uii skripsi 06410021 dikki ryandi 06410021 dikki ryandi 7164280859 bab 1

20
1 BAB I PENDAHULUAN A. Lat ar Belakang Ma sal ah Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi ( economic growth) yang cukup signifikan, termasuk juga memperluas lapangan kerja, Indonesia sangat membutuhkan modal. 1 Carany a antar a lain menarik penan am modal (investor) untuk menanamkan modalnya atau berinvestasi. Salah satu kunci utama keber hasila n dala m men arik in vesto r adala h ada nya kepasti an hukum. 2 Dengan demikian, kepastian hukum itu merupakan masalah funda mental dalam pena naman modal ( invest asi). Dengan adany a kepas tian hukum dih arapk an invest or memper oleh imbal an atau keuntu ngan ( return) dalam beberapa tahun kemudian. 3 Arti pentingnya kepastian hukum disadari oleh para pembuat Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 4 Untuk itulah kepastian hukum dijadikan salah satu asas dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Asas kepastian hukum diartikan sebagai negara meletakkan 1 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6703/kwik-indonesia-jangan-bergantung- kepada-investor-asing, 22 Oktober 2002; http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/05/opi01.htm, “Ditunggu Insentif Baru bagi Investor,” Tajuk Rencana, Akses 5 Februari 2005. 2 Hulman Panjaitan & Anner Mengatur Sianipar,  Hukum Penanaman Modal Asing, Indhillco, Jakarta, 2008, hlm. 10, 15  16. 3 http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2009/11/09/brk,20091109- 207136,id.html, “Tak Ada Kepastian Hukum, Investor Tak Mau Taruh Uang,” Akses 9 November 2009. 4 Selanjutnya ditulis Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

Upload: beted-betenus

Post on 06-Jul-2015

87 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 1/20

 

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic

growth) yang cukup signifikan, termasuk juga memperluas lapangan kerja,

Indonesia sangat membutuhkan modal.1 Caranya antara lain menarik penanam

modal (investor) untuk menanamkan modalnya atau berinvestasi. Salah satu

kunci utama keberhasilan dalam menarik investor adalah adanya kepastian

hukum.2 Dengan demikian, kepastian hukum itu merupakan masalah

fundamental dalam penanaman modal (investasi). Dengan adanya kepastian

hukum diharapkan investor memperoleh imbalan atau keuntungan (return)

dalam beberapa tahun kemudian.3

Arti pentingnya kepastian hukum disadari oleh para pembuat Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.4 Untuk itulah

kepastian hukum dijadikan salah satu asas dalam Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2007. Asas kepastian hukum diartikan sebagai negara meletakkan

1

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6703/kwik-indonesia-jangan-bergantung-

 

kepada-investor-asing, “

 

22 Oktober 2002; http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/05/opi01.htm,

 

“Ditunggu Insentif Baru bagi Investor,” Tajuk Rencana, Akses 5 Februari 2005.2 Hulman Panjaitan & Anner Mengatur Sianipar,   Hukum Penanaman Modal Asing,

Indhillco, Jakarta, 2008, hlm. 10, 15 – 16.3 http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2009/11/09/brk,20091109-

207136,id.html, “Tak Ada Kepastian Hukum, Investor Tak Mau Taruh Uang,” Akses 9 November

2009.4 Selanjutnya ditulis Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

Page 2: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 2/20

 

2

hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam

setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.5

Namun sayangnya, kepastian hukum hingga sekarang masih belum

dibenahi dengan baik. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam

berinvestasi, dan menyebabkan kurangnya iklim kondusif dalam berinvestasi,

yang pada akhirnya justru sangat menghambat masuknya investasi.6

Hasil survei Bank Dunia terhadap 155 negara menunjukkan, iklim

investasi di Indonesia tergolong paling buruk di antara negara-negara lain.

Iklim investasi yang dimaksudkan mencakup stabilitas ekonomi makro,

kepastian hukum, sistem perpajakan, regulasi, korupsi, ketersediaan sumber

daya manusia (SDM) terampil, dan ketersediaan infrastruktur, misalnya listrik,

  jalan, pelabuhan, dan telekomunikasi. Untuk sekadar mendapatkan perizinan

di Indonesia, pemodal harus menghabiskan waktu 224 hari. Biaya minimal

yang dikeluarkan 364,9% dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto) per kapita

dan modal minimum yang dihabiskan 97,8% dari PDB per kapita.7

Khusus di bidang usaha pertambangan, ketidakpastian hukum

berinvestasi tersebut semakin bertambah komplek pada masa otonomi daerah.

Apabila dipetakan, masalah dalam pelaksanaan otonomi daerah berkaitan

dengan bidang energi dan sumber daya mineral meliputi:8

5 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.6 http://indonesiafile.com/content/view/857/61/ , “Mengkaji Iklim Investasi dan Kepastian

Hukum di Daerah,” Akses 13 Februari 2009.7 Ibid.

8Irwandy Arif, “Kepastian Hukum Sektor Pertambangan?”

http://www.korantempo.com/korantempo/email/2008/06/14/Opini/krn.20080614.133722.id.html,Akses 1 November 2009. Namun demikian ada beberapa daerah yang mengungkapkan bahwaotonomi daerah tidak menghambat masuknya investasi lokal maupun asing. Lihat

Page 3: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 3/20

 

3

1. kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten atau kota,

2. tumpang-tindih lahan pertambangan dengan kegiatan sektor kehutanan,

royalti, dan revenue sharing antara pusat dan daerah,

3. permintaan daerah untuk dapat menerima secara langsung royalti dari

perusahan pertambangan,

4. keterbatasan akses daerah atas data produksi dan potensi energi dan

sumber daya mineral,

5. peraturan perundang-undangan yang ada belum memadai serta adanya

peraturan yang saling bertentangan dan tumpang-tindih,

6. perizinan baru yang tumpang-tindih dengan perizinan yang sebelumnya,

7. kesulitan teknis untuk mengeluarkan perizinan, khususnya Kontrak Karya

(KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara

(PKP2B),9 dan

8. persoalan yang terkait dengan program pengembangan masyarakat

(community development ).

Dalam kerangka otonomi daerah, pemimpin daerah seringkali

mengabaikan kontrak atau perjanjian yang telah disepakati oleh pihak 

kontraktor pertambangan dengan pemerintah pusat. Masalah lain dalam era

otonomi daerah adalah selama ini ada kesimpangsiuran proses perizinan baik 

pada tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Seringkali, izin yang sudah

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6185/tidak-benar-otonomi-daerah-hambat-investasi,“07 August 2002.

9Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara KK dan PKP2B diganti dengan rezim perizinan.

Page 4: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 4/20

 

4

diperoleh investor dari pemerintah pusat, secara tiba-tiba dibatalkan begitu

saja oleh pemerintah daerah.10

Investor batubara dan pertambangan mineral menunggu waktu yang

cukup lama untuk melakukan investasi di Indonesia. Sementara menunggu,

para penanam modal berinvestasi di tempat lain terlebih dahulu dan hal ini

sebenarnya sangat merugikan Indonesia. Pada dasarnya, permasalahan ini

sudah lama menjadi kendala utama dalam bidang pertambangan di Indonesia.

Namun pemerintah tidak segera menyelesaikannya, sehingga menyebabkan

permasalahan ini semakin berlarut-larut.11

Akibat kondisi tersebut, rencana investasi, baik untuk proyek baru

maupun proyek perluasan oleh perusahaan pertambangan yang beroperasi di

Indonesia mengalami penundaan. Beberapa rencana investasi yang mengalami

penundaan antara lain pengembangan tambang timbal (lead ) dan seng di

Sumatera Utara milik PT Dairi Prima Mineral, karena terganjal izin

pertambangan di areal hutan lindung, proyek nikel Lasamphala PT Rio Tinto

Indonesia di Sulawesi Utara, dan masalah divestasi saham PT Newmont Nusa

Tenggara.12

Masalah pungutan biaya merupakan masalah “klasik.” Adanya

pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,

menimbulk an terjadinya tarik menarik “pembagian rejeki” atas “bagian

10 http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15756&cl=Berita, “Sistem Kontrak KaryaPertambangan Umum akan Diubah RUU Minerba, Akses 20 November 2006.

11 Daniri, “Menunggu Dukungan Kepastian Hukum?” http://www.madani-ri.com/2008/08/05/menunggu-dukungan-kepastian-hukum/, Akses 24 Desember 2009.

12http://web.pab-indonesia.com/content/view/19377/9/ , “Sektor Pertambangan Butuh

Kepastian Hukum,” Akses 22 Oktober 2008, 21:30 wib.

Page 5: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 5/20

 

5

pemerintah” yang diperoleh dari Kontraktor Pertambangan Umum antara

Bupati, Gubernur dan Pemerintahan Pusat, sebagaimana ditetapkan dan

ditentukan oleh Kontrak Karya dan sebagai implementasi community

development .13 Pemerintah Pusat dengan dalih pemasukan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan mewujudkan tanggung jawab

publik, serta melaksanakan amanah untuk mensejahterakan rakyat sesuai Pasal

33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, berkepentingan akan adanya

kepastian “revenue atau pemasukan” dari bagian pemerintah (government 

take) atas hasil dari produk pertambangan baik dari pajak, royalti, deadrent 

(iuran tetap) atau iuran produksi, maupun pajak dari perusahaan jasa

pertambangan umum terkait. Sementara itu, Pemerintah Daerah dengan

alasan Pendapatan Asli Pemerintah Daerah (PAD), maka pajak dan berbagai

kewajiban lain yang dibebankan kepada perusahaan kontraktor pertambangan,

meskipun dibayarkan kepada Pemerintah Pusat, namun terdapat pajak daerah

dari penghasilan karyawan dan kontraktor lokal.14

Kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah, yang dimaknai sebagai

desentralisasi kekuasaan, telah mendorong daerah-daerah mengandalkan

sumber daya alam sebagai sumber PAD, sehingga maraklah beragam

13 Agung Supomo Suleiman , “Konsep Hukum Pertambangan Umum dan Mineral diIndonesia,” http://agungssuleiman.wordpress.com/2009/09/09/konsep-hukum-pertambangan-umum-dan-mineral-di-indonesia/, Akses 26 Desember 2009.

14 Ibid.

Page 6: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 6/20

 

6

peraturan daerah dan kebijakan pemberian izin oleh kepala daerah kepada

beragam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan oleh investor.15

Menelisik permasalahan tumpang-tindih lahan di era otonomi daerah,

pangkal permasalahan berawal dari penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor

75 Tahun 2001. Peraturan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok 

Pertambangan tersebut disusun untuk mewujudkan komitmen pemerintah

dalam melaksanakan desentralisasi di sektor pertambangan. Akan tetapi,

peraturan pemerintah yang bersifat desentralistik tersebut tidak sejalan dengan

Undang-Undang Pertambangan yang bersifat sentralistik. Kontradiksi itulah

yang menyebabkan ketidakpastian hukum tidak hanya bagi investor

 prospective, tapi juga bagi investor existing. Penerbitan Peraturan Pemerintah

Nomor 75 Tahun 2001 tanpa dibarengi dengan penyusunan perangkat undang-

undang dari sektor terkait lainnya memberikan ruang diskresi bagi pemerintah

daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang bersifat sempit dan jangka

pendek.16

Dalam beberapa media massa disebutkan Gubernur Sulawesi Tenggara

H Nur Alam, Juni 2008 mengajukan sejumlah syarat untuk perpanjangan

Cooperation Resource Agreement  (CRA) antara PT Inco dan PT Aneka

15 Solly Lubis, “Masalah-masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah,”  Makalah

Seminar Hukum Nasional VIII: Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan,

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 14 – 18 Juli 2003, hlm. 5, 7, dan 15. Lihat juga UmarS. Tarmansyah, “Dampak Negatif Otonomi Daerah dan Peran Dephan dalam PendayagunaanSumber Daya Nasional untuk Kepentingan Pertahanan Negara, Suatu Tinjauan Analisis Makrotentang Implementasi Fungsi Pembinaan dan Pendayagunaan Sumber Daya Alam,”

http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?mnorutisi=4&vnomor=14, Akses 10 Januari 2010.16

 Ibid. Lihat pula http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20797&cl=Berita, “UUMinerba, Terlalu Dini Disahkan,” Akses 24 Desember 2008.

Page 7: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 7/20

 

7

Tambang, yakni penciutan wilayah konsesi Inco dari 64.000 hektare menjadi

10.000 hektare. Inco diminta meningkatkan kontribusi sehingga mendekati

kontribusi PT Aneka Tambang, dan harus membangun pabrik pengolahannya

di Pomalaa.17

Kasus tumpang tindihnya lahan dialami oleh Rio Tinto, yang akan

mengolah nikel di lokasi tambang Lasamphala yang terletak di dua kabupaten,

yakni Morowali (Sulawesi Tengah) dan Konawe (Sulawesi Tenggara).

Perusahaan ini sejak tahun 2000 telah mendapat izin prinsip konsesi tambang

dari Pemerintah Pusat, namun Pemerintah Daerah mengeluarkan Kuasa

Pertambangan (KP) di wilayah yang sama kepada perusahaan lain. Padahal

untuk proyek ini, Rio Tinto telah menyiapkan dana hingga US$ 1 miliar untuk 

mengembangkan kawasan tambang tersebut. Kasusnya ini sedang diselesaikan

melalui pengadilan.18 Berbagai keluhan itu muncul dan umumnya dialami oleh

perusahaan tambang berskala besar.19

Kasus lainnya berkaitan dengan tumpang-tindih lahan dialami oleh PT

Tambang Batu Bara Bukit Asam Tbk. (PTBA), PT Aneka Tambang Tbk., PT

Inco Tbk., dan PT Rio Tinto Indonesia merupakan kasus-kasus terkini yang

timbul akibat interpretasi peraturan dan ketiadaan pengaturan yang jelas.

Gugatan dilakukan PTBA atas keputusan Bupati Lahat dalam menerbitkan KP

17 http://web.pab-indonesia.com/content/view/19377/9/ , loc. cit.18

 Ibid.19 Namun, suatu kenyataan bahwa kini cukup banyak perusahaan asing berskala kecil dan

menengah yang bergerak di sektor pertambangan di Indonesia maupun yang akan memulaiberoperasi, dan jumlahnya lebih dari 250 investasi. Hal ini merupakan kecenderungan (trend )global, yaitu adanya pergeseran dominasi dari perusahaan besar ke perusahaan berskala kecil.

Page 8: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 8/20

 

8

lain di atas lahan PTBA ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).20 Putusan

Mahkamah Agung menguatkan putusan PTUN yang menolak gugatan PTBA

memberikan ”inspirasi” bagi pemerintah di daerah penghasil sumber daya

alam mineral lainnya dalam meng”exercise” kewenangan yang dimiliki oleh

pemerintah daerah. Sudah lazim didengar adanya penerbitan KP di atas KP

lainnya. Bahkan di wilayah pemegang Kontrak Karya (KK) atau PKP2B.

Upaya Rio Tinto mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara

(PTUN) atas kebijakan Bupati Morowali semakin mempertegas carut-marut

pengelolaan sektor pertambangan di daerah.21

Ketidakpastian juga dapat dilihat dari kondisi di lapangan yang

dihadapi oleh investor yang berbeda dengan beberapa KP, misalnya di atas

wilayah yang diberikan kepada Rio Tinto. Bahkan masalah ini dimediasi oleh

kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengingat hal itu

melibatkan lebih dari satu kementerian, yaitu Departemen Energi dan Sumber

Daya Mineral dan Departemen Dalam Negeri.22

Kini dengan adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batu Bara, diperkenalkan Izin Usaha

Pertambangan (IUP) di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan tidak 

dipergunakan lagi Kontrak Karya bagi Investor Pertambangan Umum yang

mengajukan Izin Usaha Pertambangan Umum. Dengan demikian, konsep

dasar pemberian hak untuk melakukan kegiatan Pertambangan Umum yang 30

20 Irwandy Arif, loc. cit.21

 Ibid.22

 Ibid. Lihat pula http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21876&cl=Berita, “Ini DiaKisi-Kisi RPP Minerba,” Akses 1 Mei 2009.

Page 9: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 9/20

 

9

tahun lalu adalah melalui perjanjian, dengan adanya Undang-Undang yang

baru ini, akan dirubah berbentuk Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP).23

Selain Izin Usaha Pertambangan di atas, terdapat juga beberapa izin

lain, yaitu:

1. Izin Pertambangan Rakyat (IPR). IPR adalah izin untuk melaksanakan

usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas

wilayah dan investasi terbatas, untuk melakukan aktivitas pertambangan di

Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dan

2. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melaksanakan aktivitas

kegiatan pertambangan di WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan

Khusus)

Pemberian Izin dari Kuasa Pertambangan berkaitan dengan Kuasa

Pertambangan, yang dibedakan berdasarkan jenis bahan mineral serta luasnya

lahan maupun kapasitas kemampuan finansial dari pihak kontraktor (Badan

Usaha dan atau BUMN atau BUMD, koperasi maupun perorangan) yang akan

melakukan kegiatan pertambangannya. Hal yang menarik untuk ditelusuri

adalah Instansi Pemerintah mana yang berhak untuk mengeluarkan izin Kuasa

Pertambahangan tersebut, memperpanjangnya, memonitor, meminta laporan

berkala, dan mencabut izinnya, karena jaminan kestabilan investasi dengan

sistem perizinan termasuk hal yang menjadi perhatian utama investor.24

Hal itu mengingat bahwa jika pemerintah tidak mampu menciptakan

iklim kondusif bagi investasi pertambangan, maka investor akan enggan

23 Ibid.

24 Agung Supomo Suleiman, loc. cit.

Page 10: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 10/20

 

10

berinvestasi di sektor pertambangan di Indonesia. Selanjutnya apakah masalah

“tarik menarik” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan dapat

terpecahkan, jika dikaitkan dengan otonomi daerah?25

B. Rumusan Masalah

Masalah yang dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini adalah:

1. Apa saja kendala penanaman modal di bidang usaha pertambangan di

Indonesia yang menimbulkan ketidakpastian hukum?

2. Bagaimana penyelesaian atas ketidakpastian hukum dalam penanaman

modal di bidang usaha pertambangan di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis kendala penanaman modal di bidang usaha

pertambangan di Indonesia yang menimbulkan ketidakpastian hukum.

2. Untuk mengkaji penyelesaian atas ketidakpastian hukum dalam

penanaman modal di bidang usaha pertambangan di Indonesia.

D. Telaah Pustaka

Istilah penanaman modal dapat disepadankan dengan investasi. Kata

investasi atau investment ini mempunyai padanan kata dalam beberapa bahasa,

yaitu investering (Belanda), investissement  (Prancis), investition (Jerman),

25 http://www.antara.co.id/arc/2007/8/7/pemerintah-harus-selesaikan-konflik-investasi-pertambangan/ , “Pemerintah Harus Selesaikan Konflik Investasi Pertambangan?”   Ekonomi &

 Bisnis, Akses 26 Desember 2009.

Page 11: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 11/20

 

11

investimento (Italia), investimento (Portugis), dan inversión (Spanyol).26

Komaruddin memberikan rumusan investasi atas dasar aspek ekonomi, yang

memandang investasi sebagai salah satu faktor produksi disamping faktor

produksi lainnya, ke dalam tiga arti, yaitu:27

1. suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi atau penyertaan lainnya.

2. suatu tindakan membeli barang-barang modal.

3. pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi dengan pendapatan di

masa yang akan datang.

Sementara itu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 menyebutkan

penanaman modal sebagai segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh

penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan

usaha di wilayah Republik Indonesia.28 Berdasarkan pengertian itu,

penanaman modal dibagi menjadi dua yaitu penanaman modal dalam negeri

dan penanaman modal asing.29 Penanaman modal dalam negeri adalah

kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Republik 

Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dari negeri dengan

menggunakan modal dalam negeri. Menurut Rai Widjaya penanaman modal

dalam negeri adalah penggunaan kekayaan baik secara langsung maupun tidak 

26 http://duniabahasa.multiply.com/journal, ”Belajar Bahasa Yuk,” Akses 20 Agustus

2008.27 Hulman Panjaitan, op. cit ., 2003, hlm. 28.28 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang telah ditandatangani oleh presiden

tanggal 26 April 2007 menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang PenanamanModal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal DalamNegeri. Lihat Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, Universitas Al-Azhar Indonesia,Jakarta, 2007, hlm. 41.

29 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

Page 12: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 12/20

 

12

langsung untuk menjalankan usaha menurut atau berdasarkan ketentuan

Undang-Undang Penanaman Modal.30

Selanjutnya, penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal

untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh

penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya

maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.31 Penanam

modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan

atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara

Republik Indonesia.32

Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dasar penanaman modal,

yaitu dengan tujuan untuk:33

1. mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi

penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional;

dan

2. mempercepat peningkatan penanaman modal.

Dalam menetapkan kebijakan tersebut, maka pemerintah:34

1. Memberikan perlakuan yang sama bagi penanaman modal dalam negeri

dan penanaman modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan

nasional. “Perlakuan yang sama” artinya Pemerintah tidak membedakan

perlakuan terhadap penanam modal yang telah menanamkan modalnya di

Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-

30 Rai Widjaya, Penanaman Modal, Pradnya Paramita, 2000, hlm. 23.31 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.32 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.33

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.34 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

Page 13: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 13/20

 

13

undangan. Prinsip ini diangkat dari prinsip yang dianut dalam “Trade

 Related Investment Measures sebagai isu baru (new issue) dalam World 

Trade Organization (WTO)” yaitu tidak membedakan modal asing dan

modal dalam negeri yang telah berusaha di suatu negara.

2. Kebijakan dasar penanaman modal mencakup jaminan kepastian hukum,

kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanaman modal sejak 

proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan

penanaman modal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

3. Selanjutnya, kebijakan dasar penanaman modal termasuk pula membuka

kesempatan bagi perkembangan dan perlindungan kepada usaha mikro,

kecil, dan menengah, dan koperasi. Kebijakan dasar tersebut akan

diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal.

Pemerintah Indonesia mengimplementasikan ketentuan “pemerintah

memberikan perlakuan yang sama” dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2007. Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam

modal yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan

penanaman modal di Indonesia sesuai dengan kententuan peraturan

perundang-undangan.35 Ketentuan ini diangkat dari prinsip WTO, yaitu “the

 Most Favored Nations” atau MFN. Artinya, sesuatu ketentuan yang

diperlakukan kepada suatu negara harus diperlakukan pula kepada semua

negara anggota WTO. Ketentuan ini juga untuk menegakkan prinsip non

diskriminasi yang dianut oleh WTO. Namun, perlakuan tersebut tidak berlaku

35 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

Page 14: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 14/20

 

14

bagi penanaman modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa

berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.36

Setiap penanam modal berhak mendapatkan kepastian hak, hukum,

dan perlindungan, informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang di

 jalankannya, hak pelayanan, dan berbagai bentuk fasilitas kemudahaan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.37 Kepastian hak adalah

  jaminan pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang

penanam modal telah melaksanakan kewajiban yang di tentukan. Selanjutnya

kepastian hukum adalah jaminan Pemerintah untuk menempatkan hukum dan

ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama daslam

setiap tindakan dan kebijakan bagi penanam modal. Sedangkan keapstian

perlindungan adalah jaminan pemerintah bagi penanaman modal untuk 

memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanaman modal.38

Setiap penanam modal berkewajiban untuk menerapkan prinsip tata

kelola yang baik, melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan,39 membuat

laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannnya kepada

Badan Koordinasi Penanaman Modal, menghormati tradisi budaya

masayarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal dan mematuhi

semua ketentuan peraturan perundang-undangan.40

36 Erman Rajagukguk, op. cit., hlm 46.37 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.38 Penjelasan Pasal 14 huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.39 Penjelasan Pasal 15 huruf b menyatakan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah

tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakanhubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budayamasyarakat setempat.

40 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

Page 15: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 15/20

 

15

Selanjutnya tanggung jawab penanam modal adalah:

1. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak 

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

2. menanggung dan menyelesaikan segala kewajibannya dan kerugian jika

penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan

usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan,

3. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik 

monopoli, dan hal lain yang merugikan negara,

4. menajga kelestarian lingkungan hidup,

5. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan

pekerja, dan

6. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.41

Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak 

terbarukan (unreneable natural resources) wajib mengalokasikan dana secara

bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan

lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.42 Kewajiban ini dimaksudkan untuk 

mengantisipasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan

penanaman modal.43

Untuk itu, perlu kiranya mengetahui apa saja golongan atau kriteria

penanaman modal khususnya tentang pertambangan, karena penggolongan

41 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.42

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.43 Penjelasan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

Page 16: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 16/20

 

16

bahan galian akan terkait dengan pelaksana penguasaan Negara dan

pengaturan pengusahaan serta siapa atau badan apa yang berhak untuk 

mengusahakannya. Namun sebenarnya membahas tentang dasar penggolongan

bahan-bahan galian, terlebih dahulu dipahami pengertian dan

karakteristiknya.44

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam

rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang

meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,

penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta

kegiatan pasca tambang.45 Pertambangan Mineral adalah pertambangan

kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak 

dan gas bumi, serta air tanah.46 Pertambangan Batubara adalah pertambangan

endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat,

gambut, dan batuan aspal.47

Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan

merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar

kesejahteraan rakyat. Penguasaan mineral dan batubara oleh negara

diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau pemerintah daerah.48 Untuk itu baik 

Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten maupun Kota masing-masing memiliki

44 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 85.45 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara. Selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.46 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.47

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.48 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.

Page 17: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 17/20

 

17

kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai 8 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2009.

Usaha pertambangan dilaksanakan dalam bentuk:49

1. Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha

pertambangan.50

2. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk melaksanakan usaha

pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah

dan investasi terbatas,51 dan

3. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin untuk melaksanakan

usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.52

E. Metode Penelitian

1. Fokus Penelitian

a. ketidakpastian hukum.

b. penanaman modal.

c. usaha pertambangan.

2. Sumber Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu

bahan hukum yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang berupa

bahan-bahan hukum yang terdiri dari:53

49 Pasal 35 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.50 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.51

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.52 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.

Page 18: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 18/20

 

18

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang

terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Penanaman

Modal.

2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari

buku-buku literatur, makalah, artikel, hasil penelitian, dan karya ilmiah

lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu yaitu bahan hukum yang memberi

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, yang terdiri dari:

1) Kamus Hukum

2) Kamus Inggris – Indonesia

3) Ensiklopedia

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian kepustakaan ini dilakukan

dengan cara studi dokumen, yaitu mempelajari, mengkaji dan menelaah

bahan-bahan hukum baik yang berupa bahan hukum hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

4. Metode Pendekatan

53Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 13.

Page 19: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 19/20

 

19

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif, yaitu menganalisis permasalahan dari sudut pandang atau

menurut ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku.

5. Analisis Bahan Hukum

Metode analisis bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah deskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah

sebagai berikut:

a. Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan

sesuai dengan permasalahan dalam penelitian.

b. Hasil klasifikasi selanjutnya disistematisasikan.

c. Bahan hukum yang telah disistematisasikan selanjutnya dianalisis

untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.

F. Kerangka Penulisan

Bab I adalah pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan

kerangka penulisan.

Bab II adalah tinjauan umum penanaman modal dan hukum

pertambangan. Bab ini dimulai dengan pembahasan penanaman modal yang

berisi bentuk badan usaha dan kedudukan hukumnya, perlakuan terhadap

penanaman modal, bidang usaha, hak, kewajiban, dan tanggung jawab

penanaman modal, serta fasilitas penanaman modal. Pembahasan selanjutnya

Page 20: Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1

5/7/2018 Uii Skripsi 06410021 Dikki Ryandi 06410021 DIKKI RYANDI 7164280859 Bab 1 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/uii-skripsi-06410021-dikki-ryandi-06410021-dikki-ryandi-7164280859-bab-1 20/20

 

20

tentang hukum pertambangan, yaitu pengertian pertambangan, penguasaan

mineral dan batu bara, kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan

batubara, wilayah pertambangan, usaha pertambangan.

Bab III adalah kepastian hukum penanaman modal di bidang usaha

pertambangan. Bab ini diawali dengan pembahasan kendala penanaman modal

di bidang usaha pertambangan di Indonesia yang menimbulkan ketidakpastian

hukum. Pembahasan di lanjutkan dengan penyelesaian atas ketidakpastian

hukum dalam penanaman modal di bidang usaha pertambangan di Indonesia.

Akhirnya bab IV adalah penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.