ardialmathor.files.wordpress.com · web viewdemikian juga dengan kebijakan pemerintah mendirikan...
TRANSCRIPT
Gerakan Modernisme Islam di Indonesia
Makalah Kelompok
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“STUDI ISLAM 2”
Dosen: Drs. Makhful, M.Ag
Disusun Oleh:
1. Riski Rahmawati 1201100252
2. Istikhomatul H 1201100270
3. Siti Rodiyah 1201100290
4. Ayu Ni’mah 1201100303
Kelompok: 5
Kelas 4 F
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2014
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Gerakan
Modernisme Islam di Indonesia”.
Dalam penyelesaiaan makalah ini penulis dibantu oleh berbagai pihak.
Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Drs. Makhful, M.Ag selaku dosen mata kuliah Study Islam 2 yang telah
yang telah memberikan bimbingan pembuatan makalah.
2. Teman-teman tercinta yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
3. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun
atau konstruktif demi perbaikan makalah ini di masa mendatang . Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dalam memberikan informasi bagi mahasiswa
dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Purwokerto, April 2014
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
KATA PENGANTAR .......................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................2
C. Tujuan...................................................................................2
D. Manfaat.................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................4
A. Faktor-faktor Pemicu Gerakan Modernisasi Islam
di Indonesia..........................................................................4
B. Respon Atas Perkembangan Modernisasi Islam...................9
C. Corak Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia ................30
D. Awal Kelahiran Muhammadiyah..........................................43
BAB III PENUTUP ..................................................................................63
A. Simpulan...............................................................................63
B. Saran.....................................................................................66
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................67
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gerakan islam di Indonesia berlangsung antara tahun 1900-1942. Dengan
sendirinya masa-masa sebelum tahun 1900 mengandung unsur-unsur yang
dijumpai pada waktu sesudahnya. Perkembangan masyarakat, pemikiran dan
gerakan, kecuali yang bersifat formal, tidaklah muncul atau berhenti pada satu
patokan tahun, melainkan biasanya mengandung proses awal atau akhir yang
menyebar dalam jarak waktu yang relatif panjang.
Sejalan dengan ini pula perkembangan yang terjadi pada akhir periode ini.
Tahun 1942 adalah tahun pergantian penguasa di Indonesia, dari tangan
Belanda ke tangan Jepang. Tetapi pemikiran, gerakan, perkembangan pada
umumnya yang bersangkutan dengan pergantian ini. Gerakan modern islam
masih terus berlanjut bukan saja pada masa Jepang saja tetapi masa setelah
kemerdekaan hingga saat ini. Gerakan tersebutu lebih kentara di masa
kemerdekaan karena pertama, kebebasan yang sama-sama dicapai dengan
golongan lain sebangsa, dan kedua karena tantangan-tantangan yang dihadapi
gerakan tersebut lebih bersifat bebas dan terbuka.
Ada beberapa hal yang hendak dikemukakan tentang perkembangan masa
merdeka banyak relevansinya dengan perkembangan islam. Pertama, soal
khilafiyah. Gerakan modern islam di Indonesia bermula dari soal ‘ubudiyah.
Dalam rangka ini faham gerakan tersebut berusaha mengubah faham
tradisional. Di dalamnya termasuk apa yang disebut takhyul dan khurafat, ada
pula yang disebut masa khilafiyah dalam kalangan islam.
Kedua, sifat fragmentasi kepartaian. Sifat ini di masa tahun 1920-1942
sangat menonjol, baik pada kalangan islam maupun pada kalangan kebangsaan.
Pada kalangan islam, di samping Partai Sarekat Islam muncul Permi, Perti,
Parii, Penyandar, PII, dan PSII-Kartosuwiryo; pada kalangan kebangsaan
muncul PNI, Partindo,Gerindo, PBI dan BU serta Parpindo. Ketiga,
kepemimpinan yang bersifat pribadi. Di masa penjajahan fragmentasi terjadi
antara lain karena pemimpin membawa pengikut-pengikut ke luar organisasi
1
semula, dan mendirikan organisasi baru, apapun konsekuensinya bagi rakyat
umum.
Perkembangan dari berbagai organisasi pembaharu dalam bidang sosial dan
pendidikan dapat dikemukakan bahwa setiap organisasi tersebut mempunyai
sifat-sifatnya sendiri-sendiri yang dibentuk oleh lingkungannya, pengaruh dari
kepribadian pemimpin-pemimpinnya dan juga tantangan yang dihadapkan oleh
berbagai pihak di dalam dan juga di luar lingkungan masyarakat islam.
Berbagai faktor telah menyebabkan berdirinya organisasi-organisasi itu di
dalam berbagai tempat di Nusantara.
Jamiat Khair di Jakarta dimulai oleh orang-orang yang berusaha untuk
memenuhi keperluan pendidikan dalam lingkungan masyarakat muslim
khususnya masyarakat Arab.selain itu, ada pula Al-Irsyad, Hayatul Qulub,
serta Muhammadiyah yang berusaha memberikan pendidikan agama di
lingkungan masyarakat pribumi.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah tentang makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa saja faktor-faktor pemicu gerakan modernisasi Islam di Indonesia?
2. Bagaimana respon atas perkembangan modernisasi Islam?
3. Bagaimana corak gerakan pembaharuan Islam di Indonesia?
4. Bagaimana awal kelahiran Muhammadiyah?
C. Tujuan
Penulisan makalah ini dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang
diharapkan dapat bermanfaat bagi orang banyak. Secara terperinci tujuan dari
penulisan karya tulis ini menjelaskan gerakan modernisme Islam di
Indonesia..
2
D. Manfaat
Bagi pembaca :
1. Dapat mengetahui faktor-faktor pemicu gerakan modernisasi Islam di
Indonesia
2. Dapat mengetahui respon atas perkembangan modernisasi Islam
3. Dapat mengetahui corak gerakan pembaharuan Islam di Indonesia
4. Dapat mengetahui awal kelahiran Muhammadiyah
Setelah mempelajari gerakan modernisme Islam di Indonesia diharapkan
pembaca khususnya sebagai orang Islam dapat menambah wawasan dan
pengetahuan tentang modernisme Islam di Indonesia.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor Pemicu Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia
1. Faktor Subyektif
Faktor subyektif yang sangat kuat, bahkan dapat dikatakan sebagai faktor
utama berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KHA. Dahlan
terhadap Al-Qur’an baik dalam hal gemar membaca maupun menelaah,
membahas dan mengkaji kandungan isinya. Sikap KHA. Dahlan seperti ini
sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang
tersimpul dalam surat An- Nisa ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24 yaitu
melakukan tadabbur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh
ketelitian apa yang tersirat.
2. Faktor Obyektif
Ada beberapa sebab yang bersifat obyektif dan melatarbelakangi berdirinya
Muhammadiyah yang sebagian dapat dikelompokkan menjadi faktor internal,
yaitu factor penyebab yang muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat
Islam Indonesia dan sebagiannya dapat dikelompokkan dalam factor eksternal
yaitu factor penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Islam Indonesia.
Faktor Obyektif yang bersifat Internal
a. Ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al-Qur’an dan
As-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam
Indonesia.
Sebelum masuknya agama Islam di Indonesia, masyarakat Indonesia
memeluk agama Hindu dan Budha dengan segala amalan dan tradisi yang ada
di dalamnya. Melihat kondisi yang semacam itu dapat dimaklumi kalau dalam
kenyataan dan prakteknya umat Islam di Indonesia pada saat itu
memperlihatkan hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Dalam
kehidupan berakidah (keyakinan hidup) agama Islam mengajarkan kepada
umatnya untuk memiliki tauhid yang murni, bersih dari berbagai macam syirik
maupun khurafat (tahayul atau gugon tubon:jawa) dan bid’ah. Nuamun dalam
4
kenyataanya masih banyak orang Islam yang percaya terhadap benda-benda
keramat semacam keris, tombak, batu aji, masih percaya terhadap hari baik dan
hari buruk, dan sebagainya.
Dalam kehidupan ibadah khususnya ibadah mahdlah, agama Islam
memberikan tuntunan secara pasti sebagaimana yang diajarkan oleh
Rosulullah. Rosulullah menyatakan secara tegas bahwa semua rekaan-rekaan
(bid’ah) dalam ibadah mahdliyah adalah sesat dan semua yang sesat akan
masuk neraka (hadist). Namun dalam kenyataan masih banyak sekali orang
islam yang dalam praktek ubudiyahnya bercampur aduk dengan apa yang
diajarkan oleh agama Islam dengan berbagai amalan yang berasal dari
kepercayaan lain. Sebagai contoh dapat dilihat mesih mentradisinya sesaji yang
ditujukan pada para arwah, kepada roh-roh halus, selamatan kematian tujuh
hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari, dengan dibacakan bacaan
tertentu seperti bacaan Tahlil, surat Yasin, ayat Kursi dan sebagainya yang
pahalanya dihadiahkan kepada orang yang diselamatinya.
b. Lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan
generasi yang siap mengemban misi selaku khalifah Allah diatas Bumi.
Pondok pesanten merupakan sistem pendidikan yang khas di Indonesia.
Dilihat dari sejarah sistem pesantren di Indonesia sebenarnya sudah
berkembang. pondok pesantren tercatat sebagai lembaga yang mempelopori
menanamkan semangat nasionalisme dan patriot bangsa pada santrinya dan
telah menghasilkan kader-kader umat dan bangsa. Dalam menghadapi
tantangan kemajuan zaman pondok pesantren pada saat itu hanya
mengajarkan pelajaran agama dalam arti sempit. Yaitu terbatas pada bidang
fiqih agama sebagaimana telah diisyaratkan pada surat At-Taubah ayat 122
yang meliputi mata pelajaran Bahasa Arab, terjemahan dan tafsir, hadits,
tasawuf, akhlak, ilmu logika, dan ilmu falaq. Sedangkan ilmu keduniaan
seperti sejarah geografi dll blum dipelajari. Padahal lewat ilmu-ilmu
pngetahuan ini seseorang dapat melaksanakan tugas-tugas keduniaan, satu
dari tugas yang diemban khalifah. Sesungguhnya lembaga pendidikan Islam
seharusnya menyiapkan diri menjadi lembaga pembibitan kader-kader
5
penerus cita-cita Islam dan siap mengemban amanat Allah sebagai khalifah
Allah di muka bumi. Mengingat fungsi pendidikan Islam seperti ini maka apa
yang ada dalam pendidikan pondok pesntren pada saat itu dirasakan oleh
KHA. Dahlan berfikir masih ada satu kekurangan mendasar yang harus
disempurnakan yaitu pengetahuan umum.
Faktor obyektif yang bersifat eksternal:
a. Semakin meningkatnya gerakan kristenisasi ditengah tengah masyarakat
Indonesia
Seperti bangsa eropa lainnya, bangsa belanda saat masuk ke Indonesia
juga mengibarkan bendera 3 ‘G’ yaitu Glory, Gold, Gospel, yang
melambangkan motif Belanda mendatangi indonesia, yaitu glory atau
menang merupakan suatu motif menguasai daerah jajahan sebagai
kekuasaannya. Kedua motif gold atau kekayaan yang bermotif
mengeksploitasi sumber kekayaan negara jajahan. Dan yang ketiga
bermotif menyebarluaskan agama kristiani ke negeri jajahan atau motif
mengubah agama penduduk. Dalam pelaksanaan mewujudkan ketiga
motif tersebutdengan program “Asosiasi” yang merupakan program
pembudayaan dalam bentuk mengembangkan budaya barat sedemikian
rupa hingga orang inonesia mampu meerima budaya barat sebagai
kebudayaan mereka walauun tanpa mengesampingkan kebudayaannya
walaupun tanpa mengesampingkan kebudayaan mereka sendiri. dan yang
kedua adalah “Kristenisasi” merupakan program mengubah agama
penduduk yang islam ataupun bukan menjadi kristen. Tegasnya politik
kolonialis Belanda mempunyai kepentingan terhadap penyebaran agama
Kristen di Indonesia. Dengan program ini didapatkan nilai ganda yaitu,
nilai keagamaan dalam arti “dapat menyelamatkan domba-domba yang
hilang” juga bernilai olitis karena eratnya hubungan agama kristen
dengan pemerintah Hindia Belanda. Menteri jajahan, J.T. Cremer
mengatakan pada tahun 1898bahwa kegiatan “Missi” kristen bendaklah
dimajukan dengan kuatkarena kegiatan ini membawa civilisasi,
kemakmuran, ketenangan, dan ketertiban.
6
b. Penetrasi Bangsa-bangsa eropa, terutama bangsa Belanda ke Indonesia
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa terutama bangsa Belanda ke Indonesia,
khususnya dalam aspek kebudayaan, peradaban dan keagamaan telah
membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan Islam di Indonesia.
Lewat pendidikan model barat yang mereka kembangkan dengan ciri-ciri
yang menonjolkan sifat inteloektualistik, individualistik, elitis,
diskrimatik, serta sama sekali tidak memperhatikan dasar asas-asas moral
keagamaan, maka lahirlah suatu generasi baru bangsa Indonesia yang
terkena pengaruh faham rasionalisme dan individualisme dalam pola
pikir mereka. Bahkan lebih jauh daripada itu, H. J. Benda menyatakan
bahwa dalam analisis terakhir maka pendidikan barat adalah alat yang
paling pasti untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan pengaruh
Islam di Indonesia. Dalam menyikapi kehidupan umat Islam di indonesia,
Belanda benar-benar mengikuti petunjuk dari Snouck Horgronje. Ia
merekomendasi kepada pemerintah Hindia Belanda bahwa sebenarnya
Islam dapat dibagi dua yaitu islam religius dan Islam politik. Terhadap
Islam religius dia menyarankan agar pemerintah bersikap toleran.
Sementara terhadap Islam politik pemerintah dianjurkan tidak
memberikan toleransi, bahkan sebaliknya harus ditekan semaksimal
mungkin. Tegasnya bagi pemerintah hindia Belanda dalam menyikapi
umat Islam harus membedakan Islam dalam dua kategori musuh Belanda
bukan Islam sebagai agama, akan tetapi yang menjadi musuh utama
adalah Islam sebagai doktrin politik.
c. Pengaruh dari Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam
Gerakan Muhammadiyah yang dibangun oleh KHA. Dahlan
sesunguhnya merupakan salah satu mata rantai yang panjang dari
gerakan pembaharuan dalam Islam yang dimulai sejak tokoh pertamanya,
yaitu Profesor Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Muhammad
bin Abdul Wahab, Sayid Jamaudin al-Afghany, Muhammad Abduh,
Rasyid Ridla, dan sebagainya. Terutama sekali pengaruh tersebut berasal
7
dari Muhammad Abduh lewat tafsirannya yang terkenal, yaitu Al-Manar
suntinga dari Rasyid Ridla serta majalah Al-Urwatul Wustqa.
Dalam hal KHA. Dahlan dengan Muhammadiyah-nya terkena pengaruh
dari ide-ide Muhammad Abduh, Azyumardi Azra menulis bahwa
sesungguhnya pengaruh tersebut bukanya dari keseluruhan ide-idenya.
Sebab dalam masalah teologi (aqidah) Muhammadiyah justru lebih dekat
kepada sistem teologi Asy’ariyah dari pada teologinya Abduh yang lebih
dekat pada sistem teologinya Abduh yang lebih dekat pada sistem teologi
Mu’tazilah. DR. Arbiyah Lubis dalam disertainya membuktikan, bahawa
sepanjang persoalan teologi, Muhammadiyah tidaklah mengikuti Abduh
sama sekali. Lebih jauh, setelah membandingkan kalam Abduh dan
Muhammadiyah, Lubis berkesimpulan bahwa tidak ada kesamaan di
antara keduanya. Jika teologi Abduh bersifat rasional dan karena itu lebih
dekat kepada sistem teologi Mu’taziah, sebaliknya teologi
Muhammadiyah adalah teologi “tradisional” dan oleh sebab itu ia lebih
dekat kepada istem teologi Asy’ariyah.
Lewat telaah KHA. Dahlan terhadap berbagai karya para tokoh
pembaharu di atas serta kitab-kitab lainya yang seluruhnya
menghembuskan angin segar untuk memurnikan ajaran Islam dari
berbagai ajaran sesaat dengan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul
beliau mendapatkan inspirasi yang kuat untuk membangun sebuah
gerakan Islam yag berwibawa, teratur, tertib dan penuh disiplin guna
dijadikan wahana untuk melaksanakan dakwah Islam amar makruf nabi
munkar di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia.
Dari sekian faktor yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah,
Prof. Mukti Ali dan dalam bukunya “Interpretasi Amalan
Muhammadiyah” menyimpulkan adanya empat faktor yang cukup
menonjol, yaitu:
1) Ketidakbersihan dan campur-aduknya kehidupan agama Islam
di Indonesia.
8
2) Ketidakeffisienannya lembaga-lembaga pendidikan agama
Islam
3) Aktivitas misi-misi Katholik dan protestan; dan
4) Sikap acuh tak acuh, malah kadang-kadang sikap merendahkan
dari golongan intelegensi terhadap Islam.
B. Respon Atas Perkembangan Modernisasi Islam
1. Daerah Minangkabau
Kaum muslimin bersepakat bahwa islam mencakup sekumpulan ajaran
dan praktik yang oleh semua orang islam diakui berasal dari Islam. Bagi
masyarakat Minangkabau Islam merupakan keyakinan keagamaan yang
merembes masuk kedalam pengetahuan, perilaku, dan makna budaya.
Menjadi muslim adalah orientasi terdalam dari identitas minangkabau.
Bukti-bukti enunjukan bahwa islam dibawa masuk ke minangkabau pada
1600 ketika raja Miangkabau memeluk Islam. Di minangkabau corak
islam menjadi sumber konflik yang serius pada awal abad ke sembilan
belas, orang minangkabau terus saja berdebat mengenai apa yang
membentuk Islam. Perdebatan islam di minangkabau melibatkan definisi
adat dan modernitas seperti diwakili oleh rezim Belanda, negara, media
dan pengaruh asing yang terus berlanjut dibidang pendidikan dan
perdagangan.
Sejak abad ke delapan belas atau sembilan belas minangkabu
merupakan pusat perkembangan pendidikan islam. Sekolah-sekolah islam
jadi sarana utama untuk menyebarkan dan memantapkan keyakinan Islam
diseluruh Nusantara. Sekolah itu ditujukan sebagai pusat bagi
perkembangan komunitas muslim yang didirikan untuk mewujudkan
tatanan moral yang dicita citakan menuju komunitas ideal seperti yang
terkandung dalam ajaran Islam. Kaum padri adalah kaum Minang yang
bermisi untuk memulihkan tatana moral masyarakat muslim ke dalam
kehidupan sehari-hari meskipun dengan jalur perang. Kaum padri paling
kokoh dalam mengadvokasikan resormasi yang ekstrem. Ketundukan pada
9
hukum Islam berdasarkan Al Qur’an. Penggabungan ajaran islam kedalam
kehidupan masyarakat minangkabau tidak selamanya berjalan mulus. Pada
1803, tiga orang minang kembali ke dataran minang setelah menyaksikan
dikuasainya makkah oleh kaum reformis wahhabiyah dengan cara paksa
dan kekerasan. Ketiga orag tersebut adalah kaum padri. Misi kaum padri
adalah memulihkan tatanan moral masyarakat muslim di minangkabau dan
memulihkan tatanan moral islam kedalam kehidupan sehari-hari kalu perlu
dengan jalan peperangan. Kaum padri paling kkokoh mangadvokasikan
pelaksanaan reformaasi yang ekstrim. Ketundukan kepada hukum Islam
yang diturunkan semata-mata dari Al Qur’an.
Periode peting lainnya tentang pembaruan Islam di Minangkabau
berlangsung pada awal abad ke 20, ketika kaum embaru muslim yang
disebt kaum modernis oleh para sarjana yang disebut kaum muda oleh
para orang minang. Berusaha mengembangkan pola hidup dengan
masyarakat yang modern yang pada saat bersamaan dapat menjawab
tantangan kolonialisme Belanda dan upaya-upaya misionaris Kristen.
a. Syaikh Ahmad Khatib
Seorang pelopor pembaharuan di daerah Minangkabau adalah Syaikh
Ahmad Khatib yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekkah pada
masa duapuluh tahun terakhir dari abad yang lalu sampai 10-15 tahun
pertama dari abad ini. Dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 di
kalangan keluarga yang mempunyai latarbelakang agama dan adat yang
kuat syaikh Ahmad Khatib memperoleh pendidikan pada masa sekolah
rendah dan sekolah guru di kota kelahirannya. Sekolah rendah dan sekolah
guru ini didirikan oleh pemerintah Belanda. Ia pergi ke Mekkah pada tahun
1876 dimana ia mencapai kedudukan tertinggi dalam pengajaran agama,
yaitu imam dari mazhab Syafi’I di Masjid al-Haram. Walaupun ia tidak
pernah kembali daerah asalnya, tetapi ia tetap mempunyai hubungan dengan
daerah asalnya ini melalui mereka yang naik haji ke Mekkah dan belajar
padanya dan kemudian menjadi guru di daerah-daerah asal mereka masing-
masing. Hubungan tersebut dipererat lagi dengan publikasi tulisan-
10
tulisannya sendiri tentang persoalan yang dipertikaikan yang sering
dikemukakan kepadanya oleh bekas murud-muridnya di Indonesia. Sebagai
imam dari mazhab Syafi’I tidaklah mungkin diharapkan dari Syaikh Ahmad
Khatib untuk meninggalkan mazhab ini.
b. Syaikh Thaher Djalaluddin
Syaikh Thaher Djalaluddin yang di masa mudanya dipanggil Muhammad
Taher bin Syaikh Muhammad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, dalam
tahun 1869 dan menetap di Malaya setelah ia kembali dari Mekkah kira-kira
tahun 1900. Ia mengunjungi Minangkabau kembali pada tahun 1923 dan
kemudian pada tahun 1927, pada saat mana ia ditahan oleh pemerintah
Belanda selama enam bulan; kemudian ia tidak pernah kembali lagi ke
daerahnya. Ayahnya seorang ulama yang terkenal, bernama Syaikh Cnking
yang adalah pula seorang anak dari yang Ahmad Djalaluddin gelar Tuanku
Sami, seorang hakim dari Pandri pada asa gerakan Pedri pada abad yang
lalu.
Pengaruh Syaikh Taher pada kolega atau muridnya ini di Minangkabau
dilakukan melalui majalah Al-Imam, serta melalui sekolah yang ia dirikan,
yaitu Al-Iqbal al-Islamiyah, di Singapura bersama seorang yang bernama
Raja Haji Ali bin Ahmad pada tahun 1908. Walaupun sekolah ini segera
dipindahkan ke Riau oleh karena kesukaan-kesukaan keuangan dan
kelanjutan di Riau tadi dilakukan tanpa partsisipasi Syaikh Taher, namun
sekolah di Singapur itu telah diambil sebagai modal oleh Haji Abdullah
Ahmad dalam mendirikan sekolah Adabiyah di Padang. Haji Ahmad
mengunjungi teman atau gurunya ini di Singapura dengan maksud sengaja
mempelajari rencana sekolah tersebut.
Bualn Al-Imran, yang terbitkan pada bagian kedua dari decade pertama
abad ini merupakan artikel tentang pengetahuan popular, komentar tentang
terjadinya-terjadinya yang penting di dunia, terutama di dunia Islam, dan
juga memusat artikel tentang masalah-masalah agama. Majalah ini
umumnya juga mempropagandakan perlunya umat Islam mencapai
kemajuan dan mendorong serta mendesak mereka agar tidak ketinggalan di
11
dalam berkompetisi dengan dunia Barat. Dalam masalah-masalah ini, Al-
Imam seringkali menutup pendapat dari Mohammad Abdul dan juga
pendapat yang dikrmukakan oleh majalah Al-Manar di Mesir. Syaikh Taher
sendiri mengakui bahwa perguruan Azhar di Kairo telah “memuka
matanya” dan adalah disebabkan oleh rasa “cintanya” pada lembaga
pendidikan Azhar ini yang menyebabkan ia mempergunakan nama “al-
Azhari”.
Bulan Al-Imam juga menyerang gerakan dan praktek terekat. Dan
mengeluarkan fatwa dengan bersandarkan langsung pada Qur’an dan
Hadist. Dengan demikian ia telah memulai menyimpan dari kebiasaan yang
berlaku yaitu mengesampingkan kitab-kitab agama tradisional sebagai
sumber pendapat.
c. Syaikh Muhammad Djail Djambek
Syaikh Muhammad Djail Djambek (Syaikh Djambek) dilahirkan di
Bukittinggi pada tahun 1860 sebagai anak dari Muhammad Saleh Datuk
Malaka, kepala negeri Kutai. Jadi ia lebih banyak mempunyai hubungan
darah dengan kalangan adat dibandingkan dengan kalangan agama.
Ia memperoleh pendidikan di sekolah rendah yang mempersiapkan
pelajaran-pelajran untuk guru sekolah dasar. Tetapi ia lebih tertarik pada
kehidupan parewa dan pada umur 22 tahun ia muali memberikan perhatian
pada pelajar (tentang agama dan bahasa arab). Dalam tahun1896 ayahnya
membawa ia ke Mekkah, di mana bermukim 9 tahun lamanya untuk
mempelajari soal-soal agama. Ia kembali di Bukittinggi dari Mekkah pada
tahun 1903.
Pada tahun 1918 ia mendirikan suatu lembaga yang sampai sekarang
masih terkenal dengan Surau Inyik Djambek. Surau ini merupakan pusat
kegiatan untuk memberikan pelajran agama, demikian juga merupakan
tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam serta tempat di mana
makanan dihidangkan bagi tokoh-tokoh yang diundangnya untuk
berdiaolog.
12
Kira-kira tahun 1913 ia mendirikan di Bukittinggi suatu organisasi yang
bersifat sosial, Tsamaratul Ikhwan, yang juga menerbitkan kitab-kitab kecil
dan brosur-brosur tentang pelajaran agama tanpa maksud mencari
keuntungan . beberapa tahun lamanya Djambek begerak dalam organisasi
ini, samapai pada saat organisasi tersebut diubah menjadi suatu perusahaan
penerbit yang bersifat komersial. Ketika itu ia tidak turut lagi dengan
perusahaan tersebut.
d. Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul)
Haji Rasul di lahirkan di Maninjau pada tahun 1879 sebagai seorang anak
ulama bernama Syaikh Muhammad Amrullah gelar Tuanku Kisai. Ia
memperoleh pendidikan elementer secara trasisional pada berbagai tempat
di daerah Minangkabau dan pada tahun 1894 pergi ke Mekkah untuk belajar
selama 7 tahun. Sekembalinya ke kampung halamannya ia telah disebut
Tuanku Syaikh Nan Mudo, sebagai pengakuan atas kepandaiannya.
Kemudian ia mengunjungi Mekkah kembali untuk beberapa tahun dan
kembali pada tahun 1906. Selama bermukim yang kedua di Mekkah ini, ia
telah mulai memberikan pelajaran. Murid-muridnya antara lain termasuk
Ibrahim Musa dari Parabek (Bukittinggi) yang kemudian menjadi salah
seorang pendukung yang penting dari pembaharuan di Minangkabau.
Haji Rosul mulai mengajar pada tahun 1906 tanpa membatasi dirinya
pada suatu kampong atau kta tertentu, melainkan mengunjungi Padang
Panjang, Matur dan Padang serta juga kampong-kampung yang terletak
antara Maninjau dengan Padang Panjang. Pendekatan yang ia lakukan
bersifat keras, tanpa maaf dan tanpa kompromi.
Haji Rasul banyak mengadakan perjalanan di luar daerahnya. Yang
terpenting antaranya ialah kepergiannya ke Malaya(1916) dan ke Jawa
(1917). Dalam kunjunganya ke Jawa ini ia mengadakan hubungan dengan
pemimpin-pemimpin Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Dialah yang
memperkenalkan Muhammadiyah di Mingkabau pada tahun 1925, yang
segera meluas dengan cepat. Muhammadiyah memang memperoleh
13
propagandis yang gigih dari daerah ini, yang demikian dikirim ke pualu-
pulau lain oleh pusat gerakan tersebut di Yogyakarta.
e. Haji Abdullah Ahmad
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang pada tahun 1878 sebagai seorang
anak dari Haji Ahmad yang dikenal sebagai seorang ulama dan juga sebagai
seorang pedagang kecil. Setelah ia menyelesikan pendidikan dasarnya pada
sebuah sekolah pemerintah dan pendidikan agamanya di rumah, ia pergi ke
Mekkah pada tahun 1895 dan kembali ke Indonesia pada tahun 1899.
Segera ia mengajar di kota Padang Panjang, di aman ia terutama
memberantas bid’ah dan tarekat. Ia pun juga tertarik pada penyebaran
pemikiran pembaharuan melalui publikasi dengan jalan menjadi agen darii
berbagai majalah pembaharuan.
Kira-kira tahun 1906 Haji Ahmad pindah ke Padang untuk menggantikan
pamannya yang baru meninggal sebagai guru. Di kota ia mengadakan
tabligh-tabligh dan pertemuan-pertemuan tentang masalah-masalah agaman
dan mendirikan perkumpulan Jamaah Adabiah beberapa tahun kemudian.
Asal mula perkumpulan ini ialah kelompok murid-muridnya sejumlah
delapan orang yang tanpa absen menghadiri ceramah-ceramahnya. Ia juga
memberikan pelajaran kepada kira-kira 300 orang penduduk kota tersebut.
Sebagaian daripadanya terdiri dari orang-orang dewasa. Pengajian ini
diselenggarakan dua kali seminggu secara berganti0ganti dari rumah yang
satu ke rumah yang lain.
f. Syaikh Ibrahim Musa
Syaikh Ibrahim Musa dilahirkan di Perabek, Bukittinggi pada tahun
1882, dari keluarga yang kuat agamanya. Setelah belajar pada berbagai
tempat di daerah tersebut, ia pergi ke Mekkah pada umur 18 tahun dan
belajar di neggeri itu selama 8 tahun. Dalam tahun 1909 ia kembali ke
Minangkabau dan muali mengajar tahun 1912. Kemudian ia berangkat lagi
ke Mekkah pada tahun berikutnya, dan kembali pada tahun 1915 pada
waktu mana ia sudah disebut Syaikh Ibrahim Musa atau Inyik Parabek
sebagai pengakuan tentang penetahuannya tentang agama.
14
g. Zainuddin Labai Al-Junusi
Zainuddin Labai Al-Junusi dilahirkan di Bukit Surungab, Padang
Panjang pada tahun 1890. Dapat disebutkan bahwa ia adalah seorang outo-
didact, yang menjadi orang dengan tenaga sendiri. Ia tidak pernah
memperoleh pendidikan yang sistematis, umpamanya dengan memasuki
suatu lembaga atau surau selama beberapa tahun. Ia hanya belajar dua tahun
di sekolah negeri dan dua tahun lagi dalam agama pada Syaikh Muhammad
Junus, ayahnya. Pengetahuan diperoleh dengan membaca sendiri dan untuk
kemampuan dalam bahasa Inggis, Belanda, dan Arab sangat membantunya.
2. Lembaga-lembaga dan organisasi pembaharuan dalam bidang sosial dan
pendidikan
Pembaharuan-pembaharuan itu mengakui betapa pentingnya pendidikan
untuk membina dan membangun generasi yang lebih muda. Perubahan
dalam pemikiran dan ide-ide tertentulah akan mempunyai arti yang besar
dan akan lama bertahan apabila perubahan-perubahan ini mendapat tempat
dalam kalangan generasi muda. Dalam rangka ini gerakan pembaharuan
dapat dipandang sebagai suatu kegiatan yang “menyaingi” sesame ualam,
yaitu tradisional.
a. Sekolah Adabiyah
Tahun 1909 dengan kira-kira 20 orang murid, kebanyakan di antaranya
adalah anak-anak dari pedagang-pedagang setempat, sekolah ini tetap
merupakan dasar yang sana sekolah HIS (Hollands Inlandse School) kecuali
bahwa di dalamnya agama dan Qur’an diajarkan secara wajib. Dalam tahun
1915 sekolah ini menerima subsidi dari pemerintah dan mengganti namanya
menjadi Hollandsch Maleische School Adabiyah. Kepala sekolahnya pada
waktu itu adalah seorang Belanda, dan oleh sebab itu maksud dari sekolah
itu merupakan tiang tumpuan bagi golongan pembaharuan, menjadi hilang.
Sejak itu sekolah ini sekan-akan terpisah dari kegiatan dan cita-cita Kaum
Muda. Pelajaran agama pun agak kurang diperhatikan, disamping kenyataan
bahwa sekolah tersebut hanyalah sekolah rendah yang tidak mungkin
melahirkan lulusan yang mempunyai kemampuan untuk memenuhi tuntutan
15
masyarakat terhadap orang-orang yang berkemampuan. Kebanggaan
sekolah ini lebih banyak terletak pada kenyataan bahwa ialah yang
merupakan sekolah yang pertama yang diasuh masyarakat dan penerbit dari
lingkungan Islam, untuk merombak sistem pendidikan yang tradisioanal di
daerah Minangkabau.
b. Surau Jembatan Besi
Lembaga pendidikan yang lebih penting dan mungkin paling
berpengaruh di daerah Minangkabau adalah sekolah Thawalib. Sekolah ini
tumbuh dari suatu yang disebut Surau Jembatan Besi, yang mulanya juga
memberikan pelajaran agama dengan cara-cara tradisional. Pelajaran-
pelajaran yang biasanya memang diberikan seperti fiqh dan tafsir Qur’an
merupakan pelajaran utama dalam surau tersebut. Dengan masuknya Haji
Abdullah Ahmad dan Haji Rasul mengajar di surau ini setelah mereka
kemlai dari Mekkah kira-kira pada tahu 1904, pelajaran yang lebih
ditekankan adalah pelajaran ilmu alat berupa kemampuan untuk menguasaik
bahasa Arab dan cabang-cabangnya. Tekanan kepada pelajaran ini
dimaksudkan untuk kemungkinan siswa-siswa mempelajari sendiri kitab-
kitab yang diperlukan dan dengan demikian secara lambat laun dapat
mengenal Islam dari dua sumber utamanya, yaitu Qur’an dan Hadist.
c. Sumatera Thawalib
Pidato Rasjad menyebabkan pelajaran-pelajaran Surau Jembatan Besi
berpikir tentang usaha mendirikan organisasi walaupun mereka tidak
sepenuhnya dapat menerima Rasjad karena Rasjad tidak memakai peci.
Pada masa itu memakai peci masih dianggap sebagai pertanda golongan
Islam. Seorang diantara siswa tersebut, Haji Habib mengambil inisiatif
untuk membicarakan masalah ini dengan teman-temannya. Maka berdirilah
suatu persekutuan yang dikenal dengan nama perkumpulan sabun, oleh
karena perkumpulan ini memenuhi ataupun berusaha memenuhi kebutuhan
asehari-hari para pelajar seperti sabun, pensil, tinta dan sebagainya. Dalam
tahun 1917 aktivitas organisasi koperasi tambah berkembang, karena usaha-
16
usaha yang lebih giat dilakukan oleh seorang siswa yang berasal dari Tapak
Tuan, Aceh, bernama Hasjim.
Seorang guru dari sekolah tersebut, Haji Jalaludin Thaib pada tahun 1919
mengintrodusir cara-cara mengajar modern kedalam Thawalib: sistem
berkelas yang lebih sempurna, pemakaian bangku-bangku dan meja,
kurikulum yang lebih diperbaiki dan juga kewajiban pelajar untuk
membayar uang sekolah.
Untuk bahan-bahan pelajaran kedua lembaga di Parabek dan di Padang
Panjang itu memasukan pelajaran-pelajaran di Mesir. Mata pelajaran, seperti
ilmu bumi dan sejarah juga diajarkan walaupun mata pelajaran yang utama
tetap agama.
Peralihan perhatian ke bidang politik ini di kalangan guru-guru dan
pelajarpelajar Thawalid Padang Panjang, tidaklah tumbuh secara tiba-tiba
melainkan secara berangsur-angsur bacaan Koran-koran dan majalah
bersifat politik. Masalah yang ada sangkut pautanya dengan Sarekat Islam
merupakan maslah-masalah yang dibicarakan dalam kalangan mereka.
Dalam tahun 1926 Pemerintahan Belanda mulai mengambil tidakan
terhadap Thawalib Padang Panjang dengan menutup kafetaria pelajar yang
bernama Buffet Merah. Tuduhan yang dikemukakan ialaha bahwa kafetaria
ini merupakan pusat terselubung dari kegiatan-kegiatan Komunis. Pada
tahun 1927 sebagai akibat pemberontakan Silungkang, banyak pula guru-
guru Thawalib Padang Panjang dilarang mengajar.
d. Persatuan Muslim Indonesia (PERMI)
Pada tahun 1929 organisasi Thawalib memperluas keanggotaannya pada
semua berkas pelajar dan guru-guru yang tidak lagi mempunyai hubungan
langsung dengan lembagapendidikan tersebut. Organisasi ini pada tahun
berikutnya berubah menjadi Persatuan Muslim Indonesia (PMI atau Permi),
mula-mula tanpa mengubah sifatnya pada dua tahuan pertama. Tetapi pada
tahun 1932 ia menjadi partai politik dan pada saat itu namanya disingkat
menjadi Permi. Beberapa sekolah yang mempunyai nama yang sama, yaitu
17
Thawalib, didirikan dibeberapa tempat di luar Padang Panjang dan Panabek
dan semuanya berada dibawah pimpinan dari PMI.
Sekitar tahun 1933 Permi menderita tekanan –tekanan yang dilancarkan
oleh pemerintah, pimpinan-pimpinannya dibuang dan banyak diantara guru-
guru Thawalib yang berpartisipasi di dalam kegiatan Permi dilarang
mengajar. Hal ini memperlemah lembaga-lembaga pendidikan di daerah
tersebut. Kegiatan politik dari Thawalib ini membedakan pula dari
organisasi ataupun lembaga pembaharuan yang akan kita bicarakan
kemudian. Umumnya lembaga-lembaga ini sama sependapat tentang
masalah agama, tentang sistem pendidikan yang aru dan usaha
menyampaikan cara-cara tradisonal serta tentang perinsip bahwa kegiatan
seorang Muslim, jadi juga kegiatan politiknya, hendaklah didasarkan pada
ajaran Islam. Tetapi organisasi-organisasi tersebut, kecuali Thawalib
tidaklah aktif dalam kegiatan politik. Akibatnya pelajar Thawalib di
samping menghayati cita-cita pembaharuan dalam agama yang juga
cenderung untuk berpolitik dan mudah tertarik untuk bergabung dengan
gerakan kemerdekaan pada umumnya. Demikian pula persatuan antara
agama dan politik dalam Islam sangat dirasakan dalam kehidupan sehari-
hari pelajar tersebut,yang tidak saja datang dari seluruh daerah Sumatra,
tetapi banyak juga diantaranya yang erasal dari Malaya, Kalimantan dan
Sulawesi.
Dalam pada itu seuah perkembangan lain, yang sangat unik dan yang
memberikan gambaran khas tentang hasil-hasil yang dicapai oleh
pembaharuan pada umumnya, perlu dicatat. Perkembangan ini menyangkut
soal pendidikan putri-putri. Thawalib semata-mata untuk untuk putra
sebagaimana yang dapat pada pesantren tradisional umumnya. Keperluan
untuk mendirikan sekolah khusus untuk putri dirasakan sangat dan rupanya
pula berhasil.
e. Diniyah dan Al-Madrasah al-Diniyah
Pendidikan putri-putri dalam rangka pembaharuan, di samping yang telah
dikerjakan oleh Haji Abdullah Ahmad dengan Adabiyah, merupakan suatu
18
inisiatif dari Zainuddin Labai. Ia mendirikan sekolah Diniyah pada tahun
1915, yang sebagian merupakan perkembangan dari Surau Jembatan esi,
dengan menggunakan sistem ko-edukasi yang dicontoh dari kebiasaan yang
berlaku di sekolah-sekolah pemerintah.
Dengan bantuan murid-murid Diniah School yang didirikan atas anjuran
Labai, Rahmah mendirikan pada tanggal 1 November 1923 sebuah sekolah
khusus untuk putri-putri dengan nama al-Madrasah al-Diniyah. Mulanya
terdapat 71 orang murid yang kebanyakan terdiri dari ibu-ibu rumahtangga
yang masih sangat muda. Pelajaran diberikan tiap hari selama 3 jam di
sebuah masjid di Pasar Usang, Padang Panjang, dan terdiri dari pelajaran
serta ilmu alat. Dalam tahun 1924 sekolah itu pindah ke sebuah rumah di
dekat masjid itu dan mulailah kelas-kelas dilengkapi dengan angku, meja
dan papan tulis. Tingkat atas dari rumah ini dipergunakan sebagai asram
yang dalam tahun 1925 didiami oleh kira-kira 60 orang murid.
Di samping usaha Rahmah juga mualai mengadakan usaha
pemberantasan buta huruf di kalangan ibu-ibu yang lebih tua. Kegiatan ini
diikuti oleh kira-kira 125 orang ibu-ibu pada mulanya, tetapi kemudiaan
terpaksa dihentikan oleh karena seklah yang didirikan oleh Rahmah itu
binasa oleh gempa bumi pada tahun 1926 dan yang menuntut perhatian
sepenuhnya dari Rahmah.
Dalam tahun 1930 sebuah kelas tambahan pada tingkat menengah
diselenggarakkan di samping madrasah berkelas tujuh tadi dengan maksud
untuk memberikan pelajaran dan didikan yang lebih lagi pada murid-murid,
terutama supaya mereka itu mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam
mengajar. Pada tahun 1932 Diniyah Putra yang agak bertambah mundur
setelah Labai meninggal digabungkan kepada madrasah yang didirikan oleh
Rahmah. Tetapi koeduksi tidaklah lagi dipertahankan, tiap kelas
mempunyai semata-mata pelajar laki-laki atau pelajar perempuan.
Perkembangan kedua bagian dari sekolah Diniyah ini kemudian berjalan
lancer dan dalam tahun 1937 sebuah sekolah guru untuk putri didirikan,
19
yang disusul tak berapa lama kemudian oleh pembukaan sebuah sekolah
sama untuk putra.
Merurut Rasuna, pelajar hendaknya dilengkapi dengan berbagai macam
kepandaian yang diperlukan untuk seseorang yang akan berkecimpung
dalam pergerakan. Apabila perlu pelajaran agama dan kegiatan-kegiatan
agama hendaknya memberikan kesempatan yang lebih banyak lagi latihan
berpolitik. Pendapat ini bertentangan sekali dengan pendapat Rahmah,
pendiri dan kepala sekolah Diniyah. Rahmah berpenadapat bahwa pelajaran
agama itu lebih penting dari pelajaran apapun juga.
Sebuah masalah lain yang dihadapi oleh Rahmah adalah usaha Permi
untuk meletakkan semua sekolah-sekolah golongan pembaharu di
Minagkabau di bawah naungan organisasi ini sesuai dengan suatu keputusan
dari konferensi guru-guru Islam di Padang Panajng pada tahun 1931.
Sekolah Diniyah tidak setuju dengan keputusan ini dan menolak supervise
Permi. Rahma ketika itu merasa bahwa supervisi seperti itu akan sangat
menghambat kemajuan sekolahnya, oleh sebab dengan demikian sekolahnya
akan bergantung pada maju mundurnya suatu organisasi yang bergerak
dalam bidang berlainan. Organisasi inipun bergantung pada sikap
pemerintah.
Di antara dua bagian Diniyah, putra dan putri, bagian putri sangat
popular. Pelajar-pelajarnya bertambah banyak sepanjang tahun 1930an itu;
seperti mereka berasal dari daerah yang jauh, seperti Yogyakarta, Lombok,
Ternate, Halmatera, Sulawesi dan Malaya.
Pada tahun 1935 Diniyah putri membuka sebuah cabang di Jakarta yang
membina tiga buah sekolah dengan bantuan dari beberapa pedagang yang
berasal dari minangkabau serta para lulusan dari lembaga-lembaga
pendidikan agama di Padang Panjang. Dalam masyarakat wanita Islam, para
lulusan dari Diniyah putri memperoleh penghargaan yang sama seperti yang
diberikan kepada para lulusan Thawalib. Hanya Diniyah putra tampaknya
tidak dapat menyaingi kedudukan Diniyah putri ataupun juga kedudukan
Thawalib.
20
3. Masyarakat Arab
Kedudukan orang-orang Arab di Indonesia pada masa ini tidak dapat
disamakan dengan kedudukan orang asing lain seperti orang-orang Cina dan
orang-orang Eropa, yang pada umumnya merupakan orang-orang asing bagi
kalangan Indonesia. Orang-orang Arab itu bukan saja beragama Islam, jadi
mempunyai faktor yang menyebabkan mereka dekat dengan orang-orang
Indonesia, tetapi pada umumnya mereka juga adalah orang-orang yang
berasal dari ibu-ibu Indonesia, berbicara dengan bahasa-bahasa ibu mereka,
kadang-kadang tanpa mengetahui Bahasa Arab. Mereka juga mempunyai
kebiasaan-kebiasaan Indonesia, terutama mereka yang tidak termasuk
golongan Sayid. Mereka lambat laun menjadi orang-orang Indonesia, seperti
yang dicerminkan oleh pendirian Partai Arab Indonesia pada tahun 1934.
Pembaharuan yang ada pada lembaga-lembaga kalangan masyarakat Arab
melimpah pada masyarakat Indonesia.
Banyak orang-orang Arab datang dari Hadramut ke Indonesia untuk
mencari nafkah. Umumnya mereka tidak membawa istri mereka bersama-
sama ataupun mereka terdiri dari anak-anak muda yang masih bujangan
sehingga menikah dengan wanita Indonesia. Umumnya mereka senang
berada di Indonesia tetapi, banyak diantara mereka yang mengirimkan anak-
anak mereka kembali ke negeri asal mereka untuk memperoleh pendidikan.
Anak-anak ini pulang kembali ke Indonesia dan menikah dengan wanita
Indonesia.
Orang-orang Arab banyak yang mempunyai hubungan dengan penduduk
di desa sebagai pedagang. Mereka berpartisipasi dalam kehidupan agama
dari kebanyakan orang-orang di Indonesia. Sebagai orang Arab mereka
masih mempunyai minat terhadap perkembangan negeri-negeri Arab.
Mereka mengetahui situasi yang terjadi di negaranya melalui harian dan
majalah yang terbit di Istanbul, Kairo, dan Beirut. Yang terpenting diantara
penerbitan ini adalah Al-‘Urwat al-Wutsqa yang terbit di Paris pada tahun
1884 oleh kedua pembaharu Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh.
21
Masyarakat Arab di Indonesia ketika itu mencerminkan ciri-ciri yang
sama dengan masyarakat Hadramut. Mereka terbagi menjadi golongan Sayid
dan bukan Sayid. Disamping itu merekapun terbagi pula menjadi golongan
manajib dan bukan manajib bergantung kepada apakah mereka termasuk
golongan yang berkuasa atau tidak. Golongan Sayid menikmati kedudukan
yang tinggi dalam masyarakat dan terutama berhadapan dengan orang-orang
Indonesia, mereka menuntut kedudukan yang lebih tinggi dalam pandangan
agama meskipun ibu-ibu mereka bukan sayid, ataupun orang Arab. Sayid
yang taat disebut wali dan apabila mereka meninggal kuburan mereka
dikunjungi oleh banyak orang sepanjang tahun sebagai tempat untuk diziarahi
di mana nazar dibayar, doa dipanjatkan, kemenyan dibakar dan segala macam
korban diberikan.
Dalam lingkungan orang-orang Sayid Indonesia, tampak pula suatu
kompetisi. Mereka yang tergolong golongan manasib Hadramutt, tetapi
tinggal di Indonesia terus menuntut kedudukan yang lebih tinggi berhadapan
dengan sayid lain yang bukan temasuk manasib. Hal ini tentu saja tidak
disenangi oleh golongan Sayid yang bukan manasib yang tidak menyukai
pembagian golongan yang demikian di kalangan masyarakat Arab di
Indonesia, dan yang mempunyai juga keinginan untuk menampakkan
pengaruhnya di dalam perkembangan negeri asal mereka.
Mereka menentang konservatisme dari kalangan manasib di Hadramutt
karena dengan sikap konservatif ini sifat-sifat pendidikan anak mereka yang
dikirim pulang akan terpengaruh pula cara yang tidak mereka inginkan.
Golongan yang progresif di Indonesia, terutama keluarga Aal Yahya dan Aal
Syihab dengan berbagai pihak berkeyakinan bahwa langkah pertama untuk
memperbaiki keadaan mereka adalah dengan membina bidang pendidikan.
Mereka tidak menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah Belanda
sehingga mereka mendirikan sekolah untuk anak-anak mereka.
4. Jamiat Khair
Al-Jam’iyat al-Khairiyah, yang lebih dikenal dengan Jamiat Khair
didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini terbuka untuk
22
setiap muslim tanpa diskriminasi asal usul tetapi mayoritas anggota-
anggotanya adalah orang Arab. Dua bidang kegiatan sangat diperhatikan di
organisasi ini. Pertama yaitu pendirian dan pembinaan satu sekolah pada
tingkat dasar, yang kedua pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk
melanjutkan pelajaran. Bidang ini sangat terhambat karena kekurangan biaya
dan juga karena kemunduran khilafat.
Sekolah dasar Jamiat Khair didirikan di Jakarta tahun 1905. Sekolah ini
bukan sekolah agama tetapi sekolah dasar biasa di mana bermacam-macam
mata pelajaran seperti berhitung, sejarah dan ilmu bumi diberikan.
Kurikulum disusun dan kelas-kelas telah terorganisir. Sekolah ini
mengundang guru dari luar daerah bahkan dari luar negeri. Tahun 1907
seorang guru dari Padang, Haji Muhammad Mansur mengajar disekolah
tersebut. Guru dari luar negeri seperti Al-Hasjimi berasal dari Tunis dan
pernah memberontak kepada Prancis. Beliau datang pada tahun 1911 dan
memperkenalkan gerakan kepanduan dan olah raga di sekolah ini.
Pada bulan Oktober 1911 tiga orang guru dari negeri Arab bergabung ke
Jamiat Khair. Mereka adalah Syaikh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah,
Syaikh Ahmad Soorkatti dari Sudan serta Syaikh Muhammad Thaib dari
Maroko.
Jamiat Khair tetap merupakan sebuah organisasi yang kecil. Dimulai
dari 70 orang anggota, organisasi ini berkembang sangat lambat.pada tahun
1915 tercatat kira-kira 1000 anggota. Pada tahun ini pula terlihat kemunduran
dari organisasi ini. Organisasi ini bukanlahh stu-satunya organisasi yang ada
di dalam kalangan masyarakat Arab. Organisasi ini tidak mampu menyaingi
kegiatan Al Irsyad yang didirikan tahun 1913 oleh anggota Jamiat Khair yang
telah keluar dari organisasi ini.
Pentingnya Jamiat Khair terletak pada kenyataan bahwa ialah yang
memulai organisasi dengan bentuk moderen dalam masyarakat islam dan
yang mendiriikan sekolah dengan cara yang lebih modern. Pertikaian dengan
Al-Irsyad mencerminkan pertikaian dalam lingkungan masyarakat Arab
tentang kedudukan Sayid dalam masyarakat itu dan pada umumnya dalam
23
masyarakat islam Indonesia. Lambat laun golongan bukan Sayid merasa
bahwa mereka sedderajat dengan golongan Sayid. Sikap ini dudukung oleh
fatwa Rashid Redha dari majalah Al-Manar Kairo, yang mengemukakan
bahwa perkawinan antara orang islam golongan bukan Sayid dengan Syarifah
adalah Jaiz.
Kekakuan pendapat dari golongan sayid menyebabkan perpecahan Jamiat
Khair. Mereka menyadari bahwa kedudukan dan kekuasaan mereka, apalagi
di kalangan mereka telah muncul orang-orang yang juga dihormati oleh
orang-orang Arab umumnya ataupun oleh orang-orang bukan Arab. Seperti
Syaikh Umar Manggus dan Syaikh Ahmad Soorkatti yang dianggap memiliki
gudang ilmu. Sehingga golongan bukan Sayid mendirikan sebuah organisasi
yang bernama Jam’iyat al-Islam wal Ersyad al-Arabia atau disingkat Al-
Irsyad pada tahun 1913. Organisasi ini mendapat pengakuan legal dari
pemerintah pada tanggal 11 agustus 1915. Pembaharuan dalam lingkungan
masyarakat Arab kemudian dilanjutkan oleh Al-Irsyad.
Syaikh Ahmad Soorkati dan Al-Irsyad
Pendiri Al-Irsyad kebanyakan berasal dari para pedagang, tetapi guru yang
dilihat sebagai tempat meminta fatwa adalah Syaikhh Ahmad Soorkati yang
sebagian besar umurnya di curahkan bagi penelaahan pengetahuan.
Dilahirkan di Dunggula, Sudan pada tahun 1872 Soorkati berasal dari
keluarga yang taat beragama. Ia telah banyak mengetahui ayat-ayat Qur’an
ketika masih kecil. Pada tahun 1906 beliau menerima sertifikat tertinggi guru
agama dari pemerintah di Istambul.
Syaikhh Ahmad Soorkati di tarik oleh Jamiat Khair melalui dua orang
Syaikh jemaah haji yang pergi ke Indonesia tiap tahun untuk mengurus
jamaah Haji. Keduanya diminta oleh Jamiat Khair untuk dicarikan guru-guru
di tanah Arab yang bersedia mengajar di Jakarta. Ia datang ke Indonesia pada
tahun 1911 dan meninggalkan Jamiat Khair pada tahun 1913. Beliau
membuka sekolahnya sendiri dan kemudian bergabung dengan Al-Irsyad
sampai meninggal tahun 1943.
24
Al-Irsyad menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan terutama pada
masyarakat Arab, ataupun pada permasalahan yang timbul di kalangan
masyarakat Arab, walaupun orang-orang islam Indonesia bukan Arab ada
ynag menjadi anggotanya. Lambat lain bekerja sama dengan organisasi islam
lainnya yakni Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Organisasi ini
meluaskan pusat perhatian mereka kepada persoalan-persoalan yang lebih
luas, yang mencakup persoalan islam yang ada di Indonesia. Serta berperan
dalam berbagai kongres al-Islam pada tahun 1920-an dan bergabung dengan
Majelis Islam A’la Indonesia ketika federasi ini didirikan pada tahun 1937.
Pemuda-pemuda Indonesia juga mempergunakan fasilitas Al-Irsyad dalam
pendidikan.
Kebencian dari pendiri Al-Irsyad terhaadap Sayid dicerminkan oleh
Anggaran Dasar organisasi ini yang mengemukakan bahwa seorang sayid
tidak boleh duduk di dalam pengurus. Usaha-usaha untuk menyelesaikan
pertikaian tidak pernah berhasil. Perbedaan-perbedaan antara jamiat Khair
dan Al-Irsyad juga diwarnai oleh politik walau bukan sehubungan dengan
politik Indonesia tetapi hubungan dengan perkembangan Hadramutt dan
umumnya di negara-negara Arab. Mengenai perkembangan di Indonesia
kedua organissi ini membatasi diri mereka pada bidang agama dan
pendidikan.
5. Persyarikatan Ulama
Haji Abdulhalim dan Hayatul Qulub
Gerakan pembaharu di daerah Majalengka, Jawa Barat yang kemudian
berkembang menjadi Persyarikatan Ulama, dimulai pada tahun 1911 atas
inisiatif Haji Abdulhalim yang lahir di Ciberelang, Majalengka tahun 1887.
Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama, sedangkan
famili-familinya tetap mempunyai hubungan yang erat secara keluarga
dengan orang-orang dari kalangan pemerintah.
Halim memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak dengan
belajar di berbagai pesantren di Majalengka, sampai umur 22 tahun.
Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk naik haji dan melanjutkan
25
pendidikannya.selama tiga tahun di Mekkah ia mengenal tulisan Abduh dan
Jamal al-Din al-Afghani. Di sini ia mengenal kiai Haji Mas Mansyur yang
kemudian menjadi ketua umum Muhammadiyah. Meskipun banyak
membaca kitab Abduh dan Al-Afghani namun ia tidak merasa dipengaruhi
oleh keduannya. Sampai ia meninggal pada tahun 1962 ia tetap berpegang
teguh pada mazhab syafi’i.
Enam bulan setelah ia kembali dari Mekkah pada tahun 1911, Halim
mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Hayatul Qulub, yang
bergerak baik dibidang ekonomi maupun pendidikan. Anggotanya mula-
mula berjumlah enampuluh orang yang terdiri dari pedagang dan petani.
Mereka membayar iuran masuk 10 sen dan lima sen setiap mingguanya untuk
dana pendiriann sebuah perusahaan tenun. Organisasi ini membantu
anggotanya yang bergerak di bidang perdagangan dalam persaingan dengan
pedagang-pedagang Cina. Di bidang pendidikan Hali menyelenggarakan
pelajaran agama sekali seminggu untuk orang-orang dewasa yang diikuti
sebanyak empat puluh orang. Pelajaran yang diberikan yaitu tentang fiqih
dan hadits.
Organisasi ini tidak berlangsung lama, persaingan dengan pedagang-
pedagang Cina yang sering kali menimbulkan perkelahian dianggap
pemerintah sebagai penyebab kerusuhan sehingga pada tahun 1915 organisasi
ini dilarang. Akan tetapi, kegiatannya terus dilanjutkan meskipun tidak diberi
nama secara resmi. Tetapi, dibidang pendidikan dilanjutkan dengan sebuah
organisasi yang diberi nama Majlisul Ilmi.
Pada tahun 1916 didirikan Jam’iyat al-Muta’alimin yaitu sebuha lembga
pendidikan yang bersifat lebih modern. Namun kurang disukai karena adanya
sistem berkelas dan sistem koedukasi yang diidntrodusir oleh Halim. Tahun
1917 organisasi ini berganti nama menjadi Persyarikatan Ulama dan diakui
secara resmi oleh pemerintah dengan bantuan O.S. Tjokroaminoto, presiden
Syarekat Islam. Tahun 1924 organisasi ini meluaskan daerah operasinya ke
seluruh Jawa dan Madura dan tahun 1937 ke seluruh Indonesia.
26
6. Muhammadiyah
Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912
oleh kiai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya
dan beberapa orang aggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga
pendidikan yang bersifat permanen. Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada
tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis, anak seorang Kiayi Haji
Abubakar bin Kiayi Sulaiman, Khatib di masjid Sultan di kota itu. Dan
ibunya adalah anak Haji Ibrahim, pengulu. Setelah ia menyelesaikan
pendidikan dasarnya dalam nahu, fiqh, dan tafsir di Yogya dan sekitarnya, ia
pergi ke Mekkah tahun 1890 dimana ia belajar selama satu tahun. Salah
seorang gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib. Tahun 1903 ia kembali ke
Mekkah dan tinggal selama dua tahun.
Dahlan telah menghayati cita-cita pembaharuan sekembalinya dari haji
yang pertama. Ia mulai mengintrodusir cita-citanya itu mulanya dengan arah
orang bersembayang kearah kiblat yang sebenarnya. Perubahan ini walaupun
bagi kita sekarang mungkin sangat kecil artinya, memperlihatkan kesadaran
Dahlan tentang perlunya membuang kebiasaan yang tiak baik dan yang
menurut pendapatnya yang tidak sesuai dengan Islam. Ia gagal
merealisasikan perubahan arah kiblat di masjid Sultan di Yogyakarta. Ia
memang dapat membangun langgarnya sendiri dengan meletakkan kiblat
yang tepat, tetapi perubahan ini tidak disenangi oleh penghulu Kiyai haji
Mohammad Halil, yang memerintahkan untuk membinasakan langgar itu. Hal
ini menyebabkan ia menjadi patah semangat dan ingin meninggalkan kota ini
tetapi kerabatnya menghalanginya. Kemudian ia menggantikan ayahnya
menjadi khatib di masjid Sultan. Ia juga aktif berdagang batik untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tahun 1909 dahlam masuk Budi Utomo untuk memberikan pelajaran
agama kepada anggota-anggotanya. Kemudian ia membuka sekolah sendiri
yang bersifat lebih permanen untuk menghindari nasib pesantren tradisional
yang terpaksa ditutup apabila sang kiyainya meninggal. Untuk itu
didirikanlah Muhammadiyah. Organissasi ini mempunyai maksud untuk
27
menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk
bumiputera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Untuk mencapai ini Muhammadiyah mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh di mana dibicarakan
masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta
menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
Daerah operasi Muhammdiyah mulai diluaskan setelah tahun 1917.
Sampai pada tahun 1920 kegiatan Muhammadiyah diluaskan meliputi seluruh
pulau Jawa dan pada tahun 1921 ke seluruh Indonesia. Cabang pertama
Muhammadiyah didirikan di daerah Minangkabau. Tokohnya yaitu Haji
Rasul. Pada mulanya cabang Muhammadiyah ini bernama Sendi Aman Tiang
Selamat dan pada tahun 1925 diubah menjadi Muhammdiyah. Tahun 1927
Muhammadiyah mendirikan cabang-cabang di Bengkulu, Banjarmasin dan
Amuntai. Sedangkan pada tahun 1929 pengaruhnya tersebar ke Aceh dan
Makassar.
Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) merupakan organisasi yang berdiri
sendiri yang didirikan pada tahun 1918 oleh beberapa orang pimpinan
Muhammmadiyah untuk meringankan korban akibatb meletusnya gunung
Kelud. PKU kemudian melanjutkan usaha untuk membantu orang-orang
miskin dan yatim piatu di Yogyakarta sampai ia menjadi bagian yang khusus
dari Muhammadiyah pada tahun 1921. Pada tahun ini PKU membantu korban
kebakaran di Yogyakarta; tahun 1922 mendirikan rumah yatim piatu yang
pertama, dan tahun 1926 membuka klinik yang segera diikuti oleh orang-
orang Muhammadiyah di Surabaya, Malang dan Solo.
Organisasi wanita Muhammadiyah bernama Aisyiah. Pada mulanya
merupakan organisasi yang berdiri sendiri. Dirikan pada tahun 1918 dengan
nama Sopotrisno dan pada tahun 1922 resmi menjadi bagian dari
Muhammadiyah dan berganti nama menjadi Aisyiah.. kegiatannya
mengdakan tabligh-tabligh untuk para anggota dan wanita-wanita lain dan
kursus-kursus untuk pekerja-pekerja batik. Beberapa tahun kemudian
28
Aisyiah juga memberikan perhatian kepada anak-anak perempuan remaja
sehingga dibangun suatu bagian khusus bernama Nasyiatul Aisiah.
Kegiatan-kegiatan Muhammasiyah tidaklah tumbuh semata-mata dari
buah pemikiran pemimpinnya saja. Pengaruh-pengaruh luar terlihat pada
pendirian PKU dan Aisyiah. Pengaruh missionaris Kristen yang tidak hanya
dijadikan sebagai tantangan tetapi juga sebagai contoh. Sebuah kegiatan yang
dijadikansebgai contoh adalah gerakan kepanduan. Gerakan kepanduan
Muhammadiyah yakni Hizbul Wathan dibentuk pada tahun 1918 oleh Kiyai
Haji Ahmad Dahlan setelah memperoleh keterangan tentang persoalan
kepanduan ini dari seorang guru Muhammadiyah yang mengajar di Solo.
Mengakui manfaat dari gerakan kepanduan ini Dahlan tidak ragu-ragu untuk
untuk mengambil keputusan guna membentuk Hizbul Wathan.
Suatu bagian yang terpenting pula dari muhammadiyah ialah Majlis
Tarjih, didirikan atas dasar keputusan kongres organisasi di Pekalongan pada
tahun 1927. Fungsinya adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum
tentang masalah-masalah tertentu yang dipertikaikan oleh masyarakat
muslim.
7. Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada tahun 1920an ketika
orang-orang islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju dalam usaha
untuk mengadakan pembaharuan dalam agama. Persis kurang memberikan
tekanan terhadap kegiatan organisasinya. Persis tidak terlalu berminat untuk
membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota.
Pengaruh organisasi persis jauh lebih besar daripada jumlah cabang atau pun
anggotanya. Kegiatan di dalam persis didukung oleh dua tokoh penting yaitu
Ahmad Hassan yang dianggap sebagai guru Persis yang utama sebelum
perang dan Mohammad Natsir yang pada waktu itu merupakan anak muda
yang sedang berkembang dan tampaknya bertindak sebagai juru bicara dari
organisasi tersebut dalam kalanngan kaum terpelajar.
Tahun 1927 sebuah kelas khusus atau kelompok diskusi diorganisir untuk
anak-anak muda yang telah menjalani masa studinya di sekolah-sekolah
29
menegah pemerintah dan yang ingin mempelajari islam secara sungguh-
sungguh. Dalam kelas tersebut Hasan bertindak sebagai guru. Tetapi hasan
sendiri mengaku bahwa ia banyak belajar dari pembicaraan yang dilakukan
didalam kelompok diskusi ini yang menyebabkan dorongan baginya untuk
memperdalam pengetahuannya sendiri. Masalah-masalah yang timbul di
dalam diskusi-diskusi ini menyebabkan ia lebih banyak bagi menggali
sumber-sumber ajaran Islam.
Sebuah kegiatan lain yang penting dalam rangka kegiatan pendidikan
Persis ini adalah lembaga pendidikan Islam, sebuah proyek yang dilancarkan
oleh Natsir dan yang terdiri dari beberapa buah sekolah: Taman Kanak-kanak,
HIS (1930), sekolah Mulo (1931) dan sebuah sekolah guru (1932). Inisiatif
Natsir ini mulanya merupakan jawaban terhadap tuntutan dari berbagai pihak,
termasuk beberapa orang yang mengambil pelajaran privat dalam Bahasa
Inggris dan berbagai pelajaran lain kepadanya. Tuntutan ini dikemukakan
setelah melihat berdirinya beberapa sekolah swasta di bandung pada waktu
itu, di mana tidak diajarkan pelajaran islam.
Berlainan dari Muhammadiyah yang mengutamakan penyebaran
pemikiran-pemikiran baru secara tenang dan damai, Persis seakan gembira
dengan perdebatan-perdebatan dan polemik.dikatakan bahwa organisasi ini
menantang orang-orang yang tidak setuju terhadap pendapat dan
pemikirannya untuk berdebat.
C. Corak Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia
1. Gerakan Modern Islam: Asal-usul Perkembangan.
Gerakan modern Islam merupakan jawaban yang dijunjukan terhadap
krisis yang dihadapi umat islam pada masanya. Kemudian progresif Kerajaan
Usmani yang merupakan pembangku khalifah Islam, setelah abad ketujuhbelas
telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran
imperium itu. Yang terpenting diantaranya adalam gerakan Wahabi, sebuah
gerasak reformis puritanis (Salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang
30
menyiapkan jembatan kearah pembaruan Islam abad ke-20 yang lebih bersifat
intelektual.
Katalisator terkenal gerakan pembeharuan ini adalah Jamaludin Al-
Afghani (1897). Ia mengajarkan solidaritas Panislam dan pertahanan terhadap
imprelialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana yang secara
ilmiah dimodernisasi.
Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar
kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Bermula dari pembaharuan
pikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau, yang disusul oleh pembaruan
pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan
Islam semakin berkembang membentuk organisasi-rganisasi sosial keagamaan,
seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) Di Bogor (1909) dan Solo (1911).
Persyarikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat (1911), Muhammadiyah di
Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nahdatul
Ulama (NU) di Surabaya (1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di
Candung Bukittinggi (1930); dan partai-partai politik, seperti Sarekat Islam
(SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia
(Permi) di Padang Panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan
dari organisai pendidikan Thawalib, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada
tahun 1938.
2. Perjuangan Kemerdekaan umat Islam
a. Masa Kolonial Beanda
Nasionalisme dalam pengertian politik, baru muncul setelah H.
Samanhud menyerahkan tampuk pimpinan SDI pada bulan Mei 1912
kepada HOS Tjokroaminoto yang mengubah nama dan sifat organisasi
serta memperluas ruang geraknya. Sebagai organisasi politik pelopor
nasionalisme Indonesia, SI pada decade pertama adalah organisasi politik
besar yang merekrut anggotanya dari kelas dan aliran yang ada di
Indonesia. Tjokroaminto dalam pidatonya kepada Kongres Nasional
Sarekat Indonesia yang berjudul “Zulfbetuur” tahun 1916 di Bandung
mengatakan :
31
Tidak pantas lagi Hindia (Indonesia, pen.) diperintah lagi oleh negeri Belanda, bagaikan tuan tanah yang menguasai tanah-tanahnya. Tidak pada tempatnya, menganggap Hindia sebagai seekorsapi perahan yang hanya diberi makan susunya. Tidaklah pantas, untuk menganggap negeri ini sebagai tempat kemana orang berdatangan hanya untuk memeproleh keuntungan dan sekarang sudah tidak pada tempatnya lagi bahwa penduduknya, terutama anak negeri sendiri, tidak mempunyai hak turut bicara dalam soal-soal pemerintah yang mengatur nasib mereka.
Banyak kalangan yang kecewa terhadap perpecahan itu. Mereka lebih
kecewa lagi, karena perpecahan itu bukan saja menunjukan perbedaan
taktik, tetapi lebih dari itu, masing-masing golongan makin mempertegas
lagi ideologinya. Sejak itu SI dengan tegas menyatakan ideology Islamnya.
Nasionalisme yang dikemangkan adalah nasionalisme yang berdasarkan
ajaran-ajaran Islam.
Pendapat lain menyatakan, perpecahan itu lebih merupakan kelanjutan
wajar dari latar belakang budaya masyarakat, terutama Jawa. Proses
islamisme damai di Indonesia, yang mengkompromikan ajaran Islam
dengan nilainilai budaya, telah melahirka tiga golongan: santri, komunisme
oleh abangan, dan nasionali “sekuler” oleh priyayi.
Dari dua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan abangan
dan budaya priyayi yang memang sejak lama tidak selalu berjalan dengan
ajaran-ajaran Islam, berubah menjadi nasionalisme sekular melalui
pendidikan Belanda, yang memang dimaksudkan untuk mengemansipasi
masyarakat dari agama. Perpecahan menjadi komunis dan nasionalis
“secular”, lebih disebabkan analisis kelas yang diterapkan komunis. Dilihat
dari tingkat sekularismenya, komunisme adalah sekularisme radikal karena
memusuhi agama, sedang nasionalisme “Barat” adalah nsionalisme
moderat, karena ia melihat agama sebagai urusan pribadi.
Ketiga aliran tersebut, terlibat dalam konflik ideologis yang cukup keras.
Namun, PKI hanya terlibat dalam waktu yang sangat singkat, karena
pemberontakannya di Jawa Barat (1926) dan di Sumatra Barat (1927)
menyebabkan pemerintahan Belanda menyatakan sebagai partai terlarang
dan mengasingkan tokoh-tokohnya ke Digul.
32
Dalam suasana konflik semacam itu, SI semakin hari mengalami
kemerosotan, sementara partai-partai nasionalis “sekuler” berkemang
dengan pesat. Tingkat pendidikan dan kemampuan merumuskan realitas
golongan nasionalis sekuler tampaknya jauh lebih baik daripada SI yang
mewakili Islam. Apalagi setelah Tjokroaminoto wafat, SI beberapa kali
mengalami perpecahan yang mengakibatkannya semakin kehilangan pamor,
misalnya dengan Penyadar (H. Agus Salim dan Mohamad Roem; 1936) dan
Komite Kebenaran PSSII (Kartosuwirjo; 1939).
Usaha-usaha untuk mempersatukan kembali partai-partai politik dengan
aliran-aliran ideologi itu, meskipun dalam bentuk federasi, selalu berakhir
dengan kegagalan. Hal itu Karen, Belanda terutama diakhir masa
penjajahannya tidak pernah memberi ruang gerak bagi gerakan kebangsaan
dan tidak pula bersedia mengadakan dialog. Sementara itu konflik ideology
terus berkembang dan kadang-kadang mengeras. Golongan nasionalis
“netral agama” pernah menuduh Islam sebagai pembawa perpecahan. H.
Agus Salim dituduh menjerumuskan SI menjadi partai pendeta yang
mencecerkan kepentingan sosial dan ekonomi rakyat untuk agama. Adapula
yang mempertanyakan lembaga-lembaga Islam, seperti poligami dan ibadah
haji. tuduhan lain, Islam Arab merupakan suatu bentuk impersialisme yang
tidak kalah jeleknya dari Belanda.
Tuduhan-tuduhan tersebut tentu mendapat jawaban dari kalangan Islam
yang ingin menjelaskan duduk perkara yang sebenar-benarnya. HOS
Tjokroaminoto, H. Agus Salim, A. Hasan, dan M. Natsir adalah tokoh-tokoh
terkenal dalam menjawab tuduhan-tuduhan itu. Mereka mungkin bisa
dikatakan sebagai perumus-perumus nasionalisme Islam di Indonesia.
Hanya di Sumatra Barat, masyarakat Islam mampu memandukan antara
Islam dan nasionalisme, yaitu melalui persatuan muslimin Indonesia
(Permi), dipimpin oleh Muchtar Lutfi. Permi adalaj organisasi yang
berdasarkan Islam dan kebangsaan, suatu asas yang oleh beberapa
pemimpin Islam waktu itu dianggap tidak benar. Seakan-akan Islam
33
meupakan ajaran yang tidak sempurna. Sayangnya, Permi tidak berusia
panjang.
Di awal tahun 1940an, soekarno yang pernah mendalami ajaran Islam,
mencoba mendamaikan konflik-konflik itudengan berusaha mengutip
pendapat pemikiran-pemikiran pembaharuan di Negara-negara Islam Timur
Tengah.
b. Masa Pendudukan Jepang
Kemunduran progresif yang dialami partai-partai Islam seakan
mendapatkan dayanya kembali setelah Jepang dating menggantikan posisi
Belanda. Jepang berusaha mengakomodasi dua kekuatan, Islam dan
nasionalis “sekular”, ketimbang pemimpin tradisional. Jepang berpendapat
organisasi-organisasi Islamiah yang sebenarnya mempunyai masa yang
patuh dan hanya dengan pendekatan agama, penduduk Indonesia dapat
dimobilisasi. Oleh karena itu, kalau organisasi organisasi non-keagamaan
dibubarkan, organisas-organisasi besar Islam seperti Muhammadiyah, NU,
dan kemudian persyarikatan Ulama (Majalengka), juga Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI), yang kemudian dilanjutkan dengan Majelis Syuro
Muslim Indonesia (Masyuri) diperkenakan kembali meneruskan
kegiatannya.
Jepang kemudian menjanjikan kemerdekaan Indonesia dengan
mengeluarkan maklumat Gunseikan no.23/29 April 1945, tentang
pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Berbeda dengan situasi sebelumnya, yang kalangan
Islam mendapat pelayanan lebih lebih besar dari Jepang, keanggotaan
BPUPKI didominasi oleh golongan nasionalis, yang ketika itu lazim disebut
golongan kebangsaan. Di dalam badan inilah, Sukarno mencetuskanide
Pancasilanya. Meskipun di dalam rumusan Pancasila itu terdapat prinsip
ketuhanan, tetapi Negara pada dasarnya dipisahkan dari agama.
Setelah itu, dialog resmi ideologis antar dua golongan terjadi dengan
terbuka dalam suatu forum. Panitia Sembilan, semacam sebuah komisi dari
forum itu, membahasa hal-hal yang sangat mendasa, preambul UUD. Lima
34
orang mewakili golongan nasionalis “sekular” (Sukarno, Mohammad Hatta,
Muhammad Yamin, Maramis, dan Subardjo) dan empat orang lainya
mewakili Islam (Abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Agus Salim, dan
Abikusno Tjokrosujoso). Kompromi ini dikenal dengan Piagam Jakarta
“dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Tetapi, pada saat dibahas kembali di dalam siding Pleno, Piagam
Jakarta tidak memuaskan kedua belah pihak. Baik golongan Islam maupun
golongan nasionalis “sekular” dengan kuat mempertahankan prinsip
masing-masing. Namun pada akhirnya berkat usaha Agus Salim dan
Soekarno, Piagam Jakarta diterima sebagai mukaddimah konstitusi, dengan
alasan bahwa ia merupakan suatu kompromi yang dicapai dengan susah
payah.
3. Organisasi Politik dan Organisasi Sosial Islam dalam Suasana Indonesia
Merdeka
a. Masa Revolusi dan Demokrasi Liberal
Menjelang kemerdekaan Jepang tidak dapat menghindari kekalahan dari
tentara sekutu, BPUPKI ditingkatkan menjadi Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Erbeda dengan BPUPKI yang khusus
untuk pulau Jawa, PPKI merupakan perwakilan daerah seluruh kepulauan
Indonesia. Perubahan itu banyak menyebabkan banyak anggota BPUPKI
yang tidak muncul lagi, termasuk beberapa orang anggota Panitia Sembilan.
Persentase Nasionalis Islam pun merosot tajam.
Dalam suasana seperti itu, M. Hatta dalam siding PPKI setelah
kemerdekan berhasil dengan mudah meyakinkan anggota bahwa hanya
suatu konstitusi “secular” yang mempunyai peluang untuk diterima oleh
mayoritas rakyat Indonesia. Tujuh kata dalam anak kalimat yang tercantum
dalam sila Pertama Pancasila dengan segala konsekuensinya dihapuskan
dari konstitusi. Bahkan kantor urusan agama seperti yang diperoleh Islam
selama pendudukan Jepang, oleh Panitia pun ditolak.
Oleh golongan nasionalis “sekular”, keputusan itu dianggap sebagai
gentleman’s agreement kedua yang menghapuskan Piagam Jakarta sebagai
35
gentleman’s agreement pertama. Sementara itu, keputusan yang sama
dipandang oleh nasionalis Islam sebagai pengkhianati gentleman’s
agreement itu sendiri. Para nasionalis Islam mengetahui bahwa, Indonesia
merdeka berdasarkan Islam, Piagam Jakarta pun tidak oleh sebab itu, bisa
dibayangkan bagaimana kecewanya para nasionalis Islam.
Penghapusan tujuh kata-kata dari Piagam Jakarta itu sama sekali tidak
mengakhiri konflik ideology yang telah berlangsung lama pada masa belum
sebelum kemerdekaan. Para nasionalis Islam harus menerima kenyataan itu,
karena mereka menyadari bahwa masa revolusi bukanlah saat yang tepat
untuk mendesak terlaksananya cita-cita Islam mereka.
Yang sedikit agak melegakan hati umat Islam adalah Keputusan Komite
Nasional Pusat (KNIP) , pengganti PPKI, yang bersidang tanggal 25, 26,
dan 27 November 1945. Komite yang dipimpin oleh Sutan Syahrir,
pemimpin ulama Partai Sosialis Indonesia (PSI) itu antara lain, membahas
usul agar dalam Indonesia merdeka ini soal-soal keagamaan dianggap oleh
satu kementerian tersendiri dan tidak lagi diperlukan sebagai bagian
tanggung jawab Kementrian Pendidikan. Sedikit banyak, keputusan tentang
Kementrian Agama ini merupakan semacam konsensi kepada kaum
Muslimin yang bersifat kompromi, kompromi antara teori secular dan teori
muslim.
Umat islam memang gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari
agresi Belanda yang datang dengan bantuan tentarasekutu kembali untuk
menjajah Indonesia. Tokoh-tokohnya duduk dalam posisi-posisi politik
penting, baik dalam cabinet maupun memimpin perjuangan fisik dan
diplomatik.
Meskipun Departemen Agama dibentuk,namun halite tidak merendahkan
konfliki ideologi pada masa sesudahnya. Setelah Wakil Presiden
mengeluarkan maklumat no. x tentang diperkenakannya mendirikan partai-
partai politik, tiga kekuatan yang sebelumnya berkaitan muncul kembali.
Pada Tanggal 7 November 1945, Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi) lahir sebagai wadah aspirasi umat Islam, 17 Desember 1945
36
Partai Sosialis yang mengkristalisasikan falsafah hidup Marxis berdiri, dan
29 Januari 1946, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mewadahi cara
hidup nasionalis “sekular” pun muncul. Partai-partai yang berdiri sesudah
itu dapat dikategorikan ke dalam tiga aliran utama ideologi yang terdapat di
Indonesia. Partai-partai Islam setelah merdeka elain Masyumi adalah Partai
Serikat Islam Indonesia (PSII) yang keluar dari Masyumi tahun1947,
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Nahdlatul Ulama (NU) yang keluar
dari Masyumi tahun1952.
Usaha partai-partai Islam untuk menegakkan Islam sebagai ideologi
Negara di dalam konstituante mengalami jalan buntu. Demikian juga
dengan Pancasila, yang oleh umat Islam waktu itu, dipandang sebagai milik
kaum “anti-Muslim”, setidak-tidaknya di dalam konstituante. Memang,
kesempatan untuk menyelesaikan tugas konstituante masih terulang, namun
pekerjaannya diakhiri dengan Dekrit Presiden 1959, konstituante dinyatakan
bubar dan UUD 1945 dinyatakan berlaku kemali. Dalam konsideran Dekrit
itu disebutkan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan UUD 1945. Jelas, Dekrit sebenarnya ingin
mengambil jalan tengah. Tapi, Dekrit itu sendiri menandai bermulanya
suatu era baru, Demokrasi Terpimpin, yang membawa kehidupan demokrasi
terancam dan berada dalam krisis. Masyumi yang sangat ketat berpegang
kepada konstitusi, pada bulan Agustus 1960 diperintahkan oleh Presiden
Soekarno bubar.
b. Masa Demokrasi Terpimpin
Dengan ubarnya Masyumi, partai Islam tinggan NU, PSII, dan Perti.
Partai-partai ini, sebagaimana juga partai-partai lain, mulai menyesuaikan
diri dengan keinginan Soekarno yang tampaknya mendapat dukungan dari
uda pihak yang bermusuhan, ABRI dan PKI. Langkah akomodatif NU dan
partai Islan lain itu bahkan selalu disandarkan pada ajaran agama, Alquran
adakalanya dipergunakan sebagai rujukan dalam sokongan ini. NU
sebelumnya memang sudah memberi gelar kepada Soekarno, Waliy al-Amr
al-Dharuri bi al-Syaukah. Untuk menyenangkan hati Soekarno, IAIN
37
memberi gelar doctor kehormatan dan ilmu ushuludiin dengan promotor K.
H. Saifuddin Zuhri, pemimpin NU yang telah banyak diberi peran oleh
Soekarno dalam pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Mungkin sekali,
langkah-langkah akomodatif partai-partai Islam ini bertujuan agar nasibnya
berbeda dengan Masyumi, yang tokoh-tokohnya, pada waktu itu,
diintimidasi oleh gloongan-golongan yang pro-Soekarno.
Di masa Demokrasi Terpimpin ini, Soekarno kembali menyuarkan ide
lamanya Nsikom, suatu pemikiran yang ingin menyatukan nasional
“sekular” , Islam dan komunis. Akan tetapi, idenya itu dilaksanakan dengan
caranya sendiri. Peranan partai mengalami erosi, kecuali PKI yang
memainkan peranan penting dan diliputi dengan semangat yang tinggi.
Pancasila pun ditafsirkan sesuai dengan pemikirannya. Masa ini, karena
lebih didominasi oleh PKI, memendam ketegangan antara Islam dan
komunisme. Ketidakpuasan juga terjadi di kalangan banyak golongan
nasionalis “sekular” dan angkatan bersenjata.
Masa Demokrasi Terpimpin itu berakhir dengan gagalnya Gerakan 30
September PKI Tahun 1965, Umat Islam bersama ABRI dan golongan
lainya bekerjasama menumpas gerakan itu.
c. Masa Orde Baru
Setelah Orde Lama hancur, kepemimpinan Indonesia berada di tengah
Orde Baru. Tumbangnya Orde Lama yang umat Islan ikut berperan besar di
dalam menumbangkanya, memberikan harapan-harapan baru kepada kaum
Muslimin. Namun, kekecewaan baru pun muncul di masa Orde Baru ini.
Umat Islam merasa, meskipun musuh bebuyutannya komunis telah
tumbang, kenyataan berkembang tidak seperti yang diharapkan. Rehabilitasi
Masyumi, partai Islam berpengaruh yang dibubarkan Soekarno, tidak
diperkenankan. Bahkan, tokoh-tokohnya juga tidak diizinkan aktif dalam
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang didirikan kemudian.
Orde Baru memang sejak semula mencanangkan pembaruan sistem
politik. Pada tanggal 26 November 1966, dengan sebuah amanat dari
presiden, disampaikan kepada DPRGR : RUU kepartaian, RUU Pemilu dan
38
RUU Susunan MPR, DPR dan DPRD. Yang keduadan ketiga ditetapkan 22
November 1969. Sedang yang pertama terhenti. Pada 9 Maret 1970, fraksi-
fraksi parpl di DPR dikelompokkan. Tiga tahun kemudian, Parpol difusikan
ke dalam PPP dan PDI (5 Februari 1973). Pada 14 Agustus 1975 RUU
kepaartaian disahkan.penataan kehidupan kepartaian berikutnya adalah
penetapan asas tunggal, Pancasila, untuk semua Parpol, Golkar, dan
organisasi lainnya, tidak ada asas ciri, tidak ada lagi ideologi Islam, dan oleh
karena itu, tidak ada lagi partai Islam.
Asas tunggal merupakan awal dari era baru peran Islam dalam kehidupan
berbangsa ini. Peran politik (formal) Islam tidak ada lagi, tetapi sebagai
agama yang mengaku tidak memisahkan diri dari persalan politik, tentu
peran itu akanterus berlangsung. Mungkin dengan pendekatan yang
berbeda.
d. Kebangkitan Islam di Masa Orde Baru
Meskipun umat Islam merupakan 87 persen penduduk Indonesia, ide
Negara Islam secara terus menerus dan konsisten ditolak. Bahkan, partai-
partai Islam, kecuali di awal pergerakan nasional, mulai dari masa
penjajahan hingga masa kemerdekaan, selalu mengalami kekalahan. Malah
dengan pembaharuan politik bangsa sekarang ini, partai-partai (berideologi)
Islam pun lenyap.
Menjelang Pancasila diputuskan Sidang Umum MPR 1983 sebagai satu-
satunya asas bagi kekuatan politik itu, banyak kalangan yang melontarkan
suara-suara kontra. Suara-suara itu semakin tajam takala Pancasila pada
akhirnya, bukan saja diputuskan sebagai satu-satunya asas bagi kekuatan-
kekuatan politik, tetapi juga terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan,
termasuk organisasi keagamaan di Indonesia.
Sangat wajar kalau suara kontra itu banyak yang berasal dari umat Islam.
Bukan saja karena latar belakang sejarah yang pernah dilaluinya, tetapi
karena pada saat gagasan itu dilontarkan, sub-sub ideologi yang pernah ada
di Indonesia sudah “terkena” gagasan itu. Hanya Partai Persatuan
39
Pembangunan (PPP), fusi dari empat partai pemusi, NU, PSII, dan Perti,
yang masih mempunyai ideologi atau asas ciri, yaitu Islam.
Dengan pengasastunggalan, sebagaian umat Islam menganggap bahwa
penyalur aspirasi politik Islam hilang. Terdapat kehawatiran di kalangan
sebagian mereka terhadap ancaman sekularisasi plitik dan kehidupan sosial
di Indonesia. Kehawatiran itu muncul dari perasaan keagamaan mereka.
Ada anggapan bahwa dengan asas tunggal bagi kekuatan politik dan
organisasi kemasyarakatan, identitas keislaman mereka akan semakin
memudar. Amal usaha organisasi keagamaan Islam pun dirasakan sia-sia.
Untuk merumuskan situasi baru itu sekaligus memasyarakatkan
kebijakan tersebut, beberapa kalangan yang sejak semula tidak melihat
kemungkinan lainya, menyelengagarakan forum-forum berkenaan dengan
aspirsi politik Islam. Balitbang Agama Departemen Agama, untuk tujuan
yang sama, menyelenggarakan seminar dengan tema “Peranan Agama
dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasial”. Kesimpulan dari kegiatan-
kegiatan itu tampaknya menyatakan bahwa aspirasi keagamaan dalam
kehidupan politik di Indonesia tetap akan tersalurkan. Bahkan dengan
kebijakasanaan yang dimaksudkan sebagai upaya modernisasi politik
bangsa itu, umat islam diuntungkan karena dapat melepas diri dari ikatan
primodialismenya, pindah darin dunia yang sempit ke dunia yang lebih luas.
Banyak pemikiran Islam yang beranggapan, dengan ditariknya Islam dari
level politik, perjuangan kultural dalam pengertian luas menjadi sangat
relevan, bahkan mungkin dianggap justru lebih efektif.
Sejak dekate 1970-an, kegiatan Islam semakin berkembang bila
dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Terlihat, ada tanda-tanda
kebangkitan Islam kemudian dalam masa Orde Baru ini. Fenomena yang
sangat bisa dilihat adalah munculnya bangunan-bangunan baru Islam;
masjid-masjid, mushalla-mushalla, madrasah-madrasah, juga pesantren-
pesantren.
Munculnya bangunan-bangunan masjid yang megah-megah itu diikuti
pula dengan semakin ramainya jamaah sholat, terutama dari kalangan
40
angkatan muda. Pengajaran-pengajaran agama juga semakin semarak.
Departemen-depertemen mengadakan pengajiannya masing-masing.
Bahkan, pengajaran dan diskusi-diskusi keagamaan memasuki hotel-hotel
mewah dan merekrut elit-elit bangsa. Ini mungkin dapat disebutkan sebagai
kelanjutan proses Islamisasi terhadap golongan abangan/priyayi yang
berpendidikan Barat, yang dipandang belum sempurna pada masa-masa
sebelumnya.
Indikasi kebangkitan Islam itu juga terlihat di kamus-kampus perguruan
tinggi. Setiap perguruan tinggi paling tidak sebagaian besar perguruan tinggi
mempunyai masjid atau mushalla. Pelajar dan mahasiswa anyak yang
memakai busana muslim.
Memang, setelah pemimpin-pemimpin nasionalis Islam beberapa kali
melewati batu sanding politik, setidaknya sejak perdebatan ideologis di
Konstituante mereka berbenturan dengan kenyataan yang cukup keras
secara terbuka untuk membentuk Negara Islam , tetapi melakukan
pendekatan lain, dengan berusaha melaksanakan beberapa “unsur” tertentu
dari hukum Islam dan dakwah Islamiah. Beberapa orang tokoh Masyumi
dulu, banyak yang aktif dalam lembaga-lembaga dakwah: M. Natsir sampai
tahuan 1993 memimpin Dewan Dkwah Islamiyyah (DDI), Syafruddin
Perwiranegara memimpin Korp Muballighin Jakarta (KMJ), ada juga yang
aktif di perguruan tinggi Islam swasta, seperti E. Z Muttaqin di UNISBA,
Abdul Kahar Muzakkir di UII, sebagaimana juga ada yang aktif dalam
organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam. Hal yang sama juga terjadi di
kalangan NU; K.H. Ahmad Syaikhu memimpin Ittihad al-muballighin,
perguruan tinggi NU mulai banyak berdiri, bahkan, angkatan mudanya
banyak yang aktif di lembaga-lembaga pengemangan masyarakat,
sebagaimana juga banyak yang mengembangkan pesantren.
Apa yang kita maksudkan dengan kebangkitan kembali Islam akhir-akhir
ini bisa jadi merupakan hasil kerja mereka.
Sejak dekade 1970-an, banyak bermunculan apa yang bermunculan apa
yang disebut intelektual muda Muslim yang meskipun sering kontroversial,
41
melontarkan ide-ide segar untuk masa depan umat. Kebanyakan mereka
adalah intelektual Muslim berpendidikan “umum”. Yang terakhir ini sangat
mungkin mungkin adalah buah dari kegiatan-kegiatan mahasiswa Islam
seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI, berdiri tahun 1947) yang cukup
dominan di perguruan tinggi umum, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII, organisasi mahasiswa yang pada mulanya underbow NU), dan Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Namun, tidak boleh dilupakan, Departemen Agama yang dibentuk
sebagai konsensi bagi umat Islam juga banyak berjasa dalam membentuk
dan mendorong kebangkitan Islam tersebut. Empat belas Institut Agama
Islam Negara (IAIN) induk dengan sekian banyak cabangnya sangat berjasa
menyiapkan guru-guru agama, pendakwah dan mubaliq dalam komunitas
besar. Bahkan, Departemen Agama secara terus-menerus mengembangkan
dan meningkatkan mutu IAIN tersebut.
Di samping itu, jasa Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, yang dibina
langsung oleh Presiden Soekarno tidak bisa diabaikan. Demikian juga
dengan kebijakan pemerintah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Bahkan, MUI mungkin bisa dikatakan suatu forum pemersatu umat Islam
Indonesia. Aspirasi-aspirasi umat, termasuk aspirasi politik.
Kegiatan-kegiatan sosial dan kultural mempunyai nilai-nilai yang lebih
langgeng daripada hasil perjuangan politik. Mungkin dengan alas an itulah,
Muhammadiyah sejak awal tidak berminat terjun ke dunia politik praktis
dank arena alas an itu pula NU melepaskan diri dari PPP.
Organisasi-organisasi Islam, terutama Muhammadiyah dan NU, dua
organisasi terbesar tanah air, terus diperhatikan oleh setiap kekuatan politik.
Kebangkitan Islam dewasa ini, bagaimana akan mempunyai dampak positif
juga.
Pengalaman dimasa lampau jelas menggambarkan bahwa suatu
pemikiran akan berkembang secara fleksibel apabila ia berakar dan mampu
menjawab persoalan-persoalan nyata yang dihadapi masyarakat. Apa yang
42
kita saksikan sekarang ini merupakan perkembangan wajar dari langkah-
langkah yang sudah ditempuh di masa lalu.
Setelah berlakunya asas tunggal, umat islam dengan segala
keberaniannya telah melepaskan suatu wadah politik. Dengan lapang dada,
mereka menerima Pancasila dan berharap dapat mengisinya dengan nilai-
nilai agama. Mereka ingin agak pihak-pihak lain selama ini memandang
curiga terhadap “Islam”, dapat mempercayai ulama-ulama dan tokoh-tokoh
Islam lainnya.
D. Awal Kelahiran Muhammadiyah
1. Amal Usaha Muhammadiyah
Usaha yang mula-mula, disamping dalam bidang pendidikan dengan
mendirikan sekolah Muhammadiyah, lebih banyak ditekankan pada
pemurnian taukhid dan ibadah dalam islam seperti:
a. Meniadakan kebiasaan menujuh bulani (jawa = tingkep), yaitu selamatan
bagi orang yang hamil pertama kali memasuki bulan ke tujuh, kebiasaan
ini merupakan peninggaan dari adat istiadat jawa kuno, biasanya diadakan
dengan memuat rujak dari kelapa muda yang belum berdaging yang
dikenal dengan nama cengkir, dacampur dengan bahan-bahan lain seperti
buah delima, buah jeruk, dan lain-lain. Masing-masing daerah berbeda-
beda cara dan macam upacara menujuh bulani ini, tetapi pada dasarnya
berjiwa sama yaitu dengan maksud mendoakan bagi keselamatan calon
bayi yang berada dalam kandungan ibu.
b. Menghilangkan tradisi keagamaan yang tumbuh dari kepercayaan islam
sendiri, seperti selamatan untuk menghormati Syekh Abdul Qadir Jaelani,
Syekh Saman dan lain-lain yang dikenal dengan manakiban, perayaan
dimana banyak diisi dengan puji-pujian serta meminta safaat kepada tokoh
yang sedang diperingatinya. Selain itu terdapat pula kebiasaan membaca
berzanji, yaitu suatu karya puisi serta syair-syair yang mengandung banyak
pujaan kepada Nabi Muhammad Saw yang disalah artikan.
c. Bacaan surat Yasin dan bermacam-macam zikir yang hanya khusus dibaca
pada malam jumat dan hari-hari tertentu adalah sebuah bid’ah. Begitu pula
43
ziarah hanya pada waktu-waktu tertentu dan pada kuburan tertentu; ibadah
yang tak ada dasarnya dalam agama juga harus ditinggalkan, yang boleh
adalah ziarah kubur dengan tujuan mengingat adanya kematian pada setiap
makhluk Allah.
Selain yang disebut diatas, sebagai usaha untuk menegakkan aqidah islam
yang murni serta mengamalkan ibadah yang sesuai dengan tuntunan nabi
Muhammad, masih banyak lagi usaha di bidang keagamaan, pendidikan,
kemasyarakatan, dan politik yang telah dan sedang dilaksanakan
Muhammadiyah. Sudah menjadi ciri dalam Muhammadiyah adanya semboyan
“sedikit bicara banyak bekerja”. Tidak saja sekedar semboyan di bibir, tetapi
sungguh-sungguh dibuktikan dengan amaliyah. Oleh karena itu tidak
mengherankan bila Muhammadiyah yang hanya memiliki jumlah anggota yang
tidak terlalu banyak, tetapi cukup banyak dan luas amal usaha serta hasil-
hasilnya. Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
1) Bidang Keagamaan
Pada bidang inilah sesungguhnya pusat seluruh kegiatan
Muhammadiyah, dasar dan jiwa setiap amal usaha Muhammadiyah. Dan
apa yang dilaksanakan dalam bidang-bidang yang lainnya tak lain dari
dorongan keagamaan semata-mata, karena baik kegiatan bersifat
kemasyarakatan, perekonomian, pendidikan, sampai yang digolongkan
pada politik, semua tak dapat dipisahkan dari jiwa, dasar dan semangat
keagamaan.
a) Terbentuknya Majlis Tarjih (1927), suatu lembaga yang
menghimpun ulama-ulama dalam Muhammadiyah yang secara
tetap mengadakan permusyawaratan dan member fatwa-fatwa
dalam bidang mkeagamaan serta memberi tuntunan mengenai
hukum yang sangat bermanfaat bagi khalayak umum.
b) Memberi tuntunan dan pedoman dalam bidang ubudiyah sesuai
dengan contoh yang diberikan Rosulullah.
44
c) Memberi pedoman dalam penentuan ibadah puasa dan hari raya
dengan jalan perhitungan “Hisab” atau “astronomi” sesuai dengan
jalan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
d) Mendirikan mushalla khusus bagi kaum wanita, yang merupakan
usaha pertama kali diselenggarakan oleh umat islam Indonesia.
Selain itu meluruskan arah kiblat pada masjid-masjid dan
mushalla-mushalla sehingga sesuai dengan arah yang benar
menurut perhitungan garis lintang.
e) Melaksanakan dan mensponsori pengeluaran zakat pertanian,
perikanan, peternakan dan hasil perkebunan, serta mengatur
pengumpulan dan pembagian zakat fitrah sehingga benar-benar
sampai ke tangan yang ber hak.
f) Memberi fatwa dan tuntunan dalam bidang keluarga sejahtera dan
keluarga berencana.
g) Terbentuknya Departemen Agama Republik Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari kepeloporan pemimpin Muhammadiyah.
h) Tersusunnya rumusan tentang “Matan Keyakinan dan Cita-cita
hidup Muhammadiyah” adalah suatu hasil yang sangat besar,
penting dan belum ada duanya di Indonesia sampai dewasa ini.
Dimana organisasi islam secara bulat mampu menyusun mengenai
pokok-pokok agama islam secara sederhana, mencakup, dan tuntas.
i) Penanaman kesadaran dan kenikmatan beragama, beramal dan
berorganisasi, dengan kesadaran itu maka tumbuh dan berkembang
hasil-hasil yang nyata di berbagai wilayah berupa tanah wakaf,
infaq, bangunan-bangunan, kesediaan mengorbankan harta untuk
kepentingan agama dan sebagainya.
2) Bidang Pendidikan
Salah satu penyebab didirikan Muhammadiyah ialah karena lembaga-
lembaga pendidikan di Indonesia sudh tidak memenuhi lagi kebutuhan dan
tuntunan zaman. Tidak saja isi dan metode pengajaran yang tidak sesuai,
45
bahkan system pendidikannya pun harus diadakan perombakan yang
mendasar.
Maka dengan didirikannya sekolah yang tidak lagi memisah-misahkan
pelajaran yang dianggap agama dan pelajaran yang digolongkan ilmu
umum, pada hakikatnya merupakan usaha yang penting dan besar. Karena
dengan sistem tersebut bangsa Indonesia dididik menjadi bangsa yang utuh
kepribadiannya, tidak terbelah menjadi pribadi yang berilmu umum atau
berilmu agama saja.
Menjadi kenyataan yang sampai sekarang masih dirasakan akibatnya,
adalah adanya sekolah-sekolah yang bersifat netral terhadap agama,
dimana akhirnya tidak sedikit para siswanya hanya memiliki keahlian
dalam bidang umum, dan tidak mempunyai keahlian dalam bidang agama.
Dengan kenyataan ini banyak orang yang mudah goyah dan goncang
hidupnya dalam menghadapi bermacam-macam cobaan.
Karena tidak mungkin menghapus sama sekali sistem sekolah umum
dan sistem pesantren, maka ditempuh usaha perpaduan antara keduanya
yaitu dengan:
a) Mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan
kedalamnya ilmu-ilmu keagamaan, dan
b) Mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi pendidikan
pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Dengan usaha perpaduan tersebut, tidak ada lagi pembedaan mana ilmu
agama dan ilmu umum. Semuanya adalah perintah dan dalam naungan agama.
3) Bidang Kemasyarakatan
Muhammadiyah adalah suatu gerakan islam yang mempunyai tugas
dakwah islam dan amar makruf nahi munkar dalam bidang
kemasyarakatan. Sudah dengan sendirinya banyak usaha-usaha
ditempatkan dalam bidang kemasyarakatan, seperti:
a) Mendirikan rumah sakit modern, lengkap dengan segala peralatan,
membangun balai-balai pengobatan, rumah bersalin, apotik dan
sebagainya.
46
b) Mendirikan panti asuhan anak yatim baik putra maupun putrid
untuk menyantuni mereka.
c) Mendirikan perusahaan percetakan, penerbitan, dan toko buku,
yang banyak mempublikasikan majalah-majalah, brosur dan buku-
buku yang sangat membantu penyebarluasan faham-faham
keagamaan, ilmu dan kebudayaan islam.
d) Pengusahaan dana bantuan hari tua: yaitu dana yang diberikan pada
saat seseorang tidak lagi bisa bekerja karena usia telah tua atau
cacat jasmani sehingga memerlukan pertolongan.
e) Memberikan bimbingan dan penyuluhan keluarga mengenai hidup
sepanjang tuntunan Ilahi.
4) Bidang politik kenegaraan
Perjuangan Muhammadiyah yangbdapat digolongkan ke dalam bidang
politik kenegaraan, hanya beberapa diantaranya:
a) Pemerintah kolonial Belanda selalu berusaha agar perkembangan
agama islam bisa dikendalikan dengan bermacam-macam cara
diantaranya menetapkan agar semua binatang yang dijadikan
“qurban” harus dibayar pajaknya. Hal ini ditentang oleh
Muhammadiyah, dan akhirnya berhasil dibebaskan.
b) Pengadilan agama di zaman kolonial berada dalam kekuasaan
penjajah yang tentu saja beragama Kristen. Agar urusan agama di
Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama islam, juga
dipegang oleh orang islam, Muhammadiyah berjuang kearah cita-
cita itu.
c) Ikut memelopori berdirinya Partai Islam Indonesia. Begitu pula
pada tahun 1945 termasuk menjadi pendukung utama berdirinya
partai Islam Masyumi dengan gedung Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta sebagai tempat kelahirannya. Malahan
setelah beberapa tahun lamanya akibat kekosongan partai politik
yang sejiwa dengan kehendak Muhammadiyah, akhirnya tahun
47
1967 Muhamadiyah tampil lagi sebagai tulang punggung utama
berdirinya Partai Muslimin Indonesia.
d) Ikut menanamkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air Indonesia
dikalangan umat Islam Indonesia, dengan menggunakan bahasa
Indonesia dalam tabligh-tablighnya, dalam khutbah ataupun
tulisan-tulisannya. Pada saat mana kalau terdengar semboyan
nasionalisme terus dituduh sebagai pembawa fanatisme ashabiyah
atau fanatic golongan. Dan untuk menghadapi reaksi tersebut
dikumandangkan semboyan: Hubbul wathan minal iman = cinta
tanah air adalah satu cabang keimanan.
e) Pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia pernah seluruh bangsa
Indonesia diperintahkan untuk menyembah dewa matahari, tuhan
bangsa Jepang. Tak terkecuali Muhammadiyah pun diperintah
untuk na sei-kerei melakukan sei-kerei, membungkuk tanda hormat
kepada Tenno Heika, tiap-tiap pagi sesaat matahari sedang terbit.
Tentu saja perintah Dai Nippon tersebut ditolak oleh
Muhammadiyah, karei tak lain dari perbuatan syirik, yaitu
menyekutkan Tuhan, Allah.
f) Ikut aktif dalam keanggotaan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia)
dan menyokong sepenuhnya tuntunan Gabungan politik Indonesia
(GAPI) agar Indonesia mempunyai parlemen di zaman penjajahan.
Begitu pula pada kegiatan Islam International, seperti Konferensi
Islam Asia Afrika, dan Muktamar Masjid sedunia, Muhammadiyah
aktif mengambil bagian di dalamnya.
g) Pada saat partai politik yang bisa menyalurkan cita-cita perjuangan
Muhammadiyah tidak ada, dan dalam keadaan yang memaksa
sekali Muhammadiyah tampil sebagai gerakan dakwah Islam amar
makruf nahi munkar yang sekaligus mempunyai fungsi politik riil.
Pada saat itu, tahun 1966/ 1967, Muhammadiyah dikenal sebagai
ormaspol yaitu organisasi kemasyarakatan yang juga berfungsi
sebagai partai politik.
48
2. Perkembangan Muhammadiyah
Secara garis besar perkembangan Muhammadiyah dapat dibedakan
menjadi:
a. Perkembangan secara vertikal
Yaitu perkembangan dan perluasan gerakan Muhammadiyah ke seluruh
penjuru tanah air, berupa berdirinya wilayah-wilayah di tiap-tiap provinsi,
daerah-daerah di tiap kabupaten/ kotamadya, cabang-cabang dan ranting-
ranting serta jumlah anggota yang bertebaran dimana-mana.
b. Perkembangan secara horizontal
Yaitu perkembangan dan perluasan amal usaha Muhammadiyah , yang
meliputi berbagai bidang kehidupan berupa majelis-majelis dan badan-
badan.
Disamping majellis dan lembaga, terdapat organisasi otonom yaitu
organisasi yang bernaung di bawah organisasi induk, dengan masih tetap
memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam
Persyarikatan Muhammadiyah, organisasi ortonom ada beberapa buah yaitu
1) ‘Aisyiyah
2) Nasyiatul ‘Aisyiyah
3) Pemuda Muhammadiyah
4) Ikatan Remaja Muhammadiyah (IMR)
5) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
6) Tapak Suci Putra Muhammadiyah
7) Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan.
Organisasi otonom di atas selain ‘Aisyiyah itu termasuk Angkatan
Muda Muhammadiyah (AMM), dimana keenam organisasi otonom ini
berkewajiban mengemban fungsi sebagai pelopor, pelangsung dan
penyempurna amal usaha Muhammadiyah.
3. Periodisasi Kepemimpinan Muhammadiyah
a. Periode KH. Ahmad Dahlan (1912-1923)
49
Pada saat ini merupakan masa-masa perintisan, pembentukan jiwa dan
amal usaha serta organisasi, sehingga Muhammadiyah menduduki tempat
terhormat sebagai gerakan Islam di Indonesia yang berfaham modern.
1) Kondisi sosial, politik, ekonomi ada masa itu
a) Kehidupan keberagamaan memprihatinkan, dala kepercayaan
tercampur khurafat, dalam beribadat banyak tercampur bid’ah,
pemahaman agama sempit, pola pikirnya taklid.
b) Pendidikan terbelakang, anak-anak yang dapat memasuki sekolah
hanyalah anak-anak para bangsawan dan orang-orang berpangkat.
c) Anak-anak muda kurang mendapat perhatian.
d) Perekonomian lemah, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
terjajah.
e) Kegiatan Nasranisasi sangat menonjol, kegiatan dakwah sangat
lemah, umat Islam menjadi umat kelas bawah.
2) Usaha-usaha KHA. Dahlan
a) Peningkatan kualitas keislaman bangsa Indonesia dengan
menyelenggarakan berbagai pengajian untuk pemuda, wanita,
calon-calon guru dan sebagainya.
b) Peningkatan pendidikan dengan mendirikan bermacam-macam
sekolah seperti SD (Standard school), Madrasah Muallimin,
Muallimat, sekolah guru (Normal School), dan sebagainya.
c) Peningkatan martabat kaum wanita dengan mengadakan berbagai
macam pengajian seperti pengajian Wal’Asri. Kursus-kursus
keterampilan, berpidato serta mengorganisasi dalam perkumpulan
Aisyiyah.
d) Persatuan umat Islam Indonesia dengan mengadakan silaturahmi
dengan para pemimpin Islam, dan lain-lain.
e) Membentuk organisasi dengan mendirikan persyarikatan
Muhammadiyah.
f) Mendirikan kepanduan ‘Hizbul Wathan’.
50
g) Menerbitkan majalah ‘Sworo Muhammadiyah’ untuk
menyebarluaskan cita-cita dan gagasan Muhammadiyah.
h) Menggerakkan tabligh Islam, meningkatkan harkat dan martabat
umat Islam.
i) Membantu fakir miskin dengan memelihara dan menyantuni
mereka.
j) Menganjurkan hidup sederhana, terutama dalam
menyelenggarakan pesta perkawinan (walimatul ‘ursy).
b. Periode KH. Ibrahim (1923-1932)
Dalam masa ini muhammadiyah semakin berkembang meluas sampai ke
daerah luar jawa. Selain itu terbentuk pula Majlis Tarjih yang menghimpun
para ulama Muhammadiyah untuk mengadakan penelitian dan
pengembangan hukum-hukum agama. Beberapa kegiatan yang menonjol
antara lain:
1) Tahun 1924 mengadakan “Fonds-Dachlan”, yang bertujuan untuk
membiayai anak-anak miskin.
2) Mengadakan Badan Perbaikan Perkawinan untuk menjodohkan putra-
putri Muhammadiyah.
3) Menyebarluaskan Muhammadiyah ke luar jawa.
4) Mengadakan khitanan masal tahun 1925.
5) Konggres ke XV di Surabaya 1926, antara lain diputuskan:
a) Sholat hari raya di tanah lapang dimana ada ranting
Muhammadiyah.
b) Pemakaian tahun Islam dalam catat-mencatat (maksudnya dalam
surat-menyurat, notulen, dan lain-lain)
6) Persoalan politik muncul dalam konggres XVI di pekalongan tahun
1927, isinya:
1) Muhammadiyah wajib mengadakan Majlis Tarjih, Tanfidz dan
taftisyi.
2) Muhammadiyah tidak bergerak di bidang politik, tapi memperbaiki
budi pekerti dan akhlak.
51
3) Muhammadiyah tidak melarang orang yang akan berpolitik.
7) Tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah Muhammadiyah
(Muallimin, Muallimat, Tabligh School, Normal School) ke seluruh
pelosok tanah air yang kemudian dikenal dengan ‘anak panah’
Muhammadiyah. Diantara mereka yang dikirim adalah Hamka tahun
1928 ke Makasar, R. Z. Fanani tahun 1929 ke Pagar Alam Sumatera
Selatan, Badilah Zuber tahun 1930 ke Bengkulu, A. R. Fakhrudin 1935
ke Talang Balai Tanjung Raja Palembang, Djarnawi Hadikusumo 1939
ke Merbau Medan.
8) Konggres ke XVII 1928 (Kongres Agung), untuk pertama kalinya
diadakan pemilihan Hoofd Bestuur Muhammadiyah.
9) Konggres ke XVIII di Solo 1929, Muhammadiyah mendirikan
Uitgeefster My yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah
Muhammadiyah yang berada di bawah Majlis Taman Pustaka. Pada
saat itu erjadi penurunan gambar KHA. Dahlan, karena pada saat itu
ada gejala mengkultuskan beliau.
10) Konggres XIX di Minangkabau 1930 muncul istilah ‘Consul Hofd
Bestuur Muhammadiyah’ (sekarang ketua PMW).
11) Konggres XX memakai makromah (sekarang semacam jilbab).
12) Konggres ke XXI di Makassar 1932 antara lain supaya memutuskan
Muhammadiyah menerbitkan surat kabar harian (Dagblad), untuk
pelaksanaannya diserahkan pada Muhammadiyah cabang Solo. Harian
ini dinamakan Adil dan sekarang berubah menjadi tabloid mingguan
Adil.
c. Periode KH. Hisyam (1932-1936)
1) Konggres ke XXIII 1934 antara lain memutuskan pergantian nama-
nama Belanda menjadi nama-nama Indonesia. Misalnya, Kweekschool
mejadi Madrasah Muallimin, Kweekschool Istri menjadi Madrasah
Muallimat, Normaschool menjadi sekolah guru dan sebagainya.
2) Konggres ke XXIV 1935antara lain memutuskan membentuk Majlis
Pimpinan Perekonomian untuk memperbaiki perekonomian anggota.
52
3) Konggres seperempat abad di Jakarta tahun 1936, antara lain:
a) Memutuskan berdirinya sekolah tinggi
b) Berdirinya Majlis Pertolongan dan Kesehatan Muhammadiyah
(MPKPM) untuk memperhatikan pertolongan dan kesehatan pada
seluruh cabang dan ranting.
d. Periode KH. Mas Mansur (1936-1942)
Langkah dua belas yang disusun untuk menggerakkan kembali
Muhammadiyah agar lebih dinamis dan berbobot, yaitu:
1) Mem[perdaam masuknya iman.
2) Memperluas faham agama.
3) Memperluas budi pekerti
4) Menuntun amal intiqad (mawas diri)
5) Menguatkan keadilan
6) Menegakkan persatuan
7) Melakukan kebijaksanaan
8) Manguatkan majelis tanwir
9) Mengadakan konferensi bagian
10) Mempermusyawarahkan gerakan luar.
Kondisi sosial politik pada masa itu mulai tidak stabil karena pengaruh
Perang Dunia ke II. Keputusan dan langkah penting yang diambil pada masa
jabatan beliau adalah:
1) Membentuk komisi perjalanan haji yang terdiri dari HM. Suja’, H.
Abdul Kahar Muzakir dan R. Sutomo.
2) Konggres XXVI di Yogyakarta 1937 antara lain memutuskan agar
Muhammadiyah aktif memperbaiki perekonomian bumi putra dengan
membentuk Bank muhammadiyah.
3) Menentang ordonansi pencatatan perkawinan oleh pemerintah colonial
Belanda.
4) Konggres XXVIII di Malang 1938, menentang ordonansi guru.
5) Konggres XXVIII di Medan 1939, menentang ordonansi sidang,
mengganti istilah Hindia Belanda dengan Indonesia.
53
6) Tahun 1941 terjadi perang pasifik (PD II). Indonesia dikuasai Jepang.
Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah memutuskan:
a) A R. sutan Mansur koordinatorKonsul Muhammadiyah untuk
wilayah Sumatra
b) GM. Hasan Tjorong untuk wilayah Kalimantan.
c) D. Muntu untuk wilayah Suawesi.
7) Konggres XXIX di purwokerto 1941 gagal karena keadaan darurat.
8) Meskipun dalam masa sulit pada masa itu sempat dikeluarkan ‘Franco
amal’ dengan tujuan penghimpunan dana bagi kaum dhu’afa.
9) Pada masa jabatan KH. Mas Mansur ini juga ditetapkan khittah yang
dikenal dengan langkah dua belas.
e. Periode Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953)
Dalam periode ini tersusun Muqaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah. Di dalamnya terumuskan secara singkat dan pada gagasan
dan pokok-pokok pikiran KH. Ahmad Dahlan yang akhirnya melahirkan
Muhammadiyah. Dengan tersusunnya Muqaddimah tersebut, Muhammadiyah
memiliki dasar berpijak yang kuat dalam melancarkan amal usaha dan
perjuangannya.
Kondisi sosial politik pada masa jabatan Ki Bagus Hadikusumo dalam
suasana transisi dari penjajahan Belanda, usaha-usaha pemerintah Koloni
Belanda untuk menjajah Indonesia kembali. Pada masa ini kehidupan
Muhammadiyah cukup berat. Para pemimpin Muhammadiyah banyak terlibat
dalam perjuangan, sementara ditingkat bawah hampir seluruh angkatan muda
Muhammadiyah terjun dalam kancah revolusi dalam berbagai laskar
kerakyatan. Meskipun demikian Muhammadiyah masih dapat melaksanakan
berbagai kegiatan keorganisasian antara lain:
1) Tahun1944 mengadakan muktamar darurat di Yogyakarta.
2) Tahun 1946 mengadakan silaturahmi cabang-cabang se jawa.
3) Tahun 1950 mengadakan sidang tanwir perwakilan, antara lain
memutuskan:
54
a) Anggota Muhammadiyah boleh masuk partai politik yang tidak
berideologi Islam, asal tidak merugikan perjuangan Islam. Kalau
merugikan perjuangan Islam ditarik.
b) Anggota Muhammadiyah diperbolehkan memasuki DPR atas nama
Muhammadiyah.
4) Tahun 1951, sidang Tanwir di Yogyakarta, antara lain memutuskan:
a) Muhammadiyah tidak akan berubah menjadi partai politik. Sekali
Muhammadiyah tetap Muhammadiyah.
b) Menetapkan batas-batas otonomi Aisyiyah.
5) Tahun 1952, sidang Tanwir di Bandung, antara lain memutuskan:
a) Mempertahankan keanggotaan istimewa daam partai Masyumi.
b) Perlu ada peremajaan Muhammadiyah.
6) Tahun 1953, sidang Tanwir di Solo antara lain memutuskan:
Muhammadiyah hanya boleh memasuki partai yang berdasarkan Islam.
f. Periode A. R. Sutan Mansyur(1952-1959)
Secara kebetulan, bahwa Muhammadiyah memiliki dua pemimpin yang
sama-sama hebat ialah Mansur di timur aitu Mas Mansur dan Mansur di
barat, tak lain Sutan Mansur. Keduanya memiliki jiwa tauhid yang kokoh.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila periode ini ruh tauhid ditanamkan
kembali. Perjuangan pada masa ini dikenal dengan nama Khittah Palembang,
yang memuat:
1) Menjiwai pribadi anggota dengan iman, ibadah, akhlak, dan ilmu
pengetahuan.
2) Melaksanakan uswatun khasanah (contoh teladan yang baik)
3) Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi.
4) Memperbanyak dan mempertingi mutu amal.
5) Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader.
6) Mempererat ukhuwah antara kaum muslimin.
7) Menuntun penghidupan anggota.
Beberapa keputusan penting yang diambil pada masa beliau antara lain:
55
a. Tahun 1955, siding Tanwir di pekajangan antara lain membicarakan
pokok-pokok konsepsi Negara Islam.
b. Tahun 1956, siding Tanwir di Yogyakarta antara lain memutuskan:
1) Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Muhammadiyah bergerak
dalam bidang kemasyarakatan. Masalah-masalah politik diserahkan
pada partai Masyumi.
2) Anggota-anggota Muhammadiyah yang akan aktif di bidang politik
dianjurkan masuk dalam partai politik Islam.
3) Disepakati bersama oleh PP Muhammadiyah dengan DPP
Masyumi, bahwa keanggotaan istimewa tidak wajar dan secara
perlahan tidak menggoncangkan dihapus.
4) Perlu dipelihara hubungan baik antara Muhammadiyah dengan
Masyumi.
5) Pada Muktamar Muhammadiyah ke XXXIII di Palembang 1956 ini
juga diputuskan khittah Palembang.
g. Periode H. M. yunus anis (1959-1968)
Dalam periode ini kebetulan Negara Indonesia sedang berada dalam
kegoncangan sosial dan politik, sehingga langsung atau tidak langsung
mempengaruhi gerak perjuangan Muhammadiyah. Dalam rangka mengatasi
berbagai kesulitan, akhirnya mampu merumuskan suatu pedoman penting
berupa Kepribadian Muhammadiyah. Dengan Kepribadian Muhammadiyah
bisa menempatkan kembali kedudukannya sebagai gerakan dakwah Islam
amar makruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan.
h. Periode KH. Ahmad Badawi (1962-1968)
Kesulitan yang dhadapi Muhammadiyah belum habis, terutama
disebabkan oleh kegiatan Partai Komunis Indonesia yang semakin keras dan
berani, sehingga di beberapa tempat Muhammadiyah mengalami kesulitan.
Dimana-mana seluruh kekuatan rakyat Indonesia sibuk mengikuti gerak
revolusi yang tidak menentu dibawah kekuasaan tunggal Soekarno, yang
akhirnya disusul dengan kup komunis pada tahun 1965. Pada saat itu seluruh
lapisan Orde Baru, termasuk di dalamnya Muhammadiyah ikut tampil
56
memberantas komunis beserta segenap kekuatannya. Dengan tandas KH.
Ahmad Badawi berfatwa: “Membubarkan PKI adalah ibadah”. Dan dengan
prestasi yang ditujukan Muhammadiyah dalam membangun Orde Baru
akhirnya Muhammadiyah mendapat pengakuan sebagai organisasi sosial yang
mempunyai fungsi politik riil. Artinya Muhammadiyah secara resmi
memasuki lembaga-lembaga politik kenegaraan, baik dalam lembaga
legislative maupun eksekutif.
i. Periode KH. Fakih Usman/ H.A.R. Fakhrudin (1968-1971)
Tidak beberapa lama setelah Fakih Usman menjabat sebagai ketua
pimpinan pusat Muhammadiyah, beliau kemudian dipanggil kehadirat Allah
SWT. Kemudia H. Abdurrazak Fakhruddin ditetapkan sebagai pengganti
beliau. Pada periode ini lebih menonjol usaha “memuhammadiyahkan
kembali Muhammadiyah”, yaitu usaha untuk mengadakan pembaharuan pada
diri dan dalam muhammadiyah iu sendri. Baik pembaharuan (tajdid) dalam
bidang ideologinya, dengan merumuskan “Matan Keyakinan dan Cita-cita
Hidup Muhammadiyah”, maupun dalam bidang organisasi dan usaha
perjuangan dengan menyusun “Khittah Perjuangan” dan bidang-bidang
lainnya.
Adapun Khittah Perjuangan yang disahkan dalam sidang Tanwir di
Ponorogo pada tahun 1989, adalah sebagai berikut:
Kittah Perjuangan Muhammadiyah
1) Pola Dasar Perjuangan
a) Muhamadiyah berjuang untuk mencapai/ mewujudkan suatu cita-cita
dan keyakinan hidup yang bersumber pada ajaran Islam.
b) Dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar dalam arti dan proporsi
yang sebenarnya sebagaimana yang dituntunkan oleh Muhammad
Rasulullah SAW adalah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita
dan keyakinan hidup tersebut.
c) Dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar seperti dimaksud harus
melalui dua saluran/ bidang secara simultan:
Saluran politik kenegaraan (politik praktis)
57
Saluran Masyarakat
d) Untuk melaksanakan perjuangan Dakwah Islam dan amar makruf nahi
munkar seperti yang dimaksud di atas, dibuat alanya masing-masing
yang berupa organisasi:
Untuk saluran/ bidang politik kenegaraan (politik) praktis dengan
organisasi politik (partai).
Untuk saluran/ bidang masyarakat dengan organisasi non partai.
e) Muhammadiyah sebagai organisasi memilih dan menempatkan diri
sebagai “gerakan Islam amar makruf nahi munkar dalam bidang
masyarakat”. Sedang untuk alat perjuangan dalam bidang kenegaraan
(politik praktis), Muhammadiyah menyerahkan kepada partai di luar
organisasi Muhammadiyah.
f) Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut adalah
merupakan sasaran amar makruf nahi munkar.
g) Antara Muhammadiyah dan partai tidak ada hubungan organisatoris
tetapi tetap mempunyai hubungan kemasyarakatan.
h) Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri-sendiri menurut caranya
sendiri-sendiri.
i) Pada prinsipnya tidak dibenarkan ada perangkapan jabatan, terutama
jabatan pimpinan antara keduanya demi tertibnya pembagian pekerjaan
(spesialisasi).
2) Program Dasar Perjuangan
Dengan Dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar dalam arti dan
proporsi yang sebenar-benarnya, muhammadiyah harus dapat
membuktikan secara teoritis konsepsional, secara operasional dan secara
konkret riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam
negara Republik Indonesia yang ber-Pancasila dan UUD 1945 menjadi
masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia material dan
spiritual yang di ridhai Allah SWT.
j. Periode KH. Abdur Razak Fakhruddin (1971-1990)
58
Pada periode ini usaha untuk meningkatkan persyarikatan selalu
diusahakan, baik kualitas organisasi maupun kualitas operasionalnya.
Peningkatan kualitas organisasi meliputi tajdid di bidang Keyakinan dan Cita-
cita Hidup serta Khittah dan Tajdid organisasi.sedang peningkatan kualitas
operasionalnya meliputi intensifikasi pelaksanaan program jama’ah dan
dakwah jama’ah serta pemurnian amal usaha Muhammadiyah.
Beliau ditetapkan sebagai pejabat dalam Tanwir Ponorogo tahun 1969.
Beliau dipilih sebagai ketua dalam muktamar ke 38 tahun 1971 di
Ujungpandang, ke 40 tahun 1978 di Surabaya dan ke 41 tahun 1985 di
Surakarta.
Pada masa jabatan beliau ada masa krisis yaitu keharusan untuk
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya azas. Pada masa jabatan beliau
juga terjadi peristiwa penting yaitu kunjungan Paus Yohanes Paulus II dan
sebagai reaksi terhadap kunjungan itu beliau mengeluarkan buku
‘Mangayubagya Sugeng Rawuh lan Sugeng Kondur’, yang isinya bahwa
Indonesia adalah Negara yang penduduknya sudah beragama Islam jadi
jangan menjadikan rakyat sebagai obyek Kristenisasi.
Pada masa jabatan beliau ada beberapa keputusan penting yang diambil
dan hasil-hasil penting dalam penataan organisasi antara lain:
1) Khittah Muhammadiyah, yang dikenal dengan Khittah Ponorogo yang
kemudian dikuatkan dan disempurnakan dalam muktamar ke 40 di
Surabaya.
2) Melakukan pendekatan dengan pemerintah Soeharto (atas saran
Jenderal Sarbini).
3) Ikut membidani kelahiran partai Muslimin Indonesia.
4) Perubahan Anggaran Dasar Muhammadiyah dengan menetapkan
Pancasila sebagai asas organisasi.
5) Tersusunnys konsep-konsep dakwah oleh PMM Majlis Tabligh beserta
beberapa tuntunan praktisnya.
6) Tersusunnya konsep kaderisasi dan pedoman praktisnya oleh Badan
Pendidikan Kader (BPK).
59
7) Tersusunnya berbagai pedoman pendidikan oleh Majlis Pendidikan
Dasar dan Menengah.
8) Terkonsolidasinya berbagai Majlis-majlis yang lain.
k. Periode KH. A. Azhar Basyir, MA (1990-1995)
Pada periode KH. A. Azhar Basyir MA telah dirumuskan:
1) Program Persyarikatan Muhammadiyah jangka panjang (25 tahun) yang
meliputi:
a) Bidang Konsolidasi Gerakan
b) Bidang Pengkajian dan Pengembangan
c) Bidang Kemasyarakatan
2) Program Muhammadiyah (1990-1995)
a) Bidang Konsolidasi Gerakan, meliputi:
Konsolidasi Organisasi
Kaderisasi dan Pembinan AMM
Bimbingan Keagamaan
Peningkatan Hubungan dan Kerjasama
b) Bidang Pengkajian dan Pengembangan, meliputi:
Pengkajian dan Pengembangan Pemikiran Islam
Penelitian dan Pengembangan
Pusat Informasi, Kepustakaan, dan Penerbitan.
c) Bidang Dakwah, Pendidikan dan Pembinaan Kesejahteraan Umat,
meliputi:
Keyakinan Islam
Pendidikan
Kesehatan
Sosial dan Pengembangan Masyarakat
Kebudayaan
Partisipasi Politik
Ekonomi dan Kewiraswastaan
Pengembangan Generasi Muda
Pembinaan Keluarga
60
Pengembangan Peranan Wanita
Lingkungan Hidup
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
l. Periode Prof. DR. H.M. Amien Rais/ Prof. DR. H.A. Syafii Maarif (1955-
2000)
Pada periode Prof. Dr. H.M. Amien Rais, telah dirumuskan program
Muhammadiyah tahun 1995-2000, dengan mengacu kepada:
1) Masalah Global
2) Masalah Dunia Islam
3) Masalah Nasional
4) Permasalahan Muhammadiyah
5) Pengembangan Pemikiran, yang terdiri atas:
6) Pemikiran keagamaan
a) Ilmu dan Teknologi
b) Pengembangan basis ekonomi
c) Gerakan sosial kemasyarakatan
d) PTM sebagai basis gerakan keilmuan/ pemikiran
Berdasarkan hal-hal di atas, telah dirumuskan program Muhammadiyah
tahun 1995-2000 sebagai berikut:
1) Tujuan Program
Peningkatan Konsolidasi pergerakan dan peningkatan kualitas gerakan
dakwah dalam era industrialisasi dan globalisasi dengan memperluas
sasaran dan sarana dakwah.
2) Arah Program
Program Muhammadiyah periode 1995-2000 diarahkan pada empat hal
sebagai berikut:
a) Pengembangan pemikiran dan wawasan
b) Peningkatan kualitas sumber daya manusia
c) Peningkatan kualitas dan pengembangan amal usaha sebagai sarana
dakwah.
d) Perluasan sarana dakwah
61
3) Jenis Program
Dengan merujuk pada berbagai pokok pikiran dlam muktamar
Muhammadiyah ke 43, program Muhammadiyah periode 1995-2000
disusun menurut empat bidang utama sebagai berikut:
a) Pemgembangan manajemen Muhammadiyah
b) Pendidikan, perkaderan, dan pengembangan sumber daya manusia.
c) Dakwah pengembangan masyarakat, pembinaan kesejateraan sosial
dan ekonomi.
d) Peningkatan dana Muhammadiyah.
Pada periode ini terjadi pergantian ketua pimpinan pusat Muhmmadiyah
dari Prof. Dr. H.M. Amien Rais kepada Prof. Dr. H.A. Syafii Maarif.
Pergantian ini bermula adanya keputusan sidang Tanwir Muhammadiyah di
Semarang pada tahun 1998 agar PP. Muhammadiyah melakukan ijtihad
politik.
Dalam perkembangannya yang sangat cepat, beberapa saat sebelum PP
Muhammadiyah melakukan ijtihadnya, DR. Amien Rais bersama beberapa
temannya melakukan langkah membentuk sebuah partai yang bersifat
terbuka (inklusif), yang diberinama Partai Amanat Nasional (PAN). Partai
ini terbuka bagi siapapun tanpa memandang agama yang dipeluknya, yang
berarti bahwa baik orang Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Kong Hu
Cu dan sebagainya dapat diterima menjadi anggota. Dan untuk pertama
kalinya Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PAN dijabat oleh DR. H.M.
Amien Rais.
Dengan diangkatnya DR Amin Rais sebagai Ketua Umum DPP PAN,
dan demi untuk dapat berkonsentrasi pada partai yang baru saja
didirikannya, serta agar tidak menimbulkan image bahwa PAN adalah
identik dan serumpun dengan Muhammadiyah, maka akhirnya Prof. Dr.
H.M. Amien Rais melepas jabatannya selaku Ketua PP. Muhammadiyah.
Pengunduran diri DR. Amien Rais dari jabatan Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, maka Prof. DR. Syafii Maarif yang sebelumnya
62
telah menjadi salah satu dari ketua PP Muhammadiyah ditetapkan sebagai
Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1995-2000.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Faktor-faktor Pemicu Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia
a. Faktor Subyektif : faktor yang sangat kuat, bahkan dapat dikatakan
sebagai factor utama berdirinya Muhammadiyah
b. Faktor Obyektif :
Faktor internal, yaitu faktor penyebab yang muncul ditengah-tengah
kehidupan masyarakat Islam Indonesia dan sebagiannya dapat
dikelompokkan.
Faktor eksternal yaitu faktor penyebab yang ada di luar tubuh
masyarakat Islam Indonesia.
2. Respon Atas Perkembangan Modernisasi Islam
Muhamamdiyah yang juga nmerupakan sebab pula bagi Persis, gerakan
di Minangkabau dan di Majalengka adalah tidak adanya pelajaran agama di
sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah. Apa yang disebut netral
terhadap agama di sekolah-sekolah pemerintah (suatu hal yang merupakan
kebijakan pemerintah) akan menyeabkan murid-murid tidak tahu tentang
agama dan kepercayaan.
3. Corak Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia
Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar
kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia.
a. Perjuangan Kemerdekaan Umat Islam
Masa Kolonial Beanda
Aliran yang terlibat dalam konflik idelogis yang cukup keras.
Namun, PKI hanya terlibat dalam waktu yang sangat singkat, karena
pemberontakannya di Jawa Barat (1926) dan di Sumatra Barat (1927)
63
menyebabkan pemerintahan Belanda menyatakan sebagai partai
terlarang dan mengasingkan tokoh-tokohnya ke Digul.
Golongan nasionalis “netral agama” pernah menuduh Islam sebagai
pembawa perpecahan. H. Agus Salim dituduh menjerumuskan SI
menjadi partai pendeta yang mencecerkan kepentingan sosial dan
ekonomi rakyat untuk agama. Tuduhan-tuduhan tersebut tentu
mendapat jawaban dari kalangan Islam yang ingin menjelaskan duduk
perkara yang sebenar-benarnya.
Masa Pendudukan Jepang
Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dengan mengeluarkan
maklumat Gunseikan no.23/29 April 1945, tentang pembentukan
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Setelah itu, dialog resmi ideologis antar dua golongan
terjadi dengan terbuka dalam suatu forum. Panitia Sembilan.
Kompromi ini dikenal dengan Piagam Jakarta.
b. Organisasi Politik dan Organisasi Sosial Islam dalam Suasana Indonesia
Merdeka
Masa Revolusi dan Demokrasi Liberal
Penghapusan tujuh kata-kata dari Piagam Jakarta itu sama sekali tidak
mengakhiri konflik ideology yang telah berlangsung lama pada masa
belum sebelum kemerdekaan.
Umat islam memang gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
dari agresi Belanda yang datang dengan bantuan tentarasekutu
kembali untuk menjajah Indonesia.
Masa Demokrasi Terpimpin
Masa Demokrasi Terpimpin itu berakhir dengan gagalnya Gerakan 30
September PKI Tahun 1965, Umat Islam bersama ABRI dan golongan
lainya bekerjasama menumpas gerakan itu.
Masa Orde Baru
Orde Baru memang sejak semula mencanangkan pembaruan sistem
politik. Pada tanggal 26 November 1966, dengan sebuah amanat dari
64
presiden, disampaikan kepada DPRGR : RUU kepartaian, RUU
Pemilu dan RUU Susunan MPR, DPR dan DPRD.
Kebangkitan Islam di Masa Orde Baru
Banyak kalangan yang melontarkan suara-suara kontra. Sangat wajar
kalau suara kontra itu banyak yang berasal dari umat Islam. Karena
pada saat gagasan itu dilontarkan, sub-sub ideologi yang pernah ada di
Indonesia sudah “terkena” gagasan itu.
4. Awal Kelahiran Muhammadiyah
Sebagai usaha untuk menegakkan aqidah islam yang murni serta
mengamalkan ibadah yang sesuai dengan tuntunan nabi Muhammad, masih
banyak lagi usaha di bidang keagamaan, pendidikan, kemasyarakatan, dan
politik yang telah dan sedang dilaksanakan Muhammadiyah.
Salah satu penyebab didirikan Muhammadiyah ialah karena lembaga-
lembaga pendidikan di Indonesia sudh tidak memenuhi lagi kebutuhan dan
tuntunan zaman. Muhammadiyah adalah suatu gerakan islam yang mempunyai
tugas dakwah islam dan amar makruf nahi munkar dalam bidang
kemasyarakatan. Perkembangan Muhammadiyah, meliputi perkembangan
secara vertikal dan perkembangan secara horizontal.
Periodisasi Kepemimpinan Muhammadiyah :
a. Periode KH. Ahmad Dahlan (1912-1923)
b. Periode KH. Ibrahim (1923-1932)
c. Periode KH. Hisyam (1932-1936)
d. Periode KH. Mas Mansur (1936-1942)
e. Periode Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953)
f. Periode A. R. Sutan Mansyur(1952-1959)
g. Periode H. M. yunus anis (1959-1968)
h. Periode KH. Ahmad Badawi (1962-1968)
i. Periode KH. Fakih Usman/ H.A.R. Fakhrudin (1968-1971)
j. Periode KH. Abdul Razak Fakhruddin (1971-1990)
k. Periode KH. A. Azhar Bayir, MA (1990-1995)
65
l. Periode Prof. DR. H.M. Amien Rais/ Prof. DR. H.A. Syafii Maarif (1955-
2000)
B. Saran
Sebagai pemeluk agama Islam, kita harus dapat memahami modernisasi
Islam, modernisasi ini penting dengan adanya modernisasi ini Islam lebih
berkembang sehingga masyarakat Islam tidak ketinggalan zaman.
66
DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : LAIK-Rajawali Pers.
Mustafa Kamal Pasya. 2002. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam.
Yogyakarta : LPPI UMY.
Deliar Noor. 1979. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta : PT Pusaka
LP3ES
Taufik Abdullah & Nur Cholis Majid, dkk. Jalan Baru Islam. Bandung : Mizan.
67