urgensi sertifikat produk halal perspektif hukum … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan...

30
0

Upload: doankiet

Post on 07-May-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

0

Page 2: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

1

URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM ISLAM1

Oleh: Zulham2

A. Pendahuluan

Hart menjelaskan, bahwa struktur yang telah dihasilkan dari kombinasi

primary rules of obligation dengan secondary rules of recognition, change dan

adjudication disebut dengan the elements of law. Tidak hanya inti dari sistem hukum

saja, tetapi juga sebagai alat untuk menganalisis berbagai persoalan bagi para ahli

hukum dan ahli politik.3 Tentu saja pandangan Hart tentang primary rules dan

secondary rules tersebut, berbeda dengan al-h}ukm al-takli>fi> dan al-h}ukm al-wad}‘i> yang

lebih complex.

Al-h}ukm al-takli>fi> adalah hukum yang menuntut subyek hukum (mukallaf)

untuk melakukan perbuatan dalam berbagai bentuk, baik perbuatan yang diperintah

untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,

5

maupun perbuatan yang diberikan pilihan diantara keduanya yakni antara melakukan

atau meninggalkannya,6 maka al-h}ukm al-takli>fi> hanya berkaitan dengan subyek hukum

1Disampaikan pada Seminar Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, pada tanggal 09 Mei 2014. 2Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara dan Mahasiswa Program S3 Fakultas Hukum

Universitas Indonesia. 3H.L.A. Hart, The Concept of Law, (Oxford: The Clarendon Press, 1970), h. h. 95

4QS. Al-Baqarah [2]: 168, 172. QS. Al-Nah}l [16]: 114. Ketiga ayat tersebut, memerintahkan

untuk memakan makanan yang h}ala>l dan t}ayyib dengan kalimat perintah (fi‘lu al-amr) kulu> yang berarti

“makanlah”. Secara tegas, ayat ini meminta subyek hukum (mukallaf) untuk memakan makanan yang

h}ala>l dan t}ayyib, dimana perbuatan tersebut harus dilakukan. Bahwa perintah untuk melakukan suatu

perbuatan dapat berbentuk tegas (wa>jib) dan tidak tegas (mandu>b atau sunnah). Pengambilan contoh ayat

dan penjelasannya dari penulis, dengan menyesuaikan terhadap kajian penelitian. 5QS. Al-Baqarah [2]: 173. QS. Al-Ma>’idah [5]: 3. Ayat-ayat tersebut mengandung makna

larangan untuk mengkonsumsi makanan haram (bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang

disembelih atas nama selain Allah), dengan kalimat larangan h}arrama dan h}urrimat yang berarti

“mengharamkan” dan “diharamkan”. Kata h}ara>m mengandung makna larangan, dan menuntut subyek

hukum (mukallaf) untuk meninggalkan suatu perbuatan. Bahwa larangan terhadap suatu perbuatan, dapat

berbentuk tegas (h}ara>m) dan tidak tegas (makru>h}). Contoh ayat berikut dengan penjelasannya dari

penulis, dengan menyesuaikan terhadap kajian penelitian. 6Bahwa asal segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah h}ala>l dan muba>h} (QS. Al-Baqarah

[2]: 29), tidak ada yang haram kecuali yang disebutkan oleh Al-Qur’a>n dan H{adi>s\, karena itu pula “yang

halal itu jelas dan yang haram itu jelas.” Ima>m Mahyuddin Abi> Zakariya> Yahya> bin Syaraf al-Nawa>wi>,

S}ah}ih} Musli>m bi al-Syarh}i al-Nawa>wi>, (Kairo: Da>r al-Mana>r, 2003), h. 209. Lihat juga Mah}mu>d

Muh}ammad Mah}mu>d Hasan Nas}ar, S}ah}ih} Bukha>ri>, (Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2004), h. 25.

Terkait mengenai sesuatu yang tidak terdapat dalam nas} (baik yang menghalalkan maupun yang

mengharamkan), berarti tetap pada hukum asalnya yaitu muba>h}, dan termasuk dalam wilayah yang

dimaafkan Allah. Diriwayatkan dari Salma>n al-Fari>si>: Rasulullah SAW. ditanya tentang mentega, keju,

dan keledai liar, lalu beliau menjawab: “Yang halal ialah apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya,

dan yang haram ialah apa yang diharamkan Allah di dalam kitab-Nya, sedang apa yang didiamkan oleh-

Page 3: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

2

(mukallaf). Kategori ini disebut dengan al-h}ukm al-takli>fi, karena subyek hukum

(mukallaf) bertanggung jawab atas perbuatan yang dibebankan atau ditetapkan

kepadanya.7

Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah hukum yang menetapkan sesuatu menjadi

hubungan antara sebab dan kewajiban serta konsekuensinya, atau hubungan antara

kondisi tertentu dengan tindakan terkait, maupun karena adanya pengecualian8 (seperti

sebab, syarat, dan hambatan). Kategori ini disebut dengan al-h}ukm al-wad}‘i> karena

membutuhkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan tindakan terkait.9

Menurut mayoritas ulama Islam (Muslim jurists) al-h}ukm al-takli>fi> terbagi

kepada lima kategori, yakni; (1) wa>jib (obligatory), (2) mandu>b atau sunnah

(recommended), (3) muba>h} (permissible), (4) makru>h (reprehensible), dan (5) h}ara>m

(prohibited).10

Berbeda dengan Mazhab Hanafi yang membaginya kepada tujuh bagian,

yakni; (1) fard}u (obligatory), (2) wa>jib (obligatory), (3) mandu>b atau sunnah

(recommended), (4) muba>h} (permissible), (5) makru>h al-tah}ri>m (abomination), (6)

makru>h al-tanzi>h (disapproval), dan (7) h}ara>m (prohibited).11

Selain itu terdapat al-

h}ukm al-wad}‘i> yang terdiri kepada enam kategori, yakni; (1) sebab (al-sabab), (2) syarat

(al-syart}), dan (3) penghalang (al-ma>ni‘), (4) hukum asal (al-‘azi>mah) dan keringanan

(al-rukhs}ah), serta (5) sah (al-s}ih}h}ah) dan batal (al-bat}l).12

Nya berarti dimaafkan untukmu”. (H.R. Tarmiz\i dan Ibn Ma>jah). Lihat juga Yusu>f al-Qard}a>wi>, Halal dan

Haram dalam Islam, Terj. Abu Sa’id al-Falahi, (Jakarta: Rabbani Press, 2003), h. 20. Sesungguhnya

H{adi>s\ tersebut memberikan pilihan kepada subyek hukum (mukallaf), baik untuk mengkonsumsi maupun

tidak mengkonsumsi bahan panganan yang kehalalan dan keharamannya tidak tercantum dalam nas}. Dengan demikian, hukum yang memberikan pilihan kepada mukallaf, untuk melakukan atau

meninggalkan suatu perbuatan adalah muba>h}. Contoh dan penjelasannya dari penulis, dengan

menyesuaikan terhadap kajian penelitian. 7Wahbah al-Zuh}aili>, Us}u>lu al-Fiqhi al-Isla>mi>, (Bairu>t: Da>r al-Fikri, 1986), h. 42

8QS. Al-Baqarah [2]: 173. Artinya: “Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai,

darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi

barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)

melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang” (garis bawah ditandai oleh penulis). Situasi ini, keadaan terpaksa (sebagai kondisi tertentu),

menyebabkan seseorang boleh (tidak ada dosa) mengkonsumsi makanan haram (sebagai tindakan yang

dipengaruhi kondisi tertentu dengan pengecualian). Contoh ayat berikut dengan penjelasannya dari

penulis, dengan menyesuaikan terhadap kajian penelitian. 9Wahbah al-Zuh}aili>, Op. Cit., h. 43.

10Ibid, h. 44-45

11Ah}mad Sa‘i>d Hawa>, Al-Madkhal ila> Maz\hab al-Ima>m Abi> Hani>fah al-Nu‘ma>n, (Jeddah: Da>r

al-Andalu>s, 2002), h. 128-129 12

‘Abd al-Waha>b al-Khalla>f, ‘Ilmu Us}u>lu al-Fiqhi, (Al-Azhar: Maktabah Da‘wah al-Isla>miyah,

2002), h. 117-127

Page 4: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

3

Bahwa hukum Islam sangat berkaitan erat dengan tauhid, keyakinan akan

keesaan Tuhan merupakan hal pertama dan terpenting dalam iman, bahkan menjadi

syarat mutlak (sine qua non) dalam Rukun Islam. Setiap pembahasan tentang hukum

Islam harus bertolak dan berawal dari tauhid. Pengaruh tauhid terhadap hukum Islam

berlangsung secara mendalam, sehingga tauhid mendominasi pandangan dasar hukum

Islam. Tanpa integrasi tauhid kedalam ajaran Islam, maka segala tindakan kesalehan

dan ritual menjadi kosong tanpa makna. Untuk tujuan penegakan hukum Islam tersebut,

maka diberikan tingkat perbedaan antara aspek hukumnya, yakni dengan skema dasar

dan skala nilai-nilai yang digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia, yaitu wa>jib,

mandu>b, muba>h}, makru>h, dan h}ara>m.13

Dengan demikian, untuk menggali konsep halal

dan haram dalam hukum Islam, maka kajian pada bab ini, fokus pada al-h}ukm al-takli>fi>

sebagai mana menurut mayoritas ulama (muslim jurists), yang disebut juga dengan al-

ah}ka>m al-khamsah (lima kaedah hukum),14

atau the five values.15

B. Konsep Halal dan Haram

Asyqar menjelaskan, bahwa dalil-dalil yang menyatakan muba>h} adalah; (1)

Kata (lafaz}) yang menyatakan kehalalan, perizinan, tidak bersalah, tidak berdosa, dan

lainnya mengacu kepada makna muba>h} dan h}ala>l. (2) Perbuatan Rasulullah yang

menunjukkan tidak ada perintah untuk melakukannya dan meninggalkannya. (3)

Perkataan (iqra>r) Rasulullah yang disaksikan atau yang disampaikan kepada para

sahabat, dan tidak mengandung unsur wa>jib maupun sunnah. (4) Setiap perbuatan yang

didiamkan syari’at, dengan tidak menuntut untuk meninggalkannya yang disebut

dengan boleh secara akal (al-iba>h}ah al-‘aqliyyah), dan perbuatan yang dibolehkan

dalam syari’at yang disebut dengan boleh secara syari’at (al-iba>h}ah al-syar‘iyyah),

dimana keduanya termasuk dalam kategori halal.16

Selanjutnya Asyqar mengajukan

kaidah-kaidah tentang dengan muba>h}, yaitu:17

13

Kamali menjelaskan hubungan yang erat antara hukum Islam dengan agama sebagai berikut,

“We noted that Shari'ah is a path in religion; it is not a separate path but one which is a part of it.

Religion is thus the larger entity and Shari'ah only a part. Its source of reference, its objectives and

values are a part of mainstream Islam.” Lihat Mohammad Hashim Kamali, Shari’ah Law, an

Introduction, (Oxford: Oneworld Publications, 2008), h. 14-18 14

Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), h. 10, 15

Mohammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, (Kuala Lumpur: Ilmiah

Publisher Sdn., 1998), h. 33 16

Al-Asyqar, Al-Wa>d}ih} fi> Us}u>li al-Fiqh, (Da>r Al-Sala>m, 2004), h. 35-36 17

Ibid, h. 43-46

Page 5: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

4

1. Kaidah “muba>h} termasuk ke dalam al-h}ukm al-takli>fi>” (dukhu>lu al-muba>h} tah}ta

al-takli>fi>); Memang sebagian ulama mengatakan, bahwa muba>h} tidak termasuk ke

dalam al-h}ukm al-takli>fi> dengan membagi hukum kepada tiga bagian, yakni al-

h}ukm al-takli>fi>, al-h}ukm al-takhyi>ri>, dan al-h}ukm al-wad}‘i>. Berbeda dengan

sebagian ulama lainnya berpandangan, segala sesuatu yang ditetapkan dengan teks

(nas}) bahwa perbuatan tersebut muba>h} dan h}ala>l atau diizinkan, maka dia termasuk

ke dalam al-h}ukm al-takli>fi> dari sisi keharusan meyakini kehalalannya, hal ini juga

disebut dengan “boleh secara syari’at” (al-iba>h}ah al-syar‘iyyah). Lain halnya

dengan segala sesuatu yang didiamkan syari’at, karena segala sesuatu yang

didiamkannya adalah boleh, dan hal ini pada dasarnya tidak termasuk kedalam al-

h}ukm al-takli>fi> yang disebut juga dengan “boleh secara akal” (al-iba>h}ah al-

‘aqliyyah).

2. Kaidah “muba>h} dapat menjadi wa>jib dari sisi asalnya” (al-muba>h} qad yaku>nu

wa>jiban min h}ais\u al-as}l); Mengkonsumsi jenis-jenis makanan yang halal

hukumnya boleh (muba>h}) jika dilihat dari sisi individu, dimana manusia bebas

memilih dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu atau meninggalkannya dan

mengkonsumsi makanan yang lain. Tetapi pada dasarnya makan hukumnya wajib,

karena meninggalkan makanan secara keseluruhan akan menyebabkan kepunahan

manusia dan membunuh diri sendiri, maka diwajibkan bagi manusia untuk

menghidupi dirinya sendiri. Kaidah ini tentu saja sesuai dengan tujuan syari’at

(maqa>s}id al-syari>‘ah) dimana salah satunya manusia wajib menjaga hidupnya (h}ifz}

al-nafs).

3. Kaidah “perubahan muba>h} menjadi sunnah, wa>jib, h}ara>m atau lainnya karena

perbedaan niat dan kondisi” (inqila>bu al-muba>h} mustah}abban au wa>jiban au

muh}arraman au gairu z\a>lika bi ikhtila>fi al-niyyati wa al-ah}wa>li); Mengkonsumsi

makanan hukumnya boleh, tetapi mengkonsumsi makanan dengan niat agar kuat

beribadah maka hukumnya berubah menjadi sunnah. Pada sisi lain, sesuatu yang

muba>h} hukumnya dapat berubah menjadi h}ara>m, jika perbuatan diperuntukkan

kepada yang h}ara>m, seperti mengkonsumsi sesuatu agar dapat berbuat maksiat,

karena kaidah ini sangat berkaitan dengan niat.

4. Kaidah “asal segala sesuatu dalam ibadah adalah haram, dan asal segala sesuatu

selain ibadah adalah boleh” (al-as}lu fi> al-‘iba>dati al-tah}ri>m, wa al-as}lu fi> gairiha> al-

Page 6: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

5

iba>h}ah). Bahwa ibadah hanya kepada Allah dan bersumber dari-Nya berikut rukun,

syarat dan tata caranya, maka tidak seorangpun boleh melakukan sesuatu dengan

tujuan menyembah-Nya kecuali jika telah ditetapkan dalam dalil syar’iat. Selain

bidang ibadah, manusia boleh melakukan setiap perbuatan karena asal hukumnya

boleh, dan segala sesuatu yang diciptakan-Nya diperuntukkan untuk kemashlahatan

manusia, hingga ada dalil syar’iat yang melarang perbuatan tersebut.

Mengacu kepada salah satu kaidah yang diajukan Asyqar, bahwa muba>h} dapat

menjadi wa>jib dari sisi asalnya, dimana setiap orang boleh mengkonsumsi jenis

makanan halal yang dia sukai. Sesungguhnya secara keseluruhan, mengkonsumsi

makanan hukumnya wajib, karena berkaitan dengan tujuan syari’at yang bersifat primer

(al-d}aruriyya>t), yakni menjaga kehidupan manusia dari kepunahan. Demikian juga

mengkonsumsi makanan halal, secara keseluruhan hukumnya menjadi wajib, karena

disebutkan dengan rumusan perintah (lafaz} al-amar).18 Berdasarkan pemikiran tentang

konsep halal dalam hukum Islam tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa sesuatu

yang halal jika disebutkan dengan rumusan dan lafaz} perintah (amar), maka hukumnya

menjadi wajib. Sebagaimana halnya mengkonsumsi makanan yang halal, dirumuskan

dalam dalil-dalil syar’iat dengan lafaz} perintah (amar),19 maka hukum mengkonsumsi

makanan halal adalah wajib.

Berdasarkan rumusan dan formulasi yang dijelaskan oleh Namlati dan Asyqar,

penulis menyimpulkan bahwa rumusan dan formulasi dalil yang menyatakan wajib

adalah keseluruhan dalil yang menyatakan perintah baik secara bahasa maupun makna,

serta dalil-dalil yang menyatakan acaman dan hukuman terhadap suatu perbuatan agar

ditinggalkan. Zuh}aili> mengklasifikasi hukum wajib kepada empat bagian, yakni; (1)

Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya; (2) Wajib ditinjau dari segi ketentuan

kadarnya Sya>ri‘; (3) Wajib ditinjau dari segi yang tuntun pelaksanannya; dan (4) Wajib

ditinjau dari segi spesifikasi perbuatan yang dituntut pelaksanaannya, dengan

perinciannya sebagai berikut:

1. Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya; yang dapat dibagi menjadi dua

bagian yaitu, wajib mutlak (al-wa>jib al-mut}laq) dan wajib terbatas (al-wa>jib al-

muqayyad atau al-mu’aqqat). Al-wa>jib al-mut}laq adalah setiap perbuatan yang

18

QS. Al-Baqarah [2]: 172 19

QS. Al-Baqarah [2]: 168, Al-Nah}l [14]: 114

Page 7: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

6

dituntut Sya>ri‘ dengan pasti dan tegas yang tidak ditentukan waktu pelaksanaannya,

atau tidak terikat waktu.20

Berbeda dengan al-wa>jib al-muqayyad atau al-mu’aqqat

adalah setiap perbuatan yang dituntut Sya>ri‘ dengan tegas dan pasti pada waktu

yang telah ditentukan, atau terikat waktu.21

Bagi mayoritas ulama yang terdiri atas Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali, al-

wa>jib al-mu’aqqat terbagi atas dua bagian, yakni wajib dalam waktu sempit (al-

wa>jib al-mud}ayyaq) dan wajib dalam waktu luas (al-wa>jib al-muwassa‘). Al-wa>jib

al-mud}ayyaq adalah setiap perbuatan wajib yang dilaksanakan dengan estimasi

waktu yang sempit bagi mukallaf, seperti hari jika dibandingkan dengan ibadah

puasa, sedangkan al-wa>jib al-muwassa‘ adalah setiap perbuatan wajib yang

dilaksanakan memiliki waktu yang leluasa, seperti waktu shalat.22

Berbeda halnya dengan Mazhab Hanafi yang berpendapat, bahwa al-wa>jib al-

muqayyad atau al-mu’aqqat terbagi atas tiga jenis, yakni; (1) Al-wa>jib al-

muwassa‘, dimana waktu pelaksanaan perbuatan wajib disediakan oleh Sya>ri‘

dengan waktu yang leluasa, seperti shalat zuhur adalah waktu yang luang dan dapat

melakukan perbuatan shalat lainnya. (2) Al-wa>jib al-mud}ayyaq, dimana waktu

pelaksanaannya hanya terbatas untuk perbuatan wajib jenis itu saja, dan tidak dapat

melakukan perbuatan wajib dalam jenis yang sama, seperti puasa Ramadhan

dimana seseorang tidak dapat melaksanakan jenis puasa lain pada waktu yang

sama. (3) Wajib yang memiliki kesamaan di antara keduanya (al-wa>jib z\awi> al-

syibhaini), dimana perbuatan wajib tidak dapat dilaksanakan pada waktu lain dan

harus dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan, seperti haji yang tidak dapat

dilakukan kecuali pada bulan haji, dan mukallaf tidak dapat melakukannnya kecuali

20

Seperti menebus kafa>rat bagi orang yang bersumpah dan mengingkarinya, maka tidak ada

ketentuan waktu pelaksanaan atas perbuatan ini. Jika dia mampu dan bersedia, dapat melakukannya

segera setelah mengingkarinya, atau dapat dilakukannya pada waktu yang lain setelah dia

mengingkarinya. Lihat Wahbah al-Zuh}aili>, Op. Cit., h. 49 21

Seperti shalat wajib, puasa bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji yang telah ditentukan

waktu pelaksanannya, dimana perbuatan tersebut tidak menjadi wajib jika belum masuk waktunya. Dalam

al-wa>jib al-mu’aqqat, mukallaf yang dengan sengaja menunda perbutan tersebut akan mendapatkan

punnishment, karena terdapat dua kewajiban sekaligus dalam al-wa>jib al-muqayyad, yaitu perbuatan

wajib itu sendiri dan perbuatan pada waktu yang telah ditentukan. Dengan demikian, setiap orang yang

melaksanakan perbuatan wajib setelah waktunya, sesungguhnya dia telah melaksanakan salah satu dari

perbuatan wajib tersebut, yaitu perbuatan yang dituntut Sya>ri‘ seperti shalat. Apabila dia telah

meninggalkan perbuatan wajib lainnya, yaitu melaksanakannya pada waktunya, maka bagi siapa saja

yang meninggalkan kewajiban yang kedua ini tanpa ada hambatan atau alasan akan mendapatkan

punnishment. Ibid, h. 49. 22

Ibid, h. 51-52

Page 8: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

7

hanya satu kali pada dalam satu tahun, walaupun mukallaf mampu

melaksanakannya namun dia tidak dapat melakukannya setiap bulan di luar bulan

haji.23

2. Wajib ditinjau dari segi ketentuan kadarnya; wajib dari sisi ketentuan, kadar dan

batasannya yang ditetapkan oleh Sya>ri‘,24 hal ini terbagi atas dua bagian, yakni; (1)

wajib dengan ketentuan dan kadarnya dibatasi (al-wa>jib al-muh}addad), adalah

setiap perbuatan wajib yang kadar dan ketentuannya telah ditetapkan Sya>ri‘,

dimana kadar dan ketentuan tersebut tidak dapat dikurangi atau dihilangkan oleh

mukallaf, kecuali hanya melakukan apa yang telah ditetapkan Sya>ri‘.25 (2) wajib

dengan ketentuan yang tidak dibatasi (al-wa>jib gairu al-muh}addad), adalah setiap

perbuatan wajib yang kadarnya belum ditetapkan Sya>ri‘, atau perbuatan yang

dituntut Sya>ri‘ kepada mukallaf tanpa batasan kadar dan ketentuan, namun

perbuatan tersebut diwajibkan oleh Sya>ri‘ dimana mukallaf bebas menentukan

kadarnya.26

3. Wajib ditinjau dari segi yang dituntun melaksanakannya; dibagi menjadi dua

bagian, yakni: (1) Al-wa>jib al-‘aini> adalah setiap perbuatan yang dituntut Sya>ri‘

untuk melakukannya kepada setiap orang mukallaf, yang tidak boleh diwakilkan

pelaksanaannya kepada orang lain.27

(2) Al-wa>jib al-kafa>’i> atau kifa>yah adalah

setiap perbuatan yang diwajibkan, dengan tidak melihat kepada siapa individu yang

23

Ibid, h. 50 24

Baik merupakan hak Allah seperti shalat, puasa, dan haji maupun yang menjadi hak manusia

memenuhi janji, membayar hutang, dan memberi nafkah. Ibid, h. 59 25

Seperti; shalat yang telah ditetapkan rukun dan syaratnya, zakat yang telah ditetapkan

nisabnya, membayar barang yang dibeli sesuai dengan harganya, dan membayar upah sesuai dengan

kesepakatannya. Hukum al-wa>jib al-muh}addad adalah wajib bagi agama yang ditetapkan pelaksanaannya,

dan kebenaran atas perbuatan tersebut tidak dapat dikurangi atau berdasarkan keridaan individu, namun

mukallaf hanya boleh melaksanakan sebagaimana yang ditetapkan syari’at. Ibid, h. 59 26

Seperti; menolong orang susah, infaq, sedekah, dan memberi makan orang kelaparan adalah

perbuatan wajib yang tidak dibatasi Sya>ri‘ kadar dan jumlahnya hanya tergantung kepada hajat dan

kondisinya. Dengan demikian, hukum al-wa>jib gairu al-muh}addad adalah wajib bagi agama yang tidak

ditentukan kadar pelaksanaannya, perbuatan tersebut juga berdasarkan kemampuan, keikhlasan dan

keridhaan mukallaf. Ibid, h. 60 27

Seperti; shalat, zakat, haji, dan menghindari perbuatan yang diharamkan, maka hukum al-wa>jib al-‘aini> adalah wajib bagi setiap mukallaf, dan perintahnya tidak dijatuhkan kepada sekelompok

mukallaf. Terkait dengan mewakilkan perbuatan kepada orang lain, jumhur ulama berpadangan; (1)

Boleh mewakilkan perbuatan mukallaf dalam hal dan bidang harta. (2) Tidak boleh mewakilkan

perbuatan mukallaf dalam bidang ibadah badaniah seperti shalat dan puasa. Dan (3) Boleh mewakilkan

perbuatan mukallaf bagi yang sudah uzur, baik dari hartanya maupun dari badaniahnya, seperti ibadah

haji. Ibid, h. 60-61

Page 9: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

8

melakukannya, tetapi dituntut pelaksanaannya kepada seluruh mukallaf dalam arti

kelompok atau masyarakat.28

4. Wajib ditinjau dari spesifikasi perbuatan yang dituntut pelaksanaannya; dalam hal

ini dibagi kepada dua jenis, yaitu: (1) Al-wa>jib al-mu‘ayyan adalah perbuatan wajib

yang dituntut pelaksanaannya, sebagaimana yang telah ditetapkan atau dikhususkan

sifat dan zatnya, tanpa adalah pilihan dengan ataupun terhadap perbuatan lainnya.29

(2) Al-wa>jib al-mukhayyar adalah setiap perbuatan wajib yang dituntut Sya>ri‘

pelaksanaannya, dengan diberikan pilihan untuk melaksanakan salah satu di antara

perbuatan tersebut.30

Zuh}aili> mengklasifikasikan hukum haram kepada dua jenis, yaitu;

1. Haram dari sisi zatnya (al-h}ara>m li z\a>tihi), adalah segala sesuatu yang ditetapkan

Sya>ri‘ keharamannya sejak awal, karena perbuatan tersebut menimbulkan

kehancuran, kebinasaan, kerugian, dan bahaya bagi pelakunya. Seperti zina,

mencuri, membunuh, memakan bangkai, meminum khamar, memakan harta orang

lain dengan tidak sah (ba>t}il). Keseluruhan perbuatan tersebut mengandung

kerusakan dan bahaya, dimana jika dilakukan mukallaf maka dia akan terjebak

pada kebatilan karena bukan perbuatan terpuji, serta tidak memiliki dampak

terhadap kemanfaatan (al-mas}lah}ah) sebagaimana yang diinginkan.31

Konsep pembagian hukum haram dari sisi zatnya ini, memiliki keterkaitan dengan

tujuan syari’at sebagaimana yang dijelaskan oleh Sya>t}ibi>. Bahwa salah satu cara

mencapai tujuan syari’at dilakukan dari sisi peniadaannya (negation), yaitu melalui

larangan dan pengharaman atas suatu perbuatan. Hal ini dapat diuraikan sebagai

berikut; (1) Larangan syirik karena akan membatalkan keimaanan, hal ini bertujuan

28

Seperti; mencari orang yang hilang, membangun rumah sakit, memandikan hingga

menguburkan janazah, membalas salam, dan amar ma’ruf nahi munkar. Dimana keseluruhan perbuatan

yang dituntut tersebut harus diwujudkan dengan tujuan menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat luas.

Ibid, h. 62 29

Seperti; shalat, zakat, puasa, mengembalikan harta curian dan perbuatan wajib lainnya yang

sejenis. Hukum al-wa>jib al-mu‘ayyan adalah perbuatan wajib yang tidak dapat dikurangi, diganti atau

dihilangkan mukallaf kecuali hanya melaksanakan perbuatan tersebut sesuai dengan jenis, sifat, zat dan

kekhususannya. Ibid, h. 65 30

Seperti; dalam menebus kafa>rat bagi orang yang mengingkari sumpahnya, Sya>ri‘ mewajibkan bagi mereka untuk memberi makan kepada sepuluh orang miskin atau memerdekakan hamba

sahaya, maka hukumnya wajib untuk melaksanakan salah satu diantara pilihan tersebut. Hukum al-wa>jib

al-mukhayyar adalah perbuatan yang wajib dilakukan mukallaf dengan memilih salah satunya yang

diberikan Sya>ri‘ pilihannya, jika dia tidak melakukan salah satu diantara keduanya maka dia akan

mendapatkan punnishment. Ibid, h. 65 31

Ibid, h. 81.

Page 10: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

9

untuk menjaga agama (h}ifz} al-di>n); (2) Larangan membunuh karena menghilangkan

jiwa, larangan ini bertujuan untuk menjaga jiwa dan hidup (h}ifz} al-nafs); (3)

Larangan mengkonsumsi segala yang memabukkan karena akan menghilangkan

ingatan, larangan ini bertujuan untuk menjaga akal dan fikiran (h}ifz} al-‘aql); (4)

Larangan berbuat zina karena dapat mengacaukan keturunan, larangan bertujuan

untuk menjaga keturunan (h}ifz} al-nasl); (5) Larangan mencuri karena mengacaukan

dan mengganggu kepemilikan orang lain, larangan ini bertujuan untuk menjaga

harta (h}ifz} al-ma>l).32

2. Haram dari sisi lainnya (al-h}ara>m li gairihi), adalah segala sesuatu atau setiap

perbuatan yang disyari’atkan pada awalnya atau pada zatnya, namun dilakukan

dengan cara yang salah atau cara yang diharamkan. Perbuatannya dapat saja

hukumnya wajib, sunnah, atau boleh, namun karena perbuatnnya dilakukan dengan

disertai sesuatu diluar aturannya, atau bahkan perbuatan yang dilarang atau

diharamkan, maka hukumnya menjadi haram. Seperti; puasa pada hari Idul Fitri,

jual beli pada shalat jum’at dan lain sebagainya. Dilihat dari sisi zat dan sifatnya,

perbuatan tersebut disyaria’tkan tanpa ada bahaya dan kerusakan di dalamnya,

namun karena diikuti dengan sesuatu atau perbuatan yang dilarang, menjadi

penyebab (al-sabab) pengharamannya.33

Sebagaimana dengan pembagian hukum haram yang dibagi kepada dua bagian,

yaitu haram dilihat dari sisi zatnya dan haram dilihat dari sisi lainnya. Demikian juga

dengan produk haram, dapat dilihat dari sisi zatnya dan juga dapat dilihat dari sisi

lainnya. Dilihat dari sisi zatnya, makanan haram adalah keseluruhan makanan yang

ditetapkan haram dari zat atau bahan makanannya sebagaimana yang ditetapkan dengan

dali-dalil syari’at. Dilihat dari sisi lainnya, makanan tersebut dapat saja halal dari sisi

zat atau bahannya, namun dapat menjadi haram ketika cara memproduksinya atau

32

Sya>t}ibi> mengemukakan cara untuk menjaga al-d}aru>riya>t al-khamsah melalui dua cara, yaitu:

Pertama, dari segi mengadakannya (min niha>yati al-wuju>d), yaitu dengan cara manjaga dan memelihara

hal-hal yang dapat mewujudkan keberadaannya. Kedua, dari segi peniadaanya (min niha>yati al-‘adam)

yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya. Abu> Ish{a>q Ibra>hi>m al-Sya>t}ibi>,

selanjutnya disebut Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Syari>'ah, Juz II, (Bairu>t: Da>r Kutub al-‘Ilmiyah,

tt,), h. 16-25 33

Kondisi ini sesuai dengan kaidah, “apa saja yang membawa kepada yang haram adalah

haram” (ma> ‘adda ila> al-h}ara>mi fahua h}ara>mun). Lihat Yusu>f al-Qard}a>wi>, Halal dan Haram dalam Islam,

Op. Cit., h. 33-34. Wahbah al-Zuh}aili>, Op. Cit., h. 82.

Page 11: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

10

pengolahannya serta tujuan mengkonsumsinya melanggar ketentuan-ketentuan

syari’at.34

C. Urgensi Sertifikasi Produk Halal

Maqa>s}id al-syari>‘ah, bertujuan untuk (1) menjaga agama; (2) menjaga hidup;

(3) menjaga akal; (4) menjaga keturunan; dan (5) menjaga harta. Itu berarti, bahwa

makanan haram dapat mempengaruhi konsistensi sebagian atau bahkan kelima tujuan

maqa>s}id al-syari>‘ah tersebut. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Larangan mengkonsumsi makanan haram karena alasan mempengaruhi tujuan

menjaga agama. Seperti larangan mengkonsumsi mengkonsumsi hewan yang tidak

disembelih atas nama Allah; larangan mengkonsumsi makanan yang

dipersembahkan untuk berhala. Keduanya dilarang karena meniatkan konsumsi atas

nama selain Allah, dan itu merusak dan membahayakan akidah. Demikian juga

dengan larangan mengkonsumsi sesuatu yang memabukkan, karena mengacaukan

akal fikiran dan akhirnya mengacaukan ibadah, dan itu tentu saja mengacaukan

tujuan menjaga agama.

2. Larangan mengkonsumsi makanan haram karena alasan mempengaruhi tujuan

menjaga hidup. Seperti larangan mengkonsumsi bangkai, darah, daging babi, dan

khamar. Seluruhnya dilarang karena membahayakan bagi kesehatan sebagaimana

hasil penelitian dan penjelasan sebelumnya, bahaya tersebut bahkan dapat

mengancam keselamatan jiwa seperti over dosis mengkonsumsi narkoba misalnya.

Sebaliknya, untuk menjaga tujuan hidup ini, Islam menghalalkan seseorang

mengkonsumsi makanan haram jika dalam keadaan terpaksa dan darurat. Ini adalah

wujud perhatian hukum Islam atas tujuan menjaga hidup sebagaimana dimaksud.

3. Larangan mengkonsumsi makanan haram karena alasan mempengaruhi tujuan

menjaga akal. Seperti larangan mengkonsumsi sesuatu yang memabukkan, karena

akan mengacaukan fikiran dan menghilangkan kesadaran dalam bertindak, ini

berarti pemabuk bertindak tidak atas kesadarannya. Kajian tentang larangan mabuk

ini, sesunguhnya tidak hanya berhenti sampai mempengaruhi tujuan menjaga akal

saja. Tetapi juga mempengaruhi tujuan maqa>s}id al-syari>‘ah yang lainnya, seperti

mengacaukan tujuan menjaga agama, mengacaukan tujuan menjaga hidup karena

34

Jari>bah bin Ah}mad al-Hari>ts\i>, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab, Terjemahan Asmuni

Solihan Zamakhsyari, (Jakarta: Khalifa, 2008), h. 138.

Page 12: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

11

pemabuk bertindak di luar kesadarannya dan membahayakan jiwanya,

mengacaukan tujuan menjaga keturunan karena pemabuk bagi wanita

mempengaruhi janin, dan terakhir mengacaukan tujuan menjaga harta dimana

pemabuk selalu memanfaatkan hartanya dengan cara yang salah karena bertindak di

luar kesadarannya.

4. Larangan mengkonsumsi makanan haram karena alasan mempengaruhi tujuan

menjaga keturunan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa

mengkonsumsi sesuatu yang memabukkan akan membahayakan pada janin yang

ada dalam kandungan. Demikian juga dengan makanan haram lainnya sebagaimana

telah disebut di atas, memang pada dasarnya bahaya tersebut menimpa kesehatan,

jiwa dan hidup konsumennya. Bahkan lebih jauh lagi, tentu makanan akan

mempengaruhi kualitas keturunan, karena sejatinya orang yang sehat secara fisik,

jiwa dan akal akan melahirkan keturunan yang fit pula, sebagaimana benih yang

sehat akan melahirkan tumubuhan yang sehat pula.

5. Larangan mengkonsumsi makanan haram karena alasan mempengaruhi tujuan

menjaga harta. Sama seperti larangan mengkonsumsi sesuatu yang memabukkan,

seorang pemabuk tentu mempergunakan hartanya di luar kesadarnnya. Lain hal

lagi, bahwa pemabuk yang sudah kecanduan selalu membelanjakan hartanya untuk

mabukan juga. Pada perkembangan selanjutnya, pemabuk dapat saja merampas hak

milik orang lain karena bertindak di luar kesadarannya, dan itu mengacaukan

kepemilikan harta orang lain, sehingga mutlaklah bahwa mabuk mengacaukan

tujuan menjaga harta.

Singkatnya, penulis berpendapat bahwa ‘illah larangan mengkonsumsi

makanan haram karena mengganggu, mengacaukan, bahkan merusak sebagian ataupun

kelima tujuan primer syari’at (five primary goals of shari’ah/al-d}ara>riyah al-khamsah

dalam maqa>s}id al-syari>‘ah) tersebut di atas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Sya>t}ibi>.

Tetapi pada perkembangannya, sejumlah makanan haram tersebut memang dapat diurai

dengan teknologi, sehingga seakan-akan beberapa diantaranya tidak lagi

membahayakan. Berdasarkan hal tersebut Fathurrahman Djamil berpendapat, bahwa

ketentuan makanan haram dari sisi zatnya (al-h}ara>m li z\a>tihi) memiliki karekteristik

hukum bersifat ta‘abbudi> (irrasional). Pendapat ini sesungguhnya didukung dengan QS.

Page 13: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

12

Al-Nah}l [16]: 114, bahwa mengkonsumsi makanan halal adalah ibadah, demikian juga

sebaliknya meninggalkan makanan haram adalah ibadah.

Sya>t}ibi> menekankan kebebasan individu yang fundamental, yaitu kebebasan

menjaga agama, hidup, akal/pikiran, keturuan, serta kekayaan dan kehormatan,35

maka

segala upaya yang diatribusikan untuk mewujudkan tujuan syari’ah (maqa>s}id al-

syari>‘ah) tersebut adalah d}aru>riya>t, walaupun kelima tujuan tersebut disebut juga

dengan al-d}ara>riya>t al-khamsah. Ini berarti, setiap perbuatan yang ditujukan untuk

melaksanakan tujuan yang d}aru>riya>t, berarti perbutan tersebut juga al-d}aru>riya>h al-

khamsah.

Muhammad Akbar Khan berpendapat, bahwa setiap negara wajib berperan

untuk melindungi semua hak dan kebebasan individu yang fundamental tersebut, yang

diderivasikan dari al-d}ara>riya>t al-khamsah, yaitu: (1) Negara harus menjamin setiap

Muslim melaksanakan Agamanya, sesuai dengan tujuan pertama. (2) Negara harus

menjamin keamanan dan kesejahteraan semua manusia di bawah pemerintahannya, hal

ini dilakukan dengan menyediakan sandang, pangan dan papan guna menjamin

kehidupan dan keselamatan semua manusia, sesuai dengan tujuan kedua. (3) Negara

harus menyediakan dan memfasilitasi kondisi untuk pertumbuhan pikiran yang sehat,

seperti dengan memberikan kebebasan berekspresi dan pendidikan universal, sesuai

dengan tujuan ketiga. (4) Negara harus menciptakan kondisi untuk sistem keluarga yang

sehat, sesuai dengan tujuan keempat. (5) Akhirnya, negara harus menjamin

kesejahteraan ekonomi rakyat secara keseluruhan, yang dapat dipergunakan untuk

mengimplementasikan empat tujuan yang pertama, sesuai dengan tujuan kelima.36

Memang, penjelasan Akbar Khan dari perspektif filosofis tersebut, masih jauh

dari persoalan peran negara terhadap sertifikasi dan labelisasi produk halal, namun

tujuan pertama dan tujuan kelima dapat dijadikan pegangan, untuk diderivasikan lebih

lanjut, guna menguraikan peran negara terhadap sertifikasi dan labelisasi produk halal.

Bahwa mengkonsumsi makanan halal merupakan perbuatan untuk menjalankan agama,

dan kebebasan menjalankan agama merupakan hak fundamental individu,37

sedangkan

35

Abu> Ish{a>q Ibra>hi>m al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Syari>'ah, Juz II, Op. Cit., h. 16-25 36

Muhammad Akbar Khan, The Role of Islamic State in Consumer Protection, (Pakistan

Journal of Islamic Research, Vol 8, 2011), h. 33 37

“Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes

freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in

public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.”

Page 14: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

13

konsumen Muslim tidak dapat memastikan kehalalan makanan mereka pada produk

yang bersifar mass production dan berkarakteristik credence tanpa adanya informasi

melalui sertifikasi dan labelisasi. Demikian pula dengan jaminan kesejahteraan ekonomi

bagi konsumen Muslim, bahwa dengan sertifikasi dan labelisasi tesebut konsumen

Muslim akan mendapatkan kesejahteraan ekonomi dengan efisiensi dan pengurangan

biaya pencarian produk halal yang bersifat mass production dan berkarakteristik

credence.38

Dari perspektif hukum Islam, bahwa salah satu kaidah muba>h} yang diajukan

Asyqar adalah “muba>h} dapat menjadi wa>jib dari sisi asalnya” (al-muba>h} qad yaku>nu

wa>jiban min h}ais\u al-as}l).39 Setelah merujuk kepada dalil-dalil Al-Qur’a>n tentang ayat-

ayat makanan halal, jelas bahwa mengkonsumsi makanan halal adalah perintah yang

hukumnya wajib.40

Hal ini karena, ayat-ayat yang menjadi dalil mengkonsumsi

makanan halal tersebut diformulasikan dalam bentuk perintah (amr/order), dan setiap

perintah bertujuan untuk mewajibkan (al-amru li al-wuju>b), sedangkan sebaliknya

larangan bertujuan untuk mengharamkan (al-nahyu li al-tah}ri>m).41

Article 18, The Universal Declaration of Human Rights. Walaupun Lerner mengungkapkan kesulitannya

untuk mendefinisikan agama dan kepercayaan untuk menghindari kontroversi filosofis, sebangaimana

disebutkan, “Modern human rights law has sought to avoid much philosophical controversy by asserting

that the terms religion and belief are meant to refer to both theistic views of the universe, as well as

atheistic, agnostic, rationalistic and other convictions where religion and belief are absent. Because

religion, in general, has been too hard to define, the United Nations has adopted instead a catalog of

rights in the sphere of religion, under the heading of freedom of thought, conscience, and religion. The

same approach has been followed in regional human rights instruments. None of the international and

regional instruments addressing the freedom of rights of religion has attempted to define religion.” Natan

Lerner, Religion, Secular Beliefs and Human Rights, (Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2012), h. 5 38

Anthony I. Ogus, Regulation Legal Form and Economic Theory, (Oregon: Hart Publishing,

2004), h. 126-149 39

Al-Asyqar, Op. Cit., h. 43-46 40

Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 168, 172, QS. Al-A‘ra>f [7]: 31, dan QS. Al-Nah}l [16]: 114. 41

Lihat Ibn al-‘Arabi>, Ah}ka>mu al-Qur’a>n, Juz II, (Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), h.

164-165. Bandingkan dengan law as coercive orders sebagaimana yang diajukan Hart dalam H.L.A. Hart,

Op. Cit., h. 20. Ini berarti, manusia boleh memilih dan mengkonsumsi makanan halal yang tersedia (dari

sisi jenis makanannya yang berbeda, seperti ayam, kambing, sapi atau buah-buahan yang halal), karena

memilih di antara makanan halal yang tersedia hukumnya boleh. Akan tetapi jika pilihannya antara

makanan yang halal dan haram, maka seseorang diwajibkan untuk memilih makanan yang halal, namun

secara keseluruhan, mengkonsumsi makanan pada dasarnya hukumnya wajib, karena meninggalkan

panganan secara keseluruhan akan menyebabkan kematian, kepunahan manusia dan membunuh diri

sendiri, sedangkan manusia diwajibkan untuk menghidupi dirinya sendiri. Sebagaimana yang tercantum

dalam kerangka tujuan syari’at (maqa>s}id al-syari>‘ah), dimana salah satunya manusia wajib menjaga

kehidupannya (h}ifz} al-nafs). Lihat Abu> Ish{a>q Ibra>hi>m al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Syari>'ah, Op.

Cit., Juz II, h. 16-25. Sebagaimana kaidah-kaidah yang diajukan Asyqar tentang hukum wajib, jika dilihat

dari sisi haknya maka mengkonsumsi makanan halal dapat dilihat dari dua sisi hak sekaligus, yaitu hak

Allah dan hak hak hamba (manusia). Disebut dengan hak Allah, karena mengkonsumsi makananan halal

adalah ibadah sebagaimana yang tertera dalam QS. Al-Baqarah [2]: 172. Disebut sebagai hak manusia,

karena mengkonsumsi makanan halal secara keseluruhan bertujuan untuk mempertahankan menjaga

Page 15: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

14

Ibnu Qayyim dalam karyanya I‘la>mu al-Muwaqqi‘i>na ‘an Rabbi al-‘A@lami>na

mengajukan kaidah “perubahan fatwa (hukum) dan perbedaannya terjadi menurut

perubahan zaman, tempat, kondisi, niat dan adat istiadat” (tagayyuru al-fatwa> wa

ikhtila>fuha> bih}asbi tagayyuri al-azminati wa al-amkinati wa al-ahwa>li wa al-‘awa>’idi).

Bahwa kaidah ini bertujuan untuk memberikan kemaslahatan (utility/benefit) bagi

kehidupan manusia, dimana hukum dapat berubah berdasarkan zaman, tempat, kondisi

dan kebiasaannya agar manusia dapat keluar dari kemafsadatan dan mudaratnya (risk).42

Selanjutnya Silmi> dalam karyanya, menggunakan kaidah dasar us}u>liyah yang

banyak dirujuk oleh Islamic jurists lainnya, yaitu bahwa “segala sesuatu yang tidak

menyempurnakan wajib kecuali dengannya, maka hukumnya menjadi wajib” (ma> la>

yatimmu al-wa>jib illa> bihi fahua wa>jib).43

Namlati juga melakukan kajian terhadap

kaidah ini, lebih lanjut dia mengatakan bahwa kaidah ini terkadang disebut juga dengan

“penghantar wajib” (muqaddimatu al-wa>jib), atau “sarana wajib” (was}i>latu al-wa>jib).

Untuk mendapatkan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif, Namlati

memodifikasi kaidah tersebut dengan menyatakan bahwa kaidah ini juga disebut dengan

hidup manusia, bahkan menjaga akal dan fikiran manusia dari makanan dan minuman yang dapat

mempengaruhinya, sebagaimana konseptualisasi tujuan syari’at yang disistematisasi Sya>t}ibi>. Al-Asyqar,

Op. Cit., h. 26-27. Lihat juga pembagian hak menurut Nyazee, yaitu; (1) The right of Allah; (2) The right

of the individual; (3) The right of Allah lying side by side with the right of individual; (4) The collective

rights of the individuals or of the community, also referred to as haqq al-sultan. Imran Ahsan Khan

Nyazee, Theories of Islamic Law, The Methodology of Ijtihad, (Kuala Lumpur: The Other Press, 2002), h.

59 42

Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad bin Abu> Bakr bin Ayyu>b yang dikenal dengan Ibn Qayyim Al-

Jauziyah, I’la>mu al-Muwaqqi‘i>n ‘an Rabbi al-‘A<lami>n, (Riya>d}: Da>r Ibnu Jauzi>, 1423 H), h. 41-54. Lihat

Abu> ‘Abd al-Rahma>n ‘Abd al-Maji>d Jum‘ah al-Jazairi>, Al-Qawa>‘id al-Fiqhiyyah al-Mustakhrijah min Kita>b I’la>mu al-Muwaqqi‘i>n li> ibn Qayyim al-Jauziyyah, (Da>r Ibn al-Qayyim: Rasa>’il Jami‘iyyah, tt),

373-382. Lihat juga Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Panduan Hukum Islam, Terjemahan Asep Saifullah FM,

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), h. 459-460 43

Oleh Silmiy, pembahasan kaidah ini dibagi kepada bagian; (1) Segala sesuatu yang tidak

menyempurnakan wajib kecuali dengannya. Seperti syarat, rukun dan sebab perbuatan wajib dimana

perbuatan tersebut bukanlah tujuannya, namun jika syarat, rukun dan sebab tersebut termasuk kedalam

perbuatan yang menyempurnakan wajib, maka hukumnya adalah wajib. (2) Segala sesuatu yang tidak

dimungkinkan bagi syari’at, akal, dan kebiasaan untuk melakukan perbuatan wajib secara sempurna,

kecuali dengan melakukannya. Bagian kedua ini terbagi kepada dua jenis, yakni; (a) Setiap perbuatan

wajib yang tidak dapat dilakukan oleh mukallaf; seperti ruku’ dan sujud bagi orang sakit atau uzur yang

tidak dapat dia laksanakan secara sempurna, maka dapat dilakukan dengan memberi tanda atau bahkan

menggunakan mulut. (b) setiap perbuatan wajib yang dapat dilakukan oleh mukallaf; seperti menahan

puasa selama satu hari penuh (24 jam), hal tersebut dapat saja dilakukan oleh mukallaf namun tidak

dimungkinkan bagi akal dan syari’at. Iya>d} bin Na>mi> al-Silmi>, Us}u>lu al-Fiqhi Lizi> la> Yasa‘u al-Faqi>hi Jahlahu, (Riya>d}: Da>r al-Tadmuriyyah, 1426 H), h. 40-41

Page 16: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

15

“segala sesuatu yang tidak menyempurnakan perintah kecuali dengannya, maka dia

menjadi diperintahkan” (ma> la> yatimmu al-amru illa> bihi yaku>nu ma’mu>ran bihi).44

Hingga pada titik ini, penulis ingin menguraikan sejumlah kaidah tersebut yang

langsung dapat diterapkan terhadap sertifikasi dan labelisasi produk halal, dengan

penjelasan sebagai berikut: (1) Memang halal memiliki pengertian yang sama dengan

muba>h}. (2) Dalam konsteks mengkonsumsi makanan halal, hukumnya menjadi wajib

sebagaimana kaidah yang diajukan Asyqar, yaitu al-muba>h} qad yaku>nu wa>jiban min

h}ais\u al-as}l. (3) Hal ini didukung dengan ayat-ayat mengkonsumsi makanan halal

dengan formulasi perintah (order), dan perintah bertujuan untuk mewajibkan (al-amru li

al-wuju>b). (4) Perkembangannya dengan kemajuan zaman, kondisi dan teknologi,

konsumen tidak lagi dapat menguji dan mengevaluasi kehalalan produk secara visible

(dengan search characteristic), karena produk sudah diciptakan secara massif dan

berkarakteristik credentials pula. Pada situasi seperti ini, maka hukum Islam harus

melakukan perubahan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemudaratan,

sebagaimana dengan kaidah yang diajukan oleh Ibnu Qayyim, yaitu tagayyuru al-fatwa>

wa ikhtila>fuha> bih}asbi tagayyuri al-azminati wa al-amkinati wa al-ahwa>li wa al-

‘awa>’idi. (5) Perubahan dimaksud, karena konsumen tidak dapat menjalankan perintah

yang wajib akibat dari mass production dan credence characteristic food, maka

sertifikasi dan labelisasi yang berfungsi sebagai informasi, untuk memastikan konsumen

Muslim menjalankan kewajiban yang diperintahkan kepadanya. Sertifkasi dan

labelisasi, pada posisi ini hukumnya menjadi wajib, karena tanpanya konsumen Muslim

tidak akan dapat memastikan kehalalan makanan yang akan dikonsumsinya pada produk

panganan yang mass production dan credence characteristic. Kewajibannya di sini

terletak pada kewajiban mengkonsumsi makanan halal, bukan kewajiban pada

sertifikasi dan labelisasi halal tersebut, namun karena ketidakmampuan konsumen

Muslim memastikan kehalalan produk panganan yang akan dikonsumsinya pada mass

production dan credence characteristic food, kecuali hanya dengan informasi melalui

sertifikasi dan labelisasi tersebut, maka sertifikasi dan labelisasi saat itu menjadi wajib.

Hal ini sesuai dengan kaidah yang diajukan Silmi> yaitu ma> la> yatimmu al-wa>jib illa> bihi

44

Lihat Namlati, Al-Muhazzab fi> ‘Ilmi Us}u>li al-Fiqhi al-Muqa>ran, (Riya>d}: Maktabah Rusydi,

1999), h. 220

Page 17: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

16

fahua wa>jib, dan juga kaidah yang diajukan oleh Namlati yaitu ma> la> yatimmu al-amru

illa> bihi yaku>nu ma’mu>ran bihi.

Demikian juga dengan kelembagaan sertifikasi dan labelisasi halal, memang

dapat dipahami bahwa membentuk lembaga sertifikasi dan labelisasi halal hukumnya

bukanlah wajib dalam hukum Islam, karena membentuk lembaga tersebut bukanlah

tujuan. Tujuannya adalah kewajiban mengkonsumsi makanan halal, namun karena

peredaran produk makanan yang massive45

dan credential,46

maka konsumen Muslim

hanya dapat memberikan signal credentials terhadap produsen. Dimana konsumen

Muslim tidak dapat menyempurnakan perbuatan wajib tersebut (mengkonsumsi

makanan halal), karena tidak dapat mengevaluasi, memvalidasi, dan menguji kehalalan

produk walaupun setelah dikonsumsi. Berdasarkan argumentasi tersebut, maka

membentuk kelembagaan sertifikasi dan labelisasi halal, hukumnya menjadi wajib,

karena perubahan zaman dan kondisi, yaitu peredaran produk pangan yang bersifat mass

production dan credence characteristic.

Pada sisi lain, ketiadaan lembaga sertifikasi dan labelisasi juga meniadakan

sertifikasi dan labeliasasi itu dengan sendirinya, karena mayarakat tidak mampu

mensertifikasi dan melalbelisasi dengan sendirinya. Berdasarkan perkembangan dan

kondisi zaman yang ada, kelembagaan sertifikasi dan labelisasi produk dapat disebut

sebagai “penghantar wajib” (muqaddimatu al-wa>jib) atau “sarana wajib” (was}i>latu al-

wa>jib), sebagaimana yang diungkap oleh Namlati, untuk menjamin konsumen Muslim

mengkonsumsi produk halal. Jika demikian, maka kaidah “segala sesuatu yang tidak

menyempurnakan wajib kecuali dengannya, maka hukumnya menjadi wajib” (ma> la>

yatimmu al-wa>jib illa> bihi fahua wa>jib) dapat dipergunakan dalam hal kelembagaan

sertifikasi dan labelisasi produk. Bahwa hanya dengan kelembagaan tersebut konsumen

Muslim dapat menyempurnakan mengkonsumsi produk halal, yang mass production

dan credence characteristic berdasarkan zaman dan kondisinya.

Berdasarkan klasifikasi dan pembagian konsep hukum wajib, salah satunya

adalah wajib ditinjau dari sisi pelakunya (subjek hukum),47

yang terdiri atas al-wa>jib al-

45

Lihat kembali Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan

Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2004), h. 30 46

Gilles Grolleau dan Sandos BenAbid, Fair Trading in Markets for Credence Goods, An

Analysis Applied to Agri-Food Products, (Intereconomics, Vol. 36, No. 4, 2001), h. 208-209. 47

Selain dari sisi pelakunya, klasifikasi konsep hukum wajib dalam Islam terdapat juga wajib

ditinjau dari sisi: (1) watunya; (2) zatnya; dan (3) batasan atau kadarnya. Keseluruhan konsep klasifikasi

Page 18: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

17

‘aini> dan al-wa>jib al-kafa>’i>. Jika diterapkan pada kewajiban mengkonsumsi produk

halal, maka mengkonsumsi makanan halal hukumnya al-wa>jib al-‘aini>, karena perintah

mengkonsumsi makanan halal diwajibkan dan berlaku bagi semua mukallaf secara

individu. Hal ini terbukti dari dalil-dalil tentang makanan halal, dalam kaidah bahasa

Arab disebut menggunakan kata perintah untuk semua orang (jama’),48

yaitu “makanlah

kamu semuanya” (kulu>).49 Selanjutnya terkait kelembagaan sertifikasi dan labelisasi

halal, hukumnya menjadi al-wa>jib al-kafa>’i> (collective responsibility),50

karena

kelembagaannya harus ada dalam kelompok masyarakat, untuk memastikan kehalalan

makanan ummat Islam melalui sertifikasi dan labelisasi tersebut, sebagai informasi.

Wahbah al-Zuh}aili memang memberikan contoh al-fard}u al-kifa>yah seperti

membangun rumah sakit, memandikan hingga menguburkan janazah, membalas salam,

amar ma’ruf nahi munkar dan mencari orang yang hilang. Dimana keseluruhan

perbuatan yang dituntut tersebut, harus diwujudkan dengan tujuan menciptakan

wajib tersebut dapat diterapkan pada kewajiban mengkonsumsi makanan halal, sebagai berikut: (1)

Ditinjau dari sisi waktunya adalah wa>jib gairu mu’aqqat atau wa>jib mut}laq, dimana kewajiban

mengkonsumsi makanan halal tidak ditentukan oleh waktu, sehingga manusia dapat kapan saja

mengkonsumsi makanan halal tersebut selama dia membutuhkannya. (2) Ditinjau dari sisi zatnya adalah

wa>jib mu‘ayyan dan wa>jib mukhayyar sekaligus. Disebut wa>jib mu‘ayyan, karena mengkonsumsi

makanan ditetapkan untuk mempertahankan hidup yang merupakan unsur primer (d}aruriyya>t) dari teori

tujuan syari’at (maqa>s}id al-syari>‘ah), sedangkan mengkonsumsi makanan halal telah ditentukan wilayah

zatnya yaitu; makanan yang tidak dilarang, makanan yang dibolehkan, dan makanan yang didiamkan atau

tidak disebutkan kehalalannya dan keharamannya. Ini membuktikan bahwa mengkonsumsi makanan halal

hukumnya adalah wajib yang ditentukan zatnya (wa>jib mu‘ayyan). Disebut wa>jib mukhayyar, karena

memang subyek hukum (mukallaf) diwajibkan dengan diberi pilihan untuk mengkonsumsi salah satu

makanan diantara jenis makanan halal tersebut. (3) Ditinjau dari sisi batasan atau kadarnya adalah wa>jib gairu muh}addad, karena mengkonsumsi makanan halal tidak dibatasi oleh Sya>ri‘ dan mukallaf bebas

menentukan kadar yang dia konsumsi dari makanan halal tersebut. Kendatipun demikian, Sya>ri‘ memberikan batasan dalam mengkonsumsi untuk tidak berlebihan. Lihat Wahbah al-Zuh}aili>, Op. Cit., h.

49. Iya>d} bin Na>mi> Al-Silmi>, Op. Cit., h. 32, 53-54. Namlati, Al-Ja>mi‘u al-Masa>’ilu Us}u>lu al-Fiqhi wa Tat}bi>qiha> ‘ala> al-Mazhabi al-Ra>jih}, (Riya>d}: Maktabah Rusydi, 1420), h. 25, 41-44. Namlati, Op. Cit., h.

156, 274-278. Al-Asyqar, Op. Cit., h. 35-36. QS. Al-Baqarah [2]: 168. QS. Al-A‘ra>f [7]: 31. 48

Kata “kulu>” (كلوا) berasal dari kata “akala” (أكل), dilihat dari jenis kata kerjanya termasuk

dalam kelompok kata kerja yang lengkap (s}ah}i>h) dengan huruf hamzah di awal kata kerjanya (mahmu>zu al-fa>’i). Jika kata kerja tersebut dirubah menjadi kata perintah, maka berubah menjadi “kul” (كل) yang

artinya “makanlah,” namun jika kata perintah tersebut diperuntukkan bagi banyak orang (jama>‘), maka

berubah menjadi “kulu>” (كلوا) yang artinya “makanlah kamu semuanya.” Penjelasan tentang bentuk kata

kerja ini dapat dilihat dalam ‘Abdullah Sulaima>n al-Jarbu>’, dkk., Ta’li>mu al-‘Arabiyyah li al-Nat}iqi>n Bigairiha>, Juz II, (Al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su‘u>diyyah: Ja>mi‘ah Ummu al-Qura>, 2007), h. 466.

Muhammad Muh}yi> al-Di>ni ‘Abdu al-Hami>d, Duru>su al-Tas}ri>f, (Bairu>t: Al-Maktabah al-‘As}riyyah,

1995), h. 151 49

QS. Al-Baqarah [2]: 168, 172. QS. Al-A‘ra>f [7]: 31. QS. Al-Nah}l [16]: 114. 50Fard}u kifa>yah adalah kewajiban yang jika telah dilakukan oleh sebagian ummat Islam, maka

terbebaslah ummat Islam seluruhnya dari dosa. Lihat Yusu>f al-Qard}a>wi>, dkk., Kebangkitan Islam dalam

Perbincangan Para Pakar, Terjemahan Moh. Nurhakim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 72

Page 19: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

18

kemaslahatan bagi masyarakat luas51

(public interest). Terkait konteks penelitian ini,

Wahbah al-Zuh}aili tidak mengklasifikasikan bentuk-bentuk al-fard}u al-kifa>yah yang

dapat dilaksanakan hanya oleh warga, juga tidak mengklasifikasikan bentuk-bentuk al-

fard}u al-kifa>yah yang tidak dapat dilaksanakan oleh warga, kecuali dengan intervensi

negara.

Bagi penulis, beberapa al-fard}u al-kifa>yah dapat dilaksanakan oleh masyarakat

secara mandiri, namun beberapa lainnya membutuhkan peran dan intervensi negara

untuk melaksakannya.52

Untuk menentukan dan mengukur al-fard}u al-kifa>yah yang

membutuhkan peran dan intervensi negara, penulis berargumentasi pada pendapat

Anthony I. Ogus dan Myriam Senn, bahwa al-fard}u al-kifa>yah tersebut benar

merupakan kepentingan umum (public interest), dan itu sudah menjadi bukti kuat

(prima facie) bagi negara untuk melakukan intervensi,53

dan sepanjang masyarakat tidak

dapat melakukannnya secara mandiri. Sebagaimana contoh yang diajukan oleh Wahbah

al-Zuh}aili>, seperti; Membangun rumah sakit tentu saja membutuhkan regulasi standar

(standard regulation) dan regulasi persetujuan terlebih dahulu (prior approval

regulation) yang membutuhkan intervensi negara. Menguburkan janazah memang

merupakan public interest, namun masyarakat dapat melakukannya secara mandiri dan

bergotong royong, dalam hal ini tentu tidak sepenuhnya membutuhkan intervensi

negara, kecuali nanti berkaitan dengan sistem administrasi dan area perkuburannya.

Berbeda halnya dengan kelembagaan sertifikasi dan labelisasi, sebagai al-fard}u

al-kifa>yah, yang bertujuan untuk menciptakan informasi yang simetris bagi konsumen

Muslim tentang kehalalan produk makanan. Tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat

Muslim secara mandiri, karena masyarakat Muslim (sebagai konsumen Muslim), tidak

memiliki keahlian teknis untuk melakukan sertifikasi dan labelisasi guna menguji dan

memvalidasi kehalalan produk makanan yang bersifat mass production dan

berkarakteristik credence tersebut.54

Pada posisi tersebut, maka untuk mendirikan dan

51

Wahbah al-Zuh}aili>, Op. Cit., h. 62 52

Muhammad Izzuddin Taufiq menjelaskan, bahwa fard}u kifa>yah ada yang bersifat permanen;

seperti dalam banyak kitab fiqh dan us}u>l al-fiqh dicontohkan seperti shalat jenazah (ibadah) dan

menduduki jabatan hakim (muamalah), namun ada juga fard}u kifa>yah yang bersifat fleksibel; hukum

yang tergantung pada situasi dan kondisi zaman. Lihat Muhammad Izzuddin Taufiq, Panduan Lengkap

dan Praktis Psikologi Islam, Terjemahan Sari Narulita, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 118 53

Lihat kembali Anthony I. Ogus, Op. Cit., h. 30. Lihat juga Myriam Senn, Non-State

Regulatory Regimes, Understanding Institutional Transformation, Op. Cit., h. 7-10 54

Gilles Grolleau dan Sandos BenAbid, Op. Cit., h. 209. Jim Hawkins, Financing Fertility,

(Harvard Journal on Legislation, Vol. 47, Winter 2010), h. 128. Aurora Paulsen, Catching Sight of

Page 20: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

19

menjalankan lembaga sertifikasi dan labelisasi halal, yang merupakan al-fard}u al-

kifa>yah tersebut, membutuhkan peran negara.55

D. Penutup

Hingga pada titik ini, penulis berpandangan, bahwa keseluruhan uraian tersebut

di atas, yaitu uraian tentang kaidah-kaidah us}u>liyah yang disistematisasi sedemikian

rupa dan diterapkan pada sertifikasi dan labelisasi produk halal, menjustifikasi dan

membenarkan adanya peran negara terhadap sertifikasi dan labelisasi guna menguji dan

memvalidasi kehalalan produk pangan.56

Penjelasan tersebut di atas, menjadi alasan

yang membenarkan (justification) dan urgensi mengapa negara harus berperan terhadap

sertifikasi dan labelisasi produk halal perspektif hukum Islam, guna melindungi

konsumen Muslim57

dari produk yang diharamkan.

Credence Attributes: Compelling Production Method Disclosures on Eggs, (Loyola University of

Chicago School of Law, Loyola Consumer Law Review, Vol. 24, 2011), h. 284. Tracey M. Roberts,

Innovations in Governance: A Functional Typology of Private Governance Institutions, (Duke

Environmental Law and Policy Forum, Vol. 22, 2011), h. 84, 108. 55

Untuk mendukung pendapat tersebut, Sa’id Hawa menetapkan kaidah-kaidah umum untuk

menetapkan definisi operasional al-fard}u al-kifa>yah yang sesuai dengan situasi, kondisi dan samannya,

sebagai berikut: (1) Semua hal yang dibutuhkan untuk tegaknnya agama dan juga kehidupan di dunia,

maka hukumnya adalah al-fard}u al-kifa>yah. (2) Semua hal yang dibutuhkan aplikatifnya dalam

memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya, maka hukumnya adalah al-fard}u al-kifa>yah.

(3) Semua hal yang membuat semua yang wajib tidak akan terealisasi kecuali tanpanya, maka hukumnya

adalah wajib, dan demikian pula dengan fard}u kifa>yah. Semua perantara yang butuh dilakukan untuk

merealisasikan suatu hal yang bersifat al-fard}u al-kifa>yah, maka hukumnya adalah al-fard}u al-kifa>yah

pula. Lihat Sa’id Hawa, Fard}u ‘Ain wa Fard}u Kifa>yah, (Da>r al-Sala>m, 1984), h. 7 dikutip dari

Muhammad Izzuddin Taufiq, Op. Cit., h. 119 56

Sebagaimana Brunei Darussalam, menganut pandangan bahwa sertifikasi dan labelisasi halal

adalah tanggung jawab bersama secara kafa>’i>. Dalam case study Brunei Halal Brand, Paul Temporal

menyebutkan “Undertaking the obligation of fard}u kifa>yah means that the acclamation to provide pure

halal food in accordance with the best Islamic standards is not just to the population of Brunei, but to the

wider world”. Lihat Paul Temporal, Islamic Branding and Marketing; Creating A Global Islamic

Business, (Singapore: John Wiley and Sons, 2011), h. 27. 57

Kendatipun tidak sepenuhny sesuai dengan konteks peran negara terhadap sertifikasi dan

labelisasi produk halal sebagai upaya perlindungan konsumen Muslim, namun secara umum masih terkait

dengan upaya perlindungan konsumen dalam Islam. Muhammad Akbar Khan mengajukan beberapa

alasan yang menjustifikasi peran negara dalam perlindungan konsumen dengan menyatakan, bahwa untuk

membangun keadilan ekonomi guna melindungi hak-hak konsumen, di antaranya negara berwenang

mengintervensi dalam perdagangan terkait masalah sebagai berikut: (1) Negara dapar memaksa seseorang

menjual komoditas yang dimilikinya, atas dasar kepentingan umum, kepada masyarakat yang

membutuhkannnya agar terhindar dari bahaya. (2) Negara dapat mengontrol harga pasar untuk

kepentingan masyarakat, jika harga pasar tidak stabil. (3) Negara dapat mengintervensi pasar jika terjadi

penipuan perdagangan barang. (4) Negara berwenang memberikan hukuman kepada pelaku pasar yang

melakukan penipuan terhadap konsumen. Lihat Muhammad Akbar Khan, Op. Cit., h. 35-37

Page 21: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

20

DISAMPAIKAN PADASEMINAR LKIHI FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA09 MEI 2014

OLEH:Z U L H A M

URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALALPERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PENDAHULUAN

Page 22: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

21

KONSEP HALAL HARAM

Muhammad Sulaiman „Abdullah Al-Asyqar, Al-Wadih fi Usuli al-Fiqh, h. 43-46

KONSEP HALAL HARAM

Page 23: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

22

KONSEP HALAL HARAM

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang

telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat

Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.

(Q.S. An-Nahl 16: 114)

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik

dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu

mengikuti langkah-langkah syaitan; karena

sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata

bagimu. (QS. Al-Baqarah 2: 168)

KONSEP HALAL HARAM

Wahbah Zuhaili, Al-Silmi, Al-Namlati

Page 24: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

23

KONSEP HALAL HARAM

KONSEP HALAL HARAM

Diriwayatkan dari Salman al-Farisi: Rasulullah SAW.

ditanya tentang mentega, keju, dan keledai liar, lalu

beliau menjawab: “Yang halal ialah apa yang

dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya, dan yang haram

ialah apa yang diharamkan Allah di dalam kitab-Nya,

sedang apa yang didiamkan oleh-Nya berarti

dimaafkan untukmu”. (HR. Tarmizi dan Ibn Majah).

Asal segala sesuatu adalah mubah... (Qardhawi)

Page 25: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

24

URGENSI SERTIFIKASI PRODUK

AL-MASHLAHAH

Al-Mu’tabarah

Perintah Mengkonsumsi Produk Halal

Al-Mulghah

Larangan Mengkonsumsi Produk Haram

Al-Mursalah

Sertifikasi Produk

MAQASHID SYAR’I(TUJUAN SYARI’AT)

Al-Hajiyat(Skunder)

Al-Dharuriyat(Primer)

Al-Tahsiniyat(Tersier)

Min Nihayati al-Wujud

(Penyelenggaraan)

Min nihayati al-’Adam

(Peniadannya)

Menjaga AkalMenjaga

KeturunanMenjaga HartaMenjaga Hidup

Menjaga

Agama

AL-MASHLAHAH

Page 26: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

25

URGENSI SERTIFIKASI PRODUK

Tagayyuru al-fatwa wa ikhtilafuha bihasbi

tagayyuri al-azminati wa al-amkinati wa al-ahwali wa

al-„awa‟idi

(Ibnu Qayyim)

Ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahua wajib

(Al-Namlati – Al-Silmi)

URGENSI SERTIFIKASI PRODUK

Page 27: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

26

SERTIFIKASI PRODUK HALAL/HARAM

SERTIFIKASI PRODUK HALAL/HARAM

Sertifikasi Produk Halal

Produk Bersertifikat Halal:

Sudah Pasti Halal

Produk Tidak Bersertifikat Halal:

Belum pasti halal/haram

Sertifikasi Produk Haram

Produk Bersertifikat

Haram:

Sudah Pasti Haram

Produk Tidak Bersertifikat

Haram:

Belum Pasti Halal/Haram

Informasi Produk

Halal/Haram

Informasi Produk Halal memastikan kehalalan produk

Informasi Produk Haram

memastikan keharaman produk

Page 28: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

27

PERAN NEGARA

Diyãni

(Religiosity)

Qadhã‟i

(Regulation)

State

PENGATURAN PRODUK HALAL

REGULASI PRODUK HALAL

UU 8/1999 Perlindungan Konsumen

Pasal 8-h

Voluntary

UU 18/2009 Peternakan &

Kesehatan Hewan

Pasal 58

ayat (4)

Mandatory

UU 18/2012 Pangan

Pasal 69, 95, 97

Mandatory Jika Dipersyaratkan

Page 29: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

28

WASSALAM

TERIMA KASIH

Page 30: URGENSI SERTIFIKAT PRODUK HALAL PERSPEKTIF HUKUM … · untuk melakukannya,4 atau perbuatan terlarang yang dituntut untuk meninggalkannya,5 ... Selanjutnya al-h}ukm al-wad}‘i> adalah

29