uji daya antibakteri kulit buah rambutan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat pada umumnya kurang memperhatikan penyakit-penyakit yang
sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari, seperti disentri. Disentri merupakan tipe
diare yang berbahaya dan seringkali menyebabkan kematian dibandingkan tipe diare
akut yang lain. Di Indonesia kasus disentri dilaporkan 5% dari 3848 orang penderita
diare berat menderita disentri basiler. Di dunia sekurangnya 200 juta kasus dan
650.000 kematian terjadi akibta disentri basiler pada anak-anak sibawah 5 tahun.
Kebanyakan kuman penyebab disentri basiler ditemukan di negara berkembang
dengan kesehatan lingkungan yang masih kurang. Hal ini dikarenakan
faktor kepadatan penduduk, higiene individu, sanitasi lingkungan dan kondisi sosial
ekonomi serta kultural yang menunjang. Disentri basiler (Shigelosis) paling
banyak disebabkan oleh infeksi dari bakteri golongan Shigella. Gejala yang timbul
yaitu diare, demam, muntah-muntah, anoreksia, perut terasa nyeri dan mengejang.
Penanganan terhadap kasus yang telah terjadi dilakukan dengan pemberian bahan-
bahan kimia yang mampu mengendalikan mikroorganisme berbahaya (patogen),
seperti antibakteri. Dengan demikian antibakteri sangat penting dalam penanganan
disentri.
Salah satu kendala yang dihadapi dari penggunaan antibakteri dalam upaya
pengendalian mikroorganisme berbahaya (patogen) adalah terjadinya resistensi
terhadap bahan-bahan antibakteri yang digunakan. Resistensi mikroorganisme yang
awalnya peka terhadap antibakteri, disebabkan oleh mutasi pada kromosom atau
pertukaran materi genetik antar mikroorganisme. Secara biokimiawi, resistensi
bakteri terhadap antibakteri dapat terjadi melalui mekanisme berkurangnya
permeabilitas bakteri terhadap obat, inaktivasi antibakteri oleh enzim yang dihasilkan
oleh bakteri, modifikasi reseptor obat, dan meningkatnya sintesis senyawa yang
bersifat antagonis terhadap obat (Lamapaha dan Rupilu, 2008). Untuk mengatasi hal
tersebut, maka akan dilakukan penelitian tentang antibakteri berbahan aktif senyawa-
senyawa tanaman yang dapat memberikan efek antibakteri. Keanekaragaman hayati
yang dimiliki Indonesia telah memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari,
termasuk diantaranya dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional. Penelitian tentang
bahan kimia alam dewasa ini semakin banyak dieksplorasi untuk pengembangan obat
tradisional. Hal tersebut didukung oleh keanekaragaman struktur kimia yang
dihasilkan tanaman. Bahan alam biasanya mengurangi efek samping yang tidak
diinginkan dan mudah didapat. Salah satu tanaman obat tradisional di Indonesia
adalah buah rambutan. Secara empiris, masyarakat Indonesia menggunakan rebusan
kulit buah rambutan untuk mengatasi berbagai penyakit seperti disentri, demam,
sariawan, diare, menghitamkan rambut.
Kulit buah rambutan mengandung flavonoid, tanin dan saponin (Dalimartha,
2005). Pada penelitian uji antibakteri ekstrak buah makasar terhadap bakteri Shigella
disentriae, dimana kandungan senyawa kimia yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Shigella disentriae adalah tannin, saponin, dan flavonoid (Rahayu,2009).
Dengan adanya kesamaan kandungan senyawa kimia, penelitian kulit buah rambutan
dapat di manfaatkan untuk menyembuhkan disentri, karena kandungan kulit buah
rambuatn sama dengan kandungan buah makasar, sehingga sama-sama dapat
menghambat bakteri Shigella dysenteriae. Selain itu berdasarkan penelitian terdahulu
terbukti bahwa ekstrak kulit buah rambutan dapat mengambat pertumbuhan bakteri
Echerichia coli dan Staphylococcus aureus (Yudaningtyas,2007), tetapi penilitan
ekstrak kulit buah rambutan terhadap bakteri Shigella disentriae belum pernah
dilakukan.
Beberapa fakta dan asumsi tersebut mendorong peneliti untuk melakukan
penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh ekstrak kulit buah rambutan terhadap
pertumbuhan Shigella dysenteriae. Dengan adanya penelitian ekstrak kulit buah
rambutan terhadap bakteri penyebab disentri yaitu Shigella dysenteriae. Penelitian ini
di harapkan dapat membuka wawasan masyarakat mengenai kandungan kulit buah
rambutan yang juga dapat menghambat Shigella dysenteriae.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah ekstrak kulit rambutan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Shigella
dysenteriae?
2. Pada kosentrasi berapakah ekstrak kulit rambutan dapat mememberikan diameter
zona hambat yang paling besar terhadap Shigella dysenteriae?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kemampuan ekstrak kulit buah rambutan dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Shigella dysentriae
2. Mengetahui pada kosentrasi berapa ekstrak kulit buah rambutan dapat
memberikan diameter zona hambat yang paling besar terhadap Shigella
dysentriae.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain :
1. Memberikan informasi kepada dunia kesehatan dan masyarakat mengenai
pemanfaatan tanaman obat.
3. Sebagai sumber acuan yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi farmasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Rambutan ( Nephelium lappaceum L.)
1. Taksonomi
Rambutan dikenal dengan berbagai macam nama lokal di
Indonesia seperti rambutan, rambot, rambut, rambuteun, rambuta,
jailan, folui, bairabit, puru biancak, p. Biawak, hahujam, kakapas,
likis, takujung alu (Sumatera), rambutan, corogol, tundun, bunglon,
buwa, buluwan (Jawa), buluan, rambuta (NusaTenggara), rambutan,
siban, banamon, beriti, sanggalaong, sagalong, beliti, maliti,
kayokan, bengayau, puson (Kalimantan), rambutan, rambuta,
rambusa, barangkasa, bolangat, balatu, balatung, walatu, wayatu,
wilatu, wulangas, lelamu, lelamun, toleang (Sulawesi), rambutan,
rambuta (Maluku). Selain itu juga memiliki nama asing Shao tzu
(Cina), ramboutan (Perancis), ramustan (Spanyol) (Dalimartha,
2005).
Kedudukan tanaman rambutan ( Nephelium lappaceum L.) dalam
ilmu urutan sistematika tumbuh-tumbuhan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Famili : Sapindaceae
Genus : Nephelium
Spesies : Nephelium lappaceum, L.
Gambar 1. Buah Rambutan ( Nephelium lappaceum L.)
2. Morfologi tanaman
Rambutan banyak ditanam sebagai pohon buah dan kadang-
kadang ditemukan tumbuh liar. Tumbuhan tropis ini memerlukan
iklim lembab dengan curah hujan tahunan paling sedikit 2000 mm.
Rambutan merupakan tanaman dataran rendah yang ketinggiannya
mencapai 300- 600 m dpl. Pohon dengan tinggi 15-25 m ini
mempunyai banyak cabang. Daunnya merupakan daun majemuk
menyirip yang letaknya berseling dengan anak daun 2-4 pasang.
Helaian anak daun berbentuk bulat lonjong dengan panjang 7,5-20
cm dan lebar 3,5-8,5 cm, ujung dan pangkal daunnya runcing, tepi
rata, pertulangan menyirip, tangkai silindris, warnanya hijau dan
seringkali mengering. Bunga tersusun pada tandan di ujung ranting,
harum, kecil-kecil dan berwarna hijau muda. Bunga jantan dan
bunga betina tumbuh terpisah dalam satu pohon. Buah berbentuk
bulat lonjong yang mempunyai panjang 4-5 cm dengan duri tempel
yang bengkok, lemas sampai kaku. Kulit buahnya berwarna hijau
dan menjadi kuning atau merah kalau sudah masak. Dinding buah
tebal. Biji berbentuk elips, terbungkus daging buah berwarna putih
transparan yang dapat dimakan dan banyak mengandung air,
rasanya bervariasi dari masam sampai manis. Kulit biji tipis
berkayu. Rambutan berbunga pada akhir musim kemarau dan
membentuk buah pada musim hujan, sekitar November sampai
Februari. Terdapat banyak jenis rambutan seperti ropiah, simacan,
sinyonya, lebakbulus dan binjei. Berkembangbiak dengan biji,
tempelan tunas atau dicangkok (Dalimartha, 2005).
3. Khasiat
Manfaat kulit buah rambutan adalah sebagai obat demam,
antioksidan (Thitilerdecha et al.) dan antibakteri terhadap bakteri
E.coli dan S.aureus (Yudaningtyas, 2007). Biji buah rambutan
berkhasiat sebagai hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah)
(Dalimartha, 2005). Senyawa fenolik dalam ekstrak biji buah
rambutan beraktivitas sebagai antioksidan dan antibakteri
(Thitilerdecha et al., 2008).
4. Kandungan kimia
Buah rambutan mengandung karbohidrat, protein, kalsium,
vitamin C (Dalimartha, 2005), zat besi, fosfor dan lemak (Hariana,
2006). Kulit buahnya mengandung flavonoid, tanin dan saponin
(Dalimartha, 2005). Penelitian Thitilerdecha et al. (2010) berhasil
mengisolasi asam ellagat, corilagin dan geraniin dari ekstrak
metanol kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum L.). Biji rambutan
mengandung lemak dan polifenol (Dalimartha, 2005). Penelitian
Asrianti et al. (2006) menunjukkan biji rambutan memberikan hasil
positif terhadap golongan senyawa flavonoid. Daunnya
mengandung tanin dan saponin. Kulit batang mengandung tanin,
saponin, flavonoida, pectic substances dan zat besi (Dalimartha, 2005).
Pada penelitian serupa (Rahayu, 2009) kandungan kimia
pada kulit rambutan memiliki kesamaan pada buah makasar, yakni
mengandung flavonoid, tannin, dan saponin, manfaat dari
kandungan kimia tersebut dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Shigella disentriae. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian terhadap
bakteri Shigella dysentriae, bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak yang
digunakan, maka daya hambat antibakteri yang dihasilkan semakin besar. Pada
konsentrasi 30% daya hambat antibakteri 212,67 mm2, konsentrasi 60% daya
hambat antibakteri 268,21 mm2, dan konsentrasi 90% daya hambat antibakteri
361,52 mm2.
B. Ekstraksi Pelarut
1. Pengertian
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia
yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang
tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain. Ekstrak adalah
sediaan pekat didapat dengan cara mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati
atau hewani, memakai pelarut yang sesuai, kemudian hampir semua pelarut dan
ekstrak yang tersisa diuapkan sedemikian rupa sehingga memenuhi ketentuan
baku yang ditetapkan (Anonim, 1995). Metode penyarian merupakan salah satu
bagian dari isolasi bahan alam. Metode penyarian tergantung kandungan zat dari
bahan yang diekstraksi. Bahan segar yang telah terkumpul dikeringkan
secepatnya tanpa penggunaan suhu yang terlalu tinggi dan lebih baik dengan
aliran udara yang baik.
2. Soxhletasi
Prinsip sokhletasi penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara
serbuk simplisia ditempatkan dalam klonsong yang telah dilapisi kertas saring
sedemikian rupa, cairan penyari dipanaskan dalam labu alas bulat sehingga
menguap dan dikondensasikan oleh kondensor bola menjadi molekul-molekul
cairan penyari yang jatuh ke dalam klonsong menyari zat aktif di dalam simplisia
dan jika cairan penyari telah mencapai permukaan sifon, seluruh cairan akan
turun kembali ke labu alas bulat melalui pipa kapiler hingga terjadi sirkulasi.
Ekstraksi sempurna ditandai bila cairan di sifon tidak berwarna, tidak tampak
noda jika di KLT, atau sirkulasi telah mencapai 20-25 kali. Ekstrak yang
diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan.
Metode ekstraksi menggunakan alat soxhlet merupakan penyarian secara
berkesinambungan dengan menggunakan pelarut yang murni, cairan penyari
dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi
molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam
klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah
melewati pipa sifon. Keuntungan metode ini yaitu cairan penyari yang diperlukan
lebih sedikit, secara langsung diperoleh hasil yang lebih pekat, serbuk simplisia
disari oleh cairan penyari yang murni, penyarian dapat diteruskan sesuai dengan
keperluan tanpa menambah volume cairan penyari. Namun kerugian dari metode
ini yaitu cairan penyari dipanaskan terus menerus sehingga kurang cocok untuk
zat aktif yang tidak tahan panas, cairan yang digunakan harus murni (Voight,
1994).
Pada soxhletasi bahan yang akan diekstraksi diletakkan dalam sebuah
kantung ekstraksi (kertas, karton, dan sebagainya) di bagian dalam alat ekstraksi
dan gelas yang bekerja berkesinambungan (perkolator). Wadah gelas yang
mengandung kantung diletakkan di antara labu penyulingan dengan pendingin
aliran balik dan dihubungkan dengan labu melalui pipa. Labu tersebut berisi
bahan pelarut, yang menguap dan mencapai ke dalam pendingin aliran balik
melalui pipet, berkondensasi di dalamnya, menetes ke atas bahan yang diektraksi
dan menarik keluar bahan yang diekstraksi. Larutan berkumpul di dalam wadah
gelas, setelah mencapai tinggi maksimalnya secara otomatis dipindahkan ke
dalam labu. Dengan demikian zat yang terekstraksi terakumulasi melalui
penguapan bahan pelarut murni berikutnya (Voight, 1994).
3. Larutan penyari
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik
(optimal) untuk kandungan senyawa berkhasiat atau yang aktif, sehingga senyawa
tersebut dapat dipisahkan dari bahan dan dari kandungan senyawa lainnya.
Ekstrak total hanya mengandung sebagian besar kandungan senyawa yang
diinginkan, maka cairan pelarut dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit
sekunder yang terkandung.
Pemilihan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan
penyari yang baik harus memenuhi beberapa kriteria yaitu murah, mudah
diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak menguap dan tidak
mudah terbakar, selektif hanya menarik zat yang berkhasiat yang dikehendaki,
tidak mempengaruhi zat berkhasiat, diperbolehkan dalam peraturan. Farmakope
Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air,
atau eter (Anonim, 1986).
Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif, kapang dan
kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral, absorpsinya
baik, etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, panas yang
diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit (Anonim, 1986). Etanol tidak
menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan obat
terlarut.
Etanol dapat melarutkan senyawa aktif tannin, polifenol, poliasetilen,
flavonol, terpenoid, sterol, alkaloid, dan propolis, sedangkan air melarutkan pati,
tannin, saponin, terpenoid, polipeptida, dan lektin (Cowan, 1999). Etanol (70%)
sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal, dimana
bahan penggangu hanya skala kecil yang turut ke dalam cairan penyari (Voight,
1994).
C. Bakteri
1. Pengertian bakteri
Bakteri adalah suatu organisme yang jumlahnya paling banyak dan
tersebar luas, dibandingkan dengan organisme lainnya. Umumya merupakan
organisme uniseluler (bersel tunggal), prokariota, tidak mengandung klorofil,
serta berukuran mikroskopik (sangat kecil) (Dwidjoseputro, 1989).
2. Bentuk bakteri
Berdasarkan bentuknya bakteri dibagi menjadi tiga kelompok utama yaitu
coccus (bulat), bacil (batang atau silinder), dan spiral (batang melengkung atau
melingkar).
Coccus (bulat) adalah bakteri yang bentuknya serupa bola–bola kecil.
Coccus ada yang bergandeng gandengan panjang serupa tali leher ini disebut
streptokokus, ada yang bergandeng dua–dua ini disebut diplokokus, ada yang
mengelompok berempat ini disebut tetrakokus, coccus yang mengelompok
merupakan suatu untaian disebut stafilokokus, coccus yang mengelompok
merupakan suatu untaian disebut stafilokokus, sedangkan coccus yang
mengelompok serupa kubus disebut sarsina (Dwidjoseputro, 1998).
Bacil (batang atau silinder) berbentuk serupa tongkat pendek, silindris.
Sebagian besar bakteri berupa bacil. Bacil dapat bergandeng gandeng panjang,
bergandengan dua–dua, atau terlepas satu sama lain. Yang bergandeng-
gandengan panjang disebut streptobasil, yang dua–dua disebut diplobasil. Ujung–
ujung bacil yang terlepas satu sama lain itu tumpul, sedangkan ujung–ujung yang
masih bergandengan itu tajam (Dwidjoseputro, 1998).
Spiral (batang melengkung atau melingkar) adalah bakteri yang bengkok
atau berbengkok–bengkok serupa spiral. Bakteri yang berbentuk spiral itu tidak
banyak terdapat. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling kecil, jika
dibandingkan dengan kelompok coccus maupun bacil (Dwidjoseputro, 1998).
Bentuk tubuh bakteri terpengaruhi oleh keadaan medium dan oleh usia.
Maka untuk membandingkan bentuk serta besar kecilnya bakteri perlu
diperhatikan bahwa kondisi bakteri itu harus sama, temperatur di mana piaraan itu
di simpan harus sama, penyinaran oleh sumber cahaya apapun harus sama. Pada
umumnya bakteri dari piaraan yang masih muda, yaitu sekitar 6 sampai 12 jam,
lebih besar daripada bakteri berasal dari koloni yang lebih tua. Bakteri dari koloni
yang sudah tua sering menunjukkan kelainan–kelainan seperti sel–sel yang
mempunyai cabang, sel-sel yang besar dan tidak beraturan bentuknya
(Dwidjoseputro,1989).
3. Shigella dysenteriae
a. Klasifikasi
Kerajaan : Bakteria
Filum : Proteobakteria
Kelas : Gamma Proteobakteria
Ordo : Enterobakteriales
Famili : Enterobakteriaceae
Genus : Shigella
Species : Shigella dysenteriae (Anonim,2010)
Gambar 2. Shigella disentriae
b. Ciri-ciriShigella adalah batang gram negatif ramping, bentuk kokobasil
ditemukan pada biakan muda. Koloninya konveks, bulat,
transparan dengan pinggir-pinggir utuh, mencapai diameter 2 mm
dalam 24 jam
c. Struktur antigen
Shigella mempunyai sususnan antigen yang kompleks.
Sebagian mempunyai antigen O yang juga dimiliki oleh kuman enterik
lain.
d. Toksin dan enzim
1) Endotoksin
2) Eksotoksin : Shigella dysenteriae tipe 1 memproduksi eksotoksin
tidak tahan panas yang dapat mempengaruhi saluran
pencernaan dan susunan saraf pusat.
e. Patogenesis
Infeksi terbatas pada saluran pencernaan. Shigella sangat
menular, untuk menimbulkan infeksi diperlukan dosis kurang dari 103
organisme (Jawetz, 1995).
D. Antibakteri
1. Definisi Antibakteri
Antibakteri adalah zat yang dapat menggangu pertumbuhan atau bahkan
mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang
merugikan. Mikroorganisme dapat menyebabkan bahaya karena kemampuan
menginfeksi dan menimbulkan penyakit serta merusak bahan pangan. Antibiotik
merupakan zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat
menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik saat ini dibuat
secara semi sintetik maupun sintetik seutuhnya. Obat yang digunakan untuk
membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia ditentukan harus memiliki
sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya obat tersebut harus bersifat
sangat toksik terhadap mikroba, tetapi relative tidak toksik hospes. Antimikroba
yang ideal harus memenuhi syarat–syarat sebagai berikut :
a. Tidak terjadinya resistensi dari mikroorganisme pathogen
b. Tidak menimbulkan efek samping yang buruk pada tubuh, seperti alergi,
kerusakan syaraf, iritasi lambung
c. Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang luas.
2. Penggolongan Mekanisme Kerja Antibakteri
Antibakteri dapat digolongkan berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu :
a. Antibakteri yang dapat menghambat metabolisme sel mikroba
Mekanisme kerja ini diperoleh efek bakterostatik. Mikroba
membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan
mamalia yang mendapatkan asam folat dari luar, kuman patogen harus
mensintesis sendiri asam folat dari asm amino benzoate ( PABA ) untuk
kebutuhan hidupnya.
b. Antibakteri yang menghambat sintesis dinding sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin, sefalosporin,
sikloserin.Sikloserin menghambat reaksi yang paling dini dalam sintesis
dinding sel. Pengaruh tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi dari pada
di luar sel maka kerusakan dinding sel kuman akan menyebabkan terjadinya
lisis, yang merupakan dasar efek bakterisidal pada kuman yang peka.
c. Antibakteri yang mengganggu keutuhan membrane sel mikroba
Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah polimiksin. Polimiksin
sebagai senyawa ammonium–kuartener dapat merusak membrane sel setelah
bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membrane sel mikroba.
d. Antibakteri yang menghambat sintesis protein sel mikroba
Untuk kehidupannya sel mikroba perlu mensintesis berbagai protein.
Sintesis protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA,
pada bakteri ribosom terdiri atas sub unit, yang berdasarkan konstant
sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S. Untuk dapat berfungsi
pada sintesis protein kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai
mRNA menjadi ribosom 70S.
e. Antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba
Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah rifampisin, salah
satu derivate rimfapisin berikatan dengan enzim polymerase–RNA sehingga
menghambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut (Anonim, 2010).
E. Uji Antibiotik Antibakteri
Pada uji ini diukur respon pertumbuhan populasi mikroorganisme
terhadap agen antibakteri. Tujuan assay antibakteri (termasuk antibiotik dan
subtansi antibakteri nonantibiotik, misalnya fenol, bisfenol, aldehid), adalah untuk
menentukan potensi dan kontrol kualitas selama proses produksi senyawa
antimikroba di pabrik, untuk menentukan farmakokinetik obat pada hewan atau
manusia, dan untuk memonitor dan mengontrol kemoterapi obat. Kegunaan uji
antimikroba adalah diperolehnya suatu sistem pengobatan yang efektif dan
efisien. Terdapat macam–macam metode uji antibakteri seperti berikut :
1. Metode difusi
a. Metode disc diffusion (Tes Kirby & Bauer)
Untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi
agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami
mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh
agen antimikroba pada permukaan media agar (Pratiwi, 2008).
b. E- test
Untuk mengestimasi MIC (minimum inhibitory concentration) atau
KHM (kadar hambat minimum), yaitu kosentrasi minimal suatu agen
antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Pada metode ini digunakan strip plastic yang mengandung agen
antimikroba dari kadar terendah hingga tertingggi dan diletakkan pada
permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan
dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar
agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada
media agar (Pratiwi, 2008).
c. Ditch – plate technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antmikroba yang diletakkan
pada parit yang dibuat dengan cara memotong pada media agar dalam
cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji
(maksimum 6 macam) digoreskan kea rah parit yang berisi agen
antimikroba (Pratiwi, 2008).
d. Cup – plate technique
Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, di mana dibuat
sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan
pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji (Pratiwi,
2008).
e. Gradient – plate technique
Pada metode ini kosentrasi agen antimikroba pada media agar secara
teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media agar dicairkan dan
larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian dituang ke dalam cawan
petri dan di letakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya ditung
di atasnya.
Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen
antimikroba berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji
(maksimal 6 macam) digoreskan pada arah mulai dari kosentrasi tinggi ke
rendah. Hasil diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan
mikroorganisme maksimum yang mungkin di bandingkan dengan panjang
pertumbuhan hasil goresan (Pratiwi, 2008).
2. Metode dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth
dilution) dan dilusi padat (solid dilution).
Metode dilusi cair (broth dilution) test (serial dilution)
Metode ini mengukur MIC (minimum inhibitory concentration atau
kadar hambat minimum, KHM) dan MBC (minimum bactericidal
concentration atau kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukan
adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium
cair yang di tambahkan dengan mikroba uji. Larutann uji agen
antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adnya
pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang
ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media
cair tanpa penambahan pada mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan
diinkubasi selama 18–24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah
inkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).
Metode dilusi padat (solid dilution tes )
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan
media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu kosentrasi agen
antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba
uji (Pratiwi, 2008).
F. Hipotesis
1. Ekstrak kulit buah rambutan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Shigella
dysentriae.
2. Pada kosentrasi 90% ekstrak kulit rambutan dapat memberikan diameter zona
hambat yang paling besar terhadap Shigella dysentriae.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental dengan melihat ada dan
tidaknya zona hambat ekstrak kulit rambutan dengan kosentrasi 30%, 60%, 90%
B. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Akademi Farmasi
Nasional Surakarta pada bulan November tahun 2012 sampai Januari tahun 2013.
C. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah daya antibakteri ekstrak kulit buah rambutan terhadap
Shigella dysentriae.
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah kulit buah rambutan (Nephelium
lappaceum L.)
2. Sampel
Sampel dari penelitian ini adalah ekstrak kulit buah rambutan (Nephelium
lappaceum L.) dengan konsentrasi 30%,60%,90%
E. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak kulit buah rambutan
(Nephelium lappaceum L.) dengan kosentrasi 30%, 60%, 90%
2. Variabel terikat
Diameter zona hambat ekstrak kulit buah rambutan terhadap bakteri Shigella
dysentriae.
F. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : timbangan analitik, lampu
spirtus, autoclave, ohse lurus, ohse bulat, petridisk steril, kapas, mikro pipet, pipet
steril,tabung reaksi steril, kertas saring.
2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah ekstrak kulit buah rambutan, biakan murni
Shigella dysenteriae, ethanol 70%, spiritus , media NA plate.
G. Kerangka Pikir
H. CARA KERJA
1. Pembuatan serbuk kering kulit buah rambutan
Kulit buah rambutan dicuci bersih, ditiriskan kemudian dipotong kecil-kecil
dan dikeringkan. Potongan kulit buah rambutan yang telah kering kemudian
diblender dan diayak. Serbuk kulit buah rambutan dimasukkan dalam wadah
tertutup.
2. Pengujian Kandungan Kimia
a. Identifikasi Tanin
0,5 gram serbuk kulit buah rambutan dipanaskan dengan10 ml air selama 20
menit diatas penangas air, kemudian disaring dan bagi filtrat dalam 3 tabung.
Tabung 1 ditetesi dengan gelatin 1% hasil positif ditunjukan dengan adanya
endapan. Tabung 2 ditetesi dengan FeCl3, hasil positif ditunjukan dengan
perubahan warna biru atau hijau. Tabung 3 ditetes i dengan Pb asetat, hasil
positive ditunjukan dengan terbentuknya endapan berbau amoniak.
b. Identifikasi flavonoid
0,5 g serbuk kulit buah rambutan ditambah 10 ml metanol, disari diatas
penangas air selama 10 menit (cegah jangan sampai metanol menguap)
kemudian saring selagi panas. Encerkan filtrat dengan 10 ml air dan 5 ml
petrolium eter lalu pindahkan pada corong pisah. Bagian metanol dipisahkan
dan diuapkan sampai kering. Residu yang diperoleh kemudian ditambah dengan
5 ml etil asetat, bagian yang bening diuapakan sampai kering. Residu yang
diperoleh dibasahi aseton dan ditambah dengan asam borat, asam oksalat dan
eter, kemudian diamati dibawah sianr UV pada panjang gelombang 366 nm
(hasil positif maka akan berfluororesensi kuning).
c. Identifikasi Saponin
0,5 g serbuk kulit buah rambutan dimasukan dalam tabung reaksi. Kemudian
ditambah air panas 10 ml, didinginkan lalu dikocok kuat kuat selama 10 detik.
Hasil positif bila terbentuk buih mantap setinggi 1 cm samapi 10
cm.Penambahan 1 tetes HCl 2N biuh tidak hilang.
3. Ekstraksi kulit buah rambutan
Serbuk kulit buah rambutan sebayak 50,0 gram dibungkus dengan kertas
saring kemudian dimasukan dalam alat soxhletasi, dengan penambahan etanol
70% hingga terjadi satu setengah sirkulasi. Proses ekstraksi dilakukan sampai
sampel terekstraksi semua ditandai dengan cairan penyarinya jerih. Ekstrak yang
didapat dipekatkan dengan alat evaporator sampai kental.
2. Pembuatan kultur cair dan uji pemastian bakteri Shigella dysenteriae.
Biakan murni Shigella dysenteriae di remajakan dengan cara di ambil dari
kultur murni menggunakan jarum ose di inokulasi ke dalam media NA miring
secara aseptis, kemudian di inkubasi 1 x 24 jam pada suhu 37o C. Kultur murni
Shigella dysenteriae yang telah di remajakan di inokulasi pada medium selektif
Salmonela-Shigela Agar (SSA) dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C.
Penampakan koloni yang terjadi yaitu kecil, halus, tidak berwarna, konvek, tepid,
permukaan tidak rata. Kemudian diidentifikasi berdasarkan uji biokimia,
menggunakan SIM, KIA, LIA, dan Citrat.
4. Uji daya hambat ekstrak kulit buah rambutan terhadap Shigella dysenteriae
Inokulasikan koloni sampel kuman Shigella dysenteriae dari biakan Na
miring ke dalam NaCl 0,9% steril, bandingkan kekeruhan yang terjadi dengan
standar Neflometer Mc Farland seri tabung 5 hingga diperoleh kekeruhan yang
sama. Inokulasikan suspensi tersebut secara perataan menggunakan kapas lidi
steril pada NA plate. Biarkan mengering, inkubasi pada suhu 370C selama 15
menit. Kertas cakram dengan diameter 0,6 cm dan ketebalan 0,33 mm (kertas
saring Whatman 3) yang telah dicelupkan ke dalam ekstrak kulit buah rambutan
dengan kosentrasi 30%, 60%, 90% diletakkan pada permukaan NA plate yang
telah diinokulasikan suspensi bakteri. Sebagai control positif menggunakan paper
disk antibiotik kotrimoxasol, control negatif menggunakan kertas cakram yang
dicelupkan pada aquadest steril. Inkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Daerah
bening di sekitar kertas cakram menunjukkan hasil uji positif mampu
menghambat pertumbuhan bakteri. Diameter daerah bening yang diperoleh
kemudian diukur menggunakan jangka sorong (Anonim, 1991).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 10-11, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi keempat, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Anonim, 1991. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Kedokteran. Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dalimartha, 2005, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 3, Puspa Swara,
Jakarta.
Dwidjoseputro. 1989. Dasar – Dasar Mikrobiologi Cetakan Kedua belas.
IKIP Malang : Malang.
Lamapaha,Rupilu.2008.Potensi Lengkuas (Lengkuas galangga) sebagai
Antimikroba (Studi in vitro pada bakteri gram negative).Jurnal.Jurusan
Pendidikan Biologi FKIP-Unpatti dan PPS Universitas Negeri Malang
Pratiwi, Silvia T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Penerbit Airlangga : Jakarta.
Rahayu, M.P., 2009, Uji Aktivitas Antibakteri ekstrak soxhletasi dan maserasi
buah makasar terhadap bakteri Shigella disentriae, Fakultas Biologi,
Universitas Setia Budi, Surakarta.
Voight, R., 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, edisi V, diterjemahkan
oleh Soewandhi, S.N., dan Widianto, M.B., 564, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Yudaningtyas, A.D., 2007, Uji Aktivitas Antibakteri Kulit Buah Rambutan
(Nephelium lappaceum L.) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus Dengan Metode Bioautografi, Skripi, Fakultas MIPA,
Universitas Malang, Malang.