repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/siti...

101
REFORMASI PERADILAN AGAMA DI INDONESIA (Kajian Atas Pemberlakuan Sistem Satu Atap Lembaga Peradilan di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: SITI HANAH 1112044100057 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1439 H/2017 M

Upload: phamhanh

Post on 16-May-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

REFORMASI PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

(Kajian Atas Pemberlakuan Sistem Satu Atap Lembaga Peradilan di Bawah

Kekuasaan Mahkamah Agung)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

SITI HANAH

1112044100057

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1439 H/2017 M

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

v

ABSTRAK

Siti Hanah. NIM 1112044100057. REFORMASI PERADILAN

AGAMA DI INDONESIA (KAJIAN ATAS PEMBERLAKUAN SISTEM

SATU ATAP DI BAWAH KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG). Program

Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H / 2017.

Skripsi ini bertujuan untuk mengungkapan dua hal: a. Mengetahui

perkembangan peradilan agama pra dan pasca satu atap b. Mengetahui perubahan

manajemen peradilan agama pasca satu atap.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan

pendekatan deskriptif analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan

data primer dan sekunder. Yang menjadi data primer adalah hasil wawancara

dengan pengurus badilag, hakim pengadilan agama, panitera Pengadilan Tinggi

Agama dan kepala biro kepegawaian badan urusan administrasi Mahkamah

Agung. Data yang diperoleh dideskripsikan atau digambarkan secara sistematis

dan kemudian dianalisis.

Hasil dari penelitian ini bahwa Sebelum berada satu atap di bawah

Mahkamah Agung yakni di bawah Departemen Agama, posisi peradilan agama

seperti peradilan “Second Classs”. Hal tersebut terlihat bahwa Peradian Agama

tidak sejajar dengan Peradilan lainnya, seperti tergambar dari sarana prasarana,

organisasi, administrasi, dan finansial. Bahwa gedung-gedung Pengadilan Agama

pra satu atap berada di lingkungan jalan non protokol dan inventaris serta

tunjangan untuk hakimnya pun relatif sedikit. Berbeda dengan setelah satu atap,

gedung-gedung Pengadilan Agama lebih mewah dan hakimnya pun lebih

sejahtera. Selain itu pasca satu atap kompetensi absolut Pengadilan Agama

diperluas dengan menambahkan kewenangan dalam penyelesaian sengketa

Ekonomi Syariah. Pengadilan Agama pasca satu atap juga mengalami

peningkatan yang signifikan seperti di bidang implementasi pelayanan publik dan

keterbukaan informasi contohnya adanya posbakum dan segala hal administrasi

serta data terkait pengadilan dapat diakses melalui website resminya.

Kata kunci : Reformasi, Satu Atap, Peradilan Agama,

Departemen Agama, Mahkamah Agung.

Pembimbing : Drs. H. Wahyu Widiana, MA.

Bahan Pustaka : 1980 s.d. 2017.

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah

memberikan penulis banyak sekali rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam semoga selalu

tercurahkan kepada junjungan baginda Nabi Besar Muhammad SAW Nabi

terakhir serta manusia yang paling mulia.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah

banyak membantu penulis baik dari segi moril maupun materil. Oleh karena itu,

penulis ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Unversitas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta serta wakil

Dekan I, II, III Fakultas Syari’ah dan Hukum.

2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum

Keluarga yang selalu memberikan pelayanan terbaik serta motivasi-

motivasi kepada penulis.

3. Bapak Indra Rahmatullah, S.HI., S.H. Sekretaris Program Studi Hukum

Keluarga yang selalu memberikan pelayanan terbaik.

4. Bapak Drs. H. Wahyu Widiana, MA. Dosen Pembimbing skripsi yang

telah meluangkan waktu, tenaga serta fikirannya untuk membimbing

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Dr. Hj. Azizah MA. Dosen Pembimbing Akademik yang telah

meluangkan waktu, tenaga serta fikirannya untuk membimbing serta

memotivasi penulis.

6. Bapak Drs. Bahrin Lubis, S.H. Farid, S.H. Dr. H. Hasbi Hasan, M.H. Drs.

Agus Zainal Mutaqien, S.H. yang telah meluangkan waktu dan fikirannya

untuk menjadi narasumber skripsi ini.

7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di Lingkungan Program Studi Hukum

Keluarga yang dengan sabar telah memberikan ilmu-ilmu kepada penulis.

8. Secara khusus penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada

Ayahanda Hasan dan Ibunda Hj. Rohati yang selalu memberikan

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

vii

dukungan moril maupun materil, Kakak tercinta Amiruddin, Tuty

Noeraeni S.Pd. dan adik tercinta Akmalluddin serta keluarga besar H.

Nurji dan (alm) Marga.

9. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A., Ph.D. Selaku bibi penulis yang telah

banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

10. Saya Ucapkan terimakasih Ahmad Mustaqil Billah, Humaidi, Habibi

Asyraf, Muhammad Zaenury, Andi Asyraf, Miqdad Rikanie Suci Hanifa,

Rizka Nurul Amanah, Riri Sartika, Elis Sri Ramdhani, Eka Kurnia

Maulida, Selvina, Muqowwimah Husna, Hardiyanti Puspita Sari. Serta

sahabat-sahabat penulis Eka Yulyana Sari, Indira Awaliyah, Sarifah

Nurfadilah, Lia Yuliyanti, Farahdhiba Auriyanthie, Nanik Maulidah,

Atiqoh Fatiyah, Siti Maryam, dan terimakasih kepada semua teman-

teman Program Studi Hukum Keluarga 2012, terimakasih atas segala

ukiran hari bertemakan pertemanan yang tulus murni sepanjang masa

pendidikan di Program Studi Hukum Keluarga sejak awal hingga

terselesainya. Terimakasih atas segala canda, tawa dan tangisan haru serta

bahagia yang telah dibagi dan turut dirasa. Terimakasih atas rasa

kekeluargaan yang begitu besar meski tanpa ikatan darah. Jalinan

persahabatan ini semoga Allah jaga hingga selamanya.

11. Tak terlupakan pula terima kasih kepada semua yang telah berjasa

membantu dalam pembuatan skripsi ini, yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa terima kasih penulis

yang sebesar-besarnya.

Semoga segala kebaikan dan sumbangsinya dicatat sebagai amal ibadah

dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Ciputat, 11 Desember 2017

Siti Hanah

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

PERSETUJUAN BIMBINGAN .................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 5

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 5

E. Review Studi Terdahulu ................................................................. 6

F. Metode Penelitian ........................................................................... 7

G. Sistematika Penulisan ............................................................ 9

BAB II PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

A. Pengertian Peradilan Agama .................................................. 11

B. Sejarah Lembaga Peradilan Agama ....................................... 13

1. Peradilan Agama Sebelum Proklamasi Kemerdekaan ..... 13

2. Peradilan Agama Setelah Proklamasi Kemerdekaan ...... 15

C. Kewenangan Peradilan Agama .............................................. 17

1. Kewenangan Absolut ....................................................... 18

2. Kewenangan Relatif ......................................................... 21

BAB III KEBIJAKAN PERADILAN SATU ATAP

A. Urgensi Penyatuatapan Peradilan Agama .............................. 23

B. Upaya Departemen Agama Untuk Menyatuatapkan Peradilan

Agama .................................................................................... 28

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

ix

C. Sikap Ketua Pengadilan tinggi Agama (PTA) Se-Indonesia dan

Majelis Ulama (MUI) Terhadap Konsep Penyatuatapan Peradilan

Agama Se-Indonesia .............................................................. 29

BAB IV PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

PRA DAN PASCA SATU ATAP

A. Perkembangan Peradilan Agama Pra Pemberlakuan Sistem Satu

Atap di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung ...................... 34

1. Aspek Organisasi ............................................................. 35

2. Aspek Administrasi .......................................................... 35

3. Aspek Finansial ................................................................ 36

B. Perkembangan Peradilan Agama Pasca Pemberlakuan Sistem

Satu Atap di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung ............. 38

1. Aspek Organisasi ............................................................. 40

2. Aspek Administrasi .......................................................... 42

3. Aspek Finansial ................................................................ 47

4. Implementasi Pelayanan Publik ....................................... 50

5. Implementasi Keterbukaan Informasi .............................. 52

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................. 62

B. Saran ......................................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, dan

mengadili perkara tertentu untuk menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan hukum/aturan yang berlaku, sementara pengadilan adalah tempat

proses mengadili tersebut dilaksanakan.1

Di Indonesia terdapat empat macam lingkungan peradilan sebagai

mana disebutkan dibawah ini : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi.2

Tatanan peradilan di Indonesia berubah dari waktu ke waktu, dasar

yang dijadikan rujukan dalam perubahan itu adalah UUD Pasal 24 ayat 1, 2

dan 3 Tahun 19453 : (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan

kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang.

Salah satu reformasi di bidang penegakan hukum yang signifikan

adalah adanya Ketetapan MPR-RI No. X/MPR 1998 tentang Pokok-Pokok

Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi

1 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan-Suatu Kajian Dalam

Sistem Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 22-31. 2 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, Cet. 2, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h.278-279. 3 UUD Pasal 1, 2 dan 3 Tahun 1945 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

2

Kehidupan Nasional sebagai hukum negara khususnya BAB IV C. Disana

ditegaskan perlunya reformasi di bidang hukum untuk mendukung

penanggulangan krisis di bidang hukum. Salah satunya agenda yang harus di

jalankan adalah pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari

eksekutif.

Pemisahan ini dilaksanakan dengan mengalihkan organisasi,

adiminitrasi, dan finansial badan-badan peradilan yang semula berada di

bawah departemen-departemen menjadi berada di bawah kekuasaan

Mahkamah Agung. Hal ini karena pembinaan lembaga peradilan yang selama

ini dilakukan oleh eksekutif dianggap memberi peluang bagi penguasa

melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi

dan praktek-praktek negatif pada proses peradilan. Dalam rangka mencapai

kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan berbagai peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan

finansial badan-badan peradilan.4

Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasan kehakiman sebagai wujud

dari kemadirian lembaga yudikatif, maka sesuai dengan tuntutan reformasi di

bidang hukum telah dilakukannya perubahan terhadap peraturan perundang-

undangan yang perlu diubah terlebih dahulu adalah UU No. 14 Tahun 1970

Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.5

Mengacu pada ketentuan di atas dilakukan perubahan susunan dan

kekuasaan badan peradilan dalam UU No. 19 Tahun 1964 Tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman dan kemudian diubah

dengan UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang ini merupakan titik awal

perkembangan Undang-Undang bagi Peradilan Agama.6

4 Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 1999 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman. 5 Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), h. 8-9. 6 Jaenal Arifin, et. al, Peradilan Agama dari Serambi Masjid ke Serambi Dunia,

(Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2012), h.5.

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

3

Peradilan Agama mengalami perubahan dan perkembangan dalam

rentang waktu yang sangat panjang, sejak Islam menjadi kekuatan politik di

Indonesia pada masa munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga dewasa ini.

Kini ia menjadi salah satu peradilan negara yang memiliki kekuatan sejajar

dengan peradilan negara yang lainnya, terutama sejak diundangkannya UU

No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.7 Lahirnya Undang-Undang ini

memberikan pengaruh yang sangat signifikan bagi pengembangan peradilan

agama pada masa berikutnya.8

UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah

diubah dengan UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Atas UU

No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.9 Perubahan

tersebut menyangkut beberapa hal krusial di antaranya perubahan teknis

hubungan kelembagaan dan kewenangan dalam tubuh peradilan umumnya

dan peradilan agama khususnya. Selain terjadi perubahan pada ketentuan

pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial oleh

Mahkamah Agung seperti diatur dalam Pasal 5 dalam UU No. 7 Tahun 1989

Pasal 5 pembinaan teknis dilakukan oleh Mahkamah Agung RI, sedangkan

pembinaan non teknis organisasi perlengkapan, kepegawaian dan keuangan

dilakukan oleh Departemen Agama, dan yang penting adalah mengatur dan

menambah kewenangan dalam pengadilan agama.10

Sedangkan dengan

dirubahnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, maka

pembinaan secara teknis dan non teknis seperti disebutkan di atas harus satu

atap di bawah naungan Mahkamah Agung dan tidak ada lagi kewenangan

Departemen Agama dalam pembinaan peradilan agama di Indonesia.

7 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2000), h. 258.

8 Jaenal Arifin et al, Tahun Peradilan Agama dari Serambi Masjid ke Serambi Dunia, h. 5.

9 Lihat Konsideran Poin c UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.

10 Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), h. 312-313.

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

4

Pembinaan Peradilan Agama di bawah Mahkamah Agung dengan

istilah satu atap tidak bisa dipisahkan atau sebagai realisasi dari pada

perubahan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yaitu perubahan UU No.

14 Tahun 1970 menjadi UU No. 35 Tahun 1999. Karena UU No. 35 Tahun

1999 merupakan cikal bakal dari lahirnya penyatuatapan Peradilan di bawah

Mahkamah Agung. Melalui perubahan UU No. 14 Tahun 1970 tersebut telah

diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang

menyangkut teknis yustisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan

finansial berada di bawah satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Kebijakan ini sudah harus dilaksanakan paling lambat lima tahun sejak

diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU No. 14

Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.11

Pemindahan peradilan agama ke Mahkamah Agung sebenarnya tidak dibatasi

waktunya sebagaimana peradilan umum dan peradilan tata usaha negara.

Namun dalam perkembangannya peradilan agama juga seperti lingkungan

peradilan tersebut yang dibatasi waktu pemindahannya.12

Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan peradilan agama

terhadap kemandirian lembaga peradilan (indepedensi lembaga peradilan),

maka peradilan agama yang sebelumnya berada pada dua lembaga yaitu

Departemen Agama (Depag) dan Mahkamah Agung (MA) dalam aspek

pembinaan, kini berada di bawah satu atap pembinaan yang dilakukan oleh

Mahkamah Agung.

Beberapa aspek yang mengalami perubahan setelah peradilan agama

disatuatapkan pada era reformasi menyangkut persoalan yang berkaitan

dengan pemindahan wewenang dan regulasi teknis dalam peradilan agama,

sehingga perubahan tersebut semakin mengukuhkan peradilan agama sebagai

pelaku kekuasaan kehakiman yang mandiri dan independen.

Berangkat dari pokok pikiran diatas, karena itu penulis tertarik untuk

mengkaji skripsi ini dengan judul “REFORMASI PERADILAN AGAMA

11

Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2010), h.11. 12

Pasal 42 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

5

DI INDONESIA” (Kajian Atas Pemberlakuan Sistem Satu Atap Lembaga

Peradilan Di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung).

B. Identifikasi Masalah

Bahwa perkembangan peradilan agama dalam proses satu atap di

bawah Mahkamah Agung melalui perjalanan panjang dan dilatarbelakangi

oleh beberapa faktor penting tentunya. Sehingga pembinaan teknis yustisial

peradilan agama maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada

di bawah kekuasaan Mahkamah Agung saat ini. Yang mana sebelumnya,

Mahkamah Agung hanya membina urusan teknis yustisial sedangkan

pembinaan lainnya di bawah kekuasaan Departemen Agama. Masalah ini

memberikan dampak terhadap perkembangan manajemen peradilan agama

pra dan pasca satu atap.

C. Pembatasan dan perumusan Masalah

Dari identifikasi masalah yang dipaparkan di atas, peneliti membatasi

penelitian ini yaitu reformasi Peradilan Agama pra satu atap yang dimulai

sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sampai Pengadilan

Agama berada satu atap di Lingkungan Mahkamah Agung yaitu Tahun 2004.

Kemudian pasca satu atap yang menjadi fokus penelitian ini dimulai dari

tahun 2004 sampai dengan sekarang. Selanjutnya untuk mempermudah

memahami hasil penelitian, peneliti merumuskan suatu masalah tersebut

dengan sebuah pertanyaan, yaitu :

1. Bagaimana perkembangan peradilan agama pra dan pasca satu atap?

2. Bagaimana perubahan manajemen peradilan agama pasca satu atap?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam tentang

perkembangan peradilan agama di Indonesia pasca satu atap dengan

Mahkamah Agung .

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

6

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui perkembangan peradilan agama pra dan pasca satu

atap.

b. Untuk mengetahui perubahan manajemen peradilan agama pasca satu

atap.

2. Manfaat Penelitian

a. Sebagai wujud kontribusi penulis dalam perkembangan ilmu

pengetahuan khususnya perkembangan peradilan agama di Indonesia

pasca reformasi.

b. Sebagai pengetahuan dan gambaran khususnya bagi pembaca dan

umumnya bagi masyarakat mengenai perkembangan peradilan agama di

Indonesia pasca reformasi.

E. Review Studi Terdahulu

Berdasarkan beberapa yang penulis telusuri, ada beberapa skripsi

yang relevan dengan judul yang dibahas diatas, diantaranya adalah :

Pertama, Skripsi dari Yayuk Rohmawati meneliti tentang Pengadilan

Agama Jepara sebelum dan sesudah satu atap dengan Mahkamah Agung

(skripsi) di IAIN Walisongo Semarang. Dilihat dari judul ini Yayuk

Rohmawati meneliti lebih spesifik tentang kedudukan pengadilan agama dan

pengelolaan Pengadilan Agama Jepara. hasil penelitian yang dia temukan

adalah pengadilan agama di Jepara mengalami kemajuan baik mengenai

kewenangan/kedudukan PA yang sederajat dengan pengadilan (PN, PM dan

PTUN). Selain itu, pengelolaan bidang organisasi adminitrasi dan finansial

mengalami peningkatan. Sedangkan Penulis pada skripsi ini membahas

tentang kedudukan peradilan agama pra dan pasca satu atap secara umum

baik secara organisasi, administrasi dan finansial. Begitu juga dengan

perkembangan peradilan agama di Indonesia.

Kedua, Jurnal Hukum dan Pembangunan 47 No. 3 (2016) yang di tulis

oleh Domiri tentang Analisis Tentang Sistem Peradilan Agama Di Indonesia.

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

7

Jurnal tersebut hanya membahas mengenai komponen aturan hukum materiil

dan formil, serta aparat peradilan seperti hakim, panitera, dan juru sitayang

disertai fungsi dan tugasnya. Sedangkan Penulis pada skripsi ini membahas

tentang kedudukan peradilan agama pra dan pasca satu atap secara umum

baik secara organisasi, administrasi dan finansial. Begitu juga dengan

perkembangan peradilan agama di Indonesia.

F. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini, menggunakan metode deskriptif dengan

pendekatan kualitatif, yakni suatu metode dalam penelitian terhadap

sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu pemikiran pada masa

sekarang. Tujuan dari deskripsi ini adalah untuk membuat gambaran secara

sistematis, faktual, dan akurat tentang fenomena yang diteliti.

Penelitian ini meliputi beberapa hal :

1. Sumber Data

Penelitian ini memiliki dua sumber data, yaitu sumber data primer dan

sumber data sekunder.

a. Data Primer

Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumber yang

asli dari wawancara dengan para pengurus Badan Peradilan Agama

(Badilag), salah satu Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan,

Panitera Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta dan Kepala Biro

Kepegawaian Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung serta

buku-buku terbitan Mahkamah Agung yang membahas tentang

sejarah Peradilan Agama pra dan pasca satu atap.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diambil dari bahan-bahan pustaka

yang menunjang data primer, dalam hal ini data sekunder diperoleh

dari buku-buku hukum, majalah, artikel, jurnal-jurnal, laporan

penelitian yang berhubungan dengan masalah penelitian ini.

1) UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

8

2) UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun

1989 Tentang Peradilan Agama.

3) UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.

7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

4) UU No. 35 Tahun 1999 Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970

Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

5) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.

48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengganti

UU No. 4 Tahun 2004 serta data lainnya yang memuat

keterangan dan penjelasan seputar tema dan pokok penjelasan.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

gabungan antara wawancara dan penelitian kepustakaan (library research)

yaitu yang mengumpulkan data-data dari objek wawancara, buku,

dokumen untuk mendapatkan informasi mengenai penelitian yang akurat

dan sesuai.

3. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian

deskriftif analisis.

4. Teknik Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data yang dilakukan penulis untuk

mendapatkan dan memahami gambaran berdasarkan realita yang ada,

penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagi berikut :

a. Wawancara

Wawancara yaitu proses tanya jawab secara langsung antara

peneliti dengan informan. Peneliti menentukan informan diantaranya

pelaku sejarah reformasi Peradilan Agama yaitu Farid, SH yang

sekarang menjabat sebagai Hakim Pengadilan Agama Jakarta

Selatan dan Drs. Bahrin Lubis, SH, MH yang menjabat sebagai

Panitera Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta serta Kepala Biro

Kepegawaian Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung RI

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

9

yakni Drs. H. Agus Zainal Muttaqin, SH.

Selain pelaku sejarah yang dijadikan informan oleh peneliti,

peneliti juga menggali informasi dengan mewawancarai pejabat

Direktorat Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik

Indonesia saat ini sebagai data pelengkap.

b. Dokumen

Dokumen yaitu sejumlah bahan bukti berupa fakta dan data

yang tersimpan dalam bentuk dokumen. Dokumen yang

dikumpulkan yaitu laporan Mahkamah Agung tahun 2016

5. Analisis Data

Penulis menggunakan metode kualitatif yang terdiri dari induktif

deduktif. Metode deduktif digunakan untuk menganalisa data yang bersifat

khusus dan kemudian diolah menjadi kesimpulan umum.

Adapun teknik penulisan, penulis merujuk kepada buku Pedoman

penulisan skripsi fakultas syariah dan hukum, yang diterbitkan oleh pusat

peningkatan dan jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

G. Sistematika Penulisan

Dalam skripsi ini terjadi menjadi beberapa sitematika pembahasan.

Hal ini di lakukan untuk mempermudah peneliti dalam penyusunan skripsi

serta mempermudah pembaca untuk mengkonsumsi isi skripsi ini.

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini terbagi menjadi lima bab yaitu:

Bab pertama berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi

terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua ini berisi peradilan agama di Indoneisa tentang pengertian

peradilan agama, sejarah lembaga peradilan agama, dan kewenangan

peradilan agama.

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

10

Bab ketiga ini sebagaimana umumnya pada bab ini pertama: berisi

tentang urgensi penyatuatapan peradilan agama, kedua: upaya Kementerian

Agama untuk menyatuatapkan peradilan agama, dan ketiga: sikap Ketua

Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Se-Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia

(MUI) terhadap konsep penyatu atapan peradilan agama di Indonesia.

Bab keempat ini berisi tentang perkembangan peradilan agama pra

pemberlakuan sistem satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, dan

perkembangan pasca pemberlakuan sistem satu atap di bawah kekuasaan

Mahkamah Agung.

Bab kelima merupakan bab penutup. Yang di dalamnya menjawab

semua permasalahan yang di angkat dalam penelitian ini, serta memberikan

rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut dan pemanfaatan praktis hasil

penelitian ini.

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

11

BAB II

PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

A. Pengertian Peradilan Agama

Secara etimologis peradilan agama berasal dari bahasa Arab yaitu“al-

qadha”,yang memiliki banyak arti, bukan tunggal. Muhammad Salam

Madkur memberi tiga pengertian, yang pertama, al-faragh berarti putusan

atau selesai, kedua al-qadha berarti menunaikan atau membayarkan dan

ketiga, al-hukmu berarti mencegah atau menghalang-halangi. Apabila secara

etimologis, pengertian ini dapat menggambarkan sebagai fungsi hakim; untuk

memutuskan dan menyelesaikan suatu perkara yang muncul dari masyarakat

muslim (al-faragh), menunaikan dan membayarkan, bermakna tugas mulia

yang diemban seorang hakim, untuk melaksanakan dan menunaikan suatau

hukum Allah, yaitu memberikan suatu yang patut secara syar‟i untuk

diterimanya (al’qadha) dan mencegah (al-hukmu) yang mana seorang hakim

melalui pengadilan berkewajiban mencegah dan memberi perlindungan

hukum bagi masyarakat.13

Istilah peradilan dan pengadilan berasal dari kata dasar yang sama,

namun keduanya memiliki makna dan pengertian yang berbeda. Sebagaimana

dikemukakan oleh beberapa pakar berikut.

1. Abdul Manan menjelaskan bahwa peradilan adalah kekuasaan negara

dalam menerima, memeriksa, dan mengadili perkara tertentu untuk

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum/aturan yang

berlaku, sementara pengadilan adalah tempat proses mengadili tersebut

dilaksanakan.14

2. Subekti dan R. Tjitrosoedibio menyatakan bahwa peradilan adalah

segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara dalam

13

Abdul Halim, Peradilan Agama dan Politik Hukum di Indonesia dari Otoriter Konservatif

Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 2, h.

27-28. 14

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan-Suatu Kajian dalam Sistem

Peradilan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 22-31.

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

12

menegakkan hukum dan keadilan, sementara pengadilan adalah suatu

lembaga yang melakukan proses peradilan yaitu memeriksa dan

memutus sengketa-sengketa hukum atau pelanggaran-pelanggaran

hukum.15

3. Jaih Mubarok berpendapat bahwa peradilan merupakan salah satu

pranata dalam menegakkan hukum yang berlaku, sedangkan pengadilan

merupakan satuan organisasi yang menyelenggarakan penegakan hukum

tersebut.16

4. Abdul Gani Abdullah menyebutkan peradilan sebagai kewenangan suatu

lembaga untuk menyelesaikan perkara untuk dan atas namahukum demi

tegaknya hukum dan keadilan. Peradilan adalah daya upaya untuk

mencari keadilan dan penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan

menurut peraturan perundang-undangan dan lembaga-lembaga tertentu

dalam pengadilan.17

Peradilan agama adalah salah satu lembaga peradilan khusus di

Indonesia. Peradilan khusus lainnya adalah peradilan militer dan peradilan

tata usaha negara. Dikatakan peradilan khusus karena peradilan agama

mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu.

Jenis perkara yang diadilinya adalah jenis perkara berdasarkan agama Islam.

Tegasnya, peradilan agama adalah peradilan Islam yang limitatif yang telah

disesuaikan dengan keadaan Indonesia. 18

Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa peradilan dan

pengadilan adalah dua hal yang berbeda. Istilah peradilan merujuk kepada

suatu proses penegakan hukum dan pemberian keadilan, sementara istilah

pengadilan merujuk pada tempat proses tersebut dilakukan.

15

Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1996 ), Cet.

Ke 12, h.68. 16

Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h.

2. 17

Abdul Ghani Abdullah, “Badan Hukum Syara Kesultanan Bima 1947-1957: Sebuah Studi

Mengenai Peradilan Agama”, Disertasi, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, 1987), h. 10-

11. 18

Basiq Djalil, Peradilan Islam,(Jakarta: Amzah, t.th.), h.7.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

13

B. Sejarah Lembaga Peradilan Agama

1. Peradilan Agama Sebelum Proklamasi Kemerdekaan

Secara yuridis formal, peradilan agama sebagai suatu badan peradilan

dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan

Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882, yang dimuat dalam staatsblad

1882 No. 152. Badan peradilan ini bernama Priester Raad yang lazim

dikenal dengan Rapat Agama atau Raad Agama dan terakhir dengan

pengadilan agama. 19

Pada tahun 1882, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan

(Staatblat No. 152) membentuk pengadilan agama (Priester Raad) di

Jawa dan Madura yang mempunyai kekuasaan mengadili perkara-perkara

perkawinan (nikah, talak, rujuk, mahar, dan hadlanah), sedang masalah

waris menjadi kewenangan Landraad (Pengadilan Negeri).20

Pengadilan Agama pada tahun 1882 tidak terlepas dari pemikiran

politik hukum yang dijalankan oleh pemerintahan Belanda. Pada saat itu

pemikiran politik hukum Belanda sedang dipengaruhi oleh Lodewijk

Willen Christian van den Berg (1845-1935) yang berpendapat bahwa

hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Kalau orangnya beragam

Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya. Teori ini dikenal

dengan teori receptie in complexu.21

Namun demikian, terjadi perubahan politik hukum, Belanda merasa

perlu untuk memperlakukan Hukum Barat (Belanda) untuk semua

golongan penduduk, termasuk untuk golongan bumiputra, yang dikenal

dengan unifikasi hukum. Karena dirasa kebijakan yang diterapkan

dianggap tidak bisa untuk menghentikan hukum Islam. Maka teori

receptie in complexu digagalkan dan diganti dengan teori receptie yang

19

Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia dari Otoriter

Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2002), cet. 2, h. 51. 20

http://alamatsejarah.blogspot.co.id/2015/02/sejarah-singkat-peradilan-agama-di.html,

diakses pada tanggal 1 Desember 2016, pukul 11.54 WIB. 21

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2002), h. 8.

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

14

dipelajari oleh Snouck Hurgonje (1857-1936). Menurutnya yang berlaku

bagi orang Islam bukanl;ah Hukum Islam, melainkan hukum adat.22

Sejak lahirnya Staatsblad 1937 No. 116 Pasal 2a yang berlaku tanggal

1 April 1937, maka kompetensi peradilan agama menjadi terbatas dan

lebih sempit, sehingga hanya dalam bidang-bidang.

a) Perselisiahan antara suami isteri yang beragama Islam

b) Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara

orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantara Hakim

Islam.

c) Memberi putusan perceraian

d) Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya taklik talak

e) Perkara mahar, sudah termasuk mut‟ah

f) Perkara tentang keperluan kehidupan suami isteri yang wajib diadakan

oleh suami.23

Karena adanya pembatasan kewenangan pengadilan agama,

pemerintah Belandapun menghapus kedudukan pengadilan agama

sebagai penasihat Landraad, maka kedudukan penghulu sebagai Landraad

dihapus dan dianggap tidak perlu lagi. Pada akhirnya kedudukan

penghulu c.q. Ketua/Hakim pengadilan agama hanya sebagai juru sumpah

saja.24

Pada masa penjajahan Jepang, Pengadilan Agama dan Mahkamah

Islam Tinggi di Jawa tetap berlaku dan tetap dipertahankan, berdasarkan

peraturan peralihan Pasal 3 Undang-Undang Bala Tentara Jepang (Osamu

Saaire) Nomor 1 Tanggal 7 Maret 1942. Pengadilan agama dianggap

sama seperti lembaga yang lain seperti pada masa penjajahan Belanda.

Lembaga peradilan agama ini dimasukan dalam urusan Gunseikanbuyang

22

Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 222-223. 23

Departemen Agama RI, Peradilan Agama di Indonesia Sejarah Perkembangan Lembaga

dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, h. 6. 24

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem

Peradilan, h. 221.

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

15

merupakan Departemen Kehakiman Jepang.25

2. Peradilan Agama Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Ketika Indonesia merdeka, peradilan agama dimasukkan kedalam

Kementrian Kehakiman tetapi setelah pembentukan Kementrian Agama,

pengadilan agama dipindahkan ke Departemen Agama dengan penetapan

Pemerintah Nomor 5 Tanggal 25 Maret 1946.26

Kemudian langkah-langkah yang diambil pemerintah diantaranya:27

a. Mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatn Nikah,

Talak dan Rujuk menggantikannya ordonasi dahulu, walaupun hanya

berlaku di Jawa dan Madura.

b. Mengeluarkan penetapan Menteri Agama No. 6 Tahun 1947 Tentang

Penetapan Formasi Pengadilan Agama Terpisah dari Penghulu

Kabupaten, dengan kata lain pemisahan tugas antara penghulu

kabupaten sebagai Kepala Pegawai Pencatat Nikah dan urusan

kepenghulan lainnya, dengan Hakim sebagai Ketua Pengadilan

Agama. Hal ini dilakukan setelah seluruh penghulu dan pegawainya

sampai tingkat kecamatan diangkat pegawai negeri.

c. Menjadikan 13 buah buku rujukan sebagai pedoman hakim agama

dalam mengadili perkara, yaitu; Al-Bajuri, Fatkhul Mu‟in, Syarkawi,

Alattahir, Qulyubi Mahali, Fatkhul Wahab dan syarahnya Tuhfah,

Tagribul Mustagh, Qarwanin Syah‟ah Lil-Sayyid bin Yahya,

Qawaninus Syari‟ah lis Sayyid sadaqah dahlan, Syamsuh fil Faraid,

Bughyatul Mustarssyidin, Al Fiqh „Alaa Maazahibil Arba‟ah, dan

Mughnil Muhtaj.

Diluar Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan dikenal dengan

berbagai macam lembaga Peradilan Agama, tetapi lembaga tersebut

25

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem

Peradilan, h. 212. 26 http://alamatsejarah.blogspot.co.id/205/02/sejarah-singkat-peradilan-agama-di.html,

diakses pada tanggal 1 Desember 2016, pukul 11.45 WIB. 27

Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, h. 242-243.

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

16

merupakan bagian dari Peradilan Adat dan Swapraja.28

Pertama,

dibeberapa daerah Sumatera sebagai hasil revolusi kemerdekaan,

semenjak 1 Agustus 1946 terbentuk Mahkamah Syar‟iyyah di daerah

Aceh Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung.

Kedua, daerah daerah lain seperti Kalimantan Barat dan Timur masing-

masingdengan Mahkamah Balai Agama dan Majelis Agama Islamnya, di

Sulawesi Nusa Tenggara dan Maluku, atas dasar pelestarian peradilan

agamanya berdasarkan peraturan swapraja dan peraturan adat meskipun

atas kuasa setempat termasuk Kerapatan Qadhi di Kalimantan Selatan.29

Kewenangan pengadilan agama berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor 45 Tahun 1957 yaitu: pertama, mengadili perkara dari suami isteri

yang beragama Islam apabila timbul sengketa dalam rumah tangganya,

kedua, menyelesaikan perkara dalam bidang nikah, talak, rujuk, fasakh

dan syiqaq. Ketiga, menetapkan syarat taklik talak yang diperjanjikan

telah terwujud karena danya gugatan dari pihak isteri. Keempat,

mengadili perkara sedekah serta perkara peselisihan dalam mengelola

baitulmal. Ketentuan ini juga berlaku bagi Pengadilan Tingkat Banding.30

Kemudian lahirlah Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama yang disahkan pada tanggal 9 Desember 1989.

Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan peristiwa

penting, sebab dengan disahkannya undang-undang tersebut semakin

mantaplah kedudukan peradilan agama sebagai salah satu badan

pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dalam menegakkan hukum

Islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam yang mengenai

perkara-perkara perdata bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,

wakaf, dan sedekah.31

Pada era reformasi, muncullah tuntutan dan dukungan dari Umat

28

Zaini Ahmad Noeh, Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: PT, Intermasa, 1980),

h.190. 29

Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, h. 244-245. 30

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem

Peradilan,h. 215-216. 31

Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam,h. 261.

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

17

Islam Indonesia untuk memasukan masalah ekonomi syariah kedalam

kewenangan peradilan agama. Tuntutan ini juga hadir karena

berkembangnya sistem ekonomi syariah di Indonesia yang diatur dalam

Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7

Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.32

Kemudian setelah lahirnya UU

No. 3 Tahun 2006, kewenangan peradilan agama diperluas

kewenangannya. Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,

memutus dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara orang-orang

yang beragam Islam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,

zakat, infaq, sedekah dan ekonomi syari‟ah.33

C. Kewenangan Peradilan Agama

Secara bahasa, nama lain dari kewenangan adalah kompetensi yang

berarti “kewenangan (kekuasaan)”, untuk menentukan (memutuskan)

sesuatu.34

Berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan

Hukum Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal yaitu: tentang

kewenangan absolut (absolut competentie) dan kewenangan relatif (relative

competentie), sekaligus dibicarakan pula didalamnya tentang tempat

mengajukan gugatan atau permohonan serta jenis perkara yang menjadi

kewenangan pengadilan. 35

Kewenangan atau kompetensi peradilan agama diatur dalam Pasal 49

sampai Pasal 53 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Kewenangan tersebut terdiri atas kewenangan absolut dan kewenangan

relatif.36

32

Didi Kusnadi, Bantuan Hukum dalam Hukum Islam Hubungannya dengan Undanng-

Undang Advokat dan Penegak Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), h.

113. 33

Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama. 34

Tim Penyusun Pusat Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 743. 35

Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2012), h. 202. 36

Sulaikun Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2006), cet. 2, h. 103.

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

18

1. Kewenangan Absolut Peradilan Agama

Kewenangan absolut(Absolute Competensi)yaitu kewenangan yang

menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya

perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh pengadilan

agama.37

Ruang lingkup kewenangan absolut peradilan agama adalah untuk

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,

waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonimi syari‟ah

yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.38

Sehingga apabila dalam

perkara-perkara tersebut dilakukan oleh orang tidak beragama Islam dan

tidak dengan landasan Hukum Islam, perkara tersebut secara absolut tidak

menjadi kewenangan peradilan agama, tetapi menjadi kewenangan

peradilan umum.39

Dari luasnya kewenangan peradilan agama saat ini, yang meliputi juga

perkara bidang ekonomi syari‟ah yang berarti juga mengalami perluasan

terhadap pengertian asas personalitas keislaman, hal tersebut telah

diantisipasi dalam bab penjelasan dari UUNo. 3 Tahun 2006 pada Pasal 1

angka 37 tentang Perubahan Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 yang

menyebutkan sebagai berikut.

“Yang dimaksud dengan: antara orang-orang yang beragama islam

“adalah orang yang termasuk orang atau badan hukum yang dengan

sendirinya menundukan diri dengan sukarela kepada hukum islam

mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesaui

dengan ketentuan pasal ini”.

Dengan uraian di atas dapat disebutkan bahwa kewenangan absolut

peradilan meliputi bidang-bidang perdata tertentu seperti yang tercantum

37

Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2004), cet. 2, h. 119. 38

Pasal 49 ayat 1 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989

Tentang Peradilan Agama. 39

Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, h. 117.

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

19

dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 dan berdasarkan

diatas asas personalitas keislaman mengalami perluasan. Dengan kata

lain, bidang-bidang Hukum Keluarga saja dari orang-orang yang

beragama Islam.40

Bahwa dalam kewenangan absolut peradilan agama

adalah sebagai berikut:

a) Kewenangan mengadili perkara bidang perkawinan

Kekuasaan absolut pengadilan agama diatur dalam Pasal 49 UU

No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989

Tentang Peradilan Agama yang pada pokoknya adalah pada bidang-

bidang sebagai berikut:41

Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur

berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku

yang dilakukan menurut syari‟ah, antara lain: (a) izin beristri lebih

dari seorang;(b) izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang

belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali

atau keluarga dalam gars lurus ada perbedaan pendapat; (c) dispensasi

nikah (d) pencegahan perkawinan; (e) penolakan perkawinan oleh

Pegawai Pencatat nikah; (f) pembatalan nikah; (g) gugatan kelalaian

atas kewajiban suami atau istri; (h) perceraian karena talak; (i)

gugatan perceraian; (j) penyelesaian harta bersama: (k) penguasaan

anak-anak; (l) ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan

bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak

memenuhinya; (m) penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan

oleh suami kepada bekas istri atau pennetuan suatu kewajiban bagi

bekas istri; (n) putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; (o)

putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; (p) pencabutan

kekuasaan wali; (q)penunjukan orang lain sebagai wali oleh

pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; (r) menunjuk

seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18

40

Sulaikun Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 106 41

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 3 ayat 2.

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

20

(delapan belas ) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal

tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya; (s) pembebanan

kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan

kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaanya; (t)

penetapan asal usul seorang anak; (u) putusan tentang hal penolakan

pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur; (v)

pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan

yang lain. Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal

memberikan kewenangan peradilan agama untuk memeriksa perkara

perkawinan, yaitu: (w) penetapan Wali Adlal; (x) perselisihan

penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.42

b) Kewenangan mengadili perkara bidang wakaf, zakat, infak dan

shadaqah

Mengenai wakaf, sejak diterapkannya PP No. 28 tahun 1977

masalah wakaf merupakan wewenang pengadilan agama dan setelah

berlakunya KHI buku ke III yang berisi mengenai wakaf. Pasal 226

KHI menegaskan bahwa penyelesaian perselisihan sepanjang yang

menyangkut persoalan benda wakaf dan nadzir diajukan kepada

pengadilan agama setempat. Begitu pula dengan zakat, infak dan

sedekah. Peradilan agama juga berwenang menyelesaikan masalah

yang berkenaan dengan penyelenggaraan zakat infak dan sedekah.43

c) Kewenangan mengadili bidang ekonomi syariah

Ekonomi syariah adalah perubahan atau kegiatan usaha yang

dilakukan menurut prinsip syariah meliputi: (a) bank syari‟ah; (b)

lembaga keuangan makro syari‟ah; (c) asuransi syari‟ah; (d)

reasuransi syariah (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syari‟ah dan

surat berharga menegah syari‟ah; (g) sekuritas syari‟ah; (h)

pembiayaan syari‟ah; (i) pegadian syari‟ah; (j) dana pensiun lembaga

42

Sulaikun Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 110. 43

Sulaikun Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 113.

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

21

keuangan syari‟ah; (k) bisnis syari‟ah.44

d) Kewenangan Pengadilan Agama Yang Lain

Pengadilan agama juga berwenang memberikan itsbat kesaksian

rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun Hijriah.45

Disamping

itu pengadilan agama dapat memberi nasihat mengenai perbedaan

penentuan arah kiblat dan penentaun awal waktu solat.46

2. Kewenangan Relatif Peradilan Agama

Adalah kewenangan mengadili suatu perkara yang menyangkut

wilayah/daerah hukum (yurisdiksi), hal ini dikaitkan dengan tempat

tinggal pihak-pihak berperkara,. Ketentuan umum menetukan gugatan

diajukan kepada pengadilan yang mewilayah tempat tinggal tergugat

(Pasal 120 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (2) RBg. Dalam perkara

perceraian gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU

No. 7 Tahun 1989).47

Landasan untuk menentukan kewenangan relatif

pengadilan agama merujuk pada Pasal 118 HIR. Namun ada beberapa

pengecualian dalam Pasal 118 ayat 2,3, dan 4, yaitu:48

a. Apabila Tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada

pengadilan yang daerah hukum yang meliputi kediaman salah seorang

dari tergugat.

b. Apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan

diajukan kepada pengadilan tempat tinggal penggugat.

c. Apabila gugatan mengenai harta benda yang tidak bergerak, maka

gugatan diajukan kepada peradilan di wilayah hukum dimana barang

tersebut berada.

44

Lihat Penjelasan Pasal 1 angka 37 Tentang Perubahan Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989. 45

Pasal 52A UU No. 3 tahun 2006, dalam penjelasannya dijelaskan bahwa pengadilan agama

diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan itsbat (penetapan) terhadap kesaksian orang yang

telah melihat atau menyaksikan hilal pada setiap memasuki awal Ramadhan dan bulan Syawal

tahun hijriah. 46

Sulaikun Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 115. 47

http://peradilandiindonesia.blogspot.co.id/2012/11/kewenangan-peradilan.html,diakses

pada 1 Desember 2016, pada pukul 14:21 WIB. 48

Sulaikun Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 104.

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

22

d. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka

gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang dipilih

dalam akta tersebut.

Penulis berpendapat tentang pasal pengecualian kewenangan

peradilan tersebut sangatlah penting untuk diketahui oleh hakim dan

orang yang berkepentingan, dikarenakan unsur dan substansi yang berada

di dalamnya berhubungan dengan para pihak yang berperkara,

Kewenangan absolut (Absolute Competensi) yaitu kewenangan yang

dimiliki oleh peradilan untuk dapat memutuskan apakah perkara tersebut

berhak diadili oleh peradilan agama atau peradilan umum atau

peradilannya lainnya, begitu pula dengan kewenangan relatif adalah

kewenangan yang dimiliki oleh peradilan agama untuk dapat

memutuskan apakah perkara tersebut masuk wilayah daerahnya atau

tidak. Pada dasarnya kewenangan tersebut adalah salah satu wujud

reformasi memperbaiki administrasi marwah peradilan agama, karenakan

dengan adanya tersebut peradilan agama mempunyai hak-hak dan

wewenang tersendiri dalam mengadili perkara.

Dengan adanya kewenangan tersebut di maksud untuk meletakkan

kedudukan masing-masing peradilan dan wewenangnya agar tidak salah

dalam mengadili perkara yang ada.

Khusus untuk permohonan cerai gugat, berdasarkan UU No. 7 Tahun

1989, jika domisili tergugat (suami) berbeda wilayah dengan domisili

pengugat (istri), maka gugatan tidak diajukan di pengadilan agama yang

mewilayahi domisili tergugat, melainkan di pengadilan agama yang

mewilayahi domisisli penggugat.49

49

Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

23

BAB III

KEBIJAKAN PERADILAN SATU ATAP

A. Urgensi Penyatuatapan Peradilan Agama

Penyatuatapan peradilan agama merupakan bentuk reformasi peradilan

agama yang sangat signifikan. Bentuk reformasi ini akan membawa

perubahan-perubahan dalam peradilan agama yang sangat besar di kemudian

hari. Reformasi itu sendiri secara umum berarti penambahan terhadap suatu

sistem yang telah ada pada suatu masa.50

Gerakan reformasi, selain berhasil merespon hal-hal yang terkait

dengan persoalan politik, juga telah berhasil merespon tuntutan atas

pembenahan hukum dan lembaga peradilan. Pembenahan hukum dan

peradilan menjadi penting, mengingat pada masa orde baru banyak terjadi

penyimpangan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan aparatur

hukum, sehingga akibatnya hukum tidak bisa tegak karena peradilannya

korup (Judicial Corruption). Karena itu, setelah gerakan reformasi berhasil

isu seputar independensi kekuasaan kehakiman menggema.51

Oleh karena itu muncul tuntutan dari banyak pihak agar kekuasaan

kehakiman harus bersifat independen. hal ini mengingat bahwa kekuasaan

lembaga peradilan yang merdeka sangat diperlukan (Indispensable) dan

merupakan hal yang harus ada (Conditio Sine Qua Non), karena selain

menunjukkan akan adanya jaminan terselenggaranya peradilan yang

independen guna menegakan hukum yang berintikan keadilan.52

Penerapan peradilan satu atap di Indoensia, dimaksudkan untuk

menjadikan sistem hukum sebagai subjek reformasi (Varible Independent).

Hal ini didasarkan pada hipotesis bahwa hukum sebagai sarana pengintegrasi,

50

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Reformasi diakses pada tanggal 25 November 2017 pukul

6:10 WIB. 51

Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), h. 292-293 52

Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), h. 293.

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

24

yang didaya gunakan sebagai alat untuk mempercepat evolusi (Accelerate

Evolution Vehicle) berupa transisi dari hukum yang bernuansa represif dan

otoriter ke arah kehidupan masyarakat yang demokratis tanpa hal-hal yang

penuh dengan nuansa akrobatik politik. Seperti istilah demokrasi terpimpin

atau demokrasi pancasila.53

Penyatuatapan badan peradilan yang bertujuan untuk menciptakan

independensi lembaga peradilan, pada awal perjuangannya senantiasa

berpulang pada gagasan amandemen UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-

Pokok Kekuasaan Kehakiman. Gagasan amanden UU No. 14 Tahun 1970

selalu dijadikan titik perjuangan para hakim pada setiap munas IKAHI

(Ikatan Hakim Indonesia). Pertimbangan usul tersebut adalah sebagian Pasal

dalam Undang-Undang itu merupakan replika dari UU No. 19 Tahun 1964

Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yakni membatasi

pelaksanaan kekuasan kehakiman yang independen. hal ini dijelaskan dalam

UU No. 19 tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman semua peradilan di seluruh wilayahrepublik indonesia adalah

peradilan negara yang menjalankan dan melaksanakan hukum yang

mempunyai fungsi pengayoman, sebagaimana UU No. 19 tahun 1964

hanyalah sebagai alat revolusi yang berdasarkan pancasila menuju

masyarakat sosialis Indonesia. Pasal 19 dalam Undang-Undang tersebut juga

dinyatakan bahwa “Demi Kepentingan revolusi, kehormatan negara dan

bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, presiden dapat

turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.54

Keinginan itu diperkuat dengan ketidakpuasan warga terhadap

kebijakan Departemen Agama yang diterapkan pada peradilan agama. Hal ini

antara lain, ketika pemerintah hendak memberikan tunjangan fungsional

kepada para hakim di Indonesia, ternyata pihak Departemen Agama tidak

menyetujui jika tunjangan hakim peradilan agama disamakan dengan hakim

peradilan umum, sehingga akhirnya tunjangan hakim peradilan agama hanya

53

Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 294. 54

Luhut Pangribuan dan Paul S. Baut (Ed), Loekman Wiriadinata, Keindependenan

Kekuasaan Kehakiman, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, (Jakarta: 1989), h. 70.

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

25

diberikan sebesar 60% (enam puluh persen) saja dari hakim peradilan umum.

Hal ini terjadi pada tahun 1996.55

Mengenai penyatuatapan ini, Prof. Bustanul Arifin dan Prof. Ismail

Sunny berpendapat bahwa Peradilan Agama sampai kapan pun tidak akan

pernah beralih ke Mahkamah Agung. Sementara itu, menurut H. Taufiq56

,

peralihan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung hanya tinggal menunggu

waktu saja. Disamping penyatuatapan tersebut memang sangat tepat karena

penyatu atapan ini merupakan kehendak reformasi dalam rangka penguatan

lembaga yudikatif. Jika tidak demikian peradilan agama akan ketinggalan

dibanding peradilan lainnya, dan ini akan sangat merugikan umat Islam,

karena tidak memiliki lembaga peradilan yang reposentatif.57

Selain itu, UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman merupakan Undang-Undang yang menganut sistem dua atap atau

(double room system). Masuknya pihak eksekutif dalam kekuasaan

kehakiman disinyalir sebagai salah satu sebab mengapa kekuasan kehakiman

di negeri ini tidak independen. Karena itu, kompleksitas permasalahan di

seputar sektor peradilan diawal reformasi adalah berkaitan dengan format

yuridis formal pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif.

Hal yang penting dilakukan adalah berkaitan dengan penguatan kekuasaan

kehakiman dalamperspektif kelembagaan dan teknis adminitrasi peradilan.

Namun, seiring dengan adanya amandemen Undang-Undang dasar

1945 yang menyebutkan bahwa pemegang kekuasaan kehakiman terdapat

Mahkamah Konstitusi selain Mahkamah Agung, maka UU No.14 Tahun

1970 mengalami perubahan untuk di sesuaikan dengan undang-undang dasar

1945 menjadi UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang ini juga menganut sistem satu atap (one room system),

sehingga tetaplah Mahkamah Agung yang berwenang melakukan pembinaan

55

Malik Ibrahim, Peradilan Satu Atap (THE ONE ROOF SYSTEM) Di Indonesia, Asy-

Syir’ah, no.2 (Desember 2013), h. 655. 56

M. Taufiq adalah Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. 57

Malik Ibrahim, Peradilan Satu Atap (THE ONE ROOF SYSTEM) Di Indonesia, Asy-

Syir’ah, no.2 (Desember 2013), h. 656.

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

26

secara teknis yustisial, adminitratif, organisasi, dan finansial terhadap empat

lingkungan peradilan yang ada di bawahnya.

Secara resmi, baru mulai Rabu, tanggal 30 Juni 2004 peradilan agama

yang sebelumnya di bawah Kementrian Agama dialihkan ke Mahkamah

Agung. Akan tetapi mengingat sejarah perkembangan peradilan agama yang

spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan

peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat

Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). 58

Dengan adanya pemidahan kewenangan bidang organisasi, adminitrasi,

dan finansial lembaga peradilan dari eksekutif kepada yudikatif berdasarkan

UU No. 4 Tahun 2004, maka pembinaan bidang teknis yustisial dan non

yustisial lembaga peradilan telah berada satu atap di bawah kekuasaan

Mahkamah Agung. Pemindahan kewenangan di bidang organisasi adalah

meliputi kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, dan struktur orgasisasi pada

semua badan peradilan. Adapun yang dimaksud dengan pemindahan

kewenangan di bidang adminitrasi meliputi kepegawaian, kekayaan negara,

keuangan, arsip, dan dokumen, termasuk finansial dari masing-masing

instansi/departemen, beralih satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah

Agung.

Setelah hampir 8 tahun dari proses penyatuatapan dari badan peradilan

tersebut, sudah tidak ada lagi lembaga peradilan yang berada di bawah

kekuasaan eksekutif, melainkan semuanya sudah berada di bawah Mahkamah

Agung termasuk peradilan agama. Hal ini mengingat bahwa kebijakan atap

tunggal atau one room system tersebut adalah untuk menciptakan

independensi kekuasaan kehakiman (yudikatif) berangkat dari pada

pemisahan kekuasan (Montes Quieu). bahwa setiap percampuran (disatu

tangan) antar legislatif, eksekutif dan yudikatif (semua atau dua diantara tiga),

niscaya akan melahirkan kekuasaan yang sewenang-wenang. Karena itu,

penyatuatapan dijadikan momentum awal mereformasi kekuasan kehakiman

58

Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008) , h. 292-293.

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

27

berikut badan-badan peradilan yang ada di bawahnya.59

Meskipun demikian, sistem peradilan satu atap adalah suatu kebijakan

yang potensial menimbulkan implikasi, baik yang diharapkan maupun yang

tidak diharapkan. Implikasi yang perlu di antisipasi dengan adanya sistem ini

antara lain adalah60

: 1) ditinjau dari ajaran trias politika, pemisahaan

kekuasan kehakiman dari kekuasaan legislatif dan eksekutif menjadi lebih

murni, dengan demikian hubungan check dan balancemenjadi terbatas pada

pengangkatan hakim Agung; 2) cakupan pertanggung jawaban kekuasaan

kehakiman, ia selain harus bertanggungjawab secara teknis yustisial juga

secara administratif. Padahal di ketahui bahwa terdapat tumpukan perkara di

Mahkamah Agung yang jumlahnya ribuan, belum lagi beban adminitratif

sebagai akibat langsung dari penyatuatapan tersebut ; 3) ada semacam

kekhawatiran sistem satu atap justru akan melahirkan kesewenang-wenangan

pengadilan atau hakim, karena dengan satu atap tidak ada lagi lembaga lain

yang mengwasi prilaku hakim; dan 4) dengan penyatuatapan di harapkan

pengawasan akan lebih mudah dan efisien. Sistem satu atap akan lebih baik,

ketika di iringi oleh keberadaan komisi yudisial.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui suratnya Nomor

B828/MUI/III/1999 telah menyampaikan pendirian para ulama mengenai

RUU pemerintahan daerah dan konsep satu atap Mahkamah Agung.

Penyampaian pendirian MUI Khusus terhadap konsep satu atap ini

dilatarbelakangi oleh rasa tanggungjawab terhadap kepentingan ketertiban

hukum pada umumnya dan kepentingan badan. Peradilan agama pada

khususnya MUI berpendapat, bahwa jika peradilan agama dilepaskan dan

Depatemen Agama akan merusak citra peradilan agama di mata hati umat

Islam karena hukum Islam yang menjadi kewenangan peradilan agama tidak

akan hidup dan berwibawa apabila tidak ditopang oleh para ulama. Image

utama tercermin pula pada Departemen Agama, seperti memang

59

Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana, 2008), h. 292-293. 60

Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 296.

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

28

dimaksudkan para pendiri negara Republik Indonesia (RI).61

B. Upaya Departemen Agama Untuk Menyatuatapkan Peradilan Agama

Dalam rangka menindaklanjuti keputusan Dewan Perwakilan Rakyat

mengenai penyatuatapan peradilan agama di bawah Mahkamah Agung.

Departemen Agama menyiapkan langkah-langkah guna memperlancar proses

tersebut.62

Langkah yang dilakukan adalah tindakan hukum, yaitu Menteri Agama

menerbitkan surat keputusan No. 33 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Tim

Penyiapan dan Penyelesaian Pemindahan Pegawai dan Asset Peradilan Agama

ke dalam Lingkungan Mahkamah Agung Tertanggal 11 Februari 2004.

Surat keputusan Menteri Agama No.33 Tahun 2004 terdiri atas 3

bagian: 1) pertimbangan sosiologis 2) pertimbangan Yuridis 3) substansi

keputusan. Pertimbangan sosiologisnya terdiri atas empat pernyataan: 1)

bahwa dalam rangka menikdaklanjuti RUU tentang kekuasaan kehakiman

yang telah disahkan oleh rapat Paripurna DPR-RI tanggal 18 Desember 2003,

perlu disiapkan proses pemindahan pegawai dan aset peradilan agama

kedalam lingkungan Mahkamah Agung. 2) bahwa untuk mempersiapkan dan

menyelesaikan proses pemindahan pegawai dan asset peradilan agama

kedalam lingkungan Mahkamah Agung, dipandang perlu membentuk tim

pelaksana. 3) bahwa mereka yang namanya tersebut dalam lampiran

keputusan ini dipandang mampu untuk melaksanakan tugas tim. 4) bahwa

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, perlu ditetapkan keputusan

Menteri Agama tentang pembentukan tim penyiapan dan penyelesaian

pemindahan pegawai dan asset peradilan agama kedalam lingkungan

Mahkamah Agung.63

Pertimbangan yuridisnya terdiri atas empat butir : 1) UU No. 35 Tahun

61

Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan

Agama, (Jakarta: 2011), h.201. 62

Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan

Agama, (Jakarta: 2011), h. 151. 63

Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan

Agama, (Jakarta: 2011), h. 152.

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

29

2002 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 2)

Keputusan Presiden No. 102 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi

Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen sebagaimana

telah diubah dengan keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2002. 3) Keputusan

Presiden Nomor 109 Tahun 2001 Tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I

Departemen sebagaimana telah diubah dengan keputusan Presiden Nomor 47

Tahun 2002. Dan 4) Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 Tentang

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata kerja

Departemen Agama.

Substansi keputusannya terdiri atas empat bagian: 1) membentuk tim

penyiapan dan penyelesaian pemindahan pegawai dan asset peradilan agama

ke dalam lingkungan Mahkamah Agung yang selanjutnya disebut tim

pelaksana dengan susunan personal sebagaimana tersebut dalam lampiran

keputusan ini: 2) tugas-tugas tim pelaksana adalah: a) mempersiapkan

perangkat hukum sebagai dasar pemindahan pegawai dan asset peradilan

agama ke dalam lingkungan Mahkamah Agung. b) mendata pegawai dan asset

peradilan agama yang akan dipindahkan kedalam lingkungan Mahkamah

Agung. c) menyelesaikan pemindahan pegawai dan asset peradilan agama ke

dalam lingkungan Mahkamah Agung sesuai peraturan perundang-undangan.

d) mempersiapkan organisasi pengganti yang bertugas di bidang

pengembangan syri’at Islam. e) melakukan koordinasi dengan instansi terkait.

Dan f) melaporkan pelaksanaan tugas tim kepada Menteri Agama.64

C. Sikap Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Se-Indonesia dan Majelis

Ulama Indonesia (MUI) Terhadap Konsep Penyatuatapan Peradilan

Agama di Indonesia

Pernyataan sikap ketua-ketua pengadilan tinggi agama yang berjumlah

23 (dua puluh tiga) orang ditujukan kepada Ketua DPR RI dan Menteri

Agama RI yang diatasnamai oleh HM Yusuf dan H. Harun Rasyidi dengan

64

Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI, Proses Penyatuatapan Peradilan

Agama, (Jakarta: 2011), h. 152-153.

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

30

menyampaikan empat butir tanggapan mengenai rencana penyatuatapan

Peradilan Agama.

Empat butir tanggapan dimaksud adalah: 1) ketua-ketua PTA

menginginkan dan menghendaki bahwa pembinaan dan pengawasan badan-

badan di semua lingkungan peradilan termasuk peradilan agama berada di

bawah Mahkamah Agung untuk menjamin kebebasan dan kemandirian

kekuasaan kehakiman, pembinaan organisasi, administrasi dan finansial. 2)

perlu diprogramkan dengan segera dengan peningkatan kelembagaan yang

membina peradilan agama dari sebuah direktorat menjadi direktorat jenderal

atau pejabat setingkat eselon 1. 3) segera ditingkatkan anggaran untuk

meningkatkan sarana dan prasarana peradilan agama sehingga sejajar dengan

lingkungan peradilan yang lain atau setidak-tidaknya sejajar dengan instansi-

instansi Departemen Agama yang lain. Dan 4) perlu dipikirkan bahwa dalam

upaya peningkatan kedudukan hakim sebagai pejabat negara tidak mengurangi

kesejajaran dan kesetaraan hakim peradilan agama dengan hakim lingkungan

peradilan yang lain.65

Sikap ketua-ketua Pengadilan Tinggi Agama se-Indonesia terlihat

memiliki dua dampak ganda sebagai daya tawar: tuntutan pertama, mereka

menghendaki agar peradilan agama berada di bawah Mahkamah Agung guna

menjamin kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman, pembinaan

organisasi, administrasi, dan finansialnya. Akan tetapi, jika Departemen

Agama bersikeras untuk memepertahankan peradilan agama berada di bawah

pembinaannya, maka tuntutan yang kedua yang dimohon, yaitu

keberadaannya ditingkatkan dari sebuah direktorat menjadi direktorat jenderal.

Di samping itu, mereka juga menghendaki kesetaraan eksistensi hakim dalam

semua lingkungan peradilan termasuk hakim di peradilan agama.66

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat telah mengirim surat resmi yang

ditujukan kepada Presiden RI (BJ Habibie) yang ditandatangani oleh KH. Ali

65

Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan

Agama, (Jakarta: 2011), h. 122. 66

Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan

Agama, (Jakarta: 2011), h. 123.

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

31

Yafie (Ketua Umum) tertanggal 31 Mei 1999 Tentang Tanggapan MUI

Terhadap Konsep Satu Atap MARI. Dengan surat tersebut MUI

menyampaikan saran dan pokok-pokok pikiran kepada presiden mengenai

konsep satu atap Mahkamah Agung RI yang tergambar dalam draft akademis

kemandirian kekuasaan kehakiman yang disusun oleh tim terpadu yang di

ketahui oleh Menko Wasbangpan, yang berisi: MUI dan pimpinan ormas-

ormas Islam menyampaikan permohonan agar mengenai “Peradilan Agama”

diberikan ketentuan khusus dan tidak dimasukkan dalam rencana sistem satu

atap tersebut melainkan tetap keberadaanya yang telah berjalan dengan baik

seperti sekarang ini, permohonan tersebut kami ajukan atas pertimbangan : a)

peradilan agama adalah peradilan spesifik (khusus) yang telah berjalan sejak

Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staadblad no 152

tahun 1882 yang kemudian di ubah dengan Staadblad No.116 Tahun 1937

yang menjadi landasan formal berdirinya peradilan agama yang menjalankan

fungsi peradilan khusus tersebut; b) kekhususan peradilan agama adalah

bahwa materi dan proses acaranya berdasarkan hukum Islam yang bersumber

kepada Qur’an dan Sunah. Hukum Islam disini merupakan bagian ibadah yang

tidak hanya bersifat profan (dunia) tetapi juga yang di yakini bersifat

transendental (Ukhrowi). Itulah sebabnya, setiap keputusan peradilan agama,

baik tingkat pertama, banding maupun kasasi, selalu di bawah asma Allah

SWT, dengan Bismillahirahmanirrahim : c) fungsi peradilan agama telah

teruji kemandiriannya. Selama berabad-abad sejak hindia belanda hingga

sekarang dan tidak ada permasalahan sehubungan dengan keterkaitan badan

peradilan (judikatif) dan depertemen teknis (eksekutif) yang menyangkut

urusan organisasi, administrasi dan keuangan hakim-hakim agama; d) Ulama

dan Depertemen Agama yang juga merupakan personifikasi ulama di

Indonesia selalu mengawal pelaksanaan agama baik materi maupun proses

acaranya agar tidak menyimpang dari sumber utamanya yaitu Qur’an dan

Sunah dan dari segi pengawasannya, depertemen agama merupakan mitra

kerja Mahkamah Agung RI dalam menjalankan fungsi “check and

balance“terhadap peradilan agama ; e) mengenai doktrin kemandirian hakim

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

32

agama, Islam mempunyai yurisprudensi yang kuat dan sangat historis salah

satunya di directive dari Khalifah Umar Bin Khattab yang memuat dalam

suratnya kepada Abu Musa Al Asy’ari, Qadhi di kufah pada abad ketujuh

masehi. Prinsi-prinsip kemandirian hakim yang termaktub dalam surat

tersebut baru pada abad ke-17 di terapkan di Inggris yang timbul akibat kasus

pertentangan hakim agung Sir Edward Coke dengan King James I ; f) Ulama

dan Departemen Agama sesuai dengan fungsi dengan tugas yang melekat pada

dirinya selau melakukan pembinaan, pengetahuan dan evaluasi terhadap

hukum Islam di Indonesia. Pada tahun 1991 misalnya telah tersusun

Kompilasi Hukum islam, yang tiada lain adalah kerja keras dan pengabdian

para Ulama ; g) berdasarkan hal hal tersebut, MUI dan pimpinan ormas-ormas

Islam memohon kepada Presiden agar peradilan agama di berikan ketentuan

khusus dan di kecualikan dari konsep “Satu Atap Mahkamah Agung”.67

Aspirasi MUI tersebut mendapat perhatian serius dari Menteri Agama

RI sehingga Menteri Agama RI mengirimkan surat kepada DPR RI dengan

surat bernomor MA/488/2003 agar DPR RI mempertimbangkan usulan dari

MUI dalam pembahasan RUU Kekuasaan Kehakiman. Namun, fraksi-fraksi di

DPR RI bersikeras untuk menyatuatapkan lembaga peradilan di bawah

Mahkamah Agung RI dalam upaya reformasi peradilan.

Oleh kerana terjadi perbedaan pendapat dan keinginan antara fraksi-

fraksi di satu pihak dengan pemerintah dalam hal ini departemen agama di

pihak lain, maka akhirnya disepakati untuk dilakukan lobi. Al hasil forum lobi

menyepakati pengalihan badan-badan peradilan ke Mahkamah Agung dengan

ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan umum

dan badan peradilan PTUN ke Mahkamah Agung dilakukan selambat-

lambatnya tanggal 31 Maret 2004.

2. Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan agama

dan peradilan militer ke Mahkamah Agung dilakukan selmbat-lambatnya

67

Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan

Agama, (Jakarta: 2011), h. 119-121.

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

33

tanggal 30 Juni 2004.

3. Pengalihan tersebut ditetapkan dengan keputusan Presiden yang paling

lambat harus terbit 14 hari sejak usulan rancangan keputusan Presiden

diajukan oleh Menteri yang bersangkutan.

4. Sejak pengalihan tersebut, pegawai-pegawai pada lingkungan Ditjen

BADILUMTUN, pegawai-pegawai Direktorat peradilan agama, peradilan

militer termasuk pegawai-pegawai pada pengadilan tingkat pertama dan

tingkat banding menjadi pegawai pada Direktorat Jenderal masing-masing

lingkungan peradilan di Mahkamah Agung.

5. Semua pejabat struktural pada instansi-instansi tersebut pada huruf d

diatas tetap memegang jabatan masing-masing.

6. Semua aset yang dimiliki oleh instansi-instansi tersebut pada huruf d

diatas menjadi milik atau dialihkan ke Mahkmah Agung.68

Selain lobi-lobi diatas MUI menginginkan agar kiranya

dipertimbangkan masuknya sebuah alinea tambahan pada Penjelasan Umum

pada UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi

sebagi berikut69

:

“Dengan berlakunya Undang-Undang ini, pembinaan badan peradilan

umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer dan badan peradilan

tata usaha negara berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat

sejarah perkembangan badan peradilan agama yang spesifiik dalam sistem

peradilan nasional, maka pembinaan terhadap badan peradilan agama

melakukan dengan memeperhatikan saran dan pendapat dari Menteri Agama

dan Majelis Ulama Indonesia”.

Pada akhirnya UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehkiman

diganti dengan UU No 48 Tahun 2009 yang pada alinea keempat dalam

penjelasan umum menjadi dihilangkan.

68

Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI, Proses Penyatuatapan Peradilan

Agama, (Jakarta: 2011), h. 229. 69

Alinea Keempat Penjelasan Umum UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

34

BAB IV

PERKEMBANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

PRA DAN PASCA SATU ATAP

A. Perkembangan Peradilan Agama Pra Pemberlakuan Sistem Satu

Atap di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung

Peradilan agama, hadir sebelum kemerdekaan republik ini,

keberadaannya ditengah pusaran zaman, berdinamika dari masa ke masa.

Pada masa pemerintahan orde baru, peradilan agama masih berada dalam

bayang-bayang penguasa yang dianggap mengkerdilkan fungsi peradilan

agama melalui Departemen Agama. Diantara stagnan wewenang

pengadilan agama yaitu belum bisa secara langsung memutuskan perkara

(incrach) melainkan harus mendapatkan putusan peradilan umum

(executor for claring) untuk kasus-kasus tertentu.

Sepanjang ada umat Islam, sepanjang itu perlu peradilan agama ada,

meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana dan kewenangan yang

sangat terbatas. Karena itu, dalam dinamika perjalanan sejarah Indonesia,

eksistensi peradilan agama bukan sesuatu yang baru. Bahkan jauh sebelum

Indonesia merdeka yakni pada masa kerajaaan telah ada peradilan agama,

semua kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, mulai kerajaan Aceh di barat

sampai kerajaan Ternate di Timur telah menjalankan fungsi peradilan

agama meskipun dengan nama dan istilah yang berbeda. Pada saat itu,

yurisdiksi atau kompetensi peradilan agama tidak hanya terbatas pada

perkara keperdataan, tetapi juga perkara pidana.70

Peradilan agama pra satu atap mempunyai beberapa aspek

manajemen yang digunakan dalam menjalankan fungsi-fungsi untuk

menunjang penyelesaian suatu perkara yang ada pada peradilan agama.

Aspek-aspek tersebut meliputi:

70

Jaenal Arifin, Jejak Langkah Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2013), h. 131.

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

35

1. Aspek Organisasi

Peradilan agama pra satu atap secara organisasi,

administrasi dan finansial dibina oleh Direktorat Pembinaan Badan

Peradilan Agama yang dipimpin oleh pejabat unit eselon 2. Secara

struktural, Direktorat ini di bawah Direktorat Jenderal Bimas Islam

dan Penyelenggaraan Haji (Dirjen BIPH). Direktorat Pembinaan

Badan Peradilan Agama memiliki 5 unit eselon 3, yaitu: (1) Kepala

Subdit Organisasi dan Tata laksana Peradilan Agama (2) Kepala

Subdit Sarana Peradilan Agama (3) Kepala Subdit Ketenaga

kerjaan Peradilan Agama (4) Kepala Subdit Hukum dan

Perundang-Undangan Peradilan Agama (5) Kepala Subdit Hisab

Rukyat dan Sumpah Keagamaan. Setiap Subdit masing-masing

mempunyai 3 seksi (eselon 4). Ketata usahan direktorat dilakukan

oleh sebuah Sub Bagian Tata Usaha (eselon 4).

Hal ini menunjukkan bahwa unit kerja pembina badan

peradilan agama se-Indonesia pra satu atap hanyalah terdiri dari 1

Direktur (eselon 2), 5 kepala Subdit (eselon 3) dan 16 kepala seksi

(eselon 4). Sedangkan keadaan peradilan agama/mahkamah

syar’iyah pra satu atap, tercatat berjumlah 343 peradilan

agama/mahkamah syar’iyah tahun 2004 se-Indonesia. Jumlah

tersebut dirincikan dengan 52 kelas IA, 73 kelas IB dan kelas II

218.71

2. Aspek Administrasi

Dalam bidang adminisrasi pada waktu di bawah

departemen agama, tata peradilan kurang begitu efisien dan efektif,

karena berada di dua naungan (Kementerian Agama dan

Mahkamah Agung). Dalam hal laporan kerja peradilan agama.

yang berhubungan dengan organisasi, administrasi dan finansial

71

Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

36

diajukan ke Kementrian Agama. Sedangkan laporan kerja yang

berkaitan dengan hukum diajukan ke Mahkamah Agung.

Pada awal tahun 2000, Ditjen Badilag (ketika itu Direktur

Pembinaan Badan Peradilan Agama) mengembangkan aplikasi

administrasi perkara bernama SISDIPA (Sitem Informasi

Administrasi Perkara Peradilan Agama). Namun karena

keterbatasan anggaran, SISDIPA hanya diimplementasikan di

beberapa pengadilan agama seperti di PA Cimahi, PA Indramayu,

PA Kendal, PA Makasar, dan PA lainnya. Hasil implementasi

SISDIPA ini melahirkan berbagai masukan terhadap kelayakan

sistem ini yang kemudian melahirkan SIADPA (Sistem Informasi

Administrasi Perkara Peradilan Agama). Sebelum aplikasi ini

diimplementasikan secara nasional, SIADPA telah diterapkan di

Pengadilan Agama Kabupaten Malang dan beberapa pengadilan

agama lainnya.72

Keadaan perkara pada pengadilan agama tingkat

pertama perkara yang masuk ke pengadilan agama seluruh

Indonesia tahun 2004 sebanyak 165.266 perkara. Sisa perkara

tahun 2003 sebanyak 27.449 pekara, sehingga jumlah perkara yang

dicabut sebanyak 8.759 perkara, diputus sebanyak 154.331

perkara.73

3. Aspek Finansial

Dalam hal finansial, Peradilan Agama mendapatkan

anggara dari Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam. Sebelum satu

atap peradilan agama tidak mendapatkan penganggaran secara

proporsional. Peradilan agama mendapat bagian yang sangat kecil.

Sebagai gambaran anggaran untuk peradilan agama seluruh

Indonesia termasuk Direktorat peradilan agama hanya 3,5 Miliar

Rupiah . Itu mungkin jauh lebih kecil dari Kasubsie di lingkungan

72

Muslim dan Edi Huadita, Wahyu Widiana Bekerja Tiada Henti Membangun Peradilan

Agama, Mb design, Jakarta: 2012, h., 92-93. 73

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Profil Peradilan Agama Direktorat

Jenderal Badan Peradilan Agama, (Jakarta: MA-RI, 2005), h. 14.

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

37

Ditjen Binbaga Islam (Direktorat Jenderal Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam) saat itu. Itulah realitasnya. Padahal

telah melakukan pengajuan ke BAPPENAS, namun hasilnya tetap

relatif kecil. Anggaran sebesar 3,5 Miliar digunakan 1 Miliar

Rupiah untuk Direktorat, 2,5 Miliar Rupiah dibagi ke 25 PTA se-

Indonesia. Jadi sekitar 100 Juta Rupiah per satu PTA.74

Keadaan anggaran seperti ini jelas sangatlah minim jika

dilihat dari jumlah pengadilan agama yang saat itu sudah mencapai

343 buah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu perkembangan

peradilan agama pra satu atap dilakukan secara bergiliran dengan

jumlah anggaran yang sangat terbatas. Jika ini berjalan terus, maka

perkembangan itu akan sangat terlambat.

Setelah dilakukan reformasi birokrasi baik organisasi,

adminitrasi dan finansial nampaknya mengalami sebuah tatanan

dan peraturan yang lebih elegant sehingga dapat memacu kinerja

dari semua sektor yang terkait, setelah mengalami reformasi yang

luar biasa Nampak dari berpindahnya naugan peradilan Agama

yang semula di bawah Departemen Agama dana Mahkamah Agung

mengalami reformasi berada di bawah Mahkamah Agung,

sehingga independensi peradilan Agama lebih terjaga sebagaimana

mestinya dan peningkatan sarana dan prasarana di wilayah

peradilan agama semakin lebih baik.

Salah satu peningkatan di wilayah peradilan Agama adalah

bertambahnya anggara biaya dari 3.5 Miliar Rupiah menjadi 4.5

Miliar Rupiah angka bertambahnya anggaran tersebut menjadi

salah satu pemicu perubahan birorkrasi dalam tubuh PA, dan

perubahan yang sangat signifikan di wilayah PA adalah keadaan

fisik dapat tertangani dengan baik dan menjadi lebih baik dari

74

Hadi Daeng, et.al, Mutiara Yang Tak Terlupakan Profil dan Pemikiran Tokoh

Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

Agung Republik Indonesia, 2012), h. 40-41.

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

38

sebelumnya sehingga dapat memuaskan masyarakat yang

berperkara di wilayah peradilan Agama.

B. Perkembangan Peradilan Agama Pasca Pemberlakuan Sistem Satu

Atap di Bawah Kekuasaan Mahkamah Agung

Semenjak bergabungnya empat lingkungan peradilan di bawah satu

atap Mahkamah Agung (one roof) pada bulan Juni 2004, khususnya

lembaga peradilan agama mengalami kemajuan yang signifikan.

Mahkamah Agung bekerja keras meningkatkan lembaga peradilan agama

yang sebelumnya begitu memprihatinkan, baik aspek sarana dan prasarana

maupun sumber daya manusianya.

Setelah bernaung di bawah kekuasaan Mahkamah Agung,

pengadilan agama telah memiliki kewenangan mutlak (Absolute

Comptentie) sebagaimana layaknya lembaga peradilan lainnya. Selain itu

peradilan agama sebagaimana peradilan militer dan peradilan tata usaha

negara merupakan peradilan khusus yang berwenang menangani perkara-

perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu dan dalam sejak

berlakunya UU No. 35 Tahun 1999 jo UU No. 4 Tahun 2004 Tentang

Kekuasaan Kehakiman atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang

Peradilan Satu Atap bahwa kedudukan peradilan agama adalah sejajar

dengan peradilan yang lain dan tidak perlu lagi pengukuhan putusan

pengadilan agama oleh pengadilan negeri. Jadi dapat peneliti katakan

bahwa pengadilan agama setelah adanya Undang-Undang satu atap

memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya.

Sehingga pengadilan agama dapat lebih independen, transparan dan

profesional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga

peradilan.75

Pelaksanaan peradilan satu atap dengan pengalihan organisasi,

administrasi, dan keuangan kekuasaan kehakiman ke Mahkmah Agung

75

Wawancara Pribadi Dengan Pak Bahrin Lubis Selaku Panitera Pengadilan Tinggi

Agama Jakarta yang pernah menjadi Biro Perencanaan dan Organisasi Mahkamah Agung (2011-

2016), Pada 12 Januari 2017.

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

39

banyak yang meragukan tidak akan mengubah kinerja peradilan. Hal inilah

yang sering menjadi keraguan banyak kalangan baik masyarakat umum

maupun kalangan akademisi hukum. Hal ini tidaklah terjadi karena

Mahkamah Agung secara umum dan yang lebih khusus Peradilan agama

menunjukkan kinerja yang sangat baik di buktikan dengan beberapa

program yang di nilai sangat meningkat. Program reformasi birokrasi di

lingkungan Mahkamah Agung khusunya pada lembaga pengadilan agama,

sebagian pengadilan agama telah melakukan peningkatan disiplin kerja,

jam kerja tepat waktu, perkara mesti cepat diselesaikan oleh hakim dan

panitera, pengurangan biaya perkara, penarikan tunjangan pengamanan

perkara, mengapus praktek pungli, absen menggunakan mesin elektrik dan

sebagainya.

Upaya-upaya yang dilakukan melalui berbagai formulasi kebijakan

legislasi merupakan usaha untuk mengoptimalkan peran dan fungsi

peradilan agama. Sebagaimana dikemukakan oleh M. Yahya Harahap

bahwa tujuan pokok Undang-Undang Peradilan Agama ialah bermaksud

memurnikan sekaligus menyempurnakan fungsi dan susunan

organisasinya, agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan

kehakiman yang sebenarnya, wujudnya benar-benar sebagaimana layaknya

badan peradilan yang murni fungsinya dan lengkap susunan

kekuasaannnya. Sehingga tidak lagi memberi kesan seolah-olah peradilan

agama tidak lebih dari peradilan semu dan lumpuh yang sudah berjalan

ratusan tahun. Setelah satu atap keadaan peradilan agama diupayakan

menjadi peradilan yang mandiri dan kuat, sehingga tidak lagi hanya

menjadi peradilan semu dan lumpuh.76

Dengan meningkatkan pembinaan

organisasi administrasi dan finansial. Perkembangan peradilan agama

pasca satu atap secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

76

M. Yahya Harahap, Kedudukan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafindo,

Cet. II, 2003), h. 14.

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

40

1. Aspek Organisasi

Peradilan agama pasca satu atap dengan Mahkamah Agung,

secara organisasi, administrasi dan finansial dibina oleh

Direktorat/Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) yang dijabat

oleh pejabat unit eselon 1. Direktorat/jenderal ini membawahi 3

direktur (unit eselon 2), yaitu: (1) Direktur Pembinaan Tenaga Teknis

Peradilan Agama (2) Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan

Agama (3) Direktur Pranata dan Tatalaksana Perakara Perdata Agama.

Direktorat dibantu juga oleh Sekretaris Direktur Jenderal Badan

Peradilan Agama (eselon 2) yang masing-masing mempunyai 1 sub

bag yaitu: (1) Sub Bagian Tata Usaha eselon 3 (2) Sub Bagian Tata

Usaha eselon 3 (3) Sub Bagian Tata Usaha eselon 3. Hal ini dapat di

jelaskan lebih rinci sebagai berikut:

a. Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama yang

membawahi 4 unit eselon 3 yaitu, (1) Subdit Mutasi Hukum (2)

Subdit Mutasi Panitera dan Jurusita (3) Subdit Pengembangan

Tenaga Teknis Peradilan Agama (4) Subdit Data dan Evaluasi.

Setiap subdit masing-masing mempunyai 3 kepala seksi (eselon 4).

b. Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama yang terdiri dari

3 unit (eselon 3) yaitu, (1) Subdit Kasasi Agama (2) Sudit

Peninjauan Kembali Perdata Agama (3) Subdit Syari’ah. Di subdit

Kasasi Agama dan Sub Direktorat Peninjauan Kembali Perdata

Agama masing-masing mempunyai 2 kepala seksi (eslon 4),

sedangakan Subdit Syari’ah mempunyai 3 kepala seksi (eselon 4).

c. Direktur Pranata dan Tatalaksana Perkara Perdata Agama ada 3 unit

yaitu, (1) Subdit Tata Kelola (2) Subdit Bimbingan dan Monitoring

(3) Subdit Statistik dan Dokumentasi. Pada Subdit Tata Kelola dan

Subdit Bimbingan Monitoring masing-masing 3 kepala seksi

(eselon 4), sedangkan Subdit Statistik dan Dokumentasi ada 2

kepala (eselon 4).

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

41

Direktorat juga dibantu oleh Sekretaris direktorat jenderal

badan peradilan agama dilakukan oleh sebuah sub bagian tata usaha

eselon 2, dan dibawah ini ada 4 bagian eselon 3 yaitu, (1) bagian

perencanaan dan keuangan (2) bagian kepegawaian (3) bagian

organisasi dan tatalaksana (4) bagian umum. Dan di masing-masing

bagian mempunyab 3 kepala sub bagian eselon 4.77

Hal ini menunjukkan adanya perubahan pasca satu atap. Jika

sebelumnya terdiri dari 1 Direktur (eselon 2), 5 kepala Subdit (eselon

3) dan 16 kepala seksi (eselon 4) sedangkan pasca satu atap terdiri dari

3 direktur dan 1 sekretaris dirjen (eselon 2). Selain itu, pasca satu atap

terdapat pula sub bagian tatausaha pada setiap direktur sedangkan

sebelumnya disentralisasi di bawah direktorat jenderal. Kemudian total

terdapat 10 subdit di bawah direktur dan 4 bagian di bawah sekretaris

direktorat dijabat oleh eselon 3. Sebelumnya hanya terdapat 5 unit

subdit. Selanjutnya terdapat 28 seksi dan 11 sub bagian yang dijabat

oleh eselon 4 yang sebelumnya hanya terdapat 16 seksi.78

Selain itu tercatat 359 peradilan agama/mahkmah syar’iyah

pasca satu atap pada tahun 2017 se-Indonesia dengan rincian sebagai

berikut:

Tabel 1. Jumlah Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Se-

Indonesia Tahun 2017

Kelas Pengadilan

Agama

Mahkamah

Syar’iyah

Jumlah

1A 76 1 77

1B 113 4 117

II 150 15 165

Total keseluruhan 339 20 359

77

Keputusan Sekretaris MA /SEK/III/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretaris

MA. 78

Keputusan Sekretaris MA /SEK/III/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja sekretaris

MA.

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

42

Jumlah peradilan agama dari tahun ketahuan mengalami

peningkatan yang cukup pesat dan pada tahun 2017 peradilan agama

359 ditambah dengan 51 peradilan agama dan 3 mahkamah syar’iyah

yang baru. Yang baru itu semuanya adalah kelas II. Jadi, Jumlah

peradilan agama/mahkamah syar’iyah pasca satu atap tahun 2017

tercatat 416 pengadilan agama/mahkamah syar’iyah se-Indonesia.79

2. Aspek Administrasi

a. Manajemen Perkara

Pengadilan agama yang sejak tahun 2004 berada di bawah

Mahkamah Agung turut serta mereformasi agar selaras dengan

tujuan reformasi dalam tatanan hukum di Indonesia, salah satu

upaya itu adalah dengan pembaharuan administrasi. Terdapat dua

hal yang menjadi objek pembaruan dalam bidang administrasi yakni

dalam hal manajemen perkara dan berkaitan Teknonologi infromasi.

Tahun 2016 merupakan pertama di fase lima tahun kedua

dalam peta jalan, (road map) pembaruan peradilan 2010-2035. Pada

fase lima tahun kedua (2016-2035), fokus pembaruan di arahkan

pada peningkatan akses terhadap keadilan, dukungan terhadap

kebijakan refornmasi hukum, manajemen perkara berbasis eletronik,

pelayanan publik berbasis elektronik, dan simplifikasi administrasi

perkara cepat. Arah kebijakan tersebut dapat diketahui dari berbagai

regulasi yang di terbitkan oleh Mahkamah Agung, baik dalam

bentuk peraturan Mahkamah Agung (perma), Surat Edaran

Mahkamah Agung (SEMA), surat keputusan ketua Mahkamah

Agung, Surat edaran panitera Mahkamah Agung RI ataupun

keputusan pejabat eselon I lainnya.80

Cetak biru pembaruan peradilan 2010-2035 telah

memberikan arahan untuk pembaruan fungsi teknis dan manajemen

79 Keputusan Presiden Republik Indonesai Nomor 13, 15, 16 Tahun 2016 Tentang

Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. 80

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-

RI, 2017), h.3.

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

43

perkara. Program pembaruan di bidang teknis dilaksanakan untuk

menjamin terwujudnya pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman

secara independen, efektif, dan berkeadilan. Bagi Mahkamah

Agung. Pembaruan di bidang teknis merupakan merevitalisasi

fungsinya sebagai pengadilan tertinggi dalam rangka menjaga

kesatuan hukum, sedangkan bagi peradilan di bawah Mahkamah

Agung, program pembaruan ini sebagai upaya meningkatkan akses

masyarakat terhadap keadilan. Untuk menjalankan pembaruan di

bidang teknis, Mahkamah Agung di berikan kewenangan oleh

undang-undang untuk membuat peraturan sebagai pelengkap guna

mengisi kekurangan atau kekosongan hokum sehingga

penyelenggaraan fungsi peradilan berjalan efektif.81

Pembaruan di bidang manajemen perkara dilaksanakan

untuk mewujudkan misi Mahkamah Agung dalam memberikan

pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan dan

meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan. Untuk

menjalankan pembaruan di bidang manajemen perkara, Undang-

Undang kekuasaan Kehakiman telah mewajibkan badan peradilan

untuk membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala

hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang

cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Pembaruan fungsi teknis dan manajemen perkara merupakan

dua aspek yang saling berhubungan sehingga tidak bias di pisahkan.

Hal ini karena program pembaruan yang dilakukan Mahkamah

Agung, selain menyentuh aspek teknis yudisial, yaitu substansi

putusan yang dapat dipertanggungjawabkan, juga meliputi

peningkatan pelayanan administrasi sebagai penunjang berjalannya

proses yang adil yang merupakan aspek manajemen perkara.

81

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-

RI, 2017), h.4.

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

44

Dalam sektor teknologi informasi, peradilan agama

merupakan pelopor dan implementasi berbagai inovasi teknologi

informasi di badan peradilan. Pengembangan dan implementasi

sistem manajemen perkara berbasis teknologi dan informasi yang

dikenal nama Sistem Informasi peradilan agama (SIADPA) sejak

awal 2000 an lalu. SIADPA telah dikembangkan menjadi SIADPA

Plus dengan kemampuan yang lebih baik dalam berjaring dengan

mengikuti standardisasi sistem Informasi penelusuran perkara

(SIPP) yang berlaku secara nasional.82

Ditjen Badilag telah mengembangkan dua sistem informasi

yang berkaitan dengan fungsinya di bidang pembinaan administrasi

perkara dan pembinaan tenaga teknis peradilan agama. Kedua

sistem informasi tersebut adalah Sistem Informasi Administrasi

Perkara Peradilan Agama (SIADPA), dan Sistem Informasi

Manajemen Kepegawaian (SIMPEG). Selain dari kedua sistem

informasi tersebut, untuk mendukung keterbukaan informasi dan

melakukan komunikasi serta konsolidasi dengan seluruh peradilan

agama di Indonesia, maka badilag membangun website.

Pembangunan wesitus ini kemudian diikuti oleh Mahkamah

Syar’iyah Aceh/Pengadilan Tinggi Agama Syar’iyah/Pengadilan

Agama Se-Indinesia.83

Menyadari pentingnya teknologi informasi sebagai

pendukung tata kelola administrasi, maka sejak sebelum

pelaksanaan satu atap peradilan agama di bawah Mahkamah Agung

tahun 2004, peradilan agama telah mencanangkan program-program

pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi. Pelaksanaan

program-program ini tampak lebih berhasil, setelah sistem satu atap

82

Dr. H. Amran Saudi, S.H., M.Hum., M.M., dan H. Soltoni Mohdally, S.H., M.H., Majalah

Peradilan Agama Potret Reformasi Birokrasi di Peradilan Agama, Edisi 12 Agustus 2017. h. 48-

49. 83

Muslim dan Edi Huadita, Wahyu Widiana Bekerja Tiada Henti Membangun Peradilan

Agama, Mb design, (Jakarta: 2012), h. 92.

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

45

berjalan. Pemanfaatan teknologi informasi di lingkungan peradilan

agama dilakukan mulai dari level sederhana untuk kegiatan sehari-

hari (back office), pengelola data, hingga pada tingkatan sistem

informasi manajemen.

Sehubungan dengan keterbukaan informasi tersebut, maka

telah dicanangkan 16 program unggulan dilingkungan pengadilan

tinggi agama yaitu 84

: 1) website domain go.id, 2) Sistem perkara

online 3) Informasi desk 4) SMS center perkara 5) Arsip perkara 6)

Touch screen perkara 7) Barcode perkara 8) SMS pengaduan 9)

Pengaduan online 10) Konsultasi online 11) Mesin penjawab telpon

otomatis 12)Mesin antrian sidang 13) TV media center 14) Wifi 15)

CCTV 16) Telekonfren.

Program yang telah dicanangkan di atas hampir 100 % telah

mencapai final di tahun belakangan, hal ini dibuktikan dengan

adanya akses informasi melalui internet dan beberapa hal lainnya,

hal ini tidak lain dalam rangka untuk mempemudah masyarakat

dalam melakukan akses perkara.

Keadaan perkara pada pengadilan pertama tingkat pertama

perkara yang masuk pengadilan agama seluruh Indonesia tahun

2016 sebanyak 503.794 perkara. Sisa perkara tahun 2015 sebanyak

88.824 perkara, sehingga beban penanganan perkara pada tahun

2016 berjumlah 592.618 perkara. Sedangkan perkara yang di putus

pengadilan agama tahun 2016 sebanyak 449.988. perkara. Jadi,

pada tahun 2016 telah mengalami peningkatan jumlah perkara pada

tingkat pertama yaitu: 3.962. 83385

. Jika dibandingkan dengan pra

satu atap maka jumlah perkara pada tingkat pertama semakin

mengalami peningkatan yang sangat tinggi, hal ini terjadi

dikarenakan semakin meningkatnya pelayanan yang ada di

84

http://foreverafter2014.blogspot.co.id/2014/06/implementasi-sistem-administrasi.html,

diakses pada tanggal 2 November 2017 pukul 14:58 WIB. 85

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-

RI, 2017), h. 85.

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

46

Pengadilan sehingga tingkat kepercayaan dan kesadaran hukum

masyarakat untuk menyelesaikan perkara di pengadilan semakin

tinggi.

Perdata agama mempunyai penilaian tersendiri dengan

laporan Mahkamah Agung tahun 2016 tentang kinerja

pemeliharaan perkara mendapatkan respon yang sangat positif dari

laporannya karena sudah sesuai target yang ingin dicapai. Dalam

laporannya perdata agama mendapatkan predikat pertama dalam

hal kinerja ditunjukkan dengan perkara masuk 945, jumlah beban

946, putusan dan sisa 0, laporan ini menunjukkan bahwa perdata

agama 100% terlaksana sebagaimana mestinya.

Laporan diatas tidak lain terlaksana dengan baik

dikarenakan reformasi pasca satu atap mempunyai dampak yang

sangat signifikan dalam suatu perkara perdata agama hal yang

sangat berpengaruh dalam laporan tersebut adalah dengan adanya

reformasi organisasi, administrasi, dan finansial. Sehingga

sangatlah menunjukkan hal yang sangat serius dalam kinerjanya

dan hal-hal yang lain juga mengikuti perkembangan tersebut.

b. Manajemen Kepegawaian

Data ketenagaan peradilan agama pra satu atap tahun 2004

seluruh Indonesia yaitu berjumlah 9.979 orang, yang terdiri dari

hakim sebanyak 2.635 orang, hakim tinggi sebanyak 260 orang,

panitera pengganti sebanyak 3.559 orang, jurusita/jurusita pengganti

sebanyak 1.041 orang, pejabat struktural sebanyak 1.139 orang, dan

staf/kepegawaian sebanyak 1.345 orang.86

Sedangkan Sumber Daya

Manusia lingkungan peradilan agama pada akhir tahun 2016

berjumlah 11.394 orang, yang terdiri dari tenaga teknis dan

sebanyak 8.577 orang dan tenaga non teknis sebanyak 2.817 orang.

86 Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Profil Peradilan Agama Direktorat

Jenderal Badan Peradilan Agama, (Jakarta: MA-RI, 2005), h. 16.

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

47

Tenaga teknis terdiri dari hakim sebnyak 3.479 orang, tenaga

kepaniteraan sebanyak 3.576 orang, jurusita dan tenaga jurusita

pengganti sebanyak 1.522 orang.87

Pembinaan tenaga teknis peradlan agama yang diembankan

kepada ditjen badilag menuntut ketersediaan data dan informasi

kepegawaian yang akurat. Untuk itu ditjen badlag pada tahun 2006

membangun aplikasi manajemen kepegawain bernama SIMPEG.

Pada mulanya SIMPEG hanya diimplementasikan di 29 pengadilan

Tinggi Agama/Mahkamah Syar’iyah se-Indonesia. PTA melahirkan

entri data terhadap pegawai pengadilan agama yang berada di

wilayah hukumnya. Selanjutnya, PTA melakukan posting data ke

ditjen badilag melalui e-mail. Kemudian secara bertahap SIMPEG

diimplementasikan di seluruh satuan satuan kerja pengaduan di

lingkungan peradilan agama.

Pada tahap berikutnya di pertengan tahun 2011, ditjen

badilag melakukan pengembangan terhadap aplikasi SIMPEG yang

semula berbasis dekstop menjadi berbasir web. Nama aplikasipun

berubag yang semula aplikasi SIMPEG, sekarang menjadi aplikasi

SIMPEG ONLINE. Kelebihan dari aplikasi ini adalah bisa diakses

via internet, proses pembuatan laporan (smart report) sangat mudah

karena tersedia filter data, tersedia aplikasi TPM dan NTU yang

dapat digunakan setiap saat seama berhubungan dengan koneksi

internet dan setiap pegawai dapat mengakses data SIMPEG

ONLINE sampai pada level terendah, yaitu mengakses data diri

sendiri.88

3. Aspek Finansial

Anggaran untuk pengadilan agama se-Indonesia baik untuk

belanja pegawai maupun belanja barang pada tahun 2005, hanya Rp

87

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-

RI, 2017), h. 15. 88

Muslim dan Edi Huadita, Wahyu Widiana Bekerja Tiada Henti Membangun Peradilan

Agama, Mb design, Jakarta, h. 97-98.

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

48

236.954.153.ooo.- (dua ratus tiga puluh enam miliar sembilan ratus

empat puluh juta seratus lima puluh tiga ribu rupiah). Besaran

anggaran tersebut bila dirata-ratakan untuk masing-masing pengadilan

agama yang sampai pada tahun 2006 berjumlah 344 lembaga, adalah

sebesar Rp 709.443.572,- (tujuh ratus sembilan juta empat ratus empat

puluh tiga juta lima ratus tujuh puluh dua ribu rupiah). Besaran

anggaran tersebut termasuk untuk belanja rutin pegawai (gaji) dan

belanja barang (proyek). Jadi bila dihitung, relatif kecil untuk

operasional pengadilan agama di luar anggaran untuk gaji rutin.

Era peradilan ini ditandai dengan keterbukaan dalam berbagai

bidang. Salah satu hal yang tidak bisa dielakkan adalah keterbukaan

dalam aspek finansial, akuntabilitas dalam bidang keuangan ini boleh

jadi menjadi tolak ukur keberhasilan pengadilan agama dalam

mereformasi diri. Di era reformasi anggaran untuk badan peradilan di

lingkungan Mahkamah Agung mengalami peningkatan seiring dengan

upaya peningkatan pelayanan publik di bidang hukum dan peradilan.

Begitu pula halnya anggaran untuk lingkungan peradilan agama, yang

dipusatkan pada Dirjen Badilag mengalami peningkatan yang juga

cukup signifikan bila dibandingkan dengan sebelum satu atap,

terutama sejak 2005, 2006, 2007. Meskipun penganggaran tersebut

dipusatkan di Dirjen Badilag, namun mulai dari perencanaan program

dan penentuan jumlah/alokasi anggaran sampai pada pengelolanya

diserahkan langsung kepada masing-masing pengadilan agama dan

pengadilan tinggi agama, selain itu ada anggaran yang direncanakan

dan dikelola pada sekretariat Dirjen Badilag dan pada masing-masing

direktorat.89

Kenaikan anggaran yang cukup signifikan di era reformasi

adalah ketika sudah disatuatapkan di bawah Mahkamah Agung.

Anggaran untuk pengadilan agama naik 108% bila dibandingkan

89

Jaenal Arifin, Peradilan Agama, Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 337.

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

49

dengan tahun sebelumnya, yakni menjadi Rp 492.550.829.000,- (empat

ratus sembilan puluh dua miliar lima ratus lima puluh juta delapan

ratus dua puluh sembilan ribu rupiah). Bila dirata-ratakan untuk

masing-masing Pengadilan Agama adalah sebesar Rp 1.474.703.080,-

(satu miliar empat ratus tujuh puluh empat juta tujuh ratus tiga ribu

delapan puluh ribu rupiah). Jumlah anggaran tersebut, meskipun

terdiri atas belanja rutin dan barang, akan tetapi tetap masih cukup

besar bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, terutama

ketika masa sebelum reformasi.90

Begitu pula halnya dengan alokasi anggaran untuk tahun 2007,

meskipun kenaikannya hanya 44% dari tahun sebelumnya, akan tetapi

pengadilan agama tetap mendapatkan alokasi anggaran yang cukup

tinggi, yakni sebesar Rp 709.538.457.000,- (tujuh ratus sembilan

miliar lima ratus tiga puluh delapan juta empat ratus lima puluh tujuh

ribu rupiah). Dan bila dirata-ratakan untuk masing-masing pengadilan

agama, mendapatkan anggaran sebesar Rp 1.993.085.550,- (satu miliar

sembilan ratus sembilan puluh tiga juta delapan puluh lima ribu lima

ratus lima puluh rupiah).

Bila dilihat dari data tersebut, ternyata setelah berada satu atap

di bawah mahkamah Agung sebagai konsekuensi dari reformasi bidang

hukum, anggaran untuk peradilan agama terus mengalami kenaikan,

dan keniakannya tersebut cukup signifikan.91

Adapun perincian

penggunaan anggaran tahun 2016 dari masing-masing program adalah

sebagai berikut:92

Program peningkatan manajemen peradilan agama dengan

Alokasi anggran Rp 71.956.600.000,00 (tujuh puluh satu miliar

90

Jaenal Arifin, Peradilan Agama, Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2008), h, 337-338. 91

Data Diolah dari Sekretariat Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik

Indonesia Tahun 2007. 92

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-

RI, 2017), h. 178.

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

50

sembilan ratus lima puluh enam juta enam ratus ribu rupiah)

digunakan untuk kegiatan:

a) Pembayaran gaji dan tunjangan.

b) Biaya operasional (kebutuhan pokok perkantoran dan

pemeliharaan).

c) Biaya non operasional (biaya operasional persidangan, pos bantuan

hukum, prodeo, mutasi, rapat koordinasi, perjalanan dinas dalam

rangka sidang keliling dan pembinaan).

d) Belanja modal untuk peralatan dan mesin.

Aspek finansial menjadi penting bagi sebuah institusi, bagaikan

oli yang melumaskan roda agar berputar. Penyatuatapan pengadilan

agama berbanding lurus dengan tata kelola keuangan di dalam tubuh

pengadilan agama, walau bukan menjadi jaminan utama terlaksananya

system peradilan yang diharapkan, namun ini bisa menjadi parameter

perbaikan tata kelola yang lebih profesional, upaya pembaharuan ini

diharapakan mendobrak pandangan perihal pengadilan agama yang

terkesan koruptif di mata publik.

Dengan adanya perubahan manajemen peradilan agama pasca

satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, peradilan agama kini

lebih mudah untuk dimengerti oleh masyarakat awam serta dari aspek

organisasi, administrasi dan finasial nya lebih tertata rapih, untuk

anggaran peradilan agama sendiri meningkat menjadi semakin besar

dan keberadaan peradilan agama sekarang lebih diakui oleh pemerintah.

4. Implementasi Pelayanan Publik

a. Pembebasan biaya perkara

Tahun 2016 pengadilan agama/mahkamah syar’iyah

berhasil menyelesaikan 26.451 perkara.93

93

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-

RI, 2017), h. 113.

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

51

Tabel 2. Layanan pembebasan Biaya perkara Di Lingkungan

Peradilan Agama Dalam 3 Tahun Terakhir

No Lingkungan

Peradilan

Tahun Jumlah

Pengadilan

Pemberi Layanan

Jumlah

Layanan

(Perkara)

1 Peradilan

Agama

2014 359 11.513

2015 359 10.748

2016 359 26.451

Tahun 2016 pengadilan agama/mahkamah syar’iyah

berhasil menyelesaikan 26.451 perkara.

b. Pos bantuan hukum

Tabel 3. Layanan Posbakum di Lingkungan Peradilan Agama

Sejak Tahun 2014-2016

No Tahun Jumlah Posbakum Jumlah Layanan (Orang)

1 2014 74 82.145

2 2015 120 77.334

3 2016 12 195.023

Tahun 2016 lingkungan peradilan agama berhasil

memberikan layanan kepada 195.023 orang.94

c. Sidang di Luar Gedung Pengadilan

Tabel 4. Layanan Sidang di luar Pengadilan Agama Sejak

Tahun 2014-2016

No Lingkungan

Peradilan

Tahun

Jumlah Lokasi

Sidang

Jumlah Perkara

Diselesaikan

1. Peradilan

Agama

2014 523 30.857

2015 357 27.580

2016 370 67.986

94

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-

RI, 2017), h. 114.

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

52

Pelayanan sidang di luar gedung pengadilan pada tahun

2016 untuk lingkungan peradilan agama melonjak menjadi 67.986

perkara dari tahun sebelumnya yang sebanyak 27.80 perkara.95

d. Sidang di luar negeri pada konsulat Jenderal Republik Indonesia

(KJRI)

Tahun 2016 total keseluruhan perkara yang disidangakn di

luar negeri, yakni Malaysia, dan Arab Saudi adalah sebanyak 991

perkara.96

e. Pelayanan Terpadu Sidang Keliling

Tabel 5. Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Di Peradilan

Agama Tahun 2015-2016

Tahun Jumlah Lokasi Jumlah Perkara

Isbat Nikah

2015 69 1.976

2016 362 16.396

Data pelayanan sidang keliling untuk lingkungan peradilan

agama pada tahun 2016 melonjak menjadi 16.396 jumlah perkara

Isbat nikah sedangkan sebelumnya sebanyak 1.976 jumlah perkara

isbat nikah yang diselesaikan.97

5. Implementasi Keterbukaan Informasi

a. Publikasi Putusan

Tahun 2015, jumlah putusan yang tersedia di portal

direktori putusan Mahkamah Agung sebanyak 1.622.605 putusan.

Jumlah putusan itu meningkat menjadi 2.061.320 putusan samapi

dengan akhir Desember 2016.

b. Publikasi Dokumentasi dan Informasi Hukum

95

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-

RI, 2017), h. 115. 96

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-

RI, 2017), h. 116. 97

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-

RI, 2017), h. 117.

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

53

Selain putusan yang tersdia secara online, Mahkamah

Agung juga meneydiakan media elektronik yang disebut dengan

Dokumntasi dan Informasi Hukum (JDIH) yang dapat diakses

melalui portal https://jdih.mahkamahagung.go.id.

c. Informasi Penelusuran Perkara

Masyarakat dapat mengakses perkembangan proses perkara

di pengadilan di setiap tingkatan secara online. Pemanfaat

teknologi informasi untuk mendukung transparansi penyelesaian

perkara sudah dijalankan di Mahkamah Agung dan badan peradilan

di bawahnya sejak beberapa tahun lalu. Hal ini dilakukan untuk

mempermudah para pencari keadilan dalam mengakses informasi

perkara mereka. Untuk pengadilan tingkat pertama, akses informasi

perkara dapat ditelusuri melalui Portal Sistem Informasi

Penelusuran Perkara (SIPP) di website masing-masing pengadilan,

sebagai contoh: untuk perkara di PA Jakarta Selatan melalui

http://sipp.pa-jakartaselatan.go.id,

d. Pelayanan Meja Informasi dan Meja Pengaduan

Meja informasi merupakan garda depan dalam pelayanan di

setiap pengadilan. Keberdaan meja informasi dan meja pengaduan

memberikan kontribusi penting dalam pemberian pelayanan publik

yang prima bagi para pen meja pengadncari keadilan. Seluruh

pengadilan di Indonesia telah memiliki pelayanan meja informasi

dan meja pengaduan. Data pelayanan Meja Informasi dan meja

pengaduan di Peradilan agama se Indonesia tahun 2016 yaitu, meja

informasi 185.558 dan meja pengaduan berjumlah 32 pengaduan.

e. Pelayanan Informasi Melalui Website Pengadilan

Pelayanan informasi pengadilan selain diberikan melalui

fasilitas Meja Informasi juga disediakan melalui media elektronik

yakni website pengadilan. Seluruh pengadilan di Indonesia susdah

memiliki website resmi. Website pengadilan menampilkan

informasi seperti yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

54

tentang Keterbukaan informasi Publik dan SK KMA No 1-

144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi

Pengadilan Tahun 2016 Mahkamah Agung melakukan monitoring

dan evaluasi website empat lingkungan peradilan seluruh

Indonesia. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi tersebut telah

dipilih tiga pengadilan agama dari seluruh Indonesia yang

memperoleh nilai Website tertinggi tahun 2016Yaitu peringkat: 1)

PA Jakarta Selatan, 2) PA Donggala, 3) PA Palembang.

f. Publikasi Melalui Media Cetak

Beberapa media cetak yang diterbitkan oleh badan

peradilan agama adalah Majalah peradilan Agama dapat diperoleh

melalui www.badilag.mahkamahagung.go.id, Jurnal Hukum dan

Peradilan, Media Cetak lainnya. Guna memenuhi pelayanan

informasi diseluruh Pengadilan di Indonesia. Mahkamah Agung

juga membuat dan menyebarkan brosur, poster, pamflet pada

kegiatan tertentu.

g. Memperkuat Hubungan Masyarakat

Mahkamah Agung mengikuti kegiatan mengikuti kegiatan

pameran “Pelayanan dan penegakan hukum Legal Expo 2016”

yang diselenggarakan oleh Kementrian Hukum dan HAM. Dalam

pameran ini, Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung

mensosialisasikan 11 inovasi unggulan yang dikemas dalam tema

“Pelayanan Publik Yang Murah Berbasis TI”.98

Menurut penulis, peradilan agama pra satu atap dengan MA secara

organisasi administrasi, dan finansial dibina oleh direktorat (unit eselon 2)

yang bernama “Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama”. Direktorat ini

di bawah Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji.

Sedangkan pasca satu atap dengan MA pengadilan agama secara organisasi,

administrasi, dan finansial dibina oleh sebuat Direktorat (unit eselon 1) yaitu

98

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: MA-

RI, 2017), h. 130-134.

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

55

“Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama” (Badilag). Dahulu terdapat

kekurangan dan keterbatasan, hal ini dapat dilihat dari pengangkatan pegawai

PA masing-masing PTA diberi kewenangan sendiri-sendiri. Sementara itu,

pengadilan agama pasca satu atap dengan MA menjadi lebih rapih dan

profesional dari segi organisasinya. Hal ini dapat dilihat dari segi SDM ynag

mengisi posisi-posisi yang ada.

Dalam aspek admnistrasi pada waktu di bawah Departemen Agama,

tata peradilan kurang berjalan efisien dan efektif, karena ada dua tempat

(Depag dan MA) yang menangani laporan kerja peradilan agama. Laporan

kerja yang berhubungan organisasi, administrasi dan finansial diajukan ke

Depag, sedangkan laporan kerja yang berkaitan dengan hukum diajukan ke

Mahkamah Agung. Sementara itu, pasca satu atap dengan Mahkamah Agung

akan mempersingkat berbagai urusan dan memudahkan komunikasi. Tata

peradilan dapat berjalan lebih efisien dan terpusat karena tidak ada dua tempat

yang mengurus laporan kerja, baik yang berkaitan dengan organisasi,

administrasi dan finansial maupun laporan kerja yang berkaitan degan hukum.

Semua laporan kerja tersebut diajukan ke Mahkamah Agung.

Tiga puluh tahun peradilan agama berada di bawah Departemen agama

dan tidak banayak perkembangan yang bisa dilihat dari hal tersebut, hal ini

bisa terlihat dari segi anggaran yang diajukan untuk tiap pengadilan. sebelum

berada di bawah Mahkamah Agung posisi peradilan agama seperti peradilan

”Second Class” persepsi ini muncul karena sulitnya peradilan agama

mendapatkan anggaran layak untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan

pasca satu atap dengan Mahkamah Agung, pengadilan agama telah

mendapatkan apa yang dulu kurang atau tidak pernah didapatkan. Sarana

prasarana yang dimiliki oleh pengadilan agama sekarang tidak jauh berbeda

dengan yang dimiliki oleh pengadilan negeri. Berkaitan dengan hal ini mantan

Direktur Pembinaan Peradilan Agama Mahkamah Agung Jakarta Wahyu

Widiana mengutarakan bahawa pengadilan agama akan berkembang lebih

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

56

baik jika didukung oleh semua pihak yang punya otoritas dalam bidang

peningkatan SDM, penyiapan anggaran dan penangan manajemen.99

Oleh sebab itu setelah di telisik lebih jauh kaitannya dengan implikasi

reformasi pasca satu atap dapat di temukan dalam berbagai hal dalam

lingkungan peradilan agama sehingga sangatlah mungkin bahwa di bawah ini

mewakili dari adanya dampak adanya reformasi tersebut. Maka penulis

mencoba mengurainya dengan beberapa hal diantara adalah sebagai berikut:

a. Terjadi peningkatan independensi kekuasaan kehakiman sejalan dengan

tuntutan reformasi di bidang kekuasaan kehakiman yang menghendaki

kekuasaan kehakiman benar-benar merdeka bebas dari campur tangan

kekuasaan lain. Di samping itu keberadaan PA lebih mantap dan sederajat

dengan peradilan lainnya.

b. Pembinaan terhadap PA baik terkait aspek organisasi, administrasi dan

finansial, dilakukan oleh MA, yang dalam hal ini dilakukan oleh lembaga

setingkat Direktorat Jenderal (eselon satu), sehingga terdapat peningkatan

bila dibandingkan ketika PA masih berada di bawah Departemen Agama

yang hanya dilakukan oleh lembaga setingkat direktorat (eselon dua).

c. Persaingan diantara aparat MA diantara empat lingkungan peradilan

termasuk aparat PA akan semakin sehat.100

Sehingga aparat PA memiliki

peluang yang sama untuk bersaing menduduki jabatan tertentu di

lingkungan MA dengan aparat dari lingkungan peradilan yang lain. Pada

akhirnya “peradilan satu atap” sudah menjadi realitas dan menjadi

kebijakan politik nasional yang dinyatakan dalam suatu undang-undang,

yang akan mempengaruhi keberadaan PA di masa mendatang.

Dari beberapa perbedaan di atas dari aspek organisasi, administrasi

dan finansial telah berjalan efektif karena hanya ada satu lembaga yang

memutuskan yaitu Makamah Agung, terjadinya peningkatan anggaran serta

99

Wahyu Widiana, Penyatuatapan Peradilan Agama Pada Mahkamah Agung, dalam Atho

Mudzahar et al, Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat: Implikasi dan Tantangan, (Jakarta:

Puslitbang Kehidupan Beragama, Cet I, 2005), h. 98. 100

Wahyu Widiana, Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat, (Jakarta: Departemen Agama

Balitbang, 2005), h. 98-99.

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

57

berbagai fasilitas yang dimiliki oleh pengadilan agama dan yang terakhir

adalah memudahkan komunikasi lembaga peradilan karena berada dalam satu

nsaungan yaitu Makamah Agung. Dengan demikian, dari hasil penelitian

yang dilakukan penulis dapat diketahui gambaran yang jelas menngenai

pengelolaan pengadilan agama secara organisasi, administrasi dan finansial

pra dan pasca satu atap dengan Makamah Agung. dimana semua itu

memberikan efek positif setelah Undang-Undang satu atap tersebut

diterapkan di pengadilan se-Indonesia.

` Dari semua yang dipaparkan di atas untuk mempermudah memahami hasil

penelitian, peneliti membuat tabel sebagai berikut:

No Aspek Perkembangan

Peradilan Agama Pra Satu Atap Pasca Satu Atap

1. Aspek Organisasi Badan yang menaungi

Direktorat Jenderal Bimas

Islam dan penyelenggaraan

Haji (Dirjen BIPH) dibina

oleh Direktur Eselon II

Memiliki 1 Direktur

(eselon 2)

Memiliki 5 unit kepala

subdit (eselon 3)

16 kepala seksi (eselon 4)

Badan yang menaungi

Direktorat Jenderal Badan

Peradilan Agama (Ditjen

Badilag) dibina oleh Ditjen

eselon I

Memiliki 3 Direktur dan 1

sekretaris (eselon 2)

Terdapat pula sub bagian

tata usaha pada setiap

Direktur sedangkan

sebelumnya disentralisasi

di bawah Direktur dan 4

bagian di bawah sekretaris

(eselon 3)

Terdapat 28 seksi dan 11

sub bagian (eselon 4)

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

58

2. Aspek Administrasi

Laporan kerja yang

berhubungan dengan

organisasi, administrasi dan

finansial diajukan ke

Departemen Agama

laporan kerja yang

berkaitan dengan hukum

diajukan ke Mahkamah

Agung

Perkara yang diterima dari

tahun 2004 sebanyak

165.266 perkara, sisa

perkara 2003 sebanyak

27.449 perkara sehingga

perkara yang diputus

sebanyak 154.331 perkara

Sistem Informasi

Adminitrasi Perkara

Peradilan Agama

(SISDIPA) Karena

keeratasan anggaran

SISDIPA hanya di

implementasikan di

beberapa Pengadilan

Agama seperti: PA Kendal,

PA Makasar, PA

Indramayu, PA Cimahi.

Laporan kerja semuanya ke

MA meliputi: organisasi,

administrasi finansial laporan

perkara.

Perkara yang diterima dari

tahun 2016 sebanyak

503.794 perkara. Sedangkan

tahun 2015 sebanyak 88.824

perkara sehingga perkara

yang diputus tahun 2016

sebanyak 449.988 perkara.

Manajemen Perkara yaitu

Sistem Informasi

Administrasi Perkara

Peradilan Agama (SIADPA),

pada tahun 2006 Ditjen

Badilag membangun aplikasi

Sistem Informasi Manajemen

Kepegawaian (SIMPEG).

Sistem Informasi

Penelusuran Perkara (SIPP)

yang berlaku nasional.

3. Aspek Finansial

Tahun 2004 Anggaran

sebesar 3,5 M digunakan 1

Tahun 2005, hanya Rp

236.954.153.000. tahun

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

59

M di Direktorat, 2,5 M

dibagi ke 25 PTA se-

Indonesia. Jadi sekitar 100

juta per satu PTA

Anggaran yang diajukan ke

Depag jarang terpenuhi,

sehingga anggaran untuk

membeli alat-alat tulis dan

buku-buku dipenuhi dari

kantor PA sendiri.

Tahun 2006 adalah sebesar

Rp 709.443.572,

Tahun 2007 sebesar Rp

709.538.457.000,- dan

Tahun 2016 Alokasi anggaran

Rp71.956.600.000,00

Jadi pada tahun 2016 alokasi

anggaran ke 29 PTA se-

Indonesia sekitar Rp

2.569.878.000,00,- per satu

PTA

Anggaran yang diajukan ke

MA sering terpenuhi,

termasuk anggaran untuk

membeli alat-alat tulis dan

buku-buku.

4. Kewenangan Pasal 49 Undang-Undang

No. 7 Tahun 1989

Tentang Peradilan Agama

“Pengadilan Agama

bertugas dan berwenang

memerikssa, memutus

dan menyelesaikan

perkara-perkara ditingkat

pertama antara orang-

orang yang beragama

islam di bidang: a.

Perkawinan

b. Waris

c. Wasiat

Pasal 49 Undang-Undang

No. 3 tahun 2006 Tentang

Perubahan Atas Undang-

Undang No. 7 Tahun 1989

Tentang Peradilan Agama

“Pengadilan Agama bertugas

dan berwenang memeriksa,

memutus dan menyelesaikan

perkara ditingkat pertama

antara orang-orang yang

beragama islam di bidang :

a. Perkawinan

b. Waris

c. Wasiat

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

60

d. Hibah

e. wakaf

f Zakat

g. Infaq dan

h. Shadaqoh”.

d. Hibah

e. Wakaf;

f. Zakat

g. Infaq

h. Shadaqah dan

i. Ekonomi syariah” .

5. Implementasi

Pelayanan Publik

Belum ada prodeo yang

dibayar negara dulu hanya

prodeo murni tanpa

dibayar

Belum ada anggaran dari

negara dari negara untuk

POSBAKUM bagi orang

miskin

Belum ada pelayanan

terpadu bersama KUA dan

Dukcapil untuk

menerbitkan isbat nikah,

buku nikah dan akta

kelahiran.

Pelaksanaan sidang keliling

terbatas karena anggaran.

Sudah ada Pembebasan Biaya

Perkara di Lingkungan

Peradilan Agama (PRODEO)

Sudah ada Pos Bantuan

Hukum (POSBAKUM)

Sidang di Luar Pengadilan

Agama

Pelayanan Sidang Keliling di

Peradilan Agama lebih luas

karena anggaran semakin

besar

Sidang di Luar Negeri pada

konsultan Jenderal Repulik

Indonesia (KJRI)

6. Implementasi

Keterbukaan Informasi

Putusan belum di

publikasikan melalui

internet karena masih

kurangnya teknologi

Informasi

Adanya:

Informasi Penelusuran

Perkara

Pelayanan Meja informasi

dan meja Pengaduan

Publikasi Putusan

Publikasi Dokumnetasi dan

Informasi Hukum

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

61

Pelayanan Informasi Melalu

Website Pengadilan.

7. Sarana Prasarana Inventaris mobil, mobil

yang diperoleh tidak sama

dengan pengadilan lain

Tunjangan yang diperoleh

tidak sama dengan

pengadilan lain (PN, PM,

PTUN)

Pemeliharaan gedung

berada di gang-gang kecil

dan kurang terpelihara

dengan baik

Keadaan peradilan

agama/mahkamah

syar’iyah tercatat

berjumlah 343

peradilan/mahkamah

syar’iyah tahun 2004 se-

Indonesia

Inventaris mobil mobil yang

diperoleh sama dengan

pengadilan lain

Tunjangan yang diperoleh

sama dengan peradilan lain

(PN, PM, PTUN)

Pemeliharaan gedung berada

di jalan-jalan protokol dan

terpelihara dengan baik

Keadaan peradilan

agama/mahkamah syar’iyah

tercatat 416 pengadilan

agama/mahkamah syar’iyah

tahun 2017 se-Indonesia.

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

62

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebelum berada di bawah Mahkamah Agung, peradilan agama berada

di bawah Departemen Agama. Keberadaan peradilan agama yang berada di

bawah Departemen Agama membuat posisi peradilan agama seperti peradilan

“Second Classs”. Ketika berada di bawah Departemen Agama, perkembangan

peradilan agama tidak tertata dengan baik seperti dalam aspek administrasi,

finansial, implementasi pelayanan publik dan implementasi keterbukaan

informasi sarana maupun prasarana. Semua itu telah dimiliki oleh peradilan

agama namun sangat tertinggal dibandingkan peradilan umum.

Pra satu atap, gedung-gedung Pengadilan Agama pra satu atap berada

di lingkungan jalan non protokol. Seperti Pengadilan Agama Jakarta Selatan ,

sedangkan pasca satu atap berada di jalan-jalan protokol. Bukan hanya itu,

inventaris serta tunjangan untuk hakimnya pun relatif sedikit. Tahun 2004,

Anggaran yang diajukan hanya sekitar 3,5 Miliar Rupiah, sedangkan setelah

berada di bawah naungan Mahkamah Agung, anggaran yang di ajukan ke

Mahkamah Agung sekitar Rp71.956.600.000,00 pada tahun 2016.

Hal lain yang juga berkembang adalah terkait kompetensi absolut

dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan kedua

Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama kini

Pengadilan Agama dengan memperluas kewenangan dalam penyelesaian

sengketa Ekonomi Syariah. Sedangkan sebelumnya Pasal 49 Undang-

Undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama. Pengadilan Agama

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-

perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang:

Perkawinan, warisa, wasiat, hibah, Wakaf, infaq dan shadaqoh.

Pengadilan Agama pasca satu atap juga mengalami peningkatan yang

signifikan seperti di bidang implementasi pelayanan publik dan implementasi

keterbukaan informasi. Layanan yang disediakan yaitu posbakum, sidang di

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

63

luar gedung pengadilan, sidang di luar negeri pada konsulat Jenderal Republik

Indonesia (KJRI), pembebasan biaya perkara, pelayanan terpadu sidang

keliling dan segala hal administrasi serta data terkait pengadilan dapat diakses

melalui website resminya.

Selanjutnya pada pengelolaan aspek organisasi, administrasi dan

finansial juga mengalami peningkatan dan kemajuan yang sangat pesat. Saat

ini kondisi peradilan agama tidak berbeda dengan tiga lembaga peradilan

lainnya (peradilan negeri, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara)

baik bidang organisasi, administrasi dan finansial. Perubahan-perubahan yang

sangat signifikan ini telah mendorong terciptanya pelayanan yang lebih baik

kepada masyarakat. Ini juga sangat terlihat dari implementasi pelayanan

publik dan keterbukaan informasi di peradilan agama. Oleh karena itu penulis

berkesimpulan bahwa sampai saat ini reformasi peradilan agama di Indonesia

dianggap berjalan dengan baik dan berhasil.

B. Saran-saran

1. Agar keberhasilan reformasi peradilan agama di Indonesia dapat

dipertahankan bahkan ditingkatkan, maka seluruh jajaran peradilan agama

perlu meningkatkan kemampuan manajerial danteknis hukum serta

menjaga integritas dan akhlakul karimah. Di samping itu, perlu juga

dilakukan kordinasi dan bekerjasama yang baik dengan unsur lainnya di

lingkungan Mahkamah Agung, bahkan dengan dunia luar seperti instansi

terkait lainnya, perguruan tinggi dan masyarakat luas.

2. Untuk mengontrol dan memantau sejauh mana keberhasilan reformasi

peradilan agama perlu terus dilakukan penelitian dan pengkajian yang

hasilnya dapat dijadikan masukan dalam melakukan pembinaan lebih

lanjut. Untuk itu diperlukan adanya keterbukaan sikap, kelapangan dada

dan kekuatan tekad dari pimpinan dan seluruh jajaran peradilan agama

untuk memperbaiki segala kekurangan yang ada demi mewujudkan

pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

DAFTAR PUSTAKAAN

BUKU

Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum

Islam Di Indonesia Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2012.

______________. Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2002.

Arifin, Jaenal. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi di Indonesia, Jakarta:

Kencana, 2008.

______________. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2013.

______________.Peradilan Agama Dari serambi Masjid Ke Serambi Dunia,

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik

Indonesia: 2012.

Abdullah, Abdul Ghani. Badana Hukum Syara Kesulatana Bima 1947-1957:

Sebuah Studi Mengenai Peradilan Agama, Disertasi, Jakarta: IAIN Syarif

Hidayatulloh Jakarta: 1987.

Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada,2002.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2000.

Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI , Proses Penyatuatapan

Peradilan Agama, Jakarta: 2011.

Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta; Kencana Prenada Media

Group, 2010.

______________. Peradilan Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2012.

Peradilan Agama Dari serambi Masjid Ke Serambi Dunia, Direktorat Jenderal

Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia: 2012.

Halim, Abdul. Peradilan Agama Dan Politik Hukum Di Indonesia Dari Otoriter

Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, Jakarta: PT Raja

Grfindo Persada, 2002.

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Hadi Daeng, et.al.Mutira Yang TakTerlupakanProfil Dan Pemikiran Tokoh

Peradilan Agama Di Indonesia, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama

Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2012.

Koto, Alaidin. Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2011.

Kusnadi, Didi. Bantuan Hukum Islam Hubungannya Dengan Undang-Undang

Advokat Dan Penegak Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama

RI, 2011.

Lubis, Sulaikun. Hukum Cara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:

Kencana, 2006.

Manan, Abdul. Etika Hakim Dalam Penyelesaian Peradilan-Suatu Kajian Dalam

Sistem Peradilan Islam, Jakarta: 2007.

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI), Profil Peradilan Agama

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Jakarta: MA-RI, 2005.

______________. Laporan Tahunan 2016, Jakarta: MA-RI, 2017.

Mubarok, Jalih. Peradilan Agama di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisy,

2004.

Mujahidin, Ahmad. Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, Bogor;

Ghalia indonesia, 2004.

Muslim dan Edi Huadita. Wahyu Widiana Bekerja Tiada Henti Membangun

Peradilan Agama, Mb design, Jakarta: 2012.

Noeh, Ahmad Zaini. Peradilan Agama Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Intermas,

1980.

Rahardjo, Satjipto. Struktur Hukum Modern, Semarang: Program Doktoral Ilmu

Hukum Universitas di Ponerogo, 2004.

R. Tjitrosoedibio dan Subekti. Kamus Hukum, Jakarta: PT. Pradya Paramita,

1996.

Subekti, R. Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Alumni: 1981.

Wahyu Widiana. Penyatuatapan PA pada Mahkamah Agung, dalam Ridwan

Nasir (editor), Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat. Cet. 1, (Jakarta:

Balitbang Departemen Agama, 2005.

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Wahyu Widiana. Eskrim Bakso dan Teknologi Informasi, Direktorat Jederal

Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, 2012.

INTERNET, JURNAL

http://alamatsejarah.blogspot.co.id/205/02/sejarah-singkat-peradilan-agama-

di.html, diakses pada tanggal 1 Desember 2016, pukul 11.45 WIB.

http://peradilandiindonesia.blogspot.co.id/2012/11/kewenangan-

peradilan.html.diakses pada tanggal 1 Desember 2016, pada pukul 14:21 WIB.

http://foreverafter2014.blogspot.co.id/2014/06/implementasi-sistem-

administrasi.html, diakses pada tanggal 2 November 2017 pukul 14:58 WIB.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Reformasi diakses pada tanggal 25 November

2017 pukul 6:10 WIB.

Ibrahim, Malik, Peradilan Satu Atap (THE ONE ROOF SYSTEM)diIndonesia,

Asy-syir’ah no.2 (Desember 2013): h. 665.

Dr. H. Amran Saudi, s.h., M.Hum., M.M., dan H. Soltoni Mohdally, S.H.,

M.H.,Majalah Peradilan Agama Potret Reformasi Birokrasi di Peradilan

Agama,Jakarta: Edisi 12 Aguatus 2017.

WAWANCARA

Wawancara dengan Drs, Bahrin Lubis, Panitera di Pengadilan Tinggi Agama,

Jakarta Timur, 12 Januari 2017.

Wawancar dengan Farid, SH. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Jakarta

Selatan, 12 Januari 2017.

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Wawancara dengan Dr. H. Hasbi Hasan, M.H. Direktur Pembinaan Administrasi

Peradilan Agama, Jakarta, 13 Desember 2016.

Wawancara dengan Drs, Agus Zaenal Muttaqien, SH. Kepala Biro Kepegawaian

Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta

Pusat, 18 Januari 2017.

REGULASI

UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama.

UU No.50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989

Tentang Peradilan Agama.

UU No.35 Tahun 1999 Perubahan Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1970

Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 13 Tahun 2016 Tentang

Pembentukan Pengadilan Agama.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 2016 Tentang

PembentukanPengadilan Agama.

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 16 Tahun 2016 Tentang

Pembentukan Mahkamah Syar’iyah.

Keputusan Sekretaris MA /SEK/III/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja

Sekretaris MA.

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id
Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

LAPORAN HASIL WAWANCARA

DENGAN PANITERA DI PENGADILAN TINGGI AGAMA

JAKARTA

Drs, BAHRIN LUBIS, S.H., M.H.

1. Bagaimana perkembangan peradilan agama pasca satu atap?

Jawaban:Setalah satu atap tahun 2004 pengadilan agama satu Dirjen,

artinya sejajar dengan pengadilan lain. Ada direktorat peradilan

agam ada direktorat peradilan umum direktorat peradilan tata usha

negara dan direktorarat pengadilan militer. Sehingga anggaran nya

yang sebelum nya di bawah urais (urusan agama islam) disejajarkan

dengan KUA sekarang pengadilan agama posisinya disejajarkan

dengan pengadilan negeri, pengadilan tata usaha negara dan

pengadilan militer. Maka anggaranya loncat mengalami perubahan

yang sangat pesat dan ada akibatnya, gedung-gedung menjadi bagus

dan mewah, muncul di depan- depan publik. Jadi dari segi pelayanan

pengadilan agama menjadi bagus bisa dijangkau orang kemudian

orang merasa nyaman didalam kantornya.jadi kantornya setelah satu

atap menjadi sejajar dengan kantor-kantor pengadilan lain. Sehingga

yang sebelumnya kantor-kantornya ada di gang-gang ditinggalkan

semua. Dan anggarannya disesuaikan bahkan peningkatanya berubah

bisa menjadi sepuluh kali lipat setelah satu atap.

2. Peluang dan tantangan peradilan agama pasca satu atap?

Jawaban: Karena peradilan disamakan dengan peradilan lain maka

dari segi jabatan struktural mempunyai peluang yang sama antara

pengadilan yang empat itu, contoh : panitera pengadilan tinggi

agama jakarta menjadi kepala biro perencanaan organisasi wilayah

republik Indonesia MA. Jadi statusnya menjadi sama siapapun yang

mempunyai kualitas atau kemampuan bisa muncul, demikian juga

untuk jabatan-jabatan yang lain itu juga mempunyai status yang

sama.

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

3. Bagimana Perubahan manjemen Peradilan Agama Pra dan pasca satu

atap?

Jawaban: Pra dan pasca satu atap secara struktur itu berubah secara

manajemen pasca satu atap itu kerjanya lebih simpel lebih tersusun.

Jakarta Timur, 12 Januari 2017.

Peneliti,

Siti Hanah

Panitera,

Drs, Bahrin Lubis, S.H, M.H.

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

LAPORAN HASIL WAWANCARA

DENGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN

FARID, S.H.

1. Bagaimana perkembangan peradilan agama pasca satu atap?

Jawaban: Pengadilan Agama perkembangan nya sangat pesat,

pertama dalam hal sarana, karena sebelum satu atap tidak ada yang

namanya kantor pengadilan agama adanya balai sidang pengadilan

agama. Dulu sebelum kantor pengadilan agama satu atap adanya di

gang-gang kecil, tetapi setelah satu atap pindah kantornya berada

dijalan- jalan protokol. Kedua dari sisi kewenanganya juga berubah

sebelum tahun 2006 masalah yang ditangani mengenai nikah, cerai,

talak, rujuk sedangkan setelah satu atap bertambah jadi menangani

masalah ekonomi syariah.

2. Apa saja peluang/tantangan dalam perkembangan peradilan agama

pasca satu atap?

Jawaban: Peluang pengadilan agama menjadi ketua mahkamah

agung sangat susah.karena untuk menjadi ketua tau wakil ketua kan

dipilih sekarang dipengadilan agma yang menjadi hakim itu

sekarang maksimal hanya 6 orang kalu dulu bisa sampai 8 orang

sedangkan untuk pengadilan umum itu banyak.

3. Apa faktor yang melatarbelakangi terjadi penyatu atapan peradilan

agama?

Jawaban: keinginginan masyarakat umum dan kemauan dari

pemerintah karena jika tidak ada keingin dan dukungan dari itu tidak

akan menjadi seperti sekarang.

4. Apa saja reformasi yang telah terjadi di pengadilan agama?

Jawaban: Yang jelas pola pikir kawan-kawan di peradilan agama itu

sudah berubah. Contoh dari segi prilaku, dan pakaian. Adapun yang

berupah yaitu dari segi:

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

a. Organisasi, darisegistrukturorganisasimengalamiperubahanpra

satu atap hanyalah terdiri dari 1 Direktur (eselon 2), 5 kepala

Subdit (eselon 3) dan 16 kepala seksi (eselon

4).SedangkanpascasatuatapPeradilan agama pasca satu atap

dengan Mahkamah Agung, secara organisasi, administrasi dan

finansial dibina oleh Direktorat/Jenderal Badan Peradilan Agama

(Badilag) yang dijabat oleh pejabat unit eselon 1.

b. Administrasi, Dahulu di pengadilan agama pegawainya

merangkap jabatan karena dulu kekurangan pegawai.kalau tidak

merangkapjumlaha perkara yang ada tidak akan m udah selesai.

yang menentukan kepegawaian adalah Menpan, DKM, Menteri

Keuangan.

c. Finansial, mengalami loncat nya drastis untuk jumlah

keuangannya, dahulu kecil sedangkan sekarang lebih tinggi

keuangannya.

5. Apa jumlah hakim disetiap pengadilan itu sama?

Jawaban: Tidak sama, karena disesuaikan dengan kelasnya. Ada

kelas A kelas 1 B mestinya kalau kelas 1 A itu sekitar 25 orang

pegawai nya karena dilihat perkaranya yang banyak masuk

6. Apa kekurangan dan kelebihan Peradilan Agama pasca Satu Atap?

Jawaban: kekurangan nya jelas kurang dari segi sarana seperti

komputer sampai sekarang, tetapi untuk gedung nya jelas sudah

berubah lebih baik dari sebelum nya.

Kelebihannya, dalam sistem siadpa.

7. Perkara apa yang banyak masuk di Pengadilan Agama?

Jawaban: Masalah nya Mengenai perkawinan yaitu mengenai cerai

talak dan gugat. Tentang waris juga ada tetapi tidak banyak seperti

masalah perceraian.

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Jakarta Selatan, 12 Januari 2017.

Peneliti,

Siti Hannah

Hakim,

Farid, S.H, M.H.

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

LAPORAN HASIL WAWANCARA

DENGAN DIREKTUR PEMBINAAN ADMNINISTRASI

PERADILAN AGAMA

Dr. H. HASBI HASAN, M.H.

1. Bagaimana pandangan bapak perkembangan peradilan agama pasca

satu atap dengan MA?

Jawaban: Perkembangan peradilan agama setelah melakukan

penyatu atapan dengan Mahkamah Agung perkembangan nya sangat

pesat, baik itu di bidang organisasi, Administrasi Sumber daya

manusia dan Finansial.

2. Apa saja pandangan bapak peluang dan tantangan dalam

perkembangan peradilan agama pra dan pasca satu atap?

Jawaban: Lebih banyak peluang nya dibanding dengan

tantangannya, dari sisi peluang nya peradilan agama dengan satu

atap ke Mahkamah Agung jadi kewenangannya semakin luas dalam

Ekonomi Syari’ah, kemudian anggaran nya pun semakin besar untuk

melakukan pembinaan-pembinaan peradilan, bimbingan teknis,

monitoring, dan melakukan perluasaan peradilan dengan adanya

anggaran yang besar maka sekarang secara fisik anggarannya dahulu

di Depag hanya 5 Milyar sedangkan sekarang sudah 50 Milyar jadi

secara fisik peradilan agama maju dengan pesat. Fisiknya hampir

setara dengan peradilan umum. Sedangkan untuk tantangannya tidak

terlalu besar karena kita sudah mempunyai sarana dan prasarana

yang memadai maka kita harus menjaga sarana-sarana itu.

3. Apa saja faktor yang melatarbelakangi terjadinya penyatuatapan

peradilan agama?

Jawaban: Agar tidak ada diskriminasi artinya peradilan itu amanah

berdasarkan UUD pasal 24 peradilan itu setara kalau kita masih

berada di Departemen Agama dari sisi anggaran saja kita jauh,

penampilan, sumber daya manusia.

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Agar peradilan itu setara dengan peradilan lain

Agar kualitas SDM meningkat

Agar performen peradilan lebih bermartabat.

4. Apa-apa saja reformasi yang telah terjadi di peradilan agama ?

Jawaban: Reformasinya banyak sekali, bayaknya pelatihan-platihan,

gedung-gedung yang tadinya di gang-gang sekarang sudah dijalan

protokol.

5. Apa saja kekurangan dan kelebihan dari manajemen peradilan agama

pra dan pasca satu atap?

Jawaban: Manajemen peradilan agama termasuk yang modern yang

sudah mendunia administrasinya sudah di contoh oleh peradilan-

peradilan lain. Manajemen peradilan aga menjdi parameter Peradilan

lain di Indonesia.

6. Apa-apa sajakah peranan-peranan unggulan badilag dalam

mempercepat informasi peradilan dalam bidang organisasi,

administrasi, sumber daya manusia, dan finansial?

Jawaban: ungulan-unggulannya banyak sekali

Jakarta, 13 Desember 2016.

Peneliti,

Siti Hanah

Direktur Pembinaan Admninistrasi

Peradilan Agama

Dr, H. HasbiHasan, M.H.

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

LAPORAN HASIL WAWANCARA

DENGAN KEPALA BIRO KEPEGAWAIAN BADAN URUSAN

ADMINISTRASI MAHKAMAH AGUNG RI

Drs. H. AGUS ZAENAL MUTTAQIEN, SH.

1. Bagaimana perkembangan peradilan agama pra dan pasca satu atap

dengan MA ?

Jawaban: seperti kita ketahui bersama bahwa Pengadilan Agama

awalnya berada dibawah Departemen Agama, sampai keluarnya

undang-undang satu atap. Keberadaan Pengadilan Agama yang

berada di Departemen membuat posisi Pengadilan Agama seperti

peradilan “second class’’ disebabkan antara lain karena sulitnyab

Pengadilan Agama mendapatkan anggaran yang lanyak untuk

“memenuhi kebutuhannya”. Nyaris tidak ada perkembangan yang

berarti selama berada di bawah Departemen Agama, hal tersebut bisa

dilihat dari kondisi sarana maupun prasarana yang dimiliki oleh

Pengadilan Agama yang sangat ketinggalan dibandingkan dengan

Pengadilan Negeri, mulai dari bangunan fisiknya hingga

kesejahteraan pegawainya, bahkan lokasi kantor Pengadilan Agama

letaknya dikampung-kampung. Hingga akhirmya keluar Undang-

Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang

No.7 1989 tentang Peradilan Agama, sejak saat itu Pengadilan

Agama secara organisasi, administrasi dan finansial langsung di

bawah Mahkamah Agung. Secercah harapan yang muncul ketika

keluarnya Undang-Undang tersebut, diantaranya:

Sistem kekuasaan kehakiman yang kebih mandiri dan merdeka

Pengelolaan administrasi, organisasi dan finansial diharapkan akan

lebih efisien karena hanya ada satu lembaga yang memutuskannya

yaitu Mahkamah Agung (karena pra satu atap ada dua lembaga yaitu

Departemen Agama dan Mahkamah Agung)

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Adanya peningkatan anggaran maupun berbagai fasilitas yang

dimiliki oleh Pengadilan Agama untuk menunjang Pelayanan publik

harus diberikan oleh Pengadilan Agama

Kemudahan komunikasi antar lembaga peradilan karena berada

dalam satu kewenangan yaitu Mahkamah Agung.

Kini lebih dari 10 tahun Peradilan Agama berada di bawah satu atap

Mahkamah Agung, berbagai harapan diatas sudah mulai terwujud

saat ini, diantaranya:

Kemandirian hakim untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman yang

merdeka dan bebas intervensi maupun pengaruh dari berbagai pihak

sudah mulai terlihat hasilnya dan mulai dapat dirasakan oleh

masyarakat pencari keadilan.

Kesejahteraan hakim maupun aparatur peradilan agama saat ini sudah

jauh lebih sejahtera dibandingkan pra satu atap, sehingga kualitas

kinerja hakim maupun aparatur lainnya dalam memebrikan pelayanan

peblik lebih maksimal.

Lokasin kantor peradilan Agama yang sudah banayak berada di jalur-

jalur protokoler, sehingga memudahkan para pencari keadilan untuk

mengakses Pengadilan Agama, hal tersebut secara otomatis merubah

citra Peradilan Agama menjadi lebih baik dari sebelumnya yang

dikenal sebagai peradilan pinggiran kota.

Sarana dan prasarana kantor yang sudah sangat memadahi, membuat

kualitas pelayanan Peradilan Agama kepada pencari keadilan

menjaxdi lebih baik dan maksimal.

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

2. Menurut Bapak apa saaj peluang dan tantangan dalam perkembangan

Peradilan Agama Pra daan pasca satu atap?

Jawaban:

Dari segi:

A. Peradilan Agama merupakan bagian Mahkamah Agung juga

dituntut untuk mewujujudkan cita-cita besar mahkamah agung

dalam mewujudkan badan peradilan yang agung, untuk

mewujudkan badan peradilan yang agung tersebut maka proses

beracara di peradilan agama dituntut untuk mampu memenuhi

rasa keadailan yang berkembang dimasyarakat, bukan hanya

menuntut kemampuan hakim peradilan agama agar selalu

meningkatkan “kualitas” hukum acaranya, akan tetapi peradilan

agama harus mampu menjawab kebutuhanb akan “rasa keadilan”

yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat.

Kewenangan peradilan agama yang semakin komplek, bukan

hanya menyelesaikan persoalan perceraian, waris maupun harta

bersama, namun saat ini peradilan agama diberikan kewenanagn

untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariahb yang tentunya

menjadi tantangan bagi hakim peradilan agama untuk dapat

menjawab keraguan dari sebagian kalangan akan kompetensi

peradilan agama dalam menanganai sengjeta ekonomi.

Kesenjangan sosial ekomoni masyarakat juga menjadi tantangan

pperadilan agama untuk dapat hadir ditengah-tengah masyarakat

yang kurang mampu, namun membutuhkan keadilan yang sama

dengan masyarakat lainnya.

B. Aspek sumber daya aparatur Peradilan

Dengan semaki kompleknya persoalan hukum yang ditanganib

oleh peradilan agama saat ini, mengharuskan segala potensi yang

dimiliki oleh Peradilan Agama khususnya sumber dayaa

manusianya untuk mampu menjawab tantangan tersebut.

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Kalau dulu pra satu atap, jumlah SDM peradilan agama masih

sangat terbatas, kini jumalah SDM sudah semakin banyak,

begitu pun pelaksanaan pengenmbangan kualitas SDM baik

melalui diklat formal maupun non formal sudah semakin baik

dan berkembang, hal tersebut merupakan dampakdari kebutuhan

akan kualitas SDM yang diimbangi dengan ketersediaan

anggaran untuk meningkatkan kualitas SDM tersebut. peluang

peningkatan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas tersebut,

membawa tantangan tersendiri bagi pengelolaan manajemen

SDM khususnya tenaga teknis (Hakim, Panitera dan Jurusita)

karena semakin kompleksnya “persoalan” manajemen

pengelolaan SDM yang harus dihadapi. Tuntutan pengelolaan

SDM berbasis kompetensi dengan pengelolaan manajemen karir

yang transparan menjadi sebuah tantangan tersendiri.

C. Aspek pengawasan dan pembinaan

Jawaban:Pra satu atap, dinamika pengawasan dan pembinaan

oleh Departemen Agama belum terkelola secara maksimal karna

keterbatasan anggaran, mengingat lokasi pengadilan agama yang

berada di tingkat kabupaten, sedangkan lembaga pengawasan

dan pembinaan intern oleh pimpinan Pengadilan Agama lebih di

intensifkan. Kini pasca satu atap, selain pengawasan dan

pembinaan oleh pimpinan pengadilan, tugas lembaga khusus

dalam hal ini badan pengawasan lebih difungsikan untuk

melakukan pembinaan dan pengawasan tersebut, selain dari

badan pengawasan, ternyata Pengadilan Tingkat Agama juga

secara rutin melakukan pengawasan dan pembinaan tersebut,

semua itu bisa berjalan dengan maksimal karena telah

tersedianya anggaran untuk proses pembinaan dan pengawasan.

Denagn semakin kompleksnya persoalan hukum yang

berkembang dimasyarakat serta “perubahan” perilaku aparatur

peradilan agama sejak meningkatnya kesejahtraan yang diterima

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

pasca satu atap, memebrikan tantangan tersendiri dalam proses

pembinaan dan pengawasan, hasil dari pengawasan dan

pembinaan pembinaan tersebut dituntut untuk

meminimalisir/mengilangkan praktek/perilaku yang

bertentangan dengan ketentuan aturan yang ada, tanpa

membatasi kebebasan ataupun kreatifitas aparatur peradilan

agama dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarkat

pencari keadilan.

D. Aspek sarana dan Prasarana

Tidk bisa dipungkiri bahwa salah satu dampak yang paling terasa

pasca satu atap adalah, peningkatan kualitas maupun kuantitas

sarana dan prasarana peradilan agama, sebagaimana di sebutkan

diatas, dahulu peradilan agama sangat minim dcengan fasilitas,

namun kini bangunan fisik gbedung pengadilan agama sudah

sejajar dengan pengadilan lainnya diotambah lagi berbagai

fasilitas penunjang yang lebihb modern sehingga diharapkan

mampu menunjang peningkatan pelayanan pub;ik di peradilan

agama. Bangunan gedung pengadilan yang mayoritas merupakan

bangunan yang telah sesauai standar, ditunjang fasilitas diruang

tunggu maupun ruang sidang pengadilan yang cukup lengkap

dan memadahi sehingga kualitas pelayanan kepad pencari

keadilan juga sudah semakin baik. Hal tersebut memberikan

tantangan tersendiri bagi peneglolaan sarana dan prasarana yang

baik dan transparan, agar saraana yang telah ada tersebut dapat

dijaga perawatannya sehingga mampu memberikan kenyamanan

bagi paar pencari keadilan.

3. Apa saja faktor yang melatarbelakangi terjadi penyatuatapan

peradilan agama?

Jawaban: grakan reformasi, telah berhasil merespon tuntutan atas

pembenahan hukum dan lembaga peradilan. Karean aitu, setelah

gerakan reformasi berhasil, isu seputar indepndensi kekuasaan

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

kehakiman mengema. Penerapan peradilan stu atap di indonesia,

dimaksudkan untuk menjadikan sistem hukum sebagai subjek

reformasi (variabel indeopendent). Dengan ketentuan baru ini

diharapkan hakim/lembaga peradilan dapat melaksanakan tugasnya

menegakkan hukum dan keadilan lebih mandiri, bebas dari campur

pihak-pihak di luar pengadilan, terutama oleh pihak eksekutif.

Dengan danaya pemindahan kewenangan bidang empat hal yang di

sebutkan di atas berdasarkan UU No 4 Tahun 2004, maka pembinaan

bidang teknis yustisial dan non yustisilal lembaga peradilan, telah

berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkmaah Agung. pemindhan

kewenangan di bidang organisasi meliputi kedudukan, tugas, fungsi,

kewenangan dan struktur organisasi pada semua badan peradilan.

Adapun yang dimaksud dengan pemindahan kewenangan di bidang

administrasi meliputi kepegawaian, kekayaan Negara, keuangan,

arsip, dokumen termasuk dari finansial masing-masing

instansi/departemen, beralih satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah

Agung.

4. Apa perubahan manajemen peradilan agama di Indonesia pra dan

pasca satu atap?

Jawaban:

Dari segi:

A. Manajemen Organisasi

Terjadinya perubahan/peningkatan beberapa struktur organisasi

peradilan agama, sebelum satu atap, beberapa struktur organisasi

peradilan agama bahkam mayoritas struktur organisasi peradilan

agama merupakan struktur organisasi dengan jabatan setingkat

eselon V, kini mayoritas struktur organisasi peradilan agama

minimal setingkat eselon IV, termasuk adanya penambahan baru

beberapa struktur organisasi tersebut, hal tersebut menimbukan

perubahan paradigma dalam pengelolaan manajemen peradilan

tersebut.

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

B. Manajemen Adminisrasi

Tuntutan pengelolaan manajemen administrasi yang lebih efektif,

efisien, akuntabel dan transparan telah membawa perubahan

paradigma pengelolaan administrasi di lingkungan peradilan

agama

C. Manajemen Sumber Daya Manusia

Perkembangan kualitas maupun kuantitas SDM peradilan Agama

yang semakin kompleks, telah membawa perubahan secara

mengelola manajemen SDM peradilan agama yang lebih

transparan, dengan pola karir yang jelas.

D. Manajemen finansial

Meningkatnya anggaran peradilan agama, baik untuk belanja

operasional peagwai maupun kebutuhan perkantoran, kini di

peradilan agaam telah tersedia pula angaran untuk meningkatnya

layanan peradilan bagi masyarakat yang membutuhkan, (Bantuan

Hukum, Prode dan Sidang keliling) Jumlah anggaran peradilan

agama saat ini bila dibandingkan pra satu atap sesungguhnya jauh

lebih besar saat ini, sehingga di tuntut pula perubahan manajemen

pengelolaan anggaran tersebut, agar menjadi lebih transparan,

akuntabel, efisien dan tepat guna.

5. Apa sajakah prestasi yang telah diraih oleh badilag dalam bidng

informasi pasca satu atap?

Jawaban:

Akurasi dan kecepatan dokumentasi Badilag dipuji komnas

perempuan(http://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-

badilag/seputar-ditjen-badilag/akurasi-dan-kecepatan-

dokumentasi-badilag-dipuji-komnas-perempuan-25_

Pengadilan agama dinilai paling terbuka dan informatif;

https://news.detik.com/bewrita/1522391/pengadilan-agama-

dinilai-paling-terbuka-dan-informatif.

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

6. Apa –apa sajakah peranan unggulan badilag dlam mempercepat

informasi perdilan daalm bidang organisasi, administrasi, sumber

daya manusia, dan finasial?

Jawaban: kebijakan Dirjen saat itu, memandang penberapan

teknologi dlam menunjang pelaksana tupoksi diantaranya : SIADPA,

SIMPEG, TABAYYUN, ONLINE dan sebagainya.

Jakrata Pusat, 18 Januari 2017.

Peneliti,

Siti Hanah

Kepala Biro Kepegawaian Badan Urusan

Administrasi Mahkamah Agung RI

,

Drs. H. Agus Zaenal Muttaqien, SH.

.

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Gambar saat penulis melakukan wawancara dengan DR. H. Hasbi Hasan, M.H. Selaku

Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama di Jl. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass,

Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat. (Badilag).

Gambar saat penulis melakukan wawancara dengan Farid, S.H. Selaku Hakim

Pengadilan Agama Jakarta Selatan di Jl. RM Harsono No. 1, Ragunan, Pasar Minggu,

Jakarta Selatan (12550) (Pengadilan Agama Jakarta Selatan).

Page 100: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Gambar saat penulis melakukan wawancara dengan Drs. H. Agus Zaenal Muttaqien,

S.H. Selaku Kepala Biro Kepegawaian Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung

RI di Jl. Medan Merdeka Utara No. 9 RT.2/rw 3, Gambir, Jakarta Pusat.

Page 101: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41795/1/SITI HANAH-FSH.pdfrepository.uinjkt.ac.id

Gambar saat penulis melakukan wawancara dengan Drs. Bahrin Lubis, S.H., M.H.

Selaku Panitera Pengadilan Tinggi Agama Jakarta di Jl. Raden Inten II Duren Sawit

Jakarta Timur.