supriadipanggabean.webnode.com€¦ · web viewpuji syukur kami panjatkan kehadirat tuhan yang...
TRANSCRIPT
HAKIKAT BANGSA (PENGERTIAN,CIRI – CIRI,DAN FUNGSI BAHASA DARI SUDUT PANDANG LUDWIG WITTGEINSTEIN)
Makalah ini disusun untuk mengikuti
Kuliah bahasa indonesia
KELOMPOK II
PROGRAM TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDRAPRASTA
JAKARTA 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “HAKIKAT BAHASA”.
Makalah ini berisikan tentang informasi pengertian Hakikat Bahasa atau yang lebih khususnya membahas pengertian, ciri-ciri,dan fungsi bahasa dari sudut pandang Lidwig Wittgeinstein. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang hakikat bahasa
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan senantiasa memberkati segala usaha kita.
Amin.
Jakarta,4 oktober 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar BelakangB. Perumusan MasalahC. TujuanD. Kegunaan
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
A. SimpulanB. SaranC. Daftar PustakaD. Lampiran Nama Anggota
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial, sehingga manusia perlu berinteraksi dengan manusia yang lainnya. Pada saat manusia membutuhkan eksistensinya diakui, maka interaksi itu terasa semakin penting. Kegiatan berinteraksi ini membutuhkan alat, sarana atau media, yaitu bahasa. Sejak saat itulah bahasa menjadi alat, sarana atau media komunikasi. Semakin lama bahasa mengalami berbagai perkembangan. Perkembangannya ada yang berdampak positif, ada juga yang berdampak negatif. Untuk meminimalisir pengaruh negatif dari perkembangan bahasa yang terjadi saat ini, diperlukan pemahaman dasar tentang bahasa.
B. Perumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “Hakikat Bahasa”, akan memaparkan pemahaman-pemahanan ,ciri-ciri, fungsi dan pengertian dasar tentang bahasa yang saat ini sudah mulai terlupakan yang diambil dari sudut pandang Ludwig Wittgenstein.
C. Tujuan
Dengan adanya makalah ini, diharapkan pendengar dan pembaca dapat tahu dan mengerti pemahanan dasar tentang hakikat bahasa menurut sudut pandang Ludwig Wittgenstein. Dengan tahu dan mengerti, setiap individu dapat menggunakan bahasa yang baik dan benar khususnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan ejaan yang disempurnakan dan tidak lagi menggunakan bahasa yang tidak baku dan mengerti makna dari hakikat bahasa itu sendiri.
D. Kegunaan
Agar interaksi masyarakat Indonesia berjalan dengan lancar. Jika semua masyarakat sudah paham tentang apa itu bahasa Indonesia, itu akan membuktikan bahwa bangsa kita mempunyai jati diri yang kuat.
BAB II PEMBAHASAN
1.1 Hakikat Bahasa
Hakekat bahasa merupakan gambaran logis realitas dunia, yang tersusun atas proposisi-
proposisi dan menggambarkan keberadaan suatu peristiwa secara faktual (state of affairs).
Dengan kata lain penggunaan bahasa dalam analisis teori filsafat harus mampu
mengungkapkan secara obyektif fakta tentang dunia, dan hal ini harus dilakukan dengan
menggunakan bahasa berdasarkan logika. Dengan bahasa dapat dikatakan dengan jelas apa
yang ingin dikatakan, sedangkan untuk menjelaskan apa yang tidak dapat dikatakan
Wittgenstein menggunakan metafora dan analogi. Berdasarkan teori tersebut, menurut
Wittgenstein metafisika itu tidak mengungkapkan realita fakta sehingga tidak bermakna.
Dalam hubungannya dengan ungkapan Tuhan, estetika dan etika Wittgenstein menyebutnya
bersifat mistis. Bagi Wittgenstein, bahasa itu seperti permainan olah raga yang mempunyai
aturannya masing-masing. Di dalam aturan-aturan itulah ditemukan suatu bentuk kehidupan
(form of life), yakni bahasa berkelindan dengan pola aktivitas dan karakter manusia, dan
makna bahasa diproses melalui ekspresi kebersamaan dan kodrat pengguna bahasa.
Perhatian utama Wittgenstein pada periode kedua ini, tidak dipusatkan pada ikhtiar
membangun satu bahasa ideal (bahasa logika) untuk dijadikan pondamen berbahasa. Ia
menyadari bahwa bahasa yang diformulasikan melalui logika sebenarnya tidak secara niscaya
dapat dikembangkan dalam filsafat. Alasannya adalah bahwa bahasa tidak saja digunakan untuk
mengungkapkan proposisi-proposisi logis tetapi juga digunakan untuk berbagai hal yang
berbeda-beda. Dari segi pragmatik, Wittgenstein memastikan bahwa terdapat keranekaragaman
bentuk, cara dan konteks penggunaan bahasa yang menyulitkan upaya untuk mengasalkan
berbagai keanekaragaman ini pada suatu kriteria tertentu ia mengatakan : “It is interesting to
compare the multiplicity of the tools in language and of the ways they are used, the multiplicity
of kinds of word and sentence with what logicians have said about the structure of language.
(including the author of the Tractatus Logico-Philosopphius)”. “We see that what we call
“sentence” and “language” have not the formal unity that I imagined, but are families of
structures more or less related to one another”.
Kerangka pikir seperti tersebut di atas menjelaskan peralihan kiblat filosofis Wittgenstein
dalam filsafat analitika bahasa. Philosophical Investigations tidak bertolak dari asumsi ontologis
tentang hakikat realitas dunia fakta dan bahasa, tetapi menekankan refleksi kritis (penyelidikan)
atas objek material bahasa. Menurut Wittgenstein, bahasa sehari-hari telah cukup untuk
menjelaskan masalah-masalah dalam filsafat. Anggapan ini didasarkan pada asumsi Wittgenstein
tentang makna bahasa. Makna sebuah kata adalah tergantung penggunaannya dalam suatu
kalimat. Makna kalimat adalah tergantung penggunaannya dalam bahasa sedangkan makna
bahasa adalah tergantung penggunaannya dalam hidup. Karena itu Wittgenstein menyarankan
agar pemahaman terhadap bahasa mesti dianalisis berdasarkan penggunaannya dalam konteks-
konteks tertentu (meaning in use). Hal ini disampaikan Wittgenstein pada paragraf pertama
Investigations melalui contoh yang diambil dari pengakuan Agustinus. Dalam contoh tersebut,
Wittgenstein menampilkan berbagai unsur yang turut berperanan dalam tindakan berbahasa
seseorang. Memahami bahasa berarti turut memperhitungkan berbagai unsur yang melekat pada
bahasa yang digunakan.
Namun kelihatannya, upaya untuk memperoleh pemahaman komprehensif tentang bahasa
akan menemui kesulitan jika disadari adanya keanekaragaman bentuk, cara dan konteks
penggunaan bahasa. Dengan ini pemahaman terhadap bahasa berpeluang menjadi semakin kabur
oleh karena memperhitungkan berbagai macam hal yang mempengaruhi tindakan berbahasa.
Pertanyaan yang patut disampaikan di sini adalah apakah dalam pemikiran seperti ini analisis
terhadap bahasa itu mungkin? Kalau pun mungkin, apakah metode yang relevan untuk
digunakan dalam menganalisis makna bahasa dalam beragam penggunaannya tersebut?
Menurut Wittgenstein, manusia senantiasa terlibat dalam bahasa dan dalam penggunaan bahasa
tersebut kendati pun beranekaragam tetap memiliki aturan tata bahasa tertentu. Karena itu
penyelidikan terhadap penggunaan bahasa dapat dianalisis berdasarkan aturan tata bahasa
tersebut. Wittgenstein menyebut penyelidikan semacam ini sebagai sebuah penyelidikan
gramatikal (Gramamatical Investigations). Ia menjelaskan bahwa penyelidikan gramatikal
merupakan sebuah klarifikasi gramatikal terhadap penggunaan bahasa dengan intensi untuk
memperlihatkan adanya suatu indikasi yang berlaku secara umum. Indikasi ini dapat dipandang
sebagai sebuah kemiripan dari berbagai macam ragam penggunaan gramatis bahasa. Tujuan yang
hendak dicapai dari penyelidikan gramatikal ini yaitu untuk menunjukkan perbedaan penggunaan
bahasa dalam berbagai bidang kehidupan manusia serta spesifikasi yang memberikan karakter
pada tiap ragam penggunaan dalam setiap konteks kehidupan. Dengan menempatkan bahasa
dalam komponen-komponen yang terspesifikasi itu, pemahaman akan bahasa yang disampaikan
menjadi jelas. Singkatnya penyelidikan gramatikal merupakan metode untuk mendapatkan
kejelasan makna penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia.
Apa yang dimaksudkan dengan bahasa sehari-hari dalam konteks ini tidak hanya merupakan
bahasa lisan tetapi juga bahasa dalam wacana tulisan.
B. Permainan Bahasa
Makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah kalimat adalah
penggunaannya dalam bahasa dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks
kehidupan manusia. Oleh karena itu yang patut dipertanyakan dalam hal ini adalah bagaimana
sebuah kata digunakan, bukan arti dari kata tersebut. Mengenai language games (permainan
bahasa), Wittgenstein mengatakan bahwa kita harus melihat, membaca dan memahami suatu
bahasa dalam konteksnya masing-masing. Artinya di sini ada aturan atau norma dalam
menggunakan bahasa di berbagai bidang kehidupan. Dalam pemikiran yang kedua ini,
Wittgenstein tidak lagi mendasarkan pada bahasa ideal dan logis, tetapi mengembangkan
pemikiran tentang pluralitas bahasa dalam kehidupan manusia. Walau demikian baik pada teori
pertama maupun kedua bagi Wittgenstein bahasa adalah elemen yang esensial di dalam pikiran
manusia.
Filsafat Wittgenstein tersebut relevan bagi pengembangan filsafat bahasa baik menyangkut
aspek ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Secara ontologis konsep permainan bahasa
menunjukkan hakekat kehidupan manusia dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, orang
lain, masyarakat, alam serta terhadap Tuhan. Bisa dikatakan kajian bahasa dalam hal ini untuk
mendeskripsikan permainan bahasa dalam kehidupan manusia. Secara epistemologis, setiap
penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia memiliki aturannya masing-masing yang sangat
beragam serta tidak terbatas. Aturan itu sulit jika hanya ditentukan secara normatif, serta sulit
ditentukan batas-batasnya secara tepat, tetapi manusia memahami bagaimana menggunakan
bahasa dalam setiap aspek kehidupan yang sangat beraneka ragam tersebut.
Sedangkan pada aspek aksiologis penggunaan bahasa adalah sebagai sarana dalam
berkomunikasi mengungkapkan suatu makna. Untuk mengetahui hakekat makna yang
terkandung dalam suatu ungkapan bahasa, kita harus memahami nilai-nilai yang terkandung
dalam kehidupan manusia dalam hubungannya dengan penggunaan ungkapan bahasa tersebut.
Dari pemahaman mengenai konsep bahasa ditinjau secara ontologs, epistemologis maupun
aksiologis di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan sebab akibat antara manusia dengan
bahasa, yaitu manusia sebagai sebab dan bahasa sebagai akibat. Berdasarkan kenyataan ini nilai
yang melekat pada bahasa ditentukan oleh eksistensi manusia sebagai subyek Nilai sendiri dapat
dipahami manusia melalui akal budi serta kesadarannya. Seseorang mampu berpikir tentang
sesuatu, memiliki suatu imajinasi serta mampu berkreativitas karena ia memiliki akal budi dan
kesadaran.
Makna bahasa bukan terdapat dalam bahasa atau penutur bahasa melainkan terdapat dalam
kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu untuk mengkaji makna bahasa harus dilakukan
pengamatan terhadap kehidupan manusia dalam hubungannya dengan aturan penggunaan bahasa
tersebut. Setiap konteks penggunaan bahasa memiliki aturan masing-masing. Dalam aturan
beserta penggunaannya dalam kehidupan manusia itulah akan ditemukan makna bahasa.
Obyektivitas kebenaran suatu ilmu akan tercapai manakala ontologi dan aksiologi makna bahasa
tidak tumpang tindih dengan subyek penutur bahasa yaitu manusia. Makna bahasa yang dikaji
pada kehidupan manusia dan merupakan nilai tersebut digunakan secara pragmatis dalam
kehidupan manusia pula.
Permainan bahasa merupakan konsep yang fundamental dalam Philosophical Investigation,
seperti halnya teori gambar dalam Tractatus. Dalam upaya membuka kabut kesalahpahaman
bahasa dalam filsafat, Wittgenstein berkeyakinan bahwa penyelidikan filosofis mesti dihantar
pada konteks penggunaan bahasa dalam kalimat dan dalam hubungan antara kalimat itu dengan
tindakan bahasa tertentu. Hal ini diasumsikan oleh gagasan yang menyatakan bahwa setiap
penggunaan bahasa memiliki aturan main tersendiri. Misalnya perintah untuk “membawa lima
buah papan” berbeda dengan laporan “membawa lima buah papan”. Penggunaan kalimat
“membawa lima buah papan” pada analisis tersebut, menggambarkan perbedaan makna dalam
konteks penggunaan bahasa yang berbeda-beda oleh karena “aturan main” yang berbeda-beda.
Wittgenstein berpendapat bahwa terdapat banyak permainan bahasa bahkan tak terhitung
jumlahnya sehingga memiliki sifat yang sangat beragam dan kompleks misalnya melaporkan
suatu kejadian, meramalkan kejadian, menceritakan pengalaman dan aneka bentuk permainan
bahasa lainnya.
Wittgenstein mengawali deskripsinya tentang permainan bahasa dengan menyatakan bahwa
permainan bahasa berkaitan dengan bahasa sehari-hari yang bersifat sederhana. Permainan
bahasa merupakan sebuah proses alamiah penggunaan bahasa natural sejak kanak-kanak karena
itu Wittgenstein menyebut permainan bahasa sebagai sebuah bahasa primitif. Secara lebih luas
Wittgenstein mengatakan bahwa keseluruhan tindakan penggunaan bahasa dalam konteks
kehidupan manusia senantiasa terjalin dalam suatu hubungan tata permainan bahasa. Setiap
ragam bahasa memiliki tata permainan bahasa tertentu. Dengan kata lain, bahasa adalah
penampakan dari permainan bahasa.
Permainan bahasa merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat diprediksi karena permainan
bahasa bersifat spasio-temporal (dikondisikan oleh konteks waktu dan tempat tertentu). Dalam
permainan bahasa tidak ada satu norma baku yang mengikat dan berlaku absolut bagi setiap
ragam penggunaan walaupun untuk ragam penggunaan yang sama. Misalnya pada ragam bahasa
perintah pada dua peristiwa yang berbeda. Kita dapat mengatakan bahwa pada permainan bahasa
dalam ragam perintah yang satu berbeda dari permainan bahasa dalam ragam perintah yang lain.
Perintah pada saat sekarang bisa berarti mubazir pada masa yang akan datang. Perintah pada
waktu lampau bisa jadi tidak lagi aktual untuk dilaksanakan pada masa sekarang. Karena itu
permainan bahasa itu bersifat unik, dinamis, tidak tetap (mutable) dan sesuai konteks (follow the
situations).
Kendatipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa permainan bahasa tidak memiliki karakter
normatif. Justru sebaliknya permainan bahasa merujuk pada aturan-aturan tertentu dalam bahasa
yang diacu oleh setiap pengguna bahasa yang berbeda-beda. Wittgenstein mengatakan : ”Suatu
permainan hendaklah berpedoman pada suatu aturan. Dalam suatu permainan catur jika sudah
ditentukan bahwa ”raja” memegang peranan yang sangat penting, maka ketentuan itu merupakan
bagian yang esensial dalam permainan tersebut. Apakah kita dapat melanggar aturan yang telah
ditentukan di sini? Pelanggaran itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk
yang sebenarnya tentang aturan permainan itu. Mungkin kita tidak memahami aturan tersebut
secara baik sehiingga mengerti salah petunjuk yang menggariskan agar kita berpikir tiga langkah
ke depan sebelum menggerakkan setiap buah catur. Jika kita menjumpai penerapan aturan ini di
atas papan catur, kita tentu akan merasa kagum dan memahami maksud dan tujuan suatu aturan,
(entahkah aturan ini untuk mencegah kita melakukan sesuatu tanpa suatu pertimbangan yang
pasti).
Analogi di atas menunjukkan bahwa dalam berbagai macam permainan bahasa terdapat
aturan main tersendiri yang dijadikan pedoman dalam permainan tersebut. Aturan main ini
berlaku secara spesifik karena itu tidak dapat dicampuradukkan satu dengan yang lain karena
penerapan aturan main yang satu kepada aturan main yang lain akan menimbulkan kekacauan
dalam berbahasa. Misalnya aturan main dalam ragam bahasa santai tidak dapat dimasukkan
sebagai ragam yang sah dari penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, mustahil bilamana kita
menentukan suatu permainan bahasa yang bersifat umum berlaku dalam setiap konteks
kehidupan. Sebaliknya, bahasa akan memiliki makna jika mampu mencerminkan aturan-aturan
yang terdapat dalam setiap konteks penggunaannya yang sifatnya beraneka ragam dan tidak
terbatas.
Mengatakan bahwa permainan bahasa bersifat unik, berbeda-beda dan tidak
tercampurbaurkan tidak dengan sendirinya memungkiri adanya suatu pola umum yang dapat
menjembatani beberapa permainan bahasa tertentu. Dalam tataran praktis kita menemukan
adanya penggunaan kata atau kalimat yang sama kendatipun untuk maksud dan konteks yang
berbeda-beda. Dalam hal ini Witttgenstein berbicara tentang adanya kemiripan keluarga (family
resemblance).Ia mengatakan: ”Saya kira tidak ada ungkapan yang lebih sesuai untuk
mengungkapkan kesamaan ini selain “aneka kemiripan keluarga’. Aneka kemiripan di antara
anggota keluarga itu terlihat pada bentuk, penampakan, warna mata, sikap, temperamennya dan
lain sebagainya. Walaupun nampaknya simpang siur namun terletak dalam jalur yang sama dan
hal ini sebagai bentuk permainan bahasa dalam sebuah keluarga. ”Dalam hal ini penggunaan kata
atau kalimat yang sama dengan pelbagai cara yang berbeda bukanlah berarti memiliki makna
yang sama melainkan memiliki dasar-dasar kemiripan yang bersifat umum. Selain itu, dalam
ragam bahasa yang sama meskipun memiliki arti yang berbeda dapat dilihat adanya suatu
kemiripan yang menjadi pola umum dari ragam bahasa tersebut. Misalnya, pada ragam bahasa
berdoa selalu ditutup dengan kata ”amin” atau dalam ragam bahasa doa permohonan ditemui
sebuah kemiripan nada memohon meskipun diungkapkan dengan kalimat yang berbeda untuk
tujuan yang berbeda.
Dalam gagasan permainan bahasa, terdapat beberapa pokok pengertian yang dapat diambil
dari pemikiran Wittgenstein sebagai berikut: Pertama, ada banyak permainan bahasa akan tetapi
tidak ada hakikat yang sama di antara permainan-permainan bahasa tersebut. Esensi setiap
permainan bahasa pada prinsipnya berbeda satu dengan lainnya tergantung pada konteks
penggunaannya. Namun demikian di antara permainan-permainan ini dikenal adanya suatu
kemiripan (kemiripan keluarga). Kedua, karena permainan bahasa ini tidak memiliki satu hakikat
yang sama, maka timbul kesulitan dalam hal menentukan batas-batas permainan dengan secara
tepat mengenai permainan tersebut. Kita hanya dapat mengetahui kemiripan bukannya kesamaan
dari berbagai permainan bahasa karena batas-batasnya.
Bahasa memiliki beberapa ciri atau sifat yang hakiki, sifat atau ciri itu antara lain :
1. Bahasa itu adalah sebuah system.
2. Bahasa itu berwujud lambang.
3. Bahasa itu berupa bunyi.
4. Bahasa itu bermakna.
5. Bahasa itu bersifat unik.
6. Bahasa itu bersifat universal.
7. Bahasa itu bervariasi.
8. Bahasa itu merupakan identitas penuturnya.
1.2 Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa :
Fungsi informasi, yaitu untuk menyampaikan informasi timbal-balik antar anggota keluarga
ataupun anggota-anggota masyarakat.
Fungsi ekspresi diri, yaitu untuk menyalurkan perasaan, sikap, gagasan,emosi atau tekanan-
tekanan perasaan pembaca.
Fungsi adaptasi dan integrasi, yaitu untuk menyesuaikan dan membaurkan diri dengan anggota
masyarakat. Melalui bahasa seorang anggota masyarakat sedikit demi sedikit belajar adat
istiadat, kebudayaan, pola hidup, perilaku, dan etika masyarakatnya.
Fungsi kontrol social, bahasa berfungsi untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain.
Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi :
Fungsi regulatoris, yaitu bahasa digunakan untuk mengendalikan perilaku orang lain.
Fungsi intraksional, bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain.
Fungsi personal, yaitu bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain.
Fungsi heuristik, yakni bahasa dapat digunakan untuk belajar dan menemukan sesuatu.
Fungsi imajinatif, yakni bahasa dapat difungsikan untuk menciptakan dunia imajinasi.
Fungsi representasional, bahasa difungsikan untuk menyampaikan informasi.
Fungsi bahasa Indonesia :
Bahasa resmi kenegaraan
Bahasa pengantar dalam dunia pendidikan
Bahasa resmi untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta
kepentingan pemerintah
Alat pengembangan kebudayaan
Fungsi bahasa indonesia sebagai bahasa baku :
Fungsi Pemersatu, artinya bahasa Indonesia mempersatukan suku bangsa yang berlatar budaya
dan bahasa yang berbeda-beda.
Fungsi pemberi kekhasan, artinya bahasa baku memperbedakan bahasa itu dengan bahasa
yang lain.
Fungsi penambah kewibawaan, penggunaan bahasa baku akan menambah kewibawaan atau
prestise.
Fungsi sebagai kerangka acuan, mengandung maksud bahwa bahasa baku merupakan
kerangka acuan pemakaian bahasa.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Wittgenstein telah menunjukkan kepada kita bahwa bahasa tidaklah dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Kita tidak dapat memahami dan menggambarkan bagaimana realita
kehidupan di dunia ini tanpa bahasa, serta kita tidak dapat memaksudkan suatu apapun tanpa
bahasa. Manusia tidak mungkin keluar dari sistem bahasa untuk melihat dunia secara obyektif.
Makna dari pikiran dan ekspresi kita tidak dapat lepas dari bahasa. Untuk mengetahui dan
mempertanyakan nama, ataupun ekspresi, kita harus melihat bagaimana penggunaan nama atau
ekspresi tersebut di dalam permainan bahasa.
3.2 Saran
Penulis berharap semoga pembaca dapat mengerti arti dari hakikat berbahasa itu sendiri
dan mulai belajar bagaimana berbahasa yang baik dan benar, tidak lagi menggunakan kata-kata
yang tidak pada tempat atau pun fungsinya seta berharap makalah ini dapat berguna dan menjadi
pelajaran berharga bagi para pembaca.
Daftar Pustaka
Keraf Gorys,Dr, 1984. Tata Bahasa Indonesia . Flores: Nusa Indah.
Chaer Abdul,Drs, 1994. Linguistik Umum . Jakarta : Rineka Cipta.
http://fia-s1unipdu.blogspot.com/2008/12/analisa-filsafat-ludwing-wittgenstein.html[9
agustus 2009]
Admin, 2009 :Bahasa dan Sastra Indonesia: guru pembaharu.com.