6 cara berkomunikasi yang baik menurut al
DESCRIPTION
hebatTRANSCRIPT
6 Cara Berkomunikasi yang Baik menurut Al-Quran
Etika, kaidah, prinsip, metode, teknik, tips, atau cara komunikasi menurut Al-Quran
(Komunikasi Islam).
KOMUNIKASI dipahami sebagai penyampain pesan (ide/gagasan/pemikiran, informasi,
ajakan) kepada orang lain secara lisan, tulisan, langsung-tidak langsung, juga melalui media.
Berikut ini Cara Berkomunikasi yang Baik Menurut Al-Quran atau "Komunikasi Islam".
Etika, kaidah, atau prinsip komunikasi berikut ini juga berlaku kapan dan di mana saja,
disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Berlaku juga buat para da'i, penceramah, guru, dan...
pokonya semua Muslim dan Muslimah.
Istilah atau "konteks" komunikasi dalam Al-Quran antara lain ditemukan dalam lafazh
"Qaulan" (perkataan). Ada 6 istilah Qaulan yang menjadi panduan Islami dalam
berkomunikasi:
1. Qaulan Sadida (QS. An-Nisa:9)
2. Qaulan Baligha ( QS. An-Nisa’: 63)
3. Qaulan Ma’rufa ( QS. Al-Baqarah: 235; QS. An- Nisa’: 5& 8; QS. Al-Ahzab: 32)
4. Qaulan Karima ( QS. Al-Isra’: 23)
5. Qaulan Layina ( QS. Thaha: 44)
6. Qaulan Maisura ( QS. Al-Isra’: 28).
Keenamnya mendukung ayat yang menjadi prinsip dasar komunikasi dalam Islam: “Dan
berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik (husna)” (QS. Al-
Baqarah:83).
Qaulan Sadida: Perkataan yang Benar
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan Qaulan Sadida –perkataan yang benar” (QS. An-Nisa:9)
Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan, as-sadid yaitu perkataan yang bijaksana dan perkataan
yang benar.
Dalam beromunikasi (berbicara) harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran,
faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi
fakta. “Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30). “Katakanlah kebenaran
walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).
Qaulan Baligha – Berdampak, Efektif
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka.
karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah
kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“ (QS An-
Nissa :63).
Dalam Tafsir al-Maraghi diterangkan, Qoulan Balighan yaitu “perkataan yang bekasnya
hendak kamu tanamkan di dalam jiwa mereka”.
Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha artinya
menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung
ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele.
Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah
disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang
dimengerti oleh mereka.
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka” (H.R.
Muslim).
”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa
kaumnya” (QS.Ibrahim:4)
Qaulan Ma’rufa: Kata-Kata yang Baik
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
Qaulan Ma’rufa –kata-kata yang baik.” (QS An-Nissa :5)
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka
berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa
–perkataan yang baik” (QS An-Nissa :8).
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa
kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji
kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka)
Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik…” (QS. Al-Baqarah:235).
“Qulan Ma’rufa –perkataan yang baik– dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang
diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi
Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 263).
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik.” (QS. Al-
Ahzab: 32).
Qaulan Ma’rufa artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan
sindiran (tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa
juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat).
Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan, Qaulan Ma’rufa yaitu melembutkan kata-kata dan
menepati janji.
Qaulan Karima – Ucapan yang Mulia
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, seklai kali janganlah kamu mengatakan kepada kedanya perkatan ‘ah’ dan
kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Karima –
ucapan yang mulia” (QS. Al-Isra: 23).
Qaulan Karima adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan
mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. Dalam ayat tersebut
perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara dengan kedua orangtua. Kita dilarang
membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang sekiranya menyakiti hati mereka.
Qaulan Karima harus digunakan khususnya saat berkomunikasi dengan kedua orangtua atau
orang yang harus kita hormati. Qaulan Karima adalah "kata-kata yang hormat, sopan, lemah
lembut di hadapan mereka" (Ibnu Katsir).
Qulan Layina - Lemah-Lembut
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan Qulan Layina –kata-kata yang lemah-
lembut…” (QS. Thaha: 44).
Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar,
dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati.Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan,
yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau
lugas, apalagi kasar.
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-
lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang
diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan
komunikasi kita.
Menurut Tafsir Al-Qurtubi, ayat ini merekomendasikan untuk memberi peringatan dan
melarang sesuatu yang munkar dengan cara yang simpatik melalui ungkapan atau kata-kata
yang baik dan hendaknya hal itu dilakukan dengan menggunakan perkataan yang lemah
lembut, lebih-lebih jika hal itu dilakukan terhadap penguasa atau orang-orang yang
berpangkat.
Qaulan Maysura – Mudah Dipahami
”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu
harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maysura –ucapan yang mudah” (QS.
Al-Isra: 28).
Qaulan Maysura (Maisuran) bermakna ucapan yang mudah, yakni mudah dicerna, mudah
dimengerti, dan dipahami oleh komunikan. Makna lainnya adalah kata-kata yang
menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan.
Menurut Tafsir Ibnu Katsir, Qaulan Maysura adalah ucapan-ucapan yang pantas, halus, dan
lembut. Menurut Tafsir Al-Azhar, ia adalah kata-kata yang menyenangkan. Karena kadang-
kadang kata-kata yang halus dan berbudi lagi membuat orang senang dan lega, lebih berharga
daripada uang berbilang. (Disusun dari berbagai sumber, www.risalahislam.com).*
Tafsir : qs at-tahrim ayat 6
Tafsir Ibnu Katsir
Mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
Neraka”, Mujahid (Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu suatu tafsiran
dari Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu”) mengatakan : “Bertaqwalah kepada Allah dan
berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Sedangkan Qatadah
mengemukakan : “Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan
mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah
kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka
dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah,
peringatkan dan cegahlah mereka.”
Demikian itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, dimana
mereka mengatakan : “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat
dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada
mereka dan apa yang dilarang-Nya.”
Tafsir dari Departemen Agama Pemerintah Indonesia
Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang
bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah
Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah
untuk menyelamatkan mereka dari api neraka.
Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan bersabar,
sebagaimana firman Allah SWT.
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu
mengerjakannya (Q.S Taha: 132).
dan dijelaskan pula dengan firman-Nya:
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S Asy Syu’ara’: 214).
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke 6 ini turun, Umar berkata: “Wahai Rasulullah, kami
sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah SAW.
menjawab: “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan
perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya.
Begitulah caranya meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang
kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan
mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan
Allah.
________________________________________
Dari uraian diatas, dapat kita ambil poin-poin penting yang dapat kita jadikan pegangan
dalam membina diri sendiri dan orang lain :
1. Niat yang lurus, semata-mata demi meraih ridha Allah subhanahu wa ta’ala, melaksanakan
syari’ah islam dan melaksanakan da’wah.
• Sebagaimana hadits dari Umar, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung pada niatnya.
Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan”
(Muttafaqun ‘alaih).
2. Proses pembinaan dimulai dari diri sendiri.
• Hal ini tersurat dengan jelas dalam At Tahrim yaitu “Peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka”. Disini dikatakan “peliharalah dirimu” terlebih dahulu baru setelah itu
dikatakan “keluargamu”.
• Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Mujahid : ”Bertaqwalah kepada Allah dan
berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Disini Mujahid
mengatakan bahwa kita diharuskan bertaqwa kepada Allah terlebih dahulu, baru setelah itu
kita berpesan kepada keluarga kita untuk bertaqwa kepada Allah.
3. Bekal ‘ilmu adalah yang utama
• Sebagaimana yang dikatakan Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, “Setiap muslim
berkewajiban mengajari keluarganya…”, dari kata “mengajari” jelas sekali tersirat bahwa
posisi setiap muslim yang “mengajari” haruslah berilmu, sehingga ia bisa menyempurnakan
kekurangan orang lain yang ia ajari.
• Dan dari hadits, ketika Umar bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallaam,
maka Rasulullah menjawab : “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang
mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan
kepadamu melakukannya.” Dari ini dapat kita ambil pelajaran bahwa untuk melarang dan
memerintahkan orang lain berdasarkan syariat, maka kita harus terlebih dahulu paham apa
saja larangan dan perintah itu. Dan hal ini adalah salah satu hal yang menguatkan pentingnya
menuntut ‘ilmu.
4. Taqwa adalah kunci dalam memelihara diri kita sendiri dan keluarga kita dari api neraka.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dari surat Al Baqarah ayat 2, pada bagian “hudal lil muttaqiin”,
disini dijelaskan definisi taqwa sebagai berikut :
• Menurut suatu riwayat, Umar ibnul Khatthab r.a pernah bertanya kepada Ubay ibnu Ka’ab
tentang makna taqwa, maka Ubay ibnu Ka’ab balik bertanya, “Pernahkah engkau menempuh
jalan yang beronak duri?”. Umar menjawab, “Ya, pernah”. Ubay ibnu Ka’ab bertanya lagi,
“Kemudian apa yang kamu lakukan?”. Umar menjawab “Aku bertahan dan berusaha sekuat
tenaga untuk melampauinya.” Ubay ibnu Ka’ab berkata, “Itulah yang namanya taqwa.”
• Pengertian ini disimpulkan oleh Ibnul Mu’taz melalui bait-bait syairnya, yaitu :
“Lepaskanlah semua dosa, baik yang kecil maupun yang besar , itulah namanya taqwa.
Berlakulah seperti orang yang berjalan di atas jalan yang beronak duri, selalu waspada
menghindari duri-duri yang dilihatnya. Dan jangan sekali-kali meremehkan sesuatu yang
kecil (dosa kecil), sesungguhnya bukit itu terdiri atas batu-batu kerikil yang kecil-kecil.”
5. Proses pembinaan selanjutnya dimulai dari orang-orang dekat, dimulai dari keluarga
sampai teman-teman dekat.
• Berdasarkan ayat Al Qur’an : “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat. “(Q.S Asy Syu’ara’: 214)
• Berdasarkan perkataan Mujahid : “dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa
kepada Allah.”
• Berdasarkan perkataan Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan : “Setiap muslim
berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya.”
6. Kesabaran memegang peranan penting.
• Berdasarkan tafsir DEPAG yang menyebutkan ayat berikut : “Dan perintahkanlah kepada
keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu mengerjakannya” (Q.S Taha: 132).
• Pembinaan seperti ini adalah amal shalih, dan setiap amal shalih adalah perwujudan dari
iman. Hal ini dapat kita simpulkan berdasarkan kesimpulan dari syaikh Al Utsaimin bahwa
iman adalah : “Ikrar dengan hati, pengucapan dengan lisan, pengamalan dengan anggota
badan.” Dan hal yang tak bisa lepas dari keimanan adalah kesabaran (keimanan adalah
kesabaran), hal ini sebagaimana tak bisa lepasnya haji dari wukuf (haji adalah wukuf di
arafah).
Wallahu a’lam.
Objek Pendidikan Perspektif Al-Qur’an
Published by mifdlol on January 26, 2013 | Leave a response
Oleh: Ahmad Mifdlol Muthohar
(Ditulis pada tahun 2012)
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab pedoman seluruh umat Islam di dunia. Al-Qur’an menyajikan semua
hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam, walaupun sebagiannya hanya bersifat global.
Semua tema yang disajikan oleh Al-Qur’an tentu dalam rangka untuk menunjukkan jalan
yang lurus, agar manusia tidak tersesat. Dengan demikian Al-Qur’an sesungguhnya
merupakan kitab pendidikan yang bersumber dari Sang Pencipta manusia.
Oleh karena Al-Qur’an merupankan kitab pendidikan, maka tidak mengherankan jika banyak
tema pendidikan yang disinggung oleh Al-Qur’an, salah satunya adalah tentang objek
pendidikan.
Objek pendidikan dalam Al-Qur’an setidak-tidaknya dapat dilihat dalam beberapa ayat
sebagai berikut: Surat An-Nisa’: 170, surat At-Tahrim: 6, surat Asy-Syu’ara’: 214-216 dan
surat Nuh: 1-4.
Surat An-Nisa’: 170
في ما ه لل فإن تكفروا وإن لكم خيرا فآمنوا كم رب من بالحق سول الر جاءكم قد اس الن ها أي يا
: النساء ( حكيما عليما ه الل وكان واألرض ماوات )170الس
Artinya:
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan
(membawa) kebenaran dari Tuhan (Pembimbing dan Pemelihara) kamu, maka berimanlah
kamu, itulah yang lebih baik bagimu. dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak
merugikan Allah sedikitpun), karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah
kepunyaan Allah dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’:
170)
Setelah Allah s.w.t. mengkritik ahlul kitab -Yahudi dan Nashrani- dan membantah tuduhan-
tuduhan mereka dalam ayat-ayat sebelumnya, maka dalam ayat 170 ini Allah s.w.t.
menasehati seluruh umat manusia dan memerintahkan mereka agar beriman, karena argument
yang ada telah jelas. Tidak ada alasan lagi untuk berpaling darinya. Sebagaimana diketahui,
bahwa kaum yahudi dahulu kala senantiasa menunggu-nunggu datangnya al-masih (Isa) dan
seorang Nabi, yaitu Nabi Muhammad s.a.w. Bahkan mereka mengirimkan para pendeta dan
ahli imu merka untuk bertanya pada Nabi Yahya a.s., apakah ia merupakan al-masih yang
disebut dalam Taurat, ataukah Nabi akhir zaman. Namun Yahya menjawab “tidak”. Dengan
turunnya ayat di atas, sesungguhnya pertanyaan-pertanyaan kaum Yahudi telah terjawab,
bahwa yang mereka nantikan selama ini sebagaimana disebutkan dalam Taurat dan Injil,
adalah Nabi Muhammad s.a.w. yang telah hadir di hadapan mereka. Oleh karenanya,
seharusnya mereka beriman padanya, karena iman itulah yang akan menyucikan mereka dari
segala kotoran dan najis, dan keimanan itulah yang akan membawa mereka kepada
kebahagiaan abadi.[1]
Walaupun ayat di atas sebab turunnya adalah terkait dengan kaum Yahudi, namun bahasa
yang digunakan oleh Allah s.w.t. adalah bahasa yang bersifat umum, yaitu “Ya-ayyuhan-
nasu” yang artinya “wahai sekalian manusia’. Para ulama menyebutkan bahwa kasus seperti
ini sering terjadi, dan kemudian mereka mengambil suatu kaedah sebagai berikut:
بب الس بخصوص ال فظ الل بعموم العبرةArtinya:2b10be20
“Standar/kriteria (sesuatu) itu adalah umumnya lafadz (bahasa), bukan khususnya sebab.”
Sebagaimana diketahui, memang ayat tersebut untuk kaum Yahudi secara asbabun-nuzulnya
(sebab turunnya ayat), namun yang menjadi pathokan adalah bahasa yang digunakan Allah
s.w.t. yang bersifat umum, yaitu “wahai sekalian manusia”.
Menurut Quraish Shihab, kehadiran Rasul s.a.w. yang dinyatakan dengan kata-kata, “datang
kepada kamu” dan juga pernyataan bahwa yang beliau bawa adalah tuntunan dari “Tuhan
(Pembimbing dan Pemelihara) kamu”, itu dimaksudkan sebagai rangsangan kepada mitra
bicara (kamu) agar menerima siapa yang datang dan menerima apa yang dibawanya.
Karenanya, wajib bagi yang didatangi untuk menyambutnya dengan gembira.[2]
Dengan demikian, sesungguhnya ayat ini berkaitan dengan objek pendidikan secara global,
yaitu seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Artinya menjadi kewajiban setiap muslim
untuk memiliki misi mendidik seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Allah
dalam surat Ali Imran: 110, bahwasanya umat Islam adalah khaira ummah atau umat yang
terbaik.
Surat At-Tahrim: 6
ال شداد غالظ مالئكة عليها والحجارة اس الن وقودها نارا وأهليكم أنفسكم قوا آمنوا ذين ال ها أي يا
: التحريم ( يؤمرون ما ويفعلون أمرهم ما ه الل )6يعصون
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,
dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Dalam ayat tersebut jelaslah bahwa umat Islam diperintahkan agar sebagian dari mereka
memberitahukan kepada sebagian yang lain, apa yang dapat menjaga dan menjauhkan
mereka dari apa neraka. Al-Maraghi menjelaskan bahwa proses penjagaan tersebut melalui
nasehat dan pengajaran. Hal ini senada dengan yang terdapat dalam surat Thaha: 132 berikut
ini:[3]
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu
dalam mengajarkannya.” (QS. Thaha: 132)
Kemudian ada riwayat dari Umar yang semakin memperjelas ayat di atas. Ketika turun ayat
tersebut, Umar berkata, “Wahai Rasulullah, kita dapat menjaga diri kita sendiri, tetapi
bagaimana kita menjaga keluarga kita?” lalu Rasulullah menjawab, “Kamu larang mereka
mengerjakan apa yang dilarang Allah untukmu dan kamu perintahkan mereka, apa yang
diperintahkan Allah kepadamu. Itulah penjagaan antara diri mereka dengan neraka.
Al-Maraghi juga menjelaskan tentang riwayat dari Ali bin Abi thalib tentang ayat tersebut.
Kata Ali, “Ajarilah dirimu dan keluargamu tentang kebaikan dan didiklah mereka.”
Sedangkan keluarga di sini maksudnya adalah isteri, anak dan hamba sahaya.[4]
Di dalam ayat ini, menurut Al-Maraghi ada isyarat kewajiban seorang suami mempelajari
fardhu-fardhu agama yang diwajibkan baginya dan kemudian mengajarkannya kepada
mereka.[5] Karenanya, Adh-Dhahhak dan Muqatil secara terang-terangan mengatakan,
sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, bahwa wajib bagi seorang muslim untuk mengajarkan
kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah dan larangan-larangan yang dicegah Allah,
kepada keluarganya, yang meliputi kerabat dan hamba sahaya.[6]
Jadi dalam surat At-tahrim: 6 ini, objek pendidikan tidak lagi disebutkan oleh Allah s.w.t.
secara global sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Nisa’ sebelumnya. Objek
pendidikan dalam ayat ini lebih spesifik lagi, yaitu keluarga, dan keluarga itu adalah anak,
isteri dan hamba sahaya.
Surat Asy-Syu’ara’: 214-216
. . بريء ي إن فقل عصوك فإن المؤمنين من بعك ات لمن جناحك واخفض األقربين عشيرتك وأنذر
: الشعراء ( تعملون )216-214مما
Artinya:
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka
mendurhakaimu maka Katakanlah, ‘Sesungguhnya Aku tidak bertanggung jawab terhadap
apa yang kamu kerjakan’” (QS. Asy-Syu’ara’: 214-216)
Dalam ayat ini, Allah s.w.t. memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w. untuk member
peringatan kepada kaum kerabantnya yang terdekat dan agar bergaul dengan orang-orang
mukmin dengan lemah lembut. Imam Bukhari dan Imam Muslim menyebutkan riwayat dari
Ibnu Abbas r.a.,[7] bahwa ketika Allah menurunkan ayat di atas, Nabi s.a.w. naik ke bukit
Shafa lalu berseru, “Wahai orang-orang, sudah pagi.” Lalu orang-orang berkumpul
kepadanya, ada yang datang sendiri dan ada yang mengutus utusannya. Kemudian Rasulullah
s.a.w. berpidato, “Wahai Bani Abdul Muththalib, wahai Bani Fihr, wahai Bani Lu’ay, apa
pendapat kalian jika aku memberitahu kalian bahwa di kaki bukit ini ada seekor kuda yang
hendak menyerang kalian, apakah kalian mempercayai aku?” Mereka menjawab, “Ya, kami
mempercayai anda.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku memperingatkan kalian akan azab
yang sangat keras.” Abu Lahab berkata, “Celakalah kamu untuk selama-lamanya! Apakah
hanya untuk ini kamu memanggil kami?” Maka Allah ta’ala menurunkan surat Al-Lahab, di
antaranya sebagai berikut:
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan binasa.” (Al-Lahab: 1)
Menurut Al-Maraghi, pemberian peringatan dalam surat Asy-Syu’ara’: 214 di atas, sifatnya
adalah pemberian peringatan secara khusus, dan ini merupakan bagian dari peringatan yang
bersifat umum, yang untuk itulah Rasulullah s.a.w. diutus. Sebagaimana firman Allah s.w.t.:
[8]
“Dan agar kamu member peringatan kepada (penduduk) Ummul qura (Makkah) dan orang-
orang yang berada di lingkungannya.” (QS. Al-An’am: 92)
Al-Maraghi juga menambahkan, bahwa kedekatan nasab atau keturunan tidak memberi
manfaat sama sekali seandainya jalan keimanan yang ditempuh berbeda. Dalam kisah ayat di
atas terdapat dalil pembolehan interaksi antara mukmin dan kafir, serta memberinya petunjuk
dan nasehat.[9]
Lalu dua ayat selanjutnya -ayat 215 dan 216- menerangkan tentang perintah agar rasulullah
s.a.w. bersikap lemah lembut terhadap pengikutnya, karena itulah yang lebih tepat buat Nabi,
lebih menarik hati pengikutnya, membuat kecintaan mereka pada Nabi, serta lebih
mendatangkan pertolongan dan keikhlasan mereka dalam berjuang bersama Nabi s.a.w..
Namun demikian, seandainya kaum keluarga yang diberi peringatan oleh Rasulullah s.a.w.
itu mendurhakai Rasul s.a.w., maka hal itu tidak akan mendatangkan kemudharatan
sedikitpun pada Rasul. Rasul juga tidak berdosa karena apa yang mereka lakukan. Seolah-
olah Allah s.w.t. mengatakan pada Nabi-Nya, Katakanlah kepada mereka, sesungguhnya aku
berlepas diri dari kalian dan dari perbuatan kalian menyeru tuhan yang lain bersama Allah
ta’ala. Sesungguhnya kalian akan mendapat balasan atas dosa kalian pada hari di mana harta
dan anak lelaki tidak berguna, kecuali orang yang dating kepada Allah dengan hati yang
bersih dari segala dosa.[10]
Surat Nuh: 1-4
. نذير لكم ي إن قوم يا قال أليم عذاب يأتيهم أن قبل من قومك أنذر أن قومه إلى نوحا أرسلنا ا إن
. أجل. إن مسمى أجل إلى ويؤخركم ذنوبكم من لكم يغفر وأطيعون قوه وات ه الل اعبدوا أن مبين
: نوح ( تعلمون كنتم لو ر يؤخ ال جاء إذا ه )4- 1الل
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan),
‘Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih’. Nuh berkata:
‘Hai kaumku, Sesungguhnya Aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada
kamu. (Yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku.
Niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu
(memanjangkan umurmu) sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan
Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu Mengetahui’.” (QS. Nuh:
1-4)
Dalam rangkaian ayat di atas, Allah memberitahukan bahwa Dia pernah mengutus Nuh
kepada kaumnya dan memerintahkan kepadanya agar dia memperingatkan kepada mereka
mengenai azab Allah yang akan menimpa mereka itu. Kata Nuh kepada kaumnya, “Wahai
kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepadamu. Kamu haruslah
menyembah Allah dan mentaati-Nya. Jika kamu lakukan yang demikian, tentu Allah akan
mengampuni dosa-dosamu, memanjangkan umurmu dan melepaskan darimu siksa-Nya.
Siksa Allah itu bila datang tidak dapat ditolak dan dihindarkan, karena Dialah Yang Maha
Agung lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Maha Mulia yang tunduk kepada
kemuliaan-Nya seluruh makhluk.[11]
Menurut Al-Maraghi, para ulama menyimpulkan bahwa ketaatan, kebaktian dan silaturrahim
itu benar-benar dapat memanjangkan umur. Hal itu dikarenakan ketakwaan dan ketaatan itu
menyebabkan kesucian ruh dan kebersihan raga, sehingga pada akhirnya dapat
memanjangkan umur. Dengan demikian, keamanan dapat terjamin, keutamaan tercapai dan
keuntungan materi terwujud.[12]
Kata-kata dalam ayat keempat surat Nuh di atas tidaklah saling bertentangan. Walaupun
Allah mengatakan akan menangguhkan umur (memanjangkan umur) jika mereka beriman,
tapi hal itu tidak bertentangan dengan kalimat setelahnya bahwa apabila ajal telah datang,
maka tidak dapat ditangguhkan. Penjelasannya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Az-
Zamakhsyari, bahwa Allah s.w.t. misalnya menntukan batas usia normal kaum Nuh jika
mereka beriman itu adalah 1000 tahun. Akan tetapi jika mereka tetap kafir, maka umurnya
hanya sampai permulaan 900 tahun. Oleh karenanya Allah memerintahkan mereka agar
beriman, sehingga mereka tetap ditangguhkan usianya hingga usia normal terpanjang, yaitu
1000 tahun tadi.[13]
Dalam surat Nuh di atas, Allah s.w.t. memerintahkan Nabi Nuh untuk memberikan pelajaran
keimanan dan mendidik kaumnya agar mereka tidak dihukum oleh Allah s.w.t. Oleh
karenanya, objek pendidikan dalam surat ini adalah sebuah kaum atau sebuah bangsa, yang
dalam hal ini diwakili oleh bangsa Nabi Nuh a.s..
Penutup
Dengan demikian, dari empat rangkaian ayat yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan
bahwasanya ketika Allah s.w.t. berbicara tentang objek pendidikan, maka objek pendidikan
itu sesungguhnya meliputi seluruh umat manusia. Kemudian Allah s.w.t. menguraikan satu
per satu objek pendidikan yang harus dilakukan, khususnya oleh umat Islam yang mentaati-
Nya. Pada urutan pertama, mereka adalah keluarga kita sendiri, yakni isteri, anak dan hamba
sahaya, walaupun untuk saat ini sudah tidak ada lagi hamba sahaya. Kemudian urutan kedua
adalah kaum kerabat atau famili kita, yang meliputi orang-orang yang secara hubungan darah
masih dekat dengan kita, selain isteri dan anak. Dan urutan terakhir dari objek pendidikan
adalah bangsa kita, yang membersamai kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Jika mereka semua mampu kita didik sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah
s.w.t., maka Allah s.w.t. akan memanjangkan usia kita dan memberikan banyak keberkahan
buat kita.
Daftar Pustaka
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir Al-Maraghi, Kairo, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah
Mushthafa Al-Baby Al-Halaby wa Auladuhu bi Mishra, 1966.
Az-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar bin Muhammad (w. 538 H), Al-
Kasysyaf ‘an Haqaiqi Ghawaamidhi at-Tanziil wa ‘Uyuuni al-Aqaawiil fi Wujuuhi at-
Ta’wiil, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995, cet. I.
Ibnu Katsir, Imam, Tafsir al-Qur’aani al-‘Adziimi, Beirut, Dar al-Fikr, 1992.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta, Lentera Hati, 2001, cet. I.
[1]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Kairo: Syirkah Maktabah wa
Mathba’ah Mushthafa Al-Baby Al-Halaby wa Auladuhu bi Mishra, 1966), juz 6, hlm. 26-27.
[2]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2001), cet. I, vol. 2, hlm.
644.
[3]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir …, juz 29, hlm. 162.
[4]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 29, hlm. 162.
[5]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 29, hlm. 162.
[6]Imam Ibnu Katsir Al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’aani al-‘Adziimi (Beirut: Dar al-
Fikr, 1992), vol. 4, hlm. 470.
[7]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 19, hlm. 109.
[8]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 19, hlm. 110.
[9]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 19, hlm. 111.
[10]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 19, hlm. 111.
[11]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 29, hlm 78.
[12]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 29, hlm 80.
[13]Az-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar bin Muhammad (w. 538 H),
Al-Kasysyaf ‘an Haqaiqi Ghawaamidhi at-Tanziil wa ‘Uyuuni al-Aqaawiil fi Wujuuhi at-
Ta’wiil (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), cet. I, vol. 4 , hlm. 603
https://archive.org/details/4.25TafsirAlMishbahMetroTV1429HSuratAnNisaaAyat1