we start with the imperfection.pdf

197
WE START WITH THE IMPERFECTION By : Shunou Haruno Shinji menghela napas panjang dan berat, merasa separuh usianya melayang dan lenyap begitu saja ke udara. Kalau terus begini, Shinji jadi tidak yakin dia bisa hidup sampai tua. Usianya baru tujuh belas lewat beberapa bulan, tetapi dia lebih sering merasa setua kakeknya (itupun kalau dia bisa berkata punya satu). Tujuh belas dibanding sedikit melewati batas enam puluh. Dekat. Cukup dekat. Lebih-lebih kalau pendekat utamanya tak lain dan tak bukan adalah adik kecilnya yang sekali waktu manis, tetapi di banyak waktu lain lebih sering menjengkelkan dan menyebalkan. Tunggu, bukannya dua hal itu sama saja? Sayangnya bagi Shinji ungkapan menjengkelkan atau menyebalkan tidak cukup untuk mewakili. Shinji perlu memakai frasa menjengkelkan dan menyebalkan karena ketika adiknya mulai bersikap menjengkelkan, dia akan jadi sangat menyebalkan. Tidak begitu masuk logika, tetapi Shinji menolak memikirkannya sekarang. Ada hal penting yang perlu dia pikirkan baik-baik karena keadaannya sangat mendesak. Apalagi kalau bukan karena tingkah sang adik, Haruno Mahiro yang mulai memasang wajah mirip induk yang sedang sibuk bertelur sambil

Upload: kiritani-candela

Post on 02-Dec-2015

37 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

WE START WITH THE

IMPERFECTION

By : Shunou

Haruno Shinji menghela napas panjang dan berat, merasa separuh

usianya melayang dan lenyap begitu saja ke udara. Kalau terus begini,

Shinji jadi tidak yakin dia bisa hidup sampai tua. Usianya baru tujuh

belas lewat beberapa bulan, tetapi dia lebih sering merasa setua

kakeknya (itupun kalau dia bisa berkata punya satu). Tujuh belas

dibanding sedikit melewati batas enam puluh. Dekat. Cukup dekat.

Lebih-lebih kalau pendekat utamanya tak lain dan tak bukan adalah

adik kecilnya yang sekali waktu manis, tetapi di banyak waktu lain

lebih sering menjengkelkan dan menyebalkan.

Tunggu, bukannya dua hal itu sama saja? Sayangnya bagi Shinji

ungkapan menjengkelkan atau menyebalkan tidak cukup untuk

mewakili. Shinji perlu memakai frasa

menjengkelkan dan menyebalkan karena ketika adiknya mulai

bersikap menjengkelkan, dia akan jadi sangat menyebalkan. Tidak

begitu masuk logika, tetapi Shinji menolak memikirkannya sekarang.

Ada hal penting yang perlu dia pikirkan baik-baik karena keadaannya

sangat mendesak.

Apalagi kalau bukan karena tingkah sang adik, Haruno Mahiro yang

mulai memasang wajah mirip induk yang sedang sibuk bertelur sambil

Page 2: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

mengeluarkan aura mengancamnya. Kalau sudah begini, yang kena

imbasnya tak lain dan tak bukan adalah sang kakak. Beruntung bagi

Mahiro karena sang kakak masih sayang kepadanya (entah melalui

metode perhitungan yang bagaimana) sehingga Shinji tidak sampai

mencekiknya di tempat. Setidaknya tidak dalam lima menit ke depan.

Tergantung apakah Mahiro masih ngotot bersikap menjengkelkan atau

tidak.

"Mahiro," panggilnya dengan hembusan napas berat. Seingatnya dia

punya adik kembar (yang walaupun bukan kembar identik, tetapi

memiliki wajah luar biasa mirip satu sama lain) yang lahir lima belas

menit sesudahnya dan bukannya adik usia lima tahun yang rewel

merengek minta permen kapas dengan wajah penuh ingus. Keadaan

bandara di sekitar mereka untungnya tidak begitu ramai, kalau tidak

pasti Shinji akan malu sekali.

Haruno Mahiro menatap kakaknya dengan tajam dan ekspresi wajah

keras. "Jangan bicara kepadaku." Suaranya dibuat tajam dan kasar

dengan intonasi nada do-do yang kering.

Lagi-lagi Shinji hanya bisa menghela napas. Di saat-saat seperti ini,

kenapa sang ibu yang merupakan satu-satunya pihak yang bisa

menghentikan Mahiro dan rengekannya justru tidak segera

menunjukkan diri. "Berhenti merajuk begitu." Shinji berkata dengan

suara lelah. Kalau bukan karena gennya yang bagus, barangkali

sekarang Shinji sudah menumbuhkan satu, dua atau lima puluh helai

uban di rambut hitam legamnya. Di beberapa situasi konyol, Shinji

Page 3: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

merasa dia harus berterima kasih kepada sang ayah karena telah

mewariskan gen superiornya. Tidak banyak campur tangan dari pihak

ibunya, kalau enggan disebut tidak ada sama sekali.

"Aku tidak merajuk!" Mahiro membentak. Mata hitamnya melebar

dalam upayanya melotot untuk menunjukkan maksud ketegasannya.

Kalau Shinji tidak paham, dia akan heran dari mana sifat pemurung

dan masam itu berasal. Ibunya adalah wanita paling ceria dan paling

murah senyum yang pernah Shinji kenal dan dia sendiri punya sifat

jenaka, jarang bersikap serius. Barangkali dalam kasus pihak keluarga

ayahnya, sifat-sifat trivial semacam itu juga merupakan bawaan—

walaupun sejauh ini Shinji hanya mendapatinya dari sang-seharusnya-

ayah dan kakek.

Di usia mereka yang hampir dewasa ini Shinji tidak lagi heran kalau

sang ibu selalu berkata Mahiro sangat mirip ayah mereka tetapi tidak

pernah mengatakan Shinji mirip ayah. Sewaktu dia masih kecil, Shinji

heran sekali. Sedikit kecewa juga. Pasalnya dari segi wajah dan

postur, Shinji tidak sedikit pun berbeda, bahkan dari model rambutnya

(yang sejak kecil tidak berubah atau tepatnya tidak bisa diubah,

mengingat sifat liar bawaan rambutnya) justru semakin lama semakin

mirip sang ayah. Sekarang Shinji sudah paham dan setuju sekali

dengan ibunya.

Kalau ada satu hal yang tidak Shinji warisi dari pihak ayahnya adalah

air muka serius alami, sifat pemuram dan penyendirinya—jangan

Page 4: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

lupakan juga kecenderungan Shinji yang suka menjadi pusat perhatian

dan sangat menikmatinya, terutama kalau perhatian itu datang dari

lawan jenis. Di setiap hari Valentine dia selalu mendapat lebih banyak

cokelat daripada sang adik. Selain karena Mahiro yang selalu

menakuti para gadis supaya jauh-jauh darinya (Shinji yakin adiknya

itu sebenarnya punya alergi terhadap lawan jenis), Shinji juga

terhitung lebih ramah dan murah senyum—walaupun sebenarnya

senyumnya adalah tipikal senyum pangeran yang membuat para gadis

tidak berada lebih dekat dari dua meter darinya. Meskipun untuk

urusan wanita Shinji dan Mahiro banyak berbeda, satu hal yang pasti

dan mereka sepakati adalah sang ibu menduduki posisi tertinggi,

terdahulu dari wanita mana pun. Shinji juga berharap hal yang sama

juga berlaku bagi sang ayah, entah kapan itu bisa terjadi.

Kembali ke persoalan Haruno Mahiro yang merajuk.

"Kalau begitu, bagaimana kau menyebut tingkahmu sekarang ini yang

kekanakan, cemberut, tidak mau bicara, menolak makan, dan

mengancam putus sekolah? Kau sudah terlalu tua untuk bertingkah

seperti remaja puber yang terombang-ambing karena masalah jati diri,

Adik. Kita sudah sepakat pindah. Ini demi Ibu juga." Shinji balas

menggerutu. "Dari mana sih kau dapat sifat M seperti ini?" tanyanya

setengah berkelakar. Nadanya kering.

Haruno Mahiro, seperti eksprektasi sang kakak, langsung membeliak.

"Kau mau berkelahi, Shinji?"

Page 5: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Shinji memutar mata malas-malasan. Sepertinya hipotesis Shinji yang

menyatakan bahwa otak Mahiro lebih banyak disusun oleh otot dan

bukannya saraf akan segera terbukti benar. Mahiro suka sekali

mengajak berkelahi, dan sepertinya bagi dirinya itu adalah metode

tercepat untuk menuntaskan masalah dan membuang frustasinya yang

menimbun. "Aku sudah lama bertanya-tanya kau itu sebenarnya punya

masalah pendengaran atau memang otakmu yang tidak benar," gerutu

Shinji dengan dengusan.

Sekali lagi Mahiro membeliak dan tampak amat dekat dari kehilangan

kendali motoriknya. Genggaman tangannya sampai memutih. Namun

dengan pertahanan diri absolut terakhirnya, Mahiro mendengus marah

dan akhirnya memilih untuk menempatkan diri di sudut terjauh kursi

tunggu bandara.

Diam-diam si kakak menyeringai geli. Shinji tahu betul apa dan

bagaimana caranya untuk membuat adik satu-satunya geram layaknya

kucing disiram air. Dalam satu tekan, Mahiro bisa meledak-ledak

bagaikan petasan seperti ibu mereka, padahal Mahiro punya

sifat stoic dan impasif ayahnya. Dan sebagai kakak yang merasa telah

memanjakan sang adik terlalu sering, Shinji suka mencari kesenangan

dengan membuat Mahiro marah. Kalau sudah ketahuan ibunya, Shinji

hanya akan berdalih sambil menuduh ibunya yang sudah menurunkan

sifat jahil dan antiknya kepadanya.

"Kalian menunggu lama? Antrian mini marketnya panjang sekali."

Page 6: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Shinji dan Mahiro kompak mengangkat wajah dan menoleh ke sumber

suara, mendapati Haruno Sakura datang dengan peluh dan wajah

bosan. Di tangannya sudah ada kantung plastik berisi belanjaan.

"Aku 'kan sudah bilang biar aku dan Mahiro saja yang beli," Shinji

segera bangkit dari kursinya dan mengambil alih kantung plastik

berisi beberapa keperluan rumah yang tertinggal. Dia lirik isi kantung

putih tersebut dan mendapati tiga sikat gigi, pasta gigi, sabun mandi

cair, dan beberapa makanan ringan kesukaannya dan Mahiro.

Sang ibu mengibaskan rambut merah jambunya yang hanya diikat

sederhana ke balik bahu. "Kau dan Mahiro? Ibu tidak ingin menerima

surat permintaan ganti rugi gara-gara perkelahian kalian." Sang ibu,

Haruno Sakura, memicingkan mata menatap dua putranya secara

bergantian.

Shinji menyeringai, kemudian mengulurkan kantung plastik yang

dipegangnya kepada Mahiro. Di tangannya sendiri sudah ada pocky

cokelat yang separuh jalan hendak dibuka. "Aku atau Mahiro kalau

begitu," koreksinya.

Haruno Sakura menghembuskan napas keras-keras dari mulut,

kemudian memutar bola mata dengan ekspresi yang-benar-saja-nya.

"Mahiro hanya akan membeli barang-barang aneh yang tidak kita

butuhkan," katanya yang dibalas gerutuan protes dari Mahiro, "dan

kau akan menghabiskan setidaknya setengah jam di sana hanya untuk

merayu gadis-gadis cantik."

Page 7: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Mahiro tertawa mengejek. Shinji meringis masam.

"Seseorang perlu bertanggung jawab terhadap wajah ini," gurau Shinji

dengan sarkasme yang sudah bagaikan trademarknya. Kalau ada hal

lain yang perlu orang gunakan untuk membedakan Haruno Shinji

dengan Haruno Mahiro selain sikap flamboyan dan jumlah gadis yang

menguntit, akal jenaka adalah salah satunya. Shinji dan Mahiro lebih

mudah dibedakan ketika mereka bicara. Sang kakak suka bicara

sambil menyelipkan gurauan jenakanya yang padat sarkasme di segala

kesempatan dengan menggunakan suaranya yang lebih halus dan

bernada, membuat lawan bicaranya merasa jengkel bahkan ketika

Shinji bicara dengan bahasanya yang sopan. Sang adik lebih banyak

diam di depan orang lain, tetapi ketika dia bicara dia lebih suka

membuat kalimatnya sesingkat dan sepadat mungkin ala pebisnis

dengan suaranya yang satu nada lebih berat dari kakaknya.

"Huh, itu cuma dalihmu, womanizer," ejek Mahiro dengan suara

rendahnya.

"Ouch." Sang kakak menumpukan beban berat tubuhnya ke sebelah

kaki, kemudian mengulas senyum menggoda kepada adiknya. "Aku

lebih suka istilah philanderer, little brother. Dan tidak sepertimu, aku

hanya mengapresiasi apa yang kupunya," balasnya tenang.

"Cih. Kau bangga dengan pria seperti itu?" sentak Mahiro dengan

nada suara mulai meningkat.

Page 8: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Kau benar-benar harus menghentikan kebiasaan membolak-balik

kata-kataku. Aku tidak pernah bilang begitu. Aku bilang aku

menghargai apa yang kupunya. Kau juga harus cepat-cepat berhenti

menyangkal, Adik," balas Shinji dengan nada suaranya yang tajam.

Nada jahil dan main-mainnya hilang, digantikan suara tegas dan

ekspresi keras yang jarang ditampakkan. Kalau sudah memasang

ekspresi seperti itu orang yang pintar akan segera mundur, tetapi

bagaimana pun juga Mahiro memang tetap Mahiro.

"Kau kira aku tidak tahu? Kau menyetujui rencana kepindahan ini

karena kau ingin bertemu dengannya 'kan? Kau ingin kita punya

keluarga utuh! Kau menginginkannya menjadi ayahmu!" Mahiro

menuding dengan telunjuknya dan kini sudah berdiri dari bangkunya

dan sepenuhnya menantang Shinji.

Haruno Shinji jarang tersulut emosi, tetapi ketika dia marah dia juga

bisa berubah layaknya petasan yang tidak akan berhenti terbakar

sampai sumbunya habis tersulut. Otot-otot lehernya membesar dan

kepalan tangannya berubah putih karena usahanya menahan diri. Dia

sangat tidak ingin membuat adegan di tengah keramaian. "Ya, aku

ingin bertemu dengannya. Ya, aku ingin punya keluarga utuh. Ya, aku

ingin dia menjadi ayahku, menjadi ayahmu, menjadi suami ibuku dan

ibumu." Shinji mendesis tajam. Kepalanya condong ke depan,

mengintimidasi adiknya dengan tatapan tajam yang jarang dia

tunjukkan. "Tidak peduli apa yang dulu terjadi dan bagaimana

semuanya sekarang, dia tetap ayah kita. Tidak peduli dia mengetahui

Page 9: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

keberadaan kita atau tidak, hubungan darah kita tidak bisa kau

bantah."

Keduanya kemudian saling terlibat dalam kontes adu tatap, sama-

sama tidak mau mengalah—satu sifat yang, sayangnya, dimiliki

keduanya dengan kadar sama besar.

Haruno Sakura yang sedari tadi diam mengamati adu mulut dua

putranya, mendesah. Beban berat itu serasa kembali ditimpakan ke

atas bahunya dan dadanya kembali sesak. Dia menutup mata dan

menarik napas panjang, mencoba mengisi paru-parunya dengan

jumlah oksigen yang dibutuhkan, tetapi sebanyak apa pun dia

menghirup, dadanya tidak lepas dari rasa sesak yang sudah akrab itu.

Dengan satu langkah tegas, Sakura maju dan memosisikan diri di

antara dua putranya. "Hentikan ini semua," ucapnya tegas. Dia bukan

wanita kuat seperti yang banyak orang kira, tetapi Sakura tidak pernah

berhenti berusaha untuk tetap kuat. Dia harus kuat, setidaknya di

depan dua putranya. "Kita sudah menyelesaikan perdebatan ini

kemarin." Sakura bergantian menatap dua putranya yang kompak

menampilkan ekspresi bersalah dan penyesalan. "Ibu ingin kalian

mendapat pendidikan yang lebih baik, Ibu ingin benar-benar

menerapkan ilmu yang susah payah Ibu pelajari, dan dua hal itu bisa

kita capai dalam satu kesempatan. Pindah ke Tokyo." Tatapannya

tegas, mencari-cari bantahan yang mungkin mereka ajukan, tetapi

kedua putranya akhirnya memutuskan untuk menelan kembali setiap

argumen mereka.

Page 10: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Keduanya kompak menjawab '…hn'.

"Kita akan hidup seperti biasa. Kalaupun kita nanti akan bertemu

dengan ayah kalian, atau siapa pun yang mengenali kalian, biarkan

saja. Kita tidak akan lari darinya, tapi kita juga tidak akan

mengejarnya." Tatapan tegas di mata Sakura luntur ketika bergantian

menatap putra-putranya. "Bukankah kalian percaya kepada takdir?"

Keduanya mengangguk samar.

"Aku tidak akan lari, kalau itu memang takdir." Mahiro mengulang.

"Dan tidak akan mulai mengejarnya," Shinji menyambung.

.

Rumah baru mereka adalah sebuah penthouse dua lantai di salah satu

wilayah pemukiman kelas menengah Tsukiji, dirancang dengan

konsep minimalis yang memanfaatkan seluruh ruang yang mungkin.

Seluruh perabotnya dibuat dari kayu berpelitur hitam mengilat dengan

model tegas dan sederhana. Ada ruang keluarga yang merangkap

ruang tamu dan ruang bersantai, dapur, dan ruang makan untuk empat

orang yang dipisahkan dengan meja counter panjang atau lemari

rendah, memberikan kesan luas terhadap lantai tersebut. Dua kamar

tidur ada di lantai dua, dua lainnya di lantai dasar dengan salah

satunya sebagai kamar tidur utama. Kamar mandinya hanya satu,

berada di sudut dekat tangga di lantai satu. Bagian balkon di lantai

Page 11: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

satu dirancang untuk ruang berkebun dengan pembatas besi yang

tinggi dan kokoh.

Tangga kayu yang mengarah ke lantai dua berada di sisi kiri pintu

masuk dekat genkan, punya fungsi ganda sebagai laci penyimpanan

sepatu. Ruang kosong di bawah tangga ditujukan sebagai tempat

penyimpanan. Perabot kamar tidur mereka cukup standar, berisi

ranjang double, meja kerja, dan lemari pakaian. Dinding-dinding

ruangan dicat dengan warna broken white. Tirai-tirai jendela kacanya

berwarna merah marun.

Untuk ukuran sebuah rumah baru, keluarga Haruno merasa tidak perlu

melakukan perombakan. Sejauh ini, sama sekali tidak ada bagian yang

mengecewakan.

"Ini sempurna." Shinji masih belum bisa terlepas dari kekagumannya

sejak menginjakkan kaki di rumah barunya lima belas menit lalu.

Koper-koper mereka tergeletak begitu saja di genkan dalam kondisi

terabaikan. Dia sangat menyukai arsitektur dan punya banyak

wawasan mengenai berbagai desain rumah, tetapi penthouse mereka

benar-benar indah. Sederhana, tetapi sempurna. "Ibu yakin kita tidak

salah rumah?"

Sakura, yang baru menurunkan belanjaannya di meja makan,

mengulum senyum. "Tentu saja tidak," jawabnya santai seraya

memasukkan barang-barang belanjanya ke lemari pendingin.

Page 12: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Aku tidak paham desain rumah, tapi jelas penthouse ini dijual terlalu

murah."

Shinji ikut mengamini komentar Mahiro yang juga turut mengamati

seisi rumah. "Jangan-jangan penthouse ini berhantu."

Mahiro memutar mata. "Mungkin ini tempat pembunuhan," imbuhnya

mencoba berkelakar.

"Shinji. Mahiro," tukas sang ibu sambil berkacak pinggang, kemudian

menghela napas. Tingkah putra-putranya memang terkadang tidak

bisa diprediksi. Satu menit mereka bisa kompak layaknya saudara

yang sangat dekat, menit berikutnya mereka bisa saling mengincar

leher masing-masing. "Ibu juga heran. Paman Sai yang mengurus

semuanya. Katanya, penthouse ini dirancang sendiri oleh pemilik

lamanya, tapi dia harus pindah mendadak dan ingin penthouse ini

cepat terjual."

"Aa."

"Kalian tidak ingin lihat kamar kalian?" Sakura tersenyum ketika

menangkap kilat senang di mata Shinji dan Mahiro. "Ada dua kamar

di atas. Pilih yang kalian suka asal jangan sampai berkelahi. Bawa

juga koper-koper kalian." Dengan kelincahan serupa bocah lima tahun

yang terlalu banyak makan permen, Shinji dan Mahiro segera

menerjang tangga dan saling berebut naik untuk sampai lebih dulu.

"Shinji! Mahiro!" Hanya dengan teriakan sang ibu, keduanya

Page 13: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

menghentikan aksi perebutan mereka dan bisa sampai di lantai dua

tanpa lebam-lebam. "Turun sebelum makan malam!"

"Ha'i!"

Ditinggal sendiri di lantai dasar penthouse untuk menikmati keindahan

rumah barunya, Sakura beralih memandang meja makan berkursi

empat yang nantinya akan selalu kekurangan orang. Dia

membayangkan sesosok pria yang selalu hadir dalam benaknya

sedang menikmati makan malam bersama dua putra yang akan tiada

henti bertukar makian satu sama lain. Dua putra yang bagaikan dua

bentuk dirinya yang berbeda—yang bertemperamen panas dan yang

suka bermain-main. Mereka akan jadi keluarga yang sempurna

walaupun mungkin tidak akan terjadi.

Namun setidaknya, keluarga kecil mereka selalu ada dalam benak

Haruno Sakura.

.

Haruno Mahiro tumbuh besar bersama ibu single parent yang sibuk

bekerja menghidupi dua putra sekaligus di usia muda, nenek galak

yang lebih suka mendedikasikan waktunya—baik yang senggang

maupun sibuk tidak ada pengaruhnya—bersama belasan

botol sake daripada menggeluti tumpukan pekerjaannya yang setinggi

Fuji, paman dengan pembawaan luar biasa santai yang seolah tidak

punya pekerjaan yang lebih penting daripada membolak-balik

Page 14: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

halaman buku tua manual kekawin, dan bibi baik hati yang rasa-

rasanya terlalu baik kalau disandingkan dengan paman mesumnya.

Mahiro juga jarang meributkan perihal kehadiran seorang ayah, tidak

seperti Shinji.

Bukannya dia tidak butuh ayah. Mahiro butuh sekali, sama seperti

anak-anak lain. Dia masih sering iri tiap kali melihat teman-temannya

sesumbar mengenai berbagai hal mengenai ayah mereka,

memamerkan acara jalan-jalan keluarga mereka yang seru, atau

sekadar menceritakan keseharian keluarga normal mereka. Mahiro

masih ingin memiliki seorang ayah, bahkan sampai usia akhir

remajanya ini. Namun, Mahiro lebih tahu dari Shinji bahwa figur ayah

yang kakaknya inginkan itu akan semakin membuat ibu mereka sedih.

Yang Mahiro inginkan adalah kebahagiaan sang ibu.

Mahiro ingat sekali cerita pamannya mengenai sang ayah ketika dia

baru delapan tahun. Mahiro saat itu sedang main sendiri karena Shinji

ngotot ingin menyelesaikan tugas menggambarnya sebelum ibu

mereka pulang. Mahiro sedang memainkan, mungkin tepatnya

menghancurkan, rubik empat kali empat yang baru kemarin Shinji

selesaikan. Mahiro serius sekali (untuk ukuran bocah delapan tahun)

memutar-mutar bagian rubik warna-warni sampai warnanya tercampur

tak karuan. Ugh, gerutunya dalam hati, gemas

memegang puzzle kubus yang jelas-jelas bukan poin

positifnya, bagaimana Shinji melakukannya kemarin? Tidak peduli

sisi mana atau putaran ke arah mana, Mahiro bahkan tidak bisa

Page 15: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

menyelesaikan satu sisi. Dia bertanya-tanya apakah nanti Shinji akan

marah kepadanya.

Kemudian Paman Kakashi, yang entah sejak kapan sudah berdiri

menjulang di depannya, terkekeh dengan suaranya yang selalu

terdengar mencurigakan. Suara tipe-tipe penculik anak, Mahiro selalu

beranggapan demikian. Suara kekehan Kakashi mengagetkannya,

membuat bocah itu membeliak lebar dan terkesiap. Rubiknya jatuh ke

lantai.

"Paman!" serunya, lebih condong ke arah kaget sebenarnya. Dia

pungut rubik yang sedang ditekuninya sambil memperhatikan sang

paman mengambil duduk di sebelahnya. Mahiro suka sekali kalau

bermain ditemani pamannya, lebih suka lagi kalau Paman Kakashi

datang bersama Bibi Rin karena bibinya selalu membawakan

banyak cookies kayu manis yang dia suka.

"Halo, Mahiro." Satu hal yang tidak Mahiro suka adalah kebiasaan

pamannya mengacak-acak rambutnya yang mudah berantakan.

Sepanjang siang itu, mereka mengobrol di sela usaha sia-sia Mahiro

mengembalikan kondisi rubik itu ke keadaan semula (seriusan, kalau

tidak berhasil juga, ide bongkar-pasangnya patut dicoba) dan Paman

Kakashi yang tetap seru bersama buku manualnya nomor dua. Tiba-

tiba, entah bagaimana dan dimulai dari apa, percakapan mereka tertuju

pada topik yang baru Kakashi yang berani menjamahnya. Sang ayah.

Page 16: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Paman Kakashi berkata, "ayahmu itu pria yang baik. Tidak banyak

bicara, sedikit keras hati, dan kaku, tapi dia tetap pria yang baik. Dia

punya kakak laki-laki jenius yang unggul di setiap bidang yang dia

tekuni. Ayah kalian sewaktu masih kecil selalu mengidolakannya, tapi

kemudian, sosok idola itu berubah menjadi dinding yang menjulang

tinggi sekali di depannya; yang mati-matian dia kejar dan dia panjat,

tapi usahanya tidak pernah cukup untuk membuatnya bisa melihat

pemandangan di baliknya. Kegagalan dan ketidakpuasan terus

menggerogotinya. Ayah kalian tumbuh sebagai pemuda yang pahit,

ambisius, tapi diam-diam kesepian karena tidak lagi bisa menjadi adik

bagi kakaknya, juga tidak bisa memerankan anak yang

membanggakan bagi ayahnya. Kemudian, ayahmu bertemu ibumu. Ini

bukan masalah cinta, Mahiro. Ayahmu dulu tidak berpikir dia

mencintai ibumu, tapi ibumu lah yang membuka matanya untuk

melihat ke arah lain, untuk berhenti mengukur tingginya dinding itu,

untuk memilih apa yang benar-benar diinginkannya. Dan jadilah

ayahmu yang sekarang. Arsitek muda yang sukses membangun

perusahaan konstruksinya sendiri."

Kemudian Mahiro bertanya dengan segenap kepolosan yang bisa

bocah delapan tahun kerahkan, "tapi kenapa Ibu pergi dari Ayah?"

Sifat unggul Mahiro yang sudah tampak sejak kecil adalah daya

tanggapnya. Terkadang Mahiro menanyakan pertanyaan paling

fundamental atau pertanyaan-pertanyaan yang terdengar tidak penting

tetapi kemudian jawabannya begitu filosofis. Mahiro punya pikiran

tajam yang membuatnya memiliki pemikiran lebih maju dari anak-

Page 17: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

anak seusianya, meskipun sepertinya emosinya tidak banyak

dikendalikan pikirannya. Mahiro begitu impulsif dan transparan, tidak

seperti kakaknya yang butuh ditatap dua kali untuk dimengerti

niatnya. "Ayah tidak mencintai Ibu, tapi Ibu tetap punya cinta yang

cukup untuk mengompensasi bagian Ayah." Belum lagi kapasitas

bicaranya yang luar biasa luas. Mahiro sudah paham banyak istilah

asing dan kata-kata sulit.

"Kehidupan orang dewasa tidak berjalan semudah itu, Mahiro."

"Lalu bagaimana?" Mahiro selalu menuntut jawaban hingga

memuaskannya.

Paman Kakashi menjawab dengan suara lembut dan sorot mata

kebapakan yang janggal di matanya, "karena cinta ibumu terlalu besar

untuk membiarkannya tetap bersama ayahmu."

"Aku tidak paham." Mahiro mencebik, matanya memanas karena

dadanya yang sesak. "Aku tidak mengerti," bisiknya parau.

Tenggorokannya sakit bahkan hanya untuk bicara.

Paman Kakashi kemudian mengelus kepala Mahiro dengan tangan

besarnya yang hangat. "Nanti, nanti kau pasti mengerti."

Mahiro tidak tahu kapan dia bisa mengerti. Sekarang dia sudah tujuh

belas tahun dan dia masih belum memahami kenapa ibunya

meninggalkan ayahnya ketika dengan usia kandungannya masih

terlalu muda untuk disadari orang lain. Dia tidak mengerti bagaimana

Page 18: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

cinta bisa menjadi dalih keputusan ibunya untuk pergi. Dari sang ibu,

Mahiro mengenal cinta yang tidak sepenuhnya membawa

kebahagiaan. Ibunya memang bahagia sekarang, tetapi tidak satu pun

kebahagiaan itu berasal dari cinta pria yang menjadi ayah bagi dua

putranya.

Mahiro tumbuh dengan kesadaran tinggi terhadap kebahagiaan

ibunya. Dia bisa memahami Sakura lebih baik dari memahami dirinya

sendiri, tahu hal-hal apa yang akan membuat ibunya senang atau yang

akan membuatnya sedih. Mahiro sadar bahwa kini ibunya tidak lagi

sanggup menatap Shinji maupun dirinya lama-lama. Kemiripan

keduanya dengan sang ayah bahkan membuat Mahiro sendiri ngeri.

Karena itu, sehari sebelum sekolah dimulai Mahiro menyeret Shinji ke

salon terdekat, mengecat rambut hitam mereka menjadi sewarna

merah tembaga, dan menutup iris hitam mereka dengan lensa palsu

hijau.

Mahiro bersumpah tidak akan membiarkan ibunya bersedih.

.

Haruno Shinji baru berusia sembilan tahun ketika dia mengetahui

nama ayahnya setelah mengorek informasi dari neneknya yang tengah

mabuk siang-siang.

"Sasuke—" Nenek Tsunade mengeluarkan suara sendawa panjang.

Napasnya bau sake, sangat kuat sampai membuat Shinji

Page 19: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

mengernyitkan kening dalam-dalam. "—Uchiha…hmmm, dare

dakke?"

Shinji menghela napas. Shinji kecil mulai meragukan kenekatannya

siang ini untuk menemui sang nenek yang bisa kapan saja menjelma

menjadi nenek sihir paling galak. "Sasuke."

"Aa, ya. Uchiha Sasuke. Cinta bertepuk sebelah tangan Sakura."

Nenek Tsunade kemudian terkekeh panjang, semakin lama semakin

lirih, hingga akhirnya tertelungkup di atas meja kerjanya yang juga

turut berbau sake.

Nama itu bagaikan mantra pemikat yang sangat kuat bagi Shinji. Dia

ratusan kali mengulang nama itu dalam benak setiap harinya. Sasuke.

Sasuke. Sasuke. Uchiha Sasuke. Bagai mantra; bagai oase bagi

jiwanya yang kering. Uchiha Sasuke. Uchiha Sasuke. Kini dia tahu

nama ayahnya. Kini dia punya satu nama yang bisa dia panggil di

setiap doa dan mimpinya.

Minggu depannya, Shinji mengetahui wajah Uchiha Sasuke.

Walaupun puluhan kali ibunya menyuruhnya berkaca setiap kali

Shinji maupun Mahiro meminta foto ayahnya, Shinji tidak puas.

Shinji menemukan satu foto close up Uchiha Sasuke

bersetelan tuxedo hitam sedang menghadiri sebuah pesta entah kapan

dan entah dimana dari mesin pencari kilat. Di layar monitor komputer

yang dia gunakan, Shinji menyentuh wajah sang ayah untuk pertama

kali, menyusuri kontur datar wajahnya, kemudian membandingkannya

Page 20: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

dengan wajahnya sendiri. Dia kemudian bertanya-tanya dari segi

mana wajahnya dikata mirip sang ayah dan apakah kalau sudah

dewasa nanti dia juga bisa setampan dan segagah ayahnya.

Diam-diam, Shinji selalu mengidolakan sosok ayah yang dia kenal

hanya dari satu-dua kalimat yang tak sengaja menyisip keluar dari

mulut rapat nenek Tsunade setiap kali dia mabuk dan dari berita-berita

yang mengabarkan kesuksesannya. Kadang-kadang, Shinji senang

karena ayahnya orang terkenal. Dia jadi lebih mudah mencari

informasi mengenai ayahnya. Namun terkadang (dan porsinya lebih

mendominasi), Shinji kesal karena lebih banyak orang yang mengenal

ayahnya dan lebih banyak orang yang dikenal ayahnya ketimbang

putranya. Shinji tahu dia harus menahan diri, menunggu hingga dia

lebih besar supaya bisa bertemu dengan ayahnya. Dia bisa saja pergi

ke Tokyo seorang diri, toh dia hafal jalur kereta dari Akita ke Tokyo.

Dia sudah lancar membaca kanji dan pandai berhitung hingga empat

digit. Namun Shinji tidak ingin pergi tanpa Mahiro dan Ibu, jadi dia

terus menahan diri.

Segera, nama dan foto tidak lagi mampu memuaskan dahaganya. Dan

Haruno Shinji menjadi lebih kering dari yang sudah-sudah.

Shinji paham dan sadar bahwa Mahiro mengira dia tidak mengetahui

perihal masa lalu sang ibu dengan ayah mereka. Nenek Tsunade

kadang bisa membocorkan banyak hal kalau Shinji pandai-pandai

mencari celah. Shinji tahu kalau ibunya sangat mencintai ayahnya,

tetapi mereka tidak bisa bersama. Shinji juga paham kenapa. Cinta

Page 21: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

bukan lagi konsepsi asing bagi Shinji yang sensitif. Namun, semua itu

tidak pernah membuat dahaga Shinji berkurang dan terlupakan

selayaknya Mahiro. Shinji menginginkan kehadiran ayahnya dalam

kehidupannya yang belum lengkap. Shinji menginginkan pujian dan

ucapan selamat dari sang ayah setiap kali dia juara kelas atau

memenangkan lomba dan pertandingan olahraga. Shinji ingin pergi ke

festival sambil digendong ayahnya di bahu. Shinji ingin mengikuti

jejak ayahnya belajar arsitektur. Lebih dari yang manapun, Shinji

ingin ayahnya mengenal dirinya.

Namun, berita yang datang mendadak beberapa pekan setelah

kepindahan mereka ke Tokyo berhasil menguburkan bayang-bayang

indah keluarga impiannya.

Hari itu, Shinji melepaskan keinginan terpendamnya dengan suka rela.

.

Judul beritanya terkesan melebih-lebihkan.

Begitu pendapat Shinji dan Mahiro kompak ketika mereka membaca

berita tersebut dalam dua kesempatan berbeda.

Shinji membacanya dari koran berlangganan di pagi yang damai di

awal bulan Maret. Beritanya memang tidak diletakkan di halaman

depan, tetapi berita yang menggembor-gemborkan kabar percintaan

terkini arsitek tersukses Jepang itu tetap saja menyita banyak tempat

di laman entertainment. Untuk standar seorang pebisnis, nama Uchiha

Page 22: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sasuke setenar selebriti. Shinji tidak heran juga sebenarnya. Ayahnya

mendapat julukan most wanted bachelor meskipun usianya sudah

nyaris kepala empat bukan hanya karena marga besar Uchiha yang

disandangnya. Di usianya yang hampir tiga puluh delapan, Uchiha

Sasuke masih setampan dan segagah saat dia masih berusia dua

puluhan. Belum lagi perusahaan konstruksi yang dia bangun sendiri

semakin mengukuhkan posisinya di dunia bisnis.

Berita kedekatannya dengan seorang wanita cantik dengan rambut

merah blonde itu tentu jadi pemberitaan luar biasa besar. Beberapa

foto hasil kerja paparazzi yang memperlihatkan kedekatan mereka

berdua dalam berbagai kesempatan dipajang besar-besar di halaman

koran. Shinji kontan sesak padahal setahunya dia tidak punya sejarah

penyakit asma atau gangguan pernapasan lain. Dan Shinji tahu, kalau

ibunya sampai melihat berita ini, barangkali tidak akan ada yang

tersisa dari serpihan kecil hatinya yang carut-marut. Karenanya, koran

pagi hari itu tidak pernah sampai ke tangan Sakura.

Mahiro membaca berita yang sama dari artikel di salah satu majalah

bisnis elektronik langganannya. Berita utama majalah mingguan edisi

minggu kedua Maret tersebut rasa-rasanya tidak cocok berada di sana.

Majalah tersebut harusnya membahas berbagai perkembangan bisnis

Jepang, bukannya gosip keluarga. Belum lagi judulnya yang terlalu

melebih-lebihkan isi berita yang ternyata hanya berupa berbagai

macam asumsi penggosip. Kalau topik utamanya bukan Uchiha

Sasuke, yang tak lain dan tak bukan adalah arsitek terkemuka

Page 23: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

sekaligus pemilik tiga puluh persen saham Uchiha Company, lengkap

disertai dengan emblem Uchiha sebagai latar, Mahiro bakal enggan

membacanya. Dan bagaimana pun juga, Haruno Mahiro pernah

memimpikan suatu saat dia akan menyandang nama Uchiha dan status

anak tidak sahnya terlepas.

Beritanya dimuat dalam dua halaman penuh, lengkap dengan beberapa

foto yang pastinya hasil kerja paparazzi dan komentar mengenai

kedekatan sang most wanted bachelor edisi majalah Rogue dengan

seorang wanita yang hingga beberapa hari lalu belum banyak

diketahui eksistensinya. Mahiro tidak henti-hentinya mendengus,

menyumpahkan serapah di setiap komentar tak berdasar selama dia

membacanya. Beruntung ibunya tidak punya banyak waktu luang

untuk sekadar mengikuti berita atau gosip selebriti. Untuk sesaat,

Mahiro bisa bernapas lega.

Namun dua minggu kemudian, surat kabar memberitakan telah adanya

pertunangan rahasia antara Uchiha Sasuke dengan wanita berambut

blonde merah yang berasal dari keluarga rekan bisnis Uchiha,

Uzumaki Karin.

Berita besar-besaran itu tidak bisa Shinji serta Mahiro cegah sampai

ke telinga ibunya, dan mereka harus rela menyaksikan Haruno Sakura

tergelincir dalam sakitnya tanpa bisa melakukan apa pun.

.

"Kenapa dengan rambut kalian?"

Page 24: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Haruno Shinji dan Haruno Mahiro saling tatap, menyuarakan hal yang

kurang lebih serupa dari mata jade kembar mereka. Keduanya enggan

bicara, hanya saling melemparkan tanggung jawab untuk memberi

penjelasan yang masuk akal kepada sang ibu.

"Mahiro? Shinji?" Haruno Sakura memicingkan mata curiga sambil

sekali lagi mencermati model dan warna rambut dua putranya yang

berubah drastis secara bergantian. Rambut sehitam eboni itu kini

berkilat semerah tembaga. Mata hitam mereka juga disamarkan

dengan warna jade. Hanya model rambut mereka saja yang tidak

disamakan. Rambut Shinji yang lebih panjang ditata jatuh ke depan

dahi sedangkan rambut Mahiro yang lebih pendek ditata liar ke sana

ke mari. Sakura berani bertaruh mereka menghabiskan banyak gel

rambut hanya untuk mengatur rambut mereka.

"Hanya ingin ganti penampilan," jawab Mahiro buru-buru begitu

mendapati tatapan mengerikan ibunya tanpa ampun ditujukan

kepadanya.

"Memulai lembar hidup baru," imbuh Shinji menimpali, membuatnya

mendapat sodokan tajam di rusuk dan desisan frustasi Mahiro dari

sampingnya.

"Nani sore?" Tanpa disangka-sangka, Haruno Sakura mendendangkan

tawanya yang renyah.—untuk pertama kalinya dalam seminggu yang

terasa berat bagi kembar Haruno itu. "Kenapa harus meniru gaya

rambut Paman Gaara dan Paman Sai?"

Page 25: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Mendengar suara tawa sang ibu, Shinji dan Mahiro mau tak mau ikut

tersenyum lega. Setelah mendengar berita tak terhindarkan mengenai

rencana pertunangan Uchiha Sasuke dengan Uzumaki Karin, ibu

mereka secara nyata kehilangan sinar dan senyumnya. Namun, pagi

ini mereka berdua bisa membuat sang ibu tertawa. Dua anak kembar

itu sampai kesulitan mendeskripsikan kelegaan yang membanjir dalam

diri mereka begitu mendengar suara tawa Sakura. "Ibu 'kan tahu kami

mengidolakan Paman Gaara dan Paman Sai." Biarpun mereka harus

berdandan macam badut, mereka rela-rela saja asal bisa membuat ibu

mereka tertawa seperti tadi.

Sakura mengulas senyum misterius yang menandakan dia tak sedikit

pun memercayai dalih putra-putranya, tetapi kemudian memutuskan

untuk tidak berkomentar lebih jauh. Anak laki-laki memang harus

diberi kebebasan lebih. "Cepat sarapan. Biar Ibu antar kalian sekolah."

Digiringnya dua putra kesayangannya ke meja makan, layaknya induk

menggiring anak ayamnya.

"Ibu tidak ada shift pagi?" tanya Mahiro dari balik bahunya, menatap

sang ibu yang hanya sedikit lebih tinggi dari dagunya.

"Ini hari pertama kalian sekolah. Mana mungkin Ibu mengambil shift,"

jawab Sakura dengan senyum, membuat Mahiro memutar bola mata

jengah.

"Ibu kira kami anak sekolah dasar?" komentar Shinji turut merasa

jengah. "Kami sudah tujuh belas tahun."

Page 26: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Haruno Sakura berdecak tak sabar. "Kalian tumbuh terlalu cepat. Ibu

rindu bayi-bayi manis Ibu yang selalu mengekor tidak mau lepas."

Shinji membekap mulutnya dengan punggung tangan, merasakan

sensasi panas yang menjalar hingga leher. Di sampingnya, daun

telinga Mahiro sudah memerah dan sesekali bergerak-gerak.

"Aw, lihat bayi siapa yang sedang malu-malu," goda ibu mereka

semakin menjadi-jadi.

Sepasang kembaran Shinji dan Mahiro hanya bisa diam sambil mati-

matian berusaha meredam rona merah di wajah masing-masing.

.

Sekolah baru Shinji dan Mahiro adalah sebuah akademi yang lengkap

dari tingkat shougaku hingga koukou yang diasuh oleh yayasan yang

sama dengan yayasan rumah sakit internasional tempat ibunya bekerja

sekarang. Toujou Gakuen.

Gedung masing-masing tingkat sekolah dipisahkan oleh taman-taman,

lapangan olahraga, dan pagar kawat rendah. Gedung untuk sekolah

tingkat atas berada di sisi barat kompleks akademi, terdiri dari lima

gedung yang dihubungkan dengan strutur terbuka mirip jembatan

penyebrangan.

Gedung pertama yang merupakan gedung tiga lantai adalah gedung

kantor, dimana di sana dapat ditemukan kantor guru, kantor kepala

sekolah, kantor bagian administrasi dan keuangan, perpustakaan, dan

Page 27: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

ruang persiapan. Gedung kedua adalah gymnasium, lengkap dengan

lapangan basket dan voli indoor. Gedung ketiga dengan empat lantai

merupakan gedung bagi kelas-kelas jurusan ilmu alam, dilengkapi

dengan berbagai laboratorium untuk menunjang kegiatan

pembelajaran. Gedung keempat merupakan gedung untuk kelas ilmu

sosial dengan tiga lantai. Gedung terakhir adalah untuk mereka yang

memilih kelas bahasa.

Di sekolah ternama tersebut Shinji dan Mahiro akan menghabiskan

masa remaja mereka. Di sekolah itu juga dulu ayah dan ibunya, dan

masa lalu mereka dimulai. Akan banyak tempat-tempat penuh

kenangan di sana.

"Hilangkan dulu wajah cemberutmu itu, Adik." Shinji tiba-tiba

memecah keheningan. Mereka berdua sedang berjalan bersisian

menuju gedung sekolah mereka setelah turun dari mobil. Kehadiran

dua kepala merah mengilat itu tak luput dari perhatian banyak orang

di sana, lebih-lebih dengan hobi tebar-tebar senyum Shinji yang tak

kenal situasi kondisi.

Mendengar suara Shinji membuat Mahiro semakin memperdalam

kerutan di keningnya. Sang kakak di sampingnya hanya bisa menghela

napas. "Hentikan dulu hobi tebar-tebar pesonamu, Kakak sial."

Haruno Shinji yang sedang melihat-lihat sekeliling sambil sesekali

melemparkan senyum kepada gadis mana pun yang lewat di sekitar

Page 28: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

mereka segera berdecak kepada sang adik. "Lihat, mereka jadi takut-

takut gara-gara wajah masammu itu."

Mahiro semakin memasamkan wajahnya hanya untuk membuat

kakaknya semakin sebal. "Kita masih harus ke kantor guru. Aku tidak

punya waktu untuk bersabar dengan sikapmu." Tanpa tedeng aling,

Mahiro menyambar lengan Shinji dan menariknya berjalan lebih cepat

memasuki gedung paling depan di kompleks koukou, gedung kantor.

"Jasku bisa kusut, Mahiro," protes Shinji seraya berusaha melepaskan

lengannya dari cengkeraman tangan Mahiro.

"Barangkali dengan begini kau bakal berhenti mengedip sekali dalam

dua detik tiap melihat makhluk apa saja yang kebetulan memakai

rok," desis Mahiro tajam. Cengkeramannya justru semakin dikuatkan

dan langkahnya semakin dipercepat.

Berjalan susah payah di samping adiknya, Shinji hanya menghela

napas. Dia tidak lagi protes dan membiarkan dirinya ditarik Mahiro ke

kantor guru. Untuk urusan tenaga, Shinji harus mengaku kalah.

"Ojamashimasu," keduanya kompak mengucapkan salam ketika

membuka pintu kantor guru yang mereka cari-cari. Mahiro segera

melepaskan cengkeramannya dan Shinji segera membenahi jas

sekolahnya yang kusut di bagian lengan.

"Apa kalian Haruno bersaudara?" Seorang guru pria berusia di awal

lima puluh yang semula duduk di kursi di barisan tengah ruangan

Page 29: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

berdiri dan bertanya, membuat dua Haruno yang sedang dibicarakan

segera menoleh ke sumber suara.

"Ha'i, Sensei."

"Haruno Mahiro," panggilnya sambil bolak balik memandangi dua

kertas di tangannya dengan dua Haruno yang baru datang. Tak salah

lagi sedang berusaha mencocokkan foto di lembar informasi yang dia

pegang dengan wajah salah satu Haruno, atau barangkali mencari

perbedaan di antara keduanya selain model rambut dan kacamata yang

Shinji kenakan.

Melihat kebingungan guru barunya, Mahiro segera unjuk diri.

"Ah, Haruno Shinji bisa menemui Morino-sensei di sana," Guru

berwajah ramah tersebut menunjuk sudut ruangan, dimana seorang

guru yang memasang tampang seram sedang bersedekap dengan

tangan memegang kertas pemukul—seolah dirinya dan pemukul itu

adalah bagian tak terpisahkan dan merupakan pemandangan sangat

natural. "Beliau adalah wali kelasmu."

"Ha'i…" Haruno sulung langsung ciut. Shinji setengah hati melangkah

menuju sudut ruangan, tak luput menangkap seringai zama-miro yang

dilemparkan Mahiro kepadanya. Kenapa juga pagi-pagi begini dia

harus bertemu dengan sensei berwajah galak?

"Nah, Mahiro-kun, selamat datang di Toujou Gakuen. Aku adalah

Umino Iruka, wali kelasmu selama satu tahun ke depan. Semoga kau

Page 30: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

betah dan cepat mendapat teman baru. Kau tidak ada kesulitan

beradaptasi dengan lingkungan Tokyo, 'kan? Kudengar, banyak hal

berbeda di Akita dan di Tokyo."

"Ha'i. Tidak banyak kendala berarti selama tinggal di sini, Sensei."

"Yokatta na."

Lain dengan Mahiro yang beruntung disapa oleh guru baik hati, Shinji

justru sedang sial. Begitu sampai di depan sang guru baru, dia ditatap

dari bawah ke atas. Pandangan tajam guru barunya terhenti di rambut

merah Shinji. "Peraturan pertama, Haruno Shinji." —Shinji menciut,

lebih ciut dari semula. "—dilarang mengecat rambut!" Dan PLAK.

Kertas pemukul itu mendarat dengan suara mantap ke kepala Shinji.

"Ha'i, Sensei…" Haruno Shinji menunduk dalam-dalam. Entah kenapa

keberuntungannya pelan-pelan hilang semenjak datang ke Tokyo.

.

Tidak seperti saudara kembar kebanyakan, duo Shinji–Mahiro tidak

pernah punya masalah kalau harus dipisahkan. Keduanya justru

senang-senang saja karena terbebas dari satu sama lain. Sang kakak

lega karena bisa lebih bebas melancarkan pesonanya karena wajah

masam yang biasanya bersamanya hilang sudah. Sang adik lega

karena bisa terbebas dari kuntitan gadis-gadis yang terbujuk rayu

pesona murahan kakaknya. Frekuensi pertengkaran mereka juga

menurun secara signifikan.

Page 31: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Memilih dua jurusan studi yang berbeda membuat mereka dipisahkan

lapangan dan taman satu sama lain. Shinji di kelas ilmu alam

sedangkan Mahiro di kelas sosialnya. Dua Haruno tersebut memang

hanya mirip dari segi wajah. Baik sifat, bakat, hobi, kesukaan,

maupun kebiasaan mereka tidak pernah sama.

Sulung Haruno dikenal sebagai pribadi yang lebih santai dan suka

bermain-main. Dia diberkahi ingatan fotografis dan bakat seni

mengalir dalam darahnya. Yang dia sukai (selain ibu dan gadis-gadis)

adalah segala hal yang berhubungan arsitektur dan permainan warna.

Bungsu Haruno punya sifat yang kurang lebih mirip ayahnya: serius,

sedikit kaku, dan canggung kalau sudah berhadapan dengan orang

lain, terutama lawan jenis. Dia tidak punya ingatan fotografis seperti

kakaknya, tetapi daya tangkap permasalahannya lebih unggul,

membuatnya dengan cepat memahami hal apa pun yang dia pelajari.

Dia mencintai angka. Dia suka pelajaran berhitung, suka mengutak-

atik deretan angka, dan ingin menekuni dunia bisnis. Dengan dua

bakat dan minat yang berbeda itu, keduanya memilih jalur kelas yang

juga berbeda di koukou.

Di kelas barunya, Shinji langsung menjadi buah bibir para gadis

karena keramahan yang dia tunjukkan—masih dengan senyum

pangerannya yang alami. Di lain pihak, Mahiro langsung tergabung ke

dalam kelompok para murid lelaki. Sikap masamnya yang ditujukan

kepada para gadis dengan efektif memblok serangan fangirl apa pun

yang bakal diterimanya.

Page 32: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sungguh dua pribadi yang berbeda. Dan sepertinya kadar

keberuntungan mereka mulai bergerak ke satu sisi, menjadikan satu

Haruno lebih beruntung dari Haruno yang lain.

.

Baiklah.

Keberuntungan Haruno Shinji memang memudar. Pagi-pagi bertemu

dengan sensei galak dan mendapat amukannya masih belum apa-apa

kalau dibandingkan dengan situasi sekarang ini. Situasi yang bakal

dengan senang hati Shinji kategorikan mimpi buruk.

Yap. Ini pasti hanya mimpi buruk. Pasti. Pasti. Pasti.

Shinji menarik napas panjang, kemudian menghelanya pelan-pelan

lewat mulut. Pelan sekali. Dia harap debaran jantungnya bisa

memelan karena sekarang dadanya sakit sekali. Dia coba sekali lagi

memantrai diri: ini hanya mimpi buruk. Namun sayangnya, suara

lantang yang menusuk-nusuk telinganya tanpa ampun itu tak kunjung

pergi.

"Namamu Haruno? Benar-benar Haruno? Ditulis dengan kanji musim

semi dan pedesaan? Begitu? Bisa kau sebutkan namamu, nama ayah

dan ibumu? Apakah Haruno itu nama dari pihak ibumu?"

Shinji memejamkan mata dan memaki dalam hati. Bagaimana dia bisa

jatuh ke dalam situasi semacam ini?

Page 33: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Oh ya. Ketika dia baru keluar dari ruang administrasi untuk

menyelesaikan beberapa hal mengenai data diri dan adiknya,

kemudian seorang karyawan meneriakkan namanya keras-keras di

koridor gara-gara buku tertinggal. Siapa yang tahu ternyata di sekitar

sana ada seorang pria yang mengenal nama Haruno lebih baik dari

telapak tangannya sendiri?

Sempurna. Mahiro pasti akan mengamuk kalau Shinji tidak pintar-

pintar mengelak.

Dibukanya matanya dan mempersiapkan dirinya untuk apa pun yang

akan datang kepadanya. "Haruno ditulis dengan kanji haru untuk jauh,

seperti harubaru, dan no dari tanah lapang. Itu nama pihak ayah saya.

Permisi." Shinji menjawab cepat, kemudian berbalik dan berjalan ke

arah berlawanan, memutuskan untuk mengambil jalan memutar

taman, meninggalkan pria bermata biru jernih yang sepertinya seusia

ibunya.

Ini hari pertamanya sekolah dan dia sudah bertemu seseorang yang

mengenal ibunya? Demi Tuhan. Shinji mengerang dalam hati. Dia

kira Tokyo itu luas. Bukannya kata orang menyembunyikan daun

sebaiknya di hutan?

Sepertinya mengikuti paksaan Mahiro untuk mengecat rambut dan

memakai lensa kontak adalah keputusan yang tepat. Kalau tidak,

barangkali paman yang tadi itu pasti sudah bertanya 'kau ada

Page 34: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

hubungan apa dengan Uchiha Sasuke? Kau mirip sekali'. Shinji

tentunya tidak ingin itu sampai terjadi.

Begitu berbelok ke koridor yang mengarah ke gedung kelas-kelas,

Shinji mempercepat langkah. Kalau biasanya dia sudah akan tebar

senyum ke sana ke mari, tetapi sekarang kondisi sedang darurat. Dia

harus buru-buru menemukan Mahiro di kelasnya—atau dimana pun

dia berada di jam istirahat siang ini—dan memberitakan peristiwa

terbaru yang dia alami.

"Mahiro!" Shinji menemukan sang adik hendak masuk ke kelasnya

sambil membawa buku yang dibuka lebar di depan wajahnya. Mahiro

benar-benar menyalin sempurna kebiasaan paman mereka berjalan

sambil membaca (atau membaca sambil berjalan? Shinji tidak benar-

benar paham).

Haruno Mahiro mengangkat arah pandangan matanya dari buku yang

sedang dia tekuni. Tangan kanannya tenggelam di saku celana, gaya

santainya sehari-hari. "Shinji."

Duo Haruno pendatang baru di Toujou Gakuen itu mendapat perhatian

dari banyak murid lain. Selain karena kemiripan keduanya yang luar

biasa, wajah mereka juga patut diapresiasi. Tak jarang beberapa murid

perempuan terang-terangan mengamati keduanya dengan antusias dari

kepala hingga sepatu.

"Aku perlu bicara."

Page 35: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Mahiro menaikkan sebelah alis pertanda bingung karena kedatangan

Shinji yang tiba-tiba ke gedung kelasnya, tetapi memilih untuk tidak

berkomentar. Sosok Shinji dalam balutan seragam jas kelabu dengan

dasi hijau tampak mencolok di tengah kerumunan murid berdasi

merah. Jarang-jarang Shinji bersikap serius dan mengabaikan

perhatian gadis-gadis di sekitarnya, jadi ketika kakaknya sedang

serius, Mahiro akan turut bersikap serius. Keduanya kemudian

berjalan bersisian—sekali lagi menyedot perhatian banyak gadis—dan

berbelok ke arah jembatan yang menghubungkan gedung kelas sosial

dengan kelas bahasa, mengambil tempat di tepi jembatan penghubung

yang lebih sepi dari koridor kelas.

"Ada apa?"

"Aku bertemu seorang pria yang mengenal Ibu. Nama keluarga

Haruno, tepatnya."

Mahiro menunjukkan ekspresi kekagetan sekilas sebelum kembali

menata ekspresi tenang dan kalemnya. "Haruno itu marga yang

umum. Tidak terlalu mengejutkan kalau orang mengenalnya."

Shinji menggeleng. Dia yakin betul kalau pria tadi merujuk kepada

ibu mereka "Wanita dengan nama keluarga Haruno. Haru dari musim

semi dan no dari pedesaan. Ibu kita."

"Kau yakin?" tanya Mahiro heran. Keningnya berkerut samar. "Atau

kau saja yang terlalu paranoid?"

Page 36: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Dengan desahan panjang, Shinji kembali menggeleng. "Aku tidak

akan terlalu memikirkannya kalau pria itu tidak terlihat begitu…putus

asa saat menanyaiku. Seolah-olah dia sudah lama mencari wanita

bermarga Haruno."

Mahiro mengalihkan pandangan ke kejauhan. Dia menimbang-

nimbang berbagai kemungkinan dalam kepalanya. "Bagaimana

reaksimu tadi?"

"Aku berbohong soal kanji nama dan Haruno dari pihak ayah."

Si adik mengangguk-angguk paham. "Kukira penampilan kita sudah

berbeda."

"Aa, tapi dia bertanya karena seorang karyawan memanggil namaku.

Kurasa dia tidak mengenali wajah kita. Lagipula, kalaupun wajah kita

yang menjadi penciri, dia tidak akan menyebut nama Haruno."

Mahiro mengangguk setuju. Seringai tipis muncul di sudut wajahnya.

"Mungkin kita malah dipanggil Uchiha," katanya dengan nada kental

sarkasme kering.

Shinji mengamati reaksi adiknya dari sudut mata. Aneh. Mahiro justru

mendapati situasi mereka patut ditertawakan. Terkadang, Mahiro

punya pandangan yang ekstrim mengenai sesuatu. "Hn. Mungkin

Paman Kakashi bisa membantu," ujarnya dengan nada terkendali.

.

Page 37: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Ucapkan terima kasih pada ingatan fotografis dan tangan artistik

Shinji, dalam lima belas menit mereka sudah mendapatkan satu

gambar sketsa kasar seorang pria, lengkap pakaian yang dikenakannya

sewaktu bertemu dengan Shinji.

Berdiri di belakang Shinji yang sedang menyelesaikan sentuhan akhir

sketsanya, Kakashi memandang gambar tersebut dengan pandangan

tak terbaca. Matanya masih tampak malas-malasan, tetapi bagi orang

yang cukup mengenalnya akan tampak ketegangan yang nyaris tak

kentara di sudut dalam matanya. "Aah…"

"Kau kenal pria itu?" tanya Mahiro segera setelah menyadari respon

Kakashi. Matanya menelisik wajah pamannya dengan ketajamannya.

Dengan sikap santai dan nyaris-tak-bersemangatnya, Hatake Kakashi

hanya menawarkan senyuman yang membuat sudut-sudut matanya

berkerut dalam.

Haruno Mahiro memicingkan mata dan Shinji menengok dari balik

bahu dengan mata penuh antusias.

"Paman kenal pria ini?"

Bukannya menjawab pertanyaan dua remaja yang sudah dia asuh dari

bayi, Kakashi justru mengacak-acak rambut Shinji sambil

mengomentari gambarnya. "Gambarmu semakin bagus, Shinji-kun.

Kau sering berlatih dengan Paman Sai lagi?"

Page 38: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Kali ini, Shinji ikut memicingkan mata. "Tiap kali Paman

memanggilku dengan –kun, pasti ada yang tidak beres."

Kakashi segera menutup mulut, kemudian buru-buru menampilkan

senyum polosnya—senyum terlalu polosnya. "Ara?"

Shinji memutar bola mata, Mahiro mendengus.

"Bilang saja, Paman," tukas Mahiro tak sabar.

"Kalian mungkin tidak akan tenang begitu mendengarnya," Kakashi

mencoba memperingatkan.

"Paman tahu sendiri kami ini keras kepala, jadi bicara sajalah," potong

Shinji. Pensil gambar yang dia pakai diputar-putar di sela-sela jemari

panjangnya yang ramping.

Kakashi memang yang paling tahu sampai sejauh mana

kekeraskepalaan dua putra baptisnya. Kalau sudah menginginkan

sesuatu, hanya ada sedikit hal yang bisa menghentikan mereka dan

sejauh ini, Kakashi bukan salah satunya. "Hm, bagaimana aku

menyampaikannya…" Kakashi melipat tangan di depan dada,

memasang postur berpikirnya. "Bisa dibilang, pria itu sudah seperti

kakak bagi Sakura. Dia juga sahabat baik ayah kalian. Namanya

Uzumaki Naruto."

"Uzumaki…Naruto?" ulang Mahiro. Keningnya berkerut. "Dimana

aku pernah mendengarnya?" Dia bertukar pandang dengan kakaknya.

"Mungkin ibumu pernah menceritakannya kepada kalian?"

Page 39: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Mahiro menggeleng yakin. Ibunya tidak pernah buka mulut mengenai

kehidupan masa kecilnya hingga sebelum dia pindah ke Akita. Mahiro

dan Shinji hanya tahu beberapa hal, itu pun karena mereka memaksa

bertanya kepada Paman Kakashi, Gaara, atau Sai, dan sesekali dari

Tsunade yang sedang mabuk berat. "Ibu tidak pernah bercerita kepada

kami. Paman tahu sendiri."

"Aa…" Kakashi tertawa gugup. Dia usap-usap tengkuknya sambil

memutar otak.

Di depannya, Shinji duduk dengan kekalemannya yang

mengkhawatirkan. Wajahnya kosong dari segala macam ekspresi.

"Uzumaki…Karin. Kalau yang itu, kau kenal, Mahiro?" Shinji

menengadah memandang adiknya yang masih berwajah bingung.

Suaranya sejelas air terjun, membuat Mahiro gemetar ngeri.

Senyumnya hampa.

Ketika akhirnya pemahaman itu terendap dalam diri Mahiro, bungsu

Haruno tersebut terbelalak. "A—ano onna…"

"Seikai." Shinji mengangguk membenarkan. "Tunangan ayah tercinta

kita—atau setidaknya, begitu beritanya," ujarnya dengan nada gelayut

main-main dalam suaranya.

Sayangnya, selera humor Mahiro berbeda dari sang kakak.

Ekspresinya justru berubah kaku dan pandangan matanya mengeras.

Kalau kekuatan pandangan bisa diwujudkan dalam rupa fisik,

barangkali meja di depan Shinji sudah remuk redam.

Page 40: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Siapa yang sangka kita hidup di dunia yang sempit sekali?" Putra

sulung Sakura mengedipkan sebelah mata kepada adiknya yang

sedang bermuka seram. "Apa dua orang ini punya hubungan keluarga,

Paman?"

Merasa usaha pura-pura tidak tahunya akan sia-sia, Kakashi menghela

napas. "Semacam kerabat jauh dari pihak ibu Naruto."

"Lihat, little brother, takdir sedang menggigit bokong kita."

.

Haruno Sakura kali pertama bertemu dengan Uchiha Sasuke ketika dia

berusia lima belas tahun, sedang mengikuti ujian masuk ke Toujou

Gakuen, akademi tempat kedua putranya juga bersekolah sekarang.

Uchiha Sasuke adalah murid di akademi tersebut, berada satu tingkat

di atas Sakura. Kehadiran Uchiha Sasuke dalam kehidupan Sakura

tidak lepas dari peran Uzumaki Naruto, pemuda yang mengklaim

dirinya sebagai kakak Sakura dan juga sahabat sepanjang masa

Sasuke. Mereka bertiga mulai menghabiskan waktu bersama. Jalan-

jalan, camping, nonton bioskop, lari pagi, sampai acara belajar dan

mengerjakan tugas bersama. Kedekatan mereka serasa tidak

terpisahkan. Namun, baik Sakura maupun Sasuke menyadari bahwa

kedekatan mereka hanya akan terjadi karena kehadiran Naruto yang

berperan bagai lem kuat untuk keduanya.

Satu perasaan yang sama-sama Sakura dan Sasuke rasakan terhadap

satu sama lain adalah rasa hormat. Sakura menghormati Sasuke karena

Page 41: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

melihat pribadinya yang kuat dan pekerja keras bahkan di usianya

yang masih remaja walaupun dia berasal dari keluarga kaya raya. Rasa

hormat yang Sasuke tujukan kepada Sakura berasal dari pemahaman

mendalam mengenai kondisi masa kecil Sakura yang tidak beruntung.

Kehilangan kedua orang tuanya sekaligus di usia tujuh tahun sama

sekali bukan hal mudah, belum lagi adanya efek samping kecelakaan

yang membuat Sakura tidak lagi memiliki memori di hari-hari

terakhirnya bersama kedua orang tua yang tidak akan pernah bisa dia

jumpai lagi. Kepergian orang terkasih telah membuat lubang

mendalam, tetapi mengetahui bahwa dia tidak bisa mengenang mereka

membuat kesedihan itu menjadi jauh lebih sulit untuk ditahan.

Meskipun begitu, Sakura tetap tumbuh sebagai gadis yang kuat dan

baik hati.

Pada satu titik krusial dalam masa remajanya, setelah beberapa lama

dia mengenal Sasuke, Sakura telah menumbuhkan satu perasaan baru

bernama kekaguman. Semakin hari dia mengenal Sasuke, semakin dia

memahaminya dan semakin besar rasa kagum yang dia rasakan.

Sakura mengagumi segala hal mengenai Uchiha Sasuke. Latar

belakang keluarganya yang merupakan salah satu klan terpandang

adalah salah satunya, tetapi pribadi Sasuke adalah alasan terkuatnya.

Sakura mengagumi setiap upaya keras yang Sasuke lakukan untuk

membanggakan kedua orang tuanya, terutama sang ayah. Sakura

mengagumi setiap upaya pembuktian dirinya. Sakura mengagumi

setiap pengorbanan yang Sasuke lakukan. Bahkan Sakura mengagumi

setiap kegagalannya, yang tidak pernah membuat pemuda itu berhenti.

Page 42: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Namun, lambat laun Sakura menyadari adanya kepahitan mendalam

yang Sasuke rasakan. Setiap kegagalan yang dia rasakan, setiap

gelengan tidak puas yang dia terima, setiap kenyataan bahwa sang

kakak masih selalu satu langkah, kalau tidak beberapa langkah, lebih

baik darinya selalu mengantarkan Sasuke selangkah lebih dekat

menuju keputusasaannya. Dan di usia tujuh belas tahun, Sakura tidak

lagi menemukan diri Sasuke yang pertama kali dikenalnya; yang

bersinar, yang penuh semangat dan gairah. Kini pemuda itu sudah

berubah menjadi pemuda yang pahit, tidak lagi memiliki sinar mata

kagum tiap kali melihat dunia, dan yang dia punya hanya ambisi untuk

mengalahkan kakaknya. Dia telah lupa cara berbahagia. Dia tidak

paham cara mencinta.

Rasa kagum itu berubah menjadi rasa belas kasih dan keinginan kuat

untuk melepaskan Sasuke dari jeruji dan borgol apa pun yang

membelenggunya. Sakura telah melakukan segala cara, menjadi apa

saja yang Sasuke butuhkan, kapan saja, dimana saja. Dan di usianya

yang ke sembilan belas, di malam dimana Sasuke sekali lagi

dikalahkan oleh keputusasaannya, Sakura tetap di sampingnya. Sakura

terus mendampinginya, membimbing dan memberinya kekuatan dan

keberanian untuk melangkah keluar dari bayang-bayang kesuksesan

kakaknya. Sakura yang mengajak Sasuke untuk menilik ada dunia lain

yang tidak berada di balik dinding tinggi kakaknya. Sakura yang

mengajari Sasuke ada banyak hal yang bisa dia raih. Sakura yang

memberinya cinta tak bersyarat. Sakura memberinya banyak, tanpa

mendapat gantinya.

Page 43: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Ketika enam minggu kemudian Sakura menyadari kehamilannya, satu

hal yang ada dalam benaknya adalah dia tidak akan menjadi satu hal

yang akan menghancurkan masa depan Sasuke. Sakura tidak akan

menempatkan dirinya di posisi antara. Sasuke baru saja berhasil

bangkit dan meninggalkan keputusasaannya, beralih mengejar

keinginan terpendamnya sebagai seorang arsitek, dan memulai lembar

baru. Dan dengan pikiran semacam itu dalam benak, Sakura

mengemasi barang-barangnya dan menghilang tanpa jejak dari Tokyo,

meninggalkan seluruh dirinya dan cintanya.

Calon ibu muda tersebut beruntung memiliki Tsunade, wanita yang

mengasuhnya, yang tidak pernah mempertanyakan keputusannya.

Hatake Kakashi, rekan kerja mendiang ayahnya dulu, dan istrinya,

Hatake Rin, ikut mendampingi Sakura di masa-masa terberatnya dan

bersama-sama mereka memulai kehidupan baru di Akita, jauh dari

babak lama kehidupan Haruno Sakura.

Satu hal yang tidak pernah Sakura sangka adalah cinta yang tanpa

sadar telah tumbuh dalam dirinya justru berubah menjadi satu bentuk

cinta yang tak kunjung padam. Cintanya bertambah besar seiring

dengan usia kandungannya yang semakin tua. Dan kalau besarnya

cinta itu belum cukup, kehadiran dua putra sekaligus semakin

memantapkan kehadiran cinta itu dalam diri Haruno Sakura, sang ibu

muda. Yang bisa dia rasakan hanya cinta dan cinta dan cinta.

Dua putranya lahir di bulan November ketika jalanan dilapisi

dedaunan merah keemasan. Mereka lahir berjarak lima belas menit.

Page 44: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Keduanya bukan kembar identik walaupun siapa pun yang melihat

mereka tidak akan percaya karena wajah mereka berdua sangat

mirip—wajah yang sepenuhnya mereka warisi dari sang ayah tanpa

sedikit pun campur tangan bagian Sakura. Mereka punya dua plasenta

berbeda dan tipe darah yang juga berbeda. Yang lahir pertama

memiliki darah tipe B dan dia beri nama Shinji sedangkan adiknya

berdarah A dan bernama Mahiro. Nama mereka ditulis dengan dua

kanji. Kanji pertama nama ditulis dengan kanji serupa yang berarti

kebenaran. Kata ji dari nama Shinji ditulis dengan kanji untuk michi,

jalan. Kanji hiro pada nama Mahiro berasal dari kata tazuneru yang

artinya mencari. Sakura bisa memberi mereka nama yang seperti apa

pun bagusnya, tetapi mereka tetap akan mewarisi nama keluarganya,

Haruno, beserta status tidak sahnya. Sakura benar-benar menyesali hal

tersebut. Dia tidak bisa mengubahnya karena status keabsahan mereka

hanya bisa diganti begitu sang ayah mengakui mereka.

Menyaksikan kedua putranya tumbuh besar, Sakura menyadari satu

hal: keduanya merupakan dua sisi yang berlainan. Mereka serupa sang

ayah, tetapi kini menapaki jalan yang benar-benar berbeda darinya.

Shinji dan Mahiro tidak pernah memiliki satu keinginan yang sama.

Mulai dari model pakaian sampai hal paling rumit seperti cita-cita,

mereka berbeda. Keduanya juga memiliki kepribadian yang saling

bertolak belakang. Bagi Sakura, Shinji dan Mahiro adalah sosok

Uchiha Sasuke yang lain—sosok-sosok Sasuke yang mungkin

terbentuk jika pria itu tumbuh besar dari lingkungan keluarga yang

Page 45: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

berbeda. Namun yang terpenting, Shinji dan Mahiro adalah simbol

keberanian ayahnya. Sakura yakin itu.

Ada masa-masa dimana Sakura berharap keduanya bisa mewarisi

nama sang ayah, melepaskan status mereka sebagai anak tidak sah.

Namun sekali lagi, Haruno Sakura tidak akan menjadi penghalang

bagi masa depan dan kebahagiaan yang mungkin bisa Sasuke raih. Dia

tidak akan menjadi satu faktor yang merusak hidup pria yang

dicintainya.

Kedua putranya akan memahaminya.

.

"Apa-apaan rambutmu?"

Shinji yang baru keluar dari kamarnya, lengkap dengan jas

sekolahnya, menoleh. "Uh?"

"Kau apakan rambutmu?" ulangnya Mahiro dengan mata memicing

dan suara tajam. "Kenapa kau menghapus catnya?"

Sambil membenahi kerah kemejanya yang berantakan, Shinji

menyentuh ujung rambutnya yang masih lembab. "Aku terancam kena

detensi kalau tidak menghapusnya. Morino-sensei sudah

mengancamku dari dua minggu lalu."

Mendapat jawaban yang tidak berbobot (menurutnya) itu, Mahiro

melangkah maju kemudian mencengkeram kerah kemeja kakaknya

Page 46: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

dan mendorongnya hingga membentur dinding. "Jangan beri aku

jawaban sampah semacam itu!"

Si kakak mendesis ketika kepalanya terbentur dinding yang keras

tanpa ampun. Matanya yang terbebas dari warna jade palsu

membeliak. Dia cengkeram balik kerah kemeja adiknya dan

menggoyangkannya kuat-kuat. "Kau yang harus berhenti bicara

sampah, Mahiro."

"Kau mau menghancurkannya sekarang?" tuntut Mahiro dengan nada

mengancam. Dia tidak lagi suka menggunakan adu pukul untuk

menyelesaikan perselisihannya dengan Shinji, tetapi pagi ini ide

tersebut terdengar sangat menggoda.

"Memangnya apa yang akan kuhancurkan? Penyamaran kita?" Shinji

mendorong Mahiro kuat-kuat hingga cengkeraman ke kerahnya

terlepas dan meninggalkan bekas renggutan kusut di sana. "Ini bodoh,

Mahiro!"

"Kebodohan ini juga yang membuatmu tetap tidak dikenali! Dan lihat

apa yang akan kau lakukan dengan itu semua!"

"Jangan bawa-bawa pembicaraan itu lagi! Kita berdua tahu niat

awalmu hanya untuk mengubah penampilan kita supaya Ibu tidak

teringat Ayah setiap melihat kita. Jangan mengira aku tidak tahu!"

Shinji membentak keras, membuat Mahiro terdiam. "Aku tahu apa

yang kau pikirkan. Jangan menganggapku bodoh dan merasa bisa

membohongiku dengan dalih bodoh semacam penyamaran. Aku tahu

Page 47: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

sebenarnya kau tidak peduli dengan apa yang orang katakan. Aku tahu

yang kau inginkan hanya kebahagiaan Ibu. Kau bahkan tidak akan

peduli kalau salah satu Uchiha mendatangimu." Shinji menghela

napas berat. "Memangnya kau pikir aku tidak peduli? Memangnya kau

pikir dengan cat rambut dan lensa kontak bisa membuat Ibu lebih

bahagia dari sekarang?" tuntutnya. Ketika Mahiro enggan menjawab,

dia berteriak. "Memangnya kau tahu apa yang bisa membuat Ibu

bahagia?!" Shinji tertawa mencemooh. "Hadapi saja, little brother.

Kau cuma takut. Kau takut berhadapan dengan siapa sebenarnya

dirimu."

Di hadapannya, Mahiro menundukkan kepala. Rambutnya yang belum

ditata dengan gel jatuh menutupi pandangannya. Melihatnya membuat

Shinji mengendurkan otot-ototnya yang tegang.

"Aku lelah. Aku sudah lelah berbohong. Aku ingin lepas dari

kebohongan, seperti apa yang Ibu harapkan dari kita melalui nama

yang dia berikan."

"Tidak hanya kau yang ingin begitu," ujar Mahiro lirih. Ada nada

kekalahan dalam caranya bicara.

"Tidak, tapi kurasa kau masih enggan berhenti," balas Shinji dengan

suara lebih halus.

"Berita itu sudah menghancurkan Ibu padahal aku bersumpah tidak

akan membiarkan Ibu sedih."

Page 48: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Dengan langkah tanpa suara, Shinji maju selangkah. Dia tepuk-tepuk

bahu adiknya dengan afeksi yang jarang dia tunjukan secara verbal.

"Memang, tapi bukan berarti kita tidak akan bersama Ibu," katanya

pelan. "Mereka bisa katakan apa pun tentang kita, tapi kita tetap anak

Ibu. Tidak akan ada yang berubah."

Mahiro kembali terdiam dengan kepala tetap tertunduk. Otot-otot

bahunya terasa lebih rileks di bawah sentuhan Shinji. Kerut dalam di

dahinya juga perlahan turut menghilang.

"Anak-anak, ada apa ini? Kenapa kalian belum sarapan?" Dua

bersaudara itu serempak menoleh ke arah tangga, mendapati ibu

mereka berdiri di anak tangga teratas dengan mengenakan pakaiannya

semalam. Wajahnya menampakkan lelah, tetapi tetap saja dia terlihat

luar biasa cantik di mata kedua putranya. Dia baru pulang

dari shift malamnya di rumah sakit dan hanya punya waktu enam jam

untuk beristirahat sebelum memulai kembali shift siangnya. "Kalian

bertengkar lagi?"

Shinji segera berbalik penuh, menawarkan senyum miringnya. "Tentu

saja tidak. Kenapa Ibu berpikir begitu?"

Memutar bola mata, Sakura mendekap tangan di depan dada. "Oh,

ayolah. Ibu kira kita sudah melewati masa pura-pura tidak tahu."

"Masa sih?" elak Shinji.

Page 49: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Oh, anak-anak Ibu yang manis," Sakura melangkah mendekat sambil

mengulum senyum. Dia tepuk-tepuk pipi Shinji dan Mahiro lembut

bergantian. "Yaah, karena kalian sudah selesai berkelahi, Ibu tidak

akan ganti mengomel." Dia raih tangan Mahiro dan menggenggamnya

erat. Sejenak dia pandangi putra bungsunya dengan tatapan yang tidak

terbaca. "Kau sudah boleh menghapus cat rambutmu, Mahiro. Ibu

sudah tidak apa-apa."

Mendengar ucapan sang ibu, Mahiro serta-merta mengangkat wajah.

Matanya terbelelak. Dia membuka mulut untuk bicara, tetapi suaranya

hilang entah kemana.

"Ibu tahu, Sayang. Ibu tahu," ujar Sakura dengan nada lembut

keibuannya. "Sudah tidak apa-apa." Dia acak-acak rambut Mahiro.

Di depannya, Shinji tersenyum kepada sang adik yang masih terpana.

"Nah, sudah 'kan? Kau mandi lagi sana, hapus cat rambutmu. Aku

masih punya sisanya di kamar mandi."

"Hmm, lagipula Ibu tidak ingin ditelpon dua sensei sekaligus gara-

gara rambut merah kalian." Dia sikut rusuk putra sulungnya main-

main.

Shinji mengerang. "Pak tua itu…"

"Nah, Mahiro akan mandi, Shinji yang akan membuat sarapan, dan

Ibu akan bersiap mengantar kalian."

"Ibu tidak lelah?" tanya Mahiro khawatir.

Page 50: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Hanya sedikit, tapi Ibu ingin bertemu dengan Paman Gaara

mumpung paman kalian sedang di sini."

"Paman di sini?" tanya Shinji dengan gemerlap antusias di matanya.

"Iya. Paman Gaara sedang ada urusan dengan kepala sekolah kalian,

jadi sekalian saja Ibu bertemu di sana. Cepat bergerak kalau tidak mau

terlambat."

.

Memiliki dua putra di usia muda dan merawat mereka seorang diri

memang bukan hal biasa, tetapi berjalan di keramaian ditemani

mereka yang bagaikan bayangan cerminan masing-masing lebih tidak

biasa lagi. Belum lagi mendapat tatapan aneh dari orang-orang di

sekitarnya.

Karena Toujou Gakuen tidak menyediakan tempat parkir untuk tamu,

Sakura terpaksa memarkir mobilnya di lokasi parkir umum yang

berjarak satu blok dari kompleks akademi. Bayangkan saja bagaimana

rasanya berjalan di Senin yang sibuk di wilayah perkantoran dan

persekolahan terpadat di Tsukiji. Belum lagi euforia perihal

berita most wanted bachelor itu belum juga mereda padahal sudah

hampir sebulan berlalu. Dan jangan lupakan sikap dua putranya yang

seakrab air dan minyak. Shinji tak henti-hentinya menggoda si adik

dan Mahiro tak henti-hentinya termakan ucapan si kakak. Keduanya

benar-benar menarik perhatian yang sesungguhnya tak diinginkan.

Page 51: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Bu, aku ingin kopi."

"Di rumah saja, Mahiro."

"Tapi di dekat sini ada kafe yang kopinya enak sekali."

"Uh huh, Ibu pasti suka," imbuh Shinji menyemangati.

Kalau sudah sama-sama ingin, dua kembar bersaudara itu jadi luar

biasa kompak.

Merasa aksi bujukan keduanya tidak akan berhenti sampai mereka

benar-benar mendapat secangkir kopi yang menjadi perkara, Sakura

akhirnya menyerah dan mengikuti kedua putranya yang mengambil

alih memimpin jalan. "Baiklah."

Kafe kopi yang mereka maksud adalah kafe kecil dekat sudut blok.

Beruntung pagi itu kafe tidak terlalu dipenuhi pengunjung. Kalau

tidak mereka benar-benar bisa terlambat.

"Pesankan kopi ekstra susu tanpa gula untukku, Shinji."

Sang kakak menatap adiknya sinis. "Berterima kasihlah karena pagi

ini aku ingin jadi anak penurut kesayangan Ibu, little brother. Ayo,

Bu."

Shinji segera menggiring ibunya memasuki kafe, meninggalkan tas

sekolahnya bersama Mahiro yang memilih duduk di bangku depan

kafe.

Page 52: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Ibu mau yang mana? Kusarankan Americano," ujar Shinji kepada

ibunya begitu mereka sampai di depan kasir.

"Hmm, baiklah. Terserah kau saja."

"Kotori-chan," panggil Shinji dengan akrab seraya

melirik nametag pegawai yang tersemat di dada kasir. Si kasir yang

usianya tidak lebih dari dua puluh tahun itu langsung tersipu-sipu

begitu Shinji mengedipkan mata kepadanya. "Dua Iced Americano

dan satu kopi hitam double," katanya dengan suara halus.

Di sampingnya, Sakura menghela napas. "Tadi Mahiro pesan kopi

ekstra susu, Shinji," tegur sang ibu sambil menggelengkan kepala.

Shinji hanya menyunggingkan senyum miringnya kepada sang ibu,

kemudian mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya. Setelah

menerima pesanannya, satu kedipan nakal tak lupa dia berikan kepada

kasir yang malang. Begitu keduanya keluar kafe, Mahiro sudah

menunggu dengan tak sabar.

"Mana punyaku?"

Dengan seringai jahil yang gagal disadari Mahiro, Shinji mengulurkan

gelas plastik berwarna cokelat gelap tersebut kepada adiknya yang

sudah menunggu dengan antusias. Tanpa curiga, Mahiro menyedotnya

dalam-dalam dan seketika terbatuk merasakan rasa pahit yang kental

di lidahnya. Shinji tertawa terbahak-bahak, mengundang perhatian

banyak orang yang sudah memperhatikan mereka sedari awal.

Page 53: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Shinji!" teriak Mahiro kesal. Cairan kopi pahitnya menetes dari

sudut-sudut bibir. Wajahnya mengernyit karena tidak terbiasa dengan

rasa pahitnya. Baik Shinji maupun Mahiro memang mewarisi gigi

manis ibu mereka.

"Adik tidak boleh main perintah kakaknya, little brother," tukas Shinji

dengan seringai mengejek.

Mahiro memicingkan mata sebal, tetapi memutuskan untuk tidak

berkomentar begitu melihat wajah tegas ibunya kembali terpasang.

"Sudah selesai bermain-mainnya? Kalian benar-benar akan terlambat

sekarang."

Kemudian, tanpa banyak bicara ketiganya kembali melanjutkan

langkah menuju akademi yang ada di seberang jalan. Untungnya

kompleks koukou memiliki gerbang masuk sendiri sehingga mereka

tidak perlu memutar jalan untuk mencapai gerbang utama. Hanya

dengan satu kali penyeberangan mereka sudah bisa mencapai gedung

sekolah.

"Ibu sudah menghubungi Paman Gaara?" tanya Shinji sambil

mengamati sekeliling. Ketiganya berjalan terus hingga memasuki

gedung utama yang merupakan gedung pusat kantor sekolah.

Sakura yang sedang mengeluarkan ponselnya dari saku roknya

memberi anggukan. "Di koridor depan."

Page 54: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Aku perlu ke toilet. Rasa pahit kopinya masih terasa sekali," keluh

Mahiro pelan, kemudian berbelok masuk ke toilet tanpa benar-benar

menunggu jawaban.

"Ya sudah. Kalau nanti Ibu dan kakakmu sudah tidak di sini, kau

langsung ke kelas saja."

Mahiro mengangguk patuh dan menghilang di balik pintu kayu toilet.

"Ah, rambut merahnya mudah sekali dikenali," ujar Shinji dengan

senyum kecil ketika melihat punggung Gaara di sisi kiri koridor.

Pamannya itu sedang berbincang-bincang dengan seseorang yang

tampak antusias sekali. "Paman Gaara!"

Sabaku Gaara menoleh ke belakang, kemudian tersenyum tipis ketika

melihat Shinji dan Sakura. Dia melambai sebentar, mengisyaratkan

keduanya mendekat. Shinji langsung berlari menghampiri, tetapi

kemudian langkahnya terhenti ketika mengetahui siapa yang sedang

mengobrol dengan pamannya tadi.

"Siapa, Gaara?"

Siapa lagi kalau bukan Uzumaki Naruto.

Shinji terdiam kaku. Dia berusaha mengalihkan fokusnya ke apa saja

selain sosok pria blonde di depannya. Nah, kalau sudah begini kemana

perginya lubang terdekat menuju Wonderland? Shinji berharap lantai

di bawahnya ini terbuka dan menyedotnya masuk supaya dia tidak

harus bertemu dengan pria tersebut. Sepertinya dia juga harus

Page 55: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

membawa serta ibunya yang masih belum menyadari situasi mereka.

Begitu tatapannya bertemu dengan pria Uzumaki tersebut, Shinji

langsung tahu ada perbedaan dalam pandangan matanya. Sepasang

mata biru jernih itu terbelalak lebar. Mulutnya membuka-menutup

tanpa ada suara berarti yang keluar.

"Gaara, kau mendadak sekali ke mari. Untung saja shiftku masih

fleksibel."

"Sakura," sapa Gaara. Gaara sendiri mengenal wanita tersebut karena

dia pernah menjadi pasien Sakura yang sedang kuliah praktik akibat

kasus keracunan makanan, dulu sebelum Shinji dan Mahiro lahir.

Keduanya kemudian menjadi teman mengobrol yang sangat cocok dan

Gaara menjadi figur paman bagi dua putra Sakura. Namun, Gaara

tidak pernah mengetahui masa lalu Sakura sebelum dia pindah ke

Akita. Dia memilih untuk tidak mengusiknya karena Sakura sendiri

tidak tampak berencana memberinya penjelasan. Karena itulah dia

juga tidak tahu menahu mengenai hubungan Sakura dan Naruto, salah

satu rekan bisnis yang dia kenal beberapa tahun silam.

Begitu Sakura berhenti di sisi putranya, barulah dia menyadari alasan

gelagat aneh Shinji. Matanya ikut membesar, memandangi sosok pria

yang hampir dua puluh tahun ini tidak pernah dia jumpai. Pria yang

kini turut memandanginya bagai melihat sosok hantu—atau sesosok

wanita yang baru bangkit dari kubur. Yang mana pun masih bisa

mendeskripsikan rona pucat yang menyapu wajah Naruto.

Page 56: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Sa–sakura–…chan?"

"Naruto…"

Shinji bergerak-gerak gelisah, tiba-tiba merasa gerah padahal musim

semi belum juga separuh jalan. Ketika sudut matanya menangkap

sosok Mahiro, keringat dinginnya bertambah.

Uzumaki Naruto kembali memindahkan fokusnya kepada Shinji, dan

ketertegunan yang tadi sempat tertunda kembali membuatnya

terbengong. "Sasuke…teme?"

Cepat-cepat Shinji menguasai diri. Dia keluarkan senyum miringnya.

"Halo, Paman Naruto," sapanya mulus. Dia ulurkan tangan ke

belakang, meraih Mahiro yang berdiri belakangnya. "Haruno Shinji,"

ucapnya seraya menunjuk dirinya. "Dan yang ini Haruno Mahiro,"

kali ini jemarinya menuding sang adik yang masih bingung. "Salam

kenal."

Di hadapan tiga Haruno, Uzumaki Naruto megap-megap mirip ikan

tersedak. Wajahnya membiru gara-gara dia lupa bernapas. Tiba-tiba

Gaara menepuk bahunya, mencairkan suasana yang begitu

menegangkan. "Anak-anak harus cepat ke kelas. Kita bisa mengobrol

sambil sarapan, bukan begitu, Sakura, Naruto?"

Sakura yang masih terbawa kekagetannya hanya bisa mengangguk

keras-keras. Matanya belum lepas dari Naruto.

Page 57: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Kalau begitu, aku dan Mahiro ke kelas dulu. Sampai jumpa, Paman-

Paman sekalian." Dia cium kening ibunya sekilas, melambaikan

tangan, kemudian segera menarik adiknya menuju gedung kelas

mereka masing-masing. Sikapnya terlihat luar biasa santai dan tenang.

Namun bagi orang yang benar-benar mengenalnya, mereka dapat

membaca beberapa gelagat yang menunjukkan bahwa dia sebenarnya

sedang sangat gugup. Semakin Shinji merasa gugup, semakin jelas

sikap tenang dan main-main yang dia tunjukkan. Sulung Haruno

memang lebih sulit dibaca ketimbang sang bungsu yang sedari tadi

hanya bisa mematung.

Begitu dua putranya hilang dari pandangan, Sakura mengulum

senyumnya yang ragu-ragu kepada sahabat baiknya. "Lama tidak

jumpa, Naruto."

"Sakura-chan!" pekik Naruto dengan matanya yang sudah berkaca-

kaca. Tak memedulikan sekitar, dia menghambur memeluk sosok adik

perempuan yang selalu dirindunya.

.

Ketika petang itu ibunya pulang, dua tamu ikut bertandang ke rumah

yang baru dua bulan ini mereka tempati.

"Ini rumahmu sekarang, Sakura-chan?" tanya Naruto dengan

kekagetan yang jelas terdengar dari suaranya. Di belakangnya, Gaara

baru saja menggantung jaketnya di gantungan dekat genkan.

Page 58: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Terkadang usia memang tidak bisa menjamin kedewasaan seseorang.

Di usianya yang sudah mendekati kepala empat pun Uzumaki Naruto

masih bisa bersikap kekanakan dengan suaranya yang lantang dan

kepolosan yang tiada duanya. Mata birunya membesar, menjelajah

seisi penthouse dua lantai tersebut dengan takjub. Mulutnya terbuka

dan tertutup.

"Hmm. Sai yang mencarikannya untukku," jawab Sakura seraya

berjalan menuju ruang tengah.

Nama Sai memang tidak lagi asing bagi Naruto. Pria itu merupakan

pelukis tersohor yang banyak melakukan pameran dan kebanyakan

pamerannya diadakan di ballroom hotel yang Naruto miliki.

Keduanya juga sudah menjadi teman akrab walaupun hingga kini

Naruto belum terbiasa menghadapi mulut tajam Sai yang tak kenal

ampun. Dia masih sering termakan ucapan Sai yang sedikit-sedikit

menyindir atau mengoloknya sinis (walaupun dengan niat canda, tetap

saja sakit terlanjur ditorehkan). Naruto paham Sai tidak ada maksud

buruk, tetapi lidah tajam tetap saja tajam. "Dunia ini memang sempit

sekali," desahnya.

"Kenapa memangnya, Naruto?" tanya Sakura bingung seraya

merebahkan punggung di loveseat yang ada di sana. Rasa lelah

setelah shift siangnya langsung terasa begitu punggungnya menyentuh

sofa yang empuk.

Page 59: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Dengan seringai lebar di wajah, Naruto menjawab,

"ini penthouse milik Sasuke." Mata birunya gemerlap oleh kilau

mengkhawatirkan.

Sakura, dan dua putranya yang baru turun dari kamar mereka setelah

membersihkan diri, tertegun kompak.

"Sasuke-teme merancang rumah ini, benar-benar membangunnya dari

awal. Semua perabot di sini juga dia sendiri yang mendesain

langsung."

Sakura buru-buru bangun dari sofa nyamannya. "Maaf?" Suaranya

terdengar parau dan ketat. Wajahnya tampak seolah dia sedang

kesakitan.

Naruto mengangguk-angguk, tampak tidak terpengaruh oleh ekspresi

ganji Sakura dan kedua putranya, kemudian mengambil tempat di

lengan loveseat yang Sakura tempati. Dia amati sekali lagi

sekelilingnya. "Sasuke baru sempat tinggal di sini tiga bulan, lalu ayah

dan ibunya menyuruhnya pulang. Kesehatan Paman Fugaku mulai

mengkhawatirkan. Karena Itachi sedang sibuk mengurus proses

pembukaan kantor cabang baru di Malaysia setahun belakangan ini,

akhirnya Sasuke yang didesak-desak pulang."

Ketiga Haruno tersebut terdiam. Sakura termenung di sofa dua

orangnya, mengamati pola melingkar karpet tebal di bawah kakinya

sedangkan dua putranya yang duduk dengan tak nyaman di anak

tangga sedang berusaha mengalihkan pikiran. Siapa yang sangka

Page 60: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

takdir sudah menggigit mereka sedari awal? Sosok Uchiha Sasuke

ternyata sudah sedekat ini dengan mereka. Mereka dekat di momen-

momen tak terduga.

"Bagaimana sekolah kalian, Shinji, Mahiro?" tanya Gaara segera

mengalihkan pembicaraan ketika merasa atmosfer rumah itu menjadi

lebih berat.

"Aa. Sejauh ini masih lancar-lancar saja, Paman," jawab Mahiro,

tersentak dari kelumit pikirannya.

"Tapi hari ini lebih baik dari biasanya," imbuh Shinji dengan seulas

kecil senyum gelinya kala teringat ekspresi teman-teman sekelasnya

yang luar biasa tak ternilai. Seluruh teman sekelasnya kaget melihat

perubahan penampilan Shinji yang jadi luar biasa mirip Sasuke. Tak

ada yang berani bicara hingga sensei datang untuk mengecek presensi

dan tidak ada yang berani mengungkitnya di depan Shinji. Morino-

sensei hanya mengomentari rambut barunya, dan jika pria tersebut

turut menyadari kemiripan Shinji dengan mantan muridnya dulu, dia

memilih untuk tidak berkomentar.

"Memangnya ada apa?" tanya Naruto antusias. Dia belum bisa lepas

sepenuhnya dari fase terpananya saat melihat Shinji dan Mahiro yang

luar biasa mirip Sasuke-teme (kali ini Shinji lebih mirip karena

rambutnya dibiarkan begitu saja, liar mirip buntut ayam). Orang asing

pasti bakal mengira Shinji itu Sasuke yang baru mendapat perawatan

botox terkini sehingga setiap kerut usianya secara misterius hilang—

Page 61: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

atau mungkin tersambar petir karena tiba-tiba punya sifat santai dan

main-main, bahkan penggoda.

"Terima kasih kepada wajah populer ini," jawab Shinji bergurau

seraya menunjuk wajahnya. Matanya yang dibingkai kacamata

menyipit karena senyumnya. "Tidak ada yang berhenti melihatku,

bahkan mereka sudah berani terang-terangan."

Mahiro mendengus. "Wah, itu 'kan favoritmu sekali," ujarnya sinis.

"Ayah kalian juga sering kesulitan gara-gara wajah itu," komentar

Naruto dengan riang. Matanya menyipit karena senyumnya yang

lebar.

Mendengarnya, Shinji tertawa. "Hanya adikku ini yang kesulitan,"

balas Shinji seraya menyodok rusuk Mahiro.

"Sou ka?" Naruto ganti mengamati Mahiro yang sedang berwajah

cemberut, kemudian menunduk memandang Sakura yang masih diam.

"Mahiro mirip sekali dengan teme, Sakura-chan."

"Uh huh," jawab Sakura tak fokus. Tangannya memilin helai

rambutnya yang terlepas dari sanggul kecilnya tanpa sadar.

"Sepertinya besok aku punya berita yang harus ditunggu-tunggu."

Shinji berujar. Dia berdiri, kembali menuruni anak tangga, dan

melangkah menuju dapur dengan senyum miring di wajah.

.

Page 62: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Haruno Shinji punya kemampuan bicara dan membaca orang dengan

sangat baik. Sifat bentukannya itu membuat banyak orang

menganggapnya licik. Licin seperti belut. Tentu saja sifat satu itu

bukan hasil turunan langsung ayah atau ibu, melainkan bentuk

kebalikan dari Mahiro, atau barangkali mekanisme perlawanan

terhadap sifat adiknya yang lebih kaku. Kalau Mahiro adalah sisi

panasnya, Shinji adalah sisi dinginnya. Keduanya bagaikan dua ujung

yang berseberangan dan kontras. Hal tersebut tercipta tak lepas dari

pengaruh masa kecil mereka. Dan sifat impulsif bawaan Mahiro juga

barangkali turut ambil peran sebagai katalisator.

Ketika mereka masih kecil, sekitar tujuh hingga sepuluh tahun, teman-

teman mereka sering mengolok-olok status mereka sebagai anak tidak

sah. Fakta itu bukan lagi rahasia mengingat mereka tidak punya ayah

dan masih memakai nama keluarga pihak ibu. Anak kecil terkadang

bisa bermulut lebih tajam dari pedang. Dan yang lebih mengerikan,

semua itu diucapkan tanpa mereka sadari. Di setiap perseteruan itu,

Mahiro cenderung melawan setiap olokan teman-temannya dengan

sikap kerasnya. Tak jarang dia terlibat adu pukul yang membuatnya

berakhir dengan lebaman dan luka berdarah. Kalau sudah begitu,

Shinji yang harus berada di posisi antara untuk menyelesaikan

pertikaian mereka. Shinji harus pandai-pandai bicara dan bercanda

untuk memadamkan pertengkaran konyol itu. Juga harus kuat-kuat

memendam kemarahannya sendiri di balik setiap senyum yang dia

tampilkan.

Page 63: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Karena itu, ketika Shinji dewasa, cara bicaranya adalah bisa derik

yang manis. Dia suka membuat ucapan-ucapannya bermakna ganda

yang membuat orang sulit menerjemahkan dirinya. Dari sifatnya yang

relatif lebih ramah dari Mahiro maupun ayahnya, orang-orang tetap

saja terhalang dinding tinggi yang memisahkan mereka dengan Shinji.

Dia pemuda yang mudah didekati, tetapi hampir mustahil

memahaminya. Rasa-rasanya, tiap kali bicara dengan Shinji, orang

harus siap untuk menerjemahkan ucapannya ke dalam makna lain,

karena terkadang apa yang dia ucapkan justru kebalikan dari apa yang

dia pikirkan atau rasakan. Dan barangkali karena itulah hingga satu

minggu ini tidak ada seorang pun yang berani secara langsung

mengomentari kemiripannya.

Namun, yang benar-benar punya kemampuan mengendalikan orang

lain dan mengarahkan mereka untuk kepentingan sendiri adalah

Mahiro dan otak bisnisnya yang tajam. Ketika Mahiro benar-benar

menginginkannya, dia bisa mengumpulkan pengikut yang loyal (yang

masih sering membuat Shinji sampai ngeri). Seperti sekarang ini.

Dalam waktu singkat, Haruno Mahiro menjadi pusat kelompok para

murid lelaki kelas sosial Toujou Gakuen. Kalau bukan karena reputasi

tinggi akademi mereka sebagai sekolah ternama, orang-orang akan

mengira Mahiro sedang membentuk geng liar, dan bukannya

sekumpulan pemuda remaja yang mengekor karena menghormatinya.

Dan sejauh yang Shinji tahu, Mahiro juga tidak kesulitan menampik

fakta kemiripan mereka dengan arsitek dan pebisnis terpandang itu.

Page 64: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Melihat tujuh pemuda berjalan dalam kerumunan dengan satu titik

pusat tidak henti-hentinya membuat Shinji merasa terintimidasi.

Adiknya benar-benar punya kharisma yang tak banyak orang miliki.

"Shinji."

"Ramai seperti biasanya, little brother," sapa Shinji balik sambil

memandangi kerumunan kecil di depannya.

Mahiro, dengan gaya stoic dan wajah impasif andalannya, hanya

mengangkat bahu dan berlagak cuek. "Harusnya aku yang bilang

begitu."

Shinji melirik kerumunan kecil di belakangnya, mengikuti arah

pandangan Mahiro. Perbedaan besar yang paling kentara di antara

mereka adalah kerumunan kecilnya terdiri dari banyak gadis yang

antusias mengikutinya sedangkan Mahiro berada di pusat fokus

kerumunan para pemuda. Sambil tertawa kering yang terkesan

dipaksakan, Shinji menggaruk pipinya. "Sebenarnya aku ingin minta

tolong soal yang itu." Ah, betapa Shinji enggan meminta bantuan

Mahiro. Biasanya, diikuti banyak gadis adalah salah satu hiburannya,

tetapi berhubung hari ini Shinji tidak tenang dan merasa sesuatu akan

terjadi (intuisinya terkadang kuat di saat yang tidak tepat), dia ingin

sedikit ketenangan dan kesendirian—dua hal itu jarang datang

bersamanya.

Sang adik mengangkat sebelah alisnya, menilai-nilai arti ekspresi

Shinji, kemudian hanya dengan isyarat kepala beberapa temannya

Page 65: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

menggiring sekawanan gadis yang bagai singa kelaparan itu pergi.

Begitu mereka menghilang dari pandangan, Shinji menghela napas

lega dan kembali memfokuskan diri ke arah adiknya.

"Kau kenapa?"

Shinji hanya bisa menggeleng sambil menghela napas lagi. "Rasanya

ada sesuatu yang mengganjal," jawabnya ragu.

Merasa sama bingungnya dengan sang kakak, Mahiro mengerutkan

kening. "Kuharap itu bukan apa-apa," ucapnya hati-hati.

Si sulung Haruno menyeringai, kemudian memutuskan untuk

membelokkan topik pembicaraan mereka. "Tadi Ibu menghubungiku,

memintaku membawa pulang mobilnya."

"Ada apa memangnya?" tanya Mahiro heran. Ibunya

mendapat shift pagi hari itu, jadi seharusnya dia sudah akan pulang

sore nanti.

"Ada pasien yang masuk, butuh perawatan intensif," jawabnya. "Kau

mau ikut atau langsung pulang?"

"Hn."

Apa pun yang berkenaan dengan sang ibu, Shinji akan langsung

mengartikan silabel rancu Mahiro sebagai persetujuan.

.

Page 66: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Toujou International Hospital hanya berjarak empat blok dari Toujou

Gakuen. Keduanya berada di bawah asuhan yayasan yang sama.

Hampir seluruh anak-anak karyawan rumah sakitnya bersekolah di

Toujou Gakuen. Beberapa beasiswa belajar kedokteran ditawarkan

kepada murid-muridnya yang berprestasi dan nantinya bisa bekerja

sebagai dokter maupun perawat di sana. Haruno Sakura bekerja di

Toujou International Hospital sebagai dokter spesialis bedah anak.

Prodigi dalam bidang kedokteran bedah tersebut mendapat tawaran

bekerja langsung oleh direktur rumah sakit, suatu peristiwa yang

jarang terjadi di Toujou. Namun, mengingat siapa wali yang

mendidiknya tanpa ampun, tidak perlu lagi terheran-heran. Di sana

Sakura langsung menjabat sebagai wakil kepala departemen bedah

anak. Beruntung baginya karena situasi kerja di rumah sakit tersebut

sangat kondusif. Setiap karyawannya menghargai kemampuan

individu, bukan hanya permasalahan senioritas.

Tak heran pula kalau Sakura sudah langsung diserahi pasien VVIP di

dua bulan pertama dia bekerja. Bukan karena penyakit yang

dideritanya, melainkan karena status keluarga si pasien yang

merupakan keluarga penyumbang dana terbesar bagi yayasan Toujou.

Terkadang, hal-hal semacam kekuasaan uang memang belum bisa

sepenuhnya diabaikan. Bahkan untuk urusan nyawa sekalipun.

Sakura sudah punya dua jadwal operasi besar minggu ini yang

membutuhkan fokus penuhnya, tetapi dia justru dibebani satu pasien

intensif lagi. Berurusan dengan bedah anak tidak bisa main-main.

Page 67: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Operasi sederhana bisa menjadi bencana jika dia tidak baik-baik

memahami kondisi pasiennya. Komplikasi sangat mudah terjadi dan

dia harus siap kapan saja.

Coba kita lihat apa penyakitnya…

Sakura membolak-balik lembar pemeriksaan pasien yang sedang dia

pegang sambil berjalan menuju ruang periksanya. Pemeriksaan

sederhana yang dilakukan oleh dokter residen menunjukkan adanya

masalah dengan usus buntu. Kasusnya sendiri baru tergolong kasus

sedang dan bisa dialihkan kepada dokter residen sekalipun, tetapi

mengingat siapa orang tua dan kekuasaan di baliknya, pasien satu ini

langsung dilemparkan kepada dokter senior sekaliber Sakura. Dia jadi

ragu apakah kasus ini bisa ditimpakan kepada rekan dokternya yang

lain.

Omong-omong, dia bahkan belum tahu siapa pasien ciliknya selain

penyakit yang didera.

Usia sepuluh tahun. Perempuan. Nagisa.

Tunggu…apa tadi nama depannya?

"Uchi—ha…Nagisa-chan?" sapa Sakura setengah tergagap.

Pandangannya masih tertuju ke arah papan jalannya ketika dia

membuka pintu ruang periksa.

"Iya, Dokter!"

Page 68: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Mendengar suara riang tinggi khas gadis kecil, Sakura segera

mengangkat pandangan ke arah gadis yang sedang duduk di ranjang

periksa. Seulas senyum yang sudah siap di bibirnya gugur seketika

ketika melihat siapa pasien dan siapa yang sedang menemaninya.

Masih dengan sikapnya yang tenang dan wajah impasif, Uchiha

Sasuke duduk bersama Nagisa di ranjang pemeriksaan sambil

mengusap-usap kepala gadis itu, tampak berusaha menenangkannya.

Sepasang mata hitamnya memandang tajam kepada Sakura.

Demi Tuhan. Pria itu tidak berubah sejak terakhir kali Sakura

melihatnya. Posturnya masih segagah dulu, pembawaannya masih

sekalem dulu. Usia hanya menawarkan kematangan kepadanya. Selain

kerutan samar di sudut-sudut matanya, tidak banyak hal lain yang

mencirikan usia sebenarnya. Pria itu tidak berubah banyak dari Uchiha

Sasuke yang masih berumur dua puluh tahun. Dan sekali lagi, jantung

Sakura yang malang dipaksa bekerja lebih keras dan lebih cepat dari

yang pernah tujuh belas tahun terakhir lakukan.

"Dokter?"

Sampaikan rasa terima kasihnya kepada pasien ciliknya yang manis.

Panggilan Nagisa kepadanya berhasil menyentak Sakura dari zona

terpukaunya dan mengaktifkan kembali mode dokter profesionalnya.

"Halo, Nagisa-chan," sapa Sakura sekali lagi. Kali ini dengan

suaranya yang halus dan riang. Senyumnya kembali terbentuk.

Dengan langkah mantap dan tegas, dia melangkah mendekati ranjang.

Page 69: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Diabaikannya sentakan jantungnya yang berdentam-dentam kuat di

rongga dadanya.

"Halo, Dokter," sapa Nagisa balik. Senyumnya luar biasa lebar untuk

ukuran anak yang sedang sakit.

Sakura mengangguk, senyum dokternya masih terpasang. "Salam

kenal, Nagisa-chan. Dokter Haruno ini yang akan merawatmu.

Semoga tidak terlalu lama, ya?"

Sekali lagi Nagisa tersenyum dan mengangguk.

"Jadi, bagaimana perutmu? Masih sakit seperti tadi?" tanya Sakura

sambil mengamati wajah Nagisa, mencoba mencari-cari tanda rasa

sakit dari ekspresi wajahnya. Selain tubuhnya yang terlalu kurus untuk

ukuran anak kecil, tidak ada masalah lain.

"Uun." Nagisa menggeleng mantap.

Sakura mengangguk-angguk seraya menuliskan catatan tambahan ke

laporan pemeriksaan Nagisa. Rasanya, bobot di bawah normal dan

kurang asupan gizi perlu ditambahkan untuk rangkaian perawatan ke

depan. Dokter itu sukses dibuat heran. Berasal dari keluarga kaya pun,

Nagisa terlihat sekurus anak-anak yang kurang beruntung. Tanpa

sadar dia geleng-geleng kepala—dan tertangkap perhatian Sasuke

yang terus menatapnya bagai elang mengawasi mangsa.

"Ada apa?" tanya suara berat itu.

Page 70: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sakura terkesiap, mendongak, dan langsung bertatapan dengan

sepasang mata Sasuke. "Oh, tidak ada apa-apa. Kondisi Nagisa-

chan tidak seburuk itu."

Merasa tidak puas dengan jawaban tersebut, Uchiha Sasuke

mengerutkan kening. Matanya memicing. "Ada sesuatu yang kau

pikirkan saat melihat Nagisa."

Tanpa sadar, Sakura memutar bola mata—satu kebiasaan lama yang

tidak lagi terpakai tiap kali menanggapi sikap Sasuke yang suka

mengorek hal-hal yang tertangkap perhatiannya. Terkadang, satu dua

hal mengenai sikap dan kebiasaan tidak banyak berubah, tidak peduli

setua apa mereka. "Kau benar-benar ingin tahu, Sasuke?" Sekali lagi

tanpa disadarinya, Sakura bicara dengan keakraban yang penuh rasa

nostalgia.

Jika Sasuke menyadarinya, pria itu tidak menunjukkannya. Wajahnya

tetap tenang. "Kalau itu memang menyangkut keponakanku."

"Tidak ada maksud menyinggung, tapi keponakanmu yang manis ini

berat badannya di bawah standar normal. Kau yakin dia diberi makan

tiga kali sehari dengan gizi lengkap?" Sakura melipat tangan di depan

dada, melemparkan tatapan menantang yang berkata beri-aku-

penjelasan-masuk-akal-tentang-ini-Uchiha.

Kebiasaan lama memang benar-benar sulit dihilangkan. Menerima

tatapan seperti itu membuat nyali Uchiha Sasuke, arsitek tersohor dan

pewaris Uchiha Company, seciut bocah sekolah dasar yang ketahuan

Page 71: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

membolos oleh guru konseling paling galak. Pria itu hanya bisa

mengalihkan pandangan karena rasa setengah malu setengah khawatir.

Bibirnya tertutup rapat.

Di tempatnya berdiri, Sakura mengetukkan kakinya yang berasal

sepatu bersol datar ke lantai ruangan. Tatapannya tak kunjung lepas

dari Sasuke. "Aku baru tahu motif garis seprai lebih menarik daripada

pertanyaanku tadi."

Uchiha Sasuke menghela napas pasrah. "Nagisa memang rewel

makan. Kau tahu sendiri."

Untuk sekejap, Sakura merasa takut. Apakah pria di hadapannya ini

sedang merujuk pada pengalamannya mengasuh Shinji dan Mahiro?

Tentunya, Sasuke tidak tahu, 'kan? Namun, buru-buru dia tepis pikiran

konyol itu. Tentu saja Sasuke berkata seperti itu karena memahami

tuntutan pekerjaannya sebagai dokter yang berurusan hampir 24/7

dengan anak kecil. "Shiru ka," ujarnya dengan nada bosan. "Kami

akan lakukan sesuatu selama Nagisa dirawat."

"Yoroshiku," jawab Sasuke dengan helaan napas.

"Nee, nee,"

"Ada apa, Nagisa-chan?" tanya Sakura. Perhatiannya sukses terambil.

Nagisa, yang sedari tadi mengawasi dua orang dewasa di depannya

dengan matanya yang selalu ingin tahu, menyela. Kepalanya miring

ke samping dan keningnya berkerut ketika dia sedang berpikir. Sasuke

Page 72: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

yang melihatnya diam-diam mendesah. Dia tahu arti ekspresi itu. Satu

pertanda pasti Nagisa akan menjadi sangat ngotot.

"Paman dan Dokter cantik sudah kenal lama?"

Yap. Tepat sekali.

Sasuke mengerutkan kening. Sakura merona mendengar pujian polos

gadis kecil itu. "Kenapa kau berpikir begitu, Nagisa-chan?"

"Karena Dokter cantik bisa memarahi Paman," jawabnya polos. "Dan

Paman jadi mirip Mauro-kun saat dimarahi Sensei karena bandel."

Sakura menaikkan alisnya tinggi-tinggi. Sasuke berdecak. "Paman

tidak begitu," bantah Sasuke langsung seketika. Bisa-bisanya dia

disamakan dengan anak sekolah dasar.

Namun rupanya, Sakura punya ide lain. "Ara?" Senyum geli

tersungging di sudut bibirnya. "Paman Sasuke memang nakal, tapi

Nagisa-chan tidak perlu khawatir." Nagisa berseri-seri. Sasuke

memicing. "Paman Sasuke yang nakal ini akan mengurus segala

keperluan Nagisa-chan selama dirawat di sini." Sakura kemudian

beralih menatap Sasuke. Ekspresi mode dokternya kembali terpasang.

"Urusan administrasi bisa diselesaikan di bagian internal.

Informasinya bisa didapat dari meja resepsionis. Begitu urusan

administrasi selesai, kami akan segera menjadwalkan operasi."

Suaranya lugas dan tandas, tidak menyisakan tempat untuk tambahan

Page 73: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

percakapan. Begitu Sakura berbalik dan melangkah keluar, wajahnya

kosong.

Yang tidak dia ketahui adalah wajah pria yang dia tinggalkan juga

serupa dirinya. Kosong bagai cerminan satu sama lain.

Terkadang, beberapa hal lebih mudah daripada berlaku semua baik-

baik saja.

.

"Uchiha-san?" panggil suara itu.

Langkah Shinji terhenti mendengarnya. Bahunya menegang saat

merasakan seorang wanita berdiri di arah belakangnya—yang tak

salah lagi, tadi memanggilnya.

"Uchiha-san? Maaf telah membuat Anda menunggu."

Dengan gerakan kaku, Shinji berbalik dan langsung bertemu pandang

dengan wanita perawat berseragam biru yang tengah tersenyum

sambil mendekap papan jalan di depan dada. "Oh," responnya dengan

tertegun. Otaknya lambat memproses situasi ganjil di depannya dan

dia kesulitan menampilkan ekspresi yang layak.

Perawat dengan label nama Suzuki tersebut memamerkan senyum

cerahnya, tidak menunjukkan tanda-tanda dirinya menyadari gelagat

kaku pemuda di depannya. "Mari saya tunjukkan jalan. Nagisa-

sansudah sudah dipindahkan ke bangsal anak." Perawat tersebut

tersenyum sekali lagi, kemudian berbalik dan mengisyaratkan Shinji

Page 74: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

yang dia sangka sebagai Uchiha untuk mengikutinya ke bagian sayap

timur rumah sakit dimana bangsal anak berada.

Berjalan dua langkah di belakang pemandunya, Shinji menyimpulkan

senyum setengah geli setengah sinis di sudut bibirnya. Padahal

sebelum datang ke rumah sakit, Shinji nyaris menghabiskan separuh

gel penata rambutnya hanya untuk menurunkan bagian-bagian rambut

hitamnya yang mencuat liar di bagian belakang kepala. Poni

rambutnya ditata jatuh menutupi dahi. Menurut ibunya, model rambut

seperti itu membuatnya mirip Paman Sai. Kacamata minusnya

kembali bertugas seperti biasa dan tidak mampu menyembunyikan

warna hitam iris matanya seperti lensa kontak hijaunya. Pakaiannya

juga tidak aneh-aneh, hanya jeans cokelat dan kemeja ungu gelap

bermotif garis tipis putih. Lengan kemejanya digulung hingga sebatas

siku dan dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka. (Kalau dia bertemu

Sakura, pasti ibunya akan berkomentar pakaiannya tidak rapi, tetapi

Shinji ngotot itu adalah gaya berpakaiannya.)

Well, pikirnya, dan di sini kukira penampilan kami sudah tidak terlalu

mencolok. Mungkin ayahnya memang sudah berhenti menua dan

wajahnya tidak berubah sejak menginjak usia akhir remaja, atau justru

Shinji yang berwajah tua. Dalam situasi mana pun, Shinji tentu saja

lebih memilih dalih pertama. Atau keberuntungannya mulai berjalan

ke garis minus. Dia jadi bertanya-tanya apakah adiknya yang sedang

menunggu di tempat parkir mobil sedang sebal karena disuruh

menunggu.

Page 75: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Pikiran-pikiran melanturnya terhenti ketika perawat bermarga Suzuki

tersebut berbalik dan kembali tersenyum kepada Shinji. "Dokter

Haruno menjadwalkan operasi esok lusa, setelah itu Nagisa-sanakan

mendapat perawatan lanjutan untuk masalah berat badan dan asupan

gizinya."

Wanita muda tersebut sepertinya sama sekali tidak menyadari

perubahan air muka dan aura Shinji. Yang tadinya terasa

menyenangkan kini berubah masam, apalagi ketika mengetahui siapa

pun Nagisa ini ditangani langsung oleh ibunya. Apakah sang ibu

sudah bertemu ayahnya? Shinji jadi cemas luar biasa.

"Nagisa-san ada di dalam. Silakan masuk." Si wanita perawat dengan

riangnya berbalik, sama sekali tidak menyadari kesalahan konyolnya.

Tanpa sepengetahuan Shinji, perawat tersebut kemudian berpapasan

dengan Uchiha yang sesungguhnya (dan dia syok luar biasa

sedangkan Uchiha Sasuke hanya menaikkan alis tinggi tanpa bicara)

di belokan menuju area resepsionis yang ada di bagian tengah

kompleks rumah sakit. Kemudian dalam perjalanannya menuju lantai

empat, dia menggunakan lift dan bertemu dengan sosok lain yang juga

mirip Uchiha—kali ini tidak ada keramahan pada auranya seperti yang

dia rasakan dari sosok pertama, melainkan hanya wajah yang

memberengut.

Ditinggalkan sendiri di depan salah satu kamar rawat (yang tak salah

lagi adalah ruang VIP), Haruno Shinji hanya bisa tepekur. Dia baca

berkali-kali nomor kamar dan penghuni sementaranya. C.2.34 dengan

Page 76: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

penghuni Uchiha Nagisa. Dia miringkan kepala ke kanan dan ke kiri,

mencoba memutuskan apakah dia harus masuk atau cepat-cepat pergi

sebelum ayahnya datang. Namun, keingintahuan selalu memenangkan

pertempuran batin Shinji melawan logikanya. Dia tahu benar apa yang

bakal terjadi dan bisa mengira-ngira reaksi Mahiro nanti kalau

mendengarnya, tetapi godaan untuk masuk dan menjamah seujung

bagian kehidupan Uchiha Sasuke terlalu besar untuk bisa dia tolak.

Haruno Mahiro dan amukannya bisa dia atasi nanti. Semudah

biasanya. Begitu putusnya.

Dan kini setelah keinginan pribadinya lagi-lagi menang, Shinji

memutar pegangan pintu dan mendorongnya hingga terbuka. Ruangan

rawat anak yang dihiasi banyak lukisan dinding segera

menyambutnya. Di sudut ruangan, tempat dimana ranjang berada,

seorang gadis kecil berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun

sedang duduk seorang diri. Punggungnya menghadap Shinji.

Melihatnya, Shinji bertanya-tanya apa hubungan gadis berambut

hitam panjang itu dengan Uchiha Sasuke. Belum sempat Shinji selesai

menyusun berbagai kemungkinan dalam benaknya, si gadis sudah

lebih dulu berbalik. Mata hitam besarnya menatap Shinji.

"Ojichan…"

Ah, keponakan. Mungkinkah gadis kecil itu putri Uchiha Itachi,

paman Shinji? Jadi, gadis itu adalah sepupunya?

Page 77: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"—janakutte." Sepasang mata hitamnya menyipit ketika sekali lagi dia

memperhatikan sosok Shinji dari ujung kepala hingga ujung kaki,

terus begitu berkali-kali. "Dare?"

Mendapati cara bicara yang terkesan tidak sopan bagi gadis kecil

sepertinya, Shinji menaikkan alisnya tinggi. "Itu bukan cara yang baik

untuk bicara dengan orang yang lebih tua—" siapa namanya tadi? Ah,

"—Nagisa-chan."

Rona kemerahan segera mewarnai wajah kekanakannya, tetapi cepat

hilang ketika menyadari satu keganjilan dari kalimat Shinji. "Dari

mana kau tahu namaku? Dan kenapa kau ada di sini? Kau mau

menculikku?" tanya Nagisa beruntun, wajahnya sudah tampak takut

dan seolah siap lari kapan saja.

Shinji tersenyum mendengus. "Namamu tertulis jelas di depan pintu.

Aku ke mari karena seorang perawat yang mengantarku. Dan tidak,

aku tidak berniat menculikmu. Kecuali kau gadis manis, barangkali

aku akan mempertimbangkannya."

Ketakutannya perlahan memudar dan digantikan ekspresi tak berminat

di wajahnya. "Lalu, apa yang mau kau lakukan di sini?" tanyanya

santai sambil kembali menekuni buku cerita yang tadi sedang

dibacanya.

Shinji tersenyum tipis dan mengangkat bahu. "Aku tidak tahu.

Mungkin aku akan pergi setelah menyapamu."

Page 78: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Baiklah, kau sudah menyapaku dan sekarang kau bisa pergi."

Shinji mati-matian menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Dia

sedikit takjub juga mendapati sifat gadis kecil itu yang tidak seperti

gadis-gadis seusianya. "Ha'i, ha'i." Enggan menguji

keberuntungannya lebih jauh, Shinji berbalik. Kedua tangannya

tenggelam di dalam saku celananya dan dengan santai dia keluar dari

ruangan tersebut, tetapi Nagisa kemudian menghentikannya.

"Tunggu! Aku masih punya satu pertanyaan."

Shinji tidak berbalik, hanya menoleh dari atas bahunya. "Hm?"

"Kenapa kau mirip sekali dengan pamanku?"

Ada gemerlap yang lewat sekilas di kedua matanya dan seringai jahil

di sudut bibirnya. "Doppelganger."

"Nani?!" Nagisa memberengut. "Kau kira aku percaya? Katakan

kepadaku siapa kau sebenarnya!"

Shinji sudah memutuskan lebih baik dia pergi sekarang daripada

meladeni keingintahuan gadis cilik itu. Biasanya dia suka anak kecil,

terutama yang lawan jenis dan punya sifat manis dan bukannya asam

seperti Uchiha Nagisa satu ini. Suara langkah kaki yang mendekat di

koridor rumah sakit yang sepi segera menghentikan gerakan Shinji.

Shinji kembali memandang depan dan tertegun.

Seorang perawat yang berdiri di depannya terkesiap kaget.

Pandangannya berpindah-pindah cepat dari Shinji ke pria yang berdiri

Page 79: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

di belakangnya. Ekspresi yang terekam jelas dari sepasang mata

kecokelatannya tidak lagi bisa disalahartikan. Kemiripan dua pria

tersebut tidak terbantahkan.

Ini dia Uchiha Sasuke.

Haruno Shinji mengerang dalam hati. Mati-matian dia coba menata

ekspresinya supaya tetap tenang dan datar seperti cerminan di

depannya. Kalau sudah begini, Shinji kadang iri dengan

sifat stoicbawaan Mahiro.

Sekarang setelah melihatnya secara langsung, Shinji jadi paham

kenapa sewaktu kecil ibu dan pamannya selalu menyuruhnya menatap

cermin setiap kali dia dan adiknya menanyakan perihal sang ayah

biologis (walaupun dalam kasus normal, Mahiro selalu berpura-pura

tidak mau tahu. Tipikal tsundere. Shinji sudah maklum). Shinji sama

sekali tidak tahu ada kasus dimana seorang anak mewarisi

seluruh copy genetik dari satu pihak orang tua saja sehingga terlihat

luar biasa mirip, tetapi dalam kasus Shinji dan Mahiro, mereka

menyalin sempurna gen ayah mereka. Dari warna hitam rambut dan

mata, kelakuan liar rambut, tinggi, perawakan, hingga hal-hal kecil

seperti gerakan alis yang ekspresif.

Pasangan ayah dan anak itu saling tatap, tidak lebih dari beberapa

detik, tetapi Shinji merasa nyawanya sudah mengempis banyak.

Untungnya, sepupunya memutuskan untuk bersikap manis dan segera

menginterupsi.

Page 80: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Paman!"

Uchiha Sasuke mengalihkan tatapannya kepada Nagisa yang heboh

berlari ke arahnya. Menyadari ada celah bagi Shinji untuk pergi,

pemuda itu melangkah ke samping dan membiarkan Sasuke lewat.

Kemudian, dengan langkah tanpa suara dia beranjak pergi, tidak

menghiraukan wanita perawat yang masih berdiri terpaku di koridor.

Tentu saja rencana kaburnya akan berhasil, tetapi dia lupa kalau adik

tersayangnya punya kecenderungan mengacaukan setiap rencananya

di saat-saat paling krusial. Baru dua langkah Shinji pergi, ponselnya

berbunyi. Cukup nyaring untuk menarik perhatian Uchiha Sasuke dan

Uchiha Nagisa kembali kepadanya. Shinji memaki-maki dengan suara

rendah sambil mengangkat telpon.

"Kau dimana, Shinji!"

Shinji mengernyit mendengar suara teriakan Mahiro dari ponselnya.

"Kau itu di rumah sakit, bodoh, jangan berteriak," desis Shinji luar

biasa kesal. Tidak salah lagi, Sasuke pasti sudah mendengar suara

Mahiro.

"Kau membuatku menunggu! Kau kemana saja HAH?!"

Kali ini Shinji membawa ponselnya jauh-jauh dari telinganya yang

malang.

"Mahiro! Apa yang Ibu bilang dengan menjaga volume bicara di

rumah sakit?!"

Page 81: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Lalu terdengar suara rintihan memilukan Mahiro.

Sepertinya karena tidak betah menunggu, adik kecilnya memutuskan

untuk ikut mencari dan justru lebih dulu menemukan sang ibu. Shinji

menghela napas, kemudian menyudahi pembicaraan telepon yang

sudah jelas menarik perhatian orang lain, terutama ayahnya. Dengan

gerakan kaku dan gugup, Shinji berbalik dan memasang senyumnya

kepada dua Uchiha. "Maaf sudah me—"

"Kau siapa?"

Lagi-lagi Shinji memaki, tetapi kali ini hanya berani dia lakukan

dalam hati. Akhirnya dia tahu dari mana kebiasaan memotong

omongan orang tanpa tedeng aling-aling dan suara bertipe rendah

Mahiro berasal.

"Dia bilang dia doppelgangermu, Paman." Nagisa yang berdiri di

dekat kaki Sasuke menarik-narik kain celananya.

Sasuke menunduk menatap keponakannya dengan sebelah alis

terangkat.

"Tadi kau bilang kau tidak percaya doppelganger, Nagisa-chan," kata

Shinji menyela dengan senyum geli di sudut bibir, yang membuatnya

mendapat tatapan sebal dari Nagisa. Shinji memang selicin belut.

"Sekarang aku juga masih tidak percaya!" bantah Nagisa keras kepala.

Pipinya kembali merona.

Page 82: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Aa, sayang sekali. Aku tidak bohong." Shinji tersenyum, kemudian

mengulurkan sebatang permen cokelat yang dia keluarkan melalui trik

sulap sederhana kepada Nagisa. Gadis cilik itu segera melompat untuk

menerimanya dengan wajah cerah. "Mungkin kita akan bertemu lagi

suatu hari, Uchiha Sasuke-san." Shinji mengulas senyum tipis. "Orang

bilang, bertemu dengan doppelgangermu adalah pertanda buruk." —

terlebih, kalau kau punya dua doppelgangger. Shinji membungkukkan

badan sejenak, kemudian meninggalkan ruang rawat Nagisa dengan

senyum kalemnya. "Sore jaa."

Tidak dia sadari arah pandangan ayahnya yang terus mengikutinya

sampai dia menghilang di belokan koridor.

.

Sosok Haruno Sakura merupakan bagian permanen dalam hidup

Uchiha Sasuke. Paling tidak, sampai delapan belas tahun lalu.

Semenjak mengenalnya, tak sehari pun terlewat tanpa dirinya. Ketika

mereka tidak bertemu, komunikasi melalui telpon atau surat atau kartu

pos yang selalu menghubungkan mereka. Kalau bukan karena

kehadiran tetap Naruto bersama mereka, barangkali berbagai gosip

karena kedekatan mereka sudah tersebar luas. Gosip-gosip itu yang

membuat Sakura tidak punya banyak teman perempuan. Seingatnya,

hanya tiga orang yang dekat dengan Sakura. Ino, Hinata, dan Tenten.

Gosip itu juga yang membuat Sakura tidak pernah didekati lawan

jenis, atau barangkali tidak ada yang berani mengingat keberadaan

Sasuke yang nyaris konstan di sekitarnya.

Page 83: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Karena itu, suatu hari Sasuke memutuskan untuk menjauh. Dia ingin

memberi kesempatan kepada teman-temannya yang lain (yang dia

ketahui punya perasaan khusus kepada Sakura) untuk maju. Namun,

tak ada yang berhasil. Sasuke terus menjauh, tetapi Sakura terus

mendekat. Belum ada seminggu, Sasuke memutuskan dia lelah dan

membiarkan rutinitas bertiga mereka kembali dimulai. Waktu itu,

Sakura terus memberi dan Sasuke terus menerima. Dan Sasuke hanya

diam membiarkannya.

Peran Sakura dalam kehidupan Sasuke sangat besar, lebih dari yang

dia sadari dulunya. Sosoknya sudah menjadi satu faktor tetap

tersendiri hingga terkadang Sasuke lupa akan keberadaan dan

pengaruhnya. Sasuke tidak pernah menyadari, dia tidak pernah

berpikir bagaimana seandainya konstanta itu tiba-tiba hilang dari

kehidupannya.

Dan hal tersebut terjadi, delapan belas tahun lalu. Sakura menghilang.

Sakura pergi dari kehidupannya, dari kehidupan Naruto dan teman-

temannya. Sakura pergi dari kehidupannya sendiri. Dan Sasuke tidak

punya cara untuk menemukannya. Atau mungkin tepatnya, Sasuke

tidak punya alasan untuk menemukannya.

Dulu Sasuke memercayai bahwa Sakura hanyalah satu titik dari untai

panjang kehidupan fananya. Orang-orang datang dan pergi, dan tidak

ada yang bisa mencegahnya. Kemudian, Sasuke memutuskan bahwa

Sakura adalah salah satu di antaranya. Dia datang, dan sekarang

Page 84: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

memutuskan pergi. Peran apa pun yang dilakoninya selesai sudah.

Sasuke melepasnya.

Namun, yang tidak Sasuke sangka-sangka adalah bekas kehilangan itu

lebih besar dari bekas lain yang tersisa dalam dirinya akibat kepergian

banyak orang dari kehidupannya. Sasuke tidak mengerti kenapa rasa

kehilangan yang dia rasakan kali ini jauh lebih mendalam dari rasa-

rasa lain yang pernah dia rasakan. Sasuke tidak mengerti kenapa rasa

itu terus ada, bahkan ketika dia tidak lagi mampu mengingat suaranya,

atau caranya tersenyum kepadanya. Sasuke tidak mampu

memahaminya. Kemudian, sahabatnya datang membawa jawaban.

Katanya, itu cinta.

Mulanya Sasuke tidak percaya. Cinta merupakan satu kosa kata paling

ganjil dalam hidupnya. Ambisi, tujuan, kekalahan, dan kekecewaan

barangkali lebih bermakna ketimbang satu kata semanis cinta. Sasuke

tidak memercayai adanya perasaan semulia itu dalam dirinya.

Terlebih, Sasuke tidak memercayai dirinya bisa memilikinya. Sasuke

tidak meyakini dirinya bisa mencintai seseorang, tetapi barangkali dia

memang salah. Dia memang tidak banyak mengenal cinta, tetapi

sepertinya fungsi itu tidak lantas lenyap dari dirinya. Barangkali

kemampuan tersebut tertidur jauh di dalam dirinya, dan sebelum

Sasuke menyadarinya, Sakura keburu pergi.

Ketika akhirnya pemahaman itu mengendap dalam dirinya, maknanya

menyusup jauh ke dalam jiwanya, dan Sasuke sadar. Naruto benar.

Page 85: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Namun, sekali lagi Sasuke tidak berbuat apa-apa. Sasuke

mencintainya, tetapi Sakura memutuskan untuk pergi darinya. Dan dia

telah melepasnya pergi.

Kalau begitu, biarlah. Barangkali sejak awal arti pertemuan mereka

hanya sebatas ini. Barangkali Sakura memang seharusnya tidak lebih

dari satu sosok paling berharga dalam hidupnya. Sakura telah

mengubahnya dan Sasuke berterima kasih karenanya.

Sayangnya, jawaban itu sama sekali tidak bisa menjadi dalih kenapa

hingga di usianya yang ke tiga puluh delapan ini dia tidak juga

menikah. Mungkin tepatnya, baru akan menikah. Dengan seorang

wanita pilihan orang tuanya yang tidak mampu menghidupkan

kembali kemampuan mencintanya.

.

Keluarga Haruno menghabiskan banyak waktu bersama Naruto. Pria

itu sering mengunjungi rumah sakit Toujou untuk sekadar berbincang

dengan Sakura. Tentunya ketika dokter tersebut tidak sedang bertugas.

Dia juga sering mengantar-jemput dua putra Sasuke ke sekolah.

Ketiganya kemudian menjadi luar biasa dekat. Bakat alami Naruto

yang membuatnya mudah disukai orang juga rupanya memengaruhi

kedua remaja tersebut, bahkan melawan Mahiro yang pada dasarnya

tidak memiliki sifat dasar ramah dan supel. Namun sekali lagi, Naruto

adalah pria yang bertahan menjadi sahabat baik Sasuke yang dikenal

jauh lebih dingin dan tak bersahabat selama hampir tiga dekade. Jadi,

Page 86: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

rasanya Mahiro bukan satu pengecualian juga di sini. Naruto juga

akhirnya mengetahui bahwa Shinji adalah pemuda yang beberapa

minggu lalu bertemu dengannya, walaupun saat itu penampilannya

luar biasa berbeda. Dan dengan Naruto yang seperti biasa, dengan

mudah dia melupakan pertemuan mereka yang tidak terduga tersebut.

Naruto paham dua remaja tersebut merasa perlu menyembunyikan

identitas mereka, baik sebagai putra Uchiha Sasuke maupun putra

Haruno Sakura.

Ketika sore itu Naruto sekali lagi menjemput keduanya, baik Shinji

maupun Mahiro tidak bisa menahan lagi keingintahuan mereka.

Bukannya mereka tidak senang diantar-jemput dan mengenal paman

baru, tetapi lama-lama Naruto jadi mengingatkan mereka kepada

Paman Kakashi yang sejauh ini belum pernah memperlihatkan

gelagat businessmannya.

"Paman tidak ada pekerjaan?" tanya Shinji tiba-tiba begitu dia duduk

di sebelah Naruto yang mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit

Toujou.

"Uh?" Naruto hanya angkat alis sambil terus memerhatikan jalan.

"Waktu luang Paman sepertinya banyak sekali. Setiap hari bisa

menjemput kami," ucapnya memperjelas. Adiknya duduk di kursi

belakang, walaupun tampak sedang tekun membaca buku, tetap

memperhatikan perbincangan dua orang di depannya.

Page 87: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Tanpa diduga-duga, Naruto justru tertawa lepas. Suara tawanya yang

renyah memantul-mantul di dalam mobil. Namun, pria itu memilih

untuk tidak memuaskan keheranan putra sahabatnya.

"Paman tidak punya keluarga sendiri?" Kali ini Mahiro yang bertanya.

"Kenapa kau berpikir begitu?" tanya Naruto sambil melirik Mahiro

dari pantulan cermin di atasnya.

Mahiro, masih dengan konsentrasi diarahkan ke bukunya, mengangkat

bahu. "Kalaupun pekerjaan Paman tidak sebanyak itu, atau memang

sengaja ditinggalkan secara tidak bertanggungjawab—" Naruto

meringis di bagian itu. "Harusnya Paman juga tidak selalu bersama

kami. Itu kalau Paman memang punya keluarga sendiri."

"Tentu saja punya. Paman punya istri dan seorang anak laki-laki.

Namanya Kai. Dia baru dua belas tahun."

"Kai?" Shinji mengangkat sebelah alis ke arah pamannya. "Kai seperti

pada shake?"

Mahiro di belakangnya mendengus, kemudian memutar bola mata.

"Mana mungkin Paman Naruto menamai anaknya sendiri salmon?"

Sebelum Naruto sempat berkomentar setuju, Mahiro buru-buru

menambahkan. "Kurasa itu kai untuk kerang. Bukan begitu, Paman?"

Uzumaki Naruto menggeram dengan kening berkerut dalam. "Paman

tidak menamai putra Paman dengan salmon atau kerang," tukasnya,

membuat kedua remaja itu menyeringai. "Itu kai dari sekai, oke?"

Page 88: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sekali lagi Naruto mengembalikan fokusnya ke jalan di depannya,

mengabaikan seringai Shinji yang semakin lebar.

"Dunia? Jadi, Kai ini dunia Paman?"

"Seikai." Naruto menyeringai puas. "Dia sudah mendominasi seluruh

dunia Paman bahkan sebelum dia lahir." Ada kebanggaan dan rasa

sayang membuncah yang tidak salah lagi terdengar dari suaranya.

Mata sewarna kristal birunya melihat kejauhan seolah tengah

memandang satu sosok imajiner yang tidak tampak oleh siapa pun

kecuali dirinya sendiri.

Di sampingnya, Shinji mengulas senyum halus. Dadanya sesak

melihat sosok seorang ayah dari diri pamannya. Dia jadi bertanya-

tanya apakah suatu hari nanti ayahnya sendiri akan menyebut

namanya dan adiknya dengan rasa membuncah yang sama. Namun,

lebih dari itu Shinji kembali mempertanyakan apakah mungkin

ayahnya mengenal mereka. Rupanya Mahiro juga merasakan perasaan

mutual itu. Sama seperti kakaknya, dia juga membayangkan

datangnya hari itu di atas lembar-lembar buku yang tengah terbuka di

hadapannya. Seolah dia bisa melukisnya di sana dan melihatnya kapan

saja. Sayangnya, Mahiro tidak punya bakat gambar sang kakak.

"Kapan-kapan Paman akan mengajaknya mengunjungi kalian. Dia

suka sepak bola," kata Naruto bersemangat. Bila pria itu menyadari

atmosfer melankolis di dalam mobilnya, dia tidak menunjukkan

gelagat terpengaruh olehnya.

Page 89: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Nada suaranya yang riang membuat Shinji dan Mahiro menyeringai.

Belum lagi keduanya membalas, dering ponsel terdengar. Naruto

buru-buru memasang earphone dan menjawab telpon masuk tanpa

memeriksa siapa penerimanya.

"Moshi-moshi?"

"Naruto." Suara bertipe berat dari seberang sambungan membuat

Naruto menegang sedetik—yang untungnya lolos dari mata tajam dua

penumpangnya.

"Ada apa?" tanya Naruto. Dengan hati-hati dia berusaha untuk tidak

menyebutkan nama penelponnya.

"Hari ini Nagisa sudah bisa keluar dari rumah sakit. Aku ada rapat

mendadak di perusahaan. Kau bisa menjemputnya?"

Yang dimaksud perusahaan pasti adalah yang milik keluarganya.

Karena kesehatan ayahnya yang mulai menurun, bungsu Uchiha itu

juga harus menangani urusan perusahaan ayahnya. Untungnya dia

punya orang-orang terpercaya untuk menjalankan perusahaannya

sendiri selama dia mendedikasikan waktu menjaga perusahaan

ayahnya tetap berjalan. "Oh, tentu, tentu. Aku harus mengantarnya

kemana nanti? Rumah orang tuamu?"

"Hn. Kutitipkan dia kepadamu."

"Tentu."

Page 90: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Telpon di seberang mematikan sambungannya lebih dulu. Sambil

melepas earphonenya, Naruto melirik Shinji dan Mahiro bergantian.

Nah, sekarang bagaimana enaknya? Mengantar mereka dulu ke rumah

(yang artinya membatalkan janji jalan-jalannya bersama mereka dan

Sakura) atau malah mengajak satu Uchiha bersama? Naruto sekarang

malah bingung sendiri.

Shinji yang menyadari perubahan ekspresi pamannya memutuskan

untuk bertanya. "Ada apa, Paman?"

"Oh? Tidak ada apa-apa," jawab Naruto, cepat-cepat kembali menata

ekspresinya. Kalau menurut Sakura, Haruno satu ini (demi Tuhan,

Naruto ingin berani menyebut mereka Uchiha karena dia jauh lebih

suka itu) tajam membaca orang dan mencium kebohongan.

Dan betul saja. Sama sekali tidak termakan jawaban bohong Naruto,

Shinji terus menekan. "Apa Ayah yang tadi menelpon?"

Mendengarnya turut membuat Mahiro mengalihkan fokusnya dari

buku yang sedang dia tekuni. Dia memandangi Shinji dari belakang,

juga reaksi Paman Naruto yang mirip kucing tersedak dari cermin di

atas kepalanya.

"Dari mana kau tahu?" tanya Naruto setengah histeris. Pria itu merasa

bisa kapan saja kehabisan udara.

Shinji hanya tersenyum miring, kemudian menjawab ringan.

"Sebenarnya yang tadi itu cuma candaan."

Page 91: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Berada di balik kemudi, Naruto merengut dalam. "Ha-ha."

"Ha-ha, tentu," kata Shinji dengan senyum geli. Dia biarkan Naruto

berkonsentrasi ke jalan sejenak. "Jadi, apa yang tadi ada hubungannya

dengan kami?"

"Kalau aku tidak paham lebih baik, aku akan mengira kalian terlalu

percaya diri."

"Paman terus melirik ke arah Shinji atau ke arahku begitu menjawab

telpon, sadar atau tidak. Dan sekarang, Paman sedang

mempertimbangkan dua keputusan yang sama-sama tidak

menyenangkan," Mahiro menimpali dari belakang.

Naruto jadi teringat cerita Sakura mengenai dua putranya belakangan

ini. Dua remaja kontras itu kalau sudah bersatu padu, menghindar

adalah pekerjaan yang nyaris mustahil. Kalau mencoba maju, akan

berhadapan dengan Shinji. Mencoba mundur, hanya akan dihadang

Mahiro. Kalau sudah menginginkan sesuatu, akan mereka dapatkan.

Dari jalan depan seperti konfrontasi langsung, atau jalan belakang

dengan manipulasi dan ancaman. Dari berbagai ceritanya, Naruto bisa

menarik kesimpulan bahwa Sakura pun kesulitan menghindar.

Untungnya, dua putranya tidak pernah meminta yang aneh-aneh.

Belum. Dan merasa dia tidak akan mendapatkan hasil memuaskan dari

upaya menghindar, Naruto memutuskan untuk menyerah bahkan

sebelum mencoba melawan. Apa yang Uchiha inginkan, mereka

dapatkan. Sebagai Uchiha asli, hal itupun tidak luput dari mereka.

Page 92: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Aku harus menjemput Nagisa di rumah sakit. Sepupu kalian," ucap

Naruto setengah hati.

"Aa. Nagisa-chan sudah sehat sekarang?" tanya Shinji, teringat

pertemuan singkatnya dengan sepupu ciliknya beberapa minggu lalu.

Shinji bisa merasakan tatapan menusuk adiknya dari kursi belakang,

juga suara dalamnya yang tiba-tiba terdengar berbahaya. "Kau

mengenalnya?"

"Tidak juga. Hanya sempat mengunjunginya sekali."

"Apa?" Baik Naruto maupun Mahiro sama-sama terkejut.

Shinji memang suka sekali menggoda orang. "Sepupu kita itu manis

sekali lho, Mahiro."

"Kapan kau bertemu dengannya, Shinji?" tanya Naruto. Dia sudah

membelokkan mobil memasuki halaman depan rumah sakit Toujou

dan menuju lokasi parkir.

Shinji terdiam, menunggu Naruto menepikan mobil dan mematikan

mesin. "Sepertinya dia pasien intensif yang harus dirawat Ibu."

Mahiro dan Naruto kompak terbelalak.

"Aku bertemu dengannya karena seorang perawat salah mengenaliku

sebagai Ayah." Shinji angkat bahu tenang, bicara seolah apa yang

dikatakannya tidak lebih penting dari komentar mengenai cuara cerah.

"Omong-omong, aku juga bertemu Ayah," dia kemudian terkekeh,

Page 93: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

kontras dengan ekspresi horor di wajah Mahiro dan Paman Naruto.

Shinji memutuskan untuk tidak memedulikannya dan memilah-milah

kejutan yang akan dia ucapkan. "Kalau mengamati sikap ganjil Ibu

hari itu, kutebak Ibu juga sudah bertemu Ayah. Dengar-dengar, Paman

Itachi sedang di Hokkaido 'kan?" Naruto mengangguk tanpa sadar

dengan wajah terbengong. "Pasti Ayah yang mengantar Nagisa dan

menemaninya di sana. Dan mengingat Ibu adalah dokter yang

menangani Nagisa, pasti hingga detik ini Ibu sudah lebih dari sekali

bertemu Ayah."

Mahiro yang duduk di kursi belakang terdiam. Tangannya diremas-

remas di sisi tubuh. Ekspresinya kosong dan bahunya tegang. Dia

masih belum menemukan suaranya. Dia juga tidak tahu harus bicara

apa begitu suaranya kembali.

"Tapi Ibu baik-baik saja. Dan hanya itu yang penting. Jadi Paman

tidak perlu khawatir. Kami tidak keberatan bertemu sepupu kami, atau

Uchiha manapun. Benar 'kan, Adik?"

Shinji mengawasi adiknya mengatur napas. Ada ketegangan yang

perlahan-lahan menguap seiring dengan setiap napas yang dia hela.

Setelah beberapa saat, Mahiro akhirnya mengangguk. "Hn."

.

Menyaksikan wajah manis, gembira, dan menggemaskan berubah

menjadi horor luar biasa begitu melihat Shinji dan Mahiro mengekor

di belakang Naruto benar-benar pengalaman tak terlupakan. Shinji

Page 94: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

langsung meledak dalam tawanya, kali ini tidak terlalu kontras dengan

sikap sang adik yang sedang menyeringai—mendapati suasana

dimana mereka berada sama lucunya dengan yang Shinji rasakan,

tetapi memilih untuk mengapresiasinya dengan sedikit lebih

terkendali.

Naruto yang berdiri di antara ketiga Uchiha hanya bisa menatap

Uchiha paling muda di ruangan itu dengan rasa kasihan. Sedikit

banyak Naruto paham bagaimana perasaan Nagisa dan menebak

pikiran carut-marut apa saja yang terlintas dalam kepala kecilnya. Dia

sendiri juga kaget luar biasa waktu pertama kali bertemu dengan

Shinji dan Mahiro. Lebih condong horor, malah. Mungkin di

pertemuan pertamanya Shinji belum banyak mempengaruhinya dan

dengan cepat dia melupakannya. Belum lagi waktu itu kemiripan

Shinji dengan Sasuke tersamarkan oleh rambut merah dan mata hijau.

Namun hari ini, dihadapkan kepada dua sosok yang mengingatkan

orang terhadap Uchiha tertentu dari sudut mana pun tentu bukan

pengalaman biasa. Air muka Uchiha Nagisa berganti-ganti dengan

cepat dalam kurun waktu kurang dari sepuluh detik.

Butuh dua menit penuh bagi Shinji untuk meredakan ledakan tawanya.

Ketika akhirnya dia berhasil menenangkan diri, sudut-sudut matanya

telah basah oleh air mata. Tangannya memegang perut yang terasa

kram akibat reaksi berlebihannya. Sekarang dia justru merintih sambil

terbatuk-batuk.

Page 95: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Sudah selesai tertawanya, Shinji?" tanya Mahiro sinis. Wajahnya

tampak begitu puas ketika mengamati saudaranya kesakitan dari sudut

mata.

"Si—siapa kalian?!" Uchiha Nagisa berteriak histeris. Dia kembali lari

menuju ranjangnya yang sudah ditata rapi, melompat ke atasnya, dan

menyembunyikan diri di bawah selimut.

"Jangan bergerak tiba-tiba begitu, Nagisa-chan. Bagaimana kalau

bekas jahitannya terbuka lagi?" pekik Naruto khawatir.

Untuk sesaat, Nagisa melupakan kekagetannya. "Sudah kering,

Paman!" Ketika Mahiro memutuskan untuk bicara (di saat yang luar

biasa tidak tepat dengan nada suara yang mirip Ayah), Nagisa kembali

mengingat rasa takutnya. Kali ini datang dalam banjir besar. "Siapa

mereka, Paman!"

"Nagisa-chan, tenang dulu!" pinta Naruto mencoba meredakan

ketakutan gadis cilik itu, tetapi tentunya tanpa hasil memuaskan.

Nagisa sudah akan berteriak histeris lagi ketika pintu kamarnya

terbuka dan menampakkan dokter cantik yang selama tiga minggu ini

merawatnya. "Dokter!" Tiba-tiba dia sudah melompat turun lagi dan

berlari ke arah pintu. Gerakannnya begitu lincah untuk ukuran gadis

sepuluh tahun yang baru sembuh dari sakitnya.

"Ada apa, Nagisa?"

Page 96: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Shinji dan Mahiro menoleh, serempak berseru tanpa benar-benar

menyadarinya. "Ibu!"

Haruno Sakura mengangkat pandangannya dari Nagisa yang sedang

memeluk erat perutnya dengan wajah luar biasa takut. "Shinji?

Mahiro? Apa yang kalian lakukan di sini?" Keningnya sendiri

berkerut heran. Pandangannya berpindah-pindah dari kedua putranya

kepada Nagisa yang masih tak mau melepas pelukannya.

"Ibu?!" Nagisa kembali memekik. Kali ini pandangannya berpindah

cepat dari dua pemuda yang luar biasa mirip pamannya ke dokter yang

sedang dia peluk perutnya. "Dokter kenal mereka?" tanyanya dengan

suara kental rasa takut.

Dengan sifat keibuannya yang alami, Sakura mengelus puncak kepala

Nagisa untuk menenangkannya. Perlahan tetapi pasti raut takut di

wajah gadis itu memudar. "Tentu saja. Kalian sudah berkenalan?"

Nagisa menggeleng kuat-kuat. "Tapi kenapa mereka mirip Paman

Sasuke?"

Ouch. "Hmm…" Tiba-tiba Sakura merasakan desakan kuat untuk

memandang langit-langit ruangan ketimbang membalas tatapan heran

dan bertanya Nagisa yang diarahkan kepadanya seorang. "Masa?"

Bahkan Sakura sendiri merasa reaksinya luar biasa payah.

Nagisa mengangguk mantap. Keningnya berkerut dan wajahnya luar

biasa serius untuk ukuran gadis kecil.

Page 97: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Shinji menyimpulkan senyum, kemudian berjongkok di depan Nagisa,

membuat sepupunya mundur dan bersembunyi di balik tubuh ibunya.

"Bagaimana kalau kita berkenalan dulu?" Dengan wajah curiga,

penasaran, sekaligus takut, Nagisa memandangi Shinji yang kini

sejajar pandangan matanya. "Namaku Shinji, dan yang di belakang itu

adikku, Mahiro. Salam kenal, Nagisa-chan." Dengan senyum di sudut

bibir, Shinji mengelus puncak kepala Nagisa yang menyembul takut-

takut.

Walaupun rasa penasaran dan curiga masih kuat dia rasakan, Nagisa

memilih untuk diam. Tangannya meremas erat jas dokter Sakura. Dia

mengangguk dan balik memperkenalkan diri. "Uchiha Nagisa. Salam

kenal."

Shinji dan Mahiro kompak tersenyum.

Menyaksikan interaksi tiga bersaudara tersebut membuat Sakura tidak

bisa menghentikan senyumnya. Seandainya ada kemungkinan

ketiganya saling memperkenalkan diri sebagai saudara sepupu…

Sakura segera menghentikan bayangan tersebut dari pikirannya dan

beralih menatap Naruto. "Kau yang menjemput Nagisa, Naruto?"

Naruto mengangguk, kemudian beranjak menuju meja dimana Nagisa

meletakkan tas bepergiannya yang berisi pakaian gantinya selama

dirawat di rumah sakit.

"Nah, kau sudah siap pulang, Nagisa?" tanya Sakura sambil mencolek

pipi Nagisa lembut.

Page 98: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Reaksi gadis cilik tersebut yang berupa gelengan dan wajah

memberengut membuat empat orang di sana mengerutkan kening.

"Aku masih ingin di sini," rengeknya.

"Masih ada yang sakit?"

Lagi-lagi Nagisa menggeleng.

"Lalu kenapa tidak ingin pulang?" tanya Sakura lembut.

"Aku masih ingin bersama Dokter!" Dengan kepolosan murni anak

sepuluh tahun, Nagisa memeluk pinggang Sakura sekuat yang dia

bisa. Wajahnya disembunyikan di balik jas dokter yang Sakura

kenakan.

Dengan gerakan halus dan lembut, Sakura melepaskan diri dari

pelukan Nagisa yang ternyata cukup kuat. Dia kemudian ikut

merendahkan diri di depan Nagisa. "Kita bisa bertemu kapan-kapan.

Dokter tidak mau bertemu Nagisa di rumah sakit lagi karena itu

artinya, Nagisa sedang sakit."

Walaupun wajahnya masih merajuk, Nagisa akhirnya mengangguk.

"Baiklah…"

"Ayo kita pulang, Nagisa-chan. Kakek dan Nenek pasti sudah

kangen." Naruto melangkah mendekat. Di tangannya sudah ada tas

kecil milik Nagisa yang berisi beberapa barangnya selama dirawat di

rumah sakit.

"Tapi aku ingin digendong."

Page 99: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Baiklah. Paman siap!"

"Tapi aku tidak ingin digendong Paman!"

"Lalu siapa yang harus menggendongmu, Nagisa-chan?"

Tanpa diduga, Nagisa menunjuk Mahiro yang berdiri tak jauh di

depannya. "Mahiro."

Yang sedang ditunjuk mengangkat alis. "Kau terlalu besar untuk

digendong," tolaknya mentah-mentah. Nagisa langsung mencebik dan

Shinji menyikutnya keras-keras. "Baiklah, tapi hanya sampai mobil,"

ujarnya buru-buru menambahkan sambil meringis sakit. Kedua

tangannya dimasukkan ke dalam saku celana seragam musim

panasnya yang berwarna abu-abu. Dasi merah yang dia kenakan

bersama kemeja putih berlengan pendek sudah ditarik longgar.

Nagisa mengangguk setuju. "Kalau sudah turun, aku mau Shinji yang

menggendongku."

"Jadi aku harus ikut pulang bersamamu?" tanya Shinji menunduk

memandang sepupunya dengan kening berkerut.

Nagisa mengangguk lagi, luar biasa semangat. "Dokter juga."

Ketiga Haruno dan satu Uzumaki saling tatap khawatir.

"Mereka tidak bisa ikut, Nagisa-chan. Mereka harus pulang," bujuk

Naruto sambil berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.

Page 100: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Sebentar saja. Aku ingin mengenalkan Kakek, Nenek, dan Paman."

Kening putihnya berkerut dalam. Wajahnya mulai merajuk lagi.

"Dokter masih punya beberapa pasien yang harus dirawat."

"Akan kutunggu!"

Dengan kompak, mereka mengerang dalam hati.

"Aku dan Mahiro sudah ada janji dengan teman-teman sekolah.

Sayang sekali."

"Batalkan!"

"Tidak bisa."

"Batalkan!"

"Tidak bisa dibatalkan, Nagisa," ulang Shinji dengan wajah serius.

"Kubilang batalkan!" Uchiha cilik itu justru berteriak, kembali

histeris.

Mahiro menggeram dalam. Wajahnya merengut tak setuju. "Rupanya

Uchiha satu ini terlalu dimanja."

Naruto hanya tertawa gugup sambil menggaruk pipinya. "Yah, dia

putri Itachi sih, putra favorit Paman Fugaku. Jadi dia dimanja sekali."

Shinji memilih untuk tidak berkomentar dan hanya melirik Naruto

dari ekor mata.

Page 101: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Kami tidak bisa pergi, Nagi," tolak Mahiro sekali.

Nadanya yang serius membuat Nagisa kembali merajuk. "Kalau

begitu aku tidak mau pulang!"

"Ya sudah. Kau bisa tinggal di sini kalau mau," ucap Mahiro tegas

tanpa ampun. Bukannya dia tidak suka anak kecil, tetapi dia merasa

perlu memberi ketegasan dan batasan kepada sepupu yang baru

dikenalnya satu jam terakhir.

Merasa baru kali ini permintaannya ditolak mentah-mentah, Nagisa

mulai mengeluarkan senjata andalannya. Tangisan. Namun, Mahiro

tetap memasang wajah tidak peduli. Shinji berusaha mengalihkan

perhatiannya kepada apa pun selain Nagisa. Sakura sendiri hanya

menghela napas, tetapi tidak berbuat apa-apa untuk menenangkannya.

Ketiga Haruno itu memang paling tidak setuju dengan sikap

memanjakan. Hanya Naruto yang tampak luar biasa panik.

"Gomen, Naruto. Aku harus kembali memeriksa pasien. Tugas jagaku

masih satu jam lagi." Setelah melemparkan senyum permohonan maaf

kepada Naruto dan Nagisa, Sakura berlalu dengan papan jalan di

tangan. Suara ketukan sepatunya kemudian menghilang di balik pintu.

Tanpa peringatan, tangisan Nagisa menjadi dua kali lipat lebih keras.

"Paman, telpon Ayah atau siapa saja lah untuk menjemputnya," ujar

Shinji dengan wajah menyesal. Dia sebenarnya tidak tega melihat

Nagisa menangis pilu begitu, tetapi di satu sisi dia tidak bisa

Page 102: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

mengiyakan permintaan gadis itu. Anak yang terbiasa dimanja begitu

akan cenderung meminta lebih begitu mereka mengiyakan

permintaannya. Kalau sudah sampai di rumah kakek neneknya, siapa

yang tahu permintaan macam apa yang akan Nagisa ajukan. Belum

lagi memikirkan ibunya. Shinji enggan mencari tahu sampai sebatas

mana ibunya bisa bertahan.

Dengan berat hati, Naruto mengangguk. Walaupun dia masih

mengharapkan dua sahabat baiknya bisa bersama, dia tahu dia tidak

bisa memaksa sekarang. Sakura jelas-jelas tidak siap, begitu juga

dengan kedua putranya. Dan di pihak lain, rencana pernikahan Sasuke

sedang panas-panasnya diperbincangkan oleh kedua belah pihak,

ditambah media yang mirip cacing kepanasan. Terlalu banyak

konsekuensi yang harus dia bayarkan hanya untuk menuruti keinginan

gadis kecil.

Naruto keluarkan ponselnya dari saku dalam jas yang dia kenakan dan

menekan tombol nomor tiga yang merupakan nomor speed dial untuk

Sasuke. Di dering keempat, Sasuke mengangkat.

"Sasuke? Gomen. Aku kesulitan membawa Nagisa pulang… Iya, itu

suara tangis Nagisa… Tidak, bukan begitu. Dia hanya akrab dengan

beberapa orang dan menolak pulang… Iya. Dia ingin beberapa orang

ini ikut pulang bersamanya… Tentu saja tidak bisa! Kau terlalu

memanjakannya!... Minta ibumu atau siapa saja yang bisa

menenangkannya… Dia benar-benar tidak mau… Baiklah, akan

kucoba, tapi kau harus cepat datang… Oke."

Page 103: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Bagaimana, Paman?"

"Sasuke yang akan datang, tapi itu pun baru satu atau dua jam lagi

paling cepat. Aku harus mencoba menghentikan tangisnya dulu."

Mahiro mengerutkan kening tak puas. "Itu terlalu lama."

Naruto hanya mengangkat bahu pasrah. Pandangan matanya

mengikuti Nagisa yang sedang berusaha naik ke ranjangnya dan

menenggelamkan diri di balik selimut. "Itu sudah yang paling cepat."

"Apa orang di rumahnya tidak ada yang bisa menjemput?" tanya

Shinji yang kini sudah duduk di tepi ranjang sambil berusaha

mengusap-usap (apa yang sepertinya) punggung Nagisa.

"Perjalanan dari Setagaya ke Tsukiji juga tidak bisa dikatakan cepat.

Apalagi di jam-jam pulang kantor begini," jawab Naruto sambil

mengecek jam tangannya yang menunjukkan hampir pukul lima.

Kedua bersaudara itu mengerutkan kening, saling bertukar pandang,

dan mengamati tubuh Nagisa yan naik-turun. Suara tangisnya sudah

berhenti, tetapi masih menyisakan sesenggukan memilukan.

Beberapa saat lamanya mereka terdiam, hingga akhirnya Mahiro

menghela napas panjang. "Ya sudah. Kita antar Nagi saja."

Naruto membeliak dan bergantian meminta penjelasan kepada dua

remaja itu.

Shinji mengangguk setuju. "Tidak apa-apa, Paman."

Page 104: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Naruto menelan ludah susah payah. "Kalian yakin? Tidak takut?

Sudah siap?"

Mendengarnya, Mahiro justru tersenyum mendengus. "Tentu saja.

Lagipula, Nenek Tsunade yang mengajarkan kami untuk terus saja

maju."

Shinji mengangguk sekali lagi, kemudian menyibukkan diri dengan

mencoba berbicara kepada Nagisa. "Ayo kita pulang. Dokter tidak

bisa ikut sekarang, tapi aku dan Mahiro akan mengantarmu pulang.

Bagaimana? Kau mau tidak?"

"Benarkah?" Jawaban Nagisa terdengar teredam dari dalam selimut.

Suaranya serak akibat menangis terlalu keras.

"Tentu. Sekarang keluarlah."

"Ugh—" Sejurus kemudian, selimut itu terdorong ke segala arah dari

dalam. Lengan dan kaki kecilnya berusaha untuk mencari celah, tetapi

hanya gerutuan kesal yang terdengar. "Aku tidak bisa lepas!"

teriaknya dari dalam.

Shinji menghela napas, kemudian turun tangan membantu sepupunya

mencari jalan keluar. Keningnya berkerut dalam ketika dia berusaha

menjadi tepian selimut yang anehnya, menghilang entah kemana.

"Kulihat kau sudah menguasai jurus belitan selimut, Nagisa,"

komentarnya kering.

Page 105: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Butuh setidaknya lima menit untuk mengeluarkan gadis kecil itu dari

dalam selimut. Begitu terbebas, wajahnya luar biasa merah akibat sisa

tangis dan kelelahan. "Tadi itu panas sekali," katanya.

Mahiro melirik jengkel. "Itu 'kan salahmu sendiri," katanya sambil

menutup ponselnya sehabis menghubungi sang ibu. "Ayo. Ibu sudah

bilang oke."

.

Kediaman Uchiha yang mereka tuju berlokasi di Setagaya, distrik

dimana di sana akan banyak ditemukan rumah-rumah mewah dan

kawasan perumahan elit. Setagaya juga merupakan distrik dengan

populasi penduduk paling besar. Dan mengingat keluarga besar

Uchiha merupakan penguasa bisnis elektronik Jepang, tak

mengherankan lagi kalau kediaman mereka dibangun di atas tanah

seluas hampir satu hektar. Shinji dan Mahiro hanya bisa bertanya-

tanya, kiranya apa saja yang dibutuhkan klan besar itu sampai-sampai

merasa perlu membangun rumahnya di tanah seluas itu. Memasuki

gerbang utamanya, yang tampak di sekeliling hanya bangunan-

bangunan kayu bermodel tradisional dengan sentuhan modern di sana-

sini dan taman-taman asri.

"Ayo, ayo cepat turun!" Nagisa bergerak-gerak tak sabaran di

pangkuan Shinji. Mahiro duduk di sebelah Naruto, menggantikannya

karena si kecil itu ingin duduk bersama Shinji.

Page 106: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Kau bisa turun sendiri 'kan, Manis?" tanya Shinji sambil membuka

pintu di sampingnya.

Nagisa memberengut kepada Shinji. "Tidak mau!"

"Hn, ya sudah. Kau kucilik saja," godanya. "Ayo, Paman. Kita pergi

saja lagi."

"Ayo turun!" rengek Nagisa panjang. Dia tarik-tarik kemeja Shinji

hingga kusut. Dasi hijaunya juga turut tertarik longgar akibat ulah

Nagisa.

Merasa tidak bisa membebaskan diri dari sepupu manjanya, Shinji

akhirnya mendesah. Dia rapatkan pelukannya dan melangkah keluar

dari mobil. Naruto dan adiknya segera menyusul keluar.

"Aku bisa bawa paksa Nagisa. Kalian tunggu saja di sini," bisik

Naruto kepada Mahiro.

Mahiro hanya menyeringai masam. "Aku ingin lihat Paman

mencobanya."

Tanpa berkomentar, Naruto segera mendekat ke arah Shinji yang

sedang menggendong Nagisa. Dalam gendongannya, gadis kecil itu

sibuk menceritakan tempat-tempat kesukaannya sambil sesekali

menunjuk ke sekeliling. "Nagisa-chan, ayo bersama Paman saja,"

bujuk Naruto dengan senyum lebarnya.

Page 107: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Gadis kecil yang biasanya sangat lengket kepadanya itu kini justru

terang-terangan mengabaikan Naruto dan tawarannya. "Tidak mau!"

tolaknya mantap.

"Shinji pasti capek menggendongmu. Kau 'kan sudah besar," Naruto

kembali berusaha membujuk sambil berusaha menarik Nagisa ke

gendongannya.

Dengan kekeraskepalaan yang sepertinya diwariskan turun-temurun,

Nagisa semakin merapatkan pelukannya ke leher Shinji.

"Sudah, tidak apa-apa, Paman," kata Shinji tenang kepada pamannya.

Dia ulas senyum miringnya. "Kalau tidak sekarang, barangkali kami

tidak akan punya nyali lagi."

Mahiro menyeringai mendengarnya. "Ibu sudah oke. Paman tidak

usah khawatir."

"Tapi tetap saja ini rasanya terlalu cepat," desah Naruto. Bahunya

turun. Dia merasa tidak berguna sekarang. Justru anak-anak remaja ini

harus maju seorang diri menemui keluarga besar yang tidak pernah

mengenalnya. Bukannya tidak mungkin reaksi keluarga Uchiha justru

negatif. Keduanya masih berstatus anak tidak sah dan Sasuke sebentar

lagi akan menikah dengan wanita yang menguntungkan perusahaan.

Naruto ingin melakukan sesuatu demi wanita yang sudah dia anggap

adik sendiri dan untuk kedua keponakan yang tidak dia ketahui

keberadaannya sekarang. Dia masih belum memahami alasan

kepergian Sakura dulu, juga kenapa dia memutuskan untuk

Page 108: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

menyembunyikan keberadaan Shinji dan Mahiro. Apa pun itu, dia

yakin ini saatnya mereka bahagia. Dan jika kebahagiaan itu datang

dengan terus hidup tanpa sosok Sasuke, Naruto akan membantu

dengan sekuat tenaga. Namun hari ini, si kembar justru ingin

menabrak tembok Uchiha seorang diri. Naruto hanya bisa diam di tepi

dan menemani.

"Ini sudah delapan belas tahun, Paman. Hampir sembilan belas,

malah. Sudah tidak pantas kalau kami terus beralasan sembunyi."

Naruto hanya bisa terdiam sambil menatap Shinji dalam-dalam. Dia

kemudian menghela napas. "Baiklah kalau memang ini saatnya.

Kalian cemas?"

Kedua putra sahabatnya itu tersenyum miring. "Kurasa, kami sudah

siap lari pulang. Kami tegang sekali.

"Kalau begitu, lebih cepat lebih baik?" gumam Naruto sambil

mengulas senyum ragu.

"Tentu saja."

.

"Tadaima!"

Haruno Shinji dan Haruno Mahiro mundur dua langkah dengan

ekspresi kompak mengernyit. Uchiha Nagisa yang baru turun dari

gendongan Shinji sedang berdiri di ambang pintu rumah, baru saja

Page 109: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

melepaskan sapaannya yang lebih mirip jeritan tujuh oktav. Naruto

yang berdiri paling belakang di antar mereka terkekeh.

"Kalau tidak teriak begitu, tidak akan ada yang dengar, kalian tahu?"

katanya, masih dengan kekehan.

Kedua pemuda itu kompak menghela napas, kemudian mengamati

sekeliling rumah. Keduanya masih belum bisa berhenti terpana

melihat (dan merasakan langsung) luasnya rumah yang lebih layak

dianggap istana itu. Dan sepanjang perjalanan dari gerbang utama ke

bagian tengah kompleks rumah, belum sekalipun mereka bertemu

dengan orang lain. Suasananya benar-benar hening. Mereka tidak akan

kaget kalau ada yang beranggapan kompleks rumah itu adalah

museum karena saking sepinya.

Pikiran melantur mereka terhenti ketika mendengar suara langkah kaki

terburu dari dalam rumah. Beberapa saat kemudian terdengar teriakan.

"Nagisa-chan!"

Lagi-lagi keduanya meringis. Naruto menepuk-nepuk punggung

mereka dari belakang, kemudian berbisik. "Selamat datang di rumah

Uchiha, Anak-anak."

"Nenek!" Nagisa melompat maju dengan gegap gempita,

meninggalkan dua Haruno dan Naruto terpaku di ambang pintu, dan

menghambur ke pelukan seorang wanita di awal enam puluhnya yang

sedang berlutut di depan pintu.

Page 110: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Oh! Cucu Nenek sudah pulang."

Tak lama kemudian, terdengar suara beberapa langkah kaki lain

menyusul mendekat.

"Kakek!" Dari pelukan neneknya, Uchiha Mikoto, Nagisa berseru

riang. "Oh! Ayah! Kakak!"

"Memangnya kau sudah boleh teriak-teriak begitu, Nagisa?" Pria yang

tetap gagah di usia tuanya itu berdiri di tepi genkan, menunduk

memandang cucunya. Walaupun wajahnya kaku dan serius, ada binar

kebahagiaan yang tak salah lagi terpampang jelas dari matanya. Di

sebelahnya berdiri Uchiha Itachi, putra sulungnya, dan Uchiha

Shizuku, cucu pertamanya—yang dia ketahui.

"Hm, aku tidak tahu," jawab Nagisa polos sambil melepaskan diri dari

pelukan neneknya. "Kira-kira aku sudah boleh berteriak, belum,

Shinji?" Tiba-tiba dia menoleh ke belakang, menatap Shinji dengan

sepasang mata hitamnya yang membulat—seolah dia baru saja

menyadari keberadaan tiga orang lain di belakangnya.

"A—oh..." Shinji gelagapan. Cahaya yang datang dari arah

belakangnya membuat wajahnya berbayang. "Kurasa kau sudah sehat,

tapi berteriak seperti itu tidak sopan, Nagisa."

Uchiha Nagisa menunduk memandangi ujung-ujung sepatunya, dan

bergumam panjang. Sama sekali tidak dia sadari atmosfer keluarganya

yang berubah kaku. Seolah baru saja menyadari kehadiran tamu lain

Page 111: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

malam itu, keluarga Uchiha serempak memandang tiga orang yang

berdiri di ambang pintu.

"Naruto? Siapa yang sedang bersamamu?" tanya Mikoto seraya

bangkit dari posisi berlututnya. Sama bingungnya dengan anggota

keluarganya yang lain, Mikoto hanya bisa bersabar menunggu

jawaban Naruto.

Pria itu sendiri tampak kebingungan. "U-uh… Ada dua orang yang

ingin kukenalkan kepada Paman, Bibi, kau juga, Itachi."

Keluarga Uchiha itu diam menunggu kelanjutan kalimat Naruto.

Bahkan Nagisa yang sedari tadi heboh kini jadi luar biasa diam dan

hanya bolak-balik mengoper arah pandangannya.

Shinji dan Mahiro sendiri juga turut diam. Rasanya, keberanian dan

kemantapan yang mereka miliki tadi seolah baru saja menguap dengan

cepat. Kepala mereka tertunduk, mendapati posisi bebatuan yang

disemen di lantai genkan lebih menarik dari lukisan mana pun. Satu-

satunya hal yang bisa membedakan mereka dari sudut pandang

Uchiha hanyalah warna dasi yang berlainan. Keduanya bisa

merasakan tatapan-tatapan tajam yang diarahkan kepada mereka.

Kalau saja mungkin, keberanian mereka yang nyaris tidak ada itu

semakin menciut.

Uzumaki Naruto memandangi kedua keponakannya lebih dulu,

kemudian mulai mengumpulkan keberanian. Dua pemuda ini

memerlukan dirinya untuk bicara. Mereka memerlukan Naruto untuk

Page 112: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

menjembatani keberadaan mereka sebagai Uchiha. Dia lantas

menghirup napas dalam-dalam dan mulai memperkenalkan Shinji dan

Mahiro. "Aku tahu ini kedengaran terlalu mengejutkan, atau bahkan

mustahil, dan sebenarnya ini bukan tempatku untuk

menyampaikannya kepada kalian. Paman, Bibi, Itachi, mereka Shinji

dan Mahiro." Karena dua objek perhatian itu masih tekun

menundukkan kepala, Naruto terpaksa menggunakan sedikit pembeda

yang ada untuk memperkenalkan mereka. "Yang berdasi merah adalah

yang bungsu, Mahiro. Dan yang hijau adalah Shinji. Mereka kembar

dan tahun ini akan berusia delapan belas tahun." Naruto beralih

mengamati berbagai rupa ekspresi Uchiha di hadapannya. Fugaku

masih dengan wajah pasifnya. Itachi tetap tenang walaupun tidak

salah lagi ada raut penasaran di wajahnya. Mikoto mengerutkan

kening bingung, merasa belum memahami alasan kenapa kedua

pemuda itu perlu dikenalkan kepada mereka. Shizuku terang-terangan

menampakkan rasa antusiasnya dari caranya memandang Shinji dan

Mahiro bergantian dari ujung kepala hingga kaki tidak terlewat sesenti

pun. Naruto berdehem, "beberapa waktu lalu aku bertemu dengan

mereka, dan aku langsung mengetahui siapa ayah mereka. Beri salam

kepada mereka, Shinji, Mahiro." Dari belakang, Naruto mendorong

lembut punggung kedua pemuda itu untuk masuk melewati ambang

pintu. Sinar lampu di atas genkan memperjelas sosok mereka.

Masih dengan kepala tertunduk, Shinji membekap mulutnya dengan

punggung tangan—satu gestur yang dia lakukan secara tidak sadar

tiap kali dia berusaha menahan rasa malunya. "Salam kenal.

Page 113: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Aku…Shinji dan ini…adikku, Mahiro," katanya terbata. Rona merah

di wajahnya merambat hingga leher.

Di sampingnya, Mahiro kehilangan ketenangannya hingga batas

minimal. Dia ikut tergagap ketika memperkenalkan diri. "Salam kenal,

Ka—" Telinga kirinya berkedut tanpa sadar. "Kakek, Nenek, Paman."

Ketiga Uchiha tersebut terlihat sangat bingung. Namun, berbagai

kebingungan mereka tiba-tiba lenyap ketika Shinji dan Mahiro

mengangkat pandangan dari lantai, menampakkan dua wajah yang

berakar dari satu pemilik. Keduanya terlihat terlalu mirip dengan

Uchiha bungsu dalam keluarga mereka hingga tidak lagi bisa

dikatakan kebetulan.

Naruto merasa dia tidak perlu melanjutkan ucapannya. Dia yakin dua

wajah yang bagai cerminan masing-masing itu menjadi petunjuk

paling kuat.

Uchiha Fugaku terbelalak. Uchiha Mikoto terkesiap, tangannya

membekap mulut. Uchiha Itachi tertegun sejenak, kemudian

mengulum senyumnya. Uchiha Shizuku turut kehilangan

ketenangannya dan berseru tanpa ampun, "Paman Sasuke! Ups,

maksudku kalian mirip sekali. Bagaimana bisa?"

Shinji dan Mahiro hanya sanggup balik memberi tatapan itu-

pertanyaan-konyol kepada Shizuku.

Page 114: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Yang satu ini," Shinji menuding Mahiro dengan ibu jarinya,

"pengagum terberat pamanmu. Jadi suatu hari dia memutuskan untuk

operasi plastik…"

Omongan ngawur Shinji terabaikan oleh orang-orang dewasa di sana.

"Jadi maksudmu, mereka putra Sasuke, Naruto?" tanya Itachi dengan

senyum kecil di sudut bibir.

Naruto tampak gelisah. Berat tubuhnya berkali-kali dipindahkan dari

satu kaki ke kaki lain. "Yaaah, begitulah. Atau kau ingin mengklaim

mereka sebagai putramu, Itachi? Kalian butuh tes DNA atau

semacamnya?"

"Tidak. Kemiripan mereka sudah membuktikan banyak. Bukan begitu,

Ayah?" Itachi menoleh kepada Fugaku yang masih berdiri kaku

dengan wajah stoic.

"Bagaimana…bagaimana mungkin ini terjadi…?" Mikoto berujar lirih

dengan suara mengambang. Rasa kaget dan ketidakpercayaan itu

masih terus membayangi logikanya.

Shinji dan Mahiro sekali lagi menundukkan kepala. Perasaan tidak

diinginkan dan kekecewaan mulai bermunculan di dalam diri mereka.

Tentu saja. Apa yang sebenarnya mereka harapkan tadi? Kakek dan

nenek yang berlari memeluk mereka dengan suka cita? Paman yang

mengucapkan selamat datang kepada mereka? Kini semua itu

kedengaran konyol sekali. Mereka berdua tahu dengan jelas kehadiran

Page 115: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

mereka petang ini tidak akan mudah diterima. Mereka belum

mengatakan siapa ibu mereka, dan kini setelah melihat reaksi keluarga

Uchiha ini, mereka jadi lega. Setidaknya, nama ibu mereka masih

tersamarkan (dan pikiran polos Nagisa juga sepertinya tidak

menyadari kepentingan informasi yang dimilikinya mengenai seorang

dokter berambut pink).

Naruto yang menyadari perubahan aura saudara kembar itu hanya bisa

diam-diam menghela napas panjang. Dia sendiri tidak banyak

berharap keluarga Sasuke akan menerima dengan tangan terbuka.

Kedatangan Shinji dan Mahiro punya potensi besar merusak

keseimbangan Uchiha, dan bisnis mereka tentunya. Dia yakin Sasuke

tidak akan lepas tanggung jawab begitu mengetahui keberadaan kedua

putranya, tetapi itu masih nanti dulu. Mereka harus berhadapan

dengan Uchiha Fugaku, pria keras yang lebih mengenal jajaran direksi

Uchiha Company daripada putra-putranya sendiri. Reaksi macam apa

yang nanti Fugaku berikan, Naruto tidak berani menduga-duga. Dia

hanya bisa berharap semoga yang terburuk tidak terjadi.

Untungnya, Uchiha Itachi tidak sepenuhnya mewarisi tangan besi

sang ayah. Dia tetap sehangat dan seramah biasanya, meskipun

penampilan dingin yang nyaris tak tergoyahkan itu seringkali sukses

menutupinya. Dengan mudah dia mengambil alih pembicaraan.

"Bagaimana dengan makan malam? Kedengaran lezat?"

.

Page 116: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Suasana makan malam keluarga Uchiha tidak bisa diungkapkan

dengan kata selain elegan. Dan mewah—untuk menambah kesan

mendalam di dalamnya. Meja panjang yang mampu memuat dua

puluh peserta makan itu hanya terisi separuh. Uchiha Fugaku duduk di

kepala meja. Sisi kanannya didiami oleh wanita-wanita Uchiha:

Mikoto, Hana (istri Itachi), Shizuku, dan Nagisa. Sisi kirinya

ditempati Itachi, Naruto, Mahiro, dan Shinji. Selama makan malam,

tidak sekali pun pembicaraan dibuat. Bahkan Naruto yang dikenal

banyak bicara kali ini dengan bijak memutuskan untuk mengunci

rapat mulutnya. Suasana tegang itu tidak luput dari Shinji dan Mahiro.

Makan malam mereka yang mewah terasa hambar akibat beban

ketegangan di udara.

Begitu makanan penutup dihidangkan, dua anggota keluarga baru itu

merasa luar biasa lega. Setidaknya penghujung acara makan malam

yang lebih tegang dari jurit malam itu mulai terlihat. Panna

cottalemon di hadapan mereka mulai terasa seenak makanan surga.

Namun, kenikmatan itu tidak berlangsung lama karena sang kepala

keluarga memutuskan untuk memulai pembicaraan di suapan keempat

makanan penutup mereka. Untungnya, baik Shizuku maupun Nagisa

sudah undur diri dari lebih cepat acara makan malam keluarga.

"Jadi…" Suaranya yang berat, tegas, dan tajam itu serasa merambat ke

seluruh tulang, meminta perhatian siapa pun yang ada di ruang makan

tersebut, tak terkecuali Shinji dan Mahiro (yang baru saja kompak

Page 117: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

memutuskan untuk pura-pura tuli, tetapi tidak terlalu berhasil dengan

upayanya). "Dimana kalian tinggal selama ini?"

Dua detik berlalu di antara Shinji dan Mahiro yang berebut

melemparkan tugas untuk menjawab pertanyaan kakek mereka.

Seperti biasa, Shinji lebih banyak kalah (barangkali karena Shinji

punya lebih banyak pikiran rasional dalam dirinya). "Kami lahir dan

besar di Akita," jawab Shinji dengan nada suara serius. Kalau saja

suasana kali ini tidak sama seriusnya, Mahiro pasti sudah tertawa

mendengar suara kakaknya. "Kami pindah ke Tokyo bulan Maret

lalu."

Uchiha Fugaku memicingkan mata dan menatap Shinji tajam-tajam.

"Untuk apa kalian pindah ke sini? Melakukan ini semua?"

Rahang Shinji mengatup rapat. Belum sempat dia menangkis tuduhan

kakeknya, Mahiro sudah meledak lebih dulu. "Memangnya kami

peduli dengan Uchiha!" Bungsu Haruno itu sudah akan berdiri dari

kursinya kalau saja Shinji tidak segera menahan bahunya kuat-kuat.

Keluar lagi kebiasaan lama Mahiro. Kalau dulu lawan Shinji hanya

anak-anak bandel seumurannya yang dengan mudah diakali, kali ini

justru raksasa bisnis Uchiha Fugaku. Dia jadi bertanya-tanya kira-kira

permainan katanya bisa sukses diterapkan untuk situasi kali ini atau

tidak. "Seperti yang adikku tersayang ini katakan, kepindahan kami

tidak ada hubungannya dengan keluarga ini."

Page 118: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Lalu?" tuntut Fugaku, sama sekali tidak terpengaruh oleh ledakan

emosi Mahiro.

"Pekerjaan ibu kami."

"Apa pekerjaan ibu kalian?"

Setelah yakin Mahiro mampu menguasai diri, Shinji melepaskan

cengkeraman dari bahunya. Dia kemudian berbalik sepenuhnya

menatap Fugaku di kepala meja. "Malaikat penyelamat," jawabnya

sambil tersenyum manis. Nadanya tidak lagi serius, melainkan main-

main seperti dirinya yang biasa.

"Kau perlu lebih spesifik lagi," ucap Fugaku dengan suara semakin

direndahkan, yang terdengar mirip ancaman.

Reaksi semacam itu membuat Shinji semakin ingin main-main. Dia

memandang langit-langit tinggi ruangan, seolah tengah berpikir.

"Bidadari penyelamat, kalau begitu."

Harusnya, pemuda itu tahu lebih baik daripada menyiram minyak ke

dalam api.

"Nak, jangan main-main denganku."

Sikap santai dan main-main itu kemudian menguap ketika Shinji

mencondongkan tubuh ke meja. Kepalanya dimiringkan dan

pandangannya tak terbaca ketika dia menatap kakeknya tepat di kedua

mata. "Aku tidak main-main. Ibu kami memang benar-benar

bidadari."

Page 119: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Reaksi Uchiha Fugaku selanjutnya sungguh tak terduga. Pria itu

membanting lap makannya ke atas meja, berdiri dengan gerakan

kasar, kemudian tanpa bicara meninggalkan ruang makan. Anggota

makan malam yang tersisa di sana larut dalam keheningan sampai

akhirnya Uchiha Itachi mengagetkan semua orang di sana dengan

kekehan ringannya.

"Baru kali ini aku melihat ada yang berani melawan Ayah terang-

terangan begitu," gumam Itachi dengan senyum di sudut bibir kepada

ibunya, Mikoto, yang duduk di depannya.

Wanita tersebut turut mengulum senyum sambil melirik Shinji dan

Mahiro. "Selain fisik, Ibu tidak melihat ada jejak Sasuke pada diri

mereka."

"Pasti itu datang dari ibu mereka," komentar Hana, turut

memperhatikan dua keponakannya.

Tanpa diduga-duga, Haruno Shinji melorot di kursinya.

"Kinchoushita," keluhnya dengan gaya baru saja mengusap peluh di

kening.

"Setidaknya kau harus mempertahankan aksi beranimu itu sampai kita

pulang nanti, Kakak," cemooh Mahiro sambil menyesap air putihnya.

"Kau baru saja mengandaskan image kita."

"Aku tidak ingin mendengarnya dari kuso otouto yang seenaknya

melemparkan semua tanggung jawab kepadaku seorang," balas Shinji

Page 120: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

cepat. Dia benahi lagi posisi duduknya. Panna cotta yang tadi

senikmat mengulum awan kini tidak lagi mengundang selera. Sayang

sekali. Padahal jarang-jarang dia bisa makan makanan sekelas restoran

bintang tiga itu.

"Kau sendiri yang mengklaim punya diplomasi lebih unggul," cemooh

Mahiro membalas.

"Itu karena aku punya adik yang menyimpan otaknya di dengkul dan

menolak memakainya."

"Kalian berdua…" keluh Naruto dengan desah napas keras.

Itachi yang duduk di sampingnya tersenyum sambil memandangi dua

keponakannya yang masih seru adu mulut, sama sekali tidak

menyadari sekelilingnya. "Apakah mereka memang seperti ini?"

"Uh?" Naruto melirik Shinji dan Mahiro lebih dulu sebelum kembali

fokus ke makanan penutupnya. "Oh, bisa dibilang begitu. Mereka

seakrab air dan minyak, begitu kata ibu mereka."

"Jadi, mereka berdebat sepanjang waktu?"

Naruto mengangguk kepada Hana. "Dan karena hal-hal paling sepele,

tapi biasanya mereka cepat dilerai dan tidak ada yang membantah.

Mereka itu anak mama, penurut sekali." Di sampingnya, si kembar itu

masih seru berdebat, dan entah bagaimana perdebatan mereka beralih

ke perkara model rambut.

"Siapa ibu mereka?" tanya Mikoto dengan suara rendah.

Page 121: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Naruto hanya bisa memberi senyum penuh permohonan maaf kepada

Mikoto. "Sebaiknya, Bibi tanyakan saja kepada mereka."

Uchiha Mikoto tidak lagi memaksa.

"Mereka kembar identik?" tanya Hana penasaran. "Setahuku, keluarga

Uchiha tidak punya garis keturunan kembar identik. Apa pihak ibu

mereka punya anggota keluarga kembar identik?" Setahunya, kejadian

kembar identik merupakan kasus bawaan genetis keluarga. Melihat

kemiripan Shinji dan Mahiro yang luar biasa, tentunya tidak aneh

kalau dia berpikir keduanya merupakan saudara kembar identik.

"Hmm, aku tidak tahu, tapi setahuku mereka berdua ini bukan kembar

identik." Ketiga Uchiha itu tampak terkejut mendengarnya.

"Sepertinya mereka punya golongan darah berbeda. Hei, Shinji," dia

sikut Shinji yang duduk di sebelahnya.

"Ya, Paman?"

"Kalian ini kembar identik?"

Shinji menampilkan ekspresi wajah yang hanya bisa dikategorikan

sebagai tanda luar biasa enggan (yang hanya berbeda setipis helai

rambut dengan jijik) dan Mahiro juga tidak jauh-jauh dari itu. "Aku?

Identik dengannya? Tidak, terima kasih."

"Tapi kalian luar biasa mirip satu sama lain." Tampaknya, Uchiha

Hana menjadi luar biasa penasaran dengan misteri kemiripan

kembaran di hadapannya ini.

Page 122: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Sampaikan terima kasih kami kepada Ayah," kata si sulung dengan

suara yang tidak terkesan tulus sama sekali.

"Jangan-jangan, kalian ini klon Sasuke?" Hana terkesiap mendengar

kalimatnya sendiri.

Uchiha Itachi hanya memutar bola mata. "Kau terlalu banyak

menonton film, Hana," ujarnya memperingatkan. Hana hanya

meringis mendengarnya.

"Mungkin karena keluarga Uchiha terlalu banyak melakukan

perkawinan kerabat dekat," jawab Mahiro di sela-sela argumentasinya

dengan Shinji yang mulai memasuki babak ke…entahlah.

"Bisa jadi. Lagipula, rata-rata setiap Uchiha punya kemiripan satu

sama lain," kata Hana menyetujui.

"Tapi, dilihat lebih seksama mereka punya sedikit perbedaan," kata

Mikoto sambil mengamati kedua cucunya bergantian. "Shinji-

kun punya tulang pipi lebih tinggi dan Mahiro-kun punya tulang mata

lebih dalam."

"Oh, itu karena aku selalu tersenyum dan adikku ini terlalu sering

cemberut, Nek!" Haruno Shinji tertawa dibarengi Naruto, membuat

Mahiro hanya bisa mencoba memecahkan gelas di hadapannya dengan

kekuatan mental saja.

Keceriaan itu terus berlanjut hingga mereka memutuskan untuk

pindah ke ruang keluarga (tentunya dengan sang kepala keluarga yang

Page 123: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

entah sedang berada dimana). Shinji dan Mahiro tampak luar biasa

nyaman berada di tengah-tengah keluarga baru mereka. Atau

barangkali mereka sedang berusaha tampak nyaman dan tidak

memikirkan hal-hal selain berdebat. Terkadang, perdebatan di antara

keduanya bisa menjadi pengalih perhatian paling ampuh. Barangkali

itu adalah salah satu alasan kenapa mereka suka sekali berdebat.

Ketika jarum jam menunjukkan angka sembilan lewat sepuluh,

keceriaan mereka tertahan sejenak.

"Tadaima. Nagisa sudah pulang?"

Seluruh anggota keluaga Uchiha dan Naruto yang ada di ruang

keluarga menoleh ke sumber suara, mendapati Uchiha Sasuke yang

sedang melonggarkan dasinya dengan wajah lelah. Menyadari tatapan

dan keheningan itu, Sasuke mendongak, dan turut terdiam.

Pandangannya bertemu dengan Shinji, kemudian berpindah ke Mahiro

yang duduk di samping kakaknya. Dia masih belum bersuara, tetapi

tidak ada seorang pun di sana yang salah menerjemahkan arti tunggal

tatapan mata Sasuke sebagai kekagetan. Kekagetan yang luar biasa

besar. Kalau saja Sasuke bukan pendiam sampai ke tulang-tulang,

barangkali kini dia sudah berteriak histeris seolah baru saja melihat

hantu.—atau dua doppelgangger sekaligus. Ketiganya hanya sanggup

saling tatap di detik-detik yang terasa bagai momen paling lambat bagi

mereka.

.

Page 124: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Secara resmi, ini adalah pertemuan pertama mereka sebagai ayah dan

anak, sekaligus acara bermobil pertama mereka. Harusnya momen kali

ini berada pada satu gambaran sempurna sebuah keluarga (walaupun

untuk kali ini sosok ibu sedang tidak diikutkan). Tidak harus ada gelak

tawa yang sampai bisa mengguncang badan mobil, tetapi setidaknya

atmosfer mobil yang baru tahun lalu Sasuke beli itu tidak seberat

gajah obesitas yang ditindihkan di atap mobil. Entah pendinginnya

yang tidak bekerja atau memang oksigen di dalam mobil tiba-tiba

berkurang. Ketegangan di antara mereka dengan cepat beranjak dari

siaga menuju ekstrim.

Uchiha Sasuke (yang pada dasarnya memang tidak banyak bicara)

memutuskan jalan raya di balik kaca kemudinya patut diberi perhatian

lebih dari biasanya. Dia sedang berusaha mengelem matanya kuat-

kuat ke jalan selama hampir satu jam ini, yang kini membuat matanya

lelah luar biasa. Rasa-rasanya kerja otot matanya malam ini lebih

berat daripada mengoreksi laporan keuangan bulanan Uchiha

Company dari berbagai divisi atau pekerjaan melelahkan apa pun

yang pernah dia lakoni selama tiga puluh delapan tahun dia hidup.

Dan tiba-tiba, tumpukan perjanjian kerja dan daftar suplai barang yang

harus ditelitinya terasa lebih menggiurkan ketimbang berada di situasi

ini. Rupanya Sasuke lebih menyedihkan dari yang dia bayangkan

semula. Dari ekor mata, dia lirik putra yang baru dia ketahui

keberadaannya beberapa jam lalu.

Page 125: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Seperti dirinya tadi, Mahiro juga tampak sedang berusaha mencari

objek pengamatan yang lebih menarik dari Sasuke yang duduk di

sebelahnya. Untuk beberapa saat, fokusnya tertuju pada pemandangan

di luar jendela sampingnya yang tampak buram karena kecepatan

melaju mobil. Tak bertahan lama, perhatiannya terambil oleh layar

berukuran tujuh inchi yang secara konsisten menampilkan peta jalan.

Dengan cepat dia mendapati garis-garis merah dan luasan hijau itu

tidak menarik, dan dia pun kembali fokus ke jalan di depannya.

Beberapa saat kemudian, Mahiro mendesah diam-diam. Dia merasa

gatal di sekujur tubuh akibat ketegangan yang terasa hingga di ujung

lidahnya. Betapa dia ingin seseorang, atau barangkali sesuatu

memecahkan keheningan yang menulikan ini. Bahkan ponselnya yang

disetel di volume tertinggi memutuskan untuk diam. Dan saudaranya

yang duduk di kursi belakang itu malah turut bungkam padahal

biasanya dia punya ribuan hal menyebalkan yang bisa diucapkan.

Merasakan hal yang serupa dengan sang adik, Shinji semakin merosot

di kursinya. Tidak banyak hal yang bisa mengalihkan perhatiannya

dari sosok pria yang selama ini dikaguminya dan yang kali ini

berjarak tidak lebih dari satu meter darinya, dan sedang mengendarai

mobil menuju rumah mereka (dalam konteks masa lampau dan masa

kini, tentunya). Benar-benar bukan situasi yang Shinji bayangkan.

Bukan berarti dia memimpikan pertemuan secara resmi antara dia

dengan sang ayah akan berlangsung seperti drama keluarga yang patut

ditangisi, tetapi setidaknya situasinya tidak akan secanggung

sekarang. Dalam tiga jam terakhir ketiganya bertemu, hanya beberapa

Page 126: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

patah kata yang mampu mereka pertukarkan. Kalau bukan karena

Paman Itachi dan Nenek Mikoto yang menjembatani percakapan

mereka, barangkali tidak seorang pun dari ketiganya yang akan buka

mulut. Dan bagaikan dentang jam Cinderella, keluwesan itu langsung

lenyap begitu mereka bertiga memutuskan hari sudah terlalu malam

dan inilah saatnya pulang. Begitu gerbang megah kediaman Uchiha

hilang dari pandangan, ketiganya tak ubahnya manusia bisu atau robot

yang tidak diberi atribut berbicara. Shinji merasa dia bisa kehilangan

kewarasannya saking tegangnya.

Akhirnya perjalanan panjang itu hampir sampai di penghujung. Ketiga

lelaki itu kompak menghela napas (saling diam-diam) begitu mobil

berbelok di perempatan yang tidak lagi asing dan gedung apartemen

dua belas lantai itu terlihat di ujung jalan. Satu-satunya penthouse di

atasnya terlihat hidup, terasa lebih menyegarkan dari oase di gurun

mana pun. Namun tetap saja, ada sejumput ketakutan dan kecemasan

yang kemudian mulai beranak-pinak dengan kecepatan

membahayakan di dalam diri mereka begitu Sasuke mematikan mesin

mobil di lokasi parkir bawah tanah apartemen. Setelah satu setengah

jam merasa ingin buru-buru keluar, kini ketiganya sepakat merasa

kaki-kaki mereka baru dipakukan ke lantai mobil. Enggan bergerak.

Seolah baru keluar dari kandang harimau dan langsung dihadapkan

pada kolam hiu lapar.

Setelah keheningan yang rasanya berjam-jam lamanya, Sasuke

akhirnya buka suara. "Naiklah. Ini sudah larut sekali."

Page 127: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Bagai baru saja tersentak dari hipnotis kuat, Shinji dan Mahiro

serempak menoleh ke arah sang ayah. "Uh, tentu," terdengar jawaban

gamang Shinji, diikuti dengan gerakan canggungnya membuka pintu

mobil sambil menenteng tas sekolahnya.

Mahiro yang masih tinggal di dalam mobil dengan ragu mulai

mengumpulkan tasnya yang dia taruh di dekat kaki. Dia lirik ayahnya

yang sedang memegang kemudi mobil seolah tengah memegang satu-

satunya penyelamat hidupnya. Dia mencoba susah payah menelan

ludah sebelum mengumpulkan keberanian untuk bicara. "Ay—bisakah

aku memanggilmu ayah?"

Pertanyaan itu membuat Sasuke terkejut. "Tentu saja," jawabnya

seolah baru saja mendengar pertanyaan paling konyol yang pernah

diajukan kepadanya. Dia hanya tidak menyangka, satu pertanyaan

pertama yang saling mereka pertukarkan justru mengenai panggilan

apa yang sebaiknya mereka gunakan. Kedua pemuda itu sangat tidak

familier dengan keberadaan seorang ayah seberapa besar pun hasrat

mereka untuk memilikinya. Dan Sasuke paham itu. Dia sendiri tidak

bisa mengklaim dirinya dekat dengan sosok sang ayah meskipun

seluruh hidupnya dihabiskan untuk mengenal Fugaku.

Wajah Mahiro memerah. "Terima kasih."

Tanpa diduga-duga, Sasuke tersenyum. "Itu bukan sesuatu yang perlu

mendapat ucapan terima kasihmu, Mahiro."

Page 128: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Pelan tetapi pasti, kehangatan yang baru (dan anehnya terasa begitu

akrab dan penuh kerinduan) mulai menyusup ke dalam dada Mahiro.

Dia suka mendengar namanya disebut dengan suara yang dalam itu.

Ada segumpal kebanggaan dalam dirinya. "Well, ini kali pertama aku

memanggil seseorang sebagai ayah. Aku tidak ingin…"

"…menyinggungku?" Sasuke memotong. "Tidak. Aku senang karena

tahu aku tetap menjadi sosok ayah pertama bagi kalian. Walaupun ini

sedikit terlambat." Ada setitik penyesalan yang tak sengaja terdengar

dari suaranya yang tenang, tetapi dengan baik berusaha dia cegah

untuk tidak memengaruhi ekspresi wajahnya.

"Apa… Apa Ayah marah kepada Ibu?"

"Karena apa?"

Mahiro tampak ragu. Dia lirik Shinji yang sedang bersandar miring di

sisi mobil, kedua tangan dimasukkan saku celana, dan senyum tak

simetrisnya terpasang. Che. Kakaknya satu itu tampak luar biasa puas

melihatnya dari luar sana. "Karena…ini semua. Soal keberadaan

kami."

Sasuke kembali memfokuskan diri ke arah depan. Keningnya

berkerut, seolah baru menyadari esensi pertanyaan putra bungsunya.

Jemarinya mengetuk-ngetuk roda kemudi dan untuk sejenak dia

tersedot ke dunianya sendiri. Ketika dia kembali menyadari

sekelilingnya, Sasuke menyunggingkan senyumnya yang tipis.

"Banyak yang harus kubicarakan dengan ibu kalian."

Page 129: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Untuk sesaat, Mahiro tampak luar biasa cemas. "Kumohon jangan

membenci Ibu. Ibu tidak pernah bermaksud buruk—"

"Ayah tahu." Sasuke mengetuk kening putranya dengan dua jari,

seperti apa yang biasanya kakaknya sendiri lakukan kepadanya, dan

seketika ucapan melantur yang sudah siap di lidah Mahiro hilang

seketika. "Tidak usah khawatir. Ayo, kita temui ibu kalian."

Begitu keduanya keluar dari mobil, Shinji menyambut mereka dengan

senyumnya yang khas. Ada binar ganjil di matanya yang membuat

orang lain akan berpikir pemuda itu punya sesuatu yang dia

sembunyikan—seolah dia tahu rahasia terbesar mereka. Ketiganya

kemudian berjalan menuju lift, yang untungnya tidak memakan waktu

lama dan dalam lima menit, mereka sudah sampai di lantai teratas

gedung apartemen. Untuk mencapai penthouse, mereka harus

memakai tangga yang ada di ujung koridor lantai.

"Untuk sekalinya, aku senang bisa melihat adikku yang manis ini

berhenti memasang wajah cemberut," katanya dengan nada bermain-

main. "Ups," imbuhnya cepat begitu Mahiro menusuknya dengan

tatapan tajam.

Berjalan di belakang ayahnya, Mahiro menggeram. "Kerja bagus, kuso

aniki, kulihat kau sudah tidak meringkuk ketakutan di sudut mobil."

Shinji menoleh dari atas bahunya dengan wajah menyeringai sambil

menekan bel pintu penthouse tanpa benar-benar menyadarinya. Gigi-

Page 130: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

giginya yang rapi ditampakkan, seolah berusaha menakuti adiknya.

"Menghina diri sendiri itu bukan kebiasaan baik, aho otouto."

Dengan cepat Mahiro kehilangan ketenangannya. Dia sudah akan

melompat maju untuk mendorong kakaknya, tetapi Sasuke tiba-tiba

memosisikan diri di antara keduanya. Tangan kanannya terentang

untuk menahan bahu Mahiro dari depan. Tangan kirinya menahan

kepala Shinji yang beberapa senti lebih rendah darinya. Dia kemudian

menghela napas. "Kalian tidak bisa berhenti bertengkar?" gerutunya

lelah, tiba-tiba merasa usianya secara mistis mengganda.

"Shinji! Mahiro! Kenapa kalian baru pulang! Ini sudah hampir

tengah—" Pintu rumah terbuka dengan sentakan keras, diiringi

teriakan sang penghuni rumah yang kemudian memelan hingga

menjadi gumaman. Sakura komat-kamit di depan pintu tanpa ada

suara yang mampu dia perdengarkan. Kekagetan tampak jelas dari

matanya yang memandang tiga tamu tengah malamnya tanpa

berkedip.

"Oh, Ibu!" Shinji buru-buru berbalik dan sejurus kemudian memeluk

sang ibu.

"Shinji…?" Sepasang mata hijaunya yang tampak dari atas bahu

Shinji bergerak-gerak cepat merekam sosok Uchiha Sasuke yang

berdiri di hadapannya. Mahiro satu langkah di belakangnya.

Setelah Shinji melepaskan pelukannya dan Sakura sedikit demi sedikit

berhasil menguasai diri, barulah Sasuke bicara. "Sakura."

Page 131: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Dengan gerakan kaku dan canggung, wanita tersebut mundur

selangkah dari ambang pintu. "Masuklah," ucapnya mempersilahkan

dengan suara pelan.

Dengan sikap yang sama kakunya dengan Sakura, Sasuke mengikuti

Shinji masuk dan Mahiro di belakangnya segera menutup pintu dan

menguncinya rapat. Memasuki penthouse dua lantai yang tetap

tampak familier walaupun telah dia tinggalkan itu, Sasuke tidak bisa

menghentikan diri untuk tidak melihat sekeliling. Selain tambahan

beberapa perabot, vas bunga dan beberapa tanaman indoor, dan tak

luput juga sentuhan tangan wanita, secara keseluruhan tempat itu

masih sama seperti yang dia tinggalkan. Perabot aslinya tidak

dipindah atau diganti, bahkan tirai marun yang langsung

menyambutnya dari pintu masuk itu masih terpasang. Sasuke jadi

bertanya-tanya apakah Sakura terlalu sibuk hingga tidak punya waktu

memperhatikan detail rumah barunya, ataukah…

"Anak-anak suka setiap sudutnya, jadi kubiarkan seperti aslinya," kata

Sakura seolah baru saja membaca pikiran Sasuke.

Merasa bingung harus merespon seperti apa, pria itu akhirnya hanya

memberikan anggukan kecil. Dia berdiri menumpu pada satu kaki di

ambang genkan, merasa bingung harus apa dan bagaimana. Kedua

putranya sendiri sudah menghilang ke lantai atas menuju kamar

mereka masing-masing.

Page 132: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sakura yang juga sama bingungnya bergerak-gerak gelisah di dekat

tangga. Beruntung baginya dia tidak sedang mengenakan pakaian

tidurnya yang lebih terbuka walaupun malam kali ini terasa lebih

gerah dari malam-malam sebelumnya. "Uh… Kau…sudah makan

malam?" Sebenarnya pertanyaannya tadi sedikit konyol, mengingat

sekarang sudah hampir tengah malam. Namun, kalau membicarakan

relasi Uchiha Sasuke dengan makan rutin, Sakura perlu

melakukan crosscheck berkala. Dan benar saja, pria itu menggeleng.

"Aku punya sedikit sisa makan malam tadi. Kau keberatan?"

Lagi-lagi pria itu hanya bisa menggeleng, kemudian mengikuti Sakura

menuju ruang makan yang merangkap dapur. Dia mengambil duduk di

salah satu kursi, dan lagi-lagi menyadari tidak satu pun yang berubah

dari perabot ruangan tersebut. Bahkan satu set meja makan dengan

empat kursi yang dia buat sendiri dari balok-balok kayu cherry itu

masih ada. Menyadarinya membuat Sasuke merasakan satu perasaan

hangat dalam dada. Pandangannya kemudian jatuh ke punggung

Sakura yang sedang berkutat di kompor, tengah mengaduk sesuatu di

pancinya. Dalam lima belas menit, semangkuk nasi hangat, sup ayam,

dan salad sayur (yang paling banyak warnai merah oleh tomat) tersaji

di hadapannya. Aroma hangat sup membuat air liurnya seolah diperas

banyak-banyak.

"Itadakimasu." Tanpa menunggu lama, Sasuke meraih sumpit dan

mulai menyantap makan malamnya yang luar biasa terlambat. Sakura

mengambil duduk di depannya dan hanya diam mengamati Sasuke

Page 133: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

makan. Lagi-lagi ada perasaan hangat yang berkembang cepat dalam

dirinya. Asing, tetapi merasakannya membuat Sasuke merindu. Dia

baru menyadari seberapa lapar dirinya begitu nasinya dengan cepat

tersisa separuh dan Sakura memutuskan berkomentar.

"Kalau bukan karena aku tahu kau sedang kelaparan, aku pasti sudah

tersentuh melihat makanmu yang lahap sekali."

Sasuke mengangkat pandangan dari mangkuk supnya dan tatapannya

bingung ketika menghadap Sakura. "Makanannya enak."

Sakura mengulas senyum. Pipinya merona tipis. "Tidak usah memuji

begitu. Aku cukup sadar diri. Kemampuan memasakku hanya cukup

untuk membuat makanan tidak hangus dan tidak setawar air hujan."

Dengan mulut penuh, Sasuke memiringkan kepala. Begitu

makanannya tertelan, dia bertanya, "kenapa kau berpikir begitu?"

Sakura menumpukan dagunya ke tangan, kemudian memutar bola

mata. "Kau sendiri tahu aku tidak pintar memasak."

"Hn," katanya. "Tapi aku tetap paling suka masakanmu."

Mendengarnya, Haruno Sakura yang malang hanya bisa tersipu luar

biasa merah. Bagaimana bisa pria di depannya ini memuji dengan

wajah impasif begitu, Sakura tidak juga mengerti sampai sekarang.

Sakura sudah hendak buka mulut, tetapi niatnya urung ketika

mendengar suara dari arah tangga.

"Lihat siapa yang sedang malu-malu, little brother."

Page 134: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sakura menoleh ke belakang dengan mata menyipit. Walaupun

pipinya masih merona, tatapannya tetap segarang biasanya. Shinji dan

Mahiro yang berurutan turun, dengan mengenakan kaus tanpa lengan

dan celana pendek, hanya menanggapinya dengan seringai.

"Ibu jangan galak-galak begitu," goda Shinji.

Mengikuti gerakan kedua putranya yang berjalan mendekat, Sakura

semakin menyipitkan mata penuh ancaman. "Itu harus, karena kalian

bandel sekali."

"Ouch." Mahiro memutar mata dengan wajahnya yang kosong emosi

sambil membuka pintu lemari es.

"Lihat, Ayah, masa putramu yang manis-manis ini dikata bandel?"

Shinji sendiri mengambil duduk di sebelah ayahnya yang masih

dengan tenang melanjutkan makan malamnya.

"Dengarkan saja apa kata ibu kalian."

Sakura tersenyum puas. Shinji memberengut. Mahiro menggerutu

sambil meminum susunya.

"Kenapa kalian belum tidur? Ini sudah lewat tengah malam."

Setelah mencuci gelasnya dan meletakannya di lemari gelas, Mahiro

kemudian menempati satu-satunya kursi yang tersisa. Dia melihat

sekeliling dan merasa puas tanpa sebab. Kini meja makan mereka

terisi penuh. Seperti yang sudah seharusnya. "Besok sudah tidak ada

kelas, hanya festival olah raga dan upacara penutupan."

Page 135: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Bukannya seharusnya kalian justru istirahat? Kalian juga ikut, 'kan?"

Sambil bersandar di punggung kursi, Shinji mendekap tangan di dada.

Pandangannya tidak ditujukan kemana pun kecuali langit-langit

rumah. "Aku tidak suka berkeringat."

"Gunakan kesempatan itu untuk mendekati seorang gadis. Bukannya

kau suka tebar pesona?" tuntut sang ibu, yang kemudian mendapat

dengusan sebagai tanggapan.

Haruno Shinji sama sekali tidak setuju dengan ide itu. Bagaimana

mungkin seorang gadis bisa tertarik kepada seorang pemuda yang

kotor dan bau keringat (bukannya keringat Shinji bau, tentu saja tidak,

tetapi dia enggan merusak tatanan rambutnya), dia hanya tidak

percaya. Semua gadis suka lawan jenis yang berpenampilan rapi,

wangi, dan terdidik. Menghabiskan tenaga untuk menjadi kotor dan

bau sama sekali tidak perlu dilakukan. "Memangnya Ibu suka laki-laki

yang kotor dan bau keringat?" tantang setengah menuduh si sulung

dengan alis terangkat.

Sakura jadi kelabakan. "Tidak juga…"

"Nah. Jadi buat apa aku ikut."

Haruno Sakura merengut di kursinya. "Kau sudah terdaftar 'kan? Jadi

kau harus ikut."

"Itu bisa diatur ulang," katanya menyepelekan sembari mengibaskan

tangan ke udara.

Page 136: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Merasa argumennya tidak akan digubris oleh si sulung, Sakura beralih

kepada putra bungsunya. "Dan kau, Mahiro? Cabang apa yang kau

ikuti?"

Mahiro terdiam sejenak sebelum menjawab. "Relay campuran dan

sepak bola."

"Kalian berdua ada di grup yang sama?" tanya Sasuke setelah

meletakkan mangkuk supnya yang kosong. Dia kemudian mendorong

mangkuk itu ke arah Sakura yang dengan mahir mengartikannya

sebagai permintaan tambah.

Mahiro menggeleng sambil mengawasi ibunya yang sedang berkutat

dengan panci sup. "Aku merah, dia hijau."

"Sesuai kelas kalian?" Setelah mengucapkan terima kasih kecil,

Sasuke kembali mengamati putranya. Karena dulunya dia juga

bersekolah di Toujou, dia jadi mengerti beberapa festival tahunan dan

kebiasaan di sana.

Kali ini Shinji yang menjawab dengan anggukan. "Ada regu biru juga.

Tahun ini festival besar, jadi lebih ramai. Cabang kegiatannya banyak

sekali," keluhnya.

Sasuke mengangguk membenarkan. "Cabang olah raga dicampur

dengan murid chuugaku juga, bukan?"

"Hmm. Ayah juga selalu ikut?" tanya Shinji.

Page 137: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Ayah dadakan dari dua putra itu mengangkat bahu sambil menyesap

kuah supnya. "Ayah sudah sekolah di sana dari shougaku."

"Ayah sudah pernah ikut semua cabang olah raga?" tanya Mahiro

antusias.

Sambil memandang langit-langit, Sasuke memutar otak. "Kecuali

pemandu sorak."

"Ayah kalian pemalu," imbuh Sakura, mengabaikan tatapan tajam

Sasuke yang ditujukan kepadanya.

"Nah, anikiyarou, dengarkan itu. Berbahagialah karena besok kau jadi

maskot regu hijau."

Shinji bersungut-sungut.

"Jadi, Shinji di regu pemandu sorak?" tanya Sakura memastikan.

Sepasang mata hijaunya berbinar oleh sinar yang tak salah lagi adalah

kenakalan.

"Dan basket," imbuh Mahiro dengan seringai. "Besok akan

kuambilkan foto yang banyak untukmu, Kakak."

"Tidak perlu!"

"Ha'i ha'i. Kalau begitu Ibu akan menonton besok."

"Ibu tidak ada shift?"

"Shift malam, tenang saja."

Page 138: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Pergilah tidur. Besok Ayah yang mengantar kalian."

Kali ini, tanpa berpikir dua kali maupun jeda barang sedetik saja,

kedua saudara kembar itu bangkit dari kursi masing-masing dan

berjalan ke arah tangga menuju kamar.

"Ha-ha, Ibu senang sekali kalian jadi penurut."

Shinji dan Mahiro hanya tertawa tanpa memberikan sanggahan atau

elakan atau godaan mereka yang biasa.

Sakura mendengus sambil mengawasi kedua putranya menghilang ke

lantai dua, tidak benar-benar merasa kesal. "Oh, bawakan baju ganti

untuk Ayah kalian."

Setelah makan malam yang terlambat itu selesai dan Sasuke sudah

mengganti setelan baju kerjanya dengan baju rumahan, keduanya

kemudian saling terdiam di meja makan.

"Aku tidak pernah melihat mereka sesenang ini," kata Sakura tiba-

tiba. Pandangan matanya tampak seperti sedang menerawang di

kejauhan.

"Hn."

"Apakah ucapan terima kasih cukup?"

"Sekarang aku tahu dari mana sifat Mahiro itu."

Sakura hanya bisa memandang pria di hadapannya dengan tatapan

bingung. "Maaf?"

Page 139: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Tidak, bukan apa-apa." Dia menggelengkan kepala, menutup topik

pembicaraan mengenai kedua putra mereka. "Kita perlu bicara."

Di kursinya, Haruno Sakura merosot. Bahunya turun, tetapi tidak

sedikit pun ada keinginan untuk membelokkan arah permbicaraan.

Kedua putranya sudah maju terlebih dahulu, dan kini gilirannya.

Sakura menarik napas panjang, kemudian tersenyum. "Tentu. Aku

berhutang banyak penjelasan kepadamu."

.

Ketika pagi itu Uchiha Sasuke terbangun dari tidur tanpa mimpinya,

dia menyadari satu hal. Walaupun matanya masih terasa

selengket super glue (yang menandakan tidurnya kurang dari tiga

jam), anehnya dia merasa luar biasa puas.

Tidak. Puas sama sekali belum bisa mulai mendeskripsikan apa yang

dia rasakan pagi ini.

Rasanya dia telah menyelesaikan satu puzzle paling sulit yang selalu

terbayang-bayang dalam benaknya dan rasa puas itu lebih besar dari

berbagai perasaan positif yang pernah dia rasakan selama delapan

belas tahun terakhir. Rasa puasnya bercampur kental dengan

bahagia—yang belum dia ketahui dari mana asalnya.

Mungkin kopi pagi bisa membantunya berpikir lebih jernih.

Dengan mata setengah terbuka dan langkah setengah terhuyung,

Sasuke keluar dari kamarnya dan berjalan menuju dapur. Dia tidak

Page 140: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

perlu melihat karena dia sudah sangat mengenal rumahnya. Belum

lagi aroma kopi yang menguar kuat dari arah dapur. Otot-otot kakinya

serasa dibangunkan sehingga langkahnya dua kali lebih cepat,

bermanuver bahkan tanpa perlu bimbingan penglihatannya.

Di atas meja makan sudah ada secangkir kopi hitam yang beraroma

luar biasa sedap. Tanpa berpikir, dia ambil cangkir tersebut dan

menyesap cairan hitam itu pelan-pelan. Kafeinnya tak membutuhkan

waktu lama untuk bereaksi. Otaknya mulai terbangun dari fase

tidurnya yang masih belum terpuaskan. Dia juga mulai menyadari

kondisi sekeliling. Samar-samar terdengar suara dengungan mesin

yang sepertinya adalah mesin cuci, tetapi Sasuke yakin dia tidak

punya mesin cuci di rumahnya. Dia tidak punya waktu untuk

menggunakannya, jadi selama ini dia selalu membawa cuciannya

ke laundry.

"Oh, kau sudah bangun?"

Suara wanita di pagi hari secara otomatis membuat katup

tenggorokannya terbuka. Sasuke langsung tersedak. Beruntung dia

tidak menumpahkan kopi paginya yang nikmat.

"Eh!" Kemudian terdengar suara langkah kaki terburu dan sesaat

kemudian tengkuknya dipijat hingga napasnya tidak lagi sakit. "Kau

baik-baik saja?"

Page 141: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sasuke mengangguk sambil sesekali terbatuk. Begitu batuknya reda,

barulah dia menyadari siapa yang sedang berdiri di sampingnya.

"Sakura?"

"Ada apa?"

Uchiha Sasuke tertegun, kemudian berkedip berkali-kali. Apakah

matanya sedang mempermainkan dirinya? Ataukah dia melupakan

sesuatu akibat kurang tidur? Barangkali satu sesapan kopi bisa benar-

benar membangunkannya.

"Sebentar lagi kemeja dan celana kerjamu kering. Untuk sementara,

pakai itu dulu ya?"

Sasuke menunduk memandang kaus yang dia kenakan. Kaus merah

dengan gambar tengkorak itu jelas bukan miliknya. Dia juga tidak

pernah punya celana kuning bermotif macan tutul begitu. Melihatnya

membuat Sasuke mengerutkan kening. Sejak

kapan sense berpakaiannya jadi seaneh ini?

Menyadari arti pandangan kaget Sasuke, Sakura mau tak mau hanya

bisa tertawa. "Itu baju Shinji. Terkadang dia memang punya selera

aneh."

Shinji…? Shinji? Shinji dan Mahiro? Ah! Tiba-tiba semuanya cocok.

"Harusnya aku protes dari semalam," katanya begitu dia mampu

menguasai diri.

Page 142: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sakura tersenyum mendengarnya, kemudian berbalik dan kembali

menekuni penggorengan yang sempat dia tinggalkan dalam keadaan

mati itu. "Kau ingin nasi atau roti saja?"

"Nasi."

Sambil memecah telur ke mangkuk porselin dan membumbuinya,

Sakura kembali tersenyum. Kebiasaannya tidak pernah berubah.

Sasuke selalu memilih nasi untuk sarapannya (itu kalau dia sempat

sarapan). Nasi dan sup. Dia suka makanannya sederhana dan

sayurannya dibiarkan mentah sebagai salad.

"Mana anak-anak?"

"Sedang berebut siapa yang harus memakai sepatu mana. Mereka

tidak suka pakaian matching satu sama lain."

Sasuke menggumam panjang, tidak benar-benar memperhatikan

karena fokusnya sudah tertuju pada koran pagi yang ada di meja.

Dengan kopi hitam dan koran, rasanya tidak ada yang bisa

mengalihkan perhatiannya. Kecuali, yah kecuali teriakan kesakitan

yang tiba-tiba terdengar sampai dapur. Tak salah lagi, itu suara Shinji.

Sakura juga tampaknya setuju karena detik berikutnya dia sudah

berteriak.

"Mahiro! Jangan pukul kakakmu!" teriak Sakura sambil memukul

penggorengannya keras-keras dengan spatulanya.

Page 143: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Kenapa Ibu menuduhku? Bisa saja itu aku yang berteriak!" sahut

Mahiro dengan kekesalan yang jelas terselip dalam nada suaranya.

Sambil membalik bacon gorengnya, Sakura memutar bola mata.

"Ayah kalian saja bisa membedakan siapa yang tadi berteriak!"

Kemudian terdengar suara kekehan, diikuti dengan pintu yang

dibanting.

Begitu pertengkaran dua putra kembarnya berhenti, Sakura menghela

napas. "Tidak heran aku jadi cepat tua."

Tanpa mengalihkan fokus mata dari koran yang dia baca, sebelah alis

Sasuke terangkat. "Masa? Kau masih cantik," katanya dengan nada

luar biasa datar, membuat kalimatnya barusan tidak lebih antusias dari

komentar cuaca bagus.

"Eee? Apa aku baru saja mendengar Ayah menggoda Ibu?" Tiba-tiba

kepala Shinji muncul dari tangga. Senyumnya lima jari dan matanya

berbinar tiga puluh watt.

"Cepat pakai baju dan turun!" bentak sang ibu dengan wajah

memerah. Dengan tenaga sedikit berlebih, dia taruh piring

berisi bacon goreng di atas meja makan.

"Ibu cantik sekali kalau malu-malu begitu," godanya dan sejurus

kemudian menghilang, tetapi tidak sebelum mendengar komentar

setuju sang ayah yang masih fokus dengan korannya.

Page 144: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Keluarga kecil itu kemudian memulai sarapan bersama pertama

mereka. Sasuke sudah rapi dengan kemeja dan celananya yang baru

dicuci. Kedua putranya juga sudah memakai seragam PE dan setelan

jaket mereka yang berbeda warna sesuai kelas jurusan studi. Di dada

mereka tersemat pin dengan tiga bintang yang menunjukkan status

mereka sebagai murid paling senior di Toujou. Sakura sendiri masih

memakai baju rumahannya dan sedang mengambilkan nasi untuk

kedua putranya.

"Itadakimasu!"

Sarapan mereka tergolong sederhana, seperti sarapan-sarapan yang

Sakura siapkan biasanya. Nasi hangat, sup miso, telur

kukus, bacon goreng, dan potongan tomat segar untuk Sasuke.

Melihat potongan buah segar tersebut di meja, Shinji dan Mahiro

kompak menaikkan alis. Sasuke yang melihatnya membalas dengan

gestur serupa.

"Mereka tidak terlalu suka tomat," kata Sakura menyela.

Sasuke memandang kedua putranya dengan tatapan ganjil untuk

sejenak, sebelum menyumpit tomatnya dan terang-terangan

memamerkan kenikmatan tomat segar.

"Tidak, terima kasih," kata Shinji seraya menaikkan bingkai

kacamatanya yang turun.

"Silakan dinikmati," tolak Mahiro.

Page 145: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Uchiha Sasuke menggerutu. "Mereka memang anak-anakmu, Sakura."

Satu-satunya wanita di sana tertawa. "Tenang saja, mereka itu sangat

pilih-pilih soal makanan. Sama sepertimu. Dan oh!—" Dia berdecak.

"Juga kebiasaan menghindari setiap topik yang tidak disukai. Jelas itu

bukan dariku."

Ketiga pria di sekeliling Sakura tiba-tiba kena serangan buta dan tuli

dadakan.

"Nah, 'kan. Apa kubilang."

"Hn!"

.

"Tidak, tidak, tidak. Kalian pikir Ibu akan membiarkan kalian berada

lebih dekat dari satu meter? Jangan bercanda. Salah satu harus duduk

di depan. Ibu tidak ingin mobil Ayah kalian harus dibawa ke kantor

polisi sebagai barang bukti—atau tempat kejadian perkara karena

pertengkaran konyol kalian yang bahkan tidak layak diperdengarkan."

Haruno Sakura, dengan rok cokelat selutut dan kemeja merah jambu,

berdiri berkacak pinggang memandangi kedua putranya yang sudah

mengambil posisi di kedua sisi berlainan pintu belakang penumpang

mobil Sasuke.

Shinji memberi ibunya tatapan menelisik menggoda. "Memangnya Ibu

tidak ingin duduk di sebelah Ayah?" Shinji dengan ketajamannya

tentu tidak melewatkan perubahan di antara kedua orang tuanya yang

Page 146: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

baru-baru ini reuni. Perubahannya memang tidak kentara (dan Shinji

hanya bisa membacanya dari gerak-gerik sang ibu karena berusaha

membaca Uchiha Sasuke sama sulitnya dengan membaca buku

melalui tembok—alias butuh kemampuan supernatural, yang dalam

kasus ini Shinji tidak punya), tetapi jelas sesuatu telah terjadi tadi

malam. Hanya itu yang bisa menjelaskan kenapa pembawaan sang ibu

lebih bersemangat. Dan apa pun yang terjadi tampaknya berpihak

kepadanya dan Mahiro.

"Tidak, kalau itu bisa mencegah pertumpahan darah."

"Ouch. Kata-kata Ibu melukaiku." Shinji mendekap tangan di depan

dada dan memasang ekspresi kesakitan.

Sang ibu mendengus. "Sudah, cepat."

Melihat kedua putranya tidak ada yang bergerak dari posisi masing-

masing, Sasuke menghela napas. Dia lirik jam tangan yang melingkari

pergelangan tangan kirinya dan mendesah lagi. "Janken. Yang

menang duduk bersama Ibu di belakang."

Dengan Shinji yang menang janken, keluarga kecil itu kemudian

mulai berkendara menuju Toujou Gakuen. Lalu lintas yang mulai

ramai karena semakin dekat dengan liburan musim panas membuat

perjalanan dua puluh menit molor menjadi tiga puluh menit. Dan

dengan Shinji dan Mahiro sebagai penumpang, kondisi tenang

tentunya tidak bisa diharapkan. Bahkan dengan topik sepele seperti

nomor ponsel siapa yang harus diganti karena rupanya kedua orang

Page 147: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

tua mereka menggunakan jasa komunikasi yang berbeda. Terkadang

perdebatan mereka berbelok dari untung-rugi beberapa jenis jasa

penyedia komunikasi ke olok-olokan sampai pengalaman cinta

pertama Mahiro di kelas dua chuugaku.

"Kau dulu yang pertama kali minta 'kan? Karena, siapa namanya?

Kotori?"

Mahiro melirik tajam ke belakang, ke arah kakaknya yang duduk

diagonal darinya. "Memangnya kenapa?" bentaknya.

"Che! Sayang sekali dia lebih suka aku daripada kau," Shinji

mendengus sambil melipat tangan di dada.

"Itu karena kepercayaan dirimu terlalu besar! Kau mendekatinya

karena mengira dia menyukaimu!"

"Apa yang salah dengan kepercayaan diriku? Itu semua karena egomu

terlalu besar! Kau kira Kotori bisa suka kepadamu hanya dengan

jentikan jari? Oh, adikku yang manis."

Mahiro memutar tubuh dan merentangkan tangannya panjang-panjang

untuk meraih kakaknya. Wajahnya memerah karena malu dan marah.

Dari sampingnya, sang ayah mengulurkan tangan dan menarik kerah

jaket Mahiro hingga pemuda itu kembali terduduk di kursinya.

"Kita sedang menuju sekolah, Mahiro. Atau kau mau diantar ke kantor

polisi?"

Page 148: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Mahiro masih terus menggeram kepada kakaknya, tetapi menahan diri

untuk tetap duduk di kursinya.

Di belakangnya, sang ibu mulai jengkel. Dia jewer telinga Shinji

keras-keras hingga wajahnya memerah dan dia memekik ampun. "Ibu

'kan sudah bilang jangan terus-terusan menggoda adikmu! Kau ini

pintar sekali membuat adikmu marah."

"Itaaaii! Ampun, Ibu!"

Di kursi depan, Mahiro menyeringai. "Zama miro!"

"Dan kau juga!" Sakura membentak kepada Mahiro setelah

melepaskan jewerannya di telinga Shinji yang malang. "Ini sudah

lebih dari tiga puluh kali kakakmu menggoda dengan topik ini, tapi

kau tetap saja terus termakan ucapannya!"

Mahiro mengerut di kursinya sedangkan Shinji berusaha tertawa

sambil menahan sakit di telinganya. Sasuke hanya menghela napas

diam-diam mendengarkan pertengkaran ibu dan anak yang begitu

kompak menggoda satu sama lain. Dia baru buka suara begitu

memarkirkan mobil di parkir utama kompleks akademi. Ternyata hak

istimewa Uchiha juga merambah hingga Toujou Gakuen. Sakura tidak

akan heran kalau semua Uchiha disekolahkan di Toujou.

"Naruto dan Itachi juga akan datang. Kalian pergilah dulu," katanya

menginformasikan seraya melepas sabuk pengamannya.

"Oh, kami juga ingin bertemu."

Page 149: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sasuke mengangguk, kemudian turun dari mobil bersama-sama.

Sosok Uchiha Sasuke yang banyak diperbincangkan itu tentunya

secara cepat menarik perhatian banyak orang, terlebih hari ini Toujou

Gakuen dipadati para wali murid yang turut menyaksikan festival olah

raga. Belum lagi kehadiran dua pemuda yang tak akan salah dikenali

sebagai putranya dan seorang wanita yang berdiri tak pernah jauh dari

mereka. Bisik-bisik dan beberapa kali jepretan foto memang tak lagi

terhindarkan.

"Jangan bertengkar lagi!" hardik Sakura kepada kedua putranya

memperingatkan sambil sesekali melirik kanan-kiri ke arah belasan

pasang mata yang terang-terangan mengawasi mereka.

Shinji dan Mahiro kompak ber'hn' panjang. Jika mereka menyadari

tatapan dari sekitar mereka, keduanya tidak memperlihatkan gelagat

sadar atau jengah. Lagipula, Shinji suka menjadi pusat perhatian dan

Mahiro selalu bermuka batu untuk menunjukkan reaksi.

"Kalian terlalu sering bertengkar," kata Sasuke.

"Dengarkan ayah kalian."

"Memangnya Ayah tidak pernah bertengkar dengan Paman Itachi?"

tanya Shinji yang mengambil tempat di sebelah kanan Sasuke.

Sasuke menggeleng, tetapi Sakura lah yang menyumbang jawaban.

"Mereka saudara paling akur, tidak seperti kalian." Sambil menyikut

Mahiro main-main, Sakura tersenyum.

Page 150: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Paman kalian kakak yang penyayang," imbuh Sasuke.

"Dengarkan itu, Kakak," Mahiro yang berjalan di depan mereka

bersama sang ibu menoleh ke belakang. Matanya mencemooh. "Kakak

yang penyayang."

"Tentu saja aku penyayang!" elak Shinji, merasa sedang ditusuk dari

tiga arah sekaligus. "Tapi dengan adik sepertimu? Hah!"

Mahiro memberengut. "Apa maksudnya itu?"

"Maksudnya? Coba dulu jadi adik manis yang penurut," Shinji balas

memberengut.

"Bermimpilah, Kakak."

"Harusnya aku yang bilang begitu, Adik."

Untungnya adu mulut mereka tak berlangsung lama karena panggilan

Naruto yang meneriakkan nama mereka dari seberang lapangan.

Sasuke hanya bisa menggeleng tak percaya menghadapi tingkah laku

sahabatnya yang tidak juga sirna dimakan usia.

"Wow! Senang melihat kalian di sini. Aku sudah rindu!"

"Kemarin kita bertemu, Paman."

"Oh, benarkah?" Pria yang kini memakai kaus kembar berwarna

oranye dengan seorang wanita dan bocah lelaki itu tertawa renyah,

membuat mata birunya terlihat semakin jernih. "Sakura-chan! Kau

pasti sudah kangen istriku, 'kan?"

Page 151: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sakura berpaling dari kegiatannya mengamati kaus nyentrik Naruto

dengan hidung berkerut ke arah wanita pendiam yang sedang ditunjuk

Naruto. "Hinata!" pekiknya luar biasa senang. Tanpa memedulikan

keadaan sekelilingnya, Sakura melompat untuk memeluk Hinata yang

tampak kewalahan membalas semangatnya.

"Ibu, pelan-pelan. Bibi Hinata bisa tercekik," ujar Mahiro seraya

membantu Hinata melepaskan diri dari pelukan maut Sakura yang

kemudian diam-diam memberinya senyum terima kasih.

"Oh? Enak saja!"

Di sampingnya, Naruto mendesah. "Kenapa waktu kita bertemu aku

tidak dapat pelukan seperti itu, Sakura-chan," keluhnya dengan nada

yang hanya bisa disebut rengekan.

Uchiha Sasuke mendengus. "Kenapa harus memelukmu? Memelukku

saja tidak."

"Oh, Ibu dengar? Ayah minta dipeluk," koar Shinji bagai beo.

Sakura yang merona langsung menusuk rusuk Sasuke dengan sikunya,

membuat pria itu mengerang dan cepat-cepat berkelit. "Ayo cepat!

Upacara pembukaannya sudah akan dimulai!" hardik dokter tersebut

dengan wajah merah terang.

.

Uzumaki Naruto memandang satu bingkai foto yang baru dia pasang

di dinding dengan senyum luar biasa lebar. Ada kilau kepuasan dari

Page 152: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

caranya memandang pada objek tak hidup tersebut. Batinnya pun turut

bersorak dan mengamini.

Di depannya, sebuah foto ukuran 4R yang diamankan dalam bingkai

kayu putih sederhana semakin menambah kehangatan penthouse dua

lantai tersebut. Fotonya sederhana, diambil oleh dirinya sendiri yang

amatir memegang kamera di acara terakhir festival olahraga Toujou

sebelum upacara penutupan. Foto empat orang yang menempati posisi

khusus dalam hidup seorang Naruto.

Dalam foto itu, Shinji tengah tertawa sambil memegang piala bergilir

yang menandakan kemenangan tim hijau sebagai juara umum festival

olahraga tahunan. Dia sedang memeluk ibunya, Sakura yang sedang

menahan senyum, dari belakang dan dagunya bertumpu di puncak

kepala Sakura. Di sampingnya, Mahiro tengah memasang wajah kusut

(tak salah lagi pasti sedang jengkel karena godaan Shinji yang tiada

henti) dan Sasuke sedang mengacak-acak rambutnya.

Naruto tidak pernah melihat foto keluarga paling sempurna seperti

foto yang dia ambil ini.

Di foto itu juga, beberapa orang yang ikut tertangkap kamera tanpa

sengaja sedang memperlihatkan ketertarikan khusus kepada keluarga

dengan dua putra itu. Sebagian penasaran, heran, sebagian ada yang

ikut tersenyum ketika memandang keluarga dalam fokus foto tersebut.

Naruto tidak bisa menyalahkan mereka. Rasa penasaran dan

keheranan itu bukan lagi hal baru, mengingat privasi Uchiha Sasuke

Page 153: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

bahkan lebih rahasia dari seorang presiden. Dan tiba-tiba muncul di

depan umum bersama seorang wanita dan dua putra tentunya bukan

hal biasa, lebih-lebih kalau mengingat ada pemberitaan mengenai

pertunangannya dengan wanita lain, yang tak lain adalah sepupu

jauhnya. Mengingatnya membuat Naruto kembali mendesah panjang.

Namun tetap saja, sosok mereka adalah penggambaran keluarga

sempurna. Tidak ada seorang pun yang akan salah melihat

kebahagiaan yang terpancar dari masing-masing anggota keluarganya.

Bahkan Uchiha Sasuke yang sulit dibaca pun tampak bahagia.

"Sedang apa, Paman?" tanya Mahiro tiba-tiba ketika dia sedang

menuruni tangga dan melihat Naruto tengah berdiri di dekat dinding

ruang makan.

Sejenak Naruto menoleh ke samping sebelum kembali menekuni foto

dalam pigura tersebut. "Kau suka foto ini, Mahiro?"

Mahiro yang tadi baru turun dari kamarnya segera mendekat kepada

Naruto yang sedang berdiri di dekat dinding kosong di ruang makan.

Matanya mengikuti arah pandangan Naruto, dan sekejab kemudian

dadanya menghangat. "Hn."

"Apa menurutmu aku bisa menggantung lebih banyak foto seperti ini

di sini?"

Tanpa melepaskan perhatiannya dari foto keluarga tersebut, Mahiro

tersenyum sangsi. "Ibu enggan percaya."

Page 154: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Kenapa begitu?"

Seolah dia baru saja mendengar pertanyaan paling konyol, Mahiro

mengangkat bahu, masih dengan senyum sangsinya yang tadi. "Paman

juga yang paling tahu Ibu selalu menomorduakan dirinya sendiri. Itu

juga yang membuatnya menyembunyikan kami dari Ayah." Kedua

tangannya yang tersembunyi di dalam saku celana pendeknya terkepal

rapat. "Dan Ibu masih percaya kalau Ayah akan lebih bahagia tanpa

Ibu."

Memahami benar apa yang Mahiro katakan dan juga setuju

dengannya, Naruto kembali fokus ke foto di depannya. "Ibumu tidak

akan bilang begitu kalau saja dia tahu seperti apa jadinya Sasuke dulu

ketika dia pergi." Naruto merasakan punggungnya merinding kala

mengingat memori di masa-masa awal kepergian Sakura. Dia ingat

betul seperti apa jadinya sahabatnya itu. Sasuke kembali menutup diri,

bahkan lebih dari yang sudah-sudah. Dia mendedikasikan setiap

waktunya untuk menyelesaikan dua cabang studi yang diambilnya

bersamaan, arsitektur dan manajemen bisnis. Dan setiap harinya

serasa hanyalah sebuah ulangan dari hari kemarin. Dia bagaikan robot

hidup yang dengan patuh mengikuti arus kehidupan tanpa sedikit pun

keengganan. "Apa ibumu khawatir mengenai Karin?"

"Mungkin itu salah satunya. Mungkin juga mengenai keluarga Ayah."

Naruto mendengus keras-keras mendengarnya. "Nonsense." Dia

melipat tangan di depan dada. "Nenekmu bahkan lebih menyayangi

Page 155: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sakura ketimbang menantunya. Nenek kalian juga sangat terpukul

ketika ibu kalian tiba-tiba hilang ditelan bumi begitu. Dan kakek

kalian, meskipun bukan pria paling hangat yang kalian ketahui, dia

tidak akan membuang darah dagingnya sendiri. Kalian sudah diterima

sebagai Uchiha begitu kalian menginjakkan kaki di rumah mereka."

"Jadi, seharusnya tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan?"

Kali ini, Naruto meresponnya dengan tawa renyah lebih dulu.

"Kecuali kekeraskepalaan ibumu, Mahiro. Semoga beruntung untuk

itu."

Mahiro memberengut dalam-dalam, tahu benar bahwa

kekeraskepalaan ibunya bisa memecahkan batu gunung sekalipun.

Jika Sakura sudah merasa benar dan mantap dengan keputusannya,

akan ada pekerjaan nyaris mustahil yang harus Mahiro selesaikan.

Pemuda itu tidak begitu menantikannya.

"Tapi semua orang juga tahu Sasuke adalah kelemahannya. Bicaralah

dengan ayahmu."

Percakapan mereka terhenti ketika mendengar pintu depan terbuka

dan terdengar suara Kai yang sedang bersemangat dan Shinji yang

sesekali menyahuti.

"Kurasa Paman Sai tidak akan keberatan."

"Benarkah?" Bahkan dari suaranya saja, orang bisa mengetahui Kai

sedang berseri-seri.

Page 156: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Shinji yang masuk sambil membawa plastik putih mengangguk

mantap. "Tentu. Kau pelukis berbakat. Paman Sai tidak punya alasan

menolak."

"Oh, kalian sudah selesai berbelanja?" tegur Naruto, kemudian

mengambil alih plastik belanja yang dibawa putranya. "Mana Ibu dan

Bibi?"

"Ada di belakang kami."

Dan benar saja, tak lama kemudian pintu rumah kembali terbuka, kali

ini menampakkan Hinata dan Sakura yang sedang semangat

mengobrol (Sakura bicara tanpa henti dan Hinata yang sesekali

menanggapi). Di belakang mereka kemudian muncul Sasuke yang

sedang membawa plastik belanja paling besar.

"Kalian baru merampok supermarket?"

Sasuke memberengut (dalam gaya pria dewasa) sambil

menghempaskan bawaannya ke meja makan.

"Separuhnya ramenmu, dobe," katanya masam. "Sakura ngotot

menambah persediaan ramen instannya untukmu."

Kontras dengan bujangan Uchiha tersebut, Naruto berseri-seri. "Oh!

Aku selalu tahu kau mencintaiku, teme!" Upayanya memberi Sasuke

pelukan besar gagal karena pria tersebut sudah berkelit lebih dulu.

Yang benar saja, Sasuke semakin mahir menghindari perwujudan

kasih sayangnya.

Page 157: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sakura yang tadi langsung masuk kamarnya kini kembali bergabung

di ruang makan, kali ini sudah mengenakan setelan kemeja dan rok

selutut beige, dan di tangannya sudah ada tas kerja dan jas putihnya.

"Kau sudah mau berangkat, Sakura-chan?"

"Uun," wanita tersebut menggeleng. "Aku masih sempat makan

malam, tenang saja." Dia kemudian bergegas mengeluarkan peralatan

makan tambahan dari kabinet di atas bak cuci piring dan

membawanya ke ruang tengah. Dengan jumlah peserta makan malam

yang dua kali lipat lebih banyak dari biasanya, makan di ruang makan

tentunya bukan pilihan. Hinata kemudian bergerak cepat membantu

dengan membuka bungkusan makanan yang mereka beli.

"Ibu memesankan ayam madu untukku?" tanya Mahiro yang

kemudian ditanggapi dengan anggukan cepat.

"Ada di plastik yang tadi dibawa Shinji."

Sambil memandangi kakaknya dengan tatapan waswas, Mahiro segera

membongkar kotak yang ada di dalam plastik tersebut. "Ibu, ini ayam

lada hitam," keluhnya (dengan nada suara sangat dekat hingga bisa

dikategorikan rengekan, tetapi Uchiha tidak merengek).

Dengan bingung, Sakura ikut mengecek isi kotak karton tersebut.

Ketika mendapati satu porsi utuh masakan ayam lada hitam dan

bukannya ayam madu favorit Mahiro, Sakura hanya bisa berdecak dan

segera memandang putranya yang jadi tersangka. "Shinji, Ibu ingat

Page 158: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

betul Mahiro minta dipesankan ayam madu dan Ibu tahu kau tidak

lupa."

Shinji yang datang sambil membawa gelas-gelas hanya menyeringai.

"Porsinya cukup untuk dua orang, dan Mahiro tidak suka makan

makanan dengan menu yang sama berturut, pesanannya harus habis

dalam sekali makan. Dan karena yang suka ayam madu hanya adikku

tersayang ini, kuputuskan untuk memesan favoritku saja. Kita bisa

makan berdua, Adik," katanya sembari mengedipkan sebelah mata.

Sama sekali tidak termakan kata-kata manis Shinji, Mahiro

memicingkan mata. "Kau juga tahu aku tidak suka ayam lada hitam."

"Tapi aku suka."

"Dan kenapa aku harus mengalah demi seleramu?"

"Karena aku kakaknya," Shinji menaikkan alis tinggi-tinggi.

Dan sebelum Mahiro bereaksi terhadap ulah kakaknya, ayahnya lebih

dulu menengahi. Dia tepuk-tepuk kepala putranya yang sedang

bermuka masam. "Jangan bertengkar." Suaranya memang dibuat

setenang biasanya, tetapi baik Mahiro maupun Shinji tidak

melewatkan peringatan keras di sana. "Lain kali kita makan di luar,

kau bisa memesan apa pun yang kau mau. Untuk kakakmu juga,"

katanya kepada Mahiro.

Mahiro tampak puas mendengarnya dan Shinji ganti bermuka masam

tetapi memutuskan untuk tidak kembali menyulut.

Page 159: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Naruto yang diam memperhatikan interaksi ayah dan anak yang baru

saling kenal beberapa hari itu hanya bisa tersenyum sepuluh jari. "Kau

sudah pintar jadi ayah, teme!" serunya luar biasa senang.

Sasuke, dengan sifat kalemnya, hanya membalas dengan sepasang alis

yang terangkat tinggi. "Kurasa karena pengalaman dengan Shizuku,

Nagisa, dan Kai," jawabnya singkat. "Menurutmu aku sudah

menangani mereka dengan baik?" tanyanya yang ditujukan kepada

Sakura.

Si wanita dalam tanya kemudian mengangguk. "Mereka lebih mudah

diatur, terima kasih kepadamu."

"Mereka anak papa rupanya, Sakura-chan!"

Sakura memberengut dan memilih untuk mulai menyantap makan

malamnya. Diam-diam dia mendesah. Bayi-bayinya kini memang bayi

papa. Bukannya Sakura tidak suka atau apa, toh kedua putranya patut

bermanja-manja kepada sang ayah, tetapi Sakura jadi tidak bisa

mengenyahkan perasaan bersalah yang beberapa hari ini berusaha dia

tekan dan dia abaikan dengan cara menyimpannya di sudut jauh

batinnya. Melihat interaksi ayah dan anak paling natural seperti itu

membuat Sakura kembali berpikir apakah keputusannya dulu benar-

benar tepat. Dia memang memikirkan kebahagiaan dan masa depan

Sasuke, tetapi apakah dia memang tahu apa yang bisa membuat

Sasuke bahagia? Sakura telah terang-terangan merebut tahun-tahun

Sasuke sebagai seorang ayah, dan pria itu hingga detik ini tidak

Page 160: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

pernah mempertanyakannya. Mereka beruntung karena kini mereka

bisa bersama, tetapi bagaimana jika mereka tidak panjang umur atau

justru tidak ditakdirkan bertemu? Rasa-rasanya Sakura tidak bisa

menanggung beban rasa bersalah jika dia tidak bisa mempertemukan

tiga pria paling berarti dalam kehidupannya itu.

Rasa bersalah dan ketakutan itu terus membayang, terasa hingga

lidahnya, dan membuat sup kepiting favoritnya terasa hambar.

Wajahnya pasti tampak konyol karena Shinji kemudian memisahkan

diri dari percakapan dengan sang ayah dan adik untuk menanyai

kondisinya.

"Ibu baik-baik saja?" tanyanya halus.

Putranya satu itu memang yang paling pintar membaca orang.

Perubahan air muka sedikit saja tidak akan lolos dengan mudah dari

mata elangnya. Terkadang, di situasi semacam ini, Sakura

mengeluhkan perseptifitas tajamnya. "Tentu, memangnya kenapa?"

Shinji memandanginya dengan jenis tatapan tak percaya. "Ibu

memasang wajah konyol tadi," katanya.

"Terima kasih karena sudah mengatakan Ibu punya wajah konyol,"

dengus Sakura sambil kembali menggigit daging kepitingnya dengan

tenaga berlebihan.

Shinji mendesah keras. "Bukan begitu. Maksudku jenis wajah yang

Ibu buat setiap kali ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu."

Page 161: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Oh ya? Yang seperti apa?" tantangnya, tidak memedulikan Sasuke

dan Mahiro yang sudah berhenti berbincang hanya untuk

memperhatikan perdebatannya dengan Shinji.

"Seperti sedang memikirkan sesuatu yang benar-benar menjijikkan,

tapi sesekali mendesah panjang. Ibu sedang menyesal? Atau merasa

bersalah?"

Oke, entah Shinji yang terlalu mahir mengartikan ekspresinya ataukah

dua hal itu memang tertulis besar-besar di dahinya, Sakura tidak mau

memikirkannya dulu. Perkara yang perlu diperhatikannya adalah

bagaimana keluar dari belit Shinji. "Shift malam bukan favorit Ibu."

"Ha-ha," kata kedua putranya kompak, pertanda tak seorang pun dari

mereka yang memercayai dalih sang ibu.

Tanpa mengindahkan berbagai jenis tatapan yang diajukan kepadanya,

Sakura buru-buru menghabiskan makan malamnya yang anehnya

terasa semakin hambar. Sayang sekali. Dia kecewa luar biasa. Jarang-

jarang dia punya kesempatan makan sup favoritnya. Malam ini justru

rasanya hambar. Begitu mangkuknya tandas, dia buru-buru bangkit.

"Aku harus pergi."

Anehnya, Sasuke juga memutuskan untuk bangkit dari sofa tempatnya

duduk. Makan malamnya juga sudah bersih. "Biar kuantar."

"Uh?"

Page 162: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Awww," Shinji dan Naruto serempak menggoda, tetapi kemudian

cepat terhenti begitu disuguhi tatapan tajam Sasuke.

Merasa tidak punya alasan kuat untuk menolak (dan kalaupun dia

punya, Sasuke tidak akan mundur begitu saja), dengan setengah hati

dia mengangguk, kemudian mengikuti Sasuke keluar dari rumah

setelah mengucapkan selamat malam kepada tamu-tamu dan kedua

putranya.

"Jaga sikap kalian!"

.

Perjalanan dua puluh menit menuju rumah sakit Toujou berlangsung

hening, setidaknya di paruh menit pertama. Tidak terlalu mengagetkan

bagi Sakura yang terbiasa ditemani kebisingan kedua putranya yang

begitu mendedikasikan diri untuk saling mengolok di setiap

kesempatan, justru sedikit melegakan. Keheningan yang dipancarkan

pria di sampingnya itu menenangkan sekaligus membuatnya waswas.

Walaupun Sakura mengerti sebagian besar jalan pikiran Sasuke, dulu

tetaplah dulu. Hampir dua dekade tanpa sosoknya di sekitarnya

membuat Sakura tidak lagi yakin dengan apa yang diyakininya. Dia

tidak lagi bisa mengklaim mengenal baik pria yang tidak seharipun

lepas dari pikirannya.

Dengan pemikiran itu juga, sekali lagi Sakura mempertanyakan

dirinya. Juga kredibilitasnya sebagai orang yang telah

mendeklarasikan diri selalu mengutamakan kepentingan Uchiha

Page 163: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sasuke lebih dulu dari kepentingan orang lain. Pemikirannya itu

membuatnya bertahan pada keputusannya untuk pergi, belasan tahun

silam, tetapi itu hanya mengantarkannya hingga saat ini. Dan kini,

dihadapkan kepada sosok pria matang, dewasa, mandiri, dan sukses

yang sangat bukan Uchiha Sasuke delapan belas tahun lalu membuat

Sakura merasa awas, lemah, dan goyah.

Bagaimana jika sebenarnya dia telah salah memilih?

Memilih antara pergi dan tinggal dulunya terentang sejauh langit-

bumi, berada di ujung dunia utara-selatan, sejelas hitam-putih. Namun

kini, ada warna kelabu di antaranya, ada jembatan panjang yang

menghubungkan dua ujung utara-selatan, dan dia menyadari bahkan

langit dan bumi telah bertemu di satu titik jauh.

Keyakinannya goyah, mengizinkan perasaan bernama kecemasan dan

kebimbangan tumbuh di dalam dirinya.

Sakura bermaksud menyimpan dalam-dalam keresahannya, tetapi dia

tahu botol penyimpanannya akan habis pada waktunya. Dan jika itu

sampai terjadi di fase penyangkalannya, Tuhan tahu Sakura tidak akan

bertahan. Lagipula, bukankah ibu walinya sendiri yang selalu

mendorongnya untuk maju lebih dulu menghadapi tantangan?

Perlawanan terkadang bentuk tersolid dari sebuah pertahanan.

Oleh karena itu, di paruh kedua keheningan yang perlahan tetapi pasti

telah berubah menjadi ketegangan yang kental, Sakura memutuskan

untuk memecahnya.

Page 164: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Sasuke-kun," panggilnya tanpa bisa menghentikan kebiasaan

lamanya memanggil Sasuke dengan sebutan –kun di setiap kali

mereka berdua saja.

Sasuke yang menyadari ada nada ganjil dalam suara Sakura menoleh

sekilas sebelum kembali memperhatikan jalan, cukup untuk

menunjukkan kepada Sakura dia telah mendapatkan perhatiannya.

"Apakah ini semua tidak mengganggumu?"

"Apa maksudmu?" tanyanya balik karena tidak berhasil menangkap

maksud pertanyaan Sakura.

"Dengan kehadiran kami yang tiba-tiba. Aku yakin sejauh ini hidupmu

baik-baik saja dan kami datang bagai badai di musim semi."

Uchiha Sasuke mengerutkan kening, tatapan masih terfokus ke jalan

di depannya yang cukup ramai. "Memangnya kenapa kalau terlalu

tiba-tiba?"

"Aku yakin aku telah merusak banyak hal dalam hidupmu," jawab

Sakura dengan suara lemah. Tangannya meremas jas dokternya kuat-

kuat, tak salah lagi akan meninggalkan bekas kusut yang kentara.

"Aku takjub dengan keyakinanmu pada hal-hal yang bahkan aku

sendiri tidak ketahui," tanggap Sasuke dengan nada yang dibiarkan

datar. Dia memutar kemudi dan mobil pun berbelok ke kanan.

Sakura menanggapinya dengan bahu terangkat. "Aku lebih banyak

memperhatikan hal-hal lain daripada kau, Sasuke-kun."

Page 165: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Itu memang tidak kuragukan." Dengan gerakan halus, Sasuke

menginjak rem mobil sehingga mobil yang dia kendarai memelan

perlahan hingga akhirnya berhenti di bahu jalan. "Kau selalu

melakukan apa yang kau pikir baik untukku. Sejak awal kau selalu

memperlakukanku seperti anak kecil, membuat keputusan untukku

bahkan sebelum aku mengetahui apa yang harus diputuskan. Aku

tidak pernah meragukanmu karena aku lebih dulu sudah meragukan

diriku sendiri, tapi sejak awal kau tidak pernah bertanya apa yang

sebenarnya kuinginkan. Atau kau memang sudah bertanya dan hanya

aku di sini yang tidak ingat pernah menjawabnya, Sakura?" Sasuke

memandanginya dalam-dalam dengan tatapan yang sulit diartikan, dan

Sakura hanya bisa terdiam sambil berjuang mengumpulkan napas. Dia

terlihat seolah sedang menunggu jawaban Sakura, tetapi setelah lima

menit penuh Sakura hanya bisa megap-megap tanpa daya, pria itu

akhirnya menyerah. Dia menghela napas dan menyandarkan diri di

kursi, masih dengan tatapan yang lekat tertuju kepada wanita yang

menghuni kursi penumpangnya. "Kita sudah sampai." Ada nada final

dalam suara.

Menyadari Sasuke telah menutup pembicaraan mereka dari caranya

bicara dan berekspresi, mau tak mau Sakura harus turun dari mobil

dan memulai pekerjaannya malam ini. Begitu dia menapakkan kaki

keluar dari mobil Sasuke, dia tahu ada kekecewaan besar yang

keduanya sama-sama rasakan, tetapi sama-sama enggan mereka

bicarakan.

Page 166: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

.

Ketika subuh itu Haruno Sakura kembali ke rumahnya

setelah shift malam yang melelahkan, Uzumaki Naruto dan

keluarganya sudah tidak ada. Barangkali mereka pamit pulang setelah

makan malam, Sakura tidak tahu. Yang kemudian dia sadari adalah

televisi di ruang tengah sedang menyala (atau barangkali masih

menyala semalaman). Dia mengerutkan kening sembari memasuki

dapurnya dan mengambil gelas dari rak, kemudian menuangkan jus

jeruk dingin untuk dirinya sendiri. Keletihannya tidak menghilang

begitu saja dengan segelas jus segar, tetapi paling tidak dia bisa

menjaga matanya tetap terbuka untuk beberapa jam ke depan.

Lagipula, kurang tidur bukan satu hal baru baginya. Sejak masih

menempuh pendidikan dokter pun dia harus tetap terjaga hingga dini

hari untuk mengejar ketertinggalannya di kelas karena fokusnya

kadang pecah ketika putra-putranya rewel. Dan lagi, dia sudah sempat

tidur tiga jam sehabis shift malamnya berakhir jam satu dini hari dan

tugas jaganya digantikan dokter lain yang mengambil shift empat.

Setelah menyuci gelas dan menempatkannya kembali di tempat

semula, Sakura bermaksud menuju kamarnya untuk membersihkan

diri, tetapi melihat tiga sosok yang tidak asing lagi tengah tertidur

pulas dalam posisi yang sebetulnya kurang nyaman, Sakura terhenti di

ambang ruang tengah. Shinji tertidur di sofa panjang dalam posisi

tengkurap. Kepalanya miring dan Sakura yakin begitu bangun nanti

dia akan mengeluhkan otot lehernya yang nyeri. Sasuke

Page 167: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

menempati loveseat dan tidur pulas. Kakinya yang lebih panjang dari

panjang loveseat menggantung bebas. Melihatnya tidur seperti itu

kembali mengingatkan Sakura ke satu malam tertentu yang dia

habiskan hanya untuk memandangi Sasuke tidur (wajahnya serta-

merta memerah ketika memori dari malam di delapan belas tahun

silam kembali menguasainya). Buru-buru dia menyibukkan pikiran

dengan mencari sosok putra bungsunya, yang rupanya berpikir lantai

adalah tempat yang tepat untuk tidur. Putranya satu itu tidur terlentang

dengan tangan dan kaki terentang lebar. Di tangannya, remote televisi

digenggam lemah.

Betapa dia memimpikan momen-momen seperti ini, apalagi jika

Shinji dan Mahiro masih belum sebesar ini. Dengan begitu, kedua

putranya tidak akan kehilangan momen ayah-anak yang tidak

tergantikan. Sayangnya sekarang sudah sedikit terlambat untuk

mewujudkannya. Shinji dan Mahiro sudah sebesar ayah mereka,

dengan ego dan rasa malu yang juga sama besarnya. Dan Sakura

kembali mempertanyakan dirinya.

Setelah sekali lagi mengedarkan pandangan ke arah tiga pria yang

paling dicintainya, Sakura segera bergegas masuk ke kamarnya dan

mengambil tiga selimut tipis. Musim panas memang tetap saja musim

panas, tetapi bukan berarti mereka tidak akan terserang flu karena

tidur di luar seperti itu. Setelah menyelimuti ketiganya satu per satu

dan mematikan televisi, Sakura kembali ke kamarnya untuk

mengambil pakaian rumahan dan kemudian mandi cepat. Dia

Page 168: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

berusaha untuk tidak membuat banyak suara. Walaupun baik Sasuke

maupun kedua putranya tipe yang tidur lelap, dia tetap tidak ingin

menyebabkan kegaduhan. Pasti ketiganya menghabiskan waktu

hingga tengah malam (atau lebih) untuk mengobrol. Untuk kali ini,

Sakura sama sekali tidak keberatan.

Setelah merasa lebih segar dan bersih, Sakura kemudian menyibukkan

diri di dapur. Kegiatan rumahan seperti memasak dan bersih-bersih

adalah satu hal yang selalu dia nikmati. Dengan begitu dia

merasa…bisa memerankan posisinya sebagai ibu dengan lebih baik.

Sakura sadar dia tidak bisa memberi cinta yang lengkap untuk kedua

putranya, dan dia tahu betul betapa Shinji dan Mahiro kesepian

karenanya (walaupun tentunya neraka harus membeku dan babi bisa

terbang lebih dulu supaya mereka mengakuinya, yang artinya sama

halnya dengan mustahil). Sakura berusaha menyisakan waktunya

sebagai seorang ibu dengan pekerjaan yang menuntut waktunya 24/7.

Di waktu-waktu senggang seperti itu, Sakura selalu memasakkan

makanan untuk kedua putranya, terkadang sedikit kejutan

dengancookies atau pie. (Dan sekali lagi, Sakura hanya bisa membuat

yang paling sederhana dari yang sederhana. Bakat belajarnya hanya

terbatas untuk urusan tubuh manusia dan pengobatannya, sayangnya.)

Dan pagi ini, dengan semangat yang barangkali menyaingi matahari

musim panas, Sakura merasa satu pie kayu manis akan cukup sedap

untuk membangunkan ketiga pangeran tidurnya.

Page 169: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Satu setengah jam kemudian, setelah Sakura mengeluarkan

loyang pienya dari oven dan sarapan sederhana sudah siap di meja

makan, suara pertama yang terdengar adalah gerutuan Shinji.

"Kurasa aku sudah mematahkan leherku…" erangnya sambil malas-

malasan bangun. Matanya masih terpejam rapat ketika dia membaui

udara. "Kayu manis…"

Dari ambang dapur, Sakura hanya bisa tertawa. "Lehermu belum

patah, Shinji, dan Ibu baru membuat pie kayu manis untukmu. Ayo

bangun."

Bagaikan mantra, Shinji langsung membuka mata dan memandangi

sang ibu dengan mata lapar. "Mana punyaku?"

"Segera setelah kau cuci muka dan sikat gigi, ah, bangunkan juga

Ayah dan Mahiro," katanya, kemudian mulai menyibukkan diri

dengan kopi dan jusnya.

Dengan setengah hati Shinji bangkit dari sofa dan menendang kaki

adiknya yang terjulur dekat tempatnya. "Ayo bangun, Adik." Setelah

puas dengan reaksi Mahiro, dia kemudian berpindah untuk

membangunkan ayahnya, kali ini cukup dengan tepukan pelan di

tangan. "Ayah…" panggilnya dan Sasuke langsung terbangun.

"Bau apa ini?" tanyanya dengan suara parau khas orang bangun tidur.

Dengan seringai, Shinji menjawab. "Pie kayu manis."

Page 170: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Seolah mendapat mantra yang sama seperti Shinji tadi, Sasuke

bergegas bangun dan berniat melangkah menuju dapur. Belum lagi dia

mengeksekusi niat luhurnya, Shinji sudah keburu menarik bajunya

dari belakang.

"Ibu bilang cuci muka dan sikat gigi dulu, Ayah."

Sambil mendengus, Sasuke bermanuver menuju kamar mandi yang

sudah dengan segenap hati dia hafal letaknya. Kamar mandinya dia

rancang luas dengan area mandi dan wastafel dipisahkan oleh lemari

penyimpanan. Di gelas plastik yang ada di dekat cermin, sudah ada

empat sikat gigi berbeda warna—yang dengan seketika membuat

dadanya menghangat. Sudah berapa lama dia ingin melihat

pemandangan pagi seperti ini? Terbangun oleh aroma nikmat sarapan,

kamar mandi yang selalu basah karena dipakai bergantian, dan sikat

gigi yang tidak lagi sendiri. Dulu rasanya konyol ketika dia tinggal

di penthouse ini. Seorang bujangan tinggal di penthouse yang lebih

layak untuk satu keluarga kecil terdengar ganjil karena waktu dia

memulai pembangunan penthouse ini, dia sama sekali tidak berpikiran

mengenai keluarganya sendiri. Dia hanya membangun rumah impian

yang dia rancang dulu sekali, ketika dia masih di bangku kuliah.

Model rumahnya ini merupakan gaya arsitektur pertamanya, dan tidak

ada duanya dari puluhan rancangan rumah dan bangunan yang sudah

dia buat sampai detik ini. Inspirasinya datang di malam yang amat

menentukan, delapan belas tahun silam.

Page 171: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Begitu dia keluar dari kamar mandi, satu pemandangan yang telah dia

sadari menjadi satu hal paling natural dalam hidupnya adalah

menyaksikan kedua putranya berdebat. Kali ini karena berebut siapa

yang bisa memakai kamar mandi lebih dulu. Sambil menghela napas,

Sasuke menggerutu. "Pakai bersama saja."

Walaupun masih dengan wajah saling bermusuhan, keduanya

kemudian masuk bersama sambil sesekali bertukar olokan. Sasuke

hanya bisa menghela napas. Diam-diam dia jadi bertanya-tanya

apakah mereka benar-benar saudara satu darah dan bukannya dua

orang yang telah bersumpah akan terus bermusuhan. Dan benar saja,

pergulatan pagi mereka tidak berhenti begitu saja setelah perebutan

kamar mandi terselesaikan. Tema olok-olokan mereka justru

bercabang ke topik yang berbeda sama sekali dari permasalahan

kamar mandi. Sasuke yang merasa tidak tahu harus bagaimana

memutuskan untuk diam dan menikmati kopi paginya, satu isyarat

bahwa dia menyerahkan kuasa sepenuhnya kepada Sakura.

"Kapan sih kalian tidak bertengkar?" Sakura berkacak pinggang

dengan ekspresi tegas di wajahnya. "Ibu mulai berpikir kalian tidak

layak mendapat pie."

Mahiro terkesiap. Shinji langsung melancarkan senyum memesonanya

tanpa cacat. "Apa aku sudah memuji Ibu cantik pagi ini?"

Ekspresi keras di wajah Sakura perlahan mengendur. "Tidak perlu. Ibu

lebih senang kalau kalian berhenti bertengkar saja."

Page 172: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Shinji memberengut begitu menyadari upayanya mengalihkan

perhatian sang ibu gagal. Dengan wajah sepahit pemuda patah hati,

Shinji mengambil duduk di sebelah ayahnya dan menyesap jus jeruk

yang telah disediakan untuknya. Rasa masam itu segera

membangkitkan selera makannya.

"Kalian ada rencana apa hari ini?" tanya Sakura membuka percakapan

di sela-sela sarapan pagi mereka.

"Tidak ada," jawab Mahiro.

"Dan kau, Shinji?"

Shinji mengunyah nasinya lamat-lamat sembari berpikir. Kencan?

Kalau tidak salah sih ada beberapa mail gadis-gadis yang

mengajaknya keluar, tetapi sepertinya pagi ini dia sedang

tidak mooddikelilingi para gadis. "Tidak ada juga."

Jawaban Mahiro sedikit banyak sudah bisa diprediksi, tetapi Shinji?

Sakura menolak percaya begitu saja. "Tidak ada kencan?" tanyanya

bernada curiga.

Dengan sifat flamboyannya seperti biasa, dengan tangkas Shinji

mengelak. "Ibu jangan cemburu begitu. Shinji tetap paling mencintai

Ibu."

Mendesah putus asa, Sakura kembali menikmati sarapannya.

Kemudian dia tiba-tiba teringat sesuatu. "Atau barangkali ke rumah

ayah kalian?"

Page 173: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Baik Shinji dan Mahiro sama-sama mendongak. "Ibu, ini rumah

Ayah."

"Ibu sudah membelinya, jadi secara hukum ini rumah Ibu!"

sanggahnya seketika dengan nada defensif.

Mahiro memutar bola mata. "Maksud Ibu, kediaman Uchiha?"

Sakura membenarkan dengan anggukan kecil. "Kalian ingin ke sana?

Tidak apa-apa, Sasuke?"

"Tak masalah," jawabnya singkat.

"Kami bermasalah." Dua suara berbeda nada itu menyahut bersama,

membuat Sakura dan Sasuke memandang mereka bingung sekaligus

takjub. "Kami tidak punya alasan ke sana."

"Kalian punya kakek, nenek, paman, bibi, dan dua sepupu. Ibu

rasa itu alasan yang cukup untuk berkunjung."

"Kami sudah pernah ke sana. Dan kalau Ibu ingin kami ke sana lagi,

Ibu juga harus ikut."

Air muka Sakura serta-merta mendung. "Sepertinya Ibu benar. Kalian

memang tidak pantas mendapat pie."

"AAH!"

.

Page 174: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Bagaimana ini semua bermula, Haruno Sakura tidak lagi yakin. Hari

ini dia memang tidak perlu pergi ke rumah sakit kecuali jika ada

keadaan darurat, tetapi bukan berarti dia jadi rela-rela saja diboyong

ke Setagaya. Sakura merasa dikhianati oleh kedua putranya.

"Ayolah, Bu, jangan merajuk terus," rayu Shinji tak kenal henti. "Kita

sudah terlanjur sampai."

"Bagaimana kalau Ibu punya pasien gawat darurat?"

Kali ini Mahiro memutuskan untuk membantu kakaknya. Hanya satu

kali ini saja. "Ini jatah libur bulanan Ibu, jadi kemungkinan Ibu

dipanggil untuk menangani pasien gawat darurat hanya tujuh persen.

Ibu cuma ingin menghindar."

"Kenapa kalian jadi kompak sekali?!" pekiknya frustasi menghadapi

kedua putranya sekaligus.

Shinji menaikkan alis tinggi. "Ibu sendiri yang selalu komplain kalau

kami bertengkar."

"Dan hari ini kami memutuskan untuk berdamai dan menjadi saudara

sesungguhnya," imbuh Mahiro sambil mengangguk-angguk.

"Mulai besok saja!"

"Ibu mulai tidak masuk akal."

"Itu ada di daftar paling bawah dari apa yang perlu Ibu pedulikan."

Page 175: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Kalian ingin terus berdiri di sini seharian?" Sasuke menyela dengan

desah napas tak sabar. Kenapa Sakura merasa perlu dia bertindak tak

masuk akal sekarang, Sasuke tidak paham. Tidak ada yang perlu

wanita itu khawatirkan sebenarnya. Sasuke sudah menyelesaikan

pembicaraannya dengan Fugaku dan Mikoto, dan yang mereka

inginkan hanyalah obrolan singkat dengan wanita dalam topik hangat

ini. Mereka sudah lama tidak bertemu Sakura. "Bawa Ibu kalian

masuk."

Kedua putranya langsung tangkas menjalankan perintahnya. Mahiro

segera merenggut tas yang dibawa Sakura sedangkan Shinji dengan

keahlian yang Sasuke tidak ketahui darimana asalnya membelitkan

tangan ke perut sang ibu dari belakang, sukses memerangkap wanita

kecil itu ke dalam pelukannya. Sakura yang sekali lagi merasa

dikhianati hanya bisa pasrah. Dia tidak tahu sama sekali mengenai

persetujuan apa yang telah sampai pada tahap sepakat antara ayah dan

anak yang terjadi semalam itu.

Berbeda dengan kedatangan pertama mereka, musim panas ini

sepertinya turut membawa keceriaan ke dalam rumah Uchiha. Bahkan

dari ambang pintunya, Shinji dan Mahiro sudah bisa mendengar gegap

gempita dan semangat musim panas, yang tak salah lagi berasal dari

Uchiha paling muda. Seruan Nagisa semakin bertambah ketika

melihat pamannya datang, diikuti dengan dokter cantik yang sudah

merawatnya dan dua pemuda yang baru-baru ini dia ketahui sebagai

sepupu.

Page 176: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Paman! Dok—Bibi!" Uchiha Nagisa, kalau saja mungkin, semakin

bertambah berseri-seri ketika dia melompat ke pelukan Sakura.

"Apa kabar, Nagisa-chan?" tanyanya riang. Tangannya meremas

lengan Nagisa. "Hmm, bagus. Berat badanmu sudah bertambah,"

komentarnya.

Nagisa tersenyum lebar. "Aku makan dengan rajin!" klaimnya, yang

kemudian mendapat tanggapan berupa tawa kecil dari sang kakak.

Uchiha Shizuku berdiri beberapa langkah di belakang adiknya

mengenakan gaun musim panas rumahan. Dengan sopan, dia

membungkuk rendah di hadapan kedua paman dan bibinya. "Selamat

datang, Paman, Bibi."

"Dimana ayahmu?" tanya Sasuke setelah mengangguk membalas

homat Shizuku.

Ketika gadis empat belas tahun itu kembali menegakkan tubuh,

terlihat ekspresi cemas dan tidak yakinnya. Sambil sesekali melirik

pintu geser di sampingnya, Shizuku kembali menunduk. "Ayah dan

yang lain sedang menemui tamu di ruang minum teh, Paman." Bahkan

tutur katanya sopan tak bercela. Barangkali memang begini sikap

setiap wanita dari keluarga klan tradisional.

Menyadari kegugupan keponakannya, Sasuke hanya bisa bertanya-

tanya. Tamu mana kiranya yang bisa membuat Shizuku yang biasanya

Page 177: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

kalem ini terlihat waspada? "Siapa?" tanyanya akhirnya sambil

melangkah mendekat.

"Kerabat…Paman Naruto."

Ayah dua putra itu mengangguk paham, kemudian menoleh ke

belakang, mengisyaratkan Sakura dan kedua putra mereka untuk

mengikutinya. Shizuku mundur selangkah dengan patuh, kemudian

mengamit tangan adiknya dan mengikuti Sasuke memasuki ruangan

yang biasa mereka gunakan untuk minum teh.

"Sasuke-kun!"

Perhatian keempat orang itu langsung tertuju ke tengah ruangan,

tepatnya kepada sosok wanita berkacamata dengan rambut merah

blondenya yang kini tengah melambai antusias, untuk sekalinya

melupakan tata krama yang dipegang erat keluarga Uchiha. Begitu dia

bertatapan dengan Sakura, mata di balik lensanya menyipit dan

ekspresi wajahnya sekarang hanya bisa dikategorikan sebagai wajah

tak suka.

Haruno Sakura mundur dengan gelisah hingga punggungnya

membentur dada Shinji. Pemuda itu kemudian menunduk hingga

mulutnya sejajar telinga sang ibu, dan berbisik. "Biar Ayah yang

mengurusnya," katanya menenangkan, dan langsung bisa dia rasakan

postur tubuh ibunya kembali rileks. Dia jelas tidak memperhitungkan

kemungkinan wanita bernama Uzumaki Karin itu juga sedang berada

di kediaman Uchiha, lebih-lebih dengan suasana hati masam begitu

Page 178: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

melihat ibunya. Barangkali kerja para pemburu berita itu juga

mempengaruhinya. Pemberitaan mengenai Uchiha Sasuke yang

tertangkap basah kamera sedang menghabiskan waktu seharian

bersama seorang wanita dan dua pelajar koukou Toujou Gakuen di

festival olahraganya tentunya tidak berakhir damai. Bahkan efeknya

lebih menggemparkan dari pemberitaan mengenai pertunangan Sasuke

dengan Karin. Shinji sendiri tidak ambil pusing. Dia senang-senang

saja walaupun beberapa media memilih memberitakan kabar

menyimpang, tetapi intinya hanya satu: Uchiha Sasuke bersama istri

(tidak peduli apakah ada tambahan simpanan, rahasia, atau sekadar

wanita masa lalu) dan kedua putranya. Poin penting di sini sudah

terpampang jelas. Mereka adalah keluarga.

Menanggapi seruan bahagia (yang semakin lama semakin terdengar

berlebihan), Sasuke mengangguk. "Karin."

Bagai buaya kelaparan, Uzumaki Karin langsung melompat

dari tatami dan bergelayut ke lengan Sasuke. Tingkahnya yang lebih

mirip gadis remaja yang sedang berusaha menarik perhatian pujaan

hatinya itu membuat Mahiro mulas. Barangkali untuk persoalan

persaingan antarwanita, usia tidak lagi dipermasalahkan. Tiga puluh

dua pun dengan cepat berubah enam belas.

"Sasuke-kun kemana saja? Kenapa tidak mengunjungiku? Aku ingin

berlibur mumpung sedang musim panas!"

Page 179: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Sebagai putra yang overprotective kepada sang ibu, Shinji dan Mahiro

segera menggiring Sakura melewati Karin (dan dengan sengaja

menyenggolnya keras-keras), dan segera bertemu pandang dengan

keluarga inti Uchiha.

"Sakura-chan!"

Tidak ada yang lebih kaget daripada Sakura sendiri ketika Nyonya

Uchiha itu memeluknya dengan kekuatan meremukkan tulang. Belum

lagi ketika beberapa saat kemudian terdengar isak tangis memilukan.

Sakura cemas luar biasa.

"Oh, putriku!" desahnya di sela isak tangis.

Dalam pelukan erat Uchiha Mikoto, Sakura pelan-pelan kembali rileks

dan mulai membalas pelukan wanita yang selalu mengisi posisi

seorang ibu baginya. Baru dengan satu pelukan, dan Sakura

merasakan rasa rindu luar biasa terhadap sosok wanita yang selalu

menyayanginya lebih dari menyayangi putra-putranya sendiri.

"Kemana saja kau, Sayang?"

Sakura tertawa. Bukan karena merasa situasi mereka lucu, tetapi lebih

karena Sakura tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa. Dia hanya

bisa membalas pelukan Mikoto sama eratnya, sekaligus menyalurkan

rasa rindu dan penyesalannya. "Banyak yang terjadi, Mikoto-san,"

jawabnya dengan suara parau. Dia sendiri tidak menyadari air mata

yang mulai menitik dari sepasang matanya.

Page 180: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Ya, ya. Banyak sekali yang sudah terjadi tanpamu." Mikoto

kemudian melepas pelukannya dan memandang wanita pertama yang

dia anggap putri sendiri dengan mata haru. "Oh, ternyata putriku ini

kejam sekali. Meninggalkanku begitu saja."

"Gomenasai, Mikoto-san," bisiknya.

Momen haru itu segera terputus begitu suara Karin yang bernada

tinggi terdengar. "Siapa dia, Sasuke-kun?" Tidak perlu menjadi orang

yang ahli untuk mendengar nada kasar dari cara Karin bicara. Lebih-

lebih dengan tatapan tak suka yang tidak sedikit pun ditutup-tutupi.

"Jadi dia yang disebut-sebut wanita simpananmu?"

Uchiha Sasuke jarang kehilangan ketenangannya. Lebih jarang lagi

menyakiti wanita. Namun, wanita yang lengket bagai lem ke sisinya

ini telah menekan tombol yang salah dalam dirinya. Sebelum dia

sadari, dia telah mendorong Karin menjauh keras-keras darinya dan

menatapnya dengan tatapan yang rasa-rasanya akan mampu

membekukan magma. Ketika dia bicara, suara tanpa nada dan

emosinya telah meninggi dan kemarahan seolah menetes-netes bagai

bisa di setiap silabelnya. "Kau perlu berhati-hati menggunakan

lidahmu lain kali, Uzumaki."

Kemarahan Uchiha Sasuke yang stoic tentunya bukan hal yang biasa

orang hadapi, lebih-lebih bagi Uzumaki Karin yang hanya baru-baru

ini mengenalnya. Wanita malang itu kini memucat sambil memeluk

dirinya sendiri di sisi tembok. Bola matanya membeliak. Namun,

Page 181: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

keberanian (atau kebodohan) untuk menyulut Sasuke memang perlu

diapresiasi. "Tapi Sasuke-kun! Aku tunanganmu!"

"Tidak perlu khawatir. Begitu kau pulang nanti, pertunangan kita

sudah dibatalkan." Suaranya kering bagai es.

Karin terkesiap, kemudian melemparkan tatapan menuntut kepada

kepala klan yang sedang duduk santai menikmati tehnya. "Fugaku-

san! Kau tidak bisa membiarkan Sasuke-kun membatalkan

pertunangan kami!"

Dengan kekaleman yang sudah terlatih bertahun-tahun, Fugaku hanya

memberi wanita itu lirikan. "Putraku bisa melakukan apa pun yang dia

mau."

"Tapi kontrak perusahaan—"

"Itu pun bisa dibatalkan," katanya tajam, memotong bantahan Karin

seketika. Sejak awal tujuannya menikahkan Karin dengan putranya

memang hanya karena perusahaan. Dia pribadi tidak menyukai wanita

tersebut.

"Oh! Kami akan menggugat kalian Uchiha!" bentaknya.

Mendengar ancaman (yang sebenarnya tidak terlalu berarti baginya),

Uchiha Fugaku bangkit dari posisi duduknya. Dia kemudian menoleh

untuk menatap Karin sepenuhnya dengan matanya yang tajam dan

tanpa ampun. "Aku ingin lihat kau mencobanya, Nona."

Page 182: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Dengan wajah luar biasa merah oleh amarah dan malu, Karin segera

berbalik dan menghilang di balik pintu. Suasana di ruangan itu pun

secara nyata terasa lebih ringan. Tidak sampai sang kepala klan

memutuskan untuk kembali bicara.

"Nah, apa yang kita punya di sini?" Tatapan tajamnya yang penuh

pertimbangan diarahkan kepada Sakura yang sedang berdiri bersisian

dengan Mikoto. "Apa kau benar ibu dari kedua cucuku?" Ketika

Sakura menjawabnya dengan anggukan gugup, Fugaku menaikkan

sepasang alis hitamnya. "Tapi tidak sedikit pun mereka mirip

denganmu."

Duh! Sudah cukup banyak orang yang meragukannya. "Ya, saya sadar

sekali, Fugaku-san." Kalimat bertata bahasa sopan itu justru keluar

dengan ketajaman yang mirip olokan.

Dan bukannya marah atau tersinggung, Fugaku justru semakin dalam

memandang Sakura. Ada binar ganji di matanya, seperti Sasuke yang

sedang merencanakan sesuatu yang tidak boleh Sakura ketahui, atau

ketika Shinji tahu satu rahasia orang dan berniat memeras mereka

dengan itu.

"Fugaku-kun, bagaimana dengan keluarga Uzumaki nantinya?" tanya

Mikoto memecah kontak mata panas Fugaku dan Sakura.

"Semuanya bisa diatur ulang, Miko."

"Bagaimana jika mereka benar-benar mengajukan tuntutan?"

Page 183: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Fugaku segera beralih menatap cucunya, Mahiro, yang baru saja

menyampaikan keraguannya. Wajahnya stoic dan tatapannya datar

ketika dia menjawab dengan suara tajam dan tegas. "Kau tidak pernah

memegang kuasa." Dia berdecak, tetapi tidak ada caci maki dalam

dirinya, hanya sekadar penekanan maksudnya. "Satu hal yang datang

bersama darah penguasa adalah kau bisa melakukan apa pun yang kau

inginkan. Uzumaki hanya batu bagi kita, para Uchiha."

Sama sekali tidak terkesan dengan kesombongan yang terang-terangan

ditunjukkan sang kakek, Mahiro menyipitkan mata. "Uzumaki punya

Hyuuga di belakang mereka. Itu batu yang luar biasa besar."

Uchiha Fugaku mendengus, kemudian berbalik. "Kau benar-benar

meremehkan darahmu sendiri. Ikut aku kalau kau ingin tahu sejauh

mana Uchiha berkuasa."

.

"Ii–ge–ru?" Shinji berusaha keras mengeja lima huruf alfabet yang

terpasang besar-besar di gerbang depan bangunan setinggi sepuluh

lantai tersebut ke dalam katakana. "Ii–gu–ru…?" cobanya lagi tak

yakin. Keningnya berkerut dan kepalanya miring ke samping. Baru

kali ini dia kesulitan membaca. Tiba-tiba Shinji merasa baru saja

disihir hingga menjadi bocah lima tahun, atau setidaknya kemampuan

membacanya tidak lebih baik dari balita. Ini selalu jadi masalah tiap

kali Shinji mencoba membaca nama perusahaan konstruksi sang ayah

di berita. Dan tampaknya, masalah yang sama juga tidak hanya Shinji

Page 184: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

yang alami mengingat di berita mana pun nama perusahaan Uchiha

Sasuke selalu ditulis dalam huruf latinnya.

Eagel.

Bagaimana harusnya Shinji membacanya? Itu terlihat

seperti eager yang salah tulis, tetapi dia yakin tadi ayahnya

mengucapkannya seperti eagle.

"Bagaimana cara membacanya?"

Di sampingnya, Uchiha Sasuke mendongak mengikuti arah tatapan

kedua putranya. "Di antara keduanya."

Shinji tak jadi berkomentar.

"Apa maksudnya?" ganti Mahiro yang bertanya.

Sasuke untuk sejenak terdiam, menimbang-nimbang jawabannya.

"Permainan kata-kata."

Shinji dan Mahiro bersama-sama memandangi sang ayah seolah pria

tiga puluh delapan tahun itu baru saja menumbuhkan satu kepala lagi,

atau tiga. "Pun?"

Uchiha Sasuke mengangguk, merasa logikanya tidak secacat yang dia

perkirakan.

Mahiro mengatur air mukanya sedatar mungkin. "Yeah, memang

kedengaran seperti permainan kata-kata."

Page 185: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Dassee."

Bahkan kedua putra kebanggaannya tidak sepakat dengan maksud

permainan kata-katanya, malah mengatai nama perusahaannya payah.

Ayah dua anak itu hanya bisa menatap kedua putranya kesal tanpa

bisa berkomentar. "Tunggu saja sampai Ayah mengubah surat wasiat."

Kedua putranya hanya kompak menyeringai.

Begitu ketiganya memasuki lobi depan kantor, para karyawan di sana

tidak satu pun yang tidak menyempatkan diri menengok ke arah ketiga

Uchiha tersebut. Mereka memang sudah membaca atau melihat berita,

tetapi baru kali ini menyaksikan secara langsung bos mereka yang

tiba-tiba muncul di media bersama wanita dan dua putra remaja yang

dilihat dari sudut mana pun mewarisi fisiknya. Dan itu artinya, sudah

ada jaminan kesegaran daun-daun muda tiga atau empat tahun

mendatang (mengingat Uchiha Sasuke sudah resmi didepak dari

barisan most wanted bachelor). Apalagi satu dari keduanya sudah

dikenal luas punya sifat flamboyan. Seolah mereka baru saja

menyaksikan dua wujud alter Uchiha Sasuke.

Dan pemberitaan mengenai pewaris baru Uchiha Company tentunya

juga tidak kalah semarak. Beberapa waktu lalu, Uchiha Fugaku telah

mengumumkan kepada media bahwa dua puluh persen saham Uchiha

Company yang berada di bawah namanya akan diserahkan kepada

Uchiha Mahiro begitu cucunya itu telah memasuki masa dewasa. Dan

dengan tambahan sepuluh persen saham milik sang ayah, Uchiha

Page 186: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Mahiro secara tidak langsung akan menjadi pemegang saham terbesar

Uchiha Company—yang nantinya akan mengantarkan dirinya sebagai

presiden direktur raksasa Uchiha. Tidak ada yang menyangkal bahwa

Uchiha Mahiro sejauh ini adalah cucu favorit Uchiha Fugaku, tetapi

lebih dari itu, Mahiro memang mewarisi mental bisnis yang tidak

dimiliki kakaknya dan ketajamannya mampu berdiri sejajar dengan

Uchiha Itachi, jenius bisnis bertangan dingin yang telah mengantarkan

Uchiha Company memasuki kejayaan babak duanya. Sementara sang

kakak, Uchiha Shinji, telah mendapat kesepakatan publik akan

mewarisi Eagel sepenuhnya, perusahaan konstruksi yang dibangun

Uchiha Sasuke sendiri. Walaupun namanya belum menguasai pasar

konstruksi nasional, tidak seperti Uchiha Company yang telah

mengunci posisi sebagai raja elektronik, prospek ke depannya sangat

bagus. Belum lagi dengan bakat mengerikan dan kemampuan

diplomasi Shinji yang sedari hijau sudah terlihat.

"Kau bisa datang ke sini kapan saja. Perpustakaan ada di lantai

delapan."

Shinji mengangguk-angguk antusias sambil sesekali mengedipkan

mata kepada wanita karyawan yang kebetulan tertangkap basah

sedang memperhatikan mereka. Bagaimana caranya Shinji membagi

kerja otak antara mendengarkan penjelasan singkat Sasuke di sana-sini

sambil tidak luput mengabsen satu per satu karyawan perusahaan yang

memakai rok, Sasuke benar-benar tidak habis pikir. Barangkali

menggoda para wanita sudah menjadi satu refleks tersendiri baginya.

Page 187: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Bagaimana kakakmu mendapat sifat seperti itu?"

Uchiha Mahiro mendengus sambil buang muka. Itu juga dia sangat

ingin tahu. Ibunya hanya terhitung ramah dan murah senyum.

Ayahnya justru mantan antisosial. Barangkali kombinasi demikian

bisa menghasilkan karakter kompleks semacam Shinji? "Saa?

Barangkali dia hanya mengidap depresi genetik."

Uchiha Shinji tanpa ampun memukul kepala adiknya dari belakang.

"Begitu caramu memuji kakak sendiri, Mahiro?"

"Che." Dia usap-usap kepalanya yang baru saja kena kekerasan rumah

tangga sang kakak. "Harus kuperingatkan supaya Ayah tidak sampai

kaget kalau besok-besok ada wanita yang mengaku mengandung

cucumu."

Wajah Shinji kontan diwarnai belasan rona merah. Di sampingnya,

Sasuke memandangi putra bungsunya dengan tatapan tak terartikan.

"Tenang saja. Ibumu sudah memastikan kakakmu tidak punya nyali

begitu. Lagipula, kudengar gadis pujaannya ditinggal tanpa kabar di

Akita. Kau kenal?"

Sepasang mata hitam Mahiro bercahaya oleh rasa geli. "Oh maksud

Ayah, Mitsuki?" Dia kemudian menoleh ke arah kakaknya dan

mendapati Uchiha Shinji yang sedang merona luar biasa hingga ke

telinga. Jarang-jarang dia mendapati sang kakak terbata-bata begitu.

"Aku tidak yakin Mitsuki akan betah dengan womanizer ini. Sayang

Page 188: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

sekali, padahal Ibu sudah sayang kepadanya. Atau sebaiknya kutikung

saja? Dia lumayan juga, hanya sedikit kurang seksi."

"Oi!" Shinji menggerutu tiada henti, mengabaikan seringai geli dari

sang ayah dan adik yang sepakat menggodanya.

.

"Mereka mirip sekali denganmu."

Baru kali ini Haruno Sakura mendengar pernyataan semacam itu,

lebih-lebih dari Uchiha Sasuke sendiri. Selama ini, siapa pun yang

mengenal dia dan Sasuke selalu mengomentari kemiripan ketiga lelaki

itu dan tak sekali pun ada komentar mengenai kemiripan mereka

dengan Sakura. Mendengar komentar semacam itu dari orang yang tak

lain adalah ayah dua putranya, Sakura mau tak mau merasa sangsi.

"Oh ya? Dan selama tujuh belas tahun ini aku selalu berpikir mereka

mirip sekali denganmu. Terlalu mirip, bahkan."

Uchiha Sasuke mengulas senyum miringnya tipis di sudut bibir.

"Secara fisik, ya. Kemiripan kami hanya berlaku kalau mereka lebih

diam dari…ini."

Di sampingnya, Sakura menyeringai geli. Matanya mengikuti arah

pandangan Sasuke yang sedang menatap lekat-lekat dua putra mereka

yang kini tengah bersitegang memperebutkan sesuatu…entahlah.

Sakura merasa apa pun yang mereka perebutkan sebenarnya terlalu

sepele dan tidak layak dijadikan bahan argumentasi. Namun, Shinji

Page 189: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

tetap saja Shinji dan Mahiro bagaimana pun juga tetap Mahiro. Dan

apa pun yang bersangkutan dengan keduanya tidak bisa dianggap

sepele. Sakura sudah belajar banyak (terkadang melalui metode paling

keras) bahwa dia tidak bisa menganggap sepele hal-hal yang

sebenarnya…sepele. Kedua putranya telah membuktikan diri mereka

bisa mengubah perdebatan sepele menjadi perdebatan paling seru dan

panas, bahkan mengalahkan jalannya sidang kasus kriminal berdarah.

"Anggap saja kau punya…dua sosok dirimu yang lain. Seandainya

memang ada dunia beta dimana kau sedikit playboy dan womanizer,

Shinji benar-benar wakil yang tepat."

Sasuke menanggapi ucapan Sakura dengan seringainya sendiri. "Dan

Mahiro? Bagaimana kau menjelaskannya?"

"Hmm…" Sakura termenung sambil mengalihkan fokus penuhnya

kepada Mahiro yang kini sedang berusaha merebut remote televisi.

(Demi Tuhan, jangan katakan mereka sedang berebut

memilihchannel televisi.) "Mungkin…" Sakura mengerutkan kening.

"Versi dirimu yang sedikit pemarah, penuntut, dan manipulatif."

"Sedikit?" Sasuke mengangkat sebelah alis, memutar tubuh

menghadap Sakura. Arti pandangannya seolah menyuruh Sakura

untuk membantahnya, tetapi tahu benar kalau wanita itu tidak bisa

balas berargumen.

"Yah…Sedikit…Sedikit-sedikit pemarah, penuntut, dan manipulatif.

Puas?" Wanita dua anak itu memasang wajah tersinggung main-main.

Page 190: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Lebih dari siapa pun, Sakura tahu benar kata 'sedikit' tidak adil untuk

dipakai dalam konteks putra keduanya.

Di sampingnya, Sasuke menyeringai puas. Tatapannya kembali

ditujukan kepada dua putranya (yang masih belum menghentikan

perdebatan tak bermakna mereka). "Pola emosi mereka

mengingatkanku kepadamu. Keterusterangan mereka, kesungguhan

hati mereka, kepercayaan diri mereka, ketegaran mereka, hingga cara

mereka memandang dunia, semua itu darimu. Mereka tidak punya

kecanggunganku, keragu-raguanku, ketakutanku, kegelisahanku, dan

yang paling penting mereka tidak punya kepahitan hidupku.

Semuanya terima kasih kepadamu. Karenamu, mereka bisa menjadi

seperti ini. Karenamu, mereka tidak tumbuh menjadi sosok yang

serupa diriku yang dulu. Karenamu, satu kali ini aku bisa memberikan

apa yang tidak bisa kakakku berikan kepada Ayah. Penerus laki-laki,"

Sasuke mengulas senyum hambarnya. "Tapi itu pun tidak lagi penting.

Aku sudah lama berhenti mencari pengakuan Ayah. Laki-laki atau

perempuan, sama sekali tidak jadi soal. Karenamu juga, aku bisa

menjadi ayah bagi dua putra yang sempurna. Dan untuk itu semua,

terima kasih pun tidak lagi bermakna banyak."

Kalau pandangan memang bisa membunuh, rasa-rasanya Sakura bisa

saja mati saat itu juga. Ketajaman dan intensitas perasaan yang Sasuke

tunjukan dari sepasang mata kelamnya berhasil merenggut napasnya.

Jantungnya baru saja melewatkan satu detak krusialnya. Dadanya

seolah dipompa dan kini menggelembung besar, siap

Page 191: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

menerbangkannya. Ratusan kupu-kupu mengepak seolah baru saja

dilepaskan ke perutnya, perlahan-lahan merayap naik hingga ke

tenggorokannya dan menyumbat jalur pernapasannya. Matanya

memanas dan pandangannya mulai mengabur oleh air mata yang

terbentuk di sana. Tenggorokannya mulai mengeluarkan suara-suara

aneh, mirip cicitan hewan atau suara tercekik, dan Sakura buru-buru

membekap mulut. Ketika dia berkedip, pandangannya kembali jelas,

tetapi pipinya basah. "Jangan—" Wajahnya berubah layaknya orang

tengah menahan sakit. "Jangan berterima kasih kepadaku," ucapnya

dengan suara parau yang sarat air mata. Bahu rapuhnya berguncang.

Samar-samar, dia sadari kedua putranya telah berhenti bertikai. "Aku

tidak melakukan apa pun untukmu. Yang ada, aku justru

membohongimu, mengambil hakmu untuk bertemu dengan putra-

putramu selama hampir delapan belas tahun, tidak memberimu

kesempatan untuk menjadi bagian dari hidup mereka. Harusnya, aku

minta maaf." Mata jernihnya berurai air mata, pipinya basah, dan

napasnya tinggal satu-dua. Sakura masih membekap mulut,

menjadikan suaranya yang parau menjadi nyaris tidak terdengar.

"Mungkin memang benar. Aku tidak punya kesempatan menggendong

putra-putraku, menyaksikan mereka tumbuh, mengajari mereka hal-

hal yang hanya seorang ayah yang bisa ajarkan, menghabiskan banyak

waktu untuk momen putra dan ayahnya," ucap Sasuke pelan. Suaranya

yang rendah terdengar mendayu penuh pengertian, seolah dia tanpa

sadar berusaha menenangkan Sakura tanpa menyentuhnya. "Tapi aku

tidak akan menukar ini semua dengan yang lain, bahkan tidak

Page 192: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

walaupun kita punya kesempatan untuk mengulang ini semua. Aku

akan tetap memilih kehidupan yang ini. Delapan belas tahun ini

memang sangat berat dan aku menyesali setiap hari dimana kau tidak

bersamaku, tapi itu tidak lagi penting karena sekarang kau di sini,

bersama Shinji dan Mahiro. Aku yang dulu tidak akan punya

keberanian mencintaimu begini—dan tidak ada yang lebih sempurna

dari itu."

Sakura membenamkan wajahnya ke telapak tangannya dan menangis

di sana. Dia terus terisak, menyesali setiap hari dimana dia tidak

bersama pria yang dicintainya dan yang mencintainya sama besar,

memutar berbagai kemungkinan dari banyak 'jika' dan 'bagaimana'

untuk setiap momen yang terlewat dan yang tidak akan kembali

terulang, dan kembali menyesalinya. Rasa bersalah dan penyesalan itu

begitu dominan dalam dirinya hingga dia tidak merasakan ada dua

tangan yang melingkarinya, membawanya ke tempat teraman di dunia,

dan mengusir pergi kesedihannya. Ketika rasa bersalah dan

penyesalan itu mulai berkurang dan dia menyadari dirinya sedang

berada di dalam pelukan pria yang dicintainya, Sakura kembali

menangis. Kali ini dengan setiap janji untuk hari-hari kedepan

mereka.

.

"Ini konyol sekali. Luar biasa konyol."

"Itu karena kau paling tidak suka memakai setelan jas."

Page 193: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Mahiro memutar bola mata, tidak memedulikan bantahan kakaknya

dan terus memberengut. "Ralat, Kakak. Setelan jas dengan mawar di

saku dada. Ini benar-benar konyol."

Haruno Shinji, yang telah resmi menyandang nama Uchiha Shinji,

menyeringai. "Bunga adalah bagian dari hidup, otouto. Kau harus

lebih banyak mengapresiasinya."

Uchiha Mahiro mengeluarkan suara mirip gerutuan dari dalam

tenggorokan. Wajahnya masam dan tangannya gatal ingin menarik

longgar dasi merah darahnya—dan membuang sekuntum mawar

merah yang tersemat di saku dada jas hitamnya.

Melihat tingkat kemasaman wajah adiknya yang semakin menjadi-

jadi, Shinji hanya bisa menghela napas. "Ya sudah, habiskan saja

kerutan di wajahmu sekarang asal nanti kau tersenyum," ucapnya

seraya berbalik, menuju ruangan berpintu kayu cokelat. Dia menengok

ke dalam dan mendapati ruang ganti ayahnya kosong. Dia kembali

berbalik menatap adiknya. "Ayah dimana?"

Mahiro mengangkat bahu, tetapi kemudian menunjuk koridor sebelah

dengan isyarat kepala. "Sepertinya sedang menemui Ibu."

Shinji mengerut tak suka mendengarnya. Dia kemudian berjalan

menuju tempat dimana ibunya sedang mempersiapkan diri—yang

tentunya butuh waktu jauh lebih lama dari mereka semua. Mahiro

mengekor di belakangnya. Begitu mereka berada cukup dekat dengan

ruangan yang dituju, keduanya bisa melihat ayahnya berdiri di

Page 194: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

ambang pintu dalam setelan tuxedo putihnya dan sedang dihadang

oleh ayah wali mereka.

"Kau tidak boleh masuk dulu, Sasuke," cegah Kakashi sambil

merentangkan tangan, menghalangi jalan.

Sasuke berdecak tak sabar. "Sebaiknya kau minggir, Kakashi."

Kakashi ikut berdecak, tetapi dengan nada menggurui layaknya

seorang guru sedang mengomentari kenakalan murid bandelnya. "Itu

tidak baik, Sasuke-kun."

"Memangnya kenapa? Toh Sakura sudah selesai bersiap-siap," paksa

Sasuke.

"Kau bisa melihatnya nanti di altar, Sasuke-kun," Hatake Rin

melongokkan kepala dari atas bahu suaminya sambil tersenyum

hangat.

"Terlalu lama," potong Sasuke keras kepala. "Sekarang atau nanti juga

sama saja."

"Shinji, Mahiro, coba kalian bawa pergi ayah yang keras kepala ini,"

keluh Kakashi begitu dia melihat kedua putra baptisnya datang.

Shinji dan Mahiro saling pandang. "Memangnya Ayah sedang apa?"

tanya Mahiro sambil berjalan mendekat.

"Ayah kalian memaksa ingin melihat ibu kalian," jawab Rin dengan

nada mengeluh yang senada dengan sang suami.

Page 195: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

Kedua Uchiha muda itu ikut merengutkan kening. "Ayah tahu itu

tidak boleh, 'kan?" protes Shinji, yang sejurus kemudian mendapat

jatah tatapan tajam Sasuke.

"Nanti Ayah bisa melihat Ibu. Tadi juga sudah bertemu 'kan," Mahiro

ikut bicara.

"Nah, dengarkan anak-anakmu, Sasuke-kun," imbuh Kakashi merasa

di atas angin.

"Memang apa salahnya?" paksa Sasuke, masih dengan

kekeraskepalaannya yang tersohor sekali. Keningnya berkerut dalam.

Dari balik bahu Kakashi, bisa dia lihat puncak kepala merah muda

Sakura.

Si wanita yang sedang dibicarakan kemudian berjinjit dan bertemu

pandang dengan Sasuke. "Ada apa?" tanyanya.

Rin yang berdiri di depan Sakura berbalik dan tersenyum. "Sasuke

ingin melihatmu."

"Oh! Tentu saja tidak boleh!" seru Sakura seketika, membuat semua

orang di sana kecuali Sasuke menyeringai setuju.

"Kenapa kau ikut-ikut mereka?" tuntut Sasuke. Kalau orang tidak

mengenal Uchiha Sasuke lebih baik, suaranya pasti terdengar mirip

anak kecil merajuk. Namun sekali lagi, Uchiha tidak merajuk.

"Itu tradisinya, Sasuke. Nanti kita juga bisa bertemu." Sakura

memiringkan kepala ke samping lewat bawah lengan Kakashi dan kini

Page 196: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

sepenuhnya menatap Sasuke dari balik kain tulle putih gading yang

menutupi wajahnya.

Mendapat alasan yang lagi-lagi sama untuk keempat kalinya, Sasuke

memicingkan mata. "Siapa peduli dengan tradisi? Memangnya apa

yang akan terjadi?"

"Orang bilang itu tanda kesialan," jawab Kakashi sambil melipat

tangan di depan dada.

"Karena apa? Melihat wajah istri sendiri?" Sasuke melempar

pandangan tajamnya kepada Kakashi.

"Maaf sekali Uchiha, calon istri," koreksinya, membuat Sasuke

semakin berwajah masam. "Kau bisa melihat wajah Sakura kalau nanti

dia sudah jadi istrimu, setelah kalian bertukar sumpah."

Uchiha Sasuke melipat tangan di depan dada, meremukkan mawar

merah yang tersemat di saku dadanya. Wajahnya bebas dari berbagai

emosi dan dia menatap Kakashi dengan tenang. Sepasang alisnya

terangkat. "Aku sudah lihat semua yang bisa dilihat, jadi apa gunanya

tradisi itu?"

Haruno Sakura terdiam dengan mata terbelalak lebar dan wajah

diwarnai berbagai rupa rona merah. Dua putranya, Uchiha Shinji dan

Uchiha Mahiro menyeringai lebar dengan wajah yang terlihat geli

sekaligus malu.

Page 197: WE START WITH THE IMPERFECTION.pdf

"Nah, nah, nah, Sasuke-kun, jangan frontal begitu kalau tidak mau

istrimu masuk rumah sakit nantinya," hardik Kakashi dengan tawanya.

"Tak masalah. Nanti aku sendiri yang akan mengantarnya. Mungkin

karena kram dan kesulitan berjalan."

Haruno Sakura, yang akan segera menjadi Uchiha Sakura, hanya bisa

mati-matian mencoba untuk tidak pingsan di hari besarnya. [ ]