72550686 sindrom nefrotik pbl 2011
TRANSCRIPT
SINDROM NEFROTIK
Berliana NataliaFakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna utara no.6 Kebon Jeruk, Jakarta
Latar Belakang
Sindrom nefrotik dikenal juga sebagai nephrosis adalah suatu kondisi yang
ditandai adanya proteinuria dengan nilai dalam kisaran nefrotik, hiperlipidemia, dan
hipoalbuminemia. Sindrom nefrotik adalah suatu konstelasi temuan klinis, sebagai hasil
dari keluarnya protein melalui ginjal secara massif. Karenanya, sindrom nefrotik sendiri
sebenarnya bukan penyakit, tetapi manifestasi berbagai penyakit glomerular berbeda.
Sindrom nefrotik ini sering terjadi pada anak –anak.1 Anak dengan sindrom nefrotik (NS,
nephrotic syndrome) datang ke rumah sakit (RS) setelah orangtua memperhatikan perut
anak yang semakin membesar atau wajah membengkak. Sementara itu, pada orang
dewasa sering datang dengan hipertensi serta dengan atau tanpa gagal ginjal akut (ARF,
acute renal failure). Pada anak yang mengalami sindroma nefrotik haruslah dapat
didiagnosis dengan tepat dan cepat agar tidak terjadi berbagai komplikasi yang dapat
memperburuk kondisi pada anak tersebut.
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaTelepon : 08170110057, Email : [email protected] : 10-2009-076; kelompok : D7
1
ANAMNESIS
Hal yang perlu kita lakukan terlebih dahulu sebagai dokter sebelum mendiagnosis
suatu penyakit terhadap adanya temuan klinis pada pasien yaitu dengan anamnesis.
Anamnesis ini dapat dilakukan dalam 2 bentuk : alloanamnesis dan autoanamnesis.
Perbedaan antar kedua bentuk anamnesis tersebut, yaitu :
1. Alloanamnesis : melakukan anamnesis dengan kerabat pasien (seperti orang tua). Hal
ini dilakukan bila pasien dalam kondisi tidak sadar atau terjadi penurunan kesadaran
serta pasien dengan usia anak-anak.
2. Autoanamnesis : melakukan anamnesis langsung dengan pasien dengan keadaan
pasien yang masih baik kesadarannya.
Pertanyaan yang dapat diajukan dalam anamenesis kepada pasien :
Pendekatan umum : perkenalan diri anda,ciptakan hubungan yang baik,menanyakan
identitas pasien. (Nama pasien,umur ?)
Nilai keluhan utama dan riwayatnya : misalnya bengkak pada anggota badan (sejak
kapan bengkak dialami , lokasi bengkak, apakah menjalar ?)
Tanyakan riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat si anak selama dalam kandungan sampai saat ini ? ( tumbuh kembang si
anak )
- Adanya infeksi (apakah si anak sebelumnya pernah mengalami sakit saat
menelan batuk,pilek, demam ?)
Apakah sudah pernah dibawa berobat sebelumnya ?
Tanyakan mengenai kebiasaan dalam pembuangan urin dan konsistensi urin :
- Apakah urin pasien terlihat mengandung darah ? dinamakan hematuria
makroskopik ( gross hematuria)
- Ada kesulitan dalam pembuangan urin ? , Ada rasa nyeri pada saat
kencing ?
- Berapa kali buang air kecilnya sehari ?, Berapa banyak air seni yang
dikeluarkan ?
2
- Ada pola perubahan dalam pembuangan urin ? (seperti mengejan atau
tidak) , dan bagaimana pancaran urinnya ?
Keluhan tambahan lainnya dan pola makan pasien :
- Apakah ada rasa nyeri di daerah pinggang atau daerah lainnya, mual
muntah, keringat dingin, lemas ?
- Bagaimana pola makan anak teratur atau tidak ? nafsu makan si anak
meningkat atau menurun ?
- Apakah ada alergi pada si anak ?
Hasil anamnesis : Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun datang dengan keluhan
bengkak pada mata dan kedua kakinya.
PEMERIKSAAN
Fisik
1. Pengukuran tanda vital : suhu, tekanan darah, frekuensi pernapasan, denyut nadi
2. Pemeriksaan fisik abdomen :
- Inspeksi :
A. Kulit; kemungkinan temuan jaringan parut, striae, vena
B. Umbilikus; kemungkinan temuan hernia, inflamasi
C. Kontur untuk bentuk, kesimetrisan, pembesaran organ, atau adanya massa;
kemungkinan temuan penonjolan pinggang, penonjolan suprapubik,
pembesaran hati, atau limpa, tumor 2
Ukuran dan bentuk perut 3
Perut anak kecil : “POT BELLY” perut yang sangat membucit sering
merupakan pertanda adanya malabsorpsi seperti celiac disease,cystic
fibrosis, konstipasi atau aerophagia.
D. Adanya gelombang peristaltik; kemungkinan temuan obstruksi GI
Gerakan dinding perut
- Pada pernapasan bayi & anak sampai umur 6 – 7 tahun : gerakan > dada
Bila < : peritonitis, appendisitis/ keadaan patologi lain
3
- Pada anak > 6 – 7 tahun : bila gerakan mencolok : curiga kelainan paru
- Peristaltik usus tampak pada keadaan patologi : obstruksi traktus
gastrointestinalis (stenosis/ spasme pilorus, stenosis/ atresia duodenalis,
malrotasi usus)
- Lokasi peristaltik : 3
>Melintang di daerah epigastrium pada bayi < 2 bulan : spasme/ stenosis
pilorus
> Peristaltik dinding gambaran seperti tangga : obstruksi usus distal
E. Adanya pulsasi; kemungkinan temuan peningkatan aneurisma aorta 2
- Auskultasi : 3
A) Normal: suara peristaltik dengan intensitas rendah terdengar tiap 10 – 30
detik
B) Bila dinding perut diketuk : frekuensi dan intensitas bertambah
C) Nada tingi (nyaring) : obstruksi GIT (metalic sound)
D) Berkurang/ hilang : peritonitis/ ileus paralitik
E) Bising yang terdengar di seluruh permukaan perut : koarktasio aorta
abdomen
F) Suara abnormal lainnya :
- Bisisng usus; kemungkinan temuan peningkatan atau penurunan motilitas
- Bruit; kemungkinan temuan bruit stenosis arteri renalis
- Friction rub; kemungkinan temuan tumor hati, infak limpa
- Palpasi : 2
1. Kekakuan dinding abdomen, misalnya pada inflamasi peritoneum
2. Lakukan dengan tekanan ringan untuk mengetahui adanya nyeri otot, nyeri
lepas, dan nyeri tekan.
3. Palpasi lebih dalam untuk mengetahui adanya massa atau nyeri tekan.
A) Hepar 2
4
Hepatomegali pada anak-anak jarang ditemukan, kalau ada biasanya
disebabkan karena cystic fibrosis, malabsorpsi protein, parasit atau tumor.
Bila hepatomegali disertai juga dengan splenomegali, pikirkan kemungkinan
adanya hipertensi portal,storage disease, infeksi kronis dan keganasan.
B) Spleen 2
Spleenomegali dapat disebabkan oleh beberapa penyakit, seperti infeksi,
gangguan hematogalis misalnya anemia hemolitik, gangguan infiltratif,
inflamasi atau penyakit autoimun dan juga bendungan akibat hipertensi.
C) Ginjal 4
Palpasi ginjal kiri. Berpindalah ke sisi kiri pasien. Tempatkan tangan kanan
anda di belakang tubuh pasien tepat dibawah iga ke-12 dan sejajar dengan
tulang iga ini sampai ujung jari-jari tangan kanan anda menjangkau angulus
kostovertebralis. Angkat tubuh pasien untuk mencoba mendorong ginjalnya ke
arah anterior. Tempatkan tangan kiri anda dengan hati-hati pada kuadran kiri
atas, disebelah lateral muskulus rektus dan sejajar dengan otot ini. Minta pasien
untuk menarik napas dalam. Pada puncak inspirasi, tekankan tangan kiri anada
dengan kuat dan dalam pada kuadran kiri atas tepat di bawah margo kostalis,
dan coba untuk menangkap ginjal di antara kedua tangan anda. Minta pasien
menghembus napasnya dan kemudian berhenti bernapas sejenak. Dengan
perlahan, lepaskan tekanan yang dihasilkan oleh tangan kiri anda, pada saat
yang sama rasakan gerakan ginjal yang menggelincir kembali ke posisi pada
saat ekspirasi. Jika ginjalnya dapat di raba, uraikan ukurannya, kontur, dan
setiap gejala nyeri tekan yang terdapat.
Sebagai alternatif lain, coba raba ginjal kiri dengan cara yang sama seperti
palpasi limpa. Dengan tangan kiri anda, jangkau serta lingkari tubuh pasien
untuk mengangkat daerah lipat paha kirinya dan dengan tangan kanan, lakukan
palpasi sampai dalam pada kuadran kiri atas. Minta pasien untuk menarik napas
dalam, dan coba raba suatu massa. Ginjal kiri yang normal jarang dapat di raba.
5
Palpasi ginjal kanan. Untuk menangkap ginjal kanan, kembalilah ke sisi
sebalah kanan tubuh pasien. Gunakan tangan kiri anda untuk mengangkat
tubuhnya dari belakang, dan kemudian dengan tangan kanan,lakukan palpasi
sampai dalam pada kuadran kiri atas. Lanjutkan pemeriksaan seperti yang
dilakukan sebelumnya. Ginjal kanan yang normal dapat diraba khususnya pada
wanita yang kurus dan berada dalam keadaan benar-benar rileks. Mungkin
perabaan ginjal menimbulkan sedikit nyeri tekan atau tanpa disertai nyeri tekan.
Biasanya pasien merasakan ketika ginjalnya ditangkapa atau dilepas. Kadang-
kadang ginjal kanan terletaka lebih anterior daripada keadaan biasa dan karena
itu harus dibedakan dengan hati. Bagian tepi hati jika dapat diraba cendrung
lebih tajam dan membentang lebih jauh ke medial dan lateral. Bagian ini tidak
dapat ditangkap. Polus inferior ginjal berbentuk bulat.
Ciri yang lebih mendukung ke arah pembesaran ginjal daripada
pembesaran lien meliputi bunyi timpani yang tetap normal pada kuadran kiri
atas dan kemampuan jari-jari tangan kita untuk disisipkan di antara massa dan
margo kostalis tetapi tidak dapat meraba sampai dalam dan tepi medial
bawahnya. Penyebab pembesaran ginjal meliputi hidronefrosis, kista dan tumor
ginjal. Pembesaran ginjal yang bilateral menunjukkan penyakit polikistik.
Memeriksa nyeri tekan pada ginjal. Pemeriksaan ini di integrasikan pada
bagian punggung pasien. Mungkin anda menemukan gejala nyeri tekan pada
saat memeriksa abdomen, tetapi lakukan pula pemeriksaan untuk menemukan
gejala ini pada tiap sudut kostovertebralis. Tekanan yang ditimbulkan oleh
ujung jari tangan mungkin cukup untuk menghasilkan gejala nyeri tekan, tetapi
jika tidak gunakan perkusi dengan kepalan tangan. Tempatkan permukaan
ventral salah satu tangan anda pada sudut kostovertebralis dan pukul tangan ini
dengan permukaan ulnar tangan lain yang dikepalkan. Gunakan tenaga dengan
cukup kuat untuk menghasilkan pukulan yang bisa dirasakan, tetapi tidak
menimbulkan rasa nyeri pada orang yang normal.
6
Nyeri pada penekanan atau perkusi dengan kepalan tangan menunjukkan
pielonefritis, tetapi dapat pula disebabkan oleh kelainan muskuloskletal.
D) Kandung kemih 4
Normalnya kandung kemih tidak dapat diperiksa kecuali jika terjdi
distensi kandung kemih hingga di atas simfisis pubis. Pada palpasi, kubah
kandungan kemih yang mengalami distensi akan teraba licin dan bulat. Periksa
adanya nyeri tekan. Lakukan perkusi untuk mengecek keredupan dan
menentukan berapa tinggi kandung kemih berada di atas simfisis pubis.
Distensi kandung kemih akibat obstruksi saluran keluar terjadi karena
striktur uretra, hiperplasia prostat; keadaan ini juga dapat terjadi karena
pemakaian obat dan kelainan neurologi seperti stroke, multiple sklerosis. Nyeri
tekan suprapubik ditemukan pada infeksi kandung kemih.
- Perkusi : perkusi abdomen untuk pola bunyi timpani dan pekak. Kemungkinan
temuan asites, obstruksi GI, tumor ovarium.
Lebarnya kepekaan hati pada perkusi dapat melebar atau mengecil. Liver dullness
meningkat bila hati membesar dan sebaliknya, atau adanya udara dibawah
diafragma yang berasal dari perforasi lambung. Liver dullness juga dapat bergeser
ke bawah, karena diafragma letak rendah pada penyakit obstruksi paru. Dullness
karena efusi pleura sebelah kanan sering kali mengacaukan, seolah-olah
meningkatkan dullness dari hati. Juga adanya gas dalam kolon menyebabkan
timpani pada perkusi daerah kuadran atas kanan abdomen, mengacaukan dullness
hepar. 2
TEKNIK KHUSUS 2,4
A) ASCITES
1. Bentuk
Abdomen yang buncit dengan bagian pinggang yang membenjol
menunjukkan kemungkinan adanya cairan asites. Karena cairan asites secara
khas akan mengendap akibat gaya tarik bumi sementara gelungan usus yang
7
berisi gas akan mengapung di atas, perkusi akan menghasilkan bunyi tumpul
pada daerah abdomen yang di sebelah bawah (bergantung). Cari pola
tersebut dengan melakukan perkusi ke arah luar mengikuti beberapa arah
yang dimulai dari daerah sentral bunyi timpani. Buat peta yang
memperlihatkan batas antara bunyi timpani dan redup.
2. Tes untuk pekak pindah ( shifting dullness).
Setelah membuat peta yang memperlihatkan batas antara bunyi timpani
dan redup, minta pasien untuk memutar tubuhnya ke salah satu sisi.
Lakukanlah perkusi dan tandai batas tersebut sekali lagi. Pada pasien yang
tidak mengalami asites, biasanya batas antara bunyi timpani dan redup
relatif tidak berubah. Pada asites bunyi redup perkusi akan beralih ke bagian
yang bergantung sementara bunyi timpani berpindah ke bagian atas.
3. Tes untuk gelombang cairan (fluid wave) undulasi.
Minta pasien atau asisten untuk menekan dengan kuat ke arah bawah
pada garis tengah abdomen menggunakan permukaan ulnar ke dua tangan
mereka. Tekanan ini membantu menghentikan transmisi gelombang melalui
jaringan lemak. Sementara itu, anda menggunakan ujunh jari-jari tangan
untuk mengetuk dengan cepat pada salah satu pinggang pasien, raba sisi
pinggang yang lain untuk merasakan impuls yang ditransmisikan melalui
cairan asites. Sayangnya, tanda ini sering negatif sebelum terdapat cairan
asites dengan nyata, dan sering kali positif pada orang-orang yang tidak
memiliki asites. Impuls yang dapat diraba dengan mudah menunjukkan
asites.
4. Mengenali organ atau massa pada abdomen yang asites (Ballotement).
Coba periksa ballottement organ atau massa yang disini dicontohkan
oleh hati yang membesar. Ekstensikan dan tegakkan jari-jari salah satu
tangan anda yang disatukan, letakkan ujung jari-jari tangan tersebut pada
permukaan abdomen dan kemudian lakukan gerakan menekan yang tiba-tiba
8
secara langsung pada struktur diantisipasi. Gerakan yang cepat ini seringkali
mendorong cairan agar berpindah sehingga ujung jari tangan anda dapat
menyentung secara singkat permukaan struktur tersebut melalui dinding
abdomen.
B) APENDISITIS 2
1. Nyeri
Nyeri pada apendisitis klasik dimulai di daerah disekitar umbilicus,
kemudian beralih ke kuadrant kanan bawah, serta rasa nyeri meningkat bila
pasien batuk.
2. Kekakuan Otot
Rabalah dinding perut dan rasakan adanya kekakuan
3. Rectal Touche
Rasa nyeri pada bagian kanan pada rectal touche dapat disebabkan oleh
inflamasi adneska, vesikular seminalis, dan apendisitis
4. Rebound Tenderness
Tekanlah dengan ujung jari anda pada daerah kuadrant kanan bawah, lalu
lepaskanlah tiba-tiba maka pasien akan merasakan nyeri (rebound
tenderness) yang menyatakan adanya inflamasi peritoneal.
5. Rovsing’ Sign
Tekanlah dalam-dalam pada bagian kuadran kiri bawah, kemudian tiba-tiba
lepaskan tekanan, maka penderita merasakan nyeri hebat pada daerah
kuadran kanan bawah
6. Psoas’ Sign
Mintalah pasien untuk berbaring ke arah kiri , luruskanlah tungkai
kanannya, hal ini akan merangsang otot psoas kontraksi, sehingga
menimbulkan rasa nyeri. Dapat juga dilakukan dengan meletakan tangan
anda tepat diatas lutut kanan pasien dan mintalah untuk menaikkan
tungkainnya, maka akan timbul rasa nyeri.
7. Obturator’ Sign
9
Tekuk tungkai kanan pasien pada lututnya, dan lakukan rotasi kearah dalam
pada sendi pinggul, maka akan terasa nyeri di daerah hipogastrik
C) KOLESISTITIS 2
Murphy’ Sign. Letakan jari tangan kanan anda tepat dibawah arkus kosta
kanan, mintalah pasien untuk bernafas dalam, timbulnya nyeri tajam saat itu
menunjukkan kemungkinan adanya kolesistitis akut.
D) VENTRAL HERNIA 2
Dalam posisi pasien berbaring terlentang, mintalah untuk mengangkat kepala
dan bahu sekaligus, maka akan tampak benjolan pada garis tengah abdomen.
Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk
memastikan apakah anak tersebut menderita sindrom nefrotik atau tidak, karena
hipoalbuminemia dapat terjadi tanpa adanya proteinuria (pada protein-losing
enteropathy), dan edema dapat terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia (seperti
pada angioedema, insufisiensi venosa, gagal jantung kongestif, dan lain sebagainya).
Untuk memastikan diagnosis sindroma nefrotik, pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan : proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Pemeriksaan
laboratorium yang dibutuhkan diantaranya : 5
Urinalisis
- Hematuria mikroskopis ditemukan pada 20% kasus
- Hematuria makroskopik jarang ditemukan
Protein urin kuantitatif dengan menghitung protein/kreatinin urin pagi, atau
dengan protein urin 24 jam.
- Protein/kreatinin urin pagi lebih mudah dilakukan dan dapat mengeksklusi
proteinuria orthostatic.
- Nilai protein/kreatinin urin lebih dari 2-3mg/mg.
10
- Nilai protein urin 24 jam > 40mg/m2/jam atau nilai protein urin sewaktu
>100mg/dL, terkadang mencapai 1000mg/dL.
- Sebagian besar protein yang diekskresi pada SN adalah albumin.
Albumin serum
- Level albumin serum pada sindroma nefrotik secara umum kurang dari 2.5
g/dL.
- Jarang mencapai 0.5 g/dL
Pemeriksaan lipid
- Terjadi peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL (low density
lipoprotein).
- Terjadi peningkatan trigliserid dengan hipoalbuminemia berat.
- Kadar kolesterol HDL (high density lipoprotein) dapat normal atau menurun
Pemeriksaan elektrolit serum, BUN dan kreatinin, kalsium, dan fosfor.
- Pasien dengan SN idiopatik, dapat menjadi gagal ginjal akut oleh karena deplesi
volume intravascular dan/atau thrombosis vena renal bilateral.
- Kadar Na serum rendah, oleh karena hiperlipidemia.
- Kadar kalsium total rendah, oleh karena hipoalbuminemia.
Pemeriksaan Hitung Jenis Darah
- Meningkatnya hemoglobin dan hematokrit mengindikasikan adanya
hemokonsentrasi dan deplesi volume intravascular.
- Nilai platelet biasanya meningkat.
Tes HIV, hepatitis B dan C
- Untuk menyingkirkan adanya kausa sekunder dari SN.
Pemeriksaan C3, C4
- Level komplemen yang rendah dapat ditemukan pada nefritis post infeksi, SN
tipe membranoproliferatif, dan pada lupus nefritis.
Antinuklear antibodi (ANA)
- Untuk skrining penyakit vaskular kolagen pada pasien dengan gejala sistemik
(demam, ruam, penurunan berat badan, dan nyeri sendi) ataupun bagi pasien
11
sindroma nefrotik pada usia akhir sekolah atau dewasa muda dimana insidensi
lupus cukup tinggi.
2) Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan pada
usia 1-8 tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan fisik,
maupun hasil dari pemeriksaan laboratorium mengindikasikan adanya
kemungkinan SN sekunder atau SN primer selain tipe lesi minimal. Biopsi ginjal
diindikasikan bagi pasien usia < 1 tahun, dimana SN kongenital lebih sering
terjadi, dan pada pasien usia > 8 tahun dimana penyakit glomerular kronik
memiliki insidensi yang lebih tinggi. Biopsi ginjal hendaknya juga dilakukan bila
riwayat, pemeriksaan, dan hasil uji laboratorium mengindikasikan adanya SN
sekunder. 5
3) Radiografi
Pemeriksaan ultrasonografi atau venografi ginjal sekiranya dicurigai adanya
trombosis vena ginjal. 5
DIAGNOSIS KERJA
Sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik bukan suatu penyakit, tetapi manifestasi penyakit yang menyerang
glomerular. Banyak terjadi pada anak-anak. Sindroma nefrotik dibagi menjadi sindroma
nefrotik primer dan sekunder.6
A) Sindroma nefrotik primer/ idiopatik : 7
Sindrom ini merupakan sekitar 90% nefrosis pada anak. Penyebab sindrom ini tetap
belum diketahui.
Sindrom nefrotik primer/idiopatik terbagi menjadi 5 bentuk : 7
1) Sindroma nefrotik lesi minimal (MCNS= Minimum Change Nephrotic Sindrome)
Kondisi ini bertanggung jawab pada 85% kasus sindroma nefrotik pada masa
kanak-kanak. Dicirikan dengan kepekaan terhadap terapi kortikosteroid; tidak
ditemukannya lesi glomerulus yang bermakana pada pemeriksaan mikroskop cahaya;
12
tidak adanya timbunan globulin imun glomerulus atau komplemen; dan dengan
proteinuria yang sangat selektif.
Etiologi. Tidak diketahui. Pada minoritas kasus ditemukan faktor genetik dan
familial.Dibandingkan dengan populasi umum, antigen HLA B12 lebih sering
ditemukan.
Insidens : Di Amerika Utara kasus baru sejak lahir sampai usia 16 tahun sekitar
2/100.000 anak/tahun. Anak laki-laki 2x lebih tingi dibanding anak perempuan.
Umumnya awitan timbul pada usia 2-7 tahun. Pada dewasa MCNS menyusun kurang
dari 20% penderita sindroma nefrotik. 7
Manifestasi klinis. Sama seperti gejala pada sindroma nefrotik umunya yakni
edem,proteinuria, pasien biasanya tidak tampak sakit berat, seringkali dengan asites
dan efusi pleura. Cairan edema berkumpul pada tempat-tempat dependen; setelah
tidur malam wajah dan kelopak mata atau daerah sakrum dapat mengalami edema,
sementara pada siang hari pembengkakan kaki dan abdomen lebih nyata. Kehilangan
proaktivator C3. 7
Diagnosis laboratorium. Sama seperti SN. Hematuria ditemukan pada kurang dari
10% kasus dan umumnuya mikroskopis dan bersifat sementara. Terlihat adanya jissm
lemak lonjong (oval fat bodies=silinder tubular yang mengandung lemak) dan silinder
hialin dalam sedimen. 7
Diagnosis. Didasarkan pada gambaran klinis dan laboratorium yang khas dan
kepekaan yang lazim terhadap terapi kortikosteroid. Juga tidak ditemukannya
hipertensi berat atau menetap, gross hematuria, azotemia,dan depresi C3 serum. 7
2) Sindroma nefrotik dengan poliferasi mesangial difus 8
Pada gambaran patolgi kelompok proliferatif mesangium (5%) ditandai dengan
peningkatan difus sel mesangium dan matriks. Dengan imunofluoresensi,frekuensi
endapan mesangium yang mengandung IgM dan C3 tidak berbeda pada lesi minimal.
3) Sindroma nefrotik glomerulosklerosis fokal 8
Pada biopsi penderita yang menderita lesi sklerosis setempat (10%), sebagian besar
glomerulus tampak normal atau menunjukkan proliferasi mesangium. Yang lain,
13
terutama glomerulus yang dekat dengan medula (jukstamedulare), menunjukkan
jaringan parut segmental pada satu atau lebih lobus. Penyakitnya seringkali progresif,
akhirnya melibatkan semua glomerulus dan menyebabkan gagal ginjal stadium akhir
pada kebanyakan penderita. Sekitar 20% penderita demikian berespons terhadap
prednison atau terapi sitotoksik atau keduanya.
4) Glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN) tipe I dan II 8
Glomerulonefritis membranoproliferatif adalah penyebab tersering glomerulonefritis
kronis pada anak yang lebih tua dan dewasa muda.
Patologi dan Patogenesis. Pada awalnya glomerulonefritis membranoproliferatif
dibedakan dari bentuk glomerulonefritis kronis lainnya dengan ditemukannya
hipokomplementemia, pada beberapa penderita akibat adanya antibodi (disebut faktor
nefritis C3) yang mengaktifkan jalur komplemen alternatif. MPGN tipe I adalah
bentuk yang paling lazim; glomerulus menampakkan pola lobuler yang menonjol,
karena adanya pertambahan yang menyeluruh pada sel dan matriks mesangium.
Dinding kapiler glomerulus tampak menebal, dan pada beberapa daerah berduplikasi
atau membelah karena adanya interposisi sitoplasma dan matriks mesangium di
antara sel endotel dan GBM. Bulan sabit mungkin ada; bila terdeteksi pada sebagian
besar glomerulus, penyakit ini menunjukkan prognosis jelek. Pada MPGN yang tipe
II, perubahan mesangium kurang menonjol daripada tipe I. Dinding kapiler
memperlihatkan penebalan seperti pita tidak teratur, karena padatnya endapan. Jarang
adanya pembelahan membran, tetapi sering adanya bulan sabit.
Diagnosis. Diagnosis ditegakkan dengan biopsi ginjal. Indikasi biopsi meliputi
terjadinya sindrom nefrotik pada anak berumur lebih dari 8 tahun atau hematuria
mikroskopis dan proteinuria menetap.
5) Glomerulopati membranosa8
Glomerulopati membranosa adalah penyebab sindrom nefrotik tersering pada orang
dewasa, tetapi jarang pada anak-anak dan jarang menyebabkan hematuria.
Patologi. Dengan mikroskop cahaya, glomerulus menunjukkan penebalan membrana
basalis glomerulus (GBM) difus, tanpa perubahan proliferasi yang bermakna.
14
Mikroskopi imunofluoresensi memperlihatkan adanya endapan granuler IgG dan C3,
yang melalui mikroskopi elektron tampak berlokasi di sisi epitel membran.
Patogenesis. Penelitian morfologi menunjukkan bahwa glomerulopati membranosa
adalah suatu penyakit yang diperantai-kompleks imun, tetapi mekanisme
pembentukan kompleks dan sifat antigen dalam kompleks tetap belum dapat
diketahui pada sebagian besar penderita.
Manifestasi klinis. Pada anak, glomerulopati membranosa paling lazim dijumpai
pada umur dekade kedua. Penyakitnya muncul seperti sindrom nefrotik. Namun,
hampir semua penderita menderita hematuria mikroskopis dan kadang-kadang
penderita menderita hematuria makroskopis. Tekanan darah dan kadar C3 normal.
Diagnosis. Diagnosisnya dikonfirmasikan dengan biopsi ginjal. Indikasi umum untuk
biopsi meliputi adanya sindrom nefrotik pada anak berumur lebih dari 8 tahun atau,
atau adanya hematuria atau proteinuria yang tidak terjelaskan. Glomerulopati
membranosa kadang-kadang dapat ditemukan bersama dengan SLE, kanker, terapi
emas atau penisilamin, dan sifilis serta infeksi virus hepatitis B. Penderita
glomerulopati membranosa menambah resiko trombosis vena renalis.
B) Bentuk-bentuk sindroma nefrotik sekunder berkembang pada perjalanan berbagai
penyakit yang berhubungan, di antaranya diabetes melitus, penyakit Alport, SLE,
sifilis, malaria, purpura anafilaktoid,amiloidosis, neoplasma limfoproloferatif,
glomerulonefritis poststreptokok, dan infeksi sistemik seperti endokarditis bakterialis
subakut.8
Gambaran klinis sindroma nefrotik secara umum
Pasien nefrotik biasanya datang dengan edema. Apapun tipe sindrom nefrotik,
manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan
sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira
sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya
awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah
(misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab bersifat menyeluruh,
15
dependen dan pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak
dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa
tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat. Urin pasien ini dapat berbusa
karena mengandung banyak protein. 9
Gambaran klinis berupa edema umum, hipoproteinemia (kadar albumin serum
biasanya di bawah 2 g/M2/dl), hiperlipidemia (kadar kolestrol serum di atas 220 mg/dl),
dan proteinuria yang nyata ( 2 mg/M2/24 jam atau lebih). Keadaan protrombotik,
hipertensi, dan hiperlipidemia berkontribusi pada tingginya insidens penyakit jantung
iskemik pada pasien nefrotik. Diagnosis histologis ditegakkan dengan biopsi ginjal,
kecuali terdapat nefropatik diabetik yang jelas atau glomerulonefritis perubahan minimal
pada masa kanak-kanak yang khas secara klinis. 7
Berikut beberapa gambaran klinis sindrom nefrotik :
1. Proteinuria
2. Hipoproteinemia
3. Edema
4. Hiperlipidemia
DIAGNOSIS BANDING
1. Glomerulonefritis Akut
Pemeriksaan Pasien dengan Gejala Glomerulonefritis Akut
A. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisis anak harus selalu dimulai dengan penilaian keadaan umum, yang
mencakup kesan keadaan sakit, kesadaran, dan kesan status gizi. Dengan penilaian
keadaan umum ini akan diperoleh kesan apakah pasien distres akut yang memerlukan
pertolongan segera, atau pasien dalam keadaan yang relatif stabil sehingga pertolongan
dapat diberikan setelah dilakukan pemeriksaan fisis lengkap.10
Setelah keadaan umum, hal kedua yang dinilai adalah tanda vital, yang mencakup
nadi, tekanan darah, pernapasan dan suhu. Penilaian nadi harus mencakup frekuensi atau
laju nadi, irama nadi, isi atau kualitas serta ekualitas nadi. Normal laju nadi pada anak
berumur 2-10 tahun adalah 70-110/menit dalam keadaan bangun.
16
Tekanan darah, idealnya diukur pada keempat ekstremitas. Pemeriksaan pada satu
ekstremitas dapat dibenarkan, apabila pada palpasi teraba denyut nadi yang normal pada
keempat ekstremitas (nadi pada ekstremitas dari a.brachialis atau a.radialis dan nadi
pada ekstremitas bawah a.femoralis atau a.dorsalis pedis). Pada pengukuran hendaknya
dicatat keadaan pasien saat tekanan darah diukur. Tekanan darah normal pada anak
berumur 5-10 tahun adalah 100/60 mmHg. Tekanan darah sistolik dan diastolik meninggi
pada pelbagai kelainan ginjal (hipertensi renal) baik kelainan reno-parenkim seperti,
glomerulonefritis, pielonefritis, kadang-kadang sindroma nefrotik, maupun kelainan reno-
vaskular, seperti penyempitan a.renalis. 11
Pemeriksaan pernapasan mencakup laju pernapasan, irama atau keteraturan,
kedalamam dan pola pernapasan. Laju pernapasan normal pada anak berusia 5-9 tahun
adalah 15-30/menit.
Hal yang ketiga adalah data antropometrik, mencakup berat badan, tinggi badan,
dan rasio berat badan menurut tinggi badan. Kemudian berlanjut pada pemeriksaan fisis
lengkap. Aspek penting pada pemeriksaan fisik anak dalam menduga penyakit ginjal
yaitu : 11
o Mengetahui tinggi dan berat badan anak
o Saat inspeksi terlihat adanya lesi pada kulit, kepucatan, edema dan kelainan
tulang
o Anomali pada organ telinga, mata dan genitalia externa mungkin saja terjadi pada
penyakit ginjal
o Pengukuran tanda vital Tekanan darah harus diukur dengan manset yang
berada pada 2/3 lengan atas anak, dan denyut perifer dapat diraba
o Palpasi abdomen dengan perhatian yang tertuju pada ginjal, massa abdomen, otot
abdomen, dan adanya asites
B. Pemeriksaan Penunjang
Pada penderita glomerulonefritis akut dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut ini
: 11,12
17
Pemeriksaan urinalisis dilihat dari segi makroskopis, mikroskopis dan kimia urin
pada glomerulonefritis poststreptococcal sering didapatkan hematuria
makroskopis, jumlah urin berkurang, berat jenis urin meninggi, ada proteinuria
(albuminuria +), eritrosit (+), leukosit (+), dan sedimen urin berupa silinder
leukosit, eritorsit, hialin, dan berbutir.
Leukosit PMN (Polymorphonuclear) dan sel epitel renal biasanya ditemukan pada
pasien glomerulonefritis post streptococcal pada fase awal.
Penentuan titer ASTO (Antibody terhadap Streptolisin O) mungkin kurang
membantu karena titer ini jarang meningkat beberapa hari pasca infeksi
streprococcus, terutama yang kena di kulit (impetigo). Penentuan titer antibody
tunggal yang paling baik untuk glomerulonefritis post streptococcal adalah
dengan Tes antideoksiribonuklease B, yakni mengukur titer terhadap antigen
DNAse B.
Uji Streptozime yang merupakan suatu prosedur agglutination slide yang
mendeteksi antibody terhadap streptolisin O, DNAse B, hialuronidase,
streptokinase dan NADase.
Darah lengkap untuk mengetahui kadar protein darah (albumin serum rendah),
kreatinin serum (meninggi), ureum serum, elektroilit (hiperkalemia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia), pH darah (asidosis), eritrosit, leukosit, trombosit,
dan Hb (menurun).
Kadar LED meninggi.
Kadar komplemen C3, pada pasien glomerulonefritis pascastreptococcus
didapatkan 90% kadar komplemen C3 rendah. Kadar ini diperiksa sejak 2 minggu
pertama sakit.
Pemeriksaan Patologi
Informasi histologis sangat berharga untuk diagnosis, perawatan, dan prognosis.
Evaluasi memuaskan dari jaringan ginjal memerlukan pemeriksaan oleh cahaya,
immunofluorescence, dan mikroskop elektron. Ketika biopsi diantisipasi, konsultasi
kepada nefrologist anak harus dilakukan. Pada anak-anak, biopsi prercutaneous ginjal
dengan jarum merupakan prosedur biopsi yang berisiko rendah—menghindari risiko atau
18
anestesi umum—ketika dilakukan oleh seorang dokter berpengalaman. Sebaiknya,
seorang ahli bedah yang melakukan prosedur biopsi jika operasi eksposur dari ginjal
diperlukan, jika terdapat faktor risiko yang meningkat (misalnya gangguan pendarahan),
atau jika biopsi "baji" lebih disukai.
Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-titik
perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua glomerulus terkena,
sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa.
Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga mengakibatkan
lumen kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di samping itu terdapat pula infiltrasi
sel epitel kapsul, infiltrasi sel polimorfonukleus dan monosit. Pada pemeriksaan
mikroskop elektron akan tampak membrana basalis menebal tidak teratur. Terdapat
gumpalan humps di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin-gama,
komplemen dan antigen Streptococcus.
Gambar 1. Histopatologi gelomerulonefritis dengan mikroskop cahaya pembesaran 20×
Keterangan gambar :Gambar diambil dengan menggunakan mikroskop cahaya
(hematosylin dan eosin dengan pembesaran 25×). Gambar menunjukkan pembearan
glomerular yang membuat pembesaran ruang urinary dan hiperselluler. Hiperselluler
terjadi karnea proliferasi dari sel endogen dan infiltasi lekosit PMN
19
Gambar 2. Histopatologi glomerulonefritis dengan mikroskop cahaya pembesaran 40×
Working Diagnosis Pasien dengan Gejala Glomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post
sterptokokus (GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang mengenai
glomeruli, sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe
nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini sering mengenai anak-anak.
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal
terhadap bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman
streptococcus. Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi
glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Sedangkan istilah akut
(glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain menunjukkan
adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis.
Differential Diagnosis Pasien dengan Gejala Glomerulonefritis Akut
I. NEFROPATI IMUNOGLOBULIN A (Nefropati Berger)
Pendahuluan
Glomerulonefritis (glomerulopati) dengan presentasi klinis kelainan urinalisis urin
(hematuria dengan atau tanpa proteinuria ) sering lolos dari pendekatan diagnosis.
Dahulu penyakit ini dikenal sebgai hematuria esensial karena etiologinya tidak
diketahui.13
PEMERIKSAAN 13
A. Uji Saring Laboratorium
Pemeriksaan sedimen urin untuk identifikasi silinder eritrosit
Albuminuria semikuantitatif atau kuantitatif
Faal ginjal ureum dan kreatinin
20
Mikrobiologi urin terutama CFU/ mL urin
B. Uji Saring Pencitraan (imaging)
Tujuan : untuk mencari etiologi hematuria
Ginjal polikistik
TBC ginjal dan saluran kemih
Khusus kasus urologi
Ekskresi urogram dan USG
DIAGNOSIS KERJA13
Pendekatan diagnostik Nefropati IgA Idiopatik tergantung manifestasi klinis.
Kelainan urinalisis rutin (hematuria dengan atau tanpa proteinuria) yang merupakan salah
satu manifestasi klinis.
Diagnosis Nefropati IgA
1. Identifikasi faktor predisposisi. Nefropati IgA lebih sering pada pasien dengan BW35,
dan DR4 MHC
2. Pemeriksaan imunodiagnostik
- Glomeruli memperlihatkan proliferasi sel-sel mesangial difus dan mungkin dan
mungkin disertai gambaran proliferasi fokal dan segmental
- Imunofluoresensi memperlihatkan deposit granular IgA dan C3 pada semua
glomeruli. Pada beberapa glomeruli pasien mungkin mengandung deposit IgG dan
IgM.
- IgA dan C3 dapat ditemukan pada dinding kapiler di daerah perbatasan dermal
dan epidermal
- Electron-dense deposit sering ditemukan pada subendotelium dan matriks
mesangial
- Pada sebagian besar pasien ditemukan CICx yang mengandung IgA. Konsentrasi
komponen-komponen komplemen biasanya normal.
GAMBARAN KLINIS 13
21
Nefropati IgA tidak mempunyai gejala subyektif atau obyektif khusus (spesifik). Pada
umumnya manifestasi klinis Nefropati IgA:
1) hematuria makroskopik. Hematuria makroskopik (gross) rekuren yang mengikuti
infeksi saluran napas bagian atas. Hematuria berlangsung beberapa hari sampai 1
minggu. 2) proteinuria dengan sindrom nefritik.
3) Hipertensi berat disertai penurunan faal ginjal (gagal ginjal kronik).
GAMBARAN LABORATORIK 14
Gambaran Laboratorik : Hematuria makroskopik merupakan kelainan utama yang
hilang timbul, tetapi hematuria mikroskopik menetap di antara saat terjadinya hematuria
makroskopik. Dismorfik eritrosit pada urin menunjukkan bahwa eritrosit berasal dari
glomerulus, walaupun mungkin ditemukan bentuk eritosit normomorfik dan dismorfik.
Proteinuria sering (60% dari kasus) dideteksi pada pemeriksaan urin rutin dengan
kadar <1 g/hari. Proteinuria yang berat (nephrotic range) ditemukan pada kira-kira 10%
penderita. Faal ginjal umumnya masih normal, tetapi gambaran gagal ginjal akut maupun
gagal ginjal kronik dapat dideteksi pada beberapa pasien.
Kadar komplemen juga normal, walaupun dapat dijumpai fragmen C3 yang
meningkat, karena proses nefropati IgA berjalan melalui alternate pathway.
GAMBARAN PATOLOGIK 14
Dengan mikroskop cahaya, kebanyakan biopsi ginjal menunjukkan proliferasi
setempat dan segmental serta penambahan matriks. Beberapa menujukkan proliferasi
mesangium menyeluruh, kadang-kadang disertai dengan pembentukan bulan-sabit dan
jaringan parut. IgA merupakan imunoglobulin utama yang diendapkan pada mesangium,
tetapi IgM, IgG,C3, dan properdin dalam jumlah yang lebih sedikit lazim dijumpai.
Penemuan ini diperkuat dengan pemeriksaan mikroskop elektron.
ETIOLOGI
Kelainan ini dikenal juga sebagai:
− penyakit Berger
− nefropati IgA–IgG
22
Berger menamakannya sebagai deposisi IgA yang idioptik pada mesangium. Kelainan
ini adalah suatu bentuk glomerulonefritis yang ditandai oleh deposit, terutama IgA, pada
setiap glomerulus. Deposit yang difus ini disertai pula dengan kelainan fokal dan
segmental.
Penyakit sistematik yang juga disertai dengan deposit IgA perlu disingkirkan, seperti
kelainan hepato-bilier dan purpura Henoch–Schonlein.
Deposit IgA disertai komponen-komponen komplemen seperti C3, C4 atau CLq
ternyata ditemukan pada beberapa penyakit lain seperti HSP (Henoch Schonlein
purpura), SLE, dan penyakit sirosis hati. 14
Etiologi nefropati IgA idiopatik (primer atau isolated) tidak diketahui. Presentasi
klinis hematuria mikroskopik atau makroskopik berulang sering diikuti infeksi saluran
bagian atas (faringitis atau tonsilitis),
Hematuria yang mengikuti episode faringitis dinamakan syndrome pharyngitic
hematuria.13
T abel-1 Klasifikasi Nefropati IgA
A. Primer
1. Nefropati IgA primer (idiopatik) atau isolated
2. Berhubungan dengan HSP (Henoch-Schonlein purpura)
B. Sekunder
1. Penyakit hati alkoholik
2. IgA monoklonal garnopati
3. Mikosis fungoides
4. Lepra
5. Dermatitis hepertiformis
6. Hemosiderosis paru
7. Spondilosis ankilosing
8. Shunt sistem portal
EPIDEMIOLOGI
23
Terdapat distibusi yang tidak merata dari nefropati IgA, misalnya di Eropa lebih
banyak dari pada di Amerika Serikat. (Eropa 20% dari jumlah biopsi untuk
glomerulonefritis primer sedangkan di Amerika Utara 10%)4. Di beberapa negara Asia,
nefropati IgA mulai nampak sebagai kelainan yang sering atau paling sering dijumpai.
(30% – 40% dari jumlah biopsi ginjal). Usaha untuk mencari nefropati IgA di Indonesia
pada saat munculnya laporan tentang kelainan ini pada beberapa Negara Asia, belum
berhasil. Tetapi kemudian tampaklah, kelainan ini menjadi penting pula bagi kita, karena
semakin banyaknya dilaporkan nefropati jenis ini.. Dilaporkan pada tahun 1985 bahwa
9.5% dari pasien glomerulonefritis. 14
PATOFISIOLOGI
Imunoglobulin A14
Imunoglobulin A (IgA) adalah protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B. IgA
merupakan imunoglobulin utama yang ditemukan pada mukosa, sehingga disebut juga
sebagai secretory immunoglobulin (SIgA). Bila dilihat luasnya jaringan mukosa pada
badan kita, jelaslah, IgA memang peranan penting dalam mekanisme pertahanan tubuh
kita. IgA merupakan pertahanan primer tubuh, terdapat banyak pada air liur, air mata,
sekresi bonchus, mukosa hidung, cairan prostat, sekresi vagina dan mukus dari usus
halus.
Di dalam serum manusia, 85%–90% dari total IgA adalah monomer, sedangkan sisanya
berbentuk polimer. Tiap molekul SIgA terdiri atas 2 unit dasar berantai 4, di mana
terdapat komponen sekresi (secretory component) dan rantai J (J-chain). Jadi SIgA adalah
suatu bentuk dimer dari IgA, dengan berat molekul 400.000.
Deposisi kompleks imun–IgA pada mesangium 14
Nefropati IgA adalah suatu penyakit yang berdasarkan pembentukan kompleks
imun, yang diendapkan pada mesangium. Pendapat ini didukung oleh gambaran endapan
IgA yang tidak merata pada membrana basalis, yang terlihat pada pemeriksaan
imunoflouresens. Selain daripada itu, ginjal yang terkena nefropati IgA bila
ditransplantasikan kepada resipien yang sehat, maka gambaran nefropati IgA akan
menghilang. Kadar IgA pada plasma pasien didapatkan meninggi pada 50% pasien,
peningkatan kadar kompleks imun– IgA yang sejalan dengan aktifitas penyakit,
24
peningkatan produksi IgA in vitro oleh limfosit, serta didapatkannya endapan IgA pada
kapiler kulit, merupakan data tambahan yang menyokong adanya kompleks imun sebagai
dasar nefropati IgA.
Namun demikian antigen yang merangsang pembentukan kompleks imun
tersebut masih belum dapat dikenal dengan jelas.
Beberapa hal yang dapat menjelaskan terjadinya nefropati IgA adalah:
1) Produksi IgA yang berlebihan
Hematuria pada nefropati IgA terjadi dalam 1–3 hari setelah infeksi saluran nafas
bagian atas. Hal ini jelas membedakan nefropati IgA dengan glomerulonefritis pasca
streptokokus. Infeksi virus yang berulang pada mukosa akan menyebabkan
pembentukan . IgA lokal yang berlebihan. Rangsangan oleh antigen dari makanan
dapat pula merangsang produksi IgA yang berlebihan pada mukosa usus. Selain
daripada itu, limfosit tonsil pasien juga menunjukkan kemampuan membentuk IgA
yang lebih banyak. Rangsangan kronis antigen ini memungkinkan dibentuk endapan
pada glomerulus. Diperkirakan kompeks imun terbentuk in situ.
2) Defek pada mukosa
Kerusakan mukosa, menyebabkan eliminasi antigen tidak sempurna. Antigen dapat
masuk ke dalam peredaran darah. Kemudian dapat terjadi reaksi peradangan yang
berdasarkan pembentukan kompleks imun. Contoh dari hal ini adalah hubungan
nefropati IgA dengan dermatitis herpetiformis dan enteropati gluten.
3). Eliminasi yang terganggu
Penyakit hati, akan menghambat eliminasi kompleks imun-IgA dari sirkulasi.
Kompleks imun ini dapat terlihat diendapkan pada sinusoid hati dan kapiler kulit.
Dijumpai adanya nefropati IgA pada pasien serosis, mendukungpendapat ini.
4). Peranan komplemen
Kompleks imun–IgA tidak mampu berikatan dengan Cl, sehingga tidak terjadi
pembentukan C3b. Padahal C3b ini berfungsi mencegah pembentukan kompleks
imun yang berukuran besar. Seperti dibicarakan sebelumnya, kompleks imun yang
berukuran besar lebih mudah diendapkan, sehingga timbul kerusakan jaringan. Selain
itu C3b ini dapat mengikatkan kompleks imun pada reseptor eritrosit , sehingga
25
memudahkan pengangkutan kompleks imun ini ketempat penghancurannya pada
sistem retikuloendotelial.
5) Faktor genetik
Keluarga pasien penderita nefropati IgA terbukti mempunyai kemampuan sintesis
IgA poliklonal yang meninggi. Penelitian di Jepang menunjukkan kaitan antara
nefropati IgA dengan sistem HLA, yaitu HLA DR4, sedangkan di Eropa
menunjukkan golongan lain (HLA B35 dan HLA B12).
6) Faktor geografis
Perbedaan frekuensi nefropati IgA di beberapa negara belum dapat diterangkan
dengan jelas. Faktor antigen setempat, factor reaksi terhadap antigen dapat
dipertimbangkan. Seleksi dan pencariān kasus yang intensif, indikasi biopsi ginjal
yang lebih lunak, tentu akan menghasilkan penemuan kasus yang lebih banyak.
PENATALAKSANAAN 13
Terapi semata-mata bersifat simptomatik tergantung menifestasi klinis, tanpa keluhan
atau keluhan ringan atau keadaan darurat medis seperti SNA (sindrom nefrotik akut).
Prinsip terapi simptomatik yaitu intervensi terhadap patogenesis dan patofisiologi,
perjalanan penyakit atau komplikasi.
Intervensi terhadap Patogenesis dan Patofisiologi
1. Mengurangi kontak dengan antigen:
a. antibiotik bila berhubungan dengan infeksi bakteri
b. Tonsilektomi
2. Manipulasi diet dan asupan antigen : Sodium chromoglycate
3. Mengurangi pembentukan IgA : fenitoin
4. Imune-complex-mediated injury : kortikosteroid,siklosporin
5. Obat antiproteinuria : Proteinuria diduga sebagai marka sebagai progresivitas
kerusakan ginjal (glomerulosklerosis)
26
- Pembatasan asupan protein hewani
- Penghamabat ACE dan Angiotensin Receptor Blocker
6. Hipertensi :
a. penghambat ACE
b. angiotensin receptor blocker
c. antagonis kalsium
7. Perubahan (kelainan) hemoreologi :
a. antikoagulan
b. obat antiplatelet (dipiridamol)
c. omega 3
KOMPLIKASI 13
1. Sindrom nefritik akut (SNA)
2. Sindrom Nefrotik
3. Sindrom gagal ginjal kronik/terminal
PROGNOSIS 13
Prognosis Nefropati IgA tergantung dari manifestasi klinis.
1. Hematuria makroskopis (gross) asimtomatik
- Pada anak biasanya mempunyai prognosis baik, faal ginjal normal, dan hipertensi
mudah dikendalikan
- Pada dewasa mempunyai prognosis lebih buruk hampir 5-10% terjadi gagal ginjal
kronik.
2. Nefrotik IgA idiopatik mempunyai prognosis buruk bila manifestasi klinis berupa
sindroma nefrotik disertai hipertensi.
3. Nefropati IgA dengan manifestasi klinis gagal ginjal kronik/ terminal harus
menjalani program dialisis dan transplantasi ginjal. Rekurensi nefrpati IgA pada
ginjal cangkok (graft kidney) setelah kira-kira 10 tahun.
II. NEFRITIS HEREDITER (SINDROM ALPORT)
Pendahuluan 13
27
Nefritis herediter biasa disebut sebagai sindrom Alport merupakan penyakit glomerulus
yang progresif terutama pada laki-laki sering disertai gangguan saraf pendengaran dan
pengelihatan.
PEMERIKSAAN
1. urinalisis analisis air kemih
2. Pemeriksaan audiometri menunjukkan adanya ketulian
3. Biopsi ginjal meunjukkan glomeulonefritis kronis dengan gambaran yang khas untuk
sindroma alport
DIAGNOSIS KERJA 13
Adanya riwayat penyakit ginjal disertai gangguan pendengaran pada anggota
keluarga merupakan tuntutan untuk mencurigai sindrom Alport. Hal ini dihubungkan
dengan adanya hematuria glomerulus persisten. Pada biopsi ginjal ditemukan adanya
kelainan MBG. Perkembangan klinis menuju pada progresivitas penyakit ginjal kronis
serta bila mungkin tes genetika adanya mutasi gen COL4A5, COL4A3,COL4A4.
GAMBARAN KLINIK 13
Biasanya manifestasi klinis berupa hematuria asimtomatik, jarang terjadi gross
hematuri, terjadi pada usia muda, mikrohematuri persisten sering terjadi terutama pada
anak laki-laki. Pada tahap awal biasanya kreatinin serum dan tekanan darah tidak
mengalami perubahan, tetapi dengan berjalannya waktu fungsi ginjal mengalami
penurunan secara progresif yang ditandai dengan proteinuria yang semakin persisten dan
menjadi gagal ginjal tahap akhir pada usia 16 sampai 35 tahun. Variasi gambaran klinis
ditentukan oleh besarnya mutasi genetik.
Gangguan eksternal yang paling sering didapati adalah hilangnya pendengaran,
dimulai dengan hilangnya kemampuan mendengarkan nada-nada tinggi dan akhirnya
hilang kemampuan mendengar percakapan normal. Pada mata dijumpai gangguan berupa
kurangnya kemampuan lengkung lensa mata ( anterior lenticonus), bintik putih atau
kuning di daerah perimakular retina, kelainan kornea berupa distrofi polimorfis posterior
28
dan erosi kornea, dan berakhir dengan mundurnya ketajaman penglihatan.
Megatrombsitopenia dapat ditemukan pada tipe autosomal dominant.
GAMBARAN PATOLOGI 8
Biopsi ginjal yang dilakukan selama usia dekade pertama dapat menunjukkan
sedikit perubahan bila dilihat dengan mikroskop cahaya. Nantinya, pada glomerulus
dapat terjadi proliferasi mesangium dan penebalan dinding kapiler, menimbulkan
sklerosis glomerulus progresif. Atrofi tubulus, radang dan fibrosis interstitial, dan sel
busa ( sel tubulus atau interstitial penuh-lipid nonspesifik) terjadi jika penyakitnya
menjelek. Pemeriksaan imunopatologi biasanya negatif.
Pada kebanyakan penderita, pemeriksaan mikroskop elektron menunjukkan
penebalan,penipisan, perobekan, dan pelapisan membrana basalis glomerulus dan
tubulus, tetapi lesi ini tidak spesifik untuk sindroma Alport dan mungkin tidak ditemukan
pada keluarga tertentu yang mempunyai manifestasi klinis khas sindrom ini.
ETIOLOGI 13
Ini adalah beberapa tipe nefritis herediter yang paling sering. Ada variabilitas yang
mencolok pada tanda klinis, riwayat alamiah, kelainan histologis, dan pola genetik. Sejak
tahun 1980 dapat dibuktikan bahwa kelainan Sindrom Alport terletak pada membrana
basalis glomerulus (MBG) akibat mutasi genetik pada collagen protein family tipe IV.
Secara genetik merupakan penyakit heterogenetik dengan x-linked inheritance, baik
autosomal dominant variants maupun autosmal recessive. Pada autosomal recessive
sindrom Alport, mutasi berasal dari gen COL4A3, COL4A4, atau COL4A6.
EPIDEMIOLOGI 13
Prevelensi penyakit ini diperkirakan 1 : 50.000 kelahiran hidup. Pada 80% pasien,
penyakit ini diturunkan melalui x-linked trait berasal dari mutasi gen COL4A5 pada
kromosom x sehingga dapat dijumpai keadaan yang spesifik tidak akan terjadi penurunan
dari seorang bapak ke anak laki-laki karena sifat genetik laki-laki hanya melalui
kromosom y, tetapi dapat memberikan kromosom x abnormal kepada anak
perempuannya. Perempuan dengan x-linked sindrom Alport merupakan karier
29
heterogenik dari penyakit mutasi genetik ini dapat menurunkannya kepada anak laki-laki
maupun perempuan.
PATOFISIOLOGI 15
GBM adalah struktur sheetlike antara sel-sel endotel kapiler dan sel-sel epitel
viseral dari glomerulus ginjal. Kolagen tipe IV adalah konstituen utama dari GBM
itu.Setiap jenis molekul kolagen IV terdiri dari 3 subunit, disebut alpha (IV) rantai, yang
saling terkait menjadi struktur heliks tiga. Dua molekul berinteraksi pada akhir C-
terminal, dan 4 molekul berinteraksi pada ujung N-terminal untuk membentuk sebuah
"kawat ayam" jaringan. Enam isomer dari (IV) rantai alfa ada dan ditunjuk alpha-1 (IV)
untuk alpha-6 (IV). Gen-gen coding untuk 6 (IV) rantai alfa didistribusikan di pasang
pada 3 kromosom (lihat Tabel 1), sebagai berikut:
Alfa-1 (IV) dan alfa-2 (IV) rantai yang dikodekan oleh
gen COL4A1 danCOL4A2, masing-masing, dan terletak pada kromosom 13.
Alpha-3 (IV) dan alfa-4 (IV) rantai dikodekan oleh sepasang gen yang sama
(yaitu, COL4A3, COL4A4, masing-masing) dan terletak pada kromosom 2.
Gen COL4A5 dan COL4A6 pada kromosom X menyandikan alpha-5 (IV) dan alpha-6
(IV) rantai, masing-masing.
Tabel 1. Lokasi dan Mutasi Gen Coding untuk Alpha (IV) Jaringan Kolagen Tipe IV di Alport Syndrome.
Alpha (IV) Rantai Gen Kromosom Lokasi Mutasi
Alpha-1 (IV) COL4A1 13 Diketahui
Alpha-2 (IV) COL4A2 13 Diketahui
Alpha-3 (IV) COL4A3 2 Aras *
Alpha-4 (IV) COL4A4 2 Aras
Alpha-5 (IV) COL4A5 X XLAS †
Alpha-6 (IV) COL4A6 X Leiomyomatosis ‡
* Autosomal resesif sindrom Alport (mutasi daerah 5 'rentangan
30
dariCOL4A5 dan COL4A6 gen)
† terkait-X sindrom Alport
‡ autosomal resesif sindrom Alport
Alfa-1 (IV) dan alfa-2 (IV) rantai di mana-mana di semua membran basement (lihat
Tabel 2), namun jenis lainnya rantai kolagen IV memiliki jaringan distribusi lebih
terbatas. Membran basement dari glomerulus, koklea, paru-paru, kapsul lensa, dan dan
membran Bruch Descemet di mata mengandung alpha-3 (IV), alfa-4 (IV), dan alpha-5
(IV) rantai, selain alfa -1 (IV) dan alfa-2 (IV) rantai. Alpha-6 (IV) rantai yang hadir
dalam membran basalis epidermis (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Jaringan Distribusi dari Alpha (IV) Jaringan
Alpha (IV) Rantai
Jaringan Distribusi
Alpha-1 (IV) Ubiquitous
Alpha-2 (IV) Ubiquitous
Alpha-3 (IV) GBM, * TBM distal, Descemet membran, membran Bruch, kapsul lensa anterior, paru-paru, koklea
Alpha-4 (IV) GBM, TBM distal, Descemet membran, membran Bruch, kapsul lensa anterior, paru-paru, koklea
Alpha-5 (IV) GBM, TBM distal, Descemet membran, membran Bruch, kapsul lensa anterior, paru-paru, koklea
Alpha-6 (IV) Distal TBM, membran basal epidermis
* Membran basement Tubular
Sindrom Alport disebabkan oleh cacat pada gen yang mengkode alpha-3, alpha-4,
atau-5 alpha rantai kolagen IV membran jenis basement. Frekuensi gen diperkirakan rasio
Alport syndrome adalah 1:5000, dan gangguan secara genetik heterogen. Tiga bentuk
31
genetik dari sindrom Alport ada: XLAS, yang hasil dari mutasi pada gen COL4A5 dan
account untuk 85% kasus; Aras, yang disebabkan oleh mutasi pada baik COL4A3 atau
gen COL4A4 dan bertanggung jawab untuk sekitar 10-15% kasus, dan, jarang, sindrom
Alport autosomal dominan (ADAS), yang disebabkan oleh mutasi pada
baik COL4A3 atau gen COL4A4 dalam setidaknya beberapa keluarga dan rekening untuk
sisa kasus (lihat Tabel 1).
Dalam COL4A5 gen dari keluarga dengan XLAS, lebih dari 300 mutasi gen telah
dilaporkan. Kebanyakan COL4A5 mutasi kecil dan termasuk mutasi missense, sambatan-
situs mutasi, dan kecil (yaitu, <10-pasangan basa [bp]) penghapusan.Sekitar 20% dari
penyusunan ulang mutasi pada lokus utama COL4A5 (yaitu, berukuran besar dan
menengah penghapusan). Sebuah jenis tertentu yang mencakup penghapusan berakhir 5
'dari COL4A5 dan COL4A6 gen dikaitkan dengan kombinasi langka XLAS dan
leiomyomatosis menyebar dari esophagus, pohon trakeobronkial, dan saluran kelamin
perempuan.
Pada pasien dengan sindrom Alport, tidak ada mutasi telah diidentifikasi hanya
dalam gen COL4A6. Untuk saat ini, hanya 6 mutasi pada gen COL4A3 dan 12 mutasi
pada gen COL4A4 telah diidentifikasi pada pasien dengan Aras. Pasien heterozigot baik
homozigot untuk mutasi atau senyawa mereka, dan orang tua mereka adalah pembawa
asimtomatik. Mutasi termasuk substitusi asam amino, penghapusan frameshift, mutasi
missense, penghapusan inframe, dan mutasi splicing. ADAS lebih jarang daripada XLAS
atau Aras. Baru-baru ini, sebuah situs sambatan mutasi sehingga melompat-lompat dari
ekson 21 pada gen COL4A3ditemukan di ADAS.
Meskipun kemajuan luar biasa dalam menggambarkan genetika molekular sindrom
Alport, patogenesis gagal ginjal pada pasien dengan penyakit ini masih kurang
dipahami. Kelainan utama pada pasien dengan sindrom Alport hasil dari penyimpangan
ekspresi basement membran alfa-3 (IV), alfa-4 (IV), dan alpha-5 (IV) rantai kolagen tipe
IV. Rantai ini biasanya underexpressed atau absen dari membran basement pasien dengan
sindrom Alport.
Kelainan primer pada pasien dengan sindrom Alport terletak dalam domain (NC1)
noncollagenous dari terminal C-dari rantai alpha-5 (IV) di XLAS dan bahwa alpha-3 (IV)
32
atau alpha-4 (IV) rantai di Aras dan ADAS. Kebetulan, antigen yang terlibat dalam
patogenesis sindrom Goodpasture berada dalam domain NC1 dari rantai alpha-3 (IV).
Pada periode awal perkembangan ginjal, alpha-1 (IV) dan alfa-2 (IV) rantai mendominasi
di GBM itu. Dengan pematangan glomerulus, alpha-3 (IV), alfa-4 (IV), dan alpha-5 (IV)
menjadi lebih besar rantai oleh proses yang disebut beralih isotipe.Bukti menunjukkan
bahwa alpha-3 (IV), alfa-4 (IV), dan alpha-5 (IV) rantai bergabung untuk membentuk
jaringan kolagen yang unik. Kelainan salah satu rantai, seperti yang diamati pada pasien
dengan sindrom Alport, membatasi pembentukan jaringan kolagen dan mencegah
penggabungan rantai kolagen lainnya.
Bukti terbaru menunjukkan bahwa isoform switching jenis kolagen IV menjadi
perkembangan ditangkap pada pasien dengan XLAS. Hal ini menyebabkan distribusi
mempertahankan janin alfa-1 (IV) dan alfa-2 (IV) isoform dan tidak adanya alpha-3 (IV),
alfa-4 (IV), dan alpha-5 (IV) isoform. Kaya sistein-alpha-3 (IV), alfa-4 (IV), dan alpha-5
(IV) rantai diperkirakan untuk meningkatkan ketahanan terhadap degradasi proteolitik
GBM di lokasi filtrasi glomerulus, dengan demikian, ketekunan anomali dari alfa -1 (IV)
dan alfa-2 (IV) isoform menganugerahkan kenaikan tak terduga dalam kerentanan
terhadap enzim proteolitik, yang mengarah ke ruang bawah tanah membelah membran
dan kerusakan.
Bagaimana cacat hasil kolagen rantai di glomerulosklerosis masih belum
jelas.Bukti sekarang menunjukkan bahwa akumulasi jenis V dan VI kolagen (bersama
dengan alpha-1 [IV] dan alpha-2 [IV]) rantai di GBM terjadi sebagai respon kompensasi
untuk hilangnya alpha-3 (IV), alfa- 4 (IV), dan alpha-5 (IV) rantai.Protein ini menyebar
dari lokasi subendothelial normal dan menempati lebar penuh GBM, mengubah
homeostasis glomerulus dan mengakibatkan penebalan GBM dan gangguan
permselectivity makromolekul dengan sklerosis glomerulus berikutnya, fibrosis
interstisial, dan gagal ginjal.
Penelitian eksperimental melibatkan transformasi pertumbuhan beta faktor (TGF-
beta) dan matriks metalloproteinase dalam perkembangan penyakit ginjal pada sindrom
Alport. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan peran mereka patogenetik yang
tepat dan relevansi potensi mereka sebagai target terapi.
33
PATOGENESIS 13
MBG awalnya normal lalu mengalami perubahan menjadi bilaminer lalu multiminer
dan akhirnya mendesak lengkung kapiler glomerulus, glomerulus menjadi sklerotik,
tubulus mengalami atrofi, interstisium mengalami fibrosis. Dengan pemeriksaan antibodi
monoklonal dapat diketahui bahwa COL4A3,4, dan 5 terdistribusi secara normal pada
MBG, kapsul bowman dan juga pada membran basalis distal collecting tubule, serta pada
membran-membran di koklea mata, dengan demikian kerusakan yng terjadi pada organ
tersebut mempunyai persamaan proses.
PENATALAKSANAAN 13
Saat ini belum ada terapi spesifik, terapi lebih banyak ditujukan pada pengendalian
keadaan sekunder akibat gangguan fungsi ginjal seperti pengendalian hipertensi dengan
menggunakan angiotensin coverting enzym inhibitors. Obat ini dapat menurunkan
tekanan intraglomerulus dan terbukti dapat menurunkan laju progresivitas penurunan
fungsi ginjal. Untuk pencegahan terhadap meluasnya ekspansi mesangial dapat diberikan
siklosporin A terutama pada pasien dengan proteinuria berat, sedangkan untuk
pengendalian fosfat digunakan pengikat fosfat, serta pengendalian dislipidemia
menggunakan statin. Gangguan fungsi pendengaran biasanya permanen sehingga pasien
dapat diberikan pelatihan keterampilan berkomunikasi dengan isyarat, gangguan pada
lensa mata dapat diatasi dengan penggantian lensa mata atau penggantian kornea. Dialisis
dilakukan pada penyakit ginjal kronik tahap akhir.
Transplantasi Ginjal 8
Dilakukan pada pasien yang sudah pada tahap akhir penyakit ginjal kronik.
Dilaporkan bahwa 3 sampai 4% dari pasien transplantasi ginjal tersebut mengalami anti-
GBM antibody disease dan umumnya terjadi pada tahun pertamapasca transplantasi,
terjadi glonerulonefritis kresentik dan berakhir dengan graft loss. Bila terjadi hal tersebut
maka plasmaferesis dan pemberian siklofosfamid merupakan pilihan pengobatan.
Berulangnya sindrom Alport pasca transplantasi tidak pernah dijumpai sampai saat ini.
34
PENCEGAHAN
Pencegahan yang dapat dilakukan dengan menjalani konsultasi pra-nikah pada
seorang dengan riwayat penyakit ginjal dan ketulian dalam keluarganya. Keadaan
tersebut potensial mempunyai risiko terhadap sindrom Alport. Konsultasi dilakukan oleh
ahi genetika.
KOMPLIKASI 8
Jika fungsi ginjal memperburuk, hipertensi, infeksi saluran kencing, dan manifestasi
kegagalan ginjal kronis dapat muncul, ESRD.
PROGNOSIS 8
Wanita biasanya mempunyai harapan hidup normal (karenanya lebih banyak ibu
daripada bapak yang menurunkan penyakit ini pada anaknya) dan hanya kehilangan
pendengaran subklinis.
Sindrom Alport menyebabkan kerusakan progresif pada ginjal melalui penggantian
bertahap struktur ginjal normal (glomeruli dan tubulus) oleh jaringan parut. Proses ini
dikenal sebagai fibrosis. Semua anak laki-laki dengan X-sindrom Alport terkait akhirnya
mengembangkan gagal ginjal. Dialisis atau transplantasi sering menjadi diperlukan oleh
remaja atau dewasa muda, namun gagal ginjal mungkin tertunda hingga usia 40-50 tahun
pada beberapa pria dengan sindrom Alport. Kebanyakan gadis-gadis dengan X-sindrom
Alport terkait tidak mengembangkan gagal ginjal. Namun, sebagai perempuan dengan
usia yang sudah dewasa atau tua yang terkena sindrom Alport risiko gagal ginjal
meningkat.
Semua anak laki-laki dan perempuan dengan sindrom Alport resesif autosomal
mengembangkan gagal ginjal, biasanya oleh remaja atau dewasa muda. Orang dengan
sindrom Alport autosomal dominan biasanya juga memasuki usia paruh baya sebelum
kegagalan ginjal berkembang. 15
Etiologi Pasien dengan Gejala Glomerulonefritis Akut
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah
infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta
35
hemolitikus grup A tipe 1, 4,12,18,25,49 dan 57. Jenis tertentu memang bersifat
nefritogenik. Penykit glomerulonefritis ini dapat timbul 3 minggu setelah infeksi kuman
streptokokus. Pada 23% dari anak-anak yang terkena infeksi kulit oleh streptokokus tipe
49 terkena nefritis dan hematuria. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus ini
mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%.
Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss. Ada
beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan
disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya:
1. Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,
Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus
albus, Salmonella typhi
2. Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis
epidemika dl
3. Parasit : malaria dan toksoplasma 16,17
Streptokokus
Streptokokus terdiri dari kokus yang berdiameter 0,5-1miro meter. Dalam bentuk rantai
yang khas, kokus agak memanjang pada arah sumbu rantai. Streptokokus pathogen jika
ditanam dalam perbenihna cair atau padat yang cocok sering membentuk rantai panjang
yang terdiri dari 8 buah kokus atau lebih.
Streptokokus yang menimbulkan infeksi pada manusia adalah positif gram, tetapi varietas
tertentu yang diasingkan dari tinja manusia dan jaringan binatang ada yang negative
gram. Pada perbenihan yang baru kuman ini positif gram, bila perbenihan telah berumur
beberapa hari dapat berubah menjadi negative gram. Tidak membentuk spora, kecuali
beberapa strain yang hidup saprofitik. Geraknya negative. Strain yang virulen membuat
selubung yang mengandung hyaluronic acid dan M type specific protein. Jika pada
36
perbenihan biasa, kuman ini pertumbuhannya akan kurang subur jika tidak ditambahkan
darah atau serum. Kuman ini tumbuh baik pada pH 7,4-7,6, suhu optimum untuk
pertumbuhan adalah 37oC.10
Epidemologi Pasien dengan Gejala Glomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut pasca streptokok yang klasik terutama menyerang anak
dan orang dewasa muda, dengan meningkatnya usia frekuensinya makin berkurang. Pria
lebih sering terkena daripada wanita. Dengan perbandingan pria dan wanita 2:1. Lebih
sering pada musim dingin dan puncaknya pada musim semi. Paling sering pada anak-
anak usia sekolah. Suku atau ras tidak berhubungan dengan prevelansi penyakit ini, tapi
kemungkinan prevalensi meningkat pada orang yang sosial ekonominya rendah, sehingga
lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat.18
Faktor Risiko
Diabetes adalah penyakit dimana tubuh kita tidak memproduksi cukup insulin
atau tidak bisa menggunakan insulin secara normal dan memadai. Hal ini
meningkatkan kadar gula di dalam darah, yang bisa menyebabkan masalah pada
banyak organ tubuh Kita. Diabetes adalah penyebab yang terdepan dari penyakit
ginjal.
Tekanan darah tinggi adalah penyebab umum lain dari penyakit ginjal dan
komplikasi-komplikasi lain seperti serangan jantung dan stroke. Tekanan darah
tinggi terjadi ketika desakan darah pada dinding arteri bertambah. Ketika tekanan
darah tinggi terkontrol, resiko komplikasi seperti penyakit ginjal kronis dengan
sendirinya akan menurun.
Infeksi-infeksi saluran kemih terjadi ketika kuman-kuman memasuki saluran
kemih dan menimbulkan gejala-gejala seperti rasa sakit atau rasa terbakar ketika
buang air kecil dan keinginan berkemih yang lebih sering. Infeksi-infeksi ini
paling sering berakibat pada kandung kemih, tetapi kadang-kadang menyebar
keginjal-ginjal, dan bisa menyebabkan demam dan rasa sakit pada bagian
belakang.
37
Penyakit-penyakit bawaan juga dapat mempengaruhi ginjal. Hal ini biasanya
berupa masalah yang terjadi dalam saluran kemih ketika bayi tumbuh dalam
kandungan ibunya. Satu hal yang paling umum terjadi ialah ketika mekanisme
seperti keran diantara kandung kemih dan saluran kencing gagal bekerja dengan
baik dan menyebabkan urine tertarik kembali keginjal. Hal ini menyebabkan
infeksi dan memungkinkan terjadinya kerusakan ginjal.
Toksin dan obat-obatan bisa juga menyebabkan masalah-masalah ginjal.
Penggunaan dalam jumlah besar obat penghilang rasa sakit dalam waktu yang
panjang dapat membahayakan ginjal. Pengobatan tertentu, toksin, pestisida dan
obat-obatan jalanan seperti heroin bisa juga mengakibatkan kerusakan ginjal.
Patogenesis Pasien dengan Gejala Glomerulonefritis Akut
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khsus yang
merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-
antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut
secara mekanis terperangkap dalam membran basalis.selanjutnya komplomen akan
terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear
(PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga
merusak endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi
yang terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan
selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang sedang
dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks
komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada
mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada
mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak membengkak
dan hiperseluler disertai invasi PMN. Penyakit ini merupakan reaksi hypersensitivity
tipe3.
Manifestasi Klinik Pasien dengan Gejala Glomerulonefritis Akut
38
Gejala klinis glomerulonefritis akut sangat bervariasi, dari keluhan-keluhan ringan atau
tanpa keluhan sampai timbul gejala-gejala berat dengan bendungan paru akut, gagal
ginjal akut, atau ensefalopati hipertensi.
Kumpulan gambaran klinis yang klasik dari glomerulonefritis akut dikenal dengan
sindrom nefritik akut. Bendungan paru akut dapat merupakan gambaran klinis dari
glomerulonefritis akut pada orang dewasa atau anak yang besar. Sebaliknya pada pasien
anak-anak, ensefalopati akut hipertensif sering merupakan gambaran klinis pertama.
1. Infeksi Streptokok
Riwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis, tonsilitis atau infeksi kulit
(impetigo). Data-data epidemiologi membuktikan, bahwa prevalensi
glomerulonefritis meningkat mencapai 30% dari suatu epidemi infeksi saluran nafas.
Insiden glomerulonefritis akut pasca impetigo relatif rendah, sekitar 5-10%.
2. Gejala-gejala umum
Glomerulonefritis tidak memberikan keluhan dan ciri khusus. Keluhan-keluhan
seperti anoreksia, lemah badan, tidak jarang disertai panas badan, dapat ditemukan
pada setiap penyakit infeksi.
3. Keluhan saluran kemih
Hematuria makroskopis (gross) sering ditemukan, hampir 40% dari semua pasien.
Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-keluhan seperti infeksi saluran kemih
bawah walaupun tidak terbukti secara bakteriologis.
4. Hipertensi
Hipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir pada semua pasien.
Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali normotensi setelah terdapat
diuresis tanpa pemberian obat-obatan antihipertensi. Hipertensi berat dengan atau
tanpa esefalopati hanya dijumpai pada kira-kira 5-10% dari semua pasien.
5. Oedem dan bendungan paru akut
Hampir semua pasien dengan riwayat oedem pada kelopak mata atau pergelangan
kaki bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila perjalanan penyakit berat dan
39
progresif, oedem ini akan menetap atau persisten, tidak jarang disertai dengan asites
dan efusi rongga pleura.
Penatalaksanaan Pasien dengan Gejala Glomerulonefritis Akut
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di
glomerulus.
Tatalaksana non-medikamentosa
1. Tirah baring mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah
selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi
penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu
dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.
2. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/kgbb/hari) dan rendah
garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan
makanan biasa bila suhu telah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka
diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi
pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi
seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka jumlah cairan yang
diberikan harus dibatasi seperti natrium.
3. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari
dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis pertonium, hemodialisis, bilasan
lambung dan usus (tindakan ini kurang efektif dan tranfusi tukar). Bila prosedur di
atas tidak dapat dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena
pun dapat dikerjakan dan ada kalanya menolong juga.
4. Lakukan follow up pasien selama periode penyembuhan (konvalesens) 12
minggu. Jika setelah periode ini ternyata GFR masih rendah dan masih ada
proteinuria serta C3 tetap rendah maka diindikasikan untuk biopsy ginjal. 18,19
Tatalaksana medikamentosa
1. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak
mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya
40
infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian penisilin ini dianjurkan
hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya
sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang
menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen
lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Pemberian penisilin dapat
dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika
alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari
dibagi 3 dosis.
2. Pengobatan terhadap hipertensi meliputi pemberian vasodilator
( hidralazine 0,1 – 3 mg/kgbb tiap 4-6 jam ), beta blocker ( propanolol dosis awal 0,5
mg/kgbb/hari ) converting enzyme inhibitor ( reserpin 0,02 mg/kgbb/hari ).
3. Pengobatan diuretika dengan hidrochlorotiazide 1-2 mg/kgbb/hari, dan
furosemide 1-5 mg/kgbb/hari 10,12
4. Penanganan hiperkalemia dapat diberikan diuretic (yang membuang kalium) atau Ca
gluconas 10% (100-200 mg/kg i.v selama 10-15 menit). Untuk Asidosisnya dapat
diterapi dengan pemberian Na-bicarbonat (2-3 mEq/kgBB) dan retriksi garam. Untuk
hipokalsemia dapat diberikan Ca gluconas 10% (100-200 mg/kg i.v selama 3-4 jam,
diteruskan dengan per oral 10-20 mg/kgBB/hari) dan untuk hiperfosfatemia dapat
dengan retriksi intake fosfat.
Komplikasi Pasien dengan Gejala Glomerulonefritis Akut
Oligouria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai akibat
berkurangnya filtrasi glomerolus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperfosfatemia, hiperkalemia, dan hidremia. Walaupun oligouria atau anuria
yang lama jarang terdapat pada anak, jika hal ini terjadi diperlukan peritoneum dialisis
(bila perlu).
Ensefalopati hipertensi merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat
gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah, dan kejang-kejang. Hal ini
disebabkan karena spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak.
Gangguan sirkulasi berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya ronkhi basah,
kardimegali, dan meningkatnya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme
41
pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung
dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di
miokardium.
Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping eritropoetik yang menurun
Prognosis Pasien dengan Gejala Glomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut pasca streptokok pada anak-anak mempunyai prognosis
baik, penyembuhan sempurna dapat mencapai 99% dan kematian kurang dari 1%.
Penyembuhan sempurna pada pasien dewasa mencapai 80-90%, meninggal selama fase
akut 0-5%, terjun menjadi sindrom RPGN 5-10%, dan menjadi kronis 5-10%.
Tanda-tanda prognosis buruk bila oliguria atau anuri berlangsung beberapa
minggu, penurunan LFG, hipokomplemenemi menetap, kenaikan konsentrasi circulating
fibrinogen-fibrin complexes, dan kenaikan konsentrasi Fibrin Degradation Product (FDP)
dalam urin.
42
2. SIROSIS HATI
Pemeriksaan Fisik
Pada Sirosis Hepatis, pemeriksaan fisik dibagi antara pemeriksaan tanda-tanda
vital dan pemeriksaan lanjutan dimana diantaranya adalah inspeksi, auskultasi, perkusi,
palpasi.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital, yang dinilai adalah pemeriksaan tekanan
darah, suhu, frekuensi pernapasan, dan denyut nadi.
Pada Inspeksi, melihat warna kulit, biasa terdapat vena yang dilatasi pada kasus
sirosis hepatis seperti spider nevi, pembuluh darah kolateral. Juga melihat bentuk
abdomen, pada sirosis terlihat bengkak pada abdomen yaitu biasa disebut asites.
Pada perkusi untuk mengetahui apakah hati membesar atau mengecil.
Pada auskultasi untuk mendengar bising usus pada abdomen
Pada Palpasi : 4
TEKNIK KHUSUS
A) ASCITES
1. Bentuk Abdomen yang buncit dengan bagian pinggang yang membenjol
menunjukkan kemungkinan adanya cairan asites. Karena cairan asites secara khas
akan mengendap akibat gaya tarik bumi sementara gelungan usus yang berisi gas
akan mengapung di atas, perkusi akan menghasilkan bunyi tumpul pada daerah
abdomen yang di sebelah bawah (bergantung). Cari pola tersebut dengan
43
melakukan perkusi ke arah luar mengikuti beberapa arah yang dimulai dari daerah
sentral bunyi timpani. Buat peta yang memperlihatkan batas antara bunyi timpani
dan redup.
2. Tes untuk pekak pindah ( shifting dullness). Setelah membuat peta yang
memperlihatkan batas antara bunyi timpani dan redup, minta pasien untuk
memutar tubuhnya ke salah satu sisi. Lakukanlah perkusi dan tandai batas tersebut
sekali lagi. Pada pasien yang tidak mengalami asites, biasanya batas antara bunyi
timpani dan redup relatif tidak berubah. Pada asites bunyi redup perkusi akan
beralih ke bagian yang bergantung sementara bunyi timpani berpindah ke bagian
atas.
3. Tes untuk gelombang cairan (fluid wave) undulasi.
Minta pasien atau asisten untuk menekan dengan kuat ke arah bawah pada garis
tengah abdomen menggunakan permukaan ulnar ke dua tangan mereka. Tekanan
ini membantu menghentikan transmisi gelombang melalui jaringan lemak.
Sementara itu, anda menggunakan ujunh jari-jari tangan untuk mengetuk dengan
cepat pada salah satu pinggang pasien, raba sisi pinggang yang lain untuk
merasakan impuls yang ditransmisikan melalui cairan asites. Sayangnya, tanda ini
sering negatif sebelum terdapat cairan asites dengan nyata, dan sering kali positif
pada orang-orang yang tidak memiliki asites. Impuls yang dapat diraba dengan
mudah menunjukkan asites.
4. Mengenali organ atau massa pada abdomen yang asites (Ballotement).
Coba periksa ballottement organ atau massa yang disini dicontohkan oleh hati
yang membesar. Ekstensikan dan tegakkan jari-jari salah satu tangan anda yang
disatukan, letakkan ujung jari-jari tangan tersebut pada permukaan abdomen dan
kemudian lakukan gerakan menekan yang tiba-tiba secara langsung pada struktur
diantisipasi. Gerakan yang cepat ini seringkali mendorong cairan agar berpindah
sehingga ujung jari tangan anda dapat menyentung secara singkat permukaan
struktur tersebut melalui dinding abdomen.
Pemeriksaan Penunjang
44
Pemeriksaan laboraturium pada sirosis hati meliputi hal-hal berikut.
1. Kadar Hb yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih menurun (leukopenia),
dan trombositopenia.
2. Kenaikan SGOT, SGPT dan gamma GT akibat kebocoran dari sel-sel yang
rusak. Namun, tidak meningkat pada sirosis inaktif.
3. Kadar albumin rendah. Terjadi bila kemampuan sel hati menurun.
4. Kadar kolinesterase (CHE) yang menurun kalau terjadi kerusakan sel hati.
5. masa protrombin yang memanjang menandakan penurunan fungsi hati.
6. pada sirosis fase lanjut, glukosa darah yang tinggi menandakan ketidakmampuan
sel hati membentuk glikogen.
7. Pemeriksaan marker serologi petanda virus untuk menentukan penyebab sirosis
hati seperti HBsAg, HBeAg, HBV-DNA, HCV-RNA, dan sebagainya.
8. Pemeriksaan alfa feto protein (AFP). Bila ininya terus meninggi atau >500-1.000
berarti telah terjadi transformasi ke arah keganasan yaitu terjadinya kanker hati
primer (hepatoma).
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain ultrasonografi (USG),
pemeriksaan radiologi dengan menelan bubur barium untuk melihat varises esofagus,
pemeriksaan esofagoskopi untuk melihat besar dan panjang varises serta sumber
pendarahan, pemeriksaan sidikan hati dengan penyuntikan zat kontras, CT scan,
angografi, dan endoscopic retrograde chlangiopancreatography (ERCP).
Diagnosis Kerja Sirosis Hepatis
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai
dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena infeksi
akut dengan virus hepatitis dimana terjadi peradangan sel hati yang luas dan
menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya banyak
jaringan ikat dan regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang dibentuk oleh sel
parenkim hati yang masih sehat. Akibatnya bentuk hati yang normal akan berubah
disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena
porta yang akhirnya menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati
membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan.
45
Penyebab sirosis hati beragam. Selain disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B ataupun
C, juga dapat diakibatkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan, berbagai macam
penyakit metabolik, adanya gangguan imunologis , dan sebagainya. Di Indonesia, sirosis
hati lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada perempuan.
Keluhan yang timbul umumnya tergantung apakah sirosisnya masih dini atau sudah fase
dekompensasi. Selain itu apakah timbul kegagalan fungsi hati akibat proses hepatitis
kronik aktif atau telah terjadi hipertensi portal. Bila masih dalam fase kompensasi
sempurna maka sirosis kadangkala ditemukan pada waktu orang melakukan pemeriksaan
kesehatan menyeluruh (general check-up) karena memang tidak ada keluhan sama sekali.
Namun, bisa juga timbul keluhan yang tidak khas seperti merasa badan tidak sehat,
kurang semangat untuk bekerja, rasa kembung, mual, mencret kadang sembelit, tidak
selera makan, berat badan menurun, otot-otot melemah, dan rasa cepat lelah. Banyak atau
sedikitnya keluhan yang timbul tergantung dari luasnya kerusakan parenkim hati. Bila
timbul ikterus maka berhenti sedang terjadi kerusakan sel hati. Namun, jika sudah masuk
ke dalam fase dekompensasi maka gejala yang timbul bertambah dengan gejala dari
kegagalan fungsi hati dan adanya hipertensi portal.
Kegagalan fungsi hati menimbulkan keluhan seperti rasa lemah, turunya barat badan,
kembung, dan mual. Kulit tubuh di bagian atas, muka, dan lengan atas akan bisa timbul
bercak mirip laba-laba (*spider nevi). Telapak tangan bewarna merah (eritema palmaris),
perut membuncit akibat penimbunan cairan secara abnormal di rongga perut (asites),
rambut ketiak dan kemaluan yang jarang atau berkurang, buah zakar mengecil (atrofi
testis), dan pembesaran payudara pada laki-laki. Bisa pula timbul hipoalbuminemia,
pembengkakan pada tungkai bawah sekitar tulang (edema pretibial), dan gangguan
pembekuan darah yang bermanifestasi sebagai peradangan gusi, mimisan, atau gangguan
siklus haid. Kegagalan hati pada sirosis hati fase lanjut dapat menyebabkan gangguan
kesadaran akibatencephalopathy hepatic atau koma hepatik.
Etiologi
Ada banyak penyebab sirosis. Penyebab paling umum adalah kebiasaan meminum
alkohol dan infeksi virus hepatitis C. Sel-sel hati Anda berfungsi mengurai alkohol, tetapi
terlalu banyak alkohol dapat merusak sel-sel hati. Infeksi kronis virus hepatitis C
46
menyebabkan peradangan jangka panjang dalam hati yang dapat mengakibatkan sirosis.
Sekitar 1 dari 5 penderita hepatitis C kronis mengembangkan sirosis. Tetapi hal ini
biasanya terjadi setelah sekitar 20 tahun atau lebih dari infeksi awal.
Penyebab umum sirosis lainnya meliputi:
Infeksi kronis virus hepatitis B.
Hepatitis autoimun. Sistem kekebalan tubuh biasanya membuat antibodi untuk
menyerang bakteri, virus, dan kuman lainnya. Pada hepatitis autoimun,sistem
kekebalan tubuh membuat antibodi terhadap sel-sel hati yang dapat menyebabkan
kerusakan dan sirosis.
Penyakit yang menyebabkan penyumbatan saluran empedu sehingga tekanan darah
terhambat dan merusak sel-sel hati. Sebagai contoh, sirosis bilier primer, primary
sclerosing, dan masalah bawaan pada saluran empedu.
Non-alcohol steato-hepatitis (NASH). Ini adalah kondisi di mana lemak menumpuk
di hati sehingga menciptakan jaringan parut dan sirosis. Kelebihan berat badan
(obesitas) meningkatkan risiko Anda mengembangkan non-alcohol steato-hepatitis.
Reaksi parah terhadap obat tertentu.
Beberapa racun dan polusi lingkungan.
Infeksi tertentu yang disebabkan bakteri dan parasit.
Gagal jantung parah yang dapat menyebabkan tekanan balik darah dan kemacetan di
hati.
Beberapa penyakit warisan langka yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel
hati, seperti hemokromatosis (kondisi yang menyebabkan timbunan abnormal zat besi
di hati dan bagian lain tubuh) dan penyakit Wilson (kondisi yang
menyebabkan penumpukan abnormal zat tembaga di hati dan bagian lain tubuh).
Epidemiologi
47
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada laki-laki jika dibandingkan dengan
wanita sekitar 1,6:1, dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun,
dengan puncaknya sekitar umur 40-49 tahun.
Keseluruhan insiden sirosis di Amerika ditemukan 360 per 100.000 penduduk.
Penyebabnya terutama penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Di Indonesia
sendiri prevalensi sirosis hati belum ada hanya ada laporan dari beberapa pusat
pendidikan saja. Di RS Sardjito Yogyakarta jumlah pasien yang dirawat di bagian
Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun berkisar 4,1%. Di Medan dalam kurun waktu
4 tahun dijumpai 819 (4 %) dari seluruh pasien di bagian Penyakit Dalam.
Patofisiologi
Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab dan kejadian, kejadian tersebut dapat
terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang kronis atau perlukaan hati
yang terus menerus yang terjadi pada peminum alcohol aktif. Hati kemudian merespon
kerusakan sel tersebut dengan membentuk ekstraselular matriks yang mengandung
kolagen, glikoprotein, dan proteoglikans. Sel stellata berperan dalam membentuk
ekstraselular matriks ini. Pada cedera yang akut sel stellata membentuk kembali
ekstraselular matriks ini sehingga ditemukan pembengkakan pada hati. Namun, ada
beberapa parakrine faktor yang menyebabkan sel stellata menjadi sel penghasil kolagen.
Faktor parakrine ini mungkin dilepaskan oleh hepatocytes, sel Kupffer, dan endotel
sinusoid sebagai respon terhadap cedera berkepanjangan. Sebagai contoh peningkatan
kadar sitokin transforming growth facto beta 1 (TGF-beta1) ditemukan pada pasien
dengan Hepatitis C kronis dan pasien sirosis. TGF-beta1 kemudian mengaktivasi sel
stellata untuk memproduksi kolagen tipe 1 dan pada akhirnya ukuran hati menyusut
Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya ukuran dari fenestra
endotel hepatic menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti endotel kapiler) dari
sinusoid. Sel stellata dalam memproduksi kolagen mengalami kontraksi yang cukup besar
untuk menekan daerah perisinusoidal Adanya kapilarisasi dan kontraktilitas sel stellata
inilah yang menyebabkan penekanan pada banyak vena di hati sehingga mengganggu
48
proses aliran darah ke sel hati dan pada akhirnya sel hati mati, kematian hepatocytes
dalam jumlah yang besar akan menyebabkan banyaknya fungsi hati yang rusak sehingga
menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari vena pada hati akan dapat
menyebabkan hipertensi portal yang merupakan keadaan utama penyebab terjadinya
manifestasi klinis.
Terapi
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditunjukan mengurangi
progresi penyakit, menghindarkan bahan – bahan yang bisa menambah kerusakan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatic diberikan diet
yang mengandung protein 1 g/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000kkal/hari.
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditunjukan untuk mengurangi
progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditunjukan untuk menghilangkan etiologi
diantaranya alkohol dan bahan – bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati
dihentikan penggunannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa
menghambat kolagenik.
Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif.
Pada hemokromatosis flebotomi, setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi
normal dan diulang sesuai kebutuhan.
Pada penyakit hati noonalkoholik, menurnkan berat badan akan mencegah terjadinya
sirosis.
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleotida) merupakan terapi
utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari
selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin setelah9 – 12 bulan menimbulkan
mutasi sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara suntikan
subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4 – 6 bulan, namun ternyata juga banyak
yang kambuh,
49
Pada hepatitis C kronik kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi
standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali
seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.
Pada pengobatan fibrosis hati pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah
kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa dating, menempatkan sel
stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi
utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi dari sel stelata bisa merupakan salah
satu pilihan. Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik yang dihubungkan dengan
pengurangan aktivitas sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti peradangan dan
mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti dalam penelitian sebagai anti
fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagai anti fibrosis.
Selain itu, obat – obatan herbal juga sedang dalam penelitian.
Tatalaksana pengobatan sirosis dekompensata
Asites : tirah baring dan diawali diet rndah garam, konsumsi garam sebayak 5,2 gram
atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat – obatan diuretik.
Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100 – 200 mg sekali sehari.
Respons diuretic bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kh/hari, tanpa
adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian
spironolaktontidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20 – 40
mg/hari. Pemberianfurosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons,
maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar.
Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
Ensefalopati hepatik : Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia.
Neomisin bisadigunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diet
proteindikurangi sampai 0,5gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya
asam amino rantai cabang.
Varises esophagus : sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat
penyekat beta (propranolol). Waktu perdarahanan akut, bisa diberikan preparat
50
somatostatin atau oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi
endoskopi.
Peritonitis bacterial spontan : diberikan antibiotika seperti sefotaksim intravena,
amoksilin atau aminoglikosida.
Sindrom hepatorenal : mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur
keseimbangan garam dan air.
Transplantasi hati : terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata. Namun sebelum
dilakukan transplantasi ada beberapa criteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.
Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup pasien
sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.
Komplikasi yang sering dijumpai antara lain Peritonitis Bacterial Spontan, yaitu infeksi
cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal.
Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.
Pada Sindrom Hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguri,
peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal. Kerusakan hati lanjut
menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi
glomerulus.
Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esophagus. 20-40% pasien sirosis
dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya
sangat tinggi, sebanyak dua pertiganya akan meninggal dalam waktu 1 tahun walaupun
dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan berbagai cara.
Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati. Mula-
mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan
kesadaran yang berlanjut sampai koma.
Pada sindrom hepatopulmonal terdapat hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal.
51
Pencegahan
Angka kejadian sirosis hati cukup banyak. Sirosis hati merupakan
penyakit sangat berbahaya. Bila tidak segera tertangani bisa
mengancam jiwa penderita. Untuk itu keberadaannya perlu dicegah.
Ada 6 cara yang patut dilakukan untuk mencegah sirosis hati.14
1. Senantiasa menjaga kebersihan diri dan lingkungan
Jagalah kebersihan diri. Mandilah sebersih mungkin menggunakan
sabun. Baju juga harus bersih. Cuci tangan sehabis mengerjakan
sesuatu. Perhatikan pula kebersihan lingkungan. Hal itu untuk
menghindari berkembangnya berbagai virus yang sewaktu-waktu
bisa masuk kedalam tubuh kita
2. Hindari penularan virus hepatitis
Hindari penularan virus hepatitis sebagai salah satu penyebab
sirosis hati. Caranya tidak mengkonsumsi makanan dan minuman
yang terkontaminasi virus. Juga tidak melakukan hubungan seks
dengan penderita hepatitis.
3. Gunakan jarum suntik sekali pakai.
Jangan memakai jarum suntik bekas orang lain. Bila jarum bekas
pakai penderita hepatitis kemudian digunakan kembali untuk
menyuntik orang lain, maka orang itu bisa tertular virus.
4. Pemeriksaan darah donor
Ketika akan menerima transfusi darah harus hati hati. Permriksaan
darah donor perlu dilakukan utnuk memastiikan darah tidak
tercemar virus hepatitis.bila darah mengandung virus hepatitis
penerima donor akan tertular dan berisiko terkena sirosis.
5. Tidak mengkonsumsi alkohol
Hindari mengkonsumsi alkohol, barang haram ini terbukti merusak
fungsi organ tubuh, termasuk hati. Bila sudah terlanjur sering
mengkonsumsi minuman beralkohol, hentikan kebiasaan itu.
52
6. Melakukan vaksin hepatitis
Lakukan vaksin hepatitis. Vaksin dapat mencegah penularan virus
hepatitis sehingga dapat juga terhindar dari sirosis hati.
Prognosis
Prognosis buruk atau tergantung pada luasnya kerusakan hati/kegagalan hepatoselular,
beratnya hipertensi portal dan timbulnya komplikasi lain. Klasifikasi Child Pugh, juga
dapat digunakan untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi dan
juga dipakai sebagai petunjuk prognosis yang tidak baik dari pasien sirosis.
3. GAGAL GINJAL AKUT
Definisi
Gagal ginjal akut (GGA) adalah penurunan fungsi ginjal mendadak dengan akibat
hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis tubuh.(1,5,10) Adapula
yang mendefinisikan gagal ginjal akut sebagai suatu sindrom yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang mendadak dengan akibat terjadinya penimbunan hasil
metabolit persenyawaan nitrogen seperti ureum dan kreatinin. Fine menambahkan dalam
kriteria diagnosis GGA yaitu terjadinya peningkatan kadar kreatinin darah secara
progresif 0,5 mg/dL per hari. Peningkatan kadar ureum darah adalah sekitar 10-20 mg/dL
per hari, kecuali bila terjadi keadaan hiperkatabolisme dapat mencapai 100 mg/dL per
hari.
Secara klinis, istilah nekrosis tubulus akut (NTA) sering dipakai bergantian dengan istilah
gagal ginjal akut. Pemakaian istilah ini tidak sepenuhnya benar, karena NTA mengacu
pada temuan histologik yang sering terdapat pada GGA, meskipun gagal ginjal akut dapat
saja terjadi pada banyak pasien tanpa disertai nekrosis tubulus.
Manifestasi klinik GGA dapat bersifat;
1. oligurik
2. Non oligurik
53
Kriteria oligurik sendiri bervariasi antara penulis satu dengan yang lainnya, Nelson
mendefinisikan oliguria sebagai produksi urin <400 ml/m2/hari,menggunakan definisi
oliguria pada anak adalah <240 ml/m2/hari atau 8-10 ml/kg BB/hari. Pada neonatus
dipakai kriteria <1,0 ml/kgBB/jam, Ingelfinger memberi batasan <0,5 ml/kgBB/hari,
sedangkan Gaudio dan Siegel berpendapat bahwa setiap anak dapat dipakai definisi
<0,8cc/kgBB/jam untuk semua usia. Pada GGA non-oligurik ditemukan diuresis >1-
2ml/kgBB/jam disertai peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah. Keadaan ini sering
dijumpai pada GGA akibat pemakaian obat-obatan nefrotoksik antara lain
aminoglikosida.
Insidens dan Prevalensi
Cukup sulit untuk menentukan insidens sesungguhnya akan Gagal Ginjal Akut pada
anak, karena variasi dalam definisinya dari penelitian satu ke penelitian lainnya. Di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta, dari 38 pasien GGA yang
dilaporkan, 13 pasien (34,2%) disebabkan oleh intoksikasi jengkol, 11 (28%) oleh
sepsis, 5 (13,2%) oleh gastroenteritis berat, 2 (5,2%) oleh syok dan 2 (5,2%) oleh
bronkopneumonia berat. Glomerulonefritis akut hanya ditemukan pada 3 anak
(7,9%).(1) Pada dua penelitian di negara barat telah dilaporkan prevalensi terbanyak
kasus GGA pada neonatus dikarenakan oleh asfiksia perinatal dan syok. Insidens
GGA pada anak dengan umur lebih tua diperkirakan sekitar 4/100000 populasi. Pada
anak pra-sekolah, diare yang diikuti oleh sindrom hemolitik-uremik adalah penyebab
terbanyak dari GGA intrinsik/renal, terhitung 50% pada semua kasus di kelompok ini.
Glomerulonefritis adalah penyebab terbanyak GGA pada usia sekolah.
Klasifikasi dan etiologi GGA
Dahulu GGA dikategorikan sebagai anurik, oligurik, dan nonoligurik. Namun
penggolongan yang lebih praktis kini didasarkan pada lokasi yang menunjukkan
lokasi abnormalitas, yaitu pra-renal, renal/intrinsik, dan post-renal/pasca renal. GGA
pra-renal disebabkan oleh sebab-sebab sistemik, seperti dehidrasi berat, perdarahan
masif, dimana kedaan-keadaan ini sangat menurunkan aliran darah ke ginjal dan
tekanan perfusi kapiler glomerulus yang mengakibatkan penurunan laju filtrasi
54
glomerulus (GFR). GGA renal atau intrinsik terjadi apabila ada jejas pada parenkim
ginjal, sebagai contoh glomerulonefritis akut (GNA), atau nekrosis tubular akut
(NTA/ATN). GGA pascarenal disebabkan oleh uropati obstruktif. Riwayat penyakit
dan pemeriksaan fisik disertai dengan pemeriksaan laboratoris dapat mengklasifikasi
serta mendiagnosa GGA.
Patogenesis dan patofisiologi
Patogenesis GGA tergantung pada etiologinya, apakah prarenal, renal, atau
pascarenal, karena ketiganya memiliki patogenesis yang berbeda.
GGA prarenal
Karena berbagai sebab pra-renal, volume sirkulasi darah total atau efektif menurun,
curah jantung menurun, dengan akibat darah ke korteks ginjal menurun dan laju
filtrasi glomerulus menurun. Tetapi fungsi reabsorbsi tubulus terhadap air dan garam
terus berlangsung. Oleh karena itu pada GGA prarenal ditemukan hasil pemeriksaan
osmolalitas urin yang tinggi >300 mOsm/kg dan konsentrasi natrium urin yang
rendah <20 mmol/L serta fraksi ekskresi natrium (FENa) yang rendah (<1%).
Sebaliknya bila telah terjadi nekrosis tubulus (GGA renal) maka daya reabsorbsi
tubulus tidak berfungsi lagi. Ditemukan kadar osmolalitas urin yang rendah <300
mOsm/kg sedangkan kadar natrium urin tinggi >20 mmol/L dan FENa urin juga
tinggi (>1%). Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk membedakan apakah pasien
GGA prarenal yang terjadi sudah menjadi renal. GGA renal terjadi apabila
hipoperfusi prarenal tidak cepat ditanggulangi sehingga terjadi kerusakan parenkim
ginjal.
Beberapa mekanisme terjadi pada hipoperfusi. Peningkatan pelepasan renin dari
aparatus jukstaglomerularis menyebabkan peningkatan produksi aldosteron, dimana
terjadi peningkatan resorbsi natrium di tubulus kolektivus. Sebagai tambahan,
penurunan volume cairan ekstraseluler menstimulasi pelepasan hormon antidiuretik
(ADH), terjadilah peningkatan absorbsi air di medulla. Hasil akhirnya adalah
penurunan volume urin, penurunan kadar natrium urin, dimana semua ini adalah
55
karakteristik dari GGA prarenal.
Pembedaan ini penting karena GGA prarenal memberi respons diuresis pada
pemberian cairan adekuat dengan atau tanpa diuretika. Sedangkan pada GGA renal
tidak. Penyebab tersering pada anak adalah dehidrasi berat karena muntah dan diare,
perdarahan, luka bakar, syok septik, sindrom nefrotik, pembedahan jantung, dan
gagal jantung.
GGA renal
Berdasarkan etiologi penyakit, penyebab GGA renal dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok; kelainan vaskular, glomerulus, tubulus, interstisial, dan anomali
kongenital. Tubulus ginjal karena merupakan tempat utama penggunaan energi pada
ginjal, mudah mengalami kerusakan bila terjadi iskemia atau oleh obat nefrotoksik
oleh karena itu kelainan tubulus berupa nekrosis tubular akut adalah penyebab
tersering dari GGA renal.
1 Kelainan tubulus (Nekrosis tubular akut)
Bentuk nekrosis tubulus ada 2 tipe. Tipe pertama terjadi akibat zat nefrotoksik
misalnya merkuriklorida; terjadi kerusakan sel-sel tubulus yang luas (tubulolisis)
tetapi membran basal tubulus tetap utuh. Sel-sel tubulus yang mengalami nekrosis
masuk ke lumen tubulus dan dapat menyumbat lumen. Tipe kedua akibat iskemia,
kerusakan terjadi lebih distal dan setempat dengan kerusakan fokal pada membran
basal tubulus (tubuloreksis). NTA tipe iskemik ditemukan akibat gastroenteritis
dehidrasi, sindrom nefrotik, luka bakar, septisemia gram negatif dan asfiksia
perinatal. Sedangkan tipe nefrotoksik ditemukan akibat karbon tetraklorida,
hemoglobin, atau mioglobinuria, obat aminoglikosida. Mekanisme terjadinya gagal
ginjal pada NTA masih belum jelas. Beberapa mekanisme yang dianggap berperan
adalah perubahan hemodinamik intrarenal, obstruksi tubulus oleh sel dan jaringan
yang rusak dan perembesan pasif filtrat tubulus melalui dinding tubulus yang rusak
masuk ke jaringan interstisial dan peritubular. Beberapa mediator diduga berperan
sebagai penyebab vasokonstriksi ginjal yaitu angiotensin II, menurunnya vasodilator
56
prostaglandin, stimulasi saraf simpatis, vasopresin, dan endotelin.
2. Kelainan vaskular
Kelainan vaskular sebagai penyebab GGA dapat berupa trombosis atau vaskulitis.
Trombosis arteri atau vena renalis dapat terjadi: pada neonatus yang mengalami
kateterisasi arteri umbilikalis, diabetes melitus maternal, asfiksia dan kelainan jantung
bawaan sianotik. Pada anak besar kelainan vaskular yang menyebabkan GGA
ditemukan pada pasien sindrom hemolitik uremik (SHU). SHU adalah penyebab
GGA intrinsik tersering yang dikarenakan kerusakan kapiler glomerulus, penyakit ini
paling sering menyertai suatu episode gastroenteritis yang disebabkan oleh strain
enteropatogen Escherichia coli (0157:H7), organisme ini menyebarkan toksin yang
disebut verotoksin yang tampaknya diabsorbsi dari usus dan memulai kerusakan sel
endotel.(21) Pada SHU terjadi kerusakan sel endotel glomerulus yang mengakibatkan
terjadinya deposisi trombus trombosit-fibrin. Selanjutnya terjadi konsumsi trombosit,
kerusakan sel darah merah eritrosit yang melalui jaring-jaring fibrin dan obliterasi
kapiler glomerulus, kelainan ini disebut mikroangiopati. Kelainan vaskuler yang lain
yang dapat terjadi adalah vaskulitis.
3. Kelainan glomerulus
GGA karena kelainan glomerulus dapat ditemukan pada:
1. Glomerulonefritis akut pasca streptokok (GNAPS)
2. Glomerulonefritis membranoproliferatif tipe 2 (dense deposit)
3. Glomerulonefritis kresentik idiopatik
4. Sindrom Goodpasture
Pada GNAPS terjadi pada <1% pasien dan disebabkan karena menyempitnya kapiler-
kapiler glomerulus, terhimpit oleh proliferasi sel mesangial dan sel endotel kapiler
sendiri.
4 Kelainan interstisial
Ditemukan pada:
57
1. Nefritis interstisial akut misalnya pada pasien artritis reumatoid juvenil atau
pemakaian obat-obat
2. Pielonefritis akut. Lebih sering ditemukan pada neonatus dan sering disertai sepsis.
5 Anomali kongenital
Anomali kongenital yang dapat menyebabkan GGA ialah:
Agenesis ginjal bilateral
Ginjal hipoplastik
Ginjal polikistik infantil
Terjadinya GGA karena jumlah populasi nefron yang sedikit atau tidak ada sama
sekali.
GGA pasca renal
Hambatan aliran urin dapat terjadi pada berbagai tingkat, dari pelvis renalis hingga uretra
dan dapat merupakan manifestasi dari malformasi kongenital, obstruksi intrinsik atau
kompresi ekstrinsik dari traktus urinarius, dan neurogenic bladder. GGA pasca renal
terjadi ketika obstruksi melibatkan kedua ginjal atau satu ginjal pada orang dengan satu
ginjal. Patofisiologi GGA pasca renal adalah multifaktor, melibatkan peningkatan
tekanan hidrostatik pada ruang bowman, diikuti oleh perubahan aliran darah kapiler.
Hasil akhir adalah penurunan filtrasi glomerulus. Mirip dengan GGA prarenal, kerusakan
parenkim ginjal dapat minimal, dan tergantung dari lamanya obstruksi berlangsung serta
sifat kepenuhan obstruksi. GGA pasca renal biasanya reversibel apabila dikenali dan
dikoreksi secara dini.
Adaptasi fungsional ginjal terhadap obstruksi terjadi sejalan dengan waktu. Pada stadium
awal, aliran darah ginjal biasanya meningkat walaupun GFR dan volume urin menurun.
Osmolalitas urin dapat tinggi dengan konsentrasi natrium urin yang rendah seperti yang
terlihat pada GGA prarenal. Stadium ini berlangsung cepat dan sering tidak dikenali.
Stadium akhir ditandai dengan penurunan aliran darah ke ginjal dan disfungsi tubular
sehingga menghasilkan urin yang encer dengan peningkatan konsentrasi natrium.
Hilangnya obstruksi pada fase awal GGA dapat mengakibatkan diuresis yang berlebihan,
58
disini berperan faktor intrinsik dalam ginjal dan juga akibat penumpukan cairan pada saat
oligo/anuria. Makin lama obstruksi makin sedikit kemungkinan GFR untuk pulih
kembali. Obstruksi kurang dari 7 hari sangat mungkin dapat mengalami perbaikan GFR
secara penuh, tetapi lebih lama kemungkinan ini bertambah sedikit. Bukti yang ada saat
ini menunjukkan bahwa obstruksi jagka pendek (72 jam) ternyata sudah menimbulkan
kerusakan permanen pada nefron, dan pulihnya GFR kembali normal adalah akibat dari
hiperfiltrasi nefron yang masih sehat. Tergantung pada derajat dan durasi obstruksi,
pengeluaran urin dapat bervariasi dari tidak sama sekali sampai beberapa liter per hari.
Tetapi pengeluaran urin saja tidak dapat dipakai untuk membedakan GGA pascarenal
dari GGA prarenal dan renal/intrinsik.
Di Indonesia GGA pascarenal didapat biasanya adalah akibat dari kristal jengkol
(intoksikasi jengkol).
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang disajikan mungkin didominasi atau dimodifikasi oleh penyakit
pencetus. Temuan-temuan klinis yang terkait dengan gagal ginjal meliputi pucat
(anemia), penurunan curah urin, edema (garam dan air berlebihan), hipertensi, muntah
dan letargi (ensefalopati uremik). Komplikasi GGA meliputi kelebihan beban volume
dengan gagal jantung kongestif dan edema paru, aritmia, perdarahan saluran cerna yang
disebabkan oleh ulkus stres atau gastritis, kejang-kejang, koma, dan perubahan perilaku.
GGA prarenal tipe iskemik yang tidak ditanggulangi dengan segera akan menyebabkan
kerusakan epitel tubulus. Mula-mula terjadi nekrosis tubular akut dengan lesi yang tidak
merata patchy yang bersifat reversibel. Bila berlangsung lebih lama dapat terjadi nekrosis
korteks ginjal (renal cortical necrosis) yang bersifat irreversibel.
Untuk membedakan apakah GGA yang terjadi masih bersifat prarenal (belum ada
kerusakan sel tubulus) atau sudah bersifat renal (nekrosis tubular akut) dapat dilakukan
beberapa pemeriksaan. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk melihat apakah sel-sel
tubulus masih bisa berfungsi baik atau tidak yaitu dalam penyerapan air dan garam.
Pemeriksaan ini harus dilakukan sebelum pemberian diuretika.
59
Tabel 4. Indeks Urin pada gagal ginjal akut
Pemeriksaan Prerenal Intrinsik
BUN/Kreatinin
BJ urin
Osmolalitas urin
Natrium urin (mEq/L)
Fraksi ekskresi Na
Indeks gagal ginjal
U/P Ureum
U/P Kreatinin
U/P Osmolalitas >20
4. Menyingkirkan GGA pasca renal
Kemungkinan adanya GGA pasca renal perlu disingkirkan sejak awal, selain dari
riwayat penyakit misal makan jengkol, keluhan adanya batu kemih maka pemeriksaan
ultrasonografi (USG) ginjal dan saluran kemih sangat membantu menegakkan
diagnosis. Dengan USG dapat dilihat dilatasi sistem pelviokalises. Pada beberapa
penderita intoksikasi jengkol yang disertai GGA dan sempat dilakukan pemeriksaan
USG jelas terlihat adanya pelebaran kalises yang kemudian menghilang setelah GGA
dapat diatasi.
Dahulu dianjurkan pemeriksaan pielografi intravena (PIV) dengan kontras ganda
untuk melihat adanya obstruksi, tetapi dengan adanya USG pemeriksaan ini sudah
tidak lagi dianjurkan karena bahan kontras tersebut dapat menyebabkan GGA.
Diagnosis
1. Anamnesa
Dalam anamnesis perlu dicari faktor-faktor yang menyebabkan GGA prarenal, renal dan
pasca renal. Riwayat muntah-berak 1-2 hari sebelumnya menunjukkan kearah GGA
60
prarenal atau sindrom hemolitik uremik. Sakit tenggorok 1-2 minggu sebelumnya, atau
ada koreng-koreng di kulit disertai kencing merah menunjukkan kearah GNA pasca
streptokok. Adanya riwayat sering panas, ruam kulit, artritis menunjukan kearah lupus
eritematosus sistemik (SLE) atau vaskulitis. Pemakaian obat-obatan sebelumnya perlu
diteliti untuk mencari adanya obat nefrotoksik sebagai penyebab GGA. Di Indonesia
perlu ditanyakan apakah makan jengkol beberapa hari sebelumnya yang disusul dengan
kencing berdarah dan sangat nyeri, untuk mencari kemungkinan GGA pascarenal oleh
karena keracunan jengkol. Demikian pula riwayat infeksi saluran kemih dan keluarnya
batu memikirkan kearah GGA pascarenal.
Pada GGA perlu diperhatikan betul banyaknya asupan cairan (input), kehilangan cairan
(output) melalui urin, muntah, diare, keringat berlebihan, dan lain-lain, serta pencatatan
berat badan pasien. Defisit (keluar lebih banyak dari masuk) menunjukkan kehilangan
cairan, yang apabila berlebihan dapat mengurangi volume cairan tubuh. Perlu
diperhatikan kemungkinan kehilangan cairan ke ekstravaskular (redistribusi) seperti pada
peritonitis, asites, ileus paralitik, edema anasarka, trauma luas (kerusakan otot atau crush
syndrome). Riwayat penyakit jantung, gangguan hemodinamik, adanya penyakit sirosis
hati, hipoalbuminemia, alergi yang mengakibatkan penurunan volume efektif perlu selalu
ditanyakan. Pada neonatus GGA dicurigai bila bayi tidak kencing dalam 24-48 jam pasca
lahir.
GGA pascarenal sering terjadi pada neonatus dengan maformasi kongenital seperti
striktur uretra, katup uretra posterior, atau neurogenic bladder. Riwayat ibu dengan
oligohidramnion terkadang ada. Neonatus dengan obstruksi saluran kemih dapat tampak
normal dengan pengurangan atau bahkan peningkatan jumlah urin. Pemeriksaan fisik
dapat dijumpai kandung kemih yang teraba atau ginjal yang membesar. Derajat
penyembuhan tergantung dari luasnya kerusakan parenkim dan derajat obstruksi yang
telah terjadi in utero.
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan kesadaran menurun sampai koma bila GGA
61
telah berlangsung lama. Pasien umumnya menunjukkan pernafasan yang cepat dan dalam
(Kussmaul) karena adanya asidosis metabolik. Pada pasien GGA berat dapat ditemukan
sesak nafas yang hebat karena menderita gagal jantung atau edema paru. Hipertensi
sering ditemukan akibat adanya overload cairan.
Tanda-tanda dehidrasi perlu dicari karena merupakan penyebab GGA pra-renal. Bila ada
pasien ditemukan oliguria, takikardia, mulut kering, hipotensi ortostatik kemungkinan
menyebabkan GGA prarenal. Pada pemeriksaan fisik perlu dicari tanda-tanda penyakit
sistemik multiorgan seperti lupus eritematosus sistemik yaitu dengan memeriksa kulit,
sendi, kelenjar getah bening. Pembesaran ginjal dapat ditemukan bila penyebabnya ginjal
polikistik atau multikistik displastik atau hidronefrosis (uropati obstruktif). Retensi urin
dengan gejala vesika urinaria yang teraba membesar menunjukkan adanya sumbatan
dibawah vesika urinaria antara lain katup uretra posterior.
Penatalaksanaan gagal ginjal akut
GGA pra-renal
Pada GGA pra-renal terapi tergantung etiologinya. Pada keadaan tertentu perlu dilakukan
pengukuran tekanan vena sentral (CVP=Central Venous Pressure) untuk evaluasi
hipovolemia.
CVP normal = 6-20 cmH2O. Bila CVP <5cmH2O menunjukkan adanya hipovolemia.
CVP juga dipakai untuk memantau hasil pengobatan, apakah cairan yang telah diberikan
telah mencukupi.
Jenis cairan tergantung etiologi hipovolemia. Pada gastroenteritis diberikan Ringer Laktat
atau Darrew glukosa sesuai protokol. Pada syok hemoragik diberikan transfusi darah.
Pada syok yang terjadi pada sindrom nefrotik akibat hipoalbuminemia diberikan infus
albumin atau plasma. Pada dehidrasi yang tidak jelas sebabnya sebaiknya diberikan
Ringer Laktat 20 ml/kgBB dalam waktu 1 jam. Biasanya terjadi diuresis setelah 2-4 jam
pemberian terapi rehidrasi.
GGA pasca renal
Bila ditemukan GGA pasca renal pada USG maka perlu ditentukan lokalisasi obstruksi
62
dengan pielografi antegrad atau retrograd. Tindakan bedah tergantung pada situasi, dapat
bertahap dengan melakukan nefrostomi dulu untuk mengeluarkan urin dan memperbaiki
keadaan umum atau segera melakukan pembedahan definitif dengan menghilangkan
obstruksinya.
GGA renal
Tujuan pengobatan pada GGA renal adalah mempertahankan homeostasis tubuh sambil
menunggu ginjal berfungsi kembali.
Pemantauan yang perlu dilakukan adalah:
1. Tanda-tanda vital: tensi, nadi, pernafasan, ritme jantung
2. pemeriksaan darah; Hb, Ht, trombosit
3. darah ureum dan kreatinin
4. elektrolit : K, Na, Cl, Ca, P dan asam urat
5. analisis gas darah
6. pengukuran diuresis
Terapi GGA renal dapat dibagi dua yaitu:
1. Terapi konservatif
2. Tindakan dialisis
Terapi Konservatif 21-26
1. Terapi cairan dan kalori
Pemberian cairan diperhitungkan berdasarkan insensible water loss (IWL)+ jumlah
urin 1 hari sebelumnya ditambah dengan cairan yang keluar bersama muntah, feses,
selang nasogastrik, dll. dan dikoreksi dengan kenaikan suhu tubuh setiap 1oC
sebanyak 12% berat badan.
Perhitungan IWL didasarkan pada caloric expenditure yaitu sebagai berikut;
Berat badan 0-10 kg: 100 kal/kgBB/hari
12-20kg: 1000 kal + 50 kal/kgBB/hari diatas 10 kgBB
20 kg : 1500 kal + 20 kal/kgBB/hari diatas 20 kgBB
Jumlah IWL = 25 ml per 100 kal
63
Secara praktis dapat dipakai perkiraan perhitungan sebagai berikut:
Neonatus = 50 ml/kgBB/hari
Bayi <1 tahun = 40 ml/kgBB/hari
Anak <5 tahun = 30 ml/kgBB/hari
Anak >5 tahun = 20 ml/kgBB/hari
Cairan sebaiknya diberikan per oral kecuali bila penderita sering muntah diberikan
infus.
Jenis cairan yang dipakai ialah:
Pada penderita anuria glukosa 10-20%
Pada penderita oligouria glukosa (10%)-NaCl = 3:1
Bila dipakai vena sentral dapat diberikan larutan glukosa 30-40%. Jumlah kalori
minimal yang harus diberikan untuk mencegah katabolisme ialah 400 kal/m2/hari.
2. Asidosis
Bila hasil pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan hasil asidosis metabolik,
dikoreksi dengan cairan natrium bikarbonat sesuai dengan hasil analisis gas darah
yaitu:
BE x BB x 0,3 (mEq)
Atau kalau hal ini tidak memungkinkan maka dapat diberikan koreksi buta 2-3
mEq/kgBB/hari. Bila terapi konservatif tetap berlangsung lebih dari 3 hari harus
dipertimbangkan pemberian emulsi lemak dan protein 0,5-1 g/kgBB/hari. Pemberian
protein kemudian dinaikkan sesuai dengan jumlah diuresis.
3. Hiperkalemia
Hiperkalemia perlu segera ditanggulangi karena bisa membahayakan jiwa penderita.
Bila kadar K serum 5,5-7,0 mEq/L perlu diberi kayexalat yaitu suatu kation exchange
resin (Resonium A) 1 g/kgBB per oral atau per rektal 4x sehari. Bila kadar K >7
mg/L atau ada kelainan EKG (berupa gelombang T yang meruncing, pemanjangan
64
interval PR dan pelebaran kompleks QRS),atau aritmia jantung perlu diberikan:
• Glukonas kalsikus 10% 0,5 ml/kgBB i.v. dalam 5-10 menit
• Natrium bikarbonat 7,5% 2,5 mEq/kgBB i.v. dalam 10-15 menit
Bila hiperkalemia tetap ada diberi glukosa 20% per infus ditambah insulin 0,5
unit/gram glukosa sambil menyiapkan dialisis.
4. Hiponatremia
Hiponatremia <130 mEq/L sering ditemukan karena pemberian cairan yang
berlebihan sebelumnya dan cukup dikoreksi dengan restriksi cairan. Bila disertai
dengan gejala serebral maka perlu dikoreksi dengan cairan NaCl hipertonik 3% (0,5
mmol/ml). Pemberian Natrium dihitung dengan rumus;
Na (mmol) = (140 – Na) x 0,6 x BB
Diberikan hanya separuhnya untuk mencegah terjadinya hipertensi dan overload
cairan. Pendapat lain menganjurkan koreksi natrium cuku sampai natrium serum 125
mEq/L sehingga pemberian Na = (125 – Na serum) x 0,6 x BB.
5. Tetani
Bila timbul gejala tetani akibat hipokalsemia perlu diberikan glukonas kalsikus 10%
i.v. 0,5 ml/kgBB pelan-pelan 5-10 menit, dilanjutkan dengan dosis rumat kalsium oral
1-4 gram/hari. Untuk mencegah terjadinya tetani akibat koreksi asidosis dengan
bikarbonas natrikus, maka sebaiknya diberikan glukonas kalsikus i.v. segera sebelum
diberikan pemberian alkali.
6. Kejang
Bila terjadi kejang dapat diberikan Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB i.v. dan dilanjutkan
dengan dosis rumat luminal 4-8 mg/kgBB/hari atau difenilhidantoin 8 mg/kgBB.
Kejang pada GGA dapat disebabkan oleh gangguan elektrolit hipokalemia,
hipomagnesemia, hiponatremia atau karena hipertensi/uremia.
7. Anemia
65
Transfusi dilakukan bila kadar Hb < 6 g/dL atau Ht < 20%, sebaiknya diberikan
packed red cell (10 ml/kgBB) untuk mengurangi penambahan volume darah dengan
tetesan lambat 4-6 jam (lebih kurang 10 tetes/menit). Pemberian transfusi darah yang
terlalu cepat dapat menambah beban volume dengan cepat dan menimbulkan
hipertensi, gagal jantung kongestif, dan edema paru.
8. Hipertensi
Hipertensi ditanggulangi dengan diuretika, bila perlu dikombinasi dengan kaptopril
0,3 mg/kgBB/kali. Pada hipertensi krisis dapat diberikan klonidin drip atau nifedipin
sublingual (0,3 mg/kgBB/kali) atau nitroprusid natrium 0,5 mg/kgBB/menit.
9. Edema paru
Edema paru merupakan hal yang sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kematian
dalam waktu singkat, sebagai tindakan percobaan dapat diberikan furosemid i.v. 1
mg/kgBB disertai dengan torniket dan flebotomi. Disamping itu dapat diberikan
morfin 0,1 mg/kgBB.
Bila tindakan tersebut tidak memberi hasil yang efektif, dalam waktu 20 menit, maka
dialisis harus segera dilakukan.
10. Asam urat serum
Asam urat serum dapat meningkat sampai 10-25 mg%, kadang-kadang sampai 50 mg
%, untuk itu perlu diberi alupurinol dengan dosis 100-200 mg/hari pada anak umur
<8 tahun dan 200-300 mg/hari diatas 8 tahun.
Terapi dialisis
Indikasi dialisis pada anak dengan GGA ialah:
1) Kadar ureum darah >200 mg%
2) Hiperkalemia >7,5 mEq/L
3) Bikarbonas serum <12 mEq/L
4) Adanya gejala-gejala overhidrasi: edema paru, dekompensasi jantung dan
hipertensi yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan.
66
5) Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat: perdarahan, kesadaran
menurun sampai koma.
Dialisis dapat dilakukan dengan dialisis peritoneal atau hemodialisis. Dialisis
Peritoneal (DP) mudah dilakukan pada anak terutama bayi kecil, tidak memerlukan
alat yang canggih dan dapat dilakukan didaerah terpencil. Karena itu DP lebih banyak
dipakai pada anak. Hemodialisis (HD) mempunyai keuntungan dapat lebih cepat
memperbaiki kelainan biokimia dalam darah. Pada pasien yang baru saja mengalami
operasi intra abdomen, HD dapat dipakai sedangkan PD tidak.
Prognosis
Angka kematian pada gagal ginjal akut tergantung pada penyebabnya, umur pasien
dan luas kerusakan ginjal yang terjadi. Pada GGA yang disebabkan oleh sepsis, syok
kardiogenik, operasi jantung terbuka angka kematiannya diatas 50%. Tetapi pada
GGA yang disebabkan oleh glomerulonefritis, sindrom hemolitik uremik, nefrotoksik
berkisar antara 10-20%.
Pasien GGA non oligurik mempunyai laju filtrasi glomerulus dan volume urin yang
lebih tinggi daripada GGA oligurik, sehingga air, metabolit nitrogen, dan elektrolit
lebih banyak dikeluarkan melalui urin. Komplikasi yang ditemukan lebih sedikit,
periode azotemia lebih singkat, lebih jarang memerlukan dialisis dan mortalitas lebih
rendah.
Bila ditinjau dari pulihnya fungsi ginjal maka bila penyebabnya prarenal, nekrosis
tubular akut, nefropati asam urat dan intoksikasi jengkol umumnya fungsi ginjal akan
kembali normal. Tetapi bila penyebabnya glomerulonefritis progresif cepat, trombosis
vena renalis bilateral atau nekrosis korteks bilateral, fungsi ginjal biasanya tidak dapat
pulih kembali dan dapat berakhir menjadi gagal ginjal terminal.
67
4. STEVEN JOHNSON
Etiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun terhadap obat.
Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri,
parasit),
obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif),
makanan (coklat),
fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X),
lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
Iodiopatik pada 25%- 50% kasus.
Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum
masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian
obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif.
Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai
mempunyai hubungan kausal. Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah
golongan salisilat, sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.
Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan
keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.
Epidemiologi
Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum
multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular,
68
dermatostomatitis, dll. Istilah eritema multiforme yang sering dipakai sebetulnya hanya
merujuk pada kelainan kulitnya saja.
Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang tua. Lelaki
dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan.Tidak terdapat kecenderungan
rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang menghubungkan kekerapan yang
lebih tinggi pada jenis HLA tertentu.Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi yang
jarang, dengan insiden dilaporkan sekitar 2,6 untuk 6,1 kasus per juta orang per tahun. Di
Amerika Serikat, ada sekitar 300 diagnosa baru per tahun. Kondisi ini lebih umum pada
orang dewasa dibandingkan pada anak-anak. Wanita lebih sering terkena daripada pria,
dengan kasus yang terjadi pada rasio 0:58 (2:1) Insiden diperkirakan 2-3 kasus / juta
penduduk / tahun di Europe. Lebih umum di Kaukasia. Lebih umum pada wanita
dibandingkan males. Kebanyakan pasien berusia 10-30 tapi kasus telah dilaporkan pada
anak-anak semuda 3 bulan. Cenderung lebih umum pada musim dingin dan awal musim
semi.
Gejala Klinis:
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk,
korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat
bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir
seluruh tubuh.
Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna
merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada
membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan
meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran
utama.
Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak
mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea
yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor
pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan
inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang
69
diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi
mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
Sering dimulai dengan infeksi non-spesifik saluran pernapasan bagian atas, yang
mungkin berhubungan dengan demam, sakit tenggorokan, menggigil, sakit kepala,
arthralgia, muntah dan diare, dan malaise. Lesi mukokutan berkembang tiba-tiba dan
kelompok wabah terakhir dari 2-4 minggu. Lesi biasanya tidak pruritus. Keterlibatan
mulut mungkin cukup parah sehingga pasien tidak dapat makan atau minum. Keterlibatan
pernapasan dapat menyebabkan batuk produktif dari sputum purulen tebal. Pasien dengan
keterlibatan genitourinari mungkin mengeluh disuria atau ketidakmampuan untuk buang
air kecil.
Pemeriksaan umum: demam, takikardi, hipotensi. Perubahan tingkat kesadaran, kejang,
koma.
Kulit: Lesi dapat terjadi di mana saja, tapi paling umum mempengaruhi telapak tangan,
telapak, punggung tangan dan permukaan ekstensor. Ruam bisa berawal sebagai makula
yang berkembang menjadi papula, vesikel, bula, plak urtikaria, atau eritema konfluen.
Pusat lesi dapat vesikular, purpura, atau nekrotik. Lesi khas memiliki penampilan dari
target, yang dianggap patognomonik. Lesi dapat menjadi pecah dan kemudian bulosa.
Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. Lesi urtikaria biasanya tidak pruritus.
Keterlibatan mukosa: eritema, edema, peluruhan, terik, ulserasi dan nekrosis.
Mata: konjungtivitis, ulserasi kornea.
Genital: vulvovaginitis erosif atau balanitis.
Patofisiologi:
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan
oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan
IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions,
tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM,
IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
70
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat
merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel
obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab
tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di
daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi
komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.
Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di
kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta
produk inflamasi lainnya.
Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang
akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.
Penatalaksanaan
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadan umum berat sehingga terapi yang
diberikan biasanya adalah :
Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi
kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian
selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih
kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada
anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang
signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan
menyelamatkan nyawa.
Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat
(Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia
71
3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat
diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-
10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik
topikal.
Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya
klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
Pencegahan:
Mencegah penyebab yang mungkin mendasari. Sulit untuk mencegah serangan awal
sindrom Stevens-Johnson karena Anda tidak tahu apa yang akan memicu itu. Namun, jika
Anda memiliki sindrom Stevens-Johnson sekali, dan dokter Anda menentukan bahwa itu
disebabkan oleh obat, pastikan untuk menghindari bahwa obat dan orang lain dalam kelas
yang sama untuk mencegah serangan lain. Jika virus herpes menyebabkan reaksi Anda,
Anda mungkin perlu untuk mengambil obat antivirus setiap hari untuk mencegah
kekambuhan.
Komplikasi:
1. Secondary skin infeksi (selulitis). Ini infeksi akut pada kulit Anda dapat menyebabkan
komplikasi yang mengancam jiwa, termasuk meningitis - infeksi pada selaput dan
cairan di sekitar otak dan sumsum tulang belakang - dan sepsis.
2. Sepsis. Sepsis terjadi ketika bakteri dari infeksi besar memasuki aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh Anda. Sepsis adalah, cepat berkembang mengancam
kehidupan kondisi yang dapat menyebabkan shock dan kegagalan organ.
72
3. Masalah mata. Ruam disebabkan oleh sindrom Stevens-Johnson dapat menyebabkan
peradangan pada mata Anda. Pada kasus ringan, hal ini dapat menyebabkan iritasi
dan mata kering. Pada kasus yang parah, dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
yang luas dan jaringan parut di dalam mata Anda yang dapat mengakibatkan
kebutaan.
4. Kerusakan pada organ internal. Sindrom Stevens-Johnson dapat menyebabkan lesi
pada organ internal Anda, yang dapat mengakibatkan radang paru-paru Anda
(pneumonitis), jantung (miokarditis), ginjal (nefritis) dan hati (hepatitis).
5. Kerusakan kulit secara permanen. Ketika kulit Anda tumbuh kembali berikut sindrom
Stevens-Johnson, mungkin memiliki benjolan abnormal dan pewarnaan (pigmentasi).
Bekas luka mungkin tetap pada kulit Anda, juga. Masalah kulit yang langgeng dapat
menyebabkan rambut Anda rontok, dan kuku kuku kaki Anda dan mungkin tidak
tumbuh normal.
Prognosis
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila
terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis. SJS yang tepat
(dengan kurang dari 10% dari luas permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian
sekitar 5%. Risiko kematian dapat diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN,
yang membutuhkan sejumlah indikator prognostik ke dalam jumlah. Hasil lainnya
termasuk kerusakan organ / kegagalan, kornea menggaruk, dan kebutaan.
73
5. URTIKARIA
Definisi
Urtikaria atau dikenal juga dengan “hives” adalah kondisi kelainan kulit berupa
reaksi vaskular terhadap bermacam-macam sebab, biasanya disebabkan oleh suatu reaksi
alergi, yang mempunyai karakteristik gambaran kulit kemerahan (eritema) dengan sedikit
oedem atau penonjolan (elevasi) kulit berbatas tegas yang timbul secara cepat setelah
dicetuskan oleh faktor presipitasi dan menghilang perlahan-lahan. Dalam istilah awam
lebih dikenal dengan istilah “kaligata” atau “biduran”. Meskipun pada umumnya
penyebab urtikaria diketahui karena rekasi alergi terhadap alergen tertentu, tetapi pada
kondisi lain dimana tidak diketahui penyebabnya secara signifikan, maka dikenal istilah
urtikaria idiopatik. 20
Anamnesis
- Tanyakan tentang faktor presipitan, seperti panas, dingin, tekanan, aktivitas berat,
cahaya matahari, stres emosional, atau penyakit kronik
(misalnya, hipertiroidisme, rheumatoid arthritis, SLE,
polimiositis, amiloidosis, polisitemia vera, karsinoma, limfoma).
- Tanyakan tentang penyakit lain yang dapat menyebabkan pruritus, seperti
diabetes mellitus (DM), insufisiensi ginjal kronik, sirosis bilier primer, atau
kelainan kulit nonurtikaria lainnya (misalnya, eczema, dermatitis kontak).
74
- Tanyakan tentang riwayat angioedema pada keluarga dan pribadi, dimana
urtikaria pada jaringan yang lebih dalam dan dapat mengancam nyawa jika
mengenai laring dan pita suara.
Untuk urtikaria akut, tanyakan tentang kemungkinan pencetus/presipitan, seperti di
bawah ini:
- Penyakit sekarang (misalnya, demam, nyeri tenggorokan, batuk, pilek, muntah,
diare, nyeri kepala)
- Pemakaian obat-obatan meliputi penisilin, sefalosporin, sulfa, diuretik,
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), iodida, bromida, quinidin,
chloroquin, vancomycin, isoniazid, antiepileptic agents, dll.
- Intravenous media radiokontras
- Riwayat bepergian (amebiasis, ascariasis, strongyloidiasis, trichinosis, malaria)
- Makanan (eg, kerang, ikan, telur, keju, cokelat, kacang, tomat)
- Pemakaian parfum, pengering rambut, detergen, lotion, krim, atau pakaian
- Kontak dengan hewan peliharaan, debu, bahan kimia, atau tanaman
- Kehamilan (biasanya terjadi pda trimester ketiga dan biasanya sembuh spontan
segera setelah melahirkan)
- Kontak dengan bahan nikel (ex, perhiasan, kancing celana jeans), karet (ex,
sarung tangan karet, elastic band), latex, dan bahan-bahan industri
- Paparan panas atau sinar matahari
- Aktivitas berat
Pemeriksaan Fisik
Urtikaria mempunyai karakteristik ruam kulit pucat kemerahan dengan elevasi
kulit, dapat linier, annular (circular), atau arcuate (serpiginous). Lesi ini dapat terjadi
pada daerah kulit manapun dan biasanya sementara dan dapat berpindah.
- Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang memungkinkan menjadi
presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi mengancam nyawa. Di antaranya :
o Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada anak-anak
75
o Angioedema pada bibir, lidah, atau laring
o Skleral ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang mengindikasikan adanya
hepatitis atau penyakit kolestatik hati
o Pembesaran kelenjar tiroid
o Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma
o Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit jaringan
penyambung, rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematosus
(SLE)
o Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau bronchospasm
(asthma)
o Extremitias untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau jamur
Manifestasi Klinis 21
Manifestasi klinis urtikaria yaitu
1. berupa munculnya ruam atau lesi kulit berupa biduran yaitu kulit kemerahan dengan
penonjolan atau elevasi berbatas tegas dengan batas tepi yang pucat disertai dengan
rasa gatal (pruritus) sedang sampai berat, pedih, dan atau sensasi panas seperti
terbakar.
2. Lesi dari urtikaria dapat tampak pada bagian tubuh manapun, termasuk wajah, bibir,
lidah, tenggorokan, dan telinga. Diameter lesi dapat bervariasi dari sekitar 5 mm (0,2
inchi) sampai dapat sebesar satu piring makan. Ketika proses oedematous meluas
sampai ke dalam dermis dan atau subkutaneus dan lapisan submukosa, maka ia
disebut angioedema.
3. Angioedema umumnya mengenai wajah atau bagian dari ekstremitas, dapat disertai
nyeri tetapi jarang pruritus, dan dapat berlangsung sampai beberapa hari. Keterlibatan
bibir, pipi, dan daerah periorbita sering dijumpai, tetapi angioedema juga dapat
mengenai lidah dan faring. Lesi individual urtikaria timbul mendadak, jarang
persisten melebihi 24-48 jam, dan dapat berulang untuk periode yang tidak tentu.
ANGIOEDEMA HEREDITER DAN DIDAPAT
76
Angioedema herediter merupakan kelainan yang diturunkan secara dominan yang
ditandai dengan serangan berulang/rekuren angioedema yang melibatkan kulit dan
membran mucus saluran respirasi dan gastrointestinal. Terdapat defisiensi fungsional dari
inhibitor komponen first activated dari sistem komplemen (C1INH). Angioedema didapat
dengan deplesi C1INH mempunyai dua bentuk. Satu berhubungan dengan keganasan,
yaitu limfoma sel B dan autoantibodi terhadap protein. Bentuk yang lain berhubungan
dengan autoantibodi secara langsung melawan molekul C1INH. Kompleks gejala klinis
yang mirip dengan angioedema herediter dan mempunyai gambaran X-linked inheritance
telah dilaporkan pada banyak wanita dengan angioedema tanpa urtikaria dan dengan
oedem laring dan nyeri abdomen. Kadar dan fungsi C4 dan C1INH adalah normal.
Bentuk estrogen-dependent dari angioedema yang mirip dengan angioedema herediter
telah dilaporkan pada satu keluarga dengan tujuh anggota keluarga yang terkena dalam
tiga generasi, menunjukkan gambaran autosomal dominant inheritance. Gambaran klinis
diantaranya angioedema tanpa urtikaria, oedem laring, dan nyeri abdomen dengan
muntah-muntah. Serangan dapat terjadi selama kehamilan dan dengan pemberian
estrogen eksogen. 21
Faktor-faktor Presipitan 22
Urtikaria umumnya sering dicetuskan oleh beberapa faktor presipitan di bawah ini :
1. Obat-obatan atau Bahan kimia.
Penisilin dan derivatnya kemungkinan merupakan penyebab obat paling sering
dari urtikaria akut.
2. Makanan.
Makanan merupakan penyebab yang umum dari urtikaria akut. Terutama adalah
makanan seafood, sedangkan makanan lainnya yang sering dilaporkan adalah
strawberry, cokelat, kacang, keju, telur, gandum, dan susu.
3. Gigitan dan sengatan serangga.
Gigitan serangga, sengatan nyamuk, kutu, atau laba-laba, dan kontak dengan
ngengat, lintah, dan ubur-ubur dapat menyebabkan timbulnya urtikaria.
4. Agen Fisik.
77
Urtikaria juga dapat merupakan akibat dari paparan panas, dingin, radiasi, dan
cidera fisik.
5. Inhalan.
Nasal spray, insect spray, inhalasi dari debu, bulu-bulu binatang atau karpet, dan
serbuk merupakan beberapa faktor pencetus melalui inhalasi.
6. Infeksi.
Adanya fokus infeksi sering dipertimbangkan, cepat atau lambat, pada kasus
kronik, dan pada penyebab yang tidak biasa. Sinus, gigi geligi, tonsil, kandung
empedu, dan saluran genitourinaria sebaiknya diperiksa.
7. Penyakit dalam.
Urtikaria dapat timbul pada penyakit hati, parasit usus, kanker, demam rematik,
dan lainnya.
8. Psikis.
Setelah semua penyebab urtikaria kronik telah disingkirkan, masih terdapat
sejumlah kasus yang muncul berhubungan dengan stress atau nervous, cemas,
atau kelelahan.
9. Sindroma Urtikaria Kontak.
Respon yang tidak lazim ini dapat diakibatkan karena kontak antara kulit dengan
obat-obatan, bahan kimia, makanan, serangga, hewan, dan tanaman.
Epidemiologi
Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai. Usia, ras, jenis kelamin,
pekerjaan, lokasi geografik, dan musim dapat menjadi agen predisposisi bagi urtikaria.
Berdasarkan data dari National Ambulatory Medical Care Survey dari tahun 1990 sampai
dengan 1997 di USA, wanita terhitung 69% dari semua pasien urtikaria yang datang
berobat ke pusat kesehatan. Distribusi usia paling sering adalah 0-9 tahun dan 30-40
tahun. Urtikaria disebut akut jika berlangsung kurang dari 6 minggu. Paling sering
episode akut pada anak-anak adalah karena reaksi merugikan atau efek samping dari
makanan atau karena penyakit-penyakit virus. Episode urtikaria yang persisten melebihi
78
6 minggu disebut kronik dan paling sering adalah urtikaria idiopatik atau urtikaria yang
disebabkan karena autoimun. Sekitar 50% pasien dengan urtiakria sendirian tanpa lesi
kulit lainnya dapat bebas dari lesi dalam 1 tahun, 65% dalam 3 tahun, dan 85% dalam 5
tahun; kurang dari 5% lesi hilang lebih dari 10 tahun.
Pemeriksaan Penunjang
. Serum hypocomplementemia tidak tampak dalam urtikaria kronik idiopatik, dan
berarti kadar serum IgE normal.
Cryoprotein sebaiknya dilihat pada pasien dengan acquired cold urticaria. Tes
antinuclear antibody sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien dengan solar urticaria.
Autoantibodi terhadap thyroglobulin dan peroxidase dapat ditemukan pada individu
dengan penyakit tiroid autoimun dan urtikaria/angioedema; skrining rutin pada pasien-
pasien dengan urtikaria kronik untuk autoimunitas tiroid dianjurkan oleh beberapa
peneliti tetapi tidak oleh lainnya. Penilaian serum complement protein dapat membantu
dalam mengidentifikasi pasien-pasien dengan urticarial venulitis, juga pada mereka yang
dengan bentuk defisiensi C1INH herediter dan didapat.
Biopsi kulit dari lesi urtikaria kronik sebaiknya dilakukan hanya untuk
mengidentifikasi urticarial venulitis. Terdapat sedikit peran untuk prick skin tes rutin atau
radioallergosorbent test (RAST) dalam diagnosis dari specific IgE-mediated antigen
sensitivity pada urtikaria kronik. Bahan-bahan inhalan jarang menyebabkan urtikaria, dan
food skin test mungkin sulit untuk menginterpretasikan. Tes-tes untuk obat-obatan
terbatas pada penisilin tetapi tidak dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan
dermographism. RAST sebaiknya disediakan bagi mereka yang memiliki kontraindikasi
terhadap tes kulit atau tidak tersedia. Penggunaan serum autologus skin tes untuk melihat
autoantibodi terhadap FceRIa atau IgE masih merupakan teknik yang diteliti.
Pelepasan histamin dari basofil perifer telah mendukung diagnosis anaphylactic
sensitivity terhadap beberapa antigen, dimana di antaranya pollen dan racun serangga,
dan mungkin mengindikasikan adanya autoantibody FceRIa, tetapi teknik ini juga masih
diteliti.
Patogénesis 23
79
Sel mast adalah sel efektor utama pada kebanyakan bentuk urtikaria, meskipun
tipe-tipe sel lainnya juga dapat terlibat. Sel mast kutaneus melepaskan histamin dalam
respon terhadap C5a, morfin, dan kodein. Neuropeptida substansi P (SP), vasoactive
intestinal peptide (VIP), dan somatostatin, neurokinin A dan B, bradikinin, dan calcitonin
gene–related peptide (CGRP), kesemuanya dapat mengaktivasi sel-sel mast untuk
mensekresi histamin. Tidak semua produk biologik potensial tersebut diproduksi ketika
sel mast kutaneus terstimulasi. Permeabilitas vaskuler di kulit diakibatkan secara
predominan oleh reseptor histamin H 1, meskipun reseptor histamin H 2 juga dapat
berperan. Urtikaria disebabkan karena pelepasan histamin, bradikinin, leuketrien C4,
prostaglandin D2, dan substansi vasoaktif lainnya lainnya dari sel mast dan basofil di
kulit. Substansi-substansi tersebut menyebabkan ekstravasasi cairan ke kulit,
mengakibatkan timbulnya lesi urtikaria. Intensitas pruritus dari urtikaria adalah hasil dari
pelepasan histamin ke kulit. Aktivasi reseptor histamin H1 pada sel-sel endotel dan otot
polos menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Sedangkan aktivasi reseptor
histaminH2 menyebabkan vasodilatasi arteriol dan venula.
Proses ini disebabkan oleh beberapa mekanisme. Respon alergi tipe I IgE
diinisiasi oleh kompleks imun antigen-mediated IgE yang mengikat dan cross-link
reseptor Fc pada permukaan sel-sel mast dan basofil, hal tersebut menyebabkan
pelepasan histamin. Respon alergi tipe II dimediasi oleh sel-sel T sitotoksik,
menyebabkan deposit Ig, komplemen, dan fibrin di sekitar pembuluh darah. Hal ini
menyebabkan vaskulitis urtikaria. Penyakit kompleks imun tipe III berhubungan dengan
SLE dan penyakit autoimun lainnya yang dapat menyebabkan urtikaria.
Komplemen-mediated urtikaria disebabkan oleh infeksi bakteri dan virus, serum
sickness, dan reaksi transfusi. Reaksi transfusi urtikaria terjadi ketika substansi alergenik
dalam plasma dari produk darah donor bereaksi dengan antibodi Ig E resipien. Beberapa
obat-obatan (opioids, vecuronium, succinylcholine, vancomycin, dan lain-lain) juga agen-
agen radiokontras menyebabkan urtikaria karena degranulasi sel mast melalui mekanisme
mediasi non-Ig E. Urtikaria fisik pada beberapa stimulus fisik yang menyebabkan
urtikaria meliputi immediate pressure urticaria, delayed pressure urticaria, cold urticaria,
80
dan cholinergic urticaria. Terakhir, urtikaria kronik dimana penyebabnya tidak dapat
ditemukan secara signifikan, merupakan idiopatik.
Penatalaksanaan 22
Perawatan pre-hospital
Saat ibawa ke IGD untuk setiap pasien dengan tanda atau gejala reaksi alergi,
termasuk urtikaria, angioedema, atau syok anafilaksis adalah penting. Urtikaria
akut dapat progresif mengancam nyawa menjadi angioedema dan atau syok
anafilaksis dalam periode waktu yang sangan singkat, meskipun demikian
biasanya syok rapid-onset tanpa disertai urtikaria atau angioedema.
Jika angioedema tampak menyertai urtikaria, pemberian 0.3-0.5 mg epinefrin i.m
dapat diperlukan.
Jika bronkospasme muncul, nebulisasi bronkodilator seperti albuterol diperlukan.
Penilaian lainnya mungkin diperlukan, seperti EKG serial, monitoring tekanan
darah dan pulse oximetry; berikan kristaloid i.v jika pasien hipotensi; dan berikan
oksigen.
Diphenhydramine (25 mg IV atau 50 mg IM or PO) atau hydroxyzine (50 mg IM
atau PO) sebaiknya diberikan
Emergency Department Care
Prinsip terapi utama urtikaria adalah mengindari pajanan antigen.
Antihistamin, terutama yang menghambat reseptor H1, merupakan terapi lini pertama
urtikaria.
Diphenhydramin dan hydroxyzin adalah H1 blocker yang paling sering digunakan. Ia
beraksi lebih cepat daripada H1 blocker minimal sedatif. Obat-obatan ini berpotensi
sedative, dan pasien sebaiknya tidak diperbolehkan mengendarai kendaraan dalam 6
jam dari pemberian obat.
H1 blocker efektif dalam meredakan pruritus dan rash dari urtikaria akut.
H1 blocker sedative minimal yang lebih baru seperti fexofenadine, loratadine,
desloratadine, cetirizine, dan levocetirizine digunakan terutama dalam manajemen
urtikaria kronik dari pada akut. Akan tetapi, jika urtikaria akut persisten selama > 24-
81
48 jam, antihistamin dengan sedative minimal sebaiknya diberikan, dengan
suplementasi antihistamin sedative jika pruritus dan urtikaria sukar disembuhkan.
Antihistamin H2, seperti cimetidine, famotidine, dan ranitidine, dapat berperan ketika
dikombinasikan dengan antihistamin H1 pada beberapa kasus urtikaria. Antihistamin
H1 dan H2 diduga mempunyai efek sinergis dan sering memberikan hasil yang lebih
cepat dan resolusi lengkap urtikaria daripada pemberian H1 blocker sendirian,
terutama jika diberikan secara simultan secara i.v.
Doxepin adalah antidepressant dan antihistamin yang menghambat reseptor H1 dan
H2 dan mungkin efektif pada kasus yang sulit disembuhkan dalam dosis 25-50 mg
saat tidur atau 10-25 mg 3-4 kali per hari.
Glukokortikoid dapat menstabilisasi membran sel mast dan menghambat pelepasan
histamin lebih lanjut. Ia juga mengurangi efek inflamasi dari histamin dan mediator
lainnya.
o Keefektifan dari glukokortikoid pada urtikaria akut masih kontroversial.
Dalam satu kasus, urtikaria akut membaik lebih cepat pada kelompok yang
diterapi dengan prednisone daripada dengan kelompok yang diterapi dengan
placebo.
o Pada dewasa, prednisone 40-60 mg/hari selama 5 hari. Pada anak-anak, terapi
1 mg/kg/hari selama 5 hari. Tapering off dosis kortikosteroid tidak diperlukan
pada kebenyakan kasus urtikaria akut.
Keefektifan epinefrin pada urtikaria akut adalah kontroversial. Jika angioedema tampak
disertai dengan urtikaria, epinefrin 0.3-0.5 mg dapat diberikan secara i.m. Tetapi harus
diingat bahwa ACE-inhibitor–induced angioedema biasanya tidak berespon terhadap
epinefrin atau pada terapi umum lainnya, karena ia tidak dimediasi IgE.
Penggunaan methotrexate, colchicine, dapsone, indomethacin, dan hydroxychloroquine
dapat efektif dalam manajemen vasculitic urticaria. Pasien-pasien dengan urtikaria kronik
atau rekuren sebaiknya dirujuk ke ahli kulit untuk evaluasi dan manajemen lebih lanjut.
82
6. SLE
Pemeriksaan
Pemeriksaan labotarium yang dapat dilakukan :
Pada pasien dengan kecurigaan klinis tinggi atau titer ANA yang tinggi, pengujian
tambahan ditunjukkan. Hal ini biasanya meliputi evaluasi antibodi terhadap dsDNA,
melengkapi, dan ANA subtipe seperti Sm, SSA, SSB, dan ribonucleoprotein (RNP)
(sering disebut panel ENA).24
Etiologi
Lupus eritematosis sistemik atau SLE merupakan penyakit inflamasi multi sistem
yang tidak diketahui penyebabnya penyakit akut atau kronik dengan remisi dan
eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi.25 Atas dasar yang
belum jelas, pasien SLE membentuk imunoglobulin terhadap beberapa komponen badan
misalnya DNA. Hal ini merupakan tanda utama dari SLE. SLE merupakan prototipe
kelainan autoimun sistemik yang ditandai oleh sejumlah autoantibodi, khususnya antibodi
antinukleus (ANA).26 Faktor genetik ada kaitannya sekitar 10% diantaranya HCA, B8,
DR2,DR3,DRW52,DQ101,DQWL, dan DQW2, NULL untuk C4- banyak ditemui pada
pasien dan keluarganya. Faktor lingkungan seperti obat kontrasepsi oral diduga penyebab
83
timbulnya penyakit ini serta paparan sinar matahari juga mempengaruhi serangan
pendahuluan SLE, pada sekitar 1/3 penderita.
Epidemiologi
Prevalensi antara 50,8 per 100.000 orang umur diatas 17 tahun. Prevalensi pada
wanita kulit putih umur antara 18-65 tahun sekitar 1/1000 dan pada wanita kulit hitam
adalah 1/250. Pada antara umur tersebut diatas, wanita 10 kali lebih banyak dari pria. Di
antara anak-anak dan orang tua, penyakit tersebut pada laki-laki 2 kali daripada wanita.
Patofisiologi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) dimasukan dalam golongan penyakit
autoimun.27 Penyakit autoimun ini terjadi karena gangguan pada toleransi terhadap diri
sendiri (self-tolerance)−yaitu suatu keadaan nonresponsif yang normal terhadap antigen-
diri sendiri. Karena set T-helper mengendalikan imunitas seluler maupun
humoral,toleransi sel T-helper dianggap sangat penting bagi pencegahan penyakit
autoimun.28
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. Sel Th1
berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan
membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10
yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga
mengganggu cell-mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2
dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu
meningkatkan ekspresi sel T. Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat
seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas
sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T.
Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang
berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2,
mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal ini juga meningkatkan heat shock
protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada
permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun.
84
Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+
(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan
subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan
menyediakan signal bagi CD8+). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan
berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan
menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya
kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-,CD8-) mengaktifkan
sintesis dan sekresi autoantibodi. Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak
spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis
sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3
mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam
membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan.
Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di
dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme
yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi
komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan
berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui
mekanismenya terhadap kerusakan jaringan.
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun
pada limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan
juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor
FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen
komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan
antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai
macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang
menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya
keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura,
pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya.
85
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi
apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi
apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh
makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta
kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam
membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi
ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi
dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement
receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR)
yang menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah
ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang
akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh
makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh
gangguan Fas dan bcl-2.
Work Diagnosis
Kriteria diagnosis laboratorium SLE menurut the American Rheumatology
Association (ARA) antara lain adanya beberapa autoantibodi yaitu ANA, anti ds-DNA,
anti Sm dan antifosfolipid seperti ACA, LA, atau VDRL positif palsu. ANA sangat
sensitif untuk SLE karena dijumpai pada 90-100% penderita sehingga merupakan
pemeriksaan pertama pada penderita yang diduga SLE.29
ANA umumnya terdeteksi lewat imunofluoresensi tak langsung. Pola
imunofluoresensi ( misalnya bersifat homogen, perifer, bercak nukleoler)− walaupun
tidak spesifik− dapat menunjukan tipe antibodi yang beredar. ANA dapat pula ditemukan
pada kelainan autoimun (terdapat hingga 10% dari orang-orang normal) tetapi adanya
antibodi-antiDNA benang rangkap dan antibodi antigen anti-Smith merupakan petunjuk
kuat ke arah SLE.
Sebagian lainnya mempengaruhi pemeriksaan assay koagulasi in vitro
(memperpanjang masa pembekuan). Antibodi yang disebut antikoagulan lupus ini
sebenarnya menimbulkan efek prokoagulan in vivo sehingga terjadi trombosis vaskuler
rekuren, keguguran dan iskemia seberal (sindrom antibodi antifosfolipid sekunder). 26
86
Tabel 1 Kriteria American Rheumatism Association untuk penggolongan
Lupus Eritematosus Sistemik 25٭
No. Keterangan
1. Ruam malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus pada mulut
5. Artritis : nyeri membengkak, mengenai sendi perifer, tidak
erosif
6. Serositis : pleuritis, perikarditis
7. Gangguan ginjal : proteinuria (+3) atau 0,5 g/hari proteinuria
persisten atau silinder sel khas
8. Gangguan neurologi : kejang atau psikosis tanpa adanya
penyebab lain
9. Gangguan hematologi : anemia hemolitik, leukopenia,
limfopenia, atau trombositopenia
10. Preparat sel lupus eritematosus positif, titer antibodi anti-
DNA, titer antibodi anti-Smith abnormal, atau hasil uji
serologi sifilis positif palsu
11. Titer antibodi antinukleus abnormal tanpa berkaitan dengan
obat yang menyebabkan lupus eritematosus akibat obat
Ditemukan empat kriteria atau lebih secara berurutan atau secara simultan konsisten ٭
dengan diagnosis lupus eritematosus sistemik.
Diagnosis Banding
1. Dermatomiosis, karena sering ditemukan sklerosis pada jaringan-jaringan
ikat dan subkutis
2. Purpura trombositpenia oleh karena sering ditemukan lesi-lesi petekie dan
ekimosis di daerah lengan bawah
87
3. Artritis reumatika, oleh karena sering terjadi artritis dan artralgia 27
Atritis reumatoid pengertian penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama
mengenai sendi diartrodial. Termasuk penyakit autoimun dengan etiologi yang tidak
diketahui. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan
terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan
persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya
Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul,
yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan
deformitas sendi yang progresif yang menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini.
Walaupun faktor genetik, hormon sex, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh
kuat dalam menentukan pola morbiditas penyakit ini hingga etiologi AR yang
sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan pasti.
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama
mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umum nya bersifat simetris. Pada
kasus AR yang jelas diagnosis tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan tetapi pada
masa permulaan penyakit, seringkali gejala AR tidak bermanifestasi dengan jelas,
sehingga kadang kadang timbul kesulitan dalam menegakkan diagnosis.
Kriteria Diagnosis
Susunan kriteria tersebut berdasarkan 1987 Revised A.R.A. Criteria for Rheumatoid
Arthritis sebagai berikut :
1. Kaku pagi hari 5. Nodul reumatoid
2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih 6. Faktor reumatoid serum positif
3. Artritis pada persendian tangan 7. Perubahan gambaran radiologi
4. Artritis simetris
Penderita dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya kriteria 1
sampai 4 yang diderita sekurang kurangnya 6 minggu.
Penatalaksanaan
88
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan
benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi
remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit.
Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu.
Medical Mentosa 30
Tabel 2. : Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LESAntimalaria
Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO sebagai garam sulfat (maksimal 400 mg/hari)Kortiko-steroid
PrednisonDosis harian(1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersamamethylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu
Obat imuno-supresif Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3)Azathioprine 1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari
Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)Naproxen7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 500-1000 mg/hariTolmetin15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 1200-1800 mg/hariDiclofenac< 12 tahun : tak dianjurkan> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari
Suplemen Kalsium dan vitamin D Kalsium karbonat < 6 bulan : 360 mg/hari6-12 bulan : 540 mg/hari1-10 bulan : 800 mg/hari11-18 bulan : 1200 mg/hariCalcifediol< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu > 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu
Anti-hipertensiNifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari
89
Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari
Non-Medical Mentosa
1. Hindari sinar ultraviolet dan paparan sinar matahari untuk meminimalkan gejala
memburuk akibat photosensitivity.
2. Terapi Estrogen yang biasanya dihindari untuk mencegah flare penyakit;
kontrasepsi progesteron telah didorong. Namun, studi terbaru menyarankan
bahwa kontrasepsi oral tidak dapat dikaitkan dengan flare penyakit atau risiko
trombosis pada pasien dengan lupus ringan tanpa antifosfolipid antibodies.
3. Penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E
75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti
IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA.
4. Terapi antimalaria (hydroxychloroquine) telah ditunjukkan untuk
mencegah relaps dan meningkatkan mortality.
5. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan / atau angiotensin
reseptor blockers mungkin berguna pada pasien dengan penyakit ginjal.
6. Kalsium, vitamin D, dan bifosfonat profilaksis dapat mengurangi risiko
osteoporosis yang diinduksi glukokortikoid.
Pencegahan
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan.
Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga
juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet
yang spesifik untuk penderita SLE.Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan
pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar
UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah.
Komplikasi
90
Infeksi oportunistik dapat terjadi, paling sering pada pasien yang menerima terapi
imunosupresif kronis. Komplikasi lain yang kurang umum adalah osteonekrosis, terutama
bagian pinggul dan lutut setelah penggunaan dosis tinggi kortikosteroid berkepanjangan.
Lebih umum, penyakit aterosklerosis prematur dan infark miokard adalah komplikasi
indolen peradangan kronis.
Yang paling sering ditakutkan adalah jika pada ginjal dan jantung terjadi kelainan
sistemik. Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE
adalah infeksi yang disebabkan oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas
pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling banyak ditemukan dalam 5 tahun
pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang berkaitan dengan
inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas.Penyebab
peningkatan penyakit coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk
disfungsi endotelial, mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis,
dan dislipidemia yang berkaitan dengan penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari
SLE).
Prognosis
Kurang baik
Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal
ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari
beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates sebesar 17.5%-
69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival ratessebesar 83%-93%. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar
88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara
jangka panjang dan menetap.30
91
7. HIPERKOLESTROLEMIA
Kolesterol merupakan komponen penting dalam dinding sel sebagai prekursor
asam empedu dan hormon steroid. Hati mensintesis kolesterol. Síntesis kolesterol
terutama berasal dari asetil koenzim A. Pada kasus síndrome nefrotik, gejala
hiperkolesterolemia terjadi sekunder akibat síndrome nefrotik itu sendiri. Kadar albumin
yang rendah di dalam darah serta tekanan onkotik rendah menyebabkan peningkatan
síntesis lipoprotein lipid di hati. Seterusnya menyebabkan terjadi manifestasi peningkatan
kolesterol dalam darah yang disebut hiperkolesterolemia pada sindrom nefrotik.
Kebanyakan orang tidak mempunyai apa-apa gejala kolesterol tinggi. Ujian darah
adalah satu-satunya cara untuk memeriksa tahap kolesterol dalam darah. Jika tahap
kolesterol anda melebihi 200 mg/dL atau HDL di bawah 40, doktor mungkin akan
melakukan profil lipid puasa (uji yang dijalankan selepas berpuasa selama 12 jam).
Walaupun tahap kolesterol melebihi 200 mg/dl secara amnya dianggap tinggi, apa yang
dianggap selamat bagi setiap orang bergantung kepada sama ada seseorang individu itu
berisiko untuk dapat penyakit jantung atau telah menderita penyakit jantung.
Total cholesterol levels:
Desirable: di bawah 200 mg/dL
Borderline high: 200 – 239mg/dL
High: di atas 240mg/dL
92
LDL cholesterol levels:
Optimal untuk individu dengan penyakit jantung atau yang beresiko tinggi: < 70
mg/dL
Optimal untuk individu dengan risiko penyakit jantung: < 100mg/dL
Optimal: 100 – 129mg/dL
Borderline high: 130 – 159mg/dL
High: 160 – 189mg/dL
HDL cholesterol levels:
Poor: < 40 mg/dL
Acceptable: 40 - 59
Optimal: 60 atau lebih
PEMERIKSAAN LABORATORIUM: Pemeriksaan kadar kolesterol
Pemeriksaan kadar kolesterol dan lipoprotein dapat mengidentifikasi anak-anak
yang berada dalam kategori acceptable, borderline atau high. Pemeriksaan ini dianjurkan
pada anak-anak yang:
Memiliki orang tua atau kakek/nenek yang pada usia dibawah 55 tahun menderita
penyakit jantung koroner, menjalani pemeriksaan arteriografi koroner atau
didiagnosa menderita kelainan aterosklerosis koroner. Ini termasuk mereka yang
menjalani balon angioplasti atau coronary artery bypass surgery.
Memilki orang tua atau kakek/nenek yang pada usia dibawah dari 55 tahun
didiagnosa menderita infark miokard, angina pektoris, peripheral vascular
diseases, penyakit serebro vaskuler dan sudden death.
Memiliki orang tua dengan kadar kolesterol total melebihi 240 mg/dl.
Keluarga dengan kelainan kadar lipid.
Berada dalam kondisi medis yang mengarah kepada kemungkinan menderita
penyakit jantung koroner seperti obesitas, aktivitas fisik yang kurang, merokok,
diabetes, peningkatan tekanan darah, penyakit ginjal dan aktivitas tyroid yang
kurang.
Riwayat keluarga yang tidak diketahui
93
Pemeriksaan total kolesterol dapat dilakukan setiap 5 tahun pada anak dengan total
kolesterol kurang dari 170 mg/dl; sedangkan anak dengan total kolesterol antara 170-
199/100ml perlu dilakukan analisa lipoprotein yang difollow up secara reguler sesuai
dengan hasil analisa tersebut.15 Pemeriksaan yang dilakukan harus didasarkan pada
alasan mengapa pemeriksaan dikerjakan. Misalnya jika pemeriksaan pada anak dilakukan
karena orang tuanya memiliki kadar kolesterol total melebihi 240 mg/dl, maka
pemeriksaan awal yang dilakukan adalah kadar kolesterol total anak. Bila kadar ini
melebihi 200 mg/dl, barulah pemeriksaan analisa lipoprotein puasa dilakukan.
Sebaliknya, bila anak memiliki orang tua dengan diagnosa kelainan kardiovaskular
premature, pemeriksaan analisa lipoprotein puasa perlu dilakukan secara lengkap.
METABOLISME LIPID DAN PATOFISIOLOGI
Lipid plasma utama terdiri atas kolesterol, trigliserida, phosfolipid dan free fatty
acid. Namun karena lipid ini bersifat hidrofobik maka sirkulasinya dalam darah adalah
dalam bentuk kompleks lipid-protein atau lipoprotein. Plasma lipoprotein sendiri,
berdasarkan densitasnya, terdiri atas: kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. Komposisi dan
fungsi dari tiap lipoprotein ini berbeda-beda. Kandungan terbanyak dari LDL, misalnya,
adalah kolesterol (50%) dan phospolipid (25%), sedangkan kandungan terbanyak dari
HDL adalah protein (50%).
Metabolisme lipid dan lipoprotein pada dasarnya terbagi atas:
1. Extrahepatic pathway
Kolesterol dan free fatty acid yang masuk kedalam tubuh lewat asupan akan
diserap di intestinal mikrovili dimana mereka akan diubah menjadi kolesterol
ester dan trigliserida. Kedua zat ini kemudian dikemas dalam bentuk kilomikron
dan disekresi kedalam sistem limfatik dan memasuki sirkulasi sistemik. Dikapiler
jaringan lemak dan otot, trigliserida mengalami hidrolisis menjadi mono dan
diglyserida. Akibatnya, ukuran kilomikron menjadi berkurang dan karenanya
ditransfer menjadi HDL. Kilomikron yang tersisa, meskipun mengalami
penurunan volume, masih tetap mengandung kolesterol dan trigliserida yang
94
berpotensi menimbulkan atherogenik. Kilomikron ini kemudian dikeluarkan dari
sistem sirkulasi oleh hepar, meskipun sebagian kolesterol disekresi sebagai asam
empedu kedalam kantung empedu.
2. Endogenous pathway
Jalan ini dimulai dengan sintesa VLDL oleh hepar yang kemudian disirkulasikan
ke jaringan lemak dan otot. Trigliserida yang ada pada zat ini kemudian diambil
oleh lemak dan otot sekitar, sedangkan komponen permukaannya ditransfer
kebentuk HDL. Sekitar 50% dari VLDL dikeluarkan oleh hepar melalui LDL
reseptor. Selain itu, hepar juga dapat mengeluarkan LDL (suatu lipoprotein yang
mengandung cholesterol ester dan apoprotein B-100). HDL sendiri merupakan
suatu lipoprotein yang disintesa di hepar dan intestinum dan terdiri atas 50%
protein dan 20% kolesterol. HDL ini bersifat protektif terhadap aterosklerosis.
Figure 1
95
Sesaat setelah terjadinya peningkatan kadar LDL dan atau kolesterol, sejumlah
monosit akan melekat pada permukaan endotel arteri dan selanjutnya melakukan migrasi
kedalam ruangan subendotel. Setelah berbulan-bulan akan terjadi penumpukan kolesterol
dan makrofag dalam ruangan subendotel ini dan disebut foam cell. Foam sell yang
bertumpuk kemudian akan menimbulkan fatty streak. Sejalan dengan peningkatan kadar
kolesterol, sejumlah sel otot halus muncul pada permukaan subendotel. Sel otot halus ini
kemudian secara progresif memproduksi kolagen dan membentuk fibrous cap di atas inti
lemak dari lesi. Kolagen yang terbentuk secara terus menerus kemudian menimbulkan
bentuk athresclerotik yang disebut fibrous plaque.
Kestabilan plaque sangat menentukan apakah lesi aterosklerosis ini akan
menimbulkan kelainan kardiovaskuler. Plaque yang stabil merupakan hasil langsung dari
kemampuan sel otot halus untuk memproduksi kolagen dan membentuk fibrous cap.
Plaque yang stabil adalah plaque yang memiliki fibrous cap yang tebal yang
menghalangi inti lemak kontak dengan darah. Sedangkan plaque yang tidak stabil adalah
plaque yang mengandung inti lemak yang tebal atau banyak ditutupi oleh fibrous cap
yang tipis. Adanya flow shear stress, hipertensi dan hiperlipidemia akan mengiritasi atau
menimbulkan fissura/rupture dari plaque yang ada dan selanjutnya menimbulkan kondisi
aterogenik berupa aggregasi platelet dan trombus. Keadaaan ini menimbulkan sumbatan
atau obstruksi yang signifikan terhadap vaskularisasi koroner dan menimbulkan
manifestasi klinis penyakit kardiovaskuler.
ETIOLOGI
Secara umum, kadar kolesterol darah anak usia 2-19 tahun dapat dibagi atas:
1. Acceptable; yakni kadar total kolesterol kurang dari 170 mg/dl dan atau kadar LDL
kolesterol kurang dari 110 mg/dl.
2. Borderline; yaitu kadar total kolesterol antara 170-199 mg/dl dan atau kadar LDL
kolesterol antara 110-129 mg/dl.
3. High; yaitu kadar total kolesterol lebih 200 mg/dl dan atau kadar LDL kolesterol
lebih dari 130 mg/dl.
Anak-anak yang kadar kolesterolnya dikategorikan sebagai ‘high’ dapat diklassifikasikan
atas 2 jenis:
96
1. Hiperkolesterolemia sekunder.
Kadar hiperkolesterolemia yang terjadi pada kelainan ini disebabkan oleh
berbagai kelainan organik dan fungsional yang terjadi pada anak. Faktor-faktor
penyebab kelainan ini adalah:
a. Faktor eksogen: obat-obatan seperti kortikosteroid, antikonvulsan, beta bloker,
alkohol dan obesitas.
b. Gangguan endokrin dan metabolik: hipotiroidisme, diabetes mellitus,
hiperkalsemia idiopatik.
c. Penyakit obstruktif hepar: atresia biliaris dan sirosis hati.
d. Penyakit ginjal kronik : sindroma nefrotik.
e. Lain-lain: anoreksia nervosa, penyakit kolagen dan Klinifelter syndrome.
2. Hiperkolesterolemia primer.
Kriteria hiperkolesterolemia primer dapat ditegakkan apabila semua faktor
penyebab dari hiperkolesterolemia sekunder dapat disingkirkan. Kelainan ini
umumnya bersifat familiar dan karena itu skrining terhadap anggota keluarga perlu
dilakukan. Berdasarkan gambaran klinik dan penyebab kelainan ini, Fredrickson dan
Lees membagi jenis kelainan ini atas type I, IIa, IIb, III, IV dan V. Type IIa, yakni
terdapatnya peningkatan kadar LDL dan kolesterol, merupakan type yang paling
sering didapatkan pada anak. Type ini dapat dibedakan lagi menjadi:
a. Hiperkolesterolemia familial. Kelainan yang disebabkan oleh kekurangan reseptor
LDL ini dapat bersifat heterozigot dan homozigot. Pada jenis heterozigot, kadar
total kolesterol dan LDL biasanya mencapai 2-3 kali nilai normal dengan rata-rata
300 mg/100ml; sedangkan kadar LDL-nya lebih 160 mg/100 ml dengan rata-rata
240 mg/100ml. Pada jenis homozigot, kadar rata-rata kolesterol total dapat
mencapai 700-1000 mg/100 ml. Hal ini disebabkan oleh terdapatnya mutasi gen
hiperkolesterolemia familial.
b. Familial combined hyperlipidemia. Pada kelainan ini terjadi produksi berlebihan
dari apo B-100 oleh hepar dan karenanya terdapat peningkatan kadar trigliserida
pada anak (120-130 mg/dl) disertai kadar kolesterol total dan LDL yang lebih
rendah dari jenis hiperkolesterolemia familial atau bahkan normal. Kadar LDL
97
dapat bervariasi dari waktu ke waktu; demikian pula dengan kadar trigliserida
yang berfluktuasi berlawanan.
FAKTOR RESIKO
Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko seseorang untuk mempunyai
kolesterol yang tinggi. Walaupun sebahagian dari orang-orang tidak boleh diubah, ramai
yang boleh. Faktor-faktor risiko yang paling penting untuk kolesterol tinggi adalah
seperti berikut :
Berat badan berlebihan atau obese
Makan diet yang tinggi dalam asam lemak dan trans lemak tepu (yang terdapat
dalam makanan diproses dan goreng).
Kurang bersenaman
Mempunyai riwayat keluarga penyakit jantung
Tekanan darah tinggi
kencing manis
merokok
MANIFESTASI KLINIS
Biasanya kolesterol tinggi dalam darah tidak menunjukkan sebarang gejala atau
symptom, terutama pada fase awal. Satu-satunya cara untuk mengetahui bahwa tubuh
mengandung kadar kolesterol yang tinggi adalah melalui uji darah.
PENATALAKSANAAN
Anak-anak dengan kadar kolesterol-LDL acceptable hendaknya diberikan pendidikan
atau pemahaman mengenai pola makan yang baik yang dapat menghindari terjadinya
hiperlipidemia. Bagi mereka dengan kadar kolesterol-LDL yang dikategorikan sebagai
borderline, hendaknya diinformasikan mengenai risiko menderita kelainan
kardiovaskuler serta dapat dimulai diet yang diikuti oleh penatalaksanaan terhadap
faktor-faktor risiko. Bagi mereka yang digolongkan sebagai kolesterol-LDL high,
hendaknya dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan penyakit lain (kelainan tiroid,
ginjal dan hati) serta dilakukan diet yang diikuti oleh skrening terhadap anggota keluarga
98
Diet: Pengaturan diet ditujukan untuk mengurangi asupan kolesterol dan asam
lemak jenuh dan hal ini dibagi atas dua tahap. Tahap pertama adalah memberikan
diet sesuai dengan rekomendasi diet pada populasi umum yakni:
o asam lemak jenuh harus kurang 10% dari kalori total,
o total lemak tidak boleh melebihi 30% dari total kalori,
o kadar kolesterol harus kurang dari 300 mg perhari.
Karena dengan diet ini anak memperoleh sedikit kalori dari lemak maka mereka
harus memperoleh kalori yang cukup dengan mengkonsumsi buah-buahan, sayur-
sayuran, susu rendah lemak atau makanan kaya kalsium. Anak harus diberikan makanan
yang bervariasi luas untuk menjamin tercukupinya zat gizi yang diperlukan bagi proses
pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Bila dalam waktu 3 bulan diet tahap pertama tidak memberikan hasil, maka diet
tahap kedua harus dilakukan. Diet ini terdiri atas pengurangan kadar asam lemak jenuh
hingga kurang 7% dari kalori dan pengurangan asupan kolesterol hingga kurang dari 200
mg perhari. Secara bersamaan, zat gizi, vitamin dan mineral harus ditambahkan dalam
jumlah yang cukup guna untuk memperbaiki proses metabolisme dan pertumbuhan
tubuh.
Terapi medikamentosa:
Lovastatin
Indikasi: menurunkan kadar kolesterol total dan LDL pada pasien dengan
hiperkolesterolemia primer yang tidak dapat diatasi dengan diet atau tindakan non-
farmakologi lain, serta menurunkan kadar kolesterol pada pasien
hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia.
Kontraindikasi: pasien dengan penyakit hati aktif atau peningkatan serum
transaminase yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Dosis: Awal 20 mg/hari, diberikan bersamaan makan malam. Dapat ditingkatkan
sampai maksimal 80 mg 2x/hari dengan interval 4 minggu.
Efek samping: pusing, sakit kepala, konstipasi, diare, dispepsia, mual, ruam kulit,
nyeri abdomen, nyeri dada, gangguan penglihatan.
99
PROGNOSISJika penatalaksanaan cara hidup sihat dilakukan serta pengobatan pada pasien yang
familial hiperkolesterolemia dilakukan dengan baik, maka dapat mengurangi resiko
penyakit kardiovaskular.
100
8. GAGAL JANTUNG
I. Definisi
Gagal jantung ialah keadaan jantung yang tidak sanggup dipompakan darah secara
adekuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh, sedangkan venousfilling pressure cukup baik.
II. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan mengenai adanya sesak napas, kesulitan minum/makan,
bengkak pada kelopak mata dan/atau tungkai, gangguan pertumbuhan dan perkembangan
(pada kasus kronis), penurunan toleransi latihan, maupun keringat berlebihan di dahi.
III. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik, akibat respons kompensasi karena fungsi jantung yang menurun
maka akan tampak takikardia, irama galop, peningkatan rangsangan simpatis, keringat
dan kulit dingin/lembab, kardiomegali serta gagal tumbuh. Akibat bendungan pada vena
pulmonalis akan tampak takipnea, ortopnea, wheezing dan ronki pada auskultasi paru.
Akibat bendungan vena sistemik akan tampak peningkatan tekanan vena jugularis,
palpebra udem pada bayi, hepatomegali, udem tungkai pada anak.
IV. Epidemiologi 31
Pada penderita kelainan jantung bawaan, komplikasi gagal jantung terjadi 90% sebelum
umur 1 tahun, sedangkan sisanya antara umur 1-5 tahun. Penyebab gagal jantung pada
umur 5-15 tahun umunya kelainan jantung didapat.
V. Etiologi 8
Penyebab gagal jantung dapat digolongkan berdasarkan pada gangguan myocardial
performance akibat beban yang berlebihan pada jantung dan gangguan primer pada otot
jantung. Kedua penyebab ini dapat berdiri sendiri atau dalam kombinasi
101
VI. Patofisiologi 32
Walaupun patofisiologi gagal jantun belum jelas diketahui seluruhnya, tetapi penampilan
miokard (myocard performance) memegang peran yang paling penting. Penampilan
miolard tersebut bergantung pada akitvitas kontraktilitas miokard. Unsure dasar
kontraktilitas adaalah sarkomer. Tenaga kimiawi dapat diubah oleh otot jantung melalui
mekanisme yang rumit menjadi tnaga mekanik oleh pompa kalsium, troponin,
tropomiosin, adenosine trifosfatase, dan lain-lain.
Miokard bayi mempunyai tegangan otot yang lebih tinggi pada waktu istirahat pada
waktu istirahat daripada miokard orang dewasa, karena relative lebih sedikit mengandung
sarkomer dan relative lebih banyak air. Sebaliknya bila dirangsang, tegangan otot jantung
pada bayi kurang meningkat dibandingkan pada orang dewasa. Karena penampilan
miokard bayi dan orang dewasa sama, maka dapat dimengerti kalau kontraksi ventrikel
pada orang dewasa memberikan tenaga lebih pada perm “unit area” . terdapat 4 faktor
yang menentukan penampilan miokard, yaitu preload, afterload, kontraktilitas otot
jantung, serta frekuensi jantung.
Preload. Factor ini mempunyai hubungan yang erat dengan pengisian ventrikel, yang
dapat diketahui dengan mengukur isi diastolic akhir. Apabila terjadi peninggian alir balik,
berarti terjadi peninggian preload. Sesuai dengan mekanisme Frank Starling, maka akan
terjadi penambahan kekuatan denyut jantung untuk meningkatkan pengosongan ventrikel.
Pada keadaan beban volume yang meningkat ini, maka akan terjadi peninggian fraksi
ejeksi, curah jantung dan peak dp/dt (keepatan peningkatan tekanan ventrikel waktu
kontraksi).
Afterload. Yang dimaksud di sini adalah factor pembebanan pada daya pemendekan
serabut otot jantung. Beban tekanan pada ventrikel kiri pada anak besar dan orang dewasa
akan meninggikan fraksi ejeksi dan menyebabkan terjadinya hipertrofi ventrikel untuk
melawan beban tekanan. Tetapi pada bayi yang menderita stenosis aorta yang disertai
gagal jantung, terjadi penurunan fraksi ejeksi dan tidak terjadi peninggian isi diastolic
akhir ventrikel kiri.
Kontraktilitas miokardium. Kontraktilitas miokardium menggambarkan kecepatan dan
kekuatan kontraksi otot jantung untuk mengatasi preload. Penururnan kontraktilitas akan
102
menyebabkan penurunan dp/dt, fraksi ejeksi dan curah jantung; sebaliknya isi diastolic-
akhir akan tetap normal atau meningkat.
Frekuensi jantung. Pada peninggian frekuensi denyut jantung akan terjadi penurunan isi
diastolic-akhir. Umumnya takidisritmia akan menyebabkan penururnan fraksi ejeksi dan
curah jantung dan peninggian dp/dt.
VII. Mekanisme Adaptasi
Gejala klinis yang timbul ada kaitannya dengan beberapa mekanisme adaptasi yang
terkait pada gagal jantung, berupa:
Factor mekanis. Perubahan terjadi pada jantung sendiri untuk mengatasi beban volume
maupun beban tekanan, berupa hipertrofi dan dilatasi ventrikel. Hipertrofi ventrikel lebih
banyak disebabkan oleh pembesaran sel daripada hyperplasia sel. Terdapat
ketidakseimbangan antara oksigen dan jumlah kapiler yang ada, sehingga mengakibatkan
insufisiensi koroner relative. Hipertrofi ventrikel yang disebabkan oleh beban tekanan
akan lebih menunjukkan penambahan kontraktilitas dan tenaga pompa dibandingkan
dengan hipertrofi oleh beban volume. Dilatasi ventrikel yang timbul seseuai dengan
mekanisme Frank Starling untuk menambah isi diastolic, hingga menghasilkan isi
sekuncup yang lebih besar.
Factor biokimia. Gagal jantung akan menimbulkan perubahan produksi, penyimpanan
dan penggunaan energy. Mekanisme kontraksi miokard akan terganggu karena ada
perubahan pada aktivitas adenosine-trifosfatase (ATP-ase) miofibrilar, serta gangguan
pada pompa kalsium.
Mekanisme adrenergic. System saraf autonom berperan pula pada gagal jantung. Pada
orang dewasa terjadi penurunan cadangan norepinefrin karena terdapat pengurangan
tirosin hidroksilase, suatu enzim untuk sintesis norepinefrin. Peningkatan ekskresi hasil
metabolism katekolamin ditemukan pada bayi yang menderita gagal jantung.
Peran eritrosit. Terdapat pergeseran kurve disosiasi oksihemoglobin ke kanan, sehingga
memungkinkan pemanfaatan oksigen pada saturasi O2 yang relative rendah seperti
halnya pada keadaan sianosis pada umumnya, pada anemia, di daerah dataran tinggi dan
hipoksia.
103
Perubahan paru. Edema paru timbul karena terdapat ketidakseimbangan cairan dalam
paru. Sebelum terjadi edema alveoli akan timbul dulu eema jaringan intestisial. Terjadi
takipne akibat rangsangan pada reseptor yukstakapiler yang letaknya dalam ruang
interstisial paru, sehingga memungkinkan pengeluaran cairan lebih banyak melalui
saluran limfe. Pada keadaan yang lebih lanjut akan terjadi edema alveoli, yang
selanjutnya akan menurunkan Pa O2 arterial dan meninggikan PCO2 arterial. Pada
stadium ini akan terdengar ronki dan wheezing. Permeabilitas membrane alveolar-kapiler
pada bayi lebih tinggi daripada pada orang dewasa, sehingga lebih mudah terjadi
kebocoran pada peninggian tekanan diastolic akhir ventrikel yang relative lebih rendah.
Mekanisme ginjal. Pada gagal jantung akan terjadi pengrangan aliran darah ke ginjal,
yang akan menimbulkan peninggian rangsangan saraf simpatik sehingga terjadi
vasokonstriksi pembuluh arteri ginjal. GFR akan menurun, dan terdapat penurunan
penyediaan natrium pada macula densa distal yang akan merangsang pengeluaran rennin
dan aldosteron sehingga akhirnya terjadi retensi natrium dan air.
Perubahan sirkulasidarah tepi. Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan
menimbulkan reflex vasokonstriksi untuk meninggikan tekanan darah yang sangat
berguna untuk perfusi yang adekuat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada organ-organ
yang kurang vitasl, seperti kulit dan otot skelet, yang ditandai oleh warna kebiruan pada
ujung ekstremitas
Perubahan metabolism. Perubahan metabolism terjadi akibat adanya hipoksia selular
pada gagal jantung yang menimbulkan gangguan gizi, dan dapat diperberat oleh adanya
hipermetabolisme, protein losing enteropathy serta sindrom malabsorbsi lemak.
VIII. Manifestasi klinis 8
Perubahan pada jantung
Takikardia. Terjadi akibat rangsangan saraf simpatis, pada bayi mencapai 200 kali
permenit, pada anak 100-150 kali permenit. Takikardi ini merupakan mekanisme adabtasi
untuk menambah suplai oksigen ke jaringan pada keadaan perfusi yang rendah.
Kardiomegali. Secara prraktis, gagal jantung berarti kardiomegali, dengan sedikit
pengecualian, misalnya pada miokarditis stadium permulaan, takidisritmia, atau obstruksi
pada vena pulmonalis. Pada keadaan tanpa kardiomegali ini, terdapatnya kongesti paru
104
pada pemeriksaan kardiologik sangat penting artinya, walaupun pada bayi sukar untuk
membedakan antara pembuluh arteri dan vena.
Irama derap. Adanya triple rhythm pada bayi selalu patologik dan menandakan adanya
gagal jantung.
Gangguan pulsasi arteri perifer. Pada gagal jantung pulsasi arteri tepi menjadi lemah
disertai tekanan nadi yang menurun akibat menururnnya curah jantung. Tetapi hal ini
tidak didapatkan pada high output failure. Kadng didapatkan pulsus alternans, yaitu isi
nadi yang berselang-seling kuat dan lemah akibat gangguan penampilan miokard. Juga
dapat ditemukan pulsus paradoksus yang menunjukkan perbedaan yang mencolok antara
tekanan sistolik waktu inspirasi dan waktu ekspirasi. Hali ini dapat dijumpai pada pirau
kiri ke kanan yang besar dan tamponade jantung.
Gangguan pertumbuhan. Terjadi karena turunnya curah jantung, diperberat oleh
gangguan pernapasan, kesukaran masukan kalori dan terdapatnya hipermetabolisme
sekunder akibat rangsangan saraf simpatis.
IX. Manifestasi kongesti paru
Gangguan pernafasan. Mula-mula timbul takipne sebagai terangsangnya beberapa
reseptor pada paru dan jantung untuk menambah pengeluaran cairan melalui saluran
limfe. Pada bayi yang tidur frekuensi pernapasan dangkal dan cepat, mencapai 50-100
kali permenit. Pada keadaan yang lebih lanjut terjadi edema alveoli disertai gangguan
ventilasi, timbul air hunger dan merintih pada bayi. Pada anak yang lebih besar timbul
ortopne.
Wheezing dan ronki. Akibat penekananjalan napas oleh pembesaran pembulh darah paru,
atrium kiri, dan edema paru. Apabila sudah terdengar ronki basah halus tidak nyaring
terutama pada kedua basal paru, berarti tidak hanya terdapat edema jaringan intersisial,
melainkan sudah timbul edema alveoli.
Batuk. Batuk yang kronik timbul akibat kongesti mukosa bronkus, diperberat oleh
adanya infeksi sekunder, sputum dapat bercampur darah.
105
X. Manifestasi bendungan vena sistemik
Bila gejala bendungan vena sistemik tidak disertai gejala bendungan paru, maka keadaan
yang terjadi disebut gagal jantung kanan murni, seperti misalnya pada stenosis katup
pulmonal yang berat. Bila disertai gagal jantung kiri maka disebut gagal jantung
kongestif.
Hepatomegali. Ditemukan pada gagal jantung kanan maupun kiri. Hepatomegali
menggambarkan perubahan volume darah dan peninggian tonus pembuluh darah.
Berbeda dengan hepatomegali yang ditemukan pada penyakit hati dan gangguan gizi,
bendungan vena menyebabkan pinggir hati pada gagal jantung menjadi tumpul. Pulsasi
hati ditemukan bila ada insufisiensi tricuspid baik fungsional maupun organic. Juga dapat
ditemukan refluks hepatojugular.
Peningkatan tekanan vena jugularis. Dapat dilihat pada anak yang sudah besar,
sedangkan pada bayi karena lehernya pendek hal ini sukar diperiksa. Sebagai petunjuk
lain dapat dilihat adanya pengisian vena di tangan yang akan menghilang bila diangkat
setinggi angulus sternum.
Edema. Terjadi akibat terganggunay keseimbangan tekanan kapiler dan resistensi
jaringan. Pada bayi edema jarang terjadi; pembengkakan dapat dilihat di daerah
punggung, punggung tangan dan tungkai dan sekitar mata. Bila hal ini terjadi
menunjukkan prognosis yang buruk
Sianosis tepi. Sianosis terjadi akibat meningkatnya ambilan oksigen jaringan karena
lambatnya aliran darah. Dapat pula diperberat oleh adanya sianosis sentral akibat
terjadinya gangguan oksigen paru dan pirau kanan ke kiri yang mungkin sudah ada
sebelumnya.
XI. Pemeriksaan penunjang 8
Darah. Hemoglobin dan eritrosit biasanya sedikit menurun karena terjadi hemodilusi.
Bila hemoglobin dibawah 5 g %, sewaktu-waktu dapat terjadi gagal jantung kiri akut.
Adanya leukositosis ringan bukan berarti terdapat infeksi. Sebaliknya dapatjuga terjadi
leucopenia misalnya pada miokarditis virus. Laju endap darah pada umumnya menurun.
Peninggian laju endap darah pada penyakit jantung reumatik dengan gagal jantun
106
menandakan adanya proses rumatik aktif. Kadar gula darah dapat menurun akibat
berkurangnya cadadngan glikogen hati. Kadar gula yang sangat rendah pada bayi dapat
menimbulkan gagal jantung, yang sangat rendah pada bayi dapt menimbulkan gagal
jantung, yang segera dapat diatasi dengan pemberikan glucose. Demikian pula bila
terdapt hipokalsemia, maka pemberian kalsium segera memperbaiki fungsi jantung.
Terjadi pula hiponatrremia karena retensi cairan lebih besar daripada retensi natrium.
Kadar kalium darah meningkat sebagai akibat keluarnya kalum intrasel karena gangguan
perfusi jaringan. Akibat hipoksia, juga terdapat peninggian asam laktat dalam darah.
Gangguan asam basa yang terjadi bergantung pada masukan kalori, keadaan paru,
besarnya pintasan dan faal ginjal. Pada beban volume dengan pirau kiri ke kanan yang
besar yang mengakibatkan bendungan paru, terjadi sedikit penurunan PaO2 dan terjadi
sedikit kenaikan PaCO2 yang mengakibatkan asidosis resiratorik ringan. Sedangkan pada
beban tekanan dengan PaO2 arteri yang rendah akan timbul asidosis metabolic karena
meningkatnya metabolism anaerob.
Urin. Terdapat oliguria, disertai peninggian berat jenis, albumninuria ringan, dan
hematuria mikroskopik.
Foto rontgen dada. Terdapat kardiomegali disertai bendungan paru. Pada paru
didapatkan bendungan vena yang sangat berat sehingga terjadi edema paru.
EKG. Tidak khas, kadang ditemukan perubahan ST-T dan perubahan gelombang P.
gelombang QRS bervoltase rendah dijumpai pada miokarditis. Pemeriksaan EKG
berguna untuk menentukan apakah disritmia yang ada berasal dari ventrikel atau
atrium,yang mungkin menjadi penyebab gagal jantung. Juga adanya hipertrofi dapat
membantu menentukan latar belakang penyakit sebelumnya.
Ekokardiografi dan Doppler. Adanya dilatasi dan hipertrofi, perubahan fraksi ejeksi
dan interval waktu systole dapat diketahui dengan pemeriksaan ekokardiografi. Curah
jantung dapat pula diperkirakan dengan teknik eko-doppler.
Pemeriksaan kardiologik invasif. Pada kateterisasi jantung terdapat peninggian
tekanana diastolic-akhir ventrikel kiri, kemudian atrium kiri baru tekanan vena
pulmonalis. Pada bayi peninggian tekanan atrium kanan baru timbul pada keadaan yang
lanjut, karena system vena sistemik dapat menampung relative lebih banyak kongesti
daripada orang dewasa. Juga dapat diukur besarnya curah jantung pada peak dp/dt.
107
XII. Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada penderita gagal jantung adalah menghilangkan gejala kongesti pada
paru maupun sistemik, memperbaiki penampilan miokard, menghilangkan faktor
pencetus, dan yang paling ideal adalah memperbaiki kelainan anatomi jantung.
Penatalaksanaan umum:
1. Tirah baring, posisi setengah duduk. Sedasi kadang diperlukan : Luminal 2-3
mg/kgBB/dosis tiap 8 jam selama 1-2 hari.
2. Oksigen. Diberikan oksigen 30-50% dengan kelembaban tinggi supaya jalan nafas
tidak kering dan memudahkan sekresi saluran nafas keluar.
3. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.
4. Pembatasan cairan dan garam. Dianjurkan pemberian cairan sekitar 70-80% dari
kebutuhan. Restriksi gram jangan terlalu ketat, pada anak garam <0,5 g/hari.
5. Pemantauan hemodinamik yang ketat. Pengamatan dan pencatatan secara teratur pada
berat badan, kesadran, tekanan darah, frekuensi denyut jantung, pernafasan, nadi perifer,
keseimbangan asam basa.
6. Hilangkan faktor yang memperberat : atasi demam, anemia, infeksi jika ada.
7. Penatalaksanaan diit pada penderita yang disertai malnutrisi, memberikan gambaran
perbaikan pertumbuhan tanpa memperburuk gagal jantung kongestif bila diberikan
makanan pipa yang terus-menerus.
Penatalaksanaan secara medikamentosa dapat dengan pemberian obat anti gagal jantung
seperti diuretik, vasodilator, dan digitalis.
Diuretik dipergunakan untuk mengurangi preload, karena bersifat menahan kalium,
perlu diperhatikan kadar kalium dalam darah. Obat yang dapai digunakan diantaranya
Furosemid 0,5-2 mg/kgBB/dosis i.v. (2-4 kali per hari), atau 1-2 mg/kgBB/dosis oral
(1-3 dosis terbagi). Dapat pula diberikan diuretik hemat kalium Spironolakton 2-3
mg/kgBB/hari (oral) dalam 2-3 dosis terbagi. Kombinasi Furosemid dan
Spironolakton biasa digunakan.
Vasodilator bekerja dengan cara mengurangi preload (golongan venodilator) dan/atau
afterload (golongan arteriodilator). Pemberian vasodilator memerlukan pengamatan
108
yang ketat terhadap pengisian jantung dan tekanan darah arteri. Vasodilator terdiri
dari vasodilator arterioral (hidralazin), venodilator (nitrogliserin, isosorbid dinitrat),
dan gabungan (kaptopril, enalapril).
Digitalis merupakan obat anti gagal jantung yang paling banyak dipakai pada bayi
dan anak. Bersifat inotropik positif dan kronotropik negatif yang akan meningkatkan
curah jantung. Preparat yang sering diuganak adalah Digoxin dengan dosis pada anak
0,04 – 0,05 mg/kgBB/hari.
Pengaturan diit pada penderita penyakit jantung tidak kalah pentingnya dari
penatalaksanaan secara medikamentosa. Tujuan memberikan diit pada penderita
penyakit jantung adalah :
1. Untuk memberikan cukup makanan agar anak tumbuh dan berkembang optimal,
tanpa memberatkan beban jantung.
2. Mengurangi dan mencegah retensi garam / air dalam jaringan tubuh dan
menurunkan tekanan darah bila ada hipertensi.
3. Menyiapkan anak dengan kelainan jantung bawaan sehingga kondisinya
memungkinkan untuk tindakan operasi.
109
9. GLOMERULUSNEFRITIS KRONIK
ANAMNESIS
Pertanyaan yang dapat diajukan kepada pasien :
Pendekatan umum : perkenalan diri anda,ciptakan hubungan yang baik,menanyakan
identitas pasien. (Nama pasien,umur ?)
Nilai keluhan utama dan riwayatnya : misalnya bengkak pada anggota badan (sejak
kapan bengkak dialami , lokasi bengkak, apakah menjalar ?)
Tanyakan riwayat penyakit dahulu :
Informasi riwayat GN dalam keluarga, penggunaan obat anti-inflamasi non-steroid,
dan riwayat infeksi seperti streptococcus, endokarditis, atau virus yang dapat
menyebabkan GN. Keganasan paru, payudara, gastointestinal, ginjal, penyakit
Hodgkin, limfoma non-hodgkin, serta penyakit multi sistem seperti DM, amiloidosis,
SLE, vaskulitis.
Tanyakan riwayat penyakit dahulu : seperti hipertensi
Tanyakan mengenai kebiasaan dalam pembuangan urin dan konsistensi urin :
Apakah urin pasien terlihat mengandung darah ? dinamakan hematuria
makroskopik ( gross hematuria)
Ada kesulitan dalam pembuangan urin ? , Ada rasa nyeri pada saat kencing ?
Berapa kali buang air kecilnya sehari ?, Berapa banyak air seni yang
dikeluarkan ?
Ada pola perubahan dalam pembuangan urin ? (seperti mengejan atau tidak) , dan
bagaimana pancaran urinnya ?
Keluhan tambahan lainnya : seperti mual, muntah, kejang, serta pola makan
Apakah ada rasa nyeri di daerah pinggang atau daerah lainnya, mual muntah,
keringat dingin, lemas ?
Bagaimana pola makan anak teratur atau tidak ? nafsu makan si anak
meningkat atau menurun ?
Apakah ada alergi pada si anak ?
PEMERIKSAAN FISIK
110
Fisik
1. Pengukuran tanda vital : suhu, tekanan darah, frekuensi pernapasan, denyut nadi
2. Inspeksi, Palpasi, Perkusi, Auskultasi ( sama pada pemeriksaan abdomen pada
umumnya)
PATOFISIOLOGI
Kejadian glomerulonefritis telah dikenali selama perjalanan berbagai infeksi
kronis, termasuk endokarditis bakterialis subakut ( S. varidans dan organisme lainnya),
pirau ventrikuloatrium yang terinfeksi pada hidrosefalus (Staphylococcus epidermidis),
sifilis, hepatitis B, hepatitis C, kandidiasis, dan malaria. Pada setiap keadaan, organisme
penginfeksi mempunyai virulensi yang rendah, dan hospesnya secara kronis ditempati
antigen asing. Bila kadar antigen yang tinggi di dalam sirkulasi, respons antibodi
menimbulkan pembentukan kompleks imun yang mengendap dalam ginjal dan
mengawali glomerulonefritis.
Temuan-temuan histopatologi dapat menyerupai glomerulonefritis pasca
streptococcus, membranosa, atau membranoproliperatif. Manifestasi klinis nefritis akut
atau sindrom nefrotik. Kadar C3 seringkali menurun.
Pemusnahan infeksi sebelum kerusakan glomerulus berat terjadi biasanya
mengakibatkan penyembuhan glomerulonefritisnya.8
Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim gagal progresif dan difus, sering
kali berakhir dengan penyakit ginjal kronik. Glomerulonefritis mungkin berhubungan
dengan
penyakit penyakit sistemik (glomerulonefritis sekunder) seperti SLE, poliartritis nod
osa, granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan diabetes
mellitus
(glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit ginj
al kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan
amiloidosis sering dijumpai pada pasien dengan
penyakit menahun seperti tuberculosis, lepra, osteomielitis, arthritis rheumatoid dan miel
oma. Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nephrosclerosis) merupakan salah satu penyeb
111
ab penyakit ginjal kronik. Insiden hipertensi
esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik <10 %.33
Trade off (Intake nefron)
Epidemiologi
Glomerulonefritis kronis jarang terjadi dan mempengaruhi hanya 4 dari setiap 100.000
orang. Dua puluh lima persen individu dengan glomerulonefritis akut akhirnya akan
mengembangkan glomerulonefritis kronis. Sekitar 25% dari individu dengan
glomerulonefritis kronis sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit ginjal, dan dalam
kasus ini, gangguan yang pertama muncul sebagai gagal ginjal kronis. Di AS,
glomerulonefritis kronis bertanggung jawab untuk 10% dari semua pasien pada dialisis
(Salifu).
Faktor-faktor Penyebab
Glomerulonefritis kronis dapat disebabkan oleh berbagai factor, antara lain penyakit ini
merupakan penyakit keturunan, didapatkan informasi riwayat golmerulonefritis kronik
dalam keluarga. Di samping itu, penggunaan obat antiinflamasi non-steroid, preparat
emas organic, heroin, imunosupresif seperti siklosporin atau takrolimus, dan riwayat
infeksi streptococcus, endokarditis dan virus juga menjadi faktor penyebab penyakit ini.
Keganasan paru, payudara, gastrointestinal, ginjal, penyakit Hodgkin dan limfoma non-
112
Hodgkin, serta penyakit multisystem seperti diabetes mellitus, amiloidosis, lupus dan
vaskulitis juga diasosiakan dengan glomerulonefritis kronik.
Gejala Klinis
Kadang-kadang tidak memberi keluhan sama sekali sampai terjadi gagal ginjal yang
menyebabkan anak menjadi lemah, lesu, mengeluh nyeri kepala, gelisah, mual, koma dan
kejang pada stadium akhir. Edema sedikit, suhu subfebril. Bila penderita memasuki fase
nefrotik dari pada glomerulonefrits kronis, maka edema bertambah jelas perbandingan
albumin dan globulin terbalik dan kolesterol darah meninggi, fungsi ginjal menurun,
ureum meningkat dan anemia bertambah berat diikuti oleh tekanan darah yang mendadak
meninggi. Kadang-kadang anak mendapat serangan enselofati hipertensi dan gagal
jantung yang berakhir dengan kematian.
Pemeriksaan laboratorium
Pada urin ditemukan albumin (+), silinder, eritrosit, leukosit hilang timbul, berat jenis
urin menetap pada 1.008-1.012. Pada darah ditemukan laju endap darah yang tetap
meninggi, ureum darah meningkat, demikian juga fosfor serum, sedangkan kalsium
serum menurun.
Pada stadium akhir serum natrium dan klorida menurun, sedangkan kalium meningkat.
Anemia tetap ada. Uji fungsi ginjal menunjukan kelainan ginjal yang progresif.
Patologi anatomi
Makroskopik tampak ginjal mengecil dan mengerut, permukaannya berbutir kecil-kecil.
Mikroskopik tampak banyak glomerulus berdegenerasi hialin dan tubulus menjadi
atrofik. Nefron yang hilang diganti oleh jaringan ikat dengan infiltrasi limfosit.
Pengobatan
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi gejala klinis, gangguan elektrolit. Anak
diperkenankan melakukan kehidupan sehari-hari sebagai mana biasa dalam batas
kemampuannya. Pengawasan hipertensi dengan obat anti hipertensi, anemia dikoreksi
serta infeksi di obati dengan pemberian antibiotika. Dialisisatau
113
transplantasiginjalmungkin diperlukanuntuk mengontrolgejala gagalginjal danuntuk
mempertahankan kehidupan.
Komplikasi
Sindromnefrotik
Gagal ginjal kronis
Penyakitginjal stadium akhir
Hipertensi
hipertensimaligna
Cairanyang berlebihan-gagal jantungkongestif, edema paru
Infeksi kronisatauberulangsaluran kemih
Peningkatankerentanan terhadapinfeksi lain
Prognosis
Menurunnya fungsi ginjal dapat berlangsung perlahan-lahan, tetapi kadang-kadang dapat
berlangsung cepat dan berakhir dengan kematian akibat uremiadaam beberapa bulan.
Sering kematian terjadi dalam waktu 5-10 tahun bergantung pada kerusakan ginjal.
Pencegahan
Tidak ada pencegahankhusus untukkebanyakan kasusglomerulonefritiskronis.Beberapa
kasusdapat dicegahdengan menghindariataumembatasipaparanpelarutorganik, merkuri,
dan non-steroidanti-inflamasi analgesik.
114
ETIOLOGI
Sindrom nefrotik dapat merupakan manifestasi sejumlah kondisi klinis berbeda
dimana terjadi peningkatan permeabilitas membrana basalis glomerulus terhadap protein,
menimbulkan proteinuria yang nyata. Proteinuria merupakan ciri penting dari sindrom
ini.
Pada anak-anak dengan sindroma nefrotik, ginjal tampaknya merupakan satu-satunya
organ utama yang terlibat dan dapat disebut sebagai sindroma nefrotik primer. Sindroma
nefrotik dapat pula berkembang dalam perjalanan suatu penyakit sistemik disini sindroma
nefrotik dianggap sekunder. 1
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
A) Sindrom Nefrotik Kongenital
Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang
dari 6 bulan merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai
prognosis buruk. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada
masa neonatus. Selain itu, penyebabnya bisa karena infeksi kongenital (sifilis,
toksoplasmosis, sitomegalovirus) dan sklerosis mesangium difus yang tidak diketahui
sebabnya (sindrom drash yang terdiri dari nefropati, tumor wilms, kelainan
kongenital). 8
B) Sindrom Nefrotik Primer/Idiopatik
Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena
sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri
tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Kelainan
glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya,
dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan
imunofluoresensi.
Yang termasuk golongan primer : 7
1) sindrom nefrotik lesi minimal (MCNS = minimal change nephrotic syndrome),
sejauh ini MCNS sebanyak 75% yang menyebabkan sindrom nefrotik pada anak
115
2) sindroma nefrotik dengan poliferasi mesangial difus
3) sindroma nefrotik dengan glomerulosklerosis fokal
4) Glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN) tipe I dan II
5) Glomerulopati membranosa
C) Bentuk-bentuk sindroma nefrotik sekunder berkembang pada perjalanan berbagai
penyakit yang berhubungan, di antaranya diabetes melitus, penyakit Alport, SLE,
sifilis, malaria, purpura anafilaktoid,amiloidosis, neoplasma limfoproloferatif,
glomerulonefritis poststreptokok, dan infeksi sistemik seperti endokarditis bakterialis
subakut.6
EPIDEMIOLOGI
Sindrom nefrotik terbanyak terbanyak pada anak berumur 3-4 tahun dengan
perbandingan wanita : pria= 1: 2. Kebanyakan 90% anak yang menderita sindrom
nefrotik yang idiopatik yakni 85 % lesi minimal, 5% proliferasi mesangium, dan sklerosis
setempat 10%. Dan sisanya 10% oleh karena glomerulonefritis membranosa dan
membranoproliferatif. 8
PATOFISIOLOGI 7,34
Ekskresi sejumlah besar protein di urine, terutama albumin degan berat molekul
rendah adalah kelainan primer pada NS. Derajat proteinuria dari satu anak ke anak
lainnya bervariasi. Anak dengan NS aktif yang mempunyai konsentrasi albumin serum 2
g/dl akan menyekresikan albumin dalam jumlah lebih besar daripada anak yang sama
dengan konsentrasi albumin serum 0,5 g/dl. Ekskresi minimal yang cocok dengan
diagnosis adalah sekitar 1 g/m2/hari.
Kejadian awal yang mengakibatkan proteinuria belum diketahui. Permeabilitas
kapiler glomerulus terhadap albumin meningkat, dan peningkatan pada beban hasil
filtrasi ini akan melebihi kemampuan sederhana tubulus untuk menyerap protein kembali.
Permeabilitas berubah secara selektif sedemikian rupa untuk meningkatkan pengangkutan
partikel yang bermuatan anion, seperti albumin di kapiler. Protein plasma yang sangat
kationik yang mungkin dapat menetralisasi muatan anionic di dinding kapiler glomerulus
telah ditemukan pada anak nefrotik. Pada nefrosis eksperimental serta pada beberapa
116
anak dengan NS primer terjadi pengurangan kandungan normal asam sialat dari membran
basalis. Defisiensi ini memungkinkan meningkatnya pengangkutan komponen-komponen
anionic. Peran system klinin juga sedang diteliti karena ekskresi klinin urine meningkat
dalam masa eksaserbasi penyakit. Selain itu, terdapat beberapa bukti yang menunjukkan
bahwa pasien MCNS mempunyai kelainan fungsi sel T.
Hipoalbuminemia terjadi akibat meningkatnya kehilangan protein melalui urine.
Meskipun demikian, factor lain dapat turut menyebabkan hipoalbuminemia dengan di
antaranya adalah penurunan sintesis, peningkatan katabolisme, serta peningkatan
kehilangan melalui saluran cerna.
Berikut merupakan patofisiologi dari manifestasi klinis yang terjadi : 34
a. Proteinuria dan hipoalbuminemia
Proteinuria merupakan tanda utama dari SN idiopatik. Proteinuria juga
menyebabkan penurunan kadar albumin. Penyebab proteinuria yang pasti belum
diketahui. Tetapi SN idiopatik diyakini memiliki patogenesis yang dikaitkan dengan
system kekebalan. Berbagai penelitian menunjukkan regulasi abnormal subset sel T
dan ekspresi factor permeabilitas glomerular.
Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa SN idiopatik dimediasi oleh system
kekebalan ditunjukkan oleh kenyataan bahwa agen imunosupresif seperti
kortikosteroid dan agen alkylating dapat meremisi sindrom nefrotik.
Permeabilitas kapiler glomerulus terhadap albumin meningkat dan peningkatan
pada beban hasil filtrasi ini akan melebihi kemampuan sederhana tubulus untuk
menyerap protein kembali. Permeabilitas berubah secara selektif sedemikian rupa
untuk meningkatkan pengangkutan partikel yang bermuatan anion.
Hipoalbuminemia terjadi akibat meningkatnya kehilangan protein melalui urine.
Meskipun demikian, factor lain dapat turut menyebabkan hipoalbuminemia dengan di
antaranya adalah penurunan sintesis, peningkatan katabolisme, serta peningkatan
kehilangan melalui saluran cerna.
b. Edema
117
Hipoalbuminemia menghasikkan temuan klinis lain berupa edema : penurunan
onkotik plasma dan akibatnya pengurangan volume plasma yang menghasilkan
akumulasi airan interstisial serta penurunan perfusi ginjal, yang terakhir ini
merangsang aktivitas system renin-angiotensin aldosteron. Walaupun GFR biasanya
sedikit menurun, factor ginjal utama yang turut menyebabkan produksi dan
mempertahankan edema adalah penambahan reabsorpsi natrium serta air oleh tubulus
ginjal. Sebuah hubungan yang rumit antara sejumlah factor fisiologi seperti
penurunan tekanan onkotik, peningkatan aktivitas aldosteron serta vasopressin,
penyusutan hormone natriuretik atrium dan factor fisik dalam vasa rekti turut
berperan dalam menyebabkan akumulasi serta bertahannya edema.
Penelitian lain mengatakan bahwa model lain terbentuknya edema adalah overfill
hypothesis, yaitu edema terjadi akibat defek dalam proses pengelolaan sodium di
ginjal. Suatu penyerapan ulang sodium di ginjal, menyebabkan retensi garam dan air.
Sedangkan teori terbaru pembentukan edema mengatakan, proteinuria massif
menyebabkan peradangan tubulointerstitial dan pelepasan local vasokonstriktor dan
penghambatan vasodilatasi. Ini menyebabkan penurunan single nephron glomerular
filtration rate dan retensi sodium dan air.
Edema berlangsung dalam beberapa minggu kadang-kadang dengan riwayat
edema beberapa bulan sebelumnya. Kadang-kadang episode edema awal dan tak
jarang pada fase relaps yang mungkin disebabkan karena infeksi virus pada saluran
pernafasan atas, timbul letargi, anoreksia, pertambahan berat badan akibat edema,
serta terjadi penurunan volume dengan peningkatan kepekatan kemih.
Pasien biasanya tidak tampak sakit berat, tampilan yang paling nyata adalah
edema umum, seringkali dengan asites dan efusi pleura. Cairan edema berkumpul
pada tempat-tempat dependen, setelah tidur malam, wajah dan kelopak mata atau
daerah sacrum dapat mengalami edema, sementara pada siang hari pembengkakan
kaki dan abdomen menjadi lebih nyata. Tekanan darah biasanya normal atau sedikit
menurun. Pada 5-10% kasus terjadi peningkatan tekanan darah.
c. Hiperlipidemia
118
Mekanisme terjadinya hiperlipidemia belum jelas sepenuhnya. Albumin yang
rendah atau tekanan onkotik yang rendah diduga dapat menstimulasi hati untuk
meningkatkan sintesis lipoprotein yang mengikat kolesterol. Teori lain mengatakan
bahwa adanya proteinuria pada SN menyebabkan terjadinya reaksi balik yang
mengakibatkan produksi lipoprotein di hati yang meningkat.
Walaupun hati pada SN dapat menghasilkan lebih banyak lipoprotein, tetapi HDL
tidak meningkat. Kadar dari HDL yang merupakan factor protektif terhadap
terjadinya aterosklerosis ternyata rendah. Hal ini disebabkan karena HDL merupakan
molekul yang kecil, sehingga lebih mudah keluar melalui urine. Lipoprotein lain yang
dihasilkan hati pada SN adalah cholesterol ester transfer protein yang juga memegang
peranan terjadinya hiperlipidemia. Peran dari protein ini adalah transfer kolesterol
ester dari HDL ke lipoprotein LDL. Pasien SN yang tidak diobati mempunyai kadar
cholesterol ester transfer protein yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan pasien
lain yang mendapat terapi.
Penjelasan tradisional untuk hiperlipidemia pada SN adalah peningkatan sintesis
lipoprotein yang menyertai peningkatan sintesis albumin hepatic karena
hipoalbuminemia. Meski demikian, kadar kolesterol serum tidak terpengaruh dengan
kecepatan sintesis albumin. Penurunan tekanan onkotik plasma, berperan penting
dalam meningkatkaan sintesis lipoprotein hepatic, sebagaimana ditunjukkan oleh
penurunan hiperlipidemia pada pasien dengan SN yang mendapatkan infuse albumin
atau dextran.
d. Hematuria mikroskopik
Hematuria mikroskopik ditemukan pada 20-30% anak. Sekitar 4% hematuria
mikroskopik akan berubah menjadi hematuria makroskopik.
PENATALAKSANAAN 6
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-
gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10%
kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.
119
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom
nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut :
Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik
Remisi
Kambuh
Kambuh tidak sering
Kambuh sering
Responsif-steroid
Dependen-steroid
Resisten-steroid
Responder lambat
Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut.
Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.
Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu.
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain.
Nonresponder awalNonresponder lambat
Resisten-steroid sejak terapi awalResisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid
PROTOKOL PENGOBATAN
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk
memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis
maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan
120
sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4
minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.
A. Sindrom nefrotik serangan pertama 3
1. Perbaiki keadaan umum penderita :
a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke
bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal.
b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat.
c. Berantas infeksi dengan antibiotik
d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka.
Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika
ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.
2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah
diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi
spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau
kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu
waktu 14 hari.
B. Sindrom nefrotik kambuh (relapse) 3
1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse
ditegakkan.
2. Perbaiki keadaan umum penderita.
a. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4
kali dalam masa 12 bulan.
1. Induksi
121
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
2. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4
minggu, prednison dihentikan.
b. Sindrom nefrotik kambuh sering
adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4
kali dalam masa 12 bulan.
1. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
2. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4
minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan
selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu,
kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam
selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari
diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan.
Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons
terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra
steroid, atau untuk biopsi ginjal. 3
KOMPLIKASI 1,35
1. Sindrom nefrotik akut dihubungkan dengan mortalitas substansial, kemungkinan
disebabkan oleh sepsis, penyakit tromboembolik, aterosklerosis, dan gagal ginjal.
2. Torsi testikular (TT) yang disebabkan oleh edema skrotum dan terhentinya
pertumbuhan pada anak-anak
122
3. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit yang disebabkan oleh Streptococcus,
Staphylococcus, bronkopneumonia dan tuberkulosis.
4. Penyakit ginjal kronis, gagal jantung kongestif, edema paru, malnutrisi
5. Hipovolemia, hipertensi, hiperlipidemia,hiperkoagulapati, anemia
6. Asites kronis jika tidak diobati dapat menimbulkan umbilical hernia, rectal
prolapse,kesulitan bernafas, nyeri skrotum atau labia, dan anasarca.
PENCEGAHAN
Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengurangi timbulnya relaps SN :
- Edukasi kepada pasien. Keluarga harus memahami bahwa NS merupakan penyakit
menahun. Mungkin akan sulit bagi keluarga pasien untuk menerimanya, maka boleh
dikonsultasikan dengan ahli nefrologi pediatric agar penyakit ini lebih bisa diterima
oleh seluruh keluarga pasien.
- Imunisasi dan aktivitas. Pasien dengan SN akan mudah sekali terkena infeksi.
Sehingga disarankan untuk diimunisasi 6 minggu setelah obat dihentikan. Aktivitas
pasien dapat tetap dilakukan seperti biasanya apabila pasien tidak menunjukkan
gejala yang signifikan.
PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.
2. Disertai oleh hipertensi.
3. Disertai hematuria.
4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons
yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya
akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan
steroid. 3
123
DAFTAR PUSTAKA
1. Sindrom Nefrotik pada Anak. Semijurnal Farmasi dan Kedokteran: Ethical Digest no.67.Jakarta : september 2009.hal.25-28.
2. Yasavati K, Mardi S, Johanna S P, Gracia W, et al. Buku Panduan Keterampilan Medik.Jakarta : FK UKRIDA;2010.
3. Sri. Ilmu Kesehatan Anak : Pemeriksaan Fisik pada Anak. Diunduh dari : ikextx.weebly.com. 20 Oktober 2011.
4. Lynn S, Bates B. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2009.hal.333-353.
5. Shinta Pratiwi. Sindrom Nefrotik dengan Komplikasi Hiperlipidemia. Di unduh dari : www.fkumyecase.net.04 September 2011.
6. Muhammad SN, Ninik S. Sindrom Nefrotik. Diunduh dari : www.pediatrik.com. 13 Oktober 2011.
7. Waldo E.Nelson.Neloson : Ilmu Kesehatan Anak vol.3. Edisi ke-12.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;1998.
8. Waldo E.Nelson.Neloson : Ilmu Kesehatan Anak vol.3. Edisi ke-15.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2000.
9. Chris Callaghan. Proteinuria dan Sindrom Nefrotik. At a Glance Sistem Ginjal. Edisi ke-2. Jakarta: Erlangga; 2006.hal.76-77.
10. Jawetz, Melnick, & Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Ed ; 23. Jakarta. 2007.
11. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH.[et al]. Diagnosis Fisis pada Anak. Edisi ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2003.h.270-89.
12. Markum. M.S, Wiguno .P, Siregar.P. Glomerulonefritis, Ilmu Penyakit Dalam II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009.h.274-81.
13. Nefropati IgA Idiopatik. Buku ajar Ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi ke-5.Jakarta:Interna Publishing;2009.hal 992-995; 997-998.
14. Dr. M.S. Markum, Dr. Suhardjono, Dr. Endang Susalit, Dr. Jose Roesma. Nefropati Imunoglobulin A. Majalah Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta: PT. Kalbe Farma; 2000.
15. Pediatric Nephrology.Diunduh dari : http://www.mwd.umn.edu. 21 Oktober 2011.16. Abdoerrachman MH, Affandi MB, Agusman S, et al. Glomerulonefritis akut. In:
Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI;2007.h.835-9.17. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Glomerulonefritis
akut.Jakarta:infomedika; 2006.h.835-3918. Wilson LM. Glomerulonefritis. In: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. 6th ed, 2nd vol. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.19. Noer MS . Glomerulonefritis. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO.
Buku Ajar Nefrologi Anak. 2nd Ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2002.p.323-61.
124
20. Soter, Allen. Urticaria and Angioedema. Dalam : Freedberg, Eisen, Wolff, Austen. Fitzpatrick’s Dermatology In Genereal Medicine. Edisi 6. New York : McGraw-Hill Inc. 2003: 122-45.
21. Aisah. Urtikaria. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 2. Jakarta : FKUI. 2005: 169-76.
22. Linscott. Urticaria. www.emedicine.com. Diunduh pada tanggal 21 Agustus 2008.23. Hall. Vascular Dermatoses. Dalam : Hall. Gordon. Sauer’s Manual of Skin Disease.
Edisi 8. London : Lippincott William & Wilkins. 2000 : 19-41.24. Elkon KB. Systemic lupus erythematosus: autoantibodies in SLE.edisi ke-2.St.
Louis:Mosby;1998.25 Goldstan BG, Goldstein A. Dermatologi praktis. Jakarta:Hipokrates;2001.p.267-
270.26. Robins, Gotron. Buku saku dasar patologis penyakit.edisi ke-7. Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2008.p.146-148.27. R S Siregar. Saripati penyakit kulit.edisi ke-2. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2004.p.232-234.28. Marwali H. Ilmu penyakit kulit. Jakarta:Hipokrates;2000.p.191-196.29. Alida RH, Oesman F. Pendidikan berkesinambungan patologi klinik. Jakarta:
Fakultas Kedokteran UI; 2003.p.67-68.30. Klein G, Miller ML. Systemic Lupus Erythematosus. In : Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB. Textbook of Pediatrics.edisi ke-17. Philadelphia:WB Saunders;2004.p. 809-812.
31. Sukman Tulus Putra, dkk. Gagal Jantung pada Bayi dan Anak dalam Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Edisi I, Jakarta, Badan Penerbit IDAI, 2005. hal : 143 – 146.
32. Bambang Madiyono, dkk. Gagal Jantung dalam Penanganan Penyakit Jantung pada Bayi dan Anak, Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2005. hal : 55 – 61.
33. ASKEP-Glomerulonefritis.Di unduh dari : www.scribd.com/doc. 21 Oktober 2011.34. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku Ajar Pediatri edisi 20 volume 2.
Jakarta : EGC; 2007.35. Greenberg. Sindrom Nefrotik.Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jakarta:
Erlangga; 2005.hal.347.
125
126