universitas indonesia pembatalan akta perjanjian...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH
PERKAWINAN BERLANGSUNG
( ANALISA PENETAPAN NOMOR 277/PDT.P/2010/PN.TNG )
TESIS
NAMA : ERRICA SUJANA
NPM : 1006828136
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
JAKARTA
JANUARI 2013
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
i
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN PERKAWINAN
SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG
( ANALISA PENETAPAN NOMOR 277/PDT.P/2010/PN.TNG )
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kenotariatan
NAMA : ERRICA SUJANA
NPM : 1006828136
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
JAKARTA
JANUARI 2013
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Errica Sujana
NPM : 1006828136
Tanda Tangan :
Tanggal : 14 Januari 2013
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama : Errica Sujana
NPM : 1006828136
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan
Berlangsung (Analisa Penetapan Nomor
277/PDT.P/2010/PN.TNG)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Kenotariatan pada Program Studi Pascasarjana Magister
Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 14 Januari 2013
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 14 Januari 2013
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
iv
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister
Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa,
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai
pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini.
Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :
(1) Ibu Dr. Hj. Siti Hayati Hoesin, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia;
(2) Ibu Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., selaku Ketua Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
(3) Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Sub Program
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
(4) Bapak Prof. Wahyono Darmabrata, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing
yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya
dalam penyusunan tesis ini;
(5) Ibu Surini Ahlan Sjarif, S.H., M.H., selaku dosen yang turut serta
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini;
(6) Para dosen Magister Kenotariatan Universitas Indonesia yang telah
memberikan berbagai ilmu kepada Penulis selama menjalankan studi di
Magister Kenotariatan Universitas Indonesia;
(7) Para staf sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Indonesia yang telah
membantu Penulis selama menjalankan studi di Magister Kenotariatan
Universitas Indonesia;
(8) Para staf Pengadilan Negeri Tangerang yang telah banyak membantu dalam
usaha memperoleh data-data yang saya perlukan;
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
v
Universitas Indonesia
(9) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan
material dan moral; dan
(10) Sahabat-sahabat saya yang telah membantu saya dalam menyelesaikan tesis
ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat
bagi pemgembangan ilmu.
Jakarta, 10 November 2012
Penulis
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
vi
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama : Errica Sujana
NPM : 1006828136
Program Studi : Magister Kenotariatan
Fakultas : Hukum
Jenis karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH
PERKAWINAN BERLANGSUNG ( ANALISA PENETAPAN NOMOR
277/PDT.P/2010/PN.TNG )
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia behak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagia pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 2013
Yang menyatakan
(Errica Sujana)
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
vii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Errica Sujana
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul : Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan
Berlangsung
(Analisa Penetapan Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG)
Umumnya suami-istri akan mempertahankan keberlakuan akta perjanjian
perkawinan. Seiring hal tersebut, hingga kini belum ada pengaturan mengenai
pembatalan akta perjanjian perkawinan. Dapat atau tidaknya pembatalan akta
perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung; landasan hukum
pertimbangan hakim; dan akibat-akibat hukumnya. Metodelogi penelitian adalah
yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Pembatalan akta perjanjian
perkawinan setelah perkawinan berlangsung tidak dapat dilakukan dengan cara
apapun juga. Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak sesuai
diterapkan dalam kasus ini. Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan diterapkan sejak dikabulkannya pembatalan.
Setiap pihak tetap bertanggung jawab pribadi atas segala utangnya.
Kata kunci :
Perjanjian perkawinan
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
viii
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Errica Sujana
Study Program : Master of Notary
Title : Cancellation of The Prenuptial Agreement After Marriage
(Analysis of State Court Determination Number
277/PDT.P/2010/PN.TNG)
Generally husband and wife will retain the enforceability of the prenuptial
agreement. As it is, until now there has been no regulation regarding cancellation
of the prenuptial agreement. Whether or not cancellation of the prenuptial
agreement after marriage; judges considered the legal basis; and the legal
consequences. Normative research method and qualitative approach. Cancellation
of the prenuptial agreement after marriage can’t be done by any means. Article
1338 Civil Lawbook isn’t applicable in this case. Article 35 and Article 36
Marriage Law applied since the granting of the annulment. Each party remain
personally liable for any debts.
Keyword :
Prenuptial agreement
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
ix
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... vi
ABSTRAK ......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
LAMPIRAN ....................................................................................................... x
1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................... 20
1.3 Metode Penelitian .................................................................................. 20
1.4 Sistematika Penulisan ............................................................................. 22
2. PERMASALAHAN DALAM PEMBATALAN AKTA ..............................
PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH PERKAWINAN .....................
BERLANGSUNG (ANALISA PENETAPAN NOMOR .............................
277/PDT.P/2010/PN.TNG) ANTARA DJAYA DAN LIANNA .................
SETIAWAN .................................................................................................. 24
2.1 Hak Dan Kewajiban Suami-Istri ........................................................... 24
2.2 Harta Benda Perkawinan ....................................................................... 27
2.3 Penerapan Ketentuan Lama Dalam Perjanjian Perkawinan .................. 33
2.4 Saat Pembuatan Perjanjian Perkawinan ................................................ 42
2.5 Bentuk Perjanjian Perkawinan .............................................................. 42
2.6 Pemberlakuan Perjanjian Perkawinan ................................................... 49
2.7 Isi Perjanjian Perkawinan ...................................................................... 51
2.8 Analisa Penetapan Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG ......................... 57
2.8.1 Kasus Posisi ............................................................................. 58
2.8.2 Analisa Mengenai Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan ...
Setelah Perkawinan Berlangsung ............................................. 61
2.8.3 Akibat Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan .........
Setelah Perkawinan Berlangsung .............................................. 69
3. PENUTUP ..................................................................................................... 75
3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 75
3.2 Saran ...................................................................................................... 76
DAFTAR REFERENSI ...................................................................................... 78
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk hidup kodrati tidak dapat hidup sendiri.1
Oleh sebab itu, manusia selalu hidup dengan sesamanya. Mereka hidup
untuk saling membantu sesamanya. Seiring perjalanan kehidupan seorang
manusia akan membutuhkan seorang pendamping dalam mengarungi
bahtera kehidupan ini. Seorang manusia akan berusaha menemukan lawan
jenis yang bersedia hidup bersama dengannya untuk membina rumah tangga
dan meneruskan keturunan, sehingga terbentuk suatu keluarga yang bahagia
dan harmonis. Keluarga merupakan bagian terkecil dari suatu masyarakat,
yang mana diharapkan dapat menjaga kesinambungan dan kelestarian
kehidupan manusia di dunia. Usaha manusia dalam hal menciptakan suatu
kehidupan baru bersama dengan pendamping hidupnya lazim disebut
sebagai perkawinan.
“Suatu ikatan perkawinan merupakan pertalian yang sah antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.” 2
“Menurut Prof. Mr. Paul Scholten, perkawinan adalah hubungan hukum
antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan
kekal yang diakui oleh negara.”3 Perkawinan merupakan wujud menyatunya
dua sejoli untuk saling mencintai dan saling mengasihi ke dalam satu tujuan
yang sama melalui suatu kesepakatan untuk terikat satu sama lain dalam
suatu perjanjian yang suci dan sakral guna membentuk ikatan lahir batin
sebagai suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. “Suatu
1 Wahyono Darmabrata, Hukum Perdata Asas-Asas Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta:
Gitama Jaya, 2004), hlm. 27.
2 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet.30, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 23.
3 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga,
(Bandung: Alumni, 1985), hlm. 31.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
perkawinan merupakan perjanjian.”4 “Perkawinan adalah perjanjian suci
membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.” 5
Salah satu tujuan perkawinan adalah mencapai kebahagiaan yang langgeng
bersama pasangan hidup. Namun, jalan menuju kebahagiaan tak selamanya
mulus. Banyak hambatan, tantangan, dan persoalan yang terkadang
menggagalkan jalannya rumah tangga.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata didalam salah satu
ketentuan pasalnya, yaitu Pasal 26 merumuskan bahwa “undang-undang
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.”6
Pasal tersebut hendak menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah
hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan syarat-
syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata melarang adanya perkawinan poligami, yakni perkawinan
antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita (poligini) ataupun
perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria (poliandri).
Larangan tersebut termasuk ketertiban umum yang berarti apabila dilanggar
akan selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan
itu.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
merumuskan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”7 Berdasarkan rumusan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
4 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: Rizkita, 2008), hlm. 46.
5 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), hlm. 47.
6 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.
Subekti, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), ps. 26.
7 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974,
TLN No. 3019, ps. 1.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka konsepsi perkawinan menurut sistem
hukum nasional di negara Indonesia mengandung beberapa asas atau
prinsip-prinsip sebagai berikut ini :
a. Perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal. Oleh sebab itu, perkawinan harus
merupakan ikatan lahir batin, bukan hanya ikatan lahir ataupun hanya
ikatan batin. Diantara suami istri perlu saling membantu dan saling
melengkapi supaya dapat mengembangkan kepribadiannya
masing-masing guna mencapai tujuan akhir, yakni terbentuknya
suatu keluarga bahagia yang sejahtera spritual dan materiil.
Kewajiban saling membantu lebih luas dapat diartikan sebagai
kewajiban bekerja sama serta saling menasehati. Kerja sama
berarti tidak ada kehidupan rumah tangga secara unilateral.
Segala sesuatu harus berdasar pada hasil kata sepakat atau lebih
tepat saling memberikan bantuan. Kehidupan rumah tangga
sebagai lembaga resmi diantara suami-istri tidak lain daripada
suatu pelaksanaan manajemen, dimana antara suami sebagai
kepala rumah tangga dengan istri sebagai ibu rumah tangga
untuk saling membantu dan saling menasehati demi suksesnya
kehidupan rumah tangga dalam kebahagiaan yang kekal dan
sejahtera. Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat
hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut
perundangan adalah untuk kebahagiaan suami dan istri, untuk
mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam
kesatuan keluarga yang bersifat parental;
b. Ikatan lahir batin tersebut terjadi diantara seorang pria dengan seorang
wanita. Oleh sebab itu, asas yang dianut adalah asas monogami.
Dengan kata lain adalah pada dasarnya seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami. Akan tetapi, asas monogami ini bersifat terbuka, yang
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
mana dalam hal apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan dan
diperbolehkan menurut agama pihak yang bersangkutan, serta telah
memenuhi persyaratan tertentu dan telah diputus oleh Pengadilan, maka
seorang suami dapat memiliki istri lebih dari satu orang, sebagaimana
yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini
merupakan bentuk penyimpangan dari asas monogami perkawinan yang
dapat dikesampingkan oleh pihak suami. Prinsip poligami tidak
diperkenankan bagi pihak istri, sehingga dengan kata lain seorang istri
tidak diperbolehkan untuk mengesampingkan asas monogami
perkawinan;
c. Kesadaran hukum agama dan/atau keyakinan masing-masing Warga
Negara Indonesia bahwa perkawinan harus dilakukan sesuai dengan
hukum agama ataupun kepercayaan dari calon suami dan calon istri.
Berdasarkan hal ini, maka sah tidaknya suatu perkawinan tergantung
pada ketentuan agama dan/atau kepercayaan masing-masing pasangan
calon mempelai yang hendak melakukan perkawinan. Pada umumnya
menurut hukum agama perkawinan merupakan perbuatan yang suci,
yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan
anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan
berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai
dengan ajaran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi
keagamaan merupakan suatu perikatan jasmani dan rohani yang
membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon
mempelai beserta keluarga kerabatnya. Hukum agama telah
menetapkan kedudukan manusia dengan iman dan takwanya, apa yang
seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan
(dilarang). Oleh karenanya pada dasarnya setiap agama tidak dapat
membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama.
Perkawinan dalam arti ikatan jasmani dan rohani berarti suatu ikatan
untuk mewujudkan kehidupan yang selamat bukan saja di dunia, tetapi
juga di akhirat, bukan saja lahiriah, tetapi juga batiniah, bukan saja
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
gerak langkah yang sama dalam karya, tetapi juga gerak langkah yang
sama dalam berdoa, sehingga kehidupan dalam keluarga berumah
tangga itu rukun dan damai, dikarenakan suami dan istri serta anggota
keluarga berjalan seiring bersama pada arah dan tujuan yang sama.
Oleh karenanya rumah tangga yang baik hendaknya sejak semula sudah
dalam satu bahtera hidup yang sama lahir dan batin. Sahnya
perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” 8
Perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah
perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang
berlaku dalam agama. Kata hukum masing-masing agamanya, berarti
hukum dari salah satu agama itu masing-masing, bukan berarti hukum
agamanya masing-masing, yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua
mempelai atau keluarganya. Perkawinan yang sah jika terjadi antar
agama, yang mana dilaksanakan menurut aturan salah satu agama calon
suami atau agama calon istri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh
setiap agama yang dianut kedua calon suami-istri dan/atau keluarganya.
Selain itu, setiap perkawinan merupakan tindakan yang harus
memenuhi administratif pemerintahan dengan jalan pencatatan pada
catatan yang ditentukan oleh undang-undang yang termuat dalam daftar
catatan resmi Pemerintah oleh pejabat yang berwenang untuk itu, yakni
pegawai KUA bagi pasangan Muslim dan pegawai Kantor Catatan Sipil
bagi pasangan non Muslim 9 . Perkawinan yang dilakukan hanya
dihadapan pegawai pencatatan sipil sah menurut perundangan sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dengan kata lain, sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang mana hanya berlaku bagi golongan Timur Asing Cina. Akan
tetapi, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
8 Ibid., ps. 2 ayat (1).
9 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir, 1975), hlm. 8.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
tentang Perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah menurut
perundangan yang berlaku karena tidak dilaksanakan menurut aturan
hukum agama;
d. Berdasarkan Pasal 26 dan Pasal 81 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, maka perkawinan itu hanya dilihat dari segi keperdataan dan
mengabaikan segi keagamaan. Hal mana jelas bertentangan dengan
falsafah negara Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang
Maha Esa di atas segala-galanya. Apalagi menyangkut masalah
perkawinan yang merupakan perbuatan suci (sakramen) yang
mempunyai hubungan erat sekali dengan keagamaan, sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahiriah atau jasmani, tetapi
juga unsur batiniah atau rohani mempunyai peranan yang penting.
Terdapat perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan menurut Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata hanya sebagai perikatan perdata, sedangkan
perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata, tetapi juga merupakan
perikatan keagamaan. Hal mana dilihat dari tujuan perkawinan yang
dikemukakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan perlu dipahami benar-benar oleh masyarakat karena
merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih lanjut,
baik yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan maupun peraturan lainnya yang mengatur tentang
perkawinan.
e. Asas perkawinan abadi, yang mana perceraian merupakan sesuatu yang
hendaknya dihindari sejauh mungkin terjadi dalam suatu perkawinan,
sehingga diharuskan bagi setiap calon suami dan calon istri telah
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
memiliki kematangan jiwa dan raga pada saat melangsungkan
perkawinan guna mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan kekal.
“Dalam suatu perkawinan, prinsip kekal abadi merupakan suatu
keharusan, dijunjung tinggi, dan dijaga keberlangsungannya, sekurang-
kurangnya sejauh mungkin dijaga keutuhannya.”10 Diantara suami-istri
terdapat suatu kewajiban untuk saling setia. Penafsiran setia dari segi
hukum erat sekali kaitannya dengan pengertian amanah yang bersumber
dari kesucian hati untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang berupa
pengkhianatan dalam bentuk apapun terhadap kesucian rumah tangga.
Kepercayaan antara yang satu dengan yang lain perlu dipelihara dan
dipertahankan, baik yang bersifat moral maupun materiil. Kesetiaan
merupakan kewajiban moral untuk memanfaatkan kepercayaan yang
diberikan pasangannya itu benar-benar dengan itikad baik, bahwa
sesuatu tidak akan diselewengkan, baik secara moral maupun materiil.
Kesetiaan merupakan tuntutan yang bersifat rohaniah, dimana hati dan
perbuatan terlepas dari kecurangan dan penyelewengan;
f. “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat” 11 , sebagaimana yang dimaksud dalam
ketentuan Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Pada dasarnya setiap manusia itu dilahirkan tanpa
adanya perbedaan derajat. Keduanya, baik suami maupun istri
merupakan makhluk hidup manusia yang dianugerahi akal budi.
Diantara keduanya tiada perbedaan kualitas, baik dari segi jasmaniah
maupun rohaniah. Perbedaan yang tampak hanyalah secara fungsional
semata, yang mana akan menjalin mereka ke dalam suatu kehidupan
bersama yang harmonis. Berdasarkan hal tersebut, maka tidak ada
alasan yang dapat membenarkan untuk merendahkan derajat masing-
masing maupun memperlakukan salah seorang diantara mereka dengan
10
Sardjono, (ed.), Perbandingan Hukum Perdata Masalah Perceraian, (Jakarta: Gitama
Jaya, 2004), hlm. 6.
11
Indonesia, op. cit., ps. 31 ayat (1).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
cara yang menghina dan menyakitkan hati. Suami harus menghormati
istrinya sebagai manusia yang menjadi ibu rumah tangga yang
mendampinginya dalam kehidupan. Demikian pula sebaliknya, istri pun
harus menghargai suaminya sebagai kepala rumah tangga dalam
kehidupan berumah tangga. Dengan demikian segala sesuatu dalam
keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri.12
Bersumber pada kehidupan tradisional atau ajaran tradisi budaya
kepribadian bangsa dan masyarakat Indonesia yang hidup erat dalam
suasana kekeluargaan, maupun ajaran moral agama yang hidup dalam
penghayatan masyarakat Indonesia atas dasar Pancasila, maka
kewajiban suami-istri untuk hormat-menghormati termasuk pula
sepanjang hal-hal yang menyangkut dengan soal kekeluargaan, yakni
kerabat dekat dari keluarga masing-masing pihak, baik dari pihak suami
maupun dari pihak istri.
Secara keseluruhan dari ketentuan-ketentuan pasal yang
tercantum didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tersirat pula beberapa prinsip lainnya demi menjamin
cita-cita luhur dari perkawinan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ini diharapkan agar pelaksanaan
perkawinan dapat lebih sempurna daripada masa yang sudah-sudah.
Oleh karena itu, bukannya tidak mungkin adanya berbagai
pembaruan atau perubahan dalam pelaksanaannya. Adapun
prinsip-prinsip tersebut ialah antara lain :
a. Azas sukarela
Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang “Perkawinan menentukan bahwa
perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua
calon mempelai.” 13 Oleh karena perkawinan mempunyai
12 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 9.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
maksud agar supaya suami istri dapat membentuk
keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula
dengan hak asasi manusia, maka suatu perkawinan harus
mendapat persetujuan dari kedua calon suami -istri,
tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Ketentuan ini
tidak berarti mengurangi syarat -syarat perkawinan
lainnya yang sudah ditentukan. Pasal tersebut
menjamin t iadanya kawin paksa, oleh karena adanya
persetujuan dari kedua calon mempelai yang menjadi
syarat utama dalam perkawinan di Indonesia yang
sekarang ini berlaku. Pencegahan terjadinya kawin
paksa juga tersi rat dengan adanya batas umur
minimum untuk melangsungkan perkawinan, yakni 19
tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wani ta.
Kata atas persetujuan kedua calon mempelai
didalam ketentuan Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbeda dengan
kata adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon
suami-istri yang disebut dalam ketentuan Pasal 28 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Kata persetujuan
dimaksud berarti bahwa orang tua atau wali serta keluarga
atau kerabat tidak boleh memaksa anak atau kemenakan
mereka untuk melakukan perkawinan, jika mereka tidak
setuju terhadap pasangannya atau belum bersedia untuk
kawin. Hal ini berarti kedua calon suami-istri itu masih
berada di bawah pengaruh kekuasaan orang tua ataupun
kerabatnya. Lain halnya dengan kebebasan kata sepakat
antara kedua calon suami-istri, yang mana berarti mereka
yang akan melakukan perkawinan itu bebas menyatakan
persetujuannya untuk melakukan perkawinan. Dalam hal ini
mereka terlepas dari pengaruh kekuasaan orang tua atau
13
Indonesia, op. cit., ps. 6 ayat (1).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
kerabatnya, sebagaimana adat perilaku kebiasaan budaya
barat, dimana setiap pribadi yang sudah dewasa berakal
sehat bebas berbuat untuk melakukan perkawinan ataupun
hidup bersama. Hal demikian ini bertentangan dengan
hukum adat dan hukum Islam.14
b. Partisipasi keluarga
Sebenarnya setiap pria maupun wanita yang telah
mencapai umur perkawinan sebagaimana yang dimaksud
dalam ketentuan Pasal 7 Ayat (1) itu telah dipandang sebagai
manusia yang telah dewasa. Mereka dianggap telah mampu
bertindak menurut hukum dan dapat menentukan nasibnya
sendiri. Akan tetapi oleh karena perkawinan merupakan salah
satu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, yang
mana ia akan menginjak dunia yang baru untuk membentuk
suatu keluarga sebagai unit terkecil dari keluarga besar
bangsa Indonesia yang sesuai dengan sifat dan kepribadian
bangsa Indonesia yang religius dan kekeluargaan, maka
diperlukan partisipasi keluarganya untuk merestui
perkawinan itu. Berdasarkan hal itu, bagi para calon
mempelai baik pria maupun wanita yang masih berada di
bawah umur 21 tahun diperlukan izin dari kedua orang
tuanya atau salah seorang orang tuanya yang hidup terlama.
Dalam keadaan orang tuanya telah tiada, maka sebagaimana
yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 6 Ayat (4) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, izin
tersebut dapat diperoleh dari walinya, yakni orang yang
bertanggung jawab untuk memeliharanya ataupun keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas. Apabila karena satu dan
lain sebab izin yang termaksud dalam ketentuan Pasal 6 Ayat
14 H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 42.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
(4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka izin tersebut dapat diperoleh dari
Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal calon
mempelai yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 6 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Didalam ketentuan Pasal 29 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang sudah tidak berlaku lagi, seorang laki -
laki yang belum mencapai usia 18 tahun dan perempuan yang
belum mencapai usia 15 tahun tidak dibolehkan mengikat
perkawinan. Jadi terdapat perbedaan batas umur perkawinan
antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Akan tetapi, kedua perundangan tersebut menetapkan adanya
batas umur perkawinan, sebagaimana dijelaskan dalam
Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang mana bertujuan untuk mencegah terjadinya
perkawinan pada anak-anak, serta dimaksudkan agar laki-
laki dan perempuan yang hendak menjadi suami-istri telah
benar-benar masak jiwa raganya dalam membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Selain itu pula
dimaksudkan untuk dapat mencegah terjadinya perceraian
muda dan agar dapat membenihkan keturunan yang baik dan
sehat, serta dapat menekan laju kelahiran semakin tinggi
yang berdampak terhadap pertambahan penduduk yang
semakin cepat.
c. Perceraian dipersulit
Perceraian merupakan suatu hal yang harus sangat dihindari
dalam perkawinan, karena akan sangat merugikan kedua
belah pihak dan terutama anak-anak dari perkawinan
tersebut. Berdasarkan hal itu, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa untuk
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
memungkinkan terjadinya perceraian harus ada alasan-alasan
tertentu yang dibenarkan dan harus dilakukan didepan sidang
Pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
terdapat beberapa alasan yang dimungkinkan untuk terjadinya
perceraian, yaitu sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/istri; dan
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.15
d. Poligami dibatasi secara ketat
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan adalah monogami. Akan tetapi apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan serta hukum dan
agama dari yang bersangkutan juga mengizinkannya, maka
15
Indonesia, Peraturan Pemerintah Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975, LN No. 12 Tahun
1975, TLN No. 3050, ps. 19.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun
demikian perkawinan dengan lebih dari seorang istri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai syarat tertentu dan diputus oleh Pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Didalam ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah ditetapkan
beberapa tahapan yang harus ditempuh dan dipenuhi seperti
di bawah ini secara berturut-turut :
- istri tidak dapat menjalankan tugas sebagai istri, istri
mendapat cacat badan, atau berpenyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
- adanya persetujuan dari istri, adanya kepastian bahwa
suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-
istrinya beserta anak-anaknya, dan adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap istri-istrinya beserta
anak-anaknya; dan
- izin dari Pengadilan.16
Mengingat pengaturan yang demikian ketat, maka
diharapkan angka poligami akan dapat ditekan serendah
mungkin.
e. Kematangan calon mempelai
Ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menganut prinsip bahwa calon
suami-istri harus telah matang jasmani dan rohaninya
untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini dimaksudkan
supaya dapat memenuhi tujuan luhur perkawinan serta
16
Indonesia, op. cit., ps. 4 – 5.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu,
dalam undang-undang ini ditentukan batas umur untuk
melangsungkan perkawinan, yaitu 19 tahun bagi pria dan
16 tahun bagi wanita.
f. memperbaiki derajat kaum wanita
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
berusaha memberikan perlindungan bagi para kaum wanita,
yakni dengan cara sebagai berikut :
a. dimungkinkan adanya perjanjian dimana wanita dapat
ikut menentukan isinya (Pasal 29);
b. pengaturan tentang harta yang diperoleh selama perkawinan
dimana istri mempunyai hak yang sama dengan suami, dan
apabila terjadi perceraian, harta hersama diatur menurut
hukum (Pasal 35 - 37);
c. suami tetap bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak,
sekalipun terjadi perceraian (Pasal 41 Huruf (b));
d. Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami
untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri (Pasal
41 Huruf (c)), dalam hal terjadi perceraian yang
menurut pertimbangan Pengadilan perlu ditetapkan
demikian; dan
e. Wanita diberi kedudukan yang sama dengan pria dalam
menentukan pasangan hidupnya (Pasal 6 Ayat (1)) dan
dalam membuat syarat-syarat perjanjian yang diingini oleh
kedua belah pihak (Pasal 29).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Pada masa sebelum tahun 1974, terdapat berbagai macam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan di Indonesia,
yakni sebagai berikut ini :
1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum
agamanya yang telah diresepsi ke dalam hukum adat. Pada umumnya bagi
orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam, jika melaksanakan
perkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai pria dengan wali dari
mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Hal ini telah
merupakan budaya hukum bagi orang Indonesia yang beragama Islam
hingga sekarang;
2. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adatnya masing-
masing;
3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Ordonansi
Perkawinan Kristen Indonesia atau HOCI (Huwelijk Ordonantie Christen
Indonesiers) Staatsblaad 1933 Nomor 74. Aturan ini sekarang sejauh sudah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
sudah tidak berlaku lagi;
4. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Ngara Indonesia keturunan
Cina berlaku ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Aturan ini sekarang sejauh sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi;
5. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Indonesia
keturunan Timur Asing lainnya (keturunan India, Pakistan, Arab dan
lainnya) berlaku hukum adat mereka masing-masing yang biasanya tidak
terlepas dari agama dan kepercayaan yang dianutnya;
6. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa
berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Termasuk dalam golongan
ini orang-orang Jepang atau orang-orang lain yang menganut asas-asas
hukum keluarga yang sama dengan asas-asas hukum keluarga Belanda;
7. Bagi perkawinan campuran berlaku Ordonansi Perkawinan Campuran
(Regeling op de Gemengde Huwilijken). Aturan ini sekarang sejauh sudah
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
sudah tidak berlaku lagi.
Setelah itu pada tahun 1974 dilakukan unifikasi dibidang hukum
perkawinan atau hukum keluarga di Indonesia, yaitu dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang diberlakukan bagi seluruh Warga Negara Indonesia yang
diharapkan dapat menghapus pluralisme hukum perkawinan. Ide unifikasi
hukum sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita kesatuan dan
persatuan nasional disegala bidang, termasuk kesatuan hukum
tentang perkawinan yang berlaku untuk semua warga Negara.
“Peraturan perundangan tersebut sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan diundangkan, diberlakukan berdasarkan Pasal II
dan Pasal IV Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.”17 Dengan
demikian baik golongan Tionghoa dan Timur Asing yang selama ini
berlaku hukum perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dengan sendirinya tunduk pada Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Demikian pula terhadap
mereka yang beragama Kristen ataupun yang melakukan perkawinan
campuran semuanya tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Hal ini dengan sendirinya melenyapkan arti yang
terkandung pada Pasal 131 Indische Staat Reglemen yang telah
membagi-bagi golongan penduduk Indonesia dalam 3 kelompok
golongan penduduk Indonesia sebagai hasil ciptaan penjajahan
Hindia Belanda dulu, yakni golongan Eropa, Timur Asing dan Bumi
Putra.
Unifikasi dibidang hukum perkawinan atau hukum keluarga di
Indonesia pada pokoknya berusaha menampung aspirasi emansipasi
tuntutan perkembangan peningkatan taraf peradaban bangsa dibidang
perkawinan dan menempatkan kedudukan suami-istri dalam
17
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga Di
Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 1 – 2.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
perkawinan berada dalam kedudukan yang sama derajatnya, baik
dalam kehidupan berumah tangga maupun kehidupan bermasyarakat.
Pada hakekatnya perkawinan merupakan peristiwa hukum, yang
mana merupakan suatu peristiwa yang mengandung hak dan kewajiban bagi
individu-individu yang melakukannya. “Seorang pria dengan seorang
wanita setelah melakukan perkawinan akan menimbulkan akibat-akibat
hukum, yakni antara lain mengenai hubungan hukum antara suami-istri dan
mengenai harta benda perkawinan serta penghasilan mereka.”18
Pada dasarnya Indonesia sebagai negara yang memiliki budaya
ketimuran beranggapan bahwa suatu perjanjian mengenai harta benda
perkawinan bukanlah suatu hal yang pantas dilakukan oleh calon pasangan
suami-istri dalam hal berkehendak untuk mengadakan hubungan
perkawinan. Hal tersebut dirasakan tidak lazim dilakukan. Dinamika
kehidupan masyarakat kini memperlihatkan kecenderungan semakin
berkurangnya pengaruh ikatan keluarga yang berarti mengurangi
kemungkinan tidak terbentuknya harta bersama dalam suatu kesatuan hidup
rumah tangga. 19 Dengan demikian, seiring dengan perkembangan zaman
saat ini, manusia lebih berpandangan kritis dalam menyikapi persoalan harta
kekayaannya, khususnya bagi pasangan yang hendak memasuki kehidupan
berumah tangga. Manusia sekarang sudah memiliki pertimbangan yang
sangat matang dalam hal melakukan penghitungan terkait keuntungan dan
kerugian materi yang akan diperolehnya akibat dilakukannya perkawinan.
Mereka berupaya dengan segala cara dalam hal melindungi harta
kekayaannya. Selain itu pula karena didukung oleh perkembangan gerakan
emansipasi wanita saat ini, yang mana banyak terdapat wanita karier yang
juga bekerja dan memperoleh penghasilan. Ada pula faktor pendukung
lainnya yang dapat menjadi bahan pemikiran para calon pasangan suami-
18 Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya Perkawinan Hak
dan Kewajiban Suami Isteri Harta Benda Perkawinan), (Jakarta: Rizkita, 2009), hlm. 128.
19
Maria, Kedudukan Suami Istri dalam Perkawinan Jujur Menurut Hukum Adat Karo,
Hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Medan: Universitas Sumatera
Utara, 1994), hlm. 11.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
istri dalam berupaya menghindari hal-hal yang tidak diharapkan, seperti
masalah perselisihan mengenai perebutan harta benda perkawinan pada saat
ikatan perkawinan terpaksa harus diakhiri dengan jalan perceraian.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, manusia sekarang ini
merasa memerlukan suatu hal guna melindungi harta kekayaannya, yakni
melalui pembuatan perjanjian perkawinan.
Calon suami-istri sebelum perkawinan dilangsungkan atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian perkawinan.
“Perjanjian perkawinan ialah suatu perjanjian yang diadakan atau
dibuat oleh calon suami dan calon istri sebelum perkawinan
dilangsungkan, yang bertujuan untuk mengatur hak dan kewajiban
suami-istri tersebut atas harta kekayaan masing-masing yang dibawa
ke dalam perkawinan, menyimpang dari prinsip harta campuran
bulat.”20
Perjanjian perkawinan diartikan sebagai suatu perhubungan hukum
mengenai harta benda kekayaan antara pihak yang berjanji untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu hal dengan pihak lain yang mempunyai hak
untuk menuntut pelaksanaan janji itu.21
Apabila ditinjau kepada ketentuan undang-undang sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka
pada rasionya perjanjian perkawinan itu dibuat untuk menghindari sistem
pengaturan yang diatur dalam pasal tersebut, yang mana menganut sistem
percampuran harta kekayaan dalam perkawinan. Segala harta, baik itu harta
kekayaan bawaan pihak suami maupun harta kekayaan bawaan pihak istri
dengan sendirinya menurut hukum bersatu menjadi harta kekayaan milik
bersama. Sejak saat berlangsungnya pernikahan menurut hukum
20 Wahyono Darmabrata, op. cit., hlm. 161.
21
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, cet.
9, (Bandung: Sumur Bandung, 1991), hlm. 11.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
terwujudlah penggabungan harta benda bersama secara keseluruhan antara
suami-istri, sekadar hal itu tidak dibuat ketentuan lain pada waktu terjadinya
akad nikah. Dengan demikian, perjanjian perkawinan dimaksudkan tiada
lain daripada guna menghindari atau sebagai pengecualian atas percampuran
harta kekayaan bersama.
Pada dasarnya perjanjian perkawinan tidak dapat diubah selama
perkawinan berlangsung, apabila perubahan tersebut dilakukan secara
sepihak, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri saja. Dengan kata
lain, perubahan secara unilateral tidak diperbolehkan. Akan tetapi,
dimungkinkan terjadinya perubahan secara bilateral. Dengan kata lain,
perjanjian perkawinan dapat dilakukan perubahan atas dasar kehendak
bersama dari kedua belah pihak, baik dari pihak suami maupun dari pihak
istri.
Pada dasarnya setiap calon pasangan suami-istri yang telah
bersepakat untuk melakukan pembuatan perjanjian perkawinan akan tetap
mempertahankan keberlakuan perjanjian perkawinan tersebut sepanjang
perkawinannya berlangsung. Terkadang beberapa pasangan suami-istri juga
melakukan perubahan terhadap perjanjian perkawinan yang telah dibuatnya,
namun mereka bukan berniat untuk membatalkan perjanjian perkawinan
tersebut. Mereka umumnya akan tetap berupaya menjaga komitmen awal
mereka pada saat perkawinan belum berlangsung hingga selama perkawinan
mereka berlangsung. Pembatalan perjanjian perkawinan memang
merupakan sesuatu hal yang kurang lazim dilakukan oleh pasangan suami-
istri setelah sekian lama masa mereka bersama-sama membina rumah
tangga dengan perpisahan harta, meskipun pada dasarnya setiap perkawinan
itu mengandung asas harta campuran bulat. Setiap tindakan hukum apapun
pasti akan menimbulkan konsekuensi hukum. Oleh sebab itulah, setiap
pasangan suami-istri yang hendak melakukan pembatalan terhadap
perjanjian perkawinan yang telah dibuatnya perlu melakukan pertimbangan
yang sangat masak untuk tindakannya itu. Salah satu hal yang harus
dijadikan sebagai bahan pertimbangan mereka adalah bahwa perjanjian
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.
Mengenai pembatalan perjanjian perkawinan oleh pasangan suami-istri,
dilihat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya didalam
ketentuan yang mengatur tentang perjanjian perkawinan pun tidak terdapat
pengaturan mengenai hal ini. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan
di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang
berjudul: “Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan
Berlangsung (Analisa Penetapan Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG).”
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan diteliti, yakni
sebagai berikut ini :
1. Apakah suatu pembatalan akta perjanjian perkawinan dapat dilakukan
setelah perkawinan berlangsung?
2. Bagaimanakah landasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan
hakim dalam mengabulkan permohonan pembatalan akta perjanjian
perkawinan tersebut?
3. Bagaimanakah akibat-akibat hukum dari pembatalan akta perjanjian
perkawinan tersebut bagi pasangan suami-istri yang bersangkutan
maupun terhadap pihak ketiga setelah dikeluarkannya penetapan oleh
Pengadilan Negeri ?
1.3 Metode Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis merupakan penelitian
yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap hukum positif
tertulis maupun tidak tertulis. Penelitian ini dilakukan untuk memahami
kaedah-kaedah hukum yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
dan menemukan asas hukum yang dirumuskan secara tersurat maupun
tersirat.22
Tipologi penelitian ini adalah penelitian diagnostik dan penelitian
evaluatif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya
suatu gejala23, yang mana dalam hal ini terkait dengan pembatalan akta
perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh pasangan suami-istri yang telah
lama hidup bersama dalam suatu ikatan perkawinan. Penelitian ini juga
dilakukan untuk memberikan suatu kejelasan mengenai landasan hukum
melakukan pembatalan akta perjanjian perkawinan oleh pasangan suami-
istri di Indonesia serta mengenai akibat-akibat hukum apabila dilakukan
pembatalan akta perjanjian perkawinan terhadap pasangan suami-istri yang
bersangkutan maupun terhadap pihak ketiga.
Alat pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah studi dokumen dengan tujuan untuk mengumpulkan data-data yang
bersumber dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat guna
mendapatkan landasan hukum. Bahan hukum ini meliputi Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, dan Penetapan Pengadilan Negeri Nomor :
277/PDT.P/2010/PN.TNG.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang tidak mengikat,
tetapi dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
serta menemukan landasan teori. Bahan hukum ini diperoleh melalui
buku-buku, koran-koran, dan jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan
dengan perkawinan.
22
Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 10.
23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm.
10.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum pendukung yang dapat
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
serta menemukan terminologi yang terkait dengan penelitian. Bahan
hukum ini diperoleh dari sumber berupa Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kamus hukum, dan ensiklopedia yang berkaitan dengan
bidang hukum perkawinan.
Metode analisis data atau pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif terhadap data-data yang telah
terkumpul. Pendekatan ini bertujuan untuk memahami makna dibalik data-
data yang terkumpul serta mempersepsikan dan menguji data-data tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka bentuk hasil atau
laporan penelitian ini adalah evaluatif analitis. Dalam hal ini penulis
bertujuan memperoleh kepastian hukum mengenai pembatalan perjanjian
perkawinan dan akibat hukum yang dapat ditimbulkannya.
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dicantumkan terlebih dahulu supaya dapat
memberikan gambaran secara garis besar tentang apa yang akan diuraikan
dalam setiap bab. Sistematika penulisan ini terdiri dari 3 (tiga) bab, yakni
sebagai berikut :
BAB 1 PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang,
pokok permasalahan, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB 2 PERMASALAHAN DALAM PEMBATALAN
PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH
PERKAWINAN BERLANGSUNG
(STUDI KASUS PENETAPAN NOMOR
277/PDT.P/2010/PN.TNG. ANTARA DJAYA DAN
LIANNA SETIAWAN)
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Dalam bab ini akan diuraikan tentang penerapan
ketentuan lama dalam perjanjian perkawinan, saat
pembuatan perjanjian perkawinan, bentuk perjanjian
perkawinan, pemberlakuan perjanjian perkawinan, isi
perjanjian perkawinan, serta mengenai kasus posisi dan
analisa hukum atas Penetapan Nomor :
277/PDT.P/2010/PN.TNG.
BAB 3 PENUTUP
Dalam bab terakhir ini akan ditarik simpulan dari hasil
penelitian beserta saran-saran yang dianggap perlu.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 2
PERMASALAHAN DALAM PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN
PERKAWINAN SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG
(STUDI KASUS PENETAPAN NOMOR 277/PDT.P/2010/PN.TNG.
ANTARA DJAYA DAN LIANNA SETIAWAN)
2.1 Hak dan Kewajiban Suami-Istri
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan suatu
pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami-istri yang antara lain
sebagai berikut :24
a. Suami-istri harus setia dan tolong-menolong (Pasal 103 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata);
b. Suami-istri wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya (Pasal
104 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
c. Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami-istri (Pasal 105
Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
d. Suami wajib memberi bantuan kepada istrinya (Pasal 105 Ayat (2)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
e. Setiap suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi istrinya
(Pasal 105 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
f. Setiap suami berhak mengurus harta kekayaan bersama (Pasal 105
Ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
g. Suami tidak diperbolehkan memindahkan atau membebani harta
kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan dari istrinya
terlebih dahulu (Pasal 105 Ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata);
24
P. N. H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
2005), hlm. 47 – 48.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
h. Setiap istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 Ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
i. Setiap istri wajib tinggal bersama suaminya (Pasal 106 Ayat (2)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
j. Setiap suami wajib membantu istrinya dimuka hakim (Pasal 110
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
k. Menurut ketentuan Pasal 111 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, bantuan suami kepada istrinya tidak diperlukan dalam hal :
1. Istri dituntut dimuka hakim karena suatu perkara pidana; dan
2. Istri mengajukan tuntutan terhadap suaminya untuk
mendapatkan perceraian, pemisahan meja dan tempat tidur, atau
pemisahan harta kekayaan.
l. Setiap istri berhak membuat surat wasiat tanpa izin dari suaminya
(Pasal 118 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Pengaturan mengenai hak dan kewajiban dari suami-istri
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
tercantum didalam ketentuan Pasal 30 sampai dengan Pasal 34,
yakni sebagai berikut :25
a. Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat;
b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat;
c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum;
d. Suami merupakan kepala keluarga, sedangkan istri merupakan
ibu rumah tangga;
25
P. N. H. Simanjuntak, op. cit., hlm. 68 – 69.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
3 3
e. Suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap,
dimana rumah tempat kediaman ini ditentukan secara bersama-
sama;
f. Suami-istri wajib saling mencintai, saling menghormati, saling
setia, dan saling memberikan bantuan baik lahir maupun batin;
g. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;
h. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-
baiknya;
i. Apabila baik suami maupun istri telah melalaikan kewajibannya,
maka masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan.
Ketentuan Pasal 31 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mensejajarkan antara
hak dan kedudukan suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat adalah sangat sesuai
dengan tata hidup dan kehidupan masyarakat modern sekarang yang
sangat jauh sekali berbeda dengan tata hidup dan kehidupan masyarakat
pada masa berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau
sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dimana wanita yang berada dalam ikatan perkawinan
dianggap dan dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan
hukum. Hal ini tercermin dalam hal :
a. Membuat perjanjian yang memerlukan bantuan atau izin dari
suaminya (Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata); dan
b. Menghadap dimuka hakim harus dengan bantuan suaminya (Pasal
110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
2.2 Harta Benda Perkawinan
Harta benda perkawinan berdasarkan ketentuan dalam sistem
hukum nasional Negara Indonesia diatur dalam ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tentang harta bersama menurut undang-undang dan pengurusannya diatur
dalam Bab VI Pasal 119 sampai dengan Pasal 138 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang terdiri dari tiga bagian, yakni sebagai berikut:
1. Bagian pertama tentang harta bersama menurut undang-undang, yang
tercantum didalam Pasal 119 sampai dengan Pasal 123 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata;
2. Bagian kedua tentang pengurusan harta bersama yang diatur dalam Pasal
124 dan Pasal 125 Kitab Undnag-Undang Hukum Perdata; dan
3. Bagian ketiga tentang pembubaran gabungan harta bersama dan hak untuk
melepaskan diri daripadanya, yang diatur dalam Pasal 126 sampai dengan
Pasal 138 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Asas yang dianut pada ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata mengenai harta perkawinan merupakan asas percampuran
bulat. Hal tersebut dapat disimpulkan berdasarkan ketentuan Pasal 119
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :
mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan
bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan
perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang
perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan
antara suami dan istri.26
26
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., ps. 119.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Akan tetapi, kewenangan untuk bertindak atas harta benda perkawinan
tersebut berada dikekuasaan suami sebagai kepala rumah tangga
atau perkawinan, baik harta pribadi istrinya (Pasal 105 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata) maupun harta persatuan (Pasal 124 Ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Sejak pelaksanaan perkawinan
karena hukum terdapat kebersamaan harta secara menyeluruh meliputi
harta yang sudah ada maupun yang belum ada. Kebersamaan harta itu pada
umumnya meliputi semua benda bergerak dan tidak bergerak yang sudah
ada, yang akan ada, ataupun yang diperoleh secara cuma-cuma milik
masing-masing pihak, baik suami maupun istri, sebagaimana yang
dinyatakan dalam ketentuan Pasal 120 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Dalam hal beban, kebersamaan harta itu pada umumnya meliputi
semua utang yang dibuat oleh masing-masing pihak, baik suami maupun
istri yang terjadi sebelum ataupun sesudah dilangsungkannya perkawinan,
sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 121 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. 27 Percampuran itu berlaku secara bulat tanpa
mempersoalkan bawaan masing-masing. Semua bawaan baik yang berasal
dari bawaan suami maupun bawaan istri dengan sendirinya satu kekayaan
bersama dalam keluarga selaku milik bersama dari suami-istri, kecuali
sebelum perkawinan
mereka mengadakan perjanjian perkawinan yang memuat ketentuan bahwa
dengan perkawinan tidak akan terjadi percampuran kekayaan sama sekali.
Dengan kata lain, harta benda yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam
perkawinan akan bercampur menjadi satu kesatuan sebagai harta benda
bersama diantara mereka berdua.
Menurut ketentuan Pasal 124 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu. Ia
diperbolehkan untuk menjualnya, memindahtangankannya, dan
membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal-hal berikut ini :
27 Hartono Soerjopratiknyo, Akibat Hukum dari Perkawinan Menurut Sistem Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1983),
hlm. 76.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
a. Tidak diperbolehkan menghibahkan barang-barang tidak bergerak dan
semua barang bergerak dari persatuan, kecuali untuk memberikan
kedudukan kepada anak-anaknya;
b. Tidak diperbolehkan juga menghibahkan suatu barang bergerak tertentu,
meskipun diperjanjikan bahwa ia tetap menikmati pakai hasil atas barang
itu;
c. Meskipun terdapat persatuan, didalam suatu perjanjian perkawinan dapat
ditentukan bahwa barang-barang tidak bergerak dan piutang atas nama
istri yang jatuh dalam persatuan tanpa persetujuan dari istri yang
bersangkutan tidak dapat dipindahtangankan ataupun dibebani.
Selain itu pula dalam hal suami tidak dapat hadir ataupun tidak dapat
menyatakan kehendaknya padahal sangat diperlukan tindakan dengan
segera, maka istri dapat meminta izin dari Pengadilan Negeri untuk
memindahtangankan ataupun membebani harta persatuan itu 28 ,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 125 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Harta bersama bubar demi hukum, karena kematian, perkawinan
atas izin hakim setelah suami atau istri tidak ada, perceraian, pisah meja
dan ranjang, dan karena pemisahan harta, sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 126 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sedangkan asas yang dianut pada ketentuan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap pengaturan mengenai
harta perkawinan merupakan asas perpisahan harta benda perkawinan. Hal
tersebut dapat disimpulkan sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 35
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan bahwa :
28
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., ps. 125.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.29
Dengan kata lain, harta benda yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam
perkawinan, yang mana disebut juga sebagai harta bawaan tetap menjadi
milik masing-masing pihak, baik suami ataupun istri, sedangkan harta
yang diperoleh oleh suami dan istri selama perkawinan akan bercampur
menjadi satu kesatuan diantara mereka berdua, yang mana disebut juga
sebagai harta bersama ataupun harta gono-gini.
Suami dan istri bersama-sama berhak untuk mempergunakan
atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak
secara timbal balik. Syarat persetujuan kedua belah pihak tersebut
hendaknya dipahami sedemikian rupa dengan luwes, yang mana
tidaklah dalam segala hal mengenai penggunaan atau pemakaian
harta bersama ini diperlukan adanya persetujuan kedua belah pihak
secara formil atau secara tegas. Dalam beberapa hal tertentu,
persetujuan kedua belah pihak ini harus dianggap ada sebagai
persetujuan yang diam-diam, misalnya dalam hal mempergunakan
atau memakai harta bersama untuk keperluan hidup sehari-hari. Ini
adalah untuk menghindari kekakuan diantara suami dan istri dalam
pergaulan hidup bersama-sama ditengah masyarakat.
Berdasarkan kedua ketentuan pasal tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa setiap calon pasangan suami-istri dapat
melakukan penyimpangan atas ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai harta benda perkawinan. Dalam hal mereka menghendaki
dilakukannya penyimpangan tersebut, maka hal ini hanya dapat
ditempuh dengan cara pembuatan perjanjian pra nikah atau yang lazim
29
Indonesia, op.cit., ps. 35.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
disebut juga dengan perjanjian perkawinan. Ketentuan yang mengatur
mengenai perkawinan pada dasarnya bersifat memaksa, sehingga para
pihak tidak boleh menyimpang atau menentukan lain dan mereka harus
tunduk pada ketentuan tersebut.30 Sedangkan pengaturan mengenai hukum
perjanjian merupakan ketentuan hukum pelengkap, yang mana boleh
diadakan penyimpangan-penyimpangan, sehingga “para pihak dapat
mengesampingkan aturan hukum perjanjian yang ada; dapat diganti
dengan kesepakatan para pihak sendiri.”31
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dikenal adanya dua macam harta benda dalam
perkawinan, yakni:32
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Demi tercapainya harta kekayaan bersama itu hanya diperlukan satu syarat
saja bahwa harta itu diperoleh selama perkawinan. Tidak ada syarat-syarat
lain selain daripada syarat tersebut. Tidak ada ketentuan hukum yang
mensyaratkan adanya keharusan dari pihak istri untuk turut aktif
mengumpulkan harta kekayaan. Mengenai harta bawaan dari masing-
masing suami-istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau hibah ataupun warisan, setiap pihak baik suami maupun istri memiliki
hak sepenuhnya dan hak untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
harta bendanya tersebut.
30
Wahyono Darmabrata, Hukum Perdata (Pembahasan Mengenai Asas-Asas Hukum
Perdata), (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 17.
31
Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Universitas Trisakti,
2009), hlm. 3.
32
Indonesia, loc. cit.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Apabila Penjelasan Pasal 35 dan Pasal 38 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dihubungkan dan kemudi-
an dibandingkan dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, maka sebenarnya apa yang diatur dalam
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
ini sudah tertampung pengaturannya dalam Penjelasan Pasal 35 dan
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dengan demikian tidaklah masalah seandainya Pasal 37 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut tidak
ada. Terulangnya pengaturan pada Pasal 37 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap sesuatu yang
telah diatur dalam Penjelasan Pasal 35 dan Pasal 38 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sama halnya seperti
terulangnya pengaturan pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan,
yakni mengenai alasan perceraian, yang mana sudah diatur dalam
Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Walaupun demikian, Penjelasan Pasal 37 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memberikan
suatu penjelasan yang lebih lanjut, lebih terperinci, dan penegasan
terhadap yang dimaksud dari dengan hukumnya masing-masing
ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Penjelasan
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
juga memberikan maksud dari hukum lainnya, yaitu untuk membuka
kemungkinan hukum lain daripada hukum agama dan hukum Adat
terkait dengan pengaturan tentang harta bersama. Umpamanya
Hukum Perdata Barat (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
terkait dengan pengaturan harta bersama bagi orang-orang golongan
Timur Asing Tionghoa, orang-orang golongan Eropa, dan orang-
orang yang dipersamakan dengan mereka yang berada di Indonesia.
Terbukanya hukum lain daripada hukum agama dan hukum adat
bagi pengaturan harta bersama merupakan suatu hal guna
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
menghindari terjadinya kevakuman hukum dalam tatanan hukum di
negara kita.33
2.3 Penerapan Ketentuan Lama Dalam Perjanjian Perkawinan
Bagi negara-negara yang masyarakatnya bersifat heterogen,
maka hukum perdatanya tidak menggambarkan adanya kesatuan
pengaturan masyarakat, namun menggambarkan adanya keanekaragaman
pengaturan masyarakat. Dengan kata lain, tidak ada satu undang-undang
yang berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hukum perdata yang
berlaku di Indonesia bukanlah merupakan satu kesatuan hukum,
melainkan bersifat beraneka ragam. Dalam hal ini berarti bahwa bagi
berbagai macam golongan warga negara yang menjadi anggota masyarakat
Indonesia berlaku hukum perdatanya sendiri-sendiri, yaitu :
a. Bagi golongan warga negara Indonesia asli berlaku hukum perdata
adat yang terdiri dari kaidah-kaidah hukum yang untuk sebagian besar
berupa kaidah hukum yang tidak tertulis, akan tetapi hidup bagi
mereka dalam arti ketaatan dan perwujudannya dalam tingkah laku
kehidupan masyarakat mereka;
b. Bagi golongan warga negara keturunan Timur Asing Cina dan Eropa
berlaku hukum perdata yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan catatan bahwa
bagi golongan warga negara keturunan Timur Asing Cina sepanjang
mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
tersebut ada pengecualian atau ada penyimpangan-penyimpangan,
yaitu Bagian 2 dan 3 dari Bab IV Buku I mengenai acara-acara yang
mendahului perkawinan dan mengenai pencegahan perkawinan tidak
berlaku bagi mereka, juga bagi mereka berlaku suatu peraturan
33 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1978), hlm. 29.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
tersendiri tentang pengangkatan anak (adopsi), yang diatur dalam Stb.
1917 – 129 jis. Stb. 1919 – 81, 1924 – 557, 1925 – 92, Bab II, sedang
untuk mereka berlaku satu peraturan tentang catatan sipil yang termuat
dalam Stb. 1917 – 180 jo. 1919 – 81, di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
c. Bagi golongan warga negara Timur Asing lain, yaitu golongan Arab,
India, Pakistan, dan sebagainya berlaku sebagian Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yaitu bagian yang
mengatur hukum kekayaan (Stb. 1924 – 556, mulai berlaku 1925).
Bagian hukum keluarga dan hukum perorangan dari Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tidak berlaku bagi
mereka itu. Oleh karena itu, mereka tunduk pada hukum adat yang
mereka bawa dari negara asalnya, begitu pula halnya dengan hukum
waris mereka.
Selanjutnya hukum yang berlaku bagi golongan Indonesia sendiri bersifat
berbhineka, ditinjau dari segi yuridis formal berdasarkan Pasal 131 jo. 163
Indische Staatsregeling, dan juga ditinjau dari segi ethnis, karena hukum
yang berlaku bagi masyarakat Indonesia beraneka ragam tergantung pada
corak susunan masyarakat dari daerah masing-masing. Keadaan hukum
perdata di Indonesia tersebut menggambarkan adanya kebhinekaan.
Adanya pembedaan hukum yang diberlakukan bagi golongan
Eropa, Indonesia, dan Timur Asing, dengan kemungkinan
diberlakukannya hukum Eropa bagi golongan-golongan bukan golongan
Eropa atau kemungkinan yang dibuka bagi golongan bukan Eropa untuk
menundukkan diri pada hukum Eropa yang dapat membawa akibat bahwa
hukum perdata yang berlaku di Indonesia bukan merupakan satu kesatuan
hukum, melainkan bersifat beraneka ragam. Sistem dualisme hukum
perdata itu didasarkan atas sistem penggolongan penduduk berdasarkan
Pasal 163 Indische Staatsregeling.
Dalam kaitan dengan kebhinekaan hukum perdata di Indonesia
ini, pada tahun 1966 telah dikeluarkan Instruksi Presidium Kabinet Nomor
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
31/U/In/12/1966 yang memuat perintah kepada para pejabat catatan sipil
diseluruh Indonesia agar dalam melaksanakan peraturan catatan sipil untuk
tidak menggunakan penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan Pasal
131 dan 163 Indische Staatsregeling. Juga ditentukan bahwa Instruksi
Presidium Kabinet tersebut di atas tidak mengurangi berlakunya
ketentuan-ketentuan hukum perdata lainnya.
Terkait dengan adanya Instruksi Presidium Kabinet tersebut,
Prof. R. Sardjono, S.H. berpendapat bahwa meskipun dalam Instruksi
tersebut disebut tentang tidak dipergunakannya lagi penggolongan
penduduk Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 dan 163
Indische Staatsregeling, namun pada hakekatnya Instruksi Presidium
Kabinet tersebut tidak dapat menghapuskan pluralisme dalam bidang
hukum perdata di Indonesia. Di Indonesia masih tetap berlaku berbagai
macam sistem hukum yang berlainan bagi berbagai lapisan masyarakat.
Instruksi Presidium Kabinet tersebut tidak dapat menghapuskan
berlakunya undang-undang, yakni Pasal 131 dan Pasal 163 Indische
Staatsregeling, sehingga pada hakekatnya Instruksi Presidium Kabinet
tersebut tidak menghapuskan pluralisme dalam bidang hukum perdata di
Indonesia.
Pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia telah berlaku berbagai
macam peraturan perundang-undangan antara lain:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya dalam Buku I yang
mengatur tentang orang;
b. Peraturan Perkawinan Campuran (Gemengde Huwelijke Reglement
Staatblad 1898 Nomor 158);
c. Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia atau HOCI (Huwelijke
Ordonantie Christen Indonesiers, Staatblad 1933 Nomor 74) yang
merupakan peraturan perkawinan untuk calon mempelai yang
beragama Kristen.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Peraturan perundang-undangan tersebut sebelum lahirnya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diberlakukan atas dasar
ketentuan Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
menentukan bahwa “segala peraturan perundang-undangan yang ada
masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini.”34
Aturan Peralihan tersebut di atas dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya kekosongan hukum, oleh karena memang tidak mungkin untuk
dengan segera dan secara menyeluruh mengubah semua hukum serta
bidang hukumnya menurut cita-cita yang terkandung didalam Undang-
Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, hukum yang berlaku hingga saat ini
dan yang untuk sebagian besar masih berasal dari zaman pemerintahan
penjajahan Belanda dan Jepang untuk sementara waktu harus
dipertahankan, meskipun keadaan demikian dirasakan sebagai hal yang
tidak seharusnya. Hal itu dikarenakan dalam suatu negara yang merdeka
masih saja berlaku peraturan perundang-undangan yang sifat dan
tujuannya sedikit atau banyak tidak dapat dilepaskan dari jalan pikiran
pihak yang menjajah, yang dalam tindakannya terutama dan mungkin
sekali juga dalam keseluruhannya hanya mengejar dipenuhinya
kepentingannya sendiri (kepentingan penjajah). Perundang-undangan
tersebut tidak jarang merugikan masyarakat. Hal itu dapat dihindari jika
dalam melaksanakan hukum tersebut dijalankan melalui penafsiran-
penafsiran yang bermaksud untuk menyesuaikan hukum itu dengan
tuntutan-tuntutan zaman guna menghindari timbulnya ketidakadilan
hukum dalam masyarakat.
Demikian pula halnya dengan kedudukan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang mana merupakan
undang-undang dari zaman Pemerintahan Hindia Belanda yang memuat
ketentuan-ketentuan yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman
34 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, ps. I Aturan
Peralihan.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
pada saat ini, sehingga diperlukan adanya penyesuaian ketentuan demikian
itu dengan kebutuhan masyarakat dewasa ini. Dalam hal ini berarti bahwa
penyesuaian tersebut hendaknya dilakukan hanya terhadap pelaksanaan
ketentuan yang dapat menimbulkan kerugian ataupun ketidakpastian
hukum dalam masyarakat.
Dalam rangka upaya melakukan penyesuaian hukum tersebut,
maka pembentuk undang-undang telah pula mengadakan perubahan-
perubahan dalam pemberlakuan ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yakni
sebagai berikut ini :
a. Penghapusan ketentuan-ketentuan hukum perdata dalam Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang berjudul tentang Kebendaan,
sepanjang mengenai bumi, air, dan udara, kecuali ketentuan-ketentuan
yang mengatur mengenai hipotik dan gadai, dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria;
b. Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berjudul tentang
Perikatan dan sebagian besar isinya mengatur mengenai hukum
perjanjian masih secara utuh berlaku;
c. Buku IV Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berjudul tentang
Pembuktian dan Daluwarsa serta sebagian besar isinya mengatur
mengenai hal pembuktian, yang mana menurut aliran modern
sebaiknya dikeluarkan dari sistematika Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata karena hukum pembuktian dianggap bukan merupakan hukum
materiil, sebagaimana tujuan dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, melainkan hukum perdata formil atau hukum acara;
d. Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak seutuhnya
berlaku, kecuali bagi golongan Timur Asing Cina. Dalam bidang
hukum perkawinan telah disusun suatu undang-undang nasional, yaitu
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Bagi Indonesia, adanya suatu undang-undang nasional yang
mengatur mengenai perkawinan merupakan hal yang mutlak diperlukan.
Hal ini memberikan suatu gambaran bahwa peraturan perundang-
undangan yang sebelumnya belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
dan dirasakan dapat menimbulkan kendala dalam pengaturan hukum
perkawinan di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
diharapkan dapat menampung prinsip-prinsip yang ada pada berbagai
peraturan atau pengaturan perkawinan yang berlaku pada berbagai
golongan dalam masyarakat Indonesia dan mengaturnya dalam satu
undang-undang agar dapat dipergunakan sebagai pegangan atau pedoman
yang dapat menampung prinsip-prinsip tersebut, serta dapat memberikan
landasan hukum bagi diberlakukannya undang-undang tersebut bagi semua
warga negara atau masyarakat yang bersifat sangat heterogen.
Cita-cita unifikasi memang menjadi dorongan yang kuat dalam
pembentukkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hal tersebut dilandasi pengalaman masa lampau yang telah dilalui oleh
bangsa Indonesia, yang mana terdapat pemberlakuan peraturan perkawinan
yang berbeda-beda atas golongan-golongan penduduk di Indonesia. Oleh
sebab itulah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
diharapkan dapat mewujudkan unifikasi.
Namun demikian terdapat suatu ketentuan yang tercantum
didalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang mana dapat ditafsirkan bahwa segala peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan tersebut di atas
sepanjang belum atau tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dianggap masih tetap berlaku.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
merupakan peraturan perkawinan yang diberlakukan bagi seluruh warga
negara Indonesia yang diharapkan dapat menghapuskan pluralisme hukum
perkawinan dan menghendaki terciptanya unifikasi hukum dalam
pengaturan perkawinan di Indonesia. Ketentuan Pasal 66 Undang-Undang
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan menyatakan tidak
berlakunya aturan perkawinan lama atau peraturan perkawinan
sebelumnya, yang mencerminkan adanya kebhinekaan, sepanjang
materinya telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menentukan bahwa :
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 Nomor 74), Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S.
1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini,
dinyatakan tidak berlaku.35
Ketentuan pasal tersebut jelas-jelas menunjukkan ketentuan-
ketentuan dalam berbagai ketentuan, dan menyatakan tidak berlaku
ketentuan tersebut sepanjang sudah diatur dengan undang-undang ini.
Ketentuan pasal tersebut tidak dengan jelas menentukan ketentuan mana
yang dinyatakan tidak berlaku dan ketentuan mana yang berlaku, serta
kriteria seperti apa yang menunjukkan bahwa suatu ketentuan itu telah
diatur didalam undang-undang ini. Oleh karena itu dapat menimbulkan
berbagai penafsiran dan juga merupakan sumber pluralisme hukum dan
ketidakpastian hukum.
Berdasarkan pasal tersebut, maka Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan membuka penafsiran bahwa peraturan
perundang-undangan perkawinan lama pada hakekatnya tidak dihapuskan
secara keseluruhan, terutama peraturan perundang-undangan yang berlaku
35 Indonesia, op. cit., ps. 66.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Ketentuan Pasal 66 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu mendapat
perhatian secara khusus. 36 Peraturan perkawinan yang dihapuskan
hanyalah peraturan perundang-undangan yang masalahnya telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sedangkan mengenai hal yang belum diatur didalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dapat ditafsirkan masih
diberlakukan peraturan perundang-undangan yang lama. Hal ini yang
kemudian memberikan gambaran bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan ternyata juga belum dapat mewujudkan unifikasi
secara utuh, dengan adanya celah penafsiran, yang dapat diambil dari
perumusan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yaitu adanya pluralisme hukum dibidang hukum perkawinan.
Dengan demikian maka kiranya dapat ditafsirkan bahwa antara tujuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menghendaki terciptanya unifikasi hukum dalam bidang hukum
perkawinan dengan hakekat pengaturan materinya dalam undang-undang
dan peraturan pelaksanaannya, ternyata masih belum sepenuhnya dapat
terwujud. Dengan kata lain, masih terdapat kemungkinan penafsiran
bahwa dibidang hukum perkawinan pada hakekatnya masih terdapat
pluralisme hukum.
Selain hal tersebut di atas, pengaturan yang terdapat didalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pun hanya
mengatur mengenai perjanjian perkawinan dalam Bab V dan tidak
memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan perjanjian
perkawinan itu sendiri. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengatur mengenai perjanjian perkawinan hanya dalam satu
pasal, yaitu Pasal 29 yang menentukan sebagai berikut ini :
36 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 7.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut;
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan;
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan;
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat
diubah, kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan
mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.37
Didalam ketentuan pasal tersebut di atas, tidak ditentukan
perjanjian tersebut mengenai apa, umpamanya mengenai harta benda.
Karena tidak ada pembatasan itu, maka dapat disimpulkan bahwa
perjanjian tersebut luas sekali, dapat mengenai berbagai hal.
Memperhatikan kekaburan terhadap gambaran yang sebenarnya dimaksud
dalam ketentuan Pasal 29 itu sendiri.38 Dalam rangka mencari penjelasan
Pasal 29 tersebut hanya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak.39
Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka
dalam hal penggunaan sumber hukum yang diterapkan sebagai acuan
dalam rangka pembuatan perjanjian perkawinan, menurut hemat Penulis
khususnya dalam kasus pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat
antara Djaya dan Lianna Setiawan dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan
lama yang tercantum didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
sepanjang tidak ada pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
37 Indonesia, op. cit., ps. 29.
38
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, (Medan: Zahir Trading Co, 1975),
hlm. 83.
39
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1987), hlm.
32.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
2.4 Saat Pembuatan Perjanjian Perkawinan
Berdasarkan salah satu unsur yang terkandung didalam
ketentuan Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka
perjanjian perkawinan dibuat oleh calon pasangan suami-istri pada saat
sebelum dilangsungkannya perkawinan. 40 Sedangkan pengaturan yang
tercantum didalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menentukan bahwa perjanjian perkawinan dibuat pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan oleh calon pasangan suami-istri.41
Ketentuan perundang-undangan memang tidak menentukan secara tegas
mengenai jangka waktu antara pembuatan perjanjian perkawinan dengan
saat dilangsungkannya perkawinan.
Sehubungan dengan hal ini, perjanjian perkawinan antara Djaya
dan Lianna Setiawan dilakukan pembuatannya pada tanggal 6 Maret 2002
saat sebelum mereka melangsungkan perkawinannya dihadapan pemuka
agama Kristen di Jakarta pada tanggal 9 Maret 2002. Dengan kata lain,
perjanjian perkawinan mereka tersebut telah sesuai atau tidak bertentangan
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, maka perjanjian perkawinan tersebut dapat
diberlakukan diantara mereka sejak saat perkawinan berlangsung.
2.5 Bentuk Perjanjian Perkawinan
Dewasa ini, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi serta semakin meningkatnya tuntutan akan kebutuhan
masyarakat terkait suatu jaminan kepastian hukum dan perlindungan
hukum dalam setiap perbuatan hukum yang dilakukan. Adapun
pemenuhan akan kebutuhan alat bukti tertulis yang paling kuat dan penuh
dalam menjamin kepastian dan perlindungan hukum melalui pembuatan
40 Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit.
41
Indonesia, loc. cit.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
akta otentik. Ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
memberikan suatu pengertian dari akta otentik, yaitu “suatu akta yang
didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di
mana akta dibuatnya.” 42 Selain itu ada pula pengertian mengenai akta
otentik juga diatur didalam ketentuan Pasal 1 Angka (7) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bahwa “akta notaris adalah
akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan
tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”43
Ketentuan Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
secara tegas menetapkan bahwa setiap perjanjian perkawinan harus dibuat
dengan akta notaris atas ancaman kebatalan. 44 Ketentuan tersebut
dimaksudkan supaya perjanjian perkawinan mempunyai kekuatan
pembuktian yang kuat dan agar terdapat suatu kepastian hukum tentang
hak dan kewajiban suami-istri yang bersangkutan atas harta benda mereka,
mengingat bahwa perjanjian perkawinan mempunyai konsekuensi yang
luas terhadap perkawinan mereka.
Dalam hal ini, penulis sependapat dengan Nurnazly Soetarno,
S.H. yang berpendapat bahwa sebaiknya perjanjian perkawinan dibuat
dalam bentuk akta otentik untuk lebih menjamin kepastian hukum dan agar
pihak ketiga mengetahui tentang adanya perjanjian perkawinan tersebut.
Kalau perjanjian perkawinan dibuat dengan akta di bawah tangan, maka
kekuatan mengikatnya masih diragukan, artinya masih bisa dibantah.
Kekuatan pembuktian dari akta di bawah tangan tergantung pada
pengakuan para pihak yang turut menandatangani akta tersebut. Oleh
karena itu, kekuatan pembuktian akta di bawah tangan itu tidak kuat sebab
dibutuhkan adanya itikad baik dari para pihak. Pengaturan mengenai
42 Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., ps. 1868.
43 Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 30 Tahun 2004, LN No. 117
Tahun 2004, TLN No. 4432, ps. 1 angka (7).
44
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dapat ditemukan dalam
ketentuan Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menjelaskan bahwa:
suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap
siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut
undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap
orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan
orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang
sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah
ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu.45
Oleh karena itu, sebaiknya perjanjian perkawinan tersebut dibuat dalam
bentuk akta otentik.46 Suatu akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris
dapat memuat :
a. Kehendak para pihak;
b. Kesepakatan para pihak;
c. Perbuatan hukum penyimpangan dari harta bersama perkawinan;
d. Ketetapan hak dan kewajiban para pihak; dan
e. Kepastian bahwa apa yang diperjanjikan diantara para pihak dengan
yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan mengenai
perjanjian perkawinan telah sesuai sebagaimana seharusnya.
Oleh sebab itu, dalam proses perbuatan hukum pembuatan perjanjian
perkawinan hendaknya dilakukan dihadapan seorang notaris. Hal ini
dikarenakan bahwa seorang notaris dapat berperan serta dalam membantu
terciptanya suatu kondisi yang seimbang bagi calon suami maupun calon
istri yang menghadap kepadanya sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam
45
Ibid., ps. 1875.
46
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, op. cit., hlm.73.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peranan seorang notaris
dapat disimpulkan dari kewenangan dan kewajibannya, sebagaimana yang
diatur dalam ketentuan Pasal 15 dan 16 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Ketentuan Pasal 15 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan
bahwa:
notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang.47
Sedangkan ketentuan Pasal 16 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menetapkan bahwa “dalam
menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban bertindak jujur, saksama,
mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait
dalam perbuatan hukum.”48 Dengan demikian, notaris itu bersikap netral
karena ketidakberpihakannya terhadap salah satu pihak yang menghadap
kepadanya, sehingga seorang notaris dapat diupayakan keterlibatannya
untuk membuat akta perjanjian perkawinan dan berperan melindungi
kepentingan para pihak serta mencegah terjadinya sengketa dikemudian
hari diantara para pihak tersebut. Akan tetapi dari seluruh alasan yang
disebutkan di atas masih terdapat suatu arti penting untuk dibuatnya
perjanjian perkawinan dalam bentuk akta otentik dihadapan seorang
notaris, yaitu terjaminnya kepastian hukum bagi para penghadap yang
47 Indonesia, op. cit., ps. 15.
48
Ibid., ps. 16 ayat (1a).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
bersangkutan. Berdasarkan hal itu, maka sudah seyogianyalah diciptakan
suatu kepastian hukum dalam proses pembuatan perjanjian perkawinan
dengan maksud supaya hak dan kewajiban masing-masing pihak, yang
mana dalam hal ini kedua calon mempelai menjadi jelas dan terjamin oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa kedua pihak, yakni calon
suami dan calon istri atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang kemudian disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan.49 Ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan memang tidak mensyaratkan secara tegas seperti
halnya yang tercantum didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang mana suatu bentuk hukum tertentu sebagai syarat sahnya suatu
perjanjian perkawinan.
Satu-satunya persyaratan mengenai bentuk hukum suatu
perjanjian perkawinan yang terkandung didalam ketentuan Pasal 29
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah bahwa
perjanjian perkawinan harus dibuat secara tertulis.50 Berdasarkan hal itu,
para pihak dalam hal ini adalah calon suami dan calon istri dapat
meletakkan perjanjian perkawinan mereka, baik dalam bentuk akta di
bawah tangan maupun dalam bentuk akta otentik. Dalam hal ini, apabila
suatu perjanjian perkawinan dapat dibuat dalam bentuk akta di bawah
tangan, maka hal itu berarti bahwa para pihak dapat membuatnya sendiri
tanpa memerlukan bantuan dari pihak manapun, asalkan kemudian
perjanjian perkawinan tersebut disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan mereka.
Dengan demikian, bentuk perjanjian perkawinan yang diatur
dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
49 Indonesia, loc. cit.
50
Ibid.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Perkawinan lebih sederhana daripada ketentuan dalam Pasal 147 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian
perkawinan cukup dibuat secara tertulis yang kemudian disahkan oleh
Pejabat Pencatat Perkawinan 51 , sedangkan menurut Pasal 147 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata perjanjian perkawinan harus dibuat
dengan akta otentik.52
Persetujuan perjanjian perkawinan itu dibuat secara tertulis yang
kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Perjanjian
perkawinan dilekatkan pada akta nikah dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan. 53 “Atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan
harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung.
Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan; lain
saat untuk itu tak boleh ditetapkannya.” 54 Setelah dilakukan
pengesahan oleh pegawai pencatat, maka segala ketentuan yang diatur
didalam perjanjian tersebut menjadi sah berlaku terhadap calon suami-istri
yang bersangkutan dan juga terhadap pihak ketiga sepanjang isi ketentuan
yang menyangkut pihak ketiga. Perjanjian perkawinan mulai berlaku
terhadap pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di Kantor Panitera
Pengadilan Negeri di wilayah hukum, dimana perkawinan tersebut
dilangsungkan. Pendaftaran perjanjian perkawinan maupun perubahan-
perubahannya (apabila ada) merupakan pemenuhan terhadap asas
publisitas. Apabila pendaftaran perjanjian perkawinan di Kantor Panitera
Pengadilan Negeri belum dilakukan, maka pihak ketiga boleh menganggap
suami-istri yang bersangkutan melangsungkan perkawinan dalam
51
Indonesia, op. cit., ps. 29 ayat (1).
52 Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., ps. 147. 53
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal
Center Publishing, 2002), hlm. 30.
54
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
percampuran harta kekayaan.55 Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan, bilamana terdapat ketentuan-ketentuan
didalamnya yang bertentangan dengan kaedah hukum, agama, ataupun
kesusilaan yang berlaku.
Ketiadaan pengaturan hukum yang mensyaratkan secara tegas
penuangan perjanjian perkawinan dalam bentuk akta otentik yang dibuat
dihadapan seorang pejabat yang berwenang, yang mana dalam hal ini
adalah seorang notaris serta adanya kewajiban para pihak dalam perjanjian
perkawinan yang kemudian setelah pembuatannya diharuskan untuk
meminta pengesahannya kepada pegawai pencatat perkawinan itu
merupakan sesuatu hal yang dapat sangat menimbulkan suatu kesalahan
persepsi terhadap kewenangan yang dimiliki oleh pegawai pencatat
perkawinan. Hal ini dikarenakan bahwa seorang pegawai pencatat
perkawinan itu pada dasarnya memiliki tugas untuk melakukan pencatatan
saja terhadap peristiwa penting yang dialami seseorang dalam register
pencatatan sipil. Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang
dimaksud dengan “peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh
seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian,
pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama,
dan perubahan status kewarganegaraan.” 56 Dalam hal ini, kesalahan
persepsi yang dapat timbul adalah bahwa tidak semua jenis perjanjian
perkawinan perlu dilakukan pengesahan, hanya perjanjian perkawinan
dalam bentuk akta di bawah tangan saja yang memerlukan pengesahan.
Berdasarkan hal itu, maka pegawai pencatat perkawinan tidak memiliki
kapasitas untuk melakukan pengesahan suatu perjanjian perkawinan yang
telah dibuat dalam bentuk akta otentik oleh notaris, melainkan hanya
bertugas untuk melakukan pencatatannya saja. Hal ini erat kaitannya
55
R. Subekti, op. cit., hlm. 38.
56
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, UU No. 23 Tahun 2006, LN
No. 124 Tahun 2006, TLN No. 4674, ps. 1 angka (17).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
dengan kredibilitas seorang notaris dalam menjalankan jabatannya serta
dikarenakan suatu akta otentik yang dihasilkan oleh seorang notaris
merupakan suatu akta yang keabsahan dan kekuatan pembuktiannya tidak
perlu diragukan lagi, sehingga tidak diperlukan pengesahan kembali oleh
pegawai pencatat perkawinan.
Demikian pula halnya yang terjadi pada perjanjian perkawinan
diantara Djaya dan Lianna Setiawan, yang mana dalam kasus ini mereka
tunduk terhadap pengaturan didalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai kewajiban untuk meminta
pengesahan kepada pegawai pencatat perkawinan. Pengesahan perjanjian
perkawinan mereka dilakukan pada saat bersamaan dengan pencatatan
perkawinannya, meskipun pada kenyataannya hal tersebut tidak diperlukan
dikarenakan bahwa perjanjian perkawinan mereka telah dibuat dalam
bentuk akta otentik dihadapan Tuan Slamet Suryono Hadi S., Sarjana
Hukum, Notaris di Jakarta.
2.6 Pemberlakuan Perjanjian Perkawinan
Unsur berlakunya perjanjian perkawinan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 147 yang secara garis besar
menentukan bahwa perjanjian perkawinan mulai berlaku semenjak saat
perkawinan dilangsungkan, lain saat itu tidak boleh ditetapkan.57 Pasal 152
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:
ketentuan tercantum dalam perjanjian perkawinan, yang
mengandung penyimpangan dari persatuan menurut undang-
undang seluruhnya atau untuk sebagian, tak akan berlaku untuk
pihak ketiga, sebelum hari ketentuan-ketentuan itu dibukukan
dalam suatu register umum, yang harus diselenggarakan untuk itu
di kepaniteraan pada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah
hukumnya perkawinan itu telah dilangsungkan, atau, jika
57 Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
perkawinan berlangsung di luar negeri, di kepaniteraan dimana akta
perkawinan dibukukannya.58
Sedangkan pengaturan didalam Pasal 29 Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa
perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak saat perkawinan
dilangsungkan.59 Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menentukan bahwa berlakunya perjanjian perkawinan
terhadap pihak ketiga, sejak saat perkawinan tersebut dilangsungkan, sama
halnya seperti berlakunya perjanjian perkawinan terhadap suami-istri
tersebut.60
Ketiadaan ketentuan lainnya mengenai saat berlakunya
perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan haruslah ditafsirkan bahwa undang-undang tersebut
tidak menghendaki dipilihnya saat lain daripada yang telah ditetapkan
secara tegas didalam salah satu pasalnya tersebut. Perjanjian perkawinan
tersebut berlaku bagi suami-istri yang bersangkutan maupun terhadap
pihak ketiga. Ketentuan-ketentuan hukum tersebut di atas, baik yang
ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan suatu
ketentuan hukum yang bersifat memaksa, sehingga tidak boleh
dikesampingkan. Perjanjian perkawinan wajib didaftarkan supaya umum
dapat mengetahuinya karena daftar tersebut dapat dilihat oleh siapapun.
Hal ini juga sangat berguna bagi kepentingan pihak ketiga untuk
mengetahui akibat-akibat yang mungkin dihadapinya dalam hal pihak
ketiga tersebut hendak mengadakan perjanjian utang-piutang dengan
suami-istri yang bersangkutan, khususnya terkait dengan pelaksanaan
eksekusi atau sita jaminan.
58
Ibid., ps. 152.
59
Indonesia, op. cit., ps. 29 ayat (3).
60
Ibid., ps. 29 ayat (1).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
2.7 Isi Perjanjian Perkawinan
Berdasarkan ketentuan Hukum Perdata, setiap calon suami
maupun calon istri mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri
akibat-akibat dari perkawinannya, khususnya mengenai harta benda
mereka. Setiap calon suami maupun calon istri dapat memilih pengaturan
harta benda mereka, seperti terjadinya percampuran seluruh harta benda
mereka menjadi satu kesatuan ataupun hanya bercampur sebagian saja dan
sebagian lagi terpisah ataupun sama sekali tidak ada percampuran harta
benda, sehingga masing-masing calon mempelai menguasai sendiri
penguasaan harta bendanya.
Hukum perkawinan meliputi pula hal-hal yang berkaitan dengan
harta kekayaan perkawinan. Dalam hal hukum harta benda perkawinan,
pada prinsipnya para pihak diberikan peluang untuk menentukan hak dan
kewajiban mereka, namun hal tersebut dalam batas-batas yang
diperbolehkan atau ditentukan oleh undang-undang. Berikut ini merupakan
pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang mengenai
hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian perkawinan, yakni sebagai
berikut :61
a. Dilarang menentukan isi perjanjian perkawinan yang bertentangan
dengan ketertiban umum (Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata);
b. Dilarang mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya si istri
melepaskan hak untuk menuntut perpisahan meja dan tempat tidur,
menuntut perceraian, ataupun menuntut pemisahan harta kekayaan;
c. Dilarang mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya mengurangi
kekuasaan suami atau istri (Pasal 140 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata);
d. Dilarang mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya menyimpang
dari ketentuan-ketentuan mengenai kekuasaan orang tua, misalnya
61 Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
didalam perjanjian perkawinan ditentukan bahwa istri yang
menjalankan kekuasaan orang tua, maka perjanjian perkawinan
demikian tidak diizinkan (Pasal 140 Ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata);
e. Dilarang mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya mengurangi
hak suami sebagai kepala rumah tangga (Pasal 140 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata).
Terhadap larangan tersebut, undang-undang menentukan pengecualian,
yakni antara lain :
1. Istri berhak mengadakan perjanjian perkawinan yang menjamin
atau memberi pada istri kewenangan untuk mengurus harta baik
benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang menjadi
miliknya dan hak mengurus segala penghasilan yang diperolehnya.
Dalam hal ini, hak untuk mengurus tidak termasuk hak untuk
memindahtangankan, untuk hal itu istri harus mendapatkan izin
terlebih dahulu dari suaminya (Pasal 140 Ayat (2) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata);
2. Istri dapat memperjanjikan bahwa segala benda bergerak atau efek
atas namanya yang dibawa ke dalam perkawinan tidak dijual atau
dibebani tanpa persetujuannya (Pasal 140 Ayat (3) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata).
f. Dilarang mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya bertentangan
dengan ketentuan yang diadakan oleh undang-undang untuk
melindungi hak suami atau istri yang masih hidup, misalnya hak untuk
menjadi wali dalam hal salah seorang meninggal dunia terlebih dahulu,
maka perjanjian perkawinan demikian tidak boleh diperjanjikan karena
bertentangan dengan ketentuan undang-undang tersebut;
g. Dilarang untuk mengadakan perjanjian perkawinan yang bertujuan
untuk melepaskan hak seseorang dari salah seorang dari mereka itu
atas harta peninggalan anak-anak keturunan mereka (Pasal 141 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata);
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
h. Dilarang untuk mengadakan perjanjian perkawinan yang tujuannya
untuk mengatur harta peninggalan keturunan mereka. Pasal 141 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa dengan
mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami-istri tidak
diperbolehkan melepaskan hak-hak yang diberikan oleh undang-
undang kepada mereka atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka
dalam garis lurus kebawah, pun tidak boleh mengatur harta
peninggalan itu;
i. Dilarang mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya bahwa salah
seorang diantara mereka akan memikul beban lebih berat mengenai
kewajiban untuk membayar pelunasan utang mereka. Pasal 142 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa tak bolehlah
mereka memperjanjikan bahwa sesuatu pihak harus membayar
sebagian utang yang lebih besar daripada bagiannya dalam laba
persatuan;
j. Dilarang untuk mengadakan perjanjian perkawinan yang bertujuan
untuk mengatur harta kekayaan menurut ketentuan perundang-
undangan negara lain, menurut kekuasaan atau undang-undang yang
berlaku sebelum berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal 143 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa
pun tidak bolehlah mereka dengan kata-kata sepintas lalu
memperjanjikan bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh
undang-undang luar negeri, atau oleh beberapa adat kebiasaan, atau
oleh undang-undang, kitab undang-undang atau peraturan-peraturan
daerah, yang dahulu pernah berlaku di Indonesia atau dalam kerajaan
Belanda dan daerah-daerah jajahannya;
k. Dilarang untuk mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya
mengatur bahwa istri melepaskan haknya (untuk melepaskan hak) atas
harta kekayaan bersama (Pasal 132 – 153 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata).62
62 Ibid., ps. 132 – 153.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan hanya mencatat hal-hal yang tidak boleh
dilanggar dalam perjanjian perkawinan, yakni tidak boleh melanggar
batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. 63 Pengertian hukum dalam
ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan meliputi hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dengan
demikian, perjanjian perkawinan itu tidak boleh bertentangan dengan
hukum adat yang hidup dalam kesadaran masyarakat yang bersangkutan.
Selain itu, perjanjian perkawinan juga tidak boleh melanggar ketentuan
agamanya masing-masing calon suami-istri. Hal ini sesuai dengan falsafah
Pancasila, khususnya sila pertama, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkawinan
merupakan perjanjian dalam bidang hukum keluarga yang ketentuan-
ketentuannya cenderung bersifat memaksa, sehingga tidak dapat
dikesampingkan secara bebas oleh para pihak. Hal ini dikarenakan bahwa
pada asasnya suatu perkawinan harus berlangsung kekal, sehingga
ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perkawinan dimaksudkan
untuk mendukung prinsip kekal abadinya perkawinan tersebut, yang mana
hal tersebut diwujudkan dalam sifat memaksa pengaturan ketentuan-
ketentuan perkawinan.
Para pihak tidak dapat menyimpang dari ketentuan yang
mengatur mengenai perkawinan, sehingga mereka harus tunduk pada
ketentuan undang-undang dan ketentuan perkawinan bersifat memaksa.
Perkawinan mengandung unsur ketertiban umum. Oleh karenanya, para
pihak tidak dapat secara bebas mengatur hak dan kewajiban mereka demi
mencegah dampak pada timbulnya kesewenang-wenangan dan
terabaikannya hak-hak asasi manusia.
Demi mengantisipasi permasalahan yang mungkin akan timbul
akibat berakhirnya suatu perkawinan, maka undang-undang
63 Indonesia, op. cit., ps. 29 ayat (2).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
memperkenankan calon suami dan calon istri untuk mengadakan suatu
perjanjian perkawinan, yang sebaiknya hanya terkait dengan pengaturan
terhadap harta benda perkawinan saja. Masing-masing pihak yang terkait
dalam perjanjian perkawinan mempunyai hak dan kewajiban yang diatur
dan dilindungi oleh hukum. Dalam hal terdapat salah satu pihak yang tidak
memenuhi kewajibannya ataupun adanya pihak lain yang merasa
kepentingannya dirugikan, maka pihak tersebut diperkenankan untuk
menuntut haknya itu berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam perjanjian
tersebut.
Apabila ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dihubungkan dengan ketentuan dalam
Pasal 35 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang menentukan harta bawaan dari masing-masing suami
dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain, dapatlah disimpulkan bahwa perjanjian
perkawinan itu adalah perjanjian tentang harta benda perkawinan.64
Terdapat berbagai pendapat dalam ilmu hukum terkait isi yang
dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan antara lain sebagai
berikut ini :
a. Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa perjanjian perkawinan dapat
memuat apa saja yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suami-
istri maupun mengenai hal-hal yang berkaitan dengan harta benda
perkawinan. Pendapat ini didasarkan pada pola pengaturan perjanjian
perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dimana perjanjian perkawinan diatur didalam Bab V Pasal
29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
mendahului pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami-istri yang
diatur didalam Bab VI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
64
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, op. cit., hlm. 77.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Perkawinan dan pengaturan mengenai harta benda perkawinan yang
diatur didalam Bab VII Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
b. Prof. R. Sardjono, S.H. berpendapat bahwa sepanjang tidak diatur
didalam peraturan perundang-undangan, dan tidak dapat ditafsirkan
lain, maka lebih baik ditafsirkan bahwa perjanjian perkawinan
sebaiknya hanya meliputi hal-hal yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban dibidang hukum kekayaan. Pendapat ini didasarkan pada
sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan apa yang
diatur didalam kodifikasi tersebut, dengan berpegang pada Pasal 139
jo. Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, keleluasaan
suami-istri didalam menentukan hak dan kewajiban mereka
dikhawatirkan akan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, dan
dikhawatirkan dapat merupakan peluang bagi suami-istri untuk
menentukan hak dan kewajiban secara leluasa atau bebas, sedangkan
prinsip dibidang hukum keluarga asas kebebasan berkontrak tidak
dapat diterapkan. Hak dan kewajiban suami-istri dikhawatirkan terlalu
longgar untuk dapat diperjanjikan didalam perjanjian perkawinan.
c. Nurnazly Soetarno, S.H. berpendapat bahwa perjanjian perkawinan
hanya dapat memperjanjikan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban dibidang hukum kekayaan, dan hal itu hanya menyangkut
mengenai harta yang benar-benar merupakan harta pribadi suami-istri
yang bersangkutan, yang dibawa ke dalam perkawinan. Mengenai
harta bersama undang-undang tidak menentukan secara tegas bahwa
hal itu dapat diperjanjikan didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, maka menurutnya hal itu juga tidak dapat
diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan. Demikian juga harta yang
bukan merupakan harta pribadi suami-istri yang dibawa masuk ke
dalam perkawinan, tidak dapat diperjanjikan, karena harta itu dapat
merupakan harta pusaka yang merupakan harta kekayaan milik clan-
nya.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Ketentuan Pasal 1 perjanjian perkawinan antara Djaya dan
Lianna Setiawan menunjukkan bahwa para pihak menghendaki supaya
harta sepanjang perkawinan mereka terpisah sama sekali. Para pihak
tersebut di atas pada ketentuan Pasal 1 perjanjian perkawinan telah secara
tegas menyatakan bahwa diantara kedua belah pihak tidak akan terjadi
percampuran harta benda, baik percampuran untung dan rugi maupun
percampuran hasil dan pendapatan. Penegasan tersebut harus disebutkan
dalam perjanjian perkawinan yang dimaksud, sebagaimana ditentukan
dalam ketentuan Pasal 144 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dengan adanya perjanjian perkawinan tersebut, maka masing-
masing pihak baik suami maupun istri tetap menjadi pemilik atas barang-
barang yang mereka bawa masuk ke dalam perkawinan dan di samping itu
karena setiap bentuk persatuan telah mereka kecualikan, maka hasil yang
diperoleh mereka masing-masing sepanjang perkawinan, baik yang berupa
hasil usaha maupun hasil yang keluar dari harta milik pribadi mereka, akan
tetap menjadi milik pribadi dari masing-masing suami dan istri yang
bersangkutan.65 Berdasarkan hal itu, maka para pihak dalam hal ini tunduk
terhadap ketentuan lama pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2.8 Analisa Penetapan Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG.
Dalam rangka penelitian mengenai pembatalan akta perjanjian
perkawinan setelah perkawinan berlangsung ini, penulis akan mengangkat
dan mengkaji suatu keputusan hakim sebagai studi kasus berdasarkan
Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Tangerang dengan
Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG., pada hari Rabu tanggal 21 Juli 2010
yang ditetapkan oleh I Made Supartha, S.H., selaku Hakim Tunggal yang
memeriksa atau menyidangkan permohonan pembatalan tersebut di
Pengadilan Negeri Tangerang dengan dibantu oleh Antonius Suanie, S.H.,
65
J. Satrio, op. cit., hlm. 164.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
M.H., selaku Panitera Pengganti. Berikut ini akan disampaikan uraian
kasus dan analisa hukum dari Penetapan tersebut.
2.8.1 Kasus Posisi
Pada tanggal 8 juli 2010, para pemohon melalui kedua
orang kuasa hukumnya yang masing-masing bernama Dadi
Waluyo, Sarjana Hukum dan Wahyu Baskoro, Sarjana Hukum
yang berkantor di Perumahan Telaga Bestari Blok AX/21,
Wanakerta, Kecamatan Sindang Jaya, Tangerang, sebagaimana
ternyata didalam Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 Juli 2010
mengajukan permohonan penetapan kepada Ketua Pengadilan
Negeri Tangerang. Para pemohon tersebut terdiri dari :
1. Nama : Djaya
Pekerjaan : wiraswasta
Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 2 Januari 1968
Agama : Katolik
2. Nama : Lianna Setiawan
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Tempat/tanggal : Jakarta, 3 Desember 1977
Agama : Kristen
Keduanya beralamat di Jalan Kelapa Sawit XV BG. 14/9, Rukun
Tetangga 008, Rukun Warga 013, Kelurahan Pakulonan Barat,
Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang.
Djaya dan Lianna Setiawan melalui kedua orang
kuasa hukumnya tersebut di atas mengajukan permohonan
pembatalan perjanjian perkawinan yang berlaku diantara
mereka, sebagaimana ternyata didalam surat permohonan yang
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tangerang
dengan nomor register : 277/PDT.P/2010/PN.TNG.
Para pemohon didalam surat permohonannya
mengemukakan bahwa pada tanggal 6 Maret 2002 kedua calon
mempelai, yaitu Djaya dan Lianna Setiawan telah bersepakat
untuk mengadakan pengaturan tersendiri terhadap harta benda
perkawinan, yakni dengan cara membuat suatu perjanjian
perkawinan. Dalam hal ini mereka datang menghadap kepada
salah seorang Notaris di Tangerang yang bernama Slamet
Suryono Hadi S., Sarjana Hukum guna penyusunan kehendak
mereka tersebut dalam bentuk akta otentik dengan judul Akta
Perjanjian Pernikahan Nomor 9. Setelah itu pada tanggal 9
Maret 2002 mereka telah melangsungkan perkawinan dihadapan
pemuka agama Kristen yang bernama Jonathan Subianto di
Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat,
Samanhudi, Jakarta. Kemudian pada tanggal 11 Maret 2002
mereka mencatatkan perkawinan tersebut di Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta,
sebagaimana ternyata dalam Kutipan Akta Perkawinan Nomor :
81/I/PP/2002.
Selama 6 (enam) tahun perkawinan atau hingga tahun
2008 mereka telah dikarunia 4 (empat) orang anak, yakni 3 (tiga
orang) anak laki-laki dan 1 (satu) orang anak perempuan yang
masing-masing bernama :
1. Haxeld Divant Djaya, laki-laki, lahir di Jakarta, pada tanggal
26 Oktober 2003, sebagaimana ternyata didalam Kutipan
Akta Kelahiran Nomor : 1177/U/JB/2003, tanggal 12
November 2003;
2. Andrew Btrand Djaya, laki-laki, lahir di Jakarta, pada
tanggal 6 Mei 2005, sebagaimana ternyata didalam Kutipan
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Akta Kelahiran Nomor : 670/U/JB/2005, tanggal 20 Mei
2005;
3. Vegand Lfrant Djaya, laki-laki, lahir di Jakarta, pada tanggal
8 Maret 2007, sebagaimana ternyata didalam Kutipan Akta
Kelahiran Nomor : 530/U/JB/2007, tanggal 23 Maret 2007;
4. Evelyn Audrey Djaya, perempuan, lahir di Jakarta, pada
tanggal 11 Agustus 2008, sebagaimana ternyata didalam
Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 19172/KLU/JP/2008,
tanggal 15 Agustus 2008.
Perkawinan para pemohon yang bersangkutan sudah
berlangsung selama hampir 8 (delapan) tahun terhitung sejak
tahun 2002 sampai dengan tahun 2010, yaitu saat permohonan
penetapan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
Tangerang. Hubungan perkawinan dalam membina rumah
tangga para pemohon tersebut cukup harmonis, rukun, dan
bahagia karena mereka pada dasarnya saling mencintai dan
menyayangi serta mempunyai pengertian yang tinggi satu sama
lain.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para pemohon
atas kesepakatan bersama dengan dilandasi itikad baik dan demi
kelangsungan perkawinan keduanya serta kehidupan anak-anak
dimasa mendatang bermaksud mengajukan pembatalan Akta
Perjanjian Pernikahan Nomor 9 tertanggal 6 Maret 2002,
sebagaimana tersebut di atas. Dalam rangka pengajuan
permohonan pembatalan tersebut para pemohon yang diwakili
kedua orang kuasa hukumnya mempergunakan dasar hukum
dari ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Berikut ini hal-hal yang dimohonkan oleh para
pemohon kepada Ketua/Hakim Pengadilan Negeri Tangerang :
1. Mengabulkan permohonan para pemohon tersebut;
2. Menyatakan Akta Perjanjian Pernikahan yang dibuat di
Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S.,
Sarjana Hukum, sebagaimana tertuang dalam Akta
Perjanjian Pernikahan Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002
tersebut, batal demi hukum;
3. Memerintahkan seperlunya kepada Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta dan
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Tangerang / Kota Tangerang Selatan, untuk mencatat
dan/atau memberi catatan pinggir tentang Pembatalan Akta
Perjanjian Pernikahan para pemohon tersebut, pada Kutipan
Akta Nomor : 81/I/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002; dan
4. Biaya-biaya menurut hukum.
2.8.2 Analisa Mengenai Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan
Setelah Perkawinan Berlangsung
Pada dasarnya perjanjian perkawinan tidak dapat
diubah selama perkawinan berlangsung, apabila perubahan
tersebut dilakukan secara sepihak, baik dari pihak suami
maupun dari pihak istri saja. Dengan kata lain, perubahan secara
unilateral tidak diperbolehkan. Akan tetapi, dimungkinkan
terjadinya perubahan secara bilateral. Dengan kata lain,
perjanjian perkawinan dapat dilakukan perubahan atas dasar
kehendak bersama dari kedua belah pihak, baik dari pihak suami
maupun dari pihak istri.
Ketentuan Pasal 148 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyatakan bahwa “segala perubahan dalam perjanjian,
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
yang sedianya pun boleh diadakan sebelum perkawinan, tak
dapat diselenggarakan dengan cara lain, melainkan dengan akta
dan dalam bentuk yang sama, seperti akta perjanjian itu dulu
pun dibuatnya.” 66 Selama daripada itu, tiada suatu perubahan
pun boleh berlaku, jika penyelenggaraannya tidak dihadiri dan
tidak disetujui oleh segala mereka, yang dulu telah menghadiri
dan menyetujui perjanjian. Selanjutnya ketentuan Pasal 149
Kitab Undang-Undang Perdata menentukan bahwa “setelah
perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara
bagaimanapun, tak boleh diubah.”67
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas merupakan
ketentuan hukum yang bersifat memaksa yang tidak boleh
dikesampingkan. Dalam hal suatu ketika perkawinan terputus
karena perceraian dan kemudian perkawinan tersebut disambung
kembali, maka bentuk harta perkawinan yang berlaku
sebelumnya harus tetap tidak berubah. Hal ini dimaksudkan
demi melindungi kepentingan pihak ketiga (kreditur) terkait
jaminan harta debitur atas piutang kreditur supaya pihak ketiga
tidak sewaktu-waktu dihadapkan kepada situasi yang berubah-
ubah dan dapat merugikan dirinya.
Ketentuan Pasal 29 Ayat (4) menyatakan bahwa
“selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat
diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk
mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.” 68
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya perjanjian perkawinan bersifat tetap sepanjang
perkawinan berlangsung. Akan tetapi, dapat dimungkinkan
66 Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., ps. 148. 67
Ibid., ps. 149.
68
Indonesia, op. cit., ps. 29 ayat (4).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
adanya penyimpangan dengan pembatasan-pembatasan atau
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Atas persetujuan dari kedua belah pihak; dan
b. Tidak merugikan pihak ketiga.
Persyaratan atau pembatasan pertama di atas
menegaskan bahwa perubahan perjanjian perkawinan tidak
boleh terjadi karena paksaan. Layaknya suatu perjanjian pada
umumnya harus dilandasi dengan sepakat yang bebas.
Pihak ketiga pada persyaratan atau pembatasan yang
kedua di atas adalah orang-orang yang memiliki kepentingan
dengan keadaan harta perkawinan suatu keluarga. Pihak ketiga
yang dimaksudkan adalah kreditur. Jaminan atas piutang-
piutang kreditur berhubungan erat dengan keadaan dan bentuk
harta perkawinan debiturnya. Pembentuk undang-undang
mencantumkan persyaratan atau pembatasan ini dengan maksud
mencegah terjadinya penyalahgunaan oleh suami-istri secara
sengaja guna menghindari diri dari tanggung jawab mereka
terhadap utang-utangnya kepada pihak ketiga.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak menetapkan seberapa besar perubahan
tersebut dapat diadakan. Oleh karena Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan pembatasan
tersebut, maka para pihak dapat mengadakan perubahan yang
seluas-luasnya, seperti memisahkan sama sekali harta
perkawinan (tidak adanya harta bersama) ataupun adanya
percampuran harta secara bulat dalam perkawinan (tidak adanya
harta pribadi).
Dalam kasus ini, I Made Supartha, Sarjana Hukum,
selaku Hakim yang bertindak untuk memeriksa atau
menyidangkan permohonan dari para pemohon, yaitu Djaya dan
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Lianna Setiawan, berpendapat dalam salah satu
pertimbangannya bahwa permohonan para pemohon tersebut di
atas cukup beralasan dan tidak bertentangan dengan undang-
undang, sehingga permohonan tersebut dapat dikabulkan untuk
seluruhnya. Hakim tersebut menerapkan ketentuan Pasal 1338
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai landasan hukum
dalam pertimbangannya tersebut.
Ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum
perjanjian yang dinamakan dengan sistem terbuka (open system)
yang mempunyai arti bahwa para pihak yang terlibat dalam
suatu perjanjian dapat dengan bebas menentukan hak dan
kewajibannya. Asas ini disebut juga dengan asas kebebasan
berkontrak, yaitu “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”69, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal
1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan
menekankan pada kata „semua‟, maka pasal tersebut seolah-olah
berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa
diperbolehkan membuat perjanjian yang berisi tentang apa saja
dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya
seperti suatu undang-undang. Dengan perkataan lain, dalam hal
perjanjian, masyarakat diperbolehkan membuat undang-undang
yang berlaku bagi para pihak yang membuatnya.70 Pasal-pasal
dari hukum perjanjian hanya berlaku apabila tidak diadakan
aturan-aturan sendiri dalam perjanjian yang dibuat. Asas
kebebasan berkontrak ini tidak boleh bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, hukum, dan agama.
69
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., ps. 1338 ayat (1).
70
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1998), hlm. 13.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Perkawinan dapat dikatakan merupakan suatu
perjanjian dalam arti yang luas karena untuk sahnya suatu
perkawinan diperlukan adanya syarat persesuaian kehendak,
sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 28 dan
Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perkawinan
merupakan suatu perjanjian dalam bidang hukum keluarga yang
mempunyai sifat dan ciri yang berbeda dengan perjanjian yang
diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Perkawinan merupakan ikatan dalam bidang hukum keluarga
yang mempunyai ciri tersendiri, yakni ketentuan-ketentuan yang
mengaturnya bersifat memaksa yang berarti bahwa akibat
yuridis dari perkawinan yang merupakan perjanjian itu terlepas
dari kewenangan para pihak. Perkawinan meskipun
mengandung unsur kesepakatan, akan tetapi berbeda dengan
perikatan yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berpegang pada prinsip kebebasan
berkontrak yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1338 Ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan demikian
hukum perkawinan pada prinsipnya tidak mengandung asas
kebebasan berkontrak, sehingga oleh karenanya para pihak tidak
boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata merupakan perikatan dalam bidang
hukum kekayaan yang tidak mengenal prinsip kekal abadinya
ikatan tersebut. Perikatan-perikatan yang dimaksud dalam Buku
III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada prinsipnya
hanya berlaku untuk sesaat, yang mana apabila masing-masing
pihak telah melaksanakan kewajiban dan memperoleh apa yang
menjadi haknya, maka perikatan tersebut akan berakhir. Selain
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
itu pula, ciri perikatan dibidang hukum kekayaan juga terdapat
keleluasaan yang diberikan kepada para pihak dalam perjanjian
didalam menentukan hak dan kewajiban mereka serta diberikan
kewenangan untuk menyimpang dari ketentuan yang diatur
didalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Perjanjian itu pada umumnya tidak dapat ditarik
kembali, kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau
berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan oleh undang-undang.
Adakalanya terdapat pula suatu perjanjian yang meskipun
dengan persetujuan bersama tidak boleh dicabut kembali,
misalnya suatu perjanjian perkawinan, sebagaimana ditafsirkan
berdasarkan ketentuan Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Penarikan kembali atau pengakhiran oleh salah satu
pihak hanya dapat dimungkinkan pada perjanjian-perjanjian,
yang mana hal itu diizinkan. Biasanya dalam perjanjian-
perjanjian yang kedua belah pihak terikat untuk suatu waktu
yang tidak tertentu, diperbolehkan pengakhiran oleh salah satu
pihak dengan tidak diwajibkan untuk menyebutkan suatu alasan
tertentu, misalnya dalam perjanjian kerja dan perjanjian
penyuruhan (pemberian kuasa). 71
Perkawinan merupakan suatu lembaga hukum yang
mempunyai sifat dan corak pengaturan tersendiri yang berbeda
dengan perjanjian dalam bidang hukum kekayaan. Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, maka landasan hukum yang mendasari
pertimbangan hakim didalam memeriksa dan menyidangkan
permohonan pembatalan akta perjanjian perkawinan dari para
pemohon itu tidak dapat diterapkan pada perkara ini.
Hakim didalam memutus suatu perkara berpegang
pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam
71 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 139.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
masyarakat. Tindakan hakim tersebut dilandasi atas dasar
ketentuan didalam Pasal 20 dan Pasal 22 Staatsblad 1847
Nomor 23 (Algemene Bepalingen van wetgeving voor
Indonesie). Pasal 20 Staatsblad 1847 Nomor 23 (Algemene
Bepalingen van wetgeving voor Indonesie) menyatakan bahwa
hakim harus memutus perkara berdasarkan undang-undang.
Pasal 22 Staatsblad 1847 Nomor 23 (Algemene Bepalingen van
wetgeving voor Indonesie) menyatakan bahwa hakim yang
menolak untuk mengadakan keputusan terhadap perkara, dengan
dalih undang-undang tidak mengaturnya, terdapat kegelapan
atau ketidaklengkapan dalam undang-undang, dapat dituntut
karena menolak mengadili perkara.
Undang-Undang itu tidak sempurna, ada kalanya
tidak lengkap ataupun tidak jelas. Meskipun demikian adanya,
undang-undang tetap harus dilaksanakan. Dengan demikian
hakim tidak dapat menangguhkan atau menolak menjatuhkan
putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap ataupun
tidak jelas.
Dalam hal undang-undang tidak lengkap ataupun
tidak jelas, maka hakim harus mencari atau menemukan
hukumnya (rechtsvinding). Interpretasi atau penafsiran
merupakan salah satu metode penemuan hukum untuk
mengetahui makna undang-undang. Interpretasi dilakukan
dalam hal peraturannya ada, tetapi tidak jelas dapat diterapkan
pada peristiwanya.
Berbeda halnya yang terjadi pada kasus pembatalan
akta perjanjian perkawinan yang dimohonkan oleh Djaya dan
Lianna Setiawan, dimana I Made Supartha, Sarjana Hukum,
selaku hakim harus memeriksa dan mengadili perkara ini yang
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
pada kenyataannya tidak ada peraturannya yang khusus
mengenai hal tersebut. Dalam hal ini, hakim menghadapi
kekosongan atau ketidaklengkapan peraturan perundang-
undangan yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak
boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih
tidak ada atau tidak lengkap hukumnya. Dengan demikian untuk
mengisi kekosongan tersebut hakim dapat menggunakan metode
berpikir analogi, metode penyempitan hukum, dan metode
argumentum a contrario.72
Pada kasus ini, metode yang sebaiknya diterapkan
oleh hakim adalah metode argumentum a contrario dengan titik
berat diletakkan pada ketidaksamaan peristiwa. Metode
argumentum a contrario digunakan apabila suatu peristiwa tidak
diatur secara khusus oleh undang-undang, akan tetapi kebalikan
daripada peristiwa tersebut diatur secara khusus.73 Dalam hal
ini, mengenai pembatalan suatu perjanjian perkawinan tidak
terdapat pengaturannya secara khusus, baik pada Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata maupun pada Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun pada kedua peraturan
perundang-undangan tersebut telah diatur secara khusus
mengenai perubahan suatu perjanjian perkawinan. Penggunaan
cara penafsiran ini didasarkan pada perlawanan pengertian
antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang
diatur dalam undang-undang.
Hakim didalam pertimbangannya cenderung
berdasarkan kepada ketentuan lama yang tercantum pada Pasal
149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan demikian
72
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 21.
73
Ibid., hlm. 27.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
melalui metode argumentum a contrario, hakim mengabulkan
permohonan pembatalan akta perjanjian perkawinan tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan pada
Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat
diberlakukan karena telah terdapat pengaturannya kembali
didalam Pasal 29 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu, apabila diterapkan
metode argumentum a contrario pada ketentuan Pasal 29 Ayat
(4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
maka suatu akta perjanjian perkawinan tidak dapat dibatalkan,
meskipun dengan kesepakatan para pihak.
2.8.3 Analisa Mengenai Akibat Hukum Pembatalan Akta
Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan Berlangsung
Pada kasus permohonan pembatalan Akta Perjanjian
Perkawinan antara Djaya dan Lianna Setiawan, hakim dalam hal
ini telah menetapkan beberapa hal sebagai berikut ini :
1. Mengabulkan permohonan para pemohon tersebut;
2. Menyatakan Akta Perjanjian Pernikahan yang dibuat di
Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S.,
Sarjana Hukum, sebagaimana tertuang dalam Akta
Perjanjian Pernikahan Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002
tersebut, batal demi hukum;
3. Memerintahkan seperlunya kepada Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta dan
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Tangerang, untuk mencatat dan/atau memberi catatan
pinggir tentang Pembatalan Akta Perjanjian Pernikahan para
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
pemohon tersebut, pada Kutipan Akta Nomor : 81/I/PP/2002
tanggal 11 Maret 2002;
4. Membebankan biaya perkara ini kepada para pemohon
sebesar Rp.141.000,- (seratus empat puluh satu ribu rupiah).
Batal demi hukum memiliki makna bahwa sesuatu
menjadi tidak berlaku ataupun tidak sah karena berdasarkan
hukum (atau dalam arti sempit berdasarkan peraturan
perundang-undangan). Dengan demikian, batal demi hukum
menunjukkan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu
tersebut terjadi seketika, spontan, otomatis, atau dengan
sendirinya, sepanjang persyaratan atau keadaan yang membuat
batal demi hukum itu terpenuhi. Sedangkan dapat dibatalkan
sangat berbeda maknanya dengan batal demi hukum. Dapat
dibatalkan menyiratkan makna perlunya suatu tindakan aktif
untuk membatalkan sesuatu atau batalnya sesuatu itu terjadi
tidak secara otomatis, tidak dengan sendirinya, tetapi harus
dimintakan agar sesuatu itu dibatalkan. Selain itu, dapat
dibatalkan juga berarti bahwa sesuatu yang menjadi pokok
persoalan tidak selalu harus dibatalkan, tetapi apabila
dikehendaki, maka sesuatu itu dapat dimintakan pembatalannya.
Dengan kata lain, apabila sesuatu hal dapat dibatalkan, maka
bisa terjadi dua kemungkinan, yakni :74
a. Sesuatu itu benar-benar batal karena dinyatakan
pembatalannya, atau
b. Sesuatu itu tidak jadi batal karena tidak dimintakan
pembatalan sehingga tidak ada pernyataan batal.
74
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian,
(Jakarta: National Legal Reform Program, 2010), hlm. 4 – 5.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Apabila pelanggaran suatu ketentuan dimaksudkan
untuk melindungi kepentingan umum, maka akibat pada
umumya adalah batal demi hukum atau batal absolut. Sedangkan
apabila pelanggaran suatu ketentuan dimaksudkan untuk
melindungi orang tertentu atau kelompok tertentu, maka
akibatnya adalah dapat dibatalkan atau batal relatif.75 Dengan
perkataan lain, kebatalan absolut berlaku terhadap para pihak
maupun pihak ketiga, sedangkan kebatalan relatif hanya berlaku
bagi orang tertentu saja.
Pada umumnya akibat hukum dari suatu kebatalan
adalah berlaku surut dan kembali pada keadaan semula (ex
tunc). Pada perbuatan hukum yang nonexistent tidak perlu
dimohonkan pembatalannya karena secara yuridis dogmatis
perbuatan tersebut tidak ada, sedangkan pada perbuatan hukum
yang cacat lainnya dapat dimohonkan dengan putusan atau
dengan penetapan pengadilan negeri. Apabila cacat pada
perbuatan hukum berakibat batal demi hukum, penetapannya
bersifat deklaratoir, sedangkan untuk perbuatan hukum yang
dapat dibatalkan sifat keputusannya adalah konstitutif.76
Putusan deklaratoir, yaitu putusan yang hanya
menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu keadaan yang
resmi menurut hukum. Putusan deklaratoir biasanya berbunyi
„menyatakan‟. Putusan konstitutif, yaitu suatu putusan yang
menciptakan atau menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda
dengan keadaan hukum sebelumnya. Putusan konstitutif selalu
berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan
keperdataan satu sama lain. Putusan konstitutif biasanya
75
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Dibidang Kenotariatan, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 382.
76
Ibid., hlm. 384.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
berbunyi „menetapkan‟. Keadaan hukum baru tersebut dimulai
sejak saat putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Hakim di dalam penetapannya tersebut di atas tidak
secara tegas menyatakan akibat-akibat hukum yang dapat
ditimbulkan dari akta perjanjian perkawinan yang dinyatakan
batal demi hukum tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas,
maka Penulis menyimpulkan bahwa akibat hukum dari akta
perjanjian perkawinan yang telah dinyatakan batal demi hukum
adalah mengenai perbuatan hukum perjanjian perkawinan
tersebut sejak terjadinya perbuatan hukum itu tidak mempunyai
akibat hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan
hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah
terjadi. Dengan perkataan lain bahwa dari semula dianggap tidak
pernah ada ataupun tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian
perkawinan tersebut.
Dengan adanya pernyataan hakim yang bersifat
deklaratoir tersebut, yaitu menyatakan Akta Perjanjian
Pernikahan Nomor 9 tanggal 6 Maret 2002 batal demi hukum,
maka menyiratkan bahwa perjanjian perkawinan tersebut
dianggap tidak pernah berlaku di antara para pemohon, sehingga
tidak mempunyai akibat hukum apapun terhadap para pemohon
maupun pihak ketiga. Penulis berpendapat dalam hal ini hakim
hendaknya memberikan suatu putusan yang bersifat konstitutif
karena jelas terlihat bahwa muncul suatu keadaan baru yang
tercipta setelah pembatalan tersebut dilakukan. Keadaan baru
tersebut akan berlaku terhadap para pemohon dan pihak ketiga.
Kondisi demikian ini akan menimbulkan suatu
konsekuensi hukum yang sangat erat kaitannya terhadap
pengaturan harta benda dalam perkawinan para pihak atau para
pemohon yang bersangkutan. Akibat hukum dari terciptanya
suatu keadaan yang baru itu berdasarkan ketentuan di dalam
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan akan menyebabkan harta benda yang
diperoleh selama perkawinan tersebut, yang mana sebelumnya
tidak terdapat suatu persatuan harta sama sekali akan kembali
memunculkan adanya harta bersama diantara suami-istri
tersebut, sedangkan mengenai harta bawaan akan tetap berada di
bawah penguasaan masing-masing pihak yang membawanya ke
dalam perkawinan tersebut. Mengenai harta bersama, suami-istri
dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan
mengenai harta bawaan masing-masing suami-istri, baik yang
diperoleh karena hibah maupun karena warisan tiap-tiap pihak
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum atas harta bendanya. Harta bersama meliputi :
a. Hasil dan pendapatan suami;
b. Hasil dan pendapatan istri;
c. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri,
meskipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta
bersama, asalkan kesemuanya itu diperoleh sepanjang
perkawinan; dan
d. Hasil yang keluar dari harta pribadi suami-istri sepanjang
perkawinan.
Harta bersama tidak membedakan dari mana atau dari siapa
harta benda tersebut berasal. Dengan demikian, pada prinsipnya
harta bersama itu diatur bersama dan dipergunakan bersama
serta dalam segala sesuatunya harus ada persetujuan bersama.
Di samping itu pembatalan akta perjanjian
perkawinan dapat pula menimbulkan akibat hukum terhadap
pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap adanya
perubahan pada pengaturan atas harta benda suami-istri yang
bersangkutan. Pihak ketiga yang dimaksud biasa disebut sebagai
kreditur. Dalam hal ini, oleh karena sebelum dilakukannya
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
pembatalan akta perjanjian perkawinan atau dengan perkataan
lain bahwa pada mulanya di dalam perkawinan antara Djaya dan
Lianna Setiawan terdapat suatu perjanjian pisah harta
seluruhnya, maka masing-masing suami-istri tetap bertanggung
jawab atas utang-utang yang dibuatnya dahulu kepada kreditur
sebelum dilakukan pembatalan perjanjian perkawinan. Dengan
demikian, masing-masing suami-istri tersebut akan menanggung
segala utang yang dibuatnya itu dengan harta pribadinya. Akan
tetapi apabila ternyata harta pribadi masing-masing suami-istri
tersebut tidak mencukupi pelunasan utang tersebut, maka
kreditur dapat meminta pelunasan atas piutangnya itu dari harta
bersama, meskipun pada asasnya harta bersama itu
diperuntukkan untuk melunasi utang bersama yang dibuat oleh
suami-istri.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berikut ini merupakan jawaban-jawaban yang dapat disimpulkan
oleh Penulis dari beberapa permasalahan dalam penelitian ini,
sebagaimana ternyata dari uraian – uraian yang telah disampaikan pada
bab-bab terdahulu dalam penulisan ilmiah ini. Menurut hemat Penulis
pertama bahwa berdasarkan penerapan metode argumentum a contrario
terhadap ketentuan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, maka suatu pembatalan akta perjanjian
perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung merupakan
suatu hal yang tidak dapat dilakukan dengan cara apapun juga, meskipun
dengan kesepakatan para pihak yang berssangkutan.
Kedua, penggunaan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan hakim dalam
mengabulkan permohonan pembatalan akta perjanjian perkawinan pada
kasus ini, menurut hemat Penulis tidaklah sesuai untuk diterapkan dalam
memeriksa dan menyidangkan kasus ini. Hal tersebut dikarenakan bahwa
perkawinan merupakan suatu perikatan yang bersifat kekal abadi dan tidak
mengenal adanya asas kebebasan berkontrak diantara para pihak.
Ketiga, menurut hemat penulis akibat-akibat hukum dari
pembatalan akta perjanjian perkawinan tersebut bagi pasangan suami-istri
yang bersangkutan setelah dikeluarkan penetapan dari Pengadilan Negeri
adalah akan terciptanya suatu persatuan harta bersama diantara suami-istri
tersebut, sedangkan harta bawaan akan tetap berada di bawah penguasaan
masing-masing pihak yang membawanya ke dalam perkawinan,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimulai sejak saat
dikabulkannya pembatalan akta perjanjian perkawinan mereka. Di
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
samping itu, ada pula akibat hukum terhadap pihak ketiga yang mungkin
dapat ditimbulkan dari adanya perubahan pada pengaturan atas harta benda
dalam perkawinan suami-istri tersebut, yaitu setiap pihak akan tetap
bertanggung jawab atas segala utang yang telah dibuatnya dahulu sebelum
dikabulkannya pembatalan akta perjanjian perkawinan mereka itu dengan
harta pribadinya dan apabila ternyata belum dapat mencukupi pelunasan
utang tersebut, maka kreditur berhak mengambilnya dari harta bersama
mereka.
3.2 Saran
Berikut ini merupakan beberapa saran dari Penulis berdasarkan
uraian-uraian tersebut di atas :
a. Disadari bahwa pada era modern seperti saat ini sudah banyak
dijumpai calon pasangan suami-istri yang cermat dalam hal melakukan
pengaturan terkait kedudukan harta benda dalam perkawinan mereka,
yang mana merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh di
dalam membina suatu rumah tangga. Pengaturan tersebut biasa disebut
dengan perjanjian perkawinan. Namun ternyata sangatlah disayangkan
bahwa pengaturan mengenai perjanjian perkawinan pada ketentuan
baru yang tercantum di dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dirasakan belum cukup memberikan
suatu kepastian hukum kepada masyarakat terkait penyimpangan
terhadap pengaturan harta benda perkawinan, khususnya mengenai
pembatalan perjanjian perkawinan. Selain itu pula, adanya ketentuan
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
juga dirasakan akan menimbulkan pluralisme hukum perkawinan di
Indonesia yang justru membuat adanya ketidakpastian hukum di
masyarakat. Oleh sebab itulah, Penulis berharap akan adanya suatu
Peraturan Pelaksana lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang memuat mengenai pengaturan
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
perjanjian perkawinan secara lebih lengkap, sehingga dengan tegas
dapat meniadakan pengaturan di dalam ketentuan-ketentuan lama
mengenai perkawinan demi terciptanya suatu kepastian hukum
perkawinan di Indonesia;
b. Penulis menyarankan kepada calon-calon pasangan suami-istri yang
hendak melakukan pembuatan perjanjian perkawinan agar lebih
memahami segala konsekuensi yang akan diterimanya setelah
perjanjian perkawinan perkawinan tersebut berlaku di antara mereka.
Hal ini merupakan suatu hal yang sungguh-sungguh dipertimbangkan
dengan sangat matang, supaya tidak terjadi penyesalan dikemudian
hari dengan melakukan pembatalan perjanjian perkawinan, mengingat
bahwa tidak adanya pengaturan secara tegas dan khusus mengenai
pembatalan tersebut; dan
c. Berkenaan dengan permohonan pembatalan perjanjian perkawinan
pada kasus tersebut di atas, Penulis berharap supaya hakim lebih
cermat dalam memberikan putusannya dengan dilandasi oleh
pertimbangan-pertimbangan yang tidak bertentangan dengan rasa
keadilan dan kepatutan hukum. Dalam hal ini Penulis berharap kepada
setiap hakim di dalam memberikan suatu putusan, meskipun ia terikat
dengan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 22 Staatsblad 1847 Nomor 23
(Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie), namun bukan
berarti bahwa ia memiliki kewajiban untuk mengabulkan setiap
perkara yang dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan diadili.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
A. Buku
Abdurrahman dan Riduan Syahrani. Masalah-Masalah Hukum Perkawinan
Di Indonesia. Bandung: Alumni, 1978.
Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Dibidang
Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.
Darmabrata, Wahyono. Hukum Perdata Asas-Asas Hukum Orang dan
Keluarga. Jakarta: Gitama Jaya, 2004.
Darmabrata, Wahyono. Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya
Perkawinan Hak dan Kewajiban Suami Isteri Harta Benda Perkawinan).
Jakarta: Rizkita, 2009.
Darmabrata, Wahyono. Hukum Perdata (Pembahasan Mengenai Asas-Asas
Hukum Perdata). Jakarta: Gitama Jaya, 2005.
Darmabrata, Wahyono. Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya.
Jakarta: Rizkita, 2008.
Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan
Keluarga Di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004.
Erawati, Elly dan Herlien Budiono. Penjelasan Hukum tentang Kebatalan
Perjanjian. Jakarta: National Legal Reform Program, 2010.
Hadikusuma, H. Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut
Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju,
2007.
Harahap, M. Yahya. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: Zahir, 1975.
Harahap, Yahya. Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Medan: Zahir Trading Co, 1975.
Malik, Rusdi. Memahami Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Universitas
Trisakti, 2009.
Mamudji, Sri. et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Maria. Kedudukan Suami Istri dalam Perkawinan Jujur Menurut Hukum Adat
Karo, Hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Medan: Universitas Sumatera Utara, 1994.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Asis Safioedin. Hukum Orang dan
Keluarga. Bandung: Alumni, 1985.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan
Tertentu. Cet. 9. Bandung: Sumur Bandung, 1991.
Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta:
Indonesia Legal Center Publishing, 2002.
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1987.
Sardjono. (Ed.). Perbandingan Hukum Perdata Masalah Perceraian.
Jakarta: Gitama Jaya, 2004.
Satrio, J. Hukum Harta Perkawinan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
Simanjuntak, P.N.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta:
Djambatan, 2005.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3. Jakarta: UI-Press,
1986.
Soerjopratiknyo, Hartono. Akibat Hukum dari Perkawinan Menurut Sistem
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, 1983.
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1998.
Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet.30. Jakarta: Intermasa, 2002.
Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press, 1974.
B. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Administrasi Kependudukan. UU No. 23 Tahun
2006. LN No. 124 Tahun 2006. TLN No. 4674.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Indonesia. Undang-Undang Jabatan Notaris. UU No. 30 Tahun 2004. LN
No. 117 Tahun 2004. TLN No. 4432.
Indonesia. Undang-Undang Perkawinan. UU No. 1 tahun 1974. LN No. 1
Tahun 1974. TLN No. 3019.
Indonesia. Peraturan Pemerintah Perkawinan. PP No. 9 Tahun 1975. LN No.
12 Tahun 1975. TLN No. 3050.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan
oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
x
LAMPIRAN
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
PENET AP AN
NOMOR 277/PDT.P/2010/-*N.TNG.
"DEMI KEADILAN 13ERDASARKAIN IaTUHANAN YANG MAHA ESA"
Pengadilan Negeri Tangerang yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara
perdata dalam tingkat pertama telah memberikan penetapan sebagai berikut dalam perkara
permohonan Bari :
1. Nama : DJAYA
Pekerjaan : Wiraswasta
Tempat/Tgl.Lahir : Jakarta, 02 Januari 1968
Agama : Katholik
2. Nama : LIANNA SETIAWAN
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tempat/Tgl.Lahir : Jakarta, 03 Desember 1977
A g a m a : Kristen
Keduanya beralamat di J1. Kelapa Sawit XV BG.14/9 Rt.008/013 Kelurahan Pakulonan
Barat, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang ;
Dalam hal ini diwakili oleh Kua.sanya DADI WALUYO, SH. dan WAHYU
BASKORO, SH., Para Advokat / Penasehat Hukum beralamat di Perumahan Telaga
Bestari Blok AX / 21 Wanakerta, Kecamatan Sindang Jaya, Tangerang, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tanggal 2 Juli 2010, selanjutnya disebut sebagai : - - - PARA PEMOHON;
Pengadilan Negeri tersebut ;
Telah membaca Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Tangerang Nomor :
277/PEN/PDT.P/2010/PN.TNG. tanggal 12 Juli 2010, tentang Penetapan Penunjukkan
Hakim Tunggal yang memeriksa/menyidangkan permohonan tersebut ;
Telah membaca Penetapan Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Nomor :
277/PEN/PDT.P/2010/PN.TNG. tanggal 14 Juli 2010, tentang Penetapan hadri sidang ;
Telah membaca surat permohonan Kuasa Para Pemohon ;
Telah memperhatikan surat-surat bukti ;
Telah mendengar keterangan Kuasa Para Pemohon dan saksi-saksi ;
TENTANG PERMOHONANNYA
Menimbang, bahwa Para Pemohon didalam surat permohonannya tertanggal
8 Juli 2010, yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tangerang pada tanggal 08
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
071
T Juli 2010 dibawah Register Nomor : 277/PDT.P/2010/P1•1.TING., telah mengermikakan har-
hal sebagai berikut :
I. Bahwa Para Pemohon telah melangsungkan perkawinan dihadapan pernuka Agama
Kristen bernama Jonatan Subianto pada tanggal 9 Maret 2002 di Gereja Kristen
Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat, Samanhudi — Jakarta ;
2. Bahwa perkawinan Para Pemohon tersebut telah dicatatkan di Kantor Dinas
Kependudukan Dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta, sesuai dengan Kutipan Akta
Perkawinan Nomor : 81/1/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002, bukti P — 1 ;
3. Bahwa dalam pencatatan perkawinan Para Pemohon tersebut telah disahkan Akta
Perjanjian Pernikahan, yang dibuat di Tangerang dihadapan Notaris Slamet Suryono
Hadi S, Sarjana Hukum, Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002, tercatat dalam daftar
pengesahan di Jakarta Nomor : 61/I/PPP/2002, bukti P — 2 ;
4. Bahwa selama perkawinan, Para Pemohon telah dikaruniai 4 (empat) orang anak
masing-masing bernama
1. HAXELD DIVANT DJAYA, laki-laki, lahir di Jakarta, tanggal 26 Oktober 2003,
sesuai dengan Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 1177/U/JB/2003, tanggal 12
Nopember 2003, bukti P — 3a ;
2. ANDREW BTRAND DJAYA, laki-laki, lahir di Jakarta, tanggal 6 Mei 2005,
sesuai dengan Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 670/U/JB/2005, tanggal 20 Mei
2005, bukti P — 3b ;
3. VEGAND LFRANT DJAYA, laki-laki, lahir di Jakarta, tanggal 8 Maret 2007,
sesuai dengan Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 530/U/JB/2007, tanggal 23 Maret
2007, bukti P — 3c ;
4. EVELYN AUDREY DJAYA, perempuan, lahir di Jakarta, tanggal 11 Agustus
2008, sesuai dengan Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 19172/KLU/JP/2008, tanggal
15 Agustus 2008, bukti P — 3d ;
5. Bahwa oleh karena Para Pemohon telah dikaruniai 4 (empat) orang anak dan
perkawinan Para Pemohon sudah berjalan selama lebih kurang 8 (delapan) tahun,
dimana hubungan perkawinan dalam membina rumah tangga Para Pemohon tersebut
cukup harmonic, rukun dan bahagia, karena pada dasarnya Para Pemohon saling cinta
dan menyayangi serta mempunyai pengertian yang tinggi satu sama lain, dengan
dilandasi itikad balk Para Pemohon demi kelangsungan perkawinan Para Pemohon dan
kehidupan anak-anak dimana mendatang, maka Para Pemohon bermaksud mengajukan
Pembatalan Akta Perjanjian Pernikahan yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris
Slamet Suryono Hadi S, Sarjana Hukum, sebagaimana tertuang dalam Akta Perjanjian
Pernikahan Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002 tersebut, bukti P — 2 diatas ;
1117III
IPIIII.M
IIPIIMI
III?IIII!
9111rl1
1 IIIiP1
111111
i1MINII
IMII III
IIIiMlllll
MIRIIIII
IIMIllM
MIlu=
MID
I- 171F
711111
111J1
' -11171
TIFT
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
3 ,.. ::•,., -•,.. _ •.: • , ...,
-1'.14,_, 5'... .. ' ,.:". 17:7.7 ..:17,1:.'• t
'..!, ...,
6. Bahwa oleh karena permohonan Pembatalan Akta Perjanjian Pernikahailiti-diraildasi
dengan itikad baik dan atas kesepakatan bersama antara Para Pemohon, maka
berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, permohonan Para Pemohon cukup beralasan
menurut hukum ;
7. Bahwa untuk pembatalan Akta Perjanjian Penikahan tersebut sebelumnya harus ada
suatu Penetapan dari Pengadilan Negeri Ta.ngerang, karena Para Pemohon berdomisili
dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Tangerang ;
Berdasarkan alasan tersebut diatas, Para Pemohon memohon kepada KetuafHakim
Pengadilan Negeri Tangerang, yang memeriksa permohonanan ini kiranya berkenan untuk
1: Mengabulkan permohonan Para Pemohon tersebut ;
2. Menyatakan Akta Perjanjian Pernikahan yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris
Slamet Suryono Hadi S, Sarjana Hukum, sebagaimana tertuang dalam. Akta Perjanjian
Pernikahan Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002 tersebut, batal demi hukum ;
Memerintalikan seperlunya kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Propinsi DKI Jakarta dan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Tangerang / Kota Tangerang Selatan, untuk mencatat dan atau memberi catatan pinggir
tertuang Pembatalan Akta Perjanjian Pernikahan Para Pemohon tersebut, pada Kutipan
Akta Nomor : 81/I/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002;
4. Biaya-biaya menurut hukum ;
Menimbang, bahwa pada Mari persidangan yang telah ditetapkan, Para Pemohon
datang menghadap Kuasanya kepersidangan yang bernama DAN WALUYO, SH. dan
WAHYTJ BASKORO, SR., Para Advokat / Penasehat Hukum beralarnat di Perumahan
Telaga Bestari Blok AX / 21 Wanakerta, Kecamatan Sindang Jaya, Tangerang, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tanggal 2 Juli 2010 ;
Menimbang, bahwa dipersidangan Hakim membacakan permohonan Para
Pemohon, dan atas pertanyaan Hakim, Kuasa Para Pemohon menyatakan tetap pada
permohonannya semula ;
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Kuasa Para
Pemohon telah menyerahkan surat-surat bukti fotocopy bermeterai cukup yang diberi tanda
P-I sampai dengan P-9, surat-surat bukti fotocopy tersebut telah dicocokkan dengan aslinya
oleh Hakim sebagai berikut
1. Foto copy Kutipan Akta Perkawinan No.81/I/PP/2002 antara DJAYA dan Lianna
SETIAWAN tanggal 11 Maret 2002 dari Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil Propinsi DKI Jakarta, diberi .tanda P-1 ;
2. Foto copy Salinan Akta Perjanjian Pernikahan No.9 tanggal 6 Maret 2002, dari
Notaris Slamet Suryono Hadi S, SH., diberi tanda P-2 ;
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
4 •,, 1 zuti
--ri
3. Foto copy Kutipan Akta Kelahiran No.1177/U/J13/2003'—ataS''''ndfn :—ITAXELD
DIVANT DJAYA, yang diterbitkan oleh Kantor Suku Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 12 Nopember 2003, diberi
tanda P-3.a ;
4. Foto copy Kutipan Akta. Kelahiran No.670/U/JB/2005 atas nama : ANDREW
BTRAND DJAYA, yang diterbitkan oleh Kantor Suku Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 20 Mei 2005, diberi tanda P-3.b ;
5: Foto copy Kutipan Akta Kelahiran No.530/U/JB/2007 atas nama : VEGAND
LFRANT DJAYA, yang diterbitkan oleh Kantor Suku Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 23 Maret 2007, diberi tanda P-3.c ;
6. Foto copy Kutipan Akta Kelahiran No.19172/KLU/JP/2008 atas nama : EVELYN
AUDREY DJAYA, yang diterbitkan oleh Kantor Suku Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 15 Agustus 2008, diberi tanda P-3.d ;
7. Surat Pernyataan membatalkan Perjanjian Pernikahan dari DJAYA dan LIANNA
SETIAWAN,•tertangal 29 Juni 2009, yang diberi tanda P-4 ;
8: Foto copy Kutipan Akte Kelahiran No.434/DP/1968 atas nama DJAJA, yang
diterbitkan oleh Pegawai Luar Biasa Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Pusat, tanggal
14 Pebruari 1968, diberi tanda P-5 ;
9. Foto copy Kutipan Akte Kelahiran No.3989/JB/1977 atas nama : LIANNA, yang
diterbitkan oleh Pegawai Luar Biasa Pencatatan Sipil Wilayah Jakarta Barat, tanggal
16 Desember 1977, diberi tanda P-6 ;
10. Foto copy Kartu Tanda Penduduk No.3603280201680001 atas narna DJAYA, tanggal
28 April 2010 dan Kartu Tanda Penduduk No.3603284312770001 atas nama
LIANNA SETIAWAN, tanggal 28 April 2010, diberi tanda P-7 ;
11. Foto copy Kartu Keluarga No.3603281708070004 tanggal 06 Mei 2010 atas narna
kepala keluarga DJAYA, dari Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, diberi
tanda P-8 ;
12. Foto copy Salinan Akta Pembatalan No.19 tanggal 07 Mei 2010 yang dibuat
dihadapan Notaris Udin Narsudin, SH., diberi tanda P-9 ;
Surat-surat bukti yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-9 adalah berupa foto copy yang
telah diberi materai secukupnya dipersidangan oleh Hakim telah diperiksa dan dicocokan
serta disesuaikan dengan surat aslinya temyata foto copy tersebut cocok dan sesuai dengan
aslinya, kecuali bukti P-4 adalah aslinya ;
Menimbang, bahwa dipersidangan telah didengar keterangan 2 (dua) orang saksi
yang telah disumpah menurut cara agamanya dan mereka menerangkan yang benar tidak
lain dari pada yang sebenarnya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
1. Sakes: PIE TSIS
- Bahwa saksi kenal den2ari Pemohon karena saksi adalah dahulu tetangga dari Para
Pemohon ;
- Bahwa benar Para Pemohon adalah suami isteri ;
Bahwa Para Pemohon melangsungkan perkawinan di Gereja Kristen Indonesia
Sinode Wilayah Jawa Barat, Samanhudi — Jakarta pada tanggal 9 Maret 2002 ;
- Bahwa dari perkawinannya Para Pemohon dikaruniai 4 (empat) orang anak ;
- Bahwa setahu saksi sebelum menikah mereka membuat Perjanjian Pernikahan di
Notaris ;
- Bahwa sekarang saksi tahu mereka telah sama-sama membuat pernyataan untuk
mencabut Perjanjian Pernikahan tersebut;
- Bahwa tujuan mereka mencabut Perjanjian Pernikahan tersebut bertujuan untuk
masa depan anak-anaknya ;
2. Saksi TJITRA :
- Bahwa saksi kenal dengan Pemohon karena saksi adalah dahulu tetangga dari Para
Pemohon
- Bahwa benar Para Pemohon adalah suami isteri, mereka melangsungkan
perkawinan di Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat, Samanhudi -
Jakarta, bulan Maret 2002;
- Bahwa dari perkawinannya Para Pemohon dikaruniai 4 (empat) orang anak ;
-
Bahwa setahu saksi sebelum menikah mereka membuat Perjanjian Pernikahan di
Notaris ;
Bahwa sekarang saksi tahu mereka telah sama-sama membuat pernyataan untuk
mencabut Perjanjian Pernikahan tersebut;
- Bahwa tujuan mereka mencabut Perjanjian Pernikahan tersebut bertujuan untuk
masa depan anak-anaknya ;
Menimbang, bahwa terhadap keterangan saksi-saksi tersebut, Kuasa Para Pemohon
menyatakan tidak keberatan dan membenarkan keterangan saksi-saksi tersebut ;
Menimbang, bahwa selanjutnya Kuasa Para Pemohon menyatakan tidak akan
mengajukan hal lain lagi dan selain mohon penetapan ;
Menimbang, bahwa selanjutnya guna menyingkat uraian penetapan ini maka segala
apa yang terjadi selama berlangsungnya pemeriksaan perkara ini seperti yang terurai dalam
berita acara persidangan dianggap telah pula termasuk dalam penetapan ini ;
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
6 “.• e •
tZ4)
TENTANG HUKUMNYA V !:
•tilv ::::::,..: .1. 11 t
t..,449 Li i ,......,...,,,,,3
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon aklalah'
sebagaimana diuraikan tersebut diatas ;
Menimbang, bahwa alasan permohonan Para Pemohon tersebut pada pokoknya,
oleh karena Para Pemohon telah dikaruniai 4 (empat) orang anak dan perkawinan Para
Pemohon sudah berjalan selama lebih kurang 8 (delapan) tahun, dimana hubungan
perkawinan dalam membina rumah tangga Para Pemohon tersebut cukup harmonis, rukun
dan bahagia, karena pada dasarnya Para Pemohon saling cinta dan menyayangi serta
mempunyai pengertian yang tinggi satu sama lain, dengan dilandasi itikad baik Para
Pemohon demi kelangsungan perkawinan Para Pemohon dan kehidupan anak-anak dimana
mendatang, maka Para Pemohon bermaksud mengajukan Pembatalan Akta Perjanjian
Pernikahan yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S, Sarjana
Hukum, sebagaimana tertuang dalam Akta Perjanjian Pernikahan Nomor 9, tanggal 6 Maret
2002 tersebut ;
Menimbang, bahwa selanjutnya Para Pemohon menerangkan pula permohonan
Pembatalan Perjanjian Pernikahan ini dilandasi dengan itikad baik dan atas kesepakatan
bersama antara Para Pemohon ;
Menimbang, bahwa untuk menQuatkan dalil permohonannya, Para Pemohon telah
mengajukan surat-surat bukti bertanda P-1 sampai dengan P-9 dan 2 (dua) orang saksi
bernama LIM PIE TJIS dan TJITRA, sebagaimana telah diuraikan tersebut diatas ;
Menimbang, bahwa dalam mengajukan permohonan Pembatalan Perjaniian
Pernikahan Para Pemohon tersebut, terlebih dahulu hams mendapat ijin atau Penetapan dari
Pengadilan Negeri ;
Menimbang, bahwa sesuai dengan bukti P-7 dan P-8 berupa Kartu Tanda Penduduk
dan Kartu Keluarga atas nama Para Pemohon dari Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten
Tangerang, maka Hakim berpendapat bahwa Pengadilan Negeri Tangerang berwenang
untuk memeriksa/menyidangkan serta memberikan Penetapan dalam permohonan ini ;
Menimbang, bahwa Para Pemohon bermaksud agar Perjanjian Pernikahan yang
dibuat Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S, Sarjana Hukurn, Nomor 9,
tanggal 6 Maret 2002 tersebut dinyatakan batal demi hukum ;
Menimbang, bahwa selain dari pada itu Para Pemohon menginginkan pula agar
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta mencatat atau memberi
catatan pinggir tentang Pembatalan Perjanjian Pernikahan terseblit, pada Kutipan Akta
Perkawinan Para Pemohon Nomor : 81/1/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002 ;
Menimbang, bahwa setelah Hakim mempelajari permohonan Para Pemohon, yang
1...11.f: n "I,- onirci■ vrnrt, ;r]1111711, D 'HO AAmfthnn
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
7
A t: dipersidangan, maka Hakim memperoleh fakta dan keadaan Sarriggat--dapat„.,men'arik:
kesimpulan pada pokoknya sebagai berikut •:
- bahwa Para Pemohon dalam Posita permohonannya mendalilkan telah rneiangsungkan
perkawinan dihadapan pernuka Mama Kristen bernama Jonatan Subianto pada tanggal
9 Maret 2002 di Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat, Samanhudi -
Jakarta ;
- Bahwa perkawinan Para Pemohon tersebut telah dicatatkan di Kantor Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta, sesuai dengan Kutipan Akta
Perkawinan Nomor : 81/1/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002 ;
- Bahwa pada Akta Perkawinan Para Pemohon tersebut telah disahkan Perjanjian
Pemikahan, yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S,
Sarjana Hukum, Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002 ;
- Bahwa dalam perkawinan Para Pemohon telah dikaruniai 4 (empat) orang anak
masing-masing bernama :
1. HAXELD DIVANT DJAYA, laki-laki, lahir di Jakarta, tanggal 26 Oktober 2003;
2. ANDREW BTRAND DJAYA, laki-laki, lahir di Jakarta, tanggal 6 Mei 2005 ;
3. VEGAND LFRANT DJAYA, laki-laki, lahir di Jakarta, tanggal 8 Maret 2007 ;
4. EVELYN AUDREY DJAYA, perempuan, lahir di Jakarta, tanggal 11 Agustus
2008 ;
- Bahwa oleh karena Para Pemohon telah dikaruniai 4 (empat) orang anak dan
perkawinan Para Pemohon sudah berjalan selama lebih kurang 8 (delapan) tahun,
dimana hubungan perkawinan dalam membina nunah tangga Para Pemohon tersebut
cukup harmonis, rukun dan bahagia, karena pada dasarnya Para Pemohon saling cinta
dan menyayangi serta rnempunyai pengertian yang tinggi satu sama lain, dengan
dilandasi itikad baik Para Pemohon demi kelangsungan perkawinan Para Pemohon dan
kehidupan anak-anak dimasa mendatang, maka Para Pemohon bermaksud mengajukan
Pembatalan Akta Perjanjian Pernikahan yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris
Slamet Suryono Hadi S, Sarjana Hukum, sebagaimana tertuang dalam Akta Perjanjian
Pernikahan Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002 tersebut ;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian fakta dan pertimbangan tersebut diatas,
Hakim berpendapat bahwa permohonan Para Pemohon tersebut cukup beralasan dan tidak
bertentangan dengan Undang-undang karenanya dapat dikabulkan ;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan Para Pernohon dikabulkan, Hakim
memandang perlu untuk memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri Tangerang atau
Pejabat yang ditunjuk, untuk mengirimkan sehelai salinan Penetapan ini kepada Pegawai
Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Propinsi DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang,
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
1111, 41
1.11
11,./
111.
1 ,11
111E
1111
1:11
111:
4111
1,14t
I/
IM
MIE
1111
1114
1131
/M1.
141.
1:
,111
.11C
,11M
1
1.'".v..2 13
untuk mencatat dan atau memberi catatan pinggir tentang Pembatalan Perjanjian
Pernikahan Para Pemohon, pada Kutipan Akta Perkawinan Nomor : 81/1/PP/2002 tanggal
11 Maret 2002 ;
Menimbang, bahwa karma permohonan ini adalah untuk kepentingan Para.
Pemohon sendiri maka biaya perkara yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada
Para Pemohon ;
Menimbang, bahwa berdasarkan hal—hal tersebut diatas maka permohonan Para
Pemohon beralasan menurut hukum sehingga dapat dikabulkan untuk seluruhnya;
Memperhatikan pasal 1338 KUHPerdata serta Peraturan hukum yang berkenaan
dengan masalah itu ;
MENETAPKAN:
1. Mengabulkan pennohonan Para Pemohon tersebut ;
2. Menyatakan Akta Perjanjian Pernikahan yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris
Slamet Suryono Hadi S, Sarjana Hukum, sebagaimana tertuang dalam Akta Perjanjian
Pernikahan Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002 tersebut, batal demi hukum ;
3. Memerintahkan seperlunya kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Propinsi DKI Jakarta dan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten
Tangerang, untuk mencatat dan atau memberi catatan pinggir tentang Pembatalan Akta
Perjanjian Pernikahan Para Pemohon tersebut, pada Kutipan Akta Nomor
81/1/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002;
4. Membebankan biaya perkara ini kepada Para Pemohon sebesar Rp. 141.000,- (seratus
empat puhth satu ribu rupiah) ;
Demikianiah ditetapkan pada hari : RABU tanggal : 21 JULI 2010; penetapan
many pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh karni : I MADE
SUPARTHA, SH., sebagai Hakim Pengadilan Negeri Tangerang dan dibantu oleh:
ANTONIUS SUANIE, SH.MH., sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Kuasa
Para Pemohon tersebut;
PANITERA PENGGANTI, HAKIM tersebut,
t.t.d. t.t.d.
ANTONIUS SUANIE, SH.MH. I MADE SUPARTHA, SH.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
• • '
n -74 •N•
Perincian Biaya :
P N B P - - - - - - - - - - - - - - - - - - Rp. - - - 30.000,-
- Biaya Panggilan Rp. 100.000,-
- Meterai Rp. 6.000,-
-
Redaksi - - - - - - - - - - - - - - - - - -— Rp. - - - - 5.000,-
Jumlah - - - - - - - - - - - - - - - - - - — Rp. - - -141.000,-
FOTO COPY SESUA DENGA1,4 ASLINYA DKELUARKAN ATAS PERMOHONAN E RR IC A. SU4 Volk F AU. Vtut<tite1
. . !h..... ..... UNTUK KEPERLUAN P,ISET
,ERANG,,P3,:.:StrENABUz-
// 0r4 VIM ETA R s
Lib LIDA. 1-4.1JKLIM
\‘) •'4.• • "4.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
PERJANJIAN PERKAWINAN
NOMOR : 9
PASAL 1
Antara kedua belah pihak yang akan menikah tidak akan terjadi percampuran harta benda,
baik percampuran untung rugi maupun percampuran penghasilan dan pendapatan. Jadi
singkatnya harta masing-masing pihak terpisah sama sekali dari pihak lainnya.
PASAL 2
Harta benda yang dimiliki dan dibawa oleh masing-masing pihak pada waktu pernikahan
dilangsungkan dan/atau yang diperoleh dikemudian hari akan tetap menjadi miliknya masing-
masing pihak, demikian pula utang-utang yang terjadi sebelum dan sesudah pemikahan yang
dimaksud akan tetap dipikul dan dibayar oleh masing-masing pihak.
PASAL 3
Pihak istri berhak mengurus dan menguasai harta bendanya sendiri, baik barang-barang
bergerak serta berhak pula menggunakan dengan bebas segala hasil dan pendapatannya
sendiri yang diperoleh dengan cara apapun dan seberapa perlu pihak istri dengan ini diberi
kuasa yang tidak dapat dicabut kembali oleh pihak suami untuk melakukan segala tindakan,
baik yang mengenai pengurusan maupun yang mengenai tindakan pemilikan dengan tidak
diperlukan bantuan dari pihak suami.
PASAL 4
Segala biaya-biaya rumah tangga, termasuk juga biaya-biaya penghidupan dan pendidikan
anak-anak yang lahir dari pernikahan itu semuanya ditanggung dan dibayar oleh pihak suami
sehingga pihak istri bebas dari kewajiban tersebut.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
PASAL 5
Pakaian dan perhiasan badan yang diperuntukkan dan dipakai oleh masing-masing pihak
pada waktu pernikahan berakhir karena perceraian maupun karena meninggalnya salah satu
pihak tetap menjadi hak dan miliknya masing-masing.
PASAL 6
Barang-barang perabotan rumah tangga yang ada didalam rumah dimana suami istri tersebut
hertempat tinggal pada waktu pernikahan berakhir atau pada waktu diadakan perhitungan
menurut hukum, akan dianggap kepunyaan pihak pertama dan pihak kedua masing-masing
untuk bagian yang sama besarnyya atau diberikan pada salah satu pihak, karena pihak yang
lain mengalah dan menyerahkan.
PASAL 7
Harta benda yang dibavva oleh masing-masing pihak dalam perkawinan dan/atau yang
didapat dengan cara apapun juga oleh masing-masing pihak pada waktu sesudah pernikahan
dilangsungkan harus ternyata dari surat-surat.
Apabila pihak istri atau para ahli warisnya tidak mempunyai bukti demikian, maka pihak istri
atau para ahli warisnya berhak membuktikan wujudnya dan harga dari harta benda pihak istri
itu olch saksi-saksi, bahkan bila perlu juga oleh pengetahuan orang banyak.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013