wacana media
DESCRIPTION
Referensi ilmiah yang mengulas tentang terpinggirkannya penggunaan Bahasa Indonesia. Sementara itu, praktik wacana di media massa nasional turut melanggengkan keterpinggiran Bahasa Indonesia dari negerinya sendiri.TRANSCRIPT
TERPINGGIRKANNYA BAHASA INDONESIA DALAM PRAKTIK WACANA MAJALAH TRAX EDISI TAHUN 2008
(STUDI ANALISIS WACANA KRITIS)
LAPORAN HASIL PENELITIAN
oleh
PRIYONO SANTOSA, S.Sos Alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Ilmu Jurnalistik
NRP: 2000110193
PUSAT BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL RI
JAKARTA – 2008
i
ABSTRAK
(A) Priyono Santosa, S.Sos (B) Terpinggirkannya Bahasa Indonesia Dalam Praktik Wacana Majalah Trax Edisi
Tahun 2008 (Studi Analisis Wacana Kritis) (C) viii + 74 halaman; 3 Tabel; 2 Lampiran; 2008 (D) Kata kunci: praktik wacana, media massa, Bahasa Indonesia (E) Tujuan: mengembangkan kajian interdisipliner antara ilmu sosiolonguistik
dengan komunikasi massa dalam paradigma kritis yang berlandaskan pada teori wacana mengenai penggunaan bahasa asing dalam media massa nasional, khususnya Majalah Trax yang berdampak pada peminggiran bahasa Indonesia.
(F) Metode Penelitian: Analisis Wacana Kritis dengan instrumen analisis teks ekletif. Hasil Penelitian: Mikro. analisis teks menunjukkan intensnya penggunaan bahasa asing dalam Majalah Trax, menyiratkan bahasa asing dimitoskan memiliki daya lebih baik dalam mengungkapkan makna pesan komunikasi. Mitos ini kemudian memosisikan Bahasa Indonesia ke dalam struktur hierarki yang lebih rendah dari bahasa asing, hingga berujung pada pemiskinan dan peminggiran Bahasa Indonesia di Majalah Trax. Meso. Majalah Trax dikonsumsi kalangan muda Indonesia yang telah mengalami pergeseran budaya ke dalam kerangka budaya global. Makro. Secara situasional, upaya pelestarian Bahasa Indonesia di negeri ini menjadi kian kompleks karena dianggap dilakukan lewat UU, namun juga dikhawatirkan akan membunuh kreativitas masyarakat dan kebebasan pers. Secara institusional, Majalah Trax merupakan bagian praktik korporasi media asing yang hendak menyebarkan nilai-nilai budaya global. Secara sosial, meluasnya pragmatisme pendidikan membuat penggunaan bahasa Inggris di Indonesia cukup intens akibat kompleksnya bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya di Indonesia dalam kerangka globalisasi dunia, yang berujung pada peminggiran Bahasa Indonesia oleh generasi muda Indonesia. Kesimpulan: Imperialisme budaya global menampakkan dirinya sebagai bentuk imperialisme media seperti yang terlihat pada praktik wacana Majalah Trax di Indonesia. Proses ’MTV-isasi’ dunia tersebut yang kini tengah memangsa budaya, khususnya Bahasa Indonesia, lewat mekanisme pasar dan nilai-nilai budaya Barat yang dibawanya ke Indonesia. Saran: Upaya penyelamatan budaya dan bahasa Indonesia mesti dilakukan lewat cara-cara penanaman ideologis kepada khususnya generasi muda Indonesia, bukan sekedar represif melalui undang-undang.
(G) Buku: 10 (2000– 2005), Sumber lain (1999-2008)
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas berkah dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Tanpa sadar pula,
begitu banyak pihak baik yang terlibat langsung maupun yang tidak langsung dalam
proses penyelesaian penelitian ini. Maka di kesempatan ini pula penulis hendak
mengucapkan kata terima kasih atas bantuan dan dukungan serta bimbingan dari
sejumlah nama di bawah ini yang telah memberikan sumbangan, pikiran, tenaga,
waktu, dan dukungan semangat serta doa:
1. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Sri Marheini dan Agus Santosa,
atas kasih dan cintanya di sepanjang jalan kehidupan penulis.
2. Terima kasih kepada Bapak dan Ibu guru dan dosen penulis di TK Puspitasari,
SD 12 Pagi, SMP 117, dan SMU 71 Jakarta Timur yang telah membimbing
penulis melewati kanak-kanak hingga remaja dengan nikmatnya ilmu
pengetahuan.
3. Terima kasih kepada Dr. Dendy Sugono selaku Kepala Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional RI.
4. Terima kasih kepada Ibu Nana dan Bpk Sutiman dari Kepala Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional RI.
5. Terima kasih kepada dosen Kampus Tercinta, yakni Dra Hj. Mulharnetti Syas,
M.S , Drs. Moeryanto Ginting Munthe, M.S, Drs. Nurcahyadi Pelu, Drs. Patar
Nababan, Drs. Dadan Iskandar, M.S, Dra. Sri Dewiningsih, M.Si, Dra.
iii
Widyastuti, M.S, Drs. Guntoro, M.S, Drs. Intantri Kusmawarni, M.Si, Norman
Meoko, Drs. Teguh Tjatur Pramono, M.M yang sempat meluangkan waktunya
berdiskusi dan tak lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis serta
mengajarkan penulis mengenai nilai-nilai ketekunan, ketelitian, keakuratan,
kepercayaan, kedewasaan, serta sopan santun dalam kerangka ilmu
pengetahuan.
6. Terima kasih kepada Sosa dan Wulan Oktaviani yang selalu mengingatkan agar
penulis tak lupa pulang ke rumah, serta atas kasih, cinta, dan pengertiannya
selama ini.
7. Terima kasih kepada kawan-kawan Komunitas RuangMelati, KOMPOSISI,
Komunitas Kertas, UKM IISIP Teater Kinasih, UKM IISIP Kampung Seg@rt,
Himpunan Mahasiswa Jurnalistik IISIP, Himpunan Mahasiswa HI IISIP,
LMND & PRM, Forum Kota, dan Greenpeace INDONESIA.
8. Terima kasih kepada rekan-rekan pers mahasiswa IISIP, yakni Bulettin ISSUE,
BUMI, MEDIA 3, ELLEVEN, MIKA, KRITIKKRISIS, PROJECT 17,
EDITORIAL KITA, EPICENTRUM, segenap awak redaksi Tabloid KUNCI.
9. Terakhir, terima kasih kepada engkau Quinawaty Pasaribu untuk kecerdasan
hati dan kebeningan akalnya menemani penulis hingga akhir penelitian ini.
Sengaja kutaruh kau di nomor terakhir ini, sebab kuharap pula kau lah orang
yang ‘terakhir’ itu buatku.
iv
Akhir kata, penulis berharap agar penelitian ini selain bermanfaat, juga dapat
mengundang lahirnya penelitian-penelitian lain yang mengkaji berbagai fenomena
baru dalam praktik media dan bahasa di Indonesia. Sebab penelitian ini bak sebuah
karya yang baru menawarkan sebutir pengetahuan tentang secuil saja dari pluralnya
‘kebenaran’.
Jakarta, Mei 2008 Penulis,
Priyono Santosa
v
DAFTAR ISI ABSTRAK .................................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................. ii DAFTAR ISI ................................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ vii DAFTAR TABEL ........................................................................................ viii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Permasalahan Pokok .................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 8 D. Kegunaan Penelitian .................................................................... 9 E. Sistematika Penelitian .................................................................. 10
BAB II KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 12 A.1. Teori dan Praktik Wacana Media ......................................... 12 A.2. Penggunaan Kata Asing ...................................................... 19 B. Operasionalisasi Konsep .............................................................. 22 C. Kerangka Pemikiran .................................................................... 24
BAB III DESAIN PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian ................................................................... 25 B. Metode Penelitian ........................................................................ 29 C. Bahan Penelitian dan Unit Analisis ............................................... 33 D. Pengambilan Sampel ................................................................... 34 E. Metode Pengumpulan Data ......................................................... 35 F. Metode Analisis Data .................................................................. 36
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Subjek Penelitian ......................................................................... 40 1. Sejarah Majalah Trax ............................................................... 40 2. Susunan Redaksional Organisasi ............................................ 41
B. Hasil Penelitian ............................................................................ 42 1. Analisis Teks (Ekletif) ........................................................... 42 2. Analisis Discourse Practice .................................................. 50 3. Analisis Sociocultural Practice ............................................... 51
vi
C. Pembahasan ................................................................................. 60 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 64 B. Saran ............................................................................................ 66
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 68 DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................... 71 LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................... 73
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Surat Keterangan Sayembara ............................................................... 73 B. Sampel Penelitian .................................................................................... 74
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel I Level Analisis Dan Metode Penelitian .................................... 38 2. Tabel II Instrumen Analisis Teks Ekletif ............................................. 39 3. Tabel III Nama Rubrik Majalah Trax Edisi Mei 2008 ....................... 44
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
1
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Bahasa dalam suatu tatanan masyarakat adalah produk budaya masyarakat itu
sendiri. Dalam tatanan yang lebih luas, yakni suatu bangsa, bahasa bisa dimaknai
lebih dari sekedar cara manusia melakukan tindak komunikasi. Ia lambat laun
berkembang sebagai ciri khas jati diri kebangsaan pemakainya.
Maka tak heran jika tamsil lama mengatakan ”Bahasa Menunjukkan Bangsa”,
dapat diartikan pula bahwa bahasa menunjukkan status sosial, identitas, dan harkat
diri suatu bangsa. Dalam hal ini, sistem bahasa merupakan salah satu produk budaya
yang khas dari tiap-tiap bangsa, di mana sistem tersebut sama-sama disepakati untuk
digunakan.
Bangsa Indonesia sendiri menyepakati untuk memilih bahasa Melayu sebagai
cikal bakal bahasa persatuan bernama Bahasa Indonesia. Ini tercantum dalam salah
satu butir Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928. Maka sejak saat
itu, bahasa Indonesia tak lagi hanya dipakai dalam bahasa percakapan sehari-hari. Ia
juga digunakan sebagai bahasa ilmiah untuk menulis buku, makalah, laporan
penelitian, kertas kerja, skripsi, tesis, disertasi, dan lain-lain. Ia juga dipakai ketika
berpidato, berdiskusi, memberi ceramah kuliah atau seminar, dan menjadi bahasa
pengantar di semua sekolah di Indonesia mulai dari taman kanak-kanak hingga ke
tingkat perguruan tinggi.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
2
Indonesia, sebagai salah satu bangsa di dunia, tentu tak lepas dari terpaan
globalisasi yang berhembus dari dan ke seluruh penjuru dunia. Masuknya budaya
asing–termasuk bahasa asing–ke Indonesia bisa berarti ikut memperluas wawasan
kita akan dunia yang sedang bergerak maju di luar sana. Istilah-istilah asing yang
tidak dapat ditemui dalam kosakata bahasa Indonesia, tentu akan memperkaya
kosakata bahasa Indonesia dalam mendefinisikan sesuatu hal yang bersifat teknis,
ilmiah, serta istilah-istilah sulit.
Hanya saja, gejala kebahasaan yang lalu muncul di Indonesia menunjukkan
adanya kecenderungan tinggi dari masyarakat dalam pemakaian bahasa asing,
terutama bahasa Inggris. Simak saja pernyataan berikut ini dari kutipan pendapat
Soedjatmoko dalam Kongres Bahasa Indonesia III yang digelar di Jakarta pada
November 30 tahun silam:
Ada kecenderungan yang makin meningkat antara sarjana-sarjana Indonesia untuk ‘meloncat’ ke bahasa Inggris dalam pembicaraan-pembicaraan diantara mereka sendiri saat mendiskusikan masalah-masalah ilmiah yang sulit.
Kita harus menjaga supaya kita tidak kembali kepada hierarki bahasa di zaman kolonial; dimana bahasa daerah menjadi bahasa paling rendah, yaitu sebagai bahasa pergaulan antar keluarga dan antar sahabat; bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi yang lebih luas pada tingkat kedua; dan bahasa Belanda untuk maju, untuk menguasai ilmu pengetahuan modern, dan untuk masuk ke dalam golongan elite bumiputera.1
Sejalan dengan hal di atas, Sudjoko menilai saat ini tengah terjadi pemiskinan
bahasa yang dilakukan oleh bangsa sendiri. Sejumlah kosakata bahasa Indonesia kini
1 Rosihan Anwar, Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi, Media
Abadi, Yogyakarta, 2004, hal.73
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
3
tergusur oleh kosa kata baru yang banyak diserap dari bahasa asing. Padahal banyak
ditemukan padanannya dalam kosa kata bahasa nusantara yang jauh lebih kaya.2
Dari penyataan Soedjatmoko dan Sudjoko tersebut bisa disimak bahwa
kecenderungan masyarakat kita untuk menggunakan bahasa Inggris dalam praktik
komunikasi, membuat berbagai kosa kata dalam bahasa Indonesia makin tergusur.
Dan yang kini tengah terjadi adalah pemiskinan bahasa Indonesia. Sebagai
konsekuensinya, bahasa Indonesia kian terpinggirkan dari negerinya sendiri. Penulis
sendiri menemukan hal ini terjadi khususnya pada praktik penggunaan bahasa di
media massa nasional.
Mantan Ketua PWI JAYA Marah Sakti Siregar, pernah merisaukan
pemakaian bahasa di sejumlah media massa yang cenderung mengabaikan dan
menyepelekan bahasa Indonesia dengan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan
benar. Bahkan menurutnya, sudah ada media massa yang mulai membelakangi
bahasa Indonesia.
Marah mencontohkan Metro TV (yang seharusnya ditulis Televisi Metro),
sebagai stasiun televisi yang paling agresif memakai istilah asing untuk mata
programnya, misal saja program Headline News, Metro This Morning, Market
Review, Metro Hit List, Today’s Dialogue, dan sebagainya.3
2 ”Memprihatinkan, Gejala Pemiskinan Bahasa di Media”, berita dalam
Harian Warta Kota, Jakarta, 11 Januari 2003 3 ”PWI Jaya Risaukan Pemakaian Bahasa Media Massa”, berita dalam
Harian Suara Pembaruan, Jakarta, 1 November 2002
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
4
Menyimak fenomena tersebut bisa penulis simpulkan demikian. Di tengah
arus globalisasi dunia saat ini, ada kecenderungan pemakaian bahasa asing yang kian
tahun kian meningkat dalam praktik komunikasi di Indonesia. Yang terutama paling
menonjol adalah kecenderungan tinggi akan penggunaan kata asing pada media
massa di Indonesia. Hal ini kemudian berdampak pada adanya pemiskinan atau
peminggiran terhadap bahasa Indonesia itu sendiri di media massa nasional.
Gejala terpinggirkannya bahasa Indonesia dalam praktik media massa di
Indonesia menurut penulis perlu diperhatikan, sebab dapat dikatakan bahwa media
massa adalah sarana pendidikan gratis bagi masyarakat. Media massa yang
seharusnya mendidik khalayaknya lewat suguhan berbagai informasi dengan
mengembangkan penggunaan bahasa Indonesia yang taat, justru malah menyuburkan
gejala terpinggirkannya bahasa Indonesia.
Karenanya, penulis berpendapat perlunya kajian ilmu yang berbasiskan
sosiolinguistik dalam rangka memahami terpinggirkannya bahasa indonesia dalam
pemakaian bahasa di media massa nasional. Untuk itu, gejala kebahasaan tersebutlah
yang hendak penulis ketengahkan sebagai permasalah pokok dalam penelitian ini.
B. Permasalahan Pokok
Secara asumtif, penulis menemukan adanya pemakaian kata asing yang cukup
intens dalam praktik wacana Majalah Trax, yakni sebuah majalah bulanan yang
mengulas dunia musik (60%), film (15%), dan gaya hidup (25%) yang diterbitkan
oleh perusahaan waralaba asing MTV Indonesia pada tahun 2003. Majalah Trax pada
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
5
awalnya bernama MTV Trax Indonesia sebagai versi cetak dari MTV. MTV Trax
Indonesia (Majalah) sendiri merupakan pelopor majalah MTV di Asia, karena setelah
kemunculan pertama majalah ini, Thailand pun menyusul mencetak MTV Trax edisi
Thailand dan Singapura dengan tabloid MTV Ink.
MTV sendiri merupakan perusahaan asing berbasiskan hiburan musik yang
muncul pada awal 1980-an di Amerika. Mengenai MTV, penulis memandang bahwa
sejak kemunculannya tersebut telah mempengaruhi gaya hidup kaum muda hampir di
seluruh dunia dengan sajian budaya pop yang ditawarkannya.
Seperti yang ditulis Kompas, edisi 21 September 2003, MTV ditonton kaum
muda di Amerika, Rusia, Eropa, Jepang, dan Indonesia: “Dia tampaknya telah
menjadi salah satu unsur yang mempengaruhi gaya hidup kaum muda di berbagai
negeri. Dia menjadi bagian dari gelombang penyeragaman gaya yang disebut . . .
globalisasi kaum muda.”4
Dengan target sasaran khalayak antara usia 18 sampai 25 tahun, Majalah
MTV Tranx Indonesia berupaya mempengaruhi remaja di Indonesia. Maka penulis
memandang bahwa MTV Trax Indonesia (Majalah) merupakan salah satu agen
penyebar budaya asing, khususnya budaya Barat/Amerika, yang juga hendak
membidik pangsa pasar remaja di Indonesia, mempengaruhi dan membentuk remaja
di Indonesia dalam generasi kaum muda yang disebut-sebut sebagai “generasi MTV”.
4 “Kami Tak Tahu Mau Kemana...”, feature dalam Harian Kompas Minggu,
Jakarta, edisi 21 September 2003
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
6
Mengenai penggunaan bahasa dalam Majalah Trax, Kompas menulis bahwa
“majalah ini menggunakan bahasa pergaulan sehari-hari, bahasa lisan - termasuk
bahasa Inggris - seperti digunakan di MTV.”5
Memiliki oplah berkisar 30 ribu hingga 40 ribu eksemplar sejak tahun pertama
hingga tahun ke tiga terbit, MTV Trax Indonesia kemudian melepaskan waralaba
MTV dan berubah nama menjadi Trax Magazine (Majalah Trax) di bawah naungan
grup divisi media dalam PT Mugi Rekso Abadi (MRA Media) yang juga bergelut
dalam bisnis retail, otomotif, makanan, dan perhotelan di Indonesia.6
Latar historis yang demikian membuat penulis menyimpulkan bahwa Majalah
Trax adalah media yang tepat untuk dijadikan subjek penelitian di sini. Terlebih lagi
mnenyimak bahwa remaja Indonesia, yang juga menjadi pangsa pasar Majalah Trax,
kelak menjadi generasi penerus budaya bangsa Indonesia yang hendaknya tidak
terseret arus budaya asing.
Berangkat dari hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana
terpinggirkannya bahasa Indonesia dalam Majalah Trax. Yakni dengan cara
mengamati, menemukan, dan menafsirkan kecenderungan pemakaian kata asing yang
terdapat pada segenap ekspresi komunikasi dan teks media, baik itu teks berita,
editorial, penamaan rubrik, hingga teks motto yang diusung media tersebut.
5 Ibid. 6 www.mra.co.id diakses pada 11 September 2007
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
7
Bersandarkan pada paradigma kritis, segenap penggunaan bahasa dalam
media massa akan dipandang sebagai praktik wacana media yang mengandung relasi
kekuasaan di dalamnya. Pandangan ini mengacu pada gagasan Norman Fairclough
mengenai analisis wacana berdasarkan pada kajian linguistik dan pemikiran sosial-
politik, yang secara umum diintegrasikan sebagai perubahan sosial.
Seperti yang dikutip Eriyanto, Fairclough mengatakan, “Melihat bahasa dalam
perspektif ini membawa konsekuensi tertentu. Bahasa secara sosial dan historis
adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan stuktur sosial. Oleh karena
itu, analisis harus dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari
relasi sosial dan konteks sosial tertentu.”7
Dari keterangan di atas, maka penelitian ini pun dilakukan tidak berhenti
hanya pada analisis di tingkat mikro yang menekankan pada penggunaan bahasa
dalam teks semata. Namun melanjutkannya ke tingkat meso, yakni bagaimana teks
tersebut diproduksi oleh para awak redaksi dan dikonsumsi khalayak. Hingga analisis
pun ditempatkan pula pada tingkat makro, yakni bagaimana relasi kekuasaan pada
struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat yang melingkupi praktik
wacana Majalah Trax. Sedangkan penentuan Majalah Trax edisi September 2007
sendiri penulis tentukan sesuai dengan relevansi penelitian, dimana September
7 Norman Fairclough, “Critical Discourse Analysis and the Marketization of
Public Discourse: The Universities”, dalam Critical Discourse Analysis, London and New York, Longman, 1998, hal.131-132, dalam Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Certakan ke-4, LKiS, Yogyakarta, 2005, hal.285
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
8
merupakan bulan bahasa dan sastra yang tengah diperingati pada saat penelitian ini
hendak dilakukan.
Dan yang membuat penelitian ini penting, penggunaan metode analisis
wacana dalam paradigma kritis pada penelitian ini merupakan salah satu upaya
penulis untuk melakukan kritik atas hubungan sosial yang timpang dari aspek
penggunaan bahasa dalam praktik wacana di media. Dan pada akhirnya lewat
penelitian ini diharapkan dapat mengupayakan transformasi sosial dalam mengubah
situasi yang timpang tersebut.
Maka penulis menarik rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
”Bagaimana terpinggirkannya Bahasa Indonesia dalam praktik wacana
Majalah Trax edisi tahun 2008?”
Untuk itu, judul penelitian ini adalah:
TERPINGGIRKANNYA BAHASA INDONESIA DALAM PRAKTIK
WACANA MAJALAH TRAX EDISI TAHUN 2008 (STUDI ANALISIS
WACANA KRITIS)
C. Tujuan Penelitian
Secara teoritis, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
hubungan antara teks yang mikro, produksi dan konsumsi teks yang meso, dengan
konteks sosial-budaya yang makro pada Majalah Trax mengenai terpinggirkannya
Bahasa Indonesia dalam praktik wacana tersebut.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
9
Penelitian ini juga dilakukan dengan tujuan praktis untuk melakukan kritik
atas hubungan sosial yang timpang dari aspek penggunaan bahasa dalam praktik
wacana di Majalah Trax. Dan pada akhirnya penelitian ini bertujuan mengupayakan
transformasi sosial dalam mengubah situasi yang timpang tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan teoritis: Penelitian ini berguna dalam mengembangkan studi
interdisipliner antara ilmu sosiolonguistik dengan komunikasi massa yang bersandar
pada paradigma kritis. Penelitian ini juga berguna sebagai pengembangan model
analisis teks yang berlandaskan pada teori wacana untuk mendalami bagaimana
penggunaan bahasa dalam media massa nasional, khususnya Majalah Trax. Kareanya,
penelitian ini memiliki kontribusi dalam memperkaya kajian ilmu sosiolinguistik dan
komunikasi massa.
Kegunaan praktis: Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dengan
memberi memberi masukan kepada media massa pada umumnya, dan Majalah Trax
pada khususnya untuk memperhatikan konsekuensi dari penggunaan kata asing yang
berdampak pada peminggiran bahasa Indonesia.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
10
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab, penjelasannya
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN, terdiri dari Latar Belakang Masalah; Permasalahan
Pokok; Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian baik secara teoritis maupun
praktis; dan Sistematika Penulisan berisi penjelasan sistematis mengenai hal-hal apa
saja yang dituangkan dalam penelitian ini.
BAB II KERANGKA TEORI, terdiri dari Tinjauan Pustaka yang berisi uraian
konsep yang digunakan dalam penelitian; Definisi Operasional berisi penjelasan
definisi yang menjadi operasionalisasi dalam penelitian ini; dan Kerangka Pemikiran
berupa bagan penelitian sebagai penjelasan menyeluruh atas isi dari bab ini.
BAB III DESAIN PENELITIAN, terdiri dari uraian Paradigma Penelitian;
yakni paradigma kritis; Metode Penelitian yang bersifat kualitatif dengan model
penelitian Analisis Wacana Kritis; Bahan Penelitian yaitu teks berita yang akan
diteliti menggunakan metode analisis wacana kritis, dan Unit Analisis yang
disesuaikan dengan model penelitian yang dipakai; Pengambilan Sampel; Metode
Pengumpulan Data dengan melakukan analisis teks berita, melakukan wawancara,
dan observasi, serta studi kepustakaan sebaagi referensi; dan Metode Analisis Data
disesuaikan dengan metode dan model yang digunakan dalam penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, terdiri dari Subjek
Penelitian yang berisi; Hasil Penelitian yang berisi hasil penelitian dari tiga tingkat
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
11
analisis mikro, meso, dan makro; dan Pembahasan yang berisi pembahasan dari hasil
penelitian.
BAB V PENUTUP, terdiri dari Kesimpulan yang berisi uraian kesimpulan
penulis mengenai keseluruhan isi dari penelitian ini; dan Saran sebagai rekomendasi
kepada MBM Tempo terkait dengan hasil penelitian yang dilakukan penulis.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
12
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Berangkat dari rumusan masalah penelitian yang telah diungkapkan, maka
pada bagian ini akan diuraikan tinjauan pustaka atas dua konsep yang terkait dengan
masalah pokok, khususnya sebagai kerangka teori penelitian dengan bersandar pada
paradigma ilmiah kritis. Dua konsep tersebut adalah sebagai berikut:
• Teori dan Praktik Wacana Media
• Penggunaan Kata Asing
A.1. Teori dan Praktik Wacana Media
Ismail Marahimin mengartikan wacana sebagai ”kemampuan untuk maju
(dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya... komunikasi
buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur.”1
Sedangkan menurut Riyono Praktikno, wacana adalah ”proses berpikir
seseorang yang kaitannya dengan ada tidaknya kesatuan dan koherensi dalam tulisan
yang disajikannya. Makin baik cara atau pola berpikir seseorang, pada umumnya
makin terlihat jelas adanya kesatuan dan koherensi itu.”2
1 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Semiotik, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001, hal.10
2 Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
13
Dari sumber di atas, penulis memahami bahwa wacana sebagai bentuk
komunikasi yang terbentuk dari kesatuan (kohesi) dan (kepaduan) koherensi dalam
bahasa. Namun pengertian wacana tersebut baru sebatas dalam pengertian struktural.
Untuk itu dalam menguraikan bagaimana teori wacana sebagai landasan teoritis
penelitian ini dan model analisis wacana kritis yang digunakan, penulis mengacu
pada teori wacana yang digagas Michel Foucault.
Teori Wacana Foucault
Michel Foucault adalah seorang pemikir poststrukturalisme yang menggagas
teori wacana dengan melampaui pemikiran strukturalisme tentang bagaimana sebuah
wacana terbentuk. Jika menurut strukturalisme, sebuah wacana terbentuk dari
keterkaitan yang baik antara kohesi dan koherensi dalam kalimat, maka menurut
Foucault, sebuah wacana merupakan produk dari relasi kekuasaan dengan
pengetahuan. Untuk itu, penulis akan memulai pembahasan teori wacana dari asumsi
Foucault tentang kekuasaan.
Secara tradisional, kekuasaan kerap dipandang sebagai kemampuan atau
kekuatan pihak tertentu untuk menguasai yang pihak lemah. Misal saja kekuasaan
raja atau pemerintah kepada rakyatnya. Kekuasaan di sini tentu bersifat negatif.
Namun Foucault, seperti yang ditulis Melani Budianta, justru memandang kekuasaan
bersifat produktif:
Berbeda dengan konsep kekuasaan yang umum, yakni yang dimiliki oleh pihak-pihak yang kuat terhadap yang lemah, kekuasaan bagi Foucault seperti yang diuraikan dalam bukunya Power/ Knowledge bukanlah merupakan suatu
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
14
entitas atau kapasitas yang dapat dimiliki oleh satu orang atau lembaga, melainkan dapat diibaratkan dengan sebuah jaringan yang tersebar dimana-mana.
Jadi kekuasaan tidak datang secara vertikal dari penguasa terhadap yang ditindas, dari pemerintah ke rakyat, melainkan datang dari semua lapisan masyarakat, ke segala arah.3
Penulis memahami bahwa kekuasaan menurut Foucault tidak lagi dimaknai
secara vertikal dari atas ke bawah, atau dari institusi penguasa kepada individu yang
dikuasai, melainkan bahwa kekuasaan datang dari semua lapisan tetapi ia menyebar
secara kompleks kepada segenap individu sebagai subjek yang kecil, dan
menyebabkan praktik kuasa ada di mana-mana.
Foucault kemudian mengaitkan bahwa praktik kekuasaan inilah yang
kemudian mempengaruhi pengetahuan manusia tentang ’kebenaran’. Dalam artian,
apa yang manusia anggap sebagai ’kebenaran’, merupakan hasil dari relasi-relasi
kekuasaan yang membentuk sistem pengetahuan manusia tentang ’kebenaran’ itu
sendiri. Foucault, seperti yang dikutip Mh. Nurul Huda, kemudian berpendapat
bahwa:
Kebenaran tidak berada di luar kekuasaan...kebenaran selalu terkait dengan relasi kekuasaan dalam ranah sosial dan politik. Kebenaran diproduksi melalui banyak cara dan dalam aneka praktek kehidupan manusia sebagai cara mengatur diri mereka dan orang lain. Karena itu, setiap produksi pengetahuan sesungguhnya memuat rezim kebenaran. Dengan demikian, kekuasaan pun bersifat konstitutif dalam pengetahuan, sehingga kekuasaan sebenarnya tersebar pada seluruh level masyarakat dan bermacam relasi sosial.4
3 Melani Budianta, “Teori Sastra Sesudah Strukturalisme dari Studi Teks ke
Studi Wacana Budaya”, artikel dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, hal. 49
4 Mh. Nurul Huda, “Ideologi Sebagai Praktek Kebudayaan”, artikel dalam
Jurnal Filsafat Driyarkara, Edisi Th.XXVII No.3/2004, hal.53
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
15
Penjelasan di atas penulis pahami bahwa lewat relasi kekuasaan yang
menyebar itulah manusia membuat atau memproduksi sistem atas suatu pengetahuan
tertentu yang tidak lagi dipertanyakan orang, hingga dianggap sebagai suatu
’kebenaran’.
Maka jelas bahwa kekuasaan selalu meproduksi pengetahuan manusia, dan
produksi pengetahuan manusia sesungguhnya memuat rezim ’kebenaran’. Dalam
rangka inilah Foucault menempatkan wacana (discourse; diskursus) sebagai praktik
yang terbentuk dari relasi antara kekuasaan dengan pengetahuan.
Melani Budianta menulis bahwa, ”Menurut Foucault, kekuasaan mewujudkan
diri melalui wacana dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya adalah melalui
prosedur menyeleksi atau memisahkan mana yang dianggap layak dan yang tidak
layak; dengan memberlakukan sejumlah pelarangan terhadap beberapa jenis
wacana...dengan membedakan apa yang disebut benar dan salah.”5
Mengenai kaitan antara kekuasaan dengan pengetahuan dalam sebuah wacana,
Eriyanto juga berkomentar demikian:
Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran disini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit...akan tetapi, ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.6
5 Melani Budianta, Op.Cit., hal.48 6 Eriyanto, Op.Cit., hal.66-67
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
16
Hal tersebut penulis pahami bahwa kebenaran atau pengetahuan manusia yang
tercermin dalam sebuah wacana, sangat ditentukan dari praktik-praktik kekuasaan
yang melingkari manusia itu sendiri. Apa yang dianggap benar dan yang dianggap
salah oleh manusia, merupakan wacana sebagai hasil dari relasi kekuasaan dengan
pengetahuan. Untuk itu penulis menyimpulkan bahwa wacana merupakan cara
menghasilkan pengetahuan, praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas
yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di baliknya, dan kesaling-berkaitan
di antara semua aspek ini.
Praktik Wacana Media
Memandang media massa dalam paradigma kritis di sini, berarti seperti yang
diungkapkan Eriyanto tentang ide dan gagasan Marxis dan Mazhab Frankfurt yang
melihat masyarakat sebagai suatu sistem kelas.
Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem dominasi, dan media adalah salah satu bagian dari sistem dominasi tersebut. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Media adalah alat kelompok dominan untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok yang tidak dominan.7
Jelas artinya bahwa paradigma kritis memandang media bukanlah sebagai
entitas yang bebas nilai. Media merupakan alat kelompok dominan untuk menguasai
dan memarjinalkan kelompok yang tidak dominan. Maka untuk mengetahui
7 Ibid., hal.22
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
17
bagaimana media menjalankan praktik kekuasaannya tersebut, penggunaan bahasa
menjadi unsur penting untuk diamati. Hal ini mengacu pada pernyataan Dedy N.
Hidayat yang mengatakan bahwa pemanfaatan bahasa dalam media massa antara lain
bisa diamati dalam wacana media (media discourse). Ia kemudian menulis:
Media massa merupakan salah satu arena sosial tempat berbagai kelompok sosial –masing-masing dengan politik bahasa yang mereka kembangkan sendiri– berusaha menampilkan definisi situasi, atau definisi relitas versi mereka yang paling sahih. Itu antara lain dilakukan melalui politik bahasa yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok sosial yang terlibat.8
Penulis menyimpulkan bahwa politik bahasa yang disebutkan Dedy pada
keterangan di atas merupakan praktik wacana media, yakni praktik penggunaan
bahasa oleh kelompok dominan dengan konsekuensinya dapat meminggirkan
kelompok lain.
Adapun praktik wacana media yang penulis fokuskan dalam penelitian ini
bukan pada usaha kelompok dominan dalam meminggirkan kelompok minor. Namun
fokus praktik wacana dalam penelitian ini lebih kepada praktik media massa dalam
mengembangkan penggunaan kata asing sebagai politik bahasa, dengan konsekuensi
meminggirkan penggunaan Bahasa Indonesia.
8 Dedy N. Hidayat, “Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses Legitimasi
dan Delegitimasi Rejim Orde Baru”, artikel dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra (Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1999, hal.48-49
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
18
Praktik wacana tersebut akan penulis amati dalam tiga tingkat, yakni mikro
(teks), meso (produksi dan konsumsi), serta makro (relasi kekuasaan dalam struktur
social, politik, dan budaya).
Mengenai tingkat mikro (teks), Guy Cook mengatakan sebagai berikut:
Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.9
Dalam uraian Cook inilah, analisis mikro ditekankan pada bagaimana
kecenderungan pemakaian kata asing dalam segenap ekspresi komunikasi dan teks
media, baik itu teks berita, editorial, penamaan rubrik, hingga teks motto yang
diusung media tersebut.
Analisis pada tingkat meso ditekankan pada bagaimana pengunaan kata asing
dalam teks tersebut diproduksi oleh para awak redaksi dan dikonsumsi khalayak.
Hingga analisis pun ditempatkan pula pada tingkat makro, yakni bagaimana relasi
kekuasaan pada struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat yang
melingkupi praktik wacana media.
9 Eriyanto, Op.Cit., hal.9
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
19
A.2. Penggunaan Kata Asing
Sutan Takdir Alisyahbana mendefinisikan, ”kata ialah satuan kumpulan bunyi
atau huruf terkecil yang mengandung pengertian.”10
Definisi ini dipahami penulis bahwa kata adalah satuan kumpulan bunyi
secara lisan dan satuan huruf terkecil yang memiliki arti secara tulisan.
Sedangkan arti ‘kata’ oleh M. Ramlan adalah ”satuan gramatik bebas yang
terkecil yang dituliskan diantara dua spasi.”11
Pengertian ini penulis pahami bahwa kata adalah satuan terkecil penulisan
huruf yang dapat berdiri sendiri dan berada di antara dua spasi.
Dari dua referensi di atas, ada perbedaan pokok dalam mendefinisikan kata.
M. Ramlan sendiri mengkritik definisi kata oleh Sutan Takdir dengan menjelaskan,
sebuah kata tidaklah harus selalu mengandung perhatian. ”Hal ini disebabkan ada
jenis kata yang tidak dapat berdiri sendiri, misalnya pada kata bahwa, terhadap,
kepada, meskipun, walaupun, maka, dan sebagainya.”12
Penulis menyepakati definisi kata oleh M. Ramlan, yakni kata adalah satuan
terkecil penulisan huruf yang berdiri sendiri dan berada diantara dua spasi.
Dalam penelitian ini, kata asing mengacu pada kosakata yang berada di luar
kosakata bahasa Indonesia seperti Inggris, Perancis, Latin, Arab, Belanda, dan
10 Sutan Takdir Alisyahbana, Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia, PT Dian Rakyat, Jakarta, hal.72
11 M. Ramlan, Tata Bahasa Indonesia Penggolongan Kata, Andi Offset,
Yogyakarta, hal.7 12 Ibid, hal.9
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
20
sebagainya. Kesimpulan ini penulis ambil bersandarkan pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia, dimana bahasa asing diartikan sebagai ”bahasa milik bangsa lain yang
dikuasai biasanya melalui pendidikan formal dan yang secara sosiokultural tidak
dianggap sebagai bahasanya sendiri.”13
Penulis kemudian menyimpulkan, kata asing adalah satuan terkecil penulisan
huruf yang berdiri sendiri dan berada diantara dua spasi yang mengacu pada kosakata
yang berada di luar kosakata bahasa Indonesia seperti Inggris, Perancis, Latin, Arab,
Belanda, dan sebagainya.
Lebih lanjut tentang penggunaan kata asing, Zaenal Arifin menjabarkan
penerapan kata asing atau unsur serapan sebagai berikut:
Berdasarkan taraf integrasinya unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas dua golongan besar.
Pertama, unsur belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, l’exloitation de l’homme par l’homme, unsur-unsur ini dipakai dalam bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing.
Kedua, unsur asing yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia diusahakan agar ejaan asing hanya diubah seperlunya hingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.
Disamping itu, akhiran yang berasal dari bahasa asing diserap sebagai bagian kata yang utuh. Kata seperti standardisasi, implementasi, dan objekjtif diserap secara utuh di samping kata standar, implemen, dan objek.14
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan jenis penggunaan atau penyerapan
kata asing sebagai berikut:
13 Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.66 14 Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia:
Untuk Perguruan Tinggi, Akademika Pressindo, Jakarta, 2000, hal.201-202
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
21
1. Kata yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, kata ini dipakai
dalam bahasa Indonesia, dan pengucapannya masih mengikuti cara asing. Misal:
reshuffle, shuttlecock, l’exploitation de’lhompar l’homme
2. Kata asing yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa
Indonesia. Misal: computer – computer, test – tes, curriculum – kurikulum
3. Penggunaan kata asing dengan menyerap akhiran (sufiks) yang berasal dari
bahasa asing Misal: standardization – standardisasi – standar, implementation –
implementasi – implemen.
Penulis juga menyimpulkan, pemakaian istilah atau kata dengan kosakata
bahasa asing dapat ditempuh dengan cara:
• Pemungutan utuh. Biasanya kata yang berlaku secara internasional seperti kata
‘e-mail’, ‘sea games’, atau istilah-istilah olahraga semisal kata ‘shuttlecock’,
‘rebound’, serta bagi kata asing yang belum ada padanan kosakatanya dalam
bahasa Indonesia.
• Disesuaikan dengan kata bahasa Indonesia dengan mengubah seperlunya.
• Menyerap akhiran kata atau sufiks.
Namun di luar unsur serapan, ada pula penggunaan kata asing yang
sebenarnya telah memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia. Dalam artian, ada
kata asing yang sebenarnya tidak perlu dipakai karena kata tersebut telah memiliki
padanan kata. Sebagai contoh, di sini penulis tampilkan pernyataan Amin Rais yang
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
22
dikutip Koran Tempo, edisi 16 September 2000: “Kalau pengumpulan tanda tangan
mencapai lebih dari separuh anggota DPR, itu indikasi yang no good buat Akbar.”
Dapat disimak bahwa pemakaian kata asing “no good” dalam pernyataan tersebut
merupakan kata yang tanpa memiliki padanan dan masih bisa diterjemahkan. Gejala
penggunaan kata asing semacam inilah yang penulis pandang sebagai peminggiran
bahasa Indonesia.
B. Operasionalisasi Konsep
Berbeda dengan pendekatan kuantitatif, dalam penelitian kualitatif ukuran
konsep yang operasional bukan merupakan ukuran pasti dan terukur. Namun hal ini
dapat diatasi dengan memasukkan sebanyak mungkin fakta empiris ke dalam
penelitian dan melihat bagaimana konsep-konsep yang ada dapat bekerja selanjutnya.
Berikut ini uraian singkat yang penulis gunakan sebagai acuan operasional
dari konsep-konsep terkait dalam penelitian ini:
1. Praktik wacana adalah cara menghasilkan pengetahuan, praktik sosial yang
menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang
ada di baliknya, dan kesaling-berkaitan di antara semua aspek ini.
2. Media massa dalam paradigma kritis bukanlah sarana yang netral dalam
praktiknya. Media menempatkan kelompok-kelompok yang diberitakannya
tersebut dalam posisi yang dominan dan marjinal. Media merupakan pembentuk
konsensus di masyarakat terjadi lewat proses yang rumit, kompleks, dan
melibatkan kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
23
penelitian ini, Majalah Trax adalah kelompok institusi media yang dikelilingi
kekuatan-kekuatan sosial di sekelilingnya.
3. Kata Asing adalah satuan terkecil penulisan huruf yang berdiri sendiri dan berada
diantara dua spasi yang mengacu pada kosakata yang berada di luar kosakata
bahasa Indonesia seperti Inggris, Perancis, Latin, Arab, Belanda, dan sebagainya.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
24
C. Kerangka Pemikiran
Konsep-konsep yang telah dijelaskan sebelumnya tergambar dalam kerangka
pemikiran sebagai berikut:
Majalah Trax
Praktik Wacana
Penggunaan Kata Asing
Analisis Wacana Kritis
Sociocultural Practice
Discourse Practice
Teks (Analisis Teks Ekletif)
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
25
BAB III
DESAIN PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian
Paradigma yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis.
yang bersumber dari Teori Kritis Mazhab Frankfurt. Paradigma kritis sendiri
merupakan paradigma yang lahir setelah paradigma positivisme dalam ilmu
pengetahuan mengalami krisis ilmiah.
Dalam konteks penelitian tentang media massa, Ibnu Hamad menguraikan
bahwa paradigma kritis adalah salah satu dari banyak paradigma penelitian:
Paradigma kritikal melihat realitas yang teramati (vitual realiy), dalam hal ini realitas media, adalah realitas ‘semu’ yang terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial budaya dan ekonomi politik. Dengan demikian… yang menjadi objek dalam riset ini, adalah realitas yang teramati sebagai konstruksi para pembuatnya (wartawan) yang dipengaruhi oleh faktor sejarah media di mana para wartawan bekerja dan oleh kekuatan-kekuatan lain itu.1
Dari penjelasan di atas penulis memahami bahwa secara ontologis, paradigma
kritis memandang objek realitas yang diamati dalam penelitian adalah realitas semu
yang terbentuk oleh faktor sejarah kekuatan-kekuatan lain yang mengelilingi media
tersebut.
1 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa; Sebuah
Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, Penerbit Granit, Jakarta, 2004, hal.38
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
26
Ibnu Hamad kemudian menjelaskan bahwa pada tataran epistemologis,
“paradigma kritik melihat hubungan antara peneliti dan realitas yang diteliti selalu
dijembatani oleh nilai-nilai tertentu (transactionalist/ subjectivist).”2
Penulis memahami bahwa posisi peneliti dalam paradigma ini tidaklah
terlepas dari kepentingan atau pengaruh sosial. Sebab pada dasarnya peneliti sebagai
individu merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri dan paradigma kritis
berasumsi bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari
tindakan.
Kemudian pada level metodologi, Ibnu Hamad mengusulkan penggunaan
multi level methods yang mengacu pada model Norman Fairclough:
Seraya menempatkan diri sebagai aktivis/ partisipan dalam proses transformasi sosial, penulis melakukan analisis secara komprehensif, kontekstual, dan dalam berbagai tingkatan (mulati-level analysis) . . . yang mengacu pada pemikiran Fairclough guna memenuhi tuntutan methodologis paradigma kritis itu. Teknik penelitian seperti ini dilakukan tiada lain agar dapat diperoleh pemahaman secara empatif (empathic understanding atau verstehen) dalam menemukan makna di balik teks atau tanda dengan memperhatikan konteks dalam berbagai tingkatannya.3
Sejalan dengan paradigma kritis yang lahir dari keterbatasan paradigma
positivisme, maka pendekatan metodologi yang tepat dalam menjalankan penelitian
ini adalah pendekatan metodologi kualitatif. Emy Susanti Hendrarso menjelaskan
sebagai berikut:
2 Ibid., hal.43 3 Ibid., hal.44
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
27
Penelitian kualitatif yang berakar dari ‘paradigma interpretatif’ pada awalnya muncul dari ketidakpuasan atau reaksi terhadap ‘paradigma positivist’ yang menjadi akar penelitian kuantitatif. Ada beberapa kritik yang dilontarkan terhadap pendekatan positivist, di antaranya adalah pendekatan kuantitatif mengambil model penelitian ilmu alam untuk penelitian sosial sehingga tidak dapat digunakan untuk memahami kehidupan sosial sepenuhnya.4
Emy kemudian melanjutkan bahwa penelitian kualitatif dapat diterapkan
apabila, “topik penelitiannya merupakan hal yang sifatnya kompleks, sensitif, sulit
diukur dengan angka, dan berhubungan erat dengan interaksi sosial dan proses
sosial.”5
Mengenai pendekatan kualitatif, Lexy J. Moleong dengan mengutip Bogdan
dan Taylor, menjelaskan bahwa penelitian metodologi kualitatif sebagai “prosedur
penelitian yang menghasikan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. . . pendekatan ini diarahkan pada latar
dan individu tersebut secara holistik (utuh).6
Dari keterangan di atas, penulis pahami bahwa penggunaan pendekatan
kualitatif lahir karena keterbatasan pendekatan kuantitatif dan paradigma positivisme.
Karenanya penulis mendapati kesesuaian dalam menggunakan pendekatan kualitatif
dengan paradigma kritis sebagai landasan metodologis penelitian ini.
4 Emy Susanti Hendrarso, “Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar”, dalam
Bagong Suyanto dan Sutinah (Ed.), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005, hal.166
5 Ibid., hal.170 6 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2000, hal.3
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
28
Dari keterangan tersebut penulis juga memahami bahwa penggunaan
pendekatan kualitatif dalam penelitian ini sesuai dengan topik terpinggirkannya
Bahasa Indonesia dalam praktik wacana media yang sifatnya kompleks, sulit diukur
dengan angka, dan berhubungan erat dengan interaksi sosial dan proses sosial.
Karenanya, penelitian yang penulis jalankan di sini tidak semata menghasilkan data
yang dapat diukur berupa angka, namun akan menghasikan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari perilaku media yang dapat diamati.
Penggunaan paradigma kritis dan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini
membuat hubungan penulis sebagai peneliti dengan objek penelitian adalah hubungan
yang interaktif, dan sarat penilaian. Interpretasi penulis sebagai peneliti terhadap
objek penelitian tak bisa dilepaskan dari latar subjektif sosio-kultur penulis.
Mengenai subjektifitas dalam interpretasi ini, Agus Sudibyo mengungkapkan,
”mesti disadari bahwa proses pemaknaan itu tak bisa dilepaskan dari unsur
subyektivitas sang pemberi makna. Namun tak perlu khawatir, sebab teori-teori jenis
ini memang mengizinkan seorang peneliti melakukan interpretasi atas teks secara
subyektif akibat pengaruh pengalaman hidupnya.”7
Hal di atas penulis pahami sebagai karakteristik pendekatan kualitatif yang
memungkinkan intepretasi dan subjektivitas peneliti merupakan syarat dalam
menggunakan metode analisis wacana kritis. Kemudian dalam kaitannya dengan
metode penelitian yang akan penulis gunakan, Alex Sobur mengemukakan
7 Agus Sudibyo, Ibnu Hamad dan Muhamad Qadari, Kabar-Kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa, ISAI, Jakarta, 2001, hal.18
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
29
karakteristik pendekatan kualitatif dalam metode analisis wacana kritis sebagai
berikut:
Pertama, analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks ketimbang jumlah unit kategori seperti dalam analisis isi. Kedua, analisis wacana berpretensi memfokuskan pada pesan latent (tersembunyi). Ketiga, analisis wacana bukan sekedar bergerak dalam level makro (isi dari satu teks), tetapi juga pada level mikro yang menyusun suatu teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris. Keempat, analisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi.8
Dari keterangan di atas, penulis memahami bahwa pada dasarnya setiap teks
dapat dimaknai secara berbeda dan ditafsirkan secara beragam. Karenanya, metode
Analisis Wacana Kritis tidak berpretensi melakukan generalisasi, namun lebih
menekankan pada pemaknaan pesan laten dalam teks sesuai kemampuan interpretasi
peneliti. Dari hal tersebutlah kualitas penelitian dapat dinilai.
B. Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan disini adalah metode Analisis Wacana Kritis
yang dimaksudkan dapat menggali bagaimana mengetahui bagaimana hubungan
antara teks yang mikro, produksi dan konsumsi teks yang meso, dengan konteks
sosial yang makro dalam praktik wacana Majalah Trax.
Eriyanto mengungkapkan bahwa secara umum ada tiga tingkatan analisis
dalam analisis wacana kritis:
Pertama, analisis mikro, yakni analisis pada teks semata, yang dipelajari terutama unsur bahasa yang dipakai. Kedua, analisis makro, yakni analisis struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat.
8 Alex Sobur, Op.Cit., hal.70-71
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
30
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Ketiga, analisis meso, yakni analisis pada diri individu sebagai penghasil atau pemroduksi teks, termasuk juga analisis pada sisi khalayak sebagai konsumen teks.9
Ketiga tingkatan ini sejalan dengan tujuan penelitian yang hendak mengetahui
bagaimana hubungan antara teks berita yang mikro, produksi dan konsumsi teks yang
meso, dengan konteks sosial yang makro dalam praktik wacana Majalah Trax.
Eriyanto mengatakan bahwa ketiga level tersebut secara lengkap terdapat pada
model yang diperkenalkan oleh Teun A. van Dijk dan Norman Fairclough yang juga
memokuskan analisis pada level meso produksi teks berita. Ia mengatakan bahwa,
”Pada model van Dijk dan Fairclough bukan semata memasukkan konteks sebagai
variabel penting dalam analisis tetapi juga analisis pada tingkat meso, bagaimana
konteks itu diproduksi dan dikonsumsi.”10
Adapun model yang diperkenalkan oleh Norman Fairclough dalam tiga level:
teks, dicourse practice, dan sociocultural practice. Model ini sesuai dan tepat
digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Karena selain melakukan
analisis pada level teks mikro dan konteks yang makro, analisis juga ditekankan pada
level discouse practice yang merupakan analisis meso pada proses produksi dan
konsumsi teks.
Eriyanto mengatakan bahwa ketiga level dalam model ini memusatkan
perhatian wacana pada bahasa. ”Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada
9 Eriyanto, Op.Cit, hal.344-345 10 Ibid., hal.345
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
31
pemakaian bahasa sebagai praktik sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk
merefleksikan sesuatu.”11
Khusus dalam level teks, analisis menekankan pada ”bagaimana teks itu
mencerminkan kekuatan sosial dan politik yang ada dalam masyarakat. Bagaimana
teks mempunyai keterkaitan yang erat dengan praktik sosial politik yang terjadi dan
tercipta dalam masyarakat.”12
Lewat level teks model Fairclough inilah, dimensi praktik wacana media
dalam memarjinalkan kelompok lain secara hegemonik dapat diketahui. Adapun
kategori analisis teks Fairclough ialah:
Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kedua, relasi, merujuk pada analisis bagaimana konstruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca. . . Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas wartawan dan pembaca, serta bagaimana personal dan identitas ini hendak ditampilkan.13
Mengingat bahwa fokus penelitian pada tingkat mikro di sini lebih
menekankan pada bagaimana kecenderungan pemakaian kata asing dalam teks
sebagai praktik wacana media, maka penulis memandang bahwa ketiga kategori
analisis teks yang digagas Fairclough perlu dimodifikasi sesuai dengan relevansi
penelitian. Untuk itu penulis mengkombinasikan model Fairclough dengan
menempatkan kategori analisis teks yang mampu menggali bagaimana
11 Ibid., hal.286 12 Ibid., hal.345 13 Ibid., hal.287
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
32
kecenderungan pemakaian kata asing dalam teks sebagai praktik wacana media.
Maka pada level teks, penulis menggunakan metode analisis teks ekletif.
Ibnu Hamad menjelaskan bahwa metode analisis teks ekletif sebagai ”sebuah
teknik penggabungan konsep-konsep yang relevan ke dalam satu pendekatan
metode.”14
Ibnu kemudian menyebutkan dua alasan yang menjadi dasar penggunaan
analisis wacana ekletif pada level teks sebuah penelitian:
Dua alasan dipakainya metode ekletif ini, pertama, metode analisis wacana banyak ragamnya dan tampaknya dibangun berdasarkan keperluan si pembuat untuk menjelaskan masalah penelitiannya. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Kedua, dipakainya analisis wacana ekletif, didasarkan pada kepatutan sebuah metode. Bahwasanya, pemakaian sebuah metode penelitian haruslah disesuaikan dengan permasalahannya.15
Pendapat ini juga diperkuat oleh keterangan Eriyanto yang mengatakan bahwa
setiap model dalam metode analisis wacana kritis memiliki karakteristiknya masing-
masing, serta ”ada kemungkinan dua bentuk metode tersebut diintegrasikan agar
memperoleh hasil yang maksimal.”16
Mengacu pada keterangan Ibnu Hamad dan Eriyanto di atas, penulis
menggunakan metode analisis teks ekletif yang relevan dengan tujuan penelitian demi
14 Ibnu Hamad., Op.Cit., hal.48 15 Ibid., hal.48-50 16 Eriyanto, Op.Cit., hal.337
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
33
mendapatkan hasil penelitian yang maksimal. Maka dalam hal ini, penulis mengacu
pada prinsip penggunaan kata asing yang tekah penulis uraikan dalam kerangka teori.
Hal ini dilakukan bukan untuk membuktikan secara kuantitatif sejauhmana
dan apa termasuk dalam jenis yang mana kata asing tersebut yang digunakan. Namun
hal ini dilakukan untuk mengetahui secara kualitatif tentang bagaimana
kecenderungan pemakaian kata asing dalam segenap ekspresi komunikasi dan teks
media, baik itu teks berita, editorial, penamaan rubrik, hingga teks motto yang
diusung media tersebut praktik wacana yang diterapkan dan dikembangkan oleh para
awak redaksi Majalah Trax. Sehingga dari sinilah dapat diketahui bagaimana Bahasa
Indonesia terpinggirkan.
C. Bahan Penelitian dan Unit Analisis
Bahan penelitian yang penulis gunakan adalah penggunaan kata, frase,
proposisi, kalimat, dan paragraf sebagai ekspresi komunikasi yang terkandung pada
Majalah Trax Edisi Tahun 2008. Sedangkan, unit analisis yang penulis gunakan
khususnya pada level teks yakni 5 bentuk penulisan yang lazim dijumpai dalam
penerbitan media massa, khususnya majalah:
1. Penulisan Motto Majalah
2. Penulisan Ruang Redaksi
3. Penulisan Nama Rubrik
4. Penulisan Judul Karangan
5. Penulisan Isi Karangan
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
34
Kelima bentuk penulisan tersebutlah yang hendak penulis kaji dalam hal
penggunaan bahasa sebagai unit analisis. Pengkategorian dan pembatasan jumlah unit
analisis tersebut penulis lakukan berdasarkan kaidah efektifitas penelitian kualitatif,
yang dilakukan berdasarkan tujuan (purposive) serta kerangka metodologis dalam
paradigma kritis.
D. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik pengambilan
sampel yang bertujuan (purposive sampling) yang dilakukan dengan cara mengambil
subjek bukan didasarkan atas strata, random, atau daerah tetapi didasarkan atas
adanya tujuan tertentu. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan,
misalnya alasan keterbatasan waktu, tenaga dan dana sehingga tidak dapat menarik
sampel yang besar dan jauh.
Penentuan sampel Majalah Trax edisi Tahun 2008, yakni terbitan bulan Mei
2008 penulis tentukan sesuai dengan relevansi penelitian dimana saat ini (tahun 2008)
Indonesia tengah memperingati peristiwa 100 tahun Kebangkitan Nasional pada 20
Mei 2008. Yang juga penting untuk dinyatakan di sini bahwa relevansi peristiwa 100
tahun Kebangkitan Nasional dengan penentuan sampel penelitian ini, dapat dimaknai
sebagai upaya penulis dalam merefleksikan secara ilmiah dan kritis tentang
bagaimana kondisi budaya dan bahasa Indonesia setelah berlalunya satu abad
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
35
Kebangkitan Indonesia hari ini. Maka sesuai dengan tujuan penelitian, sampel yang
penulis gunakan di sini adalah teks Majalah Trax edisi Mei 2008. 17
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari tiga level wacana,
yaitu level teks, discourse practice, dan sosiocultural practice. Pengumpulan data
pada level teks dilakukan dengan analisis teks ekeltif untuk mengetahui bagaimana
kecenderungan pemakaian kata asing dalam segenap ekspresi komunikasi dan teks
media, baik itu teks berita, editorial, penamaan rubrik, hingga teks motto yang
diusung media tersebut praktik wacana yang diterapkan dan dikembangkan oleh para
awak redaksi Majalah Trax.
Pada level discourse practice, pengumpulan data dilakukan dengan observasi
dan wawancara mendalam dengan pihak media.
Kemudian pada level sosiocultural practice, pengumpulan data dilakukan dengan
studi pustaka dan penelusuran sejarah lewat tulisan, artikel atau buku-buku mengenai
aspek-aspek makro seperti sistem politik, ekonomi, atau sistem budaya masyarakat
secara keseluruhan sebagai konteks.
17 Pada proposal penelitian (September 2007, Jakarta), pengambilan sampel
ditentukan pada edisi September 2007 sesuai dengan relevansi penelitian, dimana September merupakan bulan bahasa dan sastra yang tengah diperingati pada saat penelitian ini hendak dilakukan. Namun demi keperluan aktualitas dan validitas data, penulis kemudian menentukan ulang pengambilan sampel yang jatuh pada sampel Edisi Mei 2008.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
36
F. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga level
wacana, yaitu level teks, discourse practice, dan sosiocultural practice. Rinciannya
adalah sebagai berikut:
1. Level Teks
Penggunaan Kata Asing
a) Kata asing yang secara utuh dipakai dan berlaku internasional:
Kata asing yang sudah menjadi patokan umum dunia internasional. Misal: SEA GAMES – Kejuaraan Olahraga se-Asia Tenggara
e-mail – surat elektronik
Kata asing yang belum atau tidak ada padanannya dalam kosakata bahasa Indonesia
Kata asing yang tidak dimasukkan dalam kategori ini adalah nama (judul) dari sebuah buku atau album dan jika kata asing tersebut berasal dari bentukan nama alamat, gedung, dan lainnya.
b) Kata asing yang secara utuh dipakai namun disertai penjelasan:
Kata asing yang kemudian disusul oleh penjelasan atau arti dalam kurung
c) Kata asing yang tidak perlu pemakaiannya karena sudah ada padanan kata bahasa Indonesia-nya”
Kata asing yang masih dapat diterjemahkan atau dipakai padanan katanya tanpa menguragi makna asli.
Misal: Mother Nature – Hukum Alam
Attitude – sikap
2. Level Discourse Practice
Pada level ini, analisis akan ditujukan pada penulis akan melakukan analisis
pada produksi teks dan konsumsi teks dari observasi dan hasil wawancara mendalam
dengan pihak media. Khusus pada produksi teks, analisis akan difokuskan pada sisi
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
37
individu wartawan, hubungan dengan struktur organisasi media, dan rutinitas kerja
dari proses produksi teks. Pada konsumsi teks, analisis akan dilakukan pada
bagaimana faktor pembaca diperhitungkan pihak redaksi dalam menyusun teks
berita.18
3. Level Sociocultural Practice
Pada level ini, penulis akan menganalisis data dari hasil studi pustaka dan
penelusuran sejarah mengenai bagaimana aspek-aspek makro seperti sistem politik,
ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan sebagai konteks di mana
Majalah Trax berpraktik. Terutama pada tiga level analisis sebagai berikut:
a) Situasional, merupakan konteks sosial yang mengungkapkan bagaimana teks dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas dan unik.
b) Institusional, merupakan konteks sosial yang mengungkapkan bagaiaman pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana, baik dari dalam diri media itu sendiri maupun dari kekuatan-kekuatan eksternal di luar media yang turut menentukan proses produksi teks.
c) Sosial, merupakan konteks sosial yang memperhatikan aspek makro seperti sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Sistem inilah yang menentukan siapa yang berkuasa, nilai-nilai apa yang dominan dalam masyarakat sehingga mempengaruhi dan menentukan karakter media tersebut.
18 Fairclough sendiri menyarankan dengan mengamati teks yang dikonsumsi
oleh publik. Tetapi dalam penelitian ini dimodifikasi menjadi pertimbangan redaksi tentang pembaca. Hal ini dilakukan dengan mengacu pada analisis level konsumsi teks dalam penelitian Ibnu Hamad (2004:48)
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
38
TABEL I
LEVEL ANALISIS DAN METODE PENELITIAN
No. Level Masalah Level Analisis Metode Penelitian
1. Teks Mikro Teks Ekletif
2. Discourse Practice
Meso Observasi dan Wawancara mendalam
dengan pengelola media (produksi
teks dan konsumsi teks) dibantu
dengan literatur
3. Sociocultural Practice
Makro Studi pustaka
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
39
TABEL II
INSTRUMEN ANALISIS TEKS EKLETIF
Kerangka Teori (Penggunaan Kata
Asing)
Perangkat Analisis
Pembuktian
Pemaknaan
Kesimpulan
Kata asing yang secara utuh dipakai dan berlaku internasional
Kata asing yang sudah menjadi patokan umum dunia internasional.
Kata asing yang belum atau tidak ada padanannya dalam kosakata bahasa Indonesia
Kata asing yang tidak dimasukkan dalam kategori ini adalah nama (judul) dari sebuah buku atau album dan jika kata asing tersebut berasal dari bentukan nama alamat, gedung, dan lainnya.
Kata asing yang secara utuh dipakai namun disertai penjelasan
Kata asing yang kemudian disusul oleh penjelasan atau arti dalam kurung
Kata asing yang tidak perlu pemakaiannya karena sudah ada padanan kata bahasa Indonesia-nya
Kata asing yang masih dapat diterjemahkan atau dipakai padanan katanya tanpa menguragi makna asli.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
40
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Subyek Penelitian
A.1. Sejarah Majalah Trax1
Majalah Trax (Trax Magazine) awalnya terbit dengan nama MTV Trax
Indonesia pada tanggal 8 Agustus 2002 oleh perusahaan waralaba asing MTV
Indonesia. MTV Trax Indonesia (Majalah) sendiri merupakan pelopor majalah MTV
di Asia, karena setelah kemunculan pertama majalah ini, Thailand pun menyusul
mencetak MTV Trax edisi Thailand dan Singapura dengan tabloid MTV Ink. Dengan
target sasaran khalayak antara usia 18 sampai 25 tahun, Majalah MTV Trax Indonesia
berisi tentang ulasan dunia musik (60%), film (15%), dan gaya hidup (25%).
Memiliki oplah berkisar 30 ribu hingga 40 ribu eksemplar sejak tahun
pertama hingga tahun ke tiga terbit, MTV Trax Indonesia kemudian melepaskan
waralaba MTV dan berubah nama menjadi Trax Magazine (Majalah Trax) di bawah
naungan grup divisi media dalam PT Mugi Rekso Abadi (MRA Media) yang juga
bergelut dalam bisnis retail, otomotif, makanan, dan perhotelan di Indonesia. Kini
dengan total sirkulasi 40.000 eksemplar pada tahun 2006, Majalah Trax
menempatkan posisinya sebagai salah satu majalah musik dan gaya hidup yang
diperhitungkan dalam pers Indonesia.
1 Dirangkum berdasarkan informasi dari laman www.myspace.com/traxmagz dan www.mra.co.id
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
41
A.2. Susunan Redaksional Organisasi Majalah Trax
Pemimpin Redaksi : Andre J.O. Sumual
Redaktur Senior : Wahyu Nugroho
Redaktur Feature : Alvin Yunata
Reporter : Fajar Andi, Faz Liani Maulida
Redaktur Fesyen : Ivy Aralia Nizar
Sekretaris Redaksi : Dheta Nur Hafia
Desainer Grafis : R. Bayu Hendroatmodjo, M> Ottyawan Firdaus,
Irmawati Taufik
Fotografer : Agan Harahap
Kontributor : Ernill Abbott, Ratna Dewi Paramitha, Ricky Surya
Virgiana, Saleh Husein, Didik Soehono
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
42
B. Hasil Penelitian
B.1. Analisis Teks Ekletif2
Penulis menggunakan lima unit analisis dalam menganalisis variabel
Penggunaan Kata Asing pada level teks. Dari unit analisis tersebut (yakni penulisan
Motto Majalah; penulisan Ruang Redaksi; penulisan Nama Rubrik; penulisan Judul
Karangan; dan penulisan Isi Karangan) penulis melakukan pembuktian, pemaknaan
dan penarikan kesimpulan lewat kerangka analisis teks ekletif yang telah penulis
jabarkan dalam bab sebelumnya. Berikut ini adalah uraiannya:
Penggunaan Kata Asing (Pembuktian)
1. Penulisan Motto Majalah
Motto Majalah Trax adalah ‘music & attitude magazine’. Motto ini tercantum
persis di bawah logo Majalah Trax pada halaman sampul depan majalah tiap
terbitannya. Sehingga dengan melihat dari penempatan posisinya, motto ini
merupakan teks yang ditempatkan secara menonjol.
Kemudian dengan menyimak dari bentuk penulisannya, motto tersebut
menggunakan kata asing yang tergolong ke dalam jenis kata asing yang masih dapat
diterjemahkan atau dipakai padanan katanya tanpa mengurangi makna asli.
2 Pengutipan bahasa asing tanpa kursif dan huruf kapital pada berbagai kata, frase, kalimat dan paragraf dalam bagian analisis teks di sini mengacu sesuai aslinya yang tercantum dalam teks majalah
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
43
2. Penulisan Ruang Redaksi
Ruang Redaksi Majalah Trax tercantum pada halaman 8 yang memanjang
secara vertikal dan menempati satu kolom halaman. Pencantuman Ruang Redaksi ini
menginformasikan struktur redaksi dan organisasi majalah, status jabatan berikut
nama individu berikut yang terlibat dalam keredaksian majalah, serta komentar
singkat tiap individu tersebut mengenai tema utama yang tengah diulas.
Pada bagian atas tertulis nama rubrik dengan teks berbahasa asing ‘people
behind trax and the shoes that brings them confidence’. Tiap status jabatan dituliskan
pula dalam bahasa asing, antara lain editor-in-chief’, ‘senior editor’, ‘feature editor’,
‘reporter’, ‘fashion editor’, ‘editor secretary’, ‘graphic designer’, ‘photographer’,
‘contributor’, dan seterusnya. Kemudian komentar singkat juga mengandung
penulisan kata dalam bahasa asing antara lain ’any kind of doc’s’, ‘addidas nizza and
clarcks wallabee’, apa aja, yang penting flat shoes’.
Dengan menyimak dari bentuk penulisannya, berbagai teks dalam Ruang
Redaksi tersebut menggunakan kata asing yang tergolong ke dalam jenis kata asing
yang masih dapat diterjemahkan atau dipakai padanan katanya tanpa mengurangi
makna asli.
3. Penulisan Nama Rubrik
Dalam sampel penelitian, ada 25 nama rubrik yang disajikan Majalah Trax.
Nama rubrik ini dapat dikenali dari penulisannya yang terletak di halaman bagian atas
dengan garis tebal yang khas. Kedua puluh lima nama rubrik tersebut tercantum
dalam tabel berikut:
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
44
TABEL III
Tabel Nama Rubrik Majalah Trax Edisi Mei 2008
No
Nama Rubrik No Nama Rubrik
1 list 14 rising 2 people behind trax and the
shoes that brings them confidence
15 interview
3 letters to ed 16 promo! 4 kompak – kampus 17 news – the information on current
events 5 load 18 concert 6 bytes 19 hype 7 exposed! – breaking news 20 feature 8 on the cover 21 hotbuzz 9 bedtimestory 22 picturized 10 addict – the things to enjoy 23 review – the guide 11 shuffle 24 winners list 12 books 25 girl – do you rock? 13 star
Dengan menyimak dari bentuk penulisannya, berbagai teks dalam penulisan
nama rubrik tersebut menggunakan kata asing yang tergolong ke dalam jenis kata
asing yang masih dapat diterjemahkan atau dipakai padanan katanya tanpa
mengurangi makna asli.
4. Penulisan Judul Karangan
Judul karangan pada Majalah Trax bisa dikenali dari penempatannya yang
menonjol di awal atau di atas karangan, serta menggunakan huruf yang lebih besar
dan tebal. Hal ini terutama penulis fokuskan pada pada sejumlah karangan dalam
rubrik ‘exposed!’, ‘addict’, ‘star’ dan ‘news’.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
45
Pada rubrik ‘exposed!’ (halaman 19 – 22), ada 5 karangan yang masing-
masing judulnya tertuliskan sebagai berikut: ‘big guts!’, ‘ozomatli rocks’, ‘From
Palembang dan sebuah kolaborasi!’, ‘how to treat the fans’, dan ‘morning talk’.
Pada rubrik ‘addict’ (halaman 33 – 44, 49 – 52), ada 10 karangan yang
masing-masing judulnya tertuliskan sebagai berikut: ‘another volcom featured artist
series!’, ‘fantastic zero’, ‘macbeth will rock you, girl!’, ‘HEAR OUR
STATEMENT!’, ‘insight your shoes’, ‘keep walking…’, ‘need for speed?’, ‘the
adventure continues’, ‘laugh in vegas’, dan ‘apa kata dunia?’.
Pada rubrik ‘star’ (halaman 55 – 63) ada 12 karangan yang masing-masing
judulnya tertuliskan sebagai berikut: ‘being mature’, ‘coin-operated dolls’, ‘the
balance of life’, ‘singer fever’, her lovely songs’, ‘the blue version’, ‘like father like
son’, ‘what ‘rock and roll’ means’, ‘penantian panjang’, mengilas balik’, ‘in full
swing’, dan ‘simply edgy’.
Pada rubrik ‘news’ (halaman 62 – 65,), ada 7 karangan yang masing-masing
judulnya tertuliskan sebagai berikut: ‘jammin’ revolution’, ‘a very wonderful
evening’, ‘ relax workshop trax fm’, ‘gila-gilaan nonstop!’, top groms from lombok’,
‘the second series rusty gromfest 2008’, dan ‘it’s a space adventure!’.
Bisa disimak bahwa kebanyakan judul karangan di atas ditulis dalam bahasa
asing yang sesungguhnya masih bisa ditemukan padanan kata bahasa Indonesianya.
Maka dapat disebutkan bahwa berbagai teks dalam penulisan judul karangan tersebut
menggunakan kata asing yang tergolong ke dalam jenis kata asing yang masih dapat
diterjemahkan atau dipakai padanan katanya tanpa mengurangi makna asli.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
46
5. Penulisan Isi Karangan
Isi karangan pada Majalah Trax akan penulis analisis terutama penulis
fokuskan pada empat buah karangan yakni karangan dalam rubrik ‘bytes’ berjudul
‘traxercise your mind’, dan karangan dalam rubrik ‘addict’ berjudul ‘HEAR OUR
STATEMENT!’.
Karangan dalam rubrik ‘bytes’ berjudul ‘traxercise your mind’ menempati
halaman 16. Jenis karangan ini termasuk dalam jenis esai popular yang ditulis oleh
redaksi tanpa nama atau inisial penulisnya. Penggunaan kata asing dalam isi karangan
ini bisa disebutkan antara lain sebagai berikut:
a) Paragraf pembuka:
Ada pepatah yang bilang “Today A Reader, Tomorrow A Leader’, atau “Read A Book and You Will See The World”, atau bahkan “A Room Without A Book Is Like a Body Without A Soul”.
b) Paragraf 2, kalimat 2 – 4:
Well gue sendiri bukan seorang yang giat banget baca buku. But at least I know how important reading is. Read anything, from news paper, books’, magazine, notes, articles, comics, flyers, anything.
c) Paragraf 6, kalimat 1:
Well anyway its not only about Harry Potter, but how reading is really important.
d) Paragraf 7, kalimat 4:
So don’t stop reading. Because You’ll never know what we can get by reading something!
Dengan menyimak dari bentuk penulisannya, berbagai teks dalam isi
karangan di atas menggunakan kata asing yang tergolong ke dalam jenis kata asing
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
47
yang masih dapat diterjemahkan atau dipakai padanan katanya tanpa mengurangi
makna asli. Juga patut dicatat, dalam unit analisis ini penulis menemukan
percampuran penggunaan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, yang mengacu pada
kerancuan (kontaminasi) berbahasa.
Karangan dalam rubrik ‘addict’ berjudul ‘HEAR OUR STATEMENT!’
menempati halaman 36. Jenis karangan ini termasuk dalam jenis teks singkat yang
menyertai sejumlah foto fesyen dalam rubrik tersebut tanpa nama inisial penulisnya.
Penggunaan kata asing dalam isi karangan ini bisa disebutkan antara lain sebagai
berikut:
a) Teks 1:
WE ARE NOT ONLY A PART OF THE FASHION WORLD... WE ARE NOT JUST AN ACCESSORIES…. WE ARE HERE TO SUPPORT YOUR LIFE!
b) Teks 2:
WE DELIVER YOUR COFFE EACH MORNING
c) Teks 3:
WE LIVE TO PROTECT AND SERVE YOU
d) Teks 4:
WE FIGHT TRAFFIC JUST SO YOU’RE ON TIME
e) Teks 5:
WE WELCOME YOUR FRIENDS BUT KICK THE UNWANTED ONES! Dengan menyimak dari bentuk penulisannya, berbagai teks dalam isi
karangan di atas menggunakan kata asing yang tergolong ke dalam jenis kata asing
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
48
yang masih dapat diterjemahkan atau dipakai padanan katanya tanpa mengurangi
makna asli.
Penggunaan Kata Asing (Pemaknaan)
Berdasarkan uraian pembuktian di atas, kini penulis akan melakukan
pemaknaan terhadap hasil pembuktian terhadap unit analisis yang ada. Pada unit
analisis pertama, yakni Penulisan Motto Majalah, terbukti bahwa Majalah Trax
mengekspresikan pesan komunikasinya lewat penggunaan kata asing yang tergolong
masih dapat diterjemahkan atau dipakai padanan kata bahasa Indonesia tanpa
mengurangi makna asli. Hal serupa juga penulis temukan pada keempat unit analisis
lainnya, di mana Majalah Trax kerap menggunakan kata asing yang memiliki
padanan kata bahasa Indonesia tanpa mengurangi makna asli. Maka praktik berbahasa
yang dilakukan Majalah Trax membawa penulis pada sejumlah pemaknaan berikut:
Dengan menyimak intensnya penggunaan kata asing dalam golongan tersebut
pada motto, ruang redaksi, rubrik, judul dan isi karangan, tampak bahwa penggunaan
bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris, begitu ditonjolkan oleh redaksi. Bahkan
penulis juga menyimak, penggunaan bahasa asing kerap dilakukan Majalah Trax
ketika hendak memberikan penekanan makna khusus pada sebagian atau keseluruhan
isi pesan. Dalam kata lain penulis memandang adanya unsur kesengajaan dari pihak
redaksi untuk tidak menonjolkan penggunaan Bahasa Indonesia, namun lebih
mengistimewakan penggunaan bahasa asing ketika hendak memberikan penekanan
makna pesan.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
49
Intensnya penggunaan bahasa asing dalam praktik berbahasa yang demikian
juga menyiratkan bahwa Majalah Trax hendak memosisikan bahasa asing sebagai
jenis bahasa yang memiliki daya dalam mengungkapkan makna pesan. Secara
otomatis, Bahasa Indonesia dianggap kehilangan dayanya dalam mengungkap makna
pesan.
Penggunaan bahasa asing yang intens dalam praktik berbahasa Majalah Trax
jelas mengandung mitos, yakni menganggap bahwa bahasa asing memiliki
keunggulan tertentu, atau daya lebih dalam mengungkap makna pesan dibandingkan
Bahasa Indonesia. Mitos ini pula lah yang kemudian malah memosisikan Bahasa
Indonesia ke dalam struktur hierarki yang lebih rendah dari bahasa asing.
Di titik inilah penulis menemukan upaya pemiskinan dan peminggiran Bahasa
Indonesia dalam praktik berbahasa dalam Majalah Trax. Meski secara umum dapat
dinyatakan bahwa praktik penggunaan bahasa asing oleh Majalah Trax merupakan
praktik berbahasa yang tidak taat pada Bahasa Indonesia, memiliki kerancuan atau
kontaminasi bahasa, namun secara khusus penulis hendak menarik kesimpulan
analisis level teks (mikro) ini bahwa terpinggirkannya Bahasa Indonesia dalam
praktik kebahasaan dalam Majalah Trax merupakan dampak dari arus globalisasi
dunia yang tengah menggejala di Indonesia. Karenanya, pada bagian selanjutnya,
penulis akan memokuskan pembahasan penelitian dalam kerangka fenomena
globalisasi dunia di abad 21 ini, atau satu abad usia Kebangkitan Nasional di
Indonesia.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
50
B.2. Analisis Discourse Practice
Aspek Produksi Teks
Aspek produksi teks berkaitan pada sisi individu wartawan, hubungan dengan
struktur organisasi media, dan rutinitas kerja dari proses produksi teks dalam
penelitian ini tidak dapat penulis sertakan. Karenanya, pengambilan data hanya bisa
dilakukan lewat wawancara dengan pihak redaksi Majalah Trax.
Namun ketika penulis menghubungi pihak redaksi dan manajemen MRA
Media, izin penelitian tidak bisa diberikan kepada penulis karena pihak manajemen
PT MRA Media merasa keberatan dengan materi penelitian penulis. Karena
keterbatasan ini, aspek produksi teks tidak dapat penulis sertakan di sini.
Aspek Konsumsi Teks
Mengacu pada profil Majalah Trax yang penulis dapat lewat laman
www.mra.co.id, karakteristik pembaca yang mengkonsumsi Majalah Trax adalah
berjenis kelamin pria, rentang usia 18 – 25 tahun, modern, pecinta musik, berani
tamil berbeda, pecinta merk, menyukai pesta, dan perhatian dalam mengurus
penampilan.
Kesimpulan yang bisa ditarik dari keterangan tersebut, yakni teks Majalah
Trax dikonsumsi oleh kalangan muda di Indonesia yang memiliki karakter tertentu,
yakni dapat dikatakan sebagai karakter generasi pemuda Indonesia yang telah
mengalami pergeseran budaya ke dalam kerangka budaya global.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
51
Mengingat latar sejarah Majalah Trax yang pernah menjadi agen MTV di Asia
Tenggara, khususnya Indonesia, tak berlebihan bila penulis mengacu pada Barnet &
Cavanagh yang menyebutkan bahwa “MTV menciptakan apa yang disebut sebagai
‘anak global’ (global child) –remaja dunia yang (relatif) seragam penampilan, tingkah
laku, cara hidup, gaya hidup mereka, dan pandangan hidup mereka.”3
Keterangan di atas menunjukkan bahwa karakteristik pembaca Majalah Trax
sejalan dengan konsep Barnet & Cavanagh tentang ‘anak global’ yang kini tengah
menjadi fenomena tersendiri di dunia, termasuk Indonesia.
B.3. Analisis Socioculture Practice
Situasional
Pada aspek situasional, ada suasana khas dan unik sebagai konteks sosial di
Indonesia pada kurun waktu tertentu terkait dengan peminggiran Bahasa Indonesia di
Majalah Trax. Hal tersebut adalah kian menguatnya gejala peminggiran Bahasa
Indonesia dewasa ini, baik dalam tataran kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Seperti yang dilansir laman resmi salah satu partai di Indonesia tertanggal 24
April 2007, situasi tersebut digambarkan dalam opini sebagai berikut:
Menelusuri jalan-jalan di kota-kota besar di Indonesia, di kiri kanan terpampang papan-papan nama berbahasa asing yang tak terhitung banyaknya.
3 Yasraf Amir Piliang, “Paradoks Globalisasi: Kritik Globalisdasi di Indonesia Dalam Perspektif Sosial Budaya”, artikel dalam Jurnal Dialektika, Vol.3 No.1, Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis, Bandung, 2003, hal.47
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
52
Begitu pula di rumah, ketika kita melihat televisi swasta atau radio, terlihat dan terdengar acara yang menggunakan bahasa Inggris. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . kalangan pejabat negara pun tidak segan membuat acara-acara dengan menggunakan istilah-istilah berbahasa Inggris. Sebut misalnya, Coffee Morning, Open House, dan semacamnya.
Di dunia usaha keberadaan bahasa Indonesia bahkan nyaris tergusur habis. Mulai dari iklan, jenis usaha, nama-nama toko hingga nama-nama pusat perbelanjaan praktis bahasa bahasa Indonesia telah digeser oleh bahasa asing.4
Gambaran situasi demikian memang telah menggejala di Indonesia dan
dikritisi banyak kalangan pada tahun 1970-an. Alih-alih gejala peminggiran Bahasa
Indonesia dapat diatasi, ternyata hingga saat ini situasi demikian kian lazim dijumpai
di tengah-tengah masyarakat Indonesia hari ini.
Berbagai upaya penanggulangan bukannya tak pernah dilakukan. Departemen
Pendidikan Nasional Republik Indonesia bersama Pusat Bahasa bahkan sempat
merancang undang-undang kebahasaan sejak tahun 2006, dan pembahasannya
tercatat telah masuk dalam agenda kerja DPR. Undang-undang kebahasaan inilah
yang diharapkan dapat mengembalikan praktik berbahasa Indonesia yang taat di
tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Perangkat undang-undang (UU) yang kuat untuk mengatur kebahasaan tentu
dapat menjadi faktor penting meningkatkan dan mengembangkan bahasa nasional.
Pemerintah maupun DPR sebagai pembentuk UU negara dapat menggunakan
4 “Mendesak Undang-Undang Kebahasaan”, www.fpks-dpr-ri.com, diakses pada 24 November 2007
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
53
perangkat regulasi tersebut untuk mendukung penerapan strategi peningkatan bahasa
Indonesia.
Kepada pers, Wayan Koster Anggota Komisi X DPR menyatakan bahwa,
‘Selain Bahasa Indonesia kita mempunyai bahasa daerah yang sangat banyak. Bahasa
Indonesia dan bahasa daerah inilah yang kita jaga kelestariannya dengan
menetapkannya dalam sebuah undang-undang,’5
Mengenai hal tersebut, baru-baru ini pakar bahasa dari Indonesia, Jan
Hoesada turut berpendapat, ‘Strategi-strategi peningkatan bahasa seperti strategi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berhampiran kebahasaan dapat
digunakan oleh pemerintah dan Depdiknas untuk meningkatkan fungsi bahasa
Indonesia. UU tentang bahasa tersebut menurutnya harus memberikan ruang
kedinamisan kepada masyarakat dalam menggunakan bahasa.’6
Namun yang kemudian patut disayangkan, sebelum rancangan undang-
undang kebahasaan tersebut diresmikan, ada sejumlah kalangan yang menyatakan
kekhawatirannya bila Undang Undang Kebahasaan ini diberlakukan. Kekhawatiran
bernada menentang tersebut antara lain bisa disimak dalam tajuk rencana Harian
Media Indonesia tertanggal 27 Mei 2008 berikut:
5 “UU Kebahasaan Dirancang”, www.beritaindonesia.co.id, diakses pada 15 November 2007
6 “UU Menentukan Pengembangan Bahasa”, 8 April 2008,
www.suarapembaruan.com, diakses pada 20 April 2008
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
54
SEBUAH studi tentang beberapa rancangan undang-undang menyimpulkan tendensi otoriter hidup kembali. Ia menyusup melalui pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi, kebebasan informasi, dan kebebasan pers.
Studi itu dilakukan terhadap enam rancangan undang-undang (RUU). Yaitu RUU Pers, RUU KUHP, RUU Kerahasiaan Negara, RUU Pornografi, RUU Intelijen Negara, dan RUU Kebahasaan.
RUU Kebahasaan juga mengandung pikiran represif. Di zaman global ini, media massa, baik cetak, elektronik, maupun media lain, wajib menggunakan bahasa Indonesia (Pasal 17 ayat 1). Untuk memenuhi kepentingan tertentu, media massa dapat menggunakan bahasa asing setelah mendapat izin dari menteri (ayat 2).
Begitulah, negara rindu kembali berkuasa seperti di zaman keemasan Orde Baru. Pemerintah rindu mengatur dan menghambat kebebasan berekspresi, kebebasan informasi, dan juga kebebasan pers.7
Ironisnya, mantan dosen IKIP Jakarta Jos Daniel Parera
sempat mengkritik keberadaan Pusat Bahasa yang memang berperan dalam
penyusunan RUU Kebahasaan sebagai berikut:
Hal yang paling luar biasa adalah jika Pusat Bahasa dibubarkan dan dibentuk satu lembaga bahasa yang bersifat independen. Misalnya, Lembaga Bahasa Independen seperti lembaga-lembaga masyarakat lain di masa reformasi ini yang mengurusi kepentingan publik, khususnya aspek bahasa dan keberbahasaan.8
Menyimak komentar di atas, tampak bahwa upaya pemerintah dan Pusat
Bahasa untuk menanggulangi peminggiran Bahasa Indonesia lewat undang-undang
cukup mendapat apresiasi dari masyarakat, baik berupa dukungan maupun tentangan.
7 “Pikiran Represif”, Tajuk Rencana Harian Media Indonesia, Selasa, 27 Mei 2008
8 “RUU Bahasa Membunuh Kreativitas”, Harian Media Indonesia Edisi 02
Nov 2007
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
55
Sehingga penulis memahami bahwa situasi kebahasaan dan upaya pelestarian Bahasa
Indonesia di negeri ini menjadi kian kompleks. Di satu sisi, upaya pelestarian bahasa
Indonesia perlu dilakukan, yakni salah satunya lewat undang-undang. Namun di sisi
lain, upaya ini dipandang sejumlah kalangan justru akan membunuh kreativitas dan
inovasi masyarakat dalam berbahasa, serta mengancam kebebasan pers. Situasi tarik
menarik inilah yang hendak penulis jadikan landasan analisis berikutnya, terutama
pada bagian pembahasan.
Institusional
Pasca dicabutnya Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) pada tahun 1998,
kebebasan pers di Indonesia setelah 32 tahun berada di bawah kekangan Rezim Orde
Baru. Sejak saat itu, sistem pers yang tadinya cenderung tertutup, berubah ke arah
yang lebih terbuka, bebas, dan liberal.
Adapun liberalisasi pers di Indonesia tersebut membuat tingginya penyiaran
dan penerbitan pers dengan beragam konsep dan orientasinya. Salah satu yang paling
mencolok adalah menjamurnya pers yang menjadi bagian dari sistem waralaba
(franchise) penerbitan pers asing. Produk pers yang diterbitkannya pun merupakan
produk pers asing yang disiarkan dan diterbitkan dalam versi Indonesia.
Situasi ini melatari masuknya MTV ke Indonesia pada awal masa kebebasan
pers tersebut. MTV Internasional sebagai perusahaan korporat besar dunia yang
menyajikan tayangan musik dan gaya hidup populer pada khalayak muda di dunia,
termasuk pula khalayak generasi muda Indonesia.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
56
Penerbitan Majalah MTV Trax Indonesia sendiri tampaknya cukup istimewa,
karena ini adalah pertama kalinya MTV Internasional meluncurkan produk penerbitan
majalah. Dalam sebuah penelitian tentang Majalah Trax yang dilakukan Niken
Prathivi, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Trax Hagi Hagoromo mengungkapkan,
Majalah MTV Trax memang merupakan produk dari MTV Internasional, namun
berada di bawah naungan Mugi Rekso Abadi (MRA) Group, sebuah perusahaan yang
bergelut dalam bisnis retail, otomotif, makanan, hiburan dan perhotelan di Indonesia.9
Dalam lamannya, MRA menjelaskan prihal profil perusahaannya sebagai
berikut:
MRA is well-positioned to capture the business of this class of consumers, meeting the challenge of changing tastes and up market movement. With a core business array based on five stable legs (Media/Retail, Lifestyle & Entertainment/Food & Beverages/Automotive/Hotel & Properties) the future looks bright and returns look solid for MRA.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . MRA dedicates its energies to bringing the best to them. MRA Group of Indonesia strives to become better-known at home and overseas, and toward this end a corporate logo has been crafted. This symbol reflects the asporations, image and stragies of a forward-looking, energetic organization.10
Dan selain Majalah MTV Trax Indonesia (kini Majalah Trax), MRA juga
mengeluarkan waralaba produk penerbitan pers asing yakni Cosmopolitan, SPICE!,
9 Lampiran A, dalam Niken Prathivi, Peta Ideologi dalam Produk Jurnalistik Majalah MTV Trax (Skripsi), Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Jurnalistik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, 2005, hal.159
10 www.mra.co.id
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
57
CosmoGIRL!, Harpers Bazaar, Good Housekeeping, Autocar, Bali & Beyond
Magazine, dan FHM.
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa secara institusional, Majalah
Trax merupakan penerbitan pers sebagai bagian dari korporasi media (MRA Media)
yang menerapkan sistem waralaba produk pers asing. Maka bisa dinyatakan bahwa
praktik korporasi media yang demikian juga hendak menyebarkan nilai-nilai budaya
asing (global), termasuk kebiasaan berbahasanya, kepada khalayak di Indonesia.
Sosial
Setidaknya ada sejumlah aspek makro sebagai konteks sosial Indonesia yang
penulis pandang mempengaruhi dan menentukan karakter Majalah Trax dalam
praktiknya melakukan peminggiran Bahasa Indonesia. Aspek makro tersebut penulis
ungkap dengan berfokus pada bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya di
Indonesia yang membentuk karakter generasi muda di Indonesia dalam kerangka
globalisasi dunia sebagai sebuah sistem dominan. Hal ini penulis pandang penting
dilakukan mengingat praktik peminggiran bahasa Indonesia di Majalah Trax sangat
erat kaitannya dengan karakter khalayak pembaca majalah itu sendiri, yakni generasi
muda Indonesia.
Dalam bidang ekonomi, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Aburizal Bakrie menyebutkan tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia pada 2006
adalah 39,30 juta jiwa dan di tahun 2007 menurun jadi 37,17 juta jiwa. Sedangkan
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
58
tingkat pengangguran di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 11,10 juta jiwa dan
pada 2007 menjadi 10,55 juta jiwa.11
Angka ini menunjukkan bahwa setelah satu abad usai Kebangkitan Nasional,
Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan sosial dan ekonomi, antara lain
tingkat kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi. Dalam konteks inilah,
Indonesia mengembangkan sistem pendidikan yang berupaya menjembatani antara
persoalan kemiskinan dan pengangguran, dengan pemberdayaan generasi muda
Indonesia yang dapat terserap ke dalam bursa tenaga kerja terdidik.
Rahardjo menganalisa bahwa model pembangunan di era Orba mengacu pada
prinsip Keynesian tentang ‘pertumbuhan dengan pemerataan’ (growth with equity),
yakni model pembangunan yang berorietasi pada penciptaan lapangan kerja,
perekonomian terbuka, dan investasi asing besar-besaran. Di sisi lain, sistem politik
yang dijalankan dibentuk dalam rangka mendukung stabilitas rezim pembagunan
yang dipimpin oleh pemerintahan tanpa sistem oposisi (1988:70-71). Dengan kondisi
ekonomi-politik yang demikian, kultur akademis yang linked and matched
dikembangkan dan memuncak di era reformasi, yakni dengan target memenuhi
kebutuhan pembangunan dan tuntutan pasar (kapitalisme global).
Di satu sisi memang bisa dilihat keberhasilan Indonesia mengembangkan
sistem pendidikan tersebut sebagai upaya memberantas tingkat kemiskinan dan
11 ”Demokrasi dan Kesejahteraan”, Dialog Jumat Tabloid Republika, Edisi 25 Januari 2008
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
59
pengangguran. Namun di sisi lain, hal tersebut malah berdampak kian menjauhkan
kalangan akademisi terhadap realitas budaya bangsanya. Kebanyakan generasi muda
Indonesia saat ini sebagai kalangan akademisi, tampaknya lebih menempatkan
pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk patuh pada tuntutan mekanisme pasar
daripada mengamalkan ilmunya untuk memecahkan persoalan budaya di Indonesia.
Himawan Widjanarko dari The Jakarta Consulting Group menyebut kondisi
ini sebagai bentuk dari pragmatisme pendidikan:
Dalam kondisi sekarang, bukan hal yang mengagetkan jika mahasiswa memilih fakultas atau jurusan yang lebih menjanjikan gaji tinggi dan karir yang jelas. Sebagian yang lain lebih memilih program studi yang siap kerja, seperti program diploma tiga.12
Pragmatisme pendidikan inilah yang kemudian membuat generasi muda calon
peserta pendidikan tidak meminati fakultas atau jurusan yang tidak menjanjikan
peluang kerja. Tak heran bila sejumlah program studi jadi sepi peminat, semisal
program studi Sejarah dan Bahasa Indonesia.
Tentu saja ini membawa dampak negatif kepada generasi muda terdidik yang
pemahaman intelektualnya kian jauh dari pendalaman sejarah dan penguasaan bahasa
bangsanya sendiri. Terlebih lagi, penguasaan bahasa Inggris (sebagai bahasa asing)
kian diperlukan ketika mereka hendak masuk ke dalam pasar kerja Internasional dan
bahkan pergaulan sesama generasi muda di Indonesia sendiri.
12 “Profesi Idaman Kaum Sarjana”, Majalah Berita Mingguan Tempo, Edisi Khusus Perguruan Tinggi, 28 April – 4 Mei 2008, hal.70
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
60
Dalam kondisi seperti ini, cukup logis bila memandang keberadaan bahasa
Inggris di Indonesia yang cukup intens akibat kompleksnya bidang ekonomi, sosial,
politik, dan budaya di Indonesia dalam kerangka globalisasi dunia, berujung pada
peminggiran Bahasa Indonesia oleh generasi muda Indonesia. Salah satu gambaran
konkrit mengenai hal ini merupa dalam praktik Majalah Trax yang diproduksi oleh
generasi muda Indonesia sendiri.
C. Pembahasan
Dengan mengacu pada hasil analisis, pada bagian ini penulis akan menjawab
sejumlah pertanyaan pokok yang telah penulis kemukakan pada Bab I penelitian ini.
Sebagai langkah awal dalam pembahasan, penulis akan terlebih dulu merangkum tiga
level analisis mikro, meso, dan makro, yakni dengan menghubungkan temuan penulis
pada analisis teks, discourse practice, dan sosiocultural practice. Pembahasan
kemudian dilanjutkan dengan menyimpulkan jawaban atas pertanyaan pokok penulis
dengan mengacu pada hasil pembahasan awal.
Level Mikro. Secara umum, analisis teks pada sampel menunjukkan intensnya
penggunaan bahasa asing dalam Majalah Trax. Ini juga menyiratkan mitos bahwa
bahasa asing dianggap memiliki daya lebih baik dalam mengungkapkan makna pesan
komunikasi. Mitos ini pula lah yang kemudian malah memosisikan Bahasa Indonesia
ke dalam struktur hierarki yang lebih rendah dari bahasa asing, hingga berujung pada
pemiskinan dan peminggiran Bahasa Indonesia dalam praktik berbahasa dalam
Majalah Trax.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
61
Level Meso. Analisis konsumsi teks menunjukkan Majalah Trax dikonsumsi
oleh kalangan muda di Indonesia yang memiliki karakter tertentu, yakni dapat
dikatakan sebagai karakter generasi pemuda Indonesia yang telah mengalami
pergeseran budaya ke dalam kerangka budaya global. Ini sejalan dengan konsep
‘anak global’ yang kini tengah menjadi fenomena tersendiri di dunia, termasuk
Indonesia.
Level Makro. Secara situasional, ada upaya pemerintah dan Pusat Bahasa
untuk menanggulangi peminggiran Bahasa Indonesia lewat undang-undang. Namun
karena adanya tegangan tarik menarik antara yang mendukung dan menentang RUU
Kebahasaan, penulis memahami bahwa situasi kebahasaan dan upaya pelestarian
Bahasa Indonesia di negeri ini menjadi kian kompleks karena di satu sisi upaya
pelestarian bahasa Indonesia perlu dilakukan, yakni salah satunya lewat undang-
undang. Namun di sisi lain, RUU tersebut dikhawatirkan akan membunuh kreativitas
dan inovasi masyarakat dalam berbahasa, serta mengancam kebebasan pers. Secara
institusional, Majalah Trax merupakan bagian praktik korporasi media asing yang
hendak menyebarkan nilai-nilai budaya asing (global), termasuk kebiasaan
berbahasanya, kepada khalayak di Indonesia. Secara sosial, meluasnya pragmatisme
pendidikan membuat penggunaan bahasa Inggris di Indonesia cukup intens akibat
kompleksnya bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya di Indonesia dalam
kerangka globalisasi dunia, yang berujung pada peminggiran Bahasa Indonesia oleh
generasi muda Indonesia. Salah satu gambaran konkrit mengenai hal ini merupa
dalam praktik Majalah Trax yang diproduksi oleh generasi muda Indonesia sendiri.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
62
Berangkat dari ketiga level analisis tersebut, tampak jelas betapa
terpinggirkannya Bahasa Indonesia dalam praktik wacana Majalah Trax edisi Tahun
2008 terbentuk dari kompleksnya kondisi ekonomi, sosial, politik, dan budaya di
Indonesia. Landasan teori wacana Foucault dalam penelitian ini yang memandang
bahasa sebagai praktik kekuasaan, membawa penulis pada pembahasan mengenai
relasi kekuasaan yang bagaimana yang beroperasi di balik permasalahan kebahasaan
ini.
Penulis memandang ada dua pola relasi kekuasaan yang tengah berlangsung
dalam hal ini, relasi kekuasaan yang tampaknya mengalami tegangan satu sama lain
secara oposisional, yakni globalitas dan lokalitas kebudayaan. Globalitas lebih
mengacu pada relasi kekuasaan yang berlandaskan pada terciptanya kondisi kesaling-
bergantungan dan kesaling-terhubungan berbagai budaya yang mengarah pada sifat
penyatuan karakter budaya-budaya tersebut ke dalam satu standard. Sedangkan
lokalitas merupakan relasi kekuasaan yang hendak menghidupkan kembali berbagai
fragmen identitas lokal lewat revitalisasi dan restorasi.
Dalam kaitannya dengan pertentangan globalitas dan lokalitas budaya, Yasraf
Amir Piliang mengungkapkan:
Dalam kehidupan sehari-hari terdapat pengaruh yang amat kuat dari apa yang disebut sebagai pola-pola kehidupan masyarakat global (global society) dan budaya global (global culture). Lewat berbagai produk (komoditi, barang, tontonan, hiburan) budaya global telah menjelajah ke dalam jantung masyarakat lokal atau etnis, yang mempengaruhi cara hidup, gaya hidup (life style) bahkan pandangan hidup (world view) mereka, yang pada satu titik nanti akan
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
63
mengancam eksistensi budaya mereka sendiri.13
Penjelasan Piliang di atas dapat diterjemahkan dalam konteks penelitian ini,
yakni bahwa merasuknya penggunaan bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris, di
tengah masyarakat Indonesia merupakan dominasi budaya global yang kini tengah
mengancam keberadaan Bahasa Indonesia sebagai budaya lokal bangsa ini yang
dipinggirkan dari masyarakatnya sendiri. Sehingga yang kemudian terjadi seperti apa
yang disebut oleh Jerry Mander sebagai bentuk dari imperialisme budaya, yakni
’refreksi dari visi korporasi budaya untuk melayani kepentingan ekonomi Barat’.14
Sebagai kesimpulan, penulis memandang bahwa imperialisme budaya inilah
yang menampakkan dirinya sebagai bentuk imperialisme media seperti yang terlihat
pada praktik wacana Majalah Trax di Indonesia. Proses ’MTV-isasi’ dunia tersebut
yang kini tengah memangsa budaya, khususnya Bahasa Indonesia, lewat mekanisme
pasar dan nilai-nilai budaya Barat yang dibawanya. Imperialisme media yang jika
dibiarkan begitu saja, kelak menjadikan generasi muda Indonesia di masa depan
sebagai generasi yang tak hanya asing dengan budaya asalnya, tetapi juga lupa untuk
menyelamatkan bahasa leluhurnya sendiri dari kepunahan.
13 Yasraf Amir Piliang, Op.Cit., hal.44
14 Ibid., hal.46
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan ilmu pengetahuan di era pasca positivisme telah kian marak.
Salah satu kecenderungan yang menarik ialah ketika disiplin ilmu kini mengalami
banyak konvergensi, klaim spesialisasi ilmu menjadi perdebatan. Batas-batas ilmu
pengetahuan yang dulu ditarik dengan tegas oleh para ilmuwan, kini mulai
mengalami keruntuhan. Dalam kata lain, wajah ilmu pengetahuan kita belakangan
hari ini kian disemaraki dengan berkembangnya kajian ilmu yang bercorak multi
disipliner.
Tak terkecuali bagi ranah ilmu sosial yang menjadi induk dari ilmu
komunikasi, dan khususnya lagi ilmu jurnalistik yang menempati wilayah ilmu
praktika komunikasi. Dengan membongkar berbagai klaim spesialisasi ilmu
komunikasi dan jurnalistik, kajian multi disipliner pun dapat mulai digagas. Salah
satu upaya yang telah penulis lakukan lewat penelitian ini adalah menjembatani
bidang ilmu linguistik dan komunikasi massa dengan menekankan pada aspek
analisis praktik wacana media massa dalam satu kajian sosiolinguistik.
Penulis memandang hal ini cukup kontekstual dilakukan di Indonesia,
mengingat terpinggirkannya Bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat kita
tengah menjadi permasalahan tersendiri. Perkembangan media massa yang cukup
pesat di Indonesia juga mesti dilihat bak dua sisi mata pisau. Media bisa membangun
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
65
masyarakat dan budayanya, namun dapat pula meminggirkan, memangsa, hingga
akhirnya menghancurkan suatu masyarakat berikut elemen-elemen budayanya. Untuk
itu dibutuhkan ide-ide besar yang sekiranya mampu mengkritisi sekaligus memberi
solusi demi mengatasi persoalan yang kian pelik ini.
Sejatinya, kajian media dalam kerangka paradigma kritis merupakan ragam
penelitian ilmiah yang emansipatoris dan bertujuan membela pihak tertentu yang
dipinggirkan dalam pemberitaan media, khususnya praktik marjinalisasi terhadap
kelompok masyarakat yang lemah, semisal kaum tani, perempuan, mahasiswa
demonstran, atau kalangan marjinal lainnya di masyarakat bawah.
Asumsi paradigma kritis yang menolak pemisahan teori dengan praksis,
memang menyaratkan peneliti selayaknya seorang aktivis, advokat, dan
transformative intellectual dalam upayanya membela kelompok masyarakat lemah
tadi. Kacamata kritis sendiri telah sepakat memandang media bukan lagi sebagai
pihak pelapor peristiwa objektif yang bebas dari relasi kuasa, tetapi sebagai agen
pembentuk realita yang konstruktif menciptakan makna di bawah relasi kuasa tertentu
yang dominan dalam masyarakat.
Maka dengan melakukan ragam kajian media di bawah payung paradigma ini,
seorang peneliti akan melihat praktik media yang tidak berimbang dan memihak satu
kelompok bukan sebagai kekeliruan atau bias, tetapi memang seperti itulah praktik
yang dijalankan media sebagai efek ideologi. Karenanya, tujuan penelitian bukan lagi
mencari sebanyak apa bias pemberitaan dalam media tersebut, tetapi lebih
ditempatkan sebagai wahana kritik ideologi dominan demi mengupayakan perubahan
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
66
transformasi sosial yang timpang dan tidak adil seperti yang tercermin dalam praktik
media yang diteliti.
Untuk itu, penelitian ini memang penulis maksudkan tak hanya
menggambarkan kondisi kebahasaan yang ironis di negeri ini, namun juga sebagai
wahana kritik ideologi dominan yang diperankan oleh Majalah Trax sebagai media
penyebar nilai-nilai budaya global. Penulis juga berpendapat perlunya kesadaran
kritis baru di tengah-tengah masyarakat kita akan kondisi kebahasaan yang demikian,
sehingga upaya penyelamatan Bahasa Indonesia dari kepunahannya bisa turut
didukubng oleh segenap masyarakat. Bahasa Indonesia pun diharapkan agar mampu
dikembang lewat sebuah transformasi kebudayaan yang sehat. Sehingga pada tahun-
tahun berikutnya, peringatan Kebangkitan Nasional di Indonesia tetap diwarnai upaya
revitalisasi Budaya dan Bahasa Indonesia sebagai agenda penting bagi segenap
elemen masyarakat Indonesia.
B. Saran
Pada kesempatan penutup ini penulis mengajukan saran sebagai berikut.
Mengingat keberadaan media massa di tengah-tengah masyarakat kita telah
sedemikian lekatnya, perlu kiranya Pusat Bahasa untuk tidak mengendurkan
perhatiannya dalam menyimak praktik media massa dalam negeri sebagai wahana
penyebaran budaya global lewat berbagai sajian, tontonan, dan hiburan yang dengan
mudah merasuki masyarakat kita. Namun penulis berpendapat bahwa upaya-upaya
represif (semisal pemberlakuan izin atatu semacam SIUPP) dalam mengatasi hal ini,
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
67
bukan menjadi satu-satunya solusi. Terlebih lagi RUU Kebahasaan yang sekiranya
akan disahkan pemerintah masih memunculkan polemik berkepanjangan hingga
penelitian ini dilakukan.
Justru yang hendak penulis tekankan di sini adalah bagaimana upaya
penyelamatan Budaya dan Bahasa Indonesia lewat cara-cara yang ideologis, dalam
artian, kita membutuhkan pengerakan nilai-nilai Budaya dan Bahasa Indonesia yang
diakui secara ideologis (bukan represif melalui undang-undang semata) oleh segenap
elemen masyarakat kita, khususnya generasi muda Indonesia.
Cara yang konkrit dalam mewujudkan hal ini menurut hemat penulis adalah
dengan membentuk media massa tandingan yang mempromosikan kekayaan budaya
dan bangsa kita. Saran ini sendiri berangkat dari pengamatan penulis terhadap peran
majalah Pujangga Baru yang terbit di tahun 1933 hingga 1945. Majalah yang
dikomandoi sastrawan besar Indonesia, yakni Sutan Takdir Alisyahbana, penulis
pandang sangat berhasil mempromosikan terbentuknya bahasa melayu sebagai cikal
bakal bahasa pemersatu nasional, Bahasa Indonesia.
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
68
DAFTAR PUSTAKA Buku:
Alisyahbana, Sutan Takdir, Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia, PT Dian Rakyat, Jakarta, tt
Anwar, Rosihan, Bahasa Jurnalistik Indonesia dan Komposisi, Media Abadi,
Yogyakarta, 2004 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Certakan ke-4, LKiS,
Yogyakarta, 2005 Hamad, Ibnu, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa; Sebuah Studi
Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, Penerbit Granit, Jakarta, 2004
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
2000 Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2000 Ramlan, M., Tata Bahasa Indonesia Penggolongan Kata, Andi Offset, Yogyakarta,
tt Sobur, Alex, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Semiotik, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001
Sudibyo, Agus, Ibnu Hamad dan Muhamad Qadari, Kabar-Kabar Kebencian:
Prasangka Agama di Media Massa, ISAI, Jakarta, 2001 Zaenal, Arifin, E. dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia: Untuk
Perguruan Tinggi, Akademika Pressindo, Jakarta, 2000 Skripsi: Niken Prathivi, Peta Ideologi dalam Produk Jurnalistik Majalah MTV Trax
(Skripsi), Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Jurnalistik Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, 2005
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
69
Artikel: Fairclough, Norman “Critical Discourse Analysis and the Marketization of Public
Discourse: The Universities”, dalam Critical Discourse Analysis, London and New York, Longman, 1998 dalam Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Certakan ke-4, LKiS, Yogyakarta, 2005
Budianta, Melani, “Teori Sastra Sesudah Strukturalisme dari Studi Teks ke Studi Wacana Budaya”, dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, tt
Huda, Mh. Nurul, “Ideologi Sebagai Praktek Kebudayaan”, dalam Jurnal Filsafat
Driyarkara, Edisi Th.XXVII No.3/2004 Hidayat, Dedy N., “Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses Legitimasi dan
Delegitimasi Rejim Orde Baru”, artikel dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra (Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1999
Emy Susanti Hendrarso, “Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar”, dalam Bagong
Suyanto dan Sutinah (Ed.), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005
Piliang, Yasraf Amir, “Paradoks Globalisasi: Kritik Globalisdasi di Indonesia
Dalam Perspektif Sosial Budaya”, artikel dalam Jurnal Dialektika, Vol.3 No.1, Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis, Bandung, 2003
Berita: ”Demokrasi dan Kesejahteraan”, Dialog Jumat Tabloid Republika, Edisi 25
Januari 2008 “Kami Tak Tahu Mau Kemana...”, dalam Harian Kompas Minggu, Jakarta, edisi 21
September 2003 ”Memprihatinkan, Gejala Pemiskinan Bahasa di Media”, dalam Harian Warta
Kota, Jakarta, 11 Januari 2003
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
70
“Mendesak Undang-Undang Kebahasaan”, www.fpks-dpr-ri.com, diakses pada 24 November 2007
“Pikiran Represif”, Tajuk Rencana Harian Media Indonesia, Selasa, 27 Mei 2008 ”PWI Jaya Risaukan Pemakaian Bahasa Media Massa”, dalam Harian Suara
Pembaruan, Jakarta, 1 November 2002 “Profesi Idaman Kaum Sarjana”, Majalah Berita Mingguan Tempo, Edisi Khusus
Perguruan Tinggi, 28 April – 4 Mei 2008 “RUU Bahasa Membunuh Kreativitas”, Harian Media Indonesia Edisi 02 Nov
2007 “UU Kebahasaan Dirancang”, www.beritaindonesia.co.id, diakses pada 15
November 2007 “UU Menentukan Pengembangan Bahasa”, 8 April 2008,
www.suarapembaruan.com, diakses pada 20 April 2008 Laman: www.mra.co.id www.myspace.com/traxmagz
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
72
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Priyono Santosa Jenis Kelamin : Pria Tmp/ Tgl Lahir : Jakarta, 31 Juli 1982 Status : Lajang Agama : Islam Kewarganegaraan : Indonesia Alamat : Jl. Haji Atun No 11A, RT 009/08, Durensawit, Jakarta Timur Nomor Telp : 021.924.82453 Alamat Pos-el : [email protected] Alamat Blog : http://prys3107.blogspot.com Orang Tua Ayah : Agus Santosa Ibu : Sri Marheini Pendidikan Formal 1988 – 1994 SDN 12 Pondokbambu, Jakarta Timur 1994 – 1997 SMPN 117 Pondokbambu, Jakarta Timur 1997 – 2000 SMUN 71 Durensawit, Jakarta Timur 2000 – 2008 Program studi Ilmu Jurnalistik di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (IISIP) Jakarta
Pengalaman Organisasi 2005 – sekarang Divisi Harian Kelompok Seni dan Diskusi (KOMPOSISI) 2006 – 2007 Dewan Redaksi Bulletin ISSUE 2006 – 2007 Ketua Umum UKM Teater Kinasih 2006-2007 2007 Sekretaris Harian Tim Panitia Khusus KM IISIP Jakarta Pengalaman Kerja 2002 – 2003 Kontributor Majalah Outmagz, Jakarta 2003 – 2004 Kuliah Kerja Lapangan di Harian Radar Bogor 2005 – 2006 Dewan Redaksi Jurnal Sastra ‘RuangMelati’ 2007 Sekretaris Redaksi Penerbit Komunitas Kertas 2007 Reporter Tabloid Ekonomi ‘Margin’ 2007 – 2008 Redaktur Naskah Tabloid KUNCI 2008 – Sekarang Layouter Koran Jualbeli
http://prys3107.blogspot.com [email protected]
73
Prestasi 2005 Pemenang Harapan I ‘Lomba Menulis Cerita’ Gramedia
(cabang Depok) pada 14 Februari 2005 2005 Pemenang Pertama Lomba Penulisan Esai ‘Potret Perempuan
Dalam Era Globalisasi’ FISIP EXPO 2005 – IISIP Jakarta pada Desember 2005
2007 Penulis Proposal Terbaik Kategori Mahasiswa Tingkat Nasional dalam ‘Sayembara Bahasa dan Sastra September 2007’ oleh Pusat Bahasa dan Sastra, Depdiknas
Jakarta, Mei 2008
Penulis
Priyono Santosa