repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44618/1/dicka...
TRANSCRIPT
TINJAUAN KONSEP HIFDZU AL-NAFS (MAQASID AL-SYARIAH)
TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS
(NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Dicka Nanda Dermawan
NIM : 1111043200029
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
i
TINJAUAN KONSEP HIFDZU AL-NAFS (MAQASID AL-SYARIAH)
TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS
(NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Dicka Nanda Dermawan
NIM : 1111043200029
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
ii
TINJAUAN KONSEP HIFDZU AL-NAFS (MAQASID AL-SYARIAH)
TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS
(NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Dicka Nanda Dermawan
NIM : 1111043200029
Pembimbing I Pembimbing II
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Mara Sutan Rambe, M.H
NIP. 197412132003121002
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Dicka Nanda Dermawan
NIM : 1111043200029
Prodi : Perbandingan Mazhab
Fakultas : Syariah dan Hukum
Alamat : Jl. Raya Muchtar Rt 01 Rw 07 Sawangan Baru Depok
Email : [email protected]
HP : 083819867561
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Mengenai sumber-sumber yang saya cantumkan dalam skripsi ini, telah
disesuaikan menurut ketentuan dan aturan yang berlaku Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa dalam karya ini bukan hasil karya sendiri
atau plagiasi dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta: 1 Juni 2018
materai
Dicka Nanda Dermawan
v
ABSTRAK
DICKA NANDA DERMAWAN. 1111043200029. TINJAUAN KONSEP
HIFDZU AL-NAFS (MAQASID AL-SYARIAH) TERHADAP PEMBELAAN
TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) DALAM
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN.
Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018. 1 x
63 halaman.
Skripsi ini mengkaji tentang bagaimana pertimbangan hakim dalam mengambil
keputusan pada kasus tindak pidana pembunuhan yang berkaitan dengan pembelaan
terpaksa melampaui batas (noodweer exces) dalam tinjauan hifdzu al-nafs (maqasid
al-syariah). Dan bagaimana korelasi antara noodweer exces dengan maqasid al-
syariah.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan melihat kasus-kasus
empiris yang tejadi dalam masyarakat dengan menggunakan penelitian kepustakaan
(library research) yaitu dengan memahami objek penelitian serta mengkaji buku-
buku dan literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Dengan menganalisa putusan
hakim dalam penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka-
angka.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam Islam pun sangat memperhatikan
terhadap keselamatan jiwa kita ataupun orang lain. Sama halnya dengan pembelaan
terpaksa melampaui batas (noodweer exces) yang diatur dalam KUHP Pasal 49 ayat 2.
Kata Kunci: Noodweer Exces, Maqasid Al-Syariah dan Hifdzu Al-Nafs
Pembimbing: Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.
: Mara SutanRambe, M.H.
DaftarPustaka: 1970 – 2014
vi
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Ungkapan puji syukur kehadirat Allah SWTatas limpahan rahmat dan nikmat-
Nya, sehingga kita semua tetap dalam kondisi sehat beserta Islam dan iman yang
melekat. Shalawat beserta salam dihaturkan kepada suri tauladan dan junjungan Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman.
Ungkapan Alhamdulillah, atas selesainya tulisan skripsi yang berjudul
“Tinjauan Konsep Hifdzu Al-nafs (Maqasid Al-Syariah) Terhadap Pembelaan
Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan” sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)
Konsentrasi Perbandingan Hukum Progrram Studi Perbandingan Mazhab Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagai manusia biasa, penyusunan skripsi ini jauh dari kata sempurna. Namun
dengan harapan, semoga hasil penelitian dalam skripsi ini bermanfaat terutama bagi
penulis dan bagi khalayak secara umum. Penulis juga menyadari, atas bantuan banyak
pihak skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, ucapan banyak terimakasih
penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., MA., sebagai Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Kepada Bapak Drs. Noryamin, M.A selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah mengarahkan banyak hal dalam perkuliahan sampai proses akhir
penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan Bapak Mara SutanRambe, M.H.
selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan serta
bimbingan sampai skripsi ini selesai.
5. Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., MA., dan Bapak Indra Rahmatullah, SH. I, MH.
selaku Dosen Penguji skripsi yang telah banyak memberikan masukan kepada
penulis.
6. Jajaran struktural kepengurusan program studi Perbandingan Mazhab dalam masa
jabatan sebelumnya.
vii
7. Para Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmunya di berbagai disiplin keilmuan. Baik dalam perkuliahan
atau di luar, semoga mendapatkan balasan dari Allah SWT dan bermanfaat bagi
penulis.
8. Tak lupa dan teristimewa, ungkapan terimakasih untuk Ayahanda dan Ibunda
tercinta, Bapak M. Yusuf dan Ibu Hernawati, S.Pd serta semua anggota keluarga
yang selalu memberikan dukungan dan doa setiap waktu.
9. Tidak lupa untuk yang teristimewa adinda Putri Chaziah yang selalu memberikan
support serta doa yang tiada henti dalam perjuangan selama masa perkuliahan.
10. Kepada seluruh teman seperjuangan Perbandingan Hukum angkatan 2011,dan
organisasi/komunitas lainnya yang telah meluangkan waktu bersama dalam
mendewasakan diri, berbagi ilmu dan kebersamaan.
11. Kepada teman-teman semangat skripsi yang penulis banggakan Abdul Gopur SH.,
Moh. Basri, SH., Nur Moh. Maftuh, SH., Alan Novandi, SH., Ahmad MujabZaini,
S.H, Heru, S.H, dan Jualian Pranata, S.H, Afrita Rizky Nurul Afti S.H. Serta adik-
adik di Program Studi Perbandingan Mazhab yang setiap saat bersama
memberikan dukungan, saran dan masukan kepada penulis.
12. Kepadateman-teman kostan pesanggrahan Habibillah Pratama, Syaiful Anwar,
Ridwan, Mizhfar Alawiy, Rizky Akbari, dan Rian Syahrizal yang selalu
memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Hanya ungkapan terimakasih dan doa yang dapat penulis berikan. Dengan harapan
semoga amal ibadah mereka semua diterima oleh Allah SWT dan mendapatkan
balasan dengan sebaik-baiknya balasan menjadi catatan kebaikan di akhirat kelak.
Amin.
Jakarta : 23 Juni 2018 M
14 Jumadil Akhir 1439H
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. ................................................................................... Latar
Belakang Masalah ............................................................. 1
B. ................................................................................... Batasan
dan Rumusan Masalah ....................................................... 7
C. ................................................................................... Tujuan
dan Manfaat Penelitian ...................................................... 7
D. ................................................................................... Review
Studi terdahulu .................................................................. 8
E. ................................................................................... Kerangka
Teori .................................................................................. 9
F. .................................................................................... Metodelog
i Penelitian ......................................................................... 10
G. ................................................................................... Sistematik
a Penulisan ......................................................................... 12
BAB II : TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM
ix
PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM ..............13
A. ................................................................................... Tindak
Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana
Indonesia ............................................................................ 13
B. ................................................................................... Tindak
Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana
Islam .................................................................................. 22
BAB III : NOODWEER EXCES DAN KONSEP HIFDZU
AL-NAFS (MAQASID AL-SYARIAH) ................................ 31
A. ................................................................................... Pengertian
Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
(Noodweer Exces) dalam Hukum Pidana .. ....................... 31
B. ................................................................................... Pertanggu
ng Jawaban Pidana ............................................ 40
C. ................................................................................... Konsep
Maqasid al-Syariah ............................................................ 44
BAB IV : PEMBELAAN TERPKASA MELAMPAUI BATAS DALAM
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ................................. 48
A. ................................................................................... Pembelaan
Terpaksa Melampaui Batas dalam
Tindak Pidana Pembunuhan .............................................. 48
B. ................................................................................... Tinjauan
Maqasid Al-Syariah Terhadap Pembelaan Terpaksa Melamapui
Batas .............................................................. 53
C. ................................................................................... Analisis
Penulis ................................................................. 55
BAB V : PENUTUP ............................................................................. 59
x
A. ................................................................................... Kesimpula
n ......................................................................................... 59
B. ................................................................................... Saran-
saran ................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Berlakang Masalah
Dalam kehidupan bermasyarakat maka kita tidak terlepas dari apa yang
dinamakan dengan hukum. Sudah kita ketahui bahwa secara umum hukum
diciptakan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri, dan berguna memberikan
argumentasi yang kuat bahwa bila hukum diterapkan dalam masyarakat maka
mereka akan dapat merasakan keamanan, keadilan dan kemaslahatan dalam
kehidupan bermasyarakat. Seperti hukum positif kita yang dihasilkan dari
interpretasi manusia terhadap peraturan dan perbuatan sesama manusia (hablu
minannas), sedangkan hukum Islam menghubungkan antara dunia dan akhirat
(hablu minallah). Sehingga seimbang antara kebutuhan rohani dan kebutuhan
jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi yang mematuhi perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya, semua itu akan kembali kepada pelakunya sendiri.1
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan yang bertujuan untuk mengatur
setiap tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. hukum itu sendiri salah satunya
bertujuan untuk menciptakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam
masyarakat.2 Oleh karena itu bukan berarti tidak ada potensi bagi seseorang untuk
melakukan suatu kejahatan bagi orang lain.
Dalam Islam setiap kejahatan atau tindak pidana merupakan larangan-
larangan syariat yang dikategorikan dengan istilah jarimah dan jinayah. Para Ahli
Fikih telah mejelaskan jarimah yaitu perbuatan-perbuatan tertentu yang apabila
dilakukan akan mendapatkan ancaman hukuman had atau takzir. Adapun
mengenai istilah jinayah para Fuqoha memaknai kata tersebut hanya untuk
perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan seperti melukai,
memukul dan membunuh.3
1Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),
h. 89
2 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT Eresco, 1486),
h. 14
3 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 2
2
Dengan adanya sanksi terhadap pelanggaran pada dasarnya bukan berarti
suatu pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan tersendiri yaitu, untuk
mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok yang disebut dengan maqasid
al-syariah yaitu yang terdiri dari hifdzu al-nafs (menjaga jiwa), hifdzu al-aql
(menjaga akal), hifdzu ad-din (menjaga agama), hifdzu al-mal (menjaga harta) dan
hifdzu al-nasl (menjaga keturunan). Dalam Islam lima hal pokok ini, wajib
diwujudkan dan dipelihara. Jika seseorang menghendaki kehidupan yang bahagia
di dunia dan akhirat. Segala upaya untuk mewujudkan dan memelihara lima
pokok tadi merupakan amalan shaleh yang harus dilakukan oleh umat Islam.4
Sumber hukum bisa dari hukum yang hidup dimasyarakat seperti hukum adat,
peraturan perundang-undangan seperti hukum barat, konsepsi hukum Islam yaitu
dasar dan kerangkanya ditetapkan oleh Allah, yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya (hablu minallah), manusia dengan dirinya, atau manusia dengan
makhluk lain dan manusia dengan lingkungannya.5
Maqashid al-Syariah dipahami sebagai tujuan disyariatkan hukum Islam,
yang dalam terminolginya identik dengan istilah filsafat hukum Islam. Wahbah al-
Zuhaili, memahami Maqasid Al-Syariah sebagai nilai-nilai dan sasaran syara’
yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-
nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang
ditetapkan oleh al-Syari’ dalam setiap ketentuan hukum.6 Dalam konteks tujuan
syariah inilah, erat kaitannya dengan kemaslahatan yang terkandung dalam
syariah.
Sebagai upaya mewujudkan kemashlahatan tersebut al-Syatibi membagi
Maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu: Maqashid dharûriyât, Maqashid
hâjiyat, dan Maqashid tahsînât. Kemudian Al-Syatibi, merinci masalah
Dharuriyat mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-din); (2)
4 Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan Tantangan
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) h. 107.
5 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari’at dalam Wacana dan
Agenda (Jakarta: Gema Insani Press, 2003) h. 71-72.
6 Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-fiqih al-Islam (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986) h. 1017
3
menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga
keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hifzh al-mal).7
Umat Islam bekewajiban untuk menjaga diri sendiri dan orang lain. Sehingga
tidak melukai atau melakukan pembunuhan antar sesama manusia. Intinya, jiwa
manusia harus selalu dihormati. Manusia diharapkan saling menyayangi dan
berbagi kasih sayang dalam bingkai ajaran agama Islam serta yang dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW.
Hifdzu Al-nafs artinya menjaga dan mempertahankan jiwa. Setiap manusia
diberikan kebebasan dan diberi hak untuk melindungi diri dari berbagai macam
bentuk usaha-usaha yang dapat melukai dirinya maupun orang yang menjadi
tanggungannya ataupun orang lain. Untuk itu dalam Islam dibuat aturan seperti
Ash-shiyal (melindungi diri dari ancaman orang yang akan melukai atau
membunuh meskipun dengan cara membunuh orang itu).
Hukum Islam, memiliki aturan tersendiri terhadap pembelaan yang
melampaui batas seperti di atas, sebagaimana dalam hukum pidana Indonesia.
Meskipun dalam bentuk terapan hukum berbeda, seperti sanksi dll. sebagaimana
disampaikan di atas, bahwa menjaga jiwa merupakan kebutuhan primer yang
harus dilindungi, yang tidak menutup kemungkinan akan terjadinya pembunuhan
tidak sengaja (al-qatl al-khatha’) yang diakibatkan karena pembelaan diri.
Akan tetapi, Maqashid dharûriyât berbentuk hifzh al-nafs yang mengkibatkan
pembunuhan, ketika berada di Indonesia akan menjadi dilematis. Karena
Indonesia menerapkan hukum yang tidak sama, dengan pidana Islam, yang dalam
hal ini sistem hukum pidana Indonesia menitik beratkan pada analisa dan tafsiran
hakim dalam pemutusan perkara pembunuhan tidak sengaja karena alasan
menjaga jiwa saat keadaan jiwa terancam.
Berkaitan dengan ini, dalam hukum pidana disebut kan dengan istilah
Pembelaan Terpaksa yang melampaui batas dalam rangka melindungi jiwa.
Pembelaan terpaksa ini, termaktub dalam KUHP Pasal 49 ayat 28. Bahwasannya
7 Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.) h.
5. Pendapat serupa dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili yang membagi tujuan pensyariatan
hukum islam pada tiga tingkatan Wahbah Al-Zuhaili, Ushul, h. 1020-1023
8 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 156
4
ketika seseorang terpaksa melakukan perbuatan untuk melakukan suatu
pembelaan karena ada serangan atau ancaman saat itu yang melawan hukum
terhadap diri sendiri maupun orang lain, maka tidak dipidana. Maka dalam hal ini
juga terdapat syarat dan unsur yang harus terpenuhi, perbuatan yang dianggap
pembelaan terpaksa, yang dapat menjadi pemaafan tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang. Oleh karena itu, di satu sisi Islam mengharuskan ummatnya untuk
menjaga saja dengan perbuatan tidak sengaja dapat membunuh orang lain yang
memaksa pihak pembunuh untuk melakukan pembunuhan karena menjaga jiwa
dari ancaman tersebut, dapatkah menjadi alasan peniadaan pidana dalam hukum
pidana Indonesia, dan atau tergolong kedalam perbuatan Noodweer Axces yang
menjadi salah satu unsur penghapusan pidana.
Hukum pidana mengenal beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi
hakim untuk menjatuhakan hukuman atau pidana kepada pelaku atau terdakwa
yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-
alasan tersebut dinamakan alasan penghapusan pidana. Alasan penghapus pidana
adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini
menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang yang seharusnya dipidana,
akan tetapi tidak dijatuhi pidana. Dalam hal ini hakim menempatkan wewenang
dalam dirinya (dalam mengadili perkara yang konkret) sebagai pelaku penentu
apakah telah terdapat keadaan khusus dalam diri pelaku, seperti dirumuskan
dalam alasan penghapus pidana.9
Alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan
khusus (yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa),
meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi tidak
dapat dijatuhkan pidana. Alasan penghapus pidana dikenal baik dalam KUHP,
doktrin maupun yurisprudensi. Dalam KUHP tidak disebutkan istilah-istilah
alasan pembenar dan alasan pemaaf. Titel ke-3 dari Buku Pertama KUHP hanya
9 Hamdan . M, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2014) h. 27
5
menyebutkan: alasan-alasan yang menghapuskan pidana. Adapun alasan-alasan
yang mengahapuskan pidana dapat dibedakan menjadi:
a. Alasan Pembenar: yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan
yang patut dan benar.
b. Alasan Pemaaf: yaitu alasan yang mengahapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi
tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada
kesalahan.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan penulis tertarik untuk membahas kasus
tersebut, pertama karena belum banyaknya yang membahas tentang noodweer
exces yang dalam prakteknya justru banyak sekali terjadi dalam kehidupan kita,
dan jarang yang membahas noodweer exces dari konsep maqasid al-syariah.
kedua adalah karena sering terjadinya tindak kekerasan yang banyak
menimbulkan berbagai akibat. Bahkan tidak sedikit yang berujung pada kematian.
Seperti yang dikemukakan dalam penelitian ini pada kasus tindak pidana
pembunuhan yang dilakukan Bintang Badrin Glr.Raja Pulitan Bin Zakaria
terhadap Aminudin Bin Bahirun dengan dengan putusan
Nomor:79/Pid./2013/PT.TK dimana saat itu pada hari Senin tanggal 19 November
2012 sekira pukul 10.00 wib bermula pada saat saksi Paimin Bin Joyo yang saat
itu sedang membajak tanah seluas setengah hektar milik saudara Zubir yang
beralamatkan di Kampung Komering Agung Kec Gunung Sugih Kabupaten
Lampung Tengah tepatnya didepan SDN Komering Agung atas perintah dari
korban Aminudin Bin Bahirun, saat itu saksi Pimin dihampiri oleh terdakwa dan
kemudian terdakwa memerintahkan kepada saksi Pimin untuk menghentikan
kegiatan membajak tanah perladangan yang saat itu dilakukan oleh saksi Paimin.
Saat itu juga saksi Paimin menghentikan pekerjaannya dan langsung
mendatangi rumah korban Aminudin Bin Bahirun untuk melaporkan kepada
korban Aminudin mengenai perintah yang dilakukan oleh terdakwa tersebut, dan
kemudian setelah korban Aminudin mendengar laporan dari saksi Paimin tersebut
saat itu korban Aminudin berkata kepada saksi Paimin dengan nada emosi “APA
6
MAU DIA” dengan tujuan berkata kepada terdakwa pada hari yang sama sekitar
pukul 02.00 wib korban Aminudin mendatangi rumah terdakwa dengan tujuan
untuk menemui terdakwa namun saat itu korban tidak berhasil menemui terdakwa
melainkan hanya bertemu dengan saksi Karyati.
Saat itu korban Aminudin berkata kepada saksi Karyati bahwa korban
Aminudin akan menemui terdakwa kembali. Beberapa menit kemudian saat
terdakwa kembali kerumah, terdakwa saat itu bertemu dengan korban Aminudin
didepan rumah terdakwa, dan korban Aminudin berkata kepada terdakwa dengan
nada emosi “Saya Bunuh kamu, saya nyari kamu kemana-mana tidak ketemu”
dengan disertai mengeluarkan senjata tajam jenis laduk yang saat itu diselipkan di
punggung bagian belakang tubuh korban Aminudin dengan menggunakan tangan
sebelah kanannya, kemudian langsung membacokan senjata tajam tersebut ke arah
tubuh terdakwa, saat itu terdakwa berusaha untuk menghindari bacokan dari
korban Aminudin dengan cara mundur kebelakang sehingga bacokan pertama
tersebut tidak berhasil mengenai tubuh dari terdakwa.
Kemudian korban Aminudin berusaha membacokan kembali senjata tajam
tersebut ke tubuh terdakwa untuk kesekian kalinya pada akhirnya bacokan dari
korban Aminudin mengenai leher bagian kiri dan lengan bagian kiri terdakwa
akibat bacokan tersebut terdakwa berusaha dan berhasil memegang bagian
punggung senjata yang saat itu dipegang oleh korban dan kemudian terdakwa
mendorong tubuh korban Aminudin hingga terjatuh dikarenkan dibelakang korban
Aminudin saat itu terdapat batang kayu yang sudah kering, lalu selanjutnya
dengan seketika terdakwa yang saat itu sudah memegang senjata tajam tersebut
yang sebelumnya dibawa korban Aminudin langsung mengarahkan senjata tajam
tersebut ke arah perut korban Aminudin hingga mengakibatkan senjata tersebut
berhasil menancap.
Selanjutnya korban Aminudin melepaskan senjata tersebut dari perutnya dan
kemudian terdakwa menginjak tangan korban Aminudin yang saat itu masih
memegang senjata tajam dan langsung merebut senjata tajam tersebut yang saat
itu masih di pegang oleh korban Aminudin, dan kemudian dengan seketika
terdakwa berhasil memegang senjata tajam tersebut dan selanjutnya terdakwa
7
membacokan senjata tajam tersebut ke arah korban Aminudin dengan cara
berkali-kali, dan akibat perbuatan terdakwa korban Aminudin meninggal dunia
akibat luka yang dialaminya.
Dari paparan di atas, penulis melihat ini penting dilakukan kajian hukum
untuk mendudukkan hukum pidana indonesia secara berkepastian. Oleh karena
itu, penulis mengangkat judul tulisan penelitian ini dengan judul “Tinjauan
Konsep Hifdzu Al-nafs (Maqasid Al-Syariah) Terhadap Pembelaan Terpaksa
Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) Dalam Tindak Pidana Pembunuhan”.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
Agar penulisan dalam pembahasan ini dapat fokus. Maka penulis akan
membatasi pembahasan ini pada salah satu bagian dari Maqasid Al-Syariah yaitu
Hifdzu Al-nafs sebagai alasan berlakunya Noodweer Exces dalam hukum pidana.
Disini penulis akan menganalisis pada Putusan No:79/Pid./2013/PT.TK. Tentang
tindak pidana pembunuhan.
Adapun rumusan masalah yang akan penulis bahas adalah sebagai berikut :
1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam Putusan No:79/Pid./2013/PT.TK sudah
sesuai dengan noodweer exces?
2. Bagaimana tinjauan Maqasid Al-syariah terhadap Noodweer Exces sebagai alasan
peniadaan pidana?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim pada Putusan
No:79/Pid./2013/PT.TK.
2. Untuk mengetahui tinjauan konsep Maqasid Al-syariah (Hifdzu Al-nafs) terhadap
Noodweer Exces sebagai alasan peniadaan pidana.
Adapaun maanfaat dalam penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan penelitian ini bisa memperkaya referensi yang ada,
memberikan sumbangan pemikiran yang positif dalam pengembangan kajian
hukum Islam dan hukum Positif,
2. Manfaat Praktis
8
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagi masyarakat umum.
b. Bagi praktisi hukum, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi atau sebagai
panduan dalam mengembangkan kajian hukum (pidana).
c. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan atau batu
loncatan untuk penelitian selanjutnya (open problem).
d. Bagi akademisi, hasil penelitian ini dapat dijadika sebagai referensi dalam
kajian hukum (pidana)dan dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian yang
sama.
D. Review (Kajian) Studi Terdahulu
Dalam skripsi ini penulis menggunakan kajian terdahulu yang membahas tentang
pembelaan terpaksa melampaui batas, yaitu untuk menjadi acuan dan pedoman
bagi penulis dalam penelitian ini, diantaranya :
1. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap pembelaan terpaksa yang melampaui batas
(noodweer exces) dalam tindak pidana penganiayaan, (studi kasus : Analisis
Putusan Mahkamah Agung No. 416K/Pid/2009), oleh Rudi Yana, Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2015, yang menjelaskan tentang tinjauan hukum Islam
terhadap pembelaan terpaksa melampaui batas dalam tindak pidana pembunuhan.
Perbedaan dengan skripsi Rudi Yana adalah dalam tindak pidananya. Dalam
skripsi ini penulis membahas tentang pembelaan terpaksa melampaui batas dalam
tindak pidana pembunuhan, sedangkan Rudi Yana membahas tentang pembelaan
terpaksa melampaui batas dalam tindak pidana pembunuhan.
2. Relevansi Maqasid Syariah dengan sanksi tindak pidana korupsi dalam undang-
uandang pemberantasan korupsi: Studi pandangan ulama NU dan ulama
Muhammadiyyah, oleh Mohammad Fahdun Najib, Fakultas Syariah dan Hukum,
Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, yang menjelaskan tinjauan Maqasid al-Syariah
terhadap tindak pidana korupsi.
Perbedaan dengan skripsi penulis adalah, skripsi Mohammad Fahdun Najib
menerangkan tindak pidana korupsi ditinjau menurut konsep Maqasid al-Syariah.
9
Adapun yang penulis bahas adalah tinjauan Maqasid al-Syariah terhadap tindak
pidana pembunuhan. Jadi jelas berbeda dari tindak pidana yang dibahas.
3. Pemidanaan terhadap suatu perbuatan karena kealpaan yang menyebabkan
matinya orang lain menurut hukum positif dan hukum Islam: Analisa Putusan No.
2836/PID.B/2008/PN.TNG, oleh Lulu Indra Ramadhan, Fakultas Syariah dan
Hukum, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, yang menjelaskan bagaimana pemidaan
terhadap suatu perbuatan karena suatu kealpaan yang mengakibatkan kematian
seseorang menurut hukum positif dan hukum Islam.
Perbedaan skripsi Lulu Indra Ramadhan dengan penulis adalah, saudari Lulu
Indra Ramadhan membahas pemidanaan terhadap suatu kealpaan sedangkan
penulis membahas tentang pemidaan terhadap pembelaan terpaksa melampaui
batas, meskipun sama-sama ditinjau menurut hukum positif dan hukum Islam.
E. Kerangka Teori
1. Teori Theory Of Necessary Defense
Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini
adalah Theory of necessary defense. Theory of necessary defense ini dapat
diartikan sebagai “teori mengenai pembelaan yang diperlukan”. Dalam hal
melakukan pembelaan, Fletcher didalamnya adalah teori pembelaan diri (theory of
self defense) dan kehormatan pribadi atau orang lain. Pembelaan ini dapat
dilakukan atas dasar penggunaan kekuatan yang benar dan tepat sehingga tidak
ada pilihan yang lain, yang dapat digunakan selain melakukan perbuatan yang
melanggar hukum tersebut. Dengan demikian jika masih ada pilihan lain yang
dapat digunakan untuk melindungi diri dari ancaman yang membahayakan
tersebut, maka pembelaan dengan cara melanggar hukum tidak dibenarkan.
Pada teori ini Fletcher mempertanyakan apakah pembelaan ini termasuk ke
dalam alasan pembenar atau termasuk kedalam alasan pemaaf. Jika pembelaan itu
termasuk didalam atau sebagai bagian dari pendekatan atau pilihan atas dasar
pertimbangan tingkat kejahatan (seperti dalam theory lesser evil), maka
pembelaan ini termasuk dalam alasan pembenar. Hal ini sejalan dengan pendapat
dari beberapa sarjana yang mempertanyakan, khususnya dalam hal melakukan
10
tindak pidana dalam keadaan terpaksa; apakah termasuk dalam alasan pemaaf atau
termasuk kedalam alasan pembenar.
Satochid Kertanegara misalnya, yang menguraikan perbedaan pendapat antara
van Hamel dengan Simons. Van Hamel berpendapat, bahwa tindak pidana yang
dilakukan dalam keadaan terpaksa merupakan alasan pembenar, yaitu yang
mengahapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan
(rechtsvaardingingsgronden). Menurut Van Hamel, dari seorang yang dipaksa,
menurut perhitungan yang layak, tidak dapat diharapkan bahwa ia akan
mengorbankan kepentingan hukumnya sendiri, semata-mata untuk
menyelamatkan kepentingan hukum orang lain. Oleh karena itu perbuatannya
dapat dimaafkan dan tidak dapat dihukum. Sementara Simons berpendapat hal itu
merupakan alasan pemaaf, alasan yang menghapuskan kesalahan
(schulduitsluitingsgronden). Menurutnya bahwa seseorang yang dipaksa oleh
orang lain untuk melakukan sesuatu delik (tindak pidana) tidak mempunyai
kehendak yang bebas.
Pada sisi lain teori pembelaan ini juga ada hubungannya dengan asas
proporsionalitas, dalam hal melakukan pembelaan tersebut. Apabila pembelaan itu
tidak pantas atau dengan menggunakan alat yang tidak proporsional, maka hal itu
tidak dapat dijadikan sebagai alasan penghapusan pidana.
F. Metode Penelitian
1. Metode pendekatan
Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan kajian ilmu hukum normatif,
yaitu pendekatan yang didasarkan pada kaidah-kaidah yang terdapat dalam hukum
Syariat, dengan memuat deskripsi masalah yang diteliti berdasarkan tinjauan
pustaka yang dilakukan secara cermat dan mendalam.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan yang digunakan untuk bahan hukum bersifat
Library Research guna memperoleh landasan teoritsi yang diperoleh dari
literatur dan referensi yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas.
Adapun data yang digunakan untuk menunjang penelitian ini adalah:
11
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan
permasalahan yang dibahas, meliputi : Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan salinan putusan No:79/Pid./2013/PT.TK.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukuman yang sifatnya menjelaskan
bahan hukum primer, dimana bahan buku primer berupa buku/ literatur,
hasil karya sarjana yang berhubungan dengan penulis skripsi.
Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai pelengkap
dari kedua bahan hiukum sebelumnya, berupa : kamus hukum dan kamus
besar bahasa indonesia.
3. Jenis Penelitian
Penelitian dilakukan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan Nomor: 79/Pid./2013/PT.TK. tentang tindak pidana
pembunuhan. Sehingga penelitian ini digolongkan dalam jenis penelitian
kualitatif, yaitu data dinyatakan dengan pernyataan dan tidak bisa dinyatakan
dengan angka.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kajian kepustakaan, yaitu upaya pengidentifikasian secara sistematis dan
melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi
yang berkaitan dengan tema, objek, dan masalah penelitian yang akan
dilakukan.10
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Tahun 2017.
10 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17-18
12
G. Sistematika Penulisan
Sistematika bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis,
sehingga penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu
sebagai berikut :
Bab I penulis menempatkan pendahuluan yang didalamnya terdapat latar
belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Penjabaran urutan diatas dalam bab satu karena dari urutan tersebut berawalnya
penelitian ini.
Bab II penulis dalam bab ini akan membahas tentang ketentuan tindak pidana
menurut hukum pidana islam, macam-macam pembunuhan dalam hukum pidana
islam dan ketentuan tindak pidana pembunuhan dalam hukum pidana.
Bab III dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian pembelaan terpaksa
melampaui batas (noodweer exces) dalam hukum pidana, pertanggungjawaban
pidana serta menjelaskan konsep maqasid al-syariah.
Bab IV pada bab ini penulis akan memaparkan kronologis kasus pada
putusan No:79/Pid./2013/PT.TK beserta pertimbangan hakim dalam pengambilan
keputusan dan tinjuan maqasid al-syariah terhadap pembelaan terpaksa
melampaui batas serta analisis terhadap putusan hakim.
Bab V pada bab ini penulis akan menempatkann penutup sebagai akhir dari
penelitian ini. Dalam bab ini penulis akan menguraikan kesimpulan yang
diperoleh dari hasil kajian yang penulis lakukan. Selain itu dalam bab ini, penulis
juga menyertakan saran-saran dan rekomendasi dari penulis untuk pembaca dan
peneliti yang lain.
13
BAB II
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA
INDONESIA DAN HUKUM ISLAM
A. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Pidana di Indonesia
a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana
Sudah kita ketahui bersama bahwa hukum pidana adalah salah satu bagian
dari sistem hukum yang ada pada setiap negara. Dalam hal ini ada dua istilah yaitu
hukum dan pidana. Menurut Prof. Dr. Van Kan bahwa hukum adalah keseluruhan
peraturan hidup yang sifatnya memaksa yang bertujuan untuk melindungi
kepentingan manusia.
Sedangkan pidana juga memiliki pengertian menurut para pakar. Menurut Prof
Van Hamel pidana atau straf adalah: “suatu penderitaan yang bersifat khusus,
yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana
atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum bagi
seseorang yang melanggar.1
Adapun pengertian yang diberikan oleh Prodesor Simons, bahwa pidana
adalah: “suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan
dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim
telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.2 Ketika menjatuhkan pidana
terhadap pelaku tentu perlu ditetapkan perbuatan apa saja yang termasuk ke dalam
kategori tindak pidana, sesuai dengan prinsip atau asas legalitas: “tidak ada suatu
perbuatan yang dapat dipidana melainkan karena sudah ada aturan pidana
sebelumnya”.3
Pengertian Tindak Pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(selanjutnya disingkat KUHPidana) dikenal dengan isilah Strafbaarfeit dan dalam
kepustakaan tentang hukum Pidana sering mempergunakan istilah delik,
1 P.A.F Laminating, Hukum Penitensier Indonesia, Penerbit Amrico, Bandung : 2002, h. 47
2 P.A.F Laminating, Hukum Penitensier Indonesia...... h. 48.
3 Pasal 1 ayat 1 KUHP
14
sedangkan pembuat Undang-Undang mempergunakan istilah peristiwa pidana
atau perbuatan pidana.4
Adapun dalam perundang-undangan, dipakai istilah perbuatan pidana,
peristiwa pidana dan tindak pidana yang juga sering disebut delict.5 Apa yang
dimaksud dengan istilah tindak pidana itu atau dalam bahasa Belanda Strafbaar
feit sebenarnya emrupakan peristiwa resmi yang terdapat dalam straf weitboek
atau dalam kitab undang-undang hukum pidana yang sekarang berlaku di
Indonesia. Adapun dalam istilah asing adalah delict. Adapun menurut Wirjono
Prodjodikoro tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya ini dapat
dikenakan pidana, dan dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.6
Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa : "Delik sebagai suatu perbuatan atau
pengabaian yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan".7 Delik yang dalam bahasa
Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar dan feit. Yang
masing-masing memiliki arti:
1. Straf diartikan sebagai Pidana dan Hukum
2. Baar diartikan sebagai dapat dan boleh
3. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan
Jadi istilah Strafbarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan
yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing (latin) disebut delict
yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (Pidana).8
Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa: Yang dimaksud dengan
tindak pidana atau dalam bahasa Belanda strafbaarfeit atau dalam bahasa Asing
disebut delict berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman
pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.
4 Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas hukum Pidana, Mahakarya Rangkang Offset, Yogyakarta, h. 18
5 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit. Pustaka Setia, Bandung : 2000, h. 51
6 Wirjono Prodjodjokro, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit. Eresco, Jakarta-
Bandung : 1981, h. 50
7 Andi Zainal Abidin Farid.1987. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Bandung, h.33
8 Amir Ilyas, Asas-Asas hukum Pidana. h. 19
15
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu
perbuatan atau pengabaian yang melawan hukum yang telah dirumuskan dalam
suatu aturan hukum yang disertai dengan ancaman (sanksi) yang dilakukan secara
sengaja atau kelalaian oleh seseorang atau -bisa disebut pelaku atau subjek tindak
pidana dan dapat di pertanggungjawabkan.
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Dalam perbuatan pidana haruslah terdapat unsur-unsur lahiriah yang terdapat
sehingga dia dapat di katakan sebagai perbuatan pidana yang membedakannya
dengan perbuatan biasa. Perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana bila
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:9
1) Harus ada perbuatan manusia;
2) Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan perumusan pasal dari
undang-undang yang bersangkutan;
3) Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf);
4) Dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya menurut Satochid Kartanegara mengemukakan bahwa unsur
tindak pidana terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif.10
Unsur subjektif
adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan
dengan diri si pelaku atau, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang
ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak Pidana itu adalah:11
1) Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa);
2) Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) KUHP;
9 P.A.F Lamintang.1984. Delik-Delik Khusus. Bandung: Bina Cipta h. 184
10
Leden Marpaung.2005. Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika h. 10
11
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, h. 193-194
16
3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan
dan lain-lain;
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad seperti yang terdapat
dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHPidana; dan
5) Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindakan Pidana
menurut pasal 308 KUHPidana.
Sedangkan unsur-unsur objektif dari suatu tindak Pidana itu adalah:
1) Sifat melawan Hukum atau wederrechtelicjkheid;
2) Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri
di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHPidana atau keadaan
sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam
kejahatan menurut Pasal 398 KUHPidana; dan
3) Kaualitas yakni hubungan antara suatu tindak Pidana sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
B. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum
Islam
a. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Pidana Indonesia
Pembunuhan secara terminologi berarti perkara membunuh. Sedangkan dalam
istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.
Tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai delik material bila delik tersebut
selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau
yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan
terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13
pasal, yakni pasal 338 sampai pasal 350. Bentuk kesalahan tindak pidana
menghilangkan nyawa orang lain ini dapat berupa sengaja (alpa). Kesengajaan
adalah suatu perbuatan yang dapat terjadi dengan direncanakan terlebih dahulu
17
atau tidak direncanakan. Tetapi yang penting dari peristiwa itu adalah adanya niat
yang diwujudkan melalui perbuatan yang dilakukan sampai selesai.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pembunuhan adalah suatu tindakan untuk
menghilangkan nyawa seseorang dengan cara melanggar hukum, maupun yang
tidak melawan hukum.
c. Jenis-Jenis dan Sanksi Pidana Pembunuhan
Berdasarkan unsur kesalahan, pembunuhan dikelompokkan menjadi 2 (dua),
yaitu:
1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven)
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dibagi menjadi 3
(tiga), yaitu:
a. Pembunuhan Biasa dalam bentuk pokok / doodslag (Pasal 338 KUHP)
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana
dalam bentuk pokok (Doodslag In Zijn Grondvorm), yaitu delik yang telah
dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya. Adapun rumusan Pasal
338 KUHP adalah:
“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.12
Unsur-unsur tersebut terdiri dari unsur obyektif dan subyektif, yaitu:
a) Unsur obyektif yaitu perbuatan yang menghilangkan nyawa dan obyeknya
berupa nyawa orang lain.
Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu :
“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku harus
menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut,
dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk
menghilangkan nyawa orang lain.13
12 R. Sugandi, SH, KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana, h. 357
13
Fakhrul Rozi, Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP. http://s-
hukum.blogspot.co.id/2014/05/tindak-pidana-pembunuhan-dalam-kuhp.html. di akses
pada hari 12/01/2018
18
Berkenaan dengan “nyawa orang lain” maksudnya adalah nyawa orang lain
dari si pembunuh. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal,
meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak / ibu sendiri, termasuk juga
pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
b) unsur subyektif yaitu unsur dengan sengaja.
“Dengan sengaja” (Doodslag) artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja
dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus)
yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk
tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam
Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa
orang lain yang terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu (Met voorbedachte
rade).14
Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain harus memenuhi syarat antara
lain adanya suatu perbuatan, adanya suatu kematian, dan adanya hubungan sebab
dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain).15
Antara unsur subyektif sengaja dengan wujud perbuatan menghilangkan terdapat
syarat yang harus dibuktikan, ialah pelaksanaan perbuatan menghilangkan nyawa
(orang lain) harus tidak lama setelah timbulnya kehendak (niat) untuk
menghilangkan nyawa orang lain itu.16
Oleh karena apabila terdapat tenggang waktu yang cukup lama sejak
timbulnya atau terbentuknya kehendak untuk membunuh dengan pelaksanaannya,
dimana dalam tenggang waktu yang cukup lama itu petindak dapat memikirkan
tentang berbagai hal, misalnya memikirkan apakah kehendaknya itu akan
diwujudkan dalam pelaksanaan ataukah tidak, dengan cara apa kehendak itu akan
14 Fakhrul Rozi, Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP, di akses pada hari
12/01/2018
15
Aprian Wibowo, Kejahatan Terhadap Nyawa, http://aprian-
wibowo.blog.ugm.ac.id/2012/06/17/kejahatan-terhadap-nyawa/. diakses pada 14/01/2018
16
Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004, h. 55
19
diwujudkan dan sebagainya, maka pembunuhan itu telah masuk ke dalam
pembunuhan berencana (psl 340), dan bukan lagi pembunuhan biasa.
b. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau diahului oleh tindak pidana lain /
Pembunuhan Dengan Pemberatan (Gequalificeerde Doodslag) (Pasal 339
KUHP).
Sebagaimana rumusan dalam pasal 339 KUHP :
“Pembunuhan yang diikuti, disertai atua didahului oleh suatu tindak pidana
lain, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pelaksanannya, atau untuk menghindarkan diri sendiri maupun peserta lainnya
dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan
benda yang diperolehnya secara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau sementara waktu, paling lama 20 tahun”.17
Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah : “diikuti, disertai,
atau didahului oleh kejahatan”. Kata “diikuti” (gevold) dimaksudkan diikuti
kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya
kejahatan lain.18
Kata “disertai” (vergezeld) dimaksudkan, disertai kejahatan lain;
pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain
itu. Misalnya : Seorang pencuri ingin melakukan kejahatan dengan cara
membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut ada penjaganya, maka pencuri
tersebut lebih dahulu membunuh penjaganya. Kata “didahului” (voorafgegaan)
dimaksudkan didahului kejahatan lainnya atau menjamin agar pelaku kejahatan
tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari kejahatan.
Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaan-keadaan yang memberatkan
dalam rumusan Pasal 339 KUHP itu adalah sebagai berikut :19
1) Semua unsur pembunuhan (obyektif dan subyektif) pasal 338
2) Yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain ;
17 R. Sugandi, SH, KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana, h. 358
18
Fakhrul Rozi, Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP, di akses pada hari
12/01/2018
19
Aprian Wibowo, Kejahatan Terhadap Nyawa, diakses pada 14/01/2018
20
3) Pembunuhan itu dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan tindak
pidana lain, untuk mempermudah tindak pidana lain, dalam hal tertangkap
tangan ditujukan untuk menghindarkan diri sendiri maupun perserta lain
dari pidana atau untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya
secara melawan hukum (dari tindak pidana lain itu)
c. Pembunuhan berencana (moord)
Pembunuhan berencana adalah suatu pembunuhan biasa seperti pasal 338
KUHP, akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terdahulu. Direncanakan lebih
dahulu (voorbedachte rade) sama dengan antara timbul maksud untuk membunuh
dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang
memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan.
Perbedaan antara pembunuhan dan pembunuhan direncanakan yaitu kalau
pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud pasal 338 itu dilakukan seketika pada
waktu timbul niat, sedang pembunuhan berencana pelaksanan itu ditangguhkan
setelah niat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara bagaimana pembunuhan itu
akan dilaksanakan. Jarak waktu antara timbulnya niat untuk membunuh dan
pelaksanaan pembunuhan itu masih demikian luang, sehingga pelaku masih dapat
berfikir, apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan, atau pula merencana
dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu.
Perbedaan lain terletak dalam apa yang terjadi didalam diri sipelaku sebelum
pelaksanaan menghilangkan jiwa seseorang (kondisi pelaku). Untuk pembunuhan
direncanakan terlebih dulu diperlukan berfikir secara tenang bagi pelaku. Didalam
pembunuhan biasa, pengambilan putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang
dan pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan, sedangkan pada pembunuhan
direncanakan terlebih dulu kedua hal itu terpisah oleh suatu jangka waktu yang
diperlukan guna berfikir secara tenang tentang pelaksanaannya, juga waktu untuk
memberi kesempatan guna membatalkan pelaksanaannya. Direncanakan terlebih
dulu memang terjadi pada seseorang dalam suatu keadaan dimana mengambil
putusan untuk menghilangkan jiwa seseorang ditimbulkan oleh hawa nafsunya
dan di bawah pengaruh hawa nafsu itu juga dipersiapkan pelaksanaannya.
21
Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung
tiga unsur / syarat :
a) Memutuskan kehendak dalam suasana tenang;
b) Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan
pelaksanaan kehendak;
c) Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.
Pembunuhan berencana merupakan pembunuhan yang paling berat ancaman
pidananya, rumusan yang diatur pada pasal 340 yaitu :
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana aterlebih dahulu
menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama 20 tahun”.
Pembunuhan berencana terdiri dari pembunuhan dalam arti Pasal 338 KUHP
ditambah dengan adanya unsur rencana terlebih dahulu. Pasal 340 KUHP
dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur dalam Pasal 338,
kemudian ditambah dengan suatu unsur lagi yakni dengan rencana terlebih
dahulu. Oleh karena dalam Pasal 340 mengulang lagi seluruh unsur-unsur Pasal
338, maka pembunuhan berencana dapat dianggap sebagai pembunuhan yang
berdiri sendiri.
Adanya pendapat yang mengatakan bahwa unsur dengan rencana terlebih
dahulu adalah bukan bentuk kesengajaan tetapi berupa cara membentuk
kesengajaan / opzet yang mana mempunyai 3 syarat yaitu :
a) Opzet‟nya itu dibentuk setelah direncanakan terlebih dahlu;
b) Dan setelah orang merencanakan (opzetnya) itu terlebih dahulu, maka
yang penting adalah cara “Opzet” itu dibentuk yaitu harus dalam keadaan
yang tenang;
c) Dan pada umunya, merencanakan pelaksanaan “opzet” itu memerlukan
jangka waktu yang agak lama.
22
Memperhatikan pengertian dan syarat dari unsur yang direncanakan terlebih
dahulu di atas, tampak proses terbentuknya direncanakan terlebih dahulu
(berencana) memang lain dengan terbentuknya kesengajaan (kehendak).
2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian (Culpose misdrijven)
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian adalah kejahatan
yang dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan:
“barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mati, dipidana kurungan paling lama 1 tahun”.
Unsur-unsur dari rumusan tersebut di atas adalah:
a) adanya unsur kelalaian (culpa);
b) adanya wujud perbuatan tertentu;
c) adanya akibat kematian orang lain;
d) adanya hubungan kausa antara wujud perbuatan dengan akibat
kematian orang lain.
Perbedaan antara Pasal 359 KUHP dengan Pasal 338 KUHP yakni pada
pembunuhan pasal 359 KUHP ini adalah kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati
(culpa), sedangkan kesalahan dalam pembunuhan adalah kengajaan (dolus).
b. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Islam
a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana dalam Hukum Islam
Dalam Hukum Islam, tindak pidana (delik, jarimah) diartikan sebagai
perbuatan-perbuatan yang dilarang Syara‟ yang diancam oleh Allah dengan
hukuman hudud, kisas-diyat, atau ta‟zir. Larangan-larangan Syara‟ tersebut
adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan
perbuatan yang diperintahkan. Kata Syara‟ pada pengertian tersebut dimaksudkan
bahwa suatu perbuatan baru dianggap tindak pidana apabila dilarang oleh Syara‟.
Kata jinayah dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Secara terminologi kata jinayah mempunyai pengertian, seperti yang
diungkapkan Imam al- Mawardi "Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang
23
dilarang oleh Syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukuman hadd atau ta‟zir".
Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir
Audah pengertian jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh
syara‟, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, dan lainnya.20
Dalam hukum Islam istilah tindak pidana di kenal dengan istilah jinayat dan
jarimah. Jinayat (tindak pidana) secara bahasa adalah bentuk jamak dari kata
jinayah yang artinya dosa dan kesalahan. Adapun pengertiannya menurut istilah
syari‟at, adalah setiap tindak kejahatan terhadap jiwa atau harta. Tapi, dalam
tradisi ahli fiqhi, jinayat lebih dikhususkan pada sesuatu yang bisa menyakiti fisik.
Adapun kejahatan terhadap harta disebut perampasan, penjambretan, pencurian,
pengkhianatan dan pengerusakan.21
Sedangkan istilah kedua adalah jarimah. Pada dasarnya, kata jarimah
mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi pengertian jarimah secara
harfiah sama dengan pengertian jinayah, yaitu larangan-larangan syara‟ (yang
apabila dikerjakan) diancam Allah dengan hukuman had atau ta‟zir.22
Konsep
jinayah dan jarimah mencakup perbuatan ataupun tidak berbuat, mengerjakan atau
meninggalkan, aktif atau pasif. Oleh Karena itu, perbuatan jarimah tidak hanya
mengerjakan yang dilarang oleh peraturan, tetapi juga dianggap sebagai jarimah
apabila seseorang meninggalkan perbuatan yang menurut peraturan harus
dikerjakan.
Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa mahdhurat (larangan) adalah
melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan.23
Kata mahdhurat artinya larangan berbuat atau dilarang
mengerjakan perbuatan atau larangan tidak berbuat atau larangan untuk diam,
artinya meninggalkan (diam) terhadap perbuatan yang menurut peraturan harus
dikerjakan. Jarimah biasanya diterapkan pada perbuatan dosa, misalnya pencurian,
20 http://www.islamcendekia.com/2014/04/pengertian-jinayah-dan-jarimah.html, diakses pada
Pukul 09.00 WITA, 30 Maret 2018.
21
Abu Malik Kamal, Shahih Fiqhi Sunnah (Kairo-Mesir: Maktabah at-Taufiqiyah, 1424
H/2003), h. 279
22
Mustofa Hasan, Hukum Pidan Islam Fiqhi Jinayah (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), h.
19
23
Mustofa Hasan, Hukum Pidan Islam Fiqhi Jinayah, h. 20
24
pembunuhan, perkosaan, atau perbuatan yang berkaitan dengan politik, dan
sebagainya. Semua itu disebut dengan istilah jarimah kemudian dirangkaikan
dengan satuan atau sifat perbuatan tersebut, seperti jarimah pencurian, jarimah
pembunuhan, jarimah perkosaan. Sebaliknya tidak digunakan istilah jinayah
pencurian, jinayah pembunuhan, jinayah perkosaan, dan jinayah politik.24
Kata jarimah identik dengan hukum positif sebagai tindak pidana atau
pelanggaran. Maksudnya adalah satuan atau sifat dari pelanggaran hukum. dalam
hukum positif, contoh-contoh jarimah diistilahkan dengan tindak pidana
pencurian, tindak pidana pembunuhan, dan sebagainya. Jadi, dalam hukum positif,
jarimah diistilahkan dengan delik atau tindakl pidana. Dalam hukum positif
dikenal istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan
yang boleh dihukum, yang artinya sama dengan delik. Semua itu merupakan
pengalihan dari bahasa Belanda, strafhaarfeit.
Pemakaian istilah delik lebih sering digunakan dalam ilmu hukum secara
umum, sedangkan istilah tindak pidana sering dikaitkan terhadap korupsi, dalam
undang-undang biasa dipakai istilah perbuatan pidana.25
Pemakaian kata jinayah
mempunyai arti lebih umum (luas), yaitu ditujukan bagi segala sesuatu yang
bersangkut paut dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan bagi satuan
perbuatan dosa tertentu.
Oleh karena itu, pembahasan fiqhi yang memuat masalah kejahatan,
pelanggaran yang dikerjakan manusia, dan hukuman yang diancamkan kepada
pelaku perbuatan disebut fiqhi jinayah dan bukan istilh fiqhi jarimah.26
Sebagai
kesimpulannya, dari kedua istilah tersebut (jinayah dan jarimah) memiliki
kesamaan dan perbedaan secara etimologis. Kedua istilah tersebut bermakna
tunggal, mempunyai arti yang sama, serta ditujukan bagi perbuatan yang
berkonotasi negatif, salah atau dosa. Adapun perbedaannya terletak pada
pemakaian, arah pembicaraan, serta dalam penerapannya.27
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana dalam Hukum Islam
24 Mustofa Hasan, Hukum Pidan Islam Fiqhi Jinayah, h. 20.
25
Mustofa Hasan, Hukum Pidan Islam Fiqhi Jinayah, h. 20.
26
Mustofa Hasan, Hukum Pidan Islam Fiqhi Jinayah, h. 20-21
27
Mustofa Hasan, Hukum Pidan Islam Fiqhi Jinayah, h. 21
25
Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau tindak pidana, objek utama kajian
fiqhi jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Al-rukn al-syar‟i atau unsur formil
2) Al-rukn al-madi atau unsur materiil
3) Al-rukn al-adabi atau unsur moril.28
Adapun yang dimaksud dengan al-rukn syar‟i atau unsur formil ialah unsur
yang menyatakan bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika
ada undang-undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada
pelaku tindak pidana. Sedangkan al-rukn al-madi atau unsur materiil ialah unsur
yang menyatakan bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar
terbukti melakukan sebuah jarimah, baik yang bersifat positif (aktif dalam
melakukan sesuatu) maupun yang bersifat negatif (pasif dalam melakukan
sesuatu).
Adapun yang dimaksud dengan al-rukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur
yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila,
anak dibawah umur, atau sedang berada di bawah ancaman.29
Menurut Zainuddin
Ali, didalam bukunya menjelaskan bahwa untuk menentukan suatu hukuman
terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan unsur normatif dan
moral sebagai berikut:
1) Secara yuridis normatif di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang
menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan
hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normatif mempunyai unsur materiil,
yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu
yang perintahkan oleh Allah swt., (pencipta manusia).
2) Unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang
secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan.
28 M. Nurul Irfan, Fiqhi Jinayah (Jakarta: AMZAH, 2013), h. 2.
29
M. Nurul Irfan, Fiqhi Jinayah, h. 2-3.
26
Dalam hal ini disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang Islam yang
sudah baligh dan berakal sehat.30
Selain unsur-unsur hukum pidana yang telah
disebutkan, perlu diungkapkan bahwa hukum pidana Islam dapat dilihat dari
beberapa segi, yaitu sebagai berikut:
1) Dari segi berat atau ringannya hukuman, maka hukum pidana Islam dapat
dibedakan yaitu:
a) Jarimah hudud;
b) Jarimah kisas;
c) Jarimah ta‟zir
2) Dari segi unsur niat, ada dua jarimah yaitu:
a) Disengaja;
b) Tidak disengaja
3) Dari segi mengerjakan, ada dua jarimah yaitu:
a) Positif
b) Negatif
4) Dari segi si korban, jarimah itu ada dua, yaitu:
a) Perorangan
b) Kelompok
c. Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Islam
Pembunahan dalam kaidah tata bahasa indonesia memiliki arti proses,
perbuatan, atau cara membunuh.31
Karena kata pembunuhan berasal dari kata
bunuh yang memiliki makna dasar yaitu mencabut nyawa. Kemudian
mendapatkan imbuhan berupa awalan dan akhiran (pe-an) sehingga membentuk
kata “pembunuhan”.
30 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sianr Grafika, 2012), h. 22
31
WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989),
h.138
27
Sedangkan dalam bahasa Arab pembunuhan disebut dengan istilah al-qatl dari
shigat masdar lafadz qtlan, yang kalimat fiil mahinya lafadz qotala artinya
membunuh32
Menurut Abdul Qodir Audah pembunuhan didefinisikan sebagai suatu
tindakan seseorang untuk menghilangkan nyawa, menghilangkan ruh atau jiwa
orang lain. sedangkan menurut Syarbini Khatib, yaang dikutip oleh Wahbah
zuhaili mengatakan bahwa pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan
atau mencabut nyawa seseorang.33
Akan tetapi secara sederhana Wojowasito
berpendapat bahwa pembunuhan adalah perampasan nyawa seseorang.34
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi pembunuhan adalah
upaya untuk menghilangkan nyawa seseorang yang dilakukan oleh manusia
lainnya dengan adanya suatu perbuatan.
Pada dasarnya tindak pidana pembunuhan terbagi menjadi dua golongan,
yaitu:35
a. Pembunuhan yang diharamkan, setiap pembunuhan karena ada unsur
permusuhan dan penganiayaan
b. Pembunuhan yang dibenarkan, setiap pembunuhan yang tidak lakukan
karena permusuhan, misalnya pembunuhan yang dilakukan seorang algojo
dalam melaksanakan hukuman qishas
Adapun secara rinci jumhur ulama berpendapat bahwa tindak pembunuhan
dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu:
1. Pembunuhan Sengaja (qatl al-amd)
Yaitu suatu pembunuhan yang sengaja dilakukan karena adanya permusuhan
terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya mematikan,
melukai atau benda-benda yang berat, secara tidak langsung (sebagai akibat dari
suatu perbuatan), seperti mengunakan besi, pedang, kayu besar, suntikan pada
organ tubuh yang vital amaupun tidak vital yang jika terkena jarum menjadi
32 Ahmad Warson, Al-Munawir, Cet ke-1 (yogyakarta: Pustaka Progresif, 1992), h. 172.
33
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989, h.
217
34
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Cet ke-2 (Bandung Pustaka Setia, 2010), h. 113
35
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu......, 220.
28
bengkak dan sakit terus menerus sampai mati, atau memotong jari-jari seseorang
sehingga menjadi luka dan membawa pada kematian. Atau perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk menghilangkan nyawa seseorang
dengan menggunakan alat yang dipandang bisa untuk membunuh. Jadi matinya
korban, merupakan bagian yang dikehendaki si pembuat jarimah.36
Al-Qur‟an dan Al-Sunnah menharamkan pembunuhan sengaja ini secara
tegas dan termasuk perbuatan haram sebagaimana Allah berfirman dalam Al-
Qur‟an
وال تقتلواالفس التي حرم هللا إال بالحق
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.
Adapun unsur-unsur dalam pembunuhan yang sengaja yaitu :
a. Korban adalah orang yang hidup.
b. Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban.
c. Ada niat bagi si pelaku untuk menghilangkan nyawa korban.37
Sedangkan menurut al-Sayyid Sabiq, yang dimaksud pembunuhan sengaja
adalah pembunuhan yang dilakukan oleh sesorang mukallaf pada orang lain yang
darahnya terlindungi, dengan memakai alat yang pada umumnya dapat
menyebabkan kematian.38
Sedangkan menurut Abdul Qodir „Audah, pembunuhan
sengaja adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang disertai dengan
niat membunuh, artinya bahwa untuk melakukan pembunuhan.
2. Pembunuhan Menyerupai Sengaja (qatl syibhu al-„amd)
Menurut Prof. H.A. Jazuli, ada 3 hal dalam pembunuhan seperti disengaja
yaitu :
a. Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian.
b. Ada maksud penganiayaan atau permusuhan.
36 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Sinar Grafika), 2012, h. 24.
37
H.A. Djazulli, Fikih Jinayah (PT. Raja Grafindo Persada , 2000) h. 131
38
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1980) h. 435
29
c. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian
korban.39
3. Pembunuhan Kesalahan (qatl al-khata‟)
Menurut Sayyid Sabiq, pembunuhan karena kesalahan adalah apabila
seseorang mukallaf melakukan perbuatan yang boelh dikerjakan, seperti
menembak binatang buruan atau membidik suatu sasaran, akan tetapi kemudian
mengenai orang yang dijamin keselamatannya dan membunuhnya.40
Menurut Wahbah Zuhaili, pembunuhan karena kesalahan adalah pembunuhan
yang terjadi tanpa maksud melawan hukum baik dalam perbuatannya maupun
objeknya.41
Adapun unsur-unsur pembunuhan tidak sengaja yaitu :
a. Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian
b. Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan
c. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan
kemataian korban.42
Sanksi-Sanksi
a. Sanksi pembunuhan sengaja
Pelaku pembunuhan sengaja, pihak keluarga korban dapat memutuskan salah
satu dari tiga pilihan, yaitu :43
1) Kisas, yaitu hukuman pembalasan setimpal dengan penderitaan korban.
2) Diat, yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor unta, atau
200 ekor sapi atau 1.000 ekor kambing, atau bentuk lain seperti uang
senilai harganya. Diat tersebut diserahkan kepada pihak keluarga korban.
3) Pihak keluarga memaafkannya apakah harus dengan syarat atau tanpa
syarat.
b. Sanksi pembunuhan semi sengaja
39 H.A. Djazulli, Fikih Jinayah....., h. 132
40
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah....., h. 132
41 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu....., h. 223.
42
H.A Djazulli, Fikih Jinayah....., h. 134-135.
43
Prof. Dr. Zainuddin Ali, M.A, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika,2009) h. 35
30
Hukuman pokok pada pembunuhan sengaja adalah diat dan kafarat,
sedangkan hukuman penggantinya adalah puasa dan takzir dan hukuman
tambahannya adalah terhalangnya menerima warisan dan wasiat.44
Adapun jenis –
jenis diat untuk pembunuhan semi sengaja sama dengan jenis diat dam
pembunuhan sengaja, yaitu menurut Imam syafi‟i adalah unta, menurut Imam
Abu Hanifah dan Imam Malik adalah unta, emas, dan perak, sebagaimana
dijelaskan didepan.
Adapun waktu pembayaran diat pembunuhan semi sengaja adalah tiga tahun
sejak meninggalnya korban menurut Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad. Sedangkan
menurut Imam Abu Hanifah adalah mulai jatuh vonis atas pembunuhan. Kafarat
merupakan hukuman pokok dalam pembunuhan semi sengaja.
c. Sanksi pembunuhan kesalahan
Hukuman pokok dalam pembunuhan kesalahan adalah diat dan kafarat. Hukuman
penggantinya adalah puasa dan takzir dan hukuman tambahannya adalah
hilangnya hak waris dan hak mendapat wasiat.45
44 H.A. Djazulli, Fikih Jinayah...., h. 145
45
H.A. Djazulli, Fikih Jinayah,... h. 146
31
BAB III
NOODWEER EXCES DAN KONSEP HIFDZU AL-NAFS
(MAQASID AL-SYARIAH)
A. Pengertian Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (Noodweer Exces) Dalam
Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
1. Pengertian Pembelaan Terpaksa (Noodweer)
Pembelaan terpaksa (noodweer) atau pembelaan darurat bersumber dari pasal
49 ayat 1 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada
serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap
diri sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. Kalimat ini kiranya masih
dapat disingkat sebagai berikut: Barang siapa terpaksa melakukan pembelaan
karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum
terhadap diri, kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda, baik
kepunyaan sendiri ataupun orang lain, tidak dipidana”1
Sedangakan definisi dari pembelaan terpaksa atau pembelaan darurat yang
dalam bahasa belandanya noodweer terdiri dari kata “nood” yang berarti
(keadaan) darurat dan “weer” artinya pembelaan yang berarti perbuatan membela,
menolong, melepaskan dari bahaya.2 Penggabungan dari dua kata tersebut dapat
diartikan melepaskan dari bahaya dalam keadaan terpaksa atau menolong dalam
keadaan sukar (sulit). Noodweer adalah pembelaan yang diberikan karena sangat
mendesak terhadap serangan yang mendesak dan tiba-tiba serta mengancam dan
melawan hukum.3 Pembelaan terpaksa merupakan alasan menghilangkan sifat
melanggar hukum (wederrechtelijkheid atau onrechtmatigheid), maka alasan
menghilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitings-grond) juga dikatakan alasan
membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada umumnya merupakan
tindak pidana (rechtvaardigingsgrond) disebut fait justificatief.4
1 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, h 156
2Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai Pustaka,
1989, h.156.
3Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 200.
4Wirjono Prodjodikoro, Asa-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989, h. 78.
32
Menurut Marteen Luther, bahwa noodweer ini merupakan fenomena yang
dianggap sama usianya dengan usia dunia.5 Di dalam KUHP tidak menyatakan
secara tegas apa yang dimaksud dengan noodweer, tetapi hanya memberikan
syarat-syarat bilamana seseorang itu tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatannya
yang bersifat melawan hukum. Oleh karena itu, noodweer masih tetap di
pertahankan hingga sekarang sebagai salah satu alasan peniadaan pidana.
Noodweer itu sendiri sebenarnya merupakan sebuah perkataan yang telah
dipergunakan orang untuk menyebut “pembelaan yang perlu dilakukan terhadap
serangan yang bersifat seketika dan yang bersifat melawan hukum”,6 sebagai
dasar pembenaran, noodweer itu bukan merupakan suatu yang baru di dalam
hukum pidana, oleh karena pembelaan tersebut telah lama dikenal orang yaitu
pada zaman pembalasan dendam secara pribadi dahulu kala, dalam bentuk
tindakan peperangan yang bersifat defesip yangdi dalam sejarah perkembangan
hukum pidana atelah tetap dipertahankan orang hingga dewasa ini.
Menurut ketentuan pidana seperti yang telah dirumuskan di dalam pasal 49
ayat 1 KUHP itu, apabila kepentingan-kepentingan hukum tertentu dari seseorang
itu mendapat serangan secara melawan hukum dari oranglain, maka pada dasarnya
orang dapat dibenarkan untuk melakukan suatu pembelaan terhadap serangan
tersebut, walaupun dengan cara yang merugikan kepentingan hukum dari
penyerangannya, yang di dalam keadaan biasa cara tersebut merupakan, suatu
tindakan yang terlarang di mana pelakunya terancam dengan sesuatu hukuman.
Noodweer digunakan sebagai alasan pembenar, tetapi bukan alasan yang
membenarkan perbuatan melanggar hukum, melainkan seseorang yang terpaksa
melakukan tindak pidana dapat dimaafkan karena terjadi pelanggaran hukum yang
mendahului perbuatan itu.7 Pandangan ini telah diakui oleh hukum pidana bahwa
seseorang itu memang dianggap berhak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu
sebagai bentuk pembelaan terpaksa. Oleh karena itu, noodweer merupakan
5P.A.F. Lumintang, Dasar-Dasar Hukum PidanaIndonesia, Sinar Baru, Bandung 1984, h. 232
6 P.A.F. Lumintang, Dasar-Dasar Hukum PidanaIndonesia..., h. 442
7Roy Roland Tabalunya, Pembelaan Terpaksa yang melaui Batas MenurutPasal 49 KUHP,
Artikel Skripsi, dalam Jurnal Lex Crimen Vol. IV No. 6 Agustus 2015 Universitas Sam Ratulangi
Manado Sulawesu Utara.
33
pembelaan hak terhadap ketidakadilan, sehingga seseorang yang melakukan
perbuatan dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana oleh undang-undang
dimaafkan karena pembelaan terpaksa.
Van Hamel mengatakan bahwa pembelaan terpaksa itu dapat dilakukan
terhadap serangan yang seketika itu bilamana serangan tersebut telah dimulai dan
selama serangan tersebut masih berlangsung, maka orang tersebut dapat
dibenarkan untuk melakukan suatu pembelaan terpaksa, akan tetapi pembelaaan
terpaksa itu tidak boleh lagi dilakukan yaitu segera setelah serangan tersebut
berakhir.8
2. Pengertian Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (Noodweer Exces)
Pasal 49 ayat 2 KUHP yang menjadi dasar hukum keberadaan Pembelaan
Terpaksa Melampaui Batas berbunyi:
“Pembelaan terpaksa yang melampui batas, yang langsung disebabkan oleh
keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak
dipidana”
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas sebagaimana disebutkan pada
pasal tersebut adalah pembelaan yang disebabkan adanya kegoncangan jiwa yang
hebat, yang dalam bahasa belanda menjelaskan pembelaan terpaksa yang
melampaui batas sebagai noodweer excess yang sifat perbuatan terdakwa tersebut
tetap merupakan perbuatan yang melawan hukum. Salah terka atau salah sangka
tidak ada dalam noodweer excess, harus ada serangan yang bersifat melawan
hukum tetapi reaksi yang ditimbulkan keterlaluan atau tidak seimbang lagi dengan
sifatnya serangan. Peristiwa yang seperti ini terdakwa hanya dapat dihindarkan
dari pidana, apabila hakim menerima bahwa perbuatannya tadi “langsung
disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat” sehingga fungsi batinnya menjadi
tidak normal karena serangan atau ancaman serangan yang ia alami maka hal ini
menyebabkan adanya alasan pemaaf.9
Menurut Van Bemmelen noodweer exces adalah melawan hukum atau tidak
tercela. Pelampauan batas pembelaan terpaksa yang disebabkan oleh suatu
8Van Hamel dalamP.A.F. Lumintang,Dasar.., h. 481
9Moeljatno, Asas-Asas.., h. 160
34
tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang mengancam.
Perbuatan pidana tetap ada tetapi unsur pertanggungjawaban pidana terhapus.10
Van Hamel mengatakan bahwa Perbuatan yang dilampaui itu bukanlah
noodweer “in ieder opzicht, slecht de grenzen van noodzakelijke verdediging”
atau bukanlah noodweer“ didalam segala seginya, melainkan hanyalah batas-batas
dari pembelaan seperlunya”.11
Dilampauinya batas-batas dari suatu pembelaan
seperlunya itu haruslah disebabkan karena pengaruh dari suatu kegoncangan jiwa
yang demikian hebat, yang bukan semata-mata disebabkan karena adanya suatu
“vrees”, “angst” yang keduanya dapat diartikan sebagai “perasaan takut” atau
“ketakutan” dan “radeloosheid” yang dapat diartikan sebagai “ketidak tahuan
tentang apa yang harus dilakukan”, melainkan juga yang disebabkan oleh lain-lain
hal seperti “toorn” atau kemarahan dan “medelijden” atau perasaan kasihan.
Pompe berpandangan bahwa pasal 49 (2) harus ditafsirkan secara harfiyah,
sebagaimanau ngkapan beliau:
“sesuai dengan bunyinya rumusan Pasal 49 ayat (2) KUHP, perbuatan
melampaui batas ini dapat berkenaan dengan perbuatan melampaui batas dari
pembelaan itu sendiri. Batas-batas dari keperluan itu telah dilampaui yaitu baik
apabila cara-cara yang telah dipergunakan untuk melakukan pembelaan itu telah
dilakukan secara berlebihan, misalnya dengan cara membunuh si penyerang
padahal dengan sebuah pukulan saja orang sudah dapat membuat penyerang
tersebut menjadi tidak berdaya, maupun apabila orang sebenarnya tidak perlu
melakukan suatu pembelaan, misalnya karena ia dapat menyelamatkan diri
dengan cara melarikan diri. Batas-batas dari suatu pembelaan itu telah dilampaui,
yaitu apabila setelah pembelaan yang sebenarnya itu telah selesai, orang masih
tetap menyerang si penyerang, walaupun serangan dari si penyerang itu sendiri
sebenarnya telah berakhir. Perbuatan memukuli si penyerang, walaupun perbuatan
tersebut tidak dapat lagi dikatakan sebagai suatu pembelaan, sesuai dengan
ketentuan pidana didalam pasal 49 ayat (2) KUHP, tidak dapat membuat
pelakunya menjadi dapat dihukum”.
Doktrin ini mengatakan bahwa sebuah perbuatan bisa disebut sebagai
pembelaan terpaksa yang melampaui batas apabila batas-batas dari keperluan itu
telah dilampaui yaitu baik apabila cara-cara yang telah dipergunakan untuk
melakukan pembelaan itu telah dilakukan secara berlebihan. Ada syarat yang
10Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I,h. 200
11
Lamintang & Franciskus Theojunior Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia.
Penerbit Sinar Grafika: Jakarta, 2014. H. 508
35
harus dipenuhi sebelum seseorang melakukan pembelaan yakni tidak ada cara lain
untuk menyelamatkan seperti melarikan diri. Beliau menyatakan bahwa dalam
perbuatan pembelaan itu dapat juga diliputi unsur schuld atau unsur kesalahan,
karena itu gejolak hati atau kegoncangan jiwa tidak begitu saja menghapuskan
schuld atau kesalahan.
Menurut Hoge Raad ”Hebatnya keguncangan hati itu hanya membuat
seseorang tidak dapat dihukum yaitu dalam hal melampaui batas yang diizinkan
untuk melakukan suatu pembelaan telah dilakukan terhadap suatu serangan yang
melawan hukum yang telah terjadi seketika itu juga”.12
Simons berpendapat tidak secara pasti memeberikan definisi terhadap
pembelaan terpaksa melampaui batas, melainkan lebih kepada syarat sebagaimana
berikut:
“juga dalam hal ini, syarat-syarat dari suatu noodweer itu perlu adanya suatu
serangan yang bersifat melawan hukum. Hanya saja orang yag melakukan
pembelaan itu dapat menjadi tidak dihukum, yaitu baik apabila perbuatan
melakukan suatu pembelaan itu sebenarnya adalah tidak perlu, maupun apabila
batas-batas dari cara-cara yang dapat dibenarkan itu telah ia langgar.”13
“perbuatan yang telah dilakukan dengan melampaui batas-batas dari suatu
noodweer itu sifatnya melawan hukum, akan tetapi tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada pelakunya dan karena itulah maka terhadap suatu
noodweer exces, orang dapat dibenarkan untuk melakukan suatu noodweer”.14
Berkenaan dengan pembelaan terpaksa, pendapat diatas memberikan
penjelasan secara singkat, tetapi dari pendapatnya bisa diambil benang merah
yakni ia lebih menekankan bahwa pembelaan terpaksa tetap bersifat melanggar
hukum, akan tetapi ada faktor lain yang menjadi titik berat untuk dipertimbangkan
yakni unsur kesalahan atau schuld dalam diri pelaku. Kesalahan memang bagian
dari pertanggungjawaban pidana, seseorang dapat tidak dikenai pidana apabila ia
terbukti tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pada pasal 49 ayat (2)
ini terkandung sebuah alasan pemaaf yang menghilangkan sifat melanggar pidana
dari diri si pelaku, sehingga ia tak bisa dimintai pertanggungjawaban.
12Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 80-81
13
Lamintang & Franciskus Theojunior Lamintang, Dasar, h. 510
14
Lamintang & Franciskus Theojunior Lamintang,......., h. 511
36
Kesimpulan dari pendapatnya mengatakan syarat pembelaan perlu adanya
suatu serangan yang sifatnya melawan hukum, sehingga apabila serangan yang
diterima tidak memenuhi unsur-unsur melawan hukum maka tidak diperkenankan
untuk melakukan pembelaan atas serangan tersebut. Seseorang dapat tidak
dihukum apabila batas-batas dari cara-cara yang telah dilanggar berdasarkan
keadaan jiwa yang terguncang hebat. Dalam keadaan pembelaan terpaksa yang
melampaui batas seperti ini seseorang diperbolehkan atau dibenarkan untuk
melakukan suatu pembelaan.
3. Syarat-Syarat dan Dasar Hukum Pembelaan Terpaksa
Secara umum dalam pidana islam (fiqh Jinayah) tidak ditemukan ketentuan
dan dasar terhadap pembelaan terpaksa melampaui batas. Secara definitive, fiqh
jinayah mengartikan pembelaan terpaksa melampaui batas dengan istilah dif‟a
asy-syar‟I al-khass sebuah istilah yang dikenal dengan pembelaan syar‟i khusus
atau pembelaan yang diperbolehkan atau sah, atau daf‟u as-sail yang berarti
menolak menyerang.
Dalam pidana Indonesia, pembelaan terpaksa melampai batas sebagai salah
satu alasan menghilangkan sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid atau
onrechtmatigheid), maka alasan tersebut atau alasan menghilangkan sifat tindak
pidana (strafuitsluitings-grond) dapat juga dikatakan sebagai alasan pembenaran
atau membenarkan atau menghalalkan suatu perbuatana yang menurut kaidah
umumnya temasuk dalam katagori tindak pidana (rechtvaardigings-grond)
disebut fait justificatief.
Dalam pidana islam, pembelaan terbagi ke dalam dua bagian yaitu pembelaan
khusus (daf‟u us-sha‟il) dan pembelaan umum (daf‟u asy-syar‟i al-am), yang
dikenal dengan istilah amar ma‟ruf nahi mungkar.15
Jumhur ulama‟ (ulama
sepakat) bahwa individu wajib membela diri atau orang lain dari serangan atau
ancaman terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda dan pembelaan
diri dari kelima komponen tersebut menurut fiqih adalah sah hukumnya.
15 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma Ilmu, h. 138.
37
Perbedaan pendapat yang muncul kemudian, ialah seputar pembelaan diri
yang dimaksudkan apakah termasuk dalam kontek pembelaan sebagai hak yang
seseorang dapat memilih antara meninggalkan dan mengerjakan, akan tetapi
tidaklah berdosa, atau justru sebagai kewajiban bagi setiap individu muslim, yang
tidak ada toleransi meninggalkannya, yang artinya tidak ada hak kepada seseorang
untuk memilih diantara meniggalkan atau mengerjakan.16
Dalam kontek pembelaan diri, al-qur‟an secara eksplisit menjelaskan
keharusan pembelaan diri bagi siapapun yang melakukan penyerangan,
sebagaimana yang termaktub dalam Surah Al-Baqarah ayat 194
و ي ه وا ع د ت اع ى ف ك ي ه ي ع د ت اع ف اص ص ات ق ي ر ح ن ا و و ا ر ح ن ر ا ه انش او ب ر ح ن ر ا ه انش
ي ق ت ن ع ا ي للا أ ىا ه ع ا و ىا للا ق ات و ى ك ي ه ي ع د ت ع ا ا م ي ث ب
Artinya: “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut
dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang
kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang
yang bertakwa”.
Meskipun kontek yang dibicarakan dalam ayat tersebut, berupa ketentuan
dalam peperangan, bahwa Nabi dan ummat Islam tidak diperbolehkan melakukan
peperangan pada bulan-bulan yang diharamkan, yang menurut Ibnu Katsir, tafsir
dari ayat tersebut berkenaan dengan hadits nabi bahwa:
ج بير، ع أبي انز سعد، ع ثنا نيث ب عيس، حد ثنا إسحاق ب د: حد ياو أح ، قال: وقال ال عبد للا ابر ب
عهي صه للا رسىل للا يغزي ويغزوا فإذا حضره أقاو حت نى يك هر انحراو إل أ و وسهى يغزو في انش
ينسهخ
Artinya: “Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq
ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Lais ibnu Sa'd, dari Abuz Zubair, dari
Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan: Rasulullah Saw. belum pernah
berperang dalam bulan haram kecuali bila diserang dan dipaksa untuk
berperang. Apabila datang bulan haram, maka beliau menunggunya hingga ia
lewat”.17
16 Ahmad hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, Bulan Bintang, Jakarta: 1993, h. 211.
17http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-194.html diakses pada
hari Rabu Tanggal 2 Mei 2018, 22:20 WIB
38
Dua landasan tersebut menjelasakan bawah hokum pembelaan diri karena
diserang pihak lain, ialah diperbolehkan dengan memperhatikan ketentuan, berupa
syarat yang termaktub dalam Surat Al-Baqarah dengan kalimat “ و ي ه وا ع د ت اع ف
ى ك ي ه ي ع د ت ا اع م ي ث kata “Bimitsli” atau “seimbang” penulis anggap sebagai ”ب
syarat mutlak kebolehan mempertahankan atau membela diri dari serangan.
Apabila melebihi dari konteks “Mitsli” tersebut, ada kecendrungan jatuh terhadap
tindak pidana lain, seperti penganiayaan.
Istilah yang digunakan di dalam KUHP Pasal 49 ayat 1 ialah menggunakan
Noodweer yang berarti “Pembelaan Darurat”.Yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada
serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri
sendiri maupun orang lain, tidak dipidana. Kalimat ini kiranya masih dapat
disingkat sebagai berikut: Barang siapa terpaksa melakukan pembelaan karena ada
serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri,
kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda, baik kepunyaan sendiri
ataupun orang lain, tidak dipidana”
Dari isi pasal tersebut, ada enam unsur kapan pembelaan darurat dapat
dibernarkan menurut peraturan yang berlaku, yaitu:
1. Suatu serangan;
2. Serangan itu diadakan dengan tiba-tiba (ogenblikkelijk) atau suatu
ancaman yang kelak akan dilakukan (onmiddellijk dreigende aanranding);
3. Serangan itu melawan hukum (wederrechtelijk);
4. Serangan itu diadakan terhadap diri sendiri, diri orang lain, kehormatan
diri sendiri, kehormatan orang lain, harta benda sendiri, harta benda orang
lain;
5. Pembelaan terhadap serangan itu harus perlu diadakan (noodzakelijk)
yakni pembelaan itu bersifat “darurat”; dan
6. Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal.
Pada ketentuan ayat 2 dijelaskan Noodweer exces atau “Pembelaan terpaksa
melampaui batas”, yang sebetulnya memiliki kesamaan dengan pembelaan
terpaksa yang terdapat dalam ketentuan pasal 49 ayat 1, pasal 49 ayat 2 berbunyi:
39
“Pembelaan terpaksa yang melampui batas, yang langsung disebabkan oleh
keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak
dipidana”
Maka berbeda dengan dengan ketentuan unsur yang terdapat dalam pasal 49
ayat 1, unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan pasal 49 ayat 2 ini justru
mengarah kepada unsur psikologis pihak yang diserang. Maka unsur yang harus
dipenuhi dalam pembelaan terpaksa yang melampaui batas ialah adanya
guncangan kejiwaan yang hebat karena suatu serangan dan atau ancaman.
Dapat disimpulkan, bahwa syarat dari keberlakuan pembelaan terpaksa
melampaui batas (Noodweer exces) sebagai berikut:
1. Harus ada serangan (aanranding), harus memenuhi syarat:
a. Serangan itu harus datang mengancam dengan tiba-tiba
b. Serangan itu harus melawan hukum (wederrechtelijk)
2. Terhadap serangan perlu dilakukan pembelaan diri18
harus memenuhi
syarat:
a. Harus merupakan pembelaan yang terpaksa
b. Pembelaan itu dengan serangan setimpal
3. Pembelaan harus dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain,
peri kesopanan (kehormtan) diri atau orang lain, benda kepunyaan sendiri
atau orang lain, yang secara limitative jenis pembelaan tersebut telah
tercantum dalam pasal 49 ayat 1 KUHP
4. Harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan
seketika.
Selain syarat yang disebutkan, salah satu syarat yang terkandung dalam
perbuatan pembelaan terpaksa melampaui batas ialah tindak pidana dilakukan
dengan tidak sengaja, atau dalam kasus pembunuhan, tindak pidana yang
dilakukan tidak memenuhi unsur dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain.
Sebagaimana dalam pertimbangan hukum oleh hakim dalam Putusan Hakim
Nomor 201/PID.B/2013/PN-JTH.Putusan ini menolak dan menyatakan pembelaan
diri secara terpaksa membunuh pihak yang menyerangnya sebagai tindak pidana
18 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik …, h. 73
40
yang sah. Karena dalam persidangan, tersangka terbukti melakukan pembunuhan
dengan unsur kesengajaan.19
B. Pertanggungjawaban Pidana
1. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Pidana Islam
Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana Islam sering disebut
dengan istilahal-mas‟uliyah al-jinaiyyah yaitu pembebanan seseorang dengan
hasil (akibat) perbuatan (atautidak ada perbuatan) yang dikerjakannya dengan
kemauan sendiri, di mana ia mengetahuimaksud-maksud dan akibat dari
perbuatannya itu.20
Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum pidana Islam hanya
membebankan hukuman pada manusia yang masih hidup dan mukallaf. Karenaitu,
apabila seseorang telah meninggal dunia, ia tidak dibebani hukum dan tidak
dianggap sebagai objek pertanggungjawaban pidana.
Nash hukum yang mengharamkan atau mewajibkan sesuatu perkara atau
perbuatan, menurut hukum pidana Islam ditetapkan oleh allah SWT dan
disampaikan kepada manusia melalui Rasul-Nya. Nash-nash hukum itu ada dalam
bentuk yang jelas dan langsung (eksplisit) atau secara tidak langsung (implisit)
terkandung dalam prinsip-prinsip umum. Apabila kedua kaidah ini dipakai dalam
Undang-undang jinayah Islam, ini berarti setiap perbuatan dianggap sebagai
kesalahan selagi tidak ada nash hukum yang melarangnya. Bila ada, barulah
perbuatan itu dianggap sebagai kesalahan dan pelakunya boleh dihukum.21
Pertanggungjawaban pidana dalam Islam (syari‟at) adalah pembebanan
seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang
dikerjakannya (Unsur Obyektif) dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut
mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya (Unsur Subyektif) .22
Pembebanan tersebut dikarenakan perbuatan yang dilakukan itu adalah telah
19Direktori putusana Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan.mahkamah agung.go.id.
diakses pada hari kamis, tanggal 3 Mei 2018 jam 18:56 WIB, dengan nomor putusan
201/Pid.B/2013/PN-JTH, h. 23-27
20
Ahmad Hanafi, Azas-Azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 154.
21
Alwi Abdul Rahman, Jenayah Kanak-kanak Menurut Undang-Undang Islam, (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1999), h. 35.
22Ahmad Hanafi, Azas-Azas.., h. 154
41
menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dalam arti perbuatan
yang dilarang secara syar‟i, baik dilarang melakukan atau dilarang meninggalkan.
Pembebanan juga dikarenakan perbuatan itu sendiri dikerjakan berdasarkan
keinginan dan kehendak yang timbul dalam dirinya bukan dorongan yang
ditimbulkan oleh orang lain secara paksa (dipaksakan).
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam syari‟at (hukum) Islam
pertanggungjawaban itu didasarkan pada tiga hal :
a. Adanya perbuatan yang dilarang
b. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri
c. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan itu.
Apabila adanya ketiga hal tersebut di atas, maka pertanggungjawaban itu ada
pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana (kejahatan), jika sebaliknya
maka tidak ada perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu tidak
dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana pada orang gila, anak-anak yang
belum mencapai umur balig atau orang yang dipaksakan untuk melakukan
perbuatan kejahatan, yang mengakibatkan terancam jiwanya.
Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum Islam hanya membebankan
hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf, hukum Islam juga
mengampuni anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi
orangdewasa kecuali jika ia telah baligh. Hal ini didasarkan pada dalil al-Qur„an
surat an-Nur, ayat 59 yang berbunyi :
ك ل ذ ك مأ ه ل بأ ق نأ م ن ي لذ ا ن ذ أأ ت سأ ا ا م وا ك ن ذ أأ ت سأ ي لأ ف م لأل ا م ك نأ م ل ا ف طأ لأ ا غ ل ب ا ذ إ و
م ي ك ح م ي ل ع ه ل ل وا ه ت ا ي آ مأ ك ل ه ل ل ا ين ب ي
Artinya: “Dihapuskan ketentuan dari tiga hal; dari orang tidur sampai ia
bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh dan dari anak kecil sampai ia
dewasa”. (QS. Al-Nur: 59)
Pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan manakala perbuatan yang
dilakukan adalah perbuatan terlarang (criminal conduct) yang mencakup unsur-
unsur secara fisik dari kejahatan tersebut. Tanpa unsur tersebut
pertanggungjawaban tidak dapat dilakukan karena pertanggungjawaban
42
mensyaratkan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang Undang-undang.
Perbuatan tersebut bisa dihasilkan dari perbuatan aktif (delik komisi) maupun
perbuatan pasif (delik omisi). Hukum Islam mensyaratkan keadaan si pelaku harus
memiliki pengetahuan dan pilihan, karenanya sangat alamiah manakala seseorang
memang menjadi objek dari pertanggungjawaban pidana, karena pada seseorang
memiliki kedua hal tersebut. Ini adalah salah satu prinsip dasar dalam hukum
Islam, bahwa pertanggungjawaban pidana itu bersifat personal artinya seseorang
tidak mempertanggungjawabkan selain apa yang dilakukannya. Oleh karenanya
ada suatu faktor yang semestinya menjadi alasan untuk dapat
dipertanggungjawabkan. 23
2. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Pidana Indonesia
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana Indonesia pada
dasarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian pertanggungjawaban pidana dalam
hukum pidana Islam. Sebelum revolusi Prancis, pengertian pertanggungjawaban
pidana mempunyai pengertian sendiri karena setiap orang bagaimanapun
keadaannya dibebani pertanggungjawaban terhadap akibat perbuatannya, tanpa
membedakan apakah ia berkemauan sendiri atau tidak, sudah dewasa atau
belum.24
Van Hamel menyatakan pertanggungjawaban yaitu suatu keadaan normal dan
kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk :
a. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri.
b. Memahami bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang
oleh masyarakat.
c. Menetapkan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu sehingga
dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban (teorekensvatbaarheid)
mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.25
23Elfa Murdiana, Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jurnal Al-Mawarid, Vol. XII, No
1 Februari 2012, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. h. 24
24
Ahmad Hanafi, Azas-Azas .., h. 178
25
P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 108
43
Menurut Satochit Kartanegara, pertanggungjawaban pidana merupakan
kelanjutan dari pengertian perbuatan pidana yang merupakan kelanjutan dari
pengertian perbuatan pidana yang merupakan suatu perbuatan yang pelakunya
dapat dikenakan hukuman pidana.26
Ia juga berpendapat bahwa seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya jika;
a. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikaian rupa, sehingga dapat
mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatan dan akibatnya.
b. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat
menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan.
c. Orang itu harus sadar, insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan
merupakan perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut
hukum masyarakat maupun tata susila.27
Moeljatno menyatakan pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan
dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada
kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum
yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (green straf zonder
schuld, ohne schuld keine strafe).28
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan
bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif
pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.29
Secara subjektif
kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam Undang-undang (pidana)
untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk
adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus
ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana
adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum
26Satochit Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah I, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa,
tt), h. 243.
27
Satochit Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah I...., h. 244
28
Moeljatno, Asas-asas…, h. 73
29
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta:Raja Grafindo, 1996, h 11
44
yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat
undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.30
Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa pelaku dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Ada pelaku tindak pidana (baik orang maupun badan hukum).
b. Ada perbuatan (baik aktif maupun pasif ).
c. Ada kesalahan (baik sengaja maupun culpa).
d. Mampu bertanggung jawab (tidak ada alasan pemaaf dan tidak ada
alasan pembenar).
e. Bersifat melawan hukum (sesuai dengan azas legalitas).
Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana merupakan konsep sentral
yang dikenal dengan ajaran kesalahan (mens rea). Doktrin mens rea dilandaskan
pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang merasa bersalah kecuali jika
pikiran orang itu jahat. KUHP Indonesia mengatur mengenai bentuk negatif dari
pertanggungjawaban pidana, yang terdapat pada pasal 44 KUHP. Pasal 44 KUHP
menyebutkan bahwa orang yang sakit jiwanya serta orang yang mengalami cacat
dalam pertumbuhannya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
C. Konsep Maqasid Al-Syariah
1. Pengertian Maqasid Al-Syariah
Maqashid Al-Syariah sebagai teori hukum Islam banyak digunakan sebagai
salah satu alternative yang paling efektif dalam upaya menemukan sebuah hokum
yang belum secara pasti diatur dalam sumber hukum pokok, yaitu al-qur‟an dan
al-hadits. Secara etimologi (bahasa) Maqashid al-syari‟ah terdiri dari dua kata,
yakni Maqashid, sebagai bentuk jamak dari maqsủd, yang berarti “kesengajaan
atau tujuan.”31
Syari‟ah, secara bahasa berarti “jalan menuju air.”32
30Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987.
h. 75
31
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Mac Donald &Evan Ltd.,
1980), h. 767.
32
Ibn Manzur, Lisan al-„Arab, Juz VIII (Bayrut: Dar al-Sadr, [t.th.]), h. 175.
45
Secara istilah, syari‟ah merupakan al-nusus al-muqaddasah, dari al-Qur‟an
dan hadis yang mutawatir yang sama seklai belum dicampuri oleh
pemikiranmanusia. Dalam wujud seperti ini syari‟ah disebut al-tariqah
almustaqimah.33
Muatan syari‟ah dalam arti ini mencakup „amaliyah, khuluqiyah.
Dalam perkembangan sekarang terjadi reduksi muatan arti syariah, dimana aqidah
tidak masuk lagi dalam pengertian syariah.34
Ulama sepakat, dalam maqashid al-syariah terdapat lima prinsip dasar yang
diakui sebagai tolok-ukur pengkajian dalam istinbath hukum. Kemudian, kelima
prinsip tersebut terbagi kedalam aspek pembagian maqasid al-syari‟ah yang
berupa aspek pertama sebagai aspek inti menjadi sentral analisis, sebab aspek
pertama berkaitan dengan hakikat pemberlakuan syariat oleh Tuhan, yaitu untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan itu dapat diwujudkan jika lima
unsur pokok (usulal-khamsah) dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsure
pokok itu menurut al-Syatibi, adalah din (agama), nafs (jiwa), nasl (keturunan),
mal (harta), dan aql (akal).
2. Pengertian Hifdzu Al-Nafs Dalam Konsep Maqasid Al-Syariah
Salah satu dari tujuan pensyariatan hukum Islam (maqasid al-syariah) ialah
Hifdzu Al-Nafs atau dalam bahasa Indonesia nya Menjaga Jiwa. Secara definitive,
pengertian Hifdzu Al-Nafs disandarkan kepada pemahaman kebahasaan dan juga
disandarkan kepada pengertian yang dimunculkan dalam al-Qur‟an ataupun
sumber hukum. Pemahaman secara terpisah Hifdzu Al-Nafs kata Nafs dalam
khasanah Islam banyak dipahami. Nafs dalam arti jiwa (Soul, Psyche), nyawa
dan lain-lain. Potensi yang terdapat pada nafs bersifat potensial, tetapi dapat
aktual jika manusia mengupayakan. Setiap komponen yang ada memiliki daya-
daya laten yang dapat menggerakkan tingkah laku manusia. Aktualisasi nafs
membentuk kepribadian, yang perkembangannya dipengaruhi oleh faktor internal
33Fazlurrahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, Islam (Bandung:Pustaka,
1984), h. 140.
34
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut al-Syatibi (Cet. I; Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 1996), h. 61-62.
46
dan eksternal.35
Melihat pengertian tersebut, lebih mengarah kepada pemahaman
tasawuf, oleh sebab itu, jiwa dalam standar fikih yakni dzahir yang berupa badan
yang bergerak.
Kata“nafs” dalam bahasa Inggris: soul/spirit diartikan sebagai jiwa atau
diri.36
Namun, nafs dalam istilah Indonesia lebih tepatnya diartikan „diri‟ (self).
Karena kata “diri” merangkum makna bagi dua unsur utama pada manusia, yaitu
jasad dan jiwa.37
Menurut Ibnu Sina, nafs adalah kesempurnaan awal bagi jasad
(kamal al-awwal li jism).38
Ia merupakan unsur pertama sehingga manusia mampu
bergerak.39
Sedangkan jasad adalah kesempurnaan kedua sebagai alat yang
memiliki fungsi menjalankan aktivitas.40
Maka keduanya (jasad dan nafs)
merupakan dua substansi yang berbeda yang saling membutuhkan. Definisi yang
dikemukakan Ibnu Sina tersebut sama dengan definisi dari Aristoteles, al-Kindi,
al-Farabi, dan beberapa filsuf Muslim sesudahnya.41
Syahrin Rusman misalnya, dalam skripsinya Analisi Maqashid Syariah
Terhadap Fatwa MUI Mengenai Halal Haramnya Bisnis MLM :42
“…Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jama‟nya nufus dan anfus)
berarti ruh (roh) dan „ain (diri sendiri). Sedangkan dalam kamus al-Munawir
disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh dan jiwa,
juga berarti al-jasad (badan, tubuh), al-sahsh (orang), al-sahsh alinsan (diri
orang), al-dzat atau al‟ain (diri sendiri). Sedangkan menurut Dawan Raharjo
dalam Ensiklopedia al-Qur‟an disebutkan bahwa dalam al-Qur‟an nafs yang
jama‟nya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau
sielves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), di samping juga dipakai
35Abdul Mujib, Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003, h. 46
36
A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-Arab,
(Surabaya: Pustaka Progressif, Cet. I, 2007), 366; John M. Echols, Kamus Indonesia-Inggris,
(Jakarta: Gramedia, Cet. III, 1997), h. 245.
37
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, (KualaLumpur:
University of Malay Press, 1970), h. 173.
38
Ibnu Sina, Al-Syifa‟; al-Tabi‟iyyah, (Kairo: Haiah Misr iyyah al-„Am mah li al-Kitab
ah,1975), h. 11-12.
39
Muhammad Ustman Najjati, Al-Dirasat al-Nafsaniyyah „Inda al-„Ulamaal-Muslimin,
(Kairo: Dar al-Syuruq, 1993), h. 117.
40
Muhammad Ustman Najjati, Al-Dirasat al-Nafsaniyyah „Inda al-„Ulamaal-Muslimin., h.
118.
41
Muhammad Ustman Najjati, Al-Dirasat al-Nafsaniyyah „Inda al-„Ulamaal-Muslimin., h. 25.
42
Syahrin Rusman, Analisi Maqashid Syariah Terhadap Fatwa MUI Mengenai Halal
Haramnya Bisnis MLM, Skripsi Fakultras Syariah dan Hukum UIN Alaudin Makassar, 2016, h.
52
47
untuk beberapa arti lainnya. Dalam kitab Lisan al-Arab, Ibnu Manzur menjelaskan
bahwa kata nafs dalam bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian yakni nafs
dalam pengertian nyawa, dan nafs yang mengandung makna keseluruhan dari
sesuatu dan hakikatnya menunjuk kepada diri pribadi.”
Maka memelihara jiwa dapat dipahami menjaga atau memelihara diri dari
segala ancaman kematian, yang mengakibatkan diri tidak bergerak, mati, tersakiti,
dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Artinya, nafs dapat secara nyata
dipahami sebagai nyawa. Artinya melindungai dan memelihara dari segala
ancaman dan yang menyakitkan.
48
BAB IV
PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS DALAM TINDAK
PIDANA PEMBUNUHAN
A. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan
1. Kronologis Kasus
Kasus pembunuhan yang terdapat dalam putusan hakim tingkat banding
dengan nomor putusan 79/Pid/2013/PT.TK. melibatkan Aminudin Bin Bahirun
sebagai korban dan Bintang Badrin Glr. Raja Pulitan bin Zakaria sebagai
terdakwa. Kejadian berawal dari Pada hari Senin tanggal 19 November 2012
sekira pukul 10.00 wib bermulapada saat saksi Paimin Bin Joyo Dali yang saat itu
sedang membajak Tanah seluas± ½ (setengah) Hektar milik saudara Zubir yang
beralamatkan di KampungKomering Agung Kec Gunung Sugih Kabupaten
Lampung Tengah atas perintah dari Korban Aminudin Bin Bahirun.
Saat itu saksi Paimin Bin Joyo Dali dihampiri oleh Bintang Badrin Glr. Raja
Pulitan bin Zakariadan memerintahkan Paimin Bin Joyo Dali untuk menghentikan
kegiatan membajak tanah perladangan yang saat itu dilakukan oleh saksi Paimin
Bin Joyo Dali.Setelah Paimin menghentikan pekerjaannya, mendatangi Aminudin
Bin Bahirun, dengan tujuan melaporkan kejadian tersebut.
Kemudian setelah Aminudin laporan dari Paimin tersebut, saat itu Aminudin
berkata kepada Paimin dengan nada emosi “Apa MauDia”.Padahari itu juga sekira
± pukul 14.00 wib,Aminudin mendatangi Rumah Bintang Badrin dengan tujuan
untuk menemui Terdakwa,namun saat itu tidak berhasil menemui, melainkan
hanya bertemu dengan istri dari Bintang Badrin, dan saat itu juga Aminudin
berkata kepada Karyati (istri Bintang Badrin) bahwa Aminudin akan menemui
suaminya kembali.
Lalu sekira ± beberapa menit kemudian padasaat Bintang Badrin
sekembalinya ke Rumah, saat itu bertemu dengan Aminudin di depan Rumah
Bintang Badrin, dan Aminudin berkata kepada Terdakwa dengan nada emosi
“Saya Bunuh kamu, saya nyarikamu kemana-mana tidak ketemu” sambil
mengeluarkan senjata tajam jenis Laduk yang ada sarungnya, dengan
49
menggunakan tangan sebelah kanannya, dan kemudian langsung membacokan
senjata tersebut ke arah tubuh Bintang Badrin, namunsaat itu juga Bintang Badrin
berusaha untuk menghindari serangan Aminudin tersebut dengan cara mundur
kebelakang sehingga bacokan pertama tersebut tidak berhasil mengenai tubuhnya.
Kemudian Aminudin kembali membacokan senjata tajamnya untuk kesekian
kalinya, yang pada akhirnya bacokan dari Aminudin Bin Bahirun tersebut
mengenai leher bagian kiri dan lengan tangan bagian kiri dari Bintang Badrin.
Selanjutnya akibat bacokan tersebut Bintang Badrin berusaha dan berhasil
memegang bagian Punggung senjata tajam jenis Laduk yang saat itu dipegang
oleh Aminudin, dan tubuh Aminudin berhasil didorong hingga terjatuh,
dikarenakan dibelakang Aminudin saat itu terdapat batang kayunyang sudah
kering, dengan seketika Bintang Badrin yang saat itu sudah memegang bagian
punggung senjata tajam jenis laduk yang sebelumnya dibawa oleh Aminudin
langsung mengarahkan senjata tajam tersebut ke arah perut Aminudin hingga
mengakibatkan perut Aminudin tertusuk.
Kemudian setelah senjata tersebut tertancap diperut,Aminudin berusaha
melepaskan senjata tersebut dariperutnya, dan kemudian Bintang Badrin
menginjak tangan bagian kanan Aminudin yang saat itu masih memegang senjata
tajam jenis laduk dan langsung merebut senjata tajam jenis laduk yang saat itu
masih dipegang oleh Aminudin, dan kemudian dengan seketika Bintang Badrin
berhasil memegang senjata tajam tersebut dan selanjutnya Bintang Badrin
membacokan senjata tajam jenis Laduk tersebut ke arah Tubuh Aminudin dengan
cara berkali-kali, dan akibat dari perbuatan Bintang Badrin tersebut, Aminudin
meninggal dunia akibat luka yang dialaminya.
Sebagaimana hasil Visum EtRepertum dari Rumah Sakit Harapan Bunda
dengan Nomor : 019/RSHB/A2-01/ EXT/XI/2012, tertanggal 29 November 2012
yang dibuat dan ditanda tangani oleh dokter Junjungan sebagai dokter Umum
pada Rumah Sakit Harapan Bunda denganhasil pemeriksaan sbb :Pasien datang
dalam keadaan Meninggal Dunia, Kepala Tidak ada cedera, Leher Luka robek
pada leher bagian belakang Panjangx lebar x dalam, 20 cm x 5 cm x 2 cm., Dada /
punggung, Luka Robek pada punggung sebelah kanan,Panjang x lebar x dalam
50
kurang lebih 30 cm x 2 cm x 3 cm., Perut : Terdapat luka tusuk pada daerah ulu
hati,panjang x lebar x dalam 7 cm x 5 cm x 10 cm., Anggota gerak Pada
pergelangan tangan kanan luka robekbagian depan Panjang x lebar x dalam 2 cm
x 3 cm x 2 cm,bagian belakang panjang x lebar x dalam 6 cm x 3 cm x 2 cm.,
Kesimpulan: Pasien datang dalam keadaan meninggal, luka-lukarobek dan tusuk
pada bagian tubuh.1
2. Pertimbangan Hakim
Hakim tingkat banding dalam upaya pengambilan putusan pada nomor
putusan 79/Pid/2013/PT.TK. tidak mencapai kata sepakat, sebagaimana ketetapan
sebagai berikut:
Hakim Ketua:
Mengatakan sepakat atau membenarkan putusan hakim pada pengadilan
tingkat pertama, yang pada pokoknya menyatakan bahwa perbuatan Bintang
Badrin sebagai tindak pidana pembunuhan sebagaimana tertuang dalam pasal 338
KUHP, karena tidak ditemukan bukti dan alasan pemaaf atau alasan
pembenaran/pengahapusan pemidanaa pada perbuatan Bintang Badrin.2 Dengan
pertimbangan lain hakim ketua pada tingkat banding berpendapat bahwa
sesungguhnya terdakwa dalam melakukan perbuatannya tersebut tidak dalam
keadaan terpaksa melakukan pembelaan diri, dengan pertimbangan pada saat
terdakwa telah berhasil merebut senjata tajam laduk dari tangan korban, terdakwa
telah mempunyai kesempatan untuk melarikan diri dengan membawa senjata itu.
Akan tetapi hal itu tidak dilakukan oleh terdakwa, malahan kesempatan itu
digunakan untuk membacok korban berkali-kali dengan tujuan membunuhnya dan
tujuan tersebut telah tercapai dengan matinya korban. Ini pertimbangan yang
dijadikan hakim ketua pada tingkat banding memutuskan bahwa terdakwa secara
sah melakukan tindak pidana. Serta menguatkan putusan pada pengadilan tingkat
pertama.
1Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, Putusan mahkamah agung.go.id., Nomor putusan
79/Pid/2013/PT.TK, h. 2-5 diakses pada hari Kamis, 29 Maret 2018 jam 11:32 WIB
2 Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, Putusan mahkamah agung.go.id., Nomor putusan
79/Pid/2013/PT.TK......, h. 12
51
Hakim Anggota I:
Hakim tingkat banding dalam upaya pengambilan putusan pada nomor
putusan 79/Pid/2013/PT.TK. bahwa hakim anggota I sependapat dengan
pertimbangan hakim ketua, sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas.
Hakim Anggota II:
Hakim II berpendapat tidak demikian, sehingga terdapat dissenting opinion
dengan pertimbangan bahwa membenarkan telah terjadinya pembunuhan yang
dilakukan oleh Bintang Badrin, akan tetapi terkait alasan pembenaran/pemaafan
yang dianggap oleh hakim I tidak ditemukan, dianggap keliru dan kurang tepat.
Karena hakim II merujuk kepada pasal 48 dan 49 KUHP sebagai alasan pemaafan
dan pembenaran tindakan yang dilakukan oleh Bintang Badrin, sehingga
perbuatan Bintang Badrin tidak dapat dijatuhi hukuman sebagaimana disebutkan
oleh hakim I.3
Majelis hakim II kemudian menjelaskan, bahwa pembunuhan yang dilakukan
oleh Bintang Badrin telah memenuhi syarat pemaafan dan pengahpusan
sebagaimana tertuang dalam pasal 49 KUHP dengan memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:4
a. Karena sifat terpaksanya: perebutan senjata tajam sebagaiman dimaksud
dalam rangkaian peristiwa yang dilakukan Bintang Badrin adalah dapat
dibenarkan oleh hukum dikarenakan posisi jiwa pelaku dalam terdesak
dan terpaksa membunuh.
b. Pembunuhan dilakukan setelah adanya ancaman berupa serangan dan
berlangsung ketika serangan terjadi.
c. Pembelaan diri pembunuh untuk mengatasi adanya acaman serangan
atau serangan yang bersifat melawan hokum,
d. Pembelaan diri yang dilakukan oleh Bintang Badrin termasuk seimbang
dengan serangan yang mengancam, setelah korban berupaya berulang
kali ingin membacok Bintang Badrin.
3 Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, Putusan mahkamah agung.go.id., Nomor putusan
79/Pid/2013/PT.TK......, h.12-14
4 Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, Putusan mahkamah agung.go.id., Nomor putusan
79/Pid/2013/PT.TK......, h.15 - 19
52
e. Pembelaan terpaksa yang dilakukan oleh Bintang Badrin terbatas dalam
hal mempertahankan 3 kepentingan hukum yaitu: serangan mengancam
keselamatan jiwa seseorang; penyerangan membacok berkali-kali kearah
badan Bintang Badrin;
Akan tetapi dalam amar putusan pengadilan tingkat banding, putusan hakim
menguatkan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dengan menyatakan
bahwa Bintang Badrin dinyatakan dengan secara sah melawan hukum dengan
membunuh korban. Terkait dengan pertimbangan hakim II dinyatakatan ditolak,
dikarenakan ada upaya tindakan berupa perlawanan berlebihan yang dilakukan
Bintang Badrin ketika Bintang Badrin dapat merebut senjata tajam laduk dari
tangan korban, terdakwa telah dapat melukai korban dengan menusukkan laduk
ke dada korban yang telah seimbang dengan luka yang diderita oleh terdakwa
sebelumnya dan setelah itu terdakwa seharusnya dapat melarikan diri dengan
membawa senjata tajam itu. Akan tetapi hal itu tidak dilakukan, malah
membacokkan senjata tajam itu berkali-kali kebadan korban hingga korban tidak
berdaya dan meninggal dunia.5
3. Putusan Hakim
Sebagaimana yang telah diputuskan oleh Direktori Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia, putusan nomor:97/Pid./2013/PT.TK., Pengadilan
Tinggi Tanjung Karang, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana
pada pengadilan tingkat banding telah menjatuhkan putusan kepada terdakwa,
yang mana pengadilan tinggi Tanjung Karang menimbang, bahwa berdasarkan
fakta hukum pada kasus tersebut, pelaku terbukti secara sah telah melakukan
tindak pidana pembunuhan, oleh karenanya pengadilan pada tingkat banding
hanya menguatkan putusan pada pengadilan tingkat pertama pada putusan
Nomor:30/Pid.B/2013/PN.GS. menyatakan bahwa terdakwa BINTANG BADRIN
Glr RAJA PULITAN BIN ZAKARIA terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan perbuatan pidana “PEMBUNUHAN” menjatuhkan pidana
5 Direktori Putusan Mahkamah Agung RI, Putusan mahkamah agung.go.id., Nomor putusan
79/Pid/2013/PT.TK......, h. 20-21
53
kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh)
tahun.
B. Tinjaun Maqasid Al-Syariah Terhadap Pembelaan Terpaksa Melampaui
Batas Sebagai Alasan Peniadaan Pidana
Dalam menetapkan hukum Islam, metode penemuan hukum dapat dilihat dari
dua segi pendekatan kebahasaan dan pendekatan tujuan hukum. Di kalangan
ulama ushul fiqh, tujuan hukum itu biasa disebut dengan maqasid al-syariah,
yaitu tujuan ash-shari dalam menetapkan hukum. Tujuan hukum tersebut dapat
dipahami melalui penelusuran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah. Penelusuran yang dilakukan ulama ushul fiqh tersebut menghasilkan
kesimpulan, bahwa tujuan ash-shari’ menetapkan hukum adalah untuk
kemaslahatan manusia (al-mashlahah), baik didunia maupun diakhirat.6
Menurut al-Syatibi, kemaslahatan dapat diwujudkan apabila terpeliharanya
lima unsur, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tujuan utama syariat
Islam terletak pada perlindungan terhadap lima unsur tersebut, yaitu perlindungan
terhadap agama, perlindungan terhadap jiwa, perlindungan terhadap akal,
perlindungan terhadap keturunan, dan perlindungan terhadap harta. Kelima poko
tersebut merupakan suatu hal yang harus selalu dijaga dalam kehidupan ini untuk
mencapai sebuah kemaslahatan yang merupakan tujuan dari konsep maqasid al-
syariah itu sendiri.7 Adapun tujuan dari maqasid al-syariah ada tiga, yaitu
membina setiap individu agar menjadi sumber kebaikan bagi orang lain,
menegakan keadilan dalam masyarakat baik sesama muslim maupun non muslim,
dan merealisasikan kemaslahatan.
Mengenai pembelaan terpaksa melampaui batas yang diatur dalam KUHP
pasal 49 ayat 2 adalah pembelaan yang disebabkan adanya kegoncangan jiwa
yang sangat hebat, yang dalam bahasa Belanda menjelaskan pembelaan terpaksa
melampaui batas sebagai noodweer exces yang sifat perbuatan terdakwa tersebut
6 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Ed. 1, cet 2, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 303-304
7 Abdul Kadir dan Ika Yunia, Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqasid Al-Syariah
(Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2014), h. 89
54
tetap merupakan perbuatan yang melawan hukum. Akan tetapi perbuatan
terdakwa tidak dapat dipidana karena adanya alasan pemaaf.
Oleh karena itu kaitannya dengan pembahasan pembunuhan pada skripsi ini,
maka Islam dalam konsep maqasid al-syariah dan konsep noodweer exces dalam
KUHP sama-sama memberikan perhatian terhadap upaya pembelaan diri ketika
dalam keadaan terancam.
Dalam hal ini ialah masuk pada memelihara jiwa (hifdzu al-nas) karena Islam
sangatla menjunjung tinggi hak manusia untuk hidup, hak yang disucikan dan
tidak boleh dihancurkan kemuliaannya, kesemuanya adalah untuk menghindarkan
kemudharatan yang mengancam jiwa. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-
Qur’an surat an-Nisa: 29
وال تقتلواالفس التي حرم هللا إال بالحق
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa tujuan syari’at diturunkan Allah untuk
memelihara jiwa manusia. Mereka memberikan contoh terhadap aturan-aturan
syari’at yang diturunkan Allah dengan hal dimaksud, yaitu: dilarangnya
membunuh tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, diwajibkannya hukuman qishas
dengan hukuman yang setimpal. 8
Berkaitan dengan prinsip melindungi jiwa, hukum Islam menyebutnya
sebagai Hifdzu al-Nafs. Pada prinsipnya Syari’at Islam sangat mementingkan
memelihara jiwa.Yang dimaksud dengan jiwa disini adalah jiwa yang terpelihara,
adapun jiwa yang lain seperti nyawa orang yang diperangi, maka ia bukanlah jiwa
yang dipelihara oleh syari’at, karena ia adalah musuh dari Islam.9 Maka konsep
awal yang dikembangkan dalam Hifdzu al-Nafs ialah diantara hukum menetapkan
itu sebagai kemaslahatan yang penting dan menolak hal yang mafsadat.
Kemaslahatan dengan upaya menghindari dari kemafsadatan dalam kaitan ini,
ialah menghindari dan menyalamatkan jiwa dari segala ancama berupaya
8 Yusuf al- Qardawi, Madkhal li Dirasat al- Syari’at al- Islamiah, (Kairo: Maktabah Wahbah,
2001), h. 73
9 Muhammad Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud Alyubi, Maqashid al- Syari’ah al- Islamiyyah wa
‘Alaqatuhi bi al- Adillati al- Syar’iyyati, (Jami’ al- Huququ Mahfuzhat, 1998), h. 211
55
pembunuhan. Yang ketentuannya, tidak dapat keluar dari prinsip “bimitsli” atau
“seimbangan”.
Apa yang dijelaskan tentang hifdzu al-nafs sama dengan pengaturan
noodweer exces yang ada dalam KUHP pasal 49 ayat 2. Bahwasannya kedua nya
sama-sama mengatur tentang cara manusia menjaga jiwa nya masing-masing
ketika berada dalam sebuah ancaman. Dalam KUHP sudah dijelaskan tentang
pengaturan terhadap pembelaan terpaksa melampaui batas meskipun tidak secara
rinci mengatur atau menjelaskan batasan-batasan yang termasuk kedalam
pembelaan terpaksa melampaui batas. Begitupun dalam hifdzu al-nafs, juga
mengatur tentang bagaimana seseorang mempertahankan diri nya ketika dalam
keadaan yang mengancam.
C. Analisis Penulis
Berdasarkan urain di atas penulis melihat, putusan hakim tingkat banding
dengan nomor putusan 79/Pid/2013/PT.TK. dengan menguatkan putusan hakim
tingkat pertama putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor
30/Pid.B/2013/PN.GS. tanggal 22 Mei 2013 sangat tidak tepat, oleh karena itu
penulis tidak sependapat dengan keputusan hakim ketua yang memutuskan bahwa
suadara Bintang Badrin secara sah terbukti bersalah.
Menariknya, ketika dissenting opinion terjadi antar dua hakim di pengadilan
tingkat banding. Artinya, disatu sisi sebelum putusan tersebut ditetapkan, ada
kemungkinan bahwa terdakwa dinyatakan bebas dari segala tuntutan,
sebagaimana argumentasi yang disampaikan majelis Hakim II.
Artinya, secara yuridis sebagaimana argumentasi hukum hakim II, tindakan
pembunuhan yang dilakukan terdakwa dalam kondisi tertentu dapat dibenarkan
sebagaiamana pasal 49 KUHP. Ketentuan berupa syarat-syarat yang melekat
kepada ketentuan pasal 49 tersebut, harus dirumuskan secara eksplisit. Sehingga,
56
tidak terjadi multi tafsir terhadap alasan-alasan apa saja yang dapat diterima
sebagai alasan pemaafan kepada pelaku tindak pidana.10
Dalam pertimbangan hakim II pengadilan tingkat banding di atas, dengan
jelas menggunakan alasan pemaafan yang terdapat dalam pasal 49 KUHP
mengenai Noodweer dan noodweer exces. Sebagaimana penulis jelaskan di atas,
bahwa ada unsur-unsur yang harus dipenuhi, kapan suatu perbuatan termasuk
pembelaan terpaksa melampaui batas.
Secara keseluruhan dari fakta-fakta persidangan, perbuatan terdakwa
membunuh korban karena posisi terdakwa dalam kondisi terancam, apa bila
dihubungkan dengan pasal 49 KUHP, maka perlu melihat dua unsur kepidanaan
yang melekat kepada tindak pidana ataupun kepada pelaku, yaitu unsur subjektif
dan objektif. Unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya. Sedang yang di maksud dengan unsur-unsur
obyektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan,
yaitu didalam keadaan ketika tindakan-tindakan si pelaku harus dilakukan.
Secara umum dapat termasuk dalam pasal tersebut atau dapat dikatakan
noodweer exces, artinya perbuatan terdakwa memenuhi unsur pidana objektif.
Tetapi dalam sudut pandang unsur subjektif, maka perlu melihat apakah tindakan
terdakwa telah memenuhi syarat-syarat noodweer exces. sebagaimana dijelaskan
oleh Hakim II dalam tingkat banding, bahwa dalam terdakwa melakukan tindakan
pembunuhan, karena ada serangan (aanranding), dan serangan tersebut
mengancam dengan tiba-tiba terhadap terdakwa, serta serangan tersebut melawan
hukum (wederrechtelijk) yang berupa upaya pembunuhan yang dilakukan oleh
korban.
Namun, syarat pembelaan yang dilakukan harus yang bersifat perlu atau
seimbang dengan serangan. Artinya, Seseorang yang melakukan pembelaan
terpaksa tidak serta merta dapat dengan mudah melakukan perbuatan tersebut.
Pembelaan yang dilakukan seseorang haruslah pembelaan yang bersifat perlu
10 Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si. Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2012,
h.126.
57
artinya dalam kasus di atas, terdakwa mendapat serangan seketika oleh korban.
Pada waktu tertentu ketika pada saat terdakwa dapat merebut senjata tajam yang
dipegang korban, terdakwa telah dapat melukai korban degan menusukkan senjata
tersebut kepada korban.11
Dari uraian diatas makanya penulis berpandangan bahwa apa yang menjadi
pertimbangan hakim anggota II sudah sangat tepat. Mengingat apa yang dilakukan
oleh pelaku sudah sesuai dengan isi pasal 49 ayat 2 KUHP yang menjadi dasar
hukum keberadaan pembelaan terpaksa melampaui batas yang pada intinya isi
dari pasal itu adalah ketika seorang melakukan pembelaan terpaksa melampaui
batas dikarenakan oleh suatu goncangan jiwa yang hebat karena suatu serangan
atau ancaman, maka ketika dia melakukan suatu tindak pidana semata-mata hanya
untuk membela dirinya, karena tidak ada niat sebelumnya maka orang ini tidak
dapat dipidana.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Hoge Raad ”Hebatnya keguncangan hati
itu hanya membuat seseorang tidak dapat dihukum yaitu dalam hal melampaui
batas yang diizinkan untuk melakukan suatu pembelaan telah dilakukan terhadap
suatu serangan yang melawan hukum yang telah terjadi seketika itu juga”.12
Simons berpendapat tidak secara pasti memeberikan definisi terhadap
pembelaan terpaksa melampaui batas, melainkan lebih kepada syarat sebagaimana
berikut:
“juga dalam hal ini, syarat-syarat dari suatu noodweer itu perlu adanya suatu
serangan yang bersifat melawan hukum. Hanya saja orang yag melakukan
pembelaan itu dapat menjadi tidak dihukum, yaitu baik apabila perbuatan
melakukan suatu pembelaan itu sebenarnya adalah tidak perlu, maupun apabila
batas-batas dari cara-cara yang dapat dibenarkan itu telah ia langgar.”13
“perbuatan yang telah dilakukan dengan melampaui batas-batas dari suatu
noodweer itu sifatnya melawan hukum, akan tetapi tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada pelakunya dan karena itulah maka terhadap suatu
noodweer exces, orang dapat dibenarkan untuk melakukan suatu noodweer”.14
11Direktori putusan mahkamah agung RI Nomor 79/..., h. 21
12
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 80-81
13
Lamintang & Franciskus Theojunior Lamintang, Dasar, h. 510
14
Lamintang & Franciskus Theojunior Lamintang,......., h. 511
58
Berkenaan dengan pembelaan terpaksa, pendapat diatas memberikan
penjelasan secara singkat, tetapi dari pendapatnya bisa diambil benang merah
yakni ia lebih menekankan bahwa pembelaan terpaksa tetap bersifat melanggar
hukum, akan tetapi ada faktor lain yang menjadi titik berat untuk dipertimbangkan
yakni unsur kesalahan atau schuld dalam diri pelaku. Kesalahan memang bagian
dari pertanggungjawaban pidana, seseorang dapat tidak dikenai pidana apabila ia
terbukti tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pada pasal 49 ayat (2)
ini terkandung sebuah alasan pemaaf yang menghilangkan sifat melanggar pidana
dari diri si pelaku, sehingga ia tak bisa dimintai pertanggungjawaban.
Begitupun dalam sudut pandang kaca mata hukum pidana Islam, pada kasus
di atas tergolong sebagai alasan pembelaan yang dapat dibenarkan. Karena,
prinsip pembelaan karena ada serangan yang dapat dibenarkan, harus memenuhi
prinsip “bimitsli” atau “seimbang”. Menurut penulis apa yang dilakukan oleh
pelaku sudah seimbang jika dibandingkan dengan ancaman yang ia dapat dari si
korban. Bahwa perbuatan pembelaan diri yang dilakukan terdakwa terhadap
serangan korban Aminudin bin Bahirun yang berakibat terbunuhnya si penyerang
utama adalah sangat seimbang jika dibandingan dengan serangan yang dilakukan
oleh penyerang korban Aminudin bin Bahirun yang hendak membunuh terdakwa.
Tujuan penyerang Aminudin bin Bahirun untuk membunuh terdakwa tersebut
dapat dilihat dari ucapannya yang mengancam terdakwa dengan kalimat “saya
bunuh kamu, saya nyari kemana-mana tidak ketemu” sambil mengeluarkan
senjata tajamnya.
Jika dilihat dari pernyataan tersebut maka sudah seharusnya pelaku Bintang
Badrin tidak dapat dijatuhi hukuman, karena yang dilakukannya sudah sesuai
dengan aturan dalam KUHP maupun ditinjau dari hukum Islam dan ditinjau dari
konsep maqasid al-syariah.
59
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sedangkan Noodweer exces pembelaan terpaksa melampaui batas dalam
KUHP pasal 49 (2) berbeda dengan noodweer pembelaan darurat yang termaktub
dalam pasal 49 (1). Andi Hamzah, menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang
melampaui batas (noodweer exces) ada persamaan antara pembelaan terpaksa
(noodweer) dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces),
yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum, yang dibela
juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri
maupun orang lain.
Sedangkan perbedaannya, pembelaan terpaksa yang melampau batas
(noodweer exces), pembuat melampaui batas karena keguncangan jiwa yang
hebat. Oleh karena itu, perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap
melawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena guncangan jiwa yang
hebat. Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas
menjadi dasar pemaaf.Pembelaan terpaksa (noodweer) merupakan dasar
pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada.
Tetapi, pada posisi tertentu peraturan yang terdapat dalam Pasal 49 (2) KUHP
tersebut, memiliki kekaburan makna yang tidak jelas ukuran kegoncangan jiwa
yang menjadi penyebab alasan pemaafan suatu tindak pidana oleh hakim. Oleh
karena itu, penulis perlu memasukkan peraturan lain selain KUHP seperti Pasal 1
ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
menyebutkan kata-kata “dapat mengatasi tekanan”, hal ini dapat sedikit dikaitkan
dengan makna kegoncangan jiwa yang hebat yakni didalam kegoncangan jiwa
yang hebat pelaku dalam melakukan pembelaan karena ia tidak dapat “dapat
mengatasi tekanan” dari serangan atau ancaman serangan yang ia terima, sehingga
kondisi kesehatan jiwanya agak terganggu.
Hal ini menurut penulis belum memberikan sebuah definisi yang jelas dan
rinci tentang makna “kegoncangan jiwa yang hebat”. Kesimpulan yang bisa
60
didapat dari analisis terkait pengaturan atau penjelasan lebih lanjut terhadap
makna “kegoncangan jiwa yang hebat” didalam pasal 49 ayat (2) KUHP maupun
dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa tidak diatur
secara jelas didalam hukum positif yang berlaku di Indonesia.
B. SARAN
Setelah penulis melalui proses pembahasan pada kajian yang telah dibahas,
maka penulus perlu memberikan saran-saran untuk kelanjutan dan
keberlangsungan penelitian yang bersifat kajian akademik terhadap persoalan-
persoalan empiris yang terjadi didalam masyarakat. Dan disini penulis merasa
perlunya dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang pembelaan terpaksa
melampaui batas. Dalam penelitian ini peenulis bermaksud : pertama, kepada
pembaca untuk dapat menginterpretasikan dan merenungkan kembali konsepsi
pembelaan diri dalam rangka menjaga jiwa dari bahaya serangan orang lain
seperti pembunuhan. Kedua dalam tindak pidana pembunuhan memang perlu
dipertimbangkan tujuan dan mashlahah, demi terciptanya sebuah kepastian
hukum. Seperti perbuatan pembelaan yang diperbolehkan harus terdapat kejelasan
dalam menentukan syarat dan untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam
pembentukan hukum. Ketiga perlu ada batasan atau standarisasi kegoncangan
jiwa secara tepat agar seorang mendapatkan alasan pemaaf sebagai dasar
penghapusan pidana.
61
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor, PT Kharisma
Ilmu.
Abdul Mujib, Yusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Abdul Qadir Audah , at-Tasyr’i al-Jina’i al-Islmi, Bairut Dar al-Kitab al-‘Arabi.
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi (Cet. I;
Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1996).
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)
Ahmad Warson, Al-Munawir, Cet ke-1 (yogyakarta: Pustaka Progresif, 1992).
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.
A.W. Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir versi Indonesia-
Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, Cet. I, 2007), 366; John M. Echols,
Kamus Indonesia-Inggris, (Jakarta: Gramedia, Cet. III, 1997).
Departemen Agama RI, , Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta, 1984.
Direktori putusana Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan.mahkamah
agung.go.id. nomor putusan 201/Pid.B/2013/PN-JTH.
Dalam P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior, Dasar-Dasar Hukum
Pidana Di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2014.
Fazlurrahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, Islam
(Bandung:Pustaka, 1984).
H.A. Djazulli, Fikih Jinayah (PT. Raja Grafindo Persada , 2000).
HP.A.F Laminating, Hukum Penitensier Indonesia, Penerbit Amrico, Bandung :
2002.
Hamdan . M, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2014).
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Mac Donald
&Evan Ltd., 1980).
62
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz VIII (Bayrut: Dar al-Sadr, [t.th.]).
Ibnu Sina, Al-Syifa’; al-Tabi’iyyah, (Kairo: Haiah Misr iyyah al-‘Am mah li al-
Kitab ah,1975).
http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-194.html
Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap
Nyawa, Tubuh danKesehatan Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika.
Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan
Tantangan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001)
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008).
Muhammad Ustman Najjati, Al-Dirasat al-Nafsaniyyah ‘Inda al-‘Ulamaal-
Muslimin, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1993).
Muhammad Sa’ad bin Ahmad bin Mas’ud Alyubi, Maqashid al- Syari’ah al-
Islamiyyah wa ‘Alaqatuhi bi al- Adillati al- Syar’iyyati, (Jami’ al- Huququ
Mahfuzhat, 1998).
Moh. Nazir, Ph. D, Metode Penelitian, Bogor, Oktober 2005.
P.A.F Laminating, Hukum Penitensier Indonesia, Penerbit Amrico, Bandung :
2002.
Pasal 1 ayat 1 KUHP
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit. Pustaka Setia, Bandung :
2000.
Peter Mahmud Marjuki, Penelitian Hukum, Cetakan-4, (Jakarta Kencana. 2008).
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si. Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,
Jakarta: 2012.
Roni Hantijo Soemitro, Metode PenelitianHukum Dan Jurimetri, Cetakan-4,
(Jakarta, Ghana Indonesia, 1990).
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Cet ke-2 (Bandung Pustaka Setia, 2010).
R.Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor : Politeia.
Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997)
62
Syahrin Rusman, Analisi Maqashid Syariah Terhadap Fatwa MUI Mengenai
Halal Haramnya Bisnis MLM, Skripsi Fakultras Syariah dan Hukum UIN
Alaudin Makassar, 2016
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1980).
Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, jilid II (Kairo: Mustafa Muhammad,
t.th.).
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri,
(KualaLumpur: University of Malay Press, 1970).
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari’at dalam
Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani Press, 2003).
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-fiqih al-Islam (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986).
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT
Eresco, 1486).
Wirjono Prodjodjokro, Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Penerbit. Eresco,
Jakarta-Bandung : 1981.
WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1989).
Yusuf al- Qardawi, Madkhal li Dirasat al- Syari’at al- Islamiah, (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2001).
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Sinar Grafika), 2012.
63