wanita dalam beberapa pandangan ulamadigilib.uinsby.ac.id/619/5/bab 2.pdf · muhammad...
TRANSCRIPT
18
BAB II
WANITA DALAM BEBERAPA PANDANGAN ULAMA
Sebelum penulis jauh membahas secara khusus pandangan Shaikh
Muhammad al-Ghaza>li> mengenai wanita di dalam Islam, penulis akan sedikit
menyinggung pandangan ulama secara umum berkenaan dengan beberapa
masalah wanita yang dianggap bias gender. Untuk mewakili pandangan Islam
secara umum, maka penulis mengangkat beberapa pandangan, yaitu mulai dari
para mufassir, ulama hadis, dan tokoh-tokoh feminis Muslim.1
A. Awal Mula Penciptaan Wanita
Pembahasan mengenai penciptaan Hawa (wanita) dari tulang
rusuk Adam (laki-laki) memang sangat hangat, saat para feminis ramai
mengusung paham gender. Karena awal dari konsep kesetaraan adalah
konsep penciptaan. Maka mereka mengkriitisi penafsiran para mufassir
atas ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan penciptaan wanita tersebut.
Mereka menuduh para mufassir memiliki bias gender dalam hasil
ijtihadnya. Ayat al-Qur’an yang biasanya dijadikan dalil mengenai
penciptaan wanita adalah:
1 Dalam penelitian ini penulis menggunakan kata perempuan dan wanita secara bergantian, namun penulis tidak bermaksud membedakan makna antara keduanya.
19
Wahai Manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan din yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (hawa) dan (dirinya), dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan peliharalah hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.2 Tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas mufassir menafsirkan
kata “nafs wa>hidah” adalah adam, sedangkan kata “minha>” domir “ha>”
ditafsirkan dengan dan bagian tubuh Adam. Sedangkan kata “zaujaha>”
ditafsirkan dengan Hawa atau istri Adam. Hingga kesimpulannya
adalah bahwa perempuan diciptakan dan tubuh Adam (tulang rusuk).
Diantaranya adalah Ibn Kathir dalam kitabnya Tarsi>r al-Qur’an
al-’Az}i>m mengatakan bahwa “nafs wa>hidah” adalah adam dan
“zaujaha>” adalah hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam yang
kiri. Penjelasan tersebut dikuatkan dengan sebuah hadis yang
menceritakan tentang penciptaan perempuan, yaitu:3
ن ا ا ف ر يـ خ اء س ن الا ب و ص و تـ س ا ه ال ع أ ع ل الض يف ئ ي ش ج و ع أ ع ل ض ن م ت ق ل خ ة أ ر امل
اء س الن ا ب و ص و تـ اس ف ج و ع أ ل ز يـ مل ه ت ك ر تـ ن إ و ه ت ر س ك ه م ي ق ت ت ب ه ذ ن إ ف
Berbuat baiklah kepada wanita, sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika kamu ingin meluruskannya maka akan patahlah ia, dan jika kamu ingin memperoleh manfaat, maka lakukanlah. Sementara ia tetap memiliki kebengkokan.
Al-Zamakhshari> dalam kitab tafsirnya al-Kasha>f juga
menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia dari asal yang satu
2 Al-Qur’an, 4:1. 3 Ibn Kathir, al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (Bairut: Da’r al-Ma’a>rif, 1976), 448.
20
yaitu Adam dan menciptakan istrinya Hawa dari diri yang sama yaitu
Adam. Namun al-Zamakhshari> menyebutkan penjelasannya lebih lanjut,
seperti yang telah dilakukan oleh Ibn Kathi>r.4
Begitu pula penafsiran yang terdapat dalam beberapa buku tafsir
seperti Tafsi>r al-Qurt}u>bi>, Tafsi>r al-Miza>n, Tafsi>r Ru>h a1-Baya>n, dan
beberapa buku tafsir lainnya, menyatakan hal yang sama, dan dengan
alasan yang sama yaitu mengajukan hadis tentang penciptaan wanita.
Walau beberapa mufassir diatas sepakat menyatakan bahwa
Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, namun ada beberapa mufassir
yang berbeda dalam penafsirannya. Seperti al-Ra>zi> yang mengutip
pendapat al-Asfaha>ni> mengatakan bahwa damir “ha>” bukan dari bagian
tubuh Adam, melainkan dari jenis Adam. Untuk memperkuat
pendapatnya, ia menganalisis kata “nafs” yang digunakan dalam
beberapa ayat lainnya.5 Namun sangat disayangkan, ia tidak
memberikan analisa atas paparannya tersebut.
Adapun Muhammad ‘Abduh, ia mengutip pendapat para filsuf
yang menganggap “al-nafs dan al-ru>h” memiliki arti yang sama, yaitu
bersifat non materi. Dengan demikian tidak bisa mengonotasikan nafs
(non materi) dengan Adam (materi), karena keduanya jauh berbeda. Ia
juga menyatakan bahwa informasi yang menyatakan bahwa Adam
adalah manusia pertama adalah Taurat. Sementara keaslian Taurat
4 Al-Zamarkashi>, al-Kasha>f ‘an haqa>iq al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wil fi Wuju>h al-Ta ‘wi>l, Jilid 1, (Bairut: Da>r al-Fikr, 1977), 492. 5 Fakhru al-Di>n al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Kabi>r, ( Bairut: Da>r aI-Fikr, Li aI-Tiba>’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’, 1995), 478.
21
sudah sangat diragukan. Menurutnya, kita hanya mengimani kebenaran
metafisis dari al-Qur’an. Sementara al-Qur’an sendiri tidak pernah
menyebutkan bahwa nafs wa>hidah disini adalah Adam. Maka kita
biarkan saja ini menjadi tidak jelas. Kita tidak memastikan ini Adam
ataupun bukan Adam.6
Sedangkan damir ha> yang ada pada kata “ha>” ‘Abduh
sependapat dengan al-Asfaha>ni> yang menyatakan bahwa “ha>” disini
adalah “diri yang satu”, dan bukan tulang rusuk adam. Namun ‘Abduh
tidak menyimpulkan siapa sesungguhnya “nafs wa>hidah” itu.7
Rashi>d Rid}a> juga tidak berbeda dengan gurunya yaitu
Muhammad ‘Abduh yang berhenti pada permasalahan tersebut.
Menurutnya tidak usah saling menyalahkan mengenai pandangan siapa
manusia pertama. Yang utama adalah bahwa ayat al-Qur’an tersebut
menegaskan bahwa semua manusia memiliki asal-usul yang sama. Maka
dari itu, semua manusia bersaudara, tanpa memandang warna kulit,
perbedaan bahasa, ataupun perbedaan keyakinan mengenai asal-usul
manusia itu sendiri.8
Dari pemaparan di atas, terlihat sekali perbedaan pendapat
diantara para mufassir, dari yang klasik sampai yang modern. Memang
mengenai penciptaan perempuan, tidak ada penjelasan yang rinci dari
ayat al-Qur’an. Bahkan Hawa sebagai perempuan pertama yang menjadi
6 Rashi>d Rid}a> dan Muhammad ‘Abduh, Tafsi>r aI-Mana>r, Jilid IV,(Kairo: Da>r al-Mana>r, t.t), 324. 7 Ibid., 231. 8 Ibid., 327.
22
istri Adam pun tidak terdapat dalam al-Qur’an. Penjelasan tentang
Hawa, hanya dapat ditemukan di dalam hadis. Mengenai penciptaan
Hawa dari tulang rusuk Adam pun hanya ada di dalam hadis dan tidak
ditemukan di dalam al-Qur’an.
Hadis yang digunakan para mufassir untuk memperkuat
penjelasan mereka bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk adam,
memang tercantum di dalam kitab hadis Bukha>ri dan Muslim yang
diriwayatkan oleh Abu> Hurairah. Jika dinilai, ia memiliki nilai sanad yg
s}ah}i>h} (s}ah}i>h} isna>d).9
Namun para ulama dan sarjana berbeda-beda dalam memahami
matan tersebut.10 Ada yang memahami secara tekstual (harfiyah).
Seperti para mufassir di atas yang menyatakan bahwa Hawa adalah
Adam. Ada pula yang memahami secara metaforis (majaz / tashbi>h),
yaitu bahwa laki-laki harus menghadapi perempuan dengan baik,
bijaksana dan tanpa kekerasan. Yang ketiga menolak, karena tidak
sesuai dengan ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Adam dan Hawa
tercipta dari jenis yang satu.11
Feminis Muslim yang menentang penciptaan perempuan dari
laki-laki salah satunya adalah Amina Wadud. Ia merupakan seorang
9 Secara teminologi sanad adalah jalan yang menyambungkan kepada matan hadis. Lihat Agus Sholahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 89. 10Matan adalah perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi Saw, yang disebut habis disebutkan sanadnya. Lihat Sholahuddin dan Agus Suyadi, UlumulHadis, 97. 10 Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-Hadis Misoginis, (Yogyakarta: eLSAQ PSW, 2008), 42. 11 Ibid., 42
23
feminis Muslim yang fokus progresifnya pada tafsir al-Qur’an.12
Sosoknya sangat kontrofersional. karena ia pernah menjadi imam sholat
Jum’at sekaligus menjadi khatib di gereja Anglikan, Manhattan, New
York, As, pada tanggal 18 Maret 2005.
Bagi Aminah Wadud, penafsiran yang menyatakan bahwa Hawa
diciptakan dari Adam, berimplikasi pada pandangan bahwa laki-laki
lebih mulia dari perempuan. Esensi yang sesungguhnya dari ayat ini
menurut Amina adalah bahwa Hawa adalah pasangan Adam. Pasangan
yang dibuat dengan dua bentuk yang saling melengkapi, yang berasal
dan satu realitas tunggal. Hingga tidak ada saling melebihi antara satu
sama lain.13
Lebih lanjut ia menjelaskan pengertian dan maksud dari kata
“min, nafs dan zawj” . Menurutnya, kata “min” (dan), memiliki dua
fungsi, yaitu untuk menunjukkan makna menyarikan sesuatu dari
sesuatu lainnya. Yang kedua, digunakan untuk mengatakan sama
macam atau jenisnya. Setiap penggunaan kata “min” dalam ayat
tersebut, telah ditafsirkan sesuai kehendak mufassir dengan memilih
salah satu atau kedua makna tadi, sehingga hasil tafsirannya pun
berbeda. Jadi baginya, karena penafsiran dimobilisasi oleh kaum laki-
12 Amina Wadud berusaha membongkar cara menafsirkan al-Qur’an model klasik yang ia nilai menghasilkan tafsir yang bias gender. Amina memang tidak menolak al-Qur’an, yang ia lakukan adalah membongkar metode tafsir klasik dan menggantinya dengan metode baru yang ia sebut dengan “Hermeneutika Tauhid”. Ia menyatakan tidak ada metode tafsir yang benar-benar obyektif. Setiap ahli tafsir melakukan beberapa pilihan subjektif. Lihat Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, terj.Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2001), 33. 13 Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terj. Abdullah Ali, (Jakarta: PT. Serambi, 2001), 56.
24
laki maka tidak heran jika penafsiran tersebut mengutamakan
kepentingan laki-laki. 14
Sedangkan kata “nafs” menurutnya bisa digunakan secara
umum dan secara teknis. Al-Qur’an tidak pernah menggunakan istilah
tersebut untuk menunjukkan ciptaan lain selain manusia. Dalam
penggunaannya secara teknis, kata “nafs” dalam al-Qur’an
menunjukkan bahwa seluruh umat manusia memiliki asal usul yang
sama. Meskipun secara tata bahasa kata “nafs” merupakan kata feminin
(muannast), namun secara konseptual “nafs” mengandung makna
netral, bukan untuk laki-laki, juga bukan untuk perempuan.15
Mengenai penciptaan di dalam al-Quran, Allah tidak pernah
merencanakan untuk memulai penciptaan manusia dalam bentuk
seorang laki-laki, dan tidak pernah pula merujuk bahwa asal usul umat
manusia adalah Adam.16 Al-Qur’an bahkan tidak pernah menyatakan
bahwa Allah memulai penciptaan manusia dengan nafs Adam atau
seorang pria.17
Demikian pula kata “zawj”, banyak yang mengartikan kata zawj
dalam ayat ini dengan teman, pasangan, yang biasanya kita pahami
sebagai Hawa. Padahal secara gramatikal zawj adalah maskulin, secara
konseptual kebahasaan bersifat netral, tidak menunjukkan bentuk
14 Ibid., 57. 15 Ibid., 57. 16 Muhammad Ahmad Khalaf Allah, al-Fann al-Qasa>si fi> al-Qur’a>n al-Kari>m, (Kairo. Maktab al-Anjali Masriyyah, 1965), 185. 17 Aminah Wadud, al-Qur’an Menurul Perempuan, 58.
25
muannast (feminin) atau mudhakkar (maskulin).18 Jadi baik Adam
maupun Hawa diciptakan dari nafs yang sama.
Jika dilihat dari konteksnya, sesungguhnya surat al-Nisa>’ ini
memang kurang relevan dijadikan dasar dalam menerangkan asal-usul
kejadian manusia secara biologis, termasuk asal-usul penciptaan Hawa
sebagai simbol perempuan. Karena dilihat dari konteksnya, ayat
tersebut berbicara mengenai tanggung jawab para wali terhadap orang
dibawah perwaliannya. Sementara untuk masalah penciptaan manusia,
masih banyak ayat lain yang membahasnya secara lebih khusus.
Terlepas dan itu semua, menurut M. Quraish shihab, ada banyak
teks keagamaan yang mendukung pendapat yang menekankan
persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa.19 Di dalam QS. Ali> Imra>n :
195, Allah menggunakan istilah ba’d}akum ba’d} (sebagian kamu dan
sebagian yang lain) dalam asal kejadian manusia.
Sehingga ini berarti bahwa asal kejadian manusia baik laki-laki
dan perempuan adalah sama, yakni dari hasil pertemuan sperma laki-
laki dan ovum perempuan, sebagaimana ditegaskan di dalam QS. Al-
Hujara>t: 13.20
lntinya adalah bagi pembaca yang menemukan teks-teks agama
yang terlihat mendiskreditkan perempuan, harus lebih kritis
membacanya dengan pemahaman yang menyeluruh, tepat dan
18 Ibid., 58. 19 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), 301-303. 20 Ibid., 913.
26
proporsional. Karena pemahaman yang parsial (berdiri sendiri) akan
berdampak pada kekeliruan dalam memahami teks tersebut.
B. Kepemimpinan Laki-Laki Atas Wanita dalam Rumah Tangga
Mengenai kepemimpinan laki-laki atas kaum perempuan di
dalam Islam sering kali mendapat kritikan keras dari kalangan feminis
atau aktifis gender. Bagi mereka pembagian tugas ini adalah konsep
yang telah dibentuk oleh budaya, dan bukan hal yang kodrati.
Penafsiran ayat mengenai hal ini pun dicurigai telah terkontaminasi
oleh para mufassir laki-laki, yang berbudaya partiarkhi yang saat itu
terjadi di semenanjung Arab. Firman Allah SWT yang berkaitan dengan
masalah ini adalah:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang solihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara din (maksudnya tidak berlaku serong atau pun curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya) ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
27
(mereka; maksudnya, Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli istrinya dengan baik). 21
Ibn Kathi>r menjelaskan bahwa yang dimaksud kata “qayyimun”
adalah pemimpin, pembesar, hakim, bagi perempuan dan sekaligus
pendidik bagi perempuan yang tidak taat kepada suaminya. Alasan dan
pandangan tersebut adalah bahwa laki-laki lebih baik dari pada
perempuan. Maka dari itu Nabi dan malaikat berasal dari jenis laki-laki.
Dalam penekanan atas pandangannya tersebut ia menyebutkan satu
hadis yang diriwayatkan oleh Bukha>ri>:
ة أ ر م إ م ه ر م ا أ و ل و م و قـ ح ل ف يـ ن ل
Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan.22
Al-Zamakhshari> juga tidak jauh berbeda dengan Ibn Kathi>r.
Namun ia menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah berdasarkan
kekuasaan, kekuatan ataupun paksaan. Akan tetapi dengan keutamaan
laki-laki yaitu kelebihan akal, keteguhan hati, kemaun keras, kekuatan
fisik, kemampuan menulis, naik kuda, memanah, menjadi Nabi, ulama’,
jihad, adzan, khutbah, kesaksian, qiyas, warisan, dan masih banyak lagi
yang lainnya.23
Begitu pula al-T{aba>ri> dalam Ja>mi’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-
Qur’a>n,24 Ia menafsirkan “al-rija>lu qawwa>mu>na ‘ala> al-nisa>” bahwa
21 Al-Qur’an, 4: 34. 22 Ibn Kathi>r, al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, Jilid 1, 465-466. 23 Al-Zamarkashi, al-Kasha>f, Jilid 1, 523-524. 24 Al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n merupakan kitab tafsir yang memiliki kedudukan yang istimewa. Karena dinilai sebagai kitab tafsir pertama yang berusaha mengumpulkan hadis sebagai sumber hadis. Dalam perkembangan penulisan tafsir, ia menjadi sumber rujukan, baik
28
laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Hak kepemimpinan bagi laki-
laki, menurutnya karena pendidikan dan keharusan bagi laki-laki untuk
memenuhi seluruh kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah seperti
mahar, nafkah, kifayah. Hal ini yang menjadi keutamaan laki-laki atas
perempuan, seperti yang termaktub “Wa bima> anfaqu> min
amwa>lihim”.25
Lebih lanjut al-T}aba>ri> menjelaskan bahwa keutamaan laki-laki
dari perempuan adalah dari segi akal dan kekuatan fisiknya. Ia pun
menyatakan bahwa kepemimpinan dalam khilafah (al-ima>mah al-kubra>)
dan (al-ima>mah al-sughra>) seperti imam dalam shalat, kewajiban jihad,
azan, i’tikaf, saksi, hudu>d, qis}a>s}, perwalian nikah, talak, rujuk, dan
batasan jumlah istri, semua ada di pihak laki-laki.26
Penjelasan al-Ra>zi> mengenai ayat ini juga tidak jauh berbeda
dengan al-T}aba>ri>. Ia menjelaskan hak kepemimpinan laki-laki atas
perempuan ini dikarenakan keutamaan yang ada pada laki-laki “bima>
fad}d}ala Allah ba‘d}ahum ‘ala> ba‘d}” . Ada beberapa aspek keutamaan
laki-laki diantaranya dari segi sifat hakiki yang dimiliki laki-laki yaitu
ilmu dan kekuatan, dan segi lain adalah hukum syara’.27
Dan kedua hal ini lah keutamaan laki-laki atas perempuan, baik
dari akalnya, motivasinya, kekuatannya, kemampuan menulis,
bagi para mufassir Muslim, maupun para sarjana Barat. Lihat Nur Jannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan; Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta: LKiS, 2003), 82. 25 Ibn Jazir aI-Taba>ri>,fi> al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n, Jilid IV, (Bairut, Da>r al-Fikr, 1978), 40. 26 Ibid., 41. 27 A1-Ra>zi>, Tafsi>r al-Kabi>r, Jilid IX, 88.
29
menunggang kuda, memanah, dan sebagian laki-laki ada yang menjadi
nabi dan ulama, dan bagi laki-laki memegang kepemimpinan baik yang
kubra> maupun yang sughra>, jihad, azan, khutbah, dan masih banyak lagi
hukum syara’ lainnya yang dimiliki laki-laki namun tidak demikian
dengan perempuan. Ini semua menjadi keutamaan laki-laki atas
perempuan. Tidak cukup sampai disitu al-Ra>zi> juga menjelaskan
keutamaan laki-laki dengan adanya mahar dan nafkah, sebagai
penjelasan dari “wa bima> anfaqu> min amwa>lihim”. 28
Berbeda dengan al-Ra>zi>, Muhammad ‘Abduh melihat ayat ini
adalah ayat yang menjelaskan kekhususan yang dimiliki laki-laki atas
perempuan. Karena ayat sebelumnya Allah melarang sebagian laki-laki
dan perempuan untuk saling iri, dan mengharapkan apa yang Allah
berikan kepada sebagian yang lain. Sedangkan kepemimpinan laki-laki
atas perempuan disini menurut Muhammad ‘Abduh adalah
kepemimpinan yang bermakna menjaga, melindungi, menguasai dan
mencukupi kebutuhan perempuan. Konsekwensi dari kepemimpinannya
sebagai pemberi nafkah atas perempuan adalah mendapat warisan yang
lebih banyak.29
Kepemimpinan laki-laki atas perempuan inilah yang merupakan
derajat keutamaan yang dimiliki laki-laki. Bagi Muhammad ‘Abduh
derajat laki-laki ini sangat sesuai dengan fitrahnya sebagai pemberi
mahar dan nafkah. Walau begitu wanita juga harus tetap menerima
28 Ibid., 88. 29 Rashi>d Rid}a> dan Muhammad ‘Abduh, Tafsi>r-al-Mana>r, Jilid V, 67-68.
30
kepemimpinan ini walau tanpa mahar. Karena ada suatu kaum yang
memberikan mahar kepada laki-laki agar ia berada di bawah
kepemimpinan laki-laki.30
Artinya kepemimpinan di sini menurut Muhammad ‘Abduh
bersifat demokrasi, yang memberikan kebebasan kepada yang dipimpin
dalam bertindak sesuai dengan keinginannya. Posisi laki-laki sebagai
pemimpin bukan berarti bahwa derajat perempuan barada di bawah laki-
laki, namun lebih menunjukkan kepada kerja sama atau patner yang
baik.31
Fatimah Mernissi,32 seorang feminis Muslim, banyak melakukan
kritik terhadap hadis-hadis misoginis.33 Salah satunya adalah hadis yang
menyatakan bahwa “tidak akan sejahtera suatu kaum yang
menyerahkan urusannya kepada perempuan”. Hadis ini pula yang
digunakan oleh Ibn Kathi>r dan beberapa mufassir lainnya dalam
memperkuat pandangannya bahwa seorang laki-laki adalah pemimpin
bagi wanita.
30 Ibid., 68-70. 31 Ibid., 68-70. 32Fatimah Mernisi dinyatakan sebagai aspirasi bagi perempuan yang sambil tetap menjadi Muslim, ingin hidup dalam modernitas. Salah satu tema yang sering diangkat oleh Fatimah Mernisi dalam karyanya adalah perlakuan yang salah terhadap perempuan dalam masyarakat Islam, karena adanya kesalahan secara sistematis dalam menafsirkan al-Qur’an dan sumber-sumber lainnya. Lihat Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Konlemporer Tentang Isu-Isu Global, (Jakarta:Paramadina, 2003), 156. 33 Misogyny berarti kebencian terhadap wanita. Lihat John M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1987), 382.
31
Walaupun hadis ini tertulis di dalam kitab s}ah}i>h} al-Bukha>ri>,34
yang berisi ribuan hadis otentik, yang seluruhnya dianggap benar oleh
mayoritas umat Islam. Tidak meyulutkan semangat Mernissi untuk
mengkaji ulang hadis tersebut secara ilmiah. Ia merujuk penelitiannya
pada karya Ibn Hajar al-Astqala>ni> yang berjudul Fath al-Ba>ri>.
Ia menjelaskan latar belakang munculnya hadis tersebut. Hadis
ini diungkapkan oleh Abu> Bakrah, perawi pertama, setelah terjadinya
perang Unta, antara Sayyidah ‘A<is}ah dan Ali>. Hadis ini diungkapkan
oleh Bakrah ketika ‘A>is}ah mengalami kekalahan pada perang Jamal.
Sayyidah ‘A<ishah meminta dukungan dan mengajaknya, karena posisi
Bakrah saat itu adalah pemuka kota Basrah. Masyarakat Basrah saat itu
bingung, antara harus taat kepada khalifah Ali> atau harus mengangkat
senjata. ‘A<ishah, Thalhah dan Zubair terus berkampanye, berunding dan
mengajak penduduk Basrah untuk ikut melawan kekhalifahan Ali>. Saat
‘A<ishah menghubungi Bakrah, ia menyatakan untuk menentang fitnah
dan tidak igin ada perang saudara. Lalu ia menyebutkan hadis
tersebut.35
Hadis ini dikemukakan oleh Nabi Saw ketika mengetahui orang-
orang Persia mengangkat seorang wanita (putri Kisra) untuk menjadi
pemimpin (ratu) mereka. Ketika Kisra wafat, padahal tradisi dalam
34 Kitab-kitab hadis yang telah tersusun berdasarkan musnad dan mus}annaf memiliki derajat yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan kriteria yang telah ditetapkan oleh ahli hadis, penyusunan dalam menentukan hadis s}ah}i>>h} h}asan, dan d}a’i>f. S}ah}i>h> Bukha>ri> memiliki derajat yang paling tinggi karena ia memiliki persyaratan yang paling dan beberapa kitab hadis lainnya. Lihat Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), 233. 35 Kurzman, Wacana Islam Liberal, 166.
32
kerajaan tersebut selalu dipimpin oleh laki-laki, dan derajat perempuan
pun dalam budaya Persia berada di bawah laki-laki. Saat Rasulullah
mengetahui kejadian ini maka Rasulullah menyebutkan hadis tersebut.36
Menurut Mernissi hadis ini hanya respon atau pendapat Rasulullah
terhadap pengangkatan putri Kisra, dan bukan menjadi syariat bahwa
seorang perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin.
Lebih jauh Mernissi melakukan telaah atas riwayat hidup Abu>>
Bakrah melalui karya besar Ibn Hajar al-Athqala>ni>, apakah ia pantas
untuk menjadi perawi yang dipercaya.
Sebelum masuk Islam Abu> Bakrah adalah seorang budak kota
T{a>if yang kemudian dimerdekakan saat bergabung dengan kaum
muslimin. Ia pernah mendapat hukuman cambuk pada masa Khalifah
Umar bin Khat}t{a>b, karena kesaksian palsu. Ia tidak dapat membuktikan
tuduhan zina yang dilakukan oleh al-Mughi>rah Ibn Syu’bah beserta
saksi lainnya. Menurut Mernissi, dengan menggunakan standar
penerimaan hadis yang dikemukakan Imam Ma>lik, di antaranya bukan
termasuk pembohong, dan tidak pernah melakukan bid’ah maka
periwayatan Abu> Bakrah tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan atas
tindakan kebohongan yang telah dilakukannya.37
Menurut Mernissi secara konteks historis, hadis ini memiliki
kejanggalan. Abu> Bakrah mengingat hadis tersebut ketika ‘A<ishah
36 Ibid., 154. 37 Fatima Mernissi, Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry, ten. Yaziar Radianti, (Bandung: Pustaka, 1991), 54-74.
33
mengalami kekalahan dalam perang Jamal, ketika melawan ‘Ali> bin Abi>
T{a>lib. Padahal sikap awal yang diambil Abu> Bakrah adalah bersikap
netral. Lantas, mengapa kemudian ia justru mengungkapkan hadis
tersebut, yang seakan memojokkan ‘A<ishah.
Berdasarkan alasan tersebut, Mernissi berkesimpulan bahwa
meskipun hadis tersebut dimuat dalam S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, namun masih
diperdebatkan oleh para fuqaha. Menurutnya, hadis tersebut dijadikan
argumentasi untuk menggusur kaum wanita dan kancah politik. Al-
T{aba>ri> juga meragukannya, dengan mengatakan tak cukup alasan untuk
merampas kemampuan wanita dalam pengambilan keputusan dan tidak
ada alasan untuk melakukan pembenaran atas pengucilan mereka dari
kegiatan politik.38
Namun, banyak ulama yang membenarkan hadis tersebut. Al-
Khattabi misalnya, mengatakan bahwa seorang perempuan tidak sah
menjadi seorang khalifah. Begitu juga al-Shaukani mengatakan bahwa
perempuan tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak
boleh menjadi kepala negana. Ulama yang lain adalah lbn Hazm, al-
Ghaza>li>, Kama>l lbn Abi> Shanif, Kama>l Ibn Abi Hamma>m, dan masing-
masing memiliki alasan yang berbeda-beda.39
38 Ibid., 78. 39 Ilyas, Perempuan Tertindas?, 280.
34
Sedangkan mengenai tindakan terhadap istri yang tidak taat
pada suami (nushu>z),40 mayoritas mufassir seperti Ibn Kathi>r, al-
Zamakhshari>, al-T{aba>ri> sepakat dengan melakukan tiga tahap langkah.
Pertama menasehati, kedua dengan menjauhinya di ranjang, dan ketiga
memukulnya. Namun dengan syarat pukulan itu tidak menyakiti, tidak
melukai, tidak mematahkan tulang, dan tidak merusak wajah.
Muhammad ‘Abduh juga tidak jauh berbeda dengan mufassir
diatas. Menurutnya memukul sesungguhnya tidak bertentangan akal dan
fitrah. Memukul diperlukan jika keadaan sudah buruk dan akhlak sudah
rusak. Suami boleh memukul istri jika rujuknya istri hanya bisa
dilakukan dengan cara memukulnya. Namun jika dengan dua tahap
yaitu nasehat dan menjauhi istri di tempat tidur sudah cukup, maka
memukul tidak diperlukan.41
Diperbolehkannya pemukulan ini, menimbulkan interpretasi
bahwa Islam telah menindas kaum perempuan. Namun Rashi>d Rid}o>
menentang tanggapan ini. Ia menyatakan bahwa pemukulan adalah
langkah akhir jika dua langkah sebelumnya tidak berdampak pada
perubahan, dan itu pun dengan catatan tidak menyakitinnya. Ia juga
menekankan hal tersebut dengan menyatakan “Jangan membayangkan
kaum perempuan Islam itu lemah dan kurus yang dagingnya disobek-
40 Nushu>z tidak hanya terjadi pada perempuan tetapi juga pada laki-laki. Nushu>z artinya keengganan masing-masing dari suami dan istri kepada pasangannya dan perlakuannya yang buruk kepada pasangannya. Lihat Musa> Sa>lih Sharaf, Fatwa-Fatwa Kontemporer tentang Problematika Wanita, (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 1997), 56. 41 Rashi>d Rida> dan Muhammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Mana>r, Jilid V, 72-74.
35
sobek oleh cemeti suaminya”. Untuk lebih jelasnya Rid}o> mengutip dua
hadis Rasulullah SAW, yang salah satunya adalah:42
“Ketahuilah aku kabarkan kepada kalian ahli neraka itu adalah: laki-laki yang keras hati, kasar, sombong, yang suka menyakiti istrinya, yang bakhil, yang terlalu banyak berzina.” Dalam hal ini Muhammad ‘Abduh dan Rashi>d Rid}o memberikan
tafsiran yang sedikit berbeda dari mufassir sebelumnya. Karena lebih
menekankan kepada himbauan agar tidak melakukan cara yang ketiga
meskipun seorang istri melakukan nushu>z, yang diartikan oleh
Muhammad ‘Abduh dengan irtifa>’ (meninggikan). Karena hal tersebut
tidak sejalan dengan jiwa dan semangat al-Qur’an.
Mereka berdua lebih memberikan ruang kebebasan kepada
wanita. Namun kebebasan yang mereka maksud di sini adalah
kebebasan yang terkendali dengan adanya kepemimpinan suami dalam
rumah tangga. Kepemimpinan seorang suami terhadap istri pun adalah
sebuah penghormatan Islam terhadap perempuan sebagai seorang istri
yang harus dilindungi.43
Dari pemaparan diatas menunjukkan bahwa semua mufassir
menyatakan laki-laki adalah pemimpin atas perempuan. Namun
interpretasi dari pemimpin itu sendiri berbeda-beda. Mengenai
pemukulan terhadap istri yang nushu>z, semua sepakat boleh dengan
syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, seperti tidak melukai istri.
42 Ibid., 70. 43 Ibid., 70.
36
Sedangkan Amina Wadud, tetap tidak setuju dengan
diperbolehkannya pemukulan tersebut. Ia melihat bahwa kata “d}araba”
memiliki banyak makna. Kata “d}araba” tidak harus berarti merujuk
pada kekerasan. Kata “d}araba” juga digunakan untuk pengertian
meninggalkan atau menghentikan suatu perjalanan. Bahkan ia mencatat,
kata “d}araba” ada yang bermakna berpalinglah dan pergi, ada pula yang
berarti “al-tas}arruf bi ma>lihi” (tidak memberikan nafkah). Alangkah
baiknya diartikan dengan demikian, dari pada dengan kekerasan.44
C. Poligami
Poligami yang disahkan di dalam Islam, berdampak pada
interpretasi bahwa Islam mendiskriminasikan perempuan. Dalil yang
menunjukkan bahwa poligami diperbolehkan adalah QS. al-Nisa>’ :3:
Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak) perempuan yatim (bila mana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki, yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.
Sebelum jauh masuk kepada pembahasan ayat tersebut, alangkah
baiknya untuk mengetahui asba>b al-nuzu>l dari ayat tersebut. Saat
44 Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan, 139.
37
‘A<ishah ditanya oleh ‘Urwah bin Zubair, anak Asma kakak dari ‘A<ishah
bagaimana asal mula diperbolehkan beristri lebih dari satu sampai
empat, dengan alasan memelihara anak yatim, ‘A<ishah menjawab:
Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang dalam penjagaan walinya, dan telah bercampur harta anak itu dengan harta walinya. Si wali tertarik dengan harta dan kecantikan anak itu, lalu ia bermaksud menikahinya dengan tidak membayar mahar secara adil, sebagaimana pembayaran mahar dengan perempuan lain. Oleh karena niat yang tidak jujur ini maka dia dilarang menikah dengan anak yatim itu, kecuali ia membayar mahar secara adil dan layak seperti kepada perempuan lainnya. Dari pada melangsungkan niat yang tidak jujur itu, dia dianjurkan lebih baik menikah dengan perempuan lain, walaupun sampai dengan empat.45
Jika dilihat dari hadis riwayat ‘A<ishah diatas menyimpulkan
sebab dan keterkaitan antara perintah memelihara anak yatim
perempuan dengan diperbolehkannya beristri hingga empat. Pada ayat 2
telah dijelaskan dan diperingatkan agar tidak berbuat curang atas anak
yatim perempuan yang ada bersama wali, yaitu dengan menguasai harta
dan maharnya. Agar niat buruk atas anak yatim tersebut tidak
terlaksana, maka lebih baik menikahi perempuan lain, dengan
membayar maharnya dengan selayaknya walaupun hingga empat orang.
Ibn Kathi>r maupun al-Zamakhshari> menjelaskan bahwa ayat
tersebut dalam konteks perlakuan terhadap anak yatim dan perempuan.
Ibn Kathi>r menafsirkan bahwa ayat tersebut dengan kewajiban
membayar mahar terhadap anak yatim yang ingin dinikahi. Apabila ia
merasa khawatir tidak mampu maka hendaklah ia berlaku adil terhadap
wanita-wanita lain yang ia nikahi. Lalu ia mengemukakan hadis dari 45 Al-T{aba>ri>, Ja>mi’ al-Baya>n, Jilid III, 573.
38
‘A<ishah untuk menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut. Selanjutnya
Ibn Kathi>r menyatakan bahwa seorang laki-laki yang tidak mampu
berlaku adil terhadap anak yatim yang akan dinikahinya, maka
hendaklah ia menikahi wanita lain sebanyak yang ia inginkan dua, tiga,
maupun empat. Namun jika ia tidak mampu berlaku adil terhadap
mereka, maka satu istri lebih baik baginya.46
Sedangkan al-Zamakhshari> mengatakan bahwa ayat tersebut
menyatakan jika seorang laki-laki tidak mampu adil terhadap hak-hak
anak yatim maka hendaklah keluar dari tanggung jawab tersebut. Lalu
jika seorang laki-laki tidak mampu berlaku adil terhadap wanita yang ia
nikahi, maka hendaklah menikahi seorang wanita saja.47
Al-T{aba>ri> pun tidak jauh berbeda dengan Ibn Kathi>r dan al-
Zamakhshari> dalam penjelasannya mengenai ayat tersbut. Berbeda
dengan Muhammad ‘Abduh walau ia memperbolehkan poligami, namun
ia kurang setuju dengan praktek poligami. Karena selain susah
merealisasikannya, juga akan sangat sulit membina masyarakat yang
berpoligami. Hal ini karena poligami menciptakan permusuhan diantara
para istri dan masing-masing keluarga.48
Rashi>d Rid}o> juga menyatakan bahwa monogami adalah
pernikahan yang paling ideal, sedangkan poligami boleh dilakukan
dalam keadaan darurat. Meski begitu jaminan akan tidak timbulnya
46 Ibn Kathi>r, Al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, 449-451. 47> Al-zamakhshari>, Al-kasha>f, 446-469. 48 Rashi>d Rid}o dan Muhammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Mana>r, Jilid IV, 348.
39
kejahatan dan kedhaliman harus dipastikan, sebelum diperbolehkannya
poligami.49
Amina Wadud juga melihat ayat ini berkaitan dengan kewajiban
berbuat adil bagi laki-laki yang mengelola kekayaan anak yatim
perempuan. Solusi agar tidak melakukan kesalahan adalah dengan
menikahinya. Yakni dengan menikahi anak yatim tersebut. Sementara
al-Qur’an juga membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi. Jadi inti dari
ayat ini adalah berlaku adil, baik terhadap anak yatim ataupun istri.
Namun ia mengatakan adil adalah hal yang sangat sulit, dengan
mengaitkannya pada ayat 129 dan surat al-Nisa>’.50
Sebagai feminis Muslim, Qa>sim Ami>n juga tidak menyetujui
akan poligami di dalam Islam.51 Baginya poligami adalah tradisi kuno
yang telah ada sabelum Islam datang, bahkan telah menjadi tradisi di
seluruh penjuru. Poligami baginya adalah penghinaan terhadap wanita.
Karena tidak ada seorang pun dan wanita yang rela dimadu, begitu pula
sebaliknya.52
49 Ibid., 348. 50 Ibid., 348. 51 Aminah Wadud, Wanita di dalam Al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti, (Bandung: Pustaka, 1994), 111-1 12. 52 Salah satu tokoh feminis Muslim yang pertama kali memunculkan gagasan tentang emansipasi wanita Muslim melalui karya-karyanya di Mesir adalah Qa>sim Ami>n. Karyanya yang paling menggugah semangat para feminis lainnya adalah “Tahri>r al-Mar’ah” dan “al-Mar’ah al-Jadi>dah” Gagasan Qa>sim Ami>n mengenai hal ini muncul karena keterbelakangan umat Islam di Mesir saat itu. Baginya, penyebab keterbelakangan umat Islam saat itu salah satunya adalah persepsi dan perlakuan yang salah terhadap perempuan. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah, Pemikiran, dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 79.
40
Bahkan agama Islam pada hakekatnya menganjurkan monogami.
Poligami adalah alternatif dalam keadaan terpaksa. Itu pun dengan
syarat harus mampu berlaku adil, seperti yang tercantum dalam QS. al-
Nisa>’: 3. Sedangkan berlaku adil adalah satu hal yang tidak mungkin
sanggup dilakukan oleh manusia, seperti firman Allah QS. al-Nisa>’:
129.53 Begitu pula dengan perceraian, hanya boleh dilakukan karena
terpaksa. Dengan demikian, menurut Qa>sim Ami>n, wanita tidak akan
lagi menjadi korban bagi kaum Iaki-laki.54
Masalah perkawinan memang selalu menjadi perhatian Qa>sim
Ami>n. Bahkan ia menyatakan masyarakat dan para fuqaha’ masih
merendahkan kedudukan wanita dalam perkawinan. Ia melihat di dalam
kitab-kitab fiqh bahwa definisi perkawinan adalah “aqd yamliku bihi al-
rajulu ba’d}a al-mar’ah”. Definisi ini hanya menggambarkan hubungan
secara biologis antara suami dan istri. Qa>sim Ami>n melihat definisi ini
tidak sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Ru>m: 21. Yang
menjelaskan bahwa hubungan suami istri didasari rasa kasih sayang.55
Dari sini terlihat bahwa para mufassir mengajukan syarat untuk
berlaku adil, bagi laki-laki yang ingin berpoligami. Namun memang
penekanannya, tidak seperti yang dilakukan para feminis, yang sangat
memberikan perhatian lebih. Sehingga seakan-akan para mufassir
mendiskriminasikan perempuan.
53 Ibid., 165-166. 54 Ibid., 175. 55 Ibid., 147.
41
D. Warisan
Ketentuan pembagian warisan dalam agama Islam, dibicarakan
dengan cukup rinci di dalam surat al-Nisa>’ ayat 11 dan 12. Namun yang
banyak dipermasahkan oleh kalangan feminis adalah ayat 11 yang
berbunyi:56
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dan harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.
56 Al-Qur’an, 4: 11.
42
Akan tetapi yang paling sering diperdebatkan khususnya kaum
feminis adalah kata “li al-dhakari mithlu haz}z}i al-unthayaini” (bagian
anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan). Ada anggapan
bahwa ayat ini menyudutkan kaum perempuan.
Sebelum membahas pandangan dan para feminis mengenai ayat
tersebut, penulis akan memaparkan pandangan dari beberapa para
mufassir terlebih dahulu. Diantarantanya al-T{aba>ri> menyatakan di
dalam Jami’ al-Baya>>n bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan
kekurangan perempuan, namun ia juga tidak menyebutkan alasan
mengapa anak laki-laki mendapatkan bagian lebih banyak dari
perempuan. Ia hanya menyebutkan bahwa adanya pembagian tesebut
justru menunjukkan kesamaan di antara laki-laki dan perempuan.
Karena sebelum datang Islam, perempuan dan anak-anak tidak
mendapatkan warisan. Karena perempuan dan anak-anak tidak pernah
menunggang kuda, tidak pernah memegang senjata, tidak pernah
berperang melawan musuh. Maka sudah cukup bagi perempuan
mendapatkan bagian tersebut, dari pada sama sekali ia diharamkan
untuk mendapat warisan.57
Sedangkan al-Ra>zi> melihat bahwa penyebutan laki-laki yang
lebih dahulu dari perempuan bertujuan untuk menjelaskan kelebihan
57 Al-T{aba>ri, Ja>mi>’ al-Baya>n, Jilid III, 216-217.
43
laki-laki dari perempuan. Maka dan itu laki-laki mendapat bagian dua
kali lipat dari perempuan.58
Sedangkan menurut Muhammad ‘Abduh, ayat tersebut
merupakan pembatalan atas hukum yang berlaku pada masa jahiliyah
yang menyatakan bahwa perempuan tidak berhak mendapatkan warisan.
Bagi ‘Abduh diwajibkannya bagi laki-laki (suami) memberi nafkah
terhadap istrinya adalah alasan bagi laki-laki untuk mendapatkan
warisan lebih dari perempuan.
Menurut ‘Abduh pembagian warisan tersebut memiliki suatu
hikmah, yaitu karena laki-laki menafkahi dirinya sendiri, di masa
mendatang ia juga akan menafkahi istrinya. Sedangkan perempuan
hanya menafkahi dirinya sendiri, dan apabila ia sudah menikah, maka ia
akan dinafkahi suaminya. Kenyataan seperti ini, justru memperlihatkan
bahwa bagian perempuan lebih banyak dari pada bagian laki-laki itu
sendiri.59
Tidak jauh berbeda, Rashid Rid}o> juga menyatakan bahwa
pembagian warisan di dalam Islam, dengan memberikan bagian lebih
banyak kepada laki-laki dari pada perempuan, dikarenakan Islam
mewajibkan bagi kaum laki-laki untuk menafkahi perempuan. Dengan
58 Fakhr al-di>n al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Kabi>r, Jilld IX, 207-208. 59 Rashi>d Rid}o> dan Muhammad Abduh, Tafsi>r al-Mana>r, Jilid IV, 402-403.
44
adanya ketentuan ini, menurut Rid}o> bagian perempuan sama dengan
bagian laki-laki, bahkan mungkin lebih banyak.60
Sebagai seorang feminis Muslim, Amina wadud tidak setuju
dengan bentuk pembagian warisan demikian. Menurutnya ada beberapa
hal yang harus dipertimbangkan dalam hal warisan. Diantanya adalah
keluarga laki-laki dan perempuan yang masih hidup, jumlah kekayaan
yang bisa dibagikan, manfaat warisan bagi yang ditinggalkan, dan
manfaat harta warisan itu sendiri. Dengan mempertimbangkan hal
tersebut, maka akan sangat fleksibel, bisa berubah, dan yang pasti harus
berdasarkan asas manfaat dan keadilan.61
Ternyata tidak semua feminis Muslim menilai bahwa ayat ini
mendiskriminasikan perempuan. Misalnya saja Ashgar Ali Engineer.
Baginya, perempuan tidak hanya mendapatkan warisan saja, ia juga
akan mendapat harta tambahan, yaitu berupa mas kawin dari suaminya.
Selain itu, ia tidak juga memiliki kewajiban untuk menafkahi dirinya
dan anak-anaknya, karena semua sudah ditanggung oleh laki-laki
(suami).62
Menurut Ashgar Ali persoalan waris harus dilihat dalam
perspektif yang tepat, dengan mempertimbangkan masa kini dan masa
yang akan datang. Pada masa sekarang mungkin perempuan
mendapatkan setengah dari bagian laki-laki. Akan tetapi, dengan
60 Ibid., 408-410. 61 Aminah Wadud, Wanita dalam al-Qur’an, 117-118 62 Ashgar Ali> Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Aseegaf, (Yogyakarta: LSPPA, 1994), 99-100.
45
melihat masa yang akan datang, akhirnya perempuan mendapakan lebih
banyak dari laki-laki.
Adapun kritikan Asghar disini adalah penafsiran yang
menjadikan ketentuan waris sebagai anggapan bahwa perempuan lebih
rendah dari laki-laki. Karena kesetaraan laki-laki dan perempuan
termasuk kategori moral, sedangkan warisan masuk pada kategori
ekonomi. Masalah warisan sangat banyak tergantung dengan struktur
sosial, ekonomi, dan fungsi jenis kelamin tertentu di masyarakat.63
Sesungguhnya anggapan bahwa Islam mendiskriminasikan
perempuan, khususnya dalam masalah warisan adalah satu kekeliruan.
Kekeliruan tersebut dikarenakan dua hal.
Pertama, karena melihat perempuan secara individual, bukan
sebagai anggota keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri yang
saling melengkapi. Peradaban Barat memang bercirikan individualis,
dan tidak bisa dipungkiri para feminis Muslim banyak belajar dan
dipengaruhi oleh peradaban Barat. Maka tidak heran jika mereka
melihat perempuan scbagai individu dan sebagai manusia. Walaupun
mengakui sisi kemanusiaan perempuan dengan segala haknya, namun
Islam tetap menghargai fitrah yang telah diberikah Tuhan kepada setiap
63 Ibid., 97.
46
manusia. Karenanya Islam memperlakukan perempuan sebagai manusia,
juga sebagai pasangan laki-laki secara proporsional.64
Kedua, karena pandangan tersebut bersifat parsial, sepotong-
sepotong. Sedangkan ayat al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan antar satu dan yang lainnya. Demikian pula al-
Qur’an dan hadis yang saling melengkapi.65
Prof. Dr. S{alah} al-Di>n Sultan, guru besar Fak. Syariah, Da>r al-
‘Ulu>m, Universitas Kairo, dalam penelitiannya dengan mencermati
ketentuan al-Qur’an dan hadis serta praktik dalam pembagian waris,
telah membuktikan bahwa tidak selamanya perempuan mendapat hak
waris lebih sedikit dari laki-laki. Menurutnya hanya dalam empat kasus
saja perempuan mewarisi setengah bagian waris laki-laki. Sedangkan
dalam 30 kasus, perempuan mendapatkan hak waris yang sama, bahkan
lebih banyak dan laki-laki.66
Dan beberapa pendapat diatas, penulis dapat menarik sebuah
kesimpulan. Bahwa pembagian warisan dalam Islam, yang menetapkan
bagian perempuan setengah dari laki-laki, sesuai dengan fitrah masing-
masing manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Pandangan beberapa
feminis yang menyatakan bahwa pembagian harus dirubah sesuai
dengan aspek sosial dan aspek ekonomi adalah suatu kesalahan. Justru
kaum perempuan selain mendapatkan warisan dia juga mendapatkan
64 Kementrian Agama RI Tahun 2012, Kedudukan dan Peran Perempuan, Tafsir al-Qur’an Tematik, (1.1, Dircktorat Urusan Agama IsLam dan Pcmbinaan Syariah, 2012), 196. 65 Ibid., 196. 66 Ibid., 196.
47
nafkah, sehingga jika dihitung setiap bagian dari keduanya berbanding
sama, atau bahkan perempuan mendapatkan lebih banyak.