perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id perbedaan tingkat
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERBEDAAN TINGKAT KEKENYANGAN ANTARA KONSUMSI TINGGI PROTEIN
DAN KONSUMSI TINGGI KARBOHIDRAT PADA WANITA
ARIYANI NOVITASARI
G0008200
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul: Perbedaan Tingkat Kekenyangan antara Konsumsi Tinggi Protein dengan Konsumsi Tinggi Karbohidrat pada Wanita Usia 18-23 Tahun
Ariyani Novitasari, NIM: G.0008200, tahun: 2011
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada hari Rabu, tanggal 18 Mei 2011
Pembimbing Utama Nama : Widardo, Drs., M.Sc ( ) NIP : 19631216 199003 1 002 Pembimbing Pendamping Nama : Nur Hafidha Hikmayani, dr., M.ClinEpid ( ) NIP : 19761225 200501 2 001 Penguji Utama Nama : Suhanantyo, drg., M.Si., Med ( ) NIP : 19510606 198601 1 001 Anggota Penguji Nama : Sumardiyono, S.KM., M.Kes ( ) NIP : 19650706 198803 1 002
Surakarta,
Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR NIP: 19660702 199802 2 001 NIP: 19510601 197903 1 002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
ABSTRAK
ARIYANI NOVITASARI, G0008200, 2011, Perbedaan Tingkat Kekenyangan antara Konsumsi Tinggi Protein dan Konsumsi Tinggi Karbohidrat pada Wanita Usia 18-23 Tahun. Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat kekenyangan antara konsumsi tinggi protein dan konsumsi tinggi karbohidrat pada wanita usia 18-23 tahun. Metode Penelitian: Penelitian eksperimental murni. Penelitian dilakukan di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (FK-UNS) Surakarta. Subjek Penelitian diambil secara purposive sampling. Kriteria inklusinya adalah wanita 18-23 tahun dengan body mass index (BMI) normal. Sedangkan kriteria eksklusi berupa tidak ada riwayat hiperfagia, anoreksia bulimia, diabetes, penyakit gastrointestinal dan alergi protein atau karbohidrat, sedang menstruasi, riwayat keluarga diabetes dan obesitas. Subjek penelitian berjumlah 48 orang dikelompokkan secara acak ke dalam dua kelompok perlakuan yaitu kelompok konsumsi tinggi protein (Kelompok TP) 24 orang dan kelompok konsumsi tinggi karbohidrat (Kelompok TK) 24 orang. Kelompok TP sarapan dengan asupan tinggi protein (47%; 70 g/hari) dan kelompok TK sarapan dengan asupan tinggi karbohidrat (47%; 130 g/hari). Data yang diukur berupa tingkat kekenyangan setiap 15 menit selama 3 jam, diukur menggunakan Visual Analogue Scale. Analisis data menggunakan uji t tidak berpasangan dengan SPSS 17.0 for Windows. Hasil Penelitian: Tidak terdapat perbedaan tingkat kekenyangan pada menit ke-15 hingga pada menit ke-165. Perbedaan yang signifikan dicapai pada menit ke-180 (p = 0,043) dimana tingkat kekenyangan kelompok TP (42,5 ± 13,4) lebih tinggi dibanding kelompok TK (33,8 ± 15,6). Simpulan Penelitian: Terdapat perbedaan tingkat kekenyangan yang bermakna (p = 0,043) antara kelompok konsumsi tinggi protein dan kelompok konsumsi tinggi karbohidrat setelah menit ke-180.
Kata kunci: protein, karbohidrat, tingkat kekenyangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRACT
ARIYANI NOVITASARI, G0008200, 2011, Satiety Level Difference between High Protein Consumption and High Carbohydrate Consumption in Women 18-23 years old. Medical Faculty, Sebelas Maret University, Surakarta.
Objective: The aim of this study was to compare satiety level between high protein consumption and high carbohydrate consumption in women 18-23 years old. Methods: This was an experimental study, conducted at Faculty of Medicine Sebelas Maret University (FK UNS). Subjects were recruited with purposive sampling technique. Women 18-23 years old with normal body mass index (BMI) were included in the study. Subjects were excluded if presence or history of hyperphagia, anoreic bulimia, diabetes, gastrointestinal disease, allergic to protein or carbohydrate, in monthly period, and family’s history of diabetes and obesitas. Fourty eight subjects were randomly allocated to two groups, twenty four in high protein consumption group (TP group) and twenty four in high carbohydrate consumption (TK group). TP and TK groups were given high protein intake and high carbohydrate intake respectively at breakfast. Satiety level was rated every 15 minutes for 3 hours using visual analogue scale (VAS). Higher VAS score indicates higher satiety level. Data were analysed using independent sample t-test by SPSS 17 for Windows. Results: There were no significant satiety level differences between TP and TK group at minute 15 to minute 165. Satiety level was significantly different between TP group (42,5 ± 13,4) and TK group (33,8 ± 15,6) after 180 minutes (p = 0,043). Satiety level was significantly higher in the TP group than that in TK group after 180 minutes. Conclusion: Satiety level was significantly different between high protein consumption and high carbohydrate consumption after 180 minutes (p = 0,043).
Keywords: protein, carbohydrate, satiety level
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Obesitas merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat
serius di seluruh dunia karena berperan dalam meningkatkan morbiditas dan
mortalitas (Flegal et al., 2000). Obesitas meningkat di berbagai negara, tidak
tergantung pada jenis kelamin, usia, ras, dan tingkat pendidikan. Prevalensi
obesitas berbeda-beda di setiap negara, mulai dari 7% di Perancis sampai
32,8% di Brazil, di Amerika Serikat prevalensi meningkat dari 12% pada tahun
1991 menjadi 17,8% pada tahun 1998 (Ma et al., 2003). Saat ini diperkirakan
jumlah orang di seluruh dunia dengan indeks massa tubuh (IMT) 30 kg/m2
melebihi 250 juta orang yaitu sekitar 7% dari populasi orang dewasa di dunia.
Di Indonesia, prevalensi obesitas di Jakarta utara pada tahun 1982 sebesar
4,2%, sepuluh tahun kemudian menjadi 17,1%. Sedangkan prevalensi obesitas
di Depok pada tahun 2001 sekitar 48,6%, tahun 2002 sekitar 45%, dan tahun
2003 sekitar 44% (Waspadji et al., 2003).
Berbagai cara untuk mengatasi atau mengendalikan obesitas terus
dikembangkan. Hal ini dirasa perlu mengingat akibat yang ditimbulkan oleh
obesitas sangat beragam, mulai dari berkurangnya kegesitan gerak badan
hingga menimbulkan kelelahan (Sihadi, 2000), meningkatnya beban kerja
organ tubuh sehingga menimbulkan berbagai gangguan kesehatan
(Sediaoetama, 2000). Masalah kesehatan yang ditimbulkan obesitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
selanjutnya dapat memacu kelainan kardiovaskuler, ginjal, metabolik,
prototombik, dan respon inflamasi (Grundy, 2006). Oleh karena itu, obesitas
menjadi salah satu penyebab meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat
penyakit jantung dan metabolik (Jones et al., 2008).
Salah satu cara sederhana untuk mengatasi obesitas dan mengendalikan
berat badan adalah mengatur banyaknya asupan makanan. Dalam piramida
makanan persentase makronutrien dalam diet dinyatakan bahwa porsi makan
yang benar adalah mengandung lebih dari 50% karbohidrat karena karbohidrat
berfungsi sebagai sumber energi utama bagi tubuh. Adapun proporsi
kandungan protein yang dianjurkan hanya sekitar 15-20% saja karena protein
lebih berperan sebagai regenerasi sel dan sumber energi cadangan setelah
karbohidrat. Mengingat kesamaan fungsi karbohidrat dan protein sebagai
sumber energi, maka dimungkinkan keduanya memberikan efek
mengenyangkan.
Rasa kenyang berpengaruh terhadap banyaknya asupan makanan pada
setiap individu. Apabila asupan makanan jangka panjang melebihi relatif
kebutuhan kalori tubuh maka dapat menimbulkan obesitas. Pengaturan rasa
lapar dan kenyang yang baik dapat menurunkan risiko obesitas dan penyakit
metabolik terkait lainnya.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, beberapa peneliti tertarik untuk
mengetahui fungsi protein lebih dalam. Weigle et al. (2005) membuktikan
bahwa protein lebih mengenyangkan daripada karbohidrat dan lemak. Namun,
hal ini dibantah oleh Erdmann et al. (2006) yang membuktikan bahwa protein
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
tidak terbukti lebih mengenyangkan daripada karbohidrat. Sedangkan pada
tahun 2008, Jones et al melakukan penelitian yang membuktikan protein lebih
mengenyangkan daripada karbohidrat.
Berangkat dari perbedaan hasil para peneliti dan mengingat pentingnya
pengendalian rasa lapar dan kenyang untuk mencegah obesitas inilah maka
perlu dilakukan penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan tingkat kekenyangan antara konsumsi tinggi
protein dan konsumsi tinggi karbohidrat pada wanita usia 18-23 tahun?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat kekenyangan
antara konsumsi tinggi protein dan konsumsi tinggi karbohidrat pada wanita
usia 18-23 tahun.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis
Memberi bukti ilmiah mengenai pengaruh konsumsi tinggi protein dan
konsumsi tinggi karbohidrat terhadap rasa kenyang.
2. Manfaat Aplikatif
a. Sebagai salah satu metode diet untuk obesitas dan diabetes militus.
b. Dapat memberikan informasi mengenai metode sederhana untuk
menilai rasa lapar dan kenyang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Protein dan Proses Pencernaannya
Kira-kira 75% bagian tubuh yang padat disusun oleh protein.
Protein ini meliputi protein struktural, enzim, nukleoprotein, protein
yang mengangkut oksigen, protein otot yang menimbulkan kontraksi
otot, dan banyak tipe lainnya yang melakukan fungsi intrasel dan
ekstrasel yang spesifik di seluruh tubuh (Rolfes et al., 2006). Menurut
Recommended Dietary Allowance (RDA) dalam satu hari tubuh
membutuhkan 46 gram protein (Whitney et al., 2007). Namun, untuk
mencukupi batas keamanan seseorang dengan aktivitas sedang dan
berat badan normal dibutuhkan 70 gram protein per hari (Shils et al.,
2006).
Unsur dasar penyusun protein adalah asam amino. Sepuluh jenis
asam amino yang dalam keadaan normal terdapat dalam protein hewani
dapat disintesis dalam sel, sedangkan sepuluh jenis lainnya tidak dapat
disintesis seluruhnya. Kelompok yang kedua ini disebut asam amino
esensial, sedangkan kelompok yang pertama adalah asam amino
nonesensial (Guyton, 2006).
Menurut Gropper et al. (2005), protein terbagi atas protein
lengkap dan tidak lengkap. Protein lengkap adalah makanan yang terdiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
dari semua asam amino esensial pada proporsi yang tepat sehingga
protein ini dapat memenuhi kebutuhan tubuh, misalnya daging, susu,
keju, telur, dan kedelai. Sedangkan protein tidak lengkap adalah
makanan yang tidak memiliki satu atau beberapa asam amino esensial,
contohnya adalah kacang-kacangan dan protein nabati lainnya.
Pencernaan protein dimulai dari mulut secara mekanik.
Pencernaan secara kimiawi dimulai di lambung di mana HCl melepas
ikatan protein dan mengaktifkan enzim pepsinogen menjadi pepsin.
Pepsin memecah protein menjadi pepton dan polipeptida yang lebih
sederhana (Rolfes et al., 2006). Di samping itu, protein mengaktivasi
hormon gastric inhibitory peptide sehingga proses pengosongan
lambung lebih lambat (Wal et al., 2005).
Pencernaan secara kimiawi berlanjut di usus halus di mana
polipeptida dipecah menjadi dipeptida, tripeptida, dan asam amino oleh
enzim-enzim pankreas dan protease intestinal. Selanjutnya enzim-enzim
di permukaan usus halus menghidrolisis peptida-peptida tersebut
menjadi asam amino yang dapat diabsorbsi (Rolfes et al., 2006). Protein
dicerna dan diabsorsi perlahan oleh usus halus akibat stimulasi
langsung maupun tidak langsung dari reseptor hormon usus yaitu
cholecystokinin (CCK) (Pupovac dan Anderson, 2002) dan glukagon
like peptide-1 (Peters et al., 2001; Aziz dan Anderson, 2003). Fouillet et
al. (2002) menambahkan bahwa asam amino yang dihasilkan akan
meningkat perlahan sehingga timbul kestabilan rasa kenyang dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
waktu lama. Murray et al. (2003) mengungkapkan bahwa proses
pencernaan dan absorbsi protein ini biasanya berlangsung lebih dari 2-3
jam.
Setelah diserap dalam bentuk asam amino, protein akan
mengalami metabolisme dalam tubuh. Secara sederhana Rolfes et al.
(2006) menjelaskan protein akan mengalami perubahan (protein
turnover) di mana di dalam sel, protein akan dipecah dan dibentuk
kembali. Protein yang dipecah akan melepaskan asam amino yang akan
bergabung dengan asam amino lainnya dari hasil pencernaan
membentuk amino acid pool. Amino acid pool terdapat dalam sel dan
sirkulasi darah. Saat dibutuhkan, asam amino yang diperlukan dapat
diambil dari amino acid pool untuk membentuk protein tubuh dengan
senyawa yang mengandung nitrogen lalu dilepas nitrogennya untuk
digunakan sebagai energi. Proses pembentukan dan perombakan protein
ini berlangsung seimbang dalam keadaan normal dan pada individu
yang sehat menghasilkan proses yang disebut keseimbangan nitrogen
(nitrogen balance).
Asam amino dapat dibentuk kembali menjadi protein oleh tubuh.
Untuk asam amino non-esensial, keberadaannya tidak mutlak bagi
tubuh. Ketika tubuh kekurangan asam amino non-esensial, tubuh dapat
membentuk asam amino jenis ini melalui asam amino lainnya. Hal ini
berbeda dengan asam amino esensial di mana tubuh harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
mendapatkannya dari asupan makanan atau harus merombak protein
dalam tubuh (Rolfes et al., 2006).
Sel dapat menggunakan asam amino untuk membuat senyawa
lain, misalnya tyrosine yang digunakan untuk membuat neurotransmiter
(norepinefrin dan epinefrin) dan pigmen melanin; serta tryptophan yang
digunakan sebagai prekursor niasin dan serotonin (Rolfes et al., 2006).
Asam amino dapat digunakan pula untuk membentuk lemak
(ketika asupan melebihi kebutuhan) dan glukosa (ketika tubuh
kekurangan glukosa). Asam amino yang diperlukan untuk pembentukan
glukosa didapat dari perombakan protein tubuh. Oleh karena itu, pada
keadaan kekurangan glukosa dan lemak yang berkepanjangan seperti
saat kelaparan (starvation), tubuh akan semakin kurus akibat
perombakan protein dan lemak tubuh (Rolfes et al., 2006).
2. Karbohidrat dan Proses Pencernaannya
Karbohidrat adalah sumber energi utama bagi tubuh. RDA untuk
karbohidrat adalah 130 gr/ hari (Whitney et al., 2007; Shils et al.,
2006). Hasil ini berdasarkan jumlah glukosa yang dibutuhkan untuk
otak dan sistem saraf pusat tanpa memperoleh glukosa dari proses
glukoneogenesis (Shils et al., 2006). Karbohidrat yang terdapat dalam
makanan sebagian besar merupakan polimer heksosa, di antaranya yang
paling penting adalah glukosa, galaktosa, dan fruktosa. Karbohidrat
terbagi atas monosakarida, disakarida dan polisakarida (Almatsier,
2002).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Monosakarida adalah karbohidrat yang paling sederhana (simple
sugar) karena tidak bisa lagi dihidrolisis. Monosakarida larut di dalam
air dan rasanya manis, sehingga secara umum disebut juga gula.
Monosakarida dibagi menjadi glukosa, fruktosa dan galaktosa. Glukosa
sering disebut pula sebagai gula anggur ataupun dekstrosa. Glukosa
banyak dijumpai di alam, terutama pada buah-buahan, sayur-sayuran,
madu, sirup jagung dan tetes tebu. Di dalam tubuh glukosa didapat dari
hasil akhir pencernaan amilum, sukrosa, maltosa dan laktosa. Glukosa
dijumpai di dalam aliran darah (disebut kadar gula darah) dan berfungsi
sebagai penyedia energi bagi seluruh sel-sel dan jaringan tubuh.
Fruktosa disebut juga gula buah ataupun levulosa. Fruktosa merupakan
jenis sakarida yang paling manis, banyak dijumpai pada mahkota
bunga, madu dan hasil hidrolisis dari gula tebu. Di dalam tubuh
fruktosa didapat dari hasil pemecahan sukrosa. Galaktosa tidak
dijumpai dalam bentuk bebas di alam, galaktosa yang ada di dalam
tubuh merupakan hasil hidrolisis dari laktosa (Almatsier, 2002).
Disakarida merupakan gabungan antara 2 monosakarida. Pada
bahan makanan dikenal 3 jenis disakarida yaitu sukrosa, maltosa dan
laktosa. Disakarida adalah gula yang dipergunakan sehari-hari,
sehingga lebih sering disebut gula meja (table sugar), gula pasir atau
gula invert. Sukrosa mempunyai 2 molekul monosakarida yang terdiri
dari satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Contoh sukrosa
adalah tebu (100% mengandung sukrosa), gula nira (50%), jam, jelly.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Maltosa mempunyai 2 molekul monosakarida yang terdiri dari dua
molekul glukosa. Di dalam tubuh maltosa didapat dari hasil pemecahan
amilum, lebih mudah dicerna dan rasanya lebih enak dan nikmat.
Laktosa mempunyai 2 molekul monosakarida yang terdiri dari satu
molekul glukosa dan satu molekul galaktosa. Laktosa kurang larut di
dalam air. Sumber laktosa hanya terdapat pada susu sehingga disebut
juga gula susu. Pada susu sapi kandungannya sekitar 4-5%, sedangkan
pada ASI sekitar 4-7 % (Almatsier, 2002).
Polisakarida merupakan senyawa karbohidrat kompleks, dapat
mengandung lebih dari 60.000 molekul monosakarida yang membentuk
rantai lurus ataupun bercabang. Polisakarida rasanya tawar (tidak
manis) tidak seperti monosakarida dan disakarida. Polisakarida terdiri
dari amilum, dekstrin, glikogen dan selulosa. Amilum merupakan
sumber energi utama bagi orang dewasa terutama di negara
berkembang. Sumber amilum antara lain umbi-umbian, serealia dan
biji-bijian yang mudah didapat untuk dikonsumsi. Jagung, beras dan
gandum mempunyai kandungan amilum lebih dari 70%, sedangkan
kacang-kacangan mengandung amilum sekitar 40%. Dekstrin
merupakan zat antara dalam pemecahan amilum dan molekulnya lebih
sederhana. Glikogen merupakan "pati hewani". Glikogen terdapat pada
otot hewan, manusia dan ikan. Pada waktu hewan disembelih, terjadi
kekejangan (rigor mortis) dimana glikogen selanjutnya dipecah menjadi
asam laktat selama post mortum. Glikogen disimpan di dalam hati dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
otot sebagai cadangan energi, yang sewaktu-waktu dapat diubah
kembali menjadi glukosa bila dibutuhkan. Glikogen banyak terdapat
pada kecambah, serealia, susu, dan sirup jagung (26%). Hampir 50%
karbohidrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan adalah selulosa yang
merupakan bagian yang terpenting dari dinding sel tumbuh-tumbuhan.
Selulosa tidak dapat dicerna oleh tubuh manusia karena tidak ada enzim
untuk memecahnya. Meskipun tidak dapat dicerna, selulosa berfungsi
sebagai sumber serat yang dapat memperbesar volume dari feses,
sehingga akan memperlancar defekasi (Almatsier, 2002).
Pencernaan karbohidrat sudah dimulai sejak makanan masuk ke
dalam mulut. Makanan dikunyah agar dipecah menjadi bagian-bagian
kecil, sehingga jumlah permukaan makanan lebih luas untuk
mengadakan kontak dengan enzim-enzim pencernaan. Di dalam mulut,
makanan bercampur dengan air ludah yang mengandung enzim amilase
(ptyalin). Enzim amilase bekerja memecah karbohidrat rantai panjang
seperti amilum menjadi molekul yang lebih sederhana. Hanya sebagian
kecil amilum yang dapat dicerna di dalam mulut, karena makanan
hanya sebentar saja berada di dalam rongga mulut. Selanjutnya dengan
proses mekanik, makanan ditelan melalui kerongkongan dan akan
didorong memasuki lambung. Proses pemecahan amilum diteruskan di
dalam lambung selama makanan belum bereaksi dengan asam lambung.
Di usus halus, maltosa, sukrosa dan laktosa yang berasal dari makanan
maupun dari hasil penguraian karbohidrat kompleks akan diubah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
menjadi monosakarida dengan bantuan enzim-enzim yang terdapat di
usus halus seperti maltase, laktase, sukrase (Almatsier, 2002).
Semua jenis karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida dan
proses penyerapannya terjadi di usus halus. Glukosa dan galaktosa
memasuki aliran darah dengan jalan transpor aktif, sedangkan fruktosa
dengan jalan difusi. Setelah melalui dinding usus halus, glukosa akan
menuju ke hepar melalui vena portae. Sebagian karbohidrat ini diikat di
dalam hati dan disimpan sebagai glikogen sehingga kadar gula darah
dapat dipertahankan dalam batas-batas normal (80-120 mg%).
Karbohidrat yang terdapat dalam darah praktis dalam bentuk glukosa
karena fruktosa dan galaktosa akan diubah terlebih dahulu sebelum
memasuki pembuluh darah. Apabila jumlah karbohidrat yang dimakan
melebihi kebutuhan tubuh, dua pertiganya akan disimpan di dalam otot
dan selebihnya di dalam hati sebagai glikogen. Kapasitas pembentukan
glikogen ini sangat terbatas maksimum 350 gram. Jika penimbunan
dalam bentuk glikogen ini telah mencapai batasnya, kelebihan
karbohidrat akan diubah menjadi lemak dan disimpan di jaringan
lemak. Bila tubuh memerlukan kembali energi tersebut, simpanan
glikogen akan dipergunakan terlebih dahulu, disusul oleh mobilisasi
lemak (Almatsier, 2002).
3. Pusat Rasa Kenyang dan Lapar
Pengaturan rasa lapar dan kenyang diatur oleh hipotalamus dan
hormon (Wardlaw dan Smith, 2005). Nukleus lateral hipotalamus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
berfungsi sebagai pusat lapar, perangsangan area ini menyebabkan
hewan makan dengan rakus, sebaliknya pengrusakan hipotalamus
lateral menyebabkan hilangnya nafsu makan, pengurusan dan
pelemahan tubuh yang progresif yaitu suatu keadaan yang ditandai
dengan penurunan berat badan yang nyata, kelemahan otot dan
penurunan metabolisme. Pusat makan ini beroperasi dengan
membangkitkan dorongan motorik untuk mencari makan (Guyton,
2006).
Nukleus ventromedial hipotalamus berperan sebagai pusat
kenyang. Pusat ini dipercaya memberikan sensasi kepuasan makanan
yang menghambat pusat lapar. Rangsangan listrik pada bagian ini dapat
menimbulkan rasa kenyang yang penuh, bahkan dengan adanya
makanan yang menggiurkan binatang menolak untuk makan (afagia).
Sebaliknya destruksi nukleus ventromedial menyebabkan hewan makan
terus menerus. Nukleus paraventrikuler mengatur proses makan,
nukleus dorsomedial mengatur perilaku makan dan nukleus arkuata
pengatur pelepasan hormon. Terdapat dua jenis neuron di nukleus
arkuatus yang sangat penting dalam pengaturan nafsu makan dan
pengeluaran energi. Yang pertama adalah neuron propiomelanocortin
(POMC) yang memproduksi α-melanocyte stimulating hormon (α-
MSH) dan cocaine and amphetamine transcryptase (CART) yang akan
mengurangi asupan makanan dan meningkatkan pengeluaran energi.
Yang kedua adalah neuron yang memproduksi zat oreksigenik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
neuropeptida Y (NPY) dan Agouti-related protein (AGRP). Neuron
NPY-AGRP akan meningkatkan asupan makan dan mengurangi
pengeluaran energi (Guyton, 2006).
Pengaturan rasa kenyang dan lapar dijelaskan secara singkat pada
Teori Glukostatik yang menyatakan bahwa rasa kenyang timbul karena
sinyal yang ditimbulkan oleh peningkatan pemasukan glukosa pada saat
makan sebaliknya setelah penyerapan makan selesai terjadi penurunan
glukosa sehingga membangkitkan rasa lapar (Guyton, 2006). Selain itu,
dipostulasikan juga bahwa glukosa mempengaruhi pusat rasa kenyang
di nukleus ventromedial sehingga bila glukosa dalam sel-sel itu rendah
maka akan timbul rasa lapar (Ganong, 2008).
Menurut Guyton (2006), mekanisme pengaturan rasa kenyang
adalah segera setelah menyantap makanan yang tinggi karbohidrat,
glukosa yang terabsorbsi ke dalam darah menyebabkan sekresi insulin
dengan cepat. Insulin selanjutnya menyebabkan ambilan, penyimpanan
dan penggunaan glukosa yang cepat oleh hampir semua jaringan tubuh.
Di saat yang bersamaan terjadi aktivasi neuron POMC yang
memproduksi α-MSH dan CART yang akan mengurangi asupan
makanan atau mengurangi nafsu makan. Namun segera setelah itu
terjadi penghentian sekresi insulin dan terjadilah hal yang sebaliknya
yaitu mulai timbulnya rasa lapar. Almatsier (2002) dan Marks et al.
(2000) menyatakan bahwa proses naiknya kadar glukosa darah setelah
makan adalah sekitar 30 menit, lalu secara perlahan kembali ke kadar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
glukosa puasa setelah 90-150 menit. Sherwood (2001) menjelaskan
bahwa pada orang gemuk pusat hipotalamus yang menentukan rasa
kenyang dipatok pada angka yang lebih tinggi. Maksudnya, orang
gemuk yang mengonsumsi tiga porsi makan angka rasio kepuasannya
sembilan, sedangkan orang kurus yang mengonsumsi satu porsi makan
angka rasio kepuasannya juga sembilan. Akibatnya, orang gemuk
cenderung makan lebih banyak terutama karbohidrat yang
menyebabkan kadar glukosa darah meningkat dengan tajam, lalu
menurun dengan tajam segera setelah makan karena aktivitas insulin
yang sensitif terhadap kenaikan kadar gula darah. Dengan demikian,
semakin cepat kadar glukosa naik, semakin cepat sekresi insulin.
Semakin cepat sekresi insulin, semakin cepat turunnya kadar glukosa
darah. Semakin cepat turunnya kadar glukosa darah, semakin cepat
timbul rasa lapar.
Adapun pengaruh protein terhadap pengaturan rasa kenyang di
mediasi oleh hormon leptin. Guyton (2006) menyatakan bahwa seperti
halnya karbohidrat, segera setelah menyantap makanan yang tinggi
protein, asam amino yang terabsorbsi ke dalam darah menyebabkan
sekresi leptin. Porte et al. (2002) menjelaskan bahwa hormon leptin
adalah hormon yang disintesis oleh sel-sel lemak sebagai salah satu
penghantar sinyal ke otak untuk kontrol makanan. Leptin mengaktivasi
neuron POMC yang memproduksi α-MSH dan CART yang akan
mengurangi asupan makanan atau mengurangi nafsu makan. Pada saat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
yang sama, leptin akan menghambat kelompok oreksigenik yang akan
melepaskan neuropeptida yaitu NPY dan AGRP yang berfungsi untuk
meningkatkan nafsu makan. Weigle et al. (2005) menambahkan bahwa
konsumsi tinggi protein selain meningkatkan kadar leptin juga
meningkatkan sedikit kadar insulin yang juga berperan dalam
pengaturan pusat kenyang. Hal ini dibuktikan dengan pemberian asam
amino tanpa pemberian glukosa dapat menyebab peningkatan insulin
sedikit saja. Efek ini terutama dihasilkan oleh arginin dan lisin.
Simpulannya, antara leptin dan insulin bekerja sama untuk
menimbulkan rasa kenyang tanpa meningkatkan glukosa darah.
4. Visual Analogue Scale
Visual Analogue Scale (VAS) adalah instrumen untuk mengukur
karakteristik atau sikap yang sulit diukur secara tepat, misalnya untuk
mengetahui kualitas rasa sakit yang dirasakan pasien (Wewers dan
Lewe, 1990; Crichton, 2001).
Ada banyak cara untuk mempresentasikan VAS, misalnya dengan
garis vertikal, horizontal atau garis dengan tambahan deskripsi. Pada
umumnya VAS biasanya memakai garis horizontal dengan panjang 100
mm. Titik nol di ujung kiri mendeskripsikan “tidak terasa”, sedangkan
ujung pangkal menyatakan “sangat terasa”. Skornya ditunjukkan
dengan mengukur berapa milimeter dari kiri tanda yang diberikan
pasien (Wewers dan Lewe, 1990; Crichton, 2001).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Alat ini sangat tinggi subyektivitas, skala ini bernilai jika
digunakan untuk menilai perubahan dalam masing-masing individu
(Wewers dan Lewe, 1990; Crichton, 2001).
VAS juga dapat diandalkan dan dipercaya untuk penelitian
tentang nafsu makan. VAS dengan panjang 100 mm digunakan untuk
menilai rasa lapar, rasa kenyang, dan hasrat untuk memakan suatu
makanan yang manis, asin, atau lezat. VAS untuk menilai rasa lapar dan
kenyang harus diberi tambahan deskripsi (Flint et al., 2000). Adapun
deskripsi tersebut menurut Bailey dan Bishop (2009), kriteria rasa
kenyang dan lapar tersusun dalam 10 kriteria, yaitu:
1. Starving (0-10)
Ditandai dengan kelelahan fisik seperti pusing, lemas atau nyeri
lambung.
2. Extremely hungry (11-20)
Ditandai dengan berkurangnya daya konsentrasi dan lekas
marah.
3. Very hungry (21-30)
Ditandai dengan dorongan untuk makan yang sangat kuat dan
peristaltik usus meningkat.
4. Hungry (31-40)
Pada posisi ini tubuh sedikit lapar ditandai dengan tubuh mulai
memberikan sinyal rasa lapar dan mulai berpikir tentang
makanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
5. Neutral (41-50)
Pada skala ini tubuh tidak merasa lapar tetapi juga tidak merasa
kenyang dan tubuh memiliki cukup tenaga untuk bergerak.
6. Comfortable (51-60)
Tubuh merasa cukup kenyang.
7. Full (61-70)
Tubuh merasa lebih dari cukup kenyang dan merasa telah makan
berlebihan.
8. Uncomfortably full (71-80)
Ditandai dengan perut terasa sakit karena kekenyangan.
9. Very uncomfortably full (81-90)
Ditandai dengan rasa mual dan sangat tidak nyaman sehingga
ingin mengendurkan ikat pinggang.
10. Stuffed (91-100)
Tubuh merasa sangat kenyang sampai tidak dapat bergerak.
Dalam pengisian VAS, subyek tidak diperbolehkan berdiskusi,
membandingkan skor antara satu dengan yang lain dan melihat kembali
hasil VAS yang telah diisi sebelumnya (Flint et al., 2000).
Rasa lapar, rasa kenyang atau nafsu makan dapat dinilai dengan
VAS tiap 15 menit dalam 2 jam (Holt et al., 2007), sebelum dan
sesudah makan (Lejune et al., 2006), setelah 1,5 jam mengkonsumsi
makanan (Martin et al., 2007) atau tiap jam sesudah makan sampai
batas waktu yang ditentukan peneliti (Johnstone et al., 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
B. Kerangka Pemikiran
Hormon leptin
Tingkat kekenyangan
Pencernaan dan pengosongan lambung lambat
Absorbsi lambat
Produksi α-MSH dan CART
Neuron POMC
Hormon Insulin
Lambung
hormon gastric inhibitory peptide levels
Usus halus
hormon CCK dan Glukagon like peptide-1.
Arginin dan lisin
Hormon insulin
Asam amino lain
Glukosa
Kadar glukosa meningkat
Protein Karbohidrat
Pemberian Makanan
Nukleus arkuatus
Mulut
Enzim amilase
Maltosa, Sukrosa, Laktosa
Enzim maltase, sukrase, laktase
Glukosa, fruktosa, galaktosa
Perasaan sedih dan takut Menurunkan motilitas lambung Perasaan marah dan agresi Meningkatkan motilitas lambung
: Meningkatkan : Menurunkan : Tidak mempengaruhi
: Variabel yang diteliti
Gambar 1. Kerangka Pikir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
C. Hipotesis
Terdapat perbedaan tingkat kekenyangan antara konsumsi tinggi protein
dengan konsumsi tinggi karbohidrat pada wanita usia 18-23 tahun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni yang menerapkan
prosedur randomisasi dalam proses pengelompokan subyek (Notoatmodjo,
2002).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedoktean UNS dimulai pukul
07.00-11.00 WIB. Kelompok konsumsi tinggi protein pada hari Jum’at 25
Februari 2011, Sabtu, 5 Maret 2011 dan Sabtu, 12 Maret 2011. Sedangkan
kelompok konsumsi tinggi karbohidrat pada hari Sabtu, 26 Februari 2011,
Minggu, 6 Maret 2011, dan Minggu, 13 Maret 2011.
C. Subyek Penelitian
1. Kriteria Inklusi :
a. Wanita
b. Usia 18-23 tahun
c. BMI (Body Mass Index) normal
2. Kriteria eksklusi :
a. Hiperfagia
b. Anoreksia bulimia
c. Menderita diabetes
d. Alergi protein atau karbohidrat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
e. Menderita penyakit gastrointestinal
f. Sedang menstruasi
g. Riwayat keluarga obesitas dan diabetes
h. Sedang menjalani program penurunan berat badan
D. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Konsumsi makanan
2. Variabel terikat : Tingkat kekenyangan
3. Variabel perancu :
a. Terkendali
1) BMI
2) Asupan makanan lain
3) Usia
4) Jenis kelamin
5) Aktivitas fisik
b. Tidak terkendali
Emosi
E. Besar Sampel
Penentuan besar sampel menggunakan rule of thumb, yaitu setiap
penelitian yang datanya dianalisis secara statistik dengan analisis bivariat
membutuhkan sampel minimal 30 subyek penelitian (Murti, 2010).
Pada penelitian ini didapatkan 48 subyek penelitian yaitu 24 subyek pada
kelompok konsumsi tinggi protein dan 24 subyek lain pada kelompok
konsumsi tinggi karbohidrat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
F. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang dipakai adalah purposive sampling
yaitu pemilihan subyek berdasarkan sifat tertentu yang berkaitan dengan
karakteristik populasi (Notoatmodjo, 2002). Pada penelitian ini, pemilihan
subyek berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah disebutkan
sebelumnya. Pembagian kelompok dilakukan secara random dengan undian.
G. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas : Konsumsi makanan
Konsumsi makanan adalah pemberian makanan tinggi protein
(47%; 70 gr/hari) dan pemberian makanan tinggi karbohidrat (47%; 130
gr/hari) pada dua kelompok yang berbeda. Konsumsi makanan tinggi
protein diberikan dalam susunan menu yang terdiri dari daging dada
ayam (broiler) goreng tanpa tulang 84 gr, telur ayam goreng 1 buah, dan
air mineral 240 ml. Sedangkan konsumsi makanan tinggi karbohidrat
diberikan dalam menu yang terdiri dari kentang rebus tanpa kulit 120 gr,
mayonaise 1 sendok makan, waffle crunchox 11 gr 2 buah, madu 7 ml,
dan Teh 250 ml.
Kandungan gizi dari masing-masing menu dirangkum dalam Tabel 1
berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Tabel 1. Kandungan gizi konsumsi makanan
Kelompok Menu P KH S L
TP
Daging dada ayam (broiler)
goreng tanpa tulang 84 gr
27 1 <1 8
Telur ayam goreng 6 <1 0 7
Air mineral 240 ml 0 0 0 0
Total 33 <2 <1 15
TK
Kentang rebus tanpa kulit 120 gr 1 16 1 <1
Mayonaise 1 sendok makan <1 1 0 11
Waffle crunchox 11 gr 2 buah 2 16 0 4
Madu 7 ml 0 8 0 0
Teh 250 ml 0 21 0 0
Total <4 62 1 <16
Keterangan:
TP : Tinggi protein
TK : Tinggi karbohidrat
P : Protein (gr)
KH : Karbohidrat (gr)
S : Serat (gr)
L : Lemak (gr)
Skala pengukuran variabel konsumsi makanan adalah nominal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Hasil pengukuran adalah “kelompok tinggi protein” dan “kelompok tinggi
karbohidrat”.
2. Variabel terikat : Tingkat kekenyangan
Tingkat kekenyangan adalah derajat rasa kenyang yang dirasakan
oleh setiap subyek penelitian. Tingkat kekenyangan diukur dengan VAS
(Lampiran 2). Hasil pengukuran dalam satuan milimeter. Skala
pengukuran yang digunakan adalah rasio. Tingkat kekenyangan diukur
tiap 15 menit selama 3 jam setelah konsumsi makanan. Setiap subyek
penelitian diberi secarik kertas berisi VAS. Lalu subyek penelitian
menandai di mana posisi rasa kenyangnya. Setelah itu diukur berapa
milimeter posisi tanda yang diberikan pada skor VAS.
3. Variabel Perancu
a. Terkendali
1) BMI
BMI dikendalikan dengan memilih subyek penelitian yang
mempunyai BMI normal yaitu 18,5-24,9.
2) Asupan makanan lain
Asupan makanan sangat berpengaruh dalam pembentukan
energi (Guyton, 2006), sehingga dapat menimbulkan kerancuan hasil
penelitian. Oleh karena itu subyek penelitian diinstruksikan agar tidak
mengkonsumsi makanan lain sebelum dan selama penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
3) Usia
Usia merupakan salah satu faktor penentu Basal Metabolic
Rate (BMR). BMR mempengaruhi penggunaan energi yang dihasilkan
oleh asupan makanan. BMR meningkat pada masa kanak-kanak dan
menurun pada masa tua (Marks et al., 2000). Oleh karena itu subyek
penelitian dipilih individu dewasa dengan rentang usia 18-23 tahun.
4) Jenis kelamin
Selain usia, jenis kelamin pun mempengaruhi BMR seseorang.
Menurut Marks et al. (2000), BMR pria lebih besar daripada BMR
wanita sehingga dalam penelitian ini peneliti memilih wanita sebagai
subyek penelitian.
5) Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik mempengaruhi penggunaan energi yang
dihasilkan oleh asupan makanan yang diberikan (Guyton, 2006).
Untuk mengendalikannya peneliti menginstruksikan agar subyek tidak
melakukan aktivitas yang menguras energi sebelum dan selama
penelitian. Selama penelitian, subyek diawasi agar mempunyai
aktivitas yang sama hingga waktu penelitian berakhir yaitu dengan
menonton film bersama.
b. Tidak terkendali
Emosi
Emosi mempengaruhi motilitas lambung. Efek emosi terhadap
motilitas lambung bervariasi pada masing-masing individu dan tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dapat selalu diperkirakan. Kesedihan dan rasa takut umumnya cenderung
menurunkan motilitas lambung sehingga mempertahankan rasa kenyang
sedangkan rasa marah dan agresi cenderung meningkatkan motilitas
lambung sehingga merangsang rasa lapar (Sherwood, 2001). Meskipun
penelitian akan dilakukan pada saat tidak ada ujian, namun emosi
masing-masing subyek tidak dapat dikendalikan.
H. Instrument dan Bahan Penelitian
1. Alat :
a. Timbangan berdiri merk OneMed dengan ketelitian 0,1 kg untuk
mengukur berat badan.
b. Microtoise antropometer dengan ketelitian 0,1 cm untuk mengukur
tinggi badan.
c. Kuesioner untuk mengetahui karakteristik subyek penelitian.
d. Selembar kertas berisi VAS berupa garis sepanjang 100 mm untuk
mengetahui karakteristik subyek penelitian.
2. Bahan
1) Menu tinggi protein terdiri dari:
Daging dada ayam (broiler) goreng tanpa tulang 84 gr
Telur ayam goreng 1 buah
Air mineral 240 ml
2) Menu tinggi karbohidrat terdiri dari:
Kentang rebus tanpa kulit 120 gr
Mayonaise 1 sendok makan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Waffle crunchox11 gr 2 buah
Madu 7 ml
Teh 250 ml
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
I. Rancangan Penelitian
Gambar 2. Rancangan Penelitian
Subyek Penelitian 48 orang
Kelompok TK (24 orang) :
Pemberian asupan tinggi karbohidrat
Kelompok TP (24 orang) :
Pemberian asupan tinggi protein
Pengumpulan data
Pembagian kelompok dengan teknik randomisasi
Setiap subyek
mengisikan lembar VAS
Setiap 15 menit selama 3 jam Setelah 3 jam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
J. Prosedur Kerja
1. Pemilihan subyek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pengukuran tinggi badan
Tinggi badan diukur menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1cm,
dengan prosedur sebagai berikut (Supariasa et al., 2002):
1) Kalibrasi alat
2) Subyek berdiri tegak pada tempat rata dan tepat di bawah microtoise
tanpa alas kaki
3) Posisi kepala lurus ke depan
4) Tangan tergantung secara bebas pada ke dua sisi badan dengan arah
telapak tangan menghadap ke arah paha
5) Kedua tumit subyek berdekatan dan menyentuh dasar dari dinding
vertikal
6) Skapula menyentuh dinding vertikal
7) Subyek diperintahkan untuk menarik nafas dan menahannya
8) Peneliti menggerakkan microtoise dari atas sampai pada vertek
9) Mencatat hasil pengukuran
b. Pengukuran berat badan
Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan berdiri merk OneMed
dengan ketelitian 0,1 cm, dengan prosedur sebagai berikut (Supariasa et
al., 2002):
1) Kalibrasi alat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2) Subyek menggunakan pakaian semin
tanpa sepatu dan meletakkan barang
3) Subyek berdiri di
lurus ke depan
4) Kedua tangan tergantung bebas di
5) Mencatat hasil
c. Penghitungan BMI
BMI dihitung dengan rumus
Tabel 2. Klasifikasi individu berdasarkan BMI
BMI
<18,5
18,5 – 24,9
25,0 – 29,9
30,0 – 34,9
35,0 – 39,9
>40,0
d. Pengisian kuesioner
Pemberian kuesioner untuk mengetahui
Cara:
Subyek menggunakan pakaian seminimal mungkin tanpa alas kaki
tanpa sepatu dan meletakkan barang-barang yang dibawa
Subyek berdiri di atas timbangan dengan posisi tegak dan pandangan
depan
Kedua tangan tergantung bebas di samping badan
Mencatat hasil
itung dengan rumus (Whitney et al., 2007) =
. Klasifikasi individu berdasarkan BMI (Whitney et al., 2007)
Keterangan
Underweight
Normal
Overweight
Obesitas tingkat I
Obesitas tingkat II
Obesitas tingkat III
Pengisian kuesioner
oner untuk mengetahui karakteristik subyek penelitian.
30
mungkin tanpa alas kaki
atas timbangan dengan posisi tegak dan pandangan
., 2007)
subyek penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
1) Membagikan lembar kuesioner (Lampiran 1) kepada setiap subyek
penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi
2) Pengisian kuesioner oleh subyek
3) Pengumpulan kuesioner
2. Subyek penelitian yang telah memenuhi kriteria yang berjumlah 48 orang
dibagi 2 kelompok secara random masing-masing kelompok 24 orang.
3. Perlakuan
Kelompok TP : Subyek diberikan asupan tinggi protein berupa:
Daging dada ayam (broiler) goreng tanpa tulang 84 gr
Telur ayam goreng 1 buah
Air mineral 240 ml
Kelompok TK: Subyek diberikan asupan tinggi karbohidrat berupa:
Kentang rebus tanpa kulit 240 gr
Mayonaise 1 sendok makan
Waffle crunchox 11 gr 2 buah
Madu 7 ml
Teh 250 ml
4. Setiap 15 menit selama 3 jam setiap subyek mengisikan lembar VAS
(Lampiran 2)
5. Analisis hasil
K. Uji Statistik
Data yang diperoleh ditabulasi dalam bentuk tabel dan grafik. Uji
normalitas terhadap skor VAS dilakukan dengan uji Shapiro Wilk. Uji t tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
berpasangan dipakai untuk mengetahui perbedaan tingkat kekenyangan antara
konsumsi tinggi protein dan konsumsi tinggi karbohidrat. Tingkat signifikansi
yang dipakai adalah p < 0,05. Apabila data tidak terdistribusi normal maka
dilakukan uji Mann Whitney. Data dianalisis menggunakan program komputer
Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.0.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Subyek Penelitian
Pada penelitian ini jumlah subyek penelitian adalah 48 orang yang
sesuai dengan kriteria restriksi yaitu wanita usia 18-23 tahun, BMI normal,
pola makan 3x sehari (pukul 07.00, pukul 12.00 dan pukul 18.00) dengan
asupan berupa nasi, sayur dan lauk-pauk, tidak terbiasa puasa, tidak
terbiasa menyantap kudapan (ngemil), tidak sedang sakit terutama
penyakit gastrointestinal, tidak sedang menstruasi, tidak alergi terhadap
protein atau karbohidrat, memiliki kepercayaan diri mengenai bentuk
tubuhnya, tidak sedang menjalankan program penurunan berat badan,
tidak memiliki riwayat keluarga menderita DM atau obesitas.
Rerata BMI pada subyek kelompok konsumsi tinggi protein sebesar
20,5 ± 1,5 dan kelompok konsumsi tinggi karbohidrat sebesar 20,1 ± 1,6.
Sedangkan rerata umur antara kedua kelompok sama yaitu 20 tahun.
B. Hasil Penelitian
Perbandingan hasil tingkat kekenyangan tiap 15 menit selama 3
jam dengan skor VAS disajikan dalam Tabel 3.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Tabel 3. Hasil Analisis Tingkat Kekenyangan (skor VAS)
Waktu (menit)
Rerata tingkat kekenyangan ± SB
Kelompok TP Kelompok TK
15 64,6 ± 8,7 70,3 ± 14,4
30 62,9 ± 7,7 64,5 ±10,5
45 60,8 ± 7,6 59,5 ± 11,1
60 56,9 ± 8,0 56,9 ±10,2
75 54,4 ± 9,4 53,2 ± 10,9
90 52,0 ± 9,9 50,5 ± 10,9
105 50,6 ± 10,3 48,0 ± 12,0
120 49,1 ± 11,0 44,9 ± 12,6
135 47,6 ± 11,7 42,7 ± 12,4
150 45,6 ± 11,5 40,6 ± 13,4
165 44,5 ± 11,5 37,5 ± 15,0
180 42,5 ±13,4 33,8 ± 15,6
Keterangan
SB : Simpangan Baku
TP : Tinggi Protein
TK : Tinggi Karbohidrat
Perbandingan tingkat kekenyangan antara kelompok TP dan TK
dituangkan secara visual pada gambar 3.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Gambar 3. Grafik Rerata Tingkat Kekenyangan
Tabel 3 dan Gambar 3 menunjukkan rerata tingkat kekenyangan
tiap 15 menit pada masing-masing kelompok. Pada menit ke-15 sampai
menit ke-30 rata-rata tiap subyek kelompok TP dan TK berada dalam
keadaan full (skor VAS 61-70) dimana tubuh merasa lebih dari cukup
kenyang dan merasa makan berlebihan. Pada menit ke-45 sampai menit
ke-90 rata-rata tiap subyek kelompok TP merasa comfortable (51-60)
dimana tubuh merasa cukup kenyang. Sedangkan pada kelompok TK
comfortable hanya dialami pada menit ke-45 sampai menit ke-75.
Selanjutnya pada menit ke-105 sampai menit ke-180, rata-rata subyek
kelompok TP dalam keadaan neutral (41-50) dimana tubuh merasa tidak
0.005.00
10.0015.0020.0025.0030.0035.0040.0045.0050.0055.0060.0065.0070.0075.00
15 30 45 60 75 90 105 120 135 150 165 180
Rer
ata
ting
kat
keke
nyan
gan
(sko
r V
AS)
Waktu (menit)TPTK
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
lapar tetapi juga tidak merasa kenyang dan tubuh memiliki cukup tenaga
untuk bergerak. Sedangkan pada kelompok TK berada pada fase ini pada
menit ke-90 sampai menit ke 135 setelah itu rata-rata subyek telah merasa
hungry (31-40) dimana tubuh mulai memberikan sinyal rasa lapar dan
mulai berpikir tentang makanan.
C. Hasil Uji Normalitas
Untuk mengetahui data hasil penelitian memenuhi syarat uji
parametrik, maka terlebih dulu dilakukan uji normalitas data tingkat
kekenyangan (skor VAS) dengan Shapiro Wilk test.
Hasil uji normalitas disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Tingkat Kekenyangan
Waktu (menit) Nilai p
Kelompok TP Kelompok TK
15 0,358 0,158
30 0,753 0,547
45 0,617 0,785
60 0,563 0,319
75 0,643 0,547
90 0,404 0,571
105 0,639 0,580
120 0,431 0,088
135 0,244 0,083
150 0,144 0,205
165 0,090 0,202
180 0,324 0,206
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Berdasarkan hasil uji normalitas Shapiro Wilk didapatkan bahwa
tingkat kekenyangan (skor VAS) pada kelompok TP dan TK terdistribusi
normal (p > 0,05) di tiap titik waktu sehingga uji t tidak berpasangan
digunakan untuk menganalisis perbedaan tingkat kekenyangan pada kedua
kelompok.
D. Hasil Analisis Uji t Tidak Berpasangan
Hasil uji t tidak berpasangan disajikan dalam Tabel 5 berikut ini.:
Tabel 5. Hasil Uji t Tidak Berpasangan
Waktu (menit)
Beda rerata VAS
IK 95% Nilai p Keterangan
15 -5,7 (-12,7;1,3) 0,105 TS
30 -1,6 (-6,9;3,8) 0,554 TS
45 1,2 (-4,3;6,7) 0,662 TS
60 -0,0 (-5,4;5,3) 0,987 TS
75 1,2 (-4,7;7,1) 0,684 TS
90 1,5 (-4,5;7,6) 0,610 TS
105 2,6 (-4,0;9,1) 0,427 TS
120 4,2 (-2,7;11,0) 0,227 TS
135 5,0 (-2,1;11,9) 0,164 TS
150 5,0 (-2,3;12,3) 0,172 TS
165 7,0 (-0,8;14,7) 0,078 TS
180 8,8 (0,3;17,2) 0,043 S
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Keterangan:
IK 95% : Interval Kepercayaan 95%
TS : Tidak Signifikan
S : Signifikan
Tabel 5 menunjukkan bahwa tingkat kekenyangan antara kelompok TP
dan kelompok TK berbeda signifikan pada menit ke-180 (p = 0,043).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
BAB V
PEMBAHASAN
Karakteristik subyek penelitian ini adalah memiliki pola makan 3x/hari
dengan jadwal makan pagi pukul 07.00, makan siang 12.00 dan makan malam
pukul 18.00 serta tidak terbiasa puasa atau konsumsi kudapan (ngemil). Hal ini
karena pola makan berpengaruh terhadap rasa kenyang dan lapar. Sherwood
(2001) menjelaskan pola makan seseorang berpengaruh terhadap rasio
kepuasannya dalam mengkonsumsi makanan. Pada orang yang terbiasa makan
tiga porsi dengan rasio kepuasan sembilan, akan merasa masih lapar apabila hanya
mengkonsumsi satu porsi makan saja. Selain itu pola makan juga menunjukkan
apakah subyek penelitian mengalami hiperfagia atau tidak.
Anoreksia bulimia diketahui melalui persepsi mengenai bentuk tubuh dan
adakah program diet yang dilakukan. Ciri khas anoreksia bulimia adalah
mengurangi berat badan dengan sengaja padahal berat badan yang dimiliki dalam
batas normal. Hal ini terjadi karena adanya distorsi body image dalam bentuk
psikopatologi yang spesifik dimana ketakutan gemuk terus-menerus menyerang
penderita sehingga penderita memiliki penelilaian berlebih terhadap berat badan
yang rendah atau normal (Maslim, 2003).
Karakteristik lain adalah subyek tidak sedang menstruasi. Riwayat
menstruasi ini perlu diketahui karena pada wanita terjadi sindrom premenstruasi
berupa mudah tersinggung dan emosi labil yang dialami 7-10 hari sebelum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
menstruasi sampai 7 hari setelah menstruasi (Ganong, 2008). Padahal emosi
berpengaruh terhadap motilitas lambung. Emosi yang labil dan mudah
tersinggung cenderung meningkatkan motilitas lambung sehingga merangsang
rasa lapar seseorang (Sherwood, 2001).
Tidak memiliki riwayat keluarga diabetes melitus atau obesitas juga salah
satu karakteristik subyek penelitian ini karena salah satu faktor risiko terjadinya
DM dan obesitas adalah faktor genetik. Pada DM tipe 1 faktor gen berperan
penting untuk menentukan kerentanan sel β pankreas. Pada beberapa kasus faktor
herediter menyebabkan degenerasi sel β pankreas yang berfungsi sebagai sel
penghasil insulin. Apabila kadar insulin rendah maka sinyal untuk menimbulkan
rasa kenyang pun terganggu. Berbeda dengan DM tipe 2, pada tipe ini faktor
genetik berpengaruh terhadap ada tidaknya mutasi reseptor insulin yang
mengganggu sinyal insulin di perifer (Guyton, 2006). Sedangkan pada obesitas,
faktor genetik berperan menyebabkan kelainan satu atau lebih jaras yang
mengatur pusat makan, pengeluaran energi dan penyimpanan lemak (Guyton,
2006)
Selain itu subyek juga dipastikan tidak memiliki penyakit gastrointestinal.
Penyakit gastrointestinal akan menyebabkan gangguan pencernaan dan absorbsi
yang terjadi di saluran pencernaan. Jika proses pencernaan dan absorbsi makanan
terganggu maka akan mengacaukan pengaturan rasa lapar dan kenyang (Ganong,
2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Hasil uji t tidak berpasangan didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan
tingkat kekenyangan antara konsumsi tinggi protein dengan konsumsi tinggi
karbohidrat pada menit ke-15 sampai menit ke-165. Perbedaan tingkat
kekenyangan secara signifikan dicapai pada menit ke-180 (p = 0,043). Dari hasil
penelitian ini didapatkan tingkat kekenyangan kelompok yang mengkonsumsi
tinggi protein lebih tinggi daripada kelompok yang mengkonsumsi tinggi
karbohidrat. Pada menit ke-180 rerata skor tingkat kekenyangan kelompok TP
(42,5 ± 13,4) dimana rata-rata subyeknya merasa neutral (skor VAS 41-50) yaitu
pada skala ini tubuh merasa tidak lapar dan tidak merasa kenyang serta tubuh
memiliki cukup tenaga untuk bergerak. Sedangkan pada kelompok TK (33,8 ±
15,6) dimana rata-rata subyeknya berada pada skala hungry (skor VAS 31-40)
yaitu tubuh mulai memberikan sinyal lapar dan mulai berpikir tentang makanan.
Hal ini terjadi karena pada saat mengkonsumsi tinggi protein, hormon leptin
merangsang aktivasi neuron POMC untuk memberikan sinyal rasa kenyang
(Guyton, 2006). Selain itu, protein juga mengaktivasi hormon gastric inhibitory
peptide untuk memperlambat proses pengosongan lambung (Wal et al., 2005).
Bukan hanya itu saja, konsumsi protein juga menstimulasi CCK (Pupovac dan
Anderson, 2002) dan glukagon like peptide-1 (Peters et al., 2001; Aziz dan
Anderson, 2003) yang menyebabkan absorbsi di usus halus. Jika proses
pencernaan dan absorbsi berjalan lambat maka motilitas lambung juga menurun
sehingga tubuh akan merasa kenyang. Murray et al. (2003) menyatakan bahwa
proses pencernaan dan absorbsi protein ini berlangsung lebih dari 2-3 jam.
Sedangkan saat mengkonsumsi tinggi karbohidrat, kadar glukosa darah meningkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
selama 30 menit yang menimbulkan rasa kenyang tetapi setelah itu kadar glukosa
turun drastis akibat sekresi hormon insulin sehingga mulai timbul rasa lapar
(Guyton, 2006).
Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Erdmann et al. (2006) yang
membuktikan bahwa protein tidak terbukti lebih mengenyangkan daripada
karbohidrat. Perbedaan hasil ini dikarenakan adanya perbedaan waktu
pengambilan skor tingkat kekenyangan dengan VAS. Pada Erdmann et al. (2006)
pengambilan skor dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Padahal pada menit
ke-15 sampai menit ke-30 memang protein tidak lebih mengenyangkan daripada
karbohidrat. Meskipun demikian, hasil penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian Weigle et al. (2005) dan Jones et al. (2008) yang membuktikan bahwa
protein lebih mengenyangkan daripada karbohidrat. Pada penelitian Weigle et al.
(2005) menggunakan subyek penelitian wanita sebanyak 12 orang diukur tingkat
kekenyangannya setiap 1 jam selama 4 jam. Sedangkan penelitian Jones et al.
(2008) menggunakan subyek penelitian wanita dan pria obesitas berjumlah 60
orang yang diukur tingkat kekenyangannya sebelum makan dan saat jam makan
berikutnya. Melalui perbedaan ini dapat dilihat bahwa tingkat kekenyangan
protein lebih tinggi daripada karbohidrat bukan hanya pada wanita dengan BMI
normal yang diukur tingkat kekenyangannya setiap 15 menit selama 3 jam tetapi
juga pada pria obesitas yang diukur tingkat kekenyangannya pada jam makan
berikutnya.
Oleh karena itu, konsumsi tinggi protein cocok untuk metode diet bagi
kelompok obesitas. Dengan mengkonsumsi tinggi protein akan mengendalikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
nafsu makan. Jika nafsu makan dapat dikendalikan maka asupan makanan pun
dapat dikurangi. Jika disertai peningkatan aktivitas dengan olahraga teratur maka
dapat menurunkan berat badan (Guyton, 2006). Bukan hanya itu saja, konsumsi
tinggi protein juga dapat digunakan sebagai alternatif asupan energi pada
kelompok penderita diabetes militus dimana terjadi gangguan pada produksi
insulin atau reseptor insulin. Dengan konsumsi tinggi protein, tubuh tetap cukup
energi tanpa peran dari insulin (Whitney et al., 2007).
Dalam memilih sumber protein harus hati-hati karena akan membahayakan
tubuh jika dikonsumsi dalam jangka panjang. Protein yang membahayakan tubuh
jika dikonsumsi dalam jangka panjang adalah red meat karena akan meningkatkan
risiko penyakit iskemik. Protein yang baik dan berguna bagi kesehatan adalah
ikan, unggas dan kedelai. Selain mengandung semua asam amino esensial yang
dibutuhkan tubuh, ketiganya juga dapat menurunkan risiko penyakit jantung
koroner (Hu, 2005).
Pada penelitian ini variabel perancu berupa usia, BMI, aktivitas fisik, dan
jenis kelamin berhasil dikendalikan. Rata-rata usia subyek penelitian antara kedua
kelompok sama yaitu 20 tahun. Sedangkan untuk BMI setiap subyek dalam
kriteria normal dengan rata-rata BMI kelompok tinggi protein sebesar 20,48 dan
kelompok yang mengkonsumsi tinggi karbohidrat sebesar 20,08. Untuk aktivitas
fisik telah dikendalikan dengan kedua kelompok melakukan aktivitas yang sama
yaitu menonton film. Sedangkan untuk jenis kelamin dikendalikan dengan
memilih wanita sebagai subyek.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Dalam pelaksanaan penelitian ini juga mengalami berbagai kendala yaitu
menemukan subyek yang sesuai dengan kriteria restriksi dan mengatur jadwal
perlakuan terhadap masing-masing kelompok. Selain itu, terdapat faktor emosi
yang tidak dapat dikendalikan oleh peneliti walaupun telah berusaha dikendalikan
dengan melakukan penelitian pada hari libur dan tidak ada jadwal ujian sebelum
dan setelah penelitian dan subyek tidak sedang menstruasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Terdapat perbedaan tingkat kekenyangan antara konsumsi tinggi
protein dengan konsumsi tinggi karbohidrat setelah menit ke-180 (p =
0,043) dimana tingkat kekenyangan konsumsi tinggi protein (42,5 ± 13,4)
lebih tinggi daripada konsumsi tinggi karbohidrat (33,8 ± 15,6).
B. Saran
Untuk dapat mengetahui efek konsumsi protein dan karbohidrat
terhadap tingkat kekenyangan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan waktu penelitian lebih lama, dan lebih representatif dalam umur,
BMI, dan jenis kelamin.