wp delivery bacd news
TRANSCRIPT
![Page 1: Wp Delivery Bacd News](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022073120/55cf98d8550346d0339a05ea/html5/thumbnails/1.jpg)
Editorial
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009
Komunikasi dengan Empati,Informasi dan Edukasi:
Citra Profesionalisme Kedokteran*
Siti Aisah Boediardja
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Pendahuluan
Guru adalah seseorang yang pantas dan patut digugu
dan ditiru (role model). Menurut Undang-undang Guru dan
Dosen, 2005 seorang guru harus mempunyai kompetensi
sedikitnya satu tingkat di atas pesera didik. 1 Kompetensi
guru/dosen meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian,
keprofesian, dan sosial. Oleh karena itu seorang guru besar
(GB) FKUI, senantiasa wajib menjaga dan melakukan
pembinaan kehidupan akademik dan integritas moral serta
etika akademik fakultas.2,3 Pada November 2008 Dewan Guru
Besar FKUI kembali memperjelas tentang peran dan fungsi,
serta pedoman pelaksanaan Kode Etik Guru Besar FKUI yang
dituangkan dalam bentuk surat keputusan dewan GB. Selain
tugas tridarma perguruan tinggi yang diembannya, GB juga
bertugas melakukan pembinaan kehidupan akademik,
integritas moral dan etika akademik, serta mengembangkan
potensi dan kompetensi termasuk meningkatkan karir sivitas
akademika hingga mencapai jenjang dan jabatan akademik
tertinggi.4,5
* Dipresentasikan pada Pidato Purna Bakti Guru Besar FKUI,
Jakarta, 29 Januari 2009
Pembelajaran Keterampilan Komunikasi dengan Empati
dalam Pendidikan Dokter FKUI
Komunikasi adalah kegiatan keseharian kita sebagai
makhluk Tuhan yang paling bermartabat (mulia) dan berakal,
mampu memadukan rasio dan rasa, akal dan kalbu, serta pikir
dan zikir. Komunikasi berasal dari kata commune artinya sama,
saling berhubungan (interaksi) dalam posisi kesetaraan,
dilakukan simultan antara visual (pandangan mata), verbal/
voice (suara, intonasi), dan perilaku nonverbal (bahasa
tubuh). Komunikasi dua arah (penyampai dan penerima
informasi) telah hadir sejak janin berada dalam kandungan
ibunya. Bayi baru lahir berkomunikasi kali pertama dengan
menangis, anak-anak-remaja-dewasa-tua, tak ada yang tidak
berkomunikasi. Tuna wicara sekali pun berkomunikasi,
sehingga komunikasi sebenarnya bukan barang baru. Mari
kita perhatikan bagaimana kita berkomunikasi dengan anak
kecil, saat kita merendahkan diri agar sama tinggi sehingga
dapat mempertahankan kontak mata, wajah ramah dan lembut,
suara pun dibuat menirukan suara anak kecil agar dapat saling
memahami. Dengan siapapun kita berkomunikasi dengan
maksud-tujuan tertentu, interpersonal atau dalam kelompok,
baik dengan ibu, ayah, suami/isteri, anak, nenek, guru /dosen,
sahabat, teman, atasan, maupun bawahan, perlu penyesuaian
bersikap agar komunikasi menjadi lebih efektif.6
147
![Page 2: Wp Delivery Bacd News](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022073120/55cf98d8550346d0339a05ea/html5/thumbnails/2.jpg)
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009
Demikian pula keterampilan berkomunikasi dokter-
pasien dalam praktik sehari-hari menjadi satu kompetensi
yang wajib dimiliki dokter. Komunikasi dokter-pasien
merupakan komunikasi dua arah dengan tujuan kesembuhan,
dilandasi kesetaraan dan empati, ada kesepakatan tak tertulis
bahwa pasien mempercayakan dirinya kepada dokter yang
mengobatinya dan dokter wajib simpan rahasia jabatan.
Dokter adalah profesi mulia yang mendapat kepercayaan dan
kehormatan dari pasien; Oleh karena itu harus menjunjung
tinggi perilaku mulia, yaitu jujur, empati, kasih sayang, peka
nilai, mau mendengar aktif, memberi tanggapan positif, tidak
menghakimi, sabar, ikhlas, tidak emosional, terbuka,
kompeten, berpengetahuan luas tentang kedokteran dan
kesehatan, namun tetap sadar bahwa setiap orang mem-
punyai keterbatasan.7
Empati sebagaimana dikemukakan kali pertama pada
1909 berasal dari bahasa latin em dan pathos yang artinya
feeling into. Limapuluh tahun kemudian hal tersebut dibahas
pada ilmu psikososial dan psikoanalitik, bagaimana seseorang
dapat meraba-rasakan dirinya sebagai orang lain dengan
tetap obyektif tanpa menyertakan emosi diri. Sebagai dokter
kita wajib berempati, mau dan mampu merabarasakan
perasaan, pikiran, sikap dan perilaku pasien, tanpa melibatkan
emosi diri. Bayangkan apabila kita yang menjadi pasien,
merasakan fisik, pikiran, dan emosi tidak sehat, keinginan
diperlakukan dengan kasih sayang dan empati, pandangan,
dan harapan terhadap kesembuhan. Dengan demikian
komunikasi dokter-pasien bukanlah hal yang mudah, terutama
saat berhadapan dengan pasien yang bermasalah mulai dari
yang sederhana hingga yang rumit dan kompleks.
Keterampilan berkomunikasi dengan kesetaraan, dilandasi
empati disebut komunikasi efektif. Komunikasi tersebut
lebih menjamin pesan (isi komunikasi) tersampaikan dan
dimengerti sehingga tujuan menggali informasi, menetapkan
diagnosis dan pengobatan lebih tepat, efektif dan efisien.6,11,12
Kontrol diri merupakan kunci keberhasilan guna
meningkatkan taraf kepuasan pasien, mengurangi keluhan
dan tuntutan, serta mengurangi risiko kesalahan praktik klinik.
Komunikasi efektif merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dalam profesionalisme kedokteran. 6-11
Dalam profesionalisme kedokteran terkandung kom-
petensi, akuntabilitas, tanggungjawab, disiplin, kewenangan,
kesejawatan, etis, dan altruism. Terdapat tujuh kompetensi
dokter yang dinyatakan oleh World Federation of Medical
Education (WFME) 2003, yaitu effective communication,
clinical ability, scientifically basis on medical science,
health management, information management, self reflect
and self improvement, ethics, morality, profesionalism, and
medicolegal.13
Modul Empathy in Communication Related to Patient Care
WHO menyatakan profil doctor for the future adalah
The 5 Star Doctor (care provider, decision maker, commu-
nicator, community leader, manager) yang oleh FKUI
ditambahkan dengan researcher, serta iman dan takwa. Prof
dr. Ali Sulaiman, PhD, Sp.PD, Dekan FKUI periode 2000-
2004, sangat menekankan agar dokter lulusan FKUI memiliki
profil tersebut, dengan menerapkan pendekatan pembelajaran
student centered, problem based learning, integrated teach-
ing, community based, early exposure to clinical practice,
systematization (SPICES) pada kurikulum kedokteran
terintegrasi di FKUI. Khususnya agar early exposure to clini-
cal practice dan kompetensi communicator tercapai, FKUI
melakukan strategi pendidikan dengan memperkenalkan
mahasiswa sejak dini berbagai masalah pasien serta belajar
berkomunikasi dengan empati.13-15
Modul empathy in communication related to patient
care (EPC) merupakan alat pembelajaran, agar mahasiswa
tidak hanya memahami teori saja, melainkan dilatihkan agar
terampil berkomunikasi dengan empati. Awal tahun ajar 2000/
2001, modul tersebut diujicobakan pada mahasiswa baru
FKUI dan berlangsung selama dua minggu. FKUI ber-
pendapat bahwa inilah kesempatan yang paling baik,
memperkenalkan dan membudayakan lebih dini sikap dan
perilaku dasar profesionalisme kedokteran kepada calon
dokter. Kita sangat menyadari bahwa dalam pendidikan di
sekolah dasar dan menengah saat itu tidak lagi mendapat
mata ajar budi pekerti (yang sebenarnya sangat penting selain
Agama). Budi pekerti luhur yang kontekstual dengan perilaku
kecendekiawanan seorang dokter, antara lain – kejujuran,
keterbukaan, tanggung jawab, disiplin, integritas, empati,
kasih sayang, ikhlas, adil, mawas diri, rendah hati, santun,
memelihara kesejawatan, sabar, sadar memiliki keterbatasan,
dan sebagainya agar senantiasa dicontohkan dan
diterapkan.7,16,17 Demikian pula seorang guru/guru besar atau
dosen wajib memelihara ahlak mulia tersebut dan
mencontohkannya kepada para peserta didik.4,5
Tentu saja materi afektif serupa itu tidak mudah untuk
diajarkan, namun bagaimanapun harus dibudayakan agar
terjadi perubahan dalam perasaan, pemikiran dan perilaku,
apalagi mengingat profesi dokter adalah profesi yang
humanis. Calon dokter harus memiliki empati dan kasih
sayang, serta peka terhadap nilai-nillai kemanusiaan. Ranah
afektif perlu dibelajarkan dan diasuh tutor, yaitu dosen
pembimbing yang memberikan contoh (role model) yang
baik.14
Modul EPC diimplementasikan dalam kurikulum
kedokteran pada dua minggu pertama di awal semester 1.
Mahasiswa dilatih mengenal dan mempertajam empati,
mendengar aktif, berkomunikasi efektif, dan peka nilai. Guna
mencapai kompetensi tersebut, disusun tahapan pembe-
lajaran modul EPC sebagai berikut:
1. Komunikasi efektif:
a. Orientasi: secara bertahap mahasiswa diberi pembekalan
komunikasi dan dilatih bagaimana menciptakan suasana
komunikasi (conditioning) yang nyaman, membangun
kesetaraan dengan lawan bicara, membina rapport
Komunikasi Dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran
148
![Page 3: Wp Delivery Bacd News](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022073120/55cf98d8550346d0339a05ea/html5/thumbnails/3.jpg)
Komunikasi Dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009
(mempertahankan kontak mata), mendengar aktif
(mendengarkan dan merespons dengan bahasa tubuh),
menghargai pasien sebagai manusia seutuhnya, memberi
tanggapan yang positif serta bersikap empati.
Mempelajari contoh film atau role model sebagai pemicu.
b. Latihan komunikasi dengan empati: berlatih menjadi
pendengar aktif, bermain peran (role play) bagaimana
mahasiswa mengalami sendiri (self experience)
berkomunikasi empati dan non-empati secara bergantian.
Merabarasakan bagaimana bila diperlakukan dengan
empati dan nonempati
c. Umpan balik: melihat kembali serta mengkoreksi sendiri
sikap dan perilaku saat bermain peran (yang direkam
dengan video) serta mendapatkan masukan dari sejawat
dan tutor.
d. De-roling: setelah selesai bermain peran dilakukan de-
roling, yaitu membasuh peran agar kepribadian saat
bermain peran hilang dan kembali kepada kepribadian
aslinya.
2. Berpikir kritis: mahasiswa dilatih bagaimana berpikir kritis
dengan membaca artikel yang berkaitan dengan isu etika-
moral dan profesionalisme dalam praktik, melihat model
atau film tentang perilaku komunikasi dengan empati
(misalnya film Patch Adam), dan etika kedokteran
(misalnya clonning), kemudian membahasnya dalam
diskusi kelompok dengan tutor. Dalam diskusi kelompok
mahasiswa juga belajar berdiskusi dengan benar.
3. Praktik lapangan: mahasiswa melakukan kunjungan
rumah atau bangsal perawatan didampingi tutor dan
dilatih keterampilan berkomunikasi dengan empati secara
langsung dengan pasien, keluarga pasien, atau orang-
orang yang berada di sekitar mereka. Pengalaman praktik
lapangan tersebut membantu mempertajam empati,
mengendalikan emosi, dan meningkatkan kemampuan
komunikasi.
4. Kegiatan mandiri: mahasiswa belajar dan mencari
informasi dari berbagai sumber belajar antara lain di
perpustakaan, termasuk searching internet di
laboratorium komputer FKUI.
Itulah modul FKUI yang paling banyak melibatkan para
sejawat, baik sebagai tutor maupun narasumber dari hampir
semua departemen dan paling sering melakukan pelatihan
staf menjadi tutor. Tentunya pelatihan tersebut memerlukan
biaya yang tidak sedikit, namun manfaatnya besar guna
membangun karakter mahasiswa kedokteran.15 Perlu diingat
bahwa dalam pembelajaran afektif peran seorang tutor sangat
penting, baik sebagai pembimbing maupun sebagai role
model. Modul EPC dituangkan dalam buku rancangan
pembelajaran (BRP), dilengkapi buku pegangan tutor, dan
buku panduan peserta. Saat itu evaluasi dilakukan dengan
ujian esai, laporan tugas komunikasi, serta pemantauan dan
nilai para tutor.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga dihaturkan
kepada para para staf yang telah berkontribusi, meluangkan
waktu, mencurahkan tenaga dan pikiran, melaksanakan dan
mensukseskan modul EPC, yang kini menjadi ciri FKUI.
Selanjutnya tahun ajar 2001/2002 modul EPC secara resmi
dimasukkan dalam kurikulum FKUI (lama), baik untuk
mahasiswa kelas regular maupun kelas berbahasa Inggris
(international class). Modul tersebut mendapat tanggapan
positif. Di UI komunikasi diajarkan dalam program Pendidikan
Dasar Perguruan Tinggi (PDPT), sebagai salah satu soft skill.
Sedangkan di FKUI tetap diajarkan sebagai modul EPC yang
utuh bagi calon dokter di semester 1 dan dilanjutkan ber-
kesinambungan pada tahap clinical sciences dan clinical
practice Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2005.18
Setelah tahun 2004, para pengelola modul EPC senantiasa
memperbaharui dan mengembangkan modul dengan
menambahkan materi bioetik dan hukum kedokteran. Agar
sesuai dengan isi maka dinamakan modul Empati dan Bioetik
untuk Pengembangan Pribadi dan Profesi Kedokteran
dalam konteks Humaniora (EBP3KH).19 Selanjutnya
implementasi modul tersebut dilanjutkan secara terintegrasi
horizontal dan vertikal di setiap modul di klinik.
Saat ini mahasiswa kedokteran FKUI angkatan pertama
KBK 2005 telah berada di modul praktik klinik, meng-
implementasikan clinical sciences termasuk EPC. Mereka,
sebagai dokter muda, mulai menghadapi kasus nyata,
sehingga perlu mendapat contoh dan bimbingan tutor
bagaimana berinteraksi dan berkomunikasi efektif dengan
benar, santun dan ramah. Bagaimana memberikan informasi
medis yang benar dan lengkap, memberi edukasi atau nasihat
kesehatan, menyampaikan berita buruk dan berita gembira,
dengan bahasa yang mudah dimengerti pasien.20 Dengan
demikian, selain cara berkomunikasi yang benar, juga
dibutuhkan kompetensi ilmu pengetahuan medis sebagai isi
komunikasi. Cara berkomunikasi dengan empati adalah alat
atau kegiatan untuk terlaksananya komunikasi efektif.
Komunikasi efektif tersebut dapat meningkatkan kepatuhan
pasien dan taraf kepuasan pasien.11,21 Dosen klinik di RS
Pendidikan perlu memberikan contoh dan bimbingan, serta
memberi pelatihan berulang-ulang dan berkesinambungan,
agar keterampilan komunikasi efektif tidak hanya menjadi citra
profesionalisme kedokteran semata, tetapi melekat erat
menjadi budaya diri seorang dokter.
Materi penting yang tak dapat diabaikan dalam
pendidikan kedokteran adalah humanity in medicine,
terutama 5 qualities of mind yang terdiri atas berpikir kritis,
nondogmatis, peka terhadap nilai, empati dan sadar diri. Materi
tersebut senantiasa diterapkan dalam melakukan pendekatan
diagnosis dan pengobatan secara komprehensif-holistik pada
pasien.22,23
Prof. DR. Dr. Agus Purwadianto, SH, melihat kepen-
tingan di lapangan, yaitu kurangnya jumlah dosen yang me-
nguasai masalah bioetik, hukum kedokteran, dan hak azasi
149
![Page 4: Wp Delivery Bacd News](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022073120/55cf98d8550346d0339a05ea/html5/thumbnails/4.jpg)
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009
Komunikasi Dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran
manusia (HAM). Tidak hanya di FKUI, tetapi juga di fakultas
kedokteran lain di Indonesia. Kemudian beliau menyusun
proposal program pendidikan nongelar bioetik bagi dosen
fakultas kedokteran di Indonesia, lengkap dengan modul
pelatihannya. Program itu terdiri atas Trilogi Modul Pelatihan,
yaitu Modul Bioetik, Modul Mediko-legal dan Hukum
Kedokteran, serta Modul Humaniora dan Hak Azasi Manusia.
Untuk pelatihan tersebut FKUI ditunjuk sebagai pelaksana
dan pelaksanaannya mendapat dukungan penuh dari HWS-
DIKTI.24
Bioetik merupakan keilmuan interdisiplin. Berbeda
dengan etika klinis, bioetik lebih menekankan tentang
hubungan langsung dokter-pasien, sedangkan etika klinis
lebih merupakan pedoman yang harus ditaati para dokter
saat mempraktikkan keprofesiannya.17 Terdapat perbedaan
sudut pandang pasien dan dokter terhadap sakit sehingga
terkadang terjadi friksi persepsi:
1. Pasien lebih memprioritaskan perasaan dan masalah
dirinya yang sakit, mengharapkan lebih mendapat
perhatian, empati, perlakuan yang ramah dan santun
dalam upaya penyembuhan yang cepat. Pasien
mempunyai hak mendapatkan informasi guna memahami
penyakitnya, sehingga dapat mengambil keputusan
menerima atau menolak pengobatan (hak autonomy).
2. Dokter lebih menekankan pada penyakit (disease) dan
selalu mengacu pada profesionalisme (kaidah dasar
moral) yang harus dianutnya. Mempunyai niat untuk
berbuat baik (beneficence), memberikan pelayanan
medis dengan standar kedokteran tertinggi, menghormati
hak autonomi pasien, berlaku adil (justice) tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, ras, dan agama. Prinsip
etika kedokteran yang harus dijunjung tinggi, do no harm
(non-maleficence), yaitu tidak boleh merugikan pasien.
Citra profesionalisme kedokteran dalam etika klinis
didasari dengan setiap tindakan baik untuk diagnostik
maupun terapi harus sesuai indikasi, seizin pasien (in-
formed consent), dan bukti klinis (evidence based medi-
cine), mempertimbangkan preferensi pasien, quality of
life pasien, dan berbagai faktor humaniora (sosial,
budaya, ekonomi, agama) yang dapat mempengaruhi
kesembuhan.6,17 Karena itulah dalam kurikulum
kedokteran sebaiknya ditambahkan aspek bagaimana
menangani (management) orang sakit secara profesional
dan tips bagaimana menghadapi pasien yang sulit.
Pengetahuan menangani orang sakit adalah bekal
seorang dokter dalam praktik kesehatan individu dan
kesehatan masyarakat sehingga terhindar dari
pelanggaran etika dan disiplin. Komunikasi dengan
empati merupakan jiwa dalam profesionalisme
kedokteran.6,7,17
Kompetensi Dosen: 12 roles of medical teacher
Pada program pendidikan dokter yang menggunakan
KBK diperlukan dosen yang kompeten dalam metode
pembelajaran modern yang mampu memotivasi peserta belajar
aktif mandiri.14,16,18 Dosen adalah scholar, sehingga dosen
pun dituntut senantiasa harus belajar sepanjang hayat.7,14
Selain selalu meningkatkan diri dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran, juga ilmu pendidikan kedokteran.
Pendidikan profesi dokter dilakukan oleh dokter berstatus
dosen. Seorang dokter (asal kata docere artinya dosen, guru)
adalah dosen yang selain ekspertis juga memiliki kemampuan
membimbing, mendidik, dan menilai peserta didik. Sejak tahun
2007 FKUI telah mulai melakukan program pelatihan 12 roles
of medical teacher, yaitu kompetensi sebagai mentor,
fasilitator, on the job of role model, teaching role model,
lecturer, clinical or practical teacher, resource material
creator, study guide production, course organizer, curricu-
lum planner, curriculum evaluator, dan student assessor.28
Semula pelatihan dilaksanakan oleh Unit Pendidikan
Kedokteran (UPK), sekarang dilaksanakan secara terprogram
oleh Departemen Pendidikan Kedokteran (DPK). Para dosen
FKUI dan dosen klinis RS pendidikan FKUI secara bergiliran
berkesempatan mengikuti program pelatihan tersebut.29
Kompetensi sebagai mentor (tutor) dan role model sangat
dibutuhkan pada implementasi modul EBP3KH
Penutup
Komunikasi dengan empati (komunikasi efektif)
merupakan salah satu dari tujuh area kompetensi utama
bidang kedokteran yang harus dikuasai oleh semua dokter,
dokter spesialis dan dokter gigi, termasuk juga paramedis.
Komunikasi dengan empati penting guna menyelesaikan
masalah pasien, diagnosis dan terapi, memberikan informasi
dan edukasi, menetapkan keputusan, serta berbagi (to share)
pikir dan rasa, membina hubungan dokter-pasien yang lebih
baik. Kompetensi komunikasi dengan empati, tidak dapat
dipisahkan dari kompetensi lainnya yaitu etika, moral, dan
profesionalisme dalam praktik; mawas diri, serta pengem-
bangan diri dan belajar sepanjang hayat. Communication is
not “add on”. It is at the heart of patient care.8
Daftar Pustaka
1. Undang-undang Guru dan Dosen, 2005.
2. Peraturan Pemerintah.152 tahun 2000, Penetapan UI sebagai
BHMN.
3. Keputusan Wali Amanah UI No. 01/SK/MWA-UI/2003 tentang
anggaran Rumah Tangga Universitas Indonesia.
4. Keputusan DGB-FKUI No:03/SK/DGB-FKUI/2008 tentang
Tatatertib Guru Besar FKUI.
5. Keputusan DGB-FKUI No:04/SK/DGB/FKUI/VII/2008 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Guru Besar FKUI.
6. Rafdinal. Hospital development program training: excellent cus-
tomer service. Disampaikan sebagai ceramah di Departemen IK
Kulit dan Kelamin, RSCM, Jakarta, November 2008.
7. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode
Etik Kedokteran Indonesia. Majelis Kedokteran Etik Indonesia
(MKEK) Ikatan Dokter Indonesia, 2002.
8. Lloyd M, Bord R. Communication skill for medicine. 2nd ed.
Edinburgh: Churchill Livingstone; 2004.
9. Kurtz S, Silverman J, Draper J. Teaching and learning communi-
150
![Page 5: Wp Delivery Bacd News](https://reader036.vdocuments.site/reader036/viewer/2022073120/55cf98d8550346d0339a05ea/html5/thumbnails/5.jpg)
Komunikasi Dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009
cation skills in medicine. 2nd ed. Oxon UK: Radcliffe Ltd.; 2005.
10. Ali M, Sidi, IPS (editor). Manual komunikasi dokter pasien.
Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2006.
11. Bensing J. Doctor-patient communication and the quality of
care. Sos Sci Med. 1991;32(1):1301-10.
12. Laine Ch. “Let me see if I have this right”…… Words that help
built empathy. Annals of Int Medicine 2001;135:221-7.
13. Trilogi WFME. Basic medical education WFME global standards
for quality improvement. Global standards in post graduate medi-
cal education, global standards in CPD. WFME Office. Den-
mark: University of Copenhagen; 2003.
14. Creating the future of the Faculty of Medicine University of
Indonesia, Strategic plan 2000-2010.
15. Modul empathy and communication related to patient care.
Jakarta: QUE project FKUI; 2000-2004.
16. Asy-Syalhub F. Al-Muallimul awwal shallallahu alaihi wa aallam.
Guruku Muhammad (terjemahan Nashirul Haq). Depok: Gema
Insani; 2006.
17. Martaadisoebrata D. Pengantar ke dunia profesi kedokteran.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2004.
18. Kurikulum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2005:
kurikulum berbasis kompetensi. Program Pendidikan Dokter.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.
19. Rancangan pengajaran modul empati dan bioetik untuk
pengembangan pribadi dan profesi kedokteran dalam konteks
humaniora (EBP3KH). Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006-
2007.
20. Sujudi A, Sulaiman A, Ismael S. 150 tahun pendidikan dokter di
Indonesia, menuju persaingan global. Jakarta: Temu Ilmiah Akbar,
KPPIK, FKUI 2002.
21. Daldiyono. Menuju seni ilmu kedokteran. Bagaimana dokter
berpikir, bekerja, dan menampilkan diri. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama; 2006.p. 238-63.
22. Clauser KD. Humanities in medical education: some contribu-
tions. J Med and Phylosophy 1990;15:289-301.
23. Sjamsuhidayat. Humanity in medicine. Bahan kuliah Modul
EBP3KH semester 1. Jakarta: FKUI; 2006.
24. Purwadianto A. Rancangan pengajaran bioetik untuk dosen fakultas
kedokteran. Jakarta: FKUI; 2007.
25. Rancangan pengajaran modul klinik ilmu kesehatan kulit dan
kelamin, Jakarta: FKUI; 2008.
26. Ferguson WJ, Candib LM. Modern culture and physician-patient
communication: culture, language and doctor patient relation-
ship. Fam Med 2002;34(5):353-61.
27. Standar Kompetensi Dokter, Konsil Kedokteran Indonesia.
Jakarta: 2005.
28. Harden RM. AMFE Guide No.20. The Good teacher is more than
a lecturer: the 12 roles of teacher. The Medical Teacher.
2000;22:334-47.
29. Departemen Pendidikan Kedokteran FKUI. Program Pelatihan
12 roles of medical teacher. Jakarta: FKUI, 2008.
SS
151