usm relokasi pedagang kaki lima ( pkl ) di terminal
TRANSCRIPT
i
USM
RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA ( PKL )
DI TERMINAL TERBOYO DI TINJAU BERDASARKAN
PERDA KOTA SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2000
TENTANG PENGATURAN DAN PEMBINAAN PKL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas
Dan Syarat-Syarat Guna Menyelesaikan
Program Studi Stara 1 Ilmu Hukum
Disusun Oleh :
Nama : Taufan Budi Fariyanto
Nim : A.131.15.0178
UNIVERSITAS SEMARANG
FAKULTAS HUKUM
SEMARANG
2019
v
DOKUMENTASI PERPUSTAKAAN
FAKULTAS ILMU HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG
Perpustakaan Fakultas Ilmu Hukum Universitas Semarang dengan ini
menerangkan, bahwa skripsi dibawah dengan keterangan sebagai berikut
dengan Judul :
RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA ( PKL )
DI TERMINAL TERBOYO DI TINJAU BERDASARKAN
PERDA KOTA SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2000
TENTANG PENGATURAN DAN PEMBINAAN PKL
Oleh :
Nama : Taufan Budi Fariyanto
Nim : A.131.15.0178
Telah didokumentasikan dengan nomor : .............................................
diperpustakaan Fakultas Ilmu Hukum Universitas Semarang untuk
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, _____________________
Bagian Administrasi Perpustakaan
Fakultas Ilmu Hukum Universitas Semarang
( ...................................................... )
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT ( Tuhan Yang Maha Esa )
karenatelah memberkati Penulis dan memberikan pertolongannya dengan
banyak cara dalam penulisan penyusunan skripsi ini, sehingga tugas ini
dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa penulisan penyusunan skripsi
ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, bimbingan, dukungan, dan doa
dari berbagai pihak, sejak awal masa perkuliahan hingga akhir penulisan ini.
Oleh karena itu Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih penulis
kepada seluruh pihak yang telah ikhlas membantu penulis dengan berbagai
cara sehingga Penulis dapat menjalani masa perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Semarang dengan baik dan lancar hingga menyelesaikan
penulisan ini. Rasa terima kasih tersebut penulis sampaikan kepada :
1. Bapak Andy Krisdasusila, S.E., M.M. Selaku Rektor Universitas
Semarang yang memberi dan menjadi motivasi bagi saya dalam
menuntut ilmu di Universitas Semarang.
2. Ibu B. Rini Heryanti S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas. Terima kasih atas ilmu yang telah diberikan kepada saya
dan banyak mahasiswa, khususnya mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas.
3. Bapak Muhammad Iftar Aryaputra, S.H., M.H. selaku dosen wali yang
telah memberikan banyak arahan dan masukan. Serta dengan sabar
membimbing dan mengajari saya.
vii
4. Bapak A. Heru Nuswanto, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I
dalam penulisan penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas arahan judul
akan topik dan pembahasan dalam karya ilmiah ini. Terima kasih telah
dengan sabar meluangkan waktunya untuk membimbing dan
mengarahkan penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan.
5. Bapak Dr. Amri P. Sihotang, S.S., S.H., M.Hum. selaku Dosen
Pembimbing II dalam penulisan penyusunan skripsi ini. Terima kasih
atas saran-sarannya sehingga penulis dapat membuat pola pikir yang
lebih tepat dalam menyusun materi dan membuat analisis dalam
penyusunan skripsi ini.
6. Kedua orang tua penulis, yang tercinta ayahanda “ Riyanto, S.E.” dan
ibunda “ Siti Faizah “, terima kasih atas kasih sayang, doa, dukungan
yang telah diberikan kepada penulis selama ini.
7. Istriku tersayang “ Erna Yohana Setyo Rini “ dan anakku “ Muhammad
Tirta Al Fatih “, kalian berdua sumber inspirasiku.
8. Adikku yang ku banggakan “ Ismail Zein Nur Fariyanto “ dan “ Afifah
Maulidina Fariyanto “ serta adik iparku “ Irma Febina Anisa “, Ibu
mertuaku “ Hari Suprihatiningsih “, terima kasih atas segala dukungan
nya selama ini.
9. Segenap keluarga besar yang tak dapat penulis sebutkan satu-persatu,
berbangga hati menjadi bagian dari semuanya.
ix
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Berfikirlah realistis ....
“ Saat kau yakin, maka jalanilah, berjuang dan berkorbanlah. Jika
tidak, maka lepaskan dan tinggalkanlah. Jika setengah-setengah, maka
anggaplah itu tidak, lalu carilah yang membuatmu yakin dan merasa pantas
untuk diperjuangkan. Karena kepastian akan menentukan apa yang kamu
dapat dari buah keyakinanmu .... “
# Luckmand Hackeem
Setiap orang berhak menentukan apa pada setiap pilihanya sendiri
tanpa intervensi dari orang lain. Yang perlu di ingat adalah konsekwensi
dari apa yang kita pilih sekarang untuk bagaimana kedepan. Karena
penyesalan memang selalu datang terlambat, kalau itu masih bisa kita
perbaiki sekarang, maka perbaikilan. Tuhan selalu memberikan jalan bagi
orang-orang yang mau memperbaiki dirinya ke arah yang lebih positif.
Saya persembahkan Skripsi ini kepada :
Yang terkasih dan tersayang :
Ayahanda “ Riyanto, S.E.” dan ibunda “ Siti Faizah “ ;
Istriku “ Erna Yohana Setyo Rini “ dan anakku “ Muhammad Tirta Al
Fatih “ ;
Adikku “ Ismail Zein Nur Fariyanto “ dan “ Afifah Maulidina
Fariyanto “ serta adik iparku “ Irma Febina Anisa “.
x
ABSTRAK
Keberadaan pedagang kaki lima di Kawasan Terminal Terboyo sering
kali menimbulkan masalah. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan
menjadi paten yang melekat pada usuha mikro ini. Seiring pengalihan status
terminal Terboyo yang semula dari terminal penumpang menjadi terminal
angkutan barang untuk pemindahan PKL. Berdasarkan hal tersebut maka
bagaimana Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo dan
apa saja kendala-kendala dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di
Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11
Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL dan bagaimana upaya
mengatasinya. Jenis / tipe panelitian yang menggunakan yuridis empiris,
spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, metode pengumpulan
data menggunakan penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan, dan
menggunakan analisis kualitatif. Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di
Terminal Terboyo pada dasarnya konsep Relokasi dilaksanakan karena alih
fungsi lahan yang di peruntukan bagi pembangunan Terminal Terboyo
menjadi terminal barang. Dalam proses penataan ke lokasi yang sudah
disediakan pemerintah untuk mereka yaitu ke Pasar Banjardowo yang sudah
dikoordinasikan dengan Dinas Perdagangan, dan ke Terminal Mangkang
seperti yang direncanakan sebelumnya yang sesuai dengan jenis-jenis usaha
yang mereka jalankan. Kendala-kendalanya adalah rendahnya kesadaran
hukum PKL, lemahnya Pengawasan oleh Aparat Kota Semarang, relokasi
tempat jualan PKL yang tidak strategis dan memadai, serta faktor ekonomi
PKL. Upaya-upaya yang dilakukan adalah memberikan penyuluhan dan
pembinaan, meningkatkan pengawasan dengan mengadakan penertiban
mengupayakan lokasi atau lahan baru, serta memberikan pelatihan dan
bantuan modal bagi PKL.
Kata Kunci : Relokasi, Pedagang Kaki Lima, Terminal Terboyo.
xi
ABSTRACT
The presence of street vendors in the Terboyo Terminal Area often
creates problems. Shabby impression, wild, damaging beauty, seems to be a
patent attached to this micro. Along with the transfer of the Terboyo
terminal status from the passenger terminal to the goods transportation
terminal for the transfer of street vendors. Based on this, how is the
Relocation of Street Vendors (PKL) in Terboyo Terminal and what are the
constraints in the construction of Street Vendors (PKL) in Terboyo
Terminal?. Types / types of research that use empirical juridical, research
specifications use analytical descriptive, methods of data collection using
field research and library research, and using qualitative analysis.
Basically, the Relocation of Street Vendors (PKL) in Terboyo Terminal was
carried out due to the conversion of land designated for the construction of
the Terboyo Terminal to become a goods terminal. In the structuring
process to the location that the government has provided for them, namely
to Banjardowo Market, which has been coordinated with the Trade Office,
and to Mangkang Terminal as planned in advance according to the types of
businesses they run. The obstacles are the low legal awareness of street
vendors, the weak supervision by Semarang City officials, the relocation of
street vendors selling places that are not strategic and adequate, and the
economic factors of street vendors. Efforts are made to provide counseling
and guidance, improve supervision by organizing control to seek new
locations or land, and provide training and capital assistance for street
vendors.
Keywords : Relocation, Street Vendors, Terboyo Terminal.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ............................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN MEMPERBANYAK .................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN UJIAN ......................................................... iv
DUKUMENTASI PERPUSTAKAAN ........................................................ v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................... ix
ABSTRAK ................................................................................................. iix
DAFTAR ISI .............................................................................................. xii
BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Penelitian ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 4
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................ 5
D. Keaslian Penelitian ................................................................... 6
E. Sistematika Penulisan ............................................................... 8
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 10
A. Tinjauan Umum Tentang Sektor Informal ............................ 10
B. Tinjauan Umum Tentang PKL .............................................. 13
C. Tinjauan Umum Tentang Pembinaan PKL ............................ 18
D. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Relokasi PKL ............. 22
E. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Daerah .......................... 26
F. Tinjauan Mengenai Efektivitas Berlakunya Hukum .............. 29
G. Tinjauan Umum Tentang Penataan Ruang ............................ 33
xiii
BAB III : METODE PENELITIAN ........................................................... 40
A. Jenis / Tipe Penelitian ............................................................ 41
B. Spesifikasi Penelitian ............................................................. 41
C. Metode Penentuan Sampel .................................................... 42
D. Metode Pengumpulan Data ................................................... 44
E. Metode Analisis Data ............................................................ 47
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 48
A. Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo
Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun
2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL .................... 48
B. Kendala-Kendala Dalam Pembinaan Pedagang Kaki Lima
(PKL) Di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota
Semarang Nomor 11 Tahun 2000 Tentang Pengaturan Dan
Pembinaan PKL Dan Bagaimana Upaya Mengatasinya ....... 60
1. Kendala-kendala yang timbul dalam Pembinaan dan
Penataan PKL Di Terminal Terboyo Kota Semarang ...... 60
2. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala-
kendala yang timbul dalam Pembinaan dan Pelaksanaan
Penataan PKL di kawasan Terminal Terboyo Kota
Semarang .......................................................................... 63
BAB V : PENUTUP ................................................................................... 67
A. Simpulan ................................................................................ 67
B. Saran ...................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kuatnya magnet bisnis mampu memindahkan penduduk dari desa
berurbanisasi ke kota dalam rangka beralih profesi dari petani menjadi
pedagang kecil-kecilan. Untuk menjadi pedagang kaki lima (PKL) tidak
membutuhkan pendidikan tinggi, tidak membutuhkan modal yang besar,
namun dapat menghasilkan pendapatan yang kadang melebihi sektor formal.
PKL cenderung mengelompok dengan pekerjaan yang sejenisnya. Jenis
usaha yang paling banyak diminati adalah makanan dan minuman.
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu alternatif mata
pencaharian sektor informal yang termasuk ke dalam golongan usaha kecil.
Usaha kecil dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995
tentang Usaha Kecil. Usaha kecil adalah kegiatan usaha yang mampu
memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas
kepada masyarakat, dapat berperan dalam proses pemerataan dan
peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan
ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada
umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya.
Penduduk yang datang ke kota dari pedesaan untuk mencari kerja,
pada umumnya adalah urban miskin. Namun demikian, mereka merasakan
bahwa kesempatan hidup, mendapat pekerjaan dan gaji yang lebih baik,
lebih memungkinkan daripada jika mereka tetap tinggal di desa. Tekanan
2
arus penduduk dari desa ke kota setiap tahun yang semakin meningkat,
berdampak pada kurangnya lapangan pekerjaan yang disediakan di
perkotaan terutama Kota Semarang. Hal tersebut disebabkan pula karena
umumnya orang-orang yang masuk ke kota tidak dipersiapkan dengan
pendidikan dan keterampilan yang memadai. Mencari pekerjaaan yang tidak
memerlukan persyaratan salah satunya adalah dengan berjualan sebagai
pedagang kaki lima. Lalu beberapa masalah yang ditimbulkan oleh PKL di
kota biasanya seperti masalah kebersihan serta keindahan kota.
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang
Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima, peraturan daerah ini
digunakan sebagai dasar kebijakan Pemerintah Kota Semarang untuk
mengatur, menata, dan menertibkan PKL Penegakan hukum dan ketertiban,
agar PKL tertib dan patuh pada ketentuan Perda tersebut. Pengaturan PKL
dilakukan sesuai Pasal (2) yaitu pengadaan, pemindahan dan penghapusan
lokasi PKL ditetapkan oleh Walikota, lokasi dan pengaturan tempat-tempat
usaha PKL ditunjuk dan ditetapkan oleh Walikota, penunjukan dan
penetapan tempat usaha adalah milik atau dikuasai oleh Pemerintah Daerah
atau pihak lain.
Salah satu area penelitian yaitu PKL di Kawasan Terminal Terboyo
yang sering menjadi perbincangan karena keberadaannya. Keberadaan
pedagang kaki lima di Kawasan Terminal Terboyo sering kali menimbulkan
masalah-masalah. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan menjadi
paten yang melekat pada usuha mikro ini. Terminal Terboyo sebenarnya
adalah daerah perindustrian, namun berubah menjadi kawasan Terminal
3
atau transit bus antar kota dalam provinsi maupun luar provinsi dan daerah
atau area perdagangan.
Seiring pengalihan status terminal Terboyo yang semula dari terminal
penumpang menjadi terminal angkutan barang untuk pemindahan PKL,
Dishub tengah berkoordinasi dengan Dinas Perdagangan Kota Semarang
agar para PKL direlokasi ke Pasar Banjardowo yang sudah dikoordinasikan
dengan Dinas Perdagangan, selain ke Terminal Mangkang seperti yang
direncanakan sebelumnya. 1
Kepala Dishub Kota Semarang M Khadik, beliau mengatakan bahwa
pemindahan transit bus Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) ke
Terminal Penggaron, sudah dikomunikasikan dengan Dishub provinsi.
Sementara bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) ke Terminal
Mangkang koordinasi dengan kementerian. Ini disebabkan, Terminal
Mangkang saat ini pengelolaanya dipegang pemerintah pusat bukan
lagi Pemkot Semarang. Begitu juga Terminal Penggaron pengelolaan
nya menjadi kewenangan Pemprov Jateng. Kami sudah kirim surat ke
Dishub provinsi dan Kemenhub untuk pemindahan bus AKDP ke
Terminal Penggaron dan bus AKAP ke Terminal Mangkang. Kalau
dari kami, ya, berharap secepatnya dimulai pembangunan. 2
Pemerintah kota Semarang harus tegas dalam menangani masalah
pedagang kaki lima, seperti kebijakan yang belum lama terjadi tentang
penggusuran PKL di Sekitaran Kawasan Terminal Terboyo Kota Semarang,
ketika pedagang kaki lima mendatangi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kota Semarang untuk menolak penggusuran tersebut
padahal ditempat tersebut akan beralih fungsi dari terminal penumpang
menjadi terminal angkutan barang.
_______________________ 1 “ Sudah Mulai Dibongkar, PKL Terminal Terboyo Belum Mau Pindah “, ( http://
Muria News. Blogspot / 2018 / 06. html ), diakses pada tanggal 22 September 2018. 2 Ibid.
4
Pemerintah Kota dalam hal ini Dinas Kebersihan, Satpol PP, Dinas
Tata Ruang dan Bangunan Kota Semarang seharusnya dapat berperan aktif
dalam merumuskan, membina dan mengelola pedagang kaki lima. Berbagai
kebijakan telah dibuat oleh pemerintah kota untuk mengatasi masalah
pedagang kaki lima namun terkadang penerapannya di lapangan tidak sesuai
dengan yang diinginkan. Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang
telah dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini penulis mengambil
judul : “ Relokasi Pedagang Kaki Lima ( PKL ) Di Terminal Terboyo Di
Tinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 Tentang
Pengaturan Dan Pembinaan PKL “.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka penulis merumuskan beberapa
permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut :
1. Bagaimana Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo
Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000
tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL ?
2. Apa saja kendala-kendala dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL)
di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor
11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL dan bagaimana
upaya mengatasinya ?
5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan utama yang hendak dicapai peneliti dalam melakukan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal
Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun
2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam pembinaan Pedagang Kaki
Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota
Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan
PKL dan bagaimana upaya mengatasinya.
Manfaat penelitian diharapkan dapat dipergunakan baik secara teoritis
maupun praktis.
1. Manfaat Teoritis :
a. Dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang ilmu
pengetahuan hukum, khususnya mengenai Relokasi Pedagang Kaki
Lima (PKL) di Terminal Terboyo.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah
pengetahuan di bidang hukum khususnya dalam pembinaan Pedagang
Kaki Lima (PKL).
2. Manfaat Praktis :
a. Bagi Mahasiswa, sebagai masukan dan referensi kepada mahasiswa
baik secara hukum mengenai Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL)
di Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang
Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL.
6
b. Memberikan sumbangan Pemikiran kepada kalangan Akademisi
Kampus, praktisi hukum bisnis, Lembaga Pemerintah, Institusi
Peradilan termasuk Aparatur Penegak Hukum lainnya dalam rangka
menerapkan dan menegakkan Perda dalam pembinaan Pedagang
Kaki Lima (PKL) berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11
Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL.
D. Keaslian Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengambil topik : Relokasi Pedagang
Kaki Lima (PKL) Di Tinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11
Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL. Penelitian ini
mengambil Studi Kasus PKL Terminal Terboyo Kota Semarang.
Berdasarkan hasil penelusuran yang Penulis lakukan terdapat penulisan
yang serupa secara karakteristik, namun meskipun hampir sama tetap
terdapat perbedaan. Adapun Karya Ilmiah yang hampir serupa di maksud
adalah sebagai berikut :
1. Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pembinaan Pedagang
Kaki Lima : Studi Kasus Pada Pedagang Kaki Lima Di Kelurahan Paropo
Kecamatan Panakukang Kota Makassar ( Nurul Azizah Syam / Nim : E
121 11 609 / Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin 2016 ), dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah implementasi kebijakan pemerintah dalam pembinaan
pedagang kaki lima di Kota Makassar ( studi kasus di Kelurahan
Paropo Kecamatan Panakukang Kota Makassar ) ?
7
b. Apasaja faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembinaan pedagang
kaki lima di Kota Makassar ( studi kasus di Kelurahan Paropo
Kecamatan Panakukang Kota Makassar ) ?
2. Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah
Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Pedagang
Kaki Lima Terhadap Usaha Pedagang Kaki Lima Di Surakarta ( Nur
Fatnawati / Nim : 8111409233 / Fakultas Hukum Universitas Negeri
Semarang 2013 ), dengan rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah langkah Pemerintah Kota Surakarta dalam penerapan
Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang
Kaki Lima ?
b. Bagaimanakah cara Relokasi PKL menurut Peraturan Daerah No. 3
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima ?
c. Bagaimanakah dampak relokasi bagi Pedagang Kaki Lima dan
masyarakat sekitar ?
3. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2000 Tentang
Pengaturan Dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima Di Kawasan Tlogosari
Semarang ( Yonathan Katon Adinugroho / Nim : 7465407 / Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang 2015 ), dengan rumusan masalah
sebagai berikut :
a. Bagaimanakah Implementasi Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2000
Tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Kawasan
Tlogosari Semarang ?
8
b. Apasajakah faktor-faktor pendorong dan penghambat Impementasi
Peraturan Daerah tersebut ?
4. Implementasi Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 13 Tahun 2007
Pasal 22 Ayat (1) Dan (2) Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah
Kota Palembang Nomor 44 Tahun 2002 Tentang Ketentraman Dan
Ketertiban Terhadap Pedagang Kaki Lima Di Area Kambang Iwak Kota
Palembang ( Ratika Desyarani / Nim : 02121401095 / Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya Kampus Palembang 2017 ), dengan rumusan
masalah sebagai berikut :
a. Apasajakah faktor-faktor yang menyebabkan keberadaan Pedagang
Kaki Lima di area Kambang Iwak ?
b. Upaya-upaya apasaja yang dilakukan Pemerintah Kota Palembang
dalam menangani keberadaan Pedagang Kaki Lima di area Kambang
Iwak Palembang ?
E. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan, pada bab ini diuraikan tentang latar belakang
penelitian, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, keaslian penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka, pada bab ini berisi tinjauan umum tentang
pedagang kaki lima, tinjauan umum tentang pembinaan
pedagang kaki lima, dan tinjauan umum tentang kebijakan
relokasi pedagang kaki lima.
9
BAB III : Metode Penelitian, metode penelitian terdiri dari jenis / tipe
panelitian yang menggunakan yuridis empiris, spesifikasi
penelitian menggunakan deskriptif analitis, metode
pengumpulan data menggunakan teknik pengumpulan data
penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan yang meliputi
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, metode
analisis datanya menggunakan analisis kualitatif.
BAB IV : Hasil Penelitian Dan Pembahasan, uraian mengenai Relokasi
Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo serta kendala-
kendala dalam pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di
Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang
Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL
dan bagaimana upaya mengatasinya.
BAB V : Penutup, simpulan dari hasil penelitian, dan saran-saran.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Sektor Informal
Pada saat ini keberadaan sektor informal di daerah perkotaan pada
khususnya di Kota Semarang telah menjadi masalah yang penting, terbukti
dengan angka pertumbuhan yang cukup pesat. Selain itu, sektor informal
juga mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyerap angkatan kerja.
Tadjudin Noer Effendi, menyatakan bahwa ada kecenderungan pada
proporsi pekerja-pekerja sektor informal yang semakin kecil dengan
semakin besarnya suatu kota. Perbedaan ini terkait dengan konsentrasi
kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi moderen dari sektor industri
cenderung mengelompok di kota-kota besar, akibatnya sifat
permintaan atas pelayanan barang dan jasa di kota-kota besar lebih
bersifat formal dari pada informal. Kegiatan sektor informal memiliki
karasteristik sebagai berikut :
1. Mudah untuk masuk ke sektor ini ;
2. Menggunakan sumber-sumber asli ;
3. Merupakan usaha milik keluarga ;
4. Skala operasinya kecil ;
5. Intensif tenaga kerja dan teknologi sederhana ;
6. Keterampilan yang diperoleh di luar pendidikan formal ; dan
7. Pasar yang kompetitif dan tak terlindungi oleh undang-undang. 3
Ciri-ciri dari sektor informal pada umumnya dapat dilihat dari
kacenderungan masyarakat pada umumnya, yang dapat dihubungkan
dengan ada tidaknya bantuan secara ekonomi dari pemerintah, yaitu ciri-
cirinya antara lain sebagai berikut :
1. Aktivitasnya tidak terorganisisir secara baik, karena timbulnya tak
berlangsung melalui lembaga yang ada pada perekonomian moderen ;
_______________________
3 Tadjudin Noer Effendi, “Sumber Daya Manusia Peluang Kerja Dan Kemiskinan“,
Cetakan Ke-II, ( Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 2016 ), halaman 190.
11
2. Tidak mempunyai hubungan langsung dengan pemerintah ;
3. Pada umumnya setiap unit usaha tidak mempunyai izin usaha dari
pemerintah ;
4. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti tempat maupun mengenai
jam kerja ;
5. Mudah untuk keluar dan masuk dari satu sub ke sub sektor yang lain ;
6. Karena modal dan peralatan serta perputaran usaha relatif kecil, maka
skala operasinya kecil ;
7. Tekhnologi yang digunakan bersifat sederhana ;
8. Untuk mengelola usaha tidak diperlukan tingkat pendidikan tertentu,
karena pendidikan yang diperlukan dapat diperoleh dari pengalaman saat
melakukan perdagangan ;
9. Kebanyakan termasuk one man enterprise, buruh yang berasal dari
lingkungan keluarga, maka bersifat family enterprise ;
10. Sumber dana untuk modal umumnya berasal dari tabungan sendiri atau
dari sumber keuangan tidak resmi ; dan
11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan
masyarakat kota maupun desa berpenghasilan rendah dan kadang-
kadang golongan menengah.
Soetjipto Wirosardjono memberikan batasan mengenai ciri-ciri sektor
informal adalah sebagai berikut :
a) Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan,
maupun penerimaannya ;
b) Tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang ditetapkan oleh
pemerintah ;
c) Modal, peralatan, maupun perlengkapan dan omzetnya biasanya
kecil dan diusahakan atas dasar perhitungan harian ;
d) Umumnya tidak mempunyai tepat usaha yang permanen dan
terpisah dari tempat tinggalnya ;
12
e) Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain ;
f) Umumnya dilakukan oleh dan untuk melayani golongan
masyarakat yang berpenghasilan rendah ;
g) Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga
dapat dengan mudah menyerap bermacam-macam tingkat
pendidikan tenaga kerja ;
h) Menggunakan buruh yang sedikit dan dari lingkungan keluarga,
kenalan atau berasal dari daerah yang sama ; serta
i) Tidak menganal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan
lain sebagainya. 4
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dengan beberapa ciri,
tampak bahwa sektor informal merupakan suatu istilah yang mencakup
berbagai kegiatan usaha yang bersifat wiraswasta dimana campur tangan
pemerintah terutama dalam hal permodalan sangatlah kurang. Begitu juga
dengan aturan-aturan hukum yang tampaknya jauh dari jangkauan sehingga
kehadirannya dianggap melanggar norma terutama ketertiban umum. Oleh
karena itu banyak pihak yang memposisikan sektor informal sebagai bagian
dari sektor ekonomi minor yang seolah-olah mengurangi kemanfaatan
sektor informal itu sendiri.
Padahal pada hakekatnya, sektor informal dapat dijadikan sebagai
sektor ekonomi yang dapat dibina dan dikembangkan menjadi kekuatan
ekonomi riil. Hal tersebut disebabkan karena ditinjau dari daya serapnya,
ternyata jumlah pekerja sektor informal ini semakin meningkat. Besarnya
daya serap tersebut sebenarnya merupakan cerminan bahwa sektor formal
dirasa sudah tidak mampu lagi untuk menampung penambahan angkatan
kerja. Asumsinya adalah bahwa orang akan selalu berusaha untuk dapat
bekerja di sektor formal yang lebih memberikan jaminan dibanding sektor
_______________________
4 Soetjipto Wirosardjono, “ Pengertian, Batasan, Dan Masalah Sektor Informal “,
Cetakan Ke-V, ( Jakarta : LP3ES, 2015 ), halaman 5.
13
informal. Hanya saja apabila sudah tidak tersedia lagi kesempatan kerja di
sektor formal, mau tidak mau orang akan mencari alternatif lain yang salah
satunya adalah menciptakan kesempatan kerja di sektor informal.
Namun disamping itu ada juga beberapa pihak yang sengaja terjun di
sektor informal, jadi bukan lantaran sudah tidak ada kesempatan lagi
baginya untuk bekerja di sektor formal. Hal ini dikarenakan ada anggapan
bahwa sektor informal lebih mempunyai daya tarik, sehingga dapat
memberikan imbalan yang sesuai dengan kemampuan. Dimana kemampuan
setiap individu yang dibutuhkan untuk memasuki sektor informal tidaklah
terlalu berat, bahkan bisa dikatakan bahwa setiap individu bisa
memasukinya apabila mempunyai kemauan dan sedikit kemampuan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para pekerja di sektor informal
belum tentu terdiri dari orang-orang yang putus asa karena tidak tertampung
dalam sektor formal.
B. Tinjauan Umum Tentang PKL
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk
menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering
ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki
tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga " kaki " gerobak ( yang
sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki ).
Jenis dagangan dari PKL sangat dipengaruhi oleh sifat pelayanan PKL
itu sendiri. Barang yang didagangkan biasanya bergantung pada lokasi
dimana PKL berdagang. Jenis dagangan yang biasa didagangkan oleh
PKL, diantaranya sebagai berikut :
1. Makanan dan minuman, terdiri dari pedagang yang berjualan yang
telah dimasak dan langsung disajikan ditempat maupun dibawa
14
pulang. Lokasi dagangan biasanya di perkantoran, tempat rekreasi,
sekolah, ruang terbuka atau taman, dan persimpangan jalan utama
menuju keramaian ;
2. Pakaian atau tekstil dan mainan anak. Untuk barang dagangan
seperti ini biasanya pola pengelompokan lebih berbaur dengan
komoditas lain. Lokasi dagangan cenderung sama dengan para
pedagang makanan dan minuman ;
3. Buah-buahan, dimana jenis buah yang diperdagangkan berupa
buah-buah segar. Komoditas perdagangkan cenderung berubah-
ubah sesuai dengan musim-musim buah. Lokasi PKL yang menjual
buah-buahan berada di pusat-pusat keramaian serta cenderung
berbaur dengan komoditas lain ;
4. Rokok dan obat-obatan, biasanya pedagang yang menjual rokok
juga berjualan makanan ringan, obat, dan permen. Lokasi dagangan
jenis ini cenderung berada di pusat-pusat keramaian ;
5. Barang cetakan seperti majalah, koran dan buku bacaan. Jenis ini
cenderung berlokasi di pusat-pusat keramaian dan berbaur dengan
pedagang jenis komoditas lainnya ; dan
6. Jasa perorangan, terdiri dari tukang kunci, reparasi jam, tukang
stempel hingga tukang pembuat figuran. Pedagang jenis ini
berlokasi di pertokoan dan berbaur dengan jenis komoditas lain. 5
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, PKL adalah pedagang yang
menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau di dalam usahanya
menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau
dipindahkan, serta tempat-tempat yang tidak diperuntukkan untuk berusaha
atau tempat lain yang bukan miliknya. Peraturan pemerintah menetapkan
setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk
pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu
setengah meter. Sebutan untuk pedagang tersebut adalah “ pedagang
emperan jalan ” akan tetapi sekarang menjadi “ pedagang kaki lima ”. 6
_______________________
5 M.S. Rusli Ramli, “ Sektor Informal Perkotaan Pedagang Kaki Lima “, ( Jakarta :
Ind-Hil.co., 2009 ), halaman 3. 6 Lukman Ali, “ Kamus Besar Bahasa Indonesia “, Cetakan Ke III, ( Jakarta : Balai
Pustaka, 2011 ), halaman 568.
15
Berdasarkan Perda Kota Semarang No. 11 Tahun 2000 tentang
Pengaturan Dan Pembinaan PKL Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa
Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha
yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha
bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas
sosial, fasilitas umum, lahan, dan bangunan milik pemerintah dan swasta
yang bersifat sementara.
Menurut McGee dan Yeung, pedagang kaki lima atau PKL
mempunyai pengertian yang sama dengan „ hawkers ‟, yang
didefinisikan sebagai orang-orang yang menawarkan barang dan jasa
untuk dijual ditempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar.
PKL juga sebagian kelompok orang yang menawarkan barang dan
jasa untuk dijual di atas trotoar atau ditepi / dipinggir jalan, di sekitar
pusat perbelanjaan / pertokoan, pasar, pusat rekreasi / hiburan, pusat
perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah
menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik
pagi, siang, sore maupun malam hari. 7
Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa pedagang kaki
lima merupakan suatu pekerjaan atau usaha kecil oleh masyarakat yang
berpenghasilan rendah atau mempunyai modal kecil dengan menjual barang
atau jasa di tempat umum yang bukan miliknya. Proses perencanaan tata
ruang, sering kali belum mempertimbangkan keberadaan dan kebutuhan
ruang untuk PKL. Ruang-ruang kota yang tersedia hanya difokuskan untuk
kepentingan kegiatan dan fungsi formal saja. Kondisi ini yang menyebabkan
para Pedagang Kaki Lima berdagang di tempat-tempat yang tidak terencana
dan tidak difungsikan untuk mereka.
_______________________
7 Syamsul Hilal, “ Upaya Penataan dan Pembinaan PKL di.Indonesia ", ( http://
syamsuhilal. blogspot. com / 2013 / 04 /.html ), diakses pada tanggal 27 Oktober 2018.
16
PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan
mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan
program yang mengatasnamakan penertiban atau penataan. Di sisi lain,
peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya
diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit,
karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak.
Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian
terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi.
Terbatasnya dukungan kebijakan membuat sektor ini tidak aman, yang
berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka
terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang
atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet ritel besar. Disamping
fakta bahwa PKL adalah sumber mata pencaharian penting bagi penduduk
miskin urban, PKL juga menempati badan-badan jalan dan trotoar dan tidak
menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian
publik karena menciptakan masalah kemacetan dan lingkungan kotor serta
kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat
menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan
sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan,
pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.
Menurut Kartono, ciri-ciri umum dari pedagang kaki lima adalah
sebagai berikut :
1. Merupakan pedagang yang kadang-kadang juga sekaligus sebagai
produsen ;
2. Ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari
tempat satu ketempat yang lain ;
3. Menjajakan bahan makanan, minuman, maupun barang-barang
konsumsi lainnya yang tahan lama secara eceran ;
17
4. Umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi
pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai
imbalan atas jerih payahnya ;
5. Kualitas barang-barang yang diperdagangkan relatif rendah dan
biasanya tidak berstandar ;
6. Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli
merupakan pembeli yang berdaya beli rendah ; dan
7. Tawar menawar antar penjual dan pembeli merupakan relasi ciri
khas pada usaha pedagang kaki lima. 8
Upaya penertiban, sering kali berakhir dengan bentrokan dan
mendapat perlawanan fisik dari PKL itu sendiri. Tidak jarang para PKL pun
melakukan unjuk rasa, padahal sejatinya bila keberadaannya dipoles dan
ditata dengan konsisten, keberadaan PKL ini justru akan menambah eksotik
keindahan sebuah lokasi wisata di tengah-tengah kota. Hal ini bisa terjadi
apabila PKL dijadikan sebagai bagian dari solusi ( part of solution ).
Seperti yang sudah dikemukakan di atas, PKL yang dikelompokkan
dalam sektor informal sering dijadikan sebagai kambing hitam dari
penyebab kesemrawutan lalu lintas maupun tidak bersihnya lingkungan.
Meskipun demikian PKL ini sangat membantu kepentingan masyarakat
dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja
secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki
pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan
menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih
mampu bertahan hidup atau survive dibandingkan sektor usaha yang lain.
Hal tersebut dapat terjadi karena sektor informal relative / lebih independent
atau tidak tergantung pada pihak lain.
_______________________
8 Kartono, “ Pedagang Kaki Lima “, Cetakan Ke-VI, ( Bandung : Universitas
Katholik, 2010 ), halaman 7.
18
C. Tinjauan Umum Tentang Pembinaan PKL
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “ pembinaan ” berasal
dari kata “ bina ” yang artinya sama dengan “ bangun ”. Jadi pembinaan
dapat diartikan sebagai pembangunan yaitu mengubah sesuatu sehingga
menjadi baru yang memiliki nilai-nilai yang lebih tinggi. Pembinaan
merupakan upaya untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan daya
saing. Berdasarkan pada pengertian pembinaan tersebut, maka pembinaan
PKL diartikan sebagai memberikan pengarahan, bimbingan dan juga
melakukan pengaturan dan pengawasan sehingga keberadaan PKL dapat
memberikan manfaat bagi kehidupan sosial perkotaan tanpa harus menjadi
unsur pengganggu kenyamanan warga kota.
Menurut Mangunhardjana, mendefinisikan pembinaan dalam konteks
manajemen yang berarti makna dan pengertian yang terungkap masih
sekitar persoalan pengelolaan untuk mencapai hasil yang terbaik. Hal-
hal yang baru yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang
yang menjalaninya, untuk membetulkan dan mengembangkan
pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup dan
kerja yang sedang dijalani secara lebih efektif. 9
Dari definisi tersebut, pembinaan yang dilakukan bertujuan untuk
meningkatkan sikap dan ketrampilan dengan harapan mampu mengangkat
nasib dari obyek yang dibina. Dalam pembinaan, dilatih untuk mengenal
kemampuan dan mengembangkannya agar dapat memanfaatkannya secara
penuh dalam bidang hidup atau kerja mereka.
Dalam menangani PKL perlu mencari solusi yang baik dan bijaksana,
karena pemusnahan tanpa memberi jalan keluar dengan memberi tempat
_______________________ 9 Ali Achsan Mustafa, “ Model transformasi sosial sektor informal : sejarah, teori,
dan praksis pedagang kaki lima “, ( Malang : InTrans, 2012 ), halaman 46.
19
yang memenuhi syarat, sama saja dengan mematikan tumbuhnya ekonomi
kerakyatan, yang notabene-nya sumber kehidupan masyarakat bawah.
Sektor ini membutuhkan perhatian yang lebih baik lagi dari pihak
pemerintah. Oleh karena itu, jalan yang terbaik untuk menangani sektor ini
adalah melalui pembinaan.
Namun pembinan sektor informal ini juga memiliki dampak negatif
dalam kaitannya dengan gejala urbanisasi. Sebab pembinaan yang
menguntungkan sektor informal ini akan memancing orang-orang desa
lainnya masuk ke sektor informal perkotaan. Hal ini akan menambah beban
urbanisasi yang dihadapi kota. Oleh karena itu, program pembinaan sektor
informal harus dijalankan secara terpadu dengan pembinaan perekonomian
dan sektor informal di pedesaan agar pembinaan itu tidak menjadi bumerang
bagi maksud baik pembinaan itu sendiri.
Pembinaan dalam sektor informal bukan hanya menyangkut mereka
yang menggeluti bidang PKL, melainkan juga organ kepemerintahan yang
ada di dalam instansi yang terkait dengan bidang tersebut. Oleh karena itu,
aktivitas-aktivitas program pembinaan PKL dapat dikelompokkan ke dalam
empat pendekatan yaitu : 10
1. Mendorong sektor-sektor yang ada menjadi formal.
PKL diorientasikan nantinya dapat mendirikan toko-toko yang
permanent, untuk itu diperlukan dukungan moral dan latihan manajerial
serta pengetahuan teknis. Pendirian toko-toko permanent tentunya
didirikan pada tempat-tempat yang memang khusus untuk menampung
_______________________ 10
Op.Cit., halaman 67.
20
pedagang-pedagang formal. Misalnya, pasar, pusat-pusat perbelanjaan,
dan lain-lain. Dengan demikian penempatan mereka harus dibekali
dengan penyuluhan-penyuluhan yang berkaitan dengan bidang usahanya
masing-masing. Setelah mendapatkan bimbingan dan binaan, dalam
jangka waktu tertentu diharapkan usaha PKL menjadi lebih maju.
Disamping meningkatkan kemampuan dan penghasilan, juga cenderung
untuk menambah kesempatan kerja dan lebih mudah dicatat sebagai
wajib pajak.
2. Meningkatkan kemampuan dalam usaha sektor informal.
PKL dapat dibantu melalui penyediaan bahan baku atau membantu
kelancaran pemasaran. Selain itu, untuk menambah kebersihan dan
kecantikan wilayah PKL, pemerintah dapat membantu dengan memberi
gerobak supaya seragam. Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan
dalam usaha PKL hendaknya sewa lokasi atau pungutan uang harus
benar-benar menciptakan keadilan untuk masing-masing PKL.
3. Dilakukan relokasi yaitu penempatan para PKL di lokasi baru.
Penempatan PKL di lokasi yang baru ini dianggap penting karena
PKL sering dianggap menimbulkan kerugian sosial misalnya kemacetan
jalan. Namun penempatan ini perlu dipertimbangkan faktor konsumen
dan kemampuan penyesuaian lokasi baru, di pihak lain yang tidak kalah
pentingnya adalah konsistensi pengaturan yang perlu diterapkan.
21
4. Mengalihkan usaha yang sama sekali tidak mempunyai prospek ke
bidang usaha lain.
Pendekatan ini bagi PKL tidak sepenuhnya sesuai karena yang
diharapkan oleh PKL biasanya bukan pengalihan usaha atau penggantian
bidang usaha melainkan peningkatan usaha mereka. Bidang usaha PKL
ini dipandang masih mempunyai prospek untuk lebih maju.
Menurut Retno Widjayanti, bentuk sarana perdagangan yang
digunakan pedagang kaki lima untuk berdagang dikelompokan
sebagai berikut :
a) Pikulan atau Keranjang, bentuk sarana ini digunakan oleh
pedagang keliling atau sering berpindah-pindah. Bentuk ini
dimaksudkan agar barang dagangan mudah untuk dibawah
berpindah-pindah tempat ;
b) Gelaran atau alas, pedagang menjual barang dagangannya diatas
kain atau tikar. Bentuk sarana ini digunakan oleh pedagang semi
menetap ;
c) Meja, bentuk sarana berdagang yang menggunakan meja dan
beratap maupun tidak beratap. Sarana ini digunakan oleh PKL yang
menetap ;
d) Gerobak atau kereta dorong. Jenis sarana ini dibagi atas dua jenis,
yaitu yang beratap dan tidak beratap. Sarana ini dikategorikan
untuk yang menetap maupun tidak menetap ;
e) Warung semi permanen, terdiri dari beberapa gerobak yang
dilengkapi dengan meja dan bangku-bangku panjang. Bentuk
sarana ini beratap dari bahan terpal atau plastik yang tidak tembus
air. PKL yang menggunakan sarana ini merupakan jenis PKL yang
menetap ; dan
f) Kios, pedagang yang menggunakan jenis sarana ini merupakan
pedagang yang menetap, karena secara fisik jenis ini tidak dapat
dipindahkan. Biasanya merupakan bangunan semi permanen yang
dibuat dari papan. 11
Walaupun tidak ada pengaturan khusus tentang hak-hak Pedagang
Kaki Lima (PKL), namun kita dapat menggunakan beberapa produk hukum
yang dapat dijadikan landasan perlindungan bagi Pedagang Kaki Lima.
_______________________
11 Retno Widjayanti, “ Penataan Fisik Pedagang Kaki Lima pada Kawasan
Komersial di Pusat Kota, ( Studi Kasus : Simpang Lima Semarang ) “, Tesis : Magister
Teknik Pembangunan Kota Universitas Diponegoro Semarang, 2012 ), halaman 75.
22
Ketentuan perlindungan hukum bagi para Pedagang Kaki Lima ini adalah :
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) : “ Tiap-tiap warga
Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Kemudian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 11
mengenai Hak Asasi Manusia : “ setiap orang berhak atas pemenuhan
kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
D. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Relokasi PKL
Relokasi merupakan suatu jalan atau usaha pemerintah untuk menata
dan mengelola Pedagang Kaki Lima (PKL). Pedagang kaki lima adalah
orang yang dengan modal yang relatif sedikit berusaha di bidang produksi
dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan
kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada
tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang
informal. Tidak heran jika kebanyakan masyarakat menyebut Pedagang
Kaki Lima merupakan salah satu sektor informal yang sedang berkembang
di perkotaan saat ini.
Selain definisi secara umum, Kota Semarang telah mendefinisikan
PKL secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah Kota
Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Dan Pembinaan
Pedagang Kaki Lima. Sosialisasi yang dibutuhkan oleh masyarakat bisa
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung misalnya melalui media
internet ataupun dengan diadakannya acara budaya yang dapat menarik
perhatian masyarakat sekaligus megenalkan PKL kepada masyarakat.
23
Lukman Mokoginta mengatakan bahwa : “ Peranan PKL dalam tahap
pemahaman mengenai relokasi sangat penting dan strategis bagi
masyarakat kota, bahkan fondasi ekonomi warga kota sesungguhnya
terletak pada lapisan pengusaha tersebut. PKL bukan sekedar
berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan konsumsi lapisan masyarakat
menengah ke bawah, tetapi juga benteng terakhir bagi segenap lapisan
masyarakat kota yang karena berbagai sebab membutuhkan lapangan
pekerjaan “. 12
Selain jenis usaha yang berbeda, sarana yang digunakan PKL juga
beragam tergantung dengan jenis dagangannya. Sarana fisik yang biasa
digunakan PKL adalah warung semi permanen, gerobak / kereta dorong,
meja, gelaran / lesehan, dan pikulan / keranjang. Pada lokasi penelitian,
sebagian besar menggunakan sarana fisik dagang berupa warung semi
permanen dan gerobak / kereta dorong, sedangkan yang menggunakan
gelaran / leseahan dan pikulan / keranjang hanya sebagian kecil saja.
Seperti yang dijelaskan oleh Kepala Dishub Kota Semarang M
Khadik, sebagai berikut : “ Sarana yang diperbolehkan tentunya yang
dapat dibongkar pasang, seperti yang diterangkan dalam Perda No. 11
tahun 2000 sudah ada kebijakan terkait syarat untuk berjualan kaki
lima. Walau hanya sebatas bangunan semi permanen, gerobak dan
yang paling jarang itu lesehan, yang hanya digunakan untuk jualan
makanan yang sudah matang. Untuk sarana usaha yang digunakan
oleh PKL memang seperti yang tertuang pada Perda tersebut. Dan
apabila ada yang tidak mentaati aturan tersebut, akan diadakan suatu
peringatan dan jika mendesak akan mengeluarkan surat pencabutan
ijin berdagang ”. 13
Sejauh ini Pemkot Semarang belum membuat klasifikasi tentang PKL
terkait dengan variasi hak dan kewajibannya. Berdasarkan kajian hukum
tentang PKL yang dilakukan oleh pemkot Semarang, perlu dibuat definisi /
batasan dan klasifikasi PKL yang mampu menjadi payung penataan dan
_______________________
12 Lukman Mokoginta, “ Jakarta Untuk Rakyat “, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
2009 ), halaman 122. 13
Ibid.
24
pengendalian PKL, baik dalam konteks perkembangan fisik visual
perkotaan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Keberadaan pedagang kaki lima
menimbulkan banyak stigma positif maupun negatif di kalangan masyarakat
luas. Hal ini disebabkan karena pada awalnya mereka belum memahami
secara benar mengenai PKL maupun pemahaman akan relokasi PKL.
Dasar dari suatu pemahaman masyarakat banyak dimunculkan dengan
klasisifiksi pedagang kaki lima yaitu sebagai berikut :
1. Berdasar latar belakang ekonominya. Klasifikasi sebagai berikut :
a) Pertama, adalah PKL yang benar-benar terpaksa menjadi PKL
karena kesulitan hidup. Mereka berdagang dengan warung
beroda / dorongan ataupun bangunan semi permanen. Sambil
berdagang mereka bertempat tinggal disitu, karena tidak ada
tempat lain lagi untuk dijadikan tempat tinggal.
b) Kedua, PKL yang berdagang karena masalah ekonomi juga
tetapi mereka telah memiliki tempat tinggal dan simbol hidup
moderen sperti TV misalnya.
c) Ketiga, PKL yang berdagang karena melihat potensi keuntungan
yang jauh lebih besar dari pada membuka warung dibanding jika
harus menyewanya. Selain itu juga mudah diakses oleh
pembelinya.
2. Berdasar jenis dagangan yang dijual, terdiri dari PKL penjual
makanan, pakaian, kelontong, peralatan bekas (klitikan) dan
sebagainya.
3. Berdasarkan waktu berjualan, terdiri dari PKL yang berdagang
pada pagi hingga siang hari, pagi hingga sore hari, sore hingga
malam hari, pagi hingga malam hari dan sepanjang hari.
4. Berdasarkan bangunan tempat berdagang, dapat diklasifikasikan :
a) PKL tanpa bangunan seperti PKL oprokan / dasaran / gelaran,
b) PKL bergerak / movable / dorongan,
c) PKL dengan bangunan permanen ( selalu ada setiap saat, baik
bentuknya masih tetap maupun sudah berubah ) ; dan
d) PKL dengan bangunan non permanen ( bongkar pasang ).
5. Berdasarkan Luasan bangunan / tempat berdagag ( space use )
terdiri dari 7 kelompok yaitu PKL dengan Luasan 1-3 m2, 4-6 m2,
7-9 m2, 13- 15 m2, 16-17 m2 dan seterusnya. 14
_______________________
14 Indrawati, “ Perlindungan Pedagang Kaki Lima di Indonesia “. ( FKIP :
Universitas Negeri Surakata, 2010 ), halaman 7.
25
Sebagaimana klasifikasi Pedagang Kaki Lima diatas, semua PKL
boleh menjual segala jenis dagangan asalkan barang dagangan tersebut
merupakan barang legal yang sudah disetujui oleh Pemkot. Adanya
pesyaratan mengenai ijin usaha menimbulkan berbagai anggapan mengenai
jenis dan karakteristik dari PKL itu sendiri.
Dibutuhkannya suatu penggolongan karakteristik PKL yang mendasar
untuk membedakan PKL yang satu dengan PKL yang lainnya,
karakteristiknya sebagai berikut :
1. PKL umunya merupakan mata pencaharian pokok,
2. PKL umumnya tergolong angkatan kerja produktif,
3. Tingkat pendidikan mereka umumnya relative rendah,
4. Sebagian besar PKL pendatang dari daerah dan belum mempunyai
status kependudukan yang sah di kota,
5. Mereka berdagang sejak 5-10 tahun yang lalu,
6. Sebelum menjadi PKL mereka pada umumnya petani atau buruh,
7. Permodalan umumya sangat lemah dan omset penjualan juga relatif
rendah,
8. Umunya memilih atau mengusahakan modal sendiri dan belum ada
hubungan dengan bank, dan
9. Umunya mereka memperdagangkan bahan pangan, sandang dan
kebutuhan sekunder. 15
Dengan karakteristik PKL diatas, menimbulkan bentuk-bentuk jenis
cara menjual barang dagangannya dengan sarana :
a) Kios, menggunakan tempat usaha yang beratap dan berdinding semi
permanen. Dinding kios biasanya terbuat dari kayu atau triplek. Relatif
bebas menentukan waktu berjualannya karena tidak meduduki tempat-
tempat peruntukan lain.
b) Tenda, menggunakan meja dengan waktu berjualan yang dibatasi.
c) Secara gelar, dilakukan dengan menghamparkan barang dagangan,
bersifat mudah memindahkan dagangannya ke lokasi lainnya.
_______________________
15 Yetti Sarjono, “ Pergulatan Pedagang Kaki Lima di Perkotaan “, ( Surakarta :
Muhammadiyah Unniversity Press, 2012 ), halaman 25.
26
Dengan adanya Relokasi Pedagang Kaki Lima disini, merupakan
sutau bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah Kota
terhadap PKL untuk secara bebas menjual dagangannya dengan tanpa
adanya gangguan penertiban dari Satpol PP.
E. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Daerah
Didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memberi pengertian bahwa
Peraturan Daerah adalah peraturan perundangan-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD) dengan persetujuan
bersama kepala daerah. Peraturan daerah merupakan kebajikan umum pada
tingkat daerah yang dihasilkan oleh lembaga eksekutif dan lembaga
legislatif sebagai pelaksana asas desentralisasi dalam rangka mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya.
S.F Marbun memberikan pengerian bahwa Peraturan daerah adalah
perpaduan antara dua kata yaitu, peraturan dan daerah, peraturan
merupakan hukum yang in abstacto atau General Norms yang sifatnya
mengikat secaranumum (berlaku umum) dan suaranya adalah
mengatur hal-hal yang bersiafat umum (General). 16
Menurut Laica Marzuki, pada hakikatnya peraturan daerah merupakan
sarana lagislasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
dibuat oleh pemerintahan daerah dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia. Pemerintah daerah menurut konstitusi diadakan
dalam kaitan desentralisasi, karena dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 45
menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk desentralisasi bukan sentralisasi. 17
_______________________
16 Siswanto Sunarno, “ Hukum Pemerintah Daerah di Indonesia “, ( Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 2012 ), halaman 94. 17
H.M. Laica Marzuki, Prinsip-Prinsip Pembentukan Peraturan Daerah, ( Jakarta :
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi M.K Volume
6 Nomor 4, 2014 ), halaman 1.
27
Dasar Konstitusional Pembentukan Peraturan Daerah terdapat pada
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menetapkan bahwa Pemerintah Daerah berhak
menentukan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Perda merupakan aturan
daerah dalam arti materiil, Perda mengikat warga dan penduduk daerah
otonom. Regulasi perda merupakan bagian dari kegiatan legislasi lokal
dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang berkaitan dengan
otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Perda merupakan produk legislasi pemerintah daerah, yakni kepala
daerah dan DPRD, sesuai Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Perda merupakan
hak legislasi konstitusional Pemda dan DPRD. Rancangan Perda dapat
berasal dari DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota berdasarkan pada Pasal
140 ayat (1) Undang-Undang Pemda Tahun 2004. Rancangan Perda yang
telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota
disampaikan oleh pimpinan, lalu DPRD kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai Perda. Penyampaian rancangan
Perda dilakukan 7 (Tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Rancangan perda ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling
lama 30 hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama.
Mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah
(Ranperda) berasal dari Kepala daerah, diatur dengan Peraturan presiden.
Sedangkan Ranperda yang berasal dari DPRD yang khusus menangani
bidang legislasi. Mengenai tata cara mempersiapkan Ranperda, merupakan
hak inisiatif DPRD yang diatur dalam peraturan tata tertib DPRD. Dalam
28
rangka sosialisasi dan pubikasi Ranperda yang berasal dari DPRD,
menyebarluaskan Ranperda yang bersal dari kepala daerah dilakukan oleh
sekretaris daerah. Jika Ranperda tidak ditetapkan oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota dalam waktu paling lama 30 hari maka Ranperda tersebut
sah menjadi Perda dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam
Lembaran Daerah. Dalam hal keabsahan rancangan Perda dimaksud dengan
mencantumkan tanggal sahnya.
Untuk membuat suatu Perda, kiranya harus memperhatikan landasan
perundang-undangan. Menurut ilmu pengetahuan hukum, landasan
pembuatan Perda paling tidak memuat tentang : 18
1. Landasan filosofis adalah dasar filsafat, yaitu pandangan atau ide yang
menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan
pemerintahan kedalam suatu rancangan peraturan perundang-undangan
pemerintahan daerah. Misalnya di negara republik indonesia adalah
pancasila yang menjadi dasar filsafat peraturan perundangan-undangan
Pemerintah Daerah. Pada prinsipnya tidak ada peraturan daerah yang
bertentangan prinsip dasar filsafat pancasila.
2. Landasan yuridis adalah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum
(rechtsground) bentuk pembuatan suatu peraturan pemerintahan daerah,
dan landasan yuridis ini terbagi dalam tiga segi yaitu :
a) Landasan yuridis segi formal, yiatu landasan yuridis yang memberi
kewenangan bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu ;
_______________________
18 Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, “ Pemerintah Daerah Di Indonesia “,
Cetakan Ke-II, ( Jakarta : Universitas Indonesia Press, cetakan 3, 2015 ), halaman 25.
29
b) Landasan yuridis segi material, yaitu landasan yuridis segi isi atau
matari sebagai dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu, dan
c) Landasan yuridis segi teknis, yaitu landasan yuridis yang memberi
kewenangan bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu
mengenai tata cara pembuatan peraturan tersebut.
3. Landasan politis adalah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar
bagi kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintah negara
dan pemerintah daerah. Sementara landasan sosiologis adalah garis
kebijakan yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
F. Tinjauan Mengenai Efektivitas Berlakunya Hukum
Mengkaji mengenai suatu peraturan perundang-undangan, tentunya
berkaitan dengan efektivitas dari pelaksanaan peraturan tersebut. Dalam
rangka mengefektifkan hukum diperlukan suatu sistem yang terdiri dari
komponen-komponen yang saling mempengaruhi sehingga tercapai tujuan
yang ingin dicapai dari pembuat kebijakan.
Dalam memahami suatu rumusan aturan hukum tidak cukup hanya
memahami wujudnya dalam rumusan-rumusan tertulis saja, tetapi juga
memahami aturan hukum sebagai gejala empiris yang tampak dan berlaku
dalam masyarakat. Memahami hukum tidak terbatas hanya pada bentuk-
bentuk perwujudannya yang sudah jadi, melainkan juga melihat ke latar
belakang yang mendasari perlakuan aturan hukum dan bagaimana
implementasi atau penegakannya.
30
Masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada
faktor-faktor atau komponen-komponen yang mempengaruhinya. Faktor
dan komponen tersebut adalah sebagai berikut : 19
1). Faktor peraturan hukum itu sendiri
Hukum yang telah dibuat oleh pembentuk hukum merupakan suatu
peraturan-peraturan secara tertulis yang merupakan perundang-undangan
yang resmi. Peraturan tersebut mengenai bidang-bidang kehidupan
tertentu yang harus dibuat secara sistematis agar suatu peraturan dapat
dilaksanakan dengan baik. Substansi peraturan tersebut harus padat dan
sederhana, tidak berbelit-belit, struktur bahasanya pun harus baku dalam
arti mudah dipahami dan dimengerti oleh masyarakat. Apabila dalam
setiap pasal-pasal peraturan tersebut sulit dimengerti maka hal ini dapat
membuat peraturan tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat.
2). Faktor penegak hukum
Pihak yang membentuk hukum merupakan pihak atau badan yang
dalam perannya membuat peraturan hukumnya sedangkan yang
menerima hukum adalah pihak atau badan yang menerapkan dan
menegakkan hukum tersebut. Penegak hukum mencakup lingkup yang
sangat luas karena menyangkut petugas-petugas pada strata atas,
menengah dan bawah dalam melaksanakan tugas-tugasnya harus
mempunyai suatu pedoman yaitu peraturan tertulis yang mencakup ruang
lingkup tugas-tugasnya tersebut.
_______________________
19 Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Cetakan Ke-IV,
(„Bandung : Remadja Karya, 2011 ), halaman 6.
31
3). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung Penegakan Hukum
Sarana atau fasilitas merupakan segala sesuatu yang dapat dipakai
sebagai alat yang dapat memberikan kemudahan dan kelancaran dalam
mencapai maksud dan tujuan. Apabila maksud dan tujuannya adalah
mengefektivkan undang-undang, maka segala sarana dan fasilitas yang
mendukung perlu disediakan sehingga pihak yang melaksanakan undang-
undang tersebut akan lebih mudah dan nyaman dengan sarana dan
fasilitas yang memadai.
4). Faktor masyarakat
Lingkungan adalah dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan. Masyarakat merupakan himpunan kesatuan baik individu
maupun kelompok yang memiliki kebudayaan yang mereka anggap
sama. Masyarakat merupakan subjek hukum sehingga efektivitas
berlakunya hukum dipengaruhi oleh keadaan masyarakat tersebut. Bisa
dikatakan bahwa seseorang taat apabila ia bersikap atau berperilaku
sesuai dengan harapan pembentuk hukum itu sendiri. Indikator-indikator
dari masalah kesadaran hukum masyarakat adalah sebagai berikut :
a. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum, warga masyarakat
sebagai objek dari suatu peraturan perundang-undangan paling tidak
harus mengetahui adanya aturan hukum yang mengaturnya. Oleh
karena itu komunikasi sangat penting untuk diperhatikan sebagai
sarana sosialisasi sehingga masyarakat luas dapat mengetahui dan
selanjutnya melaksanakan dan mematuhinya.
32
b. Pengertian Hukum, yang dimaksud adalah pengetahuan tentang isi
dan maksud yang terkandung di dalam suatu peraturan hukum
tertentu.
c. Penerimaan hukum, adalah perasaan senang terhadap peraturan
hukum sehinga bersedia untuk mematuhinya.
d. Pola perilaku hukum, yaitu perilaku seseorang yang sesuai dengan
pereturan-peraturan hukum.
5). Faktor kebudayaan
Sebagai hasil karya, ciptaan, dan rasa yang didasarkan pada karya
manusia di dalam pergaulan hidup. Kebudayaan merupakan hal yang
kompleks yang menyangkut pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan
yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat.
Budaya hukum pada hakikatnya merupakan salah satu komponen
yang membentuk suatu sistem hukum, maka keberadaannya sangat penting
dan menentukan. Budaya hukum merupakan komponen yang terdiri dari
nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem serta
menentukan tempat sistem hukum itu di tengah-tengah kultur bangsa secara
keseluruhan. Aspek kultural dalam suatu bangsa sangat diperlukan dalam
memahami nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat yang berkaitan
dengan sistem hukumnya. Dengan demikian pengkajian budaya hukum
lebih memperluas dan menambah lengkap kajian sistem hukum.
Budaya hukum lebih mengacu pada bagian-bagian dari budaya pada
umumnya yang berupa kebiasaan, pendapat, cara-cara berperilaku dan
33
berpikir yang mendukung atau menghindari hukum. Hukum dan
kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat yaitu hukum merupakan
konkretisasi dari nilai-nilai budaya suatu masyarakat dengan kata lain
hukum merupakan penjelmaan dari sistem nilai-nilai budaya.
G. Tinjauan Umum Tentang Penataan Ruang
Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa tata ruang adalah wujud struktur
ruang dan pola ruang, sedangkan penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan ruang kota, pemanfaatan ruang kota dan pengendalian
pemanfaatan ruang kota. Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa dalam pelaksanaannya, tata ruang kota mencakup 3 (Tiga) proses,
yaitu perencanaan ruang kota,pemanfaatan ruang kota, dan pengendalian
pemanfaatan ruang kota. 20
Pengertian tata ruang tersebut di atas juga diadopsi oleh Peraturan
Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Semarang Tahun 2000-2010. Menurut Pasal 1 huruf
(e) Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2004 disebutkan
bahwa tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang
baik direncanakan atau tidak. Pengertian ruang menurut Pasal 1 huruf (d)
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2004 adalah wadah yang
meliputi ruang daratan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah,
_______________________
20 B. Restu Cipto Handoyo, “ Aspek-Aspek Hukum Administrasi Negara dalam
Penataan Ruang “, Cetakan Ke VII, ( Yogyakarta : Atmajaya, 2015 ), halaman 48.
34
tempat manusia dan makhluk lainnya melakukan kegiatan serta memelihara
kelangsungan hidupnya.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang menyebutkan tentang asas penataan ruang meliputi :
1. Keterpaduan ;
2. Keserasian, keselarasan, keseimbangan ;
3. Keberkelanjutan ;
4. Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan ;
5. Keterbukaan ;
6. Kebersamaan dan kemitraan ;
7. Perlindungan kepentingan umum ;
8. Kepastian hukum dan keadilan ; dan
9. Akuntabilitas.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang menjelaskan tentang tujuan dari penataan ruang, yaitu :
1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang
berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung
dan kawasan budi daya.
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk :
a) Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan
sejahtera.
b) Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia.
c) Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
buatan secara berdaya guna, berhasil guna dan tepat guna untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
d) Mewujudkan perlindungan fungsi tata ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
e) Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan
keamanan. 21
Konsep-konsep pengembangan kota selalu memperhatikan proses
maupun akibat megenai growth and develop. Oleh karenanya perencanaan
tata kota harus memiliki berbagai alternatif di dalam kebijaksanaan
pengembangan kota. Salah satu konsep pengembangan yang konservatif
adalah melalui penataan kembali terhadap keadaan yang sudah ada yaitu Re-
_______________________
21 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
35
settlement atau secara berani mengembangkan suatu fokus baru dipinggiran
kota sebagai suatu satelit.
Dilihat dari segi dimensi ruang, maka bentuk-bentuk penataan ruang
kota meliputi tata ruang daratan, tata ruang lautan, dan tata ruang udara
beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Perencanaan tata
ruang kota dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta
penetapan rencana tata ruang kota berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, disebutkan bahwa proses dan prosedur penyusunan tata
ruang wilayah nasional yang meliputi rencana tata ruang wilayah Propinsi
dan rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota dilakukan secara terarah
dan terpadu. Sedangkan pemanfaatan ruang adalah serangkaian program
kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut
jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Tata ruang yang ada perlu dikembangkan dan dimanfaatkan guna
kepentingan masyarakat dan pembangunan. Pemanfaatan ruang
dikembangkan melalui pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata
guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya, serta perangkat yang
berupa insentif dan disinsentif dengan menghormati hak penduduk sebagai
warga negara. Ditinjau dari sisi kegiatan yang dilakukan, maka bentuk-
bentuk penataan ruang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian.
36
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang menyebutkan bahwa :
1. Perencanaan tata ruang dilakukan melalui proses dan prosedur
penyusunan serta penetapan rencana tata ruang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Rencana tata ruang ditinjau kembali dan atau disempurnakan sesuai
dengan jenis perencanaannya secara berkala.
3. Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan rencana tt ruang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan tetap
memperhatikan ketentuan Pasal 24 ayat (3).
4. Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara peninjauan kembali dan
atau penyempurnaan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), (2), dan (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menegaskan
mengenai pemanfaatan ruang, yaitu :
1. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program
pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas
rencana tata ruang.
2. Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang. 22
Pemanfaatan ruang dilakukan dengan mengadakan pola pengelolaan
terhadap tata guna tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya.
Pengendalian terhadap ruang dilakukan dalam bentuk pengawasan dan
penertiban terhadap pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang
diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap
pemanfaatan ruang, yaitu pengawasan terhadap pemanfaatan ruang
diselenggarakan dalam bentuk pelaporan, pemantauan dan evaluasi, serta
penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang diselenggarakan dalam bentuk pengenaan sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jenis-jenis penataan ruang dapat dilihat dalam ketentuan Undang-
Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyebutkan :
_______________________
22 Ibid.
37
1. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan
lindung dan kawasan budi daya.
2. Penataan ruang berdasarkan aspek administratif meliputi ruang wilayah
nasional, wilayah Propinsi, dan wilayah Kabupaten/Kota.
3. Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi
kawasan pedesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.
Penataan tata ruang publik berdasarkan aspek administratif yang
meliputi wilayah nasional, wilayah propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota.
Ruang publik secara sederhana dapat diartikan sebagai wadah yang meliputi
ruang daratan, maupun perairan yang dipergunakan untuk kepentingan
masyarakat umum. Dengan demikian penataan ruang publik dapat diartikan
sebagai proses perencanaan tata ruang publik, pemanfaatan ruang publik
dan pengendalian pemanfaatan ruang publik. Penataan ruang publik
bertujuan untuk menjaga keseimbangan tata guna tanah diperkotaan,
sehingga fungsi ruang publik sebagai paru-paru kota dapat tetap terjaga dan
berfungsi secara optimal yang meliputi taman kota dan hutan kota. 23
Penataan tata ruang publik ini dilakukan secara terpadu dan
menyeluruh. Penataan ruang publik yang dilakukan meliputi kawasan
pedesaan dan kawasan perkotaan dan kawasan tertentu. Penataan ruang
merupakan konsep makro dalam merencanakan pembangunan kota secara
menyeluruh, sedangkan penataan ruang publik meliputi penataan kawasan
pedesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu yang serasi, selaras, dan
seimbang sesuai dengan kepentingan umum.
______________________
23 Ibid., halaman 54.
38
Dikaitkan dengan rencana tata ruang wilayah kota Semarang, dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang, ditetapkan bagian wilayah
Kota Semarang menjadi beberapa willayah pengembangan Kota Semarang.
Dalam rangka pengembangan Kota Semarang, Pemerintah Kota Semarang
merencanakan pengembangan wilayah pembangunannya dalam beberapa
wilayah pengembangan. Dilihat dari penyebaran penduduk, kegiatan
ekonomi, potensi alam dan pelaksanaan, pembangunan Kota Semarang
menggunakan 2 (dua) macam pendekatan, yaitu sebagai berikut :
1. Regional dalam Wilayah Pengembangan, berdasarkan atas kondisi-
kondisi penyebaran penduduk, penyebaran kegiatan ekonomi serta
potensi yang ada maka Kota Semarang dapat dibagi dalam 5 (lima)
wilayah pengembangan, yaitu :
a) Wilayah Pengembangan I (Zona Industri), yang terletak di Kecamatan
Tugu dan Ngaliyan seluas 1.200 hektar dan di Kecamatan Genuk
seluas 800 hektar.
b) Wilayah Pengembangan II (Zona Pusat Perdagangan), yang
dikembangkan di tengah kota yang dekat dengan pusat prasarana dan
sarana transportasi.
c) Wilayah Pengembangan III (Zona Pendidikan dan Kebudayaan), yang
dikembangkan di daerah tepi kota dan merupakan hasil penataan
berbagai fasilitas pendidikan yang sebelumnya berada menyebar di
tengah kota.
39
d) Wilayah Pengembangan IV (Zona Pemukiman), yang dikembangkan
untuk mendukung wilayah industri maupun perkembangan perkotaan
di sebelah Barat, Selatan, dan Timur Kota Semarang.
e) Wilayah Pengembangan V (Zona Agraria), yang berada di Kecamatan
Mijen dan Gunung Pati.
2. Regional dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), berdasarkan pola
pendekatan tersebut di atas dapat diketahui bahwa Kota Semarang
dibagi dalam 5 (lima) wilayah pengembangan, di mana salah satunya
merupakan wilayah pengembangan perdagangan yang berada atau
terletak di pusat kota. 24
______________________
24 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang, ( http:// Tribunjateng. Blogspot /
2018 / 04 / 18. html ), diakses pada tanggal 25 Oktober 2018.
40
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara
sistematis, metodologis, dan konsisten. Penelitian dilaksanakan untuk
mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah untuk
mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan.
Metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian
ilmiah, pada saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan
ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. 25
Penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.
Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu hukum sebagai
landasan ilmu pengetahuan induknya. Oleh karena itu maka penelitian yang
digunakan adalah penelitian hukum. 26
Dalam penelitian hukum juga dilakukan pemeriksaan yang mendalam
terhadap fakta-fakta hukum untuk selanjutnya digunakan dalam menjawab
permasalahan-permasalahan. Supaya mendapat hasil yang lebih maksimal
maka peneliti melakukan penelitian hukum dengan mengunakan metode-
metode sebagai berikut :
_______________________
25 Soemitro Ronny Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, ( Jakarta
: Ghalia Indonesia, 2008 ), halaman 9. 26
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tujuan
Singkat, Ctk. Ke 3, (.Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011 ), halaman 1.
41
A. Jenis / Tipe Penelitian
Jenis / Tipe penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah
yuridis empiris, dimana penelitian dilakukan dengan meninjau masalah yang
diteliti dari segi ilmu hukum dengan mengkaji peraturan perundang-
undangan dan dengan melihat serta mengaitkan dengan kenyataan yang ada
didalam implementasinya tersebut yang bertujuan untuk mendeskripsikan
kegiatan atau peristiwa kegiatan atau peristiwa alamiah dalam praktek
sehari-hari. 27
Serta untuk melihat bagaimana penerapan / pelaksaannya melalui
suatu penelitian lapangan yang dilakukan secara sosiologis dan wawancara,
sehingga diperoleh kejelasan tentang hal yang diteliti. Pada penelitian
hukum yuridis empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data
sekunder, sebagaimana di atas untuk kemudian dilanjutkan dengan
penelitian terhadap data primer dilapangan atau terhadap masyarakat atau
para pihak yang terlibat.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif
analitis, deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan menuliskan tentang
sesuatu hal di daerah tertentu pada saat tertentu, sedangkan analitis adalah
yaitu mengelompokkan, menggabungkan secara sistematis untuk
mendapatkan data atau informasi mengenai faktor yang mempengaruhi,
_______________________
27 Haris Hardiansyah, “ Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial “,
( Jakarta : Salemba Humanika, 2010 ), halaman 76.
42
pelaksanaan berbagai aturan dengan penanganan kasus serta bagaimana cara
penyelesaiannya.
C. Metode Penentuan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau
subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah 216
Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Kota Semarang yang
terkena dampak dari relokasi.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut. Pengukuran sampel merupakan suatu langkah
untuk menentukan besarnya sampel yang diambil dalam melaksanakan
penelitian suatu objek. Untuk menentukan besarnya sampel bisa
dilakukan dengan statistik atau berdasarkan estimasi penelitian.
Pengambilan sampel ini harus dilakukan sedemikian rupa sehingga
diperoleh sampel yang benar-benar dapat berfungsi atau dapat
menggambarkan keadaaan populasi yang sebenarnya, dengan istilah lain
harus representatif atau mewakili.
Dalam penelitian ini yang menjadi Sampel adalah 216 PKL yang
terdapat di di Terminal Terboyo Kota Semarang. Jumlah tersebut cukup
sedikit, hal ini disebabkan karena Kota Semarang masih merupakan
43
daerah yang sedang berkembang yang berdampak pada keseluruhan PKL
diseluruh Kota Semarang dalam rangka penerapan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Semarang Tahun 2011-2031.
3. Teknik Sampling
Dalam menentukan teknik sampling, terdapat 2 (dua) jenis
sampling yang dapat digunakan, yaitu sebagai berikut :
a. Probability Sampling, adalah teknik pengambilan sampel yang
memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur populasi untuk
dipilih menjadi anggota sampel. Teknik ini meliputi, simple random
sampling, proportionate stratifed random sampling, disproportionate
stratifies random sampling, sampling area (cluser).
b. Non Probability Sampling, adalah teknik pengambilan sampel yang
tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau
anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik sampel ini
meliputi, sampling sistematis, kuota, aksidental, purposive, jenuh,
snowball.
Dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan yaitu
nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling. purposive
sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan
pertimbangan tertentu. Alasan menggunakan teknik Purposive Sampling
adalah karena tidak semua sampel memiliki kriteria yang sesuai dengan
fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis memilih teknik
Purposive Sampling yang menetapkan pertimbangan-pertimbangan atau
kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh sampel-sampel yang
44
digunakan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini yang menjadi
sampel yaitu PKL yang memenuhi kriteria tertentu. Hasil Purposive
Sampling dapat digambarkan dalam tabel berikut :
Kriteria Sampel Jumlah
Sampel Kriteria 1 :
Pedagang Kaki Lima (PKL) yang terkena dampak
Relokasi di Teminal Terboyo Kota Semarang
216
Sampel Kriteria 2 :
Pedagang Kaki Lima (PKL) yang masih bertahan
dan menempati kios kecil
52
Sampel Kriteria 3 :
Pedagang Kaki Lima (PKL) yang masih bertahan
dan menempati kios besar
26
Sampel Kriteria 4 :
Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sudah pindah ke
pasar Banjardowo dan menempati kios kecil
40
Sampel Kriteria 5 :
Pedagang Kaki Lima (PKL) yang sudah pindah ke
pasar Banjardowo dan menempati kios besar
26
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan hal yang sangat erat hubungannya
dengan sumber data, karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh
data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisa, maka data yang
dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder.:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
masyarakat. Data primer diperoleh dengan :
45
a) Observasi, adalah proses pengamatan dan pencatatan secara sistematis
mengenai gejala-gejala yang diteliti. Observasi ini menjadi salah satu
dari teknik pengumpulan data apabila sesuai dengan tujuan penelitian,
yang direncanakan dan dicatat secara sistematis, serta dapat dikontrol
Reabilitasi dan Validitasnya. Dalam menggunakan teknik observasi,
hal terpenting yang harus diperhatikan ialah mengendalikan
pengamatan dan ingatan peneliti. Pengumpulan data dengan cara
mempelajari, memahami, mencatat data yang diperoleh dari berbagai
buku-buku, peraturan perundang-undangan, serta data primer yang
diperoleh dari masyarakat yang berkaitan dengan penelitian.
b) Wawancara, yaitu cara memperoleh informasi dengan bertanya
langsung dengan pihak-pihak yang diwawancarai terutama orang-
orang yang berwenang. Sistem wawancara yang digunakan adalah
wawancara bebas terpimpin, artinya terlebih dahulu dipersiapkan
daftar pertanyaan sebagai pedoman tetapi masih dimungkinkan
adanya variasi pertanyaan yang disesuiakan dengan situasi pada saat
wawancara dilakukan. 28
c) Daftar pertanyaan yaitu daftar yang diajukan kepada orang-orang yang
terkait dengan relokasi pedagang kaki lima ( PKL ) di kawasan
terminal terboyo Kota Semarang, untuk memperoleh jawaban secara
tertulis yaitu responden.
________________________
28 Sortrisno Hadi, “ metode research jilid II ”, ( Yogyakarta : Yayasan Penerbit
Fakultas Hukum Psikologi Universitas Gajah Mada, 2015 ), halaman 26.
46
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang mendukung keterangan atau
penunjang kelengkapan data primer. Data sekunder yang diperoleh
dengan cara studi kepustakaan melalui studi dokumen yang dipergunakan
adalah bahan hukum :
a) Bahan-bahan hukum primer, adalah bahan hukum utama berupa
peraturan Perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat dan dapat dijadikan dasar hukum. Bahan hukum primer
yang dihimpun dalam penelitian ini adalah :
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 tentang Pengertian
Perekonomian, Pemanfaatan SDA, dan Prinsip Perekonomian
Nasional.
2) Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang
Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
3) Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Pedagang Kaki Lima.
4) Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah.
5) Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan
Pembentukan Undang-Undang.
6) Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2015 tentang Peraturan
Daerah.
b) Bahan-bahan hukum sekunder, bahan hukum yang berhubungan
dengan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan
47
memahaminya, meliputi buku-buku yang terkait relokasi pedagang
kaki lima (PKL) di kawasan Terminal Terboyo Kota Semarang.
E. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh merupakan data tatanan yang dianalisis secara
analisis kualitatif yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam
bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya di analisis untuk memperoleh
kejelasan penyelesaian masalah. Penarikan kesimpulan secara deduktif
yakni menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi hal yang
bersifat khusus. Sedangkan secara induktif adalah menarik kesimpulan
dengan cara berfikir yang berangkat dari pengetahuan yang khusus
kemudian menilai suatu kejadian yang umum. 29
Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan-
satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, dan memutuskan
apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Tujuan peneliti melakukan
analisis data adalah untuk menyederhanakan data sehingga mudah untuk
membaca data yang diolah.
_______________________
29 Soerjono Soekamto, “ Pengantar Penelitian Hukum “, Cetakan Ke-3, ( Jakarta :
Universitas Indonesia Press, 2012 ), halaman 10.
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau
Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang
Pengaturan Dan Pembinaan PKL.
Persoalan Pedagang Kaki Lima di kawasan Terminal Terboyo tidak
lagi sebagai urusan penggunaan fasilitas umum untuk berdagang para PKL,
tetapi juga berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup para
pedagang. Banyak PKL di kawasan Terminal Terboyo yang asal menempati
dengan alasan tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk mencari
penghidupan. Pemenuhan kebutuhan hidup dilakukan oleh para PKL dengan
berbagai cara yang bisa dilakukan, salah satunya dengan berdagang di
kawasan Terminal Terboyo yang dianggap sebagai jalan paling mudah yang
dapat dilakukan. Alasannya sangat sederhana, mereka dapat menjalankan
usaha dagangannya dengan modal usaha yang relatif cukup kecil dan tidak
membutuhkan pendidikan yang tinggi. Pemenuhan kebutuhan hidup para
pedagang didasarkan pada produktifitas PKL dalam mengelola ekonomi
pribadi dan jangkauan usaha dalam wilayah dagangnya. Sedangkan
mengenai sarana yang digunakan PKL di kawasan Terminal Terboyo
berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang semakin banyak, dan sebagai
salah satu perwujudan tujuan pemerintah Kota Semarang dalam
menciptakan lapangan pekerjaan.
49
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan
Pembinaan PKL, dengan menyusun pola penataan PKL yang solutif dan
akseptabel, yang disatu sisi menjamin pemberdayaan usaha PKL yang tidak
lagi menjadi masalah pembangunan dan sisi lain dapat digunakan Pemkot
untuk menata dan membina PKL di kawasan Terminal Terboyo agar
menjadi subjek pembangunan kota. Pada dasarnya konsep Relokasi
pedagang kaki lima dilaksanakan karena alih fungsi lahan yang di
peruntukan bagi pembangunan Terminal Terboyo menjadi terminal barang.
Serta tidak terpenuhinya lokasi untuk berdagang bagi para PKL mengingat
jumlah PKL yang harus disediakan tempat sangat banyak.
Alasan yang mendasar diadakannya relokasi pedagang kaki lima di
kawasan Terminal Terboyo Kota Semarang adalah sebagai berikut :
a) Banyaknya pedagang kaki lima yang menggunakan fasilitas umum
sehingga mengganggu ketertiban dan melanggar peraturan ;
b) Adanya desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup para PKL,
sehingga para PKL tersebut yang terpaksa berdagang di kawasan
terminal harus segera di relokasi agar tetap dapat menjalankan
perekonomian mereka ; serta
c) Keluhan masyarakat sebagai pengguna jalan tentang keberadaan
PKL yang mengganggu di sepanjang ruas jalan dan akses keluar
masuk bus yang merusak sistem tata ruang kota.
Pedagang Kaki Lima yang ditata dan dikelola disini dapat dibedakan
menjadi dua (2) golongan, yaitu PKL Binaan yaitu PKL yang sudah
ditata atau ditempatkan sesuai dengan SK walikota, dan PKL yang
belum terdata dan diluar penempatan SK Walikota. 30
Adanya penggolongan PKL akan mempermudah pemerintah untuk
mendata ulang serta mempermudah dalam proses penataan ke lokasi yang
sudah disediakan pemerintah untuk mereka yaitu ke Pasar Banjardowo yang
sudah dikoordinasikan dengan Dinas Perdagangan, dan ke Terminal
Mangkang seperti yang direncanakan sebelumnya yang sesuai dengan jenis-
_______________________
30 Ibid.
50
jenis usaha yang mereka jalankan. Diharapkan dengan adanya penataan
tersebut mampu mengakomodir semua keluhan baik itu dari masyarakat
pengguna jalan untuk akses keluar masuk bus ke terminal maupun dari PKL
itu sendiri, sehingga dapat diciptakan suatu tata kota yang rapi, bersih,
nyaman dan saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Kepala Dishub Kota Semarang M Khadik, mengatakan bahwa
penggolongan PKL di kawasan Terminal Terboyo Kota Semarang
diharapkan mampu dijadikan sebagai wadah bagi para PKL untuk
membentuk suatu kelompok atau paguyuban bagi PKL, yang
dimaksudkan bisa mengakomodir semua kebutuhan ataupun dapat
dijadikan sebagai wadah diskusi dalam menghadapi permasalahan
yang muncul dalam shelter relokasi PKL. Paguyuban atau kelompok
PKL ini nantinya yang akan menjadi wakil dari masing-masing shelter
relokasi dalam membahas kebijakan-kebijakan lanjutan dari
Pemerintah Kota yang berhubungan dengan kelangsungan shelter
relokasi mereka nantinya. 31
Relokasi pedagang kaki lima di kawasan Terminal Terboyo yang
dilaksanakan pemerintah disini tidak semuanya berjalan dengan lancar.
Banyak diantara PKL yang tetap tidak mau ditata dengan alasan takut
kehilangan pelanggan ataupun takut tidak mendapatakan tempat yang sesuai
dengan jenis dagangan mereka. Banyak alasan yang PKL samapaikan untuk
menolak relokasi tersebut, banyak ancaman yang dilontarkan oleh para PKL
kepada Pemerintah Kota Semarang jika relokasi itu tetap dijalankan.
Meskipun ada ketidaksetujuan dan penentangan dari sebagian PKL,
Pemkot Kota Semarang tetap berketetapan untuk merelokasi mereka dari
kawasan Terminal Terboyo, meskipun ada sebagian PKL yang mengancam
akan turun ke jalan dan melakukan demo.
_______________________
31 Wawancara dengan M Khadik, selaku Kepala Dishub Kota Semarang pada
tanggal 2 April 2019.
51
Seperti yang diungkapkan oleh Hendrar Prihadi, sebagai Walikota
Semarang yang menegaskan bahwa kebijakan relokasi di kawasan
Terminal Terboyo akan tetap dijalankan, karena Pemkot sudah
berbuat banyak dan memberikan waktu kepada PKL, sehingga tidak
ada alasan bagi PKL untuk menolak dipindahkan. Relokasi ini
sejatinya untuk menjamin kepastian dan kelangsungan usaha PKL.
Konsep relokasi PKL didasari pada pemikiran bahwa PKL merupakan
salah satu potensi ekonomi yang dimiliki kota Semarang, karena itu
keberadaannya tetap dipertahankan tanpa harus mengabaikan aturan
hukum dan kepentingan seluruh warga kota Semarang. Relokasi justru
akan menjamin kepastian dan kelangsungan usaha mereka. 32
Ungkapan Walikota Semarang tersebut sangatlah jelas, jika PKL
merupakan salah satu sektor yang sangat berpotensi dalam mendongkrak
PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kota Semarang. Retribusi yang
disumbangkan setiap tahunnya sangat pesat, maka tidak heran jika PKL di
Kota Semarang sekarang ini dilindungi keberadaannya dengan adanya
kepastian hukum yang mengayomi keberadaan mereka untuk setiap usaha
yang mereka lakukan.
Adanya Relokasi Pedagang Kaki Lima di kawasan Terminal Terboyo
merupakan suatu bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh
pemerintah Kota terhadap PKL untuk secara bebas menjual dagangannya
dengan tanpa adanya gangguan penertiban dari Satpol PP. Relokasi
pedagang kaki lima disini juga bertujuan untuk meningkatkan taraf
hidup pedagang kaki lima dan juga sekaligus untuk menciptakan
lapangan pekerjaan baru karena relokasi PKL dianggap sudah banyak
menyerap tenaga kerja pengangguran. Peningkatan taraf hidup PKL
dapat dikatakan sebagai peningkatan kesejahteraan mereka. Kesejahteraan
dalam arti tercukupinya kebutuhan material dan non-material. Dalam teori
_______________________ 32
Ibid.
52
kesejahteraan, kondisi sejahteraan dapat diartikan hidup aman dan bahagia
karena semua kebutuhan dasar dapat terpenuhi.
Kesejahteraan sosial menurut Friedlander adalah, kesejahteraan sosial
yang merupakan sistem yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan
dan lembaga-lembaga sosial yang dimaksudkan untuk membantu
individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat
hidup dan kesehatan yang memuaskan dan hubungan-hubungan
personal dan sosial yang memberi kesempatan kepada mereka untuk
mengemkembangkan seluruh kemampuan dan meningkatkan
kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan
masyarakatnya. 33
Definisi tersebut merupakan definisi kesejahteraan sosial sebagai
sebuah keadaan yang mencerminkan bahwa manusia adalah makhluk sosial
yang harus saling membantu agar menciptakan suasana yang harmonis dan
sejahtera. Kesejahteraan bagi PKL merupakan salah satu bentuk yang
dirasakan mereka setelah adanya relokasi. Kebijakan pemerintah untuk
merelokasi PKL di kawasan Terminal Terboyo merupakan langkah tepat
untuk mengatasi permasalahan komplek yang dialami PKL, masyarakat
sekitar kawasan terminal maupun Pemerintah Kota.
Dalam melakukan prosedur Relokasi PKL di kawasan Terminal
Terboyo Kota Semarang, ada berbagai cara serta dampak yang di timbulkan
olehnya, yaitu sebagai berikut :
1). Cara Relokasi Pedagang Kaki Lima
Untuk mewujudkan rencana relokasi tersebut, Pemkot Semarang
melaksanakan suatu cara relokasi yaitu pendataan, sosialisasi dan
pemberian kepastian hukum. Proses perwujudan rencana relokasi di
_______________________ 33
Alisjahbana, Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan, Cetakan Ke-II, ( Surabaya
: ITS Press, 2013 ), halaman 8.
53
Terminal Terboyo tersebut juga dilaksanakan melalui pendekatan sosial
budaya. Pendekatan PKL melalui sosial budaya yang dilakuakan
pemerintah Kota Semarang sebagai berikut :
a) Nguwongke uwong (dalam bahasa jawa) atau memanusiakan manusia,
mempunyai arti menempatkan manusia pada Harkat dan Martabatnya.
b) Kemitraan, mempunyai makna adanya kebersamaan dalam penataan
bagi PKL dengan masyarakat di sekitar kawasan terminal, maupun
PKL dengan pemerintah itu sendiri sehingga dapat menjadi semakin
dimengerti oleh pihak-pihak yang terkait.
c) Hati nurani, ada rasa saling mengisi antara satu pihak dengan pihak
yang lain, ataupun PKL dengan pemerintah.
d) Saling menghormati, adanya keseimbangan antar PKL dan
pemerintah.
Sekretaris Paguyuban Pedagang dan Jasa (PPJ) Unut Terminal
Terboyo Kota Semarang Joko Abdul Hafid, yang menyatakan
bahwa yang paling diresahkan oleh PKL adalah jika mereka
kehilangan langganan dan tidak adanya jaminan mengenai usaha
mereka setelah adanya Relokasi atau penataan. Akan tetapi
dengan pendekatan sosial budaya yang dijalankan oleh Bapak
Walikota mampu mengubah pandangan PKL yang pada awalnya
tidak mau menjadi mau untuk ditata. Jadi secara tidak langsung
semua diuntungkan, baik dari pemerintah maupun dari PKL itu
sendiri. 34
Adanya tuntutan yang diajukan oleh PKL membuat pemerintah
berfikir ulang mengenai cara apa yang akan dilakukan untuk menghapus
anggapan PKL yang takut kehilangan pelanggannya. Kemudian
_______________________ 34
Wawancara dengan Joko Abdul Hafid, selaku Sekretaris Paguyuban Pedagang dan
Jasa (PPJ) Unut Terminal Terboyo Kota Semarang pada tanggal 4 April 2019.
54
pemerintah memunculkan suatu pendekatan yang baru yaitu dengan
melakukan pendekatan ekonomi, diantaranya adalah :
a) Bantuan Sarana prasarana seperti : relokasi, shelter, gerobak, tenda-
tenda, dll.
b) Bantuan berupa modal usaha, pemindahan dan pengangkutan.
c) Proses perijinan seperti SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), dan
semua prosedur-prosedur terkait yang diberikan gratis dari pemerintah
kepada PKL, dan
d) Promise atau janji melalui media elektronik, media cetak dan hiburan
mengenai masalah terkait.
Meskipun Pemerintah memberikan banyak fasilitas dan
kemudahan, akan tetapi pada prakteknya masih ada beberapa PKL di
kawasan Terminal Terboyo yang menolak untuk di Relokasi dan kembali
ke tempat asal mereka berdagang. Mereka beranggapan bahwa tempat
relokasi tidak bisa mengembalikan pendapatan mereka yang semula
cukup tinggi. Adanya PKL yang demikian menimbulkan suatu tindakan
tegas dari Pemerintah Kota. Tindakan tegas tersebut berupa sanksi
pencabutan izin usaha dan tidak diperbolehkan berdagang untuk kurun
waktu tertentu. Mereka (PKL) juga diharuskan untuk membuat surat
pernyataan dihadapan Satpol PP, Kasubag PKL, dan Ketua Paguyuban
PKL terkait. 35
_______________________ 35
Ibid.
55
Selain kemudahan dalam izin penempatan lokasi dan pemberian
surat izin usaha maupun tanda daftar, Pemerintah Kota juga memberikan
fasilitas umum untuk memudahkan akses pembeli kepada pedagang.
Diantaranya adalah aksesibelitas kawasan, sirkulasi kawasan dan parkir
kawasan yang baru. Adanya fasilitas pendukung yang diberikan oleh
Pemerintah Kota Semarang kepada PKL tersebut, diharapkan mampu
menarik perhatian para pengunjung untuk sebatas singgah di tempat
relokasi PKL yang sudah dirancang dengan apik, nyaman dan bersih.
Fasilitas tersebut disediakan untuk menunjang kegiatan usaha PKL agar
tidak terlalu kesulitan dalam mencari kebutuhan dasar mereka sehari-
hari, sehingga semua kebutuhan PKL maupun pengunjung dapat
terpenuhi.
2). Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima
Dampak adalah akibat yang ditimbulkan dari berubahnya suatu
sistem atau suatu percobaan akibat dari pengaruh yang ada. Dampak
dapat diartikan pula sebagai keinginan untuk membujuk, meyakinkan,
mempengaruhi ataupun memberi kesan kepada orang lain dengan tujuan
agar mereka mengikuti atau mendukung keinginannya. Dengan kata lain,
dampak disini menekankan pada keiginan untuk mempengaruhi atau
menimbulkan akibat pada orang lain.
Penataan PKL di kawasan Terminal Terboyo secara terstruktur dan
sistematis serta berorientasi tidak hanya berjangka pendek akan tetapi
juga jangka panjang, maka diharapkan akan membawa dampak positif
yang cukup besar. Dilihat dari segi program Pemkot Kota Semarang
56
sendiri jelas telah berhasil dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan status
berhasil atau tidaknya program tersebut. Selain itu juga memberi kesan
positif terhadap pemerintahan Kota Semarang selaku pengayom dan
pengatur dalam tata ruang kota.
Dilihat dari segi ekonomi, maka jelas dengan pengelolaan yang
baik serta penempatan yang tepat menjadikan keuntungan dari segi
finansial terutama bagi para PKL sendiri dan bagi masyarakat umum
yang menggunakan jasa mereka. Para PKL tidak mungkin mau atau
bertahan jika kebutuhan substansial mereka tidak bisa terpenuhi, untuk
itulah penataan yang baik akan memberikan manfaat bagi mereka, karena
memang pada prinsipnya bahwa PKL merupakan aset yang berharga jika
dikelola dengan baik dan mendapat dukungan dari lingkungan sekitarnya.
Keberhasilan dari segi ekonomi disini dapat terpengaruhinya beberapa
kaitan tersendiri dari PKL tehadap faktor-faktor pendukung, diantaranya
adalah sebagai berikut :
a) Keterkaitan omset PKL dengan tingkat pendidikan PKL,
b) Keterkaitan omset PKL dengan jenis dagangannya,
c) Keterkaitan omset PKL dengan tipe bangunan PKL,
d) Keterkaitan omset PKL dengan jumlah tenaga kerja PKL,
e) Keterkaitan omset PKL dengan waktu berdagang,
f) Keterkaitan omset PKL dengan tahun mulai berdagang PKL,
g) Keterkaitan omset PKL dengan pembinaan dan penataan PKL,
h) Keterkaitan omset PKL dengan lokasi PKL, dan
i) Keterkaitan omset PKL dengan luas bangunan.
57
Pelaksanaan relokasi di kawasan Terminal Terboyo disini pada
khakekatnya dilakukan dengan tanpa mengorbankan kelangsungan usaha
PKL itu sendiri. Pada dasarnya relokasi yang dilakukan oleh Pemkot
Kota Semarang disini untuk memberikan kepastian hukum akan
kelangsungan usaha, sekaligus memberikan rasa aman kepada PKL.
Dampak yang dirasakan oleh pedagang sekitar tempat relokasi adalah
mereka juga dapat memperoleh pekerjaan dengan berusaha berdagang
ataupun dengan jasa parkir tempat relokasi. Dapat dikatakan bahwa
Relokasi membawa dampak yang baik untuk PKL karena turut
menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka.
Seperti yang dikatakan oleh Rahmadi, salah satu pedagang yang
terkena dampak dari relokasi di kawasan Terminal Terboyo Kota
Semarang, dia menyatakan bahwa : “ Dengan adanya Relokasi
PKL ke Pasar Banjardowo dan Terminal Mangkang, sungguh
sangat membawa berkah. Selain mendatangkan keuntungan bagi
PKL juga membawa keuntungan bagi warga sekitar tempat
relokasi. Mereka (warga sekitar) yang dahulu banyak pengagguran,
sekarang sedikit banyak sudah menjadi pedagang ataupun penyedia
jasa parkir. Hal ini sangat mendukung program pemerintah juga
yang ingin mengurangi angka pengangguran di Kota Semarang “. 36
Pada hakikatnya pedagang kaki lima merupakan suatu kelengkapan
kota diseluruh dunia dari dahulu. Sebagai kelengkapan, pedagang kaki
lima tidak mungkin ditiadakan ataupun dihindari. Yang harus dilakukan
untuk menyikapi keadaan tersebut adalah melalui penataan, pembinaan
dan pengawasan. PKL membawa dampak dalam segi ekonomi, sosial dan
segi budaya yang membentuk suatu kawasan perkotaan :
_______________________
36
Wawancara dengan Rahmadi, salah satu pedagang yang terkena dampak dari
relokasi di kawasan Terminal Terboyo Kota Semarang pada tanggal 4 April 2019.
58
a) Dari segi ekonomi, dengan adanya PKL dapat menyerap tenaga kerja
yang dapat membantu dalam mendapatkan suatu penghasilan.
b) Dari segi sosial, dapat dilihat jika kita melihat bahwa PKL dapat
menghidupkan dan meramaikan suasana kota dan menjadi salah satu
daya tarik bagi suatu kota bagi wisatawan, serta
c) Dari segi budaya, PKL membantu suatu kota untuk menciptakan
budayanya sendiri. 37
Ditinjau dari segi negatif keberadaan relokasi pedagang kaki lima
di kawasan Terminal Terboyo Kota Semarang yaitu terdapat beberapa
permasalahan yang dihadapi. Permasalahan tersebut muncul dan
berkembang dikarenakan kegiatan usaha yang dilakukan oleh PKL dari
hari ke hari semakin padat dan bertambah. Klasifikasi permasalahan
tersebut adalah sebagai berikut :
1) Permasalahan mengenai pengelolaan limbah oleh PKL
Belum tingginya tingkat kesadaran PKL dalam mengelola
limbah yang dihasilkan. Dari seluruh PKL, 6,13% diantaranya belum
mengelola limbah yang dihasilkannya dengan baik. Jika dikaitkan
dengan jenis dagangannya, PKL yang relatif menghasilkan limbah
adalah PKL yang menjual makanan. PKL jenis ini proporsinya sebesar
58,51%. Hal ini berarti hanya 62,329% PKL penjual makanan yang
telah melakukan pengelolaan limbahnya dengan baik. 38
_______________________
37
Julius Bobo, Transformasi Ekonomi Rakyat, Cetakan Pertama, ( Jakarta : PT
Pustaka Cisendo, 2013 ), halaman 42. 38
Agatha Ika Febrilianawati, Efektivitas Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima
(PKL) di Kota Semarang, ( UNES : Semarang, 2018 ), halaman 32.
59
2) Permasalahan kebersihan dan kerapian lingkungan
Meskipun limbah belum terkelola dengan baik seperti dibuang
begitu saja ke selokan atau ditampung kedalam wadah tersendiri,
secara fisik atau visual sebagian besar PKL sudah terlihat bersih dan
cukup rapi. Hal ini perlu terus ditingkatkan, sebagai amanah Peraturan
Daerah Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan
dan Pembinaan PKL, dimana PKL diwajibkan untuk menjaga
kebersihan dan kerapian lingkungan sekitar. Sedangkan rincian
dampak yang sangat mencolok dirasakan oleh Pemerintah Kota
Semarang adalah PKL turut memberikan kontribusi terhadap
pendapatan daerah yang tidak sedikit bagi kota Semarang.
Sebagian jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Semarang
yang disumbangkan dari retribusi PKL pada Tahun 2018
sebesar Rp.234.452.800 (4,5%) dari Total PAD sebesar
Rp.106.759.419.000. Sebagian besar PKL memiliki omset
kurang dari Rp.500.000 per hari. Akan tetapi dengan pendapatan
yang sedemikian sudah cukup bisa turut menyumbang dalam
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dengan jumlah
yang relatif besar. Sehingga dapat dikatakan keberadaan PKL
disini sangat membawa dampak positif bagi PKL itu sendiri,
masyarakat dan pemerintah. 39
Semua kebijakan dapat berjalan dengan sempurna jika ada
kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat luas. Adanya
sinkronisasi pendapat dan pemahaman akan suatu kebijakan dapat
menimbulkan suatu tata pemerintahan yang baik, jujur dan adil.
_______________________
39
Kebijakan Penataan Sektor Ekonomi Informal di Kota Semarang, ( http://
TribunNews. wordpers. Com /2018/04/18 ), diakses pada tanggal 4 Oktober 2018.
60
B. Kendala-Kendala Dalam Pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) Di
Terminal Terboyo Ditinjau Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor
11 Tahun 2000 Tentang Pengaturan Dan Pembinaan PKL Dan
Bagaimana Upaya Mengatasinya.
1. Kendala-kendala yang timbul dalam Pembinaan dan Penataan Pedagang
Kaki Lima (PKL) Di Terminal Terboyo Kota Semarang.
Pada dasarnya dalam setiap pelaksanaan suatu aturan ataupun
kebijakan selalu terdapat kendala atau hambatan. Demikian pula halnya
dengan upaya pemerintah Kota Semarang dalam penataan pedagang kaki
lima berkaitan dengan pemanfaatan tata ruang kota tidak terlepas dari
beberapa kendala yang dihadapinya. Kendala yang dihadapi oleh
pemerintah dalam pembinaan dan pelaksanaan penataan PKL di
Terminal Terboyo, yaitu sebagai berikut :
a). Rendahnya Kesadaran hukum PKL
Pemerintah Kota Semarang telah mengeluarkan Peraturan
Daerah Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan
Pedagang Kaki Lima, Keputusan Walikota Nomor 511.3/16 2001
tentang Penetapan Lahan atau Lokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di
Wilayah Kota Semarang, serta Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun
2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang
Tahun 2011-2031. Dalam pelaksanaannya masih banyak pedagang
kaki lima yang menempati lokasi tidak sesuai dengan Surat Keputusan
Walikota Semarang Nomor 511.3/16 Tahun 2001 tentang Penetapan
Lahan atau Lokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Wilayah Kota
61
Semarang. Penetapan lokasi sebagaimana diatur dalam Surat
Keputusan Walikota Nomor 511.3/16 Tahun 2001 tentang Penetapan
Lahan atau Lokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Wilayah Kota
Semarang, belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh para pedagang kaki
lima tersebut. Penerapan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2000
tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima juga belum
dapat dilakukan secara optimal. Hal tersebut terlihat dari banyaknya
pelanggaran yang dilakukan oleh pedagang kaki lima seperti
berubahnya fungsi lahan pedagang kaki lima menjadi tempat tinggal.
Dulu sebelum adanya penggusuran atau relokasi di kawasan
Terminal Terboyo Kota Semarang, banyak dijumpai kios non
permanen yang dijadikan kios permanen di area sekitar kawasan
tersebut. Mereka (para PKL) membangun tempat mereka
berdagang secara permanen tanpa ijin dari pengelola maupun
pemerintah setempat dengan dalih mereka telah membayar uang
sewa ataupun membayar pajak dalam menempati tempatnya. 40
b). Lemahnya Pengawasan oleh Aparat Kota Semarang
Selama ini pengawasan terhadap keberadaan pedagang kaki lima
di kawasan Terminal Terboyo oleh aparat Pemerintah Kota Semarang
belum begitu optimal. Hal tersebut terlihat dari masih banyaknya
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian pedagang kaki
lima tersebut. Aparat Pemerintah belum menunjukkan perhatian yang
cukup serius terhadap perkembangan pedagang kaki lima di suatu
wilayah tertentu terutama di kawasan Terminal Terboyo dan di
wilayah sekitar Kota Semarang. Aparat Pemerintah baru bertindak
_______________________
40 Yulianto (Editor), Pembangunan Terminal Terboyo jadi Terminal Barang yang
berdampak pada PKL sekitar, ( http//: Suara merdeka. com / masih-tunggu-proses-lelang /
20/07/2018 / html. ), diakses pada tanggal 20 Desember 2018.
62
apabila ada sorotan dari masyarakat yang mulai timbul karena
masalah, dengan demikian aparat pemerintah selalu terlambat dalam
bertindak. Kondisi tersebut diperparah dengan tidak adanya operasi
yustisi yang digelar secara rutin, sehingga seringkali terlihat bahwa
penertiban para pedagang kaki lima masih terkesan setengah hati. Dan
juga kurangnya deteksi dini dan koordinasi antara aparat di wilayah
dengan Dinas Teknis dan Satpol PP, sehingga seringkali pedagang
kaki lima baru ditertibkan ketika sudah berdiri lama dan menjamur.
Kepala Dishub Kota Semarang M Khadik, mengatakan bahwa
kurang optimalnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat
pemerintah Kota Semarang karena kurangnya kuantitas sumber
daya manusia dan sarana prasarana yang ada. Jika dibandingkan
dengan luas Kota Semarang, dengan upaya peraturan yang harus
ditegakkan serta jumlah pedagang kaki lima yang semakin
menjamur, maka jumlah petugas Satpol PP Kota Semarang yang
hanya kurang lebih 340 personil sangat tidak seimbang,
sehingga pelaksanaan pembinaan, pengawasan dan penerapan
hukum belum bisa optimal. 41
c). Relokasi tempat jualan PKL yang tidak strategis dan memadai
Pada saat Pemerintah ingin melakukan penataan bagi para
pedagang kaki lima terutama di kawasan Terminal Terboyo Kota
Semarang, para pedagang kaki lima seringkali menuntut diberi lokasi
yang strategis. Pada umumnya pedagang kaki lima tidak mau dipindah
ke lokasi yang dianggap tidak menguntungkan bagi usahanya,
termasuk yang sudah di tetapkan yaitu di Pasar Banjardowo dan di
Terminal Mangkang. Menurut para pedagang lokasi-lokasi yang
disediakan Pemerintah Kota biasanya merupakan lahan yang tidak
_______________________
41 Ibid.
63
strategis bahkan jauh dari keramaian, sehingga para pedagang kaki
lima menolak untuk dipindahkan dari area sebelumnya.
d). Faktor Ekonomi PKL
Banyak pedagang kaki lima di kawasan Terminal Terboyo Kota
Semarang yang berjualan disebabkan oleh faktor ekonomi. Mereka
terpaksa berjualan di tempat-tempat terlarang karena untuk membeli
atau bahkan menyewa lahan yang resmi mereka tidak mampu, oleh
karenanya mereka berjualan di tempat yang seadanya, yang penting
dapat memperoleh hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup keluarganya. Para PKL ini kebanyakan yang bergerak di sektor
makanan yang tidak membutuhkan modal besar dan tempat luas. Para
PKL ini berjualan dengan modal seadanya, yang penting dapat
memperoleh penghasilan meskipun relatif cukup kecil.
2. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala yang
timbul dalam Pembinaan dan Pelaksanaan Penataan PKL di kawasan
Terminal Terboyo Kota Semarang.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa dalam penataan
pedagang kaki lima di Kota Semarang berdasarkan Peraturan Daerah
Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kota Semarang Tahun 2011-2031, terdapat beberapa kendala yang
dihadapi. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, Pemerintah Kota
Semarang melakukan berbagai upaya-upaya sebagai berikut :
64
a). Memberikan penyuluhan dan pembinaan terhadap para PKL.
Pemerintah Pusat melalui Dinas Penataan Ruang (Distaru) dan
Dinas Perhubungan Kota Semarang telah berupaya melakukan
penyuluhan dan sosialisasi atas peraturan daerah dengan mengundang
para pedagang kaki lima di kawasan Terminal Terboyo dan di wilayah
masing-masing di sekitar Kota Semarang. Para pedagang kaki lima
diberikan pengarahan seputar penggunaan lahan untuk berjualan dan
mensosialisasikan peraturan daerah mengenai pengaturan dan
pembinaan pedagang kaki lima, yaitu Peraturan Daerah Nomor 11
Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima
dan Surat Keputusan Walikota Semarang Nomor 511.3/16 Tahun
2001 tentang Penetapan Lahan atau Lokasi Pedagang Kaki Lima
(PKL) di Wilayah Kota Semarang.
Pemerintah berupaya memberikan surat edaran kepada para
pedagang kaki lima yang berada di wilayah kerjanya, yang pada
intinya memberitahukan kepada para pedagang kaki lima bahwa
mereka boleh berjualan di lokasi tersebut asalkan sesuai dengan
ketentuan yang ada. Apabila surat edaran yang dikirimkan tidak
mendapatkan respon yang positif dari para pedagang kaki lima,
langkah selanjutnya adalah memberikan peringatan kepada para
pedagang kaki lima yang dianggap melanggar ketentuan sebagaimana
telah diinformasikan sebelumnya. Peringatan dilakukan secara baik
lisan maupun tertulis kepada pedagang kaki lima khususnya para PKL
yang terkena relokasi di kawasan Terminal Terboyo Kota Semarang.
65
b). Meningkatkan pengawasan dengan mengadakan penertiban secara
rutin di seluruh wilayah Kota Semarang (operasi yustisi)
Dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap Peraturan
Daerah Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan
Pedagang Kaki Lima, Surat Keputusan Walikota Semarang Nomor
511.3/16 Tahun 2001 tentang Penetapan Lahan atau Lokasi Pedagang
Kaki Lima (PKL) di Wilayah Kota Semarang, serta menindaklanjuti
Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Semarang Tahun 2011-2031, pemerintah Kota
Semarang melakukan penertiban terhadap pedagang kaki lima yang
dianggap melanggar ketentuan melalui operasi yustisi. Operasi yustisi
biasanya dilakukan secara rutin yang dikoordinasikan dengan satuan
polisi pamongpraja atau Satpol PP setempat. Operasi yang dilakukan
dimaksudkan untuk memberikan kesadaran bagi pedagang kaki lima
agar dalam menjalankan usahanya senantiasa mengikuti ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ada.
c). Mengupayakan lokasi atau lahan baru bagi pedagang kaki lima yang
belum mendapatkan tempat usaha.
Salah satu hal yang sangat penting dan mendesak untuk
dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang bagi PKL yang terelokasi
di kawasan Terminal Terboyo adalah menyediakan lahan untuk
tempat berdagang yang baru bagi para pedagang kaki lima yang belum
mendapatkan tempat berdagang di area reloksi yang telah disediakan
66
oleh pemerintah kota yang saat ini tumbuh dan berkembang secara
pesat terutama di seluruh wilayah Kota Semarang.
Dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap
pedagang kaki lima, pemerintah Kota Semarang berupaya
menyediakan lahan sementara bagi pedagang kaki lima yang
dulu berdagang di sekitar kawasan Terminal Terboyo, seperti
lokasi PKL di pasar waru yang diperuntukkan pedagang kaki
lima pindahan jalan Citarum dan sekitarnya, rehabilitasi
bangunan kios PKL Kokrosono, relokasi PKL jalan Pahlawan
dan Simpang lima di Sepanjang Stadion Diponegoro dan
kawasan Taman keluarga Berencana jalan Menteri Soepeno,
serta merencanakan relokasi PKL ke wilayah Gunungpati. 42
d). Memberikan pelatihan dan bantuan modal bagi PKL
Dalam rangka meningkatkan ekonomi para pedagang,
pemerintah telah melaksanakan program pelatihan dan bantuan modal
bagi PKL di kawasan relokasi disekitar Terminal Terboyo Kota
Semarang melalui kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Koperasi dan
UMKM Kota Semarang, yaitu melalui Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi maupun melalui program PNPM (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat) di Perkotaan di masing-masing wilayah
tempat mereka berdagang.
_______________________
42 Ibid.
67
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di Terminal Terboyo Ditinjau
Berdasarkan Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang
Pengaturan dan Pembinaan PKL pada dasarnya konsep Relokasi
dilaksanakan karena alih fungsi lahan yang di peruntukan bagi
pembangunan Terminal Terboyo menjadi terminal barang. Dalam proses
penataan ke lokasi yang sudah disediakan pemerintah untuk mereka yaitu
ke Pasar Banjardowo yang sudah dikoordinasikan dengan Dinas
Perdagangan, dan ke Terminal Mangkang seperti yang direncanakan
sebelumnya yang sesuai dengan jenis-jenis usaha yang mereka jalankan.
Relokasi pedagang kaki lima disini bertujuan untuk meningkatkan taraf
hidup pedagang kaki lima dan juga sekaligus untuk menciptakan
lapangan pekerjaan baru karena relokasi PKL dianggap sudah banyak
menyerap tenaga kerja pengangguran.
2. Kendala-kendala yang timbul dalam Pembinaan dan Penataan Pedagang
Kaki Lima (PKL) Di Terminal Terboyo Kota Semarang adalah :
a. Rendahnya Kesadaran hukum PKL, penerapan Peraturan Daerah
Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang
Kaki Lima juga belum dapat dilakukan secara optimal. Hal tersebut
terlihat dari banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pedagang
68
kaki lima seperti berubahnya fungsi lahan pedagang kaki lima menjadi
tempat tinggal.
b. Lemahnya Pengawasan oleh Aparat Kota Semarang. Aparat
Pemerintah belum menunjukkan perhatian yang cukup serius terhadap
perkembangan pedagang kaki lima di suatu wilayah tertentu terutama
di kawasan Terminal Terboyo dan wilayah sekitar Kota Semarang.
c. Relokasi tempat jualan PKL yang tidak strategis dan memadai,
menurut para pedagang lokasi-lokasi yang disediakan Pemerintah
Kota biasanya merupaka lahan yang tidak strategis bahkan jauh dari
keramaian, sehingga para pedagang kaki lima menolak untuk
dipindahkan dari area sebelumnya.
d. Faktor Ekonomi PKL, mereka terpaksa berjualan di tempat-tempat
terlarang karena untuk membeli atau bahkan menyewa lahan yang
resmi mereka tidak mampu, oleh karenanya mereka berjualan di
tempat yang seadanya, yang penting dapat memperoleh hasil yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala
yang timbul dalam Pembinaan dan Pelaksanaan Penataan PKL di
kawasan Terminal Terboyo Kota Semarang adalah :
a. Memberikan penyuluhan dan pembinaan terhadap para PKL dan
memberikan edaran dan peringatan baik lisan maupun tertulis untuk
mentaati ketentuan hukum yang telah ada dan sedang berlaku ;
b. Meningkatkan pengawasan dengan mengadakan penertiban secara
rutin di seluruh wilayah Kota Semarang (operasi yustisi) ;
69
c. Mengupayakan lokasi atau lahan baru bagi pedagang kaki lima yang
belum mendapatkan tempat usaha ; serta
d. Memberikan pelatihan dan bantuan modal bagi PKL.
B. Saran
1. Bagi Pemerintah, hendaknya lebih mengarahkan regulasi pada upaya
penanggulangan akar dari permasalahan lahirnya PKL. Apabila
pemerintah hanya melakukan tindakan pada PKL yang sudah ada, maka
akan tetap bermunculan PKL baru dan tujuan dari Peraturan Daerah
Nomor 11 Tahun 2000 tidak akan tercipta. Setiap instansi hendaknya
selalu melakukan koordinasi dengan dinas atau instansi terkait dalam hal
pembinaan dan penertiban PKL, sehingga program dari tiap instansi tidak
saling bertabrakan dan diharapkan berdampak positif bagi PKL dan
masyarakat pada umumnya.
2. Bagi Pedagang Kaki Lima, seharusnya mereka sadari bahwa dampak
positif yang dirasakan nantinya bagi PKL adalah dapat melaksanakan
kegiatan usahanya dengan tenang tanpa adanya ancaman penertiban
karena sudah mendapatkan kepastian hukum atas kegiatan usaha mereka.
3. Bagi Masyarakat, hendaknya ikut serta mensosialisasi secara intensif
mengenai program pengaturan dan pembinaan PKL. Kurangnya
sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas terkait dan juga keterbatasan sarana
sosialisasi menyebabkan PKL tidak seluruhnya mengetahui program
pengaturan dan pembinaan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Ali, Lukman. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Ke III, Jakarta :
Balai Pustaka, 2011.
Alisjahbana, Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan, Cetakan Ke-II,
Surabaya : ITS Press, 2013.
Bobo, Julius. Transformasi Ekonomi Rakyat, Cetakan Pertama, Jakarta : PT
Pustaka Cisendo, 2013.
Effendi, Tadjudin Noer. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja Dan
Kemiskinan, Cetakan Ke-II, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya,
2016.
Hadi, Soetrisno. Metode Research, Yogjakarta : Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada, 2010.
Handoyo, B. Restu Cipto. Aspek-Aspek Hukum Administrasi Negara dalam
Penataan Ruang, Cetakan Ke VII, Yogyakarta : Atmajaya, 2015.
Hardiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu
Sosial, Jakarta : Salemba Humanika, 2010.
Kartono. Pedagang Kaki Lima, Cetakan Ke-VI, Bandung : Universitas
Katholik, 2010.
Marzuki, H.M. Laica. Prinsip-Prinsip Pembentukan Peraturan Daerah,
Jakarta : Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
Jurnal Konstitusi M.K Volume 6 Nomor 4, 2014.
Mokoginta, Lukman. Jakarta Untuk Rakyat, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 2009.
Mustafa, Ali Achsan. Model transformasi sosial sektor informal : sejarah,
teori, dan praksis pedagang kaki lima, Malang : InTrans, 2012.
Rusli, M.S Ramli. Sektor Informal Perkotaan Pedagang Kaki Lima, Jakarta
: Ind-Hil.co., 2009.
Soekanto, Soerjono. Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Cetakan Ke-
IV, Bandung : Remadja Karya, 2011.
_______________ . Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ke 3, Jakarta :
Universitas Indonesia Press, 2012.
Sunarno, Siswanto. Hukum Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 2012.
Syarifin, Pipin. dan Dedah Jubaedah, Pemerintah Daerah Di Indonesia,
Cetakan Ke-II, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 2015.
Wirosardjono, Soetjipto. Pengertian, Batasan, Dan Masalah Sektor
Informal, Cetakan Ke-V, Jakarta : LP3ES, 2015.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang
Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang
Kaki Lima.
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah.
Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan
Undang-Undang.
Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2015 tentang Peraturan Daerah.
Wawancara
Hafid, Joko Abdul. selaku Sekretaris Paguyuban Pedagang dan Jasa (PPJ)
Unut Terminal Terboyo Kota Semarang pada tanggal 4 April 2019.
Khadik, M. selaku Kepala Dishub Kota Semarang pada tanggal 2 April
2019.
Rahmadi, salah satu pedagang yang terkena dampak dari relokasi di
kawasan Terminal Terboyo Kota Semarang pada tanggal 4 April
2019.
Makalah
Febrilianawati, Agatha Ika. Efektivitas Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki
Lima (PKL) di Kota Semarang, UNES : Semarang, 2018.
Hadi, Sortrisno. metode research jilid II, Yogyakarta : Yayasan Penerbit
Fakultas Hukum Psikologi Universitas Gajah Mada, 2015.
Indrawati, Perlindungan Pedagang Kaki Lima di Indonesia, FKIP :
Universitas Negeri Surakata, 2010.
Sarjono, Yetti. Pergulatan Pedagang Kaki Lima di Perkotaan, Surakarta :
Muhammadiyah Unniversity Press, 2012.
Widjayanti, Retno. Penataan Fisik Pedagang Kaki Lima pada Kawasan
Komersial di Pusat Kota, ( Studi Kasus : Simpang Lima Semarang ),
Tesis : Magister Teknik Pembangunan Kota Universitas Diponegoro
Semarang, 2012.
Website
Hilal, Syamsul. Upaya Penataan dan Pembinaan PKL di.Indonesia, ( http://
syamsuhilal. blogspot. com / 2013 / 04 /.html ), diakses pada tanggal
27 Oktober 2018.
Kebijakan Penataan Sektor Ekonomi Informal di Kota Semarang, ( http://
TribunNews. wordpers. Com /2018/04/18 ), diakses pada tanggal 4
Oktober 2018.
Langkah Pemerintah Dalam Pembongkaran PKL Terminal Terboyo, ( http://
Antara jateng. Blogspot / 2018 / 07 / 17. html ), diakses pada tanggal 5
Oktober 2018.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang, ( http:// Tribunjateng.
Blogspot / 2018 / 04 / 18. html ), diakses pada tanggal 25 Oktober
2018.
Sudah Mulai Dibongkar, PKL Terminal Terboyo Belum Mau Pindah,
(.http:// Muria News. Blogspot / 2018 / 06. html ), diakses pada
tanggal 22 September 2018.
Yulianto (Editor), Pembangunan Terminal Terboyo jadi Terminal Barang
yang berdampak pada PKL sekitar, ( http//: Suara merdeka. com /
masih-tunggu-proses-lelang / 20/07/2018 / html. ), diakses pada
tanggal 20 Desember 2018.
PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG
NOMOR 11 TAHUN 2000
TENTANG
PENGATURAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA SEMARANG,
Menimbang : a. bahwa dengan diterbitkan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah
Tingakt II Semarang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Retribusi
Pemakaian Kekayaan Daerah yang didalamnya mencabut Peraturan
Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang Nomor 3 Tahun 1986
tentang Pengaturan Tempat Usaha serta Pembinaan Pedagang Kaki
Lima, maka dipandang perlu mengatur kembali Pengaturan dan
Pembinaan Pedagang Kaki Lima;
b. bahwa untuk melaksanakan pengaturan sebagaimana dimaksud huruf a
diatas, maka perlu diterbitkan Peraturan Daerah.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-
daerah Kota Besar Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Himpunan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950);
2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3186);
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3480);
5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685);
6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1976 tentang Perluasan
Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1976 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 25, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3097);
8. Pereturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1985 tentang Jalan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 37);
9. Peraturan Pemerintah nomor 50 Tahun 1992 tentang Pembentukan
Kecamatan di Wilayah Kabupaten-kabupaten Daerah Tingkat II
Purbalingga, Cilacap, Wonogiri, Jepara dan Kendal serta penataan
Kecamatan di Wilayah Kotamadya Tingkat II Semarang Dalam
Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 89);
10. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik
Penyusunan Peraturan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk
Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan
Rancangan Keputusan Presiden;
11. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang Nomor 3
Tahun 1988 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan
Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang;
12. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang Nomor 6
Tahun 1993 tentang Kebersihan Dalam Wilayah Kotamadya Daerah
Tingkat II Semarang;
13. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang Nomor 13
Tahun 1988 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.
M E M U T U S K A N :
Menetapakan : PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG TENTANG
PENGATURAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
a. Daerah adalah Kota Semarang;
b. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Semarang;
c. Walikota adalah Walikota Semarang;
d. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
Semarang;
e. Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala
bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan
bagi lalu lintas;
f. Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disebut PKL adalah pedagang yang didalam
usahanya memprgunkan sarana dan atau perlengkapan yang mudah dibongkar pasang /
dipindahkan dan atau mempergunakan tempat usaha yang menempati tanah yang
dikuasai Pemerintah Daerah dan atau pihal lain.
BAB II
PENGATURAN TEMPAT USAHA
Pasal 2
(1) Pengadaan, pemindahan dan penghapusan lokasi PKL ditetapkan oleh Walikota.
(2) Lokasi dan pengaturan tempat-tempat usaha PKL sebagaimana dimaksud ayat (1),
ditunjuk dan ditetapkan oleh Walikota.
(3) Penunjukkan dan atau penetapan tempat-tempat usaha sebagaimana dimaksud ayat (2)
adalah lokasi milik dan atau yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah dan atau pihak lain;
Pasal 3
Penunjukan/penetapan tempat-tempat usaha sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2), diatur
dengan mempertimbangkan fasilitas PKL yang ada dan ada tempat kepentingan umum
lainnya.
BAB III
PERIJINAN
Pasal 4
(1) Untuk mempergunakan tempat usaha sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) setiap
PKL harus mendapatkan ijin tertulis terlebih dahulu dari Walikota.
(2) Ijin sebagaimana dimaksud ayat (1), diberikan jangka waktu 1 (satu) tahun dan tidak
dikenai biaya.
(3) Walikota dapat mengabulkan atau menolak permohonan ijin sebagaimana dimaksud
ayat (1).
(4) Persyaratan dan Tata Cara permohonan ijin sebagaimana dimaksud ayat (1) dan
ayat (2), ditetapkan oleh Walikota.
BAB IV
R E T R I B U S I
Pasal 5
Dalam memprgunakan lokasi PKL dikenakan pungutan retribusi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
BAB V
HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Pasal 6
Setiap PKL mempunyai hak :
a. Mendapatkan pelayanan perijinan;
b. Penyediaan lahan lokasi PKL;
c. Mendapatkan pengaturan dan pembinaan.
Pasal 7
Untuk melakukan kegiatan, PKL diwajibkan :
a. Memelihara Kebersihan, Keindahan, Ketertiban, Keamanan dan Kesehatan
Lingkungan.
b. Menempatkan, menata barang dagangan dan peralatannya dengan tertib dan teratur
serta tidak menggangu lalu lintas dan kepentingan umum.
c. Mencengah kemungkinan timbulnya bahaya kebakaran dengan menyediakan alat
pemadam kebakaran.
d. Menempati sendiri tempat usaha PKL sesuai ijin yang dimilikinya.
e. Menyerahkan tempat usaha PKL tanpa menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun,
apabila sewaktu-waktu dibutuhkan Pemerintah Daerah.
f. Melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 8
Untuk melakukan kegiatan, PKL dilarang :
a. Merombak, menambah, mengubah fungsi dan fasilitas lokasi PKL yang telah
disediakan dan atau ditentukan oleh Pemerintah Daerah.
b. Mendirikan bangunan permanen dilokasi PKL yang telah ditetapkan.
c. Memindahtangankan ijin tempat usaha PKL kepada pihak Lain.
d. Melakukan kegiatan usaha diluar lokasi PKL yang telah ditetapkan.
e. Menempati lahan / lokasi PKL yang tidak ditunjuk dan ditetapkan oleh Walikota.
f. Menempati lahan / lokasi PKL untuk kegiatan tempat tinggal (hunian).
BAB VI
P E M B I N A A N
Pasal 9
Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di Daerah.
BAB VII
PELAKSANAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 10
Pelaksanaan dan Pengawasan Peraturan Daerah ini menjadi tanggung jawab Walikota.
BAB VIII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 11
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah
Daerah dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap Pelanggaran
Peraturan Daerah ini.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 12
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 7 dan Pasal 8
dipidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00
(lima juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah pelanggaran.
BAB X
SAKSI ADMINISTRASI
Pasal 13
Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5, Pasal 7 dan Pasal 8,
Walikota berwenang memerintahkan untuk membongkar tempat usaha dan atau menyita
barang dagangan / peralatan yang dipergunakan untuk usaha PKL, serta mencabut tempat
usaha PKL
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai pelaksanaan
ditetapkan oleh Walikota.
Pasal 15
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Semarang.
Ditetapkan di Semarang
pada tanggal 30 Oktober 2000
WALIKOTA SEMARANG
ttd
H. SUKAWI SUTARIP
Diundangkan di Semarang
pada tanggal 6 Nopember 2000
Plt. SEKRETARIS DAERAH KOTA SEMARANG
ttd
SOEKAMTO
LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2000
NOMOR 30 SERI D NOMOR 30
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN KOTA SEMARANG
NOMOR 11 TAHUN 2000
TENTANG
PERATURAN DAN PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA
I. UMUM
Peraraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang Nomor 3 Tahun
1986 tentang Pengaturan Tempat Usaha Serta Pembinaan Pedagang Kaki Lima yang
didalamnya mengatur mengenai Retribusi Pedagang Kaki Lima dan Pengaturan Tempat
Usaha Serta Pembinaan Pedagang Kaki Lima pada umumnya. Namun dengan
diterbitkannya Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang Nomor 13
Tahun1998 tentang Retribusi Pemakian Kekeayaan Daerah, Peraturan Daerah dimaksud
telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Bahwa Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang Nomor 13
Tahun1998 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah hanya mengatur mengenai
retribusi, sedangkan Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima pada umumnya
belum tertampung didalamnya.
Sehubungan dengan hal tesebut diatas, guna memberikan landasan hukum
dalam Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima agar dapat memenuhi
kepentingan Pemerintah Daerah dan pedagang, serta melindungi masyarakat diperlukan
peraturan tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima yang dituangkan
dalam Peraturan Daerah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4 ayat (1)
Cukup Jelas
Pasal 4 ayat (2)
Jangka waktu ijin berlaku 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang
Pasal 4 ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 4 ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 5
Jenis pungutan yang dipungut atas kegiatan PKL adalah Retribusi Pemakaian
Kekayaan Daerah dan Retribusi Kebersihan.
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8 ayat (1)
Cukup Jelas
Pasal 8 ayat (2)
Yang dimaksud dengan bangunan permanen adalah bangunan yang bersifat tetap
dan tidak mudah dibongkar pasang.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan penyelengaraan pembinaan adalah bimbingan,
penyuluhan dan pelaksanaan penataan tempat dasaran kepada PKL agar dapat
tetap terjaga keamanan, ketertiban, keindahan dan kesehatan lingkungan.
Pasal 10
Cukup Jelas
Pasal 11
Cukup Jelas
Pasal 12
Cukup Jelas
Pasal 13
Cukup Jelas
Pasal 14
Cukup Jelas
Pasal 15
Cukup Jelas