repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/52022...terjatuh dan...
TRANSCRIPT
v
ABSTRAK
M. Kamaluddin Umar. Nim 11150440000090. PENYELESAIAN
SENGKETA WARIS BAGI ISTRI YANG MAFQUD ( Analisis Putusan Nomor
2210/Pdt.G/2018/PA.JB ). Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah),
Fakultas Syari`ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1441 H/2020 M. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
pertimbangan hakim Putusan Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB, dalam memutus
gugatan waris dan untuk mengetahui perspektif hukum islam dan maslahah
mursalah.
Jenis penelitian ialah jenis penelitian kualitatif sedangkan pendekatan
penelitian normatif dengan sumber data berupa putusan Tingkat Pertama dengan
teknik pengumpulan data dilakukan dengan kajian pustaka dan dokumentasi.
Analisa data menggunakan metode content analysis.
Pada putusan ini dinyatakan mafqud tidak berhak atas harta warisan
karena secara fakta telah bercerai dan mafqud sejak tahun 2009, hasil penelitian
ini penulis berbeda pendapat dengan putusan. Penulis menilai mafqud masih
dinyatakan hidup dan berhak atas harta warisan suaminya dengan alasan
kemaslahatan dan menjauhi kemudharatan bagi mafqud.
Kata kunci: kewarisan, mafqud, putusan, hukum islam, maslahah mursalah
Pembimbing: Sri Hidayati, MAg.
Daftar Pustaka: 1991 – 2018
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puja dan puji syukur penulis panjatkan
kepada Tuhan semesta alam, Allah SWT. Sebuah kesyukuran yang mendalam atas
segala nikmat, ma`unah, hidayah serta karunia Allah kepada kita semua
khususnya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan Judul “PENYELESAIAN SENGKETA WARIS BAGI ISTRI YANG
MAFQUD(Analisis Putusan Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB)”. Shalawat serta
salam tak lupa penulis curahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW,
yang telah membawa ummatnya menuju jalan yang lurus dan yang diridhoi oleh
Allah SWT.
Penulis amat terharu, bersyukur dan gembira sekali, karena telah
menyelesaikan tugas akhir dalam jenjang pendidikan S1 ini, sehingga bisa
memperoleh gelar Sarjana Hukum lulusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis juga meminta maaf yang sebesar-besarnya
apabila skripsi ini kurang berkenan bagi para pembaca, karena penulis menyadari
bahwa skripsi penulis jauh dari kata kesempurnaan. Perlu diketahui bahwa selama
penulis masih di bangku perkuliahan sampai pada tahap akhir ini yakni penulisan
skripsi, penulis mendapatkan banyak pendidikan, arahan, bantuan, masukan, serta
dukungan yang luar biasa dari para pihak, oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para wakil
Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. Mesraini, S. H, M.Ag., dan Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku Ketua
Program Studi Hukum Keluarga dan Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum, yang selalu memberikan semangat
dan arahan kepada penulis.
vii
4. Dr.Hj. Azizah, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik yang tak kenal
lelah membimbing penulis serta mendampingi penulis dengan penuh
keikhlasan dan kesabaran sampai pada tahap semester akhir di Fakultas
Syariah dan Hukum tercinta ini, khususnya pada penyelesaian skripsi
penulis.
5. Sri Hidayati, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang selalu siap sedia dan
tak kenal lelah saat membimbing yang senantiasa mengarahkan penulis
dalam penyusunan skripsi ini, dan menjadi kebanggaan tersendiri kepada
penulis karena telah dibimbing orang hebat seperti beliau.
6. Kedua orang tua, teruntuk mama tersayang Mujianah dan papa tercinta
Saumun Hasan, S.sos., yang tak pernah lelah untuk memberikan doa dan
motivasinya kepada penulis, sehingga menjadi motivasi tersendiri kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa abang dan adikku
yang selalu memberikan semangat kepada penulis disaat penulis merasa
terjatuh dan terpuruk. Tidak hanya itu teruntuk keluarga besar Ibnu Hasan
dan Ibnu Umar atas doa dan nasihatnya selama ini.
7. Murobbi AlHabib Alwi bin Abdurrahman AlHabsyi yang tidak pernah
lelah mendidik, membimbing, memberikan doa dan nasehat kepada
penulis, sehingga penulis termotivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
Tidak lupa Ashabul Khidmah majelis Zawiyaturrasul SAW atas doanya
selama ini.
8. Para dosen fakultas syariah dan hukum, yang telah memberikan ilmu dan
berbagi pengalamannya sehingga sangat memotivasi penulis.
9. Teman-teman Hukum Keluarga 2015 khususnya Aza, Fikri, Iyan, Arkay,
Ipul, Alawi, Ridwan, Maulvi, Ajat, Edo, Furqon, Wildan, Hana, Ghina,
serta masih banyak lagi teman-teman penulis yang namanya tidak
tercantum disini, terima kasih atas dukungannya serta arahannya yang
selalu menyemangati penulis selama ini.
10. Sahabatku Alifian Dzikiri Ramadhan, Muhammad Rafhi, Ibnu Malik, M.
Ghozali, Nur Israfiani dan Cika Ramadanti yang selalu memberikan segala
bentuk perhatian dan motivasi.
viii
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas jasa-jasa
mereka, kebaikan mereka, dan melindungi mereka baik di dunia maupun di
akhirat kelak, Amiin! Semoga skripsi ini membawa berkah dan banyak
manfaat bagi para pembaca walaupun masih banyak kekurangan dan belum
sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Wallahu a‟lam bi
al-Showab.
Jakarta, 20 Januari 2020
M. Kamaluddin Umar
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
A. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak Dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H} ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
s} es dengan garis bawah ص
d} de dengan garis bawah ض
t} te dengan garis bwah ط
z} zet dengan garis bawah ظ
Koma terbalik diatas ‘ ع
hadap kanan
Gh ge dan ha غ
x
F Ef ف
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apstrop ‘ ء
Y Ya ي
B. Vokal Pendek dan Vokal Panjang
Vokal Pendek Vokal Panjang
_____ _____= a ى ا = a>
_____ _____= i ى ي = i>
_____ _____= u ى و = u>
C. Diftong dan Kata Sandang
Diftong Kata Sandang
يأ __= ai )ال( = al
al-sh = (الش( aw =__أ و
(وال ) = wa al-
D. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf’ah, tidak ditulis asy-
syuf’ah.
xi
E. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).
Kata Arab Alih Aksara
Syarî’ah شزيعة
al- syarî ’ah al-islâmiyyah الشزيعة الإسلا مية
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذا هة
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman
kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
NO Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur‟a>n Alqur’an
2 Al-H}adi>th Hadis
3 Sunnah Sunnah
4 Nas{ Nas
5 Tafsi>r Tafsir
6 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................. iv
ABSTRAK............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR.......................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI......................................................................... ix
DAFTAR ISI.......................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah.................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah................................................................... 4
D. Rumusan Masalah....................................................................... 5
E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian.................................................. 5
F. Review Studi Terdahulu............................................................. 6
G. Kerangka Teori........................................................................... 7
H. Metode Penelitian....................................................................... 8
I. Sistematika Penulisan............................................................... 10
BAB II KEWARISAN MAFQUD DAN PERCERAIAN DALAM ISLAM
A. Kewarisan Islam
1. Pengertian Kewarisan....................................................... 12
2. Dasar Hukum Kewarisan.................................................. 14
3. Rukun dan Syarat kewarisan............................................. 18
4. Sebab-sebab Kewarisan.................................................... 21
5. Penghalang Kewarisan...................................................... 24
B. Ketentuan Mafqud
1. Pengertian Mafqud............................................................ 29
xiii
2. Pendapat Ulama tentang Status Hukum Mafqud.............. 30
3. Pendapat Ulama tentang Batas Waktu Mafqud................ 35
4. Cara Pembagian Harta Warisan Mafqud.......................... 37
C. Perceraian Pada Istri Yang Mafqud
1. Perceraian Mafqud Menurut Hukum Positif..................... 42
2. Perceraian Mafqud Menurut Hukum Islam....................... 45
BAB III TEORI MASLAHAH MURSALAH
A. Pengertian Maslahah Mursalah............................................... 47
B. Macam-macam Maslahah Mursalah....................................... 49
C. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah.......................................... 51
BAB IV PUTUSAN NOMOR 2210/Pdt.G/2018/PA.JB DAN ANALISIS
A. Kronologi
1. Duduk Perkara................................................................... 54
2. Proses Persidangan............................................................ 56
3. Pertimbangan Hakim......................................................... 58
4. Amar Putusan Hakim........................................................ 61
B. Analisis Hukum dan Maslahah Mursalah
1. Status Hukum Istri Mafqud............................................... 61
2. Bagian Waris Istri Mafqud................................................ 64
3. Kaitan Dengan Maslahah Mursalah.................................. 65
4. Perceraian Akibat Istri Mafqud......................................... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................. 69
B. Saran....................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mafqud menurut bahasa berarti yang hilang. Sedangkan menurut
istilah Fiqh, mafqud ialah orang yang pergi, tidak ada kabar beritanya, tidak
diketahui tempat tinggalnya, dan tidak diketahui apakah dia masih hidup atau
sudah meninggal dunia.1 Penentuan status orang hilang atau mafqud sangat
penting karena menyangkut berbagai aspek, salah satunya adalah aspek
kewarisan. Sebelumnya, harus diketahui dulu apakah dia sebagai pewaris
(orang yang mewariskan) atau apakah dia sebagai ahli waris (orang yang
menerima harta waris). Jika dia sebagai pewaris, sebelum ada keputusan dari
hakim tentang keadaannya maka harta benda itu tidak bisa dibagikan. Begitu
juga ketika dia menjadi ahli waris sebelum adanya putusan dari hakim maka
ia masih memiliki hak atas harta warisan.2
Pembagian warisan kepada ahli waris hukumnya adalah wajib apabila
syarat pewarisan telah terpenuhi. Terpenuhinya syarat-syarat pewarisan dapat
memberi hak kepada ahli waris untuk menerima warisan. Adapun syarat-
syarat sahnya pewarisan ada tiga, yang pertama orang yang mewariskan
(pewaris) telah meninggal dunia, kedua ahli waris masih hidup pada saat
orang yang mewariskan telah meninggal dunia, dan yang ketiga adalah
seluruh ahli waris diketahui secara pasti termasuk jumlah bagian masing-
masing.3
1 Amien Husain Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h.
193 2 Asyhari Abta, Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana,
2005(, h. 207 3 Muhammad Jawad Mughniyah penterjemah Masykur A.B. dkk, Al-Fiqh ‘ala al-madzhab al-
khamsah terjemah Foqh Lima Mazhab (Jakarta: Penerbit Lentera, 2011), h. 575
2
Pada pewaris yang menjadi syarat ialah kematian seseorang,
sedangkan pada ahli waris benar-benar hidup disaat kematian pewaris dan
memiliki hubungan nasab. Di lain hal, ahli waris juga memiliki halangan
untuk mendapatkan warisan, diantaranya:
1. Perbedaan agama, maksudnya ialah orang yang selain agama Islam
tidak bisa menerima waris;
2. Murtad, ialah seseorang yang pada awalnya beragama Islam, lalu
pindah agama. Baik orang itu memiliki hubungan darah atau
kekerabatan;
3. Pembunuhan, maksudnya ialah ahli waris melakukan penganiyaan
yang mengakibatkan terbunuhnya seseorang.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 173, dijelaskan tentang
terhalangnya ahli waris mewarisi harta benda keluarganya. Bisa karena
ditetapkan oleh seorang hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Hal ini terjadi apabila:4
1. Ahli waris dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat kepada pewaris.
2. Ahli waris dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan
pengaduan, bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang
diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman
yang lebih berat.
Permasalahannya adalah, ketika timbul ketidakjelasan mengenai status
pewaris maupun ahli waris tersebut. Tidak diketahui apakah masih hidup atau
sudah meninggal. Dengan kata lain, orang ini mafqud atau orang hilang.
Sebagai pewaris, maka harus dianggap masih hidup. Hartanya harus dijaga
dan tidak boleh diwariskan sampai ada kepastian bahwa ia sudah meninggal.
4 Kompilasi Hukum Islam pasal 173
3
Sebaliknya, apabila sebagai ahli waris maka tidak boleh menerima harta
warisan sampai ada kepastian bahwa ia masih hidup.5
Untuk menghilangkan keragu-raguan tentang status Al-Mafqud
apakah masih hidup atau sudah mati. Ada beberapa cara yang digunakan oleh
para fuqaha, yaitu:6
1. Ditunggu sampai usianya mencapai batas umur terakhir manusia
pada umumnya;
2. Al-Mafqud bisa dihukumi sebagai mati apabila sudah lewat waktu
4 tahun tidak ada kabar beritanya.
Para fuqaha lainnya juga memiliki tiga solusi untuk menetapkan
hukum Al-Mafqud dalam perkara kewarisan, yaitu:7
1. Ahli waris lain menyikapi dirinya dengan mengambil mudharat
yang lebih kecil baik ketika dia dianggap masih hidup atau sudah
meninggal dunia;
2. Dia dianggap sudah meninggal dunia dan harta peninggalan
dibagikan kepada ahli waris yang ada. Meskipun hal ini merugikan
mereka semua atau sebagian dari mereka jika diperkirakan bahwa
orang yang hilang masih hidup;
3. Dia dianggap masih hidup dan harta warisannya dibagikan kepada
ahli waris yang ada. Setiap ahli waris yang ada diberi bagiannya
masing-masing. Bagian orang hilang ditangguhkan sampai
keadaannya benar-benar diketahui atau sampai hakim memutuskan
ia telah meninggal dunia sebelum pewarisnya meninggal dunia.
5 Husein Nasution, Hukum Kewarisan, h. 195 6 Saifuddin Arief, Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta:
Darunnajah Production House, 2007), h.43 7 Wahyudin Abdurrahman, Panduan Waris Empat Madzhab, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2009), h.266-267
4
Saat ini, telah terdapat sebuah putusan tentang gugatan waris di
Pengadilan Agama Jakarta Barat. Putusan tersebut memutus istri yang mafqud
tidak berhak atas kewarisan dan dinyatakan secara fakta telah bercerai karena
telah mafqud sejak 2009. Dalam hal ini, penggugat adalah anak dari mafqud
sedangkan suami dari mafqud telah meninggal dunia sejak 07 Juli 2018
berdasarkan surat keterangan kematian Nomor 3173011001-PKM-11072018-
0001 yang dikeluarkan oleh Lurah Cengkareng Barat pada tanggal 11 Juli
2018.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dan kemudian mengkaji dan menyajikannya dalam sebuah skripsi
dengan judul “Penyelesaian Sengketa Waris Bagi Istri yang Mafqud
(Analisis Putusan Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB)”
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan permasalahan yang terkait dengan
judul yang sedang dibahas. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis
mengambil beberapa poin permasalahan yang akan dibahas, diantaranya:
1. Kapan seseorang dikatakan mafqud?
2. Kapan orang yang mafqud dapat menjadi ahli waris?
3. Apa yang menghalangi seseorang mendapatkan waris?
4. Bagaimana pertimbangan hakim memutus perkara gugatan waris?
C. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas
dan terarah. Penulis membatasi pembahasan penyelesaian sengketa waris bagi
istri yang mafqud pada Amar Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat
Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB.
5
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari identifikasi masalah dan pembatasan masalah
di atas, maka penulis merumuskan masalah sebbagai berikut:
1. Bagaimana hukum Islam mengatur kewarisan mafqud?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara gugatan
waris Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB.?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui kewarisan mafqud dalam hukum Islam
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim tentang gugatan
waris pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat
Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB.
2. Manfaat Penelitian
a. Memberikan penjelasan tentang cara hakim memutuskan
perkara dan metode apa saja yang digunakan dalam
menetapkan perkara.
b. Sebagai sumbangsih kepustakaan bagi mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum pada khususnya serta masyarakat luas
pada umumnya.
c. Sebagai kontribusi ilmiah dalam memperkaya khazanah
kepustakaan Islam. Khususnya dalam bidang studi Hukum
Keluarga.
6
F. Review Studi Terdahulu
Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis
melakukan review kajian terdahulu yang berkaitan dengan judul yang akan
penulis bahas. Review kajian terdahulu yang berkaitan dengan judul yang
penulis bahas, diantaranya:
Skripsi dengan judul “Putusan Pengadilan Agama Kota Tangerang
dalam Perkara Cerai Talak dengan Alasan Istri Mafqud”. Skripsi ini ditulis
oleh Idham Abdul Fatah R, Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010. Skripsi ini membahas
putusan peradilan agama atas kasus-kasus perceraian talak karena istri mafqud
yang diputus secara verstek. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah pada
pembahasannya. Penelitian penulis lebih fokus membahas mengenai
kewarisan yang diakibatkan karena istri mafqud atau hilang.
Skripsi dengan judul “Dasar Hukum Penetapan Status Hukum Mafqud
dalam Kewarisan di Pengadilan Agama Yogyakarta dan Kediri” yang ditulis
oleh Saidul Iskandar, Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017. Skripsi ini membahas landasan hukum
formil hakim dalam memutuskan perkara istri mafqud oleh Pengadilan
Agama Yogyakarta dan Kediri. Serta membahas undang-undang yang
mengatur mengenai kewarisan mafqud. Perbedaan dengan penelitian penulis
adalah pada subjek penelitiannya. Pada penelitian penulis, membahas
mengenai bagaimana hakim menetapkan tergugat yang mafqud terhadap
status wafat atau hidupnya. Selain itu, penelitian ini juga berfokus pada
kewarisan dari segi hukum Islam.
Skripsi dengan judul “Perceraian karena Suami Mafqud menurut
Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Cibinong No.
0406/Pdt.G/2016/PA.Cbn) oleh Ardiansyah Pratama Putra Jurusan
Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2017. Skripsi ini membahas perceraian yang terjadi di Pengadilan
7
Agama Cibinong dengan alasan suami yang mafqud atau hilang selama 3
tahun. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah pada topic pembahasan
yaitu mengenai kewarisan akibat istri yang mafqud yang dianalisis dengan
teori maslahah mursalah.
G. Kerangka Teori
Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan teori mashlahat. Teori
ini dikemukakan oleh Al-Ghazali dan Al-Syatibi dengan tujuan syariat Islam
untuk mewujudkan kemashlahatan umum dengan cara menjadikan aturan
hukum syariah yang paling utama dan sekaligus menjadi kebutuhan sesuai
ruang dan waktu demi kehidupan manusia yang adil, bermartabat dan
bermashlahat.
Pelaksanaa pembagian harta warissan dalam Islam pada pengadilan
agama hendaknya diaplikasikan menurut prinsip-prinsip, asas-asas, dan tujuan
hukum syariah. Syamsulbahri didalam bukunya mengutip pendapat Imam Al-
Syatibi dalam membagi tingkatan mashlahat menjadi tiga, yaitu:8
Mashlahat daririyah, yakni kemashlahatan yang menjadi dasar tegaknya
kehidupan hak asasi manusia, baik yang berkaitan dengan agama yang dalam
hal ini adalah akhirat maupun dunia.
Mashlahat hajiyat, yakni kemashlahatan yang dibutuhkan manusia
untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi. Selanjutnya
yaitu mashlahat tahsiniyat, yakni kemashlahatan yang sifatnya untuk
memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan.
Mashlahat daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat memuat lima asas hukum
syara’ yakni memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan,
memelihara akal dan memelihara harta.
8 Syamsulbahri Salihin, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam Hukum Islam
dan Implementasinya pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2015), h.13
8
H. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana, dilakukan
dengan metode ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan data baru guna
membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.9
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan hukum normatif. Pada penelitian hukum jenis ini,
seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai
kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia
yang dianggap pantas.10 Kaitannya dengan penelitian ini, yang
dimaksud dengan hukum yaitu hukum Islam atau fiqh yang
bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits.
2. Jenis Penelitian
a. Data Penelitian
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang disajikan
dalam bentuk kata variabel bukan angka.11 Data kualitatif
ini adalah data yang hampir semua menggunakan kata-kata
untuk menggambarkan dan menjelaskan fakta atau
fenomena yang terjadi.
b. Sumber Data Penelitian
Dalam melakukan penelitian ilmiah ini, penulis
menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder yaitu
9 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 2. 10 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h.118 11 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), h.284.
9
data yang telah dikumpulkan untuk maksud menyelesaikan
masalah. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah
literatur, artikel, serta jurnal yang berkaitan dengan
penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan
yang diteliti, serta dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang
bersifat normatif. Maka teknik pengumpulan data yang penulis
gunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan
data-data kualitatif, yakni sumber data berupa bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum
dikumpulkan berdasarkan permasalahan dan dikaji secara
komperatif agar dapat digunakan untuk menjawab suatu
pertanyaan atau memecahkan suatu permasalahan.
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama yang
akan diteliti. Dalam penelitian hukum normatif berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memiliki
kekuatan mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Barat Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang tidak
mempunyai kekuatan mengikat tetapi membahas atau
menjelaskan topik terkait dengan penelitian berupa buku-
buku terkait, artikel dalam majalah atau media elektronik,
laporan penelitian atau jurnal hukum.
10
4. Metode Analisa Data
Analisis data merupakan bagian yang penting dalam metode
ilmiah. Analisis data memberi arti dan makna yang berguna dalam
memecahkan masalah penelitian. Metode analisis data yang sesuai
dengan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis
deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
adalah berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi yang
diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM)
Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta
tahun 2017.
I. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini dibagi
atas lima bab yang saling berkaitan.
Bab pertama, Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab kedua, studi literatur. Berisikan tentang studi mengenai kewarisan
dan mafqud. Bab ini membahas mengenai pengertian kewarisan, dasar hukum
kewarisan, rukun dan syarat kewarisan, sebab-sebab kewarisan, penghalang
kewarisan serta pengertian mafqud, pendapat ulama tentang status hukum
mafqud, pendapat ulama tentang batas waktu mafqud dan cara pembagian
harta warisan mafqud.
11
Bab ketiga, pembahasan teori maslahah mursalah. Pada bab ini
membahas mengenai pengertian maslahah mursalah, macam-macam dan
syarat maslahah mursalah.
Bab keempat, putusan Nomor 2210/Pdt.G/PA.JB dan analisis. Bab ini
berisikan duduk perkara, proses persidangan, pertimbangan hakim, amar
putusan hakim dan analisis penulis terhadap Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Barat Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB.
Bab kelima, penutup. Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang
menjawab rumusan masalah. Serta saran yang berguna untuk perbaikan di
masa yang akan datang.
12
BAB II
KEWARISAN MAFQUD DALAM ISLAM
A. Kewarisan Islam
1. Pengertian Kewarisan
Kata mawaris berasal dari bahasa arab yakni miiraats , kata al-mirats
memiliki dua pengertian. pertama, al-baqa yang memiliki arti kekal abadi. kedua,
al-mirats yang memiliki arti peralihan sesuatu dari seseorang kepada orang lain.1
Al-mirats juga memiliki makna lain yaitu harta peninggalan yang ditinggalkan oleh
si mati dan diwarisi oleh yang lainya.2
Sedangkan secara terminologis, fikih mawaris memiliki beberapa definisi,
yakni sebagai berikut:3
1) Penetapan kadar warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan
syara’ yang tidak bertambah kecuali dengan radd dan tidak
berkurang kecuali dengan aul.
2) Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung
yang terkait dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang
bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak
waris.
3) Disebut juga dengan fikih mawaris, fikih tentang warisan dan tata
cara menghitung harta waris yang ditinggalkan.
4) Kaidah-kaidah fikih dan cara menghitung untuk mengetahui bagian
setiap ahli waris dari harta peninggalan.
1 Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks & Konteks,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013),h.11-12 2 Suparman Usman dkk, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1997),h.13 3 Addys Aldizar dkk, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004),h.12
13
5) Disebut juga dengan ilmu yang digunakan untuk mengetahui ahli
waris yang dapat mewarisi dan yang tidak dapat mewarisi serta
mengetahui kadar bagian setiap ahli waris.
Dalam buku yang berjudul Fikih Mawaris Hukum Kewarisan Islam karya
Suparman Usman merangkum beberapa pendapat tokoh tentang pengertian hukum
kewarisan4, diantaranya adalah Muhammad al-Syarbiny yang mendefinisikan ilmu
mawaris adalah Ilmu fiqih yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang
cara perhitungan yang dapat menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan
tentang bagian-bagian yang wajib dan harta peninggalan bagi setiap pemilik hak
waris. Muhammad Muhyidin Abdul Hamid mendefinisikan bahwa ilmu mawaris
adalah ilmu yang membahas tentang bagian dari harta peninggalan bagi setiap orang
yang berhak menerimanya. Kemudian, Rifa’i Arief mendefinisikan ilmu mawaris
merupakan kaidah-kaidah dan pokok-pokok yang membahas tentang para ahli
waris, bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka (ahli waris), dan cara
membagikan harta peninggalan kepada orang yang berhak menerimanya.
Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan Ilmu yang mempelajari tentang siapa
yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang
diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya.5
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Fikih mawaris adalah suatu disiplin ilmu
yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan,
siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-
masing.6
4 Usman, dkk, Fiqh Mawaris, h. 14 5 TH Hasby Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 18 6 Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009),h.7
14
2. Dasar Hukum Kewarisan
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam, sebagai hukum agama adalah
nash atau teks yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Ayat-ayat
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW yang secara langsung mengatur kewarisan itu
sebagai berikut:
1. Ayat-ayat Al-Qur’an
a) QS. an-Nisaa’(4): 7
لدان وٱلقربون وللن س ا ترك ٱلو م يب م جال نص لدان ل لر ا ترك ٱلو م يب م اء نص
يبا مف روضا ه ن م ل ا ق م م ٱلقربون و أو كثر نص
Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (
Surat an-Nisaa ayat 7 )
b) QS. an-Nisaa’(4): 11-12
ثل حظ ٱلنثيين فإن كن نساء فوق ٱثنتين فله كم للذكر م د يكم ٱلله في أول ن يوص
ا م نهما ٱلسدس م د م ح بويه لكل و دة فلها ٱلن صف ول ح ثلثا ما ترك وإن كانت و
فإن كان لهۥ ترك ه ٱلثلث م ثهۥ أبواه فل فإن لم يكن لهۥ ولد وور
إن كان لهۥ ولد
ي بها أو دين ءاباؤكم وأبناؤكم ل ية يوص ن بعد وص ه ٱلسدس م م إخوة فل
يما ۞ولكم تدرون أيه ن ٱلله إن ٱلله كان عليما حك يضة م م أقرب لكم نفعا فر
ا م بع م فإن كان لهن ولد فلكم ٱلرجكم إن لم يكن لهن ولد نصف ما ترك أزو
ية يوص ن بعد وص ا تركتم إن لم يكن لكم تركن م م بع م ين بها أو دين ولهن ٱلر
ية توصون بها أو دين ن بعد وص ا تركتم م م فإن كان لكم ولد فلهن ٱلثمن مولد
لة أو ٱمر نهما ٱلسدس وإن كان رجل يورث كل د م ح أة ولهۥ أخ أو أخت فلكل و
ية يوصى بها أو دين ن بعد وص لك فهم شركاء في ٱلثلث م ن ذ فإن كانوا أكثر م
ن ٱلله وٱلله عليم حل ية م وص يم غير مضار
15
Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-
bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak,
maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu
saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at
yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun. ( Surat an-Nisaa ayat 11-12 )
16
c) QS. an-Nisaa’(4): 33
نكم ولك ين عقدت أيم لدان وٱلقربون وٱلذ ا ترك ٱلو م لي م ل جعلنا مو
يدا ف يبهم إن ٱلله كان على كل شيء شه اتوهم نص
Artinya : Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu
bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan
(jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan
mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu. ( Surat an-Nisaa ayat 33 )
d) QS. an-Nisaa’(4): 176
إن ٱمرؤا هلك ليس لهۥ ولد ولهۥ أخت فلها لة يستفتونك قل ٱلله يفتيكم في ٱلكل
ا م فإن كانتا ٱثنتين فلهما ٱلثلثان مثها إن لم يكن لها ولد نصف ما ترك وهو ير
ثل حظ ٱلنثيين يبي ن ٱلله لكم أن ترك جال ونساء فللذكر م وإن كانوا إخوة ر
لوا وٱلله بكل شيء عليم تض
Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan,
maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. ( Surat an-Nisaa ayat 176 )
17
2. Hadis Nabi SAW
a) Hadis Nabi SAW dari Abdullah ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh
Sunan Tirmidzi :
قوا صلى الله عليه و سلم قال ألح ي الله عنهما عن النبي عن ابن عباس رض
لى رجل ذكر و لها فما بقي فهو ل ال فرائض بأ ه
Artinya : Dari Ibnu 'Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Berikanlah bagian fara`idh (warisan yang telah ditetapkan)
kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi pewaris
lelaki yang paling dekat (nasabnya)."7
b) Hadis Nabi SAW dari Usamah bin Zaid yang diriwayatkan Imam
Muslim :
م ال كافر ل ث ال مس عن أسامة ب ن زي د أن النبي صلى الله علي ه وسلم قال ل ير
لم ث ال كافر ال مس ول ير
Artinya : Dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Seorang Muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir
dan orang kafir tidak dapat mewarisi dari orang Muslim.8
c) Hadis Nabi SAW dari Abu Hurairah menurut riwayat Imam Ibnu
Majah :
ث عن أبي هري رة عن النبي صلى الله علي ه وسلم قال القاتل ل ير
Artinya : Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda : “ Orang yang
membunuh tidak bisa menjadi ahli waris.9
7 Sunan Tirmidzi, Sunan Tirmidz jilid 4, (Beirut: Dar al-Fiqri: 2005), hlm.31 8 Muhammad Fuadi Abdul Baqi, Shohih Muslim jilid 6, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah: 1995),
hlm.44 9 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah jilid 2, ( Cairo: Mustafa Al-Babiy: 1995), hlm.110
18
3. Rukun dan Syarat Kewarisan
Ada unsur yang perlu diperhatikan dalam waris-mewarisi, tiap-tiap unsur
tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab fikih
dinamakan rukun, dan persyaratan itu dinamakan syarat untuk tiap-tiap rukun.
Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi pembahasan.
Pembahasan ini tidak sempurna, jika salah satu rukun tidak ada misalnya wali
dalam salah satu rukun perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa wali,
perkawinan menjadi kurang sempurna, bahkan menurut Imam Maliki dan Imam
Syafi’i perkawinan tidak sah.
Adapun syarat adalah sesuatu yang berada di luar substansi dari
permasalahan yang dibahas, tetapi harus dipenuhi, seperti suci dari hadas
merupakan syarat sahnya shalat. Walaupun bersuci itu diluar pekerjaan shalat, tetapi
harus dikerjakan oleh orang yang akan shalat, karena jika dia shalat tanpa bersuci
shalatnya tidak sah. berikut rukun dan syarat kewarisan:
1) Rukun Kewarisan
Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan
bagian harta waris dimana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila
tidak ada rukun-rukunnya. Rukun-rukunnya untuk mewarisi ada tiga:10
a) Al-Muwarrits
Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia atau mati,
baik mati hakiki maupun mati hukmiy, mati hukmiy adalah kematian
yang dinyatakan oleh keputusan hakim11 dan meninggalkan harta
10 Addys Aldizar dkk, Hukum Waris, ( Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004),h.27 11 Asyhari Abta, Ilmu Waris Al-Faraidl, ( Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005),h. 28
19
waris atau hak. Didalam kamus Indonesia disebut dengan istilah
pewaris, sedangkan dalam kitab fiqih disebut muwarrits.
b) Al-Warits
Warits adalah orang hidup atau anak dalam kandungan yang
mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan
terhalang. Didalam kamus Indonesia disebut dengan istilah ahli
waris, sedangkan dalam kitab fiqih disebut warits
c) Al-Mauruts
Mauruts adalah harta warisan yang ditinggalkan oleh si mati
yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris, setelah diambil untuk
biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan
wasiat.12 Termasuk dalam kategori warisan adalah harta-harta atau
hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak perdata, hak
menahan barang yang belum dilunasi pembayaraanya, dan hak
menahan barang gadaian.
Itulah tiga rukun waris, jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada,
waris-mewarisi pun tidak bisa dilakukan. Barang siapa yang meninggalkan
dunia dan tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris, tetapi
tidak mempunyai harta waris, maka waris-mewarisi pun tidak bisa dilakukan
karena tidak terpenuhinya rukun-rukun waris.
2) Syarat Kewarisan
Waris-mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam
memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang
12 M. Ali Hasan, Hukum Kewarisan Dalam Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1996),h. 12
20
yang masih hidup yang ditinggalkanya (ahli waris). Oleh karena itu, waris-
mewarisi memerlukan syarat-syarat tertentu, yakni:
a. Meninggalnya Pewaris
Dengan adanya meninggalnya pewaris, maka segala harta dan
hak seseorang tidak boleh dibagikan, kecuali orang tersebut benar-
benar telah meninggal dunia atau hakim memutuskan kematiannya,
seperti orang yang hilang misalnya. Apabila hakim telah
memutuskan kematian orang tersebut, dengan bukti-bukti yang kuat
maka saat itu barulah harta peninggalannya dapat dibagikan diantara
ahli warisnya. Kematian seorang pewaris itu menurut ulama
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a) Mati Haqiqi (mati sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang
yang semula nyawa itu sudah berujud padanya. Kematian
ini dapat disaksikan oleh pancaindra dan dapat dibuktikan
dengan alat pembuktian.
b) Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim), yakni suatu
kematian disebabkan putusan hakim, baik pada hakikatnya
orang yang bersangkutan masih hidup maupun dalam dua
kemungkinan antara hidup dan mati.
c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan), yakni suatu
kematian yang bukan haqiqi dan bukan hukmy, tetapi
semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat. 13
13 Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, h.62
21
b. Hidupnya Ahli Waris
Hidupnya ahli waris disaat kematian pewaris, sebab ahli
warislah yang akan menerima perpindahan harta peninggalan orang
yang meninggal dunia dan hal itu tidak mungkin terjadi manakala
ahli waris tersebut telah meninggal terlebih dahulu atau meninggal
bersama-sama dengan pewarisnya.
c. Tidak Adanya Penghalang
Ahli waris tidak bisa mendapatkan warisan jika ahli waris
melakukan salah satu dari penghalang nya waris-mewarisi.14
4. Sebab-sebab Kewarisan
Harta orang yang telah meninggal dengan sendirinya beralih kepada orang
hidup yang memiliki hubungan dengan orang yang telah meninggal dunia tersebut.
Dalam literatur hukum Islam atau fikih, dinyatakan ada empat hubungan yang
menyebabkan seseorang menerima harta warisan dari seseorang yang telah mati,
yaitu : hubungan kerabat, hubungan perkawinan, hubungan wala’ dan hubungan
sesama Islam.15
1. Hubungan Kekerabatan (Nasab)
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara dua orang yang
mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran,
baik dekat maupun jauh.
14 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraid, ( Jakarta: Amzah, 2016),h. 12 15 Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.174
22
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang
mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga golongan,
sebagai berikut.
a) Furu’ yaitu anak keturunan ( cabang ) dari si mati. i) anak laki-
laki, cucu, cicit, dan jalur kebawahnya; ii) anak perempuan, cucu,
cicit dan jalur kebawahnya.
b) Ushul yaitu leluhur ( pokok atau asal ) yang menyebabkan adanya
si mati. i) Ayah, Kakek dan jalur keatasnya; ii) Ibu, Nenek (
ibunya suami dan ibunya istri ) dan jalur keatasnya.
c) Hawasyi yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si meninggal
dunia melalui garis menyamping. i) Saudara laki-laki dan
perempuan secara mutlak, baik saudara kandung maupun seayah
atau seibu; ii) anak-anak saudara kandung atau seayah; iii) Paman
sekandung, seayah, dan anak laki-lakinya paman yang sekandung.
16
2. Hubungan Perkawinan
Disamping hak kewarisan berlaku atas dasar hubungan kekerabatan,
juga berlaku atas dasar hubungan perkawinan dengan artian suami menjadi
ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri menjadi ahli waris bagi
suaminya yang meninggal. Perkawinan yang menjadi sebab timbulnya
hubungan kewarisan antara suami dengan istri yaitu perkawinan yang sah.
Perkawinan yang sah adalah sebuah pernikahan yang berlangsung
dan telah memenuhi syarat dan rukun menurut syariat. Nikah sah yaitu nikah
yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan
16 Abta, Ilmu Waris Al-Faraidl, h. 33
23
serta terlepas dari semua halangan pernikahan walaupun belum kumpul
(hubungan seksual). 17
3. Hubungan Sebab Al-wala’
Hubungan sebab wala’ adalah hubungan waris-mewarisi karena
kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan budak,
sekalipun di antara mereka tidak ada hubungan darah.18
Saat ini hubungan wala’ hanya terdapat dalam tataran wacana saja.
Hubungan wala’ terjadi disebabkan oleh usaha seseorang pemilik budak
yang dengan sukarela memerdekakan budaknya. Dengan demikian, pemilik
budak tersebut mengubah status orang yang semula tidak cakap bertindak,
menjadi cakap bertindak untuk mengurusi, memiliki dan mengadakan
transaksi terhadap harta bendanya sendiri. Di samping itu, cakap
melakukan tindakan hukum sebagai imbalan atas kenikmatan yang telah
dihadiahkan kepada budaknya sebagai perangsang agar orang-orang (pada
waktu itu) memerdekakan budak.
4. Hubungan Sesama Islam
Hubungan Islam yang dimaksud di sini terjadi apabila seseorang
yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya itu
diserahkan kepada pebendaharaan umum atau yang disebut Baitul Maal
yang akan digunakan oleh umat Islam.19 Dengan demikian harta orang
Islam yang tidak mempunyai ahli waris itu diwarisi oleh umat Islam.
17 Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, h.73 18 Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007),h.14 19 Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.175
24
5. Penghalang Kewarisan
Penghalang Kewarisan adalah tindakan atau hal-hal yang dapat
menggugurkan hak seseorang untuk mendapatkan waris karena adanya sebab atau
syarat waris. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak dapat menerima hak waris.
Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan hak mendapatkan waris atau
terhalang mendapatkan waris, sebagai berikut.
1) Perbudakan
2) Pembunuhan
3) Berlainan Agama
4) Berlainan Negara. 20
Untuk lebih jelasnya akan dibahas lebih lanjut dibawah ini :
1. Perbudakan
Perbudakan secara bahasa berarti penghambaan dan sesuatu yang
lemah, sedangkan secara istilah perbudakaan memiliki arti kelemahan yang
bersifat hukum yang menguasai seseorang akibat kekufuran. Syar’i
menghukum orang semacam ini dengan tidak menerima segala perbuatannya
karena kekufurannya kepada Allah.21
Perbudakan dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi ditinjau
dari dua sisi. Oleh karena itu, budak tidak dapat mewarisi harta peninggalan
dari ahli warisnya dan tidak dapat mewariskan harta untuk ahli warisnya.
Sebab, ketika ia mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya, niscaya yang
memiliki warisan tersebut adalah tuannya, sedangkan budak tersebut
merupakan orang asing (bukan anggota keluarga tuannya).
Budak itu juga tidak dapat mewariskan harta peninggalan kepada
ahli warisnya karena dianggap tidak mempunyai sesuatu. Namun, seadainya
20 Usman, dkk, Fiqh Mawaris, h.32 21 Aldizar, dkk, Hukum Waris, h.51
25
dia mempunyai sesuatu maka kepemilikannya dianggap tidak sempurna,
kemudian kepemilikannya beralih kepada tuannya. Hal ini diberlakukan
karena tuan lebih berhak memanfaatkan dan memperoleh harta milik budak
pada masa hidupnya, demikian pula saat budak tersebut meninggal dunia.
2. Pembunuhan
Para fuqaha telah sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang
dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi
penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang
dibunuhnya. Sedangkan para fuqaha berbeda pendapat tentang jenis
pembunuhan mana yang menjadi penghalang mewarisi.
Dari kalangan Syafiyah menyatakan mereka berpegang pada bahwa
segala bentuk tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris
terhadap pewarisnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi.22
Menurut kalangan Hanafiyah jenis, pembunuhan yang menjadi
penghalang mewarisi ada empat macam, yakni :
a) Pembunuhan dengan sengaja
b) Pembunuhan mirip sengaja
c) Pembunuhan karena khilaf
d) Pembunuhan dianggap khilaf
Sedangkan menurut kalangan Malikiyah, jenis pembunuhan yang
menjadi penghalang mewarisi ada tiga, yakni :
a) Pembunuhan dengan sengaja
b) Pembunuhan mirip sengaja
c) Pembunuhan tidak langsung yang disengaja.23
22 Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, h.77
26
Adapun menurut kalangan Hanabilah, jenis pembunuhan yang
menjadi penghalang hak mewarisi, yaitu :
a) Pembunuhan sengaja
b) Pembunuhan mirip sengaja
c) Pembunuhan karena khilaf
d) Pembunuhan dianggap khilaf
e) Pembunuhan tidak langsung
f) Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap
bertindak.24
Terhalangnya si pembunuh dari hak kewarisan dari orang yang
dibunuhnya itu disebabkan oleh tiga alasan sebagai berikut :25
a) Pembunuhan itu memutus hubungan silahturahmi yang
merupakan salah satu penyebab adanya hubungan kewarisan.
Dengan terputusnya silahturahmi, maka terputus pula musabbab
atau hukum yang menetapkan hak kewarisan.
b) Untuk mencegah seseorang yang sudah ditentukan akan menerima
warisan supaya mempercepat proses berlakunya hak itu.
c) Pembunuhan merupakan suatu kejahatan atau maksiat, sedangkan
hak kewarisan adalah suatu nikmat. Maksiat tidak boleh
dipergunakan untuk mendapatkan nikmat.
3. Berlainan Agama
Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi
kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan.
23 Abta, Ilmu Waris Al-Faraidl, h. 33 24 Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, h.77 25 Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.196
27
Para fuqaha sepakat bahwa orang non Islam (kafir) tidak dapat mewarisi
harta orang Islam lantaran status orang non Islam (kafir) lebih rendah.
Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat
sesudah meninggalnya pewaris lalu masuk Islam, sedangkan peninggalan
belum dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru masuk Islam itu
tetap terhalang untuk mewarisi, sebab timbulnya hak mewarisi tersebut
adalah sejak adanya kematian orang yang mewariskan, bukan saat kapan
dimulainya pembagian harta peninggalan. Padahal pada saat kematian si
pewaris, ia masih dalam keadaan non Islam (kafir). Maka mereka dalam
keadaan berlainan agama.26
Demikian juga orang yang murtad (orang yang keluar dari Islam)
mempunyai kedudukan yang sama, yaitu tidak mewarisi harta peninggalan
keluarganya. Orang yang murtad tersebut berarti telah melakukan tindak
kejahatan terbesar yang telah memutuskan shilah syariah. Oleh karena itu,
para fuqaha telah sepakat bahwa orang yang murtad tidak berhak menerima
harta warisan dari kerabat atau keluarganya.27
4. Berlainan Negara
Berlainan negara memiliki tiga kategori yaitu berlainan menurut
hukum, berlainan menurut hakikat, dan berlainan menurut hakikat sekaligus
hukumnya. Belainan agama antara sesama muslim, telah disepakati fuqaha
bahwa hal ini tidak menjadi penghalang untuk saling mewarisi, sebab
semua negara Islam mempunyai kesatuan hukum, meskipun berlainan
politik dan sistem pemerintahannya.
26 Fathurrahman, Ilmu Waris, ( Bandung: Al-Ma’arif, 2004),h.98 27 Hasan, Hukum Kewarisan Dalam Islam, h. 32
28
Yang diperselisihkan adalah berlainan negara antara orang-orang
yang non muslim. Dalam hal ini menurut jumhur ulama tidak menjadi
penghalang mewarisi dengan alasan hadis yang melarang warisan antara
dua orang yang berlainan agama. Bahwa ahli waris dan pewaris yang sama
agamanya dapat saling mewarisi meskipun berbeda negaranya.
Adapun menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian Hanabilah bahwa
hal itu menjadi penghalang hak mewarisi, karena berlainan negara antara
orang-orang non muslim berarti terputusnya kekuasaan dan tidak adanya
hubungan perwalian sebagai dasar pewarisan. Adapun negara dalam
hakikatnya saja (muslim sama muslim) tidak berpengaruh dalam segi
hukum.28
Di dalam Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan pula mengenai
penghalang kewarisan, yaitu Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila
dengan putusan hakim yang telah mempunyai kukuatan hukum yang tetap,
dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh
atau menganiaya berat para pewaris dan dipersalahkan secara memfitnah
telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu
kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman
yang lebih berat.29
28 Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, h.80 29 Kompilasi Hukum Islam Pasal 173
29
B. Ketentuan Mafqud
1. Pengertian Mafqud
Kata mafqud menurut bahasa merupakan ism maf’ul dari lafadz faqoda-
yafqudu-faqdan yang berarti hilang atau menghilangkan sesuatu.30 Jadi yang
dimaksud dengan mafqud dalam konteks ini adalah seorang istri yang hilang dan
tidak diketahui keadaan serta keberadaannya. Menurut Wahbah Zuhaily, yang
dimaksud dengan mafqud adalah orang yang hilang yang tidak diketahui apakah ia
masih hidup sehingga tidak bisa dipastikan kedatangannya kembali atau apakah ia
sudah mati sehingga kuburannya dapat diketahui.31
Menurut istilah mafqud juga bisa diterjemahkan dengan al-ghoib. Kata ini
secara bahasa memiliki arti gaib, tiada hadir, bersembunyi. Hilang dalam hal ini
terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a) Hilang yang tidak terputus karena diketahui tempatnya dan ada
berita atau informasi tentangnya.
b) Hilang yang terputus, yaitu yang sama sekali tidak diketahui
keberadaanya serta ditemukan informasi tentangnya.32
Sedangkan menurut istilah fikih adalah orang yang hilang dan menurut
zahirnya tertimpa musibah, seperti orang yang meninggalkan keluarganya pada
waktu malam atau siang atau keluar rumah untuk mencari rezeqi atau ke satu tempat
yang dekat kemudian tidak kembali lagi atau hilang di dalam kerusuhan.
Adapun pengertian mafqud yang telah di definisikan oleh para fuqaha yaitu,
pertama dari kalangan Hanafiyah yang mendefinisikan bahwa ialah orang yang tidak
diketahui hidup dan matinya. Sedangkan dari kalangan Malikiyyah, mafqud adalah
orang yang hilang dari keluarganya dan mereka merasa kehilangan orang tersebut
30 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, ( Jakarta: Yayasan peyelenggara penterjemah/penafsir
Al-Qur’an, 2004), h.642. 31 Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, ( Beirut: Dar el Fikr, 1993 ), h. 642 32 Yunus, Kamus Arab Indonesia, h.246
30
hingga terputus kabar mengenai orang yang hilang tersebut. Dari kalangan
Hambaliyah menyatakan mafqud adalah terputus kabarnya dalam keadaan dzahirnya
menunjukkan meninggal, seperti orang yang tenggelam ketika sedang berlayar di
laut dan sejenisnya, maka orang ini dinanti selama empat tahun penuh sejak saat
hilangnya.33
Ibrahim al-Bajuri juga mendefinisikan mafqud sebagai berikut, mafqud
adalah orang yang hilang dan telah lama meninggalkan kampung halamannya tidak
ada kabar beritanya dan tidak diketahui apakah ia dalam keadaan hidup atau mati.34
Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan pengertian bahwa mafqud adalah orang
yang pergi ( tidak ada ditempat ) yang tidak diketahui alamatnya ( tempat tinggalnya
) dan tidak pula diketahui apakah dia masih hidup atau sudah meninggal.35
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan dari beberapa pengertian diatas,
bahwa mafqud adalah orang yang hilang pergi meninggalkan keluarganya, tidak ada
kabar keadaanya hidup maupun matinya serta alamatnya dan adanya putusan hakim
yang menyatakan status mafqud.
2. Pendapat Ulama tentang Status Hukum Mafqud
Pada syarat-syarat kewarisan dikemukakan bahwa seseorang yang dapat
menjadi ahli waris adalah seorang ( ahli waris ) yang pada saat si pewaris meninggal
dunia jelas hidupnya. Berdasar persyaratan tersebut tentunya menimbulkan
persoalan terhadap hak mewaris bagi orang yang hilang.36 Keberadaan orang yang
hilang banyak yang tidak terungkap di masyarakat, apakah ia masih hidup atau telah
wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban orang yang
hilang tersebut serta hak dan kewajiban orang yang hilang tersebut serta hak dan
kewajiban keluarganya sendiri.
33 Abu Najiyah Muhaimin, Ilmu Waris, ( Tegal: Ash-Shaf Media, 2007), h. 220 34 Usman, dkk, Fiqh Mawaris, h. 143 35 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, ( Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
2001), h.254 36 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Waris Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2013),h. 63
31
Menyangkut status hukum orang yang hilang ini para ahli hukum Islam
menetapkan bahwa :
a) Istri orang yang hilang tidak boleh dikawinkan
b) Harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan
c) Hak-hak orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau
dialihkan.37
Ketidakbolehan ketiga hal tersebut di atas sampai orang yang hilang tersebut
diketahui dengan jelas statusnya, yaitu apakah ia dalam keadaan masih hidup atau
sudah meninggal dunia. Dan apabila masih diragukan maka statusnya harus
dianggap sebagai masih hidup sesuai keadaan semula. Dan dapat ditambahkan,
bahwa yang berhak untuk menentukan seseorang yang hilang sudah mati hanyalah
hakim.38 Sebagaimana Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berfatwa tentang kasus
seorang wanita yang kehilangan suaminya, Beliau mengatakan “ Dia seorang wanita
yang sedang terkena musibah, maka hendaklah dia bersabar. Jangan dulu dia
dikawinkan hingga berita kematian suaminya sampai kepadanya dengan
meyakinkan”.39
Adapun kemungkinan orang yang hilang sebagai berikut.
a) Apabila orang yang hilang diketahui masih hidup, ia boleh mengambil
haknya dari harta waris yang ditangguhkan pembagiannya.
b) Apabila orang yang hilang diketahui telah wafat setelah muwarrits
meninggal dan ada bukti yang dapat diterima syara’, harta yang
ditinggalkannya dan bagiannya atas harta waris digabungkan,
kemudian dibagikan kembali untuk ahli warisnya yang masih hidup.
37 Khairuddin, Belajar Praktis Fikih Mawaris, ( Banda Aceh: UIN Ar-Rinay Darussalam, 2104),h.
87 38 Lubis, Hukum Waris Islam, h. 63 39 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012),h. 193
32
c) Apabila bukti yang dapat diterima syara’ jelas menyebutkan bahwa
orang yang hilang meninggal sebelum pewaris wafat, orang yang
hilang itu tidak berhak mendapatkan apa-apa dari harta waris yang
ditangguhkan pembagiannya dibagikan untuk ahli waris yang lain, dan
harta yang ditinggalkan oleh orang yang hilang itu diserahkan kepada
ahli warisnya untuk dibagikan.
d) Apabila orang yang hilang tidak diketahui dengan pasti kapan
kematiannya, sebelum atau sesudah pewaris wafat, dia tidak dapat
mewarisi karena masih ada keraguan disana.
e) Apabila hakim memutuskan berdasarkan perkiraan yang kuat bahwa
orang yang hilang meninggal, orang itu dianggap wafat terhitung sejak
ia hilang. Oleh karena itu, ia tidak dapat mewarisi harta yang
ditangguhkan pembagiannya, dan semuanya dikembalikan kepada ahli
warisnya. 40
Dalam kemungkinan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mafqud ada
kalanya orang yang mewariskan ( pewaris ) dan ada kalanya ahli waris. Dalam
keadaan pertama, mafqud sebagai orang yang mewariskan, hartanya tetap menjadi
miliknya dan tidak dibagikan di antara ahli warisnya sampai nyata kematiannya atau
hakim menetapkan kematiannya. Apabila ternyata dia masih hidup, dia mengambil
hartanya. Apabila ternyata dia sudah mati atau hakim menetapkan kematiannya,
hartanya diwarisi oleh orang yang menjadi pewarisnya pada waktu dia mati atau
waktu hakim menetapkan kematiannya. Adapun keadaan kedua, yaitu apabila
mafqud sebagai pewaris dari orang lain, bagiannya dari harta peninggalan orang
yang mewariskan itu ditahan sampai jelas keadaannya. Apabila dia muncul dalam
keadaan hidup, dia berhak mengambilnya. Jika ditetapkan kematiannya, bagiannya
40 Aldizar, dkk, Hukum Waris, h.379
33
itu dikembalikan kepada ahli waris yang berhak disaat kematian orang yang
mewariskan. Jika ia muncul dalam keadaan hidup sesudah ditetapkan kematiannya,
dia mengambil sisa dari bagiannya yang berada ditangan ahli waris. 41
Para Ulama berbeda pendapat mengenai status hukum mafqud, yakni:
a) Dari kalangan Malikiyah berpendapat bahwa kematian orang itu
hanya ditinjau dari istrinya saja, sedangkan hartanya tetap sebagai
miliknya. Pendapat ini hanya mementingkan nasib istrinya,
sedangkan harta tidak ada alasan untuk dianggap orang itu mati.
b) Ulama Hanafiyah dan Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa orang
itu dianggap masih hidup, baik mengenai istrinya, maupun
mengenai hartanya. Kedua-duanya masih kepunyaanya sampai
ada kepastian tentang mati hidupnya. Pendapat ini memegang apa
yang telah ada dengan yakin.
c) Ulama Hanabilah berpendapat bahwa orang itu dianggap sudah
mati mengenai istri dan harta dengan perincian yang akan
disebutkan kemudian. Yaitu sesudah lewat waktu yang ditentukan
menurut mereka, istri itu keluar dari ikatan perkawinannya dan
hartanya dibagikan kepada ahli warisnya. Pendapat ini
memperhatikan nasib istri dan menghilangkan kemelaratan
terhadapnya, sedang harta mengikuti hal itu.42
Ketentuan mengenai ahli waris yang hilang (mafqud) juga telah disinggung
dalam Kompilasi Hukum Islam, “ Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama
sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas
41 Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam, h.153 42 Mahmoud Syaltout, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih, (Jakarta:Bulan Bintang, 1993),
h.246
34
putusan pengadilan agama diserahkan penguasaanya kepada Baitul Mal untuk
kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum “ .43
Terkait anggapan masih hidup mafqud tidak bisa dipertahankan terus-
menerus karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Terkait itu, harus
digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum bagi si
mafqud. Para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status
bagi orang yang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang
hilang telah wafat atau belum.44
Muhammad Toha Abul Ula Kholifah mengatakan bahwa hakim bisa
memutuskan seorang yang mafqud telah dikatakan wafat dalam keadaan, berikut:
a) Yang bersangkutan hilang dalam situasi yang patut dianggap bahwa
ia sebagai telah binasa, seperti karena ada serangan mendadak
atau dalam keadaan perang.
b) Yang bersangkutan pergi untuk suatu keperluan, tetapi tidak pernah
kembali. Dalam dua hal ini hakim dapat memutuskan bahwa
yang bersangkutan telah wafat setelah berlangsung batas waktu
40 tahun sejak kepergiannya.
c) Yang bersangkutan hilang dalam suatu kegiatan wisata atau urusan
bisnis. Dalam kasus ini hakim memutuskan kematian yang
bersangkutan berdasarkan pertimbangan sendiri. 45
43 Kompilasi Hukum Islam Pasal 191 44 Akhmad Faqih Mursid, “Penyelesaian Perkara Mafqud di Pengadilan Agama”, Universitas
Hasanuddin Makasar,(Mei, 2015),h.3 45 Abdul Manaf, “Yurisdiksi Peradilan Agama Dalam Kewarisan Mafqud”, PTA Medan, ( di akses
pada 14 November 2019 ),h. 5
35
Adapun dua pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari
kejelasaan status hukum mafqud, yaitu:
a) Berdasarkan bukti-bukti autentik yang dapat dibenarkan syara’
sebagai landasan untuk menentukan hukum kematian mafqud. Jika
telah ada orang yang adil dan dapat dipercaya untuk memberikan
kesaksian bahwa si fulan yang hilang (al-mafqud) telah meninggal
dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut
untuk memutuskan status kematian mafqud.
b) Berdasarkan batas waktu lamanya kepergian mafqud. Pertimbangan
dan upaya hukum demikian memang tidak cukup kuat secara
hukum, akan tetapi sebagai dapat diterima dan mempunyai referensi
atau acuan hukum.46
3. Pendapat Ulama Tentang Batas Waktu Mafqud
Para ulama fikih berbeda pendapat tentang batas waktu yang digunakan oleh
qadhi untuk memutuskan, apakah seseorang yang hilang telah meninggal atau
masih hidup. Mazhab Hanafiyah dan mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa orang
hilang dapat dianggap mati, jika orang yang sepadan dengannya atau orang yang
sama masa kelahirannya telah meninggal. Dengan kata lain tidak ada lagi orang
yang satu generasi dengannya tanpa harus menetapkan waktu meninggal orang
yang hilang. Apabila tidak bisa diketahui dengan cara itu, maka diperkirakan
dengan waktu. Dalam hal ini mereka berbeda pendapat ada yang mengatakan 120
tahun, 100 tahum dan 90 tahun. 47
Mazhab Hanafiyyah menyatakan masa untuk menunggu itu kira-kira
dinyatakan dengan apabila kawan sebayanya sudah tiada, maka ditetapkan
46 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012),h. 168-169 47 Aldizar, dkk, Hukum Waris, h.377
36
terhadap kematian si mafqud. Dalam riwayat lain menurut mazhab Hanafi, masa
untuk memastikan itu kira-kira jika si mafqud sudah berumur 90 tahun atau
diserahkan kepada ijtihad hakim.48
Mazhab Maliki berpendapat bahwa batasnya adalah 70 tahun, mengikuti
keumuman hadits yang menyatakan bahwa umur umat Nabi Muhammad SAW
antara 60 sampai 70 tahun.
صلى الله عليه و سلم قال اعمار امتي ما بين الستين إلى السبعين عن أبى هريرة ان رسول الله
Artinya : “Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda umur
umatku antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun ( HR Ibnu Majah ) 49
Namun jika istri hilang di wilayah kekuasaan Islam, suami berhak
mengajukan perkara tersebut ke pengadilan. Jika hakim tidak berhasil
menemukannya, maka suami diberi waktu menunggu selama 4 tahun. Kalau 4
tahun tersebut terlewati, maka istri beri’ddah layaknya iddah ditinggal mati oleh
suami. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sahabat Nabi SAW.
عمر بن الخطاب قال أيما امرأة فقدت زوجها لم تدراين هو فإنها تنتظر أربع سنين ثم تعتد
أربعة أشهر و عشرا ثم تحل
Artinya:“ Umar bin Khattab berkata: setiap perempuan yang ditinggalkan pergi
suaminya yang mana ia tidak mengetahui di mana suaminya berada, maka
ia diminta menanti selama 4 tahun. Kemudian setelah itu hendaklah ia
menjalani masa tunggu (beriddah) selama 4 bulan 10 hari, setelah itu ia
menjadi halal untuk menikah dengan laki-laki lain.
Pendapat kalangan Syafi’iyah sama dengan pendapat Hanafiyah, akan tetapi
keputusan terhadap kematian si mafqud hanya ditetapkan oleh pengadilan. Imam
Syafi’i menjelaskan bahwa tidak ada warisan sebelum orang yang mewarisi
48 Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, h. 424 49 Sunnah Ibnu Majah Hadis Nomor 4236
37
(pewaris) itu telah meninggal dunia, maka apabila pewaris tersebut sudah
meninggal dunia, maka ahli waris itu ada. Sesungguhnya orang yang hidup itu
berbeda dengan orang mati, maka mengenai orang yang hilang (mafqud) hartanya
tidak boleh dibagikan terlebih dahulu, sehingga diketahui dengan yakin akan
meninggalnya mafqud tersebut. Dalam menentukan tenggang waktu yang
dijadikan ukuran seseorang yang hilang tersebut masih dalam keadaan hidup atau
mati, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa tenggang waktu yang diperbolehkan bagi
hakim untuk memberi vonis kematian si mafqud ialah 4 tahun, maka hartanya
boleh diwariskan kepada ahli warisnya. 50
Menurut mazhab Hambali, jika orang hilang tersebut menurut situasi dan
kebiasaan ia akan binasa seperti peperangan, tenggelam kapal, pesawat udara jatuh
dan temannya ada yang selamat, maka orang yang hilang tersebut harus diselidiki
keberadaanya selama 4 tahun. Jika dalam waktu 4 tahun tidak diketahui rimbanya,
hartanya sudah boleh dibagi. Namun jika ia pergi untuk berdagang atau mencari
ilmu (bukan kepada hal yang membinasakannya secara adat) maka mazhab Hanafi
berpendapat menunggu hingga umur si mafqud mencapai 90 tahun semenjak ia
dilahirkan atau diserahkan kepada ijtihad hakim. 51
4. Cara Pembagian Harta Warisan Mafqud
Apabila dalam persoalan waris ada orang yang belum diketahui
keberadaannya, masalah ini dapat diselesaikan dengan dua cara, karena ada dua
kemungkinan. Pertama, orang yang hilang diperkirakaan masih hidup dan kedua,
orang yang hilang diperkirakan sudah meninggal.
50 Imron Rosadi dkk, Ringkasan Kitab Al Umm, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2005),h. 521 51 Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.138
38
a. Contoh pertama
Seorang wanita wafat, meninggalkan ahli waris: suami, ibu, 2 saudara
perempuan sebapak, dan saudara laki-laki sebapak yang hilang. Si mayit
meninggalkan harta waris Rp 682.560.000,- . Berapakah jumlah harta waris yang
diperoleh setiap ahli waris dan berapakah jumlah harta waris yang ditangguhkan
pembagiannya untuk orang yang hilang itu ?
a) Penyelesaian pertama, jika orang yang hilang diperkirakan masih hidup.
Ahli Waris Suami Ibu 2 Saudara Perempuan
sebapak
Saudara laki-laki
sebapak (mafqud)
Dasar
Pembagian
1/2 1/6 Sisa/’ashabah ( laki-
laki mendapatkan
bagian 2 kali bagian
perempuan )
Asal Masalah : 12
Bagian
Ahli Waris
6 2 Sisa 4: Untuk saudara
sebapak 2, dan untuk
saudara perempuan 2,
masing-masing
mendapatkan 1.
Kadar satu bagian : Rp 682.560.000 : 12 = Rp. 56.880.000
Harta waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut.
Suami : 6 x 56.880.000 = Rp 341.280.000,-
Ibu : 2 x 56.880.000 = Rp 113.760.000,-
Saudara laki-laki : 2 x 56.880.000 = Rp 113.760.000,-
39
Dua saudara perempuan : 2 x 56.880.000 = Rp 113.760.000,- 52
b) Kedua, jika orang yang hilang diperkirakan sudah meninggal.
Kadar satu bagian 56.880.000 : 8 = Rp 85.320.000,-
Harta waris yang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut.
Suami : 3 x 85.320.000 = Rp 255.960.000,-
Ibu : 1 x 85.320.000 = Rp 85.320.000,-
Dua saudara perempuan : 4 x 85.320.000 = Rp 341.280.000,- 53
Berdasarkan dua kemungkinan cara menghitung pembagian harta
waris di atas, harta waris yang diperoleh suami akan lebih kecil, jika
orang yang hilang diperkirakaan meninggal. Oleh sebab itu suami si
mayit diberikan bagian yang paling kecil dari dua kemungkinan cara
menghitung di atas yakni Rp 255.960.000 . Demikian halnya dengan
harta waris yang diberikan kepada ibu Rp 113.760.000 dan 2 orang
saudara perempuan Rp 113.760.000 . Dengan demikian harta waris yang
52 Aldizar, dkk, Hukum Waris, h.381 53 Aldizar, dkk, Hukum Waris, h.382
Ahli Waris Suami Ibu 2 Saudara Perempuan
sebapak
Dasar
Pembagian
1/2 1/6 2/3
Asal masalah 6 dan di ‘aul kan menjadi 8
Bagian
Ahli Waris
3 1 4
40
dibagikan berjumlah Rp 455.040.000 . dan sisa yang ditangguhkan
pembagiannya Rp 227. 520.000.
Apabila orang yang hilang itu ternyata hidup, harta waris yang
ditangguhkan pembagiannya diberikan untuk suami Rp 85.320.000
sebagai penyempurna bagiannya, dan diberikan untuk ibu Rp 28.440.000
sebagai penyempurna haknya. Sisanya Rp 113.760.000 diberikan kepada
ahli waris yang hilang dan kembali dalam keadaan hidup. Sedangkan, jika
orang yang hilang itu ternyata telah meninggal, seluruh harta yang
ditangguhkan pembagiannya diserahkan kepada 2 orang saudara
perempuan sebapak. Demikian halnya jika hakim telah memutuskan
kematiannya.54
b. Contoh kedua
Seorang meninggal dengan meninggalkan : istri, ibu, anak-anak
perempuan, seorang anak lelaki sekandung dengan meninggalkan harta
peninggalan Rp 144.000,-. Maka untuk menyelesaikan masalah ini kita
anggaplah bahwa mafqud itu masih hidup, kemudian kita anggap bahwa dia telah
meninggal. Kalau dia kita anggap masih hidup, niscaya pembagian harta
peninggalan adalah sebagai berikut.
Istri mendapatkan seperdelapan, ibu mendapatkan seperenam, anak
perempuan dan anak lelaki yang mafqud menerima pusaka dengan jalan ashabah,
anak perempuan dari anak lelaki terhalang, saudara lelaki sekandung terhalang.
Asal masalah adalah duapuluh empat, maka istri mendapat tiga saham, ibu
mendapat empat saham, anak perempuan bersama anak lelaki yang mafqud
mendapat tujuh belas saham. Bagian istri Rp 18.000,-, bagian ibu Rp 24.000,-,
54 Aldizar, dkk, Hukum Waris, h.383
41
bagian anak perempuan Rp 34.000,- bagian anak lelaki yang mafqud Rp 68.000,-
maka bagian ini di simpan untuk si mafqud.55
Jika dianggap bahwa mafqud itu telah meninggal, maka pembagian harta
peninggalan sebagai berikut: istri mendapat seperdelapan, ibu mendapat
seperenam, anak perempuan mendapat setengah, anak perempuan dari anak
lelaki mendapat seperenam, saudara lelaki sekandung mendapat pusaka dengan
jalan ashabah.
Asal masalah 24. Untuk istri tiga saham, untuk ibu empat saham, untuk
anak perempuan dua belas saham, untuk anak perempuan dari anak lelaki empat
saham, untuk saudara lelaki sekandung satu saham. Maka bagian istri Rp
18.000,-, bagian ibu Rp 24.000,-, bagian anak perempuan Rp. 72.000,-. bagian
anak perempuan dari anak lelaki Rp 24.000,-, dan bagian saudara lelaki
sekandung Rp 6000,-.
Apabila kita banding antara bagian-bagian para muwarits niscaya kita
dapati bahwa bagian istri dan bagian ibu tidak berbeda, sedangkan bagian anak
perempuan berbeda-beda karena itu dia mengambil bagian yang terkecil yaitu Rp
34.000,-, yakni bagiannya ketika dianggap bahwa mafqud itu masih hidup dan
tidak diberikan apa-apa kepada anak perempuan dari anak lelaki dengan jalan
pusaka dan tidak pula saudara sekandung, lantaran kedua-duanya terhalang
dengan si mafqud. Kemudian apabila nyata mafqud masih hidup selesailah
permasalahannya, tetapi jika si mafqud telah wafat dan tidak berhak lagi atas
harta warisnya maka perlengkap bagian anak perempuan ditambah Rp 38.000,-
lagi sehingga menjadi Rp 72.000,- dan kita berikan kepada anak perempuan dari
55 Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h.257
42
anak lelaki Rp 24.000,- dan kepada saudara sekandung Rp 6000. jika ditotal
maka berjumlah Rp 68.000,- jumlah yang disimpan untuk si mafqud.56
C. Perceraian pada Istri yang Mafqud
1. Perceraian Mafqud menurut Hukum Positif
a. Menurut Undang-Undang
Dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38
menyebutkan bahwa pernikahan dapat diputus karena tiga hal, yaitu:
a. Kematian;
b. Perceraian;
c. atau keputusan Pengadilan.
Selain itu, dalam pasal 39 Undang-Undang Perkawinan juga menegaskan
bahwa:57
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan sudah berusaha untuk mendamaikan
kedua pihak namun tidak berhasil;
2. Untuk dapat melakukan perceraian, harus ada cukup alasan bahwa antara
suami istri tersebut tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri;
3. Tata cara perceraian di depan persidangan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Sementara itu, pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan juga
memuat mengenai alasan-alasan perceraian, diantaranya:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan lain
sebagainya yang sulit disembuhkan;
56 Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h.258
43
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
di luar kemampuannya;
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat-
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan, pertengkatan
dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
Pasal 39 ayat 9 (2) UU No. 1 tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam
Pasal 19 huruf b PP No. 9 tahun 1975 menegaskan bahwa salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya dapat
menjadi alasan hukum perceraian.
Meninggalkan pihak lain tanpa alasan yang sah menunjukkan secara tegas
bahwa suami atau istri sudah tidak melaksanakan kewajibannya sebagai
suami atau istri, baik kewajibannya yang bersifat lahiriyah maupun
batiniyah. Ini berarti bahwa tidak ada harapan lagi untuk mempertahankan
kelangsungan rumah tangga, karena telah hilangnya perasaan sayang dan
cinta, sehingga tega menelantarkan atau mengabaikan hak suami atau istri
yang ditinggalkannya. Jadi, perceraian adalah solusi untuk keluar dari rumah
44
tangga yang secara hukum formal ada, tetapi secara faktual sudah tidak ada
lagi.58
Alasan hukum perceraian berupa meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, harus
dimajukan didepan sidang pengadilan dari rumah kediaman pihak yang
menuntut perceraian setelah lampaunya waktu 2 tahun terhitung sejak saat
pihak lainnya meninggalkan tempat kediaman tanpa sebab yang sah,
kemudian tetap segan untuk kumpul kembali dengan pihak yang
ditinggalkan.59
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975 tidak
menjelaskan mengenai pengertian dan kriteria hukum “tanpa alasan yang
sah”. Sehingga, dapat kita tafsirkan bahwa jika dalam rumah tangga suami
istri tersebut terdapat suatu hal yang sangat buruk, sehingga dianggap pantas
apabila suami atau istri tersebut meninggalkan pihak lainnya. Maka, keadaan
seperti itu tidak dapat dijadikan alasan bagi pihak lainnya untuk menuntut
perceraian.
Undang-Undang No. 1 tahun 1976 dan PP No. 9 tahun 1975 juga tidak
menjelaskan tentang “hal lain di luar kemampuannya”. Oleh karena itu,
kalimat tersebut juga dapat ditafsirkan bahwa faktor yang menyebabkan
suami atau istri meninggalkan pihak lainnya selama dua tahun berturut-turut,
baik dengan atau tanpa izin yang sah. Misalnya, suami atau istri menghilang
tanpa diketahui kabar dan keberadaannya, meskipun telah dilakukan
pencarian secara maksimal, menggunakan segala sumber daya yang ada,
58 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2013), h. 218 59 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, ( Jakarta: Sumur, 1997), h. 140
45
termasuk bantuan dari masyarakat dan aparat kepolisian serta media
massa.60
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam, terdapat sebuah pasal yang
penjelasannya sama dengan pasal 39 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974, namun
dalam Kompilasi Hukum Islam ditambah dua point lagi yaitu:61
a. Suami melanggar ta’lik talak
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Jadi, pada dasarnya Kompilasi Hukum Islam dengan Undang-
Undang Perkawinan tidaklah jauh berbeda dalam mengatur perceraian.
Seorang suami yang istrinya tidak diketahui lagi keadaan dan keberadannya,
maka suami tersebut berhak mengajukan talak dengan alasan yang terdapat
pada pasal 116 point 2 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 point b.
2. Perceraian Mafqud menurut Hukum Islam
Mengenai permasalahan perceraian antara suami istri yang mana
istrinya mafqud, mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut hukumnya
mubah (boleh). Imam Malik berpendapat bahwa apabila salah satu suami
atau istri meninggalkan salah satunya dengan alasan atau tanpa alasan, hal
tersebut mewajibkan adanya perceraian. Mazhab Hambali juga menyatakan
bahwa apabila antara suami atau istri meninggalkan salah satunya maka
yang ditinggalkan boleh mengajukan talak atau cerai melalui Pengadilan
Agama setempat.
60 Muhammad Syaifuddin,dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 193
61 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo), h. 141
46
Sementara itu, kalangan mazhab Hanafiyyah berpendapat bahwa
seorang suami yang ditinggal lama oleh istrinya hendaknya bersabar dan
tidak boleh mengajukan talak. Mereka berdalil bahwa pernikahan keduanya
masih berlangsung sampai ada keterangan jelas bahwa salah satu dari
keduanya itu meninggal atau suami telah menceraikan.62
Dalam buku fikih lima mazhab, mengutip pendapat Sayyid Kazhim
yang mengatakan bahwa “dibolehkan bagi hakim untuk menjatuhkan talak
terhadap istri yang dipenjara atau keberadaan istri disuatu tempat yang tidak
bisa diharap lagi kembalinya.” Pendapat lain juga mengatakan bahwa
seorang perempuan berhak keluar dari perkawinan (memutuskan
perkawinan) karena kesulitan nafkah. Sebagian ulama menyamakan
kepergian seorang istri dalam waktu yang lama tanpa adanya berita yang
jelas dengan keadaan istri dipenjarakan. 63
Akan tetapi, terdapat perbedaan diantara para ulama mengenai
hukum perceraiannya. Imam Malik berpendapat bahwa thalaqnya dianggap
sebagai thalaq bain, sedangkan Imam Ahmad menganggap thalaqnya
sebagai fasakh. 64
62 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h.492 63 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 493 64 H.S.S. Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h. 225
47
BAB III
TEORI MASLAHAT MURSALAH
A. Pengertian Maslahat Mursalah
Maslahat Mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata, yaitu
maslahah dan mursalah. Kata maslahah menurut bahasa berarti manfaat dan
kata mursalah berarti lepas.1 Perpaduan dua kata menjadi maslahat mursalah
yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan
suatu hukum Islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai
baik (manfaat).2
Maslahat atau Mashlahah berasal dari kata shalaha dengan
penambahan ‘alif’ di awalnya yang secara arti kata ‘baik’ lawan kata dari kata
‘buruk’ atau ‘rusak’. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah yaitu
‘manfaat’ atau ‘terlepas dari padanya kerusakan’. Pengertian mashlahah
dalam bahasa berarti ‘perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan
manusia’.3 Dalam Kamus Besar Indonesia disebutkan bahwa maslahat artinya
sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah dan kegunaan. Sedangkan kata
“kemaslahatan” berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan.4
Secara terminologi ada beberapa definisi mashlahah yang dikaitkan
oleh ulama Ushul Fikih, menurut imam Al-Ghazali kemaslahatan harus
sejalan dengan tujuan syara’ meski bertentangan dengan tujuan manusia tidak
selamanya didasarkan pada kehendak hawa nafsu, menurutnya yang dijadikan
patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan
1 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009),h. 148 2 Khairu Umam, Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1998),h. 135 3 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008),h. 367 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1996),h. 634
48
syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.5 Al-‘Iez ibn Abdi al-Salam
mendefinisikan mashlahah adalah sebab-sebab yang mendatangkan
kesenangan dan kenikmatan.6 Al-Syatibi menyatakan mashlahah itu tidak
dibedakan antara kemashlahatan dunia dan akhirat sebab kedua
kemashlahatan itu untuk memelihara lima tujuan syara’ yaitu agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta.7
Sedangkan kata ‘mursalah’ merupakan bentuk isim maf’ul dari kata
arsala-yursilu-irsal artinya tidak terikat atau bebas.8 Jika dihubungkan dengan
kata maslahah maksudnya adalah terlepas atau bebas dari keterangan yang
menunjukan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.9
Secara terminologi maslahah mursalah memiliki beberapa definisi
yang diberikan para ulama usul fikih, Imam Al-Ghazali mendefinisikan
maslahah mursalah adalah sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang
mendatangkan manfaat dan menolak kerusakan atau kemudharatan.10 Al-
Syatibi berpendapat maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak
ditunjang oleh suatu nash tertentu, akan tetapi kemaslahatan tersebut sesuai
dengan jenis tindakan syara.11 Al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul
memberikan definisi maslahah mursalah adalah maslahah yang tidak
diketahui apakah syari’ menolaknya atau memperhitungkannya.12
Dari beberapa definisi diatas penulis dapat menarik kesimpulan
mashlahah adalah sesuatu yang dipandang baik serta dapat mendatangkan
5 Narun Haroen, Ushul Fiqh, ( Ciputat: Logos Publishing House, 1996 ), h. 114 6 Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 368 7 Haroen, Ushul Fiqh, h. 114 8 Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam,
(Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2011),h.45 9 Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 377 10 Al-Ghazali, Al-Mustashfa min al-ilmi al-ushul, (Beirut: al-Risalah, 1997),h.416 11 Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah, h.45 12 Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 378
49
kebaikan dan menghidarkan keburukan sesuai dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum.
B. Macam-Macam Maslahat Mursalah
Para ahli ushul fikih sepakat bahwa syari’at Islam bertujuan untuk
memelihara lima hal (maqashid al-syari’ah) yakni :
1. Memelihara agama
2. Memelihara jiwa
3. Memelihara akal
4. Memelihara keturunan
5. Memelihara harta
Setiap segala sesuatu yang mengandung makna pemeliharaan atau
penjagaan terhadap kelima maqashid al-syariah, dinamakan mafsadah,
menolak atau menghilangkan mafsadah berarti maslahah.
Berdasarkan pandangan syar’i dan dalil-dalil nash serta untuk menjaga
maqashid al-syari’ah, para ulama menggolongkan maslahat menjadi tiga
macam, yaitu : maslahah dharuriyyah, maslahah hajiyyah, maslahah
tahsiniyyah. Kemaslahatan yang pertama bersifat utama, sedang yang kedua
bersifat mendukung yang pertama, sementara kemaslahatan yang ketiga
bersifat melengkapi yang pertama dan kedua.13
a) Maslahah Dharuriyah
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi
tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan maka
13 Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011),h. 309
50
rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan
kehancuran yang hebat.14
Maslahah dharuriyah adalah kemaslahatan yang
keberadaanya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia,
maksudnya kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa bila satu
saja dan prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara
langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip
tersebut adalah baik atau maslahah dalam tingkat dharuri, karena
itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi
pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Segala usaha atau tindakan
yang secara langsung menuju pada atau menyebabkan lenyap atau
rusaknya sutu diantara lima unsur pokok tersebut adalah buruk,
karena Allah melarangnya. Meninggalkan dan menjauhi larangan
Allah tersebut adalah baik dan maslahah dalam tingkat dharuri.
Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama,
melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum
minuman keras untuk memelihara akal, melarang zina untuk
memelihara keturunan dan melarang mencuri untuk memelihara
harta.15
b) Maslahah Hajiyyah
Maslahah hajiyyah ialah segala sesuatu yang menjadi
kebutuhan primer (pokok) manusia dalam hidupnya, agar hidupnya
bahagia dan sejahtera di dunia dan akhirat serta terhindar dari
kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka kehidupan
manusia mengalami kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak
sampai punah.
14 Khairul Umam, Ushul Fiqh 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),h. 138 15 Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 371
51
Dengan bahasa lain maslahah hajiyyah diartikan sebagai
maslahah yang dibutuhkan oleh manusia hanya untuk
menghilangkan kesulitan pada dirinya. Sekiranya maslahah
tersebut tidak tercapai, maka hidup manusia akan merasa kesulitan
dan kesusahan, tidak sampai menghilangkan kehidupannya.
Maslahah ini terdapat pada masalah furu’ yang bersifat
mu’amalah, seperti jual beli serta berbagai macam keringanan
yang telah ditetapkan oleh syrai’, misalnya menjama’ dan
menqashar shalat bagi musafir, berbuka bagi orang yang hamil dan
menyusui.16
c) Maslahah Tahsiniyah
Maslahah tahsiniyah ialah kebutuhan hidup yang sifatnya
komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan
kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini tidak terpenuhi
maka hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun
tidak sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup.
Maslahah tahsiniyah dimaksudkan untuk memperbaiki
adat kebiasaan dan memuliakan akhlak manusia. Seperti bersuci
ketika akan melakukan shalat, memakai perhiasan, wangi-wangian,
haramnya makanan yang kotor.17
C. Syarat-Syarat Maslahah Mursalah
Dalam menggunakan maslahah mursalah sebagai hujjah syar’iyyah,
para ulama bersikap sangat berhati-hati sebab ditakutkan akan tergelincir
kepada pembentukan syari’at baru, berdasarkan nafsu dan kepentingan
16 Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah, h.61 17 Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah, h.62
52
terselubung. Berdasarkan hal itu, para ulama menyusun syarat-syarat
kebolehan menggunakan maslahat mursalah.
Adapun syarat-syarat tersebut ada tiga macam, yaitu:
a) Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat
hakiki yaitu yang benar-benar akan mendatangkan
kemanfaatan atau menolak kemudharatan, bukan berupa
dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya
kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang
ditimbulkannya. Misalnya yang disebut terakhir ini adalah
anggapan bahwa hak untuk menjatuhkan thalak itu berada di
tangan wanita bukan lagi di tangan pria adalah maslahat palsu,
karena bertentangan dengan ketentuan syariat yang
menegaskan bahwa hak untuk menjatuhkan talak berada
ditangan suami.18
b) Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus
untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang
dalam jumlah sedikit. Imam Al-Ghazali memberikan contoh
tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu
contoh orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah
orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang
membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam
yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang dan
mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan
apabila kaum muslimin memerangi orang Islam yang
membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari
seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut.
Demi memelihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya
18 Effendi, Ushul Fiqh, h. 152
53
dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh
mereka.
c) Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang
dituju oleh syara’. Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah
yang telah didatangkan oleh syari’. Seadanya tidak ada dalil
tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak
sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak
dapat disebut maslahah.
d) Maslahah itu bukan yang tidak benar di mana nash yang sudah
ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.19
Menurut penulis, sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam
maslahah mursalah bertujuan agar maslahah yang diinginkan tidak bercampur
dengan hawa nafsu, tujuan dan keinginan yang merusakkan manusia dan
agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya
dan menjadikan syahwatnya sebagai syariatnya.
19 Umam, Ushul Fiqh 1, h. 138
54
BAB IV
KRONOLOGI DAN ANALISIS KASUS
A. Kronologi Putusan Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB di Pengadilan Agama
Jakarta Barat
1. Duduk Perkara1
Pada tahun 1997 telah terjadi pernikahan antara MM (Suami) dengan MS
(Istri) sebagaimana yang telah dicatatkan oleh pegawai pencatatan nikah di
Kantor Urusan Agama . Dari pernikahan tersebut lahir dua orang anak laki-
laki yang bernama RAC pada tahun 1988 dan RAS pada tahun 1995.
Pada bulan Juli 2018 MM (Suami) dinyatakan meninggal dunia
berdasarkan surat keterangan kematian Nomor: 3173011001-PKM-11072018-
0001, yang dikeluarkan oleh Kelurahan CB pada tanggal 11 Juli 2018.
Sedangkan orang tua dari MM telah meninggal dunia terlebih dahulu, M ayah
dari M meninggal dunia pada tahun 2014 dan N ibu dari MM meninggal
dunia pada tahun 2005. Selanjutnya MM disebut sebagai Pewaris.
MS istri dari MM sejak tahun 2009 telah meninggalkan rumah dan tidak
diketahui alamatnya yang jelas di wilayah Republik Indonesia alias Ghoib,
berdasarkan surat keterangan Ghoib dari Kelurahan CB tertanggal 08 Agustus
2018.
RAC dan RAS mengajukan gugatan perkara waris di Pengadilan Agama
Jakarta Barat pada tanggal 16 Agustus 2018 dengan nomor perkara
2210/Pdt.G/2018/PA.JB. Dalam hal ini RAC dan RAS disebut sebagai
penggugat 1 dan 2 sedangkan tergugatnya adalah MS istri dari MM.
1 Putusan Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB, h.2
55
Pada perkara ini tujuan penggugat mengajukan guggatan waris adalah agar
para penggugat ditetapkan sebagai ahli waris dari MM sebagai pewaris yang
sesuai dengan hukum Islam.
Penggugat dalam hal ini membutuhkan penetapan ahli waris untuk
mengurus administrasi lainnya atas nama pewaris dan dalam perkara ini agar
dibebankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana yang telah terurai diatas para penggugat memohon kepada
majelis hakim untuk segera menetapakn hari sidang, memanggil para pihak,
dan memeriksa permohonan ini serta selanjutnya menetapkan putusan yang
amarnya sebagai berikut :
a. Mengabulkan permohonan penggugat seluruhnya.
b. Menyatakan pewaris ( MM ) telah meninggal pada 09 Juli 2018
c. Menyatakan orang tua Pewaris:
Ayah : M yang telah meninggal dunia pada tanggal 05 April
2014 berdasarkan surat keterangan kematian tertanggal 11
April 2014.
Ibu : N yang telah meninggal dunia pada tanggal 31 Oktober
2005 berdasarkan surat keterangan kematian tertanggal 14
Agustus 2018.
d. Menetapkan nama dibawah ini sebagai ahli waris MM :
RAC bin MM
RAS bin MM
e. Menetapkan biaya perkara sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
56
2. Proses Persidangan2
Pada hari-hari persidangan yang telah ditetapkan majelis hakim, para
penggugat menghadap ke persidangan, sedangkan tergugat tidak menghadap
dan tidak pula mengutus orang lain sebagai wakil atau kuasanya yang sah
untuk menghadap ke persidangan meskipun telah dilakukan pemanggilan
secara resmi dan patut dengan pengumuman tertanggal 27 Agustus 2018 .
Pihak terguggat tidak pernah menghadap kepersidangan maka upaya
damai dan mediasi tidak dapat dilaksanakan, setelah dibacakannya gugagatan
oleh pihak para penggugat, penggugat tidak mengajukan perubahan. Serta
untuk membuktikannya para penggugat mengajukan beberapa bukti, sebagai
berikut :
a. Bukti Surat
Fotokopi kartu tanda penduduk atas nama Penggugat I dan
Penggugat II .
Fotokopi buku kutipan akta nikah nomor 1063/76/XII/1997
yang dikeluarkan oleh pegawai pencatatan nikah.
Fotokopi akta kelahiran atas nama Penggugat I dan Penggugat
II.
Fotokopi surat keterangan kematian.
Fotokopi surat pernyataan ghoib.
Fotokopi surat pernyataan ahli waris.
Surat keterangan pelaporan kematian yang isinya menunjukan
bahwa M telah meninggal dunia pada tanggal 05 April 2014.
Surat keterangan kematian yang isinya menyatakan bahwa N
telah meninggal dunia pada tanggal 31 Oktober 2005.
2 Putusan Nomor 2210. h. 6
57
Fotokopi surat keterangan pernyataan bahwa perbedaan nama
ibu dalam akta kelahiran Penggugat I dan Penggugat II adalah
orang yang sama.
b. Bukti Saksi
Dalam persidangan ini para penggugat mendatangkan dua
orang saksi yaitu S bin H.M dan M binti H. N. Serta kedua saksi telah
diambil sumpahnya untuk memberikan keterangan yang jujur dan
benar atas keadaan rumah tangga terguggat dan penggugat.
S bin H.M bersaksi bahwa dirinya kenal dengan para
penggugat dan tergugat dan S merupakan kakak kandung dari M bin
M yang telah meninggal dunia pada tanggal 09 Juli 2018. Saksi
menyatakan anak dari M bin M hanya ada dua yaitu penggugat I dan
Penggugat II, tidak mempunyai anak selain dari penggugat I dan
Penggugat II. S juga bersaksi bahwa istri dari M bin M adalah M binti
S, istri dari M yaitu M telah meninggalkan rumah sejak 1999 dan
sampai saat ini tidak diketahui keberadaan serta alamatnya, serta M
sampai meninggal dunia belum pernah menikah lagi. M ayah dari M
telah meninggal dunia pada tahun 2014, begitu juga Nami ibu dari M
telah meninggal dunia pada tahun 2005. Saksi menyatakan dan
menyampaikan apa yang disampaikan berdasarkan penglihatan dan
pendengaran saksi sendiri.
M binti H.N saksi kedua yang di hadirkan oleh pihak
penggugat. Saksi menyatakan bahwa drinya mengenal penggugat I dan
penggugat II, saksi merupakan saudara sepupu penggugat I dan
penggugat II. Saksi menyatakan bahws M bin M telah meninggal
dunia pada tanggal 09 Juli 2018 dan mempunyai dua orang anak yaitu
penggugat I dan penggugat II, tidak mempunyai anak selain dari kedua
penggugat I dan penggugat II. Saksi juga membenarkan bahwa M binti
58
S merupakan istri dari M bin M dan M bin M tidak pernah menikah
lagi. Saksi juga menyatakan bahwa M binti S telah pergi
meninggalkan M bin M sejak 1999, sampai saat ini tidak diketahui
keberadaan dan alamatnya. Ayah dan Ibu dari M bin M telah
meninggal dunia. Saksi menyampaikan dan memberikan keterangan
sesuai dengan apa yang saksi lihat dan dengar.
Penggugat dalam sidang menyampaikan kesimpulan secara lisan yang
menyatakan bahwa dalil gugatan penggugat telah dikuatkan oleh keterangan
dua orang saksi.
3. Pertimbangan Hakim3
Pada persidangan yang telah dilaksanakan maksud dan tujuan guggatan
penggugat telah diuraikan diatas. maka hakim menimbang bahwa perkara ini
adalah perkara permohonan penetapan ahli waris yang diajukan oleh warga
negara Indonesia yang beragama Islam, berdasarkan penjelasan pasal 187
huruf (b) undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-
undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, perkara ini menjadi
wewenang absolut Pengadilan Agama.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah diberikan terbukti penggugat I dan
penggugat II beralamat di Jalan Pulo Harapan Indah Jakarta Barat, bahwa
alamat tersebut termasuk wilayah hukum (yurisdiksi) Pengadilan Agama
Jakarta Barat, sesuai dengan Pasal 73 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7
tahun1989 tentang Peradilan Agama, perkara ini termasuk wewenang relative
Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Saat hari-hari persidangan yang telah ditetapkan oleh majelis hakim,
penggugat I dan penggugat II menghadap ke persidangan, sedangkan tergugat
3 Putusan Nomor 2210. h. 10
59
tidak pernah menghadap dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakil
atau kuasanya untuk menghadap kepersidangan.
Pengadilan Jakarta Barat telah menerima surat keterangan ghoib yang
dilampirkan oleh para penggugat dalam guggatanya, alamat tergugat tidak
diketahui oleh sebab itu berdasarkan pasal 390 ayat (3) HIR majelis hakim
melakukan usaha pemanggilan dengan pengumuman nomor
2210/Pdt.G/2018/PA.JB. tanggal 27 Agustus 2018, akan tetapi tergugat tidak
hadir, oleh karena itu berdasarkan pasal 125 ayat (1) dan pasal 126 HIR,
perkara ini dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya tergugat (verstek).
Saat hari-hari persidangan tergugat tidak pernah menghadap persidangan
maka upaya damai dan mediasi sebagaimana diatur dalam pasal 130 ayat 1
HIR dan pasal 17 ayat 1 peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2016
tidak dapat dilaksanakan, oleh karena itu pemeriksaan perkara ini harus
dilanjutkan.
Di dalam persidangan para penggugat melakukan pembuktian atas dalil
gugatannya, penggugat mengajukan bukti berupa bukti tertulis dan dua orang
saksi, sebagaimana termuat pada duduk perkara diatas. Penggugat juga
mengajukan fotokopi akta autentik yang telah dicocokan dengan aslinya, dan
isinya relevan dengan dalil guggatan penggugat, maka dapat diterima sebagai
bukti. Terdapat dua bukti fotokopi akta dibawah tangan yang dibuat oleh para
penggugat diketahui oleh RT.011 dan RW.010 dan tidak ada yang
membantahnya karena itu dapat diterima sebagai bukti.
Para penggugat dalam persidangan menghadirkan dua orang saksi yakni S
bin H.M dan M binti H.N. Kedua saksi tersebut sudah dewasa, dalam keadaan
berakal sehat, dan memberikan keterangan di bawah sumpahnya tentang apa
yang dilihat dan didengarnya sendiri tentang rumah tangga penggugat dengan
tergugat dan keterangannya relevan. Karena relevannya keterangan dari saki-
60
saksi tersebut, maka berdasarkan pasal 145 ayat (1) dan pasal 171 HIR, Pasal
76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 19889 tentang Peradilan Agama
dan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, kesaksian
kedua saksi tersebut dapat diterima sebagai bukti.
Melihat dari bukti-bukti yang telah disebutkan, diketahui fakta bahwa M
bin M telah meninggal dunia pada tanggal 09 Juli 2018. M bin M hanya
mempunyai dua orang anak yaitu para penggugat. M bin M hanya mempunyai
seorang istri yang bernama M alias SW binti S. M alias SW binti S
meninggalkan M bin M sejak tahun 2009 dan sampai sekarang alamat M alias
SW binti S tidak diketahui. M bin M mempunyai seorang ayah yang bernama
M dan telah meninggal dunia pada tahun 2014 serta seorang ibu yang
bernama N dan telah meninggal dunia pula pada tahun 2005.
Berdasarkan fakta tersebut, serta menurut Al-Quran Surat An-Nisa ayat
12, Pasal 171 huruf (b), (c), dan Pasal 182, Kompilasi Hukum Islam, maka
gugatan para penggugat dikabulkan.
Berdasarkan hukum (dejure) M bin M dengan M binti S memang belum
bercerai akan tetapi berdasarkan fakta (defacto) M bin M dan M binti S telah
bercerai, karena M binti S telah pergi meninggalkan M bin M semenjak tahun
2009. Oleh sebab itu M binti S tidak lagi berhak mendapatkan warisan dari M
bin M.
Sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1989
pasal 89 ayat (1) tentang Peradilan Agama, maka biaya perkara ini
dibebankan kepada pihak penggugat.
61
4. Amar Putusan Hakim4
Pada persidangan yang telah berlangsung serta berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dalil-dalil syar’i yang berkaitan
dengan perkara ini, maka majelis hakim memutuskan:
1. Mengabulkan guggatan para penggugat
2. Menetapkan Penggugat I ( RAC bin M ) dan Penggugat II ( RAS bin
M ) adalah ahli waris dari MM.
Demikian majelis hakim memutuskan perkara guggatan waris
berdasarkan permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Barat tertanggal 29 November 2018.
B. Analisis Hukum DanAspek Maslahah Mursalah
Peraturan undang-undang yang telah diundangkan yang merupakan
hukum materiil atau formil Peradilan Agama tidak secara rinci mengatur perihal
hukum kewarisan terlebih mengenai perkara mafqud dalam kewarisan. Di
Indonesia hukum materiil Peradilan Agama secara formal termuat dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974. Peraturaan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
1. Status Hukum Istri Mafqud
Didalam putusan ini dinyatakan bahwa istri dari pewaris atau ibu dari
pihak penggugat tidak berhak lagi mendapatkan warisan, hakim dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa istri dari pewaris secara hukum (dejure)
memang belum bercerai, akan tetapi secara fakta (defacto) telah bercerai karena
istri dari pewaris telah pergi meninggalkan pewaris semenjak tahun 2009.
Sehingga dalam hal ini hakim menetapkan para penggugat sebagai ahli waris dan
4 Putusan Nomor 2210. h.13
62
tergugat atau istri dari pewaris atau ibu dari terguggat tidak ditetapkan sebagai
ahli waris.
Dari hasil tersebut ada hal yang menurut penulis menarik untuk dianalisis
mengenai pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat yang diketuai
oleh Drs. H. Abdul Hadi, M.H.I dan panitera pengganti Endang Bahtiar, S.H.,
M.H. Karena dalam putusan ini hakim tidak memberikan warisan kepada
terguggat, padahal tidak ada yang menghalangi terguggat untuk mendapatkan
waris hanya saja para penggugat menyatakan terguggat telah pergi sejak 2009
yang tidak diketahui keberadaannya masih hidup atau sudah mati.
Dalam kewarisan Islam ada tiga syarat seseorang bisa mendapatkan
waris. Syarat yang pertama orang yang mewariskan hartanya telah meninggal
baik secara hakiki maupun secara hukum. Syarat yang kedua ahli waris masih
hidup ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal walaupun hanya
sekejap, baik secara hakiki maupun secara hukum. Syarat yang ketiga mengetahui
sebab menerima harta warisan.5 Berdasarkan syarat di atas penulis mencoba
menyesuaikan dengan bukti-bukti yang di sampaikan para penggugat. Syarat
pertama telah terpenuhi bahwa pewaris telah wafat pada tanggal 09-07-2018.
Syarat kedua ahli waris dalam perkara ini ada tiga yaitu dua orang anak laki-laki
dan satu istri, sedangkan sang istri mafqud berdasarkan surat ghoib. Syarat ketiga
juga telah terpenuhi karena dua orang anak memiliki hubungan nasab dan istri
memiliki hubungan perkawinan.6 Dalam perkara ini ahli waris tidak memiliki
halangan untuk saling mewarisi. Ada empat hal yang dapat menghalangi
seseorang mendapatkan warisan, yaitu : perbudakan, pembunuhan, berlainan
agama dan berlainan negara.7
5 Abu Ihsan, Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Quran dan As-Sunnah Yang Shahih,
(Jakarta: Pustaka Ibnu Kasir,2015),h. 27 6 Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB, h. 7 7 Suparman Usman dkk, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997),h.32
63
Pada syarat-syarat kewarisan di atas ada permasalahan yang muncul yaitu
ahli waris istri telah hilang, maka dalam perkara ini istri atau terguggat disebut
mafqud. Mafqud ialah orang yang hilang serta tidak diketahui keadaan dirinya
apakah masih hidup ataukah sudah mati.8 Islam telah mengatur segalanya tentang
kewarisan bahkan tata cara menyelesaikan perkara kewarisan mafqud. Ada tiga
hal yang tidak boleh dilakukan sebelum ditentukannya status mafqud, yaitu: istri
orang yang hilang tidak boleh dikawinkan, harta orang yang hilang tidak boleh
diwariskan, hak-hak orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan
sampai status hukum mafqud ditetapkan.9
Maka ada hak-hak orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau
dialihkan termasuk warisan yang ia dapat, para fuqoha berpendapat tentang batas
waktu orang yang hilang. Kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyyah menyatakan
bahwa orang yang hilang bisa dikatakan mati jika teman sebaya atau orang yang
seumurannya telah mati, tetapi jika tidak bisa diketahui dengan cara itu, maka
ditentukan dengan waktu yaitu 90 tahun atau diserahkan kepada ijtihad hakim.10
Dari kalangan mazhab Maliki menyatakan batas waktu orang yang hilang 70
tahun berdasarkan standar umur umat Nabi Muhammad SAW. Sedangkan
mazhab Hambali menilai terlebih dahulu keadaan orang yang hilang pada saat itu,
orang yang hilang dalam keadaan peperangan, tenggelam kapal, atau jatuhnya
pesawat maka diselidiki terlebih dahulu selama 4 tahun, jika tidak diketahui
keberadaanya maka boleh dibagikan hartanya tetapi jika kondisi orang yang
hilang dalam perjalanan dagang atau menuntut ilmu maka ia ditunggu sampai
umur 90 tahun sejak ia dilahirkan atau diserahkan kepada ijtihad hakim.11
8 A. Kadir, Memahami Ilmu Faraidh, (Jakarta: Amzah, 2016),h. 95 9 Khairuddin, Belajar Praktis Fikih Mawaris, (Banda Aceh: UIN Ar-Rinay Darussalam,
2014),h.87 10 Addys Aldizar dkk, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004),h.377 11 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005),h.138
64
2. Bagian Warisan Istri Mafqud
Dari salinan putusan yang penulis dapat, hakim tidak menetapkan status
orang yang hilang apa ia telah mati atau masih hidup, hakim hanya menyatakan
orang yang hilang tidak berhak atas harta warisan karena kehilangannya sejak
2009. Jika dilihat dari pendapat fuqoha status hukum orang yang hilang harus
ditentukan baru bisa dinyatakan orang itu mendapatkan warisan atau tidak,
penulis berpendapat hakim sebaiknya menentukan terlebih dahulu orang yang
hilang itu masih hidup atau mati berdasarkan batasan waktu yang telah ditentukan
oleh fuqoha. Muhammad Toha Abul Ula Kholifah menyatakan hakim bisa
memutuskan orang yang hilang dikatakan telah mati dalam keadaan 3 hal: orang
yang hilang dalam keadaan yang patut dianggap ia telah binasa, yang
bersangkutan pergi untuk suatu keperluan tetapi tidak kembali dengan batas
waktu 40 tahun, yang bersangkutan hilang dalam kegiatan berwisata atau urusan
bisnis.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa tergugat atau istri pewaris atau
ibu dari para penggugat masih hidup, berdasarkan pendapat fuqaha jika diukur
dengan teman sebaya nya atau umur umat Nabi Muhammad SAW, maka umur
tergugat baru 42 tahun dihitung sejak putusan ini diputus. Tergugat hilang sejak
2009, pada 4 tahun kedepan sejak tergugat hilang dan 4 tahun kebelakang sejak
putusan ini diterbitkan tidak ada situasi atau keadaan yang menyatakan seluruh
penduduk mati.
Permasalahan yang muncul adalah hakim menimbang bahwa terguggat
tidak berhak atas warisan, karena secara fakta ia telah bercerai dengan pewaris
dan telah pergi sejak 2009. Penulis menilai terguggat atau istri dari pewaris atau
ibu dari para penggugat masih berhak atas harta warisan suaminya, sebagaimana
biasanya seorang istri yang ditinggal wafat suaminya mendapatkan warisan dalam
perkara ini mendapatkan 1/8 karena pewaris memiliki anak laki-laki.
65
Dalam bagan berikut :
Ahli Waris Furudhul Muqaddarah 8 x 2 = 16
Istri 1/8 x 2 2/16
2 Anak laki-laki Ashabah
7/8 x 2
14/16 Masing-masing
anak laki-laki 7/16
Penulis dalam menyatakan terguggat berhak atas warisannya berdasarkan
pendapat mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali menyatakan mafqud dianggap
telah wafat sejak tanggal pernyataan kewafatannya, sehingga dengan demikian ia
berhak mendapatkan warisan dari pewarisnya yang wafat sebelum tanggal
kematian mafqud. Penulis menafsirkan jika mafqud wafat saja masih berhak atas
warisan, tentunya mafqud yang masih hidup lebih berhak lagi dengan harta
warisannya.
3. Kaitan Dengan Maslahah Mursalah
Penulis menilai ia masih berhak atas harta warisannya dengan alasan
maslahah. Maslahah ialah sesuatu yang dipandang baik serta dapat mendatangkan
kebaikan dan menghindari keburukan sesuai dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum. Maslahah terdapat tiga tingkatan salah satunya Maslahah al-
Daruriyyah, yakni perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan
manusia, yang bila ditinggalkan maka rusaknya kehidupan, merajalelalah
kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.12 Maka demi
kemaslahah terguggat, terguggat berhak atas warisan suaminya sebab jika tidak
terpenuhi kemaslahahnya akan terjadi rusaknya kehidupan, kemiskinan. Bahkan
bisa saja mengancam tujuan syari’at yaitu maqashid al-syari’ah yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, keturuan dan harta. Pusat Kajian Nasional Badan Amil Zakat
12 Khairul Umam, Ushul Fiqh 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),h. 128
66
Nasional (Puskas Baznas) menyatakan salah satu sebab terjadinya pemurtadan
umat Islam karena faktor kemiskinan.13
Konsep maslahah mursalah sendiri bersifat preventif yaitu mencegah
adanya kemudharatan dengan mempertimbangkan kemaslahatan perilaku buruk
sebagaimana kaidah fikih:
ح ل اص لم ا ب ل يج ل ع م د ق م د اس ف لم ا ء ر د
“ Mencegah kerusakan (mafsadah) diupayakan terlebih dahulu sebelum
upaya mendapatkan manfaat (maslahat) “14
Kaidah ini menegaskan apabila kita dihadapkan kepada pilihan yaitu
menolak kemafsadahan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus didahulukan
adalah menolak kemafsadahan tersebut, karena menolak kemafsadahan sama
dengan meraih kemaslahatan. Sedangkan tujuan utama dari masalahah mursalah
menurut ulama fikih adalah meraih kemaslahatan dunia maupun akhirat.15
Dalam kaidah fikih yang lain juga telah dijelaskan mengenai larangan
untuk berbuat sesuatu yang membahayakan, yaitu :
و ر ر ض ل ار ر ض ل
“ Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan “16
ال ز ي ر لض ا
“ Kemudharatan harus dihilangkan “.17
13 Novita Intan, Laporan IRP: Kemiskinan Penyebab Murtad dalam
https://m.republika.co.id/berita di akses pada 10 Januari 2020 14 Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh : Al-Qowai’idul Fiqiyyah, cet. 2, h.39 15 Ahmad Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2011),h. 164 16 Syamsul Hilal, Qawai’id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam, (Jakarta:
Al-‘ADALAH , 2013),h. 152 17 Ibid. h. 153
67
Kaidah ini menegaskan bahwa tidak boleh seorang yang menimpakan
suatu bahaya atau membahayakan orang lain, seperti terguggat yang dinyatakan
tidak lagi berhak atas harta warisan suaminya, hal ini sangat berbahaya bagi diri
tergugat karena tergugat bisa menjadi miskin bahkan bisa saja menjadi murtad
karena kemiskinanya. Sesungguhnya pada warisan tersebut terguggat lebih berhak
karena terdapat harta bersama dan hak warisnya.
Perihal maslahah mursalah sendiri dalam hukum Islam merupakan salah
satu metode dalam istinbath hukum dengan mempertimbangkan adanya
kemanfaatan yang mempunyai akses secara umum dan kepentingan tidak terbatas,
tidak terikat, namun dalam hal ini maslahah mursalah tetap terikat pada konsep
syariah yang mendasar, karena syariah sendiri ditunjuk untuk memberikan
kemanfaatan kepada masyarakat secara umum, dan berfungsi untuk memberikan
kemanfaatan dan mencegah kemudharatan (kerusakan).
Bila ditinjau dari aspek maslahah mursalah dan batasan waktu mafqud
menurut imam madzhab, penulis menyatakan tergugat atau istri pewaris atau ibu
dari penggugat berhak atas harta warisan suaminya karena demi kemaslahatan
dan menjauhi kemudharatan bagi diri tergugat.
4. Perceraian Akibat Istri Mafqud
Dalam sub bab ini penulis akan membahas salah satu pertimbangan
hakim yaitu Terguggat secara fakta telah bercerai dengan pewaris karena telah
mafqud sejak 2009. Di dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa :” Perkawinan dapat putus karena
a) kematian, b) perceraian, c) atas keputusan pengadilan”. Jika hakim menyatakan
secara fakta maka menurut penulis fakta yang dimaksud disini adalah kematian
pewaris sejak 09 Juli 2018 bukan karena mafqud tergugat yang sejak 2009.
Perceraian yang sah adalah perceraian yang dilakukan di depan sidang
pengadilan sebagaimana telah diatur dalam pasal 39 ayat (1) dan (2) yang
68
berbunyi: (1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan,
bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Dalam putusan ini berdasarkan bukti surat yang di ajukan oleh pihak
penggugat, tidak ada sama sekali putusan pengadilan yang menyatakan telah
bercerai terguggat dengan pewaris. Jika dalam hal kasus tidak tepat hakim
memutus perceraian karena perceraian hanya bisa dilakukan di sidang pengadilan.
Suami dalam hal ini sebaiknya mengajukan perceraian saat ia masih hidup, untuk
menjelaskan status perkawinan mereka. Berdasarkan pasal 39 ayat 2 UU 1 tahun
1974 dan KHI pasal 116 point b, jika salah satu pasangan meninggalkan pasangan
lainnya selama 2 tahun tanpa seizin dan sepengetahuan pasangan lainya. Maka
salah satu pasangannya boleh mengajukan perceraian. Begitu juga pendapat para
ulama yang membolehkan melakukan perceraian jika salah satu pasangannya
ghoib. Namun dalam hal ini ada waktu menunggu sebelum mengajukan talak ke
pengadilan seperti mazhab Maliki yaitu 4 tahun.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat penulis simpulkan dari skripsi Penyelesaian
Sengketa Waris Bagi Istri Yang Mafqud (Analisis Putusan Nomer
2210/Pdt.G/2018/PA.JB)
1. Kewarisan mafqud ditetapkan berdasarkan hidup atau wafatnya,
Dalam hal ini para ulama mazhab menetapkan batasan waktu
mafqud bisa dikatakan hidup atau matinya. Mazhab Hanafiyah dan
mazhab Syafi’iyah menyatakan masa menunggu itu kira-kira teman
sebayanya sudah tiada, maka dinyatakan wafat atau menunggu umur
si mafqud sampai 90 tahun. Mazhab Maliki berpendapat menunggu
umur si mafqud sampai 70 tahun sesuai rata-rata umur umat Nabi
Muhammad SAW. Mazhab Hambali menyatakan menunggu umur
si mafqud sampai 90 tahun semenjak ia dilahirkan. Para ulama
mazhab sepakat bahwa segala putusan diserahkan kepada ijtihad
hakim.
2. Hakim menetapkan mafqud (istri) bukan sebagai ahli waris karena
secara fakta terguggat telah bercerai dengan pewaris karena
terguggat telah menghilang sejak 2009. Dalam hal ini penulis
menyatakan perbedaan pendapat dengan hakim, karena UU
perkawinan mengatur bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di
depan hadapan sidang. Dalam kasus ini perceraian terjadi karena
kematian bukan karena mafqud.
3. Menurut penulis bahwa mafqud (istri) berhak atas harta warisannya
dengan alasan demi kemaslahatan terguggat dan berdasarkan
pendapat para ulama dalam menentukan status hukum mafqud.
70
70
B. Saran
1. Kepada para panitera Pengadilan Agama dalam melakukan
penulisan salinan putusan agar lebih teliti lagi sebab dalam putusan
ini terdapat beberapa kesalahan penulisan kata dan kalimat dan bagi
juru sita Pengadilan Agama dalam melakukan pemanggilan kepada
terguggat tidak hanya melalui pengumuman di pengadilan, tetapi di
jaman yang sudah modern ini juru sita bisa melakukan
pengumuman melalui media lainya, seperti media sosial, media
cetak dan media television.
2. Kepada para ulama hendaknya berperan aktif di kehidupan
masyarakat dalam membina dan membimbing dalam segala aspek
keagamaan agar menghindari adanya isteri mafqud dalam suatu
pernikahan melalui dakwah dan siraman rohani.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Akademika
Pressindo,2018.
Abdurrahman, Wahyudin. Panduan Waris Empat Madzhab. Jakarta: Pustaka
Al- Kautsar, 2009.
Abta, Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur. Ilmu Waris. Surabaya: Pustaka
Hikmah Perdana, 2005.
Aji, Ahmad Mukri. Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran
Hukum Islam. Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2011.
Aldizar, Addys, dkk. Hukum Waris. Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004.
Al-Ghazali. Al-Mustashfa min al-ilmi al-ushul. Beirut: al-Risalah, 1997.
Al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu. Beirut: Dar el Fikr, 1993.
Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004.
Arifin, Bustanul. Transformasi Hukum Islam ke Hukum Nasional. Jakarta: Al-
Hikmah, 2001.
Arief, Saifuddin. Hukum Waris Islam dan Praktek Pembagian Harta
Peninggalan. Jakarta: Darunnajah Production House, 2007
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Fiqh Mawaris. Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 2001.
Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Fakultas Hukum
UII, 1997.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Shohih Muslim jilid 6. Beirut: Dar Al-Kutub
Al- Ilmiyah: 1995.
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2011.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
72
Djazuli, Ahmad. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam
dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana, 2011.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2009
Fathurrahman. Ilmu Waris. Bandung: Al-Ma’arif, 2004.
Haroen, Narun. Ushul Fiqh. Ciputat: Logos Publishing House, 1996.
Hasan, M. Ali. Hukum Kewarisan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Hasbiyallah. Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
Hilal, Syamsul. Qawai’id Fiqhiyyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum
Islam. Jakarta: Al-‘ADALAH , 2013.
Hamid, Zahry Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta; Binacipta, 1998.
Idris Ramulyo, Moh. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2004.
Ihsan, Abu. Panduan Praktis Hukum Waris Menurut Al-Quran dan As-Sunnah
Yang Shahih. Jakarta: Pustaka Ibnu Kasir,2015.
Kuzari, Achmad Nikah sebagai Perikatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995.
Kadir, A. Memahami Ilmu Faraid. Jakarta: Amzah, 2016.
Khairuddin. Belajar Praktis Fikih Mawaris. Banda Aceh: UIN Ar-Rinay
Darussalam, 2014.
Lubis, Suhrawardi K. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Majah, Ibnu. Sunnah Ibnu Majah. Beirut: Darul Fikri, tt. Sunan Ibnu Majah
jilid 2. Cairo: Mustafa Al-Babiy: 1995.
Mudjib, Abdul. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh : Al-Qowai’idul Fiqiyyah, cet. 2.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Al-Fiqh ‘ala al-madzhab al-khamsah.
Penerjamah Masykur A.B. dkk. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: Penerbit Lentera,
2011.
73
Muhaimin, Abu Najiyah. .Ilmu Waris. Tegal: Ash-Shaf Media, 2007.
Muhibbin, Moh. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Nasution, Amien Husain. Hukum Kewarisan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012.
Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara Studi Terhadap
Perundang- undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan
Malaysia. Jakarta: INIS, 2002.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Ulp, 1997.
Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.
Rosadi, Imron, dkk. Ringkasan Kitab Al Umm. Jakarta: Pustaka Azzam, 2005.
Salihin, Syamsulbahri. Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam
Hukum Islam dan Implementasinya pada Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana,
2015.
Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Suma, Muhammad Amin. Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan
Teks & Konteks. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta:Kencana, 2005.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008.
Syaltout, Mahmoud. Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih.
Jakarta:Bulan Bintang, 1993.
Susilo, Budi. Prosedur Gugatan Cerai. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007.
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
(Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Yogyakarta:
Liberty, 1998.
Tirmidzi, Sunan. Sunan Tirmidz jilid 4. Beirut: Dar al-Fiqri: 2005.
Umam, Khairul. Ushul Fiqh 1. Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Usman, Suparman. Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Gaya
74
Media Pratama, 1997.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 1991.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Yayasan
peyelenggarapenterjemah/penafsir Al-Qur’an, 2004.
Manaf, Abdul. “Yurisdiksi Peradilan Agama Dalam Kewarisan Mafqud”,
PTA Medan. Diakses pada November 2019. www.Badilag.net
Inpres No.1 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Nomor 2210/Pdt.G/2018/PA.JB