usaha mendalami pemikiran

9
Usaha Mendalami Pemikiran: Sebuah Perspektif Terhadap Pernikahan LGBT E0.1 Oleh, Moch. F Dzulfiqar AS: Menikahlah walau sejenis Permasalahan LGBT adalah kasus subjektif yang pastinya melibatkan cinta, atau singkatnya atas nama cinta. Tetapi cinta itu sendiri bukanlah akar dari penyimpangan tersebut, melainkan sebuah gerbang atau jalur yang dapat mengantar seseorang pada penyimpangan tersebut. Mengapa cinta menjadi gerbang yang mengantarkan pada perilaku menyimpang tersebut? Karena cinta itu sendiri adalah emosi yang melibatkan kesan-kesan tertentu terhadap sesuatu. Misal, di kelas mahasiswa angkatan baru terdapat seorang mahasiswa yang tertarik dan suka pada teman sekelas barunya tanpa tahu dengan pasti apa yang membuatnya tertarik dan suka. Dari contoh tadi, kesan-kesan itu bisa berupa penampilan, perilaku, perkataan, ataupun sikap yang memberi kesan cukup kuat untuk memunculkan emosi suka, bahkan cinta. Lalu, kesan seperti apa yang membuat cinta mengantarkan pada hubungan LGBT? Apa yang melatar belakangi kesan tersebut? Kesan itu sendiri adalah daya-daya halus yang melibatkan asosiasi antara batin dan realitas luar, kesan itu juga adalah sebuah rasa dalam batin yang menjadi pertimbangan mengenai suatu realitas, apakah sesuatu itu indah atau tidak, apakah hal ini sopan atau tidak, apakah yang dilakukan ini baik atau tidak, dan semacamnya adalah kesan dalam kesadaran dan hati nurani. Secara ringkas kesan berarti persepsi yang disadari secara halus, dapat memasuki kesadaran melalui suatu tindakan dan paksaan yang terlibat dengan realitas luar. Ketika suatu kesan menimbulkan emosi cinta, hal yang paling tidak saya ketahui adalah, bahwa kesan itu terjadi secara halus dan melibatkan suatu nilai personal ataupun kolektif, artinya seseorang bisa jatuh cinta karena kesan yang dia dapat dari orang yang membuatnya jatuh cinta sesuai dengan kriteria penilaian personal ataupun kolektif. Adapun kesan yang membawa pada emosi cinta itu melibatkan

Upload: moch-f-dzulfiqar

Post on 11-Dec-2015

1 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Dengan mengucap bismillah, saya persembahkan sebuah argumentasi pribadi tentang LGBT. Perlu diketahui oleh pembaca, jika kerangka argumentasi saya berdasarkan dan meminjam konsep "orang lain adalah neraka", dalam filsafat Jean Paul Sartre mengenai eksistensi ada-pada-dirinya, dan yang lain, boleh dibilang konsep filsafat kebencian. Tetapi, bagi Anda yang sudah, atau barangkali memahami pemikiran Sartre secara mendalam pasti akan menemukan penyimpangan dalam tulisan saya, hal itu saya akui karena ketika menulis argumen ini saya baru mendalami Sartre sampai pada metafora tatapan terhadap Ada-pada-dirinya. Sehingga untuk selanjutnya, tulisan saya itu menjadi penolakan saya terhadap gagasan Sarte yang mengatakan jika interaksi manusia itu tidak dan menidak, serta subjek-objek, tetapi dalam tulisan itu saya mengiyakan interaksi subjek-subjek, dan hal itu dicapai bila terjadi proses timbal balik nilai pada interaksi antar individu. Selanjutnya, dalam tulisan ini saya tidak berbicara dan menghakimi pada YANG-BAIK atau YANG-BURUK, saya berkomitmen untuk tidak membahas hal itu pada tiap tulisan saya dari sekarang, bagi saya sudah banyak dari kita yang mengetahui hal itu dan mengingatkannnya, tetapi saya ingin membela nilai YANG-SESUAI, menurut saya hal itu dicapai mula-mula dengan melihat fenomena tidak hanya memiliki satu sisi nilai yang mungkin hanya sekedar baik atau buruk, tetapi keduanya saling membelakangi. Saya menyadari banyak kekurangan dalam argumentasi saya, tetapi inilah awal saya akan mencoba mendalami setiap fenomena, sebagai seorang eksistensialis.

TRANSCRIPT

Page 1: Usaha Mendalami Pemikiran

Usaha Mendalami Pemikiran: Sebuah Perspektif Terhadap Pernikahan LGBTE0.1

Oleh, Moch. F Dzulfiqar

AS: Menikahlah walau sejenis

Permasalahan LGBT adalah kasus subjektif yang pastinya melibatkan cinta, atau singkatnya atas nama cinta. Tetapi cinta itu sendiri bukanlah akar dari penyimpangan tersebut, melainkan sebuah gerbang atau jalur yang dapat mengantar seseorang pada penyimpangan tersebut. Mengapa cinta menjadi gerbang yang mengantarkan pada perilaku menyimpang tersebut? Karena cinta itu sendiri adalah emosi yang melibatkan kesan-kesan tertentu terhadap sesuatu. Misal, di kelas mahasiswa angkatan baru terdapat seorang mahasiswa yang tertarik dan suka pada teman sekelas barunya tanpa tahu dengan pasti apa yang membuatnya tertarik dan suka. Dari contoh tadi, kesan-kesan itu bisa berupa penampilan, perilaku, perkataan, ataupun sikap yang memberi kesan cukup kuat untuk memunculkan emosi suka, bahkan cinta. Lalu, kesan seperti apa yang membuat cinta mengantarkan pada hubungan LGBT? Apa yang melatar belakangi kesan tersebut?

Kesan itu sendiri adalah daya-daya halus yang melibatkan asosiasi antara batin dan realitas luar, kesan itu juga adalah sebuah rasa dalam batin yang menjadi pertimbangan mengenai suatu realitas, apakah sesuatu itu indah atau tidak, apakah hal ini sopan atau tidak, apakah yang dilakukan ini baik atau tidak, dan semacamnya adalah kesan dalam kesadaran dan hati nurani. Secara ringkas kesan berarti persepsi yang disadari secara halus, dapat memasuki kesadaran melalui suatu tindakan dan paksaan yang terlibat dengan realitas luar. Ketika suatu kesan menimbulkan emosi cinta, hal yang paling tidak saya ketahui adalah, bahwa kesan itu terjadi secara halus dan melibatkan suatu nilai personal ataupun kolektif, artinya seseorang bisa jatuh cinta karena kesan yang dia dapat dari orang yang membuatnya jatuh cinta sesuai dengan kriteria penilaian personal ataupun kolektif. Adapun kesan yang membawa pada emosi cinta itu melibatkan paksaan, kesan seperti ini biasanya karena ada pertimbangan rasional dan moril, kesan yang terjadi karena paksaan terdiri atas paksaan dalam diri dan paksaan dari luar, misal jatuh cinta karena kekayaan, atau jatuh cinta karena kegigihan menghadapi kesulitan dalam hidup. Dan terakhir, kesan ini hampir sama seperti pernyataan yang pertama, hanya saja tidak melibatkan penilaian secara langsung, kesan ini terjadi secara halus melalui tatapan, kesan ini bisa dibilang sebagai cinta pada pandangan pertama. Tatapan adalah focus utama yang menjelaskan bagaimana kesan bisa terjadi. Mengambil kutipan terkenal dari Jean Paul Sartre, “orang lain adalah neraka”, mengapa demikian? Menurut Sartre, orang lain dapat merenggut kebebasan kita dan menjadikan kita objek bagi dirinya, dan hal ini terjadi karena tatapan. Ketika kita ditatap, maka kita adalah objek bagi sang penatap, dimatanya kita bukanlah kita dengan segala subjektifitas, melainkan objek yang tereduksi dari nilai-nilai subjektifitas dan kehilangan kebebasan. Hal itulah yang menjadi dasar dari filsafat kebencian Sartre, meskipun begitu, Sartre telah mengklasifikasikan macam-macam tatapan yang tidak melulu menyebabkan kebencian dan konflik, akan tetapi saya belum mempelajari sejauh itu, sehingga dalam menarik hubungan dengan kesan dan cinta pada pandangan pertama, saya meminjam konsep subjek dan objek dalam gagasan “orang lain adalah neraka”. Tatapan yang memberi pengalaman cinta dalam pandangan pertama memiliki dua kemungkinan, pertama orang yang menjadi cinta pada

Page 2: Usaha Mendalami Pemikiran

pandangan pertama menjadi objek di mata kita bila ciri dominan mempengaruhi ketertarikan, seperti kecantikan dan ketampanan, maka kesan yang didapat adalah ciri dominan itu, sedang sisi subjektif lainnya seperti kebiasaan, ucapan, gaya, tidaklah dipandang. Sedangkan kemungkinan pada kedua, orang yang menjadi cinta pada pandangan pertama tetap memiliki subjektifitasnya selama kesan pada ciri dominan itu diterima dan menjadi kaca mata untuk melihat sisi subjektifitasnya, kemudian sisi subjektif itu diterima tanpa dipertentangkan dengan ciri dominan atau nilai subjektif pengamat. Sebagai contoh, seorang siswi SMA jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap seorang siswa yang memiliki reputasi sebagai anak nakal di sekolahnya, dan mereka bertemu pada saat siswa nakal itu sedang membuat kehebohan, siswi itu menilai siswa nakal itu sebagai seorang anak laki-laki yang tampan, tetapi dia tidak menyayangkan perilaku nakal yang menurut kebanyakan orang tidak pantas bagi seseorang yang terlihat tampan.

Untuk mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan, saya memilih memakai pernyataan kesan dan tatapan dalam cinta pada pandangan pertama. Alasannya, pada pernyataan pertama dan kedua, akan melibatkan berbagai hal, seperti penilaian interpersonal, rasional, dan moril. Sedangkan apabila saya mengkaji melalui pernyataan ketiga, diharapkan saya bisa leluasa menelusuri sisi subjektif hingga yang terdalam pada seluruh manusia. Dalam membahas bagaimana tatapan memunculkan kesan dan dari kesan menuju cinta dalam hubungan LGBT, pertama-tama saya akan mencoba menggali lebih dalam apa itu kesan, kemudian dilanjutkan dengan hubungannya terhadap cinta secara umum, terakhir mengerucut pada cinta LGBT.

Tiap harinya kita pasti menemui kesan, hampir pada apapun, baik disadari maupun tidak. Secara umum kesan muncul disaat kita melakukan proses penilaian, semakin tinggi tingkat nilai pada ekspektasi maka kita biasanya merasa terkesan hingga berkata “aku terkesan!” ataupun “sungguh mengesankan”. Pada prosesnya, kesan yang disadari dan melalui suatu tindakan biasanya merupakan kesan yang kritis dan secara aktif terlibat dalam proses penilaian, dengan berbagai pertimbangan yang ditentukan. Sedangkan kesan yang tidak disadari cenderung melibatkan peran emosi, dan ada tindakan berupa kekerasan yang bisa mempengaruhi munculnya kesan tersebut. Sebagai contoh, pada saat pemerintah Amerika melegaslkan pernikahan sejenis, maka banyak sekali netizen Indonesia yang terkejut dan menghujat, serta ada pula yang memberi nasehat sebagai tanggapan, hal ini menunjukan bahwa kesan tidaklah kita sadari, tetapi kita menyadari sesuatu yang buruk mengenai penyebab kesan itu. Sedangkan pada kesan yang masuk melalui kekerasan terjadi apabila kita mengalami konflik yang bisa berujung pada kekerasan fisik, verbal, maupun psikologis. Sebagai contoh, seorang anak yang sering dipukuli oleh ayahnya dengan dalih untuk kedisiplinan, dia tidak akan mendapatkan kesan sesuai dengan yang diharapkan oleh ayahnya, akan tetapi kesan yang didapat adalah bahwa figure ayah serta atributnya memiliki hubungan dengan kekerasan.

Dari refleksi mengenai kesan pada paragraph sebelumnya, diketahui bahwa kesan itu melibatkan nilai dan makna. Manusia adalah mahkluk yang selalu mencari makna. Manusia juga mahkluk yang senantiasa membuat nilai maupun terikat pada nilai-nilai tertentu. Makna adalah suatu hal yang secara halus kita ketahui tentang sesuatu. Makna menghasilkan interpretasi dari suatu. Interpretasi dari makna dapat menghasilkan penilaian, baik-buruk, benar-salah, dan lain sebagainya. Nilai yang dihasilkan terikat pada ruang dan waktu. Semakin suatu nilai

Page 3: Usaha Mendalami Pemikiran

diekspektasikan, maka akan ada kecenderungan yang memotivasi pada nilai tersebut. Tapi sejauh ini apakah makna dan nilai adalah hal yang sama?

Bagi saya pribadi, makna adalah ‘tapal batas’ mengenai suatu hal, sedangkan nilai adalah parameter terhadap tapal batas. Sebagai contoh, saya memaknai danau yang dalam dan gelap sebagai sesuatu yang menakutkan, semakin dangkal dan jernih hal itu tidaklah menakutkan, justru indah dan menenangkan. Gelap-jernih, dalam-dangkal, adalah parameter yang menentukan tapal batas sebagai hal yang ditakuti atau disenangi. Dari contoh sederhana ini, makna dan nilai adalah dua hal yang saling mempengaruhi, dapat saling menguatkan kesan, ataupun satu hal yang berbanding lurus dengan hal lainnya. Jika makna dan nilai adalah tapal batas dan parameter, bagaimana hubungannya dengan cinta?

Cinta? Kita semua menyadari jika cinta itu didapat dari orang lain, atau oleh suatu objek tertentu. Kitapun menyadari bahwa cinta adalah sesuatu yang membuat kita senantiasa ingin bersama dengan apa atau siapa yang kita cintai. Kedua pernyataan tadi mengingatkan pada kutipan dari seorang filsuf Prancis, Lucan menyatakan bahwa dalam hati manusia ada kekosongan dan kekosongan itu bisa diisi oleh kehadiran orang lain di dalamnya, hal inilah yang dinamakan cinta. Ataupun pada pernyataan Gabriel Marcel, cinta adalah “be with me”. Dari kedua hal itu, kita bisa dapatkan makna dan nilai, atau tapal batas dan parameter dari cinta. Menurut pendapat Lucan, saya temukan bahwa orang lain adalah tapal batas dari cinta, sedangkan kekosongan dan kehadiran di dalam hati sebagai parameternya. Dari pendapat Marcel, saya temukan bahwa orang lain pun adalah tapal batasnya, sedangkan parameternya adalah komitmen. Saya pun tertarik untuk memasukan pengertian dari cinta menurut saya, cinta sebagaimana benci, kala kita jatuh cinta kita butuh seseorang atau hal yang kita cintai, begitu pula ketika benci, kita bisa mencintai sesuatu disebabkan ada hal-hal yang diekspektasikan oleh kita terhadap hal yang kita cintai, begitu pula dengan benci bisa disebabkan karena ada hal-hal yng kita ekspektasikan sebagai potensi terhadap hal yang kita benci. Jadi cinta bukan berarti absennya kebencian, ataupun sebaliknya. Ketika membahas cinta saya tidak bisa melepaskannya dari benci, sebab dalam pandangan saya keduanya adalah satu. Focus kembali pada cinta, baik dari konsep dua filsuf Prancis ataupun dari saya pribadi, saya akan membawa cinta pada satu pengertian utuh untuk pembahasan kali ini. Cinta adalah penerimaan eksistensial yang tertinggi. Mengapa? Karena untuk bereksistensi, kita harus ko-eksis, kita membutuhkan keberadaan orang lain untuk mengadakan keberadaan kita sendiri. Lalu, dikatakan penerimaan tertinggi sebab menuju cinta berarti mengakui eksistensi seseorang sampai tingkat subjektifitasnya, kita melihat orang sebagai individu dengan segala subjektifitasnya. Ketika kita mengakui atau diakui eksistensinya sebagai individu dengan segala subjektifitasnya, maka dalam konsep ada-di-dalam-dunia, eksistensi itu berada pada zona Mitwelt, Umwelt, hingga Eigenwelt. Mitwelt adalah lingkungan dimana terdapat perhubungan antara manusia dengan manusia lainnya, dari sini cinta sudah nampak. Selanjutnya Umwelt atau dunia emosional, cinta dikatakan sebagai penerimaan eksistensial tertinggi disebabkan apabila kita menerima subjektifitas seseorang, bukan mengharuskannya beradaptasi dengan diri kita, maka kita menerimanya sebagai dasein bukan objek yang menjadi instrument bagi kita dalam dunia emosional ini. Terakhir, Eigenwelt atau

Page 4: Usaha Mendalami Pemikiran

dunia batin, dalam dunia inilah kita melihat ke dunia luar, dunia pemaknaan, jadi apabila orang lain sudah dimaknai sebagai individu dengan segala subjektifitasnya, maka akan menjadi dasar diatas dasar untuk melihat individu itu di dunia nyata dalam keadaan yang sebenarnya.

Sebelumnya sudah kita ketahui kesan sebagai persepsi pada makna dan nilai yang kemudian membawa kita pada pengertian cinta khusus pada pembahasan ini, cinta sebagai penerimaan eksistensi tertinggi. Dan dalam penjelasannya, cinta adalah penerimaan subjektifitas individu hingga dimensi Eigenwelt, hal ini masih dijelaskan sebagai generalisasi yang kemudian dikhususkan tergantung pada konteks tertentu. Dalam hal ini saya bagi jadi dua tipe, cinta komunal dan cinta intim, cinta komunal adalah rasa cinta yang dibentuk berdasarkan keterikatan yang dibentuk dengan cara bersama dengan orang lain secara intens, cinta pada keluarga dan sahabat adalah subtype dari cinta ini. Sedangkan cinta intim adalah cinta yang muncul setelah ikatan dan penerimaan subjektifitas menggerakan kesadaran pada satu nilai khusus yang sama yang dipahami bersama. Dari cinta intim inilah bisa dikenal adanya hubungan normal dan abnormal. Jika dilihat kembali dari penjelasan cinta intim, bagaimana hubungan cinta LGBT bisa terjadi?

Ada dua hal yang perlu dijadikan titik tolak pembahasan ini, pertama subjektifitas dan kedua nilai. Subjektifitas dalam hal ini adalah sebuah jembatan kepada cinta, sebab begitu menerima subjektifitas orang lain nilai benar-salah, baik-buruk, bisa disingkirkan untuk menerima sosok tersebut dalam diri kita. Dari tahap ini selanjutnya akan ada timbal balik nilai antar subjek yang baik satu sama lainnya akan saling melengkapi dan dipahami secara bersama. Dari sini, perbedaan yang jelas antara cinta dengan hubungan normal dan LGBT terletak pada ambang batas terhadap nilai. Artinya, setiap timbal balik nilai terjadi pada prosesnya bisa terdapat adaptasi yang berujung pada pembiasaan, dan ada pula kemungkinan penghilangan nilai yang sudah ada pada diri sebelumnya. Ketika adaptasi pada proses timbal balik nilai berlangsung, nilai yang kita terima memiliki kesan tertentu, semakin kuat kesan yang ditimbulkan maka semakin tinggi ambang batas toleransinya terhadap nilai yang sudah ada pada kita. Bisa pula nilai itu awalnya memiliki kesan yang rendah, tetapi lama-kelamaan kita menyadari kesan yang berlawanan dan melewati ambang batas dengan nilai yang kita miliki, maka diri kita memasuki titik kritis dimana kita membuat keputusan, apakah kita akan melenyapkan nilai yang berlawanan pada diri kita, atau menolak nilai yang datang dari luar. Di titik inilah jembatan penerimaan subjektifitas bisa menjadi kecenderungan pada cinta hubungan LGBT apabila beradaptasi pada nilai yang bersangkutan hingga melewati ambang batas, atau nilai yang bersangkutan itu menghancurkan nilai kontra yang sudah ada sebelumnya, lalu diterima.

Menanggapi AS : Menikahlah walau sejenis.

Menikahlah, jangan sejenis. Sebelumnya saya sudah mencoba mencari tahu akar dari cinta hubungan LGBT menurut perspektif saya berdasarkan pada filsafat eksistensialisme. Tanggapan saya ‘menikahlah, jangan sejenis’ tidaklah membahas persoalan dikotonomi baik-buruk, atau benar-salah, tetapi lebih pada nilai kesesuaian. Alasannya karena pada pembahasan terakhir, kesesuaian nilai yang melewati ambang bataslah yang membawa pada kecenderungan cinta LGBT. Selain itu pada dasarnya saya pun menyakini jika baik-buruk atau benar-salah pada

Page 5: Usaha Mendalami Pemikiran

awalnya satu, kemudian menjadi terkotak-kotak oleh pemikiran manusia. Cinta itu bisa dikatakan baik, tetapi cinta yang membawa hubungan LGBT adalah sesuatu yang buruk, dari sini kita melihat cinta sebagai hal yang baik, tetapi dibaliknya ada hubungan LGBT sebagai hal yang buruk, maka baik dan buruk itu harus dimaknai bersama, yang masing-masingnya saling membelakangi. Dari asumsi tadi, cinta yang baik dan hubungan LGBT yang buruk dibelakangannya tidak lantas menjadikannya buruk sepenuhnya, hanya saja tidak sesuai, dan bisa jadi sesuai bila diturunkan pada tingkat cinta komunal yang memang sejatinya tidak memandang gender sebagai syarat kesesuaian. Lebih lanjut lagi saya akan menjelaskan hal ini melalui pemaknaan mitos Adam dan Hawa akan melibatkan lebih banyak dari perspektif agama Yahudi dan Kristen.

Seperti yang kita ketahui, Adam diciptakan Tuhan sebagai seorang laki-laki. Dikarenakan Adam merasa kesepian, Tuhan lalu mengambil tulang rusuk Adam dan menciptakan seorang perempuan untuk menemani Adam. Lalu, dalam sosok seekor ular, iblis yang terusir dari surga menyelinap dan menggoda Adam dan Hawa untuk memakan buah dari pohon pengetahuan dan pohon kehidupan. Setelah Adam dan Hawa akhirnya tertipu bujuk rayu sang iblis, dan memakan buah dari kedua pohon itu, mereka kemudian mengetahui bahwa dengan berpasangan mereka dapat bereproduksi dan memiliki keturunan.

Diciptakannnya Adam sebagai seorang laki-laki bagi saya merupakan makna bahwa pada awalnya rasio dan emosi itu seimbang. Lalu, baik maskulinitas maupun feminin adalah satu. Kemudian, pengambilan tulang rusuk Adam untuk menciptakan Hawa bagi saya bermakna sebagai perbedaan itu terlahir dari pemisahan yang sudah ada, dan perbedaan ini akhirnya menjadi sesuatu yang saling melengkapi dan memahami, lalu kembali menjadi satu. Setelah memakan buah pengetahuan dan kehidupan lalu mendapat pengetahuan untuk bereproduksi, bermakna sebagai nilai mutlak pada individu yang bersesuian dengan peran jenis kelaminnya, dan hal ini menunjukan bahwa kedua jenis kelamin ada karena saling membutuhkan untuk bisa menjalankan perannya sesuai dengan nilai mutlak. Dari penciptaan Adam dan Hawa, tujuan adanya berpasang-pasangan dan memiliki perbedaan, adalah untuk menunjukan masing-masing memiliki nilai mutlak yang tidak dimiliki oleh yang lain, dan hal ini juga menunjukan ketidaksempurnaan manusia karena hanya dibekali nilai mutlak tertentu sedang nilai lainnya ada pada lawan jenisnya.

Nilai mutlak itu sendiri saya definisikan sebagai berbagai nilai asali pada manusia yang ada sebagaimana adanya, menjalankan fungsinya sebagai mana adanya. Nilai ini dapat diketahui salah satunya dengan melihat jenis kelamin sebagai bagian yang mewakili kesesuaian seluruh tubuh kita. Dan nilai ini nyata begitu kita memahaminya sebagai mana adanya, sebab pemaknaan cenderung akan memunculkan negasi, pada akhirnya nilai mutlak mengalami kepudaran. Nilai mutlak yang dipamahi semestinya akan membawa pada harmoni, yaitu suatu kondisi dimana diri mengalami keselarasan dengan atribut yang melekat padanya. Sebaliknya, nilai mutlak yang ditentang dan diingkari akan menimbulkan distorsi, akibatnya pikiran akan terus menerus berupaya menghasilkan ilusi-ilusi yang diekspektasikan.

Sampai disini saya pribadi masih mengembangkan solusi untuk menemukan kembali nilai mutlak yang diharapkan dapat memberi kesadaran pada manusia supaya berbuat yang sesuai.

Page 6: Usaha Mendalami Pemikiran

Karena itu, jika pembaca ingin memberi masukan berupa saran atau kritik, dengan senang hati saya terima, mudah-mudahan membantu saya. Silakan kirim ke alamat email pribadi saya, [email protected]

Terima Kasih Sudah Membaca Buah Pemikiran Saya