upaya mempertahankan kelestarian hutan dengan …/upaya... · pada masyarakat desa hutan skripsi...

151
i UPAYA MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN HUTAN DENGAN MEMANFAATKAN KEARIFAN LOKAL PADA MASYARAKAT DESA HUTAN SKRIPSI Disusun oleh: Hananto Widhiaksono D 0303031 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 PENG ESAHAN

Upload: vuongbao

Post on 14-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

UPAYA MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN HUTAN

DENGAN MEMANFAATKAN KEARIFAN LOKAL

PADA MASYARAKAT DESA HUTAN

SKRIPSI

Disusun oleh:

Hananto Widhiaksono

D 0303031

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009

PENG

ESAHAN

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Telah Disetujui Untuk Dipertahankan Di Hadapan Dewan Penguji Fakultas Ilmu Social Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta,

Pembimbing,

Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si. NIP. 131 792 197

iii

PENGESAHAN

Telah Dipertahankan di Hadapan Dewan Penguji Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian

dari Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana Sosial

Pembimbing Utama

(Dra. Trisni Utami, M.Si)

Anggota Dewan Penguji

1. Drs. Jefta Leibo, S.U. _____________________

2. Dra. Rahesli Humsona, M.Si. _____________________

3. Dra. Trisni Utami, M.Si. _____________________

Mengesahkan,

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UNS

Dekan,

Drs. Supriyadi S.N., S.U.

iv

Bila jiwa mempunyai tekad yang besar,

Niscaya tubuh akan lelah karenanya….

v

PERSEMBAHAN

Aku persembahkan karya kecil ini untuk :

Bapak….,dengan sentuhanmu

Ibu…., dengan doamu

Kakakku…, dengan motivasimu

Adik-adikku, dengan kerelaannya

Dan segenap keluarga yang memberiku dukungan

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah swt atas telah terselesaikannya penyusunan skripsi

berjudul “Upaya Mempertahankan Kelestarian Hutan dengan Memanfaatkan

Kearifan Lokal pada Masyarakat Desa Hutan” ini.

Karya kecil ini merupakan syarat untuk memperoleh derajat sarjana sosial.

Penulisan karya ini memang cukup lama dengan banyak aktifitas pendamping baik

sengaja maupun tidak sengaja yang cukup mengurangi konsentrasi penulis dalam

penyelesaiaannya akan tetapi, alhamdulillah, dengan dukungan berbagai pihak karya

ini telah cukup pantas untuk menjadi bahan pewacanaan dalam konsep pengelolaan

hutan.

Penulis merasa perlu mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Supriyadi, S.N. ,S.U. , selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sebelas Maret.

2. Dra. Trisni Utami, M.Si, selaku pembimbing yang telah memberikan

arahan dan masukan hingga skripsi ini terselesaikan.

3. Rekan-rekan dari lembaga SUPHEL, atas pendampingan dan

keramahtamahan selama proses penyelesaian skripsi.

4. Rekan-rekan Perum Perhutani KPH Cepu atas bantuan izin dan

kemudahan dalam pengambilan data.

5. Seluruh rekan mahasiswa yang telah memberikan bantuan dan dorongan

hingga selesainya skripsi ini.

Penulis merasa sebagai sebuah karya ilmiah, tulisan ini perlu ditingkatkan

bobot kualitasnya. Kritik dan saran akan mampu memperluas khasanah

vii

keilmuan yang sebenarnya sangat banyak apabila kita mengkaji secara lebih

mendalam. Harapan penulis, tulisan ini mampu menjadi awal yang baik dalam

memperbaiki wacana atau fokus perhatian berbagai pihak yang belum peduli

akan keberlangsungan proses kehidupan kita di masa yang akan datang demi

anak cucu kita, yaitu lingkungan hutan.

Surakarta, 13 Maret 2009

Penulis

viii

DAFTAR ISI

Halaman Judul…………………………………………………………………... i

Halaman Pengesahan…………………………………………………................. ii

Motto…………………………………………………………………………….. iv

Halaman Persembahan…………………………………………………………... v

Kata Pengantar…………………………………………………………………... vi

Daftar Isi………………………………………………………………………… viii

Daftar Tabel…………………………………………………………………… xi

Daftar Gambar………………………………………………………………… xii

Daftar Lampiran…………………………………………………………………. xii

Abstrak…………………………………………………………………………… xiii

Bab I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah………………………………………………

1.2. Perumusan Masalah…………………………………………………..

1.3. Tujuan Penelitian……………………………………………………..

1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………………

1.5. Jenis Penelitian………………………………………………………..

1.6.. Sumber Data…………………………………………………………..

1.7. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………

1.8.. Teknik Analisis Data………………………………………………….

1.9. Validitas Data…………………………………………………………

1

5

7

7

8

9

10

11

11

ix

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………...

2.1.1. Hutan Dan Sumber Daya Hutan..............................……….……

2.1.2. Sumber Daya Hutan Dan Manusia...............................................

2.1.3. Kearifan Lokal terhadap Lingkungan Hutan................................

2.2. LANDASAN TEORI………………………………………………….

2.3. KERANGKA PEMIKIRAN…………………………………………..

13

19

24

28

25

28

BAB III. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

3.1. DESKRIPSI WILAYAH KABUPATEN BLORA……………………

3.2. SEJARAH KABUPATEN BLORA…………………………………...

3.3. GAMBARAN UMUM KPH CEPU……...……………………………

34

36

42

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. INTERAKSI MASYARAKAT DESA HUTAN……………………...

4.1.1. Para Aktor Kehutanan Di KPH Cepu …………………………..

4.1.2. Partisipasi Masyarakat Desa Hutan……………………………..

4.2. HASIL INTERAKSI MASYARAKAT DESA HUTAN……………...

4.2.1. Pengetahuan Lokal Masyarakat Desa Hutan…………………

4.2.2. Budaya Lokal Masyarakat Desa Hutan…………………………

4.2.3. Kearifan Lingkungan Masyarakat Desa Hutan…………………

45

49

64

83

83

91

100

x

BAB V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan……………………………………………………………

5.2. Implikasi……………………………………………………………….

5.3. Saran…………………………………………………………………

108

109

GLOSARIUM………………………………………………………………....... 112

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….... 117

LAMPIRAN……………………………………………………………………... 120

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Matriks waktu tertata.

Perubahan-Perubahan Dalam Perubahan Program Pengelolaan Hutan

KPH Cepu

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Model sistem ekologi manusia

Gambar 2. Model komplek ekologi

Gambar 3. Skema ketergantungan hutan dan masyarakat

Gambar 4. Kerangka pemikiran

Gambar 5. Peta Kabupaten Blora

Gambar 6. Rencek dibawa dari hutan

Gambar 7. Salah satu ngare

Gambar 8. Seorang pencari daun

xiii

ABSTRAK

HANANTO WIDHIAKSONO, D0303031, ”UPAYA MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN HUTAN DENGAN MEMANFAATKAN KEARIFAN LOKAL PADA MASYARAKAT DESA HUTAN”, Skripsi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Kelestarian hutan merupakan hasil dari berbagai proses yang terjadi dalam

kehidupan ekologi hutan. Di dalam hutan terdapat berbagai Interaksi. Sebuah ekosistem hutan memiliki sistem sosial yang terdiri dari manusia dengan proses-proses sosial dan kemudian terdapat lingkungan ekosistem hutan itu sendiri. Kelestarian hutan tak akan tercapai apabila terdapat hubungan yang tidak sehat dalam proses-proses sosial yang terkait dengan sumber daya hutan.

Tulisan ini merupakan sebuah studi etnografi yang ditutujukan untuk untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat desa hutan dalam upaya melestarikan hutan. Selain itu, penelitian ini berupaya pula agar dapat memetakan kekuatan sosial masyarakat desa hutan sebagai dasar pembentukan hutan lestari.Tulisan ini mencoba melihat permasalahan diatas pada salah satu lingkungan hutan di Kesatuan Pemangkuan Hutan(KPH) Cepu, Kabupaten Blora Jawa Tengah. Di dalamnya terdapat beberapa aktor kehutanan yang saling berinteraksi dalam sebuah pengelolaan hutan baik langsung atau tidak langsung mempengaruhi kelestarian hutan. Beberapa aktor tersebut diantaranya adalah masyarakat desa hutan, KPH perhutani Cepu serta lembaga swadaya masyarakat SUPHEL.

Ada berbagai dimensi yang membentuk kearifan lokal masyarakat desa hutan baik secara struktural maupun secara kultural. Secara struktural diakibatkan oleh adanya proses sosial panjang yang menyebabkan adanya struktur masyarakat desa hutan dalam lapisan sosial paling rendah untuk mendapatkan hak atas sumber daya lingkungan hutan. Secara kultural, kearifan lokal masyarakat desa hutan dimana keterbatasan akses terhadap lingkungan hutan menyebabkan munculnya budaya masyarakat desa hutan dalam bentuk ide-ide, perilaku serta berbagai benda yang dipergunakan dalam keseharian mereka. Pelajaran paling terkait dengan penelitian ini adalah adanya kearifan lokal masyarakat desa hutan. Pikiran, perilaku dan berbagai benda warga masyarakat desa hutan adalah sebuah produk budaya yang mendukung kelestarian sumber daya hutan di wilayah KPH Perhutani Cepu. Namun, dibalik kelestarian hutan yang ada, beberapa nilai-nilai kearifan lokal mengandung benih konflik dan kerawanan terhadap kelestarian hutan itu sendiri. Bentuk kearifan lokal yang ditemukan adalah narimo ing pandum, maka kearifan lokal yang merupakan produk budaya ini hanya membentuk kelestarian hutan saat ini, tetapi tidak untuk jangka panjang. Ketika budaya masyarakat berkembang secara dinamis, dari segi cara masyarakat, maka dapat dikhawatirkan akan memunculkan keinginan untuk menuntut hak yang lebih besar daripada apa yang telah didapatkan selama ini. Hal ini secara mudah dapat diterangkan bahwa kelestarian hutan yang terbentuk pada saat ini hanyalah kelestarian tegakan hutan tetapi kelestarian pengelolaan hutan belum tentu terwujud. Karena tujuan akhir dari pengelolaan hutan adalah kesejahteraan seluruh warga dan para pelaku kehutanan serta bagi lingkungan hutan itu sendiri. Ketiadaan perubahan inilah yang akan mengancam kelestarian hutan apabila tujuan pengelolaan hutan tidaklah untuk mensejahterakan dan menjadikan hubungan harmonis dalam setiap unsur yang merupakan aktor-aktor kehutanan di KPH Cepu.

xiv

ABSTRACT

HANANTO WIDHIAKSONO. Student number D0303031. Defending the Forest Sustainability by the Using of the Indigenous Knowledge of The Society in Forest Village. Thesis. Sociology Department of Bachelor degree. Faculty of Social Science and Political Science. Sebelas Maret University. In 2009

The forest sustainability is the result of many processes happening in the

forest ecology. There is an interaction process in forest. The ecosystem in forest has social system consisting human with their social process and the ecological environment in forest. The forest can not be reached if there is no a good interaction between that social process and the natural resources.

This research is a etnographic studies aims to know the indigenous knowledge of the society in forest village in order to maintain the forest. This research also tries to identify the social power of the society in forest village as the basic of forest sustainability. The research tries knowing that discourse above. This research takes place in Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), Cepu, Blora, Central Java. There are many “actor” who interact in the term of forest management. It directly or indirectly influences the forest sustainability. The “actor” are the society in forest village, KPH CEPU, and SUPHEL.

There are some cases causing the indigenous knowledge of the society in

forest village such as in structural and cultural terms. Structurally, that is caused by long social process causing a structure of society in forest village which exists in low social grade. They want to get their right of the forest resources. Culturally, the indigenous knowledge of the society in forest village that there actually is limited access in forest cause the emerged of culture of the society in forest village such as ideas, manner, and the means which is used by them in daily their activities. The main concept of this research is there is an indigenous knowledge of the society in forest village. Thought, manner and means are the cultural product that can encourage the attempt to maintain forest resources in KPH Perhutani CEPU. In the other hand, there are any values of indigenous knowledge which can cause conflict in maintaining the forest. In this case, indigenous knowledge deals with narimo ing pandum. So that is why, the indigenous knowledge as cultural product makes the forest sustainability just at that moment. Actually, culture dynamically develops in the term of society point of view its also causes an expectation to get their right more. To sum up, the forest management sustainability is still no exist now. However, the aim of the forest management sustainability is to make the society and the environment get the beneficial of forest resources and their welfare. If the aims of forest management do not make the society become prosperous and cause good relation between the actors in KPH CEPU, that will attack the forest sustainability.

BAB I

xv

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejarah wilayah sama tuanya dengan sejarah masyarakat atau manusia.

Setiap masyarakat yang hidup di sebuah wilayah dengan karakteristik tertentu

akan mengalami proses interaksi yang khusus pula. Interaksi ini akan

menghasilkan budaya yang berbeda dengan budaya pada masyarakat lain.

Demikian halnya dengan masyarakat yang menetap di areal yang berdekatan

atau bahkan berada di dalam kawasan hutan, yang akan mempunyai interaksi

khas dengan lingkungan sekitarnya itu, dan menghasilkan bentuk budaya yang

tidak ditemukan di wilayah lain. Akhirnya muncul istilah masyarakat desa

hutan dengan karakteristik masyarakat yang berbeda dengan sekelompok

masyarakat lain.

Masyarakat desa hutan dengan hutan yang ada di wilayahnya pada

umumnya memiliki hubungan yang erat dan tingkat ketergantungan yang

tinggi terhadap hutan. Betapa tidak?, mereka hidup dan berinteraksi secara

intens dengan hutan semenjak lahir bahkan mungkin hingga mati. Lamanya

interaksi ini secara otomatis akan menghasilkan budaya.

Berbagai contoh dapat kita lihat pada berbagai masyarakat serta suku-

suku yang ada di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia. Di hutan

Kalimantan, masyarakat Dayak dengan ketergantungan yang luar biasa

terhadap hutan, lingkup kehidupannya menghasilkan sistem pertanian yang

bersistem rotasi ladang serta memunculkan kearifan lokal berupa terbentuknya

kawasan-kawasan hutan larangan yang disebut hutan adat Simpunk. Hal serupa

dapat kita jumpai pada alas wengkon di masyarakat desa hutan di Jawa, sistem

xvi

hutan khepong damar dan Lembok di masyarakat desa hutan di Sumatra, sistem

Sasi di kepulauan Maluku yang khusus untuk hutan terdapat Sasi Sagu dan Sasi

Ewang, serta berbagai sistem di wilayah lain yang belum diungkap.

Berbagai sistem serta budaya dalam masyarakat sekitar kawasan hutan

mempunyai peran penting dalam menjaga kelestarian hutan. Apabila di saat

sekarang terdapat paradigma bahwa masyarakat desa hutan adalah pihak yang

menyebabkan kerusakan hutan maka yang perlu kita pahami adalah penyebab

mereka melakukan hal tersebut. Negara dalam hal ini pemerintah yang

mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan telah mencerabut masyarakat desa

hutan dari wilayahnya sendiri. Akses terhadap hutan dibatasi bahkan ditutup

sehingga masyarakat desa hutan ibarat ”anak ayam mati di lumbung padi”.

Kembali pada konsep bahwa sejarah wilayah sama tuanya dengan sejarah

masyarakat maka apabila penyebab kerusakan hutan ditimpakan pada

masyarakat desa hutan, mengapa hutan pada saat ini masih ada? Kerusakan

hutan akibat perilaku masyarakat desa hutan belum cukup terbukti. Fakta di

lapangan, perusak terbesar hutan di Indonesia adalah karena pengelolaan hutan

yang berada ditangan negara dan menggunakan paradigma State Based Forest

Management (SBFM). Contoh paling nyata adalah masa Orde Baru dimana

kerusakan hutan di Jawa dan terlebih khusus di luar Jawa mengalami fase

terparah. Sejarah Indonesia bidang kehutanan memperlihatkan, enam tahun

setelah kepergian rimbawan bangsa Belanda, pada tahun 1963 status pengelola

hutan di Jawa berubah dari Jawatan ke Perusahaan Negara dengan nama PN

Perhutani, kecuali untuk daerah Jawa Barat dan Daerah Istimewa Jogjakarta.

Tujuan perubahan itu untuk meningkatkan pendapatan negara dari hutan Jawa

Timur dan Jawa Tengah, serta beberapa kelompok hutan di Tarakan, Sampit

xvii

dan Balikpapan (Kalimantan Timur), serta Pulau Laut (Kalimantan Selatan).

Perubahan status itu ditangkap oleh para pengelola kehutanan sebagai amanat

pemerintah untuk meningkatkan intensifikasi pemungutan hasil hutan sehingga

memperoleh keuntungan yang besar bagi pembangunan nasional yang berada

dalam krisis ekonomi. Kurang dari 10 tahun PN Perhutani mengemban tugas

menggali dana untuk pembangunan semesta berencana, ternyata nilai rapor

yang diperoleh sangat mengecewakan. Unit-unit di Kalimantan yang

pelaksanaannya bekerja sama dengan Jepang ternyata dinyatakan rugi ribuan

dolar. Melihat hal ini, akhirnya PN Perhutani dilikuidisir, Jawa tengah dan

Jawa timur menjadi Perum Perhutani., unit-unit kerja di Kalimantan Timur

menjadi PT Inhutani I, unit di Kalimantan Selatan menjadi Inhutani II, dan unit

di Kalimantan Tengah menjadi Inhutani III. Selama itu pulalah kerusakan

hutan Indonesia bertambah tiap tahun, ditambah pula dengan kebijakan

pemerintah Orde Baru yang membuat kebijakan yang sangat dipengaruhi oleh

para pengusaha waktu itu. Akhirnya lembaga-lembaga diatas pun tunduk dan

patuh pada amanat pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang

dekat pada para pengusaha kapitalis.

Sejarah kehutanan Indonesia selalu menyebutkan adanya masyarakat di

sekitar hutan yang ikut serta dalam proses pembangunan kehutanan. Sebagai

contoh adalah hutan jati di Jawa. Hutan jati di Jawa telah menjadi sumber

utama bahan baku industri kapal selama lebih dari lima abad, maka masyarakat

dan pemerintah di Jawa telah lama pula menguasai manfaat dan

selukbeluknya.

Pada setiap masyarakat kehutanan waktu itu terdapat hak ulayat yaitu hak

yang berfungsi untuk mengendalikan sumber daya hutan jati masuk dalam

xviii

aturan wilayah administrasi terkecil yaitu desa. Zaman Belanda yang menjajah

Indonesia selama kurang lebih tiga setengah abad berupaya untuk memupus

hak ulayat ini dalam kerangka untuk menguasai kayu jati untuk dijadikan kapal

ke Eropa. Dan inilah pula yang sampai saat ini tetap dilakukan oleh negara

dalam bentuk PT Perhutani yaitu dengan tidak memberikan satu wilayah hutan

pun bagi para warga masyarakat tetapi diakui sebagai wilayah hutan negara.

Inilah beberapa data terakhir kehutanan Indonesia, Irdika Mansur (2005),

Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, menyatakan :

”upaya serius untuk menyelamatkan hutan Indonesia harus benar-benar

dilakukan sesegera mungkin karena laju kerusakan hutan di tanah air telah

mencapai 2,8 juta hektare per tahun atau setara dengan enam lapangan

sepakbola per menit. Seiring dengan itu, maka akan diikuti pula dengan

hilangnya spesies pohon hutan, khususnya pohon komersial”. Kawasan hutan

lindung, telah terancam keberadaannya oleh perusahaan multinasional yang

berparadigma pada eksploitasi alam semata. Hutan-hutan tersebut diantaranya,

hutan lindung Gag-papua yang sekarang menjadi lokasi proyek PT Gag Nickel,

Tahura (Taman Hutan Rakyat) Poboya Paneki oleh PT Citra Palu Lestari,

Taman Nasional Meru Betiri di Jember oleh PT Jember Metal, Taman Nasional

Lore Rindu di Sulteng oleh PT Mandar Uli Minerals, Taman Nasional Kerinci

Seblat oleh PT Barisan Tropikal Mineral dan Sari Agrindo Andalas. Serta

hutan Cepu dan Bojonegoro yang saat ini dikenal sebagai blok Cepu juga

sudah dikuasai oleh PT Exxon Mobile. Beberapa hal diatas menimbulkan

dampak pada ketidakadilan distribusi penguasaan sumber daya alam ini

sehingga konflik sosial adalah sesuatu yang riil terjadi di masyarakat.

xix

Oleh sebab itu, upaya pengelolaan hutan agar tetap lestari tidak boleh

menghilangkan kearifan masyarakat lokal di sekitar hutan. Mereka mempunyai

pengetahuan lokal sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan baik

lingkungan biotik, fisik maupun lingkungan antar manusia itu sendiri.

1.2. Perumusan Masalah

Masyarakat desa hutan dengan karakteristiknya adalah hasil interaksi antara

lingkungan hutan dengan anggota-anggotanya. Interaksi tersebut dilakukan

dalam lingkup lingkungan biotik, lingkungan fisik dan lingkungan antar

manusia itu sendiri. Proses interaksi ini akan menghasilkan sebuah budaya.

Budaya yang muncul dari dalam masyarakat itu sendiri dapat kita sebut sebagai

kearifan lokal. Kearifan lokal akan lebih bersifat sebagai interaksi positif antara

hutan dengan masyarakat. Sentiment community terbentuk dalam tubuh dan

jiwa masyarakat. Hal ini muncul karena masyarakat desa hutan mendapatkan

manfaat dari hutan sehingga secara otomatis mereka akan berusaha untuk

mempertahankan kelestarian hutan agar manfaat yang mereka peroleh dari

hutan tetap didapatkan.

Pembangunan hutan Indonesia yang menghasilkan berbagai pola

pengelolaan hutan ikut mempengaruhi kearifan lokal di masyarakat desa hutan.

Kearifan lokal dapat dilihat sebagai sebuah proses sosial sehingga ia dapat

berubah sesuai tuntutan kebutuhan dan zaman. Akan tetapi dasar dari kearifan

lokal adalah untuk tetap dapat melestarikan hutan demi tetap adanya

kemanfaatan hutan yang kontinyu.

Kearifan lokal sebagai sebuah budaya, mengandung ide-ide atau sebuah

gagasan tentang sebuah pengelolaan hutan lestari. Selain ide, di dalam kearifan

xx

lokal juga terbentuk pola perilaku yang menjadi pedoman dan cara untuk

berinteraksi. Masyarakat desa hutanpun akan mempunyai berbagai benda hasil

budaya sebagai wujud budaya yang kongkret.

Berdasarkan pandangan diatas, maka permasalahan yang ingin digali dalam

penelitian ini adalah:

a) Bagaimana interaksi yang dilakukan masyarakat desa hutan dalam

lingkup biotik, lingkup fisik, maupun lingkungan antar manusia itu

sendiri?

b) Bagaimana hasil interaksi sosial masyarakat desa hutan terhadap

kelestarian hutan dalam kerangka terbentuknya kearifan lokal?

1.3. Tujuan Penelitian

Setelah mengkaji latar belakang serta rumusan masalah sebagaimana

dipaparkan di muka, maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kearifan

lokal masyarakat desa hutan dalam upaya melestarikan hutan. Selain itu,

penelitian ini berupaya pula agar dapat memetakan kekuatan sosial masyarakat

desa hutan sebagai dasar pembentukan hutan lestari.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu:

a) Manfaat praktis

Secara praktis hasil penelitian akan bermanfaat dalam pembuatan

kebijakan pihak pemerintah c.q. KPH Cepu dalam rangka menjalankan

upaya pelestarian hutan. Bagi masyarakat desa hutan sendiri, hal ini

merupakan salah satu bentuk penyadaran atas apa yang mereka lakukan

xxi

selama ini dan dengan itu dapat terus menjaga maupun

mengembangkan kearifan lokalnya dengan lebih maksimal.

b) Manfaat teoritis

Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi sebuah tambahan

pengetahuan dan dapat ditambahkan dalam body of knowledge dari

ilmu Sosiologi khususnya dalam kajian Sosiologi pedesaan maupun

Sosiologi kehutanan.

1.5. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif etnografi yang bermaksud untuk

menjelaskan gejala-gejala sosial dalam segi kebudayaannya yang telah melembaga.

Setiap gejala sosial tersebut dijelaskan dalam deskripsi pola atau pattern-nya. Para

ahli etnografi bertanya, ”bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka

dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam

kehidupan?”. Etnografi terutama memperhatikan perilaku manusia yang berlangsung

pada jenjang ”diterima sebagai sesuatu yang sudah seharusnya demikian”.

Menurut tokoh yang lain, prof. Dr. Noeng Muhadjir, studi etnografi adalah

suatu deskripsi tentang cara mereka berpikir, hidup, berperilaku. Etnografi bukan

deskripsi kehidupan masyarakat primitif (seperti konsep etnografi di tahun 1950-an),

melainkan deskripsi kehidupan masyarakat kita dalam beragam situasinya,

sebagaimana adanya: dalam kehidupan kesehariannya, cara mereka memandang

kehidupan, perilakunya, dan semacamnya.

Prof. Hasanu Simon seorang pakar Sosiologi kehutanan UGM mengungkapkan

pandangannya tentang penelitian kualitatif, ”Pendeknya rimbawan harus dapat

meniru ilmu Nabi Sulaiman alaihissalam pada waktu berkunjung ke lapangan,

xxii

khususnya untuk menggali problematika yang akan bermanfaat bagi evaluasi

manajemen hutan. Berdialog dengan petani di sekitar hutan pun lebih cocok dengan

ilmu Nabi Sulaiman dibanding dengan menggunakan kuesioner, ilmunya orang

Eropa dan Amerika”.

1.6. Sumber Data

Jenis data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer

adalah data yang dikumpulkan langsung dari sumbernya. Keuntungan menggunakan

data ini adalah data-data tersebut dapat dipercaya. Data sekunder adalah data yang

diperoleh dari pihak lain yang telah mengumpulkan dan mengolahnya.

Sumber data penelitian ini berasal dari beberapa stake holder yang diambil

datanya dengan metode wawancara dan pengamatan di lapangan. Mereka antara lain

adalah KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Perhutani Cepu yang merupakan

representasi dari pengelolaan hutan oleh negara. Salah satu informan terpenting dari

Perhutani adalah Kepala Bagian Sub Lapangan KPH Cepu. Kepala Sublap inilah

yang sering terjun ke lapangan dan berinteraksi dengan masyarakat desa hutan.

Selain itu, LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yaitu sebuah wadah

beranggotakan warga desa hutan terutama para tokoh-tokoh masyarakat yang karena

kelebihan tertentu menjadi pengurus LMDH. Warga masyarakat sekitar hutan, serta

beberapa LSM lokal. Salah satunya adalah LSM yang bernama Lembaga Suphel

(Solidaritas Untuk Pelestarian Hutan dan Lingkungan Hidup).

1.7. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif ini akan menggunakan metode observasi sebagai jalan untuk

mengetahui dan mengamati secara seksama berbagai proses yang berlangsung dalam

xxiii

interaksi sosial masyarakat. Metode pengamatan yang dilakukan adalah model

pengamatan bebas dan rendah hati.

Selain itu, metode wawancara mendalam juga akan dilakukan guna mencari

penjelasan-penjelasan yang lebih detail dari informan. Para informan akan di pilih

dari para stake holder terkait. Akan tetapi, penelitian akan lebih banyak pada

informan yang berasal dari warga masyarakat desa hutan yang sifat wilayahnya

tersebar dan terpusat. Sebuah ciri khas masyarakat pedesaan dalam pemilihan tempat

tinggal. Setiap wilayah hutan dimana terdapat warga masyarakat desa hutan akan

kita datangi dan akan kita jumpai setiap warga yang sedang melakukan aktifitas

dalam hutan. Perlu diketahui, setiap hari warga masyarakat sekitar hutan pasti

melakukan aktifitas-aktifitas dalam hutan. Tidak hanya hutan di wilayah tempat

tinggalnya tapi hingga kawasan hutan di tempat lain yang jaraknya cukup jauh dari

wilayah hutan mereka.

Peralatan pembantu dalam penelitian ini adalah audio tape sehingga akan

menampilkan hasil rekaman wawancara. Selain itu kamera juga akan di gunakan

untuk memperlihatkan berbagai aktifitas interaksi warga masyarakat desa hutan

dengan hutan dalam bentuk gambar. Daftar pertanyaan untuk tiap-tiap informan akan

dibedakan sesuai dengan kapasitas serta kebutuhan penelitian akan data dari

informan tersebut.

1.8. Teknik Analisis Data

Penelitian ini akan menggunakan teknik analisis data kualitatif model alir yaitu

dengan melakukan tiga proses penelitian kualitatif baik reduksi data, penyajian data

dan penarikan kesimpulan atau verifikasi dapat dilakukan selama masa pengumpulan

data sehingga pasca pengumpulan data dapat segera dilaporkan.

xxiv

Setiap data yang didapatkan dalam penelitian langsung akan dianalisis dan akan

dihubungkan dengan konsep serta teori dasar yang digunakan. Beberapa prinsip

dalam menganalisis data yang diperoleh baik melalui observasi maupun wawancara

adalah dengan prinsip penemuan studi dalam makna yang terdiri dari prinsip

relasional, prinsip kegunaan, prinsip kemiripan serta prinsip kontras.

1.9. Validitas Data

Pada positivisme dikenal validitas dan reliabilitas. Pada model paradigma

kualitatif keduanya diganti dengan kredibilitas. Menurut Prof. Dr. Noeng Muhadjir,

pada etnografi maupun etnometodologi terdapat dua konsep yang dapat dipakai

untuk mengganti konsep validitas reliabilitas maupun konsep kredibilitas dengan

indeksikalitas dan refleksikalitas. Indeksikalitas adalah keterkaitan makna kata,

perilaku dan lainnya pada konteksnya. Sedangkan refleksikalitas adalah tata

hubungan atau tata susunan sesuatu dengan atau dalam sesuatu yang lain.

Sebagai bentuk usaha kesahihan terhadap data yang diperoleh, maka selalu

dilaksanakan proses trianggulasi penyelidikan artinya melakukan pengujian pada

situasi yang sama oleh orang yang berbeda (lebih dari seorang).

xxv

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tinjauan Pustaka

Berdasarkan pokok pembahasannya, sering dijumpai pembagian sosiologi

ke dalam dua bagian utama. Nama yang diberikan berbeda-beda. Leonard Broom

dan Philip Selznick (1977), misalnya membedakan antara tata mikro(micro

order) yang terdiri dari interaksi-interaksi terpola, perilaku peranan, kelompok-

kelompok primer, dan hubungan-hubungan antar manusia dalam kelompok-

kelompok terorganisasi serta institusi-institusi, dan tata makro(macro order)

yang terdiri dari hubungan antar kelompok, pola-pola organisasi sosial yang

komprehensif, serta komunitas- komunitas dan masyarakat-masyarakat. Jack

Douglas (1973) mengadakan perbedaan antara dua perspektif sosiologi:

perspektif struktural atau makrososial, yang memandang masyarakat sebagai

suatu keseluruhan dan meletakkan fokus pada saling kesalingtergantungan antar

bagian masyarakat. Perspektif kedua, kehidupan sehari-hari atau mikrososial,

yang meletakkan fokus pada tindakan-tindakan serta komunikasi yang dapat

diamati.1

Menurut George Simmel, seorang sosiolog bertugas untuk meneliti bentuk

interaksi masyarakat yang terpola seperti jaring laba-laba, bagaimana mereka

terjadi dan mewujud di dalam kehidupan sejarah dan seiring budaya berbeda.

Lapangan penyelidikan utama sosiolog adalah sosiasi yaitu pola-pola dan

bentuk-bentuk khusus manusia dalam melakukan asosiasi dan interaksi satu sama

lain. Masalah-masalah yang dipelajari sosiologi terletak pada deskripsi dan

1 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1985

xxvi

analisis bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial manusia dan kristalisasinya

dalam kelompok dengan karakteristiknya masing-masing.

Sosiologi menurut Hasanu Simon (2004) merupakan suatu ilmu yang

mempelajari perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Baik

lingkungan biotik, fisik maupun lingkungan antar manusia sendiri. Pengertian ini

merupakan sebuah pengertian yang bernuansa ekologi manusia.

Semula masalah sosial dan sosiologi bukan sesuatu yang menonojol. Di

bidang pendidikan, menengah, maupun perguruan tinggi, sosiologi pada awalnya

sederhana saja dan tidak menarik minat siswa maupun mahasiswa. Di bidang

praktis, masalah sosial jauh tidak menonjol dibandingkan dengan bidang-bidang

yang sudah lama keren, seperti kedokteran, teknik, pertanian bahkan masalah

ekonomi dan sejarah. Akan tetapi, dengan semakin kompleksnya masyarakat dan

program pembangunan karena meningkatnya teknologi, ternyata masalah sosial

dan sosiologi menjadi semakin menunjukkan peranan yang penting.2

Mengingat sangat mendesaknya persoalan lingkungan yang terjadi, maka

sebagai konsekuensi atas pembahasan tersebut, sudah saatnya sosiologi

mengembangkan kajian keilmuannya tidak sebatas berkutat pada kajian tentang

interaksi antar manusia saja, sebagaimana yang seringkali kita terima dalam mata

kuliah pengantar sosiologi. sudah saatnya para sosiolog atau calon sosiolog turut

merefleksikan kembali kajian tentang hubungan antara manusia atau masyarakat

dengan lingkungannya3

Profesor Sosiologi Amerika, John J. Macionis dalam Sociology mengakui

tentang masih terbatasnya peran sosiologi dalam persoalan-persoalan lingkungan

2 Hasanu Simon, Aspek Sosio-Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004. 3 Rachmad K. Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan Dari Pegunungan Di Kota Batu Malang, , Paper Dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Sosiologi Se-Jawa Timur, Universitas Muhammadiyah Malang, 26 Desember 2004

xxvii

(ekologi), terutama ketika memberikan bukti-bukti ilmiah dan fisik mengenai

kerusakan lingkungan. namun demikian demi mengembangkan sosiologi yang

berperan dalam persoalan lingkungan, satu kata kunci adalah bahwa tidak ada

satu persoalan lingkungan yang produk dunia alamiah dan berjalan dengan

sendirinya. berangkat dari hal tersebut persoalan lingkungan adalah produk

interaksi antar manusia. dengan demikian, para sosiolog otomatis dapat

mengambil peran didalamnya, seperti:

a) Sosiolog bisa menggali(explore) tentang arti atau makna lingkungan bagi

masyarakat yang berlatang belakang sosial beragam.

b) Sosiolog bisa memonitor denyut nadi(pulse) masyarakat pada persoalan-

persoalan lingkungan. Membuat laporan tentang pikiran, harapan dan

ketakutan mereka. Termasuk, menganalisa mengapa kategori tertentu dari

individu atau masyarakat mendukung atau menolak pihak tertentu.

c) Sosiolog bisa menunjukkan bagaimana pola-pola sosial manusia

menyebabkan tekanan yang memuncak pada lingkungan alamiah. Dalam

kaitan ini, sosiolog mengambil peran yang spesifik dalam menunjukkan

bagaimana pola-pola kebudayaan dan konstelasi politik dan ekonomi

secara khusus mempengaruhi lingkungan alam.4

Kajian-kajian sosiologi di setiap universitas akan memasukkan materi

ekologi sosial atau ekologi manusia. Ekologi manusia didasarkan pada suatu

perspektif sosiologi yang luas serta telah dikembangkan sejak awal oleh Malthus

dan Darwin. Albercht dan Murdock (1985) mengemukakan bahwa ekologi

manusia didasarkan pada anggapan bahwa untuk mempertahankan hidup,

manusia, harus melakukan adaptasi dengan lingkungan fisik dan sosial yang

4 ibid

xxviii

mereka miliki. Hal ini dilaksanakan oleh perangkat teknologi dan praktek-

praktek budaya bahwa bentuk penggunaan lingkungan dan bentuk

pengembangan organisasi sosial boleh untuk adaptasi seperti itu.5

Selain Albert dan Murdock, Hawley (1950) menggambarkan ekologi

manusia sebagai suatu penyesuaian dari manusia terhadap lingkungan hidupnya

(habitat) sebagai suatu perkembangan masyarakat dengan mempertunjukkan

kedua hubungan antara bentuk simbiotik dengan komensalistik.6

Rambo (1980) menawarkan sebuah model ekologi manusia. Model ini

mempunyai dua subsistem yang independen yaitu ekosistem alam dan sistem

manusia yang divisualisasikan sebagai saling berhubungan melalui perubahan

energi, material dan informasi. Konsekuensinya, adanya perubahan dalam salah

satu dari kedua subsistem akan mengakibatkan suatu perubahan dari subsistem

lainnya dengan perubahan pula pada aliran energi, material, dan informasi. Jadi,

kedua subsistem dapat dilihat sebagai kegunaan hubungan dialektika yang tidak

ada habisnya dan merupakan suatu kerjasama yang evolusioner. Rambo7

menekankan terdapat empat aspek dalam model sistem ekologi manusia, yaitu:

a) input dari ekosistem ke dalam sistem sosial.

b) Input dari sistem sosial ke dalam ekosistem

c) Perubahan di dalam perbaikan kelembagaan sistem sosial dalam

merespon input dari ekosistem.

d) Perubahan didalam ekosistem dalam merespon terhadap input dari sistem

sosial.

5 San Afri Awang,Dekonstruksi Social Forestry:Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan, Yogyakarta, Bigraf Publishing, 2004 6 Loc.cit 7 ibid

Keterangan:

xxix

xxx

Selain model sistem ekologi Rambo, Duncan8 (1959) juga menawarkan

sebuah model ekologi yang disebut model komplek ekologi. Model ini dapat

digambarkan sebagai berikut:

Secara rinci, empat elemen dari model kompleks ekologi yang berinteraksi

adalah sebagai berikut:

a. Penduduk (P)

Penduduk merupakan unit analisis dalam ekologi. Atribut (kelengkapan)

variabel penduduk seperti kepadatan penduduk persatuan luas, tingkat

pertumbuhan penduduk, umur, ras etnik, komposisi, pembagian jenis

kelamin, dan faktor sosio-kultural, mungkin memiliki dampak pada

lingkungan dan adaptasi organisasi penduduk( Poston dkk dalam

Awang,2004)

b. Organisasi Sosial (O)

Organisasi sosial mempunyai arti tanggung jawab bersama terhadap

perubahan kondisi lingkungan dan persyaratan untuk bertahannya suatu

sistem. Dengan kata lain organisasi ekologis. Merefleksikan suatu adaptasi

penduduk pada kemungkinan-kemungkinan dan keterbatasan-keterbatasan

8 ibid

xxxi

lingkungannya. Menurut Berry dan Kasarda (dalam Awang,2004) bahwa

organisasi adalah seluruh jaringan yang mempunyai hubungan simbiotik dan

komensalistik, yang memungkinkan penduduk melestarikan sendiri

lingkungannya.

c. Lingkungan (E)

Lingkungan meliputi lingkungan anorganik dan organik yang

mempengaruhi penduduk. Lampard dalam Awang (2004) menggambarkan

lingkungan termasuk semua kekuatan luar dimana seseorang penduduk

mungkin akan mempengaruhi penggunaan sumber daya material lainnya.

Dengan kata lain, lingkungan dipandang sebagai suatu kumpulan kondisi

terbatas, baik luas atau sempit, tergantung pada ukuran teknologi dan model

organisasi yang berlaku dalam suatu masyarakat.

d. Teknologi (T)

Teknologi merupakan suatu elemen kritis untuk adatasi manusia. Inovasi

teknologis merupakan faktor yang berpengaruh di dalam teori ekologi-

evolusioner dari masyarakat manusia (Lenski dan Lenski dalam

Awang,2004). Teknologi meningkatkan variasi ekosistem oleh masukan

fasilitas ke dalam lingkungan.

2.1.1. Hutan Dan Sumber Daya Hutan

Hutan menurut UU No 41 tahun 1999 merupakan suatu kesatuan

ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

sama lain tidak dapat dipisahkan. Menurut statusnya sesuai dengan UU

kehutanan, hutan hanya dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu (1)hutan

negara, hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah; dan

xxxii

(2)hutan hak, hutan yang dibebani hak atas tanah yang biasanya disebut

sebagai hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas lahan

milik rakyat, baik petani secara perorangan maupun bersama-sama.9

Sumber Daya Hutan merupakan bagian dari sumber daya alam yang

berupa hutan. San Afri Awang mendefinisikan masyarakat desa hutan

sebagai masyarakat yang berada di dalam hutan maupun berbatasan

langsung dengan hutan dan memanfaatkan sumber lahan hutan maupun hasil-

hasil hutan lain.

Saat ini, kondisi lingkungan khususnya hutan diseluruh penjuru bumi

sedang mengalami degradasi yang luar biasa. Sebagai contoh pada tahun

1970-an dan 1980-an kita dapat menyaksikan suatu peningkatan dramatis

dalam perampokan dan pengalihan sumber daya alam hutan di Amazon

Brazil, Kalimantan di Indonesia, Filipina dan yang terakhir di Mekong di

Vietnam.10 kerusakan-kerusakan ini sangat terkait erat dengan sistem politik

maupun ekonomi. Indonesia sendiri mengalami kasus yang serupa. Masalah

kehutanan di Indonesia adalah deforestasi yang meningkat dalam beberapa

dekade. Sebagaimana dilaporkan oleh Bank Dunia (2003) dan Departemen

Kehutanan Indonesia tingkat deforestasi sudah mencapai lebih dari dua juta

hektar per tahun. Secara total, luas hutan telah mengalami pengurangan yang

sangat signifikan. Apabila di tahun 1950, terdapat 162 juta hektar hutan, pada

tahun 1985, hutan kita tinggal 119 juta hektar. Angka ini terus mengalami

penurunan, karena pada tahun 2000, hutan kita tinggal 96 juta hektar.

Apabila tingkat kehilangan ini terus terjadi sebesar 2 juta hektar per tahun

maka dalam kurun waktu 48 tahun kedepan, wilayah Indonesia akan menjadi

9 San Afri Awang dkk, Hutan Rakyat;Social Ekonomi Dan Pemasaran, Yogyakarta, BPFE,2002 10 Ton Dietz, Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam,Yogyakarta, Insist Press, 2005

xxxiii

gurun pasir yang gundul dan panas. Penting juga dicatat, bahwa hutan

mangrove di Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan, dari 4,25

juta hektar pada tahun 1982, sekarang tinggal 3,24 juta hektar pad tahun 1987

dan menjadi 2,06 juta hektar pada tahun 199511

Masalah kehutanan Indonesia secara kewilayahan dapat dibagi menjadi

dua. Pertama adalah masalah hutan di Jawa dan kedua, masalah kehutanan di

luar pulau Jawa

Masalah hutan dan masyarakat di pulau Jawa antara lain:

a. pertumbuhan penduduk yang cepat tetapi tidak didukung oleh sumber

daya lahan yang tersedia.

b. Jumlah penduduk yang sangat banyak di Jawa. Lebih dari 130 juta jiwa

dengan luas areal 6% dari luas Indonesia. Sehingga pemilikan lahan

setiap keluarga sekitar 0,2-0,3 hektar dan berdampak pada masalah sosial

politik dan ekonomi yang luas.

c. Peluang kerja dan berusaha di pedesaan sangat terbatas, padahal angkatan

kerja banyak di desa. Dengan demikian sektor ekonomi pedesaan

menerima beban yang sangat tinggi untuk menanggulangi pengangguran.

d. Kebutuhan air akan terus meningkat pada masa yang akan datang untuk

kepentingan keluarga, indutri dan kegiatan lainnya baik di desa maupun

di kota. Hutan memegang peranan penting dalam mengatur air tanah di

Jawa, dan

e. Hutan komunal adat hutan rakyat belum disejajarkan dengan hutan

negara/publik dalam hukum Indonesia, padahal hutan rakyat tersebar

merata di pulau Jawa. Hutan adat telah terbukti mampu dijaga fungsinya

11 Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa, Kearifan Lingkungan Untuk Indonesiaku, Yogyakarta, 2006.

xxxiv

oleh masyarakat, dan mampu menjadi penyangga kebutuhan air di pulau

Jawa di mas yang akan datang. Diperkirakan dengan kondisi hutan saat

ini, suplai air di Jawa hanya akan mampu mendukung sekitar 45% di total

kebutuhan masyarakat di pulau Jawa.

Persoalan hutan di luar pulau Jawa sudah sedemikian kompleks, hampir

semua komponen masyarakat seperti pengusaha, aparat pemerintah,

pemerintah daerah, perguruan tinggi, tokoh masyarakat dan lembaga

swadaya masyarakat , dan lain-lain tidak mampu menyelesaikan terjadinya

proses degradasi alam hutan tropika kita sendiri-sendiri. Masalah hutan dan

masyarakat di luar pulau Jawa antara lain:

a. terdapat mitos selama orde baru bahwa hutan alam produksi dikuasai

dan dimiliki oleh pemegang HPH dan BUMN seperti Inhutani.

Masyarakat umum, masyarakat pedesaan sekitar, dan pemerintah

daerah sangat apatis, tidak punya akses, dan asset terhadap sumber

daya hutan sekalipun sumber daya hutan tersebut berada di wilayah

mereka.

b. Terjadi ketidakadilan di tengah masyarakat sebagai akibat dari sistem

penguasaan sumber daya alam hutan seperti disebutkan diatas. Hak-

hak masyarakat adat tergusur oleh sistem penguasaan HPH.

c. Selama orde baru, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat selalu

dianggap musuh oleh pihak penguasa dan pemerintah sehingga tidak

terbentuk proses dan mekanisme penyadaran dari pengusaha hutan

dan kontrol yang dilakukan masyarakat dianggap tidak konstruktif.

Ketika hutan sudah hancur, baru dirasakan bahwa peran aktif

masyarakat diperlukan untuk melindungi sumber daya hutan.

xxxv

Klaim atas lahan hutan dari masyarakat lokal dan dari pengusaha

terus berlangsung tanpa ada upaya-upaya penyelesaian pembagian manfaat

yang berkeadilan antara kedua belah pihak. Akibatnya adalah kedua belah

pihak selalu berusaha menguasai lahan hutan dengan segala caranya masing-

masing. Akibatnya hutan mengalami kerusakan yang serius.

2.1.2. Sumber Daya Hutan dan Manusia

Sumber daya hutan dan fungsinya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh

manusia dalam memanipulasi penggunaan dan pemanfaatan sumber daya

hutan untuk kepentingan kehidupan dan lingkungan. Hutan dan masyarakat

merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ketergantungan antara kedua

belah pihak dapat digambarkan secara skematik sebagai berikut:

Gambar 3. skema ketergantungan hutan dan masyarakat

Jutaan masyarakat pedesaan kehidupannya tergantung kepada produksi

dan jasa hasil hutan dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun.

Namun demikian, jutaan manusia lainnya baik regional dan mondial yang

berada diluar orbit pedesaan juga memerlukan produksi dan jasa dari sumber

daya hutan, misalnya untuk rekreasi, penelitian, sumber ekonomi, penjaga

lingkungan dan penjaga kelestarian plasma nutfah untuk kebutuhan umat

manusia, tumbuhan, hewan, dan lain-lain.

Kebutuhan masyarakat (need of People)

Aliran produksi/jasa hutan (production flow)

xxxvi

Skematik diatas menjadi sangat terganggu ketika hubungan hutan dan

masyarakat hanya dilihat sebagai faktor ekonomi belaka, kemudian

memarjinalkan kehadiran masyarakat didalam membangun hutan tersebut. Di

sebagian besar belahan dunia, masyarakat dijadikan musuh oleh pemerintah

karena distigmasi sebagai perusak sumber daya hutan(SDH). Bukankah

masyarakat tidak bersahabat dengan alamnya karena mereka memang

dijauhkan secara politik dan ekonomi oleh pemerintah. Selama ini

masyarakat dianggap sebagai pesaing pemanfaat SDH oleh pengusaha dan

pemerintah.12

2.1.3. Kearifan Lokal Dalam Kehutanan

2.1.3.1. Definisi Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah kematangan masyarakat ditingkat komunitas yang

tercermin dalam sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif

di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal(material maupun non

material)yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan

perubahan kearah yang lebih baik dan positif13. Kearifan lokal dapat dilihat

dari dua perspektif yaitu, struktural dan kultural.

Perspektif struktural sebagai kaca mata kearifan lokal dipahami dari

keunikan struktur sosial yang berkembang di lingkungan masyarakat.

Struktur sosial tersebut tidak saja menjelaskan tentang institusi sosial,

organisasi sosial, kelompok sosial yang hadir di tengah masyarakat lokal, tapi

juga bertautan dengan dominasi wewenang dan kekuasaan yang melahirkan

12 San Afri Awang, Politik Kehutanan Masyarakat, Yogyakarta, Center For Critical Social Studies(CCSS),2003 13 Petunjuk pemakaian modul penguatan keserasian social melalui pelatihan tenaga pelatih(TOT) Pemantapan Pendamping Sosial

xxxvii

kelas atau stratifikasi sosial atau tipologi masyarakat. Pertumbuhan setiap

institusi sosial/lembaga /organisasi sosial pada setiap masyarakat berbeda.

Perbedaan ini dipelajari tidak hanya dari pembentukannya melainkan pola

pertumbuhan perkembangannya dan dinamika strukturalnya dan fungsi-

fungsinya untuk menjalankan peran-peran sosial universal.

Perspektif kultural lebih menekankan konteks kearifan lokal sebagai nilai

yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan dari masyarakat sendiri

dan karena kemampuannya mampu bertahan dan menjadi pedoman hidup

masyarakat.

Secara nyata masyarakat lokal/tingkat bawah memiliki sumber dan

potensi yang bersifat khusus kedaerahan dalam wujud nilai-nilai kearifan

lokal yang dipatuhi dan mempengaruhi pola pikir, pola hidup dan pola tindak

komunitas masyarakat mencakup pengetahuan lokal, budaya lokal, sumber

daya lokal, ketrampilan lokal dan proses sosial lokal.

Pengetahuan lokal berkaitan dengan data dan informasi tentang karakter

keunikan lokal serta pengetahuan dan pengalaman masyarakat untuk

menghadapi masalah dan kebutuhan serta cara pemecahannya. Budaya lokal

berkaitan dengan unsur-unsur kebudayaan yang telah terpolakan dan

sekaligus sebagai tradisi. Ketrampilan lokal berkaitan dengan keahlian dan

kemampuan masyarakat setempat untuk menerapkan dan memanfaatkan

pengetahuan yang diperoleh. Sumber daya lokal berkaitan dengan

ketersediaan potensi dan sumber daya lokal yang unik, sementara proses

sosial lokal berkaitan dengan bagaimana masyarakat menjalankan fungsi-

fungsi sosialnya, sistem sosial tindakan yang dilakukan, tata hubungan sosial

diantara mereka serta kontrol sosial yang dilakukan.

xxxviii

Secara sederhana konteks kearifan lokal dapat dilihat dengan kaca

mata wujud budaya seperti yang dikemukakan oleh Julian Hoxley. Julian

Hoxley berpendapat bahwa terdapat tiga wujud budaya yaitu:

1. Mentifact

Mentifact adalah budaya bersifat abstrak yang berupa aspek

mental yang melandasi perilaku dan hasil karya. Didalamnya terdapat

ideologi, sikap kepercayaan dan pemikiran.

2. Sosiofact

Sosiofact adalah kebudayaan yang menempatkan manusia sebagai

anggota masyarakat.

3. Artefact

Artefact adalah kebudayaan material( kebendaan ).

Selain Hoxley, tokoh Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat

menyebutkan bahwa kebudayaan dapat berwujud tiga hal yaitu:

1. Suatu hal yang kompleks dari ide, gagasan, norma, nilai, dan

peraturan.

2. Suatu kompleks aktifitas dan tindakan berpola manusia

bermasyarakat.

3. Benda hasil karya manusia.

2.1.3.2. Kearifan Lokal terhadap Lingkungan Hutan

Masyarakat Indonesia yang beraneka ragam mempunyai variasi kearifan

lokal masing-masing. Menurut Fazlun Khalid seorang pendiri Islamic

Foundation For Ecology And Environmental Studies(IFEES), Indonesia

xxxix

sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia mempunyai

kepedulian terhadap persoalan lingkungan. Banyak sekali masyarakat

Indonesia yang mempunyai empati mendalam terhadap alam aslinya dan saat

inilah waktu untuk mengingatkan masyarakat Indonesia bahwa pelestarian

habitat dapat diaplikasikan dengan sangat baik melalui tradisi-tradisi Islam

yang mereka miliki.

Kearifan lokal di berbagai daerah sangat beragam. Di masyarakat Maluku

dikenal sasi. Lembaga sasi adalah salah satu ketentuan hukum adat yang

bertujuan untuk membatasi ruang gerak anggota masyarakat dalam

pengelolaan lingkungan hidup. Contoh lain adalah pada masyarakat

ammatowa di kajang sulawesi selatan yang masih menyimpan nilai-nilai

budaya pasang yaitu memandang hutan sebagai sumber penghidupan

sehingga apabila merusak hutan samalah artinya dengan merusak

masyarakat. Peninggalan masa lalu ini masih dapat kita lihat pada kawasan

hutan yang dikeramatkan di ammatowa.14di lampung barat terdapat tradisi

kehutanan masyarakat krui yang disebut khepong damar(awang, 2004).

Praktik kearifan lokal lain dapat kita temui pada masyarakat adat dayak

dimana terdapat sistem simpunk, yang didasari konsep lati tana(hhutan

tanah) yang menggambarkan suatu keseimbangan antara unsur dua dunia

yaitu unsur manusia(senarinknk) dan dunia atas(prejadiq bantinknk). Konsep

ini akhirnya dituangkan dalam pembagian ruang yang lebih operasional dan

fungsional pada pembagian hutan dan lahan seperti belay, lubakng,

kampukng, sophan, umaq, bengkar, dan simpunkg.

14 Pusat pengelolaan lingkungan hidup regional Jawa, kearifan lingkungan untuk Indonesiaku, ibid.

xl

2.2. Landasan Teori

Sangat sukar menentukan teori-teori sosiologi yang langsung berkaitan

dengan lingkungan, disebakan kajian lingkungan dalam sosiologi masih terbilang

baru sehingga belum memiliki infrastruktur teori yang mapan, seperti paradigma

yang telah berkembang dalam sosiologi pedesaan maupun sosiologi industri.

tetapi, setidak-tidaknya ada gagasan-gagasan umum dan penting dari para

ilmuwan sosiologi yang bisa kita diskusikan.

Pertama, gagasan dari Frederick Buttel. ia menjelaskan bahwa terdapat

banyak perkembangan dan tahapan yang mengawali adanya sosiologi lingkungan

modern15.

1) Perkembangan tentang sosiologi sumber daya alam(natural resource

sociology), dimana penelitian sosiologis terfokus pada pertamanan,

perkebunan, manajemen dan kebijakan tanah milik umum dan perencanaan

penggunaan lahan.

2) penilaian tentang dampak sosial(social impact assesment), dalam kaitan ini

lebih khusus pada komunitas yang bergantung pada sumber daya alam,

seperti: komunitas petani dan nelayan.16

3) penelitian tentang tradisi gerakan sosial, yakni mencurahkan perhatian atas

penelitian tentang gerakan sosial, gerakan kolektif dan perspektif opini

publik dalam environtmentalisme modern dan persoalan manajemen sumber

daya alam. 15 Frederick Buttel, Environmental And Resources Sociology:Theoretical Issues And Opportunities For Synthesis In Rural Sociology,1996, hal. 56-75 16 dalam kaitan dengan komunitas yang bergantung pada sumber daya alam(resource dependent communities) hampir sama dengan yang dikemukakan sebagai teori dominasi lingkungan dan teori ekologi budaya. dalam teori dominasi lingkungan Donald l. hardesty menyatakan bahwa ingkungan fisik memainkan peranan dominant sebagai pembentuk utama masyarakat, baik terkait dengan perilaku individu(individual attitude), kehidupan kelompok(group life), kepribadian, moral, budaya dan agama. sementara teori ekologi budaya diperkenalkan julian h. steward menyatakan bahwa lingkungan dan budaya terbentuk melalui proses timbale balik atau dialektika. baik lingkungan maupun budaya sama-sama menjadikan.

xli

4) pendekatan ekologi manusia neo durkheimian, dalam kaitan ini sosiologi

membangun pengenalan pada dasar-dasar material pada struktur sosial dan

kehidupan sosial. sosiologi mencakup pandangan tentang struktur sosial dan

kehidupan sosial yang memiliki dimensi biofisik dan material secara krusial.

Kedua, gagasan Tindall (1995), ia menyatakan 8 sub dominan dari

sosiologi lingkungan yaitu:17

1. Penilaian dampak sosial.

2. Penelitian desain lingkungan.

3. Pendekatan ekonomi politik.

4. Pendekatan ekonomi organisasional.

5. Psikologi sosial masalah lingkungan.

6. Konstruksi sosial masalah lingkungan.

7. Teori tindakan kolektif.

8. Gerakan sosial.

Ketiga, gagasan Goldman dan Schurman (2000) mencoba memetakan

sosiologi lingkungan terdiri atas empat gagasan, yakni:18

1. Marxisme Ekologis.

Gagasan ini menyatakan kerusakan lingkungan adalah dampak dari

perkembangan kapitalisme.

2. Ekologi Politik Baru.

17 Rachmad K. Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan Dari Pegunungan Di Kota Batu Malang, , Paper Dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Sosiologi Se-Jawa Timur, Universitas Muhammadiyah Malang, 26 Desember 2004 18 Jalal, Menuju Sosiologi Lingkungan Atau Sosiologi Ramah Lingkungan, makalah dalam diskusi pada kongres Ikatan Sosiologi Indonesia, Bogor, 28 Agustus 2002.

xlii

Gagasan ini mencoba membongkar relasi kuasa dalam hubungan

antarmanusia pengelola-pengguna dalam suatu lingkungan yang

dipolitisir.

3. Feminisme Lingkungan.

Gagasan ini berupaya membongkar ide-ide dominan maskulin

mengenai klasifikasi apakah yang alamiah dan berupaya

menghapuskan ketimpangan yang diproduksi ide-ide tersebut.

4. Ilmu Pengetahuan.

Gagasan ini ingin mengetahui pengetahuan serta kekuasaan yang

dominan dalam kerangka hubungan antara klaim pengetahuan dan

kekuasaan.

2.3. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan berikut

ini:

Masyarakat Desa Hutan

Sumber Daya Hutan

Kearifan Lokal

Interaksi

Kelestarian

BUDAYA LOKAL

Sosiofact Mentifact

Artefact

xliii

Gambar 4. kerangka pemikiran penelitian

Dalam bagan diatas sebuah kearifan lokal dapat dilihat secara lebih

terfokus sebagai sebuah budaya. Setiap budaya mempunyai wujud. Tiga wujud

tersebut adalah mentifact, sosiofact dan artefact. Mentifact adalah bentuk

kebudayaan yang bersifat abstrak, kompleksitas dari ide, gagasan, norma, nilai

dan peraturan serta muncul dalam rupa aspek mentalitas. Sosiofact adalah suatu

kompleksitas aktifitas dan tindakan berpola dalam menempatkan manusia

sebagai anggota masyarakat yaitu patuh pada berbagai peraturan seperti norma,

nilai maupun hukum yang ada baik positif maupun adat. Artefact adalah

kebudayaan material yang berbentuk benda-benda hasil karya manusia. Tiga

unsur ini bersimultan dalam masyarakat desa hutan sebagai sebuah kearifan

lokal. .

Dalam kehidupan budaya manusia, alam tak pernah luput didalamnya. Bagi

masyarakat desa hutan, hutan dianggap sama pentingnya dengan sesama

manusia. Sehingga tak luput dalam bagian dari kearifan lokalnya.

xliv

BAB III

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

3.1. DESKRIPSI WILAYAH KABUPATEN BLORA

Secara geografis Kabupaten Blora terletak di antara 111’016' s/d 111’338' Bujur

Timur dan diantara 6’528' s/d 7’248' Lintang Selatan. Secara administratif terletak di

wilayah paling ujung (bersama Kabupaten Rembang) disisi timur Propinsi Jawa

Tengah. Jarak terjauh dari barat ke timur adalah 57 km dan jarak terjauh dari utara

ke selatan 58 km.

Batas wilayah ketataprajaan adalah:

Utara : Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati

Timur : Kabupaten Bojonegoro Propinsi Jawa Timur

Selatan : Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur

Barat : Kabupaten Grobogan

Kabupaten Blora dengan luas wilayah administrasi 1820,59 km persegi

(182058,797 ha) memiliki ketinggian 96,00-280 m diatas permukaan laut, Wilayah

Kecamatan terluas terdapat di Kecamatan Randublatung dengan luas 211,13 km

persegi sedangkan tiga kecamatan terluas selanjutnya yaitu Kecamatan Jati, Jiken

dan Todanan yang masing-masing mempunyai luas 183,62 km persegi, 168,17 km

persegi dan 128,74 km persegi. untuk ketinggian tanah kecamatan Japah relatif lebih

tinggi dibanding kecamatan yang lain yaitu mencapai 280 meter dpi.

Kabupaten Blora dengan luas wilayah 1820,59 Km2, terbesar penggunaan

arealnya adalah sebagai hutan yang meliputi hutan negara dan hutan rakyat, yakni

49,66 %, tanah sawah 25,38 % dan sisanya digunakan sebagai pekarangan, tegalan,

xlv

waduk, perkebunan rakyat dan lain-lain yakni 24,96 % dari seluruh penggunaan

lahan.

Luas penggunaan tanah sawah terbesar adalah Kecamatan Kunduran (5559,2174

Ha) dan Kecamatan Kedungtuban (4676,7590 Ha) yang selama ini memang dikenal

sebagai lumbung padinya Kabupaten Blora. Sedangkan kecamatan dengan areal

hutan luas adalah Kecamatan Randublatung, Jiken dan Jati, masing-masing melebihi

13 ribu Ha.

Untuk jenis pengairan di Kabupaten Blora, 12 kecamatan telah memiliki saluran

irigasi teknis, kecuali Kecamatan Jati, Randublatung, Kradenan, dan Kecamatan

Japah yang masing-masing memiliki saluran irigasi setengah teknis dan tradisional.

Waduk sebagai sumber pengairan baru terdapat di tiga Kecamatan Tunjungan,

Blora, dan Todanan disamping dam-dam penampungan air di Kecamatan Ngawen,

Randublatung, Banjarejo, Jati, Jiken.

Banyaknya hari hujan di Kabupaten Blora selama tahun 2005 relatif baik bila

dibanding dengan tahun sebelumnya. Hari hujan terbanyak tercatat pada bulan

Pebruari dan Nopember dengan banyaknya hari hujan mencapai 15 dan 15 hari,

sedangkan paling sedikit tecatat dibulan Agustus yakni hanya terjadi 1 hari hujan.

Untuk rata-rata hari hujan tertinggi terdapat pada Kecamatan Blora, yakni

sebanyak 105 hari dengan rata-rata curah hujan di kabupaten Blora 1566 mm per

tahun untuk tahun 2005. Di beberapa kecamatan alat pengukur curah hujan

mengalami kerusakan yakni Kecamatan Cepu, Jepon, Banjarejo, Ngawen, Japah, dan

Todanan, sehingga data dari kecamatan tersebut tidak dapat tercatat. Rata-rata

banyaknya curah hujan tertinggi tercatat di bulan Maret sebanyak 182 mm sampai

547 mm diwilayah Blora.

xlvi

3.2. SEJARAH KABUPATEN BLORA

Sejarah kabupaten blora berlangsung menarik karena berproses cukup panjang

sehingga ikut serta pula dalam perjalanan pengelolaan hutan.

3.2.1. Blora Era Kerajaan

A. Blora dibawah Kadipaten Jipang

Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang

pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat

itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang.

Daerah kekuasaan meliputi : Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan

tetapi setelah Jaka Tingkir ( Hadiwijaya ) mewarisi tahta Demak pusat

pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan

Pajang.

B. Blora dibawah Kerajaan Mataram

Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan

Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah

Mtaram bagian Timur atau daerah Bang Wetan.

Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora

diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar

Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = � hektar ). Pada

tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga

sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.

C. Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755)

xlvii

Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi

pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku

Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan

Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja

di Yogyakarta.

Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan

bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675,

atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi

menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah

pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.

D. Blora dibawah Kasultanan

Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang

terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram

terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III,

sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan

Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah

Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju

masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya.

3.2.2. Blora Kabupaten

Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora

merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan

karena Blora terkenal dengan hutan jatinya.

Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada

hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749

xlviii

Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN

BLORA.Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.

3.2.3. Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan

Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke

19 dan awal abad ke 20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya

kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu..

Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah

sangat memberatkan bagi pemilik tanah ( petani ) . Di daerah-daerah lain di Jawa,

kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon

pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali

perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh SAMIN

SURASENTIKO.

Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung

mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan

pemberontakan radikal.

Beberapa indikator penyebab adana pemberontakan untuk menentang

kolonial penjajah antara lain :

· Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora

· Perubahan pola pemakaian tanah komunal

· pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan

oleh penduduk

Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan

protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunai corak MILLINARISME, yaitu

xlix

gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas yang

makmur.

Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren,

Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih

dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden

Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang

bernafas kerakyatan.

Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di

daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan

ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi

pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan

ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang

tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.

Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722

orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah

Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun

1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai

merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.

Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya

sebagai RATU ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian

selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh Raden

Pranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta

delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar Jawa

pada tahun 1914.

l

Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan

pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya

didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar

Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa

pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa. Tahun 1911 Surohidin, menantu

Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin

di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati.

Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo,

Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan. Tahun 1914, merupakan puncak

Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial belanda menaikkan

Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi

menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.

Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau

kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-

orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi. Di Desa Tapelan, Bojonegoro

juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak

mau membayar pajak. Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah

Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh

Ajaran Politik Samin Surosentiko adalah dengan mengajak pengikut-

pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Kolonial Belanda. Hal ini terwujud dalam

sikap :

1. Penolakan membayar pajak

2. penolakan memperbaiki jalan

3. penolakan jaga malam (ronda)

li

4. penolakan kerja paksa/rodi

Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang

dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani

orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para

warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.

3.3.GAMBARAN UMUM WILAYAH PEMANGKUAN KPH CEPU

Kantor KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Cepu terletak di Kecamatan Cepu

Kabupaten Blora yang terkenal dengan penghasil jati kualitas terbaik. Perjalanan

menuju KPH Cepu dapat ditempuh kendaraan roda empat atau bus melalui jalur

Surakarta-Ngawi-Cepu (122 kilometer), Surakarta-Purwodadi-Blora-Cepu (161 km),

Semarang-Purwodadi-Blora-Cepu (162 km), Semarang-Kudus-Rembang-Cepu (182

km), dan Surabaya-Bojonegoro-Cepu (149 km).

Khusus perjalanan yang ditempuh dari Surakarta, meskipun agak jauh namun

lebih menguntungkan bagi wisatawan. Sebab pada jalur ini, wisatawan dapat singgah

terlebih dulu di Museum Purbakala Sangiran Kabupaten Sragen, atau menyaksikan

keajaiban alam Bledug Kuwu di Grobogan. Bledug Kuwu merupakan daerah

penghasil garam tradisional, dimana bahan baku air asinnya bersumber dari kawah

yang terlontar dari dalam tanah.

Wilayah pemangkuan hutan KPH dengan wilayah administratif seringkali

berbeda. Hal ini telah diatur menurut pembagian kawasan hutan semenjak zaman

Belanda. Perusahaan Belanda bernama Djatibedrijf telah mempetak-petak wilayah

hutan dan pembagian itu diadopsi oleh Perum Perhutani hingga saat ini. hal ini

menyebabkan KPH Cepu yang berkantor di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora

lii

mengurusi hutan tidak hanya di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora semata tetapi

juga pada beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Bojonegoro. Gambar di bawah

ini adalah peta dari kabupaten Blora dimana didalamnya terdapat delapan wilayah

pemangkuan hutan perhutani Cepu:

Hutan Jati di KPH ini berada pada diketinggian 25-250 m diatas permukaan laut,

dengan suhu udara 220- 340C. Pimpinan KPH disebut Administratur, yang

memimpin dibawah koordinasi Perum Perhutani unit I Jawa Tengah.

Obyek wisata geologi adalah merupakan wisata alam atau kegiatan wisata

dibidang ilmu kebumian dengan obyek berupa lokasi yang berkaitan erat hasil proses

geologi yang terkandung dan tersimpan didalam alam antara lain Geologi Wisata

yang berhubungan dengan minyak dan gas bumi. Wisata Geologi ini kebanyakan

berada di perbukitan dan ditengah-tengah kawasan hutan jati yang lebat yang berada

diwilayah Kabupaten Blora, dan sekitarnya, namun sangat mudah dijangkau baik

dangan kendaraan roda dua ataupun dengan roda empat.

Wilayah yang menjadi bagian

dari KPH Cepu dalam wilayah

administratif kabupaten Blora:

· Kec. Blora

· Kec. Bogorejo

· Kec. Jiken

· Kec. Jepon

· Kec. Banjarejo

· Kec. Sambong

· Kec. Kedungtuban

· Kec. Cepu

Gambar 5. Peta Kabupaten Blora

Sumber: KPU Jateng

liii

Sumur minyak dan gas bumi di wilayah Kabupaten Blora yang pertama kali di

ketemukan oleh BPM pada tahun 1890, jumlah sumur + 648 buah, 112 buah sumur

diantaranya dapat memproduksi minyak diantaranya + 16.550.790 m2, sedangkan

ladang gas bumi yang berada di wilayah Cepu ; berada di Balun dan Tobo. Adapun

disekian banyak sumur minyak yang di ketemukan baik di wilayah Kabupaten Blora

sendiri atau disekitarnya, terdapat sumur minyak tua yang ditambang secara

tradisional oleh masyarakat setempat dengan menggunakan tali dan timba yang

ditarik + sejumlah 15 orang diwilayah Wonocolo, tetapi masih masuk dikawasan

hutan jati KPH Cepu Kabupaten Blora. Karena pada umumnya kawasan lokasinya

berada di perbukitan dan ditengah kawasan hutan hal ini sangat menarik, unik dan

menawan, sehingga banyak dikunjungi baik Wisatawan Nusantara maupun

Mancanegara.

Pengelolaan hutan jati di KPH Cepu juga dibantu oleh adanya LMDH atau

lembaga masyarakat desa hutan. Sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengatur

dan mengelola hutan baik dalam hasil hutan maupun sumber daya manusia di

masyarakat desa dimana LMDH itu berada. LMDH menjadi mitra Perhutani dalam

melaksanakan program PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat).

BAB IV

liv

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. INTERAKSI MASYARAKAT DESA HUTAN

Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah menentukan informan.

Peneliti menggunakan langkah-langkah yang dilakukan oleh James Spradley.

Spradley menjelaskan bahwa terdapat dua belas langkah dalam metode etnografi,

dan langkah pertama adalah menentukan informan.

Penetapan informan didasarkan pada pertimbangan etika suatu penelitian.

Informan yang penulis pilih untuk pertama kali adalah dari pihak Kesatuan

Pemangkuan Hutan(KPH) Cepu. Selain untuk meminta informan dari KPH Cepu,

peneliti juga melakukan perkenalan sekaligus ijin melakukan penelitian. Menurut

Bogdan (1993:66), Perkenalan secara terbuka ini penting. Dengan ini peneliti akan

dapat bergerak secara leluasa dalam ‘memburu’ informasi yang dibutuhkan, serta

memperoleh kemudahan dari organisasi atau kelompok-kelompok di masyarakat,

dan dalam menjelaskan tujuan penelitian cukup sekedar penjelasan umum,

berkatalah yang sebenarnya pada saat permulaan penelitian(Bogdan 1993: 72-73).

Penulis merasa bersyukur dengan kemudahan perkenalan karena memang pernah

berinteraksi selama 1,5 bulan ketika menjalani masa magang pada LSM SUPHEL

dengan lokasi yang sama. Pihak Perhutani yang penulis temui adalah, bapak Eko

Teguh Prasetyo, supervisor lapangan KPH Cepu yang lebih dikenal sebagai KSS

PHBM(Kepala Sub Seksi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Nama KSS

PHBM dimaksudkan agar lebih menuansakan kesamaan derajat atau lebih merakyat.

Pak Eko menyarankan kepada penulis agar menghubungi Mas Agus staf

beliau yang mempunyai kelebihan merupakan warga asli Blora dan lebih mengenal

lapangan karena dialah yang paling sering terjun ke lapangan. Mas Agus inilah yang

penulis tetapkan sebagai informan pertama dan sekaligus informan kunci penelitian

ini. Orang seperti Mas Agus inilah inilah yang disebut oleh Agar(1980:85) sebagai

lv

‘profesional stranger handler’, yaitu sebagai orang pertama yang memberi penjelasan

pada ‘orang luar’ seperti peneliti. Orang seperti ini disebut juga sebagai ‘natural

relation expert’ (Agar 1950). Orang-orang seperti ini dapat memberikan penjelasan

yang memuaskan pada ‘orang luar’ (peneliti) tanpa merugikan masyarakatnya.

Menurut Pak Agus ini, Cepu(KPH Cepu) mempunyai potensi lebih dibanding

dengan KPH lain. Tetapi apa kelebihannya(ini sebuah pertanyaan etnografis juga).

Sebuah informasi yang juga perlu diperhatikan dari beliau, adalah bahwa di KPH

Cepu ini tidak ada hutan adat. Tetapi pertanyaan lain yang mengemuka dalam benak

peneliti adalah apakah masyarakat punya hutan kolektif? Informasi ini bagi saya

cukup mempengaruhi proses apa yang harus dilakukan selanjutnya. Karena konsep

kearifan lokal yang menjadi pokok penelitian ini dalam gambaran awal peneliti

adalah dalam bentuk adanya hutan khusus yang sifatnya merupakan hutan adat

seperti hutan adat dalam pengertian kehutanan secara umum yaitu hutan yang

dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Bentuknya adalah hutan alam yang sudah

secara turun temurun dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan sosial ekonomi

dan budaya yang sifatnya kolektif dengan pengaturan dan pengelolaan dibuat dan

ditetapkan oleh hukum adat(Awang, 2003:113).Atau hutan rakyat dengan ciri adalah

kegiatan penanaman pohon tersebut dilaksanakan di atas lahan milik rakyat atau

dapat juga dilaksanakan di atas lahan Negara yang diperuntukkan untuk kegiatan

penanaman pohon dan manfaatnya untuk masyarakat(Awang,2003:111). Jawaban

atas pertanyaan ini tetap tersimpan dalam benak peneliti dan akan terjawab ketika

bertemu dengan informan lain dari masyarakat desa hutan.

Sebelum memasuki konteks kearifan lokal masyarakat desa hutan, maka

terlebih dahulu kita harus mengetahui sistem besar apa yang melingkupi kehidupan

masyarakat desa hutan. Sistem besar yang dimaksud disini adalah sistem kebijakan

lvi

dari pengelola kebijakan dalam bidang kehutanan di wilayah penelitian. Hal ini

merupakan landasan untuk melihat hubungan antara kearifan lokal dalam berbagai

bentuknya(budaya, ketrampilan, sumber daya, pengetahuan dan proses sosial lokal)

dengan sistem yang dapat mempengaruhi bahkan merubah pola dan isi dari kearifan

lokal.

Bidang kehutanan di lokasi penelitian dikelola oleh KPH(Kesatuan

Pemangkuan Hutan) Cepu. Pertanyaan pertama dan mendasar kepada Bapak Agung

Sugiarta, staf KSS PHBM(Kepala Sub seksi pengelolaan hutan bersama masyarakat)

adalah mengenai hak masyarakat desa hutan terhadap hutan yang dikelola Perhutani.

Jawaban untuk pertanyaan ini adalah pada kenyataannya masyarakat desa hutan

tidak mempunyai hak terhadap hutan. Hak masyarakat sebenarnya hanyalah sebuah

nilai atas kerja yang dilakukan masyarakat untuk sebuah program yang merupakan

inisiatif dari Perhutani. Nilai tersebut berupa uang bayaran.

Sebagai dasar untuk mengetahui perkembangan pengelolaan hutan, maka

mau tidak mau kita harus melihat para actor yang ikut serta dalam membangun atau

bahkan melakukan hal-hal yang bersifat membangun maupun yang kontradiktif

dengan proses pencapaian hutan lestari . Tiga actor tersebut adalah Perum Perhutani

KPH Cepu, masyarakat desa hutan termasuk LMDH di dalamnya dan lembaga

swadaya masyarakat., satu diantaranya adalah Suphel.

4.1.1. Para Actor Kehutanan Di KPH Cepu

A. KPH Perhutani Cepu

Kantor KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Cepu terletak di

Kecamatan Cepu Kabupaten Blora yang terkenal dengan penghasil jati

kualitas terbaik. Kesatuan pemangkuan hutan adalah sebuah bentuk

pembagian pengelolaan wilayah hutan oleh pihak Perhutani. Wilayah

lvii

pemangkuan hutan KPH dengan wilayah administratif seringkali berbeda.

Hal ini telah diatur menurut pembagian kawasan hutan semenjak zaman

Belanda. Perusahaan Belanda bernama Djatibedrijf telah mempetak-petak

wilayah hutan dan pembagian itu diadopsi oleh perum Perhutani hingga saat

ini. Sehingga KPH Cepu yang berkantor di Kecamatan Cepu Kabupaten

Blora mengurusi hutan tidak hanya di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora

semata tetapi juga pada beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten

Bojonegoro. Wilayah kabupaten Blora sendiri memiliki tiga kesatuan

pemangkuan hutan yaitu KPH Blora, KPH Randublatung dan KPH Cepu.

Sebuah bukti akan kayanya sumber daya hutan di wilayah kabupaten Blora

sehingga mendorong pemerintah Hindia Belanda mengatur dan membagi

pengelolaan hutan di wilayah ini menjadi tiga organisasi pengelolaan

hutan.Hutan Jati di KPH ini berada pada diketinggian 25-250 m diatas

permukaan laut, dengan suhu udara 220- 340C. Pimpinan KPH disebut

Administratur yang pemilihannya merupakan penunjukan langsung dari

Perum Perhutani unit I Jawa Tengah.

B. Masyarakat Desa Hutan

Menurut San Afri Awang yang disebut masyarakat desa hutan adalah

masyarakat yang berada di dalam hutan maupun berbatasan langsung dengan

hutan dan memanfaatkan sumber lahan hutan maupun hasil-hasil hutan lain.

Jadi walaupun masyarakat tersebut berada diwilayah tepi hutan atau jauh dari

hutan, tetapi selama ia memanfaatkan hasil hutan, maka ia merupakan bagian

dari masyarakat desa hutan.

Definisi San Afri Awang ini di lapangan berbeda. Pak Yadi salah satu

lviii

warga masyarakat desa hutan mendefinisikan masyarakat desa hutan adalah

masyarakat yang memang tinggal dalam kawasan hutan atau istilah dalam

kehutanan disebut sebagai enclave. Inilah salah satu karakteristik masyarakat

desa hutan. Ia mengemukakan contoh bahwa orang yang memanfaatkan hasil

hutan terutama para perencek rata-rata bukan warga masyarakat dimana

kawasan hutan itu berada. Istilah bagi para perencek semacam ini adalah

ngare. Para ngare ini mencari kayu dan menjualnya baik ke pasar maupun ke

desa tempat tinggalnya sendiri. Baik untuk digunakan sendiri maupun untuk

dijual di sepanjang perjalanan.

Para aktivis lingkungan hidup hingga saat ini masih belum bersepakat

tentang pengistilahan masyarakat desa hutan karena terkesan merendahkan.

Hal inilah yang disampaikan oleh Heri Santoso seorang aktifis lingkungan

hidup dari Javlec(Java Learning Centre). Ia menulis:

Taruhlah setelah sekian lama kita menceburkan diri ke dalam suatu hiruk-pikuk dan silang sengkarut laku kehidupan orang-orang yang tinggal di sekitar hutan, yang kemudian lazim dinamakan sebagai masyarakat desa hutan – suatu istilah yang sepertinya secara lugas memposisikan desa sebagai bagian dari kawasan hutan –, kita ingin berkata sesuatu tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi di sana, bagaimana sosok sebuah desa hutan, ke mana mereka hendak menyongsong hari depan, seperti apa pergulatan-pergulatan batin dan pikiran para warganya, dan lain sebagainya-dan lain sebagainya. Kita barangkali bisa menampilkan sebuah laporan tentang berbagai tindakan melanggar hukum, perilaku kejahatan, suatu hal-hal negatif yang keluar dari standar nilai, norma, dan moral sosial – mencuri kayu misalnya –, sebagaimana yang sering kita dengar dari berbagai kesempatan perbincangan normatif mengenai arti sebuah kesadaran lingkungan bagi sekelompok masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Kita bisa juga menampilkan suatu cerita tentang berbagai tindakan perambahan yang mengancam kelestarian hutan.

Tulisan ini sebenarnya apabila dikaji lebih mendalam menunjukkan

adanya stigma negatif terhadap masyarakat desa hutan. Tetapi terdapat

beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum kita mengiyakan adanya

stigma negatif ini. Apa yang memunculkan aktifitas-aktifitas warga yang

lix

disebut mengancam kelestarian hutan?

Interaksi antara masyarakat desa hutan dengan sumber daya hutan

pada hakikatnya bersifat saling ketergantungan. Teori ekologi Rambo

menyebutkan adanya hubungan pengaruh yang merupakan sebuah dialektika

antara sistem sosial masyarakat desa hutan dengan sistem ekosistem hutan.

Apabila dalam satu sistem tersebut terjadi masalah maka akan mempengaruhi

sistem lain. Sehingga apabila muncul stigma negatif terhadap masyarakat

desa hutan yang aspek perilakunya mengancam kelestarian hutan maka dapat

disebut, dalam sistem sosial masyarakat desa hutan sedang mengalami

masalah sehingga ekosistem hutan mengalami gangguan pula.

Saat ini terdapat satu ciri khas kelompok masyarakat yang dibentuk

pasca munculnya sebuah kebijakan di lingkungan Perhutani. Kelompok

tersebut disebut lembaga masyarakat desa hutan atau lebih terkenal dalam

singkatan; LMDH. Kebijakan ini merupakan sebuah input dari sistem sosial

ke dalam ekosistem. Dengan adanya perbaikan kelembagaan sosial ini,

memang diharapkan akan dapat meningkatkan kelestarian ekosistem hutan

secara umum dengan tidak melupakan kesejahteraan masyarakat desa hutan.

Untuk lebih memahami proses perubahan sosiokultural masyarakat

desa hutan ini dapat dilihat pada sejarah pengelolaan hutan di Cepu secara

khusus dan kehutanan di Jawa secara umum. Sejarah pengelolaan ini berkisar

pada satu masalah pokok yaitu pengakuan hak atas sumber daya hutan.

SUPHEL melalui koordinator advokasi dan kebijakan, Wasista Daru

Darmawan mengatakan bahwa masyarakat desa hutan dapat dikatakan tidak

mempunyai hak. Apabila adapun, sebenarnya itu bukanlah hak. Ia

mengatakan, “yang namanya hak kan mau diambil boleh tidak diambil boleh,

lx

mereka dapat bekerja di perhutanipun kalau mereka (Perhutani) ngasih...”.

Sebagai contoh, ada sistem banjarharian yaitu pelaksanaan proses

pembuatan hutan dengan melibatkan warga masyarakat dalam penanaman

kemudian diberi upah. Upah yang diterima sebenarnya adalah sebuah kaidah

umum yaitu orang bekerja maka mendapat imbal jasa berupa uang.

Hal lain yang dapat disebut hak adalah dibolehkannya pengolahan

lahan hutan secara tumpang sari, dengan catatan si pesanggem (istilah untuk

warga masyarakat yang mendapatkan kesempatan pengolahan lahan hutan)

wajib menjaga hutan milik Perhutani.

Dua contoh perlakuan terhadap masyarakat desa hutan diatas

merupakan sebuah contoh dari hak pengelolaan sumber daya hutan yang

masih bertumpu pada State Based Forest Management (SBFM) dalam hal ini

sumber daya hutan dikelola oleh perum Perhutani. Pada Rapat Kerja

Nasional Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) 2001 di Hotel

Hilton Jakarta, 21 Pebruari 2001 diterangkan bahwa Pengelolaan hutan yang

bersifat sentralistik selama ini telah membawa dampak yang sangat

merugikan bagi kelestarian alam dan lingkungan serta sistem sosial di tengah

masyarakat daerah. Oleh sebab itu perlulah saat ini ada sebuah perubahan

pola pengelolaan dari sentralistik ke desentralistik. Pengelolaan hutan melalui

sistem desentralisasi juga akan memberikan kesempatan bagi pengembangan

otonomi daerah. Diberikannya kewenangan kepada daerah dalam mengelola

hutan berarti mendukung penyelenggaraan otonomi daerah dimana diakuinya

hak-hak daerah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Hal ini

juga memberikan hak kepada daerah untuk memanfaatkan hutan sebagai

sumber pendapatan daerah. Dengan demikian kebutuhan finansial daerah

lxi

untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan

kemasyarakatan sebagian akan terpenuhi dari hasil pengelolaan hutan.

Selanjutnya dengan desentralisasi kehutanan dapat ditingkatkan

pemanfaatan sumber daya alam hutan secara optimal. Hal ini dapat dilakukan

karena melibatkan secara langsung unsur daerah (pemerintah, masyarakat

dan dunia usaha) dalam perencanaan dan pengelolaan hutan. Karena

pemerintah daerah dan masyarakat mungkin lebih mengetahui dan

memahami karakteristik sumber daya alam yang dimiliki daerahnya.

C. SUPHEL

SUPHEL adalah singkatan dari solidaritas masyarakat untuk

penyelamatan hutan dan lingkungan hidup. Sebuah lembaga nirlaba yang

berorientasi pada pengembangan sikap masyarakat agar lebih kritis terhadap

persoalan pembangunan yang berdampak pada kerusakan lingkungan

terutama kerusakan hutan.

SUPHEL berbentuk perkumpulan berdiri 5 Juni 2004 di Solo, dengan

Akte Notaris No 21, kantor Notaris Sunarto, SH yang disahkan oleh

Pengadilan Negeri Karanganyar nomor 18 tahun 2004.

SUPHEL bersifat independen, profesional, non partisan, dan

berperspektif gender yang memiliki visi terciptanya pengelolaan lingkungan

(terutama sumber daya hutan) yang berkeadilan dan berkelanjutan berbasis

pengakuan hak-hak masyarakat. `

SUPHEL bertujuan untuk memberikan sumbangan secara proaktif

guna mengantisipasi masalah lingkungan terutama kerusakan hutan, sebagai

dampak pembangunan dan modernisasi. SUPHEL berupaya meningkatkan

lxii

pemahaman dan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan

dan peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. SUPHEL juga

melakukan advokasi-advokasi masyarakat dan konservasi sumber daya alam

(hutan) yang berbasiskan prinsip keadilan, non diskriminatif, gender dan

berwawasan lingkungan. Hal-hal ini pula yang menjadi visi SUPHEL yaitu,

menciptakan pengelolaan sumber daya alam (hutan) yang berkeadilan,

berwawasan lingkungan, berperspektif gender, dan nondiskriminatif untuk

dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan

generasi mendatang.

SUPHEL didirikan oleh beberapa aktifis dan praktisi yang memiliki

berbagai latar belakang pengalaman dan keahlian dibidang pengembangan

masyarakat, peningkatan kebutuhan dasar, pengalaman sumber daya hutan

dan lingkungan, advokasi kebijakan dan penelitian. Lembaga SUPHEL

mempunyai dua struktur yaitu badan pengurus dan badan pelaksana. Misi

SUPHEL ada tiga hal yaitu:

1. Mendorong penguatan dan dan pendidikan kritis masyarakat terhadap

modernisasi pembangunan yang dapat menjamin keberlanjutan sumber

daya alam (hutan) untuk kesejahteraan masyarakat dan generasi

mendatang.

Penguatan dan pendidikan kritis merupakan pengembangan kualitas

setiap warga masyarakat dalam mendapatkan hak secara lebih manusiawi.

Selama ini, warga masyarakat hanya berprofesi sebagai pesanggem.

Sebagai pesanggem, kesejahteraan tak bisa diperoleh, akhirnya muncul

praktek-praktek yang cenderung merusak kondisi hutan.

lxiii

Fenomena yang pernah ditemui oleh SUPHEL adalah pada

beberapa kondisi tanaman yang sering gagal tumbuh di beberapa

wilayah desa hutan di KPH Cepu. Pada saat pohon jati telah mencapai

KU (kelompok umur) muda (umur 1-2 tahun) banyak pohon jati yang

tumbuh cacat. Baik berupa batang jati yang tumbuh tidak lurus, pohon

jati yang tumbuh lebih lambat serta berbagai macam kerusakan lain.

Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata memang terdapat kesenjangan

yang mencolok antara kesejahteraan masyarakat dengan apa yang

didapatkan oleh pihak Perhutani. Hal ini memunculkan adanya

semacam aksi protes tetapi bukan secara vulgar dilakukan terhadap

Perhutani tetapi pada sumber daya hutan yang dikelola Perhutani.

Penjelasan dari pihak Perhutani menerangkan tentang adanya

pengambilan daun pada pohon-pohon kelompok umur muda yang

sebenarnya hal tersebut tidak boleh dilakukan. Biasanya, para

pengambil daun mengambil pada trubusan tetapi mengapa para

pengambil daun mengambil dari pohon (KU) muda?, inilah sebuah

bentuk protes sosial.

Contoh diatas membuktikan teori yang disampaikan oleh John J.

Macionis bagaimana pola-pola sosial manusia menyebabkan tekanan

yang memuncak pada lingkungan alamiah. Dalam kaitan ini, sosiolog

perlu mengambil peran yang spesifik dalam menunjukkan bagaimana

pola-pola kebudayaan dan konstelasi politik dan ekonomi secara khusus

mempengaruhi lingkungan alam.

lxiv

2. Memperjuangkan hak-hak masyarakat untuk terlibat dan memanfaatkan

sumber daya alam (hutan) yang ada dengan mengedepankan prinsip

keberlanjutan dan kemanfaatan.

Pedoman yang digunakan oleh SUPHEL untuk melaksanakan

kegiatan di KPH Cepu adalah beberapa prinsip yang dituangkan dalam

prinsip dan kriteria FSC standar pengelolaan hutan fokus pada aspek

sosial. FSC adalah singkatan dari Forest Stewardship Council. Sebuah

lembaga yang mempunyai fungsi sebagai penilai sekaligus pemberi

sertifikat terhadap hasil produksi kayu agar mampu diterima oleh pasar

kayu internasional. Terdapat tiga syarat yang harus terpenuhi adalah

dilaksanakannya tiga aspek yang akan dinilai yaitu aspek sosial, aspek

produksi dan aspek lingkungan. Tugas yang dibebankan pada SUPHEL

adalah pada aspek sosialnya. Beberapa prinsip tersebut adalah:

a) Ketaatan Terhadap Hukum dan Prinsip- Prinsip FSC.

Pengelolaan kehutanan harus menghormati semua hukum yang

berlaku di negara dimana mereka berada dan persetujuan serta

kesepakatan internasional yang ditandatangani oleh negara itu, dan

mematuhi semua Prinsip dan Kriteria FSC.

b) Tanggung Jawab dan Hak Tenure.

Hak guna tenure jangka panjang atas sumber daya lahan dan hutan

harus dipaparkan dengan jelas, didokumentasikan dan ditegaskan

secara hukum.

c) Hak-Hak Penduduk Asli.

lxv

Hak hukum dan adat masyarakat pribumi untuk memiliki,

menggunakan dan mengelola tanah, daerah, dan sumber daya alam

harus diketahui dan dihormati.

d) Hubungan Kemasyarakatan dan Hak-Hak Pekerja.

Operasi-operasi pengelolaan kehutanan harus menjaga atau

meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi jangka panjang para

pekerja kehutanan dan komunitas lokal.

e) Keuntungan Hutan.

Operasi pengelolaan hutan harus mendorong penggunaan produk dan

jasa hutan secara efisien guna menjamin kelangsungan hidup

ekonomi dan keuntungan lingkungan dan sosial berjangkauan luas.

f) Dampak Lingkungan.

Pengelolaan kehutanan harus melindungi keanekaragaman hayati dan

nilai-nilai yang berhubungan, sumber air, tanah, dan ekosistem dan

bentang alam yang unik dan rapuh, dan dengan begitu,

mempertahankan fungsi ekologis dan integritas hutan.

g) Rencana Pengelolaan.

Rencana pengelolaan disini mengandung arti bahwa lembaga

mempunyai skala yang layak dan intensitas operasi yang tertulis, dan

dilaksanakan, serta diperbarui. Tujuan jangka panjang pengelolaan,

dan alat-alat untuk menyelesaikannya, harus disebutkan dengan jelas.

h) Pengawasan dan Perkiraan.

Pengawasan harus dilaksanakan sesuai dengan skala dan intensitas

pengelolaan hutan untuk memperkirakan kondisi hutan, pengambilan

lxvi

hasil hutan, rangkaian pemeliharaan, aktivitas pengelolaan serta

dampak sosial dan lingkungan

i) Pemeliharaan Faktor Konservasi Bernilai Tinggi.

Aktivitas pengelolaan pada hutan bernilai konservasi tinggi harus

mempertahankan sifat-sifat yang mencirikan hutan. Keputusan

mengenai hutan bernilai konservasi tinggi harus selalu

dipertimbangkan dalam konteks pendekatan kewaspadaan.

j) Penanaman Ulang.

Penanaman ulang harus dirancang dan diatur sesuai dengan Prinsip-

prinsip dan Kriteria 1 - 9, dan Prinsip 10 dan Kriterianya. Apabila

rancangan ini bisa memberikan keuntungan sosial dan ekonomi, dan

dapat memberi kepuasan bagi kebutuhan dunia atas produk-produk

hutan, maka rancangan ini harus melengkapi pengelolaan,

mengurangi tekanan terhadap dan mendukung pemulihan dan

konservasi hutan alami.

Sepuluh prinsip diatas apabila dicermati mempunyai

keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat. Kita lihat pada prinsip

kedua, ketiga dan keempat, kesemua prinsip tersebut menjelaskan

mengenai kewajiban Perhutani apabila ingin mendapatkan sertifikat

dari FSC. KPH Perhutani harus melaksanakan beberapa butir-butir

yang dicantumkan dalam prinsip yang disebutkan.

Pada prinsip kedua misalnya, maksud dari tanggung Jawab dan

hak tenure adalah perlunya Perhutani KPH Cepu untuk memperhatikan

aspek-aspek sosial seperti ada batas wilayah yang jelas, tidak merubah

lxvii

status hutan, adanya pemetaan partisipatif, adanya dokumen lokal yang

menyebutkan adanya pengakuan hak tenure serta ada evaluasi lokasi

dari hak tenurial yang diberikan.

Pada prinsip ketiga mengenai hak-hak penduduk asli atau

penduduk lokal, disebutkan beberapa aspek sosial antara lain: adanya

penjelasan teknis pengelolaan pada masyarakat lokal, penyelesaian

sengketa, tidak ada konflik (kebersamaan dan kesetaraan), kebutuhan

masyarakat lokal terpenuhi dengan keterlibatannya dalam program

pengelolaan, adanya pelestarian budaya lokal/kearifan lokal misalnya

pada beberapa situs budaya lokal, ada peta partisipatif serta ada

pengaturan untuk masyarakat dalam pembagian hasil usaha yang diatur

dalam PERDA (Peraturan Daerah). Di dalam pengaturan hak-hak

kemasyarakatan disebutkan aspek-aspek sosial sebagai berikut: tenaga

kerja dari penduduk lokal, adanya rekruitmen kontraktor yang terbuka

(sawmill/chainsaw), ada pelatihan peningkatan SDM dan ada

kesempatan orang lokal menjadi manajer, ada dukungan pendidikan,

kesehatan dan infrastruktur, kontrak kerja yang jelas, Jamsostek,

Tunjangan keluarga dan lain sebagainya.

3. Mendorong proses kebijakan yang partisipatif dalam pemanfaatan dan

pengelolaan sumber daya alam(hutan) dengan melibatkan multi

pihak(stakeholder) dalam pembuatan.

Dalam mencapai tujuan dan visi serta misi diatas, SUPHEL

membuat beberapa program kerja antara lain:

lxviii

a) Pemberdayaan dan penguatan petani sekitar hutan berbasis

kelompok.

Hal ini dilakukan SUPHEL ketika melakukan pendampingan

di masyarakat Desa Sambeng, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

Dalam pelaksanaannya, SUPHEL yang salah satu pendirinya adalah

dosen senior UGM, San Afri Awang, memfasilitasi masyarakat

melalui penguatan kelembagaan lokal. Melalui Kelompok Tani

Hutan(KTH) Pertiwi Subur, SUPHEL membantu melakukan

negoisasi dengan Perhutani untuk mengangkat sebuah usulan warga

tentang plong. Yaitu sebuah sistem tanam teknis yang membagi

tanah/lahan menjadi dua jalur. Satu jalur adalah areal yang dikelola

masyarakat yang dapat diusahakan tanaman pertanian atau kayu-

kayuan dengan pola kebun. Satu jalur lain, berisi tanaman hutan

yang dikelola Perhutani.

Berbagai hal dilakukan oleh SUPHEL dilaksanakan sebagai

bentuk penguatan kapasitas masyarakat. Oleh sebab itu dalam

badan pengurus SUPHEL dimasukkanlah sebuah bagian yang

disebut Pengembangan Kapasitas Dan Sumber daya manusia.

b) Melakukan studi analisis dan pendapatan(pemetaan) masalah atau

potensi desa yang menjadi daerah dampingan atau program.

Program kerja kedua ini dilaksanakan dalam dua tahap yang

merupakan langkah-langkah awal dalam setiap permulaan

pendampingan yang dilaksanakan oleh SUPHEL. Langkah pertama

adalah survey dampak sosial(SDS). Pelaksanaan SDS di cepu ini

diusahakan untuk mengetahui perkembangan hutan terhadap

lxix

kondisi sosial masyarakat dalam berbagai aspeknya. Tahap kedua

yang dilaksanakan adalah PRA dan PCP. PRA adalah Participatory

Rural Appraisal dan PCP adalah Participatory Conservation

Planning dua buah metode pendekatan dalam lingkup ilmu sosial

yang digunakan untuk mendapatkan penyelesaian atas masalah

sosial yang ada dengan mengungkapkan berbagai kekuatan yang

berasal dari dalam masyarakat sendiri dan mengikutsertakan

masyarakat yang bersangkutan dalam setiap langkah penyelesaian

masalah.

c) Memfasilitasi pelibatan masyarakat atau petani dalam perencanaan

dan pembuatan kegiatan.

Hal ini dilakukan di semua daerah dampingan SUPHEL.

Beberapa diantaranya dilaksanakan dalam forum-forum mediasi

yang difasilitatori oleh SUPHEL. Mediasi tersebut mempertemukan

berbagai pihak antara lain: KBKPH, KKPH, KSPH, Ajun, biro

pembinaan SDH, Tim PRA Perhutani (unsur-unsur dalam

Perhutani), kelompok tani hutan (KTH), serta LSM.

d) Membangun jaringan antar petani dan multipihak(stake holder)

dalam pembuatan kebijakan tentang pengelolaan hutan.

Jaringan antar petani yang dibuat oleh SUPHEL pernah

dilaksanakan dalam sebuah momen besar yang diselenggarakan di

Jogyakarta. Even tersebut bertajuk Pekan Raya Hutan dan

Masyarakat 2006 diadakan di Grha Sabha Pramana UGM

Yogyakarta, tanggal 19-22 September 2006. Dengan memadukan

konsep pertemuan para pihak (summit) dan ajang promosi inisiatif

lxx

kehutanan masyarakat (community forestry festival), event

diharapkan menjadi ajang untuk saling berdialog dan

mempertemukan berbagai inisiatif Community Forestry (CF) di

Indonesia. Salah satu acara yang merupakan wujud adanya jaringan

antar petani adalah Belajar Antar Petani (BAP).

e) Mengupayakan pengakuan (advokasi) atas hak-hak masyarakat

dalam pengelolaan sumber daya alam (hutan) berbasis masyarakat.

Advokasi atas masyarakat agar dapat ikut serta dalam

mengelola sumber daya hutan berbasis masyarakat dilakukan

dengan terlebih dahulu mempersiapkan warga masyarakat dari sisi

kapasitas yang dimiliki baik kemampuan berbicara, kemampuan

konseptual kemampuan mengorganisir sebuah musyawarah.

Masyarakat desa hutan yang diadvokasi didorong agar mampu

sejajar dengan perum Perhutani. Salah satu caranya adalah

menghimpun warga masyarakat desa hutan agar dapat menyusun

konsep yang dapat ditawarkan kepada pihak Perhutani. Konsep

yang sesuai dan layak sesuai dengan kerja yang dilakukan.

Beberapa kali usaha semacam ini berhasil. Sebagai contoh adalah

pada pendampingan masyarakat dua dusun di Desa Sambeng, yaitu

Dusun Kedungdawung dan Klumpit. Wilayah kedua dusun ini

termasuk dalam kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani KPH

Telawa, Unit I Jawa Tengah. Bentuk konsep yang merupakan

gagasan masyarakat dituangkan dalam Proposal Pengelolaan Hutan

Sekitar Desa oleh Masyarakat. Sebagai sarana untuk melaksanakan

tugas advokasi, dalam badan pengurus SUPHEL dibentuklah salah

lxxi

satu bagian yang disebut Advokasi dan Kebijakan. Beberapa contoh

lain terkait dengan usulan masyarakat terhadap Perhutani dapat

dibaca pada bab selanjutnya, PHBM.

f) Pengembangan dan peningkatan kapasitas organisasi/ kelompok

tani sekitar hutan.

Melakukan studi kebijakan, seminar, focuss discussion,

dokumentasi dan Pengembangan informasi guna memperkuat hak-

hak petani dalam pengelolaan sumber daya hutan.

4.1.2. Partisipasi Masyarakat Desa Hutan

Sub bab ini diceritakan dan dianalisis dalam kerangka untuk

memperlihatkan dasar-dasar kearifan local secara struktural. Dari masa ke masa,

sejarah masyarakat desa hutan menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat desa

hutan rendah dan terbatas.

Pembahasan mengenai “hak” masyarakat desa hutan dapat kita bagi

dalam dua masa yaitu masa pra PHBM dan ketika program PHBM telah

dilaksanakan. Pra PHBM dilaksanakan sebenarnya sudah dilakukan beberapa

program yang sifatnya bernuansa kerakyatan dengan sistem kerja sama. Program

tersebut adalah program mantri lurah(Ma-Lu), program perhutanan sosial , tetapi

program-program tersebut bukanlah program yang mempunyai dasar hukum.

Sehingga ketika terjadi sesuatu sangat sulit untuk diselesaikan atau

dipertanggungjawabkan. Bentuk dari program–program tersebut adalah

penggunaan wilayah lahan hutan Negara untuk masyarakat untuk tanaman yang

bisa dijual. Perhutani menamakan hal ini dengan istilah Pemanfaatan Lahan

Dibawah Tegakan(PLDT). Ketika pihak Perhutani membutuhkan tanah tersebut

dapat saja dengan mudah tanaman atau apapun yang ada di wilayah hutan

lxxii

Negara dihancurkan dan itu tidak dapat dipermasalahkan karena memang belum

berlandasan hukum. Pengakuan dari Perhutani yang disampaikan oleh Pak

Agung ini memang diakui bahwa Perhutani memang cenderung arogan pada

masa pra PHBM. Ia berkata dalam wawancara,”kalau kita dibilang arogan, ya

bisa juga dibilang arogan, maksudnya pihak managemen bebas mengajak

masyarakat atau tidak dalam mengelola hutan”.

Pendapat bapak Agung mengenai masyarakat desa hutan apabila

dianalisis secara kualitatif yaitu dengan mencari makna dibalik setiap

pernyataan, maka dengan cara mengkontraskan sebuah fenomena sosial dengan

fenomena sosial yang lain. Maka dapat dikatakan bahwa perhutani memang

bersikap arogan. Bagaimana tidak kesempatan MDH hanyalah memanfaatkan

lahan-lahan dibawah tegakan secara tumpangsari maupun dengan adanya

pengambilan hasil hutan ikutan. Berbicara mengenai tanaman tumpang sari,

LSM SHOREA yang mendampingi masyarakat desa hutan di wilayah gunung

kidul pernah mengalami pengalaman di masyarakat bahwa tumpangsari adalah

sebuah konsesi dari apa yang disebut sebagai hutan kemasyarakatan. Tumpang

sari yang dilakukan ini dilaksanakan diantara tanaman-tanaman pokok seperti jati

atau yang lain. Program hutan kemasyarakatan sendiri adalah Sebuah program

kehutanan yang melibatkan masyarakat sebagai mitra pengambil kebijakan

kehutanan dalam bentuk utamanya adalah izin mengelola hutan dimulai dari

pembenihan, penanaman, pemeliharaan tetapi tidak mendapatkan hak untuk

melakukan pemanenan..Mengapa? karena masyarakat desa hutan hanya

mendapatkan hak pengelolaan hutan hanya selama lima tahun. Padahal nilai

ekonomis hutan jati berlangsung lebih dari lima tahun bahkan lima belas

tahunpun belum dapat menjadikan jati tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi,

lxxiii

baru ketika usia jati tigapuluh lima tahun, jati tersebut sudah layak menjadi

bahan baku produksi. Maka bagaimana mereka mendapatkan sesuatu dari kerja

keras mereka?

A. MASA KERAJAAN NUSANTARA

Sebelum Belanda memasuki wilayah nusantara, terlebih dulu telah ada

kerajaan-kerajaan yang berdiri sebagai pengelola pemerintahan. Wilayah

Indonesia yang subur menjadikan banyaknya pepohonan yang tumbuh subur

pula. Kekayaan flora dan fauna Indonesia sangat banyak dan beragam. Pulau

Jawa mempunyai kayu jati alam, wilayah Sulawesi mempunyai kayu eboni/

kayu hitam, wilayah Ambon mempunyai kayu Cendana, wilayah Kalimantan

mempunyai kayu Meranti dan banyak pula yang lain.

Pada masa masa kerajaan, pengelolaan hutan tidaklah serapi sekarang.

Belanda ketika awal datang melihat wilayah nusantara yang pertama

dilakukan adalah berdagang. Yang kemudian, mereka membentuk sebuah

kongsi dagang yang disebut VOC. Belanda melihat di sepanjang wilayah

pantai utara Jawa tampak sederetan pohon jati yang tumbuh berderet

memanjang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur, mulai dari kabupaten

Batang sampai ke Sedayu. Lamongan. Para pedagang Belanda pun melihat

adanya pusat-pusat industri pembuatan kapal dengan model yang lebih maju

dibanding kapal yang mereka pakai sendiri.

Industri kapal di pesisir utara pulau Jawa sudah sejak lama berkembang.

Pada era Singasari, perkembangan industri kapal di Jawa mendapat kekuatan

baru dengan hadirnya pelaut-pelaut dari Cina yang membelot menghadapi

penjajahan bangsa Mongol. Para pelaut tersebut ada yang mengabdi pada

lxxiv

pemerintah Singosari, misalnya sebagai pejabat kepala pelabuhan Pasuruan,

tetapi ada pula yang berwiraswasta membangun pabrik kapal. Hal inilah yang

menyebabkan kerajaan Singasari mendapat perhatian yang luar biasa dari

kerajaan Mongol, sehingga dapat kita ketahui dalam catatan sejarah, raja

Kubilai Khan mengirim utusannya ke Singasari. Ia kagum dengan

kemampuan Singasari mengatur lalu lintas selat Malaka yang ramai dan

merupakan urat nadi utama perdagangan serta kekuasaan negara-negara Asia.

Perkembangan industri kapal di Jawa pada abad ke 13 inilah yang

memungkinkan pemerintah Majapahit dapat membangun kapal layar yang

canggih. Melampaui kecanggihan kapal VOC yang dibuat beberapa abad

kemudian. Kerajaan Majapahit memang terkenal sebagai kerajaan maritim

yang mampu mengontrol kekuasaan atas kepulauan nusantara yang sangat

luas juga mengembangkan perdagangan internasional hingga sampai wilayah

Madagaskar.

Pengamatan atas pesisir pulau Jawa ini menimbulkan rasa ingin tahu

yang mendalam sehingga mereka melakukan investigasi intensif. Mereka

datang ke Tuban untuk meneliti potensi masyarakat dalam membangun.

Mereka memasuki perguruan Sunan Mbonang dan mempelajari apa saja yang

diajarkan oleh perguruan ini. Akhirnya mereka membawa pulang buku induk

yang diajarkan pesantren tersebut. Sekarang, kitab tersebut masih tersimpan

di museum Leiden dan terkenal dengan het book van mbonang.

Pada masa Mataram, Sultan Mataram sudah mempunyai regu kerja

khusus dari penduduk sekitar hutan yang mempunyai keterampilan kerja

yang tinggi untuk menebang dan mengangkut kayu jati yaitu orang kalang.

Pada masa ini, pemanfaatan hutan adalah dengan eksploitasi yaitu

lxxv

mengambil secara langsung hasil hutan alam untuk dimanfaatkan sesuai

keperluan. Prof. Hasanu Simon menyebutkan masa ini sebagai masa timber

extraction.

Sejarah kerajaan terutama di tanah Jawa sering mengungkapkan adanya

proses-proses pembukaan hutan. Pada beberapa kisah perpindahan pusat

kerajaan, sering disebutkan tentang pembukaan hutan oleh raja beserta

pasukannya. Sehingga hingga saat ini, dalam cerita kesenian Ketoprak sering

disebut adanya kisah babad. Beberapa diantaranya adalah kisah babad alas

mentaok oleh sultan Pajang Hadiwijaya. Ketika memindah pusat kerajaan

Demak Bintoro ke Pajang. Kisah babad ini menggambarkan kepada kita

bahwa hutan atau wana merupakan milik raja sehingga sang rajalah yang

berhak untuk mengelola hutan termasuk menyerahkan wilayah hutan tertentu

kepada orang yang dianggap oleh sultan berjasa. Tetapi, warga masyarakat

desa hutan diberikan hak-hak ulayat terhadap sebagian besar wilayah hutan.

Hak ulayat ini adalah kekuasaan mengendalikan sumber daya hutan jati

dalam lingkup administrasi terkecil yang disebut desa. Istilah untuk kawasan

hutan jati ini adalah wewengkon desa dimana kayu-kayu jati di kawasan

tersebut hanya boleh dimanfaatkan oleh warga masyarakat sekitar hutan

tersebut. Selainnya harus meminta izin kepada demang wilayah yang

bersangkutan.

Selain pada saat pembukaan hutan, penebangan kayu-kayu hutan juga

dilaksanakan ketika membangun istana kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Jawa

masih menggunakan kayu-kayu jati untuk tiap bagian istana. Contoh paling

kongkrit adalah ketika Keraton Solo mengalami kebakaran pada tahun 1993,

maka diadakanlah pengambilan kayu-kayu jati alam yang didahului dengan

lxxvi

upacara-upacara kejawen pada saat penebangan tiap batang kayunya, Di

wilayah hutan Randublatung, Blora.

Boleh dikatakan pada masa kerajaan-kerajaan terdapat beberapa struktur

sosial masyarakat yaitu rakyat jelata yang merupakan bagian terendah,

kemudian diatasnya terdapat orang-orang berketrampilan kehutanan yang

disebut orang kalang kemudian adalah para pejabat administrasi di tingkat

desa seperti demang kemudian kepada orang-orang yang berada dalam

lingkungan keraton.

B. MASA PENJAJAHAN

Kegiatan timber extraction pada masa kerajaan-kerajaan nusantara

dilanjutkan oleh VOC. Setelah investigasi intensif atas potensi hutan jati

Jawa yang seakan-akan tidak akan pernah habis, maka VOC merencanakan

peningkatan intensitas penebangan kayu jati.

Untuk mencapai tujuannya, VOC melihat peluang lain yang dapat digali

dari industri kapal yang sudah ada dari Tegal hingga Pasuruan, dengan

pusatnya Tuban dan Jepara. Para pedagang Belanda merencanakan

membangun negerinya dengan Amsterdam dan Rotterdam sebagai kota

pelabuhan penghasil kapal seperti Tuban dan Jepara. Kualitas kayu jati untuk

membuat kapal dipandang setara dengan kualitas kayu oak yang dipakai oleh

Inggris, Perancis dan Italia, para produsen kapal terbesar waktu itu. Para

saudagar Belanda, menjadikan pabrik-pabrik kapal di Jawa sebagai industri

hulu, sedang Amsterdam dan Rotterdam dijadikan pabrik kapal yang besar

dengan desain Eropa. Hal ini terwujud, sehingga negeri Belanda menjadi

lxxvii

produsen kapal; yang menyamai reputasi ketiga Negara produsen kapal yang

tersebut diatas. Amsterdam dan Rotterdam benar-benar menjadi kota

pelabuhan terkemuka dan salah satu jalan masuk untuk Negara-negara Eropa

tengah.

Hambatan utama yang dihadapi Belanda adalah adanya hak ulayat yang

masih sangat kuat. Hak ulayat ini memberikan kesulitan utama bagi bangsa

Belanda karena apabila hak ulayat ini masih tetap berlangsung maka

pengelolaan hutan atau lebih tepatnya pengeksploitasian hutan tetap berada di

tangan warga masyarakat. Oleh karena itu, disusunlah rencana untuk

menghilangkan kekuasan hak ulayat ini. Langkah-langkah yang dilaksanakan

Belanda berlangsung secara bertahap dan tidak menimbulkan gejolak sosial.

Langkah pertama, aturan hak ulayat adalah bahwa yang dapat menebang

hutan jati hanyalah warga setempat, maka VOC menjalin kerjasama dengan

penguasa lokal , mulai dari bekel, demang sampai sultan. Kerja sama ini

berlangsung dengan mudah karena kemiskinan Jawa membuat para pejabat

itu dapat dengan mudah di iming-imingi dengan harta dan barang-barang

modern dari Eropa. Sultan memberikan konsesi kepada Belanda untuk dapat

memanfaatkan masyarakat desa hutan menjadi sumber tenaga kerja

diwilayah hutan yang diberi sultan. Setelah mendapat konsesi wilayah kerja

hutan, VOC menawarkan wilayah-wilayah hutan kepada para pengontrak

tebangan yang disebut perceel. Boleh dikata, sistem ini mirip dengan sistem

HPH (Hak Penguasaan Hutan) pemerintah Indonesia tahun 1960-an.

Tetapi wilayah perceel yang dikelola para pengontrak tebangan ini adalah

wilayah yang jauh dari pemukiman termasuk akses-akses jalan. Sementara

wilayah hutan yang dekat pemukiman langsung dikelola oleh VOC dengan

lxxviii

pekerja dari wilayah setempat. Dengan cara inilah volume penebangan bisa

meningkat tajam serta menghasilkan keuntungan yang besar bagi Belanda.

Langkah kedua, mendirikan blandongdiensten (dinas blandong) yaitu

sebuah dinas penebangan kayu. Dinas ini membuat jatah tahunan kepada para

demang dan bekel penguasa hutan untuk memberikan sejumlah kayu jati

sekian kubik, yang disesuaikan dengan jatah tahunan pasokan industri kapal.

Agar tidak bertentangan dengan hak ulayat maka dinas ini masih

mempekerjakan warga masyarakat desa sekitar hutan.

Langkah ketiga, menerapkan profesionalisme blandong. Ketika

blandongdiensten telah menjadi persepsi umum para penguasa pribumi dan

masyarakat desa sekitar hutan jati, VOC membuat kebijakan profesionalisme

tenaga penebang. Para blandhong memang mendapat gaji tinggi sehingga

hidup mereka terbilang makmur. Pekerjaan blandhong menjadi incaran para

pencari kerja. Aturan VOC yang kemudian diberlakukan adalah tidak semua

orang dapat diterima sebagai blandhong apabila tidak mempunyai

ketrampilan tertentu. Akibatnya, yang terpilih menjadi blandhong tidak lagi

dari wilayah desa setempat tetapi juga berasal dari wilayah desa lain. Dengan

aturan ini, terjadilah perubahan persepsi terhadap hak ulayat, yaitu blandhong

tidak harus dari warga setempat. Tetapi adalah orang –orang yang terampil.

Langkah keempat, mengangkat mandor yang menggantikan peran

demang dan bekel. Para tenaga blandhong yang professional dan berasal dari

berbagai desa telah menggantikan peran demang dan bekel. Oleh sebab itu

diangkatlah mandor sebagai koordinator penebangan kayu jati di hutan.

Langkah keempat ini telah menamatkan sejarah hak ulayat yang kokoh.

Selanjutnya pengelolaan hutan jati terus berada dibawah pemerintah kerajaan

lxxix

Belanda setelah VOC mengalami kebangkrutan. Posisi masyarakat desa

hutan dalam pengelolaan hutan tetap belum meningkat kecuali sebagai

buruh-buruh upahan.

Struktur sosial masa penjajahan (VOC s.d. Pemerintah Kolonial Hindia

Belanda) adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat desa hutan.

2. Bekel dan demang (pemegang wewenang hak ulayat)

3. Penguasa persil (VOC dan para Pengontrak persil)

4. Para sultan.

Setelah mengalami perjalanan yang cukup lama, akhirnya hilanglah hak

ulayat yang menjadikan hilangnya peran bekel dan demang dalam proses

pengelolaan hutan.

Pada masa penjajahan Jepang yang singkat, wilayah hutan nyaris

dilupakan karena pemerintah Jepang waktu itu lebih memperhatikan pada

penanaman jarak yang menghasilkan minyak jarak sebagai penghasil utama

pelumas untuk mesin-mesin tempur kerajaan Jepang di perang dunia kedua.

Pada masa penjajahan Jepang pula pemerintah pernah menurunkan bibit

tanaman kapas kepada masyarakat. Masyarakat dipaksa menanam kapas

untuk memenuhi kebutuhan bahan tekstil tentara Jepang yang sedang terlibat

Perang Dunia II. Pemaksaan ini membuat terbengkalai pengurusan hutan

juga kegiatan petani bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup

mereka. Mereka tidak menanam padi ataupun bahan makanan lain. Panenan

pun terlewatkan. Akibatnya, rakyat sangat menderita karena kurang pangan.

lxxx

C. MASA KEMERDEKAAAN

Pengelolaan hutan pada masa kemerdekaan dimulai setelah pemerintah

kerajaan Belanda mengakui kedaulatan pemerintah Indonesia dengan

ditandai oleh penandatanganan antara kerajaan Belanda dan pemerintah

Indonesia. Setelah berdaulat penuh, maka mulai tahun 1950, pengelolaan

hutan dikembalikan pada masa sebelum kedatangan Jepang tahun 1942.

Organisasi pengelola hutan Jawa juga diatur dengan menggunakan

istilah-istilah berbahasa Indonesia untuk mengganti istilah Belanda. Begitu

pula istilah Boschwezen diganti dengan Jawatan kehutanan. Pada dasawarsa

inilah, pulau Jawa terjadi perubahan kondisi sosial ekonomi yang

pengaruhnya cukup signifikan dalam pengelolaan hutan dan juga partisipasi

masyarakat dalam kehutanan.

Masa Jawatan kehutanan partisipasi masyarakat cukup tinggi dalam

bentuk menjadi calon pekerja tanaman. Banyaknya calon pekerja tanaman ini

menyebabkan dimunculkannya aturan baru dengan membatasi luas andil

hanya 0,25 ha/KK. Peraturan seperti ini belum pernah ada sebelumnya. Pada

dekade tahun 1950-an luas rata-rata lahan pertanian per keluarga petani

sudah mendekati 1 ha/KK, dengan rentang 0,1-5,0 ha, sehingga sudah mulai

banyak keluarga petani yang memiliki lahan pertanian di bawah kebutuhan

minimum. Indikasi lain adanya perubahan sosial ekonomi masyarakat sekitar

hutan jati adalah meningkatnya intensitas gangguan atas hutan seperti

pencurian kayu, penggembalaan ternak, kebakaran dan bibrikan lahan.

Sebelum kedatangan Jepang, intensitas pencurian kayu belum menyebabkan

suatu petak menjadi lahan kosong. Selain itu, pencurian kayu hanya terjadi di

waktu paceklik atau menjelang hari raya Idul Fitri. Biasanya wilayah hutan

lxxxi

yang dicuri kayunya adalah wilayah hutan yang sudah diteres (dikeringkan

dengan dipotong akar sehingga tidak menerima asupan makanan dari dalam

tanah lagi). Tetapi karakter pencurian ini sudah berubah. Perubahan itu

menyangkut tiga hal diatas yaitu, waktu pencurian, hutan yang dicuri serta

jumlah pencurian yang meningkat tajam. Apa yang ditulis diatas hampir

sama dengan apa yang ditulis oleh Thomas Sikor dan Tran Ngoc Thanh

dalam jurnal ASEF Alliance yang berjudul Forest Common Vs The State:

The need to look afresh at relations between states and local communities becomes apparent when we consider the changes in forest policy currently taking place across much of Asia and Eastern Europe. Governments are in the process of decentralising power and responsibilities to local authorities; many are also devolving ownership and quasi-ownership rights over forests to local public authorities, communities and other local actors. As a result of this world-wide trend, communities today manage 11% of the world’s forests and 22% of the forests in developing countries.

D. PHBM

Penjelasan mengenai hal ini kita bagi dalam dua masa yaitu masa pra

PHBM dan ketika program PHBM telah dilaksanakan

1. Pra PHBM

Pada saat Pra PHBM dilaksanakan sebenarnya sudah dilakukan beberapa

program yang sifatnya bernuansa kerakyatan. Program tersebut adalah

program mantri lurah (Ma-Lu), program perhutanan sosial, tetapi program-

program tersebut bukanlah program yang mempunyai dasar hukum. Artinya

hubungan antar pihak tidak terikat dengan aturan hukum apapun Tidak

adanya hitam di atas putih ini menyebabkan ketika terjadi sesuatu sangat sulit

untuk diselesaikan atau dipertanggungjawabkan. Bentuk dari program–

program tersebut adalah penggunaan wilayah lahan hutan Negara untuk

masyarakat untuk tanaman yang bisa dijual. Perhutani menamakan hal ini

lxxxii

dengan istilah pemanfaatan lahan dibawah tegakan (PLDT). Ketika pihak

Perhutani membutuhkan tanah tersebut dapat saja dengan mudah tanaman

atau apapun yang ada diwilayah hutan Negara dihancurkan dan itu tidak

dapat dipermasalahkan karena memang belum berlandasan hukum.

Pengakuan dari Perhutani yang disampaikan oleh Pak Agung ini memang

diakui bahwa Perhutani memang cenderung arogan pada masa pra PHBM.

Program Mantri Lurah atau disingkat Ma-Lu adalah salah satu dari

program Prosperity Approach yang digulirkan semenjak tahun 1974

mengikuti arus besar pemikiran pengelolan sumber daya hutan waktu itu

yaitu multiple use of forest land. Menurut Prof. Simon, pendekatan Mantri

Lurah menunjukkan kecerdasan pencetusnya tentang perpaduan antara

perencanaan kehutanan konvensional dengan perencanaan sosial ekonomi

masyarakat. Tetapi lanjut beliau, semua kegiatan tersebut memerlukan

rencana yang disusun secara komprehensif, tidak cukup dengan perencanaan

tambal sulam seperti yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Bagaimana

bentuk tambal sulam tersebut? Yaitu dengan tidak adanya rencana rigid yang

merupakan hasil kolaborasi dari dua penentu kebijakan tersebut. Perum

perhutani masih menggunakan pola timber management yang merupakan

pola-pola teknis pengelolaan hutan yang memandang hutan dari sisi kayu.

Padahal dalam perencanaan sosial ekonomi masyarakat tidak dapat

diserupakan dengan pola-pola teknis dalam timber management itu. Professor

Hasanu Simon pada akhirnya mengatakan bahwa masalah sosial ekonomi

masyarakat memerlukan keluwesan rencana kerja yang landasannya adalah

kerjasama saling menguntungkan, saling pengertian dan saling kepercayaan

dan kejujuran yang semuanya tidak mudah diwujudkan dalam angka-angka.

lxxxiii

Inilah evaluasi beliau tentang program Prosperity Approach yang mengalami

kegagalan.

Angin segar dibawa ketika pada tahun 1978 diadakan Kongres Kehutanan

Dunia VIII di Jakarta 1978, pengelolaan hutan nasional mengikuti strategi

kehutanan sosial. Kongres kehutanan ini termasuk yang terrbaik karena

merupakan titik tolak perubahan strategi pengelolaan hutan dari conventional

strategy menuju social forestry strategy. Tetapi wacana yang ada dalam

kongres inipun mentah karena ada berbagai sebab antara lain: sumber daya

rimbawan Indonesia yang masih sangat terbatas, orientasi pengelolaan hutan

Indonesia yang berubah dari Jawa ke luar Jawa yang dianggap lebih modern,

padahal sistem HPH luar Jawa adalah bentuk praktek kehutanan primitif

yaitu timber extraction. Hal ketiga yang menjadi alasan adalah pemakaian

alat-alat modern untuk mengeruk hasil hutan sebesar-besarnya di luar Jawa

lebih nampak hasilnya daripada kehutanan Jawa yang hanya menghasilkan

hasil-hasil hutan yang bernilai rendah dan hanya bernilai dalam rupiah

dibandingkan dengan kayu-bulat ekspor kalimantan yang menghasilkan

dolar.

Program Perhutanan Sosial, adalah program yang dicetuskan pada tahun

1980-an ketika perhutani mendapatkan bantuan dari Ford Foundation untuk

mengatasi masalah sosial dalam pengelolaan hutan jati di Jawa. Pelaksanaan

dari program ini diawali dengan sebuah penelitian lapangan yang merupakan

gabungan dari doctor-doktor antropologi kenamaan dengan para sarjana

kehutanan Indonesia yang berada dalam jajaran perhutani. Salah satu

diantaranya adalah mahasiswa doctoral bernama Nancy Lee Peluso yang

meneliti di Balapulang dan akhirnya mengarang sebuah buku berjudul Rich

lxxxiv

Forest Poor People. Tetapi kelihatannya hasil penelitiannya tidak dijadikan

pedoman sama sekali. Maka jadilah program perhutanan sosial hanya berupa

system tumpangsari yang berada pada tanah antara sela tanaman jati yang

diperlebar untuk dapat ditanami oleh warga masyarakat dengan nanas, atau

buah-buahan lain.

2. Masa PHBM

Kebijakan yang dikenal dengan nama pengelolaan hutan bersama

masyarakat atau lebih dikenal dengan singkatan PHBM memunculkan

adanya sebuah lembaga masyarakat desa hutan (LMDH).

Ketika program PHBM diluncurkan pada tahun 2001 KPH Cepu baru

mulai melaksanakannya pada tahun 2003. beda program ini dengan program-

program sebelumnya, adalah adanya landasan hukum yang mendasarinya.

Pada program ini dibentuklah LMDH-LMDH atau lembaga masyarakat desa

hutan yang dinotariskan. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah

dengan sistem sharing yaitu penentuan proporsi bagi hasil dalam bentuk

uang. Salah satu ucapan yang dikatakan mengenai aktifitas warga masyarakat

desa hutan adalah,”dalam PHBM kan ada pembinaan,jadi kita berusaha

merubah pola pikir mereka dan diharapkan ada penurunan kebiasaan atau

interaksi mereka dengan hutan,”apabila kita kaji lebih mendalam, upaya

untuk menurunkan kebiasaan masyarakat berinteraksi dengan hutan adalah

sesuatu yang musykil. Penulis dalam latar belakang penelitian ini menulis

bahwa masyarakat desa hutan dengan hutan yang ada di wilayahnya pada

umumnya memiliki hubungan yang erat dan tingkat ketergantungan yang

tinggi terhadap hutan. Betapa tidak? Mereka hidup dan berinteraksi secara

lxxxv

intens dengan hutan semenjak lahir bahkan mungkin hingga mati. Lamanya

interaksi ini secara otomatis akan menghasilkan budaya. Kebiasaan dan

tradisi di masyarakat desa hutan apa yang menyebabkan kelestarian hutan

tidak terjadi? Pendapat penulis, tidak ada! Berbagai sistem serta budaya

dalam masyarakat sekitar kawasan hutan mempunyai peran penting dalam

menjaga kelestarian hutan. Apabila di saat sekarang terdapat paradigma

bahwa masyarakat desa hutan adalah pihak yang menyebabkan kerusakan

hutan maka yang perlu kita pahami adalah penyebab mereka melakukan hal

tersebut. Negara dalam hal ini pemerintah yang mengeluarkan kebijakan

pengelolaan hutan telah mencerabut masyarakat desa hutan dari wilayahnya

sendiri. Akses terhadap hutan dibatasi bahkan ditutup sehingga masyarakat

desa hutan ibarat ”anak ayam mati di lumbung padi” Gagasan Perhutani

tentang PHBM ini bisa disebut merupakan sebuah perubahan dari paradigma

ecototaliter menjadi paradigma ecopopulisme (ekologi kerakyatan). Ekologi

kerakyatan terbagi menjadi dua pendekatan yaitu ekologi garis keras yang

menekankan pentingnya belajar dari pengalaman-pengalaman orang-orang

lokal dan, sebaliknya juga, dari inovasi-inovasi keliru yang diperkenalkan

dari luar. Bagi kaum ekopopulis garis keras, hanya yang bersifat lokal saja

yang menarik. Dunia luar sering dilihat sebagai ancaman dan musuh yang

tidak dipercaya. Orang-orang yang mewakili Negara (pemerintah) adalah

orang-orang yang harus dihindari.

Berbicara tentang hak masyarakat desa hutan, maka perlu pula kita

mendengar dari lembaga swadaya masyarakat SUPHEL. SUPHEL adalah

singkatan dari Solidaritas Masyarakat Untuk Penyelamatan Hutan dan

Lingkungan Hidup. Wawancara ini merupakan sarana untuk mengetahui

lxxxvi

hubungan antara masyarakat desa hutan, KPH Perhutani Cepu serta hutan itu

sendiri. Informan dari SUPHEL adalah Wasista Daru Darmawan. Ia dalam

SUPHEL menjabat sebagai koordinator advokasi kebijakan.

Peneliti mengajukan pertanyaan pada SUPHEL, hak-hak apakah yang

dipunyai oleh masyarakat desa hutan terhadap kawasan hutan? Jawaban

untuk pertanyaan ini adalah tidak ada. Apabila adapun, sebenarnya itu

bukanlah hak. Sebagai contoh, ada sistem banjarharian yaitu pelaksanaan

proses pembuatan hutan dengan melibatkan warga masyarakat dalam

penanaman kemudian diberi upah. Ataupun dengan melakukan pengolahan

lahan hutan secara tumpang sari, dengan catatan si pesanggem(istilah untuk

warga masyarakat yang mendapatkan kesempatan pengolahan lahan hutan)

wajib menjaga hutan milik Perhutani.

Ketika penulis melakukan pengamatan di wilayah KPH Cepu, banyak

warga yang mengambil daun, rencek, arang, maupun akar. Tetapi hal ini

menurut Mas Wasis, salah satu anggota dari SUPHEL sebenarnya adalah

aktifitas ilegal. Tetapi, hal ini memegang diperbolehkan oleh KPH Cepu.

Mengapa hal itu dilarang tetapi tetap diperbolehkan? Karena KPH Perhutani

belum mempunyai solusi terhadap aktifitas yang dilaksanakan. Apabila

terdapat pelarangan, itu sama artinya dengan membunuh masyarakat. Dengan

kata lain, inilah kebijakan lokal dari KPH Cepu. Kebijakan local yang

berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi local masyarakat.

Jadi hak masyarakat terhadap hutan memang tidak ada. Kecuali mereka

berperan dalam proses-proses pengelolaan hutan yang dilaksanakan atas

inisiatif Perhutani. Apakah ini merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat

desa hutan di Jawa? MDH mampu dengan sabar hidup dalam kondisi dimana

lxxxvii

akses sangat dibatasi sehingga tidak ada kesempatan memanfaatkan hutan

kecuali sedikit. Ada sebuah nilai yang masih berlaku dan dianggap biasa

yaitu tentang status sosial pegawai Perhutani yang digolongkan kaum

priyayi. MDH mempercayai hal ini, dan para pegawai Perhutani pun merasa

demikian. Penulis mengetahui bahwa budaya feodal masih sangat kental di

dalam jajaran perum Perhutani.

Di saat sekarang, ketika program PHBM dilaksanakan ada sedikit

perubahan yaitu dengan sistem sharing(pembagian hasil berupa uang dari

hasil panenan hutan baik dari tebang penjarangan maupun untuk tebang

produksi untuk masyarakat desa hutan) padahal pembagian uang ini adalah

agar masyarakat “berperan” dalam artian tidak mengambil hasil hutan. Inipun

sebuah pola yang sama dengan yang selama ini sudah ada bukan? Untuk

lebih jelasnya, perlu bagi kita untuk membaca sebuah tulisan karya aktivis

lingkungan yang juga akademisi kehutanan UGM tentang PHBM ini.Pada

pelaksanaaan di wilayah lain, bentuk dan pola kerjasama dalam PHBM

antara masyarakat dengan pihak Perhutani bisa saja berbeda. Menurut Agus

Affianto, seorang anggota LSM kehutanan di Javlec (Java Learning Centre)

hasil sharing yang besarnya 25% masih memendam sedikit ketidakadilan. Ia

menulis permasalahan ini dalam karangan berjudul: Mekanisme Bagi Hasil

dalam PHBM: Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat atau Pengelolaan

Hutan Biaya Murah? kalimat pembuka dalam karangan tersebut bernada

keras yaitu, apabila dalam suatu usaha, saudara berkontribusi modal 2 bagian

sedang pihak lain 1 bagian, apakah saudara akan bersedia membagi

pendapatan usaha tersebut dengan proporsi yang sama(1:1) dengan pihak

lain?

lxxxviii

Penentuan sharing atau bagi hasil dalam kawasan hutan Perhutani diatur

oleh keputusan direksi perum Perhutani no.001/KPTS/DIR/2002 tentang

pedoman berbagi hasil hutan kayu, proporsi hasil bagi maksimum yang

berhak diterima masyarakat desa hutan adalah sebesar 100% untuk

penjarangan pertama, 25% untuk penjarangan lanjutan dan 25% untuk hasil

tebangan habis. Artinya pada seluruh wilayah kerja Perhutani, masyarakat

desa hutan akan menerima proporsi maksimum sebesar seperti yang

dikemukakan diatas apabila kerjasama dimulai dari tanah kosong. Sementara

proporsi bagi hasil akan semakin kecil apabila kerjasama dimulai dari areal

yang bertegakan.

Agus Affianto mengajukan tiga pertanyaan evaluatif yaitu:

a. Dapatkah proporsi sebagaimana yang trcantum dalam keputusan

tersebut diberlakukan secara umum di seluruh wilayah kerja

Perhutani?

b. Dapatkah prosentase bagi hasil ditetapkan secara berbeda pada satu

proses produksi yang sama?

c. Apa dasar penentuan munculnya angka 100%(untuk penjarangan

pertama) dan maksimum 25% (untuk penjarangan lanjutan dan

terakhir) tersebut?

Pertanyaan point (a) muncul lebih dilatarbelakangi oleh perbedaan

karakteristik pada wilayah kerja Perhutani. Jangkauan wilayah kerja

Perhutani di pulau Jawa yang mencakup provinsi Banten hingga Jawa timur

tentunya harus dipertimbangkan dalam penentuan proporsi bagi hasil

lxxxix

tersebut. Bukankah terdapat perbedaan baik dari sisi umur maupun dari jenis

tanaman .

Munculnya pertanyaan poin (b) dan (c) lebih didasarkan pada pola pikir

sederhana saja. Pertama, kegiatan penyiapan lahan, pengadaan bibit,

penanaman, pemeliharaan dan penjarangan adalah serangkaian aktifitas yang

merupakan input dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan tegakan

siap tebang pada umur yang dikehendaki. Apabila memang demikian halnya,

dapatkah proporsi bagi hasil untuk penjarangan dan tebangan akhir tersebut

dibedakan? Sebagai contoh, berdasarkan penghitungan petani disalah satu

desa dalam lingkup KPH Kuningan, nilai proporsi bagi hasil kayu jati adalah

sebesar 45% untuk masyarakat dan 55% untuk Perhutani. Melihat contoh

proporsi bagi hasil berdasarkan penghitungan masyarakat diatas, mungkin

akan timbul pertanyaan,”apakah masyarakat akan benar-benar dapat

mengidentifikasi besaran input pengelolaan yang dikeluarkan oleh

perusahaan(Perhutani)? Terlepas dari benar tidaknya hasil penghitungan

proporsi yang dilakukan masyarakat tersebut, paling tidak masyarakat telah

memiliki dasar perhitungan untuk memperjuangkan hal-hak mereka. Justru

inilah diperlukan adanya keterbukaan dari masing-masing pihak untuk duduk

bersama mendiskusikan proporsi bagi hasil yang sesuai dengan jiwa

“bersama” seperti yang disebutkan dalam keputusan no 136/KPTS/DIR/2001

tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat menekankan

bahwa nilai dan proporsi bagi hasil ditetapkan sesuai dengan nilai faktor

produksi yang diberikan oleh masing-masing pihak(Perhutani, masyarakat

desa hutan dan pihak lain).

xc

Tabel 1. Matriks Waktu Tertata

Perubahan-Perubahan dalam Perubahan Program Pengelolaan Hutan KPH Cepu

PRA PHBM 1 PRA PHBM 2 KOMPONEN PERUBAH (Program Prosperity

Approach) (Program Perhutanan Sosial)

PHBM

Hak masyarakat terhadap hutan

Tidak ada Tidak ada Sharing produksi kayu

Bentuk kompensasi

Gaji dari proyek Perhutani (INDIVIDU)

Gaji dari proyek Perhutani (INDIVIDU)

Perbaikan-perbaikan fasilitas sosial masyarakat.

Keorganisasian MDH

Tidak ada Tidak ada Ada dan berbadan hukum

Kebijakan dalam pengelolaan hutan

Arogansi management Perhutani (1 pihak)

Arogansi management Perhutani (1 pihak)

Kerja sama

Agen-agen program

Mantri-Mandor Mantri-Lurah

(Ma-Ma) (Ma-Lu)

LMDH+KPH

Hasil penelitian tingkat partisipasi masyarakat desa hutan diatas dapat

dikatakan bahwa masyarakat desa hutan masih mengalami proses

marginalisasi akibat dari tidak adanya pengakuan hak masyarakat desa hutan

terhadap hutan, tempat tinggalnya.

4.2. HASIL INTERAKSI MASYARAKAT DESA HUTAN

4.2.1. Pengetahuan Lokal Masyarakat Desa Hutan

Unsur dalam kearifan lokal antara lain adalah pengetahuan lokal yang

kemudian pengetahuan ini dapat menjadi ketrampilan lokal. Pengetahuan lokal yang

penulis temukan pada saat penelitian ini antara lain adalah pengetahuan tentang

pemanfaatan hasil hutan non kayu tegakan, kayu tegakan adalah milik Perhutani.

Sehingga, masyarakat dalam interaksinya terus menerus berpikir bagaimana agar

xci

hidup bisa terus berjalan. Oleh sebab itu, masyarakat memanfaatkan hasil hutan lain

diantaranya rencek, daun(ron), brongkol, gelam, tunggak, arang.

Setelah cukup lama melakukan observasi, penulis bertemu dengan satu warga

masyarakat desa hutan di wilayah Nglobo, salah satu wilayah yang mempunyai

potensi hutan tinggi. Begitu pula dengan wilayah yang ada di sekitarnya seperti

Blungun, Temengeng hingga Pasar Sore.. Selama perjalanan memang cukup banyak

yang melakukan pengambilan rencek dan juga daun jati. Selain jati tersebut banyak

juga pohon Ploso yang sedang berbunga. Bunganya yang berwarna merah atau

oranye berada di pucuk-pucuk pohon, sebuah pemandangan yang indah di tengah-

tengah meranggasnya daun-daun jati.

Pak Yadi adalah seorang warga Nglobo. Penulis bertemu dengan beliau di

lahan persemaian dan pembibitan secara tidak sengaja ketika sedang mengamati dan

mengambil gambar pohon Ploso. Beliau menjadi bagian dari Perhutani juga.

Tepatnya di KPH Cepu. Banyak istilah dan pengetahuan baru yang didapat dari

beliau. Beliau menyebutkan bahwa masyarakat desa hutan yang dimaksud oleh

penulis adalah yang berada di wilayah-wilayah desa dalam hutan. Bukan yang

berada di tepi-tepi hutan. Beliau berkata demikian untuk menjelaskan bahwa para

pengambil rencek yang menggunakan sepeda kebanyakan bukan berasal dari

wilayah desa hutan sekitar petak hutan tetapi berasal dari desa lain. Seperti Jepon,

Mblora yang berada ditepi-tepi hutan. Menurut San Afri Awang yang disebut

masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang berada di dalam hutan maupun

berbatasan langsung dengan hutan dan memanfaatkan sumber lahan hutan maupun

hasil-hasil hutan lain. Jadi walaupun masyarakat tersebut berada diwilayah tepi hutan

atau jauh dari hutan, tetapi selama ia memanfaatkan hasil hutan, maka ia merupakan

bagian dari masyarakat desa hutan.

xcii

A. Rencek

Para pengambil rencek yang kebanyakan berasal dari luar desa diwilayah hutan

tersebut beliau sebut sebagai ngare. Ketika saya tanyakan artinya kepada beliau, ia

menjawab tidak tahu artinya tetapi sejak dulu istilah dimasyarakat sudah seperti

itu. Para ngare ini mencari kayu dan menjualnya baik ke pasar maupun ke desa

tempat tinggalnya sediri. Baik untuk digunakan sendiri maupun untuk dijual di

sepanjang perjalanan. Bahkan biasanya, belum sampai kerumah, seorang ngare

bersepeda telah habis renceknya, karena ada yang membeli di jalan dan

membelinya. Nilai rencek saksepedha berkisar antara 25 ribu hingga tiga puluh

ribu rupiah. Beberapa istilah dalam perencekan:

a. Gendhel, ukuran paling kecil jumlahnya sekitar 4-5 batang.

b. Bongkok, ukuran lebih besar dari gendhel.

c. Pikul, sakpikul artinya dua bongkok. Perencek menggunakan pikulan untuk

membawa rencek sekaligus alat ukur penjualan rencek.

d. Sepedha, perencek yang menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi

dan alat ukur penjualan rencek. Nilai jual 25-30 ribu rupiah.

Gambar 6.

Rencek dibawa

dari hutan

xciii

Perlu diketahui pula biasanya para perencek sudah memiliki kelompok-kelompok

pencari rencek dan juga telah melakukan perjanjian-perjanjian dengan pihak

pengepul, kapan dan dimana pengambilannya.

Di lokasi penelitian, banyak sekali ditemukan aktifitas warga yang

mengambil hasil hutan ikutan (HHI). Setiap hari kurang lebih mulai pukul 08.00

WIB akan banyak ditemukan para pengambil rencek yang menggunakan sepeda

sebagai alat transportasinya. Jarang sekali mereka menggunakan sepeda motor.

Entah memang mereka tidak punya atau memang lebih mudah menggunakan

sepeda. Tapi alasan yang lebih kuat adalah alasan yang pertama. Karena beberapa

hal sebagai berikut:

a. Pekerjaan mengambil rencek, daun, arang atau apapun dalam hutan Negara

adalah sesuatu yang sebenarnya illegal. Tidak banyak yang berprofesi ini

kecuali karena kebutuhan hidup yang mendesak.

b. Sepeda mempermudah penghitungan nilai penjualan rencek. Beberapa hal

yang perlu diketahui, bahwa penjualan rencek dihitung dengan satuan-satuan

tertentu. Beberapa istilah satuan yang sering digunakan adalah seiket,

sasepedha, maupun Sakgendhong.

c. Para perencek mempunyai ikatan dengan pihak pengepul. Para pengepul

inilah yang mempunyai mobil pick up terbuka untuk mengambil kayu-kayu

rencek diberbagai petak hutan terutama yang berada di jalur jalanraya. Para

perencek walaupun pengambilan renceknya dilaksanakan hingga jauh

kedalam hutan tetapi pengumpulan hasil selalu disatukan di sebuah tempat

yang telah disepakati oleh perencek dengan pengepul. Kapan jamnya, berapa

jumlahnya dan lain-lain.

xciv

d. Aktifitas para ngare ini adalah salah satu aktifitas untuk mengisi waktu luang

dalam masa menunggu panen. Sehingga waktu bukan sebuah ukuran yang

tegas. Mereka tidak mempunyai keterikatan waktu. Sehingga dengan sepeda

yang alon-alon asal kelakon maka pilihan menggunakan sepeda adalah

pilihan yang tepat.

B. Daun(Ron)

Selain tunggak, rencek dan jati, masih ada satu hasil hutan lain yang

dimanfaatkan oleh masyarakat desa hutan yaitu daun atau ron dalam bahasa jawa.

Terdapat banyak ron yang dimanfaatkan oleh warga. Tetapi daun utama yang sering

digunakan dan dicari adalah daun jati. Karena memang terdapat semacam kelebihan

daun jati dibanding daun yang lain. Selain kph cepu merupakan kph dengan hutan

produksi jati sehingga daun jati berlimpah juga karena daun jati mempunyai banyak

manfaat ketika dipergunakan sehari-hari. Biasanya daun jati dipergunakan sebagai

bungkus makanan. Menurut Bu Warsi, rasa nasi akan lebih enak apabila dibungkus

dengan daun jati. Kalau tidak percaya maka coba rasakan belalang yang makan daun

jati. Rasanya pasti enak. Ini menurut Bu Warsi. Pak Yadi juga berpendapat sama

kripik belalang disini adalah makanan kecil yang mudah dijumpai di warung-warung

pinggir hutan maupun dalam hutan. Bahkan pernah ketika penulis mampir di salah

satu warung di wilayah Sekaran, ketika penulis minta nasi untuk makan siang, sang

Gambar 7. Salah Satu Ngare

xcv

penjual hanya tertawa dan menjelaskan bahwa warungnya tidak menjual nasi. Yang

ada hanya kopi kothok, ketan dan keripik belalang. Tetapi ketika penulis mencoba

tiga-tiganya rasanya memang luar biasa. Wisata kuliner di tengah hutan menyajikan

masakan-masakan sederhana dari lingkungan alam hutan. Apabila penulis

memikirkan mengapa keripik belalang itu enak, jawabnya adalah karena belalang

hutan jati adalah belalang yang makananannya alami(daun jati) jauh dari obat-obatan

sehingga pantas saja rasanya juga nikmat. Kembali pada daun jati, para pencari daun

jati sangat telaten. Mulai dari pagi-pagi hingga pukul 09.00 biasanya meraka sudah

mulai mengumpulkan daun. Ketika selesai, para pencari daun dalam satu kelompok

istirahat sambil menunggu mobil angkutan baik yang merupakan angkutan resmi

bahkan sopir-sopir sukarelawan yang mau diboncengi hingga ke pasar. Para pencari

daun jati menggulung daun jati hingga gulungan sebesar diameter kurang lebih 70

sentimeter. Yang penulis tanyakan adalah, bagaimana cara mereka menggulungnya?

Selain jati, daun lain yang digunakan adalah daun ploso. Pada masa terak jati,

yaitu ketika bulan jati meranggas, pohon ploso tidak mengalami kekeringan. Daun

ploso tetap tumbuh berwarna hijau. Pada masa terak jati ini, para pencari daun

mengalihkan perburuannya dari daun jati ke daun ploso.

Daun lain yang biasa dimanfaatkan masyarakat adalah daun lempuyang,

kunci, ndayakan, kesambi dan trengguli. Kesemuanya merupakan jenis semak dan

bukan pohon. Lempuyang banyak dimanfaatkan untuk obat-obatan. Kunci yang

banyak bermunculan di bulan Februari dimanfaatkan sebagai campuran sayur. Daun

ndayakan dan kesambi mempunyai manfaaat yang hampir sama yaitu untuk

mengasamkan masakan. Di daerah Cepu salah satu masakannya adalah asem-asem.

Untuk mengasamkan sayuran ini, dipergunakanlah dua daun ini. Tetapi daun

ndayakan menurut Pak Yadi lebih bagus rasa asamnya. Daun trengguli lain lagi

xcvi

manfaatnya. Masyarakat memanfaatkan daun trengguli untuk memasakkan buah-

buahan yang masih muda atau mentah. Fungsinya hampir sama dengan apabila kita

menggunakan karbit. Tetapi manfaat daun trengguli ini lebih bagus hasilnya. Selain

alami juga murah.

Pengetahuan masyarakat desa hutan tentang silvikultur sebenarnya sudah

ada. Istilah silvikultur adalah istilah kehutanan untuk menunjukkan berbagai

karakteristik tanaman atau pohon-pohon hutan. Pada bulan meranggasnya jati istilah

masyarakat terak jati, yaitu bulan Agustus sampai November, pohon ploso

merupakan pemandangan yang indah bagi penulis. Di tengah suasana udara yang

panas dan kering masih nampak hijauan daun ploso apalagi apabila ditambah dengan

bunga-bunga ploso berwarna merah muda dipucuk-pucuk daun. Ketika penulis

menanyakan hal ini, salah satu informan juga mengungkapkan demikian. Bahkan

bukan itu saja, beliau pun menunjukkan sebuah pengetahuan baru yaitu bahwa

pohon ploso terutama bunga ploso merupakan “ketaran”. Ketaran adalah istilah

yang dipakai warga masyarakat desa hutan untuk penunjuk atau meramalkan

sesuatu. Bentuknya, apabila bunga ploso merah masih banyak dan belum rontok

maka dapat diramalkan bahwa musim hujan masih jauh atau dapat disebut dalam

istilah masyarakat, laboh. Proses mencari daun jati adalah dengan mencari tumbuhan

jati trubusan yaitu pohon jati kecil, tunas-tunas baru baik tumbuh sendiri maupun di

daerah tebang penjarangan.

Gambar 8.

Seorang pencari daun

xcvii

C. Brongkol dan Tunggak

Beberapa pemanfaatan hasil hutan oleh para warga warga masyarakat desa

hutan adalah yang disebut dengan brongkol. Brongkol sebenarnya adalah alat yang

digunakan untuk mendapatkan kayu sisa hasil tebangan. Di wilayah madiun

brongkol disebut dengan wungkal, Perhutani memang hanya mengambil batang

kayu jati saja.tetapi ranting, akar, kulit maupun daun tidak diambil. Kayu brongkol

biasanya bentuknya tidak karuan. Karena memang terpendam dalam tanah setelah

dilakukan tebangan. Jadi mungkin sudah dimakan rayap ataupun kotor karena

tanah. Kualitas yang lebih tinggi dari brongkol adalah tunggak.

Apabila brongkol hanya untuk kayu bakar dan hampir sama dengan rencek

maka yang disebut dengan tunggak manfaatnya lebih tinggi karena mampu

dimanfaatkan sebagai meja, kayu, kursi maupun perhiasan yang nilainya tinggi. Ini

pula usaha yang ada di wilayah Cepu. Kurang lebih ada delapan pengrajin berpusat

di KPH Cepu dari 13 pengrajin di wilayah kabupaten Blora.

D. Gelam

Gelam adalah kulit kayu jati. Biasanya gelam diambil oleh masyarakat desa

hutan diwilayah teresan. Menurut cerita, dua tahun sebelum ditebang pohon jati

mesti dimatikan terlebih dengan cara diteres. Proses ini merupakan upaya

mengurangi kadar air di dalam kayu. Dengan langkah tersebut kelak akan

diperoleh kayu jati berkualitas tinggi, lebih awet, tidak mudah pecah, ringan waktu

diangkut, dan mudah dikerjakan. Setelah mengalami teresan selama dua tahun,

pohon jati baru ditebang. Penebangan dilakukan para blandong, yaitu tukang

tebang professional yang tinggal di seputar hutan.

xcviii

Gelam dapat digunakan sebagai dinding rumah atau atap. Kulit pohon jati

memang cukup tebal. Kurang lebih ketebalannya mencapai 2-3 cm. Sehingga

apabila kita memasuki wilayah teresan, maka akan dijumpai beberapa tegakan jati

yang sudah mulus tinggal tampak kayunya karena gelamnya sudah diambil dari

bawah sampai ke puncaknya.

E. Arang

Para pengusaha arang juga cukup banyak di wilayah KPH Cepu. Mereka

membuat arang di tengah-tengah hutan, membakar kayu di tengah-tengah hutan

kemudian esok paginya baru diambil biasanya sekaligus dengan saat pengambilan

hasil hutan ikutan yang lain.

Walaupun hal ini mengandung resiko kebakaran hutan, tetapi para pembuat

arang bersikap hati-hati dengan ikut serta menjaga kayu arang atau dengan

membuat pagar batu yang membatasi pembakaran kayu menjadi arang.

4.2.2. Budaya Local Masyarakat Desa Hutan

Budaya dapat diartikan sebagai kebiasaan dan nilai-nilai yang diakui secara

umum oleh suatu masyarakat yang tinggal disuatu tempat tertentu. Budaya

merupakan produk kolektif yang menghasilkan suatu ukuran dan rangkaian tindakan

yang dipakai suatu acuan untuk menilai tindakan orang lain.

Kita mempelajari budaya sejak kecil dari orang tua, keluarga, lingkungan sosial

masyarakat, para pemimpin agama atau adat, para guru dan dari media. Budaya tidak

bersifat statis. Melainkan selalu berubah karena pengaruh internal dan eksternal.

Budaya menentukan cara kita bertindak dan bertingkahlaku dalam interaksi baik

interaksi dengan lingkungan sosial, lingkungan biotik maupun lingkungan fisik.

Berbagai tradisi dan nilai budaya lokal di masyarakat yang mengandung kearifan

xcix

lokal yang apabila digali dan dihubungkan dengan kelestarian hutan maka akan

menunjukkan hubungan yang saling menguatkan.

Budaya mempunyai wujud sehingga dapat kita lihat, rasakan dan kita

laksanakan. Wujud budaya dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu mentifact,

sosiofact dan artifact. Tiga hal tersebut saling bersinergi membentuk kesatuan

budaya yang khas pada masyarakat tertentu.

Masyarakat desa hutan sebagai salah satu jenis masyarakat juga mempunyai

budayanya sendiri. Memang sebagai produk kolektif interaksi manusia, maka dapat

pula kita lihat beberapa atau banyak persamaan dengan budaya pada masyarakat lain

yang mempunyai karakter hampir sama dengan masyarakat desa hutan.

A. Mentifact

Mentifact yaitu sebuah budaya yang bersifat abstrak yang berupa aspek mental

yang melandasi perilaku dan hasil karya. Didalamnya terdapat ideologi, sikap

kepercayaan dan pemikiran. Semua hal tersebut dapat kita jumpai pada masyarakat

desa hutan di wilayah KPH Cepu. Masyarakat berpandangan cukup sederhana.

Ferdinand Tonnies mengemukakan sifat-sifat desa yang menurutnya masih

berpikiran tradisional. Masyarakat mempunyai pola pikir yang diistilahkan narimo

ing pandum. Konsep ini adalah sebuah bentuk kepasrahan terhadap adanya takdir

yang telah dikehendaki oleh Tuhan. Apa-apa yang ia dapatkan (pandum) maka ia

terima (narimo).

Berbagai aktifitas yang dilaksanakan dalam keseharian masyarakat merupakan

bentuk sikap narimo ing pandum ini. Di tengah-tengah hutan yang dikelola

Perhutani, masyarakat desa hutan hanya mengambil hasil hutan yang nilainya tak

seberapa. Hidup masyarakat desa hutan sebagaimana yang anda lihat semata. Pagi

mencari apa yang dapat ia cari asalkan mampu menjadi uang yang mampu

c

memenuhi kebutuhan hidup. Apakah ada semacam subsistensi? Apabila dilihat dari

komposisi di jelaskan dalam angka maka inilah datanya:

Nama desa Sifat desa Jumlah

penduduk

petani Buruh tani

Nglobo enclave 2.129 jiwa 217 108

Nglebur enclave 5.112 jiwa 2382 1588

Ngraho enclave 4.477 jiwa 461 1.029

Bagaimana cara membaca data yang sedemikian? perlulah kita memahami dan

kritis secara benar-benar kritis. Bahwa terdapat banyak kesenjangan.

Saya tidak menganggap rendah profesi petani. Tetapi petani atau buruh tani

yang seperti apa yang ada di wilayah hutan “milik” Perhutani ini? Ketika melakukan

observasi lapangan, hampir tidak dapat penulis lihat adanya lahan-lahan yang dapat

dikelola sebagai pertanian yang konsisten. Yang jelas hanya sebuah lahan dibawah

tegakan pohon-pohon jati yang tidak seberapa dan sebelum mengolahnya pun

diberikan syarat untuk membayar. Dari salah seorang warga yang saya temui di

wilayah pasar sore diketahui bahwa perbulan mereka wajib membayar uang

“kendhilan” sebesar 8.000 rupiah setiap bulan. Tetapi penulis tidak tahu seluas apa

tanah yang disebut kendhilan tersebut? Dalam buku yang pernah saya baca karangan

Hasanu Simon, terdapat istilah andil yaitu petak-petak tanah hutan yang dapat

ditanami dengan membayar sejumlah uang kepada Perhutani. Inilah yang penulis

sebut sebagai sebuah hal yang perlu dikritisi juga, masyarakat yang tidak punya hak

apapun untuk mengelola tanah ketika ingin mengelola tanah Negara pun wajib

membayar apakah ini semacam upeti?sebuah bentuk feodalisme yang masih

nampak!

ci

Beberapa masalah yang belum kita jawab dan masih tersimpan dalam benak

peneliti yaitu tentang hutan adat ataupun hutan rakyat akhirnya terjawab juga.

Masyarakat desa sekitar hutan diwilayah KPH Cepu yang mempunyai tanah hak

milik tetap menggunakan tanah-tanah mereka untuk menanam tanaman-tanaman

keras. Biasanya memang jati karena tanah disitu memang cocok. Dengan cara

penanamannya berada di tepi-tepi tanah hak milik tersebut. Sementara sisa tanah

yang ada tetap dimanfaatkan sebagai ladang tanaman palawija atau mungkin padi.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pemanfaatan tanaman-tanaman tersebut?

Beliau menjawab, ya dibiarkan saja mas, kecuali memang kalau ada butuh ya tinggal

potong kemudian dijual, baik ke perajin atau mungkin orang yang butuh kayu.

Hery Santoso, seorang aktifis lingkungan hidup dari Javlec (Java Learning

Centre) menyatakan bahwa konsep narimo ing pandum adalah sebuah strategi

bertahan masyarakat desa hutan. Etos ini baik untuk kelestarian hutan, tetapi buruk

untuk pengembangan kehidupan masyarakat. Apabila dikaji lebih mendalam, nilai

narimo ing pandum adalah bentuk inferioritas dari masyarakat desa hutan dalam

lingkungannya. Di tengah-tengah hutan yang kaya (rich forest) tetapi masyarakat

hidup dengan segala keterbatasan (poor people, meminjam istilah Nancy Lee

Peluso). Kekayaan hutan yang dimaksud disini adalah kayu jati yang merupakan

kayu produksi unggulan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan membawa

kemakmuran dan keuntungan financial tinggi bagi Perhutani sebagai pengelola

tunggal di kawasan hutan produksi di Jawa. Akan tetapi dilain pihak, masyarakat

desa hutan yang tinggal di wilayah hutan mungkin semenjak lahir bahkan mati disitu

tidak dapat mendapatkan sesuatu dari hutan kecuali sedikit.

Konsep lain dari narimo ing pandum ini adalah konsep mangan ora mangan

kumpul. Ini pulalah sebuah strategi masyarakat desa hutan dalam mengatasi

cii

sempitnya lahan untuk diolah guna menghasilkan tanah pertanian. Seperti diketahui,

masyarakat yang tinggal dan hidup di kawasan hutan tidak mempunyai tanah yang

cukup luas dan baik untuk melakukan usaha cocok tanam. Hanya diantara sela-sela

pohon jati di atas tanah negara, para warga dapat melakukan penanaman tanaman

palawija. Pihak Perhutani menamakan ini sebagai pemanfaatan lahan di bawah

tegakan atau sering disingkat PLDT. Para petani hutan yang memanfaatkan lahan ini

biasa disebut pesanggem.

Di dalam hutan jati perhutani sendiri dikenal sebuah istilah tanaman tepi atau

tanaman pagar. Hal ini adalah sebuah upaya perhutani dalam rangka memisahkan

secara tegas antara masyarakat desa hutan dengan wilayah hutan negara. Tanaman

tepi yang dipergunakan pun adalah tanaman secang yang mempunyai duri-duri besar

sehingga tidak dapat dimasuki oleh hewan maupun oleh manusia apabila tanpa

membawa alat pemotong seperti arit atau bendo.

Bentuk mentifact lain adalah pandangan yang menempatkan para pegawai

Perhutani sebagai status sosial yang tinggi. Sejarah kehutanan di Jawa menyebutkan

bahwa pada zaman Djatibedrijf sedang kokoh-kokohnya, para pegawainya

mendapatkan kemakmuran yang luar biasa dan mempunyai kharisma yang tinggi di

masyarakat. Prof. Hasanu Simon menulis,

Ketaatan atau ”ketakutan” masyarakat terhadap pemerintah kolonial, khususnya mereka yang bertempat tinggal di sekitar hutan, dapat dilukiskan sebagai berikut: dalam konsep undang-undang kehutanan antara lain disebutkan bahwa rakyat tidak diperkenankan masuk kedalam hutan tanaman jati dengan membawa senjata tajam seperti parang dan kapak. Di musim kemarau, lantai hutan jati penuh ditaburi oleh daun kering yang gugur karena sifat pohon jati sebagai jenis decidious. Oleh karena itu, kalau dalam musim kering ada orang masuk kedalam hutan, walaupun jumlah pejabat kehutanan sangat sedikit dan hanya sebulan sekali masyarakat melihat mereka masuk hutan, orang tersebut akan berjalan dengan sangat pelan-pelan karena suara kaki menginjak daun-daun kering dapat didengar sampai jauh. Tidak hanya berjalan pelan-pelan untuk menghindari suara kemresek juga orang tersebut berjalan sambil membawa daun-daun jati kering untuk menutupi setiap bekas injakan kaki yang daun-daunnya rusak karenanya.

ciii

Perasaan sebagai priyayi mendominasi pandangan para pegawai Perhutani.

Sementara itu, masyarakat desa hutan pun mempunyai pandangan yang sama.

Pandangan ini menyebabkan warga masyarakat sering menunjukkan pola perilaku

seperti mengirimkan makanan pada pegawai Perhutani ketika melaksanakan acara-

acara tertentu, istilah di masyarakat disebut punjung. Apabila melihat kondisi seperti

ini dapat dianalisis bahwa budaya feodal warisan pemerintah kolonial masih sangat

kental di dalam jajaran perum Perhutani.

Feodalisme adalah suatu tertib sosial yang ditandai dengan memerintahnya

golongan aristrokat atau bangsawan. Seorang administratur yang lebih sering

dipanggil “Pak Adm” merupakan jabatan yang “wah”. Tidak mudah untuk menemui

beliau. Bahkan untuk staff-nya sendiri. Fasilitas yang luar biasa diperoleh para

administratur ini. Biasanya pada setiap KPH dapat dijumpai rumah dinas Adm yang

mewah. Pola ini merupakan warisan dari apa yang terjadi pada masa Djatibedrijf.

Prof . Hasanu Simon menulis,

Pada waktu itu, Boshwezen telah memisahkan antara pengelolaan hutan jati dengan nonjati, masing-masing disebut Djati-hout dan Wild-hout Boschen. Kedua badan tersebut bernaung dibawah Jawatan Kehutanan Jawa Madura, tetapi masing-masing ditangani secara terpisah yaitu pengelola hutan jati dan pengelola hutan rimba. Bagi para pejabat Boschwezen, bekerja di Djatibedrijf dianggap lebih bergengsi dibanding kalau menjadi pejabat yang mengelola hutan rimba. Hal ini disebabkan karena pendapatan Djatibedrijf lebih tinggi dibanding dengan pendapatan pegawai hutan rimba, dan masalah yang dihadapi jauh lebih kompleks dan menantang.

Berbagai istilah untuk para pejabat kehutanan di Perhutani menjadi sebuah

simbol-simbol status, istilah-istilah tersebut masih dipakai oleh masyarakat hingga

saat ini. Beberapa contoh diantaranya adalah, polisi hutan yang pada masa

Djatibedrijf bernama boschwagter di lidah masyarakat Jawa menjadi pak waker,

pejabat bagian pendidikan disebut ndoro BA dari istilah Belanda Bosch-Architeck.

Adapula istilah pak sinder dan pak siner untuk menyebut bagian opziener yaitu para

civ

pejabat lapangan Djatibedrijf dan bagian pendidikan kehutanan. Sapaan-sapaan

diatas hingga saat ini masih terbawa.

B. Sosiofact

Banyak sekali aktifitas sosial yang termasuk tradisi masyarakat terkait dengan

kehutanan. Para petani pesanggem yang mempunyai ladang-ladang di bawah

tegakan pohon jati memiliki tradisi bancakan. Bentuknya adalah syukuran makan-

makan yang dilaksanakan pada berbagai momentum. Beberapa momentum

diantaranya adalah:

1. Ritual sebelum tebang hutan

Sebelum proses penebangan, biasanya malam sebelumnya diadakan ritual

bancakan dengan mengundang seluruh orang yang ada kaitan dengan proses

penebangan. Tujuan diadakannya bancakan adalah untuk mencari keselamatan

bagi semuanya.

2. Sebelum membuka Ladang baru bekas tebangan.

Pasca penebangan hutan, biasanya tanah hutan dibiarkan selama satu tahun

atau bahkan lebih. Biasanya masa-masa ini digunakan oleh para warga

masyarakat desa hutan untuk menanam palawija. Bahkan bagi para pencari

tunggak, ini adalah saatnya mencari tunggak untuk diolah. Tetapi, para pencari

tunggak memang menungggu satu tahun atau kurang karena pasca penebangan

akan ada operasi dari pihak Perhutani yang oleh warga masyarakat disebut

sebagai lacak balak yang bertugas mengecek sisa tebangan yang sudah diberi

nomor untuk melakukan supervisi. Jadi selama masa satu tahun tanah hutan

didiamkan oleh Perhutani maka masyarakat memanfaatkannya sebagai lahan

cv

untuk ditanami. Upacara penanaman biasanya menggunakan petungan atau

pencarian hari-hari baik sebelum menanam. Beberapa hari sebelum penanaman

masyarakat desa hutan mengadakan bancakan dengan sajian utama panggang

pitik atau ayam panggang.

3. Undhuh-undhuh.

Undhuh-undhuh adalah masa ketika para petani pesanggem di lahan hutan akan

melakukan panen diatas ladang atau lahan hutan, baik yang merupakan andil

yang ia punyai atau sewa maupun di lahan terbuka pasca penebangan.

4. Tampa seren

Tampa Seren adalah bancakan warga ketika bertemu dengan tanggal satu Sura

atau satu Muharram. Yaitu memperingati tahun baru dalam kalender

komariyah/tahun baru Islam.

Sebagai tambahan, karena penelitian ini dilaksanakan pada bulan Syaban

menjelang bulan Ramadhan maka bancakan juga dilaksanakan di masyarakat desa

hutan ini. Istilah yang disebutkan untuk menyebutkan tradisi ini adalah mapag dan

nutup. Mapag adalah bancakan untuk menyambut atau menyongsong(mapag) bulan

Ramadhan. Sedang nutup adalah bancakan untuk menutup atau bersiap-siap

mengakhiri bulan Ramadhan sehingga hati menjadi tenang dan dosa-dosa benar-

benar dilebur oleh Allah Sang Pencipta. Sajian yang disediakan di tradisi mapag dan

nutup berbeda. Apabila mapag berisi nasi lengkap dengan lauk (biasanya lauk utama

adalah ayam panggang) tetapi di nutup, selain nasi ada tambahan berupa Apem.

Aktifitas-aktifitas diatas adalah aktifitas yang lebih didorong adanya kepatuhan

terhadap aturan adat istiadat di lingkungan sosial. Pada peraturan lain yaitu peraturan

yang dikeluarkan oleh Perhutani artinya aturan terhadap hukum positif, masyarakat

desa hutan pun sama.

cvi

Pada saat PHBM dilaksanakan, budaya masyarakat yang lebih tampak

menonjol adalah budaya musyawarah yang lebih kental. Hal ini tampak dengan cara

pemilihan pengurus LMDH yang sangat terbuka. Dengan dukungan luas dari pihak

kelurahan, warga melakukan musyawarah dengan mengundang seluruh warga

masyarakat desa secara terbuka melalui undangan yang berstempel pamong desa di

tempat-tempat umum. Hal ini penulis temukan ketika melaksanakan observasi di

wilayah Ngadenan desa Cabak kecamatan Sambong, salah satu kawasan hutan

dengan potensi hutan yang relatif tinggi. Budaya musyawarah semakin menguat

sebagai akibat adanya pemberian sharing. Hasil sharing yang besar membutuhkan

kepercayaan bersama dalam pengelolaaanya. Sehingga hal ini menuntut musyawarah

antar warga. Demikian pula dalam proses pendirian, LMDH sebagai salah satu syarat

adanya pemberian sharing, membuat warga masyarakat desa hutan secara otomatis

meningkatkan pola musyawarah dalam setiap keputusan.

C. Artifact

Wujud budaya yang termasuk artifact adalah peralatan-peralatan yang

digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa hutan. Peralatan-peralatan

tersebut kita bagi menurut kesesuaian alat dengan aktifitas masyarakat.

Setiap aktifitas diatas mempunyai peralatan-peralatan pendukung. Ilmu

antropologi meyebutnya sebagai traits. Peralatan ini merupakan wujud kebudayaan

yang disebut sebagai artifact.

a. Perencekan

Peralatan yang digunakan dalam aktifitas ini antara lain: bendo, pethel,

precel, prekul, tatah dan graji.

b. Pengambil daun

cvii

Peralatan yang digunakan dalam aktifitas ini adalah ani-ani.

c. Pengambil tunggak dan brongkol

Peralatan yang digunakan dalam aktifitas ini antara lain: ganco, prekul,

Linggis dan arit.

Berbagai alat yang disebutkan diatas, dalam masyarakat lain juga ditemukan.

Ada yang mempunyai kesamaan fungsi tetapi ada pula yang memiliki perbedaan.

Salah satu alat tersebut adalah ani-ani. Di desa-desa pertanian, ani-ani adalah alat

untuk memotong padi tetapi di desa-desa hutan mengalami alih fungsi sebagai alat

pemotong daun. Cara pemakaian ani-ani relatif sama. Tetapi pemaknaan antara

ani-ani di dua hal ini apakah sama?apabila di desa-desa pertanian, pemakaian ani-

ani adalah bentuk penghormatan terhadap dewi pertanian, Dewi Sri, sebuah

kepercayaan yang hingga saat ini masih kuat menempel dalam diri masyarakat

agraris terutama di Jawa, tetapi pemaknaan tentang hal ini di desa hutan KPH Cepu

ini dapat dikatakan tidak ada.

4.2.3. Kearifan Lingkungan Masyarakat Desa Hutan

Warisan yang sangat berharga dari nenek moyang kita adalah tata nilai

kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Indonesia

mempunyai kemajemukan religi, akar budaya dan keragaman kearifan tradisional,

yang dapat menjadi modal dasar dalam menjalankan pembangunan yang berkeadilan

dan berkelanjutan.

Kearifan lingkungan (KL) adalah tata nilai dalam kehidupan sosial, politik,

budaya dan ekonomi bahkan religi, dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar

dan berada di tengah-tengah masyarakat. Ciri yang melekat dalam kearifan

lingkungan adalah sifatnya yang dinamis, berkelanjutan dan dapat diterima di

cviii

masyarakat. Kearifan lingkungan mewujud dalam bentuk agama, aturan,

pengetahuan, dan juga keterampilan serta tata nilai dan etika yang mengatur tatanan

sosial komunitas dan terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi.

Banyak contoh baik yang ada di masyarakat desa hutan di Indonesia maupun

di bagian hutan-hutan diseluruh dunia. Bagaimana pengetahuan masyarakat dari

hasil pengalaman-pengalaman dengan hutan mampu menjadikan warga

masyarakatnya mampu menghadapi alam yang ganas. Sebagaimana yang tersebut

dalam jurnal internasional yang diterbitkan oleh Swedish Biodiversity Centre

karangan Thomas Elmqvist berjudul Indigenous Institutions, Resilience And Failure

of Co-Management of Rain Forest Preserves In Samoa. Elmqvist menulis,

In Samoa, an archipelago in the western part of Polynesia, local societies use an array

of institutions and management techniques to cope with uncertainties in their environment. Tropical cyclones are highly unpredictable both on a temporal and spatial scale and may cause widespread destruction of villages and plantations. Examples of institutions and resource management systems used under these circumstances include a sophisticated land tenure system enabling a buffer capacity for growing crops, the use of taboos for protecting specific species and techniques for long-term storage of food and. The extent of damage to crops by cyclones is very variable both within and between crop species.

Inilah sebuah wujud adanya budaya masyarakat lokal yang luar biasa sebagai

wujud strategi menghadapi alam. Alam berhasil ditaklukkan. Tetapi terkadang

kearifan masyakat desa hutan ini dilemahkan oleh pihak pemerintah karena dianggap

tidak ilmiah dan kuno. Padahal di Samoa tidak terbukti apa yang ditakutkan oleh

pemerintah. Elmqvist melanjutkan,

Several local indigenous initiatives to conserve biodiversity were taken in the early 1990’s and resulted in village-based rain Forest preserves that are owned, controlled and managed by the villagers. Although these preserves appear to be a robust local approach to rain forest conservation, their establishment resulted in significant conflicts between the villagers and Western NGOs that assisted in raising funds for the preserves. The principles of indigenous control were unexpectedly difficult to accept by some western conservation organizations that ultimately were unwilling tocede decision-making authority to the indigenous leaders. In this case, co-management failed completely when a village decided to severe all relationships and refuse any further financial assistance from the Western NGOs. The reasons for co-management failure need to be analyzed in the context of the crucial role of local institutions and the importance of mutual trust.

cix

Pengetahuan-pengetahua lokal/indegenuous knowledge ini hampir tidak

dapat dilakukan oleh masyarakat di luar masyarakat desa hutan itu sendiri. Seperti

LSM baik dari pemerintah maupun LSM internasional. Ini menunjukkan perlunya

pemberdayaan dalam arti pemberian hak untuk mengelola hutan dalam rangka

menjaga kelestarian hutan.

Salah satu gerakan lingkungan yang terkenal di wilayah kabupaten Blora

adalah gerakan lingkungan yang dipelopori oleh Samin Surya Sentiko. Gerakan ini

berkembang semasa penjajahan kolonial belanda. Gerakan Samin sebagai gerakan

petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu

suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. Beberapa indikator

penyebab adanya pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain :

berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora, perubahan pola

pemakaian tanah komunal, pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai

penggunaan hasil hutan oleh penduduk. Indikator-indikator ini mempunyai

hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini

mempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan

dan mengharapkan zaman emas yang makmur.

Masyarakat desa hutan di wilayah hutan KPH Cepu dapat dikatakan

mempunyai potensi kearifan lingkungan yang cukup tinggi. Akan tetapi, potensi ini

masih dapat dioptimalkan lagi untuk membangun lingkungan yang lebih baik dan

bernilai positif. Bentuk optimalisasi ini adalah dalam bentuk pemberdayaan yaitu

dengan meningkatkan partisipasi masyarakat desa hutan dalam proses pengelolaan

hutan.

Salah satu contoh kasus adalah apa yang penulis temukan di wilayah

Nglebur. Pak Rais mengungkapkan kesyukurannya menjadi warga masyarakat desa

cx

hutan di wilayah Nglebur. Alasan pertama yang ia kemukakan adalah kekayaan

sumber daya hutan Nglebur yang luar biasa. Alasan yang kedua adalah kedekatan

antara warga masyarakat dengan para pejabat Perhutani. Persaudaraan di daerah

nglebur antar warga masyarakat, antara warga masyarakat dengan Perhutani

berlangsung dengan sinergis dan akrab. Mendengar beberapa alasan ini, maka dapat

dianalisis bahwa keterangan yang diberikan oleh Mas Wasis dari LSM SUPHEL dan

Pak Agung Sugiartha staf KSS PHBM bahwa Nglebur adalah wilayah di KPH Cepu

yang potensi hutannya tinggi adalah benar. Begitu pula teori yang dikemukakan

oleh Rachmat K. Dwi Susilo yang mengemukakan bahwa tidak ada satupun masalah

social yang merupakan produk dunia alamiah dan berjalan dengan sendirinya.

Tetapi persoalan lingkungan adalah produk interaksi antar manusia. Keyakinan

penulis adalah proses kelestarian hutan di Nglebur tidak lepas dari kearifan dalam

berinteraksi social diantara actor-aktor dalam wilayah hutan.

tambahan lagi, interaksi warga Nglebur dengan hutan juga berlangsung

dengan arif. Walaupun hutan adalah milik Perhutani, tetapi warga tetap menganggap

bahwa hutan itu adalah miliknya. Sehingga apabila warga mengambil sesuatu hasil

hutan, maka akan diambil sesuai kebutuhan saja. Pak Rais bercerita, bahwa ketika

masa 1998 dimana penjarahan dimana-mana marak, wilayah nglebur tidak demikian.

Hal ini memang sudah disadari warga nglebur. Dan akhirnya kesadaran ini memang

menghasilkan kemanfaatan yang lebih kontinyu. Sekarang, apabila warga nglebur

dalam mencari rencek, mencari daun, mencari gelam ataupun hasil hutan lain, maka

disekitarnya mudah didapat. Beda dengan wilayah lain, desa-desa lain yang pada

tahun 1998 dijarah dan dirusak maka sekarang untuk mencari rencek, mencari daun

serta hasil hutan lain harus keluar dari desanya. Hal ini merepotkan katanya, dan lagi

pula kayu-kayu hasil penjarahan masih tersimpan dan tidak tahu mau dijual dimana

cxi

selain itupula uang hasil penjarahan juga malah habis tanpa bekas yang dirasakan

dampaknya.

Proses pengelolaan hutan dengan partisipasi masyarakat didalamnya ada

berbagai macam pola. Apabila kita mempelajari pada berbagai kasus yang terjadi di

berbagai wilayah kehutanan dimana disitu terdapat beberapa aktor kehutanan, maka

akan kita ketahui berbagai variasi bentuk partisipasi dan pemberdayaan. Sebagai

contoh yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, yaitu bentuk pengelolaan hutan

di wilayah Sambeng Boyolali yang melibatkan masyarakat dalam penjagaan

kelestarian hutan. Disitu muncul sistem plong, yang bermanfaat untuk menambal

lahan hutan yang bolong yang manfaatnya dapat diterima oleh setiap aktor

kehutanan di wilayah Sambeng itu sendiri. Dengan model plong, ada beberapa

keuntungan yang bisa diperoleh kedua pihak. Misalnya, model plong memungkinkan

petani bisa ikut terlibat menjaga hutan. Kemudian, dari lahan plong tersebut bisa

diperoleh hasil pertanian cukup berarti untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu,

penggarapan lahan oleh petani juga bisa lebih intensif.

Penulis mendapatkan sesuatu yang baru yaitu dengan apa yang dinamakan

kawasan perlindungan setempat( KPS) yang merupakan kawasan yang tidak

dilaksanakan proses produksi didalamnya. Artinya tidak ada proses penebangan,

proses penjarangan dan lain-lain yang sifatnya merubah bahkan menghilangkan

vegetasi di kawasan tersebut. Intinya wilayah hutan yang dilestarikan. Pertanyaan

sekarang, penentuan suatu wilayah menjadi KPS itu apa? Pak Agung menyebutkan

bahwa penentuannya adalah karena kawasan tersebut dipakai oleh warga dan disitu

terdapat sesuatu yang berguna seperti mata air dan merupakan tempat yang

dipercaya masyarakat mempunyai keistimewaan. Hal yang menurut saya luar biasa

adalah jumlah kawasan ini mencapai jumlah sebanyak 1024 KPS yang tersebar di

cxii

seluruh wilayah KPH CEPU. Tetapi apabila melihat luas KPS yang diberikan

perhutani, maka dapat dikatakan sangat kecil apabila disebut sebagai sebuah

signifikansi upaya pelestarian hutan. Walaupun begitu, praktek-praktek masyarakat

dalam upaya pelestarian hutan dapat cukup terbukti dengan adanya wilayah KPS.

Kasus lain yang merupakan bukti pentingnya pemberdayaan dan partisipasi

masyarakat adalah kasus hutan rakyat di wilayah kabupaten Gunung Kidul,

Yogyakarta. Pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat petani di desa dekat hutan

Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, mencatat langkah maju. Sistem pengelolaan

hutan rakyat yang mereka terapkan, pada September 2006 berhasil mendapatkan

sertifikat ekolabel dari badan sertifikasi bertaraf internasional. Peristiwa bersejarah

bagi praktek pengelolaan hutan rakyat di Gunungkidul itu berlangsung di

Auditorium Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, 21 September 2006.

Penyerahan sertifikat itu merupakan bagian dari rangkaian acara dalam Pekan Raya

Hutan dan Masyarakat oleh Fakultas Kehutanan UGM bekerjasama dengan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Java Learning Center (Javlec).

Dalam perhelatan tersebut, pengurus dan anggota Koperasi Wana Manunggal

Lestari Gunungkidul layak disebut sebagai aktor utama. Sebab, kepada merekalah

sertifikat ekolabel tersebut diserahkan oleh lembaga sertifikasi berkaliber dunia yang

berbasis di Jerman, melalui perwakilannya di Indonesia, PT TUV International

Indonesia. Sertifikat tersebut merupakan pengakuan bahwa masyarakat anggota

koperasi tersebut telah melakukan pengelolaan hutan rakyat secara lestari.

Sebagai tambahan, dapat kita sebutkan satu contoh lagi di wilayah Ngawi

Jawa Timur. Rendahnya penghasilan dan kerasnya perjuangan hidup petani di desa

dekat hutan membuat para generasi muda pedesaan enggan menekuni pekerjaan

bertani.

cxiii

Paryono adalah salah satu contohnya. Lelaki muda asal Desa Dampit,

Kecamatan Bringin, Ngawi, Jawa Timur, ini pernah pergi dari kampungnya untuk

mengejar impian memperbaiki kesejahteraan dan kehidupan yang lebih mapan

dengan bertransmigrasi ke Sumatera pada 1990. Pada awalnya ia memang dapat

mewujudkan harapan itu. Tapi krisis ekonomi pada 1997 membuat berantakan

kehidupan yang telah ia bangun. Terutama oleh fanatisme daerah di kalangan warga

asli yang berujung pada ketegangan etnis dengan para pendatang, termasuk Paryono

dan beberapa rekan sekampungnya yang pada saat itu ikut bertransmigrasi. Situasi

tersebut membuat Paryono dan kawan-kawan sekampungnya asal Dampit tak lagi

merasa aman. Dan akhirnya mereka pun memutuskan pulang kampung, kendati di

benak mereka belum terlintas akan melakukan apa untuk menyambung hidup.

Semenjak 1998 hingga 2000, penjarahan kayu jati di hutan negara marak di

hampir seluruh wilayah Jawa, tak terkecuali di hutan jati dekat kampung Paryono.

Bagi Paryono dan warga Dampit yang menganggur, membabat kayu jati di hutan

negara merupakan pilihan untuk mendapatkan penghasilan yang sulit dielakkan.

Rata-rata tiap orang bisa memperoleh pemasukan Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu per

hari dari berdagang kayu jati hasil curian. Kian hari makin banyak orang menjarah

hutan jati. Peristiwa itu tak hanya berlangsung di Desa Dampit, melainkan juga di

Desa Kenongorejo, dan Desa Bringin di kecamatan yang sama. Pada September

1998 massa menjarah dan merusak 5.000 hektare hutan jati yang dikelola Perum

Perhutani di Wilayah Kabupaten Ngawi. Bentrok fisik antara massa dengan polisi

pun pecah mengakibatkan seorang warga tewas. Polisi menahan 115 orang.

Akibatnya, hutan jati di Kecamatan Bringin ludes dalam sekejap. Kondisi alam pun

berubah kering dan gersang di musim kemarau, sementara di musim hujan banjir dan

tanah longsor mudah datang. Mereka miris melihat bencana alam yang datang

cxiv

menyusul gundulnya hutan di kampung mereka. Maka, ketika orang-orang masih

terus menjarah isi hutan, Paryono dan rekan-rekan sekampungnya memutuskan

berhenti ikut menguras kayu jati di hutan. Lebih-lebih ketika mereka menyadari

bahwa menjarah hutan tak serta merta membuat hidup mereka lebih sejahtera.

Bersama beberapa pemuda sekampungnya, Paryono lantas bekerjasama dengan

Perum Perhutani untuk melakukan penghijauan Kecamatan Bringin yang gundul.

Sebagai imbalan atas jerih payah mereka, Perhutani memang tak memberi upah

harian, melainkan mereka dibolehkan memanfaatkan 1/3 lahan hutan Perhutani tadi

untuk ditanami tanaman pertanian. Inisiatif model penanaman selangseling yang

lazim disebut “model plong” atau alley cropping ini datang dari Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) Lembaga Studi Ekosistem Hutan (Lesehan) yang berkedudukan

di Madiun. Bagi Paryono dan kawan-kawannya sesama penggarap lahan hutan, itu

merupakan awal perjuangan mereka menghindarkan diri dari nasib para petani hutan

pendahulu mereka.

Itulah beberapa contoh kearifan lingkungan yang menunjukkan pentingnya

partisipasi dan pemberdayaan dari setiap aktor kehutanan. Adanya satu pihak yang

lebih mendominasi pengelolaan hutan tidak serta merta memperbaiki alam

lingkungan hutan akan tetapi memunculkan adanya masalah laten yang dapat

sewaktu-waktu meledak menjadi konflik yang besar pengaruhnya bagi kehidupan

ekologi yang melibatkan unsur dalam ekosistem dan sistem sosial.

cxv

cxvi

cxvii

cxviii

cxix

cxx

cxxi

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Pelajaran tentang ekologi dapat kita ketahui dari hasil penelitian dalam

tulisan ini. Pelajaran paling terkait dengan tulisan ini adalah adanya kearifan lokal

yang dipunyai oleh masyarakat desa hutan. Pikiran, perilaku dan berbagai benda

yang dimiliki oleh warga masyarakat desa hutan adalah sebuah interaksi yang

dapat ikut serta dalam mendukung kelestarian sumber daya hutan hutan milik KPH

Perhutani Cepu.

Namun, dibalik kelestarian hutan yang ada, beberapa nilai-nilai kearifan lokal

yang merupakan produk budaya dan ditemukan di dalam masyarakat desa hutan ini

mengandung benih konflik dan kerawanan terhadap kelestarian hutan itu sendiri.

Bentuk kearifan lokal yang ditemukan adalah narimo ing pandum, maka kearifan

lokal yang merupakan produk budaya ini hanya membentuk kelestarian hutan saat

ini, tetapi tidak untuk jangka panjang. Ketika budaya masyarakat berkembang

secara dinamis, dari segi cara berpikir masyarakat, maka dapat dikhawatirkan akan

memunculkan keinginan untuk menuntut hak yang lebih besar dariapada apa yang

telah didapatkan selama ini.

Hal diatas secara mudah dapat diterangkan bahwa kelestarian hutan yang terbentuk

pada saat ini hanyalah kelestaraian tegakan hutan tetapi kelestarian pengelolaan

hutan belum tentu terwujud. Karena tujuan akhir dari pengelolaan hutan adalah

kesejahteraan seluruh warga dan para pelaku kehutanan serta bagi lingkungan

hutan itu sendiri.

5.2. Implikasi

5.2.1. Implikasi Empiris

cxxii

Hasil penelitian menjelaskan perlu adanya perubahan yang lebih bersifat

memunculkan nuansa kebersamaan dan kesetaraan antara berbagai pihak yang

terkait dalam pelaksanaan pengelolaan hutan agar cita-cita besar kelestarian hutan

sebagai keberhasilan kelestarian ekologi bisa benar-benar tercapai yaitu dengan

meningkatkan kerja sama dan interaksi yang dapat men”damai”kan antara berbagai

pihak. Damai di dalam pengertian ini adalah kesetaraan dan kebersamaan. Adalah

hal yang tidak mungkin apabila kelestarian hutan hanya dibebankan pada satu

pihak dengan mengorbankan satu pihak padahal dengan adanya kerjasama yang

memiliki dua sifat diatas maka akan menghasilkan kerja yang harmonis dan

dengan itu pula menghasilkan output kelestarian hutan yang lebih maksimal

dengan manfaat-manfaat yang dapat dinikmati secara adil dan merata.

5.2.2. Implikasi Teoritis

Hasil penelitian mendukung pernyataan Rachmat K. Dwi Susilo yang

mengemukakan bahwa tidak ada satupun masalah social yang merupakan produk

dunia alamiah dan berjalan dengan sendirinya. Tetapi persoalan lingkungan adalah

produk interaksi antar manusia.

Selain itu, teori ekologi manusia dari Albert& Murdock maupun Hawley,

Masih relevan. Inti dari 2 pendapat ini adalah, ekologi manusia adalah adaptasi

yang dilakukan manusia dalam menghadapi lingkungan hidupnya baik sosial

maupun fisik.

Serupa dengan atas, Model ekologi manusia dari Rambo ataupun dari

Duncan. Masih mampu menggambarkan bagaimana interaksi dari berbagai unsur

pembentuk ekologi. Dalam hal ini unsur ekologi tersebut adalah manusia yang

dipengaruhi oleh lembaga-lembaga sosial di wilayah kehutanan dapat dipengaruhi

dan mempengaruhi lingkungan. Inti dari dua model ini adalah unsur-unsur

cxxiii

pembentuk kesatuan ekologi dengan hubungan antar unsur yang bersifat dialektika

abadi.

5.2.3. Implikasi Metodologis

Dalam sisi proses penelitian, perlu adanya perubahan sudut pandang atau

pola pembahasan penelitian dari mencari-cari bentuk budaya semata kearah

penelitian yang berusaha untuk mengetahui bentuk budaya semacam apa yang

seharusnya ada sebagai sarana mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari, yang

dengan itu pula kesejahteraan masyarakat desa hutan bisa terjamin. Hasil-hasil

penelitian dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya dengan mulai berusaha

untuk mencari celah-celah dari hal-hal apa yang dapat diambil dan dikembangkan

dari budaya masyarakat desa yang sudah ada sekarang menuju tujuan akhir dari

perlunya kelestarian ekologi hutan secara komprehensif.

Selain itu, kemudahan bagi peneliti perlu pula diperhatikan. Salah satunya

adalah akses atau keterjangkauan lokasi penelitian dengan domisili peneliti.

Wilayah KPH Cepu yang jauh dari kota Surakarta cukup mempersulit peneliti.

Selain itu perlu pula mempertimbangkan kemampuan dana yang dimiliki peneliti.

Wilayah KPH Cepu merupakan wilayah dengan biaya hidup yang cukup tinggi

akibat adanya pengaruh perusahaan asing exxon mobile di wilayah ini. Jadi konsep

KUWAT yaitu Kesempatan, Uang, Waktu, Alat dan Tenaga harus serius

diperhatikan.

5.3. Saran

Ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan untuk menghadapi

beberapa kesulitan dalam proses penelitian maupun dari hasil penelitian ini.

cxxiv

Pertama, dalam sisi proses penelitian, perlu adanya perubahan sudut pandang

atau pola pembahasan penelitian. Dari mencari-cari bentuk budaya semata, kearah

penelitian yang berusaha untuk mengetahui bentuk budaya semacam apa yang

seharusnya ada sebagai sarana mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari, yang

dengan itu pula kesejahteraan masyarakat desa hutan bisa terjamin. Hasil-hasil

penelitian ini dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya dengan mulai

berusaha untuk mencari celah-celah dari hal-hal apa yang dapat diambil dan

dikembangkan dari budaya masyarakat desa yang sudah ada sekarang menuju

tujuan akhir yaitu kelestarian ekologi hutan secara komprehensif.

Kedua, dalam sisi hasil penelitian. Hasil penelitian perlunya adanya

perubahan yang lebih bersifat memunculkan nuansa kebersamaan dan kesetaraan

antara berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengelolaan hutan agar cita-

cita besar kelestarian hutan sebagai keberhasilan kelestarian ekologi bisa benar-

benar tercapai yaitu dengan meningkatkan kerja sama dan interaksi yang dapat

men”damai”kan antara berbagai pihak. Damai di dalam pengertian ini adalah

kesetaraan dan kebersamaan. Inilah saran penulis kepada perum perhutani, juga

kepada lembaga masyarakat desa hutan. Dengan penyamaan persepsi dan

sinergisitas langkah akan menghasilkan output kelestarian hutan yang lebih

maksimal dengan manfaat-manfaatnya yang dapat dinikmati secara adil dan

merata.

cxxv

DAFTAR PUSTAKA Agar, Michael H. The Professional Stranger :An Informal Introduction to Ethnography. Orlando: Academic Press Inc. 1980 Anonymous, Ada Apa dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia. Surakarta. Gema Pembebasan. 2004 Awang, San Afri. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta. Center For Critical Social Studies(CCSS). 2003 Awang, San Afri. Dekonstruksi Social Forestry;Reposisi Masyarakat Dan Keadilan Lingkungan.Yogyakarta. Bigraf Publishing. 2004 Bogdan, R & Taylor Steven, J. Kualitatif : Dasar – Dasar Penelitian.Surabaya. Usaha Nasional. 1983 Buttel, Frederick, Environmental And Resources Sociology:Theoretical Issues And Opportunities For Synthesis In Rural Sociology,1996, hal. 56-75 Dietz, Ton. Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam; Kontur Geografi Lingkungan Politik. Insistpress. 2005 Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 2006 Mangunjaya, Fachruddin M. Dkk. Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, Dan Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2007 Miles, Mathew B. dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta. Penerbit universitas Indonesia. 1992 Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Penerbit Rake Sarasin. 1989 Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa. Kearifan Lingkungan Untuk Indonesiaku, Yogyakarta. Kementrian Negara Lingkungan Hidup Ri. 2006 Santana, Septian K, Menulis Ilmiah; Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2007 Simon, Hasanu. Membangun Kembali Hutan Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2004 Simon, Hasanu. Aspek Sosioteknis Pengelolaan Hutan Jati Di Jawa. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2004 Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi. Jakarta. CV Rajawali. 1985 Spradley, James P.. Metode Etnografi.Yogyakarta. Tiara Wacana Yogya. 1997

cxxvi

Sumber lain: Affianto, Agus. Mekanisme Bagi Hasil dalam PHBM: Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Atau Pengelolaan Hutan Biaya Murah? Artikel dalam situs Javlec(Java Learning Centre) di down load tanggal 6 Juli 2007 Dwi Susilo, Rachmad K., Sosiologi Lingkungan Dari Pegunungan Di Kota Batu Malang, , Paper Dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Sosiologi Se-Jawa Timur, Universitas Muhammadiyah Malang, 26 Desember 2004 C. Filer dkk. Interactions Between Local/Indigenous Communities and the Natural Environment in Far North Queensland and Southern New Guinea. A Partial Review of Research To Date. Series: Resource Management in Asia-Pacific Working Paper No. 52 http://rspas.anu.edu.au/papers/rmap/Wpapers/rmap_wp52.pdf. tanggal down load 26 Mei 2009. Jalal, Menuju Sosiologi Lingkungan Atau Sosiologi Ramah Lingkungan, makalah dalam diskusi pada kongres Ikatan Sosiologi Indonesia, Bogor, 28 Agustus 2002. Elmqvis, Thomast. Indigenous institutions, resilience and failure of co-management of rainforest preserves in Samoa. http://dlc.dlib.indiana.edu/archive/00000568/00/elmqvistt041300.pdf. di down load tanggal 26 Mei 2009 www.infojawa.org. Geliat Pinggir Hutan. Di down load tanggal 6 Juli 2007

cxxvii

Lampiran

cxxviii

CATATAN LAPANGAN

Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah menentukan informan. Peneliti

menggunakan langkah-langkah yang dilakukan oleh James Spradley. Spradley

menjelaskan bahwa terdapat dua belas langkah dalam metode etnografi, dan langkah

pertama adalah menentukan informan.

Penetapan informan didasarkan pada pertimbangan etika suatu penelitian. Informan

yang penulis pilih untuk pertama kali adalah dari pihak Kesatuan Pemangkuan

Hutan(KPH) Cepu. Selain untuk meminta informan dari KPH Cepu, peneliti juga

melakukan perkenalan sekaligus ijin melakukan penelitian. Menurut Bogdan

(1993:66),Perkenalan secara terbuka ini penting. Dengan ini peneliti akan dapat

bergerak secara leluasa dalam ‘memburu’ informasi yang dibutuhkan, serta

memperoleh kemudahan dari organisasi atau kelompok-kelompok di masyarakat,

dan dalam menjelaskan tujuan penelitian cukup sekedar penjelasan umum,

berkatalah yang sebenarnya pada saat permulaan penelitian(Bogdan 1993: 72-73).

Penulis merasa bersyukur dengan kemudahan perkenalan karena memang pernah

berinteraksi selama 1,5 bulan ketika menjalani masa magang pada LSM SUPHEL

dengan lokasi yang sama. Pihak Perhutani yang penulis temui adalah, bapak Eko

Teguh Prasetyo, supervisor lapangan KPH Cepu yang lebih dikenal sebagai KSS

PHBM(Kepala Sub Seksi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Nama KSS

PHBM dimaksudkan agar lebih menuansakan kesamaan derajat atau lebih merakyat.

Pak Eko menyarankan kepada penulis agar menghubungi Mas Agus staf beliau yang

mempunyai kelebihan merupakan warga asli Blora dan lebih mengenal lapangan

karena dialah yang paling sering terjun ke lapangan. Mas Agus inilah yang penulis

tetapkan sebagai informan pertama dan sekaligus informan kunci penelitian ini.

cxxix

Orang seperti Mas Agus inilah inilah yang disebut oleh Agar(1980:85) sebagai

‘profesional stranger handler’, yaitu sebagai orang pertama yang memberi

penjelasan pada ‘orang luar’ seperti peneliti. Orang seperti ini disebut juga sebagai

‘natural relation expert’ (Agar 1950). Orang-orang seperti ini dapat memberikan

penjelasan yang memuaskan pada ‘orang luar’ (peneliti) tanpa merugikan

masyarakatnya.

Menurut Pak Agus ini, Cepu(KPH Cepu) mempunyai potensi lebih dibanding

dengan KPH lain. Tetapi apa kelebihannya(ini sebuah pertanyaan etnografis juga).

Sebuah informasi yang juga perlu diperhatikan dari beliau, adalah bahwa di KPH

Cepu ini tidak ada hutan adat. Tetapi pertanyaan lain yang mengemuka dalam benak

peneliti adalah apakah masyarakat punya hutan kolektif? Informasi ini bagi saya

cukup mempengaruhi proses apa yang harus dilakukan selanjutnya. Karena konsep

kearifan lokal yang menjadi pokok penelitian ini dalam gambaran awal peneliti

adalah dalam bentuk adanya hutan khusus yang sifatnya merupakan hutan adat

seperti hutan adat dalam pengertian kehutanan secara umum yaitu hutan yang

dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Bentuknya adalah hutan alam yang sudah

secara turun temurun dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan sosial ekonomi

dan budaya yang sifatnya kolektif dengan pengaturan dan pengelolaan dibuat dan

ditetapkan oleh hukum adat(Awang, 2003:113).Atau hutan rakyat dengan ciri adalah

kegiatan penanaman pohon tersebut dilaksanakan di atas lahan milik rakyat atau

dapat juga dilaksanakan di atas lahan Negara yang diperuntukkan untuk kegiatan

penanaman pohon dan manfaatnya untuk masyarakat(Awang,2003:111). Jawaban

atas pertanyaan ini tetap tersimpan dalam benak peneliti dan akan terjawab ketika

bertemu dengan informan lain dari masyarakat desa hutan.

cxxx

Sebelum memasuki konteks kearifan lokal masyarakat desa hutan, maka terlebih

dahulu kita harus mengetahui sistem besar apa yang melingkupi kehidupan

masyarakat desa hutan. Sistem besar yang dimaksud disini adalah sistem kebijakan

dari pengelola kebijakan dalam bidang kehutanan di wilayah penelitian. Hal ini

merupakan landasan untuk melihat hubungan antara kearifan lokal dalam berbagai

bentuknya(budaya, ketrampilan, sumber daya, pengetahuan dan proses sosial lokal)

dengan sistem yang dapat mempengaruhi bahkan merubah pola dan isi dari kearifan

lokal.

Bidang kehutanan di lokasi penelitian dikelola oleh KPH(Kesatuan Pemangkuan

Hutan) Cepu. Pertanyaan pertama dan mendasar kepada Bapak Agung Sugiarta, staf

KSS PHBM(Kepala Sub seksi pengelolaan hutan bersama masyarakat) adalah

mengenai hak masyarakat desa hutan terhadap hutan yang dikelola Perhutani.

Jawaban untuk pertanyaan ini adalah pada kenyataannya masyarakat desa hutan

tidak mempunyai hak terhadap hutan. Hak masyarakat sebenarnya hanyalah sebuah

nilai atas kerja yang dilakukan masyarakat untuk sebuah program yang merupakan

inisiatif dari Perhutani. Nilai tersebut berupa uang bayaran.

Pembahasan mengenai “hak” masyarakat desa hutan dapat kita bagi dalam dua masa

yaitu masa pra PHBM dan ketika program PHBM telah dilaksanakan. Pra PHBM

dilaksanakan sebenarnya sudah dilakukan beberapa program yang sifatnya

bernuansa kerakyatan dengan sistem kerja sama. Program tersebut adalah program

mantri lurah(Ma-Lu), program perhutanan sosial , tetapi program-program tersebut

bukanlah program yang mempunyai dasar hukum. Sehingga ketika terjadi sesuatu

sangat sulit untuk diselesaikan atau dipertanggungjawabkan. Bentuk dari program–

program tersebut adalah penggunaan wilayah lahan hutan Negara untuk masyarakat

untuk tanaman yang bisa dijual. Perhutani menamakan hal ini dengan istilah

cxxxi

Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan(PLDT). Ketika pihak Perhutani

membutuhkan tanah tersebut dapat saja dengan mudah tanaman atau apapun yang

ada di wilayah hutan Negara dihancurkan dan itu tidak dapat dipermasalahkan

karena memang belum berlandasan hukum. Pengakuan dari Perhutani yang

disampaikan oleh Pak Agung ini memang diakui bahwa Perhutani memang

cenderung arogan pada masa pra PHBM. Ia berkata dalam wawancara,”kalau kita

dibilang arogan, ya bisa juga dibilang arogan, maksudnya pihak managemen bebas

mengajak masyarakat atau tidak dalam mengelola hutan”.

Pendapat bapak Agung mengenai masyarakat desa hutan apabila dianalisis secara

kualitatif yaitu dengan mencari makna dibalik setiap pernyataan, maka dengan cara

mengkontraskan sebuah fenomena sosial dengan fenomena sosial yang lain. Maka

dapat dikatakan bahwa perhutani memang bersikap arogan. Bagaimana tidak

kesempatan MDH hanyalah memanfaatkan lahan-lahan dibawah tegakan secara

tumpangsari maupun dengan adanya pengambilan hasil hutan ikutan. Berbicara

mengenai tanaman tumpang sari, LSM SHOREA yang mendampingi masyarakat

desa hutan di wilayah gunung kidul pernah mengalami pengalaman di masyarakat

bahwa tumpangsari adalah sebuah konsesi dari apa yang disebut sebagai hutan

kemasyarakatan. Tumpang sari yang dilakukan ini dilaksanakan diantara tanaman-

tanaman pokok seperti jati atau yang lain. Program hutan kemasyarakatan sendiri

adalah Sebuah program kehutanan yang melibatkan masyarakat sebagai mitra

pengambil kebijakan kehutanan dalam bentuk utamanya adalah izin mengelola hutan

dimulai dari pembenihan, penanaman, pemeliharaan tetapi tidak mendapatkan hak

untuk melakukan pemanenan..Mengapa? karena masyarakat desa hutan hanya

mendapatkan hak pengelolaan hutan hanya selama lima tahun. Padahal nilai

ekonomis hutan jati berlangsung lebih dari lima tahun bahkan lima belas tahunpun

cxxxii

belum dapat menjadikan jati tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi, baru ketika

usia jati tigapuluh lima tahun, jati tersebut sudah layak menjadi bahan baku

produksi. Maka bagaimana mereka mendapatkan sesuatu dari kerja keras mereka?

Program Mantri Lurah atau disingkat Ma-Lu adalah salah satu dari program

Prosperity Approach yang digulirkan semenjak tahun 1974 mengikuti arus besar

pemikiran pengelolan sumber daya hutan waktu itu yaitu multiple use of forest land.

Menurut Prof.Simon, pendekatan Mantri Lurah menunjukkan kecerdasan

pencetusnya tentang perpaduan antara perencanaan kehutanan konvensional dengan

perencanaan sosial ekonomi masyarakat. Tetapi lanjut beliau, semua kegiatan

tersebut memerlukan rencana yang disusun secara komprehensif, tidak cukup dengan

perencanaan tambal sulam seperti yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Bagaimana

bentuk tambal sulam tersebut? Yaitu dengan tidak adanya rencana rigid yang

merupakan hasil kolaborasi dari dua penentu kebijakan tersebut. Perum perhutani

masih menggunakan pola timber management yang merupakan pola-pola teknis

pengelolaan hutan yang memandang hutan dari sisi kayu. Padahal dalam

perencanaan sosial ekonomi masyarakat tidak dapat diserupakan dengan pola-pola

teknis dalam timber management itu. Professor Hasanu Simon pada akhirnya

mengatakan bahwa masalah sosial ekonomi masyarakat memerlukan keluwesan

rencana kerja yang landasannya adalah kerjasama saling menguntungkan, saling

pengertian dan saling kepercayaan dan kejujuran yang semuanya tidak mudah

diwujudkan dalam angka-angka. Inilah evaluasi beliau tentang program Prosperity

Approach yang mengalami kegagalan.

Program Perhutanan Sosial, adalah program yang dicetuskan pada tahun 1980-an

ketika perhutani mendapatkan bantuan dari Ford Foundation untuk mengatasi

masalah sosial dalam pengelolaan hutan jati di Jawa. Pelaksanaan dari program ini

cxxxiii

diawali dengan sebuah penelitian lapangan yang merupakan gabungan dari doctor-

doktor antropologi kenamaan dengan para sarjana kehutanan Indonesia yang berada

dalam jajaran perhutani. Salah satu diantaranya adalah mahasiswa doctoral bernama

Nancy Lee Peluso yang meneliti di Balapulang dan akhirnya mengarang sebuah

buku berjudul Rich Forest Poor People. Tetapi kelihatannya hasil penelitiannya

tidak dijadikan pedoman sama sekali. Maka jadilah program perhutanan sosial hanya

berupa system tumpangsari yang berada pada tanah antara sela tanaman jati yang

diperlebar untuk dapat ditanami oleh warga masyarakat dengan nanas, atau buah-

buahan lain.

Ketika program PHBM diluncurkan pada tahun 2001 KPH Cepu baru mulai

melaksanakannya pada tahun 2003. beda program ini dengan program-program

sebelumnya, adalah adanya landasan hukum yang mendasarinya. Pada program ini

dibentuklah LMDH-LMDH atau lembaga masyarakat desa hutan yang dinotariskan.

Sistem yang digunakan pada masa ini adalah dengan sistem sharing yaitu penentuan

proporsi bagi hasil dalam bentuk uang. Salah satu ucapan yang dikatakan mengenai

aktifitas warga masyarakat desa hutan adalah,”dalam PHBM kan ada pembinaan,jadi

kita berusaha merubah pola pikir mereka dan diharapkan ada penurunan kebiasaan

atau interaksi mereka dengan hutan,”apabila kita kaji lebih mendalam, upaya untuk

menurunkan kebiasaan masyarakat berinteraksi dengan hutan adalah sesuatu yang

musykil.

Penulis dalam latar belakang penelitian ini menulis bahwa masyarakat desa

hutan dengan hutan yang ada di wilayahnya pada umumnya memiliki hubungan

yang erat dan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Betapa tidak?

Mereka hidup dan berinteraksi secara intens dengan hutan semenjak lahir bahkan

mungkin hingga mati. Lamanya interaksi ini secara otomatis akan menghasilkan

cxxxiv

budaya. Kebiasaan dan tradisi di masyarakat desa hutan apa yang menyebabkan

kelestarian hutan tidak terjadi? Pendapat penulis, tidak ada! Berbagai sistem serta

budaya dalam masyarakat sekitar kawasan hutan mempunyai peran penting dalam

menjaga kelestarian hutan. Apabila di saat sekarang terdapat paradigma bahwa

masyarakat desa hutan adalah pihak yang menyebabkan kerusakan hutan maka yang

perlu kita pahami adalah penyebab mereka melakukan hal tersebut. Negara dalam

hal ini pemerintah yang mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan telah

mencerabut masyarakat desa hutan dari wilayahnya sendiri. Akses terhadap hutan

dibatasi bahkan ditutup sehingga masyarakat desa hutan ibarat ”anak ayam mati di

lumbung padi”. Apa sajakah kebiasaan-kebiasaan dan tradisi –tradisi masyarakat itu?

Berbicara tentang hak masyarakat desa hutan, maka perlu pula kita mendengar dari

lembaga swadaya masyarakat SUPHEL. SUPHEL adalah singkatan dari Solidaritas

Masyarakat Untuk Penyelamatan Hutan dan Lingkungan Hidup. Sebuah lembaga

nirlaba yang berorientasi pada pengembangan sikap masyarakat agar lebih kritis

terhadap persoalan pembangunan yang berdampak pada kerusakan lingkungan

terutama kerusakan hutan. Wawancara ini merupakan sarana untuk mengetahui

hubungan antara masyarakat desa hutan, KPH Perhutani Cepu serta hutan itu sendiri.

Informan dari SUPHEL adalah Wasista Daru Darmawan. Ia dalam SUPHEL

menjabat sebagai koordinator advokasi kebijakan.

Beberapa Hal Penting Dari SUPHEL.

Peneliti mengajukan pertanyaan pada SUPHEL, hak-hak apakah yang dipunyai oleh

masyarakat desa hutan terhadap kawasan hutan? Jawaban untuk pertanyaan ini

adalah tidak ada. Apabila adapun, sebenarnya itu bukanlah hak. Sebagai contoh, ada

sistem banjarharian yaitu pelaksanaan proses pembuatan hutan dengan melibatkan

warga masyarakat dalam penanaman kemudian diberi upah. Ataupun dengan

cxxxv

melakukan pengolahan lahan hutan secara tumpang sari, dengan catatan si

pesanggem(istilah untuk warga masyarakat yang mendapatkan kesempatan

pengolahan lahan hutan) wajib menjaga hutan milik Perhutani.

Ketika penulis melakukan pengamatan diwilayah KPH Cepu, banyak warga yang

mengambil daun, rencek, arang, maupun akar. Tetapi hal ini menurut Mas Wasis,

salah satu anggota dari SUPHEL sebenarnya adalah aktifitas ilegal. Tetapi, hal ini

memegang diperbolehkan oleh KPH Cepu. Mengapa hal itu dilarang tetapi tetap

diperbolehkan? Karena KPH Perhutani belum mempunyai solusi terhadap aktifitas

yang dilaksanakan. Apabila terdapat pelarangan, itu sama artinya dengan membunuh

masyarakat. Dengan kata lain, inilah kebijakan lokal dari KPH Cepu. Kebijakan

local yang berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi local masyarakat.

Jadi hak masyarakat terhadap hutan memang tidak ada. Kecuali mereka berperan

dalam proses-proses pengelolaan hutan yang dilaksanakan atas inisiatif Perhutani.

Apakah ini merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat desa hutan di Jawa? MDH

mampu dengan sabar hidup dalam kondisi dimana akses sangat dibatasi sehingga

tidak ada kesempatan memanfaatkan hutan kecuali sedikit. Ada sebuah nilai yang

masih berlaku dan dianggap biasa yaitu tentang status sosial pegawai Perhutani yang

digolongkan kaum priyayi. MDH mempercayai hal ini, dan para pegawai Perhutani

pun merasa demikian. Penulis mengetahui bahwa budaya feodal masih sangat kental

di dalam jajaran perum Perhutani. Hal ini perlu dibuktikan! Dan pembuktian ini akan

diketemukan pada tulisan berikutnya.

Di saat sekarang, ketika program PHBM dilaksanakan ada sedikit perubahan yaitu

dengan sistem sharing(pembagian hasil berupa uang dari hasil panenan hutan baik

dari tebang penjarangan maupun untuk tebang produksi untuk masyarakat desa

hutan) padahal pembagian uang ini adalah agar masyarakat “berperan” dalam artian

cxxxvi

tidak mengambil hasil hutan. Inipun sebuah pola yang sama dengan yang selama ini

sudah ada bukan? Untuk lebih jelasnya, perlu bagi kita untuk membaca sebuah

tulisan karya aktivis lingkungan yang juga akademisi kehutanan UGM tentang

PHBM ini.

Menurut Agus Affianto, seorang anggota LSM kehutanan di Javlec(Java Learning

Centre)hasil sharing yang besarnya 25% masih memendam sedikit ketidakadilan. Ia

menulis permasalahan ini dalam karangan berjudul: mekanisme bagi hasil dalam

PHBM: pengelolaan hutan bersama masyarakat atau pengelolaan hutan biaya

murah?kalimat pembuka dalam karangan tersebut bernada keras yaitu, apabila dalam

suatu usaha, saudara berkontribusi modal 2 bagian sedang pihak lain 1 bagian,

apakah saudara akan bersedia membagi pendapatan usaha tersebut dengan proporsi

yang sama(1:1)dengan pihak lain?

Penentuan sharing atau bagi hasil dalam kawasan hutan Perhutani diatur oleh

keputusan direksi perum Perhutani no.001/KPTS/DIR/2002 tentang pedoman

berbagi hasil hutan kayu, proporsi hasil bagi maksimum yang berhak diterima

masyarakat desa hutan adalah sebesar 100% untuk penjarangan pertama, 25% untuk

penjarangan lanjutan dan 25% untuk hasil tebangan habis. Artinya pada seluruh

wilayah kerja Perhutani, masyarakat desa hutan akan menerima proporsi maksimum

sebesar seperti yang dikemukakan diatas apabila kerjasama dimulai dari tanah

kosong. Sementara proporsi bagi hasil akan semakin kecil apabila kerjasama dimulai

dari areal yang bertegakan.

Beginilah redaksi keputusan direksi perum Perhutani no.001/KPTS/DIR/2002

tentang pedoman berbagi hasil hutan kayu:

KEPUTUSAN DIREKSI PT PERHUTANI(PERSERO) NO.001/KPTS/DIR/2002

TENTANG PEDOMAN BERBAGI HASIL HUTAN KAYU:

Bagian Kedua Tebangan yang Direncanakan

Pasal 5 Proporsi hak kelompok masyarakat desa hutan terhadap hasil hutan kayu jati atau kayu selain jati yang perjanjian kerjasamanya dilakukan pada kondisi hutan

cxxxvii

Agus Affianto mengajukan tiga pertanyaan evaluative yaitu:

d. Dapatkah proporsi sebagaimana yang tercantum dalam keputusan manajemen

perhutani tersebut diberlakukan secara umum di seluruh wilayah kerja

Perhutani?

e. Dapatkah prosentase bagi hasil ditetapkan secara berbeda pada satu proses

produksi yang sama?

f. Apa dasar penentuan munculnya angka 100%(untuk penjarangan pertama)

dan maksimum 25%(untuk penjarangan lanjutan dan terakhir) tersebut?

Pertanyaan point (a) muncul lebih dilatarbelakangi oleh perbedaan karakteristik pada

wilayah kerja Perhutani. Jangkauan wilayah kerja Perhutani di pulau Jawa yang

mencakup provinsi banten hingga Jawa timur tentunya harus dipertimbangkan

dalam penetuan proporsi bagi hasil tersebut. Bukankah terdapat perbedaan baik dari

sisi umur maupun dari jenis tanaman .

Munculnya pertanyaan poin (b) dan (c) lebih didasarkan pada pola pikir sederhana

saja. Pertama, kegiatan penyiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan

dan penjarangan adalah serangkaian aktifitas yang merupakan input dalam suatu

proses produksi untuk menghasilkan tegakan siap tebang pada umur yang

dikehendaki. Apabila memang demikian halnya, dapatkah proporsi bagi hasil untuk

penjarangan dan tebangan akhir tersebut dibedakan? Sebagai contoh, berdasarkan

penghitungan petani disalah satu desa dalam lingkup KPH kuningan, nilai proporsi

cxxxviii

bagi hasil kayu jati adalah sebesar 45% untuk masyarakat dan 55% untuk Perhutani.

Melihat contoh proporsi bagi hasil berdasarkan penghitungan masyarakat diatas,

mungkin akan timbul pertanyaan,”apakah masyarakat akan benar-benar dapat

mengidentifikasi besaran input pengelolaan yang dikeluarkan oleh

perusahaan(Perhutani)? Terlepas dari benar tidaknya hasil penghitungan proporsi

yang dilakukan masyarakat tersebut, paling tidak masyarakat telah memiliki dasar

perhitungan untuk memperjuangkan hal-hak mereka. Justru inilah diperlukan adanya

keterbukaan dari masing-masing pihak untuk duduk bersama mendiskusikan

proporsi bagi hasil yang sesuai dengan jiwa “bersama” seperti yang disebutkan

dalam keputusan no 136/KPTS/DIR/2001 tentang pengelolaan sumberdaya hutan

bersama masyarakat menekankan bahwa nilai dan proporsi bagi hasil ditetapkan

sesuai dengan nilai factor produksi yang diberikan oleh masing-masing

pihak(Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak lain).

Sebelum program PHBM dilaksanakan, konsep Perhutani yang diterapkan adalah

sistem tanaman tepi yang bertujuan untuk memisahkan masyarakat dengan

lingkungan hutan. Tanaman tepi yang digunakan adalah tanaman secang yang

mempunyai duri-duri tajam sehingga masyarakat dan hewan ternak gembalaan tidak

bisa masuk. Tetapi, manusia yang telah dikaruniai akal serta dorongan kebutuhan

hidup membuat tanaman tepi itupun bisa disikapi dengan cara tertentu. Seperti apa

cara tertentu itu? Inilah suatu hal yang akan kita cari. Bahwa masyarakat yang hidup

didalam hutan dengan tidak ada hak terhadap hutan kecuali terdapat kesempatan

yang diberikan Perhutani dalam bentuk kesempatan menjadi buruh atau

memanfaatkan lahan untuk menjadi ladang, padahal mereka hidup disitu tentu akan

melakukan berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagaimana akan

memenuhi kebutuhan hidupnya apabila akses terhadap hutan malah ditutup kecuali

cxxxix

hanya sebagian kecil kesempatan?tentu ada strategi di masyarakat desa hutan untuk

mempertahankan hidupnya secara kontinyu dengan hutan yang berada di sekitar

kehidupan mereka. Lalu seperti apakah yang diperbuat mereka?inilah sesuatu yang

akan kita cari ketika kita akan berada di Cepu dan turun lapangan bertemu warga

masyarakat secara langsung.

Wawancara Dengan Masyarakat Desa Hutan

Setelah cukup lama melakukan observasi, penulis bertemu dengan satu warga

masyarakat desa hutan di wilayah Nglobo, salah satu wilayah yang mempunyai

potensi hutan tinggi. Begitu pula dengan wilayah yang ada di sekitarnya seperti

Blungun, Temengeng hingga Pasar Sore. Setelah wawancara tak terstruktur dengan

Pak Yadi penulis melakukan obervasi pada daerah-daerah yang telah disebutkan

diatas. Selama perjalanan memang cukup banyak yang melakukan pengambilan

rencek dan juga daun jati. Selain jati tersebut banyak juga pohon Ploso yang sedang

berbunga. Bunganya yang berwarna merah atau oranye berada di pucuk-pucuk

pohon, sebuah pemandangan yang indah di tengah-tengah meranggasnya daun-daun

jati.

Beberapa Hal Penting Dengan Pak Yadi.

Pak Yadi adalah seorang warga Nglobo. Penulis bertemu dengan beliau di lahan

persemaian dan pembibitan secara tidak sengaja ketika sedang mengamati dan

mengambil gambar pohon Ploso. Beliau menjadi bagian dari Perhutani juga tepatnya

di KPH Cepu. Banyak istilah dan pengetahuan baru yang didapat dari beliau. Beliau

menyebutkan bahwa masyarakat desa hutan yang dimaksud oleh penulis adalah yang

berada di wilayah-wilayah desa dalam hutan. Bukan yang berada di tepi-tepi hutan.

Beliau berkata demikian untuk menjelaskan bahwa para pengambil rencek yang

menggunakan sepeda kebanyakan bukan berasal dari wilayah desa hutan sekitar

cxl

petak hutan tetapi berasal dari desa lain. Seperti Jepon, Mblora yang berada ditepi-

tepi hutan. Menurut San Afri Awang yang disebut masyarakat desa hutan adalah

masyarakat yang berada di dalam hutan maupun berbatasan langsung dengan hutan

dan memanfaatkan sumber lahan hutan maupun hasil-hasil hutan lain. Jadi walaupun

masyarakat tersebut berada diwilayah tepi hutan atau jauh dari hutan, tetapi selama

ia memanfaatkan hasil hutan, maka ia merupakan bagian dari masyarakat desa hutan.

Para pengambil rencek yang kebanyakan berasal dari luar desa diwilayah hutan

tersebut beliau sebut sebagai ngare. Ketika saya tanyakan artinya kepada beliau, ia

menjawab tidak tahu artinya tetapi sejak dulu istilah dimasyarakat sudah seperti itu.

Para ngare ini mencari kayu dan menjualnya baik ke pasar maupun ke desa tempat

tinggalnya sediri. Baik untuk digunakan sendiri maupun untuk dijual di sepanjang

perjalanan. Bahkan biasanya, belum sampai kerumah, seorang ngare bersepeda telah

habis renceknya, karena ada yang memanggilnya di jalan dan membeli rencek

bawaannya. Nilai rencek saksepedha berkisar antara 25 ribu hingga tiga puluh ribu

rupiah. Beberapa istilah dalam perencekan:

a. Gendhel, ukuran paling kecil jumlahnya sekitar 4-5 wilah rencek

b. Bongkok, ukuran lebih besar dari gendhel.

c. Pikul, sakpikul artinya dua bongkok. Perencek menggunakan pikulan untuk

membawa rencek sekaligus alat ukur penjualan rencek.

d. Sepedha, perencek yang menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi dan

alat ukur penjualan rencek. Nilai jual 25-30 ribu rupiah.

Perlu diketahui pula biasanya para perencek sudah memiliki kelompok-kelompok

pencari rencek dan juga telah melakukan perjanjian-perjanjian dengan pihak yang

kita sebut saja pengumpul. Kapan dan dimana pengambilannya.

cxli

Beberapa pemanfaatan hasil hutan oleh para warga warga masyarakat desa hutan

adalah yang disebut dengan brongkol. Brongkol adalah istilah yang dipakai untuk

menyebut alat yang digunakan untuk mendapatkan kayu sisa hasil tebangan yang

disebut pula dengan brongkol tetapi yang sudah lama dan rusak. Di wilayah Madiun

brongkol disebut dengan wungkal, Perhutani memang hanya mengambil batang kayu

jati saja.tetapi ranting, akar, kulit maupun daun tidak diambil. Kayu brongkol

biasanya bentuknya tidak karuan. Karena memang terpendam dalam tanah setelah

dilakukan tebangan. Jadi mungkin sudah dimakan rayap ataupun kotor karena tanah.

Kualitas yang lebih tinggi dari brongkol adalah tunggak. Apabila brongkol hanya

untuk kayu bakar dan hampir sama dengan rencek maka yang disebut dengan

tunggak manfaatnya lebih tinggi yaitu dengan mampu dimanfaatkan sebagai meja,

kayu, kursi maupun perhiasan yang nilainya tinggi. Ini pula usaha yang ada di

wilayah Cepu. Di wilayah Nglobo, terdapat satu pengusaha tunggak.

Selain tunggak, rencek dan jati, masih ada satu hasil hutan lain yang dimanfaatkan

oleh masyarakat desa hutan yaitu daun atau ron dalam bahasa jawa. Terdapat banyak

ron yang dimanfaatkan oleh warga. Tetapi daun utama yang sering digunakan dan

dicari adalah daun jati. Karena memang terdapat semacam kelebihan daun jati

dibanding daun yang lain. Selain kph cepu merupakan kph dengan hutan produksi

jati sehingga daun jati berlimpah juga karena daun jati mempunyai banyak manfaat

ketika dipergunakan sehari-hari. Biasanya daun jati dipergunakan sebagai bungkus

makanan. Menurut Bu Warsi, rasa nasi akan lebih enak apabila dibungkus dengan

daun jati. Kalau tidak percaya maka coba rasakan belalang yang makan daun jati.

Rasanya pasti enak. Ini menurut Bu Warsi. Pak Yadi juga berpendapat sama kripik

belalang disini adalah makanan kecil yang mudah dijumpai di warung-warung

pinggir hutan maupun dalam hutan. Bahkan pernah ketika penulis mampir di salah

cxlii

satu warung di wilayah sekaran, ketika penulis minta nasi untuk makan siang, sang

penjual hanya tertawa dan menjelaskan bahwa warungnya tidak menjual nasi. Yang

ada hanya kopi kothok, ketan dan keripik belalang. Tetapi ketika penulis mencoba

tiga-tiganya rasanya memang luar biasa. Wisata kuliner di tengah hutan menyajikan

masakan-masakan sederhana dari lingkungan alam hutan. Apabila penulis

memikirkan mengapa keripik belalang itu enak, jawabnya adalah karena belalang

hutan jati adalah belalang yang makananannya alami(daun jati) jauh dari obat-obatan

sehingga pantas saja rasanya juga nikmat. Kembali pada daun jati, para pencari daun

jati sangat telaten. Mulai dari pagi-pagi hingga pukul 09.00 biasanya meraka sudah

mulai mengumpulkan daun. Ketika selesai, para pencari daun dalam satu kelompok

istirahat sambil menunggu mobil angkutan baik yang merupakan angkutan resmi

bahkan sopir-sopir sukarelawan yang mau diboncengi hingga ke pasar. Para pencari

daun jati menggulung daun jati hingga gulungan sebesar diameter kurang lebih 70

sentimeter. Yang penulis tanyakan adalah, bagaimana cara mereka menggulungnya?

Selain jati, daun lain yang digunakan adalah daun ploso. Pada masa terak jati, yaitu

ketika bulan jati meranggas, pohon ploso tidak mengalami kekeringan. Daun ploso

tetap tumbuh berwarna hijau. Pada masa terak jati ini, para pencari daun

mengalihkan perburuannya dari daun jati ke daun ploso. daun ploso selain sebagai

pengganti daun jati, sebenarnya pohon ploso sendiri merupakan sebuah ketaran.

Ketaran adalah sarana untuk mengetahui atau membaca alam. Apabila kembang atau

bunga ploso berwarna orange atau merah masih banyak dan belum rontok, maka

laboh berarti masih berjalan. Laboh adalah masih jauhnya musim penghujan.

Daun lain yang dicari adalah daun daun yang tergolong dalam empon-empon seperti

lempuyang, kunci, ndayakan, kesambi dan trengguli. Masing masing daun

mempunyai manfaat. Kesambi digunakan untuk bahan campuran masakan asem-

cxliii

asem, lempuyang biasanya digunakan sebagai obat atau jamu, kunci sebagai

campuran sayur, trengguli sebagai alat untuk memasakkan buah yang masih belum

matang atau separuh matang. Mungkin masih banyak lagi daun yang dimanfaatkan

warga masyarakat. Tetapi memang hanya ini yang baru penulis dapatkan.

Setiap aktifitas diatas mempunyai peralatan-peralatan pendukung. Ilmu antropologi

meyebutnya sebagai traits. Peralatan ini merupakan wujud kebudayaan yang disebut

sebagai artifact. Pada aktifitas perencekan, beberapa alat yang sering digunakan

adalah:

- Bendo

- Pethel

- Precel

- Tatah

- Graji

- Ungkal

Aktifitas mencari tunggak dibantu peralatan seperti prekul, ganco, linggis dan

juga arit. Pada aktifitas mencari daun, digunakanlah ani-ani.

Hidup masyarakat desa hutan sebagaimana yang anda lihat semata. Pagi mencari

apa yang dapat ia cari asalkan mampu menjadi uang yang mampu memenuhi

kebutuhan hidup. Apakah ada semacam subsistensi? Apabila dilihat dari komposisi

di jelaskan dalam angka maka inilah datanya:

Nama desa Sifat desa Jumlah

penduduk

petani Buruh tani

Nglobo enclave 2.129 jiwa 217 108

Nglebur enclave 5.112 jiwa 2382 1588

Ngraho enclave 4.477 jiwa 461 1.029

cxliv

Bagaimana cara membaca data yang sedemikian?perlulah kita memahami dan kritis

secara benar-benar kritis. Bahwa terdapat banyak kesenjangan.

Saya tidak menganggap rendah profesi petani. Tetapi petani atau buruh tani yang

seperti apa yang ada di wilayah hutan “milik” Perhutani ini? Ketika melakukan

observasi lapangan, hampir tidak dapat penulis lihat adanya lahan-lahan yang dapat

dikelola sebagai pertanian yang konsisten. Yang jelas hanya sebuah lahan dibawah

tegakan pohon-pohon jati yang tidak seberapa dan sebelum mengolahnya pun

diberikan syarat untuk membayar. Dari salah seorang warga yang saya temui di

wilayah pasar sore diketahui bahwa perbulan mereka wajib membayar uang

“kendhilan” sebesar 8.000 rupiah setiap bulan. Tetapi penulis tidak tahu seluas apa

tanah yang disebut kendhilan tersebut? Dalam buku yang pernah saya baca karangan

Hasanu Simon, terdapat istilah andil yaitu petak-petak tanah hutan yang dapat

ditanami dengan membayar sejumlah uang kepada Perhutani. Inilah yang penulis

sebut sebagai sebuah hal yang perlu dikritisi juga, masyarakat yang tidak punya hak

apapun untuk mengelola tanah ketika ingin mengelola tanah Negara pun wajib

membayar apakah ini semacam upeti?sebuah bentuk feodalisme yang masih nampak!

Beberapa masalah yang belum kita jawab dan masih tersimpan dalam benak peneliti

yaitu tentang hutan adat ataupun hutan rakyat akhirnya terjawab juga. Masyarakat

desa sekitar hutan diwilayah KPH Cepu yang mempunyai tanah hak milik tetap

menggunakan tanah-tanah mereka untuk menanam tanaman-tanaman keras. Biasanya

memang jati karena tanah disitu memang cocok. Dengan cara penanamannya berada

di tepi-tepi tanah hak milik tersebut. Sementara sisa tanah yang ada tetap

dimanfaatkan sebagai ladang tanaman palawija atau mungkin padi. Pertanyaan

selanjutnya adalah, bagaimana pemanfaatan tanaman-tanaman tersebut? Beliau

cxlv

menjawab, ya dibiarkan saja mas, kecuali memang kalau ada butuh ya tinggal potong

kemudian dijual, baik ke perajin atau mungkin orang yang butuh kayu.

Banyak sekali tradisi masyarakat yang terkait dengan ladang-ladang di bawah

tegakan. Bentuknya adalah syukuran makan-makan yang disebut bancakan tetapi

pelaksanaanya pada berbagai momentum. Beberapa momentum diantaranya adalah:

5. Ritual sebelum tebang hutan

Sebelum proses penebangan, biasanya malam sebelumnya diadakan ritual

bancakan dengan mengundang seluruh orang yang ada kaitan dengan proses

penebangan. Tujuan diadakannya bancakan adalah untuk mencari keselamatan

bagi semuanya.

6. Sebelum membuka hutan baru

Pasca penebangan hutan, biasanya tanah hutan dibiarkan selama satu tahun atau

bahkan lebih. Biasanya masa-masa ini digunakan oleh para warga masyarakat

desa hutan untuk menanam palawija. Bahkan bagi para pencari tunggak, ini

adalah saatnya mencari tunggak untuk diolah. Tetapi, para pencari tunggak

memang menungggu satu tahun atau kurang karena pasca penebangan akan ada

operasi dari pihak perhutani yang oleh warga masyarakat disebut sebagai lacak

balak yang bertugas mengecek sisa tebangan yang sudah diberi nomor untuk

melakukan supervisi. Jadi selama masa satu tahun tanah hutan didiamkan oleh

perhutani maka masyarakat memanfaatkannya sebagai lahan untuk ditanami.

Upacara penanaman biasanya menggunakan petungan atau pencarian hari-hari

baik sebelum menanam. Beberapa hari sebelum penanaman masyarakat desa

hutan mengadakan bancakan dengan sajian utama panggang pitik atau ayam

panggang. penebangan.

7. Undhuh-undhuh.

cxlvi

Undhuh-undhuh adalah masa ketika para petani pesanggem di lahan hutan akan

menlakukan panen diatas ladang atau lahan hutan, baik yang merupakan andil

yang ia punyai atau sewa maupun di lahan terbuka pasca penebangan.

8. Tampa seren

Tampa seren adalah bancakan warga ketika bertemu dengan tanggal satu sura atau

satu muharram. Yaitu memperingati tahun baru dalam kalender komariyah.

Sebagai tambahan, karena penelitian ini dilaksanakan pada bulan syaban

menjelang bulan ramadhan maka bancakan juga dilaksanakan di masyarakat desa

hutan ini. Istilah yang disebutkan untuk menyebutkan tradisi ini adalah mapag dan

nutup. Mapag adalah bancakan untuk menyambut atau menyongsong(mapag)

bulan ramadhan. Sedang nutup adalah bancakan untuk menutup atau bersiap-siap

mengakhiri bulan ramadhan sehingga hati menjadi tenang dan dosa-dosa benar-

benar dilebur oleh Allah sang pencipta. Tetapi sajian yang disediakan di tradisi

mapag dan nutup berbeda. Apabila mapag berisi nasi lengkap dengan

lauk(biasanya lauk utama adalah ayam panggang) tetapi di nutup, selain nasi ada

tambahan berupa apem.

Terkadang saya bingung dengan langkah penelitian yang saya lakukan. Apakah

benar itu sebuah kearifan local ataukah hanyalah sebuah suatu keumuman? Data

yang saya dapatkah lebih mirip sebuah deskripsi dari kehidupan warga

masyarakat desa hutan yang memang hidup dihutan dan seperti itulah mereka

hidup dengan perkakas yang memang dipergunakan dalam kehidupan mereka

sehari-hari.

cxlvii

Ataukah sebenarnya ada lebih yang bisa mereka lakukan tetapi karena memang

tidak adanya kesempatan dan keinginan maupun kemudahan yang dapat mereka

temui sehingga mereka hanya berkutat dalam kehidupan yang cenderung

sederhana, mungkin juga sebenarnya berat. Artinya mereka hidup dalam

kepasrahan semata?Baik kepasrahan terhadap alam atau kepasrahan terhadap

system social yang kuat melembaga yaitu para pejabat Perhutani?

Hanya apabila secara kritis direnungi, upaya peningkatan kesejahteraan oleh

pihak Perhutani hanya kecil saja dari apa yang seharusnya diberikan sebagai

bentuk penghargaan terhadap kesalahan atau bukan kesalahan tetapi lebih

tepatnya adalah ketidakpedulian terhadap nasib manusia yang seharusnya juga

menjadi perhatian penting apabila dibanding dengan kehidupan pepohonan yang

ada

Ada fenomena lain ketika penulis melakukan perjalanan ke Nglebur. Ketika itu, ban

motor yang penulis gunakan bocor. Akhirnya penulis mencari tambal ban dan

kebetulan penulis berada dekat di dekat tambal ban milik Pak Rais Nitisastro. Beliau

adalah seorang anggota masyarakat desa hutan yang bekerja lepas. Ia seorang

wiraswasta ia membuka tambal ban kecil dan mempunyai sebuah mobil L300 yang

dibuat oplet seperti yang biasa kita lihat dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Ia

adalah mantan sopir. Tetapi, karena terdapat perbedaan yang mencolok antara

pengeluaran dengan pendapatan ketika ia menjadi supir, maka sekarang ia

mengistirahatkan mobilnya kecuali untuk melayani pesanan tetangga untuk

membawakan rencek atau panenan. Wilayah Nglebur masuk Kecamatan Bleboh

termasuk berada di KPH Cepu RPH Jiken. Tempat tinggal Pak Rais berada dekat

dengan rumah dinas “kemantren”, sebuah istilah pada percakapan keseharian

cxlviii

masyarakat untuk menyebut pejabat Perhutani setingkat Asper( Asisten Perhutani)

yang setingkat dengan lurah apabila disejajarkan dengan wilayah administrative

pemerintahan daerah.

Pak Rais mengungkapkan kesyukurannya menjadi warga masyarakat desa hutan di

wilayah Nglebur. Alasan pertama yang ia kemukakan adalah kekayaan sumber daya

hutan Nglebur yang luar biasa. Alasan yang kedua adalah kedekatan antara warga

masyarakat dengan para pejabat Perhutani. Persaudaraan di daerah nglebur antar

warga masyarakat, antara warga masyarakat dengan Perhutani berlangsung dengan

sinergis dan akrab. Mendengar beberapa alasan ini, maka dapat dianalisis bahwa

keterangan yang diberikan oleh Mas Wasis dari LSM SUPHEL dan Pak Agung

Sugiartha staf KSS PHBM bahwa nglebur adalah wilayah di KPH Cepu yang potensi

hutannya tinggi adalah benar. Begitu pula teori yang dikemukakan oleh Rachmat K.

Dwi Susilo yang mengemukakan bahwa tidak ada satupun masalah social yang

merupakan produk dunia alamiah dan berjalan dengan sendirinya. Tetapi persoalan

lingkungan adalah produk interaksi antar manusia. Keyakinan penulis adalah proses

kelestarian hutan di Nglebur tidak lepas dari kearifan dalam berinteraksi social

diantara actor-aktor dalam wilayah hutan.

tambahan lagi, interaksi warga Nglebur dengan hutan juga berlangsung dengan arif.

Walaupun hutan adalah milik Perhutani, tetapi warga tetap menganggap bahwa hutan

itu adalah miliknya. Sehingga apabila warga mengambil sesuatu hasil hutan, maka

akan diambil sesuai kebutuhan saja. Pak Rais bercerita, bahwa ketika masa 1998

dimana penjarahan dimana-mana marak, wilayah nglebur tidak demikian. Hal ini

memang sudah disadari warga nglebur. Dan akhirnya kesadaran ini memang

menghasilkan kemanfaatan yang lebih kontinyu. Sekarang, apabila warga nglebur

dalam mencari rencek, mencari daun, mencari gelam ataupun hasil hutan lain, maka

cxlix

disekitarnya mudah didapat. Beda dengan wilayah lain, desa-desa lain yang pada

tahun 1998 dijarah dan dirusak maka sekarang untuk mencari rencek, mencari daun

serta hasil hutan lain harus keluar dari desanya. Hal ini merepotkan katanya, dan lagi

pula kayu-kayu hasil penjarahan masih tersimpan dan tidak tahu mau dijual dimana

selain itupula uang hasil penjarahan juga malah habis tanpa bekas yang dirasakan

dampaknya.

Penulis mendapatkan sesuatu yang baru yaitu dengan apa yang dinamakan kawasan

perlindungan setempat(KPS) yang merupakan kawasan yang tidak dilaksanakan

proses produksi didalamnya. Artinya tidak ada proses penebangan, proses

penjarangan dan lain-lain yang sifatnya merubah bahkan menghilangkan vegetasi di

kawasan tersebut. Intinya wilayah hutan yang dilestarikan. Pertanyaan sekarang,

penentuan suatu wilayah menjadi kps itu apa?

Pak Agung menyebutkan bahwa penentuannya adalah karena kawasan tersebut

dipakai oleh warga dan disitu terdapat sesuatu yang berguna seperti mata air dan

merupakan tempat yang dipercaya masyarakat mempunyai keistimewaan. Hal yang

menurut saya luar biasa adalah jumlah kawasan ini mencapai jumlah sebanyak 1024

KPS yang tersebar di seluruh wilayah KPH CEPU. Tetapi apabila melihat luas KPS

yang diberikan perhutani, maka dapat dikatakan sangat kecil apabila disebut sebagai

sebuah signifikansi upaya pelestarian hutan. Walaupun begitu, praktek-praktek

masyarakat dalam upaya pelestarian hutan dapat cukup terbukti dengan adanya

wilayah KPS.

cl

PEDOMAN WAWANCARA A. UNTUK MASYARAKAT DESA HUTAN

· Adakah hak masyarakat terhadap hutan? · Jenis hasil hutan apa yang dimanfaatkan oleh anda? · Apakah pengambilan hasil hutan dapat mensejahterakan hidup anda? · Dapatkah saudara menceritakan keseharian anda dalam

pengambilan(sebut salah satu hasil hutan ikutan) · Ada berapa orang kawan sepekerjaan dengan saudara? · Berapa lama saudara melakukan hal ini? Adakah yang lebih dari anda? · Adakah hutan adat atau hutan khusus di wilayah ini? · Bagaimana proses terbentuknya lmdh ini?termasuk bagaimana anda

terpilih menjadi pengurus lmdh? · apa kesulitan-kesulitan anda ketika berproses menjadi anggota/ pengurus lmdh?

B. UNTUK KPH PERHUTANI CEPU

· Berapa tahun anda mengabdi di perum perhutani? · Pada bagian apa bapak/ibu/saudara bertugas? · bagaimana pandangan bapak terhadap warga masyarakat desa hutan

di kawasan ini dalam hubungannya dengan usaha pelestarian hutan? · apakah anda melihat kekhasan pada masyarakat desa hutan disini? · Adakah hak masyarakat terhadap hutan? · apakah pernah terjadi konflik antara perhutani dengan MDH sini? · apa keunggulan yang dimiliki warga disini dibanding dengan warga

di luar kawasan hutan cepu? · Adakah hutan adat atau hutan khusus di wilayah ini? · Apa program-program perhutani dalam menjaga kelestarian hutan? · Bagaimana pelaksanaan tugas harian anda selama ini?

C. UNTUK LSM SUPHEL

· Adakah hak masyarakat terhadap hutan?

· Bagaimana peran suphel dalam upaya pelestarian hutan di cepu ini?

· Apa program-program suphel dalam ikut serta melestarikan hutan?

· Seperti apakah interaksi suphel dengan pihak-pihak lain di kph cepu ini?

cli