v. hasil dan pembahasan v... · (tempat pemakaman umum), ... badan air, dan rumput,semak, ... pada...
TRANSCRIPT
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penggunaan Lahan di Kota Bekasi
Hasil interpretasi penggunaan lahan dari Citra Quickbird adalah
permukiman teratur, permukiman tidak teratur, kebun campuran, TPLB (Tanaman
Pertanian Lahan Basah), TPLK (Tanaman Pertanian Lahan Kering), kawasan
industri, RTH (Ruang Terbuka Hijau), fasilitas pendidikan, lahan kosong, TPU
(Tempat Pemakaman Umum), TPA (Tempat Pembuangan Akhir), badan air, dan
rumput,semak, ilalang. Pada uraian berikut akan dijabarkan berbagai jenis
penggunaan lahan dan penyebarannya di Kota Bekasi.
Permukiman Teratur. Permukiman Teratur adalah sekumpulan bangunan yang
digunakan sebagai tempat tinggal dengan bentuk, ukuran dan jarak rumah satu
dengan yang lain seragam. Dalam penggunaan lahan ini juga termasuk bangunan
perdagangan, jasa, dan perkantoran. Permukiman teratur tersebar di seluruh
kecamatan. Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan, dan Rawalumbu memiliki
luasan sebaran permukiman teratur terbesar.
Gambar 7. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang
Penggunaan Lahan Permukiman Teratur
Permukiman Tidak Teratur. Permukiman tidak teratur adalah sekumpulan
bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal dengan bentuk, ukuran, dan jarak
antar rumah yang tidak seragam, memiliki pola tidak teratur, dan berasosiasi
dengan kebun campuran. Dalam penggunaan lahan ini juga termasuk bangunan
perdagangan, jasa, dan perkantoran. Penyebaran permukiman tidak teratur
dengan luasan terbesar terdapat pada Kecamatan Pondok Gede, Bekasi Barat,
dan Jati Asih.
34
Gambar 8. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang
Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur
Kawasan Industri. Kawasan industri umumnya memiliki luasan yang besar.
Kawasan industri hanya terdapat di beberapa kecamatan, yaitu Kecamatan
Bantar Gebang, Mustika Jaya, Bekasi Barat, Bekasi Utara, Medan Satria, dan
Rawalumbu. Kota Bekasi bagian Utara dan Selatan memiliki luasan sebaran
kawasan industri terbesar.
Gambar 9. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang
Penggunaan Lahan Kawasan Industri
Ruang Terbuka Hijau. Penggunaan lahan ini dikhususkan untuk jalur hijau
jalan, pulau jalan dan sempadan sungai. Seluruh Kecamatan di Kota Bekasi
memiliki RTH. Kecamatan Rawalumbu dan Bekasi Selatan adalah kecamatan
yang memiliki sebaran RTH terluas.
35
Gambar 10. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang
Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau
Tanaman Pertanian Lahan Basah. TPLB adalah lahan pertanian yang ditanami
padi sebagai tanaman utamanya. Penggunaan lahan TPLB merupakan gabungan
dari berbagai fase berdasarkan faktor usia tanaman. Persebaran luas TPLB di
Kota Bekasi terbesar terdapat pada bagian Selatan Kota Bekasi, yaitu Kecamatan
Bantar Gebang dan Kecamatan Mustika Jaya.
Gambar 11. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang
Penggunaan Lahan TPLB.
Tanaman Pertanian Lahan Kering. Tanaman Pertanian Lahan Kering biasanya
terdiri dari ladang dan tegalan, yang ditanami dengan tanaman semusim.
Persebaran TPLK merata hampir di seluruh kecamatan, kecuali pada Kecamatan
Pondok Gede. Luasan TPLK terbesar yaitu pada Kecamatan Mustika Jaya.
36
Gambar 12. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang
Penggunaan Lahan TPLK.
Kebun Campuran. Kebun campuran adalah tanah pertanian yang ditanami
tanaman tahunan seperti melinjo, nangka, kelapa, pisang, dan lain-lain. Biasanya,
kebun campuran berada di sekitar permukiman tidak teratur. Penggunaan lahan
kebun campuran menyebar merata di seluruh kecamatan di Kota Bekasi.
Kecamatan Mustika Jaya dan Kecamatan Jati Asih memiliki sebaran luas kebun
campuran terbesar.
Gambar 13. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang
Penggunaan Lahan Kebun Campuran
Lahan Kosong. Lahan kosong adalah lahan terbuka yang diatasnya tidak
terdapat bangunan. Biasanya lahan kosong dulunya adalah lahan sawah yang
akan dijadikan perumahan teratur oleh pihak-pihak swasta. Kecamatan Mustika
Jaya dan Bekasi Utara adalah kecamatan yang memiliki luasan lahan kosong
terbesar.
37
Gambar 14. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang
Penggunaan Lahan Kosong
Fasilitas Pendidikan. Fasilitas pendidikan merupakan bangunan yang digunakan
untuk sarana pendidikan. Setiap kecamatan memiliki fasilitas pendidikan.
Kecamatan Bekasi Timur dan Rawalumbu memiliki luasan terbesar untuk
fasilitas pendidikan.
Gambar 15. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang
Penggunaan Lahan Fasilitas Pendidikan
Tempat Pembuangan Akhir. Tempat pembuangan akhir biasanya jauh dari
pusat kota. TPA hanya terdapat pada Kecamatan Bantar Gebang. Hal ini terkait
dengan alokasi untuk TPA yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Gambar 16. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang
Penggunaan Lahan TPA
38
Badan Air. Persebaran badan air tidak merata di seluruh kecamatan. Kecamatan-
kecamatan yang tidak memiliki badan air yaitu Kecamatan Pondok Gede, Bekasi
Barat, Medan Satria, dan Kecamatan Pondok Melati.
Gambar 17. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang
Penggunaan Lahan Badan Air
Tempat Pemakaman Umum. TPU biasanya terletak jauh dan agak terpisah dari
permukiman penduduk. Persebaran TPU hampir merata di seluruh kecamatan
kecuali di Kecamatan Medan Satria.
Gambar 18. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang
Penggunaan Lahan TPU
Rumput, Semak, Ilalang. Persebaran penggunaan lahan rumput/semak/ilalang
terbesar yaitu terdapat pada Kecamatan Jati Sampurna.
Gambar 19. Kenampakan Obyek pada Citra dan Foto Pengamatan Lapang
Penggunaan Lahan Rumput/Semak/Ilalang
39
5.2 Perubahan dan Pola Penggunaan Lahan di Kota Bekasi
5.2.1 Perubahan Penggunaan Lahan Kota Bekasi
Penggunaan lahan di Kota Bekasi cenderung mengalami perubahan luas
setiap tahunnya. Luas tiap penggunaan lahan di Kota Bekasi pada tahun 2003 dan
tahun 2010 disajikan pada Tabel 9. Penggunaan lahan yang mengalami
peningkatan luas terbesar adalah kelompok penggunaan lahan terbangun, seperti
permukiman tidak teratur, permukiman teratur, fasilitas pendidikan, dan kawasan
industri. Sementara itu penggunaan lahan yang mengalami penurunan luas
mengarah ke penggunaan lahan non terbangun, seperti badan air, kebun
campuran, lahan kosong, TPLB (Tanaman Pertanian Lahan Basah), dan TPLK
(Tanaman Pertanian Lahan Kering). Selain itu terdapat juga penggunaan lahan
yang tidak mengalami perubahan yaitu TPU (Tempat Pemakaman Umum). Peta
perubahan penggunaan lahan Kota Bekasi disajikan pada Gambar 20.
Gambar 20. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun 2003-2010
40
Tabel 9. Luas Penggunaan Lahan Tahun 2003, 2010, dan Perubahannya
Jenis Penggunaan Lahan Tahun 2003
( ha )
Tahun 2010
( ha )
Perubahan
( ha )
Perubahan
( % )
Badan Air 21.23 20.43 -0.80 -4%
Fasilitas Pendidikan 79.88 80.62 0.74 1%
Kawasan Industri 602.74 629.20 26.45 4%
Kebun Campuran 3820.74 3071.84 -748.90 -20%
Lahan Kosong 2255.58 1897.72 -357.86 -16%
Permukiman Tidak Teratur 5511.09 6585.28 1074.19 19%
Permukiman Teratur 3994.00 4766.73 772.73 19%
Ruang Terbuka Hijau 725.47 799.80 74.33 10%
Rumput,semak,ilalang 1351.57 1124.31 -227.27 -17%
Tempat Pembuangan Akhir 159.31 160.76 1.45 1%
Tanaman Pertanian Lahan Basah 2413.36 1815.76 -597.60 -25%
Tanaman Pertanian Lahan Kering 360.56 279.70 -80.87 -22%
Tempat Pemakaman Umum 62.84 62.84 0.000 0%
Penggunaan lahan di Kota Bekasi pada tahun 2003 didominasi oleh
permukiman baik permukiman teratur sebesar 18,5 % (3994,00 ha) maupun
permukiman tidak teratur sebesar 25,51 % (5511,09 ha). Proporsi penggunaan
lahan oleh permukiman yang paling besar terdapat di Kecamatan Pondok Gede
untuk permukiman tidak teratur sebesar 715, 85 ha dan Kecamatan Bekasi Utara
untuk permukiman teratur sebesar 551,28 ha. Hal ini dikarenakan kedua
kecamatan tersebut memiliki jumlah penduduk tertinggi di Kota Bekasi pada
tahun 2003, yaitu sebanyak 232.110 jiwa di Kecamatan Pondok Gede dan 236.303
jiwa di Kecamatan Bekasi Utara.
Penggunaan lahan pada tahun 2010 yang mengalami penurunan luas
terbesar adalah kebun campuran. Penggunaan lahan ini mengalami penurunan
menjadi 14,22 % (3071,84 ha), diikuti dengan lahan kosong menjadi 8,78 %
(1897,72 ha) dan TPLB mengalami penurunan menjadi 8,40 % (1815,76 ha).
Penurunan luas kebun campuran terbesar terjadi di Kecamatan Pondok Gede,
yang sejalan dengan peningkatan luas untuk penggunaan lahan pemukiman tidak
teratur.
41
Gambar 21. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2003-2010
Pada Gambar 21 dapat dilihat peningkatan permukiman tidak teratur
sebesar 19% (1.074,19 ha), permukiman teratur sebesar 19% (727,73 ha),
Kawasan Industri 4% (26.45 ha), fasilitas pendidikan dan TPA 1% (0,74 ha) dan
(1,45 ha ), RTH sebesar 10% (74,33 ha). Hal ini diikuti dengan penurunan kebun
campuran sebesar 20% (748,90 ha), lahan kosong 16% (357,86 ha), penggunaan
lahan rumput, semak, ilalang sebesar 17% (227,27 ha), TPLB dan TPLK sebesar
25% dan 22% (597,60 ha dan 80,87 ha). Kecamatan Bekasi Utara adalah
kecamatan yang memiliki proporsi ruang terbangun (permukiman tidak teratur,
permukiman teratur, kawasan industri, fasilitas pendidikan) terbesar yaitu sebesar
1.138,93 ha dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 1.339 ha.
Penggunaan lahan Kota Bekasi secara spasial disajikan pada Peta
Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun 2003 (Gambar 22) dan Peta Penggunaan
Lahan Kota Bekasi Tahun 2010 (Gambar 23).
43
Gambar 22 dan Gambar 23 menunjukkan penggunaan lahan Kota Bekasi
bagian Barat yang berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta dan Kota Bekasi
bagian Timur yang dekat dengan pusat Kota Bekasi didominasi oleh ruang
terbangun. Pola ini terbentuk karena dipengaruhi oleh aksesibilitas, yaitu jarak
terhadap pusat kegiatan dan jaringan jalan yang memadai. Sementara itu bagian
Selatan Kota Bekasi yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan bagian Utara
yang berbatasan dengan Kabupaten Bekasi pada tahun 2003 masih didominasi
oleh penggunaan lahan non terbangun.
Pada tahun 2010 penurunan luas penggunaan lahan terbesar terjadi di
bagian Selatan Kota Bekasi yaitu Kecamatan Jati Asih dan Kecamatan Mustika
Jaya. Terbentuknya jalan tol baru di sepanjang Kecamatan Jati Asih menyebabkan
banyak penggunaan lahan yang terkonversi, salah satu yang terbesar adalah kebun
campuran. Pada Kecamatan Mustika Jaya, penurunan luas terbesar TPLB
dikarenakan dikonversi menjadi perumahan teratur. Di dalam konteks
pengembangan sumberdaya, konversi lahan pertanian ke non pertanian adalah
suatu proses yang bersifat irreversible atau tidak dapat balik. Hal ini berimplikasi
bahwa konversi lahan pertanian akan dibarengi dengan perubahan-perubahan
orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat yang juga umumnya
bersifat irreversible (Winoto et al., 1996)
5.2.2 Pola Perubahan Penggunaan Lahan 2003-2010
Dalam mengamati pola perubahan penggunaan lahan, hal yang perlu
dicermati adalah arah perubahan menjadi penggunaan lahan apa dan penggunaan
lahan sebelumnya. Perubahan penggunaan lahan pada Kota Bekasi tahun 2003-
2010 disajikan pada Tabel 10. Perubahan penggunaan lahan terbesar yaitu terjadi
pada penggunaan lahan kebun campuran menjadi permukiman tidak teratur, lahan
kosong menjadi permukiman teratur, dan TPLB menjadi lahan kosong dengan
luas perubahan berturut-turut sebesar 649,88 ha, 493,09 ha, dan 365,09 ha.
Berikut ini akan diuraikan jenis perubahan penggunaan lahan dari tahun 2003-
2010 secara rinci per kecamatan di Kota Bekasi.
44
Tabel 10. Matriks Transisi Penggunaan Lahan Kota Bekasi Tahun 2003-2010
Penggunaan Lahan 2003
Penggunaan Lahan 2010 ( Ha )
Ba
da
n A
ir
Fa
sili
tas
Pen
did
ika
n
Ja
lan
Arte
ri
Ja
lan
TO
L
Ka
wa
san
Ind
ust
ri
Keb
un
Ca
mp
ura
n
La
ha
n K
oso
ng
Per
mu
kim
an
Tid
ak
Ter
atu
r
Per
mu
kim
an
Ter
atu
r
RT
H
Ru
mp
ut,
Sem
ak
,Ila
lan
g
TP
A
TP
LB
TP
LK
TP
U
Badan Air 20.43 0.80
Fasilitas Pendidikan 79.88
Jalan Arteri 46.59
Jalan TOL 80.48
Kawasan Industri 598.10
Kebun Campuran 0.56 4.91 0.14 3059.40 61.05 677.97 31.87 0.58 1.45
Lahan Kosong 0.74 10.19 15.22 19.83 1427.27 195.47 493.09 81.11
Permukiman Tidak Teratur 1.03 2.42 0.58 5485.57 1.29
Permukiman Teratur 3994.00
RTH 12.66 715.12
Rumput,semak,ilalang 0.69 13.10 4.86 156.02 65.06 1126.23
TPA 159.31
TPLB 1.78 0.24 1.76 357.68 67.32 158.37 1.16 1819.91
TPLK 1.10 3.94 24.48 24.14 24.34 2.86 279.70
TPU 62.84
44
45
5.2.2.1 Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur
Dalam selang waktu 7 tahun telah terjadi perubahan penggunaan lahan
permukiman tidak teratur menjadi jalan arteri, jalan tol, dan RTH. Perubahan ini
terjadi di sebagian kecamatan di Kota Bekasi, antara lain Kecamatan Bekasi
Barat, Bekasi Selatan, Jati Asih, dan Kecamatan Pondok Melati. Luas perubahan
permukiman tidak teratur menjadi penggunaan lahan lain dapat dilihat pada Tabel
11.
Tabel 11. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Permukiman Tidak Teratur menjadi
Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun 2003-2010
Kecamatan
Luas (ha) Perubahan Permukiman Tidak Teratur
Menjadi Luas
Perubahan
Per
Kecamatan Jalan Arteri Jalan tol RTH
Bantar Gebang 0.00
Bekasi Barat 1.03 0.15 1.18
Bekasi Selatan 2.02 1.14 3.16
Bekasi Timur 0.00
Bekasi Utara 0.00
Jati Asih 0.36 0.36
Jati Sampurna 0.00
Medan Satria 0.00
Mustika Jaya 0.00
Pondok Gede 0.00
Pondok Melati 0.04 0.04
Rawalumbu 0.00
Jumlah 1.02 2.42 1.29 4.74
Perubahan terbesar terjadi pada permukiman tidak teratur menjadi jalan
tol sebesar 2,42 ha. Permukiman tidak teratur merupakan salah satu penggunaan
lahan yang sulit untuk dirubah menjadi penggunaan lahan lain. Tetapi, perubahan
ini dapat terjadi karena kebijakan dari pemerintah Kota Bekasi untuk
meminimalisasi kemacetan di Kota Bekasi dengan membuat jalan tol baru yang
mulai beroperasi pada tahun 2007. Kecamatan Bekasi Selatan mengalami
perubahan permukiman tidak teratur sebesar 3,16 ha. Permukiman tidak teratur di
wilayah tersebut mengalami penggusuran untuk pembuatan jalan tol dan RTH.
46
5.2.2.2 Perubahan Penggunaan Lahan Kebun Campuran
Perubahan penggunaan lahan kebun campuran menjadi penggunaan
lahan lain per kecamatan disajikan pada Tabel 12. Pada tahun 2003-2010
penggunaan lahan kebun campuran telah banyak mengalami konversi lahan
menjadi jalan arteri, jalan tol, lahan kosong, permukiman tidak teratur,
permukiman teratur, RTH, dan TPA.
Tabel 12. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kebun Campuran menjadi
Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun 2003-2010
Kecamatan
Luas (ha) Perubahan Kebun Campuran Menjadi Luas
Perubahan
Per
Kecamatan
Jalan
Arteri
Jalan
TOL
Lahan
Kosong
Permukiman
Tidak
Teratur
Permukiman
Teratur RTH TPA
Bantar Gebang 5.86 35.79 1.35 1.45 44.46
Bekasi Barat 0.56 2.10 80.41 0.18 0.05 83.30
Bekasi Selatan 2.80 6.23 36.57 0.16 0.48 46.25
Bekasi Timur 2.35 13.18 0.65 16.18
Bekasi Utara 1.55 12.28 0.06 13.89
Jati Asih 2.07 14.30 131.66 10.69 158.72
Jati Sampurna 12.39 67.76 4.73 84.88
Medan Satria 9.17 9.17
Mustika Jaya 5.04 47.85 4.91 57.79
Pondok Gede 2.70 103.66 6.34 112.71
Pondok Melati 0.03 1.67 75.48 0.25 0.05 77.48
Rawalumbu 5.47 36.06 2.55 44.08
Jumlah 0.56 4.91 59.66 649.88 31.87 0.58 1.45 748.90
Tabel 12 menunjukkan perubahan terbesar terjadi pada penggunaan
lahan kebun campuran menjadi permukiman tidak teratur sebesar 649,88 ha.
Sementara itu, perubahan terkecil yaitu menjadi jalan arteri terjadi di Kecamatan
Bekasi Barat sebesar 0,56 ha. Kecamatan Jati Asih adalah kecamatan yang
mengalami perubahan luas kebun campuran menjadi permukiman tidak teratur
terbesar yaitu 131,66 ha. Perubahan kebun campuran menjadi penggunaan lahan
lainnya terjadi di seluruh kecamatan di Kota Bekasi. Luas kebun campuran
terbesar yang mengalami konversi lahan terdapat pada Kecamatan Jati Asih
sebesar 158,72 ha.
47
5.2.2.3 Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Basah
Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB) adalah penggunaan lahan yang
memiliki nilai land rent yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun.
Hal ini yang memacu konversi lahan terbesar terjadi pada TPLB. Perubahan
penggunaan TPLB menjadi penggunaan lain di setiap kecamatan disajikan pada
Tabel 13.
Tabel 13. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Basah
Menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun 2003-2010
Kecamatan
Luas (ha) Perubahan Penggunaan Lahan TPLB Menjadi
Luas
Perubahan
Per
Kecamatan Ja
lan
Arte
ri
Ja
lan
TO
L
Ka
wa
san
Ind
ust
ri
La
ha
n
Ko
son
g
Per
mu
kim
an
Tid
ak
Ter
atu
r
Per
mu
kim
an
Ter
atu
r
RT
H
Bantar Gebang 9.91 3.03 3.17 16.11
Bekasi Barat 0.37 1.84 9.37 11.58
Bekasi Selatan 17.85 5.43 1.57 24.86
Bekasi Timur 4.84 2.53 2.00 9.38
Bekasi Utara 52.92 30.70 20.45 0.55 104.61
Jati Asih 6.74 0.63 2.64 10.01
Jati Sampurna 24.14 1.16 26.95 52.25
Medan Satria 1.41 1.76 112.35 10.63 10.29 0.61 137.05
Mustika Jaya 108.90 4.16 65.99 179.05
Pondok Gede 1.22 3.14 4.36
Pondok Melati 0.24 13.54 1.71 10.34 25.82
Rawalumbu 12.06 6.11 2.47 20.63
Jumlah 1.78 0.24 1.76 365.09 67.32 158.37 1.16 595.72
Tabel 13 menunjukkan konversi TPLB terbesar yaitu menjadi lahan
kosong sebesar 365,09 ha. Lahan kosong ini nantinya akan dibangun menjadi
permukiman teratur. Hal ini dapat dilihat dari lingkungan sekitar yang sudah
menjadi permukiman teratur. Perubahan TPLB menjadi penggunaan lahan lainnya
terjadi di seluruh kecamatan dengan konversi TPLB terbesar terjadi pada
Kecamatan Mustika Jaya sebesar 179,05 ha konversi TPLB terkecil terjadi di
Kecamatan Pondok Gede yaitu seluas 4,36 ha. Kecamatan Mustika Jaya adalah
kecamatan yang memiliki luas TPLB terbesar, sehingga berpeluang besar untuk
mengalami konversi lahan. Sementara itu, untuk Kecamatan Pondok Gede
48
berbanding terbalik dengan Kecamatan Mustika Jaya. Kecamatan ini memiliki
luas TPLB yang relatif kecil, sehingga konversi terhadap TPLB juga rendah.
Konversi lahan pertanian merupakan salah satu konsekuensi dari perluasan
kota yang membutuhkan lahan untuk pertumbuhan kota. Hal ini mengakibatkan
terjadi peningkatan permintaan terhadap lahan untuk aktivitas ekonomi,
permukiman dan infrastruktur yang menyebabkan terjadinya peningkatan konversi
lahan pertanian.
5.2.2.4 Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Kering
(TPLK)
Pada tahun 2003-2010 telah banyak terjadi perubahan penggunaan lahan
TPLK menjadi penggunaan lahan lain, yaitu jalan arteri, jalan tol, lahan kosong,
permukiman tidak teratur, permukiman teratur, dan RTH. Luas perubahan yang
terjadi selama 7 tahun disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Kering
Menjadi Penggunaan Lahan Lain (ha) Tahun 2003-2010
Kecamatan
Luas (ha) Perubahan Penggunaan Lahan TPLK Menjadi
Luas
Perubahan
Per
Kecamatan Ja
lan
Arte
ri
Ja
lan
to
l
La
ha
n
Ko
son
g
Per
mu
kim
an
Tid
ak
Ter
atu
r
Per
mu
kim
an
Ter
atu
r
RT
H
Bantar Gebang 0.00
Bekasi Barat 0.00
Bekasi Selatan 5.51 5.51
Bekasi Timur 2.45 2.49 4.93
Bekasi Utara 4.55 10.08 8.38 23.00
Jati Asih 3.94 4.28 0.01 1.94 10.18
Jati Sampurna 1.77 0.67 2.44
Medan Satria 1.10 12.84 0.42 3.10 0.92 18.38
Mustika Jaya 0.81 1.59 2.39
Pondok Gede 0.77 0.39 7.85 9.02
Pondok Melati 1.11 1.55 2.65
Rawalumbu 2.06 0.30 2.35
Jumlah 1.10 3.94 24.48 24.14 24.34 2.86 80.87
Tabel 14 menunjukkan luas perubahan penggunaan lahan TPLK
terbesar yaitu menjadi permukiman teratur sebesar 24,34 ha, yang diikuti dengan
permukiman tidak teratur sebesar 24,14 ha. Perubahan penggunaan lahan TPLK
49
cenderung mengarah ke lahan terbangun yang umumnya digunakan sebagai
tempat tinggal. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah penduduk,
sehingga permintaan lahan untuk permukiman juga semakin meningkat.
Perubahan TPLK menjadi penggunaan lahan lain terjadi hampir di seluruh
kecamatan kecuali Kecamatan Bantar Gebang dan Bekasi Barat, dikarenakan
kecamatan ini tidak memiliki TPLK. Konversi TPLK terbesar terdapat di
Kecamatan Bekasi Utara yaitu dengan luas konversi terbesar menjadi permukiman
tidak teratur sebesar 10,08 ha.
5.2.2.5 Perubahan Penggunaan Lahan Kosong
Selama waktu 7 tahun, penggunaan lahan kosong mengalami perubahan
menjadi penggunaan lahan lain, yaitu fasilitas pendidikan, jalan arteri, jalan tol,
kawasan industri, permukiman tidak teratur, permukiman teratur, dan RTH. Luas
perubahan lahan kosong menjadi penggunaan lahan lain disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kosong menjadi Penggunaan Lahan
Lain (ha) Tahun 2003-2010
Kecamatan
Luas (ha) Perubahan Lahan Kosong Menjadi
Luas
Perubahan
Per
Kecamatan
Fa
sili
tas
Pen
did
ika
n
Ja
lan
Arte
ri
Ja
lan
to
l
Ka
wa
san
Ind
ust
ri
Per
mu
kim
an
Tid
ak
Ter
atu
r
Per
mu
kim
an
Ter
atu
r
RT
H
Bantar Gebang 3.80 13.36 9.38 26.55
Bekasi Barat 2.63 2.58 15.56 22.27 8.82 51.86
Bekasi Selatan 7.07 16.47 31.89 8.10 63.53
Bekasi Timur 8.05 12.68 1.15 21.88
Bekasi Utara 1.65 15.85 64.54 82.04
Jati Asih 2.20 17.20 38.43 2.87 60.71
Jati Sampurna 21.07 82.40 9.96 113.43
Medan Satria 7.56 13.86 14.50 40.55 23.81 100.30
Mustika Jaya 0.74 7.84 85.85 3.78 98.22
Pondok Gede 0.28 27.19 23.57 0.96 52.00
Pondok Melati 3.08 8.77 33.56 0.33 45.74
Rawalumbu 0.51 29.60 47.97 21.32 99.40
Jumlah 0.74 10.19 15.22 19.83 195.47 493.09 81.11 815.66
Tabel 15 menunjukkan perubahan lahan kosong terbesar yaitu menjadi
permukiman teratur seluas 493,09 ha dan diikuti dengan perubahan menjadi
50
permukiman tidak teratur seluas 195,47 ha. Perubahan lahan kosong menjadi
penggunaan lahan lain terjadi di seluruh kecamatan. Kecamatan yang mengalami
perubahan lahan kosong terbesar adalah Kecamatan Jati Sampurna sebesar 113,43
ha dengan perubahan yang mendominasi yaitu perubahan menjadi permukiman
teratur sebesar 82,40 ha. Perubahan lahan kosong menjadi permukiman teratur
terjadi akibat peningkatan jumlah penduduk yang meningkatkan permintaan lahan
untuk dijadikan sebagai tempat hunian. Kecamatan yang mengalami perubahan
luas lahan kosong terkecil adalah Kecamatan Bekasi Timur sebesar 21,88 ha.
Kecamatan Bekasi Timur memiliki luas lahan terbangun yang tinggi sehingga
sangat jarang ditemui lahan kosong yang dapat dikonversi menjadi penggunaan
lahan lain.
5.2.2.6 Perubahan Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Selama selang waktu 7 tahun dari tahun 2003-2010, penggunaan lahan
RTH mengalami perubahan menjadi lahan kosong. Luas perubahan penggunaan
lahan RTH disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Ruang Terbuka Hijau Tahun 2003-
2010
Kecamatan Luas (ha) Perubahan RTH menjadi Lahan Kosong
Bantar Gebang 0.70
Bekasi Barat 0.86
Bekasi Selatan 2.20
Bekasi Timur 4.55
Bekasi Utara 0.19
Jati Asih 0.41
Jati Sampurna
Medan Satria 0.14
Mustika Jaya
Pondok Gede 0.63
Pondok Melati 0.03
Rawalumbu 2.96
Jumlah 12.66
Tabel 16 menunjukkan total luas perubahan RTH menjadi lahan kosong
sebesar 12,66 ha. Perubahan ini terjadi hampir di semua kecamatan, kecuali
kecamatan Jati Sampurna dan Mustika Jaya. Perubahan terbesar terjadi pada
51
Kecamatan Bekasi Timur sebesar 4,55 ha. Umumnya perubahan RTH menjadi
lahan kosong terjadi pada jalur hijau.
5.3 Penyimpangan Pemanfaatan Ruang di Kota Bekasi
Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW dilakukan
untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang yang telah dilakukan sudah sesuai
dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar atau pedoman pelaksanaan
pemanfaatan ruang. Analisis inkonsistensi dilakukan dengan mengoverlaykan peta
RTRW Kota Bekasi (Gambar 24) dengan peta penggunaan lahan tahun 2003 dan
2010. Hasil overlay tersebut menghasilkan peta inkonsistensi pemanfaatan ruang
Kota Bekasi Tahun 2003 (Gambar 25) dan Tahun 2010 (Gambar 26). Bentuk
realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah adalah pemanfaatan ruang yang terjadi
di suatu wilayah.
Gambar 24 . Peta RTRW Kota Bekasi Periode 2000-2010
Gambar 24 menunjukkan sebaran spasial alokasi RTRW 2000-2010 Kota
Bekasi. Alokasi RTRW lebih mengarah pada penggunaan lahan terbangun, antara
lain alokasi untuk pemerintahan dan bangunan umum, pendidikan, perdagangan
dan jasa, perumahan kepadatan rendah, perumahan kepadatan sedang, perumahan
52
kepadatan rendah. Alokasi untuk lahan terbangun menyebar di seluruh kecamatan.
Alokasi untuk industri terletak di bagian Utara yaitu di Kecamatan Medan Satria.
Sementara itu alokasi untuk pertanian terletak di Kecamatan Bantar Gebang. Luas
alokasi rencana tata ruang Kota Bekasi tahun 2000-2010 disajikan pada Tabel 17
dan proporsi total inkonsistensi Kota Bekasi Tahun 2003 dan 2010 disajikan pada
Tabel 18.
Alokasi RTRW Kota Bekasi terbesar adalah alokasi untuk kawasan
permukiman, yaitu perumahan kepadatan rendah sebesar 710,24 ha, perumahan
kepadatan sedang sebesar 9.195,72 ha, dan perumahan kepadatan tinggi sebesar
7.162,46 ha. Dampak dari proses suburbanisasi pada Kota Bekasi, mengharuskan
pemerintah Kota Bekasi membuat alokasi khusus untuk kawasan permukiman.
Tabel 17. Alokasi Rencana Tata Ruang Kota Bekasi Tahun 2000-2010
Alokasi RTRW Luas (ha)
Industri 1.369,73
Pemerintahan dan Bangunan Umum 81,93
Pendidikan 18,47
Perdagangan dan Jasa 1.744,16
Pertanian 775,55
Perumahan Kepadatan Rendah 710,24
Perumahan Kepadatan Sedang 9.195,72
Perumahan Kepadatan Tinggi 7.162,46
Rekreasi / Olah Raga 26,82
Sempadan Sungai 289,.32
Situ 5,39
Stasiun Kereta 3,97
T P A Sampah 13,38
T P U 13,80
Taman / Hutan Kota 193,97
Hasil analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang tahun 2003 terhadap
RTRW periode 2000-2010, menunjukkan proporsi persentase jenis inkonsistensi
terbesar terhadap luas peruntukan terjadi pada jenis peruntukan taman/hutan kota
menjadi ruang terbangun, lahan kosong, dan lahan pertanian, yaitu sebesar
40,88% (79,31 ha) dari luas peruntukan sebesar 193,97 ha. Kemudian diikuti
dengan jenis peruntukan rekreasi/olahraga menjadi ruang terbangun sebesar
53
23,27% (6,24 ha) dari luas peruntukan sebesar 26,82 ha, jenis peruntukan
pertanian menjadi ruang terbangun sebesar 22,29% (172,88 ha) dari luas
peruntukan sebesar 775,55 ha. Luas inkonsistensi paling besar terdapat pada
Kecamatan Bantar Gebang yaitu sebesar 197,29 ha atau 4,31% dari luas wilayah
Kecamatan Bantar Gebang.
Tabel 18. Luas dan Proporsi Total Inkonsistensi Kota Bekasi Tahun 2003 dan
2010
Jenis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang
Kota Bekasi Tahun 2003 Tahun 2010
Peruntukan RTRW Kondisi Eksisting ha % ha %
Pertanian Ruang Terbangun 172.28 0.797 227.03 1.051
Sempadan Sungai Ruang Terbangun 43.53 0.200 58.82 0.272
Taman/Hutan Kota Ruang Terbangun 53.11 0.246 59.90 0.277
Taman / Hutan Kota Lahan Kosong 17.73 0.082 8.68 0.040
Taman / Hutan Kota Pertanian 8.46 0.039 16.74 0.077
Rekreasi/Olahraga Ruang Terbangun 6.24 0.029 6.24 0.029
Jumlah 301.35 1.393 377,41 1.746
Pada tahun 2010, proporsi persentase jenis inkonsistensi terbesar terhadap
luas peruntukkan terjadi pada jenis peruntukan taman/hutan kota menjadi ruang
terbangun, lahan kosong, dan lahan pertanian, yaitu meningkat menjadi 43,98%
(85,32 ha) dari luas peruntukan sebesar 193,97 ha, diikuti dengan jenis peruntukan
pertanian menjadi ruang terbangun meningkat menjadi 29,27% (227,03 ha) dari
luas peruntukkan sebesar 775,55 ha. Jenis peruntukan rekreasi/olahraga menjadi
ruang terbangun tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebesar 23,27% (6,24 ha)
dari luas peruntukan sebesar 26,82 ha. Total luas inkonsistensi paling besar
terdapat pada Kecamatan Mustika Jaya yang merupakan pemekaran dari
Kecamatan Bantar Gebang yaitu sebesar 145, 92 ha atau 5,66% dari total luas
wilayah Kecamatan Mustika Jaya 2577,12 ha.
Besarnya inkonsistensi pemanfaatan ruang pada Kecamatan Bantar
Gebang pada tahun 2003 dan Kecamatan Mustika Jaya pada tahun 2010 yang
merupakan pemekaran dari Kecamatan Bantar Gebang, dikarenakan luas
penggunaan lahan di Kecamatan ini masih didominasi oleh penggunaan lahan non
terbangun atau penggunaan lahan yang memiliki nilai land rent yang rendah. Hal
ini memacu masyarakat untuk melakukan konversi lahan menjadi penggunaan
54
lahan yang memiliki nilai land rent lebih tinggi. Jarak kecamatan yang jauh dari
pusat kota juga menyebabkan rendahnya pengawasan aparat terhadap segala
bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang ( Listiawan, 2010).
Gambar 25. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bekasi Tahun 2003
56
5.4 Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi
Perkembangan suatu wilayah yang sejalan dengan meningkatnya jumlah
perumbuhan penduduk menuntut adanya peningkatan kualitas dan kuantitas dalam
kebutuhan hidup diantaranya sarana dan prasarana. Tingkat perkembangan
wilayah Kota Bekasi dapat dianalisis dengan menggunakan analisis skalogram
yang menggunakan jumlah fasilitas dan jumlah jenis fasilitas yang ada di 10
kecamatan dengan 52 desa pada tahun 2003 dan dimekarkan menjadi 12
kecamatan dengan 56 desa pada tahun 2006. Sarana prasarana yang digunakan
sebagai variabel dalam analisis antara lain fasilitas pendidikan, fasilitas ekonomi,
fasilitas kesehatan, dan fasilitas sosial.
Analisis skalogram mengelompokkan setiap desa ke dalam hirarki wilayah
dengan kriteria tertentu. Hirarki wilayah dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
Hirarki I, Hirarki II, dan Hirarki III. Hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat
perkembangan tinggi, hirarki II wilayah dengan tingkat perkembangan sedang,
hirarki III wilayah dengan tingkat perkembangan rendah. Pengelompokkan
wilayah berdasarkan hirarki pada tahun 2003 dan 2006 disajikan pada Gambar 27
dan Gambar 28.
Gambar 27. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2003
57
Gambar 28. Peta Hirarki Wilayah Kota Bekasi Tahun 2006
Secara spasial terlihat bahwa hirarki-hirarki tersebut tersebar tidak merata
atau mengelompok di wilayah-wilayah tertentu. Kecamatan-kecamatan di bagian
Utara, Barat, dan Timur Kota Bekasi cenderung memiliki hirarki lebih tinggi
dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan di bagian selatan. Hal ini karena
wilayah-wilayah yang berhirarki lebih tinggi tersebut berbatasan dengan wilayah
DKI Jakarta sehingga perkembangannya lebih pesat dibandingkan dengan wilayah
bagian selatan yang berbatasan dengan wilayah kabupaten. Menurut Rustiadi et
al., (2009) aspek spasial merupakan fenomena alami, sehingga jika perkembangan
suatu wilayah dipengaruhi oleh wilayah sebelahnya atau lebih dekat adalah hal
yang wajar. Hal ini dikarenakan telah terjadinya interaksi sosial ekonomi dari dua
wilayah tersebut.
Berdasarkan hasil analisis skalogram pada tahun 2003, jumlah kelurahan
yang berhirarki I adalah 7, kelurahan yang berhirarki II berjumlah 20, dan
kelurahan yang berhirarki III berjumlah 25 kelurahan. Hasil analisis skalogram
pada tahun 2006 menunjukkan jumlah kelurahan yang berhirarki I adalah 7,
kelurahan yang berhirarki II berjumlah 26, dan kelurahan berhirarki III berjumlah
23 kelurahan. Penyebaran hirarki di Kota Bekasi tidak merata, seperti tidak semua
kecamatan memiliki hirarki I, dimana tempat terjadinya pusat-pusat aktivitas.
58
Tabel 19 menyajikan persentase jumlah kelurahan berdasarkan hirarki di setiap
kecamatan pada Kota Bekasi. Dari Tabel 19 tersebut dapat dilihat bahwa terjadi
penurunan dan penambahan tingkatan hirarki. Pada tahun 2003 jumlah kelurahan
yang paling banyak adalah kelurahan yang memiliki tingkatan hirarki III sebesar
48%, sedangkan pada tahun 2006 jumlah kelurahan yang paling banyak adalah
kelurahan yang berhirarki II sebesar 46 %.
Tabel 19. Persentase Kelurahan Berdasarkan Hirarki Wilayah di Setiap
Kecamatan.
Nama Kecamatan Hirarki 2003 Hirarki 2006
I II III I II III
Pondok Gede 20% 80% 0% 20% 60% 20%
Bekasi Timur 75% 25% 0% 75% 25% 0%
Bekasi selatan 20% 40% 40% 40% 60% 0%
Bantargebang 0% 25% 75% 0% 25% 75%
Medan Satria 25% 75% 0% 0% 100% 0%
Bekasi Barat 20% 20% 60% 0% 100% 0%
Rawalumbu 0% 25% 75% 0% 75% 25%
Jatiasih 0% 33% 67% 0% 33% 67%
Jatisampurna 0% 0% 100% 0% 20% 80%
Bekasi Utara 0% 67% 33% 0% 50% 50%
Kota Bekasi 13% 38% 48% 13% 46% 41%
Hirarki I adalah wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi yang
berfungsi sebagai pusat aktivitas, seperti pemusatan penduduk, industri,
pemerintahan, pasar yang potensial, serta memiliki fasilitas yang beragam dan
lengkap. Dari hasil analisis tahun 2003 terdapat 5 kecamatan dari 10 kecamatan di
Kota Bekasi yang memiliki hirarki I, diantaranya Kecamatan Bekasi Timur,
Pondok Gede, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Medan Satria. Pada tahun 2006
terjadi penurunan kecamatan yang memiliki kelurahan berhirarki I yaitu 4
kecamatan dari 12 kecamatan setelah pemekaran pada tahun 2004, yaitu
Kecamatan Bekasi Timur, Pondok Gede, Bekasi Selatan, dan Pondok Melati.
Pada tahun 2003, Kecamatan Bekasi Timur merupakan kecamatan yang
memiliki kelurahan berhirarki I paling banyak sebesar 43%, yaitu Kelurahan
Margahayu, Bekasi Jaya, dan Duren Jaya, sedangkan pada tahun 2006,
Kecamatan Bekasi Timur tidak mengalami perubahan hirarki pada kelurahannya,
meskipun terjadi penambahan jumlah dan jenis fasilitas. Kecamatan Bekasi Timur
59
memiliki letak yang strategis, aksesibilitas yang baik, dan penduduk yang padat
sehingga diperlukan peningkatan terhadap fasilitas yang lengkap dan beragam.
Kecamatan Pondok Gede tidak mengalami penambahan kelurahan yang berhirarki
I, tetapi terjadi perubahan kelurahan yang berhiraki I setelah pemekaran.
Kelurahan yang berhirarki I di Kecamatan Pondok Gede pada tahun 2003 adalah
Kelurahan Jatirahayu. Setelah pemekaran, Kelurahan Jatirahayu masuk ke dalam
kecamatan baru yaitu Kecamatan Pondok Melati. Hal ini memacu kelurahan-
kelurahan lain di Kecamatan Pondok Gede untuk meningkatkan tingkatan hirarki,
sehingga pada tahun 2006 Kelurahan Jatiwaringin yang sebelumnya berhirarki II
mengalami peningkatan hirarki menjadi Hirarki I. Kecamatan Medan Satria dan
Bekasi Barat pada tahun 2006 mengalami penurunan dari tahun 2003 karena
terdapat kelurahan yang berhirarki I berubah menjadi hirarki II, yaitu Kelurahan
Kranji dan Kelurahan Medan Satria. Pada Kecamatan Bekasi Selatan terjadi
penambahan jumlah dan jenis fasilitas sehingga kelurahan yang berhirarki I
bertambah, yaitu Kelurahan Kayuringin Jaya dan Jaka Setia
Hirarki II merupakan wilayah yang sedang berkembang, biasanya
dicirikan dengan pertumbuhan yang cepat dan merupakan wilayah penyangga dari
wilayah yang berhirarki I. Jumlah kelurahan yang berhirarki II pada tahun 2006
mengalami peningkatan dari tahun 2003, yaitu 38% menjadi 46 %. Wilayah yang
berhirarki II tersebar merata hampir di seluruh kecamatan. Kecamatan
Jatisampurna tidak memiliki kelurahan yang berhirarki II pada tahun 2003,
sedangkan Kecamatan Pondok Melati dan Kecamatan Mustika Jaya yang
merupakan kecamatan hasil pemekaran juga tidak memiliki kelurahan yang
berhirarki II di tahun 2006.
Hirarki III adalah wilayah dengan tingkat perkembangan rendah. Di Kota
Bekasi, wilayah yang berhirarki III mengalami penurunan dari 48% menjadi 41%
di tahun 2003 dan 2006. Pada tahun 2003, semua kelurahan di Kecamatan
Jatisampurna masuk ke dalam tingkatan hirarki III, sedangkan pada tahun 2006
Kecamatan Mustika Jaya yang merupakan kecamatan baru, seluruh kelurahannya
masuk ke dalam tingkatan hirarki III. Kecamatan Pondok Gede, Medan Satria,
dan Bekasi Timur merupakan kecamatan yang tidak memiliki hirarki III di tahun
2003 dan pada tahun 2006, Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Medan
60
Satria, dan Bekasi Barat tidak memiliki kelurahan berhirarki III. Hal ini
menunjukkan bahwa penyebaran fasilitas-fasilitas cenderung memusat dan tidak
merata.
Wilayah yang berkembang ditandai dengan adanya penambahan fasilitas
atau perkembangan sarana prasarana di wilayah tersebut. Pada Gambar 29 akan
disajikan laju pertumbuhan setiap fasilitas di Kota Bekasi.
Gambar 29. Laju Pertumbuhan Fasilitas di Kota Bekasi Tahun 2003 dan Tahun
2006
Gambar 29 menunjukkan perkembangan fasilitas di Kota Bekasi. Dari
Gambar 29 tersebut dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan pada fasilitas
sosial, fasilitas kesehatan, dan fasilitas pendidikan. Sedangkan fasilitas ekonomi
mengalami penurunan. Laju pertumbuhan fasilitas sosial, fasilitas kesehatan, dan
fasilitas pendidikan berturut-turut sebesar 13,2%, 24,4%, dan 12,8%. Fasilitas
ekonomi mengalami penurunan sebesar 37,4%. Penurunan ini dikarenakan oleh
berkurangnya toko atau warung kelontong akibat dari menurunnya intensitas
masyarakat untuk berbelanja di warung-warung kecil. Selain itu, hal ini juga
dipengaruhi oleh banyaknya supermarket,minimarket, ataupun pasar swalayan
yang memiliki daya saing tinggi berdiri di sekitar lingkungan masyarakat yang
menyebabkan warung-warung kecil gulung tikar.
Kecamatan Bekasi Utara merupakan kecamatan yang mengalami
peningkatan paling tinggi pada fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan
61
fasilitas sosial. Sementara itu peningkatan fasilitas ekonomi tertinggi dijumpai di
Kecamatan Pondok Gede. Kecamatan Bekasi Utara adalah kecamatan yang
memiliki jumlah penduduk tertinggi kedua setelah Kecamatan Bekasi Timur pada
Tahun 2006. Jumlah penduduk di Kecamatan Bekasi Utara meningkat tinggi dari
tahun 2003 sampai 2006, dari sebanyak 194.950 menjadi 228.327 jiwa. Dengan
jumlah penduduk yang bertambah diperlukan penambahan fasilitas untuk
memenuhi kebutuhan hidup penduduk tersebut di suatu wilayah.
5.5 Keterkaitan Perubahan Luas Penggunaan Lahan dengan Perkembangan
Wilayah
Keterkaitan perubahan luas penggunaan lahan terhadap perkembangan
wilayah dapat dilihat pada Gambar 30. Pada Gambar 30 menunjukkan wilayah-
wilayah yang memiliki hirarki tinggi tidak terlalu banyak mengalami perubahan
penggunaan lahan ruang terbangun. Hal ini diduga karena lahan di wilayah
tersebut terbatas dan penggunaan lahannya didominasi oleh ruang terbangun yang
digunakan untuk aktivitas ekonomi, sehingga peluang untuk mengalami konversi
lahan lebih kecil. Sebaliknya, untuk wilayah-wilayah yang memiliki hirarki
rendah banyak mengalami peningkatan penggunaan lahan terbangun. Hal ini
diduga karena di wilayah tersebut penggunaan lahan non ruang terbangunnya
masih sangat luas sehingga berpotensi untuk mengalami konversi lahan dari
penggunaan lahan non terbangun menjadi penggunaan lahan ruang terbangun.
Semakin tinggi hirarki (hirarki 1) suatu wilayah maka perubahan luas
penggunaan lahan akan semakin kecil dibandingkan dengan wilayah yang
memiliki hirarki rendah bahkan suatu saat akan mengalami kondisi jenuh atau
tidak mengalami perubahan sama sekali karena tidak ada lagi lahan yang bisa
dikonversi.
Wilayah-wilayah yang berhirarki 3 mengalami perubahan luas penggunaan
lahan terbesar. Beberapa jenis penggunaan meningkat luasannya dan beberapa
jenis penggunaan cenderung terkonversi. Peningkatan luas penggunaan lahan
terbesar pada hirarki 3 terjadi pada permukiman tidak teratur sebesar 489,11 ha,
diikuti dengan permukiman teratur sebesar 458,82 ha. Sementara itu, penurunan
luas penggunaan lahan terbesar terjadi pada kebun campuran 392,84 ha, diikuti
dengan Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB) sebesar 317,94 ha.
62
Gambar 30. Perubahan Luas Penggunaan Lahan Terhadap Hirarki Wilayah
5.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan terjadi dikarenakan peningkatan kebutuhan
akan ruang meningkat, tetapi ketersediaan lahan terbatas. Penggunaan lahan non
terbangun seperti Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB), Tanaman Pertanian
Lahan Kering (TPLK), kebun campuran, lahan kosong sering kali menjadi sasaran
untuk dikonversi menjadi penggunaan lahan terbangun seperti permukiman teratur,
permukiman tidak teratur, kawasan industri, dan fasilitas pendidikan. Faktor-
faktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan dianalisis menggunakan
analisis regresi berganda dengan metode forward stepwise. Peubah tujuan dalam
analisis ini adalah perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi lahan terbangun
(disimbolkan dengan Y1), perubahan penggunaan TPLK menjadi lahan terbangun
(Y2), perubahan penggunaan lahan kebun campuran menjadi lahan terbangun
63
(Y3), dan perubahan penggunaan lahan kosong menjadi lahan terbangun (Y4).
Hasil dari analisis disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Nilai Parameter Hasil Analisis Regresi Perubahan Penggunaan Lahan.
Peubah Yang Berpengaruh Nyata Y1 Y2 Y3 Y4
Alokasi Pertanian (X1) -0.29
0.09
Alokasi Lahan Terbangun (X2) 0.20 0.79 0.37
Alokasi Hutan Kota (X3) -0,14
Aksesibilitas Ke Kota Lain Terdekat (X4) -0.13
0.28
Aksesibilitas Ke Kecamatan (X5)
0.21
Aksesibilitas Ke Pusat Fasilitas Sosial (X6)
0.07
-0.07
Aksesibilitas Ke Pusat Fasilitas ekonomi (X7)
0.27
Luas Lahan Terbangun 2003 (X8)
-0.60
0.11
Luas TPLK 2003 (X9)
0.66
Luas TPLB 2003 (X10) 0.90
-0.43 0.01
Luas Kebun Campuran 2003(X11)
-0.87 0.39
Luas Lahan Kosong 2003 (X12)
0.85
Fasilitas Sosial (X13)
-0.17
0.20
Fasilitas Kesehatan (X14)
-0.36
Fasilitas Pendidikan (X15) -0.19
0.17
Fasilitas Ekonomi (X16)
0.16
Jumlah Penduduk (X17)
-0.16
0.10
R-square 0.65 0.43 0.57 0.84
Keterangan : Y1 : Perubahan TPLB-Lahan Terbangun
Y2 : Perubahan TPLK-Lahan Terbangun
Y3 : Perubahan Kebun Campuran-Lahan Terbangun
Y4 : Perubahan Lahan Kosong-Lahan Terbangun
Persamaan yang dihasilkan dari hasil analisis regresi berganda untuk setiap
perubahan adalah
Y1= -0,29X1+0,20X2-0,14X3-0,13X4+0,90X10-0,19X15
Y2= 0,79X2+0,21X5+0,07X6+0,27X7-0,60X8+0,66X9-0,87X11-0,17X13-0,36X14-0,16X17
Y3= 0,37X2+0,28X4-0,43X10+0,39X11+0,17X15+0,16X16
Y4= 0,09X1-0,07X6+0,11X8+0,01X10+0,85X12+0,20X12+0,10X17
Dari hasil persamaan analisis untuk Y1 dapat dilihat bahwa kenaikan
variabel Y1 sebanyak satu satuan diikuti dengan kenaikan variabel X2, dan X10
sebesar 0,20 satuan dan 0,90 satuan, kemudian diikuti dengan penurunan variabel
X1, X3, X4, dan X5 dengan koefisien berturut-turut 0,29, 0,14, 0,13, dan 0,19
satuan. Pembacaan hasil analisis regresi untuk Y2, Y3, dan Y4 sama halnya
dengan Y1.
64
Persamaan regresi yang terdapat pada Tabel 20 untuk Y1, Y2, Y3, dan Y4
berturut-turut adalah 0,65; 0,43; 0,57; 0,84. Nilai R-square yang mendekati 1
menunjukkan bahwa pemilihan variabel penduga yang mempengaruhi variabel
tujuan sudah relatif tepat. Dari hasil analisis regresi yang dilakukan tidak semua
mendekati 1. Berdasarkan Tabel 19, nilai parameter hasil analisis regresi dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel yang berpengaruh sangat nyata (p-
level < 0.05) dan variabel yang berpengaruh nyata (p-level > 0.05).
Dari hasil persamaan analisis regresi untuk Y1 variabel yang berpengaruh
sangat nyata adalah alokasi RTRW untuk lahan terbangun, alokasi RTRW untuk
pertanian, dan luas TPLB tahun 2003. Faktor yang berperan positif adalah alokasi
RTRW untuk lahan terbangun dan luas TPLB pada tahun 2003, sedangkan yang
berperan negatif adalah alokasi RTRW untuk pertanian. Hal ini dapat diartikan
bahwa semakin tinggi luas alokasi untuk lahan terbangun dan luas TPLB
menyebabkan perubahan penggunaan lahan terbangun akan semakin meningkat.
Luas TPLB yang tinggi diiringi dengan kebijakan pemerintah yang
mengalokasikan untuk lahan terbangun memberikan peluang untuk terjadinya
konversi lahan yang tinggi. Rendahnya luasan alokasi RTRW untuk pertanian
menyebabkan tingginya perubahan TPLB menjadi lahan terbangun. Hal ini terkait
dengan visi dan misi Kota Bekasi sebagai pusat permukiman, jasa, perdagangan,
dan industri dengan tetap mempertimbangkan aspek hijau kota. Oleh karena itu,
perlu pengawasan dan pengendalian agar tidak ada lagi bangunan-bangunan pada
alokasi yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian. Variabel yang berpengaruh
nyata pada Y1 memiliki koefisien negatif, yaitu alokasi untuk hutan kota,
aksesibilitas ke kota atau kabupaten lain, dan pertambahan fasilitas pendidikan.
Pertambahan fasilitas pendidikan yang tinggi menurunkan peluang terjadinya
konversi lahan pertanian. Hal ini diduga karena fasilitas-fasilitas pendidikan
didirikan pada lahan-lahan yang sudah terbangun sehingga tidak mengkonversi
lahan pertanian. Aksesibilitas menuju kota atau kabupaten lain yang semakin jauh
menurunkan peluang untuk terjadinya konversi lahan. Semakin dekat jarak
dengan pusat kota maka kemungkinan konversi lahan menjadi lahan terbangun
semakin tinggi. Hal ini terkait dengan tingginya aktivitas ekonomi yang terjadi
pada pusat kota.
65
Pada hasil analisis regresi Y2, variabel yang berpengaruh sangat nyata
adalah luas penggunaan lahan (TPLK, kebun campuran, lahan terbangun) tahun
2003, alokasi lahan terbangun, dan pertambahan fasilitas kesehatan. Variabel yang
berperan positif adalah luas TPLK tahun 2003 dan alokasi lahan terbangun,
sedangkan untuk variabel yang berperan negatif adalah luas lahan terbangun tahun
2003, luas kebun campuran tahun 2003, dan fasilitas kesehatan. Luas TPLK dan
alokasi RTRW lahan terbangun yang tinggi menyebabkan terjadinya peningkatan
perubahan TPLK menjadi lahan terbangun. Sementara itu, tingginya luas lahan
terbangun dan kebun campuran pada tahun 2003, serta pertambahan fasilitas
pendidikan menyebabkan kecilnya perubahan tersebut. Variabel yang
berpengaruh nyata pada hasil analisis Y2 yang memiliki koefisien positif adalah
aksesibilitas menuju kecamatan, pusat fasilitas sosial, dan pusat fasilitas ekonomi,
sedangkan yang memiliki koefisien negatif adalah pertambahan fasilitas sosial dan
jumlah penduduk. Semakin jauh jarak dari kecamatan dan pusat-pusat aktivitas
menyebabkan peluang konversi lahan semakin tinggi. Hal ini diduga karena
perubahan yang terjadi terkait dengan pengembangan lokasi aktifitas seperti
perubahan menjadi kawasan industri yang memerlukan lahan luas dan harus jauh
dari lokasi permukiman terkait dengan pembuangan limbah industri tersebut.
Hasil analisis regresi Y3 untuk variabel sangat nyata menunjukkan
terdapat 3 variabel yang berperan positif yaitu alokasi lahan terbangun,
aksesibilitas ke kota lain, dan luas kebun campuran pada tahun 2003. Untuk
variabel yang berperan negatif adalah luas TPLB tahun 2003. Tingginya luas
alokasi lahan terbangun dan luas kebun campuran serta semakin dekat jarak
menuju kota menyebabkan perubahan penggunaan lahan kebun campuran menjadi
lahan terbangun semakin tinggi. Dengan adanya kebijakan pemerintah dalam
RTRW terkait dengan alokasi untuk lahan terbangun. Hal ini menguntungkan
pihak-pihak yang ingin mendirikan lahan-lahan terbangun untuk dijadikan sebagai
tempat aktivitas ekonomi. Variabel-variabel yang pengaruh nyata dalam Y3
memiliki koefisien positif yaitu pertambahan fasilitas pendidikan dan ekonomi.
Pembangunan terhadap fasilitas-fasilitas tersebut mengurangi luas kebun
campuran yang ada. Hal ini diduga karena fasilitas tersebut dibangun oleh warga-
66
warga sekitar, seperti pembangunan toko-toko atau warung milik warga dan
sekolah-sekolah di sekitar permukiman.
Hasil analisis regresi Y4 untuk variabel yang berpengaruh sangat nyata
menunjukkan terdapat 2 variabel positif yaitu luas lahan kosong pada tahun 2003
dan laju pertambahan fasilitas sosial. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya
peningkatan laju pertambahan fasilitas sosial dan luasan lahan kosong
menyebabkan perubahan penggunaan lahan kosong menjadi lahan terbangun
semakin tinggi. Variabel berpengaruh nyata pada Y4 yang memiliki koefisien
positif adalah alokasi untuk pertanian, luas TPLB dan luas lahan terbangun 2003,
jumlah penduduk, sedangkan yang memiliki koefisien negatif adalah aksesibilitas
ke pusat fasilitas sosial. Semakin tinggi luas TPLB pada tahun 2003 menyebabkan
peluang untuk terjadinya perubahan menjadi lahan terbangun juga semakin tinggi.
Hal ini diduga karena penggunaan lahan TPLB sebelum menjadi lahan terbangun
diusahakan untuk tidak digunakan untuk aktifitas pertanian, sehingga dibiarkan
menjadi lahan kosong untuk waktu yang tidak lama, setelah itu baru didirikan
bangunan-bangunan. Kemudahan aksesibilitas ke pusat fasilitas sosial
menimbulkan peluang yang kecil untuk terjadinya konversi lahan kosong menjadi
lahan terbangun. Hal ini mungkin disebabkan karena pembangunan aksesibilitas
menuju pusat fasilitas sosial sudah berada pada area lahan terbangun.