repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/siti...
TRANSCRIPT
REFORMASI PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
(Kajian Atas Pemberlakuan Sistem Satu Atap Lembaga Peradilan di Bawah
Kekuasaan Mahkamah Agung)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
SITI HANAH
1112044100057
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2017 M
v
ABSTRAK
Siti Hanah. NIM 1112044100057. REFORMASI PERADILAN
AGAMA DI INDONESIA (KAJIAN ATAS PEMBERLAKUAN SISTEM
SATU ATAP DI BAWAH KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG). Program
Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H / 2017.
Skripsi ini bertujuan untuk mengungkapan dua hal: a. Mengetahui
perkembangan peradilan agama pra dan pasca satu atap b. Mengetahui perubahan
manajemen peradilan agama pasca satu atap.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan deskriptif analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
data primer dan sekunder. Yang menjadi data primer adalah hasil wawancara
dengan pengurus badilag, hakim pengadilan agama, panitera Pengadilan Tinggi
Agama dan kepala biro kepegawaian badan urusan administrasi Mahkamah
Agung. Data yang diperoleh dideskripsikan atau digambarkan secara sistematis
dan kemudian dianalisis.
Hasil dari penelitian ini bahwa Sebelum berada satu atap di bawah
Mahkamah Agung yakni di bawah Departemen Agama, posisi peradilan agama
seperti peradilan “Second Classs”. Hal tersebut terlihat bahwa Peradian Agama
tidak sejajar dengan Peradilan lainnya, seperti tergambar dari sarana prasarana,
organisasi, administrasi, dan finansial. Bahwa gedung-gedung Pengadilan Agama
pra satu atap berada di lingkungan jalan non protokol dan inventaris serta
tunjangan untuk hakimnya pun relatif sedikit. Berbeda dengan setelah satu atap,
gedung-gedung Pengadilan Agama lebih mewah dan hakimnya pun lebih
sejahtera. Selain itu pasca satu atap kompetensi absolut Pengadilan Agama
diperluas dengan menambahkan kewenangan dalam penyelesaian sengketa
Ekonomi Syariah. Pengadilan Agama pasca satu atap juga mengalami
peningkatan yang signifikan seperti di bidang implementasi pelayanan publik dan
keterbukaan informasi contohnya adanya posbakum dan segala hal administrasi
serta data terkait pengadilan dapat diakses melalui website resminya.
Kata kunci : Reformasi, Satu Atap, Peradilan Agama,
Departemen Agama, Mahkamah Agung.
Pembimbing : Drs. H. Wahyu Widiana, MA.
Bahan Pustaka : 1980 s.d. 2017.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah
memberikan penulis banyak sekali rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan baginda Nabi Besar Muhammad SAW Nabi
terakhir serta manusia yang paling mulia.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah
banyak membantu penulis baik dari segi moril maupun materil. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Unversitas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta serta wakil
Dekan I, II, III Fakultas Syari’ah dan Hukum.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum
Keluarga yang selalu memberikan pelayanan terbaik serta motivasi-
motivasi kepada penulis.
3. Bapak Indra Rahmatullah, S.HI., S.H. Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga yang selalu memberikan pelayanan terbaik.
4. Bapak Drs. H. Wahyu Widiana, MA. Dosen Pembimbing skripsi yang
telah meluangkan waktu, tenaga serta fikirannya untuk membimbing
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Dr. Hj. Azizah MA. Dosen Pembimbing Akademik yang telah
meluangkan waktu, tenaga serta fikirannya untuk membimbing serta
memotivasi penulis.
6. Bapak Drs. Bahrin Lubis, S.H. Farid, S.H. Dr. H. Hasbi Hasan, M.H. Drs.
Agus Zainal Mutaqien, S.H. yang telah meluangkan waktu dan fikirannya
untuk menjadi narasumber skripsi ini.
7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di Lingkungan Program Studi Hukum
Keluarga yang dengan sabar telah memberikan ilmu-ilmu kepada penulis.
8. Secara khusus penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada
Ayahanda Hasan dan Ibunda Hj. Rohati yang selalu memberikan
vii
dukungan moril maupun materil, Kakak tercinta Amiruddin, Tuty
Noeraeni S.Pd. dan adik tercinta Akmalluddin serta keluarga besar H.
Nurji dan (alm) Marga.
9. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A., Ph.D. Selaku bibi penulis yang telah
banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
10. Saya Ucapkan terimakasih Ahmad Mustaqil Billah, Humaidi, Habibi
Asyraf, Muhammad Zaenury, Andi Asyraf, Miqdad Rikanie Suci Hanifa,
Rizka Nurul Amanah, Riri Sartika, Elis Sri Ramdhani, Eka Kurnia
Maulida, Selvina, Muqowwimah Husna, Hardiyanti Puspita Sari. Serta
sahabat-sahabat penulis Eka Yulyana Sari, Indira Awaliyah, Sarifah
Nurfadilah, Lia Yuliyanti, Farahdhiba Auriyanthie, Nanik Maulidah,
Atiqoh Fatiyah, Siti Maryam, dan terimakasih kepada semua teman-
teman Program Studi Hukum Keluarga 2012, terimakasih atas segala
ukiran hari bertemakan pertemanan yang tulus murni sepanjang masa
pendidikan di Program Studi Hukum Keluarga sejak awal hingga
terselesainya. Terimakasih atas segala canda, tawa dan tangisan haru serta
bahagia yang telah dibagi dan turut dirasa. Terimakasih atas rasa
kekeluargaan yang begitu besar meski tanpa ikatan darah. Jalinan
persahabatan ini semoga Allah jaga hingga selamanya.
11. Tak terlupakan pula terima kasih kepada semua yang telah berjasa
membantu dalam pembuatan skripsi ini, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa terima kasih penulis
yang sebesar-besarnya.
Semoga segala kebaikan dan sumbangsinya dicatat sebagai amal ibadah
dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Ciputat, 11 Desember 2017
Siti Hanah
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERSETUJUAN BIMBINGAN .................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 5
E. Review Studi Terdahulu ................................................................. 6
F. Metode Penelitian ........................................................................... 7
G. Sistematika Penulisan ............................................................ 9
BAB II PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
A. Pengertian Peradilan Agama .................................................. 11
B. Sejarah Lembaga Peradilan Agama ....................................... 13
1. Peradilan Agama Sebelum Proklamasi Kemerdekaan ..... 13
2. Peradilan Agama Setelah Proklamasi Kemerdekaan ...... 15
C. Kewenangan Peradilan Agama .............................................. 17
1. Kewenangan Absolut ....................................................... 18
2. Kewenangan Relatif ......................................................... 21
BAB III KEBIJAKAN PERADILAN SATU ATAP
A. Urgensi Penyatuatapan Peradilan Agama .............................. 23
B. Upaya Departemen Agama Untuk Menyatuatapkan Peradilan
Agama .................................................................................... 28
ix
C. Sikap Ketua Pengadilan tinggi Agama (PTA) Se-Indonesia dan
Majelis Ulama (MUI) Terhadap Konsep Penyatuatapan Peradilan
Agama Se-Indonesia .............................................................. 29
BAB IV PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
PRA DAN PASCA SATU ATAP
A. Perkembangan Peradilan Agama Pra Pemberlakuan Sistem Satu
Atap di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung ...................... 34
1. Aspek Organisasi ............................................................. 35
2. Aspek Administrasi .......................................................... 35
3. Aspek Finansial ................................................................ 36
B. Perkembangan Peradilan Agama Pasca Pemberlakuan Sistem
Satu Atap di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung ............. 38
1. Aspek Organisasi ............................................................. 40
2. Aspek Administrasi .......................................................... 42
3. Aspek Finansial ................................................................ 47
4. Implementasi Pelayanan Publik ....................................... 50
5. Implementasi Keterbukaan Informasi .............................. 52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 62
B. Saran ......................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, dan
mengadili perkara tertentu untuk menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan hukum/aturan yang berlaku, sementara pengadilan adalah tempat
proses mengadili tersebut dilaksanakan.1
Di Indonesia terdapat empat macam lingkungan peradilan sebagai
mana disebutkan dibawah ini : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.2
Tatanan peradilan di Indonesia berubah dari waktu ke waktu, dasar
yang dijadikan rujukan dalam perubahan itu adalah UUD Pasal 24 ayat 1, 2
dan 3 Tahun 19453 : (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang.
Salah satu reformasi di bidang penegakan hukum yang signifikan
adalah adanya Ketetapan MPR-RI No. X/MPR 1998 tentang Pokok-Pokok
Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
1 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan-Suatu Kajian Dalam
Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 22-31. 2 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Cet. 2, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h.278-279. 3 UUD Pasal 1, 2 dan 3 Tahun 1945 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2
Kehidupan Nasional sebagai hukum negara khususnya BAB IV C. Disana
ditegaskan perlunya reformasi di bidang hukum untuk mendukung
penanggulangan krisis di bidang hukum. Salah satunya agenda yang harus di
jalankan adalah pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari
eksekutif.
Pemisahan ini dilaksanakan dengan mengalihkan organisasi,
adiminitrasi, dan finansial badan-badan peradilan yang semula berada di
bawah departemen-departemen menjadi berada di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Hal ini karena pembinaan lembaga peradilan yang selama
ini dilakukan oleh eksekutif dianggap memberi peluang bagi penguasa
melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi
dan praktek-praktek negatif pada proses peradilan. Dalam rangka mencapai
kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan
finansial badan-badan peradilan.4
Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasan kehakiman sebagai wujud
dari kemadirian lembaga yudikatif, maka sesuai dengan tuntutan reformasi di
bidang hukum telah dilakukannya perubahan terhadap peraturan perundang-
undangan yang perlu diubah terlebih dahulu adalah UU No. 14 Tahun 1970
Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.5
Mengacu pada ketentuan di atas dilakukan perubahan susunan dan
kekuasaan badan peradilan dalam UU No. 19 Tahun 1964 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman dan kemudian diubah
dengan UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang ini merupakan titik awal
perkembangan Undang-Undang bagi Peradilan Agama.6
4 Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. 5 Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 8-9. 6 Jaenal Arifin, et. al, Peradilan Agama dari Serambi Masjid ke Serambi Dunia,
(Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2012), h.5.
3
Peradilan Agama mengalami perubahan dan perkembangan dalam
rentang waktu yang sangat panjang, sejak Islam menjadi kekuatan politik di
Indonesia pada masa munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga dewasa ini.
Kini ia menjadi salah satu peradilan negara yang memiliki kekuatan sejajar
dengan peradilan negara yang lainnya, terutama sejak diundangkannya UU
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.7 Lahirnya Undang-Undang ini
memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi pengembangan peradilan
agama pada masa berikutnya.8
UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Atas UU
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.9 Perubahan
tersebut menyangkut beberapa hal krusial di antaranya perubahan teknis
hubungan kelembagaan dan kewenangan dalam tubuh peradilan umumnya
dan peradilan agama khususnya. Selain terjadi perubahan pada ketentuan
pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial oleh
Mahkamah Agung seperti diatur dalam Pasal 5 dalam UU No. 7 Tahun 1989
Pasal 5 pembinaan teknis dilakukan oleh Mahkamah Agung RI, sedangkan
pembinaan non teknis organisasi perlengkapan, kepegawaian dan keuangan
dilakukan oleh Departemen Agama, dan yang penting adalah mengatur dan
menambah kewenangan dalam pengadilan agama.10
Sedangkan dengan
dirubahnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, maka
pembinaan secara teknis dan non teknis seperti disebutkan di atas harus satu
atap di bawah naungan Mahkamah Agung dan tidak ada lagi kewenangan
Departemen Agama dalam pembinaan peradilan agama di Indonesia.
7 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), h. 258.
8 Jaenal Arifin et al, Tahun Peradilan Agama dari Serambi Masjid ke Serambi Dunia, h. 5.
9 Lihat Konsideran Poin c UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
10 Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 312-313.
4
Pembinaan Peradilan Agama di bawah Mahkamah Agung dengan
istilah satu atap tidak bisa dipisahkan atau sebagai realisasi dari pada
perubahan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yaitu perubahan UU No.
14 Tahun 1970 menjadi UU No. 35 Tahun 1999. Karena UU No. 35 Tahun
1999 merupakan cikal bakal dari lahirnya penyatuatapan Peradilan di bawah
Mahkamah Agung. Melalui perubahan UU No. 14 Tahun 1970 tersebut telah
diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang
menyangkut teknis yustisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan
finansial berada di bawah satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Kebijakan ini sudah harus dilaksanakan paling lambat lima tahun sejak
diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU No. 14
Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.11
Pemindahan peradilan agama ke Mahkamah Agung sebenarnya tidak dibatasi
waktunya sebagaimana peradilan umum dan peradilan tata usaha negara.
Namun dalam perkembangannya peradilan agama juga seperti lingkungan
peradilan tersebut yang dibatasi waktu pemindahannya.12
Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan peradilan agama
terhadap kemandirian lembaga peradilan (indepedensi lembaga peradilan),
maka peradilan agama yang sebelumnya berada pada dua lembaga yaitu
Departemen Agama (Depag) dan Mahkamah Agung (MA) dalam aspek
pembinaan, kini berada di bawah satu atap pembinaan yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
Beberapa aspek yang mengalami perubahan setelah peradilan agama
disatuatapkan pada era reformasi menyangkut persoalan yang berkaitan
dengan pemindahan wewenang dan regulasi teknis dalam peradilan agama,
sehingga perubahan tersebut semakin mengukuhkan peradilan agama sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman yang mandiri dan independen.
Berangkat dari pokok pikiran diatas, karena itu penulis tertarik untuk
mengkaji skripsi ini dengan judul “REFORMASI PERADILAN AGAMA
11
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010), h.11. 12
Pasal 42 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
5
DI INDONESIA” (Kajian Atas Pemberlakuan Sistem Satu Atap Lembaga
Peradilan Di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung).
B. Identifikasi Masalah
Bahwa perkembangan peradilan agama dalam proses satu atap di
bawah Mahkamah Agung melalui perjalanan panjang dan dilatarbelakangi
oleh beberapa faktor penting tentunya. Sehingga pembinaan teknis yustisial
peradilan agama maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada
di bawah kekuasaan Mahkamah Agung saat ini. Yang mana sebelumnya,
Mahkamah Agung hanya membina urusan teknis yustisial sedangkan
pembinaan lainnya di bawah kekuasaan Departemen Agama. Masalah ini
memberikan dampak terhadap perkembangan manajemen peradilan agama
pra dan pasca satu atap.
C. Pembatasan dan perumusan Masalah
Dari identifikasi masalah yang dipaparkan di atas, peneliti membatasi
penelitian ini yaitu reformasi Peradilan Agama pra satu atap yang dimulai
sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sampai Pengadilan
Agama berada satu atap di Lingkungan Mahkamah Agung yaitu Tahun 2004.
Kemudian pasca satu atap yang menjadi fokus penelitian ini dimulai dari
tahun 2004 sampai dengan sekarang. Selanjutnya untuk mempermudah
memahami hasil penelitian, peneliti merumuskan suatu masalah tersebut
dengan sebuah pertanyaan, yaitu :
1. Bagaimana perkembangan peradilan agama pra dan pasca satu atap?
2. Bagaimana perubahan manajemen peradilan agama pasca satu atap?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam tentang
perkembangan peradilan agama di Indonesia pasca satu atap dengan
Mahkamah Agung .
6
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui perkembangan peradilan agama pra dan pasca satu
atap.
b. Untuk mengetahui perubahan manajemen peradilan agama pasca satu
atap.
2. Manfaat Penelitian
a. Sebagai wujud kontribusi penulis dalam perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya perkembangan peradilan agama di Indonesia
pasca reformasi.
b. Sebagai pengetahuan dan gambaran khususnya bagi pembaca dan
umumnya bagi masyarakat mengenai perkembangan peradilan agama di
Indonesia pasca reformasi.
E. Review Studi Terdahulu
Berdasarkan beberapa yang penulis telusuri, ada beberapa skripsi
yang relevan dengan judul yang dibahas diatas, diantaranya adalah :
Pertama, Skripsi dari Yayuk Rohmawati meneliti tentang Pengadilan
Agama Jepara sebelum dan sesudah satu atap dengan Mahkamah Agung
(skripsi) di IAIN Walisongo Semarang. Dilihat dari judul ini Yayuk
Rohmawati meneliti lebih spesifik tentang kedudukan pengadilan agama dan
pengelolaan Pengadilan Agama Jepara. hasil penelitian yang dia temukan
adalah pengadilan agama di Jepara mengalami kemajuan baik mengenai
kewenangan/kedudukan PA yang sederajat dengan pengadilan (PN, PM dan
PTUN). Selain itu, pengelolaan bidang organisasi adminitrasi dan finansial
mengalami peningkatan. Sedangkan Penulis pada skripsi ini membahas
tentang kedudukan peradilan agama pra dan pasca satu atap secara umum
baik secara organisasi, administrasi dan finansial. Begitu juga dengan
perkembangan peradilan agama di Indonesia.
Kedua, Jurnal Hukum dan Pembangunan 47 No. 3 (2016) yang di tulis
oleh Domiri tentang Analisis Tentang Sistem Peradilan Agama Di Indonesia.
7
Jurnal tersebut hanya membahas mengenai komponen aturan hukum materiil
dan formil, serta aparat peradilan seperti hakim, panitera, dan juru sitayang
disertai fungsi dan tugasnya. Sedangkan Penulis pada skripsi ini membahas
tentang kedudukan peradilan agama pra dan pasca satu atap secara umum
baik secara organisasi, administrasi dan finansial. Begitu juga dengan
perkembangan peradilan agama di Indonesia.
F. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini, menggunakan metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif, yakni suatu metode dalam penelitian terhadap
sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu pemikiran pada masa
sekarang. Tujuan dari deskripsi ini adalah untuk membuat gambaran secara
sistematis, faktual, dan akurat tentang fenomena yang diteliti.
Penelitian ini meliputi beberapa hal :
1. Sumber Data
Penelitian ini memiliki dua sumber data, yaitu sumber data primer dan
sumber data sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumber yang
asli dari wawancara dengan para pengurus Badan Peradilan Agama
(Badilag), salah satu Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Panitera Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta dan Kepala Biro
Kepegawaian Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung serta
buku-buku terbitan Mahkamah Agung yang membahas tentang
sejarah Peradilan Agama pra dan pasca satu atap.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diambil dari bahan-bahan pustaka
yang menunjang data primer, dalam hal ini data sekunder diperoleh
dari buku-buku hukum, majalah, artikel, jurnal-jurnal, laporan
penelitian yang berhubungan dengan masalah penelitian ini.
1) UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
8
2) UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama.
3) UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
4) UU No. 35 Tahun 1999 Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970
Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
5) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengganti
UU No. 4 Tahun 2004 serta data lainnya yang memuat
keterangan dan penjelasan seputar tema dan pokok penjelasan.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
gabungan antara wawancara dan penelitian kepustakaan (library research)
yaitu yang mengumpulkan data-data dari objek wawancara, buku,
dokumen untuk mendapatkan informasi mengenai penelitian yang akurat
dan sesuai.
3. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian
deskriftif analisis.
4. Teknik Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data yang dilakukan penulis untuk
mendapatkan dan memahami gambaran berdasarkan realita yang ada,
penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagi berikut :
a. Wawancara
Wawancara yaitu proses tanya jawab secara langsung antara
peneliti dengan informan. Peneliti menentukan informan diantaranya
pelaku sejarah reformasi Peradilan Agama yaitu Farid, SH yang
sekarang menjabat sebagai Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dan Drs. Bahrin Lubis, SH, MH yang menjabat sebagai
Panitera Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta serta Kepala Biro
Kepegawaian Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung RI
9
yakni Drs. H. Agus Zainal Muttaqin, SH.
Selain pelaku sejarah yang dijadikan informan oleh peneliti,
peneliti juga menggali informasi dengan mewawancarai pejabat
Direktorat Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik
Indonesia saat ini sebagai data pelengkap.
b. Dokumen
Dokumen yaitu sejumlah bahan bukti berupa fakta dan data
yang tersimpan dalam bentuk dokumen. Dokumen yang
dikumpulkan yaitu laporan Mahkamah Agung tahun 2016
5. Analisis Data
Penulis menggunakan metode kualitatif yang terdiri dari induktif
deduktif. Metode deduktif digunakan untuk menganalisa data yang bersifat
khusus dan kemudian diolah menjadi kesimpulan umum.
Adapun teknik penulisan, penulis merujuk kepada buku Pedoman
penulisan skripsi fakultas syariah dan hukum, yang diterbitkan oleh pusat
peningkatan dan jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
G. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini terjadi menjadi beberapa sitematika pembahasan.
Hal ini di lakukan untuk mempermudah peneliti dalam penyusunan skripsi
serta mempermudah pembaca untuk mengkonsumsi isi skripsi ini.
Sistematika pembahasan dalam penelitian ini terbagi menjadi lima bab yaitu:
Bab pertama berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua ini berisi peradilan agama di Indoneisa tentang pengertian
peradilan agama, sejarah lembaga peradilan agama, dan kewenangan
peradilan agama.
10
Bab ketiga ini sebagaimana umumnya pada bab ini pertama: berisi
tentang urgensi penyatuatapan peradilan agama, kedua: upaya Kementerian
Agama untuk menyatuatapkan peradilan agama, dan ketiga: sikap Ketua
Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Se-Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) terhadap konsep penyatu atapan peradilan agama di Indonesia.
Bab keempat ini berisi tentang perkembangan peradilan agama pra
pemberlakuan sistem satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, dan
perkembangan pasca pemberlakuan sistem satu atap di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung.
Bab kelima merupakan bab penutup. Yang di dalamnya menjawab
semua permasalahan yang di angkat dalam penelitian ini, serta memberikan
rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut dan pemanfaatan praktis hasil
penelitian ini.
11
BAB II
PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
A. Pengertian Peradilan Agama
Secara etimologis peradilan agama berasal dari bahasa Arab yaitu“al-
qadha”,yang memiliki banyak arti, bukan tunggal. Muhammad Salam
Madkur memberi tiga pengertian, yang pertama, al-faragh berarti putusan
atau selesai, kedua al-qadha berarti menunaikan atau membayarkan dan
ketiga, al-hukmu berarti mencegah atau menghalang-halangi. Apabila secara
etimologis, pengertian ini dapat menggambarkan sebagai fungsi hakim; untuk
memutuskan dan menyelesaikan suatu perkara yang muncul dari masyarakat
muslim (al-faragh), menunaikan dan membayarkan, bermakna tugas mulia
yang diemban seorang hakim, untuk melaksanakan dan menunaikan suatau
hukum Allah, yaitu memberikan suatu yang patut secara syar‟i untuk
diterimanya (al’qadha) dan mencegah (al-hukmu) yang mana seorang hakim
melalui pengadilan berkewajiban mencegah dan memberi perlindungan
hukum bagi masyarakat.13
Istilah peradilan dan pengadilan berasal dari kata dasar yang sama,
namun keduanya memiliki makna dan pengertian yang berbeda. Sebagaimana
dikemukakan oleh beberapa pakar berikut.
1. Abdul Manan menjelaskan bahwa peradilan adalah kekuasaan negara
dalam menerima, memeriksa, dan mengadili perkara tertentu untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum/aturan yang
berlaku, sementara pengadilan adalah tempat proses mengadili tersebut
dilaksanakan.14
2. Subekti dan R. Tjitrosoedibio menyatakan bahwa peradilan adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara dalam
13
Abdul Halim, Peradilan Agama dan Politik Hukum di Indonesia dari Otoriter Konservatif
Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 2, h.
27-28. 14
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan-Suatu Kajian dalam Sistem
Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 22-31.
12
menegakkan hukum dan keadilan, sementara pengadilan adalah suatu
lembaga yang melakukan proses peradilan yaitu memeriksa dan
memutus sengketa-sengketa hukum atau pelanggaran-pelanggaran
hukum.15
3. Jaih Mubarok berpendapat bahwa peradilan merupakan salah satu
pranata dalam menegakkan hukum yang berlaku, sedangkan pengadilan
merupakan satuan organisasi yang menyelenggarakan penegakan hukum
tersebut.16
4. Abdul Gani Abdullah menyebutkan peradilan sebagai kewenangan suatu
lembaga untuk menyelesaikan perkara untuk dan atas namahukum demi
tegaknya hukum dan keadilan. Peradilan adalah daya upaya untuk
mencari keadilan dan penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan
menurut peraturan perundang-undangan dan lembaga-lembaga tertentu
dalam pengadilan.17
Peradilan agama adalah salah satu lembaga peradilan khusus di
Indonesia. Peradilan khusus lainnya adalah peradilan militer dan peradilan
tata usaha negara. Dikatakan peradilan khusus karena peradilan agama
mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu.
Jenis perkara yang diadilinya adalah jenis perkara berdasarkan agama Islam.
Tegasnya, peradilan agama adalah peradilan Islam yang limitatif yang telah
disesuaikan dengan keadaan Indonesia. 18
Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa peradilan dan
pengadilan adalah dua hal yang berbeda. Istilah peradilan merujuk kepada
suatu proses penegakan hukum dan pemberian keadilan, sementara istilah
pengadilan merujuk pada tempat proses tersebut dilakukan.
15
Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1996 ), Cet.
Ke 12, h.68. 16
Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h.
2. 17
Abdul Ghani Abdullah, “Badan Hukum Syara Kesultanan Bima 1947-1957: Sebuah Studi
Mengenai Peradilan Agama”, Disertasi, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, 1987), h. 10-
11. 18
Basiq Djalil, Peradilan Islam,(Jakarta: Amzah, t.th.), h.7.
13
B. Sejarah Lembaga Peradilan Agama
1. Peradilan Agama Sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Secara yuridis formal, peradilan agama sebagai suatu badan peradilan
dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan
Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882, yang dimuat dalam staatsblad
1882 No. 152. Badan peradilan ini bernama Priester Raad yang lazim
dikenal dengan Rapat Agama atau Raad Agama dan terakhir dengan
pengadilan agama. 19
Pada tahun 1882, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan
(Staatblat No. 152) membentuk pengadilan agama (Priester Raad) di
Jawa dan Madura yang mempunyai kekuasaan mengadili perkara-perkara
perkawinan (nikah, talak, rujuk, mahar, dan hadlanah), sedang masalah
waris menjadi kewenangan Landraad (Pengadilan Negeri).20
Pengadilan Agama pada tahun 1882 tidak terlepas dari pemikiran
politik hukum yang dijalankan oleh pemerintahan Belanda. Pada saat itu
pemikiran politik hukum Belanda sedang dipengaruhi oleh Lodewijk
Willen Christian van den Berg (1845-1935) yang berpendapat bahwa
hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Kalau orangnya beragam
Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya. Teori ini dikenal
dengan teori receptie in complexu.21
Namun demikian, terjadi perubahan politik hukum, Belanda merasa
perlu untuk memperlakukan Hukum Barat (Belanda) untuk semua
golongan penduduk, termasuk untuk golongan bumiputra, yang dikenal
dengan unifikasi hukum. Karena dirasa kebijakan yang diterapkan
dianggap tidak bisa untuk menghentikan hukum Islam. Maka teori
receptie in complexu digagalkan dan diganti dengan teori receptie yang
19
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia dari Otoriter
Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), cet. 2, h. 51. 20
http://alamatsejarah.blogspot.co.id/2015/02/sejarah-singkat-peradilan-agama-di.html,
diakses pada tanggal 1 Desember 2016, pukul 11.54 WIB. 21
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 8.
14
dipelajari oleh Snouck Hurgonje (1857-1936). Menurutnya yang berlaku
bagi orang Islam bukanl;ah Hukum Islam, melainkan hukum adat.22
Sejak lahirnya Staatsblad 1937 No. 116 Pasal 2a yang berlaku tanggal
1 April 1937, maka kompetensi peradilan agama menjadi terbatas dan
lebih sempit, sehingga hanya dalam bidang-bidang.
a) Perselisiahan antara suami isteri yang beragama Islam
b) Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara
orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantara Hakim
Islam.
c) Memberi putusan perceraian
d) Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya taklik talak
e) Perkara mahar, sudah termasuk mut‟ah
f) Perkara tentang keperluan kehidupan suami isteri yang wajib diadakan
oleh suami.23
Karena adanya pembatasan kewenangan pengadilan agama,
pemerintah Belandapun menghapus kedudukan pengadilan agama
sebagai penasihat Landraad, maka kedudukan penghulu sebagai Landraad
dihapus dan dianggap tidak perlu lagi. Pada akhirnya kedudukan
penghulu c.q. Ketua/Hakim pengadilan agama hanya sebagai juru sumpah
saja.24
Pada masa penjajahan Jepang, Pengadilan Agama dan Mahkamah
Islam Tinggi di Jawa tetap berlaku dan tetap dipertahankan, berdasarkan
peraturan peralihan Pasal 3 Undang-Undang Bala Tentara Jepang (Osamu
Saaire) Nomor 1 Tanggal 7 Maret 1942. Pengadilan agama dianggap
sama seperti lembaga yang lain seperti pada masa penjajahan Belanda.
Lembaga peradilan agama ini dimasukan dalam urusan Gunseikanbuyang
22
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 222-223. 23
Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia Sejarah Perkembangan Lembaga
dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, h. 6. 24
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem
Peradilan, h. 221.
15
merupakan Departemen Kehakiman Jepang.25
2. Peradilan Agama Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Ketika Indonesia merdeka, peradilan agama dimasukkan kedalam
Kementrian Kehakiman tetapi setelah pembentukan Kementrian Agama,
pengadilan agama dipindahkan ke Departemen Agama dengan penetapan
Pemerintah Nomor 5 Tanggal 25 Maret 1946.26
Kemudian langkah-langkah yang diambil pemerintah diantaranya:27
a. Mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatn Nikah,
Talak dan Rujuk menggantikannya ordonasi dahulu, walaupun hanya
berlaku di Jawa dan Madura.
b. Mengeluarkan penetapan Menteri Agama No. 6 Tahun 1947 Tentang
Penetapan Formasi Pengadilan Agama Terpisah dari Penghulu
Kabupaten, dengan kata lain pemisahan tugas antara penghulu
kabupaten sebagai Kepala Pegawai Pencatat Nikah dan urusan
kepenghulan lainnya, dengan Hakim sebagai Ketua Pengadilan
Agama. Hal ini dilakukan setelah seluruh penghulu dan pegawainya
sampai tingkat kecamatan diangkat pegawai negeri.
c. Menjadikan 13 buah buku rujukan sebagai pedoman hakim agama
dalam mengadili perkara, yaitu; Al-Bajuri, Fatkhul Mu‟in, Syarkawi,
Alattahir, Qulyubi Mahali, Fatkhul Wahab dan syarahnya Tuhfah,
Tagribul Mustagh, Qarwanin Syah‟ah Lil-Sayyid bin Yahya,
Qawaninus Syari‟ah lis Sayyid sadaqah dahlan, Syamsuh fil Faraid,
Bughyatul Mustarssyidin, Al Fiqh „Alaa Maazahibil Arba‟ah, dan
Mughnil Muhtaj.
Diluar Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan dikenal dengan
berbagai macam lembaga Peradilan Agama, tetapi lembaga tersebut
25
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem
Peradilan, h. 212. 26 http://alamatsejarah.blogspot.co.id/205/02/sejarah-singkat-peradilan-agama-di.html,
diakses pada tanggal 1 Desember 2016, pukul 11.45 WIB. 27
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, h. 242-243.
16
merupakan bagian dari Peradilan Adat dan Swapraja.28
Pertama,
dibeberapa daerah Sumatera sebagai hasil revolusi kemerdekaan,
semenjak 1 Agustus 1946 terbentuk Mahkamah Syar‟iyyah di daerah
Aceh Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung.
Kedua, daerah daerah lain seperti Kalimantan Barat dan Timur masing-
masingdengan Mahkamah Balai Agama dan Majelis Agama Islamnya, di
Sulawesi Nusa Tenggara dan Maluku, atas dasar pelestarian peradilan
agamanya berdasarkan peraturan swapraja dan peraturan adat meskipun
atas kuasa setempat termasuk Kerapatan Qadhi di Kalimantan Selatan.29
Kewenangan pengadilan agama berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1957 yaitu: pertama, mengadili perkara dari suami isteri
yang beragama Islam apabila timbul sengketa dalam rumah tangganya,
kedua, menyelesaikan perkara dalam bidang nikah, talak, rujuk, fasakh
dan syiqaq. Ketiga, menetapkan syarat taklik talak yang diperjanjikan
telah terwujud karena danya gugatan dari pihak isteri. Keempat,
mengadili perkara sedekah serta perkara peselisihan dalam mengelola
baitulmal. Ketentuan ini juga berlaku bagi Pengadilan Tingkat Banding.30
Kemudian lahirlah Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama yang disahkan pada tanggal 9 Desember 1989.
Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan peristiwa
penting, sebab dengan disahkannya undang-undang tersebut semakin
mantaplah kedudukan peradilan agama sebagai salah satu badan
pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dalam menegakkan hukum
Islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam yang mengenai
perkara-perkara perdata bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf, dan sedekah.31
Pada era reformasi, muncullah tuntutan dan dukungan dari Umat
28
Zaini Ahmad Noeh, Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: PT, Intermasa, 1980),
h.190. 29
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, h. 244-245. 30
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem
Peradilan,h. 215-216. 31
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam,h. 261.
17
Islam Indonesia untuk memasukan masalah ekonomi syariah kedalam
kewenangan peradilan agama. Tuntutan ini juga hadir karena
berkembangnya sistem ekonomi syariah di Indonesia yang diatur dalam
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.32
Kemudian setelah lahirnya UU
No. 3 Tahun 2006, kewenangan peradilan agama diperluas
kewenangannya. Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara orang-orang
yang beragam Islam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, sedekah dan ekonomi syari‟ah.33
C. Kewenangan Peradilan Agama
Secara bahasa, nama lain dari kewenangan adalah kompetensi yang
berarti “kewenangan (kekuasaan)”, untuk menentukan (memutuskan)
sesuatu.34
Berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan
Hukum Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal yaitu: tentang
kewenangan absolut (absolut competentie) dan kewenangan relatif (relative
competentie), sekaligus dibicarakan pula didalamnya tentang tempat
mengajukan gugatan atau permohonan serta jenis perkara yang menjadi
kewenangan pengadilan. 35
Kewenangan atau kompetensi peradilan agama diatur dalam Pasal 49
sampai Pasal 53 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Kewenangan tersebut terdiri atas kewenangan absolut dan kewenangan
relatif.36
32
Didi Kusnadi, Bantuan Hukum dalam Hukum Islam Hubungannya dengan Undanng-
Undang Advokat dan Penegak Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), h.
113. 33
Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama. 34
Tim Penyusun Pusat Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 743. 35
Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2012), h. 202. 36
Sulaikun Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006), cet. 2, h. 103.
18
1. Kewenangan Absolut Peradilan Agama
Kewenangan absolut(Absolute Competensi)yaitu kewenangan yang
menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya
perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh pengadilan
agama.37
Ruang lingkup kewenangan absolut peradilan agama adalah untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonimi syari‟ah
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.38
Sehingga apabila dalam
perkara-perkara tersebut dilakukan oleh orang tidak beragama Islam dan
tidak dengan landasan Hukum Islam, perkara tersebut secara absolut tidak
menjadi kewenangan peradilan agama, tetapi menjadi kewenangan
peradilan umum.39
Dari luasnya kewenangan peradilan agama saat ini, yang meliputi juga
perkara bidang ekonomi syari‟ah yang berarti juga mengalami perluasan
terhadap pengertian asas personalitas keislaman, hal tersebut telah
diantisipasi dalam bab penjelasan dari UUNo. 3 Tahun 2006 pada Pasal 1
angka 37 tentang Perubahan Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 yang
menyebutkan sebagai berikut.
“Yang dimaksud dengan: antara orang-orang yang beragama islam
“adalah orang yang termasuk orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukan diri dengan sukarela kepada hukum islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesaui
dengan ketentuan pasal ini”.
Dengan uraian di atas dapat disebutkan bahwa kewenangan absolut
peradilan meliputi bidang-bidang perdata tertentu seperti yang tercantum
37
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2004), cet. 2, h. 119. 38
Pasal 49 ayat 1 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama. 39
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, h. 117.
19
dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 dan berdasarkan
diatas asas personalitas keislaman mengalami perluasan. Dengan kata
lain, bidang-bidang Hukum Keluarga saja dari orang-orang yang
beragama Islam.40
Bahwa dalam kewenangan absolut peradilan agama
adalah sebagai berikut:
a) Kewenangan mengadili perkara bidang perkawinan
Kekuasaan absolut pengadilan agama diatur dalam Pasal 49 UU
No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama yang pada pokoknya adalah pada bidang-
bidang sebagai berikut:41
Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur
berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku
yang dilakukan menurut syari‟ah, antara lain: (a) izin beristri lebih
dari seorang;(b) izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang
belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali
atau keluarga dalam gars lurus ada perbedaan pendapat; (c) dispensasi
nikah (d) pencegahan perkawinan; (e) penolakan perkawinan oleh
Pegawai Pencatat nikah; (f) pembatalan nikah; (g) gugatan kelalaian
atas kewajiban suami atau istri; (h) perceraian karena talak; (i)
gugatan perceraian; (j) penyelesaian harta bersama: (k) penguasaan
anak-anak; (l) ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan
bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
memenuhinya; (m) penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan
oleh suami kepada bekas istri atau pennetuan suatu kewajiban bagi
bekas istri; (n) putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; (o)
putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; (p) pencabutan
kekuasaan wali; (q)penunjukan orang lain sebagai wali oleh
pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; (r) menunjuk
seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
40
Sulaikun Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 106 41
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 3 ayat 2.
20
(delapan belas ) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal
tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya; (s) pembebanan
kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaanya; (t)
penetapan asal usul seorang anak; (u) putusan tentang hal penolakan
pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur; (v)
pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan
yang lain. Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal
memberikan kewenangan peradilan agama untuk memeriksa perkara
perkawinan, yaitu: (w) penetapan Wali Adlal; (x) perselisihan
penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.42
b) Kewenangan mengadili perkara bidang wakaf, zakat, infak dan
shadaqah
Mengenai wakaf, sejak diterapkannya PP No. 28 tahun 1977
masalah wakaf merupakan wewenang pengadilan agama dan setelah
berlakunya KHI buku ke III yang berisi mengenai wakaf. Pasal 226
KHI menegaskan bahwa penyelesaian perselisihan sepanjang yang
menyangkut persoalan benda wakaf dan nadzir diajukan kepada
pengadilan agama setempat. Begitu pula dengan zakat, infak dan
sedekah. Peradilan agama juga berwenang menyelesaikan masalah
yang berkenaan dengan penyelenggaraan zakat infak dan sedekah.43
c) Kewenangan mengadili bidang ekonomi syariah
Ekonomi syariah adalah perubahan atau kegiatan usaha yang
dilakukan menurut prinsip syariah meliputi: (a) bank syari‟ah; (b)
lembaga keuangan makro syari‟ah; (c) asuransi syari‟ah; (d)
reasuransi syariah (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syari‟ah dan
surat berharga menegah syari‟ah; (g) sekuritas syari‟ah; (h)
pembiayaan syari‟ah; (i) pegadian syari‟ah; (j) dana pensiun lembaga
42
Sulaikun Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 110. 43
Sulaikun Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 113.
21
keuangan syari‟ah; (k) bisnis syari‟ah.44
d) Kewenangan Pengadilan Agama Yang Lain
Pengadilan agama juga berwenang memberikan itsbat kesaksian
rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun Hijriah.45
Disamping
itu pengadilan agama dapat memberi nasihat mengenai perbedaan
penentuan arah kiblat dan penentaun awal waktu solat.46
2. Kewenangan Relatif Peradilan Agama
Adalah kewenangan mengadili suatu perkara yang menyangkut
wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat
tinggal pihak-pihak berperkara,. Ketentuan umum menetukan gugatan
diajukan kepada pengadilan yang mewilayah tempat tinggal tergugat
(Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (2) RBg. Dalam perkara
perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU
No. 7 Tahun 1989).47
Landasan untuk menentukan kewenangan relatif
pengadilan agama merujuk pada Pasal 118 HIR. Namun ada beberapa
pengecualian dalam Pasal 118 ayat 2,3, dan 4, yaitu:48
a. Apabila Tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukum yang meliputi kediaman salah seorang
dari tergugat.
b. Apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan
diajukan kepada pengadilan tempat tinggal penggugat.
c. Apabila gugatan mengenai harta benda yang tidak bergerak, maka
gugatan diajukan kepada peradilan di wilayah hukum dimana barang
tersebut berada.
44
Lihat Penjelasan Pasal 1 angka 37 Tentang Perubahan Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989. 45
Pasal 52A UU No. 3 tahun 2006, dalam penjelasannya dijelaskan bahwa pengadilan agama
diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan itsbat (penetapan) terhadap kesaksian orang yang
telah melihat atau menyaksikan hilal pada setiap memasuki awal Ramadhan dan bulan Syawal
tahun hijriah. 46
Sulaikun Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 115. 47
http://peradilandiindonesia.blogspot.co.id/2012/11/kewenangan-peradilan.html,diakses
pada 1 Desember 2016, pada pukul 14:21 WIB. 48
Sulaikun Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 104.
22
d. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka
gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang dipilih
dalam akta tersebut.
Penulis berpendapat tentang pasal pengecualian kewenangan
peradilan tersebut sangatlah penting untuk diketahui oleh hakim dan
orang yang berkepentingan, dikarenakan unsur dan substansi yang berada
di dalamnya berhubungan dengan para pihak yang berperkara,
Kewenangan absolut (Absolute Competensi) yaitu kewenangan yang
dimiliki oleh peradilan untuk dapat memutuskan apakah perkara tersebut
berhak diadili oleh peradilan agama atau peradilan umum atau
peradilannya lainnya, begitu pula dengan kewenangan relatif adalah
kewenangan yang dimiliki oleh peradilan agama untuk dapat
memutuskan apakah perkara tersebut masuk wilayah daerahnya atau
tidak. Pada dasarnya kewenangan tersebut adalah salah satu wujud
reformasi memperbaiki administrasi marwah peradilan agama, karenakan
dengan adanya tersebut peradilan agama mempunyai hak-hak dan
wewenang tersendiri dalam mengadili perkara.
Dengan adanya kewenangan tersebut di maksud untuk meletakkan
kedudukan masing-masing peradilan dan wewenangnya agar tidak salah
dalam mengadili perkara yang ada.
Khusus untuk permohonan cerai gugat, berdasarkan UU No. 7 Tahun
1989, jika domisili tergugat (suami) berbeda wilayah dengan domisili
pengugat (istri), maka gugatan tidak diajukan di pengadilan agama yang
mewilayahi domisili tergugat, melainkan di pengadilan agama yang
mewilayahi domisisli penggugat.49
49
Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
23
BAB III
KEBIJAKAN PERADILAN SATU ATAP
A. Urgensi Penyatuatapan Peradilan Agama
Penyatuatapan peradilan agama merupakan bentuk reformasi peradilan
agama yang sangat signifikan. Bentuk reformasi ini akan membawa
perubahan-perubahan dalam peradilan agama yang sangat besar di kemudian
hari. Reformasi itu sendiri secara umum berarti penambahan terhadap suatu
sistem yang telah ada pada suatu masa.50
Gerakan reformasi, selain berhasil merespon hal-hal yang terkait
dengan persoalan politik, juga telah berhasil merespon tuntutan atas
pembenahan hukum dan lembaga peradilan. Pembenahan hukum dan
peradilan menjadi penting, mengingat pada masa orde baru banyak terjadi
penyimpangan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan aparatur
hukum, sehingga akibatnya hukum tidak bisa tegak karena peradilannya
korup (Judicial Corruption). Karena itu, setelah gerakan reformasi berhasil
isu seputar independensi kekuasaan kehakiman menggema.51
Oleh karena itu muncul tuntutan dari banyak pihak agar kekuasaan
kehakiman harus bersifat independen. hal ini mengingat bahwa kekuasaan
lembaga peradilan yang merdeka sangat diperlukan (Indispensable) dan
merupakan hal yang harus ada (Conditio Sine Qua Non), karena selain
menunjukkan akan adanya jaminan terselenggaranya peradilan yang
independen guna menegakan hukum yang berintikan keadilan.52
Penerapan peradilan satu atap di Indoensia, dimaksudkan untuk
menjadikan sistem hukum sebagai subjek reformasi (Varible Independent).
Hal ini didasarkan pada hipotesis bahwa hukum sebagai sarana pengintegrasi,
50
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Reformasi diakses pada tanggal 25 November 2017 pukul
6:10 WIB. 51
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 292-293 52
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 293.
24
yang didaya gunakan sebagai alat untuk mempercepat evolusi (Accelerate
Evolution Vehicle) berupa transisi dari hukum yang bernuansa represif dan
otoriter ke arah kehidupan masyarakat yang demokratis tanpa hal-hal yang
penuh dengan nuansa akrobatik politik. Seperti istilah demokrasi terpimpin
atau demokrasi pancasila.53
Penyatuatapan badan peradilan yang bertujuan untuk menciptakan
independensi lembaga peradilan, pada awal perjuangannya senantiasa
berpulang pada gagasan amandemen UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Gagasan amanden UU No. 14 Tahun 1970
selalu dijadikan titik perjuangan para hakim pada setiap munas IKAHI
(Ikatan Hakim Indonesia). Pertimbangan usul tersebut adalah sebagian Pasal
dalam Undang-Undang itu merupakan replika dari UU No. 19 Tahun 1964
Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yakni membatasi
pelaksanaan kekuasan kehakiman yang independen. hal ini dijelaskan dalam
UU No. 19 tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman semua peradilan di seluruh wilayahrepublik indonesia adalah
peradilan negara yang menjalankan dan melaksanakan hukum yang
mempunyai fungsi pengayoman, sebagaimana UU No. 19 tahun 1964
hanyalah sebagai alat revolusi yang berdasarkan pancasila menuju
masyarakat sosialis Indonesia. Pasal 19 dalam Undang-Undang tersebut juga
dinyatakan bahwa “Demi Kepentingan revolusi, kehormatan negara dan
bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, presiden dapat
turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.54
Keinginan itu diperkuat dengan ketidakpuasan warga terhadap
kebijakan Departemen Agama yang diterapkan pada peradilan agama. Hal ini
antara lain, ketika pemerintah hendak memberikan tunjangan fungsional
kepada para hakim di Indonesia, ternyata pihak Departemen Agama tidak
menyetujui jika tunjangan hakim peradilan agama disamakan dengan hakim
peradilan umum, sehingga akhirnya tunjangan hakim peradilan agama hanya
53
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 294. 54
Luhut Pangribuan dan Paul S. Baut (Ed), Loekman Wiriadinata, Keindependenan
Kekuasaan Kehakiman, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, (Jakarta: 1989), h. 70.
25
diberikan sebesar 60% (enam puluh persen) saja dari hakim peradilan umum.
Hal ini terjadi pada tahun 1996.55
Mengenai penyatuatapan ini, Prof. Bustanul Arifin dan Prof. Ismail
Sunny berpendapat bahwa Peradilan Agama sampai kapan pun tidak akan
pernah beralih ke Mahkamah Agung. Sementara itu, menurut H. Taufiq56
,
peralihan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung hanya tinggal menunggu
waktu saja. Disamping penyatuatapan tersebut memang sangat tepat karena
penyatu atapan ini merupakan kehendak reformasi dalam rangka penguatan
lembaga yudikatif. Jika tidak demikian peradilan agama akan ketinggalan
dibanding peradilan lainnya, dan ini akan sangat merugikan umat Islam,
karena tidak memiliki lembaga peradilan yang reposentatif.57
Selain itu, UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman merupakan Undang-Undang yang menganut sistem dua atap atau
(double room system). Masuknya pihak eksekutif dalam kekuasaan
kehakiman disinyalir sebagai salah satu sebab mengapa kekuasan kehakiman
di negeri ini tidak independen. Karena itu, kompleksitas permasalahan di
seputar sektor peradilan diawal reformasi adalah berkaitan dengan format
yuridis formal pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif.
Hal yang penting dilakukan adalah berkaitan dengan penguatan kekuasaan
kehakiman dalamperspektif kelembagaan dan teknis adminitrasi peradilan.
Namun, seiring dengan adanya amandemen Undang-Undang dasar
1945 yang menyebutkan bahwa pemegang kekuasaan kehakiman terdapat
Mahkamah Konstitusi selain Mahkamah Agung, maka UU No.14 Tahun
1970 mengalami perubahan untuk di sesuaikan dengan undang-undang dasar
1945 menjadi UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang ini juga menganut sistem satu atap (one room system),
sehingga tetaplah Mahkamah Agung yang berwenang melakukan pembinaan
55
Malik Ibrahim, Peradilan Satu Atap (THE ONE ROOF SYSTEM) Di Indonesia, Asy-
Syir’ah, no.2 (Desember 2013), h. 655. 56
M. Taufiq adalah Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. 57
Malik Ibrahim, Peradilan Satu Atap (THE ONE ROOF SYSTEM) Di Indonesia, Asy-
Syir’ah, no.2 (Desember 2013), h. 656.
26
secara teknis yustisial, adminitratif, organisasi, dan finansial terhadap empat
lingkungan peradilan yang ada di bawahnya.
Secara resmi, baru mulai Rabu, tanggal 30 Juni 2004 peradilan agama
yang sebelumnya di bawah Kementrian Agama dialihkan ke Mahkamah
Agung. Akan tetapi mengingat sejarah perkembangan peradilan agama yang
spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan
peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat
Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). 58
Dengan adanya pemidahan kewenangan bidang organisasi, adminitrasi,
dan finansial lembaga peradilan dari eksekutif kepada yudikatif berdasarkan
UU No. 4 Tahun 2004, maka pembinaan bidang teknis yustisial dan non
yustisial lembaga peradilan telah berada satu atap di bawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Pemindahan kewenangan di bidang organisasi adalah
meliputi kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, dan struktur orgasisasi pada
semua badan peradilan. Adapun yang dimaksud dengan pemindahan
kewenangan di bidang adminitrasi meliputi kepegawaian, kekayaan negara,
keuangan, arsip, dan dokumen, termasuk finansial dari masing-masing
instansi/departemen, beralih satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung.
Setelah hampir 8 tahun dari proses penyatuatapan dari badan peradilan
tersebut, sudah tidak ada lagi lembaga peradilan yang berada di bawah
kekuasaan eksekutif, melainkan semuanya sudah berada di bawah Mahkamah
Agung termasuk peradilan agama. Hal ini mengingat bahwa kebijakan atap
tunggal atau one room system tersebut adalah untuk menciptakan
independensi kekuasaan kehakiman (yudikatif) berangkat dari pada
pemisahan kekuasan (Montes Quieu). bahwa setiap percampuran (disatu
tangan) antar legislatif, eksekutif dan yudikatif (semua atau dua diantara tiga),
niscaya akan melahirkan kekuasaan yang sewenang-wenang. Karena itu,
penyatuatapan dijadikan momentum awal mereformasi kekuasan kehakiman
58
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008) , h. 292-293.
27
berikut badan-badan peradilan yang ada di bawahnya.59
Meskipun demikian, sistem peradilan satu atap adalah suatu kebijakan
yang potensial menimbulkan implikasi, baik yang diharapkan maupun yang
tidak diharapkan. Implikasi yang perlu di antisipasi dengan adanya sistem ini
antara lain adalah60
: 1) ditinjau dari ajaran trias politika, pemisahaan
kekuasan kehakiman dari kekuasaan legislatif dan eksekutif menjadi lebih
murni, dengan demikian hubungan check dan balancemenjadi terbatas pada
pengangkatan hakim Agung; 2) cakupan pertanggung jawaban kekuasaan
kehakiman, ia selain harus bertanggungjawab secara teknis yustisial juga
secara administratif. Padahal di ketahui bahwa terdapat tumpukan perkara di
Mahkamah Agung yang jumlahnya ribuan, belum lagi beban adminitratif
sebagai akibat langsung dari penyatuatapan tersebut ; 3) ada semacam
kekhawatiran sistem satu atap justru akan melahirkan kesewenang-wenangan
pengadilan atau hakim, karena dengan satu atap tidak ada lagi lembaga lain
yang mengwasi prilaku hakim; dan 4) dengan penyatuatapan di harapkan
pengawasan akan lebih mudah dan efisien. Sistem satu atap akan lebih baik,
ketika di iringi oleh keberadaan komisi yudisial.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui suratnya Nomor
B828/MUI/III/1999 telah menyampaikan pendirian para ulama mengenai
RUU pemerintahan daerah dan konsep satu atap Mahkamah Agung.
Penyampaian pendirian MUI Khusus terhadap konsep satu atap ini
dilatarbelakangi oleh rasa tanggungjawab terhadap kepentingan ketertiban
hukum pada umumnya dan kepentingan badan. Peradilan agama pada
khususnya MUI berpendapat, bahwa jika peradilan agama dilepaskan dan
Depatemen Agama akan merusak citra peradilan agama di mata hati umat
Islam karena hukum Islam yang menjadi kewenangan peradilan agama tidak
akan hidup dan berwibawa apabila tidak ditopang oleh para ulama. Image
utama tercermin pula pada Departemen Agama, seperti memang
59
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 292-293. 60
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 296.
28
dimaksudkan para pendiri negara Republik Indonesia (RI).61
B. Upaya Departemen Agama Untuk Menyatuatapkan Peradilan Agama
Dalam rangka menindaklanjuti keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai penyatuatapan peradilan agama di bawah Mahkamah Agung.
Departemen Agama menyiapkan langkah-langkah guna memperlancar proses
tersebut.62
Langkah yang dilakukan adalah tindakan hukum, yaitu Menteri Agama
menerbitkan surat keputusan No. 33 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Tim
Penyiapan dan Penyelesaian Pemindahan Pegawai dan Asset Peradilan Agama
ke dalam Lingkungan Mahkamah Agung Tertanggal 11 Februari 2004.
Surat keputusan Menteri Agama No.33 Tahun 2004 terdiri atas 3
bagian: 1) pertimbangan sosiologis 2) pertimbangan Yuridis 3) substansi
keputusan. Pertimbangan sosiologisnya terdiri atas empat pernyataan: 1)
bahwa dalam rangka menikdaklanjuti RUU tentang kekuasaan kehakiman
yang telah disahkan oleh rapat Paripurna DPR-RI tanggal 18 Desember 2003,
perlu disiapkan proses pemindahan pegawai dan aset peradilan agama
kedalam lingkungan Mahkamah Agung. 2) bahwa untuk mempersiapkan dan
menyelesaikan proses pemindahan pegawai dan asset peradilan agama
kedalam lingkungan Mahkamah Agung, dipandang perlu membentuk tim
pelaksana. 3) bahwa mereka yang namanya tersebut dalam lampiran
keputusan ini dipandang mampu untuk melaksanakan tugas tim. 4) bahwa
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, perlu ditetapkan keputusan
Menteri Agama tentang pembentukan tim penyiapan dan penyelesaian
pemindahan pegawai dan asset peradilan agama kedalam lingkungan
Mahkamah Agung.63
Pertimbangan yuridisnya terdiri atas empat butir : 1) UU No. 35 Tahun
61
Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan
Agama, (Jakarta: 2011), h.201. 62
Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan
Agama, (Jakarta: 2011), h. 151. 63
Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan
Agama, (Jakarta: 2011), h. 152.
29
2002 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 2)
Keputusan Presiden No. 102 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen sebagaimana
telah diubah dengan keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2002. 3) Keputusan
Presiden Nomor 109 Tahun 2001 Tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I
Departemen sebagaimana telah diubah dengan keputusan Presiden Nomor 47
Tahun 2002. Dan 4) Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 Tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata kerja
Departemen Agama.
Substansi keputusannya terdiri atas empat bagian: 1) membentuk tim
penyiapan dan penyelesaian pemindahan pegawai dan asset peradilan agama
ke dalam lingkungan Mahkamah Agung yang selanjutnya disebut tim
pelaksana dengan susunan personal sebagaimana tersebut dalam lampiran
keputusan ini: 2) tugas-tugas tim pelaksana adalah: a) mempersiapkan
perangkat hukum sebagai dasar pemindahan pegawai dan asset peradilan
agama ke dalam lingkungan Mahkamah Agung. b) mendata pegawai dan asset
peradilan agama yang akan dipindahkan kedalam lingkungan Mahkamah
Agung. c) menyelesaikan pemindahan pegawai dan asset peradilan agama ke
dalam lingkungan Mahkamah Agung sesuai peraturan perundang-undangan.
d) mempersiapkan organisasi pengganti yang bertugas di bidang
pengembangan syri’at Islam. e) melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
Dan f) melaporkan pelaksanaan tugas tim kepada Menteri Agama.64
C. Sikap Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Se-Indonesia dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Terhadap Konsep Penyatuatapan Peradilan
Agama di Indonesia
Pernyataan sikap ketua-ketua pengadilan tinggi agama yang berjumlah
23 (dua puluh tiga) orang ditujukan kepada Ketua DPR RI dan Menteri
Agama RI yang diatasnamai oleh HM Yusuf dan H. Harun Rasyidi dengan
64
Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI, Proses Penyatuatapan Peradilan
Agama, (Jakarta: 2011), h. 152-153.
30
menyampaikan empat butir tanggapan mengenai rencana penyatuatapan
Peradilan Agama.
Empat butir tanggapan dimaksud adalah: 1) ketua-ketua PTA
menginginkan dan menghendaki bahwa pembinaan dan pengawasan badan-
badan di semua lingkungan peradilan termasuk peradilan agama berada di
bawah Mahkamah Agung untuk menjamin kebebasan dan kemandirian
kekuasaan kehakiman, pembinaan organisasi, administrasi dan finansial. 2)
perlu diprogramkan dengan segera dengan peningkatan kelembagaan yang
membina peradilan agama dari sebuah direktorat menjadi direktorat jenderal
atau pejabat setingkat eselon 1. 3) segera ditingkatkan anggaran untuk
meningkatkan sarana dan prasarana peradilan agama sehingga sejajar dengan
lingkungan peradilan yang lain atau setidak-tidaknya sejajar dengan instansi-
instansi Departemen Agama yang lain. Dan 4) perlu dipikirkan bahwa dalam
upaya peningkatan kedudukan hakim sebagai pejabat negara tidak mengurangi
kesejajaran dan kesetaraan hakim peradilan agama dengan hakim lingkungan
peradilan yang lain.65
Sikap ketua-ketua Pengadilan Tinggi Agama se-Indonesia terlihat
memiliki dua dampak ganda sebagai daya tawar: tuntutan pertama, mereka
menghendaki agar peradilan agama berada di bawah Mahkamah Agung guna
menjamin kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman, pembinaan
organisasi, administrasi, dan finansialnya. Akan tetapi, jika Departemen
Agama bersikeras untuk memepertahankan peradilan agama berada di bawah
pembinaannya, maka tuntutan yang kedua yang dimohon, yaitu
keberadaannya ditingkatkan dari sebuah direktorat menjadi direktorat jenderal.
Di samping itu, mereka juga menghendaki kesetaraan eksistensi hakim dalam
semua lingkungan peradilan termasuk hakim di peradilan agama.66
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat telah mengirim surat resmi yang
ditujukan kepada Presiden RI (BJ Habibie) yang ditandatangani oleh KH. Ali
65
Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan
Agama, (Jakarta: 2011), h. 122. 66
Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan
Agama, (Jakarta: 2011), h. 123.
31
Yafie (Ketua Umum) tertanggal 31 Mei 1999 Tentang Tanggapan MUI
Terhadap Konsep Satu Atap MARI. Dengan surat tersebut MUI
menyampaikan saran dan pokok-pokok pikiran kepada presiden mengenai
konsep satu atap Mahkamah Agung RI yang tergambar dalam draft akademis
kemandirian kekuasaan kehakiman yang disusun oleh tim terpadu yang di
ketahui oleh Menko Wasbangpan, yang berisi: MUI dan pimpinan ormas-
ormas Islam menyampaikan permohonan agar mengenai “Peradilan Agama”
diberikan ketentuan khusus dan tidak dimasukkan dalam rencana sistem satu
atap tersebut melainkan tetap keberadaanya yang telah berjalan dengan baik
seperti sekarang ini, permohonan tersebut kami ajukan atas pertimbangan : a)
peradilan agama adalah peradilan spesifik (khusus) yang telah berjalan sejak
Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staadblad no 152
tahun 1882 yang kemudian di ubah dengan Staadblad No.116 Tahun 1937
yang menjadi landasan formal berdirinya peradilan agama yang menjalankan
fungsi peradilan khusus tersebut; b) kekhususan peradilan agama adalah
bahwa materi dan proses acaranya berdasarkan hukum Islam yang bersumber
kepada Qur’an dan Sunah. Hukum Islam disini merupakan bagian ibadah yang
tidak hanya bersifat profan (dunia) tetapi juga yang di yakini bersifat
transendental (Ukhrowi). Itulah sebabnya, setiap keputusan peradilan agama,
baik tingkat pertama, banding maupun kasasi, selalu di bawah asma Allah
SWT, dengan Bismillahirahmanirrahim : c) fungsi peradilan agama telah
teruji kemandiriannya. Selama berabad-abad sejak hindia belanda hingga
sekarang dan tidak ada permasalahan sehubungan dengan keterkaitan badan
peradilan (judikatif) dan depertemen teknis (eksekutif) yang menyangkut
urusan organisasi, administrasi dan keuangan hakim-hakim agama; d) Ulama
dan Depertemen Agama yang juga merupakan personifikasi ulama di
Indonesia selalu mengawal pelaksanaan agama baik materi maupun proses
acaranya agar tidak menyimpang dari sumber utamanya yaitu Qur’an dan
Sunah dan dari segi pengawasannya, depertemen agama merupakan mitra
kerja Mahkamah Agung RI dalam menjalankan fungsi “check and
balance“terhadap peradilan agama ; e) mengenai doktrin kemandirian hakim
32
agama, Islam mempunyai yurisprudensi yang kuat dan sangat historis salah
satunya di directive dari Khalifah Umar Bin Khattab yang memuat dalam
suratnya kepada Abu Musa Al Asy’ari, Qadhi di kufah pada abad ketujuh
masehi. Prinsi-prinsip kemandirian hakim yang termaktub dalam surat
tersebut baru pada abad ke-17 di terapkan di Inggris yang timbul akibat kasus
pertentangan hakim agung Sir Edward Coke dengan King James I ; f) Ulama
dan Departemen Agama sesuai dengan fungsi dengan tugas yang melekat pada
dirinya selau melakukan pembinaan, pengetahuan dan evaluasi terhadap
hukum Islam di Indonesia. Pada tahun 1991 misalnya telah tersusun
Kompilasi Hukum islam, yang tiada lain adalah kerja keras dan pengabdian
para Ulama ; g) berdasarkan hal hal tersebut, MUI dan pimpinan ormas-ormas
Islam memohon kepada Presiden agar peradilan agama di berikan ketentuan
khusus dan di kecualikan dari konsep “Satu Atap Mahkamah Agung”.67
Aspirasi MUI tersebut mendapat perhatian serius dari Menteri Agama
RI sehingga Menteri Agama RI mengirimkan surat kepada DPR RI dengan
surat bernomor MA/488/2003 agar DPR RI mempertimbangkan usulan dari
MUI dalam pembahasan RUU Kekuasaan Kehakiman. Namun, fraksi-fraksi di
DPR RI bersikeras untuk menyatuatapkan lembaga peradilan di bawah
Mahkamah Agung RI dalam upaya reformasi peradilan.
Oleh kerana terjadi perbedaan pendapat dan keinginan antara fraksi-
fraksi di satu pihak dengan pemerintah dalam hal ini departemen agama di
pihak lain, maka akhirnya disepakati untuk dilakukan lobi. Al hasil forum lobi
menyepakati pengalihan badan-badan peradilan ke Mahkamah Agung dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan umum
dan badan peradilan PTUN ke Mahkamah Agung dilakukan selambat-
lambatnya tanggal 31 Maret 2004.
2. Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan agama
dan peradilan militer ke Mahkamah Agung dilakukan selmbat-lambatnya
67
Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan
Agama, (Jakarta: 2011), h. 119-121.
33
tanggal 30 Juni 2004.
3. Pengalihan tersebut ditetapkan dengan keputusan Presiden yang paling
lambat harus terbit 14 hari sejak usulan rancangan keputusan Presiden
diajukan oleh Menteri yang bersangkutan.
4. Sejak pengalihan tersebut, pegawai-pegawai pada lingkungan Ditjen
BADILUMTUN, pegawai-pegawai Direktorat peradilan agama, peradilan
militer termasuk pegawai-pegawai pada pengadilan tingkat pertama dan
tingkat banding menjadi pegawai pada Direktorat Jenderal masing-masing
lingkungan peradilan di Mahkamah Agung.
5. Semua pejabat struktural pada instansi-instansi tersebut pada huruf d
diatas tetap memegang jabatan masing-masing.
6. Semua aset yang dimiliki oleh instansi-instansi tersebut pada huruf d
diatas menjadi milik atau dialihkan ke Mahkmah Agung.68
Selain lobi-lobi diatas MUI menginginkan agar kiranya
dipertimbangkan masuknya sebuah alinea tambahan pada Penjelasan Umum
pada UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi
sebagi berikut69
:
“Dengan berlakunya Undang-Undang ini, pembinaan badan peradilan
umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer dan badan peradilan
tata usaha negara berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat
sejarah perkembangan badan peradilan agama yang spesifiik dalam sistem
peradilan nasional, maka pembinaan terhadap badan peradilan agama
melakukan dengan memeperhatikan saran dan pendapat dari Menteri Agama
dan Majelis Ulama Indonesia”.
Pada akhirnya UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehkiman
diganti dengan UU No 48 Tahun 2009 yang pada alinea keempat dalam
penjelasan umum menjadi dihilangkan.
68
Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan
Agama, (Jakarta: 2011), h. 229. 69
Alinea Keempat Penjelasan Umum UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
34
BAB IV
PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
PRA DAN PASCA SATU ATAP
A. Perkembangan Peradilan Agama Pra Pemberlakuan Sistem Satu
Atap di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung
Peradilan agama, hadir sebelum kemerdekaan republik ini,
keberadaannya ditengah pusaran zaman, berdinamika dari masa ke masa.
Pada masa pemerintahan orde baru, peradilan agama masih berada dalam
bayang-bayang penguasa yang dianggap mengkerdilkan fungsi peradilan
agama melalui Departemen Agama. Diantara stagnan wewenang
pengadilan agama yaitu belum bisa secara langsung memutuskan perkara
(incrach) melainkan harus mendapatkan putusan peradilan umum
(executor for claring) untuk kasus-kasus tertentu.
Sepanjang ada umat Islam, sepanjang itu perlu peradilan agama ada,
meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana dan kewenangan yang
sangat terbatas. Karena itu, dalam dinamika perjalanan sejarah Indonesia,
eksistensi peradilan agama bukan sesuatu yang baru. Bahkan jauh sebelum
Indonesia merdeka yakni pada masa kerajaaan telah ada peradilan agama,
semua kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, mulai kerajaan Aceh di barat
sampai kerajaan Ternate di Timur telah menjalankan fungsi peradilan
agama meskipun dengan nama dan istilah yang berbeda. Pada saat itu,
yurisdiksi atau kompetensi peradilan agama tidak hanya terbatas pada
perkara keperdataan, tetapi juga perkara pidana.70
Peradilan agama pra satu atap mempunyai beberapa aspek
manajemen yang digunakan dalam menjalankan fungsi-fungsi untuk
menunjang penyelesaian suatu perkara yang ada pada peradilan agama.
Aspek-aspek tersebut meliputi:
70
Jaenal Arifin, Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013), h. 131.
35
1. Aspek Organisasi
Peradilan agama pra satu atap secara organisasi,
administrasi dan finansial dibina oleh Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama yang dipimpin oleh pejabat unit eselon 2. Secara
struktural, Direktorat ini di bawah Direktorat Jenderal Bimas Islam
dan Penyelenggaraan Haji (Dirjen BIPH). Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama memiliki 5 unit eselon 3, yaitu: (1) Kepala
Subdit Organisasi dan Tata laksana Peradilan Agama (2) Kepala
Subdit Sarana Peradilan Agama (3) Kepala Subdit Ketenaga
kerjaan Peradilan Agama (4) Kepala Subdit Hukum dan
Perundang-Undangan Peradilan Agama (5) Kepala Subdit Hisab
Rukyat dan Sumpah Keagamaan. Setiap Subdit masing-masing
mempunyai 3 seksi (eselon 4). Ketata usahan direktorat dilakukan
oleh sebuah Sub Bagian Tata Usaha (eselon 4).
Hal ini menunjukkan bahwa unit kerja pembina badan
peradilan agama se-Indonesia pra satu atap hanyalah terdiri dari 1
Direktur (eselon 2), 5 kepala Subdit (eselon 3) dan 16 kepala seksi
(eselon 4). Sedangkan keadaan peradilan agama/mahkamah
syar’iyah pra satu atap, tercatat berjumlah 343 peradilan
agama/mahkamah syar’iyah tahun 2004 se-Indonesia. Jumlah
tersebut dirincikan dengan 52 kelas IA, 73 kelas IB dan kelas II
218.71
2. Aspek Administrasi
Dalam bidang adminisrasi pada waktu di bawah
departemen agama, tata peradilan kurang begitu efisien dan efektif,
karena berada di dua naungan (Kementerian Agama dan
Mahkamah Agung). Dalam hal laporan kerja peradilan agama.
yang berhubungan dengan organisasi, administrasi dan finansial
71
Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.
36
diajukan ke Kementrian Agama. Sedangkan laporan kerja yang
berkaitan dengan hukum diajukan ke Mahkamah Agung.
Pada awal tahun 2000, Ditjen Badilag (ketika itu Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama) mengembangkan aplikasi
administrasi perkara bernama SISDIPA (Sitem Informasi
Administrasi Perkara Peradilan Agama). Namun karena
keterbatasan anggaran, SISDIPA hanya diimplementasikan di
beberapa pengadilan agama seperti di PA Cimahi, PA Indramayu,
PA Kendal, PA Makasar, dan PA lainnya. Hasil implementasi
SISDIPA ini melahirkan berbagai masukan terhadap kelayakan
sistem ini yang kemudian melahirkan SIADPA (Sistem Informasi
Administrasi Perkara Peradilan Agama). Sebelum aplikasi ini
diimplementasikan secara nasional, SIADPA telah diterapkan di
Pengadilan Agama Kabupaten Malang dan beberapa pengadilan
agama lainnya.72
Keadaan perkara pada pengadilan agama tingkat
pertama perkara yang masuk ke pengadilan agama seluruh
Indonesia tahun 2004 sebanyak 165.266 perkara. Sisa perkara
tahun 2003 sebanyak 27.449 pekara, sehingga jumlah perkara yang
dicabut sebanyak 8.759 perkara, diputus sebanyak 154.331
perkara.73
3. Aspek Finansial
Dalam hal finansial, Peradilan Agama mendapatkan
anggara dari Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam. Sebelum satu
atap peradilan agama tidak mendapatkan penganggaran secara
proporsional. Peradilan agama mendapat bagian yang sangat kecil.
Sebagai gambaran anggaran untuk peradilan agama seluruh
Indonesia termasuk Direktorat peradilan agama hanya 3,5 Miliar
Rupiah . Itu mungkin jauh lebih kecil dari Kasubsie di lingkungan
72
Muslim dan Edi Huadita, Wahyu Widiana Bekerja Tiada Henti Membangun Peradilan
Agama, Mb design, Jakarta: 2012, h., 92-93. 73
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Profil Peradilan Agama Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama, (Jakarta: MA-RI, 2005), h. 14.
37
Ditjen Binbaga Islam (Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam) saat itu. Itulah realitasnya. Padahal
telah melakukan pengajuan ke BAPPENAS, namun hasilnya tetap
relatif kecil. Anggaran sebesar 3,5 Miliar digunakan 1 Miliar
Rupiah untuk Direktorat, 2,5 Miliar Rupiah dibagi ke 25 PTA se-
Indonesia. Jadi sekitar 100 Juta Rupiah per satu PTA.74
Keadaan anggaran seperti ini jelas sangatlah minim jika
dilihat dari jumlah pengadilan agama yang saat itu sudah mencapai
343 buah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu perkembangan
peradilan agama pra satu atap dilakukan secara bergiliran dengan
jumlah anggaran yang sangat terbatas. Jika ini berjalan terus, maka
perkembangan itu akan sangat terlambat.
Setelah dilakukan reformasi birokrasi baik organisasi,
adminitrasi dan finansial nampaknya mengalami sebuah tatanan
dan peraturan yang lebih elegant sehingga dapat memacu kinerja
dari semua sektor yang terkait, setelah mengalami reformasi yang
luar biasa Nampak dari berpindahnya naugan peradilan Agama
yang semula di bawah Departemen Agama dana Mahkamah Agung
mengalami reformasi berada di bawah Mahkamah Agung,
sehingga independensi peradilan Agama lebih terjaga sebagaimana
mestinya dan peningkatan sarana dan prasarana di wilayah
peradilan agama semakin lebih baik.
Salah satu peningkatan di wilayah peradilan Agama adalah
bertambahnya anggara biaya dari 3.5 Miliar Rupiah menjadi 4.5
Miliar Rupiah angka bertambahnya anggaran tersebut menjadi
salah satu pemicu perubahan birorkrasi dalam tubuh PA, dan
perubahan yang sangat signifikan di wilayah PA adalah keadaan
fisik dapat tertangani dengan baik dan menjadi lebih baik dari
74
Hadi Daeng, et.al, Mutiara Yang Tak Terlupakan Profil dan Pemikiran Tokoh
Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah
Agung Republik Indonesia, 2012), h. 40-41.
38
sebelumnya sehingga dapat memuaskan masyarakat yang
berperkara di wilayah peradilan Agama.
B. Perkembangan Peradilan Agama Pasca Pemberlakuan Sistem Satu
Atap di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung
Semenjak bergabungnya empat lingkungan peradilan di bawah satu
atap Mahkamah Agung (one roof) pada bulan Juni 2004, khususnya
lembaga peradilan agama mengalami kemajuan yang signifikan.
Mahkamah Agung bekerja keras meningkatkan lembaga peradilan agama
yang sebelumnya begitu memprihatinkan, baik aspek sarana dan prasarana
maupun sumber daya manusianya.
Setelah bernaung di bawah kekuasaan Mahkamah Agung,
pengadilan agama telah memiliki kewenangan mutlak (Absolute
Comptentie) sebagaimana layaknya lembaga peradilan lainnya. Selain itu
peradilan agama sebagaimana peradilan militer dan peradilan tata usaha
negara merupakan peradilan khusus yang berwenang menangani perkara-
perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu dan dalam sejak
berlakunya UU No. 35 Tahun 1999 jo UU No. 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang
Peradilan Satu Atap bahwa kedudukan peradilan agama adalah sejajar
dengan peradilan yang lain dan tidak perlu lagi pengukuhan putusan
pengadilan agama oleh pengadilan negeri. Jadi dapat peneliti katakan
bahwa pengadilan agama setelah adanya Undang-Undang satu atap
memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya.
Sehingga pengadilan agama dapat lebih independen, transparan dan
profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga
peradilan.75
Pelaksanaan peradilan satu atap dengan pengalihan organisasi,
administrasi, dan keuangan kekuasaan kehakiman ke Mahkmah Agung
75
Wawancara Pribadi Dengan Pak Bahrin Lubis Selaku Panitera Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta yang pernah menjadi Biro Perencanaan dan Organisasi Mahkamah Agung (2011-
2016), Pada 12 Januari 2017.
39
banyak yang meragukan tidak akan mengubah kinerja peradilan. Hal inilah
yang sering menjadi keraguan banyak kalangan baik masyarakat umum
maupun kalangan akademisi hukum. Hal ini tidaklah terjadi karena
Mahkamah Agung secara umum dan yang lebih khusus Peradilan agama
menunjukkan kinerja yang sangat baik di buktikan dengan beberapa
program yang di nilai sangat meningkat. Program reformasi birokrasi di
lingkungan Mahkamah Agung khusunya pada lembaga pengadilan agama,
sebagian pengadilan agama telah melakukan peningkatan disiplin kerja,
jam kerja tepat waktu, perkara mesti cepat diselesaikan oleh hakim dan
panitera, pengurangan biaya perkara, penarikan tunjangan pengamanan
perkara, mengapus praktek pungli, absen menggunakan mesin elektrik dan
sebagainya.
Upaya-upaya yang dilakukan melalui berbagai formulasi kebijakan
legislasi merupakan usaha untuk mengoptimalkan peran dan fungsi
peradilan agama. Sebagaimana dikemukakan oleh M. Yahya Harahap
bahwa tujuan pokok Undang-Undang Peradilan Agama ialah bermaksud
memurnikan sekaligus menyempurnakan fungsi dan susunan
organisasinya, agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan
kehakiman yang sebenarnya, wujudnya benar-benar sebagaimana layaknya
badan peradilan yang murni fungsinya dan lengkap susunan
kekuasaannnya. Sehingga tidak lagi memberi kesan seolah-olah peradilan
agama tidak lebih dari peradilan semu dan lumpuh yang sudah berjalan
ratusan tahun. Setelah satu atap keadaan peradilan agama diupayakan
menjadi peradilan yang mandiri dan kuat, sehingga tidak lagi hanya
menjadi peradilan semu dan lumpuh.76
Dengan meningkatkan pembinaan
organisasi administrasi dan finansial. Perkembangan peradilan agama
pasca satu atap secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
76
M. Yahya Harahap, Kedudukan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafindo,
Cet. II, 2003), h. 14.
40
1. Aspek Organisasi
Peradilan agama pasca satu atap dengan Mahkamah Agung,
secara organisasi, administrasi dan finansial dibina oleh
Direktorat/Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) yang dijabat
oleh pejabat unit eselon 1. Direktorat/jenderal ini membawahi 3
direktur (unit eselon 2), yaitu: (1) Direktur Pembinaan Tenaga Teknis
Peradilan Agama (2) Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan
Agama (3) Direktur Pranata dan Tatalaksana Perakara Perdata Agama.
Direktorat dibantu juga oleh Sekretaris Direktur Jenderal Badan
Peradilan Agama (eselon 2) yang masing-masing mempunyai 1 sub
bag yaitu: (1) Sub Bagian Tata Usaha eselon 3 (2) Sub Bagian Tata
Usaha eselon 3 (3) Sub Bagian Tata Usaha eselon 3. Hal ini dapat di
jelaskan lebih rinci sebagai berikut:
a. Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama yang
membawahi 4 unit eselon 3 yaitu, (1) Subdit Mutasi Hukum (2)
Subdit Mutasi Panitera dan Jurusita (3) Subdit Pengembangan
Tenaga Teknis Peradilan Agama (4) Subdit Data dan Evaluasi.
Setiap subdit masing-masing mempunyai 3 kepala seksi (eselon 4).
b. Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama yang terdiri dari
3 unit (eselon 3) yaitu, (1) Subdit Kasasi Agama (2) Sudit
Peninjauan Kembali Perdata Agama (3) Subdit Syari’ah. Di subdit
Kasasi Agama dan Sub Direktorat Peninjauan Kembali Perdata
Agama masing-masing mempunyai 2 kepala seksi (eslon 4),
sedangakan Subdit Syari’ah mempunyai 3 kepala seksi (eselon 4).
c. Direktur Pranata dan Tatalaksana Perkara Perdata Agama ada 3 unit
yaitu, (1) Subdit Tata Kelola (2) Subdit Bimbingan dan Monitoring
(3) Subdit Statistik dan Dokumentasi. Pada Subdit Tata Kelola dan
Subdit Bimbingan Monitoring masing-masing 3 kepala seksi
(eselon 4), sedangkan Subdit Statistik dan Dokumentasi ada 2
kepala (eselon 4).
41
Direktorat juga dibantu oleh Sekretaris direktorat jenderal
badan peradilan agama dilakukan oleh sebuah sub bagian tata usaha
eselon 2, dan dibawah ini ada 4 bagian eselon 3 yaitu, (1) bagian
perencanaan dan keuangan (2) bagian kepegawaian (3) bagian
organisasi dan tatalaksana (4) bagian umum. Dan di masing-masing
bagian mempunyab 3 kepala sub bagian eselon 4.77
Hal ini menunjukkan adanya perubahan pasca satu atap. Jika
sebelumnya terdiri dari 1 Direktur (eselon 2), 5 kepala Subdit (eselon
3) dan 16 kepala seksi (eselon 4) sedangkan pasca satu atap terdiri dari
3 direktur dan 1 sekretaris dirjen (eselon 2). Selain itu, pasca satu atap
terdapat pula sub bagian tatausaha pada setiap direktur sedangkan
sebelumnya disentralisasi di bawah direktorat jenderal. Kemudian total
terdapat 10 subdit di bawah direktur dan 4 bagian di bawah sekretaris
direktorat dijabat oleh eselon 3. Sebelumnya hanya terdapat 5 unit
subdit. Selanjutnya terdapat 28 seksi dan 11 sub bagian yang dijabat
oleh eselon 4 yang sebelumnya hanya terdapat 16 seksi.78
Selain itu tercatat 359 peradilan agama/mahkmah syar’iyah
pasca satu atap pada tahun 2017 se-Indonesia dengan rincian sebagai
berikut:
Tabel 1. Jumlah Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Se-
Indonesia Tahun 2017
Kelas Pengadilan
Agama
Mahkamah
Syar’iyah
Jumlah
1A 76 1 77
1B 113 4 117
II 150 15 165
Total keseluruhan 339 20 359
77
Keputusan Sekretaris MA /SEK/III/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretaris
MA. 78
Keputusan Sekretaris MA /SEK/III/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja sekretaris
MA.
42
Jumlah peradilan agama dari tahun ketahuan mengalami
peningkatan yang cukup pesat dan pada tahun 2017 peradilan agama
359 ditambah dengan 51 peradilan agama dan 3 mahkamah syar’iyah
yang baru. Yang baru itu semuanya adalah kelas II. Jadi, Jumlah
peradilan agama/mahkamah syar’iyah pasca satu atap tahun 2017
tercatat 416 pengadilan agama/mahkamah syar’iyah se-Indonesia.79
2. Aspek Administrasi
a. Manajemen Perkara
Pengadilan agama yang sejak tahun 2004 berada di bawah
Mahkamah Agung turut serta mereformasi agar selaras dengan
tujuan reformasi dalam tatanan hukum di Indonesia, salah satu
upaya itu adalah dengan pembaharuan administrasi. Terdapat dua
hal yang menjadi objek pembaruan dalam bidang administrasi yakni
dalam hal manajemen perkara dan berkaitan Teknonologi infromasi.
Tahun 2016 merupakan pertama di fase lima tahun kedua
dalam peta jalan, (road map) pembaruan peradilan 2010-2035. Pada
fase lima tahun kedua (2016-2035), fokus pembaruan di arahkan
pada peningkatan akses terhadap keadilan, dukungan terhadap
kebijakan refornmasi hukum, manajemen perkara berbasis eletronik,
pelayanan publik berbasis elektronik, dan simplifikasi administrasi
perkara cepat. Arah kebijakan tersebut dapat diketahui dari berbagai
regulasi yang di terbitkan oleh Mahkamah Agung, baik dalam
bentuk peraturan Mahkamah Agung (perma), Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA), surat keputusan ketua Mahkamah
Agung, Surat edaran panitera Mahkamah Agung RI ataupun
keputusan pejabat eselon I lainnya.80
Cetak biru pembaruan peradilan 2010-2035 telah
memberikan arahan untuk pembaruan fungsi teknis dan manajemen
79 Keputusan Presiden Republik Indonesai Nomor 13, 15, 16 Tahun 2016 Tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. 80
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-
RI, 2017), h.3.
43
perkara. Program pembaruan di bidang teknis dilaksanakan untuk
menjamin terwujudnya pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman
secara independen, efektif, dan berkeadilan. Bagi Mahkamah
Agung. Pembaruan di bidang teknis merupakan merevitalisasi
fungsinya sebagai pengadilan tertinggi dalam rangka menjaga
kesatuan hukum, sedangkan bagi peradilan di bawah Mahkamah
Agung, program pembaruan ini sebagai upaya meningkatkan akses
masyarakat terhadap keadilan. Untuk menjalankan pembaruan di
bidang teknis, Mahkamah Agung di berikan kewenangan oleh
undang-undang untuk membuat peraturan sebagai pelengkap guna
mengisi kekurangan atau kekosongan hokum sehingga
penyelenggaraan fungsi peradilan berjalan efektif.81
Pembaruan di bidang manajemen perkara dilaksanakan
untuk mewujudkan misi Mahkamah Agung dalam memberikan
pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan dan
meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan. Untuk
menjalankan pembaruan di bidang manajemen perkara, Undang-
Undang kekuasaan Kehakiman telah mewajibkan badan peradilan
untuk membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Pembaruan fungsi teknis dan manajemen perkara merupakan
dua aspek yang saling berhubungan sehingga tidak bias di pisahkan.
Hal ini karena program pembaruan yang dilakukan Mahkamah
Agung, selain menyentuh aspek teknis yudisial, yaitu substansi
putusan yang dapat dipertanggungjawabkan, juga meliputi
peningkatan pelayanan administrasi sebagai penunjang berjalannya
proses yang adil yang merupakan aspek manajemen perkara.
81
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-
RI, 2017), h.4.
44
Dalam sektor teknologi informasi, peradilan agama
merupakan pelopor dan implementasi berbagai inovasi teknologi
informasi di badan peradilan. Pengembangan dan implementasi
sistem manajemen perkara berbasis teknologi dan informasi yang
dikenal nama Sistem Informasi peradilan agama (SIADPA) sejak
awal 2000 an lalu. SIADPA telah dikembangkan menjadi SIADPA
Plus dengan kemampuan yang lebih baik dalam berjaring dengan
mengikuti standardisasi sistem Informasi penelusuran perkara
(SIPP) yang berlaku secara nasional.82
Ditjen Badilag telah mengembangkan dua sistem informasi
yang berkaitan dengan fungsinya di bidang pembinaan administrasi
perkara dan pembinaan tenaga teknis peradilan agama. Kedua
sistem informasi tersebut adalah Sistem Informasi Administrasi
Perkara Peradilan Agama (SIADPA), dan Sistem Informasi
Manajemen Kepegawaian (SIMPEG). Selain dari kedua sistem
informasi tersebut, untuk mendukung keterbukaan informasi dan
melakukan komunikasi serta konsolidasi dengan seluruh peradilan
agama di Indonesia, maka badilag membangun website.
Pembangunan wesitus ini kemudian diikuti oleh Mahkamah
Syar’iyah Aceh/Pengadilan Tinggi Agama Syar’iyah/Pengadilan
Agama Se-Indinesia.83
Menyadari pentingnya teknologi informasi sebagai
pendukung tata kelola administrasi, maka sejak sebelum
pelaksanaan satu atap peradilan agama di bawah Mahkamah Agung
tahun 2004, peradilan agama telah mencanangkan program-program
pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi. Pelaksanaan
program-program ini tampak lebih berhasil, setelah sistem satu atap
82
Dr. H. Amran Saudi, S.H., M.Hum., M.M., dan H. Soltoni Mohdally, S.H., M.H., Majalah
Peradilan Agama Potret Reformasi Birokrasi di Peradilan Agama, Edisi 12 Agustus 2017. h. 48-
49. 83
Muslim dan Edi Huadita, Wahyu Widiana Bekerja Tiada Henti Membangun Peradilan
Agama, Mb design, (Jakarta: 2012), h. 92.
45
berjalan. Pemanfaatan teknologi informasi di lingkungan peradilan
agama dilakukan mulai dari level sederhana untuk kegiatan sehari-
hari (back office), pengelola data, hingga pada tingkatan sistem
informasi manajemen.
Sehubungan dengan keterbukaan informasi tersebut, maka
telah dicanangkan 16 program unggulan dilingkungan pengadilan
tinggi agama yaitu 84
: 1) website domain go.id, 2) Sistem perkara
online 3) Informasi desk 4) SMS center perkara 5) Arsip perkara 6)
Touch screen perkara 7) Barcode perkara 8) SMS pengaduan 9)
Pengaduan online 10) Konsultasi online 11) Mesin penjawab telpon
otomatis 12)Mesin antrian sidang 13) TV media center 14) Wifi 15)
CCTV 16) Telekonfren.
Program yang telah dicanangkan di atas hampir 100 % telah
mencapai final di tahun belakangan, hal ini dibuktikan dengan
adanya akses informasi melalui internet dan beberapa hal lainnya,
hal ini tidak lain dalam rangka untuk mempemudah masyarakat
dalam melakukan akses perkara.
Keadaan perkara pada pengadilan pertama tingkat pertama
perkara yang masuk pengadilan agama seluruh Indonesia tahun
2016 sebanyak 503.794 perkara. Sisa perkara tahun 2015 sebanyak
88.824 perkara, sehingga beban penanganan perkara pada tahun
2016 berjumlah 592.618 perkara. Sedangkan perkara yang di putus
pengadilan agama tahun 2016 sebanyak 449.988. perkara. Jadi,
pada tahun 2016 telah mengalami peningkatan jumlah perkara pada
tingkat pertama yaitu: 3.962. 83385
. Jika dibandingkan dengan pra
satu atap maka jumlah perkara pada tingkat pertama semakin
mengalami peningkatan yang sangat tinggi, hal ini terjadi
dikarenakan semakin meningkatnya pelayanan yang ada di
84
http://foreverafter2014.blogspot.co.id/2014/06/implementasi-sistem-administrasi.html,
diakses pada tanggal 2 November 2017 pukul 14:58 WIB. 85
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-
RI, 2017), h. 85.
46
Pengadilan sehingga tingkat kepercayaan dan kesadaran hukum
masyarakat untuk menyelesaikan perkara di pengadilan semakin
tinggi.
Perdata agama mempunyai penilaian tersendiri dengan
laporan Mahkamah Agung tahun 2016 tentang kinerja
pemeliharaan perkara mendapatkan respon yang sangat positif dari
laporannya karena sudah sesuai target yang ingin dicapai. Dalam
laporannya perdata agama mendapatkan predikat pertama dalam
hal kinerja ditunjukkan dengan perkara masuk 945, jumlah beban
946, putusan dan sisa 0, laporan ini menunjukkan bahwa perdata
agama 100% terlaksana sebagaimana mestinya.
Laporan diatas tidak lain terlaksana dengan baik
dikarenakan reformasi pasca satu atap mempunyai dampak yang
sangat signifikan dalam suatu perkara perdata agama hal yang
sangat berpengaruh dalam laporan tersebut adalah dengan adanya
reformasi organisasi, administrasi, dan finansial. Sehingga
sangatlah menunjukkan hal yang sangat serius dalam kinerjanya
dan hal-hal yang lain juga mengikuti perkembangan tersebut.
b. Manajemen Kepegawaian
Data ketenagaan peradilan agama pra satu atap tahun 2004
seluruh Indonesia yaitu berjumlah 9.979 orang, yang terdiri dari
hakim sebanyak 2.635 orang, hakim tinggi sebanyak 260 orang,
panitera pengganti sebanyak 3.559 orang, jurusita/jurusita pengganti
sebanyak 1.041 orang, pejabat struktural sebanyak 1.139 orang, dan
staf/kepegawaian sebanyak 1.345 orang.86
Sedangkan Sumber Daya
Manusia lingkungan peradilan agama pada akhir tahun 2016
berjumlah 11.394 orang, yang terdiri dari tenaga teknis dan
sebanyak 8.577 orang dan tenaga non teknis sebanyak 2.817 orang.
86 Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Profil Peradilan Agama Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama, (Jakarta: MA-RI, 2005), h. 16.
47
Tenaga teknis terdiri dari hakim sebnyak 3.479 orang, tenaga
kepaniteraan sebanyak 3.576 orang, jurusita dan tenaga jurusita
pengganti sebanyak 1.522 orang.87
Pembinaan tenaga teknis peradlan agama yang diembankan
kepada ditjen badilag menuntut ketersediaan data dan informasi
kepegawaian yang akurat. Untuk itu ditjen badlag pada tahun 2006
membangun aplikasi manajemen kepegawain bernama SIMPEG.
Pada mulanya SIMPEG hanya diimplementasikan di 29 pengadilan
Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah se-Indonesia. PTA melahirkan
entri data terhadap pegawai pengadilan agama yang berada di
wilayah hukumnya. Selanjutnya, PTA melakukan posting data ke
ditjen badilag melalui e-mail. Kemudian secara bertahap SIMPEG
diimplementasikan di seluruh satuan satuan kerja pengaduan di
lingkungan peradilan agama.
Pada tahap berikutnya di pertengan tahun 2011, ditjen
badilag melakukan pengembangan terhadap aplikasi SIMPEG yang
semula berbasis dekstop menjadi berbasir web. Nama aplikasipun
berubag yang semula aplikasi SIMPEG, sekarang menjadi aplikasi
SIMPEG ONLINE. Kelebihan dari aplikasi ini adalah bisa diakses
via internet, proses pembuatan laporan (smart report) sangat mudah
karena tersedia filter data, tersedia aplikasi TPM dan NTU yang
dapat digunakan setiap saat seama berhubungan dengan koneksi
internet dan setiap pegawai dapat mengakses data SIMPEG
ONLINE sampai pada level terendah, yaitu mengakses data diri
sendiri.88
3. Aspek Finansial
Anggaran untuk pengadilan agama se-Indonesia baik untuk
belanja pegawai maupun belanja barang pada tahun 2005, hanya Rp
87
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-
RI, 2017), h. 15. 88
Muslim dan Edi Huadita, Wahyu Widiana Bekerja Tiada Henti Membangun Peradilan
Agama, Mb design, Jakarta, h. 97-98.
48
236.954.153.ooo.- (dua ratus tiga puluh enam miliar sembilan ratus
empat puluh juta seratus lima puluh tiga ribu rupiah). Besaran
anggaran tersebut bila dirata-ratakan untuk masing-masing pengadilan
agama yang sampai pada tahun 2006 berjumlah 344 lembaga, adalah
sebesar Rp 709.443.572,- (tujuh ratus sembilan juta empat ratus empat
puluh tiga juta lima ratus tujuh puluh dua ribu rupiah). Besaran
anggaran tersebut termasuk untuk belanja rutin pegawai (gaji) dan
belanja barang (proyek). Jadi bila dihitung, relatif kecil untuk
operasional pengadilan agama di luar anggaran untuk gaji rutin.
Era peradilan ini ditandai dengan keterbukaan dalam berbagai
bidang. Salah satu hal yang tidak bisa dielakkan adalah keterbukaan
dalam aspek finansial, akuntabilitas dalam bidang keuangan ini boleh
jadi menjadi tolak ukur keberhasilan pengadilan agama dalam
mereformasi diri. Di era reformasi anggaran untuk badan peradilan di
lingkungan Mahkamah Agung mengalami peningkatan seiring dengan
upaya peningkatan pelayanan publik di bidang hukum dan peradilan.
Begitu pula halnya anggaran untuk lingkungan peradilan agama, yang
dipusatkan pada Dirjen Badilag mengalami peningkatan yang juga
cukup signifikan bila dibandingkan dengan sebelum satu atap,
terutama sejak 2005, 2006, 2007. Meskipun penganggaran tersebut
dipusatkan di Dirjen Badilag, namun mulai dari perencanaan program
dan penentuan jumlah/alokasi anggaran sampai pada pengelolanya
diserahkan langsung kepada masing-masing pengadilan agama dan
pengadilan tinggi agama, selain itu ada anggaran yang direncanakan
dan dikelola pada sekretariat Dirjen Badilag dan pada masing-masing
direktorat.89
Kenaikan anggaran yang cukup signifikan di era reformasi
adalah ketika sudah disatuatapkan di bawah Mahkamah Agung.
Anggaran untuk pengadilan agama naik 108% bila dibandingkan
89
Jaenal Arifin, Peradilan Agama, Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 337.
49
dengan tahun sebelumnya, yakni menjadi Rp 492.550.829.000,- (empat
ratus sembilan puluh dua miliar lima ratus lima puluh juta delapan
ratus dua puluh sembilan ribu rupiah). Bila dirata-ratakan untuk
masing-masing Pengadilan Agama adalah sebesar Rp 1.474.703.080,-
(satu miliar empat ratus tujuh puluh empat juta tujuh ratus tiga ribu
delapan puluh ribu rupiah). Jumlah anggaran tersebut, meskipun
terdiri atas belanja rutin dan barang, akan tetapi tetap masih cukup
besar bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, terutama
ketika masa sebelum reformasi.90
Begitu pula halnya dengan alokasi anggaran untuk tahun 2007,
meskipun kenaikannya hanya 44% dari tahun sebelumnya, akan tetapi
pengadilan agama tetap mendapatkan alokasi anggaran yang cukup
tinggi, yakni sebesar Rp 709.538.457.000,- (tujuh ratus sembilan
miliar lima ratus tiga puluh delapan juta empat ratus lima puluh tujuh
ribu rupiah). Dan bila dirata-ratakan untuk masing-masing pengadilan
agama, mendapatkan anggaran sebesar Rp 1.993.085.550,- (satu miliar
sembilan ratus sembilan puluh tiga juta delapan puluh lima ribu lima
ratus lima puluh rupiah).
Bila dilihat dari data tersebut, ternyata setelah berada satu atap
di bawah mahkamah Agung sebagai konsekuensi dari reformasi bidang
hukum, anggaran untuk peradilan agama terus mengalami kenaikan,
dan keniakannya tersebut cukup signifikan.91
Adapun perincian
penggunaan anggaran tahun 2016 dari masing-masing program adalah
sebagai berikut:92
Program peningkatan manajemen peradilan agama dengan
Alokasi anggran Rp 71.956.600.000,00 (tujuh puluh satu miliar
90
Jaenal Arifin, Peradilan Agama, Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), h, 337-338. 91
Data Diolah dari Sekretariat Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik
Indonesia Tahun 2007. 92
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-
RI, 2017), h. 178.
50
sembilan ratus lima puluh enam juta enam ratus ribu rupiah)
digunakan untuk kegiatan:
a) Pembayaran gaji dan tunjangan.
b) Biaya operasional (kebutuhan pokok perkantoran dan
pemeliharaan).
c) Biaya non operasional (biaya operasional persidangan, pos bantuan
hukum, prodeo, mutasi, rapat koordinasi, perjalanan dinas dalam
rangka sidang keliling dan pembinaan).
d) Belanja modal untuk peralatan dan mesin.
Aspek finansial menjadi penting bagi sebuah institusi, bagaikan
oli yang melumaskan roda agar berputar. Penyatuatapan pengadilan
agama berbanding lurus dengan tata kelola keuangan di dalam tubuh
pengadilan agama, walau bukan menjadi jaminan utama terlaksananya
system peradilan yang diharapkan, namun ini bisa menjadi parameter
perbaikan tata kelola yang lebih profesional, upaya pembaharuan ini
diharapakan mendobrak pandangan perihal pengadilan agama yang
terkesan koruptif di mata publik.
Dengan adanya perubahan manajemen peradilan agama pasca
satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, peradilan agama kini
lebih mudah untuk dimengerti oleh masyarakat awam serta dari aspek
organisasi, administrasi dan finasial nya lebih tertata rapih, untuk
anggaran peradilan agama sendiri meningkat menjadi semakin besar
dan keberadaan peradilan agama sekarang lebih diakui oleh pemerintah.
4. Implementasi Pelayanan Publik
a. Pembebasan biaya perkara
Tahun 2016 pengadilan agama/mahkamah syar’iyah
berhasil menyelesaikan 26.451 perkara.93
93
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-
RI, 2017), h. 113.
51
Tabel 2. Layanan pembebasan Biaya perkara Di Lingkungan
Peradilan Agama Dalam 3 Tahun Terakhir
No Lingkungan
Peradilan
Tahun Jumlah
Pengadilan
Pemberi Layanan
Jumlah
Layanan
(Perkara)
1 Peradilan
Agama
2014 359 11.513
2015 359 10.748
2016 359 26.451
Tahun 2016 pengadilan agama/mahkamah syar’iyah
berhasil menyelesaikan 26.451 perkara.
b. Pos bantuan hukum
Tabel 3. Layanan Posbakum di Lingkungan Peradilan Agama
Sejak Tahun 2014-2016
No Tahun Jumlah Posbakum Jumlah Layanan (Orang)
1 2014 74 82.145
2 2015 120 77.334
3 2016 12 195.023
Tahun 2016 lingkungan peradilan agama berhasil
memberikan layanan kepada 195.023 orang.94
c. Sidang di Luar Gedung Pengadilan
Tabel 4. Layanan Sidang di luar Pengadilan Agama Sejak
Tahun 2014-2016
No Lingkungan
Peradilan
Tahun
Jumlah Lokasi
Sidang
Jumlah Perkara
Diselesaikan
1. Peradilan
Agama
2014 523 30.857
2015 357 27.580
2016 370 67.986
94
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-
RI, 2017), h. 114.
52
Pelayanan sidang di luar gedung pengadilan pada tahun
2016 untuk lingkungan peradilan agama melonjak menjadi 67.986
perkara dari tahun sebelumnya yang sebanyak 27.80 perkara.95
d. Sidang di luar negeri pada konsulat Jenderal Republik Indonesia
(KJRI)
Tahun 2016 total keseluruhan perkara yang disidangakn di
luar negeri, yakni Malaysia, dan Arab Saudi adalah sebanyak 991
perkara.96
e. Pelayanan Terpadu Sidang Keliling
Tabel 5. Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Di Peradilan
Agama Tahun 2015-2016
Tahun Jumlah Lokasi Jumlah Perkara
Isbat Nikah
2015 69 1.976
2016 362 16.396
Data pelayanan sidang keliling untuk lingkungan peradilan
agama pada tahun 2016 melonjak menjadi 16.396 jumlah perkara
Isbat nikah sedangkan sebelumnya sebanyak 1.976 jumlah perkara
isbat nikah yang diselesaikan.97
5. Implementasi Keterbukaan Informasi
a. Publikasi Putusan
Tahun 2015, jumlah putusan yang tersedia di portal
direktori putusan Mahkamah Agung sebanyak 1.622.605 putusan.
Jumlah putusan itu meningkat menjadi 2.061.320 putusan samapi
dengan akhir Desember 2016.
b. Publikasi Dokumentasi dan Informasi Hukum
95
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-
RI, 2017), h. 115. 96
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-
RI, 2017), h. 116. 97
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-
RI, 2017), h. 117.
53
Selain putusan yang tersdia secara online, Mahkamah
Agung juga meneydiakan media elektronik yang disebut dengan
Dokumntasi dan Informasi Hukum (JDIH) yang dapat diakses
melalui portal https://jdih.mahkamahagung.go.id.
c. Informasi Penelusuran Perkara
Masyarakat dapat mengakses perkembangan proses perkara
di pengadilan di setiap tingkatan secara online. Pemanfaat
teknologi informasi untuk mendukung transparansi penyelesaian
perkara sudah dijalankan di Mahkamah Agung dan badan peradilan
di bawahnya sejak beberapa tahun lalu. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah para pencari keadilan dalam mengakses informasi
perkara mereka. Untuk pengadilan tingkat pertama, akses informasi
perkara dapat ditelusuri melalui Portal Sistem Informasi
Penelusuran Perkara (SIPP) di website masing-masing pengadilan,
sebagai contoh: untuk perkara di PA Jakarta Selatan melalui
http://sipp.pa-jakartaselatan.go.id,
d. Pelayanan Meja Informasi dan Meja Pengaduan
Meja informasi merupakan garda depan dalam pelayanan di
setiap pengadilan. Keberdaan meja informasi dan meja pengaduan
memberikan kontribusi penting dalam pemberian pelayanan publik
yang prima bagi para pen meja pengadncari keadilan. Seluruh
pengadilan di Indonesia telah memiliki pelayanan meja informasi
dan meja pengaduan. Data pelayanan Meja Informasi dan meja
pengaduan di Peradilan agama se Indonesia tahun 2016 yaitu, meja
informasi 185.558 dan meja pengaduan berjumlah 32 pengaduan.
e. Pelayanan Informasi Melalui Website Pengadilan
Pelayanan informasi pengadilan selain diberikan melalui
fasilitas Meja Informasi juga disediakan melalui media elektronik
yakni website pengadilan. Seluruh pengadilan di Indonesia susdah
memiliki website resmi. Website pengadilan menampilkan
informasi seperti yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008
54
tentang Keterbukaan informasi Publik dan SK KMA No 1-
144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi
Pengadilan Tahun 2016 Mahkamah Agung melakukan monitoring
dan evaluasi website empat lingkungan peradilan seluruh
Indonesia. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi tersebut telah
dipilih tiga pengadilan agama dari seluruh Indonesia yang
memperoleh nilai Website tertinggi tahun 2016Yaitu peringkat: 1)
PA Jakarta Selatan, 2) PA Donggala, 3) PA Palembang.
f. Publikasi Melalui Media Cetak
Beberapa media cetak yang diterbitkan oleh badan
peradilan agama adalah Majalah peradilan Agama dapat diperoleh
melalui www.badilag.mahkamahagung.go.id, Jurnal Hukum dan
Peradilan, Media Cetak lainnya. Guna memenuhi pelayanan
informasi diseluruh Pengadilan di Indonesia. Mahkamah Agung
juga membuat dan menyebarkan brosur, poster, pamflet pada
kegiatan tertentu.
g. Memperkuat Hubungan Masyarakat
Mahkamah Agung mengikuti kegiatan mengikuti kegiatan
pameran “Pelayanan dan penegakan hukum Legal Expo 2016”
yang diselenggarakan oleh Kementrian Hukum dan HAM. Dalam
pameran ini, Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung
mensosialisasikan 11 inovasi unggulan yang dikemas dalam tema
“Pelayanan Publik Yang Murah Berbasis TI”.98
Menurut penulis, peradilan agama pra satu atap dengan MA secara
organisasi administrasi, dan finansial dibina oleh direktorat (unit eselon 2)
yang bernama “Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama”. Direktorat ini
di bawah Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji.
Sedangkan pasca satu atap dengan MA pengadilan agama secara organisasi,
administrasi, dan finansial dibina oleh sebuat Direktorat (unit eselon 1) yaitu
98
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-
RI, 2017), h. 130-134.
55
“Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama” (Badilag). Dahulu terdapat
kekurangan dan keterbatasan, hal ini dapat dilihat dari pengangkatan pegawai
PA masing-masing PTA diberi kewenangan sendiri-sendiri. Sementara itu,
pengadilan agama pasca satu atap dengan MA menjadi lebih rapih dan
profesional dari segi organisasinya. Hal ini dapat dilihat dari segi SDM ynag
mengisi posisi-posisi yang ada.
Dalam aspek admnistrasi pada waktu di bawah Departemen Agama,
tata peradilan kurang berjalan efisien dan efektif, karena ada dua tempat
(Depag dan MA) yang menangani laporan kerja peradilan agama. Laporan
kerja yang berhubungan organisasi, administrasi dan finansial diajukan ke
Depag, sedangkan laporan kerja yang berkaitan dengan hukum diajukan ke
Mahkamah Agung. Sementara itu, pasca satu atap dengan Mahkamah Agung
akan mempersingkat berbagai urusan dan memudahkan komunikasi. Tata
peradilan dapat berjalan lebih efisien dan terpusat karena tidak ada dua tempat
yang mengurus laporan kerja, baik yang berkaitan dengan organisasi,
administrasi dan finansial maupun laporan kerja yang berkaitan degan hukum.
Semua laporan kerja tersebut diajukan ke Mahkamah Agung.
Tiga puluh tahun peradilan agama berada di bawah Departemen agama
dan tidak banayak perkembangan yang bisa dilihat dari hal tersebut, hal ini
bisa terlihat dari segi anggaran yang diajukan untuk tiap pengadilan. sebelum
berada di bawah Mahkamah Agung posisi peradilan agama seperti peradilan
”Second Class” persepsi ini muncul karena sulitnya peradilan agama
mendapatkan anggaran layak untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan
pasca satu atap dengan Mahkamah Agung, pengadilan agama telah
mendapatkan apa yang dulu kurang atau tidak pernah didapatkan. Sarana
prasarana yang dimiliki oleh pengadilan agama sekarang tidak jauh berbeda
dengan yang dimiliki oleh pengadilan negeri. Berkaitan dengan hal ini mantan
Direktur Pembinaan Peradilan Agama Mahkamah Agung Jakarta Wahyu
Widiana mengutarakan bahawa pengadilan agama akan berkembang lebih
56
baik jika didukung oleh semua pihak yang punya otoritas dalam bidang
peningkatan SDM, penyiapan anggaran dan penangan manajemen.99
Oleh sebab itu setelah di telisik lebih jauh kaitannya dengan implikasi
reformasi pasca satu atap dapat di temukan dalam berbagai hal dalam
lingkungan peradilan agama sehingga sangatlah mungkin bahwa di bawah ini
mewakili dari adanya dampak adanya reformasi tersebut. Maka penulis
mencoba mengurainya dengan beberapa hal diantara adalah sebagai berikut:
a. Terjadi peningkatan independensi kekuasaan kehakiman sejalan dengan
tuntutan reformasi di bidang kekuasaan kehakiman yang menghendaki
kekuasaan kehakiman benar-benar merdeka bebas dari campur tangan
kekuasaan lain. Di samping itu keberadaan PA lebih mantap dan sederajat
dengan peradilan lainnya.
b. Pembinaan terhadap PA baik terkait aspek organisasi, administrasi dan
finansial, dilakukan oleh MA, yang dalam hal ini dilakukan oleh lembaga
setingkat Direktorat Jenderal (eselon satu), sehingga terdapat peningkatan
bila dibandingkan ketika PA masih berada di bawah Departemen Agama
yang hanya dilakukan oleh lembaga setingkat direktorat (eselon dua).
c. Persaingan diantara aparat MA diantara empat lingkungan peradilan
termasuk aparat PA akan semakin sehat.100
Sehingga aparat PA memiliki
peluang yang sama untuk bersaing menduduki jabatan tertentu di
lingkungan MA dengan aparat dari lingkungan peradilan yang lain. Pada
akhirnya “peradilan satu atap” sudah menjadi realitas dan menjadi
kebijakan politik nasional yang dinyatakan dalam suatu undang-undang,
yang akan mempengaruhi keberadaan PA di masa mendatang.
Dari beberapa perbedaan di atas dari aspek organisasi, administrasi
dan finansial telah berjalan efektif karena hanya ada satu lembaga yang
memutuskan yaitu Makamah Agung, terjadinya peningkatan anggaran serta
99
Wahyu Widiana, Penyatuatapan Peradilan Agama Pada Mahkamah Agung, dalam Atho
Mudzahar et al, Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat: Implikasi dan Tantangan, (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Beragama, Cet I, 2005), h. 98. 100
Wahyu Widiana, Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat, (Jakarta: Departemen Agama
Balitbang, 2005), h. 98-99.
57
berbagai fasilitas yang dimiliki oleh pengadilan agama dan yang terakhir
adalah memudahkan komunikasi lembaga peradilan karena berada dalam satu
nsaungan yaitu Makamah Agung. Dengan demikian, dari hasil penelitian
yang dilakukan penulis dapat diketahui gambaran yang jelas menngenai
pengelolaan pengadilan agama secara organisasi, administrasi dan finansial
pra dan pasca satu atap dengan Makamah Agung. dimana semua itu
memberikan efek positif setelah Undang-Undang satu atap tersebut
diterapkan di pengadilan se-Indonesia.
` Dari semua yang dipaparkan di atas untuk mempermudah memahami hasil
penelitian, peneliti membuat tabel sebagai berikut:
No Aspek Perkembangan
Peradilan Agama Pra Satu Atap Pasca Satu Atap
1. Aspek Organisasi Badan yang menaungi
Direktorat Jenderal Bimas
Islam dan penyelenggaraan
Haji (Dirjen BIPH) dibina
oleh Direktur Eselon II
Memiliki 1 Direktur
(eselon 2)
Memiliki 5 unit kepala
subdit (eselon 3)
16 kepala seksi (eselon 4)
Badan yang menaungi
Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama (Ditjen
Badilag) dibina oleh Ditjen
eselon I
Memiliki 3 Direktur dan 1
sekretaris (eselon 2)
Terdapat pula sub bagian
tata usaha pada setiap
Direktur sedangkan
sebelumnya disentralisasi
di bawah Direktur dan 4
bagian di bawah sekretaris
(eselon 3)
Terdapat 28 seksi dan 11
sub bagian (eselon 4)
58
2. Aspek Administrasi
Laporan kerja yang
berhubungan dengan
organisasi, administrasi dan
finansial diajukan ke
Departemen Agama
laporan kerja yang
berkaitan dengan hukum
diajukan ke Mahkamah
Agung
Perkara yang diterima dari
tahun 2004 sebanyak
165.266 perkara, sisa
perkara 2003 sebanyak
27.449 perkara sehingga
perkara yang diputus
sebanyak 154.331 perkara
Sistem Informasi
Adminitrasi Perkara
Peradilan Agama
(SISDIPA) Karena
keeratasan anggaran
SISDIPA hanya di
implementasikan di
beberapa Pengadilan
Agama seperti: PA Kendal,
PA Makasar, PA
Indramayu, PA Cimahi.
Laporan kerja semuanya ke
MA meliputi: organisasi,
administrasi finansial laporan
perkara.
Perkara yang diterima dari
tahun 2016 sebanyak
503.794 perkara. Sedangkan
tahun 2015 sebanyak 88.824
perkara sehingga perkara
yang diputus tahun 2016
sebanyak 449.988 perkara.
Manajemen Perkara yaitu
Sistem Informasi
Administrasi Perkara
Peradilan Agama (SIADPA),
pada tahun 2006 Ditjen
Badilag membangun aplikasi
Sistem Informasi Manajemen
Kepegawaian (SIMPEG).
Sistem Informasi
Penelusuran Perkara (SIPP)
yang berlaku nasional.
3. Aspek Finansial
Tahun 2004 Anggaran
sebesar 3,5 M digunakan 1
Tahun 2005, hanya Rp
236.954.153.000. tahun
59
M di Direktorat, 2,5 M
dibagi ke 25 PTA se-
Indonesia. Jadi sekitar 100
juta per satu PTA
Anggaran yang diajukan ke
Depag jarang terpenuhi,
sehingga anggaran untuk
membeli alat-alat tulis dan
buku-buku dipenuhi dari
kantor PA sendiri.
Tahun 2006 adalah sebesar
Rp 709.443.572,
Tahun 2007 sebesar Rp
709.538.457.000,- dan
Tahun 2016 Alokasi anggaran
Rp71.956.600.000,00
Jadi pada tahun 2016 alokasi
anggaran ke 29 PTA se-
Indonesia sekitar Rp
2.569.878.000,00,- per satu
PTA
Anggaran yang diajukan ke
MA sering terpenuhi,
termasuk anggaran untuk
membeli alat-alat tulis dan
buku-buku.
4. Kewenangan Pasal 49 Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama
“Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang
memerikssa, memutus
dan menyelesaikan
perkara-perkara ditingkat
pertama antara orang-
orang yang beragama
islam di bidang: a.
Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
Pasal 49 Undang-Undang
No. 3 tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama
“Pengadilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan
perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang
beragama islam di bidang :
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
60
d. Hibah
e. wakaf
f Zakat
g. Infaq dan
h. Shadaqoh”.
d. Hibah
e. Wakaf;
f. Zakat
g. Infaq
h. Shadaqah dan
i. Ekonomi syariah” .
5. Implementasi
Pelayanan Publik
Belum ada prodeo yang
dibayar negara dulu hanya
prodeo murni tanpa
dibayar
Belum ada anggaran dari
negara dari negara untuk
POSBAKUM bagi orang
miskin
Belum ada pelayanan
terpadu bersama KUA dan
Dukcapil untuk
menerbitkan isbat nikah,
buku nikah dan akta
kelahiran.
Pelaksanaan sidang keliling
terbatas karena anggaran.
Sudah ada Pembebasan Biaya
Perkara di Lingkungan
Peradilan Agama (PRODEO)
Sudah ada Pos Bantuan
Hukum (POSBAKUM)
Sidang di Luar Pengadilan
Agama
Pelayanan Sidang Keliling di
Peradilan Agama lebih luas
karena anggaran semakin
besar
Sidang di Luar Negeri pada
konsultan Jenderal Repulik
Indonesia (KJRI)
6. Implementasi
Keterbukaan Informasi
Putusan belum di
publikasikan melalui
internet karena masih
kurangnya teknologi
Informasi
Adanya:
Informasi Penelusuran
Perkara
Pelayanan Meja informasi
dan meja Pengaduan
Publikasi Putusan
Publikasi Dokumnetasi dan
Informasi Hukum
61
Pelayanan Informasi Melalu
Website Pengadilan.
7. Sarana Prasarana Inventaris mobil, mobil
yang diperoleh tidak sama
dengan pengadilan lain
Tunjangan yang diperoleh
tidak sama dengan
pengadilan lain (PN, PM,
PTUN)
Pemeliharaan gedung
berada di gang-gang kecil
dan kurang terpelihara
dengan baik
Keadaan peradilan
agama/mahkamah
syar’iyah tercatat
berjumlah 343
peradilan/mahkamah
syar’iyah tahun 2004 se-
Indonesia
Inventaris mobil mobil yang
diperoleh sama dengan
pengadilan lain
Tunjangan yang diperoleh
sama dengan peradilan lain
(PN, PM, PTUN)
Pemeliharaan gedung berada
di jalan-jalan protokol dan
terpelihara dengan baik
Keadaan peradilan
agama/mahkamah syar’iyah
tercatat 416 pengadilan
agama/mahkamah syar’iyah
tahun 2017 se-Indonesia.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebelum berada di bawah Mahkamah Agung, peradilan agama berada
di bawah Departemen Agama. Keberadaan peradilan agama yang berada di
bawah Departemen Agama membuat posisi peradilan agama seperti peradilan
“Second Classs”. Ketika berada di bawah Departemen Agama, perkembangan
peradilan agama tidak tertata dengan baik seperti dalam aspek administrasi,
finansial, implementasi pelayanan publik dan implementasi keterbukaan
informasi sarana maupun prasarana. Semua itu telah dimiliki oleh peradilan
agama namun sangat tertinggal dibandingkan peradilan umum.
Pra satu atap, gedung-gedung Pengadilan Agama pra satu atap berada
di lingkungan jalan non protokol. Seperti Pengadilan Agama Jakarta Selatan ,
sedangkan pasca satu atap berada di jalan-jalan protokol. Bukan hanya itu,
inventaris serta tunjangan untuk hakimnya pun relatif sedikit. Tahun 2004,
Anggaran yang diajukan hanya sekitar 3,5 Miliar Rupiah, sedangkan setelah
berada di bawah naungan Mahkamah Agung, anggaran yang di ajukan ke
Mahkamah Agung sekitar Rp71.956.600.000,00 pada tahun 2016.
Hal lain yang juga berkembang adalah terkait kompetensi absolut
dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan kedua
Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama kini
Pengadilan Agama dengan memperluas kewenangan dalam penyelesaian
sengketa Ekonomi Syariah. Sedangkan sebelumnya Pasal 49 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-
perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang:
Perkawinan, warisa, wasiat, hibah, Wakaf, infaq dan shadaqoh.
Pengadilan Agama pasca satu atap juga mengalami peningkatan yang
signifikan seperti di bidang implementasi pelayanan publik dan implementasi
keterbukaan informasi. Layanan yang disediakan yaitu posbakum, sidang di
63
luar gedung pengadilan, sidang di luar negeri pada konsulat Jenderal Republik
Indonesia (KJRI), pembebasan biaya perkara, pelayanan terpadu sidang
keliling dan segala hal administrasi serta data terkait pengadilan dapat diakses
melalui website resminya.
Selanjutnya pada pengelolaan aspek organisasi, administrasi dan
finansial juga mengalami peningkatan dan kemajuan yang sangat pesat. Saat
ini kondisi peradilan agama tidak berbeda dengan tiga lembaga peradilan
lainnya (peradilan negeri, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara)
baik bidang organisasi, administrasi dan finansial. Perubahan-perubahan yang
sangat signifikan ini telah mendorong terciptanya pelayanan yang lebih baik
kepada masyarakat. Ini juga sangat terlihat dari implementasi pelayanan
publik dan keterbukaan informasi di peradilan agama. Oleh karena itu penulis
berkesimpulan bahwa sampai saat ini reformasi peradilan agama di Indonesia
dianggap berjalan dengan baik dan berhasil.
B. Saran-saran
1. Agar keberhasilan reformasi peradilan agama di Indonesia dapat
dipertahankan bahkan ditingkatkan, maka seluruh jajaran peradilan agama
perlu meningkatkan kemampuan manajerial danteknis hukum serta
menjaga integritas dan akhlakul karimah. Di samping itu, perlu juga
dilakukan kordinasi dan bekerjasama yang baik dengan unsur lainnya di
lingkungan Mahkamah Agung, bahkan dengan dunia luar seperti instansi
terkait lainnya, perguruan tinggi dan masyarakat luas.
2. Untuk mengontrol dan memantau sejauh mana keberhasilan reformasi
peradilan agama perlu terus dilakukan penelitian dan pengkajian yang
hasilnya dapat dijadikan masukan dalam melakukan pembinaan lebih
lanjut. Untuk itu diperlukan adanya keterbukaan sikap, kelapangan dada
dan kekuatan tekad dari pimpinan dan seluruh jajaran peradilan agama
untuk memperbaiki segala kekurangan yang ada demi mewujudkan
pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKAAN
BUKU
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2012.
______________. Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002.
Arifin, Jaenal. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2008.
______________. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013.
______________.Peradilan Agama Dari serambi Masjid Ke Serambi Dunia,
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik
Indonesia: 2012.
Abdullah, Abdul Ghani. Badana Hukum Syara Kesulatana Bima 1947-1957:
Sebuah Studi Mengenai Peradilan Agama, Disertasi, Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatulloh Jakarta: 1987.
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,2002.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2000.
Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI , Proses Penyatuatapan
Peradilan Agama, Jakarta: 2011.
Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta; Kencana Prenada Media
Group, 2010.
______________. Peradilan Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2012.
Peradilan Agama Dari serambi Masjid Ke Serambi Dunia, Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia: 2012.
Halim, Abdul. Peradilan Agama Dan Politik Hukum Di Indonesia Dari Otoriter
Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, Jakarta: PT Raja
Grfindo Persada, 2002.
Hadi Daeng, et.al.Mutira Yang TakTerlupakanProfil Dan Pemikiran Tokoh
Peradilan Agama Di Indonesia, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama
Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2012.
Koto, Alaidin. Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2011.
Kusnadi, Didi. Bantuan Hukum Islam Hubungannya Dengan Undang-Undang
Advokat Dan Penegak Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama
RI, 2011.
Lubis, Sulaikun. Hukum Cara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2006.
Manan, Abdul. Etika Hakim Dalam Penyelesaian Peradilan-Suatu Kajian Dalam
Sistem Peradilan Islam, Jakarta: 2007.
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Profil Peradilan Agama
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Jakarta: MA-RI, 2005.
______________. Laporan Tahunan 2016, Jakarta: MA-RI, 2017.
Mubarok, Jalih. Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004.
Mujahidin, Ahmad. Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Bogor;
Ghalia indonesia, 2004.
Muslim dan Edi Huadita. Wahyu Widiana Bekerja Tiada Henti Membangun
Peradilan Agama, Mb design, Jakarta: 2012.
Noeh, Ahmad Zaini. Peradilan Agama Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Intermas,
1980.
Rahardjo, Satjipto. Struktur Hukum Modern, Semarang: Program Doktoral Ilmu
Hukum Universitas di Ponerogo, 2004.
R. Tjitrosoedibio dan Subekti. Kamus Hukum, Jakarta: PT. Pradya Paramita,
1996.
Subekti, R. Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Alumni: 1981.
Wahyu Widiana. Penyatuatapan PA pada Mahkamah Agung, dalam Ridwan
Nasir (editor), Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat. Cet. 1, (Jakarta:
Balitbang Departemen Agama, 2005.
Wahyu Widiana. Eskrim Bakso dan Teknologi Informasi, Direktorat Jederal
Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, 2012.
INTERNET, JURNAL
http://alamatsejarah.blogspot.co.id/205/02/sejarah-singkat-peradilan-agama-
di.html, diakses pada tanggal 1 Desember 2016, pukul 11.45 WIB.
http://peradilandiindonesia.blogspot.co.id/2012/11/kewenangan-
peradilan.html.diakses pada tanggal 1 Desember 2016, pada pukul 14:21 WIB.
http://foreverafter2014.blogspot.co.id/2014/06/implementasi-sistem-
administrasi.html, diakses pada tanggal 2 November 2017 pukul 14:58 WIB.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Reformasi diakses pada tanggal 25 November
2017 pukul 6:10 WIB.
Ibrahim, Malik, Peradilan Satu Atap (THE ONE ROOF SYSTEM)diIndonesia,
Asy-syir’ah no.2 (Desember 2013): h. 665.
Dr. H. Amran Saudi, s.h., M.Hum., M.M., dan H. Soltoni Mohdally, S.H.,
M.H.,Majalah Peradilan Agama Potret Reformasi Birokrasi di Peradilan
Agama,Jakarta: Edisi 12 Aguatus 2017.
WAWANCARA
Wawancara dengan Drs, Bahrin Lubis, Panitera di Pengadilan Tinggi Agama,
Jakarta Timur, 12 Januari 2017.
Wawancar dengan Farid, SH. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Jakarta
Selatan, 12 Januari 2017.
Wawancara dengan Dr. H. Hasbi Hasan, M.H. Direktur Pembinaan Administrasi
Peradilan Agama, Jakarta, 13 Desember 2016.
Wawancara dengan Drs, Agus Zaenal Muttaqien, SH. Kepala Biro Kepegawaian
Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta
Pusat, 18 Januari 2017.
REGULASI
UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama.
UU No.50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama.
UU No.35 Tahun 1999 Perubahan Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1970
Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 13 Tahun 2016 Tentang
Pembentukan Pengadilan Agama.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 2016 Tentang
PembentukanPengadilan Agama.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 2016 Tentang
Pembentukan Mahkamah Syar’iyah.
Keputusan Sekretaris MA /SEK/III/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja
Sekretaris MA.
LAPORAN HASIL WAWANCARA
DENGAN PANITERA DI PENGADILAN TINGGI AGAMA
JAKARTA
Drs, BAHRIN LUBIS, S.H., M.H.
1. Bagaimana perkembangan peradilan agama pasca satu atap?
Jawaban:Setalah satu atap tahun 2004 pengadilan agama satu Dirjen,
artinya sejajar dengan pengadilan lain. Ada direktorat peradilan
agam ada direktorat peradilan umum direktorat peradilan tata usha
negara dan direktorarat pengadilan militer. Sehingga anggaran nya
yang sebelum nya di bawah urais (urusan agama islam) disejajarkan
dengan KUA sekarang pengadilan agama posisinya disejajarkan
dengan pengadilan negeri, pengadilan tata usaha negara dan
pengadilan militer. Maka anggaranya loncat mengalami perubahan
yang sangat pesat dan ada akibatnya, gedung-gedung menjadi bagus
dan mewah, muncul di depan- depan publik. Jadi dari segi pelayanan
pengadilan agama menjadi bagus bisa dijangkau orang kemudian
orang merasa nyaman didalam kantornya.jadi kantornya setelah satu
atap menjadi sejajar dengan kantor-kantor pengadilan lain. Sehingga
yang sebelumnya kantor-kantornya ada di gang-gang ditinggalkan
semua. Dan anggarannya disesuaikan bahkan peningkatanya berubah
bisa menjadi sepuluh kali lipat setelah satu atap.
2. Peluang dan tantangan peradilan agama pasca satu atap?
Jawaban: Karena peradilan disamakan dengan peradilan lain maka
dari segi jabatan struktural mempunyai peluang yang sama antara
pengadilan yang empat itu, contoh : panitera pengadilan tinggi
agama jakarta menjadi kepala biro perencanaan organisasi wilayah
republik Indonesia MA. Jadi statusnya menjadi sama siapapun yang
mempunyai kualitas atau kemampuan bisa muncul, demikian juga
untuk jabatan-jabatan yang lain itu juga mempunyai status yang
sama.
3. Bagimana Perubahan manjemen Peradilan Agama Pra dan pasca satu
atap?
Jawaban: Pra dan pasca satu atap secara struktur itu berubah secara
manajemen pasca satu atap itu kerjanya lebih simpel lebih tersusun.
Jakarta Timur, 12 Januari 2017.
Peneliti,
Siti Hanah
Panitera,
Drs, Bahrin Lubis, S.H, M.H.
LAPORAN HASIL WAWANCARA
DENGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
FARID, S.H.
1. Bagaimana perkembangan peradilan agama pasca satu atap?
Jawaban: Pengadilan Agama perkembangan nya sangat pesat,
pertama dalam hal sarana, karena sebelum satu atap tidak ada yang
namanya kantor pengadilan agama adanya balai sidang pengadilan
agama. Dulu sebelum kantor pengadilan agama satu atap adanya di
gang-gang kecil, tetapi setelah satu atap pindah kantornya berada
dijalan- jalan protokol. Kedua dari sisi kewenanganya juga berubah
sebelum tahun 2006 masalah yang ditangani mengenai nikah, cerai,
talak, rujuk sedangkan setelah satu atap bertambah jadi menangani
masalah ekonomi syariah.
2. Apa saja peluang/tantangan dalam perkembangan peradilan agama
pasca satu atap?
Jawaban: Peluang pengadilan agama menjadi ketua mahkamah
agung sangat susah.karena untuk menjadi ketua tau wakil ketua kan
dipilih sekarang dipengadilan agma yang menjadi hakim itu
sekarang maksimal hanya 6 orang kalu dulu bisa sampai 8 orang
sedangkan untuk pengadilan umum itu banyak.
3. Apa faktor yang melatarbelakangi terjadi penyatu atapan peradilan
agama?
Jawaban: keinginginan masyarakat umum dan kemauan dari
pemerintah karena jika tidak ada keingin dan dukungan dari itu tidak
akan menjadi seperti sekarang.
4. Apa saja reformasi yang telah terjadi di pengadilan agama?
Jawaban: Yang jelas pola pikir kawan-kawan di peradilan agama itu
sudah berubah. Contoh dari segi prilaku, dan pakaian. Adapun yang
berupah yaitu dari segi:
a. Organisasi, darisegistrukturorganisasimengalamiperubahanpra
satu atap hanyalah terdiri dari 1 Direktur (eselon 2), 5 kepala
Subdit (eselon 3) dan 16 kepala seksi (eselon
4).SedangkanpascasatuatapPeradilan agama pasca satu atap
dengan Mahkamah Agung, secara organisasi, administrasi dan
finansial dibina oleh Direktorat/Jenderal Badan Peradilan Agama
(Badilag) yang dijabat oleh pejabat unit eselon 1.
b. Administrasi, Dahulu di pengadilan agama pegawainya
merangkap jabatan karena dulu kekurangan pegawai.kalau tidak
merangkapjumlaha perkara yang ada tidak akan m udah selesai.
yang menentukan kepegawaian adalah Menpan, DKM, Menteri
Keuangan.
c. Finansial, mengalami loncat nya drastis untuk jumlah
keuangannya, dahulu kecil sedangkan sekarang lebih tinggi
keuangannya.
5. Apa jumlah hakim disetiap pengadilan itu sama?
Jawaban: Tidak sama, karena disesuaikan dengan kelasnya. Ada
kelas A kelas 1 B mestinya kalau kelas 1 A itu sekitar 25 orang
pegawai nya karena dilihat perkaranya yang banyak masuk
6. Apa kekurangan dan kelebihan Peradilan Agama pasca Satu Atap?
Jawaban: kekurangan nya jelas kurang dari segi sarana seperti
komputer sampai sekarang, tetapi untuk gedung nya jelas sudah
berubah lebih baik dari sebelum nya.
Kelebihannya, dalam sistem siadpa.
7. Perkara apa yang banyak masuk di Pengadilan Agama?
Jawaban: Masalah nya Mengenai perkawinan yaitu mengenai cerai
talak dan gugat. Tentang waris juga ada tetapi tidak banyak seperti
masalah perceraian.
Jakarta Selatan, 12 Januari 2017.
Peneliti,
Siti Hannah
Hakim,
Farid, S.H, M.H.
LAPORAN HASIL WAWANCARA
DENGAN DIREKTUR PEMBINAAN ADMNINISTRASI
PERADILAN AGAMA
Dr. H. HASBI HASAN, M.H.
1. Bagaimana pandangan bapak perkembangan peradilan agama pasca
satu atap dengan MA?
Jawaban: Perkembangan peradilan agama setelah melakukan
penyatu atapan dengan Mahkamah Agung perkembangan nya sangat
pesat, baik itu di bidang organisasi, Administrasi Sumber daya
manusia dan Finansial.
2. Apa saja pandangan bapak peluang dan tantangan dalam
perkembangan peradilan agama pra dan pasca satu atap?
Jawaban: Lebih banyak peluang nya dibanding dengan
tantangannya, dari sisi peluang nya peradilan agama dengan satu
atap ke Mahkamah Agung jadi kewenangannya semakin luas dalam
Ekonomi Syari’ah, kemudian anggaran nya pun semakin besar untuk
melakukan pembinaan-pembinaan peradilan, bimbingan teknis,
monitoring, dan melakukan perluasaan peradilan dengan adanya
anggaran yang besar maka sekarang secara fisik anggarannya dahulu
di Depag hanya 5 Milyar sedangkan sekarang sudah 50 Milyar jadi
secara fisik peradilan agama maju dengan pesat. Fisiknya hampir
setara dengan peradilan umum. Sedangkan untuk tantangannya tidak
terlalu besar karena kita sudah mempunyai sarana dan prasarana
yang memadai maka kita harus menjaga sarana-sarana itu.
3. Apa saja faktor yang melatarbelakangi terjadinya penyatuatapan
peradilan agama?
Jawaban: Agar tidak ada diskriminasi artinya peradilan itu amanah
berdasarkan UUD pasal 24 peradilan itu setara kalau kita masih
berada di Departemen Agama dari sisi anggaran saja kita jauh,
penampilan, sumber daya manusia.
Agar peradilan itu setara dengan peradilan lain
Agar kualitas SDM meningkat
Agar performen peradilan lebih bermartabat.
4. Apa-apa saja reformasi yang telah terjadi di peradilan agama ?
Jawaban: Reformasinya banyak sekali, bayaknya pelatihan-platihan,
gedung-gedung yang tadinya di gang-gang sekarang sudah dijalan
protokol.
5. Apa saja kekurangan dan kelebihan dari manajemen peradilan agama
pra dan pasca satu atap?
Jawaban: Manajemen peradilan agama termasuk yang modern yang
sudah mendunia administrasinya sudah di contoh oleh peradilan-
peradilan lain. Manajemen peradilan aga menjdi parameter Peradilan
lain di Indonesia.
6. Apa-apa sajakah peranan-peranan unggulan badilag dalam
mempercepat informasi peradilan dalam bidang organisasi,
administrasi, sumber daya manusia, dan finansial?
Jawaban: ungulan-unggulannya banyak sekali
Jakarta, 13 Desember 2016.
Peneliti,
Siti Hanah
Direktur Pembinaan Admninistrasi
Peradilan Agama
Dr, H. HasbiHasan, M.H.
LAPORAN HASIL WAWANCARA
DENGAN KEPALA BIRO KEPEGAWAIAN BADAN URUSAN
ADMINISTRASI MAHKAMAH AGUNG RI
Drs. H. AGUS ZAENAL MUTTAQIEN, SH.
1. Bagaimana perkembangan peradilan agama pra dan pasca satu atap
dengan MA ?
Jawaban: seperti kita ketahui bersama bahwa Pengadilan Agama
awalnya berada dibawah Departemen Agama, sampai keluarnya
undang-undang satu atap. Keberadaan Pengadilan Agama yang
berada di Departemen membuat posisi Pengadilan Agama seperti
peradilan “second class’’ disebabkan antara lain karena sulitnyab
Pengadilan Agama mendapatkan anggaran yang lanyak untuk
“memenuhi kebutuhannya”. Nyaris tidak ada perkembangan yang
berarti selama berada di bawah Departemen Agama, hal tersebut bisa
dilihat dari kondisi sarana maupun prasarana yang dimiliki oleh
Pengadilan Agama yang sangat ketinggalan dibandingkan dengan
Pengadilan Negeri, mulai dari bangunan fisiknya hingga
kesejahteraan pegawainya, bahkan lokasi kantor Pengadilan Agama
letaknya dikampung-kampung. Hingga akhirmya keluar Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang
No.7 1989 tentang Peradilan Agama, sejak saat itu Pengadilan
Agama secara organisasi, administrasi dan finansial langsung di
bawah Mahkamah Agung. Secercah harapan yang muncul ketika
keluarnya Undang-Undang tersebut, diantaranya:
Sistem kekuasaan kehakiman yang kebih mandiri dan merdeka
Pengelolaan administrasi, organisasi dan finansial diharapkan akan
lebih efisien karena hanya ada satu lembaga yang memutuskannya
yaitu Mahkamah Agung (karena pra satu atap ada dua lembaga yaitu
Departemen Agama dan Mahkamah Agung)
Adanya peningkatan anggaran maupun berbagai fasilitas yang
dimiliki oleh Pengadilan Agama untuk menunjang Pelayanan publik
harus diberikan oleh Pengadilan Agama
Kemudahan komunikasi antar lembaga peradilan karena berada
dalam satu kewenangan yaitu Mahkamah Agung.
Kini lebih dari 10 tahun Peradilan Agama berada di bawah satu atap
Mahkamah Agung, berbagai harapan diatas sudah mulai terwujud
saat ini, diantaranya:
Kemandirian hakim untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan bebas intervensi maupun pengaruh dari berbagai pihak
sudah mulai terlihat hasilnya dan mulai dapat dirasakan oleh
masyarakat pencari keadilan.
Kesejahteraan hakim maupun aparatur peradilan agama saat ini sudah
jauh lebih sejahtera dibandingkan pra satu atap, sehingga kualitas
kinerja hakim maupun aparatur lainnya dalam memebrikan pelayanan
peblik lebih maksimal.
Lokasin kantor peradilan Agama yang sudah banayak berada di jalur-
jalur protokoler, sehingga memudahkan para pencari keadilan untuk
mengakses Pengadilan Agama, hal tersebut secara otomatis merubah
citra Peradilan Agama menjadi lebih baik dari sebelumnya yang
dikenal sebagai peradilan pinggiran kota.
Sarana dan prasarana kantor yang sudah sangat memadahi, membuat
kualitas pelayanan Peradilan Agama kepada pencari keadilan
menjaxdi lebih baik dan maksimal.
2. Menurut Bapak apa saaj peluang dan tantangan dalam perkembangan
Peradilan Agama Pra daan pasca satu atap?
Jawaban:
Dari segi:
A. Peradilan Agama merupakan bagian Mahkamah Agung juga
dituntut untuk mewujujudkan cita-cita besar mahkamah agung
dalam mewujudkan badan peradilan yang agung, untuk
mewujudkan badan peradilan yang agung tersebut maka proses
beracara di peradilan agama dituntut untuk mampu memenuhi
rasa keadailan yang berkembang dimasyarakat, bukan hanya
menuntut kemampuan hakim peradilan agama agar selalu
meningkatkan “kualitas” hukum acaranya, akan tetapi peradilan
agama harus mampu menjawab kebutuhanb akan “rasa keadilan”
yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat.
Kewenangan peradilan agama yang semakin komplek, bukan
hanya menyelesaikan persoalan perceraian, waris maupun harta
bersama, namun saat ini peradilan agama diberikan kewenanagn
untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariahb yang tentunya
menjadi tantangan bagi hakim peradilan agama untuk dapat
menjawab keraguan dari sebagian kalangan akan kompetensi
peradilan agama dalam menanganai sengjeta ekonomi.
Kesenjangan sosial ekomoni masyarakat juga menjadi tantangan
pperadilan agama untuk dapat hadir ditengah-tengah masyarakat
yang kurang mampu, namun membutuhkan keadilan yang sama
dengan masyarakat lainnya.
B. Aspek sumber daya aparatur Peradilan
Dengan semaki kompleknya persoalan hukum yang ditanganib
oleh peradilan agama saat ini, mengharuskan segala potensi yang
dimiliki oleh Peradilan Agama khususnya sumber dayaa
manusianya untuk mampu menjawab tantangan tersebut.
Kalau dulu pra satu atap, jumlah SDM peradilan agama masih
sangat terbatas, kini jumalah SDM sudah semakin banyak,
begitu pun pelaksanaan pengenmbangan kualitas SDM baik
melalui diklat formal maupun non formal sudah semakin baik
dan berkembang, hal tersebut merupakan dampakdari kebutuhan
akan kualitas SDM yang diimbangi dengan ketersediaan
anggaran untuk meningkatkan kualitas SDM tersebut. peluang
peningkatan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas tersebut,
membawa tantangan tersendiri bagi pengelolaan manajemen
SDM khususnya tenaga teknis (Hakim, Panitera dan Jurusita)
karena semakin kompleksnya “persoalan” manajemen
pengelolaan SDM yang harus dihadapi. Tuntutan pengelolaan
SDM berbasis kompetensi dengan pengelolaan manajemen karir
yang transparan menjadi sebuah tantangan tersendiri.
C. Aspek pengawasan dan pembinaan
Jawaban:Pra satu atap, dinamika pengawasan dan pembinaan
oleh Departemen Agama belum terkelola secara maksimal karna
keterbatasan anggaran, mengingat lokasi pengadilan agama yang
berada di tingkat kabupaten, sedangkan lembaga pengawasan
dan pembinaan intern oleh pimpinan Pengadilan Agama lebih di
intensifkan. Kini pasca satu atap, selain pengawasan dan
pembinaan oleh pimpinan pengadilan, tugas lembaga khusus
dalam hal ini badan pengawasan lebih difungsikan untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan tersebut, selain dari
badan pengawasan, ternyata Pengadilan Tingkat Agama juga
secara rutin melakukan pengawasan dan pembinaan tersebut,
semua itu bisa berjalan dengan maksimal karena telah
tersedianya anggaran untuk proses pembinaan dan pengawasan.
Denagn semakin kompleksnya persoalan hukum yang
berkembang dimasyarakat serta “perubahan” perilaku aparatur
peradilan agama sejak meningkatnya kesejahtraan yang diterima
pasca satu atap, memebrikan tantangan tersendiri dalam proses
pembinaan dan pengawasan, hasil dari pengawasan dan
pembinaan pembinaan tersebut dituntut untuk
meminimalisir/mengilangkan praktek/perilaku yang
bertentangan dengan ketentuan aturan yang ada, tanpa
membatasi kebebasan ataupun kreatifitas aparatur peradilan
agama dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarkat
pencari keadilan.
D. Aspek sarana dan Prasarana
Tidk bisa dipungkiri bahwa salah satu dampak yang paling terasa
pasca satu atap adalah, peningkatan kualitas maupun kuantitas
sarana dan prasarana peradilan agama, sebagaimana di sebutkan
diatas, dahulu peradilan agama sangat minim dcengan fasilitas,
namun kini bangunan fisik gbedung pengadilan agama sudah
sejajar dengan pengadilan lainnya diotambah lagi berbagai
fasilitas penunjang yang lebihb modern sehingga diharapkan
mampu menunjang peningkatan pelayanan pub;ik di peradilan
agama. Bangunan gedung pengadilan yang mayoritas merupakan
bangunan yang telah sesauai standar, ditunjang fasilitas diruang
tunggu maupun ruang sidang pengadilan yang cukup lengkap
dan memadahi sehingga kualitas pelayanan kepad pencari
keadilan juga sudah semakin baik. Hal tersebut memberikan
tantangan tersendiri bagi peneglolaan sarana dan prasarana yang
baik dan transparan, agar saraana yang telah ada tersebut dapat
dijaga perawatannya sehingga mampu memberikan kenyamanan
bagi paar pencari keadilan.
3. Apa saja faktor yang melatarbelakangi terjadi penyatuatapan
peradilan agama?
Jawaban: grakan reformasi, telah berhasil merespon tuntutan atas
pembenahan hukum dan lembaga peradilan. Karean aitu, setelah
gerakan reformasi berhasil, isu seputar indepndensi kekuasaan
kehakiman mengema. Penerapan peradilan stu atap di indonesia,
dimaksudkan untuk menjadikan sistem hukum sebagai subjek
reformasi (variabel indeopendent). Dengan ketentuan baru ini
diharapkan hakim/lembaga peradilan dapat melaksanakan tugasnya
menegakkan hukum dan keadilan lebih mandiri, bebas dari campur
pihak-pihak di luar pengadilan, terutama oleh pihak eksekutif.
Dengan danaya pemindahan kewenangan bidang empat hal yang di
sebutkan di atas berdasarkan UU No 4 Tahun 2004, maka pembinaan
bidang teknis yustisial dan non yustisilal lembaga peradilan, telah
berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkmaah Agung. pemindhan
kewenangan di bidang organisasi meliputi kedudukan, tugas, fungsi,
kewenangan dan struktur organisasi pada semua badan peradilan.
Adapun yang dimaksud dengan pemindahan kewenangan di bidang
administrasi meliputi kepegawaian, kekayaan Negara, keuangan,
arsip, dokumen termasuk dari finansial masing-masing
instansi/departemen, beralih satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah
Agung.
4. Apa perubahan manajemen peradilan agama di Indonesia pra dan
pasca satu atap?
Jawaban:
Dari segi:
A. Manajemen Organisasi
Terjadinya perubahan/peningkatan beberapa struktur organisasi
peradilan agama, sebelum satu atap, beberapa struktur organisasi
peradilan agama bahkam mayoritas struktur organisasi peradilan
agama merupakan struktur organisasi dengan jabatan setingkat
eselon V, kini mayoritas struktur organisasi peradilan agama
minimal setingkat eselon IV, termasuk adanya penambahan baru
beberapa struktur organisasi tersebut, hal tersebut menimbukan
perubahan paradigma dalam pengelolaan manajemen peradilan
tersebut.
B. Manajemen Adminisrasi
Tuntutan pengelolaan manajemen administrasi yang lebih efektif,
efisien, akuntabel dan transparan telah membawa perubahan
paradigma pengelolaan administrasi di lingkungan peradilan
agama
C. Manajemen Sumber Daya Manusia
Perkembangan kualitas maupun kuantitas SDM peradilan Agama
yang semakin kompleks, telah membawa perubahan secara
mengelola manajemen SDM peradilan agama yang lebih
transparan, dengan pola karir yang jelas.
D. Manajemen finansial
Meningkatnya anggaran peradilan agama, baik untuk belanja
operasional peagwai maupun kebutuhan perkantoran, kini di
peradilan agaam telah tersedia pula angaran untuk meningkatnya
layanan peradilan bagi masyarakat yang membutuhkan, (Bantuan
Hukum, Prode dan Sidang keliling) Jumlah anggaran peradilan
agama saat ini bila dibandingkan pra satu atap sesungguhnya jauh
lebih besar saat ini, sehingga di tuntut pula perubahan manajemen
pengelolaan anggaran tersebut, agar menjadi lebih transparan,
akuntabel, efisien dan tepat guna.
5. Apa sajakah prestasi yang telah diraih oleh badilag dalam bidng
informasi pasca satu atap?
Jawaban:
Akurasi dan kecepatan dokumentasi Badilag dipuji komnas
perempuan(http://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-
badilag/seputar-ditjen-badilag/akurasi-dan-kecepatan-
dokumentasi-badilag-dipuji-komnas-perempuan-25_
Pengadilan agama dinilai paling terbuka dan informatif;
https://news.detik.com/bewrita/1522391/pengadilan-agama-
dinilai-paling-terbuka-dan-informatif.
6. Apa –apa sajakah peranan unggulan badilag dlam mempercepat
informasi perdilan daalm bidang organisasi, administrasi, sumber
daya manusia, dan finasial?
Jawaban: kebijakan Dirjen saat itu, memandang penberapan
teknologi dlam menunjang pelaksana tupoksi diantaranya : SIADPA,
SIMPEG, TABAYYUN, ONLINE dan sebagainya.
Jakrata Pusat, 18 Januari 2017.
Peneliti,
Siti Hanah
Kepala Biro Kepegawaian Badan Urusan
Administrasi Mahkamah Agung RI
,
Drs. H. Agus Zaenal Muttaqien, SH.
.
Gambar saat penulis melakukan wawancara dengan DR. H. Hasbi Hasan, M.H. Selaku
Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama di Jl. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass,
Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat. (Badilag).
Gambar saat penulis melakukan wawancara dengan Farid, S.H. Selaku Hakim
Pengadilan Agama Jakarta Selatan di Jl. RM Harsono No. 1, Ragunan, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan (12550) (Pengadilan Agama Jakarta Selatan).
Gambar saat penulis melakukan wawancara dengan Drs. H. Agus Zaenal Muttaqien,
S.H. Selaku Kepala Biro Kepegawaian Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung
RI di Jl. Medan Merdeka Utara No. 9 RT.2/rw 3, Gambir, Jakarta Pusat.
Gambar saat penulis melakukan wawancara dengan Drs. Bahrin Lubis, S.H., M.H.
Selaku Panitera Pengadilan Tinggi Agama Jakarta di Jl. Raden Inten II Duren Sawit
Jakarta Timur.