yuliana 1113032100028 -...
TRANSCRIPT
PANDANGAN PARA PENULIS MUSLIM INDONESIA
TENTANG KONSEP KETUHANAN AGAMA HINDU
(1970-2015)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh
Yuliana
1113032100028
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
i
ABSTRAK
Pandangan Para Penulis Muslim Indonesia Tentang Konsep Ketuhanan
Agama Hindu (1970-2015)
Skripsi ini berjudul Pandangan Para Penulis Muslim Indonesia Tentang
Konsep Ketuhanan Agama Hindu (1970-2015). konsep Ketuhanan dalam agama
Hindu memang cukup berhasil dalam membuat bingung benak para penganut
keyakinan lain yang berkesempatan untuk menyelaminya. Bahkan mereka telah
cukup berhasil untuk menciptakan pertentangan di antara orang-orang non Hindu
dan termasuk orang-orang Hindu sendiri yang tidak paham betul tentang
agamanya. Penelitian tentang karya para penulis Muslim itu dilakukakan dalam
beberapa tahap. Pertama, menjelaskan konsep ketuhanan Hindu menurut para
penulis Hindu. Kedua, mengungkapkan biografi dari para penulis Muslim dan
mendeskripsikan pandangan para penulis Muslim tentang konsep ketuhanan
agama Hindu. Ketiga, menguraikan konteks dan latar belakang tulisan para
penulis Muslim.
Setelah melakukan penelitian dan melewati beberapa tahap di atas, dapat
dikemukakan bahwa para penulis Muslim di era 70an-90an sepakat mengatakan
bahwa konsep ketuhanan agama Hindu adalah politeis, meski tidak semuanya
mengatakan dengan jelas. Pandangan ini terjadi, di akibatkan karena mereka
memandang Ilmu Perbandingan Agama untuk dakwah dan rata-rata dari mereka
memiliki latar belakang sebagai Da‟i. Mereka juga tidak belajar atau
mendengarkan langsung dari pemeluk agama Hindu, dan dalam menulis tentang
agama lain sebagian besar mereka menggunakan sumber referensi dari penulis-
penulis Muslim. Dan disusul dengan para penulis Muslim di era 90an sampe
terakhir 2015, mereka memiliki pandangan tersendiri terhadap konsep ketuhanan
agama Hindu, tidak menghakimi Hindu politeis. Dalam karyanya mereka
memandang agama Hindu dengan pandangan yang objektif dan mereka memberi
penjelasan berdasarkan langsung dari pemahaman orang Hindu sendiri.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Rabb al-alamin, hanya ucapan syukur yang dapat terucap
atas segala nikmat yang telah Allah limpahkan kepada makhlukn-Nya. Tak lupa
salam serta sholawat selalu tercurah limpahkan kepada manusia yang
berpengetahuan luas serta berakhlakul karimah yakni nabi Muhammad S.A.W
yang telah berjuang menuntut umatnya dari kegelapan menuju cahaya yang terang
benderang.
Inilahlah akhir dari perkuliahan kami. meninggalkan segala mata kuliah di
semester tujuh yang kemudian dihadapkan dengan tugas akhir di semester delapan
untuk membuat sebuah karya tulis. Skripsi, merupakan gerbang akhir bagi semua
mahasiswa untuk mencapai kelulusan. Namun, untuk mencapai kelulusan ini
diperlukan persiapan, perjuangan serta doa untuk menyelesaikannya.
Oleh karena itu, puji syukur penulis panjatkan kepada Illahi Robbi yang
telah memberikan kesempatan, kemudahan, kelancaran serta limpahan kasih dan
sayang-Nya dlam mneyelesaikan tugas akhir ini, sehingga skripsi yang berjudul
“Pandangan Para Penulis Muslim Indonesia Tentang Konsep Ketuhanan
Agama Hindu (1970-2015)” ini dapat terselesaikan. Selain itu tak lupa juga
penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang
telah mendukung dan membantu baik secara langsung maupun tidak dalam
penulisan skripsi ini, pihak-pihak tersebut antara lain:
1. Kedua orang tua penulis yang telah menjadikan penulis seperti sekarang
ini, yang tak kenal lelah merawat, yang memberikan perhatian dengan
iii
penuh kasih sayang dan perhatian untuk meluruhkan segala pikiran buruk
penulis sehingga dapat selalu berfikir positif guna melanjutkan skripsi ini,
penyemangat utama untuk meraih keberhasilan, tak pernah berhenti untuk
mendoakan penulis disetiap sujudnya serta selalu ada dalam suka dan
duka.
2. Bapak Dr. Media Zainul Bahri, M.A, selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah bersedia memberikan ilmunya, meluangkan waktu dan
tenagannya, yang tidak pernah bosan membimbing penulis dalam waktu
yang cukup lama, dan memberi semangat kepada penulis untuk bisa cepat
dan tidak mengulur-ngulur waktu dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
3. Bapak Dr. Media Zainul Bahri, M.A, selaku ketua Jurusan Studi Agama-
Agama dan ibu Hj. Dra. Halimah Mahmudy, M.Ag, selaku sekretaris
Jurusan Studi Agama-Agama yang telah banyak membantu penulis dalam
hal birokrasi administrasi juga pelayanan yang baik selama proses
penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer selaku dosen penasehat akademik
yang sudah memberikan masukan untuk tema skripsi pertama kali yang
penulis angkat dan sudah bersedia menyetujui tema yang penulis angkat
tanpa memerlukan waktu yang lama, sehingga memudahkan penulis
kepada tahap-tahap berikutnya.
5. Seluruh staf dosen di Fakultas Ushuluddin, khususnya Jurusan Studi
Agama-Agama terutama, Ibu Hj. Siti Nadroh, MA, yang sudah bersedia
meluangkan waktunya untuk melihat judul penulis dan memberikan
iv
masukan mengenai judul yang penulis akan teliti. Bapak Dr. Amin Nurdin
yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji proposal skripsi
penulis dan Bapak Prof. Dr. Ridwan Lubis, MA, yang bersedia menguji
ujian kompre penulis dan memberikan ilmu serta wejangan yang tiada tara
manfaatnya.
6. Seluruh staf karyawan di Fakultas Ushuluddin, khususnya Jurusan Studi
Agama-Agama, terutama Pak Toto yang dari awal menjadi „pintu
penghubung‟ penulis dengan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .
begitu juga seluruh staf karyawan di Perpustakaan Fakultas Ushuluddin
dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
menyediakan fasilitas dalam rangka penulisan skripsi ini.
7. Keluarga tercinta, kelima kakakku Suparti, Juwanti, Sugianto, Riani dan
Rinda Wati yang selalu memberikan celotehan, nasehat, keluangan waktu,
dan dorongan semangat penulis agar cepat menyelesaikan tugas akhirku.
Terimakasih juga untuk adikku Sri Saputra yang dengan senang hati
mengantar penulis ketika bimbingan. Terimakasih juga untuk kakak-kakak
iparku I Ketut, Sumarji, Paidi, Sari, serta keponakan-keponakanku yang
selalu memberi warna, dan penyemangat penulis.
8. Terimakasih untuk Bu Yanah, salah satu dari sekian banyak orang yang
sudah berjasa dalam memwujudkan impian penulis bisa berkuliah di
Universitas impian.
9. Teman baik penulis, Andreansyah S. H untuk motovasi dan waktu luang
yang diberikan.
v
10. Sahabat penulis, Mursanah S. Ag, Novi Karyahti, Fuji Ayu Amalia, Pipit
Fitrianti, yang selalu memberikan celotehan yang bermanfaat sehingga
penulis tergerak untuk segera menyelesaikan skripsi ini. memberikan
semangat, dan selalu setia mendengarkan keluh kesah penulis. Teruntuk
sahabatku Fadillah Yusuf, terimakasih banyak teman, telah meluangkan
waktu dan tenagamu untuk penulis.
11. Teman-teman seperjuangan Studi Agama-Agama, yang selalu
memberikan keceriaan dan kebahagiaan selama menimba ilmu di Jurusan
Studi Agama-Agama angkatan 2013.
12. Teman-teman KKN “RAIL” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
banyak memberikan pelajaran berharga tentang makna hidup dan
menjadikan hidup lebih berwarna.
Akhirnya al insanu mahalul khoto’ wa nisyan, manusia itu tempat salah
dan lupa. Meskipun begitu, semua tulisan yang terdapat dalam skripsi ini
merupakan murni hasil karya ilmiah penulis, dan dapat dipertanggung jawabkan.
Dengan kerendahan hati dan pikiran yang terbuka penulis mohon kepada pembaca
untuk dapat menyampaikan kritik dan saran guna perbaikan selanjutnya. Teruntuk
berbagai pihak yang berperan dalam penulisan skripsi, penulis mengucapkan
terimakasih.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
ANSTRAK ……………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..
ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ………………………….. 6
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………...
7
D. Manfaat Penelitian …………………………………………….. 7
E. Kajian Pustaka ……………………………………………....... 8
F. Kerangka Teoritik …………………………………………….. 8
G. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan ………………… 15
H. Sistematika Penulisan ………………………………………… 18
BAB II KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU
A. Periodesasi Sejarah Agama Hindu …………………………… 21
B. Doktrin Ketuhanan Agama Hindu ……………………………. 24
C. Doktrin Trimurti Hindu Bali ………………………………….. 41
vii
D. Latar Belakang Agama Hindu Memiliki Banyak Dewa-Dewa .. 43
BAB III PANDANGAN PARA PENULIS MUSLIM TENTANG
KONSEP KETUHANAN AGAMA HINDU
A. Monoteisme Menurut Veda ………………………………… 45
B. Pandangan Penulis Muslim Periode 1970-1980 ……………… 54
C. Pandangan Penulis Muslim Periode 1990-2015 ……………… 79
BAB IV MEMAHAMI KONTEKS PARA PENULIS MUSLIM
INDONESIA TENTANG KONSEP KETUHANAN AGAMA
HINDU
A. Menghukumi Politeisme ..……………………………………… 91
B. Memandang Objektif ………………………………………....
100
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………....
106
B. Saran-Saran …………………………………………………...
107
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………....
108
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara tentang konsep ketuhanan, agama Hindu sejak lama sudah
menjadi bulan-bulanan agama lainnya. Agama Hindu selama ini sering dituduh
miring sebagai agama politeisme, hal ini sendiri dikarenakan banyaknya nama
Dewa dalam agama Hindu. Bagi orang awam yang tidak tahu betul tentang agama
Hindu, maka banyaknya nama Dewa tersebut diartikan bahwa agama Hindu
menyembah banyak Tuhan. Bahkan banyak ungkapan juga kalau agama Hindu
menyembah patung.
Ketika saya duduk di bangku Sekolah Dasar, ada beberapa hal yang
menganggu saya tentang agama Hindu. Guru Ilmu Pengetahuan Sosial kelas lima
mengatakan, agama Hindu merupakan agama seribu Tuhan atau Dewa, agama
Hindu juga dikatakan ciptaan manusia. Akan tetapi yang sering disampaikan
ketika di bangku Sekolah Dasar yaitu agama Hindu menyembah patung-patung
dan inilah yang membuat saya berfikir bahwa agama Hindu adalah agama yang
menyembah banyak Tuhan. Pandangan atau kesalahpahaman ini sendiri muncul
akibat kurangnya informasi yang didapatkan tentang agama Hindu. Ditambah juga
penjelasan dari guru dan juga orang tua yang tidak tepat tentang agama Hindu
menjadi salah satu cikal bakal pemikiran yang salah tentang pandangan ketuhanan
agama Hindu.
2
Pandangan tentang ketuhanan agama Hindu yang politeis tidak jarang
akibat penyampaian informasi yang kurang tepat yang didapat dari bangku
sekolah. Dari sini maka menimbulkan rentetan kesalahpahaman yang jika
dibiarkan maka mereka yang tidak mencari tahu atau tidak lagi mempelajari
agama Hindu, mereka akan selalu berpendapat bahwa agama Hindu politeis.
Setelah penulis menempuh pendidikan di jurusan Studi Agama-Agama di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta barulah penulis mempelajari
dan mendalami bahwa konsep ketuhana Hindu tidak seperti yang dikatakan orang-
orang. Kalau kita lihat tentang pemahaman ketuhanan dalam perspektif Hindu
dinamai Brahman Vidya Kata Brahman berarti Tuhan, sedangkan Vidya berarti
pengetahuan tentang ketuhanan dalam agama Hindu. Dalam istilah yang lazim
dikenal dalam ilmu ketuhanan dinamai teologi (teology). Menurut Pudja, bahwa
teologi atau Brahman Vidya adalah ilmu tentang Tuhan. Dalam istilah lainnya
juga sering dipakai untuk memahami ilmu tentang ketuhanan dinamai Kajnanan.
Para penekun spiritual Hindu yang memahami Kajnanan adalah mereka yang taat
dan bkahti ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai kemahakuasaaan
Tuhan.1
Agama Hindu sering dianggap sebagai agama politeis karena memuja
banyak Dewa, namun sebenarnya tidaklah sepenuhnya demikian. Karena dalam
agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu
Maha Esa tiada duanya, dan hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari
1I Ketut Subagiasta, Ketuhanan (Brahma Vidya) Dalam Persepektif Hindu,
www.portalgaruda.org/article.php/. Diakses pada 14 Maret 2018, pukul 11.12 WIB. h.1.
3
segala yang ada, yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam
bentuk.2 Dalam pemahaman agama Hindu, Tuhan menjelma dalam banyak wujud.
Konsep satu Tuhan dalam banyak perwujudan ini berfungsi untuk memudahkan
manusia dalam memahami Tuhan Yang Maha Esa. Trinitas Hindu atau Trimurti,
wujud Dewa-dewi, titisan Dewa-dewi dalam bentuk planet dan binatang
merupakan perpanjangan bentuk (manifestasi) dari Tuhan.3
Jika kita merujuk pada banyaknya Dewa-dewa dalam agama Hindu, tidak
heran kalau banyak peneliti muslim berpendapat bahwa agama Hindu mempunyai
sistem ketuhanan politeis. Terjadinya penafsiran mengenai sistem ketuhanan
dalam agama Hindu yang dianggap politeis sendiri dikarenkan setiap agama
memiliki cara untuk menarik para pengikut agama tersebut, yang mana disini
setiap agama memiliki teknik dan juga cara masing-masing, dari hal inilah yang
menimbulkan penafsiran yang salah terhadap agama lain. Salah satunya agama
yang ditafsiran oleh orang yang bukan penganutnya yaitu agama Hindu, yang
merupakan agama tertua di dunia.4 Rupanya pandangan tentang agama Hindu
yang politeis tidak hanya terjadi pada orang-orang awam saja. Pandangan tersebut
juga terjadi pada mereka yang berada di tingkat akademik. Seperti halnya para
penulis Muslim dan juga para sarjana yang memiliki pandangan tentang agama
Hindu, mereka mengatakan bahwa agama Hindu adalah agama politeis. Dari hal
2Gede Pudja, Theologi Hindu (Brahma Widya), (Jakarta: Mayasari, 1977), h. 21.
3Bagus Takwin, Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Ke Pemikiran-Pemikiran Timur
(Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 52.
4GDE Sara Sastra, Konsepsi Monotheisme Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita,
2005), h. 2.
4
tersebut kembali menambah informasi yang kurang tepat tentang konsep
ketuhanan agama Hindu.
Asep Abdurahman dalam skripsi berjudul “Pandangan Umat Hindu
Modern Terhadap Dewa Ganesa” (2016). Melakukan studi tentang konsep
ketuhanan dalam agama Hindu, sebagai mahasiswa perbandingan agama ternyata
ia juga berkesimpulan kalau agama Hindu juga bersifat politeistik. Pandangan
tersebut ia lontarkan karena ia menyimpulkan dari beberapa pengertian Tuhan
dalam agama Hindu, yang dikatakan bahwa Hinduisme diartikan sebagai agama
yang menyembah banyak Tuhan atau politeistik. Menurutnya hal tersebut
disebabkan, karena dalam agama Hindu memiliki pemberian nama terhadap
masing-masing kekuatan atau fungsi atau manifestasi Tuhan. Misalnya ada
Brahma sebagai manifestasi Tuhan pencipta, Wisnu sebagai manifestasi Tuhan
pemelihara, dan Siwa sebagai manifestasi Tuhan pengambil atau pelebur. Maka
dari hal tersebut seolah-olah tampak bahwa agama Hindu mengenal banyak
Tuhan.5
Jauh sebelum Asep Abdurahman, para penulis Muslim memiliki
pandangan serupa. Para penulis Muslim yang menulis buku tentang agama-agama
yang di tujukan untuk kalangan Sekolah Tinggi Islam. Hasbullah Bakry misalnya
(1986) dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perbandingan Agama mengatakan
bahwa tidak ada suatu agama lain yang mempercayai begitu banyak Dewa seperti
agama Hindu. Menurut Bakry dalam agama ini juga diakui ada Dewa tertinggi
5Asep Abdurahman. S, “Pandangan Umat Hindu Modern Terhadap Dewa Ganesa,”
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2016), h. 25.
5
seperti Brahma dalam Trimuti, maka tidak tepat jika disebut agama monoteis,
tetapi lebih tepat disebut sebagai agama politeis.6
Senada dengan Bakry, Agus Hakim (1973) juga mengatakan bahwa Tuhan
dalam agama Hindu disebut Brahma (mungkin yang dimaksud Brahman). Tetapi
seiring perkembangan zaman penganut agama Hindu beralih menjadi percaya
kepada Tuhan banyak yaitu Trimurti.7 Dengan demikian konsep ketuhanan Hindu
kemudian berubah menjadi politeis. Selain Bakry dan Hakim, Moh Rifai (1970)
dalam bukunya yang berjudul Perbandingan Agama, menjelaskan bahwa dalam
kitab Brahma diterangkan bahwa ibdah itu ditujukan hanya kepada Brahma
(mungkin yang dimaksud Brahman), yaitu Zat yang maha tinggi lagi azali. jika
dipandang sepintas, paham ini sama dengan monoteisme, tetapi sebetulnya sangat
berbeda sekali, karena mereka mempercayai bahwa segala yang terjadi dari
Dewa.8 Para penulis Barat juga berpendapat mengenai ketuhanan agama Hindu,
baik sebagai Indolog maupun sebagai informasi biasa, memberikan informasi
yang kurang tepat tentang agama Hindu. Umumnya mereka tetap menulis bahwa
agama Hindu adalah agama Politeisme satu pengertian yang diberikan karena
agama Hindu percaya pada banyak Dewa.9
Selain dari tulisan para penulis Muslim yang berkomentar tentang
ketuhanan Hindu. Hal lain yang mendorong peneliti mengambil judul ini karena
melihat respon dari penulis Hindu tentang pandangan-pandangan yang
6Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama (Jakarta: Widjaya Jakarta, 1986), h. 45.
7
Agus Hakim Perbandingan Agama “Pandangan Mengenai Kepercayaan Majusi,
Shabah, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Sikh (Bandung: Diponegoro, 1973), h. 131.
8MOH Rifai, Perbandingan Agama (Semarang: Wicaksana, 1970), h. 88.
9Gede Pudja, Theologi Hindu, h. 5.
6
mengatakan Hindu politeisme. Seperti Gede Pudja (1977), dalam bukunya yang
berjudul Theologi Hindu (Brahma Widya). Dalam bukunya Pudja membahas
tentang Tuhan dan Ketuhanan, buku tersebut untuk menjawab tulisan-tulisan yang
terutama ditulis oleh para penulis Barat yang memberikan informasi salah tentang
agama Hindu, yang umumnya dalam tulisannya mereka tetap menulis bahwa
agama Hindu adalah agama Politeisme.10
Dari permasalahan di atas maka yang menjadi objek kajian penulis yaitu
meliputi buku-buku yang ditulis oleh Penulis Muslim. Dalam permasalahan ini
maka penulis mengambil tema tentang ”Pandangan Para Penulis Muslim
Indonesia Tentang Konsep Ketuhanan Agama Hindu (1970-2015)”. Tulisan ini
diharapkan dapat memberikan penjelasan yang akurat mengenai konsep
ketuhanan dalam agama Hindu.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Sebagai lanjutan dari pembahasan atas apa yang penulis sampaikan pada
latar belakang masalah di atas, maka penulis akan membatasi penulisan skripsi ini
pada masalah ketuhanan dalam agama Hindu, karya-karya penulis muslim dan
juga apa sebenarnya konsep ketuhanan dalam agama Hindu.
Maka, untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas
atau dikaji dalam penulisan skripsi ini, penulis dirasa perlu membahasnya melalui
hal yang menjadi obyek kajian permasalahan dalam penelitian ini dan mengangkat
sebuah pokok permasalahan ke dalam pertanyaan:
10Gede Pudja, Theologi Hindu (Brahma Widya (Jakarta: Mayasari, 1977), h. 5.
7
a. Bagaimana pandangan para penulis Muslim Indonesia tentang konsep
ketuhanan dalam agama Hindu (1970-2015?.
b. Apa konteks dan latar belakang tulisan para Penulis Muslim Indonesia
tentang konsep ketuhanan agama Hindu (1970-2015)?.
C. Tujuan Penelitian
Untuk lebih mudah menggambarkan secara jelas dan kongkrit dalam
pelaksanaan penelitian ini, maka dapat diketahui tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Memberikan penjelasan tentang konsep ketuhanan dalam agama Hindu
yang sebenarnya.
b. Menekankan bahwa Dewa-dewa dalam agama Hindu bukanlah banyak
Tuhan, melainkan hanya nama-nama lain dari Tuhan Yang Esa.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis penelitian ini dapat menambah pengetahuan terhadap
konsep ketuhanan agama Hindu.
b. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk peneliti-peneliti sebelumnya
sebagai bahan pertimbangan mengenai konsep ketuhanan agama
Hindu yang monoteistik.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang
pandangan lebih dalam mengenai konsep ketuhanan monoteisme.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk agama-
agama lain.
8
c. Penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat
khususnya bagi kebanyakan orang yang berpandangan salah tentang
Dewa yang hanya nama lain dari Tuhan yang esa.
E. Kajian Pustaka
Sejauh penulis melakukan penelusuran, belum menemukan seseorang
yang meneliti tentang pandangan para penulis Muslim tentang konsep ketuhanan
dalam agama Hindu. Namun demikian penulis menemukan tulisan yang
menyerupai tema tentang “Konsep ketuhanan Hindu”.
Jurnal Usuluddin yang dituliskan oleh Razaleigh bin Muhamat
“Kepercayaan Monotheisme di dalam Agama Hindu”, pada tulisan ini
diungkapkan bahwa unsur monoteisme merupakan wujud di dalam agama Hindu,
karena monoteisme adalah ukuran umum bagi sesuatu agama anutan. Akan tetapi
walaupun Hindu dilihat sebagai agama yang mempunyai unsur monoteisme yang
kuat pada peringkat awal kemunculannya, tetapi setelah ia berevolusi terlalu lama,
unsur monoteisme itu semakin lama semakin kabur. Kekaburan ini ditambah juga
dengan cara peyembahan penganut agama tersebut yang jelas menunjukkan
wujudnya unsur-unsur politeisme.
F. Kerangka Teoritik
a. Teori Gambaran Tuhan
Manusia pada dasarnya memerlukan suatu bentuk kepercayaan kepada
kekuatan gaib, kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup
budayanya. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam trdisi-tradisi yang
diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang
9
mendukungnya. Dalam sejarah kepercayaan umat manusia yang sudah ribuan
tahun, hanya tecatat beberapa perkembangan sistem kepercayaan kepada yang
gaib, yaitu:
1. Dinamisme
Kata dinamisme berasal dari kata Yunani “dynamis atau dynaomos”
yang artinya kekuatan atau tenaga. Jadi dinamisme adalah kepercayaan
(anggapan) adanya kekuatan yang terdapat pada berbagai barang, baik
yang hidup (manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan), atau yang mati.11
Dinamisme yang menjadi bahasan disini berkaitan dengan kepercayaan
primitif. Harun Nasution menyatakan bahwa bagi manusia primitif, tingkat
kebudayaan masih relatif sangat rendah, setiap benda yang berada
disekitarnya bisa mempunyai kekuatan batin yang misterius.12
Masyarakat primitif hidup dalam kesederhanaan dalam berbagai
aspek, baik aspek materi maupun aspek kepercayaan. Pada dasarnya,
hidup mereka tergantung pada alam yang ada di sekitar mereka sebab alam
satu-satunya sumber kehidupan. Karena itu, bagi mereka alam merupakan
faktor yang dominan. Namun kadang-kadang alam tidak bersahabat,
seperti air yang mereka anggap sangat bermanfaat, tiba-tiba menimbulakn
bencana dan hal inilah yang menimbulkan suatu kepercayaan dalam diri
mereka bahwa alam meiliki kekuatan yang melibihi kekuatan mausia.13
11Abu Ahmadi, Perbandingan Agama (Jakarta: Rieke Cipta, 1991), h. 35.
12
A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988),
h. 43.
13
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 58.
10
2. Animisme
Animisme berasal dari bahasa latin anima yang berarti jiwa atau
roh. Bagi masyarakat primitif, semua alam dipenuhi oleh roh-roh yang
tidak terhingga banyaknya, tidak saja manusia atau binatang tetapi benda-
benda yang tidak hidup juga memiliki roh, seperti tulag atau batu. Jadi,
animisme adalah paham sebuah benda, baik bernyawa maupun tidak
bernyawa mempunyai roh atau Jiwa. Namun, pengertian roh dalam
masyarakat primitif tidak sama dengan pengertian roh dalam paham
modern. Mereka belum bisa membayangkan roh yang bersifat immateri.
Karena itu, menurut mereka roh terdiri atas materi yang halus sekali.14
Dalam kepercayaan animisme, roh itu mengembara kesegala penjuru
tanpa tujuan. Namun, kepercayaan masyarakat animisme tidak
tersistematisasi dan absolut. Roh-roh yang ada di dalam berubah-ubah,
sesuai dengan kebutuhan mereka. Karena itu mereka tidak seperti teolog,
yang hanya memfokuskan pada Wujud yang Mutlak. Masyarakat sangat
relatif dalam tindak tanduk dan cara berpikir. Sebab, suatu saat bisa jadi
benda tertentu ditakuti dan disembah.15
3. Politeisme
Politeisme adalah kepercayaan bahwa ada banyak Tuhan. Kata itu
terdiri dari kata poly berarti banyak dan theos berarti Tuhan atau Dewa.
Tuhan yang banyak itu digambarkan sebagai beragam Dewa-dewa, Roh-
14Aslam Hady, Pengantar Filsafat Agama (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 30.
15
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, h.64.
11
roh dan makhluk gaib lainnya, yang masing-masing dibedakan struktur
ritual dan penghayatannya.16
Tujuan beragama dalam politeisme bukan
hanya menyembah Dewa-dewa itu, tetapi juga menyembah dan berdoa
kepada mereka untuk manjauhkan amarahnya dari masyarakat yang
bersangkutan.
4. Henoteisme
Henoteisme adalah kepercayaan yang tidak menyangkal adanya
Tuhan banyak, tetapi hanya mengakui Tuhan tunggal sebagai Tuhan yang
disembah.17
Henoteisme juga dipahami sebuah tahap keagamaan yang
berada di antara politeisme ke monoteisme. Tahap keagamaan yang
dimaksud adalah tahap perubahan keyakinan dari keyakinan bahwa ada
banyak Dewa yang berkuasa (politeis) sampai keyakinan bahwa hanya ada
satu Dewa berkuasa (monoteis). Henoteisme mempunyai sinonim yaitu
monolatrisme.
5. Monoteisme
Monoteisme berasal dari bahasa Yunani yaitu, Mono artinya satu
dan Theo artinya Tuhan.18
Monoteistik adalah kepercayaan yang
berdasarkan pada satu Tuhan.19
Istilah monoteisme sering dipakai dalam
pertentangannya dengan politeisme (penyembahan banyak Ilah atau
Dewa). Dimana hal itu dengan eksklusif ditolak oleh monoteisme. The
16Indarwati, Dualisme Keberagamaan Dalam Agama Jawa (Semarang, 2015), h. 29.
17
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, h. 72.
18
GDE Sara Sastra, Konsepsi Monotheisme dalam Agama Hindu, h. 43.
19
Mujahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994), h. 19.
12
Oxford Dictionary of Gereja Kristen memberikan definisi yang lebih
terbatas yakni sebagai sebuah kepercayaan pada satu (Tuhan) pribadi dan
transenden, sebagai lawan dari politeisme.20
dan panteisme.21
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, monoteisme diartikan sebagai ajaran yang
hanya mempercayai adanya satu Tuhan saja seperti agama Islam yang
kalimat syahadatnya berbunyi : “Tak ada Tuhan selain Allah”.22
Monoteisme dalam Ensiklopedia Gereja mengandung arti, iman
kepercayaan pengakuan dan kehormatan akan hanya satu Tuhan yang
maha tinggi. Tuhan diyakini mutlak ada, kekal, maha kuasa, maha tahu.23
Monoteisme adalah kepercayaan yang berdasarkan pada satu Tuhan.24
Monoteisme mengandung anggapan-anggapan bahwa yang mengatur
segala sesuatu berasal dari kekuatan mutlak yaitu Tuhan yang Maha Esa,
bukan lagi Dewa-dewa, benda-benda keramat, atau roh-roh sebagaimana
yang terdapat dalam animisme, dinamisme, ataupun politeisme.
Monoteisme itu jika Tuhan-tuhan asing yang disangka musuh atau saingan
tidak diakui lagi, yang ada di seluruh alam hanya ada satu Tuhan yaitu satu
Allah untuk seluruh manusia, satu Tuhan yang menjadikan manusia
20Politeisme bisa dipahami dari fenomena kepercayaan oleh manusia kepada berbagai
dewa (Tuhan, pen) personal, yang masing-masing memegang kekuasaan atas bidang kehidupan
yang berlainan, dapat diterangkan dalam berbagai sudut pandang. Lihat, Mariasusai Dhavamony,
Phenomenology of Religion, terj. A. Sudiarja, dkk (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 140.
21
Panteisme adalah paham yang meyakini bahwa segala sesuatu di alam ini adalah Tuhan
dan Tuhan adalah seluruh alam ini. lihat, Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama; Wisata pemikiran dan
keprcayaan Manusia, h. 94.
22
J.S, Badudu dan Sultan Mohammad Zain, Kamus Umum B. Indonesi (Jakarata : Pustaka
Sinar Harapan. 1996), h.908.
23
A. Heuken. SJ, Ensiklopedi Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1993), vol.
III, h. 187-188.
24
Mujahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, h. 13.
13
kosmos ini, dan tidak ada Tuhan selain dia, maka faham inilah yang
dinamakan monoteisme.25
b. Hubungan Tuhan, Alam dan Manusia
1. Deisme
Deisme yaitu suatu paham atau aliran yang meyakini bahwa Tuhan
jauh berada diluar alam. Tuhan menciptakan alam dan memperhatikan
alam tersebut. Alam telah dilengkapi dengan peraturan-peraturan berupa
hukum-hukum alam yang tetap dan tidak berubah, sehingga secara
mekanis akan berjalan dengan sendirinya. Tuhan ibarat pembuat jam (the
clookmaker) yang tidak bercampur tangan lagi dalam proses bergeraknya
setelah jam itu selesai dibuat. Seorang Deis tidak memandang suatu buku
sebagai wahyu Tuhan dan tidak ikut serta dalam sembahyang kelompok
atau individual karena ia tidak mau menyembah kepada Tuhan yang
hadir.26
Karena alam berjalan sesuai dengan mekanisme tertentu yang tidak
berubah-ubah, maka dalam deisme tidak terdapat konsep mukjizat,
kejadian yang bertentangan dengan hukum alam. Begitu juga wahyu dan
doa dalam deisme tidak diperlukan lagi. Tuhan telah memberikan akal
kepada manusia, sehingga dia mampu mengetahui apa yang baik dan apa
yang buruk. Jadi menurut deisme manudia dan akalnya mampu mengurus
kehidupan dunia.27
25 Aslam Hady, Pegantar Filsafat Agama (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h.33.
26
Harun Nasution, Falsafah Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 40-41.
27
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia
(Jakarta: Rajawali Pres, 2009), h. 89.
14
2. Pantheisme
Panteisme28
adalah suatu kepercayaan bahwa Tuhan berada dalam
segala sesuatu dan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan. Tuhan
disepadankan dengan segala sesuatu, karena kehadiran-Nya yang langsung
dan aktif di dunia ini mengenakan bentuk yang riil. Paham panteisme yang
bersifat persinal menyatakan bahwa karena Tuhan sendiri yang benar-
benar ada, maka apa yang ada itu adalah Tuhan atau setidak-tidaknya
suatu perwujudan dari Tuhan. Terdapat pandangan lain yang menganggap
Tuhan tidak personal, yakni sebagai jiwa universal atau realitas total.
Dalam pandangan ini semua wujud adalah pada Tuhan. Panteisme baik
yang bersifat personal maupun nonpersonal menganggap eksistensi total
sebagai realitas suci yang mengangdung segala-galanya.29
3. Theisme
Teisme adalah aliran atau paham yang mengakui Tuhan sebagai
ada yang personal dan transenden, dan berpartisipasi secara imanen dalam
penciptaan dunia dari ketiadaan melalui aktus penciptaan-Nya yang
bebas. Antara Tuhan dan manusia dapat terjalin hubungan I-Thou.30
Harun Nasution dalam bukunya “falsafah agam” menjelaskan
bahwa teisme sepaham dengan deisme, berpendapat bahwa Tuhan adalah
transenden, menyatakan bahwa, sungguhpun berada diluar alam, juga
dekat pada alam. Berbeda dengan deisme, teisme menyatakan bahwa alam
28Panteisme terdiri atas tiga kata, yaitu pan, berarti seluruh, teo, berarti Tuhan, dan isme,
berarti paham. Jadi pantheisme atau panteisme adalah paham bahwa seluruhnya adalah Tuhan.
29
Amsal Bakhtiar, h. 94.
30
O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987), h. 446. Lihat
juga dalam Titus Dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan bintang, 1984), 442.
15
setelah diciptakan Tuhan, bukan tidak lagi derajat pada Tuhan, malahan
tetap terdapat-Nya. Tuhan adalah sebab bagi yang ada di alam ini. segala-
galanya bersandar kepada sebab ini. Tuhan adalah dasar dari segala yang
ada dan yang terjadi dalam alam ini. Alam ini tidak bisa terwujud dan
berdiri tanpa Tuhan. Tuhanlah yang terus menerus secara langsung
mengatur alam ini.31
G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Pada penelitian kali ini penulis mencoba menggunakan pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan sebuah penelitian yang menekankan
analisis proses dari proses berfikir secara induktif yang berkaitkan dengan
dinamika hubungan antar fenomena yang diamati, dan senantiasa menggunakan
logika ilmiah. Penelitian kualitatif tidak berarti tanpa menggunkan dukungan dari
data kuantitatif, tapi lebih di tekankan pada kedalaman berfikir formal dari
peneliti dalam menjawab permasalahan yang di hadapi.32
Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada
filsafat popstpositivisne digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai
instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive
dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan gabungan, analisis data bersifat
31Harun Nasution, Falsafah Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 42.
32Imam Gunawan, Metode Pnelitian Kualitatif Teori dan Praktik (jakarta : Bumi Aksara,
2013), h. 80.
16
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari
pada generalisasi.33
1. Jenis Penelitian
Untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini, maka
penulis menggunakan jenis penelitian metode kualitatif. Metode ini bersifat
deskriptif analistis. Deskriptif yang dimaksud oleh penulis yaitu metode penulisan
yang (berusaha) menggambarkan atau menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan
judul skripsi ini menurut apa adanya secara jelas dan detail tanpa mengurangi
ataupun menambahkannya.
Kemudian dilanjutkan metode analitis kritis yang artinya memberikan
uraian-uraian kritis dan sistematis terhadap pokok-pokok pembahasan dan
permasalahan tanpa adanya upaya untuk memberikan penilaian tertentu terhadap
pembahasan skripsi ini. Hal ini dimaksudkan demi menghasilkan alur yang jelas
dan sistematis.
2. Teknik Pengumpulan Data
Sedangkan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini peneliti
menggunakan studi kepustakaan (Library research) yaitu penelitian kepustakaan
atau penelitian kepustakaan murni.34
Studi kepustakaan adalah suatu teknik yang
digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara membedah buku-buku yang
berkaitan dengan tema yang penulis buat sebagai dasar untuk memperoleh data,
baik data primer maupun data sekunder, data ini bersumber dari buku, majalah,
artikel, jurnal, koran dan lain-lain.
33
Sugiyono Metodologi penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan
R&D (Bandung : alfabeta, 2010), h.15
34
Sutrisno Hadi, Metodology Reseacrh (Yogyakarta: Andi Ofset, 1989), h.9.
17
3. Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
hermeneutic. Kata hermeneutik berasal dari istilah Yunani dari kata kerja
hermeneuein (menafsirkan) atau kata benda hermeneia (interpretasi).35
Pendekatan Hermeneutik merupakan unsur penting dalam memahami atau
memberikan makna dari sebuah teks. Ada juga yang mengatakan, hermeneutika
adalah disiplin yang berkepentingan dengan upaya memahami makna atau arti dan
maksud dalam sebuah konsep pemikiran. Dalam hal tersebut, masalah apa makna
sesungguhnya yang dikehendaki oleh teks belum bisa kita pahami secara jelas
atau masih ada makna yang tersembunyi sehingga diperlukan penafsiran untuk
menjadikan makna itu transparan, terang, jelas, dan gambling.
4. Sumber Data
Sumber data ialah asal data tersebut didapatkan, dalam hal ini peneliti
memiliki dua sumber data yaitu sumber primer dan sumber skunder, sumber data
primer dan sekunder yaitu sebagai berikut:
a. Sumber Primer adalah data yang bersangkutan langsung dengan tema
penelitian, yang sumbernya antara lain:
1. Abu Ahmadi. Sejarah Agama, Solo: CV. Ramadhani, 1986.
2. Abdullah Ali. Agama Dalam Ilmu Perbandingan. Bandung: Nuansa
Aulia, 2007.
3. Agus Hakim. Perbandingan Agama, Bandung: IKAPI, 1973.
35Richard E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer diterjemahkan oleh Masnuri Hey dan Damanhuri dengan judul
Hermeneutik; Teori Baru Mengenai Interpretasi (Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 3.
18
4. Alef Theria W. “Agama Hindu”. dalam Mukti Ali. Agama-Agama
Dunia. 1988.
5. Hasbullah Bakry. Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: Widjaya, 1986.
6. H. M. Arifin, M.Ed. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar,
Jakarta: PT Golden Trayon Press, 1986.
7. Jousoef Sou’yb. Agama-agama Besar di Dunia, Jakarta: Pustaka Al-
Husna, 1988.
8. K. H. Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama,
Jakarta: Pustaka Al Husna, 1984.
9. Khotimah, Agama Hindu dan Ajaran-ajarannya, Riau: Daulat Riau,
2013.
10. Moh. Rifai. Perbandingan Agama, Semarang: Wicaksana, 1970.
11. M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-agama Di Dunia,
Yogyakarta: IRCiSoD, 2015.
12. Mudjahid Abdul Manaf. Sejarah Agama-agama, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996.
b. Sumber Sekunder adalah data yang relevan tapi tidak berhubungan
langsung yang didapat melalui literatur kepustakaan (Library Research),
seperti buku, jurnal, arsip, ensiklopedia, majalah, dan sumber kepustakaan
lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahsan penelitian ini penulis menyusun skripsi
ini secara sistematis ke dalam lima bab sebagai berikut:
19
BAB I PENDAHULUAN
Berisi pembahasan tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan Masalah, tujuan Penelitian, manfaat
penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan teknik
penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU
Pada bab ini membahas tentang konsepsi ketuhanan dalam agama Hindu
yang meliputi: periodesasi sejarah agama Hindu, naskah suci Hindu, Doktrin
tentang Brahman, pemahaman tentang keesaan Tuhan, Trimurti, konsep Dewa-
dewa, latar belakang historis dan sosiologis orang India menyembah Dewa-dewa
dibanding Brahman.
BAB III PANDANGAN PARA PENULIS MUSLIM TENTANG KONSEP
KETUHANAN AGAMA HINDU
Pada bab ini terdapat tiga sub bab: pertama, monoteisme menurut Veda.
kedua, Karya penulis Muslim periode 1970-1980. ketiga, dan Karya para penulis
Muslim periode 1990-2015.
BAB IV MEMAHAMI KONTEKS PARA PENULIS MUSLIM
Pada bab ini terdapat tiga sub bab: pertama, memahami tentang pandangan
para Muslim yang menghukumi politeis terhadap ketuhanan Hindu. Kedua,
memahami konteks tulisan para Penulis yang memandang ketuhanan Hindu
secara Objektif.
20
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan-kesimpulan yang di dapat dari penelitian-
penelitian dan berisi saran-saran yang sesuai dengan permasalahan yang di teliti.
21
BAB II
KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU
A. Periodisasi Sejarah Agama Hindu
1. Zaman-Zaman Weda
Kehidupan keagamaan umat Hindu didasarkan pada naskah suci yang
disebut Weda Samhita, yang mereka yakini sebagai ciptaan Brahma. Hanya para
resi saja yang mampu menerima isi Weda tersebut. Isi weda pada mulanya
berbentuk mantra-mantra, kemudia disusun dalam bentuk puji-pujian. Kitab suci
Weda terdiri dari Empat Samhita yaitu: Rigweda, Samaweda, Yajurweda, dan
Atharwaweda. Dalam kitab-kitab Weda tidak terdapat uraian mengenai doktrin-
doktrin maupun amalan-amalan ajaran Hindu yang khas. Tidak ada pemujaan
terhadap patung, tidak ada hal-hal yang berhubungan dengan ritus pemandian di
sungai-sungai yang dianggap suci, tidak ada uaraian tentang pertapaan di hutan,
dan tidak ada praktek yoga, dan tidak ada juga ajaran tentang avatara atau
penjelmaan.1
Unsur-unsur dasar dalam agama Weda yaitu: percaya dan takut kepada
daya-daya kekuasaan, ritus untuk mempengaruhi daya-daya kekuasaan, kesadaran
akan adanya tata tertib kosmos, dan kecenderungan kepada mistik. Sejak zaman
dahulu orang memberi penghargaan yang istimewa terhadap pengasingan diri
untuk bermeditasi. Pengetahuan yang didapat orang dari meditasi, dianggap
sesuatu yang lebih tinggi dari pada pengetahuan yang dicapai denga akal.
1Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1988), h. 60-62.
22
“meleburkan diri dalam daya-daya kekuasaan tersebut” diusahakan dengan
bermacam-macam cara. Maka disebutlah “orang yang tajam tiliknya para rsi, yang
dengan jalan demikian dapat mengetahui rahasia-rahasia dunia, hidup, dan
rahasia-rahasia ritus persembahan.2
Dalam agama Weda, tata tertib alam atau kosmos disebut rta, dan
dipandang sebagai pengejawantahan dari daya-daya kekuatan dan daya
kekuasaan. Setiap daya kekuatan adalah dewa sehingga harus dijaga
kelangsungannya. Untuk itu diperlukan penyelenggaraan ritus. Rta ini diyakini
diciptakan oleh dewa Waruna yang sekaligus bertindak sebagai penjaganya.
Hukumnya, tertibnya, harus dipatuhi oleh manusia. Waruna akan tahu bilamana
terdapat pelanggaran karena Waruna adalah dewa yang mengawasi seluruh dunia,
menghukum orang yang berdosa dan memberi ampun orang yang bersalah yang
dengan sungguh-sungguh memohon ampun kepadanya. Waruna adalah dewa
tertinggi dan dewa penguasa Rta.3
Dalam salam satu Samhita agama Weda, ada dewa tertua dalam Rigweda
adalah Dyaus (dewa langit) dan istrinya, Prtiwi (dewi bumi) dewa-dewa ini
kemudian terdesak oleh dewa-dewa yang lain. Seperti yang diketahui, dewa yang
terpenting adalah Indra. Setelah Indra, dewa yang terpenting adalah Agni, dewa
yang setelah Agni adalah Soma, dan dewa yang penting dalam urutan selanjutnya
adalah Waruna yang sering disebut Aditya, Putera Aditi, dewi kebaikan.
Sekalipun dalam agama ini didapati banyak sekali dewa, namun ia tidak dapat
2A. G. Honig, Ilmu Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987 ), h. 84.
3Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia, h. 62.
23
dikatakan politeistis karena ternyata dewa tertentu yang sedang dipuja selalu
dianggap sebagai dewa tertinggi yang memiliki segala kekuatan para dewa yang
lain. Dengan demikian yang ada hanya satu dewa tertinggi saja yang itu lebih
tepat kalau dikatakan sebagai kepercayaan henoteistik.4
2. Zaman Brahma
Brahmana adalah kitab suci yang menguraikan masalah yajna (sesaji) dan
upacara-upacaranya, yang meliputi arti suatu yajna serta tenaga ghaib apa yang
tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya. Tiap-tiap yajna ditetapkan dengan
cermat sekali menurut peraturan-peraturannya. Penyimpangan sedikit saja dari
peraturan-peraturan itu dapat menyebabkan batal dan tidak sahnya suatu yajna.
Untuk yajna yang demikian pentingnya dan upacara-upacara yang begitu rumit,
diadakanlah kitab-kitab penuntun, yang disebut Kalpasutra. Kitab ini ada dua
macamnya sesuai dengan adanya dua macam yajna-yajna kecil.
3. Zaman Upanishad
Istilah Upanishad sendiri berasal dari kata upa, ni dan shad: upani dekat,
di dekatnya dan shad: duduk. Jadi Upanishad berarti duduk dekat, yaitu duduk di
dekat seorang guru untuk menerima ajaran dan pengetahuan yang lebih tinggi.
Istilah ini selanjutnya menjadi nama agama. Kitab Upanishad berbentuk dialog
antara seorang guru dan muridnya, atau antara seorang Brahmana dengan
Brahmana lainnya. Kita Upanishad adalah salah satu bagian saja kitab-kitab
Aranyaka, yang isinya menekankan pada ajaran rahasia yang bersifat mistik atau
4Mukti Ali, Agama-agama Di Dunia, hal. 62-63.
24
magis. Kegiatan keagamaan di zaman Upanishad lebih ditekankan kepada ajaran
filsafat tentang Brahman dan segala ciptaan-Nya. Pandangan yang menonjol di
dalam kitab-kitab Upanishad itu adalah ajaran yang monistis dan absolut, artinya
ajaran yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam dialikan
dari satu asas, satu realita yang tertinggi.5
Dalam zaman Upanishad pokok ajaran Brahman adalah sumber alam
semesta. Brahman adalah pencipta, yang menjadikan alam semesta ini. Brahman
yang transcendent (Nirguna Brahman) yang berada di luar alam semesta dan jauh
di atas alam semesta itu, adalah juga Brahma yang immanent (Saguna Brahman)
yang berada di alam semesta dan di dalam diri manusia yang disebut Atman. Ada
perbedaan yang sangat mendasar antara pengertian Brah,an dalam Upanishad
dengan pengertian kata tersebut dalam agama Brahmana. Mula-mula Brahman
berarti do‟a dan kemudian kekuatan gaib yang terkandung dalam do‟a.6
B. Doktrin Ketuhanan Agama Hindu
1. Naskah Suci Hindu
Dalam hal ajaran ketuhanannya, agama Hindu merupakan agama
monoteistik politeisme7
, yang pengikutnya percaya pada satu Tuhan, yaitu
Brahman (Roh yang mutlak), yang tak dapat dijangkau dan dimengerti oleh
5Ardhana Suparta, Sejarah perkembangan Agama Hindu di Indonesia (Surabaya:
Paramita, 2002), h. 14.
6Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h.
73.
7Monoteisme adalah paham yang percaya pada Tuhan yang satu dan berkuasa penuh atas
segala sesuatu, sedangkan monoteistik politeismme adalah pengakuan tentang Tuhan yang
diketahui dengan berbagai cara dan dipuja dalam berbagai bentuk. Lihat Bansi Pandit, Pemikiran
Hindu (Surabaya: Paramita, 2003), h. 14.
25
manusia, namun terdapat berjuta-juta gambar yang membuat Brahman bisa dilihat
dan dikenal oleh para pemujanya, yang mana disebut dengan Dewa-dewi.
Kitab suci Weda, mengenai Tuhan Yang Maha Esa umumnya
digambarkan sebagai Tuhan yang berpribadi walau tidak jelas dalam kitab Purana.
Di dalam kitab suci Weda dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa disebut
dengan berbagai nama oleh para maharsi sebagai dinyatakan dalam Mantraman
“Rgveda V.64.46” Indram mitram varunam agnim ahur, Atho divyah sa suparno
garutman, Ekam sadvipra bahudha vadanti, Agnim yamam matorisvanam ahuh.
(Mereka menyebutnya dengan indra, mitra, varuna, dan agni, ia bersayap
keemasan garuda. Ia adalah esa, para maharsi memberi banyak nama, mereka
mneyebutnya indra yama matarisvan). Di sini Tuhan Yang Maha Agung
digambarkan Suparna artinya yang bersayap indah, simbol mistik dalam Weda
untuk Tuhan Yang Maha Kuasa.8
Umat Hindu percaya bahwa yang kuasa atas segala yang ada dan tidak ada
yang luput dari kuasa-Nya adalah Tuhan Yang Maha Esa, karena tuhan tidak
terjangkau oleh pikiran maka orang membayangkannya bermacam-macam
menurut kemampuannya. Ia disebut Agni, Yama dan Matariswan. Ia panggil
Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara, Siwa sebagai pemralina.9
Pada periode Veda Tuhan Wisnu, Siwa dan lain-lain tidak begitu penting dan
pada periode epik Tuhan itu menjadi penting dan menjadi objek yang disembah,
8I Made Titib, Bhagavan Veda Sang Hyang Weda, Terjemahnya Veda Sabda Suci
(Pedoman Praktis Kehidupan), (Surabaya: Paramita, 1996), h.100.
9Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama Bag. I (Pandangang Budaya Terhadap Aliran
Kepercayaan Agama Hindu, Budha, Khonghucu, Di Indonesia), (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993), h. 164.
26
maka pada periode pertengahan ini Tuhan-tuhan itu berkembang menjadi nama
salah satu aliran dalam agama Hindu.10
Menurut pandangan Hindu, kenyataan (Brahman dalam Kitab
Upanishad11
) dapat dilihat dari dua aspek, yaitu transendental (Impersonal12
) dan
tetap ada (personal13
). Dalam aspek transendental-Nya, Kenyataan14
disebut
dengan Nirguna Brahman, yaitu Brahman tanpa atribut. Nirguna Brahman
bukanlan objek doa, tetapi objek meditasi dan pengetahuan. Tidak dapat
digambarkan, pengetahuan yang mutlak dan kebahagiaan yang mutlak dan orang
mengatakan ini sebagai keberadaan yang mutlak, pengetahuan dan kebahagiaan
yang obsolut (Sat-cit-ananda15
).16
Dalam pemahaman agama Hindu, Tuhan
menjelma dalama banyak wujud. Konsep satu Tuhan dalam banyak perwujudan
ini berfungsi untuk memudahkan manusia dalam memahami Tuhan Yang Maha
Esa. Trinitas Hindu atau Trimurti, wujud Dewa-Dewi, para Avatara atau titisan
10Umar Asasuddin Sokah, Din-I-Ilahi: Kontrofersi Keberagamaan Sultan Akbar Agung
(India 1560-1605), (Jogjakarta: Ittaqa Press, 1994), h. 29.
11
Kitab Upanishad adalah penafsiran filosofis atas kitab Veda, yang berisi tentang filsafat
Hindu, baik berisi mentera-mantera ataupun berbagai teori mengenai aspek ketuhanan. Lihat Gde
Sara Sastra, Konsepsi Monoteisme dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita, 2005).
12
Impersonal atau Transendental berarti pengenalan Tuhan tentang diri-Nya.
13
Personal atau imanen berarti pengenalan Tuhan melalui ciptaan-Nya.
14
Kenyataan maksudnya Tuhan, Dzat Yang Maha Esa.
15
Brahman memiliki 3 aspek, yaitu: Sat sebagai Maha Ada satu-satunya, tidak ada
keberadaan yang diluar beliau. Dengan kekuatannya Brahman telah menciptakan bermacam-
macam bentuk, warna, serta sifat banyak di alam semesta ini. Planet, manusia, binatang, tumbuh-
tumbuhan serta benda yang disebut benda mati berasal dari Tuhan dan kembali pada Tuhan bila
saatnya tiba. Cit sebagai Maha Tahu, Dialah sumber ilmu pengetahuan, bukan pengetahuan agama,
tetapi sebagai sumber segala pengetahuan. Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari
penderitaan dan suka duka. Lihat, www.ang-gun.blogspot.com, dengan judul artikel “Konsep
Ketuhanan Dalam Agama Hindu”, diakses pada 8 Agustus 2017.
16
Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita, 2003), h. 40-41.
27
dari Wishnu Sang Tuhan, Dewata-Dewata, titisan Dewa-Dewa dalam bentuk
planet dan binatang merupakan perpanjangan bentuk (manifestasi) dari Tuhan.17
2. Doktrin Tentang Brahman
a. Brahman
Brahman Yang Satu, tanpa yang kedua, realitas yang tidak terbagi
dalam jiwa-jiwa atau makhluk pada satu sisi atau objek yang tak terhitung
banyaknya. Hal ini disebabkan karena avidya atau ketidak-tahuan. Avidya
menyebabkan atman yang satu tampak sebagai banyak jiwa merupakan
maya yang menyebabkan fenomena dunia ini. Brahman adalah penguasa
tertinggi dalam konsep ketuhanan Hindu. Berahma bersifat kekal, tidak
berwujud, imanen tak terbatas, tak berawal dan tak berakhir juga
menguasai segala bentuk, ruang, waktu, energi serta jagat raya dan segala
isi yang ada di dalamnya.18
Menurut Ngakan Putu Putra, secara literatur Brahman berarti „itu
yang besar dan agung‟ Brahman juga berarti Veda, kidung pujaan, seorang
pandita, seorang Brahmana, tapa, Tuhan pencipta, Jiwa tertinggi atau yang
Mutlak. Dalam ajaran Advaita Vedanta, Brahman sering disebut dengan
Jiwa tertinggi atau Yang Mutlak. Brahman tidak berkatan dengan ruang
meskipun ada di mana-mana. Ia bukan sesuatu apapun, Ia tidak
mempunyai hubungan ruang dengan lainnya. Brahman tidak terikat
17Bagus Takwin, Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Ke Pemikiran-Pemikiran Timur
(Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 52.
18
Bansi Pandit, Terj. Iga Dewi Paramita, Pemikiran Hindu “Pokoko-Pokok Pikiran
Agama Hindu Dan Filsafatnya” ( Surabaya: Paramita, 2005), h.42.
28
dengan ruang, dan juga waktu. Kalau kita berbicara tentang sesuatu maka
kita menjelaskan sesuatu yang terbatas. Dalam Taittiriya Upanisad,
Brahman adalah ia kata-katanya tidak dapat diungkapkan, dan yang mana
tidak dapat di gapai oleh pikiran kita yang membingungkan. Menuurut
Maitri Upanishad, Brahman adalah tidak dapat diukur, tidak dapat
didekati, di luar konsepsi, di luar kelahiran, di luar logika dan di luar dari
pemikiran.
b. Saguna Brahman dan Nirguna Brahman
Menurut pandangan Hindu, Kenyataan (Brahman dalam
Upanishad) dapat dilihat dari dua aspek transenden (jauh), imanen (dekat).
Dalam aspek transendentalnya, kenyataan itu disebut dengan Nirguna
Brahman, yaitu Brahman tanpa atribut. Ini diterima sebagai sesuatu yang
satu dan tidak berbeda, yang tetap statis dan dinamis dan merupakan
prinsip mutlak yang menggaris bawahi jagat raya. Nirguna Brahman
bukanlah objek doa, tetapi objek meditasi dan pengetahuan. Tidak dapat
digambarkan, pengetahuan yang mutlak dan kebahagiaan yang mutlak
keberadaan yang mutlak, pengetahuan yang absolut dan kebahagiaan yang
absolut (sa-cit-ananda). Tidak terlahirkan, ada, meresap dan dasar, dan
intisari dari semua benda di jagat raya ini.19
Sedangkan dalam aspek imanen atau dekat, kenyataan Saguna
Brahman adalah Brahman dalam keabadian waktu yang keberadaanNya
19Bansi Pandit, Pemikiran Hindu, h. 40-41.
29
bersifat maya dan tidak berwujud namun aktif dengan segala ciptaanNya.
Kata Saguna sejatinya berasal dati kata Sa + Guna yaitu sakti dan guna
yang berarti dengan kemahakuasaan sakti-Nya berupa Cadhu Sakti
disebutkan dapat memberikan kekuatan pada unsur Purusa Prakerti alam
semesta, bhuwana agung ini. Sebagai pengikat Tri Guna yang
sebagaimana disebutkan Tuhan-lah yang menjadi sumber pengendali
tertinggi atas semua ciptaan-Nya. Brahman dengan Saguna-Nya inilah
dengan tahapan perubahan sapta ongkara yang dalam Lontar Wrhaspati
Tattwa disebutkan, Brahman dengan sakti, guna dan swabhawanya, Ia
aktif dengan segala ciptaanNya. Sebagai Personal God, Saguna Brahman
ini dalam keyakinan umat Hindu (Panca Sradha) menuju Tuhan
disebutkan digambarkan sebagai pribadi dan dibayangkan dalam wujud
yang Maha Agung oleh alam pikiran manusia secara empiris. Meski
Brahman tidak terjangkau oleh pemikiran manusia atau tidak berwujud,
namun jikalau Brahman menghendaki dirinya terlihat dan terwujud, hal
tersebut sangatlah mudah dilakukan.20
Jika dilihat mengenai konsep ketuhanan Hindu ternyata sama
dengan Kristen, dalam pemahaman mereka Tuhan itu transenden sekaligus
imanen, jauh sekaligus dekat. Kalau berbicara mengenai konsep ketuhanan
yang transenden dan imanen sebenarnya juga terdapat dalam agama Islam,
hal tersebut dijelaskan dalam Al Qur‟an, yang terdapat dalam beberapa
20Gede Pudja, Isa Upanisad “Teks dan Terjemahan” (Jakarta: s.n, 1990), h. 16.
30
surat. Mengenai Tuhan yang transenden ada dalam beberapa surat sebagai
berikut:
ب صار وهى انهطيف ان خبيز ل تد رك ال ب صار وهى يد ركه ال
Artinya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia
dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus, Maha
Teliti”. (Q.S. Al-An‟am: 103).
وي ي ه ٱن ع ع نغ ٱلل هد نف ظهۦ إ ا يج هد فإ ج
Artinya: “Dan barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu
untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Mahakaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari seluruh alam”. (Q.S. Al-Ankabut: 6).
رؤكى ف جا يذ و ى أس ع ٱل جا وي و أفظكى أس ض جعم نكى ي ر ت وٱل ى ههۦ فاطز ٱنظ يه ني ض ك
يع ٱن بصيز ء وهى ٱنظ ش
Artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu
pasangan pasangan dari jenis kamu sendiri dan dari jenis ternak
pasangan-pasangan juga. Dijadikan-Nya kamu berkembangbiak dengan
itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha
Mendengar, Maha Melihat”. (Q.S. Asy-Syura : 11).
Dalam Al Qur‟an juga terdapat penjelasan yang mengatakan bahwa
Tuhan itu imanen atau dekat, sebagai berikut:
31
هى يا يهج ف ع يع تىي عه ٱن عز ض ف طتة أياو ثى ٱط ر ت وٱل ى هى ٱنذي خهق ٱنظ ض ويا ٱل ر
ا ب يا كتى وٱلل زج فيها وهى يعكى أي اء ويا يع ٱنظ ها ويا يشل ي زج ي بصيز يخ هى تع
Artinya: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa
kemudian Dia bersemayam diatas „Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk
ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari
langit dan apa yang naik kesana. Dan dia bersama kamu dimana saja
kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S.
Al-Hadid: 4)
حب م ٱن ىريد أق زب إني ه ي ىص بهۦ ف ظهۥ وح هى يا تىط وع ظ ونقد خهق ا ٱل
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang dibisikan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari
urat lehernya”. (Q.S. Qaaf: 6).
Jika lihat dari beberapa ayat di atas, awalnya menjelaskan bahwa
Tuhan berada di Arsy yang mengesankan Tuhan berada jauh dari alam.
Namun di akhir ayat, dia mengatur semua urusan menegaskan bahwa
Tuhan selalu memperhatikan alam (imanen). Jadi jelas bahwa ayat di atas
menjelaskan bahwa Tuhan adalah transenden dan sekalgus imanen. Akan
tetapi dalam agama Islam, meski di jelaskan dalam Al Qur‟an tentang hal
tersebut, Umat Islam tetap sama mengenai apa yang mereka sembah dan
namanyapun tidak berbeda-beda pula yaitu Allah SWT. Sedangkan dalam
agam Hindu meskipun mereka meyakini Tuhan yang tunggal, akan tetapi
mereka tidak menyembah langsung ke Brahman melainkan menyembah
32
Dewa-dewa karena bagi mereka Brahman itu sangat sulit di jangkau oleh
akal pikiran manusia alias Brahman itu sangat tak terbatas, oleh karena itu
mereka memuja dewa-dewa sebagai perantara untuk ke Brahman.
3. Pemahaman Tentang Keesaan Tuhan dan Trimurti
a. Keesaan Tuhan
Berbicara tentang teologi Hindu (Brahma vidya), maka dalam
realita hidup beragama Hindu baik di Bali maupun oleh umat Hindu
Indonesia pada umumnya sesungguhnya telah memiliki istilah yang telah
sering dijadikan kajian oleh umat Hindu maupun para intelektual Hindu,
seperti kata dea, dewi, bhatara, bhatari, sasuhunan, ida bhatara, ida
bhatari, hyang manunggaling kawula lan gusti, basarah, atau istilah
lainnya dalam konteks ketuhanan dalam agama Hindu. Atau kalau di
Bharatiya istilah teologi Hindu untuk menamai Tuhan Yang Maha Esa
sering disebut dengan Bhagawan, Prabu, dan yang lainnya. Itu artinya
bahwa teologi Hindu baik di India maupun di Indonesia (termasuk Bali)
memiliki banyak sebutan, namun sesuai ajaran agama Hindu bahwa Tuhan
itu selalu esa/tunggal dan tidak ada Tuhan yang kedua.21
Tuhan adalah “Esa”. Maha kuasa dan maha ada dan menjadi
sumber dan segala yang ada. Tuhan adalah maha esa, maha tunggal tidak
ada duanya atau bandingannya. Tuhan maha besar dan tidak terbatas.
Seluruh alam raya ini adalah di dalam Tuhan. Sebab itu Sang Hyang
21I Ketut Subagiasta, Teologi, Filsafat, Etika dan Ritual Dalam Susantra Hindu
(Surabaya: Paramita, 2006), h. 5.
33
Widhi yang tunggal itu menjadi Tuhannya seluruh alam, Tuhannya
matahari, tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung-gunung, dan lain-lain
adalah Tuhannya semua sama manusia di Dunia. Di dalam kitab-kitab
filsafat kerohanian Hindu banyak tercantum renungan-renungan mengenai
ke-Esa-an Tuhan yang antara lain seperti “Ekam ewa adwityam Brahma”
artinya Tuhan itu hanya satu tidak ada yang kedua (eh, upanishad IV. 2.
1), “Sarva disah urdhvan varenya yoni svabhavan adhitis thaty ekah”
artinya seperti matahari menyinari semua daerah-daerah di atas, di bawah,
di sebrang, bersinar. Demikian juga Tuhan yang maha esa agung, dicintai,
memerintah atas semua makhluk yang terlahir dari kandungan.22
Konsepsi Keesaan Tuhan dalam diperjelas lagi dalam kitab Veda
pada Sloka Nasadiyasukta dsalam Rg Veda mandala 10, dimana diuraikan
proses penciptaan dunia, yang diciptakan oleh penciptaanntya yang Esa
yang disebut Pita yang artinya ayah. Bunyi selengkapnya dari
Nasadiyasukta Rg Veda 10.81.1. bunyinya: Yaima vis va bhuvanani
juhvad rsir hota nyasidat pita nah, (Sebelum diciptakannya alam semesta,
hanya ada satu-satunya Engkau (Tuhan), sebagai pencipta. Engkau yang
mencipta dunia ini disebut Pita “Ayah”).23
Disamping beberapa Sloka Veda yang telah disebutkan terlebih
dulu yang pada hakekatnya jelas menyebutkan Tuhan adalah Esa adanya.
Keesaan Tuhan juga dapat dibuktikan dalam Sloka Rg Veda di bawah ini:
22S. Radakrishnan, The Principal Upanisads (Upanisad-upanisad Utama), Terj. Dirjen
Bimas Hindu dan Budha (Jakarta: Yayasan Parijata, 1989),h. 282.
23
GDE Sara, Monotheisme, h. 49.
34
Rg Veda Mandala I. 100.7. bunyinya: Sa visvaya esa ekah, (Ia
adalah Esa kepada siapa kita memuja). Rg Veda Mandala III. 54.8.
Ejad dhruvam patyate visvam ekam carat patatri visunam vi jatam,
(Ia adalah Esa dari semua yang bergerak dan yang tidak bergerak,
yang berjalan, yang terbang, semua ciptaan-Nya yang beraneka
rupa). Rg Veda Mandala III .55. 1. Mahad devanam asuratvam
ekam, (Dia Yang Esa adalah maha besar dari semua Dewa). Rg
Veda Mandala VIII. 1. 27. Ya eko asti dangsan a maham ugra abhi
vrataih, (Ia adalah Esa, indah, berkuasa, suci, kuat dan Maha adil).
Dari Sloka Rg Veda di atas jelas menyebutkan Tuhan adalah satu-
satunya (Esa), Tuhan adalah absolut, tiada hal yang dapat melebihiNya.
Karena Ia (Tuhan) adalah satu-satunya.24
b. Trimurti
Trimurti adalah tiga perwujudan dari tiga kemahakuasaan Tuhan
yang tunggal yang disebut Tri Sakti. Tri artinya tiga dan Murti artinya
perwujudan. Sakti artinya kemahakuasaan pengertian lebih lanjut tentang
kata murti dirumuskan sebagai berikut Murti adalah perpaduan dari purusa
dan Pradhana atau Prakrti (sakti) Purusa adalah unsur kejiwaan yang
memiliki kesadaran yang bersifat langgeng namun tanpa aktifitas,
sedangkan pradhana atau sakti adalah unsur kebendaan tanpa kesadaran
namun penuh dengan gerak dan aktifitas. Apabila itu bersatu padu dengan
24GDE Sara, Monotheisme, h. 51-52.
35
pradhana menjadilah murti, seperti manusia dan jiwanya. Jadi, Tri murti
adalah perpaduan Tri Purusa dengan Tri Sakti (Pradhana).25
Di dalam cerita-cerita masyarakat kadang-kadang perpaduan
Purusa dengan Pradhana itu dilukiskan laksana hubungan suami istri
sehingga ketiga perwujudan Dewa memiliki pasangannya hal ini semata-
mata hanya satu metode untuk memudahkan pengertian bagi orang yang
tingkat pengentahuannya sederhana.26
Ketiga perwujudan seperti ini
terdapat dalam kitab-kitab purana mengajarkan 3 Dewa yang disebut
Trimurti, yaitu Brahmam Wisnu, Siwa.
1) Brahma merupakan sumber, benih dari semua yang ada. Seperti
yang dinyatakan oleh namanya, Dia merupakan
ketakterhinggaan tanpa batas, sebagai sumber dari ruang,
waktu dan penyebab, yang memunculkan nama dan wujud.
Secara filosofis, Dia merupakan tahap pertama dari manifestasi
tentang pernyataan keberadaan individual (ahankara). secara
teologis, Dia adalah pencipta yang tak terciptakan
(svayambhu), pribadi awal yang ada dengan sendirinya dan
melambangkan sifat rajas.27
2) Wisnu, yang juga dikenal sebagai Mahavisnu, merupakan
devata kedua dari trimurti Hindu, yang menyatakan
25I Wayan Maswinara, Dewa-Dewi Hindu (Surabaya: Paramita, 1999), h. 16-17.
26
G. Sura, dkk, Pengantar Tattwa Darsana (Filsafat), (Jakarta: Dirjen Bimas Hindu
Budha, 1981), h. 58-59
27
Yakni kemampuan keberadaan yang berasal dari pertemuan yang saling berlawanan
antara Siwa dan Wisnu.
36
sattvaguna28
dan merupakan kekuatan (gaya) sentripetal yang
bertanggungjawab terhadap pemeliharaan, perlindungan dan
merawat alam semesta yang diciptakan ini.29
3) Siwa adalah devata terakhir dari Trimurti, yang
bertanggungjawab terhadap penyerapan alam semesta. Ia
merupakan perwujudan dari sifat Tamas,30
kelebaman
sentrifugal, kencenderungan menuju pembubaran dan
pelenyapan. Arti sebenarnya dari Siva adalah pada siapa Alam
semesta ini “tertidur” setelah pemusnahan dan sebelum siklus
penciptaan berikutnya. Semua yang lahir harus mati. Segala
yang dihasilkan harus dipisahkan dan dihancurkan keterpisahan
ini, daya dibalik penghancuran ini adalah Siwa. Siwa jauh lebih
banyak daripada itu. Keterpisahan alam semesta berakhir pada
pengurangan tertinggi, menjadi kekosongan tanpa batas.
Kekosongan tanpa batas, subtratum dari segala keberadaan,
dari mana berulang-ulang muncul alam semesta yang
tampaknya tanpa batas ini, adalah Siwa. Dengan demikian,
walaupun Siwa dilukiskan sebagai yang bertanggungjawab
terhadap penghancuran, dia juga bertanggungjawab terhadap
28Yakni sebagai daya keberadaan dan pemeliharaan.
29
Svami Harshananda, Deva Devi Hindu (Surabaya: Paramita, 2007), h. 23.
30
Yakni sebagai daya penyerap
37
penciptaan dan pemeliharaan keberadaan ini. dalam pengertian
in, Brahma dan Wisnu juga adalah Siwa.31
Trimurti adalah perpaduan Tri Purusa dengan Tri Sakti yaitu
Brahma dengan saktinya Saraswati, Wisnu dengan saktinyta Sri Laksmi.
Siwa rudra dengan saktinya Uma Durgha. Tuhan dengan saktinya laksana
sebagai Api dengan kekuatan panasnya, sedangkan Brahma, Wisnu, Siwa
tanpa saktinya adalah Tri Purusa, Tri Sakti juga dimasudkan
kemahakuasaan mencipta, memelihara dan mengembalikan keasalannya.32
c. Konsep Dewa-dewa
Untuk mengetahui konsep tentang Dewa-Dewi dalam agama
Hindu, bahwa Hindu tidak tergantung hanya pada sebuah kitab suci
tunggal seperti yang dilakukan agama besar di dunia. Namun, keseluruhan
tubuh dari kepustakaan filosofis menerima kitab-kitab upanishad dan
Bhagavad Gita33
sebagai sumber yang dapat dipercaya dan tidak
bertentangan dengannya. Oleh karena itu, setiap konsep tentang Dewa-
Dewi yang didasarkan pada kitab-kitab ini disambut baik hampir semua
sekte Hinduisme.34
Sebelum membahas lebih dalam mengenai Dewa-dewa dalam
agama Hindu akan lebih baik jika memahami pengertian dari Dewa itu
sendiri. Secara etimologi Dewa berasal dari bahasa sansekerta, yaitu Dev,
31Svami Harshananda, Deva Devi Hindu, h. 32.
32
G. Sura, dkk, Pengantar Tattwa Darsana (Filsafat), h. 62.
33
Bhagavad Gita adalah kitab suci yang diperuntukkan umat Hindu.
34
I Wayan Maswinara, Dewa-Dewi Hindu, h. 1-15
38
yang berarti sinar dan juga berarti terang35
, kata Dewa yang di pergunakan
di dalam Weda mempunyai dua arti36
. Terdapat Dewa yang dikatakan
sebagai pencipta dari Dewa-dewa lainnya. Dewa pencipta atau Dewa para
dewa-dewa yang disebut dengan istilah Dewata. Dewata merupakan asal
atau sumber dari semua penciptaan, baik alam semesta maupun Dewa-
dewa lainnya.37
Di dalam kitab suci Weda, Tuhan Yang Maha Esa disebut
Dewa atau Dewata. Kata ini berati: cahaya, berkilau, sinar gemerlap yang
semuanya itu ditunjukkan kepada manifestasi-Nya. Dutunjukkan kepada
matahari atau langit, termasuk api, petir, atau fajar.38
Berbicara tentang konsep Dewa-dewi dalam agama Hindu. Kiranya
wajar bagi manusia unuk mengawalinya dari dunia tempat ia tinggal dan
bergerak. Karena itu, jika dipandang dari sudut pandang ini, Dewa-dewi
dalam Hinduisme adalah Sang Pencipta. Namun, Dewa-dewi menciptakan
segenap alam semesta dan dunia ini bukan dari ketiadaan yang logis, akan
tetapi berasal dari dirinya sendiri. Setelah menciptakan, dia memelihara
dengan kekuasaannya, mengatur seluruhnya bagaikan seorang kaisar Maha
kuasa, membagi keadilam sebagai ganjaran dan hukuman, sesuai dengam
makhluk-makhluk yang ada. Pada akhir dari siklus penciptaan, Hinduisme
35Gede Pudja, Wedaparikrama (Jakarta: Lembaga Penyelenggara Penterdjemah Kitab
Sutji Weda, 1971), h. 29.
36
Dewa yang satu dimaksudkan Tuhan sedangkan Dewa-dewa lainnya dimaksudkan
makhluk Tuhan yang sama artinya dengan Malaikat.
37
Puja, Pengantar Agama Hindu II (Jakarta: Pen. Mayasari, 1984), h. 35.
38
I Made Titib, Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita), h.
21.
39
medukung teori siklus penciptaan, dia menyerap segenap tatanan dunia
kedalam dirinya.39
Mengenai dewa, sesungguhnya kita berpikir tentang Tuhan,
dengan banyak jalan menyembah Dia dan dalam banyak bentuk. Kita beri
nama terpisah-pisah kepada masing-masing bentuk ini untuk membantu
kita di dalam menjalankan sembahyang dan renungan. Dia adalah
Tunggal, yang dibayangkan sebagai tiga, kemudian sebagai 33, dan
kemudian sebagai 33 karor (satu karor = sepuluh juta), berarti suatu
ketidak terbatasan bentuk-Nya, dimana Yang Maha Esa dapat
memanifestasikan diri-Nya, dan dipuja menurut selera dan kapasitas
pemuja-pemujaNya, dan menurut variasi fungsi yang tidak terhitung
jumlahya dari kemahasucian-Nya. Bentuknya mungkin berbeda-beda,
tetapi kebenaran yang terakhir adalah kemahasucian, yaitu Yang Maha
Esa.40
Dalam ajaran Agama Hindu Dewa merupakan manifestasi dari
Tuhan. Dewa tidak sama dengan Tuhan dan juga tidak sederajat dengan
kemahakuasaanNya bermanifestasi menjadi Dewa demi menjalin
hubungan dengan kehidupan manusia.41
Sri Kresna dalam Bhagavad gita,
7.22 bersabda: Sa taya sraddhaya yuktas, Tasyaradhanam ihate, Labhate
ca tatah Kaman, Mayaiva vihitan hi tan”, (Setelah diberi kepercayaan
39I Wayan Maswinara, Dewa-Dewi Hindu, (Surabaya: Paramita, 2007), h. 2.
40
Nyoman S. Pendit, Aspek-Aspek Agama Hindu “Seputar weda dan Kebajikan” (Jakarta:
Pustaka Manikgeni, 1993), h. 47.
41
I.B. Oka Punyatmaja, “Tuhan adalah Maha Esa”, dalam Putu Setia ed, Cendekiawan
Hindu Bicara (Jakarta: Yayasan Dharma Naradha, 1992), h. 14.
40
tersebut, Mereka berusaha menyembah dewa tertentu, Dan memperoleh
apa yang diinginkan. Namun Sesungguhnya Aku sendiri yang
menganugerahkan berkat-berkat tersebut). Sloka di atas menjelaskan
sekaligus menegaskan bahwa derajat atau kekuatan Dewa masih dibawah
kekuasaan Tuhan. Maka dari itu, jika manusia hanya menyembah Dewa
tanpa menyembah Tuhan maka hal ini tidak dibenarkan, sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam sloka di atas bahwa segala anugerah yang
manusia terima di dunia ini tidak terlepas dari Tuhan dan semuanya terjadi
karena kekuatan Tuhan.
Hal ini diibaratkan seperti matahari, semua mahkluk hidup yang
ada di bumi sangat membutuhkannya, semua tumbuh-tumbuhan
membutuhkan matahari karena tanpa sinarnya niscaya tumbuh-tumbuhan
yang ada di bumi takkan bisa tumbuh. Tumbuh-tumbuhan adalah sumber
makanan hewan dan hewan merupakan sumber makanan manusia, oleh
karena yang langsung menghidupi tumbuhan, hewan dan manusia adalah
sinar matahari. Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya matahari
tidak pernah langsung menyentuh makhluk yang ada di bumi. Akan tetapi
sinarnyalah yang menjadi perantara baginya untuk menghidupi atau
menyentuh makhluk atau kehidupan yang ada di bumi, karena tanpa
sinarnya tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia dan makhluk-makhluk
41
lainnya takkan bisa hidup. Seperti itulah Tuhan menjumpai manusia dan
juga makhluk lainnya yang ada di bumi.42
C. Doktrin Trimurti Hindu Bali
Agama Hindu di India maupun agama Hindu di lain tempat misalnya di
Jawa dan maupun di Bali tidak mempunyai perbedaan dalam inti keagamaannya,
yang berbeda hanyalah kulit luarnya saja yaitu tentang pelaksanaan upacara,
sedangkan isinya dan intinya tetap sama. Ajaran Hindu yang berkembang di
Indonesia adalaha ajaran Siva Sidhanta43
. Hindu Bali merupakan masyarakat yang
memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dimana dalam praktiknya
dapat dicapai melalui perantara Dewa yang perwujudan Tuhan tersebut dinamai
Trimurti. Di antara ketiga Dewa tertinggi itu hanya Wisnu dan Siwa yang
mendapat pemujaan yang luar biasa. Hal ini adalah wajar mengingat bahwa yang
dihadapi manusia adalah apa yang sudah tercipta. Oleh karena itu, Dewa pencipta
dengan sendirinya terdesak oleh kepentingan manusia, yang lebih memperhatikan
berlangsungnya apa yang sudah tercipta. Kenyataannya bahwa segala apa akan
binasa karena waktu, selalu memenuhi perhatian manusia.
Membicarakan masalah Ketuhanan tidak terlepas dari teori sumber
penciptaan alam. Teori-teori yang mengupas tentang sumber pencipta alam
semesta, kalau di India melalui pustaka suci Upanisad, namun di Bali melalui
Tattwa, seperti Wraspati Tattwa, Ganapati Tattwa, Tattwa Jnana, Purwa Bumi
Kemulan, Bhuwana Kosa Aji Sanghya dan lain-lainnya. Jadi dengan demikian
42Cudamani, Materi Kuliah Agama Hindu Perguruan Tinggi Umum (T.tp: T.pn, t.t.), h.
3-4.
43
Siva Sidhanta, yaitu ajaran yang menekankan pada pemujaan Linga dengan tokoh Tri
Murti yaitu Brahma, Wisnu dan Siva.
42
yang disebut Tattwa di Bali adalah ajaran agama yang memuat tentang teori
Ketuhanan (Parama Siva).44
Jika diperhatikan realitas kehidupan agama Hindu di Bali, lebih menitik
beratkan kepercayaan kepada Tri Murti sebagai Manifestasi Tuhan Yang Maha
Esa yang disebut Sang Hyang Widhi. Ketiga Dewa Tri Murti tersebut pada
hakikatnya adalah lambang dari ketiga proses dunia, yaitu Cristhi (Ciptaan) yang
disebut Brahman, Sthiti (perlindungan) yang disebut Wisnu dan Pralaya
(pengembalian pada unsur semula) yang disebut Siva. Ketiga tersebut
disimbulkan dengan aksara “OM” yang terdiri dari Ang berarti Brahma, Ung
berarti Wisnu dan Mang berati Siva, jadi Ang + Ung + Mang sama dengan “OM”.
Hal tersebut sering terlihat pada setiap permulaan dari mantera dan “pemahbah”
(permulaan) tulisan lontar-lontar di Bali yang dimulai dengan ucapan “Om
Awignam Astu” yang artinya semoga atas nama Hyang Widhi dengan ke tiga
manifestasi-Nya, terhindar dari mara bahaya.45
Siva Sidhanta berasal dari kata Siva dan Sidhanta, Siva berarti paham Siva
sedangankan Sidhanta berarti pengetahuan tertinggi. Jadi Siva Sidhanta ajaran
Siva yang tertinggi. Di Bali ajaran Siva Sidhanta berkembang luas sampai kini,
adapun Maharsi yang mengembangkan ajaran Siva Sidhanta ke Bali ialah Mpu
Kuturan dan Dang Hyang Nirarta. Mpu Kuturan membawakan konsepsi pemujaan
pada Tri Murti sedangkan Dang Hyang Nirarta tentang konsepsi Tri Purusa,
bangunan Padmasana dan ajaran panca Yadnya.46
44Made Titib, Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu, h. 15.
45
Harun Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Budha (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), h. 72-73.
46
GDE Sara Sastra, Konsepsi Monotheisme Dalam Agama Hindu, h. 71.
43
Dalam Hindu Bali diantara tiga Dewa tersebut yang dipandang sebagai
yang tertinggi adalah Dewa Siwa. Ia adalah sumber segala hidup, kesatuan segala
kuasa yang menciptakan, dan yang melahirkan di dalam alam semesta ini. Di
dalam dialah kedua jenis kelamin, lelaki dan perempuan dipersatukan. Sebagai
penjelmaan unsur lelaki ia dipuja sebagai Gunung Agung, sebagai Lingga, sebagai
Pasupati, sebagai Matahari dan lain lain. Sebagai penjelmaan unsur perempuan ia
dipuja sebagai Uma, ibu alam semesta, sebagai giriputri, istri Mahadewa, sebagai
Dewi Sri-dewi padi dan penuaian, sebagai Dewi Gangga dan Dewi Danu yang
menguasai sungai dan tasik. Penjelmaan Siwa sebagai unsur perempuan oleh
rakyat dipandang sebagai permaisuri Siwa.47
D. Latar Belakang Agama Hindu Memiliki Banyak Dewa-Dewa
Dalam kepercayaan agama Hindu mereka meyakini bahwa Tuhan itu
Maha Esa hanya ada satu. namun seringkali agama Hindu di kritik dan di cemooh
karena ia disebut dengan agama politeis karena menyembah banyak Dewa.
Sebenarnya Hindu tidak mempunyai banyak Dewa, akan tetapi sesungguhnya kita
berpikir tentang Tuhan, dengan banyak jalan dalam menyembah Dia dan dalam
banyak bentuk. Orang Hindu memberi namanya terpisah-pisah kepada masing-
masing bentuk ini untuk membantu kita di dalam menjalankan sembahyang dan
renungan. Dia adalah tunggal, yang dibayangkan sebagai tiga, kemudian tiga
puluh tiga, dan kemudia sebagai tiga puluh tiga karorn(satu karor= sepuluh juta),
yang berarti suatu ketidak terbatasan bentuk-Nya, dimana Yang Maha Esa dapat
Memanifestasikan diri-Nya, dan dipuja menurut selera dan kapasitas pemuja-
47Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Budha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2009),
h. 149
44
pemujaNya, dan menurut variasi fungsi yang tidak terhitung jumlahnya dari
kemahasucian-Nya. Bentuk-Nya mungkin berbeda, nama-Nya mungkin berbeda,
tetapi kebenaran yang terakhir adalah kemahasucian, yaitu Yang Maha Esa.48
Orang Hindu memiliki banyak nama Dewa dikarenakan Tuhan dalam
manifestasinya memiliki fungsi tugas yang berbeda. Di setiap kali Tuhan
bermanifestasi dalam bentuk yang berbeda maka akan di panggil atau dijuluki
dengan nama yang berbeda. Contoh jika Tuhan bermanifestasi sebagai Dewa yang
mengatur hujan maka beliau akan dijuluki Dewa Indra dan juga Tuhan ingin
bermanifestasi sebagai Dewa pelebur maka beliau dijuluki sebagai Dewa Siwa
dan lain lain.
48Nyoman S. Pendit, Aspek-aspek Agama Hindu Seputar Weda dan Kebajikan (Jakarta:
PT Penebar Swadaya, 1993), h. 45-47.
45
BAB III
PANDANGAN PARA PENULIS MUSLIM TENTANG KONSEP
KETUHANAN AGAMA HINDU
A. Monoteisme Menurut Veda
Paham ketuhanan agama Hindu sendiri sampai sekarang masih belum
dimengerti benar-benar oleh orang yang bukan beragama Hindu. Tuduhan yang
salah itu disebabkan karena penggambaran yang salah oleh para peneliti agama
serta melihat tidak secara menyeluruh. Sebenarnya kesalahan itu dapat dihindari
kalau mereka-mereka menyadari bahwa melihat sistem ketuhanan Hindu harus
dilihat secara konseptual dan menyeluruh, dengan melihat keseluruhan sumber
informasi yang di pergunakan. Agama Hindu biasanya dikritik dan dicemoohkan
karena ia disebut, apa yang dinamakan politeisme (menyembah banyak Tuhan).1
Agama Hindu adalah agama yang monoteisme atau percaya pada satu
Tuhan. Konsepsi keesaan Tuhan telah ada dalam Pustaka Suci Veda. Menurut
Veda, Tuhan adalah Esa, Maha Ada, dan menjadi sumber dari segala yang ada
dan tiada. Kepercayaan akan Keesaan Tuhan dalam Veda dapat dilihat dari
rumusan-rumusan ayat atau mantera yang terdapat dalam Rg Veda. Dalam
mantera-mantera tersebut keesaan Tuhan digambarkan dengan berbagai sifat-sifat
Keesaan Tuhan digambarkan dengan berbagai sebutan semula-mula Purusa (tak
terbatas), kemudian Hiranyagarbha ( pencipta semua makhluk), Prajapati ( asal
mula semua makhluk), Pita (ayah dari semua yang ada). Pemberian nama
terhadap sifat-sifat Tuhan ini adalah suatu hal yang tak dapat dielakkan, namun
tidak mempengaruhi hakikat-Nya yang hakiki. Karena menurut Veda yang absolut
1 Nyoman S. Pendit, Aspek-aspek Agama Hindu , h. 45.
46
(Tuhan) itu adalah satu, hanya orang-orang bijaksana yang menyebutnya dalam
banyak nama.2 Hal ini tercantum dalam syair mantera Veda, yaitu Rg Veda
Mandaala I. 164-46 yang berbunyi : Ekam sad wipra bahuda wadanti, (Hanya
satu sang Hyang Widhi, hanya saja orang bijaksana menyebutnya dengan banyak
nama).
Syair mantera Veda diatas jelas menunjukkan bahwa Tuhan itu adalah
satu. Ia yang absolut, ia yang tunggal, ia satu-satunya, hanya sifat-sifat-Nyalah
yang digambarkan berbeda-beda oleh orang-rang yang bijaksana. Sebagai bukti
yang lain, yang menyatakan keesaan Tuhan telah tercantum dalam ayat-ayat Rg
Veda Mandala 10. Dengan kemahakuasaan-Nya yang tak terbatas, yang sukar
dijangkau pikiran, maka pertama kali dalam Veda Tuhan disebut “Purusa” yang
artinya tak terbatas. Hal ini jelas disebutkan dalam Purusa-Sukta, Rg Veda 10. 90.
1-2 yang berbunyi : Sahasra sirsa purusah, Sahasraksah sahasrapat, Sa bhumim
vis „vato vrta, Tyatisthad das angulam, Purusa evedam sarvam,Yadbhutam yacca
bhavyam. (Purusa mempunyai kepala, seribu mata dan seribu kaki (purusa tak
terbatas), beliau meliputi alam semesta ini dari semua arah, tetapi diri-Nya sendiri
(Purusa) lebih dari alam semesta ini dengan ukiuran 10 jari. Semua ini, semua
yang sudah jadi dan semua yang akan jadi adalah sama dengan Purusa atau Purusa
adalah sama dengan semua ini, yaitu semua yang sudah jadi dan semua yang akn
jadi). 3
Dalam syair Veda di atas Tuhan “Purusa” atau sifat Tuhan tidak terbatas.
Karena Tuhan menurut Veda adalah absolut, tidak ada keduanya. Hanya Tuhanlah
2GDE Sara, Monotheisme, h. 44-45.
3GDE Sara, Monotheisme, h. 44- 46.
47
yang penguasa alam semesta, karena kuasa Tuhan lebih dari dunia ini, yang
berarti Tuhan adalah Tunggal ada-Nya.
Keabsolutan Tuhan yang kedua menurut Veda adalah “Hiranyagarbha”.
Kata “Hiranyagarbha” berarti didalam perut emas atau kandungan emas, dimana
tercipta semua makhluk. Kata hiranya berarti emas, dan garbha berarti perut.
Sebutan Hiranyagarbha untuk keabsolutan Tuhan ini terdapat dalam syair
Hiranyagarbha Sukta, Rg Veda 10. 121. 1 yang berbunyi: Hiranyagarbhah
samavartatagre, Bhutasya jatah parireka asit, Sa dadhara prthivim dyamutenam,
Kasmai devaya hivisa vidhema, (Saat pertama kali sebelum penciptaan semua
makhluk, beliau yang pernah mengangkat bumiu dan langit, kami berkorban
kepada Dewi ini dengan “howi”).4 Yang dimaksud dengan “Howi” ialah suatu
persembahan yang dibuat dari campuran mentega, beras, gula, serbuk menyan,
cendana dan buah-buahan yang kering, persembahan ini dilakukam pada upacara
Homa. Dari sloka diatas menyatakan bahea Tuhan adalah pencipta dan penguasa
alam ini, hanya Dia yang ada dan hanya Dia yang mengadakan. Berarti ia (Tuhan)
dilukiskan absolut dalam sloka Veda tersebut, ini berarti Ia (Tuhan) adalah Esa
ada-Nya.
Keabsolutan Tuhan dalam menciptakan seperti yang disebutkan dalam Rg
Veda di atas didukung lagi pada sloka Veda Smrti yaitu pada Manava
Dharmasastra I. 6 yang berbunyi: Tatah swayambhurbhagawan, Awyakto
wyanjayannidam, Mahabhutadi wrttaujah, Pradurasitta manudah, (Kemuliaan
Yang Maha Suci yang lahir (ada) sendiri, yang tak terbedakan, tetapi membuat
4GDE Sara, Monotheisme, h. 46-47.
48
semua unsur, unsur besar dan lainnya, dapat dibeda-bedakan muncul dengan
kekuatan ciptaan-Nya yang tak tertahankan mengusir semua kegelapan itu).5
Demikian kekuatan Tuhan yang digambarkan sebagai sebuah perut emas atau
kandungan emas, yang ada sebelum semua ada, yang tercipta sebelum ada
ciptaan, dan menciptakan segala yang ada dalam alam semesta ini, Ia yang ada
mutlak, ialah satu-satuNya.6
Dalam Prajapati Sukta pada Rg Veda mandala 10, jelas disebutkan
tentang Keesaan Tuhan. Sifat Tuhan diberikan nama “Prajapati” yaitu asal segala
makhluk. Semua makhluk berdasarkan pada Prajapati, semua berkorban pada
prajapati. Dalam Sloka Rg Veda 10. 121. Berbunyi: Prajapate na tvedatenyanyo,
visva jatani pari ta bhabhuva, yatkamaste juhumastanno astu, vayam syam patayo
rayinam, (Oh, Prajapati, alam semesta ini tidak ada lain dari, Engkau, semuya
makhluk berdasarkan pada Engkau, semoga kami akan berhasil semua, kami
berkorban untuk-Mu supaya kai bisa memiliki harta benda).7 Dari peryantaan
Vede tersebut, Tuhan adalah asal segala yang ada, serta segala yang ada kembali
hanya kepada asalnya yaity Prajapati (Tuhan). Asal itu hanya satu-satunya yaitu
prajapati (Tuhan), jadi Tuhan Esa ada-Nya.
Tuhan yang digambarkan sebagai Ayah (Pita) adalah Tunggal ada-Nya
(Deva eka), ini disebutkan dalam Nasadiyasukta Rg Veda 10.81.3. yang berbunyi:
Vis‟vatas‟ cuksur uta vatomukho, vis vatobahur uta vis vataspat, sa bahubhyam
dhamati sam patatrair, dyava bhumi janayan dewah ekah, (Beliau memandang
terhadap semua arah, mempunyai wajah yang menghadap semua arah, tangan-
5GDE Sara, Monotheisme, h. 47-48.
6GDE Sara, Monotheisme, h. 46-47.
7GDE Sara, Monotheisme, h. 48.
49
tangan beliau bisa menyentuh semua alam semesta dan kaki-kaki beliau juga
menyentuh seluruh alam semesta, beliau mengipasi dengan dua tangan bagaikan
dua sayap, dalam proses penciptaan langit dan bumi beliau adalah Yang
Tunggal).8 Dalam Rg Veda Mandala 10. 82.3 dengan jelas disebutkan Tuhan
(Pita) adalah tunggal. Ayatnya yaitu: Yo nah pita janita yo vidhata, dhamani veda
bhuvanani vis‟ va, yo devanam namadha eka eva, tam sampres „nam bhuvana
yantyanya, (Beliau ayah untuk kami, juga pencipta dan pelindung, Beliau tahu
tempat di seluruh alam semesta ini, tetapi beliau adalah tunggal (Esa) seluruh
dunia yang lain tergantung dari Beliau).9
Dari Nasadiyasukta di atas jelas Tuhan digambarkan sebagai seorang ayah
(Pita). Karena sifat Tuhan sebagai pencipta, pelindung seluruh alam ini, serta
pelebur alam ini. Dalam sukta ini dengan jelas dikatakan Tuhan adalah Tunggal
tiada duanya. Walaupun Tuhan digambarkan dengan berbdea-beda nama, naun
Tuhan tetap satu (Tunggal), dalam Veda telah jelas dikatakan Tuhan adalah
Tunggal adanya (Ekaha), hakikat Tuhan yang tunggal dikjuatkan lagi dengan
Sloka Rg Veda Mandala I. 164. 46 yang berbunyi: Indram mitram
warunamgnimahu ratho diwyah , sa suparno garutman ekam sad wipra bahuda,
wadantyagnim yaman mataricwanamahuh, (Mereka menanamkan Dia Indra ,
Mitra, Waruba, Agni, dan Dia Garutman bersayap mulia. Ia yang Tunggal itu,
pendeta menyebut-Nya berbeda-beda, mereka sebut Agni, Yama, Matariswam).10
Inilah apa yang dikomunikasikan oleh para Rsi Veda. Teori tentang
„persatuan dalam keragaman‟ bergema disini. Dengan demikian dapatlah
8GDE Sara, Monotheisme, h. 49-50.
9GDE Sara, Monotheisme, h. 50.
10
GDE Sara, Monotheisme, h. 50-51.
50
dikatakan, bahwa setiap objek atau atom berada dalam berbagai kondisi.
„keragaman‟ adalah hubungannya adalah dengan „penciptaan‟ dan dalam
„persatuan‟ dalam kaitannya dengan pencarian unsur esensial alam semesta. Para
Rsi Veda menyebut hal itu dengan „Tripada‟ dan „Ekapada‟. Tripada adalah
Brahma dalam istilah relatifnya, kemudian Ekapada adalah Brahma yang
mengasimilasikan semua wilayah di dalamnya.11
Penegasan ini juga dapat dilihat
dalam beberapa sloka Rg Veda seperti disebutkan dalam Rg Veda Mandala. X.
14. 23. yang berbunyi: ekastvan atmapurusah, puranah, satyah svayamjyotir
ananta adyah, nityo‟ ksaro‟ jasarosukho niranjanah, purno dvayo mukta upadhi
to‟rtah, (Ia yang esa adalah jiwa yang selalu ada, nyata, bercahaya sendiri, awal
penyebab dari semua yang ada, tak berubah, tak terhancurkan, bahagia selalu, tak
tercemar oleh maya (ilusi), berkemampuan sendiri, tak ternilaim mutlak dan kekal
abadi).12
Rg Veda Mandala X. 81. 3. Yang berbunyi: Visvatascaksur uta
visvatomukho, Visvatobahuruta visvataspat, Sam bah ubyam dhamati sam
patatrair, Dhyavabh umi janayandeva ekah, (Ia yang mempumyai mata disetiap
penjuru, punya mulut disetiap tempat, punya tangan disemua arah dan kai
disemua tempat, Ia adalah Esa, menciptakan bumi dan langit, semua ini dilindungi
dengan tangan-tangan sebagai sayap-sayapNya).13
Dari Sloka ini jelas disebutkan
bahwa Ia (Tuhan) adalah tunggal, Ia adalah pencipta bumi dan langit dan
segalanya, Ia adalah pelindung dunia ini dan Ia ada dimana-mana karena Ia adalah
11Mahendra Mittal, Intisari Veda “Pesan Tuhan Untuk Kesejahteraan Umat Manusia”
(Surabaya: Paramita, t.t), h. 72.
12
GDE Sara, Monotheisme, h. 52.
13
GDE Sara, Monotheisme, h. 52-53.
51
Mahakuasa dan ia adalah absolut. Kemahakuasaan Tuhan juga disebutkan dalam
beberapa Sloka lainnya yag ada dalam Rg Veda yang berbunyi sebagai berikut:
Rg Veda Mandala X. 82. 3. Yo nah pita janita yo vidh ata, dhamani veda
bhuvanani visva, yo devanam namo dha eko eva, tam samprainam bhuvana yanti
anya, (Ia Bapak Kita, pencipta kitam pelebur kitam ia yang tahu semua keadaan,
semua beda yang ada, Ia yang Esa, menyandang nama-nama Dewa yang berbeda,
kepada-Nya semua makhluk memajukan segala pertanyaan dan permohonan).14
Rg Veda Mandala. X. 114. 5. Suvarnam viprah kavayo vachobhir, ekam
santam bahudha kalpayanti, (Walaupun Ia Esa, tetapi para pujangga yang
bijaksana mengungkapkan dengan banyak nama yang indah didalam karya
mereka).15
Kedua Sloka tersebut jelas menunjukkan ke Esaan dari Tuhan, karena
ia adalah pencipta, pemelihara serta pelebur dari segala-galanya karena Ia adalah
Esa. Ia diberikan nama berbeda oleh para pujangga, para penyair karena
kekagumannya terhdap kemahakuasaan Tuhan, namun kenyataannya Ia (Tuhan)
itu hanyalah Satu atau Tunggal adanya.16
Sloka-sloka yang jelas-jelas
menyebutkan bahwa Tuhan adalah Tunggal tidak hanya dijumpai dalam Rg Veda
naun juga disebutkan dalam Kitab Suci Catur Veda lainnya seperti pada Kitab
Suci Sama Veda. Sloka sloka tersebut juga dengan jelas menyebutkan bahwa Ia
(Tuhan) adalah Esa adanya seperti Sloka dalam Sama Veda, Yajur Veda dan
Atharwa Veda, yang berbunyi: Sama Veda. I. 4. 313 (372) Sameta visva ojasa
pati divo, ya eka idbhur, Atithirjananam sa purwyo nutanam ajigisam, Tam
vartanir anu eka it vavtra, (Datanglah bersama, datang dengan kekuatan rohani
14GDE Sara, Monotheisme, h. 53.
15
GDE Sara, Monotheisme, h. 53-54.
16
GDE Sara, Monotheisme, h. 50-54.
52
kepada Ia dari sorga yang Esa, merupakan tamu agung bagi manusia, Ia sangat
purba tetapi selalu baru. Semua jalan menuju kepadaNya, maha besar Ia yang
esa).17
Sama Veda. IV. 2.4.3.(372) Sameta visva ojas a patim divo, Ya eka id bhur
atithir janan am, Sa puryo nutanam ajigisan, Tam vartanir anu vavrta eka id,
(Marilah datang bersama, engkau semua, dengan kuat pada Penguasa Langit, dia
yang hanya Esa, tamu semua orang, Dia yang ingin kembali baru. KepadaNyalah
semua jalan tertuju, sesungguhnya Dia hanya Esa belaka).18
Dari kedua sloka Sama Veda di atas jelas menyebutkan bahwa Ia (Tuhan)
digambarkan sebagai kekuatan yang lain diluar manusia. Ia (Tuhan) adalah Esa
adanya, Ia (Tuhan) adalah pribadi yang berlainan dari dunia, Ia (Tuhan) bukan
obyek seperti benda-benda dunia, melainkan suatu wujud yang transenden yang
artinya Ia adalah obyek yang berada diluar lingkaran kemampuan pikiran.
Kejelasan ini tentang hal ini juga dikuatkan dengan isi Sloka dalam Yajur Veda
dibawah ini, yang berbunyi: Yajur Veda. XXXII.8; Wenas tat pasyam nihitam
guha sad, yatra wisman, Bhawati eka nidam, tasman nidam sam ca wi caiti,
Sarwam, sa otah protasca wibhuh prajasu, (Pujangga yang welas asih melihat
Tuhan bersembunyi di tempat rahasia, di tempat dimana alam ini mendapatkan
tempatnya, dimana terjadi pertemuan sehingga terciptakan semua. Tuhan Yang
Maha Esa terselimuti oleh benda-benda yang diciptakan-Nya).19
Yajur Veda. XXXII. 1; Tad ev agnis tad adityas, Tad vayus tad u candram
ah, Ta apah sa praj apatih, (Agni adalah Dia, Aditya adalah Dia, Vayu adalah
17GDE Sara, Monotheisme, h. 54.
18
GDE Sara, Monotheisme, h. 55.
19
GDE Sara, Monotheisme, h. 55-56.
53
Dia, Candram adalah Dia, Apah adalah Dia, Prajaptilah Dia).20
Dalam Sloka
Yajur Veda diatas jelas menyebutkan bahwa Tuhan adalah Tunggal namun karena
kerahasiaanNya maka Ia (Tuhan) sukar diwujudkan, orang mengatakan Agni,
Aditya, Vayu, Candrama, Apah, Prajapati padahal semuanya itu adalah Dia
(Tuhan) itu sendiri, Dia (Tuhan) itu adalah Esa adanya. Pernyataan ini juga
disebutkan dalam Sloka lainnya dalam Yajur Veda. XL. 17; Hiranmeyana patrena
satyasyapihitam mukham, Yo „savaditye purusah so „savaham, AUM kham
brahma, (Oh umat manusia, Oleh-Ku, pelindung cemerlang, telah menutupi
wajah-Ku yang abadi,. Kekuatan yang tinggal di matahari (menjadikan matahri
bersinar di sana adalah Aku, Aku membentang di angkasa raya, Om adalah nama-
Ku).21
Dalam Sloka Yajyur Veda ini jelas mengatakan bahwa Ia (Tuhan) ada
dimana-mana, Ia adalah sumber dari kekuatan yang ada dan Ia (Tuhan)
disimbulkan dalam Huruf Suci AUM (OM). Karena AUM (OM) itu adalah Tuhan
itu sendiri dengan tiga sapeknya yaitu sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pelebur.
Ke Esaan Tuhan juga telah dilukiskan dalam Sloka yang terdapat dalam Atharwa
Veda. V.10.27; Ekam sat wipra bahuda wadanti, (Esa kenyataan-Nya, para
pujangga mengatakan dengan banyak nama), Atharwa Veda. V.10.27; Ya etam
dewam eka, wartam veda, na dwitiya, Na tritiyas caturtho na apyucyate, Tam
idam nigatam sahah sa esa eka eka, Sarwe asmin dewa eka wrto bhawanti,
(Ketahuilah bahwa itu hanya Esa. Tidak Dua, tidak Tiga, tidak Empat disebutkan,
pada Dia kemahakuasaan itu terdapat, Dia itu Esa, hanya Esa, pada Dia semua
20GDE Sara, Monotheisme, h. 56.
21
GDE Sara, Monotheisme, h. 56-57.
54
Dewa menjadi Esa adanya).22
Dalam Sloka yang ada di Arharwa Veda seperti
diatas jelas mengatakan bahwa Tuhan adalah Esa, bahkan dalam Sloka tersebut
lebih menegaskan lagi dengan kata bahwa Tuhan itu tidak dua, tidak tiga, tidak
empat tetapi dengan tegas mengatakan Tuhan itu adalah Esa, (tunggal) adaNya.
Dengan Sloka yang terdapat dalam Veda di atas berarti pemberian nama
kepada sifat-sifat Tuhan seperti Purusa, Hiranyagarbha, Prajapati dan Pita tidak
mempengaruhi haikat Tuhan yang hakiki, Tuhan adalah Esa. Yang lebih jelas lagi
dalam sloka-sloka di atas hakikat Tuhan lebih diperjelas yakni Tuhan bukan
obyek seperti benda duniawi, melainkan sesuatu wujud yang Transenden dan
sekaligus bersifat imanen. Karena Tuhan dalam Veda dipandang sebagai pribadi
yang berlainan dari dunia. Hal ini sama dengan konsep monoteisme yang
memandang Tuhan adalah pribadi yang berlainan dengan dunia ini. Berarti
konsep monoteisme dalam Veda yang merupakan kitab suci tertua, telah ada
padanya (kitab suci Veda), dan telah dituliskan dalama sloka-sloka Veda seperti
yang telah diuraikan di atas.23
B. Pandangan Penulis Muslim Periode 1970-1980
1. Moh Rifai
Sejauh penelusuran penulis, penulis tidak menemukan biografi Rifai,
tetapi berdasarkan informasi yang penulis ketahui, Rifai menulis beberapa buku,
yang berjudul Perbandingan Agama (1970), Pelajaran Agama Islam (1980), dan
Pelajaran Agama Islam. Rifai adalah Penulis Muslim pertama yang dibicarakan
dalam bab ini. Rifai menyebut agama Hindu dengan istilah agama Brahma
22GDE Sara, Monotheisme, h. 57.
23
GDE Sara, Monotheisme, h. 58.
55
(mungkin yang di maksud Brahman), terlebih dahulu Rifai mengatakan tentang
perkembangan agama Brahman yaitu perkembangan filsafat Veda. Agama
Brahman dalam perkembangannya tidak terlepas dari perkembangan agama
sebelumnnya. Prof. Blecker mengatakan dalam bukunya Pertemuan Agama-
agama Dunia (1964) : “Biasanya Brahmanisme itu dikatakan kelanjutan dari
Vedisme. Tidak mudah untuk menunjukkan dimana titik peralihannya. Seperti
juga kita tidak dapat mempersoalkan dimana sebetulnya letak perbatasan antara
Brahmanisme dan Hinduisme. Tetapi sulit juga kita mengingkari bahwa,
Brahmanisme merupakan suatu phase dalam perkembangan kontinu dan Vedisme
sampai Hinduisme”.24
Brahman itu diartikan dengan mutlak atma, yakni zat yang tidak dapat
diinderai dan dia ada segala yang maujud. Brahman itu ada dari azal dan dia kekal
selama-lamanya, tidak serupa dengan sesuatu apa juga. Dia yang menjadi sebab
dari segala-galanya sebab dari bergeraknya yang bergerak, hidupnya segala yang
hidup. Mengenai Filsafat Ketuhanan dalam agama Brahma berbeda dengan apa
yang ada dalam ketuhanan agama lain. Dalam Kitab Brahmana diterangkan bahwa
ibadah itu ditujukan kepada Brahma saja, yaitu suatu zat yang maha tinggi lagi
azali. Menurut Rifai, jika dilihat sepintas paham diatas sama dengan monoteis,
tapi sebetulnya sangat berbeda sekali. Mereka mempercayai, bahwa segala yang
terjadi dari Dewa tegasnya Brahma itu adalah Kainat/alam dan keadaan alam ini
adalah Brahman. Paham ini merupakan kesatuan antara Dewa dan makhluk
(Pantheisme). Hal ini lebih terang lagi dalam falsafah mereka yang mengatakan :
24Moh Rifai, Perbandingan Agama (Semarang: Wicaksana, 1970), h. 83-84.
56
Tat twam asi artinya “DIA” (Atma) itulah kamu. Masudnya : “Atma itu berada
dimana saja, juga dialam kita, dan kita itu adalah atma juga”. Jalan pikiran yang
semacam ini disebut dengan panteisme, tidak bertuhan.25
Segala sesuatu selain Brahman/Atman sebenarnya adalah bayangan dari
padanya, dan wujud yang sebenarnya adalah wujudnya Brahman. Paham
ketuhanan mereka dengan memperhatikan keterangan lain, sebenarnya tidak tegas
dan masih mengandung kerau-raguan. Pada keterangan lain ada pula dijumpai
bahwa Tuhan dan makhluk adalah dua yang berlainan; artinya tidak merupakan
kesatuan seperti yang disebutkan diatas. Dengan perkataan lain Brahman itu ada
pada tiap-tiap sesuatu, tetapi tidak mungkin menunjukkan orangnya. Brahma itu
adalah hayat yang mengalir pada setiap orang yang hidup, dan juga Brahma
adalah fikiran yang hidup di kepala setiap orang. Brahma itu tidak dapat
ditentukan, ia boleh lebih besar dan boleh lebih kecil seperti biji padi atau berupa
gambar pada mata manusia dan boleh besar sekali seperti hawa dan langit.26
Dalam membicarakan Dewa-dewa, Rifai menyatakan bahwa agama Hindu
pada pokoknya tidak mempercayai adanya Tuhan dalam arti kata yang sebenar-
benarnya, seperti dalam pengertian kita umat Islam. Unsur-unsur kepercayaan
kekuatan gaib, tidak tegas menurut filsafat Wedanta, semua benda ini hanyalah
khayalan belaka, pada hakekatnya semua itu Tuhan. Kekuasaan yang tidak
berwujud ini tak dapat digambarkan dalam pikiran, karena dorongan untuk
mengenal kekuasaan yang tak terlihat ini, maka orang Hindu mewujudkannya
25Moh Rifai, Perbandingan Agama, h. 88.
26
Moh Rifai, Perbandingan Agama, h. 89.
57
dalam tiga diri yang disebut dengan Trimurti. Pada dasarnya ketiganya adalah
wujud dari satu ke Tuhanan. 27
Menurut Rifai, selanjutnya ketuhanan Hindu bisa di pandang dari sudut
pandang Islam. Sudah diterangkan bahwa pengertian ketuhanan Hindu sangat
berbeda dengan pengertian ketuhanan dalam agama Islam. Bahkan dapat
dikatakan kalau agama Hindu tidak mempercayai adanya Tuhan dalam arti yang
sebenarnya. Yang ada disana hanya kekuasaan gaib yang orang Hindu
mewujudkannya berupa Dewa dan Dewi. Sedangkan jika kita lihat agama Islam,
Islam hanya mempercayai Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat
kesempurnaan-Nya tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak beranak dan tidak
pula diperanakan, sebagaimana yang disifatkan oleh surat Al Ikhlas ayat 1-4:
Artinya “ katakanlah hai Muhammad! Allah itu Esa, Allah tempat meminta. Tidak
beranak dan tidak di peranakan dan tidak ada yang menyerupaiNya”. Dalam al
Qur‟an sendiri disebutkan terdapat empat macam syirik, yaitu : percaya bahwa
Tuhan itu banyak, percaya bahwa selain Tuhan ada barang-barang yang
mempunyai sifat-sifat Tuhan, percaya bahwa sesuatu itu ada pertalian keluarga
dengan Allah, dan yang terakhir percaya bahwa ada sesuatu yang
dapatmengerjakan hal-hal yang hanya dapat dikerjakan oleh Allah sendiri.
Menurut Rifai, konsep ketuhanan Hindu monoteis jika keterangan itu
diambil dari sudut pandang agama Hindu. Akan tetapi menurut Rifai sendiri
konsep ketuhanan agama Hindu adalah Syirik. Karena agama Hindu tidak
mempercayai arti Tuhan yang sebenarnya dan menjadikan kekuasaan gaib sebagai
27Moh Rifai, Perbandungan Agama, h. 93.
58
hal yang di puja yang diwujudkan berupa Dewa dan Dewi. Dari hal tersebut
jelaslah bahwa ketuhanan dalam agama Hindu sangat berbeda dengan Islam.
Bukti bahwa Hindu syirik dapat dilihat dalam al Qur‟an mengenai macam syirik
dan Hindu dapat dikategorikan syirik yang percaya bahwa selain Tuhan ada
barang-barang yang mempunyai sifat Tuhan.
2. K.H Agus Hakim
Sejauh penelusuran penulis, penulis tidak menemukan biografi Agus
Hakim, tapi berdasarkan informasi yang penulis ketahui, Hakim telah lama
bergerak di bidang dakwah, sehingga yang disajikan dalam karyanya yang
berjudul Perbandingan Agama merupakan hal-hal yang diperlukan bagi
pembinaan umat Islam. Menurut Hakim, Tuhan dalam agama Hindu disebut
Brahma (mungkin yang di maksud Brahman). Kalimat Brahman dalam bahasa
Hindu lama (Sansekerta) yaitu nama bagi Tuhan yang wujud dengan sendirinya,
Maha Esa dan Maha Kuasa yang bersifat azali, tidak berawal dan tidak berakhir,
yang menciptakan dan menjadi asal dari sekalian alam: Ia tidak dapat diraba
dengan panca indera tetapi hanya dapat diketahui dengan akal.28
Menurut Hakim, Brahma, awalnya Tuhan yang tunggal dalam agama
Hindu, tetapi penganut agama Hindu sekarang telah merubah kepercayaan
bertuhan satu (monoteis) kepada trimurti atau bertuhan tiga. Jika diperhatikan
dalam kitab Weda, kitab suci agama Hindu, di situ tidak ada disebutkan Tuhan
yang berbilang, hanya menyatakan ketuhanan Brahman semata-mata. Nama
Syiwa dan Wisnu memang ada disebut, tetapi bukan sebagai Tuhan, hanya
28Agus Hakim, Perbandingan Agama ( Bandung: IKAPI, 1973), h. 131.
59
sebagai sifat. Wisynu sifat kasih sayang dan memelihara, Syiwa sifat Maha kuasa
dan memusnahkan. Kedua Dewa tersebut terlihat memiliki kedudukan yang
dengan Brahman, hal ini sendiri merupakan bentuk dari khayalan para pendeta
yang dengan menggunakan pemikiran mereka. Menempatkan kedua sifat Tuhan
itu sebagai Tuhan yang kedua dan ketiga.29
Menurut Hakim, konsep ketuhanan Hindu menjadi politeis. Awalnya
Hakim setuju mengenai Hindu yang monoteis, tetapi dengan perkembangan yang
terjadi dan akhirnya muncul konsep Trimurti yang menjadikan konsep ketuhanan
Hindu yang tadinya hanya mengakui satu Tuhan yang dinamai Brahma (mungkin
yang dimasud Brahman), yaitu yang telah menjadikan segala yang ada, dan
menjadi asal dari sekalian yang ada, bersifat abadi dan azali, tidak berawal dan
tidak berakhir. Dengan munculnya konsep Trimurti, agama Hindu memiliki
sesuatu yang banyak berdasar khayal, yaitu mengenai dua keadaan yang selalu
ada dalam keadaan alam yang telah terjadi, yaitu sejahtera dan binasa. Keduanya
itu timbul dari dua sifat Brahma (mungkin yang di maksud Brahman), yaitu
Wisnu dan Siwa, yang memelihara dan membinasakan. Dari kedua sifat Tuhan
Brahma itu di khayalkan lagi wujudnya, terdiri dari kanan dan kiri Brahma, dan
akhirnya di patungkan. Lalu dari situ timbul kepercayaan baru, bahwa Tuhan itu
tiga yang bersatu, disebut Trimurti.
3. K.H. Zainal Arifin Abbas
K. H. Zainal Arifin, seorang politis Nahdatul Ulama (NU) terkemuka yang
sejak remaja di zaman penjajahan Belanda sudah aktif dalam organisasi
29Agus Hakim, Perbandingan Agama, h. 132.
60
kepemudaan NU, GP Ansor, jabatan terakhirnya ialah ketua DPRGR sejak 1960
hingga wafatnya 2 Maret 1963. Zainal lahir di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera
Utara pada 2 September 1909 sebagai anak tunggal raja Barus, Sultan Ramali bin
Sultan Sahi Alam Pohan dengan perempuan bangsawan asal Kotanopan,
Mandailing, Siti Baiyah boru Nasution. Dalam usia 16 tahun Zainul merantau ke
Batavia (Jakarta) dan bekerja di dinas pengairan pemerintah kotapraja (gameente).
Di kota ini Zainal sempat menajadi guru sekolah di daerah-daerah Jatinegara dan
Bukit Duri Tanjakan. Tahun 1930, Zainal mulai bergabung dengan Gerakan
Pemuda Ansor dan beberapa tahun kemudia sudah aktif di organisasi induk Nu,
sebagai ketua Majelis Konsul NU Jakarta hingga datangnya tentara Jepang. Pasca
proklamasi, Zainal duduk di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP
KNIP). Cikal bakal lembaga legislatif Indonesia (DPR/MPR).30
Dalam karya Zainal yang berjudul Perkembangan Pikiran Terhadap
Agama-agama (1984), tidak menyebut istilah agama Hindu namun menyebut
dengan “agama Brahma”. Sebelum masuk dalam pembahasan mengenai agama
Brahma, Zainal terlebih dulu menjelaskan tentang kitab Veda, yang menurutnya
kitab suci Veda bukanlah kitab suci orang India dan Aria. Tetapi, kitab suci yang
anasirnya dibawa oleh orang-orang yang datang ke Lembah Punjab. Orang-orang
yang baru datang itu mencari usaha supaya penduduk yang asli menjadi terikat
kepada mereka dengan akrab sekali. Anasir-anasir kitab Veda yang dibawa
mereka diperintahkan supaya menjadi pelajaran tetap. Itulah yang terjadi sebelum
pada 15 abad sebelum Masehi. Adapun alasan kitab suci Veda bukan kitab orang
30Artikel di akses pada 25 Maret 2018 dari http://www.muslimedianews.com/2014/06/kh-
zainal-arifin-tokoh-ansor-di-masyumi.html#ixzz5B7sQNCkn.
61
India yang asli, karena isi kita Veda itu banyak mengandung gambaran fikiran dan
masyarakat yang bertentangan dengan bukti-bukti gambaran fikiran masyarakat
orang India pada masa 15 abad sebelum Masehi. Dan kitab Veda tertulis dalam
bahasa Sansekerta, yaitu bahasa orang Aria sendiri, yang tidak dikenal oleh orang
India pada zaman pertamanya. Walaupun demikian kitab suci Veda dihitung
menjadi dokumentasi agama tertua di India.31
Mengenai pendapat Zainal tentang agama Brahma, Brahma itu satu
diantara nama-nama sifat Tuhan Yang Esa, yang tidak dapat diperhubungkan pada
yang lain dari pada Ia. Akan tetapi campur tangan pendeta melahirkan berbagai
akibat. Meski begitu mereka tidak berhasil melenyapkan perkembangan orang
terhadap siapakah Brahma itu. Kitab Upanishad sendiri menerangkan, bahwa
Brahma itu sama artimya dengan Wujud Yang Maha Tinggi, atau Atman. Arti
Brahma itu sebenarnya juga Weda, yaitu Jauhar yang tidak ada orangnya.
Dengan lain perkataan suatu Wujud Yang Ada, tetapi tidak ada rupanya dan tidak
ada zatnya. Jadi Brahma itu ada pada tiap-tiap sesuatu, tetapi tidak mungkin
menunjukkan orangnya. Brahma itulah tujuan pemeriksaan kita, Brahma itulah
hayat yang mengalir pada setip yang hidup, dan Brahma itulah fikiran yang
terdapat pada kepala setiap orang yang hidup. Brahma itu tidak dapat ditentukan,
ia boleh kecil sekali seperti biji padi atau berupa gambar pada mata manusia dan
boleh lebih besar dari pada hawa dan langit. Tegasnya Tuhan Yang Maha Esa
itulah Brahma.32
31Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama (Jakarta: Pustaka Al
Husna, 1984), h.168.
32
Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, h. 204-205.
62
Menurut Zainal, konsep ketuhanan agama Brahma (Zainal tidak menyebut
dengan agama Hindu) dengan tegas Zainal mengatakan bahwa Tuhan Yang Maha
Esa itulah Brahma. Menurutnya Brahma itulah tujuan, Brahma itulah hayat yang
mengalir pada setiap yang hidup, dan Brahma itulah fikiran yang terdapat pada
kepala setiap orang yang hidup, Brahma itu tidak dapat ditentukan, ia boleh kecil
sekali seperti biji padi atau berupa gambar pada mata manusia dan boleh lebih
besar dari pada hawa dan langit. Jadi Braham itu ada di tiap-tiap sesuatu, tetapi
tidak mungkin menunjukkan orangnya. Secara ringkas menurut Zainal, Brahma
itu maksudnya adalah Nama Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa dalam
istilah agama yaitu zat Wahdatul Wujud yang tiada seorangpun dapat
menyifatinya selain daripada Tuhan sendiri dan tidak ada sesuatu apapun yang
menyerupainya diantara seluruh makhluk ini.
4. Hasbullah Bakry (1920-1975)
Hasbullah Bakry, di lahirkan di kota kecil Muaradua, tepi sungai
Komering, Kabupaten Ulu, Sumatera Selatan, pada hari Ahad 14 Muharram 1345
Hijriyah atau 25 Juli 1926. Sebelum belajar di pesantren pimpinan K.H.
Muhammad Bakry (ayah) dan K.H. Muhammad Sibawahi Bakry (kakak), lebidh
dulu ia memantaskan HIS (Hollandsch Inlandsche School). Selama mengaji di
pesantren, ia dibimbing langsung oleh ayah dan kakaknya, sehingga dalam dua
tahun ia mampu membaca qathrunnada (nahwu), I‟anatut‟thalibin (fiqih) dan
Jalalin (tafsir) cukup baik. Sejak 1945, sebagai Letnan Satu Infantri AD, Bakry
pernah memimpin sebuah kompi bersenjata dan menyerang sebuah regu
bersenjata lengkap Belanda di daerah Sungai Lumai, dekat Muaradua (25 Maret
63
1949). Pada tahun 1951 Bakry pindah ke Teritorium III Siliwangi sebagai salah
seorang Imam Militer Angkatan Darat. Selam di Bandung (1951-1953), Bakry
menyelesaikan SMA di pendidikan Sastra.33
Pada tahun 1953 Bakry masuk Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) Yogyakarta, dan memperoleh gelar sarjana (Doktorandus) Agama Islam
Jurusan Hukum Islam pada tanggal 22 Agustus 1960. Kemudian menjadi dosen di
Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta (1960-1961), dan juga menjadi dosen
IAIN Jakarta (1961-1962). Tahun 1962-1966 menjadi Kepala Imam Tentara atau
Kepala Kodam IV Sriwijaya di Palembang dengan pangkat Letnan Kolonel
Tituler Angkatan Darat, merangkap sebagai Ketua Umum Majelis Ulama
Sumatera Selatan. Pada tahun 1966 diangkat sebagai Kepala Pusroh Islam Polri
dengan pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi Efektif. Pada tahun 1970 meraih
Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum UIJ, dan pada tahun 1976 pensiun dengan
hormat dari ABRI.
Pada tahun 1979, sebagai Asisten Menteri Agama Bidang Hukum dan
Masyarakat, Bakry mengikuti perjalanan dinas Menteri Agama ke Timur Tengah
(Saudi Arabia/Kuwait, Bahrain dan EmiratArab). Pulang dari perjalanan itu Bakry
melanjutkan perjalanan ke Belanda, Perancis dan Spanyol dalam rangka melihat
perkembangan Islam di negeri-negeri tersebut, terutama peninggalan Kerajaan
Islam di Spanyol. Bakry sempat melihat dan shalat sunnat di Masjid Kordoba,
melihat Istana Alhambra di Granada dan Benteng Arab di Sevilla. Dengan
persetujuan Dr. Muhammad Natsir selaku sesepu Arrabithah Alam Islami, ia
33Biografi Hasbullah Bakry dalam Introduction of Bakry, http://www.geogle.com/ al-
Banna/biografi.htm. Diakses tanggal 17 November 2017.
64
berangkat ke Australia pada tahun 1980 dalam rangka Fact-finding tentang
Muslim Communities di Australia, Bakry sempat datang di Sidney dan
memberikan Khutbah Jum‟at di Konsulat RI.
Sebelum mengemukakan pendapatnya tentang konsep ketuhanan Hindu,
Bakry terlebih dahulu menjelaskan tentang agama Hindu. Agama Hindu disebut
juga agama Brahma, agama Weda, atau agama Dharma. Tetapi lebih sering
disebut agama Hindu, disesuaikan dengan perkembangannya sejak semula di
daerah Sapta Sindhu (tujuh daerha penting di sekitar sungai Indus) di India Utara.
Agama Hindu tidak mempunyai Nabi. Diperkirakan agama Hindu yang sekarang
berasal dari ajaran seorang Nabi atau beberapa Nabi yang terkumpul menjadi satu
sejak seribu tahun lebih yang dikoleksi dalam sebutan kaum Brahmana (golongan
pendeta). Ada satu teori yang sulit di buktikan bahwa Brahman atau Brahmana,
berasal dari akar kata Abraham (nam Nabi Ibrahim), sehingga Brahmana disebut
juga kaum pengikut Nabi Ibrahim. Alasannya, dalam kitab Weda juga ada ajaran
tentang ke-Esa-an Tuhan. Tetapi teori itu hingga kini belum menemukan bukti-
bukti yang kuat.34
Menurut Bakry, tidak ada suatu agama lain yang mempercayai begitu
banyak Dewa seperti agama Hindu, karena itu, sungguhpun diakui bahwa dalam
agama ini ada Dewa tertinggi, seperti Dewa Brahma dalam Trimurti, namun
sistem ketuhanannya tidak tepat jika disebut monoteisme, akan tetapi sebaliknya
lebih tepat disebut politeisme yang paling nyata. Pengertian Tuhan dalam agama
Hindu, berbeda dengan pengertian Tuhan dalam agama Islam. Agama Hindu
34Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, hal. 41.
65
mempertuhankan Dewa-dewa, tetapi setiap Dewa-dewa memiliki derajat dan
kemuliaan yang berbeda dalam pandangan tiap sekte. Mula-mula disepakati ada
tiga Dewa tertinggi yang disebut Trimurti, yaitu Brahma35
, Wisnu36
, dan Syiwa37
.
Setelah Trimurti, barulah terdapat Dewa-dewa yang tidak terhitung jumlahnya.
Keunggulan ketiga Dewa Trimurti itu sendiri mengalami perubahan
terhadap para penganut agama Hindu di India. Di masa perkembangannya yang
pertama, Brahman sangatlah dipuja sebagai Dewa tertinggi dalam agama Hindu.
Tetapi, semakin lama terjadi perubahan sehingga Wisnu yang paling kuasa,
karena dialah yang dianggap betul-betul mengatur kehidupan manusia. Berkali-
kali Wisnu dianggap menjelma menjadi manusia sebagai raja yang berkuasa di
dunia. Timbul anggapan bahwa Rama sebagai penjelmaan Wisnu di India dan
Airlangga sebagai penjelmaan Wisnu di Indonesia. Kemudian, timbul pula suatu
sekte yang berkuasa, menganggap bahwa Dewa Syiwa itulah yang menjadi Dewa
tertinggi, karena dialah yang bisa menghukum dan menghancurkan dunia. Dia
juga muncul kembali sebagaimana Dewa-dewa lain. Misalnya sebagai Dewa
Mahakala yang menguasai kematian dan menyebabkan dunia binasa. Sebaliknya,
sebagai Dewa Batara Guru yang paling mengetahui hukumana apa yang patut
diberikan atas duna dan manusia. Dia bisa menjadi pengajar besar (mahaguru)
serta pertapa mulia (maharesi) yang tertinggi, maka Dewa Syiwa sering disebut
Mahadewa atau Mahaeswara yang berarti Raja Dewata Agung yang menguasai
langit dan bumi serta mati hidupnya segala makhlu. Dia tinggal di gunung yang
35Brahma dianggap Dewa pencipta alam.
36
Wisnu dianggap Dewa pemelihara.
37
Syiwa dianggap sebagai Dewa penghukum atau Dewa pembinasa terhadap perbuatan
jahat (tetapi kadang-kadang dianggap pembinasa terhadap apa saja), karena iu sangat diakuti.
66
tertinggi(Mahameru). Gunung Semeru di Jawa dan Bukit Siguntang Mahameru di
Palembang., mungkin penamaannya akibat sekte Hindu Syiwa tersebut.38
Selain kepercayaan kepada Dewa-dewa terdapat juga kepercayaan
terhadap Dewi menurut ajaran agama Hindu. Penganut agama Hindu
beranggapan bahwa para Dewi adalah syakti dari para Dewa, maksudanya
penjelmaan kekuasaan tertentu yang berupa perempuan. Seperti syahkti yang
mendampingi Dewa Trimuti.39
Disamping syakti-syakti tersebut, dalam anggapan
agama Hindu para Dewa Tertinggi juga mempunyai kendaraan (tunggangan).
Sistem Dewa-dewa dalam agama Hindu juga ada sangkut pautnya dengan alam.
Selain alam, hewan-hewan tertentu juga dipuja sebagai penjelmaan para Dewa.40
Menurut Bakry, konsep ketuhanan agama Hindu adalah politeis dan sangat
berbeda dengan kosep ketuhanan agama Islam. Alasan Hindu politeisme karena
Hindu memiliki banyak Dewa, selain itu Hindu juga mempertuhankan Dewa-
dewa dan setiap Dewa memiliki derajat dan kemuliaan sendiri. Dalam agama
Hindu ada Dewa yang diunggulkan yang disebut Trimurti, setelah itu barulah
terdapat Dewa-dewa yang tidak terhitung jumlahnya. Dalam setiap sekte juga
berbeda dalam memberi kedudukan Dewa. Dan yang menguatkan bahwa Hindu
itu politeisme menurut Bakry, mengenai hewan-hewan yang dipuja. Dari hal
tersebut bahkan bisa dikatakan kalau Hindu agama yang syririk.
38Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, h.45-46.
39
Syakti dari Dewa Syiwa sebagai raksasi yang menakutkan (Mahakala) adalah Dewi
Koli atau Dewi Durga, yaitu Dewi kematian. Syakti dari Dewa Wisnu disebut Dewi Sri, yaitu Dewi
Kebahagiaan. Sedangkan Syakti dari Dewa Brahma disebut Dewi Saraswati, yaitu Dewi Kesenian
atau Dewi Pengetahuan.
40
Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, h. 47.
67
5. Prof. Hm. Arifin. M. Ed
H. M. Arifin, lahir di Bogor pada tanggal 2 Agustus 1954. Sekolah di
Madrasah Ibtidaiyah Wajib Belajar di Nagrog, Ciampen Bogor tahun 1968.
Kemudian melanjutkan pendidikannya pada sekolah Pendidikan Guru Agama
(PDA) 4 tahun. Sambil bersekolah Arifin tinggal dan menginap (mondok) di
Pondok Pesantren Nurul Ummah dan tamat tahun 1972. Arifin melanjutkan
pendidikannya di sekolah Pendidikan Guru Agama tingkat Atas (PGAA) 6 tahun.
Seperti sebelumnya, kali ini Arifin mondok di Pesantren Jauharatun Naqiyah,
Cibeber Cilegon Serang Jawa Barat, dan tamat tahun 1974. Setelah itu Arifin
memperoleh gelar Sarjana Muda (BA) pada tahun 1979, dan Sarjana Lengkap
(baca: Drs) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, tamat tahun 1981.41
Karir Arifin dimulai sebagai tenaga peneliti lepas pada Lembaga Studi
Pembangunan (LSP) di Jakarta tahun 1981-1982. Pada tahun yang sama menjadi
Direktur Koperasi Pelajar Kerja Sama Pemerintahan Jepang dengan Indonesia
pada Himpunan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (HP2M). Kemudian
menjadi instruktur pada Lembaga Bahasa dan Ilmu al Qur‟an (LBIQ) Daerah
Khusus Ibukota Jakarta tahun 1982-1985. Setelah itu, Arifin bertugas sebgai
dosen Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, mulai tahun 1985. Mulai tahun 1990 bertugas sebagai doen
Fakultas Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada bidang mata kuliah
Sejarah Sosial dan Pendidikan Islam. Arifin wafat pada tahun 2003, meski begitu
41Muhammad Haris, “Pendidikan Islam Dalam Perspektif Prof. H.M. Arifin” Ummul
Qura Vol VI, no. 2 (September: 2015): h.3.
68
pemikiran serta peran dan perjuangan H. M. Arifin menjadikan kita bisa
mengambil hikmah atau nilai-nilai yang dibawa Arifin.42
Menurut Arifin bangsa Arya masuk ke India Utara dan bercampur dengan
penduduk asli membuat kepercayaan antar keduanya menjadi semacam
sinkretisme yang membentuk Agama Hindu. Teori-teori keagamaan yang
kemudian timbul dari agama tersebut juga menggambarkan pengaruh kebudayaan
bangsa Arya dan penduduk asli India. Dengan kata lain konsep-konsep
kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Arya dalam bentuk kepercayaan Dewa-
dewa alam yang banyak di pengaruhi oleh kebudayaan Yunani itu, mengalami
peleburana (sinkretisme) dengan kebudayaan asli yang berisi kepercayaan gaib
yang berbentuk animisme, dinamisme, serta fetisisme di samping pemujaan
kepada naga, peri dan sebagainya. Dan ternyata masing-masing anasir dari kedua
kebudayaan tersebut, tetap dipertahankan dalam Agama Hindu India. Akan tetapi
anasir agama dalam Hinduisme selalu mengalami perkembangan menurut taraf
perkembangan kebudayaan Hindu pada masa-masa selanjutnya, sehingga keadaan
demikian menyebabkan beda-bedanya bentuk dan isi Hinduisme pada periode
permulaan perkembangannya dibanding dengan taraf perkembangan lebih lanjut
setelah Budhisme muncul dan berkembang.43
Oleh karena itu, menurut Arifin hal tersebut menampakkan perbedaan
yang menonjol antara agama Hindu permulaan (yang biasanya disebut Hindu
Wedha) dengan agama Hindu setelah berkembang (Agama Hindu setelah muncul
42Muhammad Haris, “Pendidikan Islam Dalam Perspektif Prof. H.M. Arifin” Ummul
Qura Vol VI, no. 2 (September: 2015): h.4.
43
H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT Golden
Trayon Press, 2002), h.56.
69
Budhisme). Perbedaan tersebut bisa dilihat dalam beberapa hal, sebagai berikut:
pertama, Agama Hindu Wedha tidak mengutamakan pemujaan kepada patung-
patung Dewa, tetapi lebih mementingkan cara-cara berkurban kepada Dewa-dewa,
membuat mantra-mantra dan menggunakannya, serta mementingkan upacara-
upacara. Jumlah Dewa-dewa yang dipuja ditetapkan sesuai dengan yang disebut
dalam kitab suci Weda. Sedangkan Agama Hindu sesudah Budhisme mengalami
perkembangan, yang kemudian lebih mementingkan pemujaan kepada patung-
patung Dewa. Jumlah Dewanyapun bertambah sehingga masing-masing golongan
atau orang terutama golongan Brahmana memuja patung-patung Dewa sendiri.44
Maka dengan memperhatikan banyak Dewa yang harus dipuja, mengenai
masalah upacara keagamaan bagi masyarakat Hindu merupakan tugas pokok
sehari-hari yang tidak boleh ditinggalkan. Oleh karena itu Hindusme pada
akhirnya dibedakan dalam 2 pengertian sebagai berikut. Pertama, Hinduisme Tua
(Agama Wedha) mengajarkan segala buah fikiran serta kebiasaan bangsa Hindu
yang bercorak keagamaan menurut kitab Weda dan kitab Brahmana. Kedua,
Hinduisme sesuda Budhisme, mengandung pengertian segala kebiasaan dan buah
fikiran bangsa Hindu yang berdasarkan atas kebudayaan bangsa Hindu.
Pengertian yang kedua ini lebih luas lagi. Sebab memasukkan ke dalamnya anasir
kebudayaan selain Hinduisme.45
Mengenai konsep ketuhanan dalam agama Hindu, Arifin juga menjelaskan
terpisah antara Agama Hindu Weda dan Agama Hindu setelah Budhisme. Konsep
ketuhanan agama Hindu pada masa Agama Hindu Weda, menurut Arifin memiliki
44H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, h.56-57.
45
H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, h.57.
70
konsep ketuhanan yang politeis yang dimanifestasikan dalam jumlah Dewa-dewa
yang disebutkan dalam kitab-kitab Weda sebanyak 32 Dewa. Jumlah 32 Dewa
tersebut memiliki fungsi masing-masing dalam kehidupannya dengan manusia.
Dewa-dewa tersebut dipandang sebagai tokoh simbolis dari satu Dewa pokok
yaitu Brahma. Dari 32 Dewa tersebut yang banyak mendapat pujian ialah Dewa
Indra dan Dewa Agni (Api). Jadi 2 orang Dewa tersebut yang selalu disebut dalam
upacara/ kurban. Tetapi dalam perkembangan Hinduisme lebih lanjut , nama-
nama Dewa tersebut tidak pernah disebut lagi dalam upacara, apalagi setelah
muncul faham Trimurti.46
Selanjutnya mengenai konsep ketuhanan agama Hindu setelah Budhisme,
pada masa ini mengalami perkembangan yang luas, sehingga banyak hal yang
dijadikan pedoman pada kitab suci Weda seperti Dewa-dewa dan cara upacara,
mengalami perubahan atau pengurangan. Terutama dalam konsep ketuhanan
mengalami perkembangan dengan kehendak atau kebutuhan masyarakatnya,
sehingga hal ini memunculkan ragam filsafat Ketuhanan yang berbeda dengan
dasar-dasar yang diberikan semula. Jumlah Dewa dan kedudukannya sering
mengalami perubahan-perubahan, misalnya jika dalam Hindu Weda belum
dikenal Dewa Trimuti, maka dalam Hinduisme ini muncul filsafat Trimurti. Dan
setelah muncul aliran Vedanta, Trimurti tersebut di pandang sebagai
penggambaran dari kekuasaan yang Esa yaitu Brahman.47
Keadaan demikian dapat pula dilihat dalan konsep Agama Hindu Dharma
di Bali dimana muncul Dewa-dewa baru seperti Bregu (Dewa sabung ayam); juga
46H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, h.58-60.
47
H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, h.62.
71
Dewa Kama dan Ratih (Dewa Cinta). Dalam agama Hindu Dharma pemujaan
Siwa memegang peranan penting bagi kehidupan pemeluk-pemeluknya, sehingga
timbul upacara-upacara penting untuk menghindarkan diri dari kemarahan Dewa
tersebut. Segala peristiwa yang jelek selalu dihubungkan dengan kekuasaan Siwa
Mahakala. Bila dalam keadaan marah disebut dengan “Rudra”. Tempat tinggal
Siwa menurut kepercayaan Hindu Dharma ialah di Puncak Gunung Agung. Di
India, tempat tinggal Dewa-dewa ialah Puncak Gunung Himalaya (sebagai
kahyangan).48
Dari uraian-uraian di atas, maka jelaslah bahwa bagi Arifin corak ke
Tuhanan Hinduisme adalah Politeisme yang infinitif (tidak terbatas) Dewa-dewa
dapat digambarkan secara fantastis dalam bentuk manusia biasa ataupun luar
biasa, yang dipatungkan. Namun setelah timbul pemikiran yang mendalam,
politeisme tersebut dikembalikan kepada kekuatan universal tertinggi yang
bersifat Esa yang oleh aliran Vedanta disebut Brahman.49
6. Jousoef Sou‟yb
Joesoef Sou‟yb adalah seorang ulama lokal yang berasal dari Sumatera
Barat, lahir pada tanggal 14 Juli 1916 di Lhamie (Aceh Barat), dan wafat di
Medan pada tanggal 15 Juli 1992. Istrinya bernama Saniah binti Sinaro.
Orangtuanya yang laki-laki bernama Haji Syu‟ayb dari suku Piliang dan
orangtuanya sama-sama berasal dari Bayur Maninjau, ibukota Kecamatan
Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Dari wilayah Kecamatan ini
48HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, h.63-65.
49
HM. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, h.65.
72
lahir beberapa tokoh Nasioal. 50
Sou‟yb mengawali pendidikan formalnya di
Volkschool Bayur Maninjau selama dua tahun, yaitu dari tahun 1922 sampai
dengan tahun 1924. Kemudian karena kedua orangtuanya kembali pindah ke Aceh
Timur, maka proses belajar-mengajarnya pun berpindah ke Rantau Panjang, salah
satu kecamatan di Aceh Timur. Setelah tamat dari Volkschool pada tahun 1924, ia
melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Gubernemen di Langsa pada tahun
1925 hingga menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1927.
Pendidikan agama sou‟yb diperoleh dari Lembaga Pendidikan Perguruan
Sumatera Thawalib Padang Panjang, Sumatera Barat dari tahun 1928 sampai
dengan 1930. Pada masa itu Padang Panjang adalah pusat perguruan agama Islam.
Sou‟yb menimba ilmu agama Islam pada Perguruan Tarbiyah Islamiyah Candung
Bukit Tinggi selama 4 tahun. Kemudian dari Tarbiyah Islamiyah Candung Bukit
Tinggi ini Sou‟yb dinyatakan lulus tingkat takhashsush atau spesialisasi agama
Islam., dengan meraih Ijazah Ahliyah sebagai bukti mempunyai keahlian dalam
bidang agama Islam.
Profesi Sou‟yb51
mengawali karir sebagai wartawan pada tahun 1939.
Sou‟yb mulai menulis berita, press rilis, komentar, menulis artikel, karya ilmiah
dalam berbagai surat kabar, majalah, buletin di media cetak lainnya. Profesi
sebagai wartawan (jurnalis) inilah yang pada akhirnya menghantarkannya kelak
menjadi seorang cendekiawan. Karena profesinya sebagai wartawan ini kemudian
mendorongnya untuk belajar mengenai berbagai hal, sehingga kemudian
50M. Yakub, “Karya-karya sejarah Joesoef Sou‟yb dalam Historiografi Islam Indonesia,”
(Disertasi, Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 104.
51
Joesoef Sou‟yb tidak mempunyai anak. Beliau memiliki anak angkat, yang bernama
Anzis Khan, Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara; dan Didi, meninggal pada umur dua
puluhan tahun.
73
menjadikan dirinya sebagai seorang yang ahli diberbagai bidang. Seperti terlihat
dalam karya-karya yang dihasilkannya. Setelah Sou‟yb berhenti sebagai
wartawan, Haji Abdullah Manat pimpina Firma Azeima Company mengangkat
Sou‟yb sebagai kepala pembukuan, yang akhirnya diangkat untuk memeriksa
pembukuan pada cabang Firma Azeima Company diseluruh daerah di Indonesia
sejak tahun 1962 sapai tahun 1984. Selain aktif sebagai pembukuan Sou‟yb juga
aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi di Medan. Sou‟yb menjadi dosen
luar biasa di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara tahun 1967, di
Universitas Islam Sumatera Utara tahun 1971, dan Institusi Agama Islam Negeri
(IAIN) Sumatera Utara Medan sejak tahun 1980 sampai akhir hayatnya.
Menurut Sou‟yb, keyakinan di dalam agama Hindu sudah jauh berbeda
dari keyakinan yang hidup di dalam agama Brahma. Sekalipun agama Hindu itu
tetap berpegang kepada Kitab Veda. Tetapi agama Hindu itu telah lebih
berpegang tentang penafsirannya daripada pokok isi Kitab Veda. Bisa kita lihat
dalam ajaran kitab Veda bahwa alam semesta itu beserta segenap makhluk-
makhluk jasmani, adalah diciptakan oleh Wujud Tunggal Maha Sempurna, yang
dipanggilkan dengan Brahman. Zatnya dipanggilkan Brahma, Kasta tertinggi di
dalam masyarakat yang berkewajiban memikul dan menyebarkan ajaran Brahma
itu disebut dengan Brahmin. Kasta Brahmin itu biasa pula dipanggilkan dengan
Brahmana.52
Selanjutnya di dalam kitab Veda dinyatakan Brahman itu yang
merupakan Wujud Tunggal Pencipta, memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Tidak
dapat diraba, tidak dapat dilihat, dan tidak dapat didengar. Oleh agama Hindu, Ia
52Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar Di Dunia (Jakarta: Pustaka Al- Husna, 1988), h.
43-44.
74
dikenali dengan pertnyataannya didalam alam semesta. Brahman itulah saja yang
mesti disembah dan dipuja, lainnya tidak.53
Keyakinan serupa di dalam agama Brahma masih dapat dijejaki pada
pembahasan-pembahasan teologis di dalam kitab Upanishad, yang berbunyi, In
the beginning there was Existence, One only, without a second (Pada permulaan
sekali berada suatu Wujud, Cuma Maha Esa, tanpa ada yang kedua) Upanishad-
Chandogyia. Tuhan Maha Esa adalah merupakan pokok keyakinan di dalam
agama Brahma itu. Akan tetapi Tuhan Maha Esa itu dinyatakan meresapi seluruh
alam dan berada pada seluruh alam. Seperti yang terdapat dalam kita Upanishad,
Mundaka yang berbunyi, Brahman is supreme,. He is self-luminous. He is beyond
all thought. Subtler than the subtlest is He, farthest than the farthest, nearer than
the nearest. He resides in the lotus of the hearth of every being (Brahman itu
maha agung. Dia cemerlang sepanjang zatnya. Dia berada di luar seluruh
pemikiran. Dia maha gaib dari yang paling gaib, maha jauh dari yang paling jauh,
maha dekat dari yang paling dekat. Dia bersemayam di dalam seroja hati setiap
makhluk).54
Dari petikan bebarapa ayat Upanishad tersebut, dapat disaksikan
bahwa keyakinan yang murni di dalam agama Brahma itu berasaskan keesaan
Ilahi yang murni (Pure Monoteis), seperti halnya dengan keyakinan di dalam
agama Yahudi dan agama Islam dewasa ini.
Tantangan pada masa belakangan agama Brahma makin tersudut pada
anak benua India, karena pihak agama Jain yang mudah memperoleh pengikut
dalam lapisan bawah, dan begitu agama Budha yang cepat tersebar dengan luas
53Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar Di Dunia, h. 44.
54
Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar Di Dunia, h. 45.
75
dalam lapisan bawahan. Untuk mengejar ketinggalannya itupun timbul penafsiran
terhadap kitab Veda dan perkembangan penafsiran yang lama kelamaan semakin
menyimpang dari pokok isinya. Sejalan dengan hal tersebut agama Brahma
dinyatakan agama Hindu, yaitu agama bagi seluruh Hindia (India). Menurut
penafsiran di dalam Hindu bahwa Brahman adalah wujud Azali dalam keadaan
diam (unmoving), pada saat kodratnya bergerak menciptakan alam semesta maka
Brahman itu menjelma dalam wujud Brahma. Lalu yang memelihara alam
semesta itu menyebabkan menjelma dalam wujud Vishnu dan kodarrtanya yang
mengembalikan setiap sesuatu di dalam alam semesta kepada asalnya, melalui
pembinasaan itu menjelma menjadi Sivha. Itu tiga oknum Brahman, yang disebut
dengan Trimurti.55
Manifestasi kodrat itu lambatlaun di dalam penghayatan ajaran
itu berkembang menjadi personifikasi, yaitu menjadi Tiga Oknum yang berdiri
sendiri dengan wewenang sendiri. Yang masing-masing dari tiga oknum brahman
memperoleh perkembangan dengan melahirkan pasangannya yang disebut dengan
Trisakti.
Menurut Sou‟yb, konsep ketuhanan agama Hindu sudah jauh berbeda
dengan agama Brahma. Sou‟yb tidak mengatakan Hindu politeis atau dengan kata
lain Hindu syirik, hanya saja menurut Sou‟yb ada perbedaan yang sangat
menonjol antara agama Brama dan agama Hindu. Karena dalam karyanya
tersebut, Sou‟yb mengutip beberapa dari isi kitab Upanishad, jelas dalam kitab
Upanishad kalau Tuhan Maha Esa. Bahkan Sou‟yb mengatakan, bahwa keyakinan
yang murni di dalam agama Brahma itu berasaskan keesaan Ilahi, seperti halnya
55Joesoef Sou‟yb, Agama-Agama Besar Di Dunia, h. 50.
76
agama Yahudi dan agama Islam. Namun yang disebut oleh Sou‟yb adalah agama
Brahma bukan agama Hindu, karena lambat laun setelah berganti nama menjadi
agama Hindu terjadi pula perubahan kepercayaan, perubahan itu sendiri terjadi
akibat agama Hindu hanya berpegang pada penafsiran kitab Veda bukan pokok isi
kitab Veda. Sou‟yb memang tidak secara tegas mengatakan bahwa Hindu politeis,
tetapi dalam karyanya tersebut Sou‟yb menyebut Henoteisme dalam agama
Hindu, yaitu tentang pemujaan Dewa-dewa. Penganut agama Hindu, tanpa
mengingkari perwujudan Dewa-dewa dan Dewi-dewi lainnya, maka pihak-pihak
tertentu cuma menunjukkan pemujaan senantiasa terhadap Dewa tertentu atau
Dewi tertentu saja.
7. Alef Theria Wasim
Alef adalah Dosen Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Alef, memandang India sebagai negeri serba ganda, baik
dalam bangsa, budaya, maupun sosial agama. Karena yang kita bahas dalam
tulisan ini mengenai konsep Ketuhanan agama Hindu maka disini yang akan
penulis jelaskan mengenai pemikiran Alef yaitu pandangannya tentang agama.
Khusus tentang Agama, Hindu menyerap ide-ide, penalaran dan aliran dari Weda,
agama Hindu menyerap sistem korban dan Dewa-dewa alam. Dari Brahmana,
Agama Hindu menyerap kepercayaan kekalnya kitab-kitab Weda, sistem kasta,
upacara-upacara yang rumit dan perayaan keagamaan. Dari Upanishad, Hindu
77
menyerap konsep tentang realitas tertinggi, juga tentang pengertian kesatuan
dengan Tuhan.56
Membahas soal Tuhan, salah satu unsur penting menurut Alef adalah
unsur teologi dan filsafat. Agama Hindu mempercayai realitas tertinggi hanya
satu, akan tetapi yang satu itu tidak membatasi sebagai realitas Tuhan yang
personal. Selain itu agama Hindu juga percaya pada Dewa-Dewa yang jumlahnya
sangat banyak yang dianggap mengatur alam.57
Sumber-sumber nilai ajaran
agama Hindu baik dalam Weda, Brahman, dan Upanishad dibawa oleh seorang
yang dalam istilah Hindu disebut Rsi atau Muni. Meskipun sebenarnya dalam
agama Hindu tidak dapat diketahui secara pasti pendirinya atau siapa pembawa
pertama ajaran-ajarannya. Masih menurut agama Hindu beribu-ribu tahun lalu
para Rsi dan Muni melakukan meditasi sehingga mampu memperoleh inspirasi
dan mampu menginterpretasikan atau menafsirkan ajaran-ajaran Hindu secara
terinci. Dalam agam Hindu Rsi ini dipercaya mampu melihat dan tahu akan
kebenaran agama Hindu yang di wahyukan kepada mereka sehingga apa yang
mereka dengar pengetahuan tersebut sering disebut Sruti. Apa yang didengar lalu
biasanya dibuat teks-teks yang ada kalanya disebut dengan mantra-mantra yang
menjadi pokok dalam melakukan meditasi.58
Hubungan manusia dan Tuhan dalam Agama Hindu bisa dilihat dari salah-
satu upacara mereka yang disebut Korban. Upacara Korban dilakukan untuk
memuliakan para leluhur dengan harapan supaya para Dewa melindungi manusia
56Alef Theria Wasim, “Agama Hindu” dalam Mukti Ali, Agama-agama Dunia
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 55.
57
Alef Theria Wasim, “Agama Hindu” dalam Mukti Ali, Agama-agama Dunia, h. 56.
58
Alef Theria Wasim, “Agama Hindu” dalam Mukti Ali, Agama-agama Dunia, h. 56-57.
78
dari gangguan roh jahat, juga supaya para Dewa memberikan kelancaran,
ketenangan serta kemurahan. Namun tujuan utamanya adalah untuk membujuk
atau merayu para Dewa untuk mengabulkan permohonan para manusia. Artinya
adalah dalam kepercayaan umat Hindu para Dewa dapat dirayu dengan
melakukan korban oleh manusia agar dapat memenuhi keinginan manusia
tersebut.59
Masih mengenai tentang Dewa, ada Dewa yang bernama Purusa yaitu
sebuah makhluk yang besar berwujud laki-laki. Makhluk ini memiliki seribu
kepala, mata dan kakinya menutupi bumi, Purusa disebut sebagai yang ada dan
yang akan ada, dan disebut sebagai Dewa yang tidak akan pernah mati. Selain
manusia berkorban untuk Dewa, para Dewa juga melakukan persembahan korban
dengan Purusa ini, dan dari sini jugalah awal mula teori tentang kasta.60
Menurut
Alef, mengenai konsep ketuhanan agama Hindu Alef tidak memandang secara
objektif tetapi Alef memandang secara subjektif dan juga tidak memberikan
pandangan bahwa agama Hindu itu monoteis atau politeis dan yang lainnya.
Tetapi Alef, hanya memberikan komentar tentang agama Hindu yang serba ganda
dan mengenai konsep ketuhan Hindu, menurut Alef agama Hindu mempercayai
tentang realitas tertinggi hanya ada satu, tetapi penganut Hindu tidak membatasi
sebagai realitas Tuhan yang personal. Dalam arti, agama Hindu mempercayai
Tuhan Esa, tetapi dapat bermanifestasi dalam jumlah banyak yang dalam agama
Hindu disebut Dewa-dewa.
59Alef Theria Wasim, “Agama Hindu” dalam Mukti Ali, Agama-agama Dunia, h. 65.
60
Alef Theria Wasim, “Agama Hindu” dalam Mukti Ali, Agama-agama Dunia, h. 71.
79
C. Pandangan Penulis Muslim Periode 1990-2015
1. Mudjahid Abdul Manaf
Sejauh penelusuran penulis, penulis tidak menemukan biografi Mudjahid
Abdul Manaf, tapi berdasarkan informasi yang penulis ketahui, Mudjahid
merupakan Dosen Perbandingan Agama di IAIN Semarang. Menurut Mudjahid,
Dewa-dewa pada zaman permulaan Weda ini, pada hakikatnya adalah seperti
kepercayaan bangsa Arya di Iran sebelum mereka masuk India dahulu. Jadi
politeis yaitu mempercayai dan menyembah banyak Dewa dan Dewa-dewa itu
antara satu dengan yang lain sama tinggi kedudukannya. Pandangan mereka
terhadap wujud Dewa itupun masih kabur, belum ada gambaran tentang adanya
tata tertib alam atau kosmos yang disebut “arta” dan dipandang sebagai
pengejawantahan dari daya kekuatan. Tiap daya kekuatan adalah Dewa. Karena
itu arta harus dijaga kelangsungannya sehingga dapat berjalan sebagai mana
mestinya. Untuk selalu menjaga kelangsungan ini perlu diadakan ritus. Menyalahi
tata tertib atau arta dianggap dosa. Maka ritus atau upacara dilakukan
dimaksudkan untuk mengembalikan kepada keadaan semula.61
Menurut kepercayaan kuno, disamping Dewa-dewa masih ada lagi roh-roh
jahat yang berkuasa dan sebagian merupakan musuh Dewa. Dewa-dewa tersebut
kadang-kadang satu di antaranya dianggap paling atas tetapi di saat lain berganti
Dewa lain yang dianggap menduduki tempat tinggi. Seperti Indra
kemudianWaruna dan pada saat lain Prajapati yang tertinggi. Karena belum
adanya gambaran tentang dewa yang berpribadi, maka sikap penyembahan
61Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1994), h. 10.
80
mereka terhadap Dewa-dewanya bukan sebagai makhluk yang rendah terhadap
Tuhan Yang Maha Kuasa, melainkan sebagai daya upaya mempengaruhi
kekuatan-kekuatan gaib agar mengikuti kehendak mereka. Jadi hubungan mereka
dengan kekuatan-kekuatan tersebutt bersifat magis, sehingga fungsi ritus menjadi
amat penting sebagai alat untuk mempengaruhi Dewa-dewa.62
Menurut Mudjahid, tentang konsep ketuhanan agama Hindu politeis.
karena agama Hindu mempercayai banyak Dewa-dewa dan setiap Dewa memiliki
kedudukan yang sama tinggi. Dalam agama Hindu sendiri konsep Dewa-dewa
masih menempati posisi yang kabur, karena belum ada gambaran tentang adanya
Dewa yang tertinggi.
2. T.H. Thalhas
Teuku Hasan Thalhas, lahir di Pulau Aceh Utara pada tanggal 5 April
1934. Sejak kecil ia telah mendapatkan pendidikan formal di tempat kelahirannya
hingga dalam lembaga Volks School pada tahun 1941-1943. Pendidikan agama
secara formal baru dinikmatinya ketika memasuki Madrasah al-Muslim
Peusangan pada tahun 1948. Pendidikan formal keagamaannya pun semakin
diasah ketika memasuki lembaga Pra SMI Lho‟ Seumawe di bawah asuhan
T.M.Hasby Ash-Shiddieqy. Ia juga pernah mendalami ilmu agama Islam di PGA
Negeri Kutaraja dan Bogor pada tahun 1951 sampai 1955. Pendidikan Hakim
Agama Negeri ditempuhnya di kota Yogyakarta selama 4 tahun, tepatnya tahun
1955 hingga 1958, dan dikota yang sama ia melanjutkan pendidikan agama di
Perguruan Tinggi Agama Islam sejak tahun 1958 sampai 1961 sampai
62Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, h. 10-11.
81
memperoleh gelar BA. Ia menyempatkan diri mengikuti pendidikan di Fakultas
Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta, Jurusan
Perbandingan Agama dan berhasil memperoleh gelar sarjana. Selain pendidikan
formal keagamaan, ia juga menempuh pendidikan ekonomi di Jakarta pada tahun
1974.63
Menurut Thalhas, dalam agama Hindu tidak ada pengertian atau konsep
tentang Tuhan dalam arti kata yang sebeneranya seperti dalam Islam. Hinduisme
mempertuhannkan Dewa-dewa. Sati diantara Dewa tersebut menjadi Dewa
tertinggi. Itupun tidak untuk selama-lamanya. Dalam sejarah Hindu, Dewa-dewa
itu silih berganti memegang kekuasaan sebagai Tuhan yang tertinggi. Misalnya
Trimurti, akan tetapi ketiga oknum Dewa tersebut sifatnyanya selalu berubah.
Ketika Dewa yang satu luntur kedudukannya maka di ganti Dewa lainnya. Tapi
bagi penduduk yang bermazhab masing-masing Dewa yang mereka sembah tetap
yang memiliki kedudukan yang tinggi. Dalam agama Hindu ada juga kepercayaan
kepada Dewa. Orang yang beranggapan bahwa kegiatan Dewa dapat menjelma
menjadi perempuan, yang disebut Sakti. Di samping itu mereka juga percaya pada
setiap Dewa-dewa terdapat Dewi-dewi. Selain itu juga, setiap Dewa mereka
yakini memiliki kendaraan.64
Pokok ajaran pangkal ajaran Hindu tentang Dewa-dewa berasal dari
paham animisme. Maka tidak heran apabila dalam Hindu banyak sekali Dewa-
dewa. Semuanya merupakan penjelmaan kekuatan alam. Semua Dewa dipuja oleh
63Tamrin, Paradigma Penafsiran al-Qur‟an Nusantara (Analisis Penafsiran Aceh „Tafsir
Pase‟), (Palu: STAIN Datokaramah), h. 3-6.
64
T.H. Thalhas, Pengantar Studi Ilmu Perbandingan Agama (Jakarta: Galura Pase, 2006),
h. 59-61.
82
orang Hindu agar memberikan kebaikan. Selain Dewa, dalam agama Hindu
binatang65
juga merupakan objek pemujaan. Thallhas juga berbicara tentang
ajaran Hindu Bali, orang Bali sendiri mengatakan agamanya dengan “Gamabali”
atau “Gamatirta”. Tirta artinya air, karena secara bahasa dan linguistik Hindu
berarti air (Shindu). Ajaran Hindu Bali atau Hindu Dharma juga percaya kepada
Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam prakteknya dapat dicapai melalui jalan
perantara Dewa. Mereka percaya adanya Dewa-dewa sebagai makhluk Tuhan
yang mempunyai kedudukan sebagai perantara hidup kebatinan dan keagamaan
antara manusia dan Tuhan. Dewa-dewa itu mereka anggap sebagai malaikat.
Dewa-dewa menurut keyakinan mereka dikenal ada tiga puluh tiga Dewa yang
terpenting, sedangkan masyarakat Hindu Bali lebih memuliaka Dewa Shiwa
daripada Dewa-dewa lainnya. Ini menunjukkan bahwa agama Hindu bali
menganut aliran Shiwa.66
Menurut Thallhas, Hindu tidak memiliki konsep ketuhanan seperti dalam
Islam konsep ketuhananya jelas. Tetapi Hindu mempertuhankan Dewa-dewa
meski begitu Thallhas tidak mengatakan kalau agama Hindu politeis, tetapi
Thallhas mengatakan kalau adanya konsep Dewa-dewa berasal dari paham
animisme jadi tidak heran kalau Hindu memiliki banyak Dewa. Tetapi ketika
berbicara tentang Hindu Bali, Thallhas mengatakan dengan jelas kalau Hindu Bali
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan Dewa sendiri dikatakan sebagai
malaikat.
65Kera dulu menjadi tentara Rama, sebagai penjelmaan Wisnu di bawah pimpinan
Hanoman. Binatang-binatang lain yang harus dipuja di antaranya; Lembu, Ular dan Buaya.
66
T.H. Thalhas, Pengantar Studi Ilmu Perbandingan Agama, h. 64-67.
83
3. Prof. Dr. H. Abdullah Ali, MA.
Abdullah Ali, Lahir di Cirebon, 27 November 1949. Berprofesi sebagai
Guru Besar Ilmu Sosial atau Sosiologi Antropologi di Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Cirebon. Mengawali pendidikan selama 6 tahun di Sekolah
Rakyat Islam (SRI) Daru‟l Hikam Cirebon 1962, 4 tahun di PGA Daru‟l Hikam
Cirebon (1966), 6 tahun di PGA Negeri Cirebon 1969, S1 Fakultas Ushuluddin
Jurusan Perbandingan Agama IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1976, S2
Antropologi Universitas Indonesia (UI) Jakarta 1991, S3 Sosiologi-Antropologi
Universitas Pajajaran (Unpad) Bandung 2003.67
Pengalaman Karir Akademik, dimulai dengan menjadi Dosen Luar Biasa
pada Fakultas Tarbiyyah IAIN SGD Cirebon sejak tahun 1977, dan diangkat
sebagai dosen tetap tahun 1980 pada institusi yang sama. Pengalaman
kepemimpinan, ketua tim pembina Mahasiswa, Kepala Biro Riset (1980-1981),
Ketua Jurusan Bahasa Arab (1981-1982), Ketua Jurusan PAI (1982-1983), Ketua
Jurusan Tadris IPS/Bhs. Inggris Fakultas Tarbiyyah IAIN Cirebon (1983-1990),
Pudek I PTI, Kepala Pusat Pengabdian Masyarakat (1996-1998), Ketua Jurusan
Dakwah (1998-2000), dan Pembantu Ketua IV STAIN Cirebon (2000-2002).68
Abdullah Ali, dalam membicarakan mengenai ketuhanan agama Hindu,
Ali mengawalinya dengan menjelaskan kelahiran agama Hindu. Menurut Ali,
kelahiran agama Hindu di latarbelakangi dengan akulturasi kebudayaan antara
bangsa Aria sebagai bangsa pendatang dari Iran, dengan bangsa Dravida sebagai
penduduk asli India. Dengan segala kepercayaan dan kebudayaan yang bersifat
67Abdullah Ali, Agama Dalam Ilmu Perbandingan (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), h.
255.
68
Abdullah Ali, Agama Dalam Ilmu Perbandingan, h. 256.
84
Vedawi, telah menjadi thesa di satu pihak, dan kepercayaan bangsa Dravida yang
animis telah menjadi antithesa di lain pihak. Dari sinkretisme antara keduanya,
lahir agama Hindu (Hinduisme) sebagai synthesa. Berlatar belakang statusnya
sebagai bangsa pendatang, maka bangsa Aria merasa memiliki kelebihan daripada
bangsa Dravida. Kedudukan bangsa Aria yang terdiri dari para brahmana ahli
kitab itu, bagaimanapun tidak bisa disejajarkan dengan orang-orang awam pada
umumnya, sehingga tidaklah menherankan jika di kemudian hari agama Hindu
lebih banyak diwarnai oleh adanya klasifikasi masyarakat penganutnya ke dalam
kasta-kasta. Karena kaum brahmana yang menguasai kitab Veda telah menjadi
kleompok penentu ajaran Hindu, karena itu agama Hindu dikenal juga dengan
istilah agama Brahmana atau disebut Dharma dalam bahasa Sansekerta. Dari sisi
lain, agama Hindu terkadang disebut juga agama Weda, yang wujud lahiriahnya
terdiri dari empat kelompok, yaitu: Rig Weda, Sama Weda, Yayur Weda, dan
Atharwa Weda.69
Ali, menyebut ketuhanan Trimurti mengenai konsep ketuhanan agama
Hindu. Menurut Ali, sistem ketuhanan Hindu mendekati paham materialisme
yang bersifat naturalis, karena disandarkan pada peristiwa dan kejadian alam,
sehingga hampir segala gejala dan gerak alamiah merupakan manifestasi dari
lambang kekuatan. Jadi menurut Ali, kepercayan terhadap kekuatan yang
majemuk itu tidak heran jika menggiring ketuhanan Hindu ke arah politeisme
yang memuja banyak Dewa.70
69Abdullah Ali, Agama Dalam Ilmu Perbandingan, h. 159-160.
70
Abdullah Ali, Agama Dalam Ilmu Perbandingan, h. 161.
85
Ketuhanan yang politeis dalam agama Hindu, menurut Ali, akan jelas
terlihat ketika memperhatikan pemujaannya, yang tidak hanya dilakukan kepada
satu Dewa, akan tetapi bermacam-macam Dewa sesuai dengan gerak alam.
Seperti halnya, penguasa matahari oleh Dewa Surya, langit dan lautan oleh Dewa
Waruna, hujan dan perang untuk Dewa Indra, atau angin topan untuk Dewa
Maruta dan bumi oleh Dewi Pertiwi.71
Ali juga membicarakan tentang agama
Hindu Bali, menurut Ali, agama Hindu Bali merupakan perpaduan antara Hindu,
Budha dan adat istiadat masyarakat Bali sendiri, dimana pengaruh Hindu tampak
pada upacara pembakaran mayat, pembagian kasta, dan lain-lain. Sedangkan
pengaruh Budha, dapat dilihat terutama sekali pada kesukaan masyarakat Bali
terhadap hal-hal ghaib (kebatinan).72
Berbicara tentang ketuhanan Hindu, menurut Ali, dasar kehidupan Bali
asli sudah agamis, sehingga kehadiran Hindu dan Budha cukup mendapat tempat
tersendiri untuk dapat berkembang lebih maju. Menurut Ali, agama Hindu Bali
sendiri sangat mempercayai peranan Dewa-dewa yang disimbolkan dalam wujud
patung-patung di setiap pura, sekaligus dengan tempat pemujaannya, bahkan
sampai ke rumah-rumah sekalipun. Sebagai Dewa tertinggi yang menguasai langit
dan bumi serta sumber kehidupan, adalah sang Hyang Titah atau disebut juga
Sang Hyang Widhi (Widiwasa).73
Meurut Ali, konsep ketuhanan agama Hindu
mendekati paham matrealisme. Paham yang menyandarkan pada kekuatan
majemuk, kemudian paham inilah yang menurut Ali menggiring agam Hindu ke
71 Abdullah Ali, Agama Dalam Ilmu Perbandingan, h. 161-162.
72
Abdullah Ali, Agama Dalam Ilmu Perbandingan, h. 175.
73
Abdullah Ali, Agama Dalam Ilmu Perbandingan, h. 175.
86
arah politeis, hal ini juga semakin diperkuat dengan pemujaan kepada Dewa-
dewa.
4. Khotimah, M. Ag
Khotimah dilahirkan di Pulaukijang Indragiri Hilir, 16 Agustus 1974
merupakan dosen di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama dalam
bidang Agama-agama Dunia. Jenjang pendidikan Madrasah Ibtidaiyah dan
Madrasah Tsanawiyah diselesaikan di Pulaukijang, Madrasah Aliyah diselesaikan
di Kotabaru keritang INHIL. Pendidikan S1 dan S2 di UIN Riau. Diangkat
menjadi dosen tetap di Fakultas ini pada tahun 2005. Tulisan-tulisan ilmiah
berupa penelitian-penelitian yang terkat dengan masalah problem-problem sosial
keagamaan terus dilakukan setiap tahunnya. Karya berupa buku ber ISBN yang
telah diterbitkan adalah Gerakan Pembaharuan Agama-agama (2009), buku
Agama Hindu ini merupakan buku kedua (sebelum Buku ajar agama Yahudi dan
Kristen yang di tulis bersama Tarpin, M. Ag.) yang disususn khusus sebagai
bahan ajar bagi mahasiswa Perbandingan Agama yang menjadikan mata kuliah
Agama Hindu sebagai salah satu mata kuliah wajib.
Menurut Khotimah, sistem ketuhanan Hindu mendekati paham
matrealisme yang mendekati paham matrealisme yang bersifat naturalis, karena
disandarkan pada peristiwa dan kejadian alam, sehingga segala gejala dan gerak
alamiah merupakan manifestasi dari lambang kekuatan. Tidaklah mengherankan
jika menurut kepercayaan terhadap kekuatan yang majemuk itu menggiring
ketuhanan Hindu kearah politeisme yang menuju banyak Dewa. Diantara sekian
banyak Dewa yang dipuja sebagai sumber kekuatan, hakikatnya terkoordinasi
87
dalam ketuhanan Trimurti. Dalam agama Hindu, kepercayaan adanya Tuhan
adalah dasar-dasar keyakinan umat beragama Hindu yang disebut sebagai Panca
Sraddha. Dalam menuju ke jalan Tuhan, umat beragama Hindu perlu menghayati
apa yang diajarkan dalam Panca Sraddha karena pada akhir keyakinan Panca
Sraddha ini adalah Moksa yaitu Peringkat menuju Tuhan.74
Agama Hindu mengajarkan tentang keyakinan adanya Tuhan Yang Maha
Esa sebagaimana agama-agama lain pada umumnya. Agama Hindu memiliki dua
konsep ketuhanan yaitu: Nirguna Brahman (Tuhan yang tanpa wujud) yang
disebut dengan Brahman. Dan Saguna Brahman (Tuhan dalam bentuk pribadi)
yang merupakan dasar konsep Trimurti. Tuhan dalam agama Hindu adalah
Brahman yang merupakan asal dari segala yang ada, dan yang akan ada, baik yang
bersifat nyata (sekala) maupun yang tidak nyata (niskala). Alam semesta jagad
raya ini adalah ciptaan Tuhan sebagai wujud nyata akan kemahaberadaan Tuhan.
Percaya terhadap adanya Tuhan mempunyai pengertian yakin dan iman terhadap
Tuhan itu sendiri. Yakin dan iman ini merupakan pengakuan atas dasar keyakinan
bahwa sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kuasa dan Maha segalanya.
Tuhan Yang Maha Kuasa, disebut juga Hyang Widhi (Brahman) adalah Ia yang
berkuasa atas segala yang ada ini.75
Menurut Khotimah, Dewa-dewa yang di manifestasikan tersebut juga
dipanggil sebagai Trimurti adalah tiga wujud Sang Hyang Widhi. Wujud-
wujudnya adalah Brahman, Wisnu dan Siwa. Tiga Dewa Trimurti berhubungan
dengan tiga guna dalam permainan kosmis dalam penciptaan, pemeliharaan dan
74Khotimah, Agama Hindu dan Ajaran-ajarannya (Riau: Daulat Riau, 2013), h. 41.
75
Khotimah, Agama Hindu dan Ajaran-ajarannya, h. 42.
88
pemusnahan (pengembalian ciptaannya ke asalnya). Wisnu melambangkan
sattavaguna, Siwa melambangkan sifat tammas, dan Brahma berdiri antara
keduanya ini dan melambangkan sifat rajas.76
Menurut Khotimah, konsep
ketuhanan Hindu adalah percaya akan Tuhan ada dan Maha Kuasa. Bisa dikatakan
bahwa agama Hindu memiliki konsep ketuhanan yang Monoteis, tetapi untuk
memberi kemudahan bagi para pemeluknya mereka membagi konsep ketuhanan
menjadi dua konsep yaitu, Saguna Brahman dan Nirguna Brahman. Disini yang
sering di puja oleh pemeluk Hindu yaitu Saguna Brahman, yang merupakan dasar
dari konsep Trimurti.
5. M. Ali Imron
Sejauh penelusuran penulis, penulis tidak menemukan biografi Rifai, tapi
berdasarkan informasi yang Penulis ketahui, Imron adalah dosen IAIN Lampung.
Menurut Imron, Agama Hindu meliputi berbagai aliran serta pandangan luas
terhadap hukum dan aturan tentang moralitas sehari-hari yang berdasarkan karma,
dharma, dan norma kemasyarakatan. Agama ini memang cenderung seperti
himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual daripada seperangkat
keyakinan yang baku dan seragam. Apabila dikaji lebih dalam, agama Hindu lebih
merupakan suatu cara hidup daripada kumpulan kepercayaan. Sejarahnya juga
menerangkan mengenai isi kandungannya yang meliputi berbagai kepercayaan,
hal-hal yang harus dilakukan, dan yang boleh dilakukan. Agama ini tidak
mempunyai kepercayaan yang membawanya turun hingga kepada penyembahan
76 Khotimah, Agama Hindu dan Ajaran-ajarannya, h. 47.
89
batu dan pohon-pohon, dan membawanya naik pula kepada masalah-masalah
falsafah yang abstrak dan halus.77
Berbicara mengenai sistem kepercayaan Hindu, menurut Imron, Weda
menjadi kitab suci yang menjadi pedoman bagi umat Hindu dalam menjalankan
aktivitas keagamaan mereka. Tidak hanya itu, melalui suci ini juga, umat
diajarkan tentang etika dan tata cara hidup sebagai makhluk sosial. Banyak yang
berpendapat bahwa Hindu merupakan agama yang beraliran politeisme karena
memuja banyak Dewa, namun menurut Imron tidak sepenuhnya demikian. Sebab,
dalam agama Hindu bukanlah Tuhan sendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu
Maha Esa dan tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita
Wedanta, dijelaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari
segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia
dalam beragam bentuk.78
Untuk memahami konsep ketuhanan Hindu, menurut Imron seseorang
dapat merujuk kepada ajaran agama Hindu yang di bangun atas tida kerangka
dasar, yaitu Tattwa, Susila, dan Acara Agama. Ketiganya merupakan satu
kesatuan entegral yang tak terpisahkan serta menjadi dasar dalam setiap perilaku.
mengenai konsep ketuhanan maka yang akan penulis bahas disini mengenai
Tattwa (filsafat), dalam pandangan Imron; sebagai dasar keyakinan Hindu tattwa
mencakup lima hal yang disebut Panca Sradha pokok-pokok keimanan tersebut
terdiri atas Widhi Tattwa, Atma Tattwa, Karmaphala Tattwa, Punarbhawa
77M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-agama Di DuniaDari Masa Klasik Hingga
Masa Modern (Yogyakarta: IRCisOd, 2015), h. 70.
78
M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-agama Di Dunia, h. 87-88.
90
Tattwa, dan Moksa Tattwa.. Keimanan srada kepada Tuhan merupakan dasar
kepercayaan yang harus dipegang teguh oleh para penganut agama Hindu.
Mengenai Widhi Tattwa atau yang biasa kita dengan sebutab Brahman yaitu
percaya adanya Tuhan, dikutip dari tulisan Pudja (1999: 3), konsep ketuhanan
dalam agama Hindu disebut Brahmawidya, yang artinya sama dengan telogi, yaitu
ilmu yang mempelajari tentang Tuhan. Brahman dalam agama Hindu berarti
Tuhan, gelar yang diberikan kepada Tuhan sebagai Dzat yang maha memberikan
kehidupan kepada semua ciptaan-Nya; Dia adalah Dzat Yang Maha Kuasa.79
Oleh karena itu, menurut Imron, konsep ketuhanan Hindu tidaklah politeis
meski banyak yang berpedapat kalau Hindu politeis, Imron mengatakan agama
Hindu tidak politeis berdasakan pengakuan umat Hindu yang baginya Tuhan itu
Maha Esa dan tidak ada duanya. Karena itu, menurut Imron, umat Hindu wajib
meyakini atau beriman terhadap Hyang Widhi (Brahman). Akan tetapi menurut
ajaran Hindu Tuhan Yang Maha Esa tidak terjangkau oleh pikiran dan indra, jadi
yang gaib disebut dengan berbagai nama sesuai dengan jangkauan pikiran, nama
Dia hanya satu, tunggal ada-Nya. Karena Tuhan itu tidak terjangkau oleh pikiran
maka orang membahayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya.
Tuhan Yang Tunggal itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsi-
Nya.80
79M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-agama Di Dunia, h. 88-89.
80
M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-agama Di Dunia, h. 90.
91
BAB IV
MEMAHAMI KONTEKS PARA PENULIS
A. Menghukumi Politeisme
Studi tentang agama-agama di kalangan Muslim Indonesia mulai
berkembang pada dekade 40-an dan 50-an. Pada dekade ini muncul beberapa
literatur tentang agama-agama yang ditulis oleh beberapa intelektual Muslim pada
masa itu. Pada dekade 60-an, literatur tentang agama-agama yang ditulis oleh
sarjana Muslim semakin banyak bermunculan dengan tema-tema perbandingan
dan ada yang sudah menggunakan kata “Perbandingan” dalam judulnya. Masuk
dekade 70-an perbincangan tentang penelitian agama mulai marak, dan pada
dekade ini muncul para Penulis Muslim yang menulis tengang agama, di antara
buku yang terbit pada dekade ini adalah Perbandingan Agama (1970 karya Moh.
Rifai, Perbandingan Agama (1973) karya Agus Hakim, Ilmu Perbandingan
Agama (1986) karya Habullah Bakry, Menguak Misteri Agama-agama Besar
(1986) H. M. Arifin. M. Ed, Agama-agama Besar Di Dunia (1988) Jousoef
syu’yb, Sejarah Agama-agama (1996) Mudjahid Abdul Manaf. Sebagian besar
buku yang ditulis oleh sejumlah intelektual Muslim pada dekade di atas
sebagaimana di lihat dari isi karya-karya mereka, masih berisi tulisan-tulisan yang
bercorak teologis, dengan menggunakan kriteria agama sendiri untuk menilai
agama lain, hal ini tidak jarang akan menimbulkan sikap apologis, apologetik dan
bahkan provokatif.1
1Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
h. 25.
92
Dari penjelasan yang disampaikan pada bab sebelumnya, yaitu para
Penulis Muslim yang menulis tentang konsep ketuhanan agama Hindu, maka dari
uraian diatas dapat kita lihat mereka memiliki pandangan yang serupa dalam
menulis karya-karya tentang Perbandingan Agama yang di dalamnya ada
pembahasan bahwa agama Hindu itu politeis yaitu Moh. Rifai, Agus Hakim,
Hasbullah Bakry, Jousouf Sou’yb, Mujahid Abdul Manaf dan H. M. Arifin.
walaupun tidak semuanya mengatakan dengan tegas kalau Hindu politeis, tapi
dari tulisan meraka dapat kita amati pendapat mereka tentang agama Hindu
mengarah kepada ketuhanan Hindu yang politeis.
Mereka menyadari Perbandingan Agama sebagai kajian ilmiah dengan
pendekatan ilmiah pula, namun sepenuhnya setuju dengan gaung semangat
dakwah, finalitas dan kesempurnaan Islam dibanding agama lain dan
kekhawatiran jika Perbandingan Agama sepenuhnya menjadi kajian ilmiah lalu
digunakan secara tidak benar akan menggoyahkan atau membahayakan akidah
(keyakinan).2 Jika kita lihat dari latar belakang penulis, ada bebarapa hal yang
menjadi latarbelakang tulisan dari para Penulis mengatakan Hindu politeis,
sebagai berikut:
1. Ilmu Perbandingan Agama Untuk Dakwah
Mereka yang hidup pada tahun-tahun 70an-80an, sebagian besar masih
memandang Ilmu Perbandingan Agama untuk dakwah. Meskipun tidak semuanya
kuliah di Jurusan Perbandingan Agama tetapi kebanyakan dari mereka belajar di
Jurusan Perbandingan Agama. Ilmu Perbandingan Agama di kaum Muslim
2Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama “Dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) Hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.194-195.
93
Indonesia secara formal akademik lahir di PTAIN (Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri) Yogyakarta pada 1961, setelah berdirinya dua pendidikan tinggi
Islam Negeri, yaitu di PTAIN Yogayakarta dan ADIA Akademi Dinas Ilmu
Agama) Jakarta. Kelahiran jurusan PA di Fakultas Ushuluddin tidak bisa lepas
dari Professor Mukti Ali, seorang cendikiawan Muslim terkemuka yang meraih
gelar Doktor. Namun, menurut menurut Mukti Ali, harus diakui keadaan studi
agama khususnya agama Islam, di Indonesia pada tahun 1950 dan 1960-an masih
sangat lemah. Sebab kelemahan dalam pengembangan ilmu agama, khususnya
Islam, antara lain (1) kekurangan bacaan ilmiah, (2) kekurangan penelitian secara
ilmiah, (3) kekurangan diskusi akademis, dan (4) masih rendah penguasaan
bahasa asing di antara sebagian besar mahasiswa dan dosen, sementara relatif
sedikit buku-buku ilmu agama yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang
pembahasannya sangat analitik.3
Ada juga faktor-faktor fundamental lainnya pada masa itu menurut Mukti
Ali adalah: pertama, kehidupan keagamaan di Indonesia yang lebih menekankan
aspek mistik, tepatnya lebih ke “amaliah” daripada “pemikiran”. Karena itu
kehidupan keagamaan model itu jauh dari pendekatan agama secara ilmiah.
Kedua, pemikiran ulama-ulama di Indonesia dalam Islam masa itu lebih banyak
ditekankan dalam bidang fikih dengan pendekatan yang sangat normatif. Ketiga,
dengan kondisi itu muncullah reaksi di kalangan pemikir-pemikir Muslim
Indonesia, seperti Professor Harun Nasution, Guru Besar Filsafat Islam IAIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia menentang kehidupan agama yang serba mistis
3Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama, h. 185-187.
94
dan pendekatan agama secara normatif yang terpusat kepada fikih. Karenanya, ia
menulis buku-buku yang amat penting dan fundamental dalam bidang Ilmu Kalam
dan Filsafat. Meski demikian, Ilmu Perbandingan Agama, dalam menghadapi
reaksi seperti itu, menurut Mukti Ali, tetap mesti berhati-hati supaya ilmu itu tidak
terseret ke dalam Teologi maupun Filsafat Agama.
Keempat, timbulnya semangat dakwah yang begitu hebat di Indonesia,
terutama setelah terjadi pemberontakan komunis pada 1965. Dengan
pemberontakan itu umat Islam jadi sadar bahwa dakwah di Indonesia harus lebih
ditingkatkan. Semangat dakwah yang seperti ini menimbulkan satu cabang ilmu
pengetahuan sendiri, yaitu “Ilmu Dakwah” atau “Misiologi”. Jika dalam
perbandingan Agama, agama-agama diuraikan sebagaimana adanya dengan
berusaha untuk mencari persamaan dan perbedaan antara satu agama dan agama
lainnya, maka dalam Ilmu Dakwah, agama-agama diuraikan dalam hubungannya
dengan agama Islam untuk menunjukkan keunggulan Islam atas agama-agama
lain. Tentu saja ilmu Perbandingan Agama berbeda dengan Ilmu Dakwah.4
Kelima, yang menjadi penyebab ilmu Perbandingan Agama kurang
berkembang di Indonesia adalah dugaan bahwa ilmu ini datang dari Barat. Karena
itu, orang-orang Islam melihatnya dengan curiga. Keenam, peserta-peserta kuliah
Perbandingan Agama kurang menguasai ilmu-ilmu bantu Perbandingan Agama,
seperti sejarah, sosiologi, antrpologi, arkeologi, yaitu ilmu-ilmu yang dapat
membantu orang untuk memahami fenomena berbagai agama. Selain itu,
kekurangan lainnya yaitu peserta Jurusan ilmu ini kurang memahami bahasa
4 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama, h. 187.
95
asing. Bahasa menjadi salah satu hal penting, karena hal yang ideal jika orang
yang ingin mempelajari ilmu Perbandingan Agama itu harus memahami bahasa
asli dari kitab suci dan ajaran-ajaran dari agama yang akan dipelajarinya.5
Definisi Mukti Ali yang berkutat pada soal menghubungkan satu agama
dengan agama lain dan menemukan persamaan serta perbedaan struktur dan
pranata agama-agama kelihatannya menjadi ikon definisi yang baku sejak era
1960 masa Mukti Ali hingga pertengahan 1990, bahkan hingga saat ini. kita dapat
menemukan definisi-definis tersebut dalam beberapa karya yang sudah disebutkan
sebelumnya. Definisi yang serupa mengenai Perbandingan Agama disebabkan
referensi yang dirujuk adalah sama. Biasanya referensi yang dirujuk oleh para
penulis di atas adalah karya Mukti Ali. Dalam perkembangannya, studi ini
memang terdapat definisi lain yang lebih spesifik dan variatif. Selama memakai
nama “Perbandingan Agama” untuk mencari persamaan dan perbedaan seolah
menjadi ikon yang tak biasa dilepaskan dari kajian ini, meskipun masuk pula
pengertian-pengertian lain, baik yang lebih spesifik maupun lebih luas.6
Jika dilihat dari berbagai definisi yang telah disebut dapat pula dipahami
bahwa tujuan studi ini adalah untuk membandingkan berbagai ajaran dan sitem
keagamaan yang berbeda-beda. Hal tersebut yang kemudian menimbulkan
pertanyaan, untuk apa agama dibanding-bandingkan. Mengutip dari salah satu isi
Pasal Khusus yang dibuat Mukti Ali berjudul “Guna dan faedah Ilmu
Perbandingan Agama bagi seorang Muslim” yang isinya: pengetahuan tentang
agama-agama lain, bukan hanya berguna bagi para mubaligh, tetapi adalah sangat
5Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama, h. 188.
6Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama, h. 188-192.
96
penting bagi setiap Muslim, untuk mencari segi-segi persamaan antara agama
Islam dengan agama-agama bukan Islam. Hal ini sangat berguna untuk
perbandingan, untuk membuktikan, dimanakah segi-segi dari agama Islam yang
melebihi agama-agama lain, berguna juga untuk menunjukkan bahwa agama-
agama lain datang sebelum Islam itu adalah sebagai pengantar terhadap kebenaran
yang lebih luas dan lebih penting, ialah agama Islam.7
Dari salah satu isi dari Pasal khusus yang dibuat Ali, dapat dipahami,
manfaat dari Perbandingan Agama bagi kaum Muslimin adalah untuk berdakwah.
Kegiatan dakwah Islam yang menjadi bagian dari studi Perbandingan Agama
dalam kenyataan Ali itu cukup mengejutkan. Karena mengingat tiga hal tentang
Ali, yaitu: (1) Ali adalah salah satu murid “Kinasih” Wilfred C. Smith, Mahaguru
Perbandingan Agama di Mc Gill, Kanada yang sangat ia kagumi karena
kedalaman dan objektivitasnya sebagai ilmuwan, (2) Ali juga mengkritik
pandangan apologis Louis Jordan tentang “superioritas dan inferioritas agama”,
dan (3) Ali menjelaskan bahwa ilmu itu berbeda dengan ilmu dakwah, meskipun
Perbandingan Agama lahir di masa-masa semangat dakwah Islam yang
menggelora. Memang dari awal, Ali telah menegaskan ketidaksetujuaannya atas
pandangan “ilmu untuk ilmu,” sebagaimana “seni untuk seni”.8
Baginya, ilmu bertujuan untuk ibadah, karena hidup adalah bentuk ibadah
kepada Allah. Ibadah di sini bagi Ali adalah bahwa ilmu Perbandingan Agama
ditujukan juga untuk mempermudah terwujudnya kerukunan hidup
antarberagama. Namun, tujuan pertama untuk menunjukkan superioritas Islam,
7Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama, h. 192.
8Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama, h. 193-194.
97
inilah problem dalam konteks studi ilmiah Perbandingan Agama. Pernyataan itu
tentu jauh dari semangat menjadikan Perbandingan Agama sebagai ilmu yang
independen dengan metode ilmiah tertentu yang dapat diakui nilai objektivitasnya.
Pada sisi lain, apologia Ali dapat dipahami jika menyadari kehidupan umat Islam
dan corak kajian Islam yang eksklusif, berorientasi melulu fikih dan teologi, dan
karena itu muncul semangat dakwah yang tinggi di era 1960-an. Dan semangat
dakwah yang terdapat dalam kajian Ali, yang kemudian diteruskan oleh beberapa
murid intelektualnya dan hal inilah yang menjadikan penulis Muslim yang sudah
disebutkan di atas menulis karya dengan semangat dakwah.9
2. Mereka Tidak Belajar Langsung dari Para Pemeluk Agama Hindu
Untuk memahami sebuah agama yang menghasilkan suatu nilai yang
objketif tidak terlepas dari kerangka cara berfikir yang berlandasan pemikiran
adalah sangat menentukan penilaian objektif terhadap sebuah keyakinan (agama).
Hal ini karena agama bukan saja mengajarkan hal-hal yang rasionil, tapi juga
sebuah dogma, doktrin metafisis, supra natural yang perlu sebuah keyakinan yang
dijalankan tanpa di rasionalkan. Maka jika semua kajian dan pemahaman terhadap
agama dirasinalkan dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah kajian dan
pemahaman yang objektif dan ilmiah, maka justru metode, fremawork kajian
untuk memahami yang dipakai adalah tidak objektif dan ilmiah, maka secara
otomatis hasilnyapun sangat tidak objektif. Jadi, ketika para penulis Muslim
tersebut ingin memahami agama Hindu maka perlunya melihat dan memahami
landasan pemikiran dan pandangan hidup dari pemeluk agama Hindu itu. Karena
9 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h. 194
98
tidak objektif bahkan rancuh apabila mereka menggunakan agama Islam untuk
memahami agama Hindu.10
Dalam buku Perbandingan Agama yang mereka tulis, mereka menyatakan
bahwa agama Hindu itu adalah politeis, hal tersebut bisa diduga bahwa para
penulis tersebut orang yang belum tahu tentang hakikat kebenaran agama Hindu.
Seperti Rifai, Thalhas, Agus, dan lainnya tampaknya mereka mencoba mengulas
agama Hindu secara subjektif dan cenderung chauvinis11
, artinya ketika
menguraikan perihal Hindu, mereka menggunakan kriteria agamanya sebagai
tolak ukur dan secara sepihak menempatkan agamanya sebagai “yang paling
mutlak benar”. Padahal jelas bahwa agama Hindu sebagaimana halnya agama-
agama resmi lainnya yang diakui keberadaannya adalah juga agama wahyu yaitu
suatu agama yang ajaran-ajarannya diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa
melalui perantara para Maharsi.12
Masalahnya sekarang orang hendaknya tidak melihat keberadaan agama
Hindu hanya dari bagian kulit luar saja, sehingga muncul pandangan sempit
bahwa agama Hindu itu adalah agama yang politeis. Pandangan yang kurang tepat
ini terjadi juga akibat mereka yang tidak mencoba memahami dan menyelami
agama Hindu dari keutuhan kerangkanya yang dibangun atas tiga bagian yaitu
tattwa (filosofi), etika (perilaku kesusilaan), dan Yajna (upakara dan upacara).
Jika mereka berpijak pada pola pikir objektif, utuh dan niat yang murni diyakini
10Andika Maheva Wicaksono, “Hindu Bukanlah Agama Budaya,” diakses pada 8 April
2018 dari http://ukkh.stikom.edu/hindu-bukanlah-agama-budaya.html.
11
Chauvinis adalah ajaran atau paham mengenai cinta tanah air dan bangsa yang
berlebihan. Makna ini kemudian diperluas hingga mencakup fanatisme ekstrem dan tak berdasar
terhadap sesuatu kelompok yang diikuti.
12
I Gusti Ketut Widana, Hindu Berkiblat Ke India? Dan Pertanyaan Lain Tentang Hindu
(Denpasar: PT BP, 2001), h. 17.
99
tidak akan lahir karya-karya tulisan yang justru mengingkari kemahakuasaan
Tuhan dalam mewahyukan ajaran-ajaranNya melalui agama-agama yang berbeda-
beda nama dan cara mencapainya.13
3. Buku-Buku atau Referensi yang Dibaca Sebagian Besar dari Sumber-
Sumber Islam.
Jika kita lihat lebih dala karya-karya mereka yang melahirkan tulisan pada
tahun 1970-1980an, mereka adalah orang-orang yang di training dalam lembaga-
lembaga Pendidikan Islam atau organisasi Islam untuk kepentingan dakwah, dan
mereka adalah kader-kader lembaga Islam. Karena untuk kepentingan dakwah
tentu karya-karya mereka tidak objektif, tapi subjektif. Jadi Perandingan
Agamanya beravidiasi kepada organisasi atau lembaga Islam jadi bukan
Perbandingan Agama di Universitas yang lebih netral. Semangat dakwah mereka
sangat tinggi oleh karena itu referensi yang dibaca sebagian besar dari Sarjana
Muslim, baik Sarjana Muslim yang dari Timur Tengah ataupun yang dari
Indonesia. Dapat dipastikan juga mereka tidak belajar langsung dari pemeluknya
terutama Hindu.
Dalam karya yang berjudul Perbandingan Agama, Rifai juga banyak
mengutip dari karya Penulis Muslim seperti Zainal Arifin Abbas, Hasbullah
Bakry, Mukti Ali dan lain lain. Rifai juga mengambil dari penulis Hindu yaitu G.
M. A. Pujo, meski begitu tetap saja Rifai tetap memberi pandangan jika Hindu
adalah politeis, dalam tulisannya juga Rifai selalu membandingkan antara Hindu
dan Islam. Seperti ketika berbicara tentang Dewa-dewa, Rifai mengatakan jika
13I Gusti Ketut Widana, Hindu Berkiblat Ke India? Dan Pertanyaan
Lain Tentang Hindu, h.21.
100
agama Hindu pada pokoknya tidak mempercayai adanya Tuhan dalam arti yang
sebenar-benarnya, seperti dalam pengertian kita ummat Islam.14
Seperti karya Thallhas Pengantar Study Ilmu Perbandingan Agama, yang
di dalamnya juga ada pembahasan mengenai agama Hindu. Dalam karyanya
tersebut, Thallhas banyak mengutip dari penulis Muslim seperti Zainal Arifin,
Hasbullah Bakry, bahkan mengutip dari Honig yang dalam tulisan Honig sendiri
jelas dikatakan bahwa penulis menulis karyanya secara subjektif dan Honig juga
bukan seorang pemeluk Hindu melainkan kristen, jadi bisa jadi Honig menulis
kerya berdasarkan sudut pandang agama yang Honig anut.15
Seharusnya ketika
menulis tentang agama yang bukan yang dianut, penulis harus lebih banyak
mengambil sumber referensi dari penganut langsung agama yang sedang diteliti.
Supaya memperoleh informasi langsung dan informasi yang jelas, yang nantinya
pennulis bisa menyimpulkan pandangannya dengan tidak sepihak.
B. Memandang Objektif
1. Bersifat Lebih Akademik
Di masa reformasi terutama di atas tahun 2000-an di kalangan dosen-
dosen muda UIN Yogyakarta dan Jakarta sebenarnya terdapat keinginan yang
kuat untuk mengganti nama Jurusan atau Program Studi menjadi religious studies
seperti yang ada di Barat atau dalam istilah Indonesia menjadi “studi-studi
Agama”. Tidak semata-mata ingin merubah, beberapa suara dari generasi muda
UIN Yogyakarta yang menghendaki perunahan nama memiliki alasan pokok
misalnya nama Perbandingan Agama di masa reformasi terlalu sensitif. Di masa
14Moh. Rifai, Perbandingan Agaama, h. 93.
15
A. G. Honig, Ilmu Agama (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2011), h. 60.
101
ketika meguatnya fundamentalisme agama, istilah perbandingan agama selalu
menjadi sasaran/hantaman keras kaum Islamis yang menganggap program studi
itu “berbahaya”. Dari prospek lapangan pekerjaan, sarjana Perbandingan Agama
juga sulit bersaing karena nama Perbandingan Agama kurang layak jual. Alasan
lain menurut Muttaqin, adalah bahwa ilmu Perbandingan Agama di masa Orde
Baru belum memiliki epistemologi yang mapan. Saat itu, studi Perbandingan
Agama lebih mengarah ke aktivitas dibanding kegiatan akademik atau
pengembangan keilmuan. Sedangkan saat ini, ilmu Perbandingan Agama telah
berkembang pesat, baik dari sisi metodologis maupun dari aspek materi-
materinya.16
Apabila ilmu Perbandingan Agama adalah ilmu yang mempelajari,
mengkaji agama-agama, dan tujuannya dapat memahami kemudian
mendeskripsikan sesuai dengan pengeertianyang dipercayai dan diakui oleh
pemeluk-pemeluknya17
, maka pada dasarnya ilmu Perbandingan Agama di dunia
Islam telah ada seiring munculnya Islam. Karena al-Qur’an yang merupakan kitab
suci dan rujukan utama umat Islam banyak membahas agama-agama di luar
Islam18
, termasuk agama yang sudah tidak berkembang. Di samping itu al-Qur’an
memberikan pedoman bagaimana seharusnya bersikap terhadap agama-agama
lain.
16Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h. 389.
17
Ali Anwar dan Tono Tp, Rangkuman Ilmu Perbandingan Agama
dan Filsafat (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 145.
18
Di antaranya adalah: Surat Al-Baqarah(2): 62, yang menyebutkan
keberadaan agama-agama selain Islam. Surat An-Nisa(4): 46, menyebutkan
beberapa sifat orang-orang Yahudi. Dan masih banyak ayat-ayat al-Qur’an
lainnya yang berbicara tentang agama-agama di luar Islam.
102
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan di berbagai bidang, terutama
tentang ilmu Perbandingan Agama, muncul penulis-penulis Muslim yang menulis
tentang agama Hindu tidak memandang secara subjektif akan tetapi secara
objektif, di antaranya adalah K.H. Zainal Arifin Abbas, ia menulis buku berjudul:
Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, dalam buku tersebut tidak ada
perkataan yang mengatakan bahwa agama Hindu Politeisme atau menyembah
banyak Tuhan. Justru buku tersebut memuat keterangan yang positif tentang
agama Hindu. Dalam buku Zainal tersebut, Zainal mengulas tentang Brahma,
yang menurutnya Brahma itulah tujuan. Secara ringkas menurut Zainal, Brahma
nama Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.19
Selain zainal, ada juga Alef
Theria Wasim dan M. Ali Imron yang tidak menghukumi Hindu Politeisme.
Dari uraian di atas serta penelaahan lebih dalam terhadap karya-karya
penulis Muslim tentang Perbandingan Agama, meski tidak semua karyanya
terkhusus pada Perbandingan Agama, dapat disimpulkan bahwa dalam mengkaji
dan meneliti agama-agama di luar Islam, baik dengan tujuan untuk mendapatkan
pemahaman yang benar dan objektif tentang suatu agama maupun sebagai
pembelaan dan bantahan terhadap tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada
Islam, senantiasa mereka tetap menulis karya berlandaskan pada metode ilmiah
dan objektif.20
19Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pemikiran Terhadap Agama, h.
201.
20
Dr. Anis Malik Thoha, pakar Perbandingan Agama di Internasional
Islamic University Malaysia (IIUM), dalam salah artikelnya yang berjudul
“Objectivity and the Scientific Study of Religion” menyimpulkan bahwa
“objketif” dalam al-Qur’an adalah bersikap adil dalam segala hal (In the
Qur’en, this “objectivity” is associated with al-adl (justice), a principle that
must be enforced in all situation), termasuk adil terhadap objek yang diteliti.
Dalam Jurnal Intellectual Discourse, IIUM Press, Vol 17, No. 1/2009, h. 89.
103
2. Tidak Semata Untuk Dakwah
Jika pada bagian para penulis Muslim yang sepakat tentang ketuhan Hindu
Politeis karena memang latar belakang mereka yang sebagian adalah seorang Dai
tidak heran jika dalam karyanya yang mereka kobarkan adalah semangat Dakwah,
karyanya juga bercorak teologis, tetapi beberapa penulis juga tidak menjadikan
corak teologis sebagai kecenderungan untuk mengkaji agama-agama lain. Karena
dengan mulai berkembangnya Jurusan Perbandingan Agama, kajian agama-
agama di kalangan intelektual Muslim tidak lagi semata-mata menggunakan
perspektif teologis, mereka mulai beralih ke perspektif ilmiah dalam mengkaji
agama.21
Karena mereka yang melahirkan karya-karya tentang Perbandingan
Agama yang menulis karyanya secara ilmiah, memang di gembleng di dunia
akademik dan mereka adalah Alumni dari Perbandingan Agama yang sudah mulai
objektif, mereka juga belajar/ mendengarkan langsung dari para pemeluk agama
Hindu. Karena itu mereka sudah bersikap akademik maka dalam karya mereka
tidak lagi semata-mata untuk kepentingan dakwah, maka pemikiran yang
akademik yang lebih mereka tonjolkan disini.
Semangat dakwah yang terjadi di kalangan intelektual Muslim di era
1960-an, bersamaan dengan itu Mukti Ali memiliki kekhawatiran jika salah
menggunakannya, ilmu ini akan berbahaya bagi Islam. Abdullah Ali
mempertegas, jika tidak benar dan tidak teapat penggunaannya, dapat
menggoyahkan dan membahayakan kepercayaan (akidah) sendiri (Islam), namun
21Rahmadi, dkk, Dinamika Pemikiran Sarjana Muslim tentang
Metodologi Studi Agama di Indonesia: Kajian terhadap Literatur Terpublikasi
Tahun 1964-2012, Tashwir Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2013, h. 31.
104
sebaliknya, ilmu Perbandingan Agama akan bermanfaat sekali, jika benar
mempergunakannya, untuk mengembangkan agama Islam lebih lanjut, dan nicaya
ditemukannya cara-cara baru untuk mempertahankan Islam. Hal lain yang bisa
diperoleh yaitu terciptanya toleransi, kerukunan dan komunikasi yang baik di
antara para pemeluk agama yang beragam.22
3. Sumber/ Referensi Seimbang
Pengumpulan data dan informasi tentang fenomena-fenomena atau hal-hal
yang diteliti merupakan sesuatu yang sangat urgen dari segi metodologi, baik
dalam ilmu Perbandingan Agama maupun dalam ilmu-ilmu lainnya. Karena ini
sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi nilai keilmiahan dan keobjektifan
dari penelitian tersebut. Dalam bidang ilmu Perbandingan Agama proses
pengumpulan data tentang agama yang diteliti dari sumbernya yang asli adalah
suatu yang mutlak. Seorang peneliti harus memperoleh data-data tentang agama
yang ia tulis dari sumber pertama (primer). Adapun sumber asli tentang suatu
agama secara umum terbagi pada tiga kategori, yaitu: Kitab Suci, yaitu kitab yang
dibawa oleh pendiri sebagai sumber ajaran bagi pengikut-pengikutnya. Kitab-
kitab yang membahas biografi perjalanan pendiri suatu agama yang ditulis
langsung oleh pengikutnya juga dapat digolongkan sebagai kitab suci. Syarah
atau Tafsir yang disusun oleh pendiri atau ulama-ulama yang menonjol dari suatu
agama atas kitab sucinya. Namun perlu disebutkan bahwa syarah atau penafsiran-
penafsiran tersebut senantiasa berbeda satu sama lain sesuai dengan mazhab
penulisnya. Berinteraksi langsung dengan pendiri agama dan atau dengan
22 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama, h. 197.
105
pemeluk-pemeluk agama yang diteliti secara umum. Metode semacam ini dalam
ilmu penelitian modern dikenal dengan istilah metode pengamatan langsung, yang
bisa diposisikan sebagai salah satu bagian metode deskriptif, yaitu metode ilmiah
yang digunakan dalam ilmu Antropologi dan Etnologi.
Seorang peneliti dalam bidang ilmu Perbandingan Agama diharuskan
memiliki pengetahuan yang cukup terhadap ilmu-ilmu bantu, karena hal ini
bertujuan membantunya melakukan kajian tentang agama-agama secara benar.
Seperti ilmu bahasa, seorang peneliti kajian ilmu Perbandingan Agama hendaknya
memiliki kemampuan dan penguasaan terhdap bahasa asli agama yang ditelitinya,
karena jika mengandalkan terjemah tidak mungkin dapat memahami secara
benar.23
Sudah banyak penulis Muslim Indonesia yang menulis tentang agama
Hindu. Meski tidak semuanya mengakui tentang Hindu yang monoteis, ada juga
sebagian yang dalam karyanya menjurus atau merujuk kalau Hindu adalah Politeis
yaitu Alef Theria Wasim, K. H. Zainal Arifin, M. Ali Imron, dan Khotimah.
mereka adalah para Alumni Perbandingan Agama yang memang sudah mulai
objektif. Dalam karyanya mereka menggunakan referensi yang ditulis oleh orang-
orang yang berkompeten di bidangnya, dan mereka juga menulis karyanya yang
didalamnya terdapat ulasan tentang agama Hindu secara objektif, dengan
memaparkan apa adanya sesuai dengan referensi yang ada baik yang ditulis oleh
orang Hindu sendiri ataupun non Hindu.
23
Ibrahim Turki, „Ilmu Muqaranatu al Adyan „Inda Mufakkiru al-
Islam (Iskandaria: Darul Wafa, 2002), h. 95-97.
106
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam periodesasi sejarah agama Hindu terbagi menjadi tiga zaman.
Pertama, zaman weda dalam zaman ini terdapat kepercayaan yang percaya
terhadap para dewa, percaya pada Rta dan terdapat dewa yang populer yaitu Agni,
Indra, Rudra, dan Waruna. Kedua, dalam agama Brahmana pemujaan terhadap
matahari ditekankan, pada zaman ini juga mengenal dengan upacara korban dan
juga kasta. Ketiga, pada zaman upanishad menentang ajaran-ajaran agama
Brahmana, terutama tentang ajaran korban. Jika kita lihat dari periodesasi agama
Hindu, dapat kita simpulkan setiap zaman memiliki ajarannya sendiri dan bahkan
memiliki dewa-dewa yang diunggulkan. Jika ada yang berpandangan bahwa
Hindu politeis, bisa jadi yang menjadi bahan rujukannya yaitu zaman weda.
Berdasarkan hasil kajian yang telah dijelaskan oleh penulis pada bab-bab
sebelumnya, mengenai pandangan para penulis Muslim tentang konsep ketuhanan
agama Hindu, yang di mulai dari tahun 1970-1990 rata-rata dari penulis Muslim
periode tersebut sepakat mengatakan agama Hindu memiliki konsep ketuhanan
yang politeis, kemudian disambut oleh para penulis Muslim tahun 1990-2015,
mereka juga sepakat dengan tidak mengatakan secara jelas kalau Hindu memiliki
konsep ketuhanan yang politeis, tetapi mereka memberi penjelasan berdasarkan
kacamata Hindu, dari pandangan para penulis tersebut maka, dapat disimpulkan
beberapa hal, diantaranya: Pertama, para penulis Muslim sebagian besar masih
berpandangan subjektif dalam menulis karya tentang agama lain, terkesan
107
menghakimi atau menilai ketuhanan agama Hindu dengan ukuran Agama sendiri.
Mereka tidak belajar langsung atau tidak mendengar langsung dari pemeluk
agama Hindu. Kedua, tulisan-tulisan tentang konsep ketuhanan agama Hindu
berada dalam atmosfer bahwa Studi Perbandingan Agama untuk kepentingan
dakwah. ketiga, kondisi demikian itu karena latar belakang para penulis Muslim
sebagai Da’i. Studi Perbandingan Agama juga selalu berafiliasi dengan lembaga
Pendidikan Islam. keempat, terdapat beberapa penulis Muslim yang memandang
objektif dan seimbang dalam referensi.
B. Saran-Saran
Ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan dari hasil penelitian ini
yaitu:
1. Tentu terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini, karena itu
diharapkan kritik dan saran dari pembaca.
2. Untuk para penulis yang ingin mengkaji tentang agama lain,
hendaknya lakukan penelitian secara objektif dan menggali informasi
langsung dari pemeluk atau tokoh-tokoh agama yang akan di kaji.
3. Bagi pembaca jika ada kesalahan dalam penelitian ini khususnya
ditingkat peneliti universitas agar bisa memperbaikinya dengan sebaik
mungkin. Dan untuk jurusan Studi Agama Agama supaya menjadi
khasanah keilmuan bagi generasi selanjutnya.
4. Pada Fakultas Ushuluddin diharapkan memperbanyak lagi referensi
tentang agama Hindu dari para Sarjana Hindu.
108
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abbas, Zainal Arifin. Perkembangan Pikiran Terhadap Agama. Jakarta: Pustaka
Al Husna, 1984.
Ahmadi, Abu. Perbandingan Agama. Jakarta: Rieke Cipta, 1991.
Ali, Abdullah. Agama Dalam Ilmu Perbandingan. Bandung: Nuansa Aulia. 2007.
Ali, Mukti. Agama-Agama Di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988.
Anwar, Ali dan Tp, Tono. Rangkuman Ilmu Perbandingan Agama dan Filsafat.
Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Arifin, H.M. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: PT. Golden
Trayon press, 2002.
Badudu, J.S. dan Zain, Sultan Muhammad. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Bahri, Media Zainul. Aneka Pendekatan Studi Agama-Agama. Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2014.
_____. Wajah Studi Agama-Agama “Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940)
Hingga Masa Reformasi”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wecana Ilmu, 1999.
Bakry, Hasbullah. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Widjaya Jakarta, 1986.
Coonolly, Peter. Aneka Studi Pendekatan Agama. Yogyakarta: LKIS, 2009.
Cudamani, Materi Kuliah Agama Hindu Perguruan Tinggi Umum. T.tp: T.pn, t.t.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi
Aksara, 2013.
Hadi, Sutrisno. Metodology Reseacrh. Yogyakarta: Ando Ofset, 1989.
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama Bag. I (Pandangan Budaya Terhadap
Aliran Kepercayaan Agama Hindu, Budha, Khonghucu, Di Indonesia).
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Budha. Jakarta: Gunung Mulia, 2001.
Hady, Aslam. Pengantar Filsafat Agama. Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
Hakim, Agus. Perbandingan Agama “Pandangan Mengenai Kepercayaan
Majusi, Shabiah, Yahudi, Hindu, Budha, Sikh. Bandung: Diponegoro, 1973.
109
Harshananda, Svami. Deva Devi Hindu. Surabaya: Paramita, 2007.
Heuken, A. Ensiklopedia Gereja. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1993.
Honig, A. G. Ilmu Agama. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2011.
Imron, M. Ali. Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia Dari Masa Klasik
Hingga Masa Modern. Yogyakarta: IRCisOd, 2015.
Indarwati. Dualisme Keberagamaan Dalam Agama Jawa. Semarang: t.t, 2015.
Kattsof, O. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987.
Khotimah. Agama Hindu dan Ajaran-Ajarannya. Riau: Daulat Riau, 2013.
Manaf, Mudjahid Abdul. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994.
Mansur, Sufa‟at. Agama-Agama Besar Masa Kini. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011.
Maswinara, I Wayan. Dewa-Dewi Hindu. Surabaya: Paramita, 1999.
Mittal, Mahendra. Intisari Veda “Pesan Tuhan Untuk Kesejahteraan Umat
Manusia”. Surabaya: Paramita, t.t.
Nasution, Harun. Falsafah Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Pandit, Bansi. Pemikiran Hindu. Surabaya: Paramita, 2003.
_____. Terj. Iga Dewi Paramita. Pemikiran Hindu”Pokok-Pokok Pikiran Agama
Hindu Dan Filsafatnya”. Surabaya: Paramita, 2005.
Palmer, Richard E. Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher,
Dilthey, Heidegger, and Gadamer diterjemahkan oleh Masnuri Hey
dan Damanhuri dengan judul Hermeneutik; Teori Baru Mengenai
Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Pendit, Nyoman S. Aspek-Aspek Agama Hindu “Seputar Weda dan Kebajikan”.
Jakarta: Pustaka Manikgeni, 1993.
Permata, Ahmad Norma. Metodologi Studi Agam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000.
Pudja, Gede. Theologi Hindu (Brahma Widya). Jakarta: Mayasari, 1977.
_____. Wedaparikram. Jakarta: Lembaga Penyelenggaraan Penterdjemah Kitab
Sutji Weda, 1971.
Puja. Pengantar Agama Hindu II. Jakarta: Mayasari, 1984.
110
Radakrishnan, S. The Principal Upanisads (Upanisad-Upanisad Utama). Terj.
Dirjen Bimas Hindu dan Budha. Jakarta: Yayasan Parijata, 1989.
Rifai, Moh. Perbandingan Agama. Semarang: Wicaksana, 1970.
Sastra, GDE Sara. Konsepsi Monotheisme Dalam Agama Hindu. Surabaya:
Paramita, 2005.
Setia, Putu. Cendekiawan Hindu Bicara. Jakarta: Yayasan Dharma Naradha,
1992.
_____. Suara Kaum Muda Hindu. Jakarta: Yayasan Dharma Nusantara dan Forum
Cendekiawan Hindu Indonesia, 1993.
SJ, A. Heuken. Ensiklopedi Gereja. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1993.
Sokah, Umar Asasuddin. Kontrofersi Keberagamaan Sultan Akbar Agung (India
1560-1605). Yogyakarta: Ittaqa Press, 1994.
Sou‟yb Joesoef. Agama-Agama Besar Di Dunia. Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1988.
Subagiasta, I Ketut. Teologi, Filsafat, Etika dan Ritual Dalam Susantra Hindu.
Surabaya: Paramita, 2006.
Sugiyono. Metodologi Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2010.
Sura, G., dkk. Pengantar Tattwa Darsana (Filsafat). Jakarta: Dirjen Bimas Hindu
Budha, 1981.
Suparta, Ardhana. Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia. Jakarta:
Paramaita, 2002.
Takwin, Bagus. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Ke Pemikiran-Pemikiran
Timur. Yogyakarta: Jalasutra, 2003.
Tamrin. Paradigma Penafsiran al-Qur‟an Nusantara (Analisis Penafsiran Aceh
„Tafsir Pase‟). Palu: STAIN Datokaramah, t.t.
Thalhas, T.H. Pengantar Studi Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Galura Pase,
2006.
Titib, I Made. Bhagavan Veda Sang Hyang Weda. Terjemahnya Veda Sabda Suci
(Pedoman Praktis Kehidupan). Surabaya: Paramita, 1996.
_____. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Turki, Ibrahim. „Ilmu Muqaranatu al Adyan „Inda Mufakkiru al-Islam. Iskandaria:
Darul Wafa, 2002
111
Widana, I Gusti Ketut. Hindu Berkiblat Ke India? Dan Pertanyaan Lain Tentang
Hindu. Denpasar: PT. BP, 2001.
B. Disertasi
Yakub, M. “Karya-Karya Sejarah Joesoef Sou‟yb dalam Historiografi Islam
Indonesia”. Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010.
C. Skripsi
Abdurahman, Asep. Pandangan Umat Hindu Modern Terhadap Dewa Ganesa.
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat: Universitas Islam Negeri
Jakarta, 2016.
Indarwati. Dualisme Keberagamaan Dalam Agama Jawa. Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddi, Universitas Islam Negeri Walisongo, 2015.
D. Jurnal Ilmiah
Haris, Muhammad. “Pendidikan Islam Dalam Perspektif Prof. H.M. Arifin”
Ummul Qura Vol. VI, no. 2, 2015
Rahmadi, dkk. Dinamika Pemikiran Sarjana Muslim Tentang Metodologi Studi
Agama di Indonesia: Kajian terhadap Literatur Terpublikasi Tahun 1964-
2012, Tashwir Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2013.
E. Link Internet:
http://www.geogle.com/al-Banna/biografi.htm. Diakses pada 17 November 2017.
http://www.muslimmedianews.com/2014/06/kh-zainal-arifin-tokoh-ansor-di-
masyumi.html. Di akses pada 25 Maret 2018.
http://ukkh.stikom.edu/hindu-bukanlah-agama-budaya.html. Diakses pada 8 April
2018.
Subagiasta, I Ketut. Ketuhanan (Brahma Vidya) Dalam Perspektif Hindu.
www.portalgaruda.org/article.php/. Diakses pada 14 maret 2018.