinya adalah adanya pengawasan untuk mengatur wilayah yang
seharusnya ditebang, jumlah yang harus di ambil, jenis yang diambil, ukuran yang
diambil.
Pengawasan terhadap jaringan pemasaran produk ikan julung-julung
terutama produk dalam bentuk asap kering perlu mendapat perhatian. Tujuan
pemasaran produk julung-julung kering secara khusus merata di wilayah Provinsi
Maluku Utara, tetapi secara nasional tujuan pemasaran hanya terbatas di beberapa
wilayah di kawasan Timur Indonesia. Tercatat beberapa wilayah tujuan
pemasaran adalah Manado, Bitung, Gorontalo, Kendari, Makassar dan Surabaya.
Jaringan pemasaran selama ini dikendalikan oleh beberapa pengusaha di Kota
Ternate, dan Kota Tidore. Status para pelaku pemasaran bukan merupakan
143
pengusaha giob, tetapi memanfaatkan modal mereka untuk membeli dan
mengumpulkan hingga pada jumlah ukuran tertentu kemudian mengirimkan ke
tujuan pemasaran. Para pelaku jugu memberikan pinjaman berupa uang maupun
bahan bakar minyak (BBM) kepada pemiliki giob, sebagai ikatan bisnis untuk
mendapatkan hasil dari pemilik giob. Cara ini dianggap membantu dan
mempermudah para pemilik giob dalam mengoperasikan giobnya, tetapi pemiliki
giob tidak leluasa untuk menentukan harga produk julung-julung. Kondisi ini
menyebabkan jaringan pemasaran menjadi panjang dan proporsi nelayan
berkurang atau jauh dari yang diharapkan. Sehingga solusinya adalah harus
dirancang regulasi untuk sistem pemasaran julung-julung.
(2) Pelatihan dan penyuluhan terhadap nelayan perikanan giob
Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mengembangkan
kepribadian nelayan, menigkatkan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan
keterampilan nelayan, meningkatkan kemampuan berkarya nelayan, dan
meningkatkan kemampuan nelayan dalam menyikapi dan berperilaku dalam
berkarya sehingga dapat mandiri, menilai dan mengambil keputusan dalam
mengolah usaha perikanan secara bertanggung jawab. Dasar dilakukan pelatihan
dan penyuluhan adalah menjaga dan mempertahankan keberlangsungan
sumberdaya ikan julung-julung. Kegiatan ini dilakukan di desa-desa basis
perikanan giob. Metode pelatihan ini melibatkan nelayan, pemilik giob, tokoh
masyarakat, tokoh pemuda dan perempuan. Materi pelatihan ini meliputi (1)
upaya menjaga dan mempertahankan keberlangsungan sumberdaya ikan julung-
julung, (2) kesadaran akan pentingnya menjaga dan mempertahankan ekosistem
pesisir, (2) undang-undang ketenagakerjaan, (3) kelayakan usaha perikanan.
Bahan dan materi dalam pelatihan ini merupakan tindak lanjut dari hasil
kajian pada bab-bab sebelumnya. Membangun kesadaran nelayan akan pentingnya
menjaga dan mempertahankan keberlanjutan sumberdaya ikan julung-julung
ditanamkan kepada nelayan akan berguna terutama dalam pengaturan waktu
penangkapan dan daerah penangkapan. Hasil kajian tentang isi lambung ikan
julung-julung menginformasikan bahwa serasah merupakan salah satu jenis
makanan kesukaan julung-julung. Informasi ini dapat dijadikan dasar materi
144
pelatihan yang berkaitan dengan kesadaran akan pentingnya menjaga dan
mempertahankan ekosistem peisir.
Dalam prakteknya, operasi pelepasan jaring dilakukan dengan menerjunkan
salah satu anggota ABK ke laut bersamaan dengan pelampung tanda, sebenarnya
membahayakan. Anggota ABK yang bertugas seperti ini direkrut dari anak-anak
sisiwa SD atau putus sekolah. Walaupun belum ada informasi tentang kecelakaan
akibat penerapan metode ini, tetapi peluang terbelit oleh tali dan badan jaring
dapat mengakibatkan kecelakaan. Solusinya adalah membangun pengetahuan
yang terkait dengan penerapan undang-undang ketenagakerjaan sangat penting
untuk nelayan giob.
Usaha perikanan giob, sepeti usaha perikanan tradisional lainnya tidak
memiliki standar usaha yang jelas. Nelayan yang memiliki kelebihan finasial
cenderung memperbesar ukuran kapal dan alat tangkapnya dengan harapan akan
mendapatkan hasil yang lebih banyak. Sebaliknya nelayan yang tidak memiliki
modal yang cukup terkesan sangat memaksakan untuk mempertahankan
keberlanjutan usahnya. Hasil kajian tentang kelayakan usaha dengan
membandingkan ukuran kapal miliki nelayan di Kayoa, mendapatkan bahwa
kapal berukuran 10 GT memiliki tingkat kelayakan yang lebih baik dari ukuran
yang lain. Hasil kajian ini perlu disampaikan kepada nelayan melalui penyuluhan,
sehingga diharapkan usaha perikanan giob tetap berkelanjutan.
(3) Inovasi teknologi perikanan giob
Strategi ini bertujuan untuk merubah sikap dan alih teknologi
penangkapan nelayan giob. Perikanan giob merupakan salah satu bentuk
perikanan yang mempertahankan nilai-nilai tradisional yang dianggap sulit untuk
menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Nilai-nilai tradisional ini mulai dari
pembuatan kapal dan alat tangkap, spesifikasi nelayan, operasi penangkapan ikan,
pembagian hasil, pengolahan hasil dan pemasaran hasil. Penerapan nilai-nilai
tradisional ini dianggap sangat sesuai dengan perkembangan dunia perikanan.
Walaupun demikian setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian terkait perkembangan dunia perikanan yaitu: (1) spesifikasi nelayan
dalan operasi penangkapan ikan dan pembagian hasil, (2) pengguaan alat bantu
rumpon, (3) pengolahan dan pemasaran.
145
Dalam pengoperasian alat tangkap, nelayan giob tidak mengenal
pembagian pekerjaan yang sepesifik. Sistem yang diterapkan adalah saling
melengkapi jika suatu bagian dianggap lebih berat untuk ditangani. Hal yang
menarik dan menjadi perhatian adalah saat mengejar gerombolan ikan, giob tidak
memiliki satu komando yang menyebabkan kapal selalu bergerak mengikuti
banyak petunjuk, sehingga terkesan terjadinya pemborosan waktu dan
pemborosan penggunaan bahan bakar minyak. Penerapan sistem kerja saling
melengkapi inilah dapat mempengaruhi pembagian hasil merata untuk semua
ABK. Dalam rangka pengembangan perikanan giob yang sesuai dengan
perkembangan dunia perikanan maka sistem ini harus dirubah, sehingga setiap
ABK memiliki tugas dan tanggung jawab yang dijalankan sesuai dengan hasil
yang akan diperoleh.
Operasi penangkapan ikan menggunakan metode mengejar gerombolan
ikan, sejak gerombolan ikan terdeteksi di daerah penangkapan ikan. Setelah giob
berada pada area yang memungkinkan maka salah satu nelayan bertugas
melepaskan potongan daun kelapa kering ke permukaan air laut yang berfungsi
sebagai atraktor, sehingga dapat menghambat kecepatan gerak gerombolan
julung-julung. Sebagai solusi untuk menghambat gerakan gerombolan julung-
julung maka solusi yang ditawarkan adalah penggunaan rumpon laut dangkal. Jika
metode ini diterapkan maka dapat diperkirakan akan menghemat waktu
penangkapan dan penggunaan bahan bakar minyak.
Pengolahan hasil tangkapan menjadi produk ikan julung-julung asap kering,
hingga saat ini menjadi primadona dalam perikanan giob. Hal yang menjadi
perhatian adalah penggunaan kayu mangrove sebagai bahan bakar dalam proses
pengasapan dianggap menyebabkan semakin tereksploitasinya potensi kayu
mangrov. Solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah membangun ruang
pendingin di Kayoa, sehingga hasil tangkapan di tampung kemudian dipasarkan
dalam bentuk ikan segar atau beku.
(4) Kerjasama untuk membentuk wadah pengelolaan
Salah satu kendala yang dihadapi nelayan giob di Kayoa, Halmahera Selatan
adalah lemahnya posisi tawar ketika dihadapkan pada permasalahan prosedural.
Oleh karena itu dibutuhkan wadah untuk menyatukan segala potensi yang
146
dimiliki. Implementasi wadah dapat diwujudkan melalui penumbuhan kelompok-
kelompok nelayan giob di Kayoa yang secara bertahap diarahkan untuk
bergabung dalam wadah koperasi. Agar keberadaan koperasi dapat dirasakan oleh
anggotanya maka pembinaan koperasi diarahkan pada peningkatan akses pasar,
perkuatan permodalan, peningkatan manajemen usaha, dan peningkatan teknologi.
Strategi ini juga bertujuan agar perikanan giob berorientasi industri (tepat waktu,
tepat jumlah, tepat mutu).
Dalam tahap awal, kelembagaan yang perlu lebih dikembangkan adalah
kelompok nelayan, yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi nelayan untuk
mengkonsolidasikan dan mengaktualisasikan dirinya. Dengan jumlah nelayan
giob yang relatif dominan serta tergabung dalam suatu organisasi akan dapat
meningkatkan posisi tawar terhadap nelayan yang bersangkutan. Tahap
berikutnya, kelompok nelayan tersebut secara bertahap dapat dikembangkan lebih
lanjut menjadi kelompok usaha bersama maupun koperasi untuk mendukung
pengembangan usaha anggota kelompok yang bersangkutan.
5) Optimalisi tangkapan ikan julung-julung
Secara internal kelemahan yang teridentifikasi pada stok julung-julung
adalah (1) mortalitas penangkapan lebih tinggi dari mortalitas alami, (2) status
eksploitasi di atas nilai optimal. Ancaman yang timbul karena campur tangan
manusia adalah kegiatan penangkapan dengan intensitas yang relatif tinggi. Untuk
meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman maka strateginya yaitu
optimalisasi penangkapan. Optimalisasi tersebut berkaitan dengan pengaturan
waktu efektif dalam operasi penangkapan julung-julung dengan giob, dan jumlah
hasil tangkapan optimal oleh nelayan. Pengaturan waktu penangkapan terutama
penghentian sementara operasi penangkapan pada waktu musim pemijahan akan
memberi kesempatan kepada induk ikan untuk memijah. Pada sisi lain
penangkapan pada waktu di luar musim pemijahan harus dioptimalkan, karena
pertimbangan usia hidup julung-julung yang terbatas. Hal ini jika tidak
dimanfaatkan maka sumberdaya tersebut akan mati dengan sia-sia. Solusi ini
dapat dijalankan melalui kesepakatan para nelayan, yang difasilitasi oleh
pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan.