uasi ilmu sastra

23
1 KOLONIALISME DALAM NOVEL JEJAK LANGKAH KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (Kajian Poskolonial) 1. Latar Belakang Masalah Sebagaimana banyak karya seni, sastra tidak lahir dalam sebuah kevakuman, sastra adalah seni kreatif yang dihasilkan oleh seorang pengarang yang bersumber dari kehidupan pribadi pengarang sendiri maupun bersumber dari lingkungan masyarakat sekitar, kemudian diolah melalui proses imajinasi. Dalam penciptaan karya sastra, pengarang merekam gejala-gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat yang menjadi inspirasi lahirnya suatu karya sastra. Segala fenomena dan permasalahan dalam masyarakat dijadikan objek dalam dunia sastra. Luxemburg (1989:23) mengungkapkan bahwa karya sastra dapat dipandang sebagai gejala sosial. Ia merupakan cermin kehidupan, hal itu berarti bahwa sastra dapat menggambarkan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, jadi lingkungan sosial yang terdapat di sekeliling pengarang sangat memengaruhi lahirnya suatu karya sastra. Pengarang mengadakan pengamatan pada suatu masyarakat dan mengidentifikasi segala fenomena yang terjadi di dalamnya, kemudian dijadikan objek suatu karya sastra. Segala peristiwa terutama peristiwa-peristiwa penting

Upload: nia-budiana

Post on 01-Jul-2015

69 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: UASi ILMU SASTRA

1

KOLONIALISME DALAM NOVEL JEJAK LANGKAH KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

(Kajian Poskolonial)

1. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana banyak karya seni, sastra tidak lahir dalam sebuah

kevakuman, sastra adalah seni kreatif yang dihasilkan oleh seorang pengarang

yang bersumber dari kehidupan pribadi pengarang sendiri maupun bersumber dari

lingkungan masyarakat sekitar, kemudian diolah melalui proses imajinasi.

Dalam penciptaan karya sastra, pengarang merekam gejala-gejala sosial

yang terjadi dalam masyarakat yang menjadi inspirasi lahirnya suatu karya sastra.

Segala fenomena dan permasalahan dalam masyarakat dijadikan objek dalam

dunia sastra. Luxemburg (1989:23) mengungkapkan bahwa karya sastra dapat

dipandang sebagai gejala sosial. Ia merupakan cermin kehidupan, hal itu berarti

bahwa sastra dapat menggambarkan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan

masyarakat, jadi lingkungan sosial yang terdapat di sekeliling pengarang sangat

memengaruhi lahirnya suatu karya sastra. Pengarang mengadakan pengamatan

pada suatu masyarakat dan mengidentifikasi segala fenomena yang terjadi di

dalamnya, kemudian dijadikan objek suatu karya sastra. Segala peristiwa terutama

peristiwa-peristiwa penting dan momen-momen bersejarah yang telah terjadi

dalam suatu masyarakat merupakan hal yang menarik untuk diangkat menjadi

karya sastra, pengarang menjadikan sejarah sebagai inspirasi dalam pembuatan

karya sastra.

Sepanjang perjalanan sejarah, bangsa Indonesia merupakan salah satu

negara yang pernah mengalami penjajahan selama 3,5 abad, bangsa Indonesia

tidak mungkin lepas dari konstruksi kolonial, imperalisme, dan kolonialisme

Belanda yang pernah terjadi di Indonesia. Imperalisme telah meninggalkan kisah

dan fakta yang menyedihkan. Imperialisme tidak hanya memposisikan wilayah

jajahan sebagai suatu wilayah tempat terbukanya peluang bagi eksploitasi sumber

ekonomi, melainkan juga sebuah dunia sosial dalam kultur asing yang berbeda

dari dunia sosial yang terjajah.

Page 2: UASi ILMU SASTRA

2

Tidak semua bangsa terjajah menerima secara pasif kondisi kolonial

tersebut. Mereka melakukan semacam perlawanan terhadap bentuk-bentuk

kolonial. Para golongan terdidik juga tergerak merumuskan dan juga

memperjuangkan terciptanya masyarakat yang memiliki identitas dan budaya

nasional sebagai alat pemersatu untuk membedakan identitas muka dengan bangsa

Barat.

Selama ini, hubungan antara penjajah-terjajah atau bekas jajahan adalah

hubungan yang hegemonik, penjajah sebagai keluarga superior dibandingkan

dengan pihak terjajah yang inferior. Hubungan penjajah dan terjajah yang bersifat

hegemonik, maka muncullah yang disebut dominasi dan subordinasi, dari pola

hubungan tersebut muncullah gambaran yang tidak menyenangkan mengenai

pihak terjajah sebagai kelompok masyarakat Bar-bar tidak beradab, bodoh, aneh,

mistis dan tidak rasional (Gandhi:2001)

Sesuai dengan berbagai pendapat yang telah dijelaskan, maka dapat

disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kolonial tidak hanya berupa penindasan, tetapi

juga berupa dominasi terhadap kehidupan sosial terjajah dan budaya bangsa

terjajah, karena adanya berbagai bentuk kolonial yang dilakukan bangsa Eropa

terhadap bangsa pribumi, maka bangsa pribumi dilaksanakan dengan

merencanakan berbagai ide nasionalis, dan membentuk gerakan-gerakan

kebangsaan, agar terwujud suatu bangsa yang bersatu dan berdaulat.

Karya Pramoedya terbesar yang merupakan tetralogi karya baru, meliputi

Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca

merupakan latar belakang realitas sejarah pergerakan nasional Indonesia.

Tetralogi Pramoedya ini pernah dilarang beredar sehubungan dengan keterlibatan

pengarangnya dalam organisasi LEKRA yang dianggap sebagai perpanjangan

tangan PKI. Pelarangan tersebut pada dasarnya dikarenakan adanya penilaian

sepihak dari pemerintah pada waktu itu, kemungkinan besar mereka tidak pernah

membaca secara sungguh-sungguh apa yang ditulis Pramoedya dalam novel-

novelnya.

Novel Jejak Langkah merupakan novel ke dua dari tetralogi Pramoedya.

Novel ini pertamakali diterbitkan oleh penerbit Hasta Mitra pada tahun 1985.

Page 3: UASi ILMU SASTRA

3

Alasan dipergunakannya novel tersebut karena novel ini benar-benar mewakili

imajinasi Pramoedya yang sesungguhnya tentang fenomena penindasan,

pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan perjuangan pergerakan nasional rakyat

pribumi untuk menentang fenomena penindasan dan Pelanggaran Hak Asasi

Manusi tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Kurniawan (2002:1) hal lain

yang khas dan senantiasa menjadi prioritas kepengarangannya, Pramoedya

seringkali melatarbelakangi karyanya dengan realitas sejarah. Pramoedya banyak

mengambil latar belakang masa sebelum PD II terutama kehidupan di sekitar kota

Blora tempat ia tinggal sewaktu kecil, serta masa-masa seputar revolusi

kemerdekaan.

Novel ini menggambarkan sebuah kurun sejarah, hubungan antar

manusianya dan perjuangan pergerakan nasional yang terjadi pada abad itu, maka

dari itu pemilihan novel ini dirasa tepat, karena didalamnya terdapat

penggambaran yang menonjol mengenai berbagai bentuk kolonial, rasa

nasionalisme dan perjuangan pergerakan.

Novel Jejak Langkah menggambarkan perjuangan serta revolusi novel ini

menggunakan latar sejarah pergerakan nasional di zaman penjajahan Belanda.

Tokoh Utama yakni Minke merupakan perwujudan dari Tirto Adhisoerja, seorang

pelopor pergerakan nasional di Indonesia, seorang inisiator kebangkitan kesadaran

nasional.

Minke merupakan seorang pribumi yang beruntung, dia berkesempatan

memperoleh pendidikan di Eropa dan mempunyai pergaulan yang luas dengan

golongan bangsa Belanda dan Indo Eropa, kemudian dia jatuh cinta dengan

seorang wanita Tiong Hoa yang bernama Ang San Mai, dia merupakan seorang

wanita pejuang Tiong Hoa dan dia juga mendorong Minke untuk segera

mendirikan organisasi perjuangan seperti yang dilakukan oleh bangsa Tiong Hoa

pada saat itu.

Novel Jejak Langkah lebih menekankan tentang gambaran sejarah

kolonialisme Belanda terhadap pribumi pergerakan nasional, serta awal

tumbuhnya organisasi modern di Indonesia seperti: Boedi Oetomo, serta

gambaran bentuk-bentuk penindasan bangsa Eropa terhadap bangsa pribumi.

Page 4: UASi ILMU SASTRA

4

Novel Jejak Langkah ini menarik untuk diteliti karena menampakkan

adanya semangat nasionalisme bangsa pribumi yang melawan bentuk-bentuk

kolonial bangsa Eropa baik dari segi politik, ekonomi, sosial dan budaya.

2. Fokus Penelitian

Adapun fenomena yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah

kolonialisme yang terdapat dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta

Toer. Fokus pada penelitian ini adalah “Bagaimana bentuk kolonialisme dalam

novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer?”

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan bentuk kolonialisme dalam

novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer.

4. Kajian Teori

4.1 Poskolonial

Kelahiran teori poskolonial di awali oleh penemuan Edward Said tentang

Orientalisme. Said dalam Ratna (2008:27) mengatakan bahwa orientalisme adalah

suatu cara, metode, bahkan sebagai ilmu dengan sendirinya dilakukan secara

sistematis dan diciptakan secara disengaja untuk memahami dunia Timur atas

dasar pemikiran dunia Barat. Poskolonial sebagai teori bertugas untuk

membongkar maksud-maksud yang tersembunyi dalam pemikiran barat mengenai

dunia Timur, karena orientalisme dianggap sebagai varian dari kolonialisme,

namun lebih berbahaya karena merupakan bentuk dari kolonial dalam ranah teks

yang dihasilkan orang-orang orientalis seperti pengajar, peneliti, sastrawan,

novelis, dan penyair. Orientalisme dianggap sebagai kolonialisme karena dalam

teks-teks tersebut terdapat pemikiran bahwa Barat ialah ‘superior’ daripada

Timur.

Poskolonialisme dapat dipahami sebagai pendekatan kritis dalam

memahami efek-efek kolonialisme yang terus ada didalam teks-teks

(Foulcher,2008:3). Ciri khas poskolonialisme dibandingkan dengan teori-teori

Page 5: UASi ILMU SASTRA

5

postmodernisme yang lain adalah kenyataan bahwa objeknya adalah teks-teks

yang berkaitan dengan wilayah bekas jajahan imperium Eropa, khususnya

Indonesia (Ratna, 2007:220).

Manneke Budiman (Foulcher:2008) mengemukakan bahwa

poskolonialisme secara longgar dipahami sebagai suatu kajian tentang bagaimana

sastra mengungkapkan ‘jejak-jejak’ kolonialisme dan konfrontasi ‘ras-ras, bangsa-

bangsa, dan kebudayaan-kebudayaan’ yang terjadi dalam lingkup ‘hubungan

kekuasaan yang tak setara’ sebagai dampak dari kolonialisasi Eropa atas bangsa-

bangsa di dunia ketiga. Jejak-jejak yang terdapat dalam sebuah karya sastra

tersebut dapat diketahui melalui sikap pribumi dalam menyikapi budaya-budaya

yang telah ditularkan oleh bangsa Eropa. Secara tidak langsung dengan

mempelajari budaya Eropa yang melekat di dalam diri pribumi, maka jejak-jejak

kebudayaan yang ditinggalkan oleh bangsa Eropa dapat terlihat. Disitulah teori

poskolonial berusaha untuk mengungkapkan.bagaimana kebudayaan itu dipakai.

Istilah poskolonialisme merupakan refleksi rekonstruksi hal-hal yang

bersifat dikotomi antara dunia Barat dan dunia Timur atau penjajah dan terjajah,

itu berarti poskolonial dapat digunakan untuk mengungkapkan semua aspek

budaya yang pernah dilakukan oleh ekspansi bangsa Eropa.

Lebih lanjut An-Nabhani (2001:33) berpendapat bahwa ketika muncul

ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menguasai negeri, maka akan

timbul cikal bakal ikatan untuk mempertahankan negerinya. Penguasa kolonial

menggunakan ideologi untuk memerintah rakyat, sedangkan rakyat merasa

bertentangan dengan ideologi tersebut, oleh sebab itu, rakyat adalah yang dikuasai

juga menggunakan ideologinya sebagai wujud perlawanan terhadap penguasa.

4.2 Kolonialisme

Kolonialisme berasal dari bahasa latin colonia, berarti pertanian,

pemukiman, dengan kata lain penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta

penduduk asli oleh penduduk pendatang (Sutrisno, 2008:9), jika dikaitkan dengan

bangsa Indonesia, maka kolonialisme yang terjadi ialah kolonialisme yang

dilakukan oleh bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia selama 3,5 abad,

Page 6: UASi ILMU SASTRA

6

melalui kolonialisme itu terjadi sebuah kisah tentang pembuatan dunia historis,

atau bisa juga kita berpendapat merupakan suatu cara penduniaan dunia seperti

Eropa (Gandhi:2007) atau dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk kolonial dari

bangsa Eropa yang menjadi sebuah bentuk poskolonial dalam diri pribumi.

Kolonialisme yang terlahir sebagai akibat dari ketidak seimbangan antara

pedagang dengan pribumi menyebabkan terjadinya penanaman kultur atau budaya

baru yang dibawa oleh pendatang. Reaksi yang timbul dari dalam diri pribumi

itulah merupakan sebuah bentuk poskolonial. Gandhi (2007:21) juga mengatakan

bahwa kolonialisme menjajah pikiran sebagai pelengkap penjajahan tubuh dan ia

melepas kuasa kekuasaan dalam masyarakat tejajah untuk mengubah berbagai

prioritas kultural mereka untuk sekali dan selamanya.

Kartodirjo (dalam ratna, 2008: 11) mengatakan bahwa kolonialisme dipicu

oleh faktor penguasaan ekonomi dengan tidak menutup kemungkinan adanya

faktor lain seperti politik, agama, dan petualangan. Ia juga mengatakan (dalam

ratna, 2008; 23) bahwa liberalisme, humanisme, dan kristianisme ikut serta

membentuk kolonialisme di Indonesia.

Ratna (2008:15-20) mengatakan bahwa diskriminasi merupakan salah satu

ciri kolonialisme. Sekaligus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, selain

dalam bidang pendidikan juga terjadi dalam pembagian kerja dan pergaulan

sehari-hari pada umumnya dalam bidang pemerintahan. Penduduk pribumi hanya

bisa menduduki jabatan-jabatan terendah implikasinya pada giliranya menyangkut

perbedaan upah. Dalam pergaulan sehari-hari ada perbedaan yang sangat besar

antara kelompok kulit putih dan sawo matang, seperti perbedaan tempat tinggal,

perkumpulan-perkumpulan seperti olah raga, taman hiburan dan kelompok sosial

lainnya, konotasi negatif dari kata kolonialisme timbul sesudah terjadi hegemoni,

sekaligus eksploitasi salah satu negara terhadap wilayah lainnya.

Faranzt Fanon (dalam Sutrisno dan Putranto, 2004:13) kolonialisme

banyak diartikan sebagai penonmanusiawian (dehumanizatio) rakyat di daerah

koloni orang-orang yang dijajah tidak diperlakukan seperti manusia, ttetapi lebih

sebagai benda.

Page 7: UASi ILMU SASTRA

7

Loomba (2003:8) mengungkapkan bahwa kolonialisme menjajah pikiran

sebagai pelengkap penjajahan tubuh dunia melepas kuasa kekuasaan dalam

masyarakat terjajah untuk mengubah pelbagai prioritas kultural mereka untuk

sekali dan selamanya. Dalam proses tersebut, ia membantu menggeneralisasi

konsep tentang Barat modern dari sebuah entitas geografis dan temporal kesubuah

kategori psikologis. Barat saat ini ada dimana-mana, di Barat dan di luar Barat,

dalam berbagai struktur dan dalam berbagai struktur dan dalam seluruh pikiran.

Jadi kolonialisme merupakan penaklukan dan penguasaan atas tanah dan

harta benda rakyat lain dengan cara menindas dan memperlakukan orang-orang

yang dijajah sebagai benda. Kolonialisme tidak hanya melakukan penindasan

terhadap fisik saja tapi juga telah melakukan penjajahan terhadap kehidupan

sosial, ekonomi, pikiran, jiwa, budaya. Kolonialisme telah menggunakan strategi-

strategi dan metode-metode untuk menguasai.

5. Pembahasan

5.1 Bentuk Kolonialisme dalam Novel Jejak Langkah

Sejak awal kedatangan kolonial Belanda di bumi Hindia, mereka sudah

mempunyai gambaran tentang bangsa pribumi. Jadi mereka dapat mudah

menguasai dan menaklukkan bangsa pribumi. Bangsa pribumi digambarkan

sebagai manusia bodoh, primitif dan terbelakang, oleh karena itu bangsa pribumi

dianggap sebagai benda.

Berbagai upaya dilakukan oleh bangsa Belanda untuk dapat memusnahkan

bangsa Hindia. Bangsa penjajah menganggap bahwa bangsa pribumi dianggap

sebagai benda, bangsa pribumi selalu diperlakukan secara nonmanusiawi.

Kolonialisme tidak hanya melakukan penindasan terhadap fisik saja seperti

adanya kontak senjata, peperangan, pengusiran, dan tindakan kekerasan lainnya.

Oleh karena itu, analisis pada pembahasan ini mengulas bentuk-bentuk

kolonialisme ras, hukum dan kolonialisme terhadap hak wanita.

Page 8: UASi ILMU SASTRA

8

5.2.1 Bentuk Kolonialisme Ras

Bangsa Barat selalu merasa bahwa kedudukannya lebih tinggi daripada

bangsa pribumi, apapun yang menyangkut tentang diri pribumi, selalu dianggap

hina oleh bangsa Belanda, sehingga pribumi selalu dibedakan dalam semua segi

kehidupan.

“Tersinggung juga, Hati sudah mulai tidak enak, kata-kata seperti itu tidak patut ditujukan kepadaku. Belum lagi mulai belajar sudah hendak dikeping-keping.”“Jawa kan?”Semakin menyakitkan. Melihat aku tak menjawab dan menatapnya dengan pandang menantang, ia tak bertanya lagi” (JL.hal.8)

Dengan adanya, “Jawa kan?” yang dilontarkan oleh seorang bangsa Eropa

merupakan suatu bentuk pembedaan ras, pribumi, selalu dipandang dengan mata

terpicing, selalu dianggap rendah.

Adanya pembedaan ras juga dibuktikan adanya peraturan yang terdapat

pada sekolah dokter. Peraturan tentang cara berpakaian yang harus sesuai dengan

suku bangsanya.

“Dimana-mana memang ada tata tertib. Mengapa yang disini begini menyakitkan? Sebagai orang Jawa. Sebagai siwa harus berpakaian Jawa: daster, baju tutup, kain batik dan cakar ayam! Tak boleh beralas kaki (JL:hal 8)

Peraturan tersebut merupakan bentuk klasifikasi berdasarkan ras, karena

dalam suatu lembaga pendidikan, seharusnya tidak membedakan siswanya dan

seharusnya semua siswa dari bangsa manapun mendapat perlakuan yang sama.

Adanya perlakuan tersebut merupakan salah satu bentuk merendahkan martabat

bangsa pribumi. Minke sebagai seorang pribumi yang berpikiran modern merasa

dirinya sangat direndahkan dengan adanya peraturan tersebut, pembedaan tersebut

membuat dirinya merasa dalam ketidakadilan.

“Belum lagi sempat mengambil sikap, seorang berpawakan besar, mengamat-amati kopor coklat tua dari kaleng cekung dan cembung itu, berteriak dalam Belanda Indo:“Lihat ini! Hanya anak dusun busuk berkopor lebih busuk semacam ini ”

Page 9: UASi ILMU SASTRA

9

“Rupa-rupanya, ia yang bersepatu dalam asrama ini, tentu bukan Sunda, Jawa, Madura atau Bali, juga bukan Melayu. Mungkin memang peranakan Eropa” (JL: hal 9-10)

Bangsa Eropa selalu menganggap kedudukannya lebih tinggi daripada

pribumi, jadi dia merasa mempunyai hak untuk melakukan penghinaan dan

merendahkan harga diri bangsa pribumi. Naun tidak hanya golongan bangsa

Eropa saja yang menganggap dirinya lebih unggul daripada bangsa pribumi, tapi

juga bangsa Tionghoa, merasa dirinya mempunyai kedudukan lebih tinggi

daripada pribumi.

Suatu bangunan mewah yang bernama kamarbola De Harmonie

merupakan tempat bangsa Eropa berkumpul. Hampir tidak pernah ada pribumi

yang memasuki kamarbola De Harmonie sebagai tamu. Bangunan itu mempunyai

suatu peraturan bahwa pribumi dilarang memasuki ruangan itu.

“Dan aku sebagai pengurus kamarbola ini, mewakili semua anggota mengutuk Tuan karena telah membawa seorang pribumi masuk ke sini. Tuan sendiri tahu aturan itu (JL:hal 37)“Dan protokol yang menganggap dirinya bijaksana itu menatap aku dengan pandangan menuding; kau orang yang tak pernah diundang, resmi atau tidak, kau pribumi busuk, sudah merusak acara yang semestinya indah” (JL: hal 36)

Bangsa pribumi tidak pantas memasuki kamarbola De Harmonie, pribumi

dianggap sebagai bangsa berkedudukan rendah yang selalu membuat ricuh dan

tidak pantas berkumpul dengan bangsa Eropa yang mempunyai martabat dan

kedudukan tinggi. Pembedaan ras terlihat jelas sekali yaitu adanya peraturan

bangsa pribumi tidak boleh memasuki kamrbola De Harmonie dan semua anggota

yang kesemuanya merupakan bangsa Eropa mengutuk hadirnya Minke dalam

acara tersebut. Bangsa pribumi yang sudah masuk kamarbola De Harmonie,

biasanya hanya sebagai jongos atau kuli. Bangsa Eropa merasa kedudukannya

lebih tinggi daripada bangsa pribumi dapat dilihat dari Si protokol, yang merasa

dirinya bijaksana dan menganggap Minke sebagai manusia busuk.

Pada dasarnya ras yang berbeda merupakan sebagai pelengkap hidup,

namun jika ras tersebut dibedakan dan salah asatu ras merasa lebih unggul dari ras

yang lain dan melakukan penghinaan atas ras tersebut merupakan salah satu

Page 10: UASi ILMU SASTRA

10

bentuk kolonialisme. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutrisno dan Putranto

(2004:129) bahwa ras merupakan klarifikasi sosial atas dasar keturunan dengan

ciri-ciri tertentu seperti warna kulit, tekstur tubuh, bahasa dan lain sebagainya.

Sedangkan Rasisme adalah salah satu persoalan yang terkait erat dalam wacana

kolonialisme. Kolonisasi Barat atas dunia Timur menyimpan sebuah ism tentang

keunggulan bangsa Eropa.

5.2.2 Bentuk Kolonialisme Hukum

Setiap manusi terikat dengan hukum dimanapun dia berada dan tanpa

terkecuali, oleh karena itu tidak ada manusia yang kebal terhadap hukum. Bangsa

Belanda merupakan bangsa yang lebih unggul dan modern dalam segala hal.

Kebanyakan mereka mengerti tentang hukum tidak seperti bangsa pribumi yang

kebanyakan dari mereka yang awam hukum. Kebutaan bangsa pribumi terhadap

hukum ini menjadi suatu obyek bagi bangsa Belanda untuk melakukan

kolonialisme, karena dengan pengetahuan mereka tentang hukum, maka mereka

mempunyai alasan untuk memperkuat posisinya tinggal di bumi Hindia dan

memperoleh kejayaan. Hukum yang ada sebenarnya telah disalahgunakan untuk

kepentingan pribadi bangsa Eropa tanpa memperhatikan kesejahteraan bangsa

pribumi.

“Memang ada banyak teori tentang hukum, setidak-tidaknya hukumlah yang membuat Eropa jaya sampai sekarang. Tetapi begitu orang Eropa keluar dari benuanya, banyak kala mereka lupa pendidikan rumah dan hukum yang membesarkannya” (JL: hal 428)

Bangsa Eropa yangberada di negeri Hindia kebanyakan memahami

hukum, namun untuk kepentingan kolonial, mereka melupakan aturan-aturan

hukum sebenarnya dan melakukan pembenaran atas semua tindakannya yang

melanggar hukum, karena berambisi untuk mendapatkan kejayaan di bumi

Hindia, maka mereka bertindak sesuka hati untuk membodohi bangsa pribumi

yang tidak mengetahui hukum, mereka bebas menghukum bangsa pribumi yang

melakukan perjuangan untuk memperjuangkan hidupnya. Bangsa Belanda bebas

mempbuat peraturan yang mengikat dan menyengsarakan bangsa pribumi.

Page 11: UASi ILMU SASTRA

11

“Koran-koran mengatakan antara lain: kejahilan, kejahatan, dan kebiadaban, yang terjadi dalam landscap sudah tak dapat ditanggung lebih lama lagi oleh Gubermen Hindia Belanda yang mewakili peradaban Eropa dan Kristen. Aturan Hindia Belanda harus jadi aturan mereka, yang mengikat penduduk dan pemukanya pada Hindia Belanda”

Belanda membuat peraturan-peraturan yang mengikat bangsa pribumi,

bangsa Belanda bisa mengendalikan bangsa pribumi, jika bangsa pribumi ada

yang melanggar peraturan tersebut, maka akan mendapatkan sanksi yang tidak

ringan. Namun seringkali Belanda melanggar semua aturan yang mereka buat

sendiri, karena merasa kedudukannya lebih tinggi daripada pribumi, maka bangsa

pribumi banyak tidak mengerti tentang hukum, maka bangsa Eropa mampu

bertindak sewenang-wenang termasuk melanggar hukum itu sendiri. Pada

dasarnya pejabat pemerintah Belanda sering melakukan sesuatu di luar ketentuan

hukum.

“Tentang hukum, Tuanlah yang lebih mengetahui. Rasanya-rasanya suatu kejanggalan: Belanda sendiri yang membikin hukum itu, dan Belanda sendiri yang menerjangnya. Kan itu bukan sekedar lelucon mahal” (JL: hal 430)

Bentuk adari perlakuan di luar hukum oleh pejabat Belanda adalah

pembuangan terhadap pribumi yang dianggap berbahaya bagi keberadaan Belanda

di bumi Hindia.

“Hendrik, mungkinkah seorang kontrolir bisa membuang orang tanpa melalui saluran hukum?”“kan itu sudah terjadi, bukan hanya di Hindia, juga dinegeri jajahan lainnya. Memang bukan satu-satunya”“Minke, menurut hukum satu-satunya orang yang boleh berbuat sewenang-wenang berdasarkan hak yang ada padanya adalah Gubermen Jenderal (JL: hal 421)

Seorang Gubernur Jenderal mampu melakukan sesuatu yang berada di luar

hukum, mereka mempunyai hak untuk berbuat sewenang-wenang terhadap

siapapun. Gubernur mempunyai kekuatan melaksanakan hukum, tapi dia juga

mempunyai kekuatan melakukan sesuatu di luar hukum. De Knijpers T.A.I dan

De Zweep, merupakan kelompok yang bertugas menghacurkan organisasi pribumi

yaitu SDI, ternyata mereka mempunyai hubungan kerjasama dengan pemerintah

Page 12: UASi ILMU SASTRA

12

Belanda sehingga kerjasama antar kelompok-kelompok tersebut dengan

pemerintah Belanda merupakan sebuah bentuk perlakuan di luar hukum.

“Sandiman pernah memperingatkan aku, pengemanan tidak lain dari seorang komisaris polisi Batavia-centrum. Bila itu benar, tentu tidak lain dari dia yang tahu – Pengemanan itu- bahwa aku sedang bersama dengannya waktu penembakan itu terjadi. Dan bila benar peringatan Sandiman , jelas ada hubungan mesra antara pihak kepolisian dengan De Knijpers, T.A.I maupun De Zweep. Jadi selain Gubermen mempunyai kekuatan yang katanya melaksanakan hukum, juga mempunyai kekuatan di luar hukum (JL: hal 440)

Gebermen tidak mau menindak De Knijpers yang telah melanggar hukum

dengan melakukan kerusuhan dan perkelahian terhadap pribumi. Sikap Gubermen

tersebut merupakan salah satu bentuk kolonialisme hukum, karena gubermen telah

melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri. Gubermen tidak mau menindak

perbuatan anarkis yang dilakukan oleh De Knijpers, karena De Knijpers

merupakan kelompok yang bekerjasama dengannya dalam menghancurkan

organisasi pribumi dan menghambat kemajuan bangsa pribumi.

Adanya pengusiran dan pengucilan yang dilakukan bangsa Belanda

terhadap petani gula tidak pernah diproses melalui hukum, karena pemerintah

menganggap bangsa pribumi pantas menerima perlakuan tersebut dan bangsa

pribumi tidak pantas untuk dibela.

“Lagi pula” kataku lagi “sepanjang kuketahui”-moga-moga saja tidak keliru polisi tidak pernah melakukan pengusutan terhadap pengucilan dan pengusiran yang dilakukan oleh pabrik gula”. (JL: hal 36)

Polisi sebagai penegak hukum seharusnya melaksanakan dan menindak

seseorang yang melakukan kejahatan dan yang telah melanggar hukum, namun

polisi tidak pernah melakukan pengusutan terhadap petani yang telah diusir dan

dikucilkan terhadap bangsa pribumi dan tidak ingin mengusut tentang kasus yang

menyangkut kekejaman Belanda terhadap petani gula, karena hal tersebut akan

merugikan kepentingan Belanda dalam memperoleh keuntungan.

“Ya dagang yang berpolitik, dan politik yang berdagang, dwi tunggal yang bikin sengsara bangsa-bangsa jajahan, Tuan Hadji, kalo Tuan pernah dengar tentang politik ethiek itulah dia isinya, yang jadi sasaran politik

Page 13: UASi ILMU SASTRA

13

itu adalah pribumi, dan pribumi tetap hidup dalam kapiran dalam kemiskinan. (JL:hal 306)

Adanya politik ethiek tidak membawa perubahan terhadap kesejahteraan

pribumi, pada kenyataannya pribumi semakin tertindas, terutama kekejaman

terhadap petani gula yang selalu dirugikan dan ditindas oleh Belanda. Belanda

tidak pernah memperhatikan kesejahteraan pribumi, politik etik hanyalah omong

kosong belaka karena kolonialisme tetap merajalela di Hindia.

Gambaran bangsa Eropa tentang pribumi sebagai makhluk jahat,jahil dan

biadab membuat bangsa Belanda mempunyai alasan untuk mengambil alih hukum

yang sudah ada di Hindia, seperti yang diungkapkan oleh Lomba (2003: 76)

kolonialisme memperluas kontak antara orang-orang Eropa dengan non Eropa

menimbulkan banjir besar. Gambaran-gambaran dan gagasan-gagasan menjadi

satu bentuk yang tidak perbah terjadi sebelumnya. Orang-orang Eropa yang

bepergian ke luar negara mereka membawa gambaran-gambaran tertentu yang

sudah ada tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan mereka temui.

5.2.3 Bentuk Kolonialisme Budaya

Sebagai bangsa yang mengalami penjajahan panjang dan hidup

berdampingan dengan bangsa Belanda merupakan salah satu faktor bangsa

pribumi untuk dapat mncerna, mengenyam, mengagumi segala bentuk budaya

bangsa penjajah. Hal itu merupakan suatu bentuk kolonialisme budaya yang

disebarkan secara halus atau secara ideologis, sedangkan pribumi tidak sadar

bahwa dia telah mengalami kolonialisme.

“Meninggalkan daerah pelabuhan, tren seperti tersasar di daerah rawa-rawa, di sana-sini, di rimba, semak, dan hutan belukar, udara baru, reruntuhan dedauanan membusuk, monyet-monyet bergelantungan pada dahan-dahan, tak gentar mendengar lonceng kuningan ...... (JL:hal 2)“Dahulu sepanjang Ciliwung berdiri sederetan tak putus-putusnya rumah-rumah mewah, kata orang sebagaian besar telah jadi toko..... (JL:hal 4-5)

Pada kutipan di atas, gaya berpakaian Minke sama seperti bangsa Belanda

dan pemikirannya ingin mnjadi manusia modern dan melepaskan segala adat dan

budaya yang selama ini dia rasa membelenggu dirinya menjadi manusia modern,

Page 14: UASi ILMU SASTRA

14

itulah keinginan Minke. Hal itu tidak hanya terjadi pada Minke saja, tetapi juga

pada Abdul Muis, seorang pegawai yang bekerja di kantor orang Benlanda, karena

kekagumannya pada budaya, berpakaian, dan gaya hidup bangsa Belanda yang

modern, maka dia melakukan peniruan terhadap budaya bangsa Belanda.

Kolonialisme budaya juga dialami oleh para siswa pribumi sekolah dokter, di saat

waktu senggang atau hari libur, mereka melepaskan pakaian adatnya dan berganti

dengan pakaian eropa agar mereka dapat mencari wanita-wanita atau Nyai-nyai

dengan merdeka.

“Setiap siswa membutuhkan satu keluarga. Di sana dia dapat melepas pakaian kebangsaan dan berganti pakaian eropa, jadi sinyo. Dengan pakaian eropa orang dapat bebas” (JL:hal 345)

Kolonialisme budaya yang terjadi pada siswa pribumi sekolah dokter

merupakan peniruan terhadap budaya berpakaian bangsa Belanda dan gaya hidup

bebas yang selalu dilakukan bangsa Eropa. Semua itu merupakan klolonialisme

yang sengaja ditanamkan oleh bangsa Belanda, sedangkan pribumi tidak

menyadari bahwa hal itu merupakan bentuk kolonialisme yang terjadi pada

dirinya.