olehrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/16394... · 2015. 5. 12. · kedudukan anak...
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA RERSAMA DALAM
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN MENURUT
HUKUM ISLAM DAN UU N0.1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
OLEH: NUR HIDAYAH
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
.JURUSAN AHWAL SYAKHSHIYYAH
UIN SY ARIF HIDAY ATULLAH
JAKARTA
1427 HI 2006 M
L'
KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA BERSAMA DALAM
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN MENURUT
HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syari'at Guna Mencapai Gclar Sarjana Hukum Islam
Olcb: Nur Hidayab
NIM. 101044122111
Drs. H. Afi 1 llauzi Abbas MA NIP ISO 210 421
PROGRAM STUD! PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
JURUSAN AHWAL SYAKHSHIYYAH
UIN SY ARIF I-IIDA Y ATULLAH
JAKARTA
1427 H/2006 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang be1judul "Kedudukan Anak dan Harta Bersarna dalarn Perkawinan di Bawah Tangan Menurut Hukum Islam dan UU No. I I 1974 tentang
Perkawinan" telah diajukan dalam siding Munaqasyah Fakultas Syari'ah clan Hukum UIN Syarif !-lidayatullah Jakarta, pada tanggal
20 Juli 2006. skripsi ini telah cliterirna sebagai salah satu syarat
Ketua
Sekretaris
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hnkum Islam pacla Jurusan Ahwal Syakhshiyyah
Jakaita, 20 Juli 2006 Mengesahkan Oekan,
F. Dr. H. Muhammad. Amin Suma SH, MA, MM' NIP. 50 210 422
PANIT!A UJIAN
Prof. Dr. !-!. Muh. Amin Suma, SH, MA, MM
Drs. Ascp Syari fuddin H ithtyal SI-I, M 1-1
Pernbimbi, :g: Ors. H. Afifi Fauzi Abbas, MA
Penguji Ora. I-lj. f-Ialimah Ismail
Penguj i Il Dedi Nursamsi, SH, M.Hum
KATA PENGANTAR
Bismillahirramanirrahim
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan
segala ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang
be1judul "Kedudukan Anak dan Harta Bersama dalam Perkawinan di Bawah
Tangan Menurut Hukum Islam dan UU Perkawinan No. I I 1974" sebagaimana
mestinya.
Salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada manusia agung yang
menjadi panutan Islam dan selalu dinantikan syafa'atnya di hari kiamat, Nabi
Mu11ammad SAW, serta sahabat dan keluarganya hingga akhir zaman.
Suka cita menyelimuti penulis seiring dengan selcsainya pcnyusunan
skripsi 1111. Hal terscbut tidak lain karcna dorongan dan bantuan berbagai
pihak. Oleh karcnanya Pcnulis mcngucapkan tcrima kasih yang tak tcrhingga
kepada yang terhormat :
I. Bapak Prof. Dr. Hasanuddin AF, MA., selaku Dosen dan Dekan Fakultas
Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Ora. Hj. Halimah Ismail dan Bapak Drs. Asep Syarifuddin Hidayat,
SH, MA., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhshiyyah.
3. Bpk Ors. 1-1. Afifi Fauzi Abbas, MA., sclaku Doscn Pembimbing yang
telah rela memberikan waktunya serta bimbingannya dengan penuh
ketekunan kesabaran dan perhatiannya pada pcnulis.
4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum yang telah
mewariskan ilmunya kepada penulis.
5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas syari'ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk pengumpulan bahan skripsi ini.
6. Kepada Ayahanda H. Suwaryo Dan Ibunda Hj. Hayanah, yang selalu
membimbing penulis dengan sepenuh hati, kesabaran dan perhatian kepada
penulis.
7. Kepada kakak Nur Ai'ni ST, serta saudara-saudaraku yang tercinta, yang
telah memberikan motivasi dan dukungannya kepada penulis. Khususnya
adikku Boby Handoko yang tcrcinta yang di Pesantren, Terima kasih
yang telah memberi semangat kcpada pcnulis.
8. Kakanda yang tercinta Akhmad Saefuddin yang telah mencurahkan kasih
sayang serta kcsabarannya dan bimbingannya schinJga pcnulis dapal
menyelesaikan skripsi.
9. Rekan-rekan di Jurusan Ahwal Syakhshiyyah angkatan 2001 yang turut
mewarnai cakrawala pemikiran penulis sclama masa kuliah.
I 0. Teman-temanku di Peradilan Agama "A", yang telah mcmbcrikan
semangat dan motivasi pada penulis untuk menulis skripsi.
11. Khususnya "Nyai alias "Eha" yang tclah mcncmani pcnulis dcngan sctia,
serta canda tawanya, kritik dan sarannya pada penulis.
12. Untuk sahabar kecilku Rini, terima kasih telah ngebantu penulis disaat
penuli dalam kesusahan dalam skripsi.
Atas semua itu, penulis hanya dapat memanjatkan do'a kepada Allah
SWT, semoga amal baiknya diterima Allah SWT, dan mendapatkan balasan
yang setimpal amin. Terakhir penulis berharap semoga kiranya skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya pembaca pada umumnya.
Jakarta, 20 Juli 2006
Penulis
DAFTAR ISI
KAT A PEN GANT AR ............................................................................... .
DAFT AR ISi ............................................................................................... iv
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................. ..
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................. 7
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 8
D. Metode Penelitian.............................................................. 9
E. Sistematika Penulisan ........ ....... .......... ...... ... ... .. ......... ...... . I 0
BAB II : PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN.......................... 13
A. Pengertian Perkawinan Di Bawal1 Tangan Menurut
Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1/1974....... .... 13
B. Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan
Di Bawal1 Tangan. .... .... .... ... . ... ... .... ... ... ...... .. . .. . .. ... ... ... ..... 19
C. Tinjauan Hukum Islan1 dan Undang-Undang No. 1/1974
Terhadap Perkawinan Di Bawah Tangan....................... 23
BAB III : PENGERTIAN ANAK DAN HARTA BERSAMA
MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
NO. 1/1974............................................................................... 29
A. Pengertian Anak Menurut Hukum Islam dan Undang-
Undang No. 1/1974........................................................... 29
B. Status Anak Dari Perkawinan Di Bawah Tangan
Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No.l/1974 35
C. Harta Bersama Menurut Hukum Islam Dan
Undang-Undang No. 111974 ........................................... 41
D. Terbentuknya Harta Bersama Dalam Perkawinan .. :...... 50
BAB IV : KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA BERSAMA
DALAM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN......... S3
A. Akibat Perkawinan Di Bawah T:mgan Terhadap Harla
Bersama Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang
No. i/1974 .......................................................................... 53
B. Kedudukan Anak Akibat Perkawinan di Bawah Tangan
Terhadap Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang No. 1/1974 ............................................ 60
BAB V : PENUTUP ............................................................................... 67
A. Kesimpulan ............................................ ............................ 67
B. Saran................................................................................... 69
DAFTAR PUSATAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu kenyataan dalam keberadaan makhluk hidup di muka bumi
adalah mereka terdiri dari dua jenis, yakni jenis laki-laki dan jenis
perempuan. Kedua jenis makhluk itu, baik dari segi fisik maupun dari
segi psikis mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Namun secara biologis
kedua jenis makhluk hidup tersebut adalah saling membutuhkan, sehingga
mereka menjadi berpasang-pasangan atau be1jodoh-jodohan yang secara
harfiah disebut perkawinan 1.
Perkawinan adalah perilaku makhluk hidup agar kehidupan di alam
dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan
manusia, tetapi te1jadi pula pada tanaman dan hewan. Firman Allah SWT
Artinya: "Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah''. (Q.S. Adz-Dzariyaat: 51: 49)
1 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. Alih Bahasa: Drs. Moh. Thalib, Jilid 6, (Bandung: PT. al Ma 'arif, 1990), ha!. 7
2
Allah SWT telah memilih dengan cara perkawinan manusia dapat
keturunan . dan dapat melestarikan kehidupannya setelah masing-masing
pasangan stap melakukan peranannya yang positit: Firman Allah SWT:
{ ' I"
Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorc;ng
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu sating kenal mengeral. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Q.S. Al-Hujurat: 49: 13)
Allah SWT tidak ingin menjadikan manusia itu seperti makhluk
lainnya, yang bebas mengikuti nalurinya dan bcrhubungan antara laki-laki
dan perempuan secara anarki dan tidak ada aturan yang mcngaturnya.
Demi menjaga martabat kemulyaan manusia, Allah SWT menurunkan
hukum perkawinan yang sesuai dengan martabat manusia itu.
Bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila telah memiliki
Undang-Undang Perkawinan Nasional yaitu Undang-Undang No. I I 1974
dan telah dimuat dalam lembaran Negara No. I I 1974, yang sifatnya
dikatakan menampung sendi-sendi dan mero beri kan landasan hukum
3
perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai
golongan masyarakat yang berbeda.2
Dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 1 I 1974 tentang Perkawinan
memberikan definisi sebagai berikut adalab : "Perkawinan adalah ikatan
labir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumab tangga yang babagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa)". "Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya"
(pasal2ayat1).3
Pada penjelasan pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa sebagai negara
yang berdasarkan Pancasila dimana sila pertamanya adalab Ketuhanan
Yang Mal1a Esa, maka perkawinan bukan saja mempunyai unsur labir
tetapi unsur bathin juga mempunyai peranan yang penting.
Untuk menciptakan ikatan yang mitsaqan ghalizan (ikatan yrng
kokoh), selain harus memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 I
1974, juga harus dipenuhi pasal 2 ayat (2) nya yakni pencatatan pada
tiap--tiap Perkawinan dengan tujuan w1tuk menjamin ketertiban dan
kepastian hukum. Namun dalam prakteknya, tak dapat dipungkiri babwa
sampai sekarang masih sermg terjadi pernikahan-pernikahan yang
'bermasalal1', biasanya masalab tersebut berupa kecacatan atau kekurangan
2 Hilman Hadi Kusuma. Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, flukum Ada/ da11 Hukum Agama. (Bandung: Manclar Maju, 1990), hal. 2.
3 Undang-Undang No. I I 1974 tenlang Pcrkawinan, Pasal I ayal I dan pasal 2 ayal I
4
rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan sebagaimana yang telaj
ditetapkan oleh hukum Islam dan hukum positif. Salah satu pernikahan
yang bermasalah itu adalah apa yang dikenal dengan pernikahan sirri
(pernikahan yang sengaja disembunyikan).4
Dalam pasal tersebut di atas terkandung maksud bahwa tidak ada
perkawinan di luar hukwn agama dan kepercayaan dari masing-masing
pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut. Jadi orang yang
beragama Islam perkawinannya barn sah apabila dilakukan mcnurut
hukwn Islam. Hal lain yang penting adalah adanya ketentuan mengenai
pencatatan perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,
misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan suatu akte yang juga dimuat dalam daftar catatan.5
Dengan diadakannya pencatatan ini juga untuk kepastian hukum
dalam bidang pcrkawinan. Dcngan diadukannya pcncatatan itu, rnaka
perkawinan jelas adanya, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang
4 Gani Abdullah dan Moh. Daud Ali, Tidak Memenuhi Hukum Perkawinan Positif Berarti Ke/uar dari Sistim Perkawinan yang Ber/aku, Mimbar Hukum : No. 28 Tim. Vll (Jakm1a : AlHikmah dan DITBINBAPER, 1996), September-Oktobcr, hal. 27
5 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Bhineka Cipta, Cet. I, 1991), hal. 8.
5
lain dan masyarakat pada umumnya. Bila pencatatan perkawinan tidak
dilakukan, maka ini jelas merupakan suatu perbuatan melanggar hukum.
Dewasa ini masih banyak te1jadi perkawinan yang melanggar
ketentuan mengenai pencatatan perkawinan, yaitu mereka yang
melangsungkan perkawinan yang memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun
perkawinan, dan perkawinan terscbut tidak dicatat dalam lembaga
perkawinan, perkawinan ini di sebut perkawinan di bawah tangan.
Dengan adanya perkawinan di bawah tangan ini, menimbulkan
ketidak pastian hukum bagi pihak yang melangsungkan perkawinan, juga
berpengaruh terhadap antara lain :
1. Kedudukan suarni istri dalam perkawinan.
2. Kedudukan anak-anak yang lahir dalarn pl!rkawinan
3. Kedudukan harta bersama dalarn perkawinan
Melalui perkawinan suarni istri terikat dalam suatu pe1janjian untuk
hidup bersama dalarn membina rumal1 tangga, di antara hasil kebersamaan
antara suami istri itu adala!J berupa harta bcnda. Harta benda yang
diperoleh selama dalam perkawinan adala!J harta bersama (pasal 35 ayat
1, UU No. I I 1974 tentang Perkawinan).
Pengaturan harta bersama merupakan persoalan cukup penting dalam
perkawinan, terutanm untuk membedakan harta bersama yang dihasilkan
dalarn perkawinan. Selain itu, untuk mengatasi persoalan yang akan
muncul apabila te1jadi putusnya ikatan perkawinau, juga untuk melindungi
6
istri dari kemungkinan gugatan dari keluarga suam1 atau kemungkinan
hak-haknya dilanggar oleh suami.
Di dalam UU Perkawinan pasal 3 7 dijelaskan "bila perkawinan
putus karena perceraian, harta tersebut diatur menurut hukumnya masing
masing. Dalam pasal 37, dijelaskan yang dimaksud dengan hukumnya
masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum
Jainnya". Dengan demikian hukum agama dan hukum adat termasuk
bagian dari sistim hukum yang ada di Indonesia.
Masih banyak hal-hal Jain selain di atas, maka sangat menarik
untuk mengkaji masalah perkawinan di bawah tangan m1, terutama
mengenai masalah kedudukan anak dan harta bersama.
Dalam membahas kedudukan anak dan harta bersama ini tidak hanya
di ambil dari hukum Islam saja, tetapi juga dari UU No. I I 1974 tentang
Perkawinan . oleh karena itu, penulisan skripsi ini diberi judul :
"KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA BERSAMA DALAM
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN MENURUT HUKUM ISLAM
DAN UU NO. I II974 TENTANG PERKAWINAN ".
Adapun pemilihan judul ini didasari dengan adanya beberapa alasan
yaitu:
I. Dengan adanya UU No. I /1974 tentang Perkawinan, maka dengan
demikian bangsa Indonesia mempunyai suatu Undang-Undang
7
Nasional mengenai Perkawinan yang di dalamnya diatur tentang
kedudukan anak dan harta bersama.
2. Masih kurangnya minat masyarakat untuk mencatat perkawinannya
pada lembaga pencatatan nikah.
3. Dengan adanya penulisan ini, semoga semua kendala dan masalah
yang timbul dalam perkawinan di bawah tangan, terutama yang
menyangkut kedudukan anak dan harta bersanm dapat lebih
dipahami, untuk selanjutnya dapat diterima keberadaannya oleh
masyarakat Indonesia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan Iatar belakang masalah yang telah diuraikan BAB I porn
A, maka jelaslah bahwa masalah yang dibahas secara kompleks dan Iuas.
oleh karena itu, pembahasan mengenai keduduk:m anak dan haiia bersama
dalam perkawinan di bawah tangan menurut hukum Islam dan UU No. I
11974 tentang Perkawinan .
Bahwa nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah nikah yang telah memenuhi ketentuan rukun dan syarat perkawinan
tetapi dirahasiakan, sehingga dalam istilah lain disebut sebagai nikah sirri.
Perkawinan jenis ini dirahasiakan baik dari masyarakat atau dari aparat
yang berwenang dalam ha! ini adalah Pegawai Pcncatat Nikah. Sedangkan
status akibat anak di bawah tangan adalah status hukumnya dalam
pandangan hukwn Islam dan hukum positit:
8
Hukum Islam di sm1 adalah hukum perdata Islam yang
spesialisasinya adalah hukum keluarga atau dalam istilah fiqhnya disebut
fiqh munakalmt. Sedangkan hukum positif adalah hukum yang orientasinya
pada tempat dan waktu tertentu. Dalam hal perkawinan di Indonesia yang
dimaksud adalah UU No. II 1974 tentang Perkawinan
Berdasarkan latar belakang dan pembal1asan masalal1 di atas maka
penulis merumuskan masalal1 sebagai berikut :
I. Apa yang dimaksud dengan perkawinan di bawal1 tangan dan
bagaimana tinjauan hukumnya menurut hukum Islan1 dan UU No. I I
1974?
2. Bagaimana kedudukan anak yang lahir dari perka win an di bawah
tang an menurut hukum Islam dan uu No. 1/1974 tentang
Perkawinan?
3. Bagaimana kedudukan harta bersanm dari perkawinan di bawah
tangan menurut hukum Islam dan uu No. I I 1974 ten tang
Perkawinan?
C. Tujuan <lan Manfaat Pcnclitian
Tujuan penulisan ini i:dalal1 penulis berkeinginan untuk mengetalrni
permasalahan sekitar kedudukan anak dan haiia bersan1a dalaJ11
perkawinan di bawah tfillgfill terutai11a mengenai :
9
I. Untuk mengetahui maksud perkawinan di bawah tangan dan tiajauan
hukwnnya menurut hokwn Islam dan UU No. 1/1974 tentang
perkawinan.
2. Untuk mengetahui kedudukan anak dari perkawinan di bawah tangan
menurut hokwn Islam dan UU No. 1/1974 tentang perkawinan.
3. Untuk mengetahui dapat atau tidaknya anak dari perkawinan di
bawah tangan mendapatkan harta warisan yang ditinggalkan orang
tuanya.
Adapun kegunaan skripsi ini adalah :
I. Agar masyarakat mengetahui permasalahan kedudukan anak dan harta
bersama dalam perkawinan di bawah tangan dan dapal
menyelesaikan pem1asalahan tersebut jika tmjadinya putusnya
perkawinan, sehingga terhindarnya dari konflik keluarga yang tidak
diharapkan.
2. Sebagai sun1bangan terhadap dw1ia Ilmu Pengetalman hukun1 Islam
dan UUP No. I I 1974 yang berkenaan dcngan kedudukan anak dan
harta bersanm dalam perkawinan di bawah tangun.
D. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mcnggunakan mctodc
penelitian sebagai berikut :
I. Pendekatan Penelitian
10
Dari segi jenis, penelitian ini penelitian kualitatif. Dari seg1
tujuan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yakni memperoleh
gambaran sebenarnya tentang bagaimana Kedudukan Anak dan Harta
Bersama dalan1 Perkawinan di Bawah Tangan Menurut Hukum Islam
dan UU Perkawinan No. 1I1974.
Dari segi tipe studi hukum Islam, ia merupakan penelitian
komparatif yakni studi yang dilakukan dengan membandingkan antara
atman hukum Islam dan Undang-Undang pcrkawinan No. I I 1974
2. Teknik Pengumpulan Data
Sifat data yang digunakan adalah data kualitatit: yakni dengan
memilih buku-buku hukum Islam yang mcnjeklaskan tentang
kedudukan anak, harta bersama dan perkawinan di bawah tangan.
Dalam pengumpulan data digunakan teknik studi documenter
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sun1ber data primer, yaitu : buku-buku literatm, seperti : Fiqh
Mawaris karya Ahmad Rofiq, Bidayatul Mujtahid karya lbnu
Rusyid, Fiqh Surmah karya Sayid Sabiq, Hukun1 Fiqh Islam
karya Hasbi Ash-Shiddiqie, dan UU No. 1 I 1974 tentang
Perkawinan.
b. Sumber data sekunder yaitu diperoleh dari buku-buku yang
berkaitan dengan permasalahan tersebut, yaitu : Hukum
11
Perkawinan Islam, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Hukum Islam
di Indonesia dan lain-lainnya.
3. Analisa Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : teknik
analisis kualitatif dan analisis perbandingan hukum. Sedangkan teknis
penulisan dan penyusunan skripsi 1111 berpedoman pada buku
"Pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari'ah dan Hukum UlN Syari f
Hidayatullah Jakarta 2006".
E. Sistematika Penulisan
Dalam suatu penyusunan karya ilmiah yang tidak kalah pentingnya
adalah mengenai penyusunan sistematikanya. Sistematika menuqjukkan
arah di dalam penulisan dari bab ke bab, sehingga jelas mengenai apa
yang akan dibahas. Selain itu, kegunaan sisitematika adalah sebagai bahan
kontrol di dalam penulisan sub bab dari masing-masing bab dengan
harapan apabila terjadi penyimpangan tidak akm1 terlalu jauh dari alur
pemikiran yang tel ah ditetapkan pada daftar isi.
Adapun sistematika pada pcnulisan skripsi ini adalah scbagai bcrikut :
Bab I Pendahuluan
Bab II
Membahas mengenai latar bclakang masalah, pembatasan (1an
perumusan masalah, tujuan dan kcgunaan pcnulisan, mctodc
penulisan dan sistematika pcnulisan.
Perkawinan di bawah tangm1
12
Menguraikan tentang pengertian nikah di bawah tangan,
tinjauannya dan faktor penycbab te~jadinya perkawinan di
bawah tangan.
Bab Ill Pengertian anak dan harta bersama menurut hukum Islam dan
UU Perkawinan No. 1 I 1974
Menguraikan secara umum tentang pengertian anak dan hmia
bersama, status anak dan bentuk-bentuk harta bersama dalam
perkawinan di bawah tangan menurut hukum Islam dan UU
Perkawinan No. I I 1974.
Bab IV : Kedudukan anak dan hmia bersama dalam perkawinm1 di bawah
tm1gan.
Bab V
Menguraikan tentang akibat hukwn perkawinan di bawah tangm1
terhadap harta bersmna dan kedudukan m1ak akibat perkawinm1
di bawah tangan menurut hukum Islam dan UU Perkawinan
No. I 1974.
Penutup
Merupakan bagiat1 akhir dari penulisan ini, yang berisi
kesimpulan dan sarm1.
BAB II
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN
A. Pengertian Perkawinan Di Bawah Tangan
1. Menurut Hokum Islam
Perkawinan "Sirri" (bawah tangan) adalah pcrkawinan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan memakai
akad lafdzi (dengan ucapan) mencakup ijab dan qabul antara keduanya
dalam satu majlis dan dengan kesaksian para saksi, mahar dan wali.
Adapun rukun perkawinan ada Iima macam, yaitu (a). Mempelai
Laki-laki, (b). Mempelai perempuan, (c). Wali, (d). Dua orang saksi, (e).
!jab qabul
Dari lima rukun itu yang penting ialah ijab qabul antara yang
mengakadkan dengan yang menerima akad.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat
yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu :
I. Syarat-syarat suami : (a). Bukan mahram dari calon istri, (b). Tidak
terpaksa, atas kemauan sendiri, ( c ). Orangnya tertentu, jelas
orangnya, (d). Tidak sedang menjalankan ihrarn haji.
2. Syarat-syarat istri : (a). Tidak ada halangan syar' I, yaitu : tidak
bersuami, bukan mahram tidak scdang dalam iddah, (b ). Mer<leka
14
atas kemauan sendiri, (c). Jelas orangnya, (d). Tidak sedang
berihram haj i.
3. Syarat-syarat wali : (a). Laki-laki, (b ). Baliqh, ( c ). Islam, ( d). Tidak
gila, ( e ). Tidak dipaksa, (f). Adil, (g). Tidak sedang ihram haji.
4. Syarat-syarat saksi: (a). Laki-laki, (b). Baliqh, (c). Islam, (cl). Tidak
gila!, (e). Adil, (f). Dapat mendengar dan melihat, (g). bebas, tidak
dipaksa. 1
5. Syarat-Syarat ijab qabul. lojab harus disampaikan dengan
menggunakan lafal nikah atau tazwij (kawin). Allah SWT,
menyebutkan dalam kisah nabi Syu'aib dan Nabi Musa :2
Artinya: "Berkatalah dia ( Syu"aib) : "Sesungguhnya aku bermaksud
menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, alas dasar bahwa kamu bekerja dengan ku delapan tahun ... "(Al. Qashash I 28 .· 27)
Perkawinan ini di lakukan biasanya tanpa ada pemberitahuan rcsm1
pelaksanaan akad dengan cara ini adalah benar dan sah, walaupun tidak
tercatat secara resmi. Mungkin timbul pertanyaan "mengapa sebagian
1 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta : Pustaka Amani . 1989), Cet. Ke-Ill, hal. 30
2 Muhammad Ali al-Shabuni, Kawinlah Sealgi Muda, (Caru Sehat Mcnjaga Kcsucian Diri), Jakarta: Serambi llmu Semesta, 2000), Cet. Ke-I, hal. 77
15
orang mencari earn perkawinan seperti ini? Tanpa ada pemberitahuan dan
catatan resmi? Dan apa saja ketentuan syari'at yang dilanggar oleh orang
yang melakukannya?".
Nikah di bawah tangan dikenal istilah masyarakat Islam sebagai
nikah sirri. Kata sirri dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab yang
arti harfialrnya rahasia. Jadi nikah sirri artinya nikah rahasia. 3
Dalarn lrnkum Islam akad nikah adalah perbuatan hukum yang
sangat penting dan rnengandung akibat-akibat hukurn serta konsekuensi
tertentu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syari'at Islam.
Dalam sejarah hokum Islam, bahwa istilah pcrkawinan di bawah
tangan 1111 ada sejak Jaman Umar lbnu Khattab. Pcrkataan Umar
diriwayatkan Malik dari Abi Zubair al-Makky :
Artinya: "Bahwasannya umar mendatangi perkawinan yang tidak ada
kesaksian atasnya, kecuali seorang /e/aki dan seorang perempiuan, lalu Umar berkata : ini adalah nikah sirri dan a/cu tidak membolehkannya. Sekiranya aku mengetahui lebih dulu pasti aku raj am". 4
3 Ors. Muha1n1nad Fu'ad Syakir, Perkauiinan Terlarang, (a/-A4isyar, a/-Urji, as-Sirri, Mut 'ah), (Jakarta : Cendika Sentra Muslim, 2002), Cel. Kc··· I, hal 95-96
4 M. Sujari Dahlan, Fcno1nena Nikah Sirri, (Bagain1nna J(cdudukannya Menurul I lukun1 Islam?), (Surabaya : Pusaka Ressif, I 996), Cet. Kc-I, hal. 33
16
Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa s1m
adalah pelaksanaan akad nikah yang tidak disaksikan oleh saksi yang
persyaratannya tidak cukup atau tidak sesuai dengan yang telah disepakati
jumhur fuqaha, misalnya saksi terdiri dari satu orang laki-laki dan satu
orang perempuan.5
Menurut Masjfuk Zuhdi ada tiga perkembangan pengertian dan
praktek nikah sirri di kalangan masyarakat Indonesia.
Pertama, nikah di bawah tangan diartikan sebagai nikah yang
dilangsungkan menurut ketentuan syari'at Islam (telah memenuhi rukun
dan syaratnya) tetapi rnasih bersifat intern kcluarga, bclurn dilakukan
pencatatan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan (PPN) dan bclum
diadakan upacara menurut Islam dan adat (walimatul 'w-sy I reseps1
perkawinan dengan segala bunga rampainya).
Kedua, nikah di bawah tangan diartikan sebagai nikah yang telah I-,
memenuhi ketentuan syari'at Islam dan juga sudah dilangsungkan di
hadapan PPN dan telah pulah diberikan salinan akta nikah kepada kedua
mempelai karena calon suami istri sudah mernenuhi syarat-syarat sahnya
nikah menw-ut hukum positit: Namun nikahnya masih dilangsungkan
dalam lingkungan intern keluarga dan handai tolan yang sangat terbatas,
belum diadakan resepsi perkawinan.
5 Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syali'i, al--Umm, (13cirul ; Daar al·-Kulub al-Ilmiyah, 1993), Juz V, hal. 35-36
17
Ketiga, nikah di bawah tangan diartikan sebagai nikah yang hanya
dilangsungkan menurut ketentuan syari'at Islam, karena terbentur pada PP
No. 10 I 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil dan PP No. 45 I 1990 tentang perubahan alas PP No. JO /1983.6
Dari perkembangan pengertian praktek nikah sirri di atas, jelas
bahwa pengertian nikah yang dipermasalahkan dalam ha! publikasinya
baik berupa upacara perkawinan yang bersifat ritual adat lokal dan norma
agama, maupun prosedur administratif yang ditentukan oleh Negara,
tergantung pada tempat di mana praktek nikah sirri itu terjadi.
2. Menurut Undaug-Undang Perkawimm No. I Tahun 1974
Istilah nikah di bawah tangan muncul setelah UU No. I I 197 4
tentang perkawinan berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975.7 Suatu
akta di bawah tangan ialah tiap--tiap akta yang tidak dibuat oleh atau
dengan perantaraan pejabat um um. 8
PPN termasuk pejabat umum karena telah ditentukan oleh UU
sebagaimana telah disebutkan dalam UU No. 22 I 1946. Dengan demikian
maka kesimpulannya bahwa setiap perbuatan hukum yang tidak dilakukan
secara resmi dinamakan di bawah tangan maksudnya perbuatan hukum
6 Masjfuk Zuhdi, Nikah Sirri, Nikah Di bawah Tangan dan Status Anaknya Menurut
Hukum Islam dan Positif, Mimbar Hukwn: Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 tah Vil, (1996), ha!. 8--9
7 A. Ghani Abdullah, Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan Di Bawah Tangan. Mimhar hukum: Aktualisasi Hukwn Islam, No.23th VI, (1995), hal. 47
8 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: lntermasa, 1975), hal. 159
18
tersebut dilakukan tidak dihadapan pejabat umum sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
Menurut M. Idris Ramulyo, SH. Perkawinan di bawah tangan adalah
suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-{)rang Islam Indonesia,
memenuhi baik rukun-rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi
tidak didaftarkan pada pejabat Pencatatan Nikah, seperti diatur dan
ditentukan oleh UU Perkawinan.9
Dengan demikian perkawinan di bawah tangan yang telah memenuhi
rukun dan syarat perkawinan adalah sah, karena sesuai hukum Islam dan
pasal 2 ayat (I) UU Perkawinan, hanya suja perkawinan tersebut lidak
didaftarkan kepada Pegawai Pencatatan Nikah (PPN). Sedangkan
perkawinan di bawah tangan yang tidak memenuhi rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum Islam adalah tiduk sah. Karena tidak
dilakukan menurut agamanya atau telah melanggar hukum agamanya,
berarti ha! ini telah melanggar ketentuan pada pasal 2 ayat (!) dan ayat
(2) UU Perkawianan.
Tidak sahnya suatu perkawinan akan berakibat sangat luas anak-anak
mereka bukan anak-anak yang sah, karcnanya tidak berhak atas warisan
ayah mereka, karena suami istri tcrsebut oleh UU dianggap tidak terikat
9 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakal Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), Cet. Ke-1. hal. 226
19
oleh tali perkawinan maka masing-masing suam1 istri berhak untuk
menikah secara sah dengan orang lain.
Jadi setiap perbuatan hukum yang dilakukan tidak secara resmi
dinamakan nikah di bawah tangan, maksudnya perbuatan hukum tersebut
dilakukan tidak dihadapan pejabat umum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
B. Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan di Bawah Tangan
Menurut H. A. Wasit Aulawi, yang juga mantan Dekan Fakultas
Syari'ah dan Hukum UJN Jakarta. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
te1:jadinya nikah sirri, yaitu faktor pengetahuan masyarakat yang belum
bulat, faktor fiqh yang tidak mengatur batas umur nikah, dan faktor
kekhawatiran orang tua yang berlebihan terhadap jodoh anaknya. 10
Berikut akan dijelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
nikah di bawah tangan yang terjadi di masyarakat :
1. Faktor ekonomi
Ada orang yang melakukan perkawinarmya di bawah tangan karena
tidak mampu membiayai pernikahan, karena orang yang melakukan
perkawinai1 bukan saja hanya menyiapkan biaya nikah yang harus
diserahkai1 kepada KUA, tetapi malah sejak dari tingkat RT pw1
kalau hendak melakukan perkawinan itu selalu memerlukan biaya,
10 A. Wasit Aulawi, Pernikahan Harus Melibatkan Masyarakat", Mimbar Hukum : Aktualisasi Hukum Islam, No. 28 tah VII, (1996), Hal. 22
20
sehingga bagi orang yang betul-betul lemah ekonomi ia tidak
mampu untuk menyiapkan biaya tersebut, akhirnya te1jadilah nikah
di bawah tangan.
2. Faktor Agama
Ada dua ha! yang sangat rentan pada persoalan terjadinya nikah di
bawah tangan karena faktor agama :
a. Tindakan prevcntif untuk mcnghindari zma
Alasan pernikahan sirri misalnya untuk menjaga hal-hal yang
tidak diinginkan dalam hubungan pria dan wanita yang sudah
saling 111cncinta, scmcntara mcrcku bdum siap bcrumah tangga,
atau karena masing-masing masih 111empunyai tugas dan
kesibukan yang belum terselesaikan, bahkan sementara kalangan
berpendapat, nikah sirri merupakan bentuk altematif pemecahan
yang paling baik dalam 111engatasi pergaulan muda-mudi yang
menjurus pada hal-hal yang dilarang agama. 11
b. Pendapat tentang sahnya sesuatu perkawinan
Perkawinan di bawah tangan atau perkawinan liar tersebut oleh
sebagian besar umat Islam dianggap sah 111enurul hukum aga111a,
walaupun tidak didaftarkan atau dicatat pada KUA setempat, hal
ini dianggap karena pencatatan perkawinan tidak kenal menurut
11 A. Zuhdi Mudhar, Memahami Hukum Perkaiwan (Nikah, Tha/ak, dan Rujuk), (Bandung: Al-Bayan, 1995), Cet. II, Hal. 22
21
hukum agama. Sebanyak 81, 12 % dari 207 responden yang dapat
dihubungi di wilayah DK! Jakarta saja tanpa pencatatan masih
dianggap sah karena tidak dikenal pencatatan perkawinan dalam
Islan1.12
3. Faktor adanya persetujuan istri untuk menghindari pelanggaran alas
PP No. I 0 I 1983 Pasal 4 ayat (I) dan Pasal 13
Calon suam1 mengawini calon istri secara diam-diam dan
dirahasiakan hubungannnya sebagai suami istri untuk menghindari
hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri sebagai Pegawai Ncgcri Sipil (Vidc PP No. I 0 I
1983 Pasal 4 ayat (I) dan Pasal 13). Motif nikahnya terutarna untuk
memenuhi kebutuhan biologis yang halal, sayang nikahnya tanpa
persetujuan istri yang terdahulu, atasannya dan pejabat yang
berwenang serta tanpa izin Pengadilan Agama.13
Ratusan pasangan suami-istri diantaranya beberapa pasang berstatus
Pegawai Negeri kawin tanpa melalui proses UUP dan tanpa
pendaftaran di KUA di kotamadya dan kabupaten Gorontalo sejak
beberapa tahun berjalan lancar dcngan aman. Bagi masyarakat di
12 M. Idris Ramulyo, Op. Cit., Hal. 77 13 Masjfuk Zuhdi, Op. Ci!., Hal. 9-10
22
daerah itu perkawinan cara demikian dikenal dengan perkawinan
1. 14 iar.
4. Faktor ketidaktahuan tentang pentini,,'llya pencatatan
Nikah dan cerai di bawah tangan masih banyak te1jadi di beberapa
daerah di Kabupaten Garut, hingga saat ini masih sering berlangsung
terutama di daerah pedesaan yang jauh terpencil. Hal ini terjadi
akibat kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemahaman Undang-
Undang Perkawinan dan tata cara perceraian masih rendah. Menurut
keterangan kepala Sub. Bagian TU Depag Garut, Ujen Zaenal Alim
BA, nikah di bawah tangan itu memang sa'i. 15
5. Faktor batas minimal usia kawin
Fiqh memang tidak mengatur batas umur untuk menikal1. Auak
umur berapa saja dapat dinikahkan, karena anaknya masih kecil,
biaya nikahnya dilaksanakan secara sirri. 16 Aturan tentang batas
minimal usia kawin mengaharuskan izin dari Pengadilan Agama bagi
yang ingin menyelenggarakan perkawinan di bawah umur, biasanya
masyarakat tidak ingin menempuh prosedur yang terbelit untuk
mendapatkan izin itu, maim di dacrah-dacrah tcrtcntu anak-anak
kecil dinikalikan secara sirri.
14 Banyak Bayi Lahir Tanpa Ayah, Harian Umum Terbit, (Jakarta), Rabu 9 Juni 1982 15 Berita Daerah, Poskota, (Jakarta), Desember 1989 16 A. Wasit Aulawi, Op. Cit., Hal. 23
C. Tinjauan Hukum Islam Dan UU Perkawinan No. 1 / 1974 Terhadap
Perkawinan Di Bawah Tangan
1. Menurut Hokum Islam
Dalam hukum Islam akad nikah adalah suatu perbuatan hukum yang
sangat penting dan mengandung akibat-akibat hukum serta konsekuensi
tertentu sebagaimana yang telal1 ditetapkan oleh syari'at Islam. Oleh
karena itu, untuk menentukan sah atau tidaknya suatu pernikal1an
diperlukan kehati-hatian atau ketelitian dalam menggunakan dalil
syari'atnya (al-Qaur'an, Sunnah, Qiyas dan sebagainya).
Nikal1 sirri merupakan salah satu bentuk nikah yang masih
diperdebatkan sah atau tidaknya oleh para ulama. Berkaitan dengan ha!
ini terdapat 2 (dua) golongan ulama. Golongan pertama maenyatakan
bahwa perkawinan di bawah tangan adalah sah, sedangkan golongan
kedua menyatakan tidak sah.
a. Golongan Pertama adalah menurut jumhur ulania
Mereka mengatakan bahwa jika para saksi yang hadir dipesan oleh
pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan tidak
menyebarluaskan berita pernikahannya kepada khalayak ramai, maka
perkawinan tetap sal1. Sebaliknya meskipun perkawinan itu
diumU111kan atau disebarluaskan kepada khalayak ramai, tetapi ketika
akad nikah berlangsung tidal( adapun saksi yang menyaksikannya,
24
maka perkawinan tersebut tidak sah. 17 Alasan yang mereka
kemukakan adalah sebagai berikut :
• Hadits Rasulullah S.A.W, dari lbnu Abbas:
Artinya: "Pelacur yaitu perempuan-perempuan yang mengawinkan dirinya
tanpa saksi" (I-LR. At-Tirmidzi)
• Dari Aisyah, Rasulullah S. A.W, bersabda:
Artinya: "Tidak sah perkawinan kecua/i dengan wali dan dua orang saksi
yang adil" (H.R. Al-Daruqutni)
Kata tidak di sini adalah maksudnya "tidak sah" yang berarti
menunjukkan bahwa mempersaksikan te1jadinya ijab qabul merupakan
syarat sahnya perkawinan.
• "Riwayat dari Abu Zubairi al-Maliki, bahwa Umar Bin Khattab
menenma laporan adanya pcrkawinan yang hanya disaksikan olch
seorang pna dan seorang wanita. Lalu beliau menjawab : ini kawin
gelap, dan aku tidak membenarkan dan andaikan aku hadir tentu
17 Sayid Sabiq, Fiqh sl-Sunnah, (Bandung: PT. Ma'arif, 1995), Jilid. Ill., ha!. 185-186
25
aim tidak membenarkan dan andikan saat itu aku hadir tentu aku
rajam" (H.R. Malik dalam Kitab al-Muwatha).
Lebih lanjut dikatakan oleh Imam Syafi'i, Abu Hanifah, Ibnu
Mundzir, Umar, Urwah, Sya'bi dn Nafi bahwa apabila terjadi akad nikah
tetapi dirahasiakan dan mereka pesan kepada yang hadir agar
merahasiakan pula, maka perkawinannya sah, tetapi makruh karena
menyalahi adanya perintah untuk mengumumkan pemikahan. 18
Sabda Nabi S.A.W dari Aisyah:
Artinya: "Umumkanlah akad nikah ini dan laksanakanlah pengumuman itu
rnelalui mesjid dengan mernukul rebana" (H.R. At-Tirmidzi)
Senada dengan pendapat di atas, mazhab Hambali menyatakan nikah
yang telah dilangsungkan menurut syari'at Islam adalah sah meskipun
dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali, para saksinya, hanya saja
makruh hukumnya. 19
b. Golongan ke<lua adalah menurut Mazhab Maliki, dan para
Sahabatnya
Mereka menyatakan bahwa saksi dalam pcrnikahan tidak wajib <.Jan
cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan. Tetapi
18 Sayid Sabiq, Op. Cit., hal. I 87 19 Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit., hal. 71
26
sebelum akad nikah diumumkan bahwa kepada khalayak ramai,
sudah terjadi persenggamaan maka pernikahannya batal, meskipun
saat akad nikah dihadiri oleh para saksi.
Pendapat ini bertumpu pada pemikiran ketika memperbandingkan
mengenai ketentuan bahwa akad nikah yang persaksiannya tidak disebut
secara tegas dalam al-Qur'an dibanding dengan ketentuan mengenai akad
jual beli Mu'ajjal atau utang piutang yang disebut jelas dalam surat al-
Baqarah ; 282, kalau yang disebut yakni saksi akad jual beli saja
ditemukan dalil menyatakan tidaklah wajib, maka untuk yang tidak
disebut dalam hal ini saksi akad nikah lenlulah lidak wajib juga.
lbnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik lenlang seorang laki-
laki yang nikah dengan perempum1 dengan disaksikan oleh dua orang
laki-laki tetapi dipesan agar mereka merahasiJKmmya? Lalu menjawab :
"Keduanya harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh menggaulinya,
tetapi istrinya berhak atas maliarnya yang telah diterimanya, sedangkan
kedua orm1g saksinya tidak dihukum. 20
2. Menurut UU Perkawinan No. 1I1974
Menurut UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia, suatu
perkawinan akan diakui dan mendapalkan lcgalilas dari Negara apabiln
telah memenuhi dua syarat berikut ini :
20 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Ikata11, (Jakarta: llaja Grafci11do Persada, 1995), Cet.
Ke-I, ha!. 48
27
a. Telah memenuhi ketentuan hukum materiil sebagaimana perintah UU
Perkawinan pasal 2 ayat (1 ), yaitu pernikahannya telah
dilangsungkan menurut aturan-aturan yang ditentukan oleh hukurn
agama masing-masing. Maka bagi orang Islam pernikahan itu sah
apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah
ditetapkan dalam syari'at Islam.
b. Telah memenuhi ketentuan hukum formil sebagaimana yang
dikehendaki UU Perkawinan pasal 2 ayat (2), yaitu pernikahan
tersebut telah dicatatkan oleh Pegawai Pencatatan Nikah (PPN) yang
berwenang dan telah memperoleh bukti otentik berupa akta nikah.
Dilihat dari segi teori hukum yang menyatakan bahwa pcrbuatan
hukurn adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu
ketentuan hukum sehingga dapat mcnimbulkan hukum, sebaliknya suatu
tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum tidak dapat
dikatakan sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu
melawan hukum dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat
yang diakui dan dilindw1gi oleh hukwn.
Dengan demikian suatu pernikahan baru dapat dikatakan sebagai
perbuatan hukum (menurut hukum) apabila dilakukan mcnurut kctcntuan
hukun1 yang berlaku pada UUP. Ketentuan hukum yang mengr.tur
mengenai tata cara pernikahan yang dibenarkan oleh hukum adalah scperti
yang diatur dalam UUP. Perkawinan dengan tata eara demikianlah yang
28
mempunyai akibat hukum atas pernikahan itu sendiri, sehingga dengan
demikian eksistensi pernikahan secara yuridis dapat diakui.
Perkawinan di bawah tangan mcrupakan wujud yang pertama, maka
perkawinan itu sah menurut ajaran agama sesuai dengan pennintaan pasal
2 ayat (1) UUP. Namun belum te1masuk kategori perbuatan hukum
sehingga belum mendapat pengakuan secara hukum. Perbuatan nikah baru
dikatakan perbuatan hukum apabila memenuhi unsur tata cara pencatatan
nikah. Kedua unsur tersebut berfungsi secara kumulatif dan bukan
alternatif, unsur pertama berperan sebagai pertanda sah dan unsur kedua
sebagai bertanda perbuatan hukum sehingga berakibat Hukum.
BAB III
PENGERTIAN ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HUKUM
ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. l TAHUN 1974
A. Pengertian Anak Mennrut Hnknm Islam dan Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahnn 1974
I. Menurut Hukum Islam
Menurut ajaran Islam bahwa setiap anak mempunyai hubungan yang
erat dengan ibu dan bapaknya (double unilateral I bilateral), sehingga kalau
salah satunya meniggal dunia maka yang satu akan mcnjadi ahli wans
1 d I . I ter 1a ap yang amnya.
Sejak lahir, anak mempunyai hak nasab pada orang tua sebagai buah
perkawinan mereka. Firman Allah SWT :
... > " ,, .. ,. ,,_ 0 ... ... ... ... ,,. ,,. ... 0
~ ~Jl~I .faj a;,w.)1 ~: I .:JI ~ljl ;;.: ~IS"' 0JY.. ::.;,~~)\ ~'}. ~-~IJllj
{" rr : " I o _;..,11} ... 0:,_;j4 ~;.s:., ~j) ;' ,, F ;
Artinya : "Para ibu hendaklah menyusukan onak-anaknya se/ama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewqjiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ihu dengan cara yang ma'n(/". (Al-Baqarah I 2: 233)
1 Asyl;ari Abdul Ghoffah, Islam dan Prob/ematika Sosia/ Sekitar Pergau/an Muda-Mudi, (Jakarta : Akademi Presindo, 2000), Cet. Ke-I, ha!. 46
30
Dalam ha! ini, anak disandarkan pada ayahnya dengan perkataan ~_,
J.;l_,..JI menunjukkan keistimewaan ayah dalam soal nasab. Oleh karena itu,
para ulama telah sepakat bahwa anak yang dilahirkan karena hubungan
suami istri dalam perkawinan yang sah, nasab atau hukum nasab anak
tersebut mengikuti kedua orang tuanya. Kedua orang tua itu, yang laki
laki lazim disebut sebagai bapak dan yang perempuan disebut seorang ibu
dengan anaknya.
Di dalam Islam terdapat bennacarn-macam status anak, sesuai
dengan swnber anak itu sendiri, sumbcr asal itulah yang akan
mencntukan status seorai1g aiiak. Setiap kcadaan menentukan
kedudukaimya, membawa sifat sendiri dai1 memberi haknya. Hubungan
ai1tara ai1ak dan orang tuanya mempunyai syarat-syarat yang
membenarkai1 hubungan yang ada dan terdapat antara orang tuanya.
Perkawinan menentukan status anak, tergantung kepada perkawinai1 atau
hubungan antara orang tuanya.
Anak menurut segi bahasa adalah keturunan kedua sebagai hasil
hubungan ai1tara pria dan wanita. Di dalarn Islan1, hendaknya disertai
narna bapaknya untuk menunjukkai1 keturunan dan asal-usulnya. Salah satu
misi syari'at !slain adalah hiftul nasl yakni terpeliharanya kesucian
keturunan maimsia sebagai pemegang Kholifah di muka bwni. Ulama fiqh
mengatakan bahwa keturunan merupakan salah satu pondasi yang kokoh
31
pribadi berdasrkan kesatuan darah. Nasab merupakan nikmat yang paling
besar diturunkan Allah SWT kepada hamba-hambanya, sesuai dengan
firmam1ya dalam Al-Qur'an:
"o / wti }JI} 1~.J ~) ~I?) '*"') ~ ~ 1?. ~ ci1 ;:... Ji;;. ~.:J1 JA>) ... ... ,,. ,,.
Artinya: "Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kumm". (Q.S. Al-Furqaan I 25 : 54)
Dalam Islam memang terdapat pcrnbagian anak, tctapi bukan bcrani
Islam telah melakukan diskriminasi tcrhadap anak yang di lahirkan. Prinsi p
Islam tegas, bahwa setiap anak yang dilahirkan berstatus fitrah. Sabda
Nabi SAW:
Artinya: "Tiap-tiap anak itu dilahirkan menurut jitrahnya (bersih), orang
tuanya yang 11ie1y"adikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi". (H.R. Bukhori dan Muslim)2
Ini berarti bahwa keturunan mempengaruhi satu sama lainnya,
kemungkinan satu di antara nenck rnoyangnya pcrnah mcrnpunyai
2 Imron Rosyid, Anak Asuh Dan Anak Luar Nikah Serta lmplikasinya da/am Hukum Islam, Mimbar Hukum : No. 19 Tim. VI I995 Maret-April (Jakarta : al -Hikmah dan DITBANPERA Islam), hal. 42
32
penyakit yang tidak menurun langsung ke anak cucunya, tetapi
kemungkinan akan turun kepada cicit-cicitnya yang dekat dan jauh.
Di dalam balia Arab terdapat bermacam kata yang digunakan untuk
mii ai1al( sekalipun terdapat perbedaan yang positif di dalam
pemakaiaimya. Urnpainanya kata :i.l:J artinya secara umwn anak, tetapi
dipakai untuk anak yai1g dilahirkan oleh manusia atau binatang. Jika
dikatakai1 ~:J artinya analc kandungku dan walad hadzal heiwan berarti
anak binatang yang dilallirkan induknya. Di samping itu terdapat kata
ibnun yang artinya anak juga hanya ada perbedaan dalam pernakaian
keduanya. Kata yang terakhir ini dipakai dalam arli luas yakni dipakai
untuk anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri dan
lainnya. Masing-rnasing anak ini rncndapal pt:rhalian khusus dalam islam
yang rnenentukan statusnya baik dalam kcturunan, kewarisan rnaupun
dalain pandangan rnasyarakat clan ketentuan hukurnnya.3
Di dalain Al-Qur'ai1, Allah SWT berfirman dalam surat Asy-Syuura'
I 42 : 49 yai1g berbunyi :
3 Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1985), Cet. Ke-I, ha!, 24-26
33
Artinya : / ,i;'f,t:•<.· . , "Kepuny~an Allah-:-lah. kerqjaan _!aft;!/~ ,~9,~'..bumi;i:Ri~ m~nciptakan
apa yang dzkehendakz. Dza memberzkien al!dhnpef..e111puqi:z. kepad(l ,;szapa yang Dia kehendaki dan memberikan peritmpua11~epaH!i:,Siapq):!.9rwpia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada·siap£! yang Dia Kehendaki" (Asy-Syuura I 42 : 49) ~--
Ayat 50 yang berbunyi :
Artinya: "Atau Dia yang menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan
perempuan (kepada siapa yang dikehendaki--Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendakinya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui Lagi Maha Kuasa'" (Asyu-Syuura I 42 : 50)
Adanya anak menunjukkan adanya Bapak dan !bu yang melahirkan
anak itu, atau dengan kata lain: adalah hasil dari terjadinya suatu
persetubuhan antara laki-laki dengan seorang perempuan, maka lahirlah
seorang anak yang mana lald-lalci itu adalah Bapaknya dan perempuan itu
adalah Ibunya. 5
2. Mcnurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 I 1974
Dalam ha! anak, UU Perkawinan dalam pembaliasau mengenai asal--
usu! seorang anal( dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik,
yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang alau oleh Pcngadilan
4 Al-Qur'an dan Terjemahannya, Jakaita, Depaitemen Agama RI, 1989 5 Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkmvinan di Indonesia, (Jakarta ;
Bina Aksara, 1878), Cet., ke-l, ha!. 122
34
Negeri setelah melakukan pemeriksaan yang teliti atas pennohonan yang
bersangkutan (pasal 55) tentang "pembuktian asal-usul anak". 6
Anak yang di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan Perdata
dengan Ibunya dan keluarga Ibunya, bilamana ia dapat membuktikan
bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari hasil perzinahan
tersebnt. 7
UU Perkawinan hanya memuat beberapa pasal saja yang menyangkut
tentang pengertian anak yaitu :
Pasal 42 : Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43 (1 ). Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan Perdata dcngan Ibunya dan
keluarga ibunya.
(2). Kedudukan anak tersebut ayat (I) di atas selanjutnya
akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44 : (!). Seorang suami dapat menyangkal salmya anak yang
dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan
bal1wa istrinya telah berzina dan anak itu akiba~
daripada perzinaan tcrsebut.
~ M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet., ke-1, Ibid., hal. 190
35
(2). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah atau
tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan.
Jadi kesimpulan dari pasal 42, 43, dan 44 tersebut, di dalamnya
memberi toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang
sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari
batas waktu minimal usia kandungan seperti akan dijelaskan. Jadi selama
bayi yang dikandung tadi lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan
yang sah, maka anak tersebut adalah anak sah. Undang-undang tidak
mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam pasal-pasalnya
maupun dalam penjelasrumya.
Kru·ena itu, dasru·---dasru· dimunculkannya pasal 42 UUP No. I I 1974
dianalisis. Sclain karena pengaruh pcmahaman mayoritas Ulamu (Jumlrnr)
yang tetap membolehkru1 kawin bagi laki-laki dengan perempuan hamil
meskipun tercela, boleh jadi karena pengaruh hukum barat yang telah
diresepsi oleh hukum adat. 8
B. Status Anak dari Perkawinan di Bawah Tangan Menurut Hukum
Islam dan Undang-Undang No. 1I1974
I. Mcnurut Hukum Islam
8 Ors. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafiido Persada, 2000), Cet. Ke-4, hal. 222-224
36
Untuk mengetahui status anak
tangan sangat erat relevansinya dengan status perkawinan di bawah "iai'igali1
itu sendiri. Sebab sah atau tidaknya perkawinan itu membawa akibat
hukum yang cukup luas salah satunya adalah mengenai status anak yang
lahir dari perkawinan tersebut.
Menurut jumhur ulama pada garis besarnya akad nikah ada 2 (dua)
macam, yaitu : (a) Akad yang sah sempurna yakni akad yang telah
memenuhi semua rukun dan syarat sahnya nikah; (b) Akad yang rusak
dan batal yakni akad yang salah satu rukun atau syarat sahnya nikah
tidak terpenuhi.
Sementara mengenai anak yang lahir dari perkawinan di bawah
tangan menurut hukum Islam anak mcmpunyai nasab dengan bapaknya.
Sebab perkawinan di bawah tangan itu termasuk perkawinan yang
diperselisihkan boleh dan salmya oleh ulama. Karena itu, perkawinan di
bawah tangan itu dianggap cacat atau fasad yang ringan. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW :
Artinya: " ... ... Anak itu untuk pasangan suami istri yang seranjang" ...... (!IR.
Bukhari)'
9 Imam al-Bukhori, Shahih Bukhori, Alih Bahasa H. Zainuddin Hamidy, et. al., (Jakarta : Widjaya, 1996), Cet. Ke-2, ha!. 304
37
Dengan demikian perkawinan di bawah tangan termasuk dalam
kategori akad yang sah sempurna, maka secara otomatis dapat diketahui
bahwa status anak dari nikah di bawah tangan adalah anak yang sah atau
syar'i artinya anak tersebut mempunyai lmbungan nasab baik dengan
ibunya maupun dengan bapaknya. Ketentuan ini berdasarkan kesepakatan
jumhur ulama yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dari seorang
wanita dalam suatu pernikahan yang sah adalah anak sah atau syar'i dan
dengan sendirinya memiliki hubungan nasab dengan suami dari wanita
tersebut. Asalkan memenuhi beberapa syarat, sebagai berikut :
• Han1ilnya istri dari suaminya itu merupakan suatu hal yang mungkin
artinya suami tersebut seorang laki-lald yang baligh dan mampu
memberi keturunan.
• Anak itu dilahirkan 6 (cnam) bulan sddah let:jadi perse11ggan1<1a11
antara suami istri (menurul jumhur ulama) alau setelah pcrkawinan
(menurut mazhab Hanafi). Dasar kescpakalan 1111 diambil dari
ketentuan
Nash Al-Qur'an, Surat Al-Ahqaf I 46 : 15, yang bcrbunyi :
Artinya: " ... ... Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh
bulan" ... ... (Q.S. Al-Ahqaf I 46: 15)
38
Dan Surat Luqman I 31 : 14 yang berbunyi :
Artinya: "Jbunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun ... "(Q.S. Luqman I 31 : 14)
Kedua ayat tersebut, oleh lbnu Abbas dan clisepakati para ulama,
clitafsirkan bahwa ayat pertanm menunjukkan bahwa tenggang waktu
mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Seclangkan ayat kedua
menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna
membutuhkan waktu clua tahun atau clua puluh empat bulan. Berarti, bayi
membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan di dalam kandungan. 10
• Istri melahirkan anaknya sebelum habis masa maksimal kehamilan (2
tahun mcnurut mazhab Hanali, 4 lahun mcnurul mazhab Syali'i dan
Hambali, 5 talrnn menurut mazhab Mal iki). Tcrhilung dari tanggal
perceraiannya baik cerai melalui thalak raj'i maupun thalak ba'in atau
kematian suaminya.
Menurut analisa penulis, pacla saat lahir ia sudah bergigi dan pandai
tertawa walaupun si istri telah bercerai dari suaminya. Baik cerai melalui
thalaq raj'i maupun thalaq ba'in. Karena itu pendapat tersebut dapat
cligunakan sebagai referensi hukwn, sejauh bukti-bukti mendukungnya.
10 Ors. Ahmad Rafiq, !Jukum Islam Di Indonesia, Op. Cit. ha!. 223-224
39
Riwayat Abu Hurairah. Ditegaskan dalam hadis Rasulullah SAW :
Artinya: "Dari Abi Hurairah, Bersabda Rasulullah SAW : "Anak ilu adalah
menjadi milik orang yang mempunyai tempal ti:lur, adapun yang melakukan zina maka dilempasi batu (hukum rqjam)" (H.R. Tirmidzi)
Maksud hadits ini seorang anak mempunyai hubungan nasab dengan
suami perempuan yang telah melahirkannya dalam perkawinan yang sah.
Sedangkan kalau perempuan itu tidak berhubungan dengan suami yang
sah, maka ia telal1 berzina dan ketcntuan yang diberlakukan untuk
perempuan itu adalah hukum rajam. Scmentara mengenai anak itu harus
dinasabkan ke laki-laki yang mana tidak disebutkan dan tidak ditentukan
sama sekali. 11
Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalal1 berupa pemeliharaan
terhadap anak tersebut, yang dalam ha! ini meliputi berbagai hal
diantaranya menyangkut masalah ekonominya, pendidikan, menjaga si
anak dari segala macam bahaya, menjaga keselamatan dan kesehatan baik
lahir maupun bathinya. Mengenai pendidikan sebagai orang tua dituntut
untuk memberikan pendidikan kepada si anak segala macam ilmu yang
11 Drs. Achrnad Kuz.ari, M.A., Nikah Sebagai Perikatan. Op. Cit , hal. I 02
40
baik untuk kepentingan hidup di dunia maupaun sebagai bekal kehidupan
di akhirat nanti. Firman Allah S.W.T, menegaskan:
J ,, J ,.,, -' ,, ;::l ,.~
{ ~ . / --11} 1'u • < ·1~!' • < ' .. oli 1· · ,. ~,i '. ·.u1 1~:rLJ • · "\ "\ {-r- · · · J r--o::- J r- ~ Y-° .:1-. ~ ··
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka ............ " (Q.S. At-Tahrim : 6)
2. Menurut UU No. l / 1974 Tcntang Pcrkawinan
Selaras dengan hukum Islam, UU No. 1 I 1974 tentang Perkawinan
yang berlaku di Indonesia pun mengaitkan erat sah tidaknya status
seorang anak dengan status pernikahan itu sendiri. Dengan kata lain,
secara mutlak sah atau tidaknya suatu pcrkawinan mcnurut prcspckli r Ul J
No. 1 I 1974 tcntang Pcrkawinan akan sangat mcmpcngaruhi status anak
yang lahir dari perkawinan tersebut
Sebagai pernikahan yang dirahasiakan, pcrkawinan di bawah tangan
hanya dapat mendapatkan tanda sah alas jasanya memenuhi ketentuan
pasal 2 ayat (!) UUP. Dan tidak mendapatkan tanda perbuatan hukum
karena keengganannya memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan yang berbunyi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agarna dan kepercayaannya itu. Oleh
karena itu, perkawinan terscbul tidak mcpunyai kckuatan hukum dan
dianggap oleh Negara tidak pernah ada suatu pernikahan se!ama belum
dicatatkan.
41
Dengan demikian, jelaslah bahwa perkawinan di bawah tangan
merupakan pernikahan yang tidak diakui dan dianggap tidak pernah ada
oleh Negara I Pemerintah. Sehingga status anak yang lahir dari pekawinan
di bawah tangan itu pun adalah anak tidak sah atau anak luar nikah. Hal
ini didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam UU Perkawinan No. l I
I 974 pasa 43 ayat (I) yang berbw1yi : "Anak yang lahir diluar nikah
hanya mempunyai hubungan dengan Ibunya dan keluarga Ibunya".
Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak yang lahir dari nikah
di bawah tangan sama dengan anak yang dilahirkan diluar nikah dan
jelas berstatus sebagai anak tidak sah. Anak tersebut hanya mempunyai
hubWJgan nasab dengan Ibu dan keluarga Ibwwa. Karena itu, hubungan
hukmn I perdata berupa hak dan kewajiban hanya lahir dalam hubungan
antara anak dan lbunya serta keluarga si !bu.
C. Harta Bersama Mcnurut Hukum Islam dan Undang-Undang No. I I
1974
1. Mcnurut Hukum Islam
Di dalam setiap perkawinan pada dasarnya diperlukan harta yang
menjadi dasar materil bagi kehidupan keluarga harta tersebut dinamakan
harta perkawinan.
Menurut Sayuti Thalib, harta perkawinan suami istri apabila dilihat
dari sudut asal usulnya dapat digolongkan pada tiga golongan, yaitu :
42
a. Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum
mereka kawin baik berasal dari warisan, atau usaha mereka sendiri-
sendiri atau dapat disebut sebagai harta bawaan.
b. Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya sesudah mereka
berada dalam hubungan perkawinan, tetapi diperol~hnya bukan dari
usaha mereka baik seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan
hibah, wasiat, atau warisan untuk masing-masing.
c. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan
perkawinan atas usaha mereka berdua atau salah seorang mereka
atau disebut harta bersama.12
Apakah kenyataan ini dibuang dari kehidupan masyarakat ? tentu
tidak mw1gkin, dari pengamatan lembaga harta bersama lebih besar
maslahatnya dari mudaratnya. Atas dasar metodologi maslahah mursalah. 13
Dan "urf'14 dan kaidal1 "a/-Adatu al-Muhakamal", para ulama mclakukan
pendekatan kompromistis kepada hukum adat. Sclain pendckatan
kompromistis, Prof. Ismail Muhammad Syah dalam disertainya. Telali
mengembangkan pendapat "Pencaharian bersama suami istri" mestinya
12 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 83 " Mas/ahah Mursalah adalah Maslahah yang tidak secara tegas baik kebolehan maupun
larangannya, tetapi maslahah tersebut serasi dengan tujuan Syari'at. Abdul Wahab Khalaf, l/11m Ushul al-Fiqh, (Johor: Maktabah Al-Da'wah Al-Jslarniyal1, 1972), hal. 84.
14 Uruf seakar dengan kata "ma'nif" adalah sesuatu yang dianggap baik oleh rnanusia dan dijadikannya, baik berupa ucapan, perbuatan, atau meninggalkan suatu perbuatan, 'Uruf disebut juga adapt. 'Uruf ada dua rnacarn, pertarna 'Uruf Shahih, yaitu kebiasaan yang baik dan harus dipelihara baik oleh Hakim maupun oleh Mujtahid. Kedua, 'Uruf Fasid yaitu kebisaan yang rnerusak ini harus dibatalkan. Ibid., hal. 89- 90.
( I i
43
'~'-'"""=·-"·
f U5J1J S¥!~i1?_1r:: ~,;_>:·-_'_;_- . __ -masuk dalam Rubu Muamalah I tetapi ···ternyam' ''~bcara ,,,,khl!sus tidak
·-·~---""""··-~--~------_,..._,_, ~~ -dibicarakan, mungkin ha! ini disebabkan olch karena pada 'liiiiumnya
pengarang dari kitab-kitab tersebut adalah orang Arab. Sedangkan adat
Arab tidak mengenal adanya adat mengenai pencaharian suami istri, tetapi
di sana dibicarakan mengenai masalah perkongsian yang dalam bahasa
Arab disebut syirkah atau syarikah. 15
Oleh karena itu, masalah pencaharian bersama suami istri ini adalah
termasuk perkongsian atau syirkah, maka untuk mengetahui hukumnya,
perlu kita bahas duhulu pengertian perkongsian atau syirkah dan macan1-
macam perkongsian serta hukumnya menurut empat imam mazhab.
Syirkah menurut bahasa adalah percampuran suatu harta dengan
harta lain sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu dari ~'ang lain. 16
Menurut istilah hukum Islam ialah adanya hak dua orang atau lebih
terhadap sesuatu. 17
Adapun dasar hukum syirkah dalam Islam adalah Islam mengajarkan
pada umatnya untuk saling tolong menolong diantara sesamanya. Dengan
adanya tolong menolong akan menimbulkan kerjasama, dengan kerjasama
akan menimbulkan ketentuan yang dibagi menurut kesepakatan. Dengan
15 Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suam-lsti di Tinjau dari Sudut UUP No. I I 1974 dan Hukum Ada/, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 282
16 Abdur Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahibi/ Ar-Ba'ah, (Mesir : Darul lhyat Turasi Al-Arbi, 1969), Juz IV, hal. 61
17 Ismail Muhammad Syah, Op. Cit., hal. 283
44
demikian syirkah diperoleh dengan bukti yag tercantum dalam firman
Allah SWT, yang berbunyi :
{Y £ : Y'A I ..r} ...... ~\
Artinya: "Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebagian mereka itu berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang -orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ... ... "(Q.S. Shaad I 38: 24)
Bila dilihat dari kontek surat ini memang tidak ada kalimat yang
secara teks memperoleh syirkah. Namun bila dilihat dari sifatnya sural ini
ada kalimat yang memperoleh syirkah, dengan adanya kata "Khulathai"
(tafsir Al-Khozim) menafsirkan kata "Kholathai" dengan tafsir "As--
Syuraka" (orang-orang yang berserikat).
Adapun dalil hadist yang diperbolehkan syirkah yailu :
A1iinya: "Dari Abu Hurairah ra Bekata : bahwa Rasulullah SAW bersabda:
sesungguhnya Allah SWT be1:firman : ''Aku Anggota ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah sat unya dari mereka lidak berkhianat. Apabila salah seorang dari mereka berkhianat maka aku berkhianat. Apabila salah seorang dari mereka berkhianat maka aku
45
keluar dari antara mereka"18 (HR. Abu Daud, dan disahihkan oleh AlHakim)
Dari hadis Qudsi tersebut dapat dian1bil kesimpulan bahwa
perkongsian pada umumnya menurut hukum Islam bukan hanya sekedar
boleh melainkan lebih dari itu disukai selama dalam perkongsian itu tidak
ada tipu muslihat.
Adapun macam-macam syirkah menurut para ulama Imam Mazhab
ada 5 macan1, antara lain :
J. Syirkah !nan (perkongsian terbatas)
Yaitu perkongsian antara dua orang atau lebih y~111g masing-masing
mempunyai modal dan sama-sama beke1ja menjalankan usaha perkongsian
dengan keunttmgan dibagi sesuai dengan perjanjian waktu perkongsian
dibentuk, juga adanya saling tanggung jawab antara mereka. Mengenai
macam syirkal1 ini para ulama empat mazhab sependapat tentang bolehnya
perkongsian.
2. Syirkah Mufawwadlah (perkongsian tak /erhatas)
Yaitu perkongsian dua orang atau lcbih untuk bcrniaga dcngan
modal dari para peserta dengan ketentuan masing-masing akan
mendapatkan keuntungan dengan banyaknya modal dan masing-masing
anggota perkongsian memberikan hak penuh kepada anggota perkongsian
untuk bertindalc dalam rangka menjalankan perkongsian seperti mcnjual
atau membeli barang-barang. Hukum syirkah ini boleh men,1rut mazhab
Hanafi, Maliki, dan Hanafi, tetapi tidak boleh menurut mazhab syafi'i.
Hanya beda antara tiga mazhab yang membolehkan yaitu menurut mazhab
18 Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali Al-Baihaqi, Sunnah Qubra, (Beirut : Darul Fikr, np ), J uz VI, hal. 78
46
Hanafi disyaratkan bahwa modal peserta perkongsian hams sama banyak,
sedangkan menumt mazhab Maliki, dan Hambali tidal( mensyaratkan.
3. Syirkah Abdan (Perkongsian tenaga)
Yaitu beberapa orang tukang pekerja berkongsi melakukan pekerjaan
dengan keuntungan dibagi menumt perjanjian. Hukum syirkah ini boleh
menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali, tetapi tidak boleh menurut
mazhab Syafi'i Hanya beda antara tiga mazhab yang membolehkan itu
bahwa mazhab Maliki mensyaratkan supaya pekerjaan yang mereka
lalmkan hams sejenis dan setempat, sedangkan mazhab Hanafi clan
Han1bali tidak mensyaratkan itu.
4. Syirkah Wujuh (Perkongsian kepercayaan)
Yaitu perkongsian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih tanpa
modal melainkan mendapat kepercayaan orang untuk membeli barang
barang apa saJa dengan cara kredit, kemudian menjual lagi dengan
mendapat keuntungan dan keuntungan itu dibagi menumt perjanjian waktu
perkongsian itu terbentuk. Disepalcati oleh tiga mazhab kecuali Syafi'i.
5. Syirkah Mudharabah (perkongsian orang yang memiliki modal dan
yang tidak)
Yaitu suatu perkongsian yang diadakan antara orang yang
mempunyai modal dan orang yang tidak mempunyai modal. Dengan earn
orang yang mempunyai modal menyerahkan modalnya kepada orang yang
tidak mempunyai modal untuk berusaha dan berdagang. Disepalcati tentang
bolelmya syirkah ini oleh mazhab Maliki dan Han1bali, karena terdapat
syirkah dalam laba (keuntungan), sedangkan Mazhab Syafi'i dan 1-lanafi
tidal( menggolongkan kedalam syirkah karcna pckerjaan m1 tidak
dinamalcan syirkal1. 19
19 Ismail Muhammad Syah, Op. Cit., hal. 294-295
47
Setelah dikemukakan definisi, macam-macam dan hukum syirkah
menurut para ulama empat mazhab, maka manakah dari sekian banyak
macam syirkah yang mendekati dan sama dengan pengertian hruta
bersama suami istri?
Dalam menanggapi persoalan ini tentunya tidak semua orang
mempunyai jawaban yang sama, misalnya Ismail Muhammd Syah
berpendapat bahwa pencaharian bersama suami istri lebih dekat kepada
pengertian syirkah abdan dan syirkah Mufawwadlah.
Jadi kesimpulru1 yang diambil Ismail Muhammad Syah adalah
berdasarkan alasan pada umumnya suami istri dalam masyarakat Indonesia
sama-sama bekerja membanting tulang, berusaha mendapatkan nafkah
hidup sehm·i-hru·i dan sekedar harta simpanan masa tua mereka, kalau
keadam1 memungkinkan juga untuk sedikit meninggalkau untuk anak-anak
mereka sesudah meninggal dunia.
Jadi pengertian hat1a bersama menurut hukum Islam yang ditinjau
melalui pendekatan syirkah Abdan dan Syirkah Mufawwadlah adalah harta
bersama yang dimiliki suan1i istri selanm dalam perkawinan.
Fatun-ahman dalam bukunya Ilmu Wm·is memberikan definisi harta
bersama sebagai harta kekayaan yang diperoleh suami istri selama
perkawinan berlangsung.20
'" Faturrahman, Ilmu Waris, (bandung: Al-Ma'arif, 1987), Cet. Ke-3, hal. 41
48
2. Menurut Undang-Undang No. 1/1974 Tentang Pcrkawinan
Penge1iian dari haiia bersarna bila kita perhatikan tidaklah dapat
dipisahkan dari sebuah perkawinan. Haiia benda yang diperoleh dalam
atau selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama. Harta bawaan
dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh dari
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang pihak tidak menentukan lain.
Dalarn UU Perkawinan No. I I 1974 diatur juga masalah harta
bersama, antara lain :
Pasal 35 berbunyi :
(I). Harta benda yang diperoleh selarna perkawinan menjadi harta
bersama.
(2). Haiia bawaan dari masing-masing suami dan islri dan harta bcnda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warism1 adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang pihak tidak menentukan
lain.
Maksud dari pasal 35, apabila harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Dan apabila harta bawaan dari
masing-masing suan1i istri selama dalam perkawinan, baik sebagai hadiah
atau warisan maka hm·ta tersebut tetap masing-masing menguasamya,
kecuali kalau pihak sumni maupun istri membuat pe1janjian bahwa harta
bawaan dijadikan harta bersania.
49
Pasal 36 berbunyi :
(I). Mengenai harta bersama, suam1 atau istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
(2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melalrnkan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
Sementara dari pasal 36 tentang harta bersama, baik saumi atau istri
dapat mempergunakannya dengan persetujuan salah satu pihak. Sedangkan
mengenai harta bawaan, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya
masing-masing atas harta bendanya itu.
Pasal 3 7 berbunyi :
"Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukunmya masing-masing". 21
Bila terjadi perceraian maka mengenai harta bersama diselesaikan
menurut hukum Islan1 bagi suami dan istri yang beragama Islam dan
menurut kitab UU Hukum Perdata bagi saumi istri non-Islam.
Apabila terjadinya perceraian dan menimbulkan segketa harta
bersama, sebagaimana dijelaskan oleh pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat
(I) Undang-Undang No. I I 1989. Pasal 66 ayat (5) yang berbunyi :
"Permohonan soal pengiasaai1 anak nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suan1i istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan
21 Undang-Undang No. I I 1974 Tentang Perkawinan, pasal 35-37.
50
cerai thalaq ataupun sesudah ikrar thalaq diucapkan". Sedangkan pasal 86
( 1) menyatakan "Gugatan so al penguasaan anak, nafkah istri, dan harta
bersama suan1i istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan percera1an memperoleh kekuatan
hukum tetap".
Penyelesaian sengketa harta bersama dalam perkawinan dapat
diajukan bersama-sama dengan perkara perceraian atau setelah terjadinya
kematian salah satu pihak dari suami dan istri a tau kedua suami istri. 22
Di Indonesia dengan adanya UU Perkawinan No. I I l 974
khususnya pada pasal 35 ayat (1) "Harta benda ya""lg diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama". Pasal 36 ayat (I) "Mengenai harta
bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak".
Kemudian pasal 3 7 "Bila perkawinan putus dalan1 perceraian, harta
bersama diatw- menurut hukumnya masing-masing". Begitu juga di dalam
Kompilasi Hukum Islam, dalam pasal I huruf (f) "1-larta bersarna dapal
berupa benda berwujud yang meliputi benda bergerak, clan benda yang
tidak bergerak dan sw-at-surat berharga".
D. Terbentulrnya Harta Bersama dalam Perkawinan
Menurut hukum Islam harta bersama dalam perkawinan akan
terbentuk melalui syirkah, yaitu Syirkah Abdan (Perkongsian Tenaga) dan
22 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada J>engatfi!an Aga111a, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1998), Cet. Ke-2, ha!. 243
51
Syirkah Mufawwadlah (perkongsim1 tak terbatas). Dan terjadinya hmia
syirkah dapat dilakukan dengm1 cara-cara sebagai berikut :
I. Dengan perjanjian secara tertulis atau diucapkan sebelum atau
sesudah dilMgsungkannya pernikahan.
2. ditentukM oleh Undang-Undang atau peraturM-peraturm1, bahwa
harta perkawinan menjadi harta syirkah (harta bersama) suami istri.
3. Dengan adm1ya kenyataM dalam kehidupan pasm1gM suami istri,
cm·a ini memMg hMya khusus untuk harta bersmna yang diperoleh
selama perkawinan suami istri itu bersatu dalam hidup.23
Nmnun menurut Ibrahim Husein, setelah mengkaji kitab-kitab Fiqh
ternyata selain syirkah ada cara yang dapat dikategorikM kepada cm·a-
cara Qirad Musqah, Mudharabah dan Muzara'ah. Lebih jauh beliau
mengatakM bahwa dengan mengandalkan unsur modal dan unsur tenaga
dari pihak suami atau istri dalmn mernbina rwnah tMgga sebagaimana
yang digM1barkan di alas peranannya dapat dipMd&ng seperti peke1ja
dalam Qirad dan seterusnya. 24
Ym1g dirnaksud oleh Ibrahim Husein adalah bahwa dalam kcluarga
di mMa pihak yMg rnencari harta hanya suM1i atau hm1ya istri, maka
bagi pihak yMg tidak berusaha mencari harta dapatlah dipandang ikut
mempunyai hak dalmn yMg dihasilkm1. DengM dasar bahwa tenaga yang
23 Sayuti Thalib, Hukum Keke/uargaan Indonesia, Op. Cit., h. 84-85 24 Deroktorat Pembina Badan Peradilan Agama Islam, Departemcn Agama Islam Rcpublik
Indonesia, Laporan Hasil Seminar Hukum Islam, (Jakarta : 1982), h. 25
52
telah diberikan oleh pihak yang tidak terlibat dapat dipandang sebagai
unsur modal atau saham.
Ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah t.ejak
saat tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan putus. Maka
seluruh harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum me1tjadi harta
bersama, kecuali harta asal atau harta bawaan. Karena harta asal alau
harta bawaan tetap me1tjadi milik suami istri masing-masing selama
mereka tidak menentukan lain dalam perjanjia11 perkawinan sebagaimana
yang telah penulis ditegaskan pada BAB III pain C, dalam pasal 35 ayat
(2) UUP No. 111974.
Pada KHI terbentuknya harta bersama JUga terjadi pada saat
berlangsungnya akad perkawinan. Hal ini dapat di pahami pada pasal 94
ayat (2) menyatakan : "Pemilikan harta bersama dari prorkawinan seorang
suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat
(I), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan ya·1g kedua,
ketiga atau kcempal".
Pada pasal tersebut mcnjelaskan lc1jadinya harla bcrsama anlara islri
kedua, ketiga dan keempat pada saat berlangsungnya perkawinan. Berarti
terbentuknya harta bersama pada perkawinan dengan istri pertama juga
terjadi pada saat berlangsungnya akad perkawinan.
Dengan demikiru1 baik hukum Islam maupun hukum positif harla
bersanrn dalam perkawinan terbentuk sejak berlangsungnya perkawinan.
BAB IV
KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA BERSAMA DALAM
PERKA WINAN DI BA WAH TANGAN
A. Akibat Hukum Nikah Di Bawah Tangan Menurut Hukum Islam d:in
UU No. 1I1974 Tcntang Pcrkawinan
1. Menurut Hukum Islam
Perbedaan pendapat ulama mazhab dalam mendifinisikan nikah s1m
atau nikab di bawah tangan mempengaruhi pandangan mereka dalam
menentukan status hukumnya. Mazhab Maliki menjelaskan dalam
terminologinya tentang nikab sini sebagai nikah yang atas pesan suami,
para saksi merabasiakannya untuk istrinya atau jama'ahnya sekalipun
keluarga setempat. Maliki tidak membolehkan nikab sirri, nikahnya dapat
dibatalkan dan kedua pelakunya bisa dikenakan hukuman had ( dera I
rajam), jika telah te1jadi hubungan seksual anatara keduanya dan
diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi. 1
Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi'i juga t'dak membolehkan
nikah sirri, mereka sepakat bahwa nikah sirri dalam terminologi fiqh
Maliki adalah bukan nikah sirri. Sirri adalah pelaksanakan ukad nikah
yang tidak disaksikan oleh saksi, atau disaksikan oleh saksi yang
1 Wahbah al-Zuhaili, al - lslami wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al - Fikr, 1989), Juz VII, hal. 7
54
persyaratannya tidak cukup atau tidak sesuai dengan yang telah disepakati
Jumhur Fuqaha, misalnya saksi terdiri dari satu orang laki-laki dan satu
orang perempuan.2 Imam Asy-Sysfi'i membolehkan jenis perkawinan yang
dirahasiakan oleh wali dan para saksinya, tetapi hukumnya makruh.
Karena akan menimbulkan keraguan dengan keadaan perkawinan
keduanya.3 Pendapat sepe1ti ini dikemukakan pula oleh ulama mazhab
Hambali, nikah yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syari'at Islam
adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para
saksinya, hanya saja hukumnya makruh.4
Status hukum dari nikah sirri dalam pandangan ulama mazhab jelas
sebagai nikah yang bermasalah. Meskipun dalam redaksi yang herbeda,
tetapi prinsip yang mereka bangun adalah sama, yaitu masalal1 pentingnya
publikasi sebuah perkawinan yang mempunyai dampak rentan di
masyarakat.
Masalah kriteria saksi yang menjadi standar bagi Imam Asy-Syafi'i
da11 Imam Abu Hanifah dalam menentukan status nikah sirri jugn
semaldn mempertegaskan bahwa dalam mekanisme untuk rnelegitimasi
pernikahan buka11 ha11ya sikap terbuka untuk mengumumkan pernikahan
dari pihak suan11, wali da11 saksi, tetapi juga kompetensi dai·i saksi itu
2 Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Asy-Syafi'i, Op. Cit., ha!. 35 - 36 3 Ibid., ha!. 36 4 Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit., ha!. 71
55
sendiri untulc mempublikasikannya sehingga nikah tersebut tidak lagi
dianggap sebagai nikah sirri.
Bukti otentik sahnya perkawinan seseorang di Indonesia dalam
bentulc akta nikah. Akta nikah ini sangat bermanfaat dan maslahah bagi
sebuah keluarga (suami, istri dan anaknya), untuk menolak kemungkinan
dikemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya dan akibal
hulcum dari perkawinannya itu (haiia bersaina dalan1 perkawinai1 dan hak
kewarisannya). Di samping itu untuk melindunginya dari fitnah dan
tuhmah atau qadzaf zina (tuduhan zina). Jelaslah pencatatan nikah untuk
mendapatkai1 alcta nikal1 itu sangat penting untuk Sadd al-Dzari'ah
(preventive action) dan juga maslahat mursalal1 (good interest). 5
Muhammad Idris Rainulyo berpendapat bahwa nikah dan talak yang
dilakulcan di bawal1 tangan lebih cenderung dinyatakan tidak sah menurut
hukum !slain, dan nikalmya batal sekurang-kurai1gya dapat dibatalkan
(Vernietigbaar). Alasan yang dikemukakan adalal1 pengumwnan dan
pendaftaran itu penting dan perlu untuk menghindari akibat hukum yang
timbul dari perkawinan di bawah tangan itu dalam huhungaimya dengan
pihak ketiga, misalnya tentang salmya ai1alc, wali nikah, tentang waris
mal-waris (Kewarisan). Selain itu pengumuman dan pendaftaran penting
bagi kemaslahatan kedua belal1 pihalc dan kepastian hukum bagi
msyai·alcat. Begitu juga bagi suaini maupun istri tidalc demikian ~aja dapat
5 Masjfuk Zuhdi, Op. Cit., Hal. 15
56
mengingkari pe1janjian perkawinan yang suci tersebut, dan tidak dengan
mudah menjatuhkan talak, sesuai dengan analogi (qiyas) AI-Qur'an surat
Al-Baqarah ayat 282 yang berbunyi :6
Artinya: "Dan Persaksikanlah apabila kamu berjual be/i, dan jaganlah
penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya ha! itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (Q.S. Al-Baqarah / 2 : 282)
I-I. A. Ghani Abdullah menggunakan satu ungkapan kunci mengenai
status nikah sirri, yaitu segi hukum yang memaknakan bahwa pelaksanaan
nikah adalah kumulasi keinginan ayat (I) dan (2) Pasal 2 UU
Perkawinan. 7 Dia mengemukakan bahwa bila dilihat dari segi hukum,
nikah pada indikator pertama (lengkap syarat materil) dapat dianggap
belum pernah ada karena belum dapat dibuktikan dengan akta nikah.
Sedangkan akad nikah yai1g memiliki indikt.tor pertama dan kedua
(melibatkan PPN) telah terdapat nikah dengan bukti adanya akta nikah.
Nanmn itu hanya dilihat dai·i hukum pembuktian, di mana pem'Juktian itu
pada dasarnya dilakukan apabila terdapat pihak yang mengingkari suatu
obyek atau pariwisata. Persoalm1 timbul apakab nikah hanya dengan
6 Moh. Idris Ramulyo, Op. Cit., Hal. 2 7 A. Ghani Abdullah Dan Muhammad Daud Ali, Op. Cit., Hal. 26-27
57
indikator pe1iama di mana tidak ada seorangpun yang dapat mengingkari
peristiwa nikah itu, sehingga disitulah letaknya mengapa nikah itu diakui
adanya sekalipun tanpa bukti lebih lanjut.
Berdasarkan uraian di atas, hukum pencatatan atas perkawinan yang
berakibat pada kawin resmi bukan kawin di bawah tangan bersumber
kepada fiqh yang bersifat ijtihad yaitu qiyas (analogi) terhadap surat Al
Baqara11 ayat 282 dan maslaha mursalah yang menurut empat mazhab
besar keduanya dapat dijadikan dasar penetapan hukum, maka penulis
berpendapat ballwa status nika11 sirri atau nikah di bawa11 tangan adalah
tidak diakui keberadaanya menurut hukum Islam bila dikemudian hari
perkawinan itu menimbulkan konflik, disebabkan tiJak adanya bukti-bukti
otentik.
Tapi sepanjang perkawinan 1111 tidalc membutuhkan bukti-bukti
otentik dan tidak merugikan pihak-pihak yang terkait di dalamnya status
nikah sirri tetapi diakui keberadaannya. Dengan melihat realitas pada
msyarakat tertentu bahwa nikah di bawah tangan yang tedadi
dilatarbelalrnngi oleh faktor ekonomi dan masalah kondisi gcografis,
sehingga mcngakibatkan pencatatan perkawinan menjadi sebuah beban
yang sangat berat, sementara bukti-bukti pcrkawina11 menjadi scbuah
beban yang sangat berat, sementara bukti-bukti berup? akta nikah tidak
mereka perlukan, akhirnya sebagai tindakan prcvcntir untuk mcnghindari
zina (kebutuhan terhadap perkawinan) maka tcrjadilah praktek nikah di
58
bawah tangan dan para pelakunya tidak merasa dirugikan satu sama lain.
Kenyataan seperti m1 akan menempatkan status nikah di bawah tangan
dalam status yang sah menurut hukum Islam.
2. Menurut UU Perkawinan No. 1/1974
Untuk menentukan status nikah di bawah tangan dalan1 tinjauan
hukmn kita harus fil(!ngacu kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku tentang perkawinan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku
tentang perkawinan umat Islan1 di Indonesia sampai saat ini adalah : (I)
UU No. l / 1974 tentang perkawinan; (2) UU No. 22 / 1946 jo. UU No.
32 I 1954 tentru1g Pencatatru1 Nikah, Thalak, dan Rujuk; (3) PP No. 9 I
1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 I 1974 tentang Perkawinan; (4)
Instruksi Presiden No. 1 I 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI);
(5) PMA No. 2 / 1990 tentan Kewajiban PPN.
Mengenai sahnya suatu perkawinan adalah apabila telah
dilangsungkan menurut ketenturu1 syari'at Islam di hadapan PPN dicatat
oleh PPN.8
Ketentuan dan sikap yag tegas dari peraturan perundang-undangan
mengenai nikah di bawah tangru1 adalah :
a. Berbagai peraturru1 yang telah disebutkan di atas
8 Hartono Mardjono, Syarat Manakah Yang Menentukan Salmya Perkawinan, Mimbar Hukum : Aktualisasi Hukum Islam, No. 23 th Vi, (1995), Hal. 33 -45
52
59
b. Penjelasan Pasal 1 UU No. 22 I 1946 menyatakan bahwa, "Ancaman
dengan denda sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan (3) Pasal 3
Undang-Undang nu bemmksud supaya aturan administratif nu
diperhatikan : akibatnya sekili-kali bukan, bahwa nikah, thalak, dan
rujuk itu menjadi batal karena pelanggaran itu", (yakni pelanggaran
pencatatan).
Menurut hukum perkawinan yang berlaku di Indoneia (UU
Pekawinan), maim status perkawinan di bawah tar.gan adalah :
1. Tidak mempunyai kekuatan hukum karena dianggap tidak pernah ada
perkawinan (wujuduhu ka adamihi) sehingga ia tidak menimbulkan
akibat hukum.
2. Tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perkawinan yang
baru sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU No. I I 1974.
3. Tidak dapat dijadikan dasar untuk: menuntut hak oleh pihak: wanita
sebagai istri dan juga anak:-analmya.9
Perkawinan di bawal1 tangan merupak:an tindak Pidana pelanggaran
yang dapat dijatuhi sank:si pidana berdasark:an ketenluan Pasal 3 ayat (I)
UU No. 22 I 1946.
9 A. Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkm-vinan dan Sahnya Perkaivinan, Op. Cit,. hal.
60
B. Kedudukan Anak Akibat Perkawinan Di Bawah Tangan Tcrhadap
Harta Bcrsama Mcnurut Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974
1. Mcnurut Hukum Islam
Sebelum penulis memaparkan mengenai dampak status anak dari
perkawinan di bawah tangan ( dampak di sini maksudnya dapat atau
tidaknya seorang anak dari perkawinan di bawah tangan terhadap warisan
orang tuanya), terlebih dahulu akan sedikit diuraikan mengenai ha! yang
berkaitan dengan warisan.
Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menenma atau
mendapatkan harta peninggalan (pusaka) dari orang yang meninggal.
Mereka adalah orang-orang yang mempunyai hubungan dengan orang
yang meninggal dunia (pewaris). Mereka mempunyai sebab, menmpunyai
syarat-syarat dan tidak adanya penghalang untuk menerima harta
warisan.JO
Salah satu sebab mendapatkan harta wansan adalah karena adanya
hubungan perkawinan. Perkawinan yang sah menyebabkan adanya
hubungan saling mewarisi antara suami dan istri. yaitu perkawinan yang
rukun dan syaratnya terpenuhi secara agama.
Seorang anak akan mendapatkan hak wansan dari ayahnya yang
telah meninggal dunia apabila tidak adanya suatu masalah (perkara) antara
'° Fatliur Rahman, I/mu Waris, Op. Cit., ha!. 115
61
si anak dengan pihak keluarga ayahnya (almarhum) tentang kebenaran
seorang anak tersebut adalah anak dari almarhum (ayah) keluarganya.
Dalam perkawinan di bawah tangan anakpun dipersoalkan mengenai
status warisnya. Lain halnya apabila perkawinan ini tidak dipermasalahkan
oleh ahli waris yang lainnya ( dari pihak keluarga almarhum), maka anak
berhak mendapatkan bagian harta waris yang ditinggalkan oleh ayalmya.
Salah satu hak yang diperoleh seorang anak syar'iy I sah adalah hak
untuk menerima haiia warisan yang ditinggalkan orang tuai1ya, dengan
catatan tidak ada hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak si anak untuk
menjadi ahli waris dari orai1g tuai1ya. Dalam rumusan kompilasi, ahli
war1s adalal1 orang yang pada saat meninggal dunia mempw1yai hubungan
dai·ah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragan1a Islam dan
tidak terhalang karena hukum W1tuk menjadi al1li waris (ps. I 71 huruf c
!CHI). Dengan demikian, yang dimaksud a11li waris oleh kompilasi adalah
mereka yang jelas-jelas mempunyai hak wans ketika pewarisnya
meninggal dunia, tidalc ada halangan untuk mewarisi (tidak ada mawani'
al -irs).
Adapun yang dimaksud dengai1 pewaris adalah orang yai1g pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
pengadilai1 againa Islam. Haiia peninggalai1 ( tirkah adalah harta yang
ditinggalkai1 oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi
miliknya maupun hak-halmya (ps. 171 huruf d KI-II). Ini dibedakan
62
dengan harta warisan yang siap dibagi wans, yaitu harta bawaan
ditambah bagian harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewans
selarna sakit sarnpai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),
· · II pernbayaran utang dan pernberian untuk kerabat. (ps. 171 huruf e KI-II).
Pada rnasa sebelum Islan1, sebab-sebab mewarisi terdiri dari :
Pertalian darah (al-qarabah), janji setia (al-hilf wa al-mu'aqadah), dan
pengangkatan anak (al-tabnni atau adopsi). Maka pada awal Islam, ketiga
sebab tersebut masih tetap dijalankan, ditambah dengan hijrah dan ikatan
persaudaraan antara kaurn Muhajirin dru1 Anshar.
Ketika Islam sempurna diturunkan, yang diteruskan hanyalah yang
pertama, sedang yang keempat lainnya ditiadakan. Dengan demikian dapat
dijelaskan bahwa sebab-sebab mewarisi dalam Is1run adalah :
1. Al-Qarabah
Al-Qarabah atau pe1ialian darah di sini rnengalarni pembaharuan,
yaitu semua ahli war1s ya11g ada pertalian darah, baik laki-laki,
perempuan da11 a11ak-a11ak diberi hak untuk menenma bagia11 menurut
dekat jauhnya kekerabatannya. Karena itu dapat dinyatakan, bahwa sistern
kekerabatru1 yang dipakai dalam hukurn kewarisan Islam adalah sistern
kekerabata11 bilateral atau parental. Artinya penentuan hubungan kerabat
dihubungka11 kepada garis ayah da11 garis ibu. Meskipun diakui, bahwa
11 Drs. Ahmad Rafiq, M.A., Hukum Islam di Indonesia, Op. Cit., ha! 383-384
63
bagian wanita hanya separoh dari bagian laki-Iaki. Hal 1111 terdapat dalam
al -Qur'an, yang Allah SWT berfirmao :
{v : t I 01..-.:l1} (.p:,~ t;;_..a.i ;_£:,; t. , ,
Artinya: "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Baik sedikit atau banya menurut bagian yang telah ditetapkan". (Q.S. An-Nisa' I 4 : 7)
2. Al-Musaharah (hubungan perkawinan)
Perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan baik
menurut hukum agama dan kepercayaan maupun hukum Negara,
menyebabkan adanya hubungan saling mewarisi, apabila salah satunya
menggal. Untuk mengetahui adanya perkawinan tersebut, hanya dapat
dibuktikan melalui Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatatan
Nikah (PPN).
Menurut Drs. Ahmad Rofiq, M.A dalan1 cukunya Hukum Islam di
Indonesia mengatakan, meski pencatatan dan akta nikah soal administrasi
saja, ia membawa dampak positif yang cukup besar. Karena itu
"ketidaksadaran" lmkum dalam ha! ini, hanya aka.n menimbulkan kerugian
pada semua pihak yang terkait dengan perkawinan tersebut.
3. Al-Wala'
64
Al-Wala' adalah hubungan kewarisan karena seseorang
memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong-menolong.
Lalci lalci disebut mu'liq dan perempuan disebut mu'tiqah. Bagiannya 1 /6
dari harta warisan pewaris.
Dalam kompilasi sebab tiga tersebut ini tidak dicantumkan, karena
dalam kehidupan sekarang ini lebih-lebih di Indonesia perbudakan tidak
diakui lagi keberadaannya. 12
2. Menurut UU Perkawinan No. l / 1974
Maksud sub bahasan kali ini adalah perspektif hukum UU
Perkawinan bisaka11 seorang anak la11ir dari pcrkawinan di bawah tangan
mendapatkan harta warisan yang ditinggalkan orang tuanya.
Dalam sub bahasan yang lalu, penulis telah menjelaskan bahwa
berdasarkan hukum UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia status anak
yang la11ir dari perkawinan di bawah tangan adala11 anak tidak sah I anak
luar nikah, karena Negara tidalc mengakui dan menganggap tidak pernah
ada suatu pernikahan yang dilakukan secara sirri artinya tanpa dilakukan
pencatatan terhadap pernikahan tersebut ketentuan ini ditegaskan dalam
pasal 43 ayat (!) UUP yang dihubungkan dengan pasal 42 nya, bahwa
anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan diluai pernikahan, clan dia
hanya mempunyai hubungai1 nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
12 Ors. Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Op. Cit., hal. 398-402
65
Karena itu hubungan hukum perdata berupa hak dan kewajiban hanya
lahir dalan1 hubungan antara si anak dengan ibu dan keluarga ibunya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam perspektif hukum
UU Perkawinan No. I I 1974 seorang anak dari nikah sirri yang berstatus
sebagai anak tidak sah atau anak diluar nikah tidak bisa mewarisi
ayahnya, karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab diantara
mereka. Anak tersebut hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya,
begitu juga sebalik.nya, ibunya dan saudara-saudaranya yang seibu bisa
mewarisi harta peninggalannya. Jadi, misalnya ketika ayah meninggal
dunia, maka si anak (dari nikah sirri) baik laki-laki maupun wanila tidak
mempunyai hak untuk menjadi ahli waris dari ayahnya itu. Akan lctapi
kalau yang meninggal dunia adalah ibunya maka si anak berhak
menerima harta warisan yang ditinggalkan ibunya itu.
Jadi akibat hukumnya, bahwa di dalam hukum Islam seorang anak
dapat warisan dari ayah atau ibunya baik dari perkawinan yang sah
maupun perkawinan yang tidak sah. Karena dalam Islam anak dapat
menerima warisan apabila anak tersebut satu nasab ( darah) dengan ayah
atau ibunya.
Sedangkan menurut UUP No. I I 1974, anak berhak mendapatkan
warisan dari ibunya dan anak tidak mendapatkan warisan dari pihak
ayahnya, karena di dalam UU No. 11 1974 anak yang hasil dari
66
perkawinan di bawah tangan dan tidak dicatat oleh pegawai Pencatatan
Nikah (PPN) tidak mendapatkan harta warisan
A. Kesimpulan
BAB V
PENUTUP
Dari uraian tentang "Kedudukan Anak clan 1-Iarta Bersama dalam
Perkawinan di Bawah Tangan Menurut Hukum Islam dan UU
Perkawinan No. I I 1974" di alas, penulis menarik kesimpulan berikut 1111 :
I. a. Berdasarkan pendapat jumhur Ulama (tcrmasuk di dalarnnya Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi'I dan Imam Ahmad Bin Hambali)
menyatakan bahwa clalam hokum Islam Status hokum pcrkawinan
di bawah tangan adalah sah. Karena pcrnikahan tcrsebul tclah
memenuhi semua rukun dan syarat salrnya nikah. Tctapi nrnkruh
karena menyalahi adanya perintah unluk mengumumkan atau
menyebarluaskan berita pernikahan.
b. Namun berdasarkan perspektif UU No. 1/1974 ten!ang perkawinan,
perkawinan di bawah tangan adalah nikah ilcgal, tidak diakui dan
dianggap tidak pernah acla oleh Negara atau Pemerir.tah. Karena
perkawinan tersebut hanya memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1)
UU No. 1/1974 lentang perkawinan dan lidak mcmenuhi pasal 2
ayat (2) UU No. 1/1974 tenlang perkawinan yang merupakan syaral
formil pernikahan dan berfungsi sebagai tanda perbuatan hokum.
2. a. Ketentuan mengenai status sah atau tidanya seorang anak sangal erat
relevansinya dengan status perkawinan itu sendiri. Oleh karena itu,
67
68
perkawinan di bawah tangan yang dipandang sah dalam hukum
Islam, maka status anak yang dilahirkan dari pcrkawinan di bawah
tangan itu pun adalah anak yang sah I syar'I, artinya anak yang
mempunym lmbungan nasab, baik dengan Ibunya maupun
Bapaknya.
b. Sedm1gkan menurut Undang-Undang No. 111974 tentang Perkawinan
yang ber!aku di Indonesia. anak yang dilahirkan dari perkawinan di
bawah tangan berstatus sebagai anak yang tidak sah atau anak
diluar nikah, artinya anak tersebut hanya mc111iliki hubungan nasab
dengan Ibunya tidak dengan bapaknya. I I.al ini, karcna Negara alau
Pemerintah tidak mengakui pernikahan tersebut.
3. a. Menurut hukum Islmn, sebagai anak yang sah atau syar'l, anak
yang lahir clari pernikahan di bawah tangan dengan sendirinya
mempunym hubungan hukum atau keperdataan berupa hak dan
kewajiban dengan keclua orang tuanya. Karcnya, anak dari
perkawinan di bawah tangan itupun berhak untuk mcmperoleh harta
warisan yang ditinggalkan kedua orang tuanya.
b. Namun rnenurut perspektil" lllJ No. 1/1974 tentang perkawi11a11, aiwk
dari perkawinan di bawah tangan yang merupakan anak yang tidak
sah atau anak diluar nika11, hanya memiliki hubungan hukum atau
keperdataan dengan Ibunya yang mela11irkannya dan keluarga
lbunya itu. Sehingga dengan demikian anak tersebut hanya berhak
69
memperoleh harta warisan dari Ibu dan keluarga Ibunya, tidak
dengan Bapaknya.
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapal penulis kemukakan berkailan dengan
bahan skripsi ini adalah sebagai berikul :
I. Dengan berdasarkan kaidah hukum Islam yang berbunyi :
Artinya : "!vfenolak Kemudharatan lebih didahulukan dari pada 1nemperoleh
kemaslahatan".
I-lendaknya umal Islam di Indonesia mclangsungkan pcrnikahan
dengan memaluhi kclcntuan hukum perkawinan yang lcrdapal pada
pasal 2 ayat (I) dan (2) UU Perkawinan, demi menolak ha! yang
tidak diinginkan dikemudian hari. Seperti adanya pengingkaran atas
pernikahannya itu, status anak yang dianggap sebagai anak diluar
nikah atau anak tidak sah. Hilangnya hak saling mewarisi anlara
suami-istri, anak yang lahir tidak dapat menjadi ahli wPris bapanya
dan lain-lain.
2. Unluk menjaga dan mengurangi lc1jadinya pcrkawinan di bawah
tangan, peran para ulama beke1j asama dengan pemerintah sang at
diperlukan dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa
perkawinan di bawah tangan akan memberikan kemudharatan atau
69
70
kerugian terhadap segala akibat yang muncul dari pernikahan
terse but.
3. Untuk menghilangkan paradigma masyarkat tentang mahalnya biaya
yang harus dikeluarkan w1tuk mengurus pencatatan pernikahan, maka
hendaknya para Pengawas Pencatatan Nikah (PPN) serta staf-stafnya
bersikap lebih jujur dengan menetapkan biaya st:suai dengan tarif
resmi, tanpa harus menekan masyarakat dengan oiaya-biaya ekstra
demi kelancaran administratifnya, yang memang biaya tersebut lebih
besar dari tarif resminya.
7n
DAFT AR PUST AKA
Al-Qur'an dan Tc~jcmahannya, Jakarta : Dcparlcmcn Agama RI, 1989
Abdullah, A. Ghani, I-1, Tinjaun Hukum Terhadap Perkawinan di Bawah Tangan mimbar Hukum : Aktualisasi Hukum Islam, No. 23 th VI
--------------, dan Ali, Muhammad Daud, Tidak Memenuhi Hukum Perkawinan Posit!{ Berarli Keluar dari Sistem Perkawinan yang Berlaku, Wawancara Mimbar Hukum: Aktualisasi f-lukum 1.vlam, No. 28, th Vil, Jakarta : Al-1 likmah dan DITBANBAJ>ERA, Scplcmbcr-Oktobcr, 1996
Abdul Ghoffah, Asyhari, Islam da11 l'roblematika Sosial Sekilar l'agaulan Muda Aiudi . .lakrta: Akaden1i J>n:si11do. Cd. ;~l' I, '.'i)()()
Ahmad bin llust:in. Abu Bakar, bin Ali Al-llailwqi. Swmah <Juhra. lkirut: Darul Fikr,
Arto, A. Mukti, Masa/ah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya l'erkawinan, Mimbar Hukum: Aktualisasi ffukum Islam, No. 26 th Vil, I 996
Aulawi, A. Wasit, l'ernikahan llarus 1vlelibatkan M{/,\yarakat, Mimbar !lukum. Aktua/isasi f-lukum Islam, No. 28, Th. VII, I 996
Bukhari, al. Muhammad Ismail, Abu Abdillah, Slwhih !Juklwri, Alih Bahasa I lamidy, i'.ainuddi11. 11. et.al., Jakarta: Widjaya. Cct. Kc 2. 1')85
Dahlan, M. Sujari, Fenomena Nikah Sirri (/Jagaimana Kedudukannya Menuru1 Hukum Islam?), Surabaya: Pustaka Progressif, Cet. Ke-1, 1996
Derektorat Pembina Badan Peradilan Agama Islam, Departemen Agama Islam Republik Indonesia, Laporan Hasil Seminar Hukum Islam, Jakarta : 1982
Faturrahman, !!mu Waris, Bandung: Al-Ma'ruf, Cet. Kc-3. !987
Fachruddin, Fuad Mohd, Dr., Nfasalah Anak Dalam Hukum Islam, Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Anglea! dan Anak Zina, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, Cet. Ke-1, 1985
Jaziri, al, Abdur Rahman, Al-Fiqh Ala Mazahihil Ar-Ba 'ah, Juz IV, Mesir : Darul lhyat Turasi Al-Arbi, 1969
Kusuma, Hilman l-ladi, Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Ada! dan Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju, 1990
Kuzari. Achmad. M.A .. Drs .. Nik11h Seh11.~11i l'aika11111. Jakmta : R:1ja ( lrarmdo Pcrsada, Cc!. Kc·· I, 1995
Khallaf, Abdul Wahab, I/mu Ushul Af .. Fiqh. Johor: Maktabah Li al-Da'wati al-lsalamiyah, 1972
Mardjono, Hartono, Syarat Manakah yang Menentukan Sahnya Perk11winan, J\1imhar Hukum : Aktualisasi Hukum Islam, No. 23 th VI, 1995
Muhammad Syah, Ismail, Pencaharian Bersama Suami .. Jstri di 7/njau dari Szulil/ UUP No. I 197./ dan Huk11111 Ada!, Jakarta: Bulan llintang, 1986
Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, Imam Abi Abdillah, Al-Umm, Juz V, Bairut : Daar Al-Kutub Al -llmiyah, 1993
Muhdlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan, Nikah, Thalak, Cerai, d1 Rujuk, Bandung : Mizan, Cet. Ke-2, 1995
Prakoso, Djoko, Murtika, I Ketut, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indones1 Jakarta: Bina Aksara, Cet. Ke-I, 1978
Ramulyo, Muhammad Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Huki Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukwn Islam, Jakart: Sinar Grafika, Cet. Ke-I, 1995
Rofiq, Ahmad, MA.. Dr., Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafin Perkasa, 1995
Rosyid, lmron, Anak Asuh dan Anak Luar Nikah serla Implikasinya dal. Hukum Islam Mimbar Hukum, Jakarta: Al-Hikmah dan DIBINBAPEl Islam, No. 19 Thn VL Maret-April, 1995
Sabiq, Sayid, Fiqh Al-Sunnah. Juz VI, Bandung : PT. Al-Ma'rif, Jilid. 1995
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta : Rhineka Cipta, Cet. Ke-1991
Syakir, Muhammad Fuad, Drs .. Perkawinan Terlarang (al-i\1isyar, al-Urji. Sirri, Mut'ah;. Jakarta: Cendikia Muslim, Cet. Ke-1, 2002
. Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : Ul Press, 1986
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Zuhaili, al, Wahbah, Al-Fiqh Al-ll'lami wa Adillatuh, Damaskus : Daar AlFikr, Juz Vil, 1989
Zuhdi, Masjfuk, Nikah Sirri, Nikah di Bawah tangan dan Status Anaknya Menurur Hukwn Islam dan Positif, Mimbar Hukum : Aktualisasi Hukum Islam, No. 28, th. VII, 1999