v. hasil dan pembahasan a. karakteristik respondendigilib.unila.ac.id/16128/15/bab v.pdf74 v. hasil...
TRANSCRIPT
74
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini terbagi dua yaitu petani kopi sertifikasi organik
INOFICE dan petani nonsertifikasi. Kedua kelompok responden ini memiliki
karekteristik yang berbeda yang mempengaruhi keberlangsungan usahatani kopi
yang dilakukan oleh petani.
1. Umur
Tabel 10. Sebaran petani kopi menurut umur di Kecamatan Air Hitam
Lampung Barat 2015
Umur
(tahun) Petani Sertifikasi Persentase Petani Nonsertifikasi Persentase
25-35 7 23,33 9 30,00
36-45 8 26,67 10 33,33
46-55 11 36,67 9 30,00
56-65 4 13,33 2 6,67
Jumlah 30 100 30 100
Sebaran umur responden yaitu berkisar antara umur 46-55 tahun, untuk petani
sertifikasi umur rata-rata responden yaitu 50 tahun sedangkan petani non
sertifikasi juga mempunyai rata-rata umur yang relatif sama yaitu 45 tahun.
Kedua kelompok responden berada pada kategori usia produktif, dimana petani
berada dalam keadaan fisik yang cukup kuat dalam bekerja serta mempunyai
potensi tenaga kerja yang memadai. Umur petani akan mempengaruhi usahatani
75
kopi yang dilakukan karena berkaitan dengan kemampuan kerja petani. Usia
petani yang berada pada usia produktif akan membuat petani bekerja lebih optimal
dan memiliki tenaga yang lebih baik.
2. Pendidikan
Tingkat pendidikan yang ditempuh petani mempengaruhi pengetahuan dan pola
pikir petani. Tingkat pendidikan yang ditempuh juga berhubungan dengan
kemampuan petani dalam menerima teknologi dan adopsi inovasi dalam usahatani
kopi serta mencari informasi mengenai perkembangan harga dan peluang dalam
usahatani kopi. Responden penelitian mempunyai tingkat pendidikan yang
beragam dari tingkat SD sampai jenjang diploma atau sarjana. Sebaran petani
kopi menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Sebaran petani kopi menurut tingkat pendidikan di Kecamatan
Air Hitam Lampung Barat 2015
Pendidikan Petani Sertifikasi Persentase
Petani
Nonsertifikasi Persentase
Tamat SD 12 40,00 13 43,33
Tamat SMP 5 16,67 6 20,00
Tamat SMA 11 36,67 9 30,00
Tamat Perguruan Tinggi 2 6,67 2 6,67
Jumlah 30 100 30 100
Secara keseluruhan tingkat pendidikan petani sertifikasi lebih baik dibandingkan
petani non sertifikasi. Hal ini tercermin dari banyaknya petani yang sudah
menamatkan pendidikan sampai jenjang SMA, untuk petani sertifikasi sebesar
36,67 persen sedangkan petani nonsertifikasi sebesar 30 persen. Responden yang
sudah menamatkan pendidikan dasar (SD) yaitu sebesar 40 persen untuk petani
sertifikasi sedangkan petani nonsertifikasi sedikit lebih tinggi yaitu 43,33 persen.
76
3. Pengalaman Berusahatani
Pengalaman dalam berusahatani akan menunjukkan perbedaan cara petani
mengelola dan memelihara usahatani kopi. Semakin lama pengalaman yang
dimiliki dalam berusahatani kopi maka semakin banyak pengetahuan yang
dimiliki petani mengenai tata cara budidaya kopi yang baik. Petani sertifikasi
rata-rata memiliki pengalaman berusahatani selama 30 tahun, sedangkan petani
nonsertifkasi mempunyai pengalaman berusahatani selama 20 tahun. Sebaran
petani kopi menurut pengalaman berusahatani tersaji pada Tabel 12.
Tabel 12. Sebaran petani kopi menurut pengalaman berusatani di Kecamatan
Air Hitam Lampung Barat 2015
Pengalaman
Berusahatani (tahun)
Petani
Sertifikasi Persentase
Petani
Nonsertifikasi Persentase
0-10 8 26,67 8 26,67
11-20 7 23,33 16 53,33
21-30 12 40,00 4 13,33
31-40 3 10,00 2 6,67
Jumlah 30 100 30 100
4. Pekerjaan Sampingan
Usahatani kopi merupakan sumber utama mata pencaharian masyarakat di
Kecamatan Air Hitam. Namun selain berusahatani kopi petani juga memiliki
usaha lain yang dikerjakan sebagai usaha sampingan. Pekerjaan sampingan
dilakukan untuk menambah pendapatan rumah tangga karena usahatani kopi yang
bersifat tahunan. Sebaran petani kopi menurut pekerjaan sampingan disajikan
dalam Tabel 13.
77
Tabel 13. Sebaran petani kopi menurut jenis pekerjaan sampingan di Kecamatan
Air Hitam Lampung Barat 2015
Jenis Pekerjaan Persentase
Petani Sertifikasi Petani Nonsertifikasi
Ada
Pedagang 16,67 16,67
Tukang 6,67 10,00
PNS 13,33 6,67
Aparat Desa 6,67 3,33
Penyedia jasa 6,67 16,67
Tidak ada 50,00 46,67
Jumlah 100 100
Tabel 13 menunjukkan bahwa 50 persen petani sertifikasi memiliki pekerjaan
sampingan sedangkan petani nonsertifikasi yang mempunyai pekerjaan sampingan
sebesar 53,33 persen. Jenis pekerjaan sampingan bervariasi seperti pedagang
pengumpul, pedagang makanan, tukang bangunan, PNS, aparat desa dan penyedia
jasa seperti buruh, penggilingan kopi dan pengangkutan. Jumlah petani sertifikasi
yang tidak mempunyai pekerjaan sampingan yaitu sebesar 50 persen sedangkan
petani nonsertifikasi yaitu sebesar 46,67 persen. Petani yang tidak mempunyai
pekerjaan sampingan hanya mengandalkan usahatani kopi sebagai penghasilan
utama keluarga, berbeda dengan petani yang mempunyai pekerjaan sampingan
yang memiliki pendapatan lain diluar usahatani kopi.
5. Luas Lahan
Luas lahan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produksi
usahatani. Semakin banyak luas lahan yang dimiliki maka semakin besar balas
jasa yang diterima petani. Sebaran petani kopi menurut luas lahan tersaji pada
Tabel 14.
78
Tabel 14. Sebaran petani kopi menurut luas lahan usahatani di Kecamatan
Air Hitam Lampung Barat 2015
Luas lahan (ha) Petani
Sertifikasi Persentase
Petani Non
sertifikasi Persentase
0,25-0,75 8 26,67 10 33,33
0,76-1,25 16 53,33 14 46,67
1,26-2,00 5 16,67 5 16,67
2,10-3,00 1 3,33 1 3,33
Jumlah 30 100 30 100
Berdasarkan hasil penelitian rentang luas lahan yang dimiliki petani sertifikasi dan
nonsertifikasi tidak berbeda. Hal ini dikarenakan luas lahan merupakan salah satu
pertimbangan dalam memilih responden. Luas lahan dijadikan pertimbangan
dalam pemilihan responden agar responden yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki kesamaan atau kesetaraan (apple to apple). Rentang luas lahan yang
digunakan yaitu berkisar 0,25-3,00 hektar. Luas lahan rata-rata yang dimiliki
petani sertifikasi yaitu seluas 1,04 hektar untuk petani sertifikasi dan 1,01 hektar
untuk petani nonsertifikasi.
6. Status Kepemilikan Lahan
Status kepemilikan lahan merupakan status dari lahan yang digunakan untuk
usahatani kopi. Kepemilikan lahan dalam berusahatani kopi biasanya dilakukan
dengan sewa, sakap dan hak milik. Status kepemilikan lahan akan mempengaruhi
pedapatan petani. Petani yang memiliki lahan hak milik tidak mengeluarkan biaya
sewa lahan, berbeda dengan petani yang berusahatani kopi dengan sewa lahan dan
sakap. Kepemilikan lahan juga merupakan salah satu bentuk investasi, petani
yang berusahatani pada lahan yang hak milik mempunyai nilai investasi tiap
79
tahunnya dari nilai lahan tersebut. Sebaran petani kopi menurut kepemilikan
lahan di Kecamatan Air Hitam disajikan dalam Tabel 15.
Tabel 15. Sebaran petani kopi menurut status kepemilikan lahan di Kecamatan
Air Hitam Lampung Barat 2015
Kepemilikan
lahan Petani Sertifikasi Persentase
Petani Non
sertifikasi Persentase
Hak milik 28 93,33 24 80,00
Sewa 0 0,00 1 3,33
Sakap 2 6,67 5 16,67
Jumlah 30 100 30 100
Tabel 15 menunjukkan bahwa 93,33 persen petani sertifikasi melakukan usahatani
kopi pada lahan hak milik, sedangkan petani nonsertifikasi yang melakukan
usahatani kopi pada lahan hak milik adalah sebesar 80 persen. Sistem sakap yang
dilakukan oleh petani adalah bagi hasil baik penerimaan maupun biaya usahatani
sebesar 50 : 50, dengan kata lain pembagian hasil keuntungan bersih yang
diperoleh dari usahatani kopi. Sistem sewa yang dilakukan petani adalah dengan
sistem sewa gadai, biaya sewa yang dikeluarkan oleh petani adalah sebesar
Rp 11.000.000. Lama waktu sewa tidak ditentukan, selama pemilik lahan belum
mengembalikan biaya gadai tersebut maka penyewa dapat menggunakan dan
memelihara lahan.
7. Umur Tanaman Kopi
Produksi tanaman kopi bergantung pada umur tanaman kopi. Menurut Puslitkoka
(2014) umur produktif tanaman kopi adalah 5-20 tahun bahkan bila dipelihara
dengan baik dapat mencapai 30 tahun. Tanaman kopi yang melebihi umur
produktif maka produktivitas kopi perlahan lahan akan menurun, sehingga perlu
80
dilakukan usaha-usaha untuk meningkatkan produktivitas kopi. Sebaran petani
kopi menurut umur tanaman kopi tersaji pada Tabel 16.
Tabel 16. Sebaran petani kopi menurut umur tanaman kopi di Kecamatan
Air Hitam Lampung Barat 2015
Umur kopi
(tahun) Petani Sertifikasi Persentase
Petani Non
sertifikasi Persentase
5-21 9 30,00 13 43,33
22-37 16 53,33 12 40,00
38-53 5 16,67 5 16,67
Jumlah 30 100 30 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rentang umur tanaman kopi responden
adalah 5-53 tahun. Pada penelitian ini tidak ada petani yang memiliki tanaman
yang belum menghasilkan (TBM). Petani nonsertifikasi lebih banyak yang
memiliki tanaman kopi yang berumur produktif (5-20 tahun) yaitu sebesar 43,33
persen sedangkan petani sertifikasi sebesar 30 persen. Rentang umur tanaman
kopi yang dominan adalah 22-37 tahun, untuk petani sertifikasi sebesar 53,33
persen sedangkan petani non sertifikasi 40 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
rata-rata tanaman kopi yang dimiliki petani sudah melewati umur produktif.
Upaya yang dilakukan petani untuk meningkatkan produksi tanaman kopi yang
sudah melebihi umur produktif adalah dengan melakukan penyambungan batang
dan penyulaman tanaman kopi. Penyambungan batang dilakukan untuk
meregenerasi tanaman kopi yang sudah tua sehingga produksi tanaman kopi yang
sudah tua dapat lebih baik. Selain melakukan penyambungan batang, petani kopi
juga melakukan penyulaman tanaman kopi yang sudah mati.
81
8. Tanaman Naungan dan Tumpangsari
Kopi merupakan tanaman tahunan sehingga penerimaan dari kopi juga bersifat
tahunan. Oleh karena itu, petani melakukan usahatani kopi dengan sistem
tumpangsari dan tanaman naungan. Sistem penanaman tumpangsari dilakukan
dengan tujuan untuk menambah pendapatan petani sehari-hari karena umur
tanaman tumpangsari bersifat musiman. Kopi merupakan tanaman yang tidak
membutuhkah penyinaran matahari yang banyak, sehingga penanaman kopi biasa
dilakukan dengan tanaman naungan. Tanaman naungan selain berfungsi untuk
menaungi kopi juga dapat memberi tambahan pendapatan dari hasil panen
tanaman naungan berupa buah atau kayu. Rata-rata jumlah tanaman tumpangsari
dan tanaman naungan petani kopi tersaji pada Tabel 17.
Tabel 17. Rata-rata jumlah tanaman naungan dan tumpangsari petani kopi di
Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015
Jenis Tanaman
Petani Sertifikasi Petani Nonsertifikasi
Per usahatani 1,04
ha Per 1 ha
Per usahatani
1,01 ha Per 1 ha
Lada 73 70 53 53
Cabe 70 67 30 29
Pisang 156 150 154 153
Jumlah 299 287 237 235
Tanaman Kayu 125 120 36 36
Tanaman Buah 6 6 3 3
Jumlah 131 126 39 39
Berdasarkan Tabel 17 jenis tanaman tumpangsari yang paling dominan di daerah
penelitian yaitu pisang. Lada dan cabai juga menjadi tanaman yang sering
ditumpangsarikan dengan tanaman kopi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
jumlah tanaman tumpangsari yang ditanam petani sertifikasi lebih banyak
dibandingkan petani nonsertifikasi. Petani sertifikasi rata-rata menanam 287
82
batang/ha sedangkan petani nonsertifikasi menanam sebanyak 235 batang/ha. Hal
ini disebabakan karena 16,67 persen petani nonsertifikasi tidak melakukan sistem
tumpangsari pada lahan kopi mereka sementara 96,67 persen petani sertifikasi
melakukan sistem tumpangsari pada usahatani kopi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tanaman naungan yang dominan
digunakan baik petani sertifikasi maupun nonsertifikasi yaitu jenis tanaman kayu.
Tanaman yang digunakan antara lain dadap, afrika, medang, albasia, gamal,
mahoni, waru dan lain-lain. Jenis tanaman yang dominan digunakan yaitu pohon
albasia (kayu hujan) dan afrika. Jenis tanaman penghasil buah yang ditanam
petani kopi yaitu alpukat, nangka, durian, mangga, tangkil, petai dan lain-lain.
Tanaman penghasil buah ditanam dalam jumlah yang sedikit yaitu sebesar 6
batang/ha untuk petani sertifikasi dan 3 batang/ha untuk petani nonsertifikasi.
Rata-rata jumlah tanaman naungan yang ditanam petani sertifikasi yaitu 126
pohon/ha, sedangkan untuk petani nonsertifikasi yaitu sebesar 39 pohon/ha.
Jumlah tanaman naungan yang ideal untuk tanaman kopi yaitu 300-600 pohon/ha,
hal ini menunjukkan bahwa baik petani sertifikasi maupun petani nonsertifikasi
belum mencapai jumlah ideal tanaman naungan, namun bila dibandingkan petani
sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Jumlah tanaman naungan
merupakan salah satu indikator praktik usahatai kopi yang berkelanjutan dari segi
lingkungan, pohon naungan selain berfungsi sebagai penaung juga berfungsi
sebagai penyerap karbon. Hal ini menunjukkan bahwa petani sertifikasi lebih baik
dalam melakukan usahatani kopi yang berkelanjutan dari segi lingkungan
dibandingkan petani nonsertifikasi.
83
B. Analisis Usahatani
Usahatani merupakan kegiatan pemanfaatan sumber daya pada lahan untuk
mendapatkan balas jasa dari pemanfaatan lahan tersebut. Analisis usahatani
dilakukan untuk melihat penggunaan input dalam usahatani dan menilai apakah
suatu usahatani menguntungkan atau tidak. Usahatani kopi adalah usahatani yang
bersifat tahunan, sehingga pendapatan yang diterima petani juga bersifat tahunan.
Pendapatan yang di peroleh petani berasal dari pendapatan kopi, pendapatan
tanaman tumpangsari dan pendapatan tanaman naungan. Pendapatan yang
diperoleh petani erat kaitannya dengan biaya yang digunakan dalam usahatani
kopi. Biaya dalam usahatani kopi terbagi menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya
diperhitungkan. Biaya tunai meliputi biaya bibit, pupuk, pestisida dan herbisida,
tenaga kerja, biaya panen dan pasca panen, iuran kelompok, pajak dan sewa lahan
(tunai). Biaya diperhitungkan meliputi biaya sewa lahan dan biaya input seperti
bibit dan pupuk kandang.
Pada penelitian ini awalnya manfaat ekonomi yang akan dihitung yaitu
produktivitas, pendapatan dan efisiensi biaya selama dua tahun terakhir yaitu
tahun 2013 dan 2014, namun karena pada dua tahun tersebut produksi kopi di
Lampung Barat khususnya Kecamatan Air Hitam mengalami penurunan akibat
cuaca ekstrim maka produktivitas, efisiensi biaya dan pendapatan dihitung selama
tiga tahun terakhir yaitu tahun 2012, 2013 dan 2014 dengan asumsi penggunaan
input pada tahun 2012 sama dengan penggunaan input pada tahun 2013.
84
1. Penggunaan Input Produksi dan Biaya Usahatani
Penggunaan input dalam usahatani sangat penting karena mempengaruhi besarnya
output yang dihasilkan. Pada penelitian ini input usahatani kopi yang dihitung
hanya input yang dikeluarkan selama satu tahun masa panen. Penggunaan input
dalam usahatani kopi meliputi pupuk, pestisida dan herbisida serta tenaga kerja.
Sedangkan untuk biaya usahatani kopi meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan
petani yaitu biaya tunai dan diperhitungkan dalam usahatani kopi.
a. Penggunaan Bibit Penyulaman dan Pupuk
Tanaman kopi merupakan tanaman yang bersifat jangka panjang. Pemeliharaan
yang baik akan mempengaruhi masa produktif kopi. Petani kopi melakukan upaya
penyambungan batang dan penyulaman tanaman kopi untuk meregenerasi
tanaman kopi yang sudah tua atau tidak produktif lagi. Petani kopi melakukan
penyulaman dan penyambungan batang agar produktivitas tanaman kopi tetap
tinggi meski umur tanaman kopi sudah tua. Pemeliharaan tanaman kopi yang baik
juga ditunjang dengan penggunaan input seperti pupuk. Pemberian pupuk
bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah dan hasil produksi kopi.
Pemupukan pada usahatani kopi dilakukan dua kali dalam setahun yaitu saat awal
musim hujan dan akhir musim hujan. Pupuk yang digunakan petani yaitu pupuk
kimia dan pupuk organik (pupuk kandang). Rata-rata penggunaan bibit
penyulaman, pupuk kandang dan pupuk kimia oleh petani kopi dapat dilihat pada
Tabel 18.
85
Tabel. 18. Rata-rata penggunaan bibit, pupuk kandang dan pupuk kimia
pada usahatani kopi di Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015
Input
Petani sertifikasi Petani Nonsertifikasi
Per 1,04 ha Per 1 ha Per 1,01 ha Per 1 ha
Jumlah (unit) Jumlah (unit)
Bibit sulaman 38,34 36,87 46,17 45,72
Pupuk Kandang 1378,11 1325,11 242,78 240,37
Sekam Padi 2,00 1,92 0,00 0,00
Petroganik 13,37 12,85 0,00 0,00
Urea 81,11 77,99 253,89 251,38
Phonska 27,22 26,18 78,89 78,11
SP36 13,33 12,82 6,67 6,60
Mutiara 0,00 0,00 3,00 2,97
TSP 0,00 0,00 1,67 1,65
ZA 0,00 0,00 1,67 1,65
Jumlah 1553,49 1493,74 634,73 628,45
Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa penggunaan bibit kopi untuk
penyulaman pada satu hektar lahan oleh petani sertifikasi lebih sedikit
dibandingkan petani nonsertifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bibit
kopi untuk penyulaman petani sertifikasi lebih efisien dibanding petani
nonsertifikasi.
Petani nonsertifikasi lebih banyak menggunakan pupuk kimia, karena pupuk
kimia dinilai lebih cepat dan praktis dalam meningkatkan produksi kopi.
Usahatani kopi yang dibudidayakan secara organik tidak boleh menggunakan
pupuk kimia, sehingga petani sertifikasi tidak diperbolehkan menggunakan pupuk
kimia. Berdasarkan hasil penelitian petani sertifikasi menggunakan pupuk
kandang sebagai pengganti pupuk kimia, namun sebesar 46,67 persen petani
sertifikasi masih menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Penggunaan pupuk
kimia dikombinasikan dengan pupuk kandang sebagai penyubur, namun
penggunaan pupuk kimia oleh petani sertifikasi hanya dalam jumlah kecil. Petani
86
sertifikasi masih menggunakan pupuk kimia sebagai penyubur dikarenakan sifat
pupuk kandang yang memberikan efek yang cukup lama dalam meningkatkan
produksi kopi, berbeda dengan pupuk kimia yang lebih cepat meningkatkan
produksi kopi. Sehingga petani masih menggunakan pupuk kimia meski sudah
menggunakan pupuk kandang. Menurut petani sertifikasi pupuk kandang kurang
praktis karena dibutuhkan dalam jumlah besar dan biaya pengangkutan ekstra.
Sebesar 53,33 persen petani sertifikasi sudah berhenti menggunakan pupuk dan
pestisida kimia. Petani sertifikasi lebih banyak menggunakan pupuk kandang dan
pupuk organik lainnya sebagai penyubur. Penggunaan pupuk kandang dan pupuk
alami lainnya ditujukan untuk memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan
kesuburan tanah. Penggunaan pupuk alami juga berguna untuk mengurangi
degradasi lahan akibat penggunaan pupuk kimia. Penggunaan pupuk kandang
oleh petani sertifikasi yaitu sebanyak 1,32 ton per hektar, berbeda dengan petani
nonsertifikasi yang hanya menggunakan 0,24 ton per hektar. Hal ini menunjukkan
bahwa petani sertifikasi sudah menyadari bahwa penggunaan pupuk kimia secara
terus menerus dapat merusak tanah dan lingkungan, sehingga petani menggunakan
pupuk kandang untuk menyuburkan tanah dan sebagai upaya untuk menjaga
kesehatan lingkungan. Petani nonsertifikasi masih bergantung pada pupuk kimia
untuk meningkatkan produksi kopi, ini dibuktikan dari tingginya penggunaan
pupuk kimia. Petani nonsertifikasi lebih banyak menggunakan pupuk kimia dan
penggunaan pupuk kandang hanya dalam jumlah kecil.
Secara keseluruhan penggunaan bibit dan pupuk kimia petani sertifikasi lebih
efisien dari petani nonsertifikasi. Hal ini terlihat dari rendahnya penggunaan bibit
87
dan pupuk kimia. Penggunaan bibit dan pupuk kimia yang rendah akan
menurunkan biaya produksi sehingga dapat meningkatkan manfaat yang diterima
petani.
b. Penggunaan Pestisida dan Herbisida
Penanggulangan hama dan penyakit dalam usahatani kopi dilakukan dengan
menggunakan pestisida nabati dan pestisida kimia. Petani nonsertifikasi
cenderung menggunakan pestisida dan herbisida kimia untuk menangani gulma,
hama dan penyakit. Rata-rata petani sertifikasi menangani gulma dengan cara di
koret ataau menanganinya dengan cara disemprot dengan herbisida kimia. Rata-
rata penggunaan pestisida dan herbisida petani kopi tersaji pada Tabel 19.
Tabel 19. Rata-rata penggunaan pestisida dan herbisida pada usahatani kopi di
Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015
Input
Petani sertifikasi Petani Nonsertifikasi
Per 1,04 ha Per 1 ha Per 1,01 ha Per 1 ha
Jumlah (l) Jumlah (l)
Pesisida nabati 1,14 1,10 0,00 0,00
Pestisida kimia
Gramoxone 0,23 0,22 1,13 1,12
Genusim 0,47 0,45 0,82 0,81
Round up 1,00 0,96 3,72 3,68
Alfatex 0,60 0,58 0,74 0,73
lain-lain 0,00 0,00 0,00 0,00
Jumlah 3,44 3,31 6,41 6,34
Berdasarkan SNI 6729:2013 sistem pertanian organik, penggunaan pestisida dan
herbisida kimia tidak diperbolehkan. Penanggulangan hama, penyakit dan gulma
harus dilakukan dengan cara-cara alami misalnya dengan pestisida nabati, musuh
alami, perangkap dan lain sebagainya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
88
masih ada petani sertifikasi yang menggunakan pestisida kimia untuk menangani
hama, penyakit dan gulma pada tanaman kopi. Menurut petani kopi di Kecamatan
Air Hitam, masalah utama pada usahatani kopi yaitu gulma yang tumbuh di
sekitar tanaman kopi sehingga berkompetisi dengan tanaman kopi dalam
penyerapan unsur hara. Penanganan gulma ini dilakukan dengan dikoret dan
pestisida kimia. Petani kopi melakukan 2-3 kali pengoretan dalam setahun. Hama
dan penyakit pada usahatani kopi di Kecamatan Air Hitam jarang ditemui, hama
sering ditemukan menjelang musim panen yaitu hama semut yang mengelilingi
batang kopi.
Petani sertifikasi rata-rata menggunakan 1,1 liter/ha pestisida nabati dan 2,21
liter/ha pestisida kimia. Petani nonsertifikasi menggunakan pestisida kimia lebih
tinggi dari petani sertifikasi yaitu sebesar 6,34 liter/ha. Penggunaan pestisida
kimia oleh petani nonsertifikasi lebih besar dikarenakan biaya tenaga kerja untuk
membersihkan gulma dengan cara dikoret lebih mahal sehingga petani
nonsertifikasi lebih memilih membersihkan gulma dengan cara disemprot dengan
pestisida kimia. Jenis pestisida kimia lainnya yang digunakan petani kopi yaitu
Rambo, Bio up, Lindomin, Furadan, Septine dan lain-lain.
Sama seperti penggunaan pupuk kimia, dari 30 petani sertifikasi yang tidak
menggunakan pestisida dan herbisida kimia adalah sebesar 53,33 persen, sisanya
sebesar 46,67 persen masih menggunakan pestisida dan herbisida kimia.
Walaupun masih ada petani sertifikasi yang menggunakan pestisida dan herbisida
kimia, berdasarkan Tabel 19 penggunaan pestisida dan herbisida kimia petani
sertifikasi lebih redah dibandingkan petani nonsertifikasi. Petani sertifikasi masih
89
menggunakan pestisida kimia dikarenakan pembuatam pestisida nabati yang
cukup rumit dan biaya tenaga kerja yang lebih besar untuk menyiangi atau
mengoreti lahan.
c. Penggunaan Tenaga Kerja
Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani kopi lebih banyak menggunakan tenaga
kerja dalam keluarga. Petani lebih memilih untuk mengurus dan mengerjakan
sendiri usahatani kopi mereka. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga biasanya
dilakukan pada saat panen dan pengendalian gulma. Rata-rata penggunaan tenaga
kerja pada usahtani kopi tersaji pada Tabel 20.
Tabel 20. Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usahatani kopi di Kecamatan
Air Hitam Lampung Barat 2015
Kegiatan
Petani Sertifikasi Petani Nonsertifikasi
Per 1,04 ha Per 1 ha Per 1,01 ha Per 1 ha
Jumlah (HOK) Jumlah (HOK)
Pemangkasan cabang kopi 15,64 15,04 15,99 15,83
Penyulaman kopi 0,86 0,82 1,17 1,16
Penyambungan batang 3,07 2,95 5,34 5,29
Pengendalian gulma 27,67 26,60 19,31 19,12
Pengendalian HPT 0,02 0,02 0,13 0,13
Pemeliharaan Gulud dan Teras 2,68 2,57 1,21 1,20
Pemupukan 5,13 4,94 4,07 4,03
Pemanenan 76,29 73,36 86,65 85,79
Penjemuran 12,93 12,44 11,43 11,32
Pemangkasan naungan 4,23 4,06 1,57 1,55
Penanaman Tanaman
tumpangsari 1,16 1,12 1,56 1,54
Jumlah 149,67 143,92 148,42 146,95
Berdasarkan Tabel 20 petani sertifikasi menggunakan lebih sedikit tenaga kerja
dibandingkan petani nonsertifikasi. Petani sertifikasi menggunakan tenaga kerja
90
sebanyak 143,92 HOK/ha sedangkan petani nonsertifikasi menggunakan tenaga
kerja sebanyak 146,95 HOK/ha. Petani sertifikasi dan nonsertifikasi lebih banyak
menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Penggunaan tenaga kerja dalam
keluarga petani sertifikasi sebesar 55,97 persen dan 44,03 persen menggunakan
tenaga kerja luar keluarga. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga untuk petani
nonsertifikasi sebesar 64,12 persen dan 35,88 persen menggunakan tenaga kerja
luar keluarga.
Penggunaan tenaga kerja terbanyak yaitu pada kegiatan panen, pengendalian
gulma dan pemangkasan cabang kopi. Pada saat pengendalian gulma petani
sertifikasi lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga dibandingkan
petani nonsertifikasi. Hal ini dikarenakan petani sertifikasi membersihkan rumput
dengan cara dikoret sehingga lebih membutuhkan tenaga kerja lebih banyak,
berbeda dengan petani nonsertifikasi yang membersihkan gulma dengan cara
disemprot dengan pestisida kimia sehingga cukup menggunakan tenaga kerja
dalam keluarga saja. Pada saat pemanenan dan pemangkasan cabang kopi petani
nonsertifikasi menggunakan lebih banyak tenaga kerja dalam keluarga dibanding
petani sertifikasi, sedangkan untuk penggunaan tenaga kerja luar keluarga tidak
jauh berbeda untuk kedua kelompok.
2. Biaya Usahatani Kopi
Biaya dalam usahatani kopi terbagi menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya
diperhitungkan. Biaya tunai merupakan biaya yang benar-benar dikeluarkan
petani. Biaya tunai meliputi biaya penggunaan input seperti biaya bibit, pupuk,
pestisida dan herbisida, tenaga kerja (TKLK), serta biaya penunjang seperti biaya
91
pengangkutan input, biaya panen dan pascapanen, biaya plastik, iuran kelompok,
pajak serta sewa lahan (tunai). Rata-rata biaya tunai pada usahatani kopi disajikan
dalam Tabel 21.
Tabel 21. Rata-rata biaya tunai usahatani kopi di Kecamatan Air Hitam
Lampung Barat 2015
Biaya Tunai (Rp) Petani sertifikasi Petani nonsertifikasi
Per 1,04 ha Per 1 ha Per 1,01 ha Per 1 ha
Bibit sulaman 66.477,78 63.920,94 60.140,45 59.545,00
Pupuk organik 393.916,59 378.765,96 69.333,33 68.646,86
Pupuk kimia 260.600,00 250.576,92 771.316,67 763.679,87
Pestisida dan Herbisida 182.166,67 175.160,26 424.922,22 420.715,07
TKLK 2.236.777,78 2.150.747,86 1.910.583,33 1.891.666,67
Plastik 4.794,44 4.610,04 8.838,89 8.751,38
Panen dan Pascapanen 587.144,44 564.561,97 631.947,22 625.690,32
Pajak 22.908,33 22.027,24 25.284,67 25.034,32
Iuran kelompok 84.666,67 81.410,26 2.000,00 1.980,20
Sewa lahan 422.188,89 405.950,85 1.069.413,89 1.058.826,63
Total biaya tunai 4.261.641,59 4.097.732,30 4.973.780,67 4.924.535,32
Berdasarkan Tabel 21 rata-rata biaya tunai yang dikeluakan petani sertifikasi lebih
redah dari petani nonsertifikasi. Pengeluran biaya tunai untuk petani sertifikasi
yaitu sebesar Rp 4.097.732,30/ha sedangkan untuk petani nonsertifikasi sebesar
Rp 4.924.535,32/ha. Petani nonsertifikasi mengeluarkan biaya tunai lebih besar
dikarenkan biaya input seperti pupuk dan pestisida kimia yang dikeluarkan petani
nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi. Selain itu biaya sewa lahan yang
dikeluarkan petani nonsertifikasi lebih besar dikarenakan usahatani kopi dilakukan
dengan sistem bagi hasil sehingga biaya sewa lahan dihitung berdasarkan hasil
panen kopi. Petani nonsertifikasi yang menyewa lahan dengan sistem bagi hasil
berjumlah 16,67 persen sedangkan petani sertifikasi sebesar 6,67 persen.
92
Biaya yang berhubungan dengan jumlah produksi kopi yaitu biaya panen dan
pascapanen seperti biaya pengangkutan panen, pengangkutan pemasaran dan
karung. Petani sertifikasi mengeluarkan biaya panen dan pascapanen lebih rendah
dari petani nonsertifikasi. Biaya panen dan pascapanen yang dikeluarkan petani
nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi dikarenakan rata-rata produksi
kopi petani nonsertifikasi lebih baik dari petani sertifikasi.
Biaya diperhitungkan merupakan biaya yang tidak benar-benar dikeluarkan petani,
namun tetap diperhitungkan untuk melihat pendapatan yang benar-benar diterima
petani. Biaya diperhitungkan meliputi biaya tenaga kerja (TKDK), sewa lahan
serta biaya bibit dan pupuk. Rata-rata biaya diperhitungkan pada usahatani kopi
di Kecamatan Air Hitam disajikan dalam Tabel 22.
Tabel 22. Rata-rata biaya diperhitungkan pada usahatani kopi di Kecamatan
Air Hitam Lampung Barat 2015
Biaya diperhitungkan (Rp) Petani sertifikasi Petani nonsertifikasi
Per 1,04 ha per 1 ha Per 1,01 ha Per 1 ha
Bibit dan Pupuk organik 179.818,78 172.902,67 84.227,78 83.393,84
TKDK 2.819.222,22 2.710.790,60 3.389.472,22 3.355.913,09
Sewa lahan 2.290.000,00 2.201.923,08 1.940.000,00 1.920.792,08
Total Biaya diperhitungkan 5.289.041,00 5.085.616,35 5.413.700,00 5.360.099,01
Tabel 22 menunjukkan bahwa rata-rata biaya diperhitungkan yang dikeluarkan
petani nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi. Biaya sewa lahan
(diperhitungkan) petani sertifikasi lebih besar dikarenakan 96,67 persen lahan
petani sertifikasi adalah hak milik sedangkan petani nonsertifikasi yang memiliki
lahan hak milik hanya 80 persen. Biaya diperhitungkan petani nonsertifikasi lebih
besar juga dikarenakan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga petani
93
nonsertifikasi lebih dominan dari petani sertifikasi sehingga biaya TKDK yang
dikeluarkan petani nonsertifikasi lebih besar.
3. Produksi, Produktivitas dan Penerimaan
Hasil produksi dalam usahatani merupakan balas jasa pemanfaatan lahan dan
input-input yang digunakan. Produksi suatu komoditas erat hubungannya dengan
produktivitas dan penerimaan. Produksi yang tinggi akan meningkatkan
produktivitas dan penerimaan usahatani.
a. Produksi, Produktivitas dan Penerimaan Kopi
Hasil produksi kopi merupakan kuantitas biji kopi yang dihasilkan selama satu
tahun yang dihitung dalam kilogram. Produksi kopi berbanding lurus dengan
produktivitas dan penerimaan kopi. Produktivitas kopi merupakan perbandingan
jumlah produksi kopi per hektar luas lahan yang digunakan untuk usahatani kopi.
Hasil produksi, produktivitas dan penerimaan kopi tersaji pada Tabel 23.
Tabel 23. Rata-rata produksi, produktivitas dan penerimaan kopi (per ha)
Tahun 2012-2014 di Kecamatan Air Hitam Lampung Barat
Keterangan Petani Sertifikasi Petani nonsertifikasi
2012 2013 2014 2012 2013 2014
Produksi (kg) 1.225,96 977,56 604,49 1.233,72 1.008,26 692,56
Harga (Rp) 14.566,67 17.366,67 19.533,33 14.066,67 16.950,00 19.133,33
Penerimaan (Rp) 18.040.064,10 16.762.820.51 11.958.333,33 17.344.884,49 17.173.267,33 13.259.075,91
Produktivitas
kopi (kg/ha) 1.161,12 928,62 563,07 1.171,51 944,44 630,91
Berdasarkan Tabel 23 pada Tahun 2012 rata-rata produksi dan penerimaan kopi
petani sertifikasi lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Namun pada dua tahun
berikutnya produksi dan penerimaan kopi petani sertifikasi lebih rendah dari
94
petani nonsertifikasi. Hal ini dikarenakan pada Tahun 2013 dan 2014 produksi
kopi baik petani sertifikasi maupun nonsertifikasi mengalami penurunan karena
kegagalan pembungaan akibat cuaca ekstrim. Intensitas curah hujan yang tinggi
menyebabkan bunga-bunga kopi menjadi rontok.
Besar kecilnya produksi mempengaruhi produktivitas kopi dan penerimaan kopi.
Produktivitas kopi petani nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi.
Produksi dan produktivitas petani nonsertifikasi yang lebih baik dikarenakan
intensifnya penggunaan pupuk kimia yang mempunyai pengaruh cepat dalam
peningkatan produksi dan produktivitas kopi. Usahatani kopi secara organik
menggunakan pupuk kandang dan pupuk organik yang memberikan dampak
cukup lama dalam meningkatkan produksi dan produktivitas kopi petani
sertifikasi. Rata-rata penerimaan kopi yang diperoleh petani sertifikasi juga lebih
rendah dari petani nonsertifikasi. Hal ini dikarenakan produksi kopi petani
sertifikasi yang lebih kecil dan harga kopi yang diterima petani sertifikasi dan
nonsertifikasi tidak jauh berbeda.
b. Produksi, Produktivitas dan Penerimaan Lahan
Produksi lahan berasal dari hasil produksi kopi, tumpang sari dan naungan. Besar
kecilnya produksi tumpangsari dan naungan akan mempengaruhi penerimaan
lahan yang diterima petani. Rata-rata produksi, harga dan penerimaan
tumpangsari dan naungan disajikan pada Tabel 24.
95
Tabel 24. Rata-rata produksi, harga dan penerimaan tumpang sari dan naungan
petani kopi di Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015
Keterangan
Petani Sertifikasi Petani Nonsertifikasi
Per 1 ha Per 1 ha
Produksi
(kg)
Harga
(Rp/kg)
Penerimaan
(Rp)
Produksi
setara
kopi (Kg)
Produksi
(kg)
Harga
(Rp/kg)
Penerimaan
(Rp)
Produksi
setara
kopi (Kg)
Tumpangsari
Lada 16,55 31.222,22 1.297.596,15 78,66 12,61 22.222,22 965.841,58 58,26
Cabe 21,47 3.888,89 605.235,04 36,69 7,92 3.511,11 126.710,67 7,64
Pisang 1960,26 805,56 1.928.824,79 116,93 1859,15 756,99 1.852.145,21 111,72
Jumlah 1998,29 3.831.655,98 232,28 1879,68 2944697.47 177,62
Naungan
Alpukat 74,15 722,22 230.769,23 13,99 21,67 188,89 63.256,33 3,82
Nangka 186,11 98,89 89.465,81 5,42 234,32 82,22 88.998,90 5,37
Mangga 19,76 333,33 98.824,79 5,99 0 0 0 0
Durian 43,70 533,33 223.824,79 13,57 0 0 0 0
Lain-lain 5,98 389,00 27.777,00 1,68 13,42 2011,00 13.6303,00 8,22
Jumlah 329,70 670.661,62 40,66 269,42 288.558,23 17,41
Berdasarkan Tabel 24 diketahui rata-rata produksi lahan petani sertifikasi lebih
besar dari petani nonsertifikasi. Produksi lahan petani sertifikasi lebih baik
dikarenakan rata-rata hasil produksi dan penerimaan tumpangsari serta naungan
petani sertifikasi lebih besar dari petani nonsertifikasi. Tingginya produksi
tumpangsari dan naungan dikarenakan 96, 67 persen petani sertifikasi melakukan
sistem tumpangsari dan naungan pada lahan yang ditanami kopi, sedangkan petani
nonsertifikasi yang melakukan sistem tumpangsari dan naungan hanya sebesar 60
persen. Berdasarkan Tabel 17 jumlah tanaman tumpangsari dan naungan petani
sertifikasi lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa
petani sertifikasi memiliki pengetahuan yang lebih baik untuk mengoptimalkan
penggunaan lahan pada usahatani kopi dengan melakukan sistem tumpangsari dan
naungan.
96
Penerimaan lahan diperoleh dari penjumlahan penerimaan kopi, penerimaan
tumpangsari dan penerimaan naungan. Produktivitas lahan diperoleh dengan
menyetarakan penerimaan lahan terhadap harga kopi kemudian dibandingkan
dengan luas lahan yang digunakan dalam usahatani. Produktivitas lahan yang
dihitung yaitu produktivitas lahan setara kopi. Rata-rata penerimaan dan
produktivitas lahan petani kopi di Kecamatan Air Hitam tersaji pada Tabel 25.
Tabel 25. Rata-rata penerimaan dan produktivitas lahan (per ha) petani kopi di
Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015
Keterangan Petani Sertifikasi Petani nonsertifikasi
2012 2013 2014 2012 2013 2014
Penerimaan (Rp) Kopi 18.040.064,10 16.762.820,51 11.958.333,33 17.344.884,49 17.173.267,33 13.259.075,91
Tumpangsari 3.851.730,77 3.851.730,77 3.836.378,21 3.001.237,62 3.001.237,62 3.106.435,64
Naungan 685.000,00 685.000,00 641.987,18 299.339,93 299.339,93 343.894,39
Penerimaan lahan 22.576.794,87 21.299.551,28 16.436.698,72 20.674.131,28 20.502.230,45 16.731.321,77
Produktivitas lahan
(kg/ha) 1.467,55 1.185,02 793,42 1.451,35 1.134,20 811,63
Tabel 25 menunjukkan bahwa pada tahun 2012 dan 2013 rata-rata penerimaan dan
produktivitas lahan petani sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi, namun
pada tahun 2014 penerimaan dan produktivitas lahan petani nonsertifikasi lebih
baik. Pada tahun 2014 penerimaan dan produktivitas lahan petani nonsertifikasi
lebih baik dikarenakan pada tahun tersebut meskipun petani mengalami gagal
panen namun produksi kopi petani nonsertifikasi lebih baik dari petani sertifikasi.
4. Analisis Pendapatan
Pendapatan merupakan pengurangan penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan
dalam usahatani. Pendapatan yang hitung yaitu pendapatan kopi dan pendapatan
lahan. Pendapatan usahatani yang dihitung dalam penelitian ini menggunakan
97
pendekatan nominal yaitu pendekatan perhitungan usahatani tanpa
memperhitungkan nilai uang menurut waktu (time value of money), yang dipakai
adalah harga yang berlaku.
a. Analisis Pendapatan Kopi
Pendapatan kopi dipengaruhi biaya yang dikeluarkan dalam usahatani kopi. Biaya
dalam usahatani kopi meliputi biaya tunai dan diperhitungkan. Rata-rata
pendapatan petani kopi di Kecamatan Air Hitam disajikan dalam Tabel 26.
Tabel 26. Rata-rata pendapatan petani kopi (per ha) Tahun 2012-2014
di Kecamata Air Hitam Lampung Barat 2015
Keterangan Petani sertifikasi Petani nonsertifikasi
2012 2013 2014 2012 2013 2014
Penerimaan kopi 18.040.064,10 16.762.820,51 11.958.333,33 17.344.884,49 17.173.26,.33 13.259.075,91
Biaya
Biaya Tunai 4.347.964,67 4.162.099,29 3.218.822,04 5.107.890,49 4.972.944,12 4.168.113,26
Biaya Diperhitungkan 4.721.370,20 4.721.370,20 4.632.331,74 4.970.495,05 4.970.495,05 4.949.702,97
Total Biaya Usahatani 9.069.334,87 8.883.469,49 7.851.153,78 10.078.385,53 9.943.439,17 9.117.816,23
Pendapatan kopi
Atas biaya tunai 13.692.099,43 12.600.721,22 8.739.511,29 12.236.994,00 12.200.323,21 9.090.962,65
Atas biaya total 8.970.729,23 7.879.351,03 4.107.179,55 7.266.498,95 7.229.828,16 4.141.259,68
Nisbah Penerimaan
dan Biaya tunai (R/C) 4,15 4,03 3,72 3,40 3,45 3,18
Nisbah Penerimaan
dan Biaya total (R/C) 1,99 1,89 1,52 1,72 1,73 1,45
Berdasarkan Tabel 26 penerimaan kopi petani sertifikasi lebih rendah
dibandingkan petani nonsertifikasi. Hal ini disebabkan rata-rata produksi kopi
petani sertifikasi lebih kecil dan harga jual kopi yang tidak jauh berbeda. Di
daerah penelitian petani nonsertifikasi menjual biji kopi kepada tengkulak atau
pengumpul sedangkan 30 persen petani sertifikasi menjual biji kopi kepada
gapoktan dan sisanya menjual biji kopi kepada tengkulak atau pengumpul sama
98
seperti petani nonsertifikasi. Harga jual yang diterima petani sertifikasi jika
menjual biji kopi pada gapoktan lebih tinggi Rp 2.000/kg dari harga pasar kopi.
Selisih harga sebesar Rp 2.000/kg merupakan bentuk premium fee yang diterima
petani sertifikasi. Perbedaan harga jual kopi ini ditujukan sebagai penghargaan
bagi petani sertifikasi yang telah memelihara kopi secara organik dan menjaga
kelestarian lingkungan dengan penggunaan bahan-bahan alami yang ramah
lingkungan. Namun, petani sertifikasi yang menjual biji kopi pada pengumpul
tidak mendapatkan perbedaan harga dengan kata lain harga kopi organik dan
anorganik sama yaitu mengikuti harga pasar kopi yang berlaku.
Tabel 26 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan kopi baik atas biaya tunai
maupun biaya diperhitungkan yang diterima petani nonsertifikasi lebih baik dari
pendapatan kopi petani sertifikasi. Hal ini dikarenakan biaya yang dikeluarkan
petani nonsertifikasi lebih besar dari petani sertifikasi, meskipun penerimaan kopi
petani nonsertifikasi lebih tinggi. Artinya pengeluaran biaya per hektar lahan
petani sertifikasi lebih efisien dari petani nonsertifikasi, sehingga pendapatan kopi
petani sertifikasi lebih baik. Nilai nisbah penerimaan dengan biaya yang diperoleh
untuk petani sertifikasi lebih besar dari petani nonsertifikasi. Hal ini berarti setiap
Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan petani sertifikasi akan memperoleh penerimaan
yang lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Berdasarkan nilai R/C rasio, usahatani
kopi organik lebih menguntungkan dari usahatani konvensional.
Biaya usahatani kopi petani nonsertifikasi lebih besar dikarenakan besarnya biaya
input untuk bibit, pupuk dan pestisida kimia. Pada Tabel 16 dan 17 rata-rata
penggunaan bibit, pupuk dan pestisida kimia petani nonsertifikasi lebih tinggi dari
99
petani sertifikasi, sehingga biaya yang dikeluarkan petani nonsertifikasi lebih
tinggi. Petani sertifikasi lebih banyak menggunakan pupuk kandang dengan harga
yang lebih terjangkau dari harga pupuk kimia yang lebih banyak digunakan petani
nonsertifikasi. Petani nonsertifikasi juga mengeluarkan biaya sewa lahan yang
lebih tinggi dari petani sertifikasi. Hal ini dikarenakan 20 persen petani
nonsertifikasi melakukan usahatani kopi dengan sistem sakap dan sewa,
sedangkan untuk petani sertifikasi hanya 6,67 persen yang melakukan usahatani
kopi dengan sistem sakap.
b. Analisis Pendapatan Lahan
Pendapatan lahan dihitung dengan menjumlahkan penerimaan kopi, tanaman
tumpangsari dan tanaman naungan dan dikurangi dengan biaya usahatani pada
lahan tersebut. Tinggi rendahnya pendapatan lahan dipengaruhi oleh
pengoptimalan pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh petani. Pengoptimalan
pemanfaatan lahan dalam usahatani kopi dilakukan melalui sistem tanaman
naungan dan tumpangsari. Penanaman tanaman naungan selain berfungsi sebagai
penaung juga dapat memberikan tambahan penerimaan bagi petani. Rata-rata
pendapatan lahan yang diterima petani kopi dapat dilihat pada Tabel 27.
Berdasarkan Tabel 27 rata-rata penerimaan lahan petani sertifikasi pada tahun
2012 dan 2013 lebih baik dari petani nonsertifikasi, namun untuk Tahun 2014
penerimaan lahan petani nonsertifikasi lebih baik. Biaya tunai yang dikeluarkan
petani nonsertifikasi lebih besar dari petani nonsertifikasi. Sama seperti
sebelumnya, hal ini disebabkan karena besarnya biaya pupuk dan pestisida kimia
serta biaya sewa lahan (tunai) yang dikeluarkan petani nonsertifikasi. Biaya tunai
100
yang dikeluarkan petani sertifikasi lebih rendah dikarenakan pada usahatani kopi
organik meminimalkan penggunaan input dari luar. Usahatani kopi organik yang
dilakukan petani sertifikasi lebih banyak menggunakan pupuk kandang yang
harganya lebih murah dibandingkan pupuk kimia. Usahatani kopi konvensional
yang dilakukan petani nonsertifikasi menggunakan pupuk dan pestisida kimia
dalam jumlah yang cukup besar sehingga biaya yang dikeluarkan petani
nonsertifikasi lebih tinggi.
Tabel 27. Rata-rata pendapatan lahan (per ha) petani kopi di Kecamatan Air Hitam
Lampung Barat 2015
Keterangan Petani sertifikasi Petani nonsertifikasi
2012 2013 2014 2012 2013 2014
Penerimaan
Kopi 18.040.064,10 16.762.820,51 11.958.333,33 17.344.884,49 17.173.267,33 13.259.075,91
Tumpangsari 3.851.730,77 3.851.730,77 3.836.378,21 3.001.237,62 3.001.237,62 3.106.435,64
Naungan 685.000,00 685.000,00 641.987,18 299.339,93 299.339,93 343.894,39
Penerimaan Lahan 22.576.794,87 21.299.551,28 16.436.698,72 20.645.462,05 20.473.844,88 16.709.405,94
Biaya
Biaya Tunai 4.530.608,90 4.344.743,52 3.417.844,48 5.288.666,06 5.153.719,69 4.329.235,37
Biaya
Diperhitungkan 5.112.083,34 5.112.083,34 5.027.644,23 5.361.336,63 5.361.336,63 5.357.623,76
Total Biaya
Usahatani 9.642.692,24 9.456.826,86 8.445.488,71 10.650.002,70 10.515.056,33 9.686.859,13
Pendapatan lahan
Atas biaya tunai 18.046.185,97 16.954.807,76 13.018.854,24 15.356.795,98 15.320.125,19 12.380.170,57
Atas biaya total 12.934.102,63 11.842.724,43 7.991.210,00 9.995.459,35 9.958.788,56 7.022.546,81
Nisbah Penerimaan
dan Biaya tunai (R/C) 4,98 4,90 4,81 3,90 3,97 3,86
Nisbah Penerimaan
dan Biaya total (R/C) 2,34 2,25 1,95 1,94 1,95 1,72
Petani sertifikasi mengendalikan gulma dengan cara disiangi (dikoret), sehingga
membutuhkan lebih banyak tenaga kerja luar keluarga. Hal ini menyebabkan
Biaya yang dikeluarkan petani sertifikasi untuk upah tenaga kerja (TKLK) lebih
besar dibandingkan dengan petani nonsertifikasi. Meskipun masih ada petani
sertifikasi yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia namun jumlah yang
digunakan tidak sebanyak petani nonsertifikasi.
101
Petani kopi biasa melakukan pembibitan sendiri tanaman kopi untuk penyulaman
atau penyambungan batang yang berasal dari biji kopi yang dipanen. Petani kopi
yang memiliki ternak memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk kandang,
sehingga petani tidak mengeluarkan biaya untuk membeli pupuk kandang dan
bibit tanaman kopi. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata biaya diperhitungkan
petani sertifikasi lebih rendah dari rata-rata biaya diperhitungkan petani
nonsertifikasi. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) petani
nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi sehingga biaya diperhitungkan
petani nonsertifikasi lebih besar dari petani sertifikasi.
Pendapatan lahan petani sertifikasi baik atas biaya tunai maupun biaya total lebih
baik dari petani nonsertifikasi. Pendapatan lahan atas biaya tunai maupun biaya
total petani nonsertifikasi lebih kecil dari petani sertifikasi dikarenakan
penerimaan lahan petani nonsertifikasi yang lebih rendah dan biaya usahatani
petani nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi. Nisbah penerimaan
dengan biaya (R/C) untuk petani sertifikasi lebih besar dari petani nonsertifikasi.
Hal ini berarti setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan petani sertifikasi akan
memperoleh penerimaan lebih besar dari petani nonsertifikasi. Nisbah
penerimaan dengan biaya dihitung untuk mengetahui apakah usahatani
menguntungkan atau tidak dan hasil penelitian membuktikan bahwa usahatani
kopi secara organik dengan sistem tumpangsari dan naungan lebih
menguntungkan dari usahatani konvensional dengan sistem tumpangsari dan
naungan.
102
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani kopi organik lebih
menguntungkan dari usahatani kopi konvensional. Usahatani kopi organik lebih
menguntungkan dikarenakan sistem pemeliharaan yang meminimalkan
penggunaan input dari luar dan tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia.
Hal ini terbukti bahwa biaya input yang dikeluarkan petani sertifikasi lebih sedikit
dibandingkan biaya input yang dikeluarkan petani nonsertifikasi. Cara budidaya
petani nonsertifikasi sangat bergantung pada pupuk dan pestisida kimia yang
harganya cukup mahal sehingga biaya yang dikeluarkan petani lebih besar,
berbeda dengan petani sertifikasi yang menekankan cara budidaya ramah
lingkungan dengan menggunakan pupuk kandang. Penggunaan pupuk kandang
selain menyuburkan tanah juga memiliki harga yang lebih murah sehingga dapat
menguragi biaya produksi. Pada intinya usahatani kopi secara organik dapat
menurunkan biaya produksi terutama untuk penggunaan input seperti pupuk dan
pestisida.
C. Manfaat Sertifikasi INOFICE Terhadap Keberlanjutan Usahatani Kopi
Organik
Manfaat dari adanya program sertifikasi INOFICE diukur dalam tiga aspek yaitu
manfaat secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Manfaat secara ekonomi diukur
dari adanya peningkatan produktivitas, efisiensi biaya, pendapatan, serta nilai
tambah. Manfaat ekonomi juga diukur dengan penilaian praktik usahatani kopi
yang berkelanjutan secara ekonomi yang menggunakan empat indikator. Manfaat
secara sosial dan lingkungan diukur melalui penilaian praktik usahatani secara
organik yang dapat diterima secara sosial dan ramah lingkungan. Penilaian
103
manfaat ekonomi,sosial dan lingkungan ini menggunakan indikator sistem
pertanian organik sesuai standar SNI 6729 2013 sistem pertanian organik.
1. Manfaat Ekonomi
Penilaian manfaat ekonomi dari adanya program sertifikasi INOFICE dilakukan
untuk mengetahui apakah dengan adanya program sertifikasi INOFICE dapat
meningkatkan keuntungan yang diterima petani. Penilaian manfaat ekonomi dari
adanya program sertifikasi dilakukan melalui analisis usahatani mengenai
produktivitas kopi dan lahan, pendapatan kopi, pendapatan lahan, efisiensi biaya
kopi dan lahan serta nilai tambah pengolahan kopi organik menjadi kopi bubuk.
Penilaian manfaat ekonomi dilakukan selama tiga tahun yaitu 2012, 2013 dan
2014. Indikator-indikator pengukuran manfaat ekonomi antara petani sertifikasi
dan nonsertifikasi setiap tahunnya dibandingkan untuk diuji secara statistik apakah
terdapat perbedaan atau tidak.
a. Manfaat Ekonomi Sertifikasi INOFICE Pada Tahun 2012-2014
Sertifikasi organik INOFICE diterima petani sejak Tahun 2012. Pada tahun awal
diperolehnya sertifikasi sampai tahun 2014 dilakukan penilaian apakah sertifikasi
INOFICE sudah memberikan manfaat ekonomi. Adapun hasil uji beda
produktivitas, harga, biaya usahatani, efisiensi biaya dan pendapatan petani kopi
pada Tahun 2012-2014 tersaji dalam Tabel 28.
Berdasarkan Tabel 28 nilai t hitung untuk produktivitas kopi, produktivitas lahan,
biaya usahatani kopi dan pendapatan lahan lebih kecil dari t tabel (α=0,05 dan
α=0,10), sehingga keputusan yang diambil yaitu terima Ho. Artinya produktivitas
104
kopi, produktivitas lahan, biaya usahatani, pendapatan kopi dan pendapatan lahan
petani sertifikasi dan nonsertifikasi secara statistik tidak berbeda nyata. Namun
hasil uji beda harga kopi, efisiensi biaya kopi dan efisiensi biaya lahan petani
sertifikasi signifikan lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Hal ini terlihat dari
nilai t hitung lebih besar dari t tabel sehingga keputusan yang diambil yaitu tolak
Ho. Namun, harga kopi signifikan lebih tinggi hanya pada Tahun 2012,
sedangkan untuk efisiensi biaya kopi dan lahan petani sertifikasi signifikan lebih
tinggi pada Tahun 2012 dan 2013.
Tabel 28. Hasil uji beda produktivitas, harga kopi, biaya usahatani, efisiensi biaya
dan pendapatan usahatani kopi Tahun 2012-2014 di
Kecamatan Air Hitam Lampung Barat
Indikator Petani sertifikasi Petani nonsertifikasi t hitung
2012 2013 2014 2012 2013 2014 2012 2013 2014
1.Produktivitas (kg/ha) a.Produktivitas
kopi 1.226 978 605 1.172 944 631 0,339 0,200 0,856
b.Produktivitas
lahan 1.468 1.185 793 1.392 1.134 812 1,287 1,139 0,075
2.Harga kopi (Rp/kg)
14.567 17.367 19.533 14.067 16.95 19.133 1,885** 0,916 1,091
3.Biaya Usahatani
(Rp/ha) a.Biaya Usahatani
kopi 9.069.334 8.883.470 7.851.154 10.078.386 9.943.439 9.117.816 0,625 0,697 0,931
b. Biaya usahatani lahan
9.642.692 9.456.827 8.445.489 10.650.003 10.515.056 9.686.859 0,585 0,655 0,857
4.Efisiensi Biaya
(Rp/kg) a. Efisiensi biaya
kopi 8.14 10.063 16.386 10.62 13.123 20.231 1,904** 1,730** 0,973
b. Efisiensi biaya lahan
6.517 7.894 11.474 7.758 9.367 12.041 1,369* 1,376* 0,149
5. Pendapatan kopi
(Rp/ha) a. atas biaya total 8.970.729 7.879.351 4.107.180 7.266.499 7.229.828 4.141.259 0,826 0,387 0,050
b. atas biaya tunai 13.692.099 12.600.721 8.739.511 12.236.994 12.200.323 9.090.962 0,663 0,289 0,045
6. Pendapatan lahan
(Rp/ha) a. atas biaya total 12.934.103 11.842.724 7.991.210 9.909.584 9.958.788 7.022.546 1,090 0,734 0,511
b. atas biaya tunai 18.046.186 16.954.808 13.018.854 15.270.921 15.320.125 12.380.171 0,934 0,621 0,382
Keterangan
t tabel (α=0,05, df=58): 1,671553
t tabel (α=0,10, df= 58): 1,296319
** signifikan pada taraf kepercayaan 95%
* signifikan pada taraf kepercayaan 90%
105
Hal ini menandakan bahwa pada tahun pertama dan kedua petani sertifikasi sudah
menerima manfaat sertifikasi INOFICE berupa harga kopi yang lebih tinggi,
efisiensi biaya kopi dan efisiensi biaya lahan. Adapun penyebab petani tidak
merasakan manfaat sertifikasi di Tahun 2014 dikarenakan gagal panen akibat
cuaca ekstrim. Cuaca ekstrim menyebabkan petani mengalami kerugian karena
rendahnya produksi kopi sedangkan biaya yang dikeluarkan cukup besar. Pada
tahun 2014 produksi kopi di Kecamatan Air Hitam mengalami penurunan yang
disebabkan kegagalan pembungaan. Intensitas hujan yang lebih tinggi
menyebabkan bunga-bunga kopi rontok sehingga pembentukan buah kopi
menurun. Penurunan produksi kopi ini mengakibatkan penurunan produktivitas
kopi, produktivitas lahan serta pendapatan yang diterima petani sertifikasi dan
nonsertifikasi.
1) Produktivitas
Penerapan usahatani kopi secara organik menyebabkan penurunan produksi kopi
bagi petani sertifikasi. Penggunaan pupuk organik membutuhkan jangka waktu
yang lama untuk meningkatkan produksi berbeda dengan pupuk kimia yang
mempunyai efek yang cepat dalam meningkatkan produksi kopi. Selain itu, rata-
rata petani sertifikasi mulai beralih ke usahatani kopi secara organik pada tahun
2010, sehingga perubahan dari usahatani kopi konvensional ke organik pada
mulanya akan menurunkan produksi dan produksi akan kembali naik secara
perlahan-lahan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Produktivitas kopi juga sangat dipengaruhi oleh umur tanaman kopi.
Produktivitas kopi semakin menurun sejalan dengan menuanya tanaman kopi.
106
Rata-rata umur tanaman kopi petani sertifikasi dan nonsertifikasi yaitu 20-30
tahun. Menurut Puslitkoka (ICCRI) produksi kopi optimal pada umur 20-30 tahun
adalah 900 kg/ha. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 24, petani sertifikasi
belum mampu mencapai produksi optimal kopi pada tanaman kopi berumur 20-30
tahun, sedangkan petani nonsertifikasi sudah mampu mencapai produktivitas
optimal tersebut. Upaya yang dilakukan petani kopi untuk meningkatkan produksi
kopi yaitu meregenerasi tanaman kopi dengan melakukan penyambungan batang
kopi dan penyulaman.
Hal ini didukung penelitian Saragih (2013) mengenai dimensi sosial ekonomi dan
lingkungan dalam produksi kopi arabika di Sumatera Utara yang menunjukkan
bahwa produktivitas kopi arabika sertifikasi 8 % lebih rendah dibandingkan kopi
konvensional. Namun harga kopi bersertifikasi yang diterima petani sedikit lebih
tinggi (3,57 %) dari harga kopi konvensional, hal ini berarti petani sertifikasi di
Sumatera utara sudah merasakan manfaat berupa perbedaan harga kopi sertifikasi
dengan kopi konvensional.
Produktivitas lahan dipengaruhi oleh produktivitas kopi, tanaman tumpangsari dan
tanaman naungan. Meskipun rata-rata produksi dan jumlah tanaman tumpangsari
dan tanaman naungan petani sertifikasi lebih baik dibandingkan petani
nonsertifikasi namun hal ini belum mampu untuk meningkatkan produktivitas
lahan. Hal ini menandakan bahwa peningkatan penerimaan dari tanaman
tumpangsari dan tanaman naungan belum mampu menutupi peningkatan biaya
usahatani pada lahan.
107
2) Harga Kopi
Harga suatu komoditas merupakan stimulus bagi petani dalam melakukan
usahatani, jika harga suatu komoditas menjanjikan maka petani akan tertarik untuk
membudidayakan komoditas tersebut. Berdasarkan Tabel 28 rata-rata harga jual
yang diterima petani sertifikasi Tahun 2012 yaitu Rp 14.567/kg sedangkan petani
nonsertifikasi sebesar Rp 14.067/kg. Hasil uji beda menunjukkan bahwa harga
kopi yang diterima petani sertifikasi pada Tahun 2012 signifikan lebih tinggi dari
petani nonsertifikasi. Hal ini membuktikan bahwa pada tahun pertama sertifikasi
INOFICE sudah memberikan manfaat berupa harga jual kopi yang lebih tinggi
dari kopi anorganik. Namun, pada tahun kedua dan ketiga program sertifikasi
belum memberikan manfaat harga premium, rata-rata harga yang diterima petani
sertifikasi dan nonsertifikasi pada tahun kedua dan ketiga tidak berbeda. Hal ini
didukung dengan hasil statistik uji beda t yang menunjukkan bahwa petani
sertifikasi dan nonsertifikasi menerima harga jual yang sama. Pada tahun kedua
dan ketiga berjalannya sertifikasi INOFICE belum memberikan perubahan yang
berarti bagi petani sertifikasi. Harga premium atau premium price masih belum
dapat dirasakan semua petani sertifikasi. Bahkan pada tahun kedua dan ketiga
keuntungan yang diterima baik petani sertifikasi dan nonsertifikasi menurun
karena penurunan produksi akibat cuaca ekstrim.
Harga jual kopi yang tidak berbeda disebabkan 70 persen petani sertifikasi
menjual kopi kepada tengkulak sama seperti petani nonsertifikasi dengan harga
yang sama dengan harga kopi biasa. Petani yang menjual kopi kepada tengkulak
tidak mendapatkan harga berbeda atas usaha mereka melakukan usahatani kopi
yang ramah lingkungan. Petani sertifikasi yang menjual kopi kepada gapoktan
108
memperoleh selisih harga lebih tinggi sebesar Rp 2000,00/kg dari harga kopi yang
berlaku di daerah tersebut. Selisih harga sebesar Rp 2000,00 merupakan bentuk
premium fee yang diberikan atas usaha petani memelihara kopi secara organik
sehingga turut menjaga kelestarian lingkungan. Namun karena keterbatasan
modal gapoktan tidak dapat menampung seluruh hasil panen kopi petani
sertifikasi, sehingga premium fee ini belum bisa dirasakan semua petani sertifikasi.
Gapoktan hanya dapat menampung kurang lebih 10 ton biji kopi dari keseluruhan
panen kopi petani sertifikasi, sementara rata-rata jumlah panen kopi seluruh petani
sertifikasi yaitu sebesar 29,20 ton. Sehingga petani sertifikasi menjual sisa panen
kopi yang tidak dapat diserap gapoktan kepada tengkulak atau pengumpul dengan
harga yang sama dengan kopi anorganik. Hal ini menandakan bahwa petani
sertifikasi belum merasakan manfaat berupa peningkatan harga jual kopi dari
adanya program sertifikasi.
3) Biaya Usahatani
Perhitungan uji beda biaya usahatani dilakukan untuk melihat apakah biaya yang
usahatani yang dikeluarkan petani sertifikasi berbeda dengan biaya usahatani yang
dikeluarkan petani nonsertifikasi. Biaya usahatani petani sertifikasi dan
nonsertifikasi secara statistik tidak berbeda nyata atau sama. Hal ini menunjukkan
bahwa penerapan usahatani kopi organik yang meminimumkan input dari luar
belum mampu menurunkan biaya usahatani kopi, dengan kata lain sertifikasi
INOFICE belum mampu memberikan manfaat berupa penurunan biaya produksi
pada usahatani kopi.
109
4) Efisiensi Biaya
Pengukuran efisiensi biaya dilakukan untuk melihat besarnya biaya dikeluarkan
untuk menghasilkan satu kilogram kopi. Semakin kecil biaya yang dikeluarkan
untuk menghasilkan satu kilogram kopi maka semakin efisien.
Berdasarkan Tabel 28 pada Tahun 2012 dan 2013 rata-rata biaya yang dikeluarkan
petani sertifikasi untuk menghasilkan satu kilogram kopi lebih rendah dari petani
nonsertifikasi. Artinya rata-rata biaya yang dikeluarkan petani sertifikasi untuk
menghasilkan satu kilogram kopi lebih efisien dari biaya yang harus dikeluarkan
petani nonsertifikasi. Hal ini juga dibuktikan secara statistik bahwa efisiensi biaya
kopi dan efisiensi biaya lahan petani sertifikasi signifikan lebih tinggi dari petani
nonsertifikasi. Hasil penelitian ini menandakan bahwa sertifikasi INOFICE pada
tahun pertama dan kedua sudah memberikan manfaat berupa peningkatan efisiensi
biaya produksi kopi dan efisiensi biaya produksi lahan. Pada tahun 2014
sertifikasi organik INOFICE belum memberikan manfaat berupa peningkatan
efisiensi biaya kopi dan efisiensi biaya lahan disebabkan karena gagal panen yang
dialami petani. Produksi kopi yang dihasilkan petani Tahun 2014 benar-benar
turun drastis, hal ini menyebabkan tingginya biaya produksi yang dikeluarkan
untuk menghasilkan satu kilogram kopi.
5) Pendapatan Kopi
Rata-rata pendapatan kopi petani sertifikasi dan nonsertifikasi tidak berbeda nyata.
Besarnya nilai pendapatan kopi dipengaruhi oleh produktivitas dan biaya
usahatani, hasil uji beda pendapatan kopi sejalan dengan hasil uji beda
produktivitas dan biaya usahatani kopi yang menunjukkan tidak adanya perbedaan
110
antara petani sertifikasi dan nonsertifikasi. Hal ini menyebabkan pendapatan kopi
yang diterima petani baik sertifikasi maupun nonsertifikasi relatif sama. Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa sertifikasi INOFICE belum dapat
meningkatkan pendapatan usahatani kopi bagi petani sertifikasi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Barham dan
Weber (2012) mengenai keberlanjutan ekonomi sertifikasi kopi di Meksiko dan
Peru. Penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan usahatani kopi petani
sertifikasi organik di Mexico (Oaxaca dan Chiapas) (US$ 480.8) lebih rendah
dibandingkan pendapatan petani sertifikasi RA (US$ 601) di Peru (Junin).
6) Pendapatan Lahan
Pada tahun pertama sampai tahun ketiga sertifikasi INOFICE belum memberikan
manfaat berupa peningkatan pendapatan lahan bagi petani sertifikasi. Hal ini
dibuktikan secara statistik bahwa rata-rata pendapatan lahan petani sertifikasi dan
nonsertifikasi pada Tahun 2012-2014 tidak berbeda nyata. Hasil uji beda
pendapatan lahan petani sertifikasi dan nonsertifikasi ini sejalan dengan hasil uji
beda produktivitas, biaya usahatani dan pendapatan kopi yang menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan. Penerapan usahatani kopi secara organik yang
menggunakan bahan-bahan alami dan meminimumkan penggunaan input dari luar
belum mampu meningkatkan pendapatan lahan bagi petani. Hal ini menunjukkan
bahwa sertifikasi INOFICE belum memberikan manfaat berupa pendapatan
usahatani yang lebih tinggi bagi petani sertifikasi.
Secara keseluruhan sertifikasi INOFICE pada Tahun 2012-2014 belum
memberikan manfaat ekonomi berupa peningkatan produktivitas, pendapatan dan
111
penurunan biaya usahatani, namun sertifikasi INOFICE sudah memberikan
manfaat berupa peningkatan harga kopi pada tahun pertama serta efisiensi biaya
kopi dan lahan pada tahun pertama dan kedua. Efisiensi biaya kopi dan lahan
petani sertifikasi signifikan lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Hal ini
membuktikan bahwa pengeluaran biaya usahatani kopi untuk menghasilkan satu
kilogram kopi secara organik lebih efisien dari usahatani kopi konvensional. Hasil
uji beda secara statistik menunjukkan bahwa produktivitas, biaya usahatani dan
pendapatan petani sertifikasi dan nonsertifikasi selama Tahun 2012-2014 tidak
berbeda. Salah satu upaya yang dapat dilakukan petani untuk meningkatkan
produktivitas dan pendapatan lahan adalah dengan menanam tanaman naungan
dan tumpangsari yang memiliki harga yang menjanjikan seperti tanaman lada,
pisang, jengkol, petai, durian, nangka dan lainnya. Penanaman tanaman naungan
dan tumpangsari yang bernilai ekonomi tinggi diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas dan pendapatan lahan bagi petani kopi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Fort dan Ruben (2009) dan
Oktami (2014). Penelitian Fort dan Ruben (2009) yang meneliti 180 petani
sertifikasi kopi fair trade di Peru menunjukkan bahwa 12 % petani tidak
mengetahui keberadaan harga premium fair trade dan 77 persen petani
menyatakan belum menerima manfaat dari adanya premium tersebut. Petani yang
belum merasakan manfaat dari adanya harga premium fair trade di daerah Ubriki
sebanyak 98 persen dan di daerah La florida sebanyak 48 persen. Sedangkan hasil
penelitian Oktami (2014) menunjukkan bahwa Sertifikasi Rainforest Alliance
(RA) belum dapat meningkatkan produktivitas kopi, efisiensi biaya kopi dan
pendapatan kopi petani sertifikasi, namun sertifikasi RA memberikan manfaat
112
peningkatan produktivitas dan pendapatan lahan serta peningkatan kualitas dan
pengontrolan biaya usahatani kopi bagi petani sertifikasi.
b. Manfaat Ekonomi Sertifikasi INOFICE (Rata-rata Selama Tahun
2012-2014)
Perhitungan manfaat sertifikasi INOFICE selain dilakukan per tahun juga
dilakukan secara rata-rata atau keseluruhan selama tiga tahun terakhir. Adapun
hasil uji beda rata-rata produktivitas, harga kopi, biaya usahatani, efisiensi biaya
dan pendapatan disajikan dalam Tabel 29.
Tabel 29. Hasil uji beda produktivitas, harga kopi, biaya usahatani, efisiensi biaya
dan pendapatan usahatani kopi (Rata-rata selama Tahun 2012-2014) di
Kecamatan Air Hitam Lampung Barat
Indikator Petani
sertifikasi
Petani
Nonsertifikasi
Uji beda t (df=58)
t hitung t tabel
(α=0,05)
t tabel
(α=0,10)
1. Produktivitas (kg/ha)
a. Produktivitas kopi 884,27 915,62 0,090
1,671553 1,296319
b. Produktivitas lahan 1148,66 1112,45 0,969
2. Harga kopi (Rp/kg) 17.155,56 16.716,67 1,554
3. Biaya Usahatani (Rp/ha)
a. Biaya Usahatani kopi 9.025.464,68 10.195.171,84 0,764
b. Biaya usahatani lahan 9.605.814,57 10.765.930,91 0,713
4. Efisiensi Biaya (Rp/kg)
a. Efisiensi biaya kopi 12.171,69 15.326,50 1,396*
b. Efisiensi biaya lahan 9.029,24 10.156,95 0,860
5. Pendapatan kopi (Rp/ha)
a. atas biaya total 6.561.607,97 5.730.570,74 0,504
b. atas biaya tunai 11.677.443,98 11.176.093,29 0,345
6. Pendapatan lahan (Rp/ha)
a. atas biaya total 10.498.533,72 8.481.681,85 0,850
b. atas biaya tunai 16.006.615,99 14.323.739,05 0,682
Keterangan: * signifikan pada taraf kepercayaan 90%
Berdasarkan Tabel 29 nilai t hitung efisiensi biaya kopi lebih besar dari t tabel
(α=0,10) sehingga keputusan yang diambil yaitu tolak Ho. Artinya efisiensi biaya
113
kopi petani sertifikasi signifikan lebih tinggi dari petani nonsertifikasi, sedangkan
produktivitas, harga kopi, biaya usahatani, efisiensi biaya lahan dan pendapatan
antara petani sertifikasi dan nonsertifikasi tidak berbeda nyata. Hal ini
ditunjukkan dari nilai t hitung yang lebih kecil dari t tabel (α=0,05 dan α=0,10)
sehingga keputusan yang diambil yaitu terima Ho. Hasil ini tidak jauh berbeda
dengan hasil uji beda manfaat ekonomi yang dilakukan per tahun yang
menunjukkan bahwa efisiensi biaya kopi dan lahan petani sertifikasi lebih tinggi
dari petani nonsertifikasi. Hal ini membuktikan bahwa secara keseluruhan
sertifikasi INOFICE sudah memberikan manfaat berupa biaya produksi per
kilogram kopi yang lebih efisien bagi petani sertifikasi.
Berdasarkan hasil penelitian permasalahan utama pada pemasaran kopi organik
yaitu harga kopi yang tidak berbeda dari kopi biasa. Premium price belum dapat
dirasakan oleh semua petani sertifikasi. Aturan kepastian harga perlu ditegaskan
dalam program sertifikasi sehingga petani dapat merasakan manfaat berupa harga
yang lebih tinggi dari kopi biasa atas usahanya melakukan usahatani kopi yang
berwawasan lingkungan. Oleh sebab itu diharapkan bagi pemerintah untuk segera
merancang dan mengeluarkan aturan mengenai jaminan kepastian harga mengenai
komoditas bersertifikat. Kebijakan ini ditujukan supaya petani yang sudah
mendapat sertifikasi mendapatkan harga yang lebih baik dari harga kopi biasa.
Selain itu, agar gapoktan dapat menampung seluruh panen kopi petani sertifikasi
maka gapoktan perlu meningkatkan modal usaha. Rata-rata jumlah produksi kopi
petani sertifikasi per tahun adalah ± 29,20 ton. Gapoktan membeli kopi dengan
selisih harga Rp 2000,00 dari harga kopi di daerah penelitian. Upaya yang dapat
114
dilakukan gapoktan untuk meningkatkan modal adalah dengan menjalin kemitraan
dengan lembaga pemasaran kopi seperti eksportir agar dapat menyerap seluruh
hasil produksi kopi petani sertifikasi. Peningkatan modal usaha bagi gapoktan
juga dapat melalui kemitraan dengan lembaga perbankan. Adanya kemitraan
dengan lembaga perbankan diharapkan dapat membantu memberikan akses kredit
bagi gapoktan dan kepada pemerintah daerah diharapkan dapat membantu
permasalahan modal bagi gapoktan untuk meningkatkan kapasitas gapoktan
sebagai lembaga pemasaran dan agroindustri pengolahan.
c. Nilai Tambah (value added)
Kopi organik yang dihasilkan petani sertifikasi dijual kepada gapoktan dan
pedagang pengumpul. 30 persen petani sertifikasi menjual kopi ke gapoktan dan
sisanya 70 persen dijual kepada tengkulak. Kopi organik yang dijual ke gapoktan
selanjutnya akan diolah menjadi kopi bubuk organik. Gapoktan hanya dapat
mengolah 34,25 persen atau 10 ton biji kopi dari jumlah produksi petani
sertifikasi yang mencapai 29,20 ton. Pengolahan biji kopi organik menjadi kopi
organik ini ditujukan untuk meningkatkan harga jual kopi organik. Adanya
pengolahan berupa perubahan bentuk dari biji kopi beras menjadi kopi bubuk akan
memberikan nilai tambah yang pada akhirnya dapat memberikan keuntungan bagi
petani. Keadaan ini berbeda dengan petani nonsertifikasi, kopi yang dihasilkan
petani nonsertifikasi dijual kepada pedagang pengumpul dan tidak dilakukan
pengolahan menjadi kopi bubuk seperti kopi organik.
Pengolahan biji kopi menjadi kopi bubuk dikelola oleh Gapoktan Hulu Hilir yang
sudah berdiri sejak tahun 2005 namun untuk pengolahan kopi bubuk organik baru
115
dimulai pada tahun 2010. Kopi bubuk organik ini dipasarkan dengan nama ‘Kopi
Hitam Organik Liwa’. Proses produksi kopi bubuk organik ini dilakukan setiap
dua minggu sekali atau tiap bulan dilakukan dua kali proses produksi.
Adanya pengolahan kopi organik menjadi kopi bubuk ini memberikan manfaat
berupa perekrutan masyarakat sekitar sebagai pekerja. Tenaga kerja pengolahan
kopi bubuk organik berjumlah tiga orang. Tenaga kerja yang bertugas
menggoreng dan menggiling adalah satu orang, kemudian tenaga kerja yang
bertugas sebagai pengemas berjumlah dua orang. Dalam satu kali pengolahan
dibutuhkan 4,5 HOK. Upah yang diberikan kepada tenaga kerja adalah Rp
50.000/HOK, dimana 1 HOK sama dengan delapan jam kerja. Penggunaan tenaga
kerja pada proses pengolahan kopi bubuk organik tersaji pada Tabel 30.
Tabel 30. Penggunaan tenaga kerja dalam pengolahan kopi bubuk organik
per bulan
Kegiatan Tenaga kerja Upah
(Rp/HOK) Biaya TK
JO LJK JH HOK
Menggoreng 1 2 2 0,5 50.000 25.000
Menggiling 1 2 2 0,5 50.000 25.000
Packing 2 8 4 8 50.000 400.000
Jumlah 4 12 8 9 150.000 450.000
Berdasarkan Tabel 30 diketahui bahwa biaya tenaga kerja yang dikeluarkan dalam
untuk pengolahan kopi per bulan yaitu Rp 450.000, biaya tenaga kerja yang
dikeluarkan ini merupakan pendapatan yang diperoleh tenaga kerja dari kegiatan
produksi kopi bubuk organik. Bila diakumulasikan selama setahun, tenaga kerja
menerima pendapatan sebesar Rp 5.400.000. Hal ini berarti masyarakat sekitar
yang menjadi pekerja telah menerima manfaat secara tidak langsung dari adanya
program sertifkasi organik INOFICE. Program sertifikasi ini memberikan
116
lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar sebagai tenaga kerja pada proses
produksi kopi bubuk organik. Hal ini sangat membantu masyarakat dalam
menambah penghasilan dan mengurangi pengangguran di wilayah tersebut.
Pengolahan kopi bubuk organik ini dilakukan secara murni tanpa tambahan atau
campuran bahan lain. Selain biji kopi, input lain yang mendukung pengolahan
yaitu aluminium foil dan label untuk pengemasan serta solar sebagai bahan bakar.
Penggunaan bahan baku penunjang pada produksi kopi bubuk organik tersaji pada
Tabel 31.
Tabel 31. Penggunaan bahan baku penunjang produksi kopi bubuk organik
per bulan
Bahan baku Jumlah Satuan Harga (Rp/satuan) Biaya (Rp)
Aluminium foil 6 Kg 55.000 330.000
Label 3.200 Buah 450 1.440.000
Solar 16 Liter 7.000 112.000
Jumlah 1.882.000
Input lain yang tak kalah penting dalam produksi kopi bubuk organik yaitu
peralatan yang berupa mesin penyangrai, mesin penggiling, silker, dan blower.
Bahan baku pendukung dan peralatan dalam perhitungan nilai tambah
digolongkan dalam dalam sumbangan input lain. Peralatan yang digunakan ini
memiliki umur ekonomis atau jangka waktu pemakaian dan memiliki nilai
penyusutan tiap tahun. Besarnya nilai penyusutan mesin per bulan tersaji pada
Tabel 32.
117
Tabel 32. Penyusutan mesin pengolah dalam produksi kopi bubuk organik
per bulan
Peralatan Tahun
beli Jumlah Harga Total biaya
Umur
ekonomis
Nilai
penyusutan/
tahun
Nilai
penyusutan/
bulan
Mesin
penyangrai 2012 1 300.000.000 300.000.000 30 10.000.000 833.333,33
Mesin
penggiling 2007 1 12.000.000 12.000.000 30 400.000 33.333,33
Silker 2007 1 5.000.000 5.000.000 25 200.000 16.666,67
Blower 2013 1 300.000.000 300.000.000 25 12.000.000 1.000.000
Jumlah 617.000.000 617.000.000 22.600.000 1.883.333,33
Analisis nilai tambah yang dilakukan menggunakan analisis nilai tambah metode
Hayami. Hasil analisis nilai tambah metode hayami pengolahan kopi bubuk
organik tersaji dalam Tabel 33.
Tabel 33. Hasil analisis nilai tambah pengolahan kopi bubuk organik dengan
Metode Hayami (per bulan)
No Variabel Nilai Nilai kopi organik
Output, Input, Harga
1 Output/ total produksi (Kg / periode) A 640
2 Input bahan baku (Kg / periode) B 800
3 Input Tenaga kerja (HOK / periode) C 9,0
4 Faktor konversi (1) / (2) D = A / B 0,80
5 Koefesien tenaga kerja (3) / (2) E = C / B 0,01
6 Harga produk ( Rp / Kg) F 60.000
7 Upah rata-rata tenaga kerja per HOK ( Rp /HOK) G 50.000
Pendapatan dan Keuntungan
8 Harga input bahan baku ( Rp / Kg) H 20.000
9 Sumbangan input lain ( Rp / Kg) I 5.883,33
10 Nilai produk ( 4 ) x ( 6 ) ( Rp / Kg) J = D X F 48.000,00
11 a. Nilai tambah ( 10 ) - ( 8 ) – ( 9 ) ( Rp / Kg) K = J-H-I 22.116,67
b. Rasio nilai tambah (11a) / (10 ) ( % ) L % = ( K / J ) % 46,08
12 a. Pendapatan Tenaga kerja ( Rp / Kg) M = E x G 562,50
b. Imbalan tenaga kerja (12a) / (11a) ( % ) N % = ( M / K ) % 2,54
13 a. Keuntungan (11a) – ( 12a) ( Rp / Kg) O = K – M 21.554,17
b. Tingkat keuntungan (13a) / (10 ) ( % ) P % = ( O -J ) % 44,90
Balas Jasa Untuk Faktor produksi
14
Marjin ( 10 ) - ( 8 ) ( Rp / Kg) Q = J – H 28.000,00
a. Pendapatan tenaga kerja (12a) / (14 ) ( % ) R % = ( M / Q ) % 2,01
b. Sumbangan input lain ( 9 ) / (14 ) ( % ) S % = ( I / Q ) % 21,01
c. Keuntungan perusahaan (13a) / (14 ) ( % ) T % = ( O / Q ) % 76,98
118
Harga biji kopi organik yang digunakan sebagai bahan baku yaitu harga jual rata-
rata ditingkat petani yaitu Rp 20.000,00 dan harga jual kopi bubuk organik yaitu
Rp 60.000,00 per kilogram. Berdasarkan Tabel 33 jumlah output yang dihasilkan
yaitu 640 kg kopi bubuk dari 800 kg biji kopi. Nilai faktor konversi dalam
pengolahan ini yaitu 0,8, yang berarti setiap satu kilogram biji kopi organik akan
menghasilkan 0,8 kg kopi bubuk organik. Nilai faktor konversi diperoleh dari dari
perbandingan hasil output dengan jumlah input yang digunakan. Faktor koefisien
tenaga kerja yang diperoleh yaitu 0,01, hal ini menunjukkan bahwa jumlah hari
orang kerja yang dibutuhkan untuk mengolah satu kilogram biji kopi organik
menjadi kopi bubuk organik diperlukan tenaga kerja sebesar 0,01 HOK. Faktor
koefisien tenaga kerja merupakan perbandingan jumlah hari orang kerja dengan
bahan baku yang digunakan dalam satu kali proses pengolahan.
Nilai tambah pengolahan biji kopi organik menjadi kopi bubuk organik yaitu
sebesar Rp 22.116,67 per kilogram dengan rasio nilai tambah sebesar 46,08
persen. Artinya dari Rp 22.116,67 nilai produk 46,08 persen merupakan nilai
tambah dari pengolahan produk. Nilai tambah diperoleh dari pengurangan nilai
produk dengan harga bahan baku dan sumbangan input lain. Nilai tambah yang
diperoleh ini merupakan nilai tambah kotor bagi pengolah karena belum dikurangi
dengan balas jasa bagi tenaga kerja. Imbalan bagi tenaga kerja yaitu sebesar
Rp 562,50 atau sebesar 2,54 persen dari nilai tambah merupakan imbalan bagi
tenaga kerja.
Keuntungan yang diperoleh dari pengolahan kopi bubuk organik yaitu
Rp 21.554,17, keuntungan ini merupakan nilai tambah bersih dari pengolahan
119
karena sudah dikurangi dengan imbalan bagi tenaga kerja. Besarnya tingkat
keuntungan yaitu 44,90 persen, hal ini berarti 44,90 persen dari harga jual
merupakan keuntungan yang diterima pengolah. Marjin yang diperoleh dari setiap
penjualan kopi bubuk organik yaitu sebesar Rp 28.000 per kilogram, marjin ini
kemudian dibagi untuk tenaga kerja sebesar Rp 562,50 per kilogram atau 2,01
persen, sumbangan input lain sebesar Rp 5.883,33 atau 21,01 persen dan
keuntungan perusahaan sebesar Rp 21.554,17, atau sebesar 76,98 persen.
Nilai tambah yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan nilai
tambah pengolahan kopi bubuk arabika organik pada penelitian yang dilakukan
oleh Maimun (2009). Menurut Maimun (2009) nilai tambah pengolahan kopi
bubuk arabika yang diperoleh yaitu sebesar Rp.30.832,54 per kilogram dengan
rasio nilai tambah sebesar 58,72 persen. Keuntungan yang diperoleh perusahaan
adalah sebesar Rp. 29.692,54. Perbedaan besarnya nilai tambah yang diperoleh
disebabkan karena harga jual kopi bubuk arabika organik yang lebih tinggi dan
harga bahan baku kopi arabika organik lebih murah.
Kopi bubuk organik yang dihasilkan dikemas dalam kemasan ukuran 200 gram
dengan harga Rp 12.000,00. Pemasaran kopi bubuk organik ini dilakukan secara
langsung atau melalui gerai atau outlet. Pemasaran secara langsung dilakukan
dengan cara membeli langsung kopi bubuk organik di pabrik atau rumah ketua
gapoktan. Pemasaran melalui outlet dilakukan untuk mengenalkan Kopi Hitam
Organik Liwa semakin dikenal sebagai oleh-oleh khas Kabupaten Lampung Barat.
120
Adapun gambar biji kopi dan kopi bubuk organik tersaji pada Gambar 3.
Gambar 3. Biji kopi dan kopi bubuk organik
d. Manfaat dalam Penerapan Usahatani yang Berkelanjutan Secara
Ekonomi
Selain menghitung manfaat ekonomi berupa peningkatan produktivitas, efisiensi
biaya, pendapatan dan nilai tambah, manfaat ekonomi program sertifikasi juga
dihitung melalui penilaian praktik usahatani yang berkelanjutan secara ekonomi.
Indikator-indikator yang digunakan yaitu pihak yang menentukan harga kopi,
lembaga pemasaran yang bekerja sama dengan petani, penentuan harga
berdasarkan kualitas dan keterbukaan untuk proses tawar menawar. Indikator-
indikator yang digunakan mengacu pada standar SNI 6729 2013 sistem pertanian
organik. Keempat indikator ini kemudian diuji validitas dan reliabilitas untuk
mengetahui apakah indikator yang digunakan mampu menggambarkan fenomena
dilapangan. Hasil uji validitas dan reliabilitas penilaian praktik usahatani kopi
yang berkelanjutan secara ekonomi tersaji pada Tabel 34.
121
Tabel 34. Hasil uji validitas dan reliabilitas penilaian praktik usahatani kopi
yang berkelanjutan secara ekonomi
No Indikator Extraction Keterangan
Keadilan dalam proses transaksi
1 Pihak yang menentukan harga kopi (KT1) 0,705 Valid
2 Lembaga pemasaran yang bekerja sama dengan petani (KT2) 0,750 Valid
3 Penentuan harga kopi berdasarkan mutu/grade kopi (KT3) 0,688 Valid
4 Penentuan harga dilakukan melalui proses tawar-menawar/negosiasi
harga (KT4) 0,653 Valid
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. 0,571 Valid
Signifikansi 0,002 Valid
cronbach alpa 0,458 Reliabel
Berdasarkan Tabel 34 indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian adalah
valid. Hal ini terlihat dari nilai Kaiser Meeyer Olkin (KMO) sebesar 0,571 (>0,5)
dan signifikan Barlet’s test sphercity sebesar 99 persen. Nilai extraction untuk
masing-masing indikator berada diatas 0,4 sehingga semua indikator penilaian
manfaat lingkungan dinyatakan valid. Nilai cronbach alpa yang diperoleh yaitu
sebesar 0,458 yang berarti instumen-instrumen yang digunakan cukup reliabel.
Menurut Guilford dalam Sugiyono (2007) nilai koefisien cronbach alpa terbagi
menjadi lima yaitu sangat reliabel (>0,90), reliabel (0,7-0,9), cukup reliabel (0,4-
0,6), kurang reliabel (0,2-0,4) dan tidak reliabel (<0,2). Instrumen-instrumen yang
digunakan memiliki reliabilitas yang sedang disebabkan karena indikator yang
digunakan untuk mengukur praktik usahatani yang berkelanjutan secara ekonomi
sangat terbatas hanya empaat indikator oleh sebab itu tidak dapat menggambarkan
keadaan seluruhnya dilapangan.
Penilaian praktik usahatani kopi yang berkelanjutan secara ekonomi menggunakan
skor 1-3. Skor (1) berarti pernyataan indikator tidak sesuai dengan prinsip, skor
(2) berarti pernyataan indikator kurang sesuai dengan prinsip dan skor (3) jika
pernyataan indikator sesuai dengan prinsip. Hasil uji Mann Whitney penilaian
122
praktik usahatani kopi yang berkelanjutan secara ekonomi disajikan dalam Tabel
35.
Tabel 35. Hasil uji Mann Whitney penilaian praktik usahatani kopi yang
berkelanjutan secara ekonomi
No Indikator Petani
sertifikasi
Peetani
Nonsertifikasi
Keadilan dalam proses transaksi
1 Pihak yang menentukan harga kopi (KT1) 2,17 1,87
2 Lembaga pemasaran yang bekerja sama dengan petani (KT2) 1,43 1,00
3 Penentuan harga kopi berdasarkan mutu/grade kopi (KT3) 2,73 2,27
4 Penentuan harga dilakukan melalui proses tawar-
menawar/negosiasi harga (KT4) 2,43 1,93
Total 8,76 7,07
Indeks keberlanjutan (persen) 73 58,92
Mann Whitney-U 216,000
Z hitung I 3,517 I
Z tabel (Z α = 0,05) I 1,645 I
Berdasarkan Tabel 35 rata-rata skor praktik usahatani kopi yang berkelanjutan
secara ekonomi petani sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Secara
keseluruhan petani sertifikasi sudah menerapkan dengan baik indikator-indikator
penilaian praktik usahatani kopi yang berkelanjutan secara ekonomi. Pada proses
penjualan kopi organik petani sertifikasi lebih terbuka untuk negosiasi harga atau
tawar-menawar. Petani sertifikasi selain bekerjasama dengan gapoktan sebagai
penampung kopi organik juga bekerja sama dengan PT Nestle. Bentuk kerjasama
petani sertifikasi dengan PT Nestle adalah sistem langganan. Pihak Nestle selalu
memberi informasi harga kopi kepada petani sehingga petani dapat mengetahui
perkembangan harga kopi. Hal ini berbeda dengan petani nonsertifikasi yang
tidak bekerjasama dengan lembaga pemasaran manapun kecuali tengkulak. Pada
indikator penentuan harga berdasarkan mutu/grade kopi, baik petani sertifikasi
dan nonsertifikasi sudah merasakan manfaat ini. Harga kopi yang diterima petani
123
didasarkan pada kadar air kopi, banyaknya biji kopi yang cacat serta kebersihan
kopi.
Hasil uji Mann Whitney praktik usahatani kopi yang berkelanjutan secara ekonomi
petani sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Hal ini ditunjukkan melalui
nilai |Zhitung| = |3,517| yang lebih besar dari |Ztabel (α=0,05)| = |1,645| sehingga
keputusan yang diambil yaitu tolak Ho. Artinya rata-rata manfaat ekonomi yang
diterima petani sertifikasi lebih signifikan lebih tinggi dari petani nonsertifikasi.
Hal ini menunjukkan bahwa petani sertifikasi telah merasakan manfaat ekonomi
dari sertifikasi INOFICE terutama dalam keadilan proses transaksi seperti
keterbukaan untuk negosiasi harga, penentuan harga kopi berdasarkan kualitas
serta kerjasama dengan lembaga pemasaran kopi. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Juwita (2013) mengenai manfaat
pembinaan dan verifikasi kopi di Kabupaten Tanggamus yang menghasilkan
bahwa petani terverifikasi mempunyai persepsi yang lebih tinggi mengenai
manfaat ekonomi program verifikasi dibandingkan petani nonverifikasi.
2. Manfaat Lingkungan
Penilaian manfaat lingkungan program sertifikasi INOFICE diukur menggunakan
indikator-indikator manfaat lingkungan yaitu manajemen ekosistem, konservasi
tanah dan air, tata cara produksi, pembuatan dan penggunaan input, serta
pemanenan dan penyimpanan. Indikator-indikator penilaian manfaat lingkungan
kemudian diuji validitas dan reliabilitas untuk melihat apakah indikator-indikator
yang digunakan valid dan reliabel. Hasil uji validitas dan reliabilitas indikator
penilaian manfaat lingkungan tersaji dalam Tabel 36.
124
Tabel 36. Hasil uji validitas dan reliabilitas indikator penilaian praktik
usahatani kopi organik yang berkelanjutan secara lingkungan
No Indikator Extraction Keterangan
Manajemen Ekosistem
1 Macam-macam tanaman naungan yang ditanam di lahan (ME1) 0,908 Valid
2 Jumlah tanaman naungan yang ditanam di lahan (ME2) 0,829 Valid
Konservasi Tanah dan air
Valid
3 Cara membersihkan rumput dikebun (KT1) 0,82 Valid
4 Daur ulang sisa-sisa hasil panen (daun, kulit kopi dll) untuk menjadi
pupuk organik (KT2) 0,787 Valid
5 Pembuatan parit, tanggul, guludan, terasering atau penanaman
mengikuti kontur untuk mencegah erosi (KT3) 0,766 Valid
6 Tempat membuang air dari sisa penggunaan herbisida atau pestisida
dan input lainnya (KT4) 0,863 Valid
7 Cara mengelola sampah dedaunan (KT5) 0,751 Valid
8 Tempat membuang sampah plastik, botol dll yang ada dilahan (KT6) 0,707 Valid
Tata cara produksi
9 Lama masa konversi lahan untuk tanaman tahunan 3 tahun sebelum
panen pertama (TP1) 0,748 Valid
10 Lahan organik dan konvensional memiliki pembatas yang jelas berupa
zona penyangga (buffer zone) (TP2) 0,811 Valid
Kesuburan dan aktivitas biologi tanah harus dipelihara atau
ditingkatkan dengan : Valid
11 a. Sumber bahan penyubur tanah berasal dari mikroba, tumbuhan dan
hewan organik (TP3) 0,889 Valid
12 b. Penggunaan pupuk organik (pupuk kompos, pupuk hijau dan pupuk
kandang) pada lahan (TP4) 0,826 Valid
13
Hama, penyakit dan gulma harus dikendalikan dengan salah satu atau
kombinasi dari cara-cara berikut (TP5) :
Pengendalian mekanis dengan penggunaan perangkap, penghalang,
cahaya dan suara.
Pengedalian hama, penyakit, dan gulma menggunakan pestisida nabati.
Pelestarian musuh alami (parasit, predator, patogen dan serangga).
Ekosistem yang beragam (tumpangsari, buffer zone, dan agroforestry).
Penggunaan mulsa dan penyiangan
0,863 Valid
14 Jarak zona pembatas terhadap permukiman dan sumber air atau sungai
(TP6) 0,823 Valid
15 Pembersihan semua peralatan yang digunakan sebelum digunakan
pada lahan organik (TP7) 0,745 Valid
Penggunaan dan Pembuatan Input Produksi Pertanian Organik
16 Benih/bibit kopi berasal dari tanaman kopi organik (IN1) 0,824 Valid
17 Penggunaan bahan kimia sintetik (pupuk dan pestisida kimia) dalam
proses produksi kopi (IN2) 0,867 Valid
Pemanenan dan Penyimpanan
18 Cara pemanenan kopi (PN1) 0,726 Valid
19 Cara penjemuran kopi (PN2) 0,821 Valid
20 Pembersihan alat-alat pengolahan (PN3) 0,732 Valid
21 Tempat penyimpanan kopi (PN4) 0,713 Valid
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. 0,739 Valid
Signifikansi 0,000 Valid
cronbach alpa 0,885 Reliabel
125
Berdasarkan Tabel 36 hasil uji validitas dan reliabilitas indikator manfaat
lingkungan menunjukkan bahwa instrumen-instrumen yang digunakan dalam
penelitian adalah valid. Hal ini terlihat dari nilai Kaiser Meyer Olkin (KMO) yaitu
0,739 (>0,5) dan signifikan Barlet’s test sphercity sebesar 99 persen. Nilai
extraction untuk masing-masing indikator berada diatas 0,4 sehingga semua
indikator penilaian manfaat lingkungan dinyatakan valid. Nilai cronbach alpa
yang diperoleh yaitu sebesar 0,885, hal ini berarti instrumen-instrumen yang
digunakan memiliki reliabilitas yang baik. Instrumen-instrumen penilaian
manfaat lingkungan yang telah dinyatakan valid dan reliabel kemudian diuji
menggunakan uji Mann Whitney u test untuk melihat ada tidaknya perbedaan
manfaat lingkungan yang diterima petani sertifikasi. Hasil uji Mann Whitney u
test indikator penilaian praktik usahatani kopi organik yang berkelanjutan secara
lingkungan tersaji pada Tabel 37.
Sistem usahatani kopi secara organik yang dilakukan petani sertifikasi
mengedepankan asas keberlanjutan lingkungan. Petani sertifikasi diwajibkan
untuk mengetahui dan menerapkan tata cara budidaya secara organik. Penerapan
manajemen ekosistem petani sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Hal
ini terlihat berbagai macam tanaman naungan yang ditanam serta banyaknya
jumlah pohon yang ditanam. Meskipun jumlah tanaman naungan yang ditanam
petani sertifikasi dan nonsertifikasi belum memenuhi standar ideal yaitu 300-600
pohon/ha, namun jumlah naungan yang ditanam petani sertifikasi lebih baik dari
petani nonsertifikasi. Keberadaan tanaman naungan sangat bermanfaat selain
sebagai penaung juga berfungsi sebagai penyerap karbon dan penyangga
126
ekosistem disekitar. Adapun gambar kebun kopi organik dan anorganik tersaji
pada Gambar 4.
Gambar 4. Kebun kopi organik dan kebun kopi anorganik
Petani sertifikasi juga lebih baik dalam menerapkan konservasi tanah dan air
dibandingkan petani nonsertifikasi. Petani sertifikasi menjaga kesuburan tanah
dengan membersihkan rumput dengan cara mekanik (koret) kemudian sisa-sisa
rumput dibenamkan untuk dijadikan pupuk hijau, selain itu sisa-sisa kulit kopi,
sampah dedaunan juga dibenamkan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Petani
nonsertifikasi lebih banyak membersihkan rumput dengan cara disemprot dengan
pestisida kimia. Rata-rata petani nonsertifikasi membersihkan sampah plastik,
botol dan kaleng yang ada dilahan dengan cara dibakar sedangkan petani
sertifikasi membersihkan dengan cara dipendam ke dalam tanah atau dikumpulkan
kemudian dijual agar dapat didaur ulang.
Dari segi tata cara produksi, petani sertifikasi juga sudah menerapkan prinsip ini
dengan baik. Petani sertifikasi menggunakan pupuk kandang sebagai pengganti
pupuk kimia, walau masih ada petani sertifikasi yang menggunakan pupuk dan
pestisida kimia namun penggunaan pupuk dan pestisida kimia masih terkontrol.
127
Pengendalian HPT dilakukan dengan cara-cara alami melalui pengendalian
mekanis seperti dikoret dan penggunaan pestisida nabati.
Tabel 37. Hasil uji Mann Whitney indikator penilaian praktik usahatani
kopi organik yang berkelanjutan secara lingkungan
No Indikator Petani
Sertifikasi
Petani
Nonsertifikasi
Manajemen Ekosistem
1 Macam-macam tanaman naungan yang ditanam di lahan (ME1) 2,67 2,00
2 Jumlah tanaman naungan yang ditanam di lahan (ME2) 2,13 1,63
Konservasi Tanah dan air
3 Cara membersihkan rumput dikebun (KT1) 2,47 1,63
4 Daur ulang sisa-sisa hasil panen (daun, kulit kopi dll) untuk menjadi pupuk
organik (KT2) 2,73 2,87
5 Pembuatan parit, tanggul, guludan, terasering atau penanaman mengikuti
kontur untuk mencegah erosi (KT3) 1,60 1,27
6 Tempat membuang air dari sisa penggunaan herbisida atau pestisida dan
input lainnya (KT4) 2,37 1,77
7 Cara mengelola sampah dedaunan (KT5) 2,67 2,53
8 Tempat membuang sampah plastik, botol dll yang ada dilahan (KT6) 2,63 1,97
Tata cara produksi
9 Lama masa konversi lahan untuk tanaman tahunan 3 tahun sebelum panen
pertama (TP1) 1,57 1,00
10 Lahan organik dan konvensional memiliki pembatas yang jelas berupa zona
penyangga (buffer zone) (TP2) 2,80 2,53
Kesuburan dan aktivitas biologi tanah harus dipelihara atau ditingkatkan
dengan :
11 a.Sumber bahan penyubur tanah berasal dari mikroba, tumbuhan dan hewan
organik (TP3) 2,53 1,27
12 b.Penggunaan pupuk organik (pupuk kompos, pupuk hijau dan pupuk
kandang) pada lahan (TP4) 2,83 1,40
13
Hama, penyakit dan gulma harus dikendalikan dengan salah satu atau
kombinasi dari cara-cara berikut (TP5) :
Pengendalian mekanis dengan penggunaan perangkap, penghalang, cahaya
dan suara.
Pengedalian hama, penyakit, dan gulma menggunakan pestisida nabati.
Pelestarian musuh alami (parasit, predator, patogen dan serangga).
Ekosistem yang beragam (tumpangsari, buffer zone dan agroforestry)
Penggunaan mulsa dan penyiangan
2,50 1,63
14 Jarak zona pembatas terhadap permukiman dan sumber air atau sungai
(TP6) 2,37 1,80
15 Pembersihan semua peralatan yang digunakan sebelum digunakan pada
lahan organik (TP7) 2,37 1,77
Penggunaan dan Pembuatan Input Produksi Pertanian Organik
16 Benih/bibit kopi berasal dari tanaman kopi organik (IN1) 2,43 2,00
17 Penggunaan bahan kimia sintetik (pupuk dan pestisida kimia) dalam proses
produksi kopi (IN2) 2,10 1,03
Pemanenan dan Penyimpanan
18 Cara Pemanenan kopi (PN1) 1,83 1,50
19 Cara penjemuran kopi (PN2) 2,27 1,73
20 Pembersihan alat-alat pengolahan (PN3) 2,30 1,50
21 Tempat penyimpanan kopi (PN4) 2,23 1,67
Total 49,40 36,50
Indeks keberlanjutan (persen) 78,41 57,94
Mann Whitney-U 23,5
Z hitung I 6,316 I
Z tabel (Z α = 0,05) I 1,645 I
128
Selain itu, untuk mencegah kontaminasi petani sertifikasi dan nonsertifikasi
membuat pembatas alami dari tanaman serai dan junjung merah. Tata cara
produksi kopi organik yang ramah lingkungan memberikan manfaat bagi
lingkungan untuk mencegah degradasi lahan dari penggunaan bahan-bahan kimia
secara terus menerus.
Sistem panen kopi yang baik yaitu dengan memetik biji kopi yang sudah
merah/matang, baik petani sertifikasi maupun nonsertifikasi rata-rata melakukan
pemanenan dengan memetik biji kopi yang merah dan kuning. Penjemuran kopi
dilakukan petani sertifikasi dengan menggunakan alas atau di lantai semen hal ini
dilakukan supaya aroma tanah tidak masuk kedalam biji kopi dan kualitas rasa
kopi tetap terjaga. Namun, masih ada petani sertifikasi yang menjemur di tanah
tanpa alas sama seperti kebanyakan petani nonsertifikasi.
Secara keseluruhan penerapan usahatani kopi yang dilakukan oleh petani
sertifikasi lebih baik dan ramah terhadap lingkungan dibandingkan dengan petani
nonsertifikasi. Hasil uji Mann Whitney juga menunjukkan bahwa manfaat
lingkungan petani sertifikasi signifikan lebih tinggi dibandingkan manfaat
lingkungan petani nonsertifikasi. Hal ini ditunjukkan melalui nilai |Zhitung| =
|6,316| yang lebih besar dari |Ztabel (α=0,05)| = |1,645| sehingga keputusan yang
dipilih yaitu tolak Ho artinya rata-rata manfaat lingkungan yang diterima petani
sertifikasi lebih tinggi dari manfaat lingkungan yang diterima petani nonsertifikasi
Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian Blackman dan Naranjo (2012)
yang meneliti dampak sertifikasi organik pada petani kopi di Costarica
menunjukkan bahwa petani organik lebih rendah dalam menggunakan pestisida,
129
herbisida dan pupuk kimia, petani organik lebih memilih menggunakan pupuk
organik, penanaman tanaman naungan dan melakukan berbagai tindakan
konservasi tanah.
Hasil penelitian juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chairawaty
(2012) yang meneliti tentang dampak sertifikasi fair trade terhadap perlindungan
lingkungan. Selain memberikan dampak ekonomi dan sosial, sertifikasi fair trade
memberikan dampak lingkungan. Dampak lingkungan yang dirasakan petani
yaitu peningkatan kesuburan tanah yang terlihat dari kebun petani yang lebih
hijau, teratur dan kondisinya jauh lebih baik. Selain itu bertambahnya
keanekaragaman hayati yang terlihat dari macam-macam tanaman peneduh dan
tanaman lainnya di perkebunan yang berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem.
Hasil penelitian juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Bacon et al
(2008) kepada 177 sampel petani kopi di Nicaragua menemukan bahwa sertifikasi
Fair trade secara signifikan memberikan manfaat terhadap lingkungan dengan
penerapan praktik usahatani yang bersahabat lingkungan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 68 persen petani kopi Fair Trade sudah
mengimplementasikan sistem pembersihan air sementara petani nonsertifikasi
hanya 40 persen yang menerapkan. Selain itu sebesar 43 persen petani Fair Trade
sudah menerapkan praktik konservasi tanah dan air sementara hanya 10 persen
petani konvensional yang melakukan.
3. Manfaat Sosial
Penilaian Manfaat sosial dari program sertifikasi INOFICE dilakukan untuk
melihat apakah terdapat peningkatan kehidupan sosial para petani setelah
130
mengikuti program sertifikasi. Manfaat sosial dinilai berdasarkan proses budidaya
kopi yang dapat diterima secara sosial melalui indikator-indikator manfaat sosial
menurut SNI 6729 2013 sistem pertanian organik. Indikator-indikator yang
digunakan dalam menilai manfaat sosial yaitu kesehatan petani, kearifan lokal,
keadilan sosial, kebebasan berkumpul dan berorganisasi serta kesetaraan gender
dan tidak bertindak diskriminatif. Indikator-indikator penilaian manfaat sosial
terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitas untuk melihat apakan indikator-
indikator yang digunakan benar-benar mampu menggambarkan hasil penelitian.
Hasil uji validitas dan reliabilitas manfaat sosial tersaji pada Tabel 38.
Berdasarkan Tabel 38 hasil uji validitas menunjukkan bahwa nilai Kaiser Meyer
Olkin (KMO) berada diatas 0,5 dan signifikan Barlet’s test sphercity sebesar 99
persen, sehingga semua indikator dinyatakan valid. Nilai extraction untuk semua
indikator juga berada diatas 0,4 yang menunujukkan bahwa indikator-indikator
yang digunakan dalam penelitian adalah valid. Hasil uji reliabilitas manfaat sosial
menunjukkan nilai cronbach alpa sebesar 0,839 lebih besar dari 0,6, hal ini
berarti indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian reliabel atau handal.
Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas menandakan bahwa indikator-
indikator yang digunakan dalam penelitian dapat menggambarkan keadaan atau
fenomena yang sebenarnya.
131
Tabel 38. Hasil uji validitas dan reliabilitas indikator praktik usahatani
kopi organik yang berkelanjutan secara sosial
No Indikator Extraction Keterangan
Kesehatan Petani
1 Penggunaan Alat-alat pelindung ketika pemupukan dan
penyemprotan (KP1) 0,490 Valid
2 Penyimpanan peralatan pelindung diri yang bersamaan dengan
penyimpanan bahan kimia (pupuk, pestisida,dll) (KP2) 0,765 Valid
3 Tempat penyimpanan pupuk dan pestisida (KP3) 0,735 Valid
4 Jarak penyimpanan pupuk dan pestisida dari sumber air atau
sumur (KP4) 0,632 Valid
5 Tempat membersihkan diri dan mencuci pakaian setelah
melakukan pemupukan dan penyemprotan pestisida (KP5) 0,703 Valid
Kearifan Lokal
6 Mengadakan musyawarah/diskusi mengenai permasalahan dalam
budidaya kopi (KL1) 0,889 Valid
7 Iuran rutin untuk kegiatan kelompok tani dan bantuan bagi
kelompok tani yang membutuhkan (KL2) 0,896 Valid
8 Pelaksanaan pelatihan dan penyuluhan bagi petani dari kelompok
tani bekerja sama dengan lembaga sertifikasi (KL3) 0,861 Valid
9 Penanaman kopi dengan pola tumpangsari dan tanaman naungan
(KL4) 0,584 Valid
10 Status dan kepemilikan lahan yang digunakan untuk usahatani
kopi (KL5) 0,637 Valid
Keadilan Sosial
11 Pertimbangan dalam melilih pekerja (KS1) 0,757 Valid
12 Penentuan jam istirahat bagi pekerja (KS2) 0,625 Valid
13 Cara penentuan upah bagi pekerja (KS3) 0,639 Valid
Kebebasan berkumpul dan berorganisasi
14 Lembaga atau organisasi apa saja yang diikuti petani (KB1) 0,592 Valid
15 Keaktifan petani dalam kegiatan dan perkumpulan organisasi
yang diikuti (KB2) 0,731 Valid
16 Keaktifan petani dalam mengikuti penyuluhan oleh
penyuluh/tokoh desa/perusahaan (KB3) 0,814 Valid
Kesetaraan Gender dan tidak bertindak diskriminati
17 Pemilihan pekerja didasarkan pada jenis kelamin (gender) (KG1) 0,892 Valid
18 Perbandingan jumlah pekerja pria dan wanita (KG2) 0,891 Valid
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. 0,735 Valid
Signifikan 0,000 Valid
cronbach alpa 0,839 Reliabel
Indikator-indikator manfaat sosial yang telah diuji validitas dan reliabilitas
kemudian dapat digunakan untuk dianalisis lebih lanjut dengan uji Mann Whitney
u test. Hasil uji Mann Whitney u test indikator penilaian praktik usahatani kopi
organik yang berkelanjutan secara sosial tersaji dalam Tabel 39.
132
Tabel 39. Hasil uji Mann Whitney u test indikator penilaian praktik usahatani
kopi organik yang berkelanjutan secara sosial
No Indikator Petani
Sertifikasi
Petani
nonsertifikasi
Kesehatan Petani
1 Penggunaan Alat-alat pelindung ketika pemupukan dan
penyemprotan (KP1) 2,20 1,70
2 Penyimpanan peralatan pelindung diri yang bersamaan dengan
penyimpanan bahan kimia (pupuk, pestisida,dll) (KP2) 2,43 1,97
3 Tempat penyimpanan pupuk dan pestisida (KP3) 2,23 2,10
4 Jarak penyimpanan pupuk dan pestisida dari sumber air atau
sumur (KP4) 2,13 1,77
5 Tempat membersihkan diri dan mencuci pakaian setelah
melakukan pemupukan dan penyemprotan pestisida (KP5) 2,17 2,17
Kearifan Lokal
6 Mengadakan musyawarah/diskusi mengenai permasalahan dalam
budidaya kopi (KL1) 2,63 1,23
7 Iuran rutin untuk kegiatan kelompok tani dan bantuan bagi
kelompok tani yang membutuhkan (KL2) 2,77 1,10
8 Pelaksanaan pelatihan dan penyuluhan bagi petani dari kelompok
tani bekerja sama dengan lembaga sertifikasi (KL3) 2,60 1,00
9 Penanaman kopi dengan pola tumpangsari dan tanaman naungan
(KL4) 2,97 2,50
10 Status dan kepemilikan lahan yang digunakan untuk usahatani
kopi (KL5) 2,63 2,67
Keadilan Sosial
11 Pertimbangan dalam melilih pekerja (KS1) 2,33 2,30
12 Penentuan jam istirahat bagi pekerja (KS2) 2,93 2,60
13 Cara penentuan upah bagi pekerja (KS3) 2,57 1,70
Kebebasan berkumpul dan berorganisasi
14 Lembaga atau organisasi apa saja yang diikuti petani (KB1) 2,73 2,43
15 Keaktifan petani dalam kegiatan dan perkumpulan organisasi
yang diikuti (KB2) 2,57 1,47
16 Keaktifan petani dalam mengikuti penyuluhan oleh
penyuluh/tokoh desa/perusahaan (KB3) 2,63 1,33
Kesetaraan Gender dan tidak bertindak diskriminati
17 Pemilihan pekerja didasarkan pada jenis kelamin (gender) (KG1) 2,60 2,30
18 Perbandingan jumlah pekerja pria dan wanita (KG2) 2,67 2,43
Total 45,80 34,77
Indeks keberlanjutan (persen) 84,81 64,39
Mann Whitney-U 8,00
Z hitung I 6,544 I
Z tabel (Z α = 0,05) I 1,645 I
Berdasarkan Tabel 39 rata-rata skor penilaian manfaat sosial petani sertifikasi
lebih baik dari petani nonsertifikasi. Indikator pertama dalam penilaian manfaat
sosial yaitu tentang kesehatan petani. Indikator ini mengarahkan bagaimana cara
petani melakukan cara budidaya kopi yang sehat. Hasil penelitian menunjukkan
133
bahwa rata-rata nilai indikator kesehatan petani yang diperoleh petani sertifikasi
lebih baik dibandingkan petani nonsertifikasi. Rata-rata petani sertifikasi sudah
menggunakan alat-alat pelindung seperti sepatu, masker dan topi ketika
melakukan pemupukan dan penyemprotan, berbeda dengan petani nonsertifikasi
yang jarang menggunakan alat pelindung. Hal ini menunjukkan bahwa petani
sertifikasi mempunyai kesadaran yang cukup baik untuk menjaga kesehatan diri.
Indikator kearifan lokal mendorong petani untuk melakukan usahatani kopi sesuai
dengan kearifan lokal yang ada di daerah penelitian. Contoh kearifan lokal yang
diterapkan petani sertifikasi dan nonsertifikasi yaitu menggunakan bibit kopi
varietas lokal dan budidaya kopi dengan sistem tumpangsari dan tanaman
naungan. Sebesar 96,67 persen petani sertifikasi menerapkan sistem tumpangsari
dan naungan pada usahatani kopi sedangkan petani nonsertifikasi yang menanam
tanaman tumpangsari sebesar dan naungan hanya 60 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa petani sertifikasi mempuyai pemahaman yang baik mengenai penerapan
kearifan lokal dalam kegiatan sehari-hari. Petani sertifikasi sering mengadakan
musyawarah atau pertemuan untuk sharing mengenai budidaya kopi berbeda
dengan petani nonsertifikasi yang jarang bahkan tidak mengadakan pertemuan.
Petani sertifikasi juga mendapatkan pengarahan atau informasi dari lembaga
sertifikasi mengenai budidaya kopi yang berwawasan sosial dan lingkungan.
Pada indikator kebebasan berkumpul dan berorganisasi, petani sertifikasi lebih
aktif dalam mengikuti kegiatan pada kelompok tani, arisan pengajian dan
penyuluhan dibandingkan petani nonsertifikasi. Pada indikator keadilan sosial
baik petani sertifikasi maupun nonsertifikasi mempunyai rata-rata skor tidak
134
begitu berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa baik petani sertifikasi maupun
nonsertifikasi tidak memiliki pertimbangan khusus dalam pertimbangan pemilihan
pekerja dan cara penentuan upah pekerja. Para petani memilih pekerja
berdasarkan kemampuan dan potensi kerja yang dimiliki. Selain itu petani
sertifikasi dan nonsertifikasi tidak membedakan atau diskriminasi terhadap tenaga
kerja pria dan wanita. Dengan kata lain kedua kelompok sudah menjunjung asas
kesetaraan gender dalam penggunaan tenaga kerja untuk usahatani kopi.
Secara keseluruhan petani sertifikasi sudah menerapkan indikator-indikator
penilaian manfaat sosial dengan baik. Petani nonsertifikasi juga sudah
menerapkan indikator-indikator manfaat sosial namun tidak sebanyak petani
sertifikasi. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa nilai |Zhitung| = |6,544|
lebih besar dari |Ztabel (α=0,05)| = |1,645| sehingga keputusan yang diambil yaitu tolak
Ho artinya secara statistik rata-rata manfaat sosial yang diterima petani sertifikasi
lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa sertifikasi
INOFICE sudah memberikan manfaat dalam aspek sosial bagi petani sertifikasi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Chairawaty (2012) yang
menunjukkan bahwa sertifikasi Fair Trade memberikan dampak sosial berupa
kuatnya organisasi petani dalam produksi dan pemasaran. Petani mendapatkan
bantuan dari jaringan yang ada dalam Fair Trade dan petani juga merasakan
manfaat berupa kemudahan dalam pemasaran karena adanya kepastian harga dan
kontrak. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Bray, Sanchez and Murphy
(2002) kepada 147 petani di Meksiko menunjukkan bahwa sertifikasi organik
memberikan manfaat secara keseluruhan. Manfaat sosial yang diterima petani
135
yaitu adanya kepastian harga berupa harga yang lebih tinggi untuk kopi organik.
Selain itu petani juga mendapatkan akses kredit, perumahan, makanan, program
kesehatan, infrastruktur kegiatan produksi dan perjalanan ke Kota Meksiko untuk
anak-anak mereka dari lembaga sertifikasi.
4. Keberlajutan Usahatani Kopi Organik di Kecamatan Air Hitam
Kabupaten Lampung Barat
Penekanan sistem pertanian berkelanjutan didasarkan pada tiga aspek yaitu aspek
ekonomi, lingkungan dan sosial. Suatu usahatani dikatakan berkelanjutan jika
secara ekonomi mampu memenuhi kebutuhan petani dan menguntungkan, secara
sosial mampu meningkatkan kehidupan sosial petani dan mampu menjaga serta
meningkatkan kualitas lingkungan sekitar. Keberlanjutan usahatani kopi organik
di Kecamatan Air Hitam dinilai dari penilaian manfaat ekonomi, lingkungan dan
sosial berdasarkan indikator pada SNI 6729 2013 sistem pertanian organik.
Keberlanjutan multidimensi (ekonomi, lingkungan dan sosial) diperoleh dari rata-
rata persentase indeks keberlanjutan dari dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial.
Hasil keberlanjutan multidimensi yang diperoleh kemudian diklasifikasikan
kedalam empat kategori menurut Thamrin et al (2007) yaitu nilai indeks 0-25
persen berarti tidak berkelanjutan (buruk), nilai indeks 25,01-50 persen artinya
kurang berkelanjutan (kurang), nilai indeks 50,01-75 berarti cukup berkelanjutan
(cukup) dan nilai indeks 75,01-100 artinya berkelanjutan (baik). Rata-rata nilai
indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi tersaji pada Tabel 40.
136
Tabel 40. Rata-rata nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, lingkungan dan
sosial usahatani kopi di Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015
Indeks Keberlanjutan (%) Petani sertifikasi Petani Nonsertifikasi
Ekonomi 73,00 58,92
Lingkungan 78,41 57,94
Sosial 84,81 64,39
Rata-rata 78,74 60,42
t hitung 12,769
t tabel (df=58, α = 0,05) 1,671553
t tabel (df=58, α = 0,10) 1,296319
Tabel 40 menunjukkan bahwa rata-rata nilai indeks keberlanjutan dari dimensi
ekonomi, lingkungan dan sosial petani sertifikasi lebih baik dari petani
nonsertifikasi. Rata-rata nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi untuk
petani sertifikasi sudah tergolong dalam kategori berkelanjutan sedangkan untuk
petani nonsertifikasi termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Adapun nilai
indeks keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial berdasarkan diagram layang
(kite diagram) tersaji pada Gambar 5.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90Ekonomi
LingkunganSosial
Petani sertifikasi
Petani nonsertifikasi
Gambar 6. Nilai indeks keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial usahatani
kopi di Kecamatan Air Hitam berdasarkan diagram layang
(kite diagram).
137
Berdasarkan Tabel 40 hasil uji beda indeks keberlanjutan usahatani kopi petani
sertifikasi dan nonsertifikasi menunjukkan bahwa nilai t hitung > t tabel (α = 0,05
dan α = 0,10) sehingga keputusan yang diambil yaitu tolak Ho. Artinya rata-rata
indeks keberlanjutan multidimensi petani sertifikasi lebih tinggi dari petani
nonsertifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa sertifikasi INOFICE sudah
memberikan manfaat bagi keberlanjutan usahatani kopi organik. Penerapan
usahatani kopi secara organik mampu memberikan manfaat berupa pemasaran
kopi yang lebih baik, kelestarian dan kesehatan lingkungan serta meningkatkan
kehidupan sosial petani. Indeks keberlanjutan petani sertifikasi berbeda dengan
petani nonsertifikasi karena petani sertifikasi sudah menerapkan indikator-
indikator praktik usahatani yang berkelanjutan secara ekonomi, lingkungan dan
sosial dengan baik.
Untuk melihat status keberlanjutan masing-masing usahatani kopi yang dilakukan
petani maka dilakukan perhitungan indeks keberlanjutan multidimensi kepada
setiap petani kopi baik sertifikasi maupun nonsertifikasi. Indeks keberlanjutan
multidimensi diperoleh dari rata-rata nilai indeks dari masing-masing dimensi.
Keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial usahatani kopi di Kecamatan Air
Hitam tersaji pada Tabel 41.
Tabel 41. Keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial usahatani kopi di
Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015
Indeks keberlanjutan
ekonomi, lingkungan
dan sosial
Petani sertifikasi Persentase Petani
Nonsertifikasi Persentase
Tidak berkelanjutan 0 0 0 0
Kurang berkelanjutan 0 0 1 3,33
Cukup berkelanjutan 8 26,67 29 96,67
Berkelanjutan 22 73,33 0 0
Jumlah 30 100 30 100
138
Berdasarkan Tabel 41 diketahui bahwa status keberlanjutan usahatani kopi petani
sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Status usahatani kopi petani
sertifikasi tergolong dalam kategori berkelanjutan dan cukup berkelanjutan secara
ekonomi, lingkungan maupun sosial. Usahatani kopi yang dilakukan petani
nonsertifikasi masih tergolong dalam cukup berkelanjutan dan kurang
berkelanjutan. Secara keseluruhan keberlanjutan ekonomi, lingkungan dan sosial
petani sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Hal ini terlihat dari 73,33
persen usahatani kopi yang dilakukan petani sertifikasi sudah berkelanjutan secara
ekonomi, lingkungan dan sosial. Pada petani nonsertifikasi 96,67 persen
usahatani kopi yang dilakukan termasuk kategori cukup berkelanjutan sedangkan
sisanya termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan secara ekonomi,
lingkungan dan sosial. Berdasarkan hasil penelitian, keberlanjutan ekonomi,
lingkungan dan sosial petani sertifikasi lebih baik dikarenakan indeks
keberlanjutan dari masing-masing dimensi yang diperoleh petani sertifikasi lebih
tinggi dari petani nonsertifikasi
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Thamrin et al
(2007) yang menganalisis keberlanjutan wilayah perbatasan Kalimantan Barat-
Malaysia untuk pengembangan kawasan agropolitan. Nilai indeks keberlanjutan
multidimensi wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang untuk pengembangan
kawasan agropolitan adalah sebesar 52,43 persen dan termasuk dalam kategori
cukup berkelanjutan secara ekonomi, ekologi, sosial budaya, teknologi
infrastruktur serta hukum dan kelembagaan.
139
Penerapan indikator-indikator penilaian manfaat ekonomi, manfaat lingkungan
dan manfaat sosial petani sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Hal ini
juga didukung dari hasil uji Mann Whitney peniliaian praktik usahatani kopi yang
berkelanjutan secara ekonomi, lingkungan dan sosial yang menunjukkan bahwa
manfaat ekonomi, manfaat lingkungan dan manfaat sosial yang diterima petani
sertifikasi lebih tinggi dari petani nonsertifikasi.
Berdasarkan hasil uji beda indikator manfaat ekonomi, petani sertifikasi telah
merasakan manfaat ekonomi dari program sertifikasi berupa peningkatan efisiensi
biaya kopi dan efisiensi biaya lahan. Manfaat berupa harga premium, peningkatan
produktivitas, biaya usahatani dan pendapatan belum dirasakan petani sertifikasi.
Secara keseluruhan keberlanjutan usahatani kopi organik di Kecamatan Air Hitam
sudah tergolong baik. Hal ini menandakan program sertifikasi organik INOFICE
sudah memberikan manfaat terutama manfaat ekonomi berupa keadilan transaksi,
manfaat terhadap kelestarian lingkungan dan manfaat dalam meningkatkan
kehidupan sosial petani