2.pengelolaan hemat air dan teknologi pemupukan berbasis organik untuk perbaikan tanah sawah dan...
TRANSCRIPT
26
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Padi merupakan salah satu komoditas yang paling penting di Indonesia sejak
tanaman ini menjadi makanan pokok bagi sebagian masyarakat. Peningkatan
produksi padi untuk memenuhi kebutuhan penduduk merupakan salah satu isu
utama dalam program pembangunan Indonesia. Indonesia merupakan negara
terpadat keempat terbesar di dunia dengan 237 juta orang pada tahun 2010, setelah
Cina, India dan Amerika Serikat. Meskipun pertumbuhan penduduk telah
menurun dari 2,4% per tahun selama tahun 1960-an, awal 1970-an 1,3%, dan
dalam waktu dekat diperkirakan menurun menjadi kurang dari 0,9%, populasi
meningkat terus menerus dan bisa menjadi dua kali lipatnya pada tahun 2050
(kepadatan populasi adalah 480 juta). Tingkat konsumsi beras adalah sekitar 139
kg beras per kapita per tahun, termasuk tertinggi di dunia dibandingkan dengan
Jepang, Malaysia, dan Thailand hanya sekitar 45 kg, 80 kg dan 90 kg per kapita
per tahun. Saat ini konsumsi beras adalah sekitar 33 juta ton per tahun dan
diperkirakan meningkat menjadi 38,5 juta ton pada tahun 2025 (Suryana, 2008;
Simarmata, 2008; Apryantono, 2008: McCulloch, 2008 dalam Simarmata dkk.,
2011). Jadi, produksi padi harus meningkat setidaknya 4 - 5 % per tahun untuk
menjamin keberlanjutan ketahanan pangan .
Luasan budidaya padi di Indonesia ada sekitar 10 juta ha, meliputi 7,9 juta ha
tanah sawah (padi sawah) dan sisanya adalah padi gogo. Pertumbuhan padi di
Indonesia telah berubah secara dramatis selama lima dekade terakhir. Produksi
padi atau produktivitas padi telah meningkat secara signifikan dari 9 juta ton padi
(produktivitas sekitar 2,5 ton per ha) pada awal 1970 menjadi 29 juta ton pada
tahun 1989 (4,23 ton per ha), dan menjadi 60 juta ton pada tahun 2009 (4,6 ton
per ha). Peningkatan produksi padi sangat berkorelasi dengan adopsi teknologi
baru, mekanisasi, penggunaan bahan kimia (pupuk, agen perlindungan tanaman)
dan penggunaan air irigasi yang maju (ISB, 2004; ISB ,2009; Simarmata, 2009 ;
FAO, 2004 dalam Simarmata dkk., 2011).
Tantangan dalam bidang pertanian adalah meningkatkan produksi agar
pemenuhan permintaan untuk pangan tersedia secara berkelanjutan. Penurunan
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
kesehatan tanah dan kualitas tanah, kelangkaan air dan pengelolaan unsur hara
tanaman yang salah membuat tantangan ini lebih sulit. Dapatkah pertanian
menyediakan makanan yang cukup bagi Indonesia dan bagaimana keberlanjutan
produktivitas padi dan ketahanan pangan? Data terbaru mengungkapkan bahwa
penggunaan pupuk secara intensif yang telah diperkenalkan selama lima dekade
terakhir mungkin telah mencapai titik dimana unsur hara semakin berkurang atau
bisa disebut sudah mencapai ke tingkat yang jenuh (Simarmata dan Joy, 2011;
Abdullah et al 2006; Anthofer, 2004: FSD, 2009).
Pertumbuhan penduduk yang pesat di Indonesia tidak hanya menyebabkan
budidaya pertanian harus dilakukan secara intensif, tetapi juga mempercepat
konversi lahan dari lahan pertanian ke penggunaan non pertanian dan degradasi
lahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Penggunaan pupuk anorganik
dan produk agrokimia secara intensif selama revolusi hijau (awal tahun 1960)
telah memberikan dampak yang besar pada penurunan kesehatan dan kualitas
tanah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan baru-baru ini, kandungan bahan
organik tanah dari tanah pertanian telah mengalami penurunan yang pesat dalam
30 tahun. Diperkirakan sekitar 70 % dari tanah sawah di Indonesia memiliki
kandungan organik rendah (<2% kandungan organiknya) dan ketersediaan unsur
haranya pun rendah. Tanah sawah di Indonesia kebanyakan telah mengalami
degradasi atau penurunan kualitas dan dapat dikategorikan sebagai tanah yang
tidak sehat atau tanah sakit dan sudah memasuki fase yang disebut kelelahan
tanah (Simarmata dan Joy, 2011). Luasnya tanah sawah yang sakit terus
meningkat karena tidak efisiennya penggunaan pupuk anorganik, terutama
nitrogen dan kesalahan dalam pengelolaan bahan organik tanah. Penggunaan
pupuk nitrogen yang berlebih dapat mempercepat dekomposisi bahan organik
tanah (Ingham, 2001: Simarmata, 2009: Abbott dan Murphy, 2004: Gupta dan
Rog, 2004; Sullivan, 2004 dalam Simarmata dkk., 2011). Banyak upaya yang
telah dilakukan untuk mengantisipasi dan memecahkan masalah ini. Penerapan
pertanian ramah lingkungan (praktek pertanian organik dan praktek pertanian
yang baik) menjadi penting dan berkembang pesat. Upaya untuk memulihkan atau
mengembalikan kesehatan dan kualitas tanah pertanian yang terdegradasi telah
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
dilakukan sejak 10 tahun terakhir dengan menggunakan pupuk organik dan
amelioran tanah (Simarmata dkk., 2011).
Kunci keberhasilan dari usaha perbaikan tanah (pemulihan) dan memelihara
kesehatan tanah sawah sangat berkorelasi dengan pengelolaan bahan organik
tanah yang baik dan praktek pertanian yang baik secara berkelanjutan. Pupuk
berbasis organik dengan menggunakan jerami padi atau kompos jerami sebagai
sumber utama pupuk organik untuk tanah sawah tidak hanya bisa memperbaiki
dan meningkatkan kesehatan tanah, tetapi juga mengurangi penggunaan pupuk
anorganik secara signifikan. Penggunaan kompos jerami tidak hanya memperbaiki
dan meningkatkan kesehatan tanah, tetapi juga dapat mengurangi aplikasi pupuk
anorganik setidaknya 25% - 50%. Khususnya, masalah pemenuhan pasokan silika
dan kalium dapat teratasi dengan penggunaan kompos jerami. Setiap 5 ton jerami
mengandung sekitar 70 - 100 kg urea, 50 - 60 kg super fosfat dan 100 - 150 kg
KCl (Dobermann and Fairhurst, 2002; Husnain et al., 2008; Simarmata, 2009;
Turmuktini et al., 2010 dalam Simarmata dkk., 2011).
Budidaya padi (sawah) sangat tergantung pada pasokan air (irigasi) dan
membutuhkan sekitar 3000-5000 liter air untuk memproduksi 1 kg gabah.
Meningkatnya kelangkaan air mengancam keberlanjutan sistem produksi padi
irigasi dan karenanya ketahanan pangan serta mata pencaharian produsen beras
dan konsumen. Tugas menjadi lebih sulit karena perubahan iklim global. Oleh
karena itu, penggunaan air yang lebih efisien harus dilakukan dalam produksi
padi. Beberapa strategi dan manajemen sedang diusahakan untuk mengurangi
kebutuhan air pada budidaya padi, seperti alternatif pembasahan dan pengeringan,
sistem penutup tanah, sistem intensifikasi padi (SRI), padi aerobik dan
penggunaan bedengan (Uphoff 2004, Yuan et al., 2004, Yang dkk., 2004; .
Wikipedia, 2009; Namara et al., 2004; Ho, 2004; Simarmata dan Yuwariah, 2009
dalam Simarmata dkk., 2011).
Sejak tahun 2006 Simarmata., dkk telah mengembangkan sistem intensifikasi
padi aerob terkendali berbasis organik (IPAT - BO) untuk meningkatkan aktifitas
biologis tanah (keanekaragaman hayati) dan untuk memberikan kondisi yang
menguntungkan bagi pertumbuhan akar padi serta meningkatkan pertumbuhan
dan hasil padi (Simarmata, 2008 dalam Simarmata dkk., 2011). Teknologi ini
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
merupakan sistem produksi padi dengan menggunakan dan mengintegrasikan
kekuatan biologi tanah, tanaman, pupuk dan pengelolaan air sesuai dengan
rencana. Tujuan utama dari IPAT-BO menurut Simarmata dkk. (2011) adalah
menghemat air dan memakai teknologi pupuk berbasis organik, selain itu tujuan
lainnya adalah (1) untuk memulihkan, meningkatkan dan menjaga kesehatan serta
kualitas tanah sawah, (2) untuk meningkatkan produktivitas padi secara
berkelanjutan, (3) menciptakan kondisi budidaya yang efisien dan ramah
lingkungan khususnya untuk tanah sawah dalam praktek budidaya padi sawah, (4)
mengurangi aplikasi pupuk anorganik setidaknya 25 %.
Pelaksanaan IPAT-BO sekarang mulai banyak diadopsi di beberapa provinsi
di Indonesia (Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Bali, dan lain-lain) hal
tersebut menunjukkan praktek budidaya tersebut berhasil (menguntungkan) dan
hasil padi pun tinggi sekitar 50 - 100% dibandingkan dengan metode tradisional
tergenang (anaerob permanen) serta mampu menghemat air irigasi secara
signifikan. Hasil gabah yang tinggi ini sangat berkorelasi dengan zona akar yang
bertambah luas sekitar 4 - 10 kali dari biasanya, jumlah anakan produktif sekitar
60-80 anakan, jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah/malai, dan juga
meningkatkan keanekaragaman hayati tanah (organisme menguntungkan) dalam
kondisi aerobik. Teknologi IPAT-BO ini dikombinasikan dengan daur ulang
jerami sebagai pupuk organik atau kompos jerami sehingga mampu mengurangi
pupuk anorganik hingga 25 - 50 %, mengurangi air irigasi sebesar 30 - 50% ,
meningkatkan keanekaragaman hayati tanah dan ketersediaan hara serta tujuan
akhirnya adalah meningkatkan hasil padi setidaknya 25% lebih baik dibandingkan
dengan metode konvensional dan menghasilkan sekitar 6-11 ton gabah padi per
hektar (Simarmata 2008; Simarmata 2009 dalam Simarmata dkk., 2011). Makalah
ini membahas mengenai ulasan tentang IPAT-BO dalam penghematan air dan
teknologi jerami kompos untuk memulihkan atau perbaikan tanah, meningkatkan
dan mempertahankan kesehatan tanah sawah untuk meningkatkan produktivitas
padi dan menjamin keamanan pangan secara berkelanjutan.
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah agar kita dapat
mengetahui produksi padi dengan metode Intensifikasi Padi Aerob Terkendali
Berbasis Organik (IPAT-BO) untuk meningkatkan produktivitas padi. Selain itu,
makalah ini disusun untuk memenuhi tugas “Teknologi Produksi Tanaman IV”.
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Intensifikasi Padi Aerob Terkendali-Berbasis Organik
Intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik (IPAT-BO) adalah sistem
produksi padi dengan mengintegrasikan kekuatan biologi tanah, tanaman, pupuk
(pupuk organik, pupuk hayati dan pupuk anorganik) dan pengelolaan air untuk
mencapai tujuan utama yang ditargetkan. Tujuan utama IPAT-BO adalah untuk
mencapai dan mempertahankan produktivitas padi yang tinggi, memperbaiki dan
meningkatkan kesehatan agroekosistem (kualitas tanah & kesehatan tanah),
termasuk keanekaragaman hayati, siklus biologis dan aktifitas biologis tanah.
Oleh karena itu, memaksimalkan input lokal, terutama pupuk organik (kompos
jerami, kotoran sapi atau lainnya) dan pupuk hayati menjadi prioritas utama dan
dikenal dengan istilah Low External Inputs for Suistainable Rice Cultivation
(LEISRC) atau input eksternal rendah untuk budidaya padi berkelanjutan
(Simarmata, 2008 dalam Simarmata dkk., 2011).
Pengelolaan input lokal dirancang untuk mengoptimalkan proses biologis
dalam mencapai produktivitas padi yang diinginkan (output) dan kualitas
lingkungan yang lebih baik. Sistem intensifikasi padi aerob terkendali berbasis
organik ini memanfaatkan yang sudah ada atau tersedia di alam dengan
mengoptimalkan bahan organik dan aplikasi pupuk hayati, air, dan pengelolaan
budidaya yang baik untuk meningkatkan kinerja biologi tanah serta
meminimalkan penggunaan pupuk anorganik (Simarmata dkk., 2011).
2.2. Pilar IPAT-BO
Kunci keberhasilan sistem intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik
(IPAT-BO) dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman padi dan aktifitas biologi
tanah (daya biologi tanah) di dalam tanah sangat tergantung pada empat konsep
dasar atau pilar IPAT-BO menurut Simarmata dkk. (2011), sebagai berikut: (1)
ekosistem tanah sawah, (2) kehidupan tanah sebagai pupuk pabrik alami (pupuk
hayati tanaman) atau bioreaktor, (3) kekuatan biologis dalam beras, dan (4)
pengelolaan unsur hara terpadu.
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
a. Perubahan Ekosistem Padi
Sejak dahulu ekosistem padi ditandai dengan adanya genangan permanen.
Akibatnya, semua organisme aerobik tidak bisa hidup dalam tanah karena
kehabisan oksigen, yang diperlukan untuk respirasi aerobik. Kekurangan oksigen
menyebabkan kondisi anaerob dan memberikan efek negatif yang signifikan
terhadap aktifitas organisme yang menguntungkan dan pertumbuhan akar. Dengan
mengubah ekosistem padi dari anaerobik (tergenang permanen) dengan kondisi
aerobik menghasilkan perubahan yang signifikan dalam tanah, terutama pada
aktifitas biologis tanah dan pertumbuhan akar. Kondisi lembab pada tanah hingga
kondisi berlumpur dapat menyebabkan oksigen tersedia bagi respirasi organisme
tanah. Fauna meso dan mikro memainkan peranan penting untuk menciptakan dan
membangun lubang atau pori-pori tanah kecil yang sangat penting untuk udara
dan suplai oksigen dalam kondisi berlumpur (cacing). Lubang ini mendukung
aktifitas biologis dalam tanah dan menyebabkan kekuatan biologi tanah
meningkat kembali. Lubang yang dibuat oleh cacing ini mengandung banyak zat
pertumbuhan makro atau mikro dan unsur hara penting lainnya, seperti vitamin.
Sebaliknya di bawah genangan permanen, tidak ada aktifitas cacing (biota aerob)
sehingga tidak ada lubang atau pori di permukaan tanah sawah (Uphoff 2004;
Hengsdijk, dan Bindraban, 2001; Simarmata, 2008; Bouman et al., 2002 dalam
Simarmata dkk., 2011). Selain itu, pertumbuhan akar dan aktifitas mikroba
meningkat drastis pada kondisi aerob dengan kondisi tanah macak-macak
(Gambar 1).
Populasi mikroba menguntungkan (pemecah masalah nitrogen nonsimbiotik
seperti Azotobacter sp. & Azospillum sp. dan bakteri pelarut fosfat) dan
pertumbuhan akar meningkat sangat drastis dibandingkan dengan kondisi
anaerobik (Simarmata, 2008 dalam Simarmata dkk., 2011). Sistem perakaran padi
aerobik dengan kondisi berlumpur adalah sekitar 5-10 kali lebih besar dari
ekosistem padi yang digenangi permanen. Jika sistem akar berkembang optimal
dengan produksi padi, potensi hasil dari berbagai varietas padi dapat meningkat
setidaknya 2 sampai 3 kali. Oleh karena itu, perubahan ekosistem padi yang
sebelumnya digenangi permanen perlu dilakukan. Ekosistemnya dirubah menjadi
aerob (tanah macak-macak) untuk mendapatkan kondisi yang aerob (kapasitas
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
lapang untuk berlumpur) sehingga peningkatan produksi padi tercapai dan
penghematan air irigasi bisa tercapai.
Gambar 1. Perakaran dengan sistem IPAT-BO dalam kondisi aerob 3-5 kali lebih
besar dibandingkan dengan kondisi anaerob
Sumber: Simarmata dkk. (2011)
b. Makhluk Hidup Tanah sebagai Faktor Pupuk Hayati
Ekosistem tanah sawah dalam keadaan aerobik dengan kondisi berlumpur dan
sistem yang sangat kompleks ditandai secara biologi, kimia dan proses fisik yang
nyata dipengaruhi oleh faktor lingkungan hidup. Mikroorganisme yang hidup di
dalam tanah bersama-sama dengan enzim exocellular meso fauna dan makro
fauna tanah melakukan semua reaksi yang dikenal reaksi metabolik. Satu hektar
humus subur sehat mengandung sekitar 1200 kg bakteri, 1200 kg actinomycetes,
2400 kg cetakan, 120 kg ganggang, 240 kg protozoa, 51 kg nematoda, 120 kg
serangga, 1200 kg cacing dan 2400 kg dari akar tanaman. Satu per gram tanah
lembab dalam rhizosfer berisi sekitar 1.200 x 106 bakteri, 46 x 10 actinomycetes,
12 x 105 jamur dan 5 x 103 alga (Sullivan, 2001; Ingham, 2001 dalam Simarmata,
2011). Semua organisme ini dari bakteri kecil hingga besar cacing tanah dan
serangga makan, tumbuh dan berinteraksi dalam ekosistem tanah untuk
membentuk jaring makanan yang mempengaruhi ekosistem tanah sawah secara
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
signifikan. Jaringan makanan adalah komunitas organisme hidup seluruh atau
sebagian besar hidup mereka di tanah dan disebut sebagai komponen hidup tanah.
Oleh karena itu di bawah kondisi aerobik berlumpur, tanah sawah adalah tempat
hidup dan bertindak sebagai pembuatan pupuk hayati alam atau tanaman. Adanya
organisme tanah yang menguntungkan bagi ketersediaan hara cukup besar.
Masalah nitrogen nonsimbiotik dapat diselesaikan dan dimanfaatkan hingga 50 -
100 kg N per hektar, mikroba pelarut fosfat dapat meningkatkan ketersediaan P
hingga 50%. Selain itu, dengan ditambahkan jerami tingkat mineralisasi lebih
cepat memberikan nutrisi dan energi untuk aktifitas biologis dalam mendukung
pertumbuhan padi. Tanah yang tergenang atau di bawah kondisi anaerob akan
menyebabkan tanah sebagai pembuat pupuk alami menjadi tidak bermanfaat,
sementara petani menghabiskan banyak uang untuk membeli pupuk organik
(Uphoff, 2004; Simarmata, 2008 dalam Simarmata dkk., 2011).
Tanah sawah sebagai pabrik pupuk alami (bioreaktor) membutuhkan sumber
energi yang cukup untuk memungkinkan mesin bekerja dengan baik. Sumber
energi untuk mesin biologis bergantung pada ketersediaan bahan organik. Bahan
organik adalah poin penting dari masuknya energi kimia menjadi ekosistem tanah
sawah. Akibatnya, aktifitas mikroba heterotrofik, seperti bakteri, jamur dan
actinomycetes yang bergantung dengan adanya bahan organik. Kehadiran mikroba
sebagai tingkat trofik pertama memungkinkan aliran energi untuk tingkat trofik
berikutnya dalam jaringan makanan. Sebagai organisme yang menguraikan bahan
kompleks, atau mengkonsumsi organisme lain, nutrisi akan diubah dari satu
bentuk ke bentuk bentuk lain, dan dibuat tersedia bagi tanaman dan organisme
tanah yang lain. Organisme tanah melepaskan mineral yang terikat, mengubahnya
menjadi unsur yang tersedia untuk tanaman yang tumbuh di jaringan. Organisme
yang tidak terlibat langsung dalam mendekomposisi limbah tanaman dapat
memberi makan pada satu sama lain atau produk limbah lain atau zat lain yang
dibuatnya. Di antara zat yang dilepaskan oleh berbagai mikroba adalah vitamin,
asam amino, gula, antibiotik, gusi, dan lilin, yang sangat penting untuk
mempertahankan tanah tetap hidup dan sehat. Hal ini tidak mengherankan bahwa
tanah sawah aerobik dengan kondisi berlumpur dibajak dan diberi pupuk oleh
organisme tanah (Ingham, 2001; Sullivan, 2004 dalam Simarmata, 2011).
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
Kerja pupuk hayati sangat tergantung pada pengelolaan air dan bahan organik
(pupuk organik). Pengelolaan air atau suplai air irigasi bertujuan untuk menjaga
kondisi tanah sawah di bawah kapasitas lapang dengan kondisi berlumpur dan
untuk memenuhi kebutuhan air padi. Kondisi air atau permukaan air diatur
melalui kanal air. Jarak antara kanal air dapat berkisar dari 5 - 10 m tergantung
pada tingkat tanah sawah. Jerami padi digunakan sebagai sumber bahan organik
utama untuk memasok energi kimia ekosistem tanah dan nutrisi penting (makro
dan mikro) untuk tanaman padi. Penerapan jerami kompos atau pupuk organik
lainnya berperan penting dalam merangsang pertumbuhan mikroba yang
menguntungkan (penambat N, pelarut fosfat dan bakteri penghasil fitohormon)
dan penyedia bahan organik untuk fauna tanah. Penerapan pupuk organik
ditingkatkan sangat direkomendasikan, relatif tingginya kandungan nutrisi
(tingginya kandungan zat humat) dan zat bioaktif lainnya seperti asam amino,
gula, dan vitamin. Keunggulan produk ini termasuk mudah penanganan dan
aplikasi, relatif rendah ditingkat aplikasi (dosis), kualitas standar, relatif bebas dari
kontaminan (biji gulma dan penyakit tular tanah) dan berlangsung lebih lama di
tanah (Simarmata dkk., 2011).
c. Kekuatan Biologis Padi
Sejak dahulu, masyarakat dan ilmuan percaya bahwa padi merupakan tanaman air
dan tumbuh baik di genangan air. Namun baru-baru ini diketahui bahwa padi
bukanlah tanaman air. Meskipun padi dapat bertahan ketika akarnya terus
menerus terendam air, tetapi tidak akan tumbuh di bawah kondisi kekurangan
oksigen. Padi tidak tumbuh dengan baik dalam genangan air ketika akarnya hanya
mendapat oksigen langsung dari udara. Dalam kondisi terendam, akar tumbuh
terbatas dan tanaman padi mengeluarkan banyak energi serta beberapa bagian
korteks pada akar hancur membentuk kantong udara (jaringan penyimpan udara
(aerenkim) sehingga oksigen dapat mencapai jaringan akar. Selain itu, dalam
kondisi tergenang hingga ¾ dari akar akan mati pada saat berbunga (pembentukan
malai) (Uphoff, 2004; Simarmata, 2008 dalam Simarmata dkk., 2011). Hasil
lapangan menunjukkan bahwa ruang yang lebih luas dikombinasikan dengan
pengelolaan air dan hara yang baik dapat meningkatkan jumlah anakan dan
pertumbuhan yang signifikan (Gambar 2).
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
Gambar 2. Jumlah anakan sekitar 60-80 per rumpun dan kenampakan
pertumbuhan padi IPAT-BO (varietas Ciherang), saat padi tergenang hanya
menghasilkan 20-30 anakan
(Dok. Simarmata, 2006-2007 dalam Simarmata, 2011)
Pengelolaan air berfokus untuk mempertahankan kondisi aerobik pada padi
sawah macak-macak. Dua bibit muda yang berumur 8-12 hari ditanam dengan
jarak 5 cm dikombinakasikan dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm atau 30 cm x 35
cm. Jarak yang luas dimaksudkan agar akar bibit tunggal tumbuh secara mandiri
pada tahap awal. Pemakaian pupuk organik bertujuan untuk mengamankan
pasokan nutrisi yang cukup dan untuk menjaga aktifitas biologis optimal dalam
ekosistem tanah (Simarmata dkk., 2011).
d. Pengelolaan Unsur Hara
Budidaya padi secara intensif menyebabkan unsur hara yang melimpah hilang
dari ekosistem tanah sawah. Aplikasi pemupukan tradisional dalam budidaya padi
difokuskan hanya pada unsur hara primer seperti N, P, dan K, terutama nitrogen
(sangat murah karena harga bersubsidi). Akibatnya menyebabkan penurunan
unsur hara dalam tanah. Selain itu, aplikasi nitrogen yang berlebihan akan
mempercepat dekomposisi bahan organik tanah membahayakan lingkungan
(pencemaran kualitas tanah, air, dan udara). Setidaknya ada enam belas atau
mungkin sembilan belas unsur hara yang penting untuk pertumbuhan tanaman.
Semua unsur hara harus ada dalam jumlah yang cukup sesuai dengan
perkembangan atau pertumbuhan tanaman untuk menjamin produktivitas padi
yang tinggi. Oleh karena itu, pengelolaan unsur hara atau pemupukan dengan
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
metode IPAT-BO didasarkan pada orientasi keluarannya (Gambar 3). Jumlah
suplai unsur hara ke dalam agroekosistem sebagai masukan dihitung sesuai
dengan kebutuhan tanaman untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan
tanaman untuk mencapai produktivitas yang ditargetkan. Tanaman membutuhkan
unsur hara sebagai bahan baku untuk perkembangan tanaman. Ketersediaan unsur
hara dalam tanah dan agroekosistem (sifat-sifat tanah, bentang alam, dan iklim)
dan juga harus sesuai dengan karakteristik pupuk yang diberikan (kelarutan,
indeks garam, reaksi, dll) harus terintegrasi dalam merancang pengelolaan
masukan (pengelolaan bahan baku). Hal ini diperlukan untuk menjaga
keseimbangan antara masukan dan keluaran untuk menghindari kekurangan atau
kelebihan unsur hara, gangguan unsur hara dalam tanah, dan untuk menjaga
keberlanjutan sumber daya alam. Dalam jangka panjang, hal ini mungkin
bertujuan untuk mendapatkan hasil yang tinggi secara berkelanjutan ketika unsur
hara berada dalam keadaan seimbang (ketika masukan lebih besar daripada
kehilangan). Dengan demikian, unsur hara yang hilang dari tanah oleh tanaman
harus dikembalikan kepada ekologi semula (Simarmata dkk., 2011).
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
Gambar 3. Rancangan pengelolaan unsur hara terpadu berorientasi IPAT-BO
berdasarkan bagan warna daun (BWD)
Sumber: Simarmata dkk. (2011)
Dalam IPAT-BO dianjurkan penggunaan aplikasi keseimbangan bahan
organik dan mineral. Menurut Simarmata dkk. (2011), pemupukan dengan metode
IPAT-BO menghasilkan sekitar 8-12 ton gabah yang diikuti; (1) pengumpulan
jerami padi atau kompos jerami dilakukan selama pengolahan lahan, (2) satu hari
atau sebelum tanam sekitar 50 kg urea, 25 kg KCL dan 50 kg SP-36 (sebagai
alternatif adalah 50 kg urea dan 100 kg NPK) yang diaplikasikan ke dalam tanah,
(3) aplikasi sekitar 50-100 kg urea dilakukan pada 18-21 hari setelah tanam atau
setelah penyiangan pertama (bagan warna daun dapat digunakan sebagai indikator
untuk menentukan tingkat nitrogen), (4) 50-100 kg urea dan 25-50 kg KCL atau
50 kg urea dan 100-150 kg NPK (16:16:16) diaplikasikan 35-38 hari setelah
tanam. Selain itu, dapat digunakan pupuk organik cair atau multinutrisi yang
dapat memperbanyak unsur hara di dalam tanah dengan disemprotkan ke tanaman
pada 15, 25, 35, 45, dan 55 hari setelah tanam.
2.3. Ringkasan Hasil Panen Metode IPAT-BO
IPAT-BO kini banyak diadopsi dengan mengumpulkan jerami padi selama
pengolahan lahan. Bibit muda tunggal dipindahkan pada umur 8-12 hari dengan
jarak yang lebih lebar (30 cm x 30 cm atau 30 cm x 35 cm) dalam pola persegi.
Bibit ditanam pada jarak tanam (25 x 30 cm atau 30 x 30 cm atau 30 x 35 cm).
Bibit tunggal ditanam dalam metode kembar (dua bibit tunggal ditanam pada jalur
yang berjarak 5 cm pada setiap titik penanaman pada saat penanaman campuran,
disebut sebagai metode bibit kembar: “IPAT-TS” untuk memungkinkan sistem
perakaran bibit tumbuh baik pada tahap awal. Bibit ditanam dengan menarik atau
mendorong bibit semai ke dalam tanah secara vertikal hingga membentuk huruf L.
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
Dengan bentuk L seperti itu, akar akan lebih mudah untuk terus tumbuh ke bawah
tanah (Simarmata dkk., 2011).
Menurut penelitian Simarmata dkk. (2011), aplikasi air atau irigasi diperlukan
untuk mengatur kelembaban tanah di bawah kapasitas lapang dengan kondisi
macak-macak sampai awal kematangan bulir. Pengaturan air diperlukan untuk
memungkinkan akar padi tumbuh dengan baik dan untuk merangsang
pertumbuhan organisme tanah serta keanekaragaman hayati. Satu atau dua hari
sebelum penyiangan (manual atau mekanis), petak sawah irigasi digenangi air
dengan kedalaman 1-2 cm untuk mengendalikan gulma dengan mudah dan
meningkatkan aerasi tanah. Biasanya penyiangan dilakukan 3 kali (2, 4, dan 6
minggu setelah pemindahan tanam).
Hasil panen IPAT-BO dari beberapa provinsi atau kabupaten di Indonesia
menurut penelitian Simarmata dkk. (2011) dirangkum pada Tabel 1. Seperti yang
terlihat pada Tabel 1, pemakaian IPAT-BO dengan berbagai varietas padi di
bawah musim tanam yang berbeda di beberapa provinsi di Indonesia cukup
mudah untuk mencapai 40-60 anakan pada tanaman yang subur dan berisi sekitar
150-250 butir per malai. Hasil rata-rata yang berkisar 8 sampai 10 ton hasil gabah
per hektar (sekitar 50-100% lebih tinggi dibandingkan dengan cara tradisional
pada sistem padi tergenang). Hasil tertinggi sistem IPAT-BO ini adalah sekitar 12
ton per hektar pada tahun 2008 yang diperoleh di Sekolah Lapangan Pengolahan
Tanaman Terpadu, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung. Metode
IPAT-BO bukan hanya meningkatkan hasil padi tanpa menggunakan varietas
unggul, tetapi juga dapat meningkatkan hasil gabah kering sebesar 5-10%. Selain
meningkatkan hasil padi, bulir berisi lebih tinggi dibandingkan dengan bulir
hampa. Selain itu, berdasarkan hasil lapangan dan laporan kelompok tani dan
penyuluhan telah memverifikasi bahwa tanaman dengan metode IPAT-BO lebih
tahan terhadap hama dan penyakit serta lebih tahan terhadap stress abiotik atau
iklim (kekeringan). Panjang siklus tanaman juga berkurang sebesar 5-10 hari.
Semakin cepat waktu panen sangat berhubungan dengan kondisi stress persemaian
selama pemindahan tanam dan kondisi akar setelah tanam apakah dapat tumbuh
optimal tanpa adanya fase diam (produksi atau pertumbuhan akar stabil).
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
Kunci keberhasilan metode IPAT-BO tergantung pada air irigasi dan
pengelolaan pupuk. Pasokan air dengan irigasi terfokus untuk mempertahankan
kelembaban tanah pada kondisi macak-macak untuk memungkinkan sistem
perakaran dan biota tanah berkembang optimal. Berdasarkan pengalaman di
lapangan, metode IPAT-BO dapat mengurangi penggunaan air hingga 30% - 50%.
Keluaran aplikasi IPAT-BO terintegrasi yang berorientasi pemupukan ini
ditujukan untuk memberikan unsur hara yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
tanaman berdasarkan hasil yang ditargetkan dengan suatu rancangan dan untuk
meningkatkan kualitas tanah dan kesehatan tanah. Oleh karena itu, penggunaan
pupuk organik dan pupuk hayati diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan
unsur hara dan aktifitas biologis dalam tanah. IPAT-BO ini berfokus pada
penerapan jerami padi yang merupakan produk utama dalam budidaya padi. Hal
ini juga diketahui bahwa rasio antara jerami dan hasil gabah berkisar 1,0-1,5 kali.
Jerami adalah satu-satunya bahan organik tersedia dalam jumlah yang signifikan
untuk petani padi. Sekitar 40% dari nitrogen (N), 30 sampai 35% fosfor (P), 80
hingga 85% dari kalium (K), dan 40 sampai 50% dari sulfur (S) yang diambil dari
sisa tanaman padi pada bagian vegetatif saat tanaman dewasa (Dobermann and
Fairhurst, 2002 dalam Simarmata 2011).
Kandungan gizi dari setiap jerami padi sebesar 5 ton sama dengan 50 kg N, 10
kg P2O5 dan 120 kg K2O. Jerami juga merupakan sumber nutrisi penting seperti
seng (Zn) dan silika (Si). Dengan memasukkan jerami padi selama pengolahan
lahan yang dikombinasikan dengan pupuk hayati dapat mengurangi pemakaian
pupuk anorganik secara signifikan. Berdasarkan laporan lapangan, penerapan 2-6
ton/ha jerami kompos dikombinasikan dengan penggunaan pupuk hayati dan
penambahan pupuk organik cair sebagai multinutrisi (Nazarudin et al., 2010;
Simarmata, 2009 dalam Simarmata, 2011) dapat mengurangi penggunaan pupuk
anorganik sebesar 50%. Metode IPAT-BO merekomendasikan inokulasi jerami
terlebih dahulu yang bertumpuk dengan dekomposer (Trichoderma sp.) sekitar 2-
3 minggu sebelum diaplikasikan di sawah dan selama pengolahan tanah inokulan
tersebut dicampurkan ke dalam tanah untuk mempercepat dekomposisi jerami dan
untuk menekan patogen dalam jerami (Simarmata dkk., 2011).
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
Tabel 1. Ringkasan hasil gabah kering dengan sistem Intensifikasi Padi Aerob
Terkendali-Berbasis Organik di berbagai provinsi/kabupaten di Indonesia (musim
tanam 2007-2009)
2.4. Manajemen Perbaikan Tanah Sawah
2.4.1. Konsep Dasar
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
Konsep memulihkan atau perbaikan kesehatan tanah didasarkan pada fungsi
dasar tanah yang sehat di bawah ekosistem alam, seperti (1) untuk memberikan
media tumbuh yang baik untuk sistem perakaran dan organisme tanah (2)
mengatur dan membagi aliran zat terlarut; (3) penyaringan dan buffering,
menurunkan dan mendetoksifikasi bahan organik dan anorganik, termasuk dari
industri dan pengolahan rumah tangga serta endapan atmosfer, (4) menyimpan
dan memperbaharui nutrisi dan unsur-unsur lain di dalam biosfer bumi (5) untuk
mempertahankan dan memelihara keragamaan komunitas organisme tanah
(biodiversitas tanah) yang berperan penting untuk mengendalikan penyakit
tanaman, hama dan gulma, untuk membentuk asosiasi simbiosis menguntungkan
dengan akar tanaman, (6) untuk meningkatkan kualitas tanah, air dan nutrisi
kapasitas menyimpan nutrisi, (7) meningkatkan produksi tanaman (Seybold et al.,
1998 dan Ingham, 2001 dalam Siamarmata dkk., 2011).
2.4.2. Kompos Jerami untuk Memulihkan Kesehatan Tanah Sawah
Secara sederhana, fungsi utama dari pupuk organik seperti kompos jerami
dalam tanah akan berperan sebagai: (1) penyedia bahan nutrisi. Jerami padi
berasal dari sisa tanaman dan mengandung semua nutrisi penting bagi tanaman
(baik itu makro maupun mikronutriennya) dan energi kimia yang dihasilkan dari
fotosintesis. Oleh karena itu, biomassa jerami sebagai bahan organik adalah
gudang untuk nutrisi dan energi kimia. Banyak nutrisi yang baik atau energi yang
dilepaskan oleh mikroba (mineralisasi atau dekomposisi dan oksidasi zat organik).
Pelepasan nutrisi yang sangat penting untuk tanaman (bentuk tersedia untuk
tanaman) dan fraksi organik stabil (humus) menyerap dan mengikat nutrisi dalam
bentuk tersedia bagi tanaman (2) aliran energi (supply) ke ekosistem tanah, (3)
agen untuk mengaktifkan dan mengatur sistem biologis dalam tanah. dan (4) agen
untuk meningkatkan kesuburan tanah, dan kualitas tanah (Simarmata dkk., 2011).
Akibatnya, pupuk organik dalam bentuk kompos jerami sangat penting dan
memiliki peran penting dalam tanah dan dapat dikategorikan sebagai jantung
ekosistem pada tanah sawah.
Selain itu, kompos jerami yang kaya akan bahan organik karbon (30 - 40%)
mengandung sekitar 1,5% N ; 0,3 - 0,5% P2O5, 2 - 4% K2O, 3 - 5% SiO2) dan hara
mikro, seperti Cu, Zn, Mn, Fe, Cl, Mo. Sebenarnya, hasil utama budidaya padi
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
tidak menghasilkan biji-bijian itu sendiri tetapi pupuk organik dalam bentuk
jerami padi. Secara umum produksi jerami sekitar 1,5 x hasil gabah padi. Jika
produktivitas padi adalah sekitar 6 - 8 ton gabah/ha, maka produksi jerami sekitar
9 - 12 ton/ha. Jerami mengandung nutrisi dan berpotensi untuk menggantikan
pupuk anorganik, seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2: Kandungan nutrisi jerami, nilai ekonomis (IDR) yang potensial untuk
menggantikan pupuk utama anorganik (Simarmata dkk., 2011)
Seperti terlihat pada Tabel 2 di atas, penggunaan kembali jerami sebagai
pupuk organik dapat menggantikan pupuk anorganik hingga 50% dari nutrisi
utama, seperti N, P dan K., sedangkan nutrisi lainnya (Ca, Mg, Si, S) dan nutrisi
mikro (Cu, B, Zn, Fe) bisa sepenuhnya digantikan. Penerapan jerami juga
bertindak sebagai penyedia bahan bakar atau energi dalam ekosistem tanah, setiap
5 ton jerami akan memasok sekitar 2000 kg karbon organik ke dalam tanah.
Dengan demikian, aktifitas organisme tanah sangat berkorelasi dengan pasokan
jerami yang bertindak sebagai sumber energi (bahan bakar) (Simarmata dkk.,
2011).
Pengomposan jerami dengan teknologi yang tepat akan meningkatkan tidak
hanya nutrisi dan organisme menguntungkan, tetapi juga penting untuk
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
mengendalikan mikroba patogen yang telah ada dalam jerami. Peningkatan
populasi organisme dalam kompos jerami (bakteri, jamur, hewan dan lain-lain)
akan meningkatkan kualitas kompos jerami secara signifikan (Gambar 4). Secara
umum, kompos jerami sekitar 30 - 40% dari total karbon (kaya humus dan asam
organik), 1 - 1,5%, 0,5% P205, N, 2 - 3% K2O, 3 - 5% dari SiO2 dan nutrisi penting
lainnya.Dalam pengomposan jerami yang dilakukan secara in situ telah
dikembangkan (Simarmata dan Joy, 2010 dalam Simarmata dkk., 2011) untuk
perbaikan tanah sawah di Indonesia (Gambar 4).
Gambar 4. Pengomposan jerami langsung (in situ) (A = persiapan inokulan
dekomposer, B = kotak kompos, proses menimbun jerami dan inokulan, C =
tumpukan jerami, D = penutupan tumpukan jerami. G & H = miselium jamur
tumbuh baik pada kompos jerami dan I = kompos jerami matang
Sumber: Simarmata dkk. (2011)
2.4.3. Metode Aplikasi
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
Secara singkat, penerapan kompos jerami dapat diterapkan (1) sebelum
persiapan lahan dan (2) setelah tanam untuk perbaikan atau untuk memulihkan
kesehatan tanah pada padi sawah.
(a) Sebelum Persiapan Lahan. Sesaat sebelum lahan diolah dengan traktor,
kompos jerami (biasanya 2 - 3 minggu yang memiliki C/N ratio 30-40 setelah
2 - 3 minggu proses pengomposan) dan dapat diterapkan pada permukaan
sawah homogen. Selanjutnya, tanah tersebut diolah menggunakan traktor atau
peralatan lain untuk mencampurkan kompos jerami ke dalam tanah (Gambar
3). Pada umumnya satu minggu setelah pencampuran, rasio C/N tanah akan
menurun menjadi < 20 dan bibit padi atau benih padi bisa ditanam.
Gambar 4. Penyebaran dan pencampuran kompos jerami dan berikut dengan
pengolahan lahan atau persiapan lahan
Sumber: Simarmata dk., 2011
(b) Setelah Pemindahan Tanam: Penerapan kompos jerami matang (C/N
ratio dewasa sekitar 20 atau kurang) diterapkan sekitar 2-3 minggu setelah
tanam. Penggabungan atau penempatan kompos jerami dalam baris
tanaman dilakukan setelah penyiangan pertama (Gambar 5). Selama
kegiatan ini, gulma yang masih ada dan tumbuh lekat dengan rumpun padi
bisa dihilangkan secara manual. Selanjutnya, disarankan penerapan pupuk
anorganik untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
Gambar 5: Aplikasi kompos jerami dalam baris tanaman setelah
penyiangan pertama (sekitar 2 - 3 minggu setelah tanam). Jerami
ditempatkan atau dimasukkan ke dalam tanah dengan dengan berjalan
Sumber: Simarmata dkk. (2011)
2.4.4. Hasil Lapangan
Penerapan kompos atau jerami menunjukkan dampak yang besar pada
peningkatan kualitas tanah dan kesehatan tanah. Kandungan karbon organik,
ketersediaan nutrisi dan keanekaragaman organisme hayati dalam tanah
meningkat secara signifikan. Penerapan 2-6 ton / ha kompos jerami meningkatkan
hasil padi dan mengurangi tingkat pupuk anorganik secara signifikan (Tabel 3).
Tabel 3. Pengaruh kompos jerami hasil gabah di bawah tingkat yang berbeda dari
pemupukan kalium
Sumber: Nazarudin dkk. (2010) dalam Simarmata dkk. (2011)
Catatan: Nilai dalam baris atau kolom diikuti oleh huruf yang sama (modal
vertikal dalam kolom) tidak berbeda nyata menurut uji LSD 0,95.
Diperkirakan bahwa aplikasi 2 - 4 ton kompos jerami dalam waktu 3 tahun
(sekitar 6 musim tanam) akan dapat memulihkan dan meningkatkan kesehatan
tanah sawah. Sebagai indikator pemulihan kesehatan tanah dapat dilihat pada
indikator utama seperti biologi, kimia dan indikator fisik. Secara singkat,
kandungan karbon organik harus lebih dari 2% dan ketersediaan nutrisi utama
setidaknya termasuk kategori sedang. Selanjutnya, perlu pengelolaan bahan
organik tanah dengan menggunakan jerami sebagai sumber utama pupuk organik.
Kebiasaan untuk membakar jerami harus dihindari atau dilarang ketat.
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
Pembakaran jerami tidak hanya mencemari lingkungan tetapi juga menyebabkan
dengan hilangnya nutrisi utama secara signifikan. Sekitar 91% C, 91% N, P 45%,
70% K, 50% Ca, Mg 20% dan kerugian nutrisi lainnya akibat dari pembakaran
jerami (Husnain et al., 2008 dalam Simarmata dkk., 2011).
Kunci keberhasilan memulihkan dan menjaga kesehatan tanah untuk
penanaman padi berkelanjutan menjamin keamanan pangan di Indonesia sangat
tergantung pada pengelolaan bahan organik tanah. Penggunaan jerami sebagai
sumber utama organik pupuk adalah mutlak benar. Oleh karena itu dengan biaya
rendah dan agen hayati efektif yang dapat digunakan sebagai agen untuk
pemulihan kembali dan menjaga kesehatan dari ekosistem tanah. Dengan
demikian, IPAT-BO dikombinasikan dengan pengelolaan jerami padi dapat
dilakukan untuk mempercepat perbaikan tanah sawah dan meningkatkan
produktivitas padi di Indonesia secara berkelanjutan.
2.5. Perbedaan dengan Sistem Tanam Padi Jajar Legowo
Legowo adalah cara tanam padi sawah yang memiliki beberapa barisan
tanaman kemudian diselingi oleh 1 baris kosong dimana jarak tanam pada barisan
pinggir ½ kali jarak tanaman pada baris tengah (Gambar 6). Dari hasil penelitian
Bobihoe (2011), tipe terbaik untuk mendapatkan produksi gabah tertinggi dicapai
oleh legowo 4:1, dan untuk mendapat bulir gabah berkualitas benih dicapai oleh
legowo 2:1.
Jarak tanam untuk padi seperti varietas Ciherang cukup dengan jarak 20 cm,
sedangkan untuk varietas padi yang punya penampilan lebih lebat dan tinggi perlu
diberi jarak tanam yang lebih lebar misalnya antara 22,5 - 25 cm. Demikian juga
pada tanah yang kurang subur cukup digunakan jarak tanam 20 cm, sedangkan
pada tanah yang lebih subur perlu diberi jarak tanam yang lebih lebar misalnya
22,5 cm atau pada tanah yang sangat subur jarak tanamnya 25 cm. Pemilihan
ukuran jarak tanam bertujuan agar mendapat hasil yang optimal (Bobihoe, 2011).
Rekayasa teknik tanam padi dengan cara tanam Jajar Legowo 2:1 atau 4:1.
Berdasarkan hasil penelitian Bobihoe (2011), terbukti dapat meningkatkan
produksi padi sebesar 12-22%. Disamping itu sistem Legowo yang memberikan
ruang yang luas (lorong) sangat cocok dikombinasikan dengan pemeliharaan ikan
(mina padi Legowo).
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
Gambar 6. Padi Jajar Legowo
2.5.1. Tujuan Legowo
1. Memanfaatkan sinar matahari bagi tanaman yang berada pada bagian
pinggir barisan. Semakin banyak sinar matahari yang mengenai tanaman,
maka proses fotosintesis oleh daun tanaman akan semakin tinggi sehingga
akan mendapatkan bobot buah yang lebih berat.
2. Mengurangi kemungkinan serangan hama, terutama tikus. Pada lahan yang
relatif terbuka, hama tikus kurang suka tinggal di dalamnya.
3. Menekan serangan penyakit. Pada lahan yang relatif terbuka, kelembaban
akan semakin berkurang, sehingga serangan penyakit juga akan berkurang.
Mempermudah pelaksanaan pemupukan dan pengendalian hama /
penyakit. Posisi orang yang melaksakan pemupukan dan pengendalian
hama / penyakit bisa leluasa pada barisan kosong di antara 2 barisan
legowo.
4. Menambah populasi tanaman. Misal pada legowo 2 : 1, populasi tanaman
akan bertambah sekitar 30 %. Bertambahnya populasi tanaman akan
memberikan harapan peningkatan produktivitas hasil.
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
2.5.2. Teknik Penerapan
a) Pembuatan Baris Tanam
Lahan sawah dalam keadaan macak-macak. Ratakan dan lakukan
pembentukan garis tanam yang lurus dan jelas dengan cara menarik alat garis
tanam yang sudah dipersiapkan sebelumnya serta dibantu dengan tali yang
dibentang dari ujung ke ujung lahan.
b) Tanam
Gunakan 1-3 bibit per lubang tanam pada perpotongan garis yang sudah
terbentuk. Cara laju tanam sebaiknya maju agar perpotongan garis untuk lubang
tanam bisa terlihat dengan jelas. Pada alur pinggir kiri dan kanan dari setiap
barisan legowo, populasi tanaman ditambah dengan cara menyisipkan tanaman di
antara 2 lubang tanam yang tersedia.
c) Pemupukan
Posisi orang yang melakukan pemupukan berada pada barisan kosong di
antara 2 barisan legowo. Pupuk ditabur ke kiri dan ke kanan dengan merata,
sehingga 1 kali jalan dapat melalukan pemupukan 2 barisan legowo. Khusus cara
pemupukan pada legowo 2 : 1 boleh dengan cara ditabur di tengah alur dalam
barisan legowonya.
d) Penyiangan
Penyiangan bisa dilakukan dengan tangan atau dengan menggunakan alat
siang seperti landak/gasrok. Apabila penyiangan dilakukan dengan alat siang,
cukup dilakukan ke satu arah sejajar legowo dan tidak perlu dipotong. Di tengah
barisan legowo bisa disiang dengan tangan dan pada barisan pinggir legowo
sebenarnya tidak perlu diambil karena dengan sendirinya akan kalah persaingan
dengan pertumbuhan tanaman padi.
e) Pengendalian Hama dan Penyakit
Pada pengendalian hama dan penyakit dengan menggunakan alat semprot atau
handsprayer, posisi orang berada pada barisan kosong di antara 2 barisan legowo.
Penyemprotan diarahkan ke kiri dan ke kanan dengan merata, sehingga 1 kali
jalan dapat melakukan penyemprotan 2 barisan legowo.
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
2.5.3. Keuntungan Cara Tanam Jajar Legowo
1. Pada cara tanam Jajar Legowo 2:1, semua maupun tanaman seolah-olah
berada pada barisan pinggir pematang, sedangkan pada cara tanam Jajar
Legowo 4:1, separuh tanaman berada pada bagian pinggir (mendapat manfaat
border effect).
2. Jumlah rumpun padi meningkat sampai 33%/ha.
3. Meningkatkan produktivitas padi 12-22%.
4. Memudahkan pemeliharaan tanaman.
5. Masa pemeliharaan ikan dapat lebih lama, yaitu 70-75 hari. dibanding cara
tandur jajar biasa yang hanya 45 hari.
6. Hasil ikan yang diperoleh dapat menutupi sebagian biaya usaha tani.
7. Dapat meningkatkan pendapatan usahatani antara 30-50%.
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
BAB III
KESIMPULAN
1. Sistem Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO)
merupakan sistem penghematan air dan mengurangi pupuk anorganik
berfokus pada teknologi biologi tanah dan pengelolaan daya tumbuh padi
serta manajemen pupuk terpadu untuk meningkatkan produksi padi dan
meningkatkan kualitas tanah secara signifikan. Hal ini dapat mengurangi air
irigasi sekitar 30 - 50%, tingkat benih sekitar 75%, penggunaan pupuk
anorganik sekitar 25%, dan meningkatkan hasil padi sekitar 50% - 100%
dibandingkan dengan budidaya padi tradisional yaitu dengan penggenangan.
2. Tujuan utama dari IPAT-BO sebagai penghemat air dan teknologi pemupukan
berbasis organik adalah (1) untuk memulihkan, meningkatkan dan menjaga
kesehatan dan kualitas tanah sawah; (2) meningkatkan produktivitas padi
secara berkelanjutan; (3) untuk mempromosikan pengolahan lahan padi yang
efisien dan ramah lingkungan dan (4) untuk mengurangi
aplikasi pupuk anorganik secara signifikan.
3. Mengadopsi IPAT-BO sebagai hemat air dan biaya ramah lingkungan
dikombinasikan dengan kompos jerami dan manajemen nutrisi terpadu akan
mempercepat perbaikan, pemulihan, dan meningkatkan kesehatan tanah
sawah, serta meningkatkan produksi padi secara keberlanjutan.
4. Penelitian Furtherer yang penting, terutama pada; (1) persyaratan air yang
komprehensif, (2) aktifitas biologi tanah (makro dan mikroorganisme)
(3) Penerapan bahan organik dan pupuk hayati untuk mengganti atau
mengurangi pupuk anorganik (4) kinerja sistem perakaran, pertumbuhan dan
menghasilkan berbagai varietas padi di bawah musim tanam yang berbeda.
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV
26
5. Perbedaan sistem penanaman padi dengan metode IPAT-BO ini sebenarnya
hampir mirip dengan beberapa metode lainnya. Pada intinya kedua metode ini
merupakan salah satu tindakan untuk meningkatkan produktivitas padi dan
IPAT-BO adalah modifikasi dari metode-metode yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
Bobihoe, Julistia. 2011. Keuntungan Tanam Padi Jajar Legowo. Tersedia online:
http://jambi.litbang.deptan.go.id/ind/images/PDF/leaflet%20jajar
%20legowo.pdf. Diakses pada 23 September 2013.
Simarmata, Tualar dkk. 2011. Management of Water Saving and Organic Based
Fertilizers Technology for Remediation and Maintaining the Health of Paddy
Soils and to Increase the Sustainability of Rice Productivity in Indonesia.
Pengelolaan Hemat Air dan Teknologi Pemupukan Berbasis Organik untuk Perbaikan Tanah Sawah dan Peningkatan Produktivitas Padi secara Berkelanjutan |
Teknologi Produksi Tanaman IV