· web viewrangkuman ini kami buat guna memenuhi tugas serta menambah wawasan tentang kultur dari...
TRANSCRIPT
Makalah Perilaku dan Pengembangan Organisasi
Kultur Organisasi
Disusun Oleh:
Kelompok 5
Charistantya Tegar Aganta (115030200111007)
Nurbayitillah Khatami (115030200111009)
Faisal Arif Pratama (115030201111004)
M. Rahmad Muntazar (115030207111002)
Pepi Mulita Sari (115030207111014)
Isa Bharoka (115030207111017)
Onovio Bagus P (115030207111019)
Kelas Bisnis A
Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis
Fakultas Ilmu Adminstrasi
Universitas Brawijaya
Malang
Mei - 2012
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang mana karena
Hidayah-Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah “Perilaku dan Pengembangan
Organisasi” tentang “Kultur Organisasi” ini dengan baik dan tepat waktu.
Rangkuman ini kami buat guna memenuhi tugas serta menambah wawasan tentang
Kultur dari sebuah organisasi.Dengan adanya makalah ini kami berharap pembaca dapat
memahami dan mengetahui isi dan maksud dari pembahasan.
Selain itu kami mengucapkan terimakasih kepada pihak yang bersangkutan dalam
pembuatan makalah ini dan kami sadar betul bahwa makalah yang kami susun ini jauh dari
kata sempurna maka dari itu kami masih membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca
Malang, 20 Mei 2012
Penulis
Kultur Organisasi Google
Dua pendiri Google Larry Pagedan Sergey Brim mengembangkan gagasan untuk
perusahaan mereka di kamar asrama mereka di Standford University. Saat ini, Google
merupakan mesin pencari terbesar di dunia. Penggunanya, yang berjumlah 82 juta orang
perbulan, memiliki akses ke lebih dari 8 juta halaman Web. Lebih dari 50 persen lalu lintas
Google terjadi di luar Amerika Serikat. (Sekedar catatan, googol adalah istilah matematis
untuk angka 1 yang diikuti 100 angka nol.)
Meskipun tumbuh pesat, Google masih mempertahankan cara kerja seperti
perusahaan kecil. Di kantor Googleplex di Mountain View, California,“Googlers (julukan
karyawan Google penerj). Makan di café google yang lebih dikenal dengan sebutan
“Charlie’s Place”. Topik pembicaraan mereka berkisar dari yang hal yang remeh sampai yang
bersifat teknis dan entah bahan diskusinya menyangkut permainan komputeratau enskripsi
atau peranti lunak penyaji iklan, bukan hal yang aneh untuk mendengar seseorang berkata,
“itu produk yang saya bantu kembangkan sebelum saya ke Google.”
Kultur Google sangat informal. Googlers bekerja secara berkelompok di tempat yang
sangat padat, dengan tiga atau empat staff berbagi tempat dengan sofa dan anjing. Hierarki
korparat hampir tidak kelihatan dan karyawan mengenakan pakaian yang tidak seragam.
Webmaster internasional yang menciptakan logo liburan Google menghabiskan waktu
seminggu untuk menerjemahkan seluruh situs ke dalam bahasa koreakepala mekanik
operasinya juga seorang ahli bedah syaraf berlisensi.
Kebijakan perekrutan google lebih menekankan kemampuan daripada staf yang
mencerminkan audiens global yang dilayani oleh mesin pencari tersebut. Google memiliki
kantor-kantor di seluruh dunia dan pusat-pusat rekayasa Google merekrut calon-calon
berbakat di berbagai lokasi mulai dari zurich sampai Bangalore. Lusinan bahasa digunakan
oleh staf Goggle dari bahasa Turki sampai bahasa Telugu. Pada saat tidak bekerja, Googlers
melakukan hobi mereka dari bersepeda lintas alam sampai mencicipi minuman anggur, dan
terbang sampai ke bermain Frisbee (Merek cakram plastic yang dilempar dari satu orang ke
orang lain dalam sebuah permainan,penerj.). Reza Behforooz, seorang teknisi peranti lunak
Google berkomentar, “Google memiliki lingkungan kerja yang sangat keren dan
menyenangkan-dan kometmen yang kuat terhadap keunggulan teknis sehingga kami dapat
membangun produk-produk terbaik guna membantu semua orang di seluruh dunia.”
Kultur Organisasi yang kuat sebagaimana dimiliki Google memberi arah kepada
perusahaan tersebut.Hal ini juga mengarahkan para karyawan.Kultur organisasi yang kuat
membantu mereka memahami “cara segala sesuatu dilakukan di sini”.Kultur yang kuat juga
memberikan stabilitas bagi sebuah organisasi. Tetapi, bagi sebagian organisasi,kultur yang
kuat bias menjadi hambatan besar untuk berubah. Di bab ini, kita akan melihat bahwa setiap
organisasi memiliki sebuah kultur dan, bergantung pada kekuatannya, kultur itu dapat
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sikap dan perilaku anggota organisasi.
Institusionalisasi: Pelopor Kultur
Ide untuk memandang organisasi sebagai kultur----- di mana terdapat sebuah system
makna yang dimiliki bersama oleh para anggotanya-----merupakan sebuah fenomena yang
relative baru.Hingga pertrngahan 1980-an, organisasi, sebagaimana besarnya, dianggap
sebagai sarana rasional untuk mengoordinasi dan mengendalikan sekelompok orang.Dulu,
organisasi memiliki tingkatan-tingkatan vertical, berbagai departemen, hubungan
kewenangan, dan sebagainya.Tetapi kini, organisasi lebih dari pada itu.Kini, organisasi juga
memiliki kepribadian, suportif, inovatif ataupun konservatif. Kantor General Electric dan
orang-orang berbeda dengan kantor dan orang-orang di General Mills. Havard dan MIT
(Massachussettes Institute of Technology,penerj.) bergerak di dunia bisnis yang sama----
pendidikan----dan hanya terpisah selebar Sungai Charles, tetapi masing-masing memiliki
perasaan dan karakter yang unik melampaui karakteristik structural. Para ahli teori organisasi
kini mengakui hal ini dengan mengenali peran penting yang dimainkan oleh kultur dalam
kehidupan anggota-anggota organisasi. Namun, yang menarik, asal-usul kultur sebagai
sebuah variable independen yang mempengaruhi sikap dan perilaku seorang karyawan dapat
ditelusuri ke belakang lebih dari 50 tahun lalu ke gagasan tentang (institusionalisasi).
Ketika terlembagakan , suatu organisasi menjalani kehidupannya terbukti terpisa dari
para pendirinya atau anggota-anggotanya. Ross perut mendirikan electronic Data system
(EDS) pada awal 1960 an tetapi meninggalkannya pada tahun 1987 untuk mendirikan sebuah
perusahaan baru, sony, Gillette, McDonalds, dan Disney adalah contoh-contoh organisasi
yang tetap eksis melampaui kehidupan para pendiri mereka ataupun anggota mereka,
siapapun ia.
Selain itu, begitu terlembagakan, sebuah organisasi menjadi bernilai bagi dirinya,
tidak hanya untuk barang atau jasa yang diproduksinya.Organisasi mendapatkan
mortalitasnya jika tujuan semulanya tidak lagi relevan, organisasi tidak keluar dari bisnis,
tetapi justru meredefinisi dirinya. Contoh klasik adalah March of Dimes, semula organisasi
ini di bentuk untuk mendanai perjuangan melawan polisi ketika polio secara eksternal sudah
hilang sejak 1950-an, Maech of Dimes tidak gulung tikar, ia hanya mendenefisikan
sasarannya sebagai penyandang dana riset untuk mengurangi cacat lahir dan menurunkan
tingkat kematian bayi.
Institusionalisasi berooperasi untuk menghasilkan pemahaman yang sama antara
anggota tentang apa yang semestinya dan secara fundamental, perilaku yang bermakna. Jadi
ketika suatu organisasi menghadapi kemampuan institusional, cara berprilaku yang dapat
diterima menjadi sangat jelas bagi anggota-anggotanya. Sebagaimana akan kita lihat,pada
hakikatnya hal yang sama inilah yang dilakukan oleh kultur organisasi. Maka, pemahaman
mengenai apa yang memnbentuk kultur organisasidan bagaimana kultur tersebut diciptakan,
dipertahankan, dan dipelajari akan meningkatkan kemapuan kita untuk menjelaskan dan
memprediksi perilaku orang di tempat kerja.
Definisi
Kiranya ada kesepakatan yang luas bahwa kultur organisasi (organizational culture)
mengacu pada sebuah sistem makna bersama yang di anut oleh para anggota yang
membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainya. Sistem makna bersama ini, ketika
dicermati secara lebih seksama, adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi
oleh organisasi. Penelitian menunjukan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang secara
keseluruhan merupakan hakikat kultur sebuah organisasi :
1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko. Sejauh mana karyawan di dorong untuk
bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
2. Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi,
analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada
teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan keputusan manejemen mempertimbangkan
efek dari hasil tersebut ats orang yang ada dalam organisasi.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi dalam tim ketimbang
individu-individu
6. Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai .
7. Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya
status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.
Masing-masing karakteristik ini berada di suatu kontinum mulai dari rendah sampai
tinggi. Karenanya, menilai organisasi berdasarkan ketujuh karakteristik ini akan
menghasilkan suatu gambaran utuh mengenai kultur sebuah organisasi. Gambaran ini
menjadi basis bagi sikap pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai
organisasi, bagaimana segala sesuatu dilakukan di dalamnya, dan cara para anggota
diharapkan berperilaku.
Kultur adalah suatu istilah deskriptif
Kultur organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik
kultur suatu organisasi, bukan dengan apakah mereka menyukai karakteristik itu atau tidak,
kultur organisasi adalah suatu istilah deskriptif. Ini penting karena hal ini membedakan
konsep ini dari konsep kepuasan kerja.
Penelitian mengenai kultur organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan
memandang organisasi mereka: Apakah menekan inisiatif? Sebaliknya, kepuasan kerja
berusaha mengukur respons afektif terhadap lingkungan kerja. Kepuasan Kerja berhubungan
dengan bagaimana karyawan merasakan ekspektasi organisasi, disangsikan lagi memiliki
karakteristik yang saling tumpang tindih, harus ingat bahwa istilah kultur organisasi bersifat
deskriptif, sementara kepuasan kerja bersifat evaluatif.
Apakah Organisasi Memiliki Kultur yang Seragam?
Kultur organisasi mewakili sebuah persepsi yang sama dari para anggota organisasi.
Ini menjadi jelas manakala kita mendefinisikan kultur sebagai sebuah sistem makna bersama.
Karena itu, kita bisa berharap bahwa individu-individu yang memiliki latar belakang yang
berbeda atau berada di tingkatan yang tidak sama dalam organisasi akan memahami kultur
organisasi dengan pengertian yang serupa.
Namun, pengakuan bahwa kultur organisasi memiliki pengertian yang sama tidak
berarti bahwa tidak dimungkinkan adanya subkultur di dalam kultur tertentu. Sebagian besar
organisasi memiliki kultur dominan dan banyak subkultur. Sebuah kultur dominan
(dominant culture) mengungkapkan nilai-nilai inti yang dimiliki bersama oleh mayoritas
anggota organisasi. Ketika berbicara tentang kultur sebuah organisasi, kita merujuk pada
kultur dominannya. Inilah pandangan makro terhadap kultur yang memberikan kepribadian
tersendiri pada sebuah organisasi. Subkultur (subculture) cenderung berkembang di dalam
organisasi besar untuk merefleksikan masalah, situasi, atau pengalaman yang sama yang
dihadapi oleh para anggota. Berbagai subkultur ini mungkin muncul di tingkat departemen
dan disebabkan oleh faktor geografis. Departemen pembelian, misalnya, dapat memiliki
sebuah subkultur yang memiliki sebuah subkultur yang dimiliki secara bersama-sama secara
unik oleh anggota-anggota departemen itu. Subkultur itu mencakup nilai-nilai inti (core
values) dari kultur dominan ditambah nilai-nilai tambahan yang unik bagi anggota
departemen pembelian. Demikian pula, sebuah kantor atau unit organisasi yang secara fisik
terpisah dari kantor utama organisasi mungkin memiliki kepribadian yang berbeda. Lagi-lagi,
nilai inti tetap dipertahankan, tetapi dimodifikasi untuk mencerminkan situasi unik dari unit
terpisah itu.
Jika organisasi tidak memiliki kultur dominan dan hanya tersusun atas banyak
subkultur, nilai kultur organisasi sebagai sebuah variable independen akan berkurang secara
signifikan karena tidak akan ada keseragaman penafsiran mengenai apa yang merupakan
perilaku yang semestinya dan perilaku yang tidak semestinya. Aspek “makna bersama” dan
kultur inilah yang menjadikannya sebagai alat potensial untuk membangun dan membentuk
perilaku. Itulah yang memungkinkan kita mengatakan, misalnya, bahwa kultur Microsoft
menghargai keagresifan dan pengambilan resiko. Dan selanjutnya menggunakan informasi
tersebut untuk lebih memahami perilaku dari para eksekutif dan karyawan bahwa banyak
organisasi juga memiliki berbagai subkultur yang tidak diragukan bias memengaruhi perilaku
anggota-anggotanya.
Kultur Kuat versus Kultur Lemah
Membedakan kultur yang kuat dari kultur yang lemah menjadi semakin popular
dewasa ini. Argumennya di sini adalah bahwa kultur yang kuat memiliki dampak yang lebih
besar terhadap perilaku karyawan dan lebih berkait langsung dengan menurunnya perputaran
karyawan.
Dalam kultur yang kuat (strong culture), nilai-nilai inti organisasi dipegang teguh
dan dijunjung bersama. Semakin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan semakin
besar komitmen mereka terhadap berbagai nilai itu, semakin kuat kultur tersebut. Selaras
dengan definisi ini, kultur yang kuat akan memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku
anggota-anggotanya karena kadar kebersamaan dan intensitas yang tinggi. Sebagai contoh,
Nordstrom yang bermarkas di Seattle telah mengambangkan salah satu kultur layanan terkuat
dalam industry ritel. Karyawan-karyawan Nrdstrom pasti tahu apa yang diharapkan dari
mereka dan harapan ini memntuk perilaku mereka.
Salah satu hasil spesifik dari kultur yang kuat adalah menurunnya tingkat perputaran
karyawan. Kultur yang kuat menunjukkan kesepakatan yang tinggi antar anggota mengenai
apa yang keharmonisan tujuan semacam ini membangun kekompakan, loyalitas, dan
komitmen keorganisasian. Sifat-sifat ini, pada gilirannya, memperkecil kecendurungan
karyawan untuk meninggalkan organisasi.
Kultur versus Formalisasi
Kultur organisasi yang kuat meningkatkan konsistensi perilaku. Dalam pengertian ini,
kita semestinya menyadari bahwa kultur yang kuat dapat bertindak sebagai pengganti
formalisasi.
Di bab sebelumnya, kita telah membahas bagaimana aturan dan ketentuan formalisasi
berfungsi mengatur perilaku karyawan. Formalisasi yang tinggi dalam sebuah organisasi
menciptakan prediktabilitas, keteraturan dan konsistensi. Persoalan kita di sini adalah bahwa
kultur yang kuat mampu mengantar anggota organisasi mencapai tujuan yang sama tanpa
perlu dokumentasi tertulis. Karena itu, kita bias memandang formalisasi dan kultur sebagai
dua jalan yang berbeda menuju ke tujuan yang sama. Semakin kuat kultur sebuah organisasi,
semakin kecil kebutuhan manajemen untuk menyusun dan menetapkan beragam aturan dan
ketentuan formal yang dimaksudkan guna menuntun perilaku karyawan. Tuntunan itu akan
diinternalisasikan dalam diri karyawan ketika mereka memeluk kultur organisasi tersebut.
Kultur Organisasi versus Kultur Nasional
Di sepanjang buku ini, kita memegang keyakinan bahwa perbedaan Negara---yaitu,
kultur nasional-----harus diperhitungkan ketika kita mau membuat prediksi akurat mengenai
perilaku organisasi di Negara yang berbeda. Tetapi, apakah kultur nasional berada di atas
kultur sebuah organisasi? Apakah fasilitas IBM di Jerman, misalnya, lebih mungkin
mencerminkan kultur etnis Jerman atau kultur korporat IBM?
Penelitian menunjukkan bahwa kultur nasional memiliki dampak yang lebih besar
terhadap karyawan daripada kultur organisasi mereka. Karena itu, karyawan yang
berkebangsaan Jerman di sebuah fasilitas milik IBM di Munich akan lebih dipengaruhi oleh
kultur Jerman daripada oleh kultur IBM. ini berarti bahwa bila kultur organisasi ditemukan
mempengaruhi pembentukan perilaku karyawan, kultur nasional demikian pula, bahkan lebih.
Kesimpulan sebelumnyaharus dikualifikasi untuk mencerminkan pilihan individual yang
muncul pada tahap perekrutan. Sebuah korporasi multinasional Inggris, misalnya, kiranya
tidak terlalu khawatir ketika merekrut orang yang “tipikal Italia” untuk operasinya di Italia
daripada merekrut seorang Italia yang sesuai dengan cara peruasahaan menjalankan segala
sesuatu. Karenanya kita bisa berharap bahwa proses seleksi karyawan akan digunakan oleh
perusahaan multinasional tersebut untuk mencari dan merekrut pelamar kerja yang sesuai
dengan kultur dominan organisasi mereka, sekalipun pelamar seperti ini agak atipikal (tidak
lazim) untuk anggota negara mereka.
Fungsi-fungsi Kultur
Kultur memiliki sejumlah fungsi dalam sebuah organisasi. Pertama, kultur berperan
sebagai penentu batas-batas; artinya, kultur menciptakan perbedaan atau distingsi antara satu
organisasi dengan organisasi lainnya. Kedua, kultur memuat rasa identitas anggota
organisasi. Ketiga, kultur memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar
daripada kepentingan individu. Keempat, kultur meningkatkan stabilitas sistem sosial.
Terakhir, kultur bertindak sebagai mekanisme sense-making serta kendali yang menuntun dan
membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Peran kultur dalam mempengaruhi perilaku karyawan menjadi semakin penting di
tempat kerja saat ini. Tatkala organisasi terus memperluas rentang kendali, meratakan
struktur, memperkenalkan tim, mengurangi formalisasi, dan memberdayakan karyawan
mereka, makna bersama yang diberikan oleh kultur yang kuat memastikan bahwa setiap
orang dituntun ke arah yang sama.
Siapa yang diterima untuk bergabung dalam organisasi, yang dinilai sebagai
karyawan berkinerja tinggi, dan yang mendapat promosi sangat dipengaruhi oleh “ketaatan”
individu-organisasi. Artinya, apakah sikap dan perilaku pelamar atau karyawan cocok dengan
kultur yang ada. Bukan sebuah kebetulan bahwa hampir semua karyawan di taman hiburan
Disney kelihatan menarik, bersih, segar, dengan senyum cemerlang. Citra itulah yang
memang dicari Disney. Perusahaan menyeleksi karyawan yang dapat mendukung citra itu.
Bila mereka sudah diterima bekerja, kultur yang kuat, yang didukung oleh aturan dan
ktentuan formal yang ada, memastikan bahwa karyawan di taman hiburan Disney akan
bertindak dengan cara yang relative seragam dan dapat diprediksi.
Kultur sebagai Beban
Kami tidak mengatakan bahwa kultur itu baik atau buruk, tetapi sekedar mengatakan
bahwa kultur itu ada. Banyak dari fungsinya, seperti telah diuraikan, sangat bernilai baik bagi
organisasi maupun karyawan. kultur mempertinggi komitmen organisasional dan
meningkatkan konsistensi perilaku karyawan. Ini jelas merupakan keuntungan bagi
organisasi. Dari sudut pandang karyawan, kultur bernilai karena mengurangi ambiguitas.
Kultur memberi tahu karyawan bagaimana segala sesuatu dilakukan dan apa yang penting.
Tetapi, kita tidak boleh mengabaikan aspek-aspek kultur yang berpotensi disfungsional,
terutama aspek yang besar, terhadap keefektifan sebuah organisasi.
Hambatan untuk Perubahan. Kultur menjadi kendali manakala nilai-nilai yang
dimiliki bersama tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dapat meningkatkan efektivitas
organisasi. Hal ini paling munglcin terjadi bila lingkungan sebuah organisasi bersifat
dinamis. Ketika lingkungan terus berubah dengan cepat), kultur yang sudah kuat mengakar
dalam sebuah organisasi mungkin tidak pas lagi. Karenanya, konsistensi perilaku menjadi
aset bagi sebuah organisasi hanya ketika hal ini berhadapan dengan lingkungan yang stabil.
Namun, konsistensi semacam itu bisa menghambat dan mempersulit organisasi untuk
menanggapi perubahan yang terjadi di lingkungan. Hal ini membantu menjelaskan tantangan-
tantangan yang dihadapi para eksekutif di organisasi-organisasi seperti Mitsubishi, Easfman
Kodak, Boeing, dan Biro Penyelidikan Federal (Federal Bureau of Inuestigation-FBl) AS
belakangan ini dalam menyesuaikan diri dengan-dinamika lingkungan mereka. Organisasi-
organisasi ini memiliki kultur kuat yang berhasil di masa silam. Tetapi, kultur-kultur yang
kuat ini menjadi hambatan untuk berubah ketika “bisnis sebagaimana biasanya” tidak lagi
efektif.
Hambatan bagi Keragaman. Merekrut karyawan baru yang, karena faktor ras, usia,
jenis kelamin, ketidakmampuan (cacat), atau perbedaan-perbedaan lain, tidak sama dengan
mayoritas anggota organisasi lain akan menciptakan sebuah paradoks. Manajemen
menginginkan karyawan baru tersebut menerima nilai-nilai inti dari kultur organisasi. Jika
tidak, karyawan-karyawan ini tidak mungkin cocok atau diterima. Tetapi pada saat yang
sama, manajemen ingin secara terbuka mengakui dan menjunjung tinggi berbagai perbedaan
yang dibawa oleh karyawan-karyawan ini ke tempat kerja.
Kultur yang kuat memberi tekanan yang besar kepada karyawan untuk menyesuaikan
diri. kultur tersebut membatasi rentang nilai dan gaya yang dapat diterima. Dalam beberapa
contoh, seperti kasus Texaco yang banyak dipublikasikan (yang diselesaikan atas nama 1.400
karyawan dengan uang ganti rugi senilai 1,76 juta dolar) di mana para manajer senior
membuat keterangan yang tidak menyenangkan mengenai kelompok minoritas, sebuah kultur
yang kuat yang menghidup-hidupkan prasangka dapat memperlemah kebijakan formal
keragaman korporat. Organisasi mencari dan merekrut individu yang berbeda-beda karena
kekuatan alternatif yang mereka bawa ke tempat kerja. Namun, perilaku dan kekuatan yang
beragam ini kiranya akan berkurang didalam kultur organisasi yang kuat karena orang mau
tidak mau harus menyesuaikan dirinya. Karena itu, kultur yang kuat bisa menjadi kendala
manakala secara efektit meniadakan kekuatan-kekuatan unik yang dibawa oleh orang dengan
beragam latar belakang ke dalam organisasi. selain itu, kultur yang kuat juga bisa menjadi
penghambat ketjka mendukung bias institusional atau tidak sensitif pada perbedaan orang.
Hambatan bagi Akuisisi dan Merger. Secara historis, faktor-faktor kunci yang
diperhatikan manajemen ketika membuat keputusan akuisisi atau merger terkait dengan isu
keuntungan finansial atau sinergi produk. Belakangan ini, kompatibilitas (kesesuaian) kultur
juga menjadi fokus utama. Sementara laporan keuangan atau lini produk yang
menggembirakan mungkin merupakan daya tarik awal dari perusahaan yang akan diakuisisi,
apakah akuisisi tersebut benar-benar akan berhasil tampaknya lebih terkait dengan seberapa
cocok atau sesuai kultur kedua organisasi tersebut.
Banyak akuisisi yang gagal tidak lama setelah proses penggabungan' Sebuah survei
oleh konsultan A.T. Kearney mengungkapkan bahwa 58 persen merger gagal mencapai nilai
sasaran yang ditetapkan oleh manajer puncak. Penyebab utama kegagalan tersebut adalah
kultur orgagisasi yang saling bertentangan. Sebagaimana komentar seorang pakar, “Merger
memiliki tingkat kegagalan yang saling tinggi, dan senantiasa disebabkan oleh persoalan
manusia” Sebagai contoh, merger senilai 183 miliar dolar pada tahun 2001 antara America
online (AOL) dari Time warner adalah yang terbesar dalam sejarah korporat. Merger tersebut
berubah menjadi bencana-hanya dua tahun setelahnya, nilai saham mereka merosot drastis
sebesar 90 persen. Benturan kultur umumnyl dianggap sebagai salah satu penyebab
timbulnya permasalahan di AoL Time warner' Sebalaimana dinyatakan seorang pakar.
“Dalam beberapa hal' merger AOL dan Time Warner adalah seperti pernikahan seorang
remaja dengan seorang bankir berusia paruh baya. Kultur mereka sangat berbeda. Di AoL,
orang menggunakan baju santai dan jins. Time Warner lebih konservatif dalam hal pakaian.
Menciptakan dan Mempertahankan Kultur
Kultur sebuah organisasi tidak muncul begitu saja. Bila sudah mapan, kultur itu susah
terhapuskan. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi penciptaan sebuah kultur? Apa yang
memperkuat dan menjaga kekuatan-kekuatan kultur ini begitu hal ini mapan? Kita akan
menemukan jawaban atas kedua pertanyaan ini di bagian berikutnya.
Mempertahankan Kelangsungan Hidup Kultur
Ketika suatu kultur sudah terbentuk, dibutuhkan praktik-praktik di dalam organisasi
yang berfungsi memeliharanya dengan cara membuat karyawan memiliki pengalaman yang
sama. Sebagai contoh banyak praktik pengembangan sumber daya manusia yang akan kita
bahas di bab selanjutnya merupakan upaya terkuat kultur organisasi. Proses seleksi, kriteria
evaluasi kinerja kegiatan pelatihan dan pengembangan dan prosedur promosi memastikan
bahwa mereka yang direkrut sesuai dengan kultur yang ada memberi imbalan mereka yang
yang mendukungnya dan memberi sanksi. (dan bahkan mendepak) mereka yang
menentangnya. Ada tiga hal yang memainkan peran sangat penting dalam mempertahankan
sebuah kultur ; praktik seleksi, tindakan manajemen puncak, dan metode sosialisasi. Mari kita
amati masing-masing secara lebih seksama.
Seleksi, tujuan eksplisit dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan merekrut
individu-individu yang memiliki pengetahuan keterampilan dan kemampuan untuk berhasil
menjalankan pekerjaan di dalam organisasi. Biasanya, ada lebih dari satu calon yang
memenuhi persyaratan kerja yang ditentukan yang teridentifikasi. Ketika hal tersebut terjadi,
naif untuk mengabaikan fakta bahwa keputusan akhir mengenai siapa yang direkrut akan
banyak dipengaruhi oleh penilaian pengambil keputusan menyangkut seberapa cocok seorang
calon dengan organisasi. Upaya untuk memastikan kesesuaian ini, entah disengaja atau tidak,
menghasilkan rekrutan yang memegang nilai-nilai yang pada intinya selaras dengan nilai-
nilai organisasi, atau paling tidak beberapa bagian dari nilai-nilai itu. Selain itu proses seleksi
memberi informasi kepada para pelamar mengenai organisasi tersebut. Para calon belalar
tentang organisasi itu dan jika menemukan atau merasakan suatu pertentangan antara nilai-
nilai mereka dan nilai-nilai organisasi, mereka bisa mundur teratur. Karena itu, seleksi
menjadi jalan dua arah yang memungkinkan pemberi kerja dan pelamar membatalkan sebuah
“perkawinan” jika tampak adanya ketidakcocokan. Dengan cara demikian proses seleksi
merupakan salah satu cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup kultur sebuah
organisasi dengan cara mengeluarkan individu-individu yang mungkin tidak sesuai atau akan
menggerogoti nilai-nilai intinya.
Sebagai contoh, W.L. Gore & Associates, pembuat kain Gore-Tex yang digunakan
untuk pakaian luar membanggakan kultur organisasinya yang ditandai oleh demokrasi dan
kerja sama tim. Tidak ada nama jabatan di Gore dan tidak ada pula atasan ataupun rantai
komando. Semua pekerjaan dilakukan dalam tim. Dalam proses seleksinya tim-tim karyawan
mengharuskan pelamar kerja menjalani wawancara ekstensif untuk memastikan bahwa calon
yang tidak dapat menghadapi tingkat ketidakpastian, fleksibilitas, dan kerja tim yang harus
karyawan hadapi di pabrik-pabrik Gore akan terpental.
Manajemen puncak, tindakan manajemen puncak juga memiliki dampak besar
terhadap kultur organisasi. Melalui apa yang mereka katakana dan bagaimana mereka
berperilaku, para eksekutif senior memantapkan norma-norma yang berlaku di organisasi
terkait sejauh mana pengambilan resiko di harapkan, seberapa banyak kebebasan yang para
manajer harus berikan pada karyawan mereka, pakaian apa yang pantas, tindakan apa yang
akan membuahkan hasil yang berupa kenaikan gaji, promosi, dan imbalan lain.
Sosialisasi adalah proses yang mengadaptasikan karyawan dengan kultur organisasi,
tak peduli seberapa baik pekerjaan yang dilakukan organisasi dalam melakukan perekrutan
dan seleksi, karyawan baru tidak sepenuhnya terindoktrinasi ke dalam kultur organisai.
Karena belum mengenal betul kultur organisasi tersebut, para karyawan itu berpotensi
mengganggu tradisi dan kebiasaan yang ada. Karena itu organisasi membantu para karyawan
baru utuk beradaptasi dengan kulturnya. Proses adaptasi ini disebut sosialisasi. Saat kita
berbicara tentang sosialisasi ingatlah bahwa tahapan sosialisasi yang paling kritis adalah pada
saat masuk ke dalam organisasi. Pada saat inilah, organisasi berusaha mencetak orang luar
menjadi seorang karyawan dengan reputasi baik. Karyawan yang gagal mempelajari perilaku
yang esensial atau penting beresiko “nonkonformis” atau “pembangkang”, yang mungkin
akan membuat tersingkir. Tetapi, organisasi akan melakukan sosialisasi kepada semua
karyawan, walau mungkin tidak secara eksplisit. Disepanjang kariernya di organisasi
tersebut, cara ini lebih jauh menyumbang untuk mempertahankan kultur. Sosialisasi dapat
dikonseptualisasikan sebagai sebuah proses yang terdiri atas tiga tahapan, yaitu :
prakedatangan, perjumpaan, dan metamorfosis. Tahap pertama mencakup semua
pembelajaran yang terjadi sebelum seorang anggota baru bergabung dengan organisasi. Pada
tahap kedua, karyawan baru melihat seperti apa sebenarnya organisasi itu dan menghadapi
kemungkinan bahwa antara harapan dan kenyataan berbeda. Pada tahap ketiga, terjadi
perubahan yang relative lama. Proses tiga tahap ini berdampak pada produktifitas kerja
karyawan baru, komitmennya terhadap sasaran organisasi, dan keputusan akhirnya untuk
tinggal bersama organisasi.
Tahap prakedatangan (prearrival stage) secara terbuka mengakui bahwa setiap
individu dating dengan sekumpullan nilai, siakp, dan harapan tertentu. Hal ini mencakup
pekerjaan yang akan dijalankan maupun organisasi. Sebagai contoh dalam banyak pekerjaan,
terutama pekerjaan professional, anggota-anggota baru harus menjalani sosialisasi terlebih
dahulu dalam pelatihan maupun di lembaga pendidikan.Salah satu tujuan pokok dari sekolah
bisnis, misalanya adalah untuk mempekenalkan para mahasiswanya dengan sikap dan
perilaku yang diinginkan perushaan. Jika para eksekutif bisnis yakin bahwa karyawan yanga
baik adalah yang menghargai etika profit, loyal, sanggup bekerja keras, dan memiliki hasrat
tinggi untuk berprestasi, mereka akan merekrut lulusan sekolah bisnis yang telah di bentuk
sebelumnya dalam pola seperti ini. Salah satu hal penting dari masa praperekrutan dalam
usaha sosialisasi adalah memeilih karyawan dengan “kepribadian yang pas”, dan
menggunakan prose seleksi untuk memberi tahu calon karyawan tentang organisasi tersebut
secara keseluruhan. Selain itu, sebagaimana dinyatakan di awal, proses seleksi juga berfungsi
untuk memastikan masuknya jenis yang tepat yang kira-kira mereka sesuai dengan
kemampuanya.
Tahap perjumpaan (encounter stage) di sini individu menghadapi kemungkinan
dokotomi antara harapan menyangkut pekerjaan, rekan kerja, atasan, dan oarganisasi secara
umum dan kenyataan.Jika harapan ternyata kurang lebih akurat, tahap perjumpaan ini sekedar
memberikan penegasan kembali mengenai presepsi yang telah diperoleh sebelumnya.Namun
yang terjadi sering kali tidak demikian. Bilamana harapan dan kenyataan berbeda, karyawan
baru harus menjalani sosialisasi untuk melepaskan berbagai asumsi yang sebelumnya ia
pegang dan menggantikannya dengan sumsi-asumsi lain yang di pandang tepat oleh
organisasi. Seleksi yang benar semestinya memperkecil kemungkinan terjadinya
pengunduran diri sampai semaksimal mungkin.Para pendatang baru memiliki komitmen lebih
besar terhadap organisasi manakala mereka memiliki jaringan pertemanan yang besar dan
beragam.
Tahap metamorfosis (metamorphosis stage) seleksi secara cermat oleh manajemen
terhadap pengalaman sosialisasi para pendatang baru dapat secara ekstrim menciptakan
PrakedatanganProduktivitasKomitmenMetamorfosisPerjumpaan
kelompok konformis yang memepertahankan tradisi dan adat, atau kelompok individualis
inventif dan kreatif yang menganggap tidak ada praktik organisasi yang sakral. Kita dapat
mengatakan bahwa proses metamorfosis dan sosialisasi berhasil ketika anggota baru sudah
merasa nyaman dengan organisasi dan pekerjaan mereka. Mereka telah menginternalisasi
berbagai norma organisasi dan kelompok kerja mereka, dan memahami serta menerima
norma-norma tersebut. Anggota baru tersebut merasa di terima oleh rekan sejawat mereka
sebagai individu yang dapat dipercaya dan layak dihargai. Mereka percaya diri bahwa mereka
memiliki kompetensi untuk merampungkan pekerjaan dan mereka memahami sistem tidak
hanya tugas mereka sendiri tetapi juga aturan, prosedur, dan praktik-praktik yang diterima
secara informal. Akhirnya mereka tahu bagaimana mereka akan dievaluasi, artinya kriteria
apa yang digunakan untuk mengukur dan menilai pekerjaan mereka. Metamorfosis yang
berhasil akan berdampak positif terhadap produktifitas karyawan baru dan komitmen mereka
terhadap organisasi serta mengurangi kecenderungan mereka untuk meninggalkan organisasi.
Ritual
Ritual (rituals) adalah serangkaian aktivitas berulang yang mengungkapkan dan
memperkuat nilai-nilai dasar dari organisasi sasaran apa yang terpenting, orang mana yang
penting, dan orang mana yang bisa dikeluarkan. Salah satu ritual perusahaan yang terkenal
adalah nyanyian perusahaan Wal-Mart. Diawali oleh pendirinya, Sam Walton, sebagai cara
untuk memotivasi dan menyatukan para pekerjanya, “Gimme a W, gimme an L, gimme a
squigle, gimme an M, A, R, T!” telah menjadi ritual perusahaan yang mempersatukan
karyawan Wai-Mart dan memperkuat keyakinan Sam Walton terhadap pentingnya karyawan
bagi kesuksesan perusahaannya. Nyanyian serupa digunakan oleh IBM, Ericson, Novell,
Deutsche Bank, dan Pricewaterhouse-Coopers.
Bahasa
Banyak organisasi dan unit dalam suatu organisasi menggunakan bahasa sebagai
sarana untuk mengidentifikasi anggota dari sebuah kultur atau subkultur. Dengan
mempelajari bahasa ini, para anggota menegaskan penerimaan mereka terhadap kultur dan,
dengan demikian, membantu melestarikannya. Berikut ini contoh-contoh teknologi yang
digunakan oleh para karyawan di Knight Ridder Information, sebuah redistributor data yang
bermarks di Calivornia: accesoris number(nomor yang dipakai untuk tiap catatan individu
dalam sebuah bisnis data); KWIC- Keywords-in-context (sekumpulan kata kunci dalam
konteks) dan relational operator (mencari bisnis data untuk nama-nama atau istilah-istilah
kunci dalam suatu urutan). Jika merupakan karyawan baru di Boeing, anda akan belajar
banyak kosa kata khas perusahaan berupa akronim, termasuk BOLD-Boeing Online Data
(data online boeing), CATIA- graphics-aided three (dimensional interactive application),
aplikasi interaktif tiga dimensi dengan bantuan grafis computer),MAIDS-manufacturing
assembly and installation data system (system data instalasi dan perakitan manufaktur), POP-
purchased outside production (membeli produk dari luar), dan SLO-service level objectives
(sasaran tingkat layanan).
Dari waktu ke waktu organisasi terus mengembangkan istilah-istilah khas untuk
menggambarkan perlengkapan, kantor, personalia kunci, pemasok, pelanggan, atau produk
yang terkait dengan bisnisnya. Karyawan baru sering kerepotan dengan berbagai akronim dan
jargon yang setelah enam bulan bekerja sepenuhnya menjadi bagian dari bahasa mereka,
begitu terasimilasi, istilah-istilah ini menjadi denominator umum/bersama yang menyatukan
para anggota sebuah kultur atau subkultur tertentu.
Menciptakan Kultur Organisasi yang Etis
Isi dan kekuatan suatu kultur memengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan
perilaku etis para anggotanya. Kultur sebuah organisasi yang punya kemungkinan paling
besar untuk membentuk standar etika tinggi adalah kultur yang tinggi toleransinya terhadap
risiko tinggi, rendah sampai sedang dalam hal keagresifan, dan fokus pada selain juga hasil.
Para manajer dalam kultur semacam ini didorong untuk mengambil risiko dan berani
berinovasi, dilarang terlibat dalam persaingan yang tak terkendali, dan akan memberikan
perhatian pada bagaimana tujuan dicapai dan juga pada tujuan apa yang dicapai.
Kultur organisasi yang kuat akan lebih memengaruhi karyawan dari pada kultur yang
lemah. Jika kulturnya kuat dan mendorong standar etika yang tinggi,ia pasti akan
berpengaruh kuat dan positif terhadap perilaku karyawan. Johnson dan Jhonson misalnya,
memiliki kultur yang kuat yamg sudah lama menekankan kewajiban perusahaan kepada
pelanggan, karyawan, masyarakat, dan para pemegang saham. Ketika Tylenol (sebuah produk
Jhonson & Jhonson) yang mengandung racun di jumpai di rak-rak took, karyawan J & J
diselur AS secara sadar dan suka rela menarik produk tersebut dari took bahkan sebelum
manajemen mengeluarkan pernyataan menyangkut hal itu. Tak seorang pun memberi tahu
orang-orang ini hal yang benar secara moral; mereka tahu apa yang diharapkan oleh J & J
untuk mereka lakukan. Sebaliknya, kultur kuat yang mendorong sikap yang sangat agresif
bisa menjadi factor yang dominan dalam membentuk perilaku tidak etis. Sebagai contoh,
kultur agresif Enron, dengan tekanan yang tak henti-hentinya pada para eksekutif untuk
meningkatkan pendapatan secara cepat, mendorong dilanggarnya nilai-nilai etis dan akhirnya
berkontribusi terhadap runtuhnya perusahaan.
Apa yang dapat manajemen lakukan untuk menciptakan kultur yang lebih etis? Gabungan-
gabungan dari praktik-praktik sebagai berikut;
Jadilah model peran yang visible. Karyawan akan melihat perilaku manajemen
puncak sebagai acuan standar untuk menentukan perilaku yang semestinya mereka
ambil. Ketika manajemen senior dianggap mengambil jalan yang etis, hal ini member
pesan positif bagi semua karyawan.
Komunikasikan harapan-harapan yang etis. Ambiguitas etika dapat diminimalkan
dengan menciptakan dan mengomunikasikan kode etik organisasi. Kode etik ini harus
menyatakan nilai-nilai utama organisasi dan berbagai aturan etis yang diharapkan
akan dipatuhi para karyawan.
Berikan pelatihan etis. Selenggarakan seminar, lokakarya, dan program-program
pelatihan etis. Gunakan sesi-sesi pelatihan ini untuk memperkuat standar tuntunan
organisasi, menjelaskan praktik-praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, dan
menangani dilemma etika yang mungkin muncul.
Secara nyata, berikan penghargaan atas tindakan etis dan beri hukuman terhadap
tindakan yang tidak etis. Penilaian kinerja terhadap para manajer harus mencakup
evaluasi hal demi hal mengenai bagaimana keputusan-keputusannya cukup baik
menurut kode etik organisasi. Penilaian harus mencakup srana yang dipakai untuk
mencapai sasaran dan juga pencapaian tujuan itu sendiri. Orang-orang yang bertindak
etis harus diberi penghargaan yang jelas atas perilaku mereka. Sama
pentingnya,tindakan tidak etis harus diganjar secara terbuka atau nyata.
Berikan mekanisme perlindungan. Organisasi perlu memiliki mekanisme formal
sehingga karyawan dapat mendiskusikan dilema-dilema etikadan melaporkan perilaku
tidak etis tanpa takut. Cara ini bisa meliputi pembentukan konselor etis, badan
pengawas (ombudsmen), atau petugas etika.
Menciptakan Kultur Tanggap Pelanggan
Para paritel Prancis memiliki reputasi untuk sikap masa bodohnya terhadap
pelanggan. Para wiraniaga, misalnya, tak jarang secara jelas-jelas memberitahu para
pelanggan bahwa percakapan telepon mereka tidak boleh disela. Meminta bantuan dari
wiraniaga saja sudah bisa menimbulkan masalah. Dan tak seorang pun di Prancis yang
terkejut kalau pemilik sebuah toko di Paris mengeluh bahwa ia tidak bisa menggarap buku-
bukunya sepanjang pagi karena terus-menerus diganggu oleh pelanggan.
Sebagian besar organisasi saat ini mencoba keras untuk tidak seperti orang Prancis
itu. Mereka berupaya menciptakan kultur yang tanggap pelanggan karena mereka tahu bahwa
inilah jalan untuk mendapatkan loyalitas pelanggan dan profitabilitas jangka panjang. Banyak
perusahaan yang mencoba menciptakan kultur semacam ini, seperti Southwest Airliners,
Fedex, J & J, Nordstrom, Olive Garden, taman hiburan Walt Disney, Enterprise Rent-A-Car,
Whole Foods, dan L.L. Bean telah membangun basis pelanggan yang kuat dan loyal pada
umumnya mereka berhasil mengalahkan para pesaing mereka dalam pertumbuhan
pendapatan dan kinerja keuangan. Di bagian ini, kita secara ringkas akan mengidentifikasi
variable-variabel yang membentuk kultur tanggap pelanggan serta memberikan beberapa
saran yang dapat dijalankan oleh manajemen untuk menciptakan kultur semacam ini.
Variabel-variabel Kunci yang Membentuk Kultur tanggap Pelanggan
Sebuah kajian menemukan bahwa beberapa variable secara rutin ditemukan dalam kultur-
kultur yang tanggap pelanggan.
1. Jenis karyawan itu sendiri
2. Tingkat formalisasi yang rendah
3. Penguatan sistem formalisasi yang luas
4. Keterampilan mendengarkan yang baik
5. Kejelasan peran
Ringkasnya kultur tanggap pelanggan merekrut karyawan-karyawan yang memiliki
keterampilan mendengarkan yang baik dan kesediaan untuk mengatasi kendala-kendala
pekerjaan mereka dan untuk melakukan apa yang diperlukan guna memuaskan palanggan.
Tindakan Manajerial
Ada beberapa tindakan yang diambil manajemen untuk membentuk karyawan yang memiliki
kompetensi, kemampuan, dan kemauan untuk memecahkan masalah pelanggan pada saat
masalah itu muncul :
1. Seleksi
Calon calon pekerja harus disaring sehingga orang orang yang direkrut memiliki
kesabaran, kepedulian terhadap orang lain, keterampilan mendengarkan yang
menyertai karyawan yang berorientasi pelanggan.
2. Pelatihan dan Sosialisasi
Kandungan program pelatihan dan sosialisasi ini akan sangat bervariasi tetapi harus
terfokus pada peningkatan pengetahuan akan produk, mendengarkan secara efektif,
menunjukan kesabaran.
3. Desain Struktur
Manajemen perlu membebaskan karyawan untuk menyesuaikan perilaku mereka
dengan kebutuhan dan permintaan pelanggan yang senantiasa berubah.
4. Pemberdayaan
Hal ini merupakan komponen wajib dari kultur tanggap pelanggan karena
memungkinkan karyawan membuat keputusan seketika untuk memuaskan pelanggan.
5. Kepemimpinan
Pemimpin yang efektif dalam kultur tanggap pelanggan memberikan dengan
menyampaikan sebuah misi yang berfokus pada pelanggan dan yang memperlihatkan
dengan perilaku mereka bahwa mereka memiliki komitmen terhadap pelanggan.
6. Evaluasi Kinerja
Evaluasi ini menilai karyawan berdasarkan bagaimana mereka berperilaku atau
bertindak berdasarkan kriteria seperti upaya, komitmen, kerja tim, keramahan dan
kemampuan memecahkan masalah pelanggan ketimbang berdasarkan hasil terukur
yang mereka capai.
7. Sistem Imbalan
Manajemen perlu memberikan penghargaan kepada karyawan yang menunjukan
upaya luar biasa untuk menyenangkan pelanggan dan yang telah dipilih pelanggan
atas layanan lebihnya.
Spiritualitas dan Kultur Organisasi
1. Apa Spiritualitas itu?
Adalah menyadari bahwa manusia memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan
ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna yang berlangsung dalam konteks
komunitas.
2. Mengapa Spiritualitas?
Model-model historis dari manajemen dan perilaku organisasi pada masa lalu tidak
memiliki ruang bagi spiritualitas. Sebagaimana telah kita singgung dalam pembahasan
tentang emosi di bab 8, mitos tentang rasionalitas beranggapan bahwa organisasi yang
dijalankan dengan baik adalah yang menafikan perasaan. Demikian pula, kepedulian
terhadap kehidupan batin karyawan tidak memiliki peran dalam model yang
sepenuhnya rasional. Tetapi bila kita sekarang menyadari bahwa studi tentang emosi
memperbaiki pemahaman kita terhadap perilaku organisasi, kesadaran akan
spiritualitas dapat membantu Anda memahami perilaku karyawan pada abad ke-21
secara lebih baik.
Alasan Tumbuhnya Minat terhadap Spiritualitas:
Sebagai penyeimbang terhadap tekanan dan ketegangan dari dinamika kehidupan yang
tidak beraturan.
Agama formal tidak lagi berfungsi untuk banyak orang serta mereka terus mencari
“pelabuhan” yang dapat menggantikan ketiadaan iman dan mengisi rasa kehampaan yang
muncul.
Tuntutan kerja telah membuat tempat kerja jadi dominan dalam kehidupan banyak orang,
namun mereka terus mempertanyakan makna kerja itu sendiri.
Hasrat untuk mengintegrasikan nilai-nilai kehidupan pribadi dalam kehidupan profesional
seseorang.
Semakin banyak orang yang menemukan bahwa mengejar sesuatu yang lebih bersifat
material membuat mereka tidak puas.
Karakteristik sebuah Organisasi Spiritual
1. Kesadaran akan tujuan yang kuat.
Organisasi spiritual mendasarkan kultur mereka pada suatu tujuan yang bermakna.
Meskipun penting, laba bukanlah nilai utama organisasi.Orang dapat terilhami oleh tujuan
yang mereka yakini penting dan bermakna.
2. Fokus terhadap pengembangan individual.
Organisasi spiritual menyadari makna dan nilai setiap manusia.Mereka tidak hanya
menyediakan pekerjaan. Mereka mencoba menciptakan kultur dimana karyawan dapat
terus belajar dan tumbuh.
3. Kepercayaan dan respek.
Organisasi spiritual dicirikan oleh tumbuhnya sikap saling percaya, jujur, dan
terbuka.Para manajer tidak takut mengakui kesalahan. Presiden Wetherill Associates,
sebuah perusahaan distribusi suku cadang mobil yang sangat sukses, mengatakan “Kami
tidak berbohong disini dan setiap orang mengetahuinya. Kami spesifik dan jujur dengan
kualitas dan kesesuaian produk dengan kebutuhan pelanggan kami, sekalipun kami tahu
mereka mungkin tidak mampu mendeteksi masalahnya.”
4. Praktik kerja yang manusiawi.
Praktik-praktik yang dianut oleh organisasi spiritual ini meliputi jadwal kerja yang
fleksibel, imbalan berbasis kelompok dan oganisasi, penyempitan kesenjangan gaji dan
status, jaminan hak-hak pekerja, pemberdayaan karyawan, dan keamanan kerja.Hewlett-
Packard, misalnya, telah menangani penurunan temporer melalui atrisi sukarela dan
memperpendek minggu kerja (oleh semuanya), serta penurunan berjangka lebih lama
melalui pensiun dini dan pengambilalihan (buyouts).
5. Toleransi bagi ekspresi karyawan.
Organisasi spiritual tidak menekan sisi emosional karyawan.Mereka memberi ruang bagi
karyawan untuk menjadi diri mereka sendiri - untuk mengutarakan suasana hati dan
perasaan mereka.
Bagaimana Kultur Organisasi Berdampak terhadap Kinerja dan Kepuasan Karyawan
Faktor-faktor objektif:
- Inovasi dan pengambilan resiko
- Perhatian pada detail- Orientasi pada hasil- Orientasi pada orang- Orientasi pada tim
Tinggi
Dipersepsi sebagai
Bagan di atas mengilustrasikan kultur organisasi sebagai sebuah variabel sementara. Para
karyawan membentuk persepsi subjektif yang utuh tentang organisasi berdasarkan faktor-
faktor seperti tingkat toleransi terhadap resiko, penekanan pada tim, dan dukungan orang.
Persepsi ini, pada dasarnya, lalu menyusun kultur atau kepribadian organisasi. Persepsi-
persepsi yang baik ataupun yang tidak selanjutnya mempengaruhi kinerja dan kepuasan
karyawan, dengan dampak yang semakin besar dengan semakin kuatnya kultur.
DAFTAR PUSTAKA
Robbins,Stephen P. (2008). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat
Faktor-faktor objektif:
- Inovasi dan pengambilan resiko
- Perhatian pada detail- Orientasi pada hasil- Orientasi pada orang- Orientasi pada tim
Budaya organisasi
Tinggi
Kinerja
Kepuasan