1. pengertian wanita karir
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Wanita Karir
1. Pengertian Wanita Karir
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1998), karir berasal
dari kata karier (Belanda) yang berarti pertama, perkembangan dan kemajuan
dalam kehidupan, perjalanan dan jabatan. Kedua, pekerjaan yang memberikan
harapan untuk maju. Selain itu, kata karir selalu dihubungkan dengan tingkat
atau jenis pekerjaan seseorang.
Menurut (Lovihan & Kaunang, 2010) Wanita karir adalah wanita yang
bekerja, tetapi ia juga mengejar atau mempertahankan suatu posisi atau status
sosial (aktualisasi diri), dan cenderung untuk menomorduakan keluarga, Wanita
itu bekerja untuk mencukupi kehidupnya atau tenaganya dibutuhkan dalam satu
bidang. Misalnya pengajar, tenaga medis, penjahit, tukang masak, pengasuh,
dan sebagainya (Rissdy, 2007). Dalam hal ini, wanita karier yang memiliki
kemampuan pada bidang tertentu dalam dirinya kemudian diasah dan
dikembangkan melalui proses berkarier.
Menurut (Anshorullah, 2010), perempuan karier adalah seorang perempuan
yang mengerjakan pekerjaan secara serius atau perempuan dengan karir yang
dimiliki akan menganggap kehidupan kerjanya dengan serius yang dapat
mengalahkan sisi-sisi kehidupan yang lain. Serius dalam arti secara sungguh-
sungguh atau perempuan dengan karirnya menganggap kehidupan kerjanya
tidak hanya untuk hiburan dan kesenangan semata, melainkan wanita karir
menjadikan dunia kerjanya seabagai suatu kesibukan yang dapat mengalahkan
sisi-sisi kehidupan yang lain.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa wanita
karir adalah wanita yang secara serius mengambil peran dalam suatu pekerjaan
dengan kemampuan yang dimilikinya. Sebagian wanita karir akan
menghabiskan waktunya di luar rumah dengan bekerja, karena lebih
memetingkan pekerjaannya. Seseorang yang berkarir sesungguhnya seorang
yang mempunyai idealisme yang tinggi dia mempunyai bakat dan minat yang
ingin wanita karir biasanya salurkan sesuai dengan pilihan pekerjaannya.
2. Ciri-Ciri Wanita Karir
Di dalam penelitian (Riana, 2019) mengatakan adapun beberapa ciri wanita
karir:
15
a. Wanita yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu
kemajuan
Kegiatan kegiatan yang dilakukan itu merupakan kegiatan-kegiatan
profesional sesuai dengan bidang yang ditekuninya, baik di bidang politik,
ekonomi, pemerintahan, ilmu pengetahuan, ketentaraan, sosial, budaya
pendidikan, maupun di bidang-bidang lainnya.
b. Bidang pekerjaan yang ditekuni oleh wanita karir
Pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan dapat mendatangkan
kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, atau jabatan.
(Riana, 2019) merurumuskan bahwa “wanita karir” adalah wanita yang
menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian
tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup,
pekerjaan, atau jabatan. Peran wanita karir adalah bagian yang dimainkan
dan cara bertingkah laku wanita di dalam pekerjaan untuk memajukan
dirinya sendiri. Dalam hal ini wanita karir mempunyai peran yang
multifungsi yaitu ada yang bekerja masih single atau belum menikah
adapula yang sudah menikah sehingga wanita karir merangkap peran ganda
sebagai wanita karir juga sebagai ibu rumah tangga.
Ciri-ciri wanita karier menurut seorang penulis di Inggris didalam penelitian
(Jayanti, 2003) adalah: 1) mereka tidak suka berumah tangga, 2) tidak suka
berfungsi sebagai ibu, 3) emosinya berbeda dengan wanita non karier 4)
biasanya menjadi wanita melankolis.
B. Perilaku Konsumtif
1. Pengertian Perilaku Konsumtif
Sumartono (2002) menyatakan perilaku konsumtif merupakan suatu
perilaku atau tindakan yang berlebihan terhadap penggunaan suatu produk. Suatu
perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan
segala hal yang dianggap paling mahal yang memberikan kepuasan dan kenyamanan
fisik sebesar–besarnya serta keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata-
mata merupakan perilaku konsumtif
Mangkunegara (2009) mengemukakan perilaku konsumtif merupakan
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau organisasi yang
berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan,
menggunakan barang–barang atau jasa ekonomis yang dapat dipengaruhi
lingkungan. Menurut Fromm (2008) adalah bentuk perilaku konsumen yang
16
membuat individu melakukan pembelian secara berlebihan guna memenuhi
kesenangan dan kebahagiaan yang hanya sementara.
Menurut Sabirin (dalam Meida, 2009) memberikan definisi perilaku
konsumtif sebagai “suatu keinginan dalam mengkonsumsi barang-barang yang
sebenarnya kurang dibutuhkan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan
maksimal”. Selanjutnya, Ancok (1995) menjelaskan bahwa “perilaku konsumtif
adalah suatu dorongan dalam diri individu untuk melakukan konsumsi tiada batas,
dimana lebih mementingkan faktor emosional dari pada faktor rasional atau lebih
mementingkan keinginan dari pada kebutuhan”.
Sembiring (2008) memperjelas bahwa orang yang konsumtif dapat
dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi dan kegunaan ketika membeli
barang, melainkan mempertimbangkan prestise yang melekat pada barang itu.
Dalam arti luas konsumtif adalah perilaku berkonsumsi yang boros dan berlebihan,
yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan serta tidak ada skala
prioritas atau dapat diartikan sebagai gaya hidup yang mewah. Menurut Tambunan
(2001) mengutarakan bahwa perilaku konsumtif merupakan keinginan untuk
mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan
untuk mencapai kepuasan maksimal.
Menurut Lubis (dalam Sumartono, 2002) mendefinisikan perilaku konsumtif
sebagai perilaku yang tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan yang rasional,
melainkan karena adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang sudah tidak
rasional lagi. Perilaku konsumtif melekat pada seseorang bila orang tersebut
membeli sesuatu diluar kebutuhan rasional, dan pembelian tidak lagi didasarkan
pada faktor kebutuhan (need) tetapi sudah ada faktor keinginan (want).
Robbers dan Jones (Naomi dan Mayasari 2008) berpendapat bahwa perilaku
konsumtif yang ditunjukkan dengan perilaku berbelanja yang berlebihan telah
membawa dampak buruk bagi lingkungan hidup. Perilaku konsumtif merupakan
kecenderungan individu untuk membeli atau mengkonsumsi barang yang
sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan serta tidak didasari atas
pertimbangan rasional. Apabila perilaku tersebut dibiarkan terus-menerus akan
mengakibatkan terjadi tindakan pemborosan (Astuti, 2013).
Lina dan Rosyid (1997) mengatakan bahwa perilaku konsumtif yaitu
penggunaan segala hal yang dianggap paling mahal yang memberikan kepuasan dan
kenyamanan fisik sebesar-besarnya serta adanya pola hidup yang dikendalikan dan
didorong oleh semua keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata-mata.
17
Haryani (2015) menyebutkan perilaku konsumtif merupakan suatu bentuk perilaku
membeli barang tanpa pertimbangan rasional atau bukan atas dasar kebutuhan.
Sejalan dengan pendapat Loudon (1993) yang mengatakan bahwa pembelian
impulsif atau pembelian tidak terencana adalah pembelian yang terjadi secara
spontan dan tiba-tiba karena munculnya berdasarkan hasrat yang kuat untuk
membeli dengan segera.
Berdasarkan berbagai pendapat tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa
perilaku konsumtif adalah perilaku individu yang ditunjukkan dengan mendapatkan
dan menggunakan pengambilan keputusan dalam mengkonsumsi suatu barang atau
jasa secara berlebihan dan tidak terencana yang sebenarnya barang atau jasa tersebut
kurang atau bahkan tidak dibutuhkan. serta bukan menjadi prioritas utama,
melainkan hanya untuk mengikuti mode, ikut-ikutan teman, mencoba produk baru,
dan bahkan hanya untuk memperoleh pengakuan di masyarakat ataupun di terima di
lingkungan.
2. Aspek Perilaku Konsumtif
Aspek Perilaku konsumtif menurut Fromm (1995) yang di kutip dalam
penelitian (Fitria, 2015) yaitu sebagai berikut:
a. Pemenuhan keinginan
Membeli produk hanya karena memenuhi keinginan atau mencari kepuasan,
membeli produk hanya karena ingin mendapatkan sesuatu : iming-iming
hadiah, potongan harga besar atau murah
b. Barang di luar jangkauan
Membeli produk dengan harga yang diluar batas kemampuan, berusaha
keras membeli produk diluar jangkauan dengan menggunakan sebagian
besar uang saku atau simpanan, hingga meminjam uang.
c. Barang menjadi tidak produktif
Membeli produk tanpa memperdulikan kebutuhan serta manfaat dan
kegunaannya., membeli barang atas dasar mencoba produk, dengan membeli
beberapa produk (sejenis yang berbeda baik model, warna maupun merk)
d. Status
Membeli produk karena menjaga penampilan, perkembangan jaman dan
gaya hidup (tren), membeli produk karena harga diri.
Menurut Sumartono (dalam Ghifari, 2003) terdapat tiga macam
aspek perilaku konsumtif yaitu:
a. Impulsive Buying (Pembelian secara impulsif)
Menunjukkan bahwa seseorang yang berperilaku konsumtif semata-mata
hanya didasari oleh hasrat yang tiba-tiba atau keinginan sesaat, dilakukan
18
tanpa melalui pertimbangan, tanpa direncanakan, keputusan dilakukan di
tempat pembelian.
b. Pembelian Tidak Rasional
pembelian yang didasari sifat emosional, yaitu Suatu dorongan untuk
mengikuti orang lain atau berbeda dengan orang lain tanpa pertimbangan
dalam mengambil keputusan dan adanya perasaan bangga.
c. Wasteful Buying (pemborosan)
pembelian yang mengutamakan keinginan dari pada kebutuhan dan
menyebabkan remaja mengeluarkan uang untuk bermacam-macam
keperluan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pokoknya sendiri.
Sedangkan menurut Lina dan Rosyid (1997) dalam Daniella Putri
Islamy (2015), aspek-aspek perilaku konsumtif adalah :
a. Pembelian Impulsif (Impulsive Buying)
Menurut Rook dalam Kharis (2011), impulsive buying adalah pembelian
yang terjadi ketika konsumen mengalami desakan tiba-tiba, yang biasanya
sangat kuat dan menetap untuk membeli sesuatu dengan segera. . Impulsive
buying memiliki beberapa karakteristik : a) Spontanitas b) Kekuatan,
kompulsif, intensitas c) Kegairahan dan stimulasi d) Ketidakpedulian akibat
b. Pemborosan
Perilaku konsumtif sebagai salah satu perilaku yang
menghamburhamburkan banyak dana tanpa disadari adanya kebutuhan yang
jelas.
c. Pembelian Tidak Rasional (Non rational buying)
Suatu perilaku di mana konsumen membeli sesuatu yang dilakukan semata-
mata untuk mencari kesenangan.
Berdasarkan pemaparan dari aspek diatas, dapat diambil kesimpulan aspek
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu aspek menurut (Fromm, 1995) adalah a)
Pemenuhan keinginan, dengan indikator: membeli produk hanya karena memenuhi
keinginan atau mencari kepuasan, membeli produk hanya karena ingin mendapatkan
sesuatu : iming-iming hadiah, potongan harga besar atau murah. b) Barang di luar
jangkauan, dengan indikator: membeli produk dengan harga yang diluar batas
kemampuan, berusaha keras membeli produk diluar jangkauan dengan
menggunakan sebagian besar uang saku atau simpanan, hingga meminjam uang. c)
barang menjadi tidak produktif, dengan indikator: membeli produk tanpa
memperdulikan kebutuhan serta manfaat dan kegunaannya, membeli barang atas
dasar mencoba produk, dengan membeli beberapa produk (sejenis yang berbeda baik
model, warna maupun merk). d) Status, dengan indikator: Membeli produk karena
menjaga penampilan, perkembangan jaman dan gaya hidup (tren), membeli produk
19
karena harga diri. Hal ini dikerenakan aspek dengan indikator perilaku konsumtif
dari (Fromm, 1995) dianggap lebih representatif untuk menilai perilaku konsumif
pada wanita karir dengan aspek yang lengkap dan jelas yang dilakukan oleh wanita
karir pada umumnya.
3. Ciri-ciri Perilaku Konsumtif
(Fransisca dan Tommy, 2005) ada empat yang di golongkan sebagai ciri
perilaku konsumtif, yaitu
a. Konsumen menyukai barang bermerk
Individu cenderung menyukai dan membeli barang bermerk karena
menganggap barang bermerk merupakan barang yang terbaik untuk
digunakan.
b. Menyukai produk baru dan mengikuti mode
Individu cenderung mengunakan produk-produk yang dianggap sedang
digemari atau trend. Individu memperoleh kesenangan dengan membeli
produk baru yang sedang trend tersebut. Hal ini dikarenakan rasa
keingintahuan untuk mencoba produk baru yang sedang mode.
c. Kegiatan berbelanja dianggap sebagai rekreasi
Kegiatan berbelanja sebagai sesuatu yang menyenangkan bagi yang
melakukannya. Individu suka dan menikmati kegiatan berbelanja serta
menganggapnya sebagai kegiatan bersosialisasi.
d. Kegiatan berbelanja bersifat impulsive atau mendadak
Individu cenderung berbelanja secara "mendadak" tanpa memperdulikan
seberapa banyak uang yang digunakan. Individu bahkan tidak mencari
informasi terlebih dahulu untuk mendapatkan produk yang diinginkan.
Sedangkan menurut (Veeger KJ, 1986), mengungkapkan ada empat ciri
masing-masing perilaku konsumtif, yaitu :
a. Menganggap diri sebagai golongan elit dan kaya
b. Kemewahan dan kebebasan ditonjolkan secara demokratif, melakukan
konsumsi yang menyolok mata dan mempunyai waktu yang berlebihan yang
berarti banyak waktu untuk santai.
c. Menyibukan diri dengan berbagai kegiatan dan macam pengetahuan yang
tidak relevan, merancang dan memamerkan budi bahasa, yaitu mencari uang
dan popularitas tanpa memajukan masyarkat dengan produktif apapun.
d. Keberanian untuk membeli dan memamerkan kemewahan dan kebebasan
dalam mencapai tujuan.
Ciri-ciri perilaku konsumtif menurut Chris Sjahbuana (2014) adalah :
20
a. Membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi.
b. Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status diri.
c. Berpenilaian bahwa produk yang mahal akan menimbulkan rasa percaya diri
yang tinggi. d. Ingin meniru mode yang sedang ngetrend.
d. Untuk menarik perhatian dari orang lain
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif menurut Lina &
Rosyid (1997) terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Faktor Eksternal
1) Kebudayaan
Kebudayaan yang tercermin dalam cara hidup, kebiasaan dan tindakan
dalam permintaan bermacam-macam barang di pasar sangat
mempengaruhi konsumen. Keberagaman budaya dalam suatu daerah,
banyaknya kelompok etnik akan membentuk pasar dan perilaku yang
berbeda-beda, dimana kebutuhan akan meningkat yang dapat
memunculkan perilaku konsumtif.
2) Kelas Sosial
Kelas Sosial adalah kelompok yang terdiri atas sejumlah orang yang
mempunyai kedudukan yang seimbang dalam masyarakat, memegang
nilai-nilai, mempunyai minat dan melakukan perilaku yang mirip.
3) Kelompok Referensi
Kelompok referensi ini lebih kuat pengaruhnya pada seseorang karena
akan membentuk kepribadian dan perilakunya. Seseorang akan melihat
kelompok referensinya dalam berperilaku menentukan produk yang
dikonsumsinya.
4) Keluarga
Keluarga Dalam perilaku membeli, pengaruh keluarga memiliki peran
penting. Keluarga merupakan unit terkecil yang sikap dan tingkah lakunya
sangat menentukan dalam pengambilan keputusan dalam pembelian suatu
barang
b. Faktor Internal
1) Motivasi
Motivasi merupakan pendorong perilaku orang tidak terkecuali dalam
melakukan pembelian atau penggunaan jasa yang tersedia di pasar.
2) Harga Diri
Harga diri berpengaruh pada perilaku membeli orang-orang yang harga
dirinya rendah akan cenderung lebih mudah dipengaruhi daripada orang-
orang yang harga dirinya tinggi.
21
3) Kepribadian
Kepribadian sangat berpengaruh pada perilaku pengambilan keputusan
untuk membeli produk.
4) Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam membeli
barang. Hal ini dibuktikan oleh Rombe (2014) dalam penelitiannya ia
menyimpulkan bahwa kepercayaan diri mampu mempengaruhi seseorang
dalam berperilaku konsumtif.
5) Jenis kelamin
Jenis kelamin juga mempengaruhi orang untuk berperilaku konsumtif.
Wanita cenderung lebih konsumtif dalam membeli barang dibandingkan
pria.
Menurut (Engel, 1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
konsumtif antara lain:
a. Faktor internal, terdiri atas:
1) Motivasi
Motivasi merupakan suatu konsep yang dipakai untuk menerangkan
kekuatan-kekuatan yang ada pada organisme untuk memunculkan dan
mengarahkan tingkah lakunya. Solomon (1996) memberi batasan yang
lebih sederhana tentang motivasi yaitu prosesproses yang menyebabkan
orang bertingkah laku seperti yang ia lakukan. Proses-proses ini dipacu
oleh aktifnya suatu kebutuhan yang menimbulkan dorongan pada individu
untuk berusaha menekan atau mengurangi tekanan.
2) Proses Belajar dan Pengalaman
Menurut Howard dan Seth (dalam Santoso,1998), dalam proses pembelian
terdapat proses pengamatan belajar. Konsumen mengamati dan
mempelajari stimulus yang berupa informasi-informasi yang diperolehnya.
Hasil dari pengamatan da proses belajar tersebut dipakai konsumen
sebagai referensi untuk membuat keputusan dalam pembelian.
3) Kepribadian dan Konsep Diri
Kepribadian merupakan pola perilaku yang konstan dan menetap pada
individu (Assael dalam Santoso, 1998).
4) Keadaan ekonomi
Pilihan terhadap suatu produk sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi
seseorang (Kottler, 1993). Orang yang memiliki ekonomi rendah akan
menggunakan uangnya secara cermat dibandingkan orang yang
berekonomi tinggi (Swastha & Handoko, 1987).
22
5) Gaya hidup
Gaya hidup merupakan pola konsumsi yang merefleksikan pilihan
seseorang tentang bagaimana individu tersebut menghabiskan waktu dan
uang. Gaya hidup senang berbelanja merupakan salah satu contoh gaya
hidup yang dianut remaja saat ini, hal tersebut menimbulkan perilaku
konsumtif (Ancok, 1995).
6) Sikap
Sikap merupakan pengarah bagi perilaku-perilaku sosial (Katz dalam
Solomon, 1996). Sikap memiliki 3 komponen yaitu kognitif, afektif dan
konatif yang diperoleh seseorang dari belajar.
b. Faktor eksternal terdiri atas:
1) Faktor kebudayaan
Kebudayaan merupakan pola-pola perilaku yang disadari, diakui dan
dimiliki bersama serta berlangsung dalam kelompok, baik kelompok besar
maupun kelompok kecil (Hartiey dan Hartley dalam Santoso, 1998).
2) Faktor kelas sosial
Kelas sosial merupakan kelompok-kelompok relatif homogen dan bertahan
lama dalam suatu masyarakat, yang tersusun dalam suatu hierarki dan
keanggotaannya mempunyai sistem nilai, minat dan perilaku yang serupa
(Kottler, 1993).
3) Faktor keluarga
Keluarga, yaitu unit sosial terkecil yang memberikan contoh fundamental
yang utama bagi perkembangan remaja, (Kartono, 2006). Keluarga
memegang peranan terbesar dan terutama dalam pembentukan individu.
4) Kelompok acuan
Merupakan suatu kelompok orang yang mempengaruhi sikap, pendapat,
norma dan perilaku konsumen. Menurut Louddon dan Bitta, kelompok
acuan ialah kelompok sosial yang menjadi ukuran seseorang untuk
membentuk kepribadian dan perilakunya (dalam Santoso, 1998).
23
C. Kepercayaan Diri
1. Pengertian Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri dalam bahasa Inggris disebut juga self confidence. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, percaya diri merupakan percaya pada kemampuan,
kekuatan, dan penilaian diri sendiri (Depdikbud, 2008). Kepercayaan diri merupakan salah
satu aspek kepribadian yang berupa keyakinan akan kemampuan diri seseorang sehingga
tidak terpengaruh oleh orang lain dan dapat bertindak sesuai kehendak, gembira, optimis,
cukup toleran, dan bertanggung jawab (Ghufron dan Risnawati, 2010).
Fatimah (2006) mengatakan kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu
yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif, baik terhadap diri
sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Sedangkan menurut
Hakim (2005) kepercayaan diri merupakan keyakinan seseorang terhadap segala kelebihan
aspek yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa
untuk mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya. Menurut Lautser (dalam Ghufron &
Risnawati, 2010) kepercayaan diri adalah keyakinan untuk melakukan sesuatu pada
individu sebagai karakteristik pribadi yang di dalamnya terdapat keyakinan akan
kemampuan diri, optimis, objektif, bertanggung jawab, rasional dan realistis.
Rombe (2014) mengatakan bahwa kepercayaan diri dipengaruhi dari tiap tahap
perkembangan psikososial individu terutama lingkungan tempat individu menghabiskan
waktu. Adanya penerimaan yang positf dari lingkungan sekitar salah satunya adalah dari
teman sebaya sangatlah dibutuhkan sebagai suatu bentuk dukungan dalam membentuk
kepercayaan diri (Hapasari, 2014). Bagi seorang remaja, arti Penerimaan atau penolakan
teman sebaya dalam kelompok sangatlah penting. Hal itu mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap pikiran, sikap, perasaan, perbuatan-perbuatan dan penyesuaian diri remaja. Hal
yang demikian ini akan menimbulkan rasa senang, gembira, puas bahkan rasa bahagia
yang pada gilirannya memberi rasa percaya diri yang besar (Pranoto, 2010).
Menurut Perry (2005) kepercayaan diri merupakan suatu kemampuan untuk
memercayai kemampuan sendiri dan merasa positif tentang apa yang bisa dilakukan dan
tidak mengkhawatirkan apa yang tidak bisa dilakukan.Namun demikian kepercayaan diri
tidak tumbuh dengan sendirinya. Kepercayaan diri tumbuh dari proses interaksi yang sehat
di lingkungan sosial individu dan berlangsung secara kontinu dan berkesinambungan. Rasa
percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang, ada proses tertentu didalam
pribadinya sehingga terjadilah pembentukan rasa percaya diri (Hakim, 2002).
Rasa percaya diri merupakan suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek
kelebihan yang ada pada dirinya dan diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari. Rasa
percaya diri baru bisa tumbuh dan berkembang baik sejak kecil, jika seseorang berada di
dalam lingkungan keluarga yang baik, namun sebaliknya jika lingkungan tidak memadai
24
menjadikan individu tersebut untuk percaya diri maka individu tersebut akan kehilangan
proses pembelajaran untuk percaya pada dirinya sendiri (Sudarji, 2017).
Wahyuni (2014) mengatakan bahwa kepercayaan diri adalah bagaimana kita
merasakan tentang diri kita sendiri, dan perilaku kita akan merefleksikan tanpa kita sadari.
Kepercayaan diri bukan merupakan bakat (bawaan), melainkan kualitas mental, artinya
kepercayaan diri merupakan pencapaian yang dihasilkan dari proses pendidikan atau
pemberdayaan. Menurut Kumara (1988) orang yang mempunyai kepercayaan diri adalah
merasa yakin akan kemampuan dirinya sehingga bisa menyelesaikan masalahnya karena
tahu apa yang dibutuhkan dalam hidupnya, serta mempunyai sikap positif yang didasari
keyakinan..
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kepercayaan diri adalah
sebuah kondisi dimana individu merasa optimis atau yakin terhadap segala aspek yang ada
didalam dirinya sehingga diwujudkan dalam tingkah laku individu dengan memandang dan
menghadapi hidupnya serta keyakinan kuat pada kemampuan dirinya untuk melakukan
tindakan dalam mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya untuk mencapai target,
keinginan, dan tujuan untuk diselesaikan walaupun menghadapi berbagai tantangan dan
masalah serta dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan mampu mengekspresikan diri
seutuhnya baik secara berpenampilan ataupun berperilaku dalam sehari-hari.
2. Aspek Kepercayaan diri
Aspek kepercayaan diri menurut Lauster (1992) adalah :
a. Keyakinan kemampuan diri
Keyakinan kemampuan diri adalah sikap positif seseorang tentang dirinya. Ia
mampu secara sungguh-sungguh akan apa yang dilakukannya.
b. Optimis
Optimis adalah sikap positif yang dimiliki seseorang yang selalu berpandangan
baik dalam menghadapi segala hal tentang diri dan kemampuannya.
c. Objektif
Orang yang memandang permasalahan atau sesuatu sesuai dengan kebenaran
semestinya, bukan menurut kebenaran pribadi atau menurut dirinya sendiri.
d. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab adalah kesediaan orang untuk menanggung segala sesuatu
yang telah menjadi konsekuensinya.
e. Rasional dan realistis
Rasional dan realistis adalah analisis terhadap suatu masalah, sesuatu hal, dan
suatu kejadian dengan menggunakan pemikiran yang dapat diterima oleh akal
dan sesuai dengan kenyataan.
Kepercayaan diri memiliki beberapa aspek, menurut Kumara (1987) di dalam
(Miranda, 2017) mengatakan bahwa terdapat beberapa aspek kepercayaan diri
yaitu :
25
a. Kemampuan menghadapi masalah
Kepercayaan diri yang dimiliki seseorang akan menjadikan dirinya yakin pada
potensi yang ada dirinya untuk menghadapi sebuah masalah yang sedang
dihadapi.
b. Bertanggung jawab keputusan dan tindakannya
Perasaaan yakin yang dimiliki seseorang yang percaya diri dalam mengambil
sebuah keputusan, secara pasti juga akan membuatnya yakin bahwa dirinya
mampu menghadapi konsekuensi dari keputusannya tersebut.
c. Kemampuan dalam bergaul
Individu yang memiliki kepercayaan diri yang kuat, dirinya juga akan yakin akan
kemampuannya dalam berinteraksi dengan orang lain dan bagaimana cara
menghadapinya.
d. Kemampuan menerima kritik
Seyakin-yakinnya akan kemampuan dirinya, juga tidak melulu akan
membuahkan hasil yang positif. Karena kemampuan yang dimiliki juga pasti ada
kekurangannya. Oleh sebab itu, kritik dari orang lain juga dapat melengkapi
kekurangan yang dimiliki sehingga dapat menambah keyakinan kemampuannya.
Aspek kepercayaan diri menurut Anthony (1992) dijelaskan secara rinci sebagai
berikut:
a. Rasa aman
Terbebas dari perasaan cemas dan takut serta tidak merasa canggug dengan
situasi atau orang lain sekitarnya.
b. Ambisi normal
Mempunyai ambisi yang tidak berlebihan, sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki sehingga berani menyusun target pribadi dan berusaha mencapai target
tersebut.
c. Yakin akan kemampuan diri
Tidak merasa malu menunjukkan kemampuan yang dimiliki, tidak
membandingkan dengan orang lain, tidak merendahkan kemampuan diri.
d. Mandiri
Dapat mengandalkan diri sendiri serta mampu melakukan segala sesuatu sesuai
kemampuan sehingga tidak bergantung dengan orang lain.
e. Toleran dan tidak mementingkan diri sendiri
Menghargai dan menerima pendapat orang lain dalam bertindak dan tidak
mementingkan diri sendiri, memberi kesempatan pada orang lain.
f. Optimis
Memiliki Pandangan yang baik terhadap dirinya dan berpikir positif dalam
melakukan sesuatu.
Berdasarkan pemaparan beberapa aspek diatas menurut parah ahli, peneliti
menyimpulkan menggunakan aspek dari menurut Kumara (1987) di dalam (Miranda,
2017), yaitu 1) kemampuan menerima kritik, 2) Bertanggung jawab terhadap keputusan
26
dan tindakannya, 3) Memiliki kemampuan dalam bergaul, 4) Kemampuan menerima kritik.
Hal itu dikarenakan aspek tersebut lebih koefisien menurut peneliti untuk mengukur nilai
tingkat rasa kepercayaan diri pada wanita karir dan biasanya aspek tersebut lebih banyak
terjadi dalam wanita karir.
3. Ciri-ciri Kepercayaan diri
Menurut Mardatillah (2010) seseorang yang memiliki kepercayaan diri tentunya
memiliki ciri-ciri yakni :
a. Mengenal dengan baik kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya lalu
mengembangkan potensi yang dimilikinya.
b. Membuat standar atas pencapaian tujuan hidupnya lalu memberikan penghargaan
jika berhasil dan bekerja lagi jika tidak tercapai.
c. Tidak menyalahkan orang lain atas kekalahan atau ketidakberhasilannya namun
lebih banyak instrospeksi diri sendiri.
d. Mampu mengatasi perasaan tertekan, kecewa, dan rasa ketidak mampuan yang
menghingapinya.
e. Mampu mengatasi rasa kecemasan dalam dirinya.
f. Tenang dalam menjalankan dan menghadapi segala sesuatunya.
g. Berpikir positif dan
h. Maju terus tanpa harus menoleh kebelakang.
Teori Lauster (2003) tentang kepercayaan diri mengemukakan ciri-ciri kepercaya
diri, yaitu:
a. Percaya pada kemampuan sendiri
suatu keyakinan atas diri sendiri terhadap segala fenomena yang terjadi yang
berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengevaluasi serta mengatasi
fenomena yang terjadi tersebut.
b. Bertindak mandiri
Mandiri dalam mengambil keputusan dapat bertindak dalam mengambil
keputusan terhadap diri yang dilakukan secara mandiri atau tanpa adanya
keterlibatan orang lain dan mampu untuk meyakini tindakan yang diambil.
c. Memiliki rasa positif terhadap diri sendiri
Adanya penilaian yang baik dari dalam diri sendiri, baik dari pandangan maupun
tindakan yang dilakukan yang menimbulkan rasa positif terhadap diri dan masa
depannya.
d. Berani mengungkapkan Pendapat
Adanya suatu sikap untuk mampu mengutarakan sesuatu dalam diri yang ingin
diungkapkan kepada orang lain tanpa adanya paksaan atau rasa yang dapat
menghambat pengungkapan tersebut.
Ciri-ciri individu yang mempunyai kepercayaan diri menurut (Fatimah, 2010), di
antaranya adalah:
a. Percaya akan kompetensi atau kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan
27
pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun hormat orang lain.
b. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang
lain atau kelompok.
c. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain, berani menjadi diri
sendiri.
d. Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil).
e. Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan,
bergantung pada usaha sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau
keadaan serta tidak bergantung atau mengharapkan bantuan dari orang lain).
f. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain, dan
situasi diluar dirinya.
g. Memiliki harapan yang realistic terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu
tidak terwujud, dia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang
terjadi .
4. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri menurut Ghufron (2014) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri yaitu:
a. Konsep Diri
Menurut Anthony (1992) terbentuknya kepercayaan diri pada seseorang diawali
dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulannya dalam
suatu kelompok. Hasil interaksi yang terjadi akan menghasilkan konsep diri.
b. Harga Diri
Harga diri yang positif akan membentuk harga diri yang positif pula. Harga diri
adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri.
c. Pengalaman
Pengalaman dapat menjadi faktor munculnya rasa percaya diri. Sebaliknya,
pengalaman juga dapat menjadi faktor menurunnya rasa percaya diri seseorang.
Anthony (1992) mengemukakan bahwa pengalaman masa lalu adalah hal
terpenting untuk mengembangkan kepribadian sehat.
d. Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan
diri seseorang. Tingkat pendidikan yang rendah akan menjadikan orang tersebut
tergantung dan berada dibawah kekuasaan orang lain yang lebih pandai darinya.
Sebaliknya, orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memiliki tingkat
kepercayaan diri yang lebih dibandingkan yang berpendidikan rendah.
Menurut Middlenbrook (dalam Ulyati, 2003) ada beberapa hal yang mempengaruhi
rasa percaya diri, yaitu: a) Keluarga, b) Pola Asuh, c) Figur Otoritas, d) Hereditas, f) Jenis
kelamin, g) Pendidikan, h)Peranan fisik.
D. Konformitas
1. Pengertian Konformitas
28
Sears (dalam Galih; 2015) yang mengatakan bahwa: “Konformitas adalah
tuntutan yang tidak tertulis dari suatu kelompok tertentu terhadap anggotanya tetapi
memiliki pengaruh yang kuat dan dapat memunculkan perilaku-perilaku tertentu pada
anggota kelompoknya.Selama masa remaja, tekanan untuk melakukan konformitas
meningkat.
Nir (2004), bahwa kecenderungan perilaku individu untuk menyesuaikan diri
dengan kelompok sebaya mereka. Konformitas dapat menyebabkan orang untuk
mengubah perilaku konsumtif sebagai hasil dari tekanan dari orang lain. Konformitas
adalah suatu tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap
anggotanya tetapi memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya
perilaku-perilaku tertentu pada anggota kelompok (Zebua dan Nurdjayadi, 2001).
Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah
sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada (Baron &
Byrne, 2005). Sementara itu, pengertian yang lebih sederhana disebutkan oleh Cialdini
dan Goldstein (2004) yang mengatakan bahwa konformitas adalah suatu aktivitas yang
dilakukan oleh individu untuk mengubah perilakunya agar sesuai dengan respons orang
lain.
Menurut Cialdini & Goldstein (Taylor, 2009) Konformitas adalah tendensi untuk
mengubah keyakinan atau perilaku seseorang agar sesuai dengan perilaku orang lain,
hal tersebut dilakukan sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Brehm
dan Kassin (dalam Suryanto dkk., 2012) mendefinisikan konformitas sebagai
kecenderungan individu untuk mengubah persepsi, opini dan perilaku mereka sehingga
sesuai atau konsisten dengan norma-norma kelompok.
Santrock (dalam Suparno, 2013) menyatakan bahwa konformitas adalah suatu
bentuk interaksi sosial dimana seseorang berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan
harapan kelompok. Konformitas muncul ketika individu mengikuti perilaku atau sikap
orang lain, dikarenakan oleh tekanan orang lain, baik yang nyata maupun yang
dibayangkan. Dalam penelitiannya, Sanaria (2006), menyatakan bahwa kelompok
biasanya terdiri dari beberapa individu. Kelompok memiliki karakteristik dan identitas
sendiri yang berbeda dengan identitas masing- masing anggota kelompok. Maka,
individu yang menjadi bagian dari kelompok tersebut harus memperlihatkan perilaku,
nilai, sikap dan pola lainnya yang sama dan bisa diidentifikasi sebagai faktor pembeda
dari kelompok lainnya. Hal inilah yang disebut dengan konformitas. Konformitas dapat
memunculkan perilaku diantaranya gaya bahasa, sikap, aktivitas sosial yang akan diikuti,
nilai- nilai yang dianut dan penampilan diri (Santrock dalam Fardhani dan Izzati, 2013).
Myers (2010) mengemukakan bahwa konformitas berarti perubahan perilaku
pada individu sebagai akibat dari adanya tekanan kelompok. Ditambahkan oleh Myers,
29
konformitas bukan sekadar berperilaku seperti orang lain, namun juga dipengaruhi oleh
bagaimana orang lain berperilaku. (Meiyuntari, 2015)
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konformitas adalah
perubahan persepsi, perilaku individu berdasarkan informasi yang diberikan kelompok
baik secara langsung dan tidak langsung sehingga menampilkan perilaku tertentu dan
dilakukan sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap aturan kelompok karena adanya
tekanan baik yang nyata maupun yang hanya dibayangkan dengan tujuan agar dapat
diterima menjadi bagian dan diterima dalam kelompok tersebut dengan mengikuti apa
yang ada di kelompok.
2. Aspek Konformitas
Menurut Myers (2010) terdapat dua Aspek konformitas, yaitu :
a. Pengaruh Normatif
Pengaruh normatif pada konformitas memiliki arti penyesuaian diri dengan
keinginan atau harapan orang lain untuk mendapatkan penerimaan dari anggota
kelompoknya. Pengaruh normatif mendorong terjadinya penyesuaian sebagai
akibat pemenuhan pengharapan kelompok untuk mendapat persetujuan atau
penerimaan, agar disukai dan agar terhindar dari penolakan.
b. Pengaruh Informasional
Pengaruh informasional sebagai tekanan yang terbentuk oleh adanya keinginan
dari individu untuk memiliki pemikiran yang sama dan beranggapan bahwa
informasi dari kelompok lebih kaya daripada informasi yang dimilikinya,
sehingga individu cenderung untuk conform dalam menyamakan pendapat dan
sugesti. Pengaruh informasional mendorong individu untuk melakukan
penyesuaian akibat dari penerimaan pendapat kelompok, yang menjadi bukti
dalam mendapatkan pandangan akurat sehingga mengurangi ketidakpastian.
Menurut Baron & Byrne (2011) menyatakan dua aspek dalam
konformitas yaitu:
a. Pengaruh sosial (Social Influence)
Merupakan upaya seseorang atau lebih untuk mengubah perilaku, sikap atau
perasaan orang lain. Upaya yang sering ditampakkan adalah mengubah
perilakunya untuk menyesuaikan norma yang berlaku.
b. Norma sosial (Social Norm)
Norma sosial menjadi suatu aturan dan acuan individu dalam berperilaku di
lingkungannya.
Menurut Taylor, (2004) membagi aspek konformitas menjadi lima, yaitu:
30
a. Peniruan
Keinginan individu untuk sama dengan orang lain baik secara terbuka atau ada
tekanan (nyata atau dibayangkan) menyebabkan konformitas.
b. Penyesuaian
Keinginan individu untuk dapat diterima orang lain menyebabkan individu
bersikap konformitas terhadap orang lain. Individu biasanya melakukan
penyesuaian pada norma yang ada pada kelompok
c. Kepercayaan
Semakin besar keyakian individu pada informasi yang benar dari orang lain
semakin meningkat ketepatan informasi yang memilih conform terhadap orang
lain.
d. Kesepakatan
Sesuatu yang sudah menjadi keputusan bersama menjadikan kekuatan sosial
yang mampu menimbulkan konformitas.
e. Ketaatan
Respon yang timbul sebagai akibat dari kesetiaan atau ketertundukan individu
atas otoritas tertentu, sehingga otoritas dapat membuat orang menjadi conform
terhadap hal-hal yang disampaikan.
Berdasarkan beberapa aspek konformitas menurut para ahli, peneliti mengamati
aspek yang akan digunakan untuk mengukur skala konformitas adalah yang dikemukan
oleh Taylor (2002) yaitu, a) Peniruan, b) Penyesuaian c) Kepercayaan, d) Kesepakatan, e)
Ketaatan. Hal ini dikarenakan bahwa aspek tersebut adalah aspek yang tepat dan
menggambarkan definisi operasional konformitas pada wanita karir.
3. Ciri-Ciri Konformitas
Menurut Baron dan Byrne (2005) terdapat beberapa ciri-ciri konformitas, yaitu:
a. Kesepakatan
Suatu bentuk pengaruh sosial yang meliputi permintaan langsung seseorang
pada orang lain.
b. Kepatuhan
Suatu bentuk pengaruh sosial di mana seseorang hanya perlu memerintahkan
satu orang lain atau lebih untuk melakukan satu atau beberapa tindakan.
c. Indoktrinasi intensif
Suatu proses yang dilalui individu untuk menjadi anggota suatu kelompok dan
meneriam belief serta aturan-aturan dari kelompok tanpa banyak bertanya.
d. Norma sosial
31
Aturan yang mengindikasikan bagaimana individu seharusnya bertingkah laku
pada suatu situasi yang spesifik.
Handayani (2005) menggambarkan bahwa ciri-ciri konformitas adalah
a. Selalu berperilaku sama dengan anggota kelompok lain
b. Lebih banyak menghabiskan waktu bersama-sama dengan teman dalam
kelompoknya.
c. Mengikuti dan menyakini pendapat yang dianut oleh sebagian besar dari
anggota kelompoknya.
d. Lebih mementingkan perannya sebagai anggota kelompok daripada
mengembangkan pola norma sendiri.
Sears, dkk menyebutkan di dalam penelitian (Aulia & Hasanah, 2020) ciri-ciri
khas adanya konformitas adalah sebagai berikut:
a. Kekompakan
Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebab kan remaja tertarik dan ingin
tetap menjadi anggota kelompok
b. Kesepakatan
Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat sehingga
remaja dapat menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat kelompok Tekanan
kelompok membuat adanya kesepakatan dalam kelompok tersebut.
c. Ketaatan
Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya rela
melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konformitas
Individu dalam melakukan konformitas memiliki faktor penyebab. Anas (2007)
menyatakan bahwa faktor-faktor utama yang memungkinkan terjadinya perilaku
konformitas yaitu :
a. Kurangnya Informasi
Orang lain merupakan sumber informasi yang penting, seringkali orang lain
mengetahui sesuatu yang tidak individu ketahui, sehingga dengan melakukan apa
yang dilakukan kelompok, individu akan memperoleh manfaat dari pengetahuan
kelompok. Oleh karena itu, tingkat konformitas yang didasarkan pada informasi
ditentukan oleh dua aspek situasi, yaitu sejauh mana mutu informasi yang dimiliki
oleh orang lain atau kelompok tentang apa yang benar, dan sejauh mana
kepercayaan diri terhadap penilaian sendiri.
b. Rasa Takut Terhadap Celaan Sosial
32
Alasan lain tentang munculnya konformitas adalah demi memperoleh persetujuan
atau menghindari celaan kelompok. Terdapat sejumlah faktor yang menentukan
bagaimana pengaruh persetujuan dan celaan ini terhadap tingkat konformitas yaitu
1) Rasa takut terhadap penyimpangan, 2) Kekompakan kelompok, 3) Kesepakatan
atau keputusan kelompok. Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang
merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Umumnya tidak mau
terlihat sebagai orang yang lain daripada yang lain, tidak ingin tampak sebagai
oranglain. Individu ingin agar kelompok menyukai, memperlakukan dengan baik,
dan bersedia menerima
Sedangkan Sears dkk (2009) menyatakan bahwa faktor-faktor utama yang
memungkinkan terjadinya perilaku konformitas yaitu
a. Kurangnya informasi
b. Kepercayaan informasi
c. Kepercayaan yang lemah terhadap penilaian sendiri
d. Rasa takut terhadap celaan sosial
e. Rasa takut terhadap penyimpangan.
Jadi, faktor yang mempengaruhi konformitas menurut (Vatmawati, n.d.) dapat
digolongkan menjadi faktor eksternal yang meliputi: a) Kurangnya informasi, b) Hubungan
antar individu dengan kelompok, c) Kesepakatan dalam kelompok,
sedangkan faktor internal yang meliputi: a) Penilaian diri yang rendah, b) Rasa
takut terhadap penyimpangan jika tidak sesuai dengan kelompok, c) Rasa takut terhadap
celaan sosial.
33
E. Hubungan antara Kepercayan Diri dan Konformitas dengan Perilaku Konsumtif
Gumulya (2013) mengatakan bahwa, perilaku konsumtif adalah perilaku
membeli yang lebih didominasi oleh keinginan-keinginan diluar kebutuhan dan hanya
memenuhi hasrat semata. Perilaku konsumtif sebagian besar memang dilakukan kaum
wanita. Menurut (Tambunan, 2001) perilaku konsumsi wanita yaitu lebih tertarik pada
warna dan bentuk, bukan pada hal teknis dan kegunaannya, mudah terbawa arus
bujukan penjual, cepat merasakan suasana toko, dan senang melakukan kegiatan
berbelanja walau hanya windows shopping (melihat-lihat tetapi tidak membeli).
Aspek orang yang berperilaku konsumtif menurut Sumartono (2002) pertama,
pembelian impulsif yaitu Membeli produk karena adanya iming-iming hadiah. membeli
barang tanpa terlebih dahulu mempertimbangkannya, tidak memikirkan apa yang akan
terjadi kemudian dan biasanya bersifat emosional. Pembelian dengan jenis ini dapat
dilihat saat wanita karir membeli barang yang sebenarnya belum ada rencana ingin
membeli tetapi karena adanya diskon atau hadiah wanita karir membelinya. Kedua,
Membeli produk karena kemasannya menarik , yaitu Pembelian barang yang dilakukan
individu karena ketertarikan atas kemasan yang menarik dan unik. Seperti saat wanita
karir melihat packaging yang rapi dan elegant sehingga membuat daya tarik wanita
karir membeli barang tersebut meskipun tidak membutuh kan barangnya namun karna
kemasan yang menarik. Ketiga Membeli produk demi menjaga penampilan dan gengsi,
Gengsi merupakan salah satu faktor individu membeli barang dengan merek terkenal.
Karena saat ini wanita karir lebih mementingkan penampilan agar terlihat menarik
perhatian lingkungan kerjanya maupun lingkungan sosial dengan menggunakan produk
merk atau produk yang terkenal wanita membelinya. Keempat, membeli produk atas
pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat dan kegunaannya). Pembelian barang
yang dilakukan individu karena kecenderungan menggunakan produk yang mewah,
bukan atas dasar kegunaan barang tersebut. Wanita akan merasa lebih percaya diri dan
dihargai apabila telah menggunakan produk yang mahal seperti membeli tas yang mahal
maupun bermerk seperti yang digunakan artis.
Kelima, membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status. Wanita karir
pada biasanya selalu beranggapan bahwa membeli barang yang mewah akan
memberikan kesan bahwa ia berasal dari kelas sosial yang tinggi dan tentunya dapat
menunjang simbol status di antar divisi kerja wanita karir dan lingkungan sosialnya.
Keenam, memakai produk karena unsur konformitas terhadap model yang
mengiklankan Pembelian barang yang dilakukan individu karena melihat model yang
mengiklankan produk tersebut ataupun model yang mengiklankan tersebut adalah idola
dari individu tersebut. Oleh karena itu, dengan jamannya digital wanita sering
menggunakan produk apapun yang digunakan oleh tokoh idolanya maupun selebgram
akan menjadi pertimbangan besar dalam membeli produk karena melihat idola maupun
34
artis, wanita karir sehingga sering melakukan pembelian barang agar terlihat sama
dengan idolanya ataupun ingin seperti idola wanita karir. Ketujuh, munculnya penilaian
bahwa membeli produk dengan harga yang mahal akan menimbulkan rasa percaya diri
yang positif . Harga menjadi pertimbangan wanita karir di lingkungan sosialnya untuk
membeli suatu barang yang diinginkan. Wanita karir menganggap dengan membeli
produk dengan harga yag mahal akan menambah kepercayaan diri. Ke delapan,
keinginan membeli lebih dari dua produk sejenis dengan merek yang berbeda. Wanita
karir konsumen lebih suka menggunakan produk yang sama dengan merek yang
berbeda, hal ini kadang dilakukan wanita karir untuk melihat kualitas produk dari
masing-masing produk dan apa perbedaan dari produk-produk tersebut.
(Patricia & Handayani, 2014) mengatakan Kecenderungan perilaku konsumtif
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang pada intinya dapat dibedakan menjadi dua
faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal (Engel, Blackwell & Miniard, 1995;
Kotler, 2006). Salah satu faktor internal yang mempengaruhi perilaku konsumtif adalah
kepercayaan ini dan salah satu faktor eksternal adalah konformitas.
Berdasarkan landasan teori dan permasalahan penelitian yang telah peneliti
kemukan, maka peneliti ingin mengembangkan kerangka penelitian yang akan diuji
secara parsial dan simultan. Kerangka pemikiran dari masalah dalam penelitian ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Hubungan Kepercayaan Diri dengan Perilaku Konsumtif
Menurut Lina & Rosyid (1997) salah satu faktor penyebab perilaku konsumtif
adalah kepercayaan diri. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Prissilia (2016) mengatakan bahwa kepercayaan diri mampu
mempengaruhi perilaku konsumtif.
Salah satu ciri Perilaku Konsumtif menurut Sumartono (dalam Fransisca dan
Tommy, 2005) adalah Penilaian bahwa membeli barang dengan harga yang mahal akan
menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi. Individu membeli barang atau produk bukan
berdasarkan kebutuhan tetapi karena memiliki harga yang mahal untuk menambah
kepercayaan dirinya.
Kepercayaan diri merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya
untuk melakukan berbagai hal seperti optimis, bertanggung jawab, objektif, serta
rasional dan berpikir realistis terhadap suatu masalah. Wanita karir yang memiliki rasa
percaya diri yang tinggi akan mampu untuk menentukan mana kebutuhan yang
sebenarnya dan bukan hanya keinginan semata. Dengan begitu Wanita Karir dapat
mengontrol perilaku berbelanja tanpa harus memikirkan pemakaian barang-barang yang
dianggap dapat meningkatkan kepercayaan dirinya (Prissilia, 2016).
35
Bagi Wanita Karir penampilan dianggap penting dalam membentuk
kepercayaan diri. Untuk mendukung kepercayaan diri yang dimiliki wanita karir dalam
hal penampilan dirinya atau pun dengan pergi ke tempat mewah, makan-makanan
mewah, maka wanita karir akan berusaha untuk menjaga penampilannya dengan selalu
mengikuti dan berusaha memiliki barang-barang mulai dari trend fashion hingga barang-
barang trend lainnya serta akan berusaha untuk mendapatkannya, sehingga akan
membentuk pola konsumsi yang berlebihan (Rombe, 2014). Pola konsumsi yang
berlebihan tersebut akan menyebabkan wanita karir untuk tidak bisa kontrol diri
terhadap perilaku konsumsinya yang tentunya mengakibatkan wanita karir tersebut
menjadi konsumtif yang sehingga berdampak negatif bagi wanita karir tersebut. Hal ini
sesuai dengan (Astuti, 2013) Perilaku konsumtif merupakan kecenderungan individu
untuk membeli atau mengkonsumsi barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara
berlebihan serta tidak didasari atas pertimbangan rasional. Apabila perilaku tersebut
dibiarkan terus-menerus akan mengakibatkan terjadi tindakan pemborosan.
Hal tersebut dilakukan wanita guna untuk menunjang rasa kepercayaan diri yang
dimiliki, sehingga membuat wanita karir tidak terlepas dari perilaku berbelanja secara
berlebihan. Sesuai dengan pendapat (Aji dkk, 2012) Apalagi bagi para khususnya wanita,
wanita karir mempunyai keinginan membeli yang tinggi karena pada umumnya setiap
individu mempunyai ciri khas dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, tingkah laku,
kesenangan musik dalam pertemuan dan pesta. Setiap individu pada dasarnya selalu
ingin berpenampilan yang dapat menarik perhatian orang lain, sehingga wanita karir
kebanyakan membelanjakan uangnya untuk keperluan tersebut. Kebutuhan ini
berkaitan erat dengan pergaulan dan penerimaan di lingkungan sosial.
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Erika Wulandari (2019) bahwa
kepercayaan dengan perilaku konsumtif pada mahasiswa ekonomi dan ilmu sosial UIN
Suska Riau berpengaruh negatif. Hal ini dapat diketahui bahwa kepercayaan diri
memiliki pengaruh terhadap perilaku konsumtif yang dilakukan oleh individu. Hal ini
juga mengindikasi bahwa wanita karir akan berperilaku konsumsi semakin rasional jika
memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dengan demikian, adanya kepercayaan diri yang
tinggi akan mengubah pola pikir wanita karir dalam berperilaku konsumtif lebih rasional.
2. Hubungan Konformitas dengan Perilaku Konsumtif
Santrock (dalam Suparno, 2013) menyatakan bahwa konformitas adalah suatu
bentuk interaksi sosial dimana seseorang berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan
harapan kelompok. Konformitas muncul ketika individu mengikuti perilaku atau sikap
orang lain, dikarenakan oleh tekanan orang lain, baik yang nyata maupun yang
dibayangkan. Dalam penelitiannya, Sanaria (2006), menyatakan bahwa kelompok
biasanya terdiri dari beberapa individu. Kelompok memiliki karakteristik dan identitas
36
sendiri yang berbeda dengan identitas masing- masing anggota kelompok. Maka,
individu yang menjadi bagian dari kelompok tersebut harus memperlihatkan perilaku,
nilai, sikap dan pola lainnya yang sama dan bisa diidentifikasi sebagai faktor pembeda
dari kelompok lainnya. Hal inilah yang disebut dengan konformitas.
Kenyataan ini membuat wanita karir mempunyai pola konsumtif yang
menunjukkan sifat lebih mahal dan lebih mewah sehingga membawa kesan
memaksakan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Bernheim
(1994) bahwa perilaku individu didorong oleh sebagian besar faktor sosial, seperti
keinginan untuk dihargai, popularitas atau penerimaan dalam sebuah kelompok.
Wanita karir cenderung berperilaku konsumtif dengan mengikuti apa yang ada
divisi tempat wanita karir bekerja seperti mengikuti apa yang di lakukan rekan kerjanya
supaya bisa di terima oleh teman-teman maupun kelompoknya. Pengakuan ini semakin
diperkuat oleh pendapat yang disampaikan oleh Sears (dalam Galih: 2015) yang
mengatakan bahwa: “Konformitas adalah tuntutan yang tidak tertulis dari suatu
kelompok tertentu terhadap anggotanya tetapi memiliki pengaruh yang kuat dan dapat
memunculkan perilaku-perilaku tertentu pada anggota kelompoknya. Semakin besar
kelompok tersebut adanya senior dan junior maka akan semakin besar pula
kecenderungan wanita karir untuk ikut serta dalam berperilaku konsumtif sepeerti
bersenang-senang, membelanjakan hal yang sedang modern dan ber merk mahal. Hal
tersebut sejalan dengan temuan penelitian Anggraini yang menemukan bahwa tingginya
intensitas komunikasi dengan peer group dapat mempengaruhi wanita pada
pembentukan sikap dan identitas dirinya yang diwujudkan dalam gaya hidup tertentu
(Anggraini, 2012).
Menurut penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nur Fitriyani, dkk (2013), hasil
penelitian menunjukkan positif berhubungan bahwa Konformitas dengan perilaku
Konsumtif pada mahasiswa di Genuk Indah Semarang. Hal ini dapat diketahui bahwa
Konformitas memiliki pengaruh terhadap perilaku konsumtif yang dilakukan oleh
individu. Hal ini juga mengindikasi bahwa wanita karir akan berperilaku konsumtif
semakin rasional jika lingkungan atau kelompok memberikan contoh dan keteladanan
untuk berperilaku konsumsi secara disiplin. Dengan demikian, adanya pengaruh positif
dari lingkungannnya yang akan mengubah pola pikir wanita karir dalam berkonsumsi
agar lebih rasional lagi.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kepercayaan diri,
konformitas dengan perilaku konsumtif. Serta mengetahui seberapa besar pengaruh
kepercayaan diri dan konformitas terhadap perilaku konsumtif pada wanita
karir.Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri dan konformitas
sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah perilaku konsumtif.
37
Gambar 1. Kerangka berpikir kepercayaan diri, konformitas dan perilaku konsumtif
pada wanita karir.
D. Hipotesis
Hipotesis penelitian yang di ajukan adalah :
1. Ada hubungan antara kepercayaan diri dan konformitas dengan perilaku konsumtif
pada wanita karir.
2. Ada hubungan negatif antara kepercayaan diri dengan perilaku konsumtif pada wanita
karir.
3. Ada hubungan positif antara konformitas dengan perilaku konsumtif pada wanita karir
Kepercayaan Diri (X1)
Konformitas (X2) Perilaku Konsumtif