volume 2, nomor 1, oktober 2014 - fmi
TRANSCRIPT
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2014
PENGUMUMAN STOCK BUYBACK DAN REAKSI PASAR SAHAM (STUDI KASUS PERUSAHAAN DI BURSA
EFEK INDONESIA)
Adhi Suwanto, I Made Sudana
ANALISA PERANCANGAN ULANG (REDESAIN) MODEL OPERASIONALISASI PROGRAM BANTUAN
OPERASIONAL SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
DAN MEMENUHI HARAPAN MASYARAKAT
Hesti Maheswari, Luna Haningsih
IMPLEMENTASI TEKNOLOGI INFORMASI ENTERPRISE RESOURCE PLANNING (ERP) STUDI PADA
PERUSAHAAN KEMASAN
Eko Purwanto. Prasetyohadi, dan Firman Dwilaksana Rahardianto
PERANCANGAN MODEL BISNIS CAFE ZAPATERIA
Peggy Hariwan. Inggi Silviatni
MODEL PENGEMBANGAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONCIBILITY (CSR) MELALUI
PEMBERDAYAAN MODAL INTELEKTUAL DALAM UPAYA PENINGKATAN PEMERATAAN PENDIDIKAN
(SURVEY DI KOTA BANDUNG)
Wa Ode Zusnita. Ernie Tisnawati, dan Layinaturrobaniyah
DIVERSIVIKASI USAHA DAN STRUKTUR MODAL
Wisudanto, Sugiarto
FACTORS FROM UNDERWRITER THAT INFLUENCE INITIAL RETURN OF THE COMPANIES DOING INITIAL
PUBLIC OFFERINGS IN INDONESIA STOCK EXCHANGE IN THE PERIOD OF 2004-2011
Ferry Sugianto, Liliana Inggrit Wijaya
PERANCANGAN SISTEM PENGUKURAN KINERJA PADA KOPERASI KOPERASI KARYAWAAN REDRYING
DENGAN MENGGUNAKAN METODE BALANCED SCORECARD DAN ANALITICAL HIERARCHICAL PROCESS
DI BOJONEGORO
Indrianawati Usman, Mohammad Agung Laksono
MAPPING OF TABLET PC BASED ON CONSUMER PERCEPTION (CASE STUDY OF BANDUNG
ELECTRONIC CENTER VISITORS)
Dini Turipanam Alamanda, Gamal Argi, Arif Partono
MEDIASI CITY BRANDING PADA PENGARUH KESADARAN MEREK, ASOSIASI MEREK, DAN KESAN
KUALITAS TERHADAP KEPUTUSAN MEMILIH PERGURUAN TINGGI NEGERI DI SURABAYA
Ria Astuti Andrayani, Sri Setyo Iriani
1–19
20–37
38-52
53-67
68-76
77-89
90-103
104-123
124-135
136-153
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
1
PENGUMUMAN STOCK BUYBACK DAN REAKSI PASAR SAHAM
(STUDI KASUS PERUSAHAAN DI BURSA EFEK INDONESIA)
Adhi Suwanto E-mail: [email protected]
I Made Sudana E-mail: [email protected]
Program Magister Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
ABSTRACT
This study aims to examine the stock market reaction to the announcement of the stock buy
back with two indicators of AAR and CAAR. The sample taken is a company that does the
announcement of stock buy back in the period 2008 - 2013. Study also tested the market
reaction between two groups of companies announcing stock buyback based on BAPEPAM-
LK regulations are used. The first group are companies conducting announcements of stock
but back by BAPEPAM-LK regulations number XI.B.2 which is rules on stock buy back under
normal conditions and the second group by BAPEPAM-LK regulation number XI.B.3 which
is rules on stock buy back on market conditions potentially crisis. The results showed that
there was a significant positive market reaction around the announcement of the stock buy
back as indicated by the value of AAR and CAAR are significant. The results also showed
that there were significant differences in market reaction between companies that stock buy
back announcements reference to BAPEPAM -LK regulations number XI.B.2 with the
companies referring to BAPEPAM -LK regulations number XI.B.3. Market reaction to the
company that conducting stock buy back announcements with reference to the rules
BAPEPAM-LK number XI.B.2 have been reacted all positively, whereas the company that
refers to BAPEPAM -LK regulation number XI.B.3 there are some that have been reacted
negatively.
Keywords : Buy back, Abnormal return, BAPEPAM-LK Regulation,.
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
2
PENDAHULUAN
Ada dua cara bagi perusahaan dalam memperlakukan keuntungan bersih yang didapat
perusahan, yaitu menhanan di perusahaan dalam bentuk laba ditahan (retained earning) dan
dibagikan kepada pemegang saham (payout policy). Payout policy ini bisa dilakukan dengan
dua cara juga yaitu dibagikan dalam bentuk deviden (cash devidend), dan melakukan
pembelian kembali saham yang beredar (stock buyback). Sebagai salah satu alternatif
pendistribusian dana kas kepada pemegang saham, pembelian kembali saham semakin
banyak dilakukan oleh perusahaan sebagai alternatif pengganti pembayaran deviden.
Perusahaan akan melakukan pembelian saham kembali apabila memiliki dana lebih
(excessive cash) yang diperoleh dari keuntungan perusahaan dan peluang investasi kedepan
yang relatif kurang menjanjikan. Hasil pembelian saham kembali oleh perusahaan dapat
disimpan sebagai treasury stock dengan tujuan untuk dijual kembali apabila harga saham
perusahaan sudah sesuai dengan nilai seharusnya.
Pada tahun 2008, saat krisis ekonomi di Amerika Serikat membawa dampak ke hampir semua
negara-negara di dunia termasuk di Indonesia. Di Indonesia, dampak dari krisis tersebut
adalah terjadi penurunan yang signifikan indeks harga saham gabungan di Bursa Efek
Indonesia. Hampir semua harga saham perusahaan-perusahaan yang tercatat di BEI
mengalami koreksi yang cukup tajam terutama saham-saham papan atas (blue chips),
sehingga mengakibatkan IHSG turun hingga 51.17 % dari 2.830 menjadi 1.340.
BAPEPAM-LK sebagai otoritas bursa waktu itu merespon dengan mengeluarkan peraturan
No. XI.B.3 pada tanggal 10 Oktober 2008 tentang pembelian kembali saham oleh emiten atau
perusahaan publik dalam kondisi pasar yang berpotensi krisis sebagai pengganti peraturan
tentang pembelian kembali saham No. XI.B.2. Dengan dikeluarkannya peraturan baru tentang
stock buy back tersebut diharapkan dapat mengurangi penurunan indeks harga saham
gabungan di bursa sebagai dampak dari krisis keuangan global yang melanda pasar modal di
seluruh dunia. Dalam peraturan No. XI.B.3 tersebut BAPEPAM-LK memperlonggar aturan
dalam pembelian saham kembali, seperti tidak wajib mendapat persetujuan rapat umum
pemegang saham, batas maksimal pembelian saham menjadi 20% dari modal disetor, serta
tidak adanya pembatasan besarnya volume pembelian kembali saham dalam satu hari.
Peraturan baru yang mempermudah tata cara pembelian kembali saham tersebut direspon
dengan baik oleh beberapa perusahaan yang ditandai dengan melonjaknya jumlah perusahaan
yang melakukan pengumuman pembelian saham kembali pada periode tahun 2008 sampai
tahun 2009. Setelah kondisi harga saham membaik, maka peraturan No. XI.B.3 ini kembali
dicabut oleh BAPEPAM-LK pada tanggal 10 April 2010 dan memberlakukan kembali
peraturan No. XI.B.2. Selama periode tahun 2008 - tahun 2013 terdapat 90 perusahaan yang
melakukan pengumuman pembelian kembali saham, terdiri atas 49 perusahaan mengacu pada
peraturan No. XI.B.3 dan 41 perusahaan mengacu pada peraturan No. XI.B.2 Dampak dari
pengumuman pembelian kembali saham tampak pada reaksi pasar yang salah satunya diukur
dengan abnormal return saham pada hari-hari selama pengamatan (Ariyanto dan
Rinaningtias, 2009).
Menurut penelitian sebelumnya pengumuman pembelian kembali saham memberikan sinyal
positif bagi investor, sehingga meningkatkan minat investor terhadap saham perusahaan yang
melakukan buy back. (Stephens & Maxwell, 2003; Rahma, 2009; Nishikawa et al, 2011;
Rasbrant, 2011; Junizar, 2013).
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
3
Pada penelitian ini di samping menguji reaksi pasar terhadap pengumuman pembelian
kembali saham pada semua perusahaan yang termasuk dalam sampel penelitian, juga akan
membandingkan perbedaan reaksi pasar pada perusahaan yang dalam pembelian kembali
sahamnya mengacu pada peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.2 dengan perusahaan yang
mengacu pada peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.3 pada periode tahun 2008 – tahun 2013.
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian sebelumnya
Maxwell dan Stephens (2003) meneliti dampak pengumuman buy back terhadap pasar saham
dan pasar obligasi. Pada penelitian tersebut dilakukan pengamatan terhadap perubahan
peringkat obligasi di sekitar tanggal pengumuman untuk melihat apakah terjadi wealth
transfer dari pemegang obigasi ke pemegang saham. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
abnormal return saham bernilai positif, sedangkan untuk return obligasi bernilai negatif
walaupun tidak signifikan.
Lestari (2008) meneliti dampak pengumuman pembelian kembali saham terhadap return
saham berdasarkan alasan perusahaan melakukan pembelian kembali saham. Perusahaan
dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan alasan melakukan buy back, yaitu
meningkatkan harga saham melalui peningkatan laba bersih perlembar saham dan
meningkatkan harga saham melalui peningkatan dividen perlembar saham. Dalam penelitian
tersebut perusahaan yang melakukan pembelian kembali saham juga diuji berdasarkan tingkat
pertumbuhannya dengan menggunakan Tobin Q, dimana perusahaan juga dibagi menjadi
dua kelompok perusahaan berdasarkan nilai Tobin Q yaitu kelompok perusahaan dengan
pertumbuhan tinggi dan kelompok perusahaan dengan pertumbuhan rendah. Hasil penelitian
yang didapat adalah bahwa tidak terjadi perbedaan yang signifikan pada pengelompokan
perusahaan berdasarkan alasan melakukan pembelian kembali saham. Pada pengelompokan
perusahaan yang melakukan pembelian kembali saham berdasarkan tingkat nilai Tobin Q
terjadi perbedaan yang signifikan antara perusahaan dengan tingkat pertumbuhan tinggi
dengan perusahaan dengan tingkat pertumbuhan rendah.
Penelitian tentang buy back juga dilakukan oleh Mulia (2009), yang menguji pengaruh
pengumuman pembelian kembali saham terhadap bondholder, stockholder dan value
perusahaan. Data yang digunakan adalah 30 pengumuman pembelian kembali saham pada
periode 2001-2007. Dari hasil penelitian ditemukan, bahwa nilai average abnormal return
dan cummulative abnormal return yang secara signifikan bernilai positif disekitar tanggal
pengumuman, yang mengindikasikan terjadinya wealth effect kepada pemegang saham. Di
samping itu ditemukan bahwa cashflow dan undervaluation berpengaruh signifikan terhadap
besar CAR. Dari sisi peringkat obligasi baik prediksi maupun aktual, sebagian besar tidak
menunjukkan adanya penurunan peringkat setelah pengumuman buy back. Begitu juga
dengan value perusahaan mengalami peningkatan, sehingga menguntungkan pemegang
saham.
Nishikawa et al (2011) melakukan penelitian untuk menguji dampak wealth transfer dari
pemegang obligasi ke pemegang saham dengan adanya program pembelian kembali saham
dengan cara pembelian melalui pasar terbuka (open market). Dampak pembelian kembali
tersebut dilihat melalui reaksi pasar saham dan obligasi, serta memeriksa wealth effect
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
4
transfer dengan mengklasifikasikan subsampel berdasarkan atribut sensitif terhadap dampak
transfer kekayaan, termasuk peringkat obligasi, ukuran pembelian kembali, keberadaan
perjanjian dividen, dan pendapatan saham. Hasilnya adalah terjadi perubahan abnormal
return saham positif secara signifikan, sedangkan untuk instrumen obligasi menunjukkan
penurunan harga negatif secara signifikan.
Rasbrant (2011) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh dari pengumuman transaksi
buy back dengan metode open market repurchase terhadap reaksi pasar bursa di Swedia
dengan data yang diperoleh dari NASDAQ OMX Stockholm. Reaksi pasar diproksikan
dengan abnormal return dan uji melalui metode event study. Hasil penelitian
mendokumentasikan bahwa pengumuman informasi buy back berpengaruh signifikan
menaikkan abnormal return perusahaan-perusahaan Swedia yang melakukan buy back
sebesar 1,94 %, adapun return perusahaan juga mengalami kenaikan positif.
Penelitian tentang buy back selanjutnya dilakukan oleh Nittayagasetwat et al (2013) dengan
mengambil sampel 78 pengumuman di stock exchange of Thailand (SET). Metode penelitian
untuk mengamati reaksi pasar yang digunakan adalah dengan event study. Penelitian tersebut
ditujukan untuk mengetahui efek pengumuman pembelian kembali saham terhadap abnormal
return perusahaan disekitar tanggal pengumuman. Hasil penelitian yang didapat adalah
terdapat abnormal return positif sebesar rata-rata 2.23%, dengan level of significance 1%.
Penelitian mengenai pengaruh suatu event atau kejadian terhadap reaksi pasar antara lain juga
dilakukan oleh Junizar (2013). Dalam penelitian tersebut data yang digunakan sebagai sampel
akhir adalah 20 pengumuman pembelian kembali saham. Sebagaimana penelitian yang lain
metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui reaksi pasar di sekitar pengumuman
adalah event study. Hasil penelitian tersebut menemukan adanya peningkatan positif
signifikan terhadap variabel abnormal return dan trading volume activity di sekitar
pengumuman. Pada penelitian tersebut juga ditemukan bahwa terjadi perbedaan average
abnormal return (AAR) dan average trading volume activity (ATVA) yang signifikan pada 5
hari sebelum dengan 5 hari setelah pengumuman buy back dilakukan.
Tinjauan Teoritis
Pendapatan Saham
Pendapatan merupakan hasil yang diperoleh dari sebuah investasi saham yang berupa
pendapatan aktual (actual return) atau pendapatan ekpektasi (expected return). Pendapatan
aktual merupakan pendapatan yang sudah terjadi maka perhitungannya didasarkan pada data
historis harga saham. Pendapatan aktual merupakan salah satu pengukur kinerja perusahaan
dan data historis dari pendapatan aktual dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penentuan
pendapatan ekspektasi. Pendapatan aktual merupakan pendapatan keseluruhan dari suatu
investasi dalam suatu periode tertentu. Pendapatan aktual terdiri dari keuntungan modal
(capital gain) atau kerugian modal (capital loss) dan yield. Pendapatan aktual biasa disebut
juga dengan return saja dan dinyatakan dalam rumusan :
Return = Capital Gain (Loss) + Yield . . . . . . . . . . . . . . . . 1)
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
5
Capital gain (loss) merupakan selisih dari harga investasi sekarang relatif dengan harga
periode lalu. Jika harga investasi sekarang (Pt) lebih tinggi dari harga investasi periode lalu
(Pt-1) berarti terjadi keuntungan modal, jika sebaliknya maka terjadi kerugian modal. Yield
merupakan persentase penerimaan kas periodik terhadap harga investasi periode tertentu.
Untuk saham, yield adalah persentase deviden terhadap harga saham periode sebelumnya.
Pada penelitian ini pendapatan saham hanya memperhitungkan capiatal gain saja, yang
dihitung berdasarkan harga penutupan harian. Pendapatan aktual dapat diformulasikan
sebagai berikut :
………………..2)
Keterangan :
Rit = Pendapatan saham i pada hari t
Pt = harga sekuritas pada periode t
Pt-1= harga sekuritas pada periode t-1
Penelitian yang dilakukan Brown dan Warner (dalam Bahrum, 2009) menyatakan bahwa
pendapatan ekspektasi merupakan return yang harus diestimasi. Mengestimasi pendapatan
ekspektasi dapat menggunakan 3 model yaitu mean-adjusted model, market model, dan
market adjusted model. Pada penelitian ini pendapatan yang diharapkan diukur
dengan market adjusted model sebagai berikut:
……………….3)
Pendapatan pasar (RMt) diukur dengan rumus:
…………………4)
Keterangan:
IHSGt = Indeks hagra saham gabunga pada hari t
IHSGt-1 = Indeks harga saham gabungan hari t-1
Pendapatan abnormal atau abnormal return merupakan selisih antara pendapatan yang
sesungguhnya terjadi (actual return) dengan pendapatan ekspektasi (expected return)
(Jogianto, 2001). Menurut Jogiyanto (2005), studi peristiwa menganalisis abnormal return
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
6
dari sekuritas yang mungkin terjadi disekitar pengumuman dari suatu peristiwa. Abnormal
return atau excess return merupakan kelebihan dari return yang sesungguhnya terjadi
terhadap return normal. Abnormal return dapat dihitung dengan rumus:
ARit = Rit - E(Rit). . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5)
Keterangan :
ARit : Abnormal return saham i pada hari t
Rit : Tingkat pengembalian i aktual saham i pada hari t
E(Rit) : Tingkat pengembalian yang diharapkan saham i pada hari t
Pengujian adanya abnormal return tidak dilakukan untuk masing-masing sekuritas, tetapi
dilakukan secara agregat dengan menguji rata-rata abnormal return seluruh sekuritas secara
cross section untuk tiap-tiap hari di periode peristiwa (event periode).
……………………………….6)
Keterangan :
AAR,t : Average abnormal return pada hari ke-t
ARi,t : Abnormal return untuk saham i pada hari ke-t
N : Jumlah sekuritas
Akumulasi rata-rata pendapatan tidak normal atau cummulative average abnormal return
merupakan penjumlahan rata-rata pendapatan tidak normal (average abnormal return) untuk
hari sebelumnya. Cummulative average abnormal return dirumuskan sebagai berikut :
CAAR = ∑ AAR,t . . . . . . . . . . . . . . . . . . .7)
Keterangan :
CAAR : akumulasi rata-rata pendapatan tidak normal (average abnormal
return) pada hari ke-t
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
7
Efisiensi Pasar Modal
Fama (1970) mengklasifikasikan bentuk pasar yang efisien ke dalam tiga efficient market
hypothesis (EMH), yaitu:
1. Efisiensi Pasar Bentuk Lemah (weak form)
Pasar dikatakan efisien dalam bentuk lemah jika harga surat berharga saat ini betul-betul
menggambarkan seluruh informasi yang terkandung dalam harga-harga surat berharga di
masa-masa lalu. Informasi masa lalu merupakan informasi yang sudah terjadi. Jika pasar
efisien dalam bentuk lemah, maka nilai-nilai masa lalu tidak dapat dipergunakan untuk
memprediksi harga sekarang. Ini berarti bahwa untuk pasar yang efisien dalam bentuk
lemah investor tidak dapat menggunakan informasi masa lalu untuk mendapatkan
abnormal return.
2. Efisiensi Pasar Bentuk Setengah Kuat (semi strong form)
Pasar dikatakan efisien dalam bentuk setengah kuat jika harga-harga surat berharga betul-
betul menggambarkan seluruh informasi yang dipublikasikan.
Jadi tak seorang pun investor yang mampu memperoleh tingkat pengembalian yang
berlebihan dengan hanya menggunakan sumber-sumber informasi yang dipublikasikan.
Termasuk jenis informasi ini adalah laporan tahunan perusahaan atau informasi yang
disajikan dalam prospektus, informasi mengenai posisi perusahaan pesaing, maupun
harga saham historis.
3. Efisiensi Pasar Bentuk Kuat (strong form)
Pasar dikatakan efisien dalam bentuk kuat jika harga sekuritas secara penuh
mencerminkan semua informasi yang tersedia, termasuk informasi yang privat. Jika pasar
modal efisien dalam bentuk ini maka tidak ada individual atau grup dari investor yang
dapat memperoleh abnornal return.
MODEL ANALISIS
Untuk mengukur reaksi pasar terhadap suatu peristiwa yang terjadi pada perusahaan salah
satu metode yang digunakan adalah event study. Event window ditentukan selama 7 (tujuh)
dari sebelum event date (H-7) sampai dengan 7 (tujuh) hari setelah event date (H+7).
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
8
Kerangka pemikiran
PERUMUSAN HIPOTESIS
Pengumuman program pembelian saham kembali adalah sinyal yang berharga ke pasar. Jika
pasar modal adalah semi-efisien, harga ekuilibrium baru harus segera sepenuhnya
mencerminkan nilai yang “benar” dari informasi baru (Rasbrant, 2011). Transaksi buy back
sebagai suatu event yang dianggap memiliki pengaruh penting ini diharapkan akan
memberikan suatu dampak atau reaksi kepada return saham. Penelitian yang dilakukan
Maxwell dan Stephens (2003) dan Nishikawa et al., (2011) menyimpulkan bahwa buy back
memiliki kandungan informasi yang menguntungkan (good news) bagi pemegang saham,
sehingga abnormal return saham akan cenderung bergerak ke arah positif, sejalan dengan
signaling theory yang menyatakan bahwa informasi yang dianggap menguntungkan akan
memberikan reaksi pasar yang positif Junizar (2013).
H1 : Terdapat reaksi pasar yang positif atas pengumuman stock buy back di sekitar tanggal
pengumuman pembelian kembali saham yang ditunjukkan oleh abnormal return yang
siginifikan.
Dengan dikeluarkannya peraturan baru tentang pembelian kembali saham dalam kondisi
pasar berpotensi krisis yaitu peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.3 yaitu diharapkan dapat
membawa dampak pengurangan penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG). Sesuai
dengan hipotesis sinyal informasi bahwa perusahaan yang melakukan pembelian saham
kembali bertujuan untuk memberikan informasi atau sinyal positif kepada para pemegang
saham mengenai kondisi perusahaan. Akan tetapi ketika kondisi suatu negara menghadapi
ancaman krisis keuangan, maka tingkat kepercayaan investor terhadap faktor fundamental
Pengumuman pembelian
kembali saham
Pengumuman pembelian
kembali saham mengacu
peraturan XI.B.2
Pengumuman pembelian
kembali saham mengacu
peraturan XI.B.3
AAR2 dan CAAR2
Uji Beda
AAR1 dan CAAR1
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
9
ekonomi secara keseluruhan akan lebih berpengaruh daripada sinyal informasi yang
dikeluarkan oleh perusahaan dalam bentuk pengumuman pembelian kembali saham.
H2 : Terdapat perbedaan rata-rata abnormal return yang signifikan antara pengumuman
stock buyback perusahaan yang mengacu pada peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.2
dengan pengumuman stock buyback perusahaan yang mengacu pada peraturan
BAPEPAM-LK No. XI.B.3.
METODE PENELITIAN
Definisi Operasional Variabel
Abnormal return (AR) , yaitu selisih antara pendapatan actual dengan pendapatan yang
diharapkan dan diukur dengan rumus no. 5)
Untuk menguji rekasi pasar atas pengumuman pembelian kembali saham setiap hari selama
periode uji digunakan average abnormal return (AAR) yang diukur dengan rumus 6) dan
cummulative average abnormal return (CAAR) yang diukur dengan rumus 7)
Prosedur Penentuan Sampel
Dalam penelitian ini digunakan metode purposive sampling. Data yang digunakan diseleksi
berdasarkan kriteria-kriteria, yaitu :
1. Data penelitian yang digunakan adalah data-data dari perusahaan yang tercatat pada Bursa
Efek Indonesia pada periode tahun 2008 - tahun 2013 yang melakukan buy back.
2. Event date dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Perusahaan yang melakukan pengumuman pembelian kembali saham dengan mengacu
pada peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.2 adalah tanggal persetujuan dari rapat umum
pemegang saham luar biasa atas rencana perusahaan untuk melakukan stock buy back.
b. Perusahaan yang melakukan pengumuman pembelian kembali saham dengan mengacu
pada peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.3 adalah tanggal pengumuman rencana
pembelian kembali saham kepada PT. Bursa Efek Indonesia.
3. Saham perusahaan yang diteliti diperdagangkan secara aktif selama periode penelitian.
4. Perusahaan yang diteliti tidak melakukan aksi korporasi lain selain buy back saham seperti
pembagian deviden, stock split, stock reverse, dan lain-lain pada periode pengamatan.
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
10
GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN
Pengelompokan Perusahaan yang Melakukan Pembelian Saham Berdasarkan
Peraturan BAPEPAM-LK yang Digunakan
Perusahaan yang melakukan pembelian kembali saham yang mengacu pada peraturan
BAPEPAM-LK No. XI.B.2 dikelompokkan dalam kelompok 1 dan perusahaan yang
melakukan pengumuman pembelian kembali saham dengan mengacu pada peraturan
BAPEPAM-LK No. XI.B.3 dikelompokkan dalam kelompok 2.
Tabel 1. Pengelompokkan Perusahaan yang Melakukan Pengumuman Pembelian
Kembali Saham Berdasarkan Peraturan BAPEPAM-LK yang Digunakan.
No. Kode
Emiten
Tanggal
Pengumuman No.
Kode
Emiten
Tanggal
Pengumuman
KELOMPOK
1
KELOMPOK
2
1 PNLF 28 Juni 2008 1 TLKM 12 Okt 2008
2 PNIN 28 Juni 2008 2 BUMI 13 Nop 2008
3 PNIN 18 Sept 2013 3 SCMA 13 Okt 2008
4 TLKM 20 Juni 2008 4 SGRO 11 Okt 2008
5 TLKM 25 Mei 2011 5 LSIP 12 Okt 2008
6 MEDC 17 Aprl 2008 6 WIKA 11 Okt 2008
7 BUMI 12 Juni 2008 7 ELSA 17 Des 2008
8 BUMI 23 Agst 2011 8 SMGR 12 Okt 2008
9 TBLA 30 April 2008 9 ANTM 12 Okt 2008
10 LSIP 23 April 2013 10 JSMR 12 Okt 2008
11 LPKR 15 Nop 2011 11 ADHI 12 Okt 2008
12 LPKR 13 Jan 2012 12 PGAS 22 Des 2008
13 AKPI 1 Juli 2011 13 APOL 12 Okt 2008
14 KPIG 26 Jan 2011 14 BUDI 16 Okt 2008
15 KPIG 23 Pebr 2012 15 TINS 12 Okt 2008
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
11
16 CTRP 9 Mei 2011 16 BTEL 15 Okt 2008
17 CTRP 10 Juni 2012 17 ELTY 14 Okt 2008
18 PTBA 3 Juli 2012 18 ACES 20 Okt 2008
19 SIMP 23 April 2013 19 JTPE 27 Okt 2008
20 WINS 21 Mei 2013 20 JPRT 15 Okt 2008
21 BMTR 29 Agst 2013 21 MICE 15 Okt 2008
22 BCAP 29 Agst 2013 22 BLTA 12 Okt 2008
23 BHIT 29 Agst 2013 23 MNCN 17 Okt 2008
24 PNBN 3 Sept 2013 24 PKPK 15 Okt 2008
25 CMNP 5 Sept 2013 25 INDF 1 Des2008
26 RBMS 10 Sept 2013 26 AKPI 19 Peb 2010
27 SSIA 11 Sept 2013 27 CPIN 19 Okt 2010
28 MSKY 13 Sept 2013
29 SMBR 16 Sept 2013
30 DILD 17 Sept 2013
31 MLIA 22 Okt 2013
32 ECII 27 Nop 2013
33 BBRM 16 Des 2013
Sumber: www.idx.com diolah
Diskripsi hasil penelitian
Diskripsi pendapatan aktual saham perusahaan berdasarkan pengelompokan penggunaan
peraturan BAPEPAM-LK dalam pembelian kembali saham, hasilnya dipaparkan pada Tabel
2.
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
12
Tabel 2: Pendapatan Aktual Saham Perusahaan Yang Melakukan Buy Back Saham
Berdasarkan Pengelompokan Penggunaan Peraturan BAPEPAM-LK
Hari Kelompok 1 Kelompok 2
Ke- Min Max Mean Min Max Mean
H-7 -0.1000 0.0684 -0.0094 -0.1304 0.0526 -0.0195
H-6 -0.0435 0.1157 0.0141 -0.1200 0.0548 -0.0210
H-5 -0.1857 0.0595 -0.0076 -0.0721 0.1234 0.0006
H-4 -0.1316 0.1111 0.0045 -0.2816 0.0200 -0.0842
H-3 -0.0235 0.2121 0.0170 -0.2030 0.0430 -0.0621
H-2 -0.1622 0.0821 -0.0102 -0.0994 0.1000 0.0069
H-1 -0.0656 0.1143 0.0128 -0.0966 0.0130 -0.0200
H0 -0.0735 0.0621 0.0012 -0.1724 0.0705 -0.0288
H+1 -0.0409 0.2261 0.0351 -0.1000 0.0973 0.0065
H+2 -0.0194 0.1348 0.0128 -0.0973 0.0999 0.0401
H+3 -0.0563 0.1571 0.0049 -0.1000 0.0994 0.0060
H+4 -0.0448 0.0313 -0.0012 -0.1765 0.0870 -0.0300
H+5 -0.0272 0.3600 0.0154 -0.1838 0.0884 -0.0429
H+6 -0.0435 0.0391 -0.0075 -0.1875 0.0252 -0.0422
H+7 -1.0000 0.0476 -0.0449 -0.0956 0.1449 -0.0056
Sumber: Data diolah
Pada kelompok 1, actual return tertinggi ditemukan pada H+5 dengan nilai 0.3600 dan actual
return terendah ditemukan pada H-7 dengan nilai -1.000. Untuk average actual return
tertinggi ditemukan pada H+1 dengan nilai 0.0643 dan average actual return terendah
ditemukan pada H+7 dengan nilai -0.0001. Pada kelompok 2, actual return tertinggi
ditemukan pada H+7 dengan nilai 0.1449 dan actual return terendah ditemukan pada H-4
dengan nilai -0.2816. Untuk average actual return tertinggi ditemukan pada H+2 dengan
nilai 0.0401 dan average actual return terendah ditemukan pada H-3 dengan nilai -0.0621.
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
13
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Reaksi pasar terhadap pengumuman pembelian kembali saham diukur dengan melakukan
pengujian abnormal return selama periode uji (event windows). Abnormal return ini diukur
dengan menggunakan indikator AAR dan CAAR. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan
reaksi pasar yang signifikan antara pengumuman pembelian kembali saham perusahaan yang
mengacu pada peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.2 dengan yang mengacu pada peraturan
BAPEPAM-LK No. XI.B.3, maka dilakukan pengelompokan sampel berdasarkan dua jenis
perusahaan yang melakukan pengumuman pembelian saham kembali. Kemudian dengan
menggunakan indikator AAR dan CAAR masing-masing kelompok tersebut dilakukan uji t
dua sampel dua arah dengan (α) = 5 %.
Reaksi Pasar Terhadap Pengumuman Pembelian Kembali Saham
Hasil analisis dan pengujian hipotesis reaksi pasar terhadap pengumuman pembelian kembali
saham untuk keseluruhan sampel dipaparkan pada Tabel 3.
Tabel 3: Average Abnormal Return (AAR) dan Cummulative Average Abnormal
Return(CAAR)
Hari ke AAR Sig. 1-tailed CAAR Sig. 1-tailed
H-7 0.0189 0.0010* 0.0189 0.0013*
H-6 0.0300 0.0000* 0.0489 0.0000*
H-5 0.0221 0.0000* 0.0709 0.0000*
H-4 -0.0009 0.9300 0.0701 0.0001*
H-3 0.0111 0.1130 0.0812 0.0000*
H-2 0.0114 0.0130* 0.0926 0.0000*
H-1 0.0187 0.0070* 0.1113 0.0000*
H0 0.0184 0.0010* 0.1297 0.0000*
H+1 0.0392 0.0000* 0.1689 0.0000*
H+2 0.0297 0.0000* 0.1986 0.0000*
H+3 0.0255 0.0010* 0.2241 0.0000*
H+4 0.0114 0.0160* 0.2355 0.0000*
H+5 0.0190 0.0210* 0.2544 0.0000*
H+6 0.0107 0.0330* 0.2651 0.0000*
H+7 0.0005 0.9750 0.2657 0.0000*
Sumber: Data diolah *) significant (α) 5%
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
14
Berdasarkan Tabel 3. memperlihatkan bahwa reaksi pasar atas pengumuman pembelian
kembali saham yang diukur dengan AAR, menunjukkan pasar bereaksi positif signifikan
pada 12 hari selama periode event windows dan 3 hari lainnya pasar bereaksi tidak signifikan.
Berdasarkan indikator CAAR, pengumuman pembelian kembali direaksi pasar positif
signifikan pada semua hari dalam periode event window. Dengan demikian berdasarkan
indikator AAR, hasil pengujian hipotesis (H1) terbukti pada 12 hari pengujian, dan
berdasarkan indikator CAAR terbukti pada 15 hari pengujian, artinya hipotesis H1 diterima
pada sebagian besar hari pengujian.
Perbandingan Reaksi Pasar Terhadap Pengumuman Kembali Saham Perusahaan Yang
Mengacu Pada Peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.2 dan Peraturan BAPEPAM-LK
No. XI.B.3
Berdasarkan indikator AAR dan CAAR selama event windows, menunjukkan adanya reaksi
pasar yang signifikan terhadap pengumuman pembelian kembali saham. Dalam melakukan
pembelian kembali saham, ada perusahaan yang melakukannya dengan mengacu pada pada
peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.2 sebagai kelompok 1 dan peraturan BAPEPAM-LK No.
XI.B.3 sebagai kelompok 2. Untuk mengetahui perbedaan reaksi pasar pada pengumuman
pembelian kembali saham berdasarkan kelompok penggunaan peraturan BAPEPAM-LK
dapat diuji dengan membandingan AAR dan CAAR pada kedua kelompok perusahaan tersebut
dengan menggunakan uji t dua sampel independen dua arah dan α = 5 %, yang hasilnya dipaparkan pada Tabel 4.
Pada kelompok 1, average abnormal return (AAR) tertinggi pada H+1 terjadi akibat adanya
abnormal return positif yang cukup tinggi pada beberapa perusahaan yang melakukan
pengumuman kembali saham pada hari tersebut. AAR terendah pada H+7 terjadi akibat
adanya abnormal return negatif yang cukup rendah pada beberapa perusahaan yang
melakukan pengumuman kembali saham pada hari tersebut.
Pada kelompok 2, average abnormal return (AAR) tertinggi pada H+2 terjadi akibat adanya
abnormal return positif yang cukup tinggi pada beberapa perusahaan yang melakukan
pengumuman pembelian kembali saham pada hari tersebut. AAR terendah pada H-4 terjadi
akibat adanya abnormal return negatif yang cukup rendah pada beberapa perusahaan yang
melakukan pengumuman kembali saham pada hari tersebut.
Berdasarkan Tabel 4. hasil uji t dua dua kelompok sampel memperlihatkan bahwa terdapat
perbedaan AAR secara signifikan pada 11 hari periode event windows dan 4 hari lainnya tidak
terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini berarti berdasarkan indikator AAR, hipotesis H2
terbukti pada 11 hari pengujian, sedangkan 4 hari pengujian tidak terbukti, dengan kata lain
hipotesis H2 diterima pada sebagian besar hari pengujian.
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
15
Tabel 4. Perbandingan Data AAR dan CAAR Hasil Uji Signifikansi Sekitar Tanggal
Pengumuman Pembelian Kembali Saham Berdasarkan Kelompok Perusahaan
Hari
Ke -
AAR CAAR
Kelompok
1
Kelompok
2
Sig. 2-
tailed
Kelompok
1
Kelompok
2
Sig. 2-
tailed
H-7 0.0306 0.0046 0.0196* 0.0306 0.0046 0.0196*
H-6 0.0456 0.0109 0.0100* 0.0762 0.0155 0.0012*
H-5 0.0248 0.0187 0.5977 0.1010 0.0342 0.0045*
H-4 0.0263 -0.0341 0.0001* 0.1274 0.0001 0.0000*
H-3 0.0338 -0.0165 0.0002* 0.1611 -0.0164 0.0000*
H-2 0.0207 0.0000 0.0198* 0.1818 -0.0164 0.0000*
H-1 0.0463 -0.0152 0.0000* 0.2282 -0.0315 0.0000*
H0 0.0373 -0.0046 0.0001* 0.2654 -0.0361 0.0000*
H+1 0.0590 0.0150 0.0065* 0.3244 -0.0212 0.0000*
H+2 0.0360 0.0221 0.1451 0.3604 0.0009 0.0000*
H+3 0.0283 0.0220 0.6718 0.3887 0.0230 0.0000*
H+4 0.0252 -0.0056 0.0005* 0.4139 0.0174 0.0000*
H+5 0.0371 -0.0032 0.0111* 0.4510 0.0142 0.0000*
H+6 0.0313 -0.0144 0.0000* 0.4822 -0.0002 0.0000*
H+7 0.0011 -0.0001 0.9714 0.4833 -0.0004 0.0000*
Sumber: Data diolah. *) Significant (α) 5%
.Berdasarkan indikator CAAR kelompok 1 mengindikasikan pasar bereaksi positif
disekitar tanggal pengumuman pembelian kembali saham. Pada kelompok 2, nilai CAAR
berfluktuasi sangat tipis dengan perbandingan nilai positif dan negatif yang seimbang. Hasil
uji hipotesis menunjukkan bahwa berdasarkan indikator CAAR terdapat perbedaan yang
signifikan antara kelompok 1 dan kelompok 2 pada semua hari pengujian. Hal ini berarti
hipotesis H2 terbukti pada semua hari pengujian, dengan kata lain hipotesis H2 dapat diterima.
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
16
PEMBAHASAN
Reaksi Pasar Terhadap Pengumuman Pembelian Kembali Saham
Berdasarkan hasil analisis Tabel 3 menunjukkan bahwa untuk keseluruhan sampel hasil uji
AAR sebagian besar mengindikasikan terjadi reaksi pasar yang positif, kecuali pada H-4
terjadi reaksi pasar negatif. Hasil uji statistik menunjukkan 12 hari selama periode uji terjadi
AAR yang signifikan sedangkan 3 hari tidak signifikan. Ditinjau dari indikator CAAR
menunjukkan bahwa selama periode uji keseluruhan CAAR mengindikasikan reaksi pasar
yang positif signifikan.
Hal ini terjadi karena pengumuman pembelian kembali saham merupakan tindakan korporasi
yang akan berdampak pada peningkatan harga saham di pasar modal. Peningkatan harga
saham akan berakibat pada peningkatan pendapatan saham (actual return) yang pada
akhirnya akan meningkatkan AAR. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rasbrant (2011), Nittayagasetwat et al (2013) dan Junizar (2013) yang
menemukan adanya abnormal return yang positif secara signifikan disekitar tanggal
pengumuman pembelian kembali saham.
Perbandingan Reaksi Pasar Terhadap Pengumuman Kembali Saham Perusahaan Yang
Mengacu Pada Peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.2 dan Peraturan BAPEPAM-LK
No. XI.B.3
Berdasarkan hasil analisis perbandingan Tabel 4, menunjukkan bahwa pengumuman
pembelian kembali saham yang berdasarkan peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.2
(kelompok 1) selalu direaksi pasar secara positif selama periode pengujian baik dilihat dari
indikator AAR maupun CAAR, dibandingkan dengan pengumuman pembelian kembali
saham yang berdasarkan peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.3 (kelompok 2) yang
menunjukkan terdapat reaksi pasar negatif selama periode pengujian.
Hal ini terjadi karena peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.2 dikeluarkan untuk perusahaan
yang melakukan pembelian kembali saham pada kondisi normal, sehingga memberikan
sinyal yang positif bagi investor. Dalam kondisi normal dengan adanya pengumuman
pembelian kembali saham, investor berharap terjadi kenaikan harga saham, karena jumlah
saham yang beredar akan berkurang. Apabila permintaan terhadap saham tetap, maka harga
saham akan naik sehingga meningkatkan pendapatan saham.
Pengumuman pembelian kembali saham yang berdasarkan peraturan BAPEPAM-LK No.
XI.B.3 dikeluarkan sebagai respon atas krisis global tahun 2008 yang berdampak pada
turunnya indeks harga saham gabungan (IHSG) di bursa efek Indonesia.
Dengan demikian pengumuman pembelian kembali saham berdasarkan peraturan
BAPEPAM-LK No. XI.B.3 tidak semata-mata untuk kepentingan perusahaan secara
individu, tetapi juga untuk meningkatkan IHSG yang saat itu sedang turun secara drastis.
Oleh karena itu terjadi reaksi pasar berbeda dibandingkan dengan pengumuman pembelian
kembali saham pada kondisi pasar yang normal. Pada kondisi krisis, pengumuman pembelian
kembali saham tidak bisa meningkatkan harga saham sebagaimana pada kondisi normal,
sehingga masih terjadi AAR maupun CAAR yang negatif ketika kondisi krisis.
Bila dilihat dari perusahaan yang tergabung pada kelompok 2, dapat dilihat bahwa
perusahaan yang melakukan pengumuman pembelian kembali saham yang dijadikan sampel
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
17
penelitian mayoritas adalah perusahaan yang melakukan pengumuman pembelian kembali
saham pada tahun 2008 yaitu 25 perusahaan dan hanya 2 perusahaan saja yang melakukan
pengumuman pembelian kembali saham pada tahun 2010. Tahun 2008 adalah tahun dimana
Indonesia menghadapi ancaman krisis keuangan akibat krisis keuangan yang terjadi di luar
negeri, sehingga lebih berpengaruh daripada sinyal informasi yang dikeluarkan oleh
perusahaan dalam bentuk pengumuman pembelian kembali saham.
Dengan demikian perusahaan sebaiknya melakukan pengumuman pembelian kembali saham
jika kondisi ekonomi normal. Hal ini karena pada kondisi ekonomi yang normal reaksi pasar
terhadap pengumuman pembelian kembali saham adalh positif, sedangkan pada kondisi krisis
cendrung direaksi negatif.
SIMPULAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Terjadi reaksi pasar positif signifikan di sekitar pengumuman pembelian kembali saham
yang ditunjukkan dengan nilai AAR dan CAAR yang siginifikan.
2. Terdapat perbedaan reaksi pasar yang signifikan antara perusahaan yang melakukan
pengumuman pembelian kembali saham dengan mengacu pada peraturan BAPEPAM-
LK No. XI.B.2 tentang pembelian kembali saham emiten pada kondisi normal dengan
yang mengacu pada peraturan BAPEPAM-LK No. XI.B.3 tentang pembelian kembali
saham emiten pada kondisi pasar berpotensi krisis, ditunjukkan dengan adanya
perbedaan AAR dan CAAR yang signifikan antara dua kelompok perusahaan tersebut.
3. Reaksi pasar terhadap perusahaan pada kelompok 1 yaitu perusahaan yang melakukan
pengumuman pembelian kembali saham dengan mengacu pada peraturan BAPEPAM-
LK No. XI.B.2 seluruhanya direaksi positif, sedangkan perusahaan pada kelompok 2
yaitu perusahaan yang mengacu pada peraturan BAPEPAM-LK no. XI.B.3 ada sebagian
yang direaksi negatif.
4. Pengumuman pembelian kembali saham sebaiknya dilakukan pada kondisi ekonomi
yang normal, karena direaksi positif oleh pasar.
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
18
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Nur S. 2010. “Reaksi Pasar atas Pengumuman PROPER Terhadap Abnormal Return
dan Volume Perdagangan Saham”. Skripsi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Semarang.
Ariyanto, Budi. 2009. “Pengaruh Merger atau Akuisisi Terhadap Volume Perdagangan dan Harga Saham.” Skripsi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Semarang.
Asquith, Paul, and David W. Mullins, Jr. 1986. “Signaling with Dividends, Stock epurchases,
and Equity Issues”. Financial Management. p. 27-44.
Bahrum, Devina. 2009. ”Pengaruh Pengumuman Marger dan Akuisisi Terhadap Reaksi Pasar pada Perusahaan di Bursa Efek Indonesia”. Skripsi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Semarang.
Elton. E.J dan M. Gruber, 1995, Modern Portfolio Theory and Investment Analysis, Ed.5,
John Willy and Sons Inc, Toronto.
Fama F. Eugene, 1991, Efficient Capital Market II, Journal of Finance, Vol.XLVI No. 5,
December.
Grullon, Gustavo, and Roni Michaely. 2002. “Dividends, Share Repurchases and the
Substitution Hypothesis”. Journal of Finance 57, h. 1649-1684.
Muhammad Luky Junizar dan Aditya Septiani,2013, “Pengaruh Pengumuman Pembelian
Kembali Saham (Buy Back) Terhadap Respon Pasar: Studi Pada Perusahaan Yang
Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia”, Skripsi Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Diponegoro, Semarang.
Jogiyanto Hartono, 2008, Teori Portofolio dan Analisis Investasi, BPFEYogyakarta,
Edisi Kelima, Yogyakarta.
Jogiyanto Hartono, 2005, Pasar Efisien secara Keputusan, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Mackinlay, A. Craig, 1997. Event Studies in Economics and Finance, Journal ofEconomic
Literature, Vol.XXXV (March), p.13-39.
Maxwell, William F. And Stephens Clifford P. 2003. ”The Wealth Effects of Repurchases on
Bondholders.” The Journal of Finance, Vol. LVIII, No.2,h. 895-919.
Mulia, Rahma M. 2009. “Pengaruh Stock Repurchase Terhadap Stockholder , Bondholder,
dan Value Perusahan di Indonesia Periode 2001-2007”. Skripsi Fakultas Ekonomi Univetsitas Indonesia, Jakarta.
Nishikawa, Takeshi, Prevost, Andrew K., Rao, Ramesh P. 2011. “ Bond Market Reaction to
Stock Repurchases : is There a Wealth Transfer Effect?” The Journal of Financial Research, Vol. XXXIV, No. 3, p. 503-522.
Peterson, Pamela. P. 1998. Event Studies: A Review of Issues and Methodology, Quarterly,
Journal of Business and Economics, Vol.28, No.3, Summer.
Adhi Suwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol.2, Nomor 1, Oct 2014
19
Rasbrant, Jonas. 2011. ”The Price Impact of Open Market Share Repurchases”, Department of Industrial Economics and Management, KTH Royal Institute of Technology,
Sweden.
Rinaningtias, Resti D. 2009. ”Reaksi Pasar Modal Terhadap Peristiwa Bom J.W. Marriott dan Ritz Carlton 17 Juli 2009”. Skripsi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro. Semarang.
Rudi Hermawan. 2004. “Reaksi Pasar terhadap Pergantian Presiden”, Tesis (tidak
dipublikasikan), Magister Manajemen Universitas Airlangga, Semarang
Samsul, Mohammad. 2006. “Pasar Modal dan Manajemen Portofolio”. Erlangga, Surabaya.
Saud Husnan. 2005. “Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas”. Edisi Kelima, BPFE, Yogyakarta.
Sant, Rajiv dan Ferris, Stephen, 1994, Seasoned Equity Offering: The Cases of All Equity
Firm, Journal of Business Finance and Accounting (JBFA), 21 (3),April, p.429-444
Sudana, I Made. 2011. “Manajemen Keuangan Perusahaan, Teori dan Praktek”. Erlangga, Jakarta.
Tandelilin, Eduardus. 2001. “Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio”. BPFE UGM: Yogyakarta.
Treisye Arience Lamasigi. 2002. “Reaksi Pasar Modal Terhadap PeristiwaPergantian
Presiden Republik Indonesia 23 Juli 2001: Kajian TerhadapReturn Saham LQ-45 di
PT. Bursa efek Jakarta”, Simposium NasionalAkuntansi IV, 5-6 September, Semarang.
Vermaelen, T. (1981). Common stock repurchases and market signaling. Journal of
Financial Economics, 9(2), 139-183.
Wansley, James W., William R. Lane, and Salil Sarkar. (1989). Management’s View on Share Repurchase and Tender Offer Premiums. Financial Management. 91-110.
WiyadaNittayagasetwat and Aekkachai Nittayagasetwat, 2013,Common Stock Repurchases:
Case of Stock Exchange of Thailand, International Journal of Business and Social
Science, Vol. 4 No. 2 (February)
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
20
ANALISA PERANCANGAN ULANG (REDESAIN) MODEL OPERASIONALISASI
PROGRAM BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN
EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN MEMENUHI
HARAPAN MASYARAKAT
Hesti Maheswari (Universitas Mercu Buana)
Luna Haningsih (Universitas Mercu Buana) [email protected]
ABSTRACT
This study aims to establish a model operationalization BOS program, through the analysis of
Quality Function Deployment. This study was based on the presence of a variety of
complaints that come from the communities to the BOS program that they can not benefit
from the one hand, and the other side the Government felt that the implementation of BOS has
reached three rights are the right time, the right amount, and on target. Public dissatisfaction
conditions to the program evidenced by the high dropout rates.The extent to which the BOS
program helps students in education funding, in turn raises a big question mark because of
government policies and rhetoric seem apparent.Because it was the children of farmers,
laborers, street vendors, low class servants, janitors still do not get the ease and lightness in
education.Free school which echoed the Government would make society under increasingly
sad to hear that.
The first results of this study is the expectationof the people to the BOS program, namely:most
of BOS funds can be used to offset the cost of student transportation, schools have adequate
science laboratories and maximum usage, quality textbooks provided by the school, BOS
program can ease the burden of school, students can discuss with the teacher outside of
school hours, andSchool Committee oversees use of the funds. From this analysis known gap
formed between community expectations with the level of BOS concept is still very high, both
western and central regions Indonesia.Researchers feel that there is no proper policy of the
Government to secure the nation's ideals in improving quality through Learning Program 9
years.Therefore, we need strategies to be more comprehensive to narrow the gap between
idealism with the realities on the ground, so that education becomes more obvious problems
'roots' and more 'effective and efficient' ways to overcome. Redesigns recommended are
monitoring and evaluation, increase teacher motivation, integrated management system,
operational guidelines for use of the funds, supervision attached, and additional facilities. To
accomplish these results it is necessary to continue the research terms, that is for two eastern
Indonesia: Maluku and Papua.
Keywords: recommendation of operationalization model BOS program, quality function
deployment
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
21
I. PENDAHULUAN
Keinginan pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan dapat kita lihat
salah satunya melalui pemberlakuan wajib belajar (wajar) 9 tahun. Dengan program ini
diharapkan tidak akan ada SDM bangsa yang tidak berpendidikan di tanah air, minimal
pendidikan dasar. Pemerintah menargetkan program ini tuntas tahun depan. Hal ini didukung
dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7–15 tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah
menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan
tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat. Secara umum Program BOS bertujuan untuk
meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajar 9 tahun
yang bermutu. Secara khusus program BOS bertujuan untuk: 1) Menggratiskan seluruh siswa
miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah
negeri maupun sekolah swasta; 2) Menggratiskan seluruh siswa SD dan SMP negeri terhadap
biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah
bertaraf internasional; 3) Meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah
swasta.
Faktanya di lapangan, terlihat strategi ini tampaknya masih menghadapi persoalan.Salah
satunya, kenaikan biaya pendidikan yang terkesan tidak terkendali, yaitu ada pembebasan
biaya disatu komponen semisal SPP, namun banyak komponen lain yang harus dibayar dalam
jumlah yang tidak murah,misalnya, pakaian seragam, uang pangkal, biaya ulangan umum atau
ujian, dan lainnya, sehingga, terutama bagi masyarakat miskin, memenuhi standar pendidikan
wajar 9 tahun bukan persoalan mudah. Keterpurukan ekonomi tidak boleh dijadikan alasan
pemerintah untuk membiarkan biaya pendidikan menjadi tidak terkendali seperti saat ini,
setidaknya strategi ini harus diamankan untuk wajar 9 tahun. Angka partisipasi murni SD saat
ini sudah mencapai 90 persen lebih, sedangkan SMP di angka 60-an persen dengan
kecenderungan membaik setiap tahun. Namun, jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun
rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa.Sementara itu, jumlah mereka yang tidak
menyelesaikan sekolahnya di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang (Litbang Kompas,
Januari 2009).Tidak ada yang salah dengan ProgramBOS, hanya saja perlu dipahami, bahwa
pertama;persepsi masyarakat yang berbeda tentang BOS dan harus secepatnya
diluruskan.Masyarakat berpikir bahwa dengan adanya BOS, biaya sekolah benar-benar gratis
seratus persen. Kedua,para pelaksana di lapangan sengajamemperbesarRencana Anggaran dan
Pendapatan Belanja Sekolah, sehingga mereka mempunyai alasan untuk tetap memungut
sejumlah dana.
Tujuan mulia saja dari program BOS tidak cukup untuk menjadikannya sebuah kebijakan
yang baik.Pada kenyataannya, BOS dikelilingi beberapa persoalan yang jika tidak diatasi
secara arif berpotensi mengurangi keberhasilan pencapaian tujuan mulia tersebut.Masalah
utama terkait dengan program BOS sebenarnya terletak pada pengendalian dan
pengawasannya.Ada dua level pengawasan yang diperlukan, yakni pengawasan penggunaan
dana BOS dan pengawasan terhadap efektivitas program BOS. Idealnya, komite sekolah
sebagai representasi masyarakat/orangtua diberi otoritas untuk mengawasi penggunaan BOS
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
22
di sekolah.Pemerintah perlu pula mengawasi apakah mekanisme pengawasan oleh komite
sekolah berjalan, atau justru terjadi kolusi di antara keduanya. Sejauh mana efektivitas
program BOS membantu siswa dalam pembiayaan pendidikan begitu juga bantuan-bantuan
pembiayaan lainnya, pada akhirnya menimbulkan tanda tanya besar. Dalam upaya
memaksimalkan manfaat Program BOS maka sebaiknya ada pihak yang aktif mengevaluasi
pelaksanaan BOS dengan melihat langsung pada fenomena yang ada dilapangan yaitu pada
masyarakat yang menikmati dana BOS.
Oleh karena itu, penelitian ini mempunyai tujuan khusus, yaitu :
1. Mendapatkan gambaran harapan masyarakat terhadap program BOS. Dalam hal ini
peneliti ingin mendapatkan gambaran secara komprehensif tentang harapan, persepsi dan
pandangan masyarakat terhadap Program BOS, sehingga Pemerintah dapat
merealisasikannya.
2. Mendapatkan gambaran kepuasan masyarakat terhadap Program BOS. Seberapa jauh
mereka merasa terbantu dalam membiayai sekolah anak-anaknya dengan adanya program
ini.
3. Mendapatkan gambaran karakteristik teknis dari Program BOS yang sebenarnya.
Definisi, batasan, ruang lingkup dan model Program BOS, sehingga masyarakat dapat
mengetahui dengan tepat dan jelas maksud dan tujuan dengan adanya Program BOS.
4. Mendapatkan gambaran antara idealisme pemerintah dalam tataran „konsep‟ dan „realitas pelaksanaan‟ Program BOS di lapangan, sehingga dapat diketahui seberapa jauh Program BOS ini sudah benar-benar tepat sasaran dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh anak
bangsa, sesuai visi, misi dan tujuannya.
5. Merumuskan modeloperasionalisasi dan kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan oleh
Pemerintah, agar tujuan Program BOS tercapai sesuai diamantkan dalam UU No. 20 ayat
2 dan 3.
II. KAJIAN PUSTAKA
BOS adalah program pemerintah untuk penyediaan pendanaan biaya nonpersonalia bagi
satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar. Indikator utama efektivitas
pelaksanaan Program BOS adalah (1) mayoritas anak usia pendidikan dasar bersekolah APM
> 95%, (2) berkurangnya Angka Putus Sekolah, dan (3) berkurangnya beban orangtua untuk
menyekolahkan anaknya di pendidikan dasar. Untuk kepentingan ini Pemerintah sebagai
pemilik program harus mengkaji, mengawasi, termasuk mengendalikan pelaksanaan
programnya. Proses pengawasan yang paling mudah adalah dengan mengetahui kepuasan
masyarakat terhadap program ini. Informasi ini kemudian dipadukan dalam desain Program
BOS, bagaimana agar tiap area fungsional dapat memahami dan melaksanakannya. Dengan
matriks house of quality (metode QFD), kita dapat mengetahui seberapa besar gap atau
penyimpangan dari apa yang diharapkan dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat. Dari
matriks ini kita dapat melihat apakah karakteristik yang menjadi keunggulan sebuah Program
BOS telah dapat memuaskan masyarakat sesuai dengan tujuan Program BOS.Pada tahap
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
23
pertama penelitian, analisis dilakukan hingga ruang 3 bagan house of quality, yang
menggambarkan harapan masyarakat terhadap program BOS, kepuasan masyarakat terhadap
program tersebut, dan karakteristik teknis program BOS. Pada tahap kedua penelitian,
penelitian akan dilanjutkan 3 langkah lagi, yaitu: 1) menganalisis hubungan harapan
masyarakat terhadap program BOS dengan karakteristik teknis yaitu keunggulan dari program
BOS yang memang Pemerintah Indonesia berikan untuk masyarakat. 2) Menghubungkan
masing-masing karakteristik teknis untuk kepentingan perbaikan karakteristik yang satu
dengan karakteristik lainnya. 3) Menentukan karakteristik teknis yang harus didesain ulang
karena tidak sesuai dengan harapan masyarakat, yang kemudian akan diusulkan sebagai
perbaikan pelaksanaan program BOS.
III. PEMBAHASAN
Harapan dan Persepsi Masyarakat Terhadap Program BOS
Dari hasil telaah terhadap kuesioner terbuka maka ditemukanrata-rata kebutuhan masyarakat
terhadap sekolah yang nota bene memperoleh dana BOS untuk ketiga wilayah Indonesia,
yaitu : 1) Murid mendapat kursi dan meja belajar; 2) Sirkulasi udara di ruang kelas baik; 3)
Taman sekolah sebagai paru-paru sekolah; 4) Terdapat peralatan laboratorium IPA; 5) Sarana
olahraga; 6) Buku-buku pelajaran tersedia; 7) Sanitary sekolah bersih; 8) Tulisan pada papan
tulis terbaca; 9) Siswa berseragam dengan baik; 10) Masyarakat tidak dipungut uang
pangkal/uang gedung; 11)Sekolah bebas dari iuran bulanan; 12) Kegiatan ekstra kurikuler
tidak dipungut biaya; 13) Sekolah bebas biaya UTS; 14) Bebas biaya UAS; 15) Buku-buku
dipinjamkan; 16) Lembar kerja siswa (LKS) diberikan cuma-cuma; 17) Program BOS
meringankan beban biaya sekolah; 18) Pembebanan biaya melihat kemampuan keuangan
masing-masing; 19) Kegiatan belajar mengajar sesuai dengan kalender akademik; 20) Sekolah
tidak pernah memulangkan siswa lebih cepat dari jadwalnya; 21) Guru menguasi materi
pelajaran; 22) Kemauan mengajar guru; 23) Guru banyak memberikan soal-soal latihan; 24)
Guru membahas seluruh soal yang diberikan; 25) Guru seorang sarjana pendidikan; 26) Guru
mengenal baik setiap siswa; 27) Siswa dapat berdiskusi dengan gurunya di luar jam belajar;
28) Materi yang disampaikan sesuai dengan satuan acara pelajaran/silabi; 29) Guru mengajar
hingga siswa paham; 30) Guru membahas seluruh soal latihan yang diberikan; 31) Kurikulum
sekolah sesuai dengan kurikulum pemerintah; 32) Guru memberikan pendalaman materi
kepada siswa; 33) Program BOS meringankan beban biaya sekolah; 34) Sebagian dana BOS
digunakan untuk meringankan biaya transportasi siswa ke sekolah; 35) Tidak ada pungutan
sekolah yang harus dibayar; 36) Orang tua terlibatdalam penyusunan RAPBS; 37) Orang tua
terlibat dalam pengawasan penggunaan dana BOS; 38) Komite sekolah mengawasi
penggunaan dana BOS; dan 39) Kegiatan ekstra kurikuler terlaksana dengan baik
Gambaran Kepuasan Masyarakat Terhadap Program BOS
Populasi pada penelitian ini adalah Orang tua siswa dan siswa SDN dan SMPN di seluruh
Indonesia yang terbagi dalam wilayah Indonesia Barat, Indonesia Tengah, dan Indonesia
Timur dengan teknik penarikan sampel yaitu dengan metode convenience sampling. Dari hasil
uji validitas tingkat kepentingan dan kepuasan (SD) terdapat 8 dan 6 atribut invalid untuk
digunakan sebagai alat ukur, sehingga tidak dapat dijadikan instrumen dalam penelitian ini.
Sedangkan untuk hasil uji validitas tingkat kepentingan dan kepuasan (SMP), terdapat 9 dan 2
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
24
atribut yang tidak valid. Hasil pengujian reliabilitas instrument, instrumen penelitian reliable
untuk kedua jenis sekolah.
Tabel 1.Analisa GAP Kepuasan Masyarakat SD Terhadap Program BOS
N
o
.
Atribut Pelayanan GAP
IB
GAP
IT
GAP
KB
1 Sirkulasi udara di ruang kelas baik -1,4 -0,3 -1,3
2 Sekolah memiliki peralatan laboratorium IPA -2,7 -3,2 -2,0
3 Buku-buku pelajaran disediakan oleh sekolah -2,6 -2,8 -1,7
4 Sanitary sekolah bersih -1,6 -0,7 -0,8
5 Tulisan pada papan tulis dapat terbaca dari tempat duduk
siswa
-2,2 -1,6 -2,0
6 Siswa berseragam dengan baik -0,8 -0,7 0,2
7 Anda tidak dipungut uang pangkal/uang gedung oleh sekolah -1,9 -0,6 0
8 Sekolah bebas dari iuran bulanan seperti SPP atau BP3 -2,2 -0,2 0
9 Kegiatan ekstra kurikuler tidak dipungut biaya oleh sekolah -2,1 -1,9 -1,4
1
0
Sekolah ini bebas biaya ulangan tengah semester -1,6 0 0
1
1
Siswa dibebaskan dari biaya ulangan akhir semester -1,4 -0,8 0
1
2
Buku-buku dipinjamkan oleh sekolah kepada siswanya -1,2 -2,8 -0,3
1
3
Lembar kerja siswa (LKS) diberikan cuma-Cuma -2,2 -3,7 -2,0
1
4
Program BOS meringankan beban biaya sekolah yang harus
Anda bayar
-2,4 -0,9 0
1
5
Pembebanan biaya dari sekolah tidak sama rata pada setiap
murid, namun melihat kemampuan keuangan masing-masing
-2,4 -1,8 -2,0
1
6
Guru menguasi materi pelajaran yang diberikan kepada siswa -2,2 -1,2 -1,9
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
25
17 Guru mempunyai kemauan yang keras untuk mengajar -2,1 -2,7 -1,8
18 Guru banyak memberikan soal-soal latihan -2,3 -2,8 -1,4
19 Guru membahas seluruh soal yang diberikan -2,2 -3,3 -2,5
20 Siswa dapat berdiskusi materi pelajaran dengan gurunya di
luar jam belajar pada hari sekolah
-2,5 -2,2 -1,4
21 Materi yang disampaikan sesuai dengan satuan acara
pelajaran/silabi
-2,2 -0,4 -1,0
22 Guru mengajar hingga siswa paham -2,3 -2,7 -1,4
23 Guru memberikan pendalaman materi kepada siswa yang
terlambat dalam menyerap materi
-2,3 -3,7 -0,4
24 Program BOS meringankan beban biaya sekolah anak Anda -2,6 -1,4 0
25 Sebagian dana BOS digunakan untuk meringankan biaya
transportasi siswa ke sekolah
-2,8 -3,1 -2,3
26 Orang tua terlibat dalam penyusunan RAPBS -2,0 -2,8 -1,1
27 Orang tua terlibat dalam pengawasan penggunaan dana BOS -1,9 -2,8 -1,2
28 Komite sekolah mengawasi penggunaan dana BOS -2,5 -1,9 -1,4
-
2,093
-
1,899
-
1,099
Sumber : data diolah Peneliti
Temuan hasil penelitian pada tahap pertama (Indonesia Barat) menunjukkan bahwa program
BOS yang diharapkan oleh masyarakat (SD) adalah program yang harus dapat menyelesaikan
masalah mereka mulai dari mereka berangkat sekolah, mendapat pelajaran di sekolah sampai
dengan kembali lagi ke rumah (-2,8). Tingginya angka putus sekolah jelas bukan karena
biaya sekolah seperti biaya ekskul, LKS, dan kegiatan-kegiatan lain, namun karena tidak
adanya uang untuk biaya transportasi anak menuju sekolah. Pengadaan dan penggunaan
laboratorium IPA juga belum memadai(-2,7). Dari hasil wawancara pada level, ditemukan
bahwa laboratorium IPA memang ada di sekolah namun sekolah tidak memanfaatkannya
untuk praktek karena takut cepat rusak.Buku-buku sekolah elektronik memang dibagikan
sekolah(-2,6), namun kualitasnya yang kurang memadai menyebabkan guru lebih senang
menggunakan buku-buku dengan penerbit yang lebih terkenal karena banyak contoh-contoh
soal sekaligus pembahasan disamping kualitas kertas dan lem kertas yang lebih kuat sehingga
tidak mudah rusak.
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
26
Sekolah dapat menyelenggarakan bimbingan kepada siswa-siswinya yang menghadapi
berbagai masalah baik masalah pribadi yang mungkin dapat mengganggu konsentrasi belajar
maupun masalah pelajaran sekolah hanyalah angan-angan semata (-2,5).Guru seperti
karyawan pabrik yang ingin cepat-cepat pulang setelah jam kerjanya habis. Begitu bel pulang
sekolah berbunyi banyak guru yang ikut bergegas pulang bersama siswa-siswinya.
Orang tua mendampingi sekolah dalam mengawasi penggunaan dana BOS sebagai komite
sekolah (-2,5) tidak pernah ideal pelaksanaannya. Menurut hasil wawancara, komite sekolah
masih sangat jauh dari fungsi sesungguhnya. Komite sekolah hanya menjadi pihak yang
harus menandatangani seluruh dokumen terkait penggunaan dana BOS dan bukan
mengawasinya. Kesempatan untuk mengevaluasipun tidak diberikan. Memaksa untuk
melakukan tugasnya dengan baik sama dengan membuka masalah baru antara sekolah dengan
orang tua siswa sebagai komite sekolah yang berdampak buruk terhadap anak pengurus
komite sekolah.
Indonesia Tengah, ditemukan kasus-kasus lemahnya daya tangkap siswa di daerah pedalaman
karena lambatnya daerah menyerap teknologi akibat akses yang sangat sulit terjangkau.
Masyarakat Indonesia Tengah membutuhkan guru yang berdedikasi tinggi, sehingga mau
memberikan bimbingan lebih kepada siswa-siswi ini sehingga dapat mengejar
ketertinggalannya dengan siswa-siswi yang ada di pusat-pusat kota besar. Sementara
Program BOS ternyata belum mampu memotivasi guru untuk memberikan yang terbaik
kepada anak didiknya. Pelajaran tambahan hanya diberikan kepada siswa yang akan
menghadapi ujian nasional, padahal juklak memberikan bimbingan belajar untuk seluruh level
kelas sebenarnya sudah ada pada program BOS. Lembar kerja siswa (LKS) sebagai sarana
belajar yang cukup efektif, digunakan oleh beberapa sekolah sebagai alat pengumpul uang
dengan menaikkan harganya.
Juklak pemberian dana transportasi bagi siswa-siswi dengan kondisi ekonomi yang sangat
parah sudah ada, namun tidak tersalurkan. Banyak dari mereka akhirnya putus sekolah karena
kondisi seperti ini berlangsung cukup lama dan mereka akhirnya putus asa menghadapinya.
Pelajaran sekolah semakin banyak tertinggal, kondisi ekonomi terus melilit.Pilihan antara
sekolah atau membantu orang tua mencari nafkah untuk menyambung hidup adalah bukan
pilihan yang sulit bagi mereka. Teriakan perut dirinya dan jika mungkin adik-adiknya
membuat mereka dapat dengan cepat memutuskan untuk keluar dari bangku sekolah.
Pada kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang ternyata memberikan
hasil analisa GAP yang berbeda dalam mengukur kepuasan masyarakat terhadap program
BOS. Ketidakpuasan yang paling besar adalah pada atribut 19, Guru membahas seluruh soal
yang diberikan. Soal-soal memang diberikan melalui lembar kerja siswa (LKS) namun LKS
tersebut jarang sekali dijamah guru. Idealnya LKS dikerjakan di rumah agar tidak banyak
membuang waktu, kemudian dibahas di sekolah bersama guru. Namun pada kenyataannya
guru biasanya mengerjakan pekerjaan lain namun tetap di dalam kelas, sedangkan siswa
diinstruksikan untuk mengerjakan LKS sendiri.
Kondisi ekonomi yang timpang satu dengan lainnyadi kota besar seperti DKI Jakartajuga
menjadi masalah, di satu sisi anak ingin bersekolah dan bermain dengan temannya, namun
disisi lain lain mereka harus bekerja membantu orang tua memenuhi kebutuhan hidup. Maka
tak heran jika DKI Jakarta sebagai kota besar mempunyai angka putus sekolah lebih dari 5%.
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
27
Gap pada kota besar (-1,099) memang lebih kecil dibandingkan wilayahbarat (-2,093) dan
Tengah (-1,899). Pengawasan pelaksanaan program BOS di kota-kota besar bisa jadi lebih
mudah dilakukan oleh pemerintah, sehingga penyimpangan yang terjadi juga lebih kecil.
Komisi pemberantasan korupsi kerap membayang-bayangi mereka yang akan menyimpang.
Sedangkan untuk daerah yang jauh dari kota dan cukup sulit untuk dijangkau oleh pengawas,
memberi kesempatan kepada pihak pengemban amanat untuk mengalihkan ke kebutuhan
yang lain yang bisa saja sebenarnya dibutuhkan oleh sekolah atau sebaliknya malah
diselewengkan.
Hasil penelitian analisa gap kepuasan masyarakat terhadap program BOS pada level
pendidikan SMP rerata wilayah Indonesia Barat menunjukkan bahwa seluruh atribut
menghasilkan gap yang negatif. Orang tua siswa dan siswa itu sendiri mempunyai
kepentingan yang ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan realitas kinerja yang diberikan
sekolah sebagai pengemban amanat program BOS. Ketidakpuasan masyarakat adalah pada
guru kurang memberikan soal latihan di kelas sehingga siswa cenderung tidak terlatih dan
tidak trampil. Guru di sekolah bukan seorang sarjana pendidikan sehingga mereka tidak
memahami pendekatan proses pengajaran yang efektif, seperti bagaimana mengajar
matematika yang menyenangkan bagi siswa. Guru tidak membahas seluruh soal latihan yang
diberikan sehingga siswa tidak tahu jawaban yang benar, Program BOS belum sepenuhnya
meringankan beban biaya sekolah. Siswa sulit berdiskusi materi pelajaran dengan gurunya di
luar jam belajar dan pendalaman materi bagi siswa yang sangat lambat dalam menyerap
materi menjadi atribut yang tidak memuaskan berikutnya.
Tabel 2.Analisa GAP Kepuasan Masyarakat (SMP)Terhadap Program BOS
No.
Atribut
Atribut Pelayanan GAP
IB
GAP
IT
GAP
KB
1 Sirkulasi udara di ruang kelas baik -0,9 -0,8 -0,6
2 Sekolah memiliki peralatan laboratorium IPA -1,9 -2,2 -0,2
3 Sekolah mempunyai sarana olahraga -1,9 -3,3 -0,2
4 Buku-buku pelajaran disediakan oleh sekolah -1,7 -2,2 -0,4
5 Sanitary sekolah bersih -1,5 -0,2 -1,5
6 Siswa berseragam dengan baik -0,7 -0,5 0
7 Anda tidak dipungut uang pangkal/uang gedung oleh
sekolah
-2,2 -1,1 0,8
8 Sekolah bebas dari iuran bulanan seperti SPP atau BP3 -2,2 0 0
9 Sekolah ini bebas biaya ulangan tengah semester -2,9 -1,2 0
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
28
10 Siswa dibebaskan dari biaya ulangan akhir semester -2,3 -1,5 0,5
11 Buku-buku dipinjamkan oleh sekolah kepada siswanya -1,3 -0,2 0,5
12 Program BOS meringankan beban biaya sekolah yang
harus Anda bayar
-2,5 -0,8 0
13 Pembebanan biaya dari sekolah tidak sama rata pada
setiap murid, namun melihat kemampuan keuangan
masing-masing
-2,3 -1,9 -1,2
14 Kegiatan belajar mengajar sesuai dengan kalender
akademik
-1,7 0,1 0,4
15 Sekolah tidak pernah memulangkan siswa lebih cepat
dari jadwalnya
-1,6 -0,8 -0,2
16 Guru menguasi materi pelajaran yang diberikan kepada
siswa
-2,0 -0,4 -1,0
17 Guru mempunyai kemauan yang keras untuk mengajar -1,5 -0,6 -1,2
18 Guru banyak memberikan soal-soal latihan -2,6 -0,8 0
19 Guru membahas seluruh soal yang diberikan -2,1 -3,2 -1,2
20 Guru disekolah seorang sarjana pendidikan -2,6 -0,4 -0,8
21 Guru mengenal dengan baik setiap siswa di kelas -2,1 -0,8 -1,4
22 Siswa dapat berdiskusi materi pelajaran dengan
gurunya di luar jam belajar pada hari sekolah
-2,5 -1,9 -1,2
23 Guru mengajar hingga siswa paham -1,8 -1,8 -0,9
24 Guru memberikan pendalaman materi kepada siswa
yang terlambat dalam menyerap materi
-2,4 -2,3 -1,4
25 Program BOS meringankan beban biaya sekolah anak
Anda
-2,6 -1,7 0
26 Sebagian dana BOS digunakan untuk meringankan
biaya transportasi siswa ke sekolah
-2,3 -3,8 -1,2
27 Orang tua terlibat dalam penyusunan RAPBS -2,3 -3,6 0,1
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
29
28 Orang tua terlibat dalam pengawasan penggunaan dana
BOS
-2,1 -3,0 0,2
29 Komite sekolah mengawasi penggunaan dana BOS -2,2 -2,8 -0,8
RATA-RATA -2,05 -1,50 -0,49
Sumber : data diolah Peneliti
Wilayah Indonesia Tengah (Bali, NTB, NTT, Sulawesi, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Timur) memberikan hasil yang agak berbeda dengan wilayah
Indonesia Barat.Ternyata wilayah ini bersih dari pungutan SPP dan atau BP3 kepada siswa
didiknya dan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan kalender akademik pemerintah
memberikan nilai positif (memuaskan). Sedangkan Ketidakpuasan tertinggi terhadap
pelayanan sekolah adalah: Lagi-lagi masyarakat mengeluhkan tidak adanya subsidi
pemerintah berupa dana transportasi siswa menuju sekolah, seperti terjadi pada masyarakat
bagian barat Indonesia (-3,8).Tidak ada sama sekali keterlibatan orang tua dalam penyusunan
RAPBS (-3,6). Padahal mereka berharap agar dapat duduk dalam pengurus Komite Sekolah
dan memasukkan mata anggaran biaya transportasi bagi siswa tidak mampu dalam RAPBS.
Pengawasan penggunaan dana BOS pun sulit dilakukan oleh pihak yang disebut sebagai
Komite Sekolah. Masyarakat juga menyarankanbesarnya subsidi ini seharusnya tidak sama
pada setiap wilayah, karena ketimpangan kondisi ekonomi antara di kota besar dan daerah
pedalaman sangat tinggi.
Penelitian ini juga menemukan minimnya sarana olahraga standar (ketidaksesuaian ukuran,
tidak ada sarana lempar lembing, tolak peluru dan lempar cakram) (-3,3), padahal pelajaran
olah raga adalah pelajaran favorit siswa karena pelajaran ini identik dengan bermain. Gap
kepuasan masyarakat terhadap program BOS untuk empat kota besar pada level SMP sangat
kecil yaitu -0,49, namun masih ada atribut yang tidak memuaskanyaitu guru membahas
seluruh soal latihan yang diberikan (-1,8), sanitary sekolah bersih (-1,5), guru memberikan
pendalaman materi bagi siswa yang terlambat menyerap materi pelajaran dan guru mengenal
baik seluruh siswa dengan gap (-1,4). Pembebanan biaya dari sekolah tidak sama rata pada
setiap murid, namun melihat kemampuan keuangan masing-masing, Guru mempunyai
kemauan yang keras untuk mengajar, Guru membahas seluruh soal yang diberikan, dan
Sebagian dana BOS digunakan untuk meringankan biaya transportasi siswa ke sekolah (-1,2).
Di kota-kota besar, pihak sekolah sangat takut memungut iuran dalam bentuk apapun kepada
masyarakat, apalagi dengan judul uang gedung, uang pangkal, dan uang ulangan. Sarana dan
prasarana sekolah sudah dibiayai pemerintah lewat dana RKB, selain masyarakat yang sudah
pintar, maju dalam hal teknologi informasi yang akan dengan cepat melaporkan jika terdapat
kecurangan dana BOS. Orang tua dalam wadah komite sekolah berperan aktif membantu
sekolah dalam berbagai hal yang berkaitan dengan penghimpunan dana tambahan untuk
mendukung proses belajar mengajar. Ditambah lagi inisiatif orang tua siswa memberikan
kursus bimbingan belajar untuk anaknya, karena mereka merasa sekolah tidak maksimal
proses belajar mengajarnya.
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
30
Technical Characteristics (3rd
Room)
Adapun karakteristik teknispelayanan SD dan SMP penerima dana BOS adalah sebagai
berikut: 1) Seluruh dana BOSdisalurkan ke seluruh sekolah; 2) Sistem pengawasan melekat;
3) Sistem pengelolaan terpadu antara sekolah, komite sekolah dan pemerintah; 4)
Penyusunan, penggandaan & penyebaran juklaksebagai pedoman pelaksanaan program BOS;
5) Sosialisasi program tentang mekanisme pelaksanaan; 6) Standarisasi sistem database; 7)
Monitoring dan Evaluasi; 8) Peningkatan motivasi guru; 9) Pelayanan pengaduan masyarakat;
10) Juklak penggunaan dana BOS; 11) Juklak pengorganisasian BOS di sekolah; 12)
Menggratiskan seluruh siswa miskin; 13) Meringankan beban biaya operasional sekolah di
sekolah swasta; 14) Menambah fasilitas sekolah; 15) Berkurangnya angka putus sekolah; 16)
Berkurangnya beban orang tua.
Technical Correlations (5th
room)
Technical correlation yang menunjukkan hubungan yang kuat antara karakteristik teknis
berarti perbaikan pada item yang satu memberi dampak pada perbaikan item yang lain,
bahkan bisa menyebabkan multiplier efect.
Prioritas Redesain Program BOS (6th
room)
Menurut hasil analisis dengan bagan house of quality, desain ulang terhadap karakteristik
teknis program BOS untuk wilayah barat dan tengah Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Monitoring dan Evaluasi
Karakteristik teknis yang pertama kali harus didesain ulang adalah Monitoring dan
Evaluasi. Beberapa hal yang direkomendasikan terkait dengan monitoring dan evaluasi
adalah:
a) Membentuk komite sekolah dari pegawai kelurahan dan atau kecamatan atau pemuka
agama agar pengawasannya dapat maksimal dan tidak takut terjadi intervensi
terhadap siswa.
b) Mengadakan pelatihan atau bimbingan teknis kepada para komite sekolah, sehingga
mereka memahami juklak peruntukkan dana BOS
c) Mensahkan setiap rencana pengeluaran yang sesuai dengan juklak peruntukkan dana
BOS dan tidak mau mensahkan laporan pertanggungjawaban jika transaksi tanpa
pengesahan terlebih dahulu.
2. Sistem pengelolaan terpadu antara sekolah, komite sekolah, dan pemerintah, berarti
membuat mekanisme bersama agar ketiga pihak ini transparan dalam menjalankan
perannya masing-masing. Beberapa hal yang direkomendasikan terkait dengan sistem
pengelolaan terpadu adalah:
a) Setelah menerima dana BOS informasikan waktu penerimaan, jumlah, dan rencana
penggunaan dana tersebut kepada komite sekolah.
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
31
b) Sebelum menggunakan uang untuk membayar bahan atau kegiatan operasional,
sekolah harus meminta persetujuan terlebih dulu kepada komite sekolah.
c) Laporan pertanggungjawaban akhir yang diberikan ke pemerintah harus ditembuskan
ke komite sekolah.
3. Motivasi guru dalam melayani siswa didik seharunya meningkat searah dengan
peningkatan dana BOS yang diberikan pemerintah. Namun kenyataannya program BOS
telah menyebabkan sekolah sibuk mengikuti mekanisme program. Karena harus
membuat laporan pertanggungjawaban yang sangat merepotkan Bendahara BOS dan
pejabat lainnya yang juga bertugas sebagai guru, tidak sempat lagi mencari terobosan
baru dalam mengajar dengan cara yang menarik dan menyenangkan.
4. Beberapa hal yang direkomendasikan terkait dengan motivasi guru adalah:
a) Pekerjaan yang terkait dengan program BOS, seperti misalnya Bendahara BOS tidak
boleh dipegang oleh seorang guru. Sekolah menunjuk pegawai tata usaha bagian
keuangan untuk membuat laporan ini yang diawasi oleh Kepala Sekolah.
b) Sekolah menunjuk anggota komite sekolah sebagai bendahara BOS atau asisten
bendahara BOS. Mekanismen ini sekaligus mengawasi penggunaan dana BOS
c) Menambah jam kerja guru di sekolah. Guru tidak pulang pada saat jam sekolah
berakhir, namun tetap di sekolah hingga pukul 16.00 agar guru dapat melayani siswa
didik yang bermasalah.
d) Pelatihan cara mengajar yang baik, menarik, dan menyenangkan harus dilakukan
terutama untuk guru yang mengajar mata pelajaran yang sulit seperti Matematika,
Bahasa Indonesia, dan IPA.
e) Memberikan reward khusus kepada guru favorit siswa, agar guru lebih termotivasi
melayani siswa didiknya.
5. Juklak penggunaan dana BOS sangat jelas dan dengan mekanisme yang sangat teratur
rapi. Namun karena keteraturannya ini terkesan sangat rumit. Rekomendasi: Membuat
mekanisme yang lebih sederhana namun tetap terawasi, misalnya dengan membuat
semacam kartu kredit, dimana didalamnya terdapat sejumlah dana BOS yang seharusnya
dimiliki oleh sekolah. Kartu tersebut dapat dipakai untuk berbelanja atau diambil tunai
yang besarnya mengikuti ketentuan batas per mata anggran. Jika satu mata anggaran
sudah habis saldonya, maka pembelian baru untuk mata anggaran yang sama tidak akan
pernah bisa dibayar oleh kartu tersebut.
6. Sistem pengawasan melekat oleh pemerintah berarti mengawasi penggunaan dana BOS
seutuhnya agar program tepat sasaran. Rekomendasi:
a) Pemerintah menggali informasi tentang penduduk usia sekolah dasar di wilayahnya
masing-masing. Apakah di wilayahnya semua penduduk usia sekolah bersekolah
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
32
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
33
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
34
b) Pemerintah mendeteksi kondisi ekonomi setiap keluarga yang mempunyai anak usia
sekolah. Jika tidak mampu membiayai anaknya untuk berangkat kesekolah, maka harus
diteruskan informasi ini ke sekolah terdekat dengan tempat tinggal calon siswa ini
kemudian mewajibkan pihak sekolah menyisihkan dana BOS untuk biaya transportasi
calon siswa ini.
7. Penambahan fasilitas sekolah, Sekolah harus memperhatikan fasilitas pendidikan
diantaranya Hal yang direkomendasikan untuk penambahan fasilitas sekolah penggunaan
dana RKB dan pemerintah dalam dinas pendidikan melalui pengawas sekolah
menginventarisir fasilitas sekolah.
8. Menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari biaya operasional
sekolah. Beberapa hal yang direkomendasikan adalah:
a) Memisahkan kondisi ekonomi setiap siswa dengan tingkat ketelitian tinggi
b) Membedakan proporsi subsidi untuk siswa yang satu dengan siswa lain tergantung pada
kondisi ekonomi siswa tersebut.
c) Pemerintah membuat klasifikasi kondisi ekonomi siswa dan batasan subsidi sesuai
dengan klasifikasi tersebut. Pemerintah harus tahu kelompok masyarakat yang harus
diberikan subsidi penuh.
9. Meringankan beban atau biaya operasional sekolah di sekolah swasta. Pengawasan
seharusnya lebih ketat kepada kelompok sekolah swasta yang diizinkan memungut biaya
walaupun sekolah menerima dana BOS. Pastikan biaya yang dipungut benar-benar untuk
pengembangan sekolah, penambahan fasilitas sekolah yang menyebabkan sekolah nyaman.
10. Untuk mengurangi angka putus sekolah Pemerintah harus meningkatkan keakuratan data
usia sekolah hingga ke daerah pedalaman kemudian Pemerintah Pusat
menginstruksikankepada Pemerintah Daerah yang kemudian diteruskan hingga lingkungan
rukun warga dan rukun tetangga.
11. Berkurangnya beban orang tua untuk menyekolahkan anaknya di tingkat pendidikan dasar.
Beban orang tua dalam menyekolahkan anaknya akan berkurang jika semua pihak terkait
dengan penyaluran dana BOS benar-benar menjalankan fungsinya dan tidak melakukan
kecurangan.
12. Pengaduan masyarakat akibat penyelenggaraan sekolah gratis harus dibuka seluas-luasnya,
agar pemerintah dapat mengevaluasi berjalannya proses pendidikan.
13. Seluruh dana BOS disalurkan ke seluruh sekolah yang ada di Indonesia. Pemerintah harus
instrospeksi kembali tentang waktu penyalurannya yang sangat sering terlambat dan
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
35
14. menyebabkan mekanisme sekolah terkait pembayaran honor guru dan lain-lain menjadi
kacau.
15. Hal yang perlu direkomendasikan terkait juklak pengorganisasian BOS di sekolah adalah
tidak menunjuk seorang guru menjadi bendahara BOS. Lebih baik lagi jika bendahara BOS
dipegang oleh anggota komite sekolah, agar pengawasan bisa lebih melekat.
16. Walapaun standarisasi sistem data basedterus dilakukan namun data di setiap sekolah belum
seragam, terutama untuk sekolah-sekolah swasta kecil karena kurangnya tenaga profesional
untuk melakukan tugas ini. Hal yang direkomendasikan untuk kondisi ini adalah pemerintah
memberikan bimbingan teknis atau pelatihan terpadu.
IV. SIMPULAN
Simpulan
a. Harapan masyarakatpada level pendidikan SD dan SMP terhadap Program BOS:
Terdapat 28 harapan masyarakat terhadap pelayanan pendidikan SD di sekolah-sekolah
penerima program BOS. Sedangkan untuk level pendidikan SMP, ditemukan 29 tuntutan
masyarakat terhadap pelayanan sekolah-sekolah peneriman Program BOS
b. Ketidakpuasan masyarakat terhadap program BOS dan menjadi harapan masyarakat adalah
sebagai berikut:
- Harapan terbesar orang tua siswa dan siswa SDadalah sebagai berikut:1) Sebagian dana
BOS dapat digunakan untuk biaya transportasi, 2) Sekolah memiliki dan memaksimalkan
penggunaan Laboratorium IPA 3) Buku-buku berkualitas tersedia& Program BOS dapat
meringankan beban biaya sekolah , 4) Siswa dapat berdiskusi dengan gurunya di luar jam
belajar, 5) Komite sekolah mengawasi penggunaan dana BOS, 6) Guru bersedia
memberikan pendalaman materi kepada siswa yang lambat menyerap materi, 2) Lembar
kerja siswa (LKS) diberikan, 3) Guru membahas seluruh soal yang diberikan.
- Harapan terbesar orang tua siswa dan siswa SMPadalah sebagai berikut: 1) Sekolah
sepenuhnya membebaskan pungutan, 2) Program BOS meringankan biaya transportasi, 3)
Guru banyak memberikan soal-soal latihan, 4) Guru membahas seluruh soal-soal, 5) Guru
seorang sarjana pendidikan sehingga paham dalammendidik dan tahu cara yang tepat
dalam mengajar. 6) Orang tua terlibat dalam penyusunan RAPBS, 7) Sekolah
mempunyai sarana olahraga, 8) Orang tua terlibat aktif dalam pengawasan penggunaan
dana BOS, 9) Sanitary sekolah bersih, 10) Guru memberikan pendalaman materi, 11)
Guru mengenal baik seluruh siswa, 12) Pembebanan biaya dari sekolah tidak sama rata
pada setiap murid, dan 13) Guru mempunyai kemauan yang keras untuk mengajar.
c. Karakteristik teknis program BOS yang harus didesain ulang dan yang harus dipertahankan
terdiri atas: 1) Seluruh dana BOS disalurkan ke seluruh sekolah,2) Sistem pengawasan
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
36
terpadu, 3) Sistem pengelolaan terpadu antara sekolah, komite sekolah dan pemerintah, 4)
Penyusunan, penggandaan & penyebaran petunjuk pelaksanaan program sebagai pedoman
pelaksanaan program BOS, 5) Sosialisasi program tentang mekanisme pelaksanaan, 6)
Standarisasi sistem database, 7) Monitoring dan Evaluasi, 8) Peningkatan motivasi guru 9)
Pelayanan pengaduan masyarakat, 10) Juklak penggunaan dana BOS, 11) Juklak
pengorganisasian BOS, 12) Menggratiskan seluruh siswa miskin, 13) Meringankan beban
biaya operasional sekolah di sekolah swasta, 14) Penambahan fasilitas sekolah
15)Berkurangnya angka putus sekolah, 16) Berkurangnya beban orang tua
d. Desain ulang yang direkomendasikan untuk karakteristik teknis program BOS diuraikan
pada akhir bab lima. Desain besar harus dilakukan pada lima karakteristik dengan angka
absolute dan relative importance terbesar yaitu 1) Monitoring dan Evaluasi, 2) Peningkatan
Motivasi guru dalam melayani siswa didik, 3) Sistem pengelolaan terpadu antara sekolah,
komite sekolah, dan pemerintah, 4) Juklak penggunaan dana BOS, dan 5) Sistem
pengawasan melekat oleh Pemerintah
Saran
a. Pemerintah dapat mewujudkan berkurangnya angka putus sekolah bersamaan dengan
meningkatnya angka partsipasi murni anak usia sekolah bersekolah jika mekanisme
penyaluran dana BOS tidak hanya digunakan untuk keperluan bahan-bahan habis pakai
namun utnuk membantu biaya transportasi siswa menuju sekolah.
b. Pemerintah tidak boleh menyamaratakan kondisi ekonomi seluruh masyarakat begitu saja.
Pemerintah harus mempunyai mekanisme pengawasan agar siswa yang cukup mampu
mendapat porsi subsidi lebih kecil dibandingkan siswa yang tidak mampu sehingga sekolah
dapat menyelenggarakan pendidikan berkualitas tanpa membebani siswa yang tidak mampu.
Hesti Maheswari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Luna Haningsih Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
37
REFERENSI
Berita Antara, 7 Juli 2007
Dikti, 2010, Petunjuk Pelaksanaan BOS
Evans, Lindsay, 2013, Managing for Quality and Performance Excellence, Cengage Learning,
South Western
Foster, 2013, Managing Quality Integrating The Suplly Chain, Pearson, England
Heizer, Jay. & Barry. Render. (2012). Manajemen Operasi, Edisi tujuh, Jakarta : Salemba
Empat.
SMERU, 2013,
Suara Pembaharuan, Februari 2009
UU Pendidikan Dasar, 2004 No. 20 pasal 34 ayat 2 dan 3
Zikmund, 2013, Babin, Carr, Business Reseacrh Methods, Cengage Learning, South Western
BIODATA PENULIS
Hesti Maheswari, Sarjana Ekonomi, Jurusan Manajemen Universitas Jenderal Soedirman, lulus
tahun 1994. Memperoleh gelar Magister Sains Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Manajmen
Universitas Padjajaran, lulus tahun 2002, Saat ini menjadi Dosen di Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Mercu Buana.
Luna Haningsih, Sarjana Ekonomi, Jurusan Manajemen Universitas Gadjah Mada, lulus tahun
1991. Memperoleh gelar Magister Sains Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Manajmen
Universitas Indonesia, lulus tahun 2000, Saat ini menjadi Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Mercu Buana.
BIODATA PENULIS
Hesti Maheswari, Sarjana Ekonomi, Jurusan Manajemen Universitas Jenderal Soedirman, lulus
tahun 1994. Memperoleh gelar Magister Sains Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Manajmen
Universitas Padjajaran, lulus tahun 2002, Saat ini menjadi Dosen di Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Mercu Buana.
Luna Haningsih, Sarjana Ekonomi, Jurusan Manajemen Universitas Gadjah Mada, lulus tahun
1991. Memperoleh gelar Magister Sains Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Manajmen
Universitas Indonesia, lulus tahun 2000, Saat ini menjadi Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Mercu Buana.
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
38
IMPLEMENTASI TEKNOLOGI INFORMASI
ENTERPRISE RESOURCE PLANNING (ERP)
STUDI PADA PERUSAHAAN KEMASAN
Eko Purwanto, Prasetyohadi, dan Firman Dwilaksono Rahardianto
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
PASCASARJANAN UPN “VETERAN” Jawa Timur e-mail: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this research is to test the influences of critical success factors of ERP
implementation. The use of variables based on the results of previous research, which
directly influences the Top management support, Business Process Reengineering, Effective
Project Management and Education and training toward critical success factors of ERP
Implementation. The use of these variables can solve the problems in determining
appropriate strategies for the successful ERP Implementation. According to Martin (1998)
90% of ERP implementation has been delayed and the success rate is only about 33%.
The population used in this research were all ERP users at a packaging company and the
sample size is 57 people. Data collection techniques in this research using questionnaires
and data analysis technique using Partial Least Square (PLS) which is run with the help of
Smart PLS 2.0 M3 software.
The analysis showed that Top Management Support and Education and training influence the
success of ERP implementation, while the other variables such as Business Process
Reengineering and Effective Project Management does not affect the successful
implementation of ERP. To increase the success rate of ERP implementation, users on the
companies that are or have implemented ERP systems should consider some factors such as
Top Management Support and Education and training because these factors shown to affect
the success rate of ERP implementation.
Keywords : ERP, Implementation, Information Technology and PLS.
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
39
PENDAHULUAN
Sistem ERP (Enterprise Resource Planning) dapat dianggap sebagai pengembang utama
dalam penggunaan teknologi informasi di tahun 1990-an (Davenport, 1998). Implementasi
ERP biasanya merupakan suatu proyek besar, kompleks, melibatkan kelompok orang dan
sumber daya lain dalam jumlah yang besar, bekerja bersama di bawah ketatnya jadwal waktu
sesuai dengan yang telah ditetapkan dan menghadapi banyak pengembangan yang tak terduga
(customization), tidak mengherankan, jika banyak dari implementasi ternyata lebih banyak
mencapai kegagalan dibanding mencapai keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan
(Davenport 1998; Avnet 1999; Buckhout et al, 1999).
Banyak bukti yang kuat bahwa proyek implementasi sistem ERP tidak dapat diselesaikan
tepat pada waktunya dan sesuai dengan anggaran yang ada (Parr, Shanks dan Darke 1999)
dan juga dilaporkan secara lengkap bahwa implementasi ERP banyak mengalami kegagalan
(James 1997), tetapi jika sekali sistem ERP berhasil diterapkan, manfaat penting seperti
peningkatan layanan pelanggan, penjadwalan produksi yang lebih baik dan pengurangan
biaya pabrikasi dapat diperoleh. Walaupun tingkat keberhasilan dalam implementasi ERP
rendah, akan tetapi perusahaan yang telah berhasil mengimplementasikan ERP memperoleh
banyak manfaat dari ERP dan telah memanfaatkan sepenuhnya potensi ERP dalam
organisasi. Sekitar 90% implementasi ERP (Martin 1998) mengalami keterlambatan atau
melampaui batas anggaran yang telah ditetapkan dan tingkat keberhasilan dalam
implementasi ERP hanya sekitar 33%.
Berdasarkan hal tersebut, beberapa tahun yang lalu, sejumlah penelitian telah dilakukan
dengan mengacu pada faktor-faktor penentu keberhasilan atau Critical Success Factors
(CSF) untuk implementasi ERP (Holland & Light 1999; Summer 1999; Willcocks & Sykes
2000) dan implementasi IT secara umum (Reel 1999; Marble 2000). Penelitian menunjukkan
bahwa faktor-faktor penentu keberhasilan adalah hal penting dalam implementasi ERP.
Faktor-faktor penentu keberhasilan akan menjaga agar implementasi selesai tepat sesuai
jadwal, sesuai anggaran, memberikan kepuasan pada pemakai, dan seterusnya.
Beberapa faktor penentu telah ditemukan dari penelitian terdahulu, peneliti memilih 4 faktor
dari faktor-faktor penentu keberhasilan tersebut yaitu Top Management Support, Business
Process Reengineering, Effective Project Management serta Education and Training. Adapun
alasan dari pemilihan ke 4 faktor tersebut karena menurut penelitian terdahulu faktor-faktor
tersebut termasuk faktor-faktor yang dominan dalam keberhasilan implementasi aplikasi
sistem ERP
perusahaan kemasan sebagai obyek penelitian karena selama ini beberapa industri kemasan
mulai menerapkan Enterprise Resource Planning (ERP) sebagai implikasi dari tekanan
persaingan yang begitu tajam dan secara umum perusahaan kemasan yang diteliti telah
berhasil mengimplementasikan dan mengambil manfaat dari sistem ERP.
Enterprise Resource Planning (ERP)
Enterprise Resource Planning (ERP) adalah sistem yang berbasis komputer yang didesain
untuk memproses transaksi dan memfasilitasi planning secara terintegrasi dan real time, serta
respon dari customer, sistem dalam ERP diasumsikan memiliki karakteristik tertentu (O‟leary 2000). ERP identik dengan penggunaan teknologi, khususnya mengenai teknologi informasi.
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
40
ERP merupakan integrasi perencanaan dari berbagai fungsi manajemen di dalam perusahaan
seperti marketing dan penjualan, pelayanan lapangan, desain dan pengembangan produk,
desain dan pengembangan proses, pengendalian persediaan, pembelian, distribusi, sumber
daya manusia, peramalan, dan sebagainya.
Integrasi dari sekian banyak fungsi manajemen dan bisnis hanya dapat dilakukan dengan baik
apabila menggunakan teknologi informasi yang mutakhir, oleh karena itu ERP sangat
berhubungan dengan penggunakan teknologi, khususnya teknologi informasi. Kemampuan
sistem untuk mengintegrasikan dari berbagai fungsi bisnis dimungkinkan oleh penggunaan
dan pengembangan teknologi informasi dan komputer. Eckartz et al. (2009) mendefinisikan 3
dimensi dari manfaat dalam implementasi ERP yaitu :
1. Keuntungan Operasional, manajerial dan stratejik.
2. Keuntungan dalam perspektif Balanced Scorecard (Proses, customer, financial dan
inovasi).
3. Keuntungan dalam infrastruktur Teknologi Informasi dan organisasi
Critical Success Factor (CSF)
Faktor-faktor Penentu keberhasilan adalah sejumlah faktor-faktor utama yang dianggap oleh
para eksekutif sebagai hal penting untuk kesuksesan perusahaan, hal ini sangat penting
karena keberhasilan kinerja akan mendorong keberhasilan organisasi dalam mencapai
tujuannya.
Faktor-faktor penentu keberhasilan digambarkan sebagai sebuah jalan untuk membantu
mendefinisikan kebutuhan dalam manajemen organisasi (Gates 2010). Metode Faktor-faktor
Penentu Keberhasilan mengusulkan strategi terbaik bagi organisasi yang didasarkan pada
identifikasi unsur-unsur lingkungan operasional organisasi yang kritis atau yang ditunjukkan
karena adanya suatu ancaman bagi perusahaan.
Berikut daftar 29 critical success factors (CSF) atau faktor-faktor penentu keberhasilan
implementasi ERP (Cooray 2004) :
1. Appropriate decision making framework, 2. Management Structure, 3. Top Management
support, 4. External expertise (use of consultants), 5. Balanced project team, 6. Research, 7.
Clear goals, focus and scope, 8. Effective Project Management, 9. Change Management, 10.
User Participation, 11. Education and Training, 12. Presence of a champion, 13. Minimal
customization, 14. Business process reengineering, 15. Discipline and standardization, 16.
Effective communications, 17. Best people full time planning of this, 18. Technical and
business knowledge, 19. Culture, 20. Monitoring and evaluating of performance, 21.
Software development testing and troubleshooting, 22. Management of expectations, 23.
Vendor customer partnerships, 24. Use of vendors development tools, 25. Vendor package
selection, 26. Interdepartmental cooperation and communication, 27. Hardware issues, 28.
Information and access security, 29. Implementation approach
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
41
Top Management Support
Top Management Support menduduki peringkat ketiga dari survey 13 faktor CSF dalam
Information System (IS) Implementation Success Factor (Jiang et al, 1996). Menurut survey
dari Somers dan Nelson‟s, (2001), Top Management Support menduduki ranking pertama
dari 22 faktor.
Zhang et al (2003) dalam penelitian menyatakan Top Management harus menciptakan
lingkungan untuk penerapan sistem ERP dan hasil yang diperoleh harus dilihat sebagai
bagian dalam pelaksanaannya. Top Management Support dalam implementasi ERP memiliki
beberapa aspek utama yaitu: kepemimpinan dan menyediakan sumber daya yang diperlukan.
Dalam penerapan sistem ERP yang lancar dan sukses perusahaan memerlukan sebuah komite
pengarah untuk berpartisipasi dalam mengadakan pertemuan rutin, memantau upaya
pelaksanaan dan memberikan arah yang jelas untuk keberhasilan proyek. Kesediaan untuk
menyediakan sumber daya yang diperlukan adalah indikator lain dari komitmen Top
Management untuk proyek ERP. Pelaksanaannya bisa mengalami kegagalan jika beberapa
sumber daya yang penting seperti sumber daya manusia, dana dan peralatan tidak dipenuhi.
Slevin dan Pinto (1987) juga mengidentifikasikan Top Management Support sebagai
kemauan dari Top Management untuk menyediakan segala sumber daya yang diperlukan dan
juga mempunyai kekuatan atau otoritas yang tinggi untuk kesuksesan implementasi ERP,
kemauan untuk menyediakan segala sumber daya yang diperlukan merupakan indikator yang
paling utama dari Top Management untuk keberhasilan implementasi ERP.
Peran Top Management Support tidak hanya sebatas menyediakan fasilitas sumber daya,
kepemimpinan ataupun otoritas yang tinggi dalam proyek ERP, akan tetapi harus mengawal
secara penuh implementasi Sistem ERP (Jarrar et al, 2000). Top Management harus secara
kontinu memonitor dan memberikan pengarahan yang dibutuhkan kepada tim pelaksana ERP
(Sawaridass 2007).
Business Process Reengineering
Business Process Reengineering (BPR) atau rekayasa ulang proses bisnis digambarkan oleh
Hammer and Champy (1993) sebagai “pemikiran kembali dan pendesainan ulang proses bisnis untuk meningkatkan kinerja perusahaan dalam hal biaya, kualitas, kecepatan dan
layanan”.
Pemikiran fundamental dari Business Process pertanyaan yang seharusnya muncul adalah
“why do we do what we do”. Hal ini dapat membuat organisasi berpikir kembali tentang
aturan-aturan dan asumsi-asumsi organisasi dalam menjalankan bisnisnya, sehingga pada
akhirnya akan membantu organisasi dalam mengidentifikasi aturan dan asumsi yang sudah
usang dan tidak cocok untuk kemudian tidak disertakan pada desain yang baru.
Selama Business Process Reengineering langkah-langkah radikal harus diambil. Konsep
Reengineering disini adalah menciptakan kembali sebuah sistem organisasi, bukan
memperbaiki atau meningkatkannya. Struktur dan prosedur yang sudah lama mungkin harus
diabaikan dan cara-cara baru untuk bekerja harus diciptakan. Jika kebutuhan perusahaan atau
organisasi hanya suatu perbaikan kecil maka yang diperlukan hanya perbaikan proses, bukan
Reeingineering. Reengineering digunakan untuk perbaikan dalam skala besar. Dalam
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
42
Reengineering diharuskan berfokus pada proses dan bukan pada aktivitas-aktivitas
perusahaan atau organisasi.
Carr (1995) mendefinisikan Business Process Reengineering sebagai teknik yang
berkonsentrasi pada proses untuk membawa perubahan radikal dalam organisasi seperti
memfasilitasi peningkatan kinerja yang signifikan dalam inti proses bisnis untuk mencapai
keunggulan kompetitif. Definisi ini juga mencakup gagasan utama dari Business Process
Reengineering yaitu membuat ulang proses bisnis untuk meningkatkan kinerja organisasi.
Setiap penerapan sistem ERP selalu melibatkan Business Process Reengineering yang ada
menjadi suatu standar proses bisnis yang baik (Holland dan Light 1999). Salah satu alasan
utama mengapa sistem ERP dan sistem teknologi canggih besar lainnya gagal adalah bahwa
organisasi meremehkan pemikiran bagaimana dan sejauh mana organisasi harus berubah serta
penerapan Business Process Reengineering yang ada untuk mengakomodasi pembelian.
Sistem ERP dibangun berdasarkan pada praktik terbaik yang diimplementasikan di industri.
Semua proses dalam sebuah perusahaan harus sesuai dengan model ERP.
Beberapa dimensi mengenai Business Process Reengineering ini adalah (Zhang et al, 2003) :
1. Kesediaan perusahaan untuk Reengineering
Studi sebelumnya mengklaim bahwa semakin mau suatu organisasi untuk berubah
maka semakin sukses pula implementasinya.
2. Kesiapan perusahaan untuk adanya perubahan
Organisasi harus disiapkan dan siap untuk perubahan fundamental untuk menjamin
keberhasilan BPR. Harus ada kepercayaan antara Top Management dan staf dalam
perusahaan, yang semua itu akan membantu proses perubahan
3. Kemampuan perusahaan untuk adanya Reengineering
Perusahaan harus mampu melaksanakan rekayasa ulang dalam arti bahwa proses
memerlukan banyak waktu, biaya/modal dan sumber daya dalam perubahan proses
bisnisnya
4. Komunikasi
Adalah faktor determinan lain yang mempengaruhi pelaksanaan Business Process
Reengineering seperti desain ulang budaya perusahaan saat ini, struktur, dan proses.
Jika orang dalam perusahaan tidak diberi informasi yang cukup tentang tujuan
Business Process Reengineering, maka orang akan merasakan suatu ketidakpastian
tentang pekerjaannya sehingga menghambat kemajuan proses Reengineering.
Manajemen harus menjawab setiap pertanyaan karyawan dan mengadakan rapat
untuk membuat strategi yang dipahami oleh setiap orang.
Effective Project Management
Mengacu pendapat Dennis Lock (1996), yang menyatakan bahwa "aktifitas manajemen
proyek akan semakin meningkat ketika menerapkan perencanaan, koordinasi dan
pengendalian aktivitas yang berbeda dan kompleks dari proyek-proyek komersial dan industri
modern".
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
43
Pelaksanaan proyek ERP melibatkan berbagai fungsi manajemen yang mengarah ke tingkat
yang berbeda pada reorganisasi manajemen (Shi 2010). Kesuksesan Project Management
ditentukan bagaimana mengelola risiko. Project Management adalah penerapan pengetahuan,
keterampilan, peralatan, dan teknik untuk aktivitas proyek untuk memenuhi persyaratan
proyek. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan Project Management Structure (PMS).
Salah satu PMS yang terkenal didunia adalah project management body of knowledge
(PMBOK), yang dikembangkan oleh Project Management Institute (PMI). Metodologi ini
meliputi 5 proses/tahapan Project Management seperti proyek inisiasi, perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, dan penutup. Juga terdiri oleh 9 bidang pengetahuan seperti
Project Integration Management, Project Scope Management, Project Time Management,
Project Cost Management, Project Quality Management, Project Human Resources
Management, Project Communications Management, Project Risk Management, and Project
Procurement Management. Hasil dari studi tentang strategi Project Management dibawah
kerangka kerja PMBOK oleh Fergal et-al (Carton et al, 2008), menggambarkan bahwa
pentingnya tata kelola proyek dan kebutuhan struktur multi-level mencakup tingkat corporate
sampai tingkat lokal.
Perlu direncanakan metode proyek yang terstruktur dengan kemudahan adaptasi untuk
menghasilkan pendekatan baru dalam mengelola proyek oleh Alleman (Alleman 2002).
Metode ini didasarkan pada pendekatan venture capitalist yang meliputi: staged investment,
manajemen risiko & manusia (tim yang terlibat). Alleman menemukan bahwa Model
Traditional IT Project Management Waterfall yang meliputi perencanaan, perubahan dan
stabilitas memiliki beberapa asumsi yang keliru. Namun ia menyarankan bahwa melalui
perencanaan ditengah ketidakpastian, menghindari hubungan disfungsional dan tuntutan yang
tidak benar dapat mengatasi kelemahan dalam pendekatan tradisional. Alleman mengusulkan
prinsip-prinsip berikut untuk mengelola proyek ERP : menerapkan kesederhanaan,
mendukung perubahan, usaha perubahan tambahan, memaksimalkan nilai stakeholder,
memiliki beberapa pandangan, umpan balik yang cepat dan memastikan perangkat lunak
yang bekerja dengan baik sebagai tujuan utama (Alleman 2002).
Sistem implementasi ERP adalah serangkaian kegiatan yang kompleks, melibatkan seluruh
fungsi manajemen bisnis dan membutuhkan waktu antara satu dan dua tahun, sehingga
perusahaan harus memiliki strategi Project Management yang efektif untuk mengontrol
proses pelaksanaan, menghindari anggaran yang berlebih dan memastikan pelaksanaan sesuai
jadwal.
Menurut Zhang et al (2003) terdapat lima bagian utama dari keefektifan Project Management
yaitu :
1. Mempunyai suatu perencanaan implementasi secara formal
Perencanaan formal dalam implementasi proyek digambarkan sebagai aktivitas
proyek, komitmen personil terhadap aktivitas tersebut, dan dukungan promosi
organisatoris melalui pengaturan proses implementasi.
2. Menetapkan suatu batasan waktu yang realistis
Penetapan suatu batasan waktu yang realistis sangat penting. Jika jadwal waktu
penyelesaian target tidak realistik, terlalu pendek/singkat, akan timbul tekanan untuk
dapat mengakhiri implementasi dengan cepat sehingga akan mengakibatkan
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
44
implementasi akan diselesaikan secara terburu-buru. Pada sisi lain, jika waktu untuk
implementasi terlalu panjang, orang akan cenderung merasa tidak sabar / bosan.
3. Melaksanakan pertemuan-pertemuan secara berkala untuk memantau status proyek
Dimana dalam pertemuan tersebut masing-masing anggota tim akan melaporkan
kemajuan dan permasalahan yang ada. Hal ini merupakan suatu alat yang tidak
ternilai untuk mengevaluasi kemajuan implementasi ERP
4. Menetapkan seorang pimpinan proyek yang berpengalaman
Pemilihan pimpinan proyek adalah juga merupakan hal yang penting untuk
keberhasilan proyek implementasi
Education and Training
Pendidikan dan pelatihan mengacu pada proses persiapan bagi karyawan dan manajemen
melalui penjelasan-penjelasan tentang logika dan keseluruhan konsep dari sistem ERP (Sum
et al, 1997), dengan demikian, orang akan dapat memahami dengan lebih baik bagaimana
suatu pekerjaan berhubungan dengan area fungsional lain di dalam perusahaan itu. User /
pemakai adalah orang yang menghasilkan hasil dan bertanggung jawab agar sistem dapat
terlaksana sesuai dengan yang diharapkan.
Pendidikan dan pelatihan sangat penting dalam sebuah proyek implementasi ERP tidak hanya
sebagai sarana pengguna untuk beradaptasi dengan sistem ERP baru, tetapi juga untuk
membantu dalam proses perubahan organisasi.
Menurut Zhang et al (2003) terdapat tiga aspek penting tentang pelatihan antara lain :
1. Konsep dan logika ERP
2. Konsep dari pelatihan akan menunjukkan pada setiap orang mengapa sistem
ERP diterapkan dan mengapa penggunaan sistem ERP perlu dilakukan.
3. Pemahaman terhadap fasilitas-fasilitas yang dimiliki teknologi ERP
4. Pelatihan langsung fungsional (pelatihan langsung) membantu menghilangkan
rasa takut dengan penggunaan sistem komputer dari para manajer yang merasa
sama sekali tidak memahami komputer dan akan kehilangan kekuasaan jika
tenaga kerja dikurangi berkaitan dengan komputerisasi.
Keberhasilan Implementasi ERP
Menurut Delone dan Mclean, ketika penggunaan sistem informasi yang baru diwajibkan,
pengukuran pada kualitas sistem, penggunaan sistem dan kualitas informasi pada sistem
sebelumnya menjadi kurang bermanfaat. Kepuasan pemakai digunakan untuk mengukur
interaksi para pemakai dengan sistem informasi tersebut. Ginzberg (1981) mengdopsi
kepuasan pemakai untuk mengukur keberhasilan implementasi sistem informasi. Powers dan
Dickson (1973) menggunakan kepuasan pemakai untuk mengukur keberhasilan proyek MIS.
Dampak bagi individu dan dampak bagi organisasi merupakan dua ukuran yang digunakan
untuk menandai kontribusi sistim informasi bagi para pemakai/user dan kinerja organisasi,
yang tampaknya sulit dapat mencapai suatu kesimpulan tanpa mengacu pada beberapa
dokumen dari Delone dan Mclean.
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
45
Perkembangan selanjutnya, DeLone dan McLean (2003) akhirnya membagi keberhasilan
implementasi sistem informasi menjadi tiga kategori, yaitu :
1. Kualitas.
Merupakan gabungan dari kualitas informasi (information quality), kualitas sistem
(systems quality) dan kualitas pelayanan (service quality)..
2. Penggunaan sistem
Pemakaian sistem atau user/pemakai sistem saling berhubungan erat. Umumnya
penggunaan sistem harus didahului oleh kepuasan user/pemakai dalam sebuah proses,
tetapi secara positif penggunaan sistem akan mendorong menuju ke arah kepuasan
user/pemakai dan berhubungan kausalitas. Artinya peningkatan kepuasan user/
pemakai akan mendorong peningkatan keinginan untuk menggunakan system.
3. Net benefit
Merupakan kombinasi dari pengaruh individu (individual impact) dan pengaruh
perusahaan (organizational impact). Net benefit ini memunculkan tiga masalah yang
harus dipertimbangkan, yaitu apa kualifikasi dari “benefit”, untuk siapa dan seberapa besar analisa yang dibutuhkan. Manfaat net benefit kemungkinan merupakan
descriptor yang paling akurat dari keberhasilan akhir suatu variabel.
Berdasarkan dasar teori tersebut maka Kerangka konseptual penelitian dapat dilihat pada
gambar dibawah ini :
Gambar 1 Kerangka Konsep Penelitian
Keberhasilan
Implementasi
ERP (Y)
Top Management
Support (X1)
Business Process
Reengineering
(X2)
Project
Management
(X3)
Education and
Training (X4)
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
46
Dengan memperhatikan perumusan masalah, landasan teori dan kerangka pemikiran, maka
untuk menjawab permasalahan tentang seberapa besar Critical Success Faktor terhadap
Implementasi ERP, diambil hipotesis sebagai berikut :
Hipotesis 1 : Semakin besar Top Management Support semakin besar keberhasilan dalam
implementasi ERP
Hipotesis 2 : Semakin baik Business Process Reengineering yang dilakukan perusahaan
semakin besar keberhasilan implementasi ERP
Hipotesis 3 : Semakin efektif Project Management semakin besar keberhasilan dalam
implementasi ERP
Hipotesis 4 : Semakin baik penyelenggaraan Education and Training semakin besar
keberhasilan implementasi ERP
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh pengguna ERP pada suatu
perusahaan kemasan sejumlah 133 orang.
Setelah mengidentifikasi populasinya, selanjutnya ditentukan pemilihan sampel. Sampel yang
dimaksud adalah bagian dari populasi yaitu seluruh pengguna ERP pada suatu perusahaan
kemasan. Sampel merupakan bagian dari populasi yang dijadikan objek dalam penelitian ini,
dan dianggap dapat mewakili seluruh populasi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan
adalah menggunakan model pemilihan (purposive), yaitu orang yang terlibat secara langsung
dalam penerapan system ERP. Yang terdiri dari pengguna dan sekaligus tim ERP yang
berjumlah 57 orang.
Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan Partial Least Square (PLS) dengan
bantuan software Smart PLS 2.0 M3.
Berikut diagram model penelitian berdasarkan indikator-indikator yang telah ditentukan
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
47
Gambar 2 Model Penelitian
HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
Analisa Top Management Support terhadap Keberhasilan Implementasi ERP
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis (Path Coefficients) yang telah dilakukan untuk
menganalisa pengaruh Top Management Support terhadap keberhasilan implementasi ERP,
diperoleh hasil bahwa Top Management Support berpengaruh signifikan (positif) terhadap
keberhasilan implementasi ERP dan mempunyai pengaruh terbesar dibanding variabel
lainnya, artinya semakin baik Top Management Support maka tingkat keberhasilan
implementasi ERP meningkat. Berdasarkan hasil kuesioner penelitian menunjukkan bahwa
kepemimpinan dari Top Management merupakan dasar utama keberhasilan implementasi
ERP, kepemimpinan disini adalah bagaimana Top Management memanfaatkan otoritas yang
dimiliki agar tim ERP tetap berada pada tujuan keberhasilan implementasi ERP dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada secara efektif dan seefisien mungkin dengan cara
mengawal dan mengevaluasi pelaksanaan ERP dari awal sampai akhir. Harapan kedepannya
adalah Top Management lebih memberikan pengawasan dan pengarahan untuk keberhasilan
implementasi ERP, dalam hal ini adalah ikut andilnya Top Management dalam mengarahkan
tim ERP agar dapat mengimplementasikan ERP secara tepat waktu dan membantu
Kepemimpinan (X1.1)
Keberhasilan
Implementasi ERP
(Y)
Top Management
Support (X1)
Business Process
Reengineering (X2)
Project
Management
Education and
Training (X4)
Penyedia dari sumber
daya (X1.2)
Pengawasan dan
pengarahan (X1.3)
Kemampuan untuk
adanya
reengineering (X2.1)
Kesiapan untuk
adanya perubahan
(X2.2)
Komunikasi (X2.3)
Memiliki rencana
implementasi (X3.1)
Batasan waktu yang
realistis (X3.2)
Keterampilan Kepala
Proyek (X3.3)
Konsep dan Logika
ERP (X4.1)
Pemahaman
terhadap fasilitas
Pelatihan langsung
(X4.3)
Kualitas (Y1)
Penggunaan sistem
(Y2)
Net Benefit (Y3)
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
48
menyelesaikan masalah-masalah yang kerap ditemui dalam implementasi ERP seperti
permasalahan sumber daya, dana dan koordinasi antar bagian dalam tim ERP.
Analisa Business Process Reengineering terhadap Keberhasilan Implementasi ERP
Pengujian model struktural (inner model) pada koefisien path (Path Coefficients) yang telah
dilakukan untuk menganalisa pengaruh Business Process Reengineering terhadap
Keberhasilan implementasi ERP, diperoleh hasil bahwa Business Process Reengineering
berpengaruh Non signifikan (positif) terhadap keberhasilan implementasi ERP artinya tidak
ada pengaruh yang signifikan antara Business Process Reengineering dan keberhasilan
implementasi ERP, ini disebabkan perusahaan selama ini belum melakukan Business Process
Reengineering. Perubahan sistem atau rekayasa sistem yang pernah dilakukan hanya
perubahan sistem manual ke komputerisasi, itupun tidak merubah sistem secara keseluruhan.
Pengujian model Outer Weights menunjukkan sebagian besar responden menganggap
keberhasilan Business Process Reengineering tidak ditentukan dari kesiapan organisasi untuk
menghadapi perubahan, kemampuan merekayasa ulang ataupun komunikasi dikarenakan
responden kurang mengetahui proses rekayasa ulang dan tindakan-tindakan yang dilakukan
Top Management dalam hal perubahan sistem seperti komunikasi serta koordinasi proses
antar bagian. Hasil penelitian menunjukkan apabila Business Process Reengineering
mengalami kemajuan maka keberhasilan implementasi ERP akan meningkat pula begitupun
sebaliknya. Berdasarkan hasil kuesioner penelitian menunjukkan bahwa pada saat penelitian
maupun kedepannya komunikasi antar bagian dari tim ERP merupakan dasar utama dalam
keberhasilan merekayasa ulang sistem meskipun itu tidak berpengaruh signifikan terhadap
keberhasilan implementasi ERP.
Analisa Effective Project Management terhadap Keberhasilan Implementasi ERP
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis (Path Coefficients) yang telah dilakukan untuk
menganalisa pengaruh Effective Project Management terhadap keberhasilan implementasi
ERP, diperoleh hasil bahwa Effective Project Management berpengaruh non signifikan
(negatif) terhadap keberhasilan implementasi ERP artinya semakin efektif Project
Management dalam suatu perusahaan maka akan meningkatkan keberhasilan implementasi
ERP tidak terbukti dalam penelitian ini, ini disebabkan Project Management tidak mengikuti
keseluruhan 5 metodologi dari PMBOK yaitu inisiasi, perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian dan penutup dikarenakan kurangnya personil dari Project Management serta
hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari Top Management dimana hanya fokus
pada teknis pelaksanaan dan pengembangan ERP. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa saat
ini pengaruh Project Management ada pada keterampilan kepala proyek dalam memimpin
teknis pelaksanaan ERP, sedangkan untuk kedepannya Project Management juga dituntut
memberikan batasan waktu yang lebih realistis baik kepada vendor ataupun pengguna ERP.
Keterampilan kepala proyek dan batasan waktu yang diberikan Project Management tidak
memiliki pengaruh terhadap terhadap keberhasilan implementasi ERP. Hal ini menunjukkan
bahwa Project Management di perusahaan cenderung lemah, sehingga kurang memberikan
kontribusi terhadap keberhasilan implementasi ERP.
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
49
Analisa Education and training terhadap Keberhasilan Implementasi ERP
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis (Path Coefficients) yang telah dilakukan untuk
menganalisa pengaruh Education and training terhadap keberhasilan implementasi ERP,
diperoleh hasil bahwa Education and training berpengaruh signifikan (positif) terhadap
keberhasilan implementasi ERP, artinya semakin baik Education and training yang dilakukan
maka tingkat keberhasilan implementasi ERP meningkat. Berdasarkan hasil kuesioner
penelitian menunjukkan bahwa pada saat penelitian dan kedepannya pelaksanaan pelatihan
secara praktek langsung kepada pengguna dapat membantu dalam penerapan implementasi
ERP. Peran tenaga pengajar yang kompeten dan berkualitas disini sangat penting. Tenaga
pengajar yang berkualitas adalah tenaga pengajar yang bisa berfungsi sebagai penghubung
antara masalah yang dihadapi perusahaan dengan keunggulan yang dimiliki oleh sistem ERP.
Sebagian besar pengguna ERP tidak suka materi pelatihan yang berupa konsep dan teoritis.
Pelatihan secara praktek langsung terbukti lebih disukai dan efektif bagi pengguna atau calon
pengguna ERP, dikarenakan pengguna akan lebih mudah mempelajari fungsi – fungsi yang
ada dan langsung terjun kedalam sistem ERP itu sendiri. Pengguna juga akan dapat
memahami dengan lebih baik bagaimana hubungan suatu pekerjaan dengan area fungsional
lain di dalam perusahaan itu.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Top Management Support merupakan faktor yang memiliki kontribusi terhadap
keberhasilan implementasi ERP, artinya semakin tinggi dukungan Top Management
maka tingkat keberhasilan implementasi ERP semakin tinggi.
2. Ternyata Business Process Reengineering bukan menjadi faktor penentu terhadap
keberhasilan implementasi ERP. Kemampuan perusahaan dalam melakukan rekayasa
ulang sistem bukan merupakan faktor keberhasilan implementasi ERP.
3. Efektifitas Project Management juga bukan merupakan faktor yang mempunyai
kontribusi terhadap keberhasilan implementasi ERP. Project Management yang baik
seperti keterampilan kepala proyek tidak cukup untuk mencapai keberhasilan
implementasi ERP.
4. Education and training merupakan faktor yang menetukan dalam keberhasilan
implementasi ERP, artinya semakin baik Education and training yang dilakukan
perusahaan maka harapan tingkat keberhasilan implementasi ERP semakin tinggi..
Saran Manajerial
1. Top Management Support diharapkan lebih aktif dan progresif terlibat langsung dalam
proses implementasi ERP, yaitu dengan cara melakukan pengawasan dan pengarahan
secara terus menerus, sehingga setiap saat terdapat kendala dan timbul masalah dapat
segera terselesaikan.
2. Faktor Pendidikan dan pelatihan memiliki peran yang penting dalam keberhasilan
implementasi ERP, oleh sebab itu perusahaan diharapkan selalu mengikut sertakan
sumberdaya manusia yang mempunyai kompetensi di bidang ERP dalam kegiatan
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
50
kegiatan seminar, workshop dan lainnya agar dapat menularkan kepada karyawan dalam
perusahaan.
3. Penelitian berikut agar lebih focus Critical Success Factor selain Business Process
Reengineering, misalnya dalam hal pemilihan vendor, pemilihan perangkat keras dan
lunak serta obyek penelitian yang telah melaksanakan Business Process Reengineering
secara baik, sehingga faktor keberhasilan implementasi ERP dapat dianalisa lebih terinci
dan akurat.
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
51
DAFTAR PUSTAKA
Alleman. G.B. 2002. Agile Project Management Methods for ERP: How to Apply Agile
Processes to Complex COTS Projects and Live to Tell About It. In XP/Agile Universe
LNCS 2418.
Avnet. 1999. ERP Not Living up to Promise. Global Supply Chain 2 (1), 7.Furtwengler, D.
2002.
Bingi, P.; Sharma, M K. dan Godla, J K. 1999. Critical issues affecting an ERP
implementation. Information Systems Management, Summer99, Vol. 16 Issue 3, p7,
8p.
Buckhout SE Frey dan Nemec, J. JR. 1999. Making ERP Succeed; Turning Fear into
Promise. Strategy and Business 2nd Quarter Booz-Allen and HamiltonGibson, J.L.,
J.M. Ivancevich dan J.H. Donnelly, Jr. 2006.
Carr, K David. 1995. Best Practices in Reengineering : What Works and What doesn't in
the Reengineering Process. McGraw-Hill, New York.
Carton. F., Adam F., Sammon D. 2008. Project management: a case study of a successful
ERP implementation. International Journal of Managing Projects in Business, Vol. 1
Iss: 1, pp.106 – 1 24.
Cooray, M.D.P. 2004. Framework for Successful ERP Implementation. Department of
Computer Science and Engineering University of Moratuwa December 2004.
Davenport , T. 1998. Putting the Enterprise into the Enterprise System. Harvard Business
Review July-August 121-131.
DeLone, W.H. and McLean, E.R. 2003. The DeLone and McLean Model of Information
Systems Success: A Ten-Year Update. Journal of Management Information Systems /
Spring 2003, Vol. 19, No. 4, pp. 9–30.
Earl, Michael, Sampler. J., Short. J.1995. Strategies for Reengineering: Different ways of
Initiating and Implementing Business Process Change. Centre for Research in
Information Management, London Business School.
Eckartz, S., Daneva, M., Wieringa R., van Hillegersberg, J. 2009. A conceptual framework
for ERP benefit classification: a literature review. Technical Report TR-CTIT-09-04,
Centre for Telematics and Information Technology, University of Twente, Enschede,
the Netherlands (ISSN 1381-3625).
Gates, Linda Parker. 2010. Strategic Planning with Critical Success Factors and Future
Scenarios: An Integrated Strategic Planning Framework. Software Engineering
Institute (2010).
Hammer, Michael dan Champy, James. 1993. Reengineering the Corporation: A Manifesto
for Business Revolution. Harper Business New York.
Holland, CP. dan Light, B. 1999. A critical success factors model for ERP implementation.
IEEE Software 16, 30–36.
James, G. 1997. IT fiascos and how to avoid them. Datamation, November, 1997.
Jeanne, Ross. 1999. Surprising Facts About Implementing ERP. IT Pro, pp. 65–68.
Eko Purwanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Prasetyo Hadi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Firman Dwilaksono Rahardianto
52
Marble, RP. 2000. Operationalising the implementation puzzle: an argument for
eclecticism in research and in practice. European Journal of Information Systems 9,
132–147.
Martin, MH. 1998. An ERP Strategy. Fortune, February 1998, pp. 95-97.
O‟Leary, D. 2000. Enterprise Resource Planning Systems: Systems, Life Cycle, Electronic
Commerce, and Risk. New York: Cambridge University Press, 2000.
Parr, A., Shanks, G. dan Darke, P., 1999. Identification of necessary factors for successful
implementation of ERP systems. New Information Technologies in Organisational
Processes, O. Ngwenyama, L.D. Introna, M.D. Myers and J.I. DeCross, Eds. Boston:
Kluwer Academic Publishers, 1999, pp. 99-119.
Reel, JS. 1999. Critical success factors in software projects. IEEE Software 16 18–23.
Sawaridass Arokiasamy. 2007. Critical Success Factors for successful implementation of
Enterprise Resource Planning systems in manufacturing organizations. International
journal of business Information Systems Volume 2 Issue 3, November 2007 Pages 276-
297.
Shi. Y. 2010. Application research of project management in ERP system implementation
process. Emergency Management and Management Sciences (ICEMMS), 2010 IEEE
International Conference on, pp: 68 - 71.
Sum, C.C., Ang, J.S.K., dan Yeo, L.N. 1997. Contextual Elements of Critical Success
Factors in MRP Implementation. Production and Inventory Management Journal (3),
1997, pp. 77-83.
Tsai. W.H., S hen. Y. S., L ee. P. L., K uo.L. 2009. An empirical investigation of the impacts
of ERP consultant selections and project management on ERP is success assessment.
Industrial Engineering and Engineering Management, 2009, IEEM. IEEE International
Conference on, pp: 568-572, Hong Kong.
Willcocks, LP. dan Sykes, R. 2000. The role of the CIO and IT function in ERP.
Communications of the ACM 43, 33–38.
Zhang, L., Lee, Matthew K.O., Zhang, Zhe, Banerjee, Probir. 2003. Critical Success Factors
of Enterprise Resource Planning Systems Implementation Success in China.
Department of Information Systems, City University of Hong Kong, Hong Kong,
China.
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
53
PERANCANGAN MODEL BISNIS CAFE ZAPATERIA
Peggy Hariwan
Inggi Silviatni
Administrsi Bisnis, Telkom University
Jl. Telekomunikasi No. 1 Ters. Buahbatu – Dayeuh Kolot
email: peggyhariwan@gmail .com
ABSTRACT
The aim of this research is to plan business model for Zapateria’s cafe using BMC framework. Zapateria will be presented as example of development service cafe system
which offer coziness, the simplicity of eat and shop which never been offered by other cafe.
Moreover, the data exist showed the sum of people who visit Bandung for culinary and
shopping with the number increase time to time. Those things are the reasons why this
research made which are business model for cafe and shoes shop at one blow.
Knowing the responses from the prospect of customers, which are adults, tourists,
community, and shoes lover is the main aim of this research as a support in making business
model plan that will be established. Qualitative method is the methodology used by the
research which also triangulasi theory which are practitioners, expertise of cafe business,
and experts in business field as data source. Direct interview to all source become technique
to gather the data. The results analyzed and become indicator in empathy map.
From the results of interview held show there are disappointment for miss delivery order and
willingness of improvement for service offered by the exist cafe in Bandung by music
performance in weekend and using gadget for integrated order from customer to the kitchen
to reduce mistaken order and missing order. Final plan made from this research be expected
can help development of business idea in Zapateria and other cafe.
Keywords: Business Model, Business Model Canvas (BMC), Cafe, and Shoes
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
54
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Pada mulanya budaya minum kopi di Indonesia merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh
pemerintah Belanda pada jaman tanam paksa. Namun, seiring perkembangannya masyarakat
Indonesia pun mulai gemar meminum kopi. Kehadiran kedai kopi atau cafe di Indonesia,
mengubah gaya hidup masyarakat Indonesia dalam meminum kopi. Meminum kopi tidak lagi
menjadi kebiasaan orang dewasa hanya untuk mengurangi kantuk, tetapi juga anak muda baik
pria maupun wanita. Dulu kedai kopi atau cafe identik dengan tempat yang kurang nyaman,
tidak terlihat menarik dengan suasana yang monoton. Kini cafe identik dengan tempat yang
nyaman, suasana yang cozy, fasilitas yang lengkap seperti lounge,bar, AC (Air
Conditioner), Wi-Fi, bahkan mulai bermunculan cafe dengan desain interior yang unik yang
belum pernah ada sebelumnya. Sehingga tidak aneh apabila saat ini masyarakat merasa
nyaman untuk menghabiskan banyak waktubersama kerabat di kedai kopi atau cafe.
Dengan berbagai sarana dan prasarana yang ditawarkan oleh cafe saat ini, masyarakat
menjadikan cafe sebagai tempat yang nyaman untuk melakukan berbagai aktivitas seperti
tempat untuk bertemu dengan sahabat, teman lama, keluarga, ataupun kolega bisnis. Tidak
jarang konsumen cafe datang untuk mengerjakan tugas kuliah, tugas kantor, atau sekedar
memperoleh informasi terbaru dengan memanfaatkan fasilitas jaringan Wi-Fi yang
disediakan oleh cafe tersebut, sambil mencicipi berbagai jenis minuman dan makanan yang
ditawarkan.
Bandung sebagai salah satu simbol wisata kuliner, tidak ketinggalan dalam perkembangan
bisnis cafe. Sejak tahun 2006 di bandung mulai banyak bermunculan kedai kopi lokal yang
sejenis dengan kedai kopi asing seperti Starbucks Coffee, Gloria jean’s Coffee, dan The Coffee Bean and Tea Leaf. Kedai kopi ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
akan budaya minum kopi dengan sarana dan prasarana yang sangat memberikan kenyamanan
bagi konsumennya, seperti tempat duduk yang nyaman serta kemudahan akses internet.
Menurut Kotler (dalam Tjiptono et al., 2006:28) agar dapat mengikuti perkembangan dan
unggul dalam persaingan, perusahaan dituntut untuk dapat memberikan kepuasan kepada
pelanggannya dengan memberikan suatu produk atau jasa dengan mutu yang lebih baik dan
harga lebih murah serta kepastian ketersediaan. Suatu usaha juga akan mengalami tantangan
tersendiri dan dituntut mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki pesaing. Hal ini berlaku
di semua jenis bisnis terlebih industri yang merabah seperti industri kuliner dan fashion. Oleh
karena itu, peneliti memiliki ide dalam perencanaan bisnis cafe yang belum ada sebelumnya
yakni penggabungan antara bidang kuliner dan fashion (sepatu).
Sepatu dipilih karena sepatu termasuk unsur penting pembentuk self image seseorang.
Membuat penggunanya makin percaya diri dan nyaman ketika berinteraksi dengan orang
lain. Jika self imagenya positif, maka akan berdampak pada terbangunnya konsep diri yang
positif pula. Dengan konsep diri positif, maka individu tersebut akan bahagia dengan hidup
yang dijalaninya.
Apalagi pada momen pesta atau acara sosial yang membuat penampilan mereka terekspos
oleh banyak orang. Keberadaan sepatu jadi penting untuk dipadukan dengan busana yang
dipakai. Ungkapan ini dikemukan oleh Linda O‟Keeffe dalam sebuah bukunya yang berjudul Shoes.
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
55
Dalam buku kecil namun menarik isinya tersebut, O‟Keeffe mengungkapkan bagaimana sepatu wanita punya banyak hal esensial dalam kehidupan yang bisa digali. Mulai dari ranah
psikologi, folklore (cerita rakyat), hingga sejarah sosial, dapat dikupas secara
mendalam. Berkaitan dengan folklore, di dalam bukunya O‟Keeffe menyatakan keberadaan sepatu wanita dapat dilihat pada dongeng Cinderella. Kisah fiktif terkenal itu menceritakan
bagaimana sepasang sepatu kaca dapat mengubah nasib seorang wanita secara drastis. Dari
wanita terjajah dan terhina, menjadi wanita yang dipuja dan didamba semua orang.
Ada pun perbincangan mengenai sejarah sepatu dalam konteks sosial, akan mengarah pada
bagaimana awal mulanya keberadaan sepatu dan perkembangannya hingga menjadi bagian
dari fashion tak terpisahkan. Salah satu sumber lengkap untuk melihat hal tersebut adalah
dengan mengunjungi berbagai museum sepatu wanita yang tersebar di berbagai kota di dunia.
Yaitu Clarks Museum, Bally Shoe Museum, The Bata Shoe Museum, Charles Jourdan
Museum, dan Museo Salvatore Ferragamo.
Seperti yang diketahui, Bandung adalah tempat bagi mereka yang mencari sensasi berkuliner
dan belanja, serta menilai kepuasan dalam melewati kehidupan sosial, berkeluarga dan
kebersamaan. Kota Bandung sebagai ibu kota provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di
tengah-tengah provinsi Jawa Barat dan mempunyai nilai strategis terhadap daerah-daerah di
sekitarnya terutama DKI Jakarta. Berkat dataran tinggi dan gunung-gunung di sekelilingnya,
Kota Bandung memiliki hawa yang sejuk dan panorama alam yang indah.
Kota Bandung juga merupakan pusat perkembangan dan industri, karena itu Bandung juga
mempunyai daya tarik untuk para kaum urban untuk mencari pekerjaan. Banyaknya
pendatang dari berbagai daerah ke Kota Bandung untuk menuntut ilmu atau mencari
pekerjaan, menjadikan penduduk Kota Bandung sangat heterogen. Pada Tahun 2012, Kota
Bandung memiliki penduduk sebanyak 2.455.517 jiwa (BPS Kota Bandung 2012), dengan
laju pertumbuhan penduduk 1,26 % dan tingkat kepadatan penduduk mencapai 14.676 orang
per km2. Heteroginitas masyarakat Kota Bandung tersebut selain merupakan tantangan bagi
Kota Bandung dalam mengelola jumlah penduduk yang besar, juga memberi peluang bagi
perkembangan khasanah kekayaan kuliner nusantara di Kota Bandung yang dapat
dimanfaatkan sebagai daya tarik destinasi wisatawan dari luar Bandung khususnya dari
Ibukota DKI Jakarta.
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
56
Tabel 1Penduduk Kota Bandung Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2012
Sumber: BPS Kota Bandung
Selain terkenal dengan daerah wisata belanja, Bandung juga terkenal sebagai pusat kuliner,
baik kuliner lokal maupun internasional. Bandung memiliki tempat kuliner yang eksklusif,
mewah dan mahal sampai tempat kuliner yang unik dan tradisional, begitu juga tempat
kuliner nongkrong anak muda sampai tempat kuliner di pinggiran jalan semuanya tersedia di
Kota Bandung.
Maka dari itu Kota Bandung merupakan salah satu kota wisata yang digemari bidang kuliner
dan fashionnya, terbukti dengan adanya kenaikan yang signifikan pada kunjungan wisatawan
ke Bandung setiap tahunnya. Bandung memiliki berbagai pilihan kuliner unik dan fashion
yang beragam sehingga wisatawan tidak pernah bosan untuk berkunjung ke Bandung,
terlebih lagi disaat weekend dan libur panjang. Kenaikan jumlah wisatawan ke Kota Bandung
diiringi dengan meningkatnya jumlah cafe atau tempat makan sejenis lainnya.
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
57
Tabel 2Jumlah Wisatawan Mancanegara dan Nusantara ke Objek Wisata Kota BandungTahun 2007 -
2011
Tahun Jumlah Wisman Tahun Jumlah Wisnus
2007 137.268 2007 2.420.105
2008 150.995 2008 2.662.115
2009 185.076 2009 7.515.255
2010 228.449 2010 4.951.439
2011 225.585 2011 6.487.239
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung
Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan jumlah wisatawan ke
Bandung dari tahun ke tahun, hal ini dilihat sebagai peluang bagi pengusaha untuk
menciptakan bisnis baru yang dicari wisatawan. Melihat kondisi persaingan yang semakin
ketat, setiap perusahaan perlu meningkatkan kekuatan yang ada dalam perusahaannya dengan
cara memunculkan faktor pembeda atau keunikan yang dimiliki perusahaan dibandingkan
dengan pesaing untuk dapat menarik konsumen. Bermunculannya restoran-restoran baru di
Bandung yang semakin banyak membuat persaingan menjadi ketat, mendorong usaha baru
atau usaha yang sudah ada harus memiliki daya tarik yang berbeda dari yang lain.
Tabel 3 Usaha Cafe di Kota Bandung
Tahun Jumlah Cafe Presentase Kenaikan
2008 156
2009 186 19,23%
2010 191 2,68%
2011 196 2,61%
2012 235 19,89%
Sumber ; http://bandung.go.id
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
58
Tabel 3 memperlihatkan bahwa dari tahun 2008 sampai 2012 terdapat peningkatan jumlah
cafe yang mengakibatkan persaingan dalam bidang restoran di Kota Bandung meningkat
juga, sehingga perusahaan harus mempunyai ciri khas sendiri untuk dapat bersaing dengan
perusahaan yang menawarkan produk sejenis. Oleh karena itu penulis menuangkan ide dalam
pembuatan bisnis baru di bidang kuliner dan fashion yang belum pernah ada di Kota Bandung
sebelumnya pada sebuah penelitian yang berjudul “Perancangan Model Bisnis Cafe Zapateria”.
Rumusan Masalah Penelitian
Bagaimana rancangan desain atau model bisnis Zapateria menggunakan toolBusiness Model
Canvas.
Pernyataan tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyiapkan rancangan desain atau model bisnis
Zapateria dengan menggunakan Business Model Canvas untuk menjelaskan model bisnis ini.
LANDASAN TEORI
Tinjauan Pustaka
Bisnis Model Kanvas dan Peta Empati merupakan hal penting untuk membangun sebuah
bisnis model.Peta empati sendiri merupakan alat bantu visual yang membantu kita untuk
dapat membuat profil pelanggan dengan cara yang sangat mudah dan sederhana. Peta empati
sangat penting karena banyak perusahaan berinvestasi sangat besar dalam riset pasar,
meskipun pada saat mendesain produk, layanan, dan model bisnis sering kali mengabaikan
perspektif pelanggan. Desain model bisnis yang baik akan menghindari kesalahan seperti ini.
Model Bisnis Kanvas
Menurut Eisenmann (2002:12), Model Bisnis adalah hipotesis tentang bagaimana perusahaan
menghasilkan uang dalam jangka panjang: apa yang perusahaan akan jual, dan kepada siapa,
bagaimana perusahaan akan mengumpulkan pendapatan, teknologi apa yang akan digunakan,
kapan perusahaan akan bergantung pada mitra bisnisnya serta bagaimana dengan hal biaya.
Definisi lain mengenai model bisnis yaitu “Sebuah model bisnis menggambarkan dasar
pemikiran tentang bagaimana organisasi menciptakan, memberikan, dan menangkap nilai.” (Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur, 2012:14).
Menurut Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur dalam bukunya Business Model
Generation ada sembilan blok bangunan dasar pada sebuah bisnis model yang
memperlihatkan cara berpikir tentang bagaimana sebuah perusahaan menghasilkan uang,
gabungan kesembilan blok tersebut disebut Business Model Canvas (BMC). Kesembilan blok
tersebut mencangkup empat bidang utama pada suatu bisnis, yaitu pelanggan, penawaran,
infrastruktur, dan kelangsungan finansial (Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur,
2012:15)
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
59
Gambar 1 Model Bisnis Kanvas
Sumber: Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur (2012:44)
2.1. Kerangka Pemikiran
Perkembangan dunia bisnis membuat banyaknya ide-ide baru yang bermunculan sebagai
bentuk antusiasme dari dunia bisnis itu sendiri. Dari berbagai macam ide yang muncul,
terdapat tools yang dapat mewadahi ide-ide tersebut untuk dilakukan perancangan bisnis
awal. Dan tools Business Model Canvas menjadi salah satu pilihan untuk membuat rancangan
bisnis awal dari ide-ide tersebut. Rancangan bisnis awal yang muncul akan dituangkan
kedalam sebuah pertanyaan yang terdapat pada tools Empaty Map dan kemudian hasil
jawaban dari pertanyaan yang berasal dari empaty map dapat mempengaruhi rancangan bisnis
awal yang sudah tercantum dalam tools Business Model Canvas. Hasil dari rancangan yang
telah dibentuk dengan tools Business Model Canvasakan menjadi acuan untuk menentukan
strategi bisnis.
Peneliti akan melakukan rancangan bisnis awal cafe Zapateria dengan menggunakan tools
Business Model Canvas serta empaty map sebagai tools untuk mengetahui pandangan dasar
dari orang-orang yang memilki hubungan langsung dengan lingkungan bisnis cafe Zapateria
dimana pandangan tersebut akan berguna bagi rancangan bisnis cafe Zapateria.
Adapun kerangka pemikiran dari penjelasan di atas sebagai berikut:
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
60
Gambar 2 Kerangka Pemikiran
2.2. Hipotesis
Menurut Ali (dalam Tukiran et al., 2011:24) mengartikan hipotesis adalah rumusan jawaban
sementara yang harus diuji melalui kegiatan penelitian. Hipotesis juga dapat diartikan
penjelasan tentatif (sementara) tentang tingkah laku, fenomena (gejala), atau kejadian yang
akan terjadi, bisa juga mengenai kejadian yang sedang berjalan menurut Rudeffendi dan
Achmad Sanusi (dalam Tukiran et al., 2011:25)
Berdasarkan rancangan pada bisnis sejenis dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan,
maka dapat diajukan hipotesis rancangan bisnis awal cafe Zapateria dengan pivoting sebagai
berikut:
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
61
Gambar 3. Hipotesis Rancangan Awal DesignZapateriashoes &café (Menggunakan
Model Bisnis Kanvas)
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
59
METODE PENELITIAN
Metode Seleksi
Pengumpulan data yang dilakukan peneliti hanya bersifat data pendukung. Metode
pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, pada
penelitian kualitatif peneliti menggunakan metode pengumpulan data wawancara dan pada
penelitian kuantitatif menggunakan metode pengumpulan data kuesioner.
Pengumpulan Data
Secara garis besar, pengumpulan data pendukung diperlukan untuk melihat adanya
kemungkinan dari penelitian model bisnis Zapateria baik primer dan sekunder.
A. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumbernya atau objek
penelitian.Data primer biasanya diperoleh dengan wawancara langsung kepada objek atau
dengan pengisian kuesioner (daftar pertanyaan) yang dijawab oleh objek penelitian.
(Suharyadi & Purwanto, 2009:14). Pemenuhan data primer dilakukan dengan melakukan
survei lapangan dengan memberikan pertanyaan kepada potential consumer sehingga
kemungkinan dari sisi produk dan segmen pasar terlihat.
B. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang sudah diterbitkan atau digunakan pihak lain. Contoh data
sekunder adalah data yang diambil dari koran, majalah, jurnal, dan publikasi lainnya.
(Suharyadi & Purwanto, 2009:14).
Data sekunder yang digunakan dalam penulisan rencana bisnis ini bersumber dari literatur
rencana bisnis cafe yang sudah ada.
Pengukuran dan Defisini Operasional Variabel
Menurut Sugiyono (2008:38), variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang
berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi
tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
60
Tabel 4 Variabel Operasional
Variabel Definisi Dimensi
Peta Empati Sebuah alat bantu
pembuat profil pelanggan yang
sederhana, yang membantu
anda berjalan melampaui
karakteristik demografi
pelanggan dan
mengembangkan pemahaman
yang lebih baik tentang
lingkungan, perilaku,
kepedulian, dan aspirasi.
1. Apa yang dilihatnya? (see?)
2. Apa yang didengarnya?
(hear?)
3. Apa yang benar-benar
dipikirkan dan dirasakannya?
(think& feel?)
4. Apa yang dikatakan dan
dilakukannya? (say& do?)
5. Sakit hati apa yang dirasakan
pelanggan? (pain)
6. Apa saja perolehan
pelanggan? (gain)
Sumber: data diolah peneliti
Metode Analisis Data
Metode penelitian kualitatif, menurut Creswell ada lima strategi kualitatif yang salah satunya
digunakan oleh peneliti adalah studi kasus. Studi kasus merupakan strategi penelitian yang
didalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses,
atau sekelompok individu (Creswell, 2009:19-21). Pendekatan triangulasi digunakan untuk
menguji keabsahan data dan menemukan kebenaran objektif sesungguhnya.Strategi ini sangat
tepat untuk menganalisis kejadian tertentu disuatu tempat tertentu dan waktu tertentu pula.
A. Emphaty Map
Cara yang baik untuk memulai adalah dengan menggunakan peta empati, yaitu pembuat profil
pelanggan yang sederhana, yang membantu anda berjalan melampaui karakteristik demografi
pelanggan dan mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang lingkungan, perilaku,
kepedulian, dan aspirasi. Dengan alat ini kita bisa menemukan model bisnis yang lebih kuat
karena profil pelanggan memandu perancangan proposisi nilai yang lebih baik, cara yang
lebih nyaman dalam menjangkau pelanggan, dan hubungan pelanggan yang lebih baik
(Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur, 2012:131).
Peta empati merupakan alat bantu visual yang dikembangkan oleh perusahaan berpikir visual
bernama XPLANE (Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur, 2012:131). Alat bantuvisual
satu halaman ini terdiri dari enam kotak yang terdiri dari berbagai pertanyaan yang
memungkinkan perusahaan untuk lebih memahami dengan lebih baik apa yang benar-benar
diinginkan oleh pelanggan.
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
61
Gambar 4 Peta Empati
Sumber: Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur (2012:130)
Cara menggunakan Peta Empati sangat mudah. Mulailah dengan memberi pelanggan ini nama
yang dilengkapi beberapa karakteristik demografi, seperti pendapatan, status pernikahan, dan
lain-lain. Kemudian, dengan mengacu pada gambar yang ada dibawah ini, gunakan flip chart
atau papan tulis untuk membuat profil pelanggan yang mendapat nama baru dengan bertanya
dan menjawab enam pertanyaan berikut (Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur,
2012:131).
Tabel 5
Pertanyaan Peta Empati
Apa yang dilihatnya? (See?)
Jelaskan apa yang dilihat
pelanggan dalam lingkungannya
- Seperti apa tampaknya?
- Siapa yang mengelilinginya?
- Siapa teman-temannya?
- Apa masalah yang ditemui?
Apa yang didengarnya?
(Hear?)
Menjelaskan bagaimana
lingkungan memengaruhi
pelanggan
- Apa yang dikatakan teman- temannya?
Pasangannya?
- Siapa yang benar-benar
memengaruhinya, dan bagaimana?
- Saluran media mana yang berpengaruh?
Apa yang benar-benar
dipikirkan dan dirasaknnya?
(Think & Feel?)
- Apa yang benar-benar penting untuknya
(yang tidak dikatakannya secara
terbuka)?
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
62
Mencoba menguraikan apa yang
ada dibenak pelanggan
- Bayangkan emosinya. Apa yang
menggerakkannya?
- Apa yang dapat membuatnya terbangun
di malam hari?
- Cobalah menggambarkan mimpi-mimpi
dan aspirasinya.
Apa yang dikatakan dan
dilakukannya? (Say and Do?)
Membayangkan apa yang
mungkin dikatakan pelanggan,
atau bagaimana perilakunya di
depan umum
- Apa sikapnya?
- Apa yang dapat dikatakannya kepada
orang lain?
- Berikan perhatian yang memadai untuk
potensi komflik antara apa yang
mungkin dikatakan pelanggan dan apa
yang mungkin benar-benar dipikirkan
atau dikatakannya.
Sakit hati apakah yang
dirasakan pelanggan? (Pain)
- Apakah frustasi terbesarnya?
- Risiko apa yang ditakutinya?
Apa saja perolehan pelanggan?
(Gain)
- Apa yang benar-benar ingin dicapainya?
- Bagaimana ia mengukur kesuksesan?
- Pikirkan beberapa strategi yang dapat
digunakannya untuk mencapai tujuan.
Sumber: Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur (2012:131)
B. Triangulasi Triangulasi adalah teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai
teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada (Sugiyono, 2012: 241). Penggunaan
teknik triangulasi akan lebih meningkatkan kekuatan data yang akan diperoleh karena data
yang didapat tidak hanya dari satu teknik atau satu sumber pengumpulan data.
Triangulasi sumber data merupakan triangulasi yang mendapatkan data dari sumber yang
berbeda–beda dengan teknik yang sama. Dalam triangulasi sumber pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara kualitatif, dimana peneliti dapat melakukan face to face
interview (wawancara langsung) dengan partisipan, mewawancarai mereka dengan telepon,
atau terlibat langsung (Creswell, 2009: 267). Proses wawancara dilakukan untuk mendapatkan
data dari narasumber. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
wawancara yang terstruktur, maksudnya adalah proses wawancara dilakukan secara
terencana. Gambar dibawah menjelaskan triangulasi sumber pengumpulan data dengan
mendapatkan data melalui wawancara dari sumber yang berbeda – beda dengan teknik yang
sama (Sugiyono, 2012: 241).
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
63
Gambar 5
Triangulasi Sumber Pengumpulan Data
Data yang didapat dari hasil wawancara yang bertujuan untuk memeriksa keabsahan data
selanjutnya akan dilakukan coding, melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok
pembicaraan. Data yang telah dikelompokkan tersebut oleh peneliti kemudian dipahami
secara utuh dan ditemukan poin-poin yang peneliti gunakan sebagai indikator yang akan
dicocokkan dengan indikator pada setiap pertanyaan empaty map.
Gambar 6 Triangulasi Sumber Data
Sumber data triangulasi Pelaku Usaha Cafe didapatkan dengan mendatangi tempat makan
yang memiliki brand image yang baik di masyarakat, berdasarkan berita yang terdapat pada
surat kabar ataupun media internet. Data calon pelanggan didapatkan dengan menemui
mereka di cafe atau setelah mereka mengunjungi sebuah cafe. Sumber data Ahli Bisnis
peneliti ambil dari mereka yang peneliti anggap memahami betul mengenai dunia bisnis yakni
lulusan Master of Business Administration Institut Teknologi Bandung dan berkecimpung
langsung dalam dunia bisnis, dalam hal ini peneliti tunjuk seorang dosen bisnis yang memiliki
title tersebut dan orang yang berada dalam naungan komunitas bisnis Tangan Di Atas.
A B
wawancara
C
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
64
HASIL DAN PEMBAHASAN
Indikator Peta Empati
Berikut hasil wawancara dari para informan triangulasi:
Tabel 6 Indikator Peta Empati berdasarkan Informan Triangulasi
No Pertanyaan Peta Empati
Indikator
Praktisi Usaha Ahli Segmen Pelanggan
1 Apa yang
dilihatnya?
(see)
Persaingan yang
semakin ketat dalam
setiap lini pelayanan
Desain interior unik
untuk pengambilan
foto
Diskon pelajar
Diskon pada jam
tertentu
Rasa makanan tidak
terlalu diperhatikan,
prioritas utama
memiliki spot untuk
foto
Kesalahan pesanan
Persaingan yang
semakin marak
dan ketat
Persiapan konsep
yang semakin
matang
Kualitas
makanan mulai
meningkat
Perkembangan
teknologi
meningkat pada
take order
process
Semakin banyak
kafe yang
bermunculan
Promo breakfast,
mendapat potongan
di minimal order
tertentu
Promo kartu debit
atau kredit bank
tertentu
Memiliki desain
yang unik untuk foto
tapi tidak terlalu
berkonsep
Lupa atau salah
pesanan
2 Apa yang
didengarnya?
(hear)
Menarik pelanggan
melalui media sosial
Promosi gratis
melalui path
Mulai bermunculan
kafe yang
bekerjasama atau
berbagi tempat
dengan bidang usaha
lain seperti distro
atau barbershop
tetapi belum ada
kafe yang
menerapkan dua
sumber pendapatan
berbeda sekaligus
dalam satu konsep
Media sosial
sangat
berpengaruh
Menawarkan
konsep bukan
makanan
Kafe dengan
gerai sepatu
dapat
memberikan
kemudahan bagi
orang
bermobilitas
tinggi
Mengetahui
beberapa kafe dari
media sosial seperti
instagram dan path
Perlu konsep yang
benar-benar matang
dan menarik
Sosok yang
berkunjung sangat
berpengaruh
Kafe berkonsep
sepatu belum ada
diterapkan di kafe di
Bandung, cukup
unik dan konsepnya
jelas
3 Apa yang
dipikirkan dan
dirasakannya?
(think and feel)
Sistem pelayanan
yang diterapkan
masih harus terus
dikembangkan dan
ditingkatkan untuk
kepuasan
Rasa makanan
masih harus
ditingkatkan,
kebanyakan pelaku
usaha tidak terlalu
memprioritaskan
mengenai hal ini
Kafe yang memiliki
konsep tersendiri
dirasa dapat menjadi
Kafe mulai
mengembangkan
keunikannya
sendiri
Penerapan kafe
dengan sepatu
dapat
memudahkan
atau menggoda
pelanggan untuk
membelinya, dua
keuntungan
sekaligus
Konsep yang
jelas dapat
menarik
Kenyamanan (tidak
diburu-buru)
Spot bagus untuk
foto-foto
Kafe memiliki
konsep tersendiri
Tidak terlalu
crowded
Tempat strategis
Life music
Pelayanan 24 jam
Lahan parkir besar
Suhu menyenangkan
Menu makanan
beragam
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
65
nilai tambah dan
mempunyai
keunikan sendiri
Tidak terlalu
crowded, crowded
tapi teratur
Good ambience
pelanggan
Ambience harus
dijaga agar
pelanggan
merasa nyaman
dan betah
Tambahan life
music bisa
menjadi
ketertarikan
4 Apa yang
dikatakan dan
dilakukannya?
(say and do)
Sangat menarik
untuk mencoba
menerapkan konsep
sepatu dan kafe
Perbaiki terus
pelayanan sehingga
pelanggan merasa
sangat nyaman dan
secara tidak
langsung
merekomendasikan
pada orang lain
Bisa menjalin
kerjasama dengan
komunitas pecinta
sneakers/skateboard
atau komunitas yang
sangat berhubungan
dengan sepatu
Konsep yang
akan diterapkan
akan sangat
meramaikan
persaingan
dalam
perkembangan
kafe saat ini
Menyatukan dua
hal yang berbeda
dan saling
menguntungkan
sangat menarik
untuk dicoba
Mau datang ke kafe
yang lebih
berkonsep, contoh
kafe di Jakarta yang
banyak memiliki
konsep seperti kafe
berkonsep penjara,
rumah sakit, lab dan
lain lain
Tertarik dengan kafe
berkonsep sepatu
yang menawarkan
kemudahan dalam
berbelanja
5 Apa yang
dikorbankannya
? (pain)
Biaya tambahan
untuk mendukung
konsep yang
diusung tetapi untuk
dua keuntungan
Konsep sepatu
sesuaikan dengan
konsep kafe jangan
sampai bertabrakan
Jangan lupakan taste
makanan
Biaya menjadi
masalah utama
dalam
menerapkan
konsep baru
Emosi yang
dirasa para
waiters dalam
memberikan
pelayanan
langsung harus
terjaga
Konsep sepatu
dan kafe harus
saling
mendukung
Bersedia membayar
lebih untuk konsep,
makanan dan
kenyamanan yang
diberikan lebih
Akan lebih tertarik
bila semua aspek
seimbang, konsep
matang, ambience
bagus, dan rasa
makanan yang enak
6 Apa yang
didapatkannya?
(gain)
Pertumbuhan
pelanggan tentu
menjadi target
utama saat
menerapkan konsep
baru.
Kemudahan dan
tingkat kepuasan
para pelanggan yang
meningkat.
Kemudahan
yang ditawarkan
harus semakin
terasa
Peningkatan
jumlah
pelanggan
Adanya ide-ide
baru akan terus
bermunculan
dalam bidang
bisnis ini di kota
seperti Bandung
Kenyamanan
Kemudahan
bersantai dan
berbelanja
Pelayanan 24 jam
Kepuasan sangat
diharap dapat
didapatkan dari
konsep baru yang
akan diusung
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
65
Peta Empati Campuran
Ambience
Promo dan diskon tertentu
Nilai tambah yang diberikan (life music)
Persaingan kafe yang semakin ketat
Pengaruh media sosial seperti
instagram dan path
Belum adanya konsep kafe dan
gerai sepatu yang digabungkan
Harus terusmeningkatkan
kualitas pelayanan
Keinginan untuk datang ke kafe yang
memiliki konsep tersendiri
Penerapan konsep baru akan meningkatkan kualitas
Waktu, biaya, tenaga dan pikiran lebih
dipersiapkan untuk penerapan konsep
baru
Bersedia untuk membayar biaya
lebih untuk mendapatkan
yang lebih
Peningkatan jumlahpelanggan dan
kualitas kepuasanserta kemudahan
Memicu ide-ide baru yang kian menarik
Konsep unik yang diusung
Konsep yang semakin matang
Salah order
Ramai tapi masih
berprivasi
Gambar 7 Indikator Peta Empati
Pada indikator peta empati di atas dapat dikonfirmasi bahwa para pelanggan kafe saat ini
mengharapkan suatu hal lebih yang dapat mereka rasakan dari pelayanan yang diterapkan
kebanyakan kafe saat ini. Dengan kata lain, para pelanggan menginginkan adanya inovasi
baru dari pelayanan kafe yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kepuasan dan sisi
kemudahan sebuah layanan.
Dengan melihat dari hasil analisis indikator peta empati yang berasal dari para informan
triangulasi, peneliti melihat terdapat adanya kebutuhan yang masih sedikit para praktisi usaha
kafe yang menyadari kebutuhan tersebut.
Model Bisnis Kanvas Zapateria shoes & cafe
Rancangan model bisnis Zapateria shoes & cafe yang peneliti tetapkan adalah perencanaan
konsep kafe dan gerai sepatu secara bersamaan, pemberian diskon-diskon tertentu dan
kesediaan customer care website, serta didukung keramahan yang dijalin kepada para calon
pelanggan diharapkan akan membangunkan tingkat kepuasan dan kepercayaan pelanggan
terhadap Zapateria shoes & cafe. Salah satu keunggulan dari Zapateria shoes & cafe juga
yakni penerapan sistem otomasi order dengan cara take order dengan gadget oleh waiters
yang terintegrasi langsung pada sistem di kitchen sehingga mengurangi kemungkinan salah
pesanan yang sering terjadi. Dari hal tersebut juga akan terbentuk kunjungan kafe yang
bersifat terus-menerus sehingga menjadikan keramahan dan profesionalitas yang diberikan
Zapateria shoes & cafe tersampaikan dengan baik kepada para calon pelanggan.
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
66
Ketersediaan sepatu sebagai barang dagangan bertujuan untuk mempermudah pelanggan
dalam berwisata belanja dan mencoba berbagai menu makanan dunia serta free welcome
drink yang disediakan. Pelanggan juga dapat membeli sepatu yang dijual Zapateria shoes
&cafe melalui website dan media sosial instagram, juga terdapat menu makanan pilihan dan
penjelasan mengenai asal menu tersebut sehingga pelanggan bisa mendapatkan pengetahuan
dari menu itu sendiri di dalam website yang dapat disantap langsung di kafe. Dari hal tersebut
diharapkan pelanggan bisa mendapatkan kelebihan tersendiri yang belum pernah didapatkan
di kafe lain dengan kenyamanan, fleksibilitas dan pengetahuan yang diberikan
Model Bisnis Kanvas Zapateria shoes & cafe
Gambar 8
Model Bisnis Kanvas Zapateria shoes & cafe Fin Sumber : data olahan penelit
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
63
SIMPULAN
Kesimpulan Model Bisnis Kanvas Zapateria Shoes & Cafe
Blok Hipotesis Final
Segmen Pelanggan
(Customer Segments)
Anak muda, pria dan
wanita yang memiliki
hobi atau kebiasaan
berkumpul dengan
kerabat dalam jangka
waktu tertentu
Komunitas
Turis (pendatang dari
luar kota Bandung)
Pecinta sepatu
Anak muda, pria dan
wanita yang memiliki
hobi atau kebiasaan
berkumpul dengan
kerabat dalam jangka
waktu tertentu
Komunitas
Turis (pendatang dari
luar kota Bandung)
Pecinta sepatu
Proposisi Nilai (Value
Propositions)
Menu makanan dunia
Free welcome drink
Berbagai pilihan sepatu
sebagai desain interior
dan sekaligus barang
dagangan
Menu makanan dunia
Free welcome drink
Berbagai pilihan sepatu
sebagai desain interior
dan sekaligus barang
dagangan
Life music
Take order dengan
gadget
Saluran (Channels)
Media sosial
(instagram, twitter dan
path)
Kafe
Website
Media sosial
(instagram, twitter dan
path)
Kafe
Website
Hubungan Pelanggan
(Customer Relationship)
Membership
Diskon (student card)
Customer care website
Membership
Diskon (student card)
Customer care website
Sistem otomasi order
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
64
Arus Pendapatan
(Revenue Streams)
Penjualan makanan dan
minuman
Penjualan sepatu
Membership
Service (5% per bill)
Iklan
Penjualan makanan dan
minuman
Penjualan sepatu
Membership
Service (5% per bill)
Iklan
Sumber Daya Utama
(Key Resources)
Human resources
Menu
Asset (gedung, tanah,
mesin, peralatan
masak, peralatan
makan, dll)
Sistem operasional
(take order & process)
Human resources
Menu
Asset (gedung, tanah,
mesin, peralatan
masak, peralatan
makan, dll)
Sistem operasional
(take order & process)
Aktivitas Kunci (Key
Activities)
Penjualan makanan,
minuman, dan sepatu
Pembuatan air mineral
(welcome drink)
Manajemen kafe
Penjualan makanan,
minuman, dan sepatu
Pembuatan air mineral
(welcome drink)
Manajemen kafe
Pembuatan sistem take
order & process
Kemitraan (Key
Partners)
Supplier bahan
makanan dan minuman
Supplier sepatu
Pengrajin sepatu
Supplier bahan
makanan dan minuman
Supplier sepatu
Pengrajin sepatu
IT Person
Manajemen band
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
65
Struktur Biaya (Cost
Structure)
Biaya Operasional
Gaji karyawan
Training karyawan
Maintenance sistem
Biaya Operasional
Gaji karyawan
Training karyawan
Maintenance sistem
Pembuatan sistem take
order & process
Fee band
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
66
DAFTAR REFERENSI
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian – Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi
IV.Jakarta: Rieneka Cipta.
Creswell, John .W. (2009).Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Creswell, John.W (2010). Research Design: pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Eisenmann, Thomas. (2002). Internet Business Models: Text and Cases. New York. McGraw-
Hill/Irwin.
Narbuko, Cholid.,& Achmadi, Abu. (2012). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Osterwalder, Alexander.,& Pigneur, Yves. (2012). Business Model Generation.Jakarta: Elex
Media Komputindo.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Suharyadi & Purwanto.Statistika Untuk Ekonomi dan Keuangan Modern. (2009). Jakarta.
Salemba Empat.
Susetyo, Budi. (2010). Statistika Untuk Analisis Data Penelitian. Bandung: Refika Aditama.
Taniredja, Tukiran.,& Mustafidah, Hidayati. (2011). Penelitian Kuantitatif(Sebuah
Pengantar). Bandung: Alfabeta.
http://bandung.go.id/images/download/8_BAB-I.pdf. Diakses pada tanggal 25 April 2014
http://bandungkota.bps.go.id/subyek/penduduk-2012. Diakses pada tanggal 17 Juni
Peggy Hariwan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Inggi Silviatni Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
67
BIODATA PENULIS
Peggy Hariwan, SE., MT., MBA, memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (SE), Jurusan
Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Tanjungpura, lulus tahun 1999. Memperoleh gelar
Magister Teknik (MT) Program Pasca Sarjana Magister Teknik Institut Teknologi Bandung,
lulus tahun 2003, gelar Master Business and Art Magister Groupe ESC Troyes Perancis tahun
2012 dan gelar Master of Science Universitas Padjadjaran tahun 2014. Saat ini menjadi
Dosen Administrasi Bisnis Universitas Telkom Bandung.
Inggi Silviatni merupakan mahasiwa Administrasi Bisnis Universitas Telkom Bandung
Wa Ode Zusnita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ernie Tisnawati Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Layyinaturrobaniyah
68
MODEL PENGEMBANGAN
PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONCIBILITY (CSR)
MELALUI PEMBERDAYAAN MODAL INTELEKTUAL
DALAM UPAYA PENINGKATAN PEMERATAAN PENDIDIKAN (SURVEY DI
KOTA BANDUNG)
Wa Ode Zusnita
Ernie Tisnawati
Layyinaturrobaniyah Program Studi Manajemen, Universitas Padjadjaran
Email : [email protected]
ABSTRAK
Perusahaan memiliki tanggung jawab sosial guna memberikan kesejahteraan bagi masyarakat
dan lingkungan sekitar. Program tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) yang
dilakukan perusahaan dapat berupa kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan
lingkungan. Penelitian yang kami lakukan untuk mengetahui bagaimana program CSR yang
dilakukan oleh BUMN di Bandung serta membuat model berkaitan dengan CSR pendidikan
yang dilakukan oleh perusahaan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 35 BUMN di kota Bandung, program CSR
yang banyak dilakukan adalah di bidang pendidikan dan lingkungan. Penelitian ini dilakukan
untuk (1) Mengidentifikasi program-program CSR BUMN yang ada di Kota Bandung, (2)
Mengidentifikasi program-program CSR BUMN yang ada di Kota Bandung yang berkaitan
dengan pendidikan di Kota Bandung, (3) Menyusun program pelatihan (TOT) bagi sumber
daya intelektual (dosen, profesional perusahaan, dan mahasiswa) yang terkait dengan
program CSR di bidang pendidikan, (4) Merancang sebuah model pengembangan CSR
dalam pendidikan sehingga dapat dijadikan acuan dan bahan evaluasi oleh pihak-pihak terkait
untuk pengembangan selanjutnya.
Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode cross sectional berdasarkan
studi pustaka dan survey (wawancara, focus group discussion, dan observasi). Tahapan
kegiatan penelitian dimulai dari (1) tahap penyusunan desain studi, (2) penyusunan
instrumen, (3) penarikan sampel, (4) pengumpulan data di lapangan, (5) tabulasi data, (6)
pemilihan dan pemilahan data, (7) analisis data, dan (8) pelaporan. Berdasarkan hasil analisis
dari 35 kuesioner yang diperoleh dari 35 BUMN di Bandung, bahwa CSR BUMN dilakukan
dalam hal pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan ekonomi. Bentuk program CSR di bidang
pendidikan yang dilakukan oleh 35 BUMN di Bandung adalah berupa pemberian beasiswa,
serta bantuan sarana dan prasarana sekolah.
Keywords : Tanggung Jawab Sosial, Sumber Daya Intelektual
Wa Ode Zusnita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ernie Tisnawati Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Layyinaturrobaniyah
69
I. Pendahuluan
Sebuah perusahaan selain melakukan kegiatan bisnisnya juga memiliki tanggung
jawab sosial terhadap lingkungan disekitar perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan
(corporate social responsibility) meliputi berbagai kegiatan produktif dengan melibatkan
masyarakat di dalam maupun diluar perusahaan, dan bertujuan untuk memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat serta mampu mengembangkan dan membangun masyarakat
dari berbagai bidang. Fokus perusahaan dalam menjalankan program CSR berdasarkan 3 hal
yaitu profit, masyarakat, dan lingkungan. Beberapa program kegiatan CSR antara lain di
bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan sosial.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui program CSR apa saja yang dilakukan oleh
51 BUMN di Bandung. Berkaitan dengan program CSR, pemerintah Jawa Barat mendorong
perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan pendanaan pembangunan sarana prasarana
pendidikan serta untuk meningkatkan daya saing pembangunan daerah dan keunggulan
perusahaan. Keterlibatan perusahaan di bidang pendidikan sangat diperlukan guna
memajukan kualitas pendidikan. Selain itu, dengan menjalankan program CSR akan
memberikan nilai ekonomis bagi perusahaan. Agar upaya pemerataan pendidikan dapat
tercapai maka perusahaan melalui program CSR menjalin kemitraan dengan lembaga
pendidikan dan sumber daya intelektual. Beberapa hal yang akan diteliti yaitu mengenai
bagaimana peran perusahaan melalui program CSR berkontribusi dalam bidang pendidikan,
serta sinergi perusahaan antara pemerintah, perguruan tinggi, dan sekolah guna pemerataan
pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan. Diharapkan dengan adanya program CSR
dapat meningkatkan inovasi dan minat sumberdaya intelektual untuk mensukseskan
pendidikan.
II. Landasan Teori
Kontler dan Nancy (2005) menjelaskan definisi Tanggung Jawab Sosial atau Corporate
Social Responsibility (CSR) sebagai: komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerjasama dengan para pegawai, keluarga
mereka, komunitas lokal, dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup bersama.
Human Capital merupakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan seseorang yang
dapat digunakan untuk menghasilkan layanan profesional yang mencerminkan kemampuan
kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki. Menurut Mayo (2000), human capital memiliki lima komponen yaitu individual
capability, individual motivation, leadership, the organizational climate, dan workgroup
effectiveness. Masing-masing komponen memiliki peranan yang berbeda dalam menciptakan
human capital perusahaan yang pada akhirnya menentukan nilai sebuah perusahaan.
Proses penciptaan pengetahuan dilaksanakan dalam sebuah pengaturan yang dikenal dengan
manajemen pengetahuan (knowledge management). Manajemen pengetahuan bertugas untuk
mengelola pengetahuan sehingga dapat diperbaharui, digunakan berkali-kali dengan value
yang semakin meningkat yang berbanding lurus dengan pengalaman karyawan serta
organisasi. Selanjutnya penerapan manajemen pengetahuan akan menimbulkan inovasi yang
berkelanjutan yang timbul dari interaksi pengetahuan antara para pihak yang terlibat dalam
Wa Ode Zusnita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ernie Tisnawati Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Layyinaturrobaniyah
70
organisasi bisnis (Leiponen : 2003). Pengetahuan ini selanjutnya dijadikan dasar dalam
organisasi sebagai sumber inovasi.
III. Pembahasan
3.1. Metode Penelitian
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode cross sectional,
dengan populasi penelitian 51 BUMN. Tetapi 8 BUMN tidak lagi beroperasi di Bandung,
sehingga populasi penelitian menjadi 43 BUMN. Unit analisis berdasarkan indikator-
indikator dan 5 dimensi CSR. Operasionalisasi variabel adalah sebagai berikut :
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan focus group
discussion.
3.2. Target dan indikator keberhasilan:
Target khusus
1. Mengidentifikasi program-program CSR BUMN yang ada di Kota Bandung.
2. Mengidentifikasi program program-program CSR BUMN yang ada di Kota Bandung
yang berkaitan dengan pendidikan di Kota Bandung.
Wa Ode Zusnita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ernie Tisnawati Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Layyinaturrobaniyah
71
Belum
difollow up
0%
Data harus
dari pusat
8%Disposisi
4%
Perusahaan
tidak ada
16%
Sudah diisi
68%
Tidak
ada
bagian
csr
4%
Status Survey
3. Menyusun program pelatihan (TOT) bagi sumber daya intelektual (dosen, profesional
perusahaan, dan mahasiswa) yang terkait dengan program CSR dibidang pendidikan
4. Merancang sebuah model pengembangan CSR dalam pendidikan sehingga dapat
dijadikan acuan dan bahan evaluasi oleh pihak-pihak terkait untuk pengembangan
selanjutnya.
Indikator keberhasilan
1. Artikel penelitian yang dipublikasikan di jurnal terakreditasi
2. Presentasi pada konferensi/ seminar nasional/ regional
3.3. Usulan dari rancangan model penelitian adalah sebagai berikut
3.4. Analisis Data Penelitian CSR :
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kesimpulan bahwa kuesioner yang sudah diisi ada
35 kuesioner dan presentase 68%. Maka kuesioner yang sudah diisi lebih banyak dari yang
belum difollow up dan disposisi.
Tidak ada kuesioner yang belum difollow up sehingga presentasenya 0%. Perusahaan yang
tidak memiliki bagian CSR terdiri dari 2 perusahaan, presentase 4%. Sehingga dapat
Perusahaan
Social Venture
Perguruan
Tinggi
CSR di Jawa
Barat
Pendidikan
Ekonomi
Budaya
Kesehatan
Bencana
Alam
Sekolah
Menengah
Atas (SMA)
Pemerintah
Perusahaan :
1.Dana
2. Tangible & Intangible Asset
Perguruan Tinggi :
1. Dosen
2. Mahasiswa
Wa Ode Zusnita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ernie Tisnawati Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Layyinaturrobaniyah
72
dikatakan bahwa hanya sedikit kuesioner yang belum difollow up dan hanya sedikit
perusahaan yang tidak memiliki bagian CSR.
Kuesioner yang masih disposisi terdiri dari 2 kuesioner, presentase 4%, masih cukup banyak
kuesioner yang disposis mengingat adanya prosedur tertentu terkait pengisian kuesioner CSR.
Data kuesioner yang harus dari pusat terdiri dari 4 kuesioner dengan presentase 8%. Hal ini
terkait dengan kebijakan perusahaan mengenai data kuesioner yang memang harus berasal
dari pusat.
Berdasarkan hasil operasional ke lapangan, diperoleh data bahwa terdapat beberapa
perusahaan yang tidak ada yaitu 8 perusahaan, presentase 16%.
Berdasarkan analisis data, maka terdapat 8 perusahaan yang tidak ada, presentase 15%,
sehingga tidak ada data yang dapat diolah. Perusahaan cabang/regional di Bandung dengan
wilayah kerja Jawa Barat sebanyak 35 perusahaan dengan presentase 66%. Perusahaan yang
berada di pusat yaitu Jakarta sebanyak 10 perusahaan dengan presentase 19%.
Berdasarkan hasil pengolahan data, perusahaan yang bergerak di bidang CSR pendidikan
sebanyak 32 perusahaan (21%), di bidang kesehatan 27 perusahaan (18%), di bidang
lingkungan 35 perusahaan (23%), di bidang ekonomi 31 perusahaan (20%) dan lainnya
sebanyak 27 perusahaan (18%). Berdasarkan data maka dominan CSR dilakukan untuk
pembinaan lingkungan dan pendidikan.
Cabang/R
egional
66%
Perusaha
an tidak
ada
15%
Pusat
19%
Status Regional
Pendidika
n
21%
Kesehata
n
18%Lingkunga
n
23%
Ekonomi
20%
Lainnya
18%
Data Program CSR BUMN
Wa Ode Zusnita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ernie Tisnawati Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Layyinaturrobaniyah
73
Berdasarkan data bentuk penyelenggaraan CSR, perusahaan yang menjalankan CSR secara
mandiri sebanyak 32 perusahaan (53%) dan yang melakukan kerjasama dengan pihak lain
sebanyak 28 perusahaan (47%). Dapat disimpulkan bahwa CSR lebih banyak dilakukan
secara mandiri.
Berdasarkan diagram diatas didapat bahwa 29 BUMN (47%) menyatakan bahwa manfaat
setelah melaksanakan program CSR adalah sebagai citra perusahaan, dan sisanya 33 BUMN
(53%) banyak manfaat lainnya yang dirasakan perusahaan setelah melaksanakan program
CSR.
Berdasarkan hasil survei lapangan, didapat temuan bahwa anggaran untuk pembiayaan CSR
88% menyatakan antara 1-3% dari laba yang didapat perusahaan. 9% CSR menyatakan 3,1-
5% dari laba per tahun yang didapat perusahaan dan sisanya 3% menyatakan >5% dari laba
per tahun yang didapat perusahaan.
Mandiri
53%
Kerjasam
a
47%
Bentuk
Penyelenggaraan CSR
Citra
perusaha
an
47%Lainnya
53%
Manfaat CSR
1% - 3%
88%
3,1% - 5%
9%
>5%
3%
Anggaran CSR
Wa Ode Zusnita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ernie Tisnawati Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Layyinaturrobaniyah
74
Berdasarkan diagram di atas, dapat diketahui bahwa terdapat 86 % atau sebanyak 32
perusahaan yang menerapkan kebijakan CSR secara terpusat sedangkan 14% lainnya atau
sebanyak 5 perusahaan menerapkan kebijakan tidak terpusat. Dari data ini secara umum,
dapat disimpulkan CSR masih menjadi tanggung jawab perusahaan pusat untuk menentukan
kebijakan-kebijakan yang terkait di dalamnya.
Berdasarkan diagram di atas, dapat diketahui bahwa setiap BUMN yang telah memberikan
datanya atau sebanyak 35 perusahaan menjalankan tata nilai dalam melaksanakan program
CSR-nya.
Berdasarkan data di atas, maka dapat diketahui bahwa sebanyak 3% perusahaan tidak
mengadakan identifikasi stakeholder sedangkan 97% lainnya melakukannya. Artinya
program CSR sebelum digulirkan secara umum perusahaan-perusahaan BUMN telah
melakukan identifikasi untuk merancang program yang tepat bagi stakeholdernya.
Terpusat
86%
Tidak
Terpusat
14%
Kebijakan CSR
Ada tata
nilai
100%
Tidak
ada tata
nilai
0%
Tata Nilai CSR
Ada
identifika
si
97%
Tidak
ada
identifika
si
3%
Identifikasi
Stakeholder
Wa Ode Zusnita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ernie Tisnawati Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Layyinaturrobaniyah
75
Berdasarkan data pengolahan, perusahaan yang melakukan komunikasi dengan komunitas
lokal sebanyak 32 perusahaan (91%) dan yang tidak menyelenggarakan komunikasi sebanyak
3 (9%).
Berdasarkan data penelitian bahwa semua perusahaan yang diteliti melaksanakan publikasi
terhadap program CSR yang dijalankan melalui media cetak.
IV. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan pengolahan data dari 35 kuesioner yang diperoleh maka dapat disimpulkan
bahwa CSR yang dilakukan beberapa BUMN di Bandung dan di Jakarta meliputi bidang
pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan ekonomi. Dominan CSR yang dilakukan adalah
dibidang pendidikan dan lingkungan, dimana pelaksanaan program dilakukan secara mandiri
dan kerjasama dengan pihak ketiga. Manfaat yang diperoleh dengan melaksanakan program
CSR adalah mampu meningkatkan citra perusahaan dan memberikan benefit bagi
perusahaan. Anggaran CSR berkisar 1-3%, dimana kebijakan penyelenggaraan CSR terpusat
dan setelah itu kebijakan diserahkan ke masing-masing cabang. Penyelenggaran kebijakan
CSR berdasarkan tata nilai yang berlaku di perusahaan, dimana dilakukan identifikasi
stakeholder, komunikasi dengan komunitas lokal serta publikasi program CSR.
Saran
Dibutuhkan optimalisasi pendataan dan waktu dikarenakan masih ada beberapa list yang
belum sesuai sehingga pengumpulan data kurang maksimal.
Ada
komunik
asi
91%
Tidak
ada
komunik
asi
9%
Komunikasi komunitas
Ada
publikasi
dan
sosialisasi
100%
Tidak Ada
0%
Publikasi CSR
Wa Ode Zusnita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ernie Tisnawati Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Layyinaturrobaniyah
76
Referensi
Dahlsrud. 2008. How Corporate Social Responsibility Is Defined An Analysis Of 37
Definitions. Corporate social responsibility and Environmental management. Vol. 15.
Dea Cendani dan Tjiptohadi Sawarjuwono. 2012. Corporate Social Responsibility: Upaya
Memahami Alasan Dibalik Pengungkapan Csr Bidang Pendidikan. Jurnal Akuntansi &
Auditing 95. Volume 8/No. 2/Mei 2012: 95-189
Grunig, James E & Todd Hunt. 1984. Managing Public relations. Chicago: Holt, Rinehart
and Winston, Inc.
Kotler, Philip and Lee, Nancy. 2005. Corporate Social Responsibility – Doing the Most Good
for Your Company and Your Cause. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.
Leiponen, Aija.(2005).Organization Of Knowledge and Innovation: The Cases of Finnish
Business Service : Industry and Innovation Sidney. Vol 122 p 185 – 201.
Mayo, A., 2000. “The Role of Employee Development in The Growth of Intellectual Capital”, Personal Review, Vol. 29, No. 4. http://www.emerald-library.com
Mulyandari, Retno S.H., Swastomo,Wasidi., Tri Wibowo, Cahyono., Situmeang, Ilona. 2010.
Implementasi CSR dalam mendukung pengembangan Masyarakat Melalui Peningkatan
Peran Pendidikan. Makalah. Institut Pertanian Bogor. (Seminar Nasional “Komunikasi Pembangunan Mendukung Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dalam Kerangka
Pengembangan Masyarakat”)
Munilla, L. S & Miles, M. P. 2005. The Corporate Social Responsibility Continuum as A
Component Of Stakeholder Theory. Business And Society Review. Vol. 110, No. 4, pp:
371–387.
Narahudita, Dea Cendani., Tjiptohadi Sawarjuwono. 2012. Corporate Social Responsibility :
Upaya Memahami Alasan Dibalik Pengungkapan CSR Bidang Pendidikan. Universitas
Airlangga.
Nonaka Ikujiro. Hirotaka Tekauchi (1995). The Knowledge Creating Company How
Japanese Corporation Create The Dynamic of Innovation. Oxford University Press,
New York.
Su‟adah. 2010. Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui Program Corporate Social
Responsibility. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.
WBCSD. 2007. What does GRI-Reporting tell us about Corporate Sustainability?. Energy
Efficiency in Buidlings-Business realities and opportunities. Available at www.wbcsd.org.
Yusuf Wibisono, Membedah Konsep & Aplikasi CSR (Corporate Social Responsibility),
Gresik, Fascho Publishing, 2007, hal.7.
Wisudanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sugiarto Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
77
DIVERSIVIKASI USAHA DAN STRUKTUR MODAL
Wisudanto Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Departemen Managemen
e-mail: [email protected]
Sugiarto Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Departemen Managemen
ABSTRAK
Keputusan strategi dalam beberapa literatur berpengaruh terhadap kinerja ekonomis
perusahaan, salah satu keputusan strategi yang diambil perusahaan adalah
diversifikasi.Diversifikasiyang konsisten dengan coinsurance effectdapat meningkatkan
kapasitas utang, mengurangi resiko kebangkrutan, meningkatkan penyebaran aset, dan
profitabilitas. Penelitian inibertujuan mengetahui pengaruh diversifikasi perusahaan terhadap
struktur modal. Diversifikasi perusahaan diukur dengan menggunakan Jacquemin-Berry
Entropy Index, sementara struktur modal diukur dengan long term debt to equity
ratio.Penelitian ini dilakukan pada24perusahaan (bukan sektor keuangan) yang termasuk
dalam daftar LQ45 yang melakukan diversifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya
pengaruh positif antara diversifikasi terhadap struktur modal perusahaan.Pengaruh
diversifikasi terhadap struktur modal menguatkan pendapat bahwa keputusan strategi
berpengaruh terhadap kinerja ekonomis kususnya kinerja keuangan perusahaan.
Kata kunci: Diversifikasi usaha, Coinsurance Effect, Struktur Modal.
Wisudanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sugiarto Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
78
1. Latar Belakang
Bentuk usaha yang dikembangkan oleh konglomerasi di Indonesia berawal dari perusahaan
keluarga, kemudian mereka berekspansi kedalam usaha sama sekaliberbeda dengan bisnis
semula. Konglomerasi di Indonesia dilakukan dengan cara memperluas jumlah segmen
secara bisnis maupun geografis, memperluas market share yang ada,dan mengembangkan
berbagai produk yang beraneka ragam(Harto, 2005).
Meningkatkan kinerja bisnis yang ada dengan mengidentifikasi peluang dengan cara
menambah unit bisnis yang tidak berkaitan dengan bisnis perusahaan saat ini disebut
diversifikasi.Menendez-Alonso (2003)berpendapat bahwa diversifikasiyang konsisten dengan
coinsurance effectdapat meningkatkan kapasitas utang, mengurangi resiko kebangkrutan,
meningkatkan penyebaran aset, dan profitabilitas. Barton dan Gordon (1988)mengemukakan
dalam penelitiannya bahwa diversifikasi produk berhubungan negatif dengan risiko dan
berhubungan positif dengan tingkat utang,dengan menggunakan data perusahaan AS dan
Australia. Penerapan diversifikasi, diharapkan jika salah satu segmen usaha mengalami
kerugian, maka keuntungan yang diperoleh dari segmen usaha yang lain dapat menutupi
kerugian tersebut.
Keputusan penting yang diambil oleh manajemen berkaitan dengan diversifikasi perusahaan
adalah keputusan pendanaan yang digunakan untuk melakukan diversifikasi, hal ini akan
berpengaruh terhadap struktur modal perusahaan.Myers (2003) berpendapat bahwa struktur
modal mencerminkan imbangan antara utang jangka panjang dan ekuitas, maka didalam
membelanjai aktiva yang ada perlu diperhatikan komposisinya dengan baik. Manajer harus
mampu menghimpun dana baik yang bersumber dari dalam perusahaan maupun dari luar
perusahaan secara efisien.Kochhar dan Hitt (1998)juga mengemukakan bahwa perusahaan
melakukan diversifikasi memiliki rasio utang yang lebih tinggi karena pengurangan risiko.
Singh et al. (2003)mengungkapkan perusahaan yang melakukan diversifikasi yang konsisten
akan berpengaruh positif terhadap kemampuan hutang perusahaan, hasil ini konsisten dengan
Coinsurance Effect.Xu dan Wang (1999)dengan menggunakan sample perusahaan di China
dalam penelitiannya berpendapat bahwa jika diversifikasi dilakukan tidak terkait dengan
bisnis utama berpengaruh positif terhadap kemampuan utang perusahaan.
Penelitian bertujuan untukmenganalisis apakah diversifikasi yang dilakukan perusahaan
berpengaruh terhadap struktur modalperusahaan.Menggunakan sample 24 perusahaan
tergabung dalam LQ45 di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2009-2012yang
melakukan diversifikasi,hasil penelitian ini diharapkan memberi informasi dalam proses
pengambilan keputusan sehingga keputusan yang dihasilkan akan lebih tepat.
2. Telaah Literatur dan Hipotesis
Christensen dan Montgomery (1981) menjelaskan tiga pandangan alasan dilaksanakannya
diversifikasi perusahaan, (1) Pandangan kekuatan pasar (market power view), yaitu
diversifikasi merupakan alat untuk menumbuhkan pengaruh anti kompetisi yang bersumber
pada konglomerasi. (2) Pandangan prespektif keagenan (agency view), terjadinya konflik
kepentingan antara pemegang saham dengan manajer. Manajer kemungkinan bertindak tidak
sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Manajer mempunyai kecenderungan
melakukan diversifikasi untuk memenuhi kepentingannya. Kinerja manajer sering kali
dikaitkan dengan tingkat penjualan, sehingga diversifikasi merupakan alat yang efektif untuk
meningkatkan pendapatan perusahan. (3) Pandangan yang mendasarkan pada sumber daya
(resource based view) yang dimiliki perusahaan. Tujuan diversifikasi adalah untuk
Wisudanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sugiarto Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
79
memanfaatkan kelebihan kapasitas dari sumber daya perusahaan. Tingkat optimal
diversifikasi tiap perusahaan berbeda sesuai dengan sumber daya yang dimiliki perusahaan.
Su (2010)menggunakan Jacquemin-Berry entropy index, untuk mengukur optimalisasi
diversifikasi(DIVR) digunakan rumus sebagai berikut:
DIVR =
; : Rasio dari penjualan per-segmen usaha dengan jumlah
penjualan perusahaan.
Coinsurance Effect
Coinsurance effect menyatakan bahwa ketika perusahaan melakukan strategi penggabungan
unit usaha yang berbeda bisnisnya dalam satu konglomerasi akan menurunkan resiko
kebangkrutan perusahaan sebelumnya.Karena dua atau lebih perusahaan yang bergabung
bersama dan mempunyai laba yang tidak berkorelasi akan mengurangi resiko kegagalan
perusahaan gabungan, hal tersebut dapat meningkatkan kapasitas utang dari perusahaan
konglomerasi (Lewellen, 1971). Diversifikasi memungkinkan perusahaan dengan arus kas
kurang baik berkorelasi dengan segmen yang berbeda untuk mengurangi variabilitas laba
sehingga kapasitas pinjaman perusahaan dapat mengalami peningkatan(Kim dan McConnell,
1977). Penelitian lain mengatakan bahwa dengan melakukan diversifikasi perusahaan dapat
memperoleh pengurangan pajak dengan offsetting pembayaran bunga di beberapa segmen
terhadap keuntungan segmen operasi yang lain (Berger dan Ofek, 1995).Coinsurance
effectmuncul ketika perusahaan melakukan diversifikasi segmen usaha yang beragam
sehingga perusahaan memiliki kapasitas utang yang lebih tinggi.Menendez-Alonso
(2003)berpendapat bahwa diversifikasiyang konsisten dengan coinsurance effectdapat
meningkatkan kapasitas utang, mengurangi resiko kebangkrutan, meningkatkan penyebaran
aset, dan profitabilitas.
Struktur Modal
Van Horne dan Wachowicz (2008)berpendapat bahwa struktur modal adalah proporsi
pendanaan permanen jangka panjang perusahaan yang terdiri dari hutang, saham preferen,
dan saham biasa. Jadi struktur modal tersebut tercermin pada hutang jangka panjang dan
unsur-unsur modal sendiri. Pemenuhan akan kebutuhan dana dapat diperoleh dengan baik
secara internal perusahaan maupun secara eksternal. Bentuk pendanaan secara internal
(internal financing) adalah laba ditahan, depresiasi, dan amortisasi. Pemenuhan kebutuhan
yang dilakukan secara eksternal dapat dibedakan menjadi pembiayaan hutang (debt
financing) dan pendanaan modal sendiri (equity financing).
Menurut Myers (1977) manajer akan berusaha menambah hutangnya hingga tingkat tertentu,
dimana pengurangan hutang akibat tambahan hutang sama dengan atau benar-benar
terimbangi oleh tambahan biaya kebangkrutan. Ini menjelaskan bahwa perusahaan yang
memilki pajak tinggi cenderung menggunakan hutang dibandingkan dengan perusahaan yang
memiliki pajak rendah. Tetapi penggunaan hutang yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
bahaya kebangkrutan dan biaya agensi yang tinggi.
Wisudanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sugiarto Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
80
Penggunaan sumber-sumber pembiayaan perusahaan, baik yang merupakan sumber
pembiayaan jangka pendek maupun sumber pembiayaan jangka panjang akan menimbulkan
suatu efek yang biasa disebut dengan Leverage. Myers (2003) menjelaskan bahwa “Leverage
didefinisikan sebagai penggunaan aktiva atau dana dimana untuk penggunaan tersebut
perusahaan harus menutup biaya tetap atau membayar beban tetap”. Dapat pula diartikan
suatu kebijakan yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang menginvestasikan dana atau
memperoleh sumber dana yang disertai dengan adanya beban atau biaya tetap yang harus
ditanggung perusahaan.
Jadi kebijakan leverage timbul jika perusahaan dalam membiayai kegiatan operasionalnya
menggunakan dana pinjaman atau dana yang mempunyai beban tetap seperti beban bunga.
Tujuan perusahaan mengambil kebijakan leverage yaitu dalam rangka meningkatkan dan
memaksimalkan kekayaan dari pemilik perusahaan itu sendiri.Penggunaan leveragedalam
penelitian ini antara lain penggunaan long term debt to equity ratio (LDER) adalahrasio yang
digunakan untuk mengukur bagian dari modal sendiri yang dijadikan jaminan untuk hutang
jangka panjang. Rumusnya adalah sebagai berikut :
Long Term Debt To Equity Ratio =
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan pembahasan telaah literatur yang
dikemukakan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
(H1)Diversifikasi mempunyai pengaruh positif terhadap struktur modal.
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan teori yang telah dipaparkan, kerangka pemikiran untuk memecahkan
permasalahan penelitiansebagai berikut :
Diversifikasi Struktur Modal
Variabel Kontrol
1. Profitabilitas
2. Volatilitas laba
3. Tangibility of assets
4. Non Debt Tax Shield
5. Peluang Pertumbuhan
6. Kepemilikan Publik
7. Ukuran Perusahaan
8. Umur Perusahaan
Gambar 2.1.
Kerangka pemikiran penelitian
Wisudanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sugiarto Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
81
3. Metode Penelitian
Identifikasi variabel
Berdasarkan model analisis dan hipotesis penelitian, maka jenis variabel-variabel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel bebas atau independen, yaitu variabel yang mempengaruhi atau menjadi
sebuah perubahan variabel dependen (Sugiyono, 2009:59). Variabel bebas dari
penelitian ini adalah diversifikasi perusahaan.
2. Variabel tergantung atau dependen, yaitu variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat dari adanya variabel bebas (Sugiyono, 2009:59). Variabel tergantung
pada penelitian ini adalah struktur modal perusahaan dengan proksilong term debt to
total equity ratio (LDER).
3. Variabel kontrol, merupakan variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan
hubungan variabel bebas terhadap variabel terikat sehingga variabel terikat tidak
dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti(Sugiyono, 2009:60).Variabel kontrol
dalam penelitian ini antara lain profitabilitas, volatilitas laba, tangibility of asset, non-
debt tax shield (NDTS), peluang pertumbuhan, kepemilikan publik, ukuran
perusahaan, dan umur perusahaan.
Definisi Operasional Variabel
Untuk menghindari ketidakjelasan makna variabel yang digunakan dalam penelitian ini,
maka definisi operasional variabel akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Leverage
Leverage merupakan variabel terikat pada penelitian ini, yang di proksikan long term debt to
total equity ratio (LDER) yang berfungsi mengukur seberapa besar ekuitas perusahaan yang
digunakan untuk menjamin hutang jangka panjangnya. Data yang dipergunakan untuk
analisis leverage adalah data laporan keuangan dari Indonesian Capital Market Directory
(ICMD) dan annual report perusahaan.
=
2. Diversifikasi
Diversifikasi adalah variabel bebas yang mempengaruhi variabel terikat, diukur melalui
penggunaan Jacquemin-Berry entropy index sesuai penelitian Su (2010). Penggunaan
entropy index mengukur jumlah total diversifikasi (notasi DIVR) dari penjualan segmen
usaha perusahaan yaitu dengan rumus sebagai berikut :
k = 1,2,3. . . .,kn
Wisudanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sugiarto Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
82
DIVR = Tingkat diversifikasi perusahaan i periode t.
= Rasio dari penjualan per-segmen usahadengan
jumlah penjualan pada perusahaan i periode t
3. Profitabilitas
Hubungan antara profitabilitas dan struktur modal secara teoritis dan empiris masih
kontroversial (Myers, 2003). Pecking ordertheory berpendapat struktur modal yang ceteris
paribus, leverage akan mempunyai pengaruh negatif dengan profitabilitas karena perusahaan
yang lebih menguntungkan akan lebih memilih memperoleh pembiayaan melalui dana
internal daripada melalui utang.Namun, trade off dalam teori struktur modal memprediksi
bahwa lebih banyak perusahaan yang menguntungkan memilih untuk menggunakan
pembiayaan utang untuk mendapatkan keuntungan dari penghematan pajak. Maka, leverage
akan mempunyai pengaruh positif dan negatif dengan profitabilitas. Ada bukti empiris yang
mendukung kedua teori. Peneliti menggunakan pengembalian dari total aset (ROA) untuk
mengukur profitabilitas dengan rumus sebagai berikut :
=
4. Volatilitas laba
Adanya ketidakpastian kestabilan lingkungan bisnis, maka kemungkinan kesulitan keuangan
akan lebih besar pada setiap tingkat utang. Akibatnya, perusahaan dengan volatilitas
pendapatan yang lebih tinggi akan memilih tingkat utang yang lebih rendah (Kale et al.,
1991). Perhitungan didasarkan pada penelitian Su (2010) dan Kale et al. (1991)
menggunakan koefisien variasi ROA dalam tiga tahun kebelakang sebagai proksi volatilitas
pendapatan.
Rumus koefisien variasi dari = 100%
Dimana :
Keterangan :
= Simpangan baku perusahaan i periode t
= Varian perusahaan i periode t
= Data ROA tahun ke-i periode t
= Rata-rata ROA perusahaan i periode t
Wisudanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sugiarto Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
83
5. Tangibility of Assets
Untuk mengurangi biaya agensi akibat moral hazard, kreditur umumnya memerlukan sebuah
pinjaman perusahaan menggunakan aset berwujud sebagai jaminan. Oleh karena itu, LDER
diprediksi mempunyai pengaruh positif dengan tangibility of asset (Su, 2010). Penelitian ini
menggunakan rasio fixed assets dibagi total aset sebagai ukuran tangibility of asset
(TANGIB). Metode menghitung aset berwujud adalah sebagai berikut :
=
6. Non-DebtTax shield (NDTS)
Non-debt tax shield (NDTS), diukur dengan depresiasi dan amortisasi dibagi total aset.
Depresiasi dan amortisasi adalah penentu struktur modal bukan dari hutang sebagai
pendorong perusahaan untuk mengurangi hutang, karena depresiasi merupakan sumber modal
internal sehingga diprediksi dapat mengurangi pedanaan hutang.NDTS mengurangi beban
pajak perusahaan dengan demikian meringankan kebutuhan pembiayaan utang sebagai sarana
untuk mendapatkan keuntungan pajak (Dammon dan Senbet, 1988). Dalam penelitian ini,
menggunakan rumus sebagai berikut ;
=
7. Peluang pertumbuhan
Perusahaan yang memiliki kemampuan tumbuh dan menguntungkan yang pada akhirnya
akan mempengaruhi kinerja pada perusahaan. Pertumbuhan perusahaan memperlihatkan
pertumbuhan penjualan perusahaan dan digunakan untuk memprediksi pertumbuhan
perusahaan tiap tahunnya. Peneliti menggunakan Tobin‟s Q sebagai proksi peluang
pertumbuhan (GROW),Chung dan Pruitt (1994)mengembangkan formulasi Tobin‟s Q seperti yang telah dijelaskan pada bab 2 persamaan (2.7) adalah sebagai berikut :
=
Dimana:
= Peluang pertumbuhanperusahaan ipada periode t.
= Nilai pasar ekuitas perusahaan ipada periode t
(Jumlah saham perusahaan i yang beredar dikali dengan
harga penutupan saham akhir tahun pada periode t)
= Nilai buku dari total hutangperusahaan ipada periode t.
= Nilai buku total aktiva perusahaan ipada periode t.
Wisudanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sugiarto Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
84
8. Kepemilikan Publik
Kepemilikan publik sering disebut sebagai pemegang saham minoritas (outsider investor)
karena struktur kepemilikannya tersebar dan terdiri dari banyak saham yang dimiliki secara
individu. Kepemilikan publik sering menimbulkan konflik kepentingan (agency conflict),
karena outsider investors tidak memiliki informasi keadaan perusahaan yang sebenarnya dan
hak kontrol terhadap perusahaan lemah. Sehingga manajer akan cenderung bebas dalam
membuat keputusan pendanaan hutang (Su, 2010). Oleh karena itu, penelitian ini
memasukkan prosentase saham yang dimiliki oleh publik (Su, 2010), sebagai variabel kontrol
dan memprediksi bahwa PUBLIC yang mempunyai pengaruh positif berkaitan dengan
LDER.Metode menghitung prosentase kepemilikan publik:
= x 100 %
9. Ukuran perusahaan
Perusahaan-perusahaan besar cenderung memiliki aset yang mumpuni, reputasi baik dan arus
kas yang lebih stabil. Perusahaan besar lebih mungkin untuk melakukan diversifikasi, ukuran
perusahaan berbanding terbalik dengan kemungkinan terjadi kebangkrutan Su (2010).
Dengan demikian, perusahaan yang lebih besar diharapkan untuk membawa lebih banyak
utang. Penelitian ini menggunakan logaritma natural dari total aset untuk mengendalikan efek
ukuran perusahaan (LNSIZE). Metode pengukuran LNSIZE sesuai penelitian Su (2010)
adalah:
=
10. Umur Perusahaan
Kemampuan perusahaan untuk meminjam tergantung pada akumulasi pengalaman dan
reputasi. Perusahaan yang lama berdiri dan go public lebih mungkin untuk mendapatkan
akses pendanaan dengan pemberi pinjaman, memperoleh utang lebih mudah, dan pada
tingkat yang lebih murah, sehingga umur perusahaan (AGE) mempunyai pengaruh
positifterhadap leverage perusahaan. Pengukuran AGE pada penelitian mengacu pada
penelitianSu (2010) menggunakan jumlah tahun perusahaan telah go public untuk
mengendalikan pengaruh umur (AGE).
Sample Penelitian
Sampel ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling,dengan ketentuan
perusahaan sampel adalah perusahaan yang tergabung dalam LQ45di Bursa Efek Indonesia
dari sektor non keuangan selama tahun 2009-2012. Perusahaan terdiversifikasi setidak nya
dalam dua klasifikasi industri.
4. Deskripsi Hasil Penelitian
Agar dapat dilakukan analisis lebih jauh terkait permasalahan yang harus dipecahkan dalam
penelitian ini deskripsi data dalam penelitain ini sebagai berikut.
Wisudanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sugiarto Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
85
Tabel 1
Deskripsi Data Perusahaan Dalam Periode Penelitian (2009 – 2012)
N
Minimum
Maximum
Mean
Std.
Deviation
LDER 24 0,033 1,352 0,421 0,371
DIVR 24 0,014 1,597 0,596 0,401
STATE 24 0,000 1,000 0,420 0,496
ROA 24 0,011 0,452 0,123 0,101
STDROA 24 0,018 1,133 0,269 0,232
NDTS 24 0,008 0,923 0,241 0,222
TANGIB 24 0,004 0,817 0,320 0,247
GROW 24 0,650 15,003 2,642 2,626
PUBLIC 24 0,074 0,835 0,379 0,161
LNSIZE 24 29,211 34,086 31,160 1,268
AGE 24 1,000 30,000 13,708 7,013
Sumber : Data hasil olahan.
Hasil yang ditunjukkan pada table 1, kita dapat mengetahui bahwa nilai hitung Indeks Entropi
paling rendah sebesar 0,014 yaitu pada PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tbk
yang terjadi pada tahun 2011 sedangkan nilai hitung Indeks Entropi tertinggi terjadi pada
PT.Lippo Karawaci Tbk. yaitu 1,597 pada tahun 2010. Nilai rata-rata yang dihasilkan indeks
entropi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan penurunan. Dimana nilai rata-rata
keseluruhan sebesar 0,596, pada tahun 2009 nilai rata-rata yang dihasilkan sebesar 0,562
mengalami peningkatan menjadi 0,565 pada tahun 2010, lalu pada tahun 2011 nilai rata-rata
meningkat sebesar 0,633, dan justru menurun lagi menjadi 0,626 pada tahun 2012.
Peningkatan nilai rata-rata indeks entropi dari tahun 2010 ke tahun 2011 pada periode
penelitian, berarti penerapan strategi diversifikasi perusahaan mengalami peningkatan dan
penerapan tingkat diversifikasi mengalami peningkatan pada tahun 2009 ke tahun 2011 dan
kembali menurun pada tahun 2012. Nilai standart deviasi yang lebih kecil dari nilai rata-
ratanya yaitu sebesar 0,401 menunjukkan bahwa terjadi perimbangan atau tidak ada
ketimpangan persebaran tentang besar tingkat strategi diversifikasi dari tiap perusahaan yang
menjadi objek penelitian.
Leverage pada penelitian ini diproksikan dengan utang jangka panjang (LDER) merupakan
variabel terikat yang terdiri dari perbandingan antara jumlah utangjangka panjang dengan
Wisudanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sugiarto Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
86
ekuitas perusahaan, itu dikarenakan perusahaan menggunakan utang pada struktur
pendanaannya.Leverage yang besar merupakan cerminan penggunaan utang yang besar pula
untuk struktur pendanaannya. Pada tabel 1 diketahui bahwa secara rata-rata LDER
perusahaan sebesar 0,421 hal ini menyatakan bahwa rata-rata long term debtratio pada
tingkatleverage selama tahun 2009 sampai dengan 2012 adalah sebesar 0,421dari total
ekuitas yang dimiliki perusahaan sampel. Nilai minimum dari LDER terjadi pada PT. Astra
Agro Lestari Tbk. tahun 2009sebesar 0,033 yang menunjukkan bahwa ekuitas yang
digunakan untuk menjamin keseluruhan utang jangka panjangnya semakin besar.Nilai
maksimum dari LDER terjadi pada PT. Indofood Sukses Makmur Tbk tahun 2009sebesar
1,352 yang menunjukkan bahwa ekuitas yang digunakan untuk menjamin keseluruhan utang
jangka panjangnya semakin rendah.Nilai standart deviasi sebesar 0,371 yang lebih kecil dari
nilai rata-rata menunjukkan bahwa terjadi perimbangan atau tidak ada ketimpangan tentang
besar LDER yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan sampel yang menjadi objek
penelitian.
Hasil regresi yang dilakukan tampak pada Tabel 2, Koefisien variabel diversifikasi (DIVR)
memberikan kontribusi positif sebesar 0,186 menunjukkan bahwa apabila variabel
diversifikasi (DIVR), dalam hal ini nilai indeks entropi ditingkatkan sebesar 1 angka maka
leverage (LDER) akan meningkat sebesar 0,186 dan sebaliknya, jika indeks entropi
diturunkan sebesar 1 angka maka leverage (LDER) akan menurun sebesar 0,186 dengan
asumsi variabel lain tetap. Diketahui hasil uji t, dimana pengaruh variabel diversifikasi
(DIVR) terhadap leverage (LDER) perusahaan memiliki nilai uji t sebesar 2,273 dengan
tingkat signifikansi 0,026. Nilai signifikansi ini lebih kecil dari 0,05, sehingga dapat
dinyatakan terdapat pengaruh positif signifikan secara parsial antara variable
Tabel 2
Ringkasan Hasil Uji F dan Uji t Variabel Bebas
Terhadap Variabel Tergantung Dengan Variabel Kontrol
Variabel Koefisien
Regresi Beta t Sig.
(Constant) 0,377 0,443 0,659
Diversifikasi 0,186 0,201 2,273 0,026
ROA -1,815 -0,492 -3,532 0,001
Volatilitas Laba 0,363 0,227 2,995 0,004
Tangibility of Assets 1,016 0,677 5,719 0,000
Non-Debt Tax Shielded -0,375 -0,224 -1,850 0,068
Peluang Pertumbuhan 0,029 0,205 1,394 0,167
Kepemilikan Publik 0,588 0,256 2,770 0,007
Ukuran Perusahaan -0,009 -0,029 -0,336 0,738
Wisudanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sugiarto Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
87
Umur Perusahaan -0,015 -0,289 -3,561 0,001
F 14,803
Sig. 0,000
R 0,780
0,608
Durbin-Watson 1,790
Sumber : data diolah
Berdasarkan data, hasil uji F pada tabel 4.9 diketahui bahwa nilai F hitung hasil regresi
sebesar 14,803 dengan nilai probabilitas kesalahan (Sig) sebesar 0,000. Nilai signifikansi ini
lebih kecil dari 0,05 sehingga terdapat pengaruh positif yang signifikan secara simultan
antara variabel diversifikasi (DIVR) terhadap leverage perusahaan (LDER) dengan variabel
kontrol Return On Assets (ROA), Coefficient Variation of Return on Assets (STDROA),
Tangibility of Assets (TANGIB), Non-Debt Tax Shielded (NDTS), Growth Opportunities
(GROW), PublicOwnership (PUBLIC), Firm Size (LNSIZE), Firm Age (AGE). Melalui
tabel 4.9 dapat dilihat nilai atau koefisien determinasi sebesar 0,608, hal ini berarti bahwa
diversifikasi berpengaruh terhadap leverage (LDER) perusahaan sebesar 0,608 atau 60,8%
sedangkan sisanya sebesar 0,392 atau 39,2% dipengaruhi oleh variabel lain diluar variabel
bebas yang digunakan dalam penelitian.
Secara khusus, manfaat menjaga leverage pada tingkat tertentu tidak hanya memberikan
manfaat pada perspektif finansial saja tetapi juga manfaat pada perspektif strategis.
Keputusan finansial dan keputusan strategis secara bersama-sama dipertimbangkan dan
dikoordinasikan untuk memaksimalkan keuntungan.
5. Simpulan dan Keterbatasan Penelitian
Perusahaan LQ45 pada periode penelitian 2009-2012 menggunakan strategi diversifikasi
dengan menggunakan banyak utang jangka panjang. Strategi ini berpengaruh
terhadapstruktur modal perusahaan (LDER).Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel
diversifikasi (DIVR) mempunyai pengaruh signifikan terhadap struktur modal (long term
debt to equity ratio) perusahaan. Hasil ini konsisten dengan Coinsurance effectbahwa
kombinasi usaha atau segmen usaha dengan arus kas yang berkorelasi tidak sempurna
(dengan volatilitas tinggi) telah memberikan pengurangan risiko operasi, sehingga
meningkatkan kapasitas utang perusahaan.
Pembahasan diversifikasi perusahaan hanya dibahas total diversifikasi perusahaan secara
umum, belum melingkupi diversifikasi terkait dan tidak terkait hal ini menjadi keterbatasan
dalam penelitian.
Wisudanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sugiarto Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
88
DAFTAR REFERENSI
Barton, S. L., dan Gordon, P. J. 1988. Corporate strategy and capital structure. Strategic
management journal, 9(6): 623-632.
Berger, P. G., dan Ofek, E. 1995. Diversification's effect on firm value. Journal of financial
economics, 37(1): 39-65.
Christensen, H. K., dan Montgomery, C. A. 1981. Corporate economic performance:
Diversification strategy versus market structure. Strategic management journal, 2(4):
327-343.
Chung, K. H., dan Pruitt, S. W. 1994. A simple approximation of Tobin's q. Financial
management: 70-74.
Dammon, R. M., dan Senbet, L. W. 1988. The effect of taxes and depreciation on corporate
investment and financial leverage. The Journal of Finance, 43(2): 357-373.
Harto, P. 2005. KEBIJAKAN DIVERSIFIKASI PERUSAHAAN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KINERJA: STUDI EMPIRIS PADA PERUSAHAAN PUBLIK DI
INDONESIA. Jurnal Simposium Nasional Akuntansi: 1-11.
Kale, J. R., Noe, T. H., dan Ramirez, G. G. 1991. The effect of business risk on corporate
capital structure: Theory and evidence. The Journal of Finance, 46(5): 1693-1715.
Kim, E. H., dan McConnell, J. J. 1977. CORPORATE MERGERS AND THE
CO‐INSURANCE OF CORPORATE DEBT. The Journal of Finance, 32(2): 349-
365.
Kochhar, R., dan Hitt, M. A. 1998. Linking corporate strategy to capital structure:
diversification strategy, type and source of financing. Strategic management journal,
19(6): 601-610.
Lewellen, W. G. 1971. A pure financial rationale for the conglomerate merger. The Journal
of Finance, 26(2): 521-537.
Menendez-Alonso, E. J. 2003. DOES DIVERSIFICATION STRATEGY MATTER IN
EXPLAINING CAPITAL STRUCTURE? SOME EVIDENCE FROM SPAIN.
Applied Financial Economics, 13(6): 427.
Myers, S. C. 1977. Determinants of corporate borrowing. Journal of financial economics,
5(2): 147-175.
Myers, S. C. 2003. Financing of corporations, Handbook of the Economics of Finance, Vol.
1: 215-253: Elsevier.
Singh, M., Davidson Iii, W. N., dan Suchard, J.-A. 2003. Corporate diversification strategies
and capital structure. The Quarterly Review of Economics and Finance, 43(1): 147-
167.
Su, L. D. 2010. Ownership structure, corporate diversification and capital structure: evidence
from China's publicly listed firms. Management Decision, 48(2): 314-339.
Wisudanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sugiarto Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
89
Van Horne, J. C., dan Wachowicz, J. M. 2008. Fundamentals of financial management:
Pearson Education.
Xu, X., dan Wang, Y. 1999. Ownership structure and corporate governance in Chinese stock
companies. China economic review, 10(1): 75-98.
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
90
FACTORS FROM UNDERWRITER THAT INFLUENCE INITIAL RETURN OF
THE COMPANIES DOING INITIAL PUBLIC OFFERINGS IN INDONESIA STOCK
EXCHANGE
IN THE PERIOD OF 2004-2011
Ferry Sugianto Alumnus of Investment Management Department, Faculty of Business and Economics,
Universitas Surabaya,
Ph.D. Student, Finance, National Chung Cheng University (CCU), Taiwan
Liliana Inggrit Wijaya Lecturer of Investment Management Department, Faculty of Business and Economics,
Universitas Surabaya
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
The objective of this study is to examine whether the underwriter’s factors affect the initial return of the companies that were going to do Initial Public Offerings (IPO). This study uses
the quantitative approach using Ordinary Least Squares (OLS) method to examine whether
the underwriter’s factors affect the initial return. The samples of this study are companies which are doing the IPO in Indonesia Stock Exchange in the period of 2004- 2011. This study
finds that the underwriter’s factors have significant effect for the companies which do IPO,
such as prestige, number of syndicate, experience, and oversubscription. But other
independent variables like reputation, total assets, age, and price revision have no significant
impact to initial return. The paper provides useful information for emitens how to choose
good underwriters to avoid underpricing which causes wealth transfer to investors, the
underwriters with good prestige, big syndicates, a lot of experiences, and less of doing
oversubscription are recommended.
Keywords: stock, initial return, underwriter, emiten, Initial Public Offerings.
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
91
INTRODUCTION
In line with the economic growth, many companies are competing strictly to survive from the
other competitors. Capital is the most important factor for the company to develop its
business or to expand the enterprise. Capital can be used to build a new plant, run the new
project, and develop the company's products so that the company can continue to withstand
from the competition.
According to Emery (2007) there are two kinds of ways to raise the capital, there are
borrowing to another party (debt financing) and issuing shares (equity financing). Debt has a
negative side that must be considered by companies related to the company's fundamentals.
The companies can be difficult to obtain funds compared with the infinity desire to expand.
Therefore, issuing shares is more recommended for gaining funds massively from the public
in the ease of raising capital in the future.The first thing to be done by a company in the
issuance of shares can be called the Initial Public Offerings (IPO).
Changes in the status of the company into a public company (going public) intend to raise
funds as much as possible, so the IPO price is expected high enough by the issuers.
According to Ardiansyah (2004), on the pricing mechanism, the price difference in the
primary market and the secondary market is usually happened because the price in the
primary market is formed by an agreement between the issuer and underwriter (fair price),
while price in the secondary market is determined by the market mechanism (demand and
supply). If the IPO price (primary market) is lower than the market price (secondary market)
occurred, there will be underpricing.
However, in Indonesia Stock Exchange, the original data on the primary and secondary
markets is difficult to obtain, so in this research, it is analysed by using the initial returns.
Apparently, the initial returns are collected from Indonesia Stock Exchange show that many
shares prices are increasing on the first day and we can find from the calculations make the
initial return positive, it can be called underpricing. The data of number of companies
experiencing underpricing are shown in Table 1.
Table 1: Number of Companies Experiencing Underpricing
on Average Trade Day-1 to Day-15 after IPO
Year Companies Doing
IPO
Underpricing
Occurs Percentage (%)
2004 12 8 66,67
2005 8 5 62,50
2006 12 11 91,67
2007 22 16 72,73
2008 18 14 77,78
2009 13 5 38,46
2010 21 18 85,71
2011 25 16 64,00
Total 131 93 69,94
Source: Indonesia Stock Exchange, processed
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
92
Many companies experiencing underpricing are because various factors, according to
Durukan (2002), there are several factors affecting underpricing in IPOs that resulted in
various hypotheses, such as:
1. The winner's curse hypothesis. Beatty and Ritter (1986) and Rock (1986) in Durukan
(2002) state that the investors take benefit from the IPO underpricing in purchasing
shares and disclosure of private information.
2. The certification hypothesis. Booth and Smith (1986), Beatty (1989), Gale and Stinglitz
(1989), Carter and Manaster (1990) in Durukan (2002) state that investment bankers and
auditors must have the certification to reduce uncertainty in the IPO process, which can
enhance the reputation of underwriter.
3. The signaling hypothesis. Allen and Faulhaber (1989), Grinblatt and Huang (1989), and
Welch (1989) in Durukan (2002) state underpricing is a tool for signaling its quality, so it
can obtain the return on the next offering.
4. The market feedback hypothesis. Jegadeesh et al. (1993) in Durukan (2002) states that
the underwriter will make underpricing to induce regular investors by revealing
information during the period prior to the IPO.
5. The lawsuit avoidance hypothesis. Tinic (1988) in Durukan (2002) states that
underpricing in IPO is needed to reduce the possibility of prosecution lawsuits by
investors.
6. The fads (impresario) hypothesis. Aggarwal and Rivoli (1990) and Ritter (1991) in
Durukan (2002) suggest that abnormal initial return is not because of systematic
underpricing, but it is because of overvaluation by investors or the mode in the early
aftermarket trading.
Kenourgios (2007) also adds some points in the hypotheses that affect IPO underpricing, they
are:
1. Monopsony power of underwriters hypothesis. Ritter (1984) argues that the investment
banker will take advantage of the knowledge of the market conditions to underprice the
offerings, to maximize the revenue.
2. Hypothesis of prestigious underwriters. Beatty and Ritter (1986) reveal that the
underwriters care about their reputation and won‟t do too much underpricing in IPOs.
3. Market bandwagon hypothesis. Welch (1992) reveals that potential investors are not only
concerned with the new offerings‟ informations, but also other investors. So,
underwriters will do underpricing that can attract potential investors at the first-time.
4. Ownership or control dispersion hypothesis. Brennan and Franks (1997) suggest that
underpricing can reduce the risk of a hostile takeover. Giving the stock largely to one
party can increase the liquidity of the market and the number of small shareholders.
Several hypotheses reveal that the underwriter is the most widely affect the determination of
the company's stock price, especially on the certification hypothesis, the market feedback
hypothesis, the lawsuit avoidance hypothesis, underwriter monopsony power of hypothesis,
hypothesis of prestigious underwriters, market bandwagon hypothesis, or control and
ownership dispersion hypothesis. This is because the underwriters have more information so
they can use nescience‟s issuers to minimize risk (Hanafi and Husnan, 1991). Asymmetry of
information between the underwriter and the issuer makes many IPO prices underpricing.
Underpricing can make wealth transfer issuers to investors (Beatty, 1989) so the corporate
objectives can‟t be achieved fully.
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
93
Many researches about the factors that influence the intitial return of the company has been
reviewed in previous studies. They used the common factors or underwriter‟s factors specifically discussed. Common factors were investigated by many researchers. Yasa (2002),
Triani (2006), and Sembel (2008) state that underwriter reputation has the positive effect on
initial returns. However, the different results (negative effect) found by Ardiansyah (2004),
Hidayah (2007), and Yunita (2010). Significance levels were different too, from the six
studies, only 2 studies from Yasa (2002) and Hidayah (2007) which say significant effect of
underwriter reputation is not significant to the initial return. Two existing research abroad,
such as Durukan (2002) and Kim (2008), they state that the underwriter factors have no
significant effect on initial returns. Moreover, in her research, Yunita (2010) concludes that
the equation models using the common factors (such as issuer, underwriter reputation, and
the reputation of the auditor) only explain a small fraction (less than 20%), so there are more
than 80% from other variables that influence initial returns.
The following researches focus on the underwriters factors because seven of the ten
hypotheses indicating the underwriter factors are more dominant. Variables are taken
differently, so they shows the different results. Guner (2000) and Jones (2010) state that the
underwriter factors are negative significant on initial return, supported by two other studies of
Kenourgios (2007) and Sharma (2010) with prestige variable, and also by Fung (2008) that
states that the underwriter ranking effects negatively. However, two other studies found that
underwriter factors have no significant effect on initial return, proposed by Almeida (2011)
and Su (2011).
So, it is required a further study on the underwriter factors affecting the initial return, not only
by underwriter reputation, but also by taking many factors from the previous studies. The
factors are the underwriter‟s reputation, prestige of the underwriter, underwriter total assets,
number of syndication, underwriter‟s age, underwriter‟s experience, price revision, and
oversubscription.
LITERATURE REVIEW
The process of the company which offers shares to the public for the first time is called IPO
(Initial Public Offering). Company's decision for going public must do with some
calculations because the IPO firms are faced with some consequences, both beneficial
(benefits) and adverse (costs) (Emery, 2007). Underwriters have roles to promote the
companies‟ shares and to protect the public interest by providing information regarding the financial material and other information about the companies (Usman, 1991). Decision in the
selection of underwriters is very important to consider the funding will be smoothly or
otherwise, so it is needed to choose the professional underwriters (Sitompul, 1996). So, it can
avoid underpricing in IPO.
Underpricing can be calculated by initial return. Initial return is a benefit that can be taken by
shareholders because of the difference in price of shares purchased in the primary market
(IPO) with the selling price in the first day on the secondary market (Daljono, 2000). To
calculate Initial Return, we can use this formula:
whereas:
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
94
Pt0 = IPO price (offering price)
Pt1 = closing price (closing price) on the first day of IPO
The underwriter‟s factors that influence initial return are: 1. Underwriter’s reputation. Underwriter is a party that has a lot of informations about the
capital market (Yasa, 2002). Underwriter reputation can be used as a signal to reduce the
level of uncertainty that is difficult to express through the prospectus and other
information (Beatty, 1989). Various studies have been conducted in reputation variables,
but the results were varies. There are several studies that support the theory, which is
shown in the studies conducted by Hidayah (2007) and Jones (2010), they find that
underwriter‟s reputation is negative significant on initial return. Another study that
refutes this hypothesis is the research from Yasa (2002) which states that the reputation
gives positive significant effect on initial return.
H1: Suspected that underwriter’s reputation affects negatively to initial return on
IPO in the period of 2004-2011.
2. Underwriter’s prestige from capital raised. Capital raised is associated with prestige
which can reduce underpricing in the IPO. According to Klein (2001) underwriter is
usually compensated by a commission which is a fixed percentage of the capital raised to
minimize underpricing, so the capital raised reflects the compensation paid to the
underwriters and may also reflect the underwriter‟s prestige (Ardiansyah, 2004).
According to Kenourgios (2007), underwriter prestige can be a proxy using the ratio of
capital which has been enhanced through the IPO process, so prestige can be measured
by using the capital raised (CR) with this formula:
whereas:
CRj = capital raised by each underwriter
CRi = capital raised by all underwriters
The result is the prestige affects negative significant to underpricing that occurs
(Kenourgios, 2007).
H2: Suspected that underwriter’s prestige affects negatively to initial return on IPO
in the period of 2004-2011.
3. Total assets of underwriter . Assets according to the IASB (2006) is the possibility of
future economic benefits obtained or controlled by an entity as a result of past
transactions or events. Total assets represent the size of a company, the greater
company's assets mean the greater size and prospect of the company in the future.
According to Ardiansyah (2004) the larger companies have the greater certainty so that it
will reduce uncertainty in future projects. According to Jones (2010) assets affect
negatively to initial returns.
H3: Suspected that total assets of underwriter affect negatively to initial return on
IPO in the period of 2004-2011.
4. Number of syndicates. Number of syndicates defined by Sharma (2010) as the number of
investment banks in the syndicates, syndicates are chosen to avoid the wealth transfer
from investors to issuers. Sharma (2010) also said that the number of syndicates affect
positively on prestige, supported by Fung (2008) which states that the size of syndicates
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
95
influence positively on experience. Whereas, prestige and experience have negative
significant effects on initial return. Found by Hoberg (2007) that some investment banks
does underpricing in the IPO market based on private information, the large number of
syndicates will reduce the occurrence of this private information, so the large number of
syndicates will cause reductions in the underpricing.
H4: Suspected that number of syndicates affects negatively to initial return on IPO
in the period of 2004-2011.
5. Underwriter’s age. According to Nurhidayati and Indriantoro (1998), firm‟s age shows
how long the company can survive and shows that the company is able to compete in an
industry. The longer life of the company means more information that can be provided
by the company to the management itself. In line with the theory, Sharma (2010) reveals
that age has negative significant effect on initial return.
H5: Suspected that underwriter’s age affects negatively to initial return on IPO in the period of 2004-2011.
6. Underwriter’s experience. Underwriter‟s experience shows the experience of managing
IPO process and how to valuate performance of handled companies. According to Fung
(2008), underwriter that has a lot of previous experience in IPO will have superior
characteristics and more widely known than the underwriters doing few IPOs. This will
be reflected in the number of IPOs that have been done by the underwriter, which many
experiences in handling IPO make the risk become smaller.
H6: Suspected that underwriter’s experience affects negatively to initial return on IPO in the period of 2004-2011.
7. Price revision. According to Keefe (2012), price revision is the percentage change from
the expected offering price (the midpoint of the range on the filing date of the original
filing) of the bid price. Price revision can be interpreted as the final bid price compared
to the midpoint of the original price and minus one (Kim, 2008). Price revision can be
calculated using the following formula:
According to Jones (2010), price revision is providing the price dispersion that relies on
information during the bookbuilding, specific IPO information, specific financial, and
private information about the issuer known underwriter. According to Almeida (2011)
and Kim (2008), price revision has positive effect on initial return.
H7: Suspected that price revision affects positively to initial return on IPO in the
period of 2004-2011.
8. Oversubscription. Investment bank that has handled the IPO after issuing IPO can be
oversubscribed, because no one beside underwriters really knows how accurate it reflects
the interests of investors. Oversubscription should reflect investors' appetite in IPO by
comparing the number of shares they want with the number of shares actually available.
Oversubscription can be formulated by the following formula according to Kenourgios
(2007):
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
96
Kenourgios (2007) in his research examines the factors related to the company's initial
returns, and the result is oversubscription has very positive significant correlation to
stock returns.
H8: Suspected that oversubscription affects positively to initial return on IPO in the
period of 2004-2011.
RESEARCH METHOD AND DATA
The study is a causal research because it explains the causal relationship between the
variables in empirical model developed by researchers that is related to the influence of the
variables affecting the initial return on a company doing IPO. Based on the approach, this
research is a quantitative research/positivism that emphasizes the combination of deductive
logic and the use of quantitative tools in interpreting a phenomenon objectively (Efferin,
2008).
There are two types of variables used in this study, namely dependent variables and
independent variables. The dependent variable is the initial return of the companies doing
IPO in Indonesia Stock Exchange in the period of 2004-2011. While, the independent
variables are the underwriter‟s reputation, prestige of the underwriter, underwriter total assets, number of syndication, underwriter‟s age, underwriter‟s experience, price revision, and oversubscription.
Data used in this study is secondary data. Sources of data in this study are the financial
statements and many informations of each company published in IDX Magazines, Indonesian
Capital Market Directory, Investor Magazine, Yahoo Finance Website, IDX Website,
NewsIDX Website, Ipot Indonesia Website, Kontan Website, Bisnis Website, Detik Finance
Website, and Tempo Newsletter Website.
Data are processed with models used to analyze the causal relationship between the factors of
underwriters with initial returns using Ordinary Least Squares (OLS) by Eviews 7. But there
are some classic assumptions needed to run multiple regression, such as Normality,
Multicollinearity, Autocorrelation, and Heteroscedasticity. And the regression equation used
is as follows:
IR = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 + ε
Whereas:
IR = Initial Return
X1 = Underwriter‟s reputation
X2 = Prestige of underwriter
X3 = Underwriter‟s total assets
X4 = Number of syndications
X5 = Underwriter‟s age
X6 = Underwriter‟s experience
X7 = Price revision
X8 = Oversubscription
β0 = The magnitude of the constant
βi = regression coefficient
ε = residual/error
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
97
And the hypotheses can be examined by t-test and F-test.
RESULT AND DISCUSSION
There are 118 shares of the company which are going to be analyzed. The number of samples
must be fulfilled the minimum sample size requirement according to Tabachnick & Fidell
(1996). They suggested the number of samples must be conformed with this following
formula: N > 50 + 8m (where m is the number of independent variables). If there are 8
independent variables, the minimum sample size is 114. So, it means that 118 samples
fulfilling the requirement. From the data which have been compiled, prestige (X2), experience
(X6), price revision (X7), and oversubscription (X8) have mean numbers consecutively 0.48;
9.29; -0.04; and 3.82. They also have standard deviations as 0.83; 11.86; 0.13; and 3.99
whose the numbers more than 50% of their mean numbers. Total assets (X3), number of
syndications (X4), and age (X5) have mean numbers as 11.67; 1.53; and 16.86 but their
standard deviations are less than 50% of the mean numbers, they are 0.49; 0.74; and 7.17.
Reputations (X1) has mean number 0.25, that means a lot of companies work with bad-
reputation underwriter. Others descriptive statistical numbers display on Table 2 and Table 3.
By using normality, multicollinearity, autocorrelation, and heteroscedasticity test, it is found
that the data meet the assumptions of classical test. Therefore, multiple regressions using
Ordinary Least Square (OLS) can be used. The classical test is explained as the following:
1. Normality test. This test can be shown by Probability Jarque Bera numbers. The result
shows that the Probability Jarque Bera numbers in IR1 until IR15 are 0.00. Winarno
(2009) argues that the normal distribution data needs Probability Jarque Bera number
greater than 0.05. But, Gujarati (1995) also explains that some independent variables and
identically random distributed, with little exception this data will be normally distributed.
2. Multicollinearity test. For detecting the problem of multicollinearity the regression
model should be run first and we can use coefficient of determination as the indicator
(R2). Nachrowi (2006) says that coefficient of determination is high if it is more than
70%. The R2
of data which obtained are less than 10.3%. So, it means that there is no
problem with multicollinearity.
3. Autocorrelation test. We use Durbin-Watson Test to examine there is autocorrelation
problem or not. Nachrowi (2006) also argues that if the Durbin-Watson Stat is in DU
until 4-DU interval (1.54 - 2.46), we can accept H0 meaning no autocorrelation problem.
And the data shows that there is no autocorrelation problem happens.
4. Heteroscedasticity test. White Test is required to test the heteroscedasticity problem. If
the Obs*R-squared α is less than 5%, it concludes that the data is heteroscedastic. But,
all results show the numbers more than 5%, so there is no heteroscedasticity problem.
Table 4 displays the results of hypothesis testing, such as types of the relationship and the
level of significance of the underwriter‟s factors on initial return. The variables that affect the initial return significantly is prestige (X2) on the model IR3 which is negative significant
impact with signification of less than 10%, number of syndications (X4) on the model IR1 is
negative significant impact with a significance value of less than 10%, oversubscription (X8)
in the model IR1 has positive significant impact with a significance value of less than 1%,
and the experience (X6) on the model IR1 to IR15 has negative significant impact with
significance level less than 1% for IR3 to IR10 and 5% to the value of IR1, IR2, and IR11 to
IR15. While, the other variables have no significant impact on initial returns.
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
98
Apart from the Probability t-statictic, significance level of the models can be seen in
Probability F-statistic. The F-statistic Probability values less than 5% of the overall equation
model can be said that it is significant. In the model equations obtained. IR1 to IR15 has
Probability F-statistic greater than 10%, except in the IR1 with value less tha 1%. This
suggests that the best model is IR1.
CONCLUSION
This study finds that the underwriter‟s factors have significant effect for the companies which are doing IPO, such as prestige, number of syndicate, experience, and oversubscription. But
other independent variabels like reputation, total assets, age, and price revision have no
significant impact to initial return.
Capital raised is associated with prestige which can reduce underpricing in the IPO. This in
line with our finding that prestige has negative significant effect to initial return. And
according to Klein (2001) underwriter is usually compensated by a commission which is a
fixed percentage of the capital raised to minimize underpricing (low initial return). Another
independent variable is number of syndicates. The result shows that this variable has negative
significant effect to initial return in line with the previous research by Sharma (2010), Fung
(2008), and Hoberg (2007). Sharma (2010) argues that syndicates are chosen to avoid the
wealth transfer from investors to issuers so number of syndicates affect positively on prestige,
supported by Fung (2008) which states that the size of syndicates influence positively on
experience. Whereas, prestige and experience have negative significant effects on initial
return. Hoberg (2007) also strengthen this argumentations, the large number of syndicates
will reduce the occurrence of this private information, so the large number of syndicates will
cause reductions in the underpricing. Another variable that shows negative significant effect
is underwriter‟s experience, this argumentation is supported by Fung (2008) who argues that underwriter that has a lot of previous experience in IPO will have superior characteristics and
more widely known than the underwriters doing few IPOs. Different with other three
independent variables, oversubscription has positive significant impact to initial retun. This
result is same with the result that is gotten by Kenourgios (2007) which argues that
oversubscription has very positive significant correlation to stock returns.
Other four variables have no signifacant impact to initial returns. Underwriter reputation
result is not supporting previous findings from Hidayah (2007), Jones (2010), and Yasa
(2002). It maybe caused by the different reference of reputable underwriter that we use. And
Investor Magazine may not reflect the quality of underwriting from underwriter companies
because it may just identify the short performance of underwriter. Total assets of underwriter
and age also have no significant effect to initial return. These two variables is not strong
enough to indicate the quality of a company. Big and old companies are not indicating that
those companies is good in underwriting, for example Danatama (22 year-old company
which just underwrote 7 companies) and UBS Securities Indonenesia (24 year-old company
which just underwrote 1 company). Price revision also does not affect the initial return, so the
previous results from Almeida (2011) and Kim (2008) are not proven in Indonesia Stock
Exchange.
From this result, it can be known that initial returns can not only be described from one
perspective, but there are a lot of factors affecting the initial return value. It is evidenced by
the adjusted R-squared value that is only about 10.3% in Initial Return 1. Issuers should
consider many factors and related parties, apart from his own company, such as
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
99
underwriters, investors, auditors, regulatory, relation and many more. Therefore, for the
further research, it is recommended to test the effects of other variables by connecting many
of the factors with many parties, then look for the factors from which party that has the most
significant impact on intial return.
REFERENCES
Aggarwal, R. and P. Rivoli, 1990, Fads in the Initial Public Offering Market?, Financial
Management, 19:4, pp.45-57.
Allen, F. and G. Faulhaber, 1989, Signalling by Underpricing in the IPO Market, Journal of
Financial Economics, 23:2, pp.303-323.
Almeida, Vinicio de Souza, 2011, Underwriter Reputation in Brazilian IPOs, Latin American
Business Review, 12:4, pp. 255-280.
Ardiansyah, Misnen, 2004, Pengaruh Variabel Keuangan terhadap Return Awal dan Return
15 Hari setelah IPO di Bursa Efek Jakarta, Journal Riset Akuntansi Indonesia , Vol 7(2):
126-130.
Beatty, R.P. and J.R. Ritter, 1986, Investment Banking, Reputation, and the Underpricing of
Initial Public Offerings, Journal of Financial Economics, 15:1, Issue 1, pp. 213-232.
Beatty, Randolph P, 1989, Auditor Reputation and the Pricing of Initial public Offering,
Journal of Financial Economic, Vol.15.
Booth, J. and R. Smith, 1986, Capital Raising: Underwriting and the Certification
Hypothesis, Journal of Financial Economics, 15, pp. 261-281.
Brennan, M., and Franks, J., 1997, Underpricing, Ownership, and Control in Initial Public
Offerings of Equity Securities in the UK, Journal of Financial Economics, Vol. 45, pp.
391-413.
Carter, R. and S. Manaster, 1990, Initial Public Offerings and Underwriter Reputation,
Journal of Finance, 45, pp.1045-1067.
Daljono, 2000, Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Initial Return Saham Yang
Listing di BEJ Th 1990 – 1997, Simposium Nasional Akuntansi III, IAI: 556 – 571.
Durukan, M. Banu, 2002, The Relationship Between IPO returns and Factors Influencing IPO
Performance: Case of Istanbul Stock Exchange, Managerial Finance, Vol. 28 Iss: 2 pp.
18-38.
Efferin, Sujoko, Stevanus Hadi Darmadji, dan Yuliawati Tan, 2008, Metode Penelitian
Akuntansi: Mengungkap Fenomena dengan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif,
Graha Ilmu.
Emery, Douglas R., John D. Finnerty, dan John D. Stowe, 2007, Corporate Financial
Management, 3rd Edition, Pearson Prentice Hall.
Emilia, L. Sulaiman, and R. Sembel, 2008, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Initial Return
1 Hari, Return 1 Bulan, dan Pengaruh terhadap Return 1 Tahun Setelah IPO, Journal of
Applied Finance and Accounting, Vol. 1 No. 1 November 2008, pp. 116-140.
Fung, Simon Yu Kit, Gul F. A., dan Radhakrishnan S., 2008, Investment Banks’ Entry into New IPO Markets and IPO Underpricing, Available, http://www.ssrn.com.
Gale, I. and J. Stiglitz, 1989, The Information Content of Initial Public Offerings, Journal of
Finance, 44, pp.469-477.
Grinblatt, M. and C.Y. Huang, 1989, Signalling and the Pricing of New Issues, Journal of
Finance, 44, pp.393-420.
Gujarati, D.N. 2004. Basic Econometrics, 4th
ed. New York: Mc. Graw-Hill.
Guner, Nuray, Onder Z., dan Rhoades, S.D., 2000, Underwriter Reputation and Short-run
IPO Returns: a Re-evaluation for an Emerging Market, The ISE Finance Awards Series,
Vol. 1.
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
100
Hanafi, M., dan Husnan, S., 1991, Perilaku Harga Saham di Pasar Perdana: Pengamatan di
Bursa Efek Jakarta selama 1990, Management dan Usahawan Indonesia, November.
Hidayah, R., Firdaus, Rahayu R., dan Nita, D., 2007, Perbandingan Underpricing Saham
Perdana Perusahaan Keuangan dan Non-keuangan di Bursa Efek Indonesia, Artikel
Fakultas Ekonomi.
Hoberg, G., 2007, The Underwriter Persistence Phenomenon, Journal of Finance, 62(3):
1169-1206.
IASB, 2006, Information For Observers World Standard Setters Meeting, September 2006,
London Agenda Paper 1a.
Jegadeesh, N., M. Weinstein, I. Welch, 1993, Initial Public Offerings and Subsequent
Offerings, Journal of Financial Economics, 34, pp.153-175.
Joh, Sung Wook dan Kim, Yoo Hwan, 2011, Bookbuilding, Price Revision and Initial
Returns of IPOs, SIRFE Working Paper Series.
Jones, Travis L., 2010, Endogenous Examination of Underwriter Reputation and IPO
Returns, Managerial Finance, Vol. 36 Iss: 4 pp. 284-293.
Keefe, M.O., 2012, Does the Effect of Revealed Private Information on IPO First Trading
Day Return differ by IPO Market Heat? , Available, http://ssrn.com/abstract=1324182.
Kenourgios, Dimitris F., 2007, Initial Performance of Greek IPOs, Underwriter‟s Reputation and Oversubscription, Managerial Finance, Vol. 33 Iss: 5 pp. 332-343.
Kim, Jaemin, Pukthuanthong-Le, dan Walker, 2008, Leverage and IPO Underpricing: Hi-tech
versus Low-tech IPOs, Management Decision, Vol. 46, pp. 106-130.
Klein, Peter G. dan Zoeller K., 2001, Universal-Bank Underwriting and Conflicts of Interest:
Evidence from German Initial Public Offerings, Preliminary Manuscript.
Nachrowi, D. dan Usman, H., 2006, Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk
Analisis Ekonomi dan Keuangan, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Nurhidayati, Siti dan Nur Indriantoro, 1998, Analisis Beberapa Faktor-faktor yang
Berpengaruh terhadap Tingkat Underpriced pada Penawaran Perdana di Bursa Efek
Jakarta, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia , Vol. 13 No1.
Ritter, J., 1984, The Hot Issue Market of 1980, The Journal of Business, Vol. 57 No. 2, pp.
214-40.
Ritter, J., 1991, The Long-run Performance of Initial Public Offerings, Journal of Finance,
46:1, pp.3-27.
Ritter, J.R., 1998, Initial Public Offerings, Contemporary Finance Digest, 2:1,
Rock, K., 1986, Why New Issues are Underpriced?, Journal of Financial Economics, 15,
pp.187-212.
Sharma, S.K. dan Seraphim, A., 2010, The Relationship Between IPO Underpricing
Phenomenon & the Underwriter‟s Reputation, The Romanian Economic Journal, no.
38.
Sitompul, Asril, 1996, Pasar Modal Penawaran Umum dan Permasalahannya , PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Su, Chen dan Banggasa, K., 2011, Underpricing and Long Run Performance of Chinese
IPOs: the Role of Underwriting Reputation, University of Liverpool Management
School, UK.
Tabachnick, B. G., & Fidell, L. S., 1996. Using Multivariate Statistics (5th ed.). New York:
HarperCollins.Wilkinson, L., & Task Force on Statistical Inference, APA Board of
Scientific Affairs.
Tinic, S., 1988, Anatomy of Initial Public Offerings of Common Stock, Journal of Finance,
43, pp.789-822.
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
101
Triani, Apriliani dan Nikmah, 2006, Reputasi Penjamin Emisi, Reputasi Auditor, Presentase
Penjamin Emisi, Ukuran Perusahaan, dan Fenomena Underpricing: Studi Empiris pada
Bursa Efek Jakarta, Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.
Usman, Marzuki, 1991, Promosi dan Informasi Pasar Modal Indonesia , Yayasan Mitra
Dana.
Welch, I., 1989, Seasoned Offerings, Imitation Costs and the Underpricing of Initial Public
Offerings, Journal of Finance, 44, pp.421-449.
Welch, I., 1992, Sequential Sales, Learning, and Cascades, Journal of Finance, Vol. 47, pp.
695-732.
Winarno, Wing Wahyu, 2009, Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews, Edisi
kedua, UPP STIM YKPN.
Yasa, Gerianta W., 2002, Penyebab Underpricing pada Penawaran Saham Perdana di Bursa
Efek Jakarta, Universitas Udayana.
Yunita, Sandra, 2010, Pengaruh Informasi Keuangan dan Non Keuangan terhadap Initial
Return pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering di BEI pada Periode
2001-2010, Tesis tidak dipublikasikan, Universitas Surabaya.
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
102
Tabel 2: Descriptive Statistic of Initial Return Day 1 until Day 15
IR1 IR2 IR3 IR4 IR5 IR6 IR7 IR8 IR9 IR10 IR11 IR12 IR13 IR14 IR15
Mean
0.23
7840
0.16
4811
0.13
3044
0.13
2130
0.13
1729
0.12
1792
0.10
8640
0.11
3040
0.11
5160
0.11
0240
0.11
0196
0.11
3199
0.11
7956
0.11
6531
0.11
8186
Median
0.12
4144
0.11
1821
0.10
5299
0.11
8314
0.10
1852
0.10
4312
0.10
3807
0.08
6628
0.09
7694
0.09
8490
0.10
1274
0.10
2574
0.09
8507
0.10
0251
0.11
0023
Maximum
1.73
0769
2.73
0315
0.84
0909
0.85
8974
0.90
2857
0.93
6937
0.81
1710
1.01
1508
0.96
8951
0.88
9321
0.77
8185
0.88
3775
0.83
9797
0.81
3437
0.80
6364
Minimum
-
0.75
4991
-
3.118
519
-
3.200
000
-
3.007
407
-
2.800
000
-
2.800
000
-
2.834
483
-
2.900
000
-
2.834
483
-
2.935
714
-
2.935
714
-
2.971
429
-
3.081
481
-
3.081
481
-
3.118
519
Std. Dev.
0.34
7249
0.49
0029
0.43
9927
0.42
7259
0.42
3830
0.42
8484
0.42
5173
0.44
3740
0.43
1577
0.43
9861
0.43
4128
0.44
3384
0.44
7368
0.44
5387
0.45
0278
Skewness
0.98
3269
-
1.407
480
-
3.742
083
-
3.472
863
-
2.978
689
-
2.915
462
-
3.071
101
-
2.804
083
-
2.913
410
-
3.001
412
-
3.127
593
-
3.019
281
-
3.243
786
-
3.302
887
-
3.371
327
Kurtosis
6.09
9911
24.5
1855
29.5
3629
26.3
8634
21.2
4635
20.2
5912
21.2
4341
19.7
7915
20.2
2968
21.1
3863
22.1
1921
21.4
5723
23.7
5208
24.1
5892
24.3
3660
Jarque-Bera
66.2
6056
2315
.612
3737
.587
2926
.223
1811
.396
1631
.729
1821
.865
1538
.875
1626
.501
1794
.798
1989
.635
1854
.240
2324
.293
2415
.737
2461
.843
Probability
0.00
0000
0.00
0000
0.00
0000
0.00
0000
0.00
0000
0.00
0000
0.00
0000
0.00
0000
0.00
0000
0.00
0000
0.00
0000
0.00
0000
0.00
0000
0.00
0000
0.00
0000
Sum
28.0
6512
19.4
4773
15.6
9921
15.5
9138
15.5
4406
14.3
7151
12.8
1948
13.3
3870
13.5
8882
13.0
0830
13.0
0316
13.3
5744
13.9
1878
13.7
5068
13.9
4598
Sum Sq.
Dev.
14.1
0805
28.0
9506
22.6
4373
21.3
5841
21.0
1690
21.4
8107
21.1
5029
23.0
3788
21.7
9224
22.6
3685
22.0
5065
23.0
0093
23.4
1614
23.2
0921
23.7
2181
Observations 118 118 118 118 118 118 118 118 118 118 118 118 118 118 118
Tabel 3: Descriptive Statistic of Independent Variables
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8
Mean 0.254237 0.481461 11.67034 1.533898 16.86441 9.288136 -0.042952 3.815714
Median 0.000000 0.156854 11.60958 1.000000 18.00000 5.000000 -0.018525 2.000000
Maximum 1.000000 4.293456 12.46129 3.000000 35.00000 51.00000 0.250000 19.50000
Minimum 0.000000 0.012445 10.43699 1.000000 2.000000 1.000000 -0.616667 0.708000
Std. Dev. 0.437288 0.829136 0.489531 0.735919 7.169398 11.86325 0.130184 3.985560
Skewness 1.128823 2.642682 -0.265512 0.981016 -0.093342 2.273735 -0.809053 1.970223
Kurtosis 2.274242 9.775005 2.295860 2.520482 2.910290 7.686241 5.268273 6.548995
Jarque-Bera 27.64983 363.0258 3.824184 20.05759 0.210919 209.6484 38.16971 138.2689
Probability 0.000001 0.000000 0.147771 0.000044 0.899911 0.000000 0.000000 0.000000
Sum 30.00000 56.81245 1377.100 181.0000 1990.000 1096.000 -5.068320 450.2543
Sum Sq. Dev. 22.37288 80.43356 28.03790 63.36441 6013.831 16466.20 1.982909 1858.509
Observations 118 118 118 118 118 118 118 118
Ferry Sugianto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Liliana Inggrit Wijaya Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
103
Tabel 4: Regression Results for Equation Models in Companies Doing IPO in the Period of 2004-2011
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
104
PERANCANGAN SISTEM PENGUKURAN KINERJA PADA KOPERASI
KOPERASI KARYAWAAN REDRYING DENGAN MENGGUNAKAN METODE
BALANCED SCORECARD DAN ANALITICAL HIERARCHICAL PROCESS DI
BOJONEGORO
Indrianawati Usman Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga
e-mail: [email protected]
Mohammad Agung Laksono Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga
Abstrak
Balanced Scorecard menyediakan kerangka komprehensif yang dapat menterjemahkan
tujuan strategi perusahaan kedalam set pengukuran kinerja perusahaan secara menyeluruh,
sehingga sangat membantu pimpinan peruahaan dalam mengimplementasikan strateginya
secara efektif. Koperasi Karyawaan Redrying Bojonegoro merupakan bisnis yang sedang
berkembang pesat dengan banyak unit usaha. Penelitian ini bertujuan untuk merancang
sistem pengukuran kinerja dengan metode balanced scorecard pada Koperasi. Hal ini
dikarenakan balanced scorecard mengukur kinerja perusahaan dari aspek keuangan dan non
keuangan, internal maupun eksternal.
Penelitian ini dilakukan dilakukan dengan men-translate visi, misi, tujuan koperasi kedalam
sasaran strategik dan menyusun kedalam strategy map. Kemudian menentukan Key
Performance Indicators dan validasi oleh pengurus secara focus discision group dengan
dilanjutkan pembobotan KPI dengan metode Analytical Hierarchy Process.
Hasil dari ini tersusunlah model balanced sorecard koperasi dengan 14 KPI dari 10 leg
indicators dan hasil pembobotan KPI dengan AHP diperoleh bahwa perspektif keuangan
memiliki hasil pembobotan tertinggi dengan nilai 0.418; peringkat kedua perspektif
Pelanggan dengan nilai 0.271; peringkat ketiga perspektif Pemebelajaran dan Pertumbuhan
0.191; dan prioritas terakhir adalah perspektif proses bisnis internal dengan nilai 0.120.
Keywords : Sistem Pengukuran Kinerja, Balanced Scorecard, Analytical Hierarchy Process,
Koperasi
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
105
Pendahuluan
Penelitian Carrie dan Macintosh, 1993 mengidentifikasikan pentingnya untuk penurunan
tujuan keseluruh organisasi dan berikut pengukuran kinerjanya pada bagian-bagian
organisasi sebagai elemen-elemen penting keunggulan bersaing yang berkesinambungan.
(Umit S Bititci, Allan S Carrie and Liam McDevitt,1997).
Peningkatan kinerja perusahaan merupakan hal yang penting dalam meningkatkan daya
saing. Era pasar bebas, menuntut setiap perusahaan untuk dapat melaksanakan strateginya
dalam menggunakan sumber daya yang dimilki untuk mencapai visi dan misis secara
efektif.. Pengukuran kinerja merupakan cara untuk membantu perusahaan dalam
mengimplementasikan strateginya.
Koperasi Karyawan Redrying Bojonegoro adalah bidang usaha koperasi yang didirikan 1976
yang berorientasi pada usaha pengeringan tembakau. Meskipun berbadan usaha koperasi
namun telah banyak melakukan ekspansi usaha antara lain, Unit Threshing, Unit Jasa Sigaret
Kretek Tangan, Unit Simpan Pinjam, Unit Pertokoan dan Distribution Centre, serta Unit
Transportasi. Koperasi ini beranggotakan 409 orang serta menyerap 3407 tenaga kerja dan
omzet usaha sebesar Rp. 103.787.000.000,- pertahun dari semua unit bisnisnya. Unit usaha
yang dijalankan oleh koperasi menjadi semakin banyak namun koperasi saat ini hanya
melakukan pengkuran kinerja dari perspektif keuangan saja. Diperlukan pengukuran kinerja
yang lebih komprehensif untuk mendukung kelancaran implementasi strategi dan menjamin
kesinambungan dan pertumbuhan koperasi.
Robert S. Kaplan dan David P. Norton (1996) dalam Harvard Business Review melakukan
pendekatan yang mengukur kinerja dengan mempertimbangkan empat perspektif yaitu;
perspektif keuangan (financial perspective), perspektif pelanggan (costumer perspektif),
perspektif proses bisnis internal (internal business process perspective), serta perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth perpective). Metode pendekatan
tersebut disebut Balanced Scorecard yang menyediakan kerangka komprehensif yang dapat
menterjemahkan tujuan strategi perusahaan kedalam set pengukuran kinerja perusahaan
secara menyeluruh. Pengukuran yang lebih holistic, luas, dan menyeluruh ini berdampak bagi
perusahaan untuk lebih bijak dalam memilih startegi korporat dan memampukan perusahaan
untuk memasuki arena bisnis yang lebih kompleks.
Balanced Scorecard dilengkapi dengan kejalasan indikator kinerja dan standar kinerja,
sehingga penilaian terhadap suatu event menjadi jelas dan terukur. Dasar pemikiran bahwa
setiap perspektif dapat diukur adalah adanya keyakinan bahwa “if we can measure it, we can
manage it, if we can manage it, wecan achive it”. Dengan Balanced Scorecard diharapkan
dapat mengintegrasi energi, kemampuan, dan pengetahuan organisasi yang spesifik dari
perusahaan agar mencapai long-term strategic goals.
Rumusan masalah:
Saat ini koperasi telah memiliki rencana strategi dan telah menyusun visi dan misi. Namun
demikian dengan meningkatnya usaha dengan omzet yang besar, tentu saja diperlukan sarana
untuk mendukung implementasi strategi agar visi dan misi serta tujuan dapat dicapai dengan
baik. Untuk itu diperlukan pengukuran kinerja yang komprehensif yang dalam hal ini akan
digunakan Balanca Scorecard serta penggunaan AHP dalam penyusunannya. Pengukuran
kinerja akan disusun dengan meneliti praktek pengukuran kinerja koperasi saat ini terlebih
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
106
dahulu, kemudian berdasarkan atas kondisi saat ini akan dirancang sistem pengukuran kinerja
yang sesuai dengan koperasi dengan Balance scorecard dan AHP. Berikut adalah rumusan
masalah penelitian :
1. Bagaimanakah sistem pengukuran kinerja yang digunakan Koperasi Karyawan
Redrying Bojonegoro saat ini?
2. Bagaimanakah sistem pengukuran kinerja dengan menggunakan Balanced
Scorecard pada Koperasi Karyawan Redrying Bojonegoro ?
Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan kondisi Mengetahui sistem pengukuran
kinerja yang digunakan Koperasi Karyawan Redrying Bojonegoro saat ini dan menyusun
rancangan sistem pengukuran kinerja dengan menggunakan metode Balanced Scorecard
pada Koperasi Karyawan Redrying Bojonegoro.
Landasan Teori
Pengukuran Kinerja
Atkinson, Banker, Kaplan, dan Young (1997:51) mengemukakan bahwa pengukuran kinerja
mengukur berbagai aktivitas organisasi sehingga menghasilkan informasi umpan balik untuk
melakukan perbaikan organisasi, meliputi: perbaikan perencanaan, proses, dan evaluasi.
Artinya perencanaan proses dan evaluasi yang implementasinya kurang sesuai dengan
seharusnya dan setelah dinilai kinerjanya menunjukan informasi yang tidak sesuai dengan
tujuan, maka ketidaksesuaian itu dijadikan informasi untuk perbaikan proses perancanaan
evaluasi selanjutnya. Najmi (2005: 109-122) juga menjelaskan bahwa dalam sistem
pengukuran kinerja harus memenuhi tiga konsep dasar yaitu Direction, menjelaskan tentang
visi, misi, dan sasaran strategis sehingga arah perusahan menjadi jelas. Process, menjelaskan
bahwa perusahaan diatur oleh proses yang dikenal dengan praktek proses perbaikan dan
Measures, menyatakan bahwa perusahaan mempunyai ukuran proses operasional organisasi
yang berasal dari strategi dan gambaran arah perusahaan.
Gambar-1
Generic Performance Measurement System design approach
Sumber: Najmi, Manoochehr, et all. 2005. A Framework to Review Performance
Measurement System. Bussines Process Management Journal Vol.11 No.2 pp. 109-
122.
Direction
Mission
Vison
Strategic
Objectives
Measures
Strategic indicators
Operational
indicators
Processes
Top Level Processes
(and relevant process
owners)
Detailed process
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
107
Menurut Paul Niven (dalam Nidzom 2011:27), strategy map merupakan suatu gambaran
grafis tentang objektif yang penting, namun dalam bentuk yang polos dan sederhana sehingga
mudah dipahami oleh setiap pekerja dari tingkat atas sampai bawah. Kaplan dan Norton
2004:55 bahwa strategy map sebagai presentasi kemajuan keseluruhan organisasi dengan
empat perspektif Balanced Scorecard.
Balanced Scorecard
Kaplan dan Norton (1996:8) mengatakan bahwa Balanced Scorecard merupakan sistem
pengukuran kinerja masa lalu dengan pendorong utama kinerja masa depan. Tujuan dan
ukuran dari Balanced Scorecard diturunkan dari visi dan misi organisasi serta strategi.
Pimpinan perusahaan dapat mengkur seberapa besar berbagai unit bisnis mereka dalam
menciptakan nilai bagi pelanggan dan seberapa banyak perusahaan harus meningkatkan
kapabilitas internal dan investasi sumber daya manusia serta sistem yang dibutuhkan untuk
meningkatkan kinerja dimasa yang akan datang. Komponen Balance Scorecard terdiri dari
financial perspective, costumer perspective, process business internal perspective, serta
learning and growth perspective.
Perspektif Keuangan
Ukuran kinerja keuangan memberi petunjuk apakah strategi perusahaan, implementasi, dan
pelaksanaanya memberikan kontribusi atau tidak kedalam peningkatan pada perusahaan.
Tujuan perusahaan biasanya berhubungan dengan profitabilitas, yang diukur dengan
misalnya: Return on Asset (ROA), Return on Investment (ROI), atau Economic Value Added
(EVA). Tujuan finansial lainya bisa berupa pertumbuhan penjualan yang cepat atau
terciptanya arus kas.Kaplan dan Norton (1996: 48-49) menjelaskan bahwa sasaran keuangan
bisa sangat berbeda tiap tahapan siklus kehidupan bisnis
Tabel-1
Measuring Strategic Financial Themes
Strategic Themes
Revenue Growth and
Mix
Cost Reduction /
Productivity
Improvement
Asset Utilization
Bu
ssin
es U
nit
Str
ate
gy
Gro
wth
*Sales growth rate by
segment percentage
revenue from new product,
services, dan costumer
*Revenue/employee *Invesment
(percentage of sales)
*R&D (percentage of
sales)
Su
stain
*Share of targeted
costumers and accounts
*Cross-selling
*Percentage revenues from
new applications
*Costumer and product
line profitability
*Cost versus
competitors
*Cost reduction rates
*Indirect expenses
(percentage of sales)
*Working capital ratio
(cash to cash cycle)
*ROCE by key asset
categories *Asset
utilization rates
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
108
Harv
est *Costumer and product
line profitability
*Percentage unprofitable
costumers
*Unit cost (per unit of
output, per
transaction)
*Playback
*Throughput
Sumber: Kaplan, Robert dan David P. Norton. 1996. Balanced Scorecard: Translating
Strategy into Action. Harvard Business School Press.
Perspektif Pelanggan
Menurut Kaplan dan Norton (1996:68), dalam perspektf pelanggan perusahaan menggunakan
tolak ukur untuk mengukur segmen pasar dan target pasar yang dibagi menjadi dua
kelompok. Pertama, kelompok Pengukuran Konsumen Utama (Core Measurement Group).
pada umumnya sama untuk semua jenis perusahaan, kelompok pengukuran ini terdiri dari
pengukuran Market Share, Costumer Acqusition, Costumer Retention,.Costumer Satisfaction,
dan Costumer Profitability. Kedua, kelompok Pengukuran Nilai Pelanggan (Costumer Value
Proposition). Proporsi nilai pelanggan menggambarkan pemicu kinerja yang menyangkut
pertanyaan apa yang harus disajikan perusahaan untuk mencapai tingkat kepuasan, loyalitas,
retensi, dan akusisi konsumen yang tinggi. Atribut dari proporsi nilai konsumen meliputi,
Product / Service Atribute, Costumer Relationship, serta Image and Reputation
Sumber: Kaplan, Robert and David P. Norton. 1996. Using The Balanced Scorecard as a
Strategic Management System. Harvard Bussiness School Press.
Perspektif Proses Bisnis Internal
Menurut Kaplan dan Norton (1996:115) setiap bisnis mempunyai tatanan proses yang unik
untuk menciptakan nilai untuk konsumen dam memproduksi hasil keuanganya. Pada model
proses bisnis internal dibagi menjadi tiga prinsip, yaitu Innovation yang dibagi menjadi dua,
yaitu: mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan pasar dan menciptakan produk dan jasa
untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut.
Gambar 2
The Costumer Value Propotion
Generic Model
= + + Product/Service
Attribute
Image Relationship Value
Functionality Quality Time Price
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
109
Gambar 3
The Internal Business Process Perspective – The Generic Value Chain Model
Sumber: Kaplan, Robert and David P. Norton. 1996. Balanced Scorecard: Translating
Strategy into Action. Harvard Business School Press.
Semua Proses ini penting dan harus dilakuakan dengan baik oleh tiap departemen dalam
organisasi. Proses innovasi dapat dipengaruhi oleh kebutuhan dari target pelanggan, fokus
pada pengembangan produk baru, dan peningkatan pelayanan yang dapat memeberikan solusi
lebih baik. Proses operasi terkait dengan biaya, kualitas, dan cycle time. Strategi dalam proses
bisnis internal tersebut diselaraskan dengan arah tujuam dari perusahaan, sehingga dalam hali
ini Balanced Scorecard hanya berfungsi sebagai penerjemah dan penghubung tolak ukur
dengan strategi perusahaan
Perspektif Pemebelajaran dan Petumbuhan
Perspektif ini berkaitan dengan manusia, sistem, dan prosedur organisasi, oleh karena itu
perspektif inilah penggerak dari ketiga perspektif yang lainya. Menurut Soetjipto Budi.W
(1997:23) tujuanya dimasukanya kinerja ini adalah untuk mondorong perusahaan menjadi
organisasi belajar sekaligus pendorong pertumbuhan. Kaplan dan Norton (1996:127)
menjelaskan bahwa dalam Balanced Scorecard pada organisasi jasa dan manufaktur terdapat
tiga kategori pemebelajaran dan pertumbuhan, yaitu Employee Capabilities, Information
System Capabilities dan Motivation, Empowerment, and Alignment. Ketiga faktor tersebut
digambarkan sebagai faktor penggerak performasi (enablers), yang hubunganya dengan
pengukuran inti (core measurement) dapat digambarkan sebagai berikut:
Costumer
Need
Identified Identfy the
Market
Postsale
Service
Process Costumer
Need
Satisfied
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
110
Sumber: Kaplan, Robert and David P. Norton. 1996. Balanced Scorecard: Translating
Strategy into Action. Harvard Business School Press.
Balanced Scorecard dapat membantu menghubungkan visi dan strategi dengan empat
perspektif secara seimbang dimana dtunjukan gambar dibawah ini:
Gambar 5
Hubungan Visi dan Strategi dengan Balanced Scorecard
Sumber: Kaplan, Robert and David P. Norton. 2007. Using The Balanced Scorecard
as a Strategic Management System. Harvard Bussiness School Press.
Enablers
Core measurement
Climate to Action Technology
Infrastucture
Staff Competension
Employee
Productivity Employee
Satisfaction
Employee
Retention
Result
Gambar 4
The Learning and Growth Measurement Framework
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
111
Visi dan dan Strategi diterjemahkan kedalam empat perspektif yang kemudian oleh masing –
masing perspektif visi dan strategi tersebut dinyatakan dalam bentuk tujuan yang ingin
dicapai oleh organisasi, ukuran dari tujuan, target yang diharapkan dimasa yang akan datang,
serta inisiatif – inisiatif atau program yang harus dilaksanakan untuk memenuhi tujuan –
tujuan strategis. Kaplan dan Norton (1996) juga menjelaskan bahwa Balanced Scorecard
merupakan suatu konsep manajemen yang membantu menerjemahkan strategi ke dalam
tindakan. Perusahaan – perusahan inovatif dalam menngunakanya sebagai suatu sistem
manajemen strategis untuk mengolola strategi perusahaan sepanjang waktu.
Analytical Hierarchy Process
Analytical Hierarchy Process (AHP) pertama kali diperkenalkan Saaty pada tahun 1971.
Sejak pengenalannya AHP telah menjadi metode multiple-criteria decision making yang
paling banyak digunakan dan telah memecahkan masalah terstuktur. AHP fokus pada
pembuatan serangkaian perbandingan berpasangan. Perbandingan ini digunakan untuk
menentukan hierarki yang harus diprioritaskan terlebih dahulu. Dengan demikian, AHP dapat
membantu pengambilan keputusan. Jurnal Saaty (dalam Chandra, 2013) menyatakan bahwa
untuk membuat sebuah keputusan didalam teknik AHP diperlukan langkah – langkah sebagai
berukut:
a. Menentukan masalah dan memutuskan solusi apa yang akan digunakan.
b. Struktur hierarki keputusan dari atas dengan tujuan keputusan, kemudian sasaran dari
perspektif melalui level menengah (berisi kriteria dan elemen – elemen yang
berhubungan), sampai level terendah (yang biasanya berisi langkah alternatif)
c. Membuat matriks perbandingan berpasangan. Tiap elemen di level lebih atas
digunakan untuk membandingkan elemen – elemen di level tersebut dengan elemen
dibawahnya.
d. Menggunakan prioritas yang diperoleh dari membandingkan bobot prioritas di level
tersebut dengan level dibawahnya. Lakukan ini untuk tiap elemen.
Untuk membuat perbandingan, dibutuhkan skala dari angka yang mengindikasikan berapa
banyak elemen yang lebih penting, atau elemen apa saja yang lebih dominan. Pada umumnya
nilai yang ditetapkan berada di antara 1 sampai 9.
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian
yaitu metode kualitatf yang menitikberatkan analisis terhadap penyebab suatu masalah dan
mencari solusi untuk memcahkan masalah tersebut berdasarkan data yang didapat di
lapangan. Penelitian kualitatif menurut Maxfied dan Nazir (1998) merupakan suatu
pendekatan yang menggunakan data berupa kalimat tertulis, lisan, perilaku, fenomena,
peristiwa, pengetahuan atau objek studi.
Teknik yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data primer antara lain dengan
wawancara, diskusi, dan penyebaran kuisioner kepada pimpinan pengurus, pengawas, dan
direksi koperasi. Melakukan wawancara dan mengadakan FGD.
Adapun tahap-tahap penelitian adalah sebagai berikut:
1. Men-translate Visi, Misi, Tujuan Perusahaan serta Isu Startegik ke dalam Sasaran
Strategis melalui pengajuan pertanyaan guna menetapkan sasaran strategis yang
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
112
menjadi kunci sukses keberhasilan melalui pembangunan isu strategis perusahaan
dalam setiap perspektif Balanced Scorecard.
2. Menyusun Strategy Map
a) Mengidentifikasikan sasaran strategis dan menjelaskan hubungan sebab –
akibatnya melalui wawancara dengan pimpinan Koperasi.
b) Memvisualisaikan strategy map. Sasaran strategis digambarkan akan hubungan
panah – panah yang mengindikasikan adanya hubungan sabab akibat.
3. Penentuan Lead Indicator, Lag Indicator, dan Inisiatif Startegis
Penyusunan sasaran strategis pada tiap perspektif Balanced Scorecard serta
menentukan inisiatif stategis atau kegiatan yang dilakukan untuk mencapai sasaran
strategis, lead indicator (pemicu untuk mencapai sasaran yang ditetapkan sebagai
target), dan lag indicator (keberhasilan yang dicapai sasaran strategis). Penetapan ini
disebut dengan KPI (Key Performance Indicator)
4. Validasi Key Performance Index (KPI)
Validasi KPI ini dilakukan oleh pimpinan Koperasi, bertujuan untuk mengetahui
ukuran apa saja yang dibutuhkan dan disetujui untuk melakukan pengukuran kinerja
dengan metode Balanced Scorecard.
5. Pembobotan KPI dengan Metode AHP
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mmberikan kuisioner dalam bentuk
pembobotan KPI. Proses pembobotan KPI dilakukan oleh pimpinan Koperasi Kareb
dengan metode Focus Group Discusion. Hal ini dengan tujuan memberi peringkat
KPI yang memiliki kontribusi terbesar hingga terkecil pada organisasi. Data
pembobotan AHP ini diperhitungkan dengan software expert choice. Pembobotan
AHP ini harus memiliki syarat konsistensi 10% agar valid dan konsisten.
Hasil dan Pembahasan
Identifikasi Visi dan Misi Koperasi Karyawan Redrying Bojonegoro
Koperasi Karyawan Redrying Bojonegoro (KAREB) memiliki visi dan misi yang dijadikan
dasar dalam penetapan sasaran – sasaran strategik koperasi, sebagai berikut:
Visi, Mewujudkan Usaha Koperasi di bidang jasa dan perdagangan yang terpercaya dan
terbaik di tingkat nasional maupun internasional
Misi a. Meningkatkan kesejahteraan anggota dan karyawaan.
b. Memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh pelanggan/mitra kerja.
c. Terus membangun dan mengembangkan semua unit usaha dengan sistem manajemen
efektif dan efesien
Berdasarkan pengamatan terhadap koperasi dan wawancara kepada pengurus koperasi
KAREB menghasilkan rumusan sasaran stategik koperasi sebagai berikut:
Perspektif Financial
Dalam perspektif ini dapat dilihat keberhasialan keuangan untuk menentukan tingkat
kesehatan keuangan suatu organisasi. Koperasi KAREB menetapkan sasaran
startegis, yaitu meningkatkan Pendapatan dan Profit / Sisa Hasil Usaha (SHU)
Pendapatan dianggap sebagai penunjang pertumbuhan profit koperasi, meningkatan
penggunaan asset dan Investasi, mendongkrak pendapatan.
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
113
Perspektif Costumers
Perspektif ini difungsikan untuk mengidentifikasi segmen pasar dimana koperasi
dapat terus sustain. Sasaran strategik yang dicapai Koperasi KAREB pada prspektif
ini adalah, meningkatkan kepuasan pelanggan, meningkatkan kepercayaan
pelanggan.
Perpektif Internal Business Process
Perspektif ini menggambarkan strategi – strategi organisasi mengarah pada proses
bisnis internal koperasi yang terkait dengan penciptaan nilai produk dan layanan
secara efektif dan efesien sehingga koperasi dapat berkembang pesat. Sasaran
strategik yang dicapai Koperasi adalah, Meningkatkan Kualitas Produk Meningkatkan
Kecepatan dan Mutu Pelayanan, Memanfaatkan Aset Secara Optimal
Perspektif Learning and Growth
Perspektif ini mengarah pada kemampuan koperasi untuk menyiapkan infrasturktur
untuk ketiga perspektif lainya serta menciptakan sumber daya yang unggul dan
kompeten. Sasaran strategik yang dicapai adalah, Mengembangankan Kompetensi
Karyawaan, Meningkatkan Kepuasan Karyawaan.
Rancangan Matriks Balanced Scorecard Koperasi
Balanced Scorecard memiliki dua macam indikator kinerja, yaitu: lag indicator (ukuran
hasil) atau disebut keberhasilan pencapaian sasaran strategik dan lead indicator (ukuran
pemicu) atau pemicu untuk mencapai hasil yang dinginkan. Rancangan matriks Balanced
Scorecard Koperasi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2
Matriks Balanced Scorecard Koperasi Karyawan Redrying Bojonegoro
Sasaran Strategik
Ukuran
Inisiatif Strategi Lag Indicatros
(Ukuran Hasil)
Lead Indicators
(Ukuran Pemicu)
Perspektif
Keuangan
1.Peningkatan
Pendapatan dan
Profitabilitas
1.Peningkatan
Pendapatan
2. Pertumbuhan
Keuntungan / SHU
1. Persentase
Peningkatan
Pendapatan
2. Persentase
Peningkatan Profit
Margin /SHU
1..Melakukan efeisensi
biaya produksi
2.Meningkatkan hasil
produksi
2.Peningkatan
Pengguanaan
Asset dan
Investasi
1.Tingkat
Pemanfaatan
Utilitas dari
Investasi
2.Tingkat
Pemnfaatan Asset
1.Peningkatan ROA
2.Peningkatan ROE
1.Memberikan kemudahan
investasi
2.Pemanfaatan aset secara
optimal
3.Efisiensi biaya 1.Penurunan biaya 1.Persentase
Peningkatan
Penghematan Biaya
1.Melakukan modifikasi
pada generator
2. Peningkatan skill
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
114
karyawan
Melalui pelatihan
sehingga menguragi
human error
3.Menekan biaya rutin
perusahaan ( listrik,
telpon, perawatan
infrasruktur).
Perspektif Pelanggan
1.Peningkatan
kepuasan
pelanggan
1.Peningkatan
Costumer
Satisfaction
1.Peningkatan Hasil
Survey Kepauasan
Pelanggan
1.Selalu menjaga kualitas
produk/jasa
2.Memberikan pelayanan
terbaik
2.Peningkatan
Kepercayaan
Pelanggan
1.Costumer
Retention and
Acquisition
1.Pertambahan Jumlah
Pelanggan Baru
2.Peningkatan Total
Jumlah Pelanggan
1.Menetapkan harga jual
yang bersaing
2.Langsung terjun petani
atau pengusaha tembakau
Perspektif
Internal Bisnis
Proses
1.Peningkatan
kualitas produk
1.Menurunya
produk cacat
1. Penurunan Jumlah
produk yang
dikembalikan dan
produksi ulang
1. Meningkatkan kualitas
karyawan untuk mencegah
human error
2.Selalu melakukan
perawatan dan perbaikan
aset
2.Meningkatkan
kecepatan dan
mutu pelayanan
1. Response time
yang Baik
1.Peningkatan Rata –
Rata waktu
Peneyelesaian
Komplain
1. Meningkatkan kualitas
karyawan melalui
pelatihan
2.Koordinasi antar
karyawan dalam
penyeselaian masalah
3.Mengawasi dan
memotivasi karyawaan
lebih giat.
3.Memaksimalkan
aset secara
optimal
1.Peningkatan
Aktivitas yang
memberi nilai
tambah
1.Peningkatan Capacity
utilitation rate
1. Memperluas pangsa
pasar
2.Melakukan perawatan
berkala
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
115
Perspektif
Pembelajaran
dan
Pertumbuhan
1.Meningkatkan
Produktivitas
karyawan
1.Produktivitas
Karyawaan Rata -
rata
2.Peningkatan
Kemampuan
Karyawaan
1.Peningkatan
Persentase
Produktivitas
Karyawaan
2.Peningkatan
Persentase Karyawaan
Terlatih
1.Meningkatkan intensitas
kepelatihan karyawan
sesuai kebutuhan
2.Peningkatan
kepuasan
karyawan
1.Tingkat
Kepuasan
Karyawaan
1.Peningkatan Hasil
Survey Kepuasan
Karyawannya
2.Persentase Turnover
Karyawaan
1. Pemberian gaji dan
insentif sesuai job
description masing-
masing
2.Memberikan job
description sesuai dengan
kemampuan tiap-tiap
karyawannya
3.Menjaga kultur kerja
yang kondusif
Strategy Map Koperasi Karyawan Redrying Bojonegoro
Tahapan ini menggambarkan peta hubungan sebab akibat yang ada dalam rumusan sasaran
strategik antar masing – masing perspektif Balanced Scorecard Koperasi, seperti yang
terlihat pada gambar berikut:
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
116
Gambar 6
Strategy Map Koperasi Karyawaan Redrying Bojonegoro
Hubungan tersebut dimulai dengan meningkatkan kompetensi karyawan dan peningkatan
kepuasan karyawaan sehingga dari kedua sasaran strategis perspektif learning and growth
akan dampak pada kualitas produk, kecapatan dan mutu pelayanan serta pemanfaatan aset
secara optimal. Terciptanya produk dan pelayanan yang berkualitas diharapkan mampu
meningkatkan konsumen sehingga dapat pula menarik konsumen baru untuk berinvestasi..
Jika pelanggan telah mendapatkan kepuasan dan pertumbuhan konsumen terpenuhi maka
akan meningkatkan pendapatan serta profit /SHU Koperasi, sehingga koperasi dapat
mengembangkan usahanya.
Penentuan Key Performance Indicator (KPI)
Tahapan ini merupakan tahap dimana KPI dari rancangan awal Balanced Scorecard bisa
digunakan sebagai indikator kinerja untuk pengukuran kinerja selanjutnya. Sehingga hasil
dari pengukuran kinerja menjadi valid dan dapat dijadikan masukan untuk sistem pengukuran
kinerja Koperasi
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
117
Validasi KPI dilakukan oleh pengurus Koperasi. Pengurus Koperasi dianggap paling
mengetahui secara global kegiatan koperasi bagi dari segi manajemen dan operasional. Dari
Proses validasi dilakukan dengan Focus Group Discusion sehingga terbentuk satu
kesepakatan bersama maka diperoleh KPI Koperasi pada tabel berikut:
Tabel 3
KPI (Key Performance Indicators)
Sumber: Pengolahan Data Primer
Berdasarkan KPI yang telah divalidasi diatas maka dilakukan identifikasi ukuran kinerja
koperasi telah disesuaikan dengan karakteristik Koperasi kemudian terbentuklah spesifikasi
pengukuran kinerja Koperasi dengan ukuran yang spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, dan
Perspektif Lag Indicators (Ukuran
Hasil)
Lead Indicators (Ukuran
Pemicu)
Finance • Meningkatkan Profit dan Pendapatan
1. Peningkatan Pertumbuhan Pendapatan
2. Peningkatan Laba /SHU
• Meningkatkan Penggunaan Asset dan Investasi
3. Peningkatan ROA
4. Peningkatan ROE
• Meningkatkan Efisiensi Biaya 5. Persentase Peningkatan Penghematan
Biaya
Costumers • Meningkatkan Kepuasan Pelanggan
6.Peningkatan Hasil Survey Kepuasan
Pelanggan
• Meningkatkan Kepercayaan Pelanggan
7. Pertambahan Jumlah Pelanggan Baru
8. Peningkatan Total Pelanggan
Internal
Bussines
Process
• Meningkatkan Kualitas Produk 9. Penurunan jumlah produk yang
dikembalikan dan produksi ulang
• Meningkatkan Kecepatan dan Mutu Pelayanan
10. Peningkatan Rata – rata waktu
penyelesain komplain
• Memaksimalkan Aset secara Optimal
11. Peningkatan Capacity Utilitation Rate
Learning
and
Growth
• Meningkatkan Produktifitas Karyawaan
12. Peningkatan Produktivitas
Karyawaan
13. Peningkatan Persentase Karyawaan
Terlatih
• Meningkatkan Kepuasan Karyawaan
14. Peningkatan Hasil Survey Kepuasan
Karyawaan
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
118
berdasarkan rentan waktu menurut masing –masing perspektif Balanced Scorecard yang
disajikan dalam tabel berikut ini:
Pembobotan Prioritas Kinerja dengan Analytical Hierarcy Process
Pada tahap ini dilakukan proses pembobotan pada setiap indikator kinerja (KPI) yang telah
divalidasi oleh dewan pengurus dan pengelola Koperasi Karyawaan Redrying Bojonegoro
dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP), yaitu dengan kuisioner perbandingan
berpasangan.
Proses pembobotan KPI dilakukan dengan data yang diperoleh dari Focus Group Discusion
(FGD), selanjutnya dibobotkan. Pembobotan tersebut diolah dengan menggunakan software
Expert Choice 2000. Berdasarkan hasil pengolahan kuisioner perbandingan berpasangan
didapat hirarki penentuan pembobotan Perspektif Balanced Scorecard. Menunjukan prioritas
antar perspektif Balanced Scorecard, yaitu financial, costumers, internal process bussines,
dan learning and growth, manakah diantara perspektif tersebut yang lebih menjadi prioritas
dalam pencapaian strategi perusahaan.
1. Pembobotan Lokal Lag Indicators (Ukuran Hasil)
Menunjukan prioritas lag indicators dengan lag indicators lainya dalam satu
perspektif. Pada tingkatan ini beberapa lag indicators dalam satu perspektif akan
diukur bobotnya sehingga akan diketahui lag indicator mana yang menjadi prioritas.
2. Pembobotan Global KPI
Keseluruhan KPI dalam Balanced Scorecard Koperasi yang menjadi ukuran pemicu
akan diukur bobot masing – masing, sehingga dapat diketahui KPI mana yang
menjadi prioritas dalam pencapaian strategi perusahaan.
Berdasarkan hasil pengolahan data kuisioner perbandingan berpasangan diperoleh bobot
prioritas perspektif Balanced Scorecard, bobot lokal lag indicators, dan bobot global KPI
Koperasi yang tersajikan dalam tabel berikut:
Tabel 4
Hasil Pembobotan Proiritas Kinerja dengan AHP
Perspektif Bobot Lag Indicators
(Ukuran Hasil)
Bobot
Lokal KPI
Bobot
Global
Finance 0.418 • Meningkatkan Profit dan
Pendapatan
0.54 1.Peningkatan Laba
/SHU
0.071
2.Peningkatan
Pertumbuhan
Pendapatan
0.213
• Meningkatkan Penggunaan Asset
dan Investasi
0.297 3.ROA 0.039
4.ROE 0.117
• Meningkatkan Efisiensi Biaya
0.163 5.Peningkatan
Efisiensi Biaya
0.064
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
119
Costumers 0.271 • Meningkatkan Kepuasan Pelanggan
0.333 6.Peningkatan Hasil
Survey Kepuasan
Pelanggan
0.069
• Meningkatkan Kepercayaan
Pelanggan
0.667 7.Pertambahan
Jumlah Pelanggan
Baru
0.046
8.Peningkatan Total
Pelanggann
0.138
Internal
Bussines
Process
0.12 • Meningkatkan Kualitas Produk
0.594 9.Penurunan jumlah
produk yang
dikembalikan dan
produksi ulang
0.061
• Meningkatkan Kecepatan dan Mutu
Pelayanan
0.249 10.Peningkatan
Rata – rata waktu
penyelesain
komplain
0.026
•Memaksimalkan Aset secara Optimal
0.157 11.Peningkatan
Capacity Utilitation
Rate
0.016
Learning
and
Growth
0.191 • Meningkatkan Produktifitas
Karyawaan
0.25 12. Peningkatan
Produktivitas
Karyawaan
0.011
14. Peningkatan
Persentase
Karyawaan Terlatih
0.032
• Meningkatkan Kepuasan
Karyawaan
0.75 15. Peningkatan
Hasil Survey
Kepuasan
Karyawaan
0.097
Sumber: Pengolahan Data AHP
Dari hasil pengolahan diatas maka dapat diketahui perspektif keuangan mendapatkan
prioritas utama dengan bobot 41,8%. Hal ini menunjukan bahwa keuanga tetap menjadi
tujuan utama Koperasi . Kemudian perspektif pelanggan dengan bobot 27,1%, kemudian
perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dengan bobot 19,1% dan terakhir perspektif proses
bisnis internal yaitu dengan bobot sebesar 12%.
1. Analisis Bobot Lokal Lag Indicators
Pada perspektif keuangan indikator pengkatan profit dan pendapatan menjadi prioritas
utama dengan bobot 54%. Prioritas selanjutnya adalah peningkatan penggunaan aset
dan invesatsi dengan bobot 29,7% kemudian peningkatan efisensi biaya dengan bobot
16,3%..Pada perspektif pelanggan, peningkatan kepercayaan pelanggan menjadi
prioritas utama dengan bobot 66,7% sedangkan peningkatan kepuasan pelanggan
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
120
mendapat bobot 33,3%. Hal ini menunjukan pelanggan mendapatkan perhatian
dengan baik.Pada perspektif proses bisnis internal, peningkatan kualitas produk
mendapat prioritas utama dengan bobot 59,4%, kemudian peningkatan kecepatan dan
mutu pelayanan dengan bobot 24,9%, serta terakhir memaksimalkan aser secara
optimal mendapat bobot 15,7%. Pada persepektif pembelajaran dan pertumbuhan,
peningkatan kepuasaan karyawaan menjadi prioritas utama dengan bobot 75% dan
peningkatan produktifitas karyawaan memperoleh bobot 25%. Hal ini menunjukan
bahwa kepuasan karyawaan menjadi prioritas utama dikarenakan seluruh karyawaan
adalah pemegang kepemilikan koperasi
Analisis Bobot Global KPI
Berdasarkan hasil pembobotan kuisioner perbandingan dan pengolahan software
expert choice 2000 maka diperoleh prioritas sebagai berikut:
Gambar 7
Bobot Global KPI
Sumber: Data Pengolahan AHP
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui nilai inkonsistensi kurang dari 0,1 yakni sebesar
0,02. Hal ini dapat dikatakan pembobotan global diatas valid dan konsisten.
Dari hasil pembobotan global KPI yang menjadi prioritas utama adalah peningkatan
pendapatan yaitu dengan bobot 21,3%, kemudian peningkatan total pelanggan dengan bobot
13,8%, peningkatan ROE dengan bobot 11,7%, peningkatan kepuasan karyawaan dengan
bobot 9,7% serta peningkatan profit/ SHU dengan bobot 7,1%. Berikut adalah 5 (lima)
prioritas utama KPI yang menjadi sasaran utama dalam meningkatkan nilai koperasi agar
tetap sustain berkembang.
Model Balanced Scorecard Koperasi Karyawaan Redrying Bojonegoro
Tabel 5
Model Balanced Scorecard Koperasi Karyawaan Bojonegoro
Perspektif Sasaran
Strategis Indikator Realis
asi
Target
(b)
Bobot
(c)
Skor
((a:b)xc)
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
121
(a)
Finance • Meningkatkan Profit dan
Pendapatan
1.Peningkatan
Laba /SHU
5% 7,1%
2.Peningkatan
Pertumbuhan
Pendapatan
15% 21,3%
• Meningkatkan Penggunaan
Asset dan
Investasi
3.ROA
9,00 3,9%
4.ROE 10,00 11,7%
• Meningkatkan Efisiensi Biaya
5.Peningkatan
Efisiensi Biaya 15% 6,4%
Costumers • Meningkatkan Kepuasan
Pelanggan
6.Peningkatan
Hasil Survey
Kepuasan
Pelanggan
nilai 5 6,9%
• Meningkatkan
Kepercayaan
Pelanggan
7.Pertambahan
Jumlah Pelanggan
Baru
7% 4,6%
8.Peningkatan
Total Pelanggann 7% 13,8%
Internal
Bussines
Process
• Meningkatkan Kualitas Produk
9.Penurunan
jumlah produk
yang
dikembalikan dan
produksi ulang
1% 6,1%
• Meningkatkan Kecepatan dan
Mutu Pelayanan
10.Peningkatan
Rata – rata waktu
penyelesain
komplain
1 hari 2,6%
• Memaksimalka
n Aset secara
Optimal
11.Peningkatan
Capacity
Utilitation Rate
90% 1,6%
Learning
and
• Meningkatkan Produktifitas
12. Peningkatan
Produktivitas Rp
30.000.01,1%
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
122
Simpulan
Pengukuran kinerja yang dilakukan Koperasi saat ini hanya berorinetasi pada aspek keuangan
saja sehingga tidak dapat memberikan ukuran tentang pemicu penyebab naik turunya kinerja
keuangan itu sendiri. Meskipun kinerja keuangan meningkat tetapi secara keseluruhan kinerja
yang dilakukan belum mencapai target yang ditetapkan koperasi. Sasaran strategik pada tiap
– tiap perspektif balanced scorecard mennghasilkan simpulan bahwa, pada perspektif
keuangan menetapkan untuk meningkatkan profit dan pendapatan, meningkatkan penggunaan
aset dan investasi, serta meningkatkan efisiensi biaya. Pada perspektif pelanggan menetapkan
sasaran strategik yaitu: meningkatkan kepercayaan pelanggan dan meningkatkan kepuasan
pelanggan. Pada perspektif proses bisnis internal menetapkan sasaran strategis berupa
meningkatkan kualitas produk, meningkatkan kecepatan dan mutu pelayanan, serta
memaksimalkan aset secara optimal. Pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan
menetapkan sasaran strategis meningkatkan produktifitas karyawaan dan meningkatkan
kepuasan karyawaan.
\
Growth Karyawaan Karyawaan 00
/karyaw
aan
14. Peningkatan
Persentase
Karyawaan
Terlatih
35% 3,2%
• Meningkatkan Kepuasan
Karyawaan
15. Peningkatan
Hasil Survey
Kepuasan
Karyawaan
nilai 5 9,7%
Score Card Score= 100%
Indrianawati Usman Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohammad Agung Laksono Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
123
Daftar referensi
Bititci U S, Carrie A S, McDevitt L G, “Integrated Performance Measurement Systems: A
Development Guide”, International Journal of Operations and Production
Management, vol 17 no 6, May/June 1997, MCB University Press, ISSN 0144-3577,
pp. 522-535.
Brandon Charles H. Dratina Ralph E., 1997. Management - Strategy and Control.
McGraw-Hill Inc. Canada
Carrie A S and Macintosh, 1992, UK Research in Manufacturing Systems Integration,
Integration in Production Management Systems, Pels and Worthman, Elsevier, pp
323-336.
Ferreira, Reginaldo Barreiros and Max, Roberto Protil. 2010. Proposal of A Strategic
Management Simulation Model For Agro-Industrial Cooperatives. Campo Grande.
Sociedade Brasileira de Economia, Administração e Sociologia Rural
Kaplan, Robert. S & David P. Norton. 1996.The Balanced Scorecard: Translating Strategy
into Action. United States of America : The President and Fellows of Harvard
College
Kaplan, Robert and David P. Norton. 2006. Using The Balanced Scorecard to Create
Corporate Synergies. Harvard Bussiness School Press
Kaplan, Robert and David P. Norton. 2007. Using The Balanced Scorecard as a Strategic
Management System. Harvard Bussiness School Press.
Najmi, Manoochehr, et all. 2005. A Framework to Review Performance Measurement
System. Bussines Process Management Journal Vol.11 No.2 pp. 109-122.
Niven. PR. 2003. Balanced Scorecard Step by Step for Government and Nonprofit Agencies.
John Wiley and Sons. New Jersey
Dini Turipanam Alamanda Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Gamal Argi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Arif Partono
124
Mapping of Tablet PC Based On Consumer Perception
(Case Study of Bandung Electronic Center Visitors)
Dini Turipanam Alamanda Telkom University, Bandung, Indonesia
e-mail: [email protected],
Gamal Argi Telkom University, Bandung, Indonesia
Arif Partono Telkom University, Bandung, Indonesia
ABSTRACT
Gadget development is becoming a phenomenon which attract the world’s attention today.
Sophisticated telecommunications technology encourages the creation of newgadget
especially Tablet PC. More and more people using this gadget to replace their computer use.
The purpose of this study was to mapthe position of several Tablet PC brands such as Apple,
Samsung, Smartfren, Acer, and ASUS based onthe perception of Bandung Electronic
Center(BEC) visitors. Each day, around 25.000-40.000 visitors visit the BEC which is the
largest electronic mall in Bandung.
This is an exploratory reseach using the descriptive method. Multidimensional scaling
technique used to mapped the 5 Tablet PC brandsinto six dimensions; product feature, brand,
price, battery consumption (endurance), lifestyle and design. The questionnaires were
delivered to 100 respondents using purposive sampling method.
The results of this study indicated that Apple is still the best for product feature based on
consumer perceptions . As for the best brand the winner is Samsung followed by Apple,
ASUS, Acer and Smartfren. Based on price dimension the cheapest Tablet PC is Smartfren
and Apple is the most expensive. Samsung is also the winner in the field of battery power
consumption and Acer is the worst. The best Tablet PC in the field of the lifestyle is Samsung
followed by Apple, ASUS, Acer and Smartfren. Finally, Tablet PC with the best design also
goes to Samsung then followed by Apple, ASUS, Acer and Smartfren.
Keywords: Consumer Perseption,, Positioning, Multidimensional Scaling Technique,
TabletPC
Dini Turipanam Alamanda Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Gamal Argi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Arif Partono
125
Introduction
Trend in using the gadget intensify the mobile internet adoption in Indonesia. The use of
Internet is not just become a way of life, but a necessity which integrated into every activity.
The availability and the affordable price of the gadget change human patterns and lifestyle.
Gadgets make user easier to connectwith the internet and dominate the use of technology in
the future.
The gadget itself has a definition as portableelectronic devices that belong to either one
ormore of the following categories: mobilephones, MP3 players, gaming consoles notebook,
tablets and i-touch (Gupta. N, Krishnamurthy. V, Majhi. J, dan Gupta. S, 2013).
International Data Corporation (IDC) describes the market growth opportunities and product
delivery of smart devices, where the Tablet PC has opportunity to expand its market share
and product delivery. IDC estimates that the amount of the tablets shipment can grow by
174.5% in 2017. This figure is the highest growth rate compared to other smart devices.
IDC also list the five most tablet PC shipments during the fourth quarter of 2012, that are
Apple, Samsung, Amazon, Asus, and Barnes & Noble. Table 1 describes the Tablet PC
market in 2012:
Table 1. Market Share of Tablet PC in 2012
Vendor 4Q12
Shipments
4Q12
MarketShare
4Q11
Shipments
4Q11
Market
Share
4Q12/4Q11
Growth
Apple 22.9 43.6% 15.5 51.7% 48.1%
Samsung 7.9 15.1% 2.2 7.3% 263.0%
Amazon.com Inc. 6.0 11.5% 4.7 15.9% 26.8%
ASUS 3.1 5.8% 0.6 2.0% 402.3%
Barnes & Nobles 1.0 1.9% 1.4 4.6% -27.7%
Others 11.6 22.1% 5.5 18.5% 108.9%
All Vendors 52.5 100% 29.9 100% 75.3%
(Source:www.trenologi.com, accessedApril 25th
2013)
The author conduct the survey using questionnaires which addressed the Tablet PCs seller at
Bandung Electronic Center. The survey was conducted toward ten Tablet PCssellers in order
to obtain information about the Tablet PC brands that most sought after by consumers. The
list of the Tablet PC brands that are often sought after by consumers at BEC are Apple,
Samsung, Smartfren, Acer and ASUS.
In respond to the increasing market competition, the positioning of the Tablet PC needs more
serious attention, because the possibility of differences in consumer perception of the Tablet
PC users have impact to the Tablet PC positioning in a particular area. The differencesmake
the company's strategies have to be applied in a particular area so that the products that
distributed could be absorbed well by consumers.Positioning is considered by both academics
Dini Turipanam Alamanda Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Gamal Argi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Arif Partono
126
(Aaker & Shansby, 1982; Park, Jaworski, & MacInnis, 1986; Arnott, 1993, 1994; Arnott &
Easingwood, 1994; Myers in Blankson & Kalafatis, 2004; Porter, 1996; Kotler, 1997;
Hooley, Greenley, Fahy & Cadogan, 2001; McKenna, 1986; Bainsfair in Blankson &
Kalafatis, 2004; Dovel, 1990; Trout & Rivkin, 1996) on Manhas (2010) as the key elements
of modern marketing management.
The study was conducted in Bandung which is refers to what is informed by
www.ekbis.sindonews.com, that Bandung has a potential market for the Tablet PC. The
selection of Bandung Electronic Center (BEC) as a study site because BEC is the biggest and
most comprehensive electronic shopping mall in Bandung. BEC also provides equipment and
information technology equipment completely (www.anneahira.com). In addition, BEC also
has higher number of visitors compared with the other gadget center in the city, reached
25000-30000 visitors / day (www.informasi-bandung.com). The other gadget center like
Dukomsel only reached 2,500 visitors/day (www.inet.detik.com) and Mega Cellular Centre
which is only reached2,000 visitors/day (www.bisnis-jabar.com). Thus the purpose of this
study was to analyze the Table PC positioning based on the perception of Bandung Electronic
Center visitors.
Conceptual Framework
The purposeof the positioning is to create a unique and favorable image in the minds of target
customers(Bhat, 1998).An important aspect of a brand‟s position in a product category is how
similar or different the brand is perceived in comparison with other brands in the same
product category (Dickson and Ginter, 1987). The brand position strategies element is
considered to be important for the operationalization of the concept (Manhas, 2010). Fill
(1999) states that the sucessful positioning can only be achieved by adopting a customer‟s perspective and by understanding how customers perceived products in the class. Positioning
analysis requires more than an understanding of a product‟s image in the mind of the consumer. Other things that is also require is a frame of reference with the competition, since
a position is a product‟s perceived performance, relative to competitors, on specific attributes (Lovelock, 1991).
Hooley, Sounders, Piercy (2006) state that competition can take place at various levels.
Competition with products analogous qualities, competition in the same product group,
competition with other product that satisfies the same or very similar consumer demand and
also competition in the same level.
A positioning map provides a valuable means toposition the product by graphically
illustrating consumer‟s perception of competing products andtheir positioning. Positioning map develops understanding of how the relativestrength and weaknesses of different product
are perceived by buyers (Pranulis, 1998). Positioning map is an important tool in
development and tracking of promotional strategy. Itenables manager to identify gaps and
opportunities in the market and allows monitoring the effects ofpast marketing
communications (Arora, 2006).
According to Suryani (2012: 97), a perception process initiated by a stimuli that our senses
know. Stimuli can lead to the perception of a variety of shapes, like everything that can be
smelled, seen, heard, touched. These stimuli would be the sensory organ called sensory
receptor. Direct or immediate response from the sensory receptor organs is called sensation.
The level of sensitivity in sensation between one individual with another individual is
different. The difference in sensitivity occurs because of the ability of the receptor among
Dini Turipanam Alamanda Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Gamal Argi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Arif Partono
127
individuals that are not the same.In addition to the sensitivity factor, other factors that
influence the intensity of the stimuli. Stimuli that have strong intensity will make the
receptors easier to receive it.The perception process can be described as shown in Figure 1.
Figure 1. Perception Process
Previous Studies on Tablet PC
Lancaster (1966; 1971; 1979) on Manhas (2010) shows that consumer havepreferences for
characteristics (or attributes) of products.There are two basic versionsof Tablet PCs, one that
includes a keyboard and one that doesn‟t. The keyboard variety doubles as a standardnotebook computer, with the screen swiveling and being laid flat over the keyboard
when utilized in tablet mode.The model without a keyboard, also termed a “slate”, sacrifices functionality for lighter weight and smaller size.Generally speaking, tablet PCs command
prices some several hundred dollars higher than comparably equipped(in terms of processing
power, RAM, hard drive capacity, etc.) standard notebooks. Targeted commercialmarkets for
tablet PCs include healthcare, insurance, sales force automation, finance and
manufacturing/design(Himmelsbach 2004, Niccolai 2003).
Weitz, R. R., Wachsmuth, B. and Mirliss, D (2006) did a pilot project with the purpose of
evaluating the usefulness of tablet PCs foruniversity professors. The attributes used on that
research were memory/hard drive/ processing speed, size of keyboard, size of monitor,
external DVD drive, weight/ portability, wireless access, battery life, speech recognition,
handwritting, and converting handwriting to text.
El-Gayar, O., Moran, M., & Hawkes, M. (2011) developed and empirically tests a factor
model for understanding college students‟ acceptance ofTablet PC (TPC) as a means to
forecast, explain, and improve their usage pattern in education. Simon, Ruth, Hoyer, and Su
(2004) did a preliminary experiences with a tablet PC based system to support active learning
in computer science courses. Anderson,Paul H. Schwager,and Riichard L. Kerns (2006) did a
research about the drivers for acceptance of Tablet PCs by Faculty in a College of Business.
Mock(2004) defines a tablet PCs as a traditional notebookcomputer with the added ability to
Stimuli
Receptor Selection
Organization
Interpretation
Influence by Internal and External
Factor
Dini Turipanam Alamanda Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Gamal Argi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Arif Partono
128
process digital inkwhen writing with a stylus.Jung (2011) defines atablet PC as a mobile
computer, larger than a mobilephone or PDA, integratedwith a flat screen andprimarily
operated by touching the screen rather thana physical keyboard. It may offer users an on
screenvirtual keyboard, a passive stylus pen, or a digital pen. Sim(2011) offers a definition
ofa tablet PC as a complexdevice that has the functionality of a MP3 player, aPMP, a
netbook, and a smart phone with a touchscreen interface for writing with a stylus.
Furthermore, according to Lee, Euiho and Park (2012), Tablet PC and smartphones have
similar characteristic, both are portable devices with a touch screen display, runs a computer
operating system, easy to connect with a wide variety of applications and offers several
wireless connectivity options such as wifi, 3G and LTE.
With the responses from consumers (50 respondents), it was seen that majority of attributes
listed were taken into consideration while selecting a Tablet PC‟s brand. The final list of attributes developed after the pilot survey for Tablet PC category were: 1) Product Feature; 2)
Brand; 3)Price; 4) Battery Life; 5) Life Style; and 6)Design.
Research Gap
Most existing researchsabout Tablet PC are discuss on how the people adoptingthe Tablet
PCs. Research aboutTablet PC‟s brands position based on consumer perceptions is very limited. This research is develops the Tablet PC‟s position usingtheory of stimuli process of Suryani (2012). The conceptual framework is describes on Figure 2.
Figure 2. Conceptual Framework of Research
Methodology
Sampling Design and Population
Dini Turipanam Alamanda Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Gamal Argi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Arif Partono
129
The population for this research is BEC visitors that have or had using Tablet PC.The field
interviews were conducted by researchers toward 10 Sellers and 50 Buyers in BEC. Ten
sellers informed about the most favourite brands for Tablet PC and 50 buyers informed about
attributes that they most wanted on Tablet PC. In turn, the respondents selected using
purposive random sampling. While on the implementation, the questionnaire distributed to
the 100 respondents using purposive random sampling as well.
Statistical Technique Used
The technique used to analyze the data is the multidimensional scaling. According Hair et.al
(2010: 568), multidimensional scaling is a procedure that allows a researcher to determine the
appropriat a set of objects. The goal of multidimensional scaling is to change the similarity
rating or preferences of consumers in the form of distance shown in the multidimensional
space. Meanwhile, according to Simamora (2005: 234), multidimensional scaling is a
procedure that is used to map the perceptions and preferences of the respondents visually in
the geometrymap. The geometry is called a spatial map or perceptual map, a translation of
various dimensions that related.If the perceptual map is not seen clearly the difference lies
visually, then we can calculate the euclidean distance of each brand. In principle, the smaller
the euclidean distance, the closer the distance of each object and the higher the level of
competition.
To calculate the Euclidean distance, we need to know the coordinates of each. Then the
Euclidean distance can be calculated by the formula:
2
1
2
1 )()( iiii yyxxD
Where :
D = Euclidean distance
xi = Coordinate x -i
yi = Coordinate y -i
Relative weights of the two dimensions (x and y) can be described by direction vector for all
of the attributes of the products that are comparable in their position. Direction vector of each
attribute indicates the better or more preferred by consumers. Furthermore, to determine the
ranking order of the products we can compare based on each attribute, it can be done by
drawing a perpendicular line to the vector and the rank order of the products can be sorted
from the closest to product to the end of the vector (arrow) of the attribute.
Result and Discussion
The analysis was conducted by calculating the euclidean distance of each position of Tablet
PC on the related dimensions. In concept, euclidean distance, the closer to the Tablet PC on
the related dimensions, the better of Tablet PC based on the dimensions. The calculation of
Tablet PC based on dimensions and Euclidean distance are presentedon Table 2 and Table 3.
Dini Turipanam Alamanda Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Gamal Argi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Arif Partono
130
Table 2. Euclidean Distance of Tablet PC
Tablet PC
Coord. of
Tablet PC
Coord. of
Dimension Euclidean Distance
x y x y
2
1)( ii xx
2
1)( ii yy Ed Rank
Toward Product Feature
Apple 1.0448
-
0.198
1
0.8123 -0.5098 0.054056
25 0.09715689
0.3117
1
Samsung 0.8270
-
0.139
6
0.8123 -0.5098 0.000216
09 0.13704804
0.3702
2
Smartfren -1.7808
-
1.163
1
0.8123 -0.5098 6.724167
61 0.42680089
0.6533
3
Acer -1.5772 1.393
8 0.8123 -0.5098
5.709710
25 3.62369296
1.9036 5
ASUS -0.8919 0.545
3 0.8123 -0.5098
2.904297
64 1.11323601
1.0551 4
Toward Brand
Apple 1.0448
-
0.198
1
0.9897 0.5644 0.003036
01 0.5814063
0.7644
88
2
Samsung 0.8270
-
0.139
6
0.9897 0.5644 0.026471
29 0.495616
0.7225
56
1
Smartfren -1.7808
-
1.163
1
0.9897 0.5644 7.675670
25 2.9842563
3.2649
54
5
Acer -1.5772 1.393
8 0.9897 0.5644
6.588975
61 0.6879044
2.6975
69 4
ASUS -0.8919 0.545
3 0.9897 0.5644
3.540418
56 0.0003648
1.8816
97 3
Toward Price
Apple 1.0448
-
0.198
1
-1.8963 -0.2863 8.650069
21 0.0077792
2.9424
22
5
Samsung 0.8270
-
0.139
6
-1.8963 -0.2863 7.416362
89 0.0215209
2.7272
48
4
Smartfren -1.7808
-
1.163
1
-1.8963 -0.2863 0.013340
25 0.7687782
0.8843
75
1
Acer -1.5772 1.393
8 -1.8963 -0.2863
0.101824
81 2.822736
1.7101
35 3
ASUS -0.8919 0.545 -1.8963 -0.2863 1.008819 0.6915586 1.3039 2
Dini Turipanam Alamanda Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Gamal Argi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Arif Partono
131
3 36 85
Toward Battery Life
Apple 1.0448
-
0.198
1
0.5440 -1.2384 0.250800
64 1.0822241
1.1545
67
2
Samsung 0.8270
-
0.139
6
0.5440 -1.2384
0.080089 1.2073614
1.1346
59
1
Smartfren -1.7808
-
1.163
1
0.5440 -1.2384 5.404695
04 0.0056701
2.3260
19
4
Acer -1.5772 1.393
8 0.5440 -1.2384
4.499489
44 6.9284768
3.3805
28 5
ASUS -0.8919 0.545
3 0.5440 -1.2384
2.061808
81 3.1815857
2.2898
46 3
Toward Life Style
Apple 1.0448 -
0.198
1
0.9923 0.5078 0.00275625 0.498294
8
0.7078
5
2
Samsung 0.8270 -
0.139
6
0.9923 0.5078 0.02732409 0.419126
8
0.6681
7
1
Smartfren -1.7808 -
1.163
1
0.9923 0.5078 7.69008361 2.791906
8
3.2375
9
5
Acer -1.5772 1.393
8
0.9923 0.5078 6.60233025 0.784996 2.7179
64
4
ASUS -0.8919 0.545
3
0.9923 0.5078 3.55020964 0.001406
3
1.8845
73
3
Toward Design
Apple 1.0448 -
0.198
1
0.9361 0.5240 0.01181569 0.521428
4
0.7302
36
2
Samsung 0.8270 -
0.139
6
0.9361 0.5240 0.01190281 0.440365 0.6725
09
1
Smartfren -1.7808 -
1.163
1
0.9361 0.5240 7.38154561 2.846306
4
3.1981
01
5
Acer -1.5772 1.393
8
0.9361 0.5240 6.31667689 0.756552 2.6595
54
4
ASUS -0.8919 0.545
3
0.9361 0.5240 3.341584 0.000453
7
1.8281
24
3
Dini Turipanam Alamanda Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Gamal Argi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Arif Partono
132
Table 3. Tablet PC’s Position Based On All Dimensions
Dimension Position 1 Position 2 Position 3 Position 4 Position 5
Product
Feature Apple Samsung Smartfren ASUS Acer
Brand Samsung Apple ASUS Acer Smartfren
Price Smartfren ASUS Acer Samsung Apple
Battery Life Samsung Apple ASUS Smartfren Acer
Life Style Samsung Apple ASUS Acer Smartfren
Design Samsung Apple ASUS Acer Smartfren
Table 2 and 3 show that Apple brand was ranked first of consumer perceives based on
product's features, while Samsung, Smartfren, ASUS and Acer respectively were ranked
under the Apple. Apple Tablet PC did concentrated marketing rather than competing and
dealing directly with other Tablet PC manufacturers when they cut prices and focus on
volume. Apple is investing in research and development, by developing the iOS operating
system and make it as a prime mover in its smart device. The availability of a wide range
application in the App-store which can only be used on this particular Tablet PCs with the
operating system make AppleiOS as a determinant of industry trends. When Googleproduced
Android operating system for Tablet PCs, they did not encourage the developers to create
applications that were specific to a tablet PC, there are applications that can be used on
various types of devices. Apple took a different path, they encourage developers to create
applications that focus only reserved for the iOSoperating system. This is why Apple Tablet
PC has a lot of good applications and only a few applications that can work well on other
devices. A recent study by a company called uTest indicates that Apple provides the best
quality applications than Google. Related to the brand, a report from Strategy Analytics
revealed that Samsung apparently has stronger brand than Apple in terms of the overall
electronics brand preference.
Smartfren was ranked first of consumer perceives based ondimension of price, while ASUS,
Acer, Samsung and Apple respectively were ranked under the Smartfren. Today, Smartfen
mobile operator increasingtheir mobile devices selling, the smartphones and tablet PC. Their
new products have hardware specification called "lumayan" (tolerable??), but they certainly
have affordable price. SmartfrenTablet PC, New Andromax Tab 7.0, is one of the successful
mobile devices that hypnotize the lower-middle market segments. New Andromax Tab 7.0 is
only available in Indonesia, where the Tablet PC is manufactured to meet the needs of
customers who want a Tablet PC at an affordable price, considering the price of other brands
of tablet PCs pegged at a very high price by the company. Like Apple for example, which
occupy the last position on the price dimensions.
Samsung was ranked first of consumer perceives based on dimensions when viewed from the
battery life, while Apple, ASUS, and Acer Smartfren consecutive rank under Samsung Tablet
PC. Samsung is manufacturing batteries for smartphones, tablet PCs and Galaxy series
cameras managed to occupy the first position of small-sized battery market. The data
obtained from the marketing research institute based in Japan, B3. The market share of
lithium-ion Samsung reached 26% by the end of 2012, followed by Panasonic with 18.7%
market share, LG Chem 17.5%, and Sony 8%. SDI, a unit that produces lithium-ion
Samsung, managed to break the record after producing 1 billion battery for the first time. In
addition to its own purposes, Samsung also supplies batteries for Apple's iPad and iPhone.
Dini Turipanam Alamanda Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Gamal Argi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Arif Partono
133
For the dimensions of lifestyle, Samsung excels compared to other brands. By offering
various products and marketing to the segment, Samsung expects higher sales and a stronger
position within each market segment. Samsung was grouping their segment into categories,
Tablet PC Samsung released the Samsung Galaxy Tab 3 into three different types, namely
7.0, 8.0, 10.1, which each type represents the size of the Tablet PC screen.Meanwhile, Apple
released the iPad with different types according to the amount of embedded memory on the
device. Another example, Samsung was trying to target women users by offering the
Samsung Galaxy Tab 2 7.0 La Fleur. Motif La Fluer now is very trend in the fashion world, it
was taken from French which means flower. Florals are very suitable for women because
impressive feminine. Samsung Galaxy Tab 2 7.0 La Fleur came with a red color cast. The
women are usually enjoy the selfie andtogether photosactivities, that is why the Samsung
Galaxy Tab 2 7.0 La Fleur insert 3 MP camera coupled with VGA front camera. The
differences of the Samsung Galaxy Tab 2 7.0 La Fleur from the regular version, is that there
are several applications intended specifically for women. Application installed on Samsung
Galaxy Tab 2 7.0 La Fleur are a recipe app, yoga, office, and also clothing color
combinations application, etc. Not only that, Samsung also slipped the application related
with beauty, lifestyle, and health. To enhance the appearance, it came with wallpapers and
ringtones that have been adapted to woman preferences.
Finally we discuss the design, since first producing OLED screen in January 2007 Samsung
Display had reached 300 million productions in January 2013. This achievementconfirms
Samsung as a world's largest OLED screen manufacture. OLED display screen is now known
as the most widely used for electronic devices in the world. Some devices that often use this
type of screen are smartphones, tablet PCs, digital cameras, and TV. Applewas ranked
second, which is the closest competitor of Samsung in design. Apple rely on the supply of
LCD screens from Samsung for iPad mini 2. Apple actually has sought to reduce its
dependence components supply from Samsung. But in fact, the AU Optrinics and Sharp were
previously believed to support the needs for the screens of Apple devices got problems with
quality. Apple then seems still can not be separated from Samsung, at least for now.The map
position of the entire brand of Tablet PC canbe seen in figure 3.
Figure 3. Position of Tablet PC on Perceptual Map
Product Fitur
Brand
Price
Battery Life
Life Style Design
Dini Turipanam Alamanda Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Gamal Argi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Arif Partono
134
Conclusion and Further Research
Regarding the dimension of product features, the best Tablet PC is Apple based on the
perception of visitors of Bandung Electronic Center. In the area of brand dimension, battery
life, life style and design, Samsung is the best. While Smartfren superior lies on the price
dimension. In the map position, Apple is a competitor of Samsung with the advantages of
product features, design, life style, battery life and brand. Acer is direct competitor toAsus,
while Smartfren is not compete with other brands in this research but might be with other
brands outside the research, like Mi-to and Advan.Future research are expected to use other
indicators of Tables PC and to add other brands to reach our knowledge about Tablet PC
positioning in the market that will useful for Tablet PC companies and Tablet PC sellers.
References
Anneahira (2013). Bandung Electronic Center. http://www.anneahira.com/bandung-
elektronik-center.htm [28 Juni 2013]
Arora, R. (2006) “Product Positioning Based On Search, Experience And CredenceAttributes
Using Conjoint Analysis”, Journal of product and brand management, Nr.5.
Dickson, P.R and J.L Ginter. (1987). Market
Segmentation,ProductDifferentiation,andMarketing Strategy.
JournalofMarketing,51(April),1-10
El-Gayar, O., Moran, M., & Hawkes, M. (2011). Students' Acceptance of Tablet PCs and
Implications for EducationalInstitutions.Educational Technology & Society,14(2), 58–70.
Fill, C. (1999).Marketing communications, context, contents and strategies. (2nd ed.). Hemel
Hempstead,UK: Prentice-Hall.
Gupta. N, Krishnamurthy. V, Majhi. J, dan Gupta. S (2013). Gadget Dependency among
Medical College Students in Delhi. ISSN PRINT: 09717587; ISSN ONLINE:
2248.9509. http://www.iapsmupuk.org/journal/index.php/IJCH/article/viewFile/492/pdf.
Hair, Joseph F., William C. Black, Barry J. Babin, Rolph E. Anderson. (2010). Multivariate
Data Analysis: a Global Perspective (Seventh Edition). United States of America:
Pearson Prentice Ha
Inet (2011). Dekati Pelanggan Indosat Ingin Lebih Bersahabat
http://inet.detik.com/read/2011/06/07/064711/1654449/328/dekati-pelanggan-indosat-
ingin-lebih-bersahabat/ [28 Juni 2013].
Informasi Bandung (2012). Bandeung ElectroniC Center. http://www.informasi-
bandung.com/2012/10/bandung-electronic-centre-bec.html, [14 April 2013]
Himmelsbach, V. (2004). Nurturing A Fledgling Market.Computer Dealer News, 20(5),
Retrieved November 22,2005 from
http://www.looksmartcompanies.com/p/articles/mi_m3563/is_5_20/ai_n6129772.
Hooley, G., Greenley, G., Fahy, J., & Cadogan, J. (2001).Market-Focused Resources,
Competitive PositioningAnd Firm Performance.Journal of Marketing Management,
17(5-6), 503-20.
Dini Turipanam Alamanda Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Gamal Argi Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
Arif Partono
135
Jung, S.Y., "The research on the Usability forSmart Pad Design", Journal of the
KoreanSociety of Design Culture, Vol.17, No.2(2011),pp.528-537.
Lee, Kiwon, Euiho Suh & Jihye Park. (2012). A Study On Determinant Factors Topurchase
For Tablet PC And Smartphone By A Comparative
Analysis.http://www.cimerr.net/conference/board/data/conference24/A4.4.pdf
Lovelock, C. H. (1991).Services marketing. EnglewoodCliffs, NJ: Prentice-Hall Inc.
Manhas, P.S (2010). Strategic Brand Positioning Analysis Through Comparison Of Cognitive
And Conative Perceptions. J. econ. finance adm. sci., 15(29), 2010.
http://www.esan.edu.pe/publicaciones/02.pdf.83
Mock. K., “Teaching with tablet PC‟s”, journalof circuits, systems and computers, Vol.20,No.1(2004), pp.17-27
Niccolai, J. (2003). ViewSonic, Toshiba Refresh Tablet PC Lines.ComputerWorld,
November 19, 2003,Retrieved November 22, 2005 from
http://www.computerworld.com/mobiletopics/mobile/story/0,10801,87329,00.html.
Pranulis, V. (1998), “Marketingo tyrimai”, Vilnius
Sim, J.B., "A study on differentiation strategyfor tablet PC and e-book reader by
acomparative analysis of acceptance·diffusionfactors", The Korean Operations Research
andManagement Science Society, Vol.28,No.1(2011), pp.25-39.
Simamora, Bilson. (2005). Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Suryani, Tatik. (2012). Perilaku Konsumen: Implikasi Pada Strategi pemasaran. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Trenologi (2013). IDC Penjualan Tablet Meningkat.
http://www.trenologi.com/201302019785/idc-penjualan-tablet-meningkat/ [25 April
2013]
Weitz, R. R., Wachsmuth, B. & Mirliss, D. (2006). The Tablet PC For Faculty: A Pilot
Project.Educational Technology &Society, 9 (2), 68-83.
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
136
MEDIASI CITY BRANDING PADA PENGARUH KESADARAN MEREK,
ASOSIASI MEREK, DAN KESAN KUALITAS TERHADAP KEPUTUSAN
MEMILIH PERGURUAN TINGGI NEGERI DI SURABAYA
Ria Astuti Andrayani Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya
e-mail: [email protected]
Sri Setyo Iriani Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Education is a major concern of government in enhancing and improving the quality of
human resources. Indonesia have stratified formal education which higher education
contains of state university and private university. Surabaya is a city in Indonesia which has
the largest public universities. There are four universities, there are universitas airlangga
(UA), universitas negeri Surabaya (Unesa), institut teknologi sepuluh nopember (ITS), and
IAIN sunan ampel. This study aims to test and analyze whether brand awareness, brand
association, and perceived quality affect decision to choose state universities in Surabaya.
This type of this research is quantitative, using multistage sampling with 377 respondents.
Statistical analysis that used is the approach of mutiple linear regression which tested to
every object. The results of this study showed that brand awareness and perceived quality
has a positive influence on the decision to choose state universities in Surabaya. there are
differences in the effect of brand association that the UA and Unesa positive influence while
at IAIN Sunan Ampel, ITS and negative effect. Those influences has different athmosphere
by respondent of Surabaya’s city branding. There’s not all of the respondent to consider city branding of Surabaya when they choose to study at Surabaya.
Keywords: brand awareness, brand association, perceived quality, decision to choose, state
university
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
137
PENDAHULUAN
Latar belakang
Pembangunan bangsa harus memperkokoh pilar-pilar pendidikan yang merupakan satu upaya
pemerintah meningkatkan human development index (HDI) (Wijaya, 2008) yang salah
satunya melalui peningkatan kualitas layanan di dunia pendidikan. Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau
penelitian agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat
(Juanda, 2010). Di Indonesia, upaya pembangunan pendidikan formal dilakukan di berbagai
jenjang, mulai pendidikan dasar, menengah sampai pendidikan tinggi (Alma, 2008: 104).
Sehingga perguruan tinggi negeri maupun swasta semakin bersaing dalam meningkatkan
kualitas layananya.
Dengan melihat jumlah PTN yang terus bertumbuh maka masyarakat memiliki kesempatan
lebih besar dalam memilih. Jumlah perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2009 – 2010
mengalami peningkatan sebesar 0,5% (dikti, 2010). Jawa Timur memiliki 9 PTN yang ada di
Surabaya saja terdapat 4 PTN yaitu UA, Unesa, ITS, IAIN Sunan Ampel dan yang lain
tersebar di Malang, Jember, dan Madura (Snmptn, 2013).
Fenomena ini menuntut perguruan tinggi membangun ekuitas merek yang kuat dibenak
masyarakat (Ali-Choudhury dalam Chapleo,2010). Terlebih lagi peran besar suatu merek
sesungguhnya merupakan suatu akibat dari nilai suatu merek itu sendiri. Menurut Aaker
(1997:23) ekuitas merek juga bisa mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam
mengambil keputusan pembelian (baik itu karena pengalaman masa lalu dalam
menggunakannya maupun kedekatan dengan merek dan aneka karakteristiknya).
Dalam membangun ekuitas merek perguruan tinggi terdapat 5 aset penting yaitu loyalitas
merek (brand loyalty), kesadaran nama (brand name), kesan kualitas (perceived quality),
asosiasi-asosiasi merek sebagai tambahan terhadap kesan merek, dan aset-aset merek lainnya
(Aaker, 1997:23). Namun dalam keputusan memilih perguruan tinggi mahasiswa
mempertimbangkan kesadaran merek, asosasi merek, dan kesan kualitas. Hal ini mendasari
peneliti untuk menggunakan judul “pengaruh kesadaran merek, asosiasi merek, dan kesan
kualitas terhadap keputusan memilih perguruan tinggi negeri di Surabaya”.
Merek perguruan tinggi tidak lain juga harus mendukung suatu city branding atau konsep
sebuah kota, dalam hal ini city branding kota Surabaya. Kota Surabaya merupakan kota
terbesar kedua di Indonesia yang memiliki berbagai fasilitas serta sangat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi negara. Surabaya memiliki berbagai kawasan industri yang membuat
pertumbuhan ekonomi Surabaya naik sebesar 6% walaupun dalam masa krisis tahun 2009.
Hal tersebut yang sering menjadikan alasan calon mahasiswa dari luar Surabaya
mempertimbangkan untuk berkuliah di Surabaya disamping banyaknya perguruan tinggi
yang terdapat di Surabaya.
Rumusan Masalah
1. Apakah kesadaran merek, asosiasi merek, dan kesan kualitas berpengaruh terhadap
keputusan memilih PTN di Surabaya?
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
138
2. Apakah city branding dapat memediasi pengaruh kesadaran merek, asosiasi merek, dan
kesan kualitas dalam mempengaruhi keputusan memilih PTN di Surabaya?
Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis dan membahas mediasi city branding pada kesadaran merek, asosiasi
merek, dan kesan kualitas dalam mempengaruhi keputusan memilih PTN di Surabaya.
LANDASAN TEORI
Kerangka teoritis
Jasa Pendidikan
Jasa pendidikan memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungannya terlebih lagi pada
kualitas layanan pendidikannya (Wijaya 2008). Hal tersebut mengindikasikan kompleksitas
yang mengharuskan jasa pendidikan mengembangkan hubungan dengan stakeholder secara
berkelanjutan (Moogan 2010). Dari sudut pandang manajemen mutu, perguruan tinggi perlu
mengendalikan setiap tahapan bisnisnya mulai input, proses, output, dan kepuasan
stakeholder (Alma, 2008:75). Tujuannya agar perguruan tinggi dapat mengelola sumber daya
secara optimal untuk menjamin mutu layanan akademik bagi mahasiswa dan menjamin
akuntabilitas terhadap stakeholder. Agar perguruan tinggi dapat menarik dan membentuk
citra baik terhadap publik maka perlu adanya dosen bermutu dan mutu akademik yang dapat
dibanggakan (Alma, 2008:22-29).
City Branding Surabaya
Merupakan suatu pencitraan kota yang memiliki karakteristik khusus yang dapat dijelaskan,
diidentifikasikan, dan berkeberlanjutan/sustainable (Magnadi dan Indriani: 2011). Pentingnya
city branding adalah agar sebuah kota benar-benar dapat dibedakan dari daerah lain sebagai
salah satu strategi meraih keunggulan bersaing baik tingkat lokal, regional, bahkan
internasional. Surabaya merupakan ibu kota dari Jatim dan menjadi kota terbesar kedua di
Indonesia. Kini, Surabaya telah memiliki penghargaan sebagai kota yang memiliki
konsistensi pertumbuhan ekonomi peringkat ke-6 tahun 2009 di Asia. Secara umum proses
collaboration marketing management dalam penentuan city branding diarahkan pada 3
potensi daerah yaitu investasi dengan kelompok sasaran para investor, pariwisata dengan
kelompok turis domestik maupun mancanegara, dan perdagangan dengan kelompok sasaran
trader. City Branding yang dimiliki Surabaya adalah Sister City yang kini telah memilliki
mitra kerjasama bahkan dengan negara lain di anatranya adalah Seattle (USA), Busan
(Korea), Kochi dan Kitakyushu (Jepang), Marseille (Prancis), Guangzhou dan Xiamen
(China), dsb (Surabaya, 2011).
Kesadaran Merek
Kesadaran merek adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau
mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu
(Aaker, 1997:90). Empat tingkat kesadaran merek dari tingkat tertinggi hingga tingkat
terendah menurut Aaker (1997:92) yaitu Top of mind (puncak pikiran), Brand recall
(pengingatan kembali terhadap merek), Brand recognition (pengenalan merek), dan Unaware
of brand (tidak menyadari merek). Sehingga pengukuran kesadaran merek dalam penelitian
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
139
ini mengadaptasi dari Aaker (1997:92) dengan adaptasi pernyataan penelitian So et al (2010),
Wang et al (2008).
Asosiasi Merek
Sebuah merek adalah seperangkat asosiasi, biasanya terangkai dalam berbagai bentuk yang
bermakna. Asosiasi dan pencitraan keduanya mewakili berbagai persepsi yang menunjukkan
suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan memori terhadap sebuah merek. (Rahman 2008;
Aaker 1997: 160; Tjiptono 2005:40). Sehingga pengukuran asosiasi merek dalam penelitian
ini mengadaptasi pengukuran Keller (2003:70), Keller dalam Paramosa (2012), dan Alma
(2008:29).
Kesan Kualitas
Kesan kualitas dapat didefinisikan sebagai elemen kritis yang terdapat pada persepsi
pelanggan terhadap perbandingan alternative keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu
produk atau jasa layanan untuk pembuatan keputusan pelanggan (Aaker 1997:124; Yee et al
2011). Adapun pengukuran kesan kualitas menurut Parasuraman yaitu reliability, tangible,
responsiveness, assurance, dan emphaty. Sehingga pengukuran dalam penelitian ini
menggunakan dimensi kualitas layanan Parasuraman (dalam Lovelock, 2007:98),
Parasuraman (dalam Lupiyoadi, 2008:182), Parasuraman (dalam angell et al, 2008), dan
Alma (2005:46).
Keputusan Memilih
Pengambilan keputusan konsumen adalah bagian utama dari perilaku konsumen, tetapi cara
kita mengevaluasi dan memilih produk (dan jumlah pemikiran kita dimasukkan ke dalam
pilihan) memiliki banyak variasi, tergantung pada beberapa dimensi seperti tingkat kebaruan
atau risiko dalam keputusan (Solomon, 2013:319). Pengukuran keputusan memilih dapat
mengadaptasi dari dimensi keputusan pembelian model perilaku konsumen Kotler dan Keller
(2009:240) yaitu pilihan produk, pilihan merek, pilihan dealer, jumlah pembelian, waktu
pembelian, dan metode pembayaran. Sehingga dalam penelitian ini pengukuran keputusan
memilih perguruan tinggi mengadaptasi dimensi keputusan pembelian Kotler dan Keller
(2009:240) dan mengadaptasi pengukuran item pernyataan dari Kotler dan Armstrong (dalam
Zulfikar, 2012) yaitu pilihan jurusan, pilihan perguruan tinggi, dan pilihan jalur.
Hubungan Kesadaran Merek Terhadap Keputusan Memilih
Kepentingan pengingatan merek karena merupakan suatu pengukuran “mind-share” konsumen atau puncak pikiran kesadaran dari produk/jasa. Tanpa adanya “mind-share”
perguruan tinggi tidak dapat membangun merek yang kuat (ekuitas merek) (Pinar et al:
2012). Sehingga kepentingan ekuitas merek dalam keputusan memilih PTN dipengaruhi rasa
percaya diri (Aaker, 1997:23). Disamping itu reputasi PT dalam memprediksi kesadaran
merek, digunakan sebagai acuan menilai suatu PT atau merek PT untuk membuat keputusan
memilih (Brewer dan Zhao, 2010).
Hubungan Asosiasi Merek Terhadap Keputusan Memilih
Asosiasi dan pencitraan keduanya mewakili berbagai persepsi yang mungkin mencerminkan
suatu merek (Aaker, 1997: 161). Asosiasi positif konsumen dapat menimbulkan penerimaan,
rasa suka bahkan minat yang akan mempengaruhi keputusan pembelian (Ergin et al, 2006).
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
140
Namun pengaruh yang diberikan dapat bervariatif tergantung pada kekuatan asosiasi merek
itu sendiri dibenak konsumen. Hal tersebut mengingat salah satu karakteristik jasa adalah
bervariatif.
Hubungan Kesan Kualitas Terhadap Keputusan Memilih
Kesan kualitas didefinisikan sebagai persepsi konsumen tentang keseluruhan kualitas dari
sebuah produk atau merek dengan alternative relative yang dimiliki bahkan merupakan
sebuah asosiasi terhadap status dari masing-masing dimensi ekuitas merek (Pinar et al 2012).
Pada sebuah penelitian menunjukkan ketika membuat keputusan memilih PT yang sangat
beresiko dan meragukan, “siswa akan cenderung melihat kualitas layanan yang telah terbukti”, yang dapat menjadi suatu kepentingan dalam membuktikan fungsi dari PT (Angell,
2008). Kesan perguruan tinggi di benak konsumen dapat berbagai variasi pengaruhnya
terhadap keputusan memilih PT.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
H1: Terdapat berpengaruh positif kesadaran merek, asosiasi merek, dan kesan kualitas
terhadap keputusan memilih perguruan tinggi negeri di Surabaya.
H2 : Terdapat pengaruh city branding dalam memediasi pengaruh kesadaran merek, asosiasi
merek, dan kesan kualitas dalam mempengaruhi keputusan memilih perguruan tinggi
negeri di Surabaya
METODE PENELITIAN
Metode Seleksi dan Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif
digunakan dalam membuktikan dan menjelaskan pengaruh kesadaran merek (X1), asosiasi
merek (X2), dan kesan kualitas (X3) terhadap keputusan memilih (Y). Metode kualitatif akan
digunakan dalam membuktikan dan menjelaskan pengaruh city branding (Z) dalam
memediasi kesadaran merek (X1), asosiasi merek (X2), dan kesan kualitas (X3) terhadap
keputusan memilih (Y) perguruan tinggi negeri di Surabaya.
Metode pengumpulan data melalui penyebaran angket dan wawancara / depth interview pada
mahasiswa angkatan 2012 di keempat PTN di Surabaya (UA, Unesa, ITS, IAIN Sunan
Ampel). Angket dibuat dengan skala 1 – 4 dengan metode rating scale. Sampel dalam
penelitian ini berjumlah 396 responden menggunakan multistage sampling. Adapun
tahapannya dengan membagi sampel secara presisi (Malhotra, 2009:379) dengan
menggunakan rumus pada teknik cluster sampling (Malhotra, 2009: 385) pada keempat
obyek sampel. Kemudian sampel dipilih secara acak sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan (purposive) yaitu pada saat pembagian angket merupakan mahasiswa pada PTN
yang dikunjungi dan merupakan mahasiswa tahun pertama. Selanjutnya pada praktik
pengambilan sampel peneliti akan membagikan angket pada siapapun yang ditemui
(accidental) sesuai dengan ketentuan. Berikut proporsi sampel pada keempat obyek
penelitian:
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
141
Gambar 1: Proporsi sampel di setiap perguruan tinggi
Definisi Operasional Variabel dan Pengukuran
Kuantitatif
Angket yang diberikan pada responden merupakan angket dengan pernyataan tertutup dan
terbuka. Pertanyaan tertutup responden diminta memilih jawaban yang disediakan
berdasarkan instrumen yang telah ditetapkan (sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju, dan
sangat setuju).
Tabel 1: Pengukuran indikator pertanyaan tertutup
Variabel DOV Indikator Pernyataan Referensi Kesadaran
Merek kesanggupan
mahasiswa
untuk
mengenali
atau
mengingat
kembali
PTN
Recognition
Brand
Saya sadar adanya PTN di
Surabaya
Aaker
(1997:9
2)
So et al
(2010)
Saya dapat mengenali
PTN di Surabaya
So et al
(2010)
Brand
Recall
PTN di Surabaya ada
dalam ingatan saya
So et al
(2010)
Saya dapat
menggambarkan PTN di
Surabaya
So et al
(2010)
Saya tahu PTN di Surabaya So et al
(2010)
Top of mind PTN di Surabaya sangat
terkenal
Wang et
al (2008)
Asosiasi
merek
Kesuksesan
alumni dalam
pekerjaan dan
dalam
menghadapi
ujian di
masyarakat
menimbulkan
asosiasi
positif PT di
benak
masyarakat
Kekuatan
merek
Saya sangat familiar
dengan PTN di Surabaya
Keller
(2003:7
0)
Paramos
a (2012)
Kesukaan
merek
Alumni PTN di Surabaya
sukses di lapangan kerja
Alma
(2008:29
)
Mahasiswa PTN di
Surabaya sukses di
lingkungan masyarakat.
Alma
(2008:29
)
Keunikan
merek
PTN di Surabaya memiliki
konsep yang unik
Paramos
a (2012)
Unesa
n:6441
UA
n:4710
ITS
n: 4878
IAIN
n:2894
Populasi
N=18923
Ns=396
ns=135 ns=98
ns=102
ns=61
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
142
(Alma
2008:29).
Kesan
kualitas
persepsi
mahasiswa
tentang
keseluruhan
kualitas
keempat PTN
di Surabaya
sebagai
alternatif
pilihan (Pinar
et al, 2012).
Kemenarikan
dan citra
positif PT
dibentuk
melalui dosen
yang bermutu
dan mutu
akademik
yang dapat
dibanggakan
(Alma,
2008:22-29).
Reliability PTN di Surabaya memiliki
biaya pendidikan yang
sesuai dengan layanan
yang diberikan
Parasur
aman,
Berry,
dan
Zeitha
ml
(1991)
Angell et
al, 2008
PTN di Surabaya sangat
nyaman
Tangible PTN di Surabaya memiliki
layout dan desain gedung
kampus yang menarik
PTN di Surabaya memiliki
ruang kelas yang bersih
Lupiyoa
di
(2008:18
2)
PTN di Surabaya memiliki
gedung olahraga yang
bagus
Angell et
al, 2008
PTN di Surabaya memiliki
laboratorium komputer
yang bagus
PTN di Surabaya memiliki
kantin dan taman yang asri
PTN di Surabaya memiliki
gedung perpustakaan yang
megah
PTN di Surabaya memiliki
area belajar yang tenang
PTN di Surabaya memiliki
karyawan dan dosen yang
ramah
Lovelock
(2007:98
)
Responsive-
ness
PTN di Surabaya memiliki
akses yang cepat untuk
melayani mahasiswa
Angell et
al, 2008;
Lupiyoa
di,
(2008:18
2)
Assurance
PTN di Surabaya
mengutamakan tenaga ahli
Angell et
al, 2008
PTN di Surabaya memiliki
pengajar yang ahli
PTN di Surabaya memiliki
program yang bereputasi
PTN di Surabaya memiliki
lokasi yang aman
Angell et
al, 2008;
Lupiyoa
di
(2008:18
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
143
2)
PTN di Surabaya memiliki
kompetensi yang baik
Lupiyoa
di
(2008:18
2)
Emphaty PTN di Surabaya memiliki
pusat layanan karir
Angell et
al, 2008
PTN di Surabaya sering
melakukan pertukaran
pelajar
Angell et
al, 2008
Keputusa
n
memilih
Jenis Prodi
yang dimiliki
oleh suatu
perguruan
tinggi sangat
berpengaruh
dalam
menarik
calon
mahasiswa,
Pilihan
jurusan
Saya tidak ragu dalam
memilih jurusan
Kotler
dan
Keller
(2009:2
40)
Alma
(2005:46
),
Zulfikar
(2012),
dikemba
ngkan
peneliti
(2013)
Pilihan
perguruan
tinggi
Saya tidak ragu berkuliah
di kampus saya
Saya percaya pada kampus
saya
Pilihan jalur Saya tidak ragu memilih
jalur masuk yang dimiliki
kampus saya.
Kualitatif
Pengukuran kualitatif digunakan pada instrument pengukuran angket terbuka yang terkait X1,
X2, X3, Y, dan Z yang selanjutnya ditabulasi dan dideskripsikan dalam mendukung
pembahasan penelitian ini. Adapun kisi-kisi dan jawaban responden sebagai berikut:
Tabel 2: hasil pengukuran angket terbuka
No Variabel Komponen Pertanyaan Jawaban
1 X1 Pengenalan PTN mana yang paling
Anda Kenali?
Urutan Pilihan PTN (tabel
5)
2 X2 Kepercayaan PTN apa yang paling
Anda percaya (dalam
memenuhi harapan
mahasiswa)?
Urutan Pilihan PTN (tabel
5)
3 X3 Kualitas PTN apa yang paling
berkualitas?
Urutan Pilihan PTN (tabel
5)
4 Y
(Pilihan
PTN)
Urutan Pilihan PTN apa yang
merupakan pilihan
pertama dan kedua Anda
untuk berkuliah?
Pilihan Pertama dan Kedua
PTN di Surabaya (tabel 5)
5 Z Ibu kota Peluang berkarya „kalau saya belum sukses, saya ga akan pulang”
“pada intinya saya ingin
kuliah di kota besar,
alhamdulillah saya diberi
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
144
kesempatan di Surabaya”
Ibu Kota Apa alasan utama Anda
memilih berkuliah di
Surabaya?
“harapan saya utamanya ingin keluar dari zona
nyaman saya, saya ingin
belajar lebih”
“ya karena di Surabaya saya
akan bisa belajar mandiri
dengan berbagai
kemudahan yang tersedia”
“semua transportasi mudah didapatkan di Surabaya”
Fasilitas apa yang ingin
Anda dapatkan di
Surabaya?
“disini kan banyak fasilitas seperti free wifi, jadi ga
perlu ke warnet buat cari
info”
“akses buat kemana-mana
lebih gampang, kesempatan
punya banyak link juga
banyak”
“kemungkinan beasiswa atau pertukaran pelajar
sangat terbuka kalau di
PTN”
Apakah Anda tahu
tentang “Sister city” di Surabaya?
“saya kurang tahu ya tentang sister city, cuma
pernah dengar”
“setahu saya sparkling Surabaya”
Kota industri Peluang berkarier “sebenarnya bukan jaminan ketika saya kuliah di
Surabaya saya bisa segera
bekerja, tapi paling tidak
peluang kerja di Surabaya
banyak”
“kesempatan berkarier sangat terbuka”
Sumber: jawaban responden, diolah peneliti
Validitas, Reliabilitas, dan Uji Asumsi Klasik
Dalam penelitian ini uji validitas menggunakan data dari angket yang telah diisi oleh 30
responden melalui satu kali proses validitas dengan menggunakan korelasi bivariasi terhadap
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
145
skor total. Hasil pengujian menunjukkan bahwa masing-masing pernyataan bernilai 0,000
sehingga dapat disimpulkan valid karena tidak lebih dari 0,05 (Ghozali, 2012:55).Uji
reliabilitas melalui dua kali pengujian dikarenakan ada salah satu yang tidak reliable yaitu
pada variabel Y. Penyebabnya adalah adanya dua pernyataan pada indikator pilihan jalur
tentang “memasuki jalur mandiri karena tidak lolos jalur nasional” dan “mendapat saran dari orang lain untuk menentukan jalur masuk PTN” yang ternyata lebih cocok digunakan dalam profil responden sehingga akan menunjukkan suatu karakteristik responden. hasil reliabilitas
kedua menunjukkan bahwa nilai cronbach‟s Alpha lebih dari 0,70. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel X1, X2, X3, dan Y reliable (Ghozali, 2012:48).
Tiga Uji Asumsi Klasik yang digunakan penellitian ini adalah uji normalitas,
heteroskedastisitas, dan multikolinearitas. Hasil menunjukkan bahwa data dari keempat PTN
adalah terdistribusi nomal dengan nilai signifikan lebih dari 0,5; terbebas dari
heteroskedastisitas dengan hasil uji rank spearman lebih dari 0,05; dan nilai tolerance berada
di atas 0,05 dan nilai VIF dibawah 10, sehingga dapat disimpulkan ketiga variabel bebas dari
multikolinearitas.
Metode Analisis Data
Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis pengaruh maka menggunakan
analisis regresi (Santoso dan Tjiptono, 2004:195). Lebih lanjut analisis regresi berganda
penelitian ini karena memiliki tiga variabel independen yaitu kesadaran merek, asosiasi
merek, dan kesan kualitas serta satu variabel dependen yaitu keputusan memilih perguruan
tinggi (santoso, 2004:324). Sehingga untuk menguji hipotesis dapat diketahui melalui uji t
(uji parsial) dan koefisien determinasi untuk mengetahui kemampuan model regresi dalam
menerangkan variasi variabel dependen (Ghazali, 2012:97).
Tabel 3: hasil rekap pertanyaan terbuka
Sumber: jawaban angket, diolah peneliti
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
146
Tabel 3 menunjukkan responden memiliki top of mind pada kampusnya, sehingga
membentuk kepercayaan terhadap kampusnya dalam memenuhi harapan mereka selama
berkuliah. Namun ternyata tingkat kepercayaan responden IAIN menunjukkan dua pendapat.
Hal tersebut dikarenakan adanya kenyataan terdapat mahasiswa IAIN yang masuk bukan
karena keinginan atau passion yang dimiliki, namun merupakan suatu keterpaksaan atau
pilihan terakhir. Kepercayaan tersebut tidak mempengaruhi kesan kualitas Responden ITS
dan UA berkeyakinan kampusnya yang paling berkualitas. Berbeda dengan responden Unesa
dan IAIN yang memilih kampus lain sebagai PTN yang paling berkualitas dan setuju
menempatkan Unesa pada urutan ke-3 dan IAIN pada urutan ke-4. Responden menjadikan
kampusnya sebagai pilihan utama bahkan juga menjadi pilihan kedua (responden Unesa).
Hasil pertanyaan tertutup melalui 34 item pertanyaan yang dianalisis menggunakan regresi
linier berganda berdasarkan masing-masing PT sebagai berikut:
Tabel 4: hasil uji regresi
Sumber: hasil pengujian SPSS, diolah peneliti
Pengaruh Kesadaran Merek terhadap Keputusan Memilih
Nilai kesadaran merek (X1) responden UA berada dibawah 0,05 sehingga disimpulkan
berpengaruh signifikan. Pada pertanyaan terbuka responden menunjukkan kesadaran merek
yang tinggi terhadap kampusnya. Hal tersebut tidak terlepas dari peran orang lain serta
banyaknya responden berasal dari luar kota Surabaya dalam memberikan saran selama proses
keputusan memilih tempat berkuliah. Sehingga responden UA mampu memilih PTN
berdasarkan minat atau jurusan yang diinginkan. Tingkat pengenalan tersebut menunjukkan
bahwa responden mampu mengenali UA (recognition), mengingat hingga mampu
menggambarkan UA (recall), serta UA menjadi top of mind bagi responden yang memilih
UA pada pilihan pertama atau mengenal UA sebelum melakukan proses keputusan memilih
tempat berkuliah.
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
147
Nilai signifikan kesadaran merek (X1) kurang dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa
X1 berpengaruh terhadap keputusan memilih. Hal tersebut ternyata disebabkan responden
telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang Unesa sehingga menjadi top of mind.
Disamping itu responden memiliki kepercayaan diri yang tidak lepas dari kepentingan orang
disekitarnya. Kepentingan ini lebih kepada persepsi bahwa Unesa itu murah, Unesa memiliki
jurusan yang diinginkan responden, dan Unesa berada di Surabaya. Orang tua sering kali
menjadi faktor utama dalam kepentingan tersebut, karena terkait biaya ataupun lokasi
berkuliah mayoritas responden masih harus bergantung pada orang tua.
Nilai signifikan kesadaran merek (X1) berada di bawah 0,05 yang diartikan X1
mempengaruhi keputusan memilih. Responden ITS memiliki kesadaran yang paling tinggi
diantara ketiga PTN lain. Penyebabnya sebagian besar responden yang tidak hanya berasal
dari jawa timur hingga jawa barat. Indikasinya responden yang berasal dari luar Surabaya
memiliki kesadaran yang tinggi terhadap ITS sehingga memiliki percaya diri untuk
memutuskan memilih ITS sebagai tempat berkuliah. Bahkan responden ITS benar-benar telah
mempersiapkan diri untuk bisa masuk ITS. Adapun responden yang ternyata memilih ITS
karena jurusan yang dimiliki bukan karena keterkenalan ITS. Pendapat tersebut menunjukkan
bahwa responden ITS memiliki kesadaran merek dalam memilih ITS sebagai tempat
berkuliah.
Nilai signifikan kesadaran merek (X1) berada di bawah 0,05 yang diartikan X1
mempengaruhi keputusan memilih. Responden IAIN memiliki kesadaran merek yang tinggi
terhadap IAIN namun tidak lebih tinggi dibandingkan kesadaran responden di ketiga PTN
lain. Hal tersebut dikarenakan adanya pandangan khusus masyarakat terhadap IAIN yang
berbasis agama islam. Tidak menutup kemungkinan adanya keinginan responden yang lebih
terhadap menuntut ilmu (berkuliah) beserta mendalami agama islam bersamaan. Namun hal
tersebut tidak disertai kepercayaan diri mereka dalam memutuskan memilih berkuliah di
IAIN. Karena pada pertanyaan terbuka terkait pilihan PTN responden memilih PTN lain baik
pada pilihan pertama maupun kedua. Responden lebih dipengaruhi oleh hal lain tanpa adanya
kesadaran merek berkemungkinan lebih besar.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian Wang et al (2008) yang menjelaskan “kesadaran
merek memiliki pengaruh terhadap ke-putusan pembelian”. Namun ber-tentangan dengan
hasil penelitian pramosa (2012) yaitu kesadaran merek tidak mempengaruhi keputusan
pembelian. Bahkan reputasi PT dalam memprediksi kesadaran merek, digunakan sebagai
acuan menilai suatu PT atau merek PT untuk membuat keputusan memilih (Brewer dan Zhao,
2010). Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis
pertama (H1)
Pengaruh Asosiasi Merek terhadap Keputusan Memilih
Nilai signifikan asosiasi merek (X2) lebih dari 0,05 menunjukkan tidak mempengaruhi
keputusan memilih UA. Namun pada pertanyaan terbuka menunjukkan responden UA
memiliki kepercayaan pada kampusnya. Asosiasi merek dalam penelitian ini diindikasikan
melalui familiaritas, kesuksesan alumni, dan keunikan UA. Pengaruh yang lemah ini
didukung pendapat responden yang lebih percaya bahwa kesuksesan alumni bergantung pada
kemampuan individu. Pendapat tersebut mampu mencerminkan kesadaran responden bahwa
tujuan berkuliah untuk mencari ilmu bukan mencari kerja, sehingga pendapat masyarakat
yang menganggap bahwa “lulusan PTN paling mudah mencari kerja” tidak berlaku. Hal ini
dikarenakan keunikan PTN tidak menyeluruh tapi pada jurusan atau prodi atau layanan
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
148
tertentu. Familiaritas responden UA fokus pada jurusan yang diinginkan serta pendapat “yang
penting masuk PTN” sehingga menimbulkan adanya pendapat “PTN di Surabaya cuma UA
yang punya farmasi”.
Nilai signifikan asosiasi merek (X2) lebih dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa X2
tidak berpengaruh terhadap keputusan memilih. Namun kenyataannya kepercayaan
responden terhadap Unesa menimbulkan Unesa sebagai pilihan pertama dan kedua. Penyebab
lemahnya pengaruh tersebut tidak lain suatu akibat dari rebranding yang belum melekat
dibenak responden. Adapun sejarah Unesa yang dahulunya bernama IKIP Surabaya dan pada
tahun 1999 berubah menjadi Unesa. Ternyata perubahan tersebut masih belum efektif
sehingga menyebabkan paradigma IKIP di benak Unesa belum hilang. Hal tersebut sering
kali membuat ilmu murni yang berada di Unesa belum mendapat kepercayaan penuh yang
pada kenyataanya jurusan manajemen dan akuntansi memiliki anmeo yang paling besar.
Sehingga familiaritas Unesa masih belum merata di benak responden. Pada pertanyaan
terbuka Unesa menjadi pilihan kedua, hal ini mengindikasikan ketidakunikan Unesa karena
memiliki beberapa fakultas atau jurusan yang juga dimiliki PTN lain yaitu fakultas ekonomi,
fakultas ilmu sosial, fakultas teknik, fakultas mipa, dan fakultas bahasa. Namun hanya Unesa
yang memiliki jurusan pendidikan di dalamnya. Hal tersebut menjadi pertimbangan
responden untuk memilih Unesa menjadi pilihan utama.
ITS memiliki kepercayaan paling besar dari responden. Namun nilai signifikan asosiasi
merek (X2) berada di atas 0,05 yang diartikan X2 tidak berpengaruh terhadap keputusan
memilih. Ternyata hal tersebut tidak disebabkan oleh asosiasi kesuksesan alumni ataupun
keunikan ITS namun lebih kepada prestasi yang dimiliki. Jaminan kesuksesan alumni karena
menjadi alumni ITS sudah menjadi kejenuhan dibenak responden, karena responden lebih
tertarik terhadap prestasi yang dimiliki atau akreditasi jurusan yang dimiliki. Teknik memang
menjadi basis ITS berdampak pada kejenuhan tentang persepsi bahwa lulusan PTN akan
mudah mencari kerja, sehingga asosiasi merek dalam penelitian ini tidak memiliki pengaruh
terhadap keputusan memilih.
Nilai signifikan asosiasi merek (X2) berada di bawah 0,05 yang diartikan X2 mempengaruhi
keputusan memilih. Kepercayaan responden IAIN terhadap kampusnya ternyata
menunjukkan hasil ganda yaitu IAIN sebagai yang paling dipercaya dan yang paling kurang
dipercaya. Penyebabnya dalam keputusan memilih IAIN responden cenderung memilih
karena ilmu atau basis yang ditawarkan IAIN kepada responden yang juga tercermin pada
berbagai fakultas berbahasa arab. Sedangkan pengaruh kesuksesan alumni, familiaritas,
maupun keunikan IAIN bukan menjadi pertimbangan utama.
Sesuai dengan fenomena yang terjadi ternyata kepercayaan tidak dibangun melalui
kemampuan lulusan PTN di dunia kerja maupun di masyarakat serta bukan pula melalui
kemampuan PTN dalam menunjuk-kan keunggulannya. Bahkan res-ponden percaya bahwa
kesuksesan didapat dari “kemampuan individu” bukan almamater. Ternyata dalam asosiasi merek, mahasiswa lebih mempertimbangkan harga dan kualitas yang dimiliki PTN sebagai
bentuk keterjaminan layanan pen-didikan tinggi yang diinginkan. Sehingga hasil penelitian
ini tidak mendukung penelitian Paramosa (2012) dan Ergin et al (2006) yaitu “Terdapat
pengaruh positif asosiasi merek terhadap keputusan pembelian” atau dapat dikatakan tidak
sesuai dengan hipotesis pertama (H1).
Pengaruh Kesan Kualitas terhadap Keputusan Memilih
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
149
Nilai signifikan kesan kualitas (X3) kurang dari 0,05 artinya mempengaruhi keputusan
memilih UA. Responden UA berpendapat kampusnya memiliki kualitas yang baik dengan
adanya prodi unggulan di bidang kesehatan. Hal tersebut sebagai bentuk spesifikasi UA
dalam memberikan kepercayaan responden tentang kualitasnya. UA yang juga memiliki
fasilitas student center serta kerjasama dan IO sebagai bentuk kepedulian UA untuk
perkembangan dan peningkatan kemampuan responden dalam mengembangkan softskillnya.
Hal tersebut membuat responden merasa bahwa biaya kuliah yang ditetapkan telah sesuai
dengan kualitas yang diberikan. Namun masih ada beberapa kekecewaan terkait pelayanan
karyawan maupun keamanan.
Nilai signifikan kesan kualitas (X3) kurang dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa X3
berpengaruh terhadap keputusan memilih. Responden Unesa tidak berpendapat bahwa Unesa
memiliki kualitas paling baik diantara ketiga PTN lain. Hal tersebut sesuai dengan paradigma
responden yang masih menganggap “Unesa sebagai IKIP”, sehingga responden memilih Unesa bahkan pada pilihan pertama maupun kedua. Realitanya Unesa memiliki biaya
pendidikan yang paling murah dibandingkan dengan ketiga PTN lain. Unesa juga memiliki
pusat bahasa yang telah tersertifiaksi, perpusatakaan, dan fasilitas olahraga terlengkap (Putri,
2009) sehingga tidak sedikit responden yang mempertimbangkan Unesa dalam hal fasilitas.
Responden memiliki kesan kualitas yang baik dibanding ketiga PTN lain. Namun ternyata
nilai signifikan X3 berada diatas 0,05 yang diartikan tidak berpengaruh. Disamping itu nilai
koefisien menunjukkan tanda positif sehingga kesan kualitas berpengaruh tidak signifikan.
Adapun penyebab yang mungkin adalah terkait prestasi yang dimiliki ITS, sehingga berbagai
pernyataan tentang kesan kualitas bukan lagi menjadi pertimbangan utama justru kesadaran
merek yang membawa prestasi tersebut yang menjadi pengaruh terbesar dalam keputusan
memilih ITS. Bahkan responden ITS tidak ragu untuk menjawab pernyataan terkait
kompetensi ITS karena responden ITS percaya bahwa masing-masing PTN memiliki
kualitasnya masing-masing. Realitanya, kampus ITS sukolilo memiliki berbagai fasilitas
yang mendukung kualitasnya seperti lapangan olahraga disetiap fakultas, maupun sarana bagi
pertukaran pelajar ke luar negeri. Sehingga kesan kualitas dapat berpengaruh positif
walaupun bukan menjadi pertimbangan utama responden.
Nilai signifikan kesan kualitas (X3) berada di bawah 0,05, yang berarti kesan kualitas dapat
mempengaruhi keputusan memilih berkuliah di IAIN. Kesan kualitas memiliki pengaruh
yang paling besar dikarenakan adanya proses rebranding dan pengembangan fasilitas IAIN
sehingga responden memiliki pertimbangan yang lebih besar terhadap kualitas. Berbagai hal
telah dirancang sehingga memunculkan berbagai fasilitas IAIN yang ter-rebranding ke dalam
bahasa inggris. Namun tidak memunculkan suatu kepercayaan diri responden sehingga kesan
kualitas IAIN menjadi yang terendah diantara ketiga PTN lain. Hal ini yang menyebabkan
dalam memilih IAIN responden tidak terlalu besar dalam mempertimbangkan, namun justru
terdapat faktor lain yang memungkinkan dalam keputusan memilih.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian Paramosa (2012) dan Yee et al (2011) yang
menjelaskan “Adanya pengaruh persepsi kualitas terhadap keputusan pembelian”. Lebih lanjut diteliti oleh Angell et al (2008) yang menghasilkan “faktor kualitas layanan yang memiliki pengaruh besar adalah akademis dan kemitraan dengan industri”. Penelitian tersebut juga memiliki pendapat yang sama dari responden dalam penelitian ini bahwa PTN di
Surabaya memiliki pengajar yang ahli, program yang bereputasi, dan kompetensi yang baik.
Selain itu PTN di Surabaya juga memiliki pusat layanan karir serta memiliki fasilitas dan
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
150
informasi pertukaran pelajar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini sesuai
dengan hipotesis pertama (H1)
Keputusan memilih terkait city branding Surabaya
Kerjasama pemerintah kota Surabaya dengan berbagai kota besar di luar negeri tersebut telah
mendapatkan manfaatnya baik disektor ekonomi/ perdagangan maupun sosial budaya. Kota
Seattle, Kochi, dan Busan merupakan kota yang memiliki pelabuhan besar sehingga Surabaya
mendapat kesempatan bekerjasama dalam perdagangan ekspor. Namun konsep tersebut tidak
menjadi perhatian utama bagi responden luar kota Surabaya. Responden melihat Surabaya
sebagai pusat perdagangan convenience good yang selanjutnya dijadikan peluang untuk
melakukan usaha dagang sambil berkuliah dengan melihat nilai manfaat kerjasama tersebut.
Adapun pendapat responden yang mendukung, “saya ingin berkarya di Surabaya dengan
berbagai peluang yang ada”.
Disisi lain penataan infrastruktur kota Surabaya sebagai salah satu upaya kebijakan branding,
sehingga responden menganggap bahwa dalam memilih PTN juga mempertimbangkan
infrastruktur. Responden cenderung mempertimbangkan kelancaran transportasi sebagai
fasilitas pendukung. Pemahaman tersebut lebih dijelaskan secara umum Surabaya memiliki
kompleks industri, sebagai pusat kegiatan di Jatim, sebagai kota dengan sosio kultur, serta
berbagai program pembangunan kota (mis: frontage road).
Disamping itu ada beberapa responden keempat PTN di Surabaya yang tidak menjadikan city
branding sebagi top of mind ketika melakukan proses evaluasi alternative. Keputusan
memilih lokasi berkuliah lebih dipengaruhi oleh kepentingan minat belajar itu sendiri. Hal
tersebut didukung oleh pernyataan “yang penting negeri dan sesuai dengan jurusan yang
saya minati”. Reponden memutuskan memilih PTN lebih mementingkan branding dari PTN
bukan branding Surabaya dengan dukungan saran dari orang lain (orang tua, guru, kakak
kelas, maupun PTN expo). Bahkan ada beberapa responden yang punya keinginan kembali ke
kota asalnya setelah lulus kuliah. Sehingga keragaman responden dalam memaknai city
branding Surabaya dikaitkan dengan lokasi tempat berkuliah juga dipengaruhi oleh
ekspektasi responden setelah kuliah.
SIMPULAN
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kesadaran merek dan kesan kualitas berpengaruh secara ppositif terhadap keputusan
memilih PTN di Surabaya, namun asosiasi merek memiliki pengaruh yang berbeda
dimana UA dan Unesa berpengaruh secara positif sedangkan ITS dan IAIN berpengaruh
negatif.
2. Responden kurang mempertimbangkan city branding Surabaya. Namun selama proses
kuliah responden mendapatkan kesan city branding Surabaya walaupun belum
memahami sepenuhnya.
Adapun peneliti menyarankan sebagai berikut:
1. Perguruan tinggi harus selalu melakukan evaluasi terhadap kualitas layanannya.
2. Program studi harus melakukan komunikasi atas capaian kinerjanya (prestasi, seminar,
program lainnya).
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
151
3. Komunikasi city branding harap menjangkau tingkat unit/lembaga pendidikan, sehingga
tidak hanya menjadi kesan namun juga dapat menjadi pemahaman.
4. Peneliti selanjutnya:
a. Jika melakukan penelitian pada responden mahasiswa sebelum tindak lanjut
penyebaran angket diharapkan untuk melakukan wawancara terlebih dahulu agar
mendapatkan jawaban yang konkrit.
b. Meneliti lebih lanjut terkait harga (biaya pendidikan) dan WOM (Word Of Mouth)
dikarenakan faktor tersebut sangat mempengaruhi mahasiswa dalam memeilih PTN
di Surabaya.
DAFTAR REFERENSI
Aaker, David. 1997. Manajemen Ekuitas Merek, Jakarta: Spektrum.
Alma, Buchari. 2005. Pemasaran Stratejik Jasa Pendidikan, Bandung: Alfabeta.
Alma, Buchari. 2008. Manajemen Corporate Dan Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan,
Bandung: UPI
Angell Et Al. 2008. Service Quality In Postgraduate Education. Quality Assurance In
Education 16/3: 236-254.
Brewer Dan Zhao. 2010. The Impact Of A Pathway College On Reputation And Brand
Awareness For Its Affiliated University In Sydney. International Journal Of
Educational Management 24/1: 34-47
Bunzel, David L. 2007. Universities Sell Their Brands. Journal Of Product And Brand
Management 16/2: 152-153.
Chapleo, Chris. 2010. What Defines “Successful” University Brands?. International Journal Of Public Sector 23/2: 169-183.
Dikti .2010. Perkembangan Jumlah Perguran Tinggi Tahun 2010, Reported by Dikti.
Endwiasri, Ayunita. 2010. Pengaruh Brand Equity terhadap keputusan konsumen memilih
masakapai penerbangan garuda Indonesia, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Engel Et Al. 2002. Perilaku Konsumen Jilid 1 Edisi Enam, Jakarta: Binarupa Aksara
Ergin Et Al. 2006. The Effect Of Brand Associations: A Field Study On Turkish Consumers.
International Business And Economics Research Journal 5/8: 65-74
Ghozali, Imam. 2012. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 2.0,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Juanda. 2010. Peranan Pendidikan Formal Dalam Proses Pembudayaan. Lentera Pendidikan,
13/1: 1-15
Keller, Kevin. 2003. Strategic Brand Management, Prentice Hall: University of California.
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
152
Kotler, Phillip Dan Gary Armstrong. 2005. Marketing: An Introduction, New Jersey: Pearson
Kotler, Phillip Dan Keven L. Keller. 2009. Manajemen Pemasaran Jilid 1 Edisi 12, Jakarta:
Indeks
Kotler, Phillip Dan Keven L. Keller. 2009. Manajemen Pemasaran Jilid 2 Edisi 12, Jakarta:
Indeks
Lovelock Dan Wright. 2007. Manajemen Pemasaran Jasa, Jakarta: Indeks
Lupiyoadi, Rambat dan Hamdani. 2009. Manajemen Pemasaran Jasa Edisi 2, Jakarta:
Salemba Empat.
Magnadi, Rizal Hari dan Farida Indriani. 2011. Peran Perguruan Tinggi dalam Membangun
“City Branding” yang Berkelanjutan: Sebuah Upaya untuk Mendorong Pertumbuhan Perekonomian Daerah. Prosiding SNaPP2011: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora 2/1:
281-289.
MasterCard. 2012 .Kesadaran Masyarakat akan Pendidikan Makin Tinggi, reported by
kampus okezone.
Moogan, Yvonne J. 2010. Can A Higher Education’s Marketing Strategy Improve The Student-Institution Match?. International Journal Of Educational Management 25/6:
570-589.
Muntean Et Al. 2009. The Brand: One Of The University’s Most Valuable Asset. Annales Universitas Apulensis Series Oeconomica 11/2:1066-1071
Malhotra, Naresh K. 2009. Riset Pemasaran Pendekatan Terapan edisi keempat jilid 1,
Jakarta: PT. Indeks.
Paramosa, Maisie L. 2012. Analisis Faktor-Faktor Pembentuk Ekuitas Merek Terhadap
Keputusan Pembelian Jasa Hotel Narita Surabaya. (online)
(http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/manajemen-perhotelan/article/view/206,
diakses pada 25 April 2013).
Parasuraman, Berry, dan Zeithaml. 1991. Refinement and reassessment of the servqual scale.
Journal of retailing, 67/4: 420-450.
Rahman, 2008. Analisis Brand Association Dalam Meningkatkan Ekuitas Merek Bank Riau
Kepri Pekan Baru, reported by repository unri.
Santoso, Singgih. 2004. Mengolah Data Statistik Secara Professional, Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo Kelompok Gramedia
Santoso, Singgih Dan Fandy Tjiptono. 2004. Riset Pemasaran Konsep Dan Aplikasi Dengan
SPSS, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Snmptn 2013. 2013. Daftar Perguruan Tinggi Di Indonesia, reported by snmptn
administration.
Ria Astuti Andrayani Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Setyo Iriani Vol. 2, Nomor 1, Oct 2014
153
So et al. 2010. When experience matters: building and measuring hotel brand equity: the
customers’ perspective. International journal of contemporary hospitality management,
22/5: 589-608.
Solomon, Michael R. 2013. Consumer Behaviour: Buying, Having, And Being Tenth Edition,
USA: Pearson Education.
Sumarwan, Ujang. 2011. Perilaku Konsumen Edisi Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia.
Surabaya. 2011. Sister City. Reported by Surabaya administration online.
Temporal, 2001. Marketing Strategy in Asia. Jakarta: Binarupa Aksara.
Tjiptono, Fandy. 2005. Brand Management and Strategy, Yogyakarta: Penerbit Andi
Tjiptono, Fandy. 2008. Strategi Pemasaran Edisi III, Yogyakarta: Penerbit Andi
Wang Et Al. 2008. Global Brand Equity Model: Combining Customer-Based With Product-
Market Outcome Approaches. Journal Of Product & Brand Management 17/5: 305-316
Wijaya, David. 2008. Pemasaran Jasa Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Daya
Saing Sekolah. Jurnal Pendidikan Penabur 1/11: 42-56
Wishman (2009). Internal Branding: A University’s Most Valuable Intangible Asset. Journal Of Product And Brand Management 18/5: 367-370
Yee et al. 2011. Consumers’ Perceived Quality, Perceived Value And Perceived Risk Towards Purchase Decision On Automobile. Ameican Journal Of Economics And
Business Administration 3/1: 45-57
INDEX Abnormal Return : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 13, 14, 16, 18
Analytical Hierarchy Process : 104, 111, 118,
Balanced Scorecard : 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111,112, 113, 115, 116, 118, 120,
122, 123
BAPEPAM-LK Regulation : 1
Brand Association : 136, 151, 152
Brand Awareness : 136, 151
Business Model Canvas (BMC) : 53, 58
Business Model : 53, 58, 59, 66
Buy Back : 1, 2, 3, 4, 8, 9, 12, 18
Café : 53
Coinsurance Effect : 77. 78, 79, 87
Consumer Perseption : 124
Decision to Choose : 136
Diversifikasi Usaha : 77
Emiten :90
ERP : 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52
Implementation Technology and PLS : 38
Implementation : 38, 40, 41, 51, 52
INDEX
Initial Public Offerings : 90, 91, 99, 100, 101
Initial Return : 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102
Koperasi : 104
Multidimensional Scaling Technique : 124
Perceived Quality : 136, 137, 153
Positioning : 124, 125, 126, 134, 135
Quality Function Deployment : 20
Recommendation of Operationalization Model BOS Program : 20
Shoes : 53
Sistem Pengukuran Kinerja : 104, 106, 107, 116
State Universityq : 136
Stock : 90, 91, 92, 96, 98, 99, 100
Struktur Modal : 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 87
Sumber Daya Intelektual : 68
TabletPC : 124
Tanggung Jawab Sosial : 68, 69
Underwriter : 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99,100
Index Penulis
Adhi Suwanto, I Made Sudana 1
PENGUMUMAN STOCK BUYBACK DAN REAKSI PASAR SAHAM
(STUDI KASUS PERUSAHAAN DI BURSA EFEK INDONESIA)
Hesti Maheswari, Luna Haningsih 20
ANALISA PERANCANGAN ULANG (REDESAIN) MODEL
OPERASIONALISASI PROGRAM BANTUAN OPERASIONAL
SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN EFEKTIVITAS
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN MEMENUHI
HARAPAN MASYARAKAT
Eko Purwanto, Prasetyohadi, Firman Dwilaksono Rahardianto 38
IMPLEMENTASI TEKNOLOGI INFORMASI ENTERPRISE
RESOURCE PLANNING (ERP) STUDI PADA PERUSAHAAN KEMASAN
Peggy Hariwan, Inggi Silviatni 53
PERANCANGAN MODEL BISNIS CAFÉ ZAPATERIA
Wa Ode Zusnita, Ernie Tisnawati, Layyinaturrobaniyah 68
MODEL PENGEMBANGAN PROGRAM CORPORATE
SOCIAL RESPONCIBILITY (CSR) MELALUI PEMBERDAYAAN
MODAL INTELEKTUAL DALAM UPAYA PENINGKATAN
PEMERATAAN PENDIDIKAN (SURVEY DI KOTA BANDUNG)
Wisudanto, Sugiarto 77
DIVERSIVIKASI USAHA DAN STRUKTUR MODAL
Ferry Sugianto, Liliana Inggrit Wijaya 90
FACTORS FROM UNDERWRITER THAT INFLUENCE INITIAL RETURN OF THE COMPANIES DOING INITIAL PUBLIC OFFERINGS IN INDONESIASTOCK EXCHANGE IN THE PERIOD OF 2004-2011 Indrianawati Usman, Mohammad Agung Laksono 104
PERANCANGAN SISTEM PENGUKURAN KINERJA PADA KOPERASI KOPERASI KARYAWAAN REDRYING DENGAN MENGGUNAKAN METODE BALANCED SCORECARD DAN ANALITICAL HIERARCHICAL PROCESS DI BOJONEGORO
Dini Turipanam Alamanda, Gamal Argi, Arif Partono 124 Mapping of Tablet PC Based On Consumer Perception (Case Study of Bandung Electronic Center Visitors) Ria Astuti Andrayani, Sri Setyo Iriani 136 MEDIASI CITY BRANDING PADA PENGARUH KESADARAN MEREK, ASOSIASI MEREK, DAN KESAN KUALITAS TERHADAP KEPUTUSAN MEMILIH PERGURUAN TINGGI NEGERI DI SURABAYA