هتاكرالله ةمحبو رو مكيعلاس...
TRANSCRIPT
Histori Ummat Islam Nusantara : Problematika dan Tantangan
(Disampaikan dalam Sarasehan Internasional ”Pertemuan Para
Peneliti Islam Asia Tengara”, 29-30 Desember 2013 diselenggarakan oleh
LPPM UIN Suska Riau, di Hotel Ibis, Jln. Soekarno-Hatta, Pekanbaru)
Oleh Prof DR H Budi Sulistiono, M.Hum
Universitas Islam Negri, Syarif Hidayatullah
Jakarta-Indonesia
وبركاته هللا ةرحمو عليكم السالم
Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt yang telah
memberikan limpahan hidayat dan taufiq serta karuniaNya sehingga
kita semua dapat berjumpa dan berkumpul di tempat yang bahagia ini.
Semoga dengan segala aktivitas yang mukhlish menjadi kebaikan kita
bersama. Amien
Tema ”Histori Ummat Islam Nusantara : Problematika dan
Tantangan” yang diminta oleh penyelenggara Sarasehan Internasional
”Pertemuan Para Peneliti Islam Asia Tengara”, setidaknya menjadi ide
tentang perlunya wacana pemahaman ke arah pengertian bersama,
memang tepat, mendesak dan perlu. Hal yang mendasari dipilihnya
tema ini – dan mudah-mudahan kita masih dalam satu persepsi, adalah
kenyataan bahwa bentangan wilayah Nusantara di masa lalu
merupakan salah satu wilayah yang memiliki kedudukan penting.
Secara geografis Indonesia, Malaysia, Brunei, Philippines, Thailand,
Myanmar, dipisahkan oleh bentangan laut. Saat ini mungkinkah kita
sepakati bahwa eksistensi bentangan laut sebagai tanda pemersatu
kita ? Semoga.
Kiprah Ulama dan Pesantren
Sungguh aneh, jika kita sering membicarakan “Kesultanan” (dan
peninggalan-peninggalannya) tak sesering mengingat apalagi
membicarakan proses : bagaimana kesultanan itu dibentuk, dibangun ?
Paling tidak, dari soal awal kedatangan masyarakat Muslim,
kemudian berkembang, hingga terwujudnya sebuah kekuatan politik
dalam wujud Kesultanan adalah hasil jerih payah dan upaya dari
banyak profesi, (a.l. ekonom, agamawan/ulama, politikus, saudagar,
dsb). Untuk sampai terwujudnya Sumber Daya Manusia (SDM)
professional Muslim itu tentu tidak sedikit pernah terselenggara untuk
menimba ilmu pengetahuan melalui wadah dalam wujud
pesantren/surau/dayah/madrasah. Pondok Pesantren/ surau / dayah,
dan atau yang semisal adalah lembaga pendidikan Islam tertua di
Nusantara yang telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan
Ummat Islam, pusat dakwah, pusat menimba ilmu pengetahuan, dan
pusat pengembangan masyrakat Muslim, dan sekitarnya di Nusantara,
sebagai wujud nyata peran aktif dakwah islamiyyah.
Terkait peran aktif dakwah islamiyyah adalah sesuai dengan
ajaran agama Islam, setiap Muslim adalah “da’i”/ muballigh. Para
muballigh, guru agama Islam mempunyai tugas khusus menyiarkan
agama Islam. Melalui suasana keteladanan, kontinuitas antara penerima
dan penyebar terus terpelihara dan dimungkinkan sebagai sistem
pembinaan calon-calon pemberi ajaran tersebut, adalah santri-santri
pandai, yang telah lama belajar seluk-beluk agama Islam di suatu
pesantren/surau/dayah/madrasah kemudian kembali ke daerahnya,
akan menjadi pembawa dan penyebar ajaran Islam yang telah
diperolehnya. Keberadaan mereka secara khusus telah mempercepat
proses berkembangnya wilayah pengaruh Islam. Mereka kemudian
mendirikan pondok-pesantren, rangkang, surau, dan atau semisalnya.
Dalam konteks keberadaan pesantren/ dayah/ surau, dan yang
semisalnya, menunjukkan bahwa proses belajar mengenali dan
memahami tentang Islam telah diajarkan melalui pendidikan yang
diajarkan dan di bawah pengelolaan atau bimbingan seorang guru,
ustadz, teungku, ulama, ajeungan, kyai, dan sebagainya. Tempat-tempat
pendidikan tersebut biasanya didirikan di dekat masjid atau rumah
guru, pelajaran yang diberikan di antaranya : baca-tulis Arab.
Sebagai lembaga tempat penggemblengan calon guru, ulama,
intelectual, kini sudah saatnya ditulusuri sejumlah potensi arkeologi
yang dimilikinya (masjid, rumah kyai, rumah guru, pondok santri, dsb).
Sasaran yang mendesak adalah pesantren/dayah/pondok dalam
kategori “induk”. Seberapa jauh kita memiliki data mereka dalam
wujud budaya materialnya ?
Di tiap pesantren hampir pasti ada tokoh teladan. Keteladanan
mereka bisa berwujud antara lain melalui ide/pemikiran untuk
kemudian dituangkan dalam tulisan. Varian karya tulis apa saja yang
pernah mereka tulis ? Bagaimana corak bentangan varian karya tulis
melesat berkembang di antara santri alumninya di berbagai daerah ?
Bagaimana corak pemilihan lokasi, tata ruang pesantren ?
Semoga saja di antara kita telah berhasil himpun data mereka
baik berupa materiel mau pun non materielnya. Apa pun kondisinya,
dari masa ke masa Muslim Nusantara adalah mayoritas. Suasana
mayoritas ini setidaknya sebagai wujud nyata dari nilai strategis dari
dakwah Islamiyah masa lalu melalui "keteladanan" hingga
mendorong terjadinya konvensi massal kepada Islam, muncul
kemudian aktivitas bukan hanya di sektor perdagangan, melainkan
juga dalam bidang politik, dan diplomatik. Fakta historis inilah yang
kemudian menghantarkan terwujudnya kekuatan politik dalam
bentuk Kesultanan, secara bertahap berdiri di bentangan wilayah
geografis Nusantara.
Tumbuh & Berkembang Kesultanan
Boleh jadi, informasi sejumlah aktivitas keulamaan masyarakat
dalam wilayah Kesultanan Jeumpa, Kesultanan Peureulak, (Nanggroe
Aceh Darussalam) dan lain-lain akan bisa dijadikan indikasi
pertumbuhan hingga perkembangan masyarakat Muslim dalam
sejumlah kelompok dari masa ke masa yang sangat berpengaruh
dalam berbagai wilayah Nusantara.
Perkembangan masyarakat Muslim Nusantara secara besar-
besaran pada abad 13 M – kian memiliki kekuatan politik yang berarti,
yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa Kesultanan Islam seperti
Kesultanan Melaka, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Demak,
Cirebon, serta Ternate-Tidore. Dari Melaka, Islam didakwahkan antara
lain ke daerah Kampar, Indragiri, dan Riau, Jawa, Kalimantan Barat,
Brunei, Sulu dan Mindanau (Filipina Selatan).. Dari Aceh, Islam meluas
sampai ke Minangkabau, Bengkulu, dan Jambi. Melalui Riau, Islam
membentang hingga wilayah Kalimantan Barat. Di Pulau Jawa,
penyiaran agama Islam dilakukan terutama oleh para wali yang dikenal
dengan sebutan Walisongo. Strategi dakwah yang mereka terapkan
telah berhasil meluaskan wilayah pengaruh Islam dari Demak ke
Banjarmasin. Sultan Samudra – atas bantuan Demak, sebagai raja
pertama kerajaan Banjarmasin masuk Islam. Ia kemudian memakai
gelar Maharaja Suryanullah. Ketika Suryanullah naik tahta, beberapa
daerah sekitarnya sudah mengakui kekuasaannya, yakni daerah Sambas
(Kalimantan Barat), Batang Lawai (Kalimantan Barat)1, Sukadana2
(Kalimantan Barat), Kotawaringin3 (Kalimantan Tengah), Sampit4
(Kalimantan Tengah). Adapun Lombok, menurut tradisi diislamkan
oleh Sunan Prapen, dari Giri, Gresik, Jawa Timur. Banten yang
diislamkan oleh Demak meluaskan dan menyebarkan Islam ke Sumatra
Selatan.
1 Kesultanan Banjar menyebutnya Batang Lawai yang mengacu pada nama daerah Lawie
atau Lawai (sekarang Kabupaten Melawi) sehingga nama sungai yang mengalir dari Kabupaten
Melawi hingga muaranya di sekitar kota Pontianak disebut Sungai/Batang Lawai. 2 abad 17 M di Sukadana merupakan pusatnya pelabuhan terbesar dan memiliki pasar besar
di Kalbar, bahkan terkenal sebagai sumber intan berliannya. 3 Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin
Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti
beringin. Lihat John Crawfurd, A descriptive dictionary of the Indian islands & adjacent countries,
Bradbury & Evans. 4 salah satu kota terpenting di Provinsi Kalimantan Tengah Saat ini Sampit sebagai ibu kota
Kabupaten Kotawaringin Timur.
Kesultanan terbesar di Kepulauan Maluku abad ke 14-16 M
adalah Kesultanan Ternate. Sejak abad ke-10 M terkenal sebagai pusat
perdagangan rempah-rempah. Kapal-kapal dari Jawa, Malaka, dan Arab
secara teratur berlayar ke sana. Pada awalnya, Kesultanan itu menganut
animisme. Namun setelah Sultan Zainal Abidin (1486-1500), raja Ternate
ke-19 kembali dari Giri, Gresik, Jawa Timur dan menyandang gelar
Sultan, agama Islam menjadi agama resmi Kesultanan. Dari Ternate
semakin meluas meliputi pulau-pulau di seluruh Maluku, daerah pantai
timur Sulawesi, Hitu, Buton, Selayar, serta Lombok.
Sejak Gowa-Tallo5 atau Makassar tampil sebagai pusat
perdagagan laut, kerajaan ini menjalin hubungan yang baik dengan
Ternate, suatu Kesultanan pusat cengkeh, yang telah menerima Islam
dari Giri / Gresik, di bawah kekuasaan Sultan Babullah, Ternate
mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gowa Tallo. Pada saat
yang sama, raja Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa Tallo untuk
ikut menganut agama Islam, tetapi gagal. Pada waktu Dato’ ri Bandang6
5 Letak Kerajaan Goa Tallo di semenanjung barat daya pulau Sulawesi sangat
strategis dilihat dari sudut perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Nusantara ini.
Sebagai suatu daerah pelabuhan transito, Kerajaan Goa-Tallo memainkan peranan penting.
Di sekitar tahun 1600 M, rempah-rempah yang dapat dibeli di pelabuhan ini seringkali
lebih murah daripada di Maluku sendiri. Lihat Meilink Roelofs, Asian Trade and European
Influences in the Indonesian Archipelago Between 1500 and about 1630, (The Hague : Martinus
Nijhoff, 1962) 6 Tokoh yang kemudian dikenal Dato’ ri Bandang ini adalah salah seorang tokoh
Ulama asal Minangkabau bernama Abdul Ma’mur Chotib Tunggal (Abdurrazak Daeng
Patunru, Sedjarah Gowa, (Makassar, Jajasan Kebudajaan Sulawesi Selatan,1969). Dua
temannya Chotib Sulaiman yang kemudian bergelar Dato’ri Pattimang, mengislamkan
daerah Luwu dans eorang temannya lagi, Chotib Bungsu mengajarkan Tasawuf dan
mengislamkan daerah Tiro, sehingga ia lebih dikenal dengan nama Dato’ ri Tiro (Ibid).
Nama Dato’ri Bandang juga dikenal di Buton, Selayar, dan Lombok sebagai penyebar Islam
datang ke Gowa-Tallo, agama Islam masuk ke kerajaan ini. Sultan
Alauddin (1591-1636) adalah sultan Gowa-Tallo yang pertama
menganut Islam pada tahun 16057. Dua tahun berikutnya, rakyat Gowa
dan Tallo diislamkan seperti terbukti dengan dilakukannya sembahyang
Jum’at bersama di Tallo pada 19 Rajab 1068 H/ November 1607 M8.
Selain gerak estafet yang pernah dipentaskan oleh sejumlah
kesultanan tersebut menarik untuk kita lebih mencermati keberadaan
dan fungsi pelabuhan-pelabuhan yang ditumbuh kembangkan oleh
masyarakat Muslim, juga tahapan pemberdayaan varian komoditas
yang menjadi kehidupan masyarakat agraris. Dalam sejarah
pelayaran Nusantara, jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa di
perairan Nusantara pada paruh pertama abad XVI, pelaut-pelaut
negeri ini telah menguasai laut dan tampil sebagai penjelajah
samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia
menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek
moyang bangsa Indonesia. Sebutan kalimat dalam judul lagu “nenek
moyangku seorang pelaut“, siapa mereka sebenarnya ? Bukti-bukti
yang tidak dapat dielakkan adalah pertumbuhan lokasi-lokasi
persinggahan secara geografis tumbuh menjadi perkotaan lebih cepat
dibandingkan dengan lokasi-lokasi yang jarang disinggahi atau hanya
sebagai lokasi lintasan pelayaran saja. Inilah proses pertumbuhan baik
di daeah tersebut (Hasan M Ambary, Menemukan Peradaban :Jejak Arkeologis dan Historis
Islam Indonesia, (Jakarta ; Logos, 1998). 7 Mattulada,”Sulawesi di Sulawesi Selatan”, dalam Taufik Abdullah, (ed.), Agama
dan Perubahan Sosial, (Jakarta : Rajawali Press, 1985). 8 Noorduyn, Islamisasi Makassar, (terj.), (Jakarta : Bhratara, 1972).
kota-kota di pantai Selat Malaka, pantai utara Jawa dan lainnya.
Kehadiran dan keberadaan kota-kota Muslim, sudah saatnya untuk
dicermati, utamanya di seputar Tataruang kota.
Tatakota, menurut Wertheim9, dibuat secara tradisional dan
direncanakan oleh penguasa yang lebih tinggi atas perintah raja. Tata
kota yang masih asli itu mudah dikenal pada sejumlah denah kota-
kota Kesultanan di Jawa, yaitu adanya alun-alun yang terletak di
tengah-tengah kota, bagunan-bangunan terpenting didirikan secara
tradisional di jalan-jalan lurus berpotongan membentuk bujur
sangkar. Demikian halnya dengan arah hadap Kesultanan - pada
masa pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa umumnya
mengarah ke utara, Kesultanan Banten, di Surosowan, misalnya.
Bangunan-bagunan lain yang didirikan di sisi barat alun-alun adalah
Masjid. Sesuai dengan fungsinya sebagai masjid yang terletak di pusat
kota dan dipergunakan untuk sholat lima waktu, sholat Jum'at dan
sholat hari-hari raya Islam, maka masjid semacam itu dinamakan
masjid Jami', masjid Agung, masjid Raya. Di Banten, kecuali masjid
Agung didapatkan juga masjid di dekat kampung Pacinan yang kini
tinggal reruntuhannya.
Kecuali tempat peribadatan yang biasanya juga menjadi ciri
penting bagi kota adalah adanya pasar, meskipun tidak hanya
terdapat di kota-kota. Jika kota merupakan tempat himpunan
masyarakat dari berbagai tempat yang kehidupannya lebih menitik
beratkan pada perdagangan , maka jelaslah fungsi pasar sebagai pusat
9 W.F.Wertheim, Indonesia Society in Transition, 1956, h.147.
perekonomian kota, sangat penting. Di dalam kota, ada lebih dari satu
pasar dan letaknya tidak selalu dekat dengan alun-alun tetapi ada
juga yang dibuat dekat dengan perkampungan para pedagang. Di
Banten, sekitar abad ke-16 M terdapat beberapa pasar, di antaranya
ada yang terletak di Pacinan dan Karangantu.
Di dalam kota, selain terdapat tempat peribadatan, pasar,
bangunan untuk penguasa, terdapat juga perkampungan-
perkampungan. Perkampungan itu ada yang didasarkan pada status
sosial-ekonomi, status keagamaan, status kekuasaan dalam
pemerintah. Biasanya tempat perkampungan untuk para pedagang
Asing ditentukan oleh masing-masing penguasa kota. Di Banten,
terdapat perkampungan pedagang dari Persia, Arab, Turki, kemudian
untuk menyebut lokasi pemukiman itu muncul istilah "Pakojan"10.
Juga datang pedagang dari Cina, kemudian muncul istilah "Pecinan" -
di tempat ini ditemukan dan masih dapat dikenali sisa rumah kuno
bercorak Cina dan sejumlah orang-orang Cina. Di lokasi pemukiman
ini juga ditemukan keramik dari masa Sung (960-1280), Yuan (1280-
1368), Ming (1368-1643), Ching (1644-1912)11. Selain orang Asing,
masyarakat pribumi di Banten juga membentuk semacam
perkampungan pedagang yang berasal dari berbagai daerah : Melayu,
Ternate, Banda, Banjar, Bugis, Makassar. Kenyataan ini membuktikan
bahwa Banten merupakan pusat perdagangan yang ramai dikunjungi
10 Istilah "Pakojan" bahasa Persia untuk menyebutkan tempat-tempat pedagang
besar Muslim asal Cambay-Gujarat, Mesir,Turki,Goa. 11 Mundardjito, Hasan Muarif Ambary, dan Hasan Djafar, "Laporan Penelitian
Arkeologi Banten", dalam Berita Penelitian Arkeologi No.18, Jakarta, 1978:44.
para pedagang dari berbagai wilayah Nusantara, dan dari negeri
Asing.
Perkampungan-perkampungan tersebut ada yang ditempatkan
di dalam pagar tembok kota dan ada pula di luarnya. Di Banten,
hingga kini masih dapat disaksikan kampung Pakojan, meskipun
tempat itu sudah tidak dihuni, terletak di sebelah barat bekas pasar
kuno Karangantu, atau timur laut keraton Surosowan. Sampai akhir
abad ke-19 M, Serrurier yang datang ke Kota Banten Lama -
walaupun telah ditinggal penduduknya - masih dapat dicatat adanya
33 pemukiman penduduk Islam, menurut hasil klasifikasi yang
dibuatnya : (1) pengelompokan atas dasar ras dan suku, terdiri dari
kebalen (pemukiman orang Bali), karoya (pemukiman orang Koga,
dari India), dan karangantu (pemukiman orang Asing lainnya); (2)
pengelompokkan atas dasar keagamaan, terdiri dari kapakihan
(pemukiman kaum ulama), dan kasunyatan (pemukiman orang suci);
(3) pengelompokan atas dasar sosial-ekonomi, terdiri dari Pamarican
(tempat menyimpan lada), pabean (tempat menarik pajak);
panjaringan (pemukiman nelayan), pasulaman (tempat kerajinan
sulam), kagongan (tempat pembuatan gong), pamaranggen (tempat
pembuatan keris), pawilahan (tempat kerajinan bambu), pakawatan
(tempat pembuatan jala), pratok (tempat pembuatan obat), kepandean
(tempat pembuatan alat-alat senjata); (4) Pengelompokan atas dasar
status dalam pemerintahan dan masyarakat, terdiri dari kawangsan
(tempat pemukiman Pangeran Wangsa), kaloran (tempat pemukiman
Pangeran Lor), kawiragunan (tempat pemukiman Pangeran
Wiraguna), kapurban (pemukiman Pangeran Purba), kabantenan
(pemukiman pejabat pemerintah), kamandalikan (pemukiman
Pangeran Mandalika), keraton (pemukiman Sultan dan keluarganya),
dan kesatrian (pemukiman tentara)12.
Dengan mencontoh tataruang dan klasifikasi hunian di kota
Banten, adakah persamaan dan perbedaan tataruang kota di pusat-
pusat pemerintahan Kesultanan yang lain ?
Melalui sejumlah aktivitas penelitian di berbagai lokasi/ kota
kian akan mendekatkan ke arah mendapatkan limpahan data. Jika situs
Kesultanan, Situs Pemukiman, Situs Masjid, Situs Benteng, Situs Pasar,
situs kampung Kerajinan (al.tradisi ukir, arsitektur, batik), Industri
(Senjata, desain kapal-kapal, dsb), berhasil ditemukan, maka pantaslah
Kota-kota tersebut sesuai dengan kapasitasnya sebagai pusat
pemerintahan (Kesultanan), juga dapat disebut pusat perdagangan,
ramai dikunjungi para pedagang domestik maupun luar negeri. Dan
bagi siapa saja yang pernah berwisata atau berziarah ke kota-kota itu,
sudah pasti semakin yakin bahwa kota-kota itu, benar-benar sebuah
Kota Metropolitan, Pusat Kekuasaan, Kota Maritim, Kota Pelabuhan.
Bahkan kota-kota itu dapat disebut sebagai salah satu pusat dakwah
Islam, kondisi ini dapat ditelusuri dari suasana feedback limpahan
peziarah dari hari ke hari yang berdatangan dari berbagai kota di luar
wilayah kota-kota tersebut.
12 Ambary, Hasan Mu'arif, Op cit,h.119.
Feedback limpahan peziarah ditandai adanya komplek makam.
Di dalam komplek makam masih banyak disaksikan varian bangunan
Nisan Makam. Kehadiran nisan-nisan di komplek pemakaman Islam
di Nusantara merupakan semacam atribut atau tanda pemakaman
orang Islam. Makam-makam Islam awal di berbagai tempat
merupakan data arkeologi. Sebagai data arkeologi umumnya tidak
dapat dihindari sebagai konsekuensi data yang berkesinambungan
dengan konteks sistem perilaku pada masa-masa berikutnya.
Tatalaku, laku dan hasil laku penguburan (disposal off the death atau
corpse disposal) bersumber pada gagasan atau idea (concepta) baik
yang bersifat realitas masyarakat (sociology) maupun religius-
ideologis (Macro-Micro cosmos, dan persepsi mengenai hidup setelah
hidup atau hidup sesudah mati). 13
Prasasti masa Islam terdapat pada beberapa batu nisan, yang
ditemukan hampir di seluruh situs bekas kerajaan bercorak Islam.
Data yang tertuang pada prasasti tersebut, antara lain pesan yang
merujuk pada datang dan berkembang Islam di Indonesia. Sebagai
prasasti masa Islam, tulisan Arab mendominasi di dalamnya, dan
merupakan ciri khas yang menunjukkan pengaruh Islam di Indonesia.
Di antara jenis huruf Arab yang ditemukan : Kufi.14 Makam di Pulau
13 Hasan Mu'arif Ambary, 1991, ”Makam-Makam Kesultanan dan Para Wali
Penyebar Islam di Pulau Jawa", Aspek-Aspek Arkeologi Indonesia, No.12, Jakarta : Pusat
Penelitian Nasional 14 Secara historis, tidak diketahui persis kapan aksara (huruf) Arab kian gencar dipakai di
berbagai bahasa daerah, terutama Melayu dan Jawa. Sejumlah ahli, sementara itu hanya bisa
mengatakan, hal itu terjadi seiring dengan sosialisasi Islam di wilayah Nusantara. Dan sejak kapan
Serangan, Bali ada yang berinskripsi huruf Arab dan Bugis. Sedang
bahasa yang dituliskan adalah Arab, Melayu/ Indonesia, dan Bugis.
Ada yang berangka tahun, berhias medalion motif ceplok kembang,
Arabesque (hiasan suluran di dalam panil)15. Di komplek makam
Troloyo16 , terdapat sekitar 10 makam dengan nisan berprasasti aksara
Arab, selain yang beraksara Jawa Kuna. Menurut LC Damais 17(1957
:392-408), angka tahun tertua yang termuat dalam sejumlah nisan
yang beraksara Jawa Kuna itu, menunjuk angka tahun 1203 Caka atau
1281 Masehi, sementara angka tahun termuda adalah 1533 Caka atau
1611 Masehi. sebuah makam yang memuat nama tokoh, angka tahun
wafatnya dengan aksara dan bahasa Arab, yang menunjukkan pada
nama ”Zainuddin, wafat tahun 874 Hijriah”. Selain kaligrafi Arab dan
Jawa Kuna, di kompleks makam ini juga dijumpai pola hias "Sinar",
dan karena bertempat di lokasi bekas kerajaan Majapahit, maka
sangat dikenal dengan pola hias "Sinar Majapahit".
Melalui uraian di atas semakin mendekatkan keyakinan bahwa
peninggalan yang penting bagi arkeologi sebagai hasil tindakan masa
lampau masyarakat Muslim Indonesia tidak hanya berupa : masjid, situs
Islam terserap di varian wilayah Nusantara ini, juga masih menjadi pembicaraan hangat, meski bisa
dipastikan antara abad ke-7 dengan berpedoman pada berita aksara Arab yang terukir pada nisan
makam Fatimah binti Maimun, yang wafat tahun 1080 Masehi 15 Nampaknya Bugis merupakan etnis dominan yang hadir di tempat ini, karena orang-orang
Bugis lebih dikenal mempunyai keahlian berlayar dan suka merantau. Jika asumsi ini dapat diterima,
sejak abad ke-16 M orang Bugis sudah mengenal bahkan melakukan kontak dengan pulau Bali. Dan
sejarah mencatat, bahwa pada abad ke-17 M meletus perang antar kerajaan Gowa dengan VOC.
Kampung Bugis, Wajo, Bajo, dapat dijumpai di Bali, misalnya di Jembrana. 16 Komplek makam ini terletak di desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto. 17 L.C.Damais, 1957, "Etudes Javanais I, Les Tombes Musulmanes Detees de Tralaya",
BEFEO, XLVIII.
perkotaan, kompleks makam, keraton, melainkan juga pernaskahan,
situs dermaga, situs pasar, situs pemukiman, situs pesantren, dan
sebagainya.
Namun, keberadaan sejumlah situs di atas hingga kini masih
banyak permasalahan :
Masalah pertama, ialah lemahya informasi yang diperoleh dari
laporan-laporan inventarisasi di Indonesia khususnya mengenai situs-
situs masa Islam, berikut kelengkapan lampiran petanya. Sebenarnya,
sejak masa penjajaahan Belanda, para ahli arkeologi dan filologi banyak
memberikan perhatian yang besar dan telah melakukan survai secara
berkesinambungan dengan intensitas tinggi terhadap situs-situs pusat
dakwah Islamiyah. Tanpa bermaksud mengurangi jasa dan keberhasilan
para ahli arkeologi pendahulu, wajarlah kita dapat menganggap bahwa
informasi yang mereka himpun tersebut dalam batas-batas tertentu
memiliki nilai data yang cukup dapat dipercaya dan bermanfaat.
Namun, dalam kenyataannya masih banyak nama tempat / lokasi pusat
Dakwah Islamiyah yang belum dikenali apalagi disurvai.
Masalah kedua, banyak nama tempat/ lokasi yang disebut-sebut dalam
sejumlah naskah, seringkali tidak disebutkan dimana letaknya/
keberadaannya ? Ada sebagian naskah yang menyebut nama tempat
yang terletak di suatu wilayah atau daerah tertentu. Tapi untuk rentang
waktu yang panjang (hingga masa kini) ada sejumlah nama tempat/
lokasi yang sama, nyatanya nama tempat itu juga ada dalam wilayah
yang berbeda.
Masalah ketiga, banyak nama tempat/ lokasi yang disebut-sebut dalam
naskah, tapi tidak tercantum dalam lembaran peta topografi. Sekalipun
ada sebagian yang dicantumkan dalam lembaran peta topografi, tapi
masih banyak kesulitan menjumpainya di lokasi karena ada sebagian
nama tempat/ lokasi yang dimaksud telah mengalami perubahan bukan
saja nama melainkan status dan kedudukannya di daerah/ wilayah
(hirarki administrasi wilayah).
Allahu a’lam bish-showab, fastabiqul khoirot
وبركاته هللا ورحمة عليكم والسالم
Tebet, Jakarta, 25-12-2013