拨发到印尼第三任总统 habibie...
TRANSCRIPT
二十年前呈上印尼总统哈比比的一封电子邮件
钟喜甲
今天是 8月 20 日,20 年前的今日我给印尼第三任总统发了封电子邮件。
1998 年 5 月在印尼又爆发了针对华人的抢、烧、杀、奸的暴力行动,深深
激发起了我的无比愤慨,于当年 9 月 20 日,按耐不住愤怒的心情,用印尼文提
笔写给印尼哈比比总统一封信并直接发到他的电子邮箱。信没有被退回,显然他
收到了。
拨发到印尼第三任总统 HABIBIE 的电子信箱地址的印尼文版本
Kpd yth Bapak Presiden Republik Indonesia
B.J.Habibie,
Beijing, 20 September 1998
Saya adalah seorang keturunan Tionghoa generasi ke-5 yang hidup di
Indonesia, yang sekarang berdiam di Beijing untuk melewatkan hari-tua saya
dengan bahagia, aman dan sentosa.
Pada bulan Mei tahun 1998 ini, di Indonesia telah terjadi peristiwa-peristiwa
perampasan, perampokan, pembakaran dan kelaliman yang tidak
berperikemanusiaan terhadap wanita-wanita Tionghoa. Peristiwa ini sangat
menggemparkan sekali, maka selama tiga bulan ini, hati saya merasa cemas
dan berat sehingga membangkitkan amarah saya.
Pada setengah abad yang lalu, kaum militerisme Jepang di Asia, kaum
fasisme Jerman di Eropa telah melakukan perbuatan-perbuatan dan
tindakan-tindakan fasisme yang sangat dibenci dan dikutuk oleh rakyat
seluruh dunia. Sekarang, setengah abad kemudian, dalam keadaan damai
dan tidak ada perang, diluar dugaan, di Indonesia justru terulang tragedi itu,
hal ini sungguh memilukan hati banyak orang. Terjadinya peristiwa itu adalah
suatu kesalahan politik yang telah bertahun-tahun dijalankan oleh kolonialisme
Belanda, dan pada masa pendudukan fasisme Jepang. Pihak yang berkuasa
di Indonesia sekarang ini, dalam pelaksanaannya hanya memandang kelas
yang berkuasa saja, membiarkan kejahatan merajalela dan mendatangkan
malapetaka, sehingga timbullah tragedi di hari itu.
Saya dilahirkan di Pulau Bangka, dan telah meninggalkan Indonesia hampir
50 tahun. Terkadang saya teringat kembali memori ketika hidup di Indonesia,
menimbulkan perasaan sangat rindu dalam hati, menyebabkan saya tak akan
melupakan kampung halaman yang ke-2 untuk selamanya.
Pulau Bangka dan Pulau Belitung adalah pulau-pulau yang banyak
menghasilkan tambang timah, penyimpanan serta cadangan timah yang
berlimpah-limpah, pada tahun 1710 dan 1850, telah berturut-turut ditemukan
oleh oost Indisch Companie, kaum koloni Belanda waktu itu terletak di
Palembang.
Pada tahun 1823, Gubernur Jenderal Belanda V.D. Capelle pernah
mengeluarkan perintah untuk menasionalisasi pengeksploitasi perdagangan
timah, dengan demikian seluruh tambang timah telah menjadi milik
perusahaan kolonial Belanda. Maka perdebatan tentang "Pola dan cara
Amerika menggunakan budak belian orang kulit hitam untuk mengeksploitasi
tambang" yang telah berakhir selama puluhan itu, justru digunakan sekalipun
tanpa peraturan tertulis: "orang pribumi tidak sesuai mengerjakan pekerjaan
yang berat, maka pengeksploitasian tambang harus dikerjakan oleh
buruh-buruh Tionghoa." Peraturan ini telah memperbesar gerakan "jual beli
kuli-kuli Tionghoa", seperti jual beli budak-budak orang kulit hitam di Amerika
pada masa itu. Pada permulaan abad ke-19, buruh-buruh Tionghoa dari
sepanjang pantai propinsi Fujien dan Guangdong terus-menerus tertipu dan
dijual serta diangkut ke Bangka dan Belitung.
Kakek dari kakek saya adalah salah satu yang tertipu, dari Singapore
dimasukkan kedalam kapal Belanda yang kemudian ditransitkan ke Bangka.
Nenek moyang kami dan rekan-rekannya setiba didaerah pertambangan,
telah menderita perlakuan yang tak manusiawi, bekerja seumur-hiduppun
tidak akan memperoleh kebebasan pribadi. Banyak orang diantaranya telah
melarikan diri dan bersembunyi kedalam hutan primitif pulau Bangka itu.
Polisi-polisi dipulau itu berhak menembak mati mereka, dengan demikian
sumber "kuli-kuli" makin berkurang dan genting, membuat penguasa gelisah.
Pada tahun 1880, muncullah peraturan hukuman "Poenale Sanctie" yang
dengan keras melakukan penyiksaan dan pembunuhan lebih kejam terhadap
buruh. Dengan demikian keadaan buruh sudah menginjak titik batas
kesabaran, pada tahun 1903, meletus peristiwa "Koeli Shandalen" yang cukup
menggemparkan dunia.
Sejak pertengahan abad ke-19, hasil produksi timah dari pulau ini telah
mencapai 1/5 dari hasil produksi timah seluruh dunia, sedang 5/8
penghasilannya masuk kas negara Kerajaan Belanda. Tidak heran, kalau
tahun 1898 saat upacara penobatan Ratu Wilhemina, opini umum mengakui
disamping perusahaan minyak bumi di Palembang, perusahaan timah di
Bangka dan Belitung adalah een vaste en rijke bate voor de schatkist:
"tinpotje", kekayaan yang tak terhingga banyaknya, atau sumber uang itu
adalah hasil di siram dengan keringat dan darah buruh Tionghoa.
Dengan air mata berlinang-linang saya mengenang kenyataan sejarah
sebagaimana apa adanya, untuk mengingatkan Bapak Presiden, bahwa
dipulau Bangka yang primitif ketika itu dengan segala keindahan alam yang
sangat mempesona itu, tercatat sejarah berkeringat dan berdarah, airmata
duka yang diderita nenek-moyang saya, sampai jenasah dan sukma
nenek-moyang saya dikuburkan disitu. Ada satu monumen pencipta dunia
yang didirikan nenek-moyang saya. Yang membuktikan adanya sumbangsih
berjuta-juta "kuli" Tionghoa dengan kegiatan bersama rakyat setempat, maka
setelah Indonesia merdeka, kita semua dapat menikmati buah hasil yang
sangat baik dari tangan koloni Belanda, sebagai tambahan kekayaan kas
negara dari tambang timah yang ada saat itu.
Dari kenyataan-kenyataan tersebut diatas, dapat kita lihat dengan jelas bahwa
biang keladi kejahatan dan perampokan kekayaan alam, bukanlah orang
Indonesia keturunan Tionghoa, melainkan kolonialisme. Orang WNI keturunan
Tionghoa di Indonesia dan Pribumi adalah senasib yang jadi korban
penghisapan kolonial. Dibawah pohon kelapa di pulau Bangka itu telah
dikuburkan korban tak terhingga jumlahnya, akibat kekejaman kolonial
Belanda terhadap "kuli-kuli" nenek-moyang kita, dengan sunyi dan tenang
mereka berbaring didalam tanah negeri asing jauh dari kampung-halaman
tanpa diketahui sanak-saudaranya.
Bapak Presiden yth, seharusnya pemerintah menganugerahi mereka
satyalencana untuk memberi penghargaan atas jasa besar mereka dalam
usaha kemajuan ekonomi setempat!
Setelah ayah kakek-buyut meninggal dan kakek-buyut saya berhasil
menembus kembali hak kebebasannya, dengan membuka warung kecil
menyambung kehidupan maju sedikit lebih baik. Dijaman itu, ekonomi
masyarakat Indonesia sedang dalam perubahan dari ekonomi alami menjadi
ekonomi pasar. Politik penjajah Belanda menentukan bahwa orang Tionghoa
merupakan jaringan sel ekonomi pasar Indonesia, sedang yang pribumi yang
berhak memiliki tanah. Akan tetapi orang Tionghoa tidak boleh memiliki tanah.
Yang ingin saya ajukan disini, pembagian kerja berdasarkan perbedaan ras,
suku dan etnis, membeda-bedakan orang keturunan Tionghoa dengan yang
dikatakan pribumi sudah ditentukan oleh Gubernur Jenderal van der Coen
sebelum abad ke-20. Indonesia sudah merdeka lebih dari 50 tahun lamanya,
diantara pejabat-pejabat yang berkuasa di Indonesia, siapakah yang pernah
melakukan perubahan atas peraturan itu? Bagaimana mungkin menyalahkan
WNI keturunan Tionghoa di Indonesia hanya bisa berdagang dan tidak
bercocok tanam. Mengapa sebagian besar dari orang Tionghoa yang telah
menjadi pemilik toko mesti dirampas, dibakar, dianiaya dan dibunuh?
Dari uraian biografi kakek saya diatas, telah menjalankan usaha warung kecil,
dan ia pernah tiga kali pulang-pergi ke Guangzhou dengan menumpang
perahu layar kecil, untuk mengadakan inventarisasi, setiap kali pulang pergi
harus memakan waktu setengah tahun sampai setahun lamanya, siang malam
terombang-ambing dilautan. Kakek saya dalam perjalanan pulang terakhir,
karena kurang hati-hati terjatuh kelaut dan untuk berusaha mempertahankan
hidup, ia menggunakan pakaiannya yang ditiup agar menggelembung dan
keduabelah ujung pakaian diikat erat-erat sebagai pelampung yang berhasil
menyelamatkan jiwanya. Setelah terapung-apung semalaman dilaut, akhirnya
ketemu kapal dan ditolong naik keatas kapal. Lolos dari bahaya maut! Setelah
kapal itu menepi di pulau Bangka, ia adalah orang pertama yang mendarat,
dan kemudian ia menghadap kelautan luas bersujud 108 kali dan bersumpah
dikemudian hari tidak mau naik kapal lagi.
Setelah kakek saya mengucapkan terimakasih yang tiada habis-nya, ia
menggunakan uang yang didapatkan dengan susah-payah itu sebagai modal
dagang. Beberapa tahun kemudian ia sukses dalam mengusahakan hasil
perkebunan, seperti karet, kelapa, merica. Dan kemudian mendirikan pabrik
kecil, membakar bata, barang porselen dan lain-lain. Kecuali itu, ia juga
mendorong dan memberi insprirasi kepada banyak orang untuk
bersama-sama mengembangkan usaha pertanian, perdagangan, industri kecil
dan pengangkutan. Kakek saya, seorang Tionghoa tua, telah berperan
mendorong maju ekonomi setempat, berjuang dengan sekuat tenaga tanpa
menghiraukan keselamatan dirinya sendiri.
Pada jaman modern sekarang ini, orang menamakan akumulasi modal untuk
mengembangkan industri dan pertanian. Bagaimana mungkin orang-orang
yang amat berjasa dalam mencari keuntungan di pulau ini disebut sebagai
lintah darat.
Usia kakek setelah lanjut, ia pensiun disatu kebun pisang dan melewati
hari-tuanya. Ayah saya telah mewarisi seluruh harta milik kakek serta
meneruskan usahanya. Kemudian ayah mendirikan sebuah perusahaan
pengangkutan setempat, untuk mendorong pengangkutan barang-barang
ukuran besar dan pasir timah dipulau itu. Pada saat itu, truk merk Ford yang
diimport dari Amerika telah mencapai puluhan truk. Perkembangan dan
kemakmuran pulau itu tidak lepas dari jerih payah jutaan orang-orang
Tionghoa yang telah turun-temurun sampai 4-5 generasi berjuang untuk
negara dimana mereka hidup. Dengan tanpa pamrih mereka telah
menyumbangkan keringat, jiwa dan raganya berjuang bahu-membahu
bersama rakyat setempat.
Setelah meletup Perang Dunia ke-2, tentara Jepang menduduki Indonesia,
harta orang Tionghoa disita, dirampok habis-habisan, mobil-mobil direkuisisi,
pabrik-pabrik gulung tikar, sawah-ladang terlantar tidak ada yang mengurus.
Kerugian yang sangat besar itu tanpa ganti-rugi sedikitpun. Dengan tidak ada
mata pencaharian lagi, ayah saya membawa seluruh keluarganya secara
berangsur pulang ke TIongkok. Pada tahun 1980, ayah saya meninggal dunia
tanpa memiliki sejeengkal tanah dan sebilik kamarpun.
Bapak Presiden yth, kami yang sudah turun-temurun 5 generasi, berarti telah
menempuh perjalanan hidup selama 150-200 tahun di Indonesia, memberikan
sumbangan yang cukup besar dipulau Bangka itu, dan kami tidak meminta
apa-apa, yang kami kehendaki hanyalah hidup yang aman dan tentram,
menjadikan Indonesia sebagai kampung halamannya sendiri. Setelah saya
menyelesaikan belajar diluarnegeri, timbul keinginan saya kembali ke
Indonesia, siap ikut berbakti membangun Indonesia. Akan tetapi diluar dugaan,
Indonesia masih menjalankan politik yang salah, Anti-Tionghoa. Dengan
menganggap orang-orangnya sendiri sajalah yang berguna dalam
pembangunan ekonomi Indonesia. Mereka tidak melindungi hak asasi
manusia yang seharusnya diberikan pada setiap warga dan keturunannya,
sebaliknya membiarkan bandit-bandit dan orang-orang yang mengingkari
HUKUM melakukan pembakaran, pembunuhan dan penganiayaan. Tanpa
usaha tegas aparat keamanan mencegah dan menuntaskan dipengadilan
sesuai HUKUM yang berlaku. Politik yang salah ini, bukan saja tidak
bermanfaat bagi Indonesia, bahkan akan meninggalkan kesan sangat buruh
didunia, bahwa Indonesia menjadi negara "biadab" "kejam dan tidak
berperikemanusiaan".
Orang-orang WNI keturunan terpaksa menyingkir dari malapetaka ini, hati
kecil para penanam modal diliputi ketakutan. Teror di Indonesia membuat
orang jadi panik, takut dan gemetar, ...
Setengah abad yang lalu, agresi Jepang di Indonesia telah menimbulkan
kerusakan yang sangat besar, kerugian sangat besar menimpa orang
Tionghoa, ... Akan tetapi sekarang setelah Indonesia merdeka masih juga
terjadi malapetaka yang menimpa sekelompok warga. Dalam menghadapi
krisis ekonomi Asia kali ini, tentu dampaknya cukup besar bagi Indonesia,
khususnya WNI keturunan Tionghoa yang lebih dahulu tergempur dan
tertimpa mara bahaya. Kerugian ekonomi, bahkan pukulan rohani dan jasmani
yang diderita sulit diutarakan lagi. Semua derita politik dan citra Internasional
yang merupakan cacad berbekas yang sulit dihilangkan.
Saya masih ingin menyampaikan pada Bapak Presiden yt, setiap negara
didunia ini juga ada suku minoritas, di Tiongkok sendiri ada lebih 50 suku,
sedang Indonesia dinyatakan ada ratusan suku bangsa yang tentunya juga
mempunyai kepercayaan dan Agama yang berbeda-beda.
Bagi seorang pemimpin negara yang sukses menyelesaikan masalah dalam
negeri dengan baik, terutama dalam menyatukan dan pertahankan
keharmonisan kehidupan bersama anatar beragam suku dan Agama yang
berbeda. Dengan keberhasilan mempersatukan rakyat seluruh negeri dan
kekuatan politik yang berbeda-beda itu, bisa membangun negeri ini lebih baik
lagi.
Orang-orang WNI keturunan Tionghoa yang sudah turun temurun hidup di
Indonesia adalah juga masyarakat yang setia dan dapat dipercaya ikut serta
membangun dan memakmurkan negara ini. Diharapkan jangan terjadi lagi
perbuatan-perbuatan yang sangat menyedihkan kawan dan hanya
menggembirakan lawan.
Kami sangat mengharapkan tergalang PERSATUAN TEGUH seluruh bangsa
Indonesia, termasuk suku Tionghoa, bersamasama bergandengan tangan,
bahu-membahu membangun kembali kampung-halaman untuk menyambut
abad ke-21 yang lebih gemilang dan cemerlang!
Hormat kami,
Zhong Xijia, Senior Engineer (Profesor Grade);
Ketua Asosiasi Alumni Bangka di Beijing;
Wakil Ketua Asosiasi Alumni Sekolah Pah Tsung di Beijing
Beijing, 20 September 1998.
为了强化其影响效果,我还把那篇文章译成中文和英文。翻译稿直接发给了
新加坡联合早报,于当年 10 月 18 日整版篇(中、英、印尼文)在幅刊上刊登出
来。发到北京华声月报的中文稿件刊登在 1998 年 10 月号刊物上。
我认为这封信起了一些作用,哈比比即刻下令将华人印尼籍身份卡上加盖的
侮辱性字样删除掉,向受害群体道歉。当年还亲自访问我国,缓和中国-印尼之
间关系。
刊登在新加坡联合早报 19981018 的星期刊论坛版上的
中文和英文版本。
刊登在 1998 年 10 月号华声月报的中文版本
北京晨报转载《印尼世界日报》12 日的短文,印尼司法和人权部长马亨德
表示,该部决定停止为印尼华裔签发国际证。今后凭身份证和出生证就可以办理
护照。
北京晨报转载印尼世界日报的短文
十年后,新华网 10月 29日电称: 印度尼西亚国会全体会议 28 日通过了有
关撤销种族歧视的法令,表明印尼在促进民族和解与保护公民平等权利方面又向
前迈进了一步。
印尼总统苏西洛对撤销种族歧视法令获得通过表示祝贺。他说,该法令将加
强民族团结。印尼是多元民族,不能因为部族、宗教、种族和其他区别而分割开
来。
印尼是全球人口第 4 多的国家,仅排在中国、印度和美国之后。全国人口
2.5 亿,同时也是全球最大的穆斯林国家。这「千岛之国」有 17,508 个岛屿,从
西到东 5000 公里范围,是地球的 1/8 长度,有五个大岛,爪哇岛排第五,但人口
最密,集中了全国人口 58%,而且也是全球人口密度最高的岛屿。由 300 多种民
族组成、742 个方言,爪哇族是最大的族群,占了 42%,也算是政治上统一印尼
的民族。印尼华人仅 1200 万,但却掌握了大部分的印尼经济.
贫富差距大,让印尼有多次的大规模排华,其实,印度尼西亚国内的反华势
力由来已久。
1596-1942 被荷兰统治了 350 年。歧视华人,挑动土人反华。最早可以追溯
到 1740 年荷兰殖民当局制造的"红溪惨案"开始,此后几乎年年有反华排华事件。
1911 年,印度尼西亚"伊斯兰教同盟"成立伊始,就公开宣布要改善原住民
商人的地位,反对华商。
1942-1945 被日本侵略统治的三年半。日本侵占比荷兰统治时期还痛苦
1945 0817 日本战败印尼宣布独立,国父是苏加诺(Sukarno)亲共亲中。
1945 年到 1950 年的印度尼西亚民族独立运动期间,印尼人反华情绪不断高
涨,不少华人遭到抢掠屠杀。
1945 年 11 月的泗水惨案、1946 年 3 月的万隆惨案、1946 年 6 月的文登惨
案、1946年 8月山口洋惨案、1946年 9月的巴眼亚底惨案、1947年 1月巨港惨
案等。
1965 年,苏哈托(Suharto)由美国中情局支持推翻苏加诺,反共反华有组织的
屠杀华人,威权统治了 32 年。
1998 金融风暴,导致苏哈托垮台,并爆发了严重的排华事件。排华部分涉
及血腥暴力。
华人来到印尼已经有几百年的历史。
从 7 世纪的三佛齐时代起,就一直和唐代到宋代有贸易来往。
从 13 世纪到 15 世纪间,印尼满者伯夷时代,发展中心已经在爪哇岛,印尼
的辉煌时代,满者伯夷是东南亚历史上最强的国家,建国时曾利用中国元代的海
军作战,当时的统治者是忽必烈。
明代郑和下西洋,曾停留在印尼三宝垄并传教伊斯兰教,这是继满者伯夷垮
台后,回教再度兴起,视为基础并持续到现代。印尼回教九位大师还是华人呢。
荷兰统治时期华人协助印尼人抗荷,所以荷兰人用先分裂再统治的策略,来
分化华人和土人,让土人排华。很多华人都曾参与抗荷、抗日以及协助印尼建国。
苏加诺时代印尼独立,亲左派路线,受美国敌制,因建造了许多费用高昂的
超大型工程引起经济崩溃。苏哈托以反共为名发动政变,屠杀了 200 多万的印尼
官员和共产党党员,推翻了苏加诺。当时把华人视为为共产党,许多人遇害。
苏哈托 1967 年开始执政,新政府基本上不再批准华人移民入境,并不允许华侨
华裔回中国大陆探亲旅游。七十年代中期,苏哈托政府连续颁布法令,对华人资
本在企业中的股份比例及经营范围进行限制,禁止华人企业使用中文招牌。禁用
中文,许多华语学校被令全部关闭。华人必须选择印尼国籍或是保留中国国籍。
印尼国籍用 SBKRI(印尼国籍证明)来区别。
1987 年 12月,雅加达市政府命令企业的华人与华人客商都必须使用印尼语
会话。在苏哈托执政的 32 年里,华人被排除在政治、军事、文化等职业领域以
外,不能进入政府部门、军队以及国立学校工作,只能在经济领域从事工商业,
或在体育界求发展。
1998 年,苏哈托因经济萧条把矛头指向华人,归罪华人控制经济引发经济
萧条,5月在雅加达等地发生的大规模反华骚乱,将印度尼西亚华人的苦难推向
深渊。据不完全统计,在 5月 13日-15日期间,有 5000多家华人商店和房屋被
烧毁,近 1200人死亡,约 170名妇女遭强暴。 造成严重排华事件发生。这次排
华事件是有组织的,指挥官是普拉伯沃发动的抢、烧、奸、杀,许多妇女被轮奸,
乳房被割,亏坏下部非常恐惧,导致不少人寻短,大量逃难,逃到新加坡、澳洲、
美国等地。华人大量逃难,导致经济衰退严重。(摘自国际中心/综合报导)
替换苏哈多的第三届总统哈比比亲自到雅加达华人聚居区视察民情,正式表
态谴责五月骚乱伤害华人及强暴妇女事件是"印尼历史上最不人道的事件",承诺
严加调查,将暴徒和凶手绳之以法,并保证此类事件不再重演。社会各界要求取
消带有种族和宗教偏见的所有歧视性法规和条例。他当年还来中国访问,表达印
尼和中国和解的愿望。新政府不断鼓励华人回来投资。
随着第四届总统瓦希德上台,这位老爷子来中国,自称有中国人血缘,当年
郑和七下西洋时在印尼留下几个船员留守,他就是这批船员的后代。被称为印尼
“神人”的瓦西德总统执政 2 年活到 69 岁,致哀会上印尼总统尤多约诺发表电视
讲话,高度赞扬瓦希德对国家作出的巨大贡献,呼吁国民给瓦希德“至高敬意”。
他为华人找回尊严,他还为中-印尼关系做出很大的贡献。
2006 年国会通过了新的《国籍法》,取消了针对华裔长达 48 年的歧视性法规,
赢得了大家的好评。政府大力推进民族和解政策,相继取消了歧视性法律法规。
恢复中文教学,恢复华文报纸和杂志的出版,公开欢度春节,容许华裔人士从政。
虽然美国不停地在作乱,中印尼关系继续发展,让我们高兴的是 2012年 9
月钟万学就职印尼雅加达省(雅京省)省长,这是华裔新生代参政的一大突破。
钟万学、印尼名 Basuki Tjahaja Purnama、客家小名 Ahok、国籍印尼、民 族华族、
出生地 苏南省邦加勿里洞县、祖籍 广东省梅州市、语言普通话印尼语客家话。
钟万学是我的同乡,也是我的同族。我的客家小名是 Akap、我的出生地也是苏
南省邦加勿里洞县、我的祖籍也是广东省梅州市 蕉岭县、我也讲 普通话,印尼
语,客家话 。
旅居国外华人,在印尼人数最多,被荷兰、日本虐待的和当地人抢杀的也最
多,这就形成印尼华人拥有的强国心,希望祖国强大,加强对外侨的保护。
随着中国日益强大,中国印尼关系看起来会越来越好,变为真正的友邦。
钟喜甲 北京 2015 09 20
1998 年,印尼发生了极为严重的反华事件,我因对掠夺、抢劫、烧杀、及强暴华人妇女的事件深感震
惊,为几代给印尼的发展做出卓越贡献的华人同胞感到激愤与不平,遂于 1998 年 9 月 20 日给时任印尼第
三届总统哈比比发去一封信直接投入其电子邮件信箱。
清楚地说明了敌我关系,痛陈一二百年间华人对印尼发展所做的牺牲与奉献。
期待印尼人民能与印尼华人重新携手团结建设富强的国家。 钟喜甲
呈上印尼总统的一封信: 钟喜甲(1998 09 20)
尊敬的印度尼西亚总统阁下:
我是在印尼生活了五代的华人后裔,现在在北京安度着幸福的晚年。对于今年
5 月份在印尼发生的掠夺、抢劫、烧杀及强暴华人妇女的事件深感震惊,三个月
来心情很不安,沉重和愤怒。
半个世纪以前,日本军国主义在亚洲,德国法西斯在欧洲干着被全世界人民痛恨
的惨无人道的法西斯行径,半个世纪以后竟然在一个非战争环境下的印度尼西亚
重演这种悲剧,真令人痛心。这一事件的发生不是勤劳、勇敢和善良的印尼人民
的过错,更不是为了印尼国家的繁荣昌盛而英勇拼搏、将自己的智慧和汗血、甚
至于生命,完完全全奉献出来的印尼华人应得的报应。这是荷兰殖民主义,日本
法西斯占领时期和你们印尼当权者历年来的错误政策,以及只顾统治阶级利益的
养痈成患的做法,产生的后果。
我出生在邦加岛,离开印尼快 50 年了,离别和思念,使我永远忘不了这个第二
故乡。邦加和勿里洞两个盛产锡矿的岛屿,锡储存量极为丰富。由荷兰殖民主义
者驻巨港的东印度公司,分别于 1710 和 1850 年发现。1823 年荷兰总督 V.D.
Capellen发布了对锡矿开采和贸易的殖民化命令,所有的锡矿变成了荷殖企业,
从而长达几十年“用黑人奴隶开矿的美国模式”的辩论终告结束,出台了“本地
土人不适于重体力劳动,应由中国劳工进行开矿“的不成文规定。这规定加强了
当时和美国贩卖黑奴同步增长的贩卖中国“猪崽”的活动。十九世纪初,从闽粤
沿岸受骗的中国劳工源源不断地被贩运到邦加和勿里洞。
我的老太公(我祖父的祖父)就是受骗从新加坡被装进荷兰船转口到邦加去
的,老祖宗和同伴们到了矿上受到非人的待遇,劳苦一辈子也赎不起自己的人身
自由。许多人跑到邦加的原始森林里躲起来。岛上警察都有权开枪打死他们,这
使“猪崽”的来源越来越紧张,矿山劳力紧缺,使统治者恐慌。1880 年出笼惩罚
条例(Poenale sanctie), 对劳工严加限制和虐待。劳工们忍无可忍,于 1903
年爆发了震撼世界的“苦力暴动”(Koeli schandalen)事件。
从 19 世纪下半叶,两个岛屿的锡产量已达世界产量的五分之一,收入有八
分之五进入荷兰皇家国库。难怪 1898年 Wilhelmina 女皇加冕时的舆论中也不得
不承认,除了巨港的石油外,邦加、勿里洞的采锡业是荷兰政府金库十分固定和
非常丰富的摇钱树:“锡盆子”(een vaste en rijke bate voor de schatkist:
“ tinpotje”)。这棵摇钱树是用数不清的中华劳工的血肉浇灌出来的。
我含着眼泪来回忆以上的历史事实,就是要告诉总统阁下,邦加这个美丽、迷
人的原始小海岛,那里有着我祖先的辛酸泪、血汗史,埋葬着我祖先的骸骨和忠
魂,更有我祖先开天辟地所创立的丰碑。有了千千万万华人“猪崽”的无私奉献,
和当地人民一起努力,印度尼西亚独立后才能从荷兰统治者手里接受过效益极佳,
当时就可以充实国库的许多锡矿。
从以上事实可以清楚看出,掠夺当地资源的罪魁祸首不是华人而是殖民主义者,
印尼华人和印尼原族人都是他们剥削的对象。邦加的椰树林子下埋葬着我们数不
清的当“猪崽”的先辈,他们静静地躺在异国他乡土地下,野草丛生,默默无闻。
总统阁下,你们实在应该给他们补挂勋章,来表彰他们对当地经济的伟大功绩.
当“猪崽”的老太公死了才赎回了身子,我的阿太公开个小小的亚弄(warung)
店糊口。这时代,就是印尼的社会经济从自然经济走向市场经济的时期。荷兰的
殖民地政策规定华人是印尼市场经济的网络细胞,本地人拥有土地所有权,而印
尼华人没有。在这里我要说的是;印尼本族人和印尼华族人的社会分工早就在本
世纪前由荷兰总督 van der Coen 定下来的, 印尼独立了 50多年了,那一位印尼
当权者对这种法规做过任何变动没有?怎能怪罪印尼华人,只会经商不会种地,当
店主的大多数是华人,怎么就该被抢、被杀、被烧、被强暴呢?.
说到我祖父,他继承了这个亚弄店,去广州盘货,乘坐小帆船,往返一次最快
需要半年到一年时间.日夜在海上飘泊。我祖父去了三个来回,最后一次回来途
中,不慎落海。 为了求生,把身上衣服两头系紧大扣,吹满了气,在海面漂浮,
终于侥幸被救上船,死里逃生。船到了邦加靠了岸,他第一个跳上岸,跪下来,
面对大海磕了 108个响头,发誓以后不再上船。
祖父重重地答谢了船主后,把不易挣来的钱做本钱,几年后他成功经营了橡胶、
椰子、胡椒园,烧砖、瓷器等各种小厂,并鼓励大家一起发展农业、商业、小工
业和运输业。
我的祖父,一个老华人,为了振兴当地的经济,努力拼搏,舍身忘死,他的作法,近
代人称为筹集资金,投入工农业建设,怎能把这样为本岛谋利的功臣叫做吸当地
人血的吸血鬼呢?
祖父年纪大了,退到一香蕉园里度晚年,我父亲接受了全部产业的经营权,并
在当地开一家运输公司,把全岛的锡砂和大型货物运输全包下来,当时从美国进
口的 Ford 卡车就达几十辆。
邦加岛的繁荣和发展,就是靠千千万万热爱居住国,有拼搏精神的四、五代华人
血汗和生命的无私奉献和许多当地土著人民并肩战斗的结果。
二战爆发,日寇占领印尼,华人财产被没收,被抢光,汽车被征用,工厂倒
闭,田园荒废,无人管理。巨大损失得不到赔偿,父亲也别无生计,携带全家陆
续回中国,1980年在北京逝世,地无一垅、房无一间。
总统阁下,我们五代人,共经历150-200个春秋,对当地作出了巨大的贡
献,我们别无所求,只求安安定定的生活,把印度尼西亚当作自己的故乡。我留
学国外也有准备学成返回印尼参加建设。不料印尼执行了错误的排华政策,把对
印尼经济建设有用的自己人当作敌人。对世世代代居住在印尼的华人后代,不给
起码的人权,随意让流氓和不法分子的烧杀、强暴,不加制止。你们的错误政策
究竟对印度尼西亚有什么好处?只能给全世界留下 印尼是个‘野蛮’、‘惨无人
道’的国家的坏印象。
华人被逼逃难,投资者心有余悸。印尼的恐怖让人胆战心惊。
半个多世纪以前,日本人的侵略,对印尼造成极大的破坏,华人损失很大,但是当
时印尼获得了独立,这次亚洲经济危机对印尼的经济影响也很大,印尼华人首当
其冲,在经济上的损失,精神和肉体上的伤害更是无法比喻,这将在政治和国际
形象上留下不可磨灭的伤痕。
我还要告诉阁下,世界上每个国家都有少数民族存在,中国有五十多个,印尼
也有一百多个,他们也拥有各种宗教信仰。历来成功的国家领导人,首先把国内这
两个基本问题(多民族、宗教信仰)解决好,这样一来团结了全国人民和各种各
样的政治力量才能把国家建设好。
世世代代在印尼生活的印尼华人是建设和繁荣国家最可靠和忠实的社会力量,千
万不要再做那种使亲者痛仇者快的行为,我们希望印尼各族人民,包括印尼族华
人,团结一致,携手并肩,重建家园去迎接更加辉煌的二十一世纪.
锺喜甲 教授级高级工程师
邦加北京侨友会第一任会长
巴中北京校友会第一任副会长
交通部在京单位华侨联谊会第一任主席
北京 1998.09.20
注:本文有三个版本,
印尼文版于 19980920 直接拨发到印尼第三任总统 HABIBIE的电子信箱地址。
中文版本刊登在 1998 年 10月号华声月报,
中文和英文版本刊登在新加坡联合早报 19981018的星期刊论坛版上。
2002 年 8 月我们去印尼旅游时,在印尼表哥提到大暴乱后,他看到新加波联合早报全文发表了这封电子
邮件。表哥发现哈比比收到电子邮件不到一个月时间,便发布总统令,改变了对华人的看法,取消了华裔
印尼国际身份证上必须加盖的侮辱性印截,使印尼华人欣喜若狂。哈比比本人以后也迫不及待访问我国。
这算是苏哈托政权以后第一宗恢复华人人权的重要政策。
显然发信后不到一年时间哈比比总统来访我国几趟来缓和中-印尼关系。
英文版本
Respected Your Excellency, President of Indonesia
Mr. B.J. Habibie, Beijing China, 20th September1998.
I am a descendant of an Indonesian-Chinese Family, who had lived in Indonesia for five
consecutive generations. I am now in my later years, live in Beijing China , enjoying a happy
life.The recent event of looting, burning and violence against ethnic Chinese women
occurring in Indonesia in May this year has extremely shocked me and for three months I
have sunk in a very uneasy, heavy and furious feeling.
Half a century ago, the Japanese militarists and German fascists committed inhuman
atrocities respectively in Asia and in Europe, which had caused bitter hatred by the peoples all
over the world. The same tragedy has now reoccurred in Indonesia under non-military
conditions after half a century. This makes my heart aching. The occurrence of the incident
has nothing to do with the industrious, courageous and kind-hearted Indonesian people and it
should either definitely not a retribution the Indonesian-Chinese who have fought bravely and
1devoted fully their wisdom, sweat and even blood for the prosperity of Indonesia and the
well being of the Indonesian people, should deserved. This event should be explained only as
a natural result of the wrong policies pursued by Dutch colonialism, the Japanese fascists
during their occupation over Indonesia and by those in power in the past years as well as the
practice of only accommodating interests of the ruling class.
I have now left Indonesia for almost 50 years. As I was born in Bangka Island the nostalgia
which haunts me so often ,has made it impossible for me to forget Indonesia as my second
homeland. I can still recall that the tin resources in those two islands were discovered in 1710
and 1850 separately by the East Indian Company (Oost Indische Companie ) run by the
Dutch colonialists, based in Palembang at that time.
In 1823 the Dutch governor, V.D. Capellen, issued a colonial order concerning the mining and
trading of tin ores, which turned all tin mines into the control of Dutch colonialist enterprises,
putting an end to the debate which lasted for decades over the issue of copying "the American
mode to excavate tin ores by Negro slaves". The regulation, though not in written, indicated
that "Heavy labor is not suitable for local Indonesian natives and mining should be
undertaken by Chinese labors”. The trafficking of Chinese laborers was thus strengthened by
the regulation at a time when American Negro slaves trafficking was at full swing. In early
19th century incessant Chinese laborers were cheated and traded from the coastal provinces of
Fujian and Guangdong of China to Bangka and Billiton of Indonesia.
My grandfather’s grandfather was one of the such laborers, cheated and transshipped from
Singapore to Bangka by Dutch steamship. My ancestor and his fellow countrymen suffered
inhuman treatment at the mines. They could not redeem their freedom even with the money
accumulated by hard labor through all their lives. Many of them ran away and hid themselves
in the Bangka primitive jungles regardless of the danger of being killed by the police
stationed on the island. The number of Chinese laborers was getting less and less and the
labor force in tin mines became short, which set rulers in panic. In 1880 the punitive
regulation (Poenale sanctie) was introduced, which imposed strict restrictions and
maltreatment to the laborers. Being pushed to a position beyond endurance the laborers
finally broke out a world shaking "coolie revolt" (Koeli schandalen) in 1903.
In the second half of the l9th century the tin produced on the two islands had reached one
fifth of the total world output. But five eighths income from the tin went into the Royal
Treasury of Netherlands. No wonder when Queen Wilhelmina was crowned in 1898 the
public opinion could not but admit that besides the oil of Palembang the tin mining in Bangka
and Billiton, which was then termed as the "Tin Pot" (een vaste en rijke bate voor de schatkist:
“tinpotje”) was a big and steady "money generating tree" of the Dutch Government. The
"Tree" was, in fact, nourished with the flesh and blood of the innumerable Chinese coolie
laborers.
With the recollection of the above facts of history my eyes brimmed with tears. I wish to
tell your Excellency, Mr. President, that in this beautiful, fascinating, primitive and small
island Bangka, exists the sorrowful history stained with my ancestors' blood and sweat, lies
their remains and faithful souls, and stands out the monumental work created by them. It was
with the selfless contribution of thousands upon thousands of Chinese slaves, and with the
joint efforts of the local people Indonesia, after independence, was able to take over these tin
mines, which are highly profit-making and capable of filling the treasury of this young
country.
From the above facts it can be seen clearly that the plunders of the local resources were
colonialists, not the overseas Chinese. The Indonesian-Chinese and the Indonesian natives
only served as the targets of their exploitation. Under the coconut trees in Bangka buried our
innumerable slave ancestors. They silently lay in a foreign land now growing with wild
grasses. But no one knows their names. Your Excellency, Mr. President, they should be given
orders of merits to praise their great contribution to the development of the local economy.
My grandfather's grandfather finally gained his freedom only after his death. My
grand-grandfather ran a very small warung to make living. The Indonesian economy was at
that time in a transition process from natural into market economy. The Dutch colonial policy
stipulated that the Indonesian-Chinese living in Indonesia should be cells of the market
network of the country’s economy and only the local Indonesian residents had the right to
own land. The local Indonesian-Chinese were deprived of such ownership. What I wish to say
is that the division of labor between the Indonesian natives and the Indonesian- Chinese
residents had already set explicitly by Dutch Governor van der Coen before this century.
Years and years have elapsed since then, is there anyone in power in Indonesia who has ever
tried to make any change to this law after Indonesia got her independence more than a half
decade? How should the Indonesian- Chinese be blamed that they were only running business,
not engaged in agricultural activities? At present most of the Indonesian-Chinese in the
country have become owners of shops and why should they be robbed, killed, burnt and
violated?
As to my grandfather, he succeeded the warung from my grand-grandfather. He used to go
to Canton (now called Guangzhou) for merchandises in a hired small sail boat. It would
usually take him at least from half year to one year for one round trip, sailing on the sea day
and night. On his third trip back to Indonesia he fell into the sea by accident. For survival he
tied up both ends of his clothes and used it as a life-belt after blowing air into it. He drifted on
the sea and finally escaped drowning and managed to get into the boat again after one
day-night steeping. When the boat anchored at the bank of Bangka he was the first to jump
onto the shore and knelt down, facing to the sea and made 108 big kowtow, swearing that he
would never go to the sea again.
My grandfather thanked the owner of the sail-boat generously. He used his hard-earned
money as capital to run business. After several years of efforts he succeeded in setting up
rubber, coconuts and pepper plantations, running small bricks and porcelain wares factories
and at the same time expanding his commercial business, he encouraged his family members,
relatives and friends to develop business in agriculture, commerce, transportation and also
other small industries.
My grandfather was an old Indonesian-Chinese. For the development and prosperity of
local economy he had worked year after year and devoted his whole life. All his efforts should
be called accumulation of capital for the construction of industry and agriculture of the Island
if we use the modern terms. How should a person with such outstanding service for the
interests of the island economy be labeled as sucking blood from the local people?
My grandfather retired at an old age and withdrew himself to a banana plantation to spend
his remaining years. My father took over the operating right of all businesses and at the same
time opened a transportation company, doing transportation of tin sand and large pieces of
commodities for the whole island. For that purpose he imported scores of Ford trucks from
the United States.
The development and prosperity of Bangka should be the result of the selfless
contribution of thousands upon thousands of Indonesian-Chinese who ardently love their
resident country, work devotedly with sweat and blood and even the sacrifice of their lives for
four to five generations together with the local Indonesian people.
During World War II, the Japanese invaders occupied Indonesia and the Indonesian-Chinese
in Indonesia were confiscated or robbed of all their properties, their cars were requisitioned,
their factories went bankrupt, their plantations deserted. No compensation whatsoever has
been made for the great losses they suffered. Without any means to keep living my father was
forced to take his family members to China. He passed away in Beijing in 1980 without a
piece of land and a roof to leave for us.
Your Excellency, Mr. President, we, the five generations of Indonesian-Chinese in
Indonesia, lived 150 to 200 years in that land , have made tremendous contributions to the
development of the local Island. We are not asking for anything big. What we wish to have is
a stable and safe and peaceful life. We all take Indonesia as our own homeland. I went abroad
for study with a mind of returning to Indonesia to take part in the national construction. But
out of my expectation the Indonesian Government has carried out an erroneous anti-Chinese
policy and wrongly taken those who are useful to the development of Indonesian economy as
its enemy. The Indonesian-Chinese whose ancestors have lived generation after generation in
Indonesia have been deprived of minimum human rights. They have been killed, their houses
burnt, women violated by a handful rascals and outlaws at will without being interfered and
stopped by the government. What is the good your erroneous policies have brought to
Indonesia? Nothing except a bad impression you will leave to the world that Indonesia is a
barbaric and inhuman nation!
Now the Indonesian-Chinese are forced to flee from Indonesia, investors living a fearful
life. Every one is scared so much by the terror now reigning across Indonesia.
Half a century ago the aggression of Japan had caused serious damages and losses to
Indonesia as well as the Indonesian-Chinese living in the land, but in the other way, Indonesia
gained her independence. Now the financial crisis swept across in Asia has caused a great
impact upon the Indonesian economy and the Indonesian Chinese in the land are first to suffer
economically. The spiritual and physical hurt they got is even beyond description. The painful
damages done political!y to the image of Indonesia will endure for centuries in the world.
Your Excellency, I wish to add, that any country in the world has minority nationalities.
China has more than 50 nationalities and Indonesia more than hundred. These nationalities
have different religious beliefs. All successful state leaders know first and foremost how to
handle properly two fundamental domestic problems: nationalities and religion beliefs. The
proper management of these two problems can pull together the whole people of the nation
and various political forces as well for the benefit of national construction.
The Indonesian-Chinese living in Indonesia for generations are the most reliable and
faithful social forces in the national construction and development. You are earnestly
requested never to let these painful things happen again which will only hurt the feeling of the
beloved and gladden that of the hateful. We sincerely expect that the Indonesian people of all
nationalities including the Indonesian-Chinese will unite together and rebuild their homeland
hand in hand to meet the more glorious 21st century.
Please accept, Your Excellency, Mr. President, highest consideration and my appreciation
for your attention to this letter.
Zhong Xijia Senior engineer ( professor grade)
President of Beijing-Bangka Alumnus Association,
Vice president of Beijing-Pah-Tsung AlumnusAssociation