wp delivery bacd news

5
Editorial Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009 Komunikasi dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran* Siti Aisah Boediardja Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Pendahuluan Guru adalah seseorang yang pantas dan patut digugu dan ditiru (role model). Menurut Undang-undang Guru dan Dosen, 2005 seorang guru harus mempunyai kompetensi sedikitnya satu tingkat di atas pesera didik. 1 Kompetensi guru/dosen meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, keprofesian, dan sosial. Oleh karena itu seorang guru besar (GB) FKUI, senantiasa wajib menjaga dan melakukan pembinaan kehidupan akademik dan integritas moral serta etika akademik fakultas. 2,3 Pada November 2008 Dewan Guru Besar FKUI kembali memperjelas tentang peran dan fungsi, serta pedoman pelaksanaan Kode Etik Guru Besar FKUI yang dituangkan dalam bentuk surat keputusan dewan GB. Selain tugas tridarma perguruan tinggi yang diembannya, GB juga bertugas melakukan pembinaan kehidupan akademik, integritas moral dan etika akademik, serta mengembangkan potensi dan kompetensi termasuk meningkatkan karir sivitas akademika hingga mencapai jenjang dan jabatan akademik tertinggi. 4,5 * Dipresentasikan pada Pidato Purna Bakti Guru Besar FKUI, Jakarta, 29 Januari 2009 Pembelajaran Keterampilan Komunikasi dengan Empati dalam Pendidikan Dokter FKUI Komunikasi adalah kegiatan keseharian kita sebagai makhluk Tuhan yang paling bermartabat (mulia) dan berakal, mampu memadukan rasio dan rasa, akal dan kalbu, serta pikir dan zikir. Komunikasi berasal dari kata commune artinya sama, saling berhubungan (interaksi) dalam posisi kesetaraan, dilakukan simultan antara visual (pandangan mata), verbal/ voice (suara, intonasi), dan perilaku nonverbal (bahasa tubuh). Komunikasi dua arah (penyampai dan penerima informasi) telah hadir sejak janin berada dalam kandungan ibunya. Bayi baru lahir berkomunikasi kali pertama dengan menangis, anak-anak-remaja-dewasa-tua, tak ada yang tidak berkomunikasi. Tuna wicara sekali pun berkomunikasi, sehingga komunikasi sebenarnya bukan barang baru. Mari kita perhatikan bagaimana kita berkomunikasi dengan anak kecil, saat kita merendahkan diri agar sama tinggi sehingga dapat mempertahankan kontak mata, wajah ramah dan lembut, suara pun dibuat menirukan suara anak kecil agar dapat saling memahami. Dengan siapapun kita berkomunikasi dengan maksud-tujuan tertentu, interpersonal atau dalam kelompok, baik dengan ibu, ayah, suami/isteri, anak, nenek, guru /dosen, sahabat, teman, atasan, maupun bawahan, perlu penyesuaian bersikap agar komunikasi menjadi lebih efektif. 6 147

Upload: albari-pohan

Post on 26-Nov-2015

18 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Wp Delivery Bacd News

Editorial

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009

Komunikasi dengan Empati,Informasi dan Edukasi:

Citra Profesionalisme Kedokteran*

Siti Aisah Boediardja

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Pendahuluan

Guru adalah seseorang yang pantas dan patut digugu

dan ditiru (role model). Menurut Undang-undang Guru dan

Dosen, 2005 seorang guru harus mempunyai kompetensi

sedikitnya satu tingkat di atas pesera didik. 1 Kompetensi

guru/dosen meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian,

keprofesian, dan sosial. Oleh karena itu seorang guru besar

(GB) FKUI, senantiasa wajib menjaga dan melakukan

pembinaan kehidupan akademik dan integritas moral serta

etika akademik fakultas.2,3 Pada November 2008 Dewan Guru

Besar FKUI kembali memperjelas tentang peran dan fungsi,

serta pedoman pelaksanaan Kode Etik Guru Besar FKUI yang

dituangkan dalam bentuk surat keputusan dewan GB. Selain

tugas tridarma perguruan tinggi yang diembannya, GB juga

bertugas melakukan pembinaan kehidupan akademik,

integritas moral dan etika akademik, serta mengembangkan

potensi dan kompetensi termasuk meningkatkan karir sivitas

akademika hingga mencapai jenjang dan jabatan akademik

tertinggi.4,5

* Dipresentasikan pada Pidato Purna Bakti Guru Besar FKUI,

Jakarta, 29 Januari 2009

Pembelajaran Keterampilan Komunikasi dengan Empati

dalam Pendidikan Dokter FKUI

Komunikasi adalah kegiatan keseharian kita sebagai

makhluk Tuhan yang paling bermartabat (mulia) dan berakal,

mampu memadukan rasio dan rasa, akal dan kalbu, serta pikir

dan zikir. Komunikasi berasal dari kata commune artinya sama,

saling berhubungan (interaksi) dalam posisi kesetaraan,

dilakukan simultan antara visual (pandangan mata), verbal/

voice (suara, intonasi), dan perilaku nonverbal (bahasa

tubuh). Komunikasi dua arah (penyampai dan penerima

informasi) telah hadir sejak janin berada dalam kandungan

ibunya. Bayi baru lahir berkomunikasi kali pertama dengan

menangis, anak-anak-remaja-dewasa-tua, tak ada yang tidak

berkomunikasi. Tuna wicara sekali pun berkomunikasi,

sehingga komunikasi sebenarnya bukan barang baru. Mari

kita perhatikan bagaimana kita berkomunikasi dengan anak

kecil, saat kita merendahkan diri agar sama tinggi sehingga

dapat mempertahankan kontak mata, wajah ramah dan lembut,

suara pun dibuat menirukan suara anak kecil agar dapat saling

memahami. Dengan siapapun kita berkomunikasi dengan

maksud-tujuan tertentu, interpersonal atau dalam kelompok,

baik dengan ibu, ayah, suami/isteri, anak, nenek, guru /dosen,

sahabat, teman, atasan, maupun bawahan, perlu penyesuaian

bersikap agar komunikasi menjadi lebih efektif.6

147

Page 2: Wp Delivery Bacd News

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009

Demikian pula keterampilan berkomunikasi dokter-

pasien dalam praktik sehari-hari menjadi satu kompetensi

yang wajib dimiliki dokter. Komunikasi dokter-pasien

merupakan komunikasi dua arah dengan tujuan kesembuhan,

dilandasi kesetaraan dan empati, ada kesepakatan tak tertulis

bahwa pasien mempercayakan dirinya kepada dokter yang

mengobatinya dan dokter wajib simpan rahasia jabatan.

Dokter adalah profesi mulia yang mendapat kepercayaan dan

kehormatan dari pasien; Oleh karena itu harus menjunjung

tinggi perilaku mulia, yaitu jujur, empati, kasih sayang, peka

nilai, mau mendengar aktif, memberi tanggapan positif, tidak

menghakimi, sabar, ikhlas, tidak emosional, terbuka,

kompeten, berpengetahuan luas tentang kedokteran dan

kesehatan, namun tetap sadar bahwa setiap orang mem-

punyai keterbatasan.7

Empati sebagaimana dikemukakan kali pertama pada

1909 berasal dari bahasa latin em dan pathos yang artinya

feeling into. Limapuluh tahun kemudian hal tersebut dibahas

pada ilmu psikososial dan psikoanalitik, bagaimana seseorang

dapat meraba-rasakan dirinya sebagai orang lain dengan

tetap obyektif tanpa menyertakan emosi diri. Sebagai dokter

kita wajib berempati, mau dan mampu merabarasakan

perasaan, pikiran, sikap dan perilaku pasien, tanpa melibatkan

emosi diri. Bayangkan apabila kita yang menjadi pasien,

merasakan fisik, pikiran, dan emosi tidak sehat, keinginan

diperlakukan dengan kasih sayang dan empati, pandangan,

dan harapan terhadap kesembuhan. Dengan demikian

komunikasi dokter-pasien bukanlah hal yang mudah, terutama

saat berhadapan dengan pasien yang bermasalah mulai dari

yang sederhana hingga yang rumit dan kompleks.

Keterampilan berkomunikasi dengan kesetaraan, dilandasi

empati disebut komunikasi efektif. Komunikasi tersebut

lebih menjamin pesan (isi komunikasi) tersampaikan dan

dimengerti sehingga tujuan menggali informasi, menetapkan

diagnosis dan pengobatan lebih tepat, efektif dan efisien.6,11,12

Kontrol diri merupakan kunci keberhasilan guna

meningkatkan taraf kepuasan pasien, mengurangi keluhan

dan tuntutan, serta mengurangi risiko kesalahan praktik klinik.

Komunikasi efektif merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dalam profesionalisme kedokteran. 6-11

Dalam profesionalisme kedokteran terkandung kom-

petensi, akuntabilitas, tanggungjawab, disiplin, kewenangan,

kesejawatan, etis, dan altruism. Terdapat tujuh kompetensi

dokter yang dinyatakan oleh World Federation of Medical

Education (WFME) 2003, yaitu effective communication,

clinical ability, scientifically basis on medical science,

health management, information management, self reflect

and self improvement, ethics, morality, profesionalism, and

medicolegal.13

Modul Empathy in Communication Related to Patient Care

WHO menyatakan profil doctor for the future adalah

The 5 Star Doctor (care provider, decision maker, commu-

nicator, community leader, manager) yang oleh FKUI

ditambahkan dengan researcher, serta iman dan takwa. Prof

dr. Ali Sulaiman, PhD, Sp.PD, Dekan FKUI periode 2000-

2004, sangat menekankan agar dokter lulusan FKUI memiliki

profil tersebut, dengan menerapkan pendekatan pembelajaran

student centered, problem based learning, integrated teach-

ing, community based, early exposure to clinical practice,

systematization (SPICES) pada kurikulum kedokteran

terintegrasi di FKUI. Khususnya agar early exposure to clini-

cal practice dan kompetensi communicator tercapai, FKUI

melakukan strategi pendidikan dengan memperkenalkan

mahasiswa sejak dini berbagai masalah pasien serta belajar

berkomunikasi dengan empati.13-15

Modul empathy in communication related to patient

care (EPC) merupakan alat pembelajaran, agar mahasiswa

tidak hanya memahami teori saja, melainkan dilatihkan agar

terampil berkomunikasi dengan empati. Awal tahun ajar 2000/

2001, modul tersebut diujicobakan pada mahasiswa baru

FKUI dan berlangsung selama dua minggu. FKUI ber-

pendapat bahwa inilah kesempatan yang paling baik,

memperkenalkan dan membudayakan lebih dini sikap dan

perilaku dasar profesionalisme kedokteran kepada calon

dokter. Kita sangat menyadari bahwa dalam pendidikan di

sekolah dasar dan menengah saat itu tidak lagi mendapat

mata ajar budi pekerti (yang sebenarnya sangat penting selain

Agama). Budi pekerti luhur yang kontekstual dengan perilaku

kecendekiawanan seorang dokter, antara lain – kejujuran,

keterbukaan, tanggung jawab, disiplin, integritas, empati,

kasih sayang, ikhlas, adil, mawas diri, rendah hati, santun,

memelihara kesejawatan, sabar, sadar memiliki keterbatasan,

dan sebagainya agar senantiasa dicontohkan dan

diterapkan.7,16,17 Demikian pula seorang guru/guru besar atau

dosen wajib memelihara ahlak mulia tersebut dan

mencontohkannya kepada para peserta didik.4,5

Tentu saja materi afektif serupa itu tidak mudah untuk

diajarkan, namun bagaimanapun harus dibudayakan agar

terjadi perubahan dalam perasaan, pemikiran dan perilaku,

apalagi mengingat profesi dokter adalah profesi yang

humanis. Calon dokter harus memiliki empati dan kasih

sayang, serta peka terhadap nilai-nillai kemanusiaan. Ranah

afektif perlu dibelajarkan dan diasuh tutor, yaitu dosen

pembimbing yang memberikan contoh (role model) yang

baik.14

Modul EPC diimplementasikan dalam kurikulum

kedokteran pada dua minggu pertama di awal semester 1.

Mahasiswa dilatih mengenal dan mempertajam empati,

mendengar aktif, berkomunikasi efektif, dan peka nilai. Guna

mencapai kompetensi tersebut, disusun tahapan pembe-

lajaran modul EPC sebagai berikut:

1. Komunikasi efektif:

a. Orientasi: secara bertahap mahasiswa diberi pembekalan

komunikasi dan dilatih bagaimana menciptakan suasana

komunikasi (conditioning) yang nyaman, membangun

kesetaraan dengan lawan bicara, membina rapport

Komunikasi Dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran

148

Page 3: Wp Delivery Bacd News

Komunikasi Dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009

(mempertahankan kontak mata), mendengar aktif

(mendengarkan dan merespons dengan bahasa tubuh),

menghargai pasien sebagai manusia seutuhnya, memberi

tanggapan yang positif serta bersikap empati.

Mempelajari contoh film atau role model sebagai pemicu.

b. Latihan komunikasi dengan empati: berlatih menjadi

pendengar aktif, bermain peran (role play) bagaimana

mahasiswa mengalami sendiri (self experience)

berkomunikasi empati dan non-empati secara bergantian.

Merabarasakan bagaimana bila diperlakukan dengan

empati dan nonempati

c. Umpan balik: melihat kembali serta mengkoreksi sendiri

sikap dan perilaku saat bermain peran (yang direkam

dengan video) serta mendapatkan masukan dari sejawat

dan tutor.

d. De-roling: setelah selesai bermain peran dilakukan de-

roling, yaitu membasuh peran agar kepribadian saat

bermain peran hilang dan kembali kepada kepribadian

aslinya.

2. Berpikir kritis: mahasiswa dilatih bagaimana berpikir kritis

dengan membaca artikel yang berkaitan dengan isu etika-

moral dan profesionalisme dalam praktik, melihat model

atau film tentang perilaku komunikasi dengan empati

(misalnya film Patch Adam), dan etika kedokteran

(misalnya clonning), kemudian membahasnya dalam

diskusi kelompok dengan tutor. Dalam diskusi kelompok

mahasiswa juga belajar berdiskusi dengan benar.

3. Praktik lapangan: mahasiswa melakukan kunjungan

rumah atau bangsal perawatan didampingi tutor dan

dilatih keterampilan berkomunikasi dengan empati secara

langsung dengan pasien, keluarga pasien, atau orang-

orang yang berada di sekitar mereka. Pengalaman praktik

lapangan tersebut membantu mempertajam empati,

mengendalikan emosi, dan meningkatkan kemampuan

komunikasi.

4. Kegiatan mandiri: mahasiswa belajar dan mencari

informasi dari berbagai sumber belajar antara lain di

perpustakaan, termasuk searching internet di

laboratorium komputer FKUI.

Itulah modul FKUI yang paling banyak melibatkan para

sejawat, baik sebagai tutor maupun narasumber dari hampir

semua departemen dan paling sering melakukan pelatihan

staf menjadi tutor. Tentunya pelatihan tersebut memerlukan

biaya yang tidak sedikit, namun manfaatnya besar guna

membangun karakter mahasiswa kedokteran.15 Perlu diingat

bahwa dalam pembelajaran afektif peran seorang tutor sangat

penting, baik sebagai pembimbing maupun sebagai role

model. Modul EPC dituangkan dalam buku rancangan

pembelajaran (BRP), dilengkapi buku pegangan tutor, dan

buku panduan peserta. Saat itu evaluasi dilakukan dengan

ujian esai, laporan tugas komunikasi, serta pemantauan dan

nilai para tutor.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga dihaturkan

kepada para para staf yang telah berkontribusi, meluangkan

waktu, mencurahkan tenaga dan pikiran, melaksanakan dan

mensukseskan modul EPC, yang kini menjadi ciri FKUI.

Selanjutnya tahun ajar 2001/2002 modul EPC secara resmi

dimasukkan dalam kurikulum FKUI (lama), baik untuk

mahasiswa kelas regular maupun kelas berbahasa Inggris

(international class). Modul tersebut mendapat tanggapan

positif. Di UI komunikasi diajarkan dalam program Pendidikan

Dasar Perguruan Tinggi (PDPT), sebagai salah satu soft skill.

Sedangkan di FKUI tetap diajarkan sebagai modul EPC yang

utuh bagi calon dokter di semester 1 dan dilanjutkan ber-

kesinambungan pada tahap clinical sciences dan clinical

practice Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2005.18

Setelah tahun 2004, para pengelola modul EPC senantiasa

memperbaharui dan mengembangkan modul dengan

menambahkan materi bioetik dan hukum kedokteran. Agar

sesuai dengan isi maka dinamakan modul Empati dan Bioetik

untuk Pengembangan Pribadi dan Profesi Kedokteran

dalam konteks Humaniora (EBP3KH).19 Selanjutnya

implementasi modul tersebut dilanjutkan secara terintegrasi

horizontal dan vertikal di setiap modul di klinik.

Saat ini mahasiswa kedokteran FKUI angkatan pertama

KBK 2005 telah berada di modul praktik klinik, meng-

implementasikan clinical sciences termasuk EPC. Mereka,

sebagai dokter muda, mulai menghadapi kasus nyata,

sehingga perlu mendapat contoh dan bimbingan tutor

bagaimana berinteraksi dan berkomunikasi efektif dengan

benar, santun dan ramah. Bagaimana memberikan informasi

medis yang benar dan lengkap, memberi edukasi atau nasihat

kesehatan, menyampaikan berita buruk dan berita gembira,

dengan bahasa yang mudah dimengerti pasien.20 Dengan

demikian, selain cara berkomunikasi yang benar, juga

dibutuhkan kompetensi ilmu pengetahuan medis sebagai isi

komunikasi. Cara berkomunikasi dengan empati adalah alat

atau kegiatan untuk terlaksananya komunikasi efektif.

Komunikasi efektif tersebut dapat meningkatkan kepatuhan

pasien dan taraf kepuasan pasien.11,21 Dosen klinik di RS

Pendidikan perlu memberikan contoh dan bimbingan, serta

memberi pelatihan berulang-ulang dan berkesinambungan,

agar keterampilan komunikasi efektif tidak hanya menjadi citra

profesionalisme kedokteran semata, tetapi melekat erat

menjadi budaya diri seorang dokter.

Materi penting yang tak dapat diabaikan dalam

pendidikan kedokteran adalah humanity in medicine,

terutama 5 qualities of mind yang terdiri atas berpikir kritis,

nondogmatis, peka terhadap nilai, empati dan sadar diri. Materi

tersebut senantiasa diterapkan dalam melakukan pendekatan

diagnosis dan pengobatan secara komprehensif-holistik pada

pasien.22,23

Prof. DR. Dr. Agus Purwadianto, SH, melihat kepen-

tingan di lapangan, yaitu kurangnya jumlah dosen yang me-

nguasai masalah bioetik, hukum kedokteran, dan hak azasi

149

Page 4: Wp Delivery Bacd News

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009

Komunikasi Dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran

manusia (HAM). Tidak hanya di FKUI, tetapi juga di fakultas

kedokteran lain di Indonesia. Kemudian beliau menyusun

proposal program pendidikan nongelar bioetik bagi dosen

fakultas kedokteran di Indonesia, lengkap dengan modul

pelatihannya. Program itu terdiri atas Trilogi Modul Pelatihan,

yaitu Modul Bioetik, Modul Mediko-legal dan Hukum

Kedokteran, serta Modul Humaniora dan Hak Azasi Manusia.

Untuk pelatihan tersebut FKUI ditunjuk sebagai pelaksana

dan pelaksanaannya mendapat dukungan penuh dari HWS-

DIKTI.24

Bioetik merupakan keilmuan interdisiplin. Berbeda

dengan etika klinis, bioetik lebih menekankan tentang

hubungan langsung dokter-pasien, sedangkan etika klinis

lebih merupakan pedoman yang harus ditaati para dokter

saat mempraktikkan keprofesiannya.17 Terdapat perbedaan

sudut pandang pasien dan dokter terhadap sakit sehingga

terkadang terjadi friksi persepsi:

1. Pasien lebih memprioritaskan perasaan dan masalah

dirinya yang sakit, mengharapkan lebih mendapat

perhatian, empati, perlakuan yang ramah dan santun

dalam upaya penyembuhan yang cepat. Pasien

mempunyai hak mendapatkan informasi guna memahami

penyakitnya, sehingga dapat mengambil keputusan

menerima atau menolak pengobatan (hak autonomy).

2. Dokter lebih menekankan pada penyakit (disease) dan

selalu mengacu pada profesionalisme (kaidah dasar

moral) yang harus dianutnya. Mempunyai niat untuk

berbuat baik (beneficence), memberikan pelayanan

medis dengan standar kedokteran tertinggi, menghormati

hak autonomi pasien, berlaku adil (justice) tanpa

membedakan jenis kelamin, suku, ras, dan agama. Prinsip

etika kedokteran yang harus dijunjung tinggi, do no harm

(non-maleficence), yaitu tidak boleh merugikan pasien.

Citra profesionalisme kedokteran dalam etika klinis

didasari dengan setiap tindakan baik untuk diagnostik

maupun terapi harus sesuai indikasi, seizin pasien (in-

formed consent), dan bukti klinis (evidence based medi-

cine), mempertimbangkan preferensi pasien, quality of

life pasien, dan berbagai faktor humaniora (sosial,

budaya, ekonomi, agama) yang dapat mempengaruhi

kesembuhan.6,17 Karena itulah dalam kurikulum

kedokteran sebaiknya ditambahkan aspek bagaimana

menangani (management) orang sakit secara profesional

dan tips bagaimana menghadapi pasien yang sulit.

Pengetahuan menangani orang sakit adalah bekal

seorang dokter dalam praktik kesehatan individu dan

kesehatan masyarakat sehingga terhindar dari

pelanggaran etika dan disiplin. Komunikasi dengan

empati merupakan jiwa dalam profesionalisme

kedokteran.6,7,17

Kompetensi Dosen: 12 roles of medical teacher

Pada program pendidikan dokter yang menggunakan

KBK diperlukan dosen yang kompeten dalam metode

pembelajaran modern yang mampu memotivasi peserta belajar

aktif mandiri.14,16,18 Dosen adalah scholar, sehingga dosen

pun dituntut senantiasa harus belajar sepanjang hayat.7,14

Selain selalu meningkatkan diri dalam ilmu pengetahuan dan

teknologi kedokteran, juga ilmu pendidikan kedokteran.

Pendidikan profesi dokter dilakukan oleh dokter berstatus

dosen. Seorang dokter (asal kata docere artinya dosen, guru)

adalah dosen yang selain ekspertis juga memiliki kemampuan

membimbing, mendidik, dan menilai peserta didik. Sejak tahun

2007 FKUI telah mulai melakukan program pelatihan 12 roles

of medical teacher, yaitu kompetensi sebagai mentor,

fasilitator, on the job of role model, teaching role model,

lecturer, clinical or practical teacher, resource material

creator, study guide production, course organizer, curricu-

lum planner, curriculum evaluator, dan student assessor.28

Semula pelatihan dilaksanakan oleh Unit Pendidikan

Kedokteran (UPK), sekarang dilaksanakan secara terprogram

oleh Departemen Pendidikan Kedokteran (DPK). Para dosen

FKUI dan dosen klinis RS pendidikan FKUI secara bergiliran

berkesempatan mengikuti program pelatihan tersebut.29

Kompetensi sebagai mentor (tutor) dan role model sangat

dibutuhkan pada implementasi modul EBP3KH

Penutup

Komunikasi dengan empati (komunikasi efektif)

merupakan salah satu dari tujuh area kompetensi utama

bidang kedokteran yang harus dikuasai oleh semua dokter,

dokter spesialis dan dokter gigi, termasuk juga paramedis.

Komunikasi dengan empati penting guna menyelesaikan

masalah pasien, diagnosis dan terapi, memberikan informasi

dan edukasi, menetapkan keputusan, serta berbagi (to share)

pikir dan rasa, membina hubungan dokter-pasien yang lebih

baik. Kompetensi komunikasi dengan empati, tidak dapat

dipisahkan dari kompetensi lainnya yaitu etika, moral, dan

profesionalisme dalam praktik; mawas diri, serta pengem-

bangan diri dan belajar sepanjang hayat. Communication is

not “add on”. It is at the heart of patient care.8

Daftar Pustaka

1. Undang-undang Guru dan Dosen, 2005.

2. Peraturan Pemerintah.152 tahun 2000, Penetapan UI sebagai

BHMN.

3. Keputusan Wali Amanah UI No. 01/SK/MWA-UI/2003 tentang

anggaran Rumah Tangga Universitas Indonesia.

4. Keputusan DGB-FKUI No:03/SK/DGB-FKUI/2008 tentang

Tatatertib Guru Besar FKUI.

5. Keputusan DGB-FKUI No:04/SK/DGB/FKUI/VII/2008 tentang

Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Guru Besar FKUI.

6. Rafdinal. Hospital development program training: excellent cus-

tomer service. Disampaikan sebagai ceramah di Departemen IK

Kulit dan Kelamin, RSCM, Jakarta, November 2008.

7. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode

Etik Kedokteran Indonesia. Majelis Kedokteran Etik Indonesia

(MKEK) Ikatan Dokter Indonesia, 2002.

8. Lloyd M, Bord R. Communication skill for medicine. 2nd ed.

Edinburgh: Churchill Livingstone; 2004.

9. Kurtz S, Silverman J, Draper J. Teaching and learning communi-

150

Page 5: Wp Delivery Bacd News

Komunikasi Dengan Empati, Informasi dan Edukasi: Citra Profesionalisme Kedokteran

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 4, April 2009

cation skills in medicine. 2nd ed. Oxon UK: Radcliffe Ltd.; 2005.

10. Ali M, Sidi, IPS (editor). Manual komunikasi dokter pasien.

Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2006.

11. Bensing J. Doctor-patient communication and the quality of

care. Sos Sci Med. 1991;32(1):1301-10.

12. Laine Ch. “Let me see if I have this right”…… Words that help

built empathy. Annals of Int Medicine 2001;135:221-7.

13. Trilogi WFME. Basic medical education WFME global standards

for quality improvement. Global standards in post graduate medi-

cal education, global standards in CPD. WFME Office. Den-

mark: University of Copenhagen; 2003.

14. Creating the future of the Faculty of Medicine University of

Indonesia, Strategic plan 2000-2010.

15. Modul empathy and communication related to patient care.

Jakarta: QUE project FKUI; 2000-2004.

16. Asy-Syalhub F. Al-Muallimul awwal shallallahu alaihi wa aallam.

Guruku Muhammad (terjemahan Nashirul Haq). Depok: Gema

Insani; 2006.

17. Martaadisoebrata D. Pengantar ke dunia profesi kedokteran.

Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2004.

18. Kurikulum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2005:

kurikulum berbasis kompetensi. Program Pendidikan Dokter.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.

19. Rancangan pengajaran modul empati dan bioetik untuk

pengembangan pribadi dan profesi kedokteran dalam konteks

humaniora (EBP3KH). Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006-

2007.

20. Sujudi A, Sulaiman A, Ismael S. 150 tahun pendidikan dokter di

Indonesia, menuju persaingan global. Jakarta: Temu Ilmiah Akbar,

KPPIK, FKUI 2002.

21. Daldiyono. Menuju seni ilmu kedokteran. Bagaimana dokter

berpikir, bekerja, dan menampilkan diri. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama; 2006.p. 238-63.

22. Clauser KD. Humanities in medical education: some contribu-

tions. J Med and Phylosophy 1990;15:289-301.

23. Sjamsuhidayat. Humanity in medicine. Bahan kuliah Modul

EBP3KH semester 1. Jakarta: FKUI; 2006.

24. Purwadianto A. Rancangan pengajaran bioetik untuk dosen fakultas

kedokteran. Jakarta: FKUI; 2007.

25. Rancangan pengajaran modul klinik ilmu kesehatan kulit dan

kelamin, Jakarta: FKUI; 2008.

26. Ferguson WJ, Candib LM. Modern culture and physician-patient

communication: culture, language and doctor patient relation-

ship. Fam Med 2002;34(5):353-61.

27. Standar Kompetensi Dokter, Konsil Kedokteran Indonesia.

Jakarta: 2005.

28. Harden RM. AMFE Guide No.20. The Good teacher is more than

a lecturer: the 12 roles of teacher. The Medical Teacher.

2000;22:334-47.

29. Departemen Pendidikan Kedokteran FKUI. Program Pelatihan

12 roles of medical teacher. Jakarta: FKUI, 2008.

SS

151