vascular streak dieback (vsd) pada tanaman kakao
TRANSCRIPT
Perspektif Vol. 18 No. 2 /Des 2019. Hlm 128-142 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v18n2.2019. 128 -142
ISSN: 1412-8004
128 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :128 - 142
PENYAKIT VASCULAR STREAK DIEBACK (VSD) PADA TANAMAN
KAKAO, PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENGENDALIAN DAN
STRATEGI PENERAPANNYA
Current Research Progress and Strategy to Control Vascular Streak Dieback (VSD)
Disease of Cacao
RITA HARNI1), DONO WAHYUNO2), dan IWA MARA. TRISAWA3)
1) Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar
Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops
Jalan Raya Pakuwon Km 2 Parungkuda, Sukabumi 43357, Indonesia
E-mail: [email protected] 2) Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute 3) Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Indonesian Center for Estate Crops Research and Development
ABSTRAK
Vascular streak dieback (VSD) merupakan penyakit
penting pada tanaman kakao. Penyakit ini telah
berkembang luas di sentra produksi kakao di
Indonesia dan menyebabkan kerugian 30-45% dari
produksi. Luas serangan VSD di Indonesia pada tahun
2007 adalah 70.000 ha dengan kehilangan hasil sebesar
Rp 405 643 680 000/tahun, dan kerugian terus
meningkat dari tahun ke tahun. Tujuan dari revieu ini
adalah menginformasikan tentang penyakit VSD dan
perkembangan teknologi pengendaliannya. Penyakit
VSD adalah penyakit pembuluh kayu yang
menyerang tanaman kakao. Gejala serangan
ditunjukkan oleh daun yang mengalami klorosis,
gugur dan meranting, hingga akhirnya tanaman tidak
berproduksi. Penyakit VSD disebabkan oleh cendawan
Ceratobasidium theobromae, yang bersifat obligat parasit,
tersebar melalui spora udara (basidiospora), melalui
bahan tanam atau bibit kakao yang telah terinfeksi.
Keberhasilan spora untuk berkecambah dan
melakukan penetrasi jaringan daun sangat tergantung
pada kondisi lingkungan. Karakteristik C theobromae
yang sulit diperbanyak pada medium buatan
menjadikan penelitian VSD sangat tergantung dengan
kondisi inokulum di lapang. Komponen pengendalian
yang telah dikembangkan berupa varietas atau klon
kakao tahan VSD, aplikasi fungisida, agens hayati dan
kultur teknis. Pengembangan kakao tahan VSD perlu
disertai dengan pengembangan komponen teknologi
pengendalian lainnya. Penanaman klon tahan VSD
disertai dengan penerapan kultur teknis budidaya
kakao yang tepat disertai aplikasi komponen
pengendalian yang sesuai dianggap sebagai strategi
untuk menekan penyebaran VSD yang efisien, efektif
dan ramah lingkungan. .
Kata kunci: Ceratobasidium theobromae, kakao,
pengendalian, VSD,
ABSTRACT
Vascular Streak Dieback (VSD) is a main disease in
cacao. It has been widely spread in cacao producing
centers in Indonesia which has caused 30-40%
production loss. Infested plant showed symptoms such
as clorosis on its leaves which then fall off and die
back. eventually stop producing. VSD is caused by a
obligate parasite fungus Ceratobasidium theobromae , ,
spread through basidiospora, plant materials, or
infected seedlings. Since this fungus is difficult to be
cultured in artificial media causes the research on VSD
highly depends on the availability of inoculum at the
field The ability of spora to germinate and penetrate
leaves tissue is determined by environment
conditions. Components of control which have been
developed are varieties or cacao clones, fungicide
application, biocontrol agents, and technical
culture. Developing VSD resistant cacao also
necessitates the development of control technology
components. Planting VSD resistant clones combines
with sugested cultural practices are considered
efficient and effective for controlling VSD as well as an
environmental friendly control strategy.
Keywords: Ceratobasidium theobromae, cacao,
management, VSD
129 Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) pada Tanaman Kakao, Perkembangan Teknologi Pengendalian dan
Strategi Penerapannya (RITA HARNI, DONO WAHYUNO, dan IWA MARA TRISAWA)
PENDAHULUAN
Kakao (Teobromae cacao) merupakan salah
satu tanaman perkebunan yang sebagian besar
(97,55%) diusahakan dalam bentuk perkebunan
rakyat, sedangkan sisanya (1,59% dan 0,85%)
masing-masing dalam bentuk perkebunan besar
swasta dan negara (Ditjenbun 2017). Tanaman
kakao bukan tanaman asli Indonesia, tetapi
tanaman ini dapat tumbuh, berkembang dan
memiliki peranan penting dalam perekonomian
nasional. Kakao merupakan produk perkebunan
Indonesia yang tercatat sebagai penghasil kakao
ketiga terbesar dunia setelah Pantai Gading dan
Ghana. Ditjenbun (2017) mencatat bahwa pada
tahun 2018 volume dan nilai ekspor kakao
Indonesia (dalam berbagai bentuk) sebesar
354.752 ton dengan nilai US $ 1.120.252.807.
Kakao digunakan sebagai bahan baku dalam
berbagai industri makanan, minuman, dan lain-
lain.
Sentra pertanam kakao di Indonesia
terutama terdapat di Sulawesi dan Sumatera.
Total luas areal kakao Indonesia pada tahun 2017
diperkirakan 1.730.002 ha dengan produksi
659.776 ton. Luas areal dan produksi pada 5
tahun terakhir (2012-2016) cenderung mengalami
penyusutan. Penurunan luas areal terutama
terjadi pada perkebunan besar negara yang turun
16,52% dan perkebunan besar swasta turun
8,38%, sementara luas areal perkebunan rakyat
naik 0,52% per tahun (Pusdatin 2016; Ditjenbun
2017). Di antara faktor penyebabnya adalah
kondisi perekonomian nasional dan dunia, situasi
politik dan keamanan serta harga kakao. Kondisi
tersebut ditambah dengan teknik budidaya yang
minimal menyebabkan produksi tanaman kakao
menurun. Jika penurunan produksi terus
berlanjut, ICCO (International Cocoa
Organization) memprediksi bahwa Indonesia
akan digeser oleh Ekuador sebagai negara
produsen kakao dunia (Agro Farm 2018)
Salah satu kendala penurunan produksi
kakao adalah gangguan hama dan penyakit.
Penurunan produktivitas akibat serangan hama
dan penyakit sebesar 660 kg/ha/tahun atau
sebesar 40% dari produktivitas yang pernah
dicapai (1.100 kg/ha/tahun). Total kehilangan
hasil secara nasional sebesar 198.000 ton/tahun
(Manggabarani 2011 dalam Topae et al. 2016). Di
antara penyakit tanaman kakao yang sering
menimbulkan kerugian adalah penyakit
pembuluh kayu (Vascular Streak Dieback = VSD)
yang disebabkan oleh cendawan Ceratobasidium
theobromae (Samuels et al. 2012). Penyakit ini
mampu menurunkan produksi antara 30-45%
(Anita-Sari dan Soesilo 2013). Namun demikian,
menurut Halimah dan Sri-Sukamto (2006)
kehilangan hasil akibat penyakit VSD
diperkirakan mencapai 100% pada klon-klon
yang rentan dan 15% pada klon-klon yang tahan.
Saat ini tanaman kakao di hampir seluruh
propinsi di Indonesia sudah terserang penyakit
VSD. Serangan dapat terjadi baik pada
perbenihan, tanaman muda, maupun pada
tanaman dewasa dan berproduksi (Syarif et al.
2016). Di Sulawesi sebagai salah satu sentra
kakao, gejala VSD pertama kali dilaporkan terjadi
pada tahun 1987 di Kolaka (Sulawesi Tenggara)
dan pada tahun 2002 ditemukan di daerah
Polmas dan Pinrang (Sulawesi Selatan). Saat ini
penyakit tersebut tersebar hampir di seluruh
wilayah Sulawesi (Rosmana 2005). Sementara di
sentra kakao lain yaitu di Sumatera seperti di
Sumatera Barat, gejala VSD pada tahun 2016 telah
tersebar luas dengan insidensi penyakit berkisar
antara 58,82 - 100%, dengan keparahan penyakit
24,29 - 44,71% (Trisno et al. 2016). Di provinsi
Sumatera Utara, penyebaran penyakit VSD
terjadi pada tahun 2013 (Dhana et al. 2013).
Penyebaran penyakit ini terjadi melalui bantuan
angin yaitu basidiospora yang diterbangkan dan
menempel pada tunas daun muda, kemudian
berkecambah dan melakukan penetrasi,
berkoloni pada jaringan xilem dan menyebabkan
jaringan xilem terinfeksi serta berwarna
kecokelatan (Samuels et al. 2012). Gejala akan
muncul pada daun kedua dan ketiga dari pucuk
dalam waktu 6-16 minggu, tergantung pada
umur dan varietas kakao. Cendawan akan
tumbuh baik pada suhu 26OC dan kelembapan di
atas 95% (Harni 2013; Harni and Baharuddin,
2014).
Pengendalian penyakit VSD sangat penting
mengingat dampak negatif yang ditimbulkannya.
Secara umum, pengendalian penyakit ini dapat
dilakukan melalui pendekatan ekologi baik dari
faktor biotik maupun abiotik, kemudian
130 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :128 - 142 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
menetapkan taktik pengendalian yang paling
mungkin dan efektif . Menurut Khaerati (2015)
faktor ekologi yang berkaitan dengan epidemi
penyakit VSD adalah penutupan tajuk, jarak
tanaman kakao dari sungai, kandungan unsur K,
Mg, dan Zn di dalam tanah.
Tulisan ini mengulas tentang penyakit VSD
dan perkembangan cara pengendaliannya pada
tanaman kakao. Cara pengendalian yang telah
dilakukan dan konsep pengendalian yang dapat
dilakukan, menjadi pegangan dalam menekan
insidensi dan keparahan penyakit serta
kehilangan hasil kakao.
PENYAKIT VSD Gejala
Tanaman yang meranting secara intensif
merupakan petunjuk paling mudah untuk
mendapatkan tanaman yang terserang cendawan
C. theobromae dari suatu populasi tanaman di
lapang. Serangan yang berat dari cendawan ini
menyebabkan tanaman menggugurkan daunnya
lebih awal dan dalam jumlah yang banyak
sehingga terlihat meranting (Gambar 1C,D).
Daun muda yang berada di nomor dua atau tiga
dari ujung ranting yang terinfeksi biasanya
menunjukkan gejala klorosis (warna kuning yang
intensif), dengan bercak-bercak kecil (spot)
warna hijau (Gambar 1A). Pada stadium lebih
lanjut daun yang terinfeksi gugur. Pada stadium
ini, cendawan tumbuh di dalam jaringan xylem,
dicirikan terbentuknya garis warna cokelat pada
petiole, dan juga terdapat noktah berwarna
cokelat-gelap pada bagian petiole daun yang
gugur (Gambar 1B).
Gejala klorosis hingga daun gugur
memerlukan masa inkubasi yang lama, bahkan
lebih dari 2 bulan. Ranting yang terinfeksi sering
terlihat tanpa daun pada ruas ketiga hingga
kelima dari ujung. Daun-daun baru di dekat
pucuk, walau mungkin telah terinfeks tapi belum
mengekspresikan gejala, akibat lamanya masa
inkubasi.
Diskripsi gejala di atas merupakan gejala
yang umum dan banyak dilaporkan pada
tanaman kakao (Semangun 2000). Tetapi akhir-
Gambar 1. Tanaman kakao dengan gejala VSD (A) daun klorosis, (B) noktah pada bekas petiole daun,
(C dan D) keragaan tanaman di lapangan (Harni et al. 2017)
131 Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) pada Tanaman Kakao, Perkembangan Teknologi Pengendalian dan
Strategi Penerapannya (RITA HARNI, DONO WAHYUNO, dan IWA MARA TRISAWA)
akhir ini pada daun kakao, selain gejala
meranting dengan daun mengalami klorosis, juga
ditemukan gejala nekrosis pada tepi dan ujung
daun (McMahon and Purwantara 2016).
Munculnya gejala tersebut diduga akibat adanya
perbedaan jenis cendawan yang menginfeksi,
kondisi tanaman dan banyak faktor lainnya yang
terlibat di dalamnya, sehingga gejala VSD
menjadi semakin komplek untuk dikenali.
Petunjuk yang lain, tanaman terserang VSD
adalah ditemukannya lapisan miselium berupa
koloni, menyerupai beludru berwarna putih
pada bekas petiole daun yang gugur atau tulang
daun. Lapisan miselium tersebut umumnya
banyak ditemukan selama musim hujan atau
pada tanaman kakao yang tumbuh di tempat
yang lembap (Guest dan Keane 2007).
Organisme Penyebab.
Penyebab VSD adalah cendawan dari
kelompok basidiomisete, yaitu Ceratobasidium
theobromae. Cendawan ini sebelumnya dikenal
dengan nama Oncobasidum theobromae atau
Thanatephorus theobromae (Semangun 2000;
Baloiloi dan Akanda 2013; Soetanto 2008;
McMahon dan Purwantara 2016). Samuels et al.
(2012) berdasarkan analisis molekuler
menggunakan DNA mendapatkan C theobromae
dan C. ramicola dari sampel kakao yang diperoleh
dari berbagai lokasi di Indonesia. Gejala yang
ditemukan juga bervariasi, beberapa di antaranya
berupa nekrosis pada jaringan daun tanpa
menunjukkan gejala nekrosis pada jaringan
pembuluh (vascular browning). McMahon dan
Purwantara (2016) beranggapan bahwa
penamaan yang didasarkan pada hasil penelitian
Samuels et al. (2012) merupakan nama yang
sesuai untuk cendawan penyebab penyakit VSD,
meskipun berdasarkan karakteristik biologi dan
patogenisitasnya cendawan ini dimasukkan ke
dalam kelompok Rhizoctonia, yang umumnya
dianggap banyak hidup sebagai saprofit
(Oberwinkler et al. 2013).
Biologi
Keberhasilan untuk menumbuhkan
cendawan Ceratobasidium pada medium buatan
masih banyak diperdebatkan. Musa (1983)
melaporkan dapat menumbuhkan pada medium
yang mengandung air kelapa, tetapi Keane et al.
(1972) meragukannya karena hasil yang
diperoleh amat tidak stabil. Samuels et al. (2012)
berhasil mengisolasi dan menumbuhkannya
pada medium agar dengan cara menyertakan
potongan ranting yang terinfeksi yang dapat
menjamin bahwa koloni tersebut akan hidup saat
dipindah ke medium yang baru. Tetapi, koloni
tersebut tidak dapat berkembang lebih lanjut saat
dipindahkan ke medium yang baru. Baloiloi dan
Akanda (2013), menggunakan potongan
miselium yang ditumbuhkan pada medium
untuk melakukan seleksi ketahanan secara in
vitro dengan menggunakan daun kakao.
Siklus Hidup
Cendawan masuk ke dalam jaringan
tanaman melalui basidiopsora yang berkecambah
dan kemudian masuk ke dalam jaringan daun
dengan cara mempenetrasi epidermis, mesofil
dan miselium berkembang di sekelilingnya
menuju tulang daun (Semangun 2000; McMahon
dan Purwantara 2016). Pada awal infeksi jarang
ditemukan adanya jaringan daun yang
menunjukkan nekrosis dan daun yang terinfeksi
akan gugur setelah sekitar 3 bulan dari terjadinya
infeksi. Miselium berkembang hingga akhirnya
masuk ke dalam jaringan pembuluh xilem dan
tumbuh di dalamnya hingga sampai petiole
daun. Cendawan ini terus tumbuh di dalam
xilem dan menuju ranting utama sehingga
mematikan ranting di atasnya (Samuels et al.
2012). Pada kondisi lingkungan yang lembap
koloni berwarna putih akan tumbuh ke luar dari
jaringan bekas petiole daun atau tulang daun
yang telah terinfeksi. Pada saat itu,
Ceratobasidium membentuk banyak basidium
pada permukaan koloni yang sebenarnya
berfungsi sebagai tubuh buah tetapi tidak
berbentuk khusus (resupinate) dan menghasilkan
basidiopsora yang akan menginfeksi daun lain
yang ada di sekitarnya. Sporanya yang lembut,
berukuran kecil dan tidak mempunyai dinding
sel yang tebal, mengindikasikan bahwa spora ini
(basidiospora) mudah terbawa angin, dapat
segera berkecambah dan peka pada kondisi
lingkungan yang kering untuk keberhasilan
terjadinya infeksi. Karakteristik sporanya yang
132 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :128 - 142 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
unik tersebut, menjadikan pada tahap awal
sebaran penyakit tanaman yang terinfeksi
cenderung berkelompok. Basidium dan spora
yang dihasilkan dapat berasal dari daun dan
ranting dari tanaman yang telah terinfeksi
sebelumnya.
Kisaran Inang
Sedikit informasi terkait sebaran tanaman
inang dari C. theobromae. Di Indonesia, sampai
saat ini informasi sebaran inang C. theobroame
masih terbatas pada tanaman kakao. Wahyu
Soesilo dan Anita-Sari (2011) melaporkan ada
beberapa aksesi kakao hasil persilangan yang ada
di Indonesia menunjukkan respon tahan
terhadap C. theobromae. Wahyu Soesilo et al.
(2016) juga menyatakan adanya indikasi
ketahanan pada klon kakao berdasarkan pada
karakter kepadatan stomata. Klon yang tahan
biasanya mempunyai kerapatan stomata yang
rendah. Karakteristik adanya kekhususan inang
yang tinggi dapat dijadikan pertimbangan
penting untuk mengendalikan Ceratobasidium di
lapang. Tetapi Anderson (1989) mendapat
cendawan yang diidentifikasi sebagai O.
theobromae menyerang tanaman avocado muda di
pembibitan. Sampai saat ini sebaran dari C.
theobromae masih terbatas di Asia Tenggara dan
sekitarnya, Samuels et al. (2012) menduga bahwa
cendawan ini sebenarnya berasal dari Asia
Tenggara dan telah menginfeksi tanaman asli
yang tumbuh di hutan di Asia Tenggara, yang
belum diketahui jenisnya dengan gejala yang
tidak spesifik. Asumsi ini juga didasarkan pada
temuan bahwa banyak tanaman kakao yang
menunjukkan gejala terserang VSD adalah
tanaman yang banyak tumbuh di tepi hutan di
Papua Nugini.
Epidemi
Di lapang, gejala meranting akibat serangan
C. theobromae ditemukan hampir di semua
perkebunan kakao di Indonesia, baik tanaman
yang tumbuh di dataran rendah maupun tinggi
dengan kejadian dan keparahan penyakit yang
bervariasi, tergantung pada kondisi tanaman,
klon kakao yang ditanam, kondisi lingkungan
dan perawatan tanaman yang diberikan.
Kejadian dan keparahan penyakit pada kebun-
kebun kakao yang tidak dirawat cenderung lebih
tinggi dibanding kebun yang terawat baik.
Kondisi lingkungan yang lembap, jarak tanam
rapat, jenis klon yang ditanam dan ketersediaan
inokulum di lapang, berperan besar atas kejadian
penyakit.
Gejala VSD cenderung terlihat lebih parah di
musim kemarau dibanding pada musim hujan.
Gangguan pada jaringan pembuluh xilem akibat
adanya infeksi menyebabkan tanaman menjadi
peka akan kekurangan air selama musim
kemarau. Daun yang terinfeksi dapat bertahan
pada ranting untuk waktu yang lama sehingga
dapat menjadi sumber inokulum bagi daun atau
ranting yang masih sehat (McMahon dan
Purwantara 2016). Pada kondisi lingkungan yang
lembap, koloni berupa hifa akan keluar dari
bekas petiole atau tulang-tulang daun yang telah
terinfeksi, membentuk basidium dan
menghasilkan basidiospora. Basidium yang
terbentuk hanya akan melepaskan basidiospore
apabila basidium terbasahi selama lebih dari 5
jam, dengan suhu udara maksimum 26 oC dan
kondisi gelap (Dennis et al. 1992)
C. theobromae yang hanya dapat tumbuh di
jaringan tanaman yang hidup menyebabkan
cendawan ini tidak dapat berkompetisi dengan
mikroba lainnya saat ada di ranting yang jatuh di
tanah. Beberapa kegiatan budidaya anjuran tidak
dapat diabaikan untuk menekan kerusakan
tanaman kakao lainnya akibat infeksi C
theobromae.
PENGENDALIAN VSD
Kebutuhan akan adanya cara pengendalian
yang efektif semakin mendesak seiring
meningkatnya kerugian yang disebabkan oleh
penyakit ini dari tahun ke tahun. Penanganan
penyakit ini menjadi penting mengingat luas
perkebunan rakyat mencapai 97% dari luas areal
kakao Indonesia.
Cendawan yang menyelesaikan sebagian
besar hidupnya di dalam jaringan pembuluh
xilem menyebabkan aplikasi pestisida menjadi
kurang efektif. Di samping itu bioekologi
cendawan C.theobromae belum banyak diketahui
sehingga penelitian-penelitian tentang cendawan
133 Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) pada Tanaman Kakao, Perkembangan Teknologi Pengendalian dan
Strategi Penerapannya (RITA HARNI, DONO WAHYUNO, dan IWA MARA TRISAWA)
ini masih bergantung pada infeksi alami di
lapangan.
Beberapa metode pengendalian yang sudah
dicoba di antaranya adalah sanitasi
(pemangkasan ranting yang terserang) (Varghese
et al. 1992), fungisida sistemik (Varghese et al.
1992), pestisida nabati, biologi, dan senyawa
penginduksi ketahanan (Wahyu Soesilo dan
Anita-Sari 2011; Sri-Soekamto et al. 2008; Harni
dan Khaerati 2013; Harni dan Baharuddin, 2014;
Harni et al. 2016; Rosmana et al. 2015).
Saat ini telah dicanangkan program
pengendalian penyakit VSD. Pengendalian
jangka pendek diarahkan kepada menekan
jumlah sumber inokulum di lapang dan
mengurangi penyebaran penyakit, dengan cara
kultur teknis, pestisida nabati, biologi, dan
kimia. Sedangkan pengendalian jangka panjang
diarahkan pada perakitan bahan tanaman tahan,
yang lebih mengarahkan pada kelangsungan
budidaya kakao yang ekonomis, ramah
lingkungan dan berkelanjutan.
Varietas Tahan
Penggunaan varietas tahan merupakan cara
yang efektif dan ekonomis dalam mengendalikan
penyakit VSD, selain reltif efektif juga
aplikasinya yang cukup mudah di lapangan, dan
dapat menekan biaya produksi. Hasil pemuliaan
telah mendapatkan sejumlah klon kakao tahan
VSD antara lain Sulawesi 1, Sulawesi 2, Sca 6 dan
DRC 15 yang telah dilepas sebagai bahan tanam
anjuran untuk mengatasi masalah penyakit VSD
di Indonesia (Wahyu Soesilo and Anita-Sari
2011). Klon Sulawesi 1 dan Sulawesi 2
merupakan hasil pemuliaan partisipatif di
Sulawesi yang terbukti efektif mengendalikan
VSD. Saat ini kedua klon tersebut sudah
dikembangkan secara luas melalui Gernas Kakao
yang bertujuan untuk meningkatkan produksi
dan pengendalian VSD. Selain Sulawesi 1 dan 2
juga telah diperoleh beberapa klon tahan VSD
antara lain KW162, KW163, KW165, dan KEE2
yang digunakan sebagai sumber genetik untuk
sifat ketahanan terhadap VSD.
Mekanisme ketahanan tanaman kakao
terhadap VSD belum diketahui. McMahon and
Purwantara (2016) menduga mekanisme
berhubungan dengan respon inang pada xilem
dan sel parenkim seperti akumulasi senyawa dan
unsur tertentu seperti peningkatan sulfur pada
xilem atau senyawa tertentu di daun yang
mencegah spora berkecambah dan menghalangi
penetrasi epidermis. Sedangkan Anita-Sari and
Wahyu Soesilo (2013) menjelaskan bahwa
genotip tahan berhubungan dengan jumlah
stomata. Selanjutnya McMahon dan Purwantara
(2016) menjelaskan bahwa ada beberapa klon
yang ketahanan terhadap VSD bersifat parsial
dan tahan lama seperti PBC123 dan KA2-101,
sifat ketahanan kedua klon tersebut dikaitkan
dengan ketahanan horizontal yang melibatkan
beberapa gen.
Kultur Teknis
Pengendalian kultur teknis dapat dilakukan
dengan pemangkasan cabang yang terinfeksi
secara berkala. Pemangkasan bertujuan untuk
menghilangkan ranting atau cabang yang sakit
dan harus terukur untuk meminimalisasi stres
akibat pemangkasan. Hasil penelitian
Jayawardena et al. (1980) dan Prior (1980),
pemangkasan dengan interval setiap bulan lebih
efektif dibanding interval 3 bulan, tetapi
menurut McMahon and Purwantara (2016)
frekuensi ini mungkin sulit dilakukan oleh petani
kecil yang mengandalkan tenaga kerja keluarga
karena usaha sanitasi cukup mahal. Selanjutnya
Pawirosoemardjo and Purwantara (1992)
menjelaskan bahwa interval pemangkasan
tergantung pada iklim suatu daerah, pada daerah
basah (tipe curah hujan B seperti Sumatera Utara
dan Jawa Barat, pangkasan dilakukan setiap 2
minggu tetapi di daerah kering (tipe curah hujan
D seperti di Jawa Timur) dengan interval 1-3
bulan (Tabel 1).
Menurut Sri-Soekamto et al. (2008) strategi
pengendalian penyakit pembuluh kayu (VSD)
melalui kultur teknis dilakukan berdasarkan
tingkat keparahan yang ada: berat, sedang dan
ringan. Kategori keparahan: 1) ringan apabila
jumlah ranting yang sakit <10% dan cendawan
hanya menyerang sampai cabang tersier, 2)
kategori sedang adalah bila jumlah ranting sakit
10-30% dan serangan sampai pada cabang
sekunder, 3) berat, apabila jumlah ranting sakit >
30% dan cendawan menyerang sampai pada
cabang primer atau pokok. Pemangkasan
134 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :128 - 142 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
cabang/ranting yang terinfeksi dilakukan sampai
pada batas tidak ditemukan garis cokelat pada
jaringan pembuluh kayu, ditambah 30 cm. Hasil
pangkasan ranting yang terinfeksi tidak perlu
dibakar atau diangkut dari kebun, karena C
theobromae tidak dapat berkembang dan
membentuk tubuh buah pada ranting yang sudah
dipotong (Keane 1981). Tetapi keberadaan
stadium C. theobromae di lapang mungkin
bervariasi sehingga penanganan pangkasan perlu
tetap dilakukan, juga untuk mencegah apabila
ranting tersebut juga telah terparasit cendawan
patogen lainnya.
Pengendalian penyakit VSD dengan cara
sanitasi pada tanaman kakao telah diterapkan di
sebagian besar lahan yang terinfeksi di daerah
Jawa pada tahun 1980 an. Teknologi ini dapat
mengurangi intensitas penyakit ketingkat yang
sangat rendah. Tetapi untuk perkebunan plasma
teknologi ini tidak dapat diterapkan karena itu
perlu pengembangan bahan tanam yang lebih
tahan terhadap VSD (Pawirosoemardjo et al.
1990). Penelitian lain di Malaysia menjelaskan
bahwa pemangkasan dapat meningkatkan
kejadian penyakit VSD jika sumber inokulum
tetap ada di sekitarnya.
Pestisida Nabati
Berbagai tanaman dapat menghasilkan
bahan alami yang bersifat fungisida dan telah
dimanfaatkan untuk mengendalikan penyakit
tanaman, di antaranya adalah minyak cengkeh
dan serai wangi (El-Zemiti and Ahmed 2005;
(Deng et al. 2013; Nakahara et al. 2003; Harni and
Khaerati 2013).
Penggunaan fungisida nabati untuk
mengendalikan penyakit VSD sudah dilaporkan
oleh Harni and Khaerati (2013), minyak serai
wangi, cengkeh dan ekstrak bawang putih dapat
menekan intensitas penyakit pada bibit kakao
sebesar 50%; 50.83% dan 51.66 % lebih rendah
dibanding perlakuan fungisida kimia.
Selanjutnya Harni and Baharuddin (2014) juga
mendapatkan minyak cengkeh, serai wangi dan
ekstrak bawang putih dapat menekan intensitas
serangan VSD di lapangan antara 16,3-38,6%.
Penekanan tertinggi pada perlakuan minyak
cengkeh dan serai wangi yaitu 38,6% dan 31,6%.
Berdasarkan tingkat efikasi dari bahan yang diuji
maka hanya minyak cengkeh dan serai wangi
yang tergolong efektif untuk mengendalikan VSD
dengan tingkat efektifitasnya lebih dari 30%,
sebanding dengan fungisida sintetik
ditiokarbamat (Tabel 2). Hasil penelitian
Noveriza et al. (2018) menggunakan nano emulsi
minyak serai wangi dengan dosis 0,1% efektif
menekan penyakit VSD pada tanaman kakao.
Penggunaan minyak cengkeh dan serai
wangi untuk mengendalikan VSD pada tanaman
kakao hanya dapat menekan perkembangan
penyakit VSD, namun tidak dapat
mengendalikan secara tuntas karena kedua
fungisida nabati tersebut hanya dapat
Tabel 1. Interval waktu pemangkasan untuk
pengendalian VSD di daerah beriklim
basah dan kering
Intensitas
keparahan
Interval pemangkasan
Iklim basah Iklim kering
Ringan 8 minggu 4 minggu
Sedang 4 minggu 2 minggu
Berat Eradikasi Eradikasi
Sumber: Syahnen (2011)
Tabel 2. Pengaruh minyak cengkeh dan serai wangi, serta ekstrak bawang putih terhadap intensitas
kejadian penyakit VSD pada tanaman kakao
No. Perlakuan Intensitas serangan (%) Penurunan intensitas
serangan (%)
Penilaian
tingkat efikasi
1. Kontrol 32,6 a - -
2. Cengkeh 20,0 c 38,6 Efektif
3. Serai wangi 22,3 bc 31,6 Efektif
4. Cengkeh + Serai wangi 27,3 ab 16,3 Tidak efektif
5. Bawang putih 26,2 ab 19,6 Tidak efektif
6. Fungisida kimia (ditiokarbamat) 22,3 bc 31,6 Efektif
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
Sumber : Harni dan Baharuddin (2014)
135 Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) pada Tanaman Kakao, Perkembangan Teknologi Pengendalian dan
Strategi Penerapannya (RITA HARNI, DONO WAHYUNO, dan IWA MARA TRISAWA)
membunuh spora atau hifa C. theobromae yang
berada di permukaan daun atau ranting sehingga
dapat mencegah infeksi spora pada daun-daun
muda. Untuk hifa yang telah masuk ke dalam
jaringan pembuluh sulit terjangkau karena
mekanisme dari formula cengkeh dan serai
wangi yang ada bersifat kontak. Oleh karena itu,
perlu dicari formula fungisida nabati agar dapat
mencapai ke dalam jaringan pembuluh xilem.
Biologi
Pengendalian penyakit VSD dengan
menggunakan agens hayati belum banyak diteliti
di Indonesia. Agens hayatiyang banyak diteliti
adalah Trichoderma dan cendawan ataupun
bakteri endofit. Sejumlah cendawan endofit
telah diidentifikasi pada tanaman kakao di
Panama dan Brazil seperti Colletotrichum,
Botryospharia, Nectria dan Trichoderma (Mejía et al.
2008). Rubini et al. (2005) juga menemukan
beberapa isolat endofit dari tanaman kakao yaitu
Acremonium, Blastomyces, Botryosphaeria,
Cladosporium, Colletotrichum, Cordyceps, Diaporthe,
Fusarium, Geotrichum, Gibberella, Gliocladium,
Lasiodiplodia, Monilochoetes, Nectria, Pestalotiopsis,
Phomopsis, Pleurotus, Pseudofusarium, Rhizopycnis,
Syncephalastrum, Trichoderma, Verticillium
danXylaria. Selain itu, Amin et al. (2014)
menemukan Curvularia, Fusarium, Geotrichum,
Aspergillus, Gliocladium, Colletotrichum dari
tanaman kakao yang tahan dan rentan VSD.
Pengujian agens hayati untuk pengendalian
VSD pada tanaman kakao telah dilaporkan oleh
Rosmana et al. (2015) yang menggunakan
Trichoderma asperellum yang bersifat endofit pada
tanaman kakao. Aplikasi T. asperellum dilakukan
melalui akar, selanjutnya bibit diinokulasi
dengan miselium C. theobromae. Hasil
penelitiannya menunjukkan tidak ada gejala VSD
yang muncul pada daun. Tetapi bila inokulasi
tanaman dilakukan dengan cara pennyambungan
tanaman yang sakit pada bibit, setelah 12 minggu
dengan kejadian penyakit 33,3 - 56,0% sedangkan
pada kontrol 88,9%. Rosmana et al. (2016) juga
mendapatkan bahwa Trichoderma yang
diaplikasikan pada penyambungan kakao bukan
hanya menekan kejadian penyakit VSD tetapi
juga mampu memacu pertumbuhan bibit kakao.
Di sampingTrichoderma, Giyanto et al. (2016) juga
sedang mencari endofit dari kelompok bakteri
yang efektif untuk menekan VSD.
Selanjutnya Harni et al. (2016)
menggunakan beberapa agens hayati dan
metabolit Trichoderma yang diisolasi dari tanaman
kakao dan diuji terhadap C. theobromae pada bibit
kakao. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
agens hayati dan metabolit Trichoderma yang diuji
dapat menekan intensitas penyakt VSD pada
bibit sebesar 5,0-35%, yang diinokulasi C
theobromae secara alami. Harni et al. (2017) juga
menguji beberapa metabolit sekunder dari
Trichoderma spp. (T. virens LP1, T. hamatum LP2,
T. amazonicum LP3, T viride, dan T. atroviride)
pada bibit kakao. Hasil penelitiannya
menunjukkan metabolit sekunder T. virens LP1,
dan T. amazonicum LP3 lebih efektif menekan
kejadian penyakit dibanding Trichoderma yang
lain.
Kimia
Pengendalian menggunakan fungisida kimia
merupakan teknik pengendalian yang banyak
digunakan petani pada saat ini karena mudah
dan murah didapat. Beberapa fungisida kimia
telah digunakan untuk pengendalian VSD di
antaranya adalah golongan triazole,
organoklorida (Holderness 1990). Kedua
fungisida tersebut bersifat sistemik yang dapat
menghambat sintesis ergosterol, dan
efektifitasnya tinggi dalam menekan
perkembangan VSD, baik sebagai pencegah
maupun pengendalian, walaupun fungisida ini
bersifat fitotoksisitas (Holderness 1990). Hasil
pengujian 15 jenis fungisida sistemik yang di
lakukan di Malaysia oleh Singh (1989), fungisida
dengan bahan aktif triadimefon yang
diaplikasikan dengan cara penyiraman ke tanah
merupakan fungisida terbaik dalam
mengendalikan VSD pada tanaman kakao.
Sebelum tahun 1987 fungisida bahan aktif
propikonazol banyak digunakan di lapangan
dengan cara dioles pada kulit kayu dan
disemprot melalui daun. Tetapi cara tersebut
kurang efektif dibanding aplikasi pada akar
karena bahan kimia tidak mudah didistribusikan
kembali melalui floem ke jaringan tumbuh (Prior
1977). Penggunaan fungisida sistemik baru
mampu memberikan pengurangan intensitas
136 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :128 - 142 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
penyakit pada tahap pembibitan Prospek
pengendalian VSD secara kimiawi tidak begitu
efektif karena fungisida hanya melindungi
jaringan muda, sumber inokulum masih ada di
lapang, dan apabila terjadi anomali iklim maka
fungisida mudah tercuci, selain mahal bagi petani
kecil.
TEKNOLOGI PENGENDALIAN
TERBARU
Induksi Ketahanan
Pengembangan metode baru untuk
menurunkan tingkat kejadian VSD agar tidak
melebihi batas ambang ekonomi adalah dengan
melakukan induksi ketahanan tanaman kakao.
Induksi ketahanan bertujuan meningkatkan
kemampuan tanaman untuk mempertahankan
diri dari serangan C. theobromae. Menurut Sri-
Sukamto et al. (2008) beberapa unsur dapat
meningkatkan ketahanan tanaman seperti Si, K,
Ca, Mn, dan B.
Silikon merupakan unsur mikro yang sangat
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman dan dapat digunakan
untuk pengendalian penyakit. Silikon berfungsi
sebagai penghalang mekanik, mencegah
penetrasi cendawan karena silikon terakumulasi
pada dinding sel inang dan memicu produksi
senyawa anti cendawan seperti fitoaleksin,
senyawa kitinase, fenol dan PR protein (Kaiser et
al. 2010). Aplikasi silikon dengan kosentrasi 50
ppm disemprotkan pada daun muda pada pagi
hari efektif menekan kejadian VSD (Sri-
Soekamto et al. 2008)
Boron dimanfaatkan oleh tanaman untuk
pembentukan dinding sel, aktivitas meristem,
translokasi gula, sintesis protein, pembentukan
akar, buah dan biji. Defisiensi Boron
menyebabkan kemunduran fungsi dinding sel
parenkim yang ditandai dengan terbentuknya
nekrosis dalam beberapa jenis tanaman (Sri-
Soekamto et al. 2008). Kandungan Boron dalam
daun kakao berkisar 25-70 ppm sedang kadar
yang dinyatakan defisien berkisar 8,5-11,0 ppm
(Wessel 2008).
Metabolit Sekunder Agens Hayati
Metabolit sekunder adalah senyawa alami
dengan berat molekul rendah (<3 kDa), yang
dihasilkan oleh mikroorganisme dan tumbuhan
yang disintesis dari metabolit primer (Vinale et
al. 2014). Metabolit sekunder yang banyak diteliti
untuk pengendalian penyakit tanaman adalah
metabolit sekunder Trichoderma. Menurut
Soetanto (2008) dan Vinale et al. (2014) metabolit
sekunder dapat menjadi elisitor yang berfungsi
dalam ketahanan tanaman terhadap serangan
organisme penganggu tanaman. Beberapa
senyawa yang terkandung dalam metabolit
sekunder adalah antibiotik, enzim, toksin, dan
hormon. Senyawa antibiotik yang dihasilkan
Trichoderma di antaranya adalah viridins,
kininginins, cytosperone, trichodermol, manitol, 2-
hidroksimalonate acid (Vinale et al. 2014). Enzim
yang terdapat di dalam metabolit sekunder
Trichoderma spp. di antaranya adalah protease,
selulase, selobiase, kitinase, dan 1,3-ß-glukanase
(Soetanto 2008; Dubey et al. 2011), yang berperan
penting di dalam pengendalian penyakit
tanaman.
Pengunaan metabolit sekunder Trichoderma
untuk mengendalikan penyakit VSD dilaporkan
oleh Harni et al. (2017). Pengunaan metabolit
sekunder T. virens LP1 dan T. amazonicum LP3
efektif menekan intensitas kejadian VSD pada
bibit kakao. Metabolit dari T. virens LP1 dan T.
amazonicum LP3 diuji pada tanaman kakao yang
terinfeksi VSD di lapangan melalui infus akar;
efektif menekan intensitas serangan VSD pada
tanaman kakao dengan pengurangan intensitas
penyakit lebih dari 30%.
Pengendalian Terpadu
Pengendalian secara terpadu dilakukan
dengan menggabungkan beberapa teknik
pengendalian yang saling kompatibel seperti
varietas tahan, pengendalian biologi, kimia dan
pestisida nabati. Pengendalian penyakit VSD
yang sudah diteliti adalah sanitasi dengan
pemangkasan, pemupukan dan pengunaan
metabolit sekunder Trichoderma cukup efektif
dalam menekan intensitas serangan VSD > 30%
dan dapat meningkatkan produksi kakao 58,2%
(Harni et al. 2017).
137 Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) pada Tanaman Kakao, Perkembangan Teknologi Pengendalian dan
Strategi Penerapannya (RITA HARNI, DONO WAHYUNO, dan IWA MARA TRISAWA)
STRATEGI PENERAPAN PENGENDALIAN
VSD
Penerapan berbagai inovasi teknologi
pengendalian penyakit VSD memerlukan
pemahaman yang mendasar tentang berbagai
aspek biologi dan ekologi penyebab penyakit
tersebut. Hasil-hasil penelitian sebelumnya
menjadi landasan upaya pengembangan lebih
lanjut terhadap pengendalian penyakit VSD.
Sejauh ini penerapan komponen teknologi
pengendalian VSD secara tunggal atau kombinasi
di antaranya dianggap belum memberikan hasil
yang memuaskan. Oleh karena itu masih
diperlukan dukungan komponen pengendalian
lainnya, misalnya mencegah lintas penyebaran
penyakit, baik dalam satu kawasan lokal daerah
maupun antar provinsi. Pencegahan dapat
dilakukan mulai di pembenihan sampai tanaman
kakao di lapangan. Penggunaan benih yang
bebas penyakit dan tahan VSD merupakan
langkah awal dalam pengamanan mitigasi
kehilangan hasil akibat penyakit VSD. Evaluasi
terhadap klon-klon yang sudah ada perlu terus
dilakukan. Adanya anomali iklim dan variasi di
dalam populasi C. theobromae mungkin akan
menyebabkan patahnya ketahanan. Penyesuaian
jenis klon dengan kondisi agroekologi ataupun
jenis C. theobromae dapat dijadikan pertimbangan
untuk menggunakan klon kakao tertentu pada
daerah tertentu.
Dalam proses perbenihan selanjutnya,
tindakan monitoring secara rutin tetap dilakukan
sehingga kehadiran penyakit VSD secara dini
dapat diketahui demikian juga tindakan untuk
mengendalikannya. Tindakan pemantauan terus
dilakukan sampai benih ditanam, tumbuh dan
berkembang di lapangan. Pelaksanaannya dapat
dilakukan bersama-sama dengan kegiatan rutin
petani di kebun, seperti saat penyiangan gulma
atau pemangkasan tanaman kakao.
Komponen pengendalian penyakit VSD
yang ada dapat diterapkan baik secara tunggal
maupun terpadu dengan mengkombinasikan di
antara komponen pengendalian yang sesuai.
Mengacu pada anjuran budidaya kakao
(Puslitbangbun 2010) pengendalian terpadu VSD
dapat dilakukan berdasarkan tingkatan infeksi.
Untuk Infeksi ringan diterapkan (1) pangkasan
sanitasi dengan interval 2 – 3 bulan sekali, (2)
pemupukan yang berimbang, (3) perbaikan
pohon penaung, dan (4) pembuatan saluran
pembuangan air pada lokasi yang sering
tergenang air. Pada Infeksi sedang diterapkan
(1) rehabilitasi tanaman kakao dengan sambung
samping atau sambung pucuk menggunakan
klon tahan VSD, dan (2) sambung samping hanya
dapat dilakukan pada tanaman kakao yang
batangnya sehat dan tidak terinfeksi kanker
batang. Untuk infeksi berat diterapkan (1)
penanaman kembali tanaman kakao yang
terinfeksi berat dan berumur tua, (2) rehabilitasi
tanaman kakao dengan sambung samping atau
sambung kanopi pada tanaman muda, dan (3)
aplikasi fungisida golongan triazole.
Dalam pengendalian terpadu di atas,
pada tiap tingkatan keparahan infeksi dapat
disertai dengan aplikasi agens hayati, misalnya
Trichoderma. Penggunaan cendawan antagonis
yang sudah beradaptasi pada lingkungan
pertanaman kakao dapat menjadi agens
pengendali yang efektif. Menurut Rosmana et al.
(2015) Trichoderma endofit yang diinokulasikan
pada perakaran kakao dapat mengurangi
kejadian VSD di pembibitan.
Penggunaan fungisida sintetik digunakan
sebagai pilihan terakhir jika sumber inokulum
dianggap dalam jumlah yang berlebih. Aini
(2014) mendapatkan stadium pertumbuhan dari
tanaman kakao menentukan efektivitas
pengendalian penyakit VSD. Ditjen PSP (2016)
juga telah membuat daftar beberapa jenis
fungisida yang dapat digunakan untuk
mengendalikan penyakit VSD pada tanaman
kakao.
Sifat C. theobromae yang mempunyai
kisaran inang terbatas dan penyebaran lewat
spora (basidiospora) yang sangat tergantung
pada kondisi lingkungan, merupakan informasi
yang penting dalam menerapkan arah
pengendalian selanjutnya. Demikian juga
dengan usaha untuk mengembangkan komponen
pengendalian yang telah dilakukan yang selaras
dengan pedoman budidaya kakao. Usaha yang
mendesak untuk menekan VSD adalah
mengurangi sumber inokulum di lapang, baik
dengan melakukan pemangkasan tanaman yang
terukur, dilakukan pada musim yang tepat, dan
138 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :128 - 142 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
disertai tindakan monitoring. Pemusnahan
tanaman yang terinfeksi parah mungkin harus
dilaksanakan setelah dilakukan dan inventarisasi.
Juga tindakan karantina perlu dilakukan untuk
pencegahan masuknya patogen pada daerah
yang bebas VSD.
Aplikasi cara budidaya kakao anjuran
yang diintegrasikan dengan usaha untuk
meningkatkan keragaan tanaman perlu terus
dilakukan dengan menyertakan komponen
pengendalian yang ramah lingkungan yang telah
ditemukan. Guest and Keane (2018) menekankan
pentingnya karantina, pengembangan tanaman
tahan, tindakan budidaya, mengembangkan
agens hayati, dan aplikasi fungisida dalam
pengelolaan penyakit VSD. Syarif et al. (2016)
menyarankan pemerintah untuk melakukan
pendampingan, pemangkasan secara berkala,
memusnahkan tanaman yang terserang dan
menanam klon-klon yang tahan.
Pemetaan lokasi lokasi yang terinfeksi C
tehobromae, dengan kategori keparahannya perlu
dipertimbangkan guna menentukan tindakan
pencegahan dan pengendalian yang efisien dan
efektif.
Untuk sentra produksi yang telah terserang
berat dan luas, mengganti klon-klon kakao yang
ada dan diketagorikan pekar dengan klon yang
dikategorikan tahan atau toleran. Seleksi klon-
klon kakao yang akan ditanam di daerah tersebut
juga perlu diawasi guna keberhasilan memutus
siklus dan mengurangi inokulum C theobromae.
Komponen teknologi pengendalian yang
menjadi fokus pengembangan selanjutnya harus
ditekankan pada aspek yang lebih mudah
diaplikasikan dan diterima oleh petani kakao,
antara lain varietas atau klon tahan, dan cara
perbanyakannya yang efisien dengan dukungan
komponen agens hayati yang dapat diaplikasikan
pada daun atau tanaman yang terserang ringan.
PENUTUP
Perkembangan teknologi pengendalian
penyakit VSD pada tanaman kakao memberikan
gambaran, peran, dan kontribusinya dalam
menekan kehilangan hasil. Implementasinya
dalam skala luas di lahan petani perlu dilakukan
melalui sebuah pengkajian, karena hal ini dapat
memberikan informasi penting tentang cara
pengendalian yang dikembangkan yang
mungkin akan sedikit berbeda antara satu lokasi
dengan yang lainnya. Informasi yang diperoleh
dari implementasi tersebut akan menjadi acuan
teknik pengendalian VSD selanjutnya.
Penerapan teknologi pengendalian penyakit
tanaman, termasuk VSD pada kakao di tingkat
petani masih terbatas. Selain karena motivasi dan
pengetahuan teknik pengendalian yang terbatas,
juga karena pertimbangan pembiayaan. Perlu ada
dukungan kebijakan yang terus menerus dari
steakholder seperti pemangku kebijakan, pelaku
usaha, dan perbankan yang memudahkan dalam
pengembangan budidaya kakao yang berdaya
saing dan nilai tambah tinggi. Hal ini mengingat
97% perkebunan kakao diusahakan dalam
bentuk perkebunan rakyat. Secara umum
pengendalian penyakit VSD dapat dilakukan
dengan cara memutus siklus hidup disertai
pengurangan sumber inokulum dan tindakan
kultur teknis anjuran, berupa pemangkasan
ranting terinfeksi, pemupukan, aplikasi fungisida
nabati atau senyawa metabolit.
DAFTAR PUSTAKA
Agro Farm. (2018). ICCO: Indonesia Bakal Disalip
Equador Sebagai Produsen Kakao Ketiga
Dunia.
www.agrofarm.co.id/2018/02/4852-2/ [7
November 2018].
Aini, F.N. (2014). Pengendalian penyakit
pembuluh kayu (Vascular Streak Dieback)
pada tanaman kakao menggunakan
fungisida flutriafol. Pelita Perkebunan
30(3): 229-239.
Amin, N., Salam, M., Junaid, M., Asman & Baco,
M.S. (2014). Isolation and identification of
endophytic fungi from cocoa plant
resistante VSD M.05 and cocoa plant
Susceptible VSD M.01 in South Sulawesi,
Indonesia. Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci
3(2): 459-467.
Anderson, R. D. (1989). Avocado, an alternate
host for Oncobasidium theobromae. In
Australasian Plant Pathology (Vol. 18, Issue
4, pp. 96–97). https://doi.org/10.1071/
APP9890096
139 Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) pada Tanaman Kakao, Perkembangan Teknologi Pengendalian dan
Strategi Penerapannya (RITA HARNI, DONO WAHYUNO, dan IWA MARA TRISAWA)
Anita-Sari, I. & Soesilo, A.W. (2013). Investigation
of different characters of stomata on three
cocoa clones with resistance level
difference to VSD (vascular streak
dieback) disease. J Agr Sci Tech.3:703-710.
Baloiloi, D.S. & Akanda, A. (2013). Screening of
cocoa seedlings for resistance to vascular
streak dieback through leaf disc
inoculation. Niugini Agrisaiens. 2013(5):
19-27
Deng, J., Li, W., Peng, X. L., & Hao, X. H. (2013).
Study on the potential of antifungal
activity of essential oils against fungal
pathogens of fruits and vegetables.
Journal of Chemical and Pharmaceutical
Research, 5(12), 443–446.
Dennis, J. J. C., Holderness, M., & Keane, P. J.
(1992). Weather patterns associated with
sporulation of Oncobasidium theobromae
on cocoa. Mycological Research, 96(1), 31–
37. https://doi.org/10.1016/S0953-
7562(09)80993-3
Dhana, N.P., Lubis, L., & Lisnawita (2013). Isolasi
cendawan Oncobasidium theobromae
(Talbot & Keane) penyebab penyakit
vascular streak dieback pada tanaman
kakao di Laboratorium. Agroekoteknologi
2(1):288-293.
Dirjenbun. (2017). Tree Crop Estate Statistics of
Indonesia 2016-2018. In Ministry of
Agriculture.
Ditjen PSP. (2016). Pestisida Pertanian dan
Kehutanan. Ditjen Prasarana dan Sarana
Pertanian. Kementerian Pertanian.
Dubey, S. C., Tripathi, A., Dureja, P., & Grover,
A. (2011). Characterization of secondary
metabolites and enzymes produced by
Trichoderma species and their efficacy
against plant pathogenic fungi. Indian
Journal of Agricultural Sciences, 81(5), 455–
461.
El-Zemiti, S.R. & Ahmed, S.M. (2005). Antifungal
activity of some essential oils and their
major chemical constituents against some
phytopathogenic fungi. J. Pest. & Environ.
Sci., 13(1), 61–72.
Giyanto, Sastrini, T., Wahyuno, D., & Wartono.
(2016). Eksplorasi bekteri endofit pemicu
pertumbuhan tanaman kakao pada
daerah endemik penyakit VSD (Vascular
streak dieback). Prosid Sem. Nas.
Perlindungan Tan Perkebunan. Fak.
Pertanian, IPB, Bogor 25 Oktober 2016.
201-211
Guest, D., & Keane, P. (2007). Vascular-streak
dieback: A new encounter disease of
cacao in Papua New Guinea and
Southeast Asia caused by the obligate
basidiomycete Oncobasidium
theobromae. Phytopathology.
https://doi.org/10.1094/PHYTO-97-12-
1654
Guest, D.I. & Keane, P.J. (2018). Cacao diseases:
vascular-streak dieback. (Ed) P
Umaharan. Achieving sustainable
cultivation of cocoa. Burleigh Dodds
Science Publishing 1-15 p.
http://dx.doi.org/10.19103/AS.2017.0021.1
8
Halimah & Sri-Sukamto. (2006). Sejarah dan
perkembangan penyakit vascular streak
dieback (VSD) di Indonesia. Warta Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia
22(3):107-119
Harni, R., Amaria, W., Khaerati, K., & Taufiq, E.
(2016). Isolasi dan Seleksi Jamur Endofit
Asal Tanaman Kakao Sebagai Agens
Hayati Phytophthora palmivora Butl.
Jurnal Tanaman Industri Dan Penyegar.
https://doi.org/10.21082/jtidp.v3n3.2016.p
141-150
Harni, R., Amaria, W., Syafaruddin, &
Mahsunah, A.H. (2017). Potensi metabolit
sekunder Trichoderma spp. untuk
mengendalikan penyakit vascular streak
dieback (VSD) pada bibit kakao. J.
Tanaman Industri dan Penyegar 4(2), 57-64.
Harni, R., & Baharuddin, B. (2014). Keefektifan
Minyak Cengkeh, Serai Wangi, dan
Ekstrak Bawang Putih terhadap Penyakit
Vascular Streak Dieback (Ceratobasidium
theobromae) Pada Kakao. Jurnal Tanaman
Industri Dan Penyegar.
https://doi.org/10.21082/jtidp.v1n3.2014.p
167-174
Harni, R. & Khaerati. (2013). Potensi beberapa
fungsisida nabati untuk mengendalikan
penyakit vascular streak dieback (VSD)
140 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :128 - 142 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
pada bibit kakao. Prosiding Seminar dan
Kongres Perhimpunan Fitopatologi Indonesia
ke XXII. Padang 10 Oktober 2013: 178-186.
Harni, R. (2013). Penyakit vascular streak dieback
pada tanaman kakao dan strategi
pengendaliannya. Prosiding Seminar dan
Kongres Perhimpunan Fitopatologi Indonesia
ke XXII. Padang 10 Oktober 2013:178-186.
Holderness, M. (1990). Control of vascular‐streak
dieback of cocoa with triazole fungicides
and the problem of phytotoxicity. Plant
Pathology. https://doi.org/10.1111/j.1365-
3059.1990.tb02505.x
Jayawardena, M. P. G. S., Patmanathan, M., &
Ramadasan, K. (1980). Thinning and
vascular streak dieback control in high-
density cocoa plantings under coconuts.
Proceedings of the International Conference
on Cocoa and Coconuts, 21-24 June 1978
Kuala Lumpur, Malaysia.
Kaiser, C., Vander Merwe, R., Bekker, T.F., &
Labuschagne, N. (2010). In-vitro
inhibition of mycelial growth of several
phytopathogenic fungi, including
Phytophthora cinnamomi by solluble
silicon. South African Avocado Growers’
Association Yearbook 28, 2005.
Keane, P. J. (1981). Epidemiology of vascular‐
streak dieback of cocoa. Annals of Applied
Biology. https://doi.org/ 10.1111/j.1744-
7348.1981.tb00756.x
Keane, P. J., Flentje, N. J., & Lamb, K. P. (1972).
Investigation of vascular-streak dieback
of cocoa in papua new guinea. Australian
Journal of Biological Sciences.
https://doi.org/10.1071/BI9720553
Khaerati. (2015). Faktor Ekologi dan Teknik
Budidaya yang Berkaitan dengan Epidemi
Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD)
pada Tanaman Kakao. Tesis. Sekolah
Pascasarjana IPB. 34 hal.
McMahon, P., & Purwantara, A. (2016). Vascular
streak dieback (ceratobasidium
theobromae): History and biology. In
Cacao Diseases: A History of Old Enemies
and New Encounters.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-24789-
2_9
Mejía, L. C., Rojas, E. I., Maynard, Z., Bael, S. Van,
Arnold, A. E., Hebbar, P., Samuels, G. J.,
Robbins, N., & Herre, E. A. (2008).
Endophytic fungi as biocontrol agents of
Theobroma cacao pathogens. Biological
Control.
https://doi.org/10.1016/j.biocontrol.2008.0
1.012
Musa, M. J. (1983). Coconut water as culture
medium for Oncobasidium theobromae.
MARDI-Research-Bulletin. 1983, 11: 1, 107-
110; 6 Ref., 3 Fig.
Nakahara, K., Alzoreky, N. S., Yoshihashi, T.,
Nguyen, H. T. T., & Trakoontivakorn, G.
(2003). Chemical Composition and
Antifungal Activity of Essential Oil from
Cymbopogon nardus (Citronella Grass).
Japan Agricultural Research Quarterly.
https://doi.org/10.6090/jarq.37.249
Noveriza, R., Trisno, J., Rahma, H., Yuliani, S,
Reflin, & Martinius. (2018). IOP Conf.
Series: Earth Environmental Science
122(2018) 012028.
Oberwinkler, F., Riess, K., Bauer, R., Kirschner,
R., & Garnica, S. (2013). Taxonomic re-
evaluation of the Ceratobasidium-
Rhizoctonia complex and Rhizoctonia
butinii, a new species attacking spruce.
Mycological Progress.
https://doi.org/10.1007/s11557-013-09360
Pawirosoemardjo, S., & Purwantara, A. (1992).
Occurrence and control of VSD in Java
and South East Sulawesi. In Cocoa pest and
disease management in Southeast Asia and
Australasia. FAO Protection Paper No. 112.
Pawirosoemardjo, S., Purwantara, A., & Keane, P.
J. (1990). Vascular-streak dieback of cocoa
in Indonesia. Cocoa Growers’ Bulletin.
Prior, C. (1977). Growth of Oncobasidium
theobromae Talbot & Keane in Dual
culture with callus tissue of Theobroma
cacao L. Journal of General Microbiology.
https://doi.org/10.1099/00221287-99-1-219
Prior, C. (1980). Vascular streak dieback. Cocoa
Growers’ Bulletin.
Pusdatin. (2016). Outlook Kakao. Pusat Data dan
Sistem Informasi Pertanian. Sekretaris
Jenderal Kementerian Pertanian. 73 hal.
Puslitbangbun. (2010). Budidaya dan Pascapanen
kakao. Pusat Penelitian dan
141 Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) pada Tanaman Kakao, Perkembangan Teknologi Pengendalian dan
Strategi Penerapannya (RITA HARNI, DONO WAHYUNO, dan IWA MARA TRISAWA)
Pengembangan Perkebunan. Badan
Litbang Pertanian. 94 hal.
Rosmana, A. (2005). Vascular streak dieback:
Penyakit baru pada tanaman kakao di
Sulawesi. Prosiding Seminar Ilmiah dan
Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVI
Komda Sul-Sel, 2005:1-7
Rosmana, A., Nasaruddin, N., Hendarto, H.,
Hakkar, A. A., & Agriansyah, N. (2016).
Endophytic association of Trichoderma
asperellum within Theobroma cacao
suppresses vascular streak dieback
incidence and promotes side graft
growth. Mycobiology. https://doi.org/
10.5941/MYCO.2016.44.3.180
Rosmana, A., Samuels, G. J., Ismaiel, A., Ibrahim,
E. S., Chaverri, P., Herawati, Y., &
Asman, A. (2015). Trichoderma
asperellum: A Dominant Endophyte
Species in Cacao Grown in Sulawesi with
Potential for Controlling Vascular Streak
Dieback Disease. Tropical Plant Pathology.
https://doi.org/10.1007/s40858-015-0004-1
Rubini, M. R., Silva-Ribeiro, R. T., Pomella, A. W.
V., Maki, C. S., Araújo, W. L., Dos Santos,
D. R., & Azevedo, J. L. (2005). Diversity of
endophytic fungal community of cacao
(Theobroma cacao L.) and biological
control of Crinipellis perniciosa, causal
agent of Witches’ Broom Disease.
International Journal of Biological Sciences.
https://doi.org/10.7150/ijbs.1.24
Samuels, G. J., Ismaiel, A., Rosmana, A., Junaid,
M., Guest, D., Mcmahon, P., Keane, P.,
Purwantara, A., Lambert, S., Rodriguez-
Carres, M., & Cubeta, M. A. (2012).
Vascular Streak Dieback of cacao in
Southeast Asia and Melanesia: in planta
detection of the pathogen and a new
taxonomy. Fungal Biology, 116(1), 11–23.
https://doi.org/10.1016/j.funbio.2011.07.00
9
Semangun, H. (2000). Penyakit-penyakit tanaman
perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. 807 hal.
Singh, G. (1989). Evaluation of fungicides against
vascular streak dieback, white thread
blight and pink disease of cocoa. Journal
of Plant Protection in the Tropics.
Sri-Sukamto, Susilo, A.W., Abdoellah, S., Santoso,
T.I. & Yuliasmara, F. (2008).
Perkembangan teknik pengendalian
penyakit pembuluh kayu (VSD) pada
tanaman kakao. Prosiding Simposium
Kakao. Denpasar 28-30 Oktober 2008.
Soetanto, L. (2008). Pengantar Pengendalian Hayati
Penyakit Tanaman. Raja Grafindo Persada.
Syahnen. (2011). Pengendalian penyakit vascular
streak dieback (VSD) secara terpadu.
http://ditjenbun.deptan.go.id [21 November
2019]
Syarif, M., Anshary, A., & Umrah. (2016).
Identifikasi penyakiy vascular streak
dieback (VSD) dan tingkat serangan serta
pengaruhnya pada pertumbuhan kakao
di tiga desa Kecamatan Palolo Kabupaten
Sigi. Jurnal Sains dan Teknologi Tadulako
5(2): 64-76.
Topae, F. N. H., Lakani, I., & Panggeso, J. (2016).
Intensitas Serangan Penyakit VSD pada
Beberapa Klon Kakao di Desa Sidondo
III. Agrotekbis, 4(2), 134–141.
Trisno, J., Reflin, & Martinius. (2016). Vascular
streak dieback: Penyakit baru tanaman
kakao di Sumatera Barat. J Fitopatol
Indones 12(4): 142-147
DOI:10.14692/jfi.12.4.142
Varghese, G., Zainal Abidin, M., & Lam, C.H.
(1992). Prospect for chemical control of
vascular streak dieback of cocoa. Cocoa
Pest and Disease Management in Southeast
Asia and Australia. FAO Protection Paper
No. 112
Vinale, F., Manganiello, G., Nigro, M., Mazzei, P.,
Piccolo, A., Pascale, A., Ruocco, M.,
Marra, R., Lombardi, N., Lanzuise, S.,
Varlese, R., Cavallo, P., Lorito, M., &
Woo, S. L. (2014). A novel fungal
metabolite with beneficial properties for
agricultural applications. Molecules.
https://doi.org/10.3390/molecules1907976
0
Wahyu Soesilo, A. & Anita-Sari, I. (2011).
Respons ketahanan beberapa hibrida
kakao (Theobroma cacao L.) terhadap
serangan penyakit pembuluh kayu
(vascular streak dieback). Pelita
Perkebunan 27(2):77-87
142 Volume 18 Nomor 2, Des 2019 :128 - 142 Volume 17 Nomor 2, Des 2018 :85 - 100
Wahyu Soesilo, A., Arisandy, P., Sari, I. A., &
Harimurti, R. (2016). Relationship
Analysis Between Leaf-Stomata
Characteristics with Cocoa Resistance to
Vascular-Streak Dieback. Pelita
Perkebunan (a Coffee and Cocoa Research
Journal).
https://doi.org/10.22302/iccri.jur.pelitaper
kebunan.v32i1.220
Wessel, M. (2008). Shade and Nutrition. In Cocoa.
https://doi.org/10.1002/9780470698983.ch7