universitas indonesia ruang publik jÜrgen...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
RUANG PUBLIK JÜRGEN HABERMAS DAN TINJAUAN ATAS PERPUSTAKAAN UMUM INDONESIA
TESIS
Y. Sumaryanto NPM 670505016X
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT
DEPOK DESEMBER 2008
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
RUANG PUBLIK JÜRGEN HABERMAS DAN TINJAUAN ATAS PERPUSTAKAAN UMUM INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora Program Studi Ilmu Filsafat
Y. Sumaryanto NPM 670505016X
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT
DEPOK DESEMBER 2008
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME karena atas rahmat
dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: Ruang
Publik Jürgen Habermas dan Tinjauan atas Perpustakaan Umum Indonesia. Tesis
ini disusun sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar Magister
Humaniora pada Program Studi Ilmu Filsafat, Program Pasca Sarjana Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
berbagai pihak yang berperan serta memberikan bimbingan, bantuan dan
dukungannya sehingga tesis ini akhirnya dapat diselesaikan.
1. Bapak Dr. Yohanes Vincentius Yolasa, selaku pembimbing, yang
telah memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan tesis
ini.
2. Bapak Dr. Donny Gahral Adian. yang memberi arahan dan
pencerahan kepada penulis.
3. Bapak Dr. Akhyar Yusuf Lubis, Romo Prof. Dr Mudji Sutrisno dan
Bapak Dr. A. Harsawibawa sebagai dewan penguji
4. Seluruh staf pengajar Program Studi Ilmu Filsafat Program Pasca
Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
yang memberikan pengetahuan kepada penulis tentang filsafat.
5. Pimpinan dan rekan pengajar di Departemen Ilmu Perpustakaan atas
izin dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan
perkuliahan di Program Studi Ilmu Filsafat Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
6. Mas Akbar dan Pak Putu atas masukan yang sangat berharga dalam
penulisan tesis ini kepada penulis
7. Dik Etiek, Lucy dan Pandu atas dukungan, pengertian, dan
kesempatan yang diberikan sehingga penulis disamping tugas
utamanya sebagai Koordinator Program D3 Manajemen Informasi
dan Dokumen, Program Vokasi UI dan tugas mengajar yang sudah
banyak menyita waktu, masih sempat dan asyik belajar filsafat.
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
vi
Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya,
oleh karena itu, penulis sangat menghargai saran dan perbaikan dari para pembaca
sekalian. Akhirulkalam semoga tesis ini dapat menambah khasanah tulisan yang
membahas dialog antara filsafat dan ilmu perpustakaan.
Depok, 20 Desember 2008
Penulis
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL................................................................................................ i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .......................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iv KATA PENGANTAR ............................................................................................ v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH............................. vii ABSTRAK ...........................................................................................................viii ABSTRACT.......................................................................................................... ix DAFTAR ISI........................................................................................................... x BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang dan Masalah............................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 6 1.3 Objek Penelitian............................................................................................... 6 1.4 Thesis Statement .............................................................................................. 7 1.5 Metode Penelitian ............................................................................................ 7 1.6 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 9 1.7 Manfaat penelitian.......................................................................................... 10 1.8 Kerangka Teori .............................................................................................. 10 1.9 Sistematika Pembahasan ................................................................................ 11 BAB 2 KONSEPSI RUANG PUBLIK JÜRGEN HABERMAS..................... 13 2.1 Konsepsi Ruang Publik Borjuis ...................................................................... 15 2.2 Perubahan Struktural Ruang Publik ................................................................ 20 BAB 3 RUANG PUBLIK DAN PERPUSTAKAAN........................................ 27 3.1 Transformasi dan Refeodalisasi Ruang Publik ............................................... 27 3.2 Komersialisasi Jasa Perpustakaan Umum....................................................... 32 3.3 Hubungan Antara Ruang Publik dan Perpustakaan ........................................ 39 BAB 4 PERPUSTAKAAN UMUM INDONESIA DARI PERSPEKTIF RUANG PUBLIK.................................................................................... 41 4.1 Perpustakaan Umum Indonesia sebagai Wahana Belajar ................ ...............41 4.2 Diskursus Dalam Perpustakaan................... ....................................................53 4.3 Transformasi Dalam Pendanaan di Perpustakaan ........................................... 56 4.4 Pendanaan dan Layanan Perpustakaan Umum Indonesia............................... 57 4.5 Penyensoran di Perpustakaan Umum Indonesia................ ........... ..................61 4.6 Pembusukan di Lingkungan Perpustakaan...................................................... 65
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
xi
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 67 5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 67 5.2 Saran................................................................................................................ 70 DAFTAR REFERENSI ...................................................................................... 74
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
ABSTRAK
Nama : Yohanes Sumaryanto Program Studi : Ilmu Filsafat Judul : Ruang Publik Jürgen Habermas dan Tinjauan atas Perpustakaan
Umum Indonesia
Tesis ini dilatarbelakangi dengan usaha menggali kegunaan praksis filsafat kepada ilmu perpustakaan, dan kedekatan antara ruang publik dan perpustakaan umum.
Tesis ini membahas ciri publik dalam Perpustakaan Umum Indonesia dengan menggunakan perspektif ruang publik Jürgen Habermas yang mengedepankan independensi, kesetaraan, kebebasan, aksesibilitas dan diskursus. Tesis ini merupakan studi pustaka, dengan menggunakan pendekatan hermeneutika Jürgen Habermas.
Temuan dari studi ini adalah adanya potensi ciri kepublikan Perpustakaan Umum Indonesia yang perlu dieksplisitkan sebagai usaha untuk meningkatkan peran Perpustakaan Umum Indonesia didalam memberikan pencerahan kepada masyarakat dan menjadikan dirinya sebagai sarana belajar sepanjang hayat bagi masyarakat yang dilayaninya. Perpustakaan Umum Indonesia perlu dikelola dengan mengedepankan pengguna perpustakaan sebagai unsur sentral, pengadaan koleksi yang dibuat seimbang dan diusahakan tidak terjebak pada urusan teknis belaka, sekaligus lebih mendorong ciri emansipatoris. Kata kunci : Ruang publik, perpustakaan umum
Universitas Indonesia viii
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
ABSTRACT
Name : Yohanes Sumaryanto Study Program : Ilmu Filsafat Title : Ruang Publik Jürgen Habermas dan Tinjauan atas Perpustakaan Umum Indonesia
In the dialog framework between philosophy and library science, and the closeness between public sphere and public library, this thesis puts forward the idea of Jürgen Habermas public sphere in the effort of using the perspective in examining Indonesian public libraries.
This thesis is library study, using Jürgen Habermas hermeneutics. The result of the study is the potentiality of publicness in the Indonesian public libraries that needs to be practised explicitly to minimize the gap between the ideals and realities in library practices. The Indonesian public libraries need to be managed in such a way, putting forward library users as a central element. Public libraries management should be balanced and is to free from technical matter domination, and in the same time enhancing more on emancipatory nature. Key words : Public sphere, public library
Universitas Indonesia ix
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Akhir-akhir ini di Indonesia ada usaha untuk melakukan dialog antara
filsafat dan ilmu-ilmu empiris sehingga filsafat dirasakan kegunaannya dalam
dunia praksis1. Peran praksis filsafat dalam membantu perkembangan ilmu empiris
seperti ilmu perpustakaan merupakan hal yang melatarbelakangi tesis yang
berjudul “Ruang Publik Jürgen Habermas dan Tinjauan Atas Perpustakaan Umum
Indonesia” ini. Filsafat memiliki objek dan tujuan yang agak lain dan lebih luas
dari objek dan tujuan ilmu-ilmu empiris. Ilmu-ilmu empiris menggeluti sebagian
kenyataan dan mencari sebab-sebab yang bekerja di dalam satu bidang terbatas
dari kenyataan, filsafat merupakan ilmu universal dalam pengertian menyimak
seluruh kenyataan dan menyelidiki sebab-sebab dasariah dari segala sesuatu.
Penyelidikan dan refleksi filsafat terus bergulir lebih jauh dan melangkah semakin
dalam agar bisa mencapai sebab terakhir dan mutlak dari segala yang ada.
Titik berangkat pertama filsafat adalah kegiatan manusia, khususnya
kegiatan pengetahuan dan kehendak, yang merupakan kenyataan yang pertama
dialami secara langsung oleh manusia. Di dalam kegiatan ini manusia menjadi
sadar akan eksistensinya sendiri dan eksistensi orang lain. Dari sudut pandangan
ini seluruh filsafat adalah penjelasan tentang kegiatan manusia yang menyentuh
akar-akarnya yang terdalam. Dalam arti lebih luas, titik berangkat filsafat adalah
pengetahuan mana saja tentang kenyataan yang mendahului penelitian filosofis.
Pengetahuan ini mencakup pengetahuan biasa sehari-hari yang dimiliki individu,
warisan budaya masa lalu dan juga hasil-hasil ilmu-ilmu khusus lainnya.
Pengetahuan-pengetahuan semacam ini membantu filsafat, tetapi filsafat juga
membantu pengetahuan-pengetahuan ini sepanjang ia memantapkan dan
menjelaskan prinsip-prinsip dasarnya.2
1 Ada beberapa tulisan dari Frans Magnis-Suseno mengenai kegunaan filsafat. Di Program Studi Filsafat Universitas Indonesia juga pernah diadakan seminar dengan maksud membuat titik temu antara ilmu filsafat dan ilmu empiris lainnya. 2 Lihat Lorens Bagus, Kamus filsafat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002
1
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
2
Ada empat pendekatan filsafat,3 yaitu pendekatan definisi, sistematika,
tokoh atau aliran, dan sejarah. Melalui pendekatan definisi akan terlihat perbedaan
antara filsafat, ilmu pengetahuan maupun teologi. Ilmu pengetahuan hanya
mengkaji sebatas gejala-gejala yang tampak dan berusaha menjelaskannya secara
kasualistik sedang teologi mengkaji semesta supra-inderawi, semesta ketuhanan
namun dalam batas-batas keimanan.
Filsafat dapat didefinisikan sebagai upaya mencari atau memperoleh
jawaban atas berbagai pertanyaan lewat penalaran sistematis yang kritis, radikal,
refleksif, dan integral. Kritis berarti dalam mengkaji objeknya tidak pernah
berhenti pada penampakan, asumsi, dogmatisme melainkan terus mengajukan
pertanyaan-pertanyaan demi mencapai hakikat. Radikal artinya selalu
menggunakan daya kritisnya untuk mengkaji suatu objek sampai ke akar-akarnya.
Dengan refleksif dimaksudkan dalam memahami objeknya, filsafat selalu
berusaha mengedepankan apa yang ia tangkap (gejala-gejala) untuk diolah dan
akhirnya menghasilkan pengetahuan yang jernih. Pendekatan filsafat memiliki
sifat integral yakni tidak mengkaji semesta dari satu sisi saja namun secara
menyeluruh.
Sebuah disiplin memiliki objek forma dan objek materi. Objek forma
merupakan sudut pandang yang diambil dalam menganalisis objek sedang objek
materi merupakan objek yang dianalisis. Disiplin ilmu perpustakaan, misalnya
mengambil pengetahuan terekam (recorded knowledge) sebagai objek materinya.
Ilmu perpustakaan mengkaji temu kembali (retrieval) dari pengetahuan terekam
tersebut demi kemaslahatan umat manusia dan alam semesta sebagai objek
formanya. Filsafat memiliki objek forma dan materi yang berbeda dari disiplin
lain. Oleh karena filsafat bertujuan mencari kebenaran yang menyeluruh dan
hakiki maka objek formanya berupa penalaran sistematis yang kritis, radikal,
refleksif dan integral sedang objek materinya berupa keseluruhan: manusia
(subjek) yang didudukkan dalam konteks yang paling luas.
3 Tentang pendekatan filsafat ini, penulis mendasarkan pada tulisan Donny Gahral Adian, Menyoal objektivisme ilmu pengetahuan : dari David Hume sampai Thomas Kuhn, Jakarta : Teraju, 2002, hal 3-27
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
3
Lalu, menarik untuk ditanyakan, adakah yang bisa disumbangkan oleh
filsafat kepada ilmu perpustakaan? Magnis-Suseno4 menyatakan, “Dapatlah
dikatakan filsafat bukanlah ilmu demi dirinya sendiri. Manusia berfilsafat karena
ia membutuhkannya. Ia mengharapkan sesuatu daripadanya. Filsafat merupakan
sarana manusia untuk mencapai kejelasan terhadap tantangan-tantangan dalam
segala dimensi kehidupannya dengan sesungguh-sungguhnya.”
Menurut Magnis-Suseno, filsafat secara kritis harus menyertai ilmu-ilmu
sosial dalam sikap mereka terhadap kompleks masalah hubungan antara individu,
institusi dan ideologi. Pendapat tersebut sejalan dengan topik tesis ini yakni
digunakannya konsepsi ruang publik untuk melihat ciri publik dari Perpustakaan
Umum Indonesia.
Topik tersebut diangkat karena adanya kedekatan dan kemiripan konsep di
antara ruang publik yang digambarkan oleh Habermas dan perpustakaan
a. keduanya mengandaikan fungsinya sebagai wadah perjuangan. Ruang
publik sebagai wadah perjuangan melawan himpitan kekuasaan,
sedangkan perpustakaan sebagai wadah perjuangan melawan
kebodohan dan ketertinggalan akan pengetahuan.
b. keduanya memiliki unsur khas: aksesibilitas, kesamarataan,
independensi, diskursus.
c. Keduanya mengalami transformasi. Dalam ruang publik borjuis terjadi
distorsi, refeodalisasi, pembusukan sedangkan dalam dunia
perpustakaan terjadi komersialisasi (distorsi dari fungsinya semula),
pembusukan terhadap perannya yang ideal.
Menurut penulis ketiga hal tersebut di atas memungkinkan perpustakaan
umum dikaji dengan menggunakan perspektif ruang publik.
Ruang publik dan kepublikan perpustakaan dapat dikenali dari ciri-cirinya
sebagai berikut
a. Ruang publik merupakan wilayah sosial yang bebas dari adanya
sensor dan dominasi. Semua warga masyarakat pada prinsipnya boleh
memasuki ruang tersebut. Mereka sebetulnya adalah pribadi-pribadi,
bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional, bukan 4 Lihat, Frans Magnis-Suseno, Berfilsafat dari Konteks, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991, hal xi
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
4
pejabat atau politikus, tetapi percakapan mereka membentuk suatu
publik, sebab bukan soal-soal pribadi mereka yang dipercakapkan,
melainkan soal-soal kepentingan umum, yang dibicarakan tanpa
paksaan. Dalam situasi ini individu-individu berlaku sebagai publik,
sebab mereka memiliki jaminan untuk berkumpul dan berserikat dan
menyatakan serta menyampaikan di depan umum pendapat-pendapat
yang mereka miliki secara bebas dan tanpa tekanan
b. ruang publik berfungsi sebagai tempat yang independen dari
pemerintah (meskipun mungkin pendanaannya berasal darinya) dan
yang otonom dari partisan kekuatan ekonomi tertentu, didedikasikan
pada debat rasional (yang tidak diarahkan demi kepentingan tertentu,
disamarkan atau dimanipulasi) dan terbuka bagi siapa saja serta
terbuka untuk diinspeksi masyarakat. Dalam ranah publik inilah opini
publik dibentuk.5
c. ruang publik merupakan ruang penciptaan opini non-pemerintah
(sphere of non-governmental opinion-making) - sebuah ruang abstrak
maupun ruang fisik yang menjadi ajang pembentukan pendapat
anggota-anggota masyarakat di luar kendali pemerintah. Konsep
ruang publik ini menganggap bahwa pemerintah (baik dalam bentuk
pelaksana negara moderen maupun dalam wujud raja atau kaisar)
bukan satu-satunya pihak yang dapat memonopoli kebenaran atau
pengambilan keputusan. Secara idealnya, sebuah masyarakat memiliki
hak dan kemampuan untuk berdebat, bersepakat, dan berkeputusan
tentang hal-hal penting yang menyangkut diri mereka. Pemerintah lalu
tinggal melaksanakan saja keputusan masyarakat tersebut. Konsepsi
perpustakaan semestinya sejalan dengan konsepsi ruang publik.6
d. Perpustakaan Umum Indonesia semestinya merupakan bentuk ideal
dari ruang publik karena dalam suatu perpustakaan umum terdapat
5 Pendapat Holub ini dikutip dari Frank Webster, Theories of the Information Society, London : Routledge, 1995, p. 101-102 6 Putu Laxman Pendit, “Bisakah perpustakaan umum menjadi ruang publik?” http://kepustakawanan.blogspot.com/2007/02/bisakah-perpustakaan-umum-menjadi-ruang.html
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
5
ruang fisik perpustakaan yang terbuka untuk umum, menjadi tempat
bagi semua orang untuk membaca berdiskusi dan mengambil
keputusan tentang berbagai hal. 7
e. Ruang publik merupakan jembatan yang menghubungkan kepentingan
pribadi dari individu-individu dalam kehidupan keluarga dengan
tuntutan serta kepentingan kehidupan sosial dan publik yang muncul
dalam konteks kekuasaan negara. Ruang publik terdiri dari organ-
organ penyedia informasi dan perdebatan politis seperti surat kabar
dan jurnal; termasuk ruang publik adalah juga lembaga-lembaga
diskusi politis seperti parlemen, klub-klub sastra, perkumpulan-
perkumpulan publik, rumah minum dan warung kopi, balaikota, dan
tempat-tempat publik lainnya yang menjadi ruang terjadinya diskusi
sosial politik
f. Informasi merupakan bagian paling utama dari ruang publik. Dalam
ruang publik orang secara eksplisit menjelaskan posisinya melalui
argumen dan pandangan mereka diumumkan ke publik secara luas
sehingga publik dapat memiliki akses penuh. Perlu dicatat di sini
peran media komunikasi dan institusi informasi seperti perpustakaan
dan lembaga statistik.8
g. Ruang publik yang ideal adalah seperti ketika kita membayangkan
para anggota dewan yang terbuka dan jujur sedang berdebat tentang
kasus-kasus di masyarakat di ruang sidang didukung dengan informasi
memadai yang disiapkan antara lain oleh pustakawan yang
berdedikasi dan tidak berpihak kepada salah satu partisan; semuanya
transparan bagi masyarakat karena dukungan publikasi yang
bertanggungjawab dan infrastruktur pers yang disiapkan guna
melaporkan secara tekun dan seksama apa-apa yang sedang terjadi.9
7Putu Laxman Pendit, “Bisakah perpustakaan umum menjadi ruang publik?” http://kepustakawanan.blogspot.com/2007/02/bisakah-perpustakaan-umum-menjadi-ruang.html 8 Frank Webster, Theories of the Information Society, London : Routledge, 1995, p. 102 9 Ibid.
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
6
Komunikasi antara filsafat dan ilmu perpustakaan, seperti yang dicoba
dilakukan dalam tesis ini didasari oleh semangat kesetaraan dan mengedepankan
ko-konstruksi.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang mau ditelaah dalam tesis ini yakni bagaimana Perpustakaan
Umum dapat dimunculkan perannya sebagai ruang publik sebagai koreksi
terhadap perannya sebagai agen pemerintah dan fokus perhatiannya yang telah
tereduksi ke hal-hal teknis. Dalam kaitan dengan latar belakang, tesis ini berupaya
untuk menyoroti dan menganalisa bagaimana keadaan perpustakaan Umum
Indonesia itu disoroti dari pemikiran Jürgen Habermas secara khusus menyangkut
idenya tentang ruang publik dan peranan komunikasi intersubyektif.
Untuk itu pertanyaan-pertanyaan yang akan menuntun kita dalam tesis ini
adalah antara lain sebagai berikut.
1. Bagaimanakah konsep ruang publik menurut Habermas? Apakah
terjadi pergeseran fungsi historis dari konsep ruang publik Habermas?
Manakah elemen-elemen utama dari ruang publik Habermas?
2. Bagaimana hubungan antara konsep ruang publik Habermas dengan
konsep ideal perpustakaan umum? Menyangkut hubungan ini entah
ada persamaan dan perbedaan yang perlu kita angkat dalam upaya
pembenahan Perpustakaan Umum Indonesia dalam ruang publik?
3. Bagaimana dalam kenyataan relasi ideal ruang publik Habermas itu
dengan realitas perpustakaan umum Indonesia? Bagaimana nuansa
diskursus Habermas dalam kenyataannya dan dalam ideal untuk
membenahi Perpustakaan Umum Indonesia. Apakah ada usulan-
usulan konkrit dalam proses menjadikan perpustakaan umum
Indonesia menjadi ruang publik ideal dan efektif
1.3 Objek Penelitian
Objek penelitian ini difokuskan pada Perpustakaan Umum Indonesia yang
dikaji fungsinya sebagai ruang publik dengan menggunakan konsep ruang publik
Jürgen Habermas sebagai pisau analisisnya. Perpustakaan Umum Indonesia ini
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
7
merupakan salah satu dari 5 jenis perpustakaan yang ada yaitu perpustakaan
nasional, perpustakaan sekolah, perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan
khusus. Secara khusus undang-undang RI No43 Th 2007 Tentang Perpustakaan,
mendeskripsikan perpustakaan umum sebagai perpustakaan yang secara khusus
didanai negara melalui APBN atau APBD bertujuan melayani masyarakat umum
dengan cirinya terbuka untuk umum dan dioperasikan secara cuma-cuma. Dalam
hubungan dengan pemahaman yuridis tersebut beberapa masalah yang berkaitan
dengan perpustakaan umum Indonesia perlu dikaji lebih lanjut.
1.4 Thesis Statement
Mengamati dan mencermati keadaan perpustakaan umum, penulis
berpendapat bahwa perpustakaan umum dalam nuansa pemahaman yuridis tadi
mestinya merupakan juga ruang publik yang berperan serta dalam menyebarkan
pengetahuan dan informasi yang bisa diakses bersama, menjadi tempat berdiskusi
dan berdebat yang bebas dari bentuk penyensoran agar dia secara kondusif
menjadi ruang publik yang bisa memperjuangkan kepentingan umum, pencerahan
masyarakat, penyebaran keadilan, kebenaran, kejujuran ke arah masyarakat
Indonesia yang emansipatoris, maju dan tercerahkan.
1.5 Metode Penelitian
Tesis ini menggunakan metode kajian kepustakaan. Dalam konteks itu
akan digunakan pendekatan fenomenologi dari Husserl dan hermeneutika
Habermas. Fenomenologi diartikan sebagai cara pendekatan untuk memperoleh
pengetahuan tentang suatu objek sebagaimana tampilnya dan menjadi pengalaman
kesadaran kita. Objek tersebut disebut fenomen dan fenomen itulah realitas itu
sendiri yang tampak. Husserl berpendapat bahwa kesadaran menurut kodratnya
terarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan ‘sesuatu’.
Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensional; intensional adalah struktur
hakiki kesadaran yang terarah. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh
intensionalitas, maka fenomen harus dimengerti sebagai das Ding an sich yang
menampakkan diri. Intensioanalitas dan fenomen adalah korelatif. Korelasi ini
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
8
berlaku bagi kesadaran dan realitas pada umumnya, tetapi juga bagi pelbagai
aktus kesadaran dan pelbagai bentuk realitas.
Pendekatan fenomenologi mengenal istilah konstitusi yakni proses
tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Karena adanya korelasi antara
kesadaran dan realitas maka dapat dikatakan bahwa konstitusi merupakan
aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Menurut Husserl
dunia real dikonstitusi oleh kesadaran. Karena kesadaran harus hadir pada dunia
supaya penampakan dapat berlangsung dan karena yang disebut realitas itu tidak
lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh
kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami
oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional
Untuk menjelaskan maksud Husserl dengan konstitusi perlu terlebih
dahulu dipahami proses persepsi. Persepsi adalah sintesa dari semua perspektif.
Dalam persepsi, objek telah dikonstitusi. Konstitusi dalam filsafat Husserl
dimengerti sebagai konstitusi genetis yakni proses yang mengakibatkan suatu
fenomen menjadi real dalam kesadaran; hal itu adalah suatu proses historis.
Dalam pengertian kita tentang perpustakaan umum misalnya terdapat
semacam ‘endapan historis’ artinya semua arti ‘perpustakaan umum’ sebelumnya
terdapat didalamnya. Tidak mungkin menerangkan cara ’perpustakaan umum’
tampak bagi kita sekarang tanpa menyelidiki perkembangan-nya. Metode yang
digunakan di dalam pendekatan ini terdiri atas tiga tahap yaitu intuisi, analisis,
dan deskripsi fenomenologis. Tahap pertama berkaitan dengan tindakan intuisi
yang timbul secara langsung (direct) dan tanpa-antara (immediate) dari pemusatan
perhatian terhadap fenomena. Melalui intuisi juga terjadi reduksi gambaran
mengenai esensi tentang sesuatu yang kita ketahui atau pelajari. Dilanjutkan
dengan tindakan analisis terhadap unsur-unsur fenomena yang bersangkutan.
Tahap terakhir berupa deskripsi ialah penjabaran dari apa yang tertangkap oleh
intuisi dan muncul melalui analisis.
Sebelum kita melakukan pendekatan terhadap objek yang ingin kita
ketahui atau pelajari, kita perlu membebaskan diri dari segala praduga (prejudice,
pre-judgement); maka objek yang bersangkutan harus seolah-olah dikurung
(bracketing), sehingga segala praduga dan praanggapan mengenai objek itu tidak
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
9
mempengaruhi yang akan kita peroleh tentang objek itu. Proses ini oleh Husserl
disebut epoche, yang artinya 'membisukan suara' yang mungkin pernah
mempengaruhi pengetahuan kita terhadap objek yang kita teliti.10
Dalam tesis ini digunakan model hermeneutika Habermas. Habermas
berfokus pada upaya penafsiran modernitas dengan segala problematikanya yang
secara khusus menyangkut kritik terhadap dominasi ideologis dan dominasi rasio
instrumental. Menurut filsuf ini modernitas yang kita alami sekarang ini
terdistorsi. Artinya ada konsep ‘normatif’ yang terkandung dalam dunia
kehidupan (life world) dan tradisi yang karena tendensi historis dan ideologis
tertentu diselewengkan. Dalam konteks itu, di satu pihak, Habermas menawarkan
peranan penting Hermeneutika kritis termasuk kritik terhadap paradigma tunggal
“rasionalitas tujuan”. Di pihak lain, Habermas ingin mempertahankan isi normatif
modernitas, yaitu rasionalisasi kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian dengan
rasio komunikatif sebagai motornya
1.6 Tujuan Penelitian
Ruang publik yang dijelaskan Jürgen Habermas dalam The Structural
Transformation of the Public Sphere menurut hemat penulis memberikan
gambaran perubahan yang memiliki kemiripan dengan perubahan yang terjadi di
lingkungan perpustakaan. Penelitian ini bertujuan mendalami substansi ruang
publik yang diangkat dari buku tersebut untuk lebih jauh dikembangkan dengan
pemikiran-pemikiran baru serta ditempatkan dalam konteks kita mengevaluasi
perpustakaan umum Indonesia yang akan direkontruksikan menjadi ruang publik.
Pendalaman terhadap buku tersebut akan memberikan suatu perspektif kepada kita
yang dapat kita gunakan untuk mengkaji perpustakaan umum. Data tentang
perpustakaan umum dihimpun melalui internet dan studi pustaka yang dilengkapi
dengan observasi ke berbagai perpustakaan umum di Jakarta. Tesis ini melakukan
telaah terhadap perpustakaan umum dengan menggunakan perspektif ruang
publik.
10 Uraian mengenai pendekatan fenomenologis ini didasarkan pada Kees Bertens, Filsafat Barat Abad xx : Inggris-Jerman, Jakarta : Gramedia, 1983, hal. 99-104
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
10
1.7 Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah diperolehnya konstruksi konsep
alternatif perpustakaan umum dari konsepsi yang selama ini ada, yang dianggap
cenderung bersifat teknis, yang terbukti menimbulkan gap antara institusi
perpustakaan umum dan masyarakat yang dilayaninya.
Tesis ini menunjukkan manfaat filsafat dalam praksis yakni membantu
pengembangan ilmu perpustakaan dengan melihat ke hal yang substantif bukan
teknis. Di sini filsafat bisa membantu usaha ilmu perpustakaan untuk
mengembangkan dimensi-dimensi substantif dan dapat menyiasati jalan keluar
atau alternatif terhadap tantangan-tantangan yang ada.
Akhirnya, tesis ini menambah khazanah tulisan tentang bagaimana
memaksimalisasikan layanan perpustakaan sebagai ruang publik.
1.8 Kerangka Teori
Sebagai kerangka teori dalam tesis ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
a. Ruang publik dipahami sebagai wahana perjuangan kaum borjuis
melawan otoritas penguasa. Ini identik dengan perpustakaan sebagai
wahana perjuangan melawan kebodohan dan perannya dalam
pencerahan masyarakat, penyebaran keadilan dan kebenaran.
b. Ruang publik mengedepankan diskursus sebagai prosedur mencapai
opini publik. Prinsip diskursus dapat pula dijadikan landasan
operasionalisasi layanan perpustakaan. Diskursus di perpustakaan
terjadi antara pengguna dan pustakawan (mis. dalam menentukan
bahan perpustakaan yang harus dibeli); antara pengguna dan
penyensor dalam upaya menemukan konsensus mengenai bahan-
bahan yang disensor; antara sesama pengguna (mis. dalam acara
diskusi, bedah buku dsb.); dan juga diskursus antara pengguna dan
penulis yang sekaligus membuat pendapat atau opini yang dituliskan
dalam suatu buku yang sifatnya masih subjektif menjadi lebih publik
dan ditanggapi oleh pembacanya. Tindakan pustakawan menyusun
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
11
katalog dan bibliografi11 mendorong proses penyebaran informasi
(pemublikan) dalam skala yang lebih luas karena di dalamnya
terkelompok karya-karya oleh pengarang tertentu dan karya-karya
dalam subjek yang sama sehingga pembaca menjadi lebih tahu tentang
karya apa saja selain yang sedang ia baca oleh pengarang tertentu dan
karya-karya yang tersedia dari subjek tertentu selain yang ia temukan
saat itu.
c. Transformasi yang terjadi di ruang publik borjuis (depolitisasi,
refeodalisasi, pembusukan) analog dengan perubahan layanan
perpustakaan (yang menunjukkan kecenderungan ke komersialisasi,
otorisasi penuh pustakawan/ pemerintah di dalam menentukan arah
layanan, dan pembusukan layanan)
d. Pembusukan terhadap ruang publik ideal terjadi melalui lobi-lobi dan
kerja humas yang merupakan lonceng kematian bagi ruang publik
ideal analog dengan pembusukan layanan perpustakaan yang juga
dilakukan melalui lobi-lobi dan kerja humas yang meluluhlantakkan
layanan perpustakaan dalam pengertian yang ideal.
1.9 Sistematika Pembahasan
Tesis ini diuraikan dalam lima bagian, dimana bab 1 merupakan
pendahuluan yang berisi latar belakang dan masalah, rumusan masalah, objek
penelitian, thesis statement, metode penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kerangka teori, dan sistematika pembahasan. Bab 2 menjelaskan
tentang konsepsi Ruang Publik Jürgen Habermas. Dibahas di sini ruang publik
borjuis, ciri khas dari ruang publik bo8rjuis, transformasi yang terjadi dan
bagaimana Jürgen Habermas menyikapi kebuntuan dari pencerahan dengan
konsepsi rasionalitas komunikatif. Bab 3 membahas hubungan ruang publik dan
perpustakaan; menjelaskan tentang transformasi dan refeodalisasi ruang publik, 11 Katalog diartikan sebagai daftar koleksi perpustakaan yang menggambarkan koleksi di perpustakaan tersebut yang dimaksudkan untuk digunakan pengguna di dalam menemukan kembali item yang dicarinya, namun katalog juga memiliki ciri mengumpulkan (kolokasi) sehingga membantu pengguna untuk mengetahui tulisan apa saja oleh pengarang tertentu dan terkumpulnya bahan perpustakaan dalam subjek tertentu. Ini sangat membantu pemublikan dalam skala yang lebih luas. Bibliografi juga berupa daftar terbitan yang tidak terbatas pada koleksi tertentu.
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
12
komersialisasi jasa perpustakaan umum, dan hubungan antara ruang publik dan
perpustakaan. Bab 4 membahas perpustakaan umum Indonesia sebagai wahana
belajar sepanjang hayat, diskursus di lingkup perpustakaan, transformasi di
perpustakaan dan ciri ruang publik dalam perpustakaan umum Indonesia. Bab 5
merupakan catatan penutup yang mencakup kesimpulan dan saran sebagai tindak
lanjut dari hasil penelitian dalam tesis ini.
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
BAB 2 KONSEPSI RUANG PUBLIK JÜRGEN HABERMAS
Jürgen Habermas mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam berbagai
tulisan, salah satunya yang muncul di masa awal berjudul The Structural
Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois
Society. Ia menggeluti wilayah ilmiah yang amat luas dan mempratikkan filsafat
dan sosiologi tanpa membedakannya secara tajam antara keduanya karena itu
penulis menganggap perlu menyinggung juga pemikirannya selain konsepsinya
mengenai ruang publik tersebut.
Jürgen Habermas adalah salah satu anggota ‘Mazhab Frankfurt’, kumpulan
sarjana dari berbagai bidang sosial yang bekerja pada Institut fur Sozialforschung
(Lembaga untuk Penelitian Sosial) di Frankfurt am Main. Lembaga ini didirikan
oleh Felix Weil pada tahun 1923 dengan tujuan menjadikannya sebagai pusat
penelitian sosial yang independen dan mempunyai dasar finansial sendiri guna
menyelidiki persoalan-persoalan sosial pada waktu itu.
Dalam perjalanan sejarahnya, lembaga penelitian tersebut pernah ditutup,
atas perintah pemerintah nasionalis-sosialis saat Hitler berkuasa, karena banyak
mengeritik pemerintah dan barangkali juga karena kebanyakan anggotanya adalah
keturunan Yahudi. Kemudian kegiatan lembaga penelitian itu dipindahkan ke
Paris dan selanjutnya ke Amerika Serikat sebelum kembali lagi ke Frankfurt
Jerman. Ketika lembaga tersebut kembali lagi ke Jerman dan beroperasi di negara
tersebut, Jürgen Habermas mulai bergabung di dalamnya.
Sejumlah tema penting yang dikemukakan Jürgen Habermas antara lain
a. Pemikirannya mengenai pengetahuan dan kepentingan.1 Menurut
Habermas ada tiga macam ilmu yang didorong seakan-akan oleh tiga
kepentingan dasar manusia: ilmu-ilmu empiris analitis didorong oleh
kepentingan teknis, kepentingan untuk memanfaatkan apa yang diketahui;
ilmu–ilmu historis-hermeneutis diarahkan oleh kepentingan praktis,
kepentingan untuk memahami makna; ilmu-ilmu kritis (filsafat, 1 Lihat lebih lanjut Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interest, translated by Jeremy J. Shapiro. Boston: Beacon Press, 1971
13
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
14
psikoanalisa) didorong oleh kepentingan emansipatoris, kepentingan untuk
membebaskan. Habermas menyebut rasionalitas tujuan sebagai hal yang
dominan dalam modernitas dan mengangkat rasionalitas komunikatif
sebagai salah satu cara untuk mengatasi dampak buruk dari modernitas
tersebut.
b. Habermas melakukan perubahan fokus perhatian dari perhatian pada
pikiran ke perhatian pada bahasa yang lazim disebut the linguistic turn .2
Ia mencoba menghubungkan rasionalitas dan bahasa dengan mengatakan
bahwa rasionalitas sudah tertanam dalam struktur bahasa itu sendiri.
Begitu seseorang masuk dalam suatu pembicaraan, orang tersebut, dengan
sendirinya mengajukan empat tuntutan: tuntutan kejelasan yakni ia dapat
mengungkapkan dengan tepat apa yang ia maksud; tuntutan kebenaran
(truth claim), kejujuran pembicara (claim to veracity) dan ketepatan atau
kepantasannya (claim to rightness). Ia juga menyinggung mengenai
bagaimana seseorang memperoleh kompetensi komunikatif, Habermas
menjelaskannya sebagai berikut. Orang belajar berkomunikasi secara
rasional dengan terus menerus mengambil sikap verbal terhadap empat
wilayah pengalaman hidupnya: tentang alam luar, ia belajar mengatakan
apa yang sesuai dengannya, artinya yang benar; terhadap masyarakat ia
belajar mengatakan apa yang seharusnya dan wajar. Alam batinnya sendiri
diungkapkan dengan jujur dan itu semua dilakukannya melalui sarana
bahasa yang harus jelas. Tentang bagaimana rasionalitas berkembang,
Habermas berpendapat bahwa proses perkembangan sebuah masyarakat
terjadi melalui proses-proses belajar dalam dua dimensi, dalam dimensi
kognitif-teknis dan moral-komunikatif. Suatu tambahan pengetahuan
kognitif dan teknis hanya bisa menghasilkan perkembangan dalam
hubungan antara manusia dan dalam kerangka institusional masyarakat
sesudah terjadi proses dalam dimensi moral-komunikatif.
2 Emilia Steuerman, “Habermas’s Linguistic Turn” dalam The Bounds of Reason (London: Routledge, 2000) hal 22-36
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
15
c. Pemikirannya tentang teori tindakan komunikatif.3 Hal ini akan mudah
dipahami melalui pemahaman kita tentang dunia kehidupan dan sistem.
Dunia kehidupan adalah cakrawala kepercayaan-kepercayaan, latar
belakang intersubyektif, di dalamnya setiap proses komunikasi selalu
sudah tertanam. Setiap orang berkomunikasi dan bertindak dalam sebuah
dunia kehidupan, artinya ia hidup dalam sebuah alam bermakna yang
dimiliki bersama dengan komunitasnya, yang terdiri atas pandangan dunia,
keyakinan-keyakinan moral dan nilai-nilai bersama. Segenap komunikasi
mengacu pada dunia kehidupan itu. Rasionalitas dunia kehidupan adalah
rasionalitas komunikatif. Setiap orang menjadi dewasa dengan semakin
terintegrasi ke dalam dunia kehidupan masyarakatnya. Di sisi lain
masyarakat juga merupakan sistem. Sistem adalah segala macam institusi
dan peraturan yang menata kehidupan masyarakat. Tujuan sistemisasi
adalah untuk meringankan beban komunikasi. Agar masyarakat menerima
sistem yang semakin kompleks, dunia kehidupannya harus menjadi
semakin rasional. Rasionalisasi dunia kehidupan berarti bahwa semakin
banyak bidang tidak lagi dihayati dan ditata menurut adat, tradisi atau
otoritas tradisional melainkan menurut kriteria yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam diskursus.
Uraian di atas merupakan sekilas pemikirannya disamping konsepsinya
mengenai ruang publik. Konsepsi ruang publik merupakan pokok perhatian di
dalam tesis ini yang dipakai sebagai pijakan perspektif dalam melihat kinerja
perpustakaan umum.
2.1 Konsepsi Ruang Publik Borjuis
Pemikiran Habermas mengenai ruang publik tertuang dalam karyanya
yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry
into a Category of Bourgeois Society (1989), yang merupakan karya terjemahan
dari yang terbit dalam bahasa Jerman tahun 1962. Secara ringkas dapat dikatakan
ada dua tema pokok yang dikemukakan Habermas dalam buku tersebut yakni
pertama, analisisnya mengenai asal mula ruang publik borjuis; kedua, perubahan 3 Tentang tema ini bisa didalami lebih lanjut dalam Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action…Boston : Beacon Press, 1989 vol 1 & vol 2.
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
16
struktural ruang publik di zaman modern yang ditandai oleh bangkitnya
kapitalisme, industri kebudayaan, dan makin kuatnya posisi organisasi-organisasi
yang bergerak dalam ekonomi serta kelompok bisnis besar dalam kehidupan
publik. Pada analisis yang ke dua tersebut organisasi ekonomi besar dan institusi
pemerintah mengambil alih ruang publik, sementara warga negara cukup senang
menjadi konsumen barang, jasa, administrasi politik dan tontonan publik4
Asal usul istilah publik dan ruang publik berakar dari berbagai fase
historis sebelumnya. Istilah tersebut ketika diaplikasikan secara sinkronis ke
dalam kondisi-kondisi masyarakat borjuis yang maju di bidang industrinya dan
yang didirikan sebagai sebuah negara kesejahteraan sosial, maknanya lebur
menjadi suatu paduan yang tidak jelas. Publik dipahami sebagai yang terbuka bagi
semua pihak sebagaimana dalam istilah public places (tempat-tempat umum),
public houses (kedai-kedai minum). Namun, bangunan publik tidak bisa diartikan
sebagai bangunan di mana siapa saja bisa memasukinya. Negara dapat juga
disebut public authority karena mengemban tugas memajukan kesejahteraan
umum bagi para warganya.
Ruang publik muncul sebagai suatu wilayah yang spesifik - wilayah publik
yang dihadirkan untuk beroposisi dengan wilayah privat. Istilah publik terkadang
juga dimunculkan sebagai salah satu sektor dari opini publik yang sengaja
dibentuk untuk melawan otoritas. Selanjutnya, opini publik juga sering disebut
organ-organ publik karena opini publik bergantung pada organ negara atau media,
seperti pers yang menyediakan wadah komunikasi di antara anggota-anggota
publik itu sendiri. Dalam bahasa Jerman proses pembentukan kata benda
offentlichkeit adalah berasal dari kata sifat yang lebih tua, offentlich berlangsung
selama abad ke 18 yang maknanya analog dengan ‘publicity’.
Ruang publik lahir sebagai bagian spesifik dari masyarakat sipil yang pada
waktu itu mengukuhkan diri sebagai tempat terjadinya pertukaran komoditas dan
kerja sosial yang diatur oleh kaidah-kaidahnya sendiri. Dalam pelacakan lebih
jauh untuk mengetahui mana yang publik dan mana yang bukan publik, Habermas
melihat ke zaman sebelumnya yakni zaman Yunani. Kategori-kategori dari akar-
4 Lihat Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, bdk. Douglas Kellner, Habermas, The Public Sphere, and Democracy: a Critical Intervention, Hal 3
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
17
akar kata di dalam bahasa Yunani sampai kepada kita melalui warisan orang
Romawi kuno. Di dalam negara–kota Yunani kuno yang sudah maju, sphere
(ruang) dalam pengertian koine (polis yang terbuka) bagi setiap warga negara
yang merdeka, jauh berbeda dari ruang dalam pengertian oikos, karena di dalam
oikos setiap individu berada di dunianya sendiri-sendiri (idia). Kehidupan publik,
berlangsung di tempat-tempat semacam pasar. Tetapi ruang publik juga terdapat
dalam kegiatan diskusi, sidang pengadilan dan tindakan bersama entah dalam
perang maupun kompetisi pertandingan.5
Sejak awal dan di seluruh abad pertengahan, kategori-kategori mengenai
yang-publik dan yang-privat dan ruang publik yang dipahami sebagai res publica
berasal dari definisi hukum Roma kuno. Kategori-kategori tersebut berfungsi
sebagai interpretasi diri sekaligus institusionalisasi legal atas ruang publik yang
dalam pengertian spesifik bersifat borjuis. Meskipun begitu, hampir selama satu
abad kemudian fondasi-fondasi sosial bagi ruang ini nyaris terjebak di dalam
proses pembusukan.
Kecenderungan-kecenderungan yang mengarah kepada ambruknya ruang
publik sedemikian pastinya, sehingga ketika jangkauannya semakin meluas maka
fungsinya menjadi semakin tidak lagi jelas. Walaupun begitu, publisitas masih
terus bertahan sebagai prinsip pengorganisasian bagi tatanan politik Jerman.
Tampaknya bukan hanya pembongkaran terhadap ideologi liberal semata yang
akan sanggup dilakukan oleh demokrasi sosial dengan baik. Karena apabila orang
sampai berhasil mencapai sebuah pemahaman historis mengenai struktur-struktur
dari kompleksitas ini yang dewasa ini secara serampangan disisipkan ke bawah
topik ruang publik, maka ia boleh berharap untuk dapat memperoleh darinya
bukan hanya sebuah pengklarifikasian sosiologis tentang konsep ini saja, namun
juga sebuah pemahaman sistematis mengenai masyarakat Jerman berdasarkan
perspektif salah satu kategorinya yang utama.
Sebelum munculnya ruang publik borjuis, telah ada suatu bentuk ruang
publik yang terjadi di negara–negara feodal dari abad pertengahan dan Eropa
modern awal. Ruang publik yang dimaksud adalah raja maupun keluarga
bangsawan yang memainkan peran kekuasaan politik mereka di hadapan rakyat. 5 Jürgen Habermas, ibid. bdk. Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat (terjemahan), Plato dan Negara Utopia Hal 146-161
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
18
Para raja maupun keluarga bangsawan tersebut tidak lebih dari menunjukkan
kekuasaan mereka; tidak ada diskusi politik, maka publik yang dimaksudkan
bukanlah publik dalam pengertian modern. Agar kekuasaan politik ada diperlukan
penonton.
Penelitian Habermas mulai dengan usaha menentukan batas-batas yang
oleh Habermas disebut ruang publik borjuis. Ruang publik borjuis dipahami
sebagai ruang orang-orang privat yang berkumpul sebagai publik. ( ”…the sphere
of private people come together as a public; …”.6) Ruang publik terjadi karena
orang-orang privat berkumpul sebagai sebuah publik dan mengartikulasikan
kebutuhan masyarakat kepada negara (“ … made up of private people gathered
together as a public and articulating the needs of society with the state …".7)
Habermas menelusuri sejarah pembagian antara yang publik dan yang privat
dalam bahasa dan filsafat.
Sejarah munculnya ruang publik menandai bangkitnya suatu masa dalam
sejarah ketika individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat dapat
membentuk opini publik, memberikan tanggapan langsung terhadap apapun yang
menyangkut kepentingan mereka sambil berusaha mempengaruhi praktik-praktik
politik. Ruang publik melawan bentuk-bentuk hirarkis dan tradisional dari otoritas
feodal yang selama berabad-abad menguasai praktik politik di Eropa. Diskusi-
diskusi publik, menurut Habermas, muncul dari suatu tahap tertentu
perkembangan masyarakat borjuis. Lahirnya ekonomi pasar telah memperluas
dunia-kehidupan banyak orang melebihi batas-batas wilayah domestik. Mereka
adalah para pedagang dan pengusaha yang terus bertambah jumlahnya dan meluas
pengaruhnya, sementara lembaga-lembaga politik mapan saat itu tidak
memungkinkan partisipasi kalangan swasta seperti mereka. Di ruang publik,
mereka mendiskusikan dan menantang pemahaman mengenai hakikat kekuasaan
yang berlaku hingga saat itu
Ruang publik borjuis yang muncul di awal abad ke-18 menurut Habermas
berfungsi sebagai mediasi antara urusan privat individu di dalam kehidupan
keluarga, ekonomi, dan kehidupan sosial dilawankan dengan tuntutan dan urusan
6 Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere : an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Cambridge : MIT Press, 1991. p. 27 7 Ibid. p. 176
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
19
kehidupan sosial dan publik. Ini juga mencakup mediasi kontradiksi antara
kepentingan borjuis di satu pihak dan kepentingan warga negara lainnya di lain
pihak. Tujuannya adalah mengatasi kepentingan dan opini privat guna
menemukan kepentingan bersama dan mencapai konsensus sosial.
Ruang publik terdiri atas organ informasi dan debat politik seperti surat
kabar, jurnal, dan institusi-institusi diskusi politik seperti parlemen, klub politik,
salon-salon kesusastraan, pertemuan-pertemuan umum, rumah minum dan kedai
kopi, ruang-ruang pertemuan, dan ruang publik lainnya di mana terjadi diskusi
sosial–politik. Di tempat-tempat tersebut, kebebasan berbicara, berkumpul, dan
berpartisipasi dalam debat politik dijunjung tinggi. Kepublikan yang terjadi dalam
ruang publik dengan sendirinya mengandung daya kritis terhadap proses-proses
pengambilan keputusan yang tidak bersifat publik.
Untuk pertama kali dalam sejarah, individu-individu dan kelompok dapat
membentuk opini publik, mengekspresikan secara langsung kebutuhan dan
kepentingan mereka sementara itu juga mempengaruhi praktik politik. Ruang
publik borjuis menjadikan mungkin untuk membentuk ranah opini publik yang
beroposisi dengan kekuasaan negara dan kepentingan pihak penguasa yang
kemudian nantinya membentuk masyarakat borjuis. Ruang publik memupuk
oposisi terhadap bentuk-bentuk hierarkis dan tradisional dari otoritas feodal yang
selama berabad-abad menguasai praktik politik di Eropa.
Diskusi-diskusi publik muncul dari suatu tahap tertentu perkembangan
masyarakat borjuis. Lahirnya ekonomi pasar telah memperluas ruang hidup
banyak orang melebihi batas-batas wilayah domestik. Mereka adalah para
pedagang dan pengusaha yang terus bertambah jumlahnya dan meluas
pengaruhnya, sementara lembaga-lembaga politik mapan saat itu tidak
memungkinkan partisipasi kalangan swasta seperti mereka. Di ruang publik,
mereka mendiskusikan dan menantang pemahaman mengenai hakikat kekuasaan
yang berlaku hingga saat itu.
Para pedagang dan pengusaha, kalangan terpandang karena harta dan
pengetahuan mereka, merupakan pihak-pihak yang aktif bersuara di ruang publik,
meskipun mereka bukan keturunan bangsawan. Mereka inilah yang disebut
“publik” dan dengan klaim pengetahuan mengenai kepentingan umum, mereka
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
20
berusaha mengubah masyarakat menjadi suatu ruang otonomi privat yang bebas
dari campur tangan politik dan merombak negara menjadi otoritas yang terbatas
pada beberapa fungsi saja serta diawasi oleh “publik”. Di sinilah terletak
rasionalitas perjuangan menegakkan ruang publik. Di antara dua ruang tersebut,
yaitu ruang otonomi privat di satu pihak dan ruang politik negara di lain pihak,
ruang publik berfungsi sebagai penerus kepentingan masyarakat borjuis kepada
negara. Idealnya, ruang publik mengubah otoritas politis negara menjadi otoritas
“rasional” dalam ruang publik. Rasionalitas borjuis demikian ini diukur oleh
sejauh mana kepentingan umum terwakili, dan ruang publik berfungsi untuk
menjamin tercapainya rasionalitas tersebut.
2.2 Perubahan Struktural Ruang Publik
Ruang publik, yang ideal itu, kemudian mengalami depolitisasi. Seiring
dengan perkembangan kapitalisme, organ-organ publik yang semula menjadi
tempat diskusi publik, lama kelamaan mulai berubah fungsi. Pers tidak lagi
menyuarakan opini publik dan perjuangan politik, melainkan menjadi ruang iklan.
Komersialisasi, munculnya perusahaan besar, intervensi negara, dan pengaruh
sains serta rasio instrumental dalam kehidupan sosial memperparah proses
depolitisasi ini. Ini merupakan perubahan struktural yang dimaksudkan Habermas.
Ruang publik berubah dari ruang diskusi rasional, debat, dan konsensus
menjadi wilayah konsumsi massa dan dijajah oleh korporasi-korporasi serta kaum
elite dominan. Analisis Habermas ini melanjutkan tradisi sekolah Frankfurt yang
melihat transisi dari kapitalisme pasar dan demokrasi liberal pada abad ke-19
menuju tahap kapitalisme negara dan monopoli yang tampil dalam rupa fasisme
Eropa dan liberalisme welfare state di Amerika Serikat 1930-an. Bagi Sekolah
Frankfurt, masa-masa itu menandai babak baru dalam sejarah yang ditandai oleh
percampuran antara otoritas politik dan ekonomi, industri budaya yang
manipulatif, dan masyarakat terpimpin yang makin tidak demokratis dan bebas.
Dalam istilah Habermas, proses ini disebut refeodalisasi ruang publik.
Refeodalisasi ruang publik menghasilkan opini publik yang tidak lagi
terbentuk lewat perdebatan dan konsensus, melainkan opini publik yang dibentuk
oleh kelompok elite media, politik, dan ekonomi. Di tangan mereka, opini publik
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
21
kehilangan karakter publiknya. Menurut Habermas, opini publik yang semula
merupakan ekspresi keprihatinan untuk mencari kepentingan umum, sejak akhir
abad ke-19 telah menjadi ekspresi kepentingan pribadi para elite tersebut. Pentas
politik yang semula dimaksudkan untuk memperoleh konsensus rasional telah
menjadi ajang perebutan kekuasaan di antara berbagai kelompok kepentingan.
Perubahan mendasar dalam ruang publik borjuis tidak menyurutkan
Habermas untuk menghidupkan kembali ruang publik yaitu dengan cara memulai
proses komunikasi publik yang kritis melalui organisasi-organisasi yang
menjalankan fungsi komunikasi publik itu. Menghidupkan kembali ruang publik
berarti membangkitkan kembali kepublikan atau sifat publik yang kritis dalam
organisasi-organisasi yang beroperasi di ruang publik.
Dampak positif dari ruang publik, di luar kecenderungan refeodalisasi,
bisa disebut antara lain perluasan hak-hak asasi dalam sistem pengamanan sosial
yang dijalankan negara, tuntutan akan keterbukaan informasi bagi publik kepada
lembaga-lembaga negara, dan semua organisasi yang berurusan dengan negara.
Setidak-tidaknya, di tengah suasana komersialisasi dan intervensi negara,
beberapa aspek ruang publik masih dapat ditegakkan.
Menggagas ruang publik borjuis sebagai tempat berlangsungnya diskusi
dan konsensus rasional seperti yang digagas Jürgen Habermas, di mana masalah-
masalah yang bersifat publik dibicarakan disebut idealisasi ruang publik borjuis.
Gagasan ini tidak luput dari kritik karena agak diragukan bahwa politik pada masa
itu digerakkan oleh norma rasionalitas dan opini publik yang dibentuk melalui
debat rasional dan konsensus seperti digambarkan oleh Habermas. Politik modern
selalu tunduk pada rangkaian permainan kepentingan dan perebutan kekuasaan,
sekaligus juga diskusi dan debat. Mungkin ada saja satu dua kelompok
masyarakat yang berhasil mencapai tahap itu, namun memuja-muja dan membuat
generalisasi dari pengecualian itu tampaknya terlalu berlebihan.8
Gagasan Habermas mengenai ruang publik harus ditempatkan dalam
kerangka besar teori kritis yang merupakan penentu identitas Sekolah Frankfurt.
Pada periode 1930-an, Sekolah Frankfurt menerapkan metode kritik imanen; suatu
cara melancarkan kritik terhadap masyarakat totaliter dan fasis di Eropa 8 Douglas Kellner, Habermas, the Public Sphere, and Democracy: a Critical Intervention dalam http: //www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/papers/habermas.htm diakses 10 Nov 2008
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
22
menggunakan perspektif ide-ide pencerahan seperti demokrasi, hak asasi manusia,
kebebasan individu dan sosial, serta rasionalitas. Kualitas-kualitas yang imanen
pada masyarakat borjuis dipakai untuk mengkritik penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi dalam masyarakat sesudahnya. Habermas dianggap masih
terpengaruh oleh metode ini, setidaknya ketika ia mengidealkan rasionalitas ruang
publik borjuis abad ke-18 dan mengeluhkan perkembangan masyarakat kapitalis
sejak akhir abad ke-19
Habermas larut dalam perkembangan gagasan Sekolah Frankfurt terutama
sejak terbitnya Dialetics of Enlightenment (1947). Adorno dan Horkheimer dalam
buku itu terlihat pesimis dengan prospek pencerahan sebagai dasar suatu teori
kritis. Menurut kedua tokoh Sekolah Frankfurt tersebut, di bawah bayang-bayang
hantu Perang Dunia II di Eropa dan kapitalisme tanpa kendali di Amerika,
Pencerahan berakhir dalam situasi yang serba berkebalikan. Demokrasi menjadi
fasisme, akal budi hanya menghasilkan irasionalitas, dan kebudayaan berkembang
menjadi alat manipulasi. Dalam situasi tersebut, prosedur memakai idealisme
borjuis sebagai norma kritik, telah dibungkam oleh barbarisme peradaban abad ke
-20
Nada pesimis Dialetics of Enlightenment kelihatan pada bagian akhir The
Structural Transformation of the public sphere : an inquiry into a category of
bourgeois society. Idealisasi ruang publik borjuis untuk mengkritik penyimpangan
di zaman kini, seperti yang digagasnya di bagian depan, hanya akan terdengar
seperti nostalgia. Nyatanya, sejak Pencerahan menjadi mitos dan ruang publik
borjuis telah menjadi arena iklan, tidak ada lagi dasar normatif dan empiris untuk
membangun teori kritis. Semua jalan sepertinya berujung buntu. Habermas hanya
dapat menyerukan pembaruan proses demokratisasi lembaga-lembaga dan ruang
publik, namun tidak dapat menawarkan dasar institusional dan menggambarkan
gerakan sosial untuk mewujudkannya. Kegamangan Habermas kelihatan pada
cara pandangnya terhadap welfare state dalam The Structural Transformation. of
the public sphere : an inquiry into a category of bourgeois society. Di satu
pihak, pada welfare state ia melihat satu-satunya peluang imanen untuk
menegakkan kembali ruang publik dalam masyarakat modern. Namun di lain
pihak, welfare state juga berpotensi menggerus ruang publik karena membuka
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
23
peluang bagi negara untuk memasuki wilayah yang semestinya di bawah otonomi
privat itu.
Habermas berpaling pada bahasa untuk mencari dasar filosofis bagi suatu
teori kritis baru. Pencarian ini memuncak pada karya terpenting Habermas, The
Theory of Communicative Actions (1989). Menurut Habermas, dalam fenomena
bahasa dan komunikasi antarmanusia terkandung norma-norma untuk mengkritik
segala bentuk dominasi dan penindasan serta untuk memperjuangkan
demokratisasi. Menurut Habermas, ketika dua orang atau lebih berwicara dalam
suatu diskursus, mereka hendaknya saling memahami terlebih dahulu sebelum
sampai pada hal-hal lain. Kehendak untuk memahami dan dipahami itu imanen
pada tindakan berwicara, dan hal ini berlaku bagi siapapun dan dimanapun. Inilah
rasionalitas yang dapat dipakai sebagai dasar suatu teori kritis. Prinsip rasional ini
merupakan hakikat “transendental” dari tindakan berkomunikasi. Habermas
kemudian merumuskan norma-norma kritis yang disebutnya sebagai syarat-syarat
wicara ideal (ideal speech situations).
Teori kritis baru ini dipakai oleh Habermas untuk menyoroti terjadinya
kolonisasi dunia-kehidupan (lifeworld) oleh sistem. Dunia-kehidupan, menurut
Habermas, merupakan arena berlangsungnya peristiwa sehari-hari dan tindakan
komunikatif menduduki tempat yang sentral. Sementara itu, sistem merupakan
mekanisme untuk mengatur tindakan individu-individu, memberi makna
fungsional terhadap tindakan, dan memastikan bahwa sistem tetap bekerja seperti
dimaksud. Sistem dalam dikotomi ini mewakili proses rasionalisasi modernitas
yang berupa birokratisasi dan instrumentalisasi seperti digagas oleh Weber.
Sebenarnya dunia-kehidupan juga mengalami rasionalisasi sendiri namun
rasionalitas instrumental dalam sistem berkembang lebih kuat dan akhirnya
menjajah dunia-kehidupan. Akibatnya rasionalitas komunikasi seperti yang
terdapat pada syarat-syarat wicara ideal di zaman modern telah dikuasai oleh
rasionalitas instrumental. Habermas menyebut kondisi ini sebagai komunikasi
yang mengalami distorsi.
Ukuran normatif seperti dalam syarat-syarat wicara ideal dapat dipakai
untuk membangun gagasan baru mengenai ruang publik ideal. Idealisasi ruang
publik borjuis mengandaikan secara keliru tiadanya atau minimnya perbedaan
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
24
kepentingan individu. Begitu mengatasi ruang lingkup privatnya individu-individu
digambarkan berkumpul di ruang publik sebagai suatu suara dihadapan intervensi
politik negara. Teori kritis tindakan komunikatif memungkinkan Habermas untuk
menghilangkan asumsi uniformitas kehendak tersebut. Biarpun ada perbedaan
kepentingan dan latar belakang budaya, keniscayaan dalam tindakan komunikatif
akan memaksa individu-individu di ruang publik untuk sampai pada pemahaman
terhadap satu sama lain. Rasionalitas ruang publik tidak lagi bersandar pada
asumsi mengenai kepentingan umum yang otomatis diwakili oleh ruang publik
borjuis, melainkan pada etika diskursus universal. Konsensus tercapai bila terjadi
pemahaman bersama yang bersifat intersubjektif mengenai sesuatu yang secara
argumentatif memang lebih baik. Kondisi ideal suatu diskursus menuntut bahwa
kesamaan hak setiap orang untuk terlibat dalam diskusi dijamin dan bebas dari
segala bentuk dominasi baik yang sifatnya internal menyangkut perilaku
individual maupun eksternal dalam rupa komunikasi yang terdistorsi secara
sistematis. Hanya bila kondisi ini terpenuhi, konsensus yang tercapai dapat
disebut rasional.
Between Facts and Norms (1996) memperlihatkan bagaimana Habermas
menyusun argumentasi untuk suatu ruang publik berhadapan dengan struktur
politik dan hukum. Ruang publik merupakan sarana peringatan dini dengan sensor
yang sensitif menangkap persoalan-persoalan dalam masyarakat. Selanjutnya
ruang publik tidak hanya mendeteksi persoalan tetapi juga harus memperkuat
tingkat kemendesakkan dari persoalan-persoalan itu dengan cara merumuskannya,
menyodorkannya, beberapa kemungkinan solusi, bahkan mendramatisasi
persoalan supaya ditangkap oleh otoritas politik. Menurut Habermas, “ruang
publik paling tepat digambarkan sebagai jaringan untuk mengkomunikasikan
informasi dan beberapa cara pandang ... ; arus-arus informasi, dalam prosesnya
disaring dan dipadatkan sedemikian sehingga menggumpal menjadi simpul-
simpul opini publik yang spesifik menurut topiknya.”9 Habermas berharap opini
publik akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam struktur politik
dan hukum yang mapan. Kapasitas ruang publik untuk memberi solusi sendiri
memang terbatas namun kapasitas tersebut dapat digunakan untuk mengawasi 9 Lihat Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, Cambridge: MIT Press, 1996 hal 360
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
25
bagaimana sistem politik menangani persoalan-persoalan yang muncul di tengah
masyarakat. 10
Dalam benturannya dengan praktik-praktik rahasia dan birokratis negara
absolut, kemunculan borjuasi perlahan-lahan menggantikan sebuah ruang publik
di mana kekuatan penguasa hanya direpresentasikan di hadapan masyarakat oleh
sebuah ruang yang didalamnya otoritas negara diawasi secara publik lewat
diskursus informatif dan kritis oleh masyarakat.
Habermas meneliti perkembangan kesadaran diri sastra dan politis kaum
borjuasi, juga sekaligus kelahiran novel dan jurnalisme sastra dan politis dan
penyebaran komunitas-komunitas baca, salon-salon, dan kedai-kedai kopi.
“Two years after Pamela appeared on the literary scene the first public
library was founded, book clubs, reading circles and subscription libraries
shot up”11
Habermas mengemukakan kontradiksi antara katalog konstitutif “hak-hak dasar
manusia” dari ruang publik liberal dengan pembatasan de facto-nya terhadap
manusia dari kelas-kelas tertentu. Dia mencatat tegangan-tegangan yang seiring
dengan perkembangan lebih jauh dari kapitalisme sebagai tubuh publik yang
mengembang melampaui borjuasi sehingga juga mencakup kelompok-kelompok
yang secara sistematis tidak diuntungkan oleh cara kerja pasar bebas dan yang
mengupayakan memperoleh regulasi dan kompensasi negara.
Munculnya jalinan antara negara dan masyarakat sejak akhir abad ke-19
sampai abad ke-20 berakibat pada matinya ruang publik liberal. Ruang publik
demokrasi negara kesejahteraan sosial lebih merupakan lapangan kompetisi di
antara kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan, di mana organisasi-
organisasi yang mewakili beraneka ragam konstituen melakukan negosiasi dan
kompromi di antara mereka sendiri dan dengan pejabat-pejabat pemerintahan,
sembari menghilangkan publik dari gerak langkah mereka. Sejak saat itu opini
publik mulai mengemuka, tapi bukan dalam bentuk diskusi publik yang tak
10 Lihat Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, Cambridge: MIT Press, 1996 hal 359 11 Jürgen Habermas. The Structural Transformation of the Public Sphere : an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Cambridge : MIT Press. 1991 p. 51
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
26
terkekang. Karakter dan fungsinya lebih ditandai oleh cara-cara dia disampaikan
dan dilontarkan: riset opini publik, publisitas, kerja humas dan sebagainya. Pers
dan media penyiaran tidak begitu berfungsi sebagai organ-organ informasi dan
perdebatan publik, melainkan sebagai teknologi untuk mengelola konsensus dan
mempromosikan budaya konsumen
Apabila struktur-struktur historis ruang publik liberal mencerminkan
konstelasi khusus kepentingan-kepentingan yang melahirkannya, maka gagasan
yang diklaimnya mewujud yakni merasionalkan otoritas publik di bawah
pengaruh diskusi yang informatif dan kesepakatan rasional yang terlembaga masih
tetap penting bagi teori demokrasi. Di era pasca liberal, ketika model klasik ruang
publik tidak lagi memungkinkan secara sosio politik, maka pertanyaannya
berubah menjadi : dapatkah ruang publik dibangun kembali secara efektif di
bawah kondisi-kondisi sosio ekonomi, politik dan kultural yang sudah berubah se
radikal ini? Atau dengan kata lain mungkinkah demokrasi diwujudkan? Habermas
menjawab pertanyaan ini dengan Teori tindakan komunikatif
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ruang publik dipahami
sebagai suatu bentuk reaksi dari keadaan di zaman feodal, di mana individu
maupun kelompok dalam masyarakat membentuk opini publik, memberikan
tanggapan langsung terhadap apapun yang menyangkut kepentingan mereka
sambil berusaha mempengaruhi praktik-praktik politik.
Ruang publik kemudian mengalami depolitisasi dan refeodalisasi sebagai
akibat dari perkembangan kapitalisme, komersialisasi, tumbuhnya perusahaan-
perusahaan besar, meningkatnya intervensi negara demi stabilitas ekonomi, dan
meluasnya pengaruh sains serta akal budi instrumental dalam kehidupan sosial.
Dengan tidak memadainya pencerahan sebagai dasar filosofis perjuangan,
Jürgen Habermas mengemukakan teori tindakan komunikatif sebagai landasan
filosofis guna menghidupkan kembali ruang publik.
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
BAB 3 RUANG PUBLIK DAN PERPUSTAKAAN
Berbagai komentar tentang informasi dari sejumlah pakar yang sempat
dicatat Frank Webster antara lain berisi bahwa informasi pada zaman sekarang ini
cenderung ternodai, tidak lepas dari campur tangan pihak yang menyajikannya
atau yang mengemasnya sedemikian rupa untuk mendukung suatu posisi, atau
memanipulasinya untuk tujuan tertentu, atau membuatnya menjadi komoditas
yang laku dijual, yang sifatnya menghibur. Dalam versinya yang paling ekstrim,
keadaan di atas dapat dianggap sebagai rusaknya proses demokratisasi akibat
tidak memadainya informasi yang disuguhkan kepada publik karena apabila
masyarakat tidak memperoleh informasi yang handal lalu akan sulit tercapai
masyarakat yang ideal, cerdas, arif dan berpengetahuan luas – demokrasi dalam
pengertian yang sejatinya.1
Cara pandang di atas sejalan dengan konsepsi Habermas tentang ruang
publik yang ditulisnya dalam The Structural Transformation of the Public Sphere
: an inquiry into a category of Bourgeois Society. Dalam buku tersebut disebutkan
bahwa khususnya di Inggris pada abad ke 18 dan 19, berkembangnya kapitalisme
menyebabkan munculnya ruang publik yang kemudian mengalami kemunduran
pada pertengahan dan akhir abad ke dua puluh. Informasi berada pada inti dari
ruang publik ini, di dalamnya para peserta diskursus mengungkapkan posisinya
dalam argumen yang diungkapkan secara eksplisit dan bahwa pandangan mereka
dapat diakses oleh kalangan publik yang luas. Kontributor utama demi tercapainya
tujuan tersebut adalah media komunikasi dan lembaga-lembaga informasi lainnya
seperti perpustakaan dan lembaga statistik.
3.1 Transformasi dan Refeodalisasi Ruang Publik
Mencermati tulisan Habermas tentang ruang publik akan membawa kita ke
pemahaman lebih jelas mengenai dinamika dan arahnya. Menurut Habermas
ruang publik borjuis muncul sebagai akibat dari ciri utama masyarakat kapitalis
pada abad ke-18. Dengan menggunakan kekayaan dan pendidikan yang mereka 1 Lihat Webster, Frank. Theories of the Information Society. London : Routledge, 1995 hal 101
27
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
28
miliki, para pengusaha kapitalis mampu berjuang dan melepaskan
ketergantungannya dari gereja dan negara. Pada awalnya kehidupan publik
didominasi para biarawan dan pihak kerajaan di mana tata krama yang
menggambarkan relasi feodal dipertontonkan dan menjadi topik perhatian sehari-
hari, tetapi para kapitalis-baru berhasil meruntuhkan keadaan tersebut. Ini terjadi
antara lain karena para kapitalis memberikan dukungan ekstra kepada dunia sastra
- teater, kesenian, kedai-kedai kopi, novel dan kritik - dan melalui cara itu
ketergantungan kepada pihak pembimbing (patron) menjadi berkurang dan
memunculkan ruang yang dengan sepenuh hati melakukan kritik yang terpisah
dari kekuasaan tradisional. Menurut pengamatan Habermas, di sini percakapan
berubah menjadi kritik dan kata-kata indah berubah menjadi adu argumen.
Dari arah lain, muncul dukungan yang semakin kuat kepada kebebasan
berbicara dan reformasi parlemen sebagai konsekuensi dari perkembangan pasar.
Karena kapitalisme berkembang dan terkonsolidasi dan juga memperoleh
kebebasan yang lebih besar dari negara, kapitalisme semakin meningkatkan
tuntutan terhadap perubahan negara, paling tidak memperluas perwakilan guna
mendapatkan kebijakan yang secara lebih efektif mendukung ekspansi ekonomi
pasar. Perjuangan mereformasi parlemen, tentunya mencakup juga kebebasan
pers, karena pers merupakan poros roda perjuangan reformasi, supaya kehidupan
politik bisa diawasi oleh publik yang lebih luas. Sebagai contoh adalah
didirikannya Hansard di abad pertengahan 18 untuk memberikan rekaman
prosiding yang akurat di parlemen.
Perjuangan guna membangun surat kabar yang independen mendapat
banyak rintangan dari pihak pemerintah, meskipun demikian usaha tersebut
terbantu oleh biaya produksi yang relatif murah. Melalui cara-cara yang
menggugah pikiran, pers pada abad ke 18 dan 19, tidak saja menyampaikan secara
luas opini, tetapi dengan sepenuh hati memberitakan secara penuh kegiatan
parlemen. Ini merupakan indikasi bahwa terjadi pihak-pihak yang
mengkapanyekan kerjasama antara pers dan pihak-pihak yang mengkampanyekan
reformasi parlemen. Yang paling penting dari gabungan kekuatan ini, tentunya,
adalah matangnya oposisi politis, yang mendorong adu argumen dan debat yang
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
29
dibentuk melalui desakan perkembangan baru, yaitu suatu kebijakan yang bisa
diterima-secara-rasional.
Hasil dari perkembangan tersebut adalah terbentuknya ruang publik
borjuis pada pertengahan abad ke 19. Ciri khas dari ruang publik tersebut adalah
adanya debat terbuka, kupasan kritis, reportase penuh, aksesibilitas yang semakin
meningkat dan kebebasan para peserta di ruang publik dari kepentingan ekonomi
dan kebebasan dari kendali negara. Habermas menekankan bahwa perjuangan
untuk independen dari negara merupakan unsur pokok dari ruang publik borjuis.
Ini berarti kapitalisme awal harus berhadapan dengan negara karena alasan
tersebut, pokok perjuangannya adalah pers bebas, reformasi politis, dan
perwakilan yang lebih besar.
Dalam analisis historisnya lebih lanjut, Habermas menunjukkan ciri-ciri
paradoks ruang publik borjuis yang pada akhirnya mengarah ke refeodalisasi di
sejumlah bidang. Yang pertama memusat di seputar perluasan kapitalisme lanjut.
Habermas mencatat bahwa telah lama terjadi saling penyusupan antara
kepemilikan privat dan ruang publik, dan ia berpendapat bahwa penyusupan
condong ke arah kepemilikan privat selama dekade akhir dari abad ke 19. Seiring
dengan perkembangan kekuatan dan pengaruh kapitalisme, para pendukungnya
bergerak dari tuntutan reformasi menuju pengambilalihan kekuasaan negara dan
menggunakan pengambilalihan kekuasaan itu untuk melanjutkan tujuan mereka.
Habermas tidak bermaksud mengatakan bahwa arah gejala ini
menggambarkan secara langsung kembalinya ke epos sebelumnya. Menurut
pandangannya humas dan budaya lobi-melobi merupakan bukti mencolok dari
unsur-unsur penting ruang publik namun hal tersebut tidak lagi ditujukan pada
usaha memperoleh pengakuan terhadap bidang di mana debat politik harus
dilakukan untuk mendapatkan legitimasi. Apa yang dilakukan humas, ketika
memasuki debat publik adalah menyembunyikan kepentingan yang diwakilinya
(misalnya dengan menyatakan demi ‘kesejahteraan masyarakat’ atau demi
‘kepentingan nasional’), sehingga debat kontemporer tidak lain dari suatu versi
palsu ruang publik. Dalam pengertian itulah Habermas mengadopsi istilah
refeodalisasi, yang artinya ada indikasi tentang cara dimana masalah-masalah
publik menjadi sesuatu yang ditampilkan dari kekuasaan (menggunakan cara yang
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
30
analog dengan yang digunakan kerajaan pada abad pertengahan) bukannya ruang
kompetisi kebijakan–kebijakan dan aneka macam pandangan.
Yang kedua istilah refeodalisasi muncul dari perubahan-perubahan dalam
sistem komunikasi massa. Perlu diingat bahwa komunikasi massa diperlukan demi
efektifitas ruang publik karena media terjadinya memungkinkan penelitian dan
akses luas terhadap masalah-masalah publik. Namun, selama abad ini media
massa telah berkembang menjadi organisasi-organisasi monopoli kapitalis dan
ketika hal itu terjadi, kontribusi utamanya sebagai penyebar informasi handal dari
ruang publik menjadi hilang. Media berubah menjadi alat kepentingan kapitalis,
tidak lagi sebagai penyedia informasi.
Sementara kedua ciri tersebut di atas menggambarkan penyebaran dan
penguatan kekuasaan kapitalisme atas hubungan-hubungan sosial, terdapatlah
sesuatu kelompok yang berusaha menggunakan negara guna mendukung ruang
publik. Kelompok yang melakukan kontribusi penting pada penciptaan dan
penyebaran etos jasa publik di dalam masyarakat modern. Habermas melihat
bahwa sejak masa–masa awalnya ruang publik borjuis telah menyediakan ruang
bagi orang-orang yang menempati suatu posisi di antara pasar dan pemerintah;
yakni, antara ekonomi dan politik; khususnya para profesional seperti para
akademisi, ahli-ahli hukum, para dokter dan sejumlah pegawai negeri. Masih
dapat diperdebatkan bahwa ketika kapitalisme mengkonsolidasikan
cengkeramannya di masyarakat yang lebih luas dan di negara itu sendiri, pada saat
yang sama unsur-unsur signifikan profesi-profesi menggerakkan dukungan negara
untuk menjamin agar ruang publik tidak dirusakkan oleh dominasi kapital.
Habermas menyatakan hal itu khususnya dengan penyiaran di benaknya,
sambil memperlihatkan bahwa industri penyiaran publik didirikan karena kalau
tidak fungsi wartawannya tidak bisa dilindungi secara memuaskan dari
pelanggaran batas fungsi kapitalistiknya. Tetapi argumen bahwa yang demikian
itu merupakan tendensi menuju pengambilalihan oleh kepentingan kapitalis
sehingga memunculkan perlunya keterlibatan negara untuk menjamin
infrastruktur informasi bagi ruang publik yang bergairah dapat diperluas untuk
menjelaskan ciri dari sejumlah institusi penting, seperti perpustakaan-perpustakan
umum, jasa statistik pemerintah, museum-museum dan galeri – galeri seni. Tentu
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
31
saja, etos layanan publik, yang dipahami sebagai harapan yang, dalam ranah
informasi paling sedikit menyajikan informasi dan pengetahuan tanpa memihak
dan netral kepada publik seluas mungkin, terlepas dari kemampuan orang untuk
membayar, dapat dianggap sangat sesuai dengan orientasi yang sangat esensial
pada pemfungsian efektif ruang publik.
Ketika kita membaca sejarah ruang publik Jürgen Habermas, mau tidak
mau kita akan menyimpulkan bahwa masa depannya akan sulit. Tulisan mengenai
perkembangan akhir ruang publik terasa suram: kapitalisme menjadi
pemenangnya, kapasitas pemikiran kritis menjadi minimal, tidak ada ruang riil
untuk ruang publik di zaman konglomerat media trans nasional dan budaya iklan
yang merembes. Sejauh yang berhubungan dengan informasi, perhatian terhadap
pasar yang dijadikan prioritas oleh perusahaan-perusahaan informasi berarti
mendedikasikan produk mereka kepada tujuan membuat penghasilan iklan
maksimum dan mendukung perusahaan kapitalis. Akibatnya, isinya antara lain:
petualangan tindakan, hal-hal yang sepele, sensasionalisme, personalisasi
masalah, perayaan gaya hidup kontemporer. Ini semua, dipromosikan secara
intensif dan berlebihan, menarik dan menjual, tetapi kualitas informasinya tak
berarti. Yang dilakukan tidak lebih (dan tidak kurang) mewajibkan subjek para
pirsawannya secara halus keterarahan terhadap konsumsi secara terus menerus.
Habermas melangkah lebih jauh lagi: sementara ruang publik diperlemah
oleh invansi etika iklan, ia juga dilukai secara mendalam oleh penetrasi humas.
Bagi Habermas, penyusupan humas menandai ditinggalkannya kriteria
rasionalitas yang dulu pernah membentuk argumen publik, kriteria rasionalitas
tersebut sangat kurang di dalam konsensus yang diciptakan oleh cetakan opini
yang canggih yang mereduksi kehidupan politis ke kemegahan yang gemerlapan
sebelum pengikutnya yang tertipu itu siap untuk mengikuti.
Ketika merenungkan keadaannya sekarang, Habermas tak henti-hentinya
nampak muram. Hak pilih bersama barangkali telah membawa masing-masing
kita ke dalam ranah politik, tetapi hak pilih juga mengangkat bidang keunggulan
opini melebihi kualitas argumen nalar. Lebih buruk lagi membobot hak suara
tanpa menilai kevalidan isu, perluasan pada setiap orang akan hak pilih bertepatan
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
32
dengan munculnya propaganda modern, dari sinilah, kemampuan mengelola opini
dalam ruang publik yang dimanufaktur2.
3.2 Komersialisasi Jasa Perpustakaan Umum
Ciri “ruang publik” dari suatu perpustakaan umum dapat diamati dari ciri-
ciri sebagai berikut
1. Ruang publik terbuka bagi siapa saja. Mereka berkumpul dan berbicara
demi kepentingan umum. Perpustakaan umum juga memiliki ciri tersebut
yakni terbuka bagi siapa saja, menyediakan informasi dan mengusahakan
akses. Pengguna perpustakaan bebas berdiskusi demi kepentingan sendiri
maupun kepentingan umum. Selain itu, perpustakaan umum juga
menyediakan buku-buku atau informasi dalam berbagai format untuk
dipinjamkan, dan menyediakan akses terhadap koleksi rujukan, serta
membuka jam buka perpustakaan yang cukup memadai dalam rangka
kualitas layanannya.
2. Kegiatan perpustakaan didanai publik dari hasil pajak daerah maupun
pusat, kendati demikian kegiatannya tidak tergantung ke pada kepentingan
politik. Di Indonesia dana perpustakaan berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Dengan sistem pendanaan tersebut perpustakaan umum
dapat menyediakan layanannya secara cuma-cuma. Undang-undang
Republik Indonesia nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan
memberikan pedoman didalam penyelenggaraan perpustakaan umum guna
tersedianya jasa perpustakaan yang komprehensif dan efisien bagi semua
orang yang ingin memanfaatkannya.
3. Agar tercapai akses terhadap informasi seluas-luasnya dan jasa
peminjaman yang memuaskan, seandainya suatu perpustakaan setempat
tidak memiliki informasi yang dicari pengguna, sistem nasional
peminjaman antar perpustakaan akan memenuhi kebutuhan tersebut.
Bahkan untuk jenis buku terlarang, Perpustakaan Nasional RI dengan
mengacu pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 Tentang Serah
2 Lihat Webster, Frank. Theories of the Information Society. London : Routledge, 1995, hal 167
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
33
Simpan Karya Cetak dan karya Rekam serta Peraturan Pemerintah nomor
70 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun
1990 masih tetap dapat mengendalikan dan menyimpan koleksi karya
terlarang. Kalangan tertentu yang sangat membutuhkan, misalnya peneliti,
dosen dimungkinkan meminjam koleksi terlarang tersebut.
4. Jaringan perpustakaan diawaki oleh pustakawan profesional yang bisa
menyediakan layanan profesional kepada pengguna, tanpa prasangka dan
motif-motif tersembunyi.
Sejumlah kalangan ikut serta mendukung jasa perpustakaan, mereka
adalah para dermawan, simpatisan, kalangan yang khawatir akan massa yang
kurang terdidik dan berkeinginan meningkatkan angka melek huruf serta
memberikan kesempatan pendidikan melalui penyediaan sumber belajar kepada
mereka-mereka yang kurang beruntung. Betapapun disertai dengan aneka ragam
motif dan aspirasinya, hal yang berada dibalik itu semua adalah konsepsi
pentingnya informasi. Maksudnya adalah perpustakaan umum dibentuk dan
dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa informasi adalah sumberdaya yang
menjadi milik dari setiap orang bukannya komoditas yang mungkin saja
merupakan kepemilikan dan karena itu dapat dimiliki secara pribadi. Karena
informasi dan tentu saja pengetahuan tidak boleh dimiliki secara eksklusif, ia
harus tersedia secara bebas bagi mereka yang ingin mengaksesnya. Konsepsi ini
merupakan konsep inti dari pendirian dan kegiatan sistem perpustakaan. Ini
menjadi pedoman dasar suatu jaringan perpustakaan umum yakni apabila orang
menginginkan informasi mereka selayaknya dibantu untuk memperolehnya
bukannya dipersulit.
Di Indonesia perpustakaan umum belum populer namun telah diminati
sebagian masyarakat. Mereka memiliki anggota yang lumayan banyak. Secara
global dapat dikatakan sistem perpustakaan umum mendapatkan tantangan di segi
filosofis maupun kegiatan rutinnya. Serangan serius dilayangkan atas premis,
informasi harus tetap diperoleh secara cuma-cuma bagi pengguna perpustakaan,
dan kebijakan sejumlah negara misalnya Inggris menekankan agar perpustakaan
menarik bayaran atas jasa mereka. Sejak akhir tahun 1970-an pemerintah negara
tersebut melakukan usaha-usaha untuk mengurangi belanja publik dan
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
34
mempromosikan penerapan mekanisme pasar sebagai sarana penyediaan jasa.
Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah dilakukannya pengurangan
dana yang cukup signifikan di lingkungan perpustakaan. Jasa perpustakaan sangat
dibatasi, pembatalan langganan suratkabar, pengurangan langganan jurnal, jam
buka perpustakaan dipersingkat dan secara umum, pengurangan buku di rak
(khususnya buku-buku baru). Pengurangan dana telah mendesak pihak
perpustakaan untuk mencari sumber pendapatan lain. Pustakawan disarankan agar
mencari sumber dana di luar sumberdana rutinnya dan mempertimbangkan apakah
ada kemungkinan mendapatkan dana dari pengguna, sponsor swasta atau bahkan
investasi swasta dalam jasa baru. Sejak itulah muncul kegiatan pemasokan
informasi melalui sponsor swasta dan atas dasar daya tarik pasarnya.
Di Inggris, ketentuan tentang jasa perpustakaan secara cuma-cuma telah
membuat “commercial lending libraries” tidak memiliki kegiatan lagi karena itu
ada desakan untuk mengajukan kembali kriteria komersial dalam pemasokan
informasi. Rekomendasinya yang paling penting adalah pembebanan biaya bagi
pengguna dan pengalihan menuju privatisasi dunia perpustakaan.
Menurut pendapat suatu kalangan masyarakat, (kasus di Inggris), layanan
cuma-cuma perpustakaan dianggap memberi manfaat yang tidak proporsional
kepada mereka yang sebenarnya mampu membeli sendiri bukunya. Sementara
mayoritas publik adalah anggota perpustakaan, dapat diperkirakan bahwa separuh
darinya masuk dalam 20% penduduk yang berlabel kelas menengah. Perpustakaan
juga dituduh tidak hanya melayani kelompok yang berkecukupan, tetapi juga
menjadi kelompok elit, mengangkat perilaku kelompok menengah yang menilai
rendah budaya dari, katakanlah kelas pekerja atau sektor regional. Prasangka ini
terbukti tidak hanya dalam pemilihan rutin literatur yang merupakan literatur
kelas menengah, tetapi juga kadang-kadang tindakan penyensoran bahan
perpustakaan oleh pustakawan contohnya adalah sejumlah perpustakaan
mengeluarkan buku-buku seperti Enid Blyton’s Noddy stories karena buku-buku
tersebut dianggap rasis dan berbau sex. Selain itu, muncul argumen bahwa di
balik retorika jasa publik terbentang kenyataan yang tidak mengenakkan bahwa
pustakawan mengurusi dirinya dengan lebih baik, dengan hanya membelanjakan
16 persen dari anggaran belanjanya untuk buku dan tiga kalinya untuk gaji.
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
35
Betapapun semakin baiknya penalaran yang ada, bahwa profesi yang mengurusi
dirinya sendiri dan elit itu dapat dipertanggungjawabkan, tanggungjawab tersebut
tidak kepada publik yang ada sebagai suatu abstraksi, tetapi kepada pengguna
perpustakaan yang, ketika membayar sendiri informasinya, akan menilainya dan
menuntut akuntabilitas kepada yang digaji untuk melaksanakannya.
Frank Webster mencatat kritik masyarakat dalam hubungannya dengan
koleksi cerita fiksi dan biografi yang diminati pengguna yang isinya adalah
mempertanyakan mengapa keinginan pengguna perpustakaan untuk bersantai
mesti disubsidi melalui pengumpulan pajak. apalagi kedua jenis koleksi tersebut
sudah banyak diterbitkan dalam sampul tipis dan sangat murah harganya.
Kritik lainnya berkenaan dengan kebijakan yang kontradiktif yakni ketika
perpustakaan-perpustakaan umum memberi jasa cuma-cuma kepada organisasi
komersial yang memerlukannya. Misalnya ketika suatu perusahaan ingin mencari
bahan-bahan hukum atau keuangan atau mencari literatur kimia sebagai langkah
awal untuk inovasi teknis, hal ini memiliki konsekuensi arti ekonomi untuk bisnis
namun perusahaan-perusahaan tersebut tidak dikenakan biaya ketika
menggunakan sumber daya perpustakaan (dan hal ini bisa cukup luas, menuntut
bantuan profesional untuk menemukan informasi dan juga rujukan kepada bahan-
bahan yang mahal). Para pengritik berpendapat, cukup masuk akal, bahwa
terdapat ketidaktaatasasan dan bahwa biaya seharusnya dikenakan pada
lingkungan tersebut.
Bidang jasa rujukan merupakan bidang yang paling mendekati jasa publik
dan bentuk ideal suatu ruang publik. Gambarannya adalah salah satu perpustakaan
dijadikan gudang besar pengetahuan, akses ke perpustakaan tersebut difasilitasi
oleh pustakawan profesional, dan dibuat atas desakan rasa ingin tahu pengguna,
siswa sekolah yang tekun, kaum otodidak, orang yang ingin maju, atau orang
biasa yang ingin tahu. Tetapi berlawanan dengan gambaran yang menarik ini,
diperoleh fakta bahwa bukan saja jasa rujukan perpustakaan tidak dimanfaatkan
oleh mereka yang berhak (masyarakat yang lebih beruntung mendominasi), tetapi
juga bahwa bahan rujukan hanya menempati 12 sampai 15 persen stok
perpustakaan dan hanya menempati 5 persen pembelian buku tahunan. Karena
sebagian besar pengguna memiliki cukup uang untuk membayar sendiri, dan
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
36
karena jasa rujukan merupakan bagian kecil dari koleksi perpustakaan, maka
masuk akal mengusulkan biaya masuk ke perpustakaan secara harian, dengan
fasilitas kartu abunemen bagi pengguna untuk masa yang lebih panjang.
Tinjauan-tinjauan kritis mengenai perpustakaan umum sejalan dengan
entusiasme akan kemungkinan komersialisasi informasi. The Information
Technology Advisory Panel (ITAP) menulis laporan dengan judul Making a
Business Information. Dalam laporan tersebut dihimbau agar sektor swasta
maupun publik mulai memandang informasi sebagai suatu komoditas komersial,
dan menganjurkan agar usahawan diijinkan merambah ke bidang perpustakaan
dan agar mereka yang sudah ada di dalam hendaknya membuat dirinya menjadi
usahawan. Perpustakaan umum berada di barisan depan yang menerima advis ini.
Pada pokoknya, ITAP memberikan suara mendukung pada trend yang
telah terbentuk, khususnya meluasnya jasa informasi terpasang. Ini sejak semula
bersifat komersial dalam orientasinya, diarahkan secara sengaja untuk pasar
bisnis yang menguntungkan. Pangkalan data terpasang berkembang secara cepat
selama tahun 1980-an, khususnya di luar sistem perpustakaan umum.
Bagaimanapun juga, yang kemudian tentunya menjadi bagian dari revolusi
informasi dan dapat dipahami sangat tertarik untuk memadukan bentuk-bentuk
baru pengiriman informasi kedalam katalog mereka. Masalahnya adalah bahwa
informasi terpasang adalah mahal dan dianggap bukan layanan utama di antara
jasa perpustakaan. Akibatnya, sebagian besar jasa informasi terpasang di
perpustakaan umum dianggap sebagai jasa tambahan di mana pengguna
dikenakan biaya. Ketika revolusi teknologi informasi meningkat, begitu pula
permintaan terhadap jasa informasi berbasis komputer di perpustakaan- dan
dengan ini berarti terjadi penyerapan cepat atas suatu prinsip (pembayaran untuk
informasi) yang bertentangan dengan prinsip utama jasa perpustakaan umum yang
cuma-cuma.
Jelaslah bahwa, meningkatnya tuntutan akan layanan tambahan oleh
masyarakat, pengurangan nyata sumberdaya, inovasi teknologi, dan tinjauan
filosofis yang belum pernah terjadi sebelumnya yang mendasari perpustakaan
umum, suatu konsepsi informasi dan akses terhadap informasi yang berbeda telah
muncul. Dulu informasi dipahami sebagai sumberdaya publik yang harus sama-
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
37
sama digunakan dan secara cuma-cuma, sekarang mulai dipandang sebagai
komoditas yang layak diperdagangkan, yang bisa dibeli dan dijual untuk
konsumsi privat, yang aksesnya tergantung pada biaya. Debat “fee or free”
dimenangkan oleh mereka yang mendukung pengenaan biaya.
Beranggapan bahwa telah terjadi perubahan besar dalam kegiatan
perpustakaan umum tidak seluruhnya benar. Praktik-praktik baru muncul dan
ideologi baru sedang diartikulasikan tetapi pemerintah tetap meniadakan biaya
peminjaman buku, jurnal dan penggunaan bahan-bahan rujukan. Meskipun begitu
pengenaan biaya lambat laun semakin diterima secara luas, yakni dengan
dikenakannya biaya untuk peminjaman antar perpustakaan, untuk peminjaman
bahan-bahan non buku, jasa pemesanan, pengguna perpustakaan dari luar daerah,
jasa fotocopi dan juga informasi berbasis komputer.
Kekhawatiran mendalam dari perkembangan ini adalah bahwa biaya akan
menghalangi mereka-mereka yang kurang mampu dan menyokong orang-orang
yang lebih kaya dan pengguna perpustakaan bisnis. Pengenaan biaya untuk jasa
tak bisa dihindari akan berakibat pada pemberian prioritas lebih kepada pengguna
korporasi daripada warga negara secara perseorangan karena pengguna korporasi
jelas-jelas adalah pasar yang sangat menjanjikan.
Evaluasi negatif apapun terhadap arah gejala baru ini namun yang nampak
adalah biaya riil semakin menurun, pengguna perseorangan sebenarnya dalam
posisi yang menguntungkan untuk memenuhi biaya kebutuhan informasinya
secara langsung. Tentunya, pada 1990-an cara yang paling populer untuk
memperoleh suatu buku adalah melalui pembelian daripada meminjam nya dari
suatu perpustakaan. Di Toko buku hampir menyamai jumlah perpustakaan umum,
semakin banyak judul diterbitkan setiap tahunnya (pada 1986 ada 52,500 judul
baru muncul, pada 1991 ada 68,000), dan paperback telah membuat buku siap
diakses mayoritas luas penduduk. Yang mendukung pada bukti ini adalah
kenaikan lebih dari 30 persen belanja buku selama tahun 1980-an. Dilihat dari
segi ini, perpustakaan umum dapat dianggap sebagai ketinggalan zaman, dulunya
ditujukan untuk menyediakan informasi kepada publik tetapi sekarang dibuat
berlebihan karena adanya perkembangan cara alternatif dalam mendapatkan
informasi.
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
38
Ada masalah dengan penalaran ini. Salah satunya adalah pembeli buku
terkonsentrasi berat, dengan lebih dari delapan dari sepuluh pembelian berasal
dari 25% populasi yang terutama di temukan dalam kelas sosial yang lebih tinggi
dengan pendidikan tinggi. Masalah kedua adalah bahwa pembelian buku dan
penggunaan perpustakaan tidak saling eksklusif sangat berlawanan : pengguna
berat perpustakaan adalah juga yang terbanyak yang suka membeli buku. Masalah
ketiga berkaitan dengan jenis buku yang dibeli oleh orang-orang dibandingkan
dengan apa yang ditawarkan di perpustakaan. Sebagian besar dari apa yang dibeli
orang adalah fiksi paperback terutama novel-novel ringan, cerita-cerita horor,
fantasi dan cerita-cerita detektif sementara penjualan non fiksi terutama buku-
buku teka-teki, olahraga dan manual, dan buku-buku DIY (Do IT Yourself) seperti
buku masak dan buku untuk mereparasi. Tidak kelirulah kalau perpustakaan
umum dikritik karena menawarkan terlalu banyak fiksi picisan secara cuma-cuma
tetapi mereka menawarkan jauh lebih dari ini, khususnya dalam ranah karya-karya
rujukan. Penggunaan dari buku-buku ini sangat sulit untuk dihitung karena
mereka tidak bisa dipinjam tetapi kita tahu benar bahwa karya-karya rujukan
standar dari ensiklopedia sampai gazetteers, sumber-sumber statistik sebagai
pedoman bisnis umumnya terlalu mahal dan terlalu sering muncul dalam edisinya
yang baru untuk dibeli oleh pengguna perseorangan. Tanpa perpustakaan umum
sulit membayangkan orang mendapatkan akses pada sumber-sumber seperti who’s
who, buku tahunan mengenai subjek-subjek yang beraneka ragam seperti lembaga
pendidikan, organisasi dermawan dan masalah-masalah politis. Tanpa
perpustakaan umum lingkungan informasi warga negara akan menjadi sangat
miskin.
Laporan yang baru menunjukan bahwa perpustakaan umum di Inggris ada
dalam masa penurunan dengan lebih sedikit buku yang dipinjam sementara
penjualan buku oleh individu berlangsung terus meskipun terjadi resesi. Cultural
Trends menyimpulkan bahwa ini merupakan hasil yang tak terduga dari masalah-
masalah aksesibilitas, waktu tunggu, dan periode peminjaman secara terbatas
bersama dengan stok buku yang statis dan menurun dan pengurangan dalam jam
buka. Dari segi pilihan hanya ada beberapa buku di rak yang ingin dipinjam
pengguna dari perpustakaan umum. Ini merupakan bukti meyakinkan bahwa
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
39
jaringan perpustakaan umum, dipandang sebagai unsur dasar ruang publik, sudah
mulai hilang. Prinsip-prinsip dasar, yang sangat penting akses cuma-cuma dan
jasa komprehensif, sedang ditantang, terancam oleh batasan baru informasi
sebagai sesuatu yang hanya tersedia melalui pasar. Ketika konsepsi ini meningkat
pengaruhnya, akan terlihat kemunduran lebih jauh dari etos jasa publik beroperasi
di perpustakaan dan dengan ini fungsi ruang publiknya dalam bentuk jangkauan
penuh kebutuhan informasi tanpa biaya per satuan-nya.
3.3 Hubungan Antara Ruang Publik dan Perpustakaan
Dari uraian di atas kiranya dapat dilihat hubungan konsep antara ruang
publik dan perpustakaan umum. Hubungan ini sekaligus juga akan
memperlihatkan perbedaan maupun persamaannya.
Ditinjau dari dasar pendirian, ruang publik borjuis bertujuan melakukan
kritik tersendiri yang terpisah dari kekuasaan tradisional. Perpustakaan bertujuan
mempermudah orang memperoleh informasi sehingga memungkinkan orang
untuk belajar seumur hidup.
Sebagai sarana pendukung untuk mencapai tujuan tersebut, para kapitalis
baru memberikan dukungan lebih kepada dunia sastra; yang mencakup teater,
kesenian, kedai-kedai kopi, novel dan kritik. Dengan dukungan tersebut kegiatan-
kegiatan di bidang sastra tidak lagi bersifat eksklusif di lingkungan istana. Bentuk
pendukung lainnya adalah kebebasan berbicara dan reformasi parlemen sebagai
konsekuensi dari perkembangan pasar. Usaha-usaha lain dapat disebut
memperluas perwakilan guna mendapatkan yang secara lebih efektif mendukung
ekspansi ekonomi pasar.
Di dunia perpustakaan umum, sarana pendukung untuk melayani
pengguna secara maksimal adalah melalui jaringan perpustakaan, dan komitmen
untuk melakukan layanan secara cuma-cuma kepada pengguna dengan
menggantungkan dana dari APBN/APBD.
Hubungan antara Ruang Publik dan Perpustakaan akan lebih jelas
digambarkan sebagai berikut
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
40
Ruang Publik Perpustakaan Umum
Dasar
Pendirian
Melakukan kritik tersendiri
terpisah dari kekuasaan
tradisional
Mendukung, mempermudah orang
memperoleh informasi, memungkinkan
orang untuk belajar seumur hidup
Sarana
Pendukung
Dukungan kepada dunia
sastra
Kebebasan berbicara
Reformasi parlemen
Jaringan perpustakaan; Komitmen untuk
melakukan layanan secara cuma-cuma
kepada pengguna dengan
menggantungkan dana dari APBN/APBD
Pemrakarsa Pengusaha kapitalis Negara/pemerintah, masyarakat
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
BAB 4 PERPUSTAKAAN UMUM INDONESIA DARI PERSPEKTIF
RUANG PUBLIK
4.1 Perpustakaan Umum Indonesia sebagai Wahana Belajar
Ruang publik borjuis seperti digambarkan dalam buku The Structural
Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois
Society merupakan suatu arena yang independen dan otonom, yang mengangkat
debat rasional sebagai prosedur untuk menghasilkan opini publik, suatu ruang
yang terbuka yang dapat diakses dan diamati masyarakat luas. Ruang publik
seperti itu dilatarbelakangi oleh perjuangan para pengusaha kapitalis guna
melepaskan ketergantungannya dari gereja dan negara. Sejalan dengan perjuangan
seperti yang tergambar di ruang publik tersebut, Perpustakaan Umum Indonesia
didirikan sebagai wahana belajar seumur hidup bagi pengguna, suatu usaha
membebaskan diri dari ketidaktahuan dan segala dampak yang muncul sebagai
akibatnya. Pertanyaan yang muncul di benak penulis adalah apakah Perpustakaan
Umum Indonesia telah siap menjadi wahana belajar tersebut?
Dalam kegiatan belajar kita mengandaikan adanya orang yang belajar,
bahan yang dipelajari dan tempat belajar. Kegiatan belajar di perpustakaan
melibatkan pengguna, bahan untuk dipelajari, termasuk di dalamnya koleksi
perpustakaan (yang memadai, yang mudah ditemukan kembali ketika dicari atau
diperlukan), dan tempat yang memadai untuk membaca dan berdiskusi. Menurut
hemat penulis, untuk dapat menjadi wahana belajar yang memadai, segala potensi
perpustakaan harus diarahkan demi kemudahan pengguna untuk melaksanakan
kegiatan belajar. Apa sajakah potensi-potensi tersebut?
Dengan menggunakan perspektif ruang publik, potensi pertama yang harus
dimiliki perpustakaan adalah sifatnya yang independen, baik terhadap pemerintah
maupun kekuatan-kekuatan lainnya. Independensi memungkinkan perpustakaan
menyusun program-programnya yang murni untuk kepentingan perpustakaan
tanpa terlalu banyak mendapatkan campur tangan pihak lain termasuk pihak
pemberi dana. Dalam kenyataannya Perpustakaan Umum Indonesia belum
menunjukkan independensi yang seharusnya merupakan ciri suatu perpustakaan,
misalnya kebebasan dalam melakukan rancangan dan pembangunan gedung
41
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
42
perpustakaan, alokasi dana untuk pengembangan koleksi, mebeler, dan sumber
daya manusia, tidak jarang perpustakaan terpaksa menerima saja apapun yang
diberikan badan induknya tanpa ikut serta menentukan kebijakannya. Belum
terlihat keberanian dari para pustakawan untuk menyatakan secara tegas dan lugas
perlunya independensi perpustakaan sejalan dengan prinsip-prinsip
kepustakawanan yang ada1.
Potensi kedua adalah menjadikan perpustakaan sebagai wahana
pemublikkan pemikiran maupun pandangan yang sebelumnya masih bersifat
subjektif yaitu melalui diskursus di perpustakaan. Perpustakaan menempatkan
bahan perpustakaan di rak untuk dibaca, ditanggapi, dijadikan bahan diskusi dan
sebagai pendorong kegiatan mengonstruksi pengetahuan baru. Di perpustakaan
diskursus dapat terjadi dalam dua bentuk yakni diskursus langsung antar para
pengguna perpustakaan misalnya dalam bentuk diskusi, acara bedah buku dan
diskursus tidak langsung misalnya ketika pengguna membaca buku di
perpustakaan dan kemudian menanggapinya dengan tulisan yang berkaitan
dengan bahan yang dibacanya. Patut disayangkan bahwa Perpustakaan Umum
Indonesia jarang sekali dijadikan tempat berdiskursus yang intens guna
menyelesaikan permasalahan di masyarakat misalnya yang menyangkut rasa
ketidakadilan. Sebagai contoh ketika sejumlah karya disensor, perpustakaan tidak
melakukan apapun selain mematuhinya, tanpa ada usaha mengkritisi,
mempermasalahkan antara lain dengan mengangkatnya di forum-forum diskusi
yang diadakan di perpustakaan. Di ruang publik kebijakan pemerintah diubah
menjadi ruang rasional dimana kepentingan publik diutamakan, selayaknya
demikian juga keadaannya di perpustakaan.
Potensi ketiga adalah kesiapan pengguna perpustakaan dan pustakawan
untuk merasionalkan kebijakan-kebijakan, praktik-praktik layanan yang ada
selama ini dan menjadikan kepentingan pengguna sebagai hal utama.
Perpustakaan perlu menyerap, mempertimbangkan dan memenuhi masukan,
kritikan dari masyarakat dan memenuhi tuntutan akuntabilitas publik. Menanggapi
secara positif masukan dan kritikan dari pengguna merupakan salah satu cara
Perpustakaan Umum Indonesia lebih mendekatkan dirinya dengan keinginan 1 Tentang prinsip-prinsip kepustakawanan ini, lihat Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
43
pengguna. Sebagai contoh usaha perpustakaan untuk melakukan pengadaan buku
yang diusulkan pengguna atau menggalang pelibatan mereka dalam pemilihan
buku, kegiatan yang merupakan salah satu item dari SOP (standard operation
procedure) perpustakaan, khususnya Perpustakaan Perguruan Tinggi. Adalah
ironis bahwa masyarakat menghadapi kenyataan yang berupa celah yang besar
antara dana yang diperoleh dan koleksi ataupun layanan yang begitu
memprihatinkan. Mengenai hal tersebut, pustakawan hendaknya melakukan
introspeksi diri dan meningkatkan kinerjanya.
Ditilik dari kenyataan belum dipenuhinya potensi-potensi perpustakaan
sebagai ruang publik sebagaimana disebutkan di atas Perpustakaan Umum
Indonesia rasanya belum benar-benar siap mengemban misinya sebagai wahana
belajar seumur hidup yang menjadi dasar pemikiran didirikannya perpustakaan
umum.
Pada setiap perpustakaan terdapat sejumlah fungsi yang paling mendasar
yakni pengadaan, pengolahan dan penyebarluasan informasi yang terkemas
didalam berbagai format seperti buku, audio-visual, elektronik, mikro. Cara yang
umum ditempuh dalam pengadaan yaitu melalui pembelian, hadiah atau bantuan
dari instansi atau perorangan dan tukar menukar koleksi. Diantara ketiga cara
tersebut yang paling dominan adalah pengadaan koleksi melalui jalur kormesial
yakni pembelian.
Pengolahan bahan perpustakaan merupakan langkah selanjutnya, yang
bertujuan memudahkan menemukan kembali dan melestarikannya. Melestarikan
bukan saja fisik melainkan juga keberadaannya. Pustakawan melakukan hal
tersebut dengan cara mencatatnya. Item yang dicatat, teridentifikasi
keberadaannya kendati wujudnya tidak sedang berada di hadapan kita. Ini lazim
disebut pengawasan bibliografi (bibliograpy control). Temu kembali merupakan
bidang yang paling sentral. Perpustakaan sejak jaman kuno menaruh perhatian
besar pada temu kembali ini dan menciptakan suatu sarana untuk memudahkan
menemukan kembali informasi yang dicari yang disebut katalog. Katalog
mengalami perkembangan baik dari segi format maupun metoda. Kita mengenal
katalog yang tertulis di tablet-tablet tanah liat, lontar dan bahan lainnya. Kita yang
hidup di zaman ini tidak pelak lagi pernah mengenal salah satu dari format katalog
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
44
berikut yakni katalog buku, katalog kartu, COM (computer output on microforms)
maupun katalog terpasang (OPAC = online public accsess catalog). Katalog
tersebut memudahkan kita didalam menemukan kembali informasi, bukan saja
karena katalog menawarkan berbagai titik akses yang membantu kita untuk
menemukan bahan perpustakaan yang kita cari, dan menggambarkan keseluruhan
koleksi yang ada di perpustakaan tersebut, tetapi juga memiliki ciri kolokasi yakni
mengumpulkan bahan perpustakaan dalam subjek yang sama atau berdekatan,
juga mengumpulkan karya yang ditulis oleh pengarang tertentu, yang diterbitkan
penerbit tertentu dan sebagainya. Apabila penempatan bahan perpustakaan
dilakukan secara benar, disertai dengan sarana temu kembali yang handal maka
proses distribusi dan penyebaran informasi bisa berjalan dengan lancar.
Perangkat yang membantu pengguna perpustakaan didalam menemukan
kembali bahan perpustakaan disebut katalog. Hanya sekarang ini ada
kecenderungan pustakawan memberikan perhatian yang terlalu tinggi pada
presentasi, misalnya otomasi perpustakaan dan segala turunannya seperti
peralihan ke e-book, e-journal, juga e-library nampaknya menjadi hal yang lebih
penting dari koleksi perpustakaan, lebih jauh lagi menjadi hal yang lebih penting
dari pengguna perpustakaan itu sendiri. Mengenai hal tersebut penulis masih
condong melihat informasi sebagai suatu entitas yang terdiri atas isi (hakikat) dan
kemasan (tampakan). Dari cara melihat seperti ini, penulis berpendapat bahwa
koleksi elektronik ataupun konvensional perpustakaan, dan juga terotomasi
ataupun manual layanan perpustakaan, keduanya tidak lain dari presentasi
(penyajian) belaka. Tidak krusial mempersoalkan mana yang lebih baik namun
ada manfaatnya menentukan mana yang lebih cocok untuk masyarakat yang
dijadikan target layanan perpustakaan umum, yakni dengan mempertimbangkan
masyarakat dengan tingkat pendidikan yang berbeda-beda dengan budayanya
yang khas.
Menggunakan pijakan berpikir ini, layanan perpustakaan umum tidak
mudah tereduksi ke urusan teknis. Pustakawan dapat melakukan pilihan yang ada
termasuk teknologi yang akan digunakan yang sesuai dengan kebutuhan riil
pengguna. Pustakawan seharusnya tidak perlu merasa malu apabila sarana temu
kembalinya masih menggunakan katalog kartu dan disebut perpustakaan
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
45
konvensional karena hanya mengelola koleksi buku dan jurnal yang semuanya
berupa terbitan cetak asalkan kemasan informasi tersebut adalah yang lebih cocok
untuk masyarakat pengguna yang dilayaninya dan sarana temu kembalinya cukup
efektif. Justru ada kalanya bentuk presentasi layanan tertentu dapat menghambat
aksesibilitas, misalnya OPAC (online public access catalog) di daerah yang
belum memiliki jaringan komputer, keadaan seperti ini membuat fungsi
perpustakaan sebagai ruang publik menjadi berkurang karena terhambatnya
aksesibilitas tersebut.
Untuk lebih memperjelas yang dibahas di awal bab ini yaitu tentang fungsi
perpustakaan umum sebagai wahana belajar, “UU RI No.43 Th. 2007 Tentang
Perpustakaan” dapat kita jadikan acuan. Undang-undang tersebut menegaskan
fungsi dan pengertian perpustakaan sebagai berikut.
Perpustakaan adalah wahana belajar sepanjang hayat yang bertujuan
mengembangkan potensi masyarakat. Perpustakaan merupakan suatu
institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan atau karya rekam
secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan
pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para
pemustaka.2
Kalimat kedua dari batasan di atas menurut hemat penulis, lebih
menekankan unsur teknis daripada kepentingan manusia yang dilayaninya.
Perpustakaan nampak lebih berfungsi sebagai suatu entitas teknis bukan wahana
pencerahan manusia Indonesia di dalam membebaskan dirinya dari
keterbelakangan pengetahuannya. Batasan tersebut seharusnya berbunyi,
perpustakaan adalah wahana belajar sepanjang hayat yang bertujuan
mengembangkan potensi masyarakat. Perpustakaan bertujuan memenuhi
kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para
pemustaka dan hal tersebut ditempuh dengan menjadikannya sebagai suatu
institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan atau karya rekam secara
profesional dengan sistem yang baku.
British library memberikan batasan perpustakaan dengan menyertakan
pertimbangan demokratisasi pengetahuan dan pertimbangan bagi kepentingan 2 Indonesia. 2007 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan.
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
46
generasi mendatang. Perpustakaan merupakan tempat mengumpulkan dan
mengorganisasikan informasi; tempat menciptakan akses agar pengetahuan jadi
lebih demokratis; dan menyimpan ide-ide yang terekam untuk generasi
mendatang. Batasan versi barunya berbunyi, perpustakaan berfungsi sebagai
pemangku ingatan bangsa (national memory).3 Batasan di atas merupakan bentuk-
bentuk yang diidealkan secara yuridis.
Ketika kita membaca sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan
penjajahan, kita menjadi paham betul bagaimana founding fathers kita tekun
membaca, bahkan juga ketika mereka dalam masa pembuangan. Dari buku-buku
yang mereka tekuni dan kumpulkan tentunya ada yang didapat melalui pembelian,
hadiah, ada juga yang dipinjam dari perpustakaan. Ketekunan membaca
menjadikan mereka matang khususnya di bidang politik, menumbuhkan kesadaran
diri tentang keberadaannya sebagai orang yang terjajah dan mendorong
kemampuan mengkonstruksi cita-cita kemerdekaan. Dalam konteks sekarang ini
kita mendengar sendiri dari para cerdik pandai, pengalaman mereka belajar dan
membaca berjam-jam di perpustakaan. Orang-orang yang berkualitas tersebut,
mampu menghimpun pengetahuan yang ada, menginternalisasikan bahkan
mengkonstruksi pengetahuan baru, dan menggunakannya untuk mencandrakan
keruwetan atau permasalahan yang aktual dan mencoba menemukan solusinya.
Tulisan mereka juga berkaitan dengan kemajuan teknologi maupun budaya.
Mereka mengasah dan mematangkan kemampuan di perpustakaan. Perpustakaan
lantas dipahami sebagai tempat pengembangan potensi masyarakat.
Di lingkungan universitas, perpustakaan diharapkan4
[a] tidak hanya menjadi fasilitas pelengkap. …
[b] menjadi pendorong bagi civitas akademika untuk melakukan
penelitian
3 Disalin dari Hikmat Darmawan, “Perpustakaan sebagai ruang publik”, Ruang Baca Ed 54, Sept Okt 2008 4 Arief Muttaqien, “Membangun Perpustakaan Berbasis Konsep Knowledge Management : Transformasi Menuju Research College dan Perguruan Tinggi Berkualitas Internasional” http://www.lib.ui.ac.id/files/Arip_Muttaqien.pdf 5 juli 2008
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
47
[c] adalah media untuk melakukan ‘transfer informasi’ kepada civitas
akademika. Dengan demikian, civitas akademika makin terasah
kemampuan dan pengetahuannya untuk melakukan penelitian.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa perpustakaan dapat
dipandang sebagai wahana perjuangan, yaitu khususnya perjuangan melawan
ketidaktahuan dan “penjajahan” dalam bentuknya yang khusus yang tidak khasat
mata. Hal ini, menurut hemat penulis, dapat dijadikan dasar filosofis pendirian
dan layanan perpustakaan umum.
Untuk mencapai kinerja yang baik, unsur-unsur sistem perpustakaan
umum harus diber-ada-kan, digerakkan dan berproses menggunakan dasar
filosofis tersebut. Unsur yang dimaksud adalah pengguna perpustakaan,
sumberdaya manusia perpustakawan dan koleksi perpustakaan,. Dengan
mengadopsi bagan the information framework dari Doyle5, kita bisa
menggambarkan kerangka kerja perpustakaan, yang meliputi bagaimana bahan
perpustakaan diproses melalui tahap analisis sebelum dapat dikendalikan, yaitu
bagaimana bahan perpustakaan dapat ditempatkan secara benar dan dilengkapi
dengan sarana untuk menemukannya kembali ketika jumlah koleksi sudah cukup
banyak; hal itu dilakukan agar bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh
pengguna. Pengguna merupakan unsur yang paling utama dari sistem
perpustakaan tersebut. Dengan mendasarkan pada dasar filosofis wahana belajar
sepanjang hayat dan wahana perjuangan, pengguna perpustakaan jelas-jelas
dijadikan aktor sentral.
Mendasarkan pada tiga ciri ruang publik yang disebut Stephen Carr6 yaitu
responsif, demokratis, dan bermakna, perpustakaan sebagai ruang publik
sewajarnya juga responsif, demokratis dan bermakna. Salah satu sikap responsif
yang seharusnya dimiliki perpustakaan adalah sikapnya terhadap sensor.
Mengenai hal ini akan dibahas di sub bagian tersendiri. Cerminan sikap kurang
responsif juga terlihat dari perilaku pustakawan yang membiarkan buku-buku baru
menumpuk di suatu ruangan, tidak segera diolah karena menunggu dana proyek.
Pengolahan buku (yang sebenarnya masuk kategori kegiatan rutin) ditunda
dilakukan hanya karena mengharapkan remunerasi tambahan dari proyek, 5 Lihat Lauren B. Doyle, Information Retrieaval and Processing, 1975, Los Angeles: Melville 6Carr, Stephen. (1992) Public Space. Van Nostrand Reinhold Company, New York ….
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
48
meskipun pengguna sangat memerlukan dan telah beberapa kali menanyakan
keberadaan buku yang dibutuhkannya.
Ditolaknya orang yang bukan anggota masuk ke perpustakaan (ini sering
terjadi khususnya pada perpustakaan perguran tinggi), yang acapkali
menyebabkan terjadinya adu mulut antara pengguna dan pustakawan, dan juga
perlakuan berbeda kepada mahasiswa strata 1 dan strata 0 mengenai jumlah buku
yang boleh dipinjam (juga khas pada perpustakaan perguruan tinggi)
menunjukkan perilaku tidak demokratisnya pustakawan didalam melayani
anggotanya.
Kurang bermaknanya perpustakaan juga menjadi salah satu alasan
mengapa perpustakaan sebagai ruang publik tidak perlu dan tidak banyak
dikunjungi publik. Sering kita dengar perguruan tinggi tertentu mencetak
lulusannya baik pada strata S0 maupun S1 tanpa ketersediaan perpustakaan yang
memadai.7 Ini berarti ada kemungkinan mahasiswa hanya mendasarkan pada
catatan dari dosen atau mereka memanfaatkan jasa perpustakaan dari
Perpustakaan Umum setempat atau perpustakaan universitas lainnya. Seandainya
hal yang disebut ke dua ini yang terjadi tentu hanya kepada mahasiswa tertentu
saja yakni mereka yang ingin mengejar prestasi akademis atau yang mencintai
pengetahuan lebih daripada nilai akademis, jadi tentu tidak kepada semuanya.
Kalau mereka bisa lulus tanpa perpustakaan maka perpustakaan menjadi tidak
bermakna. Sistem pendidikan yang menjejali para mahasiswa dengan pengetahuan
dan menuntut mahasiswa mereproduksi pengetahuan yang ditelannya tentunya
kurang mengangkat peran perpustakaan dalam proses belajar di perguruan tinggi.
Karena itu jelas, sistem pendidikan berperan besar dalam mengangkat
menurunkan peran perpustakaan. Sistem pendidikan yang mengajak para
mahasiswa melakukan riset, mengkritisi dan mengkonstruksi pengetahuan akan
menempatkan perpustakaan dalam perannya yang sangat sentral. Bahkan dapat
dikatakan bahwa perpustakaan adalah jantungnya perguruan tinggi.
7 Koleksi untuk bidang filsafat baik di perpustakaan tingkat fakultas (FIB UI) maupun tingkat universitas (UI) sangat memprihatinkan dibandingkan dengan koleksi di STF Driyarkara. Keadaan ini diatasi dengan cara para dosen maupun mahasiswa mengumpulkan sendiri buku-buku yang diperlukan di perpustakaan pribadinya. Suatu cara yang boros dan tidak efektif untuk pendidikan filsafat di mana membaca buku merupakan kegiatan sentral.
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
49
Coba kita lihat perpustakaan DPR RI yang sepi pengunjung itu, ini
menunjukkan kepada kita bahwa perdebatan-perdebatan yang ada di ruang
parlemen termasuk yang dilakukan oleh pansus (panitia khusus), besar
kemungkinan tidak didahului dengan studi di perpustakaan. Padahal perpustakaan
diharapkan akan memasok informasi yang memadai yang membuat setiap peserta
diskusi cerdas dan memahami permasalahan yang diperdebatkan dan memahami
juga latar belakang yang menjadi argumen pihak lawan. Frank Webster
menyatakan, “Information is at the core of this public sphere, the presumption
being that within it actors make clear their positions in explisit argument and that
their views are also made available to the wider public that it may have full
access to the procedure.”8 Dalam hal ini perpustakaan DPR berfungsi sebagai
tempat disimpannya dokumentasi hasil-hasil diskusi dan sekaligus bahan mentah
diskusi yang seharusnya diakses oleh baik anggota DPR itu sendiri maupun
masyarakat luas. Adanya sumber informasi lain seperti internet, media massa dan
sebagainya mungkin menjadi andalan bagi mereka didalam memperoleh informasi
yang diperlukan. Maka sudah saatnya perpustakaan melakukan penyesuaian
layanan kepada siapa layanan tersebut ditujukan. Barangkali kepada anggota
dewan diperlukan presentasi layanan yang cocok untuk mereka maka otomasi
menjadi hal penting di sini tetapi tentu saja tidak untuk setiap perpustakaan.
Sekarang ini di Indonesia sudah menggejala orang awam (bukan
pustakawan profesional) membentuk perpustakaan (pribadi); tidak jarang orang
tersebut menjajakan keliling serta meminjamkannya secara cuma-cuma karena
didorong oleh keprihatinan melihat keadaan masyarakat di sekitarnya yang tidak
mengenal buku. Orang tersebut hidup dan menghidupi “perpustakaannya” tidak
secara langsung melalui jasa perpustakaan, tetapi dari kegiatan lain misalnya jasa
sewa komputer atau dari donasi pihak yang bersimpati. Semangat mengangkat
pengguna perpustakaan sebagai sesuatu yang sentral ini, yang ditunjukkan oleh
orang-orang tersebut selayaknya dijadikan inspirasi bagi pustakawan (profesional)
Indonesia dalam bekerja.
8 Frank Webster, 1995, Theories of the Information Society, London : Routledge, p 102
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
50
Keberadaan perpustakaan memang sangat diperlukan, namun muncul
pertanyaan mengapa perpustakaan sepi pengunjung? Tentang hal tersebut tulisan
berikut ini kami kutip9
[a] Secara internal, ... sebagian besar perpustakaan hanya berisi tumpukan
buku-buku tua, lusuh dan berdebu.
[b] pelayanan perpustakaan ... dianggap kurang cepat dan kooperatif.
[c] Faktor eksternal, ...jika dulu orang harus berkutat di perpustakaan
mencari buku, jurnal dan koran. Namun sekarang terjadi transformasi
yang sangat signifikan, yaitu ... adanya internet.
[d] Faktor tersebut harus disadari oleh pustakawan. Pustakawan dituntut
untuk dapat menciptakan sistem perpustakaan yang memudahkan
pengunjung. Bila dulu perpustakaan lebih berkonsentrasi pada
penyediaan informasi secara fisik dalam bentuk dokumen cetak.
Namun sekarang, fungsi tersebut berubah. Perpustakaan dituntut
untuk dapat memberikan informasi dalam waktu singkat dan akurat.
[e] Paradigma yang seharusnya dimiliki pustakawan sekarang adalah
kepuasan terhadap konsumen.
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa alasan tidak populernya
perpustakaan adalah segi kelemahan dari perpustakaan itu sendiri seperti koleksi
yang tidak memadai, lambatnya layanan dan sikap tidak kooperatif dari
pustakawan atau dengan kata lain layanan yang tidak berorientasi kepada
pengguna. Sekarang ini kerap ditemui kegiatan mempromosikan perpustakaan
melalui kampanye peningkatan gemar membaca. Menurut hemat penulis,
kampanye promosi perpustakaan untuk mengajak masyarakat gemar membaca
umumnya hanya mengedepankan suatu bentuk retorika. Tentunya bentuk promosi
akan lebih efektif kalau dananya digunakan untuk penambahan koleksi karena
membaca merupakan kebutuhan dasar manusia dalam usaha membebaskan
dirinya dari kungkungan ketidaktahuan, maka ketersediaan bahan bacaan yang
lengkap sudah cukup menjadi salah satu bentuk pendorong kepada pengguna
mengunjungi perpustakaan dan sebagai promosi layanan perpustakaan. Sebagai
9 Arief Muttaqien, “Membangun Perpustakaan Berbasis Konsep Knowledge Management : Transformasi Menuju Research College dan Perguruan Tinggi Berkualitas Internasional” http://www.lib.ui.ac.id/files/Arip_Muttaqien.pdf 5 juli 2008
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
51
contoh perpustakaan Kolsani di Yogyakarta tidak pernah melakukan promosi
secara khusus tetapi tidak pernah sepi pengunjung karena terkenal memiliki
koleksi bidang filsafat yang cukup lengkap.
Perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat artinya tidak
mengenal batasan usia; tiadanya prasyarat untuk mengakses wahana tersebut.
Untuk bisa berfungsi sebagai wahana belajar seperti itu, perpustakaan tidak boleh
membatasi penggunanya dari segi usia. Kendala teknis pengelolaan perpustakaan
umum Indonesia tidak begitu signifikan kecuali di daerah-daerah yang sangat
terpencil di mana tidak terdapat tenaga pengelola yang mengenyam pendidikan
perpustakaan. Kendala teknis baru dianggap signifikan apabila digunakan tolok
ukur sistem kepustakawanan negara Barat; kendala diartikan sebagai
ketidaktaatazasan terhadap konvensi-konvensi yang dibangun bertahun-tahun di
negara Barat (misalnya kepiawaian menggunakan Dewey Decimal Classification;
dan kepatuhan terhadap aturan standar Anglo American Cataloging Rules, aneka
Lists of Subject Headings dan standar-standar lainnya). Kendala tersebut
seharusnya tidak usah terjadi, namun hal tersebut muncul justru sebagai akibat
model belajar di lingkungan pendidikan perpustakaan yang tidak mengembangkan
peserta didik untuk berkembang mandiri, sehingga bisa mengkonstruksi
pengetahuan baru termasuk sistem perpustakaan yang paling sesuai dengan
budaya setempat.
Menurut Vygotsky, “ontogeny does not recapitulate phylogeny,”
perkembangan individu tidak sekedar menjiplak atau mengikuti jejak
perkembangan kebudayaan. Pembelajar dengan seluruh kekayaan
intramental (dan intermental) yang dimilikinya mampu secara kreatif
mengonstruksi pengetahuan baru, menciptakan budaya-budaya baru,
termasuk metode-metode baru dalam mengonstruksi pengetahuan.10
Dampak dari model belajar yang tidak mengarah ke ko-konstruksi alias
menjiplak ini menampak pada fenomena penerjemahan mentah-mentah pedoman-
pedoman hasil konvensi pustakawan-pustakawan negara Barat yang kemudian
10 Dikutip dari : A. Supratiknya, Tantangan psikologi (di Indonesia): bukan unifikasi, melainkan kontekstualisasi. Pidato pengukuhan Jabatan Guru besar pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Hal 32
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
52
dipaksakan digunakan oleh masyarakat Indonesia. Termasuk di dalamnya kode
etik pustakawan Indonesia yang isi dan semangatnya seakan hasil copy paste dari
code of ethics of American Library Association. Padahal kode etik mestinya
cerminan dari budaya setempat. Tidak mengherankan bahwa layanan perpustakan
menjadi tidak menyentuh dan asing bagi penggunanya (masyarakat Indonesia).
Putu11 dalam tulisannya mempertanyakan kenapa Perpustakaan Umum
Indonesia yang memiliki ciri-ciri ruang publik tidak populer bagi publik bahkan
menjadi institusi elit. Dia mencari jawabnya dengan melihat bagaimana
kebudayaan melihat pengetahuan; ternyata ada dualisme dalam sistem
pengetahuan masyarakat Indonesia. Menurut Putu, walau bagaimana pun selalu
ada pola yang sama, yaitu:
kaum elit berupaya memompakan pengetahuan ke desa-desa. Di jaman kolonial,
pola ini sangat sistematis dijalankan oleh penguasa Belanda. Penyebaran
pengetahuan ala kolonial ini tidaklah merata, dan justru menimbulkan
kesenjangan, sehingga muncullah fenomena cendekiawan kota, cendekiawan
daerah dan cendekiawan pedesaan. Dalam kondisi budaya seperti di atas-lah
perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia ditumbuh-kembangkan. Putu
menambahkan, intervensi pemerintah pada perpustakaan umum tidak hanya dalam
pembangunan fisik gedung perpustakaan (yang memang tidak bisa dilakukan
pihak lain), tetapi juga berkembang menjadi intervensi dalam segala pola
pengembangan perpustakaan. Tidak ada bukti bahwa perpustakaan umum
merupakan "ruang publik" yang dapat mencermati dan mengritik kerja
pemerintah. Sebaliknya, terdapat banyak bukti bahwa rekayasa sosial untuk
memperkenalkan perpustakaan di Indonesia memakai model rekayasa modernisasi
model kolonial.
Uraian di atas menggambarkan kepada kita betapa besar celah antara cita-
cita perpustakaan umum dan kenyataan yang ada; perpustakaan umum sebagai
wahana belajar sepanjang hayat dan wahana perjuangan melawan kebodohan
belum terwujud dan dimanfaatkan maksimal karena kekurangan dari pihak
perpustakaan itu sendiri.
11 Pendit, Putu Laxman. “Bisakah Perpustakaan Umum Menjadi Ruang Publik?” http://kepustakawanan.blogspot.com/2007/02/bisakah-perpustakaan-umum-menjadi-ruang.html
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
53
4.2 Diskursus Dalam Perpustakaan
Kesadaran saja tidak dapat menjadi kriteria keberlakuan universal sebuah
norma moral. Menurut Habermas, apakah sebuah norma dapat diperlakukan
secara universal hanya dapat dipastikan melalui diskursus di mana semua yang
bersangkutan terlibat. Itulah inti diskursus. Diskursus adalah, perbincangan
bersama di mana semua yang bersangkutan boleh ikut, tanpa ada tekanan apapun.
Etika diskursus adalah metode untuk memastikan kembali arti norma-norma
moral yang dipertanyakan. Etika diskursus mau menjawab pertanyaan “apa yang
adil?” Habermas juga memperlihatkan bahwa orang yang betul-betul mau
menemukan apa yang adil dan bersikap terbuka, artinya yang masih bersedia
belajar, dan bukannya datang dengan pandangan yang sudah harga mati, dengan
sendirinya akan menyetujui aturan diskursus12
Etika diskursus perlu diangkat di ranah perpustakaan dalam mencapai
kesepakatan di lingkungan perpustakaan. Pustakawan tidak selayaknya menjadi
anak manis yang patuh begitu saja kepada kemauan pihak penguasa/pemberi dana
tanpa menggunakan dasar rasionalitas. Mestinya pustakawan mengedepankan
kepentingan pengguna. Pustakawan akan mempersoalkan tindakan penyensoran di
lingkungannya dengan mendasarkan pada kebebasan intelektual atau dengan
mengedepankan rasa keadilan; tidak begitu saja menyerahkan bahan perpustakaan
yang disensor ke pada pihak penyensor.
Diskursus antara pustakawan dan pengguna perpustakaan maupun
masyarakat luas harus tercermin dalam antara lain pedoman-pedoman yang
dihasilkan oleh pustakawan dipublikasikan secara luas. Misalnya pengelompokan
bidang-bidang ilmu di dalam Dewey Decimal Classification, penggunaan Daftar-
Daftar Tajuk Subjek, Anglo American Cataloguing Rules dan pedoman-pedoman
lain hendaknya tidak hanya terbatas pada pustakawan tetapi juga dibuka kepada
masyarakat untuk memberikan komentar sehingga penggunaan dari pedoman-
pedoman tersebut dapat dilakukan semaksimal mungkin.
Perpustakaan umum mengedepankan diskursus sebagai sarana mencari apa
yang adil; perpustakaan umum juga berfungsi sebagai tempat diskursus bukan
hanya antar pengguna tetapi juga antara pengguna dengan opini / informasi yang 12 Frans Magnis-Suseno, “75 Tahun Jürgen Habermas” dalam Basis no 11-12, tahun ke 53, Nov-Des 2004 hal 10, 11
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
54
terkemas di dalam buku atau media lainnya. Kesadaran akan fungsinya sebagai
tempat yang dapat memfasilitasi terjadinya diskursus antar berbagai pihak,
perpustakaan bisa membantu memecahkan masalah-masalah publik, misalnya
dengan menyediakan ruang diskusi, menyelenggarakan kegiatan diskusi,
menyediakan sarana untuk mengakses informasi misalnya katalog & bibliografi.
Dalam katalog dan bibliografi ada fungsi kolokasi artinya fungsi mengumpulkan
karya dalam subjek sejenis, mengumpulkan karya-karya oleh pengarang tertentu,
atau yang diterbitkan oleh suatu penerbit atau yang diterbitkan dalam tahun
tertentu. Ini membantu pengguna didalam mengakses informasi secara
komprehensif. Diskursus tidak langsung dapat dilakukan antara pengguna dengan
buku yang nantinya akan menghasilkan tulisan baru yang kemungkinan akan
ditanggapi lagi oleh si penulis buku pertama atau oleh orang lain. Para
pustakawan perpustakaan umum tidak jarang karena menginginkan ketenangan di
ruang perpustakaan melarang pengguna berisik di ruang perpustakaan tanpa
menyadari adanya kebutuhan bagi pengguna untuk melakukan diskusi di ruang
tersebut. Pustakawan seharusnya memikirkan perlunya suatu ruang diskusi yang
tidak menggangu pengguna lainnya.
Perpustakaan menyediakan dan menyebarluaskan informasi yang
diperlukan untuk dialog publik, menyediakan akses pada informasi ke
pemerintahan dan menjadi tempat berkumpulnya komunitas untuk berbagi
kepentingan dan perhatian. Dalam buku Libraries & Democracy: The
Cornerstones of Liberty ditegaskan pentingnya perpustakaan di dalam mendukung
demokrasi sebagai berikut
Democracies need libraries. An informed public constitutes the very
foundation of a democracy; after all, democracies are about discourse—
discourse among the people. If a free society is to survive, it must ensure
the preservation of its records and provide free and open access to this
information to all its citizens. It must ensure that citizens have the
resources to develop the information literacy skills necessary to participate
in the democratic process. It must allow unfettered dialogue and guarantee
freedom of expression. Libraries deepen the foundation of democracy in
our communities. Libraries are for everyone, everywhere. They provide
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
55
safe spaces for public dialogue. They disseminate information so the
public can participate in the processes of governance. They provide access
to government information so that the public can monitor the work of its
elected officials and benefit from the data collected and distributed by
public policy makers. They serve as gathering places for the community to
share interests and concerns. They provide opportunities for citizens to
develop the skills needed to gain access to information of all kinds and to
put information to effective use. Ultimately, discourse among informed
citizens assures civil society…13
Sebagai pendukung dialog publik yakni lembaga penyedia dan
penyebarluasan informasi, perpustakaan melakukannya melalui 4 proses
[a] Sosialisasi yakni proses transfer informasi di antara pengguna
perpustakaan melalui percakapan, diskusi; transfer dari tacit
knowledge ke tacit knowledge14.
[b] Eksternalisasi, yaitu transfer dari tacit ke explicit knowledge15. Ini
terjadi ketika pengguna perpustakaan datang ke sana untuk menulis
artikel, skripsi atau buku.
[c] Kombinasi merupakan transfer dari explicit knowledge ke explicit
knowledge misalnya ketika pustakawan menyusun bibliografi atau
ketika pengguna menyiapkan diri membuat tinjauan buku.
[d] Internalisasi adalah transfer dari explicit ke tacit knowledge. Misalnya,
ketika pengguna perpustakaan membaca buku, jurnal atau bahan
perpustakaan lainnya.
Kegiatan transfer pengetahuan tersebut difasilitasi perpustakaan dengan
adanya kegiatan penyusunan katalog, bibliografi dan indeks. Kegiatan tersebut
masuk di dalam kategori bibliographic control yakni kegiatan mengendalikan
terbitan atau bahan terekam agar bisa diketahui keberadaannya baik entitasnya
maupun lokasinya. Di tingkat nasional, kegiatan bibliographic control sebenarnya 13 Libraries & Democracy: The Cornerstones of Liberty, hal v 14 Tacit knowledge adalah pengetahuan yang ada dalam kepala manusia. Ia bersifat personal, prosedural, kacau, soft (lunak), tersimpan di otak, informal dan biasanya tentang kecakapan atau ketrampilan 15 Explicit knowledge adalah pengetahuan manusia yang berada di luar kepalanya. Bentuknya bisa berupa dokumen, buku, jurnal dan lain-lain. Sifat dari explicit knowledge adalah tercetak dalam kode-kode, deklaratif, formal dan hard
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
56
merupakan salah satu fungsi utama bagi Perpustakaan Nasional RI namun
sayangnya justru fungsi yang penting ini tidak populer atau tidak dijadikan
prioritas utama oleh institusi tersebut.
4.3 Transformasi Dalam Pendanaan di Perpustakaan
Layanan berbasis biaya merupakan gejala yang signifikan pada
perpustakaan umum yang dideskripsikan oleh Frank Webster dengan mengambil
kasus di Inggris;16 ada dua kubu yang bertentangan, kelompok anti komersialisasi
dengan argumennya komersialisasi merintangi kelompok miskin di masyarakat
untuk memperoleh akses dan dengan demikian mengurangi ciri kepublikan
layanan perpustakaan umum, sedang kelompok pendukung komersialisasi
mempertanyakan pengguna-organisasi yang memperoleh layanan secara cuma-
cuma; sepantasnya organisasi tersebut membayar karena informasi yang diperoleh
secara gratis di perpustakaan umum bisa memiliki nilai ekonomi tinggi.
Kelompok yang disebut kemudian juga menganggap perpustakaan umum sebagai
institusi yang bertindak berlebihan ketika menyediakan bahan perpustakaan yang
sebenarnya penggunanya dapat memperolehnya secara murah di toko-toko buku
yang tersedia di mana-mana; terbitan paperback yang murah harganya tersedia
juga di toko buku.
Keadaan seperti digambarkan di atas kurang relevan dengan keadaan di
Indonesia, di mana sebagian besar masyarakat masih harus bergulat dengan
kebutuhan primer (sandang pangan) dan belum memiliki dana cukup untuk
pembelian buku. Meskipun demikian ada kecenderungan perpustakaan di
Indonesia bertindak ke arah komersialisasi layanan; menghimpun dana dari
masyarakat penggunanya tanpa dasar hukum yang kuat (mis. menarik dari
pengguna biaya foto copy yang sering kali lebih mahal dari biaya foto copy di
luar perpustakaan; menarik biaya penelusuran informasi, dsb.). Di sinilah
diperlukan perhatian pemerintah untuk tetap berpihak kepada pengguna
perpustakaan dengan tetap mengusahakan dana bagi berlangsungnya kegiatan
perpustakaan.
16 Lihat Frank Webster, 1995, Theories of the Information Society, London : Routledge, p 111 - 116
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
57
Di Indonesia sangat jarang terjadi komunikasi antara pengguna dan pihak
pengelola perpustakaan (pustakawan ; pejabat dari badan induk yang berhubungan
dengan keberadaan perpustakaan). Pengguna sepantasnya dikondisikan sebagai
pihak yang ikut serta menentukan koleksi apa saja yang harus diadakan di
perpustakaan; besarnya dana yang harus dikucurkan ke perpustakaan dan
mengaudit penggunaannya. Yang terjadi adalah pengguna dianggap sebagai pihak
yang harus menerima keadaan apapun bahkan tidak jarang dijadikan objek, alat
untuk mencapai tujuan tertentu; dan umumnya bukan tujuan yang mengarah ke
kepentingan pengguna.17 Suatu yang mirip pada proses refeodalisasi pada ruang
publik.
4.4 Pendanaan dan Layanan Perpustakaan Umum Indonesia
Perpustakaan Umum Indonesia memang didanai oleh pemerintah namun
tidak berarti bahwa pemerintah mesti harus melakukan kontrol ketat kepada
perpustakaan. Di Indonesia dana perpustakaan umum diperoleh dari APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) maupun APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah) tetapi di dalam kegiatannya perpustakaan
idealnya tetap independen terhadap pemerintah maupun kekuatan-kekuatan
lainnya. Cerminan dari sikap ini bisa kita lihat dari tidak adanya perlakuan
deskriminatif terhadap pengguna perpustakaan. Siapa saja bisa menggunakan
perpustakaan umum. Selain dari hal tersebut, di perpustakaan terdapat kebebasan
di dalam kegiatan pengadaan bahan perpustakaan dan kepada siapa bahan
perpustakaan dapat dipinjamkan.
Perpustakaan idealnya menjadi tempat yang memadai untuk semua pihak
setiap orang bebas menyampaikan pendapatnya dalam suatu diskusi atau
diskursus, tempat untuk mencapai konsensus untuk sesuatu yang lebih baik,
sesuatu yang melampaui kebaikan dari persepsi masing-masing peserta diskursus.
Seperti diskusi yang terjadi di kedai-kedai minum yang dijelaskan Habermas, di
perpustakaan hendaknya diusahakan agar kebebasan bicara, berkumpul dan
17 Ada yang menggunakan dana perpustakaan untuk keperluan di luar kegiatan perpustakaan misalnya perjalanan dinas; ada yang memanfaatkan diskon pembelian buku; menekankan pencitraan secara berlebihan dan melupakan pembelian buku; mengalihkan ke e-book dengan biaya yang sangat tinggi yang sebenarnya hanya dimanfaatkan oleh segelintir pengguna.
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
58
berpartisipasi dalam debat politik atau debat lainnya dijunjung tinggi.
Perpustakaan juga berfungsi menyediakan bahan informasi sehingga masing-
masing peserta diskusi benar-benar paham mengenai permasalahan yang sedang
menjadi perhatian mereka. Dalam pengertian ini perpustakaan berfungsi
meningkatkan kualitas pemahaman peserta diskursus dan sekaligus memperjelas
bahan yang didiskursuskan.
Hikmat Darmawan18, dalam tulisannya tentang perpustakaan sebagai
ruang publik menyatakan, “… perpustakaan menjadi sebuah wahana
membangun kesadaran publik- sesuatu yang secara gawat sedang hilang di
kehidupan bermasyarakat kita… Berpikir dalam sudut pandang publik berarti
berpikir melampaui batas-batas kepentingan individu- (sebisa mungkin) tanpa
mengorbankan individualitas.
Pendapat Hikmat Darmawan ini perlu diberikan catatan. Dari perspektif
Habermas, RUU yang adalah produk kebijakan untuk publik tidak serta merta
bersifat publik sejauh itu bukan hasil suatu diskursus yang melampaui
kepentingan dari masing-masing pihak.
Jaringan perpustakaan dapat dianggap mencerminkan suatu ruang publik
karena cirinya yang mirip dengan unsur-unsur ruang publik. Informasi disediakan
bagi siapa saja, akses dijamin tanpa adanya biaya yang dibebankan kepada
pengguna dan dilakukan kapan saja. Jaringan perpustakaan ditangani oleh
pustakawan profesional yang menyediakan jasa pakar kepada pengguna sebagai
jasa publik, tanpa prasangka terhadap orang-orang dan tanpa motif tersembunyi.
Masyarakat yang dilayani perpustakaan umum mempunyai hak yang sama
untuk [a]memperoleh layanan serta memanfaatkan dan mendayagunakan fasilitas
perpustakaan [b]mengusulkan keanggotaan Dewan Perpustakaan [c]mendirikan
dan/atau menyelenggarakan perpustakaan [d]berperan serta dalam pengawasan
dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perpustakaan. Masyarakat di daerah
terpencil, terisolasi, atau terbelakang sebagai akibat faktor geografis berhak
memperoleh layanan perpustakaan yang disesuaikan dengan kemampuan dan
keterbatasan masing-masing
18 Hikmat Darmawan, “Perpustakaan sebagai Ruang Publik”, Ruang Baca Ed 54, Sept Okt 2008
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
59
Koleksi perpustakaan diseleksi, diolah, disimpan, dilayankan, dan
dikembangkan sesuai dengan kepentingan pengguna. Pengembangan koleksi
perpustakaan dilakukan sesuai dengan standar nasional perpustakaan. Koleksi
nasional diinventarisasi, diterbitkan dalam bentuk katalog induk nasional dan
didistribusikan oleh Perpustakaan nasional. Koleksi nasional yang berada di
daerah diinventarisasikan, diterbitkan dalam bentuk katalog induk daerah (KID)
dan didistribusikan oleh perpustakaan umum provinsi dengan memperhatikan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
Ciri di atas paling tidak merupakan sebagian dari ciri ruang publik
sebagaimana telah diungkapkan oleh Fank Webster,
“The upshot of such developments was the formation of the bourgeois
public sphere by the mid nineteenth century with its characteristic features
of open debate, critical scrutiny, full reportage, increased accessibility,
and independence of actors from crude economic interest as well as from
state control. “19
Ciri kepublikan dari ruang publik seperti dijelaskan di atas pantas untuk
dijadikan sebagai dasar filosofis bagi kegiatan suatu perpustakaan umum.
Ruang publik terdiri atas organ-organ penyedia informasi dan perdebatan
politis seperti surat kabar dan jurnal; lembaga-lembaga diskusi politis seperti
parlemen, klub-klub politik, klub-klub sastra, perkumpulan-perkumpulan publik,
rumah minum dan warung kopi, balaikota, dan tempat-tempat publik lainnya
yang menjadi ruang terjadinya diskusi sosial politik. Perpustakaan umum
seyogyanya menyediakan satu ruang khusus yang digunakan untuk berdiskusi.
Fenomena yang sering terjadi di ruang baca adalah adanya meja baca dalam
bentuk study carrell yang dimaksudkan untuk kebutuhan baca individual dan meja
panjang yang disediakan agar para pengguna perpustakaan dapat berdiskusi.
Meskipun begitu pustakawan seringkali tidak menyadari ini seperti halnya kasus
di perpustakaan Perpumda DKI (Perpustakaan Umum Daerah DKI) yang selalu
mengingatkan agar pengunjung tidak berisik. Tindakan yang kontradiktif dengan
fungsi dari penyediaan mebeler perpustakaan tersebut.
19 Webster, Frank. Theories of The Information Society. London : Routledge, 1995 hal 103
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
60
Perpustakaan umum sebagai ruang publik dapat dipahami sebagai tempat
di mana informasi dapat digali termasuk didalamnya informasi hasil perdebatan
publik di DPR dan forum lainnya yang tersimpan sebagai prosiding, laporan
diskusi maupun buku. Jadi di perpustakaan informasi disediakan atau
disebarluaskan kepada publik pengguna perpustakaan. Atau dengan kata lain di
perpustakaanlah Publik memperoleh akses terhadap informasi
…Habermas points to paradoxical features of the bourgois public sphere
which led ultimately to what he calls its refeudalisation in some areas. The
first centres around the continuing aggrandisement of capitalism… A
second, related, expression of refeudalisation comes from changes within
the system of mass communications. …The media’s function changes as
they increasingly become arms of capitalist interest, shifting towards a role
of public opinion former and away from that of information provider.20
Refeudalisation yang menampak pada sejarah ruang publik gejalanya
dapat dirasakan juga di dunia perpustakaan. Contoh yang paling mudah dilihat
adalah eksistensi dari perpustakaan British Council, American Cultural Center
yang pernah beroperasi di Indonesia yang menyediakan koleksi karya-karya hasil
budaya negara masing-masing (termasuk didalamnya politik dan kebijakan
negaranya), dan tidak menyajikan informasi yang berimbang bagi masyarakat
pemakainya. Keadaan di atas membuat sifat kepublikan menjadi hilang karena
membatasi akses pengguna dari informasi dengan cara membatasi koleksi
perpustakaan hanya pada publikasi mengenai negaranya dan publikasi dari
negaranya. Perpustakaan umum yang mengedepankan kepentingan pemerintah
dan instansi perpustakaan sendiri melebihi kepentingan kliennya juga dapat kita
kategorikan sebagai ruang iklan.
Perpustakaan umum memiliki ruang fisik yang berupa gedung
perpustakaan yang kadang kala cukup megah. Di tempat tersebut segenap lapisan
masyarakat baik dewasa maupun anak-anak dengan tanpa membeda-bedakan
tingkat pendidikan, gender, ras bisa memanfaatkannya. Mereka bisa mengakses
informasi, mendiskusikan dan berdebat tentang hal-hal yang penting dalam hidup
20 Frank Webster, 1995, Theories of the Information Society, London : Routledge, p 103
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
61
mereka. Mereka selain dapat memperoleh informasi, dapat mengembangkan
pendidikannya dalam konsep pendidikan seumur hidup.
Namun dalam kenyataannya Perpustakaan umum Indonesia bukanlah
gambaran ideal seperti di atas. Menurut Putu Laksman Pendit Perpustakaan
Umum Indonesia adalah "lembaga pemerintah", dan sama sekali bukan tempat
populer bagi anggota masyarakat untuk mendiskusikan hal-hal penting dalam
hidup mereka. Selain itu, Perpustakaan Umum Indonesia sama sekali tidak
berkaitan dengan "opini non-pemerintah". Sulit membayangkan pegawai-pegawai
negeri yang mengelola perpustakaan umum itu memiliki visi dan misi non-
pemerintah. Apalagi kemudian mereka juga tidak sepenuhnya melaksanakan
fungsi-fungsi pustakawan, melainkan lebih sebagai administrator atau birokrat.
Selanjutnya oleh Putu dipertanyakan kalau memang Perpustakaan Umum
Indonesia bukan ruang publik, ruang apakah sebenarnya ia? Mengapa kata
"umum" yang melekat di nama institusi ini tidak sertamerta dapat diartikan
sebagai "publik" dalam pemikiran Habermas?21
Perpustakaan umum menyediakan pengetahuan-pengetahuan yang dapat
dimanfaatkan oleh siapa pun juga yang hendak berkunjung, namun dalam
kenyatannya kebanyakan perpustakaan umum Indonesia tidak populer untuk
semua lapisan, lebih mirip institusi elit atau institusi untuk anggota kelas tertentu
di masyarakat.22
4.5 Penyensoran di Perpustakaan Umum Indonesia
Dengan mendasarkan pada intellectual freedom, sikap pustakawan
Amerika terhadap penyensoran tercermin dalam salah satu pernyataannya dalam
American Library Association’s code of ethics : “We uphold the principles of
intellectual freedom and resist all efforts to censor library resources.” Dalam
sejumlah tulisan pernah didiskripsikan bagaimana pustakawan berjuang melawan
21 Putu Laksman Pendit, “Bisakah Perpustakaan Umum Menjadi Ruang Publik?” http://kepustakawanan.blogspot.com/2007/02/bisakah-perpustakaan-umum-menjadi-ruang.html 22 Tentang hal tersebut lihat Putu Laksman Pendit, “Bisakah Perpustakaan Umum Menjadi Ruang Publik?” http://kepustakawanan.blogspot.com/2007/02/bisakah-perpustakaan-umum-menjadi-ruang.html
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
62
dan berargumentasi dengan pihak penyensor. Hal seperti ini belum pernah
terdengar di Perpustakaan Umum Indonesia, meskipun pernyataan sikap yang
sama ada juga di kode etik pustakawan Indonesia.23
Habermas melihat bahwa ruang publik ialah wilayah sosial yang bebas
dari adanya sensor dan dominasi. Di Indonesia khususnya di era pemerintahan
Soeharto praktik pelarangan buku sangat marak. Yang dimaksud dengan
pelarangan buku adalah pelarangan untuk tidak beredarnya sesuatu buku di
seluruh wilayah hukum negara Republik Indonesia. Konsekuensi dari pelarangan
ini adalah bahwa buku tertentu yang dilarang beredar tidak boleh disimpan,
dimiliki, diperedarkan, maupun diperdagangkan oleh siapapun dan oleh lembaga
apapun di Indonesia, terkecuali pihak-pihak yang diberi wewenang oleh
pemerintah.
Keadaan di atas menyebabkan potensi bagi perpustakaan untuk melakukan
pengawasan bibliografi dan melengkapi koleksinya menjadi tidak maksimal
sedangkan bagi perpustakaan yang sudah mengoleksi bahan perpustakaan
terlarang menjadi berkurang koleksinya karena perpustakaan dilarang menyimpan
bahan-bahan tersebut. Hal ini terjadi karena bahan-bahan tersebut harus
dikumpulkan sesuai surat pelarangan untuk kemudian dimusnahkan.
Pihak-pihak yang pernah melakukan pelarangan di Indonesia adalah Raja,
Militer, Kejaksaan Agung, Depertemen Agama, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Pengadilan Agama, Departemen Dalam Negeri dan Kelompok
Pendesak. 24
Pustakawan tidak berdaya menghadapi fenomena penyensoran tersebut
sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak pustakawan tidak memahami
dasar filosofis yang memadai untuk menentang hal tersebut. Pengetahuan handal
yang mereka miliki pada umumnya adalah pengetahuan teknis pengelolaan
perpustakaan. Pengetahuan teknis pengelolan perpustakaan yang dimaksudkan di
sini antara lain kemampuan pengadaan bahan perpustakaan misalnya pemilihan 23 Dalam kuliah profesi informasi, penulis pernah mencoba menjajarkan kedua kode etik yakni American Library Association’s code of ethics dan kode etik pustakawan Indonesia dengan temuan bahwa kode etik pustakawan sepertinya hanya alih bahasa dari ALA’s code of ethics tidak ada sesuatu yang lain yang seharusnya muncul seiring dengan perbedaan kedua lingkungan budaya. 24 Lihat Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991 hal. 118
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
63
dan pemesanan bahan perpustakaan, kemampuan pengolahan yang meliputi
pengaturan bahan perpustakaan di rak dan penyusunan sarana temu kembali serta
administrasi peminjaman.
Sebenarnya kalau kita menengok kode etik pustakawan ada satu
pernyataan yang dapat dijadikan dasar bagi pustakawan untuk bertindak yakni
“Pustakawan memegang prinsip kebebasan intelektual dan menjauhkan diri dari
usaha sensor sumber bahan perpustakaan dan informasi”. Agaknya kode etik
pustakawan tidak dihayati secara mendalam bahkan menurut hemat penulis
penyusunan kode etik tersebut tidak didasarkan pada pengalaman hidup
pustakawan Indonesia melainkan mengadopsi kode etik dari American Library
Association. Seorang pengurus Ikatan pustakawan Indonesia bahkan mengatakan
bahwa kegiatan pembahasan mengenai kode etik menjadi agenda yang dianggap
kurang penting dan kurang dilakukan secara serius. Pertanyaannya adalah apakah
memang pokok-pokok yang dimunculkan di dalam kode etik tersebut sifatnya
universal ataukah ketiadaan usaha dari pustakawan Indonesia untuk menggali
pengalaman hidup manusia Indonesia dan memilih menyusun kode etik dengan
cara mudah yakni melakukan adopsi dari kode etik pustakawan negara lain.
Dakwaan di atas bukan hanya diarahkan kepada kode etik pustakawan
Indonesia melainkan juga kepada hampir seluruh praktik kepustakawanan di
Indonesia. Apakah pustakawan Indonesia melakukan praktik kepustakawanan atas
dasar pengalaman hidup manusia Indonesia ataukah hanya adopsi praktik
kepustakawanan negara maju. Menurut hemat penulis permasalahan mendasar
seperti ini tidak pernah diteliti dan digali.
Fenomena maraknya penyensoran menyebabkan perpustakaan umum
Indonesia didalam memberikan informasi kepada pengguna atau masyarakat tidak
bisa maksimal. Dampaknya adalah bahwa masyarakat menjadi sulit mencapai
tingkatan masyarakat yang ideal, paham, dan cerdas.
Sikap perpustakaan umum Indonesia terhadap penyensoran tentunya
sejalan dengan sikap Ikatan Pustakawan Indonesia. Istilah Ikatan Pustakawan
Indonesia inipun tidak lazim; di negara lain digunakan Library Association
(Inggris), American Library Association (Amerika Serikat), Nihon Toshokan
Kyokai (Asosiasi Perpustakaan) (Jepang). Mengapa ikatan pustakawan dan bukan
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
64
ikatan perpustakaan kiranya menarik untuk dikaji. Sikap IPI terhadap sensor dapat
tercermin dari pernyataannya di dalam kode etik pustakawan Indonesia
sebagaimana telah disinggung di atas.
Di Indonesia bahan-bahan perpustakaan yang masuk kategori dilarang
tidak boleh dikoleksi atau disimpan di perpustakaan. Salah satu pengecualian
adalah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Dengan dasar sebagai
perpustakaan deposit, Perpustakaan Nasional RI memiliki dasar hukum untuk
tetap bisa menyimpan bahan perpustakaan sekalipun tergolong kategori bahan
perpustakaan terlarang. Di dalam konsideran pada Undang-undang No4 Tahun
1990 Tentang Serah-Simpan Karya Cetak dan karya Rekam dinyatakan sebagai
berikut
a. bahwa Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan upaya untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan
nasional
b. bahwa karya cetak dan karya rekam merupakan salah satu hasil
budaya bangsa yang sangat penting dalam menunjang pembangunan
nasional pada umumnya, khususnya pembangunan pendidikan,
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan
penyebaran informasi serta pelestarian kekayaan budaya bangsa yang
berdasarkan Pancasila
c. bahwa dalam rangka pemanfaatan hasil budaya bangsa tersebut, karya
cetak dan karya rekam perlu dihimpun, disimpan, dipelihara, dan
dilestarikan di suatu tempat tertentu sebagai koleksi nasional
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu
menetapkan Undang-undang tentang Serah-Simpan Karya Cetak dan
Karya Rekam
Jadi tugas penyimpanan dan pelestarian bagi Perpustakaan Nasional RI
dapat membebaskan Perpustakaan Nasional dari aturan sensor. Tugas dan fungsi
perpustakaan nasional antara lain mengendalikan segala terbitan yang diterbitkan
di Indonesia dan mengenai Indonesia. Karena tugas dan fungsi ini Perpustakaan
Nasional RI terbebaskan dari praktik penyensoran. Badan tersebut tetap bisa
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
65
menyimpan atau mengoleksi bahan-bahan perpustakaan yang dilarang atau
disensor karena tugas dan fungsinya.
4.6 Pembusukan di Lingkungan Perpustakaan Umum Indonesia
Usaha-usaha mulia yang diperjuangkan pustakawan Indonesia seperti
misalnya menempatkan posisi perpustakaan ke eselon yang lebih tinggi telah
membuahkan hasil. Hasil dari peningkatan eselon tersebut adalah pengucuran
dana ke perpustakaan yang semakin besar seiring dengan program-program yang
diusulkan. Hasil lainnya adalah peningkatan kesejahteraan pustakawan melalui
tunjangan jabatan fungsional pustakawan.
Sangat disayangkan peningkatan eselonisasi yang antara lain
membuahkan tambahan dana untuk kegiatan perpustakaan dan fungsional
pustakawan tidak serta merta mengangkat kualitas layanan perpustakaan sebagai
ruang publik. Perpustakaan belum merupakan tempat favorit bagi publik untuk
berkumpul, berdiskusi dan menambah pengetahuannya. Dari informasi yang
berhasil penulis kumpulkan masih ada distorsi terhadap pengelolaan perpustakaan
yang barangkali merupakan penyebab dari ketidakpopuleran perpustakaan, yakni
a. Pungutan liar yakni tanpa memiliki dasar hukum, mis. menarik biaya
penelusuran padahal perpustakaan telah memberikan dana untuk hal
tersebut dari badan induknya, biaya foto copy jauh melebihi biaya foto
copy yang umum misalnya untuk koleksi disertasi dan tesis dengan
alasan mengurangi tingkat penjiplakan, biaya keanggotaan.
b. Penempatan prioritas yang tidak berpihak ke pada pengguna, mis.
menggunakan dana yang sangat besar untuk mempercantik
perpustakaan, untuk otomasi sementara menunda/ melupakan sama
sekali penambahan koleksi, mengalihkan ke e-book tanpa
memperhatikan kondisi pengguna sehingga berakibat pada sangat
rendahnya penggunaannya
c. Menggunakan dana perpustakaan untuk keperluan di luar kegiatan
perpustakaan, misalnya untuk perjalanan dinas; menyelenggarakan
program pelatihan-pelatihan tanpa menyesuaikan dengan perencanaan
sumber daya manusia sehingga pada akhirnya orang yang sudah
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
66
dilatih pengelolaan perpustakaan ditempatkan di unit kerja lain, suatu
pemborosan dana yang luar biasa besarnya
d. Penyelewengan dana perpustakaan dengan membuat koleksi fiktif,
koleksi dipinjam dari perpustakaan lain hanya untuk keperluan
peresmian perpustakaan kemudian nantinya dikembalikan lagi ke
perpustakaan kepadanya koleksi dipinjam.
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Setelah kita mendalami ruang publik Habermas yang mengidealkan suatu
ruang partisipatif emansipatoris dan intersubjektif, maka semestinya konsep-
konsep dan nilai-nilai penting yang sudah diangkat Habermas itu dapat pula
diadopsi dan diterapkan dalam konsep dan pelayanan perpustakaan umum. Dalam
kaitan dengan itu ingin penulis garis bawahi beberapa elemen berikut.
Pertama, ruang publik borjuis merupakan arena dimana di dalamnya kaum
borjuis berjuang membebaskan diri mereka dari ketergantungan gereja dan
negara. Semangat yang senada mestinya juga ada dan menjadi jiwa setiap
pengguna perpustakaan, yakni suatu bentuk perjuangan untuk membebaskan diri
dari kebodohan, minimnya pengetahuan agar mereka terbebas dari semua dampak
negatifnya.
Kedua, ruang publik merupakan lahan pelatihan bagi sebuah refleksi kritis
publik, demikian juga halnya perpustakaan. Konkritnya adalah ketika pengguna
mengikuti diskusi misalnya diskusi mengenai bedah buku di perpustakaan atau
membaca bahan-bahan yang tersedia di koleksi, termasuk juga ketika melakukan
diskursus mengenai masalah-masalah yang ada, mereka melaksanakan refleksi
juga. Meskipun menurut sejumlah pakar, cara berdiskursus semacam ini sangat
bersifat subjektif; sama halnya dengan melakukan sololiqui, penulis berpendapat
bahwa sifat subjektif itu dapat dikurangi, ketika pengguna perpustakaan
menuliskan hasil dari diskursus tersebut atau berdiskusi secara kritis terhadap apa
yang mereka baca itu.
Namun, dalam kenyataannya sering kita temui orang membaca untuk
ngangsu kawruh (dalam pengertian mencari pengetahuan yang bersifat searah dari
sumber data ke pada penerima, feeding), dengan kata lain pendekatan satu arah,
bersifat pasif, dan memperlakukan diri sendiri sebagai pihak yang menerima.
Kalau seperti itu yang terjadi maka perpustakaan tentu gagal menjadi tempat
refleksi kritis publik.
67
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
68
Sejumlah pengguna perpustakaan membaca guna memperoleh informasi
atau bahan yang diperlukan untuk tulisannya. Tentunya ada prosedur yang harus
diikuti ketika mereka mengambil ide atau menggunakan hasil penelitian orang
lain. Melawan prosedur tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.
Pelanggaran hak cipta berdampak negatif pada perpustakaan. Ketika hak cipta
dilanggar muncullah kerugian di pihak pencipta, yang mengakibatkan
menurunnya gairah menulis, yang selanjutnya dapat mengurangi produk tulisan;
Keadaan ini berdampak negatif pada ketersediaan pilihan aneka ragam tulisan
untuk disimpan di perpustakaan. Idealnya pengetahuan dari hasil jerih payah
orang lain yang ditimba melalui perpustakaan tidak dijiplak, melainkan diolah
kembali atau didayagunakan bahkan dikembangkan lebih lanjut dan diungkapkan
baik secara lisan maupun tulisan. Bila demikian yang terjadi bahan perpustakaan
akan semakin beragam.
Informasi berada pada inti dari ruang publik. Ketika peserta melakukan
diskursus di ruang publik, ia mengungkapkan posisinya dalam argumen eksplisit
dan bahwa pandangan mereka dapat diakses oleh publik yang luas. Hal tersebut
terjadi tentunya tidak lepas dari peran media komunikasi dan lembaga-lembaga
informasi lainnya seperti perpustakaan dan lembaga statistik.
Namun persebaran dan akses informasi terganggu ketika munculnya
sensor. Penghapusan lembaga sensor, menandai tahapan baru dalam
perkembangan ruang publik. Tindakan penghapusan lembaga sensor
memungkinkan arus argumentasi rasional kritis masuk ke dalam pers dan dengan
mengizinkan pers berkembang menjadi suatu instrumen otonom memungkinkan
keputusan-keputusan politis dapat dibawa ke hadapan forum publik yang baru.
Dengan kata lain pers berfungsi sebagai pengolah informasi argumentasi rasional
kritis yang kemudian menyebarluaskannya kepada publik. Dalam ruang publik
peran pers yang mandiri membuat spektrum ruang publik menjadi lebih luas.
Fungsi pengadaan, dan penyebaran informasi pada suatu perpustakaan
idealnya tidak diganggu oleh adanya sensor. Di Indonesia khususnya di zaman
orde baru penyensoran sangat marak sehingga pantas mendapat perlawanan.
Bentuk perlawanan terhadap sensor itu ironisnya tidak nampak di perpustakaan,
yang ada adalah sikap kepatuhan yang ditunjukkan perpustakaan-perpustakaan
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
69
termasuk Perpustakaan Umum Indonesia. Satu hal yang menyelamatkan bahan
yang disensor adalah fungsi deposit dari Perpustakaan Nasional RI yang
membebaskan perpustakaan tersebut dari jeratan sensor. Namun sangat
disayangkan bahwa prosedur yang diterapkan dalam mekanisme penggunaan
bahan perpustakaan yang tersensor tersebut begitu ketat sehingga membuat
tingkat pemanfaatannya menjadi sangat rendah.
Berbicara mengenai organ informasi lain yakni pers, transformasi di
bidang tersebut menunjukkan fenomena baru. Dari institusi yang semata-mata
mempublikasikan berita, pers mulai menjadi pembawa dan pemimpin opini
publik, sekaligus instrumen bagi arena pertempuran partai politik. Keadaan seperti
ini analog dengan otomasi perpustakaan yang dulunya sebagai sarana guna
meningkatkan layanan perpustakaan kemudian berubah menjadi pemegang
otoritas utama di perpustakaan. Sebagai ilustrasi lihat keputusan tentang
penggunaan e-book, e-journal yang sangat dipengaruhi oleh roh otomasi yang
mengalahkan pertimbangan latar belakang budaya, pendidikan dan ekonomi dari
pengguna perpustakaan yang dilayaninya.
Di pihak lain, hal yang menguntungkan adalah konsep e-library memiliki
ciri aksesibilitas penuh yang mengatasi kendala waktu dan tempat. Namun dalam
kenyataannya hal itu masih memiliki aspek negatif yakni ada aturan yang
membatasi pengguna dalam mengaksesnya misalnya melalui keharusan
menggunakan password, dan lain-lain. Selain itu tidak jarang layanannya
menuntut biaya ekstra dari penggunanya.
Penonjolan pengguna sebagai elemen utama dalam sistem perpustakaan
merupakan hal penting dalam rangka usaha emansipatoris yang akan
membebaskan perpustakaan dari kungkungan hal-hal teknis dan perpustakaan
sebagai alat penguasa.
Kompetensi komunikatif Pustakawan Indonesia sangat mendesak untuk
ditingkatkan. Untuk hal tersebut teori komunikasi Habermas kiranya dapat
membantu kita. Habermas mencoba menghubungan rasionalitas dan bahasa
dengan mengatakan bahwa rasionalitas sudah tertanam dalam struktur bahasa
sendiri. Begitu seseorang masuk dalam suatu pembicaraan, ia, dengan sendirinya
mengajukan empat tuntutan: tuntutan kejelasan yakni ia dapat mengungkapkan
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
70
dengan tepat apa yang ia maksud; tuntutan kebenaran (truth claim), kejujuran
pembicara (claim to veracity) dan ketepatan atau kepantasannya (claim to
rightness). Rasionalitas seperti tersebut di atas selayaknya menjadi pedoman bagi
pustakawan untuk berkomunikasi.
Habermas berpendapat bahwa proses perkembangan sebuah masyarakat
terjadi melalui proses-proses belajar dalam dua dimensi, yakni dimensi kognitif-
teknis dan moral-komunikatif. Suatu tambahan pengetahuan kognitif dan teknis
hanya bisa menghasilkan perkembangan dalam hubungan antara manusia dan
dalam kerangka institusional masyarakat sesudah terjadi proses dalam dimensi
moral-komunikatif.
5.2 Saran
Kinerja perpustakaan sebagai wahana belajar seumur hidup dapat
ditingkatkan melalui penyediaan sarana tambahan, misalnya ruang diskusi yang
disertai dengan jadwal kegiatannya. Fasilitas tersebut pantas disediakan apabila
kita tidak ingin memberi kesan perpustakaan sekedar gudang buku. Peningkatan
kinerja juga bisa dilakukan dengan menentukan urutan prioritas dengan
menyertakan pertimbangan, membedakan inti dari pendukung. Dalam lingkup
perpustakaan, menurut hemat penulis, koleksi bahan perpustakaan hendaknya
tetap dijadikan prioritas utama disamping sarana pendukung dan asesoris lainnya.
Pertimbangan nilai guna dan manfaat dapat dijadikan dasar guna pemilihan bahan
perpustakaan yang harus diadakan di perpustakaan dengan mengangkat tinggi-
tinggi bentuk partisipatif dari pengguna. Salah satu bentuk partisipatif dari
pengguna perpustakaan misalnya mengajak mereka untuk ikut serta menentukan
bahan perpustakaan yang akan dibeli. Secara normatif hal tersebut sudah menjadi
bagian dari sistem perpustakaan, namun aplikasinya di lapangan masih penulis
ragukan.
Rendahnya kualitas layanan perpustakaan akibat sistem sensor harus
ditanggulangi dengan mengadakan perlawanan terhadap sensor. Argumen
kebebasan berekspresi dan fungsi perpustakaan sebagai pelestari budaya
sebaiknya digunakan. Pada masa lalu yakni pada zaman orde baru praktik
penyensoran mengalami intensitas tinggi. Pada saat itu pustakawan Indonesia
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
71
tidak melakukan perlawanan sama sekali. Seharusnya dengan melakukan
perlawanan terhadap sensor, akibat negatif dari sensor dapat dikurangi, dengan
kata lain hanya bahan perpustakaan yang betul-betul layak disensor yang akan
dikeluarkan dari jajaran koleksi. Berhubungan dengan bahan perpustakaan yang
disensor ini, bahan tersebut tetap tersimpan di Perpustakaan Nasional RI karena
perpustakaan tersebut memiliki fungsi deposit, penulis mengusulkan agar
prosedur penggunaan bahan-bahan perpustakaan yang tersensor dibuat lebih
sederhana supaya lebih banyak kalangan tidak terkendala lagi ketika harus
menggunakannya.
Dari uraian yang dijelaskan pada bab sebelumnya, terlihat bahwa tidak
populernya perpustakaan adalah disebabkan oleh kekurangan atau kelemahan
yang ada pada perpustakaan itu sendiri. Misalnya terbatasnya koleksi sehingga
pengguna tidak terpuaskan ketika mengunjunginya. Faktor lain yang bisa
dikemukakan adalah sejarah yang menjadi latar belakang dari pendiriannya.
Perpustakaan Umum Indonesia tidak tumbuh karena kemauan masyarakat tetapi
berasal dari otoritas penguasa. Dunia perpustakaan idealnya tumbuh dan
berkembang sebagai akibat dari kesadaran diri para pendidik, pustakawan, dan
masyarakat yang peduli kepada tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia.
Tumbuh dan berkembangnya perpustakaan bukan disebabkan atau didasarkan atas
tindakan peniruan kebiasaan budaya yang ada di negara barat.
Negara dan kekuatan-kekuatan lainnya diharapkan mendukung pendanaan
yang diperlukan perpustakaan umum, namun dengan tetap menjaga independensi
perpustakaan. Di lingkungan pendidikan misalnya, perpustakaan dijadikan salah
satu prasyarat pendirian suatu perguruan tinggi namun apabila segenap civitas
akademika perguruan tinggi tersebut tidak menghiraukannya dan tidak
menggunakannya secara maksimal, maka keberadaan perpustakaan perguruan
tinggi lalu hanya merupakan asesoris belaka. Penggunaan perpustakaan secara
tidak maksimal seperti di atas terjadi juga di perpustakaan khusus, perpustakaan
umum dan perpustakaan lainnya. Anggapan perpustakaan sebagai sesuatu yang
tidak sentral ini sudah berlangsung terus menerus sehingga perkembangan
perpustakaan tidak pesat dan ironisnya keadaan seperti ini tidak dipandang
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
72
sebagai masalah krusial di masyarakat kita yang perlu segera ditindaklanjuti.
Perpustakaan didirikan hanya sebagai pelengkap.
Sudah menjadi suatu fenomena yang kita lihat sehari-hari bahwa sumber
daya manusia (sdm) perpustakaan bukan dipilihkan dari sdm yang terbaik,
malahan sejumlah instansi masih menganggapnya sebagai tempat penampungan
kelebihan atau pemutasian pegawai dari unit kerja lainnya. Bisa ditambahkan
sebagai faktor yang menjadi kelemahan perpustakaan yaitu lingkungan
pendidikan perpustakaan yang masih menerapkan cara belajar yang lebih
mengedepankan reproduksi bahan yang dipelajarinya dari pada menyiapkan para
peserta didik untuk memiliki kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru.
Pendidikan yang semacam itu tidak membuat peserta didiknya cerdas tetapi hanya
membuat mereka memiliki kemampun mengulang kembali praktik, kebiasaan
yang telah dilakukan bertahun-tahun dan juga mempertahankan bentuk-bentuk
konvensi perpustakaan negara barat tanpa adanya kemampuan untuk
mengkritisinya.
Titik kelemahan lain lagi dari institusi perpustakaan adalah belum
dijadikannya pengguna sebagai unsur sentral dari perpustakaan-sebagai-sistem-
informasi, bahkan tidak jarang mereka diperlakukan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan tertentu. Misalnya untuk mendapatkan dana yang kadangkala
tidak ada kepentingannya sama sekali dengan pengguna. Melihat kelemahan-
kelamahan perpustakaan seperti dijelaskan di atas, perpustakaan umum perlu
menggarisbawahi fungsinya sebagai wadah perjuangan melawan segala macam
bentuk penjajahan, termasuk di dalamnya kebodohan. Fungsi tersebut hendaknya
diangkat sebagai dasar filosofis suatu layanan perpustakaan umum.
Akhir-akhir ini gencar diadakan kampanye minat baca dengan
menghubung-hubungkan sepinya perpustakaan dengan rendahnya tingkat minat
baca masyarakat. Dan selanjutnya para pustakawan beranggapan minat baca
sebagai sesuatu yang sifatnya ekstrinsik dari luar diri pengguna perpustakaan
yang mudah untuk diubah atau ditingkatkan antara lain melalui iklan, padahal
menurut hemat penulis tidak demikian. Oleh karena itu usaha menjelaskan
persoalan kurang maksimalnya penggunaan perpustakaan dengan menuduh
rendahnya minat baca pengguna sebagai penyebabnya tidaklah tepat. Yang perlu
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
73
dilakukan perpustakaan di dalam mengatasi citra buruknya adalah introspeksi diri
guna mencandrakan kelemahan-kelemahan yang ada dan berusaha menemukan
solusinya.
Dengan menjadikan pengguna sebagai unsur sentral dari sistem
perpustakaan, langkah penting yang perlu dilakukan adalah mengarahkan segala
potensi untuk sebesar-besarnya manfaat bagi pengguna. Keinginan orang untuk
berkembang dan maju, serta lepas dari segala yang mengungkungnya sudah
instrinsik pada manusia itu sendiri. Perpustakaan tinggal memfasilitasi keinginan
tersebut dan melibatkan mereka. Perpustakaan selayaknya menyiapkan diri
sedemikian rupa agar layak menjadi wahana perjuangan bagi penggunanya untuk
melawan kebodohan dan melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan.
Akhirulkalam, sebagai saran disampaikan agar pemerintah tetap konsisten
menyediakan anggaran yang cukup untuk terselenggaranya kegiatan perpustakaan
umum sehingga fenomena komersialisasi layanannya dapat dicegah. Dengan
demikian pemerintah ikut serta mendukung ciri kepublikan perpustakaan.
Perpustakaan perlu dibuat mandiri dan diharapkan bertindak mengedepankan
kepentingan masyarakat pengguna di atas kepentingan lainnya. Pustakawan juga
perlu didorong untuk menjadi cerdas melalui pendidikan yang mengedepankan
ko-konstruksi sehingga mampu melakukan terobosan, mengkritisi praktik
perpustakaan yang selama ini ada dan meningkatkan fungsi perpustakaan sebagai
wahana diskursus dan wahana perjuangan melawan kebodohan bagi masyarakat
Indonesia. Melalui cara itulah menurut hemat penulis fungsi perpustakaan
sebagai ruang publik akan dapat dipertahankan.
Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
DAFTAR REFERENSI
Buku
Adian, Donny Gahral. (2002). Menyoal objektivisme ilmu pengetahuan : dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta : Teraju.
Baert, Patrick. (2001). Jürgen Habermas in “Profiles in contemporary social theory” edited by Anthony Eliot and Bryan S. Turner. London : Sage, p. 84 - 93.
Bakker, Anton (1984). Metode penelitian filsafat. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Bertens, K. (1999). Sejarah filsafat Yunani. (Ed. Rev.) Yogyakarta: Kanisius.
_________. (1983). Filsafat Barat abad XX : Inggris – Jerman. Yogyakarta : Kanisius. Seri Filsafat Atma Jaya ; 1.
Bungin, M. Burham, H. (2007) Penelitian kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebi-Jakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta : Kencana Frenada Media Group.
Carr, Stephen. (1992) Public Space. Van Nostrand Reinhold Company, New York Foucault, Michel. (1997). Sejarah seksualitas : seks dan kekuasaan. ( Rahayu S Hidayat, alih bahasa; Jean Couteau, penyunting). Jakarta : Gramedia.
________(1974). The archaelogy of knowledge. (AM Sheridan-Smith, penerjemah). London: Tavistock.
________ (1973). The order of things: an archaelogy of the human sciences. (Terjemahan dari Bahasa Perancis). New York : Vintage Books.
________(1990). The use of pleasure vol 2: the history of sexuality. (Translated from the French by Robert Hurley). New York : Vintage Books,
74
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
75
Habermas, Jürgen. (1990). Ilmu dan teknologi sebagai ideologi (diterjemahkan oleh Hassan Basari). Jakarta : LP3ES. ________. (1971). Knowledge and human interests (translated by Jeremy J. Shapiro). Boston: Beacon Press.
________. (1996) On the logic of the social science. (translated by Shierry Weber Nicholsen and Jerry A Stark). Cambridge : The MI Press.
________. ( 2007) Ruang publik : sebuah kajian tentang kategori masyarakat borjuis. (Yudi Santoso, penerjemah). Yogyakarta : Kreasi Wacana.
________. (2006) Teori tindakan komunikatif 1 : rasio dan rasionalisasi masyarakat . (Nurhadi, penerjemah). Yogyakarta : Kreasi Wacana.
________. (c1984). The theory of communication : reason and the rationalization of society : volume 1 / translated by Thomas Mc Carth. Boston : Beacon Press.
________.(1989) The theory of communication : lifeworld and system : a critique of functionalist reason: volume 2 / translated by Thomas Mc
Carth. Boston : Beacon Press.
________. (2001) The structural transformation of the public sphere : an inquiry into a category of bourgeois society. Cambridge : MIT Press.
Hardiman, F. Budi. (1990) Kritik ideologi : pertautan pengetahuan dan kepentingan. Yogyakarta : Kanisius.
________. (2004) Filsafat modern : dari Machiavelli sampai Nietzsche. Satu Pengantar Dengan Teks dan Gambar. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Hariatmoko. (2003) Etika politik dan kekuasaan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Hayden, Patrick. (2001) The philosophy of human rights. St. Paul: Paragon House.
Indonesia. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 Tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
76
Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan Indonesia. Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 1991 Tentang pelaksanaan Undang-undang No 4 Tahun 1990 Tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam
Laksmi. (2007) Tinjauan Kultural Terhadap Kepustakawanan : Inspirasi dari Sebuah Karya Umberto Eco Jakarta : Sagung Seto.
Lechte, John (2004) 50 Filsuf Kontemporer : Dari Strukturalisme Sampai Postmodernitas. Diterjemahkan oleh A Gunawan Admiranto. Yogyakarta : Kanisius.
Bagus, Lorens. (2002) Kamus filsafat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Lubis, Akhyar Yusuf. (2004) Filsafat ilmu: metodologis posmodernis. Bogor: Akademi.
________. (2004) Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Bogor : Akademia, Bab 4 Politik Pengetahuan.
Magnis-Suseno, Franz. (2006) Etika Abad Kedua Puluh : 12 Teks Kunci. Yogyakarta : Kanisius.
________. (2006) Berfilsafat Dari Konteks. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
________. (1992) Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta : Kanisius.
Malley, Ian. (1990) Censorship and Libraries. London: Library Association.
McCarthy, Thomas. (2006) Teori Kritis Jurgen Habermas / penerjemah Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
McMenemy, David. (2009) The Public Libary. London : Facet Publishing.
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
77
Minanuddin. (1992) Pelarangan Buku di Indonesia. Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI, Pembimbing Gregory Churchill, JD,
Pembaca Y. Sumaryanto, DipLib
Pendit, Putu Laxman (2003). Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi : sebuah Pengantar Diskusi, Jakarta : JIP-FSUI
Rasuanto, Bur. (2005) Keadilan Soaial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas. Dua Teori Filsafat Politik Modern. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Ritzer, George. (1996) Modern Sociological Theory, 4th ed., New York : McGraw-Hill.
Sarup, Madan. (2003) Poststrukturalisme dan Posmodernisme (1993): Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta : Jendela, . Bab 3 Foucault dan Ilmu Sosial
Spiller, David. (1986) Book Selection: An Introduction To Principles And Practice. 4th ed. London : Clive Bingley.
Steuerman, Emilia. (2000) “Habermas’s Linguistic Turn” dalam The Bounds of Reason, London: Routledge. hal 22-36
Sulistyo-Basuki. (1991) Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Supratiknya, A . (2008) Tantangan Psikologi (di Indonesia): Bukan Unifikasi
Melainkan Kontekstualisasi. Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Sidang Terbuka
Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta, 29 Nopember 2008
Thompson, Anthony Hugh. (1975) Censorship In Public Libraries In The United Kingdom During The Twentieth Century. Essex : Bowker.
Turabian, Kate L. (1982) A Manual for Writers of Term Papers, Theses, and Dissertations. 5th ed. Chicago : The University of Chicago Press.
Webster, Frank, (1995), Theories of the Information Society, London : Routledge.
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
78
Majalah & Surat Kabar
BASIS (2004) no 11-12 Th ke 53 November-Desember. Edisi 75 tahun Jurgen Habermas
Darmawan, Hikmat. “Perpustakaan sebagai ruang publik”, Ruang Baca Ed 54, Sept Okt 2008
“Sumanto Pustakawan dari Bantul”. Kompas, Kamis 4 Desember 2008
Sumber internet
Abels, Eileen …[et al.], “Competencies for Information Professionals of the
21st Century”, Rev. ed., June 2003, www.sla.org/competenciesportal, diakses 10 Nov. 2008
Kellner, Douglas ”Habermas, the Public Sphere, and Democracy: A Critical Intervention” dalam http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/kellner.html. diakses 10 Nov. 2008
Muttaqien, Arip. “Membangun Perpustakaan Berbasis Konsep Knowledge Management : Transformasi Menuju Research College dan Perguruan Tinggi Berkualitas Internasional” http://www.lib.ui.ac.id/files/Arip_Muttaqien.pdf 5 juli 2008
Pendit, Putu Laxman, “Bisakah perpustakaan umum menjadi ruang publik?” http://kepustakawanan.blogspot.com/2007/02/bisakah-perpustakaan-umum-menjadi-ruang.html. diakses 6 nov 2008
Siregar, A Ridwan, “Kerjasama dan Sistem jaringan Perpustaksan Umum”. USU Repository ©2006. diakses 6 nov 2008
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010