123424231-terjemahan-jurnaldfd.docx
DESCRIPTION
gdgfdgdefgdTRANSCRIPT
Penggunaan Toluidine Blue Dalam Mendeteksi Lesi Oral Pra-Ganas
dan Lesi Oral Ganas
(The use of toluidine blue in the detection of pre-malignant
and malignant oral lesions)
Paloma Cancela-Rodrı´guez1, Rocı´o Cerero-Lapiedra1, Germa´ n Esparza-Go
´mez1, Silvia Llamas-Martı´nez1, Saman Warnakulasuriya2
1Faculty of Dentistry, Department of Medicine and Buccofacial Surgery,
Complutense University of Madrid, Madrid, Spain;2Department of Oral Medicine, WHO Collaborating Centre for Oral Cancer, King’s
College London, London, UK
Pendahuluan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keefektifan uji
toluidine blue (TB) sebagai alat diagnostik dalam mendeteksi lesi ganas dan lesi
displastik pada rongga mulut. Penelitian ini dilakukan karena tidak tercapainya
persetujuan antara penulis mengenai kegunaan TB, serta untuk menentukan tambahan
kegunaan untuk mendeteksi pra-kanker mulut dan kanker mulut.
Bahan dan Metode: Penelitian ini mengikutkan 160 pasien yang mengalami penyakit
mukosa mulut yang termasuk dicurigai atau lesi ganas terdeteksi pada pemeriksaan
klinis secara visual, diperkuat oleh evaluasi histopatologi. Semua lesi diajukan untuk
dilakukan pewarnaan TB.
Hasil: Sensitivitas dan spesivisitas untuk mendeteksi lesi ganas dan lesi displastik
dengan uji ini adalah 65,5% dan 73,3%, secara berturut-turut. Secara keseluruhan,
tingkat deteksi dengan TB (sensitivitas) sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
yang dilaporkan oleh penulis lain tetapi spesivisitas sebanding dengan beberapa
laporan. Nilai prediksi positif (35,2%) juga lebih rendah dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya, sedangkan nilai prediksi negatif (90,6%) sama.
Kesimpulan: Kemudahan dari prosedur uji dan validitas dari nilai-nilai yang
menyarankan pewarnaan TB dapat menjadi suatu tambahan yang penting untuk
proses diagnostik, selama dihubungakan secara hati-hati dengan karakteristik klinis
dari diagnosis penyakit mukosa dan histopatologi.
Kata kunci: lesi displastik; deteksi dini; penyakit ganas, kanker mulut; toluidine blue
Pendahuluan
Frekuensi relatif kanker mulut di Eropa lebih rendah dibandingkan dengan
kanker lain, tetapi yang penting terletak pada adanya laporan angka kematian yang
tinggi. Faktanya, sekitar 50% dari semua pasien dengan kanker mulut akan meninggal
dalam waktu 5 tahun terutama akibat keterlambatan dalam diagnosis. Namun, jika
kanker mulut didiagnosa selama tahap, tingkat kelangsungan hidup meningkat hingga
86%. Di dalam rongga mulut, ada banyak sekali penyakit mukosa menunjukkan
keganasan secara potensial, dimana diagnosis dan perawatan dapat mendukung
deteksi dini atau pencegahan dan kanker demikian mengurangi insiden dan angka
kematian.
Tidak ada persetujuan mengenai keefektifan pemeriksaan mulut secara
konvensional dalam mendeteksi dini penyakit keganasan dan kanker mulut secara
potensial. Beberapa penulis telah melaporkan tingginya sensitivitas, spesifisitas dan
nilai prediktif yang baik, sementara yang lain tidak. Ada beberapa uji dan tambahan
teknik diagnostik yang ada sekarang tersedia secara komersial dan dipromosikan
untuk penggunaan dalam lingkungan dental dan rumah sakit.
Wilson dan Junger memberikan pedoman untuk uji screening yang ideal.
Secara umum, pedoman tersebut akan sangat diperlukan untuk memperoleh uji
sensitivitas dan spesifisitas tinggi; dengan kata lain, hasil uji akan menunjukkan
sedikit false positif (FP) dan sedikit false negative (FN).
Paling sering menggunakan tambahan teknik diagnostik untuk menaksir
penyakit mukosa mulut yakni dengan uji pewarna toluidine blue (TB). TB adalah
suatu pewarna metakromatik acidofilik dari kelompok thiazin. Dalam larutan,
memiliki warna biru-violet. Sifat utamanya adalah mewarnai secara selektif
komponen jaringan acidic. Uji didasarkan pada fakta bahwa sel-sel displastik
mungkin berisi lebih banyak asam nukleik dan suatu apitelium displastik juga
mengalami sedikit kehilangan kohesi. Keistimewaan ini memudahkan penetrasi
melalui epithelium dan retensi pewarnaan dalam sel-sel kanker, yang merupakan
replikasi in vivo, sedangkan pada mukosa normal gagal untuk menahan pewarnaan.
Mulai tahun 1964 dan karena dorongan yang diberikan oleh Niebel dan
Chomest, TB digunakan secara meningkat oleh banyak penulis untuk tujuan
diagnostik. Namun, beberapa penelitian mengumumkan selama tiga dekade terakhir.
Penggunaan TB untuk mengidentifikasi lesi displaktik dan lesi keganasan pada
mukosa mulut telah melaporkan data yang sangat berbeda sehingga menimbulkan
kontroversi mengenai kegunaannya. Hal ini membenarkan penelitian eksperimental
lanjut mengenai alat diagnostik ini.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah aplikasi TB
akan membantu dalam diagnosis dari lesi keganasan mulut dan lesi displastik. Untuk
tujuan ini, kami menghitung sensitivitas, spesivisitas, dan nilai-nilai prediktif dari uji
untuk semua lesi mulut yang pada dasar klinis membutuhkan biopsi.
Pasien dan metode
Seratus enam puluh pasien dirujuk ke Department of Oral Medicine, Fakultas
Kedokteran Gigi, Complutense University of Madrid, Spanyol dipilih untuk
penelitian ini. Ada 77 laki-laki dan 83 wanita dengan median usia 55,3 ± 16,1 tahun
(kisaran 13-100 tahun). Semua pasien adalah Caucasian. Di antara 160 pasien, 34%
adalah perokok dan 27% mengonsumsi alkohol secara rutin. Pasien-pasien ini
menunjukkan 160 lesi mukosa, yang membutuhkan evaluasi biopsi untuk
menegakkan diagnosis pasti.
Aplikasi dan validasi uji diagnostik
Semua pasien yang mangalami riwayat klinis yang diperoleh dari pemeriksaan
rutin ekstraoral dan intraoral. Setiap lesi dideteksi dengan pemeriksaan mulut secara
klinis digambarkan, digrafik, dan difoto, dan suatu pekerjaan diagnosis klinis
ditetapkan penggunaan kriteria WHO (1980). Data ini dicatat pada suatu proforma
(tersedia dari penulis atas permintaan). Setelah pemeriksaan klinis, informed consent
diperoleh dari semua pasien, dan mereka sukarela dimasukkan dalam penelitian.
Kemudian, TB diaplikasi sebagai obat kumur menggunakan protokol yang dijelaskan
oleh Mashberg, dengan 1% asam asetik encer awalnya digunakan sebagai agen
mukolitik dan setelah kumuran dengan TB untuk melepaskan stain yang berlebihan.
Semua lesi segera difoto setelah pewarnaan. Stain dianggap positif apabila
permukaan mukosa berwarna biru, baik jika seluruh lesi berwarna atau hanya
sebagian lesi. Mereka yang tidak dilakukan pengambilan pewarnaan atau dengan
temuan samar-samar itu dianggap negatif. Hasil uji yang menjalani evaluasi klinis,
oleh empat ahli patologi mulut berpengalaman dikalibrasi sebelumnya secara
berpasangan.
Biopsi dilakukan dalam semua kasus yang menjalani uji. Untuk lesi-lesi
dengan uji toluidine positif, biopsi diambil dari area yang berwarna. Untuk
menghindari adanya variabilitas interexamider, biopsi dari penelitian ini dievaluasi
oleh ahli patologi yang sama untuk menentukan keberadaan dan tingkat displasia,
atau keganasan.
Berikutnya diagnosis histopatologikal, semua lesi diklasifikasi dalam dua
kelompok: non-displastik/ non-lesi ganas, jika tidak ada tanda-tanda displasia atau
keganasan secara histologi dan lesi-lesi displastik/ ganas, jika displasia atau terdapat
invasi.
Validasi global dari hasil uji ditetapkan dengan menghitung sensitivitas,
spesifisitas dan nilai prediktif positif dan negatif.
Hasil
Rangkaian kasus yang terdiri dari 160 subjek yang mengalami lesi jinak atau
dicurigai secara klinis mengalami lesi pra-ganas atau lesi ganas baik itu lesi putih
ataupun lesi merah, eksofitik atau adanya ulser yang tak sembuh (Tabel 1).
Tabel 1. Keterangan klinis kasus yang termasuk
Pewarnaan toluidine blue mengidentifikasi 54 lesi positif dan 106 negatif pada
hasil pewarnaan. Pemeriksaan histologi berikutnya dari 160 sample biopsi, 131
didiagnosa mengalami lesi jinak (dengan tanpa displasia) dan 29 (18,1%) mengalami
displastik atau lesi ganas.
Perbandingan dari TB secara positif dan histopatologi mengungkapkan ada 19
hasil uji true positive (TP) dan 35 FP (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil pewarnaan TB yang dihubungkan dengan diagnosis secara
histopatologi
Nilai sensitivitas dan spesifisitas dari uji TB untuk mendeteksi lesi ganas dan
pra-ganas yaitu 65,5% dan 73,3%, secara berturut-turut.
Nilai prediktif juga dihitung. Hasil ini menunjukkan nilai prediktif positif
35,2%, yang artinya, probabilitas seseorang dengan hasil uji positif sebenarnya
mengalami penyakit dan nilai prediktif negatif 90,6%, dengan kata lain, probabilitas
bahwa seseorang yang sehat menyebabkan hasil uji negatif adalah 90,6%.
Evaluasi histopatologi melaporkan total 29 lesi ganas/ displastik. Sembilan
belas dari lesi-lesi ini menampakkan stain yang positif atau juga TP, sedangkan
sepuluh sisanya adalah FN. Oleh karena itu, TB dapat mendeteksi 65% lesi ganas/
displastik dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini, 12/13 (92,3%) dari sel karsinoma squamous ditemukan
hasil uji positif. Namun, 56,3% lesi displastik tidak dideteksi oleh pewarna uji ini
sendiri, hanya 7 dari lesi yang terdiagnosa secara histopatologi dianggap TP (Tabel
2).
Evaluasi secara histopatologi berikutnya, 12 kasus dari dysplasia ringan
didiagnosa. Enam dari itu tetap menahan TB (TP), sedangkan enam tidak dapat
mempertahankan warna (FN): hanya 50% displasia ringan yang menunjukkan hasil
tes positif. Lima puluh persen displasia sedang juga mempertahankan warna: empat
didiagnosa dua dianggap TP dan dua FN.
Secara keseluruhan 66 pasien yang didiagnosa secara histopatologi cocok
dengan oral lichen planus (LP), 18 dari pasien tersebut diwarnai dengan TB. Sebagai
tujuan dari penelitian ini untuk mendeteksi dysplasia epithelial atau kanker, LPs yang
berwarna positif dianggap FP dalam penelitian ini.
Pembahasan
Nilai sensitivitas dan spesifisitas sehubungan dengan keefektifan TB
dilaporkan dalam penelitian yang telah diumumkan lebih dekade terakhir berkisar
dari 64% hingga 100% dan 9% hingga 100%, secara berturut-turut (8, 11, 12, 14-30)
(Gambar 1). Suatu analisis meta oleh Rosenberg dan Cretin pada tahun 1989 (31)
mempelajari kemampuan TB untuk mendeteksi kanker atau pra-kanker. Besar sampel
dari penelitian ini bervariasi antara 20 dan 1190 subjek, dengan mean 250 pasien tiap
penelitian. Analisis meta mengungkapkan nilai sensitivitas 97,7 ± 4,65%. Nilai
spesifisitas lebih rendah, dengan mean 90,8 ± 9,34%. Suatu tinjauan sistematik
kemudian oleh Gray dkk, 75 penelitian yang telah diumumkan, menghasilkan tingkat
sensitivitas untuk mendeteksi dari 0,78 hingga 1,00 dan spesifisitas dari 0,31 hingga
1,00. Dalam penelitian ini, nilai sensitivitas (65,51%) dan nilai spesifisitas (73,28)
lebih rendah dari perkiraan rata-rata yang telah dilaporkan oleh Rosenberg dan
Cretin.
Gambar 1. Sensitivitas, spesifisitas dari uji toluidine blue dan jumlah kasus yang diperiksa
pada penelitian yang berbeda
Hal ini dimungkinkan karena beberapa faktor. Pertama adalah inflamasi dan
lesi ulserasi (dengan mengabaikan status keganasan) cenderung untuk
mempertahankan warna karena aktifitas sel yang lebih besar dan retensi mekanis dan
akibatnya menghasilkan nilai FP yang lebih tinggi. Sebaliknya, lesi hiperkeratosis
tidak memudahkan penetrasi warna ke lapisan epithelial yang lebih dalam, dan
dengan demikian perubahan seluler pada kedalaman epithelium dapat hilang oleh
warna, menghasilkan hasil FN.
Menurut Gandolfo dkk, faktor lain yang dapat menyalahartikan hasil
pewarnaan berdasarkan intensitas warna, tipe lesi yang dimana TB digunakan dan
prosedur pewarnaan (kumur atau aplikasi).
Spesifisitas rendah secara umum mengarah ke sejumlah besar hasil false
positif karena retensi dari warna pada area mukosa yang mengalami inflamasi atau
traumatik. Dalam tangan seorang generalis, hal ini dapat mengakibatkan untuk tidak
diperlukannya biopsy dan bertambahnya kecemasan pasien. Sensitivitas rendah dapat
terjadi karena penetrasi warna lebih rendah melewati white patches. Hal ini
menunjukkan bahwa TB mungkin tidak cocok untuk perawatan awal dimana proporsi
tinggi white patches bersifat penyakit jinak.
Berikutnya analisis meta, Rosenberg dan Cretin menyimpulkan bahwa jika
TB digunakan sebagai metode screening untuk populasi yang beresiko tinggi, maka
FN hasilnya akan menjadi rendah secara signifikan, sedangkan FP akan meningkat.
Uji dengan tingkat false positif tinggi meskipun lebih sesuai untuk memilih kelompok
beresiko tinggi tetapi tidak sesuai untuk perawatan awal atau suatu screening
lingkungan masyarakat. Epstein dkk, mempromosikan penggunaan TB untuk
manajemen pasien untuk suatu riwayat kanker saluran aerodigestif atas sebelumnya
berdasarkan pada hasil mereka dari percobaan multisenter. Mereka menyimpulkan
bahwa TB lebih sensitif dijbandingkan pemeriksaan klinis mereka dalam mendeteksi
karsinoma pada pasien kelompok beresiko tinggi. Suatu pernyataan yang telah
diumumkan oleh World Dental Federation (Federation Dentaire Internationable, FDI)
merekomendasikan bahwa TB hanya harus digunakan bilamana screening kelompok
beresiko tinggi.
Ketika penggunaan pewarna vital, dalam kasus TB ini, penting untuk
mempertimbangkan bahwa hasil dapat dipengaruhi oleh jumlah retensi pewarna
(misalnya intensitas dari stain) yang membantu untuk mengklasifikasi lesi positif atau
negatif; suatu perbedan yang tidak jelas dinyatakan dalam sebagian besar data yang
telah diumumkan. Hanya studi sejauh ini untuk mengatasi masalah ini oleh Gandolfo
dkk, yang melaporkan bahwa pewarnaan biru gelap berhubungan secara signifikan
dengan penyerapan nuclear oleh warna dan mengidentifikasi lebih penyakit yang
lebih serius. Penelitian mereka, bagaimanapun, terbatas pada 18 pasien dan
membutuhkan revalidasi.
Dalam penelitian ini, 92% dari SCC diperkuat positif oleh warna. SCC sendiri
tidak ditemukan oleh warna memiliki tampilan klinis ulser tetapi terlokalisir di arkus
glossopalatina (fauces pillar anterior). Kemungkinan teknik pewarnaan kami, yang
menggunakan 10 ml obat kumur TB, jalan masuk gagal ke tempat. Mashberg dalam
penelitian awalnya pada TB menyoroti pentingnya volum obat kumur untuk
memungkinkan kemungkinan warna untuk mengalir kebagian posterior pada rongga
mulut.
Dalam jumlah terbatas lesi displastik termasuk dalam penelitian ini, tidak
ditemukan perbedaan yang nyata apakah TB dapat mewarnai lebih kuat displasia
dibandingkan dengan mereka dengan perubahan yang ringan. Penulis lain seperti
Epstein dkk, dan Zang dkk telah melaporkan hasil yang serupa dengan
membandingkan displasia ringan dengan displasia sedang tetapi Epstein dkk, pada
penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa semua displasia berat
mempertahankan warna. Hal ini juga telah dinyatakan bahwa retensi pewarna ini
mungkin memiliki resiko yang lebih tinggi perkembangan kanker. Pernyataan seperti
itu perlu verifikasi lebih lanjut pada percobaan prospektif lebih lanjut.
Hal ini penting untuk menilai nilai uji diagnostik, sehingga yang satu tidak
dapat dijalani pasien untuk tidak perlu melakukan prosedur diagnostik yang salah
menafsirkan sifat dari penyakit. Untuk itu, salah satu kebutuhan untuk menentukan
nilai prediktif positif dan prediktif negatif dengan melakukan uji spektrum nilai
penyakit. Ini diterapkan dalam pemeriksaan kasus penyakit ganas, displastik, dan
penyakit jinak di penelitian kami.
Nilai prediktif positif pada penelitian kami (35,2%) lebih rendah
dibandingkan dengan penelitian Onofre dkk, 43,5% dan Epstein dkk, 37%.
Kemungkinan karena fakta bahwa prevalensi (lesi displastik/ ganas pada penelitian
kami, 18,1% lebih rendah dibandingkan dengan yang telah disebutkan sebelumnya
oleh Onfre dkk, 26%, dan Epstein dkk, 55,7%.
Penelitian yang dilakukan oleh Zhang dkk memperlihatkan nilai prevalensi
yang lebih besar, 81%, dan nilai prediktif positif, 86%.
Nilai prediktif positif di penelitian kami, 90,2% mirip dengan Oonofre dkk,
88,9%, dan lebih rendah dibandingkan yang telah diumumkan oleh Epstein dkk,
100%. Sebaliknya, nilai yang diperoleh oleh Zhang dkk jauh lebih rendah, 22%.
Hal ini menunjukkan bahwa jika prevalensi tinggi, hasil positif cenderung
memperkuat adanya penyakit, sedangkan jika prevalensi rendah, hasil positif tidak
memperkenankan penegasannya.
Di sisi lain, ketika prevalensi rendah, hasil negatif memperkenankan
menyingkirkan penyakit yang lebih tidak berbahaya, dan hasil positif tidak
memperkenankan untuk menegaskan diagnosis. Oleh karena itu, jika TB digunakan
pada masyarakat umum, uji akan menghasilkan lebih FP.
Masalah dengan penelitian TB yang telah disorot baru-baru ini oleh Lingen
dkk. Kami telah memperhitungkan beberapa kekurangan yang telah dicatat pada
penelitian sebelumnya termasuk kasus penyakit jinak, dan kasus displastik dan ganas
dalam seri kasus kami dan semua sasaran kasus untuk histopatologi.
Penelitian kami, seperti yang banyak dilaporkan sebelumnya, dilakukan oleh
dokter spesialis rumah sakit dan karena itu tidak memenuhi kemungkinan dilakukan
penggunakan TB dalam komunitas/ peraturan perawatan awal.
Kesimpulan
Dalam penelitian kami, tingkat sensitivitas (65,1%) dan spesifisitas (73,3%)
lebih rendah dari beberapa tinjauan ulang yang telah diumumkan sebelumnya. Namun
demikian, sejak tahun 1992, laporan nilai mengenai sensitivitas dan spesifisitas telah
jatuh dan lebih sesuai dengan temuan kami.
Dalam penelitian kami, kurangnya kontuinitas pada permukaan mukosa dapat
bervariasi hasil ujinya yang dihasilkan karena hasil false positif. Selain itu daerah
hiperkeratotik tidak memperkenankan penetrasi pewarna, menghasilkan FN.
Menurut hasil kami, pewarnaan TB sendiri merupakan nilai yang diragukan
dalam mendeteksi lesi displastik walaupun sebagian besar lesi ganas rongga mulut
akan mempertahankan warna. Kemudahan prosedur uji menarik untuk penggunaan
rutin. Penemuan menunjukkan uji dapat menjadi tambahan yang penting untuk proses
diagnostik, setidaknya sebagai panduan, asalkan dihubungkan secara hati-hati dengan
karakteristik lesi klinis dari lesi, dan diagnostic histopatologi.