upaya mempertahankan kelestarian hutan dengan …/upaya... · pada masyarakat desa hutan skripsi...
TRANSCRIPT
i
UPAYA MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN HUTAN
DENGAN MEMANFAATKAN KEARIFAN LOKAL
PADA MASYARAKAT DESA HUTAN
SKRIPSI
Disusun oleh:
Hananto Widhiaksono
D 0303031
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
PENG
ESAHAN
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Telah Disetujui Untuk Dipertahankan Di Hadapan Dewan Penguji Fakultas Ilmu Social Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta,
Pembimbing,
Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si. NIP. 131 792 197
iii
PENGESAHAN
Telah Dipertahankan di Hadapan Dewan Penguji Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian
dari Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana Sosial
Pembimbing Utama
(Dra. Trisni Utami, M.Si)
Anggota Dewan Penguji
1. Drs. Jefta Leibo, S.U. _____________________
2. Dra. Rahesli Humsona, M.Si. _____________________
3. Dra. Trisni Utami, M.Si. _____________________
Mengesahkan,
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UNS
Dekan,
Drs. Supriyadi S.N., S.U.
v
PERSEMBAHAN
Aku persembahkan karya kecil ini untuk :
Bapak….,dengan sentuhanmu
Ibu…., dengan doamu
Kakakku…, dengan motivasimu
Adik-adikku, dengan kerelaannya
Dan segenap keluarga yang memberiku dukungan
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah swt atas telah terselesaikannya penyusunan skripsi
berjudul “Upaya Mempertahankan Kelestarian Hutan dengan Memanfaatkan
Kearifan Lokal pada Masyarakat Desa Hutan” ini.
Karya kecil ini merupakan syarat untuk memperoleh derajat sarjana sosial.
Penulisan karya ini memang cukup lama dengan banyak aktifitas pendamping baik
sengaja maupun tidak sengaja yang cukup mengurangi konsentrasi penulis dalam
penyelesaiaannya akan tetapi, alhamdulillah, dengan dukungan berbagai pihak karya
ini telah cukup pantas untuk menjadi bahan pewacanaan dalam konsep pengelolaan
hutan.
Penulis merasa perlu mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Supriyadi, S.N. ,S.U. , selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret.
2. Dra. Trisni Utami, M.Si, selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan dan masukan hingga skripsi ini terselesaikan.
3. Rekan-rekan dari lembaga SUPHEL, atas pendampingan dan
keramahtamahan selama proses penyelesaian skripsi.
4. Rekan-rekan Perum Perhutani KPH Cepu atas bantuan izin dan
kemudahan dalam pengambilan data.
5. Seluruh rekan mahasiswa yang telah memberikan bantuan dan dorongan
hingga selesainya skripsi ini.
Penulis merasa sebagai sebuah karya ilmiah, tulisan ini perlu ditingkatkan
bobot kualitasnya. Kritik dan saran akan mampu memperluas khasanah
vii
keilmuan yang sebenarnya sangat banyak apabila kita mengkaji secara lebih
mendalam. Harapan penulis, tulisan ini mampu menjadi awal yang baik dalam
memperbaiki wacana atau fokus perhatian berbagai pihak yang belum peduli
akan keberlangsungan proses kehidupan kita di masa yang akan datang demi
anak cucu kita, yaitu lingkungan hutan.
Surakarta, 13 Maret 2009
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………………………... i
Halaman Pengesahan…………………………………………………................. ii
Motto…………………………………………………………………………….. iv
Halaman Persembahan…………………………………………………………... v
Kata Pengantar…………………………………………………………………... vi
Daftar Isi………………………………………………………………………… viii
Daftar Tabel…………………………………………………………………… xi
Daftar Gambar………………………………………………………………… xii
Daftar Lampiran…………………………………………………………………. xii
Abstrak…………………………………………………………………………… xiii
Bab I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah………………………………………………
1.2. Perumusan Masalah…………………………………………………..
1.3. Tujuan Penelitian……………………………………………………..
1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………………
1.5. Jenis Penelitian………………………………………………………..
1.6.. Sumber Data…………………………………………………………..
1.7. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………
1.8.. Teknik Analisis Data………………………………………………….
1.9. Validitas Data…………………………………………………………
1
5
7
7
8
9
10
11
11
ix
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………...
2.1.1. Hutan Dan Sumber Daya Hutan..............................……….……
2.1.2. Sumber Daya Hutan Dan Manusia...............................................
2.1.3. Kearifan Lokal terhadap Lingkungan Hutan................................
2.2. LANDASAN TEORI………………………………………………….
2.3. KERANGKA PEMIKIRAN…………………………………………..
13
19
24
28
25
28
BAB III. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
3.1. DESKRIPSI WILAYAH KABUPATEN BLORA……………………
3.2. SEJARAH KABUPATEN BLORA…………………………………...
3.3. GAMBARAN UMUM KPH CEPU……...……………………………
34
36
42
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. INTERAKSI MASYARAKAT DESA HUTAN……………………...
4.1.1. Para Aktor Kehutanan Di KPH Cepu …………………………..
4.1.2. Partisipasi Masyarakat Desa Hutan……………………………..
4.2. HASIL INTERAKSI MASYARAKAT DESA HUTAN……………...
4.2.1. Pengetahuan Lokal Masyarakat Desa Hutan…………………
4.2.2. Budaya Lokal Masyarakat Desa Hutan…………………………
4.2.3. Kearifan Lingkungan Masyarakat Desa Hutan…………………
45
49
64
83
83
91
100
x
BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan……………………………………………………………
5.2. Implikasi……………………………………………………………….
5.3. Saran…………………………………………………………………
108
109
GLOSARIUM………………………………………………………………....... 112
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….... 117
LAMPIRAN……………………………………………………………………... 120
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Matriks waktu tertata.
Perubahan-Perubahan Dalam Perubahan Program Pengelolaan Hutan
KPH Cepu
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Model sistem ekologi manusia
Gambar 2. Model komplek ekologi
Gambar 3. Skema ketergantungan hutan dan masyarakat
Gambar 4. Kerangka pemikiran
Gambar 5. Peta Kabupaten Blora
Gambar 6. Rencek dibawa dari hutan
Gambar 7. Salah satu ngare
Gambar 8. Seorang pencari daun
xiii
ABSTRAK
HANANTO WIDHIAKSONO, D0303031, ”UPAYA MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN HUTAN DENGAN MEMANFAATKAN KEARIFAN LOKAL PADA MASYARAKAT DESA HUTAN”, Skripsi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Kelestarian hutan merupakan hasil dari berbagai proses yang terjadi dalam
kehidupan ekologi hutan. Di dalam hutan terdapat berbagai Interaksi. Sebuah ekosistem hutan memiliki sistem sosial yang terdiri dari manusia dengan proses-proses sosial dan kemudian terdapat lingkungan ekosistem hutan itu sendiri. Kelestarian hutan tak akan tercapai apabila terdapat hubungan yang tidak sehat dalam proses-proses sosial yang terkait dengan sumber daya hutan.
Tulisan ini merupakan sebuah studi etnografi yang ditutujukan untuk untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat desa hutan dalam upaya melestarikan hutan. Selain itu, penelitian ini berupaya pula agar dapat memetakan kekuatan sosial masyarakat desa hutan sebagai dasar pembentukan hutan lestari.Tulisan ini mencoba melihat permasalahan diatas pada salah satu lingkungan hutan di Kesatuan Pemangkuan Hutan(KPH) Cepu, Kabupaten Blora Jawa Tengah. Di dalamnya terdapat beberapa aktor kehutanan yang saling berinteraksi dalam sebuah pengelolaan hutan baik langsung atau tidak langsung mempengaruhi kelestarian hutan. Beberapa aktor tersebut diantaranya adalah masyarakat desa hutan, KPH perhutani Cepu serta lembaga swadaya masyarakat SUPHEL.
Ada berbagai dimensi yang membentuk kearifan lokal masyarakat desa hutan baik secara struktural maupun secara kultural. Secara struktural diakibatkan oleh adanya proses sosial panjang yang menyebabkan adanya struktur masyarakat desa hutan dalam lapisan sosial paling rendah untuk mendapatkan hak atas sumber daya lingkungan hutan. Secara kultural, kearifan lokal masyarakat desa hutan dimana keterbatasan akses terhadap lingkungan hutan menyebabkan munculnya budaya masyarakat desa hutan dalam bentuk ide-ide, perilaku serta berbagai benda yang dipergunakan dalam keseharian mereka. Pelajaran paling terkait dengan penelitian ini adalah adanya kearifan lokal masyarakat desa hutan. Pikiran, perilaku dan berbagai benda warga masyarakat desa hutan adalah sebuah produk budaya yang mendukung kelestarian sumber daya hutan di wilayah KPH Perhutani Cepu. Namun, dibalik kelestarian hutan yang ada, beberapa nilai-nilai kearifan lokal mengandung benih konflik dan kerawanan terhadap kelestarian hutan itu sendiri. Bentuk kearifan lokal yang ditemukan adalah narimo ing pandum, maka kearifan lokal yang merupakan produk budaya ini hanya membentuk kelestarian hutan saat ini, tetapi tidak untuk jangka panjang. Ketika budaya masyarakat berkembang secara dinamis, dari segi cara masyarakat, maka dapat dikhawatirkan akan memunculkan keinginan untuk menuntut hak yang lebih besar daripada apa yang telah didapatkan selama ini. Hal ini secara mudah dapat diterangkan bahwa kelestarian hutan yang terbentuk pada saat ini hanyalah kelestarian tegakan hutan tetapi kelestarian pengelolaan hutan belum tentu terwujud. Karena tujuan akhir dari pengelolaan hutan adalah kesejahteraan seluruh warga dan para pelaku kehutanan serta bagi lingkungan hutan itu sendiri. Ketiadaan perubahan inilah yang akan mengancam kelestarian hutan apabila tujuan pengelolaan hutan tidaklah untuk mensejahterakan dan menjadikan hubungan harmonis dalam setiap unsur yang merupakan aktor-aktor kehutanan di KPH Cepu.
xiv
ABSTRACT
HANANTO WIDHIAKSONO. Student number D0303031. Defending the Forest Sustainability by the Using of the Indigenous Knowledge of The Society in Forest Village. Thesis. Sociology Department of Bachelor degree. Faculty of Social Science and Political Science. Sebelas Maret University. In 2009
The forest sustainability is the result of many processes happening in the
forest ecology. There is an interaction process in forest. The ecosystem in forest has social system consisting human with their social process and the ecological environment in forest. The forest can not be reached if there is no a good interaction between that social process and the natural resources.
This research is a etnographic studies aims to know the indigenous knowledge of the society in forest village in order to maintain the forest. This research also tries to identify the social power of the society in forest village as the basic of forest sustainability. The research tries knowing that discourse above. This research takes place in Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), Cepu, Blora, Central Java. There are many “actor” who interact in the term of forest management. It directly or indirectly influences the forest sustainability. The “actor” are the society in forest village, KPH CEPU, and SUPHEL.
There are some cases causing the indigenous knowledge of the society in
forest village such as in structural and cultural terms. Structurally, that is caused by long social process causing a structure of society in forest village which exists in low social grade. They want to get their right of the forest resources. Culturally, the indigenous knowledge of the society in forest village that there actually is limited access in forest cause the emerged of culture of the society in forest village such as ideas, manner, and the means which is used by them in daily their activities. The main concept of this research is there is an indigenous knowledge of the society in forest village. Thought, manner and means are the cultural product that can encourage the attempt to maintain forest resources in KPH Perhutani CEPU. In the other hand, there are any values of indigenous knowledge which can cause conflict in maintaining the forest. In this case, indigenous knowledge deals with narimo ing pandum. So that is why, the indigenous knowledge as cultural product makes the forest sustainability just at that moment. Actually, culture dynamically develops in the term of society point of view its also causes an expectation to get their right more. To sum up, the forest management sustainability is still no exist now. However, the aim of the forest management sustainability is to make the society and the environment get the beneficial of forest resources and their welfare. If the aims of forest management do not make the society become prosperous and cause good relation between the actors in KPH CEPU, that will attack the forest sustainability.
BAB I
xv
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sejarah wilayah sama tuanya dengan sejarah masyarakat atau manusia.
Setiap masyarakat yang hidup di sebuah wilayah dengan karakteristik tertentu
akan mengalami proses interaksi yang khusus pula. Interaksi ini akan
menghasilkan budaya yang berbeda dengan budaya pada masyarakat lain.
Demikian halnya dengan masyarakat yang menetap di areal yang berdekatan
atau bahkan berada di dalam kawasan hutan, yang akan mempunyai interaksi
khas dengan lingkungan sekitarnya itu, dan menghasilkan bentuk budaya yang
tidak ditemukan di wilayah lain. Akhirnya muncul istilah masyarakat desa
hutan dengan karakteristik masyarakat yang berbeda dengan sekelompok
masyarakat lain.
Masyarakat desa hutan dengan hutan yang ada di wilayahnya pada
umumnya memiliki hubungan yang erat dan tingkat ketergantungan yang
tinggi terhadap hutan. Betapa tidak?, mereka hidup dan berinteraksi secara
intens dengan hutan semenjak lahir bahkan mungkin hingga mati. Lamanya
interaksi ini secara otomatis akan menghasilkan budaya.
Berbagai contoh dapat kita lihat pada berbagai masyarakat serta suku-
suku yang ada di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia. Di hutan
Kalimantan, masyarakat Dayak dengan ketergantungan yang luar biasa
terhadap hutan, lingkup kehidupannya menghasilkan sistem pertanian yang
bersistem rotasi ladang serta memunculkan kearifan lokal berupa terbentuknya
kawasan-kawasan hutan larangan yang disebut hutan adat Simpunk. Hal serupa
dapat kita jumpai pada alas wengkon di masyarakat desa hutan di Jawa, sistem
xvi
hutan khepong damar dan Lembok di masyarakat desa hutan di Sumatra, sistem
Sasi di kepulauan Maluku yang khusus untuk hutan terdapat Sasi Sagu dan Sasi
Ewang, serta berbagai sistem di wilayah lain yang belum diungkap.
Berbagai sistem serta budaya dalam masyarakat sekitar kawasan hutan
mempunyai peran penting dalam menjaga kelestarian hutan. Apabila di saat
sekarang terdapat paradigma bahwa masyarakat desa hutan adalah pihak yang
menyebabkan kerusakan hutan maka yang perlu kita pahami adalah penyebab
mereka melakukan hal tersebut. Negara dalam hal ini pemerintah yang
mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan telah mencerabut masyarakat desa
hutan dari wilayahnya sendiri. Akses terhadap hutan dibatasi bahkan ditutup
sehingga masyarakat desa hutan ibarat ”anak ayam mati di lumbung padi”.
Kembali pada konsep bahwa sejarah wilayah sama tuanya dengan sejarah
masyarakat maka apabila penyebab kerusakan hutan ditimpakan pada
masyarakat desa hutan, mengapa hutan pada saat ini masih ada? Kerusakan
hutan akibat perilaku masyarakat desa hutan belum cukup terbukti. Fakta di
lapangan, perusak terbesar hutan di Indonesia adalah karena pengelolaan hutan
yang berada ditangan negara dan menggunakan paradigma State Based Forest
Management (SBFM). Contoh paling nyata adalah masa Orde Baru dimana
kerusakan hutan di Jawa dan terlebih khusus di luar Jawa mengalami fase
terparah. Sejarah Indonesia bidang kehutanan memperlihatkan, enam tahun
setelah kepergian rimbawan bangsa Belanda, pada tahun 1963 status pengelola
hutan di Jawa berubah dari Jawatan ke Perusahaan Negara dengan nama PN
Perhutani, kecuali untuk daerah Jawa Barat dan Daerah Istimewa Jogjakarta.
Tujuan perubahan itu untuk meningkatkan pendapatan negara dari hutan Jawa
Timur dan Jawa Tengah, serta beberapa kelompok hutan di Tarakan, Sampit
xvii
dan Balikpapan (Kalimantan Timur), serta Pulau Laut (Kalimantan Selatan).
Perubahan status itu ditangkap oleh para pengelola kehutanan sebagai amanat
pemerintah untuk meningkatkan intensifikasi pemungutan hasil hutan sehingga
memperoleh keuntungan yang besar bagi pembangunan nasional yang berada
dalam krisis ekonomi. Kurang dari 10 tahun PN Perhutani mengemban tugas
menggali dana untuk pembangunan semesta berencana, ternyata nilai rapor
yang diperoleh sangat mengecewakan. Unit-unit di Kalimantan yang
pelaksanaannya bekerja sama dengan Jepang ternyata dinyatakan rugi ribuan
dolar. Melihat hal ini, akhirnya PN Perhutani dilikuidisir, Jawa tengah dan
Jawa timur menjadi Perum Perhutani., unit-unit kerja di Kalimantan Timur
menjadi PT Inhutani I, unit di Kalimantan Selatan menjadi Inhutani II, dan unit
di Kalimantan Tengah menjadi Inhutani III. Selama itu pulalah kerusakan
hutan Indonesia bertambah tiap tahun, ditambah pula dengan kebijakan
pemerintah Orde Baru yang membuat kebijakan yang sangat dipengaruhi oleh
para pengusaha waktu itu. Akhirnya lembaga-lembaga diatas pun tunduk dan
patuh pada amanat pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang
dekat pada para pengusaha kapitalis.
Sejarah kehutanan Indonesia selalu menyebutkan adanya masyarakat di
sekitar hutan yang ikut serta dalam proses pembangunan kehutanan. Sebagai
contoh adalah hutan jati di Jawa. Hutan jati di Jawa telah menjadi sumber
utama bahan baku industri kapal selama lebih dari lima abad, maka masyarakat
dan pemerintah di Jawa telah lama pula menguasai manfaat dan
selukbeluknya.
Pada setiap masyarakat kehutanan waktu itu terdapat hak ulayat yaitu hak
yang berfungsi untuk mengendalikan sumber daya hutan jati masuk dalam
xviii
aturan wilayah administrasi terkecil yaitu desa. Zaman Belanda yang menjajah
Indonesia selama kurang lebih tiga setengah abad berupaya untuk memupus
hak ulayat ini dalam kerangka untuk menguasai kayu jati untuk dijadikan kapal
ke Eropa. Dan inilah pula yang sampai saat ini tetap dilakukan oleh negara
dalam bentuk PT Perhutani yaitu dengan tidak memberikan satu wilayah hutan
pun bagi para warga masyarakat tetapi diakui sebagai wilayah hutan negara.
Inilah beberapa data terakhir kehutanan Indonesia, Irdika Mansur (2005),
Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, menyatakan :
”upaya serius untuk menyelamatkan hutan Indonesia harus benar-benar
dilakukan sesegera mungkin karena laju kerusakan hutan di tanah air telah
mencapai 2,8 juta hektare per tahun atau setara dengan enam lapangan
sepakbola per menit. Seiring dengan itu, maka akan diikuti pula dengan
hilangnya spesies pohon hutan, khususnya pohon komersial”. Kawasan hutan
lindung, telah terancam keberadaannya oleh perusahaan multinasional yang
berparadigma pada eksploitasi alam semata. Hutan-hutan tersebut diantaranya,
hutan lindung Gag-papua yang sekarang menjadi lokasi proyek PT Gag Nickel,
Tahura (Taman Hutan Rakyat) Poboya Paneki oleh PT Citra Palu Lestari,
Taman Nasional Meru Betiri di Jember oleh PT Jember Metal, Taman Nasional
Lore Rindu di Sulteng oleh PT Mandar Uli Minerals, Taman Nasional Kerinci
Seblat oleh PT Barisan Tropikal Mineral dan Sari Agrindo Andalas. Serta
hutan Cepu dan Bojonegoro yang saat ini dikenal sebagai blok Cepu juga
sudah dikuasai oleh PT Exxon Mobile. Beberapa hal diatas menimbulkan
dampak pada ketidakadilan distribusi penguasaan sumber daya alam ini
sehingga konflik sosial adalah sesuatu yang riil terjadi di masyarakat.
xix
Oleh sebab itu, upaya pengelolaan hutan agar tetap lestari tidak boleh
menghilangkan kearifan masyarakat lokal di sekitar hutan. Mereka mempunyai
pengetahuan lokal sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan baik
lingkungan biotik, fisik maupun lingkungan antar manusia itu sendiri.
1.2. Perumusan Masalah
Masyarakat desa hutan dengan karakteristiknya adalah hasil interaksi antara
lingkungan hutan dengan anggota-anggotanya. Interaksi tersebut dilakukan
dalam lingkup lingkungan biotik, lingkungan fisik dan lingkungan antar
manusia itu sendiri. Proses interaksi ini akan menghasilkan sebuah budaya.
Budaya yang muncul dari dalam masyarakat itu sendiri dapat kita sebut sebagai
kearifan lokal. Kearifan lokal akan lebih bersifat sebagai interaksi positif antara
hutan dengan masyarakat. Sentiment community terbentuk dalam tubuh dan
jiwa masyarakat. Hal ini muncul karena masyarakat desa hutan mendapatkan
manfaat dari hutan sehingga secara otomatis mereka akan berusaha untuk
mempertahankan kelestarian hutan agar manfaat yang mereka peroleh dari
hutan tetap didapatkan.
Pembangunan hutan Indonesia yang menghasilkan berbagai pola
pengelolaan hutan ikut mempengaruhi kearifan lokal di masyarakat desa hutan.
Kearifan lokal dapat dilihat sebagai sebuah proses sosial sehingga ia dapat
berubah sesuai tuntutan kebutuhan dan zaman. Akan tetapi dasar dari kearifan
lokal adalah untuk tetap dapat melestarikan hutan demi tetap adanya
kemanfaatan hutan yang kontinyu.
Kearifan lokal sebagai sebuah budaya, mengandung ide-ide atau sebuah
gagasan tentang sebuah pengelolaan hutan lestari. Selain ide, di dalam kearifan
xx
lokal juga terbentuk pola perilaku yang menjadi pedoman dan cara untuk
berinteraksi. Masyarakat desa hutanpun akan mempunyai berbagai benda hasil
budaya sebagai wujud budaya yang kongkret.
Berdasarkan pandangan diatas, maka permasalahan yang ingin digali dalam
penelitian ini adalah:
a) Bagaimana interaksi yang dilakukan masyarakat desa hutan dalam
lingkup biotik, lingkup fisik, maupun lingkungan antar manusia itu
sendiri?
b) Bagaimana hasil interaksi sosial masyarakat desa hutan terhadap
kelestarian hutan dalam kerangka terbentuknya kearifan lokal?
1.3. Tujuan Penelitian
Setelah mengkaji latar belakang serta rumusan masalah sebagaimana
dipaparkan di muka, maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kearifan
lokal masyarakat desa hutan dalam upaya melestarikan hutan. Selain itu,
penelitian ini berupaya pula agar dapat memetakan kekuatan sosial masyarakat
desa hutan sebagai dasar pembentukan hutan lestari.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu:
a) Manfaat praktis
Secara praktis hasil penelitian akan bermanfaat dalam pembuatan
kebijakan pihak pemerintah c.q. KPH Cepu dalam rangka menjalankan
upaya pelestarian hutan. Bagi masyarakat desa hutan sendiri, hal ini
merupakan salah satu bentuk penyadaran atas apa yang mereka lakukan
xxi
selama ini dan dengan itu dapat terus menjaga maupun
mengembangkan kearifan lokalnya dengan lebih maksimal.
b) Manfaat teoritis
Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi sebuah tambahan
pengetahuan dan dapat ditambahkan dalam body of knowledge dari
ilmu Sosiologi khususnya dalam kajian Sosiologi pedesaan maupun
Sosiologi kehutanan.
1.5. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif etnografi yang bermaksud untuk
menjelaskan gejala-gejala sosial dalam segi kebudayaannya yang telah melembaga.
Setiap gejala sosial tersebut dijelaskan dalam deskripsi pola atau pattern-nya. Para
ahli etnografi bertanya, ”bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka
dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam
kehidupan?”. Etnografi terutama memperhatikan perilaku manusia yang berlangsung
pada jenjang ”diterima sebagai sesuatu yang sudah seharusnya demikian”.
Menurut tokoh yang lain, prof. Dr. Noeng Muhadjir, studi etnografi adalah
suatu deskripsi tentang cara mereka berpikir, hidup, berperilaku. Etnografi bukan
deskripsi kehidupan masyarakat primitif (seperti konsep etnografi di tahun 1950-an),
melainkan deskripsi kehidupan masyarakat kita dalam beragam situasinya,
sebagaimana adanya: dalam kehidupan kesehariannya, cara mereka memandang
kehidupan, perilakunya, dan semacamnya.
Prof. Hasanu Simon seorang pakar Sosiologi kehutanan UGM mengungkapkan
pandangannya tentang penelitian kualitatif, ”Pendeknya rimbawan harus dapat
meniru ilmu Nabi Sulaiman alaihissalam pada waktu berkunjung ke lapangan,
xxii
khususnya untuk menggali problematika yang akan bermanfaat bagi evaluasi
manajemen hutan. Berdialog dengan petani di sekitar hutan pun lebih cocok dengan
ilmu Nabi Sulaiman dibanding dengan menggunakan kuesioner, ilmunya orang
Eropa dan Amerika”.
1.6. Sumber Data
Jenis data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang dikumpulkan langsung dari sumbernya. Keuntungan menggunakan
data ini adalah data-data tersebut dapat dipercaya. Data sekunder adalah data yang
diperoleh dari pihak lain yang telah mengumpulkan dan mengolahnya.
Sumber data penelitian ini berasal dari beberapa stake holder yang diambil
datanya dengan metode wawancara dan pengamatan di lapangan. Mereka antara lain
adalah KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Perhutani Cepu yang merupakan
representasi dari pengelolaan hutan oleh negara. Salah satu informan terpenting dari
Perhutani adalah Kepala Bagian Sub Lapangan KPH Cepu. Kepala Sublap inilah
yang sering terjun ke lapangan dan berinteraksi dengan masyarakat desa hutan.
Selain itu, LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yaitu sebuah wadah
beranggotakan warga desa hutan terutama para tokoh-tokoh masyarakat yang karena
kelebihan tertentu menjadi pengurus LMDH. Warga masyarakat sekitar hutan, serta
beberapa LSM lokal. Salah satunya adalah LSM yang bernama Lembaga Suphel
(Solidaritas Untuk Pelestarian Hutan dan Lingkungan Hidup).
1.7. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian kualitatif ini akan menggunakan metode observasi sebagai jalan untuk
mengetahui dan mengamati secara seksama berbagai proses yang berlangsung dalam
xxiii
interaksi sosial masyarakat. Metode pengamatan yang dilakukan adalah model
pengamatan bebas dan rendah hati.
Selain itu, metode wawancara mendalam juga akan dilakukan guna mencari
penjelasan-penjelasan yang lebih detail dari informan. Para informan akan di pilih
dari para stake holder terkait. Akan tetapi, penelitian akan lebih banyak pada
informan yang berasal dari warga masyarakat desa hutan yang sifat wilayahnya
tersebar dan terpusat. Sebuah ciri khas masyarakat pedesaan dalam pemilihan tempat
tinggal. Setiap wilayah hutan dimana terdapat warga masyarakat desa hutan akan
kita datangi dan akan kita jumpai setiap warga yang sedang melakukan aktifitas
dalam hutan. Perlu diketahui, setiap hari warga masyarakat sekitar hutan pasti
melakukan aktifitas-aktifitas dalam hutan. Tidak hanya hutan di wilayah tempat
tinggalnya tapi hingga kawasan hutan di tempat lain yang jaraknya cukup jauh dari
wilayah hutan mereka.
Peralatan pembantu dalam penelitian ini adalah audio tape sehingga akan
menampilkan hasil rekaman wawancara. Selain itu kamera juga akan di gunakan
untuk memperlihatkan berbagai aktifitas interaksi warga masyarakat desa hutan
dengan hutan dalam bentuk gambar. Daftar pertanyaan untuk tiap-tiap informan akan
dibedakan sesuai dengan kapasitas serta kebutuhan penelitian akan data dari
informan tersebut.
1.8. Teknik Analisis Data
Penelitian ini akan menggunakan teknik analisis data kualitatif model alir yaitu
dengan melakukan tiga proses penelitian kualitatif baik reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan atau verifikasi dapat dilakukan selama masa pengumpulan
data sehingga pasca pengumpulan data dapat segera dilaporkan.
xxiv
Setiap data yang didapatkan dalam penelitian langsung akan dianalisis dan akan
dihubungkan dengan konsep serta teori dasar yang digunakan. Beberapa prinsip
dalam menganalisis data yang diperoleh baik melalui observasi maupun wawancara
adalah dengan prinsip penemuan studi dalam makna yang terdiri dari prinsip
relasional, prinsip kegunaan, prinsip kemiripan serta prinsip kontras.
1.9. Validitas Data
Pada positivisme dikenal validitas dan reliabilitas. Pada model paradigma
kualitatif keduanya diganti dengan kredibilitas. Menurut Prof. Dr. Noeng Muhadjir,
pada etnografi maupun etnometodologi terdapat dua konsep yang dapat dipakai
untuk mengganti konsep validitas reliabilitas maupun konsep kredibilitas dengan
indeksikalitas dan refleksikalitas. Indeksikalitas adalah keterkaitan makna kata,
perilaku dan lainnya pada konteksnya. Sedangkan refleksikalitas adalah tata
hubungan atau tata susunan sesuatu dengan atau dalam sesuatu yang lain.
Sebagai bentuk usaha kesahihan terhadap data yang diperoleh, maka selalu
dilaksanakan proses trianggulasi penyelidikan artinya melakukan pengujian pada
situasi yang sama oleh orang yang berbeda (lebih dari seorang).
xxv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pokok pembahasannya, sering dijumpai pembagian sosiologi
ke dalam dua bagian utama. Nama yang diberikan berbeda-beda. Leonard Broom
dan Philip Selznick (1977), misalnya membedakan antara tata mikro(micro
order) yang terdiri dari interaksi-interaksi terpola, perilaku peranan, kelompok-
kelompok primer, dan hubungan-hubungan antar manusia dalam kelompok-
kelompok terorganisasi serta institusi-institusi, dan tata makro(macro order)
yang terdiri dari hubungan antar kelompok, pola-pola organisasi sosial yang
komprehensif, serta komunitas- komunitas dan masyarakat-masyarakat. Jack
Douglas (1973) mengadakan perbedaan antara dua perspektif sosiologi:
perspektif struktural atau makrososial, yang memandang masyarakat sebagai
suatu keseluruhan dan meletakkan fokus pada saling kesalingtergantungan antar
bagian masyarakat. Perspektif kedua, kehidupan sehari-hari atau mikrososial,
yang meletakkan fokus pada tindakan-tindakan serta komunikasi yang dapat
diamati.1
Menurut George Simmel, seorang sosiolog bertugas untuk meneliti bentuk
interaksi masyarakat yang terpola seperti jaring laba-laba, bagaimana mereka
terjadi dan mewujud di dalam kehidupan sejarah dan seiring budaya berbeda.
Lapangan penyelidikan utama sosiolog adalah sosiasi yaitu pola-pola dan
bentuk-bentuk khusus manusia dalam melakukan asosiasi dan interaksi satu sama
lain. Masalah-masalah yang dipelajari sosiologi terletak pada deskripsi dan
1 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1985
xxvi
analisis bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial manusia dan kristalisasinya
dalam kelompok dengan karakteristiknya masing-masing.
Sosiologi menurut Hasanu Simon (2004) merupakan suatu ilmu yang
mempelajari perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Baik
lingkungan biotik, fisik maupun lingkungan antar manusia sendiri. Pengertian ini
merupakan sebuah pengertian yang bernuansa ekologi manusia.
Semula masalah sosial dan sosiologi bukan sesuatu yang menonojol. Di
bidang pendidikan, menengah, maupun perguruan tinggi, sosiologi pada awalnya
sederhana saja dan tidak menarik minat siswa maupun mahasiswa. Di bidang
praktis, masalah sosial jauh tidak menonjol dibandingkan dengan bidang-bidang
yang sudah lama keren, seperti kedokteran, teknik, pertanian bahkan masalah
ekonomi dan sejarah. Akan tetapi, dengan semakin kompleksnya masyarakat dan
program pembangunan karena meningkatnya teknologi, ternyata masalah sosial
dan sosiologi menjadi semakin menunjukkan peranan yang penting.2
Mengingat sangat mendesaknya persoalan lingkungan yang terjadi, maka
sebagai konsekuensi atas pembahasan tersebut, sudah saatnya sosiologi
mengembangkan kajian keilmuannya tidak sebatas berkutat pada kajian tentang
interaksi antar manusia saja, sebagaimana yang seringkali kita terima dalam mata
kuliah pengantar sosiologi. sudah saatnya para sosiolog atau calon sosiolog turut
merefleksikan kembali kajian tentang hubungan antara manusia atau masyarakat
dengan lingkungannya3
Profesor Sosiologi Amerika, John J. Macionis dalam Sociology mengakui
tentang masih terbatasnya peran sosiologi dalam persoalan-persoalan lingkungan
2 Hasanu Simon, Aspek Sosio-Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004. 3 Rachmad K. Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan Dari Pegunungan Di Kota Batu Malang, , Paper Dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Sosiologi Se-Jawa Timur, Universitas Muhammadiyah Malang, 26 Desember 2004
xxvii
(ekologi), terutama ketika memberikan bukti-bukti ilmiah dan fisik mengenai
kerusakan lingkungan. namun demikian demi mengembangkan sosiologi yang
berperan dalam persoalan lingkungan, satu kata kunci adalah bahwa tidak ada
satu persoalan lingkungan yang produk dunia alamiah dan berjalan dengan
sendirinya. berangkat dari hal tersebut persoalan lingkungan adalah produk
interaksi antar manusia. dengan demikian, para sosiolog otomatis dapat
mengambil peran didalamnya, seperti:
a) Sosiolog bisa menggali(explore) tentang arti atau makna lingkungan bagi
masyarakat yang berlatang belakang sosial beragam.
b) Sosiolog bisa memonitor denyut nadi(pulse) masyarakat pada persoalan-
persoalan lingkungan. Membuat laporan tentang pikiran, harapan dan
ketakutan mereka. Termasuk, menganalisa mengapa kategori tertentu dari
individu atau masyarakat mendukung atau menolak pihak tertentu.
c) Sosiolog bisa menunjukkan bagaimana pola-pola sosial manusia
menyebabkan tekanan yang memuncak pada lingkungan alamiah. Dalam
kaitan ini, sosiolog mengambil peran yang spesifik dalam menunjukkan
bagaimana pola-pola kebudayaan dan konstelasi politik dan ekonomi
secara khusus mempengaruhi lingkungan alam.4
Kajian-kajian sosiologi di setiap universitas akan memasukkan materi
ekologi sosial atau ekologi manusia. Ekologi manusia didasarkan pada suatu
perspektif sosiologi yang luas serta telah dikembangkan sejak awal oleh Malthus
dan Darwin. Albercht dan Murdock (1985) mengemukakan bahwa ekologi
manusia didasarkan pada anggapan bahwa untuk mempertahankan hidup,
manusia, harus melakukan adaptasi dengan lingkungan fisik dan sosial yang
4 ibid
xxviii
mereka miliki. Hal ini dilaksanakan oleh perangkat teknologi dan praktek-
praktek budaya bahwa bentuk penggunaan lingkungan dan bentuk
pengembangan organisasi sosial boleh untuk adaptasi seperti itu.5
Selain Albert dan Murdock, Hawley (1950) menggambarkan ekologi
manusia sebagai suatu penyesuaian dari manusia terhadap lingkungan hidupnya
(habitat) sebagai suatu perkembangan masyarakat dengan mempertunjukkan
kedua hubungan antara bentuk simbiotik dengan komensalistik.6
Rambo (1980) menawarkan sebuah model ekologi manusia. Model ini
mempunyai dua subsistem yang independen yaitu ekosistem alam dan sistem
manusia yang divisualisasikan sebagai saling berhubungan melalui perubahan
energi, material dan informasi. Konsekuensinya, adanya perubahan dalam salah
satu dari kedua subsistem akan mengakibatkan suatu perubahan dari subsistem
lainnya dengan perubahan pula pada aliran energi, material, dan informasi. Jadi,
kedua subsistem dapat dilihat sebagai kegunaan hubungan dialektika yang tidak
ada habisnya dan merupakan suatu kerjasama yang evolusioner. Rambo7
menekankan terdapat empat aspek dalam model sistem ekologi manusia, yaitu:
a) input dari ekosistem ke dalam sistem sosial.
b) Input dari sistem sosial ke dalam ekosistem
c) Perubahan di dalam perbaikan kelembagaan sistem sosial dalam
merespon input dari ekosistem.
d) Perubahan didalam ekosistem dalam merespon terhadap input dari sistem
sosial.
5 San Afri Awang,Dekonstruksi Social Forestry:Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan, Yogyakarta, Bigraf Publishing, 2004 6 Loc.cit 7 ibid
Keterangan:
xxx
Selain model sistem ekologi Rambo, Duncan8 (1959) juga menawarkan
sebuah model ekologi yang disebut model komplek ekologi. Model ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Secara rinci, empat elemen dari model kompleks ekologi yang berinteraksi
adalah sebagai berikut:
a. Penduduk (P)
Penduduk merupakan unit analisis dalam ekologi. Atribut (kelengkapan)
variabel penduduk seperti kepadatan penduduk persatuan luas, tingkat
pertumbuhan penduduk, umur, ras etnik, komposisi, pembagian jenis
kelamin, dan faktor sosio-kultural, mungkin memiliki dampak pada
lingkungan dan adaptasi organisasi penduduk( Poston dkk dalam
Awang,2004)
b. Organisasi Sosial (O)
Organisasi sosial mempunyai arti tanggung jawab bersama terhadap
perubahan kondisi lingkungan dan persyaratan untuk bertahannya suatu
sistem. Dengan kata lain organisasi ekologis. Merefleksikan suatu adaptasi
penduduk pada kemungkinan-kemungkinan dan keterbatasan-keterbatasan
8 ibid
xxxi
lingkungannya. Menurut Berry dan Kasarda (dalam Awang,2004) bahwa
organisasi adalah seluruh jaringan yang mempunyai hubungan simbiotik dan
komensalistik, yang memungkinkan penduduk melestarikan sendiri
lingkungannya.
c. Lingkungan (E)
Lingkungan meliputi lingkungan anorganik dan organik yang
mempengaruhi penduduk. Lampard dalam Awang (2004) menggambarkan
lingkungan termasuk semua kekuatan luar dimana seseorang penduduk
mungkin akan mempengaruhi penggunaan sumber daya material lainnya.
Dengan kata lain, lingkungan dipandang sebagai suatu kumpulan kondisi
terbatas, baik luas atau sempit, tergantung pada ukuran teknologi dan model
organisasi yang berlaku dalam suatu masyarakat.
d. Teknologi (T)
Teknologi merupakan suatu elemen kritis untuk adatasi manusia. Inovasi
teknologis merupakan faktor yang berpengaruh di dalam teori ekologi-
evolusioner dari masyarakat manusia (Lenski dan Lenski dalam
Awang,2004). Teknologi meningkatkan variasi ekosistem oleh masukan
fasilitas ke dalam lingkungan.
2.1.1. Hutan Dan Sumber Daya Hutan
Hutan menurut UU No 41 tahun 1999 merupakan suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
sama lain tidak dapat dipisahkan. Menurut statusnya sesuai dengan UU
kehutanan, hutan hanya dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu (1)hutan
negara, hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah; dan
xxxii
(2)hutan hak, hutan yang dibebani hak atas tanah yang biasanya disebut
sebagai hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas lahan
milik rakyat, baik petani secara perorangan maupun bersama-sama.9
Sumber Daya Hutan merupakan bagian dari sumber daya alam yang
berupa hutan. San Afri Awang mendefinisikan masyarakat desa hutan
sebagai masyarakat yang berada di dalam hutan maupun berbatasan
langsung dengan hutan dan memanfaatkan sumber lahan hutan maupun hasil-
hasil hutan lain.
Saat ini, kondisi lingkungan khususnya hutan diseluruh penjuru bumi
sedang mengalami degradasi yang luar biasa. Sebagai contoh pada tahun
1970-an dan 1980-an kita dapat menyaksikan suatu peningkatan dramatis
dalam perampokan dan pengalihan sumber daya alam hutan di Amazon
Brazil, Kalimantan di Indonesia, Filipina dan yang terakhir di Mekong di
Vietnam.10 kerusakan-kerusakan ini sangat terkait erat dengan sistem politik
maupun ekonomi. Indonesia sendiri mengalami kasus yang serupa. Masalah
kehutanan di Indonesia adalah deforestasi yang meningkat dalam beberapa
dekade. Sebagaimana dilaporkan oleh Bank Dunia (2003) dan Departemen
Kehutanan Indonesia tingkat deforestasi sudah mencapai lebih dari dua juta
hektar per tahun. Secara total, luas hutan telah mengalami pengurangan yang
sangat signifikan. Apabila di tahun 1950, terdapat 162 juta hektar hutan, pada
tahun 1985, hutan kita tinggal 119 juta hektar. Angka ini terus mengalami
penurunan, karena pada tahun 2000, hutan kita tinggal 96 juta hektar.
Apabila tingkat kehilangan ini terus terjadi sebesar 2 juta hektar per tahun
maka dalam kurun waktu 48 tahun kedepan, wilayah Indonesia akan menjadi
9 San Afri Awang dkk, Hutan Rakyat;Social Ekonomi Dan Pemasaran, Yogyakarta, BPFE,2002 10 Ton Dietz, Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam,Yogyakarta, Insist Press, 2005
xxxiii
gurun pasir yang gundul dan panas. Penting juga dicatat, bahwa hutan
mangrove di Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan, dari 4,25
juta hektar pada tahun 1982, sekarang tinggal 3,24 juta hektar pad tahun 1987
dan menjadi 2,06 juta hektar pada tahun 199511
Masalah kehutanan Indonesia secara kewilayahan dapat dibagi menjadi
dua. Pertama adalah masalah hutan di Jawa dan kedua, masalah kehutanan di
luar pulau Jawa
Masalah hutan dan masyarakat di pulau Jawa antara lain:
a. pertumbuhan penduduk yang cepat tetapi tidak didukung oleh sumber
daya lahan yang tersedia.
b. Jumlah penduduk yang sangat banyak di Jawa. Lebih dari 130 juta jiwa
dengan luas areal 6% dari luas Indonesia. Sehingga pemilikan lahan
setiap keluarga sekitar 0,2-0,3 hektar dan berdampak pada masalah sosial
politik dan ekonomi yang luas.
c. Peluang kerja dan berusaha di pedesaan sangat terbatas, padahal angkatan
kerja banyak di desa. Dengan demikian sektor ekonomi pedesaan
menerima beban yang sangat tinggi untuk menanggulangi pengangguran.
d. Kebutuhan air akan terus meningkat pada masa yang akan datang untuk
kepentingan keluarga, indutri dan kegiatan lainnya baik di desa maupun
di kota. Hutan memegang peranan penting dalam mengatur air tanah di
Jawa, dan
e. Hutan komunal adat hutan rakyat belum disejajarkan dengan hutan
negara/publik dalam hukum Indonesia, padahal hutan rakyat tersebar
merata di pulau Jawa. Hutan adat telah terbukti mampu dijaga fungsinya
11 Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa, Kearifan Lingkungan Untuk Indonesiaku, Yogyakarta, 2006.
xxxiv
oleh masyarakat, dan mampu menjadi penyangga kebutuhan air di pulau
Jawa di mas yang akan datang. Diperkirakan dengan kondisi hutan saat
ini, suplai air di Jawa hanya akan mampu mendukung sekitar 45% di total
kebutuhan masyarakat di pulau Jawa.
Persoalan hutan di luar pulau Jawa sudah sedemikian kompleks, hampir
semua komponen masyarakat seperti pengusaha, aparat pemerintah,
pemerintah daerah, perguruan tinggi, tokoh masyarakat dan lembaga
swadaya masyarakat , dan lain-lain tidak mampu menyelesaikan terjadinya
proses degradasi alam hutan tropika kita sendiri-sendiri. Masalah hutan dan
masyarakat di luar pulau Jawa antara lain:
a. terdapat mitos selama orde baru bahwa hutan alam produksi dikuasai
dan dimiliki oleh pemegang HPH dan BUMN seperti Inhutani.
Masyarakat umum, masyarakat pedesaan sekitar, dan pemerintah
daerah sangat apatis, tidak punya akses, dan asset terhadap sumber
daya hutan sekalipun sumber daya hutan tersebut berada di wilayah
mereka.
b. Terjadi ketidakadilan di tengah masyarakat sebagai akibat dari sistem
penguasaan sumber daya alam hutan seperti disebutkan diatas. Hak-
hak masyarakat adat tergusur oleh sistem penguasaan HPH.
c. Selama orde baru, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat selalu
dianggap musuh oleh pihak penguasa dan pemerintah sehingga tidak
terbentuk proses dan mekanisme penyadaran dari pengusaha hutan
dan kontrol yang dilakukan masyarakat dianggap tidak konstruktif.
Ketika hutan sudah hancur, baru dirasakan bahwa peran aktif
masyarakat diperlukan untuk melindungi sumber daya hutan.
xxxv
Klaim atas lahan hutan dari masyarakat lokal dan dari pengusaha
terus berlangsung tanpa ada upaya-upaya penyelesaian pembagian manfaat
yang berkeadilan antara kedua belah pihak. Akibatnya adalah kedua belah
pihak selalu berusaha menguasai lahan hutan dengan segala caranya masing-
masing. Akibatnya hutan mengalami kerusakan yang serius.
2.1.2. Sumber Daya Hutan dan Manusia
Sumber daya hutan dan fungsinya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
manusia dalam memanipulasi penggunaan dan pemanfaatan sumber daya
hutan untuk kepentingan kehidupan dan lingkungan. Hutan dan masyarakat
merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ketergantungan antara kedua
belah pihak dapat digambarkan secara skematik sebagai berikut:
Gambar 3. skema ketergantungan hutan dan masyarakat
Jutaan masyarakat pedesaan kehidupannya tergantung kepada produksi
dan jasa hasil hutan dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun.
Namun demikian, jutaan manusia lainnya baik regional dan mondial yang
berada diluar orbit pedesaan juga memerlukan produksi dan jasa dari sumber
daya hutan, misalnya untuk rekreasi, penelitian, sumber ekonomi, penjaga
lingkungan dan penjaga kelestarian plasma nutfah untuk kebutuhan umat
manusia, tumbuhan, hewan, dan lain-lain.
Kebutuhan masyarakat (need of People)
Aliran produksi/jasa hutan (production flow)
xxxvi
Skematik diatas menjadi sangat terganggu ketika hubungan hutan dan
masyarakat hanya dilihat sebagai faktor ekonomi belaka, kemudian
memarjinalkan kehadiran masyarakat didalam membangun hutan tersebut. Di
sebagian besar belahan dunia, masyarakat dijadikan musuh oleh pemerintah
karena distigmasi sebagai perusak sumber daya hutan(SDH). Bukankah
masyarakat tidak bersahabat dengan alamnya karena mereka memang
dijauhkan secara politik dan ekonomi oleh pemerintah. Selama ini
masyarakat dianggap sebagai pesaing pemanfaat SDH oleh pengusaha dan
pemerintah.12
2.1.3. Kearifan Lokal Dalam Kehutanan
2.1.3.1. Definisi Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah kematangan masyarakat ditingkat komunitas yang
tercermin dalam sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif
di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal(material maupun non
material)yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan
perubahan kearah yang lebih baik dan positif13. Kearifan lokal dapat dilihat
dari dua perspektif yaitu, struktural dan kultural.
Perspektif struktural sebagai kaca mata kearifan lokal dipahami dari
keunikan struktur sosial yang berkembang di lingkungan masyarakat.
Struktur sosial tersebut tidak saja menjelaskan tentang institusi sosial,
organisasi sosial, kelompok sosial yang hadir di tengah masyarakat lokal, tapi
juga bertautan dengan dominasi wewenang dan kekuasaan yang melahirkan
12 San Afri Awang, Politik Kehutanan Masyarakat, Yogyakarta, Center For Critical Social Studies(CCSS),2003 13 Petunjuk pemakaian modul penguatan keserasian social melalui pelatihan tenaga pelatih(TOT) Pemantapan Pendamping Sosial
xxxvii
kelas atau stratifikasi sosial atau tipologi masyarakat. Pertumbuhan setiap
institusi sosial/lembaga /organisasi sosial pada setiap masyarakat berbeda.
Perbedaan ini dipelajari tidak hanya dari pembentukannya melainkan pola
pertumbuhan perkembangannya dan dinamika strukturalnya dan fungsi-
fungsinya untuk menjalankan peran-peran sosial universal.
Perspektif kultural lebih menekankan konteks kearifan lokal sebagai nilai
yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan dari masyarakat sendiri
dan karena kemampuannya mampu bertahan dan menjadi pedoman hidup
masyarakat.
Secara nyata masyarakat lokal/tingkat bawah memiliki sumber dan
potensi yang bersifat khusus kedaerahan dalam wujud nilai-nilai kearifan
lokal yang dipatuhi dan mempengaruhi pola pikir, pola hidup dan pola tindak
komunitas masyarakat mencakup pengetahuan lokal, budaya lokal, sumber
daya lokal, ketrampilan lokal dan proses sosial lokal.
Pengetahuan lokal berkaitan dengan data dan informasi tentang karakter
keunikan lokal serta pengetahuan dan pengalaman masyarakat untuk
menghadapi masalah dan kebutuhan serta cara pemecahannya. Budaya lokal
berkaitan dengan unsur-unsur kebudayaan yang telah terpolakan dan
sekaligus sebagai tradisi. Ketrampilan lokal berkaitan dengan keahlian dan
kemampuan masyarakat setempat untuk menerapkan dan memanfaatkan
pengetahuan yang diperoleh. Sumber daya lokal berkaitan dengan
ketersediaan potensi dan sumber daya lokal yang unik, sementara proses
sosial lokal berkaitan dengan bagaimana masyarakat menjalankan fungsi-
fungsi sosialnya, sistem sosial tindakan yang dilakukan, tata hubungan sosial
diantara mereka serta kontrol sosial yang dilakukan.
xxxviii
Secara sederhana konteks kearifan lokal dapat dilihat dengan kaca
mata wujud budaya seperti yang dikemukakan oleh Julian Hoxley. Julian
Hoxley berpendapat bahwa terdapat tiga wujud budaya yaitu:
1. Mentifact
Mentifact adalah budaya bersifat abstrak yang berupa aspek
mental yang melandasi perilaku dan hasil karya. Didalamnya terdapat
ideologi, sikap kepercayaan dan pemikiran.
2. Sosiofact
Sosiofact adalah kebudayaan yang menempatkan manusia sebagai
anggota masyarakat.
3. Artefact
Artefact adalah kebudayaan material( kebendaan ).
Selain Hoxley, tokoh Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat
menyebutkan bahwa kebudayaan dapat berwujud tiga hal yaitu:
1. Suatu hal yang kompleks dari ide, gagasan, norma, nilai, dan
peraturan.
2. Suatu kompleks aktifitas dan tindakan berpola manusia
bermasyarakat.
3. Benda hasil karya manusia.
2.1.3.2. Kearifan Lokal terhadap Lingkungan Hutan
Masyarakat Indonesia yang beraneka ragam mempunyai variasi kearifan
lokal masing-masing. Menurut Fazlun Khalid seorang pendiri Islamic
Foundation For Ecology And Environmental Studies(IFEES), Indonesia
xxxix
sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia mempunyai
kepedulian terhadap persoalan lingkungan. Banyak sekali masyarakat
Indonesia yang mempunyai empati mendalam terhadap alam aslinya dan saat
inilah waktu untuk mengingatkan masyarakat Indonesia bahwa pelestarian
habitat dapat diaplikasikan dengan sangat baik melalui tradisi-tradisi Islam
yang mereka miliki.
Kearifan lokal di berbagai daerah sangat beragam. Di masyarakat Maluku
dikenal sasi. Lembaga sasi adalah salah satu ketentuan hukum adat yang
bertujuan untuk membatasi ruang gerak anggota masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Contoh lain adalah pada masyarakat
ammatowa di kajang sulawesi selatan yang masih menyimpan nilai-nilai
budaya pasang yaitu memandang hutan sebagai sumber penghidupan
sehingga apabila merusak hutan samalah artinya dengan merusak
masyarakat. Peninggalan masa lalu ini masih dapat kita lihat pada kawasan
hutan yang dikeramatkan di ammatowa.14di lampung barat terdapat tradisi
kehutanan masyarakat krui yang disebut khepong damar(awang, 2004).
Praktik kearifan lokal lain dapat kita temui pada masyarakat adat dayak
dimana terdapat sistem simpunk, yang didasari konsep lati tana(hhutan
tanah) yang menggambarkan suatu keseimbangan antara unsur dua dunia
yaitu unsur manusia(senarinknk) dan dunia atas(prejadiq bantinknk). Konsep
ini akhirnya dituangkan dalam pembagian ruang yang lebih operasional dan
fungsional pada pembagian hutan dan lahan seperti belay, lubakng,
kampukng, sophan, umaq, bengkar, dan simpunkg.
14 Pusat pengelolaan lingkungan hidup regional Jawa, kearifan lingkungan untuk Indonesiaku, ibid.
xl
2.2. Landasan Teori
Sangat sukar menentukan teori-teori sosiologi yang langsung berkaitan
dengan lingkungan, disebakan kajian lingkungan dalam sosiologi masih terbilang
baru sehingga belum memiliki infrastruktur teori yang mapan, seperti paradigma
yang telah berkembang dalam sosiologi pedesaan maupun sosiologi industri.
tetapi, setidak-tidaknya ada gagasan-gagasan umum dan penting dari para
ilmuwan sosiologi yang bisa kita diskusikan.
Pertama, gagasan dari Frederick Buttel. ia menjelaskan bahwa terdapat
banyak perkembangan dan tahapan yang mengawali adanya sosiologi lingkungan
modern15.
1) Perkembangan tentang sosiologi sumber daya alam(natural resource
sociology), dimana penelitian sosiologis terfokus pada pertamanan,
perkebunan, manajemen dan kebijakan tanah milik umum dan perencanaan
penggunaan lahan.
2) penilaian tentang dampak sosial(social impact assesment), dalam kaitan ini
lebih khusus pada komunitas yang bergantung pada sumber daya alam,
seperti: komunitas petani dan nelayan.16
3) penelitian tentang tradisi gerakan sosial, yakni mencurahkan perhatian atas
penelitian tentang gerakan sosial, gerakan kolektif dan perspektif opini
publik dalam environtmentalisme modern dan persoalan manajemen sumber
daya alam. 15 Frederick Buttel, Environmental And Resources Sociology:Theoretical Issues And Opportunities For Synthesis In Rural Sociology,1996, hal. 56-75 16 dalam kaitan dengan komunitas yang bergantung pada sumber daya alam(resource dependent communities) hampir sama dengan yang dikemukakan sebagai teori dominasi lingkungan dan teori ekologi budaya. dalam teori dominasi lingkungan Donald l. hardesty menyatakan bahwa ingkungan fisik memainkan peranan dominant sebagai pembentuk utama masyarakat, baik terkait dengan perilaku individu(individual attitude), kehidupan kelompok(group life), kepribadian, moral, budaya dan agama. sementara teori ekologi budaya diperkenalkan julian h. steward menyatakan bahwa lingkungan dan budaya terbentuk melalui proses timbale balik atau dialektika. baik lingkungan maupun budaya sama-sama menjadikan.
xli
4) pendekatan ekologi manusia neo durkheimian, dalam kaitan ini sosiologi
membangun pengenalan pada dasar-dasar material pada struktur sosial dan
kehidupan sosial. sosiologi mencakup pandangan tentang struktur sosial dan
kehidupan sosial yang memiliki dimensi biofisik dan material secara krusial.
Kedua, gagasan Tindall (1995), ia menyatakan 8 sub dominan dari
sosiologi lingkungan yaitu:17
1. Penilaian dampak sosial.
2. Penelitian desain lingkungan.
3. Pendekatan ekonomi politik.
4. Pendekatan ekonomi organisasional.
5. Psikologi sosial masalah lingkungan.
6. Konstruksi sosial masalah lingkungan.
7. Teori tindakan kolektif.
8. Gerakan sosial.
Ketiga, gagasan Goldman dan Schurman (2000) mencoba memetakan
sosiologi lingkungan terdiri atas empat gagasan, yakni:18
1. Marxisme Ekologis.
Gagasan ini menyatakan kerusakan lingkungan adalah dampak dari
perkembangan kapitalisme.
2. Ekologi Politik Baru.
17 Rachmad K. Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan Dari Pegunungan Di Kota Batu Malang, , Paper Dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Sosiologi Se-Jawa Timur, Universitas Muhammadiyah Malang, 26 Desember 2004 18 Jalal, Menuju Sosiologi Lingkungan Atau Sosiologi Ramah Lingkungan, makalah dalam diskusi pada kongres Ikatan Sosiologi Indonesia, Bogor, 28 Agustus 2002.
xlii
Gagasan ini mencoba membongkar relasi kuasa dalam hubungan
antarmanusia pengelola-pengguna dalam suatu lingkungan yang
dipolitisir.
3. Feminisme Lingkungan.
Gagasan ini berupaya membongkar ide-ide dominan maskulin
mengenai klasifikasi apakah yang alamiah dan berupaya
menghapuskan ketimpangan yang diproduksi ide-ide tersebut.
4. Ilmu Pengetahuan.
Gagasan ini ingin mengetahui pengetahuan serta kekuasaan yang
dominan dalam kerangka hubungan antara klaim pengetahuan dan
kekuasaan.
2.3. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan berikut
ini:
Masyarakat Desa Hutan
Sumber Daya Hutan
Kearifan Lokal
Interaksi
Kelestarian
BUDAYA LOKAL
Sosiofact Mentifact
Artefact
xliii
Gambar 4. kerangka pemikiran penelitian
Dalam bagan diatas sebuah kearifan lokal dapat dilihat secara lebih
terfokus sebagai sebuah budaya. Setiap budaya mempunyai wujud. Tiga wujud
tersebut adalah mentifact, sosiofact dan artefact. Mentifact adalah bentuk
kebudayaan yang bersifat abstrak, kompleksitas dari ide, gagasan, norma, nilai
dan peraturan serta muncul dalam rupa aspek mentalitas. Sosiofact adalah suatu
kompleksitas aktifitas dan tindakan berpola dalam menempatkan manusia
sebagai anggota masyarakat yaitu patuh pada berbagai peraturan seperti norma,
nilai maupun hukum yang ada baik positif maupun adat. Artefact adalah
kebudayaan material yang berbentuk benda-benda hasil karya manusia. Tiga
unsur ini bersimultan dalam masyarakat desa hutan sebagai sebuah kearifan
lokal. .
Dalam kehidupan budaya manusia, alam tak pernah luput didalamnya. Bagi
masyarakat desa hutan, hutan dianggap sama pentingnya dengan sesama
manusia. Sehingga tak luput dalam bagian dari kearifan lokalnya.
xliv
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
3.1. DESKRIPSI WILAYAH KABUPATEN BLORA
Secara geografis Kabupaten Blora terletak di antara 111’016' s/d 111’338' Bujur
Timur dan diantara 6’528' s/d 7’248' Lintang Selatan. Secara administratif terletak di
wilayah paling ujung (bersama Kabupaten Rembang) disisi timur Propinsi Jawa
Tengah. Jarak terjauh dari barat ke timur adalah 57 km dan jarak terjauh dari utara
ke selatan 58 km.
Batas wilayah ketataprajaan adalah:
Utara : Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati
Timur : Kabupaten Bojonegoro Propinsi Jawa Timur
Selatan : Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur
Barat : Kabupaten Grobogan
Kabupaten Blora dengan luas wilayah administrasi 1820,59 km persegi
(182058,797 ha) memiliki ketinggian 96,00-280 m diatas permukaan laut, Wilayah
Kecamatan terluas terdapat di Kecamatan Randublatung dengan luas 211,13 km
persegi sedangkan tiga kecamatan terluas selanjutnya yaitu Kecamatan Jati, Jiken
dan Todanan yang masing-masing mempunyai luas 183,62 km persegi, 168,17 km
persegi dan 128,74 km persegi. untuk ketinggian tanah kecamatan Japah relatif lebih
tinggi dibanding kecamatan yang lain yaitu mencapai 280 meter dpi.
Kabupaten Blora dengan luas wilayah 1820,59 Km2, terbesar penggunaan
arealnya adalah sebagai hutan yang meliputi hutan negara dan hutan rakyat, yakni
49,66 %, tanah sawah 25,38 % dan sisanya digunakan sebagai pekarangan, tegalan,
xlv
waduk, perkebunan rakyat dan lain-lain yakni 24,96 % dari seluruh penggunaan
lahan.
Luas penggunaan tanah sawah terbesar adalah Kecamatan Kunduran (5559,2174
Ha) dan Kecamatan Kedungtuban (4676,7590 Ha) yang selama ini memang dikenal
sebagai lumbung padinya Kabupaten Blora. Sedangkan kecamatan dengan areal
hutan luas adalah Kecamatan Randublatung, Jiken dan Jati, masing-masing melebihi
13 ribu Ha.
Untuk jenis pengairan di Kabupaten Blora, 12 kecamatan telah memiliki saluran
irigasi teknis, kecuali Kecamatan Jati, Randublatung, Kradenan, dan Kecamatan
Japah yang masing-masing memiliki saluran irigasi setengah teknis dan tradisional.
Waduk sebagai sumber pengairan baru terdapat di tiga Kecamatan Tunjungan,
Blora, dan Todanan disamping dam-dam penampungan air di Kecamatan Ngawen,
Randublatung, Banjarejo, Jati, Jiken.
Banyaknya hari hujan di Kabupaten Blora selama tahun 2005 relatif baik bila
dibanding dengan tahun sebelumnya. Hari hujan terbanyak tercatat pada bulan
Pebruari dan Nopember dengan banyaknya hari hujan mencapai 15 dan 15 hari,
sedangkan paling sedikit tecatat dibulan Agustus yakni hanya terjadi 1 hari hujan.
Untuk rata-rata hari hujan tertinggi terdapat pada Kecamatan Blora, yakni
sebanyak 105 hari dengan rata-rata curah hujan di kabupaten Blora 1566 mm per
tahun untuk tahun 2005. Di beberapa kecamatan alat pengukur curah hujan
mengalami kerusakan yakni Kecamatan Cepu, Jepon, Banjarejo, Ngawen, Japah, dan
Todanan, sehingga data dari kecamatan tersebut tidak dapat tercatat. Rata-rata
banyaknya curah hujan tertinggi tercatat di bulan Maret sebanyak 182 mm sampai
547 mm diwilayah Blora.
xlvi
3.2. SEJARAH KABUPATEN BLORA
Sejarah kabupaten blora berlangsung menarik karena berproses cukup panjang
sehingga ikut serta pula dalam perjalanan pengelolaan hutan.
3.2.1. Blora Era Kerajaan
A. Blora dibawah Kadipaten Jipang
Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang
pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat
itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang.
Daerah kekuasaan meliputi : Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan
tetapi setelah Jaka Tingkir ( Hadiwijaya ) mewarisi tahta Demak pusat
pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan
Pajang.
B. Blora dibawah Kerajaan Mataram
Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan
Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah
Mtaram bagian Timur atau daerah Bang Wetan.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora
diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar
Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = � hektar ). Pada
tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga
sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.
C. Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755)
xlvii
Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi
pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku
Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan
Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja
di Yogyakarta.
Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan
bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675,
atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi
menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah
pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.
D. Blora dibawah Kasultanan
Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang
terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram
terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III,
sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan
Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah
Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju
masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya.
3.2.2. Blora Kabupaten
Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora
merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan
karena Blora terkenal dengan hutan jatinya.
Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada
hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749
xlviii
Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN
BLORA.Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.
3.2.3. Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan
Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke
19 dan awal abad ke 20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya
kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu..
Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah
sangat memberatkan bagi pemilik tanah ( petani ) . Di daerah-daerah lain di Jawa,
kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon
pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali
perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh SAMIN
SURASENTIKO.
Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung
mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan
pemberontakan radikal.
Beberapa indikator penyebab adana pemberontakan untuk menentang
kolonial penjajah antara lain :
· Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora
· Perubahan pola pemakaian tanah komunal
· pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan
oleh penduduk
Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan
protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunai corak MILLINARISME, yaitu
xlix
gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas yang
makmur.
Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren,
Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih
dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden
Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang
bernafas kerakyatan.
Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di
daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan
ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi
pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan
ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang
tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.
Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722
orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah
Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun
1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai
merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya
sebagai RATU ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian
selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh Raden
Pranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta
delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar Jawa
pada tahun 1914.
l
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan
pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya
didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar
Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa
pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa. Tahun 1911 Surohidin, menantu
Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin
di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo,
Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan. Tahun 1914, merupakan puncak
Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial belanda menaikkan
Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi
menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.
Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau
kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-
orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi. Di Desa Tapelan, Bojonegoro
juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak
mau membayar pajak. Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah
Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh
Ajaran Politik Samin Surosentiko adalah dengan mengajak pengikut-
pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Kolonial Belanda. Hal ini terwujud dalam
sikap :
1. Penolakan membayar pajak
2. penolakan memperbaiki jalan
3. penolakan jaga malam (ronda)
li
4. penolakan kerja paksa/rodi
Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang
dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani
orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para
warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.
3.3.GAMBARAN UMUM WILAYAH PEMANGKUAN KPH CEPU
Kantor KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Cepu terletak di Kecamatan Cepu
Kabupaten Blora yang terkenal dengan penghasil jati kualitas terbaik. Perjalanan
menuju KPH Cepu dapat ditempuh kendaraan roda empat atau bus melalui jalur
Surakarta-Ngawi-Cepu (122 kilometer), Surakarta-Purwodadi-Blora-Cepu (161 km),
Semarang-Purwodadi-Blora-Cepu (162 km), Semarang-Kudus-Rembang-Cepu (182
km), dan Surabaya-Bojonegoro-Cepu (149 km).
Khusus perjalanan yang ditempuh dari Surakarta, meskipun agak jauh namun
lebih menguntungkan bagi wisatawan. Sebab pada jalur ini, wisatawan dapat singgah
terlebih dulu di Museum Purbakala Sangiran Kabupaten Sragen, atau menyaksikan
keajaiban alam Bledug Kuwu di Grobogan. Bledug Kuwu merupakan daerah
penghasil garam tradisional, dimana bahan baku air asinnya bersumber dari kawah
yang terlontar dari dalam tanah.
Wilayah pemangkuan hutan KPH dengan wilayah administratif seringkali
berbeda. Hal ini telah diatur menurut pembagian kawasan hutan semenjak zaman
Belanda. Perusahaan Belanda bernama Djatibedrijf telah mempetak-petak wilayah
hutan dan pembagian itu diadopsi oleh Perum Perhutani hingga saat ini. hal ini
menyebabkan KPH Cepu yang berkantor di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora
lii
mengurusi hutan tidak hanya di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora semata tetapi
juga pada beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Bojonegoro. Gambar di bawah
ini adalah peta dari kabupaten Blora dimana didalamnya terdapat delapan wilayah
pemangkuan hutan perhutani Cepu:
Hutan Jati di KPH ini berada pada diketinggian 25-250 m diatas permukaan laut,
dengan suhu udara 220- 340C. Pimpinan KPH disebut Administratur, yang
memimpin dibawah koordinasi Perum Perhutani unit I Jawa Tengah.
Obyek wisata geologi adalah merupakan wisata alam atau kegiatan wisata
dibidang ilmu kebumian dengan obyek berupa lokasi yang berkaitan erat hasil proses
geologi yang terkandung dan tersimpan didalam alam antara lain Geologi Wisata
yang berhubungan dengan minyak dan gas bumi. Wisata Geologi ini kebanyakan
berada di perbukitan dan ditengah-tengah kawasan hutan jati yang lebat yang berada
diwilayah Kabupaten Blora, dan sekitarnya, namun sangat mudah dijangkau baik
dangan kendaraan roda dua ataupun dengan roda empat.
Wilayah yang menjadi bagian
dari KPH Cepu dalam wilayah
administratif kabupaten Blora:
· Kec. Blora
· Kec. Bogorejo
· Kec. Jiken
· Kec. Jepon
· Kec. Banjarejo
· Kec. Sambong
· Kec. Kedungtuban
· Kec. Cepu
Gambar 5. Peta Kabupaten Blora
Sumber: KPU Jateng
liii
Sumur minyak dan gas bumi di wilayah Kabupaten Blora yang pertama kali di
ketemukan oleh BPM pada tahun 1890, jumlah sumur + 648 buah, 112 buah sumur
diantaranya dapat memproduksi minyak diantaranya + 16.550.790 m2, sedangkan
ladang gas bumi yang berada di wilayah Cepu ; berada di Balun dan Tobo. Adapun
disekian banyak sumur minyak yang di ketemukan baik di wilayah Kabupaten Blora
sendiri atau disekitarnya, terdapat sumur minyak tua yang ditambang secara
tradisional oleh masyarakat setempat dengan menggunakan tali dan timba yang
ditarik + sejumlah 15 orang diwilayah Wonocolo, tetapi masih masuk dikawasan
hutan jati KPH Cepu Kabupaten Blora. Karena pada umumnya kawasan lokasinya
berada di perbukitan dan ditengah kawasan hutan hal ini sangat menarik, unik dan
menawan, sehingga banyak dikunjungi baik Wisatawan Nusantara maupun
Mancanegara.
Pengelolaan hutan jati di KPH Cepu juga dibantu oleh adanya LMDH atau
lembaga masyarakat desa hutan. Sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengatur
dan mengelola hutan baik dalam hasil hutan maupun sumber daya manusia di
masyarakat desa dimana LMDH itu berada. LMDH menjadi mitra Perhutani dalam
melaksanakan program PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat).
BAB IV
liv
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. INTERAKSI MASYARAKAT DESA HUTAN
Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah menentukan informan.
Peneliti menggunakan langkah-langkah yang dilakukan oleh James Spradley.
Spradley menjelaskan bahwa terdapat dua belas langkah dalam metode etnografi,
dan langkah pertama adalah menentukan informan.
Penetapan informan didasarkan pada pertimbangan etika suatu penelitian.
Informan yang penulis pilih untuk pertama kali adalah dari pihak Kesatuan
Pemangkuan Hutan(KPH) Cepu. Selain untuk meminta informan dari KPH Cepu,
peneliti juga melakukan perkenalan sekaligus ijin melakukan penelitian. Menurut
Bogdan (1993:66), Perkenalan secara terbuka ini penting. Dengan ini peneliti akan
dapat bergerak secara leluasa dalam ‘memburu’ informasi yang dibutuhkan, serta
memperoleh kemudahan dari organisasi atau kelompok-kelompok di masyarakat,
dan dalam menjelaskan tujuan penelitian cukup sekedar penjelasan umum,
berkatalah yang sebenarnya pada saat permulaan penelitian(Bogdan 1993: 72-73).
Penulis merasa bersyukur dengan kemudahan perkenalan karena memang pernah
berinteraksi selama 1,5 bulan ketika menjalani masa magang pada LSM SUPHEL
dengan lokasi yang sama. Pihak Perhutani yang penulis temui adalah, bapak Eko
Teguh Prasetyo, supervisor lapangan KPH Cepu yang lebih dikenal sebagai KSS
PHBM(Kepala Sub Seksi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Nama KSS
PHBM dimaksudkan agar lebih menuansakan kesamaan derajat atau lebih merakyat.
Pak Eko menyarankan kepada penulis agar menghubungi Mas Agus staf
beliau yang mempunyai kelebihan merupakan warga asli Blora dan lebih mengenal
lapangan karena dialah yang paling sering terjun ke lapangan. Mas Agus inilah yang
penulis tetapkan sebagai informan pertama dan sekaligus informan kunci penelitian
ini. Orang seperti Mas Agus inilah inilah yang disebut oleh Agar(1980:85) sebagai
lv
‘profesional stranger handler’, yaitu sebagai orang pertama yang memberi penjelasan
pada ‘orang luar’ seperti peneliti. Orang seperti ini disebut juga sebagai ‘natural
relation expert’ (Agar 1950). Orang-orang seperti ini dapat memberikan penjelasan
yang memuaskan pada ‘orang luar’ (peneliti) tanpa merugikan masyarakatnya.
Menurut Pak Agus ini, Cepu(KPH Cepu) mempunyai potensi lebih dibanding
dengan KPH lain. Tetapi apa kelebihannya(ini sebuah pertanyaan etnografis juga).
Sebuah informasi yang juga perlu diperhatikan dari beliau, adalah bahwa di KPH
Cepu ini tidak ada hutan adat. Tetapi pertanyaan lain yang mengemuka dalam benak
peneliti adalah apakah masyarakat punya hutan kolektif? Informasi ini bagi saya
cukup mempengaruhi proses apa yang harus dilakukan selanjutnya. Karena konsep
kearifan lokal yang menjadi pokok penelitian ini dalam gambaran awal peneliti
adalah dalam bentuk adanya hutan khusus yang sifatnya merupakan hutan adat
seperti hutan adat dalam pengertian kehutanan secara umum yaitu hutan yang
dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Bentuknya adalah hutan alam yang sudah
secara turun temurun dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan sosial ekonomi
dan budaya yang sifatnya kolektif dengan pengaturan dan pengelolaan dibuat dan
ditetapkan oleh hukum adat(Awang, 2003:113).Atau hutan rakyat dengan ciri adalah
kegiatan penanaman pohon tersebut dilaksanakan di atas lahan milik rakyat atau
dapat juga dilaksanakan di atas lahan Negara yang diperuntukkan untuk kegiatan
penanaman pohon dan manfaatnya untuk masyarakat(Awang,2003:111). Jawaban
atas pertanyaan ini tetap tersimpan dalam benak peneliti dan akan terjawab ketika
bertemu dengan informan lain dari masyarakat desa hutan.
Sebelum memasuki konteks kearifan lokal masyarakat desa hutan, maka
terlebih dahulu kita harus mengetahui sistem besar apa yang melingkupi kehidupan
masyarakat desa hutan. Sistem besar yang dimaksud disini adalah sistem kebijakan
lvi
dari pengelola kebijakan dalam bidang kehutanan di wilayah penelitian. Hal ini
merupakan landasan untuk melihat hubungan antara kearifan lokal dalam berbagai
bentuknya(budaya, ketrampilan, sumber daya, pengetahuan dan proses sosial lokal)
dengan sistem yang dapat mempengaruhi bahkan merubah pola dan isi dari kearifan
lokal.
Bidang kehutanan di lokasi penelitian dikelola oleh KPH(Kesatuan
Pemangkuan Hutan) Cepu. Pertanyaan pertama dan mendasar kepada Bapak Agung
Sugiarta, staf KSS PHBM(Kepala Sub seksi pengelolaan hutan bersama masyarakat)
adalah mengenai hak masyarakat desa hutan terhadap hutan yang dikelola Perhutani.
Jawaban untuk pertanyaan ini adalah pada kenyataannya masyarakat desa hutan
tidak mempunyai hak terhadap hutan. Hak masyarakat sebenarnya hanyalah sebuah
nilai atas kerja yang dilakukan masyarakat untuk sebuah program yang merupakan
inisiatif dari Perhutani. Nilai tersebut berupa uang bayaran.
Sebagai dasar untuk mengetahui perkembangan pengelolaan hutan, maka
mau tidak mau kita harus melihat para actor yang ikut serta dalam membangun atau
bahkan melakukan hal-hal yang bersifat membangun maupun yang kontradiktif
dengan proses pencapaian hutan lestari . Tiga actor tersebut adalah Perum Perhutani
KPH Cepu, masyarakat desa hutan termasuk LMDH di dalamnya dan lembaga
swadaya masyarakat., satu diantaranya adalah Suphel.
4.1.1. Para Actor Kehutanan Di KPH Cepu
A. KPH Perhutani Cepu
Kantor KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Cepu terletak di
Kecamatan Cepu Kabupaten Blora yang terkenal dengan penghasil jati
kualitas terbaik. Kesatuan pemangkuan hutan adalah sebuah bentuk
pembagian pengelolaan wilayah hutan oleh pihak Perhutani. Wilayah
lvii
pemangkuan hutan KPH dengan wilayah administratif seringkali berbeda.
Hal ini telah diatur menurut pembagian kawasan hutan semenjak zaman
Belanda. Perusahaan Belanda bernama Djatibedrijf telah mempetak-petak
wilayah hutan dan pembagian itu diadopsi oleh perum Perhutani hingga saat
ini. Sehingga KPH Cepu yang berkantor di Kecamatan Cepu Kabupaten
Blora mengurusi hutan tidak hanya di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora
semata tetapi juga pada beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten
Bojonegoro. Wilayah kabupaten Blora sendiri memiliki tiga kesatuan
pemangkuan hutan yaitu KPH Blora, KPH Randublatung dan KPH Cepu.
Sebuah bukti akan kayanya sumber daya hutan di wilayah kabupaten Blora
sehingga mendorong pemerintah Hindia Belanda mengatur dan membagi
pengelolaan hutan di wilayah ini menjadi tiga organisasi pengelolaan
hutan.Hutan Jati di KPH ini berada pada diketinggian 25-250 m diatas
permukaan laut, dengan suhu udara 220- 340C. Pimpinan KPH disebut
Administratur yang pemilihannya merupakan penunjukan langsung dari
Perum Perhutani unit I Jawa Tengah.
B. Masyarakat Desa Hutan
Menurut San Afri Awang yang disebut masyarakat desa hutan adalah
masyarakat yang berada di dalam hutan maupun berbatasan langsung dengan
hutan dan memanfaatkan sumber lahan hutan maupun hasil-hasil hutan lain.
Jadi walaupun masyarakat tersebut berada diwilayah tepi hutan atau jauh dari
hutan, tetapi selama ia memanfaatkan hasil hutan, maka ia merupakan bagian
dari masyarakat desa hutan.
Definisi San Afri Awang ini di lapangan berbeda. Pak Yadi salah satu
lviii
warga masyarakat desa hutan mendefinisikan masyarakat desa hutan adalah
masyarakat yang memang tinggal dalam kawasan hutan atau istilah dalam
kehutanan disebut sebagai enclave. Inilah salah satu karakteristik masyarakat
desa hutan. Ia mengemukakan contoh bahwa orang yang memanfaatkan hasil
hutan terutama para perencek rata-rata bukan warga masyarakat dimana
kawasan hutan itu berada. Istilah bagi para perencek semacam ini adalah
ngare. Para ngare ini mencari kayu dan menjualnya baik ke pasar maupun ke
desa tempat tinggalnya sendiri. Baik untuk digunakan sendiri maupun untuk
dijual di sepanjang perjalanan.
Para aktivis lingkungan hidup hingga saat ini masih belum bersepakat
tentang pengistilahan masyarakat desa hutan karena terkesan merendahkan.
Hal inilah yang disampaikan oleh Heri Santoso seorang aktifis lingkungan
hidup dari Javlec(Java Learning Centre). Ia menulis:
Taruhlah setelah sekian lama kita menceburkan diri ke dalam suatu hiruk-pikuk dan silang sengkarut laku kehidupan orang-orang yang tinggal di sekitar hutan, yang kemudian lazim dinamakan sebagai masyarakat desa hutan – suatu istilah yang sepertinya secara lugas memposisikan desa sebagai bagian dari kawasan hutan –, kita ingin berkata sesuatu tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi di sana, bagaimana sosok sebuah desa hutan, ke mana mereka hendak menyongsong hari depan, seperti apa pergulatan-pergulatan batin dan pikiran para warganya, dan lain sebagainya-dan lain sebagainya. Kita barangkali bisa menampilkan sebuah laporan tentang berbagai tindakan melanggar hukum, perilaku kejahatan, suatu hal-hal negatif yang keluar dari standar nilai, norma, dan moral sosial – mencuri kayu misalnya –, sebagaimana yang sering kita dengar dari berbagai kesempatan perbincangan normatif mengenai arti sebuah kesadaran lingkungan bagi sekelompok masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Kita bisa juga menampilkan suatu cerita tentang berbagai tindakan perambahan yang mengancam kelestarian hutan.
Tulisan ini sebenarnya apabila dikaji lebih mendalam menunjukkan
adanya stigma negatif terhadap masyarakat desa hutan. Tetapi terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum kita mengiyakan adanya
stigma negatif ini. Apa yang memunculkan aktifitas-aktifitas warga yang
lix
disebut mengancam kelestarian hutan?
Interaksi antara masyarakat desa hutan dengan sumber daya hutan
pada hakikatnya bersifat saling ketergantungan. Teori ekologi Rambo
menyebutkan adanya hubungan pengaruh yang merupakan sebuah dialektika
antara sistem sosial masyarakat desa hutan dengan sistem ekosistem hutan.
Apabila dalam satu sistem tersebut terjadi masalah maka akan mempengaruhi
sistem lain. Sehingga apabila muncul stigma negatif terhadap masyarakat
desa hutan yang aspek perilakunya mengancam kelestarian hutan maka dapat
disebut, dalam sistem sosial masyarakat desa hutan sedang mengalami
masalah sehingga ekosistem hutan mengalami gangguan pula.
Saat ini terdapat satu ciri khas kelompok masyarakat yang dibentuk
pasca munculnya sebuah kebijakan di lingkungan Perhutani. Kelompok
tersebut disebut lembaga masyarakat desa hutan atau lebih terkenal dalam
singkatan; LMDH. Kebijakan ini merupakan sebuah input dari sistem sosial
ke dalam ekosistem. Dengan adanya perbaikan kelembagaan sosial ini,
memang diharapkan akan dapat meningkatkan kelestarian ekosistem hutan
secara umum dengan tidak melupakan kesejahteraan masyarakat desa hutan.
Untuk lebih memahami proses perubahan sosiokultural masyarakat
desa hutan ini dapat dilihat pada sejarah pengelolaan hutan di Cepu secara
khusus dan kehutanan di Jawa secara umum. Sejarah pengelolaan ini berkisar
pada satu masalah pokok yaitu pengakuan hak atas sumber daya hutan.
SUPHEL melalui koordinator advokasi dan kebijakan, Wasista Daru
Darmawan mengatakan bahwa masyarakat desa hutan dapat dikatakan tidak
mempunyai hak. Apabila adapun, sebenarnya itu bukanlah hak. Ia
mengatakan, “yang namanya hak kan mau diambil boleh tidak diambil boleh,
lx
mereka dapat bekerja di perhutanipun kalau mereka (Perhutani) ngasih...”.
Sebagai contoh, ada sistem banjarharian yaitu pelaksanaan proses
pembuatan hutan dengan melibatkan warga masyarakat dalam penanaman
kemudian diberi upah. Upah yang diterima sebenarnya adalah sebuah kaidah
umum yaitu orang bekerja maka mendapat imbal jasa berupa uang.
Hal lain yang dapat disebut hak adalah dibolehkannya pengolahan
lahan hutan secara tumpang sari, dengan catatan si pesanggem (istilah untuk
warga masyarakat yang mendapatkan kesempatan pengolahan lahan hutan)
wajib menjaga hutan milik Perhutani.
Dua contoh perlakuan terhadap masyarakat desa hutan diatas
merupakan sebuah contoh dari hak pengelolaan sumber daya hutan yang
masih bertumpu pada State Based Forest Management (SBFM) dalam hal ini
sumber daya hutan dikelola oleh perum Perhutani. Pada Rapat Kerja
Nasional Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) 2001 di Hotel
Hilton Jakarta, 21 Pebruari 2001 diterangkan bahwa Pengelolaan hutan yang
bersifat sentralistik selama ini telah membawa dampak yang sangat
merugikan bagi kelestarian alam dan lingkungan serta sistem sosial di tengah
masyarakat daerah. Oleh sebab itu perlulah saat ini ada sebuah perubahan
pola pengelolaan dari sentralistik ke desentralistik. Pengelolaan hutan melalui
sistem desentralisasi juga akan memberikan kesempatan bagi pengembangan
otonomi daerah. Diberikannya kewenangan kepada daerah dalam mengelola
hutan berarti mendukung penyelenggaraan otonomi daerah dimana diakuinya
hak-hak daerah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Hal ini
juga memberikan hak kepada daerah untuk memanfaatkan hutan sebagai
sumber pendapatan daerah. Dengan demikian kebutuhan finansial daerah
lxi
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan sebagian akan terpenuhi dari hasil pengelolaan hutan.
Selanjutnya dengan desentralisasi kehutanan dapat ditingkatkan
pemanfaatan sumber daya alam hutan secara optimal. Hal ini dapat dilakukan
karena melibatkan secara langsung unsur daerah (pemerintah, masyarakat
dan dunia usaha) dalam perencanaan dan pengelolaan hutan. Karena
pemerintah daerah dan masyarakat mungkin lebih mengetahui dan
memahami karakteristik sumber daya alam yang dimiliki daerahnya.
C. SUPHEL
SUPHEL adalah singkatan dari solidaritas masyarakat untuk
penyelamatan hutan dan lingkungan hidup. Sebuah lembaga nirlaba yang
berorientasi pada pengembangan sikap masyarakat agar lebih kritis terhadap
persoalan pembangunan yang berdampak pada kerusakan lingkungan
terutama kerusakan hutan.
SUPHEL berbentuk perkumpulan berdiri 5 Juni 2004 di Solo, dengan
Akte Notaris No 21, kantor Notaris Sunarto, SH yang disahkan oleh
Pengadilan Negeri Karanganyar nomor 18 tahun 2004.
SUPHEL bersifat independen, profesional, non partisan, dan
berperspektif gender yang memiliki visi terciptanya pengelolaan lingkungan
(terutama sumber daya hutan) yang berkeadilan dan berkelanjutan berbasis
pengakuan hak-hak masyarakat. `
SUPHEL bertujuan untuk memberikan sumbangan secara proaktif
guna mengantisipasi masalah lingkungan terutama kerusakan hutan, sebagai
dampak pembangunan dan modernisasi. SUPHEL berupaya meningkatkan
lxii
pemahaman dan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan
dan peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. SUPHEL juga
melakukan advokasi-advokasi masyarakat dan konservasi sumber daya alam
(hutan) yang berbasiskan prinsip keadilan, non diskriminatif, gender dan
berwawasan lingkungan. Hal-hal ini pula yang menjadi visi SUPHEL yaitu,
menciptakan pengelolaan sumber daya alam (hutan) yang berkeadilan,
berwawasan lingkungan, berperspektif gender, dan nondiskriminatif untuk
dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan
generasi mendatang.
SUPHEL didirikan oleh beberapa aktifis dan praktisi yang memiliki
berbagai latar belakang pengalaman dan keahlian dibidang pengembangan
masyarakat, peningkatan kebutuhan dasar, pengalaman sumber daya hutan
dan lingkungan, advokasi kebijakan dan penelitian. Lembaga SUPHEL
mempunyai dua struktur yaitu badan pengurus dan badan pelaksana. Misi
SUPHEL ada tiga hal yaitu:
1. Mendorong penguatan dan dan pendidikan kritis masyarakat terhadap
modernisasi pembangunan yang dapat menjamin keberlanjutan sumber
daya alam (hutan) untuk kesejahteraan masyarakat dan generasi
mendatang.
Penguatan dan pendidikan kritis merupakan pengembangan kualitas
setiap warga masyarakat dalam mendapatkan hak secara lebih manusiawi.
Selama ini, warga masyarakat hanya berprofesi sebagai pesanggem.
Sebagai pesanggem, kesejahteraan tak bisa diperoleh, akhirnya muncul
praktek-praktek yang cenderung merusak kondisi hutan.
lxiii
Fenomena yang pernah ditemui oleh SUPHEL adalah pada
beberapa kondisi tanaman yang sering gagal tumbuh di beberapa
wilayah desa hutan di KPH Cepu. Pada saat pohon jati telah mencapai
KU (kelompok umur) muda (umur 1-2 tahun) banyak pohon jati yang
tumbuh cacat. Baik berupa batang jati yang tumbuh tidak lurus, pohon
jati yang tumbuh lebih lambat serta berbagai macam kerusakan lain.
Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata memang terdapat kesenjangan
yang mencolok antara kesejahteraan masyarakat dengan apa yang
didapatkan oleh pihak Perhutani. Hal ini memunculkan adanya
semacam aksi protes tetapi bukan secara vulgar dilakukan terhadap
Perhutani tetapi pada sumber daya hutan yang dikelola Perhutani.
Penjelasan dari pihak Perhutani menerangkan tentang adanya
pengambilan daun pada pohon-pohon kelompok umur muda yang
sebenarnya hal tersebut tidak boleh dilakukan. Biasanya, para
pengambil daun mengambil pada trubusan tetapi mengapa para
pengambil daun mengambil dari pohon (KU) muda?, inilah sebuah
bentuk protes sosial.
Contoh diatas membuktikan teori yang disampaikan oleh John J.
Macionis bagaimana pola-pola sosial manusia menyebabkan tekanan
yang memuncak pada lingkungan alamiah. Dalam kaitan ini, sosiolog
perlu mengambil peran yang spesifik dalam menunjukkan bagaimana
pola-pola kebudayaan dan konstelasi politik dan ekonomi secara khusus
mempengaruhi lingkungan alam.
lxiv
2. Memperjuangkan hak-hak masyarakat untuk terlibat dan memanfaatkan
sumber daya alam (hutan) yang ada dengan mengedepankan prinsip
keberlanjutan dan kemanfaatan.
Pedoman yang digunakan oleh SUPHEL untuk melaksanakan
kegiatan di KPH Cepu adalah beberapa prinsip yang dituangkan dalam
prinsip dan kriteria FSC standar pengelolaan hutan fokus pada aspek
sosial. FSC adalah singkatan dari Forest Stewardship Council. Sebuah
lembaga yang mempunyai fungsi sebagai penilai sekaligus pemberi
sertifikat terhadap hasil produksi kayu agar mampu diterima oleh pasar
kayu internasional. Terdapat tiga syarat yang harus terpenuhi adalah
dilaksanakannya tiga aspek yang akan dinilai yaitu aspek sosial, aspek
produksi dan aspek lingkungan. Tugas yang dibebankan pada SUPHEL
adalah pada aspek sosialnya. Beberapa prinsip tersebut adalah:
a) Ketaatan Terhadap Hukum dan Prinsip- Prinsip FSC.
Pengelolaan kehutanan harus menghormati semua hukum yang
berlaku di negara dimana mereka berada dan persetujuan serta
kesepakatan internasional yang ditandatangani oleh negara itu, dan
mematuhi semua Prinsip dan Kriteria FSC.
b) Tanggung Jawab dan Hak Tenure.
Hak guna tenure jangka panjang atas sumber daya lahan dan hutan
harus dipaparkan dengan jelas, didokumentasikan dan ditegaskan
secara hukum.
c) Hak-Hak Penduduk Asli.
lxv
Hak hukum dan adat masyarakat pribumi untuk memiliki,
menggunakan dan mengelola tanah, daerah, dan sumber daya alam
harus diketahui dan dihormati.
d) Hubungan Kemasyarakatan dan Hak-Hak Pekerja.
Operasi-operasi pengelolaan kehutanan harus menjaga atau
meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi jangka panjang para
pekerja kehutanan dan komunitas lokal.
e) Keuntungan Hutan.
Operasi pengelolaan hutan harus mendorong penggunaan produk dan
jasa hutan secara efisien guna menjamin kelangsungan hidup
ekonomi dan keuntungan lingkungan dan sosial berjangkauan luas.
f) Dampak Lingkungan.
Pengelolaan kehutanan harus melindungi keanekaragaman hayati dan
nilai-nilai yang berhubungan, sumber air, tanah, dan ekosistem dan
bentang alam yang unik dan rapuh, dan dengan begitu,
mempertahankan fungsi ekologis dan integritas hutan.
g) Rencana Pengelolaan.
Rencana pengelolaan disini mengandung arti bahwa lembaga
mempunyai skala yang layak dan intensitas operasi yang tertulis, dan
dilaksanakan, serta diperbarui. Tujuan jangka panjang pengelolaan,
dan alat-alat untuk menyelesaikannya, harus disebutkan dengan jelas.
h) Pengawasan dan Perkiraan.
Pengawasan harus dilaksanakan sesuai dengan skala dan intensitas
pengelolaan hutan untuk memperkirakan kondisi hutan, pengambilan
lxvi
hasil hutan, rangkaian pemeliharaan, aktivitas pengelolaan serta
dampak sosial dan lingkungan
i) Pemeliharaan Faktor Konservasi Bernilai Tinggi.
Aktivitas pengelolaan pada hutan bernilai konservasi tinggi harus
mempertahankan sifat-sifat yang mencirikan hutan. Keputusan
mengenai hutan bernilai konservasi tinggi harus selalu
dipertimbangkan dalam konteks pendekatan kewaspadaan.
j) Penanaman Ulang.
Penanaman ulang harus dirancang dan diatur sesuai dengan Prinsip-
prinsip dan Kriteria 1 - 9, dan Prinsip 10 dan Kriterianya. Apabila
rancangan ini bisa memberikan keuntungan sosial dan ekonomi, dan
dapat memberi kepuasan bagi kebutuhan dunia atas produk-produk
hutan, maka rancangan ini harus melengkapi pengelolaan,
mengurangi tekanan terhadap dan mendukung pemulihan dan
konservasi hutan alami.
Sepuluh prinsip diatas apabila dicermati mempunyai
keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat. Kita lihat pada prinsip
kedua, ketiga dan keempat, kesemua prinsip tersebut menjelaskan
mengenai kewajiban Perhutani apabila ingin mendapatkan sertifikat
dari FSC. KPH Perhutani harus melaksanakan beberapa butir-butir
yang dicantumkan dalam prinsip yang disebutkan.
Pada prinsip kedua misalnya, maksud dari tanggung Jawab dan
hak tenure adalah perlunya Perhutani KPH Cepu untuk memperhatikan
aspek-aspek sosial seperti ada batas wilayah yang jelas, tidak merubah
lxvii
status hutan, adanya pemetaan partisipatif, adanya dokumen lokal yang
menyebutkan adanya pengakuan hak tenure serta ada evaluasi lokasi
dari hak tenurial yang diberikan.
Pada prinsip ketiga mengenai hak-hak penduduk asli atau
penduduk lokal, disebutkan beberapa aspek sosial antara lain: adanya
penjelasan teknis pengelolaan pada masyarakat lokal, penyelesaian
sengketa, tidak ada konflik (kebersamaan dan kesetaraan), kebutuhan
masyarakat lokal terpenuhi dengan keterlibatannya dalam program
pengelolaan, adanya pelestarian budaya lokal/kearifan lokal misalnya
pada beberapa situs budaya lokal, ada peta partisipatif serta ada
pengaturan untuk masyarakat dalam pembagian hasil usaha yang diatur
dalam PERDA (Peraturan Daerah). Di dalam pengaturan hak-hak
kemasyarakatan disebutkan aspek-aspek sosial sebagai berikut: tenaga
kerja dari penduduk lokal, adanya rekruitmen kontraktor yang terbuka
(sawmill/chainsaw), ada pelatihan peningkatan SDM dan ada
kesempatan orang lokal menjadi manajer, ada dukungan pendidikan,
kesehatan dan infrastruktur, kontrak kerja yang jelas, Jamsostek,
Tunjangan keluarga dan lain sebagainya.
3. Mendorong proses kebijakan yang partisipatif dalam pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya alam(hutan) dengan melibatkan multi
pihak(stakeholder) dalam pembuatan.
Dalam mencapai tujuan dan visi serta misi diatas, SUPHEL
membuat beberapa program kerja antara lain:
lxviii
a) Pemberdayaan dan penguatan petani sekitar hutan berbasis
kelompok.
Hal ini dilakukan SUPHEL ketika melakukan pendampingan
di masyarakat Desa Sambeng, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Dalam pelaksanaannya, SUPHEL yang salah satu pendirinya adalah
dosen senior UGM, San Afri Awang, memfasilitasi masyarakat
melalui penguatan kelembagaan lokal. Melalui Kelompok Tani
Hutan(KTH) Pertiwi Subur, SUPHEL membantu melakukan
negoisasi dengan Perhutani untuk mengangkat sebuah usulan warga
tentang plong. Yaitu sebuah sistem tanam teknis yang membagi
tanah/lahan menjadi dua jalur. Satu jalur adalah areal yang dikelola
masyarakat yang dapat diusahakan tanaman pertanian atau kayu-
kayuan dengan pola kebun. Satu jalur lain, berisi tanaman hutan
yang dikelola Perhutani.
Berbagai hal dilakukan oleh SUPHEL dilaksanakan sebagai
bentuk penguatan kapasitas masyarakat. Oleh sebab itu dalam
badan pengurus SUPHEL dimasukkanlah sebuah bagian yang
disebut Pengembangan Kapasitas Dan Sumber daya manusia.
b) Melakukan studi analisis dan pendapatan(pemetaan) masalah atau
potensi desa yang menjadi daerah dampingan atau program.
Program kerja kedua ini dilaksanakan dalam dua tahap yang
merupakan langkah-langkah awal dalam setiap permulaan
pendampingan yang dilaksanakan oleh SUPHEL. Langkah pertama
adalah survey dampak sosial(SDS). Pelaksanaan SDS di cepu ini
diusahakan untuk mengetahui perkembangan hutan terhadap
lxix
kondisi sosial masyarakat dalam berbagai aspeknya. Tahap kedua
yang dilaksanakan adalah PRA dan PCP. PRA adalah Participatory
Rural Appraisal dan PCP adalah Participatory Conservation
Planning dua buah metode pendekatan dalam lingkup ilmu sosial
yang digunakan untuk mendapatkan penyelesaian atas masalah
sosial yang ada dengan mengungkapkan berbagai kekuatan yang
berasal dari dalam masyarakat sendiri dan mengikutsertakan
masyarakat yang bersangkutan dalam setiap langkah penyelesaian
masalah.
c) Memfasilitasi pelibatan masyarakat atau petani dalam perencanaan
dan pembuatan kegiatan.
Hal ini dilakukan di semua daerah dampingan SUPHEL.
Beberapa diantaranya dilaksanakan dalam forum-forum mediasi
yang difasilitatori oleh SUPHEL. Mediasi tersebut mempertemukan
berbagai pihak antara lain: KBKPH, KKPH, KSPH, Ajun, biro
pembinaan SDH, Tim PRA Perhutani (unsur-unsur dalam
Perhutani), kelompok tani hutan (KTH), serta LSM.
d) Membangun jaringan antar petani dan multipihak(stake holder)
dalam pembuatan kebijakan tentang pengelolaan hutan.
Jaringan antar petani yang dibuat oleh SUPHEL pernah
dilaksanakan dalam sebuah momen besar yang diselenggarakan di
Jogyakarta. Even tersebut bertajuk Pekan Raya Hutan dan
Masyarakat 2006 diadakan di Grha Sabha Pramana UGM
Yogyakarta, tanggal 19-22 September 2006. Dengan memadukan
konsep pertemuan para pihak (summit) dan ajang promosi inisiatif
lxx
kehutanan masyarakat (community forestry festival), event
diharapkan menjadi ajang untuk saling berdialog dan
mempertemukan berbagai inisiatif Community Forestry (CF) di
Indonesia. Salah satu acara yang merupakan wujud adanya jaringan
antar petani adalah Belajar Antar Petani (BAP).
e) Mengupayakan pengakuan (advokasi) atas hak-hak masyarakat
dalam pengelolaan sumber daya alam (hutan) berbasis masyarakat.
Advokasi atas masyarakat agar dapat ikut serta dalam
mengelola sumber daya hutan berbasis masyarakat dilakukan
dengan terlebih dahulu mempersiapkan warga masyarakat dari sisi
kapasitas yang dimiliki baik kemampuan berbicara, kemampuan
konseptual kemampuan mengorganisir sebuah musyawarah.
Masyarakat desa hutan yang diadvokasi didorong agar mampu
sejajar dengan perum Perhutani. Salah satu caranya adalah
menghimpun warga masyarakat desa hutan agar dapat menyusun
konsep yang dapat ditawarkan kepada pihak Perhutani. Konsep
yang sesuai dan layak sesuai dengan kerja yang dilakukan.
Beberapa kali usaha semacam ini berhasil. Sebagai contoh adalah
pada pendampingan masyarakat dua dusun di Desa Sambeng, yaitu
Dusun Kedungdawung dan Klumpit. Wilayah kedua dusun ini
termasuk dalam kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani KPH
Telawa, Unit I Jawa Tengah. Bentuk konsep yang merupakan
gagasan masyarakat dituangkan dalam Proposal Pengelolaan Hutan
Sekitar Desa oleh Masyarakat. Sebagai sarana untuk melaksanakan
tugas advokasi, dalam badan pengurus SUPHEL dibentuklah salah
lxxi
satu bagian yang disebut Advokasi dan Kebijakan. Beberapa contoh
lain terkait dengan usulan masyarakat terhadap Perhutani dapat
dibaca pada bab selanjutnya, PHBM.
f) Pengembangan dan peningkatan kapasitas organisasi/ kelompok
tani sekitar hutan.
Melakukan studi kebijakan, seminar, focuss discussion,
dokumentasi dan Pengembangan informasi guna memperkuat hak-
hak petani dalam pengelolaan sumber daya hutan.
4.1.2. Partisipasi Masyarakat Desa Hutan
Sub bab ini diceritakan dan dianalisis dalam kerangka untuk
memperlihatkan dasar-dasar kearifan local secara struktural. Dari masa ke masa,
sejarah masyarakat desa hutan menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat desa
hutan rendah dan terbatas.
Pembahasan mengenai “hak” masyarakat desa hutan dapat kita bagi
dalam dua masa yaitu masa pra PHBM dan ketika program PHBM telah
dilaksanakan. Pra PHBM dilaksanakan sebenarnya sudah dilakukan beberapa
program yang sifatnya bernuansa kerakyatan dengan sistem kerja sama. Program
tersebut adalah program mantri lurah(Ma-Lu), program perhutanan sosial , tetapi
program-program tersebut bukanlah program yang mempunyai dasar hukum.
Sehingga ketika terjadi sesuatu sangat sulit untuk diselesaikan atau
dipertanggungjawabkan. Bentuk dari program–program tersebut adalah
penggunaan wilayah lahan hutan Negara untuk masyarakat untuk tanaman yang
bisa dijual. Perhutani menamakan hal ini dengan istilah Pemanfaatan Lahan
Dibawah Tegakan(PLDT). Ketika pihak Perhutani membutuhkan tanah tersebut
dapat saja dengan mudah tanaman atau apapun yang ada di wilayah hutan
lxxii
Negara dihancurkan dan itu tidak dapat dipermasalahkan karena memang belum
berlandasan hukum. Pengakuan dari Perhutani yang disampaikan oleh Pak
Agung ini memang diakui bahwa Perhutani memang cenderung arogan pada
masa pra PHBM. Ia berkata dalam wawancara,”kalau kita dibilang arogan, ya
bisa juga dibilang arogan, maksudnya pihak managemen bebas mengajak
masyarakat atau tidak dalam mengelola hutan”.
Pendapat bapak Agung mengenai masyarakat desa hutan apabila
dianalisis secara kualitatif yaitu dengan mencari makna dibalik setiap
pernyataan, maka dengan cara mengkontraskan sebuah fenomena sosial dengan
fenomena sosial yang lain. Maka dapat dikatakan bahwa perhutani memang
bersikap arogan. Bagaimana tidak kesempatan MDH hanyalah memanfaatkan
lahan-lahan dibawah tegakan secara tumpangsari maupun dengan adanya
pengambilan hasil hutan ikutan. Berbicara mengenai tanaman tumpang sari,
LSM SHOREA yang mendampingi masyarakat desa hutan di wilayah gunung
kidul pernah mengalami pengalaman di masyarakat bahwa tumpangsari adalah
sebuah konsesi dari apa yang disebut sebagai hutan kemasyarakatan. Tumpang
sari yang dilakukan ini dilaksanakan diantara tanaman-tanaman pokok seperti jati
atau yang lain. Program hutan kemasyarakatan sendiri adalah Sebuah program
kehutanan yang melibatkan masyarakat sebagai mitra pengambil kebijakan
kehutanan dalam bentuk utamanya adalah izin mengelola hutan dimulai dari
pembenihan, penanaman, pemeliharaan tetapi tidak mendapatkan hak untuk
melakukan pemanenan..Mengapa? karena masyarakat desa hutan hanya
mendapatkan hak pengelolaan hutan hanya selama lima tahun. Padahal nilai
ekonomis hutan jati berlangsung lebih dari lima tahun bahkan lima belas
tahunpun belum dapat menjadikan jati tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi,
lxxiii
baru ketika usia jati tigapuluh lima tahun, jati tersebut sudah layak menjadi
bahan baku produksi. Maka bagaimana mereka mendapatkan sesuatu dari kerja
keras mereka?
A. MASA KERAJAAN NUSANTARA
Sebelum Belanda memasuki wilayah nusantara, terlebih dulu telah ada
kerajaan-kerajaan yang berdiri sebagai pengelola pemerintahan. Wilayah
Indonesia yang subur menjadikan banyaknya pepohonan yang tumbuh subur
pula. Kekayaan flora dan fauna Indonesia sangat banyak dan beragam. Pulau
Jawa mempunyai kayu jati alam, wilayah Sulawesi mempunyai kayu eboni/
kayu hitam, wilayah Ambon mempunyai kayu Cendana, wilayah Kalimantan
mempunyai kayu Meranti dan banyak pula yang lain.
Pada masa masa kerajaan, pengelolaan hutan tidaklah serapi sekarang.
Belanda ketika awal datang melihat wilayah nusantara yang pertama
dilakukan adalah berdagang. Yang kemudian, mereka membentuk sebuah
kongsi dagang yang disebut VOC. Belanda melihat di sepanjang wilayah
pantai utara Jawa tampak sederetan pohon jati yang tumbuh berderet
memanjang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur, mulai dari kabupaten
Batang sampai ke Sedayu. Lamongan. Para pedagang Belanda pun melihat
adanya pusat-pusat industri pembuatan kapal dengan model yang lebih maju
dibanding kapal yang mereka pakai sendiri.
Industri kapal di pesisir utara pulau Jawa sudah sejak lama berkembang.
Pada era Singasari, perkembangan industri kapal di Jawa mendapat kekuatan
baru dengan hadirnya pelaut-pelaut dari Cina yang membelot menghadapi
penjajahan bangsa Mongol. Para pelaut tersebut ada yang mengabdi pada
lxxiv
pemerintah Singosari, misalnya sebagai pejabat kepala pelabuhan Pasuruan,
tetapi ada pula yang berwiraswasta membangun pabrik kapal. Hal inilah yang
menyebabkan kerajaan Singasari mendapat perhatian yang luar biasa dari
kerajaan Mongol, sehingga dapat kita ketahui dalam catatan sejarah, raja
Kubilai Khan mengirim utusannya ke Singasari. Ia kagum dengan
kemampuan Singasari mengatur lalu lintas selat Malaka yang ramai dan
merupakan urat nadi utama perdagangan serta kekuasaan negara-negara Asia.
Perkembangan industri kapal di Jawa pada abad ke 13 inilah yang
memungkinkan pemerintah Majapahit dapat membangun kapal layar yang
canggih. Melampaui kecanggihan kapal VOC yang dibuat beberapa abad
kemudian. Kerajaan Majapahit memang terkenal sebagai kerajaan maritim
yang mampu mengontrol kekuasaan atas kepulauan nusantara yang sangat
luas juga mengembangkan perdagangan internasional hingga sampai wilayah
Madagaskar.
Pengamatan atas pesisir pulau Jawa ini menimbulkan rasa ingin tahu
yang mendalam sehingga mereka melakukan investigasi intensif. Mereka
datang ke Tuban untuk meneliti potensi masyarakat dalam membangun.
Mereka memasuki perguruan Sunan Mbonang dan mempelajari apa saja yang
diajarkan oleh perguruan ini. Akhirnya mereka membawa pulang buku induk
yang diajarkan pesantren tersebut. Sekarang, kitab tersebut masih tersimpan
di museum Leiden dan terkenal dengan het book van mbonang.
Pada masa Mataram, Sultan Mataram sudah mempunyai regu kerja
khusus dari penduduk sekitar hutan yang mempunyai keterampilan kerja
yang tinggi untuk menebang dan mengangkut kayu jati yaitu orang kalang.
Pada masa ini, pemanfaatan hutan adalah dengan eksploitasi yaitu
lxxv
mengambil secara langsung hasil hutan alam untuk dimanfaatkan sesuai
keperluan. Prof. Hasanu Simon menyebutkan masa ini sebagai masa timber
extraction.
Sejarah kerajaan terutama di tanah Jawa sering mengungkapkan adanya
proses-proses pembukaan hutan. Pada beberapa kisah perpindahan pusat
kerajaan, sering disebutkan tentang pembukaan hutan oleh raja beserta
pasukannya. Sehingga hingga saat ini, dalam cerita kesenian Ketoprak sering
disebut adanya kisah babad. Beberapa diantaranya adalah kisah babad alas
mentaok oleh sultan Pajang Hadiwijaya. Ketika memindah pusat kerajaan
Demak Bintoro ke Pajang. Kisah babad ini menggambarkan kepada kita
bahwa hutan atau wana merupakan milik raja sehingga sang rajalah yang
berhak untuk mengelola hutan termasuk menyerahkan wilayah hutan tertentu
kepada orang yang dianggap oleh sultan berjasa. Tetapi, warga masyarakat
desa hutan diberikan hak-hak ulayat terhadap sebagian besar wilayah hutan.
Hak ulayat ini adalah kekuasaan mengendalikan sumber daya hutan jati
dalam lingkup administrasi terkecil yang disebut desa. Istilah untuk kawasan
hutan jati ini adalah wewengkon desa dimana kayu-kayu jati di kawasan
tersebut hanya boleh dimanfaatkan oleh warga masyarakat sekitar hutan
tersebut. Selainnya harus meminta izin kepada demang wilayah yang
bersangkutan.
Selain pada saat pembukaan hutan, penebangan kayu-kayu hutan juga
dilaksanakan ketika membangun istana kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Jawa
masih menggunakan kayu-kayu jati untuk tiap bagian istana. Contoh paling
kongkrit adalah ketika Keraton Solo mengalami kebakaran pada tahun 1993,
maka diadakanlah pengambilan kayu-kayu jati alam yang didahului dengan
lxxvi
upacara-upacara kejawen pada saat penebangan tiap batang kayunya, Di
wilayah hutan Randublatung, Blora.
Boleh dikatakan pada masa kerajaan-kerajaan terdapat beberapa struktur
sosial masyarakat yaitu rakyat jelata yang merupakan bagian terendah,
kemudian diatasnya terdapat orang-orang berketrampilan kehutanan yang
disebut orang kalang kemudian adalah para pejabat administrasi di tingkat
desa seperti demang kemudian kepada orang-orang yang berada dalam
lingkungan keraton.
B. MASA PENJAJAHAN
Kegiatan timber extraction pada masa kerajaan-kerajaan nusantara
dilanjutkan oleh VOC. Setelah investigasi intensif atas potensi hutan jati
Jawa yang seakan-akan tidak akan pernah habis, maka VOC merencanakan
peningkatan intensitas penebangan kayu jati.
Untuk mencapai tujuannya, VOC melihat peluang lain yang dapat digali
dari industri kapal yang sudah ada dari Tegal hingga Pasuruan, dengan
pusatnya Tuban dan Jepara. Para pedagang Belanda merencanakan
membangun negerinya dengan Amsterdam dan Rotterdam sebagai kota
pelabuhan penghasil kapal seperti Tuban dan Jepara. Kualitas kayu jati untuk
membuat kapal dipandang setara dengan kualitas kayu oak yang dipakai oleh
Inggris, Perancis dan Italia, para produsen kapal terbesar waktu itu. Para
saudagar Belanda, menjadikan pabrik-pabrik kapal di Jawa sebagai industri
hulu, sedang Amsterdam dan Rotterdam dijadikan pabrik kapal yang besar
dengan desain Eropa. Hal ini terwujud, sehingga negeri Belanda menjadi
lxxvii
produsen kapal; yang menyamai reputasi ketiga Negara produsen kapal yang
tersebut diatas. Amsterdam dan Rotterdam benar-benar menjadi kota
pelabuhan terkemuka dan salah satu jalan masuk untuk Negara-negara Eropa
tengah.
Hambatan utama yang dihadapi Belanda adalah adanya hak ulayat yang
masih sangat kuat. Hak ulayat ini memberikan kesulitan utama bagi bangsa
Belanda karena apabila hak ulayat ini masih tetap berlangsung maka
pengelolaan hutan atau lebih tepatnya pengeksploitasian hutan tetap berada di
tangan warga masyarakat. Oleh karena itu, disusunlah rencana untuk
menghilangkan kekuasan hak ulayat ini. Langkah-langkah yang dilaksanakan
Belanda berlangsung secara bertahap dan tidak menimbulkan gejolak sosial.
Langkah pertama, aturan hak ulayat adalah bahwa yang dapat menebang
hutan jati hanyalah warga setempat, maka VOC menjalin kerjasama dengan
penguasa lokal , mulai dari bekel, demang sampai sultan. Kerja sama ini
berlangsung dengan mudah karena kemiskinan Jawa membuat para pejabat
itu dapat dengan mudah di iming-imingi dengan harta dan barang-barang
modern dari Eropa. Sultan memberikan konsesi kepada Belanda untuk dapat
memanfaatkan masyarakat desa hutan menjadi sumber tenaga kerja
diwilayah hutan yang diberi sultan. Setelah mendapat konsesi wilayah kerja
hutan, VOC menawarkan wilayah-wilayah hutan kepada para pengontrak
tebangan yang disebut perceel. Boleh dikata, sistem ini mirip dengan sistem
HPH (Hak Penguasaan Hutan) pemerintah Indonesia tahun 1960-an.
Tetapi wilayah perceel yang dikelola para pengontrak tebangan ini adalah
wilayah yang jauh dari pemukiman termasuk akses-akses jalan. Sementara
wilayah hutan yang dekat pemukiman langsung dikelola oleh VOC dengan
lxxviii
pekerja dari wilayah setempat. Dengan cara inilah volume penebangan bisa
meningkat tajam serta menghasilkan keuntungan yang besar bagi Belanda.
Langkah kedua, mendirikan blandongdiensten (dinas blandong) yaitu
sebuah dinas penebangan kayu. Dinas ini membuat jatah tahunan kepada para
demang dan bekel penguasa hutan untuk memberikan sejumlah kayu jati
sekian kubik, yang disesuaikan dengan jatah tahunan pasokan industri kapal.
Agar tidak bertentangan dengan hak ulayat maka dinas ini masih
mempekerjakan warga masyarakat desa sekitar hutan.
Langkah ketiga, menerapkan profesionalisme blandong. Ketika
blandongdiensten telah menjadi persepsi umum para penguasa pribumi dan
masyarakat desa sekitar hutan jati, VOC membuat kebijakan profesionalisme
tenaga penebang. Para blandhong memang mendapat gaji tinggi sehingga
hidup mereka terbilang makmur. Pekerjaan blandhong menjadi incaran para
pencari kerja. Aturan VOC yang kemudian diberlakukan adalah tidak semua
orang dapat diterima sebagai blandhong apabila tidak mempunyai
ketrampilan tertentu. Akibatnya, yang terpilih menjadi blandhong tidak lagi
dari wilayah desa setempat tetapi juga berasal dari wilayah desa lain. Dengan
aturan ini, terjadilah perubahan persepsi terhadap hak ulayat, yaitu blandhong
tidak harus dari warga setempat. Tetapi adalah orang –orang yang terampil.
Langkah keempat, mengangkat mandor yang menggantikan peran
demang dan bekel. Para tenaga blandhong yang professional dan berasal dari
berbagai desa telah menggantikan peran demang dan bekel. Oleh sebab itu
diangkatlah mandor sebagai koordinator penebangan kayu jati di hutan.
Langkah keempat ini telah menamatkan sejarah hak ulayat yang kokoh.
Selanjutnya pengelolaan hutan jati terus berada dibawah pemerintah kerajaan
lxxix
Belanda setelah VOC mengalami kebangkrutan. Posisi masyarakat desa
hutan dalam pengelolaan hutan tetap belum meningkat kecuali sebagai
buruh-buruh upahan.
Struktur sosial masa penjajahan (VOC s.d. Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda) adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat desa hutan.
2. Bekel dan demang (pemegang wewenang hak ulayat)
3. Penguasa persil (VOC dan para Pengontrak persil)
4. Para sultan.
Setelah mengalami perjalanan yang cukup lama, akhirnya hilanglah hak
ulayat yang menjadikan hilangnya peran bekel dan demang dalam proses
pengelolaan hutan.
Pada masa penjajahan Jepang yang singkat, wilayah hutan nyaris
dilupakan karena pemerintah Jepang waktu itu lebih memperhatikan pada
penanaman jarak yang menghasilkan minyak jarak sebagai penghasil utama
pelumas untuk mesin-mesin tempur kerajaan Jepang di perang dunia kedua.
Pada masa penjajahan Jepang pula pemerintah pernah menurunkan bibit
tanaman kapas kepada masyarakat. Masyarakat dipaksa menanam kapas
untuk memenuhi kebutuhan bahan tekstil tentara Jepang yang sedang terlibat
Perang Dunia II. Pemaksaan ini membuat terbengkalai pengurusan hutan
juga kegiatan petani bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Mereka tidak menanam padi ataupun bahan makanan lain. Panenan
pun terlewatkan. Akibatnya, rakyat sangat menderita karena kurang pangan.
lxxx
C. MASA KEMERDEKAAAN
Pengelolaan hutan pada masa kemerdekaan dimulai setelah pemerintah
kerajaan Belanda mengakui kedaulatan pemerintah Indonesia dengan
ditandai oleh penandatanganan antara kerajaan Belanda dan pemerintah
Indonesia. Setelah berdaulat penuh, maka mulai tahun 1950, pengelolaan
hutan dikembalikan pada masa sebelum kedatangan Jepang tahun 1942.
Organisasi pengelola hutan Jawa juga diatur dengan menggunakan
istilah-istilah berbahasa Indonesia untuk mengganti istilah Belanda. Begitu
pula istilah Boschwezen diganti dengan Jawatan kehutanan. Pada dasawarsa
inilah, pulau Jawa terjadi perubahan kondisi sosial ekonomi yang
pengaruhnya cukup signifikan dalam pengelolaan hutan dan juga partisipasi
masyarakat dalam kehutanan.
Masa Jawatan kehutanan partisipasi masyarakat cukup tinggi dalam
bentuk menjadi calon pekerja tanaman. Banyaknya calon pekerja tanaman ini
menyebabkan dimunculkannya aturan baru dengan membatasi luas andil
hanya 0,25 ha/KK. Peraturan seperti ini belum pernah ada sebelumnya. Pada
dekade tahun 1950-an luas rata-rata lahan pertanian per keluarga petani
sudah mendekati 1 ha/KK, dengan rentang 0,1-5,0 ha, sehingga sudah mulai
banyak keluarga petani yang memiliki lahan pertanian di bawah kebutuhan
minimum. Indikasi lain adanya perubahan sosial ekonomi masyarakat sekitar
hutan jati adalah meningkatnya intensitas gangguan atas hutan seperti
pencurian kayu, penggembalaan ternak, kebakaran dan bibrikan lahan.
Sebelum kedatangan Jepang, intensitas pencurian kayu belum menyebabkan
suatu petak menjadi lahan kosong. Selain itu, pencurian kayu hanya terjadi di
waktu paceklik atau menjelang hari raya Idul Fitri. Biasanya wilayah hutan
lxxxi
yang dicuri kayunya adalah wilayah hutan yang sudah diteres (dikeringkan
dengan dipotong akar sehingga tidak menerima asupan makanan dari dalam
tanah lagi). Tetapi karakter pencurian ini sudah berubah. Perubahan itu
menyangkut tiga hal diatas yaitu, waktu pencurian, hutan yang dicuri serta
jumlah pencurian yang meningkat tajam. Apa yang ditulis diatas hampir
sama dengan apa yang ditulis oleh Thomas Sikor dan Tran Ngoc Thanh
dalam jurnal ASEF Alliance yang berjudul Forest Common Vs The State:
The need to look afresh at relations between states and local communities becomes apparent when we consider the changes in forest policy currently taking place across much of Asia and Eastern Europe. Governments are in the process of decentralising power and responsibilities to local authorities; many are also devolving ownership and quasi-ownership rights over forests to local public authorities, communities and other local actors. As a result of this world-wide trend, communities today manage 11% of the world’s forests and 22% of the forests in developing countries.
D. PHBM
Penjelasan mengenai hal ini kita bagi dalam dua masa yaitu masa pra
PHBM dan ketika program PHBM telah dilaksanakan
1. Pra PHBM
Pada saat Pra PHBM dilaksanakan sebenarnya sudah dilakukan beberapa
program yang sifatnya bernuansa kerakyatan. Program tersebut adalah
program mantri lurah (Ma-Lu), program perhutanan sosial, tetapi program-
program tersebut bukanlah program yang mempunyai dasar hukum. Artinya
hubungan antar pihak tidak terikat dengan aturan hukum apapun Tidak
adanya hitam di atas putih ini menyebabkan ketika terjadi sesuatu sangat sulit
untuk diselesaikan atau dipertanggungjawabkan. Bentuk dari program–
program tersebut adalah penggunaan wilayah lahan hutan Negara untuk
masyarakat untuk tanaman yang bisa dijual. Perhutani menamakan hal ini
lxxxii
dengan istilah pemanfaatan lahan dibawah tegakan (PLDT). Ketika pihak
Perhutani membutuhkan tanah tersebut dapat saja dengan mudah tanaman
atau apapun yang ada diwilayah hutan Negara dihancurkan dan itu tidak
dapat dipermasalahkan karena memang belum berlandasan hukum.
Pengakuan dari Perhutani yang disampaikan oleh Pak Agung ini memang
diakui bahwa Perhutani memang cenderung arogan pada masa pra PHBM.
Program Mantri Lurah atau disingkat Ma-Lu adalah salah satu dari
program Prosperity Approach yang digulirkan semenjak tahun 1974
mengikuti arus besar pemikiran pengelolan sumber daya hutan waktu itu
yaitu multiple use of forest land. Menurut Prof. Simon, pendekatan Mantri
Lurah menunjukkan kecerdasan pencetusnya tentang perpaduan antara
perencanaan kehutanan konvensional dengan perencanaan sosial ekonomi
masyarakat. Tetapi lanjut beliau, semua kegiatan tersebut memerlukan
rencana yang disusun secara komprehensif, tidak cukup dengan perencanaan
tambal sulam seperti yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Bagaimana
bentuk tambal sulam tersebut? Yaitu dengan tidak adanya rencana rigid yang
merupakan hasil kolaborasi dari dua penentu kebijakan tersebut. Perum
perhutani masih menggunakan pola timber management yang merupakan
pola-pola teknis pengelolaan hutan yang memandang hutan dari sisi kayu.
Padahal dalam perencanaan sosial ekonomi masyarakat tidak dapat
diserupakan dengan pola-pola teknis dalam timber management itu. Professor
Hasanu Simon pada akhirnya mengatakan bahwa masalah sosial ekonomi
masyarakat memerlukan keluwesan rencana kerja yang landasannya adalah
kerjasama saling menguntungkan, saling pengertian dan saling kepercayaan
dan kejujuran yang semuanya tidak mudah diwujudkan dalam angka-angka.
lxxxiii
Inilah evaluasi beliau tentang program Prosperity Approach yang mengalami
kegagalan.
Angin segar dibawa ketika pada tahun 1978 diadakan Kongres Kehutanan
Dunia VIII di Jakarta 1978, pengelolaan hutan nasional mengikuti strategi
kehutanan sosial. Kongres kehutanan ini termasuk yang terrbaik karena
merupakan titik tolak perubahan strategi pengelolaan hutan dari conventional
strategy menuju social forestry strategy. Tetapi wacana yang ada dalam
kongres inipun mentah karena ada berbagai sebab antara lain: sumber daya
rimbawan Indonesia yang masih sangat terbatas, orientasi pengelolaan hutan
Indonesia yang berubah dari Jawa ke luar Jawa yang dianggap lebih modern,
padahal sistem HPH luar Jawa adalah bentuk praktek kehutanan primitif
yaitu timber extraction. Hal ketiga yang menjadi alasan adalah pemakaian
alat-alat modern untuk mengeruk hasil hutan sebesar-besarnya di luar Jawa
lebih nampak hasilnya daripada kehutanan Jawa yang hanya menghasilkan
hasil-hasil hutan yang bernilai rendah dan hanya bernilai dalam rupiah
dibandingkan dengan kayu-bulat ekspor kalimantan yang menghasilkan
dolar.
Program Perhutanan Sosial, adalah program yang dicetuskan pada tahun
1980-an ketika perhutani mendapatkan bantuan dari Ford Foundation untuk
mengatasi masalah sosial dalam pengelolaan hutan jati di Jawa. Pelaksanaan
dari program ini diawali dengan sebuah penelitian lapangan yang merupakan
gabungan dari doctor-doktor antropologi kenamaan dengan para sarjana
kehutanan Indonesia yang berada dalam jajaran perhutani. Salah satu
diantaranya adalah mahasiswa doctoral bernama Nancy Lee Peluso yang
meneliti di Balapulang dan akhirnya mengarang sebuah buku berjudul Rich
lxxxiv
Forest Poor People. Tetapi kelihatannya hasil penelitiannya tidak dijadikan
pedoman sama sekali. Maka jadilah program perhutanan sosial hanya berupa
system tumpangsari yang berada pada tanah antara sela tanaman jati yang
diperlebar untuk dapat ditanami oleh warga masyarakat dengan nanas, atau
buah-buahan lain.
2. Masa PHBM
Kebijakan yang dikenal dengan nama pengelolaan hutan bersama
masyarakat atau lebih dikenal dengan singkatan PHBM memunculkan
adanya sebuah lembaga masyarakat desa hutan (LMDH).
Ketika program PHBM diluncurkan pada tahun 2001 KPH Cepu baru
mulai melaksanakannya pada tahun 2003. beda program ini dengan program-
program sebelumnya, adalah adanya landasan hukum yang mendasarinya.
Pada program ini dibentuklah LMDH-LMDH atau lembaga masyarakat desa
hutan yang dinotariskan. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah
dengan sistem sharing yaitu penentuan proporsi bagi hasil dalam bentuk
uang. Salah satu ucapan yang dikatakan mengenai aktifitas warga masyarakat
desa hutan adalah,”dalam PHBM kan ada pembinaan,jadi kita berusaha
merubah pola pikir mereka dan diharapkan ada penurunan kebiasaan atau
interaksi mereka dengan hutan,”apabila kita kaji lebih mendalam, upaya
untuk menurunkan kebiasaan masyarakat berinteraksi dengan hutan adalah
sesuatu yang musykil. Penulis dalam latar belakang penelitian ini menulis
bahwa masyarakat desa hutan dengan hutan yang ada di wilayahnya pada
umumnya memiliki hubungan yang erat dan tingkat ketergantungan yang
tinggi terhadap hutan. Betapa tidak? Mereka hidup dan berinteraksi secara
lxxxv
intens dengan hutan semenjak lahir bahkan mungkin hingga mati. Lamanya
interaksi ini secara otomatis akan menghasilkan budaya. Kebiasaan dan
tradisi di masyarakat desa hutan apa yang menyebabkan kelestarian hutan
tidak terjadi? Pendapat penulis, tidak ada! Berbagai sistem serta budaya
dalam masyarakat sekitar kawasan hutan mempunyai peran penting dalam
menjaga kelestarian hutan. Apabila di saat sekarang terdapat paradigma
bahwa masyarakat desa hutan adalah pihak yang menyebabkan kerusakan
hutan maka yang perlu kita pahami adalah penyebab mereka melakukan hal
tersebut. Negara dalam hal ini pemerintah yang mengeluarkan kebijakan
pengelolaan hutan telah mencerabut masyarakat desa hutan dari wilayahnya
sendiri. Akses terhadap hutan dibatasi bahkan ditutup sehingga masyarakat
desa hutan ibarat ”anak ayam mati di lumbung padi” Gagasan Perhutani
tentang PHBM ini bisa disebut merupakan sebuah perubahan dari paradigma
ecototaliter menjadi paradigma ecopopulisme (ekologi kerakyatan). Ekologi
kerakyatan terbagi menjadi dua pendekatan yaitu ekologi garis keras yang
menekankan pentingnya belajar dari pengalaman-pengalaman orang-orang
lokal dan, sebaliknya juga, dari inovasi-inovasi keliru yang diperkenalkan
dari luar. Bagi kaum ekopopulis garis keras, hanya yang bersifat lokal saja
yang menarik. Dunia luar sering dilihat sebagai ancaman dan musuh yang
tidak dipercaya. Orang-orang yang mewakili Negara (pemerintah) adalah
orang-orang yang harus dihindari.
Berbicara tentang hak masyarakat desa hutan, maka perlu pula kita
mendengar dari lembaga swadaya masyarakat SUPHEL. SUPHEL adalah
singkatan dari Solidaritas Masyarakat Untuk Penyelamatan Hutan dan
Lingkungan Hidup. Wawancara ini merupakan sarana untuk mengetahui
lxxxvi
hubungan antara masyarakat desa hutan, KPH Perhutani Cepu serta hutan itu
sendiri. Informan dari SUPHEL adalah Wasista Daru Darmawan. Ia dalam
SUPHEL menjabat sebagai koordinator advokasi kebijakan.
Peneliti mengajukan pertanyaan pada SUPHEL, hak-hak apakah yang
dipunyai oleh masyarakat desa hutan terhadap kawasan hutan? Jawaban
untuk pertanyaan ini adalah tidak ada. Apabila adapun, sebenarnya itu
bukanlah hak. Sebagai contoh, ada sistem banjarharian yaitu pelaksanaan
proses pembuatan hutan dengan melibatkan warga masyarakat dalam
penanaman kemudian diberi upah. Ataupun dengan melakukan pengolahan
lahan hutan secara tumpang sari, dengan catatan si pesanggem(istilah untuk
warga masyarakat yang mendapatkan kesempatan pengolahan lahan hutan)
wajib menjaga hutan milik Perhutani.
Ketika penulis melakukan pengamatan di wilayah KPH Cepu, banyak
warga yang mengambil daun, rencek, arang, maupun akar. Tetapi hal ini
menurut Mas Wasis, salah satu anggota dari SUPHEL sebenarnya adalah
aktifitas ilegal. Tetapi, hal ini memegang diperbolehkan oleh KPH Cepu.
Mengapa hal itu dilarang tetapi tetap diperbolehkan? Karena KPH Perhutani
belum mempunyai solusi terhadap aktifitas yang dilaksanakan. Apabila
terdapat pelarangan, itu sama artinya dengan membunuh masyarakat. Dengan
kata lain, inilah kebijakan lokal dari KPH Cepu. Kebijakan local yang
berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi local masyarakat.
Jadi hak masyarakat terhadap hutan memang tidak ada. Kecuali mereka
berperan dalam proses-proses pengelolaan hutan yang dilaksanakan atas
inisiatif Perhutani. Apakah ini merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat
desa hutan di Jawa? MDH mampu dengan sabar hidup dalam kondisi dimana
lxxxvii
akses sangat dibatasi sehingga tidak ada kesempatan memanfaatkan hutan
kecuali sedikit. Ada sebuah nilai yang masih berlaku dan dianggap biasa
yaitu tentang status sosial pegawai Perhutani yang digolongkan kaum
priyayi. MDH mempercayai hal ini, dan para pegawai Perhutani pun merasa
demikian. Penulis mengetahui bahwa budaya feodal masih sangat kental di
dalam jajaran perum Perhutani.
Di saat sekarang, ketika program PHBM dilaksanakan ada sedikit
perubahan yaitu dengan sistem sharing(pembagian hasil berupa uang dari
hasil panenan hutan baik dari tebang penjarangan maupun untuk tebang
produksi untuk masyarakat desa hutan) padahal pembagian uang ini adalah
agar masyarakat “berperan” dalam artian tidak mengambil hasil hutan. Inipun
sebuah pola yang sama dengan yang selama ini sudah ada bukan? Untuk
lebih jelasnya, perlu bagi kita untuk membaca sebuah tulisan karya aktivis
lingkungan yang juga akademisi kehutanan UGM tentang PHBM ini.Pada
pelaksanaaan di wilayah lain, bentuk dan pola kerjasama dalam PHBM
antara masyarakat dengan pihak Perhutani bisa saja berbeda. Menurut Agus
Affianto, seorang anggota LSM kehutanan di Javlec (Java Learning Centre)
hasil sharing yang besarnya 25% masih memendam sedikit ketidakadilan. Ia
menulis permasalahan ini dalam karangan berjudul: Mekanisme Bagi Hasil
dalam PHBM: Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat atau Pengelolaan
Hutan Biaya Murah? kalimat pembuka dalam karangan tersebut bernada
keras yaitu, apabila dalam suatu usaha, saudara berkontribusi modal 2 bagian
sedang pihak lain 1 bagian, apakah saudara akan bersedia membagi
pendapatan usaha tersebut dengan proporsi yang sama(1:1) dengan pihak
lain?
lxxxviii
Penentuan sharing atau bagi hasil dalam kawasan hutan Perhutani diatur
oleh keputusan direksi perum Perhutani no.001/KPTS/DIR/2002 tentang
pedoman berbagi hasil hutan kayu, proporsi hasil bagi maksimum yang
berhak diterima masyarakat desa hutan adalah sebesar 100% untuk
penjarangan pertama, 25% untuk penjarangan lanjutan dan 25% untuk hasil
tebangan habis. Artinya pada seluruh wilayah kerja Perhutani, masyarakat
desa hutan akan menerima proporsi maksimum sebesar seperti yang
dikemukakan diatas apabila kerjasama dimulai dari tanah kosong. Sementara
proporsi bagi hasil akan semakin kecil apabila kerjasama dimulai dari areal
yang bertegakan.
Agus Affianto mengajukan tiga pertanyaan evaluatif yaitu:
a. Dapatkah proporsi sebagaimana yang trcantum dalam keputusan
tersebut diberlakukan secara umum di seluruh wilayah kerja
Perhutani?
b. Dapatkah prosentase bagi hasil ditetapkan secara berbeda pada satu
proses produksi yang sama?
c. Apa dasar penentuan munculnya angka 100%(untuk penjarangan
pertama) dan maksimum 25% (untuk penjarangan lanjutan dan
terakhir) tersebut?
Pertanyaan point (a) muncul lebih dilatarbelakangi oleh perbedaan
karakteristik pada wilayah kerja Perhutani. Jangkauan wilayah kerja
Perhutani di pulau Jawa yang mencakup provinsi Banten hingga Jawa timur
tentunya harus dipertimbangkan dalam penentuan proporsi bagi hasil
lxxxix
tersebut. Bukankah terdapat perbedaan baik dari sisi umur maupun dari jenis
tanaman .
Munculnya pertanyaan poin (b) dan (c) lebih didasarkan pada pola pikir
sederhana saja. Pertama, kegiatan penyiapan lahan, pengadaan bibit,
penanaman, pemeliharaan dan penjarangan adalah serangkaian aktifitas yang
merupakan input dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan tegakan
siap tebang pada umur yang dikehendaki. Apabila memang demikian halnya,
dapatkah proporsi bagi hasil untuk penjarangan dan tebangan akhir tersebut
dibedakan? Sebagai contoh, berdasarkan penghitungan petani disalah satu
desa dalam lingkup KPH Kuningan, nilai proporsi bagi hasil kayu jati adalah
sebesar 45% untuk masyarakat dan 55% untuk Perhutani. Melihat contoh
proporsi bagi hasil berdasarkan penghitungan masyarakat diatas, mungkin
akan timbul pertanyaan,”apakah masyarakat akan benar-benar dapat
mengidentifikasi besaran input pengelolaan yang dikeluarkan oleh
perusahaan(Perhutani)? Terlepas dari benar tidaknya hasil penghitungan
proporsi yang dilakukan masyarakat tersebut, paling tidak masyarakat telah
memiliki dasar perhitungan untuk memperjuangkan hal-hak mereka. Justru
inilah diperlukan adanya keterbukaan dari masing-masing pihak untuk duduk
bersama mendiskusikan proporsi bagi hasil yang sesuai dengan jiwa
“bersama” seperti yang disebutkan dalam keputusan no 136/KPTS/DIR/2001
tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat menekankan
bahwa nilai dan proporsi bagi hasil ditetapkan sesuai dengan nilai faktor
produksi yang diberikan oleh masing-masing pihak(Perhutani, masyarakat
desa hutan dan pihak lain).
xc
Tabel 1. Matriks Waktu Tertata
Perubahan-Perubahan dalam Perubahan Program Pengelolaan Hutan KPH Cepu
PRA PHBM 1 PRA PHBM 2 KOMPONEN PERUBAH (Program Prosperity
Approach) (Program Perhutanan Sosial)
PHBM
Hak masyarakat terhadap hutan
Tidak ada Tidak ada Sharing produksi kayu
Bentuk kompensasi
Gaji dari proyek Perhutani (INDIVIDU)
Gaji dari proyek Perhutani (INDIVIDU)
Perbaikan-perbaikan fasilitas sosial masyarakat.
Keorganisasian MDH
Tidak ada Tidak ada Ada dan berbadan hukum
Kebijakan dalam pengelolaan hutan
Arogansi management Perhutani (1 pihak)
Arogansi management Perhutani (1 pihak)
Kerja sama
Agen-agen program
Mantri-Mandor Mantri-Lurah
(Ma-Ma) (Ma-Lu)
LMDH+KPH
Hasil penelitian tingkat partisipasi masyarakat desa hutan diatas dapat
dikatakan bahwa masyarakat desa hutan masih mengalami proses
marginalisasi akibat dari tidak adanya pengakuan hak masyarakat desa hutan
terhadap hutan, tempat tinggalnya.
4.2. HASIL INTERAKSI MASYARAKAT DESA HUTAN
4.2.1. Pengetahuan Lokal Masyarakat Desa Hutan
Unsur dalam kearifan lokal antara lain adalah pengetahuan lokal yang
kemudian pengetahuan ini dapat menjadi ketrampilan lokal. Pengetahuan lokal yang
penulis temukan pada saat penelitian ini antara lain adalah pengetahuan tentang
pemanfaatan hasil hutan non kayu tegakan, kayu tegakan adalah milik Perhutani.
Sehingga, masyarakat dalam interaksinya terus menerus berpikir bagaimana agar
xci
hidup bisa terus berjalan. Oleh sebab itu, masyarakat memanfaatkan hasil hutan lain
diantaranya rencek, daun(ron), brongkol, gelam, tunggak, arang.
Setelah cukup lama melakukan observasi, penulis bertemu dengan satu warga
masyarakat desa hutan di wilayah Nglobo, salah satu wilayah yang mempunyai
potensi hutan tinggi. Begitu pula dengan wilayah yang ada di sekitarnya seperti
Blungun, Temengeng hingga Pasar Sore.. Selama perjalanan memang cukup banyak
yang melakukan pengambilan rencek dan juga daun jati. Selain jati tersebut banyak
juga pohon Ploso yang sedang berbunga. Bunganya yang berwarna merah atau
oranye berada di pucuk-pucuk pohon, sebuah pemandangan yang indah di tengah-
tengah meranggasnya daun-daun jati.
Pak Yadi adalah seorang warga Nglobo. Penulis bertemu dengan beliau di
lahan persemaian dan pembibitan secara tidak sengaja ketika sedang mengamati dan
mengambil gambar pohon Ploso. Beliau menjadi bagian dari Perhutani juga.
Tepatnya di KPH Cepu. Banyak istilah dan pengetahuan baru yang didapat dari
beliau. Beliau menyebutkan bahwa masyarakat desa hutan yang dimaksud oleh
penulis adalah yang berada di wilayah-wilayah desa dalam hutan. Bukan yang
berada di tepi-tepi hutan. Beliau berkata demikian untuk menjelaskan bahwa para
pengambil rencek yang menggunakan sepeda kebanyakan bukan berasal dari
wilayah desa hutan sekitar petak hutan tetapi berasal dari desa lain. Seperti Jepon,
Mblora yang berada ditepi-tepi hutan. Menurut San Afri Awang yang disebut
masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang berada di dalam hutan maupun
berbatasan langsung dengan hutan dan memanfaatkan sumber lahan hutan maupun
hasil-hasil hutan lain. Jadi walaupun masyarakat tersebut berada diwilayah tepi hutan
atau jauh dari hutan, tetapi selama ia memanfaatkan hasil hutan, maka ia merupakan
bagian dari masyarakat desa hutan.
xcii
A. Rencek
Para pengambil rencek yang kebanyakan berasal dari luar desa diwilayah hutan
tersebut beliau sebut sebagai ngare. Ketika saya tanyakan artinya kepada beliau, ia
menjawab tidak tahu artinya tetapi sejak dulu istilah dimasyarakat sudah seperti
itu. Para ngare ini mencari kayu dan menjualnya baik ke pasar maupun ke desa
tempat tinggalnya sediri. Baik untuk digunakan sendiri maupun untuk dijual di
sepanjang perjalanan. Bahkan biasanya, belum sampai kerumah, seorang ngare
bersepeda telah habis renceknya, karena ada yang membeli di jalan dan
membelinya. Nilai rencek saksepedha berkisar antara 25 ribu hingga tiga puluh
ribu rupiah. Beberapa istilah dalam perencekan:
a. Gendhel, ukuran paling kecil jumlahnya sekitar 4-5 batang.
b. Bongkok, ukuran lebih besar dari gendhel.
c. Pikul, sakpikul artinya dua bongkok. Perencek menggunakan pikulan untuk
membawa rencek sekaligus alat ukur penjualan rencek.
d. Sepedha, perencek yang menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi
dan alat ukur penjualan rencek. Nilai jual 25-30 ribu rupiah.
Gambar 6.
Rencek dibawa
dari hutan
xciii
Perlu diketahui pula biasanya para perencek sudah memiliki kelompok-kelompok
pencari rencek dan juga telah melakukan perjanjian-perjanjian dengan pihak
pengepul, kapan dan dimana pengambilannya.
Di lokasi penelitian, banyak sekali ditemukan aktifitas warga yang
mengambil hasil hutan ikutan (HHI). Setiap hari kurang lebih mulai pukul 08.00
WIB akan banyak ditemukan para pengambil rencek yang menggunakan sepeda
sebagai alat transportasinya. Jarang sekali mereka menggunakan sepeda motor.
Entah memang mereka tidak punya atau memang lebih mudah menggunakan
sepeda. Tapi alasan yang lebih kuat adalah alasan yang pertama. Karena beberapa
hal sebagai berikut:
a. Pekerjaan mengambil rencek, daun, arang atau apapun dalam hutan Negara
adalah sesuatu yang sebenarnya illegal. Tidak banyak yang berprofesi ini
kecuali karena kebutuhan hidup yang mendesak.
b. Sepeda mempermudah penghitungan nilai penjualan rencek. Beberapa hal
yang perlu diketahui, bahwa penjualan rencek dihitung dengan satuan-satuan
tertentu. Beberapa istilah satuan yang sering digunakan adalah seiket,
sasepedha, maupun Sakgendhong.
c. Para perencek mempunyai ikatan dengan pihak pengepul. Para pengepul
inilah yang mempunyai mobil pick up terbuka untuk mengambil kayu-kayu
rencek diberbagai petak hutan terutama yang berada di jalur jalanraya. Para
perencek walaupun pengambilan renceknya dilaksanakan hingga jauh
kedalam hutan tetapi pengumpulan hasil selalu disatukan di sebuah tempat
yang telah disepakati oleh perencek dengan pengepul. Kapan jamnya, berapa
jumlahnya dan lain-lain.
xciv
d. Aktifitas para ngare ini adalah salah satu aktifitas untuk mengisi waktu luang
dalam masa menunggu panen. Sehingga waktu bukan sebuah ukuran yang
tegas. Mereka tidak mempunyai keterikatan waktu. Sehingga dengan sepeda
yang alon-alon asal kelakon maka pilihan menggunakan sepeda adalah
pilihan yang tepat.
B. Daun(Ron)
Selain tunggak, rencek dan jati, masih ada satu hasil hutan lain yang
dimanfaatkan oleh masyarakat desa hutan yaitu daun atau ron dalam bahasa jawa.
Terdapat banyak ron yang dimanfaatkan oleh warga. Tetapi daun utama yang sering
digunakan dan dicari adalah daun jati. Karena memang terdapat semacam kelebihan
daun jati dibanding daun yang lain. Selain kph cepu merupakan kph dengan hutan
produksi jati sehingga daun jati berlimpah juga karena daun jati mempunyai banyak
manfaat ketika dipergunakan sehari-hari. Biasanya daun jati dipergunakan sebagai
bungkus makanan. Menurut Bu Warsi, rasa nasi akan lebih enak apabila dibungkus
dengan daun jati. Kalau tidak percaya maka coba rasakan belalang yang makan daun
jati. Rasanya pasti enak. Ini menurut Bu Warsi. Pak Yadi juga berpendapat sama
kripik belalang disini adalah makanan kecil yang mudah dijumpai di warung-warung
pinggir hutan maupun dalam hutan. Bahkan pernah ketika penulis mampir di salah
satu warung di wilayah Sekaran, ketika penulis minta nasi untuk makan siang, sang
Gambar 7. Salah Satu Ngare
xcv
penjual hanya tertawa dan menjelaskan bahwa warungnya tidak menjual nasi. Yang
ada hanya kopi kothok, ketan dan keripik belalang. Tetapi ketika penulis mencoba
tiga-tiganya rasanya memang luar biasa. Wisata kuliner di tengah hutan menyajikan
masakan-masakan sederhana dari lingkungan alam hutan. Apabila penulis
memikirkan mengapa keripik belalang itu enak, jawabnya adalah karena belalang
hutan jati adalah belalang yang makananannya alami(daun jati) jauh dari obat-obatan
sehingga pantas saja rasanya juga nikmat. Kembali pada daun jati, para pencari daun
jati sangat telaten. Mulai dari pagi-pagi hingga pukul 09.00 biasanya meraka sudah
mulai mengumpulkan daun. Ketika selesai, para pencari daun dalam satu kelompok
istirahat sambil menunggu mobil angkutan baik yang merupakan angkutan resmi
bahkan sopir-sopir sukarelawan yang mau diboncengi hingga ke pasar. Para pencari
daun jati menggulung daun jati hingga gulungan sebesar diameter kurang lebih 70
sentimeter. Yang penulis tanyakan adalah, bagaimana cara mereka menggulungnya?
Selain jati, daun lain yang digunakan adalah daun ploso. Pada masa terak jati,
yaitu ketika bulan jati meranggas, pohon ploso tidak mengalami kekeringan. Daun
ploso tetap tumbuh berwarna hijau. Pada masa terak jati ini, para pencari daun
mengalihkan perburuannya dari daun jati ke daun ploso.
Daun lain yang biasa dimanfaatkan masyarakat adalah daun lempuyang,
kunci, ndayakan, kesambi dan trengguli. Kesemuanya merupakan jenis semak dan
bukan pohon. Lempuyang banyak dimanfaatkan untuk obat-obatan. Kunci yang
banyak bermunculan di bulan Februari dimanfaatkan sebagai campuran sayur. Daun
ndayakan dan kesambi mempunyai manfaaat yang hampir sama yaitu untuk
mengasamkan masakan. Di daerah Cepu salah satu masakannya adalah asem-asem.
Untuk mengasamkan sayuran ini, dipergunakanlah dua daun ini. Tetapi daun
ndayakan menurut Pak Yadi lebih bagus rasa asamnya. Daun trengguli lain lagi
xcvi
manfaatnya. Masyarakat memanfaatkan daun trengguli untuk memasakkan buah-
buahan yang masih muda atau mentah. Fungsinya hampir sama dengan apabila kita
menggunakan karbit. Tetapi manfaat daun trengguli ini lebih bagus hasilnya. Selain
alami juga murah.
Pengetahuan masyarakat desa hutan tentang silvikultur sebenarnya sudah
ada. Istilah silvikultur adalah istilah kehutanan untuk menunjukkan berbagai
karakteristik tanaman atau pohon-pohon hutan. Pada bulan meranggasnya jati istilah
masyarakat terak jati, yaitu bulan Agustus sampai November, pohon ploso
merupakan pemandangan yang indah bagi penulis. Di tengah suasana udara yang
panas dan kering masih nampak hijauan daun ploso apalagi apabila ditambah dengan
bunga-bunga ploso berwarna merah muda dipucuk-pucuk daun. Ketika penulis
menanyakan hal ini, salah satu informan juga mengungkapkan demikian. Bahkan
bukan itu saja, beliau pun menunjukkan sebuah pengetahuan baru yaitu bahwa
pohon ploso terutama bunga ploso merupakan “ketaran”. Ketaran adalah istilah
yang dipakai warga masyarakat desa hutan untuk penunjuk atau meramalkan
sesuatu. Bentuknya, apabila bunga ploso merah masih banyak dan belum rontok
maka dapat diramalkan bahwa musim hujan masih jauh atau dapat disebut dalam
istilah masyarakat, laboh. Proses mencari daun jati adalah dengan mencari tumbuhan
jati trubusan yaitu pohon jati kecil, tunas-tunas baru baik tumbuh sendiri maupun di
daerah tebang penjarangan.
Gambar 8.
Seorang pencari daun
xcvii
C. Brongkol dan Tunggak
Beberapa pemanfaatan hasil hutan oleh para warga warga masyarakat desa
hutan adalah yang disebut dengan brongkol. Brongkol sebenarnya adalah alat yang
digunakan untuk mendapatkan kayu sisa hasil tebangan. Di wilayah madiun
brongkol disebut dengan wungkal, Perhutani memang hanya mengambil batang
kayu jati saja.tetapi ranting, akar, kulit maupun daun tidak diambil. Kayu brongkol
biasanya bentuknya tidak karuan. Karena memang terpendam dalam tanah setelah
dilakukan tebangan. Jadi mungkin sudah dimakan rayap ataupun kotor karena
tanah. Kualitas yang lebih tinggi dari brongkol adalah tunggak.
Apabila brongkol hanya untuk kayu bakar dan hampir sama dengan rencek
maka yang disebut dengan tunggak manfaatnya lebih tinggi karena mampu
dimanfaatkan sebagai meja, kayu, kursi maupun perhiasan yang nilainya tinggi. Ini
pula usaha yang ada di wilayah Cepu. Kurang lebih ada delapan pengrajin berpusat
di KPH Cepu dari 13 pengrajin di wilayah kabupaten Blora.
D. Gelam
Gelam adalah kulit kayu jati. Biasanya gelam diambil oleh masyarakat desa
hutan diwilayah teresan. Menurut cerita, dua tahun sebelum ditebang pohon jati
mesti dimatikan terlebih dengan cara diteres. Proses ini merupakan upaya
mengurangi kadar air di dalam kayu. Dengan langkah tersebut kelak akan
diperoleh kayu jati berkualitas tinggi, lebih awet, tidak mudah pecah, ringan waktu
diangkut, dan mudah dikerjakan. Setelah mengalami teresan selama dua tahun,
pohon jati baru ditebang. Penebangan dilakukan para blandong, yaitu tukang
tebang professional yang tinggal di seputar hutan.
xcviii
Gelam dapat digunakan sebagai dinding rumah atau atap. Kulit pohon jati
memang cukup tebal. Kurang lebih ketebalannya mencapai 2-3 cm. Sehingga
apabila kita memasuki wilayah teresan, maka akan dijumpai beberapa tegakan jati
yang sudah mulus tinggal tampak kayunya karena gelamnya sudah diambil dari
bawah sampai ke puncaknya.
E. Arang
Para pengusaha arang juga cukup banyak di wilayah KPH Cepu. Mereka
membuat arang di tengah-tengah hutan, membakar kayu di tengah-tengah hutan
kemudian esok paginya baru diambil biasanya sekaligus dengan saat pengambilan
hasil hutan ikutan yang lain.
Walaupun hal ini mengandung resiko kebakaran hutan, tetapi para pembuat
arang bersikap hati-hati dengan ikut serta menjaga kayu arang atau dengan
membuat pagar batu yang membatasi pembakaran kayu menjadi arang.
4.2.2. Budaya Local Masyarakat Desa Hutan
Budaya dapat diartikan sebagai kebiasaan dan nilai-nilai yang diakui secara
umum oleh suatu masyarakat yang tinggal disuatu tempat tertentu. Budaya
merupakan produk kolektif yang menghasilkan suatu ukuran dan rangkaian tindakan
yang dipakai suatu acuan untuk menilai tindakan orang lain.
Kita mempelajari budaya sejak kecil dari orang tua, keluarga, lingkungan sosial
masyarakat, para pemimpin agama atau adat, para guru dan dari media. Budaya tidak
bersifat statis. Melainkan selalu berubah karena pengaruh internal dan eksternal.
Budaya menentukan cara kita bertindak dan bertingkahlaku dalam interaksi baik
interaksi dengan lingkungan sosial, lingkungan biotik maupun lingkungan fisik.
Berbagai tradisi dan nilai budaya lokal di masyarakat yang mengandung kearifan
xcix
lokal yang apabila digali dan dihubungkan dengan kelestarian hutan maka akan
menunjukkan hubungan yang saling menguatkan.
Budaya mempunyai wujud sehingga dapat kita lihat, rasakan dan kita
laksanakan. Wujud budaya dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu mentifact,
sosiofact dan artifact. Tiga hal tersebut saling bersinergi membentuk kesatuan
budaya yang khas pada masyarakat tertentu.
Masyarakat desa hutan sebagai salah satu jenis masyarakat juga mempunyai
budayanya sendiri. Memang sebagai produk kolektif interaksi manusia, maka dapat
pula kita lihat beberapa atau banyak persamaan dengan budaya pada masyarakat lain
yang mempunyai karakter hampir sama dengan masyarakat desa hutan.
A. Mentifact
Mentifact yaitu sebuah budaya yang bersifat abstrak yang berupa aspek mental
yang melandasi perilaku dan hasil karya. Didalamnya terdapat ideologi, sikap
kepercayaan dan pemikiran. Semua hal tersebut dapat kita jumpai pada masyarakat
desa hutan di wilayah KPH Cepu. Masyarakat berpandangan cukup sederhana.
Ferdinand Tonnies mengemukakan sifat-sifat desa yang menurutnya masih
berpikiran tradisional. Masyarakat mempunyai pola pikir yang diistilahkan narimo
ing pandum. Konsep ini adalah sebuah bentuk kepasrahan terhadap adanya takdir
yang telah dikehendaki oleh Tuhan. Apa-apa yang ia dapatkan (pandum) maka ia
terima (narimo).
Berbagai aktifitas yang dilaksanakan dalam keseharian masyarakat merupakan
bentuk sikap narimo ing pandum ini. Di tengah-tengah hutan yang dikelola
Perhutani, masyarakat desa hutan hanya mengambil hasil hutan yang nilainya tak
seberapa. Hidup masyarakat desa hutan sebagaimana yang anda lihat semata. Pagi
mencari apa yang dapat ia cari asalkan mampu menjadi uang yang mampu
c
memenuhi kebutuhan hidup. Apakah ada semacam subsistensi? Apabila dilihat dari
komposisi di jelaskan dalam angka maka inilah datanya:
Nama desa Sifat desa Jumlah
penduduk
petani Buruh tani
Nglobo enclave 2.129 jiwa 217 108
Nglebur enclave 5.112 jiwa 2382 1588
Ngraho enclave 4.477 jiwa 461 1.029
Bagaimana cara membaca data yang sedemikian? perlulah kita memahami dan
kritis secara benar-benar kritis. Bahwa terdapat banyak kesenjangan.
Saya tidak menganggap rendah profesi petani. Tetapi petani atau buruh tani
yang seperti apa yang ada di wilayah hutan “milik” Perhutani ini? Ketika melakukan
observasi lapangan, hampir tidak dapat penulis lihat adanya lahan-lahan yang dapat
dikelola sebagai pertanian yang konsisten. Yang jelas hanya sebuah lahan dibawah
tegakan pohon-pohon jati yang tidak seberapa dan sebelum mengolahnya pun
diberikan syarat untuk membayar. Dari salah seorang warga yang saya temui di
wilayah pasar sore diketahui bahwa perbulan mereka wajib membayar uang
“kendhilan” sebesar 8.000 rupiah setiap bulan. Tetapi penulis tidak tahu seluas apa
tanah yang disebut kendhilan tersebut? Dalam buku yang pernah saya baca karangan
Hasanu Simon, terdapat istilah andil yaitu petak-petak tanah hutan yang dapat
ditanami dengan membayar sejumlah uang kepada Perhutani. Inilah yang penulis
sebut sebagai sebuah hal yang perlu dikritisi juga, masyarakat yang tidak punya hak
apapun untuk mengelola tanah ketika ingin mengelola tanah Negara pun wajib
membayar apakah ini semacam upeti?sebuah bentuk feodalisme yang masih
nampak!
ci
Beberapa masalah yang belum kita jawab dan masih tersimpan dalam benak
peneliti yaitu tentang hutan adat ataupun hutan rakyat akhirnya terjawab juga.
Masyarakat desa sekitar hutan diwilayah KPH Cepu yang mempunyai tanah hak
milik tetap menggunakan tanah-tanah mereka untuk menanam tanaman-tanaman
keras. Biasanya memang jati karena tanah disitu memang cocok. Dengan cara
penanamannya berada di tepi-tepi tanah hak milik tersebut. Sementara sisa tanah
yang ada tetap dimanfaatkan sebagai ladang tanaman palawija atau mungkin padi.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pemanfaatan tanaman-tanaman tersebut?
Beliau menjawab, ya dibiarkan saja mas, kecuali memang kalau ada butuh ya tinggal
potong kemudian dijual, baik ke perajin atau mungkin orang yang butuh kayu.
Hery Santoso, seorang aktifis lingkungan hidup dari Javlec (Java Learning
Centre) menyatakan bahwa konsep narimo ing pandum adalah sebuah strategi
bertahan masyarakat desa hutan. Etos ini baik untuk kelestarian hutan, tetapi buruk
untuk pengembangan kehidupan masyarakat. Apabila dikaji lebih mendalam, nilai
narimo ing pandum adalah bentuk inferioritas dari masyarakat desa hutan dalam
lingkungannya. Di tengah-tengah hutan yang kaya (rich forest) tetapi masyarakat
hidup dengan segala keterbatasan (poor people, meminjam istilah Nancy Lee
Peluso). Kekayaan hutan yang dimaksud disini adalah kayu jati yang merupakan
kayu produksi unggulan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan membawa
kemakmuran dan keuntungan financial tinggi bagi Perhutani sebagai pengelola
tunggal di kawasan hutan produksi di Jawa. Akan tetapi dilain pihak, masyarakat
desa hutan yang tinggal di wilayah hutan mungkin semenjak lahir bahkan mati disitu
tidak dapat mendapatkan sesuatu dari hutan kecuali sedikit.
Konsep lain dari narimo ing pandum ini adalah konsep mangan ora mangan
kumpul. Ini pulalah sebuah strategi masyarakat desa hutan dalam mengatasi
cii
sempitnya lahan untuk diolah guna menghasilkan tanah pertanian. Seperti diketahui,
masyarakat yang tinggal dan hidup di kawasan hutan tidak mempunyai tanah yang
cukup luas dan baik untuk melakukan usaha cocok tanam. Hanya diantara sela-sela
pohon jati di atas tanah negara, para warga dapat melakukan penanaman tanaman
palawija. Pihak Perhutani menamakan ini sebagai pemanfaatan lahan di bawah
tegakan atau sering disingkat PLDT. Para petani hutan yang memanfaatkan lahan ini
biasa disebut pesanggem.
Di dalam hutan jati perhutani sendiri dikenal sebuah istilah tanaman tepi atau
tanaman pagar. Hal ini adalah sebuah upaya perhutani dalam rangka memisahkan
secara tegas antara masyarakat desa hutan dengan wilayah hutan negara. Tanaman
tepi yang dipergunakan pun adalah tanaman secang yang mempunyai duri-duri besar
sehingga tidak dapat dimasuki oleh hewan maupun oleh manusia apabila tanpa
membawa alat pemotong seperti arit atau bendo.
Bentuk mentifact lain adalah pandangan yang menempatkan para pegawai
Perhutani sebagai status sosial yang tinggi. Sejarah kehutanan di Jawa menyebutkan
bahwa pada zaman Djatibedrijf sedang kokoh-kokohnya, para pegawainya
mendapatkan kemakmuran yang luar biasa dan mempunyai kharisma yang tinggi di
masyarakat. Prof. Hasanu Simon menulis,
Ketaatan atau ”ketakutan” masyarakat terhadap pemerintah kolonial, khususnya mereka yang bertempat tinggal di sekitar hutan, dapat dilukiskan sebagai berikut: dalam konsep undang-undang kehutanan antara lain disebutkan bahwa rakyat tidak diperkenankan masuk kedalam hutan tanaman jati dengan membawa senjata tajam seperti parang dan kapak. Di musim kemarau, lantai hutan jati penuh ditaburi oleh daun kering yang gugur karena sifat pohon jati sebagai jenis decidious. Oleh karena itu, kalau dalam musim kering ada orang masuk kedalam hutan, walaupun jumlah pejabat kehutanan sangat sedikit dan hanya sebulan sekali masyarakat melihat mereka masuk hutan, orang tersebut akan berjalan dengan sangat pelan-pelan karena suara kaki menginjak daun-daun kering dapat didengar sampai jauh. Tidak hanya berjalan pelan-pelan untuk menghindari suara kemresek juga orang tersebut berjalan sambil membawa daun-daun jati kering untuk menutupi setiap bekas injakan kaki yang daun-daunnya rusak karenanya.
ciii
Perasaan sebagai priyayi mendominasi pandangan para pegawai Perhutani.
Sementara itu, masyarakat desa hutan pun mempunyai pandangan yang sama.
Pandangan ini menyebabkan warga masyarakat sering menunjukkan pola perilaku
seperti mengirimkan makanan pada pegawai Perhutani ketika melaksanakan acara-
acara tertentu, istilah di masyarakat disebut punjung. Apabila melihat kondisi seperti
ini dapat dianalisis bahwa budaya feodal warisan pemerintah kolonial masih sangat
kental di dalam jajaran perum Perhutani.
Feodalisme adalah suatu tertib sosial yang ditandai dengan memerintahnya
golongan aristrokat atau bangsawan. Seorang administratur yang lebih sering
dipanggil “Pak Adm” merupakan jabatan yang “wah”. Tidak mudah untuk menemui
beliau. Bahkan untuk staff-nya sendiri. Fasilitas yang luar biasa diperoleh para
administratur ini. Biasanya pada setiap KPH dapat dijumpai rumah dinas Adm yang
mewah. Pola ini merupakan warisan dari apa yang terjadi pada masa Djatibedrijf.
Prof . Hasanu Simon menulis,
Pada waktu itu, Boshwezen telah memisahkan antara pengelolaan hutan jati dengan nonjati, masing-masing disebut Djati-hout dan Wild-hout Boschen. Kedua badan tersebut bernaung dibawah Jawatan Kehutanan Jawa Madura, tetapi masing-masing ditangani secara terpisah yaitu pengelola hutan jati dan pengelola hutan rimba. Bagi para pejabat Boschwezen, bekerja di Djatibedrijf dianggap lebih bergengsi dibanding kalau menjadi pejabat yang mengelola hutan rimba. Hal ini disebabkan karena pendapatan Djatibedrijf lebih tinggi dibanding dengan pendapatan pegawai hutan rimba, dan masalah yang dihadapi jauh lebih kompleks dan menantang.
Berbagai istilah untuk para pejabat kehutanan di Perhutani menjadi sebuah
simbol-simbol status, istilah-istilah tersebut masih dipakai oleh masyarakat hingga
saat ini. Beberapa contoh diantaranya adalah, polisi hutan yang pada masa
Djatibedrijf bernama boschwagter di lidah masyarakat Jawa menjadi pak waker,
pejabat bagian pendidikan disebut ndoro BA dari istilah Belanda Bosch-Architeck.
Adapula istilah pak sinder dan pak siner untuk menyebut bagian opziener yaitu para
civ
pejabat lapangan Djatibedrijf dan bagian pendidikan kehutanan. Sapaan-sapaan
diatas hingga saat ini masih terbawa.
B. Sosiofact
Banyak sekali aktifitas sosial yang termasuk tradisi masyarakat terkait dengan
kehutanan. Para petani pesanggem yang mempunyai ladang-ladang di bawah
tegakan pohon jati memiliki tradisi bancakan. Bentuknya adalah syukuran makan-
makan yang dilaksanakan pada berbagai momentum. Beberapa momentum
diantaranya adalah:
1. Ritual sebelum tebang hutan
Sebelum proses penebangan, biasanya malam sebelumnya diadakan ritual
bancakan dengan mengundang seluruh orang yang ada kaitan dengan proses
penebangan. Tujuan diadakannya bancakan adalah untuk mencari keselamatan
bagi semuanya.
2. Sebelum membuka Ladang baru bekas tebangan.
Pasca penebangan hutan, biasanya tanah hutan dibiarkan selama satu tahun
atau bahkan lebih. Biasanya masa-masa ini digunakan oleh para warga
masyarakat desa hutan untuk menanam palawija. Bahkan bagi para pencari
tunggak, ini adalah saatnya mencari tunggak untuk diolah. Tetapi, para pencari
tunggak memang menungggu satu tahun atau kurang karena pasca penebangan
akan ada operasi dari pihak Perhutani yang oleh warga masyarakat disebut
sebagai lacak balak yang bertugas mengecek sisa tebangan yang sudah diberi
nomor untuk melakukan supervisi. Jadi selama masa satu tahun tanah hutan
didiamkan oleh Perhutani maka masyarakat memanfaatkannya sebagai lahan
cv
untuk ditanami. Upacara penanaman biasanya menggunakan petungan atau
pencarian hari-hari baik sebelum menanam. Beberapa hari sebelum penanaman
masyarakat desa hutan mengadakan bancakan dengan sajian utama panggang
pitik atau ayam panggang.
3. Undhuh-undhuh.
Undhuh-undhuh adalah masa ketika para petani pesanggem di lahan hutan akan
melakukan panen diatas ladang atau lahan hutan, baik yang merupakan andil
yang ia punyai atau sewa maupun di lahan terbuka pasca penebangan.
4. Tampa seren
Tampa Seren adalah bancakan warga ketika bertemu dengan tanggal satu Sura
atau satu Muharram. Yaitu memperingati tahun baru dalam kalender
komariyah/tahun baru Islam.
Sebagai tambahan, karena penelitian ini dilaksanakan pada bulan Syaban
menjelang bulan Ramadhan maka bancakan juga dilaksanakan di masyarakat desa
hutan ini. Istilah yang disebutkan untuk menyebutkan tradisi ini adalah mapag dan
nutup. Mapag adalah bancakan untuk menyambut atau menyongsong(mapag) bulan
Ramadhan. Sedang nutup adalah bancakan untuk menutup atau bersiap-siap
mengakhiri bulan Ramadhan sehingga hati menjadi tenang dan dosa-dosa benar-
benar dilebur oleh Allah Sang Pencipta. Sajian yang disediakan di tradisi mapag dan
nutup berbeda. Apabila mapag berisi nasi lengkap dengan lauk (biasanya lauk utama
adalah ayam panggang) tetapi di nutup, selain nasi ada tambahan berupa Apem.
Aktifitas-aktifitas diatas adalah aktifitas yang lebih didorong adanya kepatuhan
terhadap aturan adat istiadat di lingkungan sosial. Pada peraturan lain yaitu peraturan
yang dikeluarkan oleh Perhutani artinya aturan terhadap hukum positif, masyarakat
desa hutan pun sama.
cvi
Pada saat PHBM dilaksanakan, budaya masyarakat yang lebih tampak
menonjol adalah budaya musyawarah yang lebih kental. Hal ini tampak dengan cara
pemilihan pengurus LMDH yang sangat terbuka. Dengan dukungan luas dari pihak
kelurahan, warga melakukan musyawarah dengan mengundang seluruh warga
masyarakat desa secara terbuka melalui undangan yang berstempel pamong desa di
tempat-tempat umum. Hal ini penulis temukan ketika melaksanakan observasi di
wilayah Ngadenan desa Cabak kecamatan Sambong, salah satu kawasan hutan
dengan potensi hutan yang relatif tinggi. Budaya musyawarah semakin menguat
sebagai akibat adanya pemberian sharing. Hasil sharing yang besar membutuhkan
kepercayaan bersama dalam pengelolaaanya. Sehingga hal ini menuntut musyawarah
antar warga. Demikian pula dalam proses pendirian, LMDH sebagai salah satu syarat
adanya pemberian sharing, membuat warga masyarakat desa hutan secara otomatis
meningkatkan pola musyawarah dalam setiap keputusan.
C. Artifact
Wujud budaya yang termasuk artifact adalah peralatan-peralatan yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa hutan. Peralatan-peralatan
tersebut kita bagi menurut kesesuaian alat dengan aktifitas masyarakat.
Setiap aktifitas diatas mempunyai peralatan-peralatan pendukung. Ilmu
antropologi meyebutnya sebagai traits. Peralatan ini merupakan wujud kebudayaan
yang disebut sebagai artifact.
a. Perencekan
Peralatan yang digunakan dalam aktifitas ini antara lain: bendo, pethel,
precel, prekul, tatah dan graji.
b. Pengambil daun
cvii
Peralatan yang digunakan dalam aktifitas ini adalah ani-ani.
c. Pengambil tunggak dan brongkol
Peralatan yang digunakan dalam aktifitas ini antara lain: ganco, prekul,
Linggis dan arit.
Berbagai alat yang disebutkan diatas, dalam masyarakat lain juga ditemukan.
Ada yang mempunyai kesamaan fungsi tetapi ada pula yang memiliki perbedaan.
Salah satu alat tersebut adalah ani-ani. Di desa-desa pertanian, ani-ani adalah alat
untuk memotong padi tetapi di desa-desa hutan mengalami alih fungsi sebagai alat
pemotong daun. Cara pemakaian ani-ani relatif sama. Tetapi pemaknaan antara
ani-ani di dua hal ini apakah sama?apabila di desa-desa pertanian, pemakaian ani-
ani adalah bentuk penghormatan terhadap dewi pertanian, Dewi Sri, sebuah
kepercayaan yang hingga saat ini masih kuat menempel dalam diri masyarakat
agraris terutama di Jawa, tetapi pemaknaan tentang hal ini di desa hutan KPH Cepu
ini dapat dikatakan tidak ada.
4.2.3. Kearifan Lingkungan Masyarakat Desa Hutan
Warisan yang sangat berharga dari nenek moyang kita adalah tata nilai
kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Indonesia
mempunyai kemajemukan religi, akar budaya dan keragaman kearifan tradisional,
yang dapat menjadi modal dasar dalam menjalankan pembangunan yang berkeadilan
dan berkelanjutan.
Kearifan lingkungan (KL) adalah tata nilai dalam kehidupan sosial, politik,
budaya dan ekonomi bahkan religi, dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar
dan berada di tengah-tengah masyarakat. Ciri yang melekat dalam kearifan
lingkungan adalah sifatnya yang dinamis, berkelanjutan dan dapat diterima di
cviii
masyarakat. Kearifan lingkungan mewujud dalam bentuk agama, aturan,
pengetahuan, dan juga keterampilan serta tata nilai dan etika yang mengatur tatanan
sosial komunitas dan terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi.
Banyak contoh baik yang ada di masyarakat desa hutan di Indonesia maupun
di bagian hutan-hutan diseluruh dunia. Bagaimana pengetahuan masyarakat dari
hasil pengalaman-pengalaman dengan hutan mampu menjadikan warga
masyarakatnya mampu menghadapi alam yang ganas. Sebagaimana yang tersebut
dalam jurnal internasional yang diterbitkan oleh Swedish Biodiversity Centre
karangan Thomas Elmqvist berjudul Indigenous Institutions, Resilience And Failure
of Co-Management of Rain Forest Preserves In Samoa. Elmqvist menulis,
In Samoa, an archipelago in the western part of Polynesia, local societies use an array
of institutions and management techniques to cope with uncertainties in their environment. Tropical cyclones are highly unpredictable both on a temporal and spatial scale and may cause widespread destruction of villages and plantations. Examples of institutions and resource management systems used under these circumstances include a sophisticated land tenure system enabling a buffer capacity for growing crops, the use of taboos for protecting specific species and techniques for long-term storage of food and. The extent of damage to crops by cyclones is very variable both within and between crop species.
Inilah sebuah wujud adanya budaya masyarakat lokal yang luar biasa sebagai
wujud strategi menghadapi alam. Alam berhasil ditaklukkan. Tetapi terkadang
kearifan masyakat desa hutan ini dilemahkan oleh pihak pemerintah karena dianggap
tidak ilmiah dan kuno. Padahal di Samoa tidak terbukti apa yang ditakutkan oleh
pemerintah. Elmqvist melanjutkan,
Several local indigenous initiatives to conserve biodiversity were taken in the early 1990’s and resulted in village-based rain Forest preserves that are owned, controlled and managed by the villagers. Although these preserves appear to be a robust local approach to rain forest conservation, their establishment resulted in significant conflicts between the villagers and Western NGOs that assisted in raising funds for the preserves. The principles of indigenous control were unexpectedly difficult to accept by some western conservation organizations that ultimately were unwilling tocede decision-making authority to the indigenous leaders. In this case, co-management failed completely when a village decided to severe all relationships and refuse any further financial assistance from the Western NGOs. The reasons for co-management failure need to be analyzed in the context of the crucial role of local institutions and the importance of mutual trust.
cix
Pengetahuan-pengetahua lokal/indegenuous knowledge ini hampir tidak
dapat dilakukan oleh masyarakat di luar masyarakat desa hutan itu sendiri. Seperti
LSM baik dari pemerintah maupun LSM internasional. Ini menunjukkan perlunya
pemberdayaan dalam arti pemberian hak untuk mengelola hutan dalam rangka
menjaga kelestarian hutan.
Salah satu gerakan lingkungan yang terkenal di wilayah kabupaten Blora
adalah gerakan lingkungan yang dipelopori oleh Samin Surya Sentiko. Gerakan ini
berkembang semasa penjajahan kolonial belanda. Gerakan Samin sebagai gerakan
petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu
suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. Beberapa indikator
penyebab adanya pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain :
berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora, perubahan pola
pemakaian tanah komunal, pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai
penggunaan hasil hutan oleh penduduk. Indikator-indikator ini mempunyai
hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini
mempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan
dan mengharapkan zaman emas yang makmur.
Masyarakat desa hutan di wilayah hutan KPH Cepu dapat dikatakan
mempunyai potensi kearifan lingkungan yang cukup tinggi. Akan tetapi, potensi ini
masih dapat dioptimalkan lagi untuk membangun lingkungan yang lebih baik dan
bernilai positif. Bentuk optimalisasi ini adalah dalam bentuk pemberdayaan yaitu
dengan meningkatkan partisipasi masyarakat desa hutan dalam proses pengelolaan
hutan.
Salah satu contoh kasus adalah apa yang penulis temukan di wilayah
Nglebur. Pak Rais mengungkapkan kesyukurannya menjadi warga masyarakat desa
cx
hutan di wilayah Nglebur. Alasan pertama yang ia kemukakan adalah kekayaan
sumber daya hutan Nglebur yang luar biasa. Alasan yang kedua adalah kedekatan
antara warga masyarakat dengan para pejabat Perhutani. Persaudaraan di daerah
nglebur antar warga masyarakat, antara warga masyarakat dengan Perhutani
berlangsung dengan sinergis dan akrab. Mendengar beberapa alasan ini, maka dapat
dianalisis bahwa keterangan yang diberikan oleh Mas Wasis dari LSM SUPHEL dan
Pak Agung Sugiartha staf KSS PHBM bahwa Nglebur adalah wilayah di KPH Cepu
yang potensi hutannya tinggi adalah benar. Begitu pula teori yang dikemukakan
oleh Rachmat K. Dwi Susilo yang mengemukakan bahwa tidak ada satupun masalah
social yang merupakan produk dunia alamiah dan berjalan dengan sendirinya.
Tetapi persoalan lingkungan adalah produk interaksi antar manusia. Keyakinan
penulis adalah proses kelestarian hutan di Nglebur tidak lepas dari kearifan dalam
berinteraksi social diantara actor-aktor dalam wilayah hutan.
tambahan lagi, interaksi warga Nglebur dengan hutan juga berlangsung
dengan arif. Walaupun hutan adalah milik Perhutani, tetapi warga tetap menganggap
bahwa hutan itu adalah miliknya. Sehingga apabila warga mengambil sesuatu hasil
hutan, maka akan diambil sesuai kebutuhan saja. Pak Rais bercerita, bahwa ketika
masa 1998 dimana penjarahan dimana-mana marak, wilayah nglebur tidak demikian.
Hal ini memang sudah disadari warga nglebur. Dan akhirnya kesadaran ini memang
menghasilkan kemanfaatan yang lebih kontinyu. Sekarang, apabila warga nglebur
dalam mencari rencek, mencari daun, mencari gelam ataupun hasil hutan lain, maka
disekitarnya mudah didapat. Beda dengan wilayah lain, desa-desa lain yang pada
tahun 1998 dijarah dan dirusak maka sekarang untuk mencari rencek, mencari daun
serta hasil hutan lain harus keluar dari desanya. Hal ini merepotkan katanya, dan lagi
pula kayu-kayu hasil penjarahan masih tersimpan dan tidak tahu mau dijual dimana
cxi
selain itupula uang hasil penjarahan juga malah habis tanpa bekas yang dirasakan
dampaknya.
Proses pengelolaan hutan dengan partisipasi masyarakat didalamnya ada
berbagai macam pola. Apabila kita mempelajari pada berbagai kasus yang terjadi di
berbagai wilayah kehutanan dimana disitu terdapat beberapa aktor kehutanan, maka
akan kita ketahui berbagai variasi bentuk partisipasi dan pemberdayaan. Sebagai
contoh yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, yaitu bentuk pengelolaan hutan
di wilayah Sambeng Boyolali yang melibatkan masyarakat dalam penjagaan
kelestarian hutan. Disitu muncul sistem plong, yang bermanfaat untuk menambal
lahan hutan yang bolong yang manfaatnya dapat diterima oleh setiap aktor
kehutanan di wilayah Sambeng itu sendiri. Dengan model plong, ada beberapa
keuntungan yang bisa diperoleh kedua pihak. Misalnya, model plong memungkinkan
petani bisa ikut terlibat menjaga hutan. Kemudian, dari lahan plong tersebut bisa
diperoleh hasil pertanian cukup berarti untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu,
penggarapan lahan oleh petani juga bisa lebih intensif.
Penulis mendapatkan sesuatu yang baru yaitu dengan apa yang dinamakan
kawasan perlindungan setempat( KPS) yang merupakan kawasan yang tidak
dilaksanakan proses produksi didalamnya. Artinya tidak ada proses penebangan,
proses penjarangan dan lain-lain yang sifatnya merubah bahkan menghilangkan
vegetasi di kawasan tersebut. Intinya wilayah hutan yang dilestarikan. Pertanyaan
sekarang, penentuan suatu wilayah menjadi KPS itu apa? Pak Agung menyebutkan
bahwa penentuannya adalah karena kawasan tersebut dipakai oleh warga dan disitu
terdapat sesuatu yang berguna seperti mata air dan merupakan tempat yang
dipercaya masyarakat mempunyai keistimewaan. Hal yang menurut saya luar biasa
adalah jumlah kawasan ini mencapai jumlah sebanyak 1024 KPS yang tersebar di
cxii
seluruh wilayah KPH CEPU. Tetapi apabila melihat luas KPS yang diberikan
perhutani, maka dapat dikatakan sangat kecil apabila disebut sebagai sebuah
signifikansi upaya pelestarian hutan. Walaupun begitu, praktek-praktek masyarakat
dalam upaya pelestarian hutan dapat cukup terbukti dengan adanya wilayah KPS.
Kasus lain yang merupakan bukti pentingnya pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat adalah kasus hutan rakyat di wilayah kabupaten Gunung Kidul,
Yogyakarta. Pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat petani di desa dekat hutan
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, mencatat langkah maju. Sistem pengelolaan
hutan rakyat yang mereka terapkan, pada September 2006 berhasil mendapatkan
sertifikat ekolabel dari badan sertifikasi bertaraf internasional. Peristiwa bersejarah
bagi praktek pengelolaan hutan rakyat di Gunungkidul itu berlangsung di
Auditorium Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, 21 September 2006.
Penyerahan sertifikat itu merupakan bagian dari rangkaian acara dalam Pekan Raya
Hutan dan Masyarakat oleh Fakultas Kehutanan UGM bekerjasama dengan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Java Learning Center (Javlec).
Dalam perhelatan tersebut, pengurus dan anggota Koperasi Wana Manunggal
Lestari Gunungkidul layak disebut sebagai aktor utama. Sebab, kepada merekalah
sertifikat ekolabel tersebut diserahkan oleh lembaga sertifikasi berkaliber dunia yang
berbasis di Jerman, melalui perwakilannya di Indonesia, PT TUV International
Indonesia. Sertifikat tersebut merupakan pengakuan bahwa masyarakat anggota
koperasi tersebut telah melakukan pengelolaan hutan rakyat secara lestari.
Sebagai tambahan, dapat kita sebutkan satu contoh lagi di wilayah Ngawi
Jawa Timur. Rendahnya penghasilan dan kerasnya perjuangan hidup petani di desa
dekat hutan membuat para generasi muda pedesaan enggan menekuni pekerjaan
bertani.
cxiii
Paryono adalah salah satu contohnya. Lelaki muda asal Desa Dampit,
Kecamatan Bringin, Ngawi, Jawa Timur, ini pernah pergi dari kampungnya untuk
mengejar impian memperbaiki kesejahteraan dan kehidupan yang lebih mapan
dengan bertransmigrasi ke Sumatera pada 1990. Pada awalnya ia memang dapat
mewujudkan harapan itu. Tapi krisis ekonomi pada 1997 membuat berantakan
kehidupan yang telah ia bangun. Terutama oleh fanatisme daerah di kalangan warga
asli yang berujung pada ketegangan etnis dengan para pendatang, termasuk Paryono
dan beberapa rekan sekampungnya yang pada saat itu ikut bertransmigrasi. Situasi
tersebut membuat Paryono dan kawan-kawan sekampungnya asal Dampit tak lagi
merasa aman. Dan akhirnya mereka pun memutuskan pulang kampung, kendati di
benak mereka belum terlintas akan melakukan apa untuk menyambung hidup.
Semenjak 1998 hingga 2000, penjarahan kayu jati di hutan negara marak di
hampir seluruh wilayah Jawa, tak terkecuali di hutan jati dekat kampung Paryono.
Bagi Paryono dan warga Dampit yang menganggur, membabat kayu jati di hutan
negara merupakan pilihan untuk mendapatkan penghasilan yang sulit dielakkan.
Rata-rata tiap orang bisa memperoleh pemasukan Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu per
hari dari berdagang kayu jati hasil curian. Kian hari makin banyak orang menjarah
hutan jati. Peristiwa itu tak hanya berlangsung di Desa Dampit, melainkan juga di
Desa Kenongorejo, dan Desa Bringin di kecamatan yang sama. Pada September
1998 massa menjarah dan merusak 5.000 hektare hutan jati yang dikelola Perum
Perhutani di Wilayah Kabupaten Ngawi. Bentrok fisik antara massa dengan polisi
pun pecah mengakibatkan seorang warga tewas. Polisi menahan 115 orang.
Akibatnya, hutan jati di Kecamatan Bringin ludes dalam sekejap. Kondisi alam pun
berubah kering dan gersang di musim kemarau, sementara di musim hujan banjir dan
tanah longsor mudah datang. Mereka miris melihat bencana alam yang datang
cxiv
menyusul gundulnya hutan di kampung mereka. Maka, ketika orang-orang masih
terus menjarah isi hutan, Paryono dan rekan-rekan sekampungnya memutuskan
berhenti ikut menguras kayu jati di hutan. Lebih-lebih ketika mereka menyadari
bahwa menjarah hutan tak serta merta membuat hidup mereka lebih sejahtera.
Bersama beberapa pemuda sekampungnya, Paryono lantas bekerjasama dengan
Perum Perhutani untuk melakukan penghijauan Kecamatan Bringin yang gundul.
Sebagai imbalan atas jerih payah mereka, Perhutani memang tak memberi upah
harian, melainkan mereka dibolehkan memanfaatkan 1/3 lahan hutan Perhutani tadi
untuk ditanami tanaman pertanian. Inisiatif model penanaman selangseling yang
lazim disebut “model plong” atau alley cropping ini datang dari Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Lembaga Studi Ekosistem Hutan (Lesehan) yang berkedudukan
di Madiun. Bagi Paryono dan kawan-kawannya sesama penggarap lahan hutan, itu
merupakan awal perjuangan mereka menghindarkan diri dari nasib para petani hutan
pendahulu mereka.
Itulah beberapa contoh kearifan lingkungan yang menunjukkan pentingnya
partisipasi dan pemberdayaan dari setiap aktor kehutanan. Adanya satu pihak yang
lebih mendominasi pengelolaan hutan tidak serta merta memperbaiki alam
lingkungan hutan akan tetapi memunculkan adanya masalah laten yang dapat
sewaktu-waktu meledak menjadi konflik yang besar pengaruhnya bagi kehidupan
ekologi yang melibatkan unsur dalam ekosistem dan sistem sosial.
cxxi
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Pelajaran tentang ekologi dapat kita ketahui dari hasil penelitian dalam
tulisan ini. Pelajaran paling terkait dengan tulisan ini adalah adanya kearifan lokal
yang dipunyai oleh masyarakat desa hutan. Pikiran, perilaku dan berbagai benda
yang dimiliki oleh warga masyarakat desa hutan adalah sebuah interaksi yang
dapat ikut serta dalam mendukung kelestarian sumber daya hutan hutan milik KPH
Perhutani Cepu.
Namun, dibalik kelestarian hutan yang ada, beberapa nilai-nilai kearifan lokal
yang merupakan produk budaya dan ditemukan di dalam masyarakat desa hutan ini
mengandung benih konflik dan kerawanan terhadap kelestarian hutan itu sendiri.
Bentuk kearifan lokal yang ditemukan adalah narimo ing pandum, maka kearifan
lokal yang merupakan produk budaya ini hanya membentuk kelestarian hutan saat
ini, tetapi tidak untuk jangka panjang. Ketika budaya masyarakat berkembang
secara dinamis, dari segi cara berpikir masyarakat, maka dapat dikhawatirkan akan
memunculkan keinginan untuk menuntut hak yang lebih besar dariapada apa yang
telah didapatkan selama ini.
Hal diatas secara mudah dapat diterangkan bahwa kelestarian hutan yang terbentuk
pada saat ini hanyalah kelestaraian tegakan hutan tetapi kelestarian pengelolaan
hutan belum tentu terwujud. Karena tujuan akhir dari pengelolaan hutan adalah
kesejahteraan seluruh warga dan para pelaku kehutanan serta bagi lingkungan
hutan itu sendiri.
5.2. Implikasi
5.2.1. Implikasi Empiris
cxxii
Hasil penelitian menjelaskan perlu adanya perubahan yang lebih bersifat
memunculkan nuansa kebersamaan dan kesetaraan antara berbagai pihak yang
terkait dalam pelaksanaan pengelolaan hutan agar cita-cita besar kelestarian hutan
sebagai keberhasilan kelestarian ekologi bisa benar-benar tercapai yaitu dengan
meningkatkan kerja sama dan interaksi yang dapat men”damai”kan antara berbagai
pihak. Damai di dalam pengertian ini adalah kesetaraan dan kebersamaan. Adalah
hal yang tidak mungkin apabila kelestarian hutan hanya dibebankan pada satu
pihak dengan mengorbankan satu pihak padahal dengan adanya kerjasama yang
memiliki dua sifat diatas maka akan menghasilkan kerja yang harmonis dan
dengan itu pula menghasilkan output kelestarian hutan yang lebih maksimal
dengan manfaat-manfaat yang dapat dinikmati secara adil dan merata.
5.2.2. Implikasi Teoritis
Hasil penelitian mendukung pernyataan Rachmat K. Dwi Susilo yang
mengemukakan bahwa tidak ada satupun masalah social yang merupakan produk
dunia alamiah dan berjalan dengan sendirinya. Tetapi persoalan lingkungan adalah
produk interaksi antar manusia.
Selain itu, teori ekologi manusia dari Albert& Murdock maupun Hawley,
Masih relevan. Inti dari 2 pendapat ini adalah, ekologi manusia adalah adaptasi
yang dilakukan manusia dalam menghadapi lingkungan hidupnya baik sosial
maupun fisik.
Serupa dengan atas, Model ekologi manusia dari Rambo ataupun dari
Duncan. Masih mampu menggambarkan bagaimana interaksi dari berbagai unsur
pembentuk ekologi. Dalam hal ini unsur ekologi tersebut adalah manusia yang
dipengaruhi oleh lembaga-lembaga sosial di wilayah kehutanan dapat dipengaruhi
dan mempengaruhi lingkungan. Inti dari dua model ini adalah unsur-unsur
cxxiii
pembentuk kesatuan ekologi dengan hubungan antar unsur yang bersifat dialektika
abadi.
5.2.3. Implikasi Metodologis
Dalam sisi proses penelitian, perlu adanya perubahan sudut pandang atau
pola pembahasan penelitian dari mencari-cari bentuk budaya semata kearah
penelitian yang berusaha untuk mengetahui bentuk budaya semacam apa yang
seharusnya ada sebagai sarana mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari, yang
dengan itu pula kesejahteraan masyarakat desa hutan bisa terjamin. Hasil-hasil
penelitian dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya dengan mulai berusaha
untuk mencari celah-celah dari hal-hal apa yang dapat diambil dan dikembangkan
dari budaya masyarakat desa yang sudah ada sekarang menuju tujuan akhir dari
perlunya kelestarian ekologi hutan secara komprehensif.
Selain itu, kemudahan bagi peneliti perlu pula diperhatikan. Salah satunya
adalah akses atau keterjangkauan lokasi penelitian dengan domisili peneliti.
Wilayah KPH Cepu yang jauh dari kota Surakarta cukup mempersulit peneliti.
Selain itu perlu pula mempertimbangkan kemampuan dana yang dimiliki peneliti.
Wilayah KPH Cepu merupakan wilayah dengan biaya hidup yang cukup tinggi
akibat adanya pengaruh perusahaan asing exxon mobile di wilayah ini. Jadi konsep
KUWAT yaitu Kesempatan, Uang, Waktu, Alat dan Tenaga harus serius
diperhatikan.
5.3. Saran
Ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan untuk menghadapi
beberapa kesulitan dalam proses penelitian maupun dari hasil penelitian ini.
cxxiv
Pertama, dalam sisi proses penelitian, perlu adanya perubahan sudut pandang
atau pola pembahasan penelitian. Dari mencari-cari bentuk budaya semata, kearah
penelitian yang berusaha untuk mengetahui bentuk budaya semacam apa yang
seharusnya ada sebagai sarana mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari, yang
dengan itu pula kesejahteraan masyarakat desa hutan bisa terjamin. Hasil-hasil
penelitian ini dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya dengan mulai
berusaha untuk mencari celah-celah dari hal-hal apa yang dapat diambil dan
dikembangkan dari budaya masyarakat desa yang sudah ada sekarang menuju
tujuan akhir yaitu kelestarian ekologi hutan secara komprehensif.
Kedua, dalam sisi hasil penelitian. Hasil penelitian perlunya adanya
perubahan yang lebih bersifat memunculkan nuansa kebersamaan dan kesetaraan
antara berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengelolaan hutan agar cita-
cita besar kelestarian hutan sebagai keberhasilan kelestarian ekologi bisa benar-
benar tercapai yaitu dengan meningkatkan kerja sama dan interaksi yang dapat
men”damai”kan antara berbagai pihak. Damai di dalam pengertian ini adalah
kesetaraan dan kebersamaan. Inilah saran penulis kepada perum perhutani, juga
kepada lembaga masyarakat desa hutan. Dengan penyamaan persepsi dan
sinergisitas langkah akan menghasilkan output kelestarian hutan yang lebih
maksimal dengan manfaat-manfaatnya yang dapat dinikmati secara adil dan
merata.
cxxv
DAFTAR PUSTAKA Agar, Michael H. The Professional Stranger :An Informal Introduction to Ethnography. Orlando: Academic Press Inc. 1980 Anonymous, Ada Apa dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia. Surakarta. Gema Pembebasan. 2004 Awang, San Afri. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta. Center For Critical Social Studies(CCSS). 2003 Awang, San Afri. Dekonstruksi Social Forestry;Reposisi Masyarakat Dan Keadilan Lingkungan.Yogyakarta. Bigraf Publishing. 2004 Bogdan, R & Taylor Steven, J. Kualitatif : Dasar – Dasar Penelitian.Surabaya. Usaha Nasional. 1983 Buttel, Frederick, Environmental And Resources Sociology:Theoretical Issues And Opportunities For Synthesis In Rural Sociology,1996, hal. 56-75 Dietz, Ton. Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam; Kontur Geografi Lingkungan Politik. Insistpress. 2005 Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 2006 Mangunjaya, Fachruddin M. Dkk. Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, Dan Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2007 Miles, Mathew B. dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta. Penerbit universitas Indonesia. 1992 Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Penerbit Rake Sarasin. 1989 Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa. Kearifan Lingkungan Untuk Indonesiaku, Yogyakarta. Kementrian Negara Lingkungan Hidup Ri. 2006 Santana, Septian K, Menulis Ilmiah; Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2007 Simon, Hasanu. Membangun Kembali Hutan Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2004 Simon, Hasanu. Aspek Sosioteknis Pengelolaan Hutan Jati Di Jawa. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2004 Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi. Jakarta. CV Rajawali. 1985 Spradley, James P.. Metode Etnografi.Yogyakarta. Tiara Wacana Yogya. 1997
cxxvi
Sumber lain: Affianto, Agus. Mekanisme Bagi Hasil dalam PHBM: Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Atau Pengelolaan Hutan Biaya Murah? Artikel dalam situs Javlec(Java Learning Centre) di down load tanggal 6 Juli 2007 Dwi Susilo, Rachmad K., Sosiologi Lingkungan Dari Pegunungan Di Kota Batu Malang, , Paper Dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Sosiologi Se-Jawa Timur, Universitas Muhammadiyah Malang, 26 Desember 2004 C. Filer dkk. Interactions Between Local/Indigenous Communities and the Natural Environment in Far North Queensland and Southern New Guinea. A Partial Review of Research To Date. Series: Resource Management in Asia-Pacific Working Paper No. 52 http://rspas.anu.edu.au/papers/rmap/Wpapers/rmap_wp52.pdf. tanggal down load 26 Mei 2009. Jalal, Menuju Sosiologi Lingkungan Atau Sosiologi Ramah Lingkungan, makalah dalam diskusi pada kongres Ikatan Sosiologi Indonesia, Bogor, 28 Agustus 2002. Elmqvis, Thomast. Indigenous institutions, resilience and failure of co-management of rainforest preserves in Samoa. http://dlc.dlib.indiana.edu/archive/00000568/00/elmqvistt041300.pdf. di down load tanggal 26 Mei 2009 www.infojawa.org. Geliat Pinggir Hutan. Di down load tanggal 6 Juli 2007
cxxviii
CATATAN LAPANGAN
Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah menentukan informan. Peneliti
menggunakan langkah-langkah yang dilakukan oleh James Spradley. Spradley
menjelaskan bahwa terdapat dua belas langkah dalam metode etnografi, dan langkah
pertama adalah menentukan informan.
Penetapan informan didasarkan pada pertimbangan etika suatu penelitian. Informan
yang penulis pilih untuk pertama kali adalah dari pihak Kesatuan Pemangkuan
Hutan(KPH) Cepu. Selain untuk meminta informan dari KPH Cepu, peneliti juga
melakukan perkenalan sekaligus ijin melakukan penelitian. Menurut Bogdan
(1993:66),Perkenalan secara terbuka ini penting. Dengan ini peneliti akan dapat
bergerak secara leluasa dalam ‘memburu’ informasi yang dibutuhkan, serta
memperoleh kemudahan dari organisasi atau kelompok-kelompok di masyarakat,
dan dalam menjelaskan tujuan penelitian cukup sekedar penjelasan umum,
berkatalah yang sebenarnya pada saat permulaan penelitian(Bogdan 1993: 72-73).
Penulis merasa bersyukur dengan kemudahan perkenalan karena memang pernah
berinteraksi selama 1,5 bulan ketika menjalani masa magang pada LSM SUPHEL
dengan lokasi yang sama. Pihak Perhutani yang penulis temui adalah, bapak Eko
Teguh Prasetyo, supervisor lapangan KPH Cepu yang lebih dikenal sebagai KSS
PHBM(Kepala Sub Seksi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Nama KSS
PHBM dimaksudkan agar lebih menuansakan kesamaan derajat atau lebih merakyat.
Pak Eko menyarankan kepada penulis agar menghubungi Mas Agus staf beliau yang
mempunyai kelebihan merupakan warga asli Blora dan lebih mengenal lapangan
karena dialah yang paling sering terjun ke lapangan. Mas Agus inilah yang penulis
tetapkan sebagai informan pertama dan sekaligus informan kunci penelitian ini.
cxxix
Orang seperti Mas Agus inilah inilah yang disebut oleh Agar(1980:85) sebagai
‘profesional stranger handler’, yaitu sebagai orang pertama yang memberi
penjelasan pada ‘orang luar’ seperti peneliti. Orang seperti ini disebut juga sebagai
‘natural relation expert’ (Agar 1950). Orang-orang seperti ini dapat memberikan
penjelasan yang memuaskan pada ‘orang luar’ (peneliti) tanpa merugikan
masyarakatnya.
Menurut Pak Agus ini, Cepu(KPH Cepu) mempunyai potensi lebih dibanding
dengan KPH lain. Tetapi apa kelebihannya(ini sebuah pertanyaan etnografis juga).
Sebuah informasi yang juga perlu diperhatikan dari beliau, adalah bahwa di KPH
Cepu ini tidak ada hutan adat. Tetapi pertanyaan lain yang mengemuka dalam benak
peneliti adalah apakah masyarakat punya hutan kolektif? Informasi ini bagi saya
cukup mempengaruhi proses apa yang harus dilakukan selanjutnya. Karena konsep
kearifan lokal yang menjadi pokok penelitian ini dalam gambaran awal peneliti
adalah dalam bentuk adanya hutan khusus yang sifatnya merupakan hutan adat
seperti hutan adat dalam pengertian kehutanan secara umum yaitu hutan yang
dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Bentuknya adalah hutan alam yang sudah
secara turun temurun dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan sosial ekonomi
dan budaya yang sifatnya kolektif dengan pengaturan dan pengelolaan dibuat dan
ditetapkan oleh hukum adat(Awang, 2003:113).Atau hutan rakyat dengan ciri adalah
kegiatan penanaman pohon tersebut dilaksanakan di atas lahan milik rakyat atau
dapat juga dilaksanakan di atas lahan Negara yang diperuntukkan untuk kegiatan
penanaman pohon dan manfaatnya untuk masyarakat(Awang,2003:111). Jawaban
atas pertanyaan ini tetap tersimpan dalam benak peneliti dan akan terjawab ketika
bertemu dengan informan lain dari masyarakat desa hutan.
cxxx
Sebelum memasuki konteks kearifan lokal masyarakat desa hutan, maka terlebih
dahulu kita harus mengetahui sistem besar apa yang melingkupi kehidupan
masyarakat desa hutan. Sistem besar yang dimaksud disini adalah sistem kebijakan
dari pengelola kebijakan dalam bidang kehutanan di wilayah penelitian. Hal ini
merupakan landasan untuk melihat hubungan antara kearifan lokal dalam berbagai
bentuknya(budaya, ketrampilan, sumber daya, pengetahuan dan proses sosial lokal)
dengan sistem yang dapat mempengaruhi bahkan merubah pola dan isi dari kearifan
lokal.
Bidang kehutanan di lokasi penelitian dikelola oleh KPH(Kesatuan Pemangkuan
Hutan) Cepu. Pertanyaan pertama dan mendasar kepada Bapak Agung Sugiarta, staf
KSS PHBM(Kepala Sub seksi pengelolaan hutan bersama masyarakat) adalah
mengenai hak masyarakat desa hutan terhadap hutan yang dikelola Perhutani.
Jawaban untuk pertanyaan ini adalah pada kenyataannya masyarakat desa hutan
tidak mempunyai hak terhadap hutan. Hak masyarakat sebenarnya hanyalah sebuah
nilai atas kerja yang dilakukan masyarakat untuk sebuah program yang merupakan
inisiatif dari Perhutani. Nilai tersebut berupa uang bayaran.
Pembahasan mengenai “hak” masyarakat desa hutan dapat kita bagi dalam dua masa
yaitu masa pra PHBM dan ketika program PHBM telah dilaksanakan. Pra PHBM
dilaksanakan sebenarnya sudah dilakukan beberapa program yang sifatnya
bernuansa kerakyatan dengan sistem kerja sama. Program tersebut adalah program
mantri lurah(Ma-Lu), program perhutanan sosial , tetapi program-program tersebut
bukanlah program yang mempunyai dasar hukum. Sehingga ketika terjadi sesuatu
sangat sulit untuk diselesaikan atau dipertanggungjawabkan. Bentuk dari program–
program tersebut adalah penggunaan wilayah lahan hutan Negara untuk masyarakat
untuk tanaman yang bisa dijual. Perhutani menamakan hal ini dengan istilah
cxxxi
Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan(PLDT). Ketika pihak Perhutani
membutuhkan tanah tersebut dapat saja dengan mudah tanaman atau apapun yang
ada di wilayah hutan Negara dihancurkan dan itu tidak dapat dipermasalahkan
karena memang belum berlandasan hukum. Pengakuan dari Perhutani yang
disampaikan oleh Pak Agung ini memang diakui bahwa Perhutani memang
cenderung arogan pada masa pra PHBM. Ia berkata dalam wawancara,”kalau kita
dibilang arogan, ya bisa juga dibilang arogan, maksudnya pihak managemen bebas
mengajak masyarakat atau tidak dalam mengelola hutan”.
Pendapat bapak Agung mengenai masyarakat desa hutan apabila dianalisis secara
kualitatif yaitu dengan mencari makna dibalik setiap pernyataan, maka dengan cara
mengkontraskan sebuah fenomena sosial dengan fenomena sosial yang lain. Maka
dapat dikatakan bahwa perhutani memang bersikap arogan. Bagaimana tidak
kesempatan MDH hanyalah memanfaatkan lahan-lahan dibawah tegakan secara
tumpangsari maupun dengan adanya pengambilan hasil hutan ikutan. Berbicara
mengenai tanaman tumpang sari, LSM SHOREA yang mendampingi masyarakat
desa hutan di wilayah gunung kidul pernah mengalami pengalaman di masyarakat
bahwa tumpangsari adalah sebuah konsesi dari apa yang disebut sebagai hutan
kemasyarakatan. Tumpang sari yang dilakukan ini dilaksanakan diantara tanaman-
tanaman pokok seperti jati atau yang lain. Program hutan kemasyarakatan sendiri
adalah Sebuah program kehutanan yang melibatkan masyarakat sebagai mitra
pengambil kebijakan kehutanan dalam bentuk utamanya adalah izin mengelola hutan
dimulai dari pembenihan, penanaman, pemeliharaan tetapi tidak mendapatkan hak
untuk melakukan pemanenan..Mengapa? karena masyarakat desa hutan hanya
mendapatkan hak pengelolaan hutan hanya selama lima tahun. Padahal nilai
ekonomis hutan jati berlangsung lebih dari lima tahun bahkan lima belas tahunpun
cxxxii
belum dapat menjadikan jati tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi, baru ketika
usia jati tigapuluh lima tahun, jati tersebut sudah layak menjadi bahan baku
produksi. Maka bagaimana mereka mendapatkan sesuatu dari kerja keras mereka?
Program Mantri Lurah atau disingkat Ma-Lu adalah salah satu dari program
Prosperity Approach yang digulirkan semenjak tahun 1974 mengikuti arus besar
pemikiran pengelolan sumber daya hutan waktu itu yaitu multiple use of forest land.
Menurut Prof.Simon, pendekatan Mantri Lurah menunjukkan kecerdasan
pencetusnya tentang perpaduan antara perencanaan kehutanan konvensional dengan
perencanaan sosial ekonomi masyarakat. Tetapi lanjut beliau, semua kegiatan
tersebut memerlukan rencana yang disusun secara komprehensif, tidak cukup dengan
perencanaan tambal sulam seperti yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Bagaimana
bentuk tambal sulam tersebut? Yaitu dengan tidak adanya rencana rigid yang
merupakan hasil kolaborasi dari dua penentu kebijakan tersebut. Perum perhutani
masih menggunakan pola timber management yang merupakan pola-pola teknis
pengelolaan hutan yang memandang hutan dari sisi kayu. Padahal dalam
perencanaan sosial ekonomi masyarakat tidak dapat diserupakan dengan pola-pola
teknis dalam timber management itu. Professor Hasanu Simon pada akhirnya
mengatakan bahwa masalah sosial ekonomi masyarakat memerlukan keluwesan
rencana kerja yang landasannya adalah kerjasama saling menguntungkan, saling
pengertian dan saling kepercayaan dan kejujuran yang semuanya tidak mudah
diwujudkan dalam angka-angka. Inilah evaluasi beliau tentang program Prosperity
Approach yang mengalami kegagalan.
Program Perhutanan Sosial, adalah program yang dicetuskan pada tahun 1980-an
ketika perhutani mendapatkan bantuan dari Ford Foundation untuk mengatasi
masalah sosial dalam pengelolaan hutan jati di Jawa. Pelaksanaan dari program ini
cxxxiii
diawali dengan sebuah penelitian lapangan yang merupakan gabungan dari doctor-
doktor antropologi kenamaan dengan para sarjana kehutanan Indonesia yang berada
dalam jajaran perhutani. Salah satu diantaranya adalah mahasiswa doctoral bernama
Nancy Lee Peluso yang meneliti di Balapulang dan akhirnya mengarang sebuah
buku berjudul Rich Forest Poor People. Tetapi kelihatannya hasil penelitiannya
tidak dijadikan pedoman sama sekali. Maka jadilah program perhutanan sosial hanya
berupa system tumpangsari yang berada pada tanah antara sela tanaman jati yang
diperlebar untuk dapat ditanami oleh warga masyarakat dengan nanas, atau buah-
buahan lain.
Ketika program PHBM diluncurkan pada tahun 2001 KPH Cepu baru mulai
melaksanakannya pada tahun 2003. beda program ini dengan program-program
sebelumnya, adalah adanya landasan hukum yang mendasarinya. Pada program ini
dibentuklah LMDH-LMDH atau lembaga masyarakat desa hutan yang dinotariskan.
Sistem yang digunakan pada masa ini adalah dengan sistem sharing yaitu penentuan
proporsi bagi hasil dalam bentuk uang. Salah satu ucapan yang dikatakan mengenai
aktifitas warga masyarakat desa hutan adalah,”dalam PHBM kan ada pembinaan,jadi
kita berusaha merubah pola pikir mereka dan diharapkan ada penurunan kebiasaan
atau interaksi mereka dengan hutan,”apabila kita kaji lebih mendalam, upaya untuk
menurunkan kebiasaan masyarakat berinteraksi dengan hutan adalah sesuatu yang
musykil.
Penulis dalam latar belakang penelitian ini menulis bahwa masyarakat desa
hutan dengan hutan yang ada di wilayahnya pada umumnya memiliki hubungan
yang erat dan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Betapa tidak?
Mereka hidup dan berinteraksi secara intens dengan hutan semenjak lahir bahkan
mungkin hingga mati. Lamanya interaksi ini secara otomatis akan menghasilkan
cxxxiv
budaya. Kebiasaan dan tradisi di masyarakat desa hutan apa yang menyebabkan
kelestarian hutan tidak terjadi? Pendapat penulis, tidak ada! Berbagai sistem serta
budaya dalam masyarakat sekitar kawasan hutan mempunyai peran penting dalam
menjaga kelestarian hutan. Apabila di saat sekarang terdapat paradigma bahwa
masyarakat desa hutan adalah pihak yang menyebabkan kerusakan hutan maka yang
perlu kita pahami adalah penyebab mereka melakukan hal tersebut. Negara dalam
hal ini pemerintah yang mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan telah
mencerabut masyarakat desa hutan dari wilayahnya sendiri. Akses terhadap hutan
dibatasi bahkan ditutup sehingga masyarakat desa hutan ibarat ”anak ayam mati di
lumbung padi”. Apa sajakah kebiasaan-kebiasaan dan tradisi –tradisi masyarakat itu?
Berbicara tentang hak masyarakat desa hutan, maka perlu pula kita mendengar dari
lembaga swadaya masyarakat SUPHEL. SUPHEL adalah singkatan dari Solidaritas
Masyarakat Untuk Penyelamatan Hutan dan Lingkungan Hidup. Sebuah lembaga
nirlaba yang berorientasi pada pengembangan sikap masyarakat agar lebih kritis
terhadap persoalan pembangunan yang berdampak pada kerusakan lingkungan
terutama kerusakan hutan. Wawancara ini merupakan sarana untuk mengetahui
hubungan antara masyarakat desa hutan, KPH Perhutani Cepu serta hutan itu sendiri.
Informan dari SUPHEL adalah Wasista Daru Darmawan. Ia dalam SUPHEL
menjabat sebagai koordinator advokasi kebijakan.
Beberapa Hal Penting Dari SUPHEL.
Peneliti mengajukan pertanyaan pada SUPHEL, hak-hak apakah yang dipunyai oleh
masyarakat desa hutan terhadap kawasan hutan? Jawaban untuk pertanyaan ini
adalah tidak ada. Apabila adapun, sebenarnya itu bukanlah hak. Sebagai contoh, ada
sistem banjarharian yaitu pelaksanaan proses pembuatan hutan dengan melibatkan
warga masyarakat dalam penanaman kemudian diberi upah. Ataupun dengan
cxxxv
melakukan pengolahan lahan hutan secara tumpang sari, dengan catatan si
pesanggem(istilah untuk warga masyarakat yang mendapatkan kesempatan
pengolahan lahan hutan) wajib menjaga hutan milik Perhutani.
Ketika penulis melakukan pengamatan diwilayah KPH Cepu, banyak warga yang
mengambil daun, rencek, arang, maupun akar. Tetapi hal ini menurut Mas Wasis,
salah satu anggota dari SUPHEL sebenarnya adalah aktifitas ilegal. Tetapi, hal ini
memegang diperbolehkan oleh KPH Cepu. Mengapa hal itu dilarang tetapi tetap
diperbolehkan? Karena KPH Perhutani belum mempunyai solusi terhadap aktifitas
yang dilaksanakan. Apabila terdapat pelarangan, itu sama artinya dengan membunuh
masyarakat. Dengan kata lain, inilah kebijakan lokal dari KPH Cepu. Kebijakan
local yang berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi local masyarakat.
Jadi hak masyarakat terhadap hutan memang tidak ada. Kecuali mereka berperan
dalam proses-proses pengelolaan hutan yang dilaksanakan atas inisiatif Perhutani.
Apakah ini merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat desa hutan di Jawa? MDH
mampu dengan sabar hidup dalam kondisi dimana akses sangat dibatasi sehingga
tidak ada kesempatan memanfaatkan hutan kecuali sedikit. Ada sebuah nilai yang
masih berlaku dan dianggap biasa yaitu tentang status sosial pegawai Perhutani yang
digolongkan kaum priyayi. MDH mempercayai hal ini, dan para pegawai Perhutani
pun merasa demikian. Penulis mengetahui bahwa budaya feodal masih sangat kental
di dalam jajaran perum Perhutani. Hal ini perlu dibuktikan! Dan pembuktian ini akan
diketemukan pada tulisan berikutnya.
Di saat sekarang, ketika program PHBM dilaksanakan ada sedikit perubahan yaitu
dengan sistem sharing(pembagian hasil berupa uang dari hasil panenan hutan baik
dari tebang penjarangan maupun untuk tebang produksi untuk masyarakat desa
hutan) padahal pembagian uang ini adalah agar masyarakat “berperan” dalam artian
cxxxvi
tidak mengambil hasil hutan. Inipun sebuah pola yang sama dengan yang selama ini
sudah ada bukan? Untuk lebih jelasnya, perlu bagi kita untuk membaca sebuah
tulisan karya aktivis lingkungan yang juga akademisi kehutanan UGM tentang
PHBM ini.
Menurut Agus Affianto, seorang anggota LSM kehutanan di Javlec(Java Learning
Centre)hasil sharing yang besarnya 25% masih memendam sedikit ketidakadilan. Ia
menulis permasalahan ini dalam karangan berjudul: mekanisme bagi hasil dalam
PHBM: pengelolaan hutan bersama masyarakat atau pengelolaan hutan biaya
murah?kalimat pembuka dalam karangan tersebut bernada keras yaitu, apabila dalam
suatu usaha, saudara berkontribusi modal 2 bagian sedang pihak lain 1 bagian,
apakah saudara akan bersedia membagi pendapatan usaha tersebut dengan proporsi
yang sama(1:1)dengan pihak lain?
Penentuan sharing atau bagi hasil dalam kawasan hutan Perhutani diatur oleh
keputusan direksi perum Perhutani no.001/KPTS/DIR/2002 tentang pedoman
berbagi hasil hutan kayu, proporsi hasil bagi maksimum yang berhak diterima
masyarakat desa hutan adalah sebesar 100% untuk penjarangan pertama, 25% untuk
penjarangan lanjutan dan 25% untuk hasil tebangan habis. Artinya pada seluruh
wilayah kerja Perhutani, masyarakat desa hutan akan menerima proporsi maksimum
sebesar seperti yang dikemukakan diatas apabila kerjasama dimulai dari tanah
kosong. Sementara proporsi bagi hasil akan semakin kecil apabila kerjasama dimulai
dari areal yang bertegakan.
Beginilah redaksi keputusan direksi perum Perhutani no.001/KPTS/DIR/2002
tentang pedoman berbagi hasil hutan kayu:
KEPUTUSAN DIREKSI PT PERHUTANI(PERSERO) NO.001/KPTS/DIR/2002
TENTANG PEDOMAN BERBAGI HASIL HUTAN KAYU:
Bagian Kedua Tebangan yang Direncanakan
Pasal 5 Proporsi hak kelompok masyarakat desa hutan terhadap hasil hutan kayu jati atau kayu selain jati yang perjanjian kerjasamanya dilakukan pada kondisi hutan
cxxxvii
Agus Affianto mengajukan tiga pertanyaan evaluative yaitu:
d. Dapatkah proporsi sebagaimana yang tercantum dalam keputusan manajemen
perhutani tersebut diberlakukan secara umum di seluruh wilayah kerja
Perhutani?
e. Dapatkah prosentase bagi hasil ditetapkan secara berbeda pada satu proses
produksi yang sama?
f. Apa dasar penentuan munculnya angka 100%(untuk penjarangan pertama)
dan maksimum 25%(untuk penjarangan lanjutan dan terakhir) tersebut?
Pertanyaan point (a) muncul lebih dilatarbelakangi oleh perbedaan karakteristik pada
wilayah kerja Perhutani. Jangkauan wilayah kerja Perhutani di pulau Jawa yang
mencakup provinsi banten hingga Jawa timur tentunya harus dipertimbangkan
dalam penetuan proporsi bagi hasil tersebut. Bukankah terdapat perbedaan baik dari
sisi umur maupun dari jenis tanaman .
Munculnya pertanyaan poin (b) dan (c) lebih didasarkan pada pola pikir sederhana
saja. Pertama, kegiatan penyiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan
dan penjarangan adalah serangkaian aktifitas yang merupakan input dalam suatu
proses produksi untuk menghasilkan tegakan siap tebang pada umur yang
dikehendaki. Apabila memang demikian halnya, dapatkah proporsi bagi hasil untuk
penjarangan dan tebangan akhir tersebut dibedakan? Sebagai contoh, berdasarkan
penghitungan petani disalah satu desa dalam lingkup KPH kuningan, nilai proporsi
cxxxviii
bagi hasil kayu jati adalah sebesar 45% untuk masyarakat dan 55% untuk Perhutani.
Melihat contoh proporsi bagi hasil berdasarkan penghitungan masyarakat diatas,
mungkin akan timbul pertanyaan,”apakah masyarakat akan benar-benar dapat
mengidentifikasi besaran input pengelolaan yang dikeluarkan oleh
perusahaan(Perhutani)? Terlepas dari benar tidaknya hasil penghitungan proporsi
yang dilakukan masyarakat tersebut, paling tidak masyarakat telah memiliki dasar
perhitungan untuk memperjuangkan hal-hak mereka. Justru inilah diperlukan adanya
keterbukaan dari masing-masing pihak untuk duduk bersama mendiskusikan
proporsi bagi hasil yang sesuai dengan jiwa “bersama” seperti yang disebutkan
dalam keputusan no 136/KPTS/DIR/2001 tentang pengelolaan sumberdaya hutan
bersama masyarakat menekankan bahwa nilai dan proporsi bagi hasil ditetapkan
sesuai dengan nilai factor produksi yang diberikan oleh masing-masing
pihak(Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak lain).
Sebelum program PHBM dilaksanakan, konsep Perhutani yang diterapkan adalah
sistem tanaman tepi yang bertujuan untuk memisahkan masyarakat dengan
lingkungan hutan. Tanaman tepi yang digunakan adalah tanaman secang yang
mempunyai duri-duri tajam sehingga masyarakat dan hewan ternak gembalaan tidak
bisa masuk. Tetapi, manusia yang telah dikaruniai akal serta dorongan kebutuhan
hidup membuat tanaman tepi itupun bisa disikapi dengan cara tertentu. Seperti apa
cara tertentu itu? Inilah suatu hal yang akan kita cari. Bahwa masyarakat yang hidup
didalam hutan dengan tidak ada hak terhadap hutan kecuali terdapat kesempatan
yang diberikan Perhutani dalam bentuk kesempatan menjadi buruh atau
memanfaatkan lahan untuk menjadi ladang, padahal mereka hidup disitu tentu akan
melakukan berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagaimana akan
memenuhi kebutuhan hidupnya apabila akses terhadap hutan malah ditutup kecuali
cxxxix
hanya sebagian kecil kesempatan?tentu ada strategi di masyarakat desa hutan untuk
mempertahankan hidupnya secara kontinyu dengan hutan yang berada di sekitar
kehidupan mereka. Lalu seperti apakah yang diperbuat mereka?inilah sesuatu yang
akan kita cari ketika kita akan berada di Cepu dan turun lapangan bertemu warga
masyarakat secara langsung.
Wawancara Dengan Masyarakat Desa Hutan
Setelah cukup lama melakukan observasi, penulis bertemu dengan satu warga
masyarakat desa hutan di wilayah Nglobo, salah satu wilayah yang mempunyai
potensi hutan tinggi. Begitu pula dengan wilayah yang ada di sekitarnya seperti
Blungun, Temengeng hingga Pasar Sore. Setelah wawancara tak terstruktur dengan
Pak Yadi penulis melakukan obervasi pada daerah-daerah yang telah disebutkan
diatas. Selama perjalanan memang cukup banyak yang melakukan pengambilan
rencek dan juga daun jati. Selain jati tersebut banyak juga pohon Ploso yang sedang
berbunga. Bunganya yang berwarna merah atau oranye berada di pucuk-pucuk
pohon, sebuah pemandangan yang indah di tengah-tengah meranggasnya daun-daun
jati.
Beberapa Hal Penting Dengan Pak Yadi.
Pak Yadi adalah seorang warga Nglobo. Penulis bertemu dengan beliau di lahan
persemaian dan pembibitan secara tidak sengaja ketika sedang mengamati dan
mengambil gambar pohon Ploso. Beliau menjadi bagian dari Perhutani juga tepatnya
di KPH Cepu. Banyak istilah dan pengetahuan baru yang didapat dari beliau. Beliau
menyebutkan bahwa masyarakat desa hutan yang dimaksud oleh penulis adalah yang
berada di wilayah-wilayah desa dalam hutan. Bukan yang berada di tepi-tepi hutan.
Beliau berkata demikian untuk menjelaskan bahwa para pengambil rencek yang
menggunakan sepeda kebanyakan bukan berasal dari wilayah desa hutan sekitar
cxl
petak hutan tetapi berasal dari desa lain. Seperti Jepon, Mblora yang berada ditepi-
tepi hutan. Menurut San Afri Awang yang disebut masyarakat desa hutan adalah
masyarakat yang berada di dalam hutan maupun berbatasan langsung dengan hutan
dan memanfaatkan sumber lahan hutan maupun hasil-hasil hutan lain. Jadi walaupun
masyarakat tersebut berada diwilayah tepi hutan atau jauh dari hutan, tetapi selama
ia memanfaatkan hasil hutan, maka ia merupakan bagian dari masyarakat desa hutan.
Para pengambil rencek yang kebanyakan berasal dari luar desa diwilayah hutan
tersebut beliau sebut sebagai ngare. Ketika saya tanyakan artinya kepada beliau, ia
menjawab tidak tahu artinya tetapi sejak dulu istilah dimasyarakat sudah seperti itu.
Para ngare ini mencari kayu dan menjualnya baik ke pasar maupun ke desa tempat
tinggalnya sediri. Baik untuk digunakan sendiri maupun untuk dijual di sepanjang
perjalanan. Bahkan biasanya, belum sampai kerumah, seorang ngare bersepeda telah
habis renceknya, karena ada yang memanggilnya di jalan dan membeli rencek
bawaannya. Nilai rencek saksepedha berkisar antara 25 ribu hingga tiga puluh ribu
rupiah. Beberapa istilah dalam perencekan:
a. Gendhel, ukuran paling kecil jumlahnya sekitar 4-5 wilah rencek
b. Bongkok, ukuran lebih besar dari gendhel.
c. Pikul, sakpikul artinya dua bongkok. Perencek menggunakan pikulan untuk
membawa rencek sekaligus alat ukur penjualan rencek.
d. Sepedha, perencek yang menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi dan
alat ukur penjualan rencek. Nilai jual 25-30 ribu rupiah.
Perlu diketahui pula biasanya para perencek sudah memiliki kelompok-kelompok
pencari rencek dan juga telah melakukan perjanjian-perjanjian dengan pihak yang
kita sebut saja pengumpul. Kapan dan dimana pengambilannya.
cxli
Beberapa pemanfaatan hasil hutan oleh para warga warga masyarakat desa hutan
adalah yang disebut dengan brongkol. Brongkol adalah istilah yang dipakai untuk
menyebut alat yang digunakan untuk mendapatkan kayu sisa hasil tebangan yang
disebut pula dengan brongkol tetapi yang sudah lama dan rusak. Di wilayah Madiun
brongkol disebut dengan wungkal, Perhutani memang hanya mengambil batang kayu
jati saja.tetapi ranting, akar, kulit maupun daun tidak diambil. Kayu brongkol
biasanya bentuknya tidak karuan. Karena memang terpendam dalam tanah setelah
dilakukan tebangan. Jadi mungkin sudah dimakan rayap ataupun kotor karena tanah.
Kualitas yang lebih tinggi dari brongkol adalah tunggak. Apabila brongkol hanya
untuk kayu bakar dan hampir sama dengan rencek maka yang disebut dengan
tunggak manfaatnya lebih tinggi yaitu dengan mampu dimanfaatkan sebagai meja,
kayu, kursi maupun perhiasan yang nilainya tinggi. Ini pula usaha yang ada di
wilayah Cepu. Di wilayah Nglobo, terdapat satu pengusaha tunggak.
Selain tunggak, rencek dan jati, masih ada satu hasil hutan lain yang dimanfaatkan
oleh masyarakat desa hutan yaitu daun atau ron dalam bahasa jawa. Terdapat banyak
ron yang dimanfaatkan oleh warga. Tetapi daun utama yang sering digunakan dan
dicari adalah daun jati. Karena memang terdapat semacam kelebihan daun jati
dibanding daun yang lain. Selain kph cepu merupakan kph dengan hutan produksi
jati sehingga daun jati berlimpah juga karena daun jati mempunyai banyak manfaat
ketika dipergunakan sehari-hari. Biasanya daun jati dipergunakan sebagai bungkus
makanan. Menurut Bu Warsi, rasa nasi akan lebih enak apabila dibungkus dengan
daun jati. Kalau tidak percaya maka coba rasakan belalang yang makan daun jati.
Rasanya pasti enak. Ini menurut Bu Warsi. Pak Yadi juga berpendapat sama kripik
belalang disini adalah makanan kecil yang mudah dijumpai di warung-warung
pinggir hutan maupun dalam hutan. Bahkan pernah ketika penulis mampir di salah
cxlii
satu warung di wilayah sekaran, ketika penulis minta nasi untuk makan siang, sang
penjual hanya tertawa dan menjelaskan bahwa warungnya tidak menjual nasi. Yang
ada hanya kopi kothok, ketan dan keripik belalang. Tetapi ketika penulis mencoba
tiga-tiganya rasanya memang luar biasa. Wisata kuliner di tengah hutan menyajikan
masakan-masakan sederhana dari lingkungan alam hutan. Apabila penulis
memikirkan mengapa keripik belalang itu enak, jawabnya adalah karena belalang
hutan jati adalah belalang yang makananannya alami(daun jati) jauh dari obat-obatan
sehingga pantas saja rasanya juga nikmat. Kembali pada daun jati, para pencari daun
jati sangat telaten. Mulai dari pagi-pagi hingga pukul 09.00 biasanya meraka sudah
mulai mengumpulkan daun. Ketika selesai, para pencari daun dalam satu kelompok
istirahat sambil menunggu mobil angkutan baik yang merupakan angkutan resmi
bahkan sopir-sopir sukarelawan yang mau diboncengi hingga ke pasar. Para pencari
daun jati menggulung daun jati hingga gulungan sebesar diameter kurang lebih 70
sentimeter. Yang penulis tanyakan adalah, bagaimana cara mereka menggulungnya?
Selain jati, daun lain yang digunakan adalah daun ploso. Pada masa terak jati, yaitu
ketika bulan jati meranggas, pohon ploso tidak mengalami kekeringan. Daun ploso
tetap tumbuh berwarna hijau. Pada masa terak jati ini, para pencari daun
mengalihkan perburuannya dari daun jati ke daun ploso. daun ploso selain sebagai
pengganti daun jati, sebenarnya pohon ploso sendiri merupakan sebuah ketaran.
Ketaran adalah sarana untuk mengetahui atau membaca alam. Apabila kembang atau
bunga ploso berwarna orange atau merah masih banyak dan belum rontok, maka
laboh berarti masih berjalan. Laboh adalah masih jauhnya musim penghujan.
Daun lain yang dicari adalah daun daun yang tergolong dalam empon-empon seperti
lempuyang, kunci, ndayakan, kesambi dan trengguli. Masing masing daun
mempunyai manfaat. Kesambi digunakan untuk bahan campuran masakan asem-
cxliii
asem, lempuyang biasanya digunakan sebagai obat atau jamu, kunci sebagai
campuran sayur, trengguli sebagai alat untuk memasakkan buah yang masih belum
matang atau separuh matang. Mungkin masih banyak lagi daun yang dimanfaatkan
warga masyarakat. Tetapi memang hanya ini yang baru penulis dapatkan.
Setiap aktifitas diatas mempunyai peralatan-peralatan pendukung. Ilmu antropologi
meyebutnya sebagai traits. Peralatan ini merupakan wujud kebudayaan yang disebut
sebagai artifact. Pada aktifitas perencekan, beberapa alat yang sering digunakan
adalah:
- Bendo
- Pethel
- Precel
- Tatah
- Graji
- Ungkal
Aktifitas mencari tunggak dibantu peralatan seperti prekul, ganco, linggis dan
juga arit. Pada aktifitas mencari daun, digunakanlah ani-ani.
Hidup masyarakat desa hutan sebagaimana yang anda lihat semata. Pagi mencari
apa yang dapat ia cari asalkan mampu menjadi uang yang mampu memenuhi
kebutuhan hidup. Apakah ada semacam subsistensi? Apabila dilihat dari komposisi
di jelaskan dalam angka maka inilah datanya:
Nama desa Sifat desa Jumlah
penduduk
petani Buruh tani
Nglobo enclave 2.129 jiwa 217 108
Nglebur enclave 5.112 jiwa 2382 1588
Ngraho enclave 4.477 jiwa 461 1.029
cxliv
Bagaimana cara membaca data yang sedemikian?perlulah kita memahami dan kritis
secara benar-benar kritis. Bahwa terdapat banyak kesenjangan.
Saya tidak menganggap rendah profesi petani. Tetapi petani atau buruh tani yang
seperti apa yang ada di wilayah hutan “milik” Perhutani ini? Ketika melakukan
observasi lapangan, hampir tidak dapat penulis lihat adanya lahan-lahan yang dapat
dikelola sebagai pertanian yang konsisten. Yang jelas hanya sebuah lahan dibawah
tegakan pohon-pohon jati yang tidak seberapa dan sebelum mengolahnya pun
diberikan syarat untuk membayar. Dari salah seorang warga yang saya temui di
wilayah pasar sore diketahui bahwa perbulan mereka wajib membayar uang
“kendhilan” sebesar 8.000 rupiah setiap bulan. Tetapi penulis tidak tahu seluas apa
tanah yang disebut kendhilan tersebut? Dalam buku yang pernah saya baca karangan
Hasanu Simon, terdapat istilah andil yaitu petak-petak tanah hutan yang dapat
ditanami dengan membayar sejumlah uang kepada Perhutani. Inilah yang penulis
sebut sebagai sebuah hal yang perlu dikritisi juga, masyarakat yang tidak punya hak
apapun untuk mengelola tanah ketika ingin mengelola tanah Negara pun wajib
membayar apakah ini semacam upeti?sebuah bentuk feodalisme yang masih nampak!
Beberapa masalah yang belum kita jawab dan masih tersimpan dalam benak peneliti
yaitu tentang hutan adat ataupun hutan rakyat akhirnya terjawab juga. Masyarakat
desa sekitar hutan diwilayah KPH Cepu yang mempunyai tanah hak milik tetap
menggunakan tanah-tanah mereka untuk menanam tanaman-tanaman keras. Biasanya
memang jati karena tanah disitu memang cocok. Dengan cara penanamannya berada
di tepi-tepi tanah hak milik tersebut. Sementara sisa tanah yang ada tetap
dimanfaatkan sebagai ladang tanaman palawija atau mungkin padi. Pertanyaan
selanjutnya adalah, bagaimana pemanfaatan tanaman-tanaman tersebut? Beliau
cxlv
menjawab, ya dibiarkan saja mas, kecuali memang kalau ada butuh ya tinggal potong
kemudian dijual, baik ke perajin atau mungkin orang yang butuh kayu.
Banyak sekali tradisi masyarakat yang terkait dengan ladang-ladang di bawah
tegakan. Bentuknya adalah syukuran makan-makan yang disebut bancakan tetapi
pelaksanaanya pada berbagai momentum. Beberapa momentum diantaranya adalah:
5. Ritual sebelum tebang hutan
Sebelum proses penebangan, biasanya malam sebelumnya diadakan ritual
bancakan dengan mengundang seluruh orang yang ada kaitan dengan proses
penebangan. Tujuan diadakannya bancakan adalah untuk mencari keselamatan
bagi semuanya.
6. Sebelum membuka hutan baru
Pasca penebangan hutan, biasanya tanah hutan dibiarkan selama satu tahun atau
bahkan lebih. Biasanya masa-masa ini digunakan oleh para warga masyarakat
desa hutan untuk menanam palawija. Bahkan bagi para pencari tunggak, ini
adalah saatnya mencari tunggak untuk diolah. Tetapi, para pencari tunggak
memang menungggu satu tahun atau kurang karena pasca penebangan akan ada
operasi dari pihak perhutani yang oleh warga masyarakat disebut sebagai lacak
balak yang bertugas mengecek sisa tebangan yang sudah diberi nomor untuk
melakukan supervisi. Jadi selama masa satu tahun tanah hutan didiamkan oleh
perhutani maka masyarakat memanfaatkannya sebagai lahan untuk ditanami.
Upacara penanaman biasanya menggunakan petungan atau pencarian hari-hari
baik sebelum menanam. Beberapa hari sebelum penanaman masyarakat desa
hutan mengadakan bancakan dengan sajian utama panggang pitik atau ayam
panggang. penebangan.
7. Undhuh-undhuh.
cxlvi
Undhuh-undhuh adalah masa ketika para petani pesanggem di lahan hutan akan
menlakukan panen diatas ladang atau lahan hutan, baik yang merupakan andil
yang ia punyai atau sewa maupun di lahan terbuka pasca penebangan.
8. Tampa seren
Tampa seren adalah bancakan warga ketika bertemu dengan tanggal satu sura atau
satu muharram. Yaitu memperingati tahun baru dalam kalender komariyah.
Sebagai tambahan, karena penelitian ini dilaksanakan pada bulan syaban
menjelang bulan ramadhan maka bancakan juga dilaksanakan di masyarakat desa
hutan ini. Istilah yang disebutkan untuk menyebutkan tradisi ini adalah mapag dan
nutup. Mapag adalah bancakan untuk menyambut atau menyongsong(mapag)
bulan ramadhan. Sedang nutup adalah bancakan untuk menutup atau bersiap-siap
mengakhiri bulan ramadhan sehingga hati menjadi tenang dan dosa-dosa benar-
benar dilebur oleh Allah sang pencipta. Tetapi sajian yang disediakan di tradisi
mapag dan nutup berbeda. Apabila mapag berisi nasi lengkap dengan
lauk(biasanya lauk utama adalah ayam panggang) tetapi di nutup, selain nasi ada
tambahan berupa apem.
Terkadang saya bingung dengan langkah penelitian yang saya lakukan. Apakah
benar itu sebuah kearifan local ataukah hanyalah sebuah suatu keumuman? Data
yang saya dapatkah lebih mirip sebuah deskripsi dari kehidupan warga
masyarakat desa hutan yang memang hidup dihutan dan seperti itulah mereka
hidup dengan perkakas yang memang dipergunakan dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
cxlvii
Ataukah sebenarnya ada lebih yang bisa mereka lakukan tetapi karena memang
tidak adanya kesempatan dan keinginan maupun kemudahan yang dapat mereka
temui sehingga mereka hanya berkutat dalam kehidupan yang cenderung
sederhana, mungkin juga sebenarnya berat. Artinya mereka hidup dalam
kepasrahan semata?Baik kepasrahan terhadap alam atau kepasrahan terhadap
system social yang kuat melembaga yaitu para pejabat Perhutani?
Hanya apabila secara kritis direnungi, upaya peningkatan kesejahteraan oleh
pihak Perhutani hanya kecil saja dari apa yang seharusnya diberikan sebagai
bentuk penghargaan terhadap kesalahan atau bukan kesalahan tetapi lebih
tepatnya adalah ketidakpedulian terhadap nasib manusia yang seharusnya juga
menjadi perhatian penting apabila dibanding dengan kehidupan pepohonan yang
ada
Ada fenomena lain ketika penulis melakukan perjalanan ke Nglebur. Ketika itu, ban
motor yang penulis gunakan bocor. Akhirnya penulis mencari tambal ban dan
kebetulan penulis berada dekat di dekat tambal ban milik Pak Rais Nitisastro. Beliau
adalah seorang anggota masyarakat desa hutan yang bekerja lepas. Ia seorang
wiraswasta ia membuka tambal ban kecil dan mempunyai sebuah mobil L300 yang
dibuat oplet seperti yang biasa kita lihat dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Ia
adalah mantan sopir. Tetapi, karena terdapat perbedaan yang mencolok antara
pengeluaran dengan pendapatan ketika ia menjadi supir, maka sekarang ia
mengistirahatkan mobilnya kecuali untuk melayani pesanan tetangga untuk
membawakan rencek atau panenan. Wilayah Nglebur masuk Kecamatan Bleboh
termasuk berada di KPH Cepu RPH Jiken. Tempat tinggal Pak Rais berada dekat
dengan rumah dinas “kemantren”, sebuah istilah pada percakapan keseharian
cxlviii
masyarakat untuk menyebut pejabat Perhutani setingkat Asper( Asisten Perhutani)
yang setingkat dengan lurah apabila disejajarkan dengan wilayah administrative
pemerintahan daerah.
Pak Rais mengungkapkan kesyukurannya menjadi warga masyarakat desa hutan di
wilayah Nglebur. Alasan pertama yang ia kemukakan adalah kekayaan sumber daya
hutan Nglebur yang luar biasa. Alasan yang kedua adalah kedekatan antara warga
masyarakat dengan para pejabat Perhutani. Persaudaraan di daerah nglebur antar
warga masyarakat, antara warga masyarakat dengan Perhutani berlangsung dengan
sinergis dan akrab. Mendengar beberapa alasan ini, maka dapat dianalisis bahwa
keterangan yang diberikan oleh Mas Wasis dari LSM SUPHEL dan Pak Agung
Sugiartha staf KSS PHBM bahwa nglebur adalah wilayah di KPH Cepu yang potensi
hutannya tinggi adalah benar. Begitu pula teori yang dikemukakan oleh Rachmat K.
Dwi Susilo yang mengemukakan bahwa tidak ada satupun masalah social yang
merupakan produk dunia alamiah dan berjalan dengan sendirinya. Tetapi persoalan
lingkungan adalah produk interaksi antar manusia. Keyakinan penulis adalah proses
kelestarian hutan di Nglebur tidak lepas dari kearifan dalam berinteraksi social
diantara actor-aktor dalam wilayah hutan.
tambahan lagi, interaksi warga Nglebur dengan hutan juga berlangsung dengan arif.
Walaupun hutan adalah milik Perhutani, tetapi warga tetap menganggap bahwa hutan
itu adalah miliknya. Sehingga apabila warga mengambil sesuatu hasil hutan, maka
akan diambil sesuai kebutuhan saja. Pak Rais bercerita, bahwa ketika masa 1998
dimana penjarahan dimana-mana marak, wilayah nglebur tidak demikian. Hal ini
memang sudah disadari warga nglebur. Dan akhirnya kesadaran ini memang
menghasilkan kemanfaatan yang lebih kontinyu. Sekarang, apabila warga nglebur
dalam mencari rencek, mencari daun, mencari gelam ataupun hasil hutan lain, maka
cxlix
disekitarnya mudah didapat. Beda dengan wilayah lain, desa-desa lain yang pada
tahun 1998 dijarah dan dirusak maka sekarang untuk mencari rencek, mencari daun
serta hasil hutan lain harus keluar dari desanya. Hal ini merepotkan katanya, dan lagi
pula kayu-kayu hasil penjarahan masih tersimpan dan tidak tahu mau dijual dimana
selain itupula uang hasil penjarahan juga malah habis tanpa bekas yang dirasakan
dampaknya.
Penulis mendapatkan sesuatu yang baru yaitu dengan apa yang dinamakan kawasan
perlindungan setempat(KPS) yang merupakan kawasan yang tidak dilaksanakan
proses produksi didalamnya. Artinya tidak ada proses penebangan, proses
penjarangan dan lain-lain yang sifatnya merubah bahkan menghilangkan vegetasi di
kawasan tersebut. Intinya wilayah hutan yang dilestarikan. Pertanyaan sekarang,
penentuan suatu wilayah menjadi kps itu apa?
Pak Agung menyebutkan bahwa penentuannya adalah karena kawasan tersebut
dipakai oleh warga dan disitu terdapat sesuatu yang berguna seperti mata air dan
merupakan tempat yang dipercaya masyarakat mempunyai keistimewaan. Hal yang
menurut saya luar biasa adalah jumlah kawasan ini mencapai jumlah sebanyak 1024
KPS yang tersebar di seluruh wilayah KPH CEPU. Tetapi apabila melihat luas KPS
yang diberikan perhutani, maka dapat dikatakan sangat kecil apabila disebut sebagai
sebuah signifikansi upaya pelestarian hutan. Walaupun begitu, praktek-praktek
masyarakat dalam upaya pelestarian hutan dapat cukup terbukti dengan adanya
wilayah KPS.
cl
PEDOMAN WAWANCARA A. UNTUK MASYARAKAT DESA HUTAN
· Adakah hak masyarakat terhadap hutan? · Jenis hasil hutan apa yang dimanfaatkan oleh anda? · Apakah pengambilan hasil hutan dapat mensejahterakan hidup anda? · Dapatkah saudara menceritakan keseharian anda dalam
pengambilan(sebut salah satu hasil hutan ikutan) · Ada berapa orang kawan sepekerjaan dengan saudara? · Berapa lama saudara melakukan hal ini? Adakah yang lebih dari anda? · Adakah hutan adat atau hutan khusus di wilayah ini? · Bagaimana proses terbentuknya lmdh ini?termasuk bagaimana anda
terpilih menjadi pengurus lmdh? · apa kesulitan-kesulitan anda ketika berproses menjadi anggota/ pengurus lmdh?
B. UNTUK KPH PERHUTANI CEPU
· Berapa tahun anda mengabdi di perum perhutani? · Pada bagian apa bapak/ibu/saudara bertugas? · bagaimana pandangan bapak terhadap warga masyarakat desa hutan
di kawasan ini dalam hubungannya dengan usaha pelestarian hutan? · apakah anda melihat kekhasan pada masyarakat desa hutan disini? · Adakah hak masyarakat terhadap hutan? · apakah pernah terjadi konflik antara perhutani dengan MDH sini? · apa keunggulan yang dimiliki warga disini dibanding dengan warga
di luar kawasan hutan cepu? · Adakah hutan adat atau hutan khusus di wilayah ini? · Apa program-program perhutani dalam menjaga kelestarian hutan? · Bagaimana pelaksanaan tugas harian anda selama ini?
C. UNTUK LSM SUPHEL
· Adakah hak masyarakat terhadap hutan?
· Bagaimana peran suphel dalam upaya pelestarian hutan di cepu ini?
· Apa program-program suphel dalam ikut serta melestarikan hutan?
· Seperti apakah interaksi suphel dengan pihak-pihak lain di kph cepu ini?