uii skripsi 06410021 dikki ryandi 06410021 dikki ryandi 7164280859 bab 1
TRANSCRIPT
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 1/20
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic
growth) yang cukup signifikan, termasuk juga memperluas lapangan kerja,
Indonesia sangat membutuhkan modal.1 Caranya antara lain menarik penanam
modal (investor) untuk menanamkan modalnya atau berinvestasi. Salah satu
kunci utama keberhasilan dalam menarik investor adalah adanya kepastian
hukum.2 Dengan demikian, kepastian hukum itu merupakan masalah
fundamental dalam penanaman modal (investasi). Dengan adanya kepastian
hukum diharapkan investor memperoleh imbalan atau keuntungan (return)
dalam beberapa tahun kemudian.3
Arti pentingnya kepastian hukum disadari oleh para pembuat Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.4 Untuk itulah
kepastian hukum dijadikan salah satu asas dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007. Asas kepastian hukum diartikan sebagai negara meletakkan
1
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6703/kwik-indonesia-jangan-bergantung-
kepada-investor-asing, “
22 Oktober 2002; http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/05/opi01.htm,
“Ditunggu Insentif Baru bagi Investor,” Tajuk Rencana, Akses 5 Februari 2005.2 Hulman Panjaitan & Anner Mengatur Sianipar, Hukum Penanaman Modal Asing,
Indhillco, Jakarta, 2008, hlm. 10, 15 – 16.3 http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2009/11/09/brk,20091109-
207136,id.html, “Tak Ada Kepastian Hukum, Investor Tak Mau Taruh Uang,” Akses 9 November
2009.4 Selanjutnya ditulis Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 2/20
2
hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam
setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.5
Namun sayangnya, kepastian hukum hingga sekarang masih belum
dibenahi dengan baik. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam
berinvestasi, dan menyebabkan kurangnya iklim kondusif dalam berinvestasi,
yang pada akhirnya justru sangat menghambat masuknya investasi.6
Hasil survei Bank Dunia terhadap 155 negara menunjukkan, iklim
investasi di Indonesia tergolong paling buruk di antara negara-negara lain.
Iklim investasi yang dimaksudkan mencakup stabilitas ekonomi makro,
kepastian hukum, sistem perpajakan, regulasi, korupsi, ketersediaan sumber
daya manusia (SDM) terampil, dan ketersediaan infrastruktur, misalnya listrik,
jalan, pelabuhan, dan telekomunikasi. Untuk sekadar mendapatkan perizinan
di Indonesia, pemodal harus menghabiskan waktu 224 hari. Biaya minimal
yang dikeluarkan 364,9% dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto) per kapita
dan modal minimum yang dihabiskan 97,8% dari PDB per kapita.7
Khusus di bidang usaha pertambangan, ketidakpastian hukum
berinvestasi tersebut semakin bertambah komplek pada masa otonomi daerah.
Apabila dipetakan, masalah dalam pelaksanaan otonomi daerah berkaitan
dengan bidang energi dan sumber daya mineral meliputi:8
5 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.6 http://indonesiafile.com/content/view/857/61/ , “Mengkaji Iklim Investasi dan Kepastian
Hukum di Daerah,” Akses 13 Februari 2009.7 Ibid.
8Irwandy Arif, “Kepastian Hukum Sektor Pertambangan?”
http://www.korantempo.com/korantempo/email/2008/06/14/Opini/krn.20080614.133722.id.html,Akses 1 November 2009. Namun demikian ada beberapa daerah yang mengungkapkan bahwaotonomi daerah tidak menghambat masuknya investasi lokal maupun asing. Lihat
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 3/20
3
1. kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten atau kota,
2. tumpang-tindih lahan pertambangan dengan kegiatan sektor kehutanan,
royalti, dan revenue sharing antara pusat dan daerah,
3. permintaan daerah untuk dapat menerima secara langsung royalti dari
perusahan pertambangan,
4. keterbatasan akses daerah atas data produksi dan potensi energi dan
sumber daya mineral,
5. peraturan perundang-undangan yang ada belum memadai serta adanya
peraturan yang saling bertentangan dan tumpang-tindih,
6. perizinan baru yang tumpang-tindih dengan perizinan yang sebelumnya,
7. kesulitan teknis untuk mengeluarkan perizinan, khususnya Kontrak Karya
(KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara
(PKP2B),9 dan
8. persoalan yang terkait dengan program pengembangan masyarakat
(community development ).
Dalam kerangka otonomi daerah, pemimpin daerah seringkali
mengabaikan kontrak atau perjanjian yang telah disepakati oleh pihak
kontraktor pertambangan dengan pemerintah pusat. Masalah lain dalam era
otonomi daerah adalah selama ini ada kesimpangsiuran proses perizinan baik
pada tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Seringkali, izin yang sudah
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6185/tidak-benar-otonomi-daerah-hambat-investasi,“07 August 2002.
9Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara KK dan PKP2B diganti dengan rezim perizinan.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 4/20
4
diperoleh investor dari pemerintah pusat, secara tiba-tiba dibatalkan begitu
saja oleh pemerintah daerah.10
Investor batubara dan pertambangan mineral menunggu waktu yang
cukup lama untuk melakukan investasi di Indonesia. Sementara menunggu,
para penanam modal berinvestasi di tempat lain terlebih dahulu dan hal ini
sebenarnya sangat merugikan Indonesia. Pada dasarnya, permasalahan ini
sudah lama menjadi kendala utama dalam bidang pertambangan di Indonesia.
Namun pemerintah tidak segera menyelesaikannya, sehingga menyebabkan
permasalahan ini semakin berlarut-larut.11
Akibat kondisi tersebut, rencana investasi, baik untuk proyek baru
maupun proyek perluasan oleh perusahaan pertambangan yang beroperasi di
Indonesia mengalami penundaan. Beberapa rencana investasi yang mengalami
penundaan antara lain pengembangan tambang timbal (lead ) dan seng di
Sumatera Utara milik PT Dairi Prima Mineral, karena terganjal izin
pertambangan di areal hutan lindung, proyek nikel Lasamphala PT Rio Tinto
Indonesia di Sulawesi Utara, dan masalah divestasi saham PT Newmont Nusa
Tenggara.12
Masalah pungutan biaya merupakan masalah “klasik.” Adanya
pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
menimbulk an terjadinya tarik menarik “pembagian rejeki” atas “bagian
10 http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15756&cl=Berita, “Sistem Kontrak KaryaPertambangan Umum akan Diubah RUU Minerba, Akses 20 November 2006.
11 Daniri, “Menunggu Dukungan Kepastian Hukum?” http://www.madani-ri.com/2008/08/05/menunggu-dukungan-kepastian-hukum/, Akses 24 Desember 2009.
12http://web.pab-indonesia.com/content/view/19377/9/ , “Sektor Pertambangan Butuh
Kepastian Hukum,” Akses 22 Oktober 2008, 21:30 wib.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 5/20
5
pemerintah” yang diperoleh dari Kontraktor Pertambangan Umum antara
Bupati, Gubernur dan Pemerintahan Pusat, sebagaimana ditetapkan dan
ditentukan oleh Kontrak Karya dan sebagai implementasi community
development .13 Pemerintah Pusat dengan dalih pemasukan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan mewujudkan tanggung jawab
publik, serta melaksanakan amanah untuk mensejahterakan rakyat sesuai Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, berkepentingan akan adanya
kepastian “revenue atau pemasukan” dari bagian pemerintah (government
take) atas hasil dari produk pertambangan baik dari pajak, royalti, deadrent
(iuran tetap) atau iuran produksi, maupun pajak dari perusahaan jasa
pertambangan umum terkait. Sementara itu, Pemerintah Daerah dengan
alasan Pendapatan Asli Pemerintah Daerah (PAD), maka pajak dan berbagai
kewajiban lain yang dibebankan kepada perusahaan kontraktor pertambangan,
meskipun dibayarkan kepada Pemerintah Pusat, namun terdapat pajak daerah
dari penghasilan karyawan dan kontraktor lokal.14
Kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah, yang dimaknai sebagai
desentralisasi kekuasaan, telah mendorong daerah-daerah mengandalkan
sumber daya alam sebagai sumber PAD, sehingga maraklah beragam
13 Agung Supomo Suleiman , “Konsep Hukum Pertambangan Umum dan Mineral diIndonesia,” http://agungssuleiman.wordpress.com/2009/09/09/konsep-hukum-pertambangan-umum-dan-mineral-di-indonesia/, Akses 26 Desember 2009.
14 Ibid.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 6/20
6
peraturan daerah dan kebijakan pemberian izin oleh kepala daerah kepada
beragam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan oleh investor.15
Menelisik permasalahan tumpang-tindih lahan di era otonomi daerah,
pangkal permasalahan berawal dari penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor
75 Tahun 2001. Peraturan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan tersebut disusun untuk mewujudkan komitmen pemerintah
dalam melaksanakan desentralisasi di sektor pertambangan. Akan tetapi,
peraturan pemerintah yang bersifat desentralistik tersebut tidak sejalan dengan
Undang-Undang Pertambangan yang bersifat sentralistik. Kontradiksi itulah
yang menyebabkan ketidakpastian hukum tidak hanya bagi investor
prospective, tapi juga bagi investor existing. Penerbitan Peraturan Pemerintah
Nomor 75 Tahun 2001 tanpa dibarengi dengan penyusunan perangkat undang-
undang dari sektor terkait lainnya memberikan ruang diskresi bagi pemerintah
daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang bersifat sempit dan jangka
pendek.16
Dalam beberapa media massa disebutkan Gubernur Sulawesi Tenggara
H Nur Alam, Juni 2008 mengajukan sejumlah syarat untuk perpanjangan
Cooperation Resource Agreement (CRA) antara PT Inco dan PT Aneka
15 Solly Lubis, “Masalah-masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah,” Makalah
Seminar Hukum Nasional VIII: Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 14 – 18 Juli 2003, hlm. 5, 7, dan 15. Lihat juga UmarS. Tarmansyah, “Dampak Negatif Otonomi Daerah dan Peran Dephan dalam PendayagunaanSumber Daya Nasional untuk Kepentingan Pertahanan Negara, Suatu Tinjauan Analisis Makrotentang Implementasi Fungsi Pembinaan dan Pendayagunaan Sumber Daya Alam,”
http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?mnorutisi=4&vnomor=14, Akses 10 Januari 2010.16
Ibid. Lihat pula http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20797&cl=Berita, “UUMinerba, Terlalu Dini Disahkan,” Akses 24 Desember 2008.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 7/20
7
Tambang, yakni penciutan wilayah konsesi Inco dari 64.000 hektare menjadi
10.000 hektare. Inco diminta meningkatkan kontribusi sehingga mendekati
kontribusi PT Aneka Tambang, dan harus membangun pabrik pengolahannya
di Pomalaa.17
Kasus tumpang tindihnya lahan dialami oleh Rio Tinto, yang akan
mengolah nikel di lokasi tambang Lasamphala yang terletak di dua kabupaten,
yakni Morowali (Sulawesi Tengah) dan Konawe (Sulawesi Tenggara).
Perusahaan ini sejak tahun 2000 telah mendapat izin prinsip konsesi tambang
dari Pemerintah Pusat, namun Pemerintah Daerah mengeluarkan Kuasa
Pertambangan (KP) di wilayah yang sama kepada perusahaan lain. Padahal
untuk proyek ini, Rio Tinto telah menyiapkan dana hingga US$ 1 miliar untuk
mengembangkan kawasan tambang tersebut. Kasusnya ini sedang diselesaikan
melalui pengadilan.18 Berbagai keluhan itu muncul dan umumnya dialami oleh
perusahaan tambang berskala besar.19
Kasus lainnya berkaitan dengan tumpang-tindih lahan dialami oleh PT
Tambang Batu Bara Bukit Asam Tbk. (PTBA), PT Aneka Tambang Tbk., PT
Inco Tbk., dan PT Rio Tinto Indonesia merupakan kasus-kasus terkini yang
timbul akibat interpretasi peraturan dan ketiadaan pengaturan yang jelas.
Gugatan dilakukan PTBA atas keputusan Bupati Lahat dalam menerbitkan KP
17 http://web.pab-indonesia.com/content/view/19377/9/ , loc. cit.18
Ibid.19 Namun, suatu kenyataan bahwa kini cukup banyak perusahaan asing berskala kecil dan
menengah yang bergerak di sektor pertambangan di Indonesia maupun yang akan memulaiberoperasi, dan jumlahnya lebih dari 250 investasi. Hal ini merupakan kecenderungan (trend )global, yaitu adanya pergeseran dominasi dari perusahaan besar ke perusahaan berskala kecil.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 8/20
8
lain di atas lahan PTBA ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).20 Putusan
Mahkamah Agung menguatkan putusan PTUN yang menolak gugatan PTBA
memberikan ”inspirasi” bagi pemerintah di daerah penghasil sumber daya
alam mineral lainnya dalam meng”exercise” kewenangan yang dimiliki oleh
pemerintah daerah. Sudah lazim didengar adanya penerbitan KP di atas KP
lainnya. Bahkan di wilayah pemegang Kontrak Karya (KK) atau PKP2B.
Upaya Rio Tinto mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) atas kebijakan Bupati Morowali semakin mempertegas carut-marut
pengelolaan sektor pertambangan di daerah.21
Ketidakpastian juga dapat dilihat dari kondisi di lapangan yang
dihadapi oleh investor yang berbeda dengan beberapa KP, misalnya di atas
wilayah yang diberikan kepada Rio Tinto. Bahkan masalah ini dimediasi oleh
kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengingat hal itu
melibatkan lebih dari satu kementerian, yaitu Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral dan Departemen Dalam Negeri.22
Kini dengan adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara, diperkenalkan Izin Usaha
Pertambangan (IUP) di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan tidak
dipergunakan lagi Kontrak Karya bagi Investor Pertambangan Umum yang
mengajukan Izin Usaha Pertambangan Umum. Dengan demikian, konsep
dasar pemberian hak untuk melakukan kegiatan Pertambangan Umum yang 30
20 Irwandy Arif, loc. cit.21
Ibid.22
Ibid. Lihat pula http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21876&cl=Berita, “Ini DiaKisi-Kisi RPP Minerba,” Akses 1 Mei 2009.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 9/20
9
tahun lalu adalah melalui perjanjian, dengan adanya Undang-Undang yang
baru ini, akan dirubah berbentuk Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP).23
Selain Izin Usaha Pertambangan di atas, terdapat juga beberapa izin
lain, yaitu:
1. Izin Pertambangan Rakyat (IPR). IPR adalah izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas
wilayah dan investasi terbatas, untuk melakukan aktivitas pertambangan di
Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dan
2. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melaksanakan aktivitas
kegiatan pertambangan di WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan
Khusus)
Pemberian Izin dari Kuasa Pertambangan berkaitan dengan Kuasa
Pertambangan, yang dibedakan berdasarkan jenis bahan mineral serta luasnya
lahan maupun kapasitas kemampuan finansial dari pihak kontraktor (Badan
Usaha dan atau BUMN atau BUMD, koperasi maupun perorangan) yang akan
melakukan kegiatan pertambangannya. Hal yang menarik untuk ditelusuri
adalah Instansi Pemerintah mana yang berhak untuk mengeluarkan izin Kuasa
Pertambahangan tersebut, memperpanjangnya, memonitor, meminta laporan
berkala, dan mencabut izinnya, karena jaminan kestabilan investasi dengan
sistem perizinan termasuk hal yang menjadi perhatian utama investor.24
Hal itu mengingat bahwa jika pemerintah tidak mampu menciptakan
iklim kondusif bagi investasi pertambangan, maka investor akan enggan
23 Ibid.
24 Agung Supomo Suleiman, loc. cit.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 10/20
10
berinvestasi di sektor pertambangan di Indonesia. Selanjutnya apakah masalah
“tarik menarik” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan dapat
terpecahkan, jika dikaitkan dengan otonomi daerah?25
B. Rumusan Masalah
Masalah yang dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini adalah:
1. Apa saja kendala penanaman modal di bidang usaha pertambangan di
Indonesia yang menimbulkan ketidakpastian hukum?
2. Bagaimana penyelesaian atas ketidakpastian hukum dalam penanaman
modal di bidang usaha pertambangan di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis kendala penanaman modal di bidang usaha
pertambangan di Indonesia yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
2. Untuk mengkaji penyelesaian atas ketidakpastian hukum dalam
penanaman modal di bidang usaha pertambangan di Indonesia.
D. Telaah Pustaka
Istilah penanaman modal dapat disepadankan dengan investasi. Kata
investasi atau investment ini mempunyai padanan kata dalam beberapa bahasa,
yaitu investering (Belanda), investissement (Prancis), investition (Jerman),
25 http://www.antara.co.id/arc/2007/8/7/pemerintah-harus-selesaikan-konflik-investasi-pertambangan/ , “Pemerintah Harus Selesaikan Konflik Investasi Pertambangan?” Ekonomi &
Bisnis, Akses 26 Desember 2009.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 11/20
11
investimento (Italia), investimento (Portugis), dan inversión (Spanyol).26
Komaruddin memberikan rumusan investasi atas dasar aspek ekonomi, yang
memandang investasi sebagai salah satu faktor produksi disamping faktor
produksi lainnya, ke dalam tiga arti, yaitu:27
1. suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi atau penyertaan lainnya.
2. suatu tindakan membeli barang-barang modal.
3. pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi dengan pendapatan di
masa yang akan datang.
Sementara itu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 menyebutkan
penanaman modal sebagai segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh
penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan
usaha di wilayah Republik Indonesia.28 Berdasarkan pengertian itu,
penanaman modal dibagi menjadi dua yaitu penanaman modal dalam negeri
dan penanaman modal asing.29 Penanaman modal dalam negeri adalah
kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Republik
Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dari negeri dengan
menggunakan modal dalam negeri. Menurut Rai Widjaya penanaman modal
dalam negeri adalah penggunaan kekayaan baik secara langsung maupun tidak
26 http://duniabahasa.multiply.com/journal, ”Belajar Bahasa Yuk,” Akses 20 Agustus
2008.27 Hulman Panjaitan, op. cit ., 2003, hlm. 28.28 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang telah ditandatangani oleh presiden
tanggal 26 April 2007 menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang PenanamanModal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal DalamNegeri. Lihat Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, Universitas Al-Azhar Indonesia,Jakarta, 2007, hlm. 41.
29 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 12/20
12
langsung untuk menjalankan usaha menurut atau berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Penanaman Modal.30
Selanjutnya, penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal
untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh
penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya
maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.31 Penanam
modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan
atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara
Republik Indonesia.32
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dasar penanaman modal,
yaitu dengan tujuan untuk:33
1. mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi
penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional;
dan
2. mempercepat peningkatan penanaman modal.
Dalam menetapkan kebijakan tersebut, maka pemerintah:34
1. Memberikan perlakuan yang sama bagi penanaman modal dalam negeri
dan penanaman modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan
nasional. “Perlakuan yang sama” artinya Pemerintah tidak membedakan
perlakuan terhadap penanam modal yang telah menanamkan modalnya di
Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-
30 Rai Widjaya, Penanaman Modal, Pradnya Paramita, 2000, hlm. 23.31 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.32 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.33
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.34 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 13/20
13
undangan. Prinsip ini diangkat dari prinsip yang dianut dalam “Trade
Related Investment Measures sebagai isu baru (new issue) dalam World
Trade Organization (WTO)” yaitu tidak membedakan modal asing dan
modal dalam negeri yang telah berusaha di suatu negara.
2. Kebijakan dasar penanaman modal mencakup jaminan kepastian hukum,
kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanaman modal sejak
proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan
penanaman modal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Selanjutnya, kebijakan dasar penanaman modal termasuk pula membuka
kesempatan bagi perkembangan dan perlindungan kepada usaha mikro,
kecil, dan menengah, dan koperasi. Kebijakan dasar tersebut akan
diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal.
Pemerintah Indonesia mengimplementasikan ketentuan “pemerintah
memberikan perlakuan yang sama” dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007. Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam
modal yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan
penanaman modal di Indonesia sesuai dengan kententuan peraturan
perundang-undangan.35 Ketentuan ini diangkat dari prinsip WTO, yaitu “the
Most Favored Nations” atau MFN. Artinya, sesuatu ketentuan yang
diperlakukan kepada suatu negara harus diperlakukan pula kepada semua
negara anggota WTO. Ketentuan ini juga untuk menegakkan prinsip non
diskriminasi yang dianut oleh WTO. Namun, perlakuan tersebut tidak berlaku
35 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 14/20
14
bagi penanaman modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa
berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.36
Setiap penanam modal berhak mendapatkan kepastian hak, hukum,
dan perlindungan, informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang di
jalankannya, hak pelayanan, dan berbagai bentuk fasilitas kemudahaan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.37 Kepastian hak adalah
jaminan pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang
penanam modal telah melaksanakan kewajiban yang di tentukan. Selanjutnya
kepastian hukum adalah jaminan Pemerintah untuk menempatkan hukum dan
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama daslam
setiap tindakan dan kebijakan bagi penanam modal. Sedangkan keapstian
perlindungan adalah jaminan pemerintah bagi penanaman modal untuk
memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanaman modal.38
Setiap penanam modal berkewajiban untuk menerapkan prinsip tata
kelola yang baik, melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan,39 membuat
laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannnya kepada
Badan Koordinasi Penanaman Modal, menghormati tradisi budaya
masayarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal dan mematuhi
semua ketentuan peraturan perundang-undangan.40
36 Erman Rajagukguk, op. cit., hlm 46.37 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.38 Penjelasan Pasal 14 huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.39 Penjelasan Pasal 15 huruf b menyatakan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah
tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakanhubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budayamasyarakat setempat.
40 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 15/20
15
Selanjutnya tanggung jawab penanam modal adalah:
1. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
2. menanggung dan menyelesaikan segala kewajibannya dan kerugian jika
penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan
usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan,
3. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik
monopoli, dan hal lain yang merugikan negara,
4. menajga kelestarian lingkungan hidup,
5. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan
pekerja, dan
6. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.41
Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak
terbarukan (unreneable natural resources) wajib mengalokasikan dana secara
bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan
lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.42 Kewajiban ini dimaksudkan untuk
mengantisipasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan
penanaman modal.43
Untuk itu, perlu kiranya mengetahui apa saja golongan atau kriteria
penanaman modal khususnya tentang pertambangan, karena penggolongan
41 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.42
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.43 Penjelasan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 16/20
16
bahan galian akan terkait dengan pelaksana penguasaan Negara dan
pengaturan pengusahaan serta siapa atau badan apa yang berhak untuk
mengusahakannya. Namun sebenarnya membahas tentang dasar penggolongan
bahan-bahan galian, terlebih dahulu dipahami pengertian dan
karakteristiknya.44
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang
meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
kegiatan pasca tambang.45 Pertambangan Mineral adalah pertambangan
kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak
dan gas bumi, serta air tanah.46 Pertambangan Batubara adalah pertambangan
endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat,
gambut, dan batuan aspal.47
Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan
merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kesejahteraan rakyat. Penguasaan mineral dan batubara oleh negara
diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau pemerintah daerah.48 Untuk itu baik
Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten maupun Kota masing-masing memiliki
44 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 85.45 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara. Selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.46 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.47
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.48 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 17/20
17
kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai 8 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009.
Usaha pertambangan dilaksanakan dalam bentuk:49
1. Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha
pertambangan.50
2. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk melaksanakan usaha
pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah
dan investasi terbatas,51 dan
3. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.52
E. Metode Penelitian
1. Fokus Penelitian
a. ketidakpastian hukum.
b. penanaman modal.
c. usaha pertambangan.
2. Sumber Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu
bahan hukum yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang berupa
bahan-bahan hukum yang terdiri dari:53
49 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.50 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.51
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.52 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 18/20
18
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang
terdiri dari:
1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Penanaman
Modal.
2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari
buku-buku literatur, makalah, artikel, hasil penelitian, dan karya ilmiah
lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu yaitu bahan hukum yang memberi
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, yang terdiri dari:
1) Kamus Hukum
2) Kamus Inggris – Indonesia
3) Ensiklopedia
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian kepustakaan ini dilakukan
dengan cara studi dokumen, yaitu mempelajari, mengkaji dan menelaah
bahan-bahan hukum baik yang berupa bahan hukum hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
4. Metode Pendekatan
53Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 13.
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 19/20
19
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif, yaitu menganalisis permasalahan dari sudut pandang atau
menurut ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku.
5. Analisis Bahan Hukum
Metode analisis bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan
sesuai dengan permasalahan dalam penelitian.
b. Hasil klasifikasi selanjutnya disistematisasikan.
c. Bahan hukum yang telah disistematisasikan selanjutnya dianalisis
untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.
F. Kerangka Penulisan
Bab I adalah pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan
kerangka penulisan.
Bab II adalah tinjauan umum penanaman modal dan hukum
pertambangan. Bab ini dimulai dengan pembahasan penanaman modal yang
berisi bentuk badan usaha dan kedudukan hukumnya, perlakuan terhadap
penanaman modal, bidang usaha, hak, kewajiban, dan tanggung jawab
penanaman modal, serta fasilitas penanaman modal. Pembahasan selanjutnya
5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 20/20
20
tentang hukum pertambangan, yaitu pengertian pertambangan, penguasaan
mineral dan batu bara, kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara, wilayah pertambangan, usaha pertambangan.
Bab III adalah kepastian hukum penanaman modal di bidang usaha
pertambangan. Bab ini diawali dengan pembahasan kendala penanaman modal
di bidang usaha pertambangan di Indonesia yang menimbulkan ketidakpastian
hukum. Pembahasan di lanjutkan dengan penyelesaian atas ketidakpastian
hukum dalam penanaman modal di bidang usaha pertambangan di Indonesia.
Akhirnya bab IV adalah penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.