umpalangkaraya.ac.idumpalangkaraya.ac.id/dosen/.../uploads/...berkemajuan-ady-fn_… · web...
TRANSCRIPT
FILSAFAT PENDIDIKAN YANG BERKEMAJUAN
A. Perkenalan Filsafat
Filsafat adalah pandangan menyeluruh manusia melalui cara berpikir untuk
melihat kebenaran dengan suatu cara yang berasal dari teori dan pengalaman
empiris. Pertanyaan itulah yang pertama kali muncul di kepala kita ketika akan
mempelajari ilmu filsafat. Istilah “filsafat” dapat ditinjau dari dua segi, yakni: a). Segi
semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa arab ‘falsafah’, yang berasal dari bahasa
yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’= cinta, suka (loving), dan ’sophia’ =
pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan
atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat diharapkan
menjadi bijaksana. b). Segi praktis: dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti
‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir, olah pikir. Namun tidak
semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan
sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”.
Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum
semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf.
Tegasnya, filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu
kebenaran dengan sedalam-dalamnya (Kristiawan, 2016).
Gambaran ini menunjukkan bahwa dalam berpikir, manusia terlihat dari aspek
kemanusiaannya jika dia memikirkan kemajuannya dan kemajuan kemajuan inilah salah
satu isyarat bahwa dalam proses berpikir manusia senangtiasa berupaya berbenah diri
untuk hari esok lebih baik dari hari ini, demikian pula pendidikan., pendidikan tidak akan
selangkah lebih maju jika hanya diterima apa adanya, namun perlu adanya perbaikan
dalam bentuk suatu upaya untuk proses berpikir secara mendalam.
1
Oleh karenanya dengan memahami filsafat dengan baik maka orang akan dapat
mengembangkan secara konsisten ilmu-ilmu pengetahuan yang dipelajari. Filsafat
mengkaji dan memikirkan tentang hakikat segala sesuatu secara menyeluruh, sistematis,
terpadu, universal dan radikal yang hasilnya menjadi pedoman dan arah dari
perkembangan ilmu-ilmu yang bersangkutan. Oleh karenanya yang membantu filsafat
pendidikan terlaksanan dengan baik, maka terdapat beberapa teori yang menjadi acuan
dalam menopang terselenggaranya pendidikan yang maksimal (Tola, 2014).
Filsafat adalah kecenderungan. Kecenderungan dapat dipahami dengan
Penomenologi Reduksionisme. Hasilnya adalah sebuah struktur atau dunia
lengkap dengan unsur-unsur dan puncak atau pusatnya. Mudah dipahami pula
bahwa pada akhirnya kesadaran kita akan sampai pada kesimpulan bahwa, dengan
filsafat kita akan menemukan dunia yang plural, artinya banyak Dunia dan setiap
yang ada dan yang mungkin ada merepresentasikan Dunianya masing-masing.
Filsafat Esensialisme mengejar kebenaran dari segala esensi yang ada; maka
mudah dipahami bahwa hakekat Esensi adalah pusat atau sentralnya Filsafat
Esensialisme. Sementara Filsafat Spiritualisme mengejar Kebenaran Absolut yang
diyakini berada di tangan Tuhan (Marsigit, 2014).
Muhmidayeli (2011: 1) filsafat bukanlah sekedar kebenaran, hikmah dan atau
kebijaksanaan itu sendiri, tetapi lebih pada cinta akan kebenaran atau
kebjaksanaan yang tentu ditunjukkan pada upaya hati-hati dan serius yang
dilakukan oleh seseorang melalui tata cara yang dapat dipertanggungjawabkan
dalam menggunakan daya pikir kritisnya guna meraih kebenaran, kebaikan dan
atau kebijaksanaan sejati. Jadi Filsafat adalah upaya berpikir dan bertindak benar
dengan menggunakan rasio sebagai instrumen utama untuk mengetahui secara
2
murni berbagai ragam realitas yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini dan
nilai-nilai dalam hidup dan kehidupan manusia.
Beberapa definisi karena luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak
mustahil kalau banyak di antara para filsuf memberikan definisinya secara berbeda-beda.
Obyek material filsafat yang diteliti adalah segala sesuatu, sedangkan Subyek materialnya
yaitu mencari hakekat. Maka dari itu berfilsafat berarti mempertanyakan dasar dan asal-
usul dari segala-galanya; untuk mencari orientasi dasar bagi kehidupan manusia. Adapun
pengertian Filsafat menurut beberapa ahli, yaitu:
1. Plato (428-348 SM): Pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
2. Aristoteles (384-322 SM): Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
3. Francis Bacon: Filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu, dan filsafat
menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya.
4. Al Farabi: Filsafat adalah ilmu tentang alam maujud bagaimana hakikat sebenarnya.
5. Rene Descartes: Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan,
alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.
6. Cicero (106-43 SM): Filsafat adalah “ibu” dari semua seni (The mother of all the arts). Ia juga mendefinisikan filsafat sebagai art vitae (seni kehidupan).
7. Johann Gotlich Fickte (1762-1814): Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu), yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan suatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
3
8. Paul Nartorp (1854-1924): Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar) yang hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukkan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya.
9. Immanuel Kant (1724 – 1804): Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan:
Apakah yang dapat kita kerjakan? (jawabannya metafisika)
Apakah yang seharusnya kita kerjakan? (jawabannya Etika)
Sampai di manakah harapan kita? (jawabannya Agama)
Apakah yang dinamakan manusia? (jawabannya Antropologi)
10. Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang dimasalahkan dengan berfikir radikal, sistematis dan universal.
11. Harold H. Titus (1979): (1). Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2). Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3). Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian (konsep); dan (4). Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh para ahli filsafat.
12. Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah, yang disebut hakekat.
13. Hasbullah Bakry: Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.
14. Mr. Muhamadd Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya di dalam kepribadiannya itu dialaminya kesungguhan.
4
15. Ismaun: Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh, yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yang sejati).
16. Bertrand Russel: Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan; namun, seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu.
17. Seorang filsuf, N. Driyarkara S.Y., mengatakan: Filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinyayang dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat- pendapat yang diterima saja, mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap praktis. Jika filsafat misalnya bicara tentang masyarakat, hukum, sosiologi, kesusilaan dan sebagainya, di satu pandangan tidak diarahkan ke sebab-sebab yang terdekat, melainkan ke ‘mengapa’ yang terakhir sepanjang kemungkinan yang ada pada budi manusia berdasarkan kekuatannya itu.
18. Endang Saifuddin Anshari (1987:85), mendefinisikan filsafat sebagai “ilmu istimewa” yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah termaksud itu di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Filsafat juga dikatakan sebagai hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral hakikat segala yang ada: (a) hakekat Tuhan; (b) hakekat alam semesta; (c) hakekat manusia; serta sikap manusia termasuk sebagai konsekuensi daripada paham (pemahamnnya) tersebut.
19. Marsigit (2014), Filsafat adalah wadahnya pikiran, karena filsafat adalah oleh pikir, sedangkan pikiran bersifat simpomatik sintetik-analitik; artinya, pikiran secara simtomatik merepresentasikan filsafat terisolasi oleh ruang dan waktunya.
Karena sangat luasnya lapangan ilmu filsafat, maka menjadi sukar pula orang
mempelajarinya, dari mana hendak dimulai dan bagaimana cara membahasnya
5
agar orang yang mempelajarinya segera dapat mengetahuinya. Pada zaman
modern ini pada umunya orang telah sepakat untuk mempelajari ilmu filsafat itu
dengan dua cara, yaitu dengan mempelajari sejarah perkembangan sejak dahulu
kala hingga sekarang (metode historis), dan dengan cara mempelajari isi atau
lapangan pembahasannya yang diatur dalam bidang-bidang tertentu (metode
sistematis) (Kristiawan, 2016).
KategoriPertanyaan filosofis dapat dikelompokkan ke dalam kategori. Pengelompokan ini
memungkinkan para filsuf untuk fokus pada serangkaian topik serupa dan
berinteraksi dengan pemikir lain yang tertarik dengan pertanyaan yang sama.
Pengelompokan juga membuat filosofi lebih mudah bagi siswa untuk didekati.
Siswa dapat mempelajari prinsip-prinsip dasar yang terlibat dalam satu aspek
lapangan tanpa terbebani dengan keseluruhan teori filosofis.
Berbagai sumber menyajikan beragam skema kategoris. Kategori yang diadopsi
dalam artikel ini bertujuan untuk keluasan dan kesederhanaan.
Kelima cabang utama ini dapat dipisahkan menjadi sub cabang dan masing-
masing sub cabang memiliki banyak bidang studi yang spesifik.
Metafisika dan epistemologi Teori nilai Sains, logika dan matematika Sejarah filsafat barat Tradisi filosofis
6
Perpecahan ini tidak lengkap, tidak saling eksklusif atau berdiri sendiri-sendiri.
(Seorang filsuf mungkin mengkhususkan diri pada epistemologi kantian, estetika
platonik, atau filsafat politik modern.)
Metafisika
Metafisika adalah studi tentang ciri-ciri paling umum dari realitas, seperti
eksistensi, waktu, objek dan properti mereka, keseluruhan dan bagiannya,
kejadian, proses dan sebab akibat, serta hubungan antara budi dan tubuh.
Metafisika mencakup kosmologi, studi tentang dunia secara keseluruhan dan
ontologi, studi tentang realitas.
Pokok perdebatan utamanya adalah antara realisme, yang berpendapat bahwa ada
entitas yang independen terlepas dari persepsi mental dan idealisme mereka, yang
berpendapat bahwa realitas tersebut dibangun secara mental atau immaterial.
Metafisika membahas topik identitas. Esensi adalah himpunan atribut yang
membuat objek sebaimana dasarnya dan tanpa esensi objek itu akan kehilangan
identitasnya, sementara aksiden adalah properti yang dimiliki objek, yang
tanpanya objek masih tetap dapat mempertahankan identitasnya. Partikular adalah
objek yang dikatakan ada di ruang dan waktu, berlawanan dengan benda abstrak,
seperti angka, dan universal, yang merupakan sifat yang dimiliki oleh beberapa
hal khusus, seperti warna kemerahan suatu benda atau jenis kelamin. Jenis
eksistensi (jika ada) benda universal dan abstrak adalah isu perdebatan dalam
metafisika.
7
Epistemologi
Dignaga pendiri aliran epistemologi dan logika Buddhis.
Ahli epistemologi mempelajari sumber pengetahuan, termasuk intuisi, argumen a
priori, ingatan, pengetahuan perseptual, pengetahuan diri dan kesaksian. Mereka
juga bertanya: Apa itu kebenaran? Apakah pengetahuan itu benar-benar keyakinan
sejati? Apakah ada kepercayaan yang dibenarkan? Pengetahuan empiris
mencakup pengetahuan proposisional (pengetahuan bahwa ada sesuatu yang
terjadi), kecakapan (pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu) dan
pengenalan (familiaritas dengan seseorang atau sesuatu). Ahli epistemologi
memeriksa hal ini dan bertanya apakah pengetahuan itu benar-benar layak.
Teori nilai
Teori nilai (atau aksiologi) adalah cabang utama filsafat yang membahas topik
seperti kebaikan, keindahan dan keadilan. Teori nilai meliputi etika, estetika,
filsafat politik, filsafat feminis, filsafat hukum dan yang lainnya.
8
Etika
Akademi kekaisaran Beijing adalah pusat intelektual untuk etika Konfusianisme dan klasik selama dinasti Yuan, Ming dan Qing.
Etika, atau "filsafat moral", mempelajari dan mempertimbangkan perilaku yang
baik dan yang buruk, nilai yang benar dan salah, serta kebaikan dan kejahatan.
Penyelidikan utamanya meliputi bagaimana menjalani kehidupan yang baik dan
mengidentifikasi standar moralitas. Ini juga mencakup meta-investigasi tentang
apakah cara terbaik untuk hidup atau standar terkait yang ada. Cabang utama etika
adalah etika normatif, meta-etika dan etika terapan.
Area perdebatan utamanya meliputi konsekuensial, dimana tindakan dinilai
berdasarkan hasil potensial dari tindakan tersebut, seperti misalnya untuk
memaksimalkan kebahagiaan, yang disebut utilitarianisme, dan deontologi,
dimana tindakan dinilai sesuai dengan bagaimana mereka mematuhi prinsip,
terlepas dari tujuan negatif (Wikipedia, 2018).
Para ahli memiliki berbagai pendapat tentang cabang-cabang filsafat di
antaranya sebagai berikut (Surajiyo, 2005: 19-20):
1. Lousis O. Kattsoff menyebutkan cabang filsafat adalah logika, metodologi,
metafisika, epistemologi, filsafat biologi, filsafat psikologi, filsafat
antropologi, filsafat sosial, etika, estetika dan filsafat agama.
9
2. The Liang Gie membagi filsafat menjadi: metafisika, epistemologi,
metodologi, logika, etika, estetika dan sejarah filsafat.
3. Harry Hamersma membagi cabang fisafat menjadi: Filsafat tentang pengetahuan (meliputi epistemologi, logika, kritik ilmu-ilmu); Filsafat keseluruhan kenyataan (meliputi metafisika umum atau ontologi dan metafisika khusus meliputi teologi metafisik, antropologi dan kosmologi); Filsafat tentang tindakan (meliputi etika dan estetika); Sejarah filsafat.
4. Poedjawijatna membagi filsafat atas: ontologia, theodicea, antropologia, metaphysica, ethica, logica (mayor dan minor), aesthetica.
5. Plato membedakan filsafat pada tiga cabang yaitu dialetika, fisika, dan etika.6. Aristoteles merumuskan filsafat kedalam empat cabang yaitu: logika, filsafat
teoretis (mencakup 3 ilmu yaitu: ilmu fisika, ilmu matematika, dan ilmu metafisika). Menurut Aristoteles ilmu metafisika merupakan inti dari filsafat. Cabang filsafat selanjutnya adalah filsafat praktis (mencakup 3 ilmu yaitu ilmu etika, ilmu ekonomi, dan ilmu politik). Cabang terakhir adalah filsafat poetika atau kesenian (Kristiawan, 2016).
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM mengemukakan bahwa dari cabang filsafat
menurut beberapa tokoh tersebut, persoalan kefilsafatan meliputi bidang yang
sangat luas, sehingga sulit untuk membahasnya karena mempunyai argumentasi
masing-masing. Persoalan filsafat di samping dapat dideskripsikan ciri-cirinya,
juga dapat dibagi menurut jenis-jenisnya. Jenis-jenis persoalan filsafat bersesuaian
dengan cabang-cabang filsafat. Ada tiga jenis persoalan filsafat yang utama yaitu
persoalan tentang keberadaan, persoalan tentang pengetahuan dan persoalan
tentang nilai-nilai (Kristiawan, 2016).
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi bersangkutan dengan cabang
filsafat metafisika. Persoalan pengetahuan (knowledge) ditinjau dari segi isinya
bersangkutan dengan cabang filsafat epistemologi sedangkan kebenaran (truth)
ditinjau dari segi bentuknya bersangkutan dengan cabang filsafat logika.
Persoalan nilai-nilai (values) terbagi atas nilai-nilai tingkah laku dan nilai-nilai
10
keindahan. Nilai-nilai tingkah laku berkaitan dengan cabang filsafat etika,
sedangkan nilai-nilai keindahan bersangkutan dengan cabang filsafat estetika.
1. Metafisika
Istilah metafisika berasal dari Bahasa Yunani meta la physica yang
dapat diartikan sebagai sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda-
benda fisik. Aristoteles menggunakan istilah proto philosiphia (filsafat
pertama). Filsafat pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada di
belakang gejala-gejala fisik seperti bergerak, berubah, hidup, mati. Metafisika
dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam
(ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Persoalan-persoalan
metafisika dibedakan menjadi tiga yaitu persoalan ontologi, persoalan
kosmologi, dan persoalan antropologi (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM: 31).
Ontologi membahas tentang “ada”. Pertanyaan yang diajukan: apa yang
dimaksud dengan ada, keberadaan atau eksistensi itu. Bagaimana
penggolongan dari ada, keberadaan atau eksistensi, dan apa sifat dasar
kenyataan atau keberadaan. Segala sesuatu yang ada, secara khusus dibagi
dalam tiga substansi yaitu kosmos, manusia, dan Tuhan. Pada metafisika
khusus terdapat gagasan atau ide para pemikir. Oleh sebab itu, sebagian orang
beranggapan bahwa epistemologi adalah bagian dari metafisika, karena
epistemologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan metafisis.
Muhmidayeli (2011: 10) Metafisika merupakan cabang kajian filsafat
yang mengkaji persoalan yang berkenaan dengan hakikat realitas. Konsentrasi
filsafa disini diarahkan fokus untuk menelaah dan atau mengkaji secara
11
mendalam dan menyeluruh (holistik) tentang hakikat yang ada dan yang
dianggap ada.
2. Epistemologi
Epistemologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan. Kebenaran
pengetahuan disebut memenuhi syarat-syarat epistemologi karena tepat
susunannya atau logis. Meskipun logika dan epistemology merupakan dua hal
yang berbeda, keduanya memiliki kaitan yang sangat kuat, logika menjadi
prasyarat yang mendasari epistemologi. Epistemologi membicarakan secara
rinci dasar, batas dan objek pengetahuan. Oleh sebab itu epistemologi oleh
sebagian orang disebut juga filsafat ilmu. Epistemologi mempersoalkan
kebenaran pengetahuan, sedangkan filsafat ilmu (philosophy of science)
secara khusus mempersoalkan ilmu atau keilmuan pengetahuan. Epistemologi
berasal dari Bahasa Yunani yaitu episteme = pengetahuan dan logos = teori.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari
asal mula atau sumber, struktur, dan metode yang sah tentang pengetahuan.
Pertanyaan dalam epistemologi adalah “apa yang dapat saya ketahui?” (Tim
Dosen Filsafat Ilmu UGM: 32). Persoalan-persoalan dalam epistemologi
adalah: bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu?; Dari mana
pengetahuan itu diperoleh?; Bagaimana validitas pengetahuan itu dapat
dinilai?; Apa perbedaan pengetahuan apriori dengan pengetahuan posteriori?.
Epistemologi membicarakan pengetahuan dan susunannya. Ilmu atau science
adalah pengetahuan-pengetahuan yang gejalanya dapat diamati berulang-
ulang melalui eksperimen sehingga dapat dipelajari oleh orang yang berbeda
12
dalam waktu yang berbeda. Epistemologi membahas hakikat ketepatan
susunan berpikir yang secara tepat pula digunakan untuk masalah-masalah
yang bersangkutan dengan maksud menemukan kebenaran isi pernyataannya.
Isi pernyataannya adalah sesuatu yang ingin diketahui. Secara umum terdapat
empat jenis kebenaran yang dikenal orang, yaitu kebenaran religius,
kebenaran filosofis, kebenaran estetis, dan kebenaran ilmiah. Kebenaran
religius, adalah kebenaran yang dibangun atas dasar kaidah-kaidah agama
atau keyakinan tertentu yang tidak dapat dibantah. Kebenaran religius disebut
juga kebenaran mutlak.
Bentuk pemahamannya dogmatis. Kebenaran filosofis adalah kebenaran
hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut hakikat atau
the nature, meskipun bersifat subjektif dan relatif, namun mendalam karena
melalui penghayatan eksistensial bukan hanya pengalaman dan pemikiran
intelektual semata. Kebenaran filosofis berguna untuk menyadarkan kita pada
relatifnya pengetahuan yang kita miliki, karena pengetahuan itu terus berubah
dalam arti berkembang. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah
berpikir, sedangkan dasarnya adalah rasio. Kebenaran estetis, ialah kebenaran
berdasarkan indah dan tidak indah. Keindahan yang dimaksud adalah
berdasarkan harmoni dalam pengertian luas yang menimbulkan rasa senang,
tenang dan nyaman. Wiramihardja (2007: 32-33) mengemukakan kebenaran
ilmiah ditandai dengan terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, terutama
menyangkut adanya teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti (fakta),
sama halnya dengan kebenaran rasional yang ditunjang hasil uji lapangan
yang disebut bukti empiris. Kebenaran teoritis adalah kebenaran yang
13
berdasarkan rasio atau kebenaran rasional, berdasarkan teori-teori yang
menunjangnya. Pengertian bukti disini adalah bukti empiris, yaitu hasil
pengukuran objektif di lapangan. Sifat objektif berlaku umum, dapat diulang
melalui eksperimen, sesuai dengan apa adanya, bukan apa yang seharusnya,
dan merupakan ciri-ciri pengetahuan (Kristiawan, 2016).
Capaldi (1981: 12) dalam bidang epistemologi, konsentrasi filsafat tertuju
pada pembicaraan problem pengetahuan. Secara akademis, epistemologi
merupakan kajian yang berkaitan tentang persoalan dasar ilmu pengetahuan
yang meliputi: 1. Hakikat ilmu; 2. Jenis ilmu pengethuan yang mungkin dapat
diraih manusia; 3. Sumber ilmu pengetahuan itu; dan 4. Batas-batas ilmu
pengetahuan manusia (Muhmidayeli, 2011: 12).
3. Aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan penilaian atau
yang berhubungan dengan nilai guna. Gagasan mengenai aksiologi dipelopori
oleh Lozte, kemudian Brentano, Husserl, Scheller dan Nicolai Hatmann
(Wiramihardja A. S., 2007: 36-37). Menurut Scheller ada dua bidang yang
paling populer terkait penilaian yaitu tingkah laku dan keadaan atau tampilan
fisik, sehingga aksiologi dibagi dalam 2 jenis yaitu etika dan estetika. Etika
adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas perbuatan manusia
dari sudut baik dan buruk. Mudah bagi seseorang dalam menilai arti baik,
tetapi mengapa sebaliknya disebut buruk bukan tidak baik. Etika dalam
Bahasa Yunani berasal dari ethos = kebiasaan, habit, atau custom. Hampir
tidak ada orang yang tidak memiliki kebiasaan baik dan buruk, oleh karena
14
itu istilah etis dan tidak etis kurang tepat, yang lebih tepat adalah etika baik
dan etika buruk/ jahat. Estetika merupakan bagian filsafat yang
mempersoalkan penilaian atas sesuatu dari sudut indah dan tidak indah/ jelek.
Secara umum estetika disebut sebagai kajian filsafat mengenai apa yang
membuat rasa senang, puas yang dinikmati seseorang ketika mengamati suatu
benda estetis (Surajiyo, 2005: 107). Secara visual dan imajinasi, estetika
disebut juga kajian mengenai keindahan, atau teori tentang cita rasa, dan
kritik dalam kesenian kreatif serta pementasan. Tokoh paling terkenal dalam
bidang ini adalah Alexander Baumgarten yang dianggap sebagai awal
diwacanakannya estetika (Kristiawan, 2016).
Muhmidayeli (2011: 14) dalam bidang aksiologi, pemikiran filsafat
diarahkan pada persoalan nilai, baik dalam konteks estetika, moral maupun
agama. Persoalannya apakah nilai itu absolut atau relatif. Artinya ujung dari
keseluruhan aktivitas berpikir filsafat dalam bidang metafisika maupun
epistemologi ialah terwujudnya tingkah laku dan perbuatan-perbuatan
manusia yang mengandung nilai.
B. Pendidikan yang Berkemajuan: Filsafat, Politik, dan Ideologi
Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Pendidikan
merupakan aktivitas belajar yang sadar dilakukan menurut akal pikiran.
Mudyahardjo (2010: 45-46) pendidikan yaitu objek formal ilmu pendidikan,
yang dapat diartikan secara luas, sempit, luas terbatas. Dalam pengertian luas,
pendidikan samadengan hidup. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup
yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman
15
belajar. Oleh karena itu, pendidikan didefinisikan sebagai keseluruhan
pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya (lifelong).
Filsafat pendidikan yang berkemajuan berarti bagaimana cara berpikir
tentang menyadarkan manusia bahwa belajar dari teori dan pengalaman dalam
mencari kebenaran pernyataan-pernyataan yang masuk akal dan dan melampui
alam pikiran baik negatif maupun positif melalui fenomena yang saling
berhubungan sehingga mampu membangkitkan potensi diri untuk dapat
bersosialisasi dan hidup bersama masyarakat pada era revolusi industri 4.0
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Kemajuan dalam pandangan Islam adalah kebaikan yang serba utama,
yang melahirkan keunggulan hidup lahiriah dan ruhaniah. Kemajuan dalam
pandangan Islam bersifat multiaspek baik dalam kehidupan keagamaan
maupun dalam seluruh dimensi kehidupan, yang melahirkan peradaban utama
sebagai bentuk peradaban alternatif yang unggul secara lahiriah dan ruhaniah.
Adapun da’wah Islam sebagai upaya mewujudkan Islam dalam kehidupan
diproyeksikan sebagai jalan perubahan (transformasi) ke arah terciptanya
kemajuan, kebaikan, keadilan, kemakmuran, dan kemaslahatan hidup umat
manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan sekat-sekat
sosial lainnya (Nashir, 2018).
Pendidikan menciptakan manusia menjadi manusia seutuhnya.
Muhmidayeli (2011: 36) pendidikan sangat terkait aktivitas mulia manusia
yang tugas utamanya adalah membantu pengembangan humanitas manusia
untuk menjadi manusia yang berkepribadian mulia dan utama menurut
16
karakteristik idealitas manusia yang diinginkan atau sesuai potensi kodratnya
masing-masing (human dignity). Kualitas suatu masyarakat memliki hubungan
strategis dengan kualitas dunia pendidikan, utamanya pendidikan persekolahan,
karena didalamnya ada upaya yang sunguh-sunguh tentang kependidikan untuk
mempersiapkan generasi yang terampil dan memiliki ilmu pengetahuan dengan
dilandasi pada iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam konteks
yang luas.
Berdasarkan realitas-realitas kependidikan yang menjadi objek kajian
filsafat pendidikan antara lain menyangkut hal-hal yang berkenaan dengan:
1. Hakikat manusia ideal sebagai acuan pokok bagi pengembangan dan
penyempurnaan;
2. Pendidikan dan nilai-nilai yang dianut sebagai suatu landasan berpikir dan
berbuat dalam tatanan hidup suatu masyarakat;
3. Hakikat tujuan kependidikan sebagai arah bangun pengembangan pola
dunia pendidikan;
4. Hakikat pendidik dan anak didik sebagai subjek-subjek yang terlihat
langsung dalam pelaksanaan proses edukasi;
5. Hakikat pengetahuan dan nilai sebagai aspek penting yang dikembangkan
dalam aktivitas pendidikan;
6. Hakikat kurikulum sebagai tahapan-tahapan yang akan dilalui dalam proses
kependidikan menuju peraihan tujuan-tujuan;
7. Hakikat metode dan strategi pembelajaran yang memungkinkan
penumbuhkembangan potensi subjek didik;
17
8. Alternatif-alternatif yang mungkin dilalui dalam pengembangan sumber
daya manusia baik menyangkut prinsip-prinsip, metode maupun alat-alat
pendukung peraihan tujuan;
9. Keterkaitan dunia pendidikan dengan lembaga-lembaga laind alam lingkup
masyarakat, seperti pendidikan dan dunia politik, pendidikan dan sistem
pemerintahan, pendidikan, tata hukum, dan adat dalam masyarakat; dan
10. Keterkaitan dunia pendidikan dengan perubahan-perubahan taraf hidup
dalam masyarakat (Muhmidayeli, 2011: 41).
1. Ontologis
Dimulai dari menyikapi masalah kebenaran dalam filsafat dan kebanaran
Agama pada umumnya dimaknai di satu sisi agama ber-alat-kan kepercayaan, di
lain pihak filsafat berdasarkan penelitian yang menggunakan potensi manusiawi,
jika kebenaran yang dibicarakan dengan mempergunakan alat yang sama seperti
akal manusia dan terdapat perbedaan yang gambarannya tidak bisa dipertemukan,
pada dasarnya hal yang kita cari dapat dikatakan bukan kebenaran. Karena
namanya kebenaran walaupun bagaimana wujudnya tetap mengandung makna
(kebenaran) (Tola, 2014).
Pendidikan Spiritualisme Mutlak akan bersifat Puritanisme, Akhiran-
tertutup (Closed-ended) Mutlak. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa jika
Filsafat Spiritualisme adalah tesis, maka Filsafat Esensialisme, Filsafat
Eksistensialisme, Filsafat Materialisme, dst dapat dipandang sebagai anti-
tesis nya. Di sinilah semestinya Karakter Timur atau Karakter Indonesia
berhati-hati dalam mengklaim suatu Filsafat justifikasi pandangannya
(Marsigit, 2014).
18
Landasan filosofis pendidikan perlu dikuasai oleh para pendidik,
adapun alasannya antara lain: Pertama, karena pendidikan bersifat normatif,
maka dalam rangka pendidikan diperlukan asumsi yang bersifat normatif
pula. Asumsi-asumsi pendidikan yang bersifat normatif itu antara lain dapat
bersumber dari filsafat. Landasan filosofis pendidikan yang bersifat
preskriptif dan normatif akan memberikan petunjuk tentang apa yang
seharusnya di dalam pendidikan atau apa yang dicita-citakan dalam
pendidikan. Kedua, bahwa pendidikan tidak cukup dipahami hanya melalui
pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif saja, melainkan perlu
dipandang pula secara holistik. Adapun kajian pendidikan secara holistik
dapat diwujudkan melalui pendekatan filosofis.
Ada berbagai aliran filsafat pendidikan, antara lain Idealisme,
Realisme, Pragmatisme, dsb. Namun demikian, bangsa Indonesia
sesungguhnya memiliki filsafat pendidikan nasional tersendiri, yaitu filsafat
pendidikan yang berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan hal ini
berbagai aliran filsafat pendidikan perlu kita pelajari, namun demikian
bahwa pendidikan yang kita selenggarakan hendaknya tetap berlandaskan
Pancasila. Pemahaman atas berbagai aliran filsafat pendidikan akan dapat
membantu Anda untuk tidak terjerumus ke dalam aliran filsafat lain. Di
samping itu, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, kita
pun dapat mengambil hikmah dari berbagai aliran filsafat pendidikan
lainnya, dalam rangka memperkokoh landasan filosofis pendidikan kita.
Dengan memahami landasan filosofis pendidikan diharapkan tidak terjadi
kesalahan konsep tentang pendidikan yang akan mengakibatkan terjadinya
kesalahan dalam praktek pendidikan (Tatang, 2018).
19
Hypothetical analyses memberikan petunjuk bahwa keadaan
ontologis krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia dewasa ini
berelasi linear dengan forma, wadah, bentuk atau struktur kehidupan
Indonesia secara menyeluruh yang dapat digambarkan sebagai bentuk
yang belum berbentuk, forma yang belum berforma, dan struktur yang
belum berstruktur. Kondisi forma yang belum berforma tersebut secara
kebetulan dan secara tidak kebetulan, dipengaruhi oleh dimensi forma
eksternal bersubstansial dalam waktu (kala) terbuka (baik atau buruk).
Sebagaian forma eksternal bersubstansial mempunyai dimensi lebih
tinggi sehingga forma Indonesia yang belum berforma tidak mampu
mengendalikannya.
Apapun penyebabnya, yang pasti forma Indonesia yang belum
berforma lebih banyak menimbulkan ketidakpastian, merugikan,
melemahkan, dan merongrong jati diri bangsa dari dalam diri sendiri.
Sedangkan segenap komponen dan komponen kunci terlibat dalam pusaran
krisis multidimensi forma yang belum berforma, sehingga meraka tidak
mampu dan tidak akan mampu mengatasi persoalan internal bangsa, jika
mereka tidak mampu keluar dari dimensi forma yang belum berforma.
Sebagian komponen kunci malah terpancing untuk mengambil peruntungan
pribadi dan kelompok dari krisis multidimensi, dengan cara mencari dan
memperkuat potensi multifacet (termasuk potensi negatif). Alhasil, krisis
multidimensi forma yang belum berforma diperdalam, diperkuat dan
diperluas dengan adanya interaksi potensi-potensi negatif komponen kunci.
Potensi-potensi negatif komponen kunci telah memberikan pengaruh dan
20
memperbesar daya ontologis krisis multidimansi bangsa untuk menjadi bola
liar tak terkendali menuju subordinat potensi negatif dominan dunia di
bawah pengendalian Power Now. Sebagian pendidikan telah digunakan
potensi negatif dunia untuk memperkokohkan kedudukannya dengan
membuka cabang di tiap-tiap pintu peradaban bangsa-bangsa dunia
(Marsigit, 2014). Potensi negatif dunia dapat menjadi satu pembelajaran
bahwa pendidikan yang berkemajuan memerlukan tantangan tersebut.
Peradaban dunia mempengaruhi pendidikan di berbagai negara. Peradaban
menciptakan tesis dan anti tesis terhadap apa yang telah dihasilkannya.
2. Epistemologi
Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan sebagai upaya merefleksikan
kondisi faktual pendidikan dan harapan di waktu yang akan datang,
berbasis pada asumsi bahwa sekiranya kita menyetujui suatu tesis bahwa
sebagai bangsa kita masih belum terlepas dari krisis multidimensi.
Sekiranya kita semua memaklumi bahwa kondisi faktual kita dalam
berbangsa, bernegara, bermayarakat, berpolitik, bergaul dengan bangsa-
bangsa lain, menunjukan evidensi bahwa krisis multidimensi tersebut
masih bersifat laten dan mendasar. Krisis mutidimensi bangsa ditandai
dengan beragam konflik dalam dimensi kehidupan; centang perenang dan
kekisruhan bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya; dekadensi moral;
missing link berbagai peristiwa atau kejadian sehingga tidak dapat
dijelaskan mengapa suatu peristiwa terjadi dan perilaku warga yang
mencari solusi dengan cara-cara irasional; menonjolnya primordialisme,
egosektoral dan egosentrisisme; sikap dan berpikir parsial, tidak konsisten,
21
klaim sepihak, mementingkan golongan; budaya instant dan hedonisme;
kebijakan diambil tidak berdasarkan data empiris melainkan atas dasar
kepentingan sesaat dan golongan; dan merajalelanya kolusi, korupsi dan
nepotisme. Untuk mampu melihat secara jernih segala unsur yang
terkandung di dalam krisis multidimensi tersebut, kita perlu melakukan
kajian secara mendasar meliputi kajian filsafat, politik dan ideologi
khususnya bidang pendidikan.
Telaah filsafat telah memberi petunjuk adanya aliran-aliran pemikiran
dalam sejarahnya; sedangkan politik dan ideologi telah memberikan
konteks, persoalan dan solusi-solusinya. Terdapat benang merah secara
filsafati, politik dan ideologis bahwa persoalan multidimensi bangsa
Indonesia secara hermeneutika dapat didekati menggunakan narasi-narasi
besar dunia di satu sisi, dan di sisi lain dapat didekati menggunakan dialog
kecerdasan lokal atau kearifan lokal.
Pendidikan terdiferensiasi dari Politik, Ideologi dan Filsafatnya.
Dimensi pengalaman hipotesis intuisi mengidentifikasikan bahwa
Pendidikan Esensialisme Mutlak dengan demikian akan bersifat Anti-
Spiritualisme dengan sifat-sifat ikutan lain yang dapat diturunkan bahwa
diapun pada akhirnya bersifat Materialisme, Realisme, dan
Eksistensialisme. Di sisi lain, Pendidikan Eksistensialisme mengejar
kebenaran kepada yang Ada dan yang Mungkin Ada, dan dengan sendirinya
sekaligus sebagai pusatnya. Jika diekstensikan maka dengan mudah dapat
dipahami bahwa Pendidikan Eksistensialisme pada akhirnya juga bersifat
Anti-Spiritualisme, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai
22
sejalan dengan Humanisme,Empirisisme, Nihilisme, Reduksionisme, dan
Resionalisme. Dikarenakan bersifat Anti-Spiritualisme, maka Pendidikan
Esensialisme dan Pendidikan Eksistensialisme akan menghasilkan
Hedonisme.
Secara normatif, Realisme adalah anti-tesis dari Idealisme; maka
Pendidikan Realisme Mutlak bersifat Anti-Idealisme, namun sejalan dengan
Materialisme, Empirisisme dan Eksistensialisme. Rasionalisme mengejar
hakekat kebenaran pada Rasio; maka Pendidikan Rasionalisme Mutlak
berpusat pada Rasio, dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa dia
adalah juga Anti-Spiritualisme, beserta sifat-sifat ikutan yang dapat
diturunkan yaitu Egosentris, Eksploitasi Vital, Dunia yang terbelah, dan
bersifat Laskar Pendidikan. Anti-tesis diametris dari Rasionalisme adalah
Empirisisme; maka Pendidikan Empiris Mutlak mengejar hakekat
kebenaran pada Pengalaman Manusia, dan dengan demikian bersifat Anti-
Spiritualisme, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat diturunkan bersifat
Materialisme, Eksploitasi Vital, Saintisisme Mutlak, Hedonisme, dan
Berakhiran Terbuka (Open-ended) Mutlak. Pendidikan Relativisme Mutlak
mengejar hakekat kebenaran pada Yang Mungkin Ada, dan demikian maka
bersifat Anti-Spiritualisme dengan sifat ikutan yang dapat diturunkan
sebagai bersifat Materialisme, Dunia yang Parsial, Berakhiran Terbuka
(Open-ended) Mutlak, dan Hedonisme. Pendidikan Positivisme yang
bersifat Saintisisme Mutlak, Anti-Spiritualisme, Pendidikan Laskar,
Kapitalisme, Pragmatisme, Utilitarianisme, Materialisme, Liberalisme,
Open-ended Mutlak (Marsigit, 2014).
23
3. Aksiologi
Peran pendidikan dimulai dari aspirasi masyarakat yang
menginginkan kecerdasan dalam kehidupan berbangsa (Pembukaan UUD
NRI Tahun 1945). Kehidupan berbangsa harus dijalani masyarakat
Indonesia dengan mempunyai kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotor berbasis kearifan lokal (local wisdom) dan penguasaan
teknologi informasi komunikasi.
Pendidikan yang Berkemajuan akan menjamin masyarakat menjadi melek
teknologi, informasi, dan komunikasi sehingga mampu beradaptasi.
C. Filsafat Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
Pengembangan pendidikan tidak akan sukses selama pelaku-pelaku yang
berkompeten untuk menunjang pendidikan tersebut tidak saling bekerja sama.
Oleh karena itu, pengembangan pendidikan perlu dilakukan di luar sekolah atau
pada masyarakat secara umum sesuai dengan kearifan lokal masing-masing
(Yunus, 2014: 6).
1. Ontologi
Pestalozzi, Frobel dan Maria Montessori adalah tokoh-tokoh
pendidikan yang berpengaruh pada Ki Hadjar dalam menggunakan
kebudayaan di dalam kurikulum pendidikan. Mulai dari TK (Taman
Kanak-kanak/Taman Indria) sampai sekolah menengah unsur-unsur
kebuda-yaan lokal dimasukkan dalam kurikulum untuk melatih panca
indera jasmani, kecerdasan dan utamanya adalah kehalusan budi pekerti.
Pelajaran yang diberikan di Taman Indria mulai dari dolanan anak,
24
mendongeng, hingga sariswara yaitu menggabungkan antara lagu, cerita
dan sastra. Nilai-nilai budaya ini dimaksudkan untuk mendidik rasa, pikiran
dan budi pekerti. Anak-anak yang sudah agak besar, misalnya di Sekolah
Menengah Pertama (Taman Dewasa) dan Sekolah Menengah Atas (Sekolah
Menengah Madya), diberikan pelajaran olah gendhing (Suparlan, 2015).
2. Epistemologi
Globalisasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pasar telah
mengakibatkan pendidikan tidak sepenuhnya dipandang sebagai upaya
mencerdaskan kehi-dupan bangsa dan proses pemerdekaan manusia,
tetapi mulai bergeser menuju pendidikan sebagai komoditas. Untuk
menangkal model pendidikan sebagai komoditas maka konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantara ditawarkan sebagai solusi terhadap
distorsi-distorsi pelaksanaan pendidikan di Indonesia dewasa ini.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, hakikat pendidikan adalah sebagai usaha
untuk menginternalisasikan nilai-nilai budaya ke dalam diri anak,
sehingga anak menjadi manusia yang utuh baik jiwa dan rohaninya.
Filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara disebut dengan filsafat
pendidikan among yang di dalamnya merupakan konvergensi dari
filsafat progresivisme tentang kemam-puan kodrati anak untuk
mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi deng-an memberikan
kebebasan berpikir seluas-luasnya, dipadukan dengan pemikir-an
esensialisme yang memegang teguh kebudayaan yang sudah teruji
selama ini. Dalam hal ini Ki Hadjar Dewantara menggunakan
25
kebudayaan asli Indonesia sedangkan nilai-nilai dari Barat diambil
secara selektif adaptatif sesuai dengan teori trikon (kontinyuitas,
konvergen dan konsentris). Tiga kontribusi filsafat pendidikan Ki Hadjar
Dewantara terhadap pendidikan Indonesia adalah penerapan trilogi
kepemimpinan dalam pendidikan, tri pusat pendidikan dan sistem
paguron. Ki Hadjar Dewantara mengajukan beberapa konsep pendidikan
untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan, yaitu Tri Pusat
Pendidikan: (1) pendidikan keluarga; (2) pendidikan dalam alam per-
guruan; dan (3) pendidikan dalam alam pemuda atau masyarakat
(Suparlan, 2015).
Dwiarso (2010) mengemukakan Ki Hadjar Dewantara
memasukkan kebudayaan dalam diri anak dan memasukkan
diri anak ke dalam kebudayaan mulai sejak dini, yai-tu
Taman Indria (balita). Konsep belajar ini adalah Tri No,
yaitu nonton, niteni dan nirokke. Nonton (cognitive), nonton
di sini adalah secara pasif dengan segenap panca indera.
Niteni (affective) adalah menandai, mem-pelajari,
mencermati apa yang ditangkap panca indera, dan nirokke
(psychomotoric) yaitu menirukan yang positif untuk bekal
menghadapi perkembangan anak (Suparlan, 2015).
Selain Ki Hadjar Dewantara, di Kalimantan Tengah juga ada Huma
Betang, Abubakar HM (2016) mengemukakan Huma Betang mememiliki
filosofis secara sosiologi pada kehidupan masyarakat dan diatur dalam
Perda Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 10 tahun 2010 Tentang
26
Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16
Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah .
Huma Betang adalah rumah adat khas yang dihuni oleh masyarakat
Dayak terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat
pemukiman suku Dayak Kalimantan Tengah. Hal inilah yang melandasi
adanya Huma Betang bila dilihat dari konteks sejarah maka tidaklah heran
bahwa Huma Betang itu berdiri dan menjadi rumah bagi masyarakat
Kalimantan Tengah. Mengenai model bangunan perlu disampaikan bahwa
Huma Betang menyerupai rumah panggung yang apabila dilihat dari
model dan kontruksi bangunan Huma Betang tersebut tinggi dan
memanjang, secara tidak langsung hal tersebut merujuk kepada maksud
dan tujuan. Secara garis besar tinggi dari pada Huma Betang tersebut
berkisar tiga sampai lima meter dari permukaan tanah dan panjang
bangunan diperkirakan mencapai 150 dan lebar sampai dengan 30
meter(4).
Huma Betang di Kalimantan Tengah adalah perilaku hidup yang
menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta
taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam). Dalam
Huma Betang tersebut terdapat empat pilar falsafah hidup utama yaitu:
Kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan menjunjung tinggi Hukum adat
dan Hukum nasional dengan menjunjung tinggi prinsip hidup “Belom
Bahadat” (artinya hidup bertata krama dan beradab) dan “Belom Penyang
Hinje Simpei” (hidup dalam kedamaian, kebersamaan, kesetaraan,
27
keharmonisan, toleransi, menjunjung tinggi hukum dan kerja sama untuk
meraih kesejahteraan bersama).
Falsafah Huma Betang yang merupakan pilar kehidupan masyarakat
Dayak kalimantan Tengah berkaitan erat dan sesuai dengan falsafah
Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia yaitu Bhineka
Tunggal Ika. Interkoneksi nilai-nilai Huma Betang dengan falsafah
Pancasila meliputi nilai untuk hidup
saling tolong menolong, rukun, saling menjaga keamanan dan pertahanan,
serta saling menghargai dan memberi kebebasan beragama dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara (Pelu dan Tarantang, 2018).
Di lain daerah, Fakta sejarah bahwa masyarakat Gorontalo memiliki
tradisi yang jika diperhatikan dengan baik akan melahirkan kondisi
kolektif di masyarakat. Pengakuan dan pelaksanaan nilai kolektifitas inilah
sangat diperlukan dalam hidup bermasyarakat. Sebab dengan cara ini
sesulit apapun kondisi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat jika
dihadapi dengan rasa kebersamaan tentu masalah itu dapat diatasi. Dan
sarana yang dapat menciptakan rasa kolektifitas masyarakat Gorantalo
adalah Huyula (Yunus, 2014: 8).
Huyula dapat pula disebut sebagai karakter lokal Gorontalo yang
terwariskan secara turun temurun. Menurut Noor (Mohammad, 2005:376-
377) karakter masyarakat adat Gorontalo adalah; penganut agama Islam
yang taat (100% orang Gorontalo) kecuali pendatang dan yang pindah
agama, tetapi masyarakat Gorontalo yang beragama Islam tidak fanatik,
menghormati pemimpin yang sering mengarah pada kultus individu
28
selama pemimpin tersebut memihak kepada kepentingan rakyat yang
diperkuat oleh ajaran Islam, dan masyarakat Gorontalo sangat familiar,
menghargai kebersamaan, terdiri dari rumpun keluarga yang sangat erat
hubungannya satu sama lainnya. Hal ini erat kaitannya dengan budaya
Huyula sebagai modal masyarakat Gorontalo membangun daerahnya.
Tetapi, dengan hadirnya globalisasi yang kurang terfilterisasi dengan baik
menyebabkan budaya Huyula sedikit demi sedikit hilang dalam kebiasaan
masyarakat Gorontalo (Yunus, 2014: 8).
3. Aksiologi
Tari Bedoyo dan Tari Serimpi diberikan kepada anak didik karena
merupakan kesenian yang amat indah yang mengandung rasa kebatinan,
rasa kesucian, dan rasa keindahan (Suparlan, 2015). Peran Seni tari
melalui makna tari itu sendiri yang harus diterapkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Makna dari seni tari itulah yang salah satunya
melandasi filosofi Ki Hadjar Dewantara.
Ketika anak didik sudah menginjak pada pendidikan Taman Muda
(Sekolah Dasar), kemudian Taman Dewasa dan seterusnya maka konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah Ngerti, Ngroso lan Nglakoni.
Model pendidikan ini dimaksudkan supaya anak tidak hanya dididik
intelektualnya saja (cognitive), istilah Ki Hadjar Dewantara 'ngerti',
melainkan harus ada keseimbangan dengan ngroso (affective) serta
nglakoni (psychomotoric). Dengan demikian diharapkan setelah anak
menjalani proses belajar mengajar dapat mengerti dengan akalnya,
29
memahami dengan perasaannya, dan dapat menjalankan atau
melaksanakan pengetahuan yang sudah didapat dalam kehidupan
masyarakat (Suparlan, 2015).
Di Kalimantan Tengah, Huma Betang sebagai filosofi masyarakat.
Farada (2015) mengemukakan filosofi dari Huma Betang merupakan
nilai-nilai yang akan selalu melekat pada diri setiap masyarakat
Kalimantan Tengah dalam arti kata, nilai-nilai yang ada didalam Huma
Betang tersebut bukan hanya sekedar warisan akan tetapi untuk dikelola
oleh masyarakat Kalimantan Tengah. Walaupun tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa Huma Betang akan punah seiring berjalannya waktu dan arus
globalisasi dan modernisasi (Pelu dan Tarantang, 2018).
Di Gorontalo, budaya Huyula merupakan budaya Gorontalo
yang diwariskan oleh leluhur yang memiliki nilai-nilai seperti
kerja sama, tanggung jawab dan toleransi yang mulai
dilupakan oleh masyarakat Gorontalo sehingga kondisi ini jika
tidak mendapat perhatian dari seluruh elemen masyarakat
Gorontalo akan menyebabkan hilangnya budaya Huyula di
Gorontalo (Yunus, 2014: 9).
D. Filsafat Pendidikan dalam Pembelajaran abad 21
1. Ontologi
Globalisasi merupakan era dimana tidak ada lagi batas antara
negara-negara dalam menjalani kerjasama dalam berbagai bidang yaitu
ekonomi, sosial budaya, politik, kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan
30
perdamaian dunia (Ben-Peretz, 2009). Pengaruh globalisasi yang sedang
dan akan berlangsung akan berpengaruh terus-menerus sampai waktu
yang tidak ditentukan dan ini semakin sulit untuk diatasi. Melihat
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada masa-masa yang akan
datang, rasanya sangat berat sehingga bangsa Indonesia harus secara
serius menangani masalah ini (Suparlan, 2015).
Harari (2018) mengemukakan tentang bagaimana pikiran manusia
menghadapi masa kini. Pikiran kita saat ini adalah akumulasi perjalanan
budaya sapiens selama 2,5 juta tahun. Jadi otak manusia adalah biologis,
tetapi pikiran adalah budaya. Karena pikiran adalah produk budaya, ia
rentan terhadap relasi kekuasaan sama seperti bentuk-bentuk budaya
lainnya. Maka itu akan memengaruhi cara kita melihat 'kebenaran'.
Setelah berevolusi selama 2,5 juta tahun, apakah kita semakin pintar?
Sepertinya tidak. Produk utama pikiran manusia pada abad 21 adalah
kebodohan. Dia memperingatkan bahwa, "Kita seharusnya tidak
meremehkan kebodohan manusia.” Ada dua produk utama pikiran
manusia 'bodoh' pada abad ke-21: yang pertama adalah Artificial
Intelligence (AI). Produk kedua adalah serangkaian logika manusia yang
terpelintir.
AI tidak bodoh. Sebaliknya, itu cukup cerdas seperti namanya. Namun AI
menampilkan paradoks dari kecerdasan kita. Pikiran manusia begitu
pintar sehingga mampu menciptakan sesuatu yang bahkan lebih pintar
daripada manusia itu sendiri. Tunggu dulu, ini tidak terdengar pintar
31
sama sekali. Mungkin ini bodoh. Mengapa pikiran manusia menciptakan
sesuatu yang akan membuat pikiran manusia itu sendiri usang? Ini cukup
merusak diri jika Anda memikirkannya. Bunuh diri penuh kesadaran,
dalam setiap arti kata. Disimpulkan bahwa manusia menggunakan
kecerdasan mereka untuk menciptakan hal-hal yang pada akhirnya akan
membuat pikiran mereka sendiri tidak berguna. Alasannya adalah karena
manusia menyerahkan kekuasaan mereka untuk membuat keputusan
untuk Artificial Intelligence. Pikiran tidak dapat memutuskan video
Youtube mana yang harus ditonton tanpa melihat bagian yang
direkomendasikan. Rekomendasi ini adalah algoritma, yang pada
dasarnya AI secara halus membuat keputusan atas nama saya. Harari
mengatakan bahwa di masa lalu, "... massa memberontak melawan
eksploitasi." Di masa sekarang, "... massa takut tidak relevan." Manusia
dibuat berlebihan oleh AI. Orang-orang diberhentikan dari pekerjaan
mereka karena keputusan yang dibuat oleh bos AI mereka yang dapat
menghitung efisiensi kerja lebih akurat daripada bos manusia. Di mana
manusia kurang? Pada dasarnya kita kekurangan kecepatan. Sekali lagi,
ini adalah kesalahan dan kebodohan kita sendiri untuk menciptakan
sesuatu yang sangat cepat seperti komputer. Era digital kekuatan yang
paling penting diperoleh melalui "konektivitas dan kemampuan
pembaruan". Sayangnya, manusia sangat lambat untuk terhubung dan
memperbarui diri, meskipun nama-nama mewah yang kami berikan
untuk dua keterampilan ini, yaitu sosialisasi dan pendidikan. Untuk
terhubung, kita hanya manusia perlu bersosialisasi untuk membuat
32
jaringan. Ini membutuhkan banyak waktu dan kesabaran, terutama untuk
mendapatkan kepercayaan orang lain. Untuk memperbaharui diri kita,
kita memiliki institusi mewah yang disebut pendidikan dan proses mewah
yang disebut pembelajaran. Pendidikan formal dari playgroup ke program
doktor membutuhkan rata-rata 26 tahun. Sebaliknya, apa yang harus
dilakukan AI untuk menghubungkan dan memperbarui sendiri? Hanya
satu hal: colokkan. Ini akan menghubungkan dirinya dengan AI lain dan
menyerap data dalam hitungan detik. Hanya itu saja. Tidak repot. Tidak
berantakan. Dibandingkan dengan AI, manusia hanyalah sekumpulan
saraf yang tidak efisien. Tidak heran kita dibuat berlebihan.
Setelah AI, yang kedua pada daftar kebodohan manusia adalah
logika bengkok. Kami berpikir bahwa manusia tumbuh lebih bijak setelah
total 2,5 juta tahun berlatih menjadi manusia. Tetap cerdas dan sehat di
tengah-tengah cara berpikir yang tidak konsisten bahwa manusia
mengabadikan untuk menghibur baik secara temporal dan spasial.
2. Epistemologi
Pendidikan adalah pembelajaran yang dilakukan terhadap mansuia
yang dilakukan di sekolah. Pembelajaran mengajarkan keterampilan
mengerjakan aktivitas tertentu berdasarkan teori dan pengalaman. Zubaidah
(2016) mengemukakan kehidupan di abad ke-21 menuntut berbagai
keterampilan yang harus dikuasai seseorang, sehingga diharapkan
pendidikan dapat mempersiapkan siswa untuk menguasai berbagai
keterampilan tersebut agar menjadi pribadi yang sukses dalam hidup.
Keterampilan-keterampilan penting di abad ke-21 masih relevan dengan
33
empat pilar kehidupan yang mencakup learning to know, learning to do,
learning to be dan learning to live together. Empat prinsip tersebut masing-
masing mengandung keterampilan khusus yang perlu diberdayakan dalam
kegiatan belajar, seperti keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah,
metakognisi, keterampilan berkomunikasi, berkolaborasi, inovasi dan
kreasi, literasi informasi, dan berbagai keterampilan lainnya. Pencapaian
keterampilan abad ke-21 tersebut dilakukan dengan memperbarui kualitas
pembelajaran, membantu siswa mengembangkan partisipasi, menyesuaikan
personalisasi belajar, menekankan pada pembelajaran berbasis
proyek/masalah, mendorong kerjasama dan komunikasi, meningkatkan
keterlibatan dan motivasi siswa, membudayakan kreativitas dan inovasi
dalam belajar, menggunakan sarana belajar yang tepat, mendesain aktivitas
belajar yang relevan dengan dunia nyata, memberdayakan metakognisi, dan
mengembangkan pembelajaran student-centered. Berbagai keterampilan
abad ke-21 harus secara eksplisit diajarkan. Secara singkat, pembelajaran
abad ke-21 memiliki prinsip pokok bahwa pembelajaran harus berpusat
pada siswa, bersifat kolaboratif, kontekstual, dan terintegrasi dengan
masyarakat. Peran guru dalam melaksanakan pembelajaran abad ke-21
sangat penting dalam mewujudkan masa depan anak bangsa yang lebih
baik.
US-based Partnership for 21st Century Skills (P21), mengidentifikasi
kompetensi yang diperlukan di abad ke-21 yaitu “The 4Cs”communication,
collaboration, critical thinking, dan creativity. Kompetensi-kompetensi
tersebut penting diajarkan pada siswa dalam konteks bidang studi inti dan
34
tema abad ke-21. Assessment and Teaching of 21st Century Skills
(ATC21S) mengkategorikan keterampilan abad ke-21 menjadi 4 kategori,
yaitu way of thinking, way of working, tools for working dan skills for
living in the world (Griffin, McGaw & Care, 2012). Way of thinking
mencakup kreativitas, inovasi, berpikir kritis, pemecahan masalah, dan
pembuatan keputusan. Way of working mencakup keterampilan
berkomunikasi, berkolaborasi dan bekerjasama dalam tim. Tools for
working mencakup adanya kesadaran sebagai warga negara global maupun
lokal, pengembangan hidup dan karir, serta adanya rasa tanggung jawab
sebagai pribadi maupun sosial. Sedangkan skills for living in the world
merupakan keterampilan yang didasarkan pada literasi informasi,
penguasaan teknologi informasi dan komunikasi baru, serta kemampuan
untuk belajar dan bekerja melalui jaringan sosial digital (Zubaidah, 2016).
3. Aksiologi
Setiap siswa belajar dengan cara yang berbeda-beda, sehingga guru
ditantang untuk menemukan cara membantu semua siswa belajar secara
efektif. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat bentuk-bentuk
pedagogi yang secara konsisten lebih berhasil dari yang lain dalam
membantu siswa memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang
keterampilan abad ke-21. Wagner (2010) dan Change Leadership Group
dari Universitas Harvard mengidentifikasi kompetensi dan keterampilan
bertahan hidup yang diperlukan oleh siswa dalam menghadapi kehidupan,
dunia kerja, dan kewarganegaraan di abad ke-21 ditekankan pada tujuh
(7) keterampilan berikut: (1) kemampuan berpikir kritis dan pemecahan
35
masalah, (2) kolaborasi dan kepemimpinan, (3) ketangkasan dan
kemampuan beradaptasi, (4) inisiatif dan berjiwa entrepeneur, (5) mampu
berkomunikasi efektif baik secara oral maupun tertulis, (6) mampu
mengakses dan menganalisis informasi, dan (7) memiliki rasa ingin tahu
dan imajinasi.
Di antara ragam kompetensi dan keterampilan yang diharapkan
berkembang pada siswa sehingga perlu diajarkan pada siswa di abad ke-
21 di antaranya adalah personalisasi, kolaborasi, komunikasi,
pembelajaran informal, produktivitas dan content creation. Elemen
tersebut juga merupakan kunci dari visi keseluruhan pembelajaran abad
ke-21. Dunia kerja juga sangat memerlukan keterampilan personal
(memiliki inisiatif, keuletan, tanggung jawab, berani mengambil resiko,
dan kreatif), keterampilan sosial (bekerja dalam tim, memiliki jejaring,
memiliki empati dan rasa belas kasih), serta keterampilan belajar
(mengelola, mengorganisir, keterampilan metakognitif, dan tidak mudah
patah semangat atau merubah persepsi/sudut pandang dalam menghadapi
kegagalan) (Zubaidah, 2016). Keterampilan abad 21 perlu dikuasai oleh
manusia yang tidak ingin kesejahteraannya akan berkurang atau
pembelajarannya akan tertinggal jauh.
E. Strategi Filsafat Pendidikan Menghadapi Tantangan Revolusi Industri 4.0
Sistem pendidikan selalu berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman,
baik kurikulum, metode dan model, konten, sarana dan prasana, dan media
pembelajaran. Perkembangan zaman saat ini telah memasuki revlosi industri
4.0. Shcwab (2006: 11) mengemukakan.
36
The word “revolution” denotes abrupt and radical change. Revolutions have occurred throughout history when new technologies and novel ways of perceiving the world trigger a profound change in economic systems and social structures. Given that history is used as a frame of reference, the abruptness of these changes may take years to unfold.
Artinya "revolusi" menunjukkan perubahan yang tiba-tiba dan radikal.
Revolusi telah terjadi sepanjang sejarah ketika teknologi baru dan cara baru
memahami dunia memicu perubahan besar dalam sistem ekonomi dan struktur
sosial. Mengingat bahwa sejarah digunakan sebagai kerangka acuan, maka
perubahan yang mendadak ini mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun
untuk berkembang. Sekarang telah memasuki revolusi industri keempat. Itu
dimulai pada pergantian abad ini dan dibangun di atas revolusi digital. Ini
ditandai dengan lebih banyak di mana-mana internet seluler, dengan sensor
yang lebih kecil dan lebih kuat telah menjadi lebih murah, dan dengan
kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin. Teknologi digital yang memiliki
perangkat keras komputer, perangkat lunak, dan jaringan di inti mereka
bukanlah hal baru, tetapi tidak berhubungan dengan revolusi industri ketiga,
mereka menjadi lebih canggih dan terintegrasi dan, sebagai akibatnya,
mentransformasikan masyarakat dan ekonomi global.
1. Ontologis
Jika kita menuju hilirnya Filsafat, kita akan menemukan Pendidikan
Berbasis Rasio atau Berbasis Kognitif, dengan sifat-sifat ikutan yang dapat
diturunkan sebagai atau berbentuk Cognitive-Based Education, Anti-
Spiritualisme, Dunia Parsial dan Hedonisme. Dalam era Kontemporer
(Revolusi Industri 4.0), terdapat main-set yang cukup kuat dan signifikan
37
bahwa semua pengambil kebijakan Pendidikan di Indonesia akan
mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Pasar, yang dengan sendirinya
akan mencari hakikat kebenaran ada di dalam Pasar. Dengan metode yang
sama seperti sudah dilakukan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan
Berbasis Pasar dengan sendirinya bersifat Anti-Spiritualisme, dengan sifat-
sifat ikutan yang dapat diturunkan sebagai Reduksionisme, Eksploitasi Vital,
Kompetisi Mutlak, Egosentrik, Hegemoni, Dunia Terpotong, Materialisme,
ragmatisme, Hedonisme, dan Pendidikan Laskar. Pendidikan Konseratif
Mutlak mempunyai sifat Reduksionisme, Eksploitasi Vital, Monokulturisme,
Egosentrik, dan Ethical Closed-ended Mutlak (Nilai Budaya Tertutup Mutlak).
Dari Narasi Besar nya Dunia Kontemporer, kita menjumpai adanya
Pendidikan Liberalisme Mutlak dengan sifat Anti-Spiritualisme, Open-ended
Mutlak, Kebebasan Mutlak, Heterogonomous Mutlak, dan Alienisasi.
Pendidikan Kapitalisme yang bersifat Anti-Spiritualisme, Eksploitasi Vital,
Materialisme, Pragmatisme, Hedonisme, Kapital Mutlak, Kompetisi Mutlak,
Reduksionisme, Sosialisme, Dunia Terpotong, Closed-ended, dan Alienisasi.
Pendidikan Humanisme Mutlak dengan sifat Anti-Spiritualisme, Hedonisme,
Egosentris, dan Dunia Terbelah. Pendidikan Konstruksi Sosial dengan sifat
Eksploitasi Vital, Kolaborasi, Heterogonomous, Egosentris, dan Open-ended.
Pendidikan Pragmatisme Mutlak yang bersifat Praktis (budaya instant), Anti-
Spiritualisme, Hedonisme, dan Anti-Idealsime. Pendidikan Sentralistik yang
bersifat Monokultur, Eksploitasi vital, Pendidikan Laskar, Closed-ended
Mutlak, Egosentrik, Reduksionisme, Dunia Terbelah, Sosialisme,
Kapitalisme, De-Alienisasi (Uniformitasisme). Pendidikan Formalisme yang
38
bersifat Top-Down, Sosialisme, Monokultur, Transenden, Idealisme,
Sentralistik, Eksploitasi Vital, Pendidikan Laskar, Egosentris, dan Dunia
Terbelah. Pendidikan Demokrasi Pancasila yang seyogyanya bersifat
Spiritualsme, Mono-Dualis (Habluminallah-Habluminanash), Terbuka-
tertutup, Demokratis, Public Educator, Realis-Idealisme, Bhineka-Tunggal
Ika (monokultur-heterogonomous), dan Dunia-Akhirat (seutuhnya) (Marsigit,
2014).
2. Epistemologis
Bangsa Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada pembangunan
mengedepankan infrastruktur untuk mencapai masyarakat adil dan makmur
tetapi lupa bahwa sekarang memasuki era modernisasi dan industrialisasi
berbasis sains dan teknologi sebagai indikator utamanya. Mahfud (2016)
mengemukakan kemajuan sains dan teknologi memang telah mampu
membuka lebar rahasia alam semesta. Komunikasi dan infromasi semakin
dekat antara negara-negara di dunia. Pergesekan akibat berbagai kebudayaan,
tata nilai, dan norma saling bertemu membawa konflik dan menjadi beban
pergeseran tata nilai yang dapat menghancurkan manusia, misalnya dengan
tidak percaya dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang Pencipta dunia.
Kebudayan dan teknologi sering bergeseran satu sama lainnya yang
menyebabkan berbagai patologi sosial di masyarakat. Sebab akibat yang
dirasakan oleh masyarakat juga telah menjadi lahan untuk terus berupaya
berkembang dalam mempertahankan diri. Pendidikan merupakan sistem
pertahanan diri untuk tetap hidup berdampingan dengan era revolusi industri
4.0.
39
3. Aksiologis
Implementasi Pendidikan Kontemporer Indonesia berbasis Disiplin
Ilmu Egosentris dengan Epistemologi Pendidikan berupa Pendidikan
Laskar dan Metode Pendidikan melalui cara Indoktrinasi untuk menuju
Masyarakat Terdealienasi (Uniformitas) sebagai prasyarat terwujudnya
hilirnya bagi Karakter Kontemporer Global (Power Now-
(Neo)Kapitalisme). Oleh karena ini Politik Pendidikan Kontemporer
Indonesia sejalan dengan Politik Pendidikan Kapitalisme dan Politik
Pendidikan Saintisisme; bahkan untuk aspek tertentu bersinggungan
dengan Politik Pendidikan Sosialisme yaitu pada Epistemologi Dealienasi
(Uniformitas). Perlu dicatat bahwa Ontologi Dealienasi merentang pada
kesamaan sifat meliputi yang ada dan yang mungkin ada; sehingga terdapat
wacana bagi diperolehnya Uniformitas hak dan kewajiban (Marsigit, 2014).
Strategi yang diperlukan untuk menghadapi tantangan revolusi
industri 4.0 sehingga masyarakat mampu hidup dalam pergaulan dan
interaksi. Nils A. Shapiro mengemukakan ada enam strategi untuk
mengahdapi tantangan revolusi industri 4.0, yaitu:
a. Perencanaan yang cermat (carefull planning);
b. Latihan dan Pengalaman (training and experince);
c. Bersedia belajar dari orang lain (willingness to learn from others);
d. Bersedia bekerjasama selama dan sekeras diperlukan (commitment
to working as long and as hard as necessary); and
e. Tabah menghadapi kekecewaan dan kemunduran (courage to
overcome disappointed and setbeacks) (Mahfud, 2016: 112-115).
Enam hal tersebut merupakan hasil pengalaman di lapangan atau sesuai realitas
empirik. Enam hal tersebut dilaksanakan dengan mempertimbangkan potensi dan
40
karakteristik masing-masing orang sehingga strategi itu dapat berhasil guna sesuai
tujuan dan prosedur yang berlaku.
F. Referensi
Abubakar HM. (2016). Huma Betang dan Aktualisasi Nilai Kearifan Lokal Dalam Budaya Dayak. Humanika 1(2). 259-294. http:// garuda. ristekdikti. go. id / journal/article/508819
Ben-Peretz, M. (2009). Policy-making in education : a holistic approach in response to global changes. Maryland-The United States of America: Rowman & Littlefield Education
Harari, Y. N. (2018). 21 Lessons for the 21st Century. London: Jonathan Cape-Penguin Random House LLC. Direview: Suzie Handajani (2018): Jurnal Humaniora 30(3). 342-344. http://doi.org/10.22146/jh.v30i3.39310
https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat
Kristiawan, M. 2016. Filsafat Pendidikan “The Choice is Yours”. Jogyakarta: Valia Pustaka
Marsigit. (2014). Refleksi Pendidikan Kontemporer Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat, Politik dan Ideologi Pendidikan. Orasi Ilmiah pada Rapat majelis Guru Besar. Yogyakarta: UNY. https://uny.academia.edu/MarsigitHrd
Mahfud, C. (2016). Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muhmidayeli. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama
Mudyahardjo, R. (2010). Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nashir, H. (2018). Muhammadiyah dan Kehadiran Islam Berkemajuan di Indonesia. Makalah ini disampaikan dalam kuliah umum di Monash University, 16 Februari 2018. http://www.suaramuhammadiyah.id/ 2018/02/16/muhammadiyah-dan-kehadiran-islam-berkemajuan-di-indonesia/
Pelu, I.E.AS. dan Tarantang, (2018). Interkoneksi Nilai-Nilai Huma Betang Kalimantan Tengah dengan Pancasila. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 14(2). 119-126. DOI: htpps://10.23971/jsam.v14i2.928
Suparlan, H. (2015). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara Dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat 25(1). 56-74. https://doi.org/10.22146/jf.12614
41
Tatang. 2018. Landasan Filosofis Pendidikan. Bandung: UPI. http:// file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/...PENDIDIKAN/BBM_2.pdf diakses tgl 19 Desember 2018
Tola, B. (2014). Fungsi Filsafat Pendidikan Terhadap Ilmu Pendidikan. Jurnal Irfani 10(1). 54-62. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ir
Yunus, R. (2014). Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Sebagai Penguat Karakter Bangsa: Studi Empiris Tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish
Zubaidah, S. (2016). Keterampilan Abad Ke-21: Keterampilan Yang Diajarkan Melalui Pembelajaran. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan dengan tema “Isu-isu Strategis Pembelajaran MIPA Abad 21, tanggal 10 Desember 2016 di Program Studi Pendidikan Biologi STKIP Persada Khatulistiwa Sintang – Kalimantan Barat
42