x-3 contoh proposal_01
DESCRIPTION
kuantitatifTRANSCRIPT
-
Efektivitas Penggunaan Cairan Chlorhexidine dan Tantum Verde sebagai Zat Oral Hygiene dalam
Mencegah Terjadinya Halitosis pada Klien Stroke yang Dirawat di RS TNI-AL Dr. Mintohardjo Jakarta
Oleh:
Mahasiswa
Magister Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah
Jakarta
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Halitosis atau bau mulut merupakan masalah bagi setiap orang baik pada
klien yang sadar maupun tidak sadar, sehingga mengakibatkan kondisi
yang tidak menyenangkan dimana bau tersebut berasal dari hawa nafas
(Campisi et al, 2011).
Halitosis merupakan masalah umum dan sering perawat temukan namun
prevalensi halitosis sangat sulit ditemukan karena kurangnya studi
epidemiologi yang membahas tentang masalah ini. Berdasarkan sebuah
penelitian yang dilakukan di Jepang dari 2.762 subjek yang diukur dengan
pemantauan Volatile Sulfur Compounds (VSCs) didapatkan prevalensi
penderita bau mulut sebesar 23%. Demikian pula, sebuah penelitian dari
2000 subjek di Cina mengungkapkan terdapat 27,5% mengalami bau
mulut. Berdasarkan survei yang telah dilakukan di Amerika Serikat
penyebab utama halitosis sebagian besar atau kurang lebih 90% adalah
karena faktor fisiologis dan patologis yang melibatkan rongga mulut
(Nyoman, 2014).
-
2
Halitosis dapat dihindari jika perawatan mulut (oral hygiene) dilakukan
dengan tepat (Xavier, 2000 dalam Huskinson 2009). Di tatanan
keperawatan tindakan oral hygiene dapat dilakukan pada semua klien yang
dirawat baik yang sadar tetapi kemampuannya terbatas atau dengan
penurunan kesadaran, dimana kondisi tersebut biasanya terjadi pada pasien
stroke. Jika oral hygiene tidak dilakukan dalam waktu 48 jam maka akan
mengalami perubahan flora orofaringeal dari gram positif berubah
menjadi gram negatif dan berisiko terjadinya pneumonia (Grap et al,
2003).
Dalam mulut gerakan mekanik saat mengunyah memfasilitasi produksi
dan pergerakan saliva disekitar mulut sehingga dapat membersihkan plak
dan menekan perkembangan bakteri di mulut. Tidak adanya produksi
saliva dan gerakan mengunyah akan menimbulkan plak (Steifel et al,
2000). Bau mulut atau halitosis terjadi karena perubahan polisakarida
menjadi asam dimana keadaan ini terjadi karena zat tersebut diragikan
oleh bakteri (Wulandari et al, 2003 dalam Kustiyuwati, 2012). Kondisi
tersebut diatas harus perawat perhatikan dan mengingat angka kejadian
stroke cukup tinggi dimana berdasarkan data World Health Organization,
2010 dalam Susyanti, 2014 bahwa setiap tahunnya terdapat 15 juta orang
di seluruh dunia menderita stroke dan dari Riset Kesehatan dasar
(Riskesdas) tahun 2013 prevalensi stroke di Indonesia yang terdiagnosis
tenaga kesehatan sebesar 12,1 per 1000 dan angka kejadian penyakit
-
3
stroke yang dirawat di Ruang Rawat Pulau Numfor RS TNI-AL Dr.
Mintohardjo pada tahun 2014 berjumlah 143 klien.
Jika dilihat dengan kondisi tersebut maka diperlukan sebuah pendekatan
keperawatan yang dikenal dengan Model Self Care (perawatan diri).
Model self care menurut Orem dalam Tomey dan Alligood tahun 2006
memberikan pengertian jelas bahwa bentuk pelayanan keperawatan
dipandang dari suatu pelaksanaan kegiatan dapat dilakukan individu dalam
memenuhi kebutuhan dasar dengan tujuan mempertahankan kehidupan,
kesehatan, kesejahteraan sesuai dengan keadaan sehat dan sakit, yang
ditekankan pada kebutuhan klien tentang perawatan diri sendiri.
Model Self Care (perawatan diri) ini memiliki keyakinan dan nilai yang
ada dalam keperawatan di antaranya dalam pelaksanaan berdasarkan
tindakan atas kemampuan dan sebagai bagian dari kebutuhan dasar
manusia sesuai dengan tingkat kemampuan individual yaitu sistem bantuan
secara penuh (wholly compensatory system) karena ketidakmampuan klien
dalam memenuhi tindakan perawatan secara mandiri seperti pada klien
stroke dengan penurunan kesadaran, sistem bantuan sebagian (partially
compensatory system), dimana pemberian perawatan diri secara sebagian
saja dan ditujukan kepada pasien yang memerlukan bantuan secara
minimal seperti pada klien stroke dan memiliki keterbatasan kemampuan
seperti dalam melakukan perawatan mulut akibat dari kelemahan pada
ekstremitasnya, atau sistem suportif dan edukatif dimana klien dengan
-
4
masalah stroke akan membutuhkan dukungan baik dari keluarga, tenaga
kesehatan maupun masyarakat.
Jika dilihat kondisi fisik dan banyaknya angka kejadian stroke maka oral
hygiene harus dilakukan secara teratur dan jika tidak dilakukan maka
dapat mengakibatkan munculnya masalah lebih lanjut seperti peningkatan
risiko bakterimia dan masalah psikologis (Kite & Pearson, 1995; Shay &
Ship, 1995; Longhurst, 1998 dalam Walton et al, 2001).
Kondisi tersebut didukung dari penelitian yang dilakukan di RSU DR.
Saiful Anwar Malang oleh Anang Satrianto tahun 2008 pada 13 responden
yang mengalami cedera kepala dengan penurunan kesadaran, didapatkan
hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara oral hygiene dengan
kejadian infeksi rongga mulut pada klien cedera kepala. Penelitian yang
dilakukan Cicek et al (2003), bahwa akumulasi bakteri pada lidah
merupakan faktor penting yang berkontribusi pada bau mulut. The journal
of American Dental Association (2008) menerbitkan sebuah studi tentang
individu dengan jumlah mikroorganisme anaerob yang banyak pada lidah
sehingga cenderung memiliki keadaan halitosis.
Dalam tindakan oral hygiene terdapat cairan yang dapat digunakan
sehingga membantu mengatasi bau mulut. The National Clinical
Guideline for stroke menetapkan panduan khusus untuk oral hygiene yang
baik pada klien stroke dimana semua klien yang tidak dapat menelan
termasuk klien yang menerima makanan lewat selang harus menjaga
-
5
kebersihan mulut dan gigi dengan agen pembersih yang sesuai, misalnya
dengan chlorhexidine (Kelly & Timmis, 2010). Chlorhexidine merupakan
cairan dengan pH netral yaitu 5-7 yang mengandung garam chlorhexidine
dan gluconid acid yang dapat mengurangi halitosis. Chlorhexidine diserap
oleh permukaan gigi dan mucin dari saliva sehingga dapat menghambat
pembentukan plak (Loe & Schiott 1970; Santos, 2003 dalam Huskinson &
Llyod, 2009).
Sementara itu berdasarkan hasil wawancara dengan perawat di ruang
Pulau Numfor RS TNI-AL Dr. Mintohardjo bahwa untuk klien stroke
dilakukan perawatan mulut dengan frekuensi satu kali yaitu pada pagi hari
hal ini dilakukan untuk menjaga kebersihan mulut termasuk menghindari
terjadinya bau mulut, adapun cairan yang digunakannya adalah Tantum
Verde Oral Rinse yang mempunyai kandungan Benzydamine HCL 7,5 mg
dan Aethanolum 10% dalam 15 ml dimana berfungsi dalam meringankan
rasa sakit pada mulut dan tenggorokan, post ekstraksi gigi dan kelainan
periodontal.
Selain kedua cairan tersebut yang digunakan dalam oral hygiene, cairan
lainnya adalah normal saline. Normal saline merupakan cairan fisiologis
dan bermanfaat sebagai pembersih mulut karena tidak mengiritasi mukosa
atau mengubah pH saliva dan dapat meningkatkan penyembuhan dalam
rongga mulut (Carter, 1992; Kenny, 1990 dalam Calderade &
Huddersfield, 2007).
-
6
Berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Efektivitas Penggunaan Cairan Chlorhexidine
dan Tantum Verde sebagai Zat Oral Hygiene dalam Mencegah Terjadinya
Halitosis pada Klien Stroke yang Dirawat di RS TNI-AL Dr. Mintohardjo
Jakarta.
B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah Apakah cairan oral
hygiene dengan chlorhexidine dan tantum verde berpengaruh secara efektif
untuk mencegah halitosis pada penderita stroke yang dirawat di RS TNI-
AL Dr. Mintohardjo Jakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efektivitas
penggunaan cairan chlorhexidine dan tantum verde sebagai zat oral
hygiene dalam mencegah terjadinya halitosis pada klien stroke yang
dirawat di RS TNI-AL Dr. Mintohardjo Jakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. Bagi Pelayanan Keperawatan
-
7
Dapat dijadikan sebagai bagian dari intervensi keperawatan mandiri
dalam perawatan mulut untuk merawat klien stroke sehingga kualitas
asuhan keperawatan yang diberikan menjadi lebih baik.
2. Bagi Penelitian Keperawatan
Penelitian ini dapat menjadi dasar bagi pengembangan penelitian
selanjutnya tentang oral hygiene untuk mengatasi halitosis pada klien
stroke serta memberikan informasi awal bagi pengembangan penelitian
dimasa mendatang.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk
penelitian lanjutan dan dapat dijadikan dasar pengembangan
kurikulum.
-
8
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Halitosis
1. Pengertian
Halitosis didefinisikan sebagai bau yang tidak menyenangkan yang
berasal dari rongga mulut dan lima puluh persen orang di seluruh dunia
memiliki halitosis (Armstrong, 2010).
Halitosis merupakan suatu keadaan dimana terciumnya bau mulut pada
saat seseorang mengeluarkan nafas (biasanya tercium saat berbicara).
Bau mulut disebabkan dari mulut kering, stress, berpuasa, makanan
yang berbau khas dan metabolisme lainnya (Widyatun, 2013).
2. Proses Halitosis
Bakteri adalah penyebab utama halitosis, bakteri ini hidup dan
berkembang biak di dalam mulut dengan memakan sisa protein
makanan yang melekat di celah gigi dan gusi. Bakteri dalam ludah
bukan karena kuman tersebut ikut diproduksi bersama ludah dalam
kelenjar ludah, tetapi oleh karena mulut selalu berhubungan dengan
-
9
udara terbuka maka memudahkan masuknya berbagai kuman dari udara
luar tersebut. Masalah akan muncul bila sebagian bakteri berkembang
biak atau bahkan bermutasi secara besar-besaran. Kebanyakan dari
bakteri ini bermukim di leher gigi bersatu dengan plak, karang gigi dan
lidah karena daerah tersebut merupakan daerah yang aman dari kegiatan
mulut sehari-hari. Bakteri tersebut memproduksi toxin atau racun,
dengan cara menguraikan sisa makanan dan sel-sel mati yang terdapat
di dalam mulut. Racun inilah yang menyebabkan bau mulut karena
terjadinya penguraian sisa makanan dan menghasilkan senyawa sulfide
dan amonia (Wulandari et al, 2003 dalam Kustiyuwati, 2012).
Saliva mempunyai peranan penting terhadap terjadinya halitosis, hal ini
terjadi karena adanya aktivitas pembusukan oleh bakteri yaitu adanya
degenerasi protein menjadi asam-asam amino oleh mikroorganisme,
sehingga menghasilkan Volatile Sulfur Compounds/VSCs yang mudah
menguap dan dapat mengakibatkan terjadinya halitosis. VSCs
merupakan hasil produksi dari aktivitas bakteri anaerob di dalam mulut
yang berupa senyawa dan berbau tidak sedap serta mudah menguap
sehingga menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang lain di
sekitarnya. Spesies bakteri yang terdapat pada permukaan mulut dapat
bersifat sakarolitik, yaitu menggunakan karbohidrat sebagai sumber
energy maupun bersifat asakarolitik atau proteolitik, yaitu
menggunakan protein, peptida atau asam amino sebagai sumber
utamanya.
-
10
Kebanyakan bakteri gram positif bersifat sakarolitik dan bakteri gram
negatif bersifat asakarolitik atau proteolitik. Didalam aktivitasnya
bakteri anaerob beraksi dengan protein yang ada, protein di dalam
mulut tersebut dapat diperoleh dari sisa-sisa makanan, bakteri yang
mati ataupun sel-sel epitel yang terkelupas dari mukosa mulut,
disamping itu, didalam saliva sendiri terdapat substrat yang
mengandung protein. Terdapat tiga asam amino utama yang
menghasilkan VSCs yaitu cysteine menghasilkan H2S, methlonine
menghasilkan CH3SH dan cistine menghasilkan (CH3)2S.
Selain indikator pengukuran halitosis tersebut diatas, masih ada cara
lain untuk mengethui kondisi halitosis yaitu dengan mengetahui derajat
keasaman. Derajat keasaman suatu larutan dinyatakan dengan pH untuk
larutan yang netral sama dengan 7 dan turun dengan naiknya kekuatan
asam pH 7. Derajat asam selalu
dipengaruhi perubahan seperti: irama siang dan malam, diet,
perangsangan kecepatan sekresi. pH tinggi segera setelah bangun, tetapi
kemudian cepat turun, tinggi pada saat seperempat jam setelah makan
(stimulasi mekanik), tetapi biasanya dalam waktu 30-60 menit turun
lagi. Pada malam hari agak naik kemudian turun lagi (Amerongen, 1992
dalam Nyoman, 2011).
-
11
Selain kondisi tersebut, produksi dan pergerakan saliva disekitar mulut
saat mengunyah akan membersihkan plak dan menekan perkembangan
bakteri di mulut, produksi saliva berperan penting dalam
mempertahankan pH saliva. Tidak adanya produksi saliva dan gerakan
mengunyah akan berdampak serius kepada kebersihan mulut, karena
jika itu terjadi maka plak akan menjadi tuan rumah bagi
perkembangbiakan bakteri dan dapat mengakibatkan bau mulut (Passos
& Brand, 1966; Marsh dan Marti, 1992; Kite dan Pearson, 1995 dalam
Steifel et al, 2000).
Menurut Widyatun, 2013 penyebab bau mulut (halitosis) dapat
digolongkan kepada faktor fisiologis dan patologis, yaitu:
a. Faktor fisiologis terdiri dari :
1) Kurangnya aliran ludah selama tidur
2) Makanan
3) Minuman atau alkohol
4) Kebiasaan merokok
b. Faktor patologis terdiri dari :
1) Oral hygiene buruk
2) Plak
3) Karies, Gingivitis
5) Sinusitis
6) Tonsilitis
7) Gastritis
-
12
3. Faktor yang mempengaruhi
Faktor yang mempengaruhinya adalah:
a. Jenis Kelamin dan Usia
Jenis kelamin dapat mempengaruhi saliva telah dibuktikan oleh
banyak penelitian. Anak laki-laki diketahui mempunyai produksi
saliva lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Hal ini dapat
terjadi karena pengaruh ukuran kelenjar saliva wanita yang lebih
kecil dibandingkan laki-laki. Sementara berdasarkan usia produksi
saliva pada lansia akan berkurang karena penurunan fungsi kelenjar
saliva.
b. Diet dan Malnutrisi
Ada beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara makanan
yang dikonsumsi dan status gigi dengan produksi saliva. Hal yang
penting diingat yaitu selama puasa (tidak mengunyah makanan) air
liur akan berkurang. Status nutrisi dapat mempengaruhi aliran
saliva, umumnya terjadi bila malnutrisi terjadi dalam jangka waktu
lama.
c. Penyakit
Seseorang yang menderita sakit seperti demam, sakit kerongkongan
dan lain-lain maka jumlah saliva yang dihasilkan umumnya lebih
-
13
rendah dari normal, disamping itu kondisi sakit akan mempengaruhi
terhadap kemampuan dalam melakukan perawatan mulut.
d. Stimulasi
Faktor terpenting yang mempengaruhi sekresi dari saliva adalah
stimulasi yang diberikan. Tiga jenis stimulasi yang dapat diberikan
untuk merangsang pengeluaran saliva adalah stimulasi ektra oral
dengan cara mencium, melihat dan memikirkan makanan atau
produk makanan lain. Produksi saliva yang dirangsang dengan cara
mengunyah akan berbeda tergantung dari banyaknya gerakan
mengunyah yang dilakukan.
e. Status emosi
Aliran saliva akan berkurang pada seseorang yang mengalami stres.
4. Klasifikasi Halitosis
Berdasarkan faktor etiologinya, halitosis dibedakan atas:
a. Genuine Halitosis (halitosis sejati)
1) Halitosis Fisiologis
Halitosis fisiologis merupakan halitosis yang bersifat sementara
dan tidak membutuhkan perawatan. Pada halitosis tipe ini tidak
ditemukan adanya kondisi patologis yang menyebabkan
halitosis. Contohnya adalah morning breath, yaitu bau nafas
pada waktu bangun pagi, keadaan ini disebabkan karena tidak
-
14
aktifnya otot pipi dan lidah serta berkurangnya
aliran saliva selama tidur. Bau nafas ini dapat diatasi dengan
merangsang aliran saliva dan menyingkirkan sisa makanan di
dalam mulut dengan mengunyah, menyikat gigi atau berkumur.
2) Halitosis Patologis
Halitosis patologis merupakan halitosis yang bersifat permanen
dan tidak dapat diatasi hanya dengan pemeliharaan oral higiene
saja, tetapi membutuhkan suatu penanganan dan perawatan
sesuai dengan sumber penyebab halitosis. Karies dan penyakit
periodontal merupakan penyebab utama halitosis berkaitan
dengan kondisi tersebut. Penyakit sistemik seperti penderita
diabetes ketoasidosis akan mengeluarkan nafas berbau aseton
dan pada penderita dengan gangguan ginjal pernafasan akan
berbau amonia.
b. Pseudo Halitosis (Halitosis Semu)
Pada kondisi ini, pasien merasakan dirinya memiliki bau nafas yang
buruk, namun hal ini tidak dirasakan oleh orang lain disekitarnya
ataupun tidak dapat terdeteksi dengan tes ilmiah. Untuk itu tindakan
perawatan yang perlu diberikan pada pasien tersebut adalah berupa
konseling dan mengingatkan tentang oral hygiene.
c. Halitophobia
Pada kondisi ini, walaupun telah berhasil mengikuti
perawatan genuine halitosis maupun telah mendapat konseling pada
kasus pseudo halitosis, pasien masih kuatir dan terganggu oleh
-
15
adanya halitosis. Padahal setelah dilakukan pemeriksaan yang teliti
baik kesehatan gigi dan mulut maupun kesehatan umumnya ternyata
baik dan tidak ditemukan suatu kelainan yang berhubungan dengan
halitosis, pasien juga dapat menutup diri dari pergaulan sosial, maka
diperlukan pendekatan psikologis untuk mengatasi masalah
kejiwaan yang melatar belakangi keluhan ini yang biasanya dapat
dilakukan oleh seorang ahli seperti psikiater ataupun psikolog.
5. Pengukuran Halitosis
Ada banyak metode yang digunakan untuk menegakkan diagnosis
halitosis. Menurut Pintauli dan Hamada, 2008 dalam Nyoman, 2014
cara atau metode yang digunakan dalam pengukuran halitosis
diantaranya adalah:
a. Metode ini dilakukan dengan mencium bau yang terpancar dari
mulut (cara penggunaan alat terlampir pada lampiran 3).
b. Tanita Breath Checker merupakan alat monitoring portable
sederhana dimana memberikan hasil bacaan skor halitosis dengan
melihat adanya indikator VSCs dalam 5 tingkatan, yaitu:
0 = tidak bau
1= bau lemah
2 = berasa bau
3 = bau sedang
4 = bau sekali
5 = sangat bau sekali
-
16
c. Dental saliva pH indicator, untuk mengetahui derajat keasaman
yaitu untuk larutan yang netral pH sama dengan 7, kekuatan asam
pH 7.
6. Penanganan Halitosis
Tindakan pencegahan dan perawatan pada halitosis menurut Widyatun,
2013 antara lain:
a. Menyikat Gigi
Sebaiknya gigi disikat dua kali sehari. Gigi disikat dengan bulu
sikat yang lembut dan kepala sikat yang kecil. Penyikatan gigi
sebaiknya menggunakan pasta gigi yang mengandung fluor untuk
mencegah karies gigi.
b. Menggunakan Benang Gigi (Dental Floss)
Benang gigi (dental floss) digunakan untuk membersihkan celah
gigi yang sempit yang tidak dapat dicapai dengan sikat gigi.
Tindakan ini sebaiknya dilakukan satu kali sehari, namun bila
memungkinkan dilakukan dua kali sehari. Setelah tahap ini
diperbolehkan kumur sampai bersih atau dibilas dengan air.
c. Membersihkan Lidah
Permukaan lidah dibersihkan dengan cara menyikat lidah dua kali
sehari menggunakan sikat gigi. Permukaan lidah disikat dengan
lembut dan perlahan agar lidah tidak luka, ulangi prosedur ini 2-4
kali sampai seluruh permukaan dibersihkan.
d. Penggunaan Obat Kumur
-
17
Obat kumur digunakan paling sedikit sekali sehari. Waktu yang
paling tepat menggunakan obat kumur adalah sebelum tidur karena
obat kumur memberikan efek antibakteri selama tidur saat aktivitas
bakteri penyebab bau mulut meningkat. Obat kumur yang
mengandung alkohol dapat mengakibatkan mulut kering.
Penggunaan tidak perlu terlalu berlebihan, kurang lebih 10-15 ml,
kumur selama 1-2 menit.
e. Diet Sehat
Banyak makan sayuran, mengurangi konsumsi makanan dengan
protein tinggi, kunyahlah permen bebas gula khususnya apabila
mulut terasa kering, banyak minum, menghindari konsumsi
alkohol, rokok, hindari makanan yang berbau menyengat seperti
bawang merah, petai, jengkol, dll. Hasil penelitian di Amerika
menunjukan bahwa polifenol (seperti catechin dan theaflavin),
senyawa yang terkandung dalam teh juga dapat menghambat
pertumbuhan bakteri penyebab halitosis. Catechin terkandung
dalam teh hijau maupun teh hitam sedangkan theaflavin lebih
dominan pada teh hitam.
f. Penanganan Oleh Tenaga Profesional
Kunjungi pelayanan kesehatan secara teratur misalnya setiap 6
bulan sekali.
B. Konsep Dasar Oral Hygiene
1. Definisi
-
18
Oral hygiene akan menjaga kesehatan mulut, gigi, gusi dan bibir (Ring,
2002 dalam Potter & Perry, 2010). Perawatan mulut merupakan
intervensi keperawatan yang penting, kesehatan mulut akan
mempengaruhi kesehatan. Oral hygiene yang buruk mengakibatkan
penurunan volume saliva, peningkatan plak gigi dan perubahan flora
mulut. Saliva adalah komponen penting bagi system imun mulut.
Penurunan produksinya mengakibatkan mulut kering dan mendorong
pembentukan plak gigi. Plak menjadi wadah mikroorganisme yang
menyebabkan pneumonia berhubungan dengan penggunaan ventilator,
karena adanya koloni pathogen di orofaring (Munro CL et al., 2006 dan
Potter & Perry, 2010).
Klien yang tidak sadar atau dengan jalan nafas buatan rentan terhadap
pengeringan saliva, mucus yang menumpuk karena tidak dapat makan,
minum, bernafas lewat mulut dan menerima terapi oksigen, mereka
tidak dapat menelan saliva dan mengakibatkan penumpukan bakteri
sehinga dibutuhkan perawatan mulut tiap 2 jam. Sementara itu menurut
Fields L. B., 2007 menyatakan bahwa oral care yang dilakukan setiap 8
jam pada klien yang terpasang intubasi dapat menurunkan insiden
ventilator associated pneumonia. Klien yang tidak sadar lebih rentan
terkena kekeringan sekresi air liur pada mukosanya karena mereka tidak
mampu untuk makan, minum, bernapas melalui mulut dan seringkali
memperoleh terapi oksigen. Klien yang tidak sadar juga tidak bisa
-
19
menelan sekresi air liur yang mengumpul dalam mulut (Potter & Perry,
2010).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi oral hygiene
Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan oral hygiene
(Perry dan Potter, 2010) yaitu:
a. Praktik sosial
Selama masa kanak-kanak kebiasaan keluarga mempengaruhi
hygiene misalnya dalam frekuensi menyikat gigi. Kelompok remaja
dan dewasa kebersihan diri bertujuan salah satunya untuk menjaga
penampilan pribadi.
b. Pilihan pribadi
Tiap klien memiliki keinginan sendiri dalam menentukan waktu
melakukan kebersihan diri.
c. Citra tubuh
Citra tubuh merupakan konsep subjek seseorang tentang tubuhnya
termasuk penampilan, struktur atau fungsi fisik. Citra tubuh
mempengaruhi cara seseorang memelihara hygiene karena
berhubungan dengan penampilan dirinya.
d. Status sosial ekonomi
Jika klien mengalami masalah ekonomi dirinya akan sulit
berpartisipasi dalam kebersihan diri.
-
20
e. Kepercayaan dan motivasi kesehatan
Ketiadaan motivasi dan kurangnya pengetahuan akan
mempengaruhi praktik kebersihan diri.
f. Variabel budaya
Kepercayaan budaya dan nilai pribadi klien akan mempengaruhi
perawatan kebersihan diri, karena beberapa budaya tidak
menganggap kesehatan sebagai hal yang penting (Galanti, 2004).
g. Kondisi fisik
Klien dengan keterbatasan fisik biasanya tidak memiliki energy dan
ketangkasan untuk melakukan kebersihan diri.
3. Kriteria hasil oral hygiene
Mukosa mulut dan lidah terlihat merah muda, lembab, utuh. Gusi basah
dan utuh, gigi terlihat bersih, dan licin. Lidah berwarna merah muda dan
tidak kotor. Bibir lembab, mukosa dan pharynx tetap bersih (bila
penderita menggunakan gigi palsu dilepas dahulu dan bila ada
penumpukkan sekret dibersihkan terlebih dahulu (Perry and Potter,
2010).
4. Cairan yang digunakan
a. Normal saline
Firouzian, 2014, A Review of the Common Mouthwashes for Oral
Care Utilised by Nurses in the Critical Intubated Patients: A
Literature Review of Clinical Effectiveness. Penggunaan normal
-
21
saline dapat menyembuhkan lesi pada mukosa mulut (Berry dan
Davidson, 2006). Meskipun, tidak ada informasi penelitian yang
cukup untuk memberikan bukti efek perawatan mulut dengan
menggunakan normal saline, tetapi karena kecenderungan terjadinya
kekeringan pada mukosa maka normal saline digunakan secara rutin
sebagai obat kumur (Berry dan Davidson, 2006).
b. Chlorhexidine
Chlorhexidine di golongkan sebagai obat antimikroba dengan
spectrum luas yang mempunyai khasiat dan keamanan secara
signifikan untuk meningkatkan kesehatan mulut. Chlorhexidine
gluconate oral rinse merupakan cairan dengan pH netral yaitu 5-7
yang mengandung garam chlorhexidine dan gluconid acid yang
dapat mengurangi halitosis (Eley, 1999 dalam Sreenivans & Gittins,
2004). Chlorhexidine diserap oleh permukaan gigi dan mucin dari
saliva sehingga dapat menghambat pembentukan plak, hal ini
didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Loe & Schiott 1970
yang membuktikan pertama kali tentang penggunaan cairan 0,2 %
chlorhexidine gluconate sebagai obat kumur dua kali sehari dapat
menghambat pembentukan plak dan mengurangi radang gingival
(Santos, 2003 dalam Huskinson & Llyod, 2009).
The National Clinical Guideline for stroke menetapkan panduan
khusus untuk oral hygiene yang baik pada klien stroke dimana semua
-
22
klien yang tidak dapat menelan termasuk klien yang menerima
makanan lewat selang harus menjaga kebersihan mulut dan gigi
dengan agen pembersih yang sesuai, misalnya dengan chlorhexidine
gluconate (Kelly & Timmis, 2010). Clorhexidine dapat mengurangi
risiko pneumonia pada klien yang terpasang ventilator (Grap et al.,
2004; Munro et al., 2006; Berry et al., 2007 dalam Potter & Perry,
2010). Chlorhexidine glukonat adalah bakterisida spektrum luas
terhadap bakteri gram positif, agen gram negatif dan ragi yang efektif
pada konsentrasi rendah (Dodd et al., 2000, Jones, 1997, Khezri et
al., 2014) selain itu chlorhexidine berfungsi untuk menghambat
perkembangan plak dan mengobati penyakit periodontal dan infeksi
mulut lainnya. Banyak sekali penelitian menegaskan bahwa
perawatan mulut dengan obat kumur chlorhexidine mengurangi
kejadian VAP (Grap et al, 2003). Deriso menyatakan dalam
penelitiannya bahwa chlorhexidine yang digunakan dalam
dekontaminasi orofaring dapat menurunkan kejadian infeksi
nosokomial saluran napas sampai dengan 69%, kemudian diikuti
oleh Fourrier yang menyatakan bahwa chlorhexidine dapat
menurunkan kolonisasi kuman penyebab VAP sebesar 53% (Ema,
2010). Chlorhexidine dapat meningkatkan kesehatan mulut dengan
mengontrol plak dimana bisa mempertahankan sampai mendekati nol
tingkat plak (Loe & Schiot, 1970 dalam Jan Lindhe, 2008).
c. Tantum Verde
-
23
Tantum verde mempunyai kandungan Benzydamine HCL 7,5 mg dan
Aethanolum 10% dalam 15 ml diindikasikan untuk peradangan pada
rongga mulut: faringitis (radang tekak), tonsilitis (radang
tonsil/amandel), sariawan, mukositis, glositis (radang lidah),
tonsilektomi (mengeluarkan seluruh tonsil dengan pembedahan),
setelah cabut gigi, stomatitis (radang rongga mulut), periodontitis
(radang jaringan ikat penyangga akar gigi), gingivitis (radang gusi).
Eko Subekti tahun 2011 melakukan perbandingan daya guna obat
kumur ketamin dan benzydamine hcl, untuk mengurangi nyeri
tenggorok post intubasi dimana desain penelitian menggunakan uji
klinis secara acak (double blind randomized controlled trial). Ruang
lingkup penelitian adalah pasien yang menjalani operasi dengan
anestesi umum di GBST RSUP Dr Sardjito Yogyakarta yang terdiri
dari laki-laki dan perempuan, usia 18-50 tahun, subyek dibagi dalam
2 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 50 pasien.
Kelompok A adalah kelompok perlakuan yang diberi obat kumur
ketamin 40 mg dan kelompok B diberi obat kumur benzydamine
HCL 0,15 %, masing-masing sebanyak 30 ml. Nyeri tenggorok
diukur setelah pasien sadar penuh, 2 jam dan 4 jam postoperasi.
Analisis data menggunakan uji t-test dan data kualitatif akan diuji
dengan chi-square dengan tingkat kepercayaan 95%, dan dianggap
bermakna bila p
-
24
C. Perawatan Stroke
Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan
neurologis yang disebabkan oleh adanya gangguan suplai darah ke bagian
otak dan mengakibatkan kelemahan/kelumpuhan pada ekstremitas bahkan
sampai terjadi kehilangan kesadaran sehingga membutuhkan perawatan
yang tepat (Black dan Hawks, 2005) melalui sebuah pendekatan yang
dikenal dengan model konsep keperawatan Self Care (Dorothea Orem)
dengan tujuan agar klien dapat mempertahankan kehidupan, kesehatan,
kesejahteraan sesuai dengan keadaan sehat dan sakit, yang ditekankan
pada kebutuhan klien tentang perawatan diri sendiri.
Menurut Orem dalam Tomey dan Alligood, 2006 kebutuhan perawatan
diri (Self Care Requisites) merupakan suatu tindakan yang ditujukan pada
penyediaan dan perawatan diri sendiri yang bersifat umum (universal self
care requisites) yang terdiri atas:
1. Universal self care requisites
Merupakan hal umum bagi seluruh umat manusia dan termasuk
kebutuhan akan oksigen sehingga perfusi jaringan otak akibat stroke
dapat tetap terpenuhi, kebutuhan air, makanan, kebersihan termasuk
kebersihan mulut, aktivitas dan istirahat agar klien tidak mengalami
kekakuan sendi, interaksi sosial sehingga klien tidak merasa sendiri
karena dukungan dari orang-orang sekitarnya sangat penting serta
pencegahan dari bahaya seperti saat perawatan mulut tidak
menggunakan sikat gigi yang kasar.
-
25
2. Development self care requisites
Mengenalkan proses-proses kehidupan sehingga klien dapat menerima
kondisi sakit saat ini dan termotivasi untuk meminimalkan dari
keterbatasan akibat stroke.
3. Health deviation self care requisites
Kebutuhan perawatan diri karena perubahan/penyimpangan kesehatan
akibat stroke sehingga klien dapat beradaptasi dengan kondisi fisik dan
kebutuhan perawatan diri dengan melibatkan keluarga.
D. Kerangka Teori Dalam Konsep Model Keperawatan
Bakteri di mulut
Derajat keasaman saliva
Peningkatan skor halitosis ( Volatile-Sulfur Compounds/VSCs)
Faktor risiko : a. Usia b. Jenis kelamin c. Diet (Puasa/Tidak) d. Penyakit (hambatan
mobilitas fisik) e. Status emosi f. Stimulasi/rangsangan
Memakan sisa protein pada mulut
Design nursing system; Self care = Defisit perawatan diri: kebersihan mulut
Pengkajian
Intervensi
Implementasi and Evaluation nursing system
Oral hygiene :
Chlorhexidine Tantum verde
-
26
1.1 Skema kerangka teori
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian terdiri atas variabel independen,
dependen dan counfonding, adapun yang termasuk kedalam variabel
independen (bebas) dalam penelitian ini adalah oral hygiene yang
menggunakan chlorhexidin dan tantum verde. Sedangkan variabel
dependennya (terikat) adalah derajat atau skor halitosis yang diukur
dengan menggunakan indikator Vlatile Sulfur Compounds/VSCs yang
menggunakan alat Tanita Breath Checker. Adapun variabel counfonding
(perancu) yang terdiri atas: usia, jenis kelamin, hambatan mobilitas fisik.
Dibawah ini merupakan gambaran kerangka konsep dalam penelitian ini
yaitu:
Variabel Independen Variabel Dependen
Variabel Counfonding
Kelompok Intervensi Jenis cairan oral hygiene :
- Chlorhexidine - Tantum verde
Halitosis (VSCs)
1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Hambatan mobilitas fisik
Penurunan skor halitosis Volatile-Sulfur Compounds (VSCs)
Normal saline
-
27
Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
B. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan teori dan kerangka konsep tersebut diatas, maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan efektifitas oral
hygiene dengan chlorhexidine dan tantum verde dalam mencegah halitosis
pada penderita stroke yang dirawat di RS TNI-AL Dr. Mintohardjo
Jakarta.
C. Definisi Operasional
1. Variabel independen :
a. Variabel : jenis cairan oral hygiene
b. Definisi operasional :
Jenis cairan yang diberikan dalam oral hygiene, dengan cara menyikat
pada gigi dan lidah, frekuensi tersebut dilakukan sebanyak 2 kali/hari
yaitu pada pukul 08.00 dan 13.00 dan dilakukan selama tiga hari,
adapun cairan tersebut adalah chlorhexidine, tantum verde dan normal
saline.
c. Hasil ukur :
1= Diberi chlorhexidine
2= Diberi tantum verde
3= Diberi normal saline
44
-
28
d. Skala ukur : Nominal
2. Variabel dependen :
a. Variabel : skor halitosis
b. Definisi operasional :
Mengukur adanya Volatile-Sulfur Compounds (VSCs) dengan
menggunakan alat Tanita Breath Checker, sebagai indikasi
terjadinya halitosis, pengukuran dilakukan saat sebelum dan
sesudah oral hygiene (15 menit).
c. Cara ukur :
Menggunakan alat yang disebut Tanita Breath Checker, kemudian
diidentifikasi nilai yang ada dalam alat tersebut.
d. Hasil ukur :
0= Tidak bau
1= Bau lemah
2= Berasa bau
3= Bau sedang
4= Bau sekali
5=Sangat bau sekali
e. Skala ukur : ordinal
3. Variabel Counfonding
a. Variabel : usia
1). Definisi operasional : usia responden terhitung mulai saat
dilahirkan sampai pengambilan data
2). Cara ukur : kuisioner, data diambil melalui wawancara dan
-
29
melihat catatan medis klien
3). Hasil ukur : satuan usia dalam tahun
4). Skala ukur : rasio
b. Variabel : jenis kelamin
1). Definisi operasional : perbedaan antara laki-laki dan perempuan
berdasarkan ciri fisik biologis
2). Cara ukur : kuisioner, data diambil melalui wawancara dan
melihat catatan medis klien
3). Hasil ukur :
1= Laki-laki
2=Perempuan
4). Skala ukur : nominal
c. Variabel : hambatan mobilitas fisik
1). Definisi operasional : keterbatasan dalam pergerakan fisik
sehingga membutuhkan bantuan atau ketergantungan dalam
oral hygiene
2). Cara ukur : Observasi melalui pengamatan terhadap
kemampuan oral hygiene
3). Hasil ukur :
1= Mampu oral hygiene
2= Tidak mampu oral hygiene
4). Skala ukur : nominal
-
30
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian yang dilakukan saat ini merupakan penelitian kuantitaitf,
dengan desain penelitian yang menggunakan metode eksperimen melalui
pendekatan pretest-posttest randomized control group design. Pada
eksperiment dilakukan alokasi subjek secara acak (random assignment)
kedalam kelompok-kelompok dimana peneliti melakukan pembandingan
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Dalam penelitian ini responden dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
kelompok pertama dengan perlakuan oral hygiene yang menggunakan
chlorhexidine, kelompok kedua menggunakan tantum verde dan
kelompok ketiga adalah kelompok kontrol dimana oral hygiene dilakukan
dengan menggunakan normal saline. Masing-masing kelompok diberikan
pretest untuk mengetahui skor halitosis sebelum dilakukan intervensi.
Responden pada kelompok pertama akan diberikan intervensi berupa oral
hygiene yang menggunakan chlorhexidine dan kelompok kedua diberikan
intervensi oral hygiene dengan menggunakan tantum verde dan
kelompok ketiga adalah kelompok kontrol, yaitu oral hygiene dengan
menggunakan normal saline. Sesudah diberikan intervensi kemudian
-
31
responden akan diberikan postest dengan instrumen yang sama seperti
pada pretest untuk mengetahui skore halitosis. Berikut ini skema desain
penelitiannya:
Skema 4.1 Desain Penelitian
Pre Post
Keterangan:
O1 : Skor halitosis klien stroke pada kelompok intervensi
sebelum dilakukan intervensi oral hygiene dengan menggunakan
chlorhexidine.
O2 : Skor halitosis klien stroke pada kelompok intervensi
setelah dilakukan intervensi oral hygiene dengan menggunakan
chlorhexidine.
O3 : Skor halitosis klien stroke pada kelompok intervensi sebelum
dilakukan intervensi oral hygiene dengan menggunakan tantum
verde.
O1 O2
O3 O4
Intervensi dengan Chlorhexidine
O5 O6
Intervensi dengan Tantum Verde
Kontrol dengan Normal Saline
R
D
E
-
32
O4 : Skore halitosis klien stroke pada kelompok intervensi setelah
dilakukan intervensi oral hygiene dengan menggunakan tantum
verde.
O5 : Skor halitosis klien stroke pada kelompok kontrol sebelum
dilakukan intervensi oral hygiene dengan menggunakan normal
saline.
O6 : Skor halitosis klien stroke pada kelompok kontrol setelah
dilakukan intervensi oral hygiene dengan menggunakan normal
saline.
D : Perbedaan rata-rata skor halitosis antar kelompok
intervensi (O2) setelah diberikan chlorhexidine dan kelompok
kontrol (O6) setelah diberikan normal saline dengan
kelompok perlakuan intervensi sebelum diberikan
chlorhexidine.
E : Perbedaan rata-rata skor halitosis antar kelompok intervensi
(O4) setelah diberikan tantum verde dan kelompok kontrol (O6)
setelah diberikan normal saline dengan kelompok intervensi
(03) sebelum diberikan tantum verde.
B. Populasi Dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien stroke yang dirawat di
ruang rawat Pulau Numfor Rumah Sakit TNI-AL Dr. Mintohardjo Jakarta
dari bulan April s/d Mei 2015 yang memenuhi kriteria inklusi dan
-
33
eksklusi. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
a. Klien stroke
b. Kondisi klinis klien stabil
c. Klien atau keluarga bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini
2. Kriteria Eksklusi
a. Keganasan di rongga mulut seperti tumor
b. Fraktur pada daerah mandibula atau maksilaris
Besar sampel ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya dengan
menggunakan rumus Pocock, 2008 dalam Nyoman, 2011 adapun
rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
2 2 n = ------------------- X f ( . ) (2 1)2
= 2.(0, 895)2 X 10,5
(1,318)2
= 12,7 + 10%
= 13,9 dibulatkan menjadi 14 responden
Keterangan :
n = besar sampel = Standart deviasi
= 0,05 = 0,1
f(. ) : 10,5
1 = rata-rata pH saliva sebelum pemberian (pre) = 5,694
-
34
2 = rata-rata pH saliva setelah pemberian (post) = 7,012
Jadi sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 14 x 3= 42
responden, dengan rencana sampel: 14 klien dengan menggunakan
chlorhexidine, 14 klien dengan menggunakan tantum verde dan 14
klien dengan menggunakan normal saline.
C. Tempat Penelitian
Penelitian akan dilakukan di ruang perawatan Pulau Numfor Rumah Sakit
TNI-AL Dr. Mintohardjo Jakarta Pusat yang beralamat : Jl.Bendungan
Hilir Raya no 17 Jakarta Pusat.
D. Waktu Penelitian
Persiapan penelitian dan proposal diajukan pada bulan Maret-April 2015,
pengumpulan data dilakukan selama dua bulan, yaitu pada bulan April-
Mei 2015.
E. Etika Penelitian
1. Responden
Setiap responden diberikan hak penuh untuk menyetujui atau menolak
menjadi responden dengan cara menandatangani informed consent atau
surat pernyataan.
2. Tempat penelitian
Sebelum pelaksanaan, penelitian ini terlebih dahulu meminta ijin
kepada komite etik Rumah Sakit TNI-AL Dr. Mintohardjo Jakarta
-
35
untuk mendapatkan legalisasi secara etik dan mendapatkan
rekomendasi dari Universitas Muhammadiyah Jakarta.
F. Alat, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Alat Pengumulan Data
Alat yang digunakan adalah berupa lembar observasi yang berisi data:
nama responden, usia, jenis kelamin, Tanita Breath Alert.
2. Prosedur Pengumpulan Data
a. Persiapan
1). Mengurus perijinan penelitian.
2). Menyiapkan instrumen yang akan digunakan dalam penelitian.
b. Pelaksanaan
1). Peneliti datang di ruang perawatan Pulau Numfor RS TNI-
AL Dr. Mintohardjo Jakarta untuk mencari sampel penelitian.
2). Peneliti menentukan sampel secara acak dengan jenis acak secara
sederhana (simple random sampling) dimana sebelumnya jumlah
sample dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok intervensi
terdiri dari kelompok chlorhexidine, kelompok tantum verde
serta kelompok kontrol yaitu kelompok normal saline lalu
untuk menempatkan sampel tersebut ke dalam kelompok,
peneliti mengurutkan sampel dan melakukan undian kemudian
menempatkan nomor urut tersebut kedalam kelompok.
3). Setelah mendapat sampel, peneliti memberikan penjelasan dan
meminta persetujuan klien atau keluarga (inform consent).
-
36
4). Persetujuan sudah didapat kemudian dilanjutkan dengan
melakukan pengukuran terhadap skor halitosis dan
dilanjutkan dengan tindakan oral hygiene.
3. Pengolahan Data
Tahap pengolahan data ini dilakukan analisis statistic yang meliputi :
a. Analisis Univariat
Analisis univariat statistic deskriptif ini digunakan untuk
menyajikan karakteristik data dengan hasil analisis yang disajikan
meliputi frekuensi dan nilai rata-rata (mean) untuk variabel jenis
kelamin, usia serta hambatan mobilitas fisik.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen. Untuk mengetahui
antara kedua variabel tersebut digunakan rumus uji chi square.
Tabel 4.1 Analisis bivariat perbedaan skor halitosis terhadap jenis
cairan oral hygiene sebelum dan sesudah intervensi
Jenis Cairan No Urut Responden
Skor Halitosis Keterangan
Pre Post Tetap Menurun Chlorhexidine 1
2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14
-
37
Jenis Cairan No Urut Responden
Skor Halitosis Keterangan
Pre Post Tetap Menurun Tantum Verde 1
2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14
Normal Saline 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14
Tabel 4.2 Analisis bivariat perbedaan skor halitosis terhadap jenis
cairan oral hygiene
Jenis Cairan Perubahan Skor Halitosis Tetap Menurun Chlorhexidine
Tantum Verde
Normal Saline
-
38
DAFTAR PUSTAKA
Ackley et al. (2008). Evidence -Based Nursing Care Guidelines Medical
Surgical Interventions. St. Louis, Missouri: Mosby Elseiver. American Heart Association. (2010). Heart deases and stroke statistic: our
guide to current statistics and the suplement to our heart and stroke fact- 2010 update.http://www.americanheart.org. Diakses pada tanggal 4 Februari 2014.
Armstrong, et al. (2010). Halitosis: A Review of Current Literature. Diunduh 19 Februari 2015.
Berry . (2006). Beyond comfort: Oral hygiene as a critical nursing activity in the intensive care unit, 22, 318-28. Black, M., Joyce and Hawk, H., Jane. (2005). Medical Surgical Nursing:
Clinical Management For Positive Outcomes.(7thed). St. Louis,Missouri: Elsevier Saunders.
Brown . (2009). Systematic Evaluation of Patient Oral Hygiene for Orthodontic Patients, 99, 52-54,56-58. Calderade & Huddersfield. (2007). Mouth Care Protocol. Diperoleh dari
http://www.formularly.cht.nhs.uk/pdf,_doc_files_etc/MML/044-mout-mouth- care.pdf. Diperoleh tanggal 15 oktober 2012.
Campisi et al. (2011). Halitosis Could it be more than mere bad breath. Intern
ermerg med, 6, 315-319. Cicek et al. (2003). Evaluation of oral maladour in left and right handed
individuals. Laterality, 15, 317-326, Dahlan. (2011). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika. E.C K Grace. (2014). Biostatistika. Jakarta:EGC.
Eko Subekti, Bambang. (2011). Perbandingan Daya Guna Obat Kumur Ketamin Dan Benzydamine Hcl, Untuk Mengurangi Nyeri Tenggorok Post Intubasi.
Elizabeth J. Corwin. (2009). Patofisiologi. (Nike Budhi Subekti, Penerjemah).
Jakarta:EGC.
-
39
Ema. (2010). Perbedaan Efektifitas Antara Chlorhexidine dengan Povidone Iodine sebagai Oral Hygiene Pada Penderita dengan Ventilator Mekanik di ICU yang dinilai dengan Foto Torax. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran FK Universitas Diponegoro.
Fields L. B. (2007). Oral care intervention to reduce incidence of ventilator
associated pneumonia in the neurologic intensive care unit. Firozian et al. (2014). A Review of the Common Mouthwashes for Oral Care
Utilised by Nurses in the Critical Intubated Patients: A Literature Review of Clinical Effectiveness.
Grap et al. (2003). Oral care interventions in critical care: frequency and
documentation. American Journal Critical Care, 12, 113. Hans&Lars. (2003). Periodontal Diseases. London:Quintessence Publishing Hary S.,W., dkk. (2014). Biostatistika Lanjut dan Aplikasi Riset. CC. Trans
Info Media. Huskinson et al. (2009). Oral health in hospitalized patients: assessment and
hygiene nursing standar, 23, 43-7. Jaimes, Fabian. et al. (2007). Incidence and risk factors for ventilator- associated pneumonia in a developing country: Where is the difference?. Respiratory Medicine, 101, 762-7. Jan Lindhe, (2008). Clinical Periodontology And Implant Dentistry.
Hongkong: Blackwell Munksgaard. Joyce M. Black & Jane Hokanson Hawks, (2009). Keperawatan
Medikal Bedah. Edisi 8. (Joko Mulyanto dkk, Penerjemah). Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Kelly & Timmis, (2010). Review of the evidence to support oral hygiene in
stroke patients. Nursing standard, 24, 35-8. Kustiyuwati, (2012). Perbandingan efektifitas oral hygiene dengan
menggunakan chlorhexidine dengan normal saline terhadap skor halitosis. FIK Program Magister Keperawatan Medikal Bedah. Universitas Indonesia.
Michael G. Newman et al. (2003). Clinical Periodontology. Philadelphia:
Saunders. Nolo Widyawati, Sukma. (2012). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher.
-
40
Nyoman. (2011). Permen Karet Xylitol Yang Dikunyah Selama 5 Menit Meningkatkan Dan Mempertahankan pH Saliva Perokok Selama 3 Jam Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
Nyoman. (2014). Manfaat Mengonsumsi Campuran Larutan Madu dan Bubuk Kayu Manis Terhadap Penurunan Tingkat Halitosis, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. Potter & Perry. (2010). Fundamental Keperawatan. Edisi 7. (Adrina dkk, Penerjemah). Singapore: Elseiver Price & Wilson. (2014). Patofisiologi. (Brahm U Pendit dkk, Penerjemah).
Jakarta:EGC Priyo & Sabri. (2010). Statistik Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Riskesdas. (2013). Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. Saryono. (2010). Kumpulan Instrumen Penelitian Kesehatan. Jakarta: Nuha
Medika. Siagian & Sugiarto. (2006). Metode Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sierra, Rafael. et al. (2005). Prevention and Diagnosis of Ventilator- Associated Pneumonia: A Survey on Current Practices in Southern Spanish ICUs. Chest,128, 1667-73. Steifel et al. (2000). Improving oral hygiene for the seriously ill
patient:implementing research-based practice. Medical Surgical Nursing, 9, 40-3,46.
Sumantri A. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Prenada Media. Supranto J. (2009). Statistik. Jakarta: Erlangga.
Susyanti. (2014). Pengaruh Latihan Range Of Motion (ROM) terhadap peningkatan kekuatan otot tangan dan kaki pada pasien stroke dengan hemiparese di RS TNI-AL Dr. Mintohardjo Jakarta.
Tomey & Alligood. (2006). Nursing Theoriests and Their Work. St. Louis: Mosby. Walton et al., (2001). Elder oral assessment and care Medsurg Nursing.