vol. 15, no.1, april 2016 issn 2088-4842

106
Jurnal Optimasi Sistem Industri Vol. 15 No. 1 Hal. 1 – 104 April 2016 ISSN 2088-4842 Vol. 15, No.1, April 2016 ISSN 2088-4842 ALGORITMA PENENTUAN UKURAN BATCH INTEGER PADA PENJADWALAN FLOWSHOP SATU Hadigufri Triha, Ahmad Syarifuddin Indrapriyatna, Jonrinaldi, Berry Yuliandra 1-15 EVALUASI SHIFT KERJA DAN PENENTUAN WAKTU STANDAR PT X BERDASARKAN BEBAN KERJA Trisna Mesra, Lusi Susanti, Hilma Raimona Zadry 16-32 PERANCANGAN MODEL PENGUKURAN KINERJA RANTAI PASOK BERBASIS LEAN DAN GREEN MENGGUNAKAN BALANCE SCORECARD DI PT. P&P LEMBAH KARET Alizar Hasan, Berry Yuliandra, Eureka Perdana Putra 33-46 PEMBUATAN KNOWLEDGE MANAGEMENT PADA EXTERNAL CYLINDRICAL GRINDING Ikhwan Arief, Muhammad Arieaman Fikri 47-61 PENJADWALAN CEMENT MILL BERBASIS MINIMASI FAKTOR KLINKER DALAM PROSES PEMBILASAN DAN IMPOR KLINKER Nilda Tri Putri, Indah Kurnia Ramadhani 62-77 PENGEMBANGAN MODEL ECONOMIC PRODUCTION QUANTITY (EPQ) DENGAN SINKRONISASI DEMAND KONTINU DAN DISKRIT SECARA SIMULTAN Nurike Oktavia, Henmaidi, Jonrinaldi 78-86 DAFTAR ISI OPTIMALISASI PROSES PERAKITAN PESAWAT TANPA AWAK DENGAN METODA CRITICAL PATH METHODS (CPM) Dendi Adi Saputra M, Eka Satria, Gusman Arif Pandy 87-92 PENGENDALIAN PERSEDIAAN PRIMARY ITEMS DALAM LOGISTIK KONSTRUKSI Lady Lisya, Rika Ampuh Hadiguna 93-104

Upload: others

Post on 25-Mar-2022

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Jurnal Optimasi Sistem Industri

Vol. 15 No. 1 Hal. 1 – 104 April 2016 ISSN

2088-4842

Vol. 15, No.1, April 2016

ISSN 2088-4842

ALGORITMA PENENTUAN UKURAN BATCH INTEGER PADA PENJADWALAN FLOWSHOP SATU

Hadigufri Triha, Ahmad Syarifuddin Indrapriyatna, Jonrinaldi, Berry Yuliandra 1-15

EVALUASI SHIFT KERJA DAN PENENTUAN WAKTU STANDAR PT X BERDASARKAN BEBAN KERJA

Trisna Mesra, Lusi Susanti, Hilma Raimona Zadry 16-32

PERANCANGAN MODEL PENGUKURAN KINERJA RANTAI PASOK BERBASIS LEAN DAN GREEN MENGGUNAKAN BALANCE SCORECARD DI PT. P&P LEMBAH KARET

Alizar Hasan, Berry Yuliandra, Eureka Perdana Putra 33-46

PEMBUATAN KNOWLEDGE MANAGEMENT PADA EXTERNAL CYLINDRICAL GRINDING

Ikhwan Arief, Muhammad Arieaman Fikri 47-61

PENJADWALAN CEMENT MILL BERBASIS MINIMASI FAKTOR KLINKER DALAM PROSES PEMBILASAN DAN IMPOR KLINKER

Nilda Tri Putri, Indah Kurnia Ramadhani 62-77

PENGEMBANGAN MODEL ECONOMIC PRODUCTION QUANTITY (EPQ) DENGAN SINKRONISASI DEMAND KONTINU DAN DISKRIT SECARA SIMULTAN

Nurike Oktavia, Henmaidi, Jonrinaldi 78-86

DAFTAR ISI

OPTIMALISASI PROSES PERAKITAN PESAWAT TANPA AWAK DENGAN METODA CRITICAL PATH METHODS (CPM)

Dendi Adi Saputra M, Eka Satria, Gusman Arif Pandy 87-92

PENGENDALIAN PERSEDIAAN PRIMARY ITEMS DALAM LOGISTIK KONSTRUKSI

Lady Lisya, Rika Ampuh Hadiguna 93-104

PELINDUNG

Rektor Universitas Andalas (UNAND)

PENANGGUNG JAWAB

Wakil Rektor Bidang Akademik

Dekan Fakultas Teknik Ketua Jurusan Teknik Industri

PEMIMPIN REDAKSI Hilma Raimona Zadry, Ph.D

WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Feri Afrinaldi, Ph.D

EDITOR KEHORMATAN

Ir. Insannul Kamil, M.Eng, Ph.D, IPM

PENYUNTING AHLI

Prof.Dr. Moses L. Singgih, MSc (ITS)

Prof. Dr. Udisubakti C. Mulyono (ITS)

Prof. Dr. A. Rahim Matondang (USU) Prof. Dradjad Irianto, Ph.D (ITB)

Prof. Alizar Hasan, Ph.D (UNAND)

TMA Ari Samadhi, Ph.D (ITB)

Dr. Siana Halim (UK Petra)

Dr. Eng. Listiarni Nurul Huda (USU)

Dr. Eng. Lusi Susanti (UNAND)

Dr. Ahmad S. Indrapriyatna (UNAND)

Dr. Rika Ampuh Hadiguna (UNAND)

SEKRETARIAT REDAKSI

Berry Yuliandra, MT

Hadigufri Triha, MT Dana Prastyo, S.Pd

Alamat Redaksi

Redaksi Jurnal Optimasi Sistem

Industri, Gedung Teknik Industri,

Fakultas Teknik, Lantai 3, Universitas

Andalas, Kampus Limau Manis,

Padang

Email: [email protected]

Redaksi menerima artikel ilmiah hasil

penelitian dengan subyek yang

relevan. Terbitan perdana Oktober 2001.Periode terbit edisi April dan

Oktober setiap tahun.

ISSN 2088–4842

Volume 15 Nomor 1 April 2016

JURNAL OPTIMASI SISTEM INDUSTRI (JOSI) Jurnal Ilmiah Aplikasi Ilmu Teknik Industri

DAFTAR ISI

Daftar Isi

Editorial

Algoritma Penentuan Ukuran Batch Integer pada

Penjadwalan Flowshop Satu Mesin

Hadigufri Triha, Ahmad Syarifuddin Indrapriyatna, Jonrinaldi .,

Berry Yuliandra

1-15

Evaluasi Shift Kerja dan Penentuan Waktu Standar PT X

Berdasarkan Beban Kerja

Trisna Mesra, Lusi Susanti, Hilma Raimona Zadry

16-32

Perancangan Model Pengukuran Kinerja Rantai Pasok

Berbasis Lean dan Green menggunakan Balance Scorecard

di PT. P&P Lembah Karet

Alizar Hasan, Berry Yuliandra, Eureka Perdana Putra

33-46

Pembuatan Knowledge Management pada External

Cylindrical Grinding

Ikhwan Arief, Muhammad Arieaman Fikri

47-61

Penjadwalan Cement Mill Berbasis Minimasi Faktor Klinker

dalam Proses Pembilasan dan Impor Klinker

Nilda Tri Putri, Indah Kurnia Ramadhani

62-77

Pengembangan Model Economic Production Quantity

(EPQ) dengan Sinkronisasi Demand Kontinu dan Diskrit

Secara Simultan

Nurike Oktavia, Henmaidi ., Jonrinaldi .

78-86

Optimalisasi Proses Perakitan Pesawat Tanpa Awak

dengan Metoda Critical Path Methods (CPM)

Dendi Adi Saputra M, Eka Satria, Gusman Arif Pandy

87-92

Pengendalian Persediaan Primary Items dalam Logistik

Konstruksi

Lady Lisya, Rika Ampuh Hadiguna

93-104

Kerjasama dengan: PERSATUAN INSINYUR INDONESIA SUMATERA BARAT PUSAT STUDI INOVASI UNIVERSITAS ANDALAS

Jurnal Optimasi

Sistem Industri Vol. 15 No. 1 Hal. 1-104

April

2016

ISSN

2088–4842

Algoritma Penentuan Ukuran....(H. Triha, et al.) 1

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

ALGORITMA PENENTUAN UKURAN BATCH INTEGER PADA PENJADWALAN FLOWSHOP SATU MESIN

Hadigufri Triha1, Ahmad Syarifuddin Indrapriyatna1, Jonrinaldi1, Berry Yuliandra2 1Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Andalas, Padang 2Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Andalas, Padang

Email: [email protected] (korespondensi)

Abstract

Scheduling is an important area of production planning and control. Scheduling is required to produce

an existing job by allocating existing resources in the proper execution order. Production schedules arranged effectively and efficiently to maximize resources utility, minimize waiting and idle time and increase productivity. Flowshop batch scheduling model for one machine that take inventory and quality cost into account has been developed by Indrapriyatna et al (2007a). However, the model yet effective in converting the results of batch size into integers. This study tried to resolve this

problem by using modification of Branch and Bound Algorithm approach.

Keywords: Scheduling, batch, flowshop, Branch and Bound Algorithm

Abstrak

Salah satu area penting dari perencanaan dan pengendalian produksi adalah penjadwalan. Penjadwalan diperlukan untuk memproduksi job yang ada dengan mengalokasikan sumber daya yang ada pada urutan pengerjaan komponen yang tepat. Pengaturan jadwal produksi yang efektif

dan efisien akan memaksimalkan utilitas sumber daya, meminimumkan waktu tunggu dan waktu menganggur serta meningkatkan produktivitas. Model penjadwalan batch flowshop untuk 1 mesin

yang mempertimbangkan biaya simpan dan biaya kualitas telah dikembangkan oleh Indrapriyatna et al (2007a). Akan tetapi model tersebut masih belum efektif dalam mengkonversikan ukuran batch ke dalam bilangan integer. Penelitian ini mencoba menyelesaikan permasalahan ini dengan menggunakan pendekatan Algoritma Branch and Bound Modifikasi.

Kata kunci: Penjadwalan, batch, flowshop, Algoritma Branch and Bound

1. PENDAHULUAN

Perencanaan dan pengendalian

produksi merupakan aktivitas internal

yang penting bagi perusahaan

manufaktur. Tujuan dari perancanaan dan

pengendalian produksi adalah

mengefektifkan utilisasi sumber daya

sambil memenuhi keinginan konsumen

dan menciptakan keuntungan bagi

investor [1]. Berbagai input digunakan

untuk mencapai tujuan tersebut, antara

lain: peramalan penjualan, program

produksi, rencana produksi, penjadwalan

produksi, job order, laporan penyelesaian,

data persediaan, deskripsi produk,

gambar produk, spesifikasi produk,

deskripsi proses, estimasi biaya, standar

pekerjaan, pesanan, tuntutan pembelian,

pesanan pembelian, laporan penerimaan,

laporan inspeksi penerimaan, laporan

inspeksi proses, laporan inspeksi produk

akhir dan laporan pengiriman [2].

Berdasarkan berbagai jenis dokumen

tersebut, input dari penjadwalan meliputi

penjadwalan produksi, job order, laporan

penyelesaian, data persediaan, standar

pekerjaan, tuntutan pembelian, pesanan

pembelian dan laporan pengiriman.

Aktivitas penjadwalan meliputi ruang

lingkup yang cukup luas dalam

perencanaan dan pengendalian produksi.

Penjadwalan merupakan salah satu

aktivitas penting dari perencanaan dan

pengendalian produksi. Aktivitas ini

diperlukan untuk memproduksi job yang

2 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:1-15

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

ada dengan mengalokasikan sumber daya

(mesin, operator, dan kebutuhan

material) secara efisien pada urutan

pengerjaan komponen yang tepat.

Pengaturan jadwal produksi yang baik

akan memaksimalkan utilitas sumber

daya perusahaan. Melalui penjadwalan

yang efektif dan efisien, waktu tunggu dan

waktu menganggur material dapat

diminimumkan, sehingga akan

mempersingkat waktu proses sebuah job.

Sementara itu, jika penjadwalan dilakukan

secara tidak optimal, maka dapat

menyebabkan:

1. Pekerja maupun mesin menganggur

karena tidak ada pekerjaan untuk

dikerjakan sehingga sumber daya yang

tersedia akan terbuang percuma

karena tidak dimanfaatkan.

2. Meningkatnya persediaan komponen

work-in-process karena tidak ada

mesin yang available.

Oleh karena produktivitas merupakan

rasio nilai produk yang dihasilkan dengan

nilai sumber daya yang digunakan dalam

produksi, maka pengaturan jadwal yang

optimal akan meningkatkan produktivitas

perusahaan [1].

Penjadwalan batch digunakan untuk

menentukan ukuran dan urutan job yang

telah dibagi menjadi beberapa bagian

(batch). Halim dan Ohta (1993), Halim

dan Ohta (1994), Halim et al. (2001),

serta Bukchin et al. (2002) membahas

penentuan urutan dan ukuran batch yang

merupakan ukuran “job” [3,4,5]. Fokus

utama dari jenis penjadwalan ini adalah

bagaimana menentukan ukuran batch

(batching) dan urutan pemrosesan batch

yang dihasilkan (sequencing).

Indrapriyatna et al (2007a) telah

mengembangkan model penjadwalan

batch flowshop untuk 1 mesin dengan

mempertimbangkan biaya simpan dan

biaya kualitas [6]. Biaya simpan pada

model tersebut telah dihitung dengan

membedakan jenis persediaan work-in-

process dan finished batch.

Permasalahan utama dalam

penjadwalan batch adalah ukuran dari

batch harus berupa bilangan integer.

Model yang yang dikembangkan

Indrapriyatna et al (2007b) mengusulkan

tiga metode untuk mengatasi

permasalahan tersebut, yaitu Metode

Jumlah-Desimal-Atas, Metode Jumlah-

Desimal-Bawah, dan Metode Pembulatan

[7]. Akan tetapi diantara ketiga metode

tersebut tidak ada yang selalu

memberikan nilai total biaya terkecil pada

semua set data. Oleh karena itu penelitian

ini akan mencoba menggunakan

pendekatan yang berbeda dalam

memecahkan permasalahan integer ini,

yaitu dengan menggunakan Algoritma

Branch and Bound.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penjadwalan

Penjadwalan memiliki definisi yang

cukup bervariasi. Beberapa diantaranya

adalah:

1. Proses pengalokasian sumber daya

dalam jangka waktu tertentu untuk

melakukan sejumlah pekerjaan [8]

2. Proses meramalkan sumber daya yang

akan digunakan suatu pekerjaan dan

penentuan waktu awal pengerjaan

dengan tepat (Carlier dan Chretienne

(1988) didalam T’kindt et al. (2006))

[9]

3. Pengalokasian sumber daya yang

terbatas melewati suatu horizon waktu

(Pinedo (1995) didalam T’kindt et al.

(2006)) [9]

Berdasarkan definisi-definisi tersebut

dapat ditarik kesimpulan bahwa

penjadwalan adalah sebuah teknik untuk

penugasan sumber daya untuk

menyelesaikan pekerjaan dalam rentang

waktu yang layak. Penjadwalan

merupakan tahapan akhir dari

perencanaan produksi dan merupakan

fase yang menjembatani antara rencana

dan eksekusi.

Proses penjadwalan yang baik harus

mampu mencapai tujuan spesifik suatu

pekerjaan secara realistis. Untuk

mewujudkan hal ini, terdapat beberapa

kriteria yang perlu diperhatikan dalam

proses penjadwalan:

1. Pekerjaan

2. Kendala potensial

3. Sumber daya yang tersedia

4. Fungsi tujuan

Algoritma Penentuan Ukuran....(H. Triha, et al.) 3

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Penjadwalan pada dasarnya

merupakan proses pengambilan

keputusan untuk mengoptimalkan satu

atau lebih kriteria untuk mencapai tujuan

akhir pekerjaan. Proses penjadwalan pada

dasarnya tidak bisa dipisahkan dari

komponen biaya simpan dan biaya

kualitas. Oleh karena itu, kedua

komponen biaya tersebut seharusnya ikut

diperhatikan pada saat melakukan

penjadwalan.

2.2. Hubungan Penjadwalan dengan

Biaya Simpan

Biaya simpan adalah semua biaya yang

terkait dengan persediaan. Biaya simpan

memiliki keterkaitan langsung dengan

jadwal produksi, atau lebih tepat

dikatakan bahwa jadwal produksi yang

diterapkan akan berpengaruh terhadap

besar atau kecilnya biaya simpan.

Hubungan ini akan tampak nyata pada

sistem produksi yang memiliki kapasitas

terbatas. Jika due date relatif ketat

terhadap kapasitas pabrik, maka jadwal

produksi yang bisa membuat waktu

selesai seluruh komponen tepat pada saat

due date tidak mungkin dilakukan.

Konsekuensi dari hal ini adalah sebagian

komponen diproduksi lebih awal sehingga

diselesaikan lebih cepat dari due date,

sehingga komponen tersebut harus

menunggu penyelesaian komponen lain

sebelum dikirimkan [4].

Herjanto (2008) mengemukakan

beberapa elemen biaya simpan, antara

lain [10]:

1. Biaya sewa gudang,

2. Biaya administrasi pergudangan,

3. Gaji pelaksana pergudangan,

4. Biaya listrik,

5. Biaya modal yang tertanam dalam

persediaan,

6. Biaya asuransi,

7. Biaya kerusakan, kehilangan atau

penyusutan barang selama

penyimpanan.

2.3. Hubungan Penjadwalan dengan

Biaya Kualitas

Proses produksi selalu memiliki variasi

alami yang terjadi secara acak. Variasi

alami ini dapat mempengaruhi kualitas

produk yang dihasilkan. Oleh karena itu,

untuk memastikan agar produk yang

dikirimkan benar-benar sesuai dengan

keinginan pelanggan, maka produk yang

dihasilkan perlu dibandingkan terlebih

dahulu dengan standar baku. Aktivitas ini

disebut sebagai pengendalian kualitas.

Pelaksanaan aktivitas pengendalian

kualitas menyebabkan munculnya biaya

kualitas. Biaya kualitas adalah semua

biaya yang terkait dengan penyesuaian

produk atau pelayanan yang diberikan

oleh suatu perusahaan berdasarkan

syarat-syarat yang diminta oleh

pelanggan. Biaya kualitas berhubungan

dengan proses penciptaan, identifikasi,

perbaikan dan pencegahan kerusakan.

Berdasarkan Model Juran, biaya kualitas

dapat dibagi ke dalam tiga kategori utama

[11]:

1. Biaya pencegahan (Cost of Prevention)

2. Biaya pemeriksaan/ penilaian

3. Biaya Kegagalan

Model penjadwalan batch flowshow

yang mempertimbangkan biaya kualitas

telah pernah dikembangkan oleh Halim

(2001). Pada model tersebut biaya

kualitas ditunjukkan melalui penerapan

acceptance sampling pada proses akhir

dan pada saat konsumen menerima

produk [5].

Biaya kualitas dalam konteks penelitian

ini dikelompokkan sebagai berikut:

1. Biaya pemeriksaan sampel

Jenis biaya ini terkait dengan aktivitas

pengujian, evaluasi atau pengukuran

agar setiap komponen yang dihasilkan

mampu memenuhi spesifikasi yang

diinginkan. Biaya ini meliputi:

a. Biaya untuk melakukan pemeriksaan

sampel.

b. Biaya penyimpanan komponen

selama pemeriksaan sampel.

2. Biaya Kegagalan Internal

Jenis biaya ini muncul ketika sejumlah

komponen yang diproduksi tidak

memenuhi spesifikasi kualitas sebelum

komponen tersebut dikirimkan kepada

konsumen. Biaya ini meliputi:

a. Biaya pemeriksaan komponen yang

tidak termasuk ke dalam sampel

pemeriksaan (pemeriksaan 100%).

b. Biaya penyimpanan komponen

selama pemeriksaan 100%.

4 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:1-15

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

c. Biaya pengerjaan ulang komponen

yang tidak memenuhi spesifikasi

kualitas.

d. Biaya penyimpanan komponen

selama pengerjaan ulang.

3. Biaya Kegagalan Eksternal

Jenis biaya ini muncul ketika sejumlah

komponen yang diproduksi tidak

memenuhi spesifikasi kualitas dan

diketahui setelah produk diserahkan

kepada konsumen. Biaya ini meliputi:

a. Biaya untuk melakukan pemeriksaan

100%.

b. Biaya penyimpanan komponen

selama pemeriksaan 100%.

c. Biaya pengerjaan ulang seluruh

komponen yang tidak memenuhi

standar kualitas.

d. Biaya penyimpanan komponen

selama pengerjaan ulang.

e. Biaya komplain konsumen.

2.4. Teori Optimasi

Optimasi dapat didefinisikan sebagai

proses pencarian nilai minimum atau

maksimum dari suatu fungsi secara

sistematis melalui pemilihan nilai variabel

tujuan berbentuk fungsi convex,

sementara permasalahan maksimasi

(pencarian nilai maksimum)

mensyaratkan fungsi tujuan berbentuk

fungsi concave. Perbedaan kedua fungsi

ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Model penjadwalan yang

dikembangkan oleh Indrapriyatna et al

(2007a) menggunakan fungsi tujuan

minimasi, oleh karena itu fungsi tujuan

dari model tersebut berbentuk convex [6].

Pada 𝑓: 𝑆 → 𝐸𝑖

Fungsi f dikatakan convex pada S jika

memenuhi: 𝑓(𝜆𝑥1 + (1 − 𝜆)𝑥2) ≤ 𝜆𝑓(𝑥1) + (1 − 𝜆)𝑓(𝑥2) Untuk setiap 𝑥1, 𝑥2 ∈ 𝑆 dan untuk setiap 𝜆 ∈(0,1).

2.5. Model Penjadwalan Batch

Indrapriyatna et al. (2007a) telah

mengembangkan model penjadwalan

batch dengan memperhitungkan biaya

simpan work-in-process part dan finished-

part. Metode penjadwalan dalam model

tersebut. Beberapa asumsi dasar yang

digunakan oleh Indrapriyatna et al. (2007a)

Gambar 1. Perbedaan antara: (a) Fungsi convex dan (b) Fungsi concave (sumber: Bazaraa et al (2007)) [12]

untuk memberikan solusi yang

optimal. Bentuk umum dari permasalahan

optimasi terdiri atas fungsi tujuan dan

batasan-batasan yang berada dalam

ruang dari variabel-variabel keputusan.

Permasalahan minimasi (pencarian nilai

minimum) mensyaratkan bahwa fungsi

antara lain [6]:

1. Job yang diproses memiliki routing

sama.

2. Penjadwalan dilakukan berdasarkan

dua keputusan, penentuan ukuran

batch dan penentuan urutan

pemprosesan batch.

Algoritma Penentuan Ukuran....(H. Triha, et al.) 5

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

3. Penjadwalan dilakukan secara

backward.

4. Kriteria penjadwalan adalah total biaya

minimum, yang merupakan turunan

dari minimasi total waktu tinggal

aktual. Biaya yang diperhatikan adalah

biaya simpan dan kualitas.

5. Variabel keputusan yang digunakan

adalah jumlah, ukuran dan jadwal

produksi batch.

6. Aktivitas perawatan meliputi inspeksi,

restorasi dan preventive maintenance.

Notasi-notasi yang digunakan dalam

model tersebut antara lain:

Indeks

i : nomor batch, i = 1, 2 ... N

Variabel Keputusan

B[i] : Saat mulai batch L[i]

L[i] : Batch yang dijadwalkan pada posisi

ke-i

N : Jumlah batch

Q[i] : Ukuran batch L[i]

Parameter

q : Kuantitas permintaan komponen

dalam unit

d : Due date bersama untuk seluruh

aktivitas produksi (termasuk

inspeksi kualitas dan rework)

d’ : Due date untuk aktivitas set-up dan

pengerjaan seluruh komponen

dalam satuan waktu

t : Waktu proses per komponen dalam

satuan waktu

s : Waktu set-up batch dalam satuan

waktu

u : Proporsi ukuran sampel terhadap

ukuran batch

n[i] : Ukuran sampel untuk batch L[i]

dalam unit

c1 : Biaya simpan untuk finished-part per

unit per satuan waktu dalam satuan

biaya

c2 : Biaya simpan untuk komponen

work-in-process per unit per satuan

waktu dalam satuan biaya

f1 : Total biaya simpan per batch untuk

finished-part dalam in-process-

batch per batch dalam satuan biaya

f2 : Total biaya simpan per batch untuk

untuk komponen work-in-process

dalam in-process-batch dalam

satuan biaya

v : Ukuran penerimaan batch pada

acceptance sampling dalam unit

y : Jumlah komponen tidak memenuhi

spesifikasi yang ditemukan pada

masing-masing batch dalam unit

k1 : Biaya inspeksi per komponen per

satuan waktu dalam satuan biaya

k2 : Biaya pengerjaan ulang per

komponen per satuan waktu dalam

satuan biaya

k3 : Biaya penalti per batch untuk batch

yang ditolak oleh konsumen dalam

satuan biaya

w : Waktu inspeksi per komponen dalam

satuan waktu

Pa : Probabilitas penerimaan batch

dalam acceptance sampling

p : Probabilitas kemunculan komponen

yang tidak memenuhi spesifikasi

r : Waktu pengerjaan ulang per

komponen dalam satuan waktu

2.6. Pembentukan Model CSA (1

Mesin)

Model penjadwalan batch pada mesin

tunggal dengan due date bersama yang

memperhatikan biaya simpan dan biaya

kualitas berdasarkan variasi ukuran

sampel yang bergantung pada ukuran

batch disebut Model CSA. Indrapriyatna et

al. (2007a) memformulasikan biaya

kualitas dengan mempertimbangkan [6]:

a. Biaya pemeriksaan sampel

b. Biaya kegagalan internal

c. Biaya kegagalan eksternal

Total biaya pada Model CSA merupakan

penjumlahan dari biaya simpan dan biaya

kualitas, ditulis dengan notasi TC(N,Q).

Tujuan dari Model CSA adalah

meminimumkan total biaya. Model CSA

adalah sebagai berikut:

Model CSA

Minimumkan:

Total Biaya = Harapan total biaya simpan

+ Total biaya pemeriksaan

sampel + Harapan total

biaya kegagalan internal +

Harapan total biaya

kegagalan eksternal.

6 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:1-15

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

𝑻𝑪(𝑵, 𝑸) = 𝒄𝟏 ∑ {∑(𝒕𝑸[𝒋] + 𝒔)

𝒊

𝒋=𝟏

} 𝑸[𝒊+𝟏]

𝑵−𝟏

𝒊=𝟏

+𝒄𝟏 + 𝒄𝟐

𝟐𝒕 ∑ 𝑸[𝒊]

𝟐

𝑵

𝒊=𝟏

+𝒄𝟐 − 𝒄𝟏

𝟐𝒕 ∑ 𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

+ 𝒖𝒌𝟏𝒘 ∑ 𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

+ 𝒖𝒄𝟏𝒘 ∑ 𝑸[𝒊]𝟐

𝑵

𝒊=𝟏

+ (𝟏 − 𝑷𝒂) ((𝟏 − 𝒖)𝒌𝟏𝒘 ∑ 𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

+ (𝟏 − 𝒖)𝒄𝟏𝒘 ∑ 𝑸[𝒊]𝟐

𝑵

𝒊=𝟏

+ 𝒌𝟐𝒓𝒑 ∑ 𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

+ 𝒄𝟏𝒓𝒑 ∑ 𝑸[𝒊]𝟐

𝑵

𝒊=𝟏

)

+ 𝑷𝒂(𝟏 − 𝑷𝒂) (𝒌𝟏𝒘 ∑ 𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

+ 𝒄𝟏𝒘 ∑ 𝑸[𝒊]𝟐

𝑵

𝒊=𝟏

+ 𝒌𝟐𝒓𝒑 ∑ 𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

+ 𝒄𝟏𝒓𝒑 ∑ 𝑸[𝒊]𝟐

𝑵

𝒊=𝟏

+ 𝒌𝟑𝑵) (1)

(𝑵 − 𝟏)𝒔 + ∑ 𝒕𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

+ 𝒖𝒘 ∑ 𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

+ (𝟏 − 𝒖)(𝟏 − 𝑷𝒂)𝒘 ∑ 𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

+ (𝟏 − 𝑷𝒂)𝒓𝒑 ∑ 𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

≤ 𝒅 (2)

∑ 𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

= 𝒒 (3)

𝒅′ = 𝒅 − (𝒖𝒘 ∑ 𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

+ (𝟏 − 𝒖)(𝟏 − 𝑷𝒂)𝒘 ∑ 𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

+ (𝟏 − 𝑷𝒂)𝒓𝒑 ∑ 𝑸[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

) (4)

= (Biaya simpan finished part

+ Biaya simpan work-in-

process) + (Biaya

pemeriksaan sampel +

Biaya penyimpanan

komponen selama

pemeriksaan) + (Harapan

biaya pemeriksaan

komponen yang tidak

termasuk sampel +

Harapan biaya simpan

komponen yang tidak

termasuk sampel selama

pemeriksaan + Harapan

biaya pengerjaan ulang

untuk komponen non-

comforming + Harapan

biaya simpan selama

pengerjaan ulang) +

Harapan total biaya

kegagalan eksternal

(persamaan 1).

Dengan batasan:

1. Seluruh aktivitas yang berkaitan

dengan penyelesaian komponen

(aktivitas pengendalian dan perbaikan

kualitas, aktivitas setup serta

pemrosesan seluruh komponen) tidak

boleh melebihi due date (persamaan

2).

2. Selama horizon perencanaan, sistem

hanya berproduksi sebanyak jumlah

permintaan (persamaan 3).

3. Terdapat due date untuk aktivitas setup

dan pemrosesan seluruh komponen,

yang didefinisikan sebagai (persamaan

4).

4. Saat penyelesaian batch pertama harus

sama dengan due date untuk aktivitas

setup dan pemrosesan seluruh

komponen

𝑩[𝟏] + 𝒕𝑸[𝟏] = 𝒅′ (5)

5. Waktu mulai suatu batch harus sama

dengan saat penyelesaian batch

sebelumnya

𝑩[𝒊] = 𝑩[𝒊−𝟏] − (𝒔 + 𝒕𝑸[𝒊]) 𝒊 = 𝟐, 𝟑 … 𝑵 (6)

6. Ukuran batch paling kecil adalah 1

(yaitu pada kondisi seluruh permintaan

dijadikan satu batch) dan ukuran

maksimum batch sama dengan jumlah

permintaan komponen (yaitu pada

kondisi jumlah permintaan dibagi

menjadi q batch dengan ukuran

masing-masing batch adalah 1)

𝟏 ≤ 𝑵 ≤ 𝒒 (7)

7. Ukuran batch harus lebih besar dari 0

𝑸[𝒊] > 0, 𝑖 = 1, 2 … 𝑁 (8)

Ukuran batch optimal dari Model CSA,

untuk setiap nilai N, diperoleh

menggunakan Metode Lagrange, yaitu:

Algoritma Penentuan Ukuran....(H. Triha, et al.) 7

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

𝑸[𝒊] =𝒒

𝑵+

𝒄𝟏𝒔(𝑵 + 𝟏) − (𝟐𝒄𝟏𝒔)𝒊

𝟐 [𝟐 (𝒄𝟐+𝒄𝟏

𝟐) 𝒕 + 𝟐𝒖𝒄𝟏𝒘 − 𝒄𝟏𝒕 + 𝟐(𝟏 − 𝑷𝒂){(𝟏 − 𝒖)𝒄𝟏𝒘 + 𝒄𝟏𝒓𝒑 + 𝑷𝒂𝒄𝟏𝒘 + 𝑷𝒂𝒄𝟏𝒓𝒑}]

=𝒒

𝑵+

𝒄𝟏𝒔(𝑵 + 𝟏) − (𝟐𝒄𝟏𝒔)𝒊

𝟐[𝒄𝟐𝒕 + 𝟐𝒖𝒄𝟏𝒘 + 𝟐(𝟏 − 𝑷𝒂){(𝟏 − 𝒖)𝒄𝟏𝒘 + 𝒄𝟏𝒓𝒑 + 𝑷𝒂𝒄𝟏𝒘 + 𝑷𝒂𝒄𝟏𝒓𝒑}] (9)

Posisi batch L[i] dalam sistem

manufaktur yang terdiri atas satu mesin

dengan pendekatan backward selama

horizon perencanaan (yaitu dalam selang

saat 0 sampai dengan due date)

ditunjukkan dalam Gambar 2.

Persamaan (4) – (6). Periksa

apakah Persamaan (2) dan

B[N]≥0 dipenuhi. Jika dipenuhi

maka lanjutkan ke Langkah 5.

Jika tidak, maka lanjutkan ke

Langkah 8.

Gambar 2. Posisi batch dalam Sistem Manufaktur yang terdiri atas Satu Mesin (sumber: Indrapriyatna et al (2007a)) [6]

Algoritma usulan untuk menyelesaikan

Model CSA, untuk selanjutnya akan

disebut sebagai [Algoritma CSA], adalah

sebagai berikut:

[Algoritma CSA]

Langkah 0 Tentukan nilai-nilai parameter

q, d, s, t, u, c1, c2, k1, k2, k3, w,

Pa,

p dan r. Tentukan N = 1.

Lanjutkan ke Langkah 1.

Langkah 1 Tetapkan Q[1] = q dan B[1]

sesuai dengan persamaan (4)

dan (4). Periksa apakah

Persamaan Persamaan (2) dan B[1] ≥ 0 dipenuhi. Jika dipenuhi

maka lanjutkan ke Langkah 2.

Jika tidak, maka tetapkan

jadwal tidak layak dan

lanjutkan ke Langkah 9.

Langkah 2 Hitung TC(N,Q) menggunakan

Persamaan (1). Lanjutkan ke

Langkah 3.

Langkah 3 Tentukan N = N + 1. Lanjutkan

ke Langkah 4.

Langkah 4 Hitung Q[i] menggunakan

Persamaan (9) dan B[i] sesuai

Langkah 5 Hitung TC(N,Q) menggunakan

Persamaan (1). Lanjutkan ke

Langkah 6.

Langkah 6 Periksa apakah N ≤ q. Jika ya

maka lanjutkan ke Langkah 7.

Jika tidak, lanjutkan ke

Langkah 8.

Langkah 7 Periksa apakah TC(N,Q) ≤

TC(N-1,Q). Jika ya maka

kembali ke Langkah 3. Jika

tidak maka lanjutkan ke

Langkah 8.

Langkah 8 Tetapkan solusi yang

diperoleh:

Jumlah batch: N=N-1.

Ukuran batch ke-i: Q[i]=Q[i], i =

1, 2 ... N

Saat mulai batch pertama:

B[1]=d’ – tQ[1]

Saat mulai batch ke-i: B[i]=B[i-

1] – (s + tQ[i]), i = 2, 3 ... N

Total biaya=TC(N,Q).

Lanjutkan ke Langkah 9.

Langkah 9 Selesai

Ukuran batch yang diperoleh melalui

[Algoritma CSA] masih bersifat kontinu,

8 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:1-15

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

sementara ukuran batch seharusnya

bersifat diskrit. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut, Indrapriyatna et

al (2007b) menggunakan tiga metode

pembulatan ukuran batch, yaitu [7]:

1. Metode Jumlah-Desimal-Atas (JDA)

Jika penjumlahan nilai desimal ≥ 1

maka dibulatkan ke atas, tetapi jika

penjumlahan nilai desimal < 1 maka

dibulatkan ke bawah. Perhitungan nilai

desimal dimulai dari urutan batch

terbesar.

2. Metode Jumlah-Desimal-Bawah (JDB)

Jika penjumlahan nilai desimal ≥ 1

maka dibulatkan ke atas, tetapi jika

penjumlahan nilai desimal < 1 maka

dibulatkan ke bawah. Perhitungan nilai

desimal dimulai dari urutan batch

terkecil.

3. Metode Pembulatan

Jika nilai desimal ≥ 0,5 maka dilakukan

pembulatan ke atas, sedangkan jika

nilai desimal < 0,5 maka dilakukan

pembulatan ke bawah.

Meskipun ukuran batch bernilai integer,

ukuran sampel u yang proporsional

terhadap ukuran batch masih bisa bernilai

kontinu. Oleh karena itu, ukuran sampel

ke-i juga perlu dijadikan bilangan integer

(dinotasikan sebagai n[i]). Hal ini dilakukan

dengan cara menentukan nilai integer

terkecil yang lebih besar dari ukuran

sampel kontinu, atau secara matematis:

𝒏[𝒊] = ⌈𝒖𝑸[𝒊]′⌉ (10)

Perubahan ukuran batch dan sampel

menjadi integer dapat menyebabkan

terjadinya perubahan nilai Total Biaya

yang diperoleh dari Model CSA Awal.

Persamaan Total Biaya pada Model CSA

Awal akan berubah menjadi:

Model CSA_Dis

𝑇𝐶(𝑁, 𝑄′) = 𝑐1 ∑ {∑ 𝑡𝑄[𝑖]′ + 𝑠

𝑖

𝑗=1

} 𝑄[𝑖+1]′

𝑁−1

𝑖=1

+𝑐1 + 𝑐2

2𝑡 ∑[𝑄[𝑖]

′]2

𝑁

𝑖=1

+𝑐2 − 𝑐1

2𝑡 ∑ 𝑄[𝑖]

𝑁

𝑖=1

+ 𝑘1𝑤 ∑ 𝑛[𝑖]

𝑁

𝑖=1

+ 𝑐1𝑤 ∑ 𝑄[𝑖]′𝑛[𝑖]

𝑁

𝑖=1

+ (1 − 𝑃𝑎) (𝑘1𝑤 ∑(𝑄[𝑖]′ − 𝑛[𝑖])

𝑁

𝑖=1

+ 𝑐1𝑤 ∑ 𝑄[𝑖]′(𝑄[𝑖]

′ − 𝑛[𝑖])

𝑁

𝑖=1

+ 𝑘2𝑟𝑝 ∑[𝑄[𝑖]′]

2𝑁

𝑖=1

)

+ 𝑃𝑎(1 − 𝑃𝑎) (𝑘1𝑤 ∑ 𝑄[𝑖]′

𝑁

𝑖=1

+ 𝑐1𝑤 ∑[𝑄[𝑖]′]

2𝑁

𝑖=1

+ 𝑘2𝑟𝑝 ∑ 𝑄[𝑖]′

𝑁

𝑖=1

+ 𝑐1𝑟𝑝 ∑[𝑄[𝑖]′]

2𝑁

𝑖=1

+ 𝑘3𝑁) (11)

Dengan batasan:

(𝑵 − 𝟏)𝒔 + ∑ 𝒕𝑸[𝒊]′

𝑵

𝒊=𝟏

+ 𝒘 ∑ 𝒏[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

+ (𝟏 − 𝑷𝒂)𝒘 ∑(𝑸[𝒊]′ − 𝒏[𝒊])

𝑵

𝒊=𝟏

+ (𝟏 − 𝑷𝒂)𝒓𝒑 ∑ 𝑸[𝒊]′

𝑵

𝒊=𝟏

≤ 𝒅 (12)

∑ 𝑸[𝒊]′

𝑵

𝒊=𝟏

= 𝒒 (13)

𝒅′ = 𝒅 − (𝒘 ∑ 𝒏[𝒊]

𝑵

𝒊=𝟏

+ (𝟏 − 𝑷𝒂)𝒘 ∑(𝑸[𝒊]′ − 𝒏[𝒊])

𝑵

𝒊=𝟏

+ (𝟏 − 𝑷𝒂)𝒓𝒑 ∑ 𝑸[𝒊]′

𝑵

𝒊=𝟏

) (14)

𝑩[𝟏] + 𝒕𝑸[𝟏]′ = 𝒅′ (15)

𝑩[𝒊] = 𝑩[𝒊−𝟏] − 𝒔 − 𝒕𝑸[𝒊]

′ 𝒊 = 𝟐, 𝟑 … 𝑵 (16)

𝟏 ≤ 𝑵 ≤ 𝒒 (17)

𝑸[𝒊]

′ > 0, 𝑖 = 1, 2 … 𝑁 (18)

Penjelasan mengenai batasan yang

digunakan pada Model CSA_Dis sama

dengan batasan pada Model CSA. Karena

ukuran batch merupakan bilangan integer,

maka penyelesaian tidak bisa dilakukan

menggunakan diferensiasi (turunan). Oleh

sebab itu Indrapriyatna et al. (2007a)

memformulasikan ulang Algoritma CSA

menjadi Algoritma CSA_Dis untuk

menghitung nilai Total biaya (TC[N,Q’])

yang baru [6].

Algoritma Penentuan Ukuran....(H. Triha, et al.) 9

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

[Algoritma CSA_Dis]

Langkah 0 Gunakan [Algoritma CSA]

untuk memperoleh jumlah dan

ukuran batch. Beri indeks pada

ukuran batch secara backward,

dimulai dari due date hingga saat 0 (𝑄[𝑖]). Lanjutkan ke

Langkah 1 Langkah 1 Ubah nilai 𝑄[𝑖] menjadi integer,

(dinotasikan sebagai 𝑄[𝑖]′)

menggunakan Metode JDA,

JDB dan PMB. Lanjutkan ke

Langkah 2. Langkah 2 Hitung nilai 𝑛[𝑖] menggunakan

Persamaan 10. Lanjutkan ke

Langkah 3.

Langkah 3 Hitung TC(N,Q’) menggunakan

Persamaan 11 untuk metode

JDA, JDB dan PMB. Periksa

apakah Persamaan 12 sampai

18 terpenuhi. Jika ya, maka

jadwal layak dan Total Biaya =

TC(N,Q’). Jika tidak maka

jadwal tidak layak. Lanjutkan

ke Langkah 4.

Langkah 4 Bandingkan total biaya untuk

setiap jadwal layak yang

ditemukan. Lanjutkan ke

Langkah 5. Jika tidak ada

jadwal layak yang ditemukan

maka tetapkan jadwal tidak

layak dan lanjutkan ke

Langkah 6.

Langkah 5 Tetapkan solusi yang

diperoleh:

Jumlah batch: N = N Ukuran batch ke-i: 𝑄[𝑖]

dihitung menggunakan metode

terpilih (JDA, JDB atau PMB),

i = 1, 2 ... N

Saat mulai batch pertama: 𝐵[1] = 𝑑′ − 𝑡𝑄[𝑖]

Saat mulai batch ke-i:

𝐵[𝑖] = 𝐵[𝑖−1] − (𝑠 + 𝑡𝑄[𝑖]′),

i = 2, 3 ... N

Total Biaya: TC(N,Q’) = Biaya

Minimum

Lanjutkan ke Langkah 6.

Langkah 6 Selesai.

2.7. Algoritma Branch and Bound

Algoritma Branch and Bound

merupakan algoritma yang dikembangkan

untuk mencari hasil variabel keputusan

integer dari permasalahan linier

programming [13]. Algoritma ini

didasarkan pada prinsip Metode Pencarian

Melebar (Breadth First Search/ BFS). Basis

penerapannya adalah persoalan-

persoalan optimasi. Beberapa terminologi

yang digunakan dalam implementasi

algoritma ini antara lain:

1. Feasible Solution: Poin-poin dalam

ruang pencarian yang memenuhi

kendala batasan.

2. Optimal Solution: Feasible solution

yang memenuhi fungsi tujuan.

Komponen utama dari algoritma ini adalah

[14]:

1. Branching (Percabangan)

Memecah persoalan menjadi satu atau

lebih sub-persoalan.

2. Bounding (Batas)

Menentukan nilai batas atas atau batas

bawah yang memungkinkan.

3. Pruning (Pemotongan)

Membandingkan nilai hasil

percabangan dengan nilai batas atas

atau batas bawah. Jika salah satu

cabang yang dibandingkan tidak

optimal, maka cabang tersebut akan

diputus.

4. Retracting (Menarik kembali)

Jika solusi telah diperoleh pada salah

satu cabang terbawah, maka operasi

mundur dilakukan kembali ke level

teratas untuk membandingkan hasil

solusi.

Hampir seluruh persoalan integer

programming dapat diselesaikan

menggunakan Algoritma Branch and

Bound. Teknik ini mencari solusi optimal

dengan mengenumerasi titik-titik dalam

daerah feasible sebuah sub-persoalan

[15]. Setiap simpul percabangan

diasosiasikan dengan sebuah biaya yang

menyatakan nilai batas (bound).

Pohon dinamis biasa digunakan untuk

menggambarkan status persoalan pada

saat pencarian solusi Algoritma Branch

and Bound berlangsung. Status persoalan

(problem state) dinyatakan dalam bentuk

simpul-simpul percabangan di dalam

pohon dinamis yang memenuhi kendala

batasan (constraints). Status solusi

(solution state) merupakan satu atau lebih

10 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:1-15

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

status yang menyatakan solusi persoalan.

Status tujuan (goal state) adalah status

solusi yang merupakan simpul daun.

Ruang status (state space) adalah

seluruh simpul percabangan di dalam

suatu pohon dinamis, sementara pohon

dinamis tersebut dinamakan state space

tree. Algoritma Branch and Bound

menggunakan state space tree untuk

mencari solusi persoalan.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian merupakan hal

yang sangat diperlukan dalam suatu

penelitian. Metode penelitian

menggambarkan langkah - langkah yang

akan dilaksanakan dalam melakukan

penelitian.

1. Studi Pendahuluan

Tujuan studi pendahuluan ini adalah

untuk memperoleh teori-teori yang

menjadi landasan dalam melakukan

pemecahan masalah dengan baik.

2. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Tujuan dari identifikasi masalah adalah

untuk menjelaskan apa yang akan

diselesaikan, kemudian merumuskan

masalah, menjelaskan dan

mengidentifikasikan masalah-masalah

dalam batasan tertentu.

3. Pengumpulan Data

Data yang dipakai dalam penelitian ini

adalah data teoritis berdasarkan

peneliti sebelumnya yaitu

Indrapriyatna et al. (2007a).

4. Perancangan Algoritma

Pengolahan yang dilakukan berupa

penyusunan Algoritma Branch and

Bound untuk mencari Q[i] yang bernilai

integer dan pengujian logika algoritma.

Selanjutnya ditentukan total biaya dan

jadwal masing-masing batch

berdasakan rumus yang telah ada.

5. Penutup

Hasil perancangan dan hasil yang

didapat kemudian disimpulkan dan

diberikan saran-saran untuk perbaikan.

4. HASIL PENELITIAN

4.1. Pengumpulan Data

Data yang dipakai dalam penelitian ini

adalah 7 set data yang diambil dari

Indrapriyatna et al. (2007a). Di sini satuan

untuk waktu dan biaya tidak

dispesifikasikan, dengan alasan bahwa

satuan apa pun (asalkan sesuai, misalkan

menit untuk waktu, rupiah untuk biaya)

dapat digunakan. Hal ini dilakukan untuk

menunjukkan bahwa model dapat berlaku

secara umum [6].

Tabel 1. Set Data yang Digunakan

4.2. Perancangan Algoritma Branch

and Bound

Algoritma CSA menjadi acuan dasar

implementasi Algoritma Branch and Bound

dalam model CSA.

Tahap awal perancangan dimulai

dengan mengambil nilai Q[i] dan banyak

batch (N) optimal hasil Algoritma CSA

yang telah didapatkan dimana i = 1,2,3,

...,N. Dalam penerapan Algoritma Branch

and Bound ini, diperlukan variabel-

variabel tambahan sebagai berikut:

a = Banyaknya perulangan/

iterasi yang dilakukan

dimana a = 1,2,3,…,N-1.

Qup[a] = Nilai Q[a] dibulatkan ke

atas.

Qdown[a] = Nilai Q[a] dibulatkan ke

bawah.

TCup = TC[N,Q] saat Q[a]

dibulatkan ke atas.

TCdown = TC[N,Q] saat Q[a]

dibulatkan ke bawah.

q_awal = Jumlah permintaan (q)

pada Algoritma CSA.

Sisa_up = q hasil dari

q_awal –

a

i 1

Q[i]

saat Q[a] dibulatkan

ke atas.

Input Set 1 Set 2 Set 3 Set 4 Set 5 Set 6 Set 7

q 10.000,00 100.000,00 100,00 50.000,00 50.000,00 550.000,00 550.000,00

d 8.000,00 110.000,00 120,00 50.000,00 60.000,00 600.000,00 1.100.000,00

s 30,00 30,00 2,00 2,00 10,00 40,00 50,00

t 0,10 0,10 0,10 0,20 0,50 0,90 0,70

w 1,20 1,20 1,20 5,00 2,00 1,40 1,00

c1 10,00 10,00 3,00 15,00 12,00 10,00 20,00

c2 4,00 4,00 2,00 10,00 10,00 6,00 15,00

k1 1,00 1,00 1,00 1,00 4,00 3,00 3,00

k2 15,00 20,00 15,00 20,00 20,00 20,00 20,00

k3 20,00 15,00 10,00 20,00 20,00 25,00 15,00

r 0,10 0,10 0,10 0,10 0,30 0,30 0,20

p 0,03 0,03 0,03 0,03 0,01 0,02 0,02

Algoritma Penentuan Ukuran....(H. Triha, et al.) 11

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Sisa_down = q hasil dari

q_awal –

a

i 1

Q[i]

saat Q[a] dibulatkan

ke bawah.

Qbaru[N,a]= Variabel yang

menampung nilai Q[i]

integer (Q[i]’).

TC_BB[N] = Variabel yang

menampung Total Biaya

hasil Branch and Bound.

Berikut ini adalah penerapan Algoritma

Branch and Bound modifikasi untuk meng-

integer-kan Q[i] (Q[i]’), disebut Algoritma

CSA_BB_M.

Langkah 0. Ambil nilai Q[i] dengan

jumlah batch N hasil

Algoritma CSA.

Langkah 1. Tetapkan a =1 dimana a = 1,

2,3,…,N-1.

Langkah 2. Periksa apakah a < N. Jika

ya, maka lanjut ke langkah

3. Jika tidak, lanjut ke

langkah 12.

Langkah 3. Tetapkan nilai TCup = 0 dan

TCdown = 0.

Langkah 4. Bulatkan ke atas nilai dari

Q[a] (Qup[a]).

Langkah 5. Bulatkan ke bawah nilai dari

Q[a] (Qdown[a]).

Langkah 6. Untuk pembulatan ke atas:

cari nilai q =

q_awal –

a

i 1

Q[i]kemudian

tetapkan sisa_up = q. Cari

nilai Q[i + a] dengan

persamaan 9 dimana

i = 1,2,3,…,N-a. Hitung TCup

menggunakan Persamaan 1.

Langkah 7. Untuk pembulatan ke

bawah: cari nilai q =

q_awal –

a

i 1

Q[i]kemudian

tetapkan sisa_down = q.

Cari nilai Q[i + a] dengan

persamaan 9 dimana i = 1,

2,3,…, N-a. Hitung TCdown

menggunakan Persamaan 1.

Langkah 8. Periksa apakah

TCup < TCdown. Jika ya,

maka lanjut ke langkah 9.

Jika tidak, lanjut ke

langkah 10.

Langkah 9. Tetapkan:

Qbaru [N, a] = Qup[a].

Q[a] = Qbaru [N, a].

TC_BB [N] = TCup.

Qbaru [N, N] = sisa_up.

Lanjut ke langkah 11.

Langkah 10. Tetapkan:

Qbaru [N, a] = Qdown[a].

Q[a] = Qbaru [N, a].

TC_BB [N] = TCdown.

Qbaru [N, N] = sisa_down.

Lanjut ke langkah 11.

Langkah 11. Tentukan a = a + 1.

Kembali ke langkah 2.

Langkah 12. Selesai.

Flowchart dari algoritma CSA_BB_M

dapat dilihat pada Gambar 3.

Setelah mendapatkan ukuran batch

yang integer (Q’[i]), maka dicari Total

Biaya (TC[N,Q’]) berdasarkan Model

CSA_Dis untuk Q’[i] dengan

menggunakan Persamaan 11.

Sebelumnya dicari ukuran sampel yang

integer. Ukuran sampel integer untuk

batch hasil Algoritma CSA_BB_M

ditentukan dengan cara: nilai integer

paling kecil yang lebih besar daripada nilai

dari ukuran sampel kontinu, yaitu: n[i] =

┌ uQ[i]'┐, disebut Metode CSA_Dis_BB_M.

Setelah didapatkan ukuran sampel yang

integer, maka dapat dicari Total Biaya

TC([N.Q’]) dengan Persamaan 11. Berikut

ini adalah total biaya Metode CSA_Dis

yang menggunakan ukuran sampel

integer hasil Metode CSA_Dis_BB_M, JDA,

JDB dan Pembulatan (Persamaan 11).

4.3. Analisis Hasil Perancangan

Algoritma CSA_BB_M

Perancangan Algoritma CSA_BB_M

bertujuan mendapatkan ukuran Q[i] yang

integer (Q[i]’), jadwal untuk masing-

masing batch dan due date untuk aktivitas

setup dan pemrosesan seluruh part yang

baru (d’) serta Total Biaya (TC[N,Q’]) yang

minimum. Untuk jadwal dari masing-

masing batch dan d’ dapat dilihat pada

Gambar 9.

12 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:1-15

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

d’ = 6583,4 d = 8000

Waktu

L[1]L[2]L[3]...L[16] L[15] L[14]

B[1]

= 6460,168

B[2]

= 6315,033

B[3]

= 6177,996

B[14]

= 5205,033

B[15]

= 5165,168

B[16]

= 5133,4

Q[1]

= 1232

Q[2]

= 1152

Q[3]

= 1070

Q[14]

= 180

Q[15]

= 98

Q[16]

= 18

...

s s s s s s

Gambar 9. Jadwal untuk Masing-Masing

Batch

Berdasarkan Gambar 9, terlihat due

date untuk aktivitas setup dan

pemrosesan seluruh part yang baru (d’)

lebih kecil dari due date awal. Hal ini

menunjukkan jadwal dan due date baru

(d’) yang dihasilkan memenuhi batasan-

batasan yang telah ditetapkan.

Sedangkan hasil yang didapatkan

untuk total biaya adalah Total Biaya

dengan Algoritma CSA_BB_M (TC[N,Q’])

lebih besar dari TC[N,Q] Algoritma CSA.

Hal ini dipengaruhi oleh ukuran ukuran

batch yang sudah di-integer-kan. TC[N,Q’]

dengan Algoritma CSA_Dis_BB tidak

semuanya lebih kecil dari metode peng-

integer (JDA, JDB, dan Pembulatan) yang

dipakai oleh Indrapriyatna et al. (2007b)

[7]. Hal ini disebabkan ukuran batch

masing-masing

Berikut ini adalah flowchart dari algoritma CSA_BB_M :

Mulai

Tetapkan a =1 dimana a = 1,2,3, ,N-1.

Bulatkan ke atas nilai

dari Q[a] (Qup[a])

Bulatkan ke bawah

nilai dari Q[a]

(Qdown[a])

Cari nilai q = q awal –

kemudian tetapkan sisa_up = q.

Cari nilai Q[i + a] dengan persamaan 9 dimana i = 1,

2,3, ,N-a. Hitung TCup menggunakan Persamaan 1.

Cari nilai q = q awal –

kemudian tetapkan sisa_down = q.

Cari nilai Q[i + a] dengan persamaan 9 dimana i = 1,

2,3, ,N-a. Hitung TCdown menggunakan Persamaan 1.

TCup < TCdown

Qbaru[N, a] = Qup[a]

Q[a] = Qbaru[N, a]

TC_BB[N] = TCup

Qbaru[N, N] = sisa_up

Ya

Qbaru[N, a] = Qdown[a]

Q[a] = Qbaru[N, a]

TC_BB[N] = TCdown

Qbaru[N, N] = sisa_down

Tidak

Hitung a = a + 1

Selesai

Ambil nilai Q[i]

Periksa apakah a < N

Tetapkan nilai TCup = 0 dan TCdown = 0

Ya

Tidak

Gambar 3. Flowchart Algoritma CSA_BB_M

Algoritma Penentuan Ukuran....(H. Triha, et al.) 13

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

metode ada yang tidak sama, sedangkan

pada Model CSA_Dis terdapat operasi

pengurangan, perkalian dan perpangkatan

untuk masing-masing ukuran batch.

Tabel 2. Rekapitulasi Jumlah Permintaan

Sebelum dan Sesudah Proses

Peng-integer-an untuk u = 10%

Tabel 3. Rekapitulasi Jumlah Permintaan

Sebelum dan Sesudah Proses

Peng-integer-an untuk u = 20%

Rekapitulasi Total Biaya 7 set data

dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.

Berdasarkan Tabel 4 dan 5 (pada kolom

Pembulatan), terdapat kotak yang diberi

warna abu-abu dan diberi simbol NA.

Maksudnya adalah perhitungan Total

Biaya (TC[N,Q’]) untuk set data 5 dengan

proporsi sampel (u) = 10% dan set data 3

dengan proporsi sampel (u) = 20% pada

Metode Pembulatan tidak dilakukan

karena jumlah permintaan hasil peng-

integer-annya tidak memenuhi batasan

pada model CSA dimana jumlah ukuran

batch tidak sama dengan jumlah

permintaan awal seperti yang terlihat

pada Tabel 2 dan 3.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan perancangan Algoritma

Branch and Bound modifikasi yang telah

dibuat, maka dapat diambil beberapa

kesimpulan yaitu:

1. Algoritma CSA_BB_M mendapatkan

ukuran batch yang diskrit (integer)

tanpa mengubah banyak batch

dan jumlah permintaan yang

akan diproduksi. Penerapan Algoritma

Tabel 4. Hasil Perhitungan Model CSA , CSA_BB_M dan Model CSA_Dis dengan u = 10%

Tabel 5. Hasil Perhitungan Model CSA , CSA_BB_M dan Model CSA_Dis dengan u = 20%

Tabel 2 dan Tabel 3 memperlihatkan

rekap jumlah permintaan setelah

dilakukannya proses peng-integer-an.

CSA_BB_M dilakukan pada 7 set data

yang terdapat pada Indrapriyatna et al.

(2007a) [6]. Untuk 7 set data dan

metode peng-integer yang digunakan,

Data

Set

Permintaan

Awal (q)

Permintaan

Saat CSA_BB_M

Permintaan

Saat JDA

Permintaan

Saat JDB

Permintaan

Saat Pembulatan

1 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000

2 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000

3 100 100 100 100 100

4 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000

5 50.000 50.000 50.000 50.000 49.999

6 550.000 550.000 550.000 550.000 550.000

7 550.000 550.000 550.000 550.000 550.000

Data

Set

Permintaan

Awal (q)

Permintaan

Saat CSA_BB_M

Permintaan

Saat JDA

Permintaan

Saat JDB

Permintaan

Saat Pembulatan

1 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000

2 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000

3 100 100 100 100 99

4 50.000

5 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000

6 550.000

7 550.000 550.000 550.000 550.000 550.000

Jumlah-desimal-atas Jumlah-desimal-bawah Pembulatan CSA_Dis_BB_M

Set 1 79.946.295,95Rp 79.946.302,67Rp 80.009.882,97Rp 80.011.304,63Rp 80.000.334,60Rp 79.995.360,68Rp

Set 2 6.036.997.149,52Rp 6.037.012.190,60Rp 6.037.539.487,26Rp 6.037.543.861,93Rp 6.037.542.765,08Rp 6.037.542.765,08Rp

Set 3 4.683,16Rp 4.683,80Rp 4.844,31Rp 4.851,55Rp 4.846,88Rp 4.846,88Rp

Set 4 4.024.001.544,39Rp 4.024.004.959,71Rp 4.025.698.186,67Rp 4.025.700.717,75Rp 4.025.662.344,82Rp 4.025.660.400,21Rp

Set 5 7.945.875.401,08Rp 7.945.878.610,37Rp 7.946.387.171,50Rp 7.946.389.160,92Rp NA 7.946.370.307,07Rp

Set 6 1.385.189.731.996,40Rp 1.385.189.782.217,74Rp 1.385.193.097.488,45Rp 1.385.193.107.318,21Rp 1.385.193.419.190,73Rp 1.385.193.408.802,91Rp

Set 7 2.171.126.128.412,81Rp 2.171.126.207.002,90Rp 2.171.130.933.878,69Rp 2.171.130.947.604,92Rp 2.171.130.805.941,50Rp 2.171.130.804.806,65Rp

Model CSA_Dis menggunakan metodeSet Data Model CSA CSA_BB_M

Jumlah-desimal-atas Jumlah-desimal-bawah Pembulatan CSA_Dis_BB_M

Set 1 88.701.045,51Rp 88.701.051,16Rp 88.760.219,44Rp 88.751.015,46Rp 88.761.962,08Rp 88.761.962,08Rp

Set 2 6.299.363.829,06Rp 6.299.365.042,70Rp 6.299.877.394,03Rp 6.299.849.137,30Rp 6.299.823.235,01Rp 6.299.823.235,01Rp

Set 3 5.164,72Rp 5.167,53Rp 5.314,47Rp 5.326,04Rp NA 5.301,45Rp

Set 4 Jadwal tidak layak Jadwal Tidak Layak Jadwal tidak layak Jadwal tidak layak Jadwal tidak layak Jadwal Tidak Layak

Set 5 8.008.561.073,33Rp 8.008.564.331,18Rp 8.009.020.976,71Rp 8.009.024.453,28Rp 8.009.018.134,11Rp 8.009.018.847,50Rp

Set 6 Jadwal Tidak Layak Jadwal Tidak Layak

Set 7 2.176.008.487.542,06Rp 2.176.008.487.698,73Rp 2.176.012.679.086,23Rp 2.176.012.705.086,14Rp 2.176.012.555.358,62Rp 2.176.012.540.375,54Rp

Model CSA_Dis menggunakan metodeCSA_BB_MSet Data Model CSA

14 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:1-15

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

jumlah permintaan setelah dilakukan

proses peng-integer-an tetap atau

sama dengan jumlah permintaan awal

kecuali untuk Metode Pembulatan. Pada

Metode Pembulatan jumlah permintaan

ada yang berbeda yaitu untuk set data

5 pada proporsi sampel (u) = 10% dan

set data 3 pada proporsi sampel (u) =

20% dimana jumlah permintaan kurang

1 unit dari jumlah permintaan awal. Hal

ini menunjukkan, pada set data

tersebut, Metode Pembulatan gagal

memenuhi salah satu batasan pada

model CSA yaitu jumlah dari ukuran

batch yang telah diskrit harus sama

dengan jumlah permintaan awal.

2. Metode CSA_Dis_BB_M (untuk meng-

integer-kan ukuran sampel hasil

Algoritma CSA_BB_M) tidak selalu

menghasilkan total biaya yang

minimum jika dibandingkan dengan

metode peng-integer yang lain (JDA,

JDB dan Pembulatan). Hal ini

disebabkan oleh ukuran batch masing-

masing metode ada yang tidak sama,

sedangkan pada Model CSA_Dis

terdapat operasi pengurangan,

perkalian dan perpangkatan untuk

masing-masing ukuran batch. Hal ini

berpengaruh terhadap hasil akhir, yaitu

total biaya yang didapatkan. Hasil

perhitungan dengan proporsi sampel 10

% menunjukkan bahwa Metode

Jumlah-Desimal-Atas menghasilkan

solusi terbaik untuk set data 2, 3, dan

6. Metode Pembulatan menghasilkan

solusi terbaik untuk set data 5, tetapi

karena jumlah permintaannya kurang

dari jumlah permintaan awal (q) maka

total biaya terkecil untuk set data 5

dicari dari 3 metode lainnya (JDA, JDB,

dan CSA_Dis_BB_M). Metode

CSA_Dis_BB_M menghasilkan solusi

terbaik untuk set data 1, 4, 5, dan 7.

Hasil perhitungan dengan proporsi

sampel 20 % menunjukkan bahwa

Metode Jumlah-Desimal-Bawah

menghasilkan solusi terbaik untuk set data

1. Metode Pembulatan menghasilkan

solusi terbaik untuk set data 2, 3, dan 5,

tetapi karena jumlah permintaan pada

data set 3 kurang dari jumlah permintaan

awal (q) maka total biaya terkecil untuk

set data 3 dicari dari 3 metode lainnya

(JDA, JDB, dan CSA_Dis_BB_M). Metode

CSA_Dis_BB_M menghasilkan solusi

terbaik untuk set data 2, 3 dan 7.

Setelah melakukan perancangan

Algoritma CSA_BB_M dan Metode

CSA_Dis_BB_M dan agar penelitian ini

lebih baik kedepannya, disarankan agar:

1. Mencoba metode peng-integer ukuran

batch yang lain, karena algoritma dan

metode peng-integer ukuran batch dan

sampel yang telah dicobakan

(Algoritma CSA_BB_M dan Metode

CSA_Dis_BB_M) belum menghasilkan

solusi optimal.

2. Penelitian selanjutnya dapat

menerapkan untuk model-model

lainnya dimana penelitian ini hanya

mengacu pada model 1 mesin (Model

CSA), sedangkan Indrapriyatna et al.

(2007b) mengembangkan model

penjadwalan untuk 2 mesin, 3 mesin,

dan m mesin [7].

3. Menggunakan data real atau data

berdasarkan pengamatan di lapangan

dengan kondisi yang sesuai dengan

model yang ada, agar dapat diuji

apakah Algoritma CSA_BB_M dan

Metode CSA_Dis_BB_M ini berlaku

untuk data apapun.

DAFTAR PUSTAKA

[1] D. D. Bedworth dan J. E. Bailey.

(1987). Integrated Production

Control Systems: Management,

analysis, design Second edition.

Singapore: John Wiley & Sons Inc.

[2] J. E. Biegel. (1971). Production

Control: A quantitative approach,

New Jersey, USA: Prentice-Hall, Inc.

[3] A. H. Halim dan H. Ohta. (1993).

“Batch Sheduling Problem Through

the Flow Shop with Both Receiving

and Delivery Just In Time”,

International Journal of Production

Research, Vol. 31, pp. 1943-1955.

[4] A. H. Halim dan H. Ohta. (1994).

“Batch Scheduling Problem to

Minimize Inventory Cost in the Shop

with Both Receiving and Delivery

Just In Time, International Journal of

Production Eco, Vol. 33, pp. 185-

195.

Algoritma Penentuan Ukuran....(H. Triha, et al.) 15

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

[5] A. H. Halim, J. Silalahi dan H. Ohta.

(2001). “A Batch Scheduling Model

Considering Quality Costs for the

Shop with Receiving and Delivery

Just In Time”, Proceeding of the

2001 International Conference on

Production Research, Prague, Czech

Republic. 29 July – 3 August.

[6] A. S. Indrapriyatna, Suprayogi, B. P.

Iskandar dan A. H. Halim. (2007). “A

Batch Scheduling Model for A Single

Machine Processing Discrete Parts to

Minimize Total Inventory and Quality

Cost”, Proceeding of the 1st Asia

Pacific Conference on Manufacturing

Systems, Bali, Indonesia, 5 – 6

Septermber.

[7] A. S Indrapriyatna Suprayogi, B. P.

Iskandar dan A. H. Halim. (2007).

“Model Penjadwalan Batch pada

Flowshop untuk Minimasi Biaya

Simpan dan Kualitas’, Jurnal Teknik

dan Manajemen Industri ITB, Vol.

27, pp. 142-163.

[8] K. R. Baker. (1974). Introduction to

Sequencing and Scheduling, New

York, USA: John Wiley & Sons Inc.

[9] T’kindt, Vincent dan Jean-Charles

Billaut. (2006). Multicriteria

Scheduling, Theory, Models, and

Algorithms, Second Edition. France:

Springer.

[10] E. Herjanto. (2008). Manajemen

Operasi Edisi Ketiga, Jakarta,

Indonesia: Grasindo.

[11] H. Prasetya dan F. Lukiastuti.

(2009). Manajemen Operasi,

Yogyakarta, Indonesia: Media

Pressindo.

[12] M. S. Bazaraa, H. D. Sherali, dan C.

M. Shetty. (2007). Nonlinear

Programming, 2nd ed. Canada: John

Wiley & Sons Inc.

[13] A. H. Land, dan A. G. Doig. (1960).

An Automatic Method of Solving

Discrete Programming Problems.

Econometrica 28 (3). pp. 497–520.

[14] M. J. Brusco dan S. Stahl. (2005).

Statistics and Computing: Branch

and Bound Applications In

Combinatorial Data Analysis, New

York, USA: Springer Science +

Business Media, Inc.

[15] T. T. Dimyati dan A. Dimyati. (2006).

Operations Research: Model-Model

Pengambilan Keputusan, Bandung,

Indonesia: Sinar Baru Algensindo.

16 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:16-32

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

EVALUASI SHIFT KERJA DAN PENENTUAN WAKTU STANDAR PT X BERDASARKAN BEBAN KERJA

Trisna Mesra, Lusi Susanti, Hilma Raimona Zadry Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Andalas, Padang

Email: [email protected] (korespondensi)

Abstract

PT. X is one of the companies located in Dumai Industrial Region, produces fertilizer. This company has three production plants. Production capacity of the first plant is 450 tons/day, the second plant produces 750 tons / day and the third plant produces 700 tons / day. PT. X is supported by 2 sub companies, they are PT. A and PT. B. PT. A operates 5 bagging lines and PT. B operates 3

bagging lines. The fertilizer bagging process has three steps where each step has its own work station: putting the labelled sack to the hook followed by fiiling the sack with fertilizer, installing the

tie cable, and sewing the fertilizer filled sack. From the initial survey, it was found that the processingtime is not optimal to reach production target. PT. A and B have to set 24 working hours per day to run the target resulting on frequent overtime, excessive fatique and negative impact of physically and mentally for the workers. Author’s hypothesis is the current condition has been one of the reasons for a decline of the production output. Therefore, the purposes of the research are to find the impact of current working hours and shift work pattern on physical and psycological respon of the workers and to calculate standard time required to complete one cycle of bagging process.

This standard time is very crucial to determine production target thus determine the optimal working hours and shift rotation.

Measuring of heart rate arecollecting results of questionnaire of NASA-TLX are the parameters used to evaluate physical and psychological respon of workers. Two workers from different group worker, different shift work, from PT. A and PT. B were selected as samples to evaluate their heart rate pattern. The questioner spread out to all workers. Time standard was determined by observing and taking data of 40 bagging cycles for each shift work.

The results show that shift work affecting the physiological response of workers in PT. B in the category between moderate to extreme especially for working element of arranging fertilizer sack to the pallet. This result was found for the two group workers. Frequent short rests between times are required to provide quick recovery for the workers and reduce excessive fatique. Average standard time complete one bagging cycle was 0.12 minutes and 0.13 minutes for PT. A and PT. B, respectively. These standard times can be used to set the production output target for the two

companies. Last, short rotation shift work with additional number of workers is recommended for the shift pattern.

Keyword : fertilizer bagging, NASA-TLX, standar time

Abstrak

PT X merupakan salah satu perusahaan yang ada di Kawasan Industri Dumai.Produk yang dihasilkan oleh PT X adalah Pupuk. PT X mempunyai 3 pabrik dalam melakukan proses produksi,

dimana pabrik I mempunyai kapasitas produksi 450 ton/hari, pabrik II memiliki kapasitas produksi

750 ton/hari dan pabrik III sebanyak 700 ton/hari. Dalam melakukan proses bagging untuk pupuk yang dihasilkan, PT. X dibantu oleh dua perusahaan yaitu perusahaan A dan perusahaan B. Perusahaan A mengoperasikan 5 line bagging dan perusahaan B mengoperasikan 3 line bagging. Proses bagging pupuk untuk setiap line memiliki tiga stasiun kerja yaitu menyangkutkan karung yang telah diberikan merek untuk diisi ke mesin bagging, memasang kabel tie dan menjahit karung pupuk. Berdasarkan hasil survei pendahuluan ditemukan bahwa waktu penyelesaian pekerjaan tidak

optimal. Untuk mencapai target produksi, perusahaan A dan B memberlakukan shift kerjaselama 24 jam per hari yang mengakibatkan tingginya beban kerja baik fisik maupun mental pada tenaga kerja. Hal ini menjadi salah satu sebab terjadinya penurunan jumlah produksi bagging pupuk (penurunan produktivitas). Berdasarkan latar belakang ini maka tujuan dilakukan penelitian adalah melihat pengaruh shift kerja terhadap respon fisiologis dan psikologis pekerja saat bekerja pada shift I dan shift II dan mengetahui waktu standar yang diperlukan dalam menyelesaikan bagging pupuk sebagai

Evaluasi Shift Kerja....(T. Mesra, et al.) 17

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

dasar untuk menentukan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan target bagging pupuk PT X yang akhirnya akan mengevaluasi penggunaan jadwal shift kerja yang lebih baik untuk mencapai target bagging pupuk PT X.

Pengukuran denyut jantung, penyebaran kuisioner NASA-TLX, pengukuran waktu kerja jam henti dan evaluasi jadwal shift berdasarkan rekomendasi Manuaba digunakan sebagai metode untuk mencapai tujuan penelitian.Sampel yang diambil untuk data denyut jantung adalah 2 orang pekerja

dari setiap perusahaan A dan B untuk setiap grup pada shift I dan shift II. Sampel yang mengisi kuisioner beban kerja mental adalah semua pekerja pada perusahaan A dan B pada saat pekerja bekerja siang hari atau shift I. Waktu standar adalah data waktu 40 bagging pupuk dari 2 anak perusahaan, dan 2 grup kerja serta 2 shift kerja yaitu shift I dan shift II.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa shift kerja mempengaruhi respon fisiologis pekerja dalam kategori antara sedang sampai dengan ekstrim berat untuk elemen kerja ke empat (penyusunan

pupuk ke pallet) untuk perusahaan B baik grup 1 maupun grup 2. Oleh sebab itu diperlukan suatu intervensi yaitu pemberian waktu istirahat singkat diantara waktu kerja yang berfungsi membantu seseorang saat melakukan pekerjaan yang cukup berat. Rata-rata waktu standar yang diperlukan untuk menyelesaikan proses bagging pupuk olehperusahaan A sebesar 0,12 menit/bagging dan 0,13

menit/bagging bagi perusahaan B dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyelesaikan target bagging yang ditetapkan PT X serta merekomendasikan skedul shift kerja dengan rotasi pendek dan penambahan jumlah pekerja proses bagging pupuk.

Kata kunci: bagging pupuk, NASA-TLX, waktu standa

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

PT X yang merupakan perusahaan yang

menghasilkan pupuk NPK (nitrogen

phospat kalium ) dengan merek X. Jumlah

produksi pupuk dari PT X berasal dari 3

pabrik dengan kapasitas 1900 ton/hari.

Proses bagging pupuk dikelola oleh 2 anak

perusahaan yaitu perusahaan A dan B.

Berdasarkan hasil pengamatan selama

lebih kurang dua bulan di PT.X terlihat

bahwa pekerja bagging pupuk mengalami

kelelahan dan kebosanan dalam bekerja

karena pekerjaan dilakukan secara

repetitif. Hal tersebut mengakibatkan

lamanya proses penyelesaian bagging

pupuk, sehingga target bagging yang

ditetapkan PT X tidak tercapai. Dugaan

awal bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh

jam kerja dan sistem shift yang diterapkan

PT X.

Pengaturan shift yang telah diterapkan

oleh perusahaan A dan B tetap tidak dapat

mencapai target bagging yang telah

ditentukan. Jumlah pupuk yang dapat

dibagging hanya mencapai 87,5% dari

total target bagging pupuk perbulan

berdasarkan data hasil pra penelitian

bulan Februari 2015.

Sistem kerja yang baik akan tercapai

jika semua komponen dalam sistem kerja

(baik sosial maupun teknis) dirancang

secara ergonomis dan outcome yang

dirasakan manusia juga baik [1]. Outcome

tersebut dapat berupa kepuasan kerja,

berkurangnya tekanan fisik dan mental,

kesehatan fisik dan mental, kinerja dan

prilaku. Menurut Demerouti, et.al (2004)

terdapat hubungan antara konflik

dirumah, tanggung jawab pekerjaan,

kesehatan kerja dan tingkat absensi dari

pekerja dengan tata cara pengaturan

kerja bergilir [2]. Tidak terlalu bermasalah

bagi pekerja yang selalu bekerja siang hari

(day shift) selama seminggu, sedangkan

bagi pekerja yang selalu bekerja bergiliran

malam akan mengalami konflik dirumah

yang cukup banyak walaupun ada hari

libur pada akhir minggu. Dengan demikian

harus ada fleksibilitas pengaturan kerja

bergilir sesuai karakter individu pekerja.

Melihat dampak yang ditimbulkan oleh

pengaturan shift kerja dari beberapa

penelitian terdahulu dan hasil pra

penelitian yang telah dilakukan, maka

dirasa perlu untuk menganalisis sistem

kerja yang ada di perusahaan A dan B dan

berusaha untuk melakukan perbaikan

pengaturan shift kerja untuk

meningkatkan produktivitas pekerja di

perusahaan A dan B dengan

mempertimbangkan kelebihan dan

keterbatasan pekerja dari sisi ergonomi.

18 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:16-32

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah

yang telah diuraikan di atas, maka

perumusan masalah dalam penelitian ini

adalah bagaimana pengaturan shift kerja

dan penentuan waktu standar PT X

berdasarkan beban kerja.

1.3. Pentingnya Posisi Penelitian

Kimberly (2011) mengemukan bahwa

ada pengaruh signifikan shift kerja malam

terhadap kelelahan dan tingkat stress

sehingga harus ada perbaikan aturan shift

kerja malam [3]. Sementara Salma dan

Kameswara (2014) melihat hubungan

antara shift kerja dengan kelelahan dan

adanya hubungan antara rotasi shift

dengan waktu kerja dan

merekomendasikan adanya pengurangan

jumlah jam kerja pada shift malam [4].

Sedangkan dasar penelitian ini adalah

saran yang dikemukan oleh Kimberly dan

penelitian Salma dan Kameswara maka

penulis mengevaluasi shift kerja

berdasarkan waktu standar dan beban

kerja.

1.4. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pola pengaturan

shift kerja dan penentuan waktu standar

PT X berdasarkan beban kerja.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan penulis dari

dilakukannya penelitian ini,

1. Perusahaan

a. Meningkatkan produktivitas pekerja

sehingga profit perusahaan

meningkat.

b. Mengurangi dampak negatif yang

ditimbulkan akibat shift kerja bagi

pekerja.

c. Memberikan masukan dan

sumbangan pemikiran bagi pihak

perusahaan untuk perbaikan sistem

shift kerja yang mereka jalankan

selama ini.

2. Peneliti

Sebagai pengembangan ilmu

pengetahuan dan wawasan dalam

memecahkan masalah yang ada di

perusahaan.

1.6. Batasan Masalah

Batasan masalah perlu dilakukan

supaya ruang lingkup penelitian menjadi

lebih fokus dan terarah sehingga hasilnya

maksimal. Batasan masalah tersebut

dapat dinyatakan sebagai berikut:

1. Ergonomi fisiologi yang dievaluasi

hanya pada penentuan jumlah energi

yang dibutuhkan oleh pekerja

perusahaan A dan B

2. Pekerja yang melakukan proses

bagging dan mengalami shift kerja

yang ada di perusahaan A dan B

menjadi sampel dalam penelitian ini.

3. Faktor lingkungan dan keselamatan

kerja pada penelitian ini diabaikan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengukuran Beban Kerja

Derajat beratnya beban kerja tidak

hanya tergantung pada jumlah kalori yang

dikonsumsi, akan tetapi juga tergantung

pada jumlah otot yang terlibat pada

pembebanan otot statis. Sejumlah

konsumsi energi tertentu akan lebih berat

jika hanya ditunjang oleh sejumlah kecil

otot relatif terhadap sejumlah besar otot.

Perhitungan konsumsi energi

menggunakan parameter indeks kenaikan

bilangan kecepatan denyut jantung pada

waktu kerja tertentu dengan kecepatan

denyut jantung saat istirahat. Besarnya

energi yang dikeluarkan untuk suatu

pekerjaan dapat diukur dengan

memperhitungkan denyut jantung dan

faktor demografi. Sedangkan Berat

ringannya suatu pekerjaan dapat

ditentukan dengan mengevaluasi nilai

absolut kebutuhan energi untuk seorang

individu.

2.2. Pengukuran Beban Kerja Mental

Subjektif

Pengukuran beban kerja mental

dengan metode pengukuran subjektif

adalah pengukuran beban kerja di mana

sumber data yang diolah adalah data yang

bersifat kualitatif. Pengukuran ini

merupakan salah satu pendekatan

psikologi dengan cara membuat skala

psikometri untuk mengukur beban kerja

Evaluasi Shift Kerja....(T. Mesra, et al.) 19

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

mental. Cara membuat skala tersebut

dapat dilakukan baik secara langsung

(terjadi secara spontan) maupun tidak

langsung (berasal dari respon

eksperimen).

Metode pengukuran yang digunakan

adalah dengan memilih faktor-faktor

beban kerja mental yang berpengaruh dan

memberikan Rating subjektif.

Beberapa metode pengukuran beban

kerja mental secara subjektif diantaranya

adalah:

1. NASA-TLX

Dikembangkan oleh NASA Ames

Research Center. NASA-Task Load

Index adalah prosedur Rating

mutidimensional, yang membagi beban

kerja (workload) atas dasar rata-rata

pembebanan enam subskala yaitu ,

a. Mental demands

b. Physical demands

c. Temporal demands

Ketiga subskala di atas berhubungan

dengan orang yang dinilai/diukur (object

assessment).

d. Own performance

e. Effort

f. Frustation

Sedangkan tiga subskala ini

berhubungan dengan interaksi antara

subjek dengan pekerjaannya (task).

2.2.1. Pengukuran Waktu

Pengukuran waktu ditunjukkan untuk

mendapatkan waktu baku penyelesaian

suatu pekerjaan, yaitu waktu yang

dibutuhkan secara wajar oleh seorang

pekerja normal untuk menyelesaikan

suatu pekerjaan yang dijalankan dalam

sistem kerja terbaik [5]. Menurut

Wignjosoebroto (2008) Waktu baku

merupakan waktu yang dibutuhkan oleh

seorang pekerja yang memiliki tingkat

kemampuan rata-rata untuk

menyelesaikan suatu pekerjaan dan sudah

meliputi kelonggaran waktu yang

diberikan dengan memperhatikan situasi

dan kondisi pekerjaan yang harus

diselesaikan [6]. Waktu baku yang

dihasilkan dalam aktivitas pengukuran

kerja ini akan dapat digunakan sebagai

alat untuk membuat rencana penjadwalan

kerja yang menyatakan berapa lama

suatu kegiatan itu harus berlangsung

berapa output yang akan dihasilkan serta

berapa pula jumlah tenaga kerja yang

dibutuhkan untuk menyelesaikan

pekerjaan tersebut [6].

2.3. Shift Kerja

Kerja shift menurut Kroemer et al,

(2010) adalah jika dua orang atau lebih

atau tim kerja bekerja di jadwal yang

sama disuatu tempat dengan pola kerja

yang sama dengan jumlah hari kerja lebih

dari beberapa hari [7]. Tujuan

diberlakukannya kerja bergilir ini adalah

untuk mempertahankan produksi agar

tetap berlangsung secara terus menerus

melalui serangkaian kelompok kerja yang

bekerja bergiliran. Adapun alasan utama

kontinuitas kerja di perusahaan karena

proses kerja di lantai produksi harus

dilaksanakan terus menerus.

Knauth (1988) mengemukakan bahwa

terdapat 5 faktor utama yang harus

diperhatikan dalam shift kerja, antara lain

[8];

a. Jenis shift (pagi, siang dan malam)

b. Panjang waktu tiap shift

c. Waktu dimulai dan diakhirinya satu

shift.

d. Distribusi waktu istirahat

2.3.1. Arah transisi shift.

Merancang perputaran shift tidak bisa

dilakukan sembarangan, ada hal-hal yang

harus diperhatikan dan diingat, seperti

yang dikemukakan oleh Pribadi (1998)

dalam Nurmianto (2004) berikut ini [9]:

1. Kekurangan tidur atau istirahat

hendaknya ditekan sekecil mungkin

sehingga dapat meminimumkan

kelelahan.

2. Sediakan waktu sebanyak mungkin

untuk kehidupan keluarga dan kontak

sosial.

Manuaba (2010) mengemukakan

dampak dari shift kerja ada 3 yaitu [10]:

1. Terjadi perubahan fungsi tubuh atau

Cirdian rhythms

Circadian Rhythms adalah proses-

proses yang dialami tubuh yang saling

berhubungan untuk menyesuaikan

dengan perubahan waktu selama 24

jam [11]. Circadian rhythms menjadi

20 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:16-32

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

dasar fisiologis dan psikologis pada

siklus tidur dan bangun harian. Fungsi

dan tahapan fisiologis dan psikologis

memiliki suatu circadian rhythms yang

tertentu selama 24 jam sehari,

sehingga circadian rhythms seseorang

akan terngangu jika terjadi perubahan

jadwal kegiatan seperti perubahan shift

kerja.

2. Dampak Jangka Panjang

Manuaba (2010) menyatakan bahwa

dampak jangka panjang dari kerja

adalah sebagai berikut [10]:

a. Kelelahan kronis

b. Masalah tidur

c. Gangguan pencernaan

d. Penyakit jantung

e. Gangguan jiwa

3. Dampak Jangka Pendek

Manuaba (2010) menyatakan akibat

kerja shift dalam jangka pendek adalah

[10]:

a. Gangguan tidur

b. Penurunan performansi atau kinerja

c. Jet lag

2.4. Penelitian Terkait

Santosa dan Supriyadi (2010)

melakukan perhitungan waktu baku

dengan metode work sampling untuk

menentukan jumlah tenaga kerja optimal

di PT. C Central Java [12]. Tujuan

dilakukannya penelitian ini adalah untuk

mengetahui waktu baku pada proses

produksi ukuran botol 1 liter dan

mengetahui jumlah tenaga kerja optimal

dan efektif yang dibutuhkan bagian

tersebut sesuai perhitungan waktu baku.

Hasil penelitian ini adalah Proses produksi

botol 1 liter di PT. C. sudah terstruktur

dengan baik dan pada prosesnya

menggunakan peralatan semi otomatis.

Waktu baku rata-rata pengangkatan

barang ke konveyor adalah sebesar 0,868

menit dengan tenaga kerja rata-rata

sebanyak 12 orang. Waktu baku rata-rata

pemisahan botol adalah sebesar 0,8886

menit dengan jumlah tenaga kerja rata-

rata sebanyak 13 orang. Sedangkan

waktu baku rata-rata bagian seleksi

adalah sebesar 0,8026 menit dengan

jumlah tenaga kerja rata-rata sebanyak

12 orang.

Analisa penentuan waktu baku untuk

mempersingkat proses pelayanan bongkar

muat di pelabuhan Trisakti Banjarmasin

yang dilakukan oleh Noor (2011) pada

peralatan Container Crane (CC), Rubber

Tyred Gantry (RTG), Head Truck (HT) dan

Reach Truck (RS) menggunakan metode

time study dengan pengukuran langsung

adalah 263 detik / 2 box peti kemas untuk

bongkar dan 277 detik / 2 box peti kemas

untuk muat menggunakan CC sehingga

diperoleh waktu baku rata-rata untuk

kegiatan bongkar dan muat adalah

sebesar 135 detik / box peti kemas [13].

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

waktu kerja pada proses bongkar muat

peti kemas dapat dipercepat asal proses

bongkar muat pada kondisi normal dan

perlu perbaikan pada sistem bongkar

muat peti kemas dengan melakukan

perubahan sistem penumpukan peti

kemas.

Walangitan (2012) menggunakan

metode work sampling untuk melihat

produktivitas tenaga kerja pada pekerjaan

bekisting dan tulang kolom dan balok

proyek Mega Trade Center Manado [14].

Hasil analisa work sampling menunjukkan

besarnya waktu baku untuk pekerjan

bekisting pada kolom dan balok adalah

12,697 menit/m2 dan 22,569 menit/m2.

Sedangkan untuk pekerjaan tulangan

waktu bakunya adalah 0,624 menit/kg

untuk kolom dan pada pekerjaan tulangan

balok adalah 0,697 menit/kg.

Rinawati, et al (2012) juga melakukan

penentuan waktu standar dan jumlah

tenaga kerja optimal pada produksi batik

cap IKM batik Saud Effendy di Laweyan

[15]. IKM Batik Saud Effendy ini

berproduksi dengan strategi make to

order dan belum ada pedoman waktu

produksi. Selain itu beban kerja pada

setiap stasiun kerja kurang seimbang,

dimana dari value stream mapping yang

ada, pada stasiun pengecapan dalam

penyelesaian 1 lot produksi sebanyak 120

meter menghasilkan waktu terlama

dibandingkan dengan stasiun kerja

lainnya, yaitu 434 menit dengan 3 orang

pekerja. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk menentukan waktu baku dan

jumlah tenaga kerja optimal pada setiap

tahapan proses. Dari hasil penelitian dan

perhitungan didapatkan waktu baku untuk

masing-masing proses produksi, yaitu

Evaluasi Shift Kerja....(T. Mesra, et al.) 21

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

pemotongan mori (17,46 menit),

pengecapan (582,15 menit), pewarnaan

(84,06 menit), pengeringan dan

pencucian (207,98 menit), penglorodan

sebesar 99,87 menit, pengeringan 1123,2

menit, dan packing sebesar 75,24 menit.

Usulan tenaga kerja yang diberikan dapat

menghemat biaya pengeluaran IKM

sebesar 12%.

Rizani, et al (2013) melakukan

perbandingan pengukuran waktu baku

dengan metode stopwatch time study dan

metode ready work factor (RWF) pada

departemen hand insert PT. Sharp

Indonesia untuk melihat apakah metoode

RWF yang digunakan sudah sesuai untuk

operator Indonesia dan melihat

kesesuaian antara target produksi dengan

kapasitas produksi yang ada di stasiun

kerja 1 dan 2 pada departmen hand insert

TV 21 inch karena adanya target produksi

yang tidak tercapai dari tahun 2011

sampai dengan 2012 [16]. Hasil penelitian

ini menunjukkan adanya perbedaan hasil

perhitungan waktu baku berdasarkan

perhitungan stopwatch time study dan

ready work factors dikarenakan faktor

penyesuain dan kelonggaran yang

ditetapkan oleh perusahaan tidak sesuai

dengan kondisi lapangan. Penyesuaian

nilai faktor penyesuaian dan kelonggaran

yang akan diterapkan untuk metode ready

work factors menyebabkan perbedaan

hasil pengukuran berkurang sehingga

ready work factors dapat digunakan

sebagai metode pengukuran dan target

produksi yang ditetapkan perusahaan

tidak sesuai dengan kemampuan operator

saat ini sehingga perlu dilakukan upaya

perbaikan.

Salah satu penyebab kelelahan adalah

ganguan tidur yang antara lain dapat

dipengaruhi oleh kekurangan waktu tidur

dan gangguan pada circadian rhythms

akibat jet lag atau shift kerja (Barnes,

2008) [17]. Kostreva, et al (2002) dalam

Ramdan (2007 ) mendukung hasil

penelitian Czeisler yang menyatakan

bahwa perubahan shift kerja harus

perlahan, dan pola rotasi maju dengan

waktu rotasi 2 minggu dengan waktu libur

rata-rata 2 hari/minggu [18]. Hobbs

(2009) dalam Taufik dan Indah (2012)

menyarankan untuk melakukan tidur

siang pada pekerja shift malam,

menghilangkan kerja lembur hingga lebih

12 jam dan mengerjakan tugas sebelum

jam 4 pagi untuk shift malam [19].

Penelitian Kimberly (2011) mengatakan

ada pengaruh shift kerja malam yang

signifikan terhadap kelelahan dan tingkat

stress sehingga harus ada perbaikan

aturan shift kerja malam [3]. Asare et al,

(2013) mengemukan bahwa perjalanan

dari kediaman ke tempat kerja merupakan

penyebab kelelahan [20]. Jadi dasar

penelitian ini adalah saran yang

dikemukan dalam penelitian Kimberly

(2011) dan hal yang belum dibahas dari

penelitian Sri (2011), maka penulis akan

melanjutkan penelitian ini dengan

membahas rancangan shift kerja yang

sesuai dengan UU tenaga kerja no

13/2003, rekomendasi Manuaba (2010),

pola metropolitan dan continental untuk

merancang shift kerja yang dapat

meningkatkan produktivitas pekerja.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian menjelaskan

langkah-langkah yang dilakukan mulai

dari awal penelitian pada tesis hingga

memperoleh hasil yang diinginkan dapat

dilihat pada Gambar 1.

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT X dengan

produk yang dihasilkan adalah pupuk.

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 27

April – 15 Juni 2015.

3.2. Populasi dan Sampel

3.2.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah 96

pekerja bagging pupuk dari 2 anak

perusahaan (perusahaan A dan B), dan 2

grup kerja serta 2 shift kerja.Untuk

pengukuran beban kerja mental diambil

semua pekerja bagging pupuk perusahaan

A dan B yang berjumlah 96 pekerja.

3.2.2. Sampel

Penetapan sampel bertujuan untuk

mempermudah proses penelitian, maka

22 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:16-32

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

jumlah sampel pada penelitian ini sebagai

berikut :

1. Untuk data denyut jantung, sampel

yang diambil adalah 2 pekerja pada

perusahaan A dan B untuk setiap grup

pada shift I dan shift II. Pekerja yang

diambil berdasarkan umur dan berat

badan tertentu.

2. Data waktu standar, sampel yang

diambil adalah data waktu 40 bagging

pupuk dari masing-masing mesin

bagging, 2 anak perusahaan, dan 2

grup kerja serta 2 shift kerja.

3. Data kuesioner beban kerja mental,

sampel yang diambil adalah 35 pekerja

perusahaan A dan B.

4. Data perancangan shift kerja baru,

sampel yang diambil adalah data waktu

standar, beban kerja fisik dan mental,

Undang-Undang tenaga kerja no. 13

tahun 2003 serta rekomendasi shift

kerja menurut Manuaba.

3.3. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan

dalam penelitian ini terdiri dari dua yaitu

data primer dan data sekunder. Data

primer merupakan data yang langsung

dikumpulkan sendiri oleh peneliti berupa

Data kuesioner pendahuluan, data waktu

penyelesaian bagging pupuk perusahaan

A dan Perusahaan B, pengukuran denyut

jantung, kuesioner NASA TLX dan

kuesioner perbandingan beban mental dan

beban fisik kerja, sedangkan data

sekunder merupakan data yang tidak

langsung memberikan data kepada

pengumpul data seperti dokumen

perusahaan yang menjelaskan jumlah

pekerja dan lain sebagainya.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini dilakukan

dengan cara:

1. Observasi (pengamatan), digunakan

sebagai teknik pengumpulan data

karena penelitian yang dilakukan

berkenaan dengan proses kerja

bagging pupuk PT X.

2. Interview (wawancara), digunakan

sebagai teknik pengumpulan data

karena peneliti melakukan studi

pendahuluan untuk menemukan

permasalahan yang diteliti serta ingin

mengetahui hal-hal dari sampel

penelitian yang lebih mendalam.

3. Kuesioner, digunakan untuk

mengetahui beban kerja apa yang

dialami pekerja dan faktor-faktor

penyebab tidak tercapainya target

bagging yang digambarkan dengan

histogram dan kuesioner untuk

pengukuran beban kerja mental yaitu

kuesioner Nasa-TLX.

3.5. Teknik Analisa Data

3.5.1. Pengukuran Beban Kerja

1. Pengukuran Beban Fisiologis

Alat yang digunakan untuk mengukur

denyut jantung adalah Heart Pulse

Monitor. Perhitungan konsumsi oksigen

mengunakan persamaan 2.1 dan

penentuan jumlah konsumsi energi dari

denyut jantung mengunakan

persamaan 2.2.

2. Perhitungan beban kerja mental

dengan metoda NASA-TLX.

a. Penjelasan indikator beban mental

yang akan diukur.

Penjelasan indikator ini sangat

diperlukan agar tidak adanya salah

pengertian dari koresponden sendiri,

peneliti baik secara lisan maupun

tulisan harus menjelaskan faktor-

faktor dari NASA TLX ini.

Berikut penjelasan dari indikator

beban mental yang akan diukur : a. MD (Mental Demand) : Kebutuhan Mental b. PD (Physical Demand) : Kebutuhan Fisik c. TD (Temporal Demand) : Kebutuhan Waktu d. OP (Performance) : Performansi e. EF (Effort) : Usaha f. FR (Frustation Level) : Tingkat Frustasi b. Tahap pemberian peringkat (ratings)

Pada tahap ini, peringkat (rating)

pada skala 1-100 di berikan pada

masing-masing deskriptor sesuai

dengan beban kerja yang telah

dialami subjek dalam melakukan

pekerjaannya.

c. Tahap pemberian bobot (weight)

Pada tahap ini dipilih satu deskriptor

untuk masing masing pasangan

deskriptor (15 pasangan deskriptor)

yang menurut subjek lebih dominan

dalam pekerjaannya. Data berupa

Evaluasi Shift Kerja....(T. Mesra, et al.) 23

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

pilihan deskriptor tersebut kemudian

diolah untuk menghasilkan bobot

untuk masing-masing deskriptor

yang akan digunakan pada tahap

kedua (ratings).

d. Menghitung nilai produk

Diperoleh dengan mengalikan rating

dengan bobot faktor untuk masing-

masing deskriptor.

e. Menghitung Weighted Workload

(WWL)

Diperoleh dengan menjumlahkan

keenam nilai produk

f. Menghitung rata-rata WWL

Diperoleh dengan mengunakan

persamaan 2.7

Mengklasifikasikan beban kerja

berdasarkan Tabel 2.4

3.5.2. Pengukuran Waktu Baku

Langkah-langkah dalam menghitung

waktu baku adalah sebagai berikut :

1. Pengukuran Waktu Kerja

Metode yang digunakan dalam

pengukuran ini adalah pengukuran

waktu secara terus menerus

(continuous timing), dimana tombol

stop-watch akan ditekan pada saat

elemen kerja pertama dimulai dan

membiarkan jarum petunjuk stop

watch berjalan secara terus menerus

sampai periode atau siklus kerja selesai

berlangsung. Waktu sebenarnya dari

masing-masing elemen diperoleh dari

pengurangan pada saat pengukuran

waktu selesai dilaksanakan.

2. Uji Keseragaman Data

Uji keseragaman data digunakan untuk

menentukan bahwa data yang

diperoleh dari penelitian sudah

seragam atau tidak seragam.

Langkah-langkah dalam uji

keseragaman data sebagai berikut:

a. Data yang sudah diperoleh di bagi

dalam sub grup kemudian dihitung

rata-ratanya.

b. Menghitung standar deviasi

sebenarnya dari waktu penyelesaian

c. Menghitung standar deviasi dari

distribusi harga rata-rata subgrup

d. Menghitung batas kontrol atas dan

batas kontrol bawah

3. Uji Kecukupan Data

Uji kecukupan data digunakan untuk

menentukan apakah data yang

dibutuhkan dalam penelitiaan sudah

cukup atau belum cukup. Untuk

menguji kecukupan data digunakan

tingkat keyakinan 95% dan tingkat

ketelitian 10% dari rata-rata hasil

pengukurannya kemungkinan berhasil

mendapatkan hal ini 95%. Atau dengan

kata lain bahwa sekurang-kurangnya

95% dari 100% harga rata-rata waktu

yang akan dicatat memiliki

penyimpangan tidak lebih dari 10%.

Jika semua data sudah berada dalam

batas kontrol, maka ditentukan jumlah

pengamatan yang seharusnya

dilakukan (N’), dan data dikatakan

cukup jika N’≤ N.

4. Perhitungan Waktu Baku

Langkah-langkah perhitungan waktu

baku sebagai berikut :

a. Waktu Normal

b. Waktu Baku

3.5.3. Perancangan Shift Kerja Baru

Perancangan shift kerja dibuat

berdasarkan waktu baku yang didapatkan

untuk setiap perusahaan bagging dan

setiap grup serta setiap shift.

Perancangan shift kerja yang baru juga

berdasarkan Undang-Undang Tenaga

Kerja No 13 tahun 2003 dan rekomendasi

shift kerja menurut Manuaba.

3.6. Diagram Alir Penelitian

Diagram alir dalam penelitian berisikan

langkah-langkah penyelesaian dari

penelitian yang sedang dilakukan.

Diagram alir berisikan perhitungan beban

kerja fisik dan mental yang di alami oleh

pekerja terhadap shift kerja yang

diberlakukan oleh perusahaan A dan B,

langkah-langkah dalam menyelesaikan

perhitungan waktu proses bagging pupuk

untuk menentukan waktu standar dalam

menyelesaikan bagging pupuk dan

rancangan jadwal shift kerja yang baru

sehingga dapat meningkatkan jumlah

bagging pupuk yang dihasilkan oleh

perusahaan A dan B.

Diagram alir penelitian dapat dilihat

pada Gambar 1 yang menunjukkan

24 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:16-32

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

bahwasanya langkah-langkah penelitian

yang harus dilakukan adalah:

1. Melakukan studi pendahuluan untuk

mengetahui latar belakang

permasalahan serta merumuskan

permasalahan yang terjadi di

perusahaan dan penentuan tujuan

penelitian

2. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data

denyut jantung pekerja bagging pupuk

perusahaan A dan B, Data hasil

penyebaran kuesioner beban kerja

mental atau Nasa TLX dan waktu proses

bagging untuk setiap line bagging dari

setiap shift kerja serta pengumpulan

data untuk merancang shift kerja baru.

3. Pengolahan Data meliputi pengukuran

beban kerja fisik dan beban mental

dari pekerja pada perusahaan A dan B,

penentuan waktu standar proses

bagging pupuk pekerja untuk setiap

shift kerja pada perusahaan A dan B.

4. Analisis Hasil meliputi penentuan

kategori beban kerja fisik dan

klasifikasi beban mental pekerja proses

bagging pupuk dan penentuan waktu

standar perbagging pupuk.

5. Rekomendasi, meliputi penambahan

tenaga kerja dengan merobah

penerapan sistem shift yang ada

sekarang untuk mencapai target

produksi yang ditetapkan oleh PT X.

6. Kesimpulan dan saran berisi

pernyataan singkat dan tepat terhadap

hasil penelitian dan pembahasan yang

dilakukan dan saran bagi peneliti bagi

peneliti selanjutnya.

4. HASIL PENELITIAN

4.1. Penentuan Jumlah Konsumsi

Oksigen dan Energi Pekerja

Perusahaan A dan B

Langkah-langkah dalam menentukan

jumlah oksigen dan energy perusahaan A,

Grup 1, shift I bagian 1 (memasukkan

pupuk ke karung) adalah sebagai berikut :

1. Menghitung rata-rata denyut jantung

dari 2 pekerja yaitu 74 dan 87.

2

21 HRHRHR

2

8774 HR

menitdenyutHR /5,80

2. Menghitung konsumsi Oksigen

menggunakan persamaan 2.1 706,1017,0014,0 xWHRxY

706,15,53017,05,80014,0 xxY

menitliterY /33,0

3. Menghitung rata-rata jumlah beban

kerja menggunakan persamaan 2.2 )2017,0()1988,0()6309,0(0959,55cos xAxWxHRtE

)2017,022()1988,05,53()6309,05,80(0959,55cos xxxtE

kjtE 36,10cos

4. Menghitung rata-rata jumlah energy

menggunakan persamaan 2.3 menitkkalxtEE /239,0cos

menitkkalxE /239,036,10

menitkkalE /57,2

5. Menghitung rata-rata denyut jantung

pekerja selama bekerja.

6

654321 HRHRHRHRHRHRHRHR

6

809085845,855,80 HR

HR̿̿ ̿̿ ̿ = 84,17 denyut/menit

6. Menghitung rata rata konsumsi oksigen

menitliterY /38,0 7. Menghitung rata-rata beban kerja

(kj/menit) 6/6cos5cos4cos3cos2cos1coscos tEtEtEtEtEtEtE

6/45,1076,166,1397,1292,1376,10cos tE

kjtE 08,13cos /menit

8. Menghitung rata-rata energi

(kkal/menit)

6/)654321( EEEEEEE

6/)50,201,425,310,333,357,2( E

menitkkalE /13,3

Tabel 1. Klasifikasi Pekerjaan Bagging

Pupuk PT.X

Keterangan: R = Ringan S = Sedang B = Berat SB = Sangat Berat EB = Ekstrem Berat

Pagi Malam Pagi Malam Pagi Malam Pagi Malam

1 Memasukkan Pupuk ke dalam karung S S S S B B B B

2 Pemasangan Kabel T S S S S S S S S

3 Menjahit karung Pupuk S S S S B S S B

4 Penyusunan ke Pallet B B B B EB SB EB EB

Klasifikasi Pekerjaan Bagging Pupuk NPK

Elemen KerjaNoA

Grup 1 Grup 2

B

Grup 1 Grup 2

6/)32,046,039,038,040,033,0( Y

Evaluasi Shift Kerja....(T. Mesra, et al.) 25

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Mulai

Studi Pendahuluan

Observasi

Wawancara

Kuesioner

Studi Literatur

Buku pendukung

Jurnal

Rumusan masalah

Bagaimana pengaturan shift kerja PT X

berdasarkan kapasitas produksi dan

beban kerja

Tujuan Penelitian

Untuk mengevaluasi shift kerja PT X

berdasarkan kapasitas produksi dan

beban kerja

Data Primer :

Karakteristik pekerja

Data denyut jantung pekerja bagging

pupuk perusahaan A dan B

Data kuesioner beban kerja mental

Data waktu proses bagging pupuk

Data Sekunder

Sejarah perusahaan

Data pekerja

Data target produksi

Pengolahan data

Beban kerja fisik :

1. Menghitung rata-rata

denyut jantung 2 pekerja

2. Menghitung konsumsi

Oksigen

3. Menghitung rata rata

beban kerja

4. Menghitung rata rata

energi

Beban kerja mental :

1. Pemberian peringkat pada responden

2. Pemberian bobot faktor nasa TLX

3. Menghitung nilai produk

4. Menghitung WWl

5. Menghitung rata rata WWL

6. Mengklasifikasikan beban kerja mental

kedalam 5 kategori

Data waktu bagging pupuk:

1. Uji keseragaman data

2. Uji kecukupan data

3. Menghitung waktu baku proses

bagging pupuk

Analisa Data :

1. Kategori beban kerja fisik dan klasifikasi beban kerja pekerja bagging pupuk

2. Waktu baku proses bagging pupuk sebagai dasar penentuan waktu yang

dibutuhkan untuk mencapat target bagging pupuk PT X

Kesimpulan dan

Saran

Selesai

Pengumpulan Data

Rekomendasi :

Penambahan pekerja dengan merobah sistem shift, Pemberian istirahat

singkat,

Gambar 1. Diagram alir penelitian

4.2. Penentuan Beban Kerja Mental

Pekerja Bagging Pupuk

Pengukuran beban kerja mental

dilakukan dengan mengumpulkan

kuesioner Nasa TLX untuk semua pekerja

pada perusahaan A dan Perusahaan B,

yang mana berjumlah 32 responden grup

1, 28 responden grup 2 untuk perusahaan

A dan 18 responden grup 1, 18 responden

grup 2 untuk perusahaan B. Setelah

pengumpulan kuesioner dilakukan

pemberian peringkat dan pembobotan,

selanjutnya dilakukan perhitungan dengan

mengkombinasikan bobot dengan

peringkat pada setiap perusahaan.

Berdasarkan kategori beban kerja

mental yang terdapat pada Tabel 2.4

pengkategorian beban kerja menurut

26 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:16-32

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Sandra (2010), maka dapat ditentukan

kategori beban kerja pekerja bagging

pupuk untuk perusahaan A dan B yang

dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar

3.

Gambar 2. Persentase Kategori Beban

Kerja Mental berdasarkan

Jumlah Responden

Perusahaan A: (1) Grup 1, (2)

Grup 2

Gambar 3. Persentase Kategori Beban

Kerja Mental Berdasarkan

Jumlah Responden

Perusahaan B: (1) Grup 1,

(2) Grup 2

Berdasarkan Gambar 2 dan Gambar 3

dapat diketahui jumlah pekerja bagging

pupuk perusahaan A grup 1 yang

mengalami beban kerja mental tinggi

47%, dan sangat tinggi sebesar 53%,

sementara grup 2 kategori tinggi 43% dan

sangat tinggi 57% . Selanjutnya beban

kerja yang dialami pekerja perusahaan B

grup 1 dan grup 2 sebanyak 28%

termasuk kategori tinggi dan 72%

kategori sangat tinggi.

4.3. Penentuan Waktu Baku Bagging

Pupuk

Rekapitulasi Waktu Proses Bagging

Pupuk dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.

4.4. Analisa Hasil Penelitian

4.4.1. Beban Kerja

Berdasarkan Tabel 1 maka dapat

diklasifikasikan pekerjaan bagging pupuk

untuk setiap elemen kerja dimana untuk

elemen kerja I (memasukkan pupuk ke

karung), elemen kerja II (pemasangan

kabel tie) dan elemen kerja III (menjahit

karung pupuk) untuk pekerja bagging

pupuk perusahaan A grup 1 dan grup 2

pada saat bekerja di shift I dan shift II

termasuk klasifikasi sedang, sementara

elemen kerja IV (menyusun pupuk ke

pallet) klasifikasi berat, disebabkan

elemen kerja I, II, III posisi kerja duduk

dan elemen kerja IV posisi berdiri maka

energi untuk posisi kerja berdiri lebih

besar dibanding posisi kerja duduk.

Tabel 2. Waktu Baku Proses Bagging Pupuk Setiap Interval Pengamatan

Perusahaan Grup ShiftInterval

PengamatanMin Max

Average

(WS)Stdev BKA BKB N' N RF WN All

WB

(detik)

WB

(menit)

Pagi 3.00 12.00 6.40 5.22 16.83 -4.03 37.50 40 0.90 5.76 0.28 7.37 0.12

Siang 3.00 10.00 5.55 4.75 15.05 -3.95 37.63 40 0.90 5.00 0.28 6.39 0.11

Malam 3.00 11.00 5.80 4.79 15.38 -3.78 35.79 40 0.90 5.22 0.28 6.68 0.11

Dini hari 4.00 12.00 8.13 6.75 21.63 -5.38 24.56 40 0.90 7.32 0.28 9.37 0.16

Pagi 3.00 9.00 5.58 3.56 12.70 -1.55 20.52 40 0.90 5.02 0.28 6.43 0.11

Siang 4.00 9.00 5.68 3.51 12.69 -1.34 20.73 40 0.90 5.11 0.28 6.54 0.11

Malam 3.00 9.00 5.90 4.41 14.71 -2.91 28.61 40 0.90 5.31 0.28 6.80 0.11

Dini hari 4.00 15.00 5.98 5.20 16.37 -4.42 39.49 40 0.90 5.38 0.28 6.89 0.11

Pagi 4.00 11.00 6.48 4.45 15.38 -2.43 26.71 40 0.90 5.83 0.28 7.46 0.12

Siang 4.00 14.00 7.50 5.58 18.66 -3.66 28.09 40 0.90 6.75 0.28 8.64 0.14

Malam 4.00 8.00 5.75 3.27 12.30 -0.80 16.79 40 0.90 5.18 0.28 6.62 0.11

Dini hari 5.00 9.00 6.68 3.06 12.79 0.56 10.95 40 0.90 6.01 0.28 7.70 0.13

Pagi 6.00 16.00 9.53 5.04 19.60 -0.55 14.77 40 0.90 8.58 0.28 10.98 0.18

Siang 4.00 14.00 6.93 5.93 18.78 -4.93 39.36 40 0.90 6.24 0.28 7.98 0.13

Malam 4.00 12.00 6.60 10.95 28.51 -15.31 36.68 40 0.90 5.94 0.28 7.60 0.13

Dini hari 3.00 10.00 5.13 4.44 14.00 -3.75 37.45 40 0.90 4.62 0.28 5.91 0.10

B

1

I

II

2

I

II

A

1

I

II

2

I

II

Evaluasi Shift Kerja....(T. Mesra, et al.) 27

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Tabel 3. Rata-rata Waktu baku Proses Bagging Pupuk (Menit/bagging)

Sementara klasifikasi beban kerja fisik

pekerja bagging pupuk perusahaan B

untuk grup 1 dan grup 2 saat shift I dan II

untuk elemen kerja I termasuk berat,

sedangkan elemen kerja II, III termasuk

klasifikasi sedang, sementara elemen

kerja IV klasifikasi ekstrem berat dan

sangat berat, karena pekerjaan ini

dilakukan secara manual tanpa bantuan

alat dan posisi berdiri. Hal ini sesuai

dengan penelitian (Hedge, 2002 dalam

Tarwaka 2004) bahwasanya sikap kerja

berdiri memerlukan energi ±20% lebih

tinggi dibandingkan sikap kerja duduk

atau duduk berdiri bergantian pada

pekerjaan yang sama.

Sementara beban kerja mental pekerja

proses bagging pupuk yang terlihat pada

Gambar 2 dan Gambar 3 menunjukkan

beban kerja mental pekerja bagging

perusahaan A lebih kecil dari perusahaan

B, hal ini disebabkan besarnya aktifitas

beban kerja mental perusahaan B seperti

melakukan pekerjaan yang repetitif

berjam-jam dan perusahaan B

memaksakan diri untuk meyelesaikan

target bagging yang diberikan oleh PT X

sehingga perusahaan B bisa

menyelesaikan target bagging yang di

bebankan kepada perusahaan B.

Melihat dari tingginya beban kerja yang

dialami oleh pekerja bagging pupuk

perusahaan A dan perusahaan B maka

untuk mengetahui penyebab tingginya

beban kerja yang dialami pekerja bagging

pupuk maka dirancang kuesioner yang

dapat dilihat pada Lampiran 44 dimana

diharapkan bisa menjawab kenapa beban

kerja pekerja bagging pupuk tinggi.

Kuesioner disebarkan kepada 35 orang

pekerja bagging yang dipilih secara

random, dimana rekapitulasi jawaban

responden dapat dilihat pada Lampiran 4,

Gambar 4 dan Gambar 5.

Gambar 4. Pareto Beban Fisik Pekerja

Bagging Pupuk

Gambar 4 merupakan hasil kuesioner

beban fisik yang telah di paretokan.

Dimana pada gambar 4 jelas terlihat

bahwasanya item pertanyaan yang

memberikan kontribusi yang sangat tinggi

yaitu apakah shift yang permanen itu lebih

baik? (item pertanyaan 1), Apakah hasil

bagging yang dicapai sesuai target? (item

pertanyaan 20), Apakah waktu istirahat

yang diberikan oleh perusahaan selama

jam kerja sudah cukup? (item pertanyaan

3), Apakah anda melakukan istirahat

selama 2 jam sebelum bekerja malam?

(item pertanyaan 4), dimana hal ini

merupakan hal yang harus diperhatikan

oleh perusahaan terlebih dahulu. Jadi

tindakan yang harus dilakukan oleh

perusahaan untuk mengatasi tingginya

beban fisik pekerja adalah memperhatikan

pola shift yang diterapkan oleh

perusahaan, pekerja harus melakukan

tidur 2 jam sebelum mulai masuk kerja di

shift malam dan memberikan waktu

istirahat singkat di sela aktivitas kerja

Grup Shift Interval pengamatan Waktu Baku Grup Shift Interval pengamatan Waktu Baku

Pagi 0.12 Pagi 0.12

Siang 0.11 Siang 0.14

Malam 0.11 Malam 0.11

Dini hari 0.16 Dini hari 0.13

Pagi 0.11 Pagi 0.18

Siang 0.11 Siang 0.13

Malam 0.11 Malam 0.13

Dini hari 0.11 Dini hari 0.10

0.12 0.13Rata-rata

Perusahaan B

1

I

II

2

I

II

Perusahaan A

Rata-rata

1

I

II

2

I

II

28 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:16-32

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

yang repetitif. Sedangkan penyebab

beban kerja mental dapat dilihat pada

Gambar 5.

Gambar 5. Beban Mental Pekerja

Bagging Pupuk

Berdasarkan Gambar 5 diatas jelas

terlihat item pertanyaan yang

memberikan kontribusi tingginya beban

kerja mental adalah Menurut Anda apakah

bekerja terus menerus setiap minggunya

baik? (item pertanyaan 8), Apakah Anda

mengalami masalah untuk tidur setelah

bekerja shift malam hari? (item

pertanyaan 9), dimana hal ini merupakan

hal yang harus diperhatikan oleh

perusahaan untuk mengatasi tingginya

beban kerja mental. Untuk mengatasi

tingginya beban kerja mental yang dialami

oleh pekerja maka perusahaan harus

memperhatikan aktivitas kerja yang tanpa

ada hari libur atau pemberian jadwal off

setiap minggunya.

4.4.2. Waktu Standar

Waktu standar untuk menyelesaikan

proses bagging pupuk untuk perusahaan A

dan B berdasarkan Tabel 3 terdapat

perbedaan antara grup 1 dan grup 2 ,

dimana waktu bagging pupuk tertinggi

terjadi pada grup 1 shift II dini hari 0,16

menit dan 0,11 menit untuk grup 2

perusahaan A sedangkan 0,14 menit

untuk grup 1 pada saat siang hari dan 0,18

menit untuk grup 2 dari perusahaan B. Hal

ini disebabkan oleh kondisi tubuh pekerja

pada dini hari menurun karena proses

alamiah kondisi tubuh yang lemah

sehingga menyebabkan mata mengantuk

dan menghilangkan kosentrasi untuk

berkerja. Kerusakan mesin bagging yang

tiba-tiba juga menjadi pemicu terjadinya

peningkatan waktu standar bagging

pupuk, begitu pula pekerja yang belum

berpengalaman memberikan kontribusi

yang tinggi untuk menciptakan waktu

standar yang tinggi.

Target produksi yang diharapkan PT X

adalah 1900 ton per hari atau 1.900.000

kg pupuk per hari. Pupuk yang di bagging

berisi 50 kg per karung, maka target

produksi pupuk yang sudah di bagging

adalah 38.000 karung pupuk. Perusahaan

A memiliki kewajiban untuk membagging

pupuk sebanyak 1150 ton per hari atau

23.000 karung pupuk per hari dan

perusahaan B sebanyak 750 ton per hari

atau 15.000 karung pupuk per hari.

Berdasarkan Tabel 3 bagian b diperoleh

waktu standar rata-rata untuk perusahaan

A adalah 0.12 menit/bagging dan

perusahaan B sebesar 0.13

menit/bagging. Jika dibandingkan dengan

target produksi yang diharapkan oleh PT X

untuk perusahaan A dan B maka diperoleh

waktu yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan bagging pupuk per hari

untuk perusahaan A yaitu 2760 menit atau

46 jam sedangkan untuk perusahaan B

yaitu 1950 menit atau 32,5 jam.

Perusahaan A dalam melaksanakan proses

bagging menggunakan 5 mesin bagging

sehingga waktu yang dibutuhkan untuk

meyelesaikan bagging pupuk adalah 9,2

jam per mesin sedangkan perusahaan B

menggunakan 3 mesin bagging sehingga

waktu yang dibutuhkan untuk

meyelesaikan bagging pupuk adalah

10,83 jam per mesin. Waktu yang tersedia

per hari adalah 24 jam, sehingga untuk

menyelesaikan target produksi yang di

tetapkan oleh PT. X untuk perusahaan A

hanya memerlukan waktu selama 4,6

jam/shift dan perusahaan B 5,415

jam/shift.

4.5. Evaluasi Hasil Penelitian

4.5.1. Pemberian Waktu Istirahat

Berdasarkan Tabel 1 tentang klasifikasi

pekerjaan proses bagging pada elemen

kerja 1 (memasukkan pupuk ke karung)

perusahaan B dan elemen kerja 4

(Penyusunan pupuk ke pallet) perusahaan

A dan perusahaan B termasuk kategori

berat , sangat berat dan ekstrem berat.

Evaluasi Shift Kerja....(T. Mesra, et al.) 29

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Salah satu cara untuk mengurangi

tingginya beban kerja fisik pekerja proses

bagging pupuk dapat dicapai melalui

perancangan ulang atas sistem kerja yang

bersangkutan serta pengaturan pekerja

yang lebih bersifat administratif, seperti

jadwal istirahat kerja, kerjasama pekerja,

pengawasan kelelahan selama kerja dan

seleksi pekerja. Pemberian waktu istirahat

yang cukup diyakini dapat membantu

seseorang saat melakukan pekerjaan

yang cukup berat, istirahat singkat yang

dilakukan secara berkala lebih baik

daripada istirahat panjang namun

sesekali. Berdasarkan alasan ini maka

dapat ditentukan lama waktu istirahat

singkat untuk pekerjaan yang mempunyai

beban kerja yang tinggi dengan

menggunakan persamaan 2.4, dimana

pekerjaan memasukkan pupuk dilakukan

selama 2 jam secara repetitif dan

membutuhkan energi sebesar 6,86

kkal/menit, sedangkan batas atas

pengeluaran energi yang diperbolehkan

yaitu sebesar 5,4 kkal/menit untuk

pekerja pria Indonesia maka istirahat

singkat yang harus diberikan setelah

bekerja selama 2 jam adalah :

3,0/86,6

)/4,5/86,6(120

menitkkal

menitkkalmenitkkalmenitR

R = 27 menit

Lama waktu istirahat singkat untuk

elemen kerja bagging yang lainnya dapat

dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Lama Waktu Istirahat Singkat

Pekerja Bagging Pupuk

Selain pemberian waktu istirahat

singkat diantara jam kerja juga bisa

diambil tindakan yaitu pemilihan pekerja

yang memiliki karakteristik fisiologis

tertentu seperti usia muda, pria dan

memiliki konsumsi oksigen maksimum

cukup tinggi (pekerja pria 3,4 ±0,55

liter/menit, pekerja wanita 2,3±0,6

liter/menit).

4.5.2. Pengaturan Shift

Dari analisis pengukuran waktu standar

terlihat bahwa sebenarnya target bagging

pupuk dapat diselesaikaan hanya dengan

menerapkan shift pendek yaitu 8 jam

kerja untuk menyelesaikan target bagging

pupuk PT X. Dari hasil analisis kuesioner

pekerja proses bagging pupuk mengalami

beban kerja fisik dan psikologis yang

tinggi maka diberikan usulan untuk

mereview ulang penggunaan shift kerja

yang ada sekarang menurut rekomendasi

Manuaba (2010) adalah sebagai berikut :

1. Rotasi Pendek

Berdasarkan perhitungan waktu

standar penyelesaian target bagging

pupuk bisa diselesaikan dalam delapan

jam kerja, maka dapat disusun skedul

shift pendek yang mana jumlah jam

kerja pershiftnya adalah 8 jam kerja

dengan memanfaatkan tenaga kerja

yang tersedia pada saat ini.Kelebihan

solusi ini adalah setiap grup kerja yang

lebih kecil yaitu 56 jam/minggu

dibanding yang terjadi sekarang di

perusahaan adalah 94 jam/

minggunya. Kekurangannya jumlah

jam kerja belum sesuai dengan

Undang-Undang Republik Indonesia No

13 tentang ketenagakerjaan, dimana

jumlah jam kerja secara akumulatif

masing-masing shift tidak boleh lebih

dari 40 jam perminggu (pasal 77 ayat 2

UU no 13/2003). Berikut skedul shift

yang diusulkan untuk setiap grup.

Tabel 5. Rancangan Skedul Shift Rotasi

Pendek

Keterangan : I : Shift pagi (08.00 - 16.00) II : Shift sore (16.00 – 24.00)

1, 2 : Grup kerja

I 6.86 27

II 7.16 31

I 6.65 24

II 6.95 28

I 7.36 33

II 7.69 37

I 7.45 34

II 7.78 38

I 10.82 62

II 8.8 48

I 10.16 58

II 10.64 61

A

B

1

2

1

2

Perusahaan Grup ShiftEnergi

(kkal/menit)

Lama istirahat

(menit)

B

1

2

Elemen

kerja

Memasuk

kan pupuk

Menyusun

pupuk ke

pallet

Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu

I 1 1 1 2 2 2 1

II 2 2 2 1 1 1 2

I 1 1 2 2 2 1 1

II 2 2 1 1 1 2 2

I 1 2 2 2 1 1 1

II 2 1 1 1 2 2 2

I 1 1 1 2 2 2 1

II 2 2 2 1 1 1 24

Minggu ke ShiftHari

1

2

3

30 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:16-32

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

2. Penambahan Tenaga Kerja

Jumlah pekerja perusahaan A yang ada

sekarang 60 orang. Kebutuhan pekerja

permesin 5 orang. Jumlah mesin yang

ada sekarang 5 mesin maka jumlah

pekerja yang dibutuhkan untuk

melaksanakan proses bagging pupuk

adalah 25 orang ditambah 2 orang

untuk pekerja stockeeper maka

totalnya 27 orang/grup. Jika jumlah

grup kerja ditambah dari 2 grup

menjadi 3 grup dengan sistem shift

pendek dengan 2 rotasi yang berganti

pada pukul 08.00 – 16.00 sehingga

setiap grup mendapat off dua kali dalam

seminggu. Total kebutuhan pekerja

proses bagging pupuk perusahaan A

menjadi 81 orang, berarti akan terjadi

penambahan pekerja sebanyak 21

orang. Sedangkan perusahaan B

membutuhkan 4 pekerja/mesin dengan

jumlah 12 orang tenaga kerja untuk

mengoperasikan 3 mesin bagging

ditambah 2 orang untuk stockeeper.

Jadi total keseluruhan pekerja yang

dibutuhkan untuk 3 grup adalah 42

orang, sementara tenaga kerja yang

ada sekarang 36 orang pekerja maka

akan terjadi penambahan pekerja

proses bagging pupuk sebanyak 6

orang.

Tabel 6. Rancangan Skedul Shift Pola

Metropolitan Untuk

Rekomendasi Penambahan

Tenaga Kerja

Keterangan : I : Shift pagi (08.00 - 16.00)

II : Shift sore (16.00 – 24.00) Off : Jadwal libur untuk masing

masing grup 1, 2, 3 : Grup kerja

Kelebihan solusi ini adalah setiap grup

mendapatkan hari libur atau off setiap

minggunya dan pekerja mempunyai

jam kerja yang lebih kecil yaitu 40

jam/minggu dibanding yang terjadi

sekarang di perusahaan adalah 94 jam/

minggu dan penambahan pekerja

proses bagging pupuk yang sedikit.

Rekomendasi penambahan grup dari 2

grup menjadi 3 grup diharapkan dapat

mengurangi beban kerja dan target

bagging pupuk yang ditetapkan oleh PT

X dapat tercapai. Hal ini sesuai dengan

Teori Schwartzenau (Grandjean 1988)

bahwa rotasi pendek lebih baik

daripada rotasi panjang dan harus

dihindarkan kerja malam secara terus

menerus. Perancangan skedul shift

usulan menurut Manuaba dengan pola

metropolitan dapat dilihat di Tabel 6.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa data beban

kerja fisiologis dan psikologis yang dialami

pekerja proses bagging pupuk PT X rata-

rata termasuk kategori tinggi sehingga

untuk mengurangi tingkat kelelahan yang

dialami pekerja ada dua rekomendasi

yang diberikan peneliti.

1. Berdasarkan perhitungan waktu

standar proses bagging pupuk dapat

diselesaikan dalam delapan jam kerja

sesuai target yang ditetapkan oleh PT

X. Maka rotasi shift pendek bisa

diterapkan di Perusahaan A dan B

dengan memanfaatkan tenaga kerja

yang ada sekarang.

2. Penambahan jumlah tenaga kerja

terjadi akibat adanya penambahan

grup per hari menjadi 3 grup dari 2

grup per hari sebelumnya sehingga

penambahan jumlah tenaga kerja yang

dibutuhkan adalah 21 orang untuk

perusahaan A dan 6 orang perusahaan

B, dengan penerapan pola shift

metropolitan jumlah jam kerja 8

jam/hari dengan off dua kali

perminggunya.

5.2. Saran Penelitian

Dari hasil penelitian ini penelitian

lanjutan yang dapat dilakukan adalah

evaluasi resiko musculoskeletal sebagai

Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu

I 1 1 3 3 2 2 1

II 2 2 1 1 3 3 2

OFF 3 3 2 2 1 1 3

I 1 3 3 2 2 1 1

II 2 1 1 3 3 2 2

OFF 3 2 2 1 1 3 3

I 3 3 2 2 1 1 3

II 1 1 3 3 2 2 1

OFF 2 2 1 1 3 3 2

I 3 2 2 1 1 3 3

II 1 3 3 2 2 1 1

OFF 2 1 1 3 3 2 2

HariShiftMinggu ke

1

2

3

4

Evaluasi Shift Kerja....(T. Mesra, et al.) 31

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

pertimbangan dalam pengaturan shift

kerja.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Elfrida. (2009). Penilaian dan

Perbaikan system kerja dengan

Macro ergonomic

organizational.USU. Medan.

[2] Demerouti E, Sabine A, Geurts E,

Bakker A b and Euwema, M. (2004).

The impact of shiftwork on work,

home conflict, job attitudes and

health, Ergonomic, Volume 47 No 9

(987-1002).

[3] Kimberly, F.K, 2011. Pengaruh Shift

Kerja Terhadap Kelelahan Pekerja

pabrik Kelapa Sawit. Fakultas

Teknik. Universitas Al Azhar Medan.

[4] Salma, U. and Rao K. K. (2014).

Shift work and Depression, 4 (4),

417-422, International Journal of

Environmental Research and

Development.

[5] Sutalaksana, I.Z., Anggawisastra,

R., Tjakraatmadja, J.H. (2006).

Teknik Perancangan Sistem Kerja,

Edisi Kedua, ITB, Bandung.

[6] Wignjosoebroto, S. (2008).

Ergonomi Studi Gerak dan Waktu,

Teknik Analisis untuk Peningkatan

Produktivitas Kerja, Edisi Pertama,

Cetakan Keempat, Guna Widya,

Surabaya.

[7] Kroemer K H E, Kroemer H J,

Kroemer K E and Elbert. (2010).

Engineering Physiology, Edisi ke 4,

Springer Verlag berlin Heidelberg.

[8] Knauth, P. (1988), The Design of

Shift Systems, International Journal

of Industrial Ergonomic, Vol 3

[9] Nurmianto, E. (2004).Ergonomi

Konsep Dasar dan Aplikasinya.

Penerbit Guna Widya. Edisi Kedua.

Surabaya

[10] Manuaba, A. (2010).Ergonomi,

Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

Editor: Sritomo W dan Stefanus E.W.

Proceeding Seminar Nasional

Ergonomi. Penerbit Guna Widya.

Surabaya.

[11] Tayyari F and Smith J. L.

(1997).Occupational Ergonomics

Principle And Application. Hapman &

Hall (London)

[12] Santoso, D.A., Supriyadi, A. (2010).

Perhittungan Waktu Baku dengan

Metode Work Sampling untuk

Menentukan Jumlah Tenaga Kerja

Optimal, Prosiding Seminar Nasional

Sains dan Teknologi, Fakultas Teknik

Uniersitas Wahid Hasyim Semarang,

c1-c4.

[13] Noor, I. (2011). Analisa Penentuan

Waktu Baku untuk Mempersingkat

Proses Pelayanan Bongkar Muat di

Pelabuhan Trisakti Banjarmansin,

Jurnal INTEKNA, Tahun XI, No. 2,

171-177.

[14] Walangitan, R. (2012). Produktivitas

Tenaga Kerja dengan Menggunakan

Metode Work Sampling pada

Pekerjaan Kolom dan Balok Mega

Trade Center Manado, TEKNO-SIPIL,

Volume 10, N0.57.

[15] Rinawati, D.I., Puspitasi, D., Muljadi,

F. (2012). Penentuan Waktu Standar

dan Jumlah Tenaga Kerja Optimal

pada Produksi Batik Cap (Studi

Kasus: IKM Batik Saud Effendy,

Laweyan), JATI Undip, Vol II, No 3.

[16] Rizani, N.C., Safitri, D.M.,

Wulandari, P. A. (2013).

Perbandingan Pengukuran Waktu

Baku dengan Metode Stopwatch

Time Study dan Metode Ready Work

Factor (RWF) pada Departemen

Hand Insert PT. Sharp Indonesia,

Jurnal Teknik Industri, ISSN:1411-

6340, pp 127-136.

[17] Barnes, F.J., Kimberley, D.S, Alyssa,

M., Benjamin, W. (2008). What

Aspects of Shiftwork Influence off-

shift well-being of Healthcare

Workers?, Applied Ergonomis

Journals 39:586-596. Elsevier, USA

[18] Ramdan, I. (2007). Dampak Giliran

Kerja, Suhu dan Kebisingan

terhadap Perasaan Kelelahan Kerja

di PT LJP Provinsi Kalimantan Timur,

The Indonesian Journal of Public

Health,4(1): 8-13

[19] Taufik I dan Salami I R . (2012).

Hubungan Antara Shift Kerja Dengan

Tingkatan Kelelahan Kerja Pada

Pekerja Di Pabrik Perakitan Mobil

Indonesia. Teknik Lingkungan ITB,

Bandung.

32 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:16-32

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

[20] Asare D, Sebiawu G E, and Mensah

N J. (2013). Fatique Management

Among Mining Departement Shift

Workers At Newmont Ghana Gold

Limited Ahafo Mine, Kenyase, Brong

Ahafo Region, Ghana, International

Journal Of Scentific & technology

Research , Volume 2 (10).

Perancangan Model Pengukuran....(A. Hasan, et al.) 33

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

PERANCANGAN MODEL PENGUKURAN KINERJA RANTAI PASOK BERBASIS LEAN DAN GREEN MENGGUNAKAN BALANCE SCORECARD DI PT. P&P LEMBAH KARET

Alizar Hasan1, Berry Yuliandra2, Eureka Perdana Putra1 1Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Andalas, Padang 2Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Andalas, Padang

Email: [email protected] (korespondensi)

Abstract

Rapid technological developments helped bring an increase in the level of business competition.

Competitive business strategies required to address the challenges of business competition. PT P&P Lembah Karet is a company engaged in the plantation and crumb rubber processing industry. Marketing area are scattered inside and outside the country led to the supply chain performance become one of the important issues in the company. The use of Lean and Green concept in the supply chain system can become a competitive advantage for PT. P&P Lembah Karet to create a more effective and efficient supply chain strategy in terms of expenditure and environmental impact.

Performance measurement is required to determine the effectiveness and efficiency of these two concepts implementation in the supply chain companies.

Performance measurement system was developed based on four perspectives of the Balanced Scorecard (BSC): financial, customer, internal business processes, learning and growth. Key Performance Indicator (KPI) which is used as a measurement basis is formulated through the concept of lean and green. Weight value of each KPI is determined using Analytical Hierarchy Process (AHP)

with relevant experts as respondents. Respondents selected based on the experience and knowledge, especially experience and knowledge that relevant with the topic of this research. The weight value determined the order of KPI priority. Face validity is used to validate the performance measurement model.

Data processing and analysis yielded 25 lean and green-based KPIs that are relevant to crumb

rubber supply chain at PT. P&P Lembah Karet with 3 KPI for financial perspective, 4 KPI for customer perspective, 11 KPI for internal business process perspective and 7 KPI for learning and growth

perspective. Structure of designed models showed that customer perspective is the most priority aspects.

Keywords: Performance measurement, supply chain system, lean, green, balanced scorecard

Abstrak

Perkembangan teknologi yang semakin pesat ikut membawa peningkatan pada tingkat persaingan bisnis. Strategi bisnis yang kompetitif diperlukan untuk menjawab tantangan persaingan bisnis. PT

P&P Lembah Karet merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan industri pengolahan crumb rubber. Daerah pemasaran yang tersebar di dalam dan luar negeri menyebabkan kinerja rantai pasok menjadi salah satu isu penting dalam perusahaan tersebut. Penggunaan konsep Lean dan Green pada sistem rantai pasok dapat menjadi suatu keunggulan kompetitif bagi PT. P&P Lembah Karet guna menciptakan sebuah strategi rantai pasok yang lebih efektif dan efisien dari segi

biaya dan dampak lingkungan. Pengukuran kinerja diperlukan untuk mengetahui efektivitas dan

efisiensi dari implementasi kedua konsep tersebut dalam rantai pasok perusahaan. Sistem Pengukuran kinerja dikembangkan berdasarkan empat perspektif Balanced Scorecard

(BSC): keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta pertumbuhan dan pembelajaran. Key Performance Indicator (KPI) yang digunakan sebagai basis pengukuran diformulasikan melalui konsep lean dan green. Nilai bobot masing-masing KPI ditentukan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan pakar yang terkait sebagai responden. Pemilihan pakar yang akan menjadi responden dilakukan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan pakar tersebut, terutama

yang relevan dengan topik penelitian ini. Nilai bobot menentukan urutan prioritas KPI. Metode face validity digunakan untuk memvalidasi model pengukuran kinerja yang dihasilkan.

Pengolahan dan analisis data menghasilkan 25 KPI berbasis lean dan green yang relevan dengan rantai pasok crumb rubber PT. P&P Lembah Karet dengan rincian: 3 KPI untuk perspektif keuangan,

34 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:33-46

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

4 KPI untuk perspektif pelanggan, 11 KPI untuk perspektif proses bisnis internal serta 7 KPI untuk perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Struktur model yang dirancang menunjukkan bahwa perspektif pelanggan menjadi aspek prioritas dalam rantai pasok crumb rubber PT. P&P Lembah Karet.

Kata kunci: Pengukuran kinerja, sistem rantai pasok, lean, green, balanced scorecard

1. PENDAHULUAN

Setiap perusahaan membutuhkan

keunggulan kompetitif untuk menjaga

keberlangsungan bisnisnya. Keunggulan

kompetitif dapat dicapai melalui

perencanaan strategi yang tepat. Inti dari

keberhasilan strategi terletak pada

pemilihan aktivitas yang mampu

memberikan nilai tambah berbeda dari

kompetitor. Kecocokan antara strategi dan

aktivitas tidak hanya dapat memberikan

keuntungan kompetitif tetapi juga

menjamin keberlangsungan strategi

tersebut [1].

Manajemen rantai pasok merupakan

salah satu aspek yang bisa digunakan

untuk menghasilkan keunggulan

kompetitif. Rantai pasok merupakan

semua tahapan yang terlibat secara

langsung maupun tidak langsung dalam

memenuhi permintaan konsumen.

Konsumen yang dimaksud dalam hal ini

mencakup produsen, pemasok,

pengangkut, gudang, pengecer dan

pengguna akhir [2]. Manajemen Rantai

Pasok adalah metode, alat atau

pendekatan pengelolaan rantai pasok [3].

Keunggulan kompetitif dalam rantai pasok

dilakukan dengan meningkatkan nilai

tambah pada berbagai aktivitas yang

terkait dengan proses pengiriman produk

ke tangan pengguna akhir.

Beberapa isu penting dalam

manajemen rantai pasok adalah Lean

Supply Chain Management (LSCM) dan

Green Supply Chain Management (GSCM).

Menurut referensi [4], kedua isu tersebut

memiliki peran sentral dalam meminimasi

biaya dan dampak lingkungan yang

dihasilkan oleh perusahaan. Konsep LSCM

dikembangkan berdasarkan filosofi

minimasi biaya dan waktu proses rantai

pasok secara holistik untuk meningkatkan

efektivitas. Pendekatan yang berbeda

diberikan oleh konsep GSCM. Konsep

GSCM berakar pada perspektif

lingkungan, yaitu lebih terfokus pada

usaha untuk mengurangi limbah dan

dampak lingkungan yang diakibatkan oleh

berbagai aktivitas rantai pasok. Integrasi

antara konsep LSCM dan GSCM dapat

menciptakan sebuah strategi rantai pasok

yang lebih efektif dan efisien dalam

meminimasi biaya dan dampak

lingkungan. Perusahaan dapat

memperoleh manfaat yang lebih luas dan

holistik dalam pengelolaan kinerja pada

level strategis melalui integrasi kedua

konsep tersebut.

PT. P&P Lembah Karet merupakan

perusahaan yang bergerak di bidang

perkebunan dan industri pengolahan karet

remah (crumb rubber). Perusahaan

tersebut merupakan salah satu

perusahaan swasta nasional yang dalam

kegiatannya menggunakan fasilitas

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

Industri crumb rubber PT. P&P Lembah

Karet sudah beroperasi sejak bulan

September 1971 dengan tujuan

memenuhi kebutuhan pasar industri

nasional dan internasional serta melayani

pengolahan hasil perkebunan karet

rakyat.

Integrasi konsep LSCM dan GSCM

dapat digunakan untuk memberikan

keunggulan kompetitif bagi PT. P&P

Lembah Karet. Mekanisme pengukuran

kinerja yang mencakup kedua konsep

tersebut diperlukan untuk menjaga agar

implementasinya bisa berjalan secara

sustainable (berkelanjutan). Hal yang

perlu diperhatikan adalah integrasi antara

konsep LSCM dan GSCM tidak boleh

melupakan prinsip efektivitas dan

efisiensi. Balanced Scorecard (BSC) dapat

menjadi landasan yang mampu

mengakomodir kebutuhan tersebut. BSC

meliputi empat perspektif, yaitu:

perspektif keuangan, pelanggan, proses

bisnis internal serta pertumbuhan dan

pembelajaran. Keempat perspektif

tersebut mampu mengakomodasi aspek

Perancangan Model Pengukuran....(A. Hasan, et al.) 35

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

penting dalam pengukuran kinerja,

terutama yang berkaitan dengan

efektivitas dan efisiensi. Referensi [4]

mengintegrasi konsep LSCM dan GSCM

dengan perspektif BSC untuk

menghasilkan rantai pasok yang efektif

dan efisien. Contoh penerapan lainnya

adalah referensi [5] yang juga

mengintegrasikan BSC dan SCOR untuk

melakukan penilaian kinerja rantai pasok

produk soft drink di PT. Coca Cola Padang.

Penelitian yang dilakukan bertujuan

untuk mengembangkan model kinerja

rantai pasok PT P&P Lembah Karet. Model

pengukuran kinerja disusun berdasarkan

serangkaian indikator yang mengarah

pada pencapaian standar tertentu.

Standar yang digunakan adalah

pencapaian implementasi konsep LSCM

dan GSCM. Nilai bobot dari setiap indikator

juga ditentukan agar model yang

dikembangkan bisa digunakan untuk

menentukan kebijakan perusahaan secara

lebih tepat dalam usaha peningkatan

efektivitas dan efisiensi rantai pasok.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Supply Chain Management

Perkembangan teknologi yang cukup

pesat di era informasi telah meningkatkan

intensitas persaingan dalam dunia bisnis.

Siklus hidup produk yang semakin pendek

telah menjadikan pasar global lebih

berorientasi kepada konsumen [6].

Strategi yang kompetitif menjadi langkah

penting dalam menjalankan bisnis.

Lingkungan bisnis manufaktur

berkembang dengan sangat cepat menuju

rantai pasok yang lebih panjang dan

bergantung pada pemasok [7]. Tingkat

respon yang cepat telah menjadi tolak

ukur penting bagi perusahaan,

menyebabkan terjadinya rekonfigurasi

dan perubahan strategi untuk

mendapatkan fleksibilitas rantai pasok

[6]. Kondisi tersebut menyebabkan rantai

pasok menjadi salah satu aspek bisnis

yang memerlukan strategi kompetitif

dalam pelaksanaannya. Aspek bisnis

rantai pasok terkait dengan usaha

pemenuhan kebutuhan dan mengirimkan

produk ke konsumen akhir.

Rantai pasok adalah semua tahapan

yang terlibat secara langsung maupun

tidak langsung dalam memenuhi

permintaan produsen, pemasok,

pengangkut, gudang, pengecer dan

konsumen akhir [2]. Produsen, pemasok,

pengangkut, gudang dan pengecer

bekerja sama dan terkoordinasi dalam

serangkaian kegiatan yang bertujuan agar

produk dapat sampai ke tangan konsumen

akhir guna memenuhi kebutuhannya.

Supply Chain Management (SCM)

merupakan metode, alat atau pendekatan

pengelolaan rantai pasok [3]. Rangkaian

aktivitas SCM melibatkan berbagai aktor

seperti pemasok, produsen, distributor,

pengecer dan pelanggan, yang terlibat

secara langsung maupun tidak langsung

dalam usaha untuk memenuhi permintaan

konsumen. Peranan SCM menjadi semakin

penting karena pada masa sekarang

kompetisi bisnis telah bergeser dari

kompetisi antar perusahaan menjadi

kompetisi antar rantai pasok. Manajemen

yang efektif dari seluruh aktor merupakan

hal yang esensial untuk mencapai

efektivitas rantai pasok [8].

Material, informasi, dan uang

merupakan tiga alliran penting dalam

rantai pasok [2]. Material berarti produk,

informasi merupakan data yang telah

diolah, dan uang adalah sumber daya

yang dikeluarkan untuk memastikan

kelancaran aliran material dan informasi.

Tujuan SCM adalah mengelola dan

meningkatkan aliran material dari titik

asal ke titik pengiriman serta umpan balik

informasi dari konsumen akhir dengan

biaya seminimum mungkin. Aliran

informasi yang baik terintegrasi dan

transparan mulai dari pemasok hingga

konsumen akhir. Integrasi dan

transparansi akan mempermudah

pengendalian proses pelaksanaan SCM.

Penelitian dibidang SCM relatif terbuka

terhadap integrasi teori dari disiplin ilmu

lain serta penggunaan metode dan

paradigma pengetahuan non-

konvensional. Hal ini mendorong

perkembangan teoritis untuk menjelaskan

berbagai fenomena yang tidak bisa

dijelaskan atau hanya bisa dijelaskan

secara parsial dari teori dasar SCM [9].

Lean dan green merupakan contoh dari

dua konsep yang bisa diintegrasikan ke

36 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:33-46

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

dalam teori SCM. Konsep lean dapat

digunakan untuk meminimasi waste dari

rantai pasok, sementara konsep green

bermanfaat untuk meminimasi dampak

lingkungan dari rantai pasok.

2.2. Lean Supply Chain Management

Isu-isu baru yang muncul seiring

perkembangan rantai pasok modern

membuka area pemikiran baru dalam

usaha perbaikan rantai pasok. Strategi

rantai pasok adalah kumpulan kegiatan

dan aksi strategis di sepanjang rantai

pasok yang menciptakan rekonsiliasi

antara apa yang dibutuhkan pelanggan

akhir dengan kemampuan sumber daya

yang ada pada rantai pasok tersebut [3].

Pemilihan strategi rantai pasok yang tepat

merupakan hal penting bagi perusahaan

dalam mewujudkan keunggulan

kompetitifnya untuk pemenuhan

kebutuhan pelanggan sesuai harapan dan

kebutuhannya.

Salah satu strategi yang dapat

digunakan untuk meningkatkan

keunggulan kompetitif perusahaan adalah

menerapkan pendekatan lean dalam

pengelolaan rantai pasok. Lean adalah

suatu tindakan terus-menerus untuk

menghilangkan pemborosan (waste) dan

meningkatkan nilai tambah (value added)

produk (barang/ jasa) agar memberikan

nilai kepada pelanggan [10]. Pendekatan

lean bertujuan untuk meningkatkan nilai

kepada pelanggan (customer value)

dengan meningkatkan rasio value added

terhadap waste secara terus-menerus.

Lean Supply Chain Management

(LSCM) adalah strategi rantai pasok yang

didasarkan pada minimasi biaya dan

waktu proses rantai pasok secara

keseluruhan untuk meningkatkan

efektivitas. Konsep LSCM fokus terhadap

pengoptimalan proses rantai pasok,

penyederhanaan serta mengurangi limbah

dan kegiatan yang tidak memberikan nilai

tambah [11]. Tujuan utama penerapan

LSCM adalah untuk menekan biaya

produksi melalui minimasi setiap kegiatan

yang tidak memberikan nilai tambah.

Produktivitas rantai pasok tetap dapat

ditingkatkan sambil tetap menjaga

kualitas produk dengan cara tersebut.

2.3. Green Supply Chain Management

Isu lain yang berkembang dalam sistem

rantai pasok modern adalah penerapan

konsep green. Kecenderungan

perusahaan untuk menerapkan konsep

green sangat bergantung pada posisi

perusahaan dalam rantai pasok. Industri

hilir dan perusahaan yang berada pada

posisi downstream lebih menekankan

pada praktek green design, pembelian dan

manajemen internal. Perusahaan yang

berada pada midstream seperti Original

Design Manufacturers (ODM)/ Original

Equipment Manufacturer (OEM) lebih

fokus terhadap praktek green

manufacturing and logistics [12]. Terlepas

dari posisi perusahaan tersebut,

penerapan konsep green didasari oleh

kesadaran lingkungan yang terus

berkembang. Seperti yang dikemukankan

oleh [13], Semakin meningkatnya

kesadaran lingkungan telah mendukung

bangkitnya Green Supply Chain

Management (GSCM).

GSCM adalah paradigma rantai pasok

yang terkait dengan isu-isu efisiensi

lingkungan dan ekologi dari proses bisnis

perusahaan [14]. Tujuan utama dari

GSCM adalah untuk mengintegrasikan

nilai-nilai lingkungan ke dalam konsep

rantai pasok [15]. Konsep GSCM

dikembangkan berdasarkan perspektif

lingkungan, yaitu minimasi limbah dan

dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh

kegiatan rantai pasok perusahaan

industri. Perspektif lingkungan merupakan

salah satu aspek non finansial jangka

panjang yang harus diperhatikan oleh

perusahaan dalam menjaga keberlanjutan

kegiatan rantai pasoknya.

Hasil penelitian referensi [16]

menunjukkan bahwa usaha penurunan

dampak lingkungan akan lebih efektif jika

dilaksanakan melalui pengelolaan

aktivitas internal. Sistem pengukuran

kinerja diperlukan untuk menjamin

keberhasilan pengelolaan aktivitas

internal. Oleh karena itu, implementasi

GSCM membutuhkan sistem pengukuran

kinerja yang handal. Secara mendasar

pengukuran kinerja GSCM digunakan

untuk menentukan efisiensi dan

efektivitas dari sistem yang ada,

membandingkan sistem-sistem alternatif

Perancangan Model Pengukuran....(A. Hasan, et al.) 37

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

yang bersaing atau untuk merancang

sistem yang diusulkan dengan

menentukan nilai-nilai variabel keputusan

yang menghasilkan tingkat yang paling

diinginkan kinerja [14].

2.4. Pengukuran Kinerja Rantai Pasok

Sudah menjadi pemahaman umum

bahwa pengukuran kinerja menyediakan

peluang bagi bisnis untuk mengidentifikasi

cara-cara peningkatan keberlanjutan

rantai pasok [17]. Proses pengukuran

kinerja rantai pasok meliputi seluruh

aktivitas yang terkait dengan usaha untuk

memenuhi permintaan pelanggan.

Pengukuran kinerja rantai pasok

bertujuan untuk meningkatkan kelancaran

arus aliran barang dan informasi dari

setiap mata rantai dalam aktivitas rantai

pasok serta untuk mengurangi

persediaan. Terdapat beberapa dimensi

yang perlu dipertimbangkan dalam

mengukur kinerja rantai pasok, antara

lain:

1. Biaya, berhubungan dengan dana yang

dikeluarkan untuk membiayai

operasional rantai pasok.

2. Waktu, berhubungan dengan lamanya

waktu yang dibutuhkan untuk

melaksanakan sebuah aktivitas.

3. Kapasitas, berhubungan dengan

ukuran banyaknya pekerjaan yang

dapat dilakukan rantai pasok pada

rentang periode tertentu.

4. Kapabilitas, berhubungan dengan

kemampuan agregat rantai pasok

untuk melakukan kegiatan-kegiatan.

Pengukuran kinerja rantai pasok fokus

terhadap efisiensi biaya dan waktu operasi

rantai pasok. Pengukuran ini dilakukan

dengan terlebih dahulu menentukan

indikator-indikator yang relevan.

2.5. Balanced Scorecard

Balanced Scorecard (BSC) merupakan

metode pengukuran kinerja perusahaan

dengan mempertimbangkan empat

perspektif yang saling berhubungan.

Keempat perspektif tersebut berfungsi

sebagai penerjemah beserta cara untuk

mengkomunikasikan strategi dan tujuan

yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan

dalam jangka panjang, untuk kemudian

diukur dan dikendalikan secara

berkelanjutan. Empat perspektif yang

dipertimbangkan dalam BSC yaitu [18]:

1. Perspektif keuangan, terkait dengan

cara melayani para pemegang saham.

Pengukuran arus kas, pengembalian

atas modal, penjualan dan petumbuhan

penghasilan biasanya digunakan untuk

perspektif keuangan secara khusus

menggunakan.

2. Perspektif pelanggan, terkait dengan

tingkat kepuasan pelanggan. Pada

umumnya pengukuran perspektif ini

meliputi hal-hal yang berkaitan dengan

tingkat kerusakan, ketepatan waktu

pengiriman, adanya dukungan garansi,

pengembangan produk serta hal

lainnya yang berasal dari input secara

langsung dari pelanggan dan

dihubungkan dengan kegiatan khusus

perusahaan.

3. Perspektif proses bisnis internal, yaitu

perspektif yang berkaitan dengan

kompetensi utama dan bidang-bidang

operasional. Proses bisnis internal pada

umumnya diukur melalui produktivitas,

waktu siklus, kualitas, berbagai

pengukuran biaya dan indikator lain

yang terkait.

4. Perspektif pembelajaran dan

pertumbuhan, yaitu perspektif yang

erkait dengan peningkatan dan

penciptaan nilai secara terus-menerus.

Pengukuran biasanya ditekankan pada

aspek-aspek yang yang berhubungan

dengan inovasi dan pembelajaran

organisasi, seperti: kepemimpinan

teknologi, waktu siklus pengembangan

produk, peningkatan proses operasi,

dan lain-lain.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Obyek penelitian adalah PT. P&P

Lembah Karet yang berlokasi di Jalan. By

Pass Km 22 Kelurahan Batipuh Panjang,

Kecamatan Koto Tangah Padang, Sumatra

Barat. Fokus penelitian adalah rantai

pasok produk mulai dari pemasok hingga

ke distributor crumb rubber. Studi literatur

dilakukan untuk menunjang pelaksanaan

penelitian dengan mempelajari dan

memahami berbagai teori dan konsep

38 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:33-46

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

yang relevan. Teori-teori dan konsep-

konsep tersebut dikompilasi dari berbagi

referensi seperti buku, internet dan

sumber lain yang berhubungan.

Jenis data yang dikumpulkan dalam

penelitian adalah berbagai data yang

berhubungan dengan: proses bisnis, jenis

produk yang dihasilkan, bahan baku yang

digunakan serta daerah pemasok bahan

baku, proses produksi, transportasi,

daerah distribusi dan pemasaran, pihak-

pihak yang terlibat (stakeholder), profil

perusahaan (meliputi gambaran umum

perusahaan, visi dan misi, struktur

organisasi dan bidang usaha PT. P&P

Lembah Karet) serta data dari berbagai

literatur yang berhubungan dengan

penelitian, seperti konsep-konsep lean

dan green untuk memformulasikan Key

Performance Indicator (KPI).

Pengumpulan data dilakukan

menggunakan beberapa metode yaitu,

observasi, studi Literatur, wawancara,

kuesioner pembobotan KPI dan opini

pakar.

Tahap-tahap yang dilakukan dalam

pelaksanaan penelitian ini sebagai

berikut:

1. Studi pendahuluan untuk mengamati

kondisi sistem rantai pasok crumb

rubber pada PT. P&P Lembah Karet.

2. Memformulasikan KPI dari masing-

masing konsep LSCM dan GSCM.

3. Pengelompokan KPI LSCM dan GSCM ke

dalam perspektif BSC.

4. Pembobotan dan Penentuan prioritas

KPI.

Proses pembobotan KPI dilakukan

menggunakan metode Analytical

Hierarchy Process (AHP). Nilai bobot

suatu KPI menentukan tingkat prioritas

dari KPI tersebut.

5. Perancangan model pengukuran kinerja

LSCM dan GSCM dalam perspektif BSC.

6. Verifikasi model pengukuran kinerja.

Verifikasi dilakukan dengan metode

wawancara, yaitu diskusi langsung

untuk memastikan bahwa hasil

perancangan sistem pengukuran

kinerja rantai pasok dapat

diimplementasikan dengan benar.

7. Validasi model pengukuran kinerja.

Validasi dilakukan untuk membuktikan

bahwa model pengukuran kinerja rantai

pasok yang dihasilkan telah layak untuk

diterapkan di perusahaan. Teknik

validasi yang digunakan adalah face

validity, yaitu meminta opini para pakar

yang yang relevan untuk menilai model

yang dihasilkan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Formulasi Key Performance

Indicator (KPI)

KPI diformulasikan berdasarkan konsep

LSCM dan GSCM. Formulasi dilakukan

melalui studi yang mendalam terhadap

literatur-literatur LSCM dan GSCM. Daftar

KPI yang diperoleh diverifikasi kepada

pihak PT. P&P Lembah Karet untuk

mengetahui kesesuaian indikator tersebut

dengan sistem rantai pasok yang ada.

Verifikasi menghasilkan 25 KPI yang dapat

diukur kinerjanya dan sesuai dengan

sistem rantai pasok nyata yang digunakan

oleh PT. P&P Lembah Karet. KPI-KPI

tersebut juga merupakan indikator

penting yang dapat menjawab kebutuhan

dari semua stakeholder PT. P&P Lembah

Karet. Hasil verifikasi dan

pengelompokannya ke dalam KPI LSCM

dan GSCM dapat dilihat pada Tabel 1.

Jenis-jenis data yang diperlukan untuk

proses pengukuran setiap KPI dapat

dilihat pada Tabel 2.

4.2. Pengelompokan KPI dalam

Perspektif Balanced Scorecard

(BSC)

KPI yang telah diformulasikan tersebut

selanjutnya dikelompokkan dalam

perspektif Balanced Scorecard (BSC) yang

terdiri atas perspektif financial, customer,

internal process business dan learning &

growth. Hal ini dilakukan untuk

mempermudah dalam melakukan

perbandingan berpasangan masing-

masing indikator dimana perbandingan

berpasangan ini dilakukan untuk setiap

KPI yang berada dalam kelompok yang

sama dalam perspektif BSC.

Pengelompokan KPI ini dilakukan dengan

mencocokkan antara pengertian dari

masing-masing KPI terhadap pengertian

dan lingkup dari masing-masing perspektif

BSC. Selain itu, pengelompokan juga

Perancangan Model Pengukuran....(A. Hasan, et al.) 39

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

mengacu kepada beberapa referensi yang

telah ada yang terkait dengan

pengelompokan KPI rantai pasok terhadap

perspektif BSC. Pengelompokan ini dapat

dilakukan dengan membuat struktur

model penilaian kinerja rantai pasok lean

dan green secara terintegrasi dalam

perspektif BSC.

dengan membuat perbandingan

berpasangan antar KPI menggunakan

kuesioner pembobotan yang dinilai oleh

para pakar di PT. P&P Lembah Karet. Nilai

perbandingan berpasangan ini diolah

dengan bantuan software Expert Choice

untuk mengetahui nilai bobot masing-

masing KPI.

Tabel 1. Hasil Verifikasi KPI

No. Key Performance Indicator (KPI)

Lean Supply Chain Green Supply Chain

1. Total biaya rantai pasok (L1) Operasi hemat energi (G1)

2. Peningkatan kualitas (L2) Disposisi limbah (G2)

3. Lead time pemesanan (L3) Penggunaan material yang bisa didaur

ulang (G3)

4. Total waktu siklus rantai pasok (L4) Kerja sama dengan pemasok

bersertifikat (G4)

5. Pengembangan produk (L5) Biaya lingkungan (G5)

6. Utilisasi fasilitas (L6) Emisi udara dan air (G6)

7. Akurasi peramalan (L7) Penggunaan zat-zat tidak berbahaya

(G7)

8. Layanan pasca penjualan (L8) Penurunan frekuensi kecelakaan

lingkungan (G8)

9. Level persediaan material dan produk

(L9)

Tingkat ketertarikan konsumen terhadap

produk ramah lingkungan (G9)

10. Keakuratan dokumentasi surat jalan

(L10) Efisiensi daur ulang (G10)

11. Jumlah produk cacat yang dihasilkan

(L11)

12. Jumlah truk yang dialokasikan untuk

dikirimkan ke distributor (L12)

13. Revenue perusahaan (L13)

14. Biaya pelatihan dan pengembangan

karyawan (L14)

15. Tingkat kepuasan konsumen (L15)

Struktur model penilaian kinerja rantai

pasok lean dan green secara terintegrasi

ini dapat dilihat pada Gambar 1.

4.3. Pembobotan KPI

Pembobotan KPI dilakukan untuk

mengetahui tingkat prioritas dan

kepentingan masing-masing KPI terhadap

KPI lainnya. Pembobotan ini dilakukan

Semakin tinggi nilai bobot suatu KPI,

maka semakin tinggi tingkat

kepentingannya dibandingkan KPI lainnya.

Bobot dari setiap KPI dapat diterima jika

nilai inconsistency ratio yang didapat

kurang dari 0,1. Nilai inconsistency ratio

memperlihatkan tingkat konsistensi pakar

dalam memberikan nilai dari

perbandingan berpasangan untuk setiap

KPI.

40 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:33-46

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Tabel 2. Pengelompokan Data yang Terkait dengan KPI

Klasifikasi Data No. Data

Data Biaya dan Finansial

1. Biaya pengadaan bahan baku

2. Biaya produksi

3. Biaya transportasi

4. Biaya penyimpanan

5. Realisasi penjualan

6. Target penjualan

7. Biaya pengelolaan limbah

8. Biaya penghijauan lingkungan

9. Biaya untuk menjaga kelestarian lingkungan

10. Biaya seleksi karyawan

11. Biaya pelatihan karyawan

12. Biaya pengembangan potensi karyawan

13. Biaya proses daur ulang

Data Waktu

14. Waktu realisasi pemenuhan

15. Waktu target pemesanan

16. Waktu proses daur ulang

17. Biaya pengadaan bahan baku

18. Waktu produksi

19. Waktu transportasi

20. Waktu penyimpanan

Data Pemasok dan Konsumen

21. Jumlah pemasok bersertifikat

22. Jumlah pemasok

23. Jumlah crumb rubber berkualitas

24. Total produksi crumb rubber

25. Jumlah keluhan yang diajukan konsumen

26. Jumlah keluhan yang diatasi perusahaan

Data Material dan Produk

27. Persediaan rata-rata per bulan perusahaan

28. Pengiriman rata-rata per bulan perusahaan

29. Jumlah material cacat saat proses pengadaan bahan baku

30. Jumlah produk cacat saat proses produksi

31. Jumlah produk cacat saat transportasi

32. Jumlah produk cacat saat penyimpanan

33. Jumlah material yang dapat di daur ulang

34. Jumlah keseluruhan material

Data Proses Produksi

35. Total energi yang digunakan

36. Jumlah crumb rubber yang dihasilkan

37. Penggunaan kapasitas aktual

38. Penggunaan kapasitas yang direncanakan

39. Jumlah kecelakaan lingkungan

40. Jumlah senyawa hasil pembakaran

41. Berat limbah yang dibuang

42. Total berat limbah

43. Peramalan permintaan konsumen

44. Permintaan aktual konsumen

45. Zat berbahaya yang digunakan

46. Total zat yang digunakan

Data Transportasi

47. Realisasi dokumen yang diterima distributor

48. Realisasi produk berdasarkan surat jalan

49. Jumlah truk yang direalisasikan

50. Jumlah truk yang dibutuhkan

Perancangan Model Pengukuran....(A. Hasan, et al.) 41

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Penilaian Kinerja

Rantai Pasok

Financial

(F)

Customer

(C)

Internal

Business

Process (P)

Learning and

Growth (LG)

L1

L13

G5

L2

L15

L7

G9

L3

L6

L11

G1

G3

G7

L4

L9

L12

G2

G6

L5

L10

G4

G10

L8

L14

G8

KPI Definisi

L1 Total biaya rantai pasok

L13 Revenue perusahaan

G5 Biaya lingkungan

L2 Peningkatan kualitas

L7 Akurasi peramalan

L15 Tingkat kepuasan pelanggan

G9Tingkat ketertarikan konsumen pada produk

ramah lingkungan

L3 Lead time pemesanan

L4 Total waktu siklus rantai pasok

L6 Utilitas kapasitas

L9 Level persediaan material dan produk

L11 Jumlah produk cacat yang dihasilkan

L12Jumlah truk yang dialokasikan untuk

pengiriman ke distributor

G1 Operasi hemat energi

G2 Disposisi limbah

G3 Penggunaan material yang bisa didaur-ulang

G6 Emisi udara dan air

G7 Penggunaan zat-zat tidak berbahaya

L5 Pengembangan produk

L8 Layanan pasca penjualan

L10 Keakuratan dokumentasi surat jalan

L14 Biaya pelatihan dan pengembangan karyawan

G4 Kerjasama dengan pemasok bersertifikat

G8 Penurunan frekuensi kecelakaan lingkungan

G10 Efisiensi daur ulang

Gambar 1. Struktur Model Penilaian Kinerja Rantai Pasok Lean dan Green Secara

Terintegrasi dalam Perspektif BSC

Hasil pembobotan ini didapatkan dari

perbandingan berpasangan antar keempat

perspektif yaitu perspektif financial,

customer, internal process business dan

learning & growth menggunakan software

expert choice. Hasil pembobotan KPI

dapat dilihat pada Tabel 3 sampai dengan

Tabel 7.

Tabel 3. Bobot Indikator pada Ruang

Lingkup BSC

Kode KPI

Definisi Bobot

F Financial 0,162

C Customer 0,487

IP Internal Business Process 0,223

LG Learning and Growth 0,127

Tabel 4. Bobot Indikator pada Perspektif

Financial

Kode KPI

Definisi Bobot

L1 Total biaya rantai pasok 0,333

L13 Revenue perusahaan 0,333

G5 Biaya lingkungan 0,333

Tabel 5. Bobot Indikator pada Perspektif

Consumer

Kode KPI

Definisi Bobot

L2 Peningkatan kualitas 0,365

L7 Akurasi peramalan 0,076

L15 Tingkat kepuasan konsumen

0,302

G9 Tingkat ketertarikan konsumen terhadap produk ramah lingkungan

0,257

42 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:33-46

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Tabel 6. Bobot Indikator pada Perspektif

Internal Process Business

Kode

KPI Definisi Bobot

L3 Lead time pemesanan 0,121

L4 Total waktu siklus rantai pasok

0,069

L6 Utilisasi kapasitas 0,169

L9 Level persediaan material dan produk

0,074

L11 Jumlah produk cacat yang dihasilkan

0,064

L12 Jumlah truk yang dialokasikan untuk pengiriman ke distributor

0,037

G1 Operasi hemat energi 0,078

G2 Disposisi limbah 0,088

G3 Penggunaan material yang bisa didaur ulang

0,099

G6 Emisi udara dan air 0,106

G7 Penggunaan zat-zat tidak berbahaya

0,094

Tabel 7. Bobot Indikator pada Perspektif

Learning and Growth

Kode KPI

Definisi Bobot

L5 Pengembangan produk 0,154

L8 Layanan pasca penjualan 0,175

L10 Keakuratan dokumentasi surat jalan

0,077

L14 Biaya pelatihan dan

pengembangan karyawan 0,096

G4 Kerjasama dengan pemasok bersertifikat

0,082

G8 Penurunan frekuensi kecelakaan lingkungan

0,262

G10 Efisiensi daur ulang 0,154

4.4. Prioritas KPI Berdasarkan Hasil

Pembobotan

Pembobotan KPI secara keseluruhan

dilakukan dengan mengalikan antara

bobot masing-masing KPI dengan bobot

perspektif dimana KPI tersebut

dikelompokkan. Hasil pembobotan KPI

keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 8.

Berdasarkan bobot keseluruhan

masing-masing KPI, selanjutnya dilakukan

penentuan prioritas KPI mulai dari KPI

yang memiliki bobot tertinggi hingga KPI

yang memiliki bobot terendah. Prioritas

KPI dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 8. Bobot Keseluruhan KPI

Kode KPI

Bobot KPI

Bobot Perspektif

KPI

Bobot Keseluruhan

L1 0,333

0,162

0,054

L13 0,333 0,054

G5 0,333 0,054

L2 0,365

0,487

0,178

L7 0,076 0,037

L15 0,302 0,147

G9 0,257 0,125

L3 0,121

0,078

0,009

L4 0,069 0,005

L6 0,169 0,013

L9 0,074 0,006

L11 0,064 0,005

L12 0,037 0,003

G1 0,078 0,006

G2 0,088 0,007

G3 0,099 0,008

G6 0,106 0,008

G7 0,094 0,007

L5 0,154

0,088

0,014

L8 0,175 0,015

L10 0,077 0,007

L14 0,096 0,008

G4 0,082 0,007

G8 0,262 0,023

G10 0,154 0,014

4.5. Struktur Model Pengukuran

Kinerja Rantai Pasok

Model pengukuran kinerja rantai pasok

Lean dan Green dengan perspektif BSC

dirancang dalam bentuk metrik. Metrik

pengukuran kinerja ini dapat dilihat pada

Tabel 10.

4.6. Validasi Model

Validasi merupakan tahapan yang perlu

dilakukan untuk menjelaskan bahwa

model pengukuran kinerja rantai pasok

yang dirancang layak untuk diterapkan

pada sistem nyata. Aspek-aspek yang

dipertimbangkan dalam proses validasi

model sebagai berikut:

Perancangan Model Pengukuran....(A. Hasan, et al.) 43

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

1. KPI sesuai dengan kondisi nyata PT.

P&P Lembah Karet dan bersifat

representatif, artinya KPI tersebut

dapat mewakili kebutuhan-kebutuhan

dari para stakeholder yang terlibat pada

aktivitas rantai pasok.

2. KPI yang terdapat pada model dapat

diukur kinerjanya dalam aktivitas rantai

pasok crumb rubber PT. P&P Lembah

Karet.

3. Urutan prioritas KPI yang terdapat pada

model merupakan KPI yang benar-

benar menjadi indikator kritis bagi

kinerja rantai pasok PT. P&P Lembah

Karet.

4. Model pengukuran kinerja rantai pasok

yang dirancang dapat

diimplementasikan di PT. P&P Lembah

Karet untuk mengukur efektivitas dan

efisiensi rantai pasok crumb rubber.

Teknik validasi yang diterapkan adalah

face validity, yaitu bertanya kepada orang

yang memiliki pengetahuan dan

pengalaman yang memadai tentang

konsep lean dan green. Responden akan

memberikan penilaian terhadap

komponen-komponen model yang

dirancang. Validasi dilakukan oleh Wakil

Manajemen PT. P&P Lembah Karet.

Hasil validasi menunujukkan bahwa

model pengukuran kinerja rantai pasok

yang dirancang telah valid dan dapat

diterima oleh pihak PT. P&P Lembah Karet.

Model ini dapat diimplementasikan untuk

pengukuran kinerja rantai pasok

perusahaan. Pengukuran kinerja

dilakukan untuk melihat efektivitas dan

efisiensi rantai pasok.

Aspek yang diprioritaskan adalah aspek

konsumen untuk meningkatkan nilai guna

mencapai kepuasan konsumen crumb

rubber. Hal ini sesuai dengan hasil

penentuan prioritas yang dilakukan

terhadap seluruh KPI. Nilai bobot prioritas

tiga terbesar dari seluruh KPI

menunjukkan bahwa peningkatan kualitas

dan tingkat kepuasan pelanggan terhadap

produk ramah lingkungan harus menjadi

prioritas pada target perusahaan. Hal ini

juga diakui oleh pihak perusahaan bahwa

menciptakan crumb rubber berkualitas

dengan dampak lingkungan yang minimal

merupakan tuntutan penting dari

konsumen saat ini. Oleh karena itu,

perusahaan perlu mengetahui tingkat

efektivitas dan efisiensi rantai pasok

dalam rangka memproduksi crumb rubber

yang berkualitas dan ramah lingkungan

untuk meningkatkan kepuasan konsumen.

Jika perusahaan dapat mengetahui tingkat

pencapaian kinerjanya saat ini maka

perusahaan dapat menentukan kebijakan

yang tepat dan sesuai di masa datang.

Tabel 9. Bobot Indikator pada Perspektif

Consumer

Kode KPI

Definisi Bobot

L2 Peningkatan kualitas 0,178

L15 Tingkat kepuasan konsumen

0,147

G9 Tingkat ketertarikan konsumen terhadap produk

ramah lingkungan

0,125

L1 Total biaya rantai pasok 0,054

L13 Revenue perusahaan 0,054

G5 Biaya lingkungan 0,054

L7 Akurasi peramalan 0,037

G8 Penurunan frekuensi kecelakaan lingkungan

0,023

L8 Layanan pasca penjualan 0,015

L5 Pengembangan produk 0,014

G10 Efisiensi daur ulang 0,014

L6 Utilisasi kapasitas 0,013

L3 Lead time pemesanan 0,009

G3 Penggunaan material yang bisa didaur ulang

0,008

G6 Emisi udara dan air 0,008

L14 Biaya pelatihan dan pengembangan karyawan

0,008

G2 Disposisi limbah 0,007

G7 Penggunaan zat-zat tidak berbahaya

0,007

L10 Keakuratan dokumentasi surat jalan

0,007

G4 Kerjasama dengan

pemasok bersertifikat 0,007

L9 Level persediaan material dan produk

0,006

G1 Operasi hemat energi 0,006

L4 Total waktu siklus rantai pasok

0,005

L11 Jumlah produk cacat yang dihasilkan

0,005

L12 Jumlah truk yang dialokasikan untuk pengiriman ke distributor

0,003

44 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:33-46

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Tabel 10. Struktur Model Pengukuran Kinerja Rantai Pasok

Kode KPI

Definisi Financial Consumer

Internal Business Process

Learning and

Growth Bobot

L G L G L G L G

L2 Peningkatan kualitas 0,178

L15 Tingkat kepuasan konsumen

0,147

G9

Tingkat ketertarikan

konsumen terhadap produk ramah lingkungan

0,125

L1 Total biaya rantai pasok

0,054

L13 Revenue perusahaan 0,054

G5 Biaya lingkungan 0,054

L7 Akurasi peramalan 0,037

G8 Penurunan frekuensi kecelakaan lingkungan

0,023

L8 Layanan pasca

penjualan

0,015

L5 Pengembangan produk 0,014

G10 Efisiensi daur ulang 0,014

L6 Utilisasi kapasitas 0,013

L3 Lead time pemesanan 0,009

G3 Penggunaan material yang bisa didaur ulang

0,008

G6 Emisi udara dan air 0,008

L14 Biaya pelatihan dan pengembangan karyawan

0,008

G2 Disposisi limbah 0,007

G7 Penggunaan zat-zat

tidak berbahaya

0,007

L10 Keakuratan dokumentasi surat jalan

0,007

G4 Kerjasama dengan pemasok bersertifikat

0,007

L9 Level persediaan material dan produk

0,006

G1 Operasi hemat energi 0,006

L4 Total waktu siklus

rantai pasok

0,005

L11 Jumlah produk cacat yang dihasilkan

0,005

L12

Jumlah truk yang

dialokasikan untuk pengiriman ke distributor

0,003

4.7. Implementasi Model

Implementasi model pengukuran

kinerja rantai pasok ini dapat dilakukan

melalui tahapan berikut ini:

1. Mengumpulkan data yang berhubungan

dengan KPI sesuai model pengukuran

kinerja rantai pasok yang dirancang.

Perancangan Model Pengukuran....(A. Hasan, et al.) 45

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

2. Membuat Standar Operational

Procedure (SOP) untuk melakukan

pengukuran kinerja rantai pasok crumb

rubber dan membuat formulir yang

dibutuhkan dalam pengukuran dan

dokumentasi hasil pengukuran kinerja.

3. Melakukan pengukuran kinerja rantai

pasok crumb rubber di PT. P&P Lembah

Karet dan mendokumentasikan hasil

pengukuran kinerja tersebut.

4. Menentukan kebijakan yang tepat

terhadap kinerja rantai pasok PT. P&P

Lembah Karet berdasarkan hasil

pengukuran kinerja yang telah

dilakukan untuk masing-masing KPI.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini telah menghasilkan

sekumpulan KPI yang diperoleh dari

integrasi konsep lean dan green pada

rantai pasok crumb rubber di PT. P&P

Lembah Karet. Hasil dari pengintegrasian

sebagai berikut:

1. Formulasi KPI sebanyak 25 KPI yang

terdiri dari 15 KPI rantai pasok Lean

dan 10 KPI rantai pasok Green. KPI ini

merupakan indikator penting yang

dapat menjawab kebutuhan dari semua

stakeholder yang terlibat pada rantai

pasok crumb rubber di PT. P&P Lembah

Karet dari aspek pengurangan biaya

dan dampak lingkungan.

2. Pengelompokan KPI dalam empat

perspektif BSC yaitu perspektif

financial, customer, internal process

business dan learning & growth. KPI

keseluruhan yang jumlahnya 25 KPI

dapat dikelompokkan yaitu 3 KPI untuk

perspektif financial, 4 KPI untuk

perspektif customer, 11 KPI untuk

perspektif internal process business

dan 7 KPI untuk perspektif learning &

growth.

3. Penentuan prioritas KPI secara

keseluruhan dilakukan dengan

mengurutkan KPI mulai dari yang

memiliki bobot tertinggi hingga bobot

terendah. KPI yang memiliki prioritas

tertinggi artinya KPI ini merupakan KPI

yang memiliki pengaruh besar terhadap

kinerja rantai pasok perusahaan. Pada

penelitian ini, perspektif customer

merupakan yang menjadi prioritas yang

dibuktikan dari 3 KPI pada urutan

tertinggi bobotnya pada model

penilaian kinerja rantai pasok yang

dirancang. Bobot untuk ketiga KPI

tersebut masing-masingnya 0.178;

0.147 dan 0.125.

Saran-saran yang berkaitan dengan

hasil-hasil penelitian ini sebagai berikut:

1. Koordinasi dalam kemudahan akses

informasi antar departemen dan

keterlibatan seluruh karyawan PT. P&P

Lembah Karet sangat dibutuhkan agar

implementasi model ini dapat dilakukan

dengan tepat.

2. Penelitian selanjutnya dapat melakukan

pengukuran kinerja rantai pasok lean

dan green secara terintegrasi di PT. P&P

Lembah Karet untuk mengetahui

efektivitas dan efisiensi rantai pasok

PT. P&P Lembah Karet saat ini

berdasarkan model yang telah

dirancang pada penelitian ini.

3. Aspek penelitian dapat diperluas untuk

penelitian selanjutnya, tidak hanya

dalam ruang lingkup sistem rantai

pasok lean dan green saja, tetapi

sistem rantai pasok secara menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Porter, M. E. (1985). Competitive

Advantage: Creating and Sustaining

Superior Performance. New York:

The Free Press.

[2] Chopra, S. dan Peter, M. (2007).

Supply Chain Management, Strategy

Planning & Operation, 3rd Edition.

New Jersey: Pearson Prentice Hall.

[3] Pujawan, I. N. (2005). Supply Chain

Management, Surabaya:

Gundawidya.

[4] Duarte, S., Cabrita, R. dan Machado,

V. C. (2011). Exploring Lean and

Green Supply Chain Performance

Using Balanced Scorecard

Perspective. Proceedings of the 2011

International Conference on

Industrial Engineering and

Operations Management, 22-24

Januari, Kuala Lumpur, pp. 520-525.

[5] Putri, R. M. (2010). Integrasi

Balance Scorecard dan SCOR Dalam

Penilaian Kinerja Rantai Pasok pada

46 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:33-46

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Produk Soft Drink. Tugas Akhir.

Universitas Andalas, Indonesia.

[6] Dev. N. K., Shankar, R., Dey, P. K.

(2014). Reconfiguration of Supply

Chain Network: An ISM-based

Roadmap to Performance.

Benchmarking: An International

Journal, Vol. 21, No. 3, pp. 386-411.

[7] Routroy, S. and Pradhan, S. K.

(2014). Benchmarking Model of

Supplier Development for An Indian

Gear Manufacturing Company.

Benchmarking: An International

Journal, Vol. 21, No. 2, pp. 253-275.

[8] Simon, A. T., Satolo, E. G., Scheidl,

H. A. dan Di Serio, L. C. (2014).

Business Process In Supply Chain

Integration In Sugar and Ethanol

Industry. Business Process

Management Journal, Vol. 20, No. 2,

pp. 272-289.

[9] Gold, S. (2014). Supply Chain

Management as Lakatosian Research

Program. Supply Chain

Management: An International

Journal, Vol. 19, No. 1, pp. 1-9.

[10] Gaspersz, V. (2007). Lean Six

Sigma, Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

[11] Machado, V. C. dan Duarte, S.

(2010). Trade offs Among Paradigms

in Supply Chain Management.

Proceeding of the 2010 International

Conference on Industrial

Engineering and Operations

Management, 9-10 Januari, Dhaka,

Bangladesh.

[12] Lo, S. M. (2014). Effects of supply

chain position on the motivation and

practices of firms going green.

International Journal of Operations &

Production Management, Vol. 34,

No. 1, pp. 93-114.

[13] Sahu, N. K., Datta, S. dan

Mahapatra, S. S. (2014). Green

Supplier Appraisement In Fuzzy

Environment. Benchmarking: An

International Journal, Vol. 21, No. 3,

pp. 412-429.

[14] Zhu, Q., Sarkis, J. dan Lai, K.

(2008). Confirmation of a

Measurement Model for Green

Supply Chain Management Practices

Implementation. International

Journal Production Economics, Vol.

111, No. 2, pp. 261-273.

[15] Mudgal, R. K., Shankar, R., Talib, P.

dan Raj, T. (2009). Greening the

Supply Chain Practices: An Indian

Perspective of

Enablers`Relationship. International

Journal Advanced Operations

Management, Vol. 1, No. 2/3, pp.

151-176.

[16] De Giovanni, P. dan Vinzi, V. E.

(2014). The Benefits of the

Emissions Trading Mechanism for

Italian Firms: A Multi-Group

Analysis. International Journal of

Physical Distribution & Logistics

Management, Vol. 44, No. 4, pp.

305-324.

[17] Acquaye, A., Genovese, A., Barrett,

J. dan Lenny Koh, S. C. (2014).

Benchmarking Carbon Emissions

Performance In Supply Chains.

Supply Chain Management: An

International Journal, Vol. 19, No. 3,

pp. 306-321.

[18] Tunggal, A. W. (2011). Pokok-Pokok

Performance Measurement dan

Balanced Scorecard, Jakarta:

Harvindo.

Pembuatan Knowledge Management....(I. Arief, et al.) 47

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

PEMBUATAN KNOWLEDGE MANAGEMENT PADA EXTERNAL CYLINDRICAL GRINDING

Ikhwan Arief, M.Sc., Muhammad Arieaman Fikri Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Andalas, Padang

e-mail: [email protected] (korespondensi)

Abstract

Knowledge management is a process that helps an organization or company in identifying,

selecting, preparing, distributing and sending important information and expertise part of an organization or a company to change the behavior or attitude that is not in place. Grinding processes are usually based on the experiences of people who have are experts in their work (tacit knowledge)

that will be collected and converted into explicit knowledge so that the information can be maintained and easily accessible.

The design began by analyzing the external cylindrical grinding systems and translate them into

Unified Modelling Languange (UML) which was followed by the design of database and computer software, and test the software. The application software is web-based and can be accessed by multiple users. Application will help the operator in determining parameters with given option of parameter recommendation. The system give recommendations based on tacit knowledge that has been gathered into explicit knowledge. Output of the application is a list of selected parameters and report cases. Report data in the case will be used to set up the machine.

Keywords : Knowledge management, external cylindrical grinding, database

Abstrak

Manajemen pengetahuan adalah proses yang membantu organisasi atau perusahaan dalam mengidentifikasi, memilih, menyiapkan, mendistribusikan dan mengirimkan informasi penting dan

bagian dari keahlian suatu organisasi atau perusahaan untuk mengubah perilaku atau sikap yang kurang sesuai. Gerinda (grinding) biasanya didasarkan pada pengalaman orang yang ahli dalam

pekerjaan mereka (tacit knowledge) yang akan dikumpulkan dan diubah menjadi pengetahuan eksplisit sehingga informasi dapat dipertahankan dan mudah diakses.

Desain dimulai dengan menganalisis sistem grinding silindris luar dan menerjemahkannya ke dalam Unified Modelling Language (UML) yang diikuti oleh desain database dan perangkat lunak komputer, kemduain dilanjutkan dengan menguji perangkat lunak tersebut. Perangkat lunak aplikasi ini berbasis web dan dapat diakses oleh banyak pengguna. Aplikasi akan membantu operator dalam

menentukan parameter dengan pilihan berupa parameter yang direkomendasikan. Sistem ini memberikan rekomendasi berdasarkan pengetahuan tacit yang telah dikumpulkan ke dalam pengetahuan eksplisit. Luaran dari aplikasi ini adalah daftar parameter yang dipilih dan laporan kasus. Data hasil pelaporan dalam kasus akan digunakan untuk pengaturan mesin.

Kata kunci: Manajemen pengetahuan, gerinda silindris eksternal, basis data

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Laju perkembangan teknologi yang

sangat pesat selalu diiringi dengan

besarnya tingkat permintaan akan hasil

industri, terutama mesin dan otomotif.

Peningkatan ini terlihat dari jumlah ekspor

dan impor komoditi kelompok hasil

industri besi baja, mesin-mesin, dan

otomotif yang berada pada peringkat atas

berdasarkan dari data Kementrian

Perindustrian Republik Indonesia.

Salah satu bentuk komponen pada

mesin dan otomotif adalah silinder.

Peningkatan permintaan mesin dan

otomotif mengakibatkan jumlah produksi

komponen berbentuk silinder semakin

besar. Salah satu proses pemesinan yang

digunakan dalam produksi ini adalah

48 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:47-61

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

gerinda (grinding). Grinding dilakukan

untuk menghaluskan permukaan

komponen seperti pada Gambar 2.

Gambar 1. Data Ekspor Kelompok Hasil

Industri [23]

Gambar 2. Hasil proses gerinda [24]

Untuk meningkatkan laju produksi bisa

dilakukan dengan mengganti peralatan

lama dengan peralatan baru yang memiliki

efisiensi serta kapasitas yang lebih besar

atau dengan mempekerjakan karyawan

baru. Kedua cara ini membutuhkan waktu

agar karyawan atau operator dapat

mengoperasikan alat dengan optimal.

Biasanya dalam hal ini pekerja atau

operator baru akan dilatih dalam kurun

waktu tertentu dan proses ini

membutuhkan waktu serta biaya yang

tidak sedikit. Pada satu sisi perusahaan

menuntut agar proses produksi tetap

berjalan dan karyawan bekerja seperti

biasa. Salah satu cara mengatasi

permasalahan ini agar informasi menjadi

sesuatu yang bernilai, kemudian tumbuh

menjadi sebuah pengetahuan di dalam

organisasi atau perusahaan, maka

dibutuhkan suatu sistem atau konsep

yang dikenal dengan knowledge

management [4].

Knowledge management adalah proses

yang membantu organisasi atau

perusahaan dalam mengidentifikasi,

memilih, menyusun, menyebarluaskan

dan mengirim informasi penting dan

keahlian bagian dari organisasi atau

perusahaan untuk mengubah perilaku

atau sikap yang tidak pada tempatnya.

Knowledge management memungkinkan

penyelesaian masalah yang efektif dan

efisien, pembelajaran yang dinamis,

perencanaan yang strategis dan memilih

keputusan yang tepat [19].

Alasan lain mengapa sangat

dibutuhkannya knowledge management

karena saat ini perusahaan-perusahaan

berusaha meningkatkan efisiensi dengan

menggantikan pekerjaan yang dilakukan

secara manual kepada sistem yang telah

terotomasi. Hal ini menyebabkan

berkurangnya komunikasi informal

karyawan sehingga semakin kecil

kemungkinan terjadinya penyebaran tacit

knowledge atau pengetahuan yang

didasarkan oleh pengalaman [17].

Penyebaran pengetahuan atau knowledge

sharing merupakan kunci utama dalam

meningkatkan inovasi dari suatu

organisasi atau perusahaan [16].

Alabed mengatakan bahwa proses

gerinda biasanya hanya didasarkan

kepada pengalaman orang yang telah ahli.

Pemilihan material dan peng-input-an

parameter grinding hanya berdasarkan

pengalaman. Hasilnya adalah proses

pengerjaan yang dapat dikatakan coba-

coba. Selain menyebabkan waktu

pengerjaan yang tidak terukur dan

cenderung lama, cara kerja ini tidak dapat

begitu saja diwariskan kepada operator

baru. Jika menggunakan cara yang sama,

maka operator baru memerlukan waktu

yang lama agar dapat bekerja secara

maksimal [1].

Pengalihan suatu tacit knowledge

menjadi explicit knowledge merupakan

bentuk keluaran dari knowledge

management system. Explicit knowledge

seperti prosedur kerja, database,

dokumen, dan laporan akan lebih mudah

untuk dikumpulkan, disimpan, disebarkan,

dan diakses oleh setiap operator [6].

Perubahan informasi dari tacit knowledge

menjadi explicit knowledge akan

memudahkan dalam melakukan observasi

dan analisis terhadap cara kerja yang

tidak efisien seperti dalam menetapkan

parameter proses gerinda sebelumnya dan

membuat suatu model sistem kerja baru

yang lebih efisien [7].

Pembuatan Knowledge Management....(I. Arief, et al.) 49

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Penelitian mengenai cylindrical grinding

telah banyak dilakukan untuk

mendapatkan nilai parameter yang

optimal dari material benda kerja yang

diuji. Berdasarkan dari hasil-hasil

penelitian, setiap jenis material memiliki

nilai parameter optimal yang berbeda.

Beberapa penelitian ini dapat dilihat pada

tinjauan pustaka. Penelitian-penelitian ini

telah berupa explicit knowledge. Berbagai

macam hasil penelitian inilah yang

nantinya akan dikumpulkan menjadi suatu

explicit knowledge database.

Salah satu dari penelitian tersebut

adalah penelitian yang dilakukan oleh

Nalda. Nalda telah melakukan penelitian

terhadap indikator parameter grinding

namun terbatas pada proses surface

grinding dan menjadikannya sebuah

knowledge management. Penelitian ini

dilakukan untuk membantu operator

dalam memilih material dan mesin yang

akan digunakan. Proses surface grinding

dan cylindrical grinding memiliki

perbedaan mendasar pada cara kerja dan

parameter yang digunakan. Benda kerja

yang bergerak mempengaruhi parameter

pada proses cylindrical grinding. Penelitian

mengenai cylindrical grinding merupakan

kelanjutan dari penelitian yang telah

dilakukan Nalda [13].

Menurut Oracle, sebuah knowledge

management system akan meminimalisir

biaya dan waktu pelatihan pada operator

baru. Perusahaan tidak perlu

mengeluarkan biaya untuk melakukan

pelatihan yang lama kepada

karyawannya. Hal ini dikarenakan sistem

yang akan dirancang berupa sistem

pengambilan keputusan yang dapat

membantu operator dalam memilih

parameter grinding seperti mesin,

grinding wheel, dressing tool, dan coolant

[14].

Sistem tidak akan memberikan

keputusan mutlak terhadap mesin atau

material yang dipilih. Operator masih

memiliki peran yang penting, sistem

hanya akan memberikan rekomendasi-

rekomendasi sesuai dengan pilihan yang

akan digunakan operator. Sistem yang

dirancang akan berbasis web sehingga

dapat digunakan oleh banyak orang sesuai

dengan kebutuhan perusahaan. Melalui

sistem ini operator senior akan lebih

mudah dan cepat dalam mewariskan

pengetahuannya mengenai pemilihan

parameter grinding seperti mesin,

grinding wheel, dressing tool, dan coolant

untuk proses grinding.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dapat

dirumuskan sebuah permasalahan

“Bagaimana menyelesaikan permasalahan

pembelajaran bagi operator baru dalam

proses gerinda benda silinder

menggunakan knowledge management

system”.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

menghasilkan sebuah knowledge

management system berupa aplikasi

pengambilan keputusan dan

pembelajaran yang dapat membantu

operator baru dalam memilih parameter

grinding seperti mesin, grinding wheel,

dressing tool, dan coolant pada proses

grinding permukaan silinder.

1.4. Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini

adalah :

1. Penelitian hanya dilakukan untuk

proses grinding permukaan silinder.

2. Mesin yang digunakan merupakan

mesin hydraulic external cylindrical

grinding.

3. Penelitian hanya dilakukan sampai

perancangan sistem dan pembuatan

aplikasi dan pengujian, tidak sampai

pada tahap pemeliharaan.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gerinda

Mesin gerinda adalah salah satu mesin

perkakas yang digunakan untuk

mengasah/memotong benda kerja dengan

prinsip kerja batu gerinda berputar

bersentuhan dengan benda kerja sehingga

terjadi pengikisan, penajaman,

pengasahan, atau pemotongan [11].

50 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:47-61

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Proses gerinda kebanyakan digunakan

sebagai proses akhir untuk membentuk

produk dengan kehalusan dan ketelitian

tertentu pada salah satu atau beberapa

elemen geometrinya. Oleh sebab itu perlu

dipilih salah satu dari berbagai cara proses

penggerindaan demi untuk menghasilkan

produk yang dimaksud dengan cara yang

paling baik tergantung pada jumlah

produk dan jenis mesin gerinda yang

dimiliki. Dari beberapa jenis mesin gerinda

yang ada dapat diklasifikasikan secara

umum, yaitu [15]:

1. Mesin gerinda datar

2. Mesin gerinda silindris

3. Mesin gerinda khusus

Mesin gerinda silindris/silindris adalah

alat pemesinan yang berfungsi untuk

membuat bentuk-bentuk silindris, silindris

bertingkat, dan sebagainya. Berdasarkan

konstruksi mesinnya, mesin gerinda

silindris dibedakan menjadi empat

macam, yaitu [21]:

1. Gerinda silindris luar

Mesin gerinda silindris luar berfungsi

untuk menggerinda diameter luar

benda kerja yang berbentuk silindris

dan tirus

2. Mesin gerinda silindris dalam

Mesin gerinda silindris jenis ini

berfungsi untuk menggerinda benda-

benda dengan diameter dalam yang

berbentuk silindris dan tirus

3. Mesin gerinda silinder luar tanpa center

(centrelesss)

Mesin gerinda silindris jenis ini

digunakan untuk menggerinda

diameter luar dalam jumlah yang

banyak/massal baik panjang maupun

pendek

4. Mesin gerinda silindris universal

Mesin jenis ini mampu untuk

menggerinda benda kerja dengan

diameter luar dan dalam baik bentuk

silindris

2.2. Parameter Grinding

Ada 5 macam parameter grinding [10]:

1. Mesin yang digunakan dengan

parameter acuannya tipe mesin dan

spesifikasinya.

2. Benda kerja yang digunakan dengan

parameter acuannya geometri dan

spesifikasinya.

3. Grinding Wheel yang digunakan dengan

parameter acuannya geometri dan

spesifikasinya.

4. Dressing Tool digunakan dengan

parameter acuannya tipe Dressing Tool

dan spesifikasinya.

5. Coolant

Perbedaan antara jenis-jenis proses

grinding seperti surface grinding, dan

cylindrical grinding khususnya external

cylindrical grinding adalah pada

perumusan energi kinetik. Terdapat

beberapa perhitungan pada mesin gerinda

silindris, yaitu [21]:

1. Menghitung kecepatan putar batu

gerinda

𝑛 = 𝑉𝑐 ×1000×60

𝜋×𝑑 (1)

Dimana :

n = kecepatan putar; rpm

Vc = kecepatan potong batu gerinda;

m/s

d = diameter batu gerinda; mm

2. Menghitung kecepatan putar benda

kerja

𝑛𝑤 = 𝑉𝑤 ×1000 ×60

𝜋×𝑑𝑤 (2)

Dimana :

nw = kecepatan putar benda kerja;

rpm

Vw = kecepatan potong benda kerja;

m/s

dw = diameter benda kerja; mm

3. Menghitung kecepatan gerak meja

Kecepatan gerak meja hanya

digunakan pada pemakanan melintang 𝐿𝑠 = 𝑛𝑤 × 𝑠 (3)

Dimana :

Ls = kecepatan gerak meja; m/mnt

nw = kecepatan putar benda kerja;

rpm

s = kecepatan pemotongan setiap

putaran benda kerja; m/putaran

4. Menghitung panjang gerak meja

Kecepatan gerak meja hanya

digunakan pada pemakanan melintang

𝐿 = 𝑙 +2

3× 𝑏 (4)

Dimana :

L = panjang gerak meja; mm

l = panjang benda kerja; mm

b = tebal batu gerinda; mm

Pembuatan Knowledge Management....(I. Arief, et al.) 51

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

5. Menghitung MRR radial

𝑧 = 𝜋 × 𝑑𝑤 × 𝑏𝑠 × (𝑎𝑝 + (1 + 𝑘)) (5)

Dimana :

Z = MRR; mm3/s

dw = diameter benda kerja; mm

bs = ketebalan batu gerinda; mm

k = koefisien toleransi

6. Menghitung MRR pemakanan melintang 𝑧 = 𝜋 × 𝑑𝑤 × 𝑎𝑝 × 𝐿𝑠 (6)

Dimana :

Z = MRR; mm3/s

dw = diameter benda kerja; mm

ap = kedalaman potong; mm

Ls = kecepatan gerak meja; m/mnt

Skema proses dari external cylindrical

grinding dapat dilihat pada Gambar 3.

Terlihat bahwa batu gerinda dan benda

kerja saling berotasi searah. Gerak makan

menyebabkan permukaan benda kerja

terkikis dan menghasilkan permukaan

baru.

Gambar 3. Skema External Cylindrical

Grinding

2.3. Knowledge Management System

Manajemen pengetahuan adalah

sebuah proses yang membantu organisasi

mengidentifikasi, memilih,

mengorganisasikan, menyalurkan, dan

mentransfer informasi penting dan

kepakaran yang merupakan bagian dari

memori organisasi yang pada umumnya

berada dalam organisasi dalam keadaan

tidak terstruktur [19].

Information society technologies

membagi komponen manajemen

pengetahuan menjadi beberapa tahapan,

yaitu [8]:

1. Pembangkitan pengetahuan

Pembangkitan pengetahuan terdiri dari

penciptaan pengetahuan baru,

pengakuisisian pengetahuan yang

berada di tempat yang lain, penciptaan

ide-ide baru, pengenalan pola-pola

baru, interaksi dan sinergi tentang

bidang-bidang yang berbeda (separate

disciplines), dan pengembangan

proses-proses baru.

2. Representasi pengetahuan

Representasi pengetahuan adalah

proses mengubah pengetahuan dalam

berbagai bentuk, sehingga

pengetahuan dapat diakses,

dikendalikan dan ditransfer secara

independen tanpa terikat keberadaan

individu pemilik pengetahuan.

3. Penyimpanan pengetahuan

Penyimpanan pengetahuan berkaitan

dengan organisational memory

berkaitan dengan data ‘hard’ seperti

angka-angka, fakta-fakta, gambar-

gambar, dan aturan-aturan maupun

informasi ‘soft’ seperti pengetahuan

tacit, kepakaran, pengalaman-

pengalaman tertentu, anecdotes,

critical incidents, stories, artefacts, dan

rincian-rincian tentang keputusan-

keputusan strategis.

4. Akses pengetahuan

Pengetahuan dan informasi organisasi

seringkali terpecah berdasarkan

lokasinya di organisasi. Integrasi

pengetahuan organisasi dimungkinkan

dengan cross-platform, kemampuan-

kemampuan standar terbuka (open

standards capabilities) berupa intranet

organisasi.

5. Transfer pengetahuan

Transfer pengetahuan memungkinkan

aliran pengetahuan diantara individu-

individu dan kelompok-kelompok dalam

sebuah organisasi.

2.4. Sistem Informasi

Sistem adalah sekelompok elemen-

elemen yang terintegrasi dengan maksud

yang sama untuk mencapai suatu tujuan

[12]. Sistem terdiri dari struktur dan

proses. Struktur sistem merupakan unsur-

unsur yang membentuk sistem,

sedangkan proses sistem menjelaskan

cara kerja setiap unsur sistem tersebut

dalam mencapai tujuan sistem [18].

52 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:47-61

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Informasi dapat didefinisikan sebagai

data yang telah diproses sedemikian rupa

sehingga meningkatkan pengetahuan

seseorang yang menggunakan data

tersebut [9]. Fungsi utama informasi

adalah menambah pengetahuan atau

mengurangi ketidakpastian pemakai

informasi.

Nilai informasi didasarkan oleh sepuluh

sifat, yaitu [18].

Informasi dapat didefinisikan:

1. Mudah diperoleh

Sifat ini menunjukkan mudahnya dan

cepatnya informasi dapat diperoleh.

2. Luas dan lengkap

Sifat ini menunjukkan lengkapnya isi

informasi, tidak hanya mengenai

volumenya namun juga mengenai

keluaran informasinya.

3. Ketelitian

Sifat in berhubungan dengan tingkat

kebebasan dari kesalahan keluaran

informasi.

4. Kecocokan

Sifat ini menunjukkan betapa baik

keluaran informasi dalam hubungannya

dengan permintaan para pemakai.

5. Ketepatan waktu

Sifat ini berhubungan dengan waktu

yang dilalui untuk masukan,

pengolahan, dan pelaporan keluaran

kepada para pemakai lebih pendek

daripada siklus untuk mendapatkan

informasi.

6. Kejelasan

Sifat ini menunjukkan tingkat keluaran

informasi yang bebas dari istilah-istilah

yang tidak jelas.

7. Keluwesan

Sifat ini berhubungan dengan dapat

disesuaikannya keluaran informasi

tidak hanya dengan lebih dari satu

keputusan.

8. Dapat dibuktikan

Sifat ini menunjukkan kemampuan

beberapa pemakai informasi untuk

menguji keluaran dan sampai pada

kesimpulan yang sama.

9. Tidak ada prasangka

Sifat ini berhubungan dengan tidak

adanya keinginan untuk mengubah

informasi guna mendapatkan

kesimpulan yang telah

dipertimbangkan sebelumnya.

10. Dapat diukur

Sifat ini menunjukkan hakekat

informasi yang dihasilkan dari sistem

informasi formal.

Sistem informasi adalah suatu proses

yang menjalankan fungsi mengumpulkan,

memproses, menyimpan, menganalisis,

dan menyebarkan informasi untuk tujuan

yang spesifik [9]. Istilah sistem informasi

sering dikaitkan dengan istilah sistem

informasi manajemen, namun kedua hal

ini sebenarnya tidak sama. Sistem

informasi manajemen merupakan salah

satu jenis sistem informasi yang secara

khusus ditujukan untuk menghasilkan

informasi bagi pihak manajemen dan

untuk mengambil keputusan [9].

2.5. Decission Support System

Istilah Decision Support System (DSS)

digunakan untuk mendeskripsikan sistem

yang dirancang untuk membantu manajer

dalam memecahkan suatu masalah semi

terstruktur. Manajer dan komputer akan

bekerja sama dalam memecahkan

masalah, komputer dapat memecahkan

masalah yang terstruktur sedangkan

manajer dapat menyelesaikan bagian

masalah yang tidak terstruktur [12].

DSS digunakan pada masalah yang

membutuhkan peran manajer, sehingga

dikatakan masalah semi terstruktur. DSS

akan membantu memberikan bahan-

bahan pertimbangan untuk manajer

dalam mengambil keputusan. Manajer

akan menganalisa hasil yang diberikan

oleh sistem dan menentukan keputusan.

Hubungan antara sistem dan manajer

dapat digambarkan pada Gambar 3.

SOLUSI

KOMPUTER

SOLUSI

MANAJERSOLUSI MANAJER ->

KOMPUTER (DSS)

SEMI-TERSTRUKTURTERSTRUKTUR TAK-TERSTRUKTUR

TINGKAT STRUKTUR

MASALAH

Gambar 4. Konsep DSS [12]

Pembuatan Knowledge Management....(I. Arief, et al.) 53

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Dalam fungsinya, DSS memiliki

empat komponen utama yang saling

terkait satu sama lainnya, antara lain

[20]:

1. Data Management, meliputi basis

data yang terdiri dari data-data yang

relevan dengan keadaan dan

dikelola oleh software yang disebut

dengan Database Management System

(DBMS).

2. Model Management yang berupa

paket software yang berisi model-

model finansial statistik manajemen

science, atau model kuantitatif yang

menyediakan kemampuan analisa

dan software manajemen yang

sesuai.

3. Knowledge Management merupakan

komponen yang dapat mendukung

komponen lain dalam DSS dan dapat

berlaku sebagai komponen yang

berdiri sendiri (independent

component).

4. Communication atau User Interface

Component yang merupakan

komponen yang digunakan user untuk

berkomunikasi dengan sistem dan

juga memberi perintah pada sistem

untuk dieksekusi.

Langkah dalam proses DSS dilakukan

tidak secara sekaligus tetapi dilaksanakan

dalam beberapa tahap. Secara umum DSS

dilakukan melalui empat tahap yaitu [20]:

Intelligence Design Choice Implementation

Gambar 5. Tahapan DSS

1. Intelligence

Adalah mengidentifikasi, mendefinisikan,

dan mempelajari masalah. Kegiatan ini

meliputi mempelajari tujuan dan

objektif organisasi, mempelajari

prosedur kerja, mengumpulkan data,

mengidentifikasi, mengelompokan, dan

mendefinisikan masalah.

2. Design

Adalah membangun model-model yang

mewakili sistem, memvalidasi sistem,

dan menetukan kriteria evaluasi

alternatif dari tindakan yang telah

teridentifikasi.

3. Choice

Adalah membuat solusi untuk model-

model yang digunakan, menguji solusi

yang didapat diatas kertas, dan

memilih alternatif dari tindakan yang

paling memungkinkan.

4. Implementation

Adalah menerapkan solusi yang sudah

diputuskan untuk dipilih dan melihat

sejauh mana solusi tersebut dapat

menyelesaikan masalah seperti yang

diharapkan.

2.6. Database

Database merupakan suatu

sekumpulan data terhubung yang

disimpan secara bersama-sama pada

suatu media, tanpa perlu kerangkapan

data dengan cara tertentu sehingga

mudah digunakan kembali, dapat

digunakan oleh satu atau lebih program

aplikasi secara optimal, data disimpan

tanpa mengalami ketergantungan pada

program yang akan menggunakannya,

data disimpan sedemikian rupa sehingga

penambahan, pengambilan, dan

modifikasi dapat dilakukan dengan mudah

dan terkontrol [18].

Definisi database tersebut

menyimpulkan bahwa database

mempunyai beberapa kriteria yang

penting, yaitu [18] :

1. Bersifat data oriented dan bukan

program oriented

2. Dapat digunakan oleh beberapa

program aplikasi tanpa perlu mengubah

database-nya.

3. Dapat berkembang dengan mudah baik

volume maupun strukturnya.

4. Dapat memenuhi kebutuhan sistem-

sistem baru secara mudah.

5. Dapat digunakan dengan cara-cara

yang berbeda.

6. Kerangkapan data minimal.

2.7. Metode System Development

Life

Salah satu metodologi yang paling

banyak digunakan adalah metode System

Development Life Cycle (SDLC). Metode

SDLC atau juga sering disebut metode air

terjun (Water Fall) merupakan metode

klasik yang digunakan dalam

54 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:47-61

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

mengembangkan, memelihara, dan

menggunakan sistem informasi dalam

beberapa tahapan atau fase. Jumlah

tahapan dari SDLC ini berbeda-beda

menurut beberapa ahli, namun pada

prinsipnya secara keseluruhan semua

proses yang dilakukan sama. Tahapan-

tahpan SDLC dapat dilihat pada Gambar 6.

Analisis Sistem

Studi Kelayakan

Analisis Kebutuhan

Desain Sistem

Perancangan konseptual

Perancangan Fisik

Implementasi Sistem

Pemrograman dan

pengujian

Konversi

Operasi dan

Pemeliharaan

Kebutuhan Sistem

Desain Sistem

Ssistem siap

beroperasi mandiri

Perubahan lingkup

/ kebutuhan

Kesalahan atau

masalah yang

tak memungkinkan

implementasi

dilaksanakan

Implementasi

kurang lengkap

/ ada permintaan baru

Gambar 6. Tahapan Tahapan dalam

SDLC [9]

2.8. IDEF0 (Integration Definition for

Function Modeling)

Menurut National Institute of Standards

and Technology, IDEF0 (Integration

Definition Language 0) merupakan dasar

dari SADT (Structured Analysis and Design

Technique yang dibangun oleh Douglas T.

Ross dan SoftTech, Inc. Model ini dibangun

untuk memahami, menganalisis,

memperbaiki atau mengganti sistem.

IDEF0 mencakup definisi bahasa

pemodelan grafis [22].

Komponen utama yang ada di dalam

IDEF0 adalah sebagai berikut [3]:

1. Kotak yang menggambarkan fungsi

utama sistem.

2. Panah yang menunjukkan masukkan

(data masukan) digambarkan dari arah

kiri dengan ujung panah menuju kotak

yang menerima masukan.

3. Panah yang menunjukkan keluaran

(produk) dan digambarkan dari arah

kanan dengan ujung panah

menunjukkan kotak lain (jika ada) atau

menunjuk ke kanan (jika tidak ada /

belum ada fungsi lain yang menerima

output tersebut).

4. Output dari suatu fungsi dapat menjadi

input pada fungsi lainnya.

5. Panah yang menunjukkan pengendali /

kontrol dari suatu fungsi, digambarkan

dari arah atas dengan anak panah

masuk ke dalam fungsi.

Gambar 7. Diagram Umum IDEF0

Tanda panah yang masuk dan keluar

kotak mengindikasikan input dan output.

Input merepresentasikan elemen yang

butuh dijalankan didalam fungsi tersebut,

sedangkan output menunjukkan hasil

yang didapatkan dari proses. Tanda panah

yang masuk dari atas kotak

mengindikasikan controls, atau sesuatu

yang membatasi proses. Sedangkan tanda

panah yang masuk dari bawah kotak

merupakan mechanism, yaitu orang atau

perangkat yang mengoperasikan fungsi

tersebut.

2.9. Unified Modelling Language

(UML)

Menurut Dennis, Unified Modelling

Language (UML) merupakan bahasa yang

sering digunakan dalam memodelkan

pengembangan suatu sistem mulai dari

analisis sampai implementasi berdasarkan

pola orientasi objek dan dengan

menggunakan teknik diagram [5]. UML

mampu memvisualisasikan suatu sistem

ke dalam bentuk notasi dan diagram yang

digunakan sebagai model dari sistem yang

dirancang.

Menurut Chonoles UML terbagi tiga,

yaitu [2]:

1. Structural Diagram merupakan diagram

yang menunjukkan blok-blok fisik

sistem dimana tidak akan dipengaruhi

oleh waktu. Contoh : Class Diagram,

Object Diagram dan Deployment

Diagram.

Pembuatan Knowledge Management....(I. Arief, et al.) 55

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

2. Behavioral Diagram merupakan

diagram yang menunjukkan respon dari

perilaku terhadap sistem. Aliran data

serta peran dari actor terhadap sistem

mulai tampak disini. Contoh : Activity

Diagram, Use Case Diagram dan State

Machine Diagram.

3. Interaction Diagram merupakan

diagram yang menampilkan interaksi

antara actor dan object. Diagram ini

digunakan untuk menggambarkan

interaksi dari semua yang ada disistem

untuk mencapai tujuan tertentu.

Contoh : Sequence Diagram,

Communication Diagram dan Timing

Diagram.

Penggunaan diagram dalam

pengembangan sistem tergantung dari

kebutuhan sistem, sehingga tidak selalu

semua diagram yang tersedia akan

dipakai. Diagram-diagram yang

digunakan untuk menyusun perencanaan,

perancangan dan akan sampai pada

pembuatan kode program [5].

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Analisis Sistem

3.1.1. Studi Kelayakan

Studi kelayakan digunakan untuk

menentukan kemungkinan keberhasilan

solusi yang diusulkan. Tahap ini

membahas inisialisasi atau identifikasi

perancangan seperti tujuan, dan

identifikasi permasalahan. Penelitian ini

dilakukan untuk mempermudah atau

membantu operator dalam memilih

parameter grinding seperti mesin,

grinding wheel, dressing tool, dan coolant

pada proses cylindrical grinding. Untuk itu

akan dirancang sebuah knowledge

management system dalam bentuk

aplikasi berbasis web. Aplikasi yang

dirancang berupa sebuah aplikasi Decision

Support System (DSS). Langkah-langkah

dalam melakukan perancangan knowledge

management system ini menggunakan

metode System Development Life Cycle

(SDLC). Output yang diberikan aplikasi

bukan merupakan keputusan mutlak,

aplikasi hanya memberikan bahan

pertimbangan yang akurat kepada

operator. Sistem hanya melibatkan dua

aktor, yaitu manajer dan operator.

Manajer berperan sebagai administrator

terhadap sistem sedangkan operator

berperan sebagai pengguna. Agar tujuan

dari penelitian ini memperoleh hasil yang

maksimal maka pada tahap ini juga

dibahas mengenai studi literatur yang

berkaitan dengan metode maupun teori-

teori yang digunakan dalam penelitian.

3.1.2. Analisis Kebutuhan

Analisis kebutuhan terbagi menjadi

analisis kebutuhan fungsional dan analisis

kebutuhan non fungsional. Analisis

kebutuhan fungsional berisi proses-proses

yang akan dilakukan oleh sistem serta

informasi-informasi apa saja yang harus

ada dan dihasilkan oleh sistem. Analisis

kebutuhan non fungsional berisi

kebutuhan operasional, teknis sistem,

platform yang digunakan dan keamanan

sistem. Informasi-informasi yang

digunakan adalah proses cylindrical

grinding. Tahap ini akan membahas

mengenai parameter-parameter pada

proses grinding. Menurut Klocke yang

menjadi parameter utama pada proses

grinding adalah [10]:

1. Mesin

Parameter mesin adalah :

a. Tipe mesin

b. Spesifikasi

2. Benda Kerja

Parameter benda kerj adalah :

a. Geometri

b. Spesifikasi

3. Grinding Wheel

Parameter grinding wheel adalah :

a. Geometri

b. Spesifikasi

4. Coolant

Parameter coolant adalah :

a. Tipe coolant

b. Jenis coolant

5. Dressing Tool

Parameter dressing tool adalah :

a. Tipe dressing tool

b. Spesifikasi

3.2. Desain Sistem

3.2.1. Penerjemahan dalam UML

UML yang akan digunakan adalah use

case diagram, sequence diagram, class

56 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:47-61

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

diagram, entity relationship diagram, dan

deployment diagram. UML akan

menjelaskan tahapan-tahapan yang akan

dilalui sistem, mulai dari administrator

sampai ke operator. Selain itu UML akan

menggambarkan hubungan antar aktor-

aktor, dan hubungan aktor dengan sistem.

3.2.2. Perancangan Database

Aplikasi yang digunakan dalam

melakukan perancangan database adalah

MySQL. Data yang akan diolah pada

database adalah user, kasus, dan data

parameter grinding seperti mesin,

material, grinding wheel, coolant, dan

dressing tool.

3.3. Implementasi Sistem

Implementasi sistem merupakan

penerapan terhadap perancangan yang

telah diakukan sebelumnya, seperti

perancangan UML dan

database.Implementasi sistem memiliki

beberapa tahapan seperti pemograman

atau perancangan aplikasi dan pengujian

aplikasi.

3.3.1. Perancangan Aplikasi

Proses perancangan aplikasi

menggunakan pemograman yang

berorientasi objek. Proses perancangan

aplikasi ini menggunakan beberapa

perangkat lunak seperti XAMPP dan PHP.

XAMPP digunakan sebagai localhost atau

server dan menjalankan MySQL,

sedangkan PHP digunakan sebagai bahasa

pemograman dalam pembuatan aplikasi.

3.3.2. Pengujian Aplikasi

Pengujian aplikasi dilakukan dengan

membandingkan hasil dari aplikasi dengan

teori-teori yang ada pada literatur.

Tahapan ini melihat kesesuaian sistem

yang dirancang dengan teori pada

literatur.

3.4. Analisis

Analisis dilakukan terhadap input dan

output dari aplikasi yang dibuat, model

perancangan, kelebihan dan kekurangan

aplikasi yang dirancang dan peran

knowledge management pada aplikasi.

3.5. Penutup

Penutup berisi mengenai kesimpulan

dan saran terhadap penelitian yang telah

dilakukan.

4. PERANCANGAN SISTEM

Perancangan sistem menggunakan

metode System Development Life Cycle

(SDLC). Sistem yang dirancang berupa

Decision Support System (DSS). Sistem

akan membantu operator baru dalam

memilih material dan mesin dalam proses

cylindrical grinding. Sistem nantinya akan

memberikan rekomendasi-rekomendasi

akurat kepada operator terhadap

parameter yang akan digunakan.

Jika melihat output yang akan

dihasilkan oleh sistem berdasarkan

perancangan, dapat dikatakan sistem ini

telah membantu memecahkan masalah.

Perusahaan tidak perlu melakukan

pelatihan-pelatihan kepada operator baru

yang membutuhkan biaya besar. Operator

dapat belajar sambil bekerja saat

menggunakan sistem ini.

Tahapan proses external cylindrical

grinding akan digambarkan pada IDEF0.

Used At:

Author:

Notes: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Date:

KMS of External

Cylindrical Grinding

06/12/2015

Rev:

READER

Mengelola

Data

Parameter1

A1

Memilih Grinding

Wheel, Mesin,

Dressing Tool, dan

Coolant2

A2

06/12/2015

Melakukan

Proses

Pemesinan3

A3

DATE

Data Mesin

WORKING

Data Benda Kerja

DRAFT

RECOMMENDED

Data Grinding Wheel

A0

PUBLICATION

Data Dressing Tool

Knowledge Management System of External Cylindrical Grinding

Data Coolant

Project:

Administrator

A-0

Operator

Jenis Pemesinan

Jenis Pemakanan

Node:

Kecepatan Putar

Grinding Wheel

Title:

Kecepatan Putar

Benda Kerja

Number:

Produk Grinding

Data Parameter

Print Out Data Grinding Wheel,

Mesin, Dressing Tool, dan Coolant

Page:

CONTEXT:

Gambar 8. Proses A1, A2, dan A3

Use case diagram menggambarkan

aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh

aktor. Berikut ini adalah use case diagram

perancangan knowledge system

management pada external cylindrical

grinding.

Pembuatan Knowledge Management....(I. Arief, et al.) 57

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Gambar 9. Use Case Diagram Perancangan

Knowledge Management

System Pada External

Cylindrical Grinding

Gambar 10. Sequence Diagram Memilih

Grinding Wheel, Mesin,

Dressing Tool, dan Coolant

Sequence Diagram emilih Grinding

Wheel, Mesin, Dressing Tool, dan Coolant

menjelaskan aktifitas operator terhadap

user interface, dan database pada saat

memilih grinding wheel, mesin, dressing

tool, dan coolant.

Perancangan Class Diagram adalah

sebuah class yang menggambarkan

struktur dan penjelasan class, paket, dan

objek serta hubungan satu sama lain

seperti containment, pewarisan, asosiasi,

dan lain lain. Gambar 11 adalah class

diagram perancangan knowledge

management system pada external

cylindrical grinding.

ERD merupakan diagram yang

menggambarkan hubungan antar data

pada database. Gambar 12 adalah ERD

perancangan knowledge system

management pada external cylindrical

grinding.

Gambar 11. Class Diagram Perancangan

Knowledge Management

System Pada External

Cylindrical Grinding

Gambar 12. ERD Perancangan Knowledge

Management System Pada

External Cylindrical Grinding

Gambar 13. Deployment Diagram

Perancangan Knowlegde

Management System Pada

External Cylindrical Grinding

Deployment diagram merupakan

diagram yang menyatakan spesifikasi

minimal perangkat yang harus dimiliki

oleh sistem. Tidak hanya perangkat keras,

namun juga perangkat lunak seperti

58 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:47-61

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Operating System. Gambar 13 adalah

deployment diagram perancangan

knowlegde management system pada

external cylindrical grinding.

Tabel database terdiri dari 7 tabel

sesuai dengan jumlah entitas pada ERD.

Berikut adalah tabel yang terdapat pada

database :

1. Tabel user

2. Tabel mesin

3. Tabel kasus

4. Tabel grinding wheel

5. Tabel coolant

6. Tabel dressing tool

7. Tabel kecocokan

Untuk perancangan user interface

awalnya dibuat dengan menggunakan

Visual Paradigm sebagai panduan

pembuatan aplikasi. Output dari sistem

dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Laporan Kasus

5. ANALISIS HASIL

Input dari knowledge management

system pada external cylindrical grinding

adalah parameter grinding. Selain sebagai

input, parameter grinding juga

merupakan output dari sistem. Hal ini

dikarenakan sistem memiliki beberapa

tahapan untuk menghasilkan output

berupa parameter grinding terpilih. Output

pada tahap awal akan menjadi input pada

tahapan selanjutnya. Tahapan dimulai

dengan memasukkan input berupa data

benda kerja dan diakhiri dengan output

coolant terpilih dan laporan kasus.

Input pertama pada sistem adalah data

benda kerja seperti panjang, diameter,

berat, dan jenis material. Input

selanjutnya adalah data proses pemesinan

seperti data kedalaman potong, kecepatan

potong, kecepatan pemotongan, dan

kecepatan gerak makan. Input jenis

material akan digunakan untuk

mendapatkan output grinding wheel

terpilih.

Grinding wheel yang awalnya

merupakan output pada proses pemilihan

grinding wheel memiliki data diameter

yang akan menjadi input untuk proses

pemilihan mesin. Data diameter beserta

data kecepatan potong akan diolah untuk

mendapatkan data kecepatan putar

grinding wheel dan kecepatan putar benda

kerja. Data kecepatan putar beserta data

panjang dan berat benda kerja akan

menjadi kriteria untuk menentukan mesin

yang akan direkomendasikan. Mesin

terpilih merupakan output pada proses

pemilihan mesin.

Proses pemilihan dressing tool tidak

menggunakan data dari mesin, namun

menggunakan data grit size dan diameter

grinding wheel. Data grit size dan

diameter grinding wheel akan menjadi

input untuk memilih dressing tool yang

akan direkomendasikan oleh sistem.

Output dari proses ini adalah dressing tool

terpilih.

Input yang digunakan pada pemilihan

coolant adalah jenis material benda kerja.

Sistem akan mencari coolant yang akan

direkomendasikan berdasarkan kecocokan

dengan jenis material benda kerja.

Coolant terpilih merupakan output pada

tahapan ini.

Setelah semua parameter terpilih,

maka sistem akan menampilkan output

berupa laporan kasus. Laporan kasus

menampilkan semua data parameter

Pembuatan Knowledge Management....(I. Arief, et al.) 59

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

terpilih dan data perhitungan proses

pemesinan seperti kecepatan putar,

kecepatan gerak meja, panjang gerak

meja, dan MRR. Output data perhitungan

digunakan untuk set up pada mesin

external cylindrical grinding.

Unified Modelling Language (UML)

digunakan pada tahap perancangan untuk

menerjemahkan kebutuhan sistem. UML

akan menggambarkan kebutuhan dan

tahapan-tahapan sistem kedalam

diagram-diagram. Diagram akan

memudahkan untuk menjelaskan sistem

yang akan dirancang dibandingkan

dengan penjelasan deskriptif. Hal ini

dikarenakan diagram menjelaskan sistem

secara visual dalam bentuk gambar atau

skema.

Kelebihan pada sistem menunjukkan

seberapa baik sistem tersebut. Pertama

dari segi user interface, hal pertama yang

dilihat oleh pengguna saat pertama kali

menggunakan sebuah aplikasi adalah

tampilan. Sistem menggunakan user

interface yang simpel namun memberikan

kesan elegan. Tanda petunjuk seperti

tombol-tombol menu maupun submit

dapat ditemukan dengan mudah.

Kelebihan kedua adalah proses pemilihan

parameter yang bertahap dan sistematis.

Dimulai dari pemilihan grinding wheel,

pemilihan mesin, kemudian dilakukan

pemilihan dressing tool, dan tahap

terakhir adalah pemilihan coolant. Ketiga

dari segi sistem penyimpanan data.

Semua data akan tersimpan di database

sehingga pengguna dapat melihat data

yang telah di-input-kan sebelumnya.

Keempat adalah sistem menggunakan

kalkulasi matematis untuk memilih

parameter yang akan direkomendasikan.

Sistem menggunakan rumus dalam

menentukan kecepatan putar grinding

wheel dan kecepatan putar benda kerja.

Hasil perhitungan kecepatan putar ini

digunakan sebagai pertimbangan untuk

menentukan mesin yang

direkomendasikan. Contohnya adalah jika

pengguna ingin mengurangi diameter

benda kerja sebesar 0,002 mm dengan

jenis pemakanan melintang, kecepatan

potong grinding wheel sebesar 5 m/s, dan

kecepatan potong benda kerja sebesar 2

m/s, maka diperoleh kecepatan gerak

meja sebesar 15,28 m/min, panjang gerak

meja sebesar 170 mm, kecepatan putar

grinding wheel sebesar 477,71 rpm,

kecepatan putar benda kerja sebesar

764,33 rpm, dan MRR sebesar 80 mm3/s.

Selain itu sistem secara otomatis akan

menampilkan data yang dibutuhkan dalam

pengaturan mesin sebelum memulai

proses grinding seperti data kecepatan

putar, kecepatan gerak meja, dan panjang

gerak meja. Kelima adalah sistem

menyediakan tutorial cara melakukan set

up mesin bagi pengguna. Tersedianya fitur

ini akan menambah pembelajaran bagi

pengguna khususnya operator. Tacit knowledge utama yang

dikumpulkan adalah perhitungan

matematis proses pemesinan. Hasil

penelitian berupa kecepatan putar

optimum ataupun MRR dari penelitian

terdahulu tidak dapat dijadikan acuan

dalam menentukan parameter. Hal ini

dikarenakan proses external cylindrical

grinding memiliki banyak variabel seperti

kecepatan potong, kedalaman potong,

gerak makan, kecepatan pemotongan,

kecepatan gerak meja, dan panjang gerak

meja. Penelitian terdahulu hanya

dilakukan untuk beberapa nilai variabel

tertentu seperti pada kedalaman potong

0,002 mm, sedangkan kebutuhan dari

pengguna berbeda-beda. Sehingga jika

pengguna ingin mengganti variabel

kedalaman potong menjadi 0,003 mm

akan mengubah variabel lainnya untuk

menghasilkan output yang sama.

Oleh karena itu pemilihan parameter

didasarkan oleh perhitungan matematis

agar lebih fleksibel. Pengguna dapat

mengubah nilai variabel sesuai dengan

kebutuhannya. Sistem akan memberikan

hasil yang akurat sesuai dengan rumus

pada teori.

6. PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh

berdasarkan penelitian mengenai

knowledge management system pada

external cylindrical grinding adalah :

1. Aplikasi knowledge management

system pada external cylindrical

grinding dapat digunakan untuk

60 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:47-61

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

membantu operator dalam memilih

parameter grinding yang akan

digunakan karena hasil rekomendasi

yang akurat dari sistem.

2. Aplikasi knowledge management

system pada external cylindrical

grinding dapat digunakan sebagai

media knowldge sharing. Explicit

knowledge yang berasal dari tacit

knowledge dikumpulkan dalam sebuah

database sehingga informasi dapat

tersimpan dalam jangka waktu yang

lama dan akses informasi yang mudah.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Alabed, Asmaa. 2011. Knowledge

Management For Gringing

Technology. Thesis for degree of

Doctor. Huddersfield University.

London

[2] Chonoles, Michael Jesse. dan

Schardt, James A. 2003. UML 2 for

Dummies. New York: Wiley

Publishing, Inc.

[3] Christianti, Meliana dan Ferry Yulius

Eka Saputra. 2013. Pemodelan

Proses Bisnis Menggunakan IDEF0

dengan Studi Kasus Bank X. Jurnal

Sistem Informasi, Vol. 8 No. 1, Maret

2013: 55 - 74

[4] Darudiato, Suparto dan Kevin

Setiawan. 2013. Knowledge

Management: Konsep dan

Metodologi. Universitas Bina

Nusantara. Jakarta.

[5] Dennis, Alan. 2005. System Analysis

and Design With UML Version 2.0 :

An Object Oriented Approach.

Second Edition. Inggris: John Wiley

& Sons Ltd.

[6] Hildreth, P. M. and Kimble C. (2002).

The duality of knowledge.

Information Research 8(1).

[7] Horton, N. J. and Kleinman, K. P.

(2007). Much Ado About Nothing: A

Comparison of Missing Data Methods

and Software to Fit Incomplete Data

Regression Models. The American

Statistician 61(1): 79-92.

[8] Information society technologies.

2002, Roadmap to Communicating

Knowledge Essential for theIndustrial

Environment (ROCKET)

[9] Kadir, Abdul. 2003. Pengenalan

Sistem Informasi, Yogyakarta :

Penerbit Andi.

[10] Klocke, Fritz. 2009. Manufacturing

Processes 2 , Grinding, Honing,

Lapping. Berlin: Springer-Verlag

Berlin Heidelberg.

[11] Marinescu, Loan D. 2007. Handbook

of Machining with Grinding Wheel.

United States of America: Taylor &

Francis Group.

[12] Mc.Leod, Raymond Jr dan George

P.Schell. 2008, Sistem Informasi

Manajemen Edisi 10, Jakarta :

Penerbit Salemba Empat.

[13] Arief, Ikhwan dan Nalda, Alfajri

2015. Indikator Proses Utama pada

Proses Grinding dengan Pendekatan

Manajemen Pengetahuan. Jurnal

Optimasi Sistem Industri, Vol. 13,

No. 2, 2014, Padang

[14] Oracle Corporation. 2011.

Management in Customer Service:

Five Key Benefit of Knowledge. USA.

[15] Rochim, Taufiq. 1993. Proses

Pemesianan. Jakarta: Erlangga

[16] Sáenz, J, N Aramburu N. and O.

Rivera. (2009). Knowledge sharing

and innovation performance: A

comparison between high-tech and

low-tech companies. Journal of

Intellectual Capital 10(1): 22-36.

[17] Sánchez, M. S. and Palacios, M. A.

2008. Knowledge-based

manufacturing enterprises: evidence

from a case study. Journal of

Manufacturing Technology

Management 19(4): 447-468.

[18] Sutabri, Tata. 2005. Sistem

Informasi Manajemen. Yogyakarta :

Penerbit Andi.

[19] Turban, Efraim. 2006. Information

Technology for Management, 5th Ed,

Asia : John Wiley and Son.

[20] Turban, Efraim, Jay E Aronson dan

Ting Peng Liang, 2005. Decision

Support Systems and Intelligent

Systems. 7th Edition. New Jersey:

Prentice- Hall.

[21] Widarto, dkk. 2008. Teknik

Pemesinan. Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional

[22] Zoraya, A.A dan Iwan Vanany. 2012.

Perbaikan Proses Bisnis Pelayanan

Penanganan Gangguan Melalui

Pembuatan Knowledge Management....(I. Arief, et al.) 61

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Pendekatan IDEF0-FMEA dan Root

Cause Analysis (Studi Kasus: PT X).

Jurnal TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1,

(2012) 1-5.

[23] http://www.kemenperin.go.id/statis

tik/kelompok.php/ Diakses pada

Rabu, 5 Agustus 2015 jam 14.30

WIB

[24] http://www.yellowpages.com.au/sa

/angle-park/k-g-f-precision-

grinding-15530586-listing.html/

Diakses pada Rabu, 5 Agustus 2015

jam 16.30 WIB

62 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:62-77

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

PENJADWALAN CEMENT MILL BERBASIS MINIMASI FAKTOR KLINKER DALAM PROSES PEMBILASAN DAN IMPOR KLINKER

Nilda Tri Putri, Indah Kurnia Ramadhani

Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Andalas, Padang

Email: [email protected] (korespondensi)

Abstract

PT Semen Padang is one of the cement companies in indonesia. Cement production influenced by

the number of demand, raw materials and the number of available machine. The number of demand

increases with a corporate capacity which keep the company had to set an optimal production schedule. Scheduling production should be followed by the availability of raw materials (clinker). The number of clinker required influenced by the number of demands and clinker elapsed to the flushing process. Flushing process happen if the transition products produced from Non OPC to a product OPC, for one flushing process causes clinker consumption 7% more that the existing capacity decreases. Deficient in capacity covered by importing clinker which causes high cost production. So,

it necessary to make cement mill schedule by minimize flushing process, so clinker that will be used become optimized.

Steps that will be done in this study began with the survey system, identify problems, and data collection. Data collected are machine cement mill and kiln capacity, demands, and flushing process. Then designed a formulation model that is minimize clinker factor and the number of clinker imports needed, so that obtained scheduling machine cement mill to produce OPC and Non OPC.

Results obtained by reducing the number of flushing process because the cement mill designed to producing one type of product per day, so the flushing process could happen if there is transition cement production Non OPC on the day-i to cement OPC on the day i+1. Cement OPC produced by indarung II, III, and V. Indarung IV only produced cement Non OPC, so the flushing process happened in Indarung II, III, and V.

Key Words : Capacity, Cement mill, Clinker, Flushing, Import, Production, Scheduling

Abstrak

PT Semen Padang adalah salah satu perusahaan semen di Indonesia. Produksi semen dipengaruhi oleh jumlah permintaan, bahan baku dan jumlah mesin yang tersedia. Jumlah permintaan meningkat sehingga perusahaan harus menjaga kapasitas produksi dengan mengatur jadwal produksi perusahaan lebih optimal. Penjadwalan produksi harus diikuti dengan ketersediaan bahan baku (klinker). Jumlah klinker dibutuhkan dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan klinker berlalu untuk proses pembilasan. Proses pembilasan terjadi jika produk transisi yang dihasilkan dari Non OPC ke

OPC produk, untuk satu flushing proses menyebabkan konsumsi klinker 7% lebih sehingga kapasitas yang ada berkurang. Kekurangan kapasitas ditutupi dengan mengimpor klinker yang menyebabkan biaya produksi tinggi. Jadi, perlu untuk membuat jadwal penggilingan semen dengan meminimalkan proses pembilasan, sehingga klinker yang akan digunakan menjadi optimal.

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini dimulai dengan sistem survei,

mengidentifikasi masalah, dan pengumpulan data. Data yang dikumpulkan adalah mesin pabrik

semen dan kapasitas kiln, tuntutan, dan proses pembilasan. Kemudian dirancang model formulasi yang meminimalkan faktor klinker dan jumlah impor klinker diperlukan, sehingga diperoleh penjadwalan mesin pabrik semen untuk menghasilkan OPC dan Non OPC.

Hasil yang diperoleh dengan mengurangi jumlah proses pembilasan karena pabrik semen yang dirancang untuk memproduksi satu jenis produk per hari, sehingga proses pembilasan bisa terjadi jika ada produksi transisi semen Non OPC pada hari-i semen OPC pada hari i + 1. OPC semen yang diproduksi oleh Indarung II, III, dan V. Indarung IV hanya diproduksi semen Non OPC, sehingga

proses pembilasan terjadi di Indarung II, III, dan V.

Kata kunci: Kapasitas, Penggilingan semen, klinker, Flushing, Impor, Produksi, Penjadwalan

Penjadwalan Cement Mill....(N. T. Putri, et al.) 63

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

1. PENDAHULUAN

Perindustrian di Indonesia mengalami

peningkatan seiring dengan

berkembangnya teknologi dan

meningkatnya kebutuhan pembangunan

dalam bidang industri. Salah satunya

adalah industri semen. Semen adalah

barang jadi berupa serbuk yang

merupakan hasil pengolahan klinker

semen dengan penambahan gypsum,

pozzoland, dan lime stone yang digunakan

untuk membuat beton, merekatkan batu,

bata, batako, dan bahan bangunan lainnya

[5]. Kebutuhan akan semen menyebabkan

tingkat konsumsi semen di Indonesia

mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun. Peningkatan konsumsi semen

domestik dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik Perkembangan

Konsumsi Semen Domestik

(Asosiasi Semen Indonesia,

data diolah, 2013)

Peningkatan konsumsi semen domestik

menyebabkan peningkatan kinerja

industri semen. Dengan demikian, dapat

memberikan nilai tambah per kapita

terhadap konsumsi semen sehingga

menyebabkan tingginya persaingan dalam

bisnis semen nasional [2]. Tingkat

konsumsi semen dipengaruhi oleh

perkembangan sektor properti, seperti

pembangunan gedung, perumahan, dan

peningkatan infrastruktur yang

direncanakan oleh pemerintah seperti

pembuatan jembatan dan kontruksi umum

lainnya [10]. Peningkatan infrastruktur

memberikan dampak yang besar bagi

peningkatan perekonomian dan

pembangunan nasional, sehingga

meningkatkan jumlah permintaan semen

yang mempengaruhi tingkat produksi

perusahaan semen dalam memenuhi

permintaan pasar.

PT Semen Padang merupakan salah

satu perusahaan semen yang ada di

Indonesia. Kegiatan produksi PT Semen

Padang mencakup penambangan batu

kapur, produksi rawmix, produksi klinker,

produksi semen, pengantongan dan

pendistribusian semen. Semen yang

diproduksi yaitu Semen OPC (Ordinary

Portland Cement) dan Semen Non OPC

(Non Ordinary Portland Cement).

Komposisi semen secara umum terdiri dari

klinker, gypsum, pozzoland, dan lime

stone. Komposisi semen PT Semen Padang

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Semen PT Semen

Padang

Komposisi OPC Non OPC

Klinker 85% 78%

Gypsum 3% 3%

Pozzoland 6% 12%

Lime Stone 6% 7%

Sumber : PT Semen Padang, 2014

Wilayah pemasaran PT Semen Padang

di dalam negeri meliputi Pulau Sumatera

dan Jawa, sedangkan di luar negeri

meliputi Srilanka, Singapura, dan

Mauritius [6]. PT Semen Padang

memproduksi Semen OPC untuk

memenuhi permintaan pasar yang akan

digunakan untuk proyek pemerintah,

seperti pembangunan jalan dan jembatan.

Semen OPC terdiri dari Semen Portland

Tipe I, II, III, V.

Semen Non OPC diproduksi untuk

memenuhi permintaan masyarakat seperti

pembangunan rumah. Semen Non OPC

terdiri dari Semen Portland Campur,

Semen Portland Komposit (PCC), Semen

Portland Pozzolan (PPC). Produksi semen

dipengaruhi oleh jumlah permintaan,

bahan baku dan jumlah mesin yang

tersedia. Data historis permintaan semen

OPC dan non OPC dapat dilihat pada

Gambar 2.

Kapasitas bahan baku dan mesin yang

tersedia harus diseimbangkan dengan

kapasitas yang dibutuhkan untuk

memenuhi permintaan pasar. Kapasitas

kiln untuk memproduksi klinker dapat

64 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:62-77

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

dilihat pada Tabel 2, klinker dan bahan

baku lainnya kemudian diolah pada mesin

cement mill. Kapasitas cement mill dapat

dilihat pada Tabel 3.

Gambar 2. Data Historis Permintaan

Semen OPC dan Non OPC

(Bagian Produksi PT Semen

Padang, 2014)

Tabel 2. Kapasitas Kiln untuk

Memproduksi Klinker

Sumber Kapasitas Harian (ton)

Indarung II 2.000

Indarung III 2.000

Indarung IV 5.000

Indarung V 8.100

Sumber : Bagian Produksi PT Semen Padang, 2014

Tabel 3. Kapasitas Cement Mill

Sumber Kapasitas Harian (ton)

Indarung II 2.400

Indarung III 2.700

Indarung IV-1 3.100

Indarung IV-2 3.000

Indarung V-1 4.600

Indarung V-2 4.600

Sumber : Bagian Produksi PT Semen Padang, 2014

Berdasarkan Gambar 2, Tabel 2 dan

Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah

permintaan semen Non OPC yang

meningkat dengan kapasitas perusahaan

yang tetap membuat perusahaan harus

mengatur jadwal produksi secara optimal.

Penambahan kapasitas dapat dilakukan

dengan mengimpor klinker yang

berdampak kepada kenaikan biaya

klinker. Tabel 1 menjelaskan komposisi

klinker yang dipakai untuk memproduksi

Semen OPC lebih banyak 7%

dibandingkan dengan Semen Non OPC,

yaitu 85% untuk semen OPC dan 78%

untuk semen non OPC. PT Semen Padang

memaksimalkan produksi Semen Non OPC

karena mempunyai komposisi klinker yang

lebih rendah dan jumlah permintaan

semen Non OPC yang lebih tinggi, dengan

perbandingan target produksi 25% untuk

Semen OPC dan 75% untuk Semen Non

OPC. Kebutuhan klinker yang harus

dipenuhi oleh PT Semen Padang untuk

memenuhi permintaan pasar pada Tahun

2009 - 2013 dapat dilihat pada Gambar 3.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak

Fajar Aristyanto selaku Kepala Biro PTP PT

Semen Padang 2014, penjadwalan tetap

mesin cement mill untuk mengolah bahan

baku menjadi Semen OPC dan Non OPC

belum ada. Berdasarkan proses produksi

aktual saat ini, produksi dilakukan dengan

melihat mesin cement mill yang idle,

sehingga terjadinya kemungkinan untuk

melakukan setup yang berulang. Proses

peralihan mesin untuk memproduksi Non

OPC ke OPC membutuhkan proses

pembilasan dengan klinker 100% untuk

menaikan persentase klinker dari 78%

menjadi 85% di mesin cement mill, produk

peralihan dengan klinker 85% yang

seharusnya merupakan kandungan semen

OPC dihitung sebagai Non OPC. Sehingga

untuk satu kali proses pembilasan mesin

untuk produk Non OPC ke OPC mengalami

kerugian klinker sebanyak 7%.

Gambar 3. Kebutuhan Klinker yang

Harus Dipenuhi Oleh PT

Semen Padang untuk

Memenuhi Permintaan Pasar

pada Tahun 2009 - 2013

(Bagian Produksi PT Semen

Padang, 2014)

Penjadwalan Cement Mill....(N. T. Putri, et al.) 65

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Jumlah pembilasan mesin cement mill

berpengaruh terhadap kapasitas klinker,

jika jumlah pembilasan semakin banyak

maka kapasitas klinker yang dibutuhkan

akan semakin meningkat. Sedangkan

klinker Indarung II, III, IV, dan V

mempunyai kapasitas yang tetap,

sehingga saat klinker tidak cukup untuk

memproduksi semen maka akan dilakukan

impor klinker. Impor klinker akan

menyebabkan bertambahnya biaya klinker

yang dikeluarkan yaitu sebanyak $5/ton

klinker. Oleh karena itu perlu ditetapkan

penjadwalan mesin cement mill untuk

memproduksi semen OPC dan Non OPC

dengan pertimbangan meminimasi jumlah

proses pembilasan agar faktor klinker

yang dibutuhkan untuk proses pembilasan

dan jumlah klinker yang diimpor dapat

diminimasi.

Penelitian ini bertujuan untuk

menentukan penjadwalan mesin cement

mill dalam memproduksi semen OPC dan

Non OPC dengan meminimasi proses

pembilasan, serta menentukan jumlah

klinker yang harus diimpor. Ruang lingkup

dalam penelitian ini meliputi penjadwalan

cement mill yang dilakukan dengan

asumsi mesin cement mill dan mesin kiln

beroperasi secara normal dengan

kapasitas tetap setiap harinya, tanpa

mempertimbangkan waktu kerusakan dan

maintenance mesin. Kajian sistem

meliputi proses di mesin kiln, klinker yang

dihasilkan, dan proses di mesin cement

mill tanpa memperhitungkan kapasitas

silo semen.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Program Linier

Program linier didefinisikan sebagai

sebuah metode matematik yang

digunakan untuk mencapai solusi

optimum dari sebuah fungsi tujuan linier

melalui pengalokasian sumber daya yang

terbatas yang dibatasi oleh fungsi kendala

linier diantara tipe penggunaan yang

bersaing. Beberapa istilah dalam program

linier, yaitu [3] :

1. Fungsi tujuan, yaitu rumusan fungsi

yang menjadi sasaran untuk mencapai

pemecahan optimum (maksimasi atau

minimasi).

2. Fungsi kendala, yaitu rumusan dari

sediaan sumber daya yang menjadi

pembatas dalam proses optimisasi.

3. Variabel keputusan, yaitu peubah yang

akan dicari nilainya melalui proses

optimisasi, maksimasi, atau minimasi.

4. Pemecahan optimum, terdiri dari

program maksimasi (berupa kontribusi,

keluaran, dan penjualan) dan minimasi

(berupa biaya).

2.2. Penjadwalan

Penjadwalan merupakan kegiatan

pengalokasian sumber daya untuk

mencapai suatu tujuan, baik itu pemilihan

sumber daya, pengorganisasian,

penentuan waktu kerja, untuk

melaksanakan aktivitas yang diperlukan

untuk mencapai keluaran yang diinginkan,

memenuhi waktu dan kendala yang ada

[4].

2.3. Pemodelan Sistem

[1] mendefinisikan pemodelan sistem

sebagai proses dari melakukan konseptual

sistem. Pada pemodelan sistem akan

diaplikasikan konsep serta pemikiran

sistem pada real life problematic situation.

Hal ini harus relevan untuk dilakukan

analisis dari masalah tersebut.

Langkah – langkah dalam pemodelan

sistem adalah :

1. Ringkasan Situasi

2. Deskripsi Sistem Relevan

3. Model Sistem

4. Influence Diagram

5. Pemodelan Matematis

6. Verifikasi dan Validasi Model

3. METODOLOGI PENELITIAN

Tahapan yang dilakukan pada

penelitian adalah :

3.1. Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan merupakan langkah

awal dalam melakukan penelitian. Studi

pendahuluan pada penelitian ini terdiri

dari survei sistem ke PT Semen Padang

dan studi literatur. Berikut hasil survei

sistem dan studi literatur yang dilakukan.

66 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:62-77

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

3.1.1. Survei Sistem

Survei sistem dilakukan dengan cara

wawancara dengan Bapak Titut Eryanto,

selaku Kepala Bidang Klinker Produksi

Indarung V PT Semen Padang, (2015),

dan Ibu Ratnawati, selaku Kepala Bidang

Pengendalian dan Pelaporan Produksi PT

Semen Padang, (2015), mengenai kondisi

produksi semen OPC dan non OPC,

kapasitas, target produksi, serta data

historis penjualan semen OPC dan non

OPC PT Semen Padang.

3.1.2. Studi Literatur

Tahapan selanjutnya adalah melakukan

studi literatur, yaitu mencari,

mengumpulkan, dan memahami jurnal

atau buku yang berhubungan dengan

kajian pada penelitian ini. Materi yang

berhubungan diantaranya adalah

penjadwalan produksi dan pemodelan

sistem. Studi literatur membantu dalam

pemecahan masalah yang terdapat pada

penelitian ini.

3.2. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dilakukan untuk

mengetahui permasalahan yang terjadi di

PT Semen Padang. Berdasarkan hasil

wawancara yang telah dilakukan, terdapat

permasalahan yaitu kapasitas klinker

(bahan baku semen) yang terbatas

sehingga PT Semen Padang harus

mengalokasikan pemakaian klinker secara

optimal untuk memproduksi dua jenis

semen, yaitu Semen OPC dan Semen Non

OPC. Penjadwalan tetap mesin cement mill

untuk mengolah bahan baku menjadi

Semen OPC dan Non OPC belum ada.

Berdasarkan proses produksi aktual saat

ini, produksi dilakukan dengan melihat

mesin cement mill yang idle, sehingga ada

kemungkinan untuk melakukan setup

yang berulang. Untuk satu kali proses

pembilasan mesin untuk produk Non OPC

ke OPC, PT Semen Padang mengalami

kerugian klinker sebanyak 7%. Jumlah

pembilasan yang meningkat dengan

kapasitas klinker yang tetap

menyebabkan jumlah klinker yang harus

diimpor dan biaya klinker yang

dikeluarkan oleh PT Semen Padang akan

semakin besar. Berdasarkan

permasalahan tersebut, perlu dilakukan

penjadwalan mesin cement mill untuk

memproduksi semen OPC dan Non OPC

dengan meminimasi jumlah pembilasan

agar faktor klinker yang terpakai untuk

melakukan proses pembilasan dan jumlah

impor klinker dapat diminimasi.

3.3. Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada penelitian ini

adalah bagaimana melakukan

penjadwalan cement mill untuk

memproduksi semen OPC dan semen Non

OPC dengan meminimasi jumlah

pembilasan sehingga faktor klinker yang

terpakai untuk proses pembilasan dan

jumlah impor klinker dapat diminimasi.

3.4. Formulasi Model Penjadwalan

Produksi

Formulasi model untuk meminimasi

jumlah pembilasan mesin cement mill

terdiri dari beberapa tahap, yaitu :

1. Menentukan karakteristik sistem

Menentukan karakteristik sistem yaitu

penggambaran sistem produksi aktual

PT Semen Padang saat ini, sistem

aktual digunakan untuk

menggambarkan keadaan perusahaan

yang nantinya akan diambil keputusan

terhadap permasalahan yang terjadi di

perusahaan.

2. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian

ini adalah sebagai berikut.

a. Data historis permintaan terhadap

Semen OPC dan Semen Non OPC PT

Semen Padang.

b. Data produksi aktual semen OPC dan

Non OPC PT Semen Padang.

c. Data kapasitas kiln untuk

mengasilkan klinker dan data

kapasitas mesin cement mill

Indarung II, III, IV, dan V.

d. Data waktu dan proses setup semen

OPC ke Non OPC dan sebaliknya.

Data ini diperoleh dari bagian produksi

dan pemasaran PT Semen Padang.

3. Formulasi Model untuk Meminimasi

Faktor Klinker untuk Melakukan Proses

Pembilasan dan Jumlah Impor Klinker.

Penjadwalan Cement Mill....(N. T. Putri, et al.) 67

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Penyusunan model mencakup

penetapan fungsi tujuan, penentuan

parameter dan variabel keputusan serta

batasan yang terdapat untuk meminimasi

jumlah klinker yang dipakai dalam proses

pembilasan dan jumlah klinker impor.

Berdasarkan model yang dirancang

didapatkan minimasi proses pembilasan,

penjadwalan cement mill untuk

melakukan proses produksi semen OPC

dan Non OPC, dan jumlah klinker impor.

3.5. Penutup

Penutup terdiri dari kesimpulan dari

hasil penelitian yang telah dilakukan dan

saran untuk penelitian yang akan

dilakukan selanjutnya.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Sistem

Penelitian ini menguraikan

permasalahan yang terjadi pada bagian

produksi PT Semen Padang yang

berhubungan dengan proses pembilasan

mesin cement mill, kapasitas klinker, dan

penjadwalan produksi semen untuk mesin

cement mill.

Kiln Indarung II

Kiln Indarung IV

Kiln Indarung III

Cement Mill Indarung II

Cement Mill Indarung III

Cement Mill Indarung IV-1

Cement Mill Indarung IV-2

Kiln Indarung V

Cement Mill Indarung V-1

Cement Mill Indarung V-2

Silo Semen

(Semen OPC dan Non OPC dipisah)

Silo Semen

(Semen OPC dan Non OPC dipisah)

Silo Semen Teluk Bayur

Distribusi Via Darat

Distribusi Via Laut

Silo Klinker

Silo Klinker

Silo Klinker

Gambar 4. Aliran Proses Produksi Semen

dari Mesin Kiln, Mesin Cement

mill, Silo Semen, Hingga

Pendistribusian Semen PT

Semen Padang

Klinker diproduksi oleh mesin kiln

kemudian digiling pada mesin cement mill

dengan menambahkan gypsum,

pozzoland, dan lime stone untuk

menghasilkan semen. Jumlah klinker yang

diproduksi dipengaruhi oleh kapasitas

mesin kiln dan ketersediaan silo untuk

menampung klinker yang sudah jadi.

PT Semen Padang melakukan

perencanaan produksi setiap tahunnya

dengan mengambil kebijakan untuk tetap

mengoperasikan mesin cement mill

walaupun jumlah klinker yang diproduksi

tidak mencukupi kebutuhan. Kekurangan

klinker ini diatasi dengan melakukan

impor agar demand yang ada dapat

terpenuhi.

Aliran proses produksi semen dari

mesin kiln, mesin cement mill, silo semen,

hingga pendistribusian semen PT Semen

Padang dapat dilihat pada Gambar 4.

4.2. Penjadwalan Cement mill Aktual

PT Semen Padang saat ini mempunyai

enam buah mesin cement mill, yaitu

Indarung II, III (Z2, Z3), Indarung IV

(Z4.1, Z4.2), dan Indarung V (Z5.1,

Z5.2). Kapasitas produksi harian mesin

cement mill

Penjadwalan cement mill aktual untuk

menggiling semen OPC, PPC, dan PCC saat

ini terbagi atas :

Z2, Z3 : 25% menggiling OPC dan 75%

menggiling PPC

Z4.1, Z4.2, Z5.1, Z5.2 : 25% menggiling

OPC dan 75% menggiling PCC

Peralihan (setup) mesin cement mill

dalam menggiling semen OPC menjadi

Non OPC dan sebaliknya, dari semen Non

OPC menjadi semen OPC adalah sebagai

berikut :

1. OPC menjadi Non OPC, penurunan

faktor klinker dari 85% menjadi 78%

dan tidak memerlukan proses

pembilasan (lebih kurang lima menit).

2. Non OPC menjadi OPC, peningkatan

faktor klinker dari 78% menjadi 85%

dengan dilakukannya proses

pembilasan, yaitu mengatur mesin

cement mill sesuai komposisi OPC,

dengan menambahkan faktor klinker

murni 100%. Setiap satu kali proses

pembilasan mengalami kerugian klinker

sebanyak 7% karena semen Non OPC

yang diproduksi mengandung faktor

klinker sebanyak 85%. Proses

68 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:62-77

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

pembilasan memerlukan waktu lebih

kurang dua jam.

Penjadwalan cement mill aktual saat ini

tergantung kepada mesin cement mill

yang menganggur yang menyebabkan

tidak teraturnya peralihan (setup) semen

yang akan digiling oleh cement mill. Hal ini

berdampak kepada kerugian klinker pada

saat proses pembilasan mesin cement mill

untuk menggiling Non OPC menjadi OPC.

Semakin tinggi frekuensi pembilasan yang

terjadi, maka akan semakin besar jumlah

klinker yang dibutuhkan untuk memenuhi

target produksi sehingga terjadi kenaikan

faktor klinker pada produksi. Sementara

itu klinker mempunyai kapasitas yang

terbatas dan harus dilakukan impor untuk

memenuhi target produksi.

4.3. Influence Diagram

Berdasarkan karakteristik sistem

diatas, dapat dilihat keterkaitan antar

elemen dalam sistem produksi PT Semen

Padang. Keterkaitan tersebut

digambarkan dalam influence diagram

yang menampilkan hubungan antara

output, input, dan komponen dalam

sistem produksi PT Semen Padang.

Total klinker impor dan yang

dibutukan untuk pembilasan

Total klinker

yang dibutuhkan

untuk

pembilasan

Klinker yang

diimpor

Jumlah

pembilasan

Penjadwalan

Produksi di

Mesin Cement

Mill

Permintaan

Kapasitas

Cement Mill

Klinker

Kapasitas

Kiln

Persediaan

Klinker

Faktor klinker

yang dibutuhkan

per sekali proses

pembilasan

Gambar 5. Influence Diagram untuk

Menentukan Kebutuhan

Klinker dan Penjadwalan

Mesin Cement Mill PT

Semen Padang

Influence diagram untuk menentukan

kebutuhan klinker dan penjadwalan mesin

cement mill PT Semen Padang dapat

dilihat pada Gambar 5.

4.4. Formulasi Model

Formulasi model dibuat untuk

menggambarkan karakteristik sistem

dalam menentukan jadwal mesin cement

mill untuk memproduksi semen dan

meminimasi proses pembilasan mesin

cement mill yang mengacu kepada

pengembangan model program linier.

Tujuan utama penentuan jadwal produksi

mesin cement mill adalah untuk

mengurangi jumlah proses pembilasan

mesin cement mill dalam memproduksi

semen OPC dan semen Non OPC. Jumlah

pembilasan akan berpengaruh kepada

pemakaian faktor klinker dan jumlah

impor klinker. Satu kali proses pembilasan

terhitung sebagai kerugian pemakaian

klinker sebanyak 7% dari kapasitas klinker

yang tersedia. Berdasarkan hal ini dapat

ditentukan penjadwalan mesin cement

mill untuk memproduksi OPC dan Non

OPC, dengan beberapa asumsi yang

digunakan yaitu:

1. Penjadwalan cement mill untuk

memproduksi OPC dan Non OPC

dilakukan setiap hari selama satu tahun

(365 hari)

2. Setiap mesin cement mill memproduksi

satu produk (OPC atau Non OPC) dalam

satu hari.

3. Mesin kiln dan cement mill selalu dalam

keadaan normal, tidak terjadi

gangguan atau kerusakan.

Setelah ditentukan beberapa asumsi

yang digunakan dalam pemodelan, maka

dirumuskan parameter, variabel

keputusan, fungsi tujuan, dan kendala

(batasan yang digunakan dalam model)

yang dijelaskan sebagai berikut.

i = indeks untuk menyatakan hari

j = indeks untuk menyatakan produk (j1

dan j2)

k = indeks untuk menyatakan mesin

cement mill

l = indeks untuk menyatakan kiln

m = indeks untuk menyatakan klinker

n = indeks untuk menyatakan silo

klinker

Penjadwalan Cement Mill....(N. T. Putri, et al.) 69

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Parameter :

1. pembilasan (j2, j1)

Klinker yang terpakai untuk pembilasan

dari produk j2 ke produk j1 (ton per

hari).

2. demand (i, j)

Jumlah permintaan produk j pada hari

ke-i (ton per hari)

3. kapasitasc (i,k)

Kapasitas produksi mesin cement mill k

pada hari ke-i (ton per hari)

4. kapasitasl (i,l)

Kapasitas produksi mesin kiln l pada

hari ke-i (ton per hari)

5. kapasitasn (n)

Kapasitas silo klinker (ton)

6. P (m)

Banyak klinker yang diimpor (ton)

7. Q (i,m)

Banyak klinker yang diproduksi pada

hari ke-i (ton per hari)

8. inv (i,m)

Persediaan klinker pada hari ke- i (ton)

9. S (i,k,m)

Jumlah klinker yang masuk ke mesin

cement mill k pada hari ke-i (ton per

hari)

10. I : Banyaknya hari kerja (365 hari)

11. J : Jenis produk (j1 dan j2)

12. K : Banyaknya mesin cement mill

yang tersedia (6 mesin)

13. L : Banyaknya mesin kiln (4 mesin)

14. N : Banyaknya silo klinker (4 silo)

15. Z : Banyak klinker yang dibutuhkan

16. bin (i,j2,j1,k)

1 ; Jika produk j2 diproduksi sebelum

produk j1 pada hari ke-i mesin ke-k

(ada pembilasan)

0 ; selainnya

17. Y (i,j,k)

1 ; Jika produk j diproduksi pada hari

ke-i mesin ke-k

0 ; selainnya

Variabel Keputusan :

X (i,j,k) = Jumlah produk j yang

diproduksi mesin k pada hari

ke-i (ton per hari)

Fungsi Tujuan :

Minimasi Z = (1)

Kendala Tingkat Produksi (Klinker) :

1. Jumlah klinker m yang diproduksi pada

hari ke-i tidak boleh melebihi kapasitas

mesin kiln per harinya.

Q (i,m) ≤ kapasitasl (i,l) (2)

Kendala Tingkat Produksi (Produk) :

1. Jika produk j diproduksi pada hari ke-i

mesin k maka jumlah produk yang

diproduksi tersebut tidak boleh

melebihi kapasitas mesin cement mill

per harinya.

X (i,j,k) ≤ kapasitas c (i,k) . Y (i,j,k)

(3)

2. Jika mesin cement mill k memproduksi

produk j1 pada hari i-1 dan produk j2

pada hari ke-i, maka nilai bin (i,j2,j1,k)

adalah 0, jika mesin cement mill k

memproduksi produk j2 pada hari i-1

dan produk j1 pada hari ke-i, maka nilai

bin (i,j2,j1,k) adalah 1. Jumlah produk

yang diproduksi tidak boleh melebihi

kapasitas mesin cement mill per

harinya.

X (i,j,k) ≤ kapasitasc (i,k) . bin

(i,j2,j1,k)

(4)

3. Jika produk j diproduksi pada hari ke-i

mesin k maka jumlah produk yang

diproduksi tidak boleh melebihi

demand.

X (i,j,k) ≤ demand (i,j) (5)

4. Jika produk j diproduksi pada hari ke-i

mesin k, maka jumlah faktor klinker di

dalam produk yang diproduksi tidak

boleh melebihi jumlah persediaan

klinker. Untuk produk j1, faktor klinker

sebanyak 0,85 dan untuk produk j2,

faktor klinker sebanyak 0,78.

S (i,k,m) ≤ inv (i,m)

+

≤ inv (i,m) (6)

5. Kendala untuk memastikan bahwa

setiap mesin cement mill memproduksi

satu produk (OPC atau Non OPC) dalam

satu hari.

= 1 (7)

Kendala Persediaan Klinker :

1. Jumlah persediaan klinker di hari ke-i

sama dengan jumlah persediaan di hari

ke- i-1 ditambah dengan klinker yang

70 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:62-77

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

diproduksi pada hari ke-i dikurangi

dengan klinker yang masuk ke mesin

cement mill untuk memproduksi

produk.

inv (i,m) = inv (i-1, m) + Q (i,m)

–S (i,k,m) (8)

2. Jumlah persediaan klinker tidak boleh

melebihi kapasitas silo klinker. inv (i,m) ≤ kapasitasn (n) (9)

3. Jika jumlah klinker tidak mampu

memenuhi demand maka dilakukan

impor sebanyak jumlah faktor klinker di

dalam demand dikurangi dengan faktor

klinker di dalam jumlah produksi.

P (m) =

-

(10)

Kendala Variabel Biner :

1. Y (i,j,k) adalah bilangan biner

Y(i,j,k) (11)

2. bin (i,j1,j2,k) adalah bilangan biner

bin (i,j2,j1,k) (12)

4.5. Penyelesaian Model

Penyelesaian model dilakukan dengan

menggunakan software Lingo 15.0.

Output software Lingo 15.0 yang

dihasilkan berupa minimasi proses

pembilasan, jumlah impor klinker, dan

penjadwalan mesin cement mill.

Penjadwalan cement mill untuk

meproduksi semen OPC dan Non OPC

dapat dilihat pada Lampiran 1.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat pada

penelitian ini adalah :

1. Penjadwalan mesin cement mill per

bulan untuk memproduksi semen OPC

dan non OPC dapat dilihat pada Tabel

4. Proses pembilasan terjadi di

Indarung II, III, V-1, dan V-2, jumlah

proses pembilasan untuk Indarung II

dan III adalah sebanyak satu kali,

Indarung V-1 adalah sebanyak 49 kali,

serta Indarung V-2 adalah sebanyak 47

kali.

2. Jumlah klinker yang diimpor adalah

sebesar 385.929 ton.

5.2. Saran

Saran yang diberikan untuk penelitian

selanjutnya adalah :

1. Penjadwalan cement mill untuk

penelitian selanjutnya dilakukan

dengan mempertimbangkan waktu

kerusakan dan maintenance mesin.

2. Sistem yang dikaji meliputi proses di

semua mesin dan produksi semen

mempertimbangkan keadaan silo

semen.

Tabel 4. Penjadwalan Mesin Cement Mill per Bulan

Penjadwalan Cement Mill....(N. T. Putri, et al.) 71

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

DAFTAR PUSTAKA

[1] Daellenbach, Hans G. (1995). System

and Decision Making : A Management

Sciene Approach. England : John

Wiley andSons Ltd.

[2] Departemen Perindustrian Indonesia.

(2010). Laporan Perkembangan

Komoditi Industri Terpilih Triwulan IV.

[3] Haming, Murdifin., Nurnajamuddin,

Mahfud. (2014). Manajemen Produksi

Modern (Operasi Manufaktur dan

Jasa). (Edisi 3). Jakarta : Bumi

Aksara.

[4] Hartini, Sri. (2011). Teknik Mencapai

Produksi Optimal. Bandung : Lubuk

Agung.

[5] Peraturan Menteri Perindustrian

Republik Indonesia No. 16 / M – IND /

PER / 3 / 2014 Tentang Ketentuan

Teknis Semen Cilnker dan Semen.

(2014).

[6] PT Semen Padang. (2013). Annual

Report PT Semen Padang.

[7] Sarker, Ruhul A. (2008). Optimization

Modelling : A Practical Introduction.

USA: CRCPress.

[8] Simatupang, Togar M. (1995).

Pemodelan Sistem. Klaten : Kanida.

[9] Slamet, Riyadi. (2011). Penjadwalan

Mesin Kemas Identik Paralel pada

Industri Yoghurt Menggunakan

Pemrograman Linear Integer. (Tugas

Akhir). Bogor : Institut Pertanian

Bogor.

[10] www.asi.or.id. Asosiasi Semen

Indonesia (2013) : Perkembangan

Industri Semen di Indonesia Tahun

2012-2016. Diakses pada 29 Oktober

2014 jam 11.01 WIB.

72 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:62-77

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

LAMPIRAN 1

PENJADWALAN CEMENT MILL UNTUK SEMEN OPC DAN NON OPC

Tabel 1.1. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-1

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC

OPC Indarung V-2

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 1.2. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-1

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 2.1. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-2

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 2.2. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-2

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Penjadwalan Cement Mill....(N. T. Putri, et al.) 73

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Tabel 3.1. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-3

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 3.2. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-3

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 4.1. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-4

Jenis semen

Mesin

Cement Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 4.2. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-4

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill

(ton/hari) 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

74 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:62-77

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Tabel 5.1. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-5

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 5.2. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-5

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 6.1. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-6

Jenis semen

Mesin

Cement Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 6.2. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-6

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill

(ton/hari) 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Penjadwalan Cement Mill....(N. T. Putri, et al.) 75

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Tabel 7.1. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-7

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600

OPC Indarung V-2

4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 7.2. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-7

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

OPC Indarung II

2400

Non OPC 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

OPC Indarung III

2700

Non OPC 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 8.1. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-8

Jenis semen

Mesin

Cement Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

OPC Indarung II

2380 2400 2400 2400 2391 2400 2397 2399 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

Non OPC

OPC Indarung III

2700 2683 2686 2700 2700 2694 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

Non OPC

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20380 20383 20386 20388 20391 20394 20397 20399 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 8.2. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-8

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill

(ton/hari) 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

OPC Indarung II

2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

Non OPC

OPC Indarung III

2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

Non OPC

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

76 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:62-77

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Tabel 9.1. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-9

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 1

OPC Indarung II

2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

Non OPC

OPC Indarung III

2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

Non OPC

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 9.2. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-9

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

OPC Indarung II

2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

Non OPC

OPC Indarung III

2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

Non OPC

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 10.1. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-10

Jenis semen

Mesin

Cement Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

OPC Indarung II

2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

Non OPC

OPC Indarung III

2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

Non OPC

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 10.2. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-10

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill

(ton/hari) 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

OPC Indarung II

2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

Non OPC

OPC Indarung III

2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

Non OPC

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Penjadwalan Cement Mill....(N. T. Putri, et al.) 77

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Tabel 11.1. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-11

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

OPC Indarung II

2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

Non OPC

OPC Indarung III

2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

Non OPC

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 11.2. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-11

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

OPC Indarung II

2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

Non OPC

OPC Indarung III

2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

Non OPC

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 12.1. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-12

Jenis semen

Mesin

Cement Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill (ton/hari) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

OPC Indarung II

2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

Non OPC

OPC Indarung III

2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

Non OPC

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

Tabel 12.2. Penjadwalan Cement Mill untuk Semen OPC Dan Non OPC Bulan ke-12

Jenis semen

Mesin Cement

Mill

Produksi Hari ke-(ton) Kapasitas

Mesin Cement Mill

(ton/hari) 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

OPC Indarung II

2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400 2400

Non OPC

OPC Indarung III

2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700 2700

Non OPC

OPC Indarung IV-1

3100

Non OPC 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100 3100

OPC Indarung IV-2

3000

Non OPC 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000 3000

OPC Indarung V-1

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

OPC Indarung V-2

4600

Non OPC 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600 4600

Jumlah Produksi 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400 20400

78 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:78-86

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

PENGEMBANGAN MODEL ECONOMIC PRODUCTION QUANTITY (EPQ) DENGAN SINKRONISASI DEMAND KONTINU DAN DISKRIT SECARA SIMULTAN

Nurike Oktavia, Henmaidi, Jonrinaldi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Andalas, Padang

Email: [email protected]

Abstract

The most popular inventory model to determine production lot size is Economic Production Quantity

(EPQ). It shows enterprise how to minimize total production cost by reducing inventory cost. But,

three main parameters in EPQ which are demand, machine set up cost, and holding cost, are not suitable to solve issues nowadays. When enterprise has two types of demand, continue and discrete demand, the basic EPQ would be no longer useful. Demand continue comes from customer who wants their needs to be fullfilled everytime per unit time, while fullfillment of demand descrete is at a fixed interval of time. Literature review is done by writers to observe other formulation of EPQ model. As there is no other research can be found which adopt this topic, this study try to develop

EPQ model considering two types of demand simoultaneously.

Keywords: Economic Production Quantity, demand kontinue, demand discrete

Abstrak

Model persediaan yang paling banyak digunakan dalam menentukan ukuran lot produksi adalah Economic Production Quantity (EPQ). Model EPQ mengarahkan perusahaan agar dapat

meminimalkan total biaya produksi dengan mereduksi biaya inventori. Parameter model dasar EPQ adalah demand, biaya setup mesin dan biaya simpan persediaan. Ketiga parameter ini saja tidak

cukup untuk menghadapi isu-isu yang dihadapi di dunia nyata. Salah satunya adalah ketika perusahaan memiliki dua tipe demand yaitu (1) demand kontinu yang pemenuhannya dilakukan setiap saat per satuan waktu dan (2) demand diskrit yang pemenuhannya dilakukan dalam suatu rentang waktu tertentu. Sejauh literature review yang dilakukan oleh penulis, belum ditemukan formulasi model EPQ yang mempertimbangkan kedua tipe demand tersebut. Sehingga, penelitian ini

berusaha mengembangkan model Economic Production Quantity / EPQ untuk menentukan ukuran lot produksi dengan mempertimbangkan dua tipe demand kontinu dan diskrit secara simultan.

Kata kunci: Economic Production Quantity, demand kontinu, demand diskrit

1. PENDAHULUAN

Perencanaan produksi adalah langkah

yang sangat penting [1] karena

merupakan proses menerjemahkan

strategi dan tujuan perusahaan kedalam

kegiatan produksi [2], salah satu

prosesnya yaitu menentukan berapa

ukuran lot produksi perusahaan. Model

persediaan yang paling banyak digunakan

dalam menentukan ukuran lot produksi

adalah Economic Production Quantity /

EPQ [3]. Model EPQ mengarahkan

perusahaan agar dapat meminimalkan

total biaya produksi dengan mereduksi

biaya inventori [4]. Ballou (1992)

menyebutkan bahwa terdapat tiga

parameter model dasar EPQ yaitu

demand, biaya setup produksi dan biaya

simpan persediaan per unit [5]. Akan

tetapi, Kostic (2007) berpendapat bahwa

ketiga parameter ini saja tidak cukup

untuk menghadapi isu-isu yang dihadapi

di lapangan kerja [6] karena model EPQ

klasik belum mengadopsi kondisi-kondisi

realistis di perusahaan [7]. Sehingga

banyak peneliti mengembangkan model

EPQ klasik agar dapat memberi

penyelesaian lebih akurat demi menjaga

kepuasan stakeholder perusahaan dan

Pengembangan Model Economic.... (N. Oktavia, et al.) 79

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

meminimalkan biaya persediaan.

Pengembangan model EPQ yang begitu

luas mencakup kondisi produk multi-item,

adanya kebijakan backorder, berkaitan

dengan produk yang terdeteriorasi,

adanya produk cacat, hingga kegiatan

rework. Model EPQ klasik menjabarkan

kegiatan produksi dilakukan dalam

memenuhi demand produk yang

pemenuhan ke konsumennya dilakukan

setiap saat per satuan waktu. Namun,

pada situasi real di lapangan banyak

kondisi-kondisi yang menyebabkan

sebuah perusahaan tidak dapat

menerapkan model ini. Salah satunya

adalah situasi dimana perusahaan juga

memiliki demand diskrit [8], yaitu demand

yang dipenuhi dalam setiap rentang waktu

tertentu. Ketika perusahaan juga memiliki

tipe demand diskrit, maka sebagian hasil

produksi akan tersimpan lebih lama di

gudang dan meningkatkan biaya simpan

produk. Hal ini dikarenakan sifat dari

demand diskrit yang menyebabkan

pengiriman produk tidak dilakukan setiap

saat. Produk yang telah diproduksi

disimpan selama rentang waktu

pengiriman.

Sebuah sistem persediaan dengan

demand diskrit dirasa lebih alami dalam

konteks persediaan dinamis [6], walaupun

masih belum banyak pengembangan

penelitian di area ini [8]. Beberapa peneliti

yang mempertimbangkan demand diskrit

dalam model EPQ mereka antara lain Chiu

et al (2009), Chiu et al (2012), Wu et al

(2014), Taleizadeh (2015) dan Chiu et al

(2014) [9,10,11,12,8]. Akan tetapi,

penelitian – penelitian tersebut baru

berfokus pada kondisi demand diskrit saja,

sementara adanya demand kontinu dan

diskrit secara bersamaan merupakan

pemasalahan realistis yang dihadapi

perusahaan saat ini.

Permasalahan muncul ketika pengambil

keputusan harus menentukan jadwal

produksi yang mampu memenuhi dua tipe

demand tersebut dengan

mempertimbangkan biaya persediaan.

Kondisi ini mempengaruhi penentuan

ukuran lot optimal yang tidak lagi dapat

menggunakan perhitungan model EPQ

klasik karena biaya simpan yang menjadi

lebih besar akibat adanya pemenuhan

demand diskrit, sehingga perusahaan

harus dapat menentukan kapasitas

produksi optimal dengan

mempertimbangkan adanya

penambahaan biaya simpan tersebut. Jika

perusahaan memproduksi produk dengan

jumlah melebihi kapasitas optimal, maka

akan berdampak pada tingginya biaya

persediaan dan menumpuknya persediaan

tiap akhir siklus. Sebaliknya, jika produksi

kurang dari kapasitas optimal maka akan

terjadi stockout yang dapat

mengakibatkan customer satisfaction

menurun, lost sales hingga biaya set up

tambahan jika diizinkan adanya

backorder.

Sejauh literature review yang dilakukan

oleh penulis, belum ditemukan penelitian

mengenai Economic Production Quantity

(EPQ) untuk memperhitungkan ukuran lot

produksi dan frekuensi pengiriman

optimal dengan mempertimbangkan

demand kontinu dan diskrit secara

simultan. Oleh karena itu, penelitian ini

akan mencoba mengembangkan model

Economic Production Quantity (EPQ)

dengan mempertimbangkan kondisi

tersebut.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persediaan

Menurut Rangkuti (2004) [13],

persediaan merupakan bahan-bahan/raw

material, bagian yang disediakan, serta

produk dalam sebuah proses/work-in-

process yang terdapat dalam perusahaan

untuk proses produksi, serta barang-

barang jadi atau produk yang disediakan

untuk memenuhi permintaan dari

konsumen atau pelanggan setiap waktu.

Persediaan pada umumnya tersimpan di

gudang, halaman/lapangan, lantai

produksi, peralatan transportasi dan rak-

rak penyimpanan retailer [5].

Perencanaan persedian bertujuan

untuk mengatur dan mengkoordinasi

persediaan, serta mencangkup prinsip,

konsep, dan teknik yang dibutuhkan

dalam menentukan hal-hal berikut

[14,15]:

1. Barang apa yang dipesan

2. Berapa banyak barang dipeasn

3. Kapan barang diperlukan

80 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:78-86

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

4. Kapan perlu memesan untuk kegiatan

produksi atau purchasing

5. Bagaimana dan dimana barang akan

disimpan

6. Metode distribusi

Ketika sistem persediaan di sebuah

perusahaan tidak terkordinasi dengan baik

maka akan menimbulkan berbagai

masalah dalam rantai pasoknya, seperti

kurang matangnya perencanaan produksi

dan pengambilan keputusan

replenishment, menyebabkan service

level pelanggan yang rendah serta

tingginya biaya operasional [16].

Assauri (2004) menyebutkan tujuan

pengendalian persediaan adalah [17]:

1. Menjaga agar perusahaan tidak

kehabisan persedian yang dapat

mengakibatkan terhentinya kegiatan

produksi dan menurunkan service level

perusahaan.

2. Menjaga agar jumlah persediaan tidak

terlalu besar untuk mencegah

timbulnya biaya simpan yang tinggi.

3. Meminimasi pemesanan bahan baku

dalam lot kecil untuk mengurangi biaya

pesan.

2.2. Model Persediaan

Model persediaan klasik, yaitu

Economic Order Quantity (EOQ),

menerangkan perhitungan untuk

menentukan jumlah persediaan yang

harus dipesan dengan menyeimbangkan

biaya simpan dan biaya pesan [18, 19].

Model tersebut kemudian dikembangkan

untuk menentukan ukuran lot size

produksi perusahaan dalam bentuk

Economic Production Quantity (EPQ).

Formulasi EPQ berusaha untuk

meminimalkan total biaya persediaan

dengan menyeimbangkan agar lot

produksi perusahaan semaksimal

mungkin tetapi biaya simpan dan biaya

pesan dapat seminimal mungkin. Model

EPQ melibatkan kegiatan produksi produk

sesuai demand, bukan membeli barang

sesuai kebutuhan. Aspek biaya yang

terlibat dalam model EPQ adalah [20]:

1. Biaya Produksi

Biaya aktual yang dikeluarkan untuk

memproduksi satu unit produk.

2. Biaya Setup

Biaya tetap yang dikeluarkan ketika

mengorder satu lot produksi dan ketika

mengatur mesi dan peralatan yang

digunakan untuk produksi.

3. Biaya Simpan

Biaya yang dihubungkan dengan

kegiatan maintanance persediaan,

termasuk biaya gudang, administrasi,

asuransi hingga depresiasi produk.

2.3. Demand Kontinu dan Diskrit

Kegiatan produksi berlandaskan pada

kemampuan perusahaan dalam

memenuhi demand yang datang dari

konsumen. Sehingga dikembangkan

berbagai macam metode sebagai usaha

untuk memenuhi demand tersebut agar

dapat mengoptimalkan margin

perusahaan.

p

tp t

I(t)

i

Q

Demand

diskrit

td

p

Demand

kontinu

tp ttd

I(t)

(a)

(b)

-d

-d

Gambar 1. Jumlah Persediaan Model EPQ

Pada Tipe Demand (a)Kontinu

dan (b)Diskrit sumber: Kostic (2007) [6]

Model EPQ merupakan salah satu

metode tersebut dengan menyeimbangkan

trade-off antara-biaya-biaya yang

keluarkan untuk kegiatan produksi dengan

kemampuan pemenuhan demand.

Pengembangan Model Economic.... (N. Oktavia, et al.) 81

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Tipe demand yang diadaptasi pada

model EPQ selama ini kebanyakan adalah

demand kontinu, dengan kondisi produk

akan dikirimkan secara terus menerus

setiap saat per satuan waktu. Sedangkan

dalam kondisi real di lapangan, banyak

perusahaan menerima demand dengan

tipe diskrit, yaitu permintaan produk yang

dipenuhi oleh pihak manufaktur dalam

suatu interval waktu tertentu i. Frekeuensi

pengiriman demand diskrit terjadi n kali

dalam setiap siklus. Gambar 1.

memperlihatkan perbedaan jumlah

persediaan (inventory on-hand) per

satuan waktu pada model EPQ dengan

demand kontinu dan diskrit.

Gambar 1. menggambarkan jumlah

persediaan yang disimpan di gudang

untuk demand tipe kontinu dan diskrit.

Asumsi pada gambar tersebut adalah

bahwa ukuran lot produksi Q kedua tipe

demand adalah sama, serta selama masa

produksi tp tidak terdapat konsumsi

demand. Pemenuhan demand d dimulai

pada saat td. Grafik (a)

memperlihatkanbahwa ketika produk

dikirim kepada konsumen setiap saat per

satuan waktu, grafik akan membentuk

garis linear. Sedangkan pada grafik (b),

terlihat bahwa demand dikirimkan kepada

konsumen dalam kapasitas angkut yang

besar dan antara interval waktu tertentu i.

Kedua bentuk persediaan ini akan

mempengaruhi jumlah persediaan rata-

rata serta biaya simpan produk.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian menjelaskan

langkah-langkah yang dilakukan dalam

melaksanakan sebuah penelitian. Terkait

dengan penelitian yang akan dilakukan,

berikut merupakan tahapan-tahapan dari

penelitian tersebut.

3.1. Literature Review

Tahap ini dimulai dengan melakukan riset

tentang perkembangan model Economic

Production Quantity (EPQ) yang dilakukan

dengan me-review jurnal–jurnal penelitian

terdahulu. Hal ini dilakukan untuk mencari

penelitian yang dapat mendukung dan

menentukan apakah penelitian yang akan

diangkat saat ini pernah dilakukan

sebelumnya atau tidak. Hingga akhirnya

diperoleh posisi penelitian yang akan akan

dikembangkan saat ini (state of art).

Selain itu, studi literatur dilakukan untuk

mendapatkan referensi yang berkaitan

dengan penelitian yang dilakukan, sehingga

nantinya diperoleh teori pendukung yang

digunakan dalam menyelesaikan

permasalahan.

3.2. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Identifikasi masalah bertujuan untuk

menentukan masalah apa yang akan

diselesaikan dalam penelitian, kemudian

permasalahan tersebut dirumuskan sehingga

menjadi jelas aspek yang akan diteliti.

3.3. Formulasi Model

Formulasi model EPQ dilakukan dengan

mempertimbangakn dua tipe demand, yaitu

kontinu dan diskrit secara simultan untuk

menentukan waktu siklus optimal T.

Penentuan solusi optimal alakn dilakukan

dengan pendekatan aljabar, algoritma dan

pendekatan simultan dengan bantuan

software LINGO 13.0.

3.4. Contoh Numerikal

Sebuah contoh numerikal akan diberikan

untuk dicari solusi optimalnya.

3.5. Penutup

Pada bagian penutup, hasil yang diperoleh

pada penelitian ini dirangkum menjadi sebuah

kesimpulan yang merujuk pada pencapaian

tujuan dari penelitian dan saran yang berguna

untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya.

4. FORMULASI MODEL

4.1. Asumsi dan Notasi

Pada penelitian ini, model EPQ

dikembangkan dengan mempertimbangkan

dua tipe permintaan (demand), yaitu

permintaan kontinu dan diskrit, sehingga

inventory on-hand yang disimpan

digudang menjadi seperti yang terlihat

pada Gambar 2.

82 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:78-86

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

t1

..

.

T

H

I(t)

wakt

u

P

t2 = T

-D = -(DD + DC)

i

Gambar 2. Persediaan Model EPQ

dengan Dua Tipe Demand

Adapun asumsi dasar yang digunakan

adalah:

1. Interval waktu pengiriman demand

diskrit tetap

2. Komponen biaya tidak berubah

sepanjang periode produksi

3. Harga produk tetap dan tidak terdapat

diskon pembelian

4. Breakdown mesin tidak terjadi selama

kegiatan produksi berlangsung

5. Tidak ada kondisi backorder dan rework

6. Deteriorasi mesin dan peralatan tidak

terjadi selama kegiatan produksi

7. Kapasitas produksi dan pengiriman

adalah tetap

8. Tidak terdapat imperfect product /

produk cacat yang dihasilkan

9. Tidak ada safety stock

10. Selama waktu produksi, tidak ada

kegiatan konsumsi produk. Demand

pada siklus tersebut dipenuhi

berdasarkan produksi siklus

sebelumnya.

11. Produk yang diproduksi adalah single

item product.

Notasi-notasi yang digunakan dalam

model tersebut adalah:

Variabel Keputusan

T : panjang waktu siklus (waktu)

Parameter

H : persediaan maksimal ketika

kegiatan produksi berakhir (unit)

t1 : lama waktu produksi pada satu

siklus (waktu)

t2 : waktu yang diperlukan untuk

mengirimkan produk pada satu

siklus (waktu)

Q : ukuran lot produksi (unit)

I(t) : jumlah persediaan pada waktu t

(unit)

cp : biaya produksi (Rp/unit)

cs : biaya set up mesin (Rp)

cf : biaya pengiriman tetap (Rp)

cd : biaya pengiriman variabel

(Rp/unit)

h : biaya simpan (Rp/unit.waktu)

h1 : biaya simpan produk yang

ditanggung konsumen

(Rp/unit.waktu)

D : demand total (unit/waktu)

DD : demand diskrit (unit/ waktu)

DC : demand kontinu (unit/ waktu)

p : kapasitas produksi (unit/ waktu)

n : frekuensi pengiriman demand

diskrit dalam satu siklus (bil.

integer)

TC(T,n) : biaya total per siklus (Rp)

E[TCU(T,n)] : biaya rata-rata satu periode

produksi (Rp)

4.2. Formulasi Matematis

Kegiatan memproduksi produk akhir

membutuhkan biaya produksi per unit produk

cp sebanyak ukuran lot produksi Q, maka

biaya produksi dalam satu siklus adalah

𝑩𝒊𝒂𝒚𝒂 𝒑𝒓𝒐𝒅𝒖𝒌𝒔𝒊 𝒑𝒆𝒓 𝒔𝒊𝒌𝒍𝒖𝒔 = 𝒄𝒑. 𝑸 (1)

Frekuensi replenishment produk dalam

satu tahun diperoleh dengan membagi

demand D dan ukuran lot produksi Q, yaitu

1/T = D/Q. Oleh karena itu, diperoleh bahwa

Q = TD, sehingga biaya produksi dalam satu

siklus menjadi

𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 = 𝑐𝑝. 𝑇. 𝐷 (2)

Sedangkan biaya set up mesin cs

merupakan biaya yang diperlukan satu kali

untuk proses produksi dalam setiap siklus.

𝑩𝒊𝒂𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒕 𝒖𝒑 𝒑𝒆𝒓 𝒔𝒊𝒌𝒍𝒖𝒔 = 𝒄𝒔 (3)

Biaya pengiriman produk dibagi menjadi

dua, yaitu biaya tetap cf per tiap pengiriman

n untuk demand diskrit serta biaya variabel cd

per unit produk yang dikirim untuk kedua tipe

demand, sehingga biaya total pengiriman

produk dalam satu siklus adalah

𝐵. 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑖𝑟𝑖𝑚𝑎𝑛 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠

= (𝑛. 𝑐𝑓) + (𝑐𝑑 . 𝑇. 𝐷) (4)

Pengembangan Model Economic.... (N. Oktavia, et al.) 83

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Demand diskrit dikirim n kali dalam setiap

siklus dengan interval pengiriman i,

sedangkan demand kontinu dikirim setiap

saat sepanjang t2. Gambar 2. menjelaskan

bahwa:

𝒕𝟏 =𝑸

𝑷=

𝑻𝑫

𝑷 (5)

𝑯 = 𝑻𝑫 (6)

maka,

𝑯𝑫 = 𝑸 = 𝑻𝑫𝑫 (7)

𝑯𝑪 = 𝑸 = 𝑻𝑫𝑪 (8)

Perhitungan biaya simpan dibagi menjadi

2, yaitu biaya simpan demand kontinu dan

biaya simpan demand diskrit.

4.2.1. Biaya simpan demand kontinu

t1

T

Hc

I(t)

waktu

P

t2

-Dc

I II

Gambar 3. Persediaan Produk untuk

Memenuhi Demand

Kontinu pada Model EPQ

dengan Dua Tipe Demand

Persediaan rata-rata bagian I:

CQt .1.2

1

C

DTP

TD..

2

1

CDDT

P..

2.

2

1 (9)

Persediaan rata-rata bagian II:

CQT ..2

1

)..(.2

1

CDTT

CDT .

2.

2

1 (10)

Dengan biaya simpan per unit waktu

adalah h maka, biaya simpan demand

kontinu dalam satu siklus adalah:

𝐵. 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑖𝑛𝑢 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠

= ℎ. [(1

2𝑃. 𝑇2. 𝐷. 𝐷𝐶 ) + (

1

2. 𝑇2. 𝐷𝐶)] (11)

4.2.2. Biaya simpan demand diskrit

t1

T

I(t)

waktu

P

t2

-Dc

...

I II

Gambar 4. Persediaan Produk untuk

Memenuhi Demand Diskrit

pada Model EPQ dengan

Dua Tipe Demand

Persediaan rata-rata bagian I:

DQt .1.2

1

D

DTP

TD..

2

1

DDDT

P..

2.

2

1 (12)

t1

T

H

I(t)

waktu

P

t2 = T

..

.

Gambar 5. Persediaan Produk Demand

Diskrit selama t2 pada Model

EPQ dengan Dua Tipe

Demand (Chiu et al, 2009)

84 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:78-86

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Pada bagian II, produk dikirim n kali

setiap rentang waktu T/n dengan jumlah

total produk yang dikirim adalah sebanyak

persediaan maksimum HD = QD. Gambar

4. memperlihatkan persediaan selama t2

untuk memenuhi demand diskrit.

Persamaan perhitungan biaya simpan

demand diskrit bagian II ini mengacu pada

persamaan oleh Chiu et al (2009)

Persediaan rata-rata bagian II:

n

T

n

H

n

T

n

Hn

n

T

n

Hn

n

T

n

Hn DDDD ..1

....3

.21

1...3212

nnnn

THD

2

)1(.

.2

nn

n

TH D

n

THn D

2

).1(

dengan mempertimbangkan bahwa

Hd=Qd, maka diperoleh persediaan rata-

rata bagian II adalah:

DQTn

n.

2

1

)..(2

1DDTT

n

n

DDTn

n 2.2

1

(13)

Maka, biaya simpan demand diskrit

dalam satu siklus adalah:

𝐵. 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑 𝑑𝑖𝑠𝑘𝑟𝑖𝑡 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠

= ℎ. [(1

2𝑃. 𝑇2. 𝐷. 𝐷𝐷) + ((

𝑛−1

2𝑛) . 𝑇2. 𝐷𝐷)] (14)

t1

HD / n

I(t)

waktu

t2 = T

. . .

i

Gambar 6. Persediaan Produk Demand

Diskrit yang disimpan oleh

Konsumen selama t2 pada

Model EPQ dengan Dua Tipe

Demand

Selain biaya simpan di gudang pabrik,

model EPQ ini mempertimbangkan biaya

simpan per unit produk yang ditanggung oleh

konsumen. Ketika produk diterima oleh

konsumen sebanyak HD/n, konsumsi produk

tidak dilakukan sekaligus hingga stok habis,

melainkan secara bertahap. Hal ini

mengakibatkan adanya biaya simpan yang

harus dikeluarkan oleh konsumen.

Demand diskrit HD dikirimkan n kali dalam

satu siklus dan dalam rentang waktu yang

tetap i, sehingga

n

Ti (15)

Berdasarkan Gambar 6. jumlah

persediaan setiap pengiriaman adalah

n

T

n

H D ..2

1 (16)

dengan frekuensi pengiriman per siklus

sebanyak n maka jumlah persediaan

dalam satu siklus akan menjadi

nn

T

n

HD

..

2

1

n

TH D

2

. (17)

Substitusikan persamaan (7), sehingga

diperoleh jumlah persediaan dalam satu

siklus menjadi

n

DT D

2

.2

(18)

Maka, biaya simpan demand diskrit

yang disimpan oleh konsumendalam satu

siklus adalah

𝐵. 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑒𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑠𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠

=ℎ1.𝑇2.𝐷𝐷

2𝑛 (19)

4.3. Fungsi Tujuan

Total biaya per siklus TC(T,n) terdiri

dari biaya produksi, biaya set up mesin,

biaya simpan produk, baik oleh produsen

maupun konsumen, serta biaya tetap dan

variabel pengiriman. Maka, TC(T,n) adalah

penjumlahan dari persamaan (1), (3), (4),

(11), (14), dan (19) sehingga

Pengembangan Model Economic.... (N. Oktavia, et al.) 85

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

𝑇𝐶(𝑇, 𝑛) = 𝑐𝑝𝑇𝐷 + 𝑐𝑠 + (𝑛𝑐𝑓 + 𝑐𝑑𝑇𝐷)

+ (ℎ𝑇2𝐷𝐷𝐶

2𝑃+

ℎ𝑇2𝐷𝐶

2) + [

ℎ𝑇2𝐷𝐷𝐷

2𝑃+

(𝑛 − 1)𝑇2𝐷𝐷

2𝑛]

+ℎ1𝑇2𝐷𝐷

2𝑛 (20)

Fungsi tujuan yang ingin dicari adalah

biaya rata-rata satu periode E[TCU(T,n)],

yang merupakan hasil pembagian dari

total biaya per siklus dibagi dengan

panjang waktu siklus. Maka, biaya rata-

rata satu periode produksi E[TCU(T,n)]

dapat dirumuskan menjadi

𝐸[𝑇𝐶𝑈(𝑇)] = 𝐸[𝑇𝐶(𝑇, 𝑛)]

𝑇

(21)

= 𝑐𝑝𝐷 +𝑐𝑠

𝑇+ 𝑛

𝑐𝑓

𝑇+ 𝑐𝑑𝐷 +

ℎ𝑇𝐷

2𝑃(𝐷𝐶 +

𝐷𝐷) +ℎ𝑇

2(𝐷𝐶 + 𝐷𝐷) +

𝑇𝐷𝐷

2𝑛(ℎ1 − ℎ)

4.4. Prosedur Solusi Optimal

Panjang waktu siklus optimal dapat

diperoleh dengan meminimalkan 𝐸[𝑇𝐶𝑈(𝑇)] . Dilakukan diferensiasi

E[TCU(T)] terhadap T sehingga

memberikan hasil turunan sebagai

berikut:

𝑑 𝐸[𝑇𝐶𝑈(𝑇)]

𝑑𝑇 = −

𝑐𝑠

𝑇2− 𝑛

𝑐𝑓

𝑇2+ 𝑐𝑑𝐷 +

ℎ𝐷2

2𝑃+

ℎ𝐷

2

+𝐷𝐷(ℎ1−ℎ)

2𝑛 (22)

Selanjutnya hasil persamaan tersebut

disamakan dengan nol

𝑑 𝐸[𝑇𝐶𝑈(𝑇)]

𝑑𝑇 = 0 = −

𝑐𝑠

𝑇2− 𝑛

𝑐𝑓

𝑇2+ 𝑐𝑑𝐷 +

ℎ𝐷2

2𝑃

+ℎ𝐷

2+

𝐷𝐷(ℎ1−ℎ)

2𝑛 (23)

Setelah dilakukan penyusunan ruas

kanan dan kiri akan diperoleh

𝑐𝑠

𝑇2 + 𝑛𝑐𝑓

𝑇2 = 𝑐𝑑𝐷 +ℎ𝐷2

2𝑃+

ℎ𝐷

2+

𝐷𝐷(ℎ1−ℎ)

2𝑛 (24)

Sehingga

𝑇 = √2(𝐶𝑆+𝑛𝐶𝑓)

ℎ𝐷2

𝑃+ℎ𝐷+

𝐷𝐷(ℎ1−ℎ)

𝑛

(25)

5. CONTOH NUMERIKAL

Diketahui bahwa laju produksi pabrik X

adalah 240 unit per menit dan produk ini

diproduksi untuk memenuhi demand total

sebanyak 80 juta unit per tahun. Persenatse

demand kontinu dan diskrit masing-masing

adalah 60% dan 40%. Jumlah jam kerja

dalam 1 hari adalah 21 jam dan jumlah hari

kerja per tahun adalah 360 hari per tahun.

Parameter lain yang dipertimbangkan dalam

contoh ini adalah sebagai berikut: cs=Rp20juta; cp = Rp1.540 per lembar; cf =

Rp2,5 juta per pengiriman; cd = Rp100 per

unit; h = Rp440 per unit; dan h1 = Rp880 per

unit. Diasumsikan bahwa pengiriman demand

diskrit n = 4. Berdasarkan perhitungan

dengan menggunakan Persamaan (17)

diperoleh bahwa waktu siklus optimal T* =

10,83 hari dan biaya rata-rata satu periode

E[TCU(T)] adalah Rp143.843.520.868.

6. PENUTUP

Penelitian ini menghasilkan formulasi

model untuk mencari solusi optimal dari

metode Economic Production Quantity (EPQ)

dengan mempertimbangkan dua tipe demand

kontinu dan diskrit secara simultan. Formulasi

model bertujuan untuk merumuskan model

matematis dalam menghitung waktu siklus

produksi yang optimal. Model ini

dimaksudkan untuk memberi sudut pandang

baru dalam mengatasi masalah perencanaan

produksi yang terkait dengan tipe demand.

Formulasi model yang dikembangkan

masih banyak memiliki batasan, sehingga

penelitian selanjutnya dapat

mengembangkan model matematis dengan

mempertimbangkan aspek-aspek seperti

produk cacat, multi item product dan adanya

rework dalam kegiatan produksi.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Absi, N., Detienne, B., Auzere-Peres, S.

(2012). Heuristics For The Multi-Item

Capacitated Lot-Sizing Problem With

Lost Sales. Computer & Operation

Research. 40, 264 – 272

[2] De Castro, L. E., Tabucanon, T.,

Nagarur, N. N. (1995). A Production

Order Quantity Model With Stochastic

Demand for a Chocolate Milk

86 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:78-86

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Manufacturer. International Journal

Production Economis. 49, 145 – 156

[3] Eynan. (2003). The Benefit of Flexible

Production Rates in the Economic Lot

Scheduling Problem. IIE Transaction.

35 (7), 1057-1064

[4] Chiu, P.Y., Lin, K.C., Chang, H., Chiu, V.

(2010). Mathematical Modelling for

Determining Economic Batch Size and

Optimal Number of Deliveries for EPQ

Model with Quality Assurance.

Mathematical and Computer Modelling

of Dynamical System. 16 (4), 373-388

[5] Ballou, H. Ronald. (1992). Business

Logistics Management. (Ed. 3).

Prentice-Hall, Inc : New Jersey

[6] Kostic, Konstantin. (2007). Inventory

Control as a Discrete System Control for

the Fixed-Order Quantity System.

Applied Mathematical Modelling. 33,

4201 – 4214

[7] Maity, A.K., Maity, K., Mondal, S., dan

Maiti, M. (2007). A Chebyshev

Approximation For Solving The Optimal

Production Inventory Problem of

Deteriorating Multi-Item. Mathematical

and Computer Modelling. 45, 149-161

[8] Chiu, SW., Tseng, CT., Wu, MF., dan

Sung, PC. (2014). Multi-Item EPQ

Model with Scrap, Rework and Multi-

Delivery using Common Cycle Policy.

Journal of Applied Research and

Technology. 12, 615 – 62

[9] Chiu, YSP., Chiu, SW., Li, CY., dan Ting,

CK. (2009). Incorporating Multi-

Delivery Policy and Quality Assurance

Into Economic Production Lot Size

Problem. Journal of Scientific &

Industrial Research. 68, 505-512

[10] Chiu, SW., Chiu, YSP., Yang, JC.

(2012). Combining an Alternative Multi

Delivery Policy Into Economic

Production Lot Size Problem with Partial

Rework. Expert System with

Application. 39 (3), 2578 – 258

[11] Wu, MF., Chiu, YSP., Sung, PC. (2014).

Optimization of a Multi-Product EPQ

Model with Scrap and an Improved

Multi-Delivery Policy. Journal of Engg.

Research. 2 (4), 103 – 118

[12] Taleizadeh, AA., Kalantri, SS. Dan

Cardenas-Barron, LE. (2015).

Determining Optimal Price,

Replenishment Lot Size and Number of

Shipment for an EPQ Model with

Rework and Multiple Shipments.

Journal of Industrial and Management

Optimization. 11 (4), 1059 – 1071

[13] Rangkuti, Freddy. (2004). Manajemen

Persediaan: Aplikasidi Bidang Bisnis.

Grafindo Persada, Jakarta

[14] Fogarty, W Donald , Blackstone H. John,

dan Hoffman R. Thomas (1991).

Production & Inventory Management

(Ed 2). South-Western Publishing, Ohio

[15] Sipper, Daniel dan Bulfin, Robert.

(1997). Production : Planning, Control,

and Integration. McGraw-Hill: USA

[16] Gumrukcu, S., Rosseti D. M., Buyurgan,

N. (2008). Quantifying The Costs Of

Cycle Counting in a Two-Echelon Supply

Chain with Multiple Items. Internasional

Journal Production Economics. 116, 263

– 274

[17] Assauri, Sofjan. (2004). Manajemen

Pemasaran. PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta

[18] Beheshti, H. Hooshang. 2009. A

Decision Support System for Improving

Performance of Inventory Management

in a Supply Chain Network.

International Journal of Productivity and

Performance Management.. 59(15),

432-467

[19] Choi, Soodong dan Noble, S. James

(2000). Determination of Economic

order Quantities (EOQ) in an Integrated

Material Flow System. International

Journal of Production Research. 38

(14), 3203-3226

[20] El-Kassar, N.A., Dah, A., Salameh, M.K.

(2008). Optimal Lot Size For EPQ

Inventory Model for Items of Different

Qualities. Journal of Academy of

Business and Economics. 8 (4), 34 – 44

Optimalisasi Proses Perakitan....(D. A. Saputra, et al.) 87

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

OPTIMALISASI PROSES PERAKITAN PESAWAT TANPA AWAK DENGAN METODA CRITICAL PATH METHODS (CPM)

Dendi Adi Saputra M, Eka Satria, Gusman Arif Pandy Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Andalas, Padang Email: [email protected].

Abstract

The manufacturing of Unmanned Aerial Vehicles (UAV) requires a design process that involves the

design of aircraft’s components such as fuselage, wing, horizontal stabilizer, vertical stabilizer, ailerons, elevators, tail, and wing. The process takes a long time. Therefore, the distribution of structural works based on their characteristics and classifications by considering their design

attributes and manufacturing processes is required. This research aims to find the optimal time and critical path of the assembly process of an UAV based on product work breakdown structure (PWBS) and critical path method (CPM). The result reveals that the optimal assembly time is 139 minutes. Finally, the application of product-oriented structural work distribution and the optimization of the

assembly activities involved in the critical path successfully minimize the duration of the assembly process. Keywords: UAV, product-oriented, critical path

Abstrak

Pembuatan Unmanned Aerial Vehichles (UAV) membutuhkan proses perancangan UAV yang meliputi

desain pesawat seperti (fuselage, wing, horizontal stabilizer, vertical stabilizer, aileron, elevator, tail, dan wing). Banyaknya komponen-komponen yang terdapat dalam UAV menyebabkan durasi pembuatannya membutuhkan waktu yang lama. Untuk itu, diperlukan pembagian/perincian struktur pekerjaan secara rinci yang dikelompokkan secara permanen berdasarkan karakteristik dan

klasifikasinya dengan memperhatikan atribut-atribut desain dan manufaktur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu optimal dan jalur lintasan kritis dari proses perakitan UAV dengan

pendekatan product work breakdown structure (PWBS) dan metode critical path method (CPM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu yang optimal untuk proses perakitan UAV adalah 139 menit. Akhirnya, pembagian struktur kerja yang berorientasi produk dan optimalisasi dengan memerhatikan proses perakitan yang terdapat dalam jalur lintasan kritis dapat memperpendek durasi perakitan UAV. Kata Kunci: UAV, orientasi produk, lintasan kritis

1. PENDAHULUAN

Unmanned Aerial Vehicle (UAV) adalah

sebuah pesawat tanpa awak yang dapat

dikendalikan dengan kendali jarak jauh.

Terdapat dua variasi kontrol pesawat

tanpa awak, yakninya pesawat di kontrol

melalui pengendali jarak jauh dan pesawat

yang terbang secara mandiri

(autonomous). Proses perancangan UAV

yang meliputi disain model pesawat

(fuselage, wing, nose, horizontal

stabilizer, vertical stabilizer, aileron,

elevator, tail dan boom) sangat sulit sulit

dilakukan karena diperlukan analisa teknis

yang saling berhubungan antara

komponen yang satu dengan yang

lainnya. Banyaknya komponen-komponen

UAV yang dirancang serta variasi proses

produksi menyebabkan panjangnya durasi

yang dibutuhkan dalam memproduksi

sebuah UAV. Beberapa parameter khusus

sistem klasifikasi seperti bentuk, dimensi,

toleransi, bahan serta jenis dan kerumitan

pengoperasian mesin produksi

dipertimbangkan dalam melakukan proses

perakitan UAV.

Banyaknya aktivitas dalam pembuatan

88 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:87-92

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

UAV menyebabkan perlunya perencanaan

yang sistematis yang ditentukan melalui

waktu yang optimal dan efektif dalam

proses perakitan. Pada makalah ini

disajikan pengelompokkan aktivitas

perakitan yang berorientasi pada produk

dan proses optimalisasi proses perakitan

pesawat tanpa awak dengan pendekatan

metode Critical Path Method (CPM).

Metode ini digunakan untuk mengetahui

lintasan kritis dari proses perakitan

sehingga akan didapatkan waktu yang

optimal dalam proses perakitan [1, 2, 3].

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Work Breakdown Structure

Dalam prakteknya, pendekatan Work

Breakdown Structure (WBS) adalah

sebuah struktur yang menggambarkan

penguraian paket kerja ke dalam bagian-

bagian yang lebih kecil yang

dikelompokkan dalam ciri-ciri tersendiri

yang akan dilaksanakan oleh sebuah tim

proyek untuk mencapai tujuan dan

persyaratan tertentu [4,5]. Dalam industri

pesawat ada dua pendekatan yang

digunakan yaitu System Work Breakdown

Structure (SWBS) dan Product Work

Breakdown Structure (PWBS) [4]. Sistem

SWBS sangat berguna dalam melakukan

inisialisasi estimasi dan tahapan Disain

awal sebuah pesawat. Sistem ini kurang

sesuai/akurat jika digunakan untuk

tahapan perencanaan, penjadwalan dan

eksekusi proses manufaktur yang

berorientasi pada zona atau produk

karena sifatnya yang terlalu luas dalam

mengidentifikasi paket kerja sehingga

kurang efektif untuk mengontrol material,

jam orang dan jadwal pembangunan

sebuah pesawat. Skema klasifikasi

perincian pekerjaan berdasarkan produk

dapat dilihat dari perspektif pembagian

atau perincian struktur pekerjaan

berorientasi Product Oriented Work

Breakdown Structure (PWBS) [5].

Komponen-komponen dan sub-assembly

dikelompokkan secara permanen

berdasarkan karakteristik dan

klasifikasinya dengan memperhatikan

atribut-atribut disain dan manufaktur [6].

2.2. Critical Path Methods (CPM)

Menurut Levin dan Kirkpatrick (1972)

[1], metode Jalur Kritis Critical Path

Method (CPM), yakni metode untuk

merencanakan dan mengawasi proyek-

proyek merupakan sistem yang paling

banyak dipergunakan diantara semua

sistem lain yang memakai prinsip

pembentukan jaringan. Dengan CPM,

jumlah waktu yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan berbagai tahap suatu

proyek dianggap diketahui dengan pasti,

demikian pula hubungan antara sumber

yang digunakan dan waktu yang

diperlukan untuk menyelesaikan proyek.

CPM adalah model manajemen proyek

yang mengutamakan biaya sebagai objek

yang dianalisis (Siswanto, 2007)[2]. CPM

merupakan analisa jaringan kerja yang

berusaha mengoptimalkan biaya total

proyek melalui pengurangan atau

percepatan waktu penyelesaian total

proyek yang bersangkutan.

2.3. Lintasan Kritis

Heizer dan Render (2005) [7]

menjelaskan bahwa dalam dalam

melakukan analisis jalur kritis, digunakan

dua proses two-pass, terdiri atas forward

pass dan backward pass. ES dan EF

ditentukan selama forward pass, LS dan

LF ditentukan selama backward pass. ES

(earliest start) adalah waktu terdahulu

suatu kegiatan dapat dimulai, dengan

asumsi semua pendahulu sudah selesai.

EF (earliest finish) merupakan waktu

terdahulu suatu kegiatan dapat selesai. LS

(latest start) adalah waktu terakhir suatu

kegiatan dapat dimulai sehingga tidak

menunda waktu penyelesaian keseluruhan

proyek. LF (latest finish) adalah waktu

terakhir suatu kegiatan dapat selesai

sehingga tidak menunda waktu

penyelesaian keseluruhan proyek.

3. METODOLOGI

Dalam melakukan proses optimalisasi

maka dilakukan beberapa tahap seperti

yang terlihat pada Gambar 1.

Optimalisasi Proses Perakitan....(D. A. Saputra, et al.) 89

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Spesifikasi Disain UAV

Pesawat tanpa UAV yang dirancang

memiliki spesifikasi berat total adalah 1,75

kg dengan kecepatan terbang minimum

12 m/s (Low Speed Stall). Pesawat harus

mampu terbang lambat hingga 12 m/s

agar stabil pada saat pengambilan foto

udara maupun video monitoring. Disain

UAV yang akan dirancang bangun dapat

dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Disain UAV

Penentuan konsep disain UAV juga

mempertimbangkan ketersediaan material

UAV yang mudah didapatkan dan proses

manufaktur pesawat yang mudah

dilakukan. Keterbatasan lokasi

penerbangan (lokasi bencana, sungai,

pantai, dll), tidak memungkinkan UAV

take-off dengan menggunakan landing

gear. Untuk itu, UAV dirancang

menggunakan konsep (hand launch),

yaitu penerbangan dengan lemparan

tangan. Spesifikasi decantumkan pada

tabel 1. berikut :

Tabel 1. Spesifikasi Rancangan UAV

Berat Maksimum 1,75 kg

Wing Span 1800 mm

Aspek Rasio 8

Kecepatan Jelajah 12 m/s

Take off Hand launch

4.2. Work Breakdwon Structure

(WBS)

WBS menunjukan aktivitas-aktivitas

proyek secara keseluruhan yang

digunakan sebagai acuan pembuatan

jadwal kerja dengan metode CPM yang

kemudian dikerjakan dengan

menggunakan program Microsoft Project

2007. WBS digunakan untuk membagi

pekerjaan yang ada di proyek hingga level

aktivitas. Sistem WBS yang akan

diterapkan pada penelitian ini merupakan

kombinasi antara SWBS dan PWBS.

Konsep Engineering, Procurement, dan

Construction (EPC) diadopsi sebagai salah

satu acuan dalam menyusun WBS.

Pembagian struktur kerja pembuatan UAV

dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini.

Gambar 3. Konsep EPC pada Work

Breakdown Structure

(WBS) Pembuatan UAV

4.3. Product Work Breakdwon

Structure (PWBS)

Product Work Breakdown Structure

(PWBS) dapat dicontohkan pada bagian

90 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:87-92

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Construction. Dimana pada bagian

construction, dibreakdown menjadi

beberapa grup utama yang terdiri dari

Airframe, Propulsion, dst. Dari grup

utama akan dibreakdown lagi menjadi

bagian-bagian terkecil menurut interim

product (PWBS). Skema pembagian untuk

UAV system dapat dilihat pada Gambar 4.

berikut ini:

Gambar 4. Bagan PWBS pada pembuatan

Konstruksi UAV

4.4. Identifikasi Aktifitas

Gambar 5. Model Perumusan Aktivitas

Pembuatan UAV berdasarkan

Product Work Breakdown

Structure (PWBS)

Tahapan ini diawali dari WBS UAV yang

dibangun, dilanjutkan dengan klasifikasi

interim produk dari grup utama dan

mengidentifikasi aktivitas apa saja yang

dibutuhkan. Setelah diketahui aktivitas-

aktivitas tersebut, maka dilakukan

pengelompokkan aktivitas. Penyusunan

urutan aktivitas tersebut harus benar dan

sistematis agar jadwal proyek dapat

dilaksanakan dengan baik.

Identifikasi aktivitas pembuatan UAV

berdasarkan model pada Gambar 5.

Dimulai dengan melakukan breakdown

terhadap system UAV yang dirancang.

Banyaknya aktivitas dalam pembuatan

UAV, maka dilakukanlah pen gelompokan

aktivitas langsung yaitu aktivitas yang

berhubungan dengan proses pembuatan

UAV secara langsung. Langkah

pendefinisian aktivitas tersebut mengikuti

flowchart dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Flowchart pendefinisian

aktivitas

4.5. Optimalisasi Proses Assembly

UAV

Pada kegiatan pembagian aktivitas

pembuatan UAV yang dilakukan terdapat

85 kegiatan. Dalam hal ini, ditampilkan 28

kegiatan proses assembly yang terbagi

kedalam beberapa lokasi mulai dari

persiapan komponen wing sampai dengan

pemasangan receiver.

Daftar kegiatan pada Tabel 2 digunakan

untuk membentuk jaringan kerja yang

diolah dengan menggunakan metode

Critical Path Method (CPM). Dalam

kegiatan proyek untuk assembly UAV akan

diketahui penerapan Critical Path Method

(CPM) dalam merangkai komponen-

komponen kegiatan dengan total jumlah

Optimalisasi Proses Perakitan....(D. A. Saputra, et al.) 91

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

waktu terlama dan menunjukan kurun

waktu penyelesaian proyek yang tercepat.

Tabel 2. Data Assembly UAV

4.6. Critical Path Method (CPM)

Secara tampilan jalur lintasan kritis

harus memenuhi syarat dimana setiap

kegiatan mempunyai perhitungan maju

dan mundur yang sama atau dalam

pengertian sama dengan nol. Untuk dapat

mengetahui secara lebih jelas perhitungan

ini akan disajikan bersama hasil dari

perhitungan total float yang nantinya akan

menentukan secara jelas jalur lintasan

kritis tersebut. Dapat dilihat pada Tabel 3.

Pada tahap perhitungan maju dan

perhitungan mundur dapat diketahui

bahwa nilai hasil perhitungan dari total

float yang bernilai nol merupakan jalur

lintasan kritis dalam perakitan UAV.

Dimana waktu yang dibutuhkan dalam

perakitan paling cepat adalah 139 menit

yang terdiri dari urutan kegiatan yang

mengikuti dari jalur lintasan kritis.

Dari perhitungan maju dan mundur seperti

pada Tabel 3 terdapat 11 kegiatan kritis

yaitu kegiatan dengan table float= 0 dan

ini berarti kegiatan tersebut harus

dilakukan dan tidak boleh ditunda, dan

apabila terjadi penundaan atau

keterlambatan pada kegiatan kritis

tersebut maka waktu penyelesaian proyek

akan tertunda pula. Kegiatan-kegiatan

tersebut adalah: 0-A-B-C-L-N-O-V-W-X-1

yaitu persiapan komponen wing,

pemasukan alumunium kedalam wing,

pemasangan wing, perakitan horizontal

stabilizer dan vertical stabilizer,

pemasangan elevator, pemasangan servo,

pemasangan kabel servo, pemasangan

ardupilot apm 2.6, dan pemasangan GPS.

Tabel 3. Identifikasi Float dan Jalur

Lintasan Kritis

Proses-proses tersebut menjadi kritis

karena satu proses dengan yang lainnya

saling ketergantungan dan ada

keterkaitan. Pada penentuan jalur kritis

apabila ada prosesnya memiliki dua

pendahulu maka proses yang bernilai

besarlah yang dipilih, begitu juga

sebaliknya untuk menentukan

perhitungan mundur apabila pada

perhitungan mundur ada dua atau lebih

maka proses perakitan yang terkecil yang

akan dipilh.

Pada tabel 4 dijelaskan pada tingkatan

level 1-9 memiliki keterkaitan satu sama

lain. Dimana ketika proses perakitan

dilakukan maka harus menunggu proses

yang lainnya selesai terlebih dahulu baru

bisa dilanjutkan ke proses level perakitan

selanjutnya.

Dengan demikian, untuk proses

optimalisasi UAV dapat diperhatikan

komponen-komponen kritis yang

teridentifikasi selama proses assembly.

Semakin cepat aktivitas kegiatan kritis

92 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:87-92

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

yang dilakukan maka akan semakin cepat

proses assembly UAV yang dilakukan.

Tabel 4. Pembagian Level Perakitan

5. KESIMPULAN

1. Pendekatan dengan Product Oriented

Work Breakdown Structure (PWBS)

pada pembuatan Unmanned Aerial

Vehicles (UAV), dalam pembagian

aktivitas pekerjaan menjadi sub tugas

yang lebih kecil menjadi lebih mudah

untuk dikerjakan dan diestimasi lama

waktunya dengan menggunakan

microsoft project.

2. Waktu yang dbutuhkan dalam perakitan

paling cepat adalah 139 menit terdiri

dari urutan kegiatan yang mengikuti

dari jalur lintasan kritis yang memiliki

nilai total float bernilai 0.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Jurusan

Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas

Andalas dan Lembaga Penelitian dan

Pengabdian Masyarakat (LPPM)

Universitas Andalas atas bantuan yang

diberikan dalam melakukan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Simmons, L. F., 2002, Project

Management – Critical Path Method

(CPM) and PERT Simulated with

Process Model. Proceedings of the

2002 Winter Simulation Conference.

[2] Siswanto. 2009. Operation Research

Jilid II. Jakarta: Penerbit Erlangga

[3] [Heizer, Jay dan Render Barry. 2004.

Manajemen Operasi. Jakarta :

Salemba Empat.

[4] Carl L. Pritchard. Nuts and Bolts

Series 1: How to Build a Work

Breakdown Structure. ISBN 1-

890367-12-5.

[5] Practice Standard for Work

Breakdown Structures, 2nd Edition

http://www.pmi.org

[6] Istimawan Dipohusodo. 1996.

Manajemen Proyek dan Konstruksi

Jilid 1 dan jilid 2. Kanisius Jakarta

[7] Heizer, Jay dan Render Barry. 2004.

Manajemen Operasi. Jakarta :

Salemba Empat

Pengendalian Persediaan Primary....(L. Lisya, et al.) 93

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

PENGENDALIAN PERSEDIAAN PRIMARY ITEMS DALAM LOGISTIK KONSTRUKSI

Lady Lisya, Rika Ampuh Hadiguna Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Andalas, Padang Email: [email protected]

Abstract

Construction logistics are activities that consist of ordering, storage and transportation of materials of construction projects. Storage material is logistics activity that ensure the availability of materials in project site. Generally, material storage activities have been conducted at the project site. Logistics construction is aimed to support the project activities that the completion schedule has been set.

Construction logistics issues is determining the schedule of ordering materials so that the project can be implemented on schedule. The purpose of research is to determine the optimum ordering period

for the primary items on the main building structure construction and designing inventory control cards as a mechanism for monitoring procurement of materials. This research has been obtained optimal ordering period for the primary items of main building structure with elements of the work using Fixed Period Requirement method. Inventories were already meet the material requirement of each period. Material management has been conducted based grouping approach as many as 31 groups. In addition, this research has proposed the inventory control cards as an instrument for

material procurement monitoring. The implications of inventory control cards are coordinate contracting parties with vendors to plan the replenishment of materials to meet the work schedule. Further research can be developed with other aspects such as integrated material order system between contractors and vendors to consider the safety stock. In addition, the information system for planning material is an important consideration for construction projects with large scale so that the companies can plan primary items inventory and other materials in the projects completion more easily, quickly and accurately.

Keywords: Construction logistics, inventory, order size, storage

Abstrak

Logistik konstruksi adalah kegiatan-kegiatan pemesanan, penyimpanan dan transportasi dari bahan-bahan proyek konstruksi. Penyimpanan bahan adalah kegiatan logistik yang berfungsi untuk menjamin ketersediaan bahan. Umumnya, kegiatan penyimpanan bahan telah dilakukan di lokasi proyek. Logistik konstruksi adalah bertujuan mendukung kegiatan proyek yang jadwal

penyelesaiannya telah ditetapkan. Permasalahan logistik konstruksi adalah menentukan jadwal pemesanan bahan sehingga proyek dapat dilaksanakan sesuai jadwal. Tujuan penelitian adalah menentukan periode pemesanan optimal untuk primary items pada pengerjaan main building structure dan merancang kartu kendali persediaan sebagai mekanisme monitoring pengadaan material. Penelitian ini telah mendapatkan periode pemesanan optimal untuk primary items pada pengerjaan main building structure dengan berbasis elemen pekerjaan menggunakan metode Fixed

Period Requirement. Jumlah persediaan yang didapatkan sudah memenuhi kebutuhan material setiap periode. Manajemen material sudah dilakukan berbasis pengelompokan pekerjaan yaitu

sebanyak 31 kelompok. Selain itu, penelitian ini telah menghasilkan desain rancangan kartu kendali persediaan sebagai mekanisme monitoring pengadaan material. Implikasi dari penerapan kartu kendali persediaan adalah pihak kontraktor mengkoordinasikan rencana kedatangan material dengan vendor untuk menjamin pekerjaan sesuai jadwal. Penelitian selanjutnya dapat dikembangkan dengan aspek lain seperti sistem pemesanan terintegrasi antara vendor dengan kontraktor dan

mempertimbangkan safety stock. Disamping itu, sistem informasi untuk perencanaan material adalah penting dipertimbangkan untuk proyek dengan skala besar sehingga perusahaan dapat merencanakan persediaan primary items maupun material lain yang digunakan dalam penyelesaian pembangunan proyek lebih mudah, cepat dan akurat.

Kata kunci: Logistik konstruksi, persediaan, ukuran pemesanan, penyimpanan

94 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:93-104

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

1. PENDAHULUAN

Pekerjaan proyek konstruksi

mengalami perkembangan yang pesat.

Saat ini, Industri Jasa Konstruksi

mendapat sorotan banyak pihak di

berbagai negara, mengingat

sumbangsihnya yang signifikan terhadap

banyak sektor terutama ekonomi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik

(BPS), Produk Domestik Bruto (PDB)

Indonesia semester I-2014 dibanding

semester I-2013 menunjukkan kenaikan

sebesar 5,17 persen. Pertumbuhan PDB

tersebut salah satunya didorong oleh

pertumbuhan sektor konstruksi sebesar

6,57 persen [1].

Pembangunan sebuah proyek

konstruksi membutuhkan banyak bahan

baku atau material. Kebutuhan volume

material yang sangat banyak

membutuhkan manajemen persedian

material yang baik. Ketersediaan bahan

baku atau material merupakan suatu hal

mutlak yang dibutuhkan pada sebuah

proyek konstruksi karena setiap proyek

menggabungkan sumber daya seperti

manusia, material, peralatan dan modal

atau biaya untuk mencapai tujuan tertentu

[2].

Material bangunan merupakan

komponen utama penyusun biaya dalam

setiap pembangunan proyek konstruksi.

Menurut menurut Patil [3], total biaya

yang dikeluarkan untuk biaya pembelian

material bangunan untuk proyek

konstruksi mungkin sebesar 50 persen

atau lebih dari total biaya proyek.

Sementara menurut Bandripta [4]

pengadaan material merupakan bagian

terpenting pada setiap proyek konstruksi,

karena sumber daya material dapat

menyerap hingga 40 persen sampai 60

persen dari biaya proyek. Oleh karena itu,

penggunaan teknik manajemen material

yang baik dan tepat untuk membeli,

menyimpan, mendistribusikan, dan

menghitung material konstruksi menjadi

sangat penting.

Manajemen material bertujuan untuk

meminimalkan biaya pengadaan yang

dapat mengurangi biaya proyek secara

keseluruhan serta memastikan bahwa

material yang tersedia digunakan sesuai

dengan jumlah dan saat diperlukan [5].

Pengadaan material yang efisien berperan

penting dalam keberhasilan penyelesaian

pekerjaan dari sebuah proyek konstruksi.

Jika pemesanan material dilakukan terlalu

dini akan mengakibatkan meningkatnya

pengeluaran modal dan biaya dari

kelebihan persediaan material [3]. Namun

sebaliknya, jika kekurangan persediaan

material dapat menghentikan proses

pengerjaan proyek bahkan dapat

mengubah jadwal pengerjaan proyek yang

telah direncanakan perusahaan, yang

pada akhirnya dapat meningkatkan

ongkos dari kekurangan material.

Pelaksana proyek konstruksi

memerlukan manajemen material yang

baik agar penyelesaian proyek konstruksi

sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Salah satu proyek konstruksi

pembangunan yang menarik untuk dikaji

dalam perspektif logistik konstruksi adalah

rumah sakit pendidikan di salah satu

universitas di Kota Padang. Pengendalian

material dalam proyek konstruksi dapat

dikelola dengan pendekatan konsep

logistik [6].

Logistik konstruksi sama halnya dengan

perusahaan lain baik manufaktur atau jasa

yang tidak terlepas dari masalah

persediaan material dalam pengerjaan

proyek. Volume penggunaan material

terbesar dan waktu pengerjaan terlama

pada proyek adalah main building

structure yaitu selama 34 minggu dari 78

minggu atau 43,59% dari total waktu

pengerjaan proyek. Material utama

(primary items) yang dibutuhkan proyek

dengan volume penggunaan terbesar

terdapat pada material penyusun

pekerjaan main building structure.

Pekerjaan main building structure ini mulai

dari pekerjaan lantai dasar (ground floor)

hingga pekerjaan roofing pada jadwal

proyek yang ada.

Berdasarkan Gambar 1, banyaknya

volume penggunaan material

menyebabkan meningkatnya proporsi

persediaan akan material tersebut. Oleh

karena itu, penelitian ini hanya membahas

lebih lanjut tentang sistem persediaan

material yang merupakan primary items

yang digunakan oleh perusahaan dalam

menyelesaikan proyek tersebut.

Pengadaan dan penyediaan material

merupakan hal yang signifikan dalam

Pengendalian Persediaan Primary....(L. Lisya, et al.) 95

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

menentukan apakah suatu proyek dapat

selesai pada waktunya. Bila terjadi

keterlambatan dalam penyediaan bahan

maka proyek dapat terhenti dan

menimbulkan kerugian bagi pelaksana

proyek. Kebijakan persediaan yang

diterapkan perusahaan selama ini adalah

dengan melakukan pengontrolan secara

berkala.

Kajian terhadap pengelolaan material

penting dilakukan untuk memperbaiki

sistem persediaan dengan

mempertimbangkan aktivitas atau elemen

pekerjaan. Penerapan konsep persediaan

bermanfaat dalam penyusunan

perencanaan yang tepat terhadap kapan

pemesanan dilakukan dan jumlah

pemesanan yang harus dilakukan untuk

minimisasi total biaya persediaan.

Permasalahannya adalah penentuan

periode pemesanan optimal untuk primary

items. Tujuan penelitian adalah

menentukan periode pemesanan optimal

untuk primary items pada pengerjaan

main building structure dan merancang

kartu kendali persediaan sebagai

mekanisme monitoring pengadaan

material.

Tabel 1. Total Kebutuhan Material

Gambar 1. Proporsi Permintaan Material

2. METODE PENELITIAN

Obyek penelitian ini adalah proyek

konstruksi. Penelitian ini fokus pada

proyek konstruksi pembangunan Rumah

Sakit Pendidikan Universitas Andalas di

Padang. Elemen pekerjaan yang dikaji

pada penelitian ini adalah elemen-elemen

pekerjaan yang terdapat pada pekerjaan

main building structure, yaitu elemen-

elemen pekerjaan pada pekerjaan lantai

dasar, lantai 1, lantai 2, lantai 3, lantai 4,

machine room dan roofing.

Data yang dikumpulkan pada penelitian

ini terdiri atas dua tipe data diantaranya

yaitu data primer dan data sekunder. Data

primer ini berupa hasil wawancara dengan

Manajer Produksi Proyek berupa data

harga material per satuan, biaya-biaya

penyusun biaya pesan dan biaya-biaya

penyusun biaya simpan. Sedangkan data

sekunder yang dikumpulkan berupa data

gambaran perencanaan proyek, data

umum proyek, data kebutuhan material

atau Bill of Quantity (BOQ) dan time

schedule proyek.

Penelitian dilakukan dengan

menerapkan beberapa metoda. Tahap

pertama adalah mengidentifikasi jenis

material dan elemen pekerjaan. Tahap ini

dilakukan untuk mengidentifikasi jenis

material apa dan uraian elemen pekerjaan

apa saja yang dibutuhkan dalam

penyelesaian proyek. Selanjutnya adalah

seleksi jenis material dan elemen

pekerjaan. Tahap ini dilakukan untuk

menentukan primary item yang

dibutuhkan proyek dengan volume

terbesar untuk setiap elemen pekerjaan

pada pekerjaan main building structure

dan jenis elemen pekerjaan mana saja

yang memerlukan primary item tersebut

dalam proses pembangunan proyek

berdasarkan hasil identifikasi jenis

material dan elemen pekerjaan pada

tahap sebelumnya. Berdasarkan jenis

material dan elemen pekerjaan yang telah

diseleksi kemudian dibuat breakdown

dalam struktur produk. Struktur produk

tersebut berfungsi sebagai input MRP.

Elemen-elemen pekerjaan yang telah

diseleksi kemudian diurutkan berdasarkan

waktu mulai pengerjaan yang sama.

Elemen pekerjaan yang telah

diurutkan kemudian dikelompokkan

No Jenis MaterialTotal

DemandSatuan Persentase

1 Beton Ready Mix K 350 16093,5 m3 10%

2 Besi Beton BJTD 40 2750983 kg 45%

3 Besi Beton BJTP 24 42337,22 kg 15%

4Multipleks t = 9 mm

(ukuran 2,4 m x 1,2 m)75983,01

lembar

(m2)

25%

5 Kayu Bekisting 700 m3 2%

6 Batako 18000 buah 3%

96 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:93-104

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

kedalam kelompok - kelompok pekerjaan

berdasarkan waktu mulai pengerjaannya.

Tahap kedua adalah membuat rencana

penjadwalan pekerjaan berdasarkan

kelompok pekerjaan yang ditetapkan.

Rencana penjadwalan pekerjaan

berdasarkan kelompok pekerjaan dibuat

berurutan dari minggu pertama sampai

akhir pengerjaan main building structure.

Penjadwalan pekerjaan tersebut berfungsi

sebagai masukan MRP. Penjadwalan

pekerjaan perlu didukung data kebutuhan

total material kelompok pekerjaan.

Kebutuhan total material per kelompok

pekerjaan berdasarkan elemen pekerjaan

apa saja yang termasuk dalam kelompok

pekerjaan tersebut dan dihitung per

masing-masing jenis primary item apa

saja yang dibutuhkan dalam

menyelesaikan elemen pekerjaan.

Selanjutnya menghitung besar lot

pemesanan tiap periode (lot sizing)

dengan metode FPR (Fixed Period

Requirement). Perhitungan penentuan

besar lot pemesanan dilakukan dengan

pendekatan menggunakan konsep ukuran

lot dengan periode tetap, dimana pesanan

dilakukan berdasarkan periode waktu

tertentu saja. Salah satu jenis dari metode

MRP ini digunakan karena berdasarkan

struktur produk dapat terlihat bahwa

antar material saling berhubungan

(bersifat dependent antara satu material

dengan material lainnya) untuk

menyelesaikan suatu jenis pekerjaan

bangunan.

Metode FPR digunakan karena data

yang diperoleh adalah data kebutuhan

bersih dari masing-masing jenis material

dan untuk menghitung jumlah kebutuhan

material per kelompok pekerjaan adalah

dengan menjumlahkan kebutuhan bersih

pada periode yang sama. Selain itu,

metode FPR ini digunakan dengan konsep

lot pemesanan per kelompok pekerjaan

(Q) demand atau kebutuhan bersih di

kelompok pekerjaan tersebut, berarti

pada kasus ini T (periode pemesanan)

yang tetap untuk setiap pemesanan pada

kelompok pekerjaan namun Q berbeda,

sehingga dipilihlah salah satu metode

pada model P yang cocok untuk kondisi ini

yaitu FPR (Fixed Periode Requirement).

Menentukan lama periode pemesanan

optimal (offsetting). Tahapan ini bertujuan

agar material dapat tersedia tepat

pada saat dibutuhkan dengan

memperhitungkan lead time pengadaan

material tersebut. Menghitung total biaya

persediaan yaitu penjumlahan total biaya

pemesanan ditambah total biaya

penyimpanan material.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Deskripsi Proyek

Studi diawali dengan mengumpulkan

dan menganalisis data umum proyek,

kurva S proyek atau jadwal kegiatan

proyek (time schedule project), tahapan

pekerjaan proyek, rincian rencana

pelaksanaan pekerjaan main building

structure, data kebutuhan bersih primary

items pada pekerjaan main building

structure dankomponen penyusun biaya

persediaan primary items pada pekerjaan

main building structure.

Pengerjaan proyek pembangunan

rumah sakit Pendidikan membutuhkan

waktu penyelesaian selama 540 hari

kalender. Sedangkan khusus untuk

pekerjaan main building structure dimulai

pada minggu ke-2, bulan Agustus 2014

yaitu tanggal 11 Agustus 2014 sampai

dengan minggu ke-1, bulan April yaitu

tanggal 5 April 2015, maka lama waktu

penyelesaian pekerjaan main building

structure selama 34 minggu.

Biaya persediaan terdiri atas biaya

pembelian material (purchase cost)

berupa data harga material dapat dilihat

pada Tabel 2, biaya pemesanan (order

cost) dapat dilihat pada Tabel 3 dan biaya

penyimpanan (holding cost) dapat dilihat

pada Tabel 4.

3.2. Analisis Elemen Pekerjaan

Seleksi elemen pekerjaan dan jenis

materialmerupakan analisis awal yang

dibutuhkan untuk menetapkan primary

items. Tahap ini dilakukan proses

identifikasi elemen pekerjaan dan jenis

material yang dibutuhkan pada pekerjaan

main building structure sesuai jadwal

pekerjaan proyek, sebelum elemen

pekerjaan dikelompokkan. Berdasarkan

hasil identifikasi elemen pekerjaan yang

Pengendalian Persediaan Primary....(L. Lisya, et al.) 97

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

terdapat pada jadwal proyek, dilakukan

penyeleksian untuk elemen pekerjaan

yang tidak menggunakan primary items.

Rekapitulasi kebutuhan material tersebut

merupakan semua kebutuhan material

dalam satuan tertentu tergantung jenis

material per elemen pekerjaan yang

menyusun pekerjaan main building

structure. Jadwal pekerjaan main building

berisikan informasi tentang simbol yang

diberikan, waktu pelaksanaan dan bobot

pekerjaan masing-masing elemen

pekerjaan setiap periode.

Tabel 2. Data Harga Primary Items

Tabel 3. Biaya Pemesanan Primary Items

Tabel 4. Komponen Penyusun Biaya

Penyimpanan Primary Items

Hasil pengelompokan elemen

pekerjaan menghasilkan 31 kelompok dan

setiap kelompok terdiri dari beberapa

pekerjaan yang bervariasi untuk setiap

kelompoknya. Hasil pengelompakn

disajikan dalam Tabel 5. Berdasarkan hasil

penyeleksian untuk elemen pekerjaan

yang tidak menggunakan primary items,

tahap selanjutnya yaitu mengurutkan

elemen pekerjaan dengan waktu mulai

pengerjaan yang sama dan

dikelompokkan dalam kelompok

pekerjaan yang sama. Setelah elemen

pekerjaan dikelompokkan dilakukan

identifikasi dan merekapitulasi kebutuhan

material per kelompok. Rekapitulasi

rincian kebutuhan (demand) material

berguna untuk mengidentifikasi primary

items apa saja yang diperlukan masing -

masing elemen pekerjaan dan berapa

jumlah kebutuhan (demand) primary

items dalam satuan tertentu (tergantung

jenis material) masing - masing kelompok

pekerjaan tersebut.

Selanjutnya, jadwal pekerjaan main

building structure dikelompokkan. Sama

halnya dengan jadwal pekerjaan awal

sebelum dikelompokkan, jadwal pekerjaan

telah dikelompokkan juga berisikan

informasi tentang rincian nama elemen

pekerjaan, simbol yang diberikan untuk

masing – masing elemen pekerjaan,

waktu pelaksanaan pekerjaan dan bobot

pekerjaan masing-masing elemen

pekerjaan pada setiap periode.

Selain itu, analisis telah dilakukan

untuk memberikan informasi elemen

pekerjaan yang telah dikelompokkan

dalam kelompok pekerjaan tertentu

berdasarkan elemen pekerjaan yang

diawali secara bersamaan atau waktu

mulai pengerjaan yang sama dengan kata

lain elemen pekerjaan yang berada dalam

kelompok pekerjaan yang sama dikerjaan

secara paralel.

3.3. Penentuan Jadwal Pemesanan

MRP terdiri atas struktur produk dan

rencana penjadwalan pekerjaan

berdasarkan kelompok pekerjaan yang

ditetapkan. Pertama adalah menganalisis

struktur produk pekerjaan main building

structure. Struktur produk berisi informasi

yang mengidentifikasikan semua

kebutuhan komponen yang akan

digunakan untuk menghasilkan produk

akhir dari suatu pekerjaan yaitu main

building structure. Struktur produk terdiri

atas 3 level, berdasarkan pada break down

elemen pekerjaan yang dapat dilihat pada

time schedule proyek dan hasil seleksi

elemen pekerjaan dan data kebutuhan

bersih (Bill of Quantity/BOQ) proyek

Struktur produk tersebut menunjukkan

No Jenis Material Satuan Harga (Rp)

1 Beton Ready Mix K 350 m3 880.000Rp

2 Besi Beton BJTD 40 kg 9.800Rp

3 Besi Beton BJTP 24 kg 9.300Rp

4 Multipleks lembar (m2) 170.000Rp

No Kegiatan Biaya

1Biaya Pembuatan Purchasing Order (PO)

3 lembar @Rp 150,00450Rp

2Biaya Pengurusan Barang Masuk 3

lembar @Rp 150,00450Rp

3 Biaya Telepon Vendor 6.500Rp

4 Biaya Email 3.000Rp

5 Uang Pemuda per kedatangan Material 200.000Rp

210.400Rp Total

No Jenis Material Kegiatan Biaya

1 Besi Beton BJTD 40 Biaya Pengawasan Material per Satuan 0,91Rp

2 Besi Beton BJTP 24 Biaya Pengawasan Material per Satuan 59,05Rp

Biaya Pengawasan Material per Satuan 35,21Rp

Biaya Pembuatan Gudang 54,23Rp

Total 89,44Rp

3 Multipleks t = 9 mm

98 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:93-104

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

hubungan antara setiap elemen pekerjaan

dengan material yang dibutuhkan.

Selanjutnya, penyusunan rencana

penjadwalan pekerjaan main building

structure didapatkan dari

pengelompokkan elemen pekerjaan

dengan waktu mulai pengerjaan yang

sama ke dalam satu kelompok pekerjaan

yang sama, sehingga tiap kelompok

memiliki elemen pekerjaan penyusun

yang berbeda – beda. Berdasarkan

ketentuan tersebut, kelompok yang

dihasilkan sebanyak 31 kelompok

pekerjaan dengan lama pengerjaan

selama 33 minggu. Rencana penjadwalan

pekerjaan main building structure

berdasarkan kelompok pekerjaan yang

ditetapkan dapat dilihat pada Gambar 5.

Mulai

Studi Pendahuluan

Survei Sistem

1. Pengamatan langsung pelaksanaan proyek RS. Pendidikan UNAND

oleh PT Adhi Karya.

2. Wawancara dengan Manajer Produksi Proyek.

3. Data umum proyek.

Identifikasi Jenis Material dan Elemen Pekerjaan

Mengidentifikasi jenis material dan elemen pekerjaan

proyek bagian main building structure.

Pengumpulan

Data

Penelitian terdahulu terkait

persediaan material proyek

konstruksi dengan metode MRP

Konsep :

1. Proyek

2. Konstruksi

3. Logistik

4. Persediaan

5. MRP

Menyusun Struktur Produk

Menghitung Biaya-

biaya Pemesanan

Menghitung Total Biaya Persediaan

Selesai

Menghitung Biaya-

biaya Penyimpanan

Analisis

1. Analisis Pengelompokkan Elemen Pekerjaan Berdasarkan Waktu Mulai Pekerjaan

dan Rencana Penjadwalan Pekerjaan Berdasarkan Kelompok Pekerjaan

2. Analisis Kebutuhan Material per Periode

3. Analisis Lot Sizing dengan Metode Fixed Period Requirement (FPR) dan Total

Biaya Persediaan Berdasarkan Kelompok Pekerjaan

4. Analisis Kartu Kendali Persediaan

5. Analisis Rancangan Sistem

Identifikasi elemen pekerjaan dan

jenis material

1. Gambaran perencanaan proyek

2. Data kebutuhan material (BOQ)

1. Harga material per satuan

2. Biaya PesanBiaya SimpanTime schedule proyek

Seleksi elemen pekerjaan dan

jenis material

Urutkan elemen pekerjaan dengan waktu

mulai pengerjaan yang sama

Kelompokkan elemen pekerjaan dalam

kelompok-kelompok pekerjaan

Hitung Kebutuhan Total Material

Kelompok Pekerjaan (Netting)

Buat rencana penjadwalan pekerjaan

berdasarkan kelompok yang ditetapkan

Hitung besar lot pemesanan tiap periode (Lot sizing)

dengan metode FPR (Fixed Periode Requirement)

Tentukan lama periode pemesanan optimal (offsetting)

Studi Literatur

Pengolahan Data

Input MRP

Merancang Kartu Kendali

Persediaan

Penutup

Gambar 2. Flowchart Metodologi Penelitian

Pengendalian Persediaan Primary....(L. Lisya, et al.) 99

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Tabel 5. Hasil Pengelompokan Pekerjaan

Beton

Ready Mix

K 350

(m3)

Besi Beton

BJTD 40

(kg)

Besi Beton

BJTP 24

(kg)

Multipleks

t = 9 mm

(ukuran

2,4 m x 1,2

m) (m2)

Beton Ready Mix K

350 (m3)

Besi Beton

BJTD 40 (kg)

Besi Beton

BJTP 24 (kg)

Multipleks

t = 9 mm

(ukuran

2,4 m x 1,2

m) (m2)Lantai-1 - Pekerjaan Bored Pile B dia 1200 mm J11 1028,66 93468,82 14112,41 -

Lantai-2 - Pekerjaan Bored Pile A dia 1200 mm J24 601,37 54643,31 8250,33 -

Lantai-1 - Pekerjaan Pile Cap B J12 457,97 84785,96 - 614,10

Lantai-1 - Pekerjaan Tie Beam B J13 145,28 39903,70 - 745,69

Lantai Dasar - Pekerjaan Pile Cap C J2 876,45 145281,56 - 964,30

Lantai Dasar - Pekerjaan Tie Beam C J3 286,33 82185,78 - 1530,10

Lantai-1 - Pekerjaan Slab B J14 647,64 80361,05 - 5018,85

Lantai Dasar - Pekerjaan Bored Pile C dia 1200 mm J1 1455,96 132294,33 19974,48 -

Kelompok 4 Lantai-2 - Pekerjaan Pile Cap A J25 390,70 61563,87 - 393,46 390,70 61563,87 - 393,46

Lantai-1 - Pekerjaan Colum B J15 157,43 40178,77 - 1118,39

Lantai-1 - Pekerjaan Retainning Wall J19 49,45 9089,59 - 395,58

Kelompok 6 Lantai-2 - Pekerjaan Tie Beam A J26 168,96 43911,03 - 886,17 168,96 43911,03 - 886,17

Lantai-1 - Pekerjaan Beam C J16 653,98 155621,28 - 3311,93

Lantai Dasar - Pekerjaan Slab C J4 1235,79 145414,01 - 90,06

Lantai-2 - Pekerjaan Slab A J27 582,64 65332,63 - 5297,87

Lantai Dasar - Pekerjaan Retainning Wall J6 210,66 39504,11 - 1685,29

Lantai-2 - Pekerjaan Beam B J29 193,66 38845,45 - 1314,33

Lantai Dasar - Pekerjaan Colum C J5 208,85 67903,10 - 1323,43

Lantai Dasar - Pekerjaan Shear Wall J8 73,77 29750,58 - 462,53

Lantai-1 - Pekerjaan Wall Stair J22 22,45 136,12 - 374,14

Lantai-3 - Pekerjaan Beam B J43 143,25 50370,26 - 954,99

Lantai-2 - Pekerjaan Plat B J30 291,32 32666,32 - 2648,93

Lantai-2 - Pekerjaan Colum A J28 218,85 56089,09 - 1459,01

Lantai-1 - Pekerjaan Shear Wall J21 89,23 30847,60 - 647,88

Lantai-3 - Pekerjaan Slab B J44 274,25 31347,17 - 2266,96

Lantai-1 - Pekerjaan Plat C J17 647,64 80361,05 - 5018,85

Lantai-3 - Pekerjaan Beam A J40 311,43 89499,71 - 1384,14

Lantai-3 - Pekerjaan Slab A J41 274,25 31347,17 - 2266,96

Lantai-1 - Pekerjaan Stair J20 11,33 1810,54 - 102,12

Lantai-1 - Pekerjaan Separator Beam J23 1,68 382,18 - 20,12

Kelompok 11 Lantai-2 - Pekerjaan Colum B J31 115,86 36853,03 - 675,86 115,86 36853,03 - 675,86

Kelompok 12 Lantai-3 - Pekerjaan Colum A J42 82,07 20945,29 - 547,13 82,07 20945,29 - 547,13

Lantai-2 - Pekerjaan Shear Wall J36 143,35 35152,80 - 1145,17

Lantai-4 - Pekerjaan Beam A J54 307,15 93392,84 - 1365,09

Lantai-1 - Pekerjaan Colum C J18 130,88 46115,89 - 790,30

Lantai-4 - Pekerjaan Slab A J55 293,85 35429,81 - 2492,87

Lantai Dasar - Pekerjaan Wall Stair J9 10,91 62,14 - 181,84

Lantai-3 - Pekerjaan Colum B J45 146,71 36561,69 - 1014,69

Lantai-4 - Pekerjaan Shear Wall J62 66,55 8620,77 - 639,08

Lantai-2 - Pekerjaan Beam C J32 326,49 82713,36 - 1687,94

Lantai-2 - Pekerjaan Plat C J33 291,32 32666,32 - 2648,93

Lantai-4 - Pekerjaan Colum A J56 122,30 29120,66 - 815,33

Lantai Dasar - Pekerjaan Stair J7 19,72 3263,52 - 168,39

Lantai-2 - Pekerjaan Ramp J37 31,76 4592,08 - 256,62

Lantai-4 - Pekerjaan Beam B J57 150,57 33102,71 - 1058,56

Lantai-3 - Pekerjaan Shear Wall J50 143,35 23503,63 - 1145,17

Lantai-2 - Pekerjaan Stair J35 23,60 3766,15 - 209,50

Lantai-2 - Pekerjaan Colum C J34 14,21 4244,40 - 143,04

Lantai-4 - Pekerjaan Slab B J58 293,85 35429,81 - 2492,87

Lantai-3 - Pekerjaan Ramp J51 31,76 4592,08 - 256,62

Lantai Dasar - Pekerjaan Separator Beam J10 0,50 122,51 - 5,94

Lantai-2 - Pekerjaan Wall Stair J38 39,96 229,71 - 666,03

Lantai-3 - Pekerjaan Beam C J46 236,23 59578,19 - 1624,66

Lantai-3 - Pekerjaan Slab C J47 274,25 31347,17 - 2266,96

Lantai-4 - Pekerjaan Colum B J59 59,00 14532,72 - 464,88

Lantai-2 - Pekerjaan Separator Beam J39 1,68 347,70 - 20,12

Kelompok 20 Machine Room - Pekerjaan Beam J67 262,21 152474,99 - 3068,49 262,21 152474,99 - 3068,49

Machine Room - Pekerjaan Slab J68 254,18 32623,20 - 2179,52

Lantai-4 - Pekerjaan Ramp J63 31,76 4592,08 - 256,62

Kelompok 22 Lantai-3 - Pekerjaan Colum C J48 90,12 29805,14 - 525,67 90,12 29805,14 - 525,67

Kelompok 23 Lantai-4 - Pekerjaan Beam C J60 96,73 25979,44 - 644,84 96,73 25979,44 - 644,84

Roofing - Pekerjaan Beam J72 13,96 2727,73 - 93,09

Roofing - Pekerjaan Slab J73 16,89 1816,88 - 151,80

Machine Room - Pekerjaan Stair J70 129,18 73,98 - 258,37

Machine Room - Pekerjaan Column J66 10,95 2269,86 - 109,51

Lantai-3 - Pekerjaan Stair J49 20,09 3198,86 - 177,60

Machine Room - Pekerjaan Shear Wall J69 8,79 1049,47 - 60,98

Kelompok 27 Lantai-3 - Pekerjaan Wall Stair J52 38,43 238,22 - 640,46 38,43 238,22 - 640,46

Lantai-4 - Pekerjaan Stair J61 12,53 1990,91 - 109,39

Machine Room - Pekerjaan Separator Beam J71 0,43 125,19 - 5,19

Kelompok 29 Lantai-4 - Pekerjaan Separator Beam J65 1,33 284,55 - 16,01 1,33 284,55 - 16,01

Kelompok 30 Lantai-3 - Pekerjaan Separator Beam J53 1,68 362,48 - 20,12 1,68 362,48 - 20,12

Kelompok 31 Lantai-4 - Pekerjaan Wall Stair J64 35,13 187,17 - 585,57 35,13 187,17 - 585,57

16093,50 2750983,27 42337,22 75983,01

Kelompok 1

Demand Material

No.

Kelompok

Pekerjaan

Simbol

Total Demand Per Kelompok Pekerjaan

2413,24

Total

Kelompok 2

Kelompok 5

Kelompok 7

Kelompok 8

Kelompok 9

Kelompok 24

Kelompok 25

Kelompok 26

Kelompok 28

Kelompok 3

571,16

285,93

30,85

140,13

28,88

12,96

Kelompok 10

Kelompok 13

Kelompok 14

Kelompok 15

Kelompok 16

Kelompok 17

Kelompok 18

Kelompok 19

Kelompok 21

603,25

3266,37

206,88

2472,41

709,40

742,65

1520,57

450,50

435,65

124689,66

440122,71

49268,36

366367,92

176139,37

169973,26

234747,82

128545,65

81607,84

2116,10

213,25

791,58

317,52

380,28

-

-

-

-

-

-

-

-

45182,46

152355,93

60372,48

44618,51

105805,79

37215,28

4544,61

2343,84

4248,33

114,58

-

-

19974,48

-

-

-

-

-

-

-

Elemen Pekerjaan

-22362,74148112,131630,04

-

1359,79

7513,25

1513,97

8699,86

5159,72

5710,81

11059,14

2510,27

3465,01

1653,77

5577,22

3564,51

4376,61

2436,14

244,88

367,88

238,58

100 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:93-104

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

Gambar 3. Rencana Penjadwalan Pekerjaan Main Building Structure

3.4. Kartu Kendali Persediaan

Penerapan rencana jadwal pekerjaan

perlu didukung instrument untuk

pengendalian persediaan. Kartu kendali

material adalah instrumen yang diusulkan

dalam penelitian ini. Kartu kendali

persediaan ini berguna untuk

mengendalikan jumlah persediaan yang

ada di gudang dan mengendalikan

material yang keluar masuk gudang serta

sebagai early warning system, sehingga

out of stock terhindarkan. Desain kartu

kendali persediaan dapat dilihat pada

Gambar 4.

Kartu kendali persediaan yang

dirancang berguna sebagai alat untuk

memonitoring dan mengendalikan

persediaan material. Tujuan utama dari

perencanaan dan pengendalian

persediaan pada proyek pembangunan

Rumah Sakit Pendidikan Universitas

Andalas adalah agar proyek dapat selesai

tepat pada waktu dan hasil/spesifikasi

bangunan sesuai dengan desain yang

direncanakan dan disepakati oleh

kontraktor dan pihak Universitas Andalas.

Selain itu tujuan lain dari perencanaan dan

pengendalian persediaan bagi pihak

kontraktor adalah agar penggunaan

kapasitas pembangunan yang efisien dan

biaya operasi minimum serta menjaga

tingkat persediaan sepanjang/selama

meterial digunakan dalam proses

pembangunan bangunan. Persediaan

tidak dapat diabaikan karena fungsinya

sebagai penyangga / buffer dalam

memelihara kelancaran proses pengerjaan

proyek.

Kartu kendali persediaan yang

dirancang berguna sebagai alat untuk

memonitoring dan mengendalikan

persediaan material. Tujuan utama dari

perencanaan dan pengendalian

persediaan pada proyek pembangunan

Rumah Sakit Pendidikan Universitas

Andalas adalah agar proyek dapat selesai

tepat pada waktu dan hasil/spesifikasi

bangunan sesuai dengan desain yang

direncanakan dan disepakati oleh

kontraktor dan pihak Universitas Andalas.

Selain itu tujuan lain dari perencanaan dan

pengendalian persediaan bagi pihak

kontraktor adalah agar penggunaan

kapasitas pembangunan yang efisien dan

biaya operasi minimum serta menjaga

tingkat persediaan sepanjang/selama

meterial digunakan dalam proses

pembangunan bangunan. Persediaan

tidak dapat diabaikan karena fungsinya

sebagai penyangga / buffer dalam

memelihara kelancaran proses pengerjaan

proyek.

Penerapan kartu kendali persediaan

dapat diterapkan dengan memperhatikan

beberapa asumsi berikut:

1. Sistem yang membagi-bagi pemesanan

dalam kelompok dengan

mempertimbangkan faktor ekonomi

seperti pertimbangan penggunaan

modal oleh kontraktor dapat

dialokasikan merata ke material lain

yang dibutuhkan pada saat yang

bersamaan.

Pengendalian Persediaan Primary....(L. Lisya, et al.) 101

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

2. Periode pemesanan berbeda untuk

beberapa kelompok pekerjaan dengan

mempertimbangkan kapasitas gudang

seperti pada material multipleks dimana

kapasitas gudangnya sebesar 10185,19

m2.

3. Pemesanan yang dilakukan sekaligus per

kelompok pekerjaan diperiode awal

dilakukan dengan mempertimbangkan

faktor waktu seperti lamanya

transportasi untuk pengiriman barang

oleh vendor. Selain itu, juga

dipertimbangkan faktor ketidakpastian

seperti terjadinya keterlambatan

pengirimanan barang oleh vendor,

kelangkaan material yang dibutuhkan

dan adanya kenaikan harga dipasaran

yang akan menambah biaya proyek

secara keseluruhan.

4. Pemesanan yang dilakukan tiap periode

per kelompok pekerjaan dilakukan untuk

material beton ready mix K 350 karena

sifat material tersebut tidak bisa

disimpan dalam jangka waktu yang

lama.

5. Pemesanan yang dilakukan sekaligus per

kelompok pekerjaan diperiode awal

dapat dilakukan karena jenis material

tidak mudah rusak jika disimpan dalam

jangka waktu yang lama, berlaku untuk

material besi beton BJTD 40 dan BJTP 24.

6. Pemesanan yang dilakukan sekaligus per

kelompok pekerjaan diperiode awal

dapat dilakukan karena lahan yang

berfungsi sekaligus menjadi gudang

penyimpanan material cukup luas dan

mampu menampung material yang

dipesan, berlaku untuk material besi

beton BJTD 40 dan BJTP 24.

Gambar 4. Rancangan Kartu Kendali Persediaan

102 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:93-104

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

3.5. Pembahasan

Pengelompokkan elemen pekerjaan

dilakukan terhadap elemen-elemen

pekerjaan yang waktu mulai pekerjaannya

sama. Semakin banyak elemen pekerjaan

yang pengerjaannya berada diwaktu yang

sama, maka akan semakin banyak elemen

pekerjaan penyusun untuk pekerjaan

tersebut. Pengelompokkan ini dilakukan

untuk membuat rencana penjadwalan

pekerjaan yang akan mempengaruhi

sistem perencanaan pemesanan material.

Semakin banyak kelompok pekerjaan

yang dihasilkan, berarti semakin lama

penggunaan material. Berdasarkan

pengelompokkan pekerjaan untuk

membangun main building stucture yang

dilakukan terdapat sebanyak 31 kelompok

dalam waktu 33 minggu dengan kelompok

yang memiliki jumlah elemen pekerjaan

penyusun kelompok pekerjaan terbanyak

yaitu terdapatpada kelompok pekerjaan

ke-13 dengan penyusun sebanyak 6

elemen pekerjaan.

Kebutuhan material masing-masing

elemen pekerjaan per periode ditentukan

berdasarkan proporsi/bobot pekerjaan per

periode pekerjaan dibandingkan dengan

bobot total pengerjaan per elemen

pekerjaan sampai selesai, lalu dikalikan

dengan jumlah total kebutuhan per

elemen pekerjaan, periode berupa

minggu. Perkiraan jumlah kebutuhan

(demand) per durasi total penyelesaian

elemen pekerjaan menjadi kebutuhan per

periode dengan mempertimbangkan bobot

elemen pekerjaan per periode sepanjang

durasi penyelesaian masing-masing

elemen pekerjaan yang direncanakan.

Berdasarkan perhitungan, kebutuhan

material per periode terbanyak terdapat

pada material besi beton BJTD 40 pada

kelompok pekerjaan 3 di periode ke-5

sampai dengan periode ke-7 dengan besar

kebutuhan material sama yaitu sebesar

68999,33 kg. Dan kebutuhan material per

periode paling sedikit pada material beton

ready mix K 350 di kelompok pekerjaan 29

periode ke-1 sampai periode ke-2 dengan

besar kebutuhan material sama yaitu

sebesar 0,67 m3. Hal ini menunjukkan

semakin besar proporsi per periode yang

dimiliki material, maka akan semakin

besar jumlah kebutuhan material

tersebut.

Pada metode FPR ini selang

waktu/periode antar pemesanan pada

kelompok pekerjaan dibuat tetap dengan

penjumlahan ukuran lot sesuai pada

kebutuhan bersih pada periode yang telah

ditetapkan. Periode antar pemesanan tiap

kelompok pekerjaan berbeda. Perbedaan

ini terjadi karena pengaruh sifat dari jenis

material bisa disimpan lama (besi beton

BJTD 40, besi beton BJTP 24 dan

multipleks t = 9 mm) dan tidak bisa

disimpan lama (beton ready mix K 350),

serta kapasitas gudang khusus untuk

material yang disimpan di gudang dalam

yaitu multipleks t = 9 mm. Periode antar

pemesanan berbanding lurus dengan

jumlah ukuran lot pemesanan. Jika

semakin besar periode yang ditetapkan,

maka akan semakin besar jumlah ukuran

lot pemesanan material. Semakin banyak

kebutuhan material pada setiap kelompok

pekerjaan, maka akan semakin lama

selang waktu/periode antar pemesanan,

artinya perusahaan kontraktor semakin

jarang melakukan pemesanan material

kepada pemasok (supplier) untuk

kelompok pekerjaan tersebut seperti

pemesanan yang umum dilakukan untuk

material besi beton BJTD 40 dan besi

beton BJTP 24. Misal selang waktu/periode

antar pemesanan kelompok pekerjaan 1

untuk material tersebut dengan

pemesanan 1 kali untuk kebutuhan enam

periode ke depan. Hal ini dilakukan agar

kebutuhan material dapat terpenuhi

sesuai dengan proporsi bobot pekerjaan di

masing – masing periode. Ukuran lot

pemesanan optimal (Q*) berbeda untuk

setiap jenis material pada kelompok

pekerjaan yang sama, hal ini tergantung

pada kebutuhan, sifat material dan

kapasitas gudang yang mengakibatkan

bervariasinya periode antar pemesanan

dan frekuensi pemesanan primary items

pada kelompok pekerjaan tersebut. Q*

akan besar jika jumlah kebutuhan dari

penjumlahan kebutuhan berdasarkan

interval pemesanan yang ditetapkan juga

besar, begitu juga sebaliknya.

Selain itu, jumlah persediaan yang

didapatkan dengan metode FPR ini mampu

memenuhi kebutuhan material tiap

periode. Hal ini dibuktikan berdasarkan

Pengendalian Persediaan Primary....(L. Lisya, et al.) 103

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

perhitungan material besi beton BJTD 40,

ukuran pemesanan periode 0 sebesar

148112,13 kg, dan periode 1 sebesar

124689,66 kg, sehingga jumlah

persediaan dapat memenuhi jumlah

kebutuhan material periode 1 sebesar

28868,14 kg dengan sisa persediaan

periode 1 sebesar 243933,65 kg.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat

ditarik kesimpulan bahwa pengambilan

kebijakan rencana pemesanan material

harus mempertimbangkan sifat material

dan kapasitas gudang untuk menentukan

periode pemesanan dan frekuensi

pemesanan primary items, agar

keputusan lebih optimal jika dibandingkan

dengan hanya mempertimbangkan salah

satu faktor. Misalnya jika keputusan yang

diambil hanya mempertimbangkan

interval pemesanan maka akan

menimbulkan masalah bahwa pemesanan

yang dilakukan akan melebihi kapasitas

gudang contoh material multipleks

kapasitas penyimpanan gudang sebesar

10185,19 m2.

Total biaya persediaan minimum

terdapat pada kelompok pekerjaan 24

karena jumlah kebutuhan bersihnya juga

minimum dan jumlah elemen pekerjaan

penyusun kelompok pekerjaan tersebut

sedikit, yaitu hanya 2 elemen pekerjaan

(roofing - pekerjaan beam dan roofing -

pekerjaan slab) dengan biaya persediaan

sebesar Rp 113.892.227. Jumlah

kebutuhan material sangat mempengaruhi

total biaya persediaan. Jika kebutuhan

material besar maka total biaya

persediaan yang dihasilkan besar.

Kebutuhan material besar berdampak

besar kepada besarnya biaya pembelian

material yang mempengaruhi total biaya

persediaan, mengingat harga material

relatif mahal.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini menghasilkan periode

pemesanan optimal untuk primary items

pada pengerjaan main building structure

dengan berbasis elemen pekerjaan

menggunakan metode FPR dan jumlah

persediaan yang didapatkan mampu

memenuhi kebutuhan material setiap

periode dengan pembagian kelompok

pekerjaan sebanyak 31 kelompok.

Penelitian ini menghasilkan desain

rancangan kartu kendali persediaan

sebagai mekanisme monitoring

pengadaan material. Usulan/rekomendasi

bagi kontraktor jika sistem persediaan

berdasarkan kelompok pekerjaan seperti

yang diusulkan adalah pihak kontraktor

mengkoordinasikan/mendiskusikan

rencana kedatangan material dengan

vendor, agar material sampai di proyek

tepat waktu dan pekerjaan tidak

terganggu

Penelitian selanjutnya dapat

dikembangkan dengan aspek lain seperti

sistem pemesanan terintegrasi antara

vendor dengan kontraktor dan

mempertimbangkan safety stock.

Penelitian selanjutnya dapat

dikembangkan dengan model persediaan

yang lebih sesuai dan lebih sensitif

terhadap perubahan seperti kenaikan

harga dan diskon, agar didapatkan solusi

yang lebih optimal terhadap sistem

persediaan primaty items. Penelitian

selanjutnya bisa merancang suatu

aplikasi/sistem informasi untuk

perencanaan primary items, sehingga

perusahaan dapat merencanakan

persediaan primary items maupun

material lain yang digunakan dalam

penyelesaian pembangunan proyek lebih

mudah dan cepat oleh aktor-aktor yang

berada di lingkup sistem serta laporan

persediaan lebih mudah diakses.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Badan Pusat Statistik. (5 Agustus

2014). Pertumbuhan Ekonomi

Indonesia Triwulan II-2014. Berita

Resmi Statistik, diakses pada 2

Oktober 2014, dari http://bps.go.id.

[2] Husen, A. (2011). Manajemen

Proyek Perencanaan, Penjadwalan

dan Pengendalian Proyek.

Yogyakarta : Penerbit Andi.

[3] Patil, A.R. (2013). Analyzing Material

Management Techniques on

Construction Project. International

Journal of Engineering and

Innovative Technology (IJEIT).

3(4), 96-100.

104 Jurnal Optimasi Sistem Industri, Vol. 15 No. 1, April 2016:93-104

ISSN 2088-4842 / 2442-8795 OPTIMASI SISTEM INDUSTRI

[4] Bandripta, A.Y. (2009). Analisa

Persediaan Material Proyek

Pembangunan Kompleks Pasar

Tradisional dan Plasa Lamongan.

Tugas Akhir. Institut Teknologi

Sepuluh Nopember Surabaya.

[5] Tersine, R.J. (1994). Principles of

Inventory and Materials

Management. (Ed. 4). New Jersey

USA

[6] Sobotka, A., Czarnigowska, A. dan

Stefaniak, K. (2005). Logistics of

Construction Projects. Journal of

Foundations of Civil and

Environmental Engineering. (6).

203-216.