v. hasil dan pembahasan a. karakteristik respondendigilib.unila.ac.id/16128/15/bab v.pdf74 v. hasil...

66
74 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini terbagi dua yaitu petani kopi sertifikasi organik INOFICE dan petani nonsertifikasi. Kedua kelompok responden ini memiliki karekteristik yang berbeda yang mempengaruhi keberlangsungan usahatani kopi yang dilakukan oleh petani. 1. Umur Tabel 10. Sebaran petani kopi menurut umur di Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015 Umur (tahun) Petani Sertifikasi Persentase Petani Nonsertifikasi Persentase 25-35 7 23,33 9 30,00 36-45 8 26,67 10 33,33 46-55 11 36,67 9 30,00 56-65 4 13,33 2 6,67 Jumlah 30 100 30 100 Sebaran umur responden yaitu berkisar antara umur 46-55 tahun, untuk petani sertifikasi umur rata-rata responden yaitu 50 tahun sedangkan petani non sertifikasi juga mempunyai rata-rata umur yang relatif sama yaitu 45 tahun. Kedua kelompok responden berada pada kategori usia produktif, dimana petani berada dalam keadaan fisik yang cukup kuat dalam bekerja serta mempunyai potensi tenaga kerja yang memadai. Umur petani akan mempengaruhi usahatani

Upload: duongnhi

Post on 21-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

74

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini terbagi dua yaitu petani kopi sertifikasi organik

INOFICE dan petani nonsertifikasi. Kedua kelompok responden ini memiliki

karekteristik yang berbeda yang mempengaruhi keberlangsungan usahatani kopi

yang dilakukan oleh petani.

1. Umur

Tabel 10. Sebaran petani kopi menurut umur di Kecamatan Air Hitam

Lampung Barat 2015

Umur

(tahun) Petani Sertifikasi Persentase Petani Nonsertifikasi Persentase

25-35 7 23,33 9 30,00

36-45 8 26,67 10 33,33

46-55 11 36,67 9 30,00

56-65 4 13,33 2 6,67

Jumlah 30 100 30 100

Sebaran umur responden yaitu berkisar antara umur 46-55 tahun, untuk petani

sertifikasi umur rata-rata responden yaitu 50 tahun sedangkan petani non

sertifikasi juga mempunyai rata-rata umur yang relatif sama yaitu 45 tahun.

Kedua kelompok responden berada pada kategori usia produktif, dimana petani

berada dalam keadaan fisik yang cukup kuat dalam bekerja serta mempunyai

potensi tenaga kerja yang memadai. Umur petani akan mempengaruhi usahatani

75

kopi yang dilakukan karena berkaitan dengan kemampuan kerja petani. Usia

petani yang berada pada usia produktif akan membuat petani bekerja lebih optimal

dan memiliki tenaga yang lebih baik.

2. Pendidikan

Tingkat pendidikan yang ditempuh petani mempengaruhi pengetahuan dan pola

pikir petani. Tingkat pendidikan yang ditempuh juga berhubungan dengan

kemampuan petani dalam menerima teknologi dan adopsi inovasi dalam usahatani

kopi serta mencari informasi mengenai perkembangan harga dan peluang dalam

usahatani kopi. Responden penelitian mempunyai tingkat pendidikan yang

beragam dari tingkat SD sampai jenjang diploma atau sarjana. Sebaran petani

kopi menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Sebaran petani kopi menurut tingkat pendidikan di Kecamatan

Air Hitam Lampung Barat 2015

Pendidikan Petani Sertifikasi Persentase

Petani

Nonsertifikasi Persentase

Tamat SD 12 40,00 13 43,33

Tamat SMP 5 16,67 6 20,00

Tamat SMA 11 36,67 9 30,00

Tamat Perguruan Tinggi 2 6,67 2 6,67

Jumlah 30 100 30 100

Secara keseluruhan tingkat pendidikan petani sertifikasi lebih baik dibandingkan

petani non sertifikasi. Hal ini tercermin dari banyaknya petani yang sudah

menamatkan pendidikan sampai jenjang SMA, untuk petani sertifikasi sebesar

36,67 persen sedangkan petani nonsertifikasi sebesar 30 persen. Responden yang

sudah menamatkan pendidikan dasar (SD) yaitu sebesar 40 persen untuk petani

sertifikasi sedangkan petani nonsertifikasi sedikit lebih tinggi yaitu 43,33 persen.

76

3. Pengalaman Berusahatani

Pengalaman dalam berusahatani akan menunjukkan perbedaan cara petani

mengelola dan memelihara usahatani kopi. Semakin lama pengalaman yang

dimiliki dalam berusahatani kopi maka semakin banyak pengetahuan yang

dimiliki petani mengenai tata cara budidaya kopi yang baik. Petani sertifikasi

rata-rata memiliki pengalaman berusahatani selama 30 tahun, sedangkan petani

nonsertifkasi mempunyai pengalaman berusahatani selama 20 tahun. Sebaran

petani kopi menurut pengalaman berusahatani tersaji pada Tabel 12.

Tabel 12. Sebaran petani kopi menurut pengalaman berusatani di Kecamatan

Air Hitam Lampung Barat 2015

Pengalaman

Berusahatani (tahun)

Petani

Sertifikasi Persentase

Petani

Nonsertifikasi Persentase

0-10 8 26,67 8 26,67

11-20 7 23,33 16 53,33

21-30 12 40,00 4 13,33

31-40 3 10,00 2 6,67

Jumlah 30 100 30 100

4. Pekerjaan Sampingan

Usahatani kopi merupakan sumber utama mata pencaharian masyarakat di

Kecamatan Air Hitam. Namun selain berusahatani kopi petani juga memiliki

usaha lain yang dikerjakan sebagai usaha sampingan. Pekerjaan sampingan

dilakukan untuk menambah pendapatan rumah tangga karena usahatani kopi yang

bersifat tahunan. Sebaran petani kopi menurut pekerjaan sampingan disajikan

dalam Tabel 13.

77

Tabel 13. Sebaran petani kopi menurut jenis pekerjaan sampingan di Kecamatan

Air Hitam Lampung Barat 2015

Jenis Pekerjaan Persentase

Petani Sertifikasi Petani Nonsertifikasi

Ada

Pedagang 16,67 16,67

Tukang 6,67 10,00

PNS 13,33 6,67

Aparat Desa 6,67 3,33

Penyedia jasa 6,67 16,67

Tidak ada 50,00 46,67

Jumlah 100 100

Tabel 13 menunjukkan bahwa 50 persen petani sertifikasi memiliki pekerjaan

sampingan sedangkan petani nonsertifikasi yang mempunyai pekerjaan sampingan

sebesar 53,33 persen. Jenis pekerjaan sampingan bervariasi seperti pedagang

pengumpul, pedagang makanan, tukang bangunan, PNS, aparat desa dan penyedia

jasa seperti buruh, penggilingan kopi dan pengangkutan. Jumlah petani sertifikasi

yang tidak mempunyai pekerjaan sampingan yaitu sebesar 50 persen sedangkan

petani nonsertifikasi yaitu sebesar 46,67 persen. Petani yang tidak mempunyai

pekerjaan sampingan hanya mengandalkan usahatani kopi sebagai penghasilan

utama keluarga, berbeda dengan petani yang mempunyai pekerjaan sampingan

yang memiliki pendapatan lain diluar usahatani kopi.

5. Luas Lahan

Luas lahan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produksi

usahatani. Semakin banyak luas lahan yang dimiliki maka semakin besar balas

jasa yang diterima petani. Sebaran petani kopi menurut luas lahan tersaji pada

Tabel 14.

78

Tabel 14. Sebaran petani kopi menurut luas lahan usahatani di Kecamatan

Air Hitam Lampung Barat 2015

Luas lahan (ha) Petani

Sertifikasi Persentase

Petani Non

sertifikasi Persentase

0,25-0,75 8 26,67 10 33,33

0,76-1,25 16 53,33 14 46,67

1,26-2,00 5 16,67 5 16,67

2,10-3,00 1 3,33 1 3,33

Jumlah 30 100 30 100

Berdasarkan hasil penelitian rentang luas lahan yang dimiliki petani sertifikasi dan

nonsertifikasi tidak berbeda. Hal ini dikarenakan luas lahan merupakan salah satu

pertimbangan dalam memilih responden. Luas lahan dijadikan pertimbangan

dalam pemilihan responden agar responden yang digunakan dalam penelitian ini

memiliki kesamaan atau kesetaraan (apple to apple). Rentang luas lahan yang

digunakan yaitu berkisar 0,25-3,00 hektar. Luas lahan rata-rata yang dimiliki

petani sertifikasi yaitu seluas 1,04 hektar untuk petani sertifikasi dan 1,01 hektar

untuk petani nonsertifikasi.

6. Status Kepemilikan Lahan

Status kepemilikan lahan merupakan status dari lahan yang digunakan untuk

usahatani kopi. Kepemilikan lahan dalam berusahatani kopi biasanya dilakukan

dengan sewa, sakap dan hak milik. Status kepemilikan lahan akan mempengaruhi

pedapatan petani. Petani yang memiliki lahan hak milik tidak mengeluarkan biaya

sewa lahan, berbeda dengan petani yang berusahatani kopi dengan sewa lahan dan

sakap. Kepemilikan lahan juga merupakan salah satu bentuk investasi, petani

yang berusahatani pada lahan yang hak milik mempunyai nilai investasi tiap

79

tahunnya dari nilai lahan tersebut. Sebaran petani kopi menurut kepemilikan

lahan di Kecamatan Air Hitam disajikan dalam Tabel 15.

Tabel 15. Sebaran petani kopi menurut status kepemilikan lahan di Kecamatan

Air Hitam Lampung Barat 2015

Kepemilikan

lahan Petani Sertifikasi Persentase

Petani Non

sertifikasi Persentase

Hak milik 28 93,33 24 80,00

Sewa 0 0,00 1 3,33

Sakap 2 6,67 5 16,67

Jumlah 30 100 30 100

Tabel 15 menunjukkan bahwa 93,33 persen petani sertifikasi melakukan usahatani

kopi pada lahan hak milik, sedangkan petani nonsertifikasi yang melakukan

usahatani kopi pada lahan hak milik adalah sebesar 80 persen. Sistem sakap yang

dilakukan oleh petani adalah bagi hasil baik penerimaan maupun biaya usahatani

sebesar 50 : 50, dengan kata lain pembagian hasil keuntungan bersih yang

diperoleh dari usahatani kopi. Sistem sewa yang dilakukan petani adalah dengan

sistem sewa gadai, biaya sewa yang dikeluarkan oleh petani adalah sebesar

Rp 11.000.000. Lama waktu sewa tidak ditentukan, selama pemilik lahan belum

mengembalikan biaya gadai tersebut maka penyewa dapat menggunakan dan

memelihara lahan.

7. Umur Tanaman Kopi

Produksi tanaman kopi bergantung pada umur tanaman kopi. Menurut Puslitkoka

(2014) umur produktif tanaman kopi adalah 5-20 tahun bahkan bila dipelihara

dengan baik dapat mencapai 30 tahun. Tanaman kopi yang melebihi umur

produktif maka produktivitas kopi perlahan lahan akan menurun, sehingga perlu

80

dilakukan usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas kopi. Sebaran petani

kopi menurut umur tanaman kopi tersaji pada Tabel 16.

Tabel 16. Sebaran petani kopi menurut umur tanaman kopi di Kecamatan

Air Hitam Lampung Barat 2015

Umur kopi

(tahun) Petani Sertifikasi Persentase

Petani Non

sertifikasi Persentase

5-21 9 30,00 13 43,33

22-37 16 53,33 12 40,00

38-53 5 16,67 5 16,67

Jumlah 30 100 30 100

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rentang umur tanaman kopi responden

adalah 5-53 tahun. Pada penelitian ini tidak ada petani yang memiliki tanaman

yang belum menghasilkan (TBM). Petani nonsertifikasi lebih banyak yang

memiliki tanaman kopi yang berumur produktif (5-20 tahun) yaitu sebesar 43,33

persen sedangkan petani sertifikasi sebesar 30 persen. Rentang umur tanaman

kopi yang dominan adalah 22-37 tahun, untuk petani sertifikasi sebesar 53,33

persen sedangkan petani non sertifikasi 40 persen. Hal ini menunjukkan bahwa

rata-rata tanaman kopi yang dimiliki petani sudah melewati umur produktif.

Upaya yang dilakukan petani untuk meningkatkan produksi tanaman kopi yang

sudah melebihi umur produktif adalah dengan melakukan penyambungan batang

dan penyulaman tanaman kopi. Penyambungan batang dilakukan untuk

meregenerasi tanaman kopi yang sudah tua sehingga produksi tanaman kopi yang

sudah tua dapat lebih baik. Selain melakukan penyambungan batang, petani kopi

juga melakukan penyulaman tanaman kopi yang sudah mati.

81

8. Tanaman Naungan dan Tumpangsari

Kopi merupakan tanaman tahunan sehingga penerimaan dari kopi juga bersifat

tahunan. Oleh karena itu, petani melakukan usahatani kopi dengan sistem

tumpangsari dan tanaman naungan. Sistem penanaman tumpangsari dilakukan

dengan tujuan untuk menambah pendapatan petani sehari-hari karena umur

tanaman tumpangsari bersifat musiman. Kopi merupakan tanaman yang tidak

membutuhkah penyinaran matahari yang banyak, sehingga penanaman kopi biasa

dilakukan dengan tanaman naungan. Tanaman naungan selain berfungsi untuk

menaungi kopi juga dapat memberi tambahan pendapatan dari hasil panen

tanaman naungan berupa buah atau kayu. Rata-rata jumlah tanaman tumpangsari

dan tanaman naungan petani kopi tersaji pada Tabel 17.

Tabel 17. Rata-rata jumlah tanaman naungan dan tumpangsari petani kopi di

Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015

Jenis Tanaman

Petani Sertifikasi Petani Nonsertifikasi

Per usahatani 1,04

ha Per 1 ha

Per usahatani

1,01 ha Per 1 ha

Lada 73 70 53 53

Cabe 70 67 30 29

Pisang 156 150 154 153

Jumlah 299 287 237 235

Tanaman Kayu 125 120 36 36

Tanaman Buah 6 6 3 3

Jumlah 131 126 39 39

Berdasarkan Tabel 17 jenis tanaman tumpangsari yang paling dominan di daerah

penelitian yaitu pisang. Lada dan cabai juga menjadi tanaman yang sering

ditumpangsarikan dengan tanaman kopi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

jumlah tanaman tumpangsari yang ditanam petani sertifikasi lebih banyak

dibandingkan petani nonsertifikasi. Petani sertifikasi rata-rata menanam 287

82

batang/ha sedangkan petani nonsertifikasi menanam sebanyak 235 batang/ha. Hal

ini disebabakan karena 16,67 persen petani nonsertifikasi tidak melakukan sistem

tumpangsari pada lahan kopi mereka sementara 96,67 persen petani sertifikasi

melakukan sistem tumpangsari pada usahatani kopi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tanaman naungan yang dominan

digunakan baik petani sertifikasi maupun nonsertifikasi yaitu jenis tanaman kayu.

Tanaman yang digunakan antara lain dadap, afrika, medang, albasia, gamal,

mahoni, waru dan lain-lain. Jenis tanaman yang dominan digunakan yaitu pohon

albasia (kayu hujan) dan afrika. Jenis tanaman penghasil buah yang ditanam

petani kopi yaitu alpukat, nangka, durian, mangga, tangkil, petai dan lain-lain.

Tanaman penghasil buah ditanam dalam jumlah yang sedikit yaitu sebesar 6

batang/ha untuk petani sertifikasi dan 3 batang/ha untuk petani nonsertifikasi.

Rata-rata jumlah tanaman naungan yang ditanam petani sertifikasi yaitu 126

pohon/ha, sedangkan untuk petani nonsertifikasi yaitu sebesar 39 pohon/ha.

Jumlah tanaman naungan yang ideal untuk tanaman kopi yaitu 300-600 pohon/ha,

hal ini menunjukkan bahwa baik petani sertifikasi maupun petani nonsertifikasi

belum mencapai jumlah ideal tanaman naungan, namun bila dibandingkan petani

sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Jumlah tanaman naungan

merupakan salah satu indikator praktik usahatai kopi yang berkelanjutan dari segi

lingkungan, pohon naungan selain berfungsi sebagai penaung juga berfungsi

sebagai penyerap karbon. Hal ini menunjukkan bahwa petani sertifikasi lebih baik

dalam melakukan usahatani kopi yang berkelanjutan dari segi lingkungan

dibandingkan petani nonsertifikasi.

83

B. Analisis Usahatani

Usahatani merupakan kegiatan pemanfaatan sumber daya pada lahan untuk

mendapatkan balas jasa dari pemanfaatan lahan tersebut. Analisis usahatani

dilakukan untuk melihat penggunaan input dalam usahatani dan menilai apakah

suatu usahatani menguntungkan atau tidak. Usahatani kopi adalah usahatani yang

bersifat tahunan, sehingga pendapatan yang diterima petani juga bersifat tahunan.

Pendapatan yang di peroleh petani berasal dari pendapatan kopi, pendapatan

tanaman tumpangsari dan pendapatan tanaman naungan. Pendapatan yang

diperoleh petani erat kaitannya dengan biaya yang digunakan dalam usahatani

kopi. Biaya dalam usahatani kopi terbagi menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya

diperhitungkan. Biaya tunai meliputi biaya bibit, pupuk, pestisida dan herbisida,

tenaga kerja, biaya panen dan pasca panen, iuran kelompok, pajak dan sewa lahan

(tunai). Biaya diperhitungkan meliputi biaya sewa lahan dan biaya input seperti

bibit dan pupuk kandang.

Pada penelitian ini awalnya manfaat ekonomi yang akan dihitung yaitu

produktivitas, pendapatan dan efisiensi biaya selama dua tahun terakhir yaitu

tahun 2013 dan 2014, namun karena pada dua tahun tersebut produksi kopi di

Lampung Barat khususnya Kecamatan Air Hitam mengalami penurunan akibat

cuaca ekstrim maka produktivitas, efisiensi biaya dan pendapatan dihitung selama

tiga tahun terakhir yaitu tahun 2012, 2013 dan 2014 dengan asumsi penggunaan

input pada tahun 2012 sama dengan penggunaan input pada tahun 2013.

84

1. Penggunaan Input Produksi dan Biaya Usahatani

Penggunaan input dalam usahatani sangat penting karena mempengaruhi besarnya

output yang dihasilkan. Pada penelitian ini input usahatani kopi yang dihitung

hanya input yang dikeluarkan selama satu tahun masa panen. Penggunaan input

dalam usahatani kopi meliputi pupuk, pestisida dan herbisida serta tenaga kerja.

Sedangkan untuk biaya usahatani kopi meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan

petani yaitu biaya tunai dan diperhitungkan dalam usahatani kopi.

a. Penggunaan Bibit Penyulaman dan Pupuk

Tanaman kopi merupakan tanaman yang bersifat jangka panjang. Pemeliharaan

yang baik akan mempengaruhi masa produktif kopi. Petani kopi melakukan upaya

penyambungan batang dan penyulaman tanaman kopi untuk meregenerasi

tanaman kopi yang sudah tua atau tidak produktif lagi. Petani kopi melakukan

penyulaman dan penyambungan batang agar produktivitas tanaman kopi tetap

tinggi meski umur tanaman kopi sudah tua. Pemeliharaan tanaman kopi yang baik

juga ditunjang dengan penggunaan input seperti pupuk. Pemberian pupuk

bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah dan hasil produksi kopi.

Pemupukan pada usahatani kopi dilakukan dua kali dalam setahun yaitu saat awal

musim hujan dan akhir musim hujan. Pupuk yang digunakan petani yaitu pupuk

kimia dan pupuk organik (pupuk kandang). Rata-rata penggunaan bibit

penyulaman, pupuk kandang dan pupuk kimia oleh petani kopi dapat dilihat pada

Tabel 18.

85

Tabel. 18. Rata-rata penggunaan bibit, pupuk kandang dan pupuk kimia

pada usahatani kopi di Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015

Input

Petani sertifikasi Petani Nonsertifikasi

Per 1,04 ha Per 1 ha Per 1,01 ha Per 1 ha

Jumlah (unit) Jumlah (unit)

Bibit sulaman 38,34 36,87 46,17 45,72

Pupuk Kandang 1378,11 1325,11 242,78 240,37

Sekam Padi 2,00 1,92 0,00 0,00

Petroganik 13,37 12,85 0,00 0,00

Urea 81,11 77,99 253,89 251,38

Phonska 27,22 26,18 78,89 78,11

SP36 13,33 12,82 6,67 6,60

Mutiara 0,00 0,00 3,00 2,97

TSP 0,00 0,00 1,67 1,65

ZA 0,00 0,00 1,67 1,65

Jumlah 1553,49 1493,74 634,73 628,45

Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa penggunaan bibit kopi untuk

penyulaman pada satu hektar lahan oleh petani sertifikasi lebih sedikit

dibandingkan petani nonsertifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bibit

kopi untuk penyulaman petani sertifikasi lebih efisien dibanding petani

nonsertifikasi.

Petani nonsertifikasi lebih banyak menggunakan pupuk kimia, karena pupuk

kimia dinilai lebih cepat dan praktis dalam meningkatkan produksi kopi.

Usahatani kopi yang dibudidayakan secara organik tidak boleh menggunakan

pupuk kimia, sehingga petani sertifikasi tidak diperbolehkan menggunakan pupuk

kimia. Berdasarkan hasil penelitian petani sertifikasi menggunakan pupuk

kandang sebagai pengganti pupuk kimia, namun sebesar 46,67 persen petani

sertifikasi masih menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Penggunaan pupuk

kimia dikombinasikan dengan pupuk kandang sebagai penyubur, namun

penggunaan pupuk kimia oleh petani sertifikasi hanya dalam jumlah kecil. Petani

86

sertifikasi masih menggunakan pupuk kimia sebagai penyubur dikarenakan sifat

pupuk kandang yang memberikan efek yang cukup lama dalam meningkatkan

produksi kopi, berbeda dengan pupuk kimia yang lebih cepat meningkatkan

produksi kopi. Sehingga petani masih menggunakan pupuk kimia meski sudah

menggunakan pupuk kandang. Menurut petani sertifikasi pupuk kandang kurang

praktis karena dibutuhkan dalam jumlah besar dan biaya pengangkutan ekstra.

Sebesar 53,33 persen petani sertifikasi sudah berhenti menggunakan pupuk dan

pestisida kimia. Petani sertifikasi lebih banyak menggunakan pupuk kandang dan

pupuk organik lainnya sebagai penyubur. Penggunaan pupuk kandang dan pupuk

alami lainnya ditujukan untuk memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan

kesuburan tanah. Penggunaan pupuk alami juga berguna untuk mengurangi

degradasi lahan akibat penggunaan pupuk kimia. Penggunaan pupuk kandang

oleh petani sertifikasi yaitu sebanyak 1,32 ton per hektar, berbeda dengan petani

nonsertifikasi yang hanya menggunakan 0,24 ton per hektar. Hal ini menunjukkan

bahwa petani sertifikasi sudah menyadari bahwa penggunaan pupuk kimia secara

terus menerus dapat merusak tanah dan lingkungan, sehingga petani menggunakan

pupuk kandang untuk menyuburkan tanah dan sebagai upaya untuk menjaga

kesehatan lingkungan. Petani nonsertifikasi masih bergantung pada pupuk kimia

untuk meningkatkan produksi kopi, ini dibuktikan dari tingginya penggunaan

pupuk kimia. Petani nonsertifikasi lebih banyak menggunakan pupuk kimia dan

penggunaan pupuk kandang hanya dalam jumlah kecil.

Secara keseluruhan penggunaan bibit dan pupuk kimia petani sertifikasi lebih

efisien dari petani nonsertifikasi. Hal ini terlihat dari rendahnya penggunaan bibit

87

dan pupuk kimia. Penggunaan bibit dan pupuk kimia yang rendah akan

menurunkan biaya produksi sehingga dapat meningkatkan manfaat yang diterima

petani.

b. Penggunaan Pestisida dan Herbisida

Penanggulangan hama dan penyakit dalam usahatani kopi dilakukan dengan

menggunakan pestisida nabati dan pestisida kimia. Petani nonsertifikasi

cenderung menggunakan pestisida dan herbisida kimia untuk menangani gulma,

hama dan penyakit. Rata-rata petani sertifikasi menangani gulma dengan cara di

koret ataau menanganinya dengan cara disemprot dengan herbisida kimia. Rata-

rata penggunaan pestisida dan herbisida petani kopi tersaji pada Tabel 19.

Tabel 19. Rata-rata penggunaan pestisida dan herbisida pada usahatani kopi di

Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015

Input

Petani sertifikasi Petani Nonsertifikasi

Per 1,04 ha Per 1 ha Per 1,01 ha Per 1 ha

Jumlah (l) Jumlah (l)

Pesisida nabati 1,14 1,10 0,00 0,00

Pestisida kimia

Gramoxone 0,23 0,22 1,13 1,12

Genusim 0,47 0,45 0,82 0,81

Round up 1,00 0,96 3,72 3,68

Alfatex 0,60 0,58 0,74 0,73

lain-lain 0,00 0,00 0,00 0,00

Jumlah 3,44 3,31 6,41 6,34

Berdasarkan SNI 6729:2013 sistem pertanian organik, penggunaan pestisida dan

herbisida kimia tidak diperbolehkan. Penanggulangan hama, penyakit dan gulma

harus dilakukan dengan cara-cara alami misalnya dengan pestisida nabati, musuh

alami, perangkap dan lain sebagainya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

88

masih ada petani sertifikasi yang menggunakan pestisida kimia untuk menangani

hama, penyakit dan gulma pada tanaman kopi. Menurut petani kopi di Kecamatan

Air Hitam, masalah utama pada usahatani kopi yaitu gulma yang tumbuh di

sekitar tanaman kopi sehingga berkompetisi dengan tanaman kopi dalam

penyerapan unsur hara. Penanganan gulma ini dilakukan dengan dikoret dan

pestisida kimia. Petani kopi melakukan 2-3 kali pengoretan dalam setahun. Hama

dan penyakit pada usahatani kopi di Kecamatan Air Hitam jarang ditemui, hama

sering ditemukan menjelang musim panen yaitu hama semut yang mengelilingi

batang kopi.

Petani sertifikasi rata-rata menggunakan 1,1 liter/ha pestisida nabati dan 2,21

liter/ha pestisida kimia. Petani nonsertifikasi menggunakan pestisida kimia lebih

tinggi dari petani sertifikasi yaitu sebesar 6,34 liter/ha. Penggunaan pestisida

kimia oleh petani nonsertifikasi lebih besar dikarenakan biaya tenaga kerja untuk

membersihkan gulma dengan cara dikoret lebih mahal sehingga petani

nonsertifikasi lebih memilih membersihkan gulma dengan cara disemprot dengan

pestisida kimia. Jenis pestisida kimia lainnya yang digunakan petani kopi yaitu

Rambo, Bio up, Lindomin, Furadan, Septine dan lain-lain.

Sama seperti penggunaan pupuk kimia, dari 30 petani sertifikasi yang tidak

menggunakan pestisida dan herbisida kimia adalah sebesar 53,33 persen, sisanya

sebesar 46,67 persen masih menggunakan pestisida dan herbisida kimia.

Walaupun masih ada petani sertifikasi yang menggunakan pestisida dan herbisida

kimia, berdasarkan Tabel 19 penggunaan pestisida dan herbisida kimia petani

sertifikasi lebih redah dibandingkan petani nonsertifikasi. Petani sertifikasi masih

89

menggunakan pestisida kimia dikarenakan pembuatam pestisida nabati yang

cukup rumit dan biaya tenaga kerja yang lebih besar untuk menyiangi atau

mengoreti lahan.

c. Penggunaan Tenaga Kerja

Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani kopi lebih banyak menggunakan tenaga

kerja dalam keluarga. Petani lebih memilih untuk mengurus dan mengerjakan

sendiri usahatani kopi mereka. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga biasanya

dilakukan pada saat panen dan pengendalian gulma. Rata-rata penggunaan tenaga

kerja pada usahtani kopi tersaji pada Tabel 20.

Tabel 20. Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usahatani kopi di Kecamatan

Air Hitam Lampung Barat 2015

Kegiatan

Petani Sertifikasi Petani Nonsertifikasi

Per 1,04 ha Per 1 ha Per 1,01 ha Per 1 ha

Jumlah (HOK) Jumlah (HOK)

Pemangkasan cabang kopi 15,64 15,04 15,99 15,83

Penyulaman kopi 0,86 0,82 1,17 1,16

Penyambungan batang 3,07 2,95 5,34 5,29

Pengendalian gulma 27,67 26,60 19,31 19,12

Pengendalian HPT 0,02 0,02 0,13 0,13

Pemeliharaan Gulud dan Teras 2,68 2,57 1,21 1,20

Pemupukan 5,13 4,94 4,07 4,03

Pemanenan 76,29 73,36 86,65 85,79

Penjemuran 12,93 12,44 11,43 11,32

Pemangkasan naungan 4,23 4,06 1,57 1,55

Penanaman Tanaman

tumpangsari 1,16 1,12 1,56 1,54

Jumlah 149,67 143,92 148,42 146,95

Berdasarkan Tabel 20 petani sertifikasi menggunakan lebih sedikit tenaga kerja

dibandingkan petani nonsertifikasi. Petani sertifikasi menggunakan tenaga kerja

90

sebanyak 143,92 HOK/ha sedangkan petani nonsertifikasi menggunakan tenaga

kerja sebanyak 146,95 HOK/ha. Petani sertifikasi dan nonsertifikasi lebih banyak

menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Penggunaan tenaga kerja dalam

keluarga petani sertifikasi sebesar 55,97 persen dan 44,03 persen menggunakan

tenaga kerja luar keluarga. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga untuk petani

nonsertifikasi sebesar 64,12 persen dan 35,88 persen menggunakan tenaga kerja

luar keluarga.

Penggunaan tenaga kerja terbanyak yaitu pada kegiatan panen, pengendalian

gulma dan pemangkasan cabang kopi. Pada saat pengendalian gulma petani

sertifikasi lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga dibandingkan

petani nonsertifikasi. Hal ini dikarenakan petani sertifikasi membersihkan rumput

dengan cara dikoret sehingga lebih membutuhkan tenaga kerja lebih banyak,

berbeda dengan petani nonsertifikasi yang membersihkan gulma dengan cara

disemprot dengan pestisida kimia sehingga cukup menggunakan tenaga kerja

dalam keluarga saja. Pada saat pemanenan dan pemangkasan cabang kopi petani

nonsertifikasi menggunakan lebih banyak tenaga kerja dalam keluarga dibanding

petani sertifikasi, sedangkan untuk penggunaan tenaga kerja luar keluarga tidak

jauh berbeda untuk kedua kelompok.

2. Biaya Usahatani Kopi

Biaya dalam usahatani kopi terbagi menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya

diperhitungkan. Biaya tunai merupakan biaya yang benar-benar dikeluarkan

petani. Biaya tunai meliputi biaya penggunaan input seperti biaya bibit, pupuk,

pestisida dan herbisida, tenaga kerja (TKLK), serta biaya penunjang seperti biaya

91

pengangkutan input, biaya panen dan pascapanen, biaya plastik, iuran kelompok,

pajak serta sewa lahan (tunai). Rata-rata biaya tunai pada usahatani kopi disajikan

dalam Tabel 21.

Tabel 21. Rata-rata biaya tunai usahatani kopi di Kecamatan Air Hitam

Lampung Barat 2015

Biaya Tunai (Rp) Petani sertifikasi Petani nonsertifikasi

Per 1,04 ha Per 1 ha Per 1,01 ha Per 1 ha

Bibit sulaman 66.477,78 63.920,94 60.140,45 59.545,00

Pupuk organik 393.916,59 378.765,96 69.333,33 68.646,86

Pupuk kimia 260.600,00 250.576,92 771.316,67 763.679,87

Pestisida dan Herbisida 182.166,67 175.160,26 424.922,22 420.715,07

TKLK 2.236.777,78 2.150.747,86 1.910.583,33 1.891.666,67

Plastik 4.794,44 4.610,04 8.838,89 8.751,38

Panen dan Pascapanen 587.144,44 564.561,97 631.947,22 625.690,32

Pajak 22.908,33 22.027,24 25.284,67 25.034,32

Iuran kelompok 84.666,67 81.410,26 2.000,00 1.980,20

Sewa lahan 422.188,89 405.950,85 1.069.413,89 1.058.826,63

Total biaya tunai 4.261.641,59 4.097.732,30 4.973.780,67 4.924.535,32

Berdasarkan Tabel 21 rata-rata biaya tunai yang dikeluakan petani sertifikasi lebih

redah dari petani nonsertifikasi. Pengeluran biaya tunai untuk petani sertifikasi

yaitu sebesar Rp 4.097.732,30/ha sedangkan untuk petani nonsertifikasi sebesar

Rp 4.924.535,32/ha. Petani nonsertifikasi mengeluarkan biaya tunai lebih besar

dikarenkan biaya input seperti pupuk dan pestisida kimia yang dikeluarkan petani

nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi. Selain itu biaya sewa lahan yang

dikeluarkan petani nonsertifikasi lebih besar dikarenakan usahatani kopi dilakukan

dengan sistem bagi hasil sehingga biaya sewa lahan dihitung berdasarkan hasil

panen kopi. Petani nonsertifikasi yang menyewa lahan dengan sistem bagi hasil

berjumlah 16,67 persen sedangkan petani sertifikasi sebesar 6,67 persen.

92

Biaya yang berhubungan dengan jumlah produksi kopi yaitu biaya panen dan

pascapanen seperti biaya pengangkutan panen, pengangkutan pemasaran dan

karung. Petani sertifikasi mengeluarkan biaya panen dan pascapanen lebih rendah

dari petani nonsertifikasi. Biaya panen dan pascapanen yang dikeluarkan petani

nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi dikarenakan rata-rata produksi

kopi petani nonsertifikasi lebih baik dari petani sertifikasi.

Biaya diperhitungkan merupakan biaya yang tidak benar-benar dikeluarkan petani,

namun tetap diperhitungkan untuk melihat pendapatan yang benar-benar diterima

petani. Biaya diperhitungkan meliputi biaya tenaga kerja (TKDK), sewa lahan

serta biaya bibit dan pupuk. Rata-rata biaya diperhitungkan pada usahatani kopi

di Kecamatan Air Hitam disajikan dalam Tabel 22.

Tabel 22. Rata-rata biaya diperhitungkan pada usahatani kopi di Kecamatan

Air Hitam Lampung Barat 2015

Biaya diperhitungkan (Rp) Petani sertifikasi Petani nonsertifikasi

Per 1,04 ha per 1 ha Per 1,01 ha Per 1 ha

Bibit dan Pupuk organik 179.818,78 172.902,67 84.227,78 83.393,84

TKDK 2.819.222,22 2.710.790,60 3.389.472,22 3.355.913,09

Sewa lahan 2.290.000,00 2.201.923,08 1.940.000,00 1.920.792,08

Total Biaya diperhitungkan 5.289.041,00 5.085.616,35 5.413.700,00 5.360.099,01

Tabel 22 menunjukkan bahwa rata-rata biaya diperhitungkan yang dikeluarkan

petani nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi. Biaya sewa lahan

(diperhitungkan) petani sertifikasi lebih besar dikarenakan 96,67 persen lahan

petani sertifikasi adalah hak milik sedangkan petani nonsertifikasi yang memiliki

lahan hak milik hanya 80 persen. Biaya diperhitungkan petani nonsertifikasi lebih

besar juga dikarenakan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga petani

93

nonsertifikasi lebih dominan dari petani sertifikasi sehingga biaya TKDK yang

dikeluarkan petani nonsertifikasi lebih besar.

3. Produksi, Produktivitas dan Penerimaan

Hasil produksi dalam usahatani merupakan balas jasa pemanfaatan lahan dan

input-input yang digunakan. Produksi suatu komoditas erat hubungannya dengan

produktivitas dan penerimaan. Produksi yang tinggi akan meningkatkan

produktivitas dan penerimaan usahatani.

a. Produksi, Produktivitas dan Penerimaan Kopi

Hasil produksi kopi merupakan kuantitas biji kopi yang dihasilkan selama satu

tahun yang dihitung dalam kilogram. Produksi kopi berbanding lurus dengan

produktivitas dan penerimaan kopi. Produktivitas kopi merupakan perbandingan

jumlah produksi kopi per hektar luas lahan yang digunakan untuk usahatani kopi.

Hasil produksi, produktivitas dan penerimaan kopi tersaji pada Tabel 23.

Tabel 23. Rata-rata produksi, produktivitas dan penerimaan kopi (per ha)

Tahun 2012-2014 di Kecamatan Air Hitam Lampung Barat

Keterangan Petani Sertifikasi Petani nonsertifikasi

2012 2013 2014 2012 2013 2014

Produksi (kg) 1.225,96 977,56 604,49 1.233,72 1.008,26 692,56

Harga (Rp) 14.566,67 17.366,67 19.533,33 14.066,67 16.950,00 19.133,33

Penerimaan (Rp) 18.040.064,10 16.762.820.51 11.958.333,33 17.344.884,49 17.173.267,33 13.259.075,91

Produktivitas

kopi (kg/ha) 1.161,12 928,62 563,07 1.171,51 944,44 630,91

Berdasarkan Tabel 23 pada Tahun 2012 rata-rata produksi dan penerimaan kopi

petani sertifikasi lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Namun pada dua tahun

berikutnya produksi dan penerimaan kopi petani sertifikasi lebih rendah dari

94

petani nonsertifikasi. Hal ini dikarenakan pada Tahun 2013 dan 2014 produksi

kopi baik petani sertifikasi maupun nonsertifikasi mengalami penurunan karena

kegagalan pembungaan akibat cuaca ekstrim. Intensitas curah hujan yang tinggi

menyebabkan bunga-bunga kopi menjadi rontok.

Besar kecilnya produksi mempengaruhi produktivitas kopi dan penerimaan kopi.

Produktivitas kopi petani nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi.

Produksi dan produktivitas petani nonsertifikasi yang lebih baik dikarenakan

intensifnya penggunaan pupuk kimia yang mempunyai pengaruh cepat dalam

peningkatan produksi dan produktivitas kopi. Usahatani kopi secara organik

menggunakan pupuk kandang dan pupuk organik yang memberikan dampak

cukup lama dalam meningkatkan produksi dan produktivitas kopi petani

sertifikasi. Rata-rata penerimaan kopi yang diperoleh petani sertifikasi juga lebih

rendah dari petani nonsertifikasi. Hal ini dikarenakan produksi kopi petani

sertifikasi yang lebih kecil dan harga kopi yang diterima petani sertifikasi dan

nonsertifikasi tidak jauh berbeda.

b. Produksi, Produktivitas dan Penerimaan Lahan

Produksi lahan berasal dari hasil produksi kopi, tumpang sari dan naungan. Besar

kecilnya produksi tumpangsari dan naungan akan mempengaruhi penerimaan

lahan yang diterima petani. Rata-rata produksi, harga dan penerimaan

tumpangsari dan naungan disajikan pada Tabel 24.

95

Tabel 24. Rata-rata produksi, harga dan penerimaan tumpang sari dan naungan

petani kopi di Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015

Keterangan

Petani Sertifikasi Petani Nonsertifikasi

Per 1 ha Per 1 ha

Produksi

(kg)

Harga

(Rp/kg)

Penerimaan

(Rp)

Produksi

setara

kopi (Kg)

Produksi

(kg)

Harga

(Rp/kg)

Penerimaan

(Rp)

Produksi

setara

kopi (Kg)

Tumpangsari

Lada 16,55 31.222,22 1.297.596,15 78,66 12,61 22.222,22 965.841,58 58,26

Cabe 21,47 3.888,89 605.235,04 36,69 7,92 3.511,11 126.710,67 7,64

Pisang 1960,26 805,56 1.928.824,79 116,93 1859,15 756,99 1.852.145,21 111,72

Jumlah 1998,29 3.831.655,98 232,28 1879,68 2944697.47 177,62

Naungan

Alpukat 74,15 722,22 230.769,23 13,99 21,67 188,89 63.256,33 3,82

Nangka 186,11 98,89 89.465,81 5,42 234,32 82,22 88.998,90 5,37

Mangga 19,76 333,33 98.824,79 5,99 0 0 0 0

Durian 43,70 533,33 223.824,79 13,57 0 0 0 0

Lain-lain 5,98 389,00 27.777,00 1,68 13,42 2011,00 13.6303,00 8,22

Jumlah 329,70 670.661,62 40,66 269,42 288.558,23 17,41

Berdasarkan Tabel 24 diketahui rata-rata produksi lahan petani sertifikasi lebih

besar dari petani nonsertifikasi. Produksi lahan petani sertifikasi lebih baik

dikarenakan rata-rata hasil produksi dan penerimaan tumpangsari serta naungan

petani sertifikasi lebih besar dari petani nonsertifikasi. Tingginya produksi

tumpangsari dan naungan dikarenakan 96, 67 persen petani sertifikasi melakukan

sistem tumpangsari dan naungan pada lahan yang ditanami kopi, sedangkan petani

nonsertifikasi yang melakukan sistem tumpangsari dan naungan hanya sebesar 60

persen. Berdasarkan Tabel 17 jumlah tanaman tumpangsari dan naungan petani

sertifikasi lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa

petani sertifikasi memiliki pengetahuan yang lebih baik untuk mengoptimalkan

penggunaan lahan pada usahatani kopi dengan melakukan sistem tumpangsari dan

naungan.

96

Penerimaan lahan diperoleh dari penjumlahan penerimaan kopi, penerimaan

tumpangsari dan penerimaan naungan. Produktivitas lahan diperoleh dengan

menyetarakan penerimaan lahan terhadap harga kopi kemudian dibandingkan

dengan luas lahan yang digunakan dalam usahatani. Produktivitas lahan yang

dihitung yaitu produktivitas lahan setara kopi. Rata-rata penerimaan dan

produktivitas lahan petani kopi di Kecamatan Air Hitam tersaji pada Tabel 25.

Tabel 25. Rata-rata penerimaan dan produktivitas lahan (per ha) petani kopi di

Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015

Keterangan Petani Sertifikasi Petani nonsertifikasi

2012 2013 2014 2012 2013 2014

Penerimaan (Rp) Kopi 18.040.064,10 16.762.820,51 11.958.333,33 17.344.884,49 17.173.267,33 13.259.075,91

Tumpangsari 3.851.730,77 3.851.730,77 3.836.378,21 3.001.237,62 3.001.237,62 3.106.435,64

Naungan 685.000,00 685.000,00 641.987,18 299.339,93 299.339,93 343.894,39

Penerimaan lahan 22.576.794,87 21.299.551,28 16.436.698,72 20.674.131,28 20.502.230,45 16.731.321,77

Produktivitas lahan

(kg/ha) 1.467,55 1.185,02 793,42 1.451,35 1.134,20 811,63

Tabel 25 menunjukkan bahwa pada tahun 2012 dan 2013 rata-rata penerimaan dan

produktivitas lahan petani sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi, namun

pada tahun 2014 penerimaan dan produktivitas lahan petani nonsertifikasi lebih

baik. Pada tahun 2014 penerimaan dan produktivitas lahan petani nonsertifikasi

lebih baik dikarenakan pada tahun tersebut meskipun petani mengalami gagal

panen namun produksi kopi petani nonsertifikasi lebih baik dari petani sertifikasi.

4. Analisis Pendapatan

Pendapatan merupakan pengurangan penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan

dalam usahatani. Pendapatan yang hitung yaitu pendapatan kopi dan pendapatan

lahan. Pendapatan usahatani yang dihitung dalam penelitian ini menggunakan

97

pendekatan nominal yaitu pendekatan perhitungan usahatani tanpa

memperhitungkan nilai uang menurut waktu (time value of money), yang dipakai

adalah harga yang berlaku.

a. Analisis Pendapatan Kopi

Pendapatan kopi dipengaruhi biaya yang dikeluarkan dalam usahatani kopi. Biaya

dalam usahatani kopi meliputi biaya tunai dan diperhitungkan. Rata-rata

pendapatan petani kopi di Kecamatan Air Hitam disajikan dalam Tabel 26.

Tabel 26. Rata-rata pendapatan petani kopi (per ha) Tahun 2012-2014

di Kecamata Air Hitam Lampung Barat 2015

Keterangan Petani sertifikasi Petani nonsertifikasi

2012 2013 2014 2012 2013 2014

Penerimaan kopi 18.040.064,10 16.762.820,51 11.958.333,33 17.344.884,49 17.173.26,.33 13.259.075,91

Biaya

Biaya Tunai 4.347.964,67 4.162.099,29 3.218.822,04 5.107.890,49 4.972.944,12 4.168.113,26

Biaya Diperhitungkan 4.721.370,20 4.721.370,20 4.632.331,74 4.970.495,05 4.970.495,05 4.949.702,97

Total Biaya Usahatani 9.069.334,87 8.883.469,49 7.851.153,78 10.078.385,53 9.943.439,17 9.117.816,23

Pendapatan kopi

Atas biaya tunai 13.692.099,43 12.600.721,22 8.739.511,29 12.236.994,00 12.200.323,21 9.090.962,65

Atas biaya total 8.970.729,23 7.879.351,03 4.107.179,55 7.266.498,95 7.229.828,16 4.141.259,68

Nisbah Penerimaan

dan Biaya tunai (R/C) 4,15 4,03 3,72 3,40 3,45 3,18

Nisbah Penerimaan

dan Biaya total (R/C) 1,99 1,89 1,52 1,72 1,73 1,45

Berdasarkan Tabel 26 penerimaan kopi petani sertifikasi lebih rendah

dibandingkan petani nonsertifikasi. Hal ini disebabkan rata-rata produksi kopi

petani sertifikasi lebih kecil dan harga jual kopi yang tidak jauh berbeda. Di

daerah penelitian petani nonsertifikasi menjual biji kopi kepada tengkulak atau

pengumpul sedangkan 30 persen petani sertifikasi menjual biji kopi kepada

gapoktan dan sisanya menjual biji kopi kepada tengkulak atau pengumpul sama

98

seperti petani nonsertifikasi. Harga jual yang diterima petani sertifikasi jika

menjual biji kopi pada gapoktan lebih tinggi Rp 2.000/kg dari harga pasar kopi.

Selisih harga sebesar Rp 2.000/kg merupakan bentuk premium fee yang diterima

petani sertifikasi. Perbedaan harga jual kopi ini ditujukan sebagai penghargaan

bagi petani sertifikasi yang telah memelihara kopi secara organik dan menjaga

kelestarian lingkungan dengan penggunaan bahan-bahan alami yang ramah

lingkungan. Namun, petani sertifikasi yang menjual biji kopi pada pengumpul

tidak mendapatkan perbedaan harga dengan kata lain harga kopi organik dan

anorganik sama yaitu mengikuti harga pasar kopi yang berlaku.

Tabel 26 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan kopi baik atas biaya tunai

maupun biaya diperhitungkan yang diterima petani nonsertifikasi lebih baik dari

pendapatan kopi petani sertifikasi. Hal ini dikarenakan biaya yang dikeluarkan

petani nonsertifikasi lebih besar dari petani sertifikasi, meskipun penerimaan kopi

petani nonsertifikasi lebih tinggi. Artinya pengeluaran biaya per hektar lahan

petani sertifikasi lebih efisien dari petani nonsertifikasi, sehingga pendapatan kopi

petani sertifikasi lebih baik. Nilai nisbah penerimaan dengan biaya yang diperoleh

untuk petani sertifikasi lebih besar dari petani nonsertifikasi. Hal ini berarti setiap

Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan petani sertifikasi akan memperoleh penerimaan

yang lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Berdasarkan nilai R/C rasio, usahatani

kopi organik lebih menguntungkan dari usahatani konvensional.

Biaya usahatani kopi petani nonsertifikasi lebih besar dikarenakan besarnya biaya

input untuk bibit, pupuk dan pestisida kimia. Pada Tabel 16 dan 17 rata-rata

penggunaan bibit, pupuk dan pestisida kimia petani nonsertifikasi lebih tinggi dari

99

petani sertifikasi, sehingga biaya yang dikeluarkan petani nonsertifikasi lebih

tinggi. Petani sertifikasi lebih banyak menggunakan pupuk kandang dengan harga

yang lebih terjangkau dari harga pupuk kimia yang lebih banyak digunakan petani

nonsertifikasi. Petani nonsertifikasi juga mengeluarkan biaya sewa lahan yang

lebih tinggi dari petani sertifikasi. Hal ini dikarenakan 20 persen petani

nonsertifikasi melakukan usahatani kopi dengan sistem sakap dan sewa,

sedangkan untuk petani sertifikasi hanya 6,67 persen yang melakukan usahatani

kopi dengan sistem sakap.

b. Analisis Pendapatan Lahan

Pendapatan lahan dihitung dengan menjumlahkan penerimaan kopi, tanaman

tumpangsari dan tanaman naungan dan dikurangi dengan biaya usahatani pada

lahan tersebut. Tinggi rendahnya pendapatan lahan dipengaruhi oleh

pengoptimalan pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh petani. Pengoptimalan

pemanfaatan lahan dalam usahatani kopi dilakukan melalui sistem tanaman

naungan dan tumpangsari. Penanaman tanaman naungan selain berfungsi sebagai

penaung juga dapat memberikan tambahan penerimaan bagi petani. Rata-rata

pendapatan lahan yang diterima petani kopi dapat dilihat pada Tabel 27.

Berdasarkan Tabel 27 rata-rata penerimaan lahan petani sertifikasi pada tahun

2012 dan 2013 lebih baik dari petani nonsertifikasi, namun untuk Tahun 2014

penerimaan lahan petani nonsertifikasi lebih baik. Biaya tunai yang dikeluarkan

petani nonsertifikasi lebih besar dari petani nonsertifikasi. Sama seperti

sebelumnya, hal ini disebabkan karena besarnya biaya pupuk dan pestisida kimia

serta biaya sewa lahan (tunai) yang dikeluarkan petani nonsertifikasi. Biaya tunai

100

yang dikeluarkan petani sertifikasi lebih rendah dikarenakan pada usahatani kopi

organik meminimalkan penggunaan input dari luar. Usahatani kopi organik yang

dilakukan petani sertifikasi lebih banyak menggunakan pupuk kandang yang

harganya lebih murah dibandingkan pupuk kimia. Usahatani kopi konvensional

yang dilakukan petani nonsertifikasi menggunakan pupuk dan pestisida kimia

dalam jumlah yang cukup besar sehingga biaya yang dikeluarkan petani

nonsertifikasi lebih tinggi.

Tabel 27. Rata-rata pendapatan lahan (per ha) petani kopi di Kecamatan Air Hitam

Lampung Barat 2015

Keterangan Petani sertifikasi Petani nonsertifikasi

2012 2013 2014 2012 2013 2014

Penerimaan

Kopi 18.040.064,10 16.762.820,51 11.958.333,33 17.344.884,49 17.173.267,33 13.259.075,91

Tumpangsari 3.851.730,77 3.851.730,77 3.836.378,21 3.001.237,62 3.001.237,62 3.106.435,64

Naungan 685.000,00 685.000,00 641.987,18 299.339,93 299.339,93 343.894,39

Penerimaan Lahan 22.576.794,87 21.299.551,28 16.436.698,72 20.645.462,05 20.473.844,88 16.709.405,94

Biaya

Biaya Tunai 4.530.608,90 4.344.743,52 3.417.844,48 5.288.666,06 5.153.719,69 4.329.235,37

Biaya

Diperhitungkan 5.112.083,34 5.112.083,34 5.027.644,23 5.361.336,63 5.361.336,63 5.357.623,76

Total Biaya

Usahatani 9.642.692,24 9.456.826,86 8.445.488,71 10.650.002,70 10.515.056,33 9.686.859,13

Pendapatan lahan

Atas biaya tunai 18.046.185,97 16.954.807,76 13.018.854,24 15.356.795,98 15.320.125,19 12.380.170,57

Atas biaya total 12.934.102,63 11.842.724,43 7.991.210,00 9.995.459,35 9.958.788,56 7.022.546,81

Nisbah Penerimaan

dan Biaya tunai (R/C) 4,98 4,90 4,81 3,90 3,97 3,86

Nisbah Penerimaan

dan Biaya total (R/C) 2,34 2,25 1,95 1,94 1,95 1,72

Petani sertifikasi mengendalikan gulma dengan cara disiangi (dikoret), sehingga

membutuhkan lebih banyak tenaga kerja luar keluarga. Hal ini menyebabkan

Biaya yang dikeluarkan petani sertifikasi untuk upah tenaga kerja (TKLK) lebih

besar dibandingkan dengan petani nonsertifikasi. Meskipun masih ada petani

sertifikasi yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia namun jumlah yang

digunakan tidak sebanyak petani nonsertifikasi.

101

Petani kopi biasa melakukan pembibitan sendiri tanaman kopi untuk penyulaman

atau penyambungan batang yang berasal dari biji kopi yang dipanen. Petani kopi

yang memiliki ternak memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk kandang,

sehingga petani tidak mengeluarkan biaya untuk membeli pupuk kandang dan

bibit tanaman kopi. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata biaya diperhitungkan

petani sertifikasi lebih rendah dari rata-rata biaya diperhitungkan petani

nonsertifikasi. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) petani

nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi sehingga biaya diperhitungkan

petani nonsertifikasi lebih besar dari petani sertifikasi.

Pendapatan lahan petani sertifikasi baik atas biaya tunai maupun biaya total lebih

baik dari petani nonsertifikasi. Pendapatan lahan atas biaya tunai maupun biaya

total petani nonsertifikasi lebih kecil dari petani sertifikasi dikarenakan

penerimaan lahan petani nonsertifikasi yang lebih rendah dan biaya usahatani

petani nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi. Nisbah penerimaan

dengan biaya (R/C) untuk petani sertifikasi lebih besar dari petani nonsertifikasi.

Hal ini berarti setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan petani sertifikasi akan

memperoleh penerimaan lebih besar dari petani nonsertifikasi. Nisbah

penerimaan dengan biaya dihitung untuk mengetahui apakah usahatani

menguntungkan atau tidak dan hasil penelitian membuktikan bahwa usahatani

kopi secara organik dengan sistem tumpangsari dan naungan lebih

menguntungkan dari usahatani konvensional dengan sistem tumpangsari dan

naungan.

102

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani kopi organik lebih

menguntungkan dari usahatani kopi konvensional. Usahatani kopi organik lebih

menguntungkan dikarenakan sistem pemeliharaan yang meminimalkan

penggunaan input dari luar dan tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia.

Hal ini terbukti bahwa biaya input yang dikeluarkan petani sertifikasi lebih sedikit

dibandingkan biaya input yang dikeluarkan petani nonsertifikasi. Cara budidaya

petani nonsertifikasi sangat bergantung pada pupuk dan pestisida kimia yang

harganya cukup mahal sehingga biaya yang dikeluarkan petani lebih besar,

berbeda dengan petani sertifikasi yang menekankan cara budidaya ramah

lingkungan dengan menggunakan pupuk kandang. Penggunaan pupuk kandang

selain menyuburkan tanah juga memiliki harga yang lebih murah sehingga dapat

menguragi biaya produksi. Pada intinya usahatani kopi secara organik dapat

menurunkan biaya produksi terutama untuk penggunaan input seperti pupuk dan

pestisida.

C. Manfaat Sertifikasi INOFICE Terhadap Keberlanjutan Usahatani Kopi

Organik

Manfaat dari adanya program sertifikasi INOFICE diukur dalam tiga aspek yaitu

manfaat secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Manfaat secara ekonomi diukur

dari adanya peningkatan produktivitas, efisiensi biaya, pendapatan, serta nilai

tambah. Manfaat ekonomi juga diukur dengan penilaian praktik usahatani kopi

yang berkelanjutan secara ekonomi yang menggunakan empat indikator. Manfaat

secara sosial dan lingkungan diukur melalui penilaian praktik usahatani secara

organik yang dapat diterima secara sosial dan ramah lingkungan. Penilaian

103

manfaat ekonomi,sosial dan lingkungan ini menggunakan indikator sistem

pertanian organik sesuai standar SNI 6729 2013 sistem pertanian organik.

1. Manfaat Ekonomi

Penilaian manfaat ekonomi dari adanya program sertifikasi INOFICE dilakukan

untuk mengetahui apakah dengan adanya program sertifikasi INOFICE dapat

meningkatkan keuntungan yang diterima petani. Penilaian manfaat ekonomi dari

adanya program sertifikasi dilakukan melalui analisis usahatani mengenai

produktivitas kopi dan lahan, pendapatan kopi, pendapatan lahan, efisiensi biaya

kopi dan lahan serta nilai tambah pengolahan kopi organik menjadi kopi bubuk.

Penilaian manfaat ekonomi dilakukan selama tiga tahun yaitu 2012, 2013 dan

2014. Indikator-indikator pengukuran manfaat ekonomi antara petani sertifikasi

dan nonsertifikasi setiap tahunnya dibandingkan untuk diuji secara statistik apakah

terdapat perbedaan atau tidak.

a. Manfaat Ekonomi Sertifikasi INOFICE Pada Tahun 2012-2014

Sertifikasi organik INOFICE diterima petani sejak Tahun 2012. Pada tahun awal

diperolehnya sertifikasi sampai tahun 2014 dilakukan penilaian apakah sertifikasi

INOFICE sudah memberikan manfaat ekonomi. Adapun hasil uji beda

produktivitas, harga, biaya usahatani, efisiensi biaya dan pendapatan petani kopi

pada Tahun 2012-2014 tersaji dalam Tabel 28.

Berdasarkan Tabel 28 nilai t hitung untuk produktivitas kopi, produktivitas lahan,

biaya usahatani kopi dan pendapatan lahan lebih kecil dari t tabel (α=0,05 dan

α=0,10), sehingga keputusan yang diambil yaitu terima Ho. Artinya produktivitas

104

kopi, produktivitas lahan, biaya usahatani, pendapatan kopi dan pendapatan lahan

petani sertifikasi dan nonsertifikasi secara statistik tidak berbeda nyata. Namun

hasil uji beda harga kopi, efisiensi biaya kopi dan efisiensi biaya lahan petani

sertifikasi signifikan lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Hal ini terlihat dari

nilai t hitung lebih besar dari t tabel sehingga keputusan yang diambil yaitu tolak

Ho. Namun, harga kopi signifikan lebih tinggi hanya pada Tahun 2012,

sedangkan untuk efisiensi biaya kopi dan lahan petani sertifikasi signifikan lebih

tinggi pada Tahun 2012 dan 2013.

Tabel 28. Hasil uji beda produktivitas, harga kopi, biaya usahatani, efisiensi biaya

dan pendapatan usahatani kopi Tahun 2012-2014 di

Kecamatan Air Hitam Lampung Barat

Indikator Petani sertifikasi Petani nonsertifikasi t hitung

2012 2013 2014 2012 2013 2014 2012 2013 2014

1.Produktivitas (kg/ha) a.Produktivitas

kopi 1.226 978 605 1.172 944 631 0,339 0,200 0,856

b.Produktivitas

lahan 1.468 1.185 793 1.392 1.134 812 1,287 1,139 0,075

2.Harga kopi (Rp/kg)

14.567 17.367 19.533 14.067 16.95 19.133 1,885** 0,916 1,091

3.Biaya Usahatani

(Rp/ha) a.Biaya Usahatani

kopi 9.069.334 8.883.470 7.851.154 10.078.386 9.943.439 9.117.816 0,625 0,697 0,931

b. Biaya usahatani lahan

9.642.692 9.456.827 8.445.489 10.650.003 10.515.056 9.686.859 0,585 0,655 0,857

4.Efisiensi Biaya

(Rp/kg) a. Efisiensi biaya

kopi 8.14 10.063 16.386 10.62 13.123 20.231 1,904** 1,730** 0,973

b. Efisiensi biaya lahan

6.517 7.894 11.474 7.758 9.367 12.041 1,369* 1,376* 0,149

5. Pendapatan kopi

(Rp/ha) a. atas biaya total 8.970.729 7.879.351 4.107.180 7.266.499 7.229.828 4.141.259 0,826 0,387 0,050

b. atas biaya tunai 13.692.099 12.600.721 8.739.511 12.236.994 12.200.323 9.090.962 0,663 0,289 0,045

6. Pendapatan lahan

(Rp/ha) a. atas biaya total 12.934.103 11.842.724 7.991.210 9.909.584 9.958.788 7.022.546 1,090 0,734 0,511

b. atas biaya tunai 18.046.186 16.954.808 13.018.854 15.270.921 15.320.125 12.380.171 0,934 0,621 0,382

Keterangan

t tabel (α=0,05, df=58): 1,671553

t tabel (α=0,10, df= 58): 1,296319

** signifikan pada taraf kepercayaan 95%

* signifikan pada taraf kepercayaan 90%

105

Hal ini menandakan bahwa pada tahun pertama dan kedua petani sertifikasi sudah

menerima manfaat sertifikasi INOFICE berupa harga kopi yang lebih tinggi,

efisiensi biaya kopi dan efisiensi biaya lahan. Adapun penyebab petani tidak

merasakan manfaat sertifikasi di Tahun 2014 dikarenakan gagal panen akibat

cuaca ekstrim. Cuaca ekstrim menyebabkan petani mengalami kerugian karena

rendahnya produksi kopi sedangkan biaya yang dikeluarkan cukup besar. Pada

tahun 2014 produksi kopi di Kecamatan Air Hitam mengalami penurunan yang

disebabkan kegagalan pembungaan. Intensitas hujan yang lebih tinggi

menyebabkan bunga-bunga kopi rontok sehingga pembentukan buah kopi

menurun. Penurunan produksi kopi ini mengakibatkan penurunan produktivitas

kopi, produktivitas lahan serta pendapatan yang diterima petani sertifikasi dan

nonsertifikasi.

1) Produktivitas

Penerapan usahatani kopi secara organik menyebabkan penurunan produksi kopi

bagi petani sertifikasi. Penggunaan pupuk organik membutuhkan jangka waktu

yang lama untuk meningkatkan produksi berbeda dengan pupuk kimia yang

mempunyai efek yang cepat dalam meningkatkan produksi kopi. Selain itu, rata-

rata petani sertifikasi mulai beralih ke usahatani kopi secara organik pada tahun

2010, sehingga perubahan dari usahatani kopi konvensional ke organik pada

mulanya akan menurunkan produksi dan produksi akan kembali naik secara

perlahan-lahan dalam jangka waktu yang cukup lama.

Produktivitas kopi juga sangat dipengaruhi oleh umur tanaman kopi.

Produktivitas kopi semakin menurun sejalan dengan menuanya tanaman kopi.

106

Rata-rata umur tanaman kopi petani sertifikasi dan nonsertifikasi yaitu 20-30

tahun. Menurut Puslitkoka (ICCRI) produksi kopi optimal pada umur 20-30 tahun

adalah 900 kg/ha. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 24, petani sertifikasi

belum mampu mencapai produksi optimal kopi pada tanaman kopi berumur 20-30

tahun, sedangkan petani nonsertifikasi sudah mampu mencapai produktivitas

optimal tersebut. Upaya yang dilakukan petani kopi untuk meningkatkan produksi

kopi yaitu meregenerasi tanaman kopi dengan melakukan penyambungan batang

kopi dan penyulaman.

Hal ini didukung penelitian Saragih (2013) mengenai dimensi sosial ekonomi dan

lingkungan dalam produksi kopi arabika di Sumatera Utara yang menunjukkan

bahwa produktivitas kopi arabika sertifikasi 8 % lebih rendah dibandingkan kopi

konvensional. Namun harga kopi bersertifikasi yang diterima petani sedikit lebih

tinggi (3,57 %) dari harga kopi konvensional, hal ini berarti petani sertifikasi di

Sumatera utara sudah merasakan manfaat berupa perbedaan harga kopi sertifikasi

dengan kopi konvensional.

Produktivitas lahan dipengaruhi oleh produktivitas kopi, tanaman tumpangsari dan

tanaman naungan. Meskipun rata-rata produksi dan jumlah tanaman tumpangsari

dan tanaman naungan petani sertifikasi lebih baik dibandingkan petani

nonsertifikasi namun hal ini belum mampu untuk meningkatkan produktivitas

lahan. Hal ini menandakan bahwa peningkatan penerimaan dari tanaman

tumpangsari dan tanaman naungan belum mampu menutupi peningkatan biaya

usahatani pada lahan.

107

2) Harga Kopi

Harga suatu komoditas merupakan stimulus bagi petani dalam melakukan

usahatani, jika harga suatu komoditas menjanjikan maka petani akan tertarik untuk

membudidayakan komoditas tersebut. Berdasarkan Tabel 28 rata-rata harga jual

yang diterima petani sertifikasi Tahun 2012 yaitu Rp 14.567/kg sedangkan petani

nonsertifikasi sebesar Rp 14.067/kg. Hasil uji beda menunjukkan bahwa harga

kopi yang diterima petani sertifikasi pada Tahun 2012 signifikan lebih tinggi dari

petani nonsertifikasi. Hal ini membuktikan bahwa pada tahun pertama sertifikasi

INOFICE sudah memberikan manfaat berupa harga jual kopi yang lebih tinggi

dari kopi anorganik. Namun, pada tahun kedua dan ketiga program sertifikasi

belum memberikan manfaat harga premium, rata-rata harga yang diterima petani

sertifikasi dan nonsertifikasi pada tahun kedua dan ketiga tidak berbeda. Hal ini

didukung dengan hasil statistik uji beda t yang menunjukkan bahwa petani

sertifikasi dan nonsertifikasi menerima harga jual yang sama. Pada tahun kedua

dan ketiga berjalannya sertifikasi INOFICE belum memberikan perubahan yang

berarti bagi petani sertifikasi. Harga premium atau premium price masih belum

dapat dirasakan semua petani sertifikasi. Bahkan pada tahun kedua dan ketiga

keuntungan yang diterima baik petani sertifikasi dan nonsertifikasi menurun

karena penurunan produksi akibat cuaca ekstrim.

Harga jual kopi yang tidak berbeda disebabkan 70 persen petani sertifikasi

menjual kopi kepada tengkulak sama seperti petani nonsertifikasi dengan harga

yang sama dengan harga kopi biasa. Petani yang menjual kopi kepada tengkulak

tidak mendapatkan harga berbeda atas usaha mereka melakukan usahatani kopi

yang ramah lingkungan. Petani sertifikasi yang menjual kopi kepada gapoktan

108

memperoleh selisih harga lebih tinggi sebesar Rp 2000,00/kg dari harga kopi yang

berlaku di daerah tersebut. Selisih harga sebesar Rp 2000,00 merupakan bentuk

premium fee yang diberikan atas usaha petani memelihara kopi secara organik

sehingga turut menjaga kelestarian lingkungan. Namun karena keterbatasan

modal gapoktan tidak dapat menampung seluruh hasil panen kopi petani

sertifikasi, sehingga premium fee ini belum bisa dirasakan semua petani sertifikasi.

Gapoktan hanya dapat menampung kurang lebih 10 ton biji kopi dari keseluruhan

panen kopi petani sertifikasi, sementara rata-rata jumlah panen kopi seluruh petani

sertifikasi yaitu sebesar 29,20 ton. Sehingga petani sertifikasi menjual sisa panen

kopi yang tidak dapat diserap gapoktan kepada tengkulak atau pengumpul dengan

harga yang sama dengan kopi anorganik. Hal ini menandakan bahwa petani

sertifikasi belum merasakan manfaat berupa peningkatan harga jual kopi dari

adanya program sertifikasi.

3) Biaya Usahatani

Perhitungan uji beda biaya usahatani dilakukan untuk melihat apakah biaya yang

usahatani yang dikeluarkan petani sertifikasi berbeda dengan biaya usahatani yang

dikeluarkan petani nonsertifikasi. Biaya usahatani petani sertifikasi dan

nonsertifikasi secara statistik tidak berbeda nyata atau sama. Hal ini menunjukkan

bahwa penerapan usahatani kopi organik yang meminimumkan input dari luar

belum mampu menurunkan biaya usahatani kopi, dengan kata lain sertifikasi

INOFICE belum mampu memberikan manfaat berupa penurunan biaya produksi

pada usahatani kopi.

109

4) Efisiensi Biaya

Pengukuran efisiensi biaya dilakukan untuk melihat besarnya biaya dikeluarkan

untuk menghasilkan satu kilogram kopi. Semakin kecil biaya yang dikeluarkan

untuk menghasilkan satu kilogram kopi maka semakin efisien.

Berdasarkan Tabel 28 pada Tahun 2012 dan 2013 rata-rata biaya yang dikeluarkan

petani sertifikasi untuk menghasilkan satu kilogram kopi lebih rendah dari petani

nonsertifikasi. Artinya rata-rata biaya yang dikeluarkan petani sertifikasi untuk

menghasilkan satu kilogram kopi lebih efisien dari biaya yang harus dikeluarkan

petani nonsertifikasi. Hal ini juga dibuktikan secara statistik bahwa efisiensi biaya

kopi dan efisiensi biaya lahan petani sertifikasi signifikan lebih tinggi dari petani

nonsertifikasi. Hasil penelitian ini menandakan bahwa sertifikasi INOFICE pada

tahun pertama dan kedua sudah memberikan manfaat berupa peningkatan efisiensi

biaya produksi kopi dan efisiensi biaya produksi lahan. Pada tahun 2014

sertifikasi organik INOFICE belum memberikan manfaat berupa peningkatan

efisiensi biaya kopi dan efisiensi biaya lahan disebabkan karena gagal panen yang

dialami petani. Produksi kopi yang dihasilkan petani Tahun 2014 benar-benar

turun drastis, hal ini menyebabkan tingginya biaya produksi yang dikeluarkan

untuk menghasilkan satu kilogram kopi.

5) Pendapatan Kopi

Rata-rata pendapatan kopi petani sertifikasi dan nonsertifikasi tidak berbeda nyata.

Besarnya nilai pendapatan kopi dipengaruhi oleh produktivitas dan biaya

usahatani, hasil uji beda pendapatan kopi sejalan dengan hasil uji beda

produktivitas dan biaya usahatani kopi yang menunjukkan tidak adanya perbedaan

110

antara petani sertifikasi dan nonsertifikasi. Hal ini menyebabkan pendapatan kopi

yang diterima petani baik sertifikasi maupun nonsertifikasi relatif sama. Hasil

penelitian ini membuktikan bahwa sertifikasi INOFICE belum dapat

meningkatkan pendapatan usahatani kopi bagi petani sertifikasi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Barham dan

Weber (2012) mengenai keberlanjutan ekonomi sertifikasi kopi di Meksiko dan

Peru. Penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan usahatani kopi petani

sertifikasi organik di Mexico (Oaxaca dan Chiapas) (US$ 480.8) lebih rendah

dibandingkan pendapatan petani sertifikasi RA (US$ 601) di Peru (Junin).

6) Pendapatan Lahan

Pada tahun pertama sampai tahun ketiga sertifikasi INOFICE belum memberikan

manfaat berupa peningkatan pendapatan lahan bagi petani sertifikasi. Hal ini

dibuktikan secara statistik bahwa rata-rata pendapatan lahan petani sertifikasi dan

nonsertifikasi pada Tahun 2012-2014 tidak berbeda nyata. Hasil uji beda

pendapatan lahan petani sertifikasi dan nonsertifikasi ini sejalan dengan hasil uji

beda produktivitas, biaya usahatani dan pendapatan kopi yang menunjukkan

bahwa tidak ada perbedaan. Penerapan usahatani kopi secara organik yang

menggunakan bahan-bahan alami dan meminimumkan penggunaan input dari luar

belum mampu meningkatkan pendapatan lahan bagi petani. Hal ini menunjukkan

bahwa sertifikasi INOFICE belum memberikan manfaat berupa pendapatan

usahatani yang lebih tinggi bagi petani sertifikasi.

Secara keseluruhan sertifikasi INOFICE pada Tahun 2012-2014 belum

memberikan manfaat ekonomi berupa peningkatan produktivitas, pendapatan dan

111

penurunan biaya usahatani, namun sertifikasi INOFICE sudah memberikan

manfaat berupa peningkatan harga kopi pada tahun pertama serta efisiensi biaya

kopi dan lahan pada tahun pertama dan kedua. Efisiensi biaya kopi dan lahan

petani sertifikasi signifikan lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Hal ini

membuktikan bahwa pengeluaran biaya usahatani kopi untuk menghasilkan satu

kilogram kopi secara organik lebih efisien dari usahatani kopi konvensional. Hasil

uji beda secara statistik menunjukkan bahwa produktivitas, biaya usahatani dan

pendapatan petani sertifikasi dan nonsertifikasi selama Tahun 2012-2014 tidak

berbeda. Salah satu upaya yang dapat dilakukan petani untuk meningkatkan

produktivitas dan pendapatan lahan adalah dengan menanam tanaman naungan

dan tumpangsari yang memiliki harga yang menjanjikan seperti tanaman lada,

pisang, jengkol, petai, durian, nangka dan lainnya. Penanaman tanaman naungan

dan tumpangsari yang bernilai ekonomi tinggi diharapkan dapat meningkatkan

produktivitas dan pendapatan lahan bagi petani kopi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Fort dan Ruben (2009) dan

Oktami (2014). Penelitian Fort dan Ruben (2009) yang meneliti 180 petani

sertifikasi kopi fair trade di Peru menunjukkan bahwa 12 % petani tidak

mengetahui keberadaan harga premium fair trade dan 77 persen petani

menyatakan belum menerima manfaat dari adanya premium tersebut. Petani yang

belum merasakan manfaat dari adanya harga premium fair trade di daerah Ubriki

sebanyak 98 persen dan di daerah La florida sebanyak 48 persen. Sedangkan hasil

penelitian Oktami (2014) menunjukkan bahwa Sertifikasi Rainforest Alliance

(RA) belum dapat meningkatkan produktivitas kopi, efisiensi biaya kopi dan

pendapatan kopi petani sertifikasi, namun sertifikasi RA memberikan manfaat

112

peningkatan produktivitas dan pendapatan lahan serta peningkatan kualitas dan

pengontrolan biaya usahatani kopi bagi petani sertifikasi.

b. Manfaat Ekonomi Sertifikasi INOFICE (Rata-rata Selama Tahun

2012-2014)

Perhitungan manfaat sertifikasi INOFICE selain dilakukan per tahun juga

dilakukan secara rata-rata atau keseluruhan selama tiga tahun terakhir. Adapun

hasil uji beda rata-rata produktivitas, harga kopi, biaya usahatani, efisiensi biaya

dan pendapatan disajikan dalam Tabel 29.

Tabel 29. Hasil uji beda produktivitas, harga kopi, biaya usahatani, efisiensi biaya

dan pendapatan usahatani kopi (Rata-rata selama Tahun 2012-2014) di

Kecamatan Air Hitam Lampung Barat

Indikator Petani

sertifikasi

Petani

Nonsertifikasi

Uji beda t (df=58)

t hitung t tabel

(α=0,05)

t tabel

(α=0,10)

1. Produktivitas (kg/ha)

a. Produktivitas kopi 884,27 915,62 0,090

1,671553 1,296319

b. Produktivitas lahan 1148,66 1112,45 0,969

2. Harga kopi (Rp/kg) 17.155,56 16.716,67 1,554

3. Biaya Usahatani (Rp/ha)

a. Biaya Usahatani kopi 9.025.464,68 10.195.171,84 0,764

b. Biaya usahatani lahan 9.605.814,57 10.765.930,91 0,713

4. Efisiensi Biaya (Rp/kg)

a. Efisiensi biaya kopi 12.171,69 15.326,50 1,396*

b. Efisiensi biaya lahan 9.029,24 10.156,95 0,860

5. Pendapatan kopi (Rp/ha)

a. atas biaya total 6.561.607,97 5.730.570,74 0,504

b. atas biaya tunai 11.677.443,98 11.176.093,29 0,345

6. Pendapatan lahan (Rp/ha)

a. atas biaya total 10.498.533,72 8.481.681,85 0,850

b. atas biaya tunai 16.006.615,99 14.323.739,05 0,682

Keterangan: * signifikan pada taraf kepercayaan 90%

Berdasarkan Tabel 29 nilai t hitung efisiensi biaya kopi lebih besar dari t tabel

(α=0,10) sehingga keputusan yang diambil yaitu tolak Ho. Artinya efisiensi biaya

113

kopi petani sertifikasi signifikan lebih tinggi dari petani nonsertifikasi, sedangkan

produktivitas, harga kopi, biaya usahatani, efisiensi biaya lahan dan pendapatan

antara petani sertifikasi dan nonsertifikasi tidak berbeda nyata. Hal ini

ditunjukkan dari nilai t hitung yang lebih kecil dari t tabel (α=0,05 dan α=0,10)

sehingga keputusan yang diambil yaitu terima Ho. Hasil ini tidak jauh berbeda

dengan hasil uji beda manfaat ekonomi yang dilakukan per tahun yang

menunjukkan bahwa efisiensi biaya kopi dan lahan petani sertifikasi lebih tinggi

dari petani nonsertifikasi. Hal ini membuktikan bahwa secara keseluruhan

sertifikasi INOFICE sudah memberikan manfaat berupa biaya produksi per

kilogram kopi yang lebih efisien bagi petani sertifikasi.

Berdasarkan hasil penelitian permasalahan utama pada pemasaran kopi organik

yaitu harga kopi yang tidak berbeda dari kopi biasa. Premium price belum dapat

dirasakan oleh semua petani sertifikasi. Aturan kepastian harga perlu ditegaskan

dalam program sertifikasi sehingga petani dapat merasakan manfaat berupa harga

yang lebih tinggi dari kopi biasa atas usahanya melakukan usahatani kopi yang

berwawasan lingkungan. Oleh sebab itu diharapkan bagi pemerintah untuk segera

merancang dan mengeluarkan aturan mengenai jaminan kepastian harga mengenai

komoditas bersertifikat. Kebijakan ini ditujukan supaya petani yang sudah

mendapat sertifikasi mendapatkan harga yang lebih baik dari harga kopi biasa.

Selain itu, agar gapoktan dapat menampung seluruh panen kopi petani sertifikasi

maka gapoktan perlu meningkatkan modal usaha. Rata-rata jumlah produksi kopi

petani sertifikasi per tahun adalah ± 29,20 ton. Gapoktan membeli kopi dengan

selisih harga Rp 2000,00 dari harga kopi di daerah penelitian. Upaya yang dapat

114

dilakukan gapoktan untuk meningkatkan modal adalah dengan menjalin kemitraan

dengan lembaga pemasaran kopi seperti eksportir agar dapat menyerap seluruh

hasil produksi kopi petani sertifikasi. Peningkatan modal usaha bagi gapoktan

juga dapat melalui kemitraan dengan lembaga perbankan. Adanya kemitraan

dengan lembaga perbankan diharapkan dapat membantu memberikan akses kredit

bagi gapoktan dan kepada pemerintah daerah diharapkan dapat membantu

permasalahan modal bagi gapoktan untuk meningkatkan kapasitas gapoktan

sebagai lembaga pemasaran dan agroindustri pengolahan.

c. Nilai Tambah (value added)

Kopi organik yang dihasilkan petani sertifikasi dijual kepada gapoktan dan

pedagang pengumpul. 30 persen petani sertifikasi menjual kopi ke gapoktan dan

sisanya 70 persen dijual kepada tengkulak. Kopi organik yang dijual ke gapoktan

selanjutnya akan diolah menjadi kopi bubuk organik. Gapoktan hanya dapat

mengolah 34,25 persen atau 10 ton biji kopi dari jumlah produksi petani

sertifikasi yang mencapai 29,20 ton. Pengolahan biji kopi organik menjadi kopi

organik ini ditujukan untuk meningkatkan harga jual kopi organik. Adanya

pengolahan berupa perubahan bentuk dari biji kopi beras menjadi kopi bubuk akan

memberikan nilai tambah yang pada akhirnya dapat memberikan keuntungan bagi

petani. Keadaan ini berbeda dengan petani nonsertifikasi, kopi yang dihasilkan

petani nonsertifikasi dijual kepada pedagang pengumpul dan tidak dilakukan

pengolahan menjadi kopi bubuk seperti kopi organik.

Pengolahan biji kopi menjadi kopi bubuk dikelola oleh Gapoktan Hulu Hilir yang

sudah berdiri sejak tahun 2005 namun untuk pengolahan kopi bubuk organik baru

115

dimulai pada tahun 2010. Kopi bubuk organik ini dipasarkan dengan nama ‘Kopi

Hitam Organik Liwa’. Proses produksi kopi bubuk organik ini dilakukan setiap

dua minggu sekali atau tiap bulan dilakukan dua kali proses produksi.

Adanya pengolahan kopi organik menjadi kopi bubuk ini memberikan manfaat

berupa perekrutan masyarakat sekitar sebagai pekerja. Tenaga kerja pengolahan

kopi bubuk organik berjumlah tiga orang. Tenaga kerja yang bertugas

menggoreng dan menggiling adalah satu orang, kemudian tenaga kerja yang

bertugas sebagai pengemas berjumlah dua orang. Dalam satu kali pengolahan

dibutuhkan 4,5 HOK. Upah yang diberikan kepada tenaga kerja adalah Rp

50.000/HOK, dimana 1 HOK sama dengan delapan jam kerja. Penggunaan tenaga

kerja pada proses pengolahan kopi bubuk organik tersaji pada Tabel 30.

Tabel 30. Penggunaan tenaga kerja dalam pengolahan kopi bubuk organik

per bulan

Kegiatan Tenaga kerja Upah

(Rp/HOK) Biaya TK

JO LJK JH HOK

Menggoreng 1 2 2 0,5 50.000 25.000

Menggiling 1 2 2 0,5 50.000 25.000

Packing 2 8 4 8 50.000 400.000

Jumlah 4 12 8 9 150.000 450.000

Berdasarkan Tabel 30 diketahui bahwa biaya tenaga kerja yang dikeluarkan dalam

untuk pengolahan kopi per bulan yaitu Rp 450.000, biaya tenaga kerja yang

dikeluarkan ini merupakan pendapatan yang diperoleh tenaga kerja dari kegiatan

produksi kopi bubuk organik. Bila diakumulasikan selama setahun, tenaga kerja

menerima pendapatan sebesar Rp 5.400.000. Hal ini berarti masyarakat sekitar

yang menjadi pekerja telah menerima manfaat secara tidak langsung dari adanya

program sertifkasi organik INOFICE. Program sertifikasi ini memberikan

116

lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar sebagai tenaga kerja pada proses

produksi kopi bubuk organik. Hal ini sangat membantu masyarakat dalam

menambah penghasilan dan mengurangi pengangguran di wilayah tersebut.

Pengolahan kopi bubuk organik ini dilakukan secara murni tanpa tambahan atau

campuran bahan lain. Selain biji kopi, input lain yang mendukung pengolahan

yaitu aluminium foil dan label untuk pengemasan serta solar sebagai bahan bakar.

Penggunaan bahan baku penunjang pada produksi kopi bubuk organik tersaji pada

Tabel 31.

Tabel 31. Penggunaan bahan baku penunjang produksi kopi bubuk organik

per bulan

Bahan baku Jumlah Satuan Harga (Rp/satuan) Biaya (Rp)

Aluminium foil 6 Kg 55.000 330.000

Label 3.200 Buah 450 1.440.000

Solar 16 Liter 7.000 112.000

Jumlah 1.882.000

Input lain yang tak kalah penting dalam produksi kopi bubuk organik yaitu

peralatan yang berupa mesin penyangrai, mesin penggiling, silker, dan blower.

Bahan baku pendukung dan peralatan dalam perhitungan nilai tambah

digolongkan dalam dalam sumbangan input lain. Peralatan yang digunakan ini

memiliki umur ekonomis atau jangka waktu pemakaian dan memiliki nilai

penyusutan tiap tahun. Besarnya nilai penyusutan mesin per bulan tersaji pada

Tabel 32.

117

Tabel 32. Penyusutan mesin pengolah dalam produksi kopi bubuk organik

per bulan

Peralatan Tahun

beli Jumlah Harga Total biaya

Umur

ekonomis

Nilai

penyusutan/

tahun

Nilai

penyusutan/

bulan

Mesin

penyangrai 2012 1 300.000.000 300.000.000 30 10.000.000 833.333,33

Mesin

penggiling 2007 1 12.000.000 12.000.000 30 400.000 33.333,33

Silker 2007 1 5.000.000 5.000.000 25 200.000 16.666,67

Blower 2013 1 300.000.000 300.000.000 25 12.000.000 1.000.000

Jumlah 617.000.000 617.000.000 22.600.000 1.883.333,33

Analisis nilai tambah yang dilakukan menggunakan analisis nilai tambah metode

Hayami. Hasil analisis nilai tambah metode hayami pengolahan kopi bubuk

organik tersaji dalam Tabel 33.

Tabel 33. Hasil analisis nilai tambah pengolahan kopi bubuk organik dengan

Metode Hayami (per bulan)

No Variabel Nilai Nilai kopi organik

Output, Input, Harga

1 Output/ total produksi (Kg / periode) A 640

2 Input bahan baku (Kg / periode) B 800

3 Input Tenaga kerja (HOK / periode) C 9,0

4 Faktor konversi (1) / (2) D = A / B 0,80

5 Koefesien tenaga kerja (3) / (2) E = C / B 0,01

6 Harga produk ( Rp / Kg) F 60.000

7 Upah rata-rata tenaga kerja per HOK ( Rp /HOK) G 50.000

Pendapatan dan Keuntungan

8 Harga input bahan baku ( Rp / Kg) H 20.000

9 Sumbangan input lain ( Rp / Kg) I 5.883,33

10 Nilai produk ( 4 ) x ( 6 ) ( Rp / Kg) J = D X F 48.000,00

11 a. Nilai tambah ( 10 ) - ( 8 ) – ( 9 ) ( Rp / Kg) K = J-H-I 22.116,67

b. Rasio nilai tambah (11a) / (10 ) ( % ) L % = ( K / J ) % 46,08

12 a. Pendapatan Tenaga kerja ( Rp / Kg) M = E x G 562,50

b. Imbalan tenaga kerja (12a) / (11a) ( % ) N % = ( M / K ) % 2,54

13 a. Keuntungan (11a) – ( 12a) ( Rp / Kg) O = K – M 21.554,17

b. Tingkat keuntungan (13a) / (10 ) ( % ) P % = ( O -J ) % 44,90

Balas Jasa Untuk Faktor produksi

14

Marjin ( 10 ) - ( 8 ) ( Rp / Kg) Q = J – H 28.000,00

a. Pendapatan tenaga kerja (12a) / (14 ) ( % ) R % = ( M / Q ) % 2,01

b. Sumbangan input lain ( 9 ) / (14 ) ( % ) S % = ( I / Q ) % 21,01

c. Keuntungan perusahaan (13a) / (14 ) ( % ) T % = ( O / Q ) % 76,98

118

Harga biji kopi organik yang digunakan sebagai bahan baku yaitu harga jual rata-

rata ditingkat petani yaitu Rp 20.000,00 dan harga jual kopi bubuk organik yaitu

Rp 60.000,00 per kilogram. Berdasarkan Tabel 33 jumlah output yang dihasilkan

yaitu 640 kg kopi bubuk dari 800 kg biji kopi. Nilai faktor konversi dalam

pengolahan ini yaitu 0,8, yang berarti setiap satu kilogram biji kopi organik akan

menghasilkan 0,8 kg kopi bubuk organik. Nilai faktor konversi diperoleh dari dari

perbandingan hasil output dengan jumlah input yang digunakan. Faktor koefisien

tenaga kerja yang diperoleh yaitu 0,01, hal ini menunjukkan bahwa jumlah hari

orang kerja yang dibutuhkan untuk mengolah satu kilogram biji kopi organik

menjadi kopi bubuk organik diperlukan tenaga kerja sebesar 0,01 HOK. Faktor

koefisien tenaga kerja merupakan perbandingan jumlah hari orang kerja dengan

bahan baku yang digunakan dalam satu kali proses pengolahan.

Nilai tambah pengolahan biji kopi organik menjadi kopi bubuk organik yaitu

sebesar Rp 22.116,67 per kilogram dengan rasio nilai tambah sebesar 46,08

persen. Artinya dari Rp 22.116,67 nilai produk 46,08 persen merupakan nilai

tambah dari pengolahan produk. Nilai tambah diperoleh dari pengurangan nilai

produk dengan harga bahan baku dan sumbangan input lain. Nilai tambah yang

diperoleh ini merupakan nilai tambah kotor bagi pengolah karena belum dikurangi

dengan balas jasa bagi tenaga kerja. Imbalan bagi tenaga kerja yaitu sebesar

Rp 562,50 atau sebesar 2,54 persen dari nilai tambah merupakan imbalan bagi

tenaga kerja.

Keuntungan yang diperoleh dari pengolahan kopi bubuk organik yaitu

Rp 21.554,17, keuntungan ini merupakan nilai tambah bersih dari pengolahan

119

karena sudah dikurangi dengan imbalan bagi tenaga kerja. Besarnya tingkat

keuntungan yaitu 44,90 persen, hal ini berarti 44,90 persen dari harga jual

merupakan keuntungan yang diterima pengolah. Marjin yang diperoleh dari setiap

penjualan kopi bubuk organik yaitu sebesar Rp 28.000 per kilogram, marjin ini

kemudian dibagi untuk tenaga kerja sebesar Rp 562,50 per kilogram atau 2,01

persen, sumbangan input lain sebesar Rp 5.883,33 atau 21,01 persen dan

keuntungan perusahaan sebesar Rp 21.554,17, atau sebesar 76,98 persen.

Nilai tambah yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan nilai

tambah pengolahan kopi bubuk arabika organik pada penelitian yang dilakukan

oleh Maimun (2009). Menurut Maimun (2009) nilai tambah pengolahan kopi

bubuk arabika yang diperoleh yaitu sebesar Rp.30.832,54 per kilogram dengan

rasio nilai tambah sebesar 58,72 persen. Keuntungan yang diperoleh perusahaan

adalah sebesar Rp. 29.692,54. Perbedaan besarnya nilai tambah yang diperoleh

disebabkan karena harga jual kopi bubuk arabika organik yang lebih tinggi dan

harga bahan baku kopi arabika organik lebih murah.

Kopi bubuk organik yang dihasilkan dikemas dalam kemasan ukuran 200 gram

dengan harga Rp 12.000,00. Pemasaran kopi bubuk organik ini dilakukan secara

langsung atau melalui gerai atau outlet. Pemasaran secara langsung dilakukan

dengan cara membeli langsung kopi bubuk organik di pabrik atau rumah ketua

gapoktan. Pemasaran melalui outlet dilakukan untuk mengenalkan Kopi Hitam

Organik Liwa semakin dikenal sebagai oleh-oleh khas Kabupaten Lampung Barat.

120

Adapun gambar biji kopi dan kopi bubuk organik tersaji pada Gambar 3.

Gambar 3. Biji kopi dan kopi bubuk organik

d. Manfaat dalam Penerapan Usahatani yang Berkelanjutan Secara

Ekonomi

Selain menghitung manfaat ekonomi berupa peningkatan produktivitas, efisiensi

biaya, pendapatan dan nilai tambah, manfaat ekonomi program sertifikasi juga

dihitung melalui penilaian praktik usahatani yang berkelanjutan secara ekonomi.

Indikator-indikator yang digunakan yaitu pihak yang menentukan harga kopi,

lembaga pemasaran yang bekerja sama dengan petani, penentuan harga

berdasarkan kualitas dan keterbukaan untuk proses tawar menawar. Indikator-

indikator yang digunakan mengacu pada standar SNI 6729 2013 sistem pertanian

organik. Keempat indikator ini kemudian diuji validitas dan reliabilitas untuk

mengetahui apakah indikator yang digunakan mampu menggambarkan fenomena

dilapangan. Hasil uji validitas dan reliabilitas penilaian praktik usahatani kopi

yang berkelanjutan secara ekonomi tersaji pada Tabel 34.

121

Tabel 34. Hasil uji validitas dan reliabilitas penilaian praktik usahatani kopi

yang berkelanjutan secara ekonomi

No Indikator Extraction Keterangan

Keadilan dalam proses transaksi

1 Pihak yang menentukan harga kopi (KT1) 0,705 Valid

2 Lembaga pemasaran yang bekerja sama dengan petani (KT2) 0,750 Valid

3 Penentuan harga kopi berdasarkan mutu/grade kopi (KT3) 0,688 Valid

4 Penentuan harga dilakukan melalui proses tawar-menawar/negosiasi

harga (KT4) 0,653 Valid

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. 0,571 Valid

Signifikansi 0,002 Valid

cronbach alpa 0,458 Reliabel

Berdasarkan Tabel 34 indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian adalah

valid. Hal ini terlihat dari nilai Kaiser Meeyer Olkin (KMO) sebesar 0,571 (>0,5)

dan signifikan Barlet’s test sphercity sebesar 99 persen. Nilai extraction untuk

masing-masing indikator berada diatas 0,4 sehingga semua indikator penilaian

manfaat lingkungan dinyatakan valid. Nilai cronbach alpa yang diperoleh yaitu

sebesar 0,458 yang berarti instumen-instrumen yang digunakan cukup reliabel.

Menurut Guilford dalam Sugiyono (2007) nilai koefisien cronbach alpa terbagi

menjadi lima yaitu sangat reliabel (>0,90), reliabel (0,7-0,9), cukup reliabel (0,4-

0,6), kurang reliabel (0,2-0,4) dan tidak reliabel (<0,2). Instrumen-instrumen yang

digunakan memiliki reliabilitas yang sedang disebabkan karena indikator yang

digunakan untuk mengukur praktik usahatani yang berkelanjutan secara ekonomi

sangat terbatas hanya empaat indikator oleh sebab itu tidak dapat menggambarkan

keadaan seluruhnya dilapangan.

Penilaian praktik usahatani kopi yang berkelanjutan secara ekonomi menggunakan

skor 1-3. Skor (1) berarti pernyataan indikator tidak sesuai dengan prinsip, skor

(2) berarti pernyataan indikator kurang sesuai dengan prinsip dan skor (3) jika

pernyataan indikator sesuai dengan prinsip. Hasil uji Mann Whitney penilaian

122

praktik usahatani kopi yang berkelanjutan secara ekonomi disajikan dalam Tabel

35.

Tabel 35. Hasil uji Mann Whitney penilaian praktik usahatani kopi yang

berkelanjutan secara ekonomi

No Indikator Petani

sertifikasi

Peetani

Nonsertifikasi

Keadilan dalam proses transaksi

1 Pihak yang menentukan harga kopi (KT1) 2,17 1,87

2 Lembaga pemasaran yang bekerja sama dengan petani (KT2) 1,43 1,00

3 Penentuan harga kopi berdasarkan mutu/grade kopi (KT3) 2,73 2,27

4 Penentuan harga dilakukan melalui proses tawar-

menawar/negosiasi harga (KT4) 2,43 1,93

Total 8,76 7,07

Indeks keberlanjutan (persen) 73 58,92

Mann Whitney-U 216,000

Z hitung I 3,517 I

Z tabel (Z α = 0,05) I 1,645 I

Berdasarkan Tabel 35 rata-rata skor praktik usahatani kopi yang berkelanjutan

secara ekonomi petani sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Secara

keseluruhan petani sertifikasi sudah menerapkan dengan baik indikator-indikator

penilaian praktik usahatani kopi yang berkelanjutan secara ekonomi. Pada proses

penjualan kopi organik petani sertifikasi lebih terbuka untuk negosiasi harga atau

tawar-menawar. Petani sertifikasi selain bekerjasama dengan gapoktan sebagai

penampung kopi organik juga bekerja sama dengan PT Nestle. Bentuk kerjasama

petani sertifikasi dengan PT Nestle adalah sistem langganan. Pihak Nestle selalu

memberi informasi harga kopi kepada petani sehingga petani dapat mengetahui

perkembangan harga kopi. Hal ini berbeda dengan petani nonsertifikasi yang

tidak bekerjasama dengan lembaga pemasaran manapun kecuali tengkulak. Pada

indikator penentuan harga berdasarkan mutu/grade kopi, baik petani sertifikasi

dan nonsertifikasi sudah merasakan manfaat ini. Harga kopi yang diterima petani

123

didasarkan pada kadar air kopi, banyaknya biji kopi yang cacat serta kebersihan

kopi.

Hasil uji Mann Whitney praktik usahatani kopi yang berkelanjutan secara ekonomi

petani sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Hal ini ditunjukkan melalui

nilai |Zhitung| = |3,517| yang lebih besar dari |Ztabel (α=0,05)| = |1,645| sehingga

keputusan yang diambil yaitu tolak Ho. Artinya rata-rata manfaat ekonomi yang

diterima petani sertifikasi lebih signifikan lebih tinggi dari petani nonsertifikasi.

Hal ini menunjukkan bahwa petani sertifikasi telah merasakan manfaat ekonomi

dari sertifikasi INOFICE terutama dalam keadilan proses transaksi seperti

keterbukaan untuk negosiasi harga, penentuan harga kopi berdasarkan kualitas

serta kerjasama dengan lembaga pemasaran kopi. Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Juwita (2013) mengenai manfaat

pembinaan dan verifikasi kopi di Kabupaten Tanggamus yang menghasilkan

bahwa petani terverifikasi mempunyai persepsi yang lebih tinggi mengenai

manfaat ekonomi program verifikasi dibandingkan petani nonverifikasi.

2. Manfaat Lingkungan

Penilaian manfaat lingkungan program sertifikasi INOFICE diukur menggunakan

indikator-indikator manfaat lingkungan yaitu manajemen ekosistem, konservasi

tanah dan air, tata cara produksi, pembuatan dan penggunaan input, serta

pemanenan dan penyimpanan. Indikator-indikator penilaian manfaat lingkungan

kemudian diuji validitas dan reliabilitas untuk melihat apakah indikator-indikator

yang digunakan valid dan reliabel. Hasil uji validitas dan reliabilitas indikator

penilaian manfaat lingkungan tersaji dalam Tabel 36.

124

Tabel 36. Hasil uji validitas dan reliabilitas indikator penilaian praktik

usahatani kopi organik yang berkelanjutan secara lingkungan

No Indikator Extraction Keterangan

Manajemen Ekosistem

1 Macam-macam tanaman naungan yang ditanam di lahan (ME1) 0,908 Valid

2 Jumlah tanaman naungan yang ditanam di lahan (ME2) 0,829 Valid

Konservasi Tanah dan air

Valid

3 Cara membersihkan rumput dikebun (KT1) 0,82 Valid

4 Daur ulang sisa-sisa hasil panen (daun, kulit kopi dll) untuk menjadi

pupuk organik (KT2) 0,787 Valid

5 Pembuatan parit, tanggul, guludan, terasering atau penanaman

mengikuti kontur untuk mencegah erosi (KT3) 0,766 Valid

6 Tempat membuang air dari sisa penggunaan herbisida atau pestisida

dan input lainnya (KT4) 0,863 Valid

7 Cara mengelola sampah dedaunan (KT5) 0,751 Valid

8 Tempat membuang sampah plastik, botol dll yang ada dilahan (KT6) 0,707 Valid

Tata cara produksi

9 Lama masa konversi lahan untuk tanaman tahunan 3 tahun sebelum

panen pertama (TP1) 0,748 Valid

10 Lahan organik dan konvensional memiliki pembatas yang jelas berupa

zona penyangga (buffer zone) (TP2) 0,811 Valid

Kesuburan dan aktivitas biologi tanah harus dipelihara atau

ditingkatkan dengan : Valid

11 a. Sumber bahan penyubur tanah berasal dari mikroba, tumbuhan dan

hewan organik (TP3) 0,889 Valid

12 b. Penggunaan pupuk organik (pupuk kompos, pupuk hijau dan pupuk

kandang) pada lahan (TP4) 0,826 Valid

13

Hama, penyakit dan gulma harus dikendalikan dengan salah satu atau

kombinasi dari cara-cara berikut (TP5) :

Pengendalian mekanis dengan penggunaan perangkap, penghalang,

cahaya dan suara.

Pengedalian hama, penyakit, dan gulma menggunakan pestisida nabati.

Pelestarian musuh alami (parasit, predator, patogen dan serangga).

Ekosistem yang beragam (tumpangsari, buffer zone, dan agroforestry).

Penggunaan mulsa dan penyiangan

0,863 Valid

14 Jarak zona pembatas terhadap permukiman dan sumber air atau sungai

(TP6) 0,823 Valid

15 Pembersihan semua peralatan yang digunakan sebelum digunakan

pada lahan organik (TP7) 0,745 Valid

Penggunaan dan Pembuatan Input Produksi Pertanian Organik

16 Benih/bibit kopi berasal dari tanaman kopi organik (IN1) 0,824 Valid

17 Penggunaan bahan kimia sintetik (pupuk dan pestisida kimia) dalam

proses produksi kopi (IN2) 0,867 Valid

Pemanenan dan Penyimpanan

18 Cara pemanenan kopi (PN1) 0,726 Valid

19 Cara penjemuran kopi (PN2) 0,821 Valid

20 Pembersihan alat-alat pengolahan (PN3) 0,732 Valid

21 Tempat penyimpanan kopi (PN4) 0,713 Valid

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. 0,739 Valid

Signifikansi 0,000 Valid

cronbach alpa 0,885 Reliabel

125

Berdasarkan Tabel 36 hasil uji validitas dan reliabilitas indikator manfaat

lingkungan menunjukkan bahwa instrumen-instrumen yang digunakan dalam

penelitian adalah valid. Hal ini terlihat dari nilai Kaiser Meyer Olkin (KMO) yaitu

0,739 (>0,5) dan signifikan Barlet’s test sphercity sebesar 99 persen. Nilai

extraction untuk masing-masing indikator berada diatas 0,4 sehingga semua

indikator penilaian manfaat lingkungan dinyatakan valid. Nilai cronbach alpa

yang diperoleh yaitu sebesar 0,885, hal ini berarti instrumen-instrumen yang

digunakan memiliki reliabilitas yang baik. Instrumen-instrumen penilaian

manfaat lingkungan yang telah dinyatakan valid dan reliabel kemudian diuji

menggunakan uji Mann Whitney u test untuk melihat ada tidaknya perbedaan

manfaat lingkungan yang diterima petani sertifikasi. Hasil uji Mann Whitney u

test indikator penilaian praktik usahatani kopi organik yang berkelanjutan secara

lingkungan tersaji pada Tabel 37.

Sistem usahatani kopi secara organik yang dilakukan petani sertifikasi

mengedepankan asas keberlanjutan lingkungan. Petani sertifikasi diwajibkan

untuk mengetahui dan menerapkan tata cara budidaya secara organik. Penerapan

manajemen ekosistem petani sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Hal

ini terlihat berbagai macam tanaman naungan yang ditanam serta banyaknya

jumlah pohon yang ditanam. Meskipun jumlah tanaman naungan yang ditanam

petani sertifikasi dan nonsertifikasi belum memenuhi standar ideal yaitu 300-600

pohon/ha, namun jumlah naungan yang ditanam petani sertifikasi lebih baik dari

petani nonsertifikasi. Keberadaan tanaman naungan sangat bermanfaat selain

sebagai penaung juga berfungsi sebagai penyerap karbon dan penyangga

126

ekosistem disekitar. Adapun gambar kebun kopi organik dan anorganik tersaji

pada Gambar 4.

Gambar 4. Kebun kopi organik dan kebun kopi anorganik

Petani sertifikasi juga lebih baik dalam menerapkan konservasi tanah dan air

dibandingkan petani nonsertifikasi. Petani sertifikasi menjaga kesuburan tanah

dengan membersihkan rumput dengan cara mekanik (koret) kemudian sisa-sisa

rumput dibenamkan untuk dijadikan pupuk hijau, selain itu sisa-sisa kulit kopi,

sampah dedaunan juga dibenamkan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Petani

nonsertifikasi lebih banyak membersihkan rumput dengan cara disemprot dengan

pestisida kimia. Rata-rata petani nonsertifikasi membersihkan sampah plastik,

botol dan kaleng yang ada dilahan dengan cara dibakar sedangkan petani

sertifikasi membersihkan dengan cara dipendam ke dalam tanah atau dikumpulkan

kemudian dijual agar dapat didaur ulang.

Dari segi tata cara produksi, petani sertifikasi juga sudah menerapkan prinsip ini

dengan baik. Petani sertifikasi menggunakan pupuk kandang sebagai pengganti

pupuk kimia, walau masih ada petani sertifikasi yang menggunakan pupuk dan

pestisida kimia namun penggunaan pupuk dan pestisida kimia masih terkontrol.

127

Pengendalian HPT dilakukan dengan cara-cara alami melalui pengendalian

mekanis seperti dikoret dan penggunaan pestisida nabati.

Tabel 37. Hasil uji Mann Whitney indikator penilaian praktik usahatani

kopi organik yang berkelanjutan secara lingkungan

No Indikator Petani

Sertifikasi

Petani

Nonsertifikasi

Manajemen Ekosistem

1 Macam-macam tanaman naungan yang ditanam di lahan (ME1) 2,67 2,00

2 Jumlah tanaman naungan yang ditanam di lahan (ME2) 2,13 1,63

Konservasi Tanah dan air

3 Cara membersihkan rumput dikebun (KT1) 2,47 1,63

4 Daur ulang sisa-sisa hasil panen (daun, kulit kopi dll) untuk menjadi pupuk

organik (KT2) 2,73 2,87

5 Pembuatan parit, tanggul, guludan, terasering atau penanaman mengikuti

kontur untuk mencegah erosi (KT3) 1,60 1,27

6 Tempat membuang air dari sisa penggunaan herbisida atau pestisida dan

input lainnya (KT4) 2,37 1,77

7 Cara mengelola sampah dedaunan (KT5) 2,67 2,53

8 Tempat membuang sampah plastik, botol dll yang ada dilahan (KT6) 2,63 1,97

Tata cara produksi

9 Lama masa konversi lahan untuk tanaman tahunan 3 tahun sebelum panen

pertama (TP1) 1,57 1,00

10 Lahan organik dan konvensional memiliki pembatas yang jelas berupa zona

penyangga (buffer zone) (TP2) 2,80 2,53

Kesuburan dan aktivitas biologi tanah harus dipelihara atau ditingkatkan

dengan :

11 a.Sumber bahan penyubur tanah berasal dari mikroba, tumbuhan dan hewan

organik (TP3) 2,53 1,27

12 b.Penggunaan pupuk organik (pupuk kompos, pupuk hijau dan pupuk

kandang) pada lahan (TP4) 2,83 1,40

13

Hama, penyakit dan gulma harus dikendalikan dengan salah satu atau

kombinasi dari cara-cara berikut (TP5) :

Pengendalian mekanis dengan penggunaan perangkap, penghalang, cahaya

dan suara.

Pengedalian hama, penyakit, dan gulma menggunakan pestisida nabati.

Pelestarian musuh alami (parasit, predator, patogen dan serangga).

Ekosistem yang beragam (tumpangsari, buffer zone dan agroforestry)

Penggunaan mulsa dan penyiangan

2,50 1,63

14 Jarak zona pembatas terhadap permukiman dan sumber air atau sungai

(TP6) 2,37 1,80

15 Pembersihan semua peralatan yang digunakan sebelum digunakan pada

lahan organik (TP7) 2,37 1,77

Penggunaan dan Pembuatan Input Produksi Pertanian Organik

16 Benih/bibit kopi berasal dari tanaman kopi organik (IN1) 2,43 2,00

17 Penggunaan bahan kimia sintetik (pupuk dan pestisida kimia) dalam proses

produksi kopi (IN2) 2,10 1,03

Pemanenan dan Penyimpanan

18 Cara Pemanenan kopi (PN1) 1,83 1,50

19 Cara penjemuran kopi (PN2) 2,27 1,73

20 Pembersihan alat-alat pengolahan (PN3) 2,30 1,50

21 Tempat penyimpanan kopi (PN4) 2,23 1,67

Total 49,40 36,50

Indeks keberlanjutan (persen) 78,41 57,94

Mann Whitney-U 23,5

Z hitung I 6,316 I

Z tabel (Z α = 0,05) I 1,645 I

128

Selain itu, untuk mencegah kontaminasi petani sertifikasi dan nonsertifikasi

membuat pembatas alami dari tanaman serai dan junjung merah. Tata cara

produksi kopi organik yang ramah lingkungan memberikan manfaat bagi

lingkungan untuk mencegah degradasi lahan dari penggunaan bahan-bahan kimia

secara terus menerus.

Sistem panen kopi yang baik yaitu dengan memetik biji kopi yang sudah

merah/matang, baik petani sertifikasi maupun nonsertifikasi rata-rata melakukan

pemanenan dengan memetik biji kopi yang merah dan kuning. Penjemuran kopi

dilakukan petani sertifikasi dengan menggunakan alas atau di lantai semen hal ini

dilakukan supaya aroma tanah tidak masuk kedalam biji kopi dan kualitas rasa

kopi tetap terjaga. Namun, masih ada petani sertifikasi yang menjemur di tanah

tanpa alas sama seperti kebanyakan petani nonsertifikasi.

Secara keseluruhan penerapan usahatani kopi yang dilakukan oleh petani

sertifikasi lebih baik dan ramah terhadap lingkungan dibandingkan dengan petani

nonsertifikasi. Hasil uji Mann Whitney juga menunjukkan bahwa manfaat

lingkungan petani sertifikasi signifikan lebih tinggi dibandingkan manfaat

lingkungan petani nonsertifikasi. Hal ini ditunjukkan melalui nilai |Zhitung| =

|6,316| yang lebih besar dari |Ztabel (α=0,05)| = |1,645| sehingga keputusan yang

dipilih yaitu tolak Ho artinya rata-rata manfaat lingkungan yang diterima petani

sertifikasi lebih tinggi dari manfaat lingkungan yang diterima petani nonsertifikasi

Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian Blackman dan Naranjo (2012)

yang meneliti dampak sertifikasi organik pada petani kopi di Costarica

menunjukkan bahwa petani organik lebih rendah dalam menggunakan pestisida,

129

herbisida dan pupuk kimia, petani organik lebih memilih menggunakan pupuk

organik, penanaman tanaman naungan dan melakukan berbagai tindakan

konservasi tanah.

Hasil penelitian juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chairawaty

(2012) yang meneliti tentang dampak sertifikasi fair trade terhadap perlindungan

lingkungan. Selain memberikan dampak ekonomi dan sosial, sertifikasi fair trade

memberikan dampak lingkungan. Dampak lingkungan yang dirasakan petani

yaitu peningkatan kesuburan tanah yang terlihat dari kebun petani yang lebih

hijau, teratur dan kondisinya jauh lebih baik. Selain itu bertambahnya

keanekaragaman hayati yang terlihat dari macam-macam tanaman peneduh dan

tanaman lainnya di perkebunan yang berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem.

Hasil penelitian juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Bacon et al

(2008) kepada 177 sampel petani kopi di Nicaragua menemukan bahwa sertifikasi

Fair trade secara signifikan memberikan manfaat terhadap lingkungan dengan

penerapan praktik usahatani yang bersahabat lingkungan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa 68 persen petani kopi Fair Trade sudah

mengimplementasikan sistem pembersihan air sementara petani nonsertifikasi

hanya 40 persen yang menerapkan. Selain itu sebesar 43 persen petani Fair Trade

sudah menerapkan praktik konservasi tanah dan air sementara hanya 10 persen

petani konvensional yang melakukan.

3. Manfaat Sosial

Penilaian Manfaat sosial dari program sertifikasi INOFICE dilakukan untuk

melihat apakah terdapat peningkatan kehidupan sosial para petani setelah

130

mengikuti program sertifikasi. Manfaat sosial dinilai berdasarkan proses budidaya

kopi yang dapat diterima secara sosial melalui indikator-indikator manfaat sosial

menurut SNI 6729 2013 sistem pertanian organik. Indikator-indikator yang

digunakan dalam menilai manfaat sosial yaitu kesehatan petani, kearifan lokal,

keadilan sosial, kebebasan berkumpul dan berorganisasi serta kesetaraan gender

dan tidak bertindak diskriminatif. Indikator-indikator penilaian manfaat sosial

terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitas untuk melihat apakan indikator-

indikator yang digunakan benar-benar mampu menggambarkan hasil penelitian.

Hasil uji validitas dan reliabilitas manfaat sosial tersaji pada Tabel 38.

Berdasarkan Tabel 38 hasil uji validitas menunjukkan bahwa nilai Kaiser Meyer

Olkin (KMO) berada diatas 0,5 dan signifikan Barlet’s test sphercity sebesar 99

persen, sehingga semua indikator dinyatakan valid. Nilai extraction untuk semua

indikator juga berada diatas 0,4 yang menunujukkan bahwa indikator-indikator

yang digunakan dalam penelitian adalah valid. Hasil uji reliabilitas manfaat sosial

menunjukkan nilai cronbach alpa sebesar 0,839 lebih besar dari 0,6, hal ini

berarti indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian reliabel atau handal.

Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas menandakan bahwa indikator-

indikator yang digunakan dalam penelitian dapat menggambarkan keadaan atau

fenomena yang sebenarnya.

131

Tabel 38. Hasil uji validitas dan reliabilitas indikator praktik usahatani

kopi organik yang berkelanjutan secara sosial

No Indikator Extraction Keterangan

Kesehatan Petani

1 Penggunaan Alat-alat pelindung ketika pemupukan dan

penyemprotan (KP1) 0,490 Valid

2 Penyimpanan peralatan pelindung diri yang bersamaan dengan

penyimpanan bahan kimia (pupuk, pestisida,dll) (KP2) 0,765 Valid

3 Tempat penyimpanan pupuk dan pestisida (KP3) 0,735 Valid

4 Jarak penyimpanan pupuk dan pestisida dari sumber air atau

sumur (KP4) 0,632 Valid

5 Tempat membersihkan diri dan mencuci pakaian setelah

melakukan pemupukan dan penyemprotan pestisida (KP5) 0,703 Valid

Kearifan Lokal

6 Mengadakan musyawarah/diskusi mengenai permasalahan dalam

budidaya kopi (KL1) 0,889 Valid

7 Iuran rutin untuk kegiatan kelompok tani dan bantuan bagi

kelompok tani yang membutuhkan (KL2) 0,896 Valid

8 Pelaksanaan pelatihan dan penyuluhan bagi petani dari kelompok

tani bekerja sama dengan lembaga sertifikasi (KL3) 0,861 Valid

9 Penanaman kopi dengan pola tumpangsari dan tanaman naungan

(KL4) 0,584 Valid

10 Status dan kepemilikan lahan yang digunakan untuk usahatani

kopi (KL5) 0,637 Valid

Keadilan Sosial

11 Pertimbangan dalam melilih pekerja (KS1) 0,757 Valid

12 Penentuan jam istirahat bagi pekerja (KS2) 0,625 Valid

13 Cara penentuan upah bagi pekerja (KS3) 0,639 Valid

Kebebasan berkumpul dan berorganisasi

14 Lembaga atau organisasi apa saja yang diikuti petani (KB1) 0,592 Valid

15 Keaktifan petani dalam kegiatan dan perkumpulan organisasi

yang diikuti (KB2) 0,731 Valid

16 Keaktifan petani dalam mengikuti penyuluhan oleh

penyuluh/tokoh desa/perusahaan (KB3) 0,814 Valid

Kesetaraan Gender dan tidak bertindak diskriminati

17 Pemilihan pekerja didasarkan pada jenis kelamin (gender) (KG1) 0,892 Valid

18 Perbandingan jumlah pekerja pria dan wanita (KG2) 0,891 Valid

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. 0,735 Valid

Signifikan 0,000 Valid

cronbach alpa 0,839 Reliabel

Indikator-indikator manfaat sosial yang telah diuji validitas dan reliabilitas

kemudian dapat digunakan untuk dianalisis lebih lanjut dengan uji Mann Whitney

u test. Hasil uji Mann Whitney u test indikator penilaian praktik usahatani kopi

organik yang berkelanjutan secara sosial tersaji dalam Tabel 39.

132

Tabel 39. Hasil uji Mann Whitney u test indikator penilaian praktik usahatani

kopi organik yang berkelanjutan secara sosial

No Indikator Petani

Sertifikasi

Petani

nonsertifikasi

Kesehatan Petani

1 Penggunaan Alat-alat pelindung ketika pemupukan dan

penyemprotan (KP1) 2,20 1,70

2 Penyimpanan peralatan pelindung diri yang bersamaan dengan

penyimpanan bahan kimia (pupuk, pestisida,dll) (KP2) 2,43 1,97

3 Tempat penyimpanan pupuk dan pestisida (KP3) 2,23 2,10

4 Jarak penyimpanan pupuk dan pestisida dari sumber air atau

sumur (KP4) 2,13 1,77

5 Tempat membersihkan diri dan mencuci pakaian setelah

melakukan pemupukan dan penyemprotan pestisida (KP5) 2,17 2,17

Kearifan Lokal

6 Mengadakan musyawarah/diskusi mengenai permasalahan dalam

budidaya kopi (KL1) 2,63 1,23

7 Iuran rutin untuk kegiatan kelompok tani dan bantuan bagi

kelompok tani yang membutuhkan (KL2) 2,77 1,10

8 Pelaksanaan pelatihan dan penyuluhan bagi petani dari kelompok

tani bekerja sama dengan lembaga sertifikasi (KL3) 2,60 1,00

9 Penanaman kopi dengan pola tumpangsari dan tanaman naungan

(KL4) 2,97 2,50

10 Status dan kepemilikan lahan yang digunakan untuk usahatani

kopi (KL5) 2,63 2,67

Keadilan Sosial

11 Pertimbangan dalam melilih pekerja (KS1) 2,33 2,30

12 Penentuan jam istirahat bagi pekerja (KS2) 2,93 2,60

13 Cara penentuan upah bagi pekerja (KS3) 2,57 1,70

Kebebasan berkumpul dan berorganisasi

14 Lembaga atau organisasi apa saja yang diikuti petani (KB1) 2,73 2,43

15 Keaktifan petani dalam kegiatan dan perkumpulan organisasi

yang diikuti (KB2) 2,57 1,47

16 Keaktifan petani dalam mengikuti penyuluhan oleh

penyuluh/tokoh desa/perusahaan (KB3) 2,63 1,33

Kesetaraan Gender dan tidak bertindak diskriminati

17 Pemilihan pekerja didasarkan pada jenis kelamin (gender) (KG1) 2,60 2,30

18 Perbandingan jumlah pekerja pria dan wanita (KG2) 2,67 2,43

Total 45,80 34,77

Indeks keberlanjutan (persen) 84,81 64,39

Mann Whitney-U 8,00

Z hitung I 6,544 I

Z tabel (Z α = 0,05) I 1,645 I

Berdasarkan Tabel 39 rata-rata skor penilaian manfaat sosial petani sertifikasi

lebih baik dari petani nonsertifikasi. Indikator pertama dalam penilaian manfaat

sosial yaitu tentang kesehatan petani. Indikator ini mengarahkan bagaimana cara

petani melakukan cara budidaya kopi yang sehat. Hasil penelitian menunjukkan

133

bahwa rata-rata nilai indikator kesehatan petani yang diperoleh petani sertifikasi

lebih baik dibandingkan petani nonsertifikasi. Rata-rata petani sertifikasi sudah

menggunakan alat-alat pelindung seperti sepatu, masker dan topi ketika

melakukan pemupukan dan penyemprotan, berbeda dengan petani nonsertifikasi

yang jarang menggunakan alat pelindung. Hal ini menunjukkan bahwa petani

sertifikasi mempunyai kesadaran yang cukup baik untuk menjaga kesehatan diri.

Indikator kearifan lokal mendorong petani untuk melakukan usahatani kopi sesuai

dengan kearifan lokal yang ada di daerah penelitian. Contoh kearifan lokal yang

diterapkan petani sertifikasi dan nonsertifikasi yaitu menggunakan bibit kopi

varietas lokal dan budidaya kopi dengan sistem tumpangsari dan tanaman

naungan. Sebesar 96,67 persen petani sertifikasi menerapkan sistem tumpangsari

dan naungan pada usahatani kopi sedangkan petani nonsertifikasi yang menanam

tanaman tumpangsari sebesar dan naungan hanya 60 persen. Hal ini menunjukkan

bahwa petani sertifikasi mempuyai pemahaman yang baik mengenai penerapan

kearifan lokal dalam kegiatan sehari-hari. Petani sertifikasi sering mengadakan

musyawarah atau pertemuan untuk sharing mengenai budidaya kopi berbeda

dengan petani nonsertifikasi yang jarang bahkan tidak mengadakan pertemuan.

Petani sertifikasi juga mendapatkan pengarahan atau informasi dari lembaga

sertifikasi mengenai budidaya kopi yang berwawasan sosial dan lingkungan.

Pada indikator kebebasan berkumpul dan berorganisasi, petani sertifikasi lebih

aktif dalam mengikuti kegiatan pada kelompok tani, arisan pengajian dan

penyuluhan dibandingkan petani nonsertifikasi. Pada indikator keadilan sosial

baik petani sertifikasi maupun nonsertifikasi mempunyai rata-rata skor tidak

134

begitu berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa baik petani sertifikasi maupun

nonsertifikasi tidak memiliki pertimbangan khusus dalam pertimbangan pemilihan

pekerja dan cara penentuan upah pekerja. Para petani memilih pekerja

berdasarkan kemampuan dan potensi kerja yang dimiliki. Selain itu petani

sertifikasi dan nonsertifikasi tidak membedakan atau diskriminasi terhadap tenaga

kerja pria dan wanita. Dengan kata lain kedua kelompok sudah menjunjung asas

kesetaraan gender dalam penggunaan tenaga kerja untuk usahatani kopi.

Secara keseluruhan petani sertifikasi sudah menerapkan indikator-indikator

penilaian manfaat sosial dengan baik. Petani nonsertifikasi juga sudah

menerapkan indikator-indikator manfaat sosial namun tidak sebanyak petani

sertifikasi. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa nilai |Zhitung| = |6,544|

lebih besar dari |Ztabel (α=0,05)| = |1,645| sehingga keputusan yang diambil yaitu tolak

Ho artinya secara statistik rata-rata manfaat sosial yang diterima petani sertifikasi

lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa sertifikasi

INOFICE sudah memberikan manfaat dalam aspek sosial bagi petani sertifikasi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Chairawaty (2012) yang

menunjukkan bahwa sertifikasi Fair Trade memberikan dampak sosial berupa

kuatnya organisasi petani dalam produksi dan pemasaran. Petani mendapatkan

bantuan dari jaringan yang ada dalam Fair Trade dan petani juga merasakan

manfaat berupa kemudahan dalam pemasaran karena adanya kepastian harga dan

kontrak. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Bray, Sanchez and Murphy

(2002) kepada 147 petani di Meksiko menunjukkan bahwa sertifikasi organik

memberikan manfaat secara keseluruhan. Manfaat sosial yang diterima petani

135

yaitu adanya kepastian harga berupa harga yang lebih tinggi untuk kopi organik.

Selain itu petani juga mendapatkan akses kredit, perumahan, makanan, program

kesehatan, infrastruktur kegiatan produksi dan perjalanan ke Kota Meksiko untuk

anak-anak mereka dari lembaga sertifikasi.

4. Keberlajutan Usahatani Kopi Organik di Kecamatan Air Hitam

Kabupaten Lampung Barat

Penekanan sistem pertanian berkelanjutan didasarkan pada tiga aspek yaitu aspek

ekonomi, lingkungan dan sosial. Suatu usahatani dikatakan berkelanjutan jika

secara ekonomi mampu memenuhi kebutuhan petani dan menguntungkan, secara

sosial mampu meningkatkan kehidupan sosial petani dan mampu menjaga serta

meningkatkan kualitas lingkungan sekitar. Keberlanjutan usahatani kopi organik

di Kecamatan Air Hitam dinilai dari penilaian manfaat ekonomi, lingkungan dan

sosial berdasarkan indikator pada SNI 6729 2013 sistem pertanian organik.

Keberlanjutan multidimensi (ekonomi, lingkungan dan sosial) diperoleh dari rata-

rata persentase indeks keberlanjutan dari dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial.

Hasil keberlanjutan multidimensi yang diperoleh kemudian diklasifikasikan

kedalam empat kategori menurut Thamrin et al (2007) yaitu nilai indeks 0-25

persen berarti tidak berkelanjutan (buruk), nilai indeks 25,01-50 persen artinya

kurang berkelanjutan (kurang), nilai indeks 50,01-75 berarti cukup berkelanjutan

(cukup) dan nilai indeks 75,01-100 artinya berkelanjutan (baik). Rata-rata nilai

indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi tersaji pada Tabel 40.

136

Tabel 40. Rata-rata nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, lingkungan dan

sosial usahatani kopi di Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015

Indeks Keberlanjutan (%) Petani sertifikasi Petani Nonsertifikasi

Ekonomi 73,00 58,92

Lingkungan 78,41 57,94

Sosial 84,81 64,39

Rata-rata 78,74 60,42

t hitung 12,769

t tabel (df=58, α = 0,05) 1,671553

t tabel (df=58, α = 0,10) 1,296319

Tabel 40 menunjukkan bahwa rata-rata nilai indeks keberlanjutan dari dimensi

ekonomi, lingkungan dan sosial petani sertifikasi lebih baik dari petani

nonsertifikasi. Rata-rata nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi untuk

petani sertifikasi sudah tergolong dalam kategori berkelanjutan sedangkan untuk

petani nonsertifikasi termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Adapun nilai

indeks keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial berdasarkan diagram layang

(kite diagram) tersaji pada Gambar 5.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90Ekonomi

LingkunganSosial

Petani sertifikasi

Petani nonsertifikasi

Gambar 6. Nilai indeks keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial usahatani

kopi di Kecamatan Air Hitam berdasarkan diagram layang

(kite diagram).

137

Berdasarkan Tabel 40 hasil uji beda indeks keberlanjutan usahatani kopi petani

sertifikasi dan nonsertifikasi menunjukkan bahwa nilai t hitung > t tabel (α = 0,05

dan α = 0,10) sehingga keputusan yang diambil yaitu tolak Ho. Artinya rata-rata

indeks keberlanjutan multidimensi petani sertifikasi lebih tinggi dari petani

nonsertifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa sertifikasi INOFICE sudah

memberikan manfaat bagi keberlanjutan usahatani kopi organik. Penerapan

usahatani kopi secara organik mampu memberikan manfaat berupa pemasaran

kopi yang lebih baik, kelestarian dan kesehatan lingkungan serta meningkatkan

kehidupan sosial petani. Indeks keberlanjutan petani sertifikasi berbeda dengan

petani nonsertifikasi karena petani sertifikasi sudah menerapkan indikator-

indikator praktik usahatani yang berkelanjutan secara ekonomi, lingkungan dan

sosial dengan baik.

Untuk melihat status keberlanjutan masing-masing usahatani kopi yang dilakukan

petani maka dilakukan perhitungan indeks keberlanjutan multidimensi kepada

setiap petani kopi baik sertifikasi maupun nonsertifikasi. Indeks keberlanjutan

multidimensi diperoleh dari rata-rata nilai indeks dari masing-masing dimensi.

Keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial usahatani kopi di Kecamatan Air

Hitam tersaji pada Tabel 41.

Tabel 41. Keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial usahatani kopi di

Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015

Indeks keberlanjutan

ekonomi, lingkungan

dan sosial

Petani sertifikasi Persentase Petani

Nonsertifikasi Persentase

Tidak berkelanjutan 0 0 0 0

Kurang berkelanjutan 0 0 1 3,33

Cukup berkelanjutan 8 26,67 29 96,67

Berkelanjutan 22 73,33 0 0

Jumlah 30 100 30 100

138

Berdasarkan Tabel 41 diketahui bahwa status keberlanjutan usahatani kopi petani

sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Status usahatani kopi petani

sertifikasi tergolong dalam kategori berkelanjutan dan cukup berkelanjutan secara

ekonomi, lingkungan maupun sosial. Usahatani kopi yang dilakukan petani

nonsertifikasi masih tergolong dalam cukup berkelanjutan dan kurang

berkelanjutan. Secara keseluruhan keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial

petani sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Hal ini terlihat dari 73,33

persen usahatani kopi yang dilakukan petani sertifikasi sudah berkelanjutan secara

ekonomi, lingkungan dan sosial. Pada petani nonsertifikasi 96,67 persen

usahatani kopi yang dilakukan termasuk kategori cukup berkelanjutan sedangkan

sisanya termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan secara ekonomi,

lingkungan dan sosial. Berdasarkan hasil penelitian, keberlanjutan ekonomi,

lingkungan dan sosial petani sertifikasi lebih baik dikarenakan indeks

keberlanjutan dari masing-masing dimensi yang diperoleh petani sertifikasi lebih

tinggi dari petani nonsertifikasi

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Thamrin et al

(2007) yang menganalisis keberlanjutan wilayah perbatasan Kalimantan Barat-

Malaysia untuk pengembangan kawasan agropolitan. Nilai indeks keberlanjutan

multidimensi wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang untuk pengembangan

kawasan agropolitan adalah sebesar 52,43 persen dan termasuk dalam kategori

cukup berkelanjutan secara ekonomi, ekologi, sosial budaya, teknologi

infrastruktur serta hukum dan kelembagaan.

139

Penerapan indikator-indikator penilaian manfaat ekonomi, manfaat lingkungan

dan manfaat sosial petani sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Hal ini

juga didukung dari hasil uji Mann Whitney peniliaian praktik usahatani kopi yang

berkelanjutan secara ekonomi, lingkungan dan sosial yang menunjukkan bahwa

manfaat ekonomi, manfaat lingkungan dan manfaat sosial yang diterima petani

sertifikasi lebih tinggi dari petani nonsertifikasi.

Berdasarkan hasil uji beda indikator manfaat ekonomi, petani sertifikasi telah

merasakan manfaat ekonomi dari program sertifikasi berupa peningkatan efisiensi

biaya kopi dan efisiensi biaya lahan. Manfaat berupa harga premium, peningkatan

produktivitas, biaya usahatani dan pendapatan belum dirasakan petani sertifikasi.

Secara keseluruhan keberlanjutan usahatani kopi organik di Kecamatan Air Hitam

sudah tergolong baik. Hal ini menandakan program sertifikasi organik INOFICE

sudah memberikan manfaat terutama manfaat ekonomi berupa keadilan transaksi,

manfaat terhadap kelestarian lingkungan dan manfaat dalam meningkatkan

kehidupan sosial petani