v. hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · pembuatan slide presentasi halal berupa materi...
TRANSCRIPT
19
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil dan Manfaat Kegiatan Magang
Kegiatan magang di LPPOM MUI selama 4 bulan (7 Februari - 7 Juni) pada divisi Sosialisasi
dan Informasi LPPOM MUI. Kegiatan yang dilakukan antara lain:
1. Mengikuti pelatihan dan diskusi mengenai halal
Pelatihan yang diadakan pada tanggal 24 Mei 2011 ini berupa pelatihan bagi calon auditor
internal perusahaan yang ingin mempelajari ataupun menyusun manual halal. Pada pelatihan ini,
penulis mempelajari mengenai peranan penting sistem jaminan halal dalam proses sertifikasi halal.
Materi pelatihan berisi pemahaman dasar sistem jaminan halal, syarat menjadi auditor, identifikasi
bahan baku dan proses, penentuan titik kritis kehalalan produk, pengambilan keputusan dan penilaian
status halal suatu produk yang diproduksi. Penulis juga membuat rancangan manual halal (bagian
hasil identifikasi titik kritis keharaman bahan dan tindakan pencegahannya) dengan kasus penerapan
di industri yogurt (Lampiran 3).
2. Membuat media presentasi tentang halal
Pembuatan slide presentasi halal berupa materi edukasi halal sejak dini bagi anak-anak usia
TK dan pelajar SMP. Isi slide secara garis besar menerangkan tentang definisi halal, perintah halal
dalam AlQuran, hikmah dibalik mengkonsumsi makanan halal, contoh sederhana bahan pangan halal,
difinisi haram, hikmah dibalik mengkonsumsi zat haram, dan permainan tebak gambar hewan halal-
haram. Sementara itu, isi slide presentasi halal bagi masyarakat umum memiliki cakupan materi yang
lebih luas lagi, yaitu peranan LPPOM MUI, gambaran sederhana proses sertifikasi halal dan tips
memilih produk olahan yang berlogo halal. Contoh slide presentasi dengan sasaran anak-anak usia
SMP dengan judul “Gaul Bersama Halal” dapat dilihat pada lampiran 4.
3. Pemahaman Titik Kritis Bahan pada Produk untuk Panduan Auditor
Penulis mempelajari pembuatan matriks titik kritis dari berbagai bahan dan produk seperti
antioksidan, asam sitrat, bahan anti gumpal, bakery mix, produk daging, pengemulsi, enzim, perisa
(flavor), gelatin, kecap, minyak dan lemak, minyak esensial, oleoresin, monosodium glutamat, pati
dan turunannya, pemanis, pengawet, pengembangan metode analisis halal, pengental dan penstabil,
penyembelihan, pewarna, produk turunan protein, produk bioteknologi, ragi roti, ribotide, sanitasi
peralatan, saos, susu dan turunannya, taurin, dan vitamin.
Suplemen bacaan mengenai titik kritis bahan dan produk dapat membantu memberikan
gambaran bagi penulis mengenai tugas audit yang akan dilakukan oleh auditor halal. Setiap topik
bahan dan produk terdapat penjelasan mengenai deskripsi singkat, klasifikasi dan sumber, cara
produksi, titik kritis, aplikasi dan standar approval. Selain itu, diuraikan pula mengenai
pengembangan metode analisis pencemaran daging serta sanitasi dalam industri pangan.
4. Pembuatan artikel titik kritis keharaman masakan siap saji (Jepang dan Amerika) dan
Klapertaart
Langkah yang digunakan dalam pembuatan artikel ini adalah mempelajari bahan baku yang
digunakan pada pembuatan masakan Jepang dan Klapertaart. Selain itu, penulis juga mempelajari
proses produksi dari kedua makanan tersebut. Suplemen bahan bacaan titik kritis dari beberapa produk
tersebut memberikan gambaran pembuatan artikel titik kritis sehingga selanjutnya dapat digunakan
untuk menyusun titik kritis masakan Jepang dan Klapertaart. Lampiran artikel yang terlampir dalam
lampiran 5a-5c.
5. Melakukan survei produk pangan
20
Data yang dikumpulkan berupa jenis produk, merek produk, nama produsen, asal produk
(dalam negeri/luar negeri), jenis izin edar (MD,ML,PIRT), jenis logo halal (MUI, LN), jenis sertifikat
halal (MUI, LN), dan tanggal kadaluarsa. Lampiran formulir survei terlampir pada lampiran 6.
6. Melakukan persiapan dan partisipasi kegiatan yang diselenggarakan Divisi Sosialisasi dan
Promosi LPPOM MUI
a. Berpartisipasi dalam kegiatan Halal Food Goes to School yang merupakan program seminar
halal dan kompetisi memasak di sekolah menengah atas se-kota Bogor. Kegiatan ini
bertujuan untuk menjadikan generasi muda khususnya usia TK sampai SMU dan sederajat
peduli halal dan selalu mengonsumsi makanan dan minuman yang halal.
b. Berpartisipasi dalam kegiatan seminar sehari Horeca (Hotel, Restoran dan Catering)
dengan tema “Ketersediaan Kuliner Halal dalam Menyukseskan Visit Indonesia 2011” pada
tanggal 6 April 2011, Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta. Persiapan yang
dilakukan berupa pembuatan daftar hotel, restoran, dan usaha catering. Penulis juga terlibat
langsung sebagai pembawa acara (master of ceremony) pada seminar tersebut. Pembuatan
daftar ini bertujuan sebagai referensi alamat dan gambaran usaha pangan yang ada di
Jabodetabek dan kota-kota besar di pulau Jawa, seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan
Surabaya. Daftar tersebut terdiri dari nama usaha pangan dan alamat usaha. Daftar ini
digunakan untuk sosialisasi rumah makan, restoran dan catering dalam mengupayakan
produksi pangan halal. Saat ini telah terkumpul sebanyak 1000 usaha pangan dengan rincian:
1.Jabodetabek: 600 nama dan alamat usaha pangan
2.Bandung: 200 nama dan alamat usaha pangan
3.Yogyakarta: 80 nama dan usaha pangan
4.Semarang: 80 nama dan usaha pangan
5.Surabaya: 80 nama dan usaha pangan
Seminar tersebut dihadiri oleh Direktur LPPOM MUI, Ir. Lukmanul Hakim, M.Si, dan
Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Ir.
Firmansyah Rahim, MM, turut hadir sebagai pembicara adalah Bapak Riyanto Sofjan selaku
wakil ketua umum PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), Ketua umum APJI
(Asosiasi Perusahaan Jasa boga Indonesia) RA. Hj. Ning Sudjito, ST. dan Ketua ASITA
(Asosiasi Pengusaha Biro Perjalanan Wisata) Drs. Mahidin A. Desky, SH, MH. Seminar
tersebut menyampaikan bahwa sertifikasi halal adalah jaminan dari kehalalan produk karena
halal adalah salah satu kepuasan konsumen untuk konsumen terutama umat Islam. Perlunya
edukasi tentang pangan, halal dan produksi halal. Salah satunya dengan sosialisasi halal
dalam rangka meningkatkan kesadaran halal di masyarakat dan pelaku usaha, dalam hal ini
pelaku usaha kuliner. Halal harus dimulai dari negara yang merupakan konsumen halal
terbesar sehingga diharapkan Indonesia yang seharusnya menjadi pusat halal dunia.
Permasalahan tentang pangan halal tidak hanya menjadi pemikiran lembaga tertentu
saja melainkan seluruh lembaga yang terkait. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata
menyampaikan kendati halal belum dapat dijadikan kewajiban karena Indonesia memiliki
banyak agama dan keyakinan, namun saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa kehalalan tidak
hanya aspek yang diperhatikan bagi wisatawan domestik tetapi juga bagi wisatawan
mancanegara. Beberapa upaya yang dilakukan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata untuk
menunjang kegiatan halal di Indonesia antara lain:
a. Penyusunan standar usaha hotel
b. Penyusunan standar usaha restoran
c. Penyusunan standar usaha jasa boga
21
d. Penyusunan standar usaha jasa makanan dan minuman (rumah makan, café dan bar)
(Keempat standar tersebut rencananya akan rampung tahun 2011)
e. Penyusunan standar usaha lain yang memiliki fasilitas penyediaan makanan dan
minuman dalam usahanya, dan
f. Optimalisasi hubungan kementerian dengan PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran
Indonesia), APJI (Asosiasi Perusahaan Jasa Boga Indonesia), ACPI (Association of
Culinary Professionals Indonesia), dan IFBEC (Indonesian Food and Beverage
Executive Association).
7. Berpartisipasi dalam kegiatan diskusi strategis menyambut kebijakan CAFTA (China –
ASEAN Free Trade Area) pada tanggal 10 Mei 2011, Hotel Bidakara, Jakarta. Persiapan yang
dilakukan berupa membantu administrasi surat dan keterlibatan langsung sebagai pembawa acara
(master of ceremony). Seminar tersebut bertemakan 'Strategi dan Langkah Pemerintah dalam
Menghadapi ACFTA. Selain dihadiri oleh Ketua Umum MUI, KH Amidan dan Direktur LPPOM
MUI, Ir. Lukmanul Hakim, M.Si, turut hadir sebagai pembicara adalah Dirjen Kerjasama
Perdagangan Internasional, Gusmadi Bustami, SH dan Dra. Kustantinah, Apt. M.App.Sc selaku
Kepala BPOM.
Seminar tersebut memaparkan bahwa di era perdagangan bebas semua produk ekspor dan impor
era mengadapi banyak tantangan dan hambatan, termasuk produk halal. Sertifikasi Halal LPPOM
MUI saat ini telah dinilai banyak negara sebagai sertifikasi yang “high level”. Sehingga dengan
pengakuan tersebut jika produk-produk dibekali dengan sertifikat halal tentunya dapat bersaing tidak
hanya dalam era perdagangan ACFTA melainkan juga perdagangan dunia. Dalam diskusi tersebut
Direktur LPPOM MUI meminta produsen halal harus cermat dalam memanfaatkan kesempatan yang
ada untuk menyambut kebijakan ACFTA. Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional, Gusmadi
Bustami mengatakan bahwa untuk dapat bersaing di ACFTA, pemerintah harus lebih kompak dengan
LPPOM MUI. Pihaknya, dalam hal ini Kementrian Perdagangan mendukung kiprah LPPOM MUI
dalam sertifikasi halal.
8. Berpartisipasi dalam kegiatan Indonesia Halal Expo (INDHEX) 2011 pada tanggal 24-26
Juni 2011.
Secara umum, manfaat kegiatan praktik magang di LPPOM MUI, yaitu penulis dapat merasakan
langsung bekerja pada suatu lembaga yang berhubungan dengan regulasi halal, mengetahui proses-
proses kerja yang terdapat di divisi sosialisasi dan informasi LPPOM MUI. Proses kerja yang
dimaksud adalah mengolah dan mencari informasi perkembangan halal dan kedisiplinan kerja. Selain
itu, penulis juga dapat mengaplikasikan kemampuan praktik yang diperoleh di perkuliahan ke dunia
kerja.
Secara khusus, praktik magang di LPPOM MUI memberikan gambaran kepada penulis mengenai
pentingnya keamanan pangan terutama aspek kehalalan dalam mengkonsumsi bahan pangan.
Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia, tetapi juga menyangkut kepedulian individu
(Saptarini 2005). Jaminan akan keamanan pangan adalah hak asasi konsumen karena pangan termasuk
kebutuhan dasar terpenting dalam kehidupan manusia.
Keterampilan berkomunikasi diperlukan untuk menyampaikan informasi produk halal dalam
rangka mendukung upaya LPPOM MUI dalam menentramkan umat Islam. Dengan adanya edukasi
halal yang terus-menerus dilakukan diharapkan target sasaran dapat memahami bagaimana cara
memilih dan mengelola produk tersebut. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana meningkatkan
kemampuan produsen pangan (UKM / IRT khususnya) dalam menghasilkan pangan yang lebih baik
mutunya dan lebih aman untuk dikonsumsi atas dasar kesadarannya terhadap keamanan pangan,
bagaimana meningkatkan kesadaran konsumen akan keamanan pangan sehingga mereka dapat
m
d
b
B
B
j
a
t
y
d
s
menggunakan
dikonsumsi ser
berbagai cara p
B. Hasil P
B.1 PenyemSalah sat
jalan pernafasa
arteri carotis).
tersebut harus
yang baik bag
dihasilkan teta
secara Islam di
Gambar 3. A
haknya dalam
rta bagaimana
promosi ke selu
engkajian T
mbelihan datu syarat prose
an (trakea), sal
Proses pengel
segera dibersih
gi mikroorgani
ap terjaga. Ana
isajikan dalam
Anatomi hewan
m memperoleh
menyebarkan p
uruh negeri (Fa
Topik Khus
an Pengeluares penyembelih
luran pencerna
uaran darah in
hkan karena m
isme. Hal ini
atomi hewan d
Gambar 3.
n darat dan tiga
Islam
pangan yang
pesan keamana
ardiaz 2004).
sus
ran Darah (han yang dilak
aan (oesophagu
ni harus dilakuk
menurut Ribot (2
dilakukan aga
darat dan salura
a saluran yang
m (LPPOM MU
lebih baik m
an pangan yang
(Exanguinakukan secara I
us), dan pembu
kan dengan se
2006), darah a
ar kebersihan d
an yang harus
harus diputus s
UI 2011)
mutunya dan le
g tepat seluas m
asi/Bleddingslam, yaitu de
uluh darah (ve
empurna dan da
adalah salah sat
dan sanitasi ka
diputus dalam
sesuai penyem
2
ebih aman untu
mungkin melal
) engan memoton
ena jugularis d
arah yang kelu
tu media tumbu
arkas yang ak
m penyembelih
mbelihan secara
Ar
Ve
Tra
Oe
22
uk
lui
ng
dan
uar
uh
kan
han
a
rteri carotids
ena jugularis
chea
esophagus
23
Sebanyak 60% dari total volume darah dapat dikeluarkan dari praktik penyembelihan yang baik,
sementara itu, sebanyak 10% darah akan tertinggal di jaringan otot hewan dan 20-25 % darah berada
pada organ hewan tersebut (Piske 1982; Hedrick et al. 1994; Swatland 2000 diacu dalam Roca 2002).
Menurut Warris (1977) diacu dalam Roca (2002) bahwa efisiensi perdarahan dapat dianggap sebagai
suatu persyaratan penting dalam penyembelihan untuk memperoleh produk daging berkualitas tinggi.
Hikmah dari pengeluaran darah ini adalah meminimalisir kandungan hemoglobin yang tertinggal
di dalam hewan ternak. Beberapa hasil penelitian tentang protein heme khususnya hemoglobin ini
diketahui dapat meningkatkan produksi produk oksidasi lemak dalam tubuh. Hewan yang tidak
disembelih atau hewan yang sakit menyebabkan darah tidak keluar secara sempurna. Darah banyak
tertinggal dalam karkas, sehingga membuat daging berwarna gelap. Razali et al. (2007b)
mengemukakan mengenai pendataan nilai biologis yang merupakan suatu cara yang penting untuk
dapat membedakan daging yang berasal dari daging ayam bangkai yang berasal dari ayam lemas
disembelih dan ayam yang telah mati beberapa waktu kemudian disembelih dan dibandingkan dnegan
daging yang berasal dari hasil penyembelihan yang halal atau benar. Darah yang tertinggal pada
pembuluh pada ayam dengan kondisi kesehatan yang tidak baik disajikan dalam Gambar 4.
Keterangan :
(tanda panah) pada AHS (ayam sehat hidup disembelih) tidak mengalami kongesti darah sedangkan pada ALS (ayam lemas disembelih) dan AMS (ayam mati disembelih) dipenuhi oleh darah
(bar) = 50 µm
Gambar 4. Penampakan pembuluh darah arteri (atas) dan vena (bawah) (Razali et al. 2007b)
Berdasarkan pengamatan terhadap sistem vaskular baik pada otot dada maupun pada otot paha
AHS dapat dikatakan bahwa pembuluh darah arteri dan vena tampak kosong dari darah. Ini
membuktikan bahwa sebagian besar darah telah keluar dari tubuh setelah proses pemotongan. Berbeda
halnya dengan pembuluh darah arteri dan vena yang terdapat pada AMS dan ALS, sebagian besar
rongganya dipenuhi oleh darah yang tertahan (Gambar 4). Retensi darah di dalam sistem sirkulasi
menyebabkan gambaran pembuluh vena pada AMS dan ALS terlihat membengkak jika dibandingkan
dengan pembuluh darah vena pada AHS, sedangkan pada ayam yang disembelih secara benar
memperlihatkan pembuluh darah vena telah kosong sehingga tampak memipih (AHS bawah) (Razali
et al. 2007b).
24
Adanya darah yang banyak tertinggal pada pembuluh vena dan arteri yang ditemukan pada
hewan bangkai ini tidak baik bila dikonsumsi. Hal ini dikarenakan konsumsi darah telah diteliti dapat
meningkatkan risiko timbulnya kanker. Protein-heme dalam bentuk hemoglobin (yang terdapat pada
darah) lebih cepat menuju kolon dibandingkan dalam bentuk mioglobin (Pierre et al. 2004). Oleh
karena itu, dari segi kesehatan, konsumsi daging bangkai yang selain mengandung mikroba dalam
jumlah tinggi, daging bangkai juga mengandung darah yang dapat memicu timbulnya kanker.
Adanya darah yang tertinggal diasumsikan dapat menyebabkan daging cepat membusuk, karena
darah merupakan medium yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Pada hewan yang
mengalami perlakukan yang buruk (stres atau sakit) sebelum disembelih, dagingnya akan memiliki
kadar glikogen daging rendah dan asam laktat rendah. Kedua hal tersebut dapat menurunkan mutu
daging, terutama karena pH, keempukan, dan aroma menjadi berkurang. Bakteri usus juga dapat
memasuki jaringan daging melalui peredaran darah, sehingga daging terkontaminasi mikroba usus
yang berbahaya bagi kesehatan konsumen (Girindra 2008).
Menurut Ribot (2006) bakteri yang tidak diinginkan seperti patogen ataupun mikroba pembusuk
mungkin dapat dengan mudah tumbuh dalam media darah. Faktanya darah memang seperti media
dengan set nutrisi yang cukup baik atau mudah mengalami kontaminasi mikroba (Carretero dan Parês
2000). Darah dapat membawa bakteri patogen yang sebagian besar berasal dari saluran cerna (usus).
Beberapa mikroorganisme yang ditemukan pada sampel darah yang diambil dengan teknik pengaliran
darah secara terbuka adalah Salmonella, Escherichia coli enteropatoghenic, Shigella dan Yersinia
enterolitica (Ribot 2006). Menurut WHO (2011a) gejala infeksi Salmonella biasanya muncul 12-72
jam setelah infeksi. Gejala tersebut termasuk demam, sakit perut, diare, mual dan muntah. Gejala
tertelan Yersinia adalah demam, sakit perut, dan diare yang sering berdarah (CDC 2005). Shigella
adalah genus bakteri yang merupakan penyebab utama diare dan disentri darah (WHO 2011b).
Berdasarkan kandungan mikroba yang mungkin ditemukan dalam produk darah, terlihat bahwa
produk ini memiliki dampak peningkatan risiko terhadap kesehatan. Rata-rata dari jenis mikroba yang
ditemukan merupakan mikroba yang berasal dari saluran cerna yang terbawa saat pengeluaran darah
(bleeding) pada penyembelihan. Mikroba ini tergolong sebagai patogen, sehingga bila mengalami
pengolahan yang tidak sesuai dan kemudian dikonsumsi, hal ini dapat menyebabkan penyakit.
Metode penyembelihan yang diatur oleh syariat Islam terbukti memberikan hasil yang terbaik.
Penyembelihan dalam Islam mengharuskan hewan dalam keadaan hidup dan tidak disiksa. Menurut
Warris (2000) diacu dalam Adzitey (2011), hewan yang mengalami penanganan yang kasar sebelum
penyembelihan akan tampak memar, bercak darah, cacat kulit dan patah tulang pada karkasnya.
Adanya bercak darah mengakibatkan penampakan daging yang kurang baik dan dapat menjadi salah
satu celah bagi mikroorganisme untuk tumbuh. Selain itu, dari segi keamanan batin, proses
penyembelihan yang sempurna akan menghasilkan daging yang halal. Sedangkan, dari segi mutu
daging, pengeluaran darah secara tuntas dapat menghasilkan daging yang bermutu baik, tidak mudah
rusak dan tidak mudah busuk.
25
B.2 Kajian Daging Bangkai Pembahasan yang dilakukan dalam mengidentikasi hikmah keharaman daging bangkai adalah
dilihat dari dampak yang ditimbulkan pada daging yang berasal dari hewan mati dengan penyebab
tertentu (stres dan penyakit). Landasan dasar hipotesis ini dikarenakan menurut Girindra (2008), yakni
sebelum hewan disembelih harus diistirahatkan dan tidak boleh dibunuh secara kejam. Hewan yang
cukup istirahat sebelum disembelih memberikan daging yang enak, tahan lama dalam penyimpanan
dan mudah diproses lebih lanjut.
Menurut Qardhawi (2005) definisi daging bangkai dirinci menjadi lima bagian, yaitu Al-
Munkhaniqah, Al-Mauqudzah, Al-Mutaraddiyah, An-Nathihah, dan Maa akalas sabu. Al-
Munkhaniqah adalah binatang yang mati karena dicekik, baik dengan cara menghimpit leher binatang
tersebut ataupun meletakkan kepala binatang pada tempat yang sempit dan sebagainya sehingga
binatang tersebut mati. Al-Mauqudzah, yaitu binatang yang mati karena dipukul dengan tongkat dan
sebagainya. Al-Mutaraddiyah, yaitu binatang yang jatuh dari tempat yang tinggi sehingga mati, yaitu
binatang yang jatuh dalam sumur. Sementara itu, An-Nathihah, yaitu binatang yang baku hantam
antara satu dengan lain, sehingga mati. Daging bangkai dengan kategori Maa akalas sabu, yaitu
binatang yang disergap oleh binatang buas dengan dimakan sebagian dagingnya sehingga mati.
Pengertian bangkai dalam Islam sebagaimana yang telah disebutkan, dapat memberikan gambaran
bahwa hewan tersebut mengalami penderitaan sebelum mati. Penderitaan yang dialami hewan
sebelum disembelih haruslah seminimal mungkin. Hal ini dikarenakan pengeluaran darah yang
sempurna hanya akan terjadi jika kondisi hewan benar-benar sehat. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi keluarnya darah, diantaranya, kondisi kesehatan hewan, pemingsanan, dan
penyembelihan (semakin lama jarak jarak antara pemingsanan dan penyembelihan maka semakin
sedikit darah yang keluar), kerusakan medulla oblongata (otak) dan tidak cukupnya energi kontraksi
dari otot (berdasarkan kandungan glikogen) (Girindra 2008).
Kasus mengenai daging bangkai yang ditemukan di Indonesia, yakni mengenai penjualan ayam
daging bangkai atau dikenal dengan ayam tiren (mati kemaren) di pasar tradisional. Kematian ayam
dapat mencapai 10% dari kuantitas ayam yang siap dipotong tiap harinya (Nareswari 2006).
Perbedaan karakteristik sensori karkas ayam normal dan karkas ayam bangkai (berasal dari hewan
dengan kondisi kesehatan yang buruk) disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan kenampakan fisik antara ayam normal dan ayam bangkai
Karakteristik Ayam Normal Ayam Bangkai
Sebelum pemotongan Bergerak aktif, bulu tidak kusam Kaku, bulu kusan dan mudah
lepas
Sesudah pemotongan Darah keluar sempurna Darah tidak keluar sempurna
Leher Bekas pemotongan tidak rata Bekas pemotongan rata
Kepala Paruh dan jengger terlihat bersih dan
kering
Paruh terlihat lebam, jengger
merah pucat dan basah
Dada Cerah, mengkilap, tanpa bercak
darah, kenyal
Warna merah pucat, terdapat
bercak
Penggung Cerah, tidak ada luka memar dan
bercak darah pada kulit
Warna merah, terdapat memar
pada kulit
Viscera (organ) Cerah tidak ada sisa darah pada hati
maupun usus
Hati berwarna merah kehitaman,
terdapat sisa darah, usus terlihat
kebiruan
(Bintoro et al. 2006)
26
Kajian daging bangkai dibatasi pada daging yang berasal dari hewan dengan kondisi kesehatan
dan penanganan yang buruk sehingga mati sebelum disembelih dan merupakan daging yang memiliki
sifat-sifat yang berbeda dengan daging normal dari aspek warna dan bau. Penelitian yang dilakukan
Razali et al. (2007a) ditujukan untuk mengumpulkan data biologis, yaitu warna CIE L*a*b* terhadap
daging dada dan daging paha ayam sehat yang disembelih secara halal (AHS), yang berasal dari
daging bangkai (AMS), dan yang berasal dari ayam lemah atau stres (ALS). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa angka kecerahan (L *) daging dada yang berasal dari AHS lebih tinggi pada
angka kecerahan (L *) daging dada AMS dan daging dada ALS. Hasil yang demikian memberikan
suatu pertanda kepada konsumen bahwa gambaran kecerahan masih menjadi suatu indikator yang
kadangkala sulit untuk dijadikan sebagai acuan untuk membedakan daging dada yang berasal dari
ayam sehat dan ayam bangkai.
Menurut Petracci et al. (2004), nilai kecerahan (L *) dapat digunakan sebagai suatu indikator
kualitas daging dada ayam untuk menilai kejadian daging dengan karakteristik pale soft exudative
(PSE) dan untuk tujuan pengolahan lebih lanjut. Walaupun demikian, kecerahan otot dada sangat
bergantung pada sifat fungsional otot dan stres antemortem di samping usia dan spesies hewan. Nilai
kecerahan (L* dan kemerahan (a*) yang terukur pada daging dada (M. pectoralis) dan daging paha
(M. biceps femoris) ayam dapat dijadikan suatu cara untuk membedakan antara daging ayam yang
berasal dari daging bangkai atau bukan. Sementara itu, nilai kekuningan (b*) tidak dapat dijadikan
pembeda antara daging dari ayam daging bangkai dan bukan dari daging bangkai.
Perbedaan terhadap nilai warna pada daging ayam segar dan daging ayam bangkai diduga karena
proses pengeluaran darah pada saat pemotongan ayam bangkai tidak sempurna, hampir tidak ada
darah yang keluar dari tubuh. Darah menjadi beku dan terkumpul dalam otot ayam bangkai. Menurut
Zhang et al (2005) daging yang memiliki pH tinggi akan memiliki nilai L (lightness), a, b, hue,dan
chroma yang rendah dibandingkan dengan daging dengan pH normal. Nilai L,a, b, hue dan chroma
yang rendah diartikan sebagai warna daging yang lebih gelap. Hal ini sesuai dengan pendapat
Boulianne dan King (1998) yang menyatakan bahwa pada proses pengeluaran darah yang tidak
sempurna saat pemotongan akan menghasilkan karkas yang mempunyai suatu penampilan
karakteristik yang menunjukkan warna gelap.
Boulianne dan King (1998) juga menyebutkan bahwa secara hipotesis, pendarahan akan
mempengaruhi total konsentrasi pigmen akhir karena timbulnya mioglobin. Pendapat tersebut juga
diperkuat oleh Eskin et al. (1990) yang menyatakan bahwa jika seekor unggas dengan kondisi jantung
yang tidak normal (abnormal) disembelih, maka pengeluaran darah pada saat penyembelihan tidak
akan berlangsung sempurna dan hal ini menyebabkan suatu peningkatan jumlah mioglobin sehingga
akan menghasilkan karkas yang berwarna gelap. Gambaran nilai warna merupakan suatu cara yang
ditempuh untuk dapat membedakan daging yang berasal dari ayam daging bangkai dan yang berasal
dari hasil penyembelihan yang halal atau benar. Pembedaan nilai warna ini diharapkan konsumen
dapat memiliki suatu penilaian tertentu terhadap daging ayam yang dibeli.
Daging ayam bangkai (ayam tiren) berasal dari ayam yang telah mengalami kematian sebelum
disembelih. Kematian ini dapat diakibatkan stress ataupun sakit. Hal ini mengakibatkan kadar
glikogen rendah sehingga asam laktat yang terbentuk menjadi berkurang. Setelah enzim tidak aktif
lagi dan persediaan glikogen habis, bakteri tetap tumbuh terus. Menurut Bintoro et al. (2006) total
mikroba pada daging ayam bangkai lebih tinggi dibandingkan ayam normal. Hasil penelitian total
mikroba pada daging ayam bangkai yang dibandingkan dengan daging ayam segar disajikan dalam
Tabel 4.
27
Tabel 4. Rata-rata total mikroba pada daging ayam segar dan daging ayam bangkai
Rata-rata total mikroba Standar SNI
Sampel (kol/g) 3924: 2009
(TPC) kol/g
Daging ayam segar 3.3 x 105 a Mentah: 1.0 x 106
Daging ayam bangkai 8.9 x 107 b
*huruf ab pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p < 0.01) Bintoro et al. 2006
Selain jumlah koloni bakteri yang dikemukakan di atas, di dalam daging bangkai juga dapat
ditemukan bakteri C.botulinum. Menurut Tabbu (2000) bakteri Clostridium botulinum tipe C tersebar
luas di alam, terutama di daerah yang padat peternakan ayam atau daerah yang banyak dihuni oleh
unggas liar. Bakteri tersebut dapat tumbuh dengan baik di dalam saluran pencernaan ayam dan dapat
digolongkan sebagai parasit obligat. Spora dari organisme tersebut biasanya ditemukan di dalam
kandang dan lingkungan sekitar lokasi peternakan. Daging bangkai unggas dan larva lalat yang
berasal dari bahan yang membusuk dapat mengandung toksin tersebut. Bakteri Clostridium botulinum
tersebar luas di usus, maka daging bangkai ayam akan memberikan lingkungan yang baik untuk
pertumbuhan bakteri tersebut. Akan tetapi, bakteri Clostridium botulinum tidak ditularkan secara
horizontal dari ayam ke ayam. Botulisme telah dilaporkan dari berbagai negara pada ayam ataupun
unggas liar. Botulisme dapat ditemukan pada ayam pedaging dan itik. Penyakit ini jarang ditemukan
pada peternakan ayam komersial yang dikelola dengan manajemen yang baik. Di Indonesia, penyakit
ini sangat jarang dilaporkan, namun hal ini mungkin karena diagnosisnya relatif sulit. Persebaran
botulisme pada hewan dan manusia disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Botulisme pada hewan dan manusia
Tipe Target Sumber Wilayah dengan frekuensi
tertinggi
A Manusia Sayuran yang dikalengkan,
buah, daging, dan ikan Amerika Serikat, Eropa, Jepang
B Manusia, kuda, sapi,
domba
Daging (biasanya babi),
makanan ternak Amerika Serikat, Eropa
C-α
Sapi, domba, kuda,
anjing, unggas, kura-
kura
Larva lalat, sayuran busuk,
bangkai
Amerika Utara, Amerika Selatan,
Afrika bagian Selatan, Australia
D Sapi, kuda, unggas Bangkai Afrika bagian Selatan, Australia
E Manusia, ikan Ikan dan produk perikanan Amerika Serikat, Kanada, Jepang,
Eropa Utara, Rusia
F Manusia Pasta hati (liver paste) Denmark
G Manusia Tanah Argentina, Swiss
Jones et al. (1997)
Intoksikasi botulisme pada sapi berasal dari karkas yang terkontaminasi bahan pangan. Hewan
berukuran kecil dan unggas membawa C.botulinum tipe D sebagai organisme yang terdapat secara
alami pada saluran cerna dan jumlahnya meningkat saat hewan tersebut mati dan menjadi bangkai
(Jones et al. 1997).
C
C
l
h
g
d
a
d
d
p
2
p
d
l
a
d
d
f
m
d
m
a
i
t
d
p
C Kajian
C.1 Kajian Ikan mer
lemak yang dip
hewani yang d
gram daging i
diperlukan oleh
amino ini sang
daging ikan
diklasifikasika
pada daging ik
2007).
Kandung
putih, tetapi p
dengan ikan be
lemak tidak je
asam lemak ini
Beberapa
darat yang waj
Pengangk
dari jantung ke
filamen, dan ti
maka bagi ikan
dianggap kecu
membuka dan
akan menyeba
insang.
Pada filam
terjadinya difu
daerah sekitar
pembersihan ik
Daging Ban
Daging Banrupakan bahan
perlukan oleh t
diperlukan man
ikan. Selain i
h manusia. Pro
gat bervariasi t
kaya akan l
an menjadi pro
kan terdiri dari
an lemak pada
pada daging ik
erwarna putih.
enuh yang pali
i merupakan as
a pendapat men
ib untuk diputu
kutan sisa meta
eluar melalui a
iap filamen me
n berarti media
ukupan oksig
menutup tutup
abkan kematia
men terdapat p
usi udara. Oleh
kepala diangg
kan yang umum
ngkai Ikan
ngkai Ikann pangan yang
tubuh. Protein
nusia. Kandung
tu protein ika
otein ikan bany
tergantung pad
lisin tetapi k
otein miofibril,
i 65-75% miof
a daging ikan b
kan berwarna
Lemak ikan b
ing banyak ad
sam lemak ess
ngemukakan b
us saat disemb
Gam
abolisme pada
aorta ventral m
engandung ban
a perantara per
ennya menjad
p insang sema
an pada ikan.
pembuluh dara
h karena itu, P
gap telah cuku
m dilakukan di
dan Belalan
g memiliki ke
ikan menyedi
gan protein ika
an terdiri dari
yak mengandun
da jenis ikan. S
kurang akan
, sarkoplasma
fibril, 20-30%
berwarna merah
merah kandun
anyak mengan
dalah asam lin
ensial (Juniant
ahwa ikan tida
belih. Anatomi
mbar 5. Anatom
ikan dibuang m
menuju insang
nyak lapisan tip
rtukaran udara
di berkurang.
akin cepat. Men
Pada kondisi
ah yang memil
Praktik pember
up membersihk
idaerah sekitar
ng
eunggulan dari
akan lebih kur
an relatif besar
asam-asam a
ng asam amino
Secara umum
kandungan tr
dan stroma. K
sarkoplasma,
h lebih tinggi d
ngan proteinny
ndung asam lem
oleat, linoleat
to 2003).
ak memiliki 3 s
ikan disajikan
mi ikan
melalui insang
. Tiap lembara
pis (lamela). B
a juga tidak ada
Keadaan ini
nurut Ramadh
ini darah aka
liki banyak ka
sihan ikan dar
kan sebagian b
kepaladisajika
i segi kandun
rang 2/3 dari ke
r yaitu antara
amino yang ha
o esensial dan k
kandungan asa
riptofan. Prot
Komposisi keti
dan 1-3% stro
dari pada dagin
ya lebih sedik
mak tidak jenu
dan arachidon
saluran seperti
dalam Gamba
, kulit, dan gin
an insang terdi
Bila ikan tidak b
a. Oleh karena
juga menyeb
ani (2010), ke
an bergerak da
apiler sehingga
i darah dan org
besar bagian d
an dalam Gamb
2
gan protein d
ebutuhan prote
15-25% tiap 1
ampir semuan
kandungan asa
am amino dala
tein ikan dap
iga jenis prote
oma (Samsunda
ng ikan berwar
kit dibandingk
h dan jenis asa
nat. Ketiga jen
i hewan mamal
ar 5.
njal. Aliran dar
iri dari sepasan
berada dalam a
a itu, keadaan i
babkan gerak
adaan seperti i
an berkumpul
a memungkink
gan dilakukan
dari ikan. Prakt
bar 6.
28
dan
ein
00
nya
am
am
pat
ein
ari
rna
kan
am
nis
lia
rah
ng
air
ini
kan
ini
di
kan
di
tik
K
p
m
k
s
s
p
m
o
d
t
d
e
a
h
d
t
m
s
j
O
s
a
h
b
m
(
t
u
m
Semula b
Kerusakan mik
penguraian ma
menyebabkan
kerusakan seca
semula hanya
senyawa-senya
pembusuk ber
merupakan yan
olahan. Tingka
diakibatkan ole
Aktivitas
terhadap pemb
dua cara,yaitu
enzim selama
aktivitas bakte
histamin yang
daging ikan (
tergantung pad
mikroba serta d
Kasus ke
scomberesocid
jenis ini, karen
Olley 1999). K
sangat tinggi. N
atau lemuru, p
histidin bebas
biasanya dapat
mempunyai ni
(Lehane dan O
terkandung dal
untuk dikonsum
mg/100 g (ke
bakteri bersaran
krobiologis mu
akin banyak,
berbagai perub
ara menyeluru
berada di ins
awa sumber en
rupa indol, ska
ng dianggap
at kerusakan i
eh enzim (Gram
s bakteri ini ti
bentukan senya
autolisis dan
proses autoli
eri selama pros
dapat diprodu
(Kimata 1961)
da kandungan
dipengaruhi ol
eracunan hista
dae (Poernomo
nanya histamin
Kelompok ikan
Namun, kemud
pilchard (sejen
yang tinggi pa
t mencapai 10,
ilai pH 6 (Dalg
Olley 1999). Sh
lam produk pe
msi, pada taraf
mungkinan to
Gambar 6. Pe
ng pada permu
ulai intensif se
kegiatan bakt
bahan biokimi
uh yang disebu
sang, isi perut
nergi seperti p
atol, amonia,
paling bertang
kan yang dise
m dan Dalgaar
dak hanya ber
awa alergi, ya
aktivitas ba
isis lebih rend
ses pembusuka
uksi melalui p
). Pembentuka
histidin, bany
eh temperatur
amin pertama
o 2010). Ikan
n sering pula
n ini memang
dian ditemukan
nis sardin), m
ada daging ikan
000 mg/kg his
gaard et al. 20
halaby (1996) m
erikanan, yaitu
f 5 - 20 mg/10
oksik), dan pad
emotongan bag
ukaan tubuh, in
etelah proses ri
teri pembusuk
ia dan perubah
ut sebagai keb
t, dan kulit ik
protein, lemak,
asam sulfida,
ggung jawab d
ebabkan oleh b
rd 2002).
rakibat pada ke
aitu histamin. P
akteri. Jumlah
dah dibandingk
an berlangsung
proses autolisi
an histamin b
yaknya bakter
lingkungan.
kali disebab
tuna, tenggiri,
disebut racun
dikenal memp
n kandungan h
marlin, ekor ku
n tuna yang me
stidin bebas. D
008). Histamin
menyatakan be
pada konsentr
00 g (bisa toks
da taraf > 10
gian kepala ikan
nsang dan di d
igor-mortis sele
k mulai menin
han fisik yang
busukan (Eski
kan mulai mas
, dan karbohid
dan lain-lain.
dalam pembusu
bakteri lebih p
ebusukan dagi
Pembentukan
h histamin yan
kan dengan h
g. Pada kondis
s tidak dapat
berbeda untuk
ri yang menun
kan oleh ikan
, tongkol, dan
scombroid at
punyai kandun
histamin pada je
uning bahkan
enyebabkan HF
aging ikan yan
n dapat dihasil
eberapa level k
rasi histamin <
sik ataupun tid
0 mg/100 g (
n
dalam perut (E
esai. Akhir fas
ngkat. Aktivita
pada akhirnya
n et al. 1990)
suk ke otot d
drat menjadi se
. Kerusakan m
ukan ikan, bai
parah daripada
ing ikan namu
histamin dapa
ng dihasilkan m
histamin yang
si optimum jum
melebihi 10-1
k setiap spesie
njang pertumbu
n dari jenis
kembung term
tau scombrotox
ngan asam ami
enis ikan lainn
salmon Austra
FP (Histamine
ng menyebabka
kan oleh bakte
keamanan toksi
< 5 mg/100 g d
ak toksik), pad
(toksik dan tid
2
Eskin et al.1990
se rigor saat ha
as bakteri dap
a menjurus pa
). Bakteri yan
an memecahk
enyawa-senyaw
mikrobiologis i
ik segar maupu
kerusakan yan
un juga berakib
at terjadi melal
melalui aktivit
dihasilkan ol
mlah maksimu
15 mg/100 gra
es ikan, hal i
uhan dan reak
scombridae d
masuk ke dala
xin (Lehane d
ino histidin yan
nya seperti sard
alia. Kandung
Fish Poisonin
an HFP biasan
eri Lactobacill
ik histamin yan
dinyatakan am
da taraf 20 - 1
dak aman untu
29
0).
asil
pat
ada
ng
kan
wa
ini
un
ng
bat
lui
tas
leh
um
am
ini
ksi
dan
am
dan
ng
din
gan
ng)
nya
lus
ng
man
00
uk
30
dikonsumsi). Pembentukan histamin dapat dihindari dengan tidak membiarkan ikan berada dalam
suhu ruang terlalu lama sebelum diolah atau menyimpannya dalam suhu pendingin (Poernomo 2010).
Asumsi berikutnya yang digunakan dalam meninjau hikmah dibalik kehalalan daging bangkai
ikan adalah melalui kandungan hemoglobin yang tertinggal pada ikan yang tidak disembelih. Salah
satu keutamaan yang terkandung dalam ikan adalah kandungan Hb yang rendah. Hasil penelitian
Sakai et al. (2006) pada Tabel 6. menunjukkan bahwa pendarahan dapat mengurangi kandungan Hb
dalam jaringan otot ikan dan penurunan ini berakibat terhadap penekanan terjadinya oksidasi lemak di
jaringan otot ikan. Penurunan oksidasi pada jaringan lemak ini tampak pada produk hasil oksidasi
yang dideteksi, yaitu malonaldehida (MA) dan hidroksiheksenal (HHE). Hasil juga menunjukkan
tidak terdeteksinya produk oksidasi hidroksiheksenal pada ikan yang dikeluarkan darahnya pada
proses pembersihan (Sakai et al. 2006). Hasil penelitian Sakai et al. (2006) menunjukkan kandungan
Hb yang rendah pada daging ikan tuna yang disajikan pada Tabel 6 :
Tabel 6. Analisis Hb dan produk oksidasinya pada daging tuna (skipjack)
Perlakuan Hb (hari ke-0)
(mg/g)
Malonaldehida hari ke-0
(MA) (µmol/kg)
Hidroksiheksenal
hari ke-0 (HHE)
(nmol/kg)
Kontrol 1.01 ± 0.19 1.25 ± 0.20 0.20 ± 0.03
Dikeluarkan darahnya
(bleeding) 0.07 ± 0.05 * 1.18 ± 0.24 Tidak terdeteksi
*Berbeda nyata dengan kontrol pada taraf (p < 0,05)
(Sakai et al. 2006)
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu asumsi dasar bahwa daging bangkai ikan
(mati segar) berada dalam kondisi dapat diterima dilihat dari kandungan Hb yang tertinggal pada
daging (tanpa pembersihan) ataupun pada kemungkinan pembentukan produk oksidasi lemak yang
dihasilkan dari Hb yang tertinggal pada jaringan tersebut.
Perhitungan kasar mengenai kemungkinan kandungan heme yang terkandung pada darah ikan
laut (tuna), ikan air tawar (ikan nila), dan hewan darat (sapi,ayam, domba) pada Tabel 7 menunjukkan
bahwa spesies ikan (baik ikan laut amaupun ikan air tawar) memiliki kandungan Hb yang lebih rendah
dibandingkan dengan kandungan Hb pada hewan darat. Data estimasi kandungan Hb pada hewan
didasarkan pada total volume darah (ml/kg bobot) dan kandungan Hb (g/dl darah) yang besarnya
dapat bervariasi tergantung pada bobot hewan yang dijadikan acuan. Tinjauan mengenai status
kehalalan bangkai ikan menunjukkan bahwa kendati di dalam daging ikan (hewan tidak diwajibkan
untuk disembelih) mengandung hemoglobin, namun jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan
hewan darat seperti sapi ataupun domba (Tabel 7).
Jensen (2001) juga mengemukakan bahwa hemoglobin ikan lebih sensitif terhadap autooksidasi
dibandingkan dengan hemoglobin mamalia. Penelitian Aranda et al.(2009) mengemukakan bahwa
hemoglobin pada ikan dapat mengautooksidasi dan melepaskan hemin 50 sampai 100 kali lipat lebih
cepat dari hemoglobin sapi. Hal inilah yang menjadi dugaan bahwa hampir sebagian besar aktivitas
hemoglobin yang terkandung dalam ikan akan menyebabkan kerusakan (oksidasi) lipid pada jaringan
hewan tersebut berbeda dengan aktivitas hemoglobin sapi yang lebih lambat menyebabkan kerusakan
(oksidasi) lipid pada jaringan hewan tersebut sehingga potensi hemoglobin sapi untuk terus
beraktivitas (menyebabkan oksidasi lipid) akan tetap ada saat dikonsumsi manusia. Perbandingan
kandungan Hb pada daging ikan dan hewan ternak disajikan dalam Tabel 7.
31
Tabel 7. Perbandingan kandungan Hb antara ikan dan hewan ternak lainnya
Jenis
Hewan
Total volume darah
(ml/kg bobot)
Asumsi bobot
(kg/ekor)
Kandungan Hb
(g/dl darah)
Estimasi
kandungan Hb
(g/ekor)
Ikan Tuna 46.7 ± 2.2 (Brill et al.
1998)
2 12.3 ± 0.09
(Lowe et al. 2000)
maks. 11.5
Ikan Nila Dianggap sama
dengan ikan tuna*
0.8 5.05 - 8.33 (Salasia et
al. 2001)
maks. 3.1
Sapi 64 – 82 (Roca 2002) 100 9.02 - 10.14
(Shrikhande et al. 2008)
maks. 831.5
Ayam 60 (Morton et al.
1993)
1.5 9 - 31 (Morton et al.
1993)
maks. 27.9
Domba 60 (Morton et al.
1993)
20 10-12 (Morton et al.
1993)
120 – 144
* Data sulit ditemukan
(Perhitungan estimasi kandungan Hb terlampir dalam Lampiran 7)
Selain kandungan hemoglobin, hal yang membedakan keutamaan ikan dibandingkan hewan
darat adalah toksisitas histamin. Umumnya, kasus keracunan histamin terjadi pada sebagian kecil
ikan, yaitu ikan yang mengandung histidin dalam jumlah tinggi seperti tuna, tongkol dan kembung.
Selain itu, pada manusia tersedia sistem pertahanan tubuh terhadap toksik histamin yang dapat
terdapat pada ikan. Hal ini dikarenakan secara fisiologis histamin dalam dosis rendah diperlukan
sebagai fungsi normal sistem tubuh. Konsumsi makanan yang mengandung sedikit histamin akan
memberikan efek yang kecil bagi manusia, namun jika mengandung banyak histamin maka akan
bersifat toksik (Poernomo 2010) .
Sistem intestinal dari manusia mengandung enzim diamin oksidase (DAO) dan Histamin N-
methyl transferase (HMT) yang akan mendegradasi histamin menjadi produk yang tidak berbahaya,
akan tetapi jika dosis histamin yang dikonsumsi besar maka kemampuan dari DAO dan HMT untuk
menghancurkan histamin akan menyebabkan efek toksik dari histamin pada jaringan tubuh. Gejala
keracunan histamin adalah gatal-gatal, diare, demam, sakit kepala, dan tekanan darah turun (Keer et
al. 2002).
Menurut Nurlaila dan Hadi (2008), sel kanker memiliki perbedaan yang mencolok dibandingkan
dengan sel-sel normal dalam tubuh, yaitu sel kanker tak mengenal program kematian sel yang dikenal
dengan nama apoptosis. Apoptosis sangat dibutuhkan untuk mengatur jumlah sel yang dibutuhkan
dalam tubuh kita. Bila telah melewati masa hidupnya, sel-sel normal (nonkanker) akan mati dengan
sendirinya tanpa ada efek peradangan (inflamasi). Sel kanker berbeda dengan karakteristik tersebut.
Sel kanker tidak mengenal komunikasi ekstra seluler. Komunikasi ekstra seluler diperlukan untuk
menjalin koordinasi antar sel sehingga mereka dapat saling menunjang fungsi masing-masing. Sel
kanker mampu menyerang jaringan lain (invasif), merusak jaringan tersebut dan tumbuh di atas
jaringan lain. Sel kanker memiliki kemampuan yang baik dalam memperbanyak dirinya sendiri
(proliferasi) meski seharusnya ia sudah tak dibutuhkan dan jumlahnya sudah melebihi kebutuhan yang
seharusnya.
Penyakit kanker merupakan penyakit yang timbul akibat adanya akumulasi atau penumpukan
kerusakan-kerusakan sel tertentu dari tubuh. Adanya akumulasi kerusakan inilah yang juga
menyebabkan gejala awal timbulnya kanker tidak mudah diamati dalam waktu singkat seperti halnya
keracunan histamin yang gejalanya muncul setelah 2-8 jam mengkonsumsi produk ikan (Poernomo
32
2010) yang mengandung toksik tersebut. Perbedaan risiko antara akibat yang ditimbulkan dari
hemoglobin yang diasosiasikan dengan risiko kanker dan histamin, terlihat bahwa pada kondisi
tertentu (ikan yang mati dalam kondisi segar dan baik), diasumsikan keracunan histamin lebih rendah
potensi bahayanya dibandingkan dengan keberadaan hemoglobin. Hemoglobin diketahui dapat
menyebabkan luka pada sel dan berakibat pada peningkatan risiko timbulnya kanker (Pierre et al.
2004; Pierre et al 2006; Ishikawa et al.2010).
33
C.2 Kajian Daging Bangkai Belalang Terdapat dua jenis belalang yang umumnya dikonsumsi di pulau Jawa, Indonesia, yaitu belalang
bertanduk pendek dan belalang beras. Belalang bertanduk pendek (Valanga nigricornis burmeister,
atau dikenal dengan nama lokal belalang kayu) mudah ditemukan di perkebunan karet, persawahan
dan perkebunan pohon jati pada akhir musim hujan. Sementara itu, belalang beras (Patanga succinta
L., atau dikenal dengan nama lokal belalang Patanga) ditemukan di dataran rendah (0-600 meter),
semak belukar, ladang jagung dan persawahan pada awal musim kemarau. Umumnya, penduduk yang
bertempat tinggal di wilayah pegunungan ataupun dataran rendah, mengkonsumsi belalang sebagai
lauk untuk memenuhi kebutuhan protein.
Keistimewaan belalang terlihat dari kandungan gizinya. Belalang diteliti memiliki kandungan
protein dan mineral yang cukup baik. Menurut penelitian yang dilakukan Lukitawati (1991), belalang
merupakan spesies yang rendah lemak dan tinggi protein dibandingkan dengan daging sapi, domba,
babi, atau ayam yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Nilai gizi belalang (Patanga succineta L.) dan beberapa hewan ternak
Hewan Protein
(%)
Lemak
(%)
Fe
(mg)a
Ca
(mg) a
P
(mg)a
Energia
(Kkal)
Sapi 15.8 b
20a
24.3b
7.2 171 (*tanpa lemak) 150
Domba 14.6 b 30.5 b - - - -
Babi 13.0 b 33.3 b
-tanpa lemak 14.1 35 2.1 8 151 376
-dengan lemak 11.9 45 1.8 7 117 475
Unggas 20.5 b 4.3 b 1.2 11 214 110
Patanga succineta L. 24.4 b 1.5 b
-ukuran besara 14.3 3.3 3 27.5 150.2 95.7
-ukuran kecila 20.6 6.1 5 35.2 238.4 152.9
Keterangan : a = per 100 g bobot; Nutrition Division (1978) dalam FAO (2010) b = Lukiwati (1991) dalam FAO (2010)
Penelitian Nnjida dan Isidahomen (2011) mengenai efek pemberian ransum belalang terhadap
kelinci menunjukkan bahwa protein yang terkandung dalam ransum belalang mampu digunakan oleh
kelinci dengan baik. Pengamatan terhadap organ internal (ginjal dan hati) pada kelinci menunjukkan
bahwa ransum belalang tidak menyebabkan toksisitas saat mengkonsumsinya. Hal ini ditandai dengan
tidak ditemukannya pembengkakan organ selama mengkonsumsi ransum belalang. Pembengkakan
organ dapat terjadi akibat beban kerja organ terlalu berat untuk mengelurkan toksik yang terkandung
dalam darah, sehingga dapat dikatakan bahwa pembengkakan organ merupakan salah satu indikator
toksisitas suatu zat.
Belalang tidak memiliki hemoglobin di dalam darahnya. Transportasi oksigen di dalam tubuh
belalang adalah fungsi sistem pernapasan dan dipisahkan dari sistem peredaran darah. Oleh karena itu,
berdasarkan kandungan heme yang tidak ditemukan pada belalang, diasumsikan bahwa kecilnya
resiko timbulnya kanker akibat konsumsi daging bangkai belalang.
Keistimewaan lain dari belalang adalah belalang yang mati tidak mengalami pembusukan
melainkan mengalami pelayuan dan mengering. Walaupun belum ada penelitian yang dapat
menjelaskan hal ini, namun Glaser (1918) menemukan bahwa darah belalang merupakan substansi
34
istimewa yang dapat mengeliminasi keberadaan mikroba di dalamnya. Glaser (1918) juga
mengemukakan bahwa darah belalang memiliki sistem imun yang baik sehingga dapat menunjang
hidupnya. Hemosit pada serangga (termasuk belalang) memiliki kemampuan fagositosit, yakni
kemampuan memakan bakteri dan berperan penting dalam pengeluaran sel atau jaringan yang mati
(Borror et al. 1992)
Beberapa keistimewaan belalang ini dapat di suatu hikmah bahwa belalang merupakan bahan
pangan yang tidak menimbulkan risiko kesehatan bagi kelinci secara in vivo. Kendati setiap makanan
yang mengandung sedikit serangga dianggap tercemar dan tidak sehat bagi konsumsi manusia, namun
bagi ribuan jenis hewan (termasuk beberapa primata), serangga merupakan barang utama dan tunggal
untuk menu mereka. Hal ini berarti bahwa serangga (belalang) mempunyai nilai makanan yang
penting (Borror et al. 1992).
D
D
s
p
d
a
O
t
S
p
- Mi
D. Kajian
D.1 PemanfPemanfaa
seperti marus
penelitian dite
darah. Hal yan
adalah keterse
1984; Reys et
Oekerman dan
Marus m
tersebut akan
Sementara itu,
pula dengan se
Se- - -
Pro
Pem- Peng- Pens- Pem- Peng
Pupuk ineral enhancer
Darah
faatan Daraatan produk da
ataupun sosi
erbitkan untuk
ng mendasari p
diaan limbah d
al. 1980) serta
n Caldironi 198
merupakan prod
menggumpal
terdapat sosis
ebutan sosis da
erum darah : Albumin Globulin Fibrinogen
otein Plasma
anfaatan: gemulsi stabil
mbentuk Gel gental
r
ah arah tidak hany
is darah. Berm
melaporkan a
enelitian meng
darah yang tid
a adanya kandu
82). Pemanfaata
Gambar
duk darah yan
dan direbus
s yang bahan b
arah (blood sau
Pa--
ya sebatas pad
mula pada tah
atribut menarik
genai karakteri
dak termanfaatk
ungan gizi yang
an darah di ber
r 7. Pohon indu
ng dipadatkan
sehingga pen
baku utamanya
usages) (Marce
akan TernakTepung DaraSuplemen
- Marus (d- Lawar : B- Dideh - Saren - Sosis Dar- Puding D- Sup dara(Canh tiết=- Kue Dara- Anggur U
da produk prim
hun 1970-an
k (nilai gizi da
stik sifat fungs
kan dalam jum
g cukup baik p
rbagai bidang d
ustri darah
dengan penam
nampakannnya
a dapat berasal
ello dan Robins
Labo- Media- (agar
- Bovalbu
untuk
ah
Pangan arah beku) : In
Bali, Indonesia
rah Darah
h beku =bahasa Vietnaah Babi (TaiwaUlar (Vietnam)
mer yang dikon
dan 1980-an,
an sifat fungsi
sional produk t
mlah banyak (
pada darah (Sha
disajikan pada
mbahan garam
menyerupai o
dari darah. Pr
son 2004).
ratorium a Kultur darah)
vine serum umin (BSA k uji protein)
- Formul
ndonesia a
am) an) )
3
nsumsi langsun
beberapa ha
onal) dari frak
turunan darah i
(Nakamura et a
ahidi et al. 198
Gambar 7.
m. Protein dar
organ hati sap
roduk ini diken
asi kosmetik
Me- Tran
- D
35
ng
asil
ksi
ini
al.
84;
rah
pi.
nal
dis nfusi darah
Darah ular (jamu)
36
Kini, beberapa peneliti mulai mengkarakterisasi dan mengidentifikasi produk turunan darah yang
dapat dimanfaatkan pada produk pangan. Darah bahkan telah diteliti mampu memberikan atau
mensubsitusi suatu bahan agar memberikan sifat fungsional yang diinginkan pada produk. Perubahan
darah menjadi produk turunannya ini perlu diwaspadai karena berasal dari substansi haram. Beberapa
contoh sifat fungsional yang diteliti meliputi kapasitas emulsi, aktivitas emulsi, kestabilan buih,
kemampuan membentuk buih (whippability) dan nilai PER (Protein Efficiency Ratio). Ironisnya,
hingga saat ini masih sulit untuk membedakan produk turunan darah ini bila berperan sebagai bahan
yang memiliki sifat fungsional (misal pengemulsi).
Hasil riset mengenai produk turunan darah ini memberikan gambaran bahwa saat ini yang perlu
diwaspadai dari produk emulsi daging adalah tidak hanya bahan baku yang digunakan melainkan
bahan tambahan (aditif) yang ditambahkan ke dalamnya. Bentuk produk turunan darah seperti protein
plasma darah ialah bentuk protein plasma yang serupa dengan protein plasma dari kedelai ataupun
telur (Nakamura et al. 1984). Kendati belum dapat dibedakan dari segi penampakan ataupun sifat
fisikokimia, namun, pasti terdapat perbedaan baik itu atom ataupun isotop dari protein plasma darah
tersebut dengan protein plasma dari sumber yang halal.
D
d
m
(
k
p
t
p
2
V
s
t
d
d
K
g
k
(
i
f
S
p
d
i
d
D.2 EvaluasMarus (d
ditampung dal
menjadi beku.
(Yaqub 2008)
kebutuhan akan
Walaupun
perbedaan ant
tersebut. Bentu
protein heme (
2009) yang bio
Valenzuela et
sebaliknya dar
Meskipun
telah banyak r
daging merah a
disajikan pada
Gam
Kandungan he
genotoksik hid
kolon. Hemog
(reactive oxyge
Di bebera
ini ternyata da
fungsi ginjal m
Selain itu, keti
produk darah d
dapat menimbu
ini dapat meng
Penelitian
dari 70% dari
si Nilai Bioldalam bahasa I
lam sebuah w
Jika sudah me
). Tindakan pe
n bahan panga
n terdapat kem
tara hati dan
uk Fe pada ba
(Torres et al. 1
oavabilitasnya
al. (2009) ha
rah mengandun
n belum ada p
riset serupa y
ataupun sosis d
Gambar 8.
(a
mbar 8. Produk
moglobin baik
droperoksida a
lobin juga dik
en species) (Le
apa negara Ero
apat menyebab
menurun, karen
ika produk dara
dengan bakteri
ulkan produksi
gakibatkan penu
n Valenzuela e
bagian besi be
logis DarahIndonesia) ada
wadah kemudi
embeku maka d
engolahan dar
an dengan sifat-
miripan secara
darah beku, y
ahan pangan te
1986). Organ h
lebih rendah d
ati memiliki t
ng total Fe dan
penelitian meng
yang dilakukan
darah (blood sa
a)
k Darah Beku (
k pada daging m
asam lemak y
ketahui dapat m
ee et al. 2006)
opa Utara, mas
bkan terjangkit
na adanya dara
ah telah sampa
i, parasit dan v
i gas amoniak
urunan fungsi
et al. (2009), y
erada dalam be
alah darah cair
ian dibekukan
darah ini siap u
rah dengan tu
-sifat tertentu y
fisik antara m
yaitu bentuk z
erdapat dalam
hati menyimpa
dibanding Fe-h
total Fe yang
Fe-heme yang
genai efek kes
n terhadap pro
ausages). Cont
(a) Blood pudd
merah ataupun
yang berakibat
menginduksi p
syarakatnya m
tnya penyakit H
ah yang tidak t
ai ke dalam usu
virus yang mu
yang beracun
hati (Zaid 199
yaitu menganai
entuk hemoglo
r yang dibekuk
beberapa saa
untuk dimasak
ujuan konsums
yang diinginka
marus dan hati,
zat besi (Fe) y
tiga bentuk, y
an Fe dalam be
heme (Torres e
tinggi namun
g tinggi.
sehatan dalam
oduk yang me
toh produk dar
(b)
ding atau Black
produk darah
t pada akumul
roliferasi sel k
mengkonsumsi d
Haemosidrosis
tercerna akibat
us manusia ma
ungkin ada di s
apabila tersera
7).
i jejak radioiso
obin darah dan
kan. Jika darah
at, maka dara
k, seperti halny
si manusia in
an dengan harg
, namun ternya
yang dikandun
yaitu ferittin, h
entuk ferittin (V
t al. 1986). Se
n kandungan F
mengkonsums
engandung hem
rah yang bered
k Pudding (b) M
dapat berperan
lasi kerusakan
kanker melalui
darah dalam ju
s, penyakit yan
t saluran-salura
aka akan terjad
saluran pencer
ap ke dalam sa
otop 55Fe yang
n sisanya 30%
3
h yang menga
ah tersebut ak
ya hati dan lim
ni didorong ol
ga yang murah.
ata juga terdap
ng pada produ
hemosiderin, d
Valenzuela et a
lain itu, menur
Fe-heme renda
si marus, namu
moglobin sepe
dar di masyarak
Marus
n sebagai pemi
n DNA pada s
i pelepasan RO
umlah besar. H
ng menyebabk
annya tersumb
di interaksi anta
rnaan. Reaksi i
aluran darah. H
ditemukan leb
ditemukan pa
37
alir
kan
mpa
leh
pat
uk
dan
al.
rut
ah,
un
erti
kat
icu
sel
OS
Hal
kan
at.
ara
ini
Hal
bih
ada
38
organ yang merupakan tempat penyimpanan Fe seperti hati, limpa, dan ginjal dan dalam molekul
mioglobin dalam otot. Jejak isotop 55Fe ini membuktikan bahwa dalam darah terkandung Fe yang
memiliki kemungkinan korelasi dengan keberadaan hemoglobin.
Beberapa riset telah mengemukakan bahwa mengkonsumsi daging merah diasosiasikan dengan
peningkatan risiko timbulnya kanker kolon (Ishikawa et al. 2010), kanker kolorektal (Cross et al.
2006; Bastide et al. 2011) kanker endometrial (Kallianpur et al. 2010), dan kanker payudara
(Kallianpur et al. 2008). Hal ini terkait dengan tingkat konsumsi dan kandungan heme dalam daging
merah (Pierre et al. 2004; Ishikawa et al. 2010; Bastide et al. 2011). Pierre et al. (2004) juga
mengemukakan adanya kemiripan struktur antara mioglobin (hemoglobin yang terikat pada jaringan
otot) dan hemoglobin. Bastide et al. (2011) menyebutkan adanya efek katalitik heme pada
pembentukan komponen N-nitroso dan peroksida lemak yang berkontribusi terhadap perkembangan
kanker kolorektal.
Kanker kolorektal merupakan jenis kanker yang paling sering terjadi di seluruh dunia (Jenab
2010). Frekuensi kejadian timbulnya kanker kolorektal di dunia disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Peringkat kejadian kanker kolorektal di seluruh dunia
Peringkat Negara Kejadian tiap 100,000 penduduk
1 Jerman 156.2 2 Hongaria 152.8 3 Jepang 151.2 4 Republik Ceko 149.8 5 Norwegia 144.1 6 New Zealand 138.2 7 Denmark 136.2 8 Itali 132.1 9 Swiss 129.4 10 Austria 128.6
International Agency for Research on Cancer (2008)
Di Eropa, setiap tahunnya, sebanyak 400,000 orang didiagnosa terkena kanker ini dan sebanyak
212,000 orang diantaranya meninggal akibat penyakit tersebut. Tabel 9 menunjukkan bahwa negara
Jerman merupakan peringkat 1 atau jumlah terbanyak kejadian kanker kolorektal. Hal ini dinyatakan
oleh Seltmann (2009) bahwa setiap tahunnya di Jerman terdapat 73,000 kasus timbulnya kanker
tersebut dan sebanyak 40% penderita meninggal dalam waktu tidak lebih dari lima tahun setelah
didiagnosis penyakit tersebut.
Beberapa penyebab timbulnya kanker kolorektal adalah gaya hidup dan pola makan yang salah.
Faktor yang mempengaruhi peningkatan kanker kolorektal dari segi pola makan adalah tingginya
asupan makanan yang mengandung energi tinggi, alkohol, daging merah dan turunannya, serta
kurangnya konsumsi serat, kalsium, susu dan bawang putih (Jenab 2010). Komponen pada daging
yang diketahui dapat memicu peningkatan risiko kanker kolorektal adalah lemak, heme-besi, dan
heterosiklik amin (Larsson et al. 2005).
Penelitian yang dilakukan Pierre et al. (2004) dilakukan dalam kondisi asupan rendah kalsium.
Hal ini dikarenakan menurut Bastide et al. (2011) mineral kalsium dapat mencegah sitotoksitas yang
disebabkan heme (heme-induced cytotoxicity), mencegah hiperproliferasi epitel kolon dan mencegah
timbulnya senyawa kimia penyebab karsinogenesis (chemically-induced carcinogenesis). Asupan
kalsium sebesar 130 mmol/kg adalah konsentrasi terbaik untuk mencegah proliferasi sel kolon dan
39
mencegah pembentukan ACF (Abberant Crypt Foci) oleh heme. Penelitian Allam et al. (2010)
mengemukakan konsumsi pangan yang mengandung 100 µmol/g garam kalsium karbonat dapat
mengikat heme secara in vitro, mengurangi sitotoksisitas cairan fekal, mengurangi nilai TBARS dan
tanpa menyebabkan efek samping terhadap peningkatan kanker kolon.
Sosis darah diketahui mengandung komponen darah (heme-besi) sebagai salah satu bahan
bakunya. Penelitian Larrson et al. (2005) mengemukakan bahwa wanita yang mengkonsumsi puding
darah rata-rata dua kali dalam satu bulan memiliki peningkatan risiko kanker dibandingkan dengan
wanita yang jarang atau tidak pernah mengkonsumsi puding darah (p< 0.05). Penelitian Valenzuela et
al.(2009) mengenai keberadaan heme melalui jejak isotop, juga dapat membawa pada suatu gambaran
efek pengkonsumsian produk darah yang memiliki kandungan heme lebih tinggi dibanding organ
ataupun jaringan otot hewan terhadap peningkatan produksi produk oksidasi pada tubuh. Hasil
penelitian inilah yang kemudian dijadikan dasar bahwa kandungan heme yang juga terdapat dalam
darah akan berkontribusi terhadap peningkatan produksi peroksida lemak dalam tubuh.
Gambar 9 menunjukkan bahwa mayoritas negara berpenduduk muslim memiliki kejadian kanker
kolorektal (0.1 - 11,0 / 100,000 kejadian) lima kali lebih rendah dibandingkan negara Jerman (39.0 –
59.0 / 100,000 kejadian) yang merupakan negara dengan jumlah kejadian kanker kolorektal tertinggi
di dunia (International Agency for Research on Cancer 2008). Pemetaan kejadian kanker kolorektal
yang terjadi di seluruh dunia disajikan dalam Gambar 9.
Gambar 9. Pemetaan kejadian kanker kolorektal (pada pria) di seluruh dunia (GLOBOCAN
2002 dalam Mohr et al. 2005)
Perbandingan jumlah kejadian kanker kolorektal di negara Jerman dan di Negara-negara dengan
mayoritas penduduk muslim dapat memberikan gambaran kasar mengenai pola makan yang
diterapkan di negara tersebut. Negara Jerman merupakan salah satu negara yang mengkonsumsi
produk darah, yaitu blutwurst (sosis darah) sementara bagi penduduk muslim, produk darah
40
merupakan zat yang diharamkan untuk dikonsumsi. Pembahasan mengenai kajian darah ini akan
dibatasi pada interaksi protein-heme dalam bentuk produk hemoglobin (puding darah) yang berasal
dari darah yang mengalir dan diharamkan dalam Islam, terhadap pembentukan produk oksidasi lemak
pada jaringan hewan percobaan secara in vivo.
Penelitian Pierre et al. (2004) menunjukkan efek heme terhadap produksi produk oksidasi lemak
di cairan feses sebagai indicator awal terjadinya kanker kolon. Penelitian menggunakan 5 jenis ransum
sebagai variabel, yaitu ransum kontrol, ransum daging ayam, ransum daging sapi, ransum
hemoglobin, dan ransum black pudding. Penggunaan ransum daging ayam dimaksudkan untuk
melihat perbedaan pengaruh heme yang terdapat pada daging putih (daging ayam) dengan daging
merah (daging sapi), hemoglobin ataupun puding darah (black pudding). Menurut Bastide et al.
(2011) kandungan heme yang terkandung pada daging merah (dalam bentuk mioglobin) 12 kali lebih
besar dibandingkan kandungan heme pada daging putih. Sementara itu, ransum hemoglobin
digunakan sebagai pembanding efek ransum hemoglobin yang terikat dalam jaringan (daging merah).
Kedua ransum ini memiliki jumlah asupan heme yang sama, namun heme yang terdeteksi pada cairan
feses tikus yang diberi ransum hemoglobin memiliki kandungan yang lebih tinggi dibandingkan yang
diberi ransum daging merah. Hal ini menunjukkan Fe-Heme dalam bentuk hemoglobin mencapai
kolon lebih baik dibanding Fe-Heme dalam bentuk mioglobin (daging merah).
Tabel 10 menunjukkan efek ransum meat-based pada tikus setelah 77 hari setelah diinjeksi
dengan azoksimetana. Senyawa azoksimetana merupakan senyawa oksidasi, dalam kasus ini,
penggunaannya ditujukan untuk melihat hasil produk oksidasi yang dihasilkan oleh ransum secara
cepat diamati dalam 77 hari. Penggunaan ransum kontrol dimaksudkan untuk melihat efek oksidasi
tubuh dari ransum yang tidak diberi penambahan heme. Hasil penelitian menunjukkan adanya
peningkatan pH cairan fekal pada tikus yang terutama mengkonsumsi produk heme (daging sapi,
hemoglobin dan black pudding). Peningkatan pH pada kolon ini tidak serta merta menggambarkan
indikator terjadinya kanker. Kolon memiliki pH basa (sekitar pH 7.2), apabila kolon terlalu basa hal
ini mengindikasikan banyak protein tidak terserap yang berasal dari heme (mioglobin; hemoglobin).
Namun, kondisi terlalu basa pada kolon dapat mengindikasikan konsentrasi toksik dalam tubuh
meningkat dan tersedianya energi untuk sel kanker.
Tabel 10. Efek ransum meat-based pada tikus setelah 77 hari setelah diinjeksi dengan azoksimetana
Ransum
Asupan heme1
Heme di
Feses1
Heme di cairan
feses1
TBARS di
cairan feses,
MDAEq
pH cairan feses
(µmol / hari) (µmol/gram) (µmol/L) (µmol/L) (pH)
Kontrol 0a 0a 0a 40 ± 15 a 7.85 ± 0.03 a
Daging ayam 0a 0a 0a 69 ± 16 a 8.02 ± 0.03 b
Daging Sapi 3.0 ± 0.4 b 0.5 ± 0.2 b 19 ± 7 b 138 ± 17 b 8.17 ± 0.03 c
Hemoglobin 2.9 ± 0.4 b 0.9 ± 0.3 c 52 ± 47 c 195 ± 96 b 8.13 ± 0.03 c
Black Pudding 87.0 ± 8.0 c 23.6 ± 8.6 d 1097 ± 484 d 975 ± 229 c 8.30 ± 0.06 d 1Data yang telah diubah ke dalam bentuk logaritma dan diuji melalui ANOVA (p<0,05)
abcd Data pada kolom yang sama merupakan data berbeda nyata pada p < 0,05 (Pierre et al. 2004)
Hasil penelitian Pierre et al. (2004) menunjukkan heme-protein dalam bentuk hemoglobin
(ransum hemoglobin dan ransum puding darah) mencapai kolon lebih cepat dibanding protein-heme
dalam bentuk mioglobin (ransum daging). Hal ini dapat dijadikan hikmah dibalik pengharaman darah
yang mengalir. Ransum daging ayam memberikan kontribusi terhadap nilai TBARS pada cairan feses.
41
Hal ini diduga bukan akibat kandungan heme melainkan adanya kandungan asam arakidonat (ARA
1g/kg) dan niasin yang cukup tinggi pada daging ayam bila dibandingkan dengan keempat jenis
ransum lainnya. Kandungan niasin pada diet daging ayam dapat mencapai 12 kali dari RDA
(Recommended Daily Allowance). Penelitian menurut Morrow et al. (1992) kandungan niasin yang
tinggi dapat menstimulasi pelepasan histamine dan sintesis prostalglandin. Sintesis prostalglandin ini
yang kemudian menyebabkan terbentuknya TBARS pada cairan feses tikus yang diberi ransum daging
ayam.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pierre et al. (2004) menunjukkan bahwa pengukuran MDA
pada sampel tikus yang diberi ransum puding darah (black pudding) atau tikus yang diberi ransum
tinggi heme sebesar 975 (µmol/L) atau 7x lebih besar dibanding MDA sampel tikus yang diberi
ransum daging sapi. Radikal bebas di dalam tubuh juga mempengaruhi kadar malonaldehida (MDA)
yang dapat ditemukan di organ hati. Pengukuran kadar MDA (malonaldehida) dapat digunakan
sebagai indeks tidak langsung kerusakan oksidatif akibat peroksidasi lemak. Stress oksidatif yang
tinggi menunjukkan bahwa kadar MDA (malonaldehida) juga tinggi. Larsson et al. (2005)
menyebutkan konsentrasi heme-besi yang tinggi setelah mengkonsumsi puding darah meningkatkan
produksi radikal bebas pada kolon dan rektum yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko kanker.
Penelitian yang dilakukan Pierre et al. (2006) menunjukkan bahwa eksresi DHN-MA
(Dihydroxynonane Mercapturic Acid) pada tikus percobaan meningkat seiring dengan pemberian
ransum kaya heme. Efek ransum heme terhadap kandungan DHN-MA pada urin (Pierre et al. 2006)
yang terlihat bahwa konsumsi daging merah yang ditambah dengan sosis darah menghasilkan produk
DHN-MA yang paling tinggi diantara sampel-sampel disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11. Efek ransum heme terhadap kandungan DHN-MA pada urin
Ransum Heme
(mg/hari)
Fe (mg/hari) DHN-MA di urin
(ng/24jam)
Daging merah (60g/hari) 55.0 9.9 1,719
Daging merah (120g/hari) 110.0 11.2 1,974
Daging merah + pasta hati (liver pate) (50g) 80.0 17.7 1,957
Daging merah + sosis darah (70g) 205.0 17.7 4,147
Daging merah + Fe inorganik 55.0 44.9 1,726
(Pierre et al. 2006)
Produksi DHN-MA diasosiasikan dengan timbulnya perosidasi lemak dalam tubuh misalnya 4-
hidroksinonenal. Senyawa 4-hidorksinonenal berikatan secara kovalen dengan sistein, histidin, dan
lisin. Hemoglobin (pada sosis darah) dan mioglobin (daging merah) merupakan substansi yang kaya
akan histidin. Senyawa 4-hidroksinonenal ini juga berikatan dengan residu histidin pada protein-heme
yang dapat meningkatkan status oksidasi lemak.
Hasil pada Tabel 11 menunjukkan bahwa variabel sosis darah sebesar 70 gram mengakibatkan
peningkatan beban konsumsi heme menjadi dua kali lebih besar dibanding konsumsi daging merah
saja. Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian Pierre et al. (2004) bahwa protein-heme dalam
bentuk hemoglobin (yang terdapat pada darah) lebih cepat menuju kolon dibandingkan dalam bentuk
mioglobin. Efek pembentukan DHN-MA oleh ransum daging merah yang ditambah dengan sosis
darah juga menunjukkan produksi DHN-MA yang paling tinggi dibanding keempat ransum lainnya.
Produk ini juga merupakan agen sitotoksik dan genotoksik. DHN-MA ini merupakan tanda (marker)
bila terjadi stres oksidatif melalui perubahan fungsi sel dan pembentukan pencantelan eksosiklik DNA
(Pierre et al. 2006; Cross et al. 2006).
42
D.3 Mekanisme Heme Studi yang dilakukan pada tikus percobaan menunjukan bahwa pemberian protein heme
menimbulkan luka (preneoplastic lesion) di kolon (usus besar). Luka ini diduga akibat adanya reaksi
oksidasi dalam kolon. Penelitian yang dilakukan Ishikawa et al. (2010) bertujuan untuk meneliti
pengaruh heme terhadap penyebab kerusakan DNA dan proliferasi sel epitel usus besar melalui
pembentukan hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh heme oksigenase (HO). Pengkonsumsian
daging merah dan sosis darah (makanan yang mengandung heme) berkorelasi terhadap pembentukan
produk metabolit peroksida lemak. Mekanisme yang terjadi menurut Kapralov et al. (2009) adalah
aktivitas peroksida hemoglobin (Hb) akan tersimpan dan terikat dengan haptoglobin (Hp) sehingga
terbentuklah kompleks Hb-Hp melalui ikatan silang (cross linking). Kompleks Hb-Hp ini
mengagregat dan menelan agen pereduksi seperti nitrat oksida dan askorbat. Makrofag sebagai sistem
perlindungan tubuh akan menelan kompleks Hb-Hp ini. Hal ini akan berakibat pada aktivasi produksi
superoksida dan menimbulkan stres oksidatif intraseluler (mendeplesikan glutathione endogen dan
merangsang peroksidasi lipid). Penelanan kompleks Hb-Hp ini justru menyebabkan sitotoksisitas
untuk makrofag. Mekanisme oleh Kapralov et al. (2009) menunjukkan bahwa dalam kondisi
peradangan berat dan stres oksidatif menyebabkan pengagregatan aktivitas peroksidase kompleks Hb-
Hp sehingga dapat menyebabkan disfungsi makrofag dan vasokonstriksi mikrovaskuler yang sering
terlihat penyakit hemolitik.
Kemampuan redoks yang terdapat pada besi, dapat menjadikannya racun dalam tubuh bila zat
besi hadir dalam jumlah yang berlebihan. Keberadaan zat besi dalam jumlah tinggi dan jika tidak
terkontrol, dapatmenyebabkan kerusakan sel sebagai akibat dari peroksidasi lipid, oksidasi DNA, dan
merusak protein (Chua et al 2010). Mekanisme pembentukan sel kanker pada usus besar yang
diakibatkan dapat dilihat pada Gambar 10 (Chua et al. 2010) :
Gambar 10. Mekanisme pembentukan sel kanker pada usus besar (dimodifikasi)
Darah yang merupakan protein terkonjugasi logam yang terdiri dari protein heme dan logam besi
(Fe) yang merupakan bentuk Fe dengan keterserapan (bioavaibility) yang mudah diserap tubuh.
Dalam jumlah yang berlebihan, kedua substansi ini merupakan spesies oksigen yang reaktif (ROS)
yang dapat menyebabkan kerusakan DNA. Kerusakan DNA ini menyebabkan sel mengalami mutasi
tingkat gen, yang merupakan tahap awal (inisiasi) terjadinya sel kanker. Sel yang mengalami mutasi
Heme-Fe
Heme-Fe
43
umumnya menekan kemampuan sel dalam berapoptosis akibatnya sel-sel yang bertahan ini terus
mengalami mutasi dan membentuk koloni (membesar; mengagregat). Koloni sel kanker
membutuhkan asupan nutrisi dari tubuh sehingga pembuluh darah yang berada di sekitarnya mulai
terbentuk (angiogenesis).
44
E. Hasil Wawancara
E.1 Analisa Tingkat Pengetahuan dan Kepedulian Halal Tingkat pengetahuan halal konsumen terhadap pangan halal dan thayyib responden dapat
diketahui dari jawaban yang diberikan responden atas pertanyaan yang diajukan pada kuesioner, yaitu
pertanyaan poin B nomor 1 sampai 5 (Lampiran 2). Pertanyaan untuk mengetahui pengetahuan halal
meliputi pengertian halal dan produk-produk yang haram dalam Islam. Sementara pertanyaan untuk
melihat kepedulian konsumen mencakup tentang pengetahuan tentang peraturan peredaran daging
halal dan keperluan dalam pengawasan peredarannya terungkap pada pertnyaan bagian B nomor 4
sampai 5 (Lampiran 2).
Hasil analisa tingkat pengetahuan dan kepedulian pedagang daging di Pasar Bogor terhadap
pangan halal berada pada kategori baik (Lampiran 8). Hal yang mempengaruhi keadaan tersebut ialah
factor budaya. Menurut Kotler dan Amstrong (2001), faktor budaya mempunyai pengaruh yang luas
dan mendalam terhadap perilaku, mencakup budaya (kultur, sub budaya, dan kelas sosial). Budaya
adalah susunan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan, dan perilaku yang dipelajari anggota suatu
masyarakat dari keluarga dan institusi penting lainnya. Setiap perilaku konsumen dikendalikan oleh
berbagai sistem nilai dan norma budaya yang berlaku pada suatu daerah. Dalam hal ini, pedagang
daging berada di pasar umum yang merupakan pasar terbesar di kota Bogor dan kota Bogor
merupakan daerah dengan penduduk muslim (BPS 2010). Responden menganut agama Islam yang
merupakan syarat yang diajukan oleh peneliti sebelum melakukan wawancara.
Sebanyak 4 dari 9 responden mendapatkan nilai salah (nol) pada pertanyaan nomor 3
(Lampiran 2), yaitu mengenai hukum pencampuran barang haram dengan barang yang halal. Keempat
responden tersebut memilih pilihan syubhat (meragukan). Hal ini kemudian dapat menjadi suatu
masalah yang harus diwaspadai karena salah satu kasus yang dianggap peneliti berada dalam kategori
tersebut adalah pencampuran daging sapi dan daging babi hutan.
Hasil wawancara lepas menunjukkan responden yang menjawab bagian daging dan harga
merupakan pertimbangan konsumen saat memilih daging di kiosnya. Sementara itu, terdapat variasi
jawaban mengenai daging halal, diantaranya adalah daging yang berasal dari hewan yang disembelih
sesuai dengan syariat Islam (menyebut nama Allah) dan tidak disiksa terlebih dahulu, daging yang
diperoleh dari rumah pemotongan hewan (RPH), dan daging yang berasal dari hewan yang halal.
Responden menjawab pembelian hewan hidup dan menyaksikan penyembelihan sebagai salah satu
cara menjamin produk daging yang diperdagangkan. Selain itu, juga terdapat jawaban responden
mengenai cara menjamin kehalalan produk dagingnya dengan membelinya langsung dari RPH.
Rumah Pemotongan Hewan termasuk ke dalam salah satu jawaban yang diutarakan oleh responden
baik untuk pertanyaan mengenai daging halal dan cara menjaminnya. RPH menjadi tempat yang
dipercaya oleh responden dalam hal penyediaan daging untuk dijual bebas.
Rumah potong hewan (RPH) merupakan salah satu unit usaha yang sangat penting dalam
menjaga kehalalan pangan yang beredar di masyarakat. Dewasa ini, seiring dengan perkembangan
teknologi, banyak sekali RPH yang memanfaatkan peralatan modern dalam pelaksanaan proses
penyembelihan hewan, sehingga muncul beragam model penyembelihan dan penanganan yang
menimbulkan pertanyaan terkait dengan kesesuaian pelaksanaan penyembelihan tersebut dengan
hukum Islam. Pada proses penanganan di dalam RPH terdapat salah satu tahap yang cukup kritis
ditinjau dari segi kehalalan, yaitu proses penyembelihan hewan. Proses tersebut sangat menentukan
halal atau tidaknya daging atau bagian lain dari hewan (lemak, tulang, jeroan, dan lainnya) yang
dihasilkan (LPPOM MUI 2011).
45
Hasil wawancara mengenai cara untuk mengetahui daging sapi yang dioplos dengan daging babi
hutan, terdapat variasi jawaban yang dikemukakan oleh responden, yaitu warna daging babi hutan
lebih pucat dan permukaannya lebih mengkilap dibandingkan dengan daging sapi. Sebanyak 2 dari 9
responden mengaku tidak tahu perbedaan antara daging babi hutan dan daging sapi. Hal ini
dikarenakan kejadian pemalsuan daging sapi dengan daging babi hutan belum pernah ditemukan dan
belum pernah terjadi di pasar Bogor.
Menurut (Wahid 2007) daging babi memiliki warna merah pucat dengan lemak yang lunak dan
mudah mencair pada suhu ruang, serta berwarna putih jernih. Hal ini sedikit berbeda dengan daging
babi hutan atau celeng yang memiliki tekstur lebih kasar dan warna lebih gelap, sehingga sepintas lalu
daging celeng mirip dengan daging sapi. Namun, daging celeng masih memiliki aroma bau khas babi
yang kuat yang dapat digunakan konsumen untuk mengidentifikasinya. Menurut Marchiori dan
Felicio (2003) menyebutkan bahwa daging babi hutan memiliki warna lebih merah dan lebih gelap
dibandingkan dengan daging babi (p<0.05). Gambaran sementara dari jawaban yang dikemukakan
oleh responden menyebabkan peneliti berasumsi bahwa responden tidak mengetahui cirri daging sapi
yang dipalsukan dengan daging babi hutan. Hal ini dikarenakan ciri visual yang dikemukan berbeda
dengan literatur. Rata-rata responden telah berjualan daging sejak tahun 1970-an dan 1980-an namun
tidak menjadi jaminan bahwa tingkat pengetahuan dan pengalaman mengenai daging sapi dapat pula
diterapkan dalam membedakan daging babi hutan. Adapun tindakan pencegahan yang dapat dilakukan
ialah perbaikan sistem pasar dengan mengelola sistem satu pintu bagi barang daging yang masuk atau
yang diperjualbelikan, pengawasan secara berkala, pelaksanaan inspeksi mendadak, penyebarluasan
informasi daging halal, dan motivasi dari pedagang daging itu sendiri untuk secara jujur menyediakan
daging yang halal bagi masyarakat.