1 laporan penelitian standar pelayanan pendidikan di

82
1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN BALANGAN Oleh : Dra. Rabiatul Adawiah M.Si FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT 2011

Upload: duongkhanh

Post on 31-Dec-2016

229 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

1

LAPORAN PENELITIAN

STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN

DI KABUPATEN BALANGAN

Oleh :

Dra. Rabiatul Adawiah M.Si

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

2011

Page 2: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara filosofis tanggung jawab pendidikan melekat pada keluarga,

masyarakat dan pemerintah. Dalam kontek rumah tangga negara pendidikan

merupakan hak setiap warga negara, maka di dalamnya mengandung makna

bahwa negara berkewajiban memberikan layanan pendidikan kepada

warganya. Karena itu pengolahan sistem Pelayanan Minimal (SPM) Bid.

Pendidikanharus didesain dan dilaksanakan secara bermutu, efektif dan

efisien. Pelayanan pendidikan harus beroreantasi pada upaya peningkatan

akses pelayanan seluas-luasnya bagi warga masyarakat.

Apa yang tersurat tersirat dalam pasal 31 UUD 1945 diperjelas dalam

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang sistem Pendidikan Nasional

Menyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat

dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berkhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab”

Filosofis dalam Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

dijiwai oleh cita-cita luhur sebagaimana rumusan yang termaktub dalam

Page 3: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

3

amanat konstitusi tersebut. Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Bid. Pendidikan ini sebagai acuan/pedoman bagi para pemangku

kepentingan di bidang pendidikan dalam rangka pembangunan manusia yang

berilmu pengetahuan, mampu membangun dan menguasai teknologi, serta

berdaya saing tinggi, yang berlandaskan keimanan dan ketaqwaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Dokumen tersebut dapat menjadi arah kebijakan dan

rencana implementasi bidang pendidikan di Kabupaten Balangan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalahnya dapat dirumuskan

sebagai berikut : Bagaimanakah standar pelayanan pendidikan dasar di

Kabupaten Balangan

C. Tujuan Kegiatan

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan kegiatan ini adalah

untuk mengetahui standar pelayanan minimum pendidikan dasar di kabupaten

Balangan.

D. Manfaat Kegiatan

Manfaat dari kajian ini adalah dapat digunakan sebagai

acuan/pedoman bagi para pemangku kepentingan di bidang pendidikan

dalam rangka pembangunan manusia yang berilmu pengetahuan, mampu

membangun dan menguasai teknologi, serta berdaya saing tinggi, yang

Page 4: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

4

berlandaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dokumen tersebut dapat menjadi arah kebijakan dan rencana implementasi

bidang pendidikan di Kabupaten Balangan

Page 5: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelayanan Publik

1. Pengertian

Dalam konteks ke-Indonesia-an, penggunaan istilah pelayanan publik

(public service) dianggap memiliki kesamaan arti dengan istilah pelayanan

umum atau pelayanan masyarakat. Oleh karenanya ketiga istilah tersebut

dipergunakan secara interchangeable, dan dianggap tidak memiliki perbedaan

mendasar.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan pengertian

pelayanan bahwa “pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan

(mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Sedangkan pengertian service

dalam Oxford (2000) didefinisikan sebagai “a system that provides something

that the public needs, organized by the government or a private company”.

Oleh karenanya, pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang

menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public),

terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa

Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan negara. Public dalam pengertian

umum atau masyarakat dapat kita temukan dalam istilah public offering

(penawaran umum), public ownership (milik umum), dan public utility

(perusahaan umum), public relations (hubungan masyarakat), public service

Page 6: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

6

(pelayanan masyarakat), public interest (kepentingan umum) dll. Sedangkan

dalam pengertian negara salah satunya adalah public authorities (otoritas

negara), public building (bangunan negara), public revenue (penerimaan

negara) dan public sector (sektor negara). Dalam hal ini, pelayanan publik

merujukkan istilah publik lebih dekat pada pengertian masyarakat atau umum.

Namun demikian pengertian publik yang melekat pada pelayanan publik tidak

sepenuhnya sama dan sebangun dengan pengertian masyarakat. Nurcholish

(2005 : 178) memberikan pengertian publik sebagai sejumlah orang yang

mempunyai kebersamaan berfikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang

benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meng

PAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan

publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara

pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan

maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya dalam Oxford (2000) dijelaskan pengertian public service

sebagai “a service such as transport or health care that a government or an

official organization provides for people in general in a particular society”.

Fungsi pelayanan publik adalah salah satu fungsi fundamental yang

harus diemban pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Fungsi ini

juga diemban oleh BUMN/BUMD dalam memberikan dan menyediakan

layanan jasa dan atau barang publik.

Page 7: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

7

Dalam konsep pelayanan, dikenal dua jenis pelaku pelayanan, yaitu

penyedia layanan dan penerima layanan. Penyedia layanan atau service

provider (Barata, 2003 : 11) adalah pihak yang dapat memberikan suatu

layanan tertentu kepada konsumen, baik berupa layanan dalam bentuk

penyediaan dan penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa (services). Penerima

layanan atau service receiver adalah pelanggan (customer) atau konsumen

(consumer) yang menerima layanan dari para penyedia layanan.

Adapun berdasarkan status keterlibatannya dengan pihak yang

melayani terdapat 2 (dua) golongan pelanggan, yaitu:

(a) Pelanggan internal, yaitu orang-orang yang terlibat dalam proses

penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan,

pencitaan jasa atau pembuatan barang, sampai dengan pemasaran barang,

penjualan dan pengadministrasiannya.

(b) Pelanggan eksternal, yaitu semua orang yang berada di luar organisasi

yang menerima layanan penyerahan barang atau jasa.

Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan swasta.

Namun demikian terdapat persamaan di antara keduanya, yaitu:

a. Keduanya berusaha memenuhi harapan pelanggan, dan mendapatkan

kepercayaannya;

b. Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup

organisasi.

Sementara karakteristik khusus dari pelayanan publik yang

membedakannya dari pelayanan swasta adalah:

Page 8: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

8

a. Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak nyata.

Misalnya perijinan, sertifikat, peraturan, informasi keamanan, ketertiban,

kebersihan, transportasi dan lain sebagainya.

b. Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan membentuk

sebuah jalinan sistem pelayanan yang berskala regional, atau bahkan nasional.

Contohnya dalam hal pelayanan transportasi, pelayanan bis kota akan

bergabung dengan pelayanan mikrolet, bajaj, ojek, taksi dan kereta api untuk

membentuk sistem pelayanan angkutan umum di Jakarta.

c. Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan organisasi

pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia pelayanan berlaku prinsip

utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal. Namun situasi

nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokkan

petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal.

d. Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan

peningkatan mutu pelayanan. Semakin tinggi mutu pelayanan bagi

masyarakat, maka semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat kepada

pemerintah. Dengan demikian akan semakin tinggi pula peran serta

masyarakat dalam kegiatan pelayanan.

e. Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung,

yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengembangan pelayanan.

Desakan untuk memperbaiki pelayanan oleh polisi bukan dilakukan oleh

hanya pelanggan langsung (mereka yang pernah mengalami gangguan

keamanan saja), akan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat.

Page 9: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

9

f. Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan

masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing.

B. Ruang Lingkup Pelayanan Publik

Secara umum, pelayanan dapat berbentuk barang yang nyata (tangible),

barang tidak nyata (intangible), dan juga dapat berupa jasa. Layanan barang tidak

nyata dan jasa adalah jenis layanan yang identik. Jenis-jenis pelayanan ini

memiliki perbedaan mendasar, misalnya bahwa pelayanan barang sangat mudah

diamati dan dinilai kualitasnya, sedangkan pelayanan jasa relatif lebih sulit untuk

dinilai. Walaupun demikian dalam prakteknya keduanya sulit untuk dipisahkan.

Suatu pelayanan jasa biasanya diikuti dengan pelayanan barang, misalnya jasa

pemasangan telepon berikut pesawat teleponnya, demikian pula sebaliknya

pelayanan barang selalui diikuti dengan pelayanan jasanya.

Namun demikian, secara garis besar, pelayanan dibedakan menjadi 2 (dua)

jenis saja, yaitu barang dan jasa. Berikut ini adalah karakteristik pelayanan dari

Gronroos (1990) yang menjelaskan perbedaan antara pelayanan barang dan jasa.

Tabel 1

Perbedaan Karakteristik antara Barang dan Jasa

Barang Jasa

Sesuatu yang berwujud Sesuatu yang tidak berwujud

Satu jenis barang dapat berlaku untuk

banyak orang (homogen)

Satu bentuk pelayanan kepada

seseorang belum tentu sesuai/sama

dengan bentuk jasa pelayanan kepada

orang lain (heterogen)

Proses produksi dan distribusinya

terpisah dengan proses konsums

Proses produksi dan distribusi

pelayanan berlangsung bersamaan pada

saat dikonsumsi

Berupa barang/benda Berupa proses/kegiatan

Page 10: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

10

Nilai utamanya dihasilkan di

perusahaan

Nilai utamanya dihasilkan dalam proses

interaksi antara penjual dan pembeli.

Pembeli pada umumnya tidak terlibat

dalam proses produksi

Pembeli terlibat dalam proses produksi

Dapat disimpan sebagai persediaan Tidak dapat disimpan

Dapat terjadi perpindahan kepemilikan Tidak ada perpindahan kepemilikan

Sumber: Gronroos (1990)

Lebih lanjut Savas (1987) mengelompokkan jenis-jenis barang dan jasa

yang dibutuhkan masyarakat dan individu ke dalam 4 (empat) kelompok

berdasarkan konsep exclusion dan consumption dalam hal pengelolaan penyediaan

pelayanan publik. Ciri dari exclusion akan melekat pada barang/jasa jika

pengguna potensialnya dapat ditolak menggunakannya kecuali kalau yang

bersangkutan dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan

penyedianya. Barang/jasa tersebut hanya dapat dipindah tangankan apabila terjadi

kesepakatan antara pembeli dan pemasok. Sedangkan dari segi consumption

adalah bahwa barang konsumsi merupakan barang atau jasa yang dapat

dipergunakan secara bersama-sama atau kolektif oleh banyak orang tanpa ada

pengurangan kualitas maupun kuantitasnya.

Tabel 2

Pengelompokkan Barang dan Jasa

Berdasarkan Ciri Dasar Exclusion dan Comsumption

Exclusion

Consumption

Konsumsi

Individual

Konsumsi

Kolektif

Mudah mencegah orang

lain untuk ikut menikmati Barang privat

Barang semi

publik

Sulit mencegah orang

lain untuk ikut menikmati

Barang semi

privat Barang publik

Sumber : Savas, (1987)

Page 11: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

11

a. Barang privat

Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual dan tidak dapat

diperoleh oleh si pemakai tanpa persetujuan pemasoknya. Bentuk persetujuan

biasanya dilakukan dengan penetapan dan negosiasi harga tertentu, serta

transaksi pembelian. Contoh: makanan, pakaian.

b. Barang semi privat

Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual, namun sulit mencegah

siapapun untuk memperolehnya meskipun mereka tidak mau membayar, atau

biasa disebut juga sebagai barang semiprivat. Contoh dari barang semiprivat

ini adalah pembelian radio ketika dinyatakan, si pemilik tidak dapat mencegah

orang lain untuk tidak ikut mendengarkan.

c. Barang semi publik

Barang dan jasa jenis ini umumnya digunakan secara bersama-sama, namun si

pengguna harus membayar dan mereka yang tidak dapat/mau membayar dapat

dengan mudah dicegah dari kemungkinan menikmati barang tersebut.

Semakin sulit atau mahal mencegah seseorang konsumen potensial dari

pemanfaatan toll goods semakin serupa barang tersebut dengan ciri barang

publik (Collective Goods). Atau biasa disebut juga dengan barang semi publik.

Misal: jalan Toll, Jembatan Timbang

d. Barang publik

Barang dan jasa ini umumnya digunakan secara bersama-sama dan tidak

mungkin mencegah siapapun untuk menggunakannya, sehingga masyarakat

Page 12: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

12

(pengguna) pada umumnya tidak bersedia membayar berapapun tanpa dipaksa

untuk memperoleh barang ini. Misal: jalan raya, taman.

Dari keempat pengelompokan barang tersebut, penyediaan jenis barang

privat dan semi privat, dapat murni dilakukan oleh swasta. Sedangkan penyediaan

barang semi publik dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Khusus

untuk penyediaan jenis barang publik haruslah oleh pemerintah.

Selanjutnya Nurcholis (2005 : 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan

publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut:

a. Pendidikan.

b. Kesehatan.

c. Keagamaan.

d. Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan.

e. Rekreasi: taman, teater, musium, turisme.

f. Sosial.

g. Perumahan.

h. Pemakaman/krematorium.

i. Registrasi penduduk: kelahiran, kematian.

j. Air minum.

k. Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll.

Dalam Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman

Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan publik

secara garis besar adalah sebagai berikut:

1. Pelayanan administratif

Page 13: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

13

2. Pelayanan barang

3. Pelayanan jasa

Dari berbagai jenis pengelolaan pelayanan publik yang disediakan oleh

pemerintah tersebut, timbul beberapa persoalan dalam hal penyediaan pelayanan

publik. Persoalan-persoalan tersebut diidentifikasi Wright (dalam LAN, 2003 :

16) sebagai berikut:

1. Kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output

maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.

2. Pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian tinggi dalam

hal teknologi produksi sehingga hubungan antara output dan input tidak dapat

ditentukan dengan jelas.

3. Pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun

kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut.

4. Berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam

memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah

menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah

sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari

kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya.

Di sisi lain, sektor swasta berperan dalam hal penyediaan barang dan jasa

yang bersifat privat. Situasi persaingan selalu timbul dalam penyelenggaraan

penyediaan barang dan jasa oleh sektor swasta. Ada kalanya pemerintah juga

menyediakan layanan barang privat. Untuk menghindari crowding out effect,

dimana pemerintah lebih berperan sebagai kompetitor pemain pasar lainnya, perlu

Page 14: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

14

diatur secara jelas, mana barang dan jasa yang harus diserahkan ke swasta, mana

yang dapat dikerjakan secara bersama-sama, dan mana yang murni dikerjakan

oleh pemerintah.

C. Paradigma Pelayanan

Pelayanan publik adalah identik dengan representasi dari eksistensi

birokrasi pemerintahan, karena berkenaan langsung dengan salah satu fungsi

pemerintah yaitu memberikan pelayanan. Oleh karenanya sebuah kualitas

pelayanan publik merupakan cerminan dari sebuah kualitas birokrasi pemerintah.

Di masa lalu, paradigma pelayanan publik lebih memberi peran yang sangat besar

kepada pemerintah sebagai sole provider. Peran pihak di luar pemerintah tidak

pernah mendapat tempat atau termarjinalkan. Masyarakat dan dunia swasta hanya

memiliki sedikit peran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Pada tahun 1990-an terjadi reformasi di sektor publik. Hal ini terjadi

karena terjadi kesalahan dalam memahami (mitos) upaya perbaikan kinerja

pemerintah. Berkenaan dengan hal tersebut, Osborne & Plastrik (1996 : 13)

menjelaskan 5 mitos di seputar reformasi sektor publik, yaitu:

1. Mitos Liberal, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan yang

lebih dan bekerja lebih banyak (spending more and doing more). Dalam

kenyataannya, menganggarkan banyak uang kepada sistem yang disfungsional

tidak menghasilkan hasil yang signifikan.

2. Mitos Konservatif, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan

yang dikurangi dan bekerja lebih sedikit (spending less and doing less). Dalam

Page 15: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

15

kenyataannya, penghematan yang dilakukan pemerintah terhadap anggarannya

tidak menolong kinerja pemerintah menjadi lebih baik.

3. Mitos Bisnis, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalu penyelenggaraan

pemeritahan yang meniru teknik penyelenggaraan bisnis. Dalam

kenyataannya, walaupun metafora bisnis dan teknik manajemen seringkali

menolong, namun ada perbedaan kritis antara realitas sektor publik dan bisnis.

4. Mitos Pekerja, bahwa kinerja pegawai pemerintah dapat meningkat apabila

mempunyai uang yang cukup. Dalam kenyataannya kita harus mengubah cara

sumber daya dimanfaatkan jika kita ingin mengubah hasil.

5. Mitos Rakyat, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui perekrutan sumber

daya manusia yang lebih baik. Dalam kenyataannya, masalahnya bukan

terletak pada sumber daya, akan tetapi sistemlah yang menjebak mereka.

Oleh karenanya berkenaan dengan reformasi di sektor publik, salah satu

prinsip penting yang merubah paradigma pelayanan publik adalah prinsip

streering rather than rowing. Berkenaan dengan prinsip ini, pemerintah

diharapkan untuk lebih berperan sebagai pengarah daripada sekedar pengayuh.

Fungsi pengayuh bisa dilakukan secara lebih efisien oleh pihak lain yang

profesional. Prinsip ini menjelaskan bahwa pemerintah tidak dapat secara terus

menerus bekerja sendirian, dan harus mulai mengubah paradigma pelayanan agar

tujuan dari penyelenggaraan pelayanan dapat tercapai lebih baik lagi. Masih

banyak prinsip-prinsip yang dikenalkan dalam konsep ini, namun intinya adalah

semuanya mengubah cara pandang kita terhadap cara kerja pemerintahan.

Page 16: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

16

Semangat entrepreneurial government ini lebih didasarkan pada

pengalaman yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Amerika

Serikat. Konsep lain yang sebenarnya telah lebih dulu eksis dan memiliki

kemiripan dengannya adalah New Public Management (NPM) yang dipelopori

oleh Inggris dengan gerakan privatisasi pada masa kepemimpinan Margaret

Thatcher. Pada masa Thatcher, privatisasi untuk pertama kalinya diselenggarakan

terhadap perusahaan milik negara dengan tujuan untuk menyehatkan perusahaan

negara. Gerakan ini menjadi tren di dunia manajemen BUMN. Banyak negara

yang kemudian meniru pola privatisasi Inggris ini, termasuk juga New Zealand,

dan menyebar ke seluruh dunia.

Dengan paradigma baru di bidang pelayanan yang dilandasi oleh filosofi

entrepreneurial government dan new public management inilah maka cara

pandang tradisional terhadap peran pemerintah dalam menyelenggarakan

pelayanan publik haruslah diubah. Osborne dan Plastrik (1996) menjelaskan 5

Strategi penting untuk mewujudkannya, yaitu:

1. Strategi inti: menciptakan kejelasan tujuan

2. Strategi konsekuensi: menciptakan konsekuensi untuk kinerja

3. Strategi pelanggan: menempatkan pelanggan di posisi penentu.

4. Strategi pengendalian: memindahkan pengendalian dari puncak dan pusat

5. Strategi budaya: menciptakan budaya wira usaha

Dalam perspektif lain, secara umum pergeseran paradigma pelayanan

adalah pergeseran dari birokrasi yang “dilayani” menjadi birokrasi yang

“melayani”. Fungsi pelayanan yang diemban dan melekat pada birokrasi, tidak

Page 17: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

17

serta merta menempatkan warga masyarakat sebagai kelompok pasif. Dalam hal

ini partisipasi masyarakat dalam pelayanan harus ditingkatkan, karena sejalan

dengan mini pemberdayaan yang harus lebih diutamakan (empowering rather

than serving). Pemberdayaan ini akan menuntun pada adanya peningkatan

partisipasi warga masyarakat dalam pelayanan publik.

Partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik dikenal dengan konsep co-

production. Konsep ini dikenal pertama kali dan dikembangkan sejak tahun 1980-

an, ketika pakar administrasi publik dan politik urban membangun teori yang

menjelaskan kegiatan kolektif dan peran kritis dari keterlibatan warga masyarakat

dalam penyediaan pelayanan barang dan jasa. Pada dasarnya teori co production

mengkonseptualisasi pemberian layanan baik sebagai sebuah penataan maupun

proses, di mana pemerintah dan masyarakat membagi tanggung jawab (conjoint

responsibility) dalam menyediakan pelayanan publik. Sehingga di sini kita tidak

lagi membedakan warga masyarakat sebagai pelanggan tradisional dengan

pemerintah sebagai penyedia layanan. Kedua pihak dapat bertindak sebagai

bagian dari pemberi layanan.

Secara singkat, teori co-production dalam pelayanan publik dapat

dipahami dengan memahami konsep-konsep pelanggan dan produksi di sektor

publik, yaitu consumer producer, regular producer dan co-production. Menurut

Parks consumer producers adalah pihak yang berhubungan dengan produksi yang

pada akhirnya akan mengkonsumsi akhir dari produk yang dibuatnya. Di sisi lain,

regular producers adalah yang menyelenggarakan proses produksi, yang akan

merubah output menjadi pembayaran, yang pada akhirnya akan

Page 18: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

18

membelanjakannya untuk barang dasn jasa lainnya. Dalam hal ini co-production

memerlukan kedua pihak berkontribusi input pada proses produksi untuk barang

dan jasa tertentu. Dengan kata lain, dalam banyak pelayanan, proses produksi

output dan outcome memerlukan partisipasi aktif dari penerima layanan barang

dan jasa.

Menurut Cooper sebagaimana dikutip oleh McLaverty (2002 : 15)

menjelaskan bahwa partisipasi publik terutama dalam proses pengambilan

keputusan adalah sarana untuk memenuhi hak dasar sebagai warga. Pada akhirnya

tujuan dari partisipasi publik adalah untuk mendidik dan memberdayakan warga.

Sedangkan menurut Marschall (2004 : 231), tujuan dari partisipasi publik adalah

pada dasarnya untuk mengkomunikasikan dan mempengaruhi proses pengambilan

keputusan sebagaimana juga membantu dalam pelaksanaan pelayanan.

Heller dalam Rich (1995 : 660) menjelaskan dua bentuk dasar partisipasi,

yaitu partisipasi akar rumput (grass-root participation) yang mengacu pada

organisasi dan gerakan sosial yang didasarkan pada inisiatif warga yang memilih

tujuan dan metode mereka sendiri, dan partisipasi mandat pemerintah

(government-mandated participation) yang melibatkan persyaratan hukum di

mana akan ada kesempatan bagi masukan warga terhadap pengambilan keputusan

(kebijakan) atau pelaksanaan sebuah lembaga.

Secara sederhana Cooper (Lynch, 1983 : 14-15) membedakan partisipasi

ke dalam partisipasi tidak langsung (indirect participation) dan partisipasi

langsung (direct participation). Partisipasi tidak langsung, misalnya, partisipasi

dalam hal penyelenggaraan negara dengan memilih wakilnya untuk duduk di kursi

Page 19: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

19

parlemen. Sama halnya ketika menyuarakan pendapat untuk kepentingan

penyelenggaraan pemerintah melalui media massa dan sebagainya. Sementara

partisipasi langsung bisa berupa keterlibatan secara langsung warga dalam

penyelenggaraan pemerintah, seperti menjadi komisi penasehat, aktivitas dengan

pendapat, keterlibatan di kelompok-kelompok kepentingan dan partisipasi dalam

lembaga pemerintah. Konsep partisipasi masyarakat terhadap fungsi pelayanan

yang diberikan pemerintah dapat berupa partisipasi dalam hal mentaati

pemerintah, membangun kesadaran hukum, kepedulian terhadap peraturan yang

berlaku, dan dapat juga berupa dukungan nyata dengan membantu secara

langsung proses penyelenggaraan pelayanan umum.

Gambar berikut menjelaskan konsep dasar peran pemerintah sebagai

penyedia pelayanan umum dan peran warga masyarakat sebagai pengguna atau

penerima layanan sekaligus peran dalam membantu penyelenggaraan pelayanan

publik (co-produser).

Gambar 1

Partisipasi dalam Pelayanan Publik

Sumber: Suwarno, Yogi. (2005: 5).

Service

Participation

Co-producer

Citizenry

Government

Page 20: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

20

Dalam gambar di atas dikenal istilah co-produser, yang berarti penghasil

jasa atau layanan. Co-produser ini adalah warga atau sebagian dari warga

masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan pemberian layanan umum,

sebagai bentuk partisipasi. Ini berangkat dari konsep ko-produksi yang dijelaskan

oleh Ostrom. Dalam definisinya Ostrom (1996 : 86) menjelaskan bahwa

“coproduction as the process through which inputs used to produce a good or

service are contributed by individuals who are not “in” the same organization”,

yaitu bahwa co-production adalah proses di mana input yang digunakan untuk

menghasilkan barang atau jasa diberikan oleh individu yang bukan berasal dari

organisasi yang sama. Keterlibatan warga dalam memproduksi layanan yang

seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah termasuk kegiatan ko-produksi

dalam pelayanan umum.

Sejalan dengan itu, Bjur dan Siegel dalam Lynch (1983 : 41) telah meneliti

bahwa kegiatan co-produksi sebenarnya dapat dirancang untuk melayani berbagai

jenis tujuan dari partisipasi warga. Hal ini menunjukkan hubungan yang kuat

antara partisipasi warga dengan kegiatan pelayanan umum.

pentingnya peran aktif kedua belah pihak dalam menyelenggarakan

pelayanan publik dapat dijelaskan dalam konteks partisipasi. Partisipasi publik

berhubungan erat dengan kedua belah pihak; pemerintah dan masyarakat. Melalui

sisi pemerintah, kita bisa melihat penerapan kebijakan dan pengunaan teknik-

teknik manajemen dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat sekaligus

dalam rangka penegakkan peraturan, sedangkan pada sisi masyarakat adalah

Page 21: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

21

keterlibatan dalam berdisiplin dan menaati aturan, serta dukungan langsung dalam

proses pemberian pelayanan publik.

Peran pada sisi pemerintah, penggunaan teknik-teknik manajerial dalam

pemberian pelayanan kepada masyarakat dilakukan dengan cara menyiapkan dan

memanfaatkan seluruh sumber daya organisasi yang dimiliki untuk mencapai

tujuan. Sedangkan peran pada sisi masyarakat adalah partisipasi aktif baik dalam

hal ketaatan, maupun dukungan langsung dalam proses penyelenggaraan

pelayanan publik.

D. Kualitas Pelayanan

Kualitas pelayanan telah menjadi salah satu isu penting dalam penyediaan

layanan publik di Indonesia. Kesan buruknya pelayanan publik selama ini selalu

menjadi citra yang melekat pada institusi penyedia layanan di Indonesia. Selama

ini pelayanan publik selalu identik dengan kelambanan, ketidak adilan, dan biaya

tinggi. Belum lagi dalam hal etika pelayanan di mana perilaku aparat penyedia

layanan yang tidak ekspresif dan mencerminkan jiwa pelayanan yang baik.

Kualitas pelayanan sendiri didefinisikan sebagai suatu kondisi dinamis

yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang

memenuhi atau melebihi harapan (Goetsch & Davis, 2002). Oleh karenanya

kualitas pelayanan berhubungan dengan pemenuhan harapan atau kebutuhan

pelanggan.

Penilaian terhadap kualitas pelayanan ini dapat dilihat dari beberapa sudut

Pandang yang berbeda (Evans & Lindsay, 1997), misalnya dari segi:

Page 22: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

22

1. Product Based, di mana kualitas pelayanan didefinisikan sebagai suatu

fungsi yang spesifik, dengan variabel pengukuran yang berbeda terhadap

karakteristik produknya.

2. User Based, di mana kualitas pelayanan adalah tingkatan kesesuaian

pelayanan dengan yang diinginkan oleh pelanggan.

3. Value Based, berhubungan dengan kegunaan atau kepuasan atas harga.

Kualitas pelayanan ini dapat diketahui ketika dilakukan mengenai

beberapa jenis kesenjangan yang berhubungan dengan harapan pelanggan,

persepsi manajemen, kualitas pelayanan, penyediaan layanan, komunikasi

eksternal, dan apa yang dirasakan oleh pelanggan.

Secara mendetail, kesenjangan-kesenjangan tersebut dapat diidentifikasi

pada gambar berikut ini:

Gambar 2

Model Kesenjangan dari Kualitas Pelayanan

Page 23: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

23

Sumber : Delivering Quality Service, Zeithaml, et. Al., (1990), hal. 131

Penjelasan terhadap kelima kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kesenjangan antara harapan pelanggan (Expected Service) dengan persepsi

manajemen (Management Perception of Customer Expectation).

Hal ini terjadi disebabkan karena kurang dilakukannya survey akan kebutuhan

pasar atau kurang dimanfaatkannya hasil penelitian secara tepat serta kurang

terjadinya interaksi antara penyedia pelayanan dan pelanggan. Penyebab

lainnya adalah kurang terjadinya komunikasi antara pihak manajemen dengan

petugas penyedia pelayanan (customer contact personel), padahal dari

merekalah paling banyak diperoleh informasi tentang hal-hal yang menjadi

harapan pelanggan. Terakhir adalah faktor klasik dari terlalu banyaknya

jenjang birokrasi dalam unit pelayanan juga merupakan salah satu faktor

munculnya kesenjangan ini.

Page 24: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

24

2. Kesenjangan antara persepsi manajemen (Management Perception of

Customer Expectation) dengan spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality

Specification). Kesenjangan ini terjadi ketika komitmen manajemen kurang

dalam mewujudkan kualitas pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi

manajemen terhadap kualitas pelayanan yang diinginkan pelanggan, demikian

pula dengan tidak adanya standarisasi dalam penyediaan pelayanan, dan tidak

adanya penetapan tujuan yang jelas dalam penyediaan pelayanan.

3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality

Specification) dengan penyampaian pelayanan (Service Delivery).

Kesenjangan ini terjadi karena munculn konflik peran dalam diri pegawai

dalam hal keinginan untuk memenuhi harapan pelanggan dengan keinginan

untuk memenuhi harapan pimpinan. Selain itu juga adalah teknologi yang

tidak sesuai dalam mendukung pelayanan, tidak ada evaluasi dan

penghargaan, serta kurang kerjasama internal.

4. Kesenjangan antara komunikasi eksternal kepada pelanggan (External

Communication to Customers) dengan proses penyampaian pelayanan

(Service Delivery).

Penyebab kesenjangan ini adalah tidak adanya komunikasi horizontal dalam

organisasi.

5. Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service)

dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service).

Kesenjangan kelima ini menunjukkan dan menggambarkan ukuran dari

tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja organisasi pelayanan. Berbeda

Page 25: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

25

dengan kesenjangan sebelumnya, kesenjangan kelima ini menitikberatkan

pada sisi pelanggan.

C. Standar Pelayanan Publik

1. Prinsip-prinsip Dasar

Dalam upaya mencapai kualitas pelayanan yang diuraikan di atas,

diperlukan penyusunan standar pelayanan publik, yang menjadi tolok ukur

pelayanan yang berkualitas. Penetapan standar pelayanan publik merupakan

fenomena yang berlaku baik di negara maju maupun di negara berkembang.

Di Amerika Serikat, misalnya, ditandai dengan dikeluarkannya executive

order 12863 pada era pemerintahan Clinton, yang mengharuskan semua

instansi pemerintah untuk menetapkan standar pelayanan konsumen (setting

customer service standard). Isi dari executive order tersebut adalah sebagai

berikut :

ldentify customer who are, or should be, served by the agency, survey the

customers to determine the kind and quality of service they want and their

level of satisfaction with existing service, post service standards and measure

result against the best business, provide the customers with choice in both

sources of services, and complaint system easily accesible, and provide means

to adress customer complaints.

Inti isi executive order tersebut di atas adalah adanya upaya identifikasi

pelanggan yang (harus) dilayani oleh instansi, mensurvei pelanggan untuk

Page 26: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

26

menentukan jenis dari kualitas pelayanan yang mereka inginkan dari untuk

menentukan tingkat kepuasan pelanggan dengan pelayanan yang sedang berjalan,

termasuk standar pelayanan pos serta mengukur hasil dengan yang terbaik,

menyediakan berbagai pilihan sumber-sumber pelayanan kepada pelanggan dan

sistem pengaduan yang mudah diakses, serta menyediakan sarana untuk

menampung dan menyelesaikan keluhan/pengaduan.

Di Inggris juga diperkenalkan Service First the New Charter Programme,

yang berisi 9 prinsip penyediaan pelayanan publik yang merupakan wujud dari

visi pemerintah yang dilaksanakan oleh setiap pegawai negeri. Prinsip-prinsip

tersebut adalah :

a. Menentukan standar pelayanan;

b. Bersikap terbuka dan menyediakan informasi selengkap-lengkapnya;

c. Berkonsultasi dan terlibat;

d. Mendorong akses dan pilihan;

e. Memperlakukan semua secara adil;

f. Mengembalikan ke jalan yang benar ketika terjadi kesalahan;

g. Memanfaatkan sumber daya secara efektif;

h. Inovatif dan memperbaiki; dan

i. Bekerjasama dengan penyedia layanan lainnya.

Di Indonesia, upaya untuk menetapkan standar pelayanan publik dalam

kerangka peningkatan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah lama dilakukan.

upaya tersebut antara lain ditunjukan dengan terbitnya berbagai kebijakan seperti:

Page 27: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

27

1. Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan

Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha,

2. Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun

1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.

3. Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan peningkatan Mutu

Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.

4. Surat Edaran Menko Wasbangpan No. 56/Wasbangpan/6/98 tentang

Langkah-langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat. Instruksi

Mendagri No. 20/1996;

5. Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56/MK. Wasbangpan/6/98; Surat

Menkowasbangpan No. 145/MK. Waspan/3/1999; hingga Surat Edaran

Mendagri No. 503/125/PUOD/1999; yang kesemuanya itu bermuara pada

peningkatan kualitas pelayanan.

6. Kep. Menpan No 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum

7. Surat Edaran Depdagri No. 100/757/OTDA tetang Pelaksanaan

Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimum, pada tahun 2002

8. Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan publik.

Namun sejauh ini standar pelayanan publik sebagaimana yang dimaksud

masih lebih banyak berada pada tingkat konseptual, sedangkan implementasinya

masih jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari masih buruknya kualitas pelayanan

yang diberikan oleh berbagai instansi pemerintah sebagai penyelenggara layanan

publik.

Page 28: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

28

Adapun yang dimaksud dengan standar pelayanan (LAN, 2003) adalah

suatu tolok ukur yang dipergunakan untuk acuan penilaian kualitas pelayanan

sebagai komitmen atau janji dari pihak penyedia pelayanan kepada pelanggan

untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Sedangkan yang dimaksud dengan

pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang cepat, menyenangkan, tidak

mengandung kesalahan. Serta mengikuti proses dan prosedur yang telah

ditetapkan terlebih dahulu. Jadi pelayanan yang berkualitas tidak hanya ditentukan

oleh pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan ataupun

dipenuhi kebutuhannya.

Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya standar pelayanan (LAN,

2003) antara lain adalah:

1. Memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka mendapat pelayanan

dalam kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan fokus

pelayanan kepada pelanggan/masyarakat, menjadi alat komunikasi antara

pelanggan dengan penyedia pelayanan dalam upaya meningkatkan pelayanan,

menjadi alat untuk mengukur kinerja pelayanan serta menjadi alat monitoring

dan evaluasi kinerja pelayanan.

2. Melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan kinerja pelayanan

publik mutlak harus dilakukan, dikarenakan dalam kehidupan bernegara

pelayanan publik menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini

disebabkan tugas dan fungsi utama pemerintah adalah memberikan dan

memfasilitasi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat,

mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan

Page 29: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

29

lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan,

kesehatan, utlilitas, sosial dan lainnya.

3. Meningkatkan mutu pelayanan. Adanya standar pelayanan dapat membantu

unit-unit penyedia jasa pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang

terbaik bagi masyarakat pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini dapat

terlihat dengan jelas dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur pelayanan,

waktu pelayanan, biaya serta proses pengaduan, sehingga petugas pelayanan

memahami apa yang seharusnya mereka lakukan dalam memberikan

pelayanan. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan juga dapat

mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban apa yang harus mereka dapatkan

dan lakukan untuk mendapatkan suatu jasa pelayanan. Standar pelayanan juga

dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja suatu

unit pelayanan. Dengan demikian, masyarakat dapat terbantu dalam membuat

suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila tidak mendapatkan pelayanan yang

sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka standar pelayanan menjadi faktor kunci

dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Upaya penyediaan

pelayanan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan memperhatikan

ukuran-ukuran apa saja yang menjadi kriteria kinerja pelayanan. Menurut LAN

(2003), kriteria-kriteria pelayanan tersebut antara lain:

a. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan

secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan

dilaksanakan oleh pelanggan.

Page 30: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

30

b. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan

menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia

pelayanan, seperti menjaga keakuratan perhitungan keuangan, teliti dalam

pencatatan data dan tepat waktu.

c. Tanggungjawab dari para petugas pelayanan, yang meliputi pelayanan

sesuai dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya

apabila terjadi sesuatu yang perlu segera diberitahukan.

d. Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan

menguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan.

e. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan

petugas. Petugas pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak

hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau

internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga

harus diperhatikan.

f. Keramahan, meliputi kesabaran, perhatian dan persahabatan dalam kontak

antara petugas pelayanan dan pelanggan. Keramahan hanya diperlukan

jika pelanggan termasuk dalam konsumen konkret. Sebaliknya, pihak

penyedia layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika

layanan yang diberikan tidak dikonsumsi para pelanggan melalui kontak

langsung.

g. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi

yang mereka butuhkan secara mudah dan gambling, meliputi informasi

mengenai tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain.

Page 31: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

31

h. Komunikasi antara petugas dan pelanggan. Komunikasi yang baik dengan

pelanggan adalah bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang

berhak diperolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka

mengerti.

i. Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan dan

penyedia pelayanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan

tetap layak dipercayai, adanya kejujuran kepada pelanggan dan

kemampuan penyedia pelayanan untuk menjaga pelanggan tetap setia.

j. Kejelasan dan Kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan

dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut.

Hal ini sangat penting karena pelanggan tidak boleh ragu-ragu terhadap

pelayanan yang diberikan.

k. Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada

pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan

keamanan yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, financial dan

kepercayaan pada diri sendiri.

l. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan. Hal ini dapat dilakukan dengan

berusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pelanggan. Mengerti apa

yang diinginkan pelanggan sebenarnya tidaklah sukar. Dapat dimulai

dengan mempelajari kebutuhan-kebutuhan khusus yang diinginkan

pelanggan dan memberikan perhatian secara personal.

m. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud nyata dari pelayanan, berupa

fasilitas fisik, adanya petugas yang melayani pelanggan, peralatan yang

Page 32: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

32

digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas

penunjang lainnya.

n. Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal

yang berkaitan langsung dengan pencapai sasaran pelayanan dengan tetap

memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.

o. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara

wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan

untuk membayar.

Penyusunan sebuah standar pelayanan minimal atau SPM di daerah

mengikuti prinsip-prinsip antara lain:

1. Diterapkan pada kewenangan wajib daerah dan kewenangan yang lain

2. Ditetapkan pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh daerah

kabupaten/kota

3. Menjalin hak individu dan akses masyarakat mendapat pelayanan dasar

dari pemerintah daerah

4. Bersifat dinamis sesuai dengan perubahan kebutuhan nasional dan

perkembangan kapasitas daerah

5. Berbeda dengan standar teknis yang merupakan faktor pendukung alat

mengukur pencapaian SPM.

Kegiatan identifikasi dapat dilakukan dengan mengadakan survey kepada

pelanggan ataupun dengan identifikasi internal yang dilakukan melalui penggalian

informasi kepada pegawai yang terlibat langsung dalam kegiatan pelayanan.

Page 33: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

33

F.Standar Pelayanan Publik di Daerah

Dalam konteks pelayanan publik di daerah, kebijakan desentralisasi dan

otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan

pemerintahan daerah, kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan masyarakat. Karena

itu pemerintah daerah harus menyediakan pelayanan publik yang sesuai dengan

kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tabun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah menyelenggarakan urusan

pemerintahanan yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,

moneter dan fiskal nasional, serta agama. Pada ayat (5) dinyatakan pula bahwa

pemerintah juga menyelenggarakan urusan pemerintahan di luar enam urusan

pemerintahan tersebut. Pada pasal 11 dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan

pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi

dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.

Eksternalitas adalah dampak yang timbul sebagai akibat dari

penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan

pemerintahan berdasarkan kriteria eksternalitas ditentukan berdasarkan luas,

besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan

pemerintahan. Berdasarkan kriteria eksternalitas maka semakin langsung dampak

penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan kepada masyarakat, maka urusan

tersebut paling tepat untuk diselenggarakan oleh pemerintah daerah

kabupaten/kota.

Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pemerintah, pemerintahan

daerah propinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan

Page 34: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

34

urusan pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Penyelenggaraan urusan

pemerintahan berdasarkan kriteria akuntabilitas ditentukan berdasarkan kedekatan

suatu tingkatan pemerintahan dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang

ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan

kriteria akuntabillitas maka semakin dekat pemberi layanan dan penggunanya, dan

semakin banyak jumlah pengguna layanan maka layanan tersebut lebih tepat

diselenggarakan oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Efisiensi adalah tingkat daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari

penyelenggaran suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan

pemerintahan berdasarkan kriteria efisiensi ditentukan berdasarkan perbandingan

tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan

suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria efisiensi maka penyelenggaraan

urusan lebih tepat pada tingkat pemerintahan dimana terdapat perbandingan

terbaik antara cost penyelenggaraan urusan dibandingkan dengan manfaat yang

diperoleh dengan penyelenggaraan urusan. Penggunaan kriteria eksternalitas,

akuntabilitas, dan efisiensi dalam pembagian urusan pemerintahan antar tingkat

pemerintahan dilaksanakan secara kumulatif sebagai satu kesatuan.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah,

yang diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi

terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib didefinisikan sebagai

urusan daerah otonom yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh pemerintah. Hal

ini berarti pemerintah menetapkan urusan mana yang merupakan urusan dasar

yang menjadi prioritas penyelenggaraan dan mana yang merupakan urusan

Page 35: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

35

pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi

merupakan urusan dalam skala propinsi, sedangkan urusan wajib yang menjadi

kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang

berskala kabupaten/kota. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat

wajib, baik untuk pemerintahan propinsi maupun untuk pemerintahan kabupaten

dan kota sebagaimana disebutkan di atas harus berpedoman pada Standar

Pelayanan Minimal (SPM).

Urusan yang bersifat pilihan adalah urusan-urusan yang dapat dipilih

untuk diselenggarakan oleh pemerintahan daerah berdasarkan kriteria pembagian

urusan pemerintahan sebagaimana disebutkan di atas. Urusan yang bersifat pilihan

tersebut meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan

potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan urusan

pilihan tersebut, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah

kabupaten/kota dapat memilih bagian urusan pemerintahan pada bidang-bidang

tertentu seperti pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kehutanan dan

perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, kesehatan,

pendidikan, ketenagakerjaan, dan berbagai bidang lainnya.

Adanya pembagian urusan pemerintahan memberi petunjuk bahwa

terdapat urusan-urusan pemerintahan tertentu yang penyelenggaraannya dibagi-

bagi antara pemerintah, pemerintahan daerah propinsi, dan pemerintahan daerah

kabupaten/kota. Dengan demikian penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut

melibatkan pemerintah, pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan daerah

Page 36: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

36

kabupaten/kota secara bersama-sama. Pembagian dalam penyelenggaraan urusan

pemerintahan tersebut merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara

pemerintah dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota atau antar

pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai satu

sistem pemerintahan.

Sesuai dengan deskripsi di atas, UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan

bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan

dengan berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dilaksanakan

secara bertahap. Hingga saat ini pemerintah sedang menyusun RPP tentang

Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Bila sudah

diterapkan, maka SPM akin dijabarkan oleh masing-masing kementrian/lembaga

terkait untuk menyusun SPM masing-masing. Standar pelayanan minimal

didefinisikan sebagai tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan urusan

wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Dalam

pelaksanaannya, SPM menganut beberapa prinsip yakni:

1. SPM merupakan standar yang dikenakan pada urusan wajib, sedangkan untuk

urusan lainnya pemerintah daerah boleh menetapkan standar sendiri sesuai

dengan kondisi daerah masing-masing.

2. SPM berlaku secara nasional, yang berarti harus diberlakukan di seluruh

daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia.

3. SPM harus dapat menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan tertentu

yang harus disediakan oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan

urusan wajibnya.

Page 37: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

37

4. SPM bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang dan diperbaiki sesuai dengan

perubahan kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah secara

merata.

5. SPM ditetapkan pada tingkat minimal yang diharapkan secara nasional untuk

pelayanan jenis tertentu. Yang dianggap minimal dapat merupakan rata-rata

kondisi daerah-daerah, merupakan konsensus nasional, dan lain-lain.

6. SPM harus diacu dalam perencanaan daerah, penganggaran daerah,

pengawasan, pelaporan, dan merupakan salah satu alat untuk menilai Laporan

Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah serta menilai kapasitas daerah.

Sesuai dengan PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara

Pertanggungjawaban Kepala Daerah, yang mengarut mengenai evaluasi kinerja

pemerintah daerah, secara spesifik menetapkan kriteria SPM harus

memperhatikan unsur input (tingkat atau besaran sumber daya yang digunakan),

output (keluaran), outcome (hasil atau wujud pencapaian kinerja), benefit (tingkat

manfaat yang dirasakan sebagai nilai tambah), dan impact (dampak atau pengaruh

pelayanan terhadap kondisi secara makro berdasarkan manfaat yang dihasilkan).

Kriteria penentuan biaya dengan metode SPM sangat mendukung konsep

anggaran berbasis kinerja yang juga mengacu kepada input, output, outcome,

benefit dan impact.

SPM merupakan alat untuk mengukur kinerja pemerintahan daerah dalam

penyelenggaraan pelayanan dasar. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat

tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah

daerah. SPM sangat diperlukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai

Page 38: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

38

konsumen pelayanan itu sendiri. Bagi pemerintah daerah suatu SPM dapat

dijadikan sebagai tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan

untuk menyediakan pelayanan tertentu. Sedangkan bagi masyarakat SPM akan

menjadi acuan dalam menilai kinerja pelayanan publik, yakni kualitas dan

kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah.

Penerapan SPM akan memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Dengan SPM akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang

disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat.

2. SPM akan bermanfaat untuk menentukan Standar Analisis Biaya (SAB) yang

sangat dibutuhkan pemerintah daerah untuk menentukan jumlah anggaran

yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik.

3. SPM akan menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang

lebih adil dan transparan (baik DAU maupun DAK).

4. SPM akan dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan

membantu pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih

berimbang.

5. SPM akan dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara

lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam

menilai kinerja pemerintah daerah.

6. SPM akan dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah

daerah kepada masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat keterkaitan

antara pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat disediakan

pemerintah daerah.

Page 39: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

39

7. SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasai kelembagaan

pemerintah daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan

masyarakat.

Dalam penyelenggaraannya, SPM dibuat berdasarkan sejumlah peraturan

perundang-undangan, yakni:

1. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintahan Daerah;

3. PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan

Provinsi Sebagai Daerah Otonom;

4. PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan;

5. PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Keuangan

Daerah;

6. PP No. 20 Tahun 2001 mengenai Pembinaan dan Pengawasan atas

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;

7. PP No. 56 Tahun 2001 mengenai Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah; dan

8. PP No. 65 Tahun 2005 mengenai Pedoman Penyusunan dan Penerapan

Standar pelayanan Minimal.

Sesuai dengan PP No. 65 Tahun 2005 pasal 5 ayat (1), penyusunan SPM

oleh masing-masing Menteri/Pimpinan LPND dilakukan melalui konsultasi yang

dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri. Konsultasi tersebut dilakukan dengan

tim konsultasi yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Dalam Negeri,

Page 40: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

40

Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas,

Departemen Keuangan, Kementrian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara,

dengan melibatkan Menteri/Pimpinan LPND terkait, yang dibentuk dengan

Kepmendagri. Hasil konsultasi tersebut dikeluarkan oleh masing-masing

Departemen/LPND sebagai Peraturan Menteri yang bersangkutan.

Sebelum PP No. 65 Tahun 2005 dikeluarkan, untuk mengatasi kelangkaan

peraturan perundangan mengenai SPM, sedangkan SPM harus sudah

dilaksanakan, dikeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.

100/756/OTDA Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar

Pelayanan Minimal. Berdasarkan SE Mendagri tersebut, beberapa departemen

telah mengeluarkan Pedoman Standar Pelayanan Minimal. Pedoman tersebut

digunakan untuk menjabarkan SPM ke dalam aturan yang lebih spesifik, seperti

penjabaran definisi operasional, cara perhitungan pencapaian kinerja, rumus

indikator, sumber data, target, maupun langkah-langkah kegiatan yang harus

dilakukan.

Kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah di

Indonesia saat ini sangat beragam dari satu daerah ke daerah lainnya, baik dari

segi kuantitas maupun kualitasnya. Misalnya, dalam hal penyediaan Puskesmas di

setiap Kecamatan sebagai Standar Pelayanan Minimal di bidang kesehatan masih

belum dapat dipenuhi oleh banyak pemerintah daerah. Demikian pula dengan

dengan pelayanan di bidang lainnya, seperti pelayanan KTP, akses jalan dari

kecamatan ke ibukota Kabupaten, dan sebagainya masih berada dalam kondisi di

bawah standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat

Page 41: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

41

(departemen terkait). Selain itu, tingkat kesiapan masing-masing departemen

dalam memberikan acuan mengenai standar pelayanan minimal untuk diterapkan

di daerah juga cukup beragam. Dari sebanyak 11 (sebelas) sektor yang dalam UU

ditetapkan untuk didesentralisasikan kewenangannya ke pemerintah daerah, baru

Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional yang telah siap

melaksanakannya dengan menyediakan acuan SPM yang ditetapkan, yakni

dengan SK Menteri Kesehatan No. 1457/2003 dan SK Menteri Pendidikan

Nasional No. 1299/V/2004. Hingga saat ini terdapat 10 (sepuluh) departemen

terkait yang telah mengeluarkan acuan SPM untuk diterapkan ke seluruh daerah di

Indonesia. Namun penerapan di daerah masih belum seragam/sama, karena

pemerintah daerah menginterprestasikannya secara berbeda sesuai dengan kondisi

masing-masing. Hal ini karena terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan

SPM. Kegagalan dalam mengatasi kendala-kendala tersebut mengakibatkan

ketidakakuratan pengukuran, sehingga SPM tidak akan mencerminkan kondisi

yang sesungguhnya. Kendala-kendala tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Data yang tidak akurat dan dapat dipercaya, sedangkan data BPS yang ada,

bila dapat dipercaya, terlambat beberapa tahun.

2. Data keuangan tidak disajikan dalam bentuk yang dapat dianalisa dengan baik.

3. Data statistik yang ada seringkali tidak sesuai dengan jenis data yang

dibutuhkan. Misalnya, data BPS yang tersedia adalah jumlah penduduk usia 0-

14 tahun, sedangkan jenis data yang dibutuhkan adalah jumlah penduduk usia

7-16 tahun.

Page 42: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

42

4. Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk mengumpulkan dan

mengelola data secara sistematis.

5. Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk melakukan analisa dan

perencanaan strategis.

6. Indikator-indikator SPM yang ada tidak mencerminkan problem sebenarnya

yang terjadi di daerah/desa; dan

7. Dalam mengevaluasi pelaksanaan SPM, satuan kerja perangkat daerah tidak

menjelaskan kondisi yang ada secara objektif. Misalnya, bila dinas melakukan

evaluasi, hasil evaluasi bisa untuk kepentingan dinas. Sedangkan Bawasda

maupun Bappeda tidak dapat melakukan evaluasi karena kemampuan teknikal

yang rendah.

Kendala-kendala tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan

penyelenggaraan SPM. Beberapa alternatif cara yang dapat dilakukan untuk

mengatasi kendala-kendala tersebut antara lain adalah:

1. Dinas kesehatan memperbaiki sistem pendataan dan pelaporan sektor

kesehatan.

2. BPS memperbaiki sistem pendataannya dengan membentuk sistem informasi

populasi.

3. Melakukan survey untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat atas

pelayanan publik yang berdasarkan SPM. Survey tersebut dilakukan setiap

tahun sekali.

4. Evaluasi atas penyelenggaraan SPM hendaknya dilakukan oleh sebuah tim

yang terdiri dari Bappeda, Bagian Penyusunan Program, dan Bawasda, serta

Page 43: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

43

auditor independen untuk kasus-kasus tertentu. Pemerintah Propinsi juga

harus melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan SPM di Kabupaten/Kota

di wilayahnya.

G. Dinamika dan Problematika Pelayanan Publik Pada Era Otonomi

Daerah

Sudah sejak lama banyak kesan buruk yang disandang aparat pemerintah

(sektor publik) dalam hal pelayanan. Hal ini antara lain dapat diindikasikan dari

besarnya dana yang digunakan untuk membiayai aparatur pemerintah, namun hal

itu ternyata tidak diimbangi dengan kualitas pelayanan kepada masyarakat yang

maksimal. Bahkan sebaliknya, kualitas pelayanan yang diberikan instansi

pemerintah dapat dinilai sangat buruk. Padahal masyarakat telah bersedia

mengorbankan (sacrifice) sebagian sumber dayanya untuk negara dengan

membayar berbagai macam pungutan, baik pajak, retribusi dan sebagainya. Sudah

sewajarnya jika masyarakat mengharapkan kepuasan (satisfaction) yang maksimal

atas pelayanan yang diberikan oleh negara. Namun apa yang diperoleh masyarakat

adalah buruknya kualitas pelayanan instansi pemerintah. Salah satu keluhan

masyarakat yang sering terungkapkan adalah lambatnya waktu pelayanan dan

tidak jelasnya prosedur dan biaya pelayanan. Ungkapan-ungkapan yang

berkembang selama ini, seperti “kalau bisa dilakukan besok kenapa harus

sekarang? “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?” menunjukkan

bahwa budaya pelayanan pada instansi pemerintahan masih belum berorientasi

pada kepuasan masyarakat selaku pelanggannya. Hal yang demikian bukan saja

Page 44: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

44

mengakibatkan pemborosan sumberdaya tetapi juga kualitas jasa yang dihasilkan

menjadi sangat buruk.

Sektor publik (pemerintahan) pada dasarnya adalah perusahaan yang

menghasilkan produk berupa jasa pelayanan publik, baik pelayanan yang bersifat

langsung dinikmati oleh masyarakat maupun pelayanan yang dinikmati

masyarakat secara tidak langsung. Namun demikian, pemerintah tidak bermaksud

mengambil keuntungan dari operasionalnya. Salah satu prinsip dalam pelaksanaan

tugas instansi pemerintah adalah transparansi dan pertanggungjawaban kepada

publik atas apa yang telah dilakukan. Hal ini sesuai dengan prinsip tata kelola

pemerintahan yang baik (good governance), yang terdiri dari tiga prinsip utama,

yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Namun demikian tampaknya

pemerintah belum sepenuhnya mampu menerapkan ketiga pilar utama tersebut

dalam pelayanan. Dengan kondisi demikian, seandainya negara sebagai penyedia

layanan harus bersaing dengan swasta dengan produk pelayanan yang sama, dapat

diperkirakan bahwa secara perlahan namun pasti negara akan bangkrut karena

biaya produksi sangat tinggi, sedang pendapatan akan berkurang drastis akibat

ditinggalkan oleh para pelanggan yang tidak puas dengan pelayanan yang

diberikan.

Bergulirnya era reformasi sebagai dampak krisis multidimensi yang

melanda negara kita telah melahirkan tuntutan perubahan yang juga bersifat

multidimensional. Krisis multidimensi tersebut berpengaruh terhadap kemampuan

negara dalam aspek keuangan. Pada sisi lain kompleksitas pelayanan publik yang

dibutuhkan masyarakat baik secara kuantitatif maupun kualitatif meningkat secara

Page 45: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

45

tajam tanpa diimbangi dengan peningkatan keuangan daerah untuk

membiayainya. Akibatnya pelayanan publik menjadi terbengkalai seperti

rusaknya sarana dan prasarana transportasi, saluran irigasi, pendidikan serta

kesehatan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Menurunnya kinerja ekonomi secara keseluruhan akan sangat berpengaruh

terhadap penerimaan daerah baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah

(PAD) maupun yang berasal dari Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum

(DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Kondisi tersebut memunculkan

kebutuhan yang sangat mendesak bagi sektor publik di daerah (Pemda) untuk

melibatkan sektor swasta dan masyarakat dalam pemenuhan pelayanan publik

yang meningkat dalam kondisi keuangan daerah yang terpuruk. Hal ini seiring

dengan argumen Osborne dan Gabler yang menganjurkan pemerintahuntuk lebih

berperan dalam mengendalikan (steering) dibandingkan menangani langsung

(rowing). Dalam hal ini, pemerintah harus mampu menjadi katalisator bagi

keterlibatan pihak swasta dan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam

menyediakan pelayanan publik. Implementasi pelibatan swasta dan masyarakat

dalam pelayanan publik kemudian mendapatkan legitimasi dengan penerapan

otonomi daerah.

Salah satu perubahan signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan

pasca krisis multidimensi adalah penerapan otonomi daerah dengan lahirnya UU

No. 22 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU

No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Page 46: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

46

Daerah. Penerapan demokratisasi pemerintahan melalui otonomi daerah

membawa perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,

yakni berkurangnya secara signifikan patronasi dan kooptasi pusat terhadap

daerah. Dengan diterapkannya otonomi daerah, daerah memiliki diskresi yang

sangat tinggi, bahkan oleh berbagai pihak sering dikatakan “kebablasan” dalam

berbagai aspek pemerintahan daerah, yaitu diskresi dalam aspek kewenangan atau

urusan pemerintahan, diskresi dalam aspek kelembagaan dan personil, serta

diskresi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah.

Pada era reformasi yang bersendikan demokratisasi, pemerintah daerah

dituntut untuk mampu menggalang partisipasi, mengedepankan transparansi dan

akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Esensi dari “good

governance” sebagai proses pelibatan sektor publik, swasta dan masyarakat

menemukan bentuknya dalam menangani persoalan-persoalan publik yang tidak

mungkin lagi ditangani oleh Pemda. Melalui mekanisme good governance

kemudian terjadi proses “co-guiding, co-steering dan co-managing” dari ketiga

stakeholders utama yaitu Pemda, sektor swasta dan masyarakat. Ketiga aktor akan

terlibat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan Pengawasan dalam manajemen

pemerintahan daerah. Dengan cara tersebut akan terbentuk “sense of

belongingness” dari masyarakat atas kebijakan-kebijakan publik di

lingkungannya.

Pada dasarnya kebijakan desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada

masyarakat daerah ditujukan, agar masyarakat mampu mengorganisir dirinya

sedemikian rupa dalam menyelenggarakan rumah tangga daerahnya untuk

Page 47: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

47

meningkatkan kesejahteraan atau kemakmuran warga daerah tersebut. Untuk

tujuan itu maka Pemda harus mampu menyediakan pelayanan-pelayanan publik

(public service) yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.

Oleh karenanya diperlukan adanya analisis kebutuhkan masyarakat untuk

mengidentifikasi pelayanan-pelayanan apa yang benar-benar dibutuhkan

masyarakat dearah yang bersangkutan.

Secara akademik, terdapat dua jenis kebutuhan masyarakat. Pertama,

masyarakat membutuhkan penyediaan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan

pokok (basic services) seperti air, kesehatan, pendidikan, transportasi, kebersihan

lingkungan, pasar, terminal, dan sebagainya. Kedua, masyarakat membutuhkan

pelayanan yang terkait dengan pengembangan sektor unggulan (core competency)

yang ada di daerah tersebut. Dengan demikian maka isi otonomi daerah harus

terkait dengan kebutuhan masyarakat yaitu, kewenangan yang memungkinkan

daerah menyediakan pelayanan kebutuhan pokok dan pelayanan yang

memungkinkan daerah mengembangkan sektor unggulan. Dan betapapun luasnya

otonomi, maka otonomi daerah harus diwujudkan dalam bentuk pelayanan yang

sesuai kebutuhan masyarakat.

Dilihat dari jenis output yang dihasilkan Pemda, maka hasil akhir

pelayanan Pemda adalah tersedianya barang dan jasa (public good and public

regulation). Public good tercermin dari diadakannya barang-barang untuk

memenuhi kebutuhan publik seperti jalan, jembatan, rumah sakit, sekolah, irigasi,

pasar, terminal dsb. Sedangkan public regulation akan terwujud dalam bentuk

mewajibkan penduduk untuk memiliki kartu tanda penduduk (KTP), Akta

Page 48: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

48

Kelahiran, Akta Perkawinan, IMB, HO (bila akan membuka usaha) dan bentuk-

bentuk pengaturan lainnya yang pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan

ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Untuk itu setiap pemda seharusnya

memiliki agenda pelayanan yang jelas, jenis-jenis pelayanan publik apa yang akan

diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarkat, bagaimana memberikannya, siapa

yang perlu dilibatkan, dan sebagainya. Dalam penyusunan agenda pelayanan

tersebut, keterlibatan masyarakat dan swasta menjadi suatu kebutuhan yang tak

terhindarkan, kalau kita mau menghasilkan Pemda yang berorientasi pada

penciptaan kesejahteraan serta kemakmuran rakyatnya. Hal ini sejalan dengan

peringatan terkenal yang diberikan oleh Lord Acton bahwa “power tends of

corrupt and absolute power will corrupt absolutely”.

Setelah berjalan selama lebih kurang lima tahun, terdapat begitu banyak

fenomena menarik dibidang pelayanan yang dilakukan Pemda dalam pelaksanaan

desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Pertama, kisah menyedihkan,

dimana banyak daerah yang belum mampu meningkatkan pelayanan publiknya

pada era desentralisasi. Bahkan, banyak daerah yang pimpinannya sampai saat ini

masih berurusan dengan pengadilan karena kasus-kasus korupsi dalam

penyalahgunaan dana-dana public yang seharusnya digunakan untuk

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kedua, pada saat yang sama di

daerah-daerah lain terdapat pula kisah yang menggembirakan, dimana terdapat

kisah mengenai kerja keras para pemimpin daerah dalam mengoptimalkan dana

APBD yang terbatas untuk memberikan pelayanan publik secara optimal bagi

masyarakatnya. Kedua kondisi yang bertentangan tersebut menunjukkan bahwa

Page 49: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

49

terdapat berbagai variabel yang mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi

tersebut, namun salah satu yang kelihatannya paling penting adalah political will

dari pemimpin daerah untuk menggunakan kewenangannya bagi peningkatan

kesejahteraan masyarakatnya.

Substansi dari pelaksanaan desentralisasi adalah pemberian kewenangan

kepada daerah untuk secara aktif mengupayakan peningkatan kesejahteraan bagi

masyarakatnya berdasarkan aspirasi dan potensi lokal. Dengan demikian

keberhasilan suatu daerah dalam menjalankan otonomi daerah dapat dilihat dari

indikator sejauhmana keberhasilan pemerintah daerah (bersama DPRD dan

masyarakatnya) dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai

bentuk pelayanan yang diberikan bagi pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs)

masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengurangan angka

kemiskinan, dan sebagainya secara berkesinambungan. Dalam kerangka inilah

diperlukan political will dari Kepala Daerah untuk mengoptimalkan alokasi

belanja publik pada kegiatan-kegiatan yang secara langsung terkait dengan upaya

pemenuhan kebutuhan dasar masyarakatnya secara berkesinambungan yang

disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah (khususnya

kelembagaan pemerintahan daerah) dalam memberikan pelayanan public yang

berkualitas.

Page 50: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

50

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Alasan digunakannya metode ini adalah karena metode ini orientasinya pada

meneliti status kelompok manusia, suatu objek set kondisi, suatu sistem

pemiikiran atau suatu peristiwa yang terjadi sekarang ini. Di samping itu metode

deskriptif ini mencoba untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara

Page 51: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

51

sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan

antara fenomena atau gejala.

A. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Balangan Provinsi

Kalimantan Selatan. Kabupaten Balangan memiliki delapan kecamatan, yaitu

kec Lampihong, Batu Mandi, Awayan, Tebing Tinggi, Paringin, Paringin

Selatan, Juai dan Halong. Dari delapan kecamatan tersebut kemudian diambil

sampel wilayah sebanyak empat kecamatan yaitu kecamatan Paringin,

Lampihong, Juai dan Halong. Ke empat kecamatan yang dipilih telah

mewakili daerah dataran tinggi, daerah tengah dan daerah dataran rendah.

B. Sumber dan Jenis Data

1. Sumber Data

a. Key informan, yaitu informan awal atau informan kunci yang dipilih

seara purposif (purposive sampling). Pemilihan informan ini

didasarkan atas subjek yang menguasai permasalahan, memiliki data

dan bersedia memberikan data yang benar-benar relevan dan kompeten

dengan masalah penelitian. Dari informan kunci kemudian peneliti

meneruskan pengumpulan data keinforman berikutnya dan seterusnya

sampai peneliti merasa bahwa informan sudah cukup yakni jika sudah

menunjukkkan kejenuhan informasi. Sebagaimana dikatakan Muhadjir

(1990) bahwa bila dengan menambah informanhanya memperoleh

informasi yang sama, berarti jumlah informan sudah cukup (sebagai

Page 52: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

52

informan terakhir) karena informasinya sudah jenuh. Cara seperti ini

disebut dengan teknik Snowball Sampling yaitu informasi dipilih

secara bergulir sampai menunjukkan tingkat kejenuhan informasi atau

disebut juga dengan theoritical sampling.

b. Tempat dan peristiwa, sebagai sumber data tambahan yang dilakukan

melalui observasi langsung terhadap tempat dan peristiwa yang

berkaitan dengan pelaksanaan pengawasan sekolah dasar di Kabupaten

Balangan.

c. Dokumen yang relevan, yaitu berbagai dokumen yang berkaitan

dengan data-data yang berkaitan dengan guru, pengawas dan sekolah

dasar di kabupaten Balangan.

2. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini meliputi kata-kata atau cerita langsung

dari para informan penelitian. Keterangan berupa kata-kata atau cerita

laangsung dari informan dijadikan sebagai data primer (utama), sedangkan

tulisan atau data dari berbagai dokumen dijadikan data sekunder (pelengkap).

C. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif ini peneliti sendiri yang menjadi instrumen

utama yang turun ke lapangan serta berusaha sendiri mengumpulkan informasi

baik melalui observasi maupun wawancara.

Page 53: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

53

Untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti menggunakan alat

bantu berupa catatan lapangan, kamera foto dan pedoman wawancara. Dalam

penelitian ini, proses pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti meliputi

tiga kegiatan :

1. Proses memasuki lokasi penelitian (gettting in)

Dalam tahap ini, peneliti memasuki lokasi penelitian dengan membawa

izin formal dari instansi terkait, sebagai bukti bahwa peneliti benar-benar

akan mengadakan penelitian. Kemudian peneliti terlebih dahulu menemui

staf Dinas Pendidikan. Setelah itu baru menemui responden ke masing-

masing sekolah yang menjadi objek penelitian. Dalam hal ini peneliti

berusaha menjalin hubungan baik khususnya dengan para para guru untuk

mendapatkan data yang benar-benar valid.

2. Ketika berada di lokasi penelitian (getting along)

Pada tahap ini, peneliti menjalin hubungan dengan responden penelitian.

Melalui teknik snowball peneliti mencari informasi yang berkaitan dengan

pelaksanaan pengawasan akademik di sekolah dasar.

3. Mengumpulkan Data

Dalam tahap ini, ada tiga macam teknik pengumpulan data yang

peneliti gunakan, yaitu

a. Wawancara, untuk mendapatkan informasi yang berkaitan efektifitas

pengawasan sekolah dasar. Wawancara ini dilakukan dengan pihak

Dinas Pendidikan setempat dan para guru SD yang menjadi objek

penelitian.

Page 54: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

54

b. Dokumentasi, dengan menghimpun data yang diambil dari berbagai

dokumen yang berkaitan dengan kepengawasan pendidikan.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara

kualitatif. Dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Berdasarkan data yang telah terkumpul, peneliti menetapkan

masalah, periostiwa atau kejadian yang berulang-ulang terjadi

untuk dijadikan unit analisis.

2. Mengumpulkan data dan memilah-milah sejumlah unit menjadi

suatu kategori tertentu berdasarkan karakteristik yang hampir sama

3. Menguraikan kategori-kategori itu untuk memahami aspek yang

terdapat di dalamnya sambul mencari cari hal baru. Dalam

menguraikan setiap kategori tersebut, peneliti menjelaskan

hubungan satu sama lainnya, sehingga tidak kehilangan

konteksnya.

4. Memberikan tafsiran yang menggambarkan perspektif peneliti

untuk memberikan makna terhadap analisis unit kategori, dan

hubungannya antara unit dan kategori.

E. Keabsahan data

Setiap penelitianmemerlukan adanya standar untuk melihat

derajat keperayaan atau kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Di

Page 55: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

55

dalam penelitian kualitatif standar tersebut sering disebut dengan

keabsahan data. Moleong (1999:173) mengemukakan bahwa ada empat

kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu derajat

kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan

(dependability), dan kepastian (confirmability).

Untuk memeriksa keabsahan data dilakukan kegiatan sebagai berikut

:

1. Kredibilitas

Untuk memeriksa kredibilitas dilakukan kegiatan sebagai berikut

:

a. Memperpanjang masa observasi

Dengan cara ini, peneliti mempunyai waktu beberapa Minggu

untuk betul-betul mengenal situasi lingkungan, untuk

mengadakan hubungan baik dengan para informan. Dengan

keadaan yang demikian, peneliti bisa mengeek data yang

diperoleh dari informan sehingga data yang diperoleh sudah

dirasa benar

b. Melakukan Peer debriefing

Hasil kajian didiskusikan dengan orang lain yang mempunyai

pengetahuan tentang pokok penelitian dan metode penelitian yang

diterapkan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh masukan, saran

dan kritik berkaiatan dengan hasil penelitian.

c. Melakukan Triangulasi

Page 56: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

56

Hal ini dilakukan dengan maksud mengeek kebenaran data

tertentu dan membandingkan dengan data yang diperoleh dari

sumber lain, pada berbagai fae penelitian di lapangan, pada waktu

yang berekainan, dan sering dengan menggunakan metode yang

berlainan

2. Keteralihan

Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada

kesamaan antara konteks pengirim dn penerima. Untuk melakukan

keteralihan tersebut, peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan

data kejadian empiris dalam konteks yang sama. Keteralihan hasil

penelitian ini berkenaan dengfan pertanyaan, hingga manakah hasil

penelitian ini dapat dipublikasikan atau digunakan dalam situasi-

situasi lain.

3. Ketergantungan dan Kepastian

Untuk mengecek apakah hasil penelitian ini benar atau salah,

peneliti akan mendiskusikannya dengan semua tim setahap demi

setahap, mengenai konsep-konsep yang dihasilkan di lapangan.

Setelah hasil penelitian dianggap benar, kemudian dibuat dalam satu

laporan untuk diseminarkan. Dengan seminar diharapkan diperoleh

banyak masukan untuk menambah kualitas dari hasil kajian

Page 57: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

57

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Kabupaten Balangan yang beribukota Paringin adalah salah satu dari

13 kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Selatan. Bila dibandingkan

dengan beberapa kabupaten lain di Kalimantan Selatan, kabupaten ini

tergolong masih muda usianya. Pada tanggal 27 Januari 2003 dilangsungkan

sidang paripurna DPR-RI yang membahas pembentukan dan pemekaran

kabupaten sehingga terbitlah UU No 2 Tahun 2003 tentang pembentukan

Page 58: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

58

Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tanah Bumbu yang disahkan oleh

Presiden RI pada tanggal 25 Pebruari 2003.

Luas Wilayah Kabupaten Balangan 1.873,3 Km2 secara geografis

terletak pada 2° 01' 37" sampai dengan 2° 35' 58" Lintang Selatan dan 114°

50' 24" sampai dengan 115° 50' 24" Bujur Timur. Luas wilayah kabupaten ini

1.878,3 km atau hanya 5% dari luas total Provinsi Kalimantan Selatan. Dari

luas wilayah itu terbagi menjadi delapan kecamatan yaitu Kecamatan

Lampihong, Batu Mandi, Awayan, Paringin, Juai, Halong, Tebing Tinggi dan

Paringin Selatan. Daerah yang paling luas adalah Kecamatan Halong

mencapai 35,13 % atau 659,84 km2,

selanjutnya Kecamatan Awayan 142,57

km2, Kecamatan Juai 386,88 km

2, Kecamatan Paringin 100,04 km2,

Kecamatan Batumandi 147,96 km2, Kecamatan Lampihong luasnya hanya

96,96 km2 , Kecamatan Paringin Selatan 86,80 km

2 dan Kecamatan Tebing

Tinggi 257,25 km2.

Kabupaten Balangan memiliki kondisi topografi yang cukup

variatif. Sebagian besar wilayah di Kabupaten Balangan berada di

ketinggian antara 25-100 m dpl (41,43%). Ketinggian yang paling kecil

adalah ketinggian 0-7 meter, yaitu hanya 1,21%. Ketinggian 0-7 meter dpl

hanya terdapat di Kecamatan Lampihong dan Kecamatan Batumadi

sedangkan ketinggian di atas 500 meter dpl hanya terdapat di Kecamatan

Awayan dan Halong. Kawasan bencana tanah longsor berada di bagian

selatan timur Kabupaten Balangan yang berbatasan dengan Kalimantan

Timur yaitu Kecamatan Halong, Tebing Tinggi dan Awayan. Potensi dapat

Page 59: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

59

terjadi pada sekitar daerah kemiringan lereng 25-40% dan lebih dari 40%

dengan ketinggian 500 mdpl.

Wilayah kabupaten Balangan sebagian besar berada pada kemiringan

0-2 meter. Jika dilihat dari jenis tanahnya, wilayah kabupaten Balangan

didominasi jenis tanah podsolik merah kuning dengan bahan induk batuan

endapan. Berdasarkan jenis tanah tersebut, wilayah kabupaten Balangan lebih

cocok untuk budidaya tanaman pangan lahan kering, perkebunan dan

kehutanan. Sumber daya air di Kabupaten Balangan berupa sungai dan

embung (kolam-kolam retensi). Sungai-sungai utama yang mengalir di

daerah Kabupaten Balangan adalah sungai Pitap, sungai Balangan,

sungai Mantuyan, sungai Tabuan, sungai Galumbang, sungai Halong, sungai

Uren, sungai Ninian, sungai Jauk, sungai Batumandi, sungai Lokbatu dan

sungai Jual. Keadaan iklim di Kalimantan Selatan, menurut sistem Koppen

dapat digolongkan kedalam iklim hutan tropika humid dengan rata-rata curah

hujan tahunan berkisar antara 2000 mm hingga 3000 mm, curah hujan

terendah jatuh sekitar bulan Juni, Juli, Agustus dan September,

sedangkan curah hujan tertinggi jatuh sekitar bulan Desember, Januari,

Februari dan Maret.

Penggunaan lahan di Kabupaten Balangan belum mengalami

perubahan yang begitu signifikan. Dengan dominasi hutan, perkebunan

dan persawahan pada penggunaan lahan, kabupaten Balangan dapat

dikatakan memiliki lahan terbuka (tidak terbangun) yang telatif besar,

dibandingkan dengan lahan yang terbangun. Kabupaten Balangan

Page 60: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

60

memiliki beberapa sektor unggulan daerah yaitu di sektor pertanian,

sektor pertambangan dan sektor pariwisata (Profil Kabupaten Balangan,

2010).

Secara administratif, Kabupaten Balangan berbatasan dengan

Kabupaten Tabalong di sebelah Utara, berbatasan dengan kabupaten Pasir

propinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kotabaru di sebelah Timur,

berbatasan dengan kabupaten Hulu Sungai Tengah di sebelah Selatan dan

berbatasan dengan kabupaten Hulu Sungai Utara di sebelah Barat.

B. Standar Pelayanan Minimal Pendidikan di Kabupaten Balangan

Dalam mengkaji Standar Minimal Pelayanan Pendidikan di

Kabupaten Balangan ini, mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional RI No. 15 Tahun 2010. Hasil penelitian tentang standar pelayanan

minimal di Kabupaten Balangan dapat dideskripsikan sebagai berikut :

1. Jarak antara Pemukiman Permanen dengan Sekolah

Tuntutan SPM bidang pendidikan bahwa pemerintah kaabupaten/kota

menyediakan satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan berjalan

kaki yaitu maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km untuk SMP/MTs. Hasil

penelitian tentang hal tersebut dapat terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.1

Jarak antara Pemukiman Permanen dengan Sekolah

Tuntutan

SPMP

SD/MI

Hasil

Penelitian

% Tuntutan

SPMP

SMP/MTs

Hasil

Penelitian

%

Mak 3 km < 1 km 76 < 3 km 60

Page 61: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

61

1 – 3 km 8 Mak 6 km 3 – 6 20

3 km 16 6 km 20

Jumlah 100 Jumlah 100

2. Jumlah peserta Didik dalam Setiap Rombel

Sesuai dengan ketentuan bahwa Jumlah peserta didik dalam setiap

rombel yaitu maksimal 32 orang untuk SD/MI dan 36 orang untuk SMP/MTs.

Hasil penelitian mengenai jumlah peserta didik dalam setiap rombel ini dapat

terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.2

Jumlah Peserta Didik dalam Setiap Rombel

Tuntutan

SPMP SD/MI

Hasil

Penelitian

% Tuntutan

SPMP

SMP/MTs

Hasil

Penelitian

%

Mak simal 32

orang

Mak 40 org 89

Maksimal 36

orang

< 36 orang 60

33 – 40 org 11 37 – 40 org 20

40 org 0 40 org 0

Jumlah 100 Jumlah 100

3. Ketersediaan Ruang Kepala Sekolah dan Guru

Baik untuk SD/MI maupun untuk SMP/MTs dituntut memilki ruang

guru yang dilengkapi dengan meja kursi dan memiliki ruang kepala sekolah

yang terpisah dengan ruang guru. Hasil penelitian mengenai hal tersebut

dapat terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.3

Gambaran Ketersediaan Ruang Kepsek dan Guru

Tuntutan

SPMP

SD/MI

Hasil

Penelitian

% Tuntutan

SPMP

SMP/MTs

Hasil

Penelitian

%

Tersedia Belum ada 14 Tersedia

ruang

guru

dilengkapi

meja kursi

dan

terpisah

dg ruang

Belum ada 10

Page 62: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

62

ruang guru

dilengkapi

meja kursi

dan terpisah

dg ruang

kepsek

Ada tp

menyatu dg

ruang kepsek

62

Ada tp

menyatu dg

ruang kepsek

20

Ada dan

terpisah dg

ruang kepsek

24 Ada dan

terpisah dg

ruang kepsek

70

Jumlah 100 Jumlah 100

4. Ketersediaan Guru dalam Satuan Pendidikan

Di setiap SD/MI harus tersedianya satu orang guru untuk setiap 32

peserta didik, dan enam orang guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk

daerah khusus empat orang guru untuk setiap satuan pendidikan. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa masih 8% menyatakan memiliki guru di

sekolahnya kurang dari 6 orang, seperti terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.4

Gambaran Ketersediaan Guru untuk Satuan Pendidikan di SD/MI

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Tersedia 6 orang guru

untuk setiap satuan

pendidikan

< 6 org 8

6 orang 3

> 6 org 89

Jumlah 100

5. Ketersediaan guru untuk Setiap Mata Pelajaran di SMP/MTs

Di setiap SMP/MTs ditutuntut tersedianya satu orang guru untuk setiap

mata pelajaran dan untuk daerah khusus tersedianya satu orang guru untuk

setiap rumpun pelajaran. Hasil penelitian tentang ketersediaan guru tersebut

dapat digambarkan pada tabel berikut :

Page 63: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

63

Tabel 4.5

Gambaran Ketersediaan Guru untuk Setiap Mata Pelajaran

di SMP/MTs

Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %

Tersedianya 1 orang guru

untuk setiap mata pelajaran

Tersedia 30

Belum tersedia

70

Jumlah 100

6. Ketersediaan Guru di SD/MI yang Memiliki Kualifikasi Akademik D-

IV/S1 dan Sertifikat Pendidik

Di setiap SD/MI tersedianya dua orang guru yang memenuhi kualifikasi

D-IV/S1 dan dua orang guru yang memiliki sertifikat pendidik. Mengenai hal

tersebut, hasil penelitian menunjukkan sebagaimana terlihat pada tabel berikut :

a. Kualifikasi Jumlah Guru SD/MI yang Berkualifikasi Akademik D-IV/S1

Tabel 4.6

Gambaran Ketersediaan Guru SD/MI yang Berkualifikasi S1/DIV

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Tersedia 2 org guru yg

berkualifikasi S1/D IV

1 orang 24

Orang 14

> 2 orang 62

Jumlah 100

b. Gambaran jumlah Guru SD yang bersertifikat Pendidik

Tabel 4.7

Gambaran Ketersediaan Guru yang Bersertifikat Pendidik

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Tersedia 2 org guru yg

memiliki sertifikat

Belum ada 14

1 orang 41

Page 64: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

64

pendidik

2 0rang/lebih 45

Jumlah 100

7. Ketersediaan Guru di SMP/MTs yang Berkualifikasi Akademik D-IV/S1

dan Sertifikat Pendidik

Di setiap SMP/MTs dituntut tersedianya guru dengan kualifikasi

akademik D-IV/S1 sebanyak 70% dan separuh diantaranya telah memiliki

sertifikat pendidik

a. Gambaran kualifikasi Adademik Guru

Tabel 4.8

Gambaran Persentase Kualifikasi Akademik Guru SMP/MTs

di Setiap Sekolah

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

70% dari jumlah guru di

sekolah harus S1/D IV

< 60 % 20

60 – 69 % 10

70% 70

Jumlah 100

b. Gambaran Persentase Guru SMP/MTs yang Bersertifikat Pendidik

Tabel 4.9

Gambaran Persentase Guru yang Bersertifikat Pendidikan di Sekolah

Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %

35% dari jumlah guru meiliki

sertifikat pendidik

< 35% 50

35 – 40 % 10

> 40% 40

Jumlah 100

8. Ketersediaan Jumlah Guru Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan

Bahasa Inggris di SMP/MTs yang Bersertifikat Pendidik

Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik D-

IV/S1 dan telah memiliki sertifikat pendidik masing-masing satun orang

Page 65: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

65

guru untuk mata pelajaran matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Bahasa

Inggris

a. Guru Matematika

Tabel 4.10

Gambaran Ketersediaan Guru Matematika yang Bersertifikat Pendidik

Tuntutan SPMP

SMP/MTs

Hasil Penelitian %

Setiap sekolah minimal

memiliki 1 orang guru

bersertifikat guru

matematika

Belum ada 40

1 40

2 dan lebih 20

Jumlah 100

b. Guru IPA

Tabel 4.11

Gambaran Ketersediaan Guru IPA yang Bersertifikat Pendidik

Tuntutan SPMP

SMP/MTs

Hasil Penelitian %

Setiap sekolah minimal

memiliki 1 orang guru

bersertifikat guru

matematika

Belum ada 30

1 30

2 dan lebih 40

Jumlah 100

c. Guru Bahasa Indonesia

Tabel 4.12

Gambaran Ketersediaan Guru Bahasa Indonesia yang Bersertifikat

Pendidik

Tuntutan SPMP

SMP/MTs

Hasil Penelitian %

Setiap sekolah minimal

memiliki 1 orang guru

bersertifikat guru

matematika

Belum ada 40

1 60

2 dan lebih 0

Jumlah 100

d. Guru Bahasa Inggris

Tabel 4.13

Gambaran Ketersediaan Guru Bahasa Inggris yang Bersertifikat

Pendidik

Tuntutan SPMP

SMP/MTs

Hasil Penelitian %

Setiap sekolah minimal Belum ada 80

Page 66: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

66

memiliki 1 orang guru

bersertifikat guru

matematika

1 10

2 dan lebih 10

Jumlah 100

9. Kualifikasi Akademik Kepala Sekolah SD/MI dan Kepemilikan

Sertifikat Pendidik

Di setiap kabupaten/kota semua kepala SD/MI dituntut

berkualifikasi akademik S1/D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik

a. Gambaran Kualifikasi Kepala Sekolah

Tabel 4.14

Gambaran Kualifikasi Akademik Kepala Sekolah

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Semua Kepsek Harus

Berkualifikasi S1/D IV

Belum D IV/S1 38

D IV/ S1 62

Jumlah 100

b. Gambaran Sertifikasi Kepala Sekolah

Tabel 4.15

Gambaran Sertifikasi Kepala Sekolah

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Semua Kepsek Harus

Bersertifikat Pendidik

Belum 65

Sudah 35

Jumlah 100

Jumlah 100

10 Kualifikasi Akademik Kepala Sekolah SD/MI dan Kepemilikan

Sertifikat Pendidik

Di setiap kabupaten/kota semua kepala SMP/MTs dituntut

berkualifikasi akademik S1/D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik.

Gambaran tentang hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Page 67: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

67

Tabel 4.16

Gambaran Kualifikasi Akademik Kepala Sekolah

Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %

Semua Kepsek Harus

Berkualifikasi S1/D IV

D III 10

D IV/ S1 70

S2 20

Jumlah 100

Tabel 4.17

Gambaran Sertifikasi Kepala Sekolah

Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %

Semua Kepsek Harus

Bersertifikat Pendidik

Belum 10

Sudah 90

Jumlah 100

11. Frekuensi Kunjungan Pengawas ke Satuan Pendidikan

Kunjungan pengawas ke satuan pendidikan dilakukan satu kali setiap

bulan dan kunjungan dilakukan selama 3 jam untuk melakukan

supervisi/pembinaan. Hasil penelitian mengenai hal tersebut dapat dilihat

pada tabel berikut :

Tabel 4.18

Gambaran Kunjungan Pengawas Sekolah

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Kunjungan pengawas ke

sekolah satu kali setiap bulan

1 x setiap bulan 65

1 x setiap 2 bulan 19

> 2 bulan 16

Jumlah 100

Page 68: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

68

Tabel 4.19

Gambaran Lamanya Kunjungan Pengawas ke Sekolah

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Lamanya Kunjungan

pengawas ke sekolah 3 jam

1 jam 35

2 jam 54

3 jam 11

Jumlah 100

12. Ketersediaan Buku Teks di SD/MI

Setiap SD/MI menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan

kelayakannya oleh pemerintah mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia,

Matematika, IPA dan IPS dengan perbandingan satu set untuk setiap peserta

didik. Hasil penelitian berkaitan dengan ketersediaan buku teks ini dapat

terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.20

Gambaran Ketersediaan Buku Teks di Sekolah

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Setiap SD /MI menyediakan

buku teks

(B.Ind,Matematika,IPA,IPS) 1 set

utk setiap peserta didik

Belum 30

Sudah 70

Jumlah 100

13. Ketersediaan Buku Teks di SMP/MTs

Setiap SMP/MTs dituntut menyediakan buku teks yang sudah

ditetapkan kelayakannya oleh pemerintah mencakup semua pelajaran dengan

perbandingan satu set untuk setiap peserta didik. Hasil penelitian berkaitan

Page 69: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

69

dengan buku teks ini dapat terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.21

Gambaran Ketersediaan Buku Teks di Sekolah

Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %

Setiap sekolah menyediakan

buku teks semua pelajaran 1

set setiap peserta didik

Belum 60

Sudah 40

Jumlah 100

14. Ketersediaan Alat Peraga IPA

Alat peraga merupakan hal penting yang harus disediakan sekolah. Oleh

karena itu di setiap SD/MI dituntut untuk menyediakan satu set peraga IPA.

Berkaitan dengan alat peraga ini, hasil penelitian dapat terlihat pada tebel

berikut

Tabel 4.22

Gambaran Ketersediaan Alat Peraga IPA di Sekolah

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Setiap sekolah menyediakan

satu set alat peraga IPA

Belum ada 11

Ada tapi tdk lengkap 73

Ada dan lengkap 16

Jumlah 100

15. Ketersediaan Buku Pengayaan dan Buku Referensi

Setiap SD/MI dituntut memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10

buku referensi, dan setiap SMP/MTs memiliki 200 judul buku pengayaan dan

20 referensi. Hasil penelitian ini menunjukkan ternyata masih banyak sekolah

yang belum memenuhinya bahkan ada yang tidak memilki, sebagaimana

Page 70: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

70

terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.23

Gambaran Ketersediaan buku pengayaan di sekolah

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Setiap sekolah memiliki buku

pengayaan minimal 100 judul

bukuu pengayaan minimal

100 judul buku

Belum Belum adaada 888

< 100 judul 65

Sekitar 100

judul/lebih

27

Jumlah 100

Tabel 4.24

Gambaran Ketersediaan buku pengayaan di sekolah

Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %

Setiap sekolah memiliki 200

judul buku pengayaan

Belum ada 0

< 200 60

200/lebih 40

Jumlah 100

Tabel 4.25

Gambaran Ketersediaan buku referensi di sekolah

Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %

Setiap sekolah memiliki 20

judul buku referensi

Belum ada 0

< 20 40

20/lebih 60

Jumlah 100

16. Jumlah Jam Kerja Guru Tetap Per Minggu

Setiap guru dituntut bekerja 37, 5 jam per minggu disatuan

pendidikan. Hasil penelitian berkaitan dengan hal ini dapat terlihat pada tabel

berikut :

Tabel 4.26

Gambaran Jumlah Jam Kerja Guru tetap Per Minggu

Page 71: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

71

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Kerja guru tetap per minggu

37,5 jam

< 30 jam 84

37,5 jam 16

> 37,5 jam 0

Jumlah 100

17. Jumlah Jam Penyelenggaraan PBM Per Minggu

Satuan pendidikan menyelenggarakan proses pembelajaran selama 34

minggu dengan kegiatan tatap muka per minggu 18 jam untuk kelas I dan II,

24 jam untuk kelas III, dan 27 jam untuk kelas IV sampai dengan kelas IX.

Mengenai hal ini hasil penelitian dapat terlihat pada gambar berikut :

a. Kelas I – II : 18 jam perminggu

Tabel 4.27

Gambaran Penyelenggaraan PBM Kelas I dan II Per Minggu di Sekolah

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Kegiatan PBM 18 jam

perminggu

< 18 jam 0

18 jam 22

> 18 jam 78

Jumlah 100

b. Kelas III : 24 jam perminggu

Tabel 4.28

Gambaran Penyelenggaraan PBM Kelah III Per Minggu di Sekolah

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Kegiatan PBM 24 jam < 24 jam 0

Page 72: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

72

perminggu 24 jam 22

> 24 jam 78

Jumlah 100

c. Kelas IV-VI : 27 jam perminggu

Tabel 4.29

Gambaran Penyelenggaraan PBM KelaS IV s.d VI Per Minggu di Sekolah

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Kegiatan PBM 27 jam

perminggu

< 27 jam 8

27 jam 16

> 27 jam 76

Jumlah 100

d. Kelas VII-IX : 27 jam perminggu

Tabel 4.30

Gambaran Penyelenggaraan PBM KelaS IV s.d VI Per Minggu di Sekolah

Tuntutan SPMP SMT/MTs Hasil Penelitian %

Kegiatan PBM 27 jam

perminggu

< 27 jam 50

27 jam -

> 27 jam 50

Jumlah 100

18. Penerapan KTSP di Sekolah

Satuan pendidikan dituntut untuk menerapkan kurikulum tingkat

satuan pelajaran (KTSP). Hasil penelitian mengenai hal ini dapat terlihat pada

tabel berikut :

Tabel 4.31

Gambaran Penerapan KTSP di Sekolah

Tuntutan SPMP

SD/MTs

Hasil

Penelitian

% Tuntutan

SPMP

SMP/MTs

Hasil

Penelitian

%

Menerapkan

KTSP sesuai

ketentuan yang

berlaku

Belum

menerapkan

0 Setiap

sekolah

melaksanakan

KTSP sesuai

ketentuan

Belum

sesuai

10

Sebagian

besar

menerapkan

46 Sebagian

sesuai

40

Page 73: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

73

Sudah

menerapkan

semua

54 Sudah

sesuai

50

Jumlah 100 Jumlah 100

19. Penerapan RPP di Sekolah

Setiap guru dituntut menerapkan RPP yang disusun berdasatkan silabus

untuk setiap mata pelajaran yang diampunya. Hasil penelitian mengenai hal ini

dapat terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.32

Gambaran Penerapan RPP yang Disusun berdasarkan Silabus

Tuntutan SPMP

SD/MTs

Hasil

Penelitian

% Tuntutan

SPMP

SMP/MTs

Hasil

Penelitian

%

Menerapkan

KTSP sesuai

ketentuan yang

berlaku

Belum

menerapkan

0 Setiap guru

menerapkan

RPP yg

disusun

berdasarkan

silabus utk

setiap mata

pelajaran

Sebagian

kecil

10

Sebagian

besar

menerapkan

46 Sebagian

besar

30

Sudah

menerapkan

semua

54 Semua

menerapka

n

60

Jumlah 100 Jumlah 100

Page 74: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

74

20. Pengembangan dan penerapan Program Penilaian

Setiap guru mengembangkan dan menerapkan program penilaian untuk

membantu meningkatkan kemampuan belajar peserta didik. Hasil penelitian

berkaitan dengan hal tersebut dapat digambarkan pada tabel di bawah ini

Tabel 4.33

Gambaran Pengembangan dan Penerapan Program Penilaian

Tuntutan SPMP

SD/MTs

Hasil

Penelitian

% Tuntutan

SPMP

SMP/MTs

Hasil

Penelitian

%

Setiap guru

menerapkan dan

mengembangkan

prog penilaian

utk membantu

meningktkn bel

siswa

Baru sebagian

kecil

5 Setiap guru

mengembang

kan dan

menerapkan

prog

penilaian

Sebagian

kecil

10

Sebagian besar 43 Sebagian

besar

20

Semua

menerapkan

52 Semua

menerapka

n

70

Jumlah 100 Jumlah 100

21. Pelaksanaan Supervisi Kelas oleh Kepala Sekolah

Kepala sekolah melakukan supervisi kelas dan memberikan umpan

balik kepada guru dua kali dalam setiap semester

Tabel 4.34

Gambaran Pelaksanaan supervisi oleh Kepala Sekolah

Tuntutan

SPMP

SD/MTs

Hasil

Penelitian

% Tuntutan

SPMP

SMP/MTs

Hasil

Penelitian

%

Kepsek

melakukan

supervisi kls

dan

memberikan

umpan balik

Tidak

Tdiakperna

h

0 Kepsek

melakukan

supervisi

kelas dan

memberikan

umpan balik

Tidak pernah 0

Melakukan

tp tdk

memberikan

16 Memberi tp

tdk ada

umpan balik

40

Page 75: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

75

kepada guru umpan balik

Melakukan

dan

memberikan

umpan balik

84 Memberi dan

ada umpan

balik

60

Jumlah 10

0

Jumlah 100

Tabel 4.35

Gambaran Prekuensi supervisi oleh Kepala Sekolah dalam Setiap Semester

Tuntutan

SPMP

SD/MTs

Hasil

Penelitian

% Tuntutan

SPMP

SMP/MTs

Hasil

Penelitian

%

Kepsek

memberikan

supervisi 2 x

dalam setiap

semester

1 x 30 Kunjungan

pengawas ke

sekolah satu

kali setiap

bulan

1 x setiap

bulan

65

2 x 60 1 x setiap 2

bulan

19

> 2 x 10 > 2 bulan 16

Jumlah 10

0

Jumlah 100

22. Laporan Hasil Evaluasi oleh Guru kepada Kepala Sekolah

Berdasarkan ketentuan bahwa hasil evaluasi mata pelajaran serta hasil

penilaian setiap peserta didik dilaporkan kepada kepala sekolah pada akhir

semester dalam bentuk laporan hasil prestasi belajar peserta didik. Hasil

penelitian berkaitan dengan hal tersebut dapat terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.36

Gambaran Penyampaian Laporan Hasil Evaluasi Guru kepada Kepala

Sekolah

Tuntutan

SPMP

SD/MTs

Hasil

Penelitian

% Tuntutan

SPMP

SMP/MTs

Hasil

Penelitian

%

Setiap guru

menyampaikan

hasil evaluasi

setiap akhir

semester

kepada Kepsek

Sebagian kecil

melaporkan

0 Guru

menyampaikan

laporan hasil

bel pd Kepsek

setiap akhir

semester

Sebagian kecil 10

Sebagian besar

melaporkan

0 Sebagian

besar

10

Semua

melaporkan

100 Semua

melaporkan

80

Page 76: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

76

Jumlah 100 Jumlah 100

23. Penyampaian Laporan Hasil UAS dan UKK serta US/UN kepada Orang

Disdik Kabupaten/Kota

Kepala sekolah dituntut untuk menyampaikan laporan hasil UASdan

UKK serta US/UN kepada orang tua peserta didik dan menyampaikan kepada

Disdik kab/kota atau kantor kementrian agama di kabupaten/kota setiap akhir

semester. Hasil penelitian berkaitan dengan hal tersebut dapat terlihat pada tabel

berikut :

Tabel 4.37

Gambaran Penyampaian Laporan Hasil UAS/UKK kepada Disdik

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Kepsek menyampaikan hasil

rekapitulasi kepada Disdik

setempat

Tidk pernah 0

Kadang-kafang 0

Selalu 100

Jumlah 100

24. Penerapan Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Setiap satuan pendidikan dituntut menerapkan prinsip-prinsip

manajemen berbasis sekolah. Hasil penelitian mengenai MBS tersebut dapat

terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4.38

Gambaran Penerapan KTSP di Sekolah

Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %

Setiap satuan pendidikan

menerapkan manajemen

berbasis sekolah

Belum 0

Sebagian 30

Sudah Semua 70

Jumlah 100

Page 77: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

77

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan :

1. Standar pelayanan pendidikan dasar di Kabupaten Balangan jika mengacu

pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 15 Tahun 2010

tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar umumnya masih

jauh dari yang diharapkan

Page 78: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

78

2. Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur standar pelayanan

Pendidikan Dasar ini adalah :

a. Tersedianya satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan

berjalan kaki yaitu maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km untuk

SMP/MTs

b. Jumlah peserta didik dalam setiap rombel yaitu maksimal 32 orang

untuk SD/MI dan 36 orang untuk SMP/MTs

c. Tersedianaya ruang laboratorium di SMP/MTs yang dilengkapi dengan

meja dan kursi yang cukup untuk 36 orang peserta didik

d. Di setiap SD/MI dan SMP/MTs tersedianya satu ruang guru yang

dilengkapi dengan meja dan kursi, dan untuk SMP/MTs tersedianya

ruang kepala sekolah yang terpisah dengan ruang guru

e. Di setiap SD/MI tersedianya satu orang guru untuk setiap 32 peserta

didik, dan enam orang guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk

daerah khusus empat orang guru untuk setiap satuan pendidikan

f. Di setiap SMP/MTs tersedianya satu orang guru untuk setiap mata

pelajaran dan untuk daerah khusus tersedianya satu orang guru untuk

setiap rumpun pelajaran

g. Di setiap SD/MI tersedianya dua orang guru yang memenuhi kualifikasi

D-IV/S1 dan dua orang guru yang memiliki sertifikat pendidik

h. Di setiap SMP/MTs tersedianya guru dengan kualifikasi akademik D-

IV/S1 sebanyak 70% dan separuh diantaranya telah memiliki sertifikat

pendidik

Page 79: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

79

i. Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik D-

IV/S1 dan telah memiliki sertifikat pendidik masing-masing satun

orang guru untuk mata pelajaran matematika, IPA, Bahasa Indonesia

dan Bahasa Inggris

j. Di setiap kabupaten/kota semua kepala SD/MI berkualifikasi akademik

S1/D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik

k. Di setiap kabupaten/kota semua kepala SMP/MTs berkualifikasi

akademik S1/D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik

l. Di setiap kabupaten/kota semua pengawas sekolah berkualifikasi

akademik S1/D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik

m. Pemerintah kabupaten/kota memiliki rencana dan melaksanakan

kegiatan untuk membantu satuan pendidikan dalam mengembangkan

kurikulum dan proses pembelajaran yang efektif

n. Kunjungan pengawas ke satuan pendidikan dilakukan satu kali setiap

bulan dan kunjungan dilakukan selama 3 jam untuk melakukan

supervisi/pembinaan

o. Pelayanan Pendidikan Dasar oleh satuan Setiap SD/MI menyediakan

buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh pemerintah

mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS

dengan perbandingan satu set untuk setiap peserta didik

p. Setiap SMP/MTs menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan

kelayakannya oleh pemerintah mencakup semua pelajaran dengan

perbandingan satu set untuk setiap peserta didik

Page 80: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

80

q. Setiap SD/MI menyediakan satu set peraga IPA

r. Setiap SD/MI memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 buku

referensi, dan setiap SMP/MTs memiliki 200 judul buku pengayaan dan

20 referensi

s. Setiap guru bekerja 37,5 jam per minggu disatuan pendidikan

t. Satuan pendidikan menyelenggarakan proses pembelajaran selama 34

minggu dengan kegiatan tatap muka :

1) Kelas I – II : 18 jam perminggu

2) Kelas III : 24 jam perminggu

3) Kelas IV-VI : 27 jam perminggu

4) Kelas VII-IX : 27 jam perminggu

u. Satuan pendidikan meneraapkan kurikulum tingkat satuan pelajaran

(KTSP)

v. Setiap guru menerapkan RPP yang disusun berdasatkan silabus untk

setiap mata pelajaran yang diampunya

w. Setiap guru mengembangkan dan menerapkan program penilaian untuk

membantu meningkatkan kemampuan belajar peserta didik.

x. Kepala sekolah melakukan supervisi kelas dan memberikan umpan

balik kepada guru dua kali dalam setiap semester

y. Setiap guru menyampaikan laporan hasil evaluasi mata pelajaran serta

hasil penilaian setiap peserta didik kepada kepala sekolah pada akhir

semester dalam bentuk laporan hasil prestasi belajar peserta didik

z. Kepala sekolah menyampaikan laporan hasil UASdan UKK serta

Page 81: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

81

US/UN kepada orang tua peserta didik dan menyampaikan kepada

Disdik kab/kota

aa. Setiap satuan pendidikan menerapkan prinsip-prinsip manajemen

berbasis sekolah

B. Rekomendasi

Dari hasil temuan ini direkomendasikan :

1. Dalam rangka memenuhi tuntutan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan

sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional RI No. 15 Tahun 2010, Pemerintah daerah secara bertahap

mengalokasikan anggaran untuk memenuhi berbagai sarana dan prasarana

pendidikan

2. Instansi terkait khususnya Disdik Kabupaten hendaknya memfasilitasi

para guru, kepala sekolah dan pengawas untuk meningkatkan kualifikasi

dan kompetensinya sesuai ketentuan yang berlaku

DAFTAR PUSTAKA

Atep Adya Barata. 2003. Dasar-dasar pelayanan Prima. Gramedia. Jakarta.

Joshi, Anuradha and Mick Moore. 2003. Institutionalised Co-production:

Unorthodox Public Service Delivery in Challenging Environments. The

Institute of Development Studies. Brighton.

Leisher, Susannah Hopkins & Stefan Nachuk. 2006. Making Services Work for

the Poor: A Syinthesis of Nine Case Studies from Indonesia. Available

online at http://www.innovations.harvard.edu/

Lembaga Administrasi Negara. 2003. Penyusunan Standar Pelayanan Publik.

LAN. Jakarta.

Page 82: 1 LAPORAN PENELITIAN STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN DI

82

Marschall. Melissa J. 2004. Citizen Participation and the Neighborhood Context:

A New Look at the Coproduction of Local Public Goods. Political

Research Quarterly. Academic Research Library.

McLaverty, Peter. 2002. Public Participation and Innovations in Community

Governance. Ashgate. England

Nucholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. PT.

Grasindo. Jakarta

Osborne, David & Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-Wesley

Publishing Company. Massachusetts.

Osborne, David & Peter Plastrik, 1996. Banishing Bureaucracy: The Five

Strategies for Reinventing Government, Addison-Wesley Publishing

Company. Massachusetts.

Ostrom, Elinor. 1996. Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy, and

Development. World Development, Vol. 24, No. 6 (June 1996), 1073-87.

Salamon, Leister M. (1995) Partners in Public Service. Baltimore. The John

Hopkins University Press.

Suwarno, Yogi. 2005. The Emergence of Public Participation in Contemporary

Indonesia: Coproduction Role of Neighborhood Association in delivering

Public Service. Master Thesis at GSPA-ICU, Tokyo.

Zeithand, Valerie A. et. al. 1990. Delivering Quality Service. The Free Press. New

York.