vol. v desember 2010 - januari 2011 edisi 62...3 desember 2010 - januari 2011 volume v - edisi 62 4...

32
Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62 Advokasi TKI Lewat Jalur Usaha Ketengan Advocacy for Migrant Workers through Small Enterprises Migran dan Perantau Dalam Bingkai Perlawanan dan Cita-cita Migrants, Struggle and Ambitions Jangan Mati Kehausan di Tepi Danau NTT Don’t Die of Thirst on the Edge of NTT’s Lakes Mengelola Sampah Dengan Dua Gelas Beras Managing Waste With Two Glasses of Rice

Upload: others

Post on 07-Mar-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62

Advokasi TKI Lewat Jalur Usaha Ketengan Advocacy for Migrant Workers through Small Enterprises

Migran dan Perantau Dalam Bingkai Perlawanan dan Cita-citaMigrants, Struggle and Ambitions

Jangan Mati Kehausan di Tepi Danau NTTDon’t Die of Thirst on the Edge of NTT’s Lakes

Mengelola Sampah Dengan Dua Gelas BerasManaging Waste With Two Glasses of Rice

Page 2: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Berikut adalah batas waktu dan tema untuk BaKTINews/Following are the deadlines and themes:

Tema Perubahan Iklim 10 Februari 2011Tema Umum 10 Maret 2011Tema Umum 10 April 2011Tema Kesetaraan Gender 10 Mei 2011Tema Umum 10 Juni 2011Tema Umum 10 Juli 2011Tema Pengelolaan Pengetahuan 10 Agustus 2011Tema Umum 10 September 2011Tema Umum 10 Oktober 2011Tema Desentralisasi 10 November 2011Tema Umum 10 Desember 10 2011

DAFTAR ISI CONTENTS

Tim redaksi BaKTINews mengundang Anda untuk mengirim artikel tentang pembangunan di daerah anda untuk edisi BaKTINews 2011The BaKTINews team invites you to submit your articles on development in your region to BaKTINews in 2011.

media bagi anda untuk berbagi cerita

Kami sangat menghargai tulisan yang mengangkat praktik cerdas atau pembelajaran dari pengalaman rekan-rekan. Ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk mengkontribusikan tulisan Anda mengenai upaya-upaya yang pernah atau sedang dilakukan terkait tema tersebut di atas.

Panjang artikel adalah Artikel dikirim via email [email protected]

Tim redaksi BaKTINews akan melakukan seleksi dan edit terhadap setiap naskah yang masuk.

Sekali lagi kami ucapkan terimakasih dan semoga sukses dalam kegiatan Anda hari ini.

1.000-1.100 kata dalam bahasa Indonesia.

We greatly value articles that feature smart practices or lessons learnt from stakeholders. This is valuable opportunity for you to contribute yoyr articles on development efforts underway or completed.

BaKTINews editors will select and edit articles that are submitted. Once again, we extend our thanks and wish you all the success in your work.

Climate Change 10 February 2011General 10 March 2011General 10 April 2011Gender Equality 10 May 2011General 10 June 2011General 10 July 2011Knowledge Management and Communication 10 Augustus 2011General 10 September 2011General 10 October 2011Decentralization 10 November 2011General 10 December 10 2011

Advokasi TKI Lewat Jalur Usaha Ketengan Advocacy for Migrant Workers through Small Enterprises

Migran dan Perantau Dalam Bingkai Perlawanan dan Cita-citaMigrants, Struggle and Ambitions

Dewan PendidikanPotensi Untuk Memperkuat Demokratisasi Pengelolaan PendidikanA Potential Force to Enhance Democratic Governance of Education

Program BASICS Menandatangani Pengaturan Kerjasama dengan 12 Daerah

The BASICS Program Signs Agreement with 12 Regions

Spektakuler Keaneragaman-Hayati Laut di Propinsi Papua Barat Spectacular Marine Biodiversity in West Papua Province

Rancangan Sukarelawan Universitas bagi Penguatan Pemuda dan Pembangunan Papua

The University Volunteer Scheme for Youth Empowerment and Development of Papua

Jurnalisme WargaYKS Raih Penghargaan Satu Indonesia AwardYKS Wins the Satu Indonesia Award

Pemberdayaan Petani Kelapa Untuk Produk Industri Hilir Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Petani Di Provinsi Maluku

Downstream Farmer Empowerment to Increase Revenue in Maluku

Jangan Mati Kehausan di Tepi Danau NTTDon’t Die of Thirst on the Edge of NTT’s Lakes

PEACH UPDATEMenuju Pengelolaan Keuangan Daerah yang Lebih EfektifTowards More Effective Regional Finance Management

Catatan Gerakan Tuntas Aksara Sulawesi Barat Tahun 2010Notes from Eradication of Illiteracy West Sulawesi 2010

Mengelola Sampah Dengan Dua Gelas BerasManaging Waste With Two Glasses of Rice

LEINTSA

3

1

5

7

9

10

11

13

Pemetaan Kesehatan di pedesaan terpencil Kawasan Timur IndonesiaHealth mapping in remote, rural Eastern Indonesia15

17

19

21

23

25

27 Website Bulan ini Website of the Month

28

29Profil LSM NGO Profile

30

Mari Menyebar Kisah Pembangunan

EditorMILA SHWAIKO

VICTORIA NGANTUNG

Forum KTIZUSANNA GOSALITA MASITA IBNU

Events at BaKTISHERLY HEUMASSE

Website of the MonthSTEVENT FEBRIANDY

Info Book & DatabaseAFDHALIYANNA MA’RIFAH

WebsiteAKRAM ZAKARIA

Smart PracticesCHRISTY DESTA PRATAMA

Design Visual & LayoutICHSAN DJUNAID

Pertanyaan dan TanggapanRedaksi

JI. DR.Sutomo No.26Makassar 90113

P : 62-411-3650320-22F :62-411-3650323

SMS BaKTINews 085255776165E-mail: [email protected]

Anda juga bisa menjadi penggemar BaKTINews di Facebook :

www.facebook.com/yayasanbakti

BaKTINews diterbitkan oleh Yayasan BaKTI dengan dukungan Pemerintah Australia dan Kanada.BaKTINews is published byThe BaKTI Foundation with support of the Government of Australia and Canada.

Pandangan yang dikemukakan tak sepenuhnya mencerminkan pandangan Yayasan BaKTI maupun Pemerintah Australia dan Kanada.

The views expressed do not necessarily reflect the views of Yayasan BaKTI, the Australia Indonesia Partnership, the Australian Government, Canadian International Development Agency or the Canadian Goverment.

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 20111

Pembaca BaKTINews yang terhormat,

elamat tahun baru 2011! Semoga tahun ini mendatangkan lebih banyak kebaikan, kesuksesan dan kerjasama yang lebih baik bagi kita semua. SKami mengucapkan terimakasih atas dukungan dan kesetiaan rekan-

rekan yang tak pernah putus terhadap BaKTINews, media komunikasi pembangunan terdepan di Kawasan Timur Indonesia.

Saat ini BaKTINews dikirimkan secara gratis kepada lebih dari 2.600 penerima di seluruh Indonesia dan juga dapat diakses online melalui www.bakti.org

Happy New Year for 2011! We wish you all success in the upcoming year and of course hope we will all work together even more closely! We thank you all for your support and loyalty to BaKTINews, the premier development communication media in eastern Indonesia.

BaKTINews is distributed to over 2,600 stakeholders in Indonesia and can also be accessed online through www.bakti.org.

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 2

Articles should be 1.000–1.100 words in Bahasa Indonesia or English. Please send articles to [email protected]

Page 3: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Berikut adalah batas waktu dan tema untuk BaKTINews/Following are the deadlines and themes:

Tema Perubahan Iklim 10 Februari 2011Tema Umum 10 Maret 2011Tema Umum 10 April 2011Tema Kesetaraan Gender 10 Mei 2011Tema Umum 10 Juni 2011Tema Umum 10 Juli 2011Tema Pengelolaan Pengetahuan 10 Agustus 2011Tema Umum 10 September 2011Tema Umum 10 Oktober 2011Tema Desentralisasi 10 November 2011Tema Umum 10 Desember 10 2011

DAFTAR ISI CONTENTS

Tim redaksi BaKTINews mengundang Anda untuk mengirim artikel tentang pembangunan di daerah anda untuk edisi BaKTINews 2011The BaKTINews team invites you to submit your articles on development in your region to BaKTINews in 2011.

media bagi anda untuk berbagi cerita

Kami sangat menghargai tulisan yang mengangkat praktik cerdas atau pembelajaran dari pengalaman rekan-rekan. Ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk mengkontribusikan tulisan Anda mengenai upaya-upaya yang pernah atau sedang dilakukan terkait tema tersebut di atas.

Panjang artikel adalah Artikel dikirim via email [email protected]

Tim redaksi BaKTINews akan melakukan seleksi dan edit terhadap setiap naskah yang masuk.

Sekali lagi kami ucapkan terimakasih dan semoga sukses dalam kegiatan Anda hari ini.

1.000-1.100 kata dalam bahasa Indonesia.

We greatly value articles that feature smart practices or lessons learnt from stakeholders. This is valuable opportunity for you to contribute yoyr articles on development efforts underway or completed.

BaKTINews editors will select and edit articles that are submitted. Once again, we extend our thanks and wish you all the success in your work.

Climate Change 10 February 2011General 10 March 2011General 10 April 2011Gender Equality 10 May 2011General 10 June 2011General 10 July 2011Knowledge Management and Communication 10 Augustus 2011General 10 September 2011General 10 October 2011Decentralization 10 November 2011General 10 December 10 2011

Advokasi TKI Lewat Jalur Usaha Ketengan Advocacy for Migrant Workers through Small Enterprises

Migran dan Perantau Dalam Bingkai Perlawanan dan Cita-citaMigrants, Struggle and Ambitions

Dewan PendidikanPotensi Untuk Memperkuat Demokratisasi Pengelolaan PendidikanA Potential Force to Enhance Democratic Governance of Education

Program BASICS Menandatangani Pengaturan Kerjasama dengan 12 Daerah

The BASICS Program Signs Agreement with 12 Regions

Spektakuler Keaneragaman-Hayati Laut di Propinsi Papua Barat Spectacular Marine Biodiversity in West Papua Province

Rancangan Sukarelawan Universitas bagi Penguatan Pemuda dan Pembangunan Papua

The University Volunteer Scheme for Youth Empowerment and Development of Papua

Jurnalisme WargaYKS Raih Penghargaan Satu Indonesia AwardYKS Wins the Satu Indonesia Award

Pemberdayaan Petani Kelapa Untuk Produk Industri Hilir Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Petani Di Provinsi Maluku

Downstream Farmer Empowerment to Increase Revenue in Maluku

Jangan Mati Kehausan di Tepi Danau NTTDon’t Die of Thirst on the Edge of NTT’s Lakes

PEACH UPDATEMenuju Pengelolaan Keuangan Daerah yang Lebih EfektifTowards More Effective Regional Finance Management

Catatan Gerakan Tuntas Aksara Sulawesi Barat Tahun 2010Notes from Eradication of Illiteracy West Sulawesi 2010

Mengelola Sampah Dengan Dua Gelas BerasManaging Waste With Two Glasses of Rice

LEINTSA

3

1

5

7

9

10

11

13

Pemetaan Kesehatan di pedesaan terpencil Kawasan Timur IndonesiaHealth mapping in remote, rural Eastern Indonesia15

17

19

21

23

25

27 Website Bulan ini Website of the Month

28

29Profil LSM NGO Profile

30

Mari Menyebar Kisah Pembangunan

EditorMILA SHWAIKO

VICTORIA NGANTUNG

Forum KTIZUSANNA GOSALITA MASITA IBNU

Events at BaKTISHERLY HEUMASSE

Website of the MonthSTEVENT FEBRIANDY

Info Book & DatabaseAFDHALIYANNA MA’RIFAH

WebsiteAKRAM ZAKARIA

Smart PracticesCHRISTY DESTA PRATAMA

Design Visual & LayoutICHSAN DJUNAID

Pertanyaan dan TanggapanRedaksi

JI. DR.Sutomo No.26Makassar 90113

P : 62-411-3650320-22F :62-411-3650323

SMS BaKTINews 085255776165E-mail: [email protected]

Anda juga bisa menjadi penggemar BaKTINews di Facebook :

www.facebook.com/yayasanbakti

BaKTINews diterbitkan oleh Yayasan BaKTI dengan dukungan Pemerintah Australia dan Kanada.BaKTINews is published byThe BaKTI Foundation with support of the Government of Australia and Canada.

Pandangan yang dikemukakan tak sepenuhnya mencerminkan pandangan Yayasan BaKTI maupun Pemerintah Australia dan Kanada.

The views expressed do not necessarily reflect the views of Yayasan BaKTI, the Australia Indonesia Partnership, the Australian Government, Canadian International Development Agency or the Canadian Goverment.

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 20111

Pembaca BaKTINews yang terhormat,

elamat tahun baru 2011! Semoga tahun ini mendatangkan lebih banyak kebaikan, kesuksesan dan kerjasama yang lebih baik bagi kita semua. SKami mengucapkan terimakasih atas dukungan dan kesetiaan rekan-

rekan yang tak pernah putus terhadap BaKTINews, media komunikasi pembangunan terdepan di Kawasan Timur Indonesia.

Saat ini BaKTINews dikirimkan secara gratis kepada lebih dari 2.600 penerima di seluruh Indonesia dan juga dapat diakses online melalui www.bakti.org

Happy New Year for 2011! We wish you all success in the upcoming year and of course hope we will all work together even more closely! We thank you all for your support and loyalty to BaKTINews, the premier development communication media in eastern Indonesia.

BaKTINews is distributed to over 2,600 stakeholders in Indonesia and can also be accessed online through www.bakti.org.

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 2

Articles should be 1.000–1.100 words in Bahasa Indonesia or English. Please send articles to [email protected]

Page 4: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 20113 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 4

Oleh Roma Hidayat*(ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal di desa Lepak)

“Bung, apa kabar, mohon maaf tidak sempat pamit, saya sudah di bandara mau ke Malaysia untuk cari modal usaha.

Semoga ADBMI tetap jaya”

"Bung, how are you, sorry I didn’t have time to say goodbye. I’m at the airport going to Malaysia to search for business capital.

Hopefully ADBMI will continue to be successful "

Advokasi TKI Lewat Jalur Usaha Ketengan Advocacy for Migrant Workers through Small Enterprises

Penulis adalah ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal di desa Lepak/ The writer is the head of the Indonesian Migrant Worker Advocacy Institution (ADBMI) and lives in Lepak village. ADBMI Jl. Diponegoro 27 selong, Lombok Timur, NTB Telp/fax : 0376 21880 Email : [email protected] Mobile : 081 237 427 224

emikian itu bunyi salah satu teks SMS yang saya terima. Hampir setiap bulan, selalu saja ada SMS dengan konten sejenis yang diterima dari orang yang berbeda-beda. Para pengirim SMS ini D

adalah teman-teman terbaik dalam mendorong gerakan advokasi isu BMI (Buruh Migrant Indonesia) alias Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Trafficking. Berbagai diskusi, pelatihan, seminar terkait bagaimana penanganan masalah BMI dan trafficking berbasis desa telah di berikan ke mereka, dengan harapan, persoalan itu dapat ditangani oleh orang desa sendiri. Tetapi ternyata hal tersebut tidak mampu mengerem derasnya arus migrasi.

Baru belakangan kami sadari bahwa pendekatan advokasi yang selama ini kami lakukan ternyata tidak cukup manjur. Mereka tahu bahwa korban telah banyak yang mati, diperkosa dan lumpuh. Orang desa pun menyadari bahwa mereka tidak bisa baca tulis, masih di bawah umur, tidak bisa bahasa asing. Namun menjadi TKI berarti bisa membangun rumah dan punya biaya untuk menikah. Itulah yang mendorong kami untuk mendesain ulang gerakan pendampingan advokasi desa. Bahwa pendekatan hukum semata tidak akan menyelesaikan satu persoalan. Kini saatnya melakukan pemberdayaan ekonomi.

Menahan laju migrasiJumlah Buruh Migran Indonesia (BMI) di Kabupaten Lombok Timur

cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada Desa Gereneng dan Desa Gelanggang di Kecamatan Sakra Timur, jumlah BMI pada tahun 2009 adalah 811 orang dari total jumlah penduduk 9.662 jiwa. Jumlah BMI di daerah ini meningkat menjadi 1.104 jiwa pada September 2010. Ini sudah termasuk BMI yang tidak memiliki dokumen lengkap dan tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan.

This is from a SMS that I received. Almost every month, I get a SMS like this but from a different person. The sender of this particular SMS is one of my closest friends in advocating issues related to Indonesian Migrant Workers (TKI) and Trafficking. Many discussions, training, and seminars related to TKI and village-based human trafficking have been held, in the hope that this problem can be handled by the villagers themselves; but none of it has been able to put the brakes on the rapid flow of migration.

We now realize that the advocacy approach we have followed is not potent enough. People know about the dead, raped and paralyzed victims. The villagers realize that these migrants could not read and write, were still minors, and could not speak foreign languages. However, a migrant worker is able to build a house and has money to get married. This is what pushed us to redesign the village advocacy mentoring movement. A legal approach alone will not solve the problem. Now is the time for economic empowerment.

Put a halt to migration The number of Indonesian Migrant Workers (TKI) in East

Lombok district increases every year. In the villages of Gelanggang and Gereneng, Sakra Timur sub-district, the number of TKI in 2009 was 811, of a total population of 9,662 inhabitants. The number of TKI in this area increased to 1,104 in September 2010. This includes TKI without proper documents and who don’t follow established procedures.

Kecenderungan pertambahan jumlah buruh migran ini menjadi indikasi lemahnya pertahanan sosial ekonomi komunitas desa. Perlu ada upaya untuk merapikan benteng pertahanan sosial ekonomi pada tingkat desa. Mata pencaharian alternatif perlu dibangun, sehingga buruh migran bukan lagi menjadi satu-satunya pilihan bagi masyarakat desa untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Masyarakat perlu diajak untuk tidak hanya menginvestasikan seluruh hasil keringatnya dengan membeli sepeda motor agar bisa berprofesi sebagai pengojek. Mereka juga perlu didorong untuk berjiwa enterpreneur dengan menginvestasikan remitance sosial berupa keterampilan bikin roti cane, cara bercocok tanam, dan investasi dana untuk usaha yang produktif berkelanjutan.

Porok-porok Timbang Momot Sumiati, seorang mantan TKW dari Desa Bagik Payung Selatan

Kecamatan Suralaga berhasil membangun sebuah usaha kecil dari hasil remitansi yang dikumpulkannya selama bekerja dua tahun sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia. Dalam membangun perekonomian keluarganya yang sekarang sudah mapan, Sumiati berbagi peran dengan suaminya yang saat ini masih bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Setiap tahun suaminya mengirimkan uang yang digunakan untuk membiayai usaha dan pendidikan kedua anak mereka. Omset usaha Sumiati setiap bulan berkisar 20 juta rupiah.

Sama halnya dengan Ismail dari desa yang sama. Setelah bertahun-tahun menghabiskan masa mudanya bekerja di Malaysia, pada tahun 2008 akhirnya ia kembali ke kampung halamannya, dan membangun sebuah kios. Usahanya kini memiliki omset bulanan sebesar 12 juta rupiah. Nilai yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di kampung.

Lalu ada sosok Parhiah. Padanya kami mendapatkan begitu banyak pesan dan kesan yang mendalam. Ibu yang telah berusia lanjut ini mampu mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Ibu Parhiah menjual kue kerake yang membuat para pembelinya kecanduan. Di tengah guyuran hujan yang lebat, para pembeli kue buatan ibu Parhiah rela mengantri di antara gang-gang kampung yang sempit untuk memperoleh kue buatannya.

Para mantan BMI seperti Parhiah, Ismail, dan Sumiati, yang berani banting setir menjadi pengusaha kecil membawa pesan yang sangat penting bagi ketahanan sosial ekonomi desa. Namun secara sederhana mereka dengan rendah hati selalu menyebut usahanya sebagai porok-porok timbang momot atau pekerjaan untuk mengisi waktu ketimbang menganggur.

Nilai moral seperti porok-porok timbang momot ini perlu diresapi sebagai sebuah hobi atau hal menyenangkan yang saat dilakukan tidak membuat kita merasa tertekan karena sedang bekerja. Ini dapat menjadi titik masuk dalam membangun jiwa kewirausahaan masyarakat desa untuk menghindari “terlalu cepat putus asa” ketika usaha yang dijalankan menemui tantangan. Kondisi kejiwaaan yang tidak tertekan dan senang ini juga sangat positif dalam memberikan ketahanan berpikir dan menemukan upaya alternatif ketika ada hambatan dalam berusaha.

Nilai lain yang dapat diambil dari porok-porok timbang momot adalah tidak serakah. Berikan insentif pada mereka yang terlibat membantu usaha anda. Ini dibuktikan oleh Parhiah yang memberikan uang tambahan bagi para tukang ojek yang menjadi distributor kuenya, jika mereka mampu menjual kua lebih dari target yang disepakati. Berbagi pengalaman, Parhiah berpesan,“Mari menjalankan usaha dengan senang hati, seperti menikmati hobi. Mari menjalaninya dengan perasaan gembira seperti saat bermain kartu domino. Tak peduli engkau kalah atau menang, yang penting kita menikmatinya. Tidak kurang, tidak lebih”.

The upward trend in the number of migrant workers is an indication of the weakness of the village community’s socio-economic security. There should be an effort to repair the social and economic defenses at the village level. Alternative livelihoods need to be built, so that migration is no longer the only option for villagers to earn a decent livelihood. Community members need to be encouraged to not only invest all their money into buying a motorcycle in order to work as motorcycle taxi driver, but to invest their remittances with the spirit of social entrepreneurship with skills to make bread, grow crops, and invest funds in sustainable, productive business.

Porok-porok Timbang Momot Sumiati, a former migrant worker from the village of

Bagik Payung Selatan, Suralaga sub-district, managed to build a small business from remittances gathered during two years working as a housemaid in Malaysia. In developing the economy of her now well-established family, Sumiati shared the role with her husband, who is still working in oil palm plantations in Malaysia. Every year her husband sends money, which is used to fund the education of their two children. Sumiati’s business turnover per month can reach Rp 20 million.

Similarly Ismail, from the same village, after years spent working in Malaysia, finally returned to his hometown in 2008, and built a kiosk. His business now has a monthly turnover of Rp 12 million. This is more than enough to meet the needs of life in the village.

Then there is Parhiah. We have heard so much about her; she has left a deep impression on many. This elderly mother has been able to turn something ordinary into the extraordinary. Ibu Parhiah sells kerake cakes that leave buyers addicted. Even in the midst of torrential rain, her cakes leave buyers willing to queue to buy the homemade cakes.

The former TKIs, Parhiah, Ismail, and Sumiati all dared to become into small businessmen and women and bring a message of great importance to the socio-economic resilience of the village. But they simply and humbly refer to their efforts as “Porok-porok Timbang Momot”, or work to fill time while unemployed.

Moral values such as Porok-porok Timbang Momot must be absorbed; undertaking an enterprise as if it was a hobby or something fun won’t be like a hardship even though it’s work. This can perhaps be an entr y point in building entrepreneurial communities to avoid the hopelessness that too quickly arises when businesses meet a challenge. Conditions that are uplifting and happy are also very positive in terms of developing resilience, and promoting thinking and finding an alternative route when obstacles emerge.

Another value that can be taken from Porok-porok Timbang Momot is not to be greedy. Give incentives to those involved to help the business along. Parhiah provides additional money to the motorcycle taxi drivers who are distributors of her cakes if they are able to sell more than the agreed target. Sharing her experiences, Parhiah advises, "Run the business with pleasure, like you are enjoying a hobby. Live with the feeling of happiness as if you were playing dominoes. No matter if you win or lose, the important thing is that you enjoy it. No less, no more ".

BURUH MIGRAN MIGRAN WORKER

Page 5: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 20113 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 4

Oleh Roma Hidayat*(ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal di desa Lepak)

“Bung, apa kabar, mohon maaf tidak sempat pamit, saya sudah di bandara mau ke Malaysia untuk cari modal usaha.

Semoga ADBMI tetap jaya”

"Bung, how are you, sorry I didn’t have time to say goodbye. I’m at the airport going to Malaysia to search for business capital.

Hopefully ADBMI will continue to be successful "

Advokasi TKI Lewat Jalur Usaha Ketengan Advocacy for Migrant Workers through Small Enterprises

Penulis adalah ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal di desa Lepak/ The writer is the head of the Indonesian Migrant Worker Advocacy Institution (ADBMI) and lives in Lepak village. ADBMI Jl. Diponegoro 27 selong, Lombok Timur, NTB Telp/fax : 0376 21880 Email : [email protected] Mobile : 081 237 427 224

emikian itu bunyi salah satu teks SMS yang saya terima. Hampir setiap bulan, selalu saja ada SMS dengan konten sejenis yang diterima dari orang yang berbeda-beda. Para pengirim SMS ini D

adalah teman-teman terbaik dalam mendorong gerakan advokasi isu BMI (Buruh Migrant Indonesia) alias Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Trafficking. Berbagai diskusi, pelatihan, seminar terkait bagaimana penanganan masalah BMI dan trafficking berbasis desa telah di berikan ke mereka, dengan harapan, persoalan itu dapat ditangani oleh orang desa sendiri. Tetapi ternyata hal tersebut tidak mampu mengerem derasnya arus migrasi.

Baru belakangan kami sadari bahwa pendekatan advokasi yang selama ini kami lakukan ternyata tidak cukup manjur. Mereka tahu bahwa korban telah banyak yang mati, diperkosa dan lumpuh. Orang desa pun menyadari bahwa mereka tidak bisa baca tulis, masih di bawah umur, tidak bisa bahasa asing. Namun menjadi TKI berarti bisa membangun rumah dan punya biaya untuk menikah. Itulah yang mendorong kami untuk mendesain ulang gerakan pendampingan advokasi desa. Bahwa pendekatan hukum semata tidak akan menyelesaikan satu persoalan. Kini saatnya melakukan pemberdayaan ekonomi.

Menahan laju migrasiJumlah Buruh Migran Indonesia (BMI) di Kabupaten Lombok Timur

cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada Desa Gereneng dan Desa Gelanggang di Kecamatan Sakra Timur, jumlah BMI pada tahun 2009 adalah 811 orang dari total jumlah penduduk 9.662 jiwa. Jumlah BMI di daerah ini meningkat menjadi 1.104 jiwa pada September 2010. Ini sudah termasuk BMI yang tidak memiliki dokumen lengkap dan tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan.

This is from a SMS that I received. Almost every month, I get a SMS like this but from a different person. The sender of this particular SMS is one of my closest friends in advocating issues related to Indonesian Migrant Workers (TKI) and Trafficking. Many discussions, training, and seminars related to TKI and village-based human trafficking have been held, in the hope that this problem can be handled by the villagers themselves; but none of it has been able to put the brakes on the rapid flow of migration.

We now realize that the advocacy approach we have followed is not potent enough. People know about the dead, raped and paralyzed victims. The villagers realize that these migrants could not read and write, were still minors, and could not speak foreign languages. However, a migrant worker is able to build a house and has money to get married. This is what pushed us to redesign the village advocacy mentoring movement. A legal approach alone will not solve the problem. Now is the time for economic empowerment.

Put a halt to migration The number of Indonesian Migrant Workers (TKI) in East

Lombok district increases every year. In the villages of Gelanggang and Gereneng, Sakra Timur sub-district, the number of TKI in 2009 was 811, of a total population of 9,662 inhabitants. The number of TKI in this area increased to 1,104 in September 2010. This includes TKI without proper documents and who don’t follow established procedures.

Kecenderungan pertambahan jumlah buruh migran ini menjadi indikasi lemahnya pertahanan sosial ekonomi komunitas desa. Perlu ada upaya untuk merapikan benteng pertahanan sosial ekonomi pada tingkat desa. Mata pencaharian alternatif perlu dibangun, sehingga buruh migran bukan lagi menjadi satu-satunya pilihan bagi masyarakat desa untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Masyarakat perlu diajak untuk tidak hanya menginvestasikan seluruh hasil keringatnya dengan membeli sepeda motor agar bisa berprofesi sebagai pengojek. Mereka juga perlu didorong untuk berjiwa enterpreneur dengan menginvestasikan remitance sosial berupa keterampilan bikin roti cane, cara bercocok tanam, dan investasi dana untuk usaha yang produktif berkelanjutan.

Porok-porok Timbang Momot Sumiati, seorang mantan TKW dari Desa Bagik Payung Selatan

Kecamatan Suralaga berhasil membangun sebuah usaha kecil dari hasil remitansi yang dikumpulkannya selama bekerja dua tahun sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia. Dalam membangun perekonomian keluarganya yang sekarang sudah mapan, Sumiati berbagi peran dengan suaminya yang saat ini masih bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Setiap tahun suaminya mengirimkan uang yang digunakan untuk membiayai usaha dan pendidikan kedua anak mereka. Omset usaha Sumiati setiap bulan berkisar 20 juta rupiah.

Sama halnya dengan Ismail dari desa yang sama. Setelah bertahun-tahun menghabiskan masa mudanya bekerja di Malaysia, pada tahun 2008 akhirnya ia kembali ke kampung halamannya, dan membangun sebuah kios. Usahanya kini memiliki omset bulanan sebesar 12 juta rupiah. Nilai yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di kampung.

Lalu ada sosok Parhiah. Padanya kami mendapatkan begitu banyak pesan dan kesan yang mendalam. Ibu yang telah berusia lanjut ini mampu mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Ibu Parhiah menjual kue kerake yang membuat para pembelinya kecanduan. Di tengah guyuran hujan yang lebat, para pembeli kue buatan ibu Parhiah rela mengantri di antara gang-gang kampung yang sempit untuk memperoleh kue buatannya.

Para mantan BMI seperti Parhiah, Ismail, dan Sumiati, yang berani banting setir menjadi pengusaha kecil membawa pesan yang sangat penting bagi ketahanan sosial ekonomi desa. Namun secara sederhana mereka dengan rendah hati selalu menyebut usahanya sebagai porok-porok timbang momot atau pekerjaan untuk mengisi waktu ketimbang menganggur.

Nilai moral seperti porok-porok timbang momot ini perlu diresapi sebagai sebuah hobi atau hal menyenangkan yang saat dilakukan tidak membuat kita merasa tertekan karena sedang bekerja. Ini dapat menjadi titik masuk dalam membangun jiwa kewirausahaan masyarakat desa untuk menghindari “terlalu cepat putus asa” ketika usaha yang dijalankan menemui tantangan. Kondisi kejiwaaan yang tidak tertekan dan senang ini juga sangat positif dalam memberikan ketahanan berpikir dan menemukan upaya alternatif ketika ada hambatan dalam berusaha.

Nilai lain yang dapat diambil dari porok-porok timbang momot adalah tidak serakah. Berikan insentif pada mereka yang terlibat membantu usaha anda. Ini dibuktikan oleh Parhiah yang memberikan uang tambahan bagi para tukang ojek yang menjadi distributor kuenya, jika mereka mampu menjual kua lebih dari target yang disepakati. Berbagi pengalaman, Parhiah berpesan,“Mari menjalankan usaha dengan senang hati, seperti menikmati hobi. Mari menjalaninya dengan perasaan gembira seperti saat bermain kartu domino. Tak peduli engkau kalah atau menang, yang penting kita menikmatinya. Tidak kurang, tidak lebih”.

The upward trend in the number of migrant workers is an indication of the weakness of the village community’s socio-economic security. There should be an effort to repair the social and economic defenses at the village level. Alternative livelihoods need to be built, so that migration is no longer the only option for villagers to earn a decent livelihood. Community members need to be encouraged to not only invest all their money into buying a motorcycle in order to work as motorcycle taxi driver, but to invest their remittances with the spirit of social entrepreneurship with skills to make bread, grow crops, and invest funds in sustainable, productive business.

Porok-porok Timbang Momot Sumiati, a former migrant worker from the village of

Bagik Payung Selatan, Suralaga sub-district, managed to build a small business from remittances gathered during two years working as a housemaid in Malaysia. In developing the economy of her now well-established family, Sumiati shared the role with her husband, who is still working in oil palm plantations in Malaysia. Every year her husband sends money, which is used to fund the education of their two children. Sumiati’s business turnover per month can reach Rp 20 million.

Similarly Ismail, from the same village, after years spent working in Malaysia, finally returned to his hometown in 2008, and built a kiosk. His business now has a monthly turnover of Rp 12 million. This is more than enough to meet the needs of life in the village.

Then there is Parhiah. We have heard so much about her; she has left a deep impression on many. This elderly mother has been able to turn something ordinary into the extraordinary. Ibu Parhiah sells kerake cakes that leave buyers addicted. Even in the midst of torrential rain, her cakes leave buyers willing to queue to buy the homemade cakes.

The former TKIs, Parhiah, Ismail, and Sumiati all dared to become into small businessmen and women and bring a message of great importance to the socio-economic resilience of the village. But they simply and humbly refer to their efforts as “Porok-porok Timbang Momot”, or work to fill time while unemployed.

Moral values such as Porok-porok Timbang Momot must be absorbed; undertaking an enterprise as if it was a hobby or something fun won’t be like a hardship even though it’s work. This can perhaps be an entr y point in building entrepreneurial communities to avoid the hopelessness that too quickly arises when businesses meet a challenge. Conditions that are uplifting and happy are also very positive in terms of developing resilience, and promoting thinking and finding an alternative route when obstacles emerge.

Another value that can be taken from Porok-porok Timbang Momot is not to be greedy. Give incentives to those involved to help the business along. Parhiah provides additional money to the motorcycle taxi drivers who are distributors of her cakes if they are able to sell more than the agreed target. Sharing her experiences, Parhiah advises, "Run the business with pleasure, like you are enjoying a hobby. Live with the feeling of happiness as if you were playing dominoes. No matter if you win or lose, the important thing is that you enjoy it. No less, no more ".

BURUH MIGRAN MIGRAN WORKER

Page 6: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 20115 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 6

Sikka is a district in Nusa Tenggara Timur province which has experienced rapid development compared to the other districts. Maumere, the capital of Sikka, now has 15 pubs and karaoke places which offer music and the companionship of women, who range from 15 to 18 years of age, each night. Human trafficking is becoming a social issue in this city.

To address the issue of human trafficking, the Flores Volunteer Team for Humanity (TRUK-F) Women’s Division held a seminar on human trafficking with the theme “the dark aspect of migrants, within the framework of struggle and ambitions” on December 8 in Hotel Permatasari Maumere. The event was opened by Blasius Pedor (Assistant I Setda Sikka) and featured 4 speakers: Sr. Eustochia SspS (Coordinator of the Truk-F Women’s Division), Sri Nurherawati, SH (Komnas Perempuan), dr. Yovita Mitak (Head of Women’s Empowerment Bureau Setda Provinsi NTT) and Dr. John Prior, SVD (Theologian). The moderator was Dr. Otto Gusti, SVD, a lecturer from STFK Ledalero, and the event was attended by over 100 people from government agencies, student activists, and Maumere NGOs.

In dr. Yovita Mitak’s presentation it was shown that nationally NTT is a supply region for domestic (Jakarta, Jawa Timur and Jawa Tengah) and international migrant labor. The number of people going overseas as labor is decreasing every year. The Provincial Government of NTT is continuously increasing the capacity of potential overseas migrants so they have the knowledge and skills to be in a stronger bargaining position in the destination countries, said dr. Yovita Mitak.

Related to the issues of human trafficking, Sri Nurherawati reiterated that human trafficking is a violation of human rights. Human trafficking must be examined from the perspectives of gender relations,

abupaten Sikka adalah salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mengalami perkembangan cukup pesat Kdibanding dengan kabupaten lain. Seiring dengan maraknya

pembangunan, di Maumere, ibukota Sikka, mulai berdiri setidaknya15 pub dan rumah karaoke yang setiap malamnya menyuguhkan musik dan menawarkan jasa teman perempuan yang rata-rata berumur mulai dari 15 sampai 18 tahun. Perdagangan manusia (human trafficking) pun kini menjadi salah satu permasalahan sosial di kota tersebut.

Menyikapi permasalahan maraknya perdagangan manusia, Tim Relawan untuk Kemanusian Flores ( TRUK–F) Divisi Perempuan menyelenggarakan seminar sehari tentang perdagangan manusia dengan tema “sisi kelam para migran dan perantau dalam bingkai perlawanan dan cita-cita” pada 8 Desember sialm di Hotel Permatasari Maumere. Kegiatan itu dibuka Blasius Pedor (Asisten I Setda Sikka) dan dihadiri empat narasumber, yakni; Sr. Eustochia SspS (Koordinator Truk-F Divisi Perempuan), Sri Nurherawati, SH (Komnas Perempuan), dr. Yovita Mitak (Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Setda Provinsi NTT) dan Dr. John Prior, SVD (Teolog). Kegiatan ini dimoderatori oleh Dr. Otto Gusti, SVD dosen STFK Ledalero dihadiri kurang lebih seratus peserta dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang memiliki kinerja dengan isu terkait, aktivis mahasiswa, ormas-ormas dan beberapa LSM di kota Maumere.

Dalam paparan dr. Yovita Mitak, disebutkan bahwa secara nasional, NTT termasuk sebagai daerah penyuplai tenaga kerja ke luar negeri (TKI) dan domestik seperti ke Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Jumlah tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pemerintah Provinsi NTT sedang berjuang meningkatkan kapasitas para calon TKI agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dan karenanya memiliki posisi tawar yang lebih baik di negara tujuan kerja, jelas dr. Yovita Mitak.

Terkait berbagai permasalahan tentang perdagangan manusia, ibu Sri Nurherawati kembali menegaskan bahwa perdagangan manusia adalah salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Perdagangan manusia juga perlu dilihat dari relasi gender, kekerasan terhadap perempuan, konflik bersenjata, politisasi identitas, keinginan mayoritas dan kekerasan akibat konflik sumberdaya alam. Sri menegaskan bahwa penanganan

violence against women, armed conflict, identity politics, majority will, and violence caused by natural r e s o u r c e c o n f l i c t . S r i emphasized that victims of human trafficking need integrated services and an integrated justice system with coordination between law enforcers. There is also Law Number 21 2007, which

states that any agreement between the victim and the trafficker can be ignored. This law clearly states the penalties for human traffickers.

John Prior, a former lecturer at STFK Ledalero and universities in Australia and Canada, invited participants to see human trafficking in the context of migration which leads to communities of different religions meeting. Migration must be addressed in sermons by the Catholic Church. An appropriate understanding of migrant workers must be a sermon priority in a capitalist system which traps humans in a struggle between strong and weak. The Church must be able to see and make itself available to strengthen the position of marginal groups. The question and answer session was spirited. In this session, Yosef Benyamin, current KORPRI Secretary, spoke of his amazement at ongoing human trafficking despite the fact this nation has a legal framework in place. Yosef asked to what extent the government cared about human

trafficking. “ Do they think the problems are solved by giving a handphone to the migrant workers?” he asked. Lorens Ritans spoke of human trafficking as a form of exploitation with a higher value than exploitation of natural resources. “Not yet free of natural resource exploitation, now the Indonesian people are being exploited again. This is an indicator of the weakness of the sovereignty of the Republic of Indonesia in the face of other nations,” said the activist

from the Partai Rakyat Demokratik (PRD) in Sikka.Most of the participants asked how this issues could be

overcome in Sikka during the discussions. There must be serious and active participation from many stakeholders, including government and law enforcement.

At the end of the seminar, there were a number of recommendations, including the need for a regional regulation (perda) regarding human trafficking. This perda would be related to Law Number 21, 2007, and be through a decree from the Bupati of Sikka.

There are many organizations now working together with government agencies to manage human trafficking, however their efforts have neither received legal legitimacy nor the budget allocation needed. This is a major issue in improving the performance and coordination between stakeholders to overcome human trafficking in Sikka District.

k o r b a n p e r d a g a n g a n manusia membutuhkan pelayanan terpadu dan sistem peradilan pidana terpadu yang mana terjadi koordinasi antar aparat penegak hukum. Lebih dari i t u , t e l a h d i t e t a p k a n Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Dalam produk hukum ini, kesepakatan antara korban dan pelaku perdagangan dapat diabaikan. Undang-undang ini juga menjamin secara tegas adanya hukuman bagi para pelaku perdagangan orang.

John Prior, mantan dosen STFK Ledalero dan beberapa universitas di Australia dan Kanada, mengajak peserta untuk merenungkan perdagangan manusia dalam konteks migrasi yang menyebabkan terjadinya pertemuan antar umat yang berbeda-beda. Dalam misi kerasulan hendaknya migrasi dilihat sebagai salah satu wacana yang mesti diwartakan Gereja katolik. Pemahaman yang tepat mengenai buruh migran harus menjadi prioritas pewartaan di tengah memburuknya sistem kapitalis yang menjebak manusia dalam pertarungan antara kelompok kuat dan lemah. Gereja harus mampu melihat dan berbenah diri untuk memperkuat posisi kaum marjinal.

Sesi tanya jawab seusai pemaparan materi diikuti dengan semangat oleh para peserta diskusi. Dalam sesi ini, Yosef Benyamin yang saat ini bertugas sebagai Sekretaris KORPRI, menyatakan keheranannya tetap terjadinya perdagangan orang walaupun negara ini telah memiliki perangkat hukum. Yosef mempertanyakan sejauhmana kepedulian pemerintah terhadap penanganan masalah perdagangan orang. “Apakah h a n y a d e n g a n m e m b e r i k a n s e b u a h handphone berbagai permasalahan TKI dapat diatasi?”, tanya Yosef. Lain lagi degnan Lorens Ritan yang melihat perdagangan manusia sebagai bentuk eksploitasi manusia yang lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan eksploitasi sumber daya alam. “Belum lagi selesai dengan eksploitasi sumber daya alam, kini masyarakat Indonesia dieksploitasi lagi. Ini indikator lemahnya kedaulatan Republik Indonesia di depan bangsa lain”, tukas aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sikka ini.

Kebanyakan peserta diskusi lainnya mempertanyakan bagaimana cara agar permasalahan perdagangan orang di Kabupaten Sikka dapat diatasi bersama. Diperlukan keseriusan dan partisipasi aktif dari berbagai pihak secara bersama, termasuk badan pemerintah dan aparatur penegak hukum.

Pada akhir seminar, terdapat beberapa hal yang direkomendasikan. Rekomendasi seminar ini termasuk diperlukannya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang Perdagangan Manusia. Perda ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan penetapan Gugus Tugas oleh Bupati Sikka.

Selama ini telah ada beberapa lembaga yang bekerja sama dengan instansi-instansi pemerintah untuk menangani perdagangan manusia. Walaupun demikian, kerjasa sama yang terjalin masih belum mendapatkan legitimasi hukum dan alokasi anggaran yang memadai. Inilah yang kemudian yang menjadi tantangan dalam meningkatkan kinerja dan koordinasi para pihak untuk menangani permasalahan perdagangan manusia di Kabupaten Sikka.

“Belum lagi selesai dengan eksploitasi sumber daya alam, kini masyarakat Indonesia dieksploitasi lagi. Ini indikator lemahnya kedaulatan Republik Indonesia di depan bangsa lain”,

Penulis adalah Manajer Program Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Mataram dan Sekretaris Lembaga Peduli Maumere, Flores, NTT

Anak (LPA) Kab. Sikka -

Email : [email protected] atau [email protected]

Oleh Herry Naif

Migran dan Perantau

Migrants, Resistance and Ambitions

Dalam Bingkai Perlawanan dan Cita-cita

BURUH MIGRAN MIGRAN WORKER

Page 7: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 20115 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 6

Sikka is a district in Nusa Tenggara Timur province which has experienced rapid development compared to the other districts. Maumere, the capital of Sikka, now has 15 pubs and karaoke places which offer music and the companionship of women, who range from 15 to 18 years of age, each night. Human trafficking is becoming a social issue in this city.

To address the issue of human trafficking, the Flores Volunteer Team for Humanity (TRUK-F) Women’s Division held a seminar on human trafficking with the theme “the dark aspect of migrants, within the framework of struggle and ambitions” on December 8 in Hotel Permatasari Maumere. The event was opened by Blasius Pedor (Assistant I Setda Sikka) and featured 4 speakers: Sr. Eustochia SspS (Coordinator of the Truk-F Women’s Division), Sri Nurherawati, SH (Komnas Perempuan), dr. Yovita Mitak (Head of Women’s Empowerment Bureau Setda Provinsi NTT) and Dr. John Prior, SVD (Theologian). The moderator was Dr. Otto Gusti, SVD, a lecturer from STFK Ledalero, and the event was attended by over 100 people from government agencies, student activists, and Maumere NGOs.

In dr. Yovita Mitak’s presentation it was shown that nationally NTT is a supply region for domestic (Jakarta, Jawa Timur and Jawa Tengah) and international migrant labor. The number of people going overseas as labor is decreasing every year. The Provincial Government of NTT is continuously increasing the capacity of potential overseas migrants so they have the knowledge and skills to be in a stronger bargaining position in the destination countries, said dr. Yovita Mitak.

Related to the issues of human trafficking, Sri Nurherawati reiterated that human trafficking is a violation of human rights. Human trafficking must be examined from the perspectives of gender relations,

abupaten Sikka adalah salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mengalami perkembangan cukup pesat Kdibanding dengan kabupaten lain. Seiring dengan maraknya

pembangunan, di Maumere, ibukota Sikka, mulai berdiri setidaknya15 pub dan rumah karaoke yang setiap malamnya menyuguhkan musik dan menawarkan jasa teman perempuan yang rata-rata berumur mulai dari 15 sampai 18 tahun. Perdagangan manusia (human trafficking) pun kini menjadi salah satu permasalahan sosial di kota tersebut.

Menyikapi permasalahan maraknya perdagangan manusia, Tim Relawan untuk Kemanusian Flores ( TRUK–F) Divisi Perempuan menyelenggarakan seminar sehari tentang perdagangan manusia dengan tema “sisi kelam para migran dan perantau dalam bingkai perlawanan dan cita-cita” pada 8 Desember sialm di Hotel Permatasari Maumere. Kegiatan itu dibuka Blasius Pedor (Asisten I Setda Sikka) dan dihadiri empat narasumber, yakni; Sr. Eustochia SspS (Koordinator Truk-F Divisi Perempuan), Sri Nurherawati, SH (Komnas Perempuan), dr. Yovita Mitak (Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Setda Provinsi NTT) dan Dr. John Prior, SVD (Teolog). Kegiatan ini dimoderatori oleh Dr. Otto Gusti, SVD dosen STFK Ledalero dihadiri kurang lebih seratus peserta dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang memiliki kinerja dengan isu terkait, aktivis mahasiswa, ormas-ormas dan beberapa LSM di kota Maumere.

Dalam paparan dr. Yovita Mitak, disebutkan bahwa secara nasional, NTT termasuk sebagai daerah penyuplai tenaga kerja ke luar negeri (TKI) dan domestik seperti ke Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Jumlah tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pemerintah Provinsi NTT sedang berjuang meningkatkan kapasitas para calon TKI agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dan karenanya memiliki posisi tawar yang lebih baik di negara tujuan kerja, jelas dr. Yovita Mitak.

Terkait berbagai permasalahan tentang perdagangan manusia, ibu Sri Nurherawati kembali menegaskan bahwa perdagangan manusia adalah salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Perdagangan manusia juga perlu dilihat dari relasi gender, kekerasan terhadap perempuan, konflik bersenjata, politisasi identitas, keinginan mayoritas dan kekerasan akibat konflik sumberdaya alam. Sri menegaskan bahwa penanganan

violence against women, armed conflict, identity politics, majority will, and violence caused by natural r e s o u r c e c o n f l i c t . S r i emphasized that victims of human trafficking need integrated services and an integrated justice system with coordination between law enforcers. There is also Law Number 21 2007, which

states that any agreement between the victim and the trafficker can be ignored. This law clearly states the penalties for human traffickers.

John Prior, a former lecturer at STFK Ledalero and universities in Australia and Canada, invited participants to see human trafficking in the context of migration which leads to communities of different religions meeting. Migration must be addressed in sermons by the Catholic Church. An appropriate understanding of migrant workers must be a sermon priority in a capitalist system which traps humans in a struggle between strong and weak. The Church must be able to see and make itself available to strengthen the position of marginal groups. The question and answer session was spirited. In this session, Yosef Benyamin, current KORPRI Secretary, spoke of his amazement at ongoing human trafficking despite the fact this nation has a legal framework in place. Yosef asked to what extent the government cared about human

trafficking. “ Do they think the problems are solved by giving a handphone to the migrant workers?” he asked. Lorens Ritans spoke of human trafficking as a form of exploitation with a higher value than exploitation of natural resources. “Not yet free of natural resource exploitation, now the Indonesian people are being exploited again. This is an indicator of the weakness of the sovereignty of the Republic of Indonesia in the face of other nations,” said the activist

from the Partai Rakyat Demokratik (PRD) in Sikka.Most of the participants asked how this issues could be

overcome in Sikka during the discussions. There must be serious and active participation from many stakeholders, including government and law enforcement.

At the end of the seminar, there were a number of recommendations, including the need for a regional regulation (perda) regarding human trafficking. This perda would be related to Law Number 21, 2007, and be through a decree from the Bupati of Sikka.

There are many organizations now working together with government agencies to manage human trafficking, however their efforts have neither received legal legitimacy nor the budget allocation needed. This is a major issue in improving the performance and coordination between stakeholders to overcome human trafficking in Sikka District.

k o r b a n p e r d a g a n g a n manusia membutuhkan pelayanan terpadu dan sistem peradilan pidana terpadu yang mana terjadi koordinasi antar aparat penegak hukum. Lebih dari i t u , t e l a h d i t e t a p k a n Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Dalam produk hukum ini, kesepakatan antara korban dan pelaku perdagangan dapat diabaikan. Undang-undang ini juga menjamin secara tegas adanya hukuman bagi para pelaku perdagangan orang.

John Prior, mantan dosen STFK Ledalero dan beberapa universitas di Australia dan Kanada, mengajak peserta untuk merenungkan perdagangan manusia dalam konteks migrasi yang menyebabkan terjadinya pertemuan antar umat yang berbeda-beda. Dalam misi kerasulan hendaknya migrasi dilihat sebagai salah satu wacana yang mesti diwartakan Gereja katolik. Pemahaman yang tepat mengenai buruh migran harus menjadi prioritas pewartaan di tengah memburuknya sistem kapitalis yang menjebak manusia dalam pertarungan antara kelompok kuat dan lemah. Gereja harus mampu melihat dan berbenah diri untuk memperkuat posisi kaum marjinal.

Sesi tanya jawab seusai pemaparan materi diikuti dengan semangat oleh para peserta diskusi. Dalam sesi ini, Yosef Benyamin yang saat ini bertugas sebagai Sekretaris KORPRI, menyatakan keheranannya tetap terjadinya perdagangan orang walaupun negara ini telah memiliki perangkat hukum. Yosef mempertanyakan sejauhmana kepedulian pemerintah terhadap penanganan masalah perdagangan orang. “Apakah h a n y a d e n g a n m e m b e r i k a n s e b u a h handphone berbagai permasalahan TKI dapat diatasi?”, tanya Yosef. Lain lagi degnan Lorens Ritan yang melihat perdagangan manusia sebagai bentuk eksploitasi manusia yang lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan eksploitasi sumber daya alam. “Belum lagi selesai dengan eksploitasi sumber daya alam, kini masyarakat Indonesia dieksploitasi lagi. Ini indikator lemahnya kedaulatan Republik Indonesia di depan bangsa lain”, tukas aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sikka ini.

Kebanyakan peserta diskusi lainnya mempertanyakan bagaimana cara agar permasalahan perdagangan orang di Kabupaten Sikka dapat diatasi bersama. Diperlukan keseriusan dan partisipasi aktif dari berbagai pihak secara bersama, termasuk badan pemerintah dan aparatur penegak hukum.

Pada akhir seminar, terdapat beberapa hal yang direkomendasikan. Rekomendasi seminar ini termasuk diperlukannya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang Perdagangan Manusia. Perda ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan penetapan Gugus Tugas oleh Bupati Sikka.

Selama ini telah ada beberapa lembaga yang bekerja sama dengan instansi-instansi pemerintah untuk menangani perdagangan manusia. Walaupun demikian, kerjasa sama yang terjalin masih belum mendapatkan legitimasi hukum dan alokasi anggaran yang memadai. Inilah yang kemudian yang menjadi tantangan dalam meningkatkan kinerja dan koordinasi para pihak untuk menangani permasalahan perdagangan manusia di Kabupaten Sikka.

“Belum lagi selesai dengan eksploitasi sumber daya alam, kini masyarakat Indonesia dieksploitasi lagi. Ini indikator lemahnya kedaulatan Republik Indonesia di depan bangsa lain”,

Penulis adalah Manajer Program Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Mataram dan Sekretaris Lembaga Peduli Maumere, Flores, NTT

Anak (LPA) Kab. Sikka -

Email : [email protected] atau [email protected]

Oleh Herry Naif

Migran dan Perantau

Migrants, Resistance and Ambitions

Dalam Bingkai Perlawanan dan Cita-cita

BURUH MIGRAN MIGRAN WORKER

Page 8: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Dewan Pendidikan

A Potential Force Democratic Governance of Education

to Enhance

PENDIDIKAN EDUCATION

Oleh Tim Babcock, Ph.D.

penanganan pengaduan. Ada pula yang memiliki situs internet, bahkan menampakkan diri di Facebook! Beberapa DP mengambil sikap kritis walaupun ada pula yang tampaknya telah puas dengan peran sebagai “pembantu pemerintah”-bukan “pembantu masyarakat” -dalam pelaksanaan programnya (misalnya dalam membentuk dan membina Komite Sekolah).

Tidak mengherankan kalau DP menghadapi banyak “tantangan”. Di banyak daerah terdapat persepsi, dan seringkali kenyataan, bahwa DP terlalu “dekat” dengan Dinas Pendidikan (tapi anehnya sangat jauh dari “pemain utama” yang kedua di bidang pendidikan, yaitu Kantor Kementerian Agama). Banyak anggota DP adalah pegawai/pejabat aktif atau pensiunan dari Dinas Pendidikan, termasuk guru, dan anggota DP yang berasal dari birokrasi pemerintahan jumlahnya sangat dominan. Sedikit sekali anggota dengan latar belakang LSM atau OMS dalam arti yang sesungguhnya. Tetapi studi kami menunjukkan bahwa banyak pejabat, anggota DPRD maupun masyarakat umum belum tahu sama sekali mengenai eksistensi DP!

Kemungkinan karena sejak awal ada dana khusus dari Kemdiknas, kegiatan utama dari banyak DP adalah pengembangan kapasitas Komite Sekolah - kegiatan yang kalau tidak ada DP tentu saja akan dilakukan oleh Dinas Pendidikan sendiri. Sampai dengan tahun lalu, Kemdiknas mendukung DP dengan “dana stimulans” dari APBN, tetapi mulai tahun 2010 dana ini tidak disediakan lagi dengan harapan agar pemerintah daerah akan menyediakan dana dan DP sendiri akan mencari sumber dana yang lain. Ada DP yang kelihatannya tidak aktif sama sekali. Tanpa sumber dana lokal, kemungkinan banyak DP lagi akan menjadi kurang aktif di masa mendatang.

Selain itu, dengan dikeluarkannya PP 17/2010 yang mengatur agar Bupati atau Walikota yang menentukan/memilih ke 11 anggota DP (dari daftar calon sebanyak 22 orang), perlu dipertanyakan sejauh mana DP dapat menjadi OMS yang benar-benar independen. (Selama ini pemerintah sebenarnya tidak - atau tidak harus - mengangkat melainkan hanya menetapkan anggota DP.)

Proyek BASICS bersikap positif mengenai potensi sumbangan yang dapat diberikan oleh DP - baik dalam meningkatkan hasil pendidikan maupun dalam meningkatkan demokratisasi tatakelola pendidikan untuk dan oleh masyarakat. Dalam merealisasikan sumbangan ini, faktor-faktor kunci adalah pengembangan kapasitas serta peningkatan jumlah anggota (sampai mencapai posisi dominan dalam DP) yang berasal dari masyarakat maupun OMS, untuk memperkuat kemandirian. Di banyak DP, sangat perlu diadakan “regenerasi” keanggotaan, yang sebaiknya dilakukan secara transparan dan demokratis. Sebagaimana halnya dengan OMS yang lain, tidak ada keharusan agar DP serta keanggotaannya dibentuk/didirikan oleh pemerintah; DP cukup didirikan berdasarkan akte notaris saja.

Nah, bagaimana caranya proyek berbantuan donor, pemerintah daerah atau OMS dapat mengupayakan peran DP yang lebih aktif dan efektif? Pendekatannya dapat berupa langkah-langkah sederhana, misalnya memastikan bahwa DP secara rutin diundang untuk menghadiri dan berperan dalam forum-forum yang relevan seperti Musrenbang serta dengar pendapat atau sidang komisi di DPRD, dan memastikan bahwa sekolah di bawah Kantor Kementerian Agama mendapat tingkat perhatian yang sama dengan yang dikelola oleh Dinas Pendidikan. Program pengembangan kapasitas DP yang lebih komprehensif, serupa dengan yang biasa disediakan untuk OSM, juga dapat ditawarkan. Program itu dapat mencakup perencanaan strategis, perencanaan program tahunan, pengembangan pro-tap (SOPs), orientasi mengenai SPM bidang pendidikan, penggalangan dana, analisa dan pengembangan kebijakan, analisa kesetaraan gender, pengembangan media, perencanaan kampanye, dan masih banyak lagi.

Hasil positif dari pendekatan tersebut itu tadi dapat menghasilkan rekomendasi buat model pengembangan kapasitas DP di seluruh Indonesia, dan juga seperangkat “praktek pintar”. Diharapkan bahwa dialog dan kerjasama seterusnya dengan Kemdiknas dan Kementerian Agama, begitu pula dengan pemerintah provpinsi dan kabupaten/kota (eksekutif dan legislatif ), akan berakibat dilembagakannya model pengembangan kapasitas dan “praktek pintar” itu dalam waktu beberapa tahun mendatang.

Studi BASICS hampir tidak menemukan sama sekali informasi mengenai adanya program bantuan donor yang menyediakan bantuan untuk DP, kecuali Proyek LGSP2 berbantuan USAID yang sempat membantu DP Pare-Pare menyiapkan dan mendorong disahkannya

while others produce newsletters or run complaints-handling mechanisms; some have websites, and even Facebook pages! Some have taken a critical stance, while others have been content to simply assist government in the implementation of its programs (e.g. in forming and coaching the new-style School Boards or Komite Sekolah).

Not surprisingly, though, a large number of “challenges” face DPs. In many cases there is a perception and sometimes the reality that the DP is too closely linked to the Dinas Pendidikan (but, strangely, not at all to the other main player in the education field, the Kantor Kementerian Agama/MORA). Many DP members are active or retired Dinas Pendidikan officials, including teachers, and people with a background in the bureaucracy are numerically dominant, with very few “real” NGO/CSO members. Our research showed that many government officials, members of the DPRD, and the majority of local community members have never even heard of the DP!

Likely due to dedicated funding from MONE, a major activity of many DPs has been capacity building for the Komite Sekolah – an activity which would otherwise be carried out by the Dinas itself. Until recently, MONE supported DPs with “stimulus” funds out of the national budget, but as of 2010, this has ceased with the hope that local governments will provide funding and that DPs will access other sources of funds as well. Some DPs appear to be dormant. With no local sources of financial support for activities, many more will likely become inactive as well in future.

With the new Government Regulation No. 17 of 2010 requiring the Bupati or Mayor to make the final selection of 11 DP members (from a short list of 22 names submitted), the question of whether the DP is or can really be an independent CSO needs to be considered.

The BASICS Project takes a positive position on the potential contribution that the DP can make both to achieving improved education results as well as in contributing to greater democratic governance of and by society. In realizing this contribution, key success factors will be capacity building together with greater representation, indeed dominance, of individual community members and CSOs to strengthen the independence of the organization. In many cases, “regeneration” of DP membership is urgently needed, and should be carried out in a transparent, democratic way. Just as with any other CSO, there is no requirement that DPs be established or renewed by government decree; they may, for example, be established by registration with a notary public.

How can donor-assisted projects, local governments or concerned CSOs promote a more active and effective role for the DP? Approaches could take the form of simple steps, e.g. ensuring that the local DP is routinely invited to and given a role in all relevant forums such as annual planning meetings (Musrenbang) and hearings at the DPRD, and ensuring that schools under the auspices of Kementerian Agama receive the same level of attention as those managed by Dinas Pendidikan. More comprehensive capacity building programs, such as those commonly made available to CSOs, could also be implemented. These could include strategic planning and annual work planning, development of standard operational procedures, orientation to education Minimum Service Standards, fund-raising, policy analysis and development, gender equity analysis, media development and campaign planning, and many others.

Positive results of one or another approach to DP capacity development should result in recommendations concerning future capacity development of DPs throughout Indonesia, as well as a set of good practices. Hopefully continuing interaction with officials of MONE and MORA as well as provincial and district governments will result in the institutionalization of these capacity development models and good DP practices within the next few years.

The BASICS study uncovered almost no evidence of donor-assisted programs providing capacity development assistance to DPs, with the exception of the USAID-assisted LGSP2 which helped the DP of Pare-Pare prepare and promote a local government regulation on education, which was later enacted into law. Now is

The Dewan Pendidikan (Education Council), first established in districts and cities across Indonesia in 2002 and later in some provinces as well, was conceived as a means to support democratization and decentralization of education services. All basic documents of the Ministry of National Education (MONE) describing Dewan Pendidikan (DPs) contain much innovative and democratic language: the DP is to be an independent, community-based organization and not an extension of the bureaucracy. It should provide advice to government, bring community aspirations to the attention of government, provide various kinds of support to education in general and monitor and “supervise” the implementation of education programs.

A number of positive factors support a potentially important role for the Dewan Pendidikan. It has formal (i.e. government-recognized) legitimacy, its mandate is appropriate, and there is support and even enthusiasm from many quarters for strengthening it. It can be an important partner in the achievement of Millennium Development Goals (MDGs) and Minimum Service Standards (MSS) in the field of education.

Has the DP fulfilled expectations? The CIDA-assisted BASICS Project, seeking a potential civil society partner organization dedicated to educational improvement, conducted a short study of its current status, activities and potential in four cities and districts in North and Southeast Sulawesi, as well as the provincial-level DPs in the two provinces. This is what we found, from field visits and a review of current literature:

Over the past seven years, a number of DPs throughout the country have made useful and even innovative contributions to the improvement of education quality. One, for example, developed and successfully promoted a policy encouraging the sharing of facilities (e.g. laboratories) among better-equipped state schools and less well endowed schools run by religious organizations. Another DP, in an industrialized area, implemented a sponsorship scheme linking each school to a local factory or other large business. Some produce “talk shows”

ewan Pendidikan dibentuk serentak di tingkat kabupaten/kota di seluruh Indonesia pada tahun 2002 (dan kemudian di beberapa provinsi juga), dengan tujuan untuk mendukung D

demokratisasi dan desentralisasi pelayanan pendidikan. Semua dokumen dasar dari Kemdiknas yang menggambarkan Dewan Pendidikan (DP) menggunakan bahasa yang inovatif dan demokratis: DP akan menjadi sebuah lembaga masyarakat yang mandiri/independen dan bukan perpanjangan tangan birokrasi. DP akan memberi nasehat pada pemerintah, menyampaikan aspirasi masyarakat, menyediakan berbagai jenis bantuan untuk pendidikan secara umum, serta memonitor dan mengawasi pelaksanaan berbagai program pendidikan.

Sejumlah faktor positif mendukung peran DP yang potensinya cukup penting. DP memiliki legitimasi formal, mandatnya pas, dan mendapat dukungan yang bahkan cukup antusias dari berbagai kalangan. DP berpotensi menjadi mitra penting dalam upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) serta Standar Pelayanan Minimal (SPM/MSS) di bidang pendidikan.

Apakah lantas DP telah memenuhi harapan? Dalam rangka mencari mitra potensial di kalangan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang mengkhususkan diri di bidang pendidikan, Proyek BASICS yang didukung oleh CIDA Kanada telah melaksanakan studi singkat mengenai status, kegiatan dan potensi DP di empat kota/kabupaten di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara maupun DP tingkat provinsi di dua daerah tersebut. Dari kunjungan lapangan maupun dari referensi terkini, berikut adalah temuan kami.

Selang tujuh tahun ini, beberapa DP di seluruh Indonesia telah menyumbangkan kontribusi yang berguna, bahkan inovatif, pada upaya peningkatan mutu pendidikan. Sebagai contoh, salah satu DP telah mengembangkan serta mempromosikan sebuah kebijakan baru yang mendorong pemakaian fasilitas (misalnya laboratorium) secara bersama-sama antara sekolah negeri yang lebih baik fasilitasnya dengan sekolah madrasah yang relatif kurang sarana dan prasarananya. Salah satu DP yang lain, berlokasi di daerah industri, telah melaksanakan program kemitraan di mana setiap sekolah “disponsori” oleh satu perusahaan. Ada DP yang menyelenggarakan talkshow, ada yang mencetak lembaran berita pendidikan, atau mengelola mekanisme

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 20117 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 8

Page 9: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Dewan Pendidikan

A Potential Force Democratic Governance of Education

to Enhance

PENDIDIKAN EDUCATION

Oleh Tim Babcock, Ph.D.

penanganan pengaduan. Ada pula yang memiliki situs internet, bahkan menampakkan diri di Facebook! Beberapa DP mengambil sikap kritis walaupun ada pula yang tampaknya telah puas dengan peran sebagai “pembantu pemerintah”-bukan “pembantu masyarakat” -dalam pelaksanaan programnya (misalnya dalam membentuk dan membina Komite Sekolah).

Tidak mengherankan kalau DP menghadapi banyak “tantangan”. Di banyak daerah terdapat persepsi, dan seringkali kenyataan, bahwa DP terlalu “dekat” dengan Dinas Pendidikan (tapi anehnya sangat jauh dari “pemain utama” yang kedua di bidang pendidikan, yaitu Kantor Kementerian Agama). Banyak anggota DP adalah pegawai/pejabat aktif atau pensiunan dari Dinas Pendidikan, termasuk guru, dan anggota DP yang berasal dari birokrasi pemerintahan jumlahnya sangat dominan. Sedikit sekali anggota dengan latar belakang LSM atau OMS dalam arti yang sesungguhnya. Tetapi studi kami menunjukkan bahwa banyak pejabat, anggota DPRD maupun masyarakat umum belum tahu sama sekali mengenai eksistensi DP!

Kemungkinan karena sejak awal ada dana khusus dari Kemdiknas, kegiatan utama dari banyak DP adalah pengembangan kapasitas Komite Sekolah - kegiatan yang kalau tidak ada DP tentu saja akan dilakukan oleh Dinas Pendidikan sendiri. Sampai dengan tahun lalu, Kemdiknas mendukung DP dengan “dana stimulans” dari APBN, tetapi mulai tahun 2010 dana ini tidak disediakan lagi dengan harapan agar pemerintah daerah akan menyediakan dana dan DP sendiri akan mencari sumber dana yang lain. Ada DP yang kelihatannya tidak aktif sama sekali. Tanpa sumber dana lokal, kemungkinan banyak DP lagi akan menjadi kurang aktif di masa mendatang.

Selain itu, dengan dikeluarkannya PP 17/2010 yang mengatur agar Bupati atau Walikota yang menentukan/memilih ke 11 anggota DP (dari daftar calon sebanyak 22 orang), perlu dipertanyakan sejauh mana DP dapat menjadi OMS yang benar-benar independen. (Selama ini pemerintah sebenarnya tidak - atau tidak harus - mengangkat melainkan hanya menetapkan anggota DP.)

Proyek BASICS bersikap positif mengenai potensi sumbangan yang dapat diberikan oleh DP - baik dalam meningkatkan hasil pendidikan maupun dalam meningkatkan demokratisasi tatakelola pendidikan untuk dan oleh masyarakat. Dalam merealisasikan sumbangan ini, faktor-faktor kunci adalah pengembangan kapasitas serta peningkatan jumlah anggota (sampai mencapai posisi dominan dalam DP) yang berasal dari masyarakat maupun OMS, untuk memperkuat kemandirian. Di banyak DP, sangat perlu diadakan “regenerasi” keanggotaan, yang sebaiknya dilakukan secara transparan dan demokratis. Sebagaimana halnya dengan OMS yang lain, tidak ada keharusan agar DP serta keanggotaannya dibentuk/didirikan oleh pemerintah; DP cukup didirikan berdasarkan akte notaris saja.

Nah, bagaimana caranya proyek berbantuan donor, pemerintah daerah atau OMS dapat mengupayakan peran DP yang lebih aktif dan efektif? Pendekatannya dapat berupa langkah-langkah sederhana, misalnya memastikan bahwa DP secara rutin diundang untuk menghadiri dan berperan dalam forum-forum yang relevan seperti Musrenbang serta dengar pendapat atau sidang komisi di DPRD, dan memastikan bahwa sekolah di bawah Kantor Kementerian Agama mendapat tingkat perhatian yang sama dengan yang dikelola oleh Dinas Pendidikan. Program pengembangan kapasitas DP yang lebih komprehensif, serupa dengan yang biasa disediakan untuk OSM, juga dapat ditawarkan. Program itu dapat mencakup perencanaan strategis, perencanaan program tahunan, pengembangan pro-tap (SOPs), orientasi mengenai SPM bidang pendidikan, penggalangan dana, analisa dan pengembangan kebijakan, analisa kesetaraan gender, pengembangan media, perencanaan kampanye, dan masih banyak lagi.

Hasil positif dari pendekatan tersebut itu tadi dapat menghasilkan rekomendasi buat model pengembangan kapasitas DP di seluruh Indonesia, dan juga seperangkat “praktek pintar”. Diharapkan bahwa dialog dan kerjasama seterusnya dengan Kemdiknas dan Kementerian Agama, begitu pula dengan pemerintah provpinsi dan kabupaten/kota (eksekutif dan legislatif ), akan berakibat dilembagakannya model pengembangan kapasitas dan “praktek pintar” itu dalam waktu beberapa tahun mendatang.

Studi BASICS hampir tidak menemukan sama sekali informasi mengenai adanya program bantuan donor yang menyediakan bantuan untuk DP, kecuali Proyek LGSP2 berbantuan USAID yang sempat membantu DP Pare-Pare menyiapkan dan mendorong disahkannya

while others produce newsletters or run complaints-handling mechanisms; some have websites, and even Facebook pages! Some have taken a critical stance, while others have been content to simply assist government in the implementation of its programs (e.g. in forming and coaching the new-style School Boards or Komite Sekolah).

Not surprisingly, though, a large number of “challenges” face DPs. In many cases there is a perception and sometimes the reality that the DP is too closely linked to the Dinas Pendidikan (but, strangely, not at all to the other main player in the education field, the Kantor Kementerian Agama/MORA). Many DP members are active or retired Dinas Pendidikan officials, including teachers, and people with a background in the bureaucracy are numerically dominant, with very few “real” NGO/CSO members. Our research showed that many government officials, members of the DPRD, and the majority of local community members have never even heard of the DP!

Likely due to dedicated funding from MONE, a major activity of many DPs has been capacity building for the Komite Sekolah – an activity which would otherwise be carried out by the Dinas itself. Until recently, MONE supported DPs with “stimulus” funds out of the national budget, but as of 2010, this has ceased with the hope that local governments will provide funding and that DPs will access other sources of funds as well. Some DPs appear to be dormant. With no local sources of financial support for activities, many more will likely become inactive as well in future.

With the new Government Regulation No. 17 of 2010 requiring the Bupati or Mayor to make the final selection of 11 DP members (from a short list of 22 names submitted), the question of whether the DP is or can really be an independent CSO needs to be considered.

The BASICS Project takes a positive position on the potential contribution that the DP can make both to achieving improved education results as well as in contributing to greater democratic governance of and by society. In realizing this contribution, key success factors will be capacity building together with greater representation, indeed dominance, of individual community members and CSOs to strengthen the independence of the organization. In many cases, “regeneration” of DP membership is urgently needed, and should be carried out in a transparent, democratic way. Just as with any other CSO, there is no requirement that DPs be established or renewed by government decree; they may, for example, be established by registration with a notary public.

How can donor-assisted projects, local governments or concerned CSOs promote a more active and effective role for the DP? Approaches could take the form of simple steps, e.g. ensuring that the local DP is routinely invited to and given a role in all relevant forums such as annual planning meetings (Musrenbang) and hearings at the DPRD, and ensuring that schools under the auspices of Kementerian Agama receive the same level of attention as those managed by Dinas Pendidikan. More comprehensive capacity building programs, such as those commonly made available to CSOs, could also be implemented. These could include strategic planning and annual work planning, development of standard operational procedures, orientation to education Minimum Service Standards, fund-raising, policy analysis and development, gender equity analysis, media development and campaign planning, and many others.

Positive results of one or another approach to DP capacity development should result in recommendations concerning future capacity development of DPs throughout Indonesia, as well as a set of good practices. Hopefully continuing interaction with officials of MONE and MORA as well as provincial and district governments will result in the institutionalization of these capacity development models and good DP practices within the next few years.

The BASICS study uncovered almost no evidence of donor-assisted programs providing capacity development assistance to DPs, with the exception of the USAID-assisted LGSP2 which helped the DP of Pare-Pare prepare and promote a local government regulation on education, which was later enacted into law. Now is

The Dewan Pendidikan (Education Council), first established in districts and cities across Indonesia in 2002 and later in some provinces as well, was conceived as a means to support democratization and decentralization of education services. All basic documents of the Ministry of National Education (MONE) describing Dewan Pendidikan (DPs) contain much innovative and democratic language: the DP is to be an independent, community-based organization and not an extension of the bureaucracy. It should provide advice to government, bring community aspirations to the attention of government, provide various kinds of support to education in general and monitor and “supervise” the implementation of education programs.

A number of positive factors support a potentially important role for the Dewan Pendidikan. It has formal (i.e. government-recognized) legitimacy, its mandate is appropriate, and there is support and even enthusiasm from many quarters for strengthening it. It can be an important partner in the achievement of Millennium Development Goals (MDGs) and Minimum Service Standards (MSS) in the field of education.

Has the DP fulfilled expectations? The CIDA-assisted BASICS Project, seeking a potential civil society partner organization dedicated to educational improvement, conducted a short study of its current status, activities and potential in four cities and districts in North and Southeast Sulawesi, as well as the provincial-level DPs in the two provinces. This is what we found, from field visits and a review of current literature:

Over the past seven years, a number of DPs throughout the country have made useful and even innovative contributions to the improvement of education quality. One, for example, developed and successfully promoted a policy encouraging the sharing of facilities (e.g. laboratories) among better-equipped state schools and less well endowed schools run by religious organizations. Another DP, in an industrialized area, implemented a sponsorship scheme linking each school to a local factory or other large business. Some produce “talk shows”

ewan Pendidikan dibentuk serentak di tingkat kabupaten/kota di seluruh Indonesia pada tahun 2002 (dan kemudian di beberapa provinsi juga), dengan tujuan untuk mendukung D

demokratisasi dan desentralisasi pelayanan pendidikan. Semua dokumen dasar dari Kemdiknas yang menggambarkan Dewan Pendidikan (DP) menggunakan bahasa yang inovatif dan demokratis: DP akan menjadi sebuah lembaga masyarakat yang mandiri/independen dan bukan perpanjangan tangan birokrasi. DP akan memberi nasehat pada pemerintah, menyampaikan aspirasi masyarakat, menyediakan berbagai jenis bantuan untuk pendidikan secara umum, serta memonitor dan mengawasi pelaksanaan berbagai program pendidikan.

Sejumlah faktor positif mendukung peran DP yang potensinya cukup penting. DP memiliki legitimasi formal, mandatnya pas, dan mendapat dukungan yang bahkan cukup antusias dari berbagai kalangan. DP berpotensi menjadi mitra penting dalam upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) serta Standar Pelayanan Minimal (SPM/MSS) di bidang pendidikan.

Apakah lantas DP telah memenuhi harapan? Dalam rangka mencari mitra potensial di kalangan organisasi masyarakat sipil (OMS) yang mengkhususkan diri di bidang pendidikan, Proyek BASICS yang didukung oleh CIDA Kanada telah melaksanakan studi singkat mengenai status, kegiatan dan potensi DP di empat kota/kabupaten di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara maupun DP tingkat provinsi di dua daerah tersebut. Dari kunjungan lapangan maupun dari referensi terkini, berikut adalah temuan kami.

Selang tujuh tahun ini, beberapa DP di seluruh Indonesia telah menyumbangkan kontribusi yang berguna, bahkan inovatif, pada upaya peningkatan mutu pendidikan. Sebagai contoh, salah satu DP telah mengembangkan serta mempromosikan sebuah kebijakan baru yang mendorong pemakaian fasilitas (misalnya laboratorium) secara bersama-sama antara sekolah negeri yang lebih baik fasilitasnya dengan sekolah madrasah yang relatif kurang sarana dan prasarananya. Salah satu DP yang lain, berlokasi di daerah industri, telah melaksanakan program kemitraan di mana setiap sekolah “disponsori” oleh satu perusahaan. Ada DP yang menyelenggarakan talkshow, ada yang mencetak lembaran berita pendidikan, atau mengelola mekanisme

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 20117 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 8

Page 10: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Tulisan ini telah disiapkan oleh Tim Babcock, Ph.D., Local Government Capacity Development Technical Advisor di Proyek BASICS. Bagi pembaca yang berminat, laporan lengkap dalam bahasa Indonesia dapat diperoleh dari kantor Proyek BASICS di Makassar melalui [email protected]. Proyek BASICS didukung oleh Canadian International Development Agency (CIDA) kerjasama dengan Kemendagri serta 12 pemerintah daerah di Sulawesi. / This article was prepared by Tim Babcock, Ph.D., Local Government Capacity Development Technical Advisor, BASICS Project. People interested in more details, or in reading the full study report (available only in Indonesian), are invited to contact the BASICS Project office in Makassar at [email protected] The BASICS project is supported by the Canadian International Development Agency (CIDA) and implemented in partnership with MOHA and 12 participating local governments.

rogram Peningkatan Pelayanan Dasar melalui Pengembangan Kapasitas di Sulawesi, dikenal dengan Program BASICS, telah Pmemasuki tahun kedua sejak 2009 pelaksanaan bantuan teknis di

10 Kabupaten/Kota mitra program di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Sulawesi Utara. Program ini didukung oleh Pemerintah Kanada melalui Canadian International Development Agency (CIDA) bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Dalam Negeri.

Program BASICS mempunyai tujuan jangka panjang yaitu untuk membantu Indonesia dalam meningkatkan kualitas pelayanan dasar yang didesentralisasikan, secara merata dan peka jender. BASICS bekerja dengan beberapa SKPD, DPRD dan perwakilan masyarakat sipil untuk memperkuat dan meningkatkan konsistensi antara proses perencanaan dan penganggaran pelayanan kesehatan dan pendidikan yang partisipatif, berpihak pada kaum miskin, kesetaraan gender dan pelestarian lingkungan. Seluruh inisiatif BASICS mengarah pada peningkatan penyediaan layanan dasar berbasis Tujuan Pembangunan Milineum (MDGs) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di 10 kabupaten/kota wilayah kerja BASICS.

Program BASICS diimplementasikan melalui dua komponen utama yang saling mendukung yaitu Pengembangan kapasitas pemerintah eksekutif, lembaga legislatif dan masyarakat sipil, dan Inisiatif Responsif BASICS (IRB) untuk mendorong inovasi dalam penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan.

Penandatanganan Pengaturan Administrasi BASICS dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah dilakukan pada tanggal 22 Juni 2010 di Manado dan 29 Juni, 2010 di Kendari. Proses Penandatanganan dilakukan bersamaan dengan Penandatanganan Pengaturan Tek nis dengan 10 Kabupaten/Kota mitra kerja BASICS.

The Better Approaches to Service Provision through Increased Capacities in Sulawesi program, known as the BASICS program, has entered its second year of providing technical assistance to 10 partner districts/municipalities in the province of Sulawesi Tenggara and Sulawesi Utara. This program is supported by the Government of Canada through the Canadian International Development Agency (CIDA), in cooperation with the Ministry of Home Affairs, Government of Indonesia.

The BASICS Program has a long term goal to aid Indonesia in improving the quality of basic services which have been decentralized, taking into account distribution and gender. BASICS works with SKPD, DPRD, and civil society representatives to strengthen and improve consistency so the process of planning and budgeting for health and education services is participative, pro-poor, pro-gender and pro-environment.

All the BASICS initiatives are aimed at increasing provision of basic services based on the Millennium Development Goals (MDGs) and Minimum Service Standards of the 10 districts/municipalities in the BASICS working area.

The BASICS Program is implemented through 2 main components which support each other: developing the capacity of the executive, legislative institutions and civil society, and the BASICS Responsive Initiative, to support innovation in provision of health and education services.

Program BASICS Menandatangani Pengaturan Kerjasama dengan 12 DaerahThe BASICS Program Signs Agreement with 12 Regions

agi banyak orang yang belum mengetahui keanakaragaman hayati laut di provinsi Papua Barat yang belum berusia 10 tahun ini, hanya ada satu kata yang tepat untuk menggambarkannya: spektakuler! B

Kawasan Bentang Laut Kepala Burung Papua di Provinsi Papua Barat menyimpan harta biologi laut yang sangat kaya. Kawasan ini terbentang di pesisir Barat dan Utara semenanjung Kepala Burung Pulau Papua mulai dari Kaimana di bagian pesisir Selatan, Kepulauan Raja Ampat di jambul burung hingga ke kawasan Teluk Cenderawasih di pesisir Utara pulau Papua.

Wilayah ini kemudian menjadi titik pusat kekayaan biologi laut di dalam kawasan Segi Tiga Terumbu Karang Dunia pada saat ini dan merupakan wilayah yang sangat penting bagi ekosistem pesisir. Hal ini disebabkan karena kawasan ini mendukung fungsi kehidupan bagi lebih dari 120 juta orang yang hidup di kepulauan Nusantara Indonesia, Philipina, Timur Leste, Malaysia, Papua New Guinea dan Salomon Island yang menggantungkan kebutuhan akan protein ikan bagi penduduknya. Begitu pula dengan lebih dari 760.000 jiwa yang berdiam di provinsi Papua Barat yang juga sangat bergantung pada jasa ekosistem bentang laut yang dapat dikatakan masih sehat ini.

Hasil Survey Keaneragaman Biologi Laut di PapuaPenelitian yang ambisius di kawasan bentang laut Kepala Burung Papua di Provinsi Papua Barat dimulai tahun 1998 dan 1999 oleh DR. Gerry Allen, seorang ahli taksonomi asal Australia. Penellitian tersebut dilanjutkan tahun 2001 oleh Conservation International melalui survey Marine RAP di Raja Ampat, tahun 2002 oleh TNC melalui survey Rapid Ecological Assessment of Raja Ampat Islands, dan tahun 2006 melalui survey Teluk Cenderawasih yang dilaksanakan bersamaan dengan survey Pesisir Fakfak -Triton. Pada tahun 2007 diadakan perjalanan pasca survey ke Teluk Triton, Semenanjung Fakfak pada bulan Januari dan April 22007, Maret 2009, and Oktober 2010. Beberapa survey lanjutan terus dilakukan sejak 2007 hingga Oktober 2010 di teluk Wandamen, Raja Ampat, dan Teluk Arguni di Kaimana.

Seluruh survey tersebut mempertegas keyakinan bahwa Bentang Laut Kepala Burung Papua merupakan satu kawasan unik yang sangat kaya dengan keanekaragaman biologi laut. Antara tahun 1998 dan 2005 saja telah tercatat sebanyak 1.100 jenis baru ikan karang. Survei yang diadakan tahun 2009 menambah jumlah jenis baru ikan karang menjadi 1.500 jenis dan menjelang akhir tahun 2010 menjadi 1.606 jenis.

Jika kita bandingkan dengan Great Barrier Reef di Australia yang menempatkan catatan 1.500 jenis ikan karang dan 400 jenis karang. Peristiwa itu menempatkan Bentang Laut Kepala Burung Papua sebagai yang tertinggi dalam jumlah jenis ikan karang dunia dengan 1.606 jenis ikan karang dan 600 species karang. Raja Ampat menempati urutan pertama dengan catatan 1.396 species ikan karang, Kawasan Fakfak dan Kaimana mencatat angka 1.003 jenis ikan karang dan Teluk Cenderawasih 979 jenis ikan karang hingga akhir tahun 2010.

Keaneragaman-Hayati Laut di Propinsi Papua Barat The Spectacular Marine Biodiversity of Papua Barat

Spektakuler

There is only one word to describe the marine biodiversity in the not-yet-10 year old province of West Papua: spectacular! The Bird's Head region’s seascape in the province of West Papua is a treasure trove of very rich marine biology. This area is located on the north west coast of the Bird's Head Peninsula and includes Kaimana on the south coast, the Raja Ampat Islands and the Cenderawasih Bay region on the north coast of Papua.

This area has become the center of marine biological resources for the Coral Triangle region and is very important for coastal ecosystems worldwide. This is because this region supports livelihoods for more than 120 million people living in the archipelagos of Indonesia, the Philippines, East Timor, Malaysia, Papua New Guinea and the Solomon Islands, who also depend on fish protein. Similarly, more than 760,000 people who reside in the province of West Papua are also highly dependent on this still-healthy marine ecosystem.

Marine Biodiversity Survey in Papua An ambitious survey in the Bird's Head area of West Papua

province was held from 1998 to 1999 by Dr Gerry Allen, a taxonomist from Australia. This research was followed in 2001 by Conservation International’s Marine RAP survey in Raja Ampat and then in 2002 by TNC through its Rapid Ecological Assessment of the Raja Ampat Islands, and then the Cendrawasih survey in 2006 conducted in conjunction with the Fakfak-Triton Coastal Survey. In 2007 there was a post-survey trip to Triton Bay, then one to the Fakfak Peninsula in January and April 2007, March 2009, and October 2010. Several surveys were also conducted from 2007- October 2010 in the bays of Wandamen, Raja Ampat, and Arguni in Kaimana.

All of the surveys reinforce beliefs that the Papuan Bird's Head seascape is a unique region teeming with marine biological diversity. Between 1998 and 2005 alone 1,100 new species of reef fish were recorded. Surveys conducted in 2009 brought the number of new species to 1,500 species of reef fish and towards the end of 2010 this reached 1606 species.

The Papuan Bird's Head marine environment has the highest number of species of reef fish in the world with 1606 species of reef fish and 600 species of corals. In comparison, the Great Barrier Reef in Australia has around 1500 species of reef fish and 400 species of coral. Raja Ampat ranks first with a record 1396 species of reef fish, Fakfak and Kaimana have 1003 species of reef fish, and Cendrawasih has 979 species of reef fish (as of the end of 2010).

SpektakulerSpektakuler

Penulis adalah Raja Ampat Senior Corridor Manager Conservation International Papua Barat. /The writer is the Raja Ampat Senior Corridor Manager Conservation International Papua Barat , Email : [email protected]

LINGKUNGAN HIDUP ENVIRONMENT

Oleh Alberth Nebore

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 20119 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 10

Perda pendidikan. Saat ini adalah saat yang sangat tepat buat kita semua yang berkecimpung di bidang pengembangan pendidikan dan desentralisasi pelayanan sosial untuk mengidentifikasi serta secara proaktif mencari peluang-besar maupun kecil-untuk mendorong terciptanya peran yang lebih kuat buat Dewan Pendidikan di wilayah kerja kita semua.

a critical moment for all of us working in the area of education development and support for decentralized social services to identify and actively pursue opportunities, big or small, to support a stronger role for Dewan Pendidikan in areas where we are working.

Program BASICS Menandatangani Pengaturan Kerjasama dengan 12 DaerahThe BASICS Program Signs Agreement with 12 Regions

Page 11: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Tulisan ini telah disiapkan oleh Tim Babcock, Ph.D., Local Government Capacity Development Technical Advisor di Proyek BASICS. Bagi pembaca yang berminat, laporan lengkap dalam bahasa Indonesia dapat diperoleh dari kantor Proyek BASICS di Makassar melalui [email protected]. Proyek BASICS didukung oleh Canadian International Development Agency (CIDA) kerjasama dengan Kemendagri serta 12 pemerintah daerah di Sulawesi. / This article was prepared by Tim Babcock, Ph.D., Local Government Capacity Development Technical Advisor, BASICS Project. People interested in more details, or in reading the full study report (available only in Indonesian), are invited to contact the BASICS Project office in Makassar at [email protected] The BASICS project is supported by the Canadian International Development Agency (CIDA) and implemented in partnership with MOHA and 12 participating local governments.

rogram Peningkatan Pelayanan Dasar melalui Pengembangan Kapasitas di Sulawesi, dikenal dengan Program BASICS, telah Pmemasuki tahun kedua sejak 2009 pelaksanaan bantuan teknis di

10 Kabupaten/Kota mitra program di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Sulawesi Utara. Program ini didukung oleh Pemerintah Kanada melalui Canadian International Development Agency (CIDA) bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Dalam Negeri.

Program BASICS mempunyai tujuan jangka panjang yaitu untuk membantu Indonesia dalam meningkatkan kualitas pelayanan dasar yang didesentralisasikan, secara merata dan peka jender. BASICS bekerja dengan beberapa SKPD, DPRD dan perwakilan masyarakat sipil untuk memperkuat dan meningkatkan konsistensi antara proses perencanaan dan penganggaran pelayanan kesehatan dan pendidikan yang partisipatif, berpihak pada kaum miskin, kesetaraan gender dan pelestarian lingkungan. Seluruh inisiatif BASICS mengarah pada peningkatan penyediaan layanan dasar berbasis Tujuan Pembangunan Milineum (MDGs) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di 10 kabupaten/kota wilayah kerja BASICS.

Program BASICS diimplementasikan melalui dua komponen utama yang saling mendukung yaitu Pengembangan kapasitas pemerintah eksekutif, lembaga legislatif dan masyarakat sipil, dan Inisiatif Responsif BASICS (IRB) untuk mendorong inovasi dalam penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan.

Penandatanganan Pengaturan Administrasi BASICS dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah dilakukan pada tanggal 22 Juni 2010 di Manado dan 29 Juni, 2010 di Kendari. Proses Penandatanganan dilakukan bersamaan dengan Penandatanganan Pengaturan Tek nis dengan 10 Kabupaten/Kota mitra kerja BASICS.

The Better Approaches to Service Provision through Increased Capacities in Sulawesi program, known as the BASICS program, has entered its second year of providing technical assistance to 10 partner districts/municipalities in the province of Sulawesi Tenggara and Sulawesi Utara. This program is supported by the Government of Canada through the Canadian International Development Agency (CIDA), in cooperation with the Ministry of Home Affairs, Government of Indonesia.

The BASICS Program has a long term goal to aid Indonesia in improving the quality of basic services which have been decentralized, taking into account distribution and gender. BASICS works with SKPD, DPRD, and civil society representatives to strengthen and improve consistency so the process of planning and budgeting for health and education services is participative, pro-poor, pro-gender and pro-environment.

All the BASICS initiatives are aimed at increasing provision of basic services based on the Millennium Development Goals (MDGs) and Minimum Service Standards of the 10 districts/municipalities in the BASICS working area.

The BASICS Program is implemented through 2 main components which support each other: developing the capacity of the executive, legislative institutions and civil society, and the BASICS Responsive Initiative, to support innovation in provision of health and education services.

Program BASICS Menandatangani Pengaturan Kerjasama dengan 12 DaerahThe BASICS Program Signs Agreement with 12 Regions

agi banyak orang yang belum mengetahui keanakaragaman hayati laut di provinsi Papua Barat yang belum berusia 10 tahun ini, hanya ada satu kata yang tepat untuk menggambarkannya: spektakuler! B

Kawasan Bentang Laut Kepala Burung Papua di Provinsi Papua Barat menyimpan harta biologi laut yang sangat kaya. Kawasan ini terbentang di pesisir Barat dan Utara semenanjung Kepala Burung Pulau Papua mulai dari Kaimana di bagian pesisir Selatan, Kepulauan Raja Ampat di jambul burung hingga ke kawasan Teluk Cenderawasih di pesisir Utara pulau Papua.

Wilayah ini kemudian menjadi titik pusat kekayaan biologi laut di dalam kawasan Segi Tiga Terumbu Karang Dunia pada saat ini dan merupakan wilayah yang sangat penting bagi ekosistem pesisir. Hal ini disebabkan karena kawasan ini mendukung fungsi kehidupan bagi lebih dari 120 juta orang yang hidup di kepulauan Nusantara Indonesia, Philipina, Timur Leste, Malaysia, Papua New Guinea dan Salomon Island yang menggantungkan kebutuhan akan protein ikan bagi penduduknya. Begitu pula dengan lebih dari 760.000 jiwa yang berdiam di provinsi Papua Barat yang juga sangat bergantung pada jasa ekosistem bentang laut yang dapat dikatakan masih sehat ini.

Hasil Survey Keaneragaman Biologi Laut di PapuaPenelitian yang ambisius di kawasan bentang laut Kepala Burung Papua di Provinsi Papua Barat dimulai tahun 1998 dan 1999 oleh DR. Gerry Allen, seorang ahli taksonomi asal Australia. Penellitian tersebut dilanjutkan tahun 2001 oleh Conservation International melalui survey Marine RAP di Raja Ampat, tahun 2002 oleh TNC melalui survey Rapid Ecological Assessment of Raja Ampat Islands, dan tahun 2006 melalui survey Teluk Cenderawasih yang dilaksanakan bersamaan dengan survey Pesisir Fakfak -Triton. Pada tahun 2007 diadakan perjalanan pasca survey ke Teluk Triton, Semenanjung Fakfak pada bulan Januari dan April 22007, Maret 2009, and Oktober 2010. Beberapa survey lanjutan terus dilakukan sejak 2007 hingga Oktober 2010 di teluk Wandamen, Raja Ampat, dan Teluk Arguni di Kaimana.

Seluruh survey tersebut mempertegas keyakinan bahwa Bentang Laut Kepala Burung Papua merupakan satu kawasan unik yang sangat kaya dengan keanekaragaman biologi laut. Antara tahun 1998 dan 2005 saja telah tercatat sebanyak 1.100 jenis baru ikan karang. Survei yang diadakan tahun 2009 menambah jumlah jenis baru ikan karang menjadi 1.500 jenis dan menjelang akhir tahun 2010 menjadi 1.606 jenis.

Jika kita bandingkan dengan Great Barrier Reef di Australia yang menempatkan catatan 1.500 jenis ikan karang dan 400 jenis karang. Peristiwa itu menempatkan Bentang Laut Kepala Burung Papua sebagai yang tertinggi dalam jumlah jenis ikan karang dunia dengan 1.606 jenis ikan karang dan 600 species karang. Raja Ampat menempati urutan pertama dengan catatan 1.396 species ikan karang, Kawasan Fakfak dan Kaimana mencatat angka 1.003 jenis ikan karang dan Teluk Cenderawasih 979 jenis ikan karang hingga akhir tahun 2010.

Keaneragaman-Hayati Laut di Propinsi Papua Barat The Spectacular Marine Biodiversity of Papua Barat

Spektakuler

There is only one word to describe the marine biodiversity in the not-yet-10 year old province of West Papua: spectacular! The Bird's Head region’s seascape in the province of West Papua is a treasure trove of very rich marine biology. This area is located on the north west coast of the Bird's Head Peninsula and includes Kaimana on the south coast, the Raja Ampat Islands and the Cenderawasih Bay region on the north coast of Papua.

This area has become the center of marine biological resources for the Coral Triangle region and is very important for coastal ecosystems worldwide. This is because this region supports livelihoods for more than 120 million people living in the archipelagos of Indonesia, the Philippines, East Timor, Malaysia, Papua New Guinea and the Solomon Islands, who also depend on fish protein. Similarly, more than 760,000 people who reside in the province of West Papua are also highly dependent on this still-healthy marine ecosystem.

Marine Biodiversity Survey in Papua An ambitious survey in the Bird's Head area of West Papua

province was held from 1998 to 1999 by Dr Gerry Allen, a taxonomist from Australia. This research was followed in 2001 by Conservation International’s Marine RAP survey in Raja Ampat and then in 2002 by TNC through its Rapid Ecological Assessment of the Raja Ampat Islands, and then the Cendrawasih survey in 2006 conducted in conjunction with the Fakfak-Triton Coastal Survey. In 2007 there was a post-survey trip to Triton Bay, then one to the Fakfak Peninsula in January and April 2007, March 2009, and October 2010. Several surveys were also conducted from 2007- October 2010 in the bays of Wandamen, Raja Ampat, and Arguni in Kaimana.

All of the surveys reinforce beliefs that the Papuan Bird's Head seascape is a unique region teeming with marine biological diversity. Between 1998 and 2005 alone 1,100 new species of reef fish were recorded. Surveys conducted in 2009 brought the number of new species to 1,500 species of reef fish and towards the end of 2010 this reached 1606 species.

The Papuan Bird's Head marine environment has the highest number of species of reef fish in the world with 1606 species of reef fish and 600 species of corals. In comparison, the Great Barrier Reef in Australia has around 1500 species of reef fish and 400 species of coral. Raja Ampat ranks first with a record 1396 species of reef fish, Fakfak and Kaimana have 1003 species of reef fish, and Cendrawasih has 979 species of reef fish (as of the end of 2010).

SpektakulerSpektakuler

Penulis adalah Raja Ampat Senior Corridor Manager Conservation International Papua Barat. /The writer is the Raja Ampat Senior Corridor Manager Conservation International Papua Barat , Email : [email protected]

LINGKUNGAN HIDUP ENVIRONMENT

Oleh Alberth Nebore

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 20119 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 10

Perda pendidikan. Saat ini adalah saat yang sangat tepat buat kita semua yang berkecimpung di bidang pengembangan pendidikan dan desentralisasi pelayanan sosial untuk mengidentifikasi serta secara proaktif mencari peluang-besar maupun kecil-untuk mendorong terciptanya peran yang lebih kuat buat Dewan Pendidikan di wilayah kerja kita semua.

a critical moment for all of us working in the area of education development and support for decentralized social services to identify and actively pursue opportunities, big or small, to support a stronger role for Dewan Pendidikan in areas where we are working.

Program BASICS Menandatangani Pengaturan Kerjasama dengan 12 DaerahThe BASICS Program Signs Agreement with 12 Regions

Page 12: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

“Be the change you want to see in the world!” (Mahatma Gandhi)

How do you convince others that development is one of the keys to freedom, the key to unknot the whole tangle of socio-cultural and economic problems? How do you raise silenced voices to contribute to livelihood creation? And most crucially, how do you communicate the UN Millennium Development Goals (MDGs) with villagers who dwell up in the highlands and/or in remote villages?The aforementioned questions are the issues that UNDP-UNV attempt to address in Tanah Papua.

Accelerating the Development of PapuaTanah Papua presents one of Indonesia’s greatest challenges

to reducing poverty and achieving the UN Millennium Development Goals. It is the most geographically and culturally diverse of regions, with more than 250 indigenous ethnic groups making up around 66% of the population and inhabiting mostly rural and remote areas. Although, it is blessed with abundant natural resources, the community still lags behind other communities in other provinces in Indonesia on key non-income indicators of poverty related to the Millennium Development Goals (MDGs).

According to the 2008 Report on Indonesia’s Achievements of MDGs, published by UNDP and BAPPENAS, Papuans’ rates of access to health services and participation in formal education are amongst the lowest in Indonesia. The gender empowerment measurement is similarly low. There is a wide gap between urban, rural and remote areas in terms of access to basic services and sustainable livelihoods, and major disparities between the majority, indigenous population who have poorer access and welfare than the migrant populations. Empowering indigenous youth and women

Thus, in line with the organizational, academic programs and community-outreach objectives of UNCEN (University of Cendrawasih in Jayapura) and UNIPA (State University of Papua in Manokwari), and with the objective to hasten the development in Tanah Papua, to further achieve the MDGs which is the mandate of PcDP (People-centred Development Programme) in its activities in Tanah Papua, and in the United Nations Volunteers’ (UNV) distinctive contributions to access, service delivery and community mobilization through voluntary action, in May 2009 UNDP-UNV came into agreement with UNCEN and UNIPA under the University Volunteer Scheme for Youth Empowerment and Development of Papua.

The University Volunteer Scheme for Youth Empowerment and Development of Papua aims to promote young volunteers

from local universities, UNCEN and UNIPA, by involving them in the economic and social development of Papua and West Papua and also to provide them with the opportunity to connect with their regions. Through the University Volunteer Scheme UNCEN and UNIPA graduates are expected to transfer their skills, capacities and knowledge to the indigenous youth and communities in selected villages of Papua and West Papua.

This two-year project is implemented under the umbrella of the UNDP People-centred Development Programme (PcDP) and features cooperation with local government, community-based organizations, UNICEF, ILO, other UN agencies, UNCEN and UNIPA.

Minyambow, one of two target districts in Manokwari Regency

Empowering Fresh Local GraduatesThe basic rationale for involving young volunteers

(community development volunteers- CDVs) from local universities rests on the added value of their contributions to development and humanitarian programs. They have skills appropriate to local needs and knowledge of socio-cultural conditions prevailing in the villages.

Furthermore, their presence at the community level stimulates the community’s sense of ownership and facilitates the process of self-reliance. The use of local volunteers also enhances possibilities for local capacity-building and human resource development by strengthening the pool of expertise and knowledge which remains in the regions.

Challenges EncounteredHowever, in order to appropriately execute the project, we

have to mitigate the challenges that may arise during the process e.g., a wide gap between the welfare of local Papuan people, and other residents in Papua; gaps between government policy, regulations, plans, budgets and programs, on one hand, and local realities and needs in health, education, infrastructure and livelihoods on the other; and gaps between the local graduates’ capacity to work successfully facilitating indigenous people on the one hand, and the stakeholders’ capacity to support and empower local people on the other hand.

These foreseen challenges may be overcome if we ensure that the CDVs can integrate successfully with the communities and transfer their knowledge to the indigenous youths by intensifying advocacy efforts through accessible media to improve awareness and promote action among the youth; develop the capacity of fresh university graduates to better integrate and transfer their knowledge to the indigenous youth and communities by producing inspiring, rewarding and enriching programs; empower all available resources to provide necessary support and assistance to the CDVs in their interaction with the locals by conveying the reality of downstream community/local issues to stakeholders and policy makers upstream; and lastly, continuously encourage them by emphasizing that their commitment and contribution are vital to peace and development, that their commitment is what turns vision into action.

Project Implementation5 CDVs were recruited and undertook a series of training that

provided them with the understanding of MDGs and skills for youth/community mobilization and service delivery to support grassroots initiatives.

In partnership with community-based organizations, women’s groups and indigenous youth, these fresh graduate volunteers/community development volunteers (CDVs) have together identified potential community areas that the CDVs are able to work in (e.g., animal husbandry, agricultural products, education, technology, health or other basic services) by empowering communities and simultaneously learning about indigenous culture. They also developed initiatives for livelihood creation and achievement of MDGs, making use of indigenous knowledge, their ideas, capacities and skills. One of the identified

agaimana Anda meyakinkan orang lain bahwa pembangunan adalah salah satu kunci kebebasan, kunci untuk keluar dari masalah ekonomi dan sosial budaya? Bagaimana Anda menyebarluaskan B

suara yang terbungkam agar berkontribusi dalam penciptaan matapencaharian? Dan yang paling penting, bagaimana Anda mengkomunikasikan Target Pembangunan Millenium (MDGs) kepada masyarakat desa yang hidup di pegunungan dan di daerah terpencil?

Beberapa pertanyaan di atas adalah isu-isu UNDP-UNV yang ingin dijawab di Tanah Papua.

Mempercepat Pembangunan PapuaTanah Papua menghadapi persoalan-persoalan terbesar yang

dihadapi Indonesia dalam hal pengentasan kemiskinan dan mencapai target-target MDGs. Papua memiliki keragaman geografis dan budaya yang paling tinggi dengan 250 kelompok etnis dalam 66% populasi yang hidup di pedesaan dan daerah terpencil. Walaupun berlimpah kekayaan alam, masyarakatnya masih hidup dalam ketertinggalan dibandingkan daerah lain di Indonesia dan tergolong miskin dalam hal inidkator tidak berpenghasilan sehubungan dengan MDGs.

Menurut Laporan Capaian MDGs Indonesia tahun 2008 yang diterbitkan UNDP dan BAPPENAS, akses masyarakat Papua terhadap layanan kesehatan dan partisipasi dalam pendidikan adalah yang terendah di Indonesia. Penghitungan penguatan gender terbilang rendah. Terdapat kesenjangan yang besar antara darah terpencil, pedesaan, dan perkotaan dalam hal akses terhadap layanan dasar dan penghidupan yang berkelanjutan, juga ada kesenjangan antara penduduk lokal yang memiliki akses yang lebih rendah dan miskin dibandingkan dengan masyarakat pendatang. Memperkuat pemuda lokal dan kaum perempuan

Oleh karenanya, sejalan dengan tujuan organisasi, program-program akademik, dan penyuluhan masyarakat, Unviersitas Cendrawasih (UNCEN) dan Universitas Papua (UNIPA), dan dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan di Tanah Papua agar dapat mencapai target-target MDGs yang dimandatkan dalam People-centered Development Program (PcDP) dalam berbagai aktivitasnya di Tanah Papua, dan dalam kontribusi unik dari Sukarelawan PBB (United Nations Volunteer - UNV) untuk akses, pemberian layanan dan mobilisasi komunitas melalui aksi sukarela, pada May 2009, UNDP-UNV bersama UNCEN dan UNIPA menyepakati program Rancangan Sukarelawan Universitas bagi Penguatan Pemuda dan Pembangunan Papua.

Rancangan Sukarelawan Universitas bagi Penguatan Pemuda dan Pembangunan Papua bertujuan untuk mendorong sukarelawan muda dari universitas lokal, UNCEN dan UNIPA, dengan melibatkan mereka dalam pembangunan sosial dan ekonomi Papua dan Papua Barat dan juga untuk membekali mereka dengan peluang untuk berhubungan dengan

daerah mereka. Melalui skema ini, mahasiswa lulusan UNCEN dan UNIPA diharapkan dapat mentransfer keterampilan mereka, kapasitas dan pengetahuan kepada pemuda lokal dan komunitas pada desa-desa terpilih di Papua dan Papua Barat.

Proyek dua tahun ini diimplementasikan di bawah paying UNDP People-centered Development Programme (PcDP) dan mengangkat kerjasama dengan pemerintah local, organisasi berbasis masyarakat, UNICEF, ILO, badan-badan PBB lainnya, UNCEN dan UNIPA.

Minyambow, satu dari distrik target di Kabupaten Manokwari

Menguatkan Sarjana LokalAlasan mendasar dari melibatkan sukarelawan muda (sukarelawan

pengembangan masyarakat – CDVs) dari universitas-universitas lokal menjadi nilai tambah bagi kontribusi mereka pada program-program kemanusiaan dan pembangunan. Mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan pada tingkat lokal dan pengetahuan mengenai kondisi sosial-budaya daerah pedesaan.

Lebih jauh lagi, kehadiran mereka pada tingkat komunitas merangsang rasa kepemilikan dan dapat memfasiltiasi proses-proses swadaya. Pemanfaatan sukarelawan lokal juga menambah lebih banyak peluang untuk meningkatkan kapasitas lokal dan pengembangan sumber daya dengan memperkaya keahlian dan pengetahuan yang ada di daerah.

Tantangan yang DihadapiBagaimanapun juga, untuk menjalankan proyek ini dengan baik,

kami memnghadapi beberapa tantangan seperti adanya kesenjangan yang besar antara masyarakat asli Papua dan masyarakat pendatang di Papua; kesenjangan antara kebijakan pemerintah, peraturan, perencanaan, penganggaran, dan berbagai program, di satu sisi, dan fakta setempat dan kebutuhan atas layanan kesehatan, pendidikan infrastruktur dan penghidupan di sisi yang lain; dan berbagai kesenjangan antara kapasitas sarjana lokal untuk dapat berhasil memfasilitasi masyaraka lokal di satu sisi, dan kapasitas pemangku kepentingan untuk mendukung dan memperkuat penduduk lokal di sisi lain.

Tantangan-tantangan ini dapat diatasi jika kami memastikan bahwa para sukarelawan dapat berhasil berbaur dengan masyarakat dan mentransfer pengetahuan yang dimilikinya ke pemuda lokal dengan meningkatkan upaya-upaya advokasi melalui berbagai media yang dapat diakses untuk meningkatkan kesadaran dan aksi di antara para pemuda; mengembangkan kapasitas para sarjana yang baru lulus untuk menintegrasikan dan mentransfer pengetahuannya ke masyarakt dan pemuda lokal dengan menghasilkan program-program yang inspiratif, penuh pengayaan, dan memberi pengakuan; mengkuatkan seluruh sumberdaya yang ada untuk menyediakan dukungan yang diperlukan dan bantuan bagi para sukarelawan dalam interaksi mereka dengan masyarakat setempat dengan meneruskan isu-isu masyarakat setempat kepada para pemangku kepentingand an pengambil kebijakan; dan yang terakhir secara terus menerus mendorong masyarakat bahwa komitmen dan kontribusi mereka adalah hal penting untuk perdamaian dan pembangunan, bahwa komitmen mereka lah yang mengubah visi menjadi tindakan.Implementasi Proyek

Sebanyak lima sukarelawan direkrut dan mengikuti pelatihan yang membekali mereka pengetahuan tentang MDGs dan keterampilan untuk mobilisasi pemuda dan masyarakat dan pemberian layanan untuk mendorong inisiatif-inisiatif akar rumput. Dalam kemitraan dengan berbagai organisasi berbasis masyarakat, kelompok-kelompok perempuan dan pemuda, para sarjana muda dan para sukarelawan telah bersama-sama mengidentifikasi potensi masyarakat dan bahwa para sukarelawan dapat bekerja dalam (misalnya peternakan, produksi pertanian, pendidikan, teknologi, kesehatan, dan layanan dasar lainnya) dengan menguatkan masyarakat dan secara simultan belajar mengenai budaya lokal. Mereka juga mengembangkan berbagai inisiatif untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan mencapai MDGs, memanfaatkan pengetahuan lokal, termasuk ide-ide, kapasitas, dan keterampilan setempat. Satu dari berbagai potensi yang diidentifikasi tengah disusun ke dalam sebuah

The University Volunteer Scheme for Youth Empowermentand Development of Papua

Rancangan Sukarelawan Universitas bagi Penguatan Pemuda dan Pembangunan Papua

Oleh Andini Mulyawati

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201111 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 12

Page 13: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

“Be the change you want to see in the world!” (Mahatma Gandhi)

How do you convince others that development is one of the keys to freedom, the key to unknot the whole tangle of socio-cultural and economic problems? How do you raise silenced voices to contribute to livelihood creation? And most crucially, how do you communicate the UN Millennium Development Goals (MDGs) with villagers who dwell up in the highlands and/or in remote villages?The aforementioned questions are the issues that UNDP-UNV attempt to address in Tanah Papua.

Accelerating the Development of PapuaTanah Papua presents one of Indonesia’s greatest challenges

to reducing poverty and achieving the UN Millennium Development Goals. It is the most geographically and culturally diverse of regions, with more than 250 indigenous ethnic groups making up around 66% of the population and inhabiting mostly rural and remote areas. Although, it is blessed with abundant natural resources, the community still lags behind other communities in other provinces in Indonesia on key non-income indicators of poverty related to the Millennium Development Goals (MDGs).

According to the 2008 Report on Indonesia’s Achievements of MDGs, published by UNDP and BAPPENAS, Papuans’ rates of access to health services and participation in formal education are amongst the lowest in Indonesia. The gender empowerment measurement is similarly low. There is a wide gap between urban, rural and remote areas in terms of access to basic services and sustainable livelihoods, and major disparities between the majority, indigenous population who have poorer access and welfare than the migrant populations. Empowering indigenous youth and women

Thus, in line with the organizational, academic programs and community-outreach objectives of UNCEN (University of Cendrawasih in Jayapura) and UNIPA (State University of Papua in Manokwari), and with the objective to hasten the development in Tanah Papua, to further achieve the MDGs which is the mandate of PcDP (People-centred Development Programme) in its activities in Tanah Papua, and in the United Nations Volunteers’ (UNV) distinctive contributions to access, service delivery and community mobilization through voluntary action, in May 2009 UNDP-UNV came into agreement with UNCEN and UNIPA under the University Volunteer Scheme for Youth Empowerment and Development of Papua.

The University Volunteer Scheme for Youth Empowerment and Development of Papua aims to promote young volunteers

from local universities, UNCEN and UNIPA, by involving them in the economic and social development of Papua and West Papua and also to provide them with the opportunity to connect with their regions. Through the University Volunteer Scheme UNCEN and UNIPA graduates are expected to transfer their skills, capacities and knowledge to the indigenous youth and communities in selected villages of Papua and West Papua.

This two-year project is implemented under the umbrella of the UNDP People-centred Development Programme (PcDP) and features cooperation with local government, community-based organizations, UNICEF, ILO, other UN agencies, UNCEN and UNIPA.

Minyambow, one of two target districts in Manokwari Regency

Empowering Fresh Local GraduatesThe basic rationale for involving young volunteers

(community development volunteers- CDVs) from local universities rests on the added value of their contributions to development and humanitarian programs. They have skills appropriate to local needs and knowledge of socio-cultural conditions prevailing in the villages.

Furthermore, their presence at the community level stimulates the community’s sense of ownership and facilitates the process of self-reliance. The use of local volunteers also enhances possibilities for local capacity-building and human resource development by strengthening the pool of expertise and knowledge which remains in the regions.

Challenges EncounteredHowever, in order to appropriately execute the project, we

have to mitigate the challenges that may arise during the process e.g., a wide gap between the welfare of local Papuan people, and other residents in Papua; gaps between government policy, regulations, plans, budgets and programs, on one hand, and local realities and needs in health, education, infrastructure and livelihoods on the other; and gaps between the local graduates’ capacity to work successfully facilitating indigenous people on the one hand, and the stakeholders’ capacity to support and empower local people on the other hand.

These foreseen challenges may be overcome if we ensure that the CDVs can integrate successfully with the communities and transfer their knowledge to the indigenous youths by intensifying advocacy efforts through accessible media to improve awareness and promote action among the youth; develop the capacity of fresh university graduates to better integrate and transfer their knowledge to the indigenous youth and communities by producing inspiring, rewarding and enriching programs; empower all available resources to provide necessary support and assistance to the CDVs in their interaction with the locals by conveying the reality of downstream community/local issues to stakeholders and policy makers upstream; and lastly, continuously encourage them by emphasizing that their commitment and contribution are vital to peace and development, that their commitment is what turns vision into action.

Project Implementation5 CDVs were recruited and undertook a series of training that

provided them with the understanding of MDGs and skills for youth/community mobilization and service delivery to support grassroots initiatives.

In partnership with community-based organizations, women’s groups and indigenous youth, these fresh graduate volunteers/community development volunteers (CDVs) have together identified potential community areas that the CDVs are able to work in (e.g., animal husbandry, agricultural products, education, technology, health or other basic services) by empowering communities and simultaneously learning about indigenous culture. They also developed initiatives for livelihood creation and achievement of MDGs, making use of indigenous knowledge, their ideas, capacities and skills. One of the identified

agaimana Anda meyakinkan orang lain bahwa pembangunan adalah salah satu kunci kebebasan, kunci untuk keluar dari masalah ekonomi dan sosial budaya? Bagaimana Anda menyebarluaskan B

suara yang terbungkam agar berkontribusi dalam penciptaan matapencaharian? Dan yang paling penting, bagaimana Anda mengkomunikasikan Target Pembangunan Millenium (MDGs) kepada masyarakat desa yang hidup di pegunungan dan di daerah terpencil?

Beberapa pertanyaan di atas adalah isu-isu UNDP-UNV yang ingin dijawab di Tanah Papua.

Mempercepat Pembangunan PapuaTanah Papua menghadapi persoalan-persoalan terbesar yang

dihadapi Indonesia dalam hal pengentasan kemiskinan dan mencapai target-target MDGs. Papua memiliki keragaman geografis dan budaya yang paling tinggi dengan 250 kelompok etnis dalam 66% populasi yang hidup di pedesaan dan daerah terpencil. Walaupun berlimpah kekayaan alam, masyarakatnya masih hidup dalam ketertinggalan dibandingkan daerah lain di Indonesia dan tergolong miskin dalam hal inidkator tidak berpenghasilan sehubungan dengan MDGs.

Menurut Laporan Capaian MDGs Indonesia tahun 2008 yang diterbitkan UNDP dan BAPPENAS, akses masyarakat Papua terhadap layanan kesehatan dan partisipasi dalam pendidikan adalah yang terendah di Indonesia. Penghitungan penguatan gender terbilang rendah. Terdapat kesenjangan yang besar antara darah terpencil, pedesaan, dan perkotaan dalam hal akses terhadap layanan dasar dan penghidupan yang berkelanjutan, juga ada kesenjangan antara penduduk lokal yang memiliki akses yang lebih rendah dan miskin dibandingkan dengan masyarakat pendatang. Memperkuat pemuda lokal dan kaum perempuan

Oleh karenanya, sejalan dengan tujuan organisasi, program-program akademik, dan penyuluhan masyarakat, Unviersitas Cendrawasih (UNCEN) dan Universitas Papua (UNIPA), dan dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan di Tanah Papua agar dapat mencapai target-target MDGs yang dimandatkan dalam People-centered Development Program (PcDP) dalam berbagai aktivitasnya di Tanah Papua, dan dalam kontribusi unik dari Sukarelawan PBB (United Nations Volunteer - UNV) untuk akses, pemberian layanan dan mobilisasi komunitas melalui aksi sukarela, pada May 2009, UNDP-UNV bersama UNCEN dan UNIPA menyepakati program Rancangan Sukarelawan Universitas bagi Penguatan Pemuda dan Pembangunan Papua.

Rancangan Sukarelawan Universitas bagi Penguatan Pemuda dan Pembangunan Papua bertujuan untuk mendorong sukarelawan muda dari universitas lokal, UNCEN dan UNIPA, dengan melibatkan mereka dalam pembangunan sosial dan ekonomi Papua dan Papua Barat dan juga untuk membekali mereka dengan peluang untuk berhubungan dengan

daerah mereka. Melalui skema ini, mahasiswa lulusan UNCEN dan UNIPA diharapkan dapat mentransfer keterampilan mereka, kapasitas dan pengetahuan kepada pemuda lokal dan komunitas pada desa-desa terpilih di Papua dan Papua Barat.

Proyek dua tahun ini diimplementasikan di bawah paying UNDP People-centered Development Programme (PcDP) dan mengangkat kerjasama dengan pemerintah local, organisasi berbasis masyarakat, UNICEF, ILO, badan-badan PBB lainnya, UNCEN dan UNIPA.

Minyambow, satu dari distrik target di Kabupaten Manokwari

Menguatkan Sarjana LokalAlasan mendasar dari melibatkan sukarelawan muda (sukarelawan

pengembangan masyarakat – CDVs) dari universitas-universitas lokal menjadi nilai tambah bagi kontribusi mereka pada program-program kemanusiaan dan pembangunan. Mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan pada tingkat lokal dan pengetahuan mengenai kondisi sosial-budaya daerah pedesaan.

Lebih jauh lagi, kehadiran mereka pada tingkat komunitas merangsang rasa kepemilikan dan dapat memfasiltiasi proses-proses swadaya. Pemanfaatan sukarelawan lokal juga menambah lebih banyak peluang untuk meningkatkan kapasitas lokal dan pengembangan sumber daya dengan memperkaya keahlian dan pengetahuan yang ada di daerah.

Tantangan yang DihadapiBagaimanapun juga, untuk menjalankan proyek ini dengan baik,

kami memnghadapi beberapa tantangan seperti adanya kesenjangan yang besar antara masyarakat asli Papua dan masyarakat pendatang di Papua; kesenjangan antara kebijakan pemerintah, peraturan, perencanaan, penganggaran, dan berbagai program, di satu sisi, dan fakta setempat dan kebutuhan atas layanan kesehatan, pendidikan infrastruktur dan penghidupan di sisi yang lain; dan berbagai kesenjangan antara kapasitas sarjana lokal untuk dapat berhasil memfasilitasi masyaraka lokal di satu sisi, dan kapasitas pemangku kepentingan untuk mendukung dan memperkuat penduduk lokal di sisi lain.

Tantangan-tantangan ini dapat diatasi jika kami memastikan bahwa para sukarelawan dapat berhasil berbaur dengan masyarakat dan mentransfer pengetahuan yang dimilikinya ke pemuda lokal dengan meningkatkan upaya-upaya advokasi melalui berbagai media yang dapat diakses untuk meningkatkan kesadaran dan aksi di antara para pemuda; mengembangkan kapasitas para sarjana yang baru lulus untuk menintegrasikan dan mentransfer pengetahuannya ke masyarakt dan pemuda lokal dengan menghasilkan program-program yang inspiratif, penuh pengayaan, dan memberi pengakuan; mengkuatkan seluruh sumberdaya yang ada untuk menyediakan dukungan yang diperlukan dan bantuan bagi para sukarelawan dalam interaksi mereka dengan masyarakat setempat dengan meneruskan isu-isu masyarakat setempat kepada para pemangku kepentingand an pengambil kebijakan; dan yang terakhir secara terus menerus mendorong masyarakat bahwa komitmen dan kontribusi mereka adalah hal penting untuk perdamaian dan pembangunan, bahwa komitmen mereka lah yang mengubah visi menjadi tindakan.Implementasi Proyek

Sebanyak lima sukarelawan direkrut dan mengikuti pelatihan yang membekali mereka pengetahuan tentang MDGs dan keterampilan untuk mobilisasi pemuda dan masyarakat dan pemberian layanan untuk mendorong inisiatif-inisiatif akar rumput. Dalam kemitraan dengan berbagai organisasi berbasis masyarakat, kelompok-kelompok perempuan dan pemuda, para sarjana muda dan para sukarelawan telah bersama-sama mengidentifikasi potensi masyarakat dan bahwa para sukarelawan dapat bekerja dalam (misalnya peternakan, produksi pertanian, pendidikan, teknologi, kesehatan, dan layanan dasar lainnya) dengan menguatkan masyarakat dan secara simultan belajar mengenai budaya lokal. Mereka juga mengembangkan berbagai inisiatif untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan mencapai MDGs, memanfaatkan pengetahuan lokal, termasuk ide-ide, kapasitas, dan keterampilan setempat. Satu dari berbagai potensi yang diidentifikasi tengah disusun ke dalam sebuah

The University Volunteer Scheme for Youth Empowermentand Development of Papua

Rancangan Sukarelawan Universitas bagi Penguatan Pemuda dan Pembangunan Papua

Oleh Andini Mulyawati

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201111 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 12

Page 14: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

proposal untuk mendapatkan hibah. Hibah ini akan menjadi pemicu dalam mendorong mobilisasi pemuda dan masyarakat; dan keterlibatan para sukarelawan di pedesaan tidak hanya melaksanakan aktivitas yang diusulkan dalam proposal. Sebuah pendekatan personal adalah mutlak dalam bekerja sebagai sukarelawan pendamping masyarakat di pedesaan; adalah penting untuk menjaga hubungan, selalu mendengar dan bersama-sama mencari solusi terbaik dari persoalan yang ada, dan yang terpenting, secara konstan memotivasi dan mendorong masyarakat.

Output yang diharapkanApa perbedaan yang dapat dihasilkan dari proyek ini dalam dua

tahun yang akan datang? Kami berharap adanya peningkatan kapasitas dan kemampuan bekerja bagi para pemuda di Tanah Papua, para pemuda lokal dan masyarakat akan mendapatkan manfaat dari berbagai peluang kerja yang lebih maju dan layanan publik yang lebih baik, juga yang paling penting, masyarakat lokal akan mendapatkan manfaat dari kemitraan dan kerjasama yang lebih baik dengan pemerintah setempat.

Kerja kami dalam berinvestasi pada pemuda dapat menjadi kunci dalam mengakhiri lingkaran kemiskinan dan memastikan kesejahteraan multi-generasi dan harmoni dalam keluarga, masyarakat, bahkan bangsa, sehingga kualitas dari investasi bangsa pada generasi mudanya dengan mengembangkan keterampilan mereka, kapasitas kepemimpinan, dan membuka peluang untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah dan nasional menjadi hal yang vital.

Tentunya akan membutuhkan waktu untuk menumbuhkan dan melanjutkan proyek ini, namun seperti kata masyarakat setempat, ”Kalau bukan sekarang kapan lagi, kalo bukan kitorang siapa lagi?”.

potentials has been formulated into a proposal for youth-small grants. This grant will serve as a trigger to stimulate youth and community mobilization; the CDVs’ engagement in the villages is not limited to only executing the activity put forward in the proposal.

A personal approach is essential in supporting the work of CDVs in the villages; it is important to maintain regular contact, to always listen and together find the best solution for the problems that may arise, and, most importantly, to constantly provide them with motivation and encouragement.

Expected OutputsWhat difference could this project make in the next two

years? We expect that there will be an enhanced capacity and employability of youth in Tanah Papua, indigenous youth and communities will benefit from improved livelihood opportunities and delivery of services, and, most importantly, indigenous communities will benefit from enhanced partnerships and cooperation with local governments.

Our work in investing in the youth could be a key to breaking the cycle of poverty and ensuring multi-generational prosperity and harmony in a family, a society or nation, thus the quality of a nation’s investment in its young men and women by developing their skills, leadership capacities and widening their opportunities to participate in regional and national development is vital.

It will certainly take time to nurture and sustain the project but as locals say, “Kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kitorang siapa lagi” (If not now, when? if not us, then who?).

Penulis adalah National Coordination Assistant - University Volunteer Scheme for Youth Empowerment and Development of PapuaEmail : [email protected]

Jurnalisme Warga

YKS Raih Penghargaan Satu Indonesia Award

YKS Wins the Satu Indonesia Award

Jurnalisme Warga

YKS Raih Penghargaan Satu Indonesia Award

YKS Wins the Satu Indonesia Award

PRAKTIK CERDAS TERKINI SMART PRACTICE UPDATEPRAKTIK CERDAS TERKINI

diselenggarakan PT. Astra Internasional, Tbk bekerja sama dengan Tempo Institute (Tempo Inti Media Grup). Sebuah penghargaan bergengsi di Indonesia yang dipersembahkan bagi setiap anak bangsa yang mengembangkan program-program inovatif.

YKS berhasil merebut penghargaan ini atas prestasinya mengembangkan Program Manajemen zero breakdown Motorcycle untuk pelayanan kesehatan di wilayah pedesaan di propinsi NTT. Program ini bisa disebut unik dan sangat inovatif, karena yang pertama diimplementasikan di Indonesia bahkan di Asia dan baru dikembangkan di Flores Timur sejak Juli tahun 2002 sampai sekarang.

Untuk menjadi pemenang Satu Indonesia Award tidaklah mudah. Berdasarkan pengakuan dewan juri, penentuan pemenang diwarnai dengan perdebatan dan tarik ulur. Hal ini disebabkan para kandidat pemenang memiliki kelebihan dan kesulitan yang berbeda. Adapun para dewan juri tahun ini adalah Kusmayanto Kadiman (Mantan Menristek pada Kabinet Indonesia Bersatu periode 2004-1009), M.S Sembiring (Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI), Tri Mumpuni (Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan), Sri Malela Mahargasarie (Mantan Pemimpin Redaksi Koran Tempo), Yulian Warman (General Manager Relations Division PT. Astra Internasional, Tbk), dan M. Riza Deliansyah (Head of Environment and Social Responsibility Division PT. Astra Internasional, Tbk).

Dalam kegiatan ini, PT. Astra Internasional dan Tempo Institute melakukan proses penjaringan kandidat pemenang secara terbuka dan verifikasi ke lapangan. Salah satu cara yang diambil adalah dengan merangkul Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), komunitas lokal, berbagai macam lapisan masyarakat serta mengundang semua pihak untuk memilih kandidat yang dianggap pantas untuk dijadikan pemenang. Hal ini dilakukan dengan mengirim email ke alamat panitia.

Setelah melewati proses pencarian sejak 25 Agustus – 27 September 2010, tim verifikasi berhasil melakukan verifikasi ulang kepada kandidat terpilih hingga akhirnya dilakukan proses penjurian yang baru berakhir pada 7 – 11 Oktober. Sebanyak 120 kandidat berhasil terpilh dan hanya 20 kandidat yang menjadi finalis. Setelah reportase, pengambilan foto dan dokumentasi video ke lokasi, YKS akhirnya lolos untuk ditetapkan sebagai salah satu pemenang yang berhak menerima penghargaan dari Satu Indonesia Award bersama empat pemenang lainnya.

Hal yang mendasari PT. Astra International untuk mengadakan Satu Indonesia Award adalah Semangat Astra Terpadu (SATU) Indonesia. Astra International meyakini bahwa perubahan menuju Indonesia lebih baik adalah milik kita semua. Dia tidak datang begitu saja dari langit, tapi harus diperjuangkan. Oleh karena itu, Satu Indonesia Award hadir untuk mengapresiasi anak muda dengan semangat berkarya, memiliki inisiatif dan membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia. Total hadiah dari penghargaan ini adalah 200 juta rupiah ditambah berbagai hadiah menarik lainnya dari Astra Internasional dan Tempo Institute.

Berlangsung di hutan buahAcara Satu Indonesia Award dilaksanakan di Mekarsari Jawa Barat dan

dihadiri oleh sekitar 10.000 pengunjung. Sejak pagi hari para undangan serta warga setempat mulai berdatangan. Acara dikemas dalam bentuk ’Menjelajahi Dunia Astra’. Kebun buah Mekarsari disulap sedemikian rupa sehingga para undangan dan pengunjung lainnya seakan berada dalam dunia perkemahan.

Usai menerima penghargaan dari Presiden Direktur PT. Astra Internasional, Prijono Sugiarto, kelima pemenang termasuk penulis diajak mengeliling stand dari puluhan anak perusahan Astra Internasional yang memamerkan aneka produk sesuai dengan bidang usaha masing-masing. YKS juga diwawancarai oleh Radio Sonora Jakarta dan disiarkan langsung dari arena kegiatan.

Award presented by PT. Astra International, Tbk, in collaboration with the Tempo Institute (Tempo Inti Media Group). A prestigious award in Indonesia, it’s dedicated to those who develop innovative programs for the nation.

YKS won this award for its achievements in developing the Zero Motorcycle Breakdown Management Program for Health Services in rural areas in the province of NTT. This program is unique and highly innovative and is the first of its kind to be implemented in Indonesia, even in Asia. It was established in July of 2002.

To win a Satu Indonesia Award is not easy. Based on the jury’s decision, the winners are decided with great debate as each has different strengths and weaknesses. On the jury this year were Kusmayanto Kadiman (former Minister of Technology in the Indonesian Cabinet, 2004-2009 period), MS Sembiring (KEHATI Foundation Executive Director), Tri Mumpuni (Director of the Institute of Business and Community Economy), Sri Malela Mahargasarie (former Editor in Chief of Tempo newspaper), Yulian Warman (General Manager of Public Relations, PT. Astra International, Tbk), and M. Riza Deliansyah (Head of Environment and Social Responsibility, PT. Astra International, Tbk).

PT. Astra International and Tempo Institute’s discovery process resulted in selection of winning candidate in an open and verifiable manner. The process embraced non-governmental organizations (NGOs), local communities, and people from all various levels of society, and invited all parties to select their candidates. Candidates were nominated by sending an email to the committee. The search process went from August 25 to September 27, 2010, and then the verification team successfully re-verified the selected candidates, allowing them then to proceed to the final judging process, from October 7 to 11. A total of 120 candidates were successfully chosen and only 20 candidates became finalists. After reporting, taking photographs and video documentation at the location, YKS was chosen as one of the winners eligible to receive the award along with four other winners.

The underlying reason PT. Astra International holds the Satu Indonesia Awards is the Semangat Astra Terpadu (SATU) principle. Astra International Indonesia believes that the change for the better belongs to us all. It does not fall from the sky, but must be fought for. Therefore, the Satu Indonesia Award appreciates the spirit of work and young people who have taken the initiative and brought benefits to the people of Indonesia. The prize was Rp 200 million plus many other gifts from Astra International and Tempo Institute.

The Satu Indonesia Award event was held in West Java and was attended by around 10,000 people. The event was packaged in the form of 'Navigating the World of Astra'. The Mekarsari orchard was transformed in such a way that the attendees and other visitors seemed to be in a camp.

After receiving an award from the President Director of PT. Astra International, Prijono Sugiarto, the five winners, including the author, visited of dozens of booths of Astra subsidiaries, which showcased various products in accordance with their respective sectors. YKS was also interviewed by Radio Sonora Jakarta, which broadcasted live from the event.

Penulis adalah staf Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS)/ The writer is a staff member at Health for All Foundation (YKS).YKSLorong Putra Flores, Lingkungan Tabali Kel. Sarotari Kec. LarantukaFlores Timur 86219, Nusa Tenggara [email protected]

erja keras Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS) dalam mendukung pelayanan kesehatan dengan Program Manajemen KSarana Transportasi (MST) di NTT akhirnya berbuah manis. Tanggal

23 Oktober lalu, YKS meraih penghargaan dari Satu Indonesia Award yang

The hard work of the Health for All Foundation (YKS) in support of health services with its Transportation Infrastructure Management Program in NTT has borne sweet fruit. On 23 October 2010, YKS won a Satu Indonesia

Oleh : Mansetus Balawala

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201113 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 14

Page 15: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

proposal untuk mendapatkan hibah. Hibah ini akan menjadi pemicu dalam mendorong mobilisasi pemuda dan masyarakat; dan keterlibatan para sukarelawan di pedesaan tidak hanya melaksanakan aktivitas yang diusulkan dalam proposal. Sebuah pendekatan personal adalah mutlak dalam bekerja sebagai sukarelawan pendamping masyarakat di pedesaan; adalah penting untuk menjaga hubungan, selalu mendengar dan bersama-sama mencari solusi terbaik dari persoalan yang ada, dan yang terpenting, secara konstan memotivasi dan mendorong masyarakat.

Output yang diharapkanApa perbedaan yang dapat dihasilkan dari proyek ini dalam dua

tahun yang akan datang? Kami berharap adanya peningkatan kapasitas dan kemampuan bekerja bagi para pemuda di Tanah Papua, para pemuda lokal dan masyarakat akan mendapatkan manfaat dari berbagai peluang kerja yang lebih maju dan layanan publik yang lebih baik, juga yang paling penting, masyarakat lokal akan mendapatkan manfaat dari kemitraan dan kerjasama yang lebih baik dengan pemerintah setempat.

Kerja kami dalam berinvestasi pada pemuda dapat menjadi kunci dalam mengakhiri lingkaran kemiskinan dan memastikan kesejahteraan multi-generasi dan harmoni dalam keluarga, masyarakat, bahkan bangsa, sehingga kualitas dari investasi bangsa pada generasi mudanya dengan mengembangkan keterampilan mereka, kapasitas kepemimpinan, dan membuka peluang untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah dan nasional menjadi hal yang vital.

Tentunya akan membutuhkan waktu untuk menumbuhkan dan melanjutkan proyek ini, namun seperti kata masyarakat setempat, ”Kalau bukan sekarang kapan lagi, kalo bukan kitorang siapa lagi?”.

potentials has been formulated into a proposal for youth-small grants. This grant will serve as a trigger to stimulate youth and community mobilization; the CDVs’ engagement in the villages is not limited to only executing the activity put forward in the proposal.

A personal approach is essential in supporting the work of CDVs in the villages; it is important to maintain regular contact, to always listen and together find the best solution for the problems that may arise, and, most importantly, to constantly provide them with motivation and encouragement.

Expected OutputsWhat difference could this project make in the next two

years? We expect that there will be an enhanced capacity and employability of youth in Tanah Papua, indigenous youth and communities will benefit from improved livelihood opportunities and delivery of services, and, most importantly, indigenous communities will benefit from enhanced partnerships and cooperation with local governments.

Our work in investing in the youth could be a key to breaking the cycle of poverty and ensuring multi-generational prosperity and harmony in a family, a society or nation, thus the quality of a nation’s investment in its young men and women by developing their skills, leadership capacities and widening their opportunities to participate in regional and national development is vital.

It will certainly take time to nurture and sustain the project but as locals say, “Kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kitorang siapa lagi” (If not now, when? if not us, then who?).

Penulis adalah National Coordination Assistant - University Volunteer Scheme for Youth Empowerment and Development of PapuaEmail : [email protected]

Jurnalisme Warga

YKS Raih Penghargaan Satu Indonesia Award

YKS Wins the Satu Indonesia Award

Jurnalisme Warga

YKS Raih Penghargaan Satu Indonesia Award

YKS Wins the Satu Indonesia Award

PRAKTIK CERDAS TERKINI SMART PRACTICE UPDATEPRAKTIK CERDAS TERKINI

diselenggarakan PT. Astra Internasional, Tbk bekerja sama dengan Tempo Institute (Tempo Inti Media Grup). Sebuah penghargaan bergengsi di Indonesia yang dipersembahkan bagi setiap anak bangsa yang mengembangkan program-program inovatif.

YKS berhasil merebut penghargaan ini atas prestasinya mengembangkan Program Manajemen zero breakdown Motorcycle untuk pelayanan kesehatan di wilayah pedesaan di propinsi NTT. Program ini bisa disebut unik dan sangat inovatif, karena yang pertama diimplementasikan di Indonesia bahkan di Asia dan baru dikembangkan di Flores Timur sejak Juli tahun 2002 sampai sekarang.

Untuk menjadi pemenang Satu Indonesia Award tidaklah mudah. Berdasarkan pengakuan dewan juri, penentuan pemenang diwarnai dengan perdebatan dan tarik ulur. Hal ini disebabkan para kandidat pemenang memiliki kelebihan dan kesulitan yang berbeda. Adapun para dewan juri tahun ini adalah Kusmayanto Kadiman (Mantan Menristek pada Kabinet Indonesia Bersatu periode 2004-1009), M.S Sembiring (Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI), Tri Mumpuni (Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan), Sri Malela Mahargasarie (Mantan Pemimpin Redaksi Koran Tempo), Yulian Warman (General Manager Relations Division PT. Astra Internasional, Tbk), dan M. Riza Deliansyah (Head of Environment and Social Responsibility Division PT. Astra Internasional, Tbk).

Dalam kegiatan ini, PT. Astra Internasional dan Tempo Institute melakukan proses penjaringan kandidat pemenang secara terbuka dan verifikasi ke lapangan. Salah satu cara yang diambil adalah dengan merangkul Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), komunitas lokal, berbagai macam lapisan masyarakat serta mengundang semua pihak untuk memilih kandidat yang dianggap pantas untuk dijadikan pemenang. Hal ini dilakukan dengan mengirim email ke alamat panitia.

Setelah melewati proses pencarian sejak 25 Agustus – 27 September 2010, tim verifikasi berhasil melakukan verifikasi ulang kepada kandidat terpilih hingga akhirnya dilakukan proses penjurian yang baru berakhir pada 7 – 11 Oktober. Sebanyak 120 kandidat berhasil terpilh dan hanya 20 kandidat yang menjadi finalis. Setelah reportase, pengambilan foto dan dokumentasi video ke lokasi, YKS akhirnya lolos untuk ditetapkan sebagai salah satu pemenang yang berhak menerima penghargaan dari Satu Indonesia Award bersama empat pemenang lainnya.

Hal yang mendasari PT. Astra International untuk mengadakan Satu Indonesia Award adalah Semangat Astra Terpadu (SATU) Indonesia. Astra International meyakini bahwa perubahan menuju Indonesia lebih baik adalah milik kita semua. Dia tidak datang begitu saja dari langit, tapi harus diperjuangkan. Oleh karena itu, Satu Indonesia Award hadir untuk mengapresiasi anak muda dengan semangat berkarya, memiliki inisiatif dan membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia. Total hadiah dari penghargaan ini adalah 200 juta rupiah ditambah berbagai hadiah menarik lainnya dari Astra Internasional dan Tempo Institute.

Berlangsung di hutan buahAcara Satu Indonesia Award dilaksanakan di Mekarsari Jawa Barat dan

dihadiri oleh sekitar 10.000 pengunjung. Sejak pagi hari para undangan serta warga setempat mulai berdatangan. Acara dikemas dalam bentuk ’Menjelajahi Dunia Astra’. Kebun buah Mekarsari disulap sedemikian rupa sehingga para undangan dan pengunjung lainnya seakan berada dalam dunia perkemahan.

Usai menerima penghargaan dari Presiden Direktur PT. Astra Internasional, Prijono Sugiarto, kelima pemenang termasuk penulis diajak mengeliling stand dari puluhan anak perusahan Astra Internasional yang memamerkan aneka produk sesuai dengan bidang usaha masing-masing. YKS juga diwawancarai oleh Radio Sonora Jakarta dan disiarkan langsung dari arena kegiatan.

Award presented by PT. Astra International, Tbk, in collaboration with the Tempo Institute (Tempo Inti Media Group). A prestigious award in Indonesia, it’s dedicated to those who develop innovative programs for the nation.

YKS won this award for its achievements in developing the Zero Motorcycle Breakdown Management Program for Health Services in rural areas in the province of NTT. This program is unique and highly innovative and is the first of its kind to be implemented in Indonesia, even in Asia. It was established in July of 2002.

To win a Satu Indonesia Award is not easy. Based on the jury’s decision, the winners are decided with great debate as each has different strengths and weaknesses. On the jury this year were Kusmayanto Kadiman (former Minister of Technology in the Indonesian Cabinet, 2004-2009 period), MS Sembiring (KEHATI Foundation Executive Director), Tri Mumpuni (Director of the Institute of Business and Community Economy), Sri Malela Mahargasarie (former Editor in Chief of Tempo newspaper), Yulian Warman (General Manager of Public Relations, PT. Astra International, Tbk), and M. Riza Deliansyah (Head of Environment and Social Responsibility, PT. Astra International, Tbk).

PT. Astra International and Tempo Institute’s discovery process resulted in selection of winning candidate in an open and verifiable manner. The process embraced non-governmental organizations (NGOs), local communities, and people from all various levels of society, and invited all parties to select their candidates. Candidates were nominated by sending an email to the committee. The search process went from August 25 to September 27, 2010, and then the verification team successfully re-verified the selected candidates, allowing them then to proceed to the final judging process, from October 7 to 11. A total of 120 candidates were successfully chosen and only 20 candidates became finalists. After reporting, taking photographs and video documentation at the location, YKS was chosen as one of the winners eligible to receive the award along with four other winners.

The underlying reason PT. Astra International holds the Satu Indonesia Awards is the Semangat Astra Terpadu (SATU) principle. Astra International Indonesia believes that the change for the better belongs to us all. It does not fall from the sky, but must be fought for. Therefore, the Satu Indonesia Award appreciates the spirit of work and young people who have taken the initiative and brought benefits to the people of Indonesia. The prize was Rp 200 million plus many other gifts from Astra International and Tempo Institute.

The Satu Indonesia Award event was held in West Java and was attended by around 10,000 people. The event was packaged in the form of 'Navigating the World of Astra'. The Mekarsari orchard was transformed in such a way that the attendees and other visitors seemed to be in a camp.

After receiving an award from the President Director of PT. Astra International, Prijono Sugiarto, the five winners, including the author, visited of dozens of booths of Astra subsidiaries, which showcased various products in accordance with their respective sectors. YKS was also interviewed by Radio Sonora Jakarta, which broadcasted live from the event.

Penulis adalah staf Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS)/ The writer is a staff member at Health for All Foundation (YKS).YKSLorong Putra Flores, Lingkungan Tabali Kel. Sarotari Kec. LarantukaFlores Timur 86219, Nusa Tenggara [email protected]

erja keras Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS) dalam mendukung pelayanan kesehatan dengan Program Manajemen KSarana Transportasi (MST) di NTT akhirnya berbuah manis. Tanggal

23 Oktober lalu, YKS meraih penghargaan dari Satu Indonesia Award yang

The hard work of the Health for All Foundation (YKS) in support of health services with its Transportation Infrastructure Management Program in NTT has borne sweet fruit. On 23 October 2010, YKS won a Satu Indonesia

Oleh : Mansetus Balawala

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201113 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 14

Page 16: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

The rural population of eastern Indonesia generally has limited access to health services due to rugged topography, poor roads and limited health resources. Moreover, there are often no comprehensive audits of health infrastructure, resulting in poor coordination of health resource allocation between levels of government. In addition, while clinical treatment is crucial, primary prevention is based on good quality health information and analysis. Over the last two years Charles Darwin University has been working to build capacity in health data collection and analysis in Nusa Tenggara Timor through their AusAID funded project: Mapping health indicators and health infrastructure in eastern Indonesia.

Geographic information Systems (GIS) are powerful tools for data visualization and analysis and are being increasingly used by public health professionals for planning, monitoring and surveillance. Through this project spatial data collection and visualization technologies are being introduced to district health administrations in simple, intuitive and inexpensive forms to inform health service delivery. The result is color coded maps that enable quick and easy assessment of local health trends. Such “health mapping” is now being u s e d t o i n f o r m h e a l t h r e s o u r c e a l l o ca t i o n ,

opulasi pedesaan di Kawasan Timur Indonesia umumnya memiliki akses terbatas kepada layanan kesehatan. Hal ini umumnya disebabkan oleh Pkondisi wilayah yang sulit dijangkau, kondisi jalan yang buruk, dan

terbatasnya sumberdaya kesehatan. Selain itu, seringkali tidak dilakukan audit komprehensif terhadap infrastruktur kesehatan. Ini berakibat pada tidak memadainya koordinasi alokasi sumber daya kesehatan pada berbagai level pemerintahan. Tambahan lagi, meski klinik-klinik layanan adalah sesuatu yang mutlak, pencegahan utama dari penyakit sangat bergantung pada informasi dan analisa kesehatan yang berkualitas.

Selama dua tahun terakhir hingga kini, Charles Darwin University (CDU) berupaya meningkatkan kapasitas dalam pengumpulan dan analisa data kesehatan di Nusa Tenggara Timur melalui proyek yang didanai AusAID: Pemetaan indikator kesehatan dan infra struktur kesehatan di Indonesia Timur.

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah alat bantu ampuh untuk keperluan visualisasi dan analisa data yang semakin banyak. Sistem ini pun dapat digunakan oleh para professional kesehatan masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pengamatan dan pengawasan. Melalui proyek ini pengumpulan data spasial dan teknologi visualisasi diperkenalkan kepada para pelaku pelayanan kesehatan di kabupaten dengan cara sederhana, wajar, dan tidak berbiaya tinggi untuk menginformasikan efektifitas layanan kesehatan.

Yang dihasilkan kemudian adalah peta-peta dengan kode warna yang membuat ketersediaan jenis layanan kesehatan di wilayah tersebut dengan mudah dan cepat ditemukan. “Peta Kesehatan” semacam ini, saat ini telah mulai digunakan untuk menginformasikan alokasi, audit komprehensif audit layanan kesehatan, serta berbagai inovasi dalam layanan kesehatan untuk ibu dan anak.

Proyek ini telah meningkatkan kapasitas pemetaan pada tingkat k l i n i k a t a u p u s k e s m a s d a n k a b u p a t e n t e r k a i t d e n g a n pemetaan infrastruktur kesehatan dan indikator kesehatan untuk menginformasikan penyediaan layanan yang effektif.

Pasca pelaksanaan pelatihan p e m e t a a n k e s e h a t a n y a n g diadakan untuk para staff Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tanggara Timur di Kupang, para peserta menyatakan bahwa pengalaman mereka belajar SIG kali ini berbeda dari pelatihan-pelatihan SIG

Health mapping is primarily about improving data understanding and facilitating analysis through data visualization. Mapping health data can help you to:

see relationships between data facilitate the interrogation of data, support the planning of health initiatives and monitor their

effectiveness provide a tool for education and advocacy

To map health and health infrastructure data from your district Explore relationships between data such as comparing:

funding with outcomes e.g. immunization funding to sub districts with number of immunizations conducted. infrastructure with outcomes e.g. sanitation infrastructure with

cases diarrhea human resources with outcomes e.g. Number of trained

midwives to number of Maternal deaths.

Pemetaan kesehatan adalah tentang bagaimana meningkatkan pemahaman terhadap data dan memfasilitasi analisa melalui visualisasi data. Pemetaan data kesehatan dapat menolong anda untuk :

Melihat keterhubungan antar data Memfasilitasi integrasi data Mendukung perencanaan inisiatif kesehatan dan memonitoring effektifitasnya Menyediakan alat bantu untuk pendidikan dan pendampingan

Email : [email protected]

Apa yang dimaksud dengan pemetaan kesehatan?

Memetakan data kesehatan dan data infrastruktur kesehatan kabupaten anda.Mengungkap keterkaitan antar data dengan membandingkan:

Pendanaan terhadap hasilnya, seperti dana imunasi di kecamatan terhadap jumlah orang yang diimunisasi

Infrastruktur terhadap hasil, seperti infrastruktur sanitasi dengan kasus-kasus diare

Sumberdaya manusia terhadap hasil, seperti jumlah bidan yang dilatih terhadap jumlah kematian saat melahirkan.

Jumlah kelambu yand didistribusi terhadap kasus malaria Analisa kritis data

Memonitor program

Animasi sederhana Presentasi Peta

Untuk mempresentasikan data lewat

What is health mapping?

Monitoring programs e.g. Mosquito net distribution and

cases of malaria To critically analyse data

To present the data through

Simple animations presentations printed maps

Apa yang dimaksud dengan pemetaan kesehatan?

What is health mapping?

sebelumnya. Jika pelatihan yang pernah mereka itu terasa rumit dan mahal, maka perangkat lunak dan materi pelatihan yang dikembangkan oleh CDU lebih mudah diadopsi. Para peserta mengaku lebih mudah mengintergrasikan pemetaan spasial ke dalam tugas sehari-hari mereka. Beberapa hasil yang terlihat sejauh ini menunjukkan a d a n y a r e v o l u s i d a l a m penggunaan data spasial oleh petugas kesehatan, dimana jika SIG yang selama ini dikuasai oleh elit-tekno, maka oleh proyek ini kekuasaan atas visualisasi data spasial dapat didesentralisasikan u n t u k m e m b e r d a y a k a n penyediaan layanan kesehatan yang lebih baik bagi petugas kesehatan pada daerah pedesaan di negara berkembang.

sebelumnya comprehensive health service audits and innovations in mother and child health care. This project has developed capacity at the Kabupaten and clinic level for health infrastructure and health indicator mapping to inform effective service delivery.

Participants commented that their previous exposure to GIS technology had been inappropriately complex and expensive whilst the software and training material developed by CDU allowed for the easy adoption and integration of spatial mapping into their daily work. Rohan commented that the results so far showed a revolution in spatial data use, whereas GIS is usually in the hands of techno-elite, this project has decentralized the power of spatial visualization to empower better service delivery to rural health workers in a developing country.

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201115 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 16

Rohan Fisher from Charles Darwin University memberi pelatihan kepada staff dinas kesehatan July 2010 / Rohan Fisher from Charles Darwin University conductingtraining for health department staff July 2010.

Oleh Rohan Fisher

Health mapping in remote, rural Eastern Indonesia

Pemetaan Kesehatan di pedesaan terpencil Kawasan TimurIndonesia

Page 17: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

The rural population of eastern Indonesia generally has limited access to health services due to rugged topography, poor roads and limited health resources. Moreover, there are often no comprehensive audits of health infrastructure, resulting in poor coordination of health resource allocation between levels of government. In addition, while clinical treatment is crucial, primary prevention is based on good quality health information and analysis. Over the last two years Charles Darwin University has been working to build capacity in health data collection and analysis in Nusa Tenggara Timor through their AusAID funded project: Mapping health indicators and health infrastructure in eastern Indonesia.

Geographic information Systems (GIS) are powerful tools for data visualization and analysis and are being increasingly used by public health professionals for planning, monitoring and surveillance. Through this project spatial data collection and visualization technologies are being introduced to district health administrations in simple, intuitive and inexpensive forms to inform health service delivery. The result is color coded maps that enable quick and easy assessment of local health trends. Such “health mapping” is now being u s e d t o i n f o r m h e a l t h r e s o u r c e a l l o ca t i o n ,

opulasi pedesaan di Kawasan Timur Indonesia umumnya memiliki akses terbatas kepada layanan kesehatan. Hal ini umumnya disebabkan oleh Pkondisi wilayah yang sulit dijangkau, kondisi jalan yang buruk, dan

terbatasnya sumberdaya kesehatan. Selain itu, seringkali tidak dilakukan audit komprehensif terhadap infrastruktur kesehatan. Ini berakibat pada tidak memadainya koordinasi alokasi sumber daya kesehatan pada berbagai level pemerintahan. Tambahan lagi, meski klinik-klinik layanan adalah sesuatu yang mutlak, pencegahan utama dari penyakit sangat bergantung pada informasi dan analisa kesehatan yang berkualitas.

Selama dua tahun terakhir hingga kini, Charles Darwin University (CDU) berupaya meningkatkan kapasitas dalam pengumpulan dan analisa data kesehatan di Nusa Tenggara Timur melalui proyek yang didanai AusAID: Pemetaan indikator kesehatan dan infra struktur kesehatan di Indonesia Timur.

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah alat bantu ampuh untuk keperluan visualisasi dan analisa data yang semakin banyak. Sistem ini pun dapat digunakan oleh para professional kesehatan masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pengamatan dan pengawasan. Melalui proyek ini pengumpulan data spasial dan teknologi visualisasi diperkenalkan kepada para pelaku pelayanan kesehatan di kabupaten dengan cara sederhana, wajar, dan tidak berbiaya tinggi untuk menginformasikan efektifitas layanan kesehatan.

Yang dihasilkan kemudian adalah peta-peta dengan kode warna yang membuat ketersediaan jenis layanan kesehatan di wilayah tersebut dengan mudah dan cepat ditemukan. “Peta Kesehatan” semacam ini, saat ini telah mulai digunakan untuk menginformasikan alokasi, audit komprehensif audit layanan kesehatan, serta berbagai inovasi dalam layanan kesehatan untuk ibu dan anak.

Proyek ini telah meningkatkan kapasitas pemetaan pada tingkat k l i n i k a t a u p u s k e s m a s d a n k a b u p a t e n t e r k a i t d e n g a n pemetaan infrastruktur kesehatan dan indikator kesehatan untuk menginformasikan penyediaan layanan yang effektif.

Pasca pelaksanaan pelatihan p e m e t a a n k e s e h a t a n y a n g diadakan untuk para staff Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tanggara Timur di Kupang, para peserta menyatakan bahwa pengalaman mereka belajar SIG kali ini berbeda dari pelatihan-pelatihan SIG

Health mapping is primarily about improving data understanding and facilitating analysis through data visualization. Mapping health data can help you to:

see relationships between data facilitate the interrogation of data, support the planning of health initiatives and monitor their

effectiveness provide a tool for education and advocacy

To map health and health infrastructure data from your district Explore relationships between data such as comparing:

funding with outcomes e.g. immunization funding to sub districts with number of immunizations conducted. infrastructure with outcomes e.g. sanitation infrastructure with

cases diarrhea human resources with outcomes e.g. Number of trained

midwives to number of Maternal deaths.

Pemetaan kesehatan adalah tentang bagaimana meningkatkan pemahaman terhadap data dan memfasilitasi analisa melalui visualisasi data. Pemetaan data kesehatan dapat menolong anda untuk :

Melihat keterhubungan antar data Memfasilitasi integrasi data Mendukung perencanaan inisiatif kesehatan dan memonitoring effektifitasnya Menyediakan alat bantu untuk pendidikan dan pendampingan

Email : [email protected]

Apa yang dimaksud dengan pemetaan kesehatan?

Memetakan data kesehatan dan data infrastruktur kesehatan kabupaten anda.Mengungkap keterkaitan antar data dengan membandingkan:

Pendanaan terhadap hasilnya, seperti dana imunasi di kecamatan terhadap jumlah orang yang diimunisasi

Infrastruktur terhadap hasil, seperti infrastruktur sanitasi dengan kasus-kasus diare

Sumberdaya manusia terhadap hasil, seperti jumlah bidan yang dilatih terhadap jumlah kematian saat melahirkan.

Jumlah kelambu yand didistribusi terhadap kasus malaria Analisa kritis data

Memonitor program

Animasi sederhana Presentasi Peta

Untuk mempresentasikan data lewat

What is health mapping?

Monitoring programs e.g. Mosquito net distribution and

cases of malaria To critically analyse data

To present the data through

Simple animations presentations printed maps

Apa yang dimaksud dengan pemetaan kesehatan?

What is health mapping?

sebelumnya. Jika pelatihan yang pernah mereka itu terasa rumit dan mahal, maka perangkat lunak dan materi pelatihan yang dikembangkan oleh CDU lebih mudah diadopsi. Para peserta mengaku lebih mudah mengintergrasikan pemetaan spasial ke dalam tugas sehari-hari mereka. Beberapa hasil yang terlihat sejauh ini menunjukkan a d a n y a r e v o l u s i d a l a m penggunaan data spasial oleh petugas kesehatan, dimana jika SIG yang selama ini dikuasai oleh elit-tekno, maka oleh proyek ini kekuasaan atas visualisasi data spasial dapat didesentralisasikan u n t u k m e m b e r d a y a k a n penyediaan layanan kesehatan yang lebih baik bagi petugas kesehatan pada daerah pedesaan di negara berkembang.

sebelumnya comprehensive health service audits and innovations in mother and child health care. This project has developed capacity at the Kabupaten and clinic level for health infrastructure and health indicator mapping to inform effective service delivery.

Participants commented that their previous exposure to GIS technology had been inappropriately complex and expensive whilst the software and training material developed by CDU allowed for the easy adoption and integration of spatial mapping into their daily work. Rohan commented that the results so far showed a revolution in spatial data use, whereas GIS is usually in the hands of techno-elite, this project has decentralized the power of spatial visualization to empower better service delivery to rural health workers in a developing country.

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201115 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 16

Rohan Fisher from Charles Darwin University memberi pelatihan kepada staff dinas kesehatan July 2010 / Rohan Fisher from Charles Darwin University conductingtraining for health department staff July 2010.

Oleh Rohan Fisher

Health mapping in remote, rural Eastern Indonesia

Pemetaan Kesehatan di pedesaan terpencil Kawasan TimurIndonesia

Page 18: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Pemberdayaan Petani Kelapa Untuk Produk Industri Hilir Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Petani Di Provinsi Maluku

Pemberdayaan Petani Kelapa Untuk Produk Industri Hilir Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Petani Di Provinsi Maluku

Downstream Farmer Empowerment to Increase Revenue in Maluku

Penulis adalah Staff Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Patimura, AmbonBy Dr. Hj. ASMARIA Latuconsina

Coconut (Cocos nucifera L) is one of the commodities traditionally traded by the people of Maluku. According Supadi and Nurmanaf (2006), coconut oil is one of the strategic commodities in the Indonesian economy and has a major role in the community as a source of income; it is also the main source of domestic oil, a source of industrial raw materials (food, construction, pharmaceuticals, oleochemicals) and provides employment. However, when viewed in terms of farmers' income, economic potential has not been optimally utilized due to various internal problems in the production, processing, and marketing processes, as well as in the institutions (Kasrino et al, 1998, in Supadi and Nurmanaf, 2006).

Coconut farming in Maluku is still traditionally done with minimal inputs. The prevailing belief is that coconut farming does not require fertilization and so forth. The result is low productivity of coconut plantations and processing. The fruit processing industry in general remains focused on processing of fruit pulp, while the processing of by-products such as water, fiber, and coconut shells is still traditional and small-scale, despite the fact that the potential availability of raw materials for building is very large.

elapa (Cocos nucifera L), merupakan salah satu komoditas unggulan yang diusahakan oleh masyarakat Maluku secara turun-Ktemurun. Menurut Supadi dan Nurmanaf (2006) dalam

Perekonomian Indonesia, kelapa merupakan salah satu komoditas strategis karena peranannya yang besar bagi masyarakat sebagai pendapatan, sumber utama minyak dalam negeri, sumber devisa, sumber bahan baku industri (pangan, bangunan, farmasi, oleokimia dan sebagai penyedia lapangan kerja. Namun demikian, bila dilihat dari segi pendapatan petani, potensi ekonomi kelapa yang sangat besar itu belum dimanfaatkan secara optimal karena adanya berbagai masalah baik dalam proses produksi, pengolahan, pemasaran maupun kelembagaan (Kasrino et al 1998, dalam Supadi dan Nurmanaf, 2006).

Usaha tani kelapa di Maluku sebagian besar masih dilakukan secara tradisional dengan input sarana produksi yang sangat minim. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan modal ditambah keyakinan yang berlaku di kalangan masyarakat bahwa usaha tani ini tidak memerlukan pemupukan dan sebagainya. Dampaknya adalah rendahnya produktivitas perkebunan kelapa rakyat begitu pula dengan pengolahannya. Industri pengolahan buah kelapa pada umumnya masih terfokus pada pengolahan hasil daging buah sebagai hasil utama, sedangkan industri yang mengolah hasil sampingan (by product) seperti

air, sabut kelapa, dan tempurung kelapa masih secara tradisional dan berskala kecil, padahal potensi ketersediaan bahan baku untuk membangun industri pengolahannya masih sangat besar.

Tidak hanya dari segi jumlah, dari segi jenis produk hilirpun, pengolahan hasil buah kelapa juga masih mempunyai peluang cukup besar. Daging buah kelapa yang selama ini hanya diolah menjadi kopra, crude coconut oil (CCO), dan minyak goring, mempunyai peluang dikembangkan menjadi industri oleochemical, oleofood, desiccated coconut, dan lain-lain produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Rumokoi dan Akuba, 1998 ; BNI 1946, 1990). Demikian juga halnya dengan hasil samping buah, sabut menjadi industri serat sabut, cocopeat, tempurung menjadi tepung tempurung, karbon aktif, dan air kelapa menjadi nata de coco. Bahan tersebut merupakan bahan baku pada industri; matras, kasur, pot, kompos kering, aneka makanan dan lain sebagainya (Richtler dan Knant, 1984 ; Istina et al ; 2003).

Pengolahan buah kelapa yang berfokus pada daging buahnya saja menyebabkan harga kelapa mencapai rata-rata Rp 1.500,- / butir, yang artinya pendapatan petani kelapa dengan kepemilikan rata-rata 0,5 Ha hanya mencapai Rp 3.750.000,- / tahun, pendapatan yang sangat rendah bagi petani untuk dapat hidup layak. Salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa adalah dengan mengolah semua komponen buah menjadi produk yang bernilai tinggi, sehingga nilai buah akan meningkat. Sebagai contoh tempurung kelapa, yang jika diolah menjadi arang tempurung dapat mencapai harga US$ 175/tondan jika diolah menjadi arang aktif dapat mencapai harga US$ 742/ton. Ini berarti peningkatan nilai arang tempurung menjadi arang aktif sebesar US$ 567/ton atau 324% (PKAO, 1989). Dengan demikian nilai ekonomi kelapa tidak lagi berbasis pada daging buah saja, seperti di Filipina yang mana 49% dari total ekspornya (US$ 920 juta) berasal dari pengolahan hasil samping, bukan dari CCO (Allorerung et al, 1998).

Data yang dihimpun oleh Asia Pasific Coconut Community (APCC, 2001) menunjukkan konsumsi kelapa segar dari 220 juta penduduk Indonesia mencapai 8,15 milyar butir (52,6%), dengan konsumsi per kapita per tahun sebanyak 37 butir sisanya sebanyak 7,35 milyar (47,4%) diolah menjadi 1,43 juta ton kopra (Agustian et al, 2003 ; Rindengan dan Karaow, 2003). Dari 1,43 juta ton kopra ini 85–90% diolah menjadi crude coconut oil (CCO) dan sisanya (10 – 15%) untuk olahan lanjutan. Dari angka-angka ini menunjukkan bahwa kegunaan buah kelapa beragam dengan pengguna yang juga tersebar. Hal ini menyebabkan bahan baku hasil samping kelapa tersebar, sehingga memerlukan strategi, kelembagaan dan implikasi yang tepat untuk membangun industri hilir tersebut.

Pada tahun 2007, luas areal kelapa mendominasi keseluruhan jenis tanaman perkebunan di Maluku (61,21%), kemudian cengkeh 24,07%, kakao 7,97%, pala 4,08%, dan kopi 2,68% (Statistik Pertanian Maluku 2007). Luas areal kelapa tersebut diusahakan oleh 83.919 KK petani. Produksi buah kelapa yang dihasilkan hanya untuk konsumsi buah segar dan sisanya diolah untuk kopra dan minyak goreng.

Harga kelapa segar di tingkat petani Rp 500,-/butir, sedangkan harga kopra dan minyak kelapa sebesar Rp 2.100,-/kg dan Rp 10.500,-/liter. Apabila petani hanya menjual kelapa dalam bentuk kelapa segar, pendapatan petani tetap rendah. Diolah untuk menjadi kopra, pendapatan lebih rendah dibanding menjual dalam bentuk kelapa segar. Namun karena terbatasnya pasar untuk kelapa segar dan minyak kelapa membuat petani mengolah dalam bentuk kopra.

Salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa adalah dengan mengolah semua komponen buah menjadi produk bernilai tinggi. Pendapatan petani akan meningkat 5 – 10 kali lipat. Untuk itu diperlukan strategi pembangunan pemberdayaan petani, kelembagaan dan implikasi yang tepat untuk membangun industri hilir tersebut.

Not only in quantity, but also in terms of product types, processing of coconuts can provide big opportunities. Coconut meat, which is now only processed into copra, crude coconut oil (CCO), and cooking oil, can be developed into oleochemicals, oleo-food, desiccated coconut, and other products that have high economic value (Rumokoi and Akuba, 1998 ; BNI 1946, 1990). Similarly, byproducts of fruit harvest, the fiber, coco-peat, shell powder, activated carbon, and coconut water into nata de coco, are all products that can be developed. Such materials are raw industrial materials for mattresses, pots, dry compost, various foodstuffs and so forth (Richtler and Knant, 1984; Istina et al, 2003).

If you only focus on the processing of coconut flesh, the highest prices only reach an average of Rp 1,500 per coconut, this means the income of coconut farmers (with an average ownership of 0.5 ha) only reaches Rp 3.75 million each year, a very low income for farmers to live on. One attempt to increase the income of coconut farmers is to process all components of the fruit into high value products so the value of the fruit will increase. For example, coconut shell, if processed into charcoal costs US$ 175/ton; if then it is processed into activated charcoal, prices reach US$ 742/ton, this means an increase in the value of active charcoal amounting to US$ 567/ton, or a 324% increase(PKAO , 1989). The economic value should no longer based on copra; in the Philippines, of total exports (US $ 920 million), 49% is other processed products that are byproducts (Allorerung et al, 1998).

The data gathered by the Asian Pacific Coconut Community (APCC, 2001) shows that the consumption of fresh coconut is 8.15 billion coconuts (52.6% of total), with consumption per capita per year as much as 37, and the remaining 7.35 billion coconuts (47.4%) are processed into 1.43 million tons of copra (Agustian et al, 2003; Rindengan and Karaow, 2003). Of the 1.43 million tons of copra, 85-90% is processed into crude coconut oil (CCO) and the rest (10-15%) is used for further processing. These figures indicate that the usefulness of coconuts to a variety of users who are also scattered. This requires a clear strategy, and there are institutional implications in developing the downstream industries.

In 2007, the area of coconut plantations dominated total land usage in Maluku (61.21%), the rest was 24.07% for cloves, 7.97% for cocoa, 4.08% for nutmeg, and 2.68% for coffee (Maluku Agricultural Statistics 2007). Coconut acreage is cultivated by 83,919 rural families. The coconuts were produced only for the consumption of fresh fruit and the remainder was processed for copra and cooking oil.

The price of fresh coconut at the farmer level is Rp 500 per coconut, while the price of copra and coconut oil is around Rp 2,100 per kilogram and Rp 10,500 per liter. If the farmers only sell in the form of fresh coconuts, the farmers' income remains low. If crops are processed to become copra, revenue is actually lower than for produce sold in the form of fresh coconut, but because of the limited market for fresh coconut and coconut oil the farmers make copra.

One attempt to increase the income of coconut farmers is to process all components of the fruit into high value products. Farmers' income will increase 50-10 fold. A development strategy is needed to empower farmers, institutions and to develop the downstream industries.

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201117 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 18

Page 19: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Pemberdayaan Petani Kelapa Untuk Produk Industri Hilir Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Petani Di Provinsi Maluku

Pemberdayaan Petani Kelapa Untuk Produk Industri Hilir Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Petani Di Provinsi Maluku

Downstream Farmer Empowerment to Increase Revenue in Maluku

Penulis adalah Staff Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Patimura, AmbonBy Dr. Hj. ASMARIA Latuconsina

Coconut (Cocos nucifera L) is one of the commodities traditionally traded by the people of Maluku. According Supadi and Nurmanaf (2006), coconut oil is one of the strategic commodities in the Indonesian economy and has a major role in the community as a source of income; it is also the main source of domestic oil, a source of industrial raw materials (food, construction, pharmaceuticals, oleochemicals) and provides employment. However, when viewed in terms of farmers' income, economic potential has not been optimally utilized due to various internal problems in the production, processing, and marketing processes, as well as in the institutions (Kasrino et al, 1998, in Supadi and Nurmanaf, 2006).

Coconut farming in Maluku is still traditionally done with minimal inputs. The prevailing belief is that coconut farming does not require fertilization and so forth. The result is low productivity of coconut plantations and processing. The fruit processing industry in general remains focused on processing of fruit pulp, while the processing of by-products such as water, fiber, and coconut shells is still traditional and small-scale, despite the fact that the potential availability of raw materials for building is very large.

elapa (Cocos nucifera L), merupakan salah satu komoditas unggulan yang diusahakan oleh masyarakat Maluku secara turun-Ktemurun. Menurut Supadi dan Nurmanaf (2006) dalam

Perekonomian Indonesia, kelapa merupakan salah satu komoditas strategis karena peranannya yang besar bagi masyarakat sebagai pendapatan, sumber utama minyak dalam negeri, sumber devisa, sumber bahan baku industri (pangan, bangunan, farmasi, oleokimia dan sebagai penyedia lapangan kerja. Namun demikian, bila dilihat dari segi pendapatan petani, potensi ekonomi kelapa yang sangat besar itu belum dimanfaatkan secara optimal karena adanya berbagai masalah baik dalam proses produksi, pengolahan, pemasaran maupun kelembagaan (Kasrino et al 1998, dalam Supadi dan Nurmanaf, 2006).

Usaha tani kelapa di Maluku sebagian besar masih dilakukan secara tradisional dengan input sarana produksi yang sangat minim. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan modal ditambah keyakinan yang berlaku di kalangan masyarakat bahwa usaha tani ini tidak memerlukan pemupukan dan sebagainya. Dampaknya adalah rendahnya produktivitas perkebunan kelapa rakyat begitu pula dengan pengolahannya. Industri pengolahan buah kelapa pada umumnya masih terfokus pada pengolahan hasil daging buah sebagai hasil utama, sedangkan industri yang mengolah hasil sampingan (by product) seperti

air, sabut kelapa, dan tempurung kelapa masih secara tradisional dan berskala kecil, padahal potensi ketersediaan bahan baku untuk membangun industri pengolahannya masih sangat besar.

Tidak hanya dari segi jumlah, dari segi jenis produk hilirpun, pengolahan hasil buah kelapa juga masih mempunyai peluang cukup besar. Daging buah kelapa yang selama ini hanya diolah menjadi kopra, crude coconut oil (CCO), dan minyak goring, mempunyai peluang dikembangkan menjadi industri oleochemical, oleofood, desiccated coconut, dan lain-lain produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Rumokoi dan Akuba, 1998 ; BNI 1946, 1990). Demikian juga halnya dengan hasil samping buah, sabut menjadi industri serat sabut, cocopeat, tempurung menjadi tepung tempurung, karbon aktif, dan air kelapa menjadi nata de coco. Bahan tersebut merupakan bahan baku pada industri; matras, kasur, pot, kompos kering, aneka makanan dan lain sebagainya (Richtler dan Knant, 1984 ; Istina et al ; 2003).

Pengolahan buah kelapa yang berfokus pada daging buahnya saja menyebabkan harga kelapa mencapai rata-rata Rp 1.500,- / butir, yang artinya pendapatan petani kelapa dengan kepemilikan rata-rata 0,5 Ha hanya mencapai Rp 3.750.000,- / tahun, pendapatan yang sangat rendah bagi petani untuk dapat hidup layak. Salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa adalah dengan mengolah semua komponen buah menjadi produk yang bernilai tinggi, sehingga nilai buah akan meningkat. Sebagai contoh tempurung kelapa, yang jika diolah menjadi arang tempurung dapat mencapai harga US$ 175/tondan jika diolah menjadi arang aktif dapat mencapai harga US$ 742/ton. Ini berarti peningkatan nilai arang tempurung menjadi arang aktif sebesar US$ 567/ton atau 324% (PKAO, 1989). Dengan demikian nilai ekonomi kelapa tidak lagi berbasis pada daging buah saja, seperti di Filipina yang mana 49% dari total ekspornya (US$ 920 juta) berasal dari pengolahan hasil samping, bukan dari CCO (Allorerung et al, 1998).

Data yang dihimpun oleh Asia Pasific Coconut Community (APCC, 2001) menunjukkan konsumsi kelapa segar dari 220 juta penduduk Indonesia mencapai 8,15 milyar butir (52,6%), dengan konsumsi per kapita per tahun sebanyak 37 butir sisanya sebanyak 7,35 milyar (47,4%) diolah menjadi 1,43 juta ton kopra (Agustian et al, 2003 ; Rindengan dan Karaow, 2003). Dari 1,43 juta ton kopra ini 85–90% diolah menjadi crude coconut oil (CCO) dan sisanya (10 – 15%) untuk olahan lanjutan. Dari angka-angka ini menunjukkan bahwa kegunaan buah kelapa beragam dengan pengguna yang juga tersebar. Hal ini menyebabkan bahan baku hasil samping kelapa tersebar, sehingga memerlukan strategi, kelembagaan dan implikasi yang tepat untuk membangun industri hilir tersebut.

Pada tahun 2007, luas areal kelapa mendominasi keseluruhan jenis tanaman perkebunan di Maluku (61,21%), kemudian cengkeh 24,07%, kakao 7,97%, pala 4,08%, dan kopi 2,68% (Statistik Pertanian Maluku 2007). Luas areal kelapa tersebut diusahakan oleh 83.919 KK petani. Produksi buah kelapa yang dihasilkan hanya untuk konsumsi buah segar dan sisanya diolah untuk kopra dan minyak goreng.

Harga kelapa segar di tingkat petani Rp 500,-/butir, sedangkan harga kopra dan minyak kelapa sebesar Rp 2.100,-/kg dan Rp 10.500,-/liter. Apabila petani hanya menjual kelapa dalam bentuk kelapa segar, pendapatan petani tetap rendah. Diolah untuk menjadi kopra, pendapatan lebih rendah dibanding menjual dalam bentuk kelapa segar. Namun karena terbatasnya pasar untuk kelapa segar dan minyak kelapa membuat petani mengolah dalam bentuk kopra.

Salah satu usaha untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa adalah dengan mengolah semua komponen buah menjadi produk bernilai tinggi. Pendapatan petani akan meningkat 5 – 10 kali lipat. Untuk itu diperlukan strategi pembangunan pemberdayaan petani, kelembagaan dan implikasi yang tepat untuk membangun industri hilir tersebut.

Not only in quantity, but also in terms of product types, processing of coconuts can provide big opportunities. Coconut meat, which is now only processed into copra, crude coconut oil (CCO), and cooking oil, can be developed into oleochemicals, oleo-food, desiccated coconut, and other products that have high economic value (Rumokoi and Akuba, 1998 ; BNI 1946, 1990). Similarly, byproducts of fruit harvest, the fiber, coco-peat, shell powder, activated carbon, and coconut water into nata de coco, are all products that can be developed. Such materials are raw industrial materials for mattresses, pots, dry compost, various foodstuffs and so forth (Richtler and Knant, 1984; Istina et al, 2003).

If you only focus on the processing of coconut flesh, the highest prices only reach an average of Rp 1,500 per coconut, this means the income of coconut farmers (with an average ownership of 0.5 ha) only reaches Rp 3.75 million each year, a very low income for farmers to live on. One attempt to increase the income of coconut farmers is to process all components of the fruit into high value products so the value of the fruit will increase. For example, coconut shell, if processed into charcoal costs US$ 175/ton; if then it is processed into activated charcoal, prices reach US$ 742/ton, this means an increase in the value of active charcoal amounting to US$ 567/ton, or a 324% increase(PKAO , 1989). The economic value should no longer based on copra; in the Philippines, of total exports (US $ 920 million), 49% is other processed products that are byproducts (Allorerung et al, 1998).

The data gathered by the Asian Pacific Coconut Community (APCC, 2001) shows that the consumption of fresh coconut is 8.15 billion coconuts (52.6% of total), with consumption per capita per year as much as 37, and the remaining 7.35 billion coconuts (47.4%) are processed into 1.43 million tons of copra (Agustian et al, 2003; Rindengan and Karaow, 2003). Of the 1.43 million tons of copra, 85-90% is processed into crude coconut oil (CCO) and the rest (10-15%) is used for further processing. These figures indicate that the usefulness of coconuts to a variety of users who are also scattered. This requires a clear strategy, and there are institutional implications in developing the downstream industries.

In 2007, the area of coconut plantations dominated total land usage in Maluku (61.21%), the rest was 24.07% for cloves, 7.97% for cocoa, 4.08% for nutmeg, and 2.68% for coffee (Maluku Agricultural Statistics 2007). Coconut acreage is cultivated by 83,919 rural families. The coconuts were produced only for the consumption of fresh fruit and the remainder was processed for copra and cooking oil.

The price of fresh coconut at the farmer level is Rp 500 per coconut, while the price of copra and coconut oil is around Rp 2,100 per kilogram and Rp 10,500 per liter. If the farmers only sell in the form of fresh coconuts, the farmers' income remains low. If crops are processed to become copra, revenue is actually lower than for produce sold in the form of fresh coconut, but because of the limited market for fresh coconut and coconut oil the farmers make copra.

One attempt to increase the income of coconut farmers is to process all components of the fruit into high value products. Farmers' income will increase 50-10 fold. A development strategy is needed to empower farmers, institutions and to develop the downstream industries.

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201117 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 18

Page 20: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Don’t Die of Thirst on the Edge of NTT’s Lakes

Jangan Mati Kehausan di Tepi Danau NTT

Oleh Wilson Therik

Mati Kehausan di Tepi DanauDalam pelbagai seminar, diskusi dan pemberitaan tentang NTT, selalu diungkapkan pelbagai masalah dan keterpurukan NTT, diantaranya 20 Kabupaten/Kota dari 21 Kabupaten/Kota yang masuk kategori tertinggal, jumlah penduduk miskin yang tinggi, kualitas pendidikan dan kesehatan yang memprihatinkan dan keterbatasan sumber daya dan infrastruktur.

Di pihak lain, lahan kritis/marginal yang terlantar tidak disinggung sebagai “potensi sumber daya alam”. Jutaan lahan kritis hanya dilihat sebagai sumber “air mata”. Padahal justru inilah “mata air”. Itulah peluang NTT, malah merupakan “peluang emas”. Dibalik tantangan selalu ada harapan, karena hidup ini adalah tantangan dan jawaban!

Dengan segala keterbatasan, saya mencoba menyodorkan 2 komoditi/ tanaman keras diantara pelbagai pilihan tanaman keras yang menurut saya layak dijadikan komoditi unggulan spesifik karena: relatif tumbuh di area marginal sesuai iklim NTT, bersifat menunjang usaha ladang konvensional, menunjang konservasi ternak dan air, memberikan nilai tambah dan keuntungan yang tinggi (dalam kurun waktu 4-5 tahun), tidak perlu bantuan investor besar karena dapat dikelola oleh petani, dimiliki petani, dan keuntungannya untuk petani.

Pola pendekatan yang cocok menurut saya adalah “Hutan Tani” (Agro/Social Forestry) yang awalnya dianggap sebagai pekerjaan sambilan dan secara bertahap diperluas dengan memanfaatkan lahan disekitar kebun/desa yang terlantar. Komoditi yang diusulkan adalah: Tanaman Kayu Putih (Melaleuca Leucadendrom) dan Jati Emas (Golden Teak).

Hutan Tani Berbasis Kayu PutihPohon Kayu Putih bukan tanaman baru, karena secara alamiah dan

sporadis tumbuh di pelbagai daerah di NTT, khususnya di hutan kritis/marginal. Penyulingan minyak kayu putih (cajuput oil) juga telah d i k e t a h u i o l e h m a s y a r a k a t , w a l a u p u n d e n g a n t e k n o l o g i sederhana/traditional, dengan mutu yang relatif rendah.

Apabila tanaman tersebut dibudidayakan di halaman rumah atau pagar kebun, bahkan pada area khusus disamping ladang/desa, maka kegiatan tersebut akan menumbuhkan industri kecil yang memberikan nilai tambah dan pendapatan yang sangat berarti bagi keluarga petani. Dengan alat suling standar berkapasitas 500 Kg daun kayu putih kering dengan investasi sebesar 30 juta Rupiah, satu kelompok usaha (4 Kepala Keluarga) dapat menyuling 2 kali dalam sehari (masing-masing 5 jam) dengan rendemen minyak 0.6% menghasilkan 6 Kg minyak kayu putih senilai Rp 600.000,- yang apabila dikurangi dengan biaya operasional (tenaga kerja, bahan bakar kayu, biaya angkut, dan lain-lain) sebesar + Rp200.000maka pendapatan bersih sekitar Rp 400.000,-/kelompok/hari atau Rp 100.000 untuk setiap keluarga/hari (sudah termasuk family labour). Kegiatan ini tidak terlalu mengganggu aktifitas berladang, apalagi dalam

The challenges facing Nusa Tenggara Timur are often mentioned in various seminars, discussions, and articles. Twenty of its twenty-one districts/cities are categorized as disadvantaged areas with high numbers of poor, with poor education and health s e r v i c e s , a n d l a c k i n g g o o d r e s o u r c e s a n d infrastructure.

On the other hand, the region has many unutilized areas which haven’t yet been studied as potential natural resources; what is seen as ‘tears’ should be instead seen as a ‘spring’, a source of water, a golden opportunity. Behind the challenges there is hope, because life is series of challenges and resolutions.

I would like to suggest two plant species that I think are feasible to be considered as primary commodities; they are found on unused land, are suited to the local climate, can support conventional farming, and are suitable for water conservation. These species also have good economic potential and can be harvested within 4-5 years without great investment from farmers to grow them.

Agro-forestry, or social forestry, is a good approach to grow these species. Farmers can utilize unused land near their gardens/villages. These two plants are cajuput (Melaleuca leucadendron) and golden teak (Tectona grandis).

Cajuput-Based Community ForestsCajuput is not new to the Nusa Tenggara Timur

people. This species is commonly found in unused land and forests. The uses for its oil, known as cajuput oil, are also well known in the wider community; the oil is produced using very traditional techniques and therefore its quality is relatively low.

Cajuput can be grown in home gardens or anywhere else in a village. It represents a good opportunity for farmers to start small industries to add value to the product and provide additional income for their family. Using a standard distillery (at a cost of Rp 30 million) to distill up to 500 kg of dried cajuput leaves, one group (4 families per group) can distill at least twice a day (5 hours for each distillation) and obtain a yield of 0.6% of total mass or 6 kg of cajuput oil. This equals Rp 600,000, which when reduced by operational costs of Rp 200,000 (workers, wood fuel, transportation, etc.),

musim penghujan (+ 3 bulan) praktis tidak perlu diadakan penyulingan, karena rendemen merosot, sehingga kurang menguntungkan.

Aktivitas budidaya dan penyulingan, hanya membutuhkan sedikit bimbingan, karena itu sangat layak dikembangkan. Permintaan ekspor komoditi minyak kayu putih cukup besar, namun karena kebutuhan dalam negeri juga tinggi maka seluruh produk saat ini diserap pasar domestik. Pasar bukan masalah.

Jati EmasThailand adalah negara yang berhasil menyumbangkan jati emas

karena didukung oleh penelitian dan pengembangan yang memadai, yang menggunakan teknologi LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture).

Dengan pola tanaman lorong, maka usaha palawija tetap dapat dikembangkan di sela tanaman jati emas selama 5 tahun pertama. Dalam 5 tahun pohon jati emas telah mencapai diameter 20 cm dan layak jual, sementara pada umur 8 tahun ke atas telah dapat mencapai diameter 30 cm (bandingkan dengan jati biasa yang membutuhkan waktu + 30 tahun). Walaupun usaha ini relatif membutuhkan modal investasi/usaha yang relatif baru, penggunaan pupuk dan pestisida yang teratur, serta pemeliharaan yang intensif, namun biaya tersebut sebanding dengan tingkat pendapatan yang tinggi pula. Berbeda dengan pohon kayu putih, jati emas membutuhkan bimbingan dan pendampingan mulai dari pembibitan, penanaman, pemumpukan, perawatan hingga penebangan dan rotasi penanaman berikutnya. Sebagai ilustrasi, untuk 1 Ha hutan jati emas, dapat di tanam 2000 anakan dengan catatan 50% dapat ditebang untuk penjarangan, namun layak jual karena telah mencapai diameter 20 cm.

will net the group Rp 400,000/per day or Rp 100,000 per family (including family labor). This activity will not disturb farming activity, especially in the rainy season (about three months long) when yield decreases, making it less profitable.

The distillation process for cajuput oil is easy to learn, therefore it is very feasible to be developed in Nusa Tenggara Timur. Demand for cajuput oil export is increasing, however, the domestic need is relatively high and all the oil is sold in domestic markets. So this indicates that marketing is not a problem.

Golden TeakThailand is one country which has been successful in

producing golden teak because it is supported by appropriate research and development, and LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) technology.

By applying a line pattern planting method, under-canopy plant species can be grown in between golden teak trees for the first five years. In five years, the golden teak tree reaches 20 meters in height and can be cut and sold. In eight years, the diameter of the tree reaches 30 cm (compare to common teak which needs 30 years to reach the same diameter). Although golden teak plantations are relatively new, the routine utilization of fertilizer and pesticides and intensive care are equal to the income they bring. Different to the cajuput trees, golden teak needs skill and intense guidance at all stages, from seedling, to planting, fertilizing, cutting and for the next planting rotation. As an illustration, one hectare can be planted with 2,000 golden teak seeds and 50% of them can be cut for maintenance if the trees reach 20 cm in diameter.

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201119 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 20

Page 21: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Don’t Die of Thirst on the Edge of NTT’s Lakes

Jangan Mati Kehausan di Tepi Danau NTT

Oleh Wilson Therik

Mati Kehausan di Tepi DanauDalam pelbagai seminar, diskusi dan pemberitaan tentang NTT, selalu diungkapkan pelbagai masalah dan keterpurukan NTT, diantaranya 20 Kabupaten/Kota dari 21 Kabupaten/Kota yang masuk kategori tertinggal, jumlah penduduk miskin yang tinggi, kualitas pendidikan dan kesehatan yang memprihatinkan dan keterbatasan sumber daya dan infrastruktur.

Di pihak lain, lahan kritis/marginal yang terlantar tidak disinggung sebagai “potensi sumber daya alam”. Jutaan lahan kritis hanya dilihat sebagai sumber “air mata”. Padahal justru inilah “mata air”. Itulah peluang NTT, malah merupakan “peluang emas”. Dibalik tantangan selalu ada harapan, karena hidup ini adalah tantangan dan jawaban!

Dengan segala keterbatasan, saya mencoba menyodorkan 2 komoditi/ tanaman keras diantara pelbagai pilihan tanaman keras yang menurut saya layak dijadikan komoditi unggulan spesifik karena: relatif tumbuh di area marginal sesuai iklim NTT, bersifat menunjang usaha ladang konvensional, menunjang konservasi ternak dan air, memberikan nilai tambah dan keuntungan yang tinggi (dalam kurun waktu 4-5 tahun), tidak perlu bantuan investor besar karena dapat dikelola oleh petani, dimiliki petani, dan keuntungannya untuk petani.

Pola pendekatan yang cocok menurut saya adalah “Hutan Tani” (Agro/Social Forestry) yang awalnya dianggap sebagai pekerjaan sambilan dan secara bertahap diperluas dengan memanfaatkan lahan disekitar kebun/desa yang terlantar. Komoditi yang diusulkan adalah: Tanaman Kayu Putih (Melaleuca Leucadendrom) dan Jati Emas (Golden Teak).

Hutan Tani Berbasis Kayu PutihPohon Kayu Putih bukan tanaman baru, karena secara alamiah dan

sporadis tumbuh di pelbagai daerah di NTT, khususnya di hutan kritis/marginal. Penyulingan minyak kayu putih (cajuput oil) juga telah d i k e t a h u i o l e h m a s y a r a k a t , w a l a u p u n d e n g a n t e k n o l o g i sederhana/traditional, dengan mutu yang relatif rendah.

Apabila tanaman tersebut dibudidayakan di halaman rumah atau pagar kebun, bahkan pada area khusus disamping ladang/desa, maka kegiatan tersebut akan menumbuhkan industri kecil yang memberikan nilai tambah dan pendapatan yang sangat berarti bagi keluarga petani. Dengan alat suling standar berkapasitas 500 Kg daun kayu putih kering dengan investasi sebesar 30 juta Rupiah, satu kelompok usaha (4 Kepala Keluarga) dapat menyuling 2 kali dalam sehari (masing-masing 5 jam) dengan rendemen minyak 0.6% menghasilkan 6 Kg minyak kayu putih senilai Rp 600.000,- yang apabila dikurangi dengan biaya operasional (tenaga kerja, bahan bakar kayu, biaya angkut, dan lain-lain) sebesar + Rp200.000maka pendapatan bersih sekitar Rp 400.000,-/kelompok/hari atau Rp 100.000 untuk setiap keluarga/hari (sudah termasuk family labour). Kegiatan ini tidak terlalu mengganggu aktifitas berladang, apalagi dalam

The challenges facing Nusa Tenggara Timur are often mentioned in various seminars, discussions, and articles. Twenty of its twenty-one districts/cities are categorized as disadvantaged areas with high numbers of poor, with poor education and health s e r v i c e s , a n d l a c k i n g g o o d r e s o u r c e s a n d infrastructure.

On the other hand, the region has many unutilized areas which haven’t yet been studied as potential natural resources; what is seen as ‘tears’ should be instead seen as a ‘spring’, a source of water, a golden opportunity. Behind the challenges there is hope, because life is series of challenges and resolutions.

I would like to suggest two plant species that I think are feasible to be considered as primary commodities; they are found on unused land, are suited to the local climate, can support conventional farming, and are suitable for water conservation. These species also have good economic potential and can be harvested within 4-5 years without great investment from farmers to grow them.

Agro-forestry, or social forestry, is a good approach to grow these species. Farmers can utilize unused land near their gardens/villages. These two plants are cajuput (Melaleuca leucadendron) and golden teak (Tectona grandis).

Cajuput-Based Community ForestsCajuput is not new to the Nusa Tenggara Timur

people. This species is commonly found in unused land and forests. The uses for its oil, known as cajuput oil, are also well known in the wider community; the oil is produced using very traditional techniques and therefore its quality is relatively low.

Cajuput can be grown in home gardens or anywhere else in a village. It represents a good opportunity for farmers to start small industries to add value to the product and provide additional income for their family. Using a standard distillery (at a cost of Rp 30 million) to distill up to 500 kg of dried cajuput leaves, one group (4 families per group) can distill at least twice a day (5 hours for each distillation) and obtain a yield of 0.6% of total mass or 6 kg of cajuput oil. This equals Rp 600,000, which when reduced by operational costs of Rp 200,000 (workers, wood fuel, transportation, etc.),

musim penghujan (+ 3 bulan) praktis tidak perlu diadakan penyulingan, karena rendemen merosot, sehingga kurang menguntungkan.

Aktivitas budidaya dan penyulingan, hanya membutuhkan sedikit bimbingan, karena itu sangat layak dikembangkan. Permintaan ekspor komoditi minyak kayu putih cukup besar, namun karena kebutuhan dalam negeri juga tinggi maka seluruh produk saat ini diserap pasar domestik. Pasar bukan masalah.

Jati EmasThailand adalah negara yang berhasil menyumbangkan jati emas

karena didukung oleh penelitian dan pengembangan yang memadai, yang menggunakan teknologi LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture).

Dengan pola tanaman lorong, maka usaha palawija tetap dapat dikembangkan di sela tanaman jati emas selama 5 tahun pertama. Dalam 5 tahun pohon jati emas telah mencapai diameter 20 cm dan layak jual, sementara pada umur 8 tahun ke atas telah dapat mencapai diameter 30 cm (bandingkan dengan jati biasa yang membutuhkan waktu + 30 tahun). Walaupun usaha ini relatif membutuhkan modal investasi/usaha yang relatif baru, penggunaan pupuk dan pestisida yang teratur, serta pemeliharaan yang intensif, namun biaya tersebut sebanding dengan tingkat pendapatan yang tinggi pula. Berbeda dengan pohon kayu putih, jati emas membutuhkan bimbingan dan pendampingan mulai dari pembibitan, penanaman, pemumpukan, perawatan hingga penebangan dan rotasi penanaman berikutnya. Sebagai ilustrasi, untuk 1 Ha hutan jati emas, dapat di tanam 2000 anakan dengan catatan 50% dapat ditebang untuk penjarangan, namun layak jual karena telah mencapai diameter 20 cm.

will net the group Rp 400,000/per day or Rp 100,000 per family (including family labor). This activity will not disturb farming activity, especially in the rainy season (about three months long) when yield decreases, making it less profitable.

The distillation process for cajuput oil is easy to learn, therefore it is very feasible to be developed in Nusa Tenggara Timur. Demand for cajuput oil export is increasing, however, the domestic need is relatively high and all the oil is sold in domestic markets. So this indicates that marketing is not a problem.

Golden TeakThailand is one country which has been successful in

producing golden teak because it is supported by appropriate research and development, and LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) technology.

By applying a line pattern planting method, under-canopy plant species can be grown in between golden teak trees for the first five years. In five years, the golden teak tree reaches 20 meters in height and can be cut and sold. In eight years, the diameter of the tree reaches 30 cm (compare to common teak which needs 30 years to reach the same diameter). Although golden teak plantations are relatively new, the routine utilization of fertilizer and pesticides and intensive care are equal to the income they bring. Different to the cajuput trees, golden teak needs skill and intense guidance at all stages, from seedling, to planting, fertilizing, cutting and for the next planting rotation. As an illustration, one hectare can be planted with 2,000 golden teak seeds and 50% of them can be cut for maintenance if the trees reach 20 cm in diameter.

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201119 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 20

Page 22: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Menuju Pengelolaan Keuangan Daerah yang Lebih EfektifTowards More Effective Regional Finance Management

PEACH UPDATE

Berdasarkan kalkulasi farm budget yang coba dikembangkan oleh Lembaga Penelitian dan dipublikasikan oleh penulis (Daru Mahaldawarsa, 2009), untuk 1 Ha di butuhkan biaya (selama + 10 tahun) sebesar 43 juta rupiah, dan pendapatan/ keuntungan sebesar 2,94% miliar rupiah, yang dimulai pada tahun kelima. Andaikata pemerintah mau menyumbangkan 2 Ha hutan jati emas dengan biaya pemerintah di setiap desa, maka dalam kurun waktu 10-15 tahun, akan tersedia modal usaha (cash) milik penduduk desa sebesar 5-6 miliar rupiah dan itu “sumber air”, itulah “danau” penyelamat NTT. Dengan keyakinan bahwa instansi teknis dan perguruan di NTT akan siap membantu menyiapkan model usaha/profil usaha disertai analisis farm budget yang up to date, memberikan bimbingan tentang pola perencanaan dan pola penanaman/ pemeliharaan serta pengelolaan komoditi kayu putih dan jati emas. Jika masih ragu, bantuan tenaga ahli yang berpengalaman dari Balai Besar Pertanian atau Lembaga Riset dan Perguruan Tinggi (IPB-Bogor) dapat dimanfaatkan. Sesuai namanya, jati emas adalah peluang emas!

Based on budget calculations which has been developed by research institutes and published (Daru Mahaldawarsa, 2009), one hectare of golden teak plantation requires 43 million rupiah (for around 10 year duration) and will bring 2.94 billion rupiah in the fifth year. If the government provided two hectares of golden teak forest, in ten to fifteen years the villagers could have five to six billion rupiah. Universities in Nusa Tenggara Timur would be able to support by providing the enterprise models or business profile with up-to-date farm budget analysis. Universities can also provide guidance on planting methods, maintenance, and post-harvest management. Farmers can also go to Agriculture Offices (Balai Besar Pertanian) or Research Institutes for this information. Just like its name, golden teak is a golden opportunity!

PenutupDengan “mata elang” yang terbang tinggi, para pakar pembangunan telah

mengisyaratkan bahwa upaya pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan tidak cukup dengan aksi jangka pendek (seperti BLT) tetapi membutuhkan strategi jangka panjang serta pilihan komoditi unggulan yang mempunyai keunggulan komparatif maupun kompetitif dengan road map yang jelas. Dengan “mata cacing” Muhammad Yunus menyeruduk jauh ke dalam lumpur kemiskinan di Bangladesh dan mendirikan Bank untuk kaum miskin (Grameen Bank) dan berhasil. Tetapi, puji Tuhan, kita belajar dari Bunda Theresia (Alm) di Calcuta yang menggunakan “mata hati”, mendekap si miskin dan memberi dirinya untuk melayani. Tulisan sederhana ini semoga membuka mata hati kita, memanfaatkan lahan kritis yang terlantar, bagi petani kecil yang juga terlantar, menumbuhkan sumber “mata air” dari lahan yang kritis,

ConclusionDevelopment actors remind us that economic

development and poverty alleviation requires more than short-term actions (like Cash Aid Programs). It requires long-term strategy and development of primary commodity complete with clear road maps. Muhammad Yunus established the Grameen Bank for the poor communities in Bangladesh. We also can learn from Mother Theresa in Calcutta, who used her heart to embrace and serve poor people. I hope this article opens our heart to utilizing unused land, for small-scale and marginalized farmers who need a ‘spring’ in a dry land.

Penulis adalah Focal Point JiKTI Wilayah Nusa Tenggara Timur, Kandidat Doktor Studi Pembangunan UKSW Salatiga dan Anggota Forum Academia NTT/ The writer is the JiKTI Focal Point for Nusa Tenggara Timur, a Phd Candidate in Development Studies at UKSW Salatiga and a member of Forum Academia NTT. Email: [email protected] , [email protected]

engelolaan keuangan publik yang efektif perlu ditunjang kapasitas pengelola untuk memperbaiki kualitas layanan publik. Hal ini telah Pmenjadi perhatian Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan

memulai sebuah program bernama Analisa Pengeluaran Publik dan Peningkatan Kapasitas atau yang lebih dikenal dengan PEACH (Public Expenditure Analysis and Capacity Harmonization). PEACH merupakan sebuah perangkat analisa dan strategi peningkatan kapasitas untuk mendukung pemerintah daerah dalam meningkatkan efektifitas perencanaan anggaran pembangunan. Program ini berfokus pada tiga sektor layanan publik utama yakni kesehatan, pendidikan dan infrastruktur.

Mengawali program tersebut, pada tanggal 11-12 November 2010 diselenggarakan Lokakarya Awal yang merupakan satu bagian dari rangkaian implementasi tatakelola keuangan daerah yang lebih baik di Sulawesi Selatan. Lokakarya Awal diikuti oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang diwakili oleh Program Management Committee (PMC) yang berasal BAPPEDA, Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sulsel, dan tim peneliti yang berasal dari Universitas Hasanuddin.

Lokakarya Awal ini merumuskan dan menyepakati tujuan, arah dan garis besar kegiatan studi Analisa Pengeluaran Publik yang direncanakan akan dilaksanakan sepanjang tahun 2011. Dalam Lokakarya Awal ini juga dibicarakan sektor kajian tambahan, sesuai permintaan PMC, sehingga diharapkan kajian ini dapat dengant epat menjawab kebutuhan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam meningkatkan transparansi dan kapasitas aparatur manajemen keuangan publik.

Setelah pelaksanaan Lokakarya Awal, PMC dan para tim peneliti akan melaksanakan dua tahap pelaksanaan program PEACH. Tahap pertama adalah Analisa Pengeluaran Publik atau Daerah (APP) dan tahap kedua Penguatan Kapasitas. Pada tahap pertama, berbagai kegiatan penelitian dan workshop yang mengkaji lebih dalam mengenai alokasi dan realisasi pembelanjaan

Effective public finance management, supported by people with better management capacity to improve the quality of public services, is on the Sulawesi Selatan Government’s agenda. The Kick-Off Workshop for Sulawesi Selatan PEACH program is a step towards better public finance management in Sulawesi Selatan. The workshop was conducted on 11-12 November 2010.

This particular Kick Off Workshop is only one activity within two strategic phases of the Public Expenditure Analysis and Capacity Harmonization (PEACH) Program. PEACH itself is a set of strategic analytical and capacity improvement tools to support provincial governments in their efforts to make development budget planning and management more effective. The tools were developed by the World Bank. In its implementation, PEACH consists of two phases: Public Expenditure Analysis (PEA) and Capacity Harmonization.

Following the Kick-Off Workshop, there will be series of research activities and workshops in the PEA phase. The other phase is Capacity Harmonization, in which the capacity building activities will take place. The second phase will be designed according to the outputs/ recommendations of the PEA study in that particular province. During the workshop, the provincial government, represented by the Program Management Committee (PMC), and the selected local researcher team, designed and agreed upon the PEA research direction and content.

Even though PEACH is focused on three main sectors, health, education and infrastructure, the Kick-Off

For more information about PEACH program and updates please contact Luna VidyaEmail : [email protected]

untuk layanan publik di suatu daerah. Selanjutnya berdasarkan hasil kajian dan analisa keuangan daerah akan dilakukan penguatan kapasitas daerah dalam pengelolaan anggaran bagi aparatur manajemen keuangan publik.

Selain Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, program PEACH juga dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Papua, Gorontalo, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Pelaksanaan Program PEACH di masing-masing provinsi tersebut berada pada tahap yang berbeda-beda. Gorontalo dan Papua misalnya, telah menyelesaikan tahap Kajian Analisa Keuangan Daerah bersama-sama dengan provinsi Maluku, NTB juga NTT. Bahkan Pemerintah Provinsi Papua dan Gorontalo saat ini bersiap untuk melaksanakan tahap strategis ke dua program, yakni Penguatan Kapasitas.

Program ini masih berada pada tahap pertama atau Analisa Pengeluaran Publik di Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Walaupun demikian, tim peneliti di Sulawesi Utara yang telah lebih dulu memulai kajian ini, tengah memasuki tahap akhir penyelesaian laporan yang akan segera diluncurkan ke publik. Sebagai bagian dari upaya memperkaya hasil analisa pengeluaran publik dari program ini, BaKTI melakukan media monitoring terhadap isu-isu tatakelola keuangan publik (Public Finance Management – PFM) pada beberapa surat kabar dan radio di tiga provinsi ini.

Di tiga provinsi di mana Kajian Analisa Keuangan Daerah sedang berlangsung, BaKTI melakukan pula media monitoring isu-isu menyangkut Tatakelola Keuangan Publik (Publik Finance Management-PFM) di beberapa surat kabar dan radio setempat.

Adapun hasil sementara dari monitoring tersebut menunjukkan tingginya ketertarikan publik terhadap isu di sekitar transparansi pengelolaan keuangan publik serta fungsi kontrol media terhadap pengelolaan keuangan publik. Ini terlihat dari tingginya jumlah berita yang menyangkut isu pengelolaan keuangan publik. Di Sulawesi Selatan saja, kami mencatat 195 berita yang dipublikasikan pada periode Oktober hingga Desember. Sementara di Sulawesi Tenggara 111 berita, dan 247 berita di Sulawesi Utara. Isu tranpasransi pengelolaan keuangan publik muncul di media dalam beberapa kelompok, seperti inisiatif dan potensi sumber-sumber dana pembangunan daerah, kebijakan serta proses di sekitar perencanaan dan penganggaran keuangan daerah, realisasi pembelanjaan secara umum maupun sektoral, juga isu menyangkut pengawasan pengelolaan keuangan daerah.

Workshop resulted in two additional sectors to be analyzed as requested by the PMC, to answer Sulawesi Selatan Province’s need to improve transparency and civil servant capacity in public financial management.

Sulawesi Selatan is not alone in adopting the PEACH program. The PEACH program has been implemented by several other provinces in Indonesia, including Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Papua and Gorontalo in eastern Indonesia.

PEACH program implementations within those provinces are each in different stages. Gorontalo and Papua, for instance, have finished their PEA stage, as have Maluku, NTB and NTT. Papua and Gorontalo are ready for the second stage, Capacity Harmonization. Capacity Harmonization will be facilitated by a University of Gajah Mada team.

Sulawesi Selatan, with Sulawesi Utara and Sulawesi Tenggara, are still in the PEA study phase. However, Sulawesi Utara, which started its PEA study several months earlier than Sulawesi Selatan and Sulawesi Tenggara, is now in the final drafting of PEA report stage. The report will be launched to public on completion.

In the provinces where the PEA studies are ongoing, BaKTI is conducted media monitoring on issue relates to Public Finance Management (PFM) in local newspapers and on radio. The initial records show substantial coverage in the media of PFM issues related to transparency. From October to December, in Sulawesi Selatan alone there were 195 articles and mentions, in Sulawesi Tenggara there were 111 and in Sulawesi Utara 247 pieces of news. The rate of media coverage is linked to public interest and also shows the potential of media control on PFM issues, including regional development fund resources, government sectoral and general actual expenditure, policy and process related to regional development planning and budgeting, as well as monitoring of public finance management.

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201121 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 22

Page 23: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Menuju Pengelolaan Keuangan Daerah yang Lebih EfektifTowards More Effective Regional Finance Management

PEACH UPDATE

Berdasarkan kalkulasi farm budget yang coba dikembangkan oleh Lembaga Penelitian dan dipublikasikan oleh penulis (Daru Mahaldawarsa, 2009), untuk 1 Ha di butuhkan biaya (selama + 10 tahun) sebesar 43 juta rupiah, dan pendapatan/ keuntungan sebesar 2,94% miliar rupiah, yang dimulai pada tahun kelima. Andaikata pemerintah mau menyumbangkan 2 Ha hutan jati emas dengan biaya pemerintah di setiap desa, maka dalam kurun waktu 10-15 tahun, akan tersedia modal usaha (cash) milik penduduk desa sebesar 5-6 miliar rupiah dan itu “sumber air”, itulah “danau” penyelamat NTT. Dengan keyakinan bahwa instansi teknis dan perguruan di NTT akan siap membantu menyiapkan model usaha/profil usaha disertai analisis farm budget yang up to date, memberikan bimbingan tentang pola perencanaan dan pola penanaman/ pemeliharaan serta pengelolaan komoditi kayu putih dan jati emas. Jika masih ragu, bantuan tenaga ahli yang berpengalaman dari Balai Besar Pertanian atau Lembaga Riset dan Perguruan Tinggi (IPB-Bogor) dapat dimanfaatkan. Sesuai namanya, jati emas adalah peluang emas!

Based on budget calculations which has been developed by research institutes and published (Daru Mahaldawarsa, 2009), one hectare of golden teak plantation requires 43 million rupiah (for around 10 year duration) and will bring 2.94 billion rupiah in the fifth year. If the government provided two hectares of golden teak forest, in ten to fifteen years the villagers could have five to six billion rupiah. Universities in Nusa Tenggara Timur would be able to support by providing the enterprise models or business profile with up-to-date farm budget analysis. Universities can also provide guidance on planting methods, maintenance, and post-harvest management. Farmers can also go to Agriculture Offices (Balai Besar Pertanian) or Research Institutes for this information. Just like its name, golden teak is a golden opportunity!

PenutupDengan “mata elang” yang terbang tinggi, para pakar pembangunan telah

mengisyaratkan bahwa upaya pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan tidak cukup dengan aksi jangka pendek (seperti BLT) tetapi membutuhkan strategi jangka panjang serta pilihan komoditi unggulan yang mempunyai keunggulan komparatif maupun kompetitif dengan road map yang jelas. Dengan “mata cacing” Muhammad Yunus menyeruduk jauh ke dalam lumpur kemiskinan di Bangladesh dan mendirikan Bank untuk kaum miskin (Grameen Bank) dan berhasil. Tetapi, puji Tuhan, kita belajar dari Bunda Theresia (Alm) di Calcuta yang menggunakan “mata hati”, mendekap si miskin dan memberi dirinya untuk melayani. Tulisan sederhana ini semoga membuka mata hati kita, memanfaatkan lahan kritis yang terlantar, bagi petani kecil yang juga terlantar, menumbuhkan sumber “mata air” dari lahan yang kritis,

ConclusionDevelopment actors remind us that economic

development and poverty alleviation requires more than short-term actions (like Cash Aid Programs). It requires long-term strategy and development of primary commodity complete with clear road maps. Muhammad Yunus established the Grameen Bank for the poor communities in Bangladesh. We also can learn from Mother Theresa in Calcutta, who used her heart to embrace and serve poor people. I hope this article opens our heart to utilizing unused land, for small-scale and marginalized farmers who need a ‘spring’ in a dry land.

Penulis adalah Focal Point JiKTI Wilayah Nusa Tenggara Timur, Kandidat Doktor Studi Pembangunan UKSW Salatiga dan Anggota Forum Academia NTT/ The writer is the JiKTI Focal Point for Nusa Tenggara Timur, a Phd Candidate in Development Studies at UKSW Salatiga and a member of Forum Academia NTT. Email: [email protected] , [email protected]

engelolaan keuangan publik yang efektif perlu ditunjang kapasitas pengelola untuk memperbaiki kualitas layanan publik. Hal ini telah Pmenjadi perhatian Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan

memulai sebuah program bernama Analisa Pengeluaran Publik dan Peningkatan Kapasitas atau yang lebih dikenal dengan PEACH (Public Expenditure Analysis and Capacity Harmonization). PEACH merupakan sebuah perangkat analisa dan strategi peningkatan kapasitas untuk mendukung pemerintah daerah dalam meningkatkan efektifitas perencanaan anggaran pembangunan. Program ini berfokus pada tiga sektor layanan publik utama yakni kesehatan, pendidikan dan infrastruktur.

Mengawali program tersebut, pada tanggal 11-12 November 2010 diselenggarakan Lokakarya Awal yang merupakan satu bagian dari rangkaian implementasi tatakelola keuangan daerah yang lebih baik di Sulawesi Selatan. Lokakarya Awal diikuti oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang diwakili oleh Program Management Committee (PMC) yang berasal BAPPEDA, Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sulsel, dan tim peneliti yang berasal dari Universitas Hasanuddin.

Lokakarya Awal ini merumuskan dan menyepakati tujuan, arah dan garis besar kegiatan studi Analisa Pengeluaran Publik yang direncanakan akan dilaksanakan sepanjang tahun 2011. Dalam Lokakarya Awal ini juga dibicarakan sektor kajian tambahan, sesuai permintaan PMC, sehingga diharapkan kajian ini dapat dengant epat menjawab kebutuhan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam meningkatkan transparansi dan kapasitas aparatur manajemen keuangan publik.

Setelah pelaksanaan Lokakarya Awal, PMC dan para tim peneliti akan melaksanakan dua tahap pelaksanaan program PEACH. Tahap pertama adalah Analisa Pengeluaran Publik atau Daerah (APP) dan tahap kedua Penguatan Kapasitas. Pada tahap pertama, berbagai kegiatan penelitian dan workshop yang mengkaji lebih dalam mengenai alokasi dan realisasi pembelanjaan

Effective public finance management, supported by people with better management capacity to improve the quality of public services, is on the Sulawesi Selatan Government’s agenda. The Kick-Off Workshop for Sulawesi Selatan PEACH program is a step towards better public finance management in Sulawesi Selatan. The workshop was conducted on 11-12 November 2010.

This particular Kick Off Workshop is only one activity within two strategic phases of the Public Expenditure Analysis and Capacity Harmonization (PEACH) Program. PEACH itself is a set of strategic analytical and capacity improvement tools to support provincial governments in their efforts to make development budget planning and management more effective. The tools were developed by the World Bank. In its implementation, PEACH consists of two phases: Public Expenditure Analysis (PEA) and Capacity Harmonization.

Following the Kick-Off Workshop, there will be series of research activities and workshops in the PEA phase. The other phase is Capacity Harmonization, in which the capacity building activities will take place. The second phase will be designed according to the outputs/ recommendations of the PEA study in that particular province. During the workshop, the provincial government, represented by the Program Management Committee (PMC), and the selected local researcher team, designed and agreed upon the PEA research direction and content.

Even though PEACH is focused on three main sectors, health, education and infrastructure, the Kick-Off

For more information about PEACH program and updates please contact Luna VidyaEmail : [email protected]

untuk layanan publik di suatu daerah. Selanjutnya berdasarkan hasil kajian dan analisa keuangan daerah akan dilakukan penguatan kapasitas daerah dalam pengelolaan anggaran bagi aparatur manajemen keuangan publik.

Selain Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, program PEACH juga dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Papua, Gorontalo, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Pelaksanaan Program PEACH di masing-masing provinsi tersebut berada pada tahap yang berbeda-beda. Gorontalo dan Papua misalnya, telah menyelesaikan tahap Kajian Analisa Keuangan Daerah bersama-sama dengan provinsi Maluku, NTB juga NTT. Bahkan Pemerintah Provinsi Papua dan Gorontalo saat ini bersiap untuk melaksanakan tahap strategis ke dua program, yakni Penguatan Kapasitas.

Program ini masih berada pada tahap pertama atau Analisa Pengeluaran Publik di Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Walaupun demikian, tim peneliti di Sulawesi Utara yang telah lebih dulu memulai kajian ini, tengah memasuki tahap akhir penyelesaian laporan yang akan segera diluncurkan ke publik. Sebagai bagian dari upaya memperkaya hasil analisa pengeluaran publik dari program ini, BaKTI melakukan media monitoring terhadap isu-isu tatakelola keuangan publik (Public Finance Management – PFM) pada beberapa surat kabar dan radio di tiga provinsi ini.

Di tiga provinsi di mana Kajian Analisa Keuangan Daerah sedang berlangsung, BaKTI melakukan pula media monitoring isu-isu menyangkut Tatakelola Keuangan Publik (Publik Finance Management-PFM) di beberapa surat kabar dan radio setempat.

Adapun hasil sementara dari monitoring tersebut menunjukkan tingginya ketertarikan publik terhadap isu di sekitar transparansi pengelolaan keuangan publik serta fungsi kontrol media terhadap pengelolaan keuangan publik. Ini terlihat dari tingginya jumlah berita yang menyangkut isu pengelolaan keuangan publik. Di Sulawesi Selatan saja, kami mencatat 195 berita yang dipublikasikan pada periode Oktober hingga Desember. Sementara di Sulawesi Tenggara 111 berita, dan 247 berita di Sulawesi Utara. Isu tranpasransi pengelolaan keuangan publik muncul di media dalam beberapa kelompok, seperti inisiatif dan potensi sumber-sumber dana pembangunan daerah, kebijakan serta proses di sekitar perencanaan dan penganggaran keuangan daerah, realisasi pembelanjaan secara umum maupun sektoral, juga isu menyangkut pengawasan pengelolaan keuangan daerah.

Workshop resulted in two additional sectors to be analyzed as requested by the PMC, to answer Sulawesi Selatan Province’s need to improve transparency and civil servant capacity in public financial management.

Sulawesi Selatan is not alone in adopting the PEACH program. The PEACH program has been implemented by several other provinces in Indonesia, including Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Papua and Gorontalo in eastern Indonesia.

PEACH program implementations within those provinces are each in different stages. Gorontalo and Papua, for instance, have finished their PEA stage, as have Maluku, NTB and NTT. Papua and Gorontalo are ready for the second stage, Capacity Harmonization. Capacity Harmonization will be facilitated by a University of Gajah Mada team.

Sulawesi Selatan, with Sulawesi Utara and Sulawesi Tenggara, are still in the PEA study phase. However, Sulawesi Utara, which started its PEA study several months earlier than Sulawesi Selatan and Sulawesi Tenggara, is now in the final drafting of PEA report stage. The report will be launched to public on completion.

In the provinces where the PEA studies are ongoing, BaKTI is conducted media monitoring on issue relates to Public Finance Management (PFM) in local newspapers and on radio. The initial records show substantial coverage in the media of PFM issues related to transparency. From October to December, in Sulawesi Selatan alone there were 195 articles and mentions, in Sulawesi Tenggara there were 111 and in Sulawesi Utara 247 pieces of news. The rate of media coverage is linked to public interest and also shows the potential of media control on PFM issues, including regional development fund resources, government sectoral and general actual expenditure, policy and process related to regional development planning and budgeting, as well as monitoring of public finance management.

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201121 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 22

Page 24: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Notes from Eradication of Illiteracy West Sulawesi 2010Notes from Eradication of Illiteracy West Sulawesi 2010

FORUM KTI WILAYAH REGIONAL EI FORUM

Oleh Rahyati Rauf

Penulis adalah Staf Yayasan Karampuang, Koord.Program KF pada Kab. Mamuju Utara/ The writer is a Karampuang staff member and the program coordinator for Mamuju Utara DistrictAlamat Yayasan Karampuang : Jl.Ir. Djuanda Kompleks Transmigrasi No. 32 lr. IV, Email : [email protected], Tlp.(0426) 21744

onsep Keaksaraan Fungsional (KF) telah dikenal sejak pertengahan tahun 1960-an melalui konferensi menteri pendidikan sedunia. KKonferensi ini membicarakan tentang pengentasan buta aksara

(Eradication of illiteracy) yang bertempat di Teheran, Iran pada tahun 1965. Selanjutnya pada tahun 1966, UNESCO memperjelas konsep tersebut dengan beberapa strong point diantaranya mengupayakan program KF terhubung dengan perencanaan ekonomi sosial, memulai pembelajaran dari penduduk yang memiliki motivasi tinggi dan bermanfaat bagi daerahnya.

Ternyata konsep ini sangat mengesankan dan membawa dampak yang begitu baik terhadap dunia pendidikan serta membangkitkan pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Di Sulawesi Barat, program ini telah dijalankan dan pada tahun 2009 yang lalu, Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Sulawesi Barat melalui perpanjangan tangan LSM Pendidikan yakni Yayasan Karampuang telah menuntaskan sebanyak 853 orang di Kecamatan Tapalang dan sebanyak 1.821 orang di Kecamatan Kalukku. Angka ini merupakan prestasi tersendiri dalam pengentasan keaksaraan. Sehingga untuk tahun 2010 ini, Diknas Sulbar mengepakkan sayap di tiga kabupaten dengan jumlah warga belajar sebanyak 5.612 orang yang secara detail digambarkan pada tabel.

Berbeda dengan pelaksanaan program keaksaraan tahun-tahun sebelumnya, terhitung sejak tahun 2009 hingga saat ini model pelaksanaan mulai diinovasikan oleh pelaksana teknis Yayasan Karampuang. Dahulu, pelaksana program diserahkan kepada lebih dari satu PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) yang ditunjuk langsung oleh Diknas Provinsi sehingga jalur koordinasinya sedikit susah. Sedangkan saat ini, pelaksana teknis diserahkan sepenuhnya kepada Yayasan Karampuang. Kemudian, melalui

The concept of Functional Literacy (FL) was first introduced in the mid 1960s at a Ministries of Education international conference. The conference focused on the eradication of illiteracy and took place in Teheran, Iran in 1965. In 1966, UNESCO brought the concept into the spotlight. It linked the FL program with socio-economic planning, and began learning lessons from communities with higher motivation and eager to gain the advantage for their region.

The concept is impressive and had an impact on the education sector and socio-economic development throughout the world. In Sulawesi Barat, the program was implemented in 2009 by National Education Department of Sulawesi Barat through a local NGO, Yayasan Karampuang. The project has helped 853 people in Tappalang sub-district and 1,821 people in Kalukku sub-district free themselves from illiteracy. This is a special achievement in the eradication of illiteracy. In 2010, the National Education Department of Sulawesi Barat expanded the program in three districts to reach 5,612 people (as detailed in the table).

The current program is different due to innovations made by Karampuang to enhance the model. Previously project operations were conducted by the Teaching-Learning Activity Centers. The institution was designated by the National Education Department at the provincial level; this caused difficulties in coordinating the programs. Recently Karampuang was designated to be the technical operator.

No Kabupaten Kecamatan Warga

Belajar

Fasilitator/

Pendamping

Tutor

1

Mamuju

Bonehau

720

Orang

16

Orang

29 Orang

Budong-budong 1274

Orang

24

Orang

52 Orang

2 Mamasa Aralle

990

Orang

20

Orang

41 Orang

Mambi 1118 Orang 23 Orang 45 Orang

3 Mamuju Utara Bambalamotu 1510 Orang 28 Orang 58 Orang

Total 5612 Orang 111 Orang 225 Orang

Since then, program implementation has changed to community-based eradication of illiteracy program. This means all processes in the program, from planning to evaluation, involve the community, from the sub-district to small learning groups.

In the recent model facilitated by Karampuang, facilitators at sub-district and village level have been designated as group guides. The facilitators then look for tutor candidates who live in the same area as the learning groups. Karampuang maintains intensive coordination with the National Education Department and local Technical Operation Units to keep the program on track.

Enhancements to the program and innovations have been made, especially to learning materials and output. The previous program only focused on the ability to write and read of the students, but these skills were not enough and numeracy materials have now been added.

The target of the program is illiterate community members who live near learning group locations and those who dropped out of primary school, prioritizing those between the ages of 15 to 40 years old. They must be able to follow the entire program- 114 hours to achieve the Literacy Competency Standard and not have been previously enrolled in a literacy learning program.

• Coordination with PLS at district level• Coordination with KCD at sub-district level• Recruiting sub-district facilitators and group facilitators • Identifying student candidates (by group facilitators)• Recruiting tutors to teach groups

The classes are held three to four times a week, three hours per meeting. The duration of program is three months, which means 38 meetings (based on Literacy Competency Standard of 114 hours learning in total).

Students are categorized as having reached the basic level of competence if they can pass 60% of all tests:• 1st test (Day 15) – Basic Level

Total score x weighting of 138 (60% x 138 = 83) • 2nd test (Day 25)

Total score x weighting of 183 (60% x 183 = 110)• 3rd test (Day 38)

Total score x weighting of 333 (60% x 333 = 200)

The Bunggu Tribe and the Functional Literacy ProgramMany people from the Bunggu tribe, a very traditional

nomadic tribe who live in the area, are also part of the learning program. In the past, the Bunggu community didn’t have access to education services. This program is the only form of education they have ever known.

The Learning Communities for the Bunggu Tribe in Bambalamotu sub-district include 348 people who live in different villages- 100 people in Polewali village, 113 people in Wulai, 85 people in Tamapure, and 50 people in Kalukunganka. To reach the remote villages, a tutor has to walk 5 to 8 kilometers. The community members’ progress is as good as other learning community group members in West Sulawesi.

The stages of the program are as follow.

Learning Methods

Assessing and Evaluation

tangan Yayasan dikemaslah program ini menjadi program pendidikan keaksaraan berbasis masyarakat. Artinya, di setiap proses yang terjadi, masyarakat ikut berperan serta yakni mulai dari pengawasan di tingkat kecamatan hingga ke kelompok-kelompok belajar yang telah dibentuk.

Model pengembangan KF oleh Yayasan Karampuang ini misalnya membentuk fasilitator di tingkat kecamatan dan desa sebagai pendamping kelompok. Kemudian, fasilitator tersebut mencari tim pengajar/tutor yang juga bertempat tinggal di sekitar kelompok belajar. Dalam proses ini, koordinasi intens tetap dilakukan dengan Diknas Kabupaten dan UPTD setempat sehingga program ini tetap terarah dan sejalan dengan pengentasan keaksaraan yang dijalankan oleh mereka. Tidak hanya model pembelajaran yang mengalami inovasi, namun materi dan output pembelajaran juga diubah dari yang pernah ada sebelumnya. Selama ini program Keaksaraan Fungsional hanya mengupayakan warga belajarnya agar pandai membaca dan menulis. Namun, Yayasan Karampuang beranggapan bahwa kedua kompetensi tersebut tidaklah cukup membangun kecerdasan dasar warga belajar, maka materi pembelajaran berhitung dan aksi pun juga diajarkan.

Sasaran program ini adalah penduduk buta aksara murni atau DO SD: Kelas I, II, dan III; diprioritaskan berusia antara 15 sampai 40 tahun; bersedia mengikuti pembelajaran sampai selesai yaitu selama 114 jam sesuai dengan Standar Kompetensi Keaksaraan (SKK); berdomisi di sekitar lokasi pembelajaran; belum pernah mengikuti program pendidikan keaksaraan.

• Melakukan Koordinasi dengan PLS Kabupaten.• Melakukan Koordinasi dengan KCD Kecamatan (penilik PLS)• Perekrutan Fasilitator Kecamatan • Perekrutan Fasilitator Kelompok • Melakukan identifikasi Warga Belajar oleh fasilitator kelompok • Perekrutan Tutor dilakukan berdasarkan hasil data Warga Belajar

Pembelajaran dilakukan 3 sampai 4 kali pertemuan tatap muka dalam seminggu, setiap pertemuan minimal tiga jam (3 x 60 menit) selama 3 (tiga) bulan. Sehingga total pertemuan sebanyak 38 kali sesuai dengan Standar Kompetensi Keaksaraan (SKK), yaitu 114 Jam.

Warga Belajar dikategorikan telah menguasai kompetensi keaksaraan tingkat dasar, jika 60% dari tes yang diberikan dapat dikerjakan dengan benar. • Tes I (Pertemuan Ke 15 Hari)

Total skor x bobot untuk perangkat tes sebanyak 138 (60% x 138 = 83 )• Tes II (Pertemuan ke 25 Hari)

Total skor x bobot untuk perangkat tes ini adalah 183 (60% x 183 = 110 ) • Tes III (Pertemuan Ke 38 Hari)

Total skor x bobot untuk perangkat tes ini adalah 333 (60% x 333 = 200 )

Ada yang menarik perhatian, ternyata proses belajar tidak hanya diikuti masyarakat yang terlihat pada umumnya, tetapi salah satu suku pedalaman yang dulunya bermukim di pohon juga ikut dalam proses belajar. Selama bertahun-tahun yang lalu bermukim di sana mereka tak pernah sedikit pun tersentuh akses pendidikan. Program ini pun menjadi program pendidikan satu-satunya yang pernah ada untuk Suku Bunggu.

Jumlah Warga Belajar khusus Suku Bunggu di Kecamatan Bambalamotu mencapai 348 orang yakni 100 orang di Desa Polewali, 113 orang di Desa Wulai, 85 orang di Desa Tampaure serta 50 orang di Desa Kalukunganka. Untuk menjangkau lokasi pembelajaran, tutor harus menempuh jarak 5 hingga 8 km dengan berjalan kaki. Saat ini, perkembangan pembelajaran mereka berjalan normal seperti masyarakat pada umumnya di Sulawesi Barat.

Tahap pelaksanaan program ini adalah:

Metode Pembelajaran

Penilaian Evaluasi Pembelajaran

Suku Bunggu Ikut Keaksaraan Fungsional

Catatan Gerakan Tuntas Aksara Sulawesi BaratTahun 2010

Catatan Gerakan Tuntas Aksara Sulawesi BaratTahun 2010

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201123 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 24

Page 25: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Notes from Eradication of Illiteracy West Sulawesi 2010Notes from Eradication of Illiteracy West Sulawesi 2010

FORUM KTI WILAYAH REGIONAL EI FORUM

Oleh Rahyati Rauf

Penulis adalah Staf Yayasan Karampuang, Koord.Program KF pada Kab. Mamuju Utara/ The writer is a Karampuang staff member and the program coordinator for Mamuju Utara DistrictAlamat Yayasan Karampuang : Jl.Ir. Djuanda Kompleks Transmigrasi No. 32 lr. IV, Email : [email protected], Tlp.(0426) 21744

onsep Keaksaraan Fungsional (KF) telah dikenal sejak pertengahan tahun 1960-an melalui konferensi menteri pendidikan sedunia. KKonferensi ini membicarakan tentang pengentasan buta aksara

(Eradication of illiteracy) yang bertempat di Teheran, Iran pada tahun 1965. Selanjutnya pada tahun 1966, UNESCO memperjelas konsep tersebut dengan beberapa strong point diantaranya mengupayakan program KF terhubung dengan perencanaan ekonomi sosial, memulai pembelajaran dari penduduk yang memiliki motivasi tinggi dan bermanfaat bagi daerahnya.

Ternyata konsep ini sangat mengesankan dan membawa dampak yang begitu baik terhadap dunia pendidikan serta membangkitkan pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Di Sulawesi Barat, program ini telah dijalankan dan pada tahun 2009 yang lalu, Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Sulawesi Barat melalui perpanjangan tangan LSM Pendidikan yakni Yayasan Karampuang telah menuntaskan sebanyak 853 orang di Kecamatan Tapalang dan sebanyak 1.821 orang di Kecamatan Kalukku. Angka ini merupakan prestasi tersendiri dalam pengentasan keaksaraan. Sehingga untuk tahun 2010 ini, Diknas Sulbar mengepakkan sayap di tiga kabupaten dengan jumlah warga belajar sebanyak 5.612 orang yang secara detail digambarkan pada tabel.

Berbeda dengan pelaksanaan program keaksaraan tahun-tahun sebelumnya, terhitung sejak tahun 2009 hingga saat ini model pelaksanaan mulai diinovasikan oleh pelaksana teknis Yayasan Karampuang. Dahulu, pelaksana program diserahkan kepada lebih dari satu PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) yang ditunjuk langsung oleh Diknas Provinsi sehingga jalur koordinasinya sedikit susah. Sedangkan saat ini, pelaksana teknis diserahkan sepenuhnya kepada Yayasan Karampuang. Kemudian, melalui

The concept of Functional Literacy (FL) was first introduced in the mid 1960s at a Ministries of Education international conference. The conference focused on the eradication of illiteracy and took place in Teheran, Iran in 1965. In 1966, UNESCO brought the concept into the spotlight. It linked the FL program with socio-economic planning, and began learning lessons from communities with higher motivation and eager to gain the advantage for their region.

The concept is impressive and had an impact on the education sector and socio-economic development throughout the world. In Sulawesi Barat, the program was implemented in 2009 by National Education Department of Sulawesi Barat through a local NGO, Yayasan Karampuang. The project has helped 853 people in Tappalang sub-district and 1,821 people in Kalukku sub-district free themselves from illiteracy. This is a special achievement in the eradication of illiteracy. In 2010, the National Education Department of Sulawesi Barat expanded the program in three districts to reach 5,612 people (as detailed in the table).

The current program is different due to innovations made by Karampuang to enhance the model. Previously project operations were conducted by the Teaching-Learning Activity Centers. The institution was designated by the National Education Department at the provincial level; this caused difficulties in coordinating the programs. Recently Karampuang was designated to be the technical operator.

No Kabupaten Kecamatan Warga

Belajar

Fasilitator/

Pendamping

Tutor

1

Mamuju

Bonehau

720

Orang

16

Orang

29 Orang

Budong-budong 1274

Orang

24

Orang

52 Orang

2 Mamasa Aralle

990

Orang

20

Orang

41 Orang

Mambi 1118 Orang 23 Orang 45 Orang

3 Mamuju Utara Bambalamotu 1510 Orang 28 Orang 58 Orang

Total 5612 Orang 111 Orang 225 Orang

Since then, program implementation has changed to community-based eradication of illiteracy program. This means all processes in the program, from planning to evaluation, involve the community, from the sub-district to small learning groups.

In the recent model facilitated by Karampuang, facilitators at sub-district and village level have been designated as group guides. The facilitators then look for tutor candidates who live in the same area as the learning groups. Karampuang maintains intensive coordination with the National Education Department and local Technical Operation Units to keep the program on track.

Enhancements to the program and innovations have been made, especially to learning materials and output. The previous program only focused on the ability to write and read of the students, but these skills were not enough and numeracy materials have now been added.

The target of the program is illiterate community members who live near learning group locations and those who dropped out of primary school, prioritizing those between the ages of 15 to 40 years old. They must be able to follow the entire program- 114 hours to achieve the Literacy Competency Standard and not have been previously enrolled in a literacy learning program.

• Coordination with PLS at district level• Coordination with KCD at sub-district level• Recruiting sub-district facilitators and group facilitators • Identifying student candidates (by group facilitators)• Recruiting tutors to teach groups

The classes are held three to four times a week, three hours per meeting. The duration of program is three months, which means 38 meetings (based on Literacy Competency Standard of 114 hours learning in total).

Students are categorized as having reached the basic level of competence if they can pass 60% of all tests:• 1st test (Day 15) – Basic Level

Total score x weighting of 138 (60% x 138 = 83) • 2nd test (Day 25)

Total score x weighting of 183 (60% x 183 = 110)• 3rd test (Day 38)

Total score x weighting of 333 (60% x 333 = 200)

The Bunggu Tribe and the Functional Literacy ProgramMany people from the Bunggu tribe, a very traditional

nomadic tribe who live in the area, are also part of the learning program. In the past, the Bunggu community didn’t have access to education services. This program is the only form of education they have ever known.

The Learning Communities for the Bunggu Tribe in Bambalamotu sub-district include 348 people who live in different villages- 100 people in Polewali village, 113 people in Wulai, 85 people in Tamapure, and 50 people in Kalukunganka. To reach the remote villages, a tutor has to walk 5 to 8 kilometers. The community members’ progress is as good as other learning community group members in West Sulawesi.

The stages of the program are as follow.

Learning Methods

Assessing and Evaluation

tangan Yayasan dikemaslah program ini menjadi program pendidikan keaksaraan berbasis masyarakat. Artinya, di setiap proses yang terjadi, masyarakat ikut berperan serta yakni mulai dari pengawasan di tingkat kecamatan hingga ke kelompok-kelompok belajar yang telah dibentuk.

Model pengembangan KF oleh Yayasan Karampuang ini misalnya membentuk fasilitator di tingkat kecamatan dan desa sebagai pendamping kelompok. Kemudian, fasilitator tersebut mencari tim pengajar/tutor yang juga bertempat tinggal di sekitar kelompok belajar. Dalam proses ini, koordinasi intens tetap dilakukan dengan Diknas Kabupaten dan UPTD setempat sehingga program ini tetap terarah dan sejalan dengan pengentasan keaksaraan yang dijalankan oleh mereka. Tidak hanya model pembelajaran yang mengalami inovasi, namun materi dan output pembelajaran juga diubah dari yang pernah ada sebelumnya. Selama ini program Keaksaraan Fungsional hanya mengupayakan warga belajarnya agar pandai membaca dan menulis. Namun, Yayasan Karampuang beranggapan bahwa kedua kompetensi tersebut tidaklah cukup membangun kecerdasan dasar warga belajar, maka materi pembelajaran berhitung dan aksi pun juga diajarkan.

Sasaran program ini adalah penduduk buta aksara murni atau DO SD: Kelas I, II, dan III; diprioritaskan berusia antara 15 sampai 40 tahun; bersedia mengikuti pembelajaran sampai selesai yaitu selama 114 jam sesuai dengan Standar Kompetensi Keaksaraan (SKK); berdomisi di sekitar lokasi pembelajaran; belum pernah mengikuti program pendidikan keaksaraan.

• Melakukan Koordinasi dengan PLS Kabupaten.• Melakukan Koordinasi dengan KCD Kecamatan (penilik PLS)• Perekrutan Fasilitator Kecamatan • Perekrutan Fasilitator Kelompok • Melakukan identifikasi Warga Belajar oleh fasilitator kelompok • Perekrutan Tutor dilakukan berdasarkan hasil data Warga Belajar

Pembelajaran dilakukan 3 sampai 4 kali pertemuan tatap muka dalam seminggu, setiap pertemuan minimal tiga jam (3 x 60 menit) selama 3 (tiga) bulan. Sehingga total pertemuan sebanyak 38 kali sesuai dengan Standar Kompetensi Keaksaraan (SKK), yaitu 114 Jam.

Warga Belajar dikategorikan telah menguasai kompetensi keaksaraan tingkat dasar, jika 60% dari tes yang diberikan dapat dikerjakan dengan benar. • Tes I (Pertemuan Ke 15 Hari)

Total skor x bobot untuk perangkat tes sebanyak 138 (60% x 138 = 83 )• Tes II (Pertemuan ke 25 Hari)

Total skor x bobot untuk perangkat tes ini adalah 183 (60% x 183 = 110 ) • Tes III (Pertemuan Ke 38 Hari)

Total skor x bobot untuk perangkat tes ini adalah 333 (60% x 333 = 200 )

Ada yang menarik perhatian, ternyata proses belajar tidak hanya diikuti masyarakat yang terlihat pada umumnya, tetapi salah satu suku pedalaman yang dulunya bermukim di pohon juga ikut dalam proses belajar. Selama bertahun-tahun yang lalu bermukim di sana mereka tak pernah sedikit pun tersentuh akses pendidikan. Program ini pun menjadi program pendidikan satu-satunya yang pernah ada untuk Suku Bunggu.

Jumlah Warga Belajar khusus Suku Bunggu di Kecamatan Bambalamotu mencapai 348 orang yakni 100 orang di Desa Polewali, 113 orang di Desa Wulai, 85 orang di Desa Tampaure serta 50 orang di Desa Kalukunganka. Untuk menjangkau lokasi pembelajaran, tutor harus menempuh jarak 5 hingga 8 km dengan berjalan kaki. Saat ini, perkembangan pembelajaran mereka berjalan normal seperti masyarakat pada umumnya di Sulawesi Barat.

Tahap pelaksanaan program ini adalah:

Metode Pembelajaran

Penilaian Evaluasi Pembelajaran

Suku Bunggu Ikut Keaksaraan Fungsional

Catatan Gerakan Tuntas Aksara Sulawesi BaratTahun 2010

Catatan Gerakan Tuntas Aksara Sulawesi BaratTahun 2010

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201123 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 24

Page 26: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Mengelola Sampah Dengan Dua Gelas BerasManaging Waste With Two Glasses of Rice Oleh : Maharani, SP., MP

Penulis adalah pekerja sosial dan dapat dihubungi melalui/ The writer is a social worker and can be reached at [email protected] Telepon 081 337 103 274

Naikkan sampahnya ke gerobak” kata Lalu Suprat kepada anak buahnya, ”tapi plastik kita pisahkan”. Dengan cekatan anak buahnya menaikkan karung ”sampah yang sudah ditaruh oleh warga di depan rumahnya, setiap Minggu

sore lalu Suprat dan dua anak buahnya keliling gang untuk mengambil sampah-sampah warga.

Sampah yang sifatnya basah seperti daun-daunan, potongan sayur dipisah kemudian di olah menjadi pupuk organik (kompos). Untuk sampah kering seperti plastik, besi dikumpulkan juga akan tetai dijual dengan harga yang bervariasi. Untuk plastik biasanya dijual Rp 2000 sampai Rp 4000 per kilogram. Untuk besi bisa lebih dari itu. Lalu Suprat yang sekaligus sebagai Kepala Lingkungan Pedaleman Lauq Desa Lendang Nangka Kecamatan Masbagik Kabupaten Lombok Timur dalam mengelola sampah warganya dibantu oleh dua orang tenaga kerja.

Ide awal dalam pengelolaan sampah ini dimulai sekitar pertengahan tahun 2009 lalu. Pedalaman Lauq merupakan lingkungan yang paling kotor dan kumuh, sampah berserakan dimana-mana. Waktu itu Lalu Suprat bekerja seorang diri mengambil sampah di tempat-tempat penduduk yang paling kotor, memisahkan sampah kering dari yang basah, dan membawa sampah ke tempat penampungan sampah desa yang juga dikenal warga setempat dengan Tempat Pembuangan

"Put their trash into the cart," said Suprat to his assistant, "but separate the plastic." With that his assistant collected the garbage bags put by the resident in front of the house; every Sunday afternoon Suprat and two of his assistants go around the alleys to collect people’s garbage.

The wet garbage (leaves, vegetable waste) is separated to create organic fertilizer (compost). The dry waste collected, such as plastic and metal, is then sold at different prices; plastics are usually sold at Rp 2000 to 4000 per kilo, the metal is usually sold for more.

Lalu Suprat, who is also the Head of Pedaleman Lauq hamlet, Lendang Nangka, Masbagik sub-district, East Lombok, is assisted by two helpers in this waste management endeavor.

The initial idea began in mid 2009. Pedaleman Lauq was the most dirty and shabby hamlet, with trash strewn everywhere. At first Lalu Suprat worked alone,

Akhir (TPA) Tingkat Desa. Sampah basah dikelolanya menjadi kompos.

Selama enam bulan, Lalu Suprat berjuang seorang diri untuk menyadarkan masyarakat di desanya agar melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Melihat jerih payah Lalu Suprat, masyarakat menjadi malu dan merasa tidak enak membuang sampah sembarangan.

Setiap hari Minggu sore, masyarakat meletakkan karung berisi sampah domestik di depan rumah masing-masing. Sebanyak 270 kepala keluarga berpartisipasi dalam pengelolaan sampah yang dilakukan Lalu Suprat. Lingkungan Pedaleman Lauq kini telah lebih bersih dan menjadi contoh bagi masyarakat di lingkungan lain di Desa Lendang Nangka. Namun karena keterbatasan tenaga untuk mengumpulkan sampah, Lalu Suprat masih memfokuskan layanan pengelolaan sampah di lingkungan Pedaleman Lauq saja. Hanya beberapa KK saja dari lingkungan lain yang bergabung, dan mereka mengeluarkan biaya bulanan yang lebih tinggi, yaitu 5.000 rupiah. Jauh lebih mahal dibandingkan dengan imbalan yang diberikan masyarakat Padelaman Lauq, yakni dua gelas beras atau uang sebesar 2.500 rupiah bagi mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil.

Pengelolaan sampah yang dilakukan Lalu Suprat memang masih menggunakan pola pemikiran dengan paradigma lama yaitu mengumpulkan sampah dan membuangnya ke tempat pembuangan akhir. Namun dengan semakin banyaknnya jumlah penduduk, volume sampah yang dihasilkan akan semakin banyak. Jika hanya mengandalkan cara tradisional saja akan terjadi pembengkakan biaya pengelolaan sampah, baik biaya angkut, maupun biaya di pembuangan akhir.

Lalu Suprat telah mengantisipasi hal ini dengan melakukan sebuah terobosan. Dengan mengacu pada prinsip 4R (Reuse, Reduce,Recycle and Recover), Lalu Suprat mengolah sampah bsah menjadi pupuk kompos. Pupuk kompos ini kemudian diberikan secara gratis kepada masyarakat Padelaman Lauq yang menjadi anggota pengelolaan sampah, dan dijual dengan harga yang cukup murah kepada mereka yang bukan anggota. Ia juga menjual barang bekas atau mendaur ulang sampah dari rumah tangga.

Pekerjaan tersebut dapat memberikan keuntungan baik secara ekonomi dan lingkungan. Hasil kompos dapat digunakan untuk kebun sayuran dan tanaman obat keluarga (TOGA), dan kebun bunga milik masyarakat.

Lalu Suprat berharap di masa depan masyarakat mampu bekerjasama dalam melakukan pengelolaan sampah yang lebih baik. Menurutnya permasalahan sampah tidak akan selesai jika hanya dibicarakan saja. Tindakan nyata sangat diperlukan untuk benar-benar menyelesaikan masalah sampah, baik di desa maupun di kota besar. Penanganannya pun demikian tidak akan bisa jika dilakukan hanya sekelompok orang saja. Perlu adanya kerjasama yang baik antar berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat. Mengurangi dan mengelola sampah dari sumbernya akan mengurangi jumlah pengiriman ke Tempat Pembuangan Akhir.

picking up residents were littering, separating dry waste from wet, and bringing the trash to village garbage dump (TPA). He used the wet garbage to make compost. For the past six months, Lalu Suprat

struggled alone to encourage people in the area to conduct community-based waste management. But as they saw his ongoing hard work, people became embarrassed and

started to feel bad about littering. Now, every Sunday afternoon, people put bags

containing domestic rubbish in front of their homes. A total of 270 households participate in the waste management program conducted by Lalu Suprat. Pedaleman Lauq is much cleaner now and has become an example for people in other neighborhoods in the village of Lendang Nangka. However, due to limited manpower to collect the garbage, Lalu Suprat is only focusing on environmental waste management services for Pe d a l e m a n L a u q. A f e w f a m i l i e s f r o m o t h e r neighborhoods have just joined, and they pay a higher monthly fee of Rp 5,000, much more than the community in Padelaman Lauq, who pay with two cups of rice, or Rp 2,500 for those who work as civil servants.

This form of waste management is still using the old paradigm of collecting trash and throwing it into landfills. But with a growing population, the volume of waste generated will be more and more. If we only rely on traditional means, this will swell the cost of waste

management, transport costs, as well as disposal costs at the end.

Lalu Suprat has anticipated this with a breakthrough. Using the 4R principle (Reuse, Reduce, Recycle and Recover), Lalu Suprat processes wet waste into compost fertilizer. Compost is then given for free to the community of Padelaman Lauq and sold at a cheap price to those who are not community members. He also sells old goods and recyclable waste from the households.

This can provide benefits both economically and environmentally. The compost can be used to plant vegetable gardens, family medicine gardens (TOGA), and flower gardens by the community.

Lalu Suprat hopes that in the future the community will be able to cooperate in managing their waste better. Garbage problems will not be overcome if only talked about; concrete action is needed to actually solve the problem of waste, both in villages and in big cities. Waste m a n a g e m e n t r e q u i r e s g o o d cooperation between various parties, from government, businesses, and communities. Reducing and managing waste at its source will reduce the

number of shipments to landfills.

the trash in places where

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201125 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 26

Page 27: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Mengelola Sampah Dengan Dua Gelas BerasManaging Waste With Two Glasses of Rice Oleh : Maharani, SP., MP

Penulis adalah pekerja sosial dan dapat dihubungi melalui/ The writer is a social worker and can be reached at [email protected] Telepon 081 337 103 274

Naikkan sampahnya ke gerobak” kata Lalu Suprat kepada anak buahnya, ”tapi plastik kita pisahkan”. Dengan cekatan anak buahnya menaikkan karung ”sampah yang sudah ditaruh oleh warga di depan rumahnya, setiap Minggu

sore lalu Suprat dan dua anak buahnya keliling gang untuk mengambil sampah-sampah warga.

Sampah yang sifatnya basah seperti daun-daunan, potongan sayur dipisah kemudian di olah menjadi pupuk organik (kompos). Untuk sampah kering seperti plastik, besi dikumpulkan juga akan tetai dijual dengan harga yang bervariasi. Untuk plastik biasanya dijual Rp 2000 sampai Rp 4000 per kilogram. Untuk besi bisa lebih dari itu. Lalu Suprat yang sekaligus sebagai Kepala Lingkungan Pedaleman Lauq Desa Lendang Nangka Kecamatan Masbagik Kabupaten Lombok Timur dalam mengelola sampah warganya dibantu oleh dua orang tenaga kerja.

Ide awal dalam pengelolaan sampah ini dimulai sekitar pertengahan tahun 2009 lalu. Pedalaman Lauq merupakan lingkungan yang paling kotor dan kumuh, sampah berserakan dimana-mana. Waktu itu Lalu Suprat bekerja seorang diri mengambil sampah di tempat-tempat penduduk yang paling kotor, memisahkan sampah kering dari yang basah, dan membawa sampah ke tempat penampungan sampah desa yang juga dikenal warga setempat dengan Tempat Pembuangan

"Put their trash into the cart," said Suprat to his assistant, "but separate the plastic." With that his assistant collected the garbage bags put by the resident in front of the house; every Sunday afternoon Suprat and two of his assistants go around the alleys to collect people’s garbage.

The wet garbage (leaves, vegetable waste) is separated to create organic fertilizer (compost). The dry waste collected, such as plastic and metal, is then sold at different prices; plastics are usually sold at Rp 2000 to 4000 per kilo, the metal is usually sold for more.

Lalu Suprat, who is also the Head of Pedaleman Lauq hamlet, Lendang Nangka, Masbagik sub-district, East Lombok, is assisted by two helpers in this waste management endeavor.

The initial idea began in mid 2009. Pedaleman Lauq was the most dirty and shabby hamlet, with trash strewn everywhere. At first Lalu Suprat worked alone,

Akhir (TPA) Tingkat Desa. Sampah basah dikelolanya menjadi kompos.

Selama enam bulan, Lalu Suprat berjuang seorang diri untuk menyadarkan masyarakat di desanya agar melakukan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Melihat jerih payah Lalu Suprat, masyarakat menjadi malu dan merasa tidak enak membuang sampah sembarangan.

Setiap hari Minggu sore, masyarakat meletakkan karung berisi sampah domestik di depan rumah masing-masing. Sebanyak 270 kepala keluarga berpartisipasi dalam pengelolaan sampah yang dilakukan Lalu Suprat. Lingkungan Pedaleman Lauq kini telah lebih bersih dan menjadi contoh bagi masyarakat di lingkungan lain di Desa Lendang Nangka. Namun karena keterbatasan tenaga untuk mengumpulkan sampah, Lalu Suprat masih memfokuskan layanan pengelolaan sampah di lingkungan Pedaleman Lauq saja. Hanya beberapa KK saja dari lingkungan lain yang bergabung, dan mereka mengeluarkan biaya bulanan yang lebih tinggi, yaitu 5.000 rupiah. Jauh lebih mahal dibandingkan dengan imbalan yang diberikan masyarakat Padelaman Lauq, yakni dua gelas beras atau uang sebesar 2.500 rupiah bagi mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil.

Pengelolaan sampah yang dilakukan Lalu Suprat memang masih menggunakan pola pemikiran dengan paradigma lama yaitu mengumpulkan sampah dan membuangnya ke tempat pembuangan akhir. Namun dengan semakin banyaknnya jumlah penduduk, volume sampah yang dihasilkan akan semakin banyak. Jika hanya mengandalkan cara tradisional saja akan terjadi pembengkakan biaya pengelolaan sampah, baik biaya angkut, maupun biaya di pembuangan akhir.

Lalu Suprat telah mengantisipasi hal ini dengan melakukan sebuah terobosan. Dengan mengacu pada prinsip 4R (Reuse, Reduce,Recycle and Recover), Lalu Suprat mengolah sampah bsah menjadi pupuk kompos. Pupuk kompos ini kemudian diberikan secara gratis kepada masyarakat Padelaman Lauq yang menjadi anggota pengelolaan sampah, dan dijual dengan harga yang cukup murah kepada mereka yang bukan anggota. Ia juga menjual barang bekas atau mendaur ulang sampah dari rumah tangga.

Pekerjaan tersebut dapat memberikan keuntungan baik secara ekonomi dan lingkungan. Hasil kompos dapat digunakan untuk kebun sayuran dan tanaman obat keluarga (TOGA), dan kebun bunga milik masyarakat.

Lalu Suprat berharap di masa depan masyarakat mampu bekerjasama dalam melakukan pengelolaan sampah yang lebih baik. Menurutnya permasalahan sampah tidak akan selesai jika hanya dibicarakan saja. Tindakan nyata sangat diperlukan untuk benar-benar menyelesaikan masalah sampah, baik di desa maupun di kota besar. Penanganannya pun demikian tidak akan bisa jika dilakukan hanya sekelompok orang saja. Perlu adanya kerjasama yang baik antar berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat. Mengurangi dan mengelola sampah dari sumbernya akan mengurangi jumlah pengiriman ke Tempat Pembuangan Akhir.

picking up residents were littering, separating dry waste from wet, and bringing the trash to village garbage dump (TPA). He used the wet garbage to make compost. For the past six months, Lalu Suprat

struggled alone to encourage people in the area to conduct community-based waste management. But as they saw his ongoing hard work, people became embarrassed and

started to feel bad about littering. Now, every Sunday afternoon, people put bags

containing domestic rubbish in front of their homes. A total of 270 households participate in the waste management program conducted by Lalu Suprat. Pedaleman Lauq is much cleaner now and has become an example for people in other neighborhoods in the village of Lendang Nangka. However, due to limited manpower to collect the garbage, Lalu Suprat is only focusing on environmental waste management services for Pe d a l e m a n L a u q. A f e w f a m i l i e s f r o m o t h e r neighborhoods have just joined, and they pay a higher monthly fee of Rp 5,000, much more than the community in Padelaman Lauq, who pay with two cups of rice, or Rp 2,500 for those who work as civil servants.

This form of waste management is still using the old paradigm of collecting trash and throwing it into landfills. But with a growing population, the volume of waste generated will be more and more. If we only rely on traditional means, this will swell the cost of waste

management, transport costs, as well as disposal costs at the end.

Lalu Suprat has anticipated this with a breakthrough. Using the 4R principle (Reuse, Reduce, Recycle and Recover), Lalu Suprat processes wet waste into compost fertilizer. Compost is then given for free to the community of Padelaman Lauq and sold at a cheap price to those who are not community members. He also sells old goods and recyclable waste from the households.

This can provide benefits both economically and environmentally. The compost can be used to plant vegetable gardens, family medicine gardens (TOGA), and flower gardens by the community.

Lalu Suprat hopes that in the future the community will be able to cooperate in managing their waste better. Garbage problems will not be overcome if only talked about; concrete action is needed to actually solve the problem of waste, both in villages and in big cities. Waste m a n a g e m e n t r e q u i r e s g o o d cooperation between various parties, from government, businesses, and communities. Reducing and managing waste at its source will reduce the

number of shipments to landfills.

the trash in places where

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201125 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 26

Page 28: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

oing Business adalah proyek yang menyediakan ukuran obyektif tentang regulasi bisnis dan kekuatannya di 183 negara dan kota pada level regional. Proyek ini diluncurkan tahun 2002 D

dan melihat serta mengukur regulasi usaha ukuran kecil dan menengah. Informasi yang disediakan dalam website ini membantu Anda yang ingin memulai bisnis atau pemerintah lokal yang hendak menyusun rencana dan mengambil keputusan dalam bidang ekonomi khususnya dalam bidang wirausaha.

Doing Business mengumpulkan dan menganalisa data kuantitatif yang komprehensif dan membandingkan regulasi bisnis dari beberapa

tempat. Dengan cara ini, Doing Business memberi stimulus kepada beberapa negara agar menciptakan regulasi yang lebih efisien; menawarkan ukuran yang jelas untuk perubahan dan menyediakan sumber-sumber yang kompeten bagi para akademisi, wartawan dan perusahaan swasta serta stakeholder lain yang memiliki kepentingan untuk melihat situasi bisnis di setiap negara.

Indonesia adalah salah satu negara yang sudah didata dan diukur dalam website Doing Business. Anda dapat mengunduh profil ekonomi, prosedur yang harus ditempuh untuk memulai bisnis baru di Indonesia, dan dasar hukum yang melandasi kegiatan bisnis tersebut. Fitur-fiturnya sangat ‘user friendly’ dan dapat dikonversi ke dalam MS Excel sebagai data yang dapat diunduh secara gratis. Anda juga dapat melihat negara lain dan membandingkan kegiatan bisnis di negara lain.

Doing Business is a project that provides objective measures of business regulations and powers in 183 countries and cities on a regional level. The project was launched in 2002 and looks at and measures the regulation of small and medium size businesses. The information provided in this website helps you to start a business and helps local governments who want to plan and make decisions, especially in the field of entrepreneurship.

Doing Business collects and analyzes data and compares comprehensive quantitative data on regulation of business in certain places. Doing Business can be a stimulus for countries to create more efficient regulations and also provides resources for academics, journalists and private companies, as well as other stakeholders who have an interest in this area.

Indonesia is one country that has been studied and measured in the Doing Business website. You can download economic profiles, procedures that must be followed to start new businesses in Indonesia, and information on the legal basis underlying activities of the businesses. Its features are very 'user friendly' and can be converted into MS Excel to download the data for free. You can also see other countries and compare business activities in other countries with Indonesia’s.

nda membutuhkan informasi tentang NGO lokal di Indonesia? Anda perlu mengunjungi website ini. Data tentang NGO lokal Abeserta nomor kontak dan jenis NGO yang diinginkan

Selain informasi tentang NGO di Indonesia, di dalam website SMERU akan ditemui juga beberapa publikasi dari riset-riset yang sudah dilakukan oleh SMERU, informasi tentang beasiswa dan kesempatan magang dan banyak informasi lainnya mengenai riset dan penelitian lainnya. SMERU adalah institusi independen untuk melakukan riset dan studi di bidang Kebijakan Publik yang secara profesional dan proaktif menyuarakan informasi yang tepat dan akurat dalam analisa sosio-ekonomi serta isu-isu kemiskinan yang berhubungan perkembangan masyarakat di Indonesia.

Do you need information about local NGOs in Indonesia? Visit this website, which has data on local NGOs, contact numbers, and what type of NGO

they are. In addition to information about NGOs in Indonesia, this website also features publications and research conducted by SMERU, information about scholarships and internship opportunities, and othaer information on research and studies.

SMERU is an independent institution which conducts research and studies in the field of public policy in a professional and proactive manner. It prides itself on supplying precise and accurate information in the analysis of socio-economic and pov

http://www.smeru.or.id/ngolist.php

Doing Business

http://www.doingbusiness.org/

NGO LIST

Anggaran Kemiskinan Sulsel Naik 200 Persen

Pemkab Gratiskan Penerbitan KTP

Kerahasiaan Sangat Dijaga, Berlaku Internasional Skrining HIV/AIDS Dilarang Dalam Seleksi CPNS

Ribuan Profesor Kumpul di Sulut

Hanya Kota Manado dan Bitung yang Bertumbuh 13 Kab/Kota Sulut Tertinggal

Mendagri Setuju Penetapan APBD Sultra 2011

Banjir di Polman Akibat Pembalakan Hutan Perusahaan Besar

Jumlah Pengidap HIV/AIDS Mencapai 500

Pelabuhan Lembar Segera Terapkan E-Ticketing

Update

Batukar.info adalah bursa pengetahuan online yang menyediakan berita dan informasi seputar Kawasan Timur Indonesia (KTI).Di batukar.info Anda dapat :

1. Berinteraksi dengan kontributor informasi, menyampaikan ide dan berdiskusi seputar topik tertentu, berbagi informasi dengan cara menulis opini atau artikel tentang pembangunan KTI,

2. Memantau perkembangan diskusi dengan para pelaku pembangunan di KTI tentang suatu topik tertentu

3. Mengakses database informasi khusus dalam bentuk direktori, referensi, dan situs-situs yang berhubungan dengan kegiatan pembangunan di KTI

4. Mendapatkan lebih banyak informasi dengan menjadi anggota komunitas ini

Perhelatan akbar Forum KTI kembali digelar. Tahun 2010 ini Pertemuan Forum KTI adalah yang kelima dan kota Ambon mendapat kehormatan menjadi tuan rumah bagi 280 peserta Forum KTI V. Forum tukar solusi yang kreatif adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perhelatan Forum Kawasan Timur Indonesia V di kota Ambon. Tahun ini konsep acara Pertemuan Forum KTI V tahun ini dikemas dalam bentuk petualangan menjelajahi Kawasan Timur Indonesia.

Untuk informasi lengkap tentang pelaksanaan dan hasil Forum KTI V silahkan lihat informasi dan beritanya yang sudah dimuat di halaman Informasi Forum KTI V di website BaKTI.

http://www.bakti.org/id/news/berita/pertemuan-forum-kawasan-timur-indonesia-v-petualangan-inspiratif-dari-timur-indonesia

Bincang Cerdas Bersama Mitra Pembangunan Internasional http://www.bakti.org/id/news/berita/bincang-cerdas- bersama-mitra-pembangunan-internasional

Referensi Terbaru

Materi-materi Simposium Nasional ke-6 Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI

Tema Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan kali ini adalah “Merajut Karya Ilmiah, Peduli Kesehatan Bangsa”. Pada Simposium Nasional ke 6 selain merupakan media untuk berkomunikasi, berinteraksi, berkoordinasi di antara para pelaku IPTEK dan pengelola program. Simnas juga merupakan wahana untuk mengarahkan kegiatan Badan Litbang Kesehatan dalam penyebarluasan, pemanfaatan IPTEK menuju pemecahan permasalahan pembangunan kesehatan. Di sisi lain, Simnas juga menjadi tradisi expose karya-karya penelitian Badan Litbang Kesehatan bersama dengan lintas program dan lintas sektor.

http://www.batukar.info/referensi/materi-materi-simposium-nasional-ke-6-penelitian-dan-pengembangan-kesehatan-kementrian-kes

Jurnal Prakarsa Infrastruktur IndonesiaEdisi Prakarsa kali ini mengupas tentang bagaimana para pejabat mulai menggunakan alat bantu ini dan mencari cara baru untuk mengelola sumber daya. Tema tentang akuntabilitas digali lebih jauh dalam “Kontrak Berbasis Kinerja untuk Mengelola Pemeliharaan Jalan Raya di Indonesia” (hal. 10) oleh Theuns Henning dan Garry Miller, yang mengkaji bagaimana kontrak ini dapat mendorong para kontraktor untuk mencapai hasil yang unggul. “Memanfaatkan Sistem Manajemen Jalan Secara Maksimal” (hal. 16) oleh Jens Chr. Helbech Hede menjelaskan peran dari sistem informasi manajemen yang terkomputerisasi dan teknologi terkait dalam memahami kecenderungan dan menganalisis biaya.

Child Centred Disaster Risk Reduction and Climate Change Adaptation : Roles of Gender and Culture in IndonesiaThe principle aim of this research was to investigate the roles of gender and religion in child-centred disaster risk reduction (DRR). Moreover, and through participatory research, informal conversations and direct advocacy, the project team hoped to build knowledge and awareness of child-centred DRR. The research was also designed to validate findings from previous research by the wider project team and to provide a body of empirical evidence in support of child-centred DRR and the Children in a Changing Climate programme.

http://www.batukar.info/referensi/jurnal-prakarsa-infrastruktur-indonesia

http://www.batukar.info/referensi/child-centred-disaster-risk-reduction-and-climate-change-adaptation-roles-gender-and-cultu

Dari mana dan bagaimana memperbaiki taraf hidup petani? Jawaban menurut akal sehat: dengan menaikkan produktivitas dan kualitas produk pertanian. Dengan menjaga stabilitas harganya, apalagi dalam masa globalisasi ini, harga produk pertanian lokal dipengaruhi oleh perkembangan dan kebijakan harga produk pertanian di negara-negara lain.

Sementara itu, bukankah petani rata-rata tidak lagi bisa kecukupan hidupnya dari hasil bertani, hanya karena sempitnya lahan yang mereka miliki? Belum lagi dilema yang setiap kali dihadapi pemerintah, antara melindungi petani dengan politik harga dengan tugas pemerintah untuk juga melindungi penduduk non tani. Masalah impor beras, gula, kedelai, dan lain-lain berikut kebijakan harganya merupakan salah satu contoh masalah yang terus menerus aktual dan tak berujung. Bahkan peranan pemerintah lewat departemen dan berbagai lembaga serta birokrasinya juga amat menentukan. Sepertinya serba masalah saja yang dijumpai. Persoalan tali temali, namun bagaimana mengurainya dan membuat efektif, efisien, partisipatif dan terbuka untuk pengawasan dan koreksi, merupakan pekerjaan rumah yang belum selesai.

Petualangan Inspiratif dari Timur Indonesia

Pertemuan Forum Kawasan Timur Indonesia V: Petualangan Inspiratif dari Timur Indonesia.

Kisah-kisah Inspiratif dari Inspirator Publik KTI di Forum Kawasan Timur Indonesia, Ambon 1-2 November 2010 http://www.bakti.org/id/news/berita/kisah-kisah-inspiratif- dari-inspirator-publik-kti-di-forum-kawasan-timur-indonesia- ambon

Pameran Pembangunan Forum KTI V http://www.bakti.org/id/news/berita/pameran- pembangunan-forum-kti-v

Target Penanggulangan AIDS 2015Sepuluh tahun lalu kita berkomitmen mencapai target

pembangunan milenium di tahun 2015. Penanggulangan AIDS adalah salah satu komitmen pembangunan milenium dengan target sangat jelas.

Kita berjanji menghentikan infeksi baru HIV dan mengurangi laju epidemi AIDS. Seiring dengan perkembangan epidemi AIDS, saat ini kita berhasil mengurangi tingkat kematian karena AIDS. Pemerintah dengan dana domestik dan luar negeri berhasil memberikan pengobatan ARV bagi yang membutuhkan. Laporan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, tingkat kematian akibat AIDS dapat ditekan dari 46 persen di tahun 2006 menjadi 17 persen di tahun 2008.

Tahun ini terdapat 789 tempat layanan tes dan konseling HIV dan 259 tempat layanan pengobatan ARV di rumah sakit maupun puskesmas, dan akan dikembangkan masing-masing jadi 872 dan 296 lokasi layanan pada tahun 2014. Tingkat penularan HIV melalui penggunaan narkotik, psikotropika, dan zat adiktif (NPZA) suntik telah berkurang.

http://www.batukar.info/komunitas/articles/target-penanggulangan-aids-2015

Dilematis Nasib Petani

Artikel

http://www.batukar.info/komunitas/articles/dilematis-menjadi-petani

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201127 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 28

dengan

187,653 Visits.

163,757 Absolute Unique Visitors.

296,366 Pageviews.

1.58 Average Pageviews.

00:01:37 Time on Site.

81.94% Bounce Rate.

87.26% New Visits

Statistik Batukar.info tahun 2010

Page 29: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

oing Business adalah proyek yang menyediakan ukuran obyektif tentang regulasi bisnis dan kekuatannya di 183 negara dan kota pada level regional. Proyek ini diluncurkan tahun 2002 D

dan melihat serta mengukur regulasi usaha ukuran kecil dan menengah. Informasi yang disediakan dalam website ini membantu Anda yang ingin memulai bisnis atau pemerintah lokal yang hendak menyusun rencana dan mengambil keputusan dalam bidang ekonomi khususnya dalam bidang wirausaha.

Doing Business mengumpulkan dan menganalisa data kuantitatif yang komprehensif dan membandingkan regulasi bisnis dari beberapa

tempat. Dengan cara ini, Doing Business memberi stimulus kepada beberapa negara agar menciptakan regulasi yang lebih efisien; menawarkan ukuran yang jelas untuk perubahan dan menyediakan sumber-sumber yang kompeten bagi para akademisi, wartawan dan perusahaan swasta serta stakeholder lain yang memiliki kepentingan untuk melihat situasi bisnis di setiap negara.

Indonesia adalah salah satu negara yang sudah didata dan diukur dalam website Doing Business. Anda dapat mengunduh profil ekonomi, prosedur yang harus ditempuh untuk memulai bisnis baru di Indonesia, dan dasar hukum yang melandasi kegiatan bisnis tersebut. Fitur-fiturnya sangat ‘user friendly’ dan dapat dikonversi ke dalam MS Excel sebagai data yang dapat diunduh secara gratis. Anda juga dapat melihat negara lain dan membandingkan kegiatan bisnis di negara lain.

Doing Business is a project that provides objective measures of business regulations and powers in 183 countries and cities on a regional level. The project was launched in 2002 and looks at and measures the regulation of small and medium size businesses. The information provided in this website helps you to start a business and helps local governments who want to plan and make decisions, especially in the field of entrepreneurship.

Doing Business collects and analyzes data and compares comprehensive quantitative data on regulation of business in certain places. Doing Business can be a stimulus for countries to create more efficient regulations and also provides resources for academics, journalists and private companies, as well as other stakeholders who have an interest in this area.

Indonesia is one country that has been studied and measured in the Doing Business website. You can download economic profiles, procedures that must be followed to start new businesses in Indonesia, and information on the legal basis underlying activities of the businesses. Its features are very 'user friendly' and can be converted into MS Excel to download the data for free. You can also see other countries and compare business activities in other countries with Indonesia’s.

nda membutuhkan informasi tentang NGO lokal di Indonesia? Anda perlu mengunjungi website ini. Data tentang NGO lokal Abeserta nomor kontak dan jenis NGO yang diinginkan

Selain informasi tentang NGO di Indonesia, di dalam website SMERU akan ditemui juga beberapa publikasi dari riset-riset yang sudah dilakukan oleh SMERU, informasi tentang beasiswa dan kesempatan magang dan banyak informasi lainnya mengenai riset dan penelitian lainnya. SMERU adalah institusi independen untuk melakukan riset dan studi di bidang Kebijakan Publik yang secara profesional dan proaktif menyuarakan informasi yang tepat dan akurat dalam analisa sosio-ekonomi serta isu-isu kemiskinan yang berhubungan perkembangan masyarakat di Indonesia.

Do you need information about local NGOs in Indonesia? Visit this website, which has data on local NGOs, contact numbers, and what type of NGO

they are. In addition to information about NGOs in Indonesia, this website also features publications and research conducted by SMERU, information about scholarships and internship opportunities, and othaer information on research and studies.

SMERU is an independent institution which conducts research and studies in the field of public policy in a professional and proactive manner. It prides itself on supplying precise and accurate information in the analysis of socio-economic and pov

http://www.smeru.or.id/ngolist.php

Doing Business

http://www.doingbusiness.org/

NGO LIST

Anggaran Kemiskinan Sulsel Naik 200 Persen

Pemkab Gratiskan Penerbitan KTP

Kerahasiaan Sangat Dijaga, Berlaku Internasional Skrining HIV/AIDS Dilarang Dalam Seleksi CPNS

Ribuan Profesor Kumpul di Sulut

Hanya Kota Manado dan Bitung yang Bertumbuh 13 Kab/Kota Sulut Tertinggal

Mendagri Setuju Penetapan APBD Sultra 2011

Banjir di Polman Akibat Pembalakan Hutan Perusahaan Besar

Jumlah Pengidap HIV/AIDS Mencapai 500

Pelabuhan Lembar Segera Terapkan E-Ticketing

Update

Batukar.info adalah bursa pengetahuan online yang menyediakan berita dan informasi seputar Kawasan Timur Indonesia (KTI).Di batukar.info Anda dapat :

1. Berinteraksi dengan kontributor informasi, menyampaikan ide dan berdiskusi seputar topik tertentu, berbagi informasi dengan cara menulis opini atau artikel tentang pembangunan KTI,

2. Memantau perkembangan diskusi dengan para pelaku pembangunan di KTI tentang suatu topik tertentu

3. Mengakses database informasi khusus dalam bentuk direktori, referensi, dan situs-situs yang berhubungan dengan kegiatan pembangunan di KTI

4. Mendapatkan lebih banyak informasi dengan menjadi anggota komunitas ini

Perhelatan akbar Forum KTI kembali digelar. Tahun 2010 ini Pertemuan Forum KTI adalah yang kelima dan kota Ambon mendapat kehormatan menjadi tuan rumah bagi 280 peserta Forum KTI V. Forum tukar solusi yang kreatif adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perhelatan Forum Kawasan Timur Indonesia V di kota Ambon. Tahun ini konsep acara Pertemuan Forum KTI V tahun ini dikemas dalam bentuk petualangan menjelajahi Kawasan Timur Indonesia.

Untuk informasi lengkap tentang pelaksanaan dan hasil Forum KTI V silahkan lihat informasi dan beritanya yang sudah dimuat di halaman Informasi Forum KTI V di website BaKTI.

http://www.bakti.org/id/news/berita/pertemuan-forum-kawasan-timur-indonesia-v-petualangan-inspiratif-dari-timur-indonesia

Bincang Cerdas Bersama Mitra Pembangunan Internasional http://www.bakti.org/id/news/berita/bincang-cerdas- bersama-mitra-pembangunan-internasional

Referensi Terbaru

Materi-materi Simposium Nasional ke-6 Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI

Tema Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan kali ini adalah “Merajut Karya Ilmiah, Peduli Kesehatan Bangsa”. Pada Simposium Nasional ke 6 selain merupakan media untuk berkomunikasi, berinteraksi, berkoordinasi di antara para pelaku IPTEK dan pengelola program. Simnas juga merupakan wahana untuk mengarahkan kegiatan Badan Litbang Kesehatan dalam penyebarluasan, pemanfaatan IPTEK menuju pemecahan permasalahan pembangunan kesehatan. Di sisi lain, Simnas juga menjadi tradisi expose karya-karya penelitian Badan Litbang Kesehatan bersama dengan lintas program dan lintas sektor.

http://www.batukar.info/referensi/materi-materi-simposium-nasional-ke-6-penelitian-dan-pengembangan-kesehatan-kementrian-kes

Jurnal Prakarsa Infrastruktur IndonesiaEdisi Prakarsa kali ini mengupas tentang bagaimana para pejabat mulai menggunakan alat bantu ini dan mencari cara baru untuk mengelola sumber daya. Tema tentang akuntabilitas digali lebih jauh dalam “Kontrak Berbasis Kinerja untuk Mengelola Pemeliharaan Jalan Raya di Indonesia” (hal. 10) oleh Theuns Henning dan Garry Miller, yang mengkaji bagaimana kontrak ini dapat mendorong para kontraktor untuk mencapai hasil yang unggul. “Memanfaatkan Sistem Manajemen Jalan Secara Maksimal” (hal. 16) oleh Jens Chr. Helbech Hede menjelaskan peran dari sistem informasi manajemen yang terkomputerisasi dan teknologi terkait dalam memahami kecenderungan dan menganalisis biaya.

Child Centred Disaster Risk Reduction and Climate Change Adaptation : Roles of Gender and Culture in IndonesiaThe principle aim of this research was to investigate the roles of gender and religion in child-centred disaster risk reduction (DRR). Moreover, and through participatory research, informal conversations and direct advocacy, the project team hoped to build knowledge and awareness of child-centred DRR. The research was also designed to validate findings from previous research by the wider project team and to provide a body of empirical evidence in support of child-centred DRR and the Children in a Changing Climate programme.

http://www.batukar.info/referensi/jurnal-prakarsa-infrastruktur-indonesia

http://www.batukar.info/referensi/child-centred-disaster-risk-reduction-and-climate-change-adaptation-roles-gender-and-cultu

Dari mana dan bagaimana memperbaiki taraf hidup petani? Jawaban menurut akal sehat: dengan menaikkan produktivitas dan kualitas produk pertanian. Dengan menjaga stabilitas harganya, apalagi dalam masa globalisasi ini, harga produk pertanian lokal dipengaruhi oleh perkembangan dan kebijakan harga produk pertanian di negara-negara lain.

Sementara itu, bukankah petani rata-rata tidak lagi bisa kecukupan hidupnya dari hasil bertani, hanya karena sempitnya lahan yang mereka miliki? Belum lagi dilema yang setiap kali dihadapi pemerintah, antara melindungi petani dengan politik harga dengan tugas pemerintah untuk juga melindungi penduduk non tani. Masalah impor beras, gula, kedelai, dan lain-lain berikut kebijakan harganya merupakan salah satu contoh masalah yang terus menerus aktual dan tak berujung. Bahkan peranan pemerintah lewat departemen dan berbagai lembaga serta birokrasinya juga amat menentukan. Sepertinya serba masalah saja yang dijumpai. Persoalan tali temali, namun bagaimana mengurainya dan membuat efektif, efisien, partisipatif dan terbuka untuk pengawasan dan koreksi, merupakan pekerjaan rumah yang belum selesai.

Petualangan Inspiratif dari Timur Indonesia

Pertemuan Forum Kawasan Timur Indonesia V: Petualangan Inspiratif dari Timur Indonesia.

Kisah-kisah Inspiratif dari Inspirator Publik KTI di Forum Kawasan Timur Indonesia, Ambon 1-2 November 2010 http://www.bakti.org/id/news/berita/kisah-kisah-inspiratif- dari-inspirator-publik-kti-di-forum-kawasan-timur-indonesia- ambon

Pameran Pembangunan Forum KTI V http://www.bakti.org/id/news/berita/pameran- pembangunan-forum-kti-v

Target Penanggulangan AIDS 2015Sepuluh tahun lalu kita berkomitmen mencapai target

pembangunan milenium di tahun 2015. Penanggulangan AIDS adalah salah satu komitmen pembangunan milenium dengan target sangat jelas.

Kita berjanji menghentikan infeksi baru HIV dan mengurangi laju epidemi AIDS. Seiring dengan perkembangan epidemi AIDS, saat ini kita berhasil mengurangi tingkat kematian karena AIDS. Pemerintah dengan dana domestik dan luar negeri berhasil memberikan pengobatan ARV bagi yang membutuhkan. Laporan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, tingkat kematian akibat AIDS dapat ditekan dari 46 persen di tahun 2006 menjadi 17 persen di tahun 2008.

Tahun ini terdapat 789 tempat layanan tes dan konseling HIV dan 259 tempat layanan pengobatan ARV di rumah sakit maupun puskesmas, dan akan dikembangkan masing-masing jadi 872 dan 296 lokasi layanan pada tahun 2014. Tingkat penularan HIV melalui penggunaan narkotik, psikotropika, dan zat adiktif (NPZA) suntik telah berkurang.

http://www.batukar.info/komunitas/articles/target-penanggulangan-aids-2015

Dilematis Nasib Petani

Artikel

http://www.batukar.info/komunitas/articles/dilematis-menjadi-petani

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201127 Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 2011 28

dengan

187,653 Visits.

163,757 Absolute Unique Visitors.

296,366 Pageviews.

1.58 Average Pageviews.

00:01:37 Time on Site.

81.94% Bounce Rate.

87.26% New Visits

Statistik Batukar.info tahun 2010

Page 30: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201129

6 Desember 2010Presentasi dan Diskusi Praktik Cerdas : Desa Sehat Bukan Sekedar Wacana di Desa Bone-boneSmart Practice Presentation and Discussion: A Healthy Village in More Than Just Name in Bone Bone

Menindaklanjuti presentasi beberapa Praktik Cerdas pada Forum KTI V November 2010 yang lalu, Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) memfasilitasi sebuah Presentasi & Diskusi Praktik Cerdas bertema ”Desa Sehat Bukan Sekedar Wacana di Desa Bonebone” pada tanggal 6 Desember 2010 di ruang pertemuan BaKTI di Makassar. Tujuan kegiatan ini adalah mempromosikan dan mendorong ide-ide inovatif pembangunan masyarakat melalui diskusi agar para pelaku pembangunan di Sulawesi Selatan dan sekitarnya serta menjadi ajang untuk saling belajar dan bertukar pengetahuan untuk mewujudkan desa sehat dan membiasakan perilaku hidup sehat dalam masyarakat. Acara ini dihadiri oleh 40 orang yang berasal dari pemerintah daerah, akademisi, LSM, dan mitra pembangunan internasional.

Following up the presentation of the Smart Practices in November 2010 at the 5th Eastern Indonesia Forum, the Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI) facilitated a Smart Practices Presentation & Discussion entitled "A Healthy Village in More Than Just Name in Bone Bone" on December 6, 2010 in the meeting room at BaKTI. The purpose of this activity was to promote and encourage innovative ideas for community development through a development stakeholder discussion and to provide an opportunity for mutual learning and exchange of knowledge to create healthy villages and healthy behavior in society. The event was attended by 40 people from local government, academia, NGOs, and international development partners.

eiring dengan perkembangan zaman, teknologi yang beredar di masyarakat juga semakin maju. Namun tak banyak dari teknologi baru ini yang mudah diterapkan dan tepat sasaran serta berwawasan S

lingkungan.Adalah LEINTSA, Lembaga Pengembangan Ilmu Teknologi dan

Sumberdaya, sebuah lembaga yang berkomitmen menyelaraskan peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan, melalui penguatan IPTEK di tingkat masyarakat yang berwawasan pengetahuan dan disederhanakan agar mudah dipahami, pengenalan dan penggunaan teknologi tepat guna serta pengelolaan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Metode kerja LEINTSA adalah mendorong partisipatif dan perencanaan tingkat akar rumput (mendorong keterlibatan semua pihak khusus masyarakat marjinal laki dan perempuan) melalui tahapan mapping untuk penggalian data dan informasi (kesejahteraan, sarana Parasarana atau Potensi wilayah), dan melakukan Rencana Strategis.

Sasaran Utama dari program kerja LEITSA adalah : masyarakat miskin kota, pedesaan dan pesisir, kaum muda, pelaku ekonomi dan kegiatan budaya, eksekutif dan legislatif, serta kawasan-kawasan marjinal.

Lembaga yang visinya mewujudkan pemerataan pembangunan bidang Kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan yang perspektif gender, demokrasi dan keberlanjutan ini didirikan pada Agustus 2006 dan hingga saat ini telah melakukan berbagai macam kegiatan, baik yang dilakukan bersama masyarakat maupun dengan pemerintah, salah satunya adalah kegiatan perencanaan dan pengawasan bersama program pemerintah terutama yang berkaitan dengan kemasyarakatan, pembangunan wilayah serta pengelolaan lingkungan.

Dua tahun terakhir ini LEINTSA juga sedang menyelenggarakan kegiatan bersama Pemerintah Daerah Kab/Kota Bima dan Provinsi NTB yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyakat Mandiri-Konsultan Pemberdayaan (PNPM M-KP) dan Program Konservasi Sumber Mata Air dan DAS.

Untuk tahun 2011 LEINTSA juga telah menyusun beberapa program kerja, antara lain :1. Lokakarya/Dialog Politik, dengan tema Sejauh Mana Implentasi Azas

Demokrasi Dalam Penyelengaraan PILKADA Melahirkan Pemimpin Yang Demoratis Di Daerah.

2. Dalam kaitannya dengan konservasi lingkungan, LEINTSA akan melakukan peningkatkan Peranan OMS Dalam pencegahan Penggunaan Zat Bercaun dan Bom Air Dalam Upaya Menjaga Kelestarian Swaka Aqua.

Lembaga Pengembangan Ilmu Teknologi dan Sumberdaya

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dan memulai kerjasama, silahkan menghubungi :Dedi Apriadi, SP(Direktur LEINTSA)Jln. Bougenville No. 5 Tolomundu Utara Bima-Nusa Tenggata BaratTlp/Fax : 0374-44658 (HP : 085253890837)Email : [email protected]

Along with the times, technology in the community is also moving forward. But not many of these new technologies are easy to implement , well targeted, or environmentally sound.

LEINTSA, the Institute for Science Technology and Resource Development, is an agency committed to community and environmental development, through strengthening science and technology at the community level so it is simplified and easy to understand, introducing use of appropriate technology, and promoting natural resources management with a vision of environmental sustainability.

LEINTSA encourages participatory planning at a grass-roots level (to encourage involvement of all stakeholders, especially marginalized communities and women) through the mapping of data and information (welfare, infrastructure, potential) and then creation of Strategic Plans. The main targets of LEITSA programs are the urban poor, people in rural and coastal areas, young people, economic and cultural stakeholders, executive and legislative branches, and any marginal groups.

This institution, which is trying to realize its vision of equitable development, community welfare, environmental preservation with a gender perspective, and democracy and sustainability, was founded in August 2006 and has undertaken various activities, conducted with the community or with government agencies, including planning and joint supervision of government programs especially those related to social and regional development and environmental management.

In the past two years LEINTSA has also been involved with the Governments of Bima and West Nusa Tenggara Province as part of the National Program for Self Empowerment (PNPM M-KP) and the Watershed and Springs Conservation Program. For 2011 LEINTSA also has developed several programs: 1. Workshop / Political Dialogue with the theme Principle of

Democracy In the Organization of Elections to Produce Local Leaders.

2. Preservation of Swaka Aqua

8 Desember 2010Peluncuran Buku dan Diskusi : Ceritalah IndonesiaBook Launch and Discussion: Ceritalah Indonesia

Karim Raslan Associates (KRA) melaksanakan Peluncuran buku & diskusi : Ceritalah Indonesia pada tanggal 8 Desember 2010 bertempat diruang pertemuan Kantor BaKTI Makassar. Karim Raslan, penulis buku ini, adalah seorang intelektual Malaysia dan penulis bereputasi internasional. Beliau menjadi narasumber dalam kegiatan yang mengupas isi buku yang bercerita tentang Indonesia setelah kejatuhan rezim Soeharto dan esai-esai cerdas tentang hubungan Indonesia dan Malaysia. Acara dibuka oleh Walikota Makassar, Ir. H. Ilham Arief Siradjuddin, MS yang sekaligus menjadi penanggap dalam acara ini. Peserta yang hadir berasal dari kalangan pemerintah daerah, akademisi, LSM dan masyarakat umum.

Karim Raslan Associates (KRA) held a book launch and discussion for 'Ceritalah Indonesia' on December 8, 2010 at BaKTI. Karim Raslan, the author of this book, is a Malaysian intellectual and writer of international repute. He introduced the book which tells the story of Indonesia after the fall of the Soeharto regime in the form of intelligent essays on the relations between Indonesia and Malaysia.The event was opened by the Mayor of Makassar, Ir. H. Ilham Arief Siraj, MS, who also spoke during the discussion. Participants who attended came from local government, academia, NGOs and the public.

Memperingati Hari AIDS se-dunia yang jatuh pada 1 Desember , Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) menggelar sebuah diskusi dan pemutaran film bertema “Protect yourself and others: we must care” pada selasa, 21 Desember 2010 bertempat di halaman belakang Kantor BaKTI Makassar. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang HIV AIDS dan perkembangannya di Sulsel serta untuk meningkatkan empati masyarakat agar berkurangnya stigma/diskriminasi terhadap ODHA khususnya di lingkungan kerja (work place). Acara ini dihadiri oleh 65 orang yang berasal dari pemerintah daerah, akademisi, LSM/CSO, program donor dan masyarakat umum.

Commemorating World AIDS Day which fell on 1 December, BaKTI held a discussion and film screening with the theme "Protect yourself and others: We must care" on Tuesday, 21 December 2010 in the backyard of BaKTI. This activity aimed to provide a better understanding of HIV AIDS and development in South Sulawesi as well as to increase empathy in society to reduce stigma / discrimination against people living with HIV, especially in the work place. The event was attended by 65 people from local government, academia, NGOs / CSOs, donor programs and the general public.

21 Desember 2010Diskusi & Pemutaran Film: PROTECT YOURSELF AND OTHER - WE MUST CARE

LEINTSA

Page 31: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Volume V - edisi 62Desember 2010 - Januari 201129

6 Desember 2010Presentasi dan Diskusi Praktik Cerdas : Desa Sehat Bukan Sekedar Wacana di Desa Bone-boneSmart Practice Presentation and Discussion: A Healthy Village in More Than Just Name in Bone Bone

Menindaklanjuti presentasi beberapa Praktik Cerdas pada Forum KTI V November 2010 yang lalu, Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) memfasilitasi sebuah Presentasi & Diskusi Praktik Cerdas bertema ”Desa Sehat Bukan Sekedar Wacana di Desa Bonebone” pada tanggal 6 Desember 2010 di ruang pertemuan BaKTI di Makassar. Tujuan kegiatan ini adalah mempromosikan dan mendorong ide-ide inovatif pembangunan masyarakat melalui diskusi agar para pelaku pembangunan di Sulawesi Selatan dan sekitarnya serta menjadi ajang untuk saling belajar dan bertukar pengetahuan untuk mewujudkan desa sehat dan membiasakan perilaku hidup sehat dalam masyarakat. Acara ini dihadiri oleh 40 orang yang berasal dari pemerintah daerah, akademisi, LSM, dan mitra pembangunan internasional.

Following up the presentation of the Smart Practices in November 2010 at the 5th Eastern Indonesia Forum, the Eastern Indonesia Knowledge Exchange (BaKTI) facilitated a Smart Practices Presentation & Discussion entitled "A Healthy Village in More Than Just Name in Bone Bone" on December 6, 2010 in the meeting room at BaKTI. The purpose of this activity was to promote and encourage innovative ideas for community development through a development stakeholder discussion and to provide an opportunity for mutual learning and exchange of knowledge to create healthy villages and healthy behavior in society. The event was attended by 40 people from local government, academia, NGOs, and international development partners.

eiring dengan perkembangan zaman, teknologi yang beredar di masyarakat juga semakin maju. Namun tak banyak dari teknologi baru ini yang mudah diterapkan dan tepat sasaran serta berwawasan S

lingkungan.Adalah LEINTSA, Lembaga Pengembangan Ilmu Teknologi dan

Sumberdaya, sebuah lembaga yang berkomitmen menyelaraskan peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan, melalui penguatan IPTEK di tingkat masyarakat yang berwawasan pengetahuan dan disederhanakan agar mudah dipahami, pengenalan dan penggunaan teknologi tepat guna serta pengelolaan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Metode kerja LEINTSA adalah mendorong partisipatif dan perencanaan tingkat akar rumput (mendorong keterlibatan semua pihak khusus masyarakat marjinal laki dan perempuan) melalui tahapan mapping untuk penggalian data dan informasi (kesejahteraan, sarana Parasarana atau Potensi wilayah), dan melakukan Rencana Strategis.

Sasaran Utama dari program kerja LEITSA adalah : masyarakat miskin kota, pedesaan dan pesisir, kaum muda, pelaku ekonomi dan kegiatan budaya, eksekutif dan legislatif, serta kawasan-kawasan marjinal.

Lembaga yang visinya mewujudkan pemerataan pembangunan bidang Kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan yang perspektif gender, demokrasi dan keberlanjutan ini didirikan pada Agustus 2006 dan hingga saat ini telah melakukan berbagai macam kegiatan, baik yang dilakukan bersama masyarakat maupun dengan pemerintah, salah satunya adalah kegiatan perencanaan dan pengawasan bersama program pemerintah terutama yang berkaitan dengan kemasyarakatan, pembangunan wilayah serta pengelolaan lingkungan.

Dua tahun terakhir ini LEINTSA juga sedang menyelenggarakan kegiatan bersama Pemerintah Daerah Kab/Kota Bima dan Provinsi NTB yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyakat Mandiri-Konsultan Pemberdayaan (PNPM M-KP) dan Program Konservasi Sumber Mata Air dan DAS.

Untuk tahun 2011 LEINTSA juga telah menyusun beberapa program kerja, antara lain :1. Lokakarya/Dialog Politik, dengan tema Sejauh Mana Implentasi Azas

Demokrasi Dalam Penyelengaraan PILKADA Melahirkan Pemimpin Yang Demoratis Di Daerah.

2. Dalam kaitannya dengan konservasi lingkungan, LEINTSA akan melakukan peningkatkan Peranan OMS Dalam pencegahan Penggunaan Zat Bercaun dan Bom Air Dalam Upaya Menjaga Kelestarian Swaka Aqua.

Lembaga Pengembangan Ilmu Teknologi dan Sumberdaya

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dan memulai kerjasama, silahkan menghubungi :Dedi Apriadi, SP(Direktur LEINTSA)Jln. Bougenville No. 5 Tolomundu Utara Bima-Nusa Tenggata BaratTlp/Fax : 0374-44658 (HP : 085253890837)Email : [email protected]

Along with the times, technology in the community is also moving forward. But not many of these new technologies are easy to implement , well targeted, or environmentally sound.

LEINTSA, the Institute for Science Technology and Resource Development, is an agency committed to community and environmental development, through strengthening science and technology at the community level so it is simplified and easy to understand, introducing use of appropriate technology, and promoting natural resources management with a vision of environmental sustainability.

LEINTSA encourages participatory planning at a grass-roots level (to encourage involvement of all stakeholders, especially marginalized communities and women) through the mapping of data and information (welfare, infrastructure, potential) and then creation of Strategic Plans. The main targets of LEITSA programs are the urban poor, people in rural and coastal areas, young people, economic and cultural stakeholders, executive and legislative branches, and any marginal groups.

This institution, which is trying to realize its vision of equitable development, community welfare, environmental preservation with a gender perspective, and democracy and sustainability, was founded in August 2006 and has undertaken various activities, conducted with the community or with government agencies, including planning and joint supervision of government programs especially those related to social and regional development and environmental management.

In the past two years LEINTSA has also been involved with the Governments of Bima and West Nusa Tenggara Province as part of the National Program for Self Empowerment (PNPM M-KP) and the Watershed and Springs Conservation Program. For 2011 LEINTSA also has developed several programs: 1. Workshop / Political Dialogue with the theme Principle of

Democracy In the Organization of Elections to Produce Local Leaders.

2. Preservation of Swaka Aqua

8 Desember 2010Peluncuran Buku dan Diskusi : Ceritalah IndonesiaBook Launch and Discussion: Ceritalah Indonesia

Karim Raslan Associates (KRA) melaksanakan Peluncuran buku & diskusi : Ceritalah Indonesia pada tanggal 8 Desember 2010 bertempat diruang pertemuan Kantor BaKTI Makassar. Karim Raslan, penulis buku ini, adalah seorang intelektual Malaysia dan penulis bereputasi internasional. Beliau menjadi narasumber dalam kegiatan yang mengupas isi buku yang bercerita tentang Indonesia setelah kejatuhan rezim Soeharto dan esai-esai cerdas tentang hubungan Indonesia dan Malaysia. Acara dibuka oleh Walikota Makassar, Ir. H. Ilham Arief Siradjuddin, MS yang sekaligus menjadi penanggap dalam acara ini. Peserta yang hadir berasal dari kalangan pemerintah daerah, akademisi, LSM dan masyarakat umum.

Karim Raslan Associates (KRA) held a book launch and discussion for 'Ceritalah Indonesia' on December 8, 2010 at BaKTI. Karim Raslan, the author of this book, is a Malaysian intellectual and writer of international repute. He introduced the book which tells the story of Indonesia after the fall of the Soeharto regime in the form of intelligent essays on the relations between Indonesia and Malaysia.The event was opened by the Mayor of Makassar, Ir. H. Ilham Arief Siraj, MS, who also spoke during the discussion. Participants who attended came from local government, academia, NGOs and the public.

Memperingati Hari AIDS se-dunia yang jatuh pada 1 Desember , Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) menggelar sebuah diskusi dan pemutaran film bertema “Protect yourself and others: we must care” pada selasa, 21 Desember 2010 bertempat di halaman belakang Kantor BaKTI Makassar. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang HIV AIDS dan perkembangannya di Sulsel serta untuk meningkatkan empati masyarakat agar berkurangnya stigma/diskriminasi terhadap ODHA khususnya di lingkungan kerja (work place). Acara ini dihadiri oleh 65 orang yang berasal dari pemerintah daerah, akademisi, LSM/CSO, program donor dan masyarakat umum.

Commemorating World AIDS Day which fell on 1 December, BaKTI held a discussion and film screening with the theme "Protect yourself and others: We must care" on Tuesday, 21 December 2010 in the backyard of BaKTI. This activity aimed to provide a better understanding of HIV AIDS and development in South Sulawesi as well as to increase empathy in society to reduce stigma / discrimination against people living with HIV, especially in the work place. The event was attended by 65 people from local government, academia, NGOs / CSOs, donor programs and the general public.

21 Desember 2010Diskusi & Pemutaran Film: PROTECT YOURSELF AND OTHER - WE MUST CARE

LEINTSA

Page 32: Vol. V Desember 2010 - Januari 2011 Edisi 62...3 Desember 2010 - Januari 2011 Volume V - edisi 62 4 Oleh Roma Hidayat* (ketua Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia ADBMI, tinggal

Hak dan Perlindungan Anak Child Rights and Protection

Penulis Author Penerbit Publisher Deskripsi fisik Physical Description ISBN

Penulis Author Penerbit Publisher Deskripsi fisik Physical Description ISBN

Rumput Laut Indonesia, Jenis dan upaya pemanfaatanSeaweed in Indonesia : Types and Uses

Sektor Perikanan Kawasan Timur Indonesia : Potensi, Permasalahan, dan ProspekFisheries Sector in Eastern Indonesia: Potential, Issues and Prospects

Penulis Author Penerbit Publisher Deskripsi fisik Physical Description ISBN

Anak adalah individu yang belum matang secara fisik, mental dan sosial sehingga pertumbuhan dan perkembangannya bergantung pada orang dewasa. Kondisi ini menjadikan anak sangat rentan terhadap tindak eksploitasi, kekerasan, penelantaran, dan diskriminasi. Anak membutuhkan perlindungan dan perlakuan yang baik dan dijamin oleh hukum. Buku ini menyajikan informasi dan data yang mungkin sangat berguna dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak. Informasi seputar undang-undang perlindungan anak, LSM atau ornop pemerhati anak juga dapat anda peroleh dari buku ini.

Children are individuals who are not yet mature physically, mentally and socially, therefore their growth and development is dependent on adults. These conditions make children very vulnerable to acts of exploitation, violence, neglect, and discrimination. Children need protection and good treatment guaranteed by law. This book presents information and data useful in supporting efforts to comply with child rights and protection laws.

Rumput laut di Indonesia sejak lama telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan, sayuran dan pengobatan. Seiring dengan peningkatan kebutuhan akan rumput laut secara lokal dan global, maka perhatian terhadap pengenalan jenis dan produksinya juga semakin meningkat dalam satu dasa warsa terakhir ini. Buku ini selain menyajikan informasi mengenai berbagai jenis rumput laut, juga berisi informasi mengenai cara budidaya, pemanfaatan hingga analisis usaha budidaya rumput laut.

Seaweed in Indonesia has long been utlized as food and medicine. Along with the increasing demand for seaweed locally and globally, attention to species and production has also grown in the last decade. This book presents information on various types of seaweed and also contains information about cultivation, utilization and analysis of seaweed enterprise.

Kawasan Timur Indonesia (KTI) sangat kaya akan sumber daya hayati pesisir dan lautan. Namun di kawasan ini, teknik pemanfaatan sumber daya tersebut relatif masih tertinggal. Hal ini terjadi sebagai akibat dari kebijakan politik nasional yang belum menempatkan pembangunan sektor kelautan di KTI sebagai prioritas utama untuk kawasan ini. Buku ini merangkum berbagai hasil penelitian yang dilakukan dalam rentang waktu sekitar 20 tahun. Data dan informasi yang tersaji di buku ini dapat memberi gambaran mengenai pengembangan sektor perikanan di KTI dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.

Eastern Indonesia (KTI) is very rich in biological and marine resources. But in this area, utilization of these resources is still lagging. This is a result of national policies which have made marine sector development in eastern Indonesia a major priority for this region. This book summarizes the results of research conducted over a period of about 20 years. The data and information presented in this book can give an snapshot of the development of the fisheries sector in eastern Indonesia over the last two decades.